jurnal tbi transletnnnnnnnnnnnn

49
Manajemen perawatan kritis cedera otak traumatik (TBI) berat pada orang dewasa Samir H Haddad1* and Yaseen M Arabi2 Kata kunci: Cedera otak Traumatik, cedera kepala, trauma kepala, perawatan kritis Pendahuluan Cedera otak traumatis (TBI) berat, didefinisikan sebagai trauma kepala dengan Glasgow Coma Scale (GCS) dengan total skor 3 sampai 8 [1], TBI merupakan masalah utama dan menantang dalam bidang kedokteran divisi perawatan kritis. Selama dua puluh tahun 1 Abstrak Cedera otak traumatis (TBI) adalah merupakan masalah medis dan sosial-ekonomi yang berat, dan merupakan salah satu penyebab utama kematian pada golongan anak-anak dan dewasa muda. Manajemen perawatan kritis dari TBI berat sebagian besar berasal dari "Pedoman Pengelolaan Cedera Otak Traumatic berat (Guidelines for the Management of Severe Traumatic Brain Injury )" yang dipublikasikan oleh Brain Trauma Foundation. Tujuan utama pedoman ini adalah pencegahan dan pengobatan hipertensi intrakranial dan cedera otak sekunder, pelestarian tekanan perfusi serebral/cerebral perfusion pressure (CPP),

Upload: irafrayantisarewa

Post on 03-Dec-2015

231 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

nnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnnn

TRANSCRIPT

Manajemen perawatan kritis cedera otak traumatik (TBI) berat

pada orang dewasa

Samir H Haddad1* and Yaseen M Arabi2

Kata kunci: Cedera otak Traumatik, cedera kepala, trauma kepala, perawatan kritis

Pendahuluan

Cedera otak traumatis (TBI) berat, didefinisikan sebagai trauma kepala dengan Glasgow

Coma Scale (GCS) dengan total skor 3 sampai 8 [1], TBI merupakan masalah utama dan

menantang dalam bidang kedokteran divisi perawatan kritis. Selama dua puluh tahun terakhir,

banyak penelitian dengan hasil luar biasa dalam menegakkan manajemen perawatan kritis dari

TBI berat. Pada tahun 1996, Brain Trauma Foundation (BTF) pertama kali mempublikasi

pedoman pengelolaan TBI berat [2] dan diterima oleh American Association of Neurological

Surgeons dan didukung oleh World Health Organization in Neurotraumatology. Edisi kedua

dengan revisi lanjutan dipublikasi pada tahun 2000 [3] dengan tambahan data pada tahun 2003,

dan edisi ke-3 dipublikasikan pada tahun 2007 [4]. Beberapa penelitian telah dilakukan

sebelumnya dan melaporkan dampak hasil dari penerapan protokol manajemen berbasis

1

Abstrak

Cedera otak traumatis (TBI) adalah merupakan masalah medis dan sosial-ekonomi yang

berat, dan merupakan salah satu penyebab utama kematian pada golongan anak-anak dan dewasa

muda. Manajemen perawatan kritis dari TBI berat sebagian besar berasal dari "Pedoman

Pengelolaan Cedera Otak Traumatic berat (Guidelines for the Management of Severe Traumatic

Brain Injury )" yang dipublikasikan oleh Brain Trauma Foundation. Tujuan utama pedoman ini

adalah pencegahan dan pengobatan hipertensi intrakranial dan cedera otak sekunder, pelestarian

tekanan perfusi serebral/cerebral perfusion pressure (CPP), dan mengoptimalisasi oksigenasi

serebral. Dalam revisi ini, perawatan kritis manajemen TBI berat akan dibahas dengan fokus pada

pemantauan, menghindari dan meminimalkan cedera sekunder pada otak, dan mengoptimalisasi

oksigenasi otak dan mempertahankan CPP.

pedoman untuk TBI berat pada perawatan pasien dengan TBI berat [5,6]. Studi-studi ini jelas

menunjukkan bahwa pelaksanaan protokol untuk pengelolaan TBI berat, dengan melaksanakan

penatalaksanaan sesuai rekomendasi dari pedoman, memberikan hasil jauh lebih baik pada

kasus-kasus TBI berat seperti berkurangnya angka kematian, hasil skor fungsional, Durasi rawat

inap di rumah sakit, dan penurunan biaya [7,8]. Namun, masih ada Variasi institusional yang

cukup besar dan luas dalam perawatan pasien dengan TBI berat.

Secara umum, TBI dibagi menjadi dua periode diskrit: cedera otak primer dan sekunder.

Cedera otak primer adalah disebabkan adanya kerusakan fisik pada parenkim (jaringan,

pembuluh) yang terjadi selama peristiwa traumatis, sehingga pergeseran dan kompresi jaringan

terjadi pada jaringan otak di daerah trauma. Cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses

kompleks, akibat dari cedera otak primer pada jam-jam hingga hari-hari berikutnya setelah

terjadi cedera otak primer. banyak sekali stressor sekunder, baik intrakranial dan ekstrakranial

atau sistemik, dapat menyebabkan komplikasi terjadinya luka pada otak dan mengakibatkan

cedera otak sekunder. Stressor sekunder otak intrakranial meliputi edema serebral, hematoma,

hidrosefalus, hipertensi intrakranial, vasospasme, gangguan metabolisme, excitotoxicity,

toksisitas ion kalsium, infeksi, dan kejang [9,10]. sekunder, stressor skunder otak sistemik secara

umum bersifat iskemik di [9,11], seperti:

- Hipotensi (tekanan darah sistolik [SBP] <90mm Hg)

- Hipoksemia (PaO2 <60 mmHg; O2 Saturasi <90%)

- Hipokapnia (PaCO2 <35 mm Hg)

- Hiperkapnia (PaCO2> 45 mm Hg)

- Hipertensi (SBP> 160 mm Hg, atau tekanan arteri rata-rata [MAP]> 110 mm Hg)

- Anemia (Hemoglobin [Hb] <100 g / L, atau hematokrit [Ht] <0,30)

- Hiponatremia (natrium serum <142 mEq / L)

- Hiperglikemia (gula darah> 10 mmol / L)

- Hipoglikemia (gula darah <4,6 mmol / L)

- Hipo-osmolaritas (plasma osmolaritas [P Osm] <290 mOsm / Kg H2O)

- Gangguan asam-basa (acidemia: pH <7,35; alkalemia: pH> 7.45)

- Demam (suhu> 36,5 ° C)

- Hipotermia (suhu <35,5 ° C)

2

Oleh karena itu, terlihat jelas bahwa hanya sebagian dari kerusakan otak selama trauma

kepala adalah akibat dari cedera otak primer, yang tidak dapat diperbaiki dan bersifat

irreversible. Namun, cedera otak sekunder sering dapat diperbaiki dengan pencegahan dan

penatalaksanaan yang baik dan bersifat reversible. Manajemen perawatan intensif pasien dengan

TBI berat adalah sebuah proses dinamis, dimulai pada periode pra-rumah sakit, di tempat

terjadinya kecelakaan itu sendiri. Selama tahap perawatan awal di rumah sakit, pasien dapat

ditangani di berbagai lokasi di rumah sakit termasuk ruangan perawatan gawat darurat,

departemen radiologi, dan ruang operasi sebelum mereka dirawat lanjutan di Intensive Care Unit

(ICU). Perjalanan dari perawatan akut, selama "GOLDEN HOUR", dari saat cedera sehingga

permulaan dari perawatan definitif, harus dilaksanakan dan didasarkan pada pedoman dan

rekomendasi yang disebutkan sebelumnya. Revisis ini menguraikan prinsip-prinsip dasar

manajemen perawatan kritis pasien dengan TBI berat selama mereka tinggal di ICU.

Lihat Gambar 1

Manajemen Perawatan Kritis Dari TBI Berat

Sebelum pasien dipindahkan ke ruang ICU, pasien dengan TBI berat biasanya diterima,

diresusitasi dan distabilkan di perawatan gawat darurat atau ruang operasi. Setelah pasien dengan

TBI berat telah dipindahkan ke ICU, penatalaksanaan pada pasien ini terdiri dari penyediaan

perawatan umum kualitas tinggi dan berbagai strategi ditujukan untuk mempertahankan

hemostasis dengan:

- Stabilisasi pasien, jika masih tidak stabil

- Pencegahan hipertensi intracranial

- mempertahankan tekanan perfusi serebral (CPP) yang memadai dan stabil

- Menghindari cedera otak sistemik, sekunder (SBI)

- Oksigenasi dan optimalisasi hemodinamik serebral

Evaluasi

Evaluasi pasien dengan TBI berat sangat penting dan menjadi pedoman dan optimalisasi

terapi. Alasannya evaluasi merupakan deteksi dini dan diagnosis stressor sekunder otak, baik

sistemik dan intrakranial. Oleh karena itu, evaluasi pasien dengan TBI berat harus terdiri dari

evualasi dari sisi neurologis umum dan khusus.

3

Evaluasi Umum

Selama perawatan neurointensive pasien dengan TBI berat, parameter umum yang

dievaluasi secara teratur termasuk elektrokardiografi (Evaluasi EKG), saturasi oksigen arteri

(pulse OXYMETRY, SpO2), capnography (endtidal CO2, PetCO2), tekanan darah arteri (kateter

arteri), tekanan vena sentral (CVP), suhu sistemik, urin, gas darah arteri, serum elektrolit dan

osmolaritas. Evaluasi secara Invasif atau non-invasif output jantung mungkin diperlukan pada

kasus gangguan hemodinamik pada pasien yang tidak merespon terhadap terapi cairan resusitasi

dan pemberian vasopressor.

Evaluasi Neurologik

Evaluasi tekanan intrakranial

Brain Trauma Foundation (BTF) merekomendasikan bahwa "tekanan intrakranial (TIK) harus

dievaluasi pada semua pasien dengan prognosis baik TBI berat dengan computed tomography

(CT) scan yang abnormal. Evaluasi TIK juga menjadi indikasi pada pasien dengan TBI berat

dengan CT scan yang normal jika dua atau lebih dari fitur berikut ditemukan saat masuk: usia di

atas 40 tahun, unilateral atau bilateral motorik, atau tekanan darah sistolik (BP) <90 mm Hg [4].

Berdasarkan prinsip-prinsip fisiologis, potensi manfaat evaluasi TIK meliputi deteksi dini besar

lesi intrakranial, pedoman terapi dan menghindari penggunaan terapi tidak tepat untuk

mempertahankan TIK, drainase cerebrospinal fluid (CSF) dengan pengurangan TIK dan

peningkatan CPP, dan penentuan prognosis.

Saat ini, metode yang tersedia untuk pemantauan TIK termasuk metode epidural,

subdural, subarachnoid, parenkima, dan lokasi ventrikel. Secara historis, kateter TIK ventrikel

telah digunakan sebagai metode evaluasi standar dan menjadi teknik pilihan bila memungkinkan.

Metode ini adalah metode yang paling akurat, murah, dan dapat diandalkan pada evaluasi TIK

[4]. Metode ini juga memungkinkan untuk pengukuran berterusan TIK dan terapi drainase CSF

pada kasus hipertensi intrakranial untuk mengontrol peningkatan TIK. Evaluasi subarachnoid,

subdural, dan epidural merupakan metode yang kurang akurat. Alat evaluasi TIK biasanya

ditempatkan pada sisi kanan, karena sekitar 80% dari populasi manusia mempunyai hemisfera

otak kanan sebagai hemisfera yang non-dominan, sisi kanan adalah daerah pilihan kecuali

4

adanya kontraindikasi. [12]. Namun, alat evaluasi TIK boleh ditempatkan di sisi yang terdpat

gejala patologis maksimal atau pembengkakan [13].

Penggantian rutin kateter ventrikel atau penggunaan antibiotik profilaksis pada

pemasangan kateter ventrikel tidak dianjurkan untuk mengurangi infeksi [4]. Namun,

penggunaan alat evaluasi TIK biasanya berlangsung selama ≤ 1 minggu, dengan pemeriksaan

CSF setiap hari untuk kadar glukosa, kadar protein, jumlah sel, pewarnaan Gram, serta kultur

dan sensitivitas. pengobatan untuk hipertensi intrakranial harus dimulai dengan TIK pada batas

di atas 20 mm Hg. Selain evaluasi TIK, evaluasi gejala klinis dan hasil CT scan harus dijadikan

pedoman untuk menentukan kebutuhan untuk perawatan yang tepat[4]. Meskipun tidak ada uji

coba, secara randomized controlled (RCT) yang telah dilakukan sebelumnya untuk menunjukkan

bahawa evaluasi TIK meningkatkan keberhasilan perawatan atau mendukung penggunaannya

sebagai pemeriksaan standar; evaluasi TIK telah menjadi bagian integral dalam pengelolaan

pasien dengan TBI berat di sebagian besar pusat trauma dunia. Namun, ada juga bukti

bertentangan tentang apakah evaluasi TIK meningkatkan keberhasilan perawatan. Beberapa

penelitian telah menunjukkan bahwa evaluasi TIK mengurangi tingkat kematian keseluruhan

TBI berat [14-21]. Penelitian lain belum menunjukkan manfaat dari evaluasi TIK [22-24]. Selain

itu, beberapa studi menunjukkan bahwa evaluasi TIK dikaitkan dengan memburuknya kadar

mortalitas [25,26]. Potensi komplikasi dari evaluasi TIK termasuk infeksi, perdarahan,

kerusakan, obstruksi, atau malposisi. Baru-baru ini, kami melaporkan bahwa pada pasien dengan

TBI berat, evaluasi TIK tidak menjadi faktor yang bermain peran penting dengan berkurangnya

kadar mortalitas di rumah sakit, namun evaluasi TIK menjadi antara faktor penting yang

berperan menyebabkan terjadinya peningkatan yang signifikan pada durasi penggunaan ventilasi

mekanis, peningkatan indikasi penggunaan tracheostomy, dan durasi perawatan ICU [27].

5

terapi lini kedua

6

Evaluasi TIK

Mempertahankan CPP> 60 mm Hg

Hipertensi Intrakranial*

Evalasi kepala pada tempat tidur dengan sudut 30o

Oksigenasi yang memadai Normocapnia Memperdalam sedasi / analgesia ± kelumpuhan Normovolemia, atau hypervolemia sedang

Mempertahankan suhu normal

penatalaksanaan kejang

Drainase CSF (jika memungkinkan)

Hipertensi Intrakranial*

Hiperventilasi akut (15-30 menit) untuk PaCO2 30-35mm

Manitol (0,25-1,0 g / kg IV selama 15-20 menit) atau cairan Saline hipertonik(NaCl

7,5%: 2 mL / kgBB IV lebih dari 15 menit)

Dapat diulangi jika serum osmolaritas <320 mOsm / kg (mempertahankan

Keadaan euvolemic pasien)

Koma Barbiturat (barbiturate dosis tinggi)

Ya Tidak

Ya Tidak

Pertimbangkan

CT-scan

ulangan

Menurunkan intensitas terapi penurunan TIK

secara bertahap

Hipertensi Intrakranial* TidakYa

Hipertensi Intrakranial* TidakYa

hiperventilasi dipertahankan pada PaCO2 <30 mm Hg (evaluasi SjO2, dan / atau

PbtO2 direkomendasikan)

Terapi lini kedua yang lain

Ya

Gambar 1

* TIK pada kadar 20-25 mm Hg digunakan

sebagai batas indikasi pentalaksanaan

Dalam database Cochrane, Revisi secara sistematis terbaru tidak menemukan RCT yang

dapat memperjelas peran TIK pada evaluasi koma akut baik traumatik atau non-traumatik[26].

Namun demikian, ada bukti, dan kebanyakan dokter setuju, untuk mendukung penggunaan

evaluasi TIK pada pasien TBI berat yang berisiko mempunyai hipertensi intrakranial. Nilai TIK

adalah prediktor absolut dan mandiri terhadap prognosis akhir TBI secara neurologis, namun,

TIK refraktori dan respon untuk penatalaksanaan peningkatan TIK dapat menjadi prediktor yang

lebih baik prognosis neurologis dibandingkan nilai TIK absolut [28]. Treggiari et al. melakukan

penelitian sistematis untuk memperkirakan hubungan antara nilai-nilai dan pola TIK dan hasil

vital dan neurologis dari sisi prognosis jangka pendek dan jangka panjang. Sehubungan dengan

TIK normal (<20 mm Hg), peningkatan TIK dikaitkan dengan peningkatan kematian odds

ratio(OR): 3,5 [95% CI: 1.7, 7.3] untuk TIK 20-40, dan 6,9 [95% CI: 3,9,12.4] untuk TIK> 40

mm Hg. Peningkatan TIK yang dapat direduksi dikaitkan dengan peningkatan 3-4-kali lipat pada

kadar kematian OR atau prognosis neurologis yang buruk. Pola TIK refraktori dikaitkan dengan

peningkatan secara dramatis dan relative risiko kematian (OR = 114,3 [95% CI: 40.5, 322,3])

[29].

Saturasi oksigen bulbus vena jugular

Saturasi oksigen vena jugularis (SjvO2) merupakan indikator dari kadar oksigenasi otak

dan kadar metabolisme otak, Saturasi oksigen vena jugularis (SjvO2) memberi gambaran rasio

antara aliran darah otak (CBF) dan tingkat metabolisme oksigen serebral (CMRO2). Kateterisasi

retrograde dari vena jugularis interna (IJV) digunakan untuk evaluasi SjvO2. Secara umumnya

IJV kanan adalah daerah yang biasanya dominan [30], daerah ini biasanya digunakan untuk

kanulasi yang dapat memberikan gambaran oksigenasi serebral global[31]. Evaluasi SjvO2 dapat

dilakukan secara terus menerus melalui serat kateter optik atau secara intermiten melalui

pemeriksaan sampel darah berulang. Dalam sebuah penelitian prospektif pasien dengan trauma

otak berat yang akut disertai hipertensi intrakranial, Cruz menyimpulkan bahwa evaluasi secara

terus menerus SjvO2 dikaitkan dengan perbaikan prognosis [32]. Rata-rata normal dari SjvO2,

dalam subjek terjaga normal, adalah sebanyak 62% dengan kisaran 55% sampai 71%. desaturasi

berkelanjutan vena jugularis dari <50% merupakan batas iskemia serebral dan menjadi indikasi

pentalaksanaan [33]. Evaluasi SjvO2 dapat mendeteksi secara klinis episode okultisme iskemia

serebral, yang memungkinkan pencegahan episode ini dengan penyesuaian sederhana pada

7

penatalaksanaan pengobatan. Pada TBI, desaturasi vena jugularis sebagian besar memainkan

peran dalam penurunan kadar CBF sekunder akibat dari penurunan kadar CPP (hipotensi,

hipertensi intrakranial, dan vasospasme) atau hipokapnia-terkait vasokonstriksi serebral.

Penelitian menunjukkan bahwa penurunan secara berkelanjutan dari SjvO2 hingga batas <50%

dikaitkan dengan faktor risiko yang mandiri dan mampu menyebabkan prognosis buruk [34-37].

Akibatnya, evaluasi SjvO2 sangat penting untuk penentuan ventilasi selama perawatan medis

pada kasus hipertensi intrakranial. Namun, manfaat dari evaluasi SjvO2 pada hasil pasien TBI

berat belum pernah dikonfirmasi dengan suatu RCT.

Tekanan oksigen jaringan otak

Evaluasi pengukuran SjvO2 dan tekanan oksigen jaringan otak (PbtO2) bertujuan untuk

mengukur oksigenasi otak, bagaimanapun, SjvO2 mengukur oksigenasi serebral global manakala

PbtO2 mengukur oksigenasi serebral fokal menggunakan invasive Probe (Licox). Rosenthal et

al. mendokumentasikan dalam penelitian mereka bahawa, pengukuran dari PbtO2 mewakili hasil

dari perbedaan tekanan CBF dan tekanan arteriovenous oksigen serebral dan bukan merupakan

pengukuran langsung pengiriman oksigen Total atau oksigen serebral [38]. PbtO2 merupakan

pengukuran khusus fokal, hal ini terutama digunakan untuk mengevaluasi perfusi kritis

oksigenasi dari jaringan otak. PbtO2 adalah teknik yang pilihan untuk mengevaluasi oksigenasi

serebral fokal dan bertujuan untuk mencegah episode desaturasi. Namun, penggunaan metode ini

sahaja tidak dapat mengevaluasi perubahan oksigenasi serebral global. Normal PbtO2 berkisar

antara 35 mm Hg dan 50 mm Hg [39]. Nilai PbtO2 <15 mm Hg dianggap sebagai indikator

untuk fokus serebral iskemia dan indikasi penatalaksanaan terapi [4]. Beberapa studi

menunjukkan bahwa terapi berbasis evaluasi PbtO2 mampu membantu mengurangi mortalitas

pasien dan memberi prognosis yang baik pada pasien dengan kasus TBI berat [40-42]. Dalam

revisi sistematis terbaru, literatur medis yang tersedia ditinjau untuk memeriksa apakah terapi

berbasis PbtO2 dapat memperbaiki prognosis pasien dengan kasus TBI berat [43]. Antara pasien

yang menerima terapi berbasis PbtO2, 38,8% menunjukkan hasil yang kurang baik dan 61,2%

memiliki hasil yang menguntungkan. Antara pasien yang menerima TIK/ CPP-berbasis terapi

58,1% menunjukkan hasil kurang baik dan 41,9% memiliki hasil yang menguntungkan. Terapi

berbasis PbtO2 secara umumnya dapat memberikan hasil yang menguntungkan (OR = 2,1, 95%

CI = 1,4-3,1). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa gabungan TIK/CPP-berbasis terapi dan

8

PbtO2-berbasis terapi dikaitkan dengan hasil yang lebih baik untuk kasus pasca TBI berat

dibandingkan dengan hanya penggunaan TIK/CPP-berbasis terapi sahaja [43]. Oddo et al.

Melaporkan bahwa hipoksia otak atau penurunan PbtO2 merupakan hasil prediktor yang mandiri

dan berhubungan dengan prognosis buruk jangka pendek pasca TBI berat.

Selain dari TIK, CPP yang rendah, dan tingkat keparahan cedera. PbtO2 merupakan salah

satu sasaran terapi yang penting pasca TBI berat [44]. PbtO2 telah didokumentasikan lebih

unggul dari metode SjvO2, near infrared spectroscopy [45], dan regional transcranial oxygen

saturation dalam mendeteksi iskemia otak. Evaluasi PbtO2 adalah metode yang menjanjikan,

aman dan dapat diaplikasikan secara klinis pada pasien dengan TBI berat; Namun, metode ini

tidak banyak digunakan dan ketersediaannya sangat minimal. Kombinasi metode evaluasi

TIK/PbtO2 intra-parenkim adalah penting dan sangat membantu dalam pentalaksanaan terapi

pada pasien dengan kasus TBI berat.

Microdialisis serebral

Microdialisis serebral (MD) merupakan perangkat laboratorium invasif yang baru

dikembangkan, MD merupakan perangkat laboratorium yang mudah digunakan untuk

menganalisis biokimia dari jaringan otak[47]. Kateter MD dimasukkan ke daerah jaringan otak

dimana terdapat lesi untuk mengukur perubahan biokimia di daerah otak yang paling rentan

terhadap cedera sekunder. Tes yang berbeda tersedia untuk mengukur konsentrasi dialisat

termasuk glukosa, laktat, piruvat, gliserol, dan glutamat. Secara karakteristik, hipoksia atau

iskemia serebral menunjukkan ada terjadinya peningkatan yang signifikan pada rasio

laktat:piruvat (LPR) [48]. Nilai LPR> 20-25 dianggap sebagai indikator untuk iskemia otak dan

berkaitan dengan prognosis yang buruk pada TBI [49]. Meskipun, MD adalah perangkat yang

baik untuk memberikan pemeriksaan tambahan dan membantu dalam pentalaksanaan pasien

dengan TBI berat, penggunaannya sangat terbatas.

Transkranial doppler ultrasonografi

Transkranial Doppler (TCD) adalah metode non-invasif untuk mengukur velositas CBF.

metode ini semakin sering digunakan dalam perawatan kritis gawat neurologis termasuk TBI.

Alat ini sangat berguna secara klinis untuk membantu menegakkan diagnosis komplikasi yang

mungkin terjadi pada pasien dengan kasus TBI seperti vasospasme, peningkatan kritis TIK dan

9

penurunan CPP, diseksi karotis, dan gangguan peredaran darah otak (kematian otak). TCD dapat

memprediksi vasospasme pasca-trauma sebelum timbulnya manifestasi klinis. Karena

pemantauan TIK merupakan prosedur invasive dengan potensi risiko komplikasi yang terkait,

TCD merupakan teknik alternatif non-invasif teknik untuk mengevaluasi TIK dan CPP [50,51].

Secara umum sensitivitas TCD untuk mengkonfirmasikan kematian otak adalah 75% sampai

88%, dan spesifisitas keseluruhan adalah 98% [52,53]. Meskipun, TCD adalah metode evaluasi

pada perawatan kritis gawat neurologis, bukti untuk mendukung nya sebagai modalitas pilihan

utama untuk membantu untuk manajemen TIK / CPP pada pasien dengan kasus TBI berat masih

sangat kurang.

Electrophysiological monitoring

Electroencephalogram (EEG) adalah alat yang berguna secara klinis untuk memantau

kedalaman koma, mendeteksi kejang non-convulsif (sub-klinis) atau kejang pada pasien dengan

kelumpuhan secara farmakologi serta mendiagnosa kematian otak [54,55]. EEG terus menerus

telah merupakan modalitas pilihan untuk membantu penegakkan diagnosis kejang pasca-trauma

(PTS) pada pasien dengan TBI, terutama pada mereka yang menerima blokade neuromuskular.

Sensory-evoked potentials (SEP) dapat memberikan data yang akurat tentang fungsi otak pada

pasien TBI berat, namun, penggunaannya sangat terbatas dalam pengelolaan awal TBI.

Near infrared spectroscopy

Near infrared spectroscopy (NIRS) merupakan metode non-invasif untuk mengevaluasi

langsung secara berterusan, oksigenasi serebral dan volume darah otak (CBV). Didalalam

jaringan otak, dua chromophores utama (senyawa yang menyerap cahaya) adalah hemoglobin

(Hb) dan sitokrom oksidase. Prinsip kerja NIRS adalah didasarkan pada perbedaan sifat

penyerapan chromophores pada kisaran NIR, yakni antara 700 dan 1.000 nm. Pada 760 nm,

wujud Hb bersifat terdeoksigenasi (deoxyHb), sedangkan pada kadar 850 nm, wujud Hb bersifat

beroksigeni (oxyHb). Oleh karena itu, dengan mengevaluasi perbedaan serap antara dua panjang

gelombang, tingkat deoksigenasi jaringan dapat dievaluasi. Jika dibandingkan dengan SjvO2,

NIRS kurang akurat dalam menentukan oksigenasi serebral [56]. Meskipun, NIRS adalah

teknologi yang berkembang dan berpotensi sebagai modalities pemeriksaan pilihan untuk

10

pengukuran CBF, penggunaannya dalam perawatan kritis gawat neurologis masih sangat

terbatas.

Suhu otak

Setelah terjadinya trauma kepala, dilaporkan bahawa gradien suhu otak dibandingkan

dengan suhu tubuh lebih tinggi hingga mencapai perbedaan 3 ° C di otak. suhu tinggi adalah

stressor sistemik umum sekunder untuk cedera otak. Terdapat beberapa alat invasif (baru Licox

PMO: Integra LifeSciences, Plainsboro, NJ) [57] dan non-invasif [58], untuk mengevaluasi suhu

otak secara terus menerus yang tersedia secara komersial. Namun, evaluasi suhu otak masih

belum banyak digunakan sebagai pedoman dalam perawatan kritis gawat neurologis pasien

dengan TBI berat.

Manajemen Perawatan Kritis

Pedoman pengelolaan TBI parah tersedia secara luas dan harus menjadi dasar utama dan

landasan untuk pengembangan institusi praktek klinis dengan protokol manajemen berbasis

pedoman klinis. Beberapa penelitian telah menunjukkan kepentingan dan dampak dari

implementasi protokol yang benar seperti pada hasil prognosis pasien dengan TBI berat [5-7].

Kami melaporkan bahwa pemanfaatan praktek klinis pedoman berbasis protokol untuk TBI berat

memainkan peran yang sangat signifikan pada penurunan mortalitas baik di perawatan ICU atau

rumah sakit rumah sakit [8].

Analgesia, sedasi dan pelumpuhan otot

Pada pasien TBI berat, intubasi endotrakeal, ventilasi mekanik, trauma, intervensi bedah

(jika ada), biaya perawatan, dan prosedur ICU mempunyai potensial menjadi penyebab nyeri.

Narkotika, seperti morfin, fentanyl dan remifentanil, harus dipertimbangkan sebagai terapi lini

pertama karena golongan ini memberikan efek analgesia, sedasi ringan dan depresi refleks

saluran napas (batuk) yang semuanya dibutuhkan dalam proses intubasi dan ventilasi mekanik

pasien. Administrasi narkotika sebaik diberikan dalam bentuk infus terus menerus atau sebagai

bolus intermiten.

Sedasi yang memadai dengan analgesia poten; dapat memberikan efek anxiolysis, ini

akan dapat membantu membatasi peningkatan TIK yang disebabkan oleh agitasi, perasaan tidak

11

nyaman, batuk atau rasa nyeri; analgesia poten juga dapat memfasilitasi perawatan pasien dan

ventilasi mekanis, menurunkan konsumsi O2, menurunkan produksi CMRO2, dan CO2,

meningkatkan kenyamanan pasien; dan mencegah gerakan yang boleh meperburuk kondisi

pasien. obat sedasi yang ideal untuk pasien dengan TBI harus mempunyai karekteristik waktu

kerja cepat dalam onset dan offset, mudah dititrasi untuk memberikan kesan yang diinginkan,

dan kurangnya metabolit aktif. Secara garis besar pemilihan analgesia bertujuan sebagai

antikonvulsan, menurunkan TIK dan CMRO2, dan untuk membantu dalam pemeriksaan

neurologis. Akhirnya, analgesia juga harus mempunyai efek yang tidak merugikan terhadap

sistem kardiovaskular. Buat waktu ini tidak ada obat sedasi yang digunakan dapat dikatakan

sebagai obat sedasi yang paling ideal.

Propofol adalah obat untuk menginduksi hipnotis pilihan pada pasien dengan gejala

neurologis akut, karena mudah dititrasi dan efek sedasinya dapat cepat sekali dihentikan cukup

dengan hanya menghentikan administrasi. Karekteristik propofol ini mengizinkan waktu sedasi

diprediksi dan memungkinkan untuk evaluasi neurologis secara periodik pada pasien. Namun,

propofol harus dihindari pada pasien dengan kondisi hipotensi atau hipovolemik karena efek

deleterious hemodynamic nya. Selain itu, propofol infusion syndrome (rhabdomyolysis, asidosis

metabolik, gagal ginjal, dan bradycardia) merupakan komplikasi potensial dari administrasi

propofol yang lama dan berterusan baik secara infusi maupun dosis tinggi. Benzodiazepine

seperti midazolam dan lorazepam sangat direkomendasikan sebgai obat sedasi dan digunakan

secara infus berterusan atau bolus intermiten. Selain sedasi, golongan obat ini juga memberikan

efek amnesia dan antikonvulsan. Namun penggunaan obat ini secara Infus berterusan, dosis

tinggi, adanya kegagalan ginjal atau hati, dan usia lanjut adalah antara faktor yang dapat

menyebabkan risiko terjadinya akumulasi dan sedasi berlebihan.

Penggunaan secara rutin agen pemblokir neuromuskuler (NMBAs) untuk melumpuhkan

pasien dengan TBI tidak dianjurkan. NMBAs mengurangi TIK dan harus dianggap sebagai terapi

lini kedua untuk hipertensi refrakter intrakranial. Namun, penggunaan NMBA dapat

menyebabkan terjadinya peningkatan risiko pneumonia, memperpanjang waktu perawatan ICU

(LOS), dan terjadinya komplikasi neuromuskuler.

12

Ventilasi mekanis

Penatalaksanaan pasien dengan TBI berat biasanya disertai dengan intubasi dan ventilasi

mekanik. Hipoksia, didefinisikan sebagai saturasi O2 <90%, atau PaO2 <60 mm Hg, dan

keadaan ini harus dihindari [4]. Hiperventilasi profilaksis dengan PaCO2 <25 mm Hg tidak

dianjurkan [4]. Dalam 24 jam pertama setelah TBI berat, hiperventilasi harus dihindari, karena

akan menyebabkan peningkatan penurunan kadar perfusi serebral yang sebelumnya sudah sangat

kritis. Coles et al. melaporkan bahwa, pada pasien dengan TBI, hiperventilasi meningkatkan

hipoperfusi pada volume jaringan di jaringan otak yang cedera, meskipun terdapat perbaikan

pada CPP dan TIK. Penurunan perfusi serebral pada daerah otak ini menyebabkan daerah ini

berpotensi menjadi daerah jaringan otak yang iskemik[59]. Hiperventilasi berlebihan dan

berkepanjangan dapat menyebabkan terjadinya vasokonstriksi dan iskemia serebral. Dengan

demikian, hiperventilasi dianjurkan hanya sebagai prosedur sementara untuk mengurangi

peningkatan TIK. Hiperventilasi dengan periode yang singkat (15-30 menit), dengan PaCO2 30-

35 mm Hg direkomendasikan untuk mengobati kerusakan neurologis akut yang disebabkan oleh

peningkatan TIK. Waktu hiperventilasi yang lebih lama diperlukan untuk hipertensi refrakter

intrakranial, hal ini juga termasuk metode perawatan lainnya seperti durasi obat penenang,

pelumpuh otot, CSF drainase, larutan saline hipertonik (HSSs) dan diuretik osmotik. Namun,

ketika metode hiperventilasi digunakan, evaluasi SjvO2 atau PbtO2 direkomendasikan untuk

mengevaluasi oksigenasi otak dan menghindari serebral iskemia.

Pengaturan ventilasi harus disesuaikan untuk mempertahankan pulse oximetry (SpO2)

pada 95% atau lebih dan / atau PaO2 pada 80 mm Hg atau lebih dan untuk mencapai

normoventilation (eucapnia) kadar PaCO2 dipertahankan dari 35 sampai 40 mm Hg. Mascia et

al. melaporkan bahwa ventilasi tidal volume tinggi merupakan prediktor yang mandiri dan dapat

menyebabkan cedera akut pulmonal (ALI) pada pasien dengan TBI berat [60]. Oleh karena itu,

ventilasi perlindungan dengan tidal volume rendah dan positive end-expiratory pressure (PEEP)

menjadi rekomendasi untuk mencegah cedera paru yang disebabkan oleh penggunaan ventilator

dan peningkatan TIK [61].

Sebelum melakukan suctioning melalui endotrakeal tube (ETT), dapat dilakukan

preoksigenasi dengan sebagian kecil dari oksigen inspirasi (FiO2) = 1,0, dan administrasi sedasi

13

tambahan dianjurkan untuk menghindari desaturasi dan peningkatan mendadak pada TIK.

penyedotan ETT harus singkat dan tidak menyebabkan trauma tambahan..

Peningkatan PEEP dapat menyebabkan peningkatan tekanan intratorak dan menyebabkan

penurunan drainase vena serebral hingga menyebabkan peningkatan CBV dan TIK. Namun, efek

dari PEEP pada TIK terlihat signifikan hanya pada kadar PEEP diatas dari 15 cm H2O pada

pasien dengan kondisi hipovolemik. Namun demikian, tingkat kadar terendah PEEP, biasanya

digunakan hanya pada kadar 5 sampai 8 cm H2O untuk mempertahankan oksigenasi memadai

dan mencegah kolaps ekspirasi akhir. PEEP pada kadar tinggi, yaitu diatas 15 cm H2O, mungkin

dapat digunakan pada kasus hipoksemia refraktori.

Sering terjadinya ALI atau sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS), pada sejumlah

besar pasien dengan TBI berat dengan kejadian ALI / ARDS dilaporkan mempunyai prevelensi

sebanyak diantara 10% sampai 30% [62-64]. Etiologi ALI / ARDS pada pasien dengan TBI berat

antaranya termasuk aspirasi, pneumonia, contusio paru, transfusi darah masif, cedera paru akut

yang disebabkan oleh transfusi (TRALI), sepsis, edema paru neurogenik dan penggunaan tidal

volume dan kadar pernapasan yang tinggi [65,66]. Proses terjadinya ALI / ARDS pada pasien

dengan TBI berat menyebabkan perpanjangan waktu perawatan ICU (LOS) dan perpanjangan

pengunaan ventilasi mekanis [60]. Manajemen ventilasi pasien dengan TBI berat dan ALI /

ARDS merupakan suatu prosedur yang rumit. Strategi ventilasi yang seimbang, mengikuti

pedoman untuk penatalaksanaan TBI berat dan "Pendekatan cedera otak konvensional"

(oksigenasi yang memadai: mengoptimalkan oksigenasi serebral otak, drainase vena dengan

menggunakan PEEP kadar rendah, dan hipokapnia ringan dengan menggunakan tidal volume

tinggi), dan strategi ventilasi pelindungan pulmonal (dengan menggunakan PEEP kadar tinggi

dan tidal volume rendah), adalah tujuan yang diinginkan, namun, sulit untuk dicapai.

Hiperkapnia permisif, merupakan strategi yang dapat digunakan pada pasien dengan ALI /

ARDS, namun harus dihindari, jika memungkinkan, pada pasien dengan kasus TBI berat

disebabkan akan terjadinya vasodilatasi serebral dan peningkatan CBV dan TIK.

Dukungan hemodinamik

Gangguan hemodinamik adalah masalah umum yang sering terjadi pada pasien dengan

kasus TBI berat. Hipotensi, yang didefinisikan sebagai SBP <90 mm Hg atau MAP <65 mmHg,

14

adalah antara stressor sekunder sistemik yang sering menyebabkan cedera otak sekunder telah

dilaporkan sering terjadi pada sekitar 73% populasi pasien selama perawatan ICU [67].

Penelitian dari Traumatic Coma Data Bank (TCDB) mendokumentasikan bahwa hipotensi

merupakan penentu utama dan merupakan prediktor mandiri prognosis TBI berat (68). Hipotensi

secara signifikan berhubungan dengan peningkatan mortalitas pasca TBI [69-71]. Di antara

prediktor prognosis TBI, hipotensi adalah prediktor yang paling harus diperhatikan dan dihindari

serta ditangani dengan baik dan cepat.

TBI dengan kondisinya sendiri dan terisolasir dari kondisi lain tidak akan menyebabkan

hipotensi kecuali pada pasien yang telah terjadi mati batang otak. Berkurangnya volume

intravaskular akibat perdarahan dari cedera yang terjadi seperti pada kulit kepala, leher,

pembuluh darah, dada, perut, panggul dan ekstremitas, atau karena poliuria sekunder yang

disebabkan oleh kondisi diabetes insipidus, adalah antara penyebab paling sering terjadinya

hipotensi pada pasien dengan TBI berat. Selain itu antara faktor lain yang berperan untuk

terjadinya hipotensi pada pasien dengan TBI berat adalah kerana terjadinya contusio miokard

yang mengakibatkan kegagalan kerja primer jantung yaitu untuk memompa darah, dan trauma

pada spinalis yang menyebabkan terjadinya syok spinalis (lesi servikal yang menyebabkan

kehilangan total persarafan simpatik himgga terjadinya hipotensi vasovagal dan bradiaritmia).

Penyebab hipotensi yang sering kurang diperhatikan pada pasien dengan TBI adalah penggunaan

etomidate untuk intubasi. Telah dilaporkan bahwa bahkan dengan hanya penggunaan dosis

tunggal etomidate dapat menyebabkan terjadinya insufisiensi adrenal yang akhirnya

mengakibatkan hipotensi.[72].

Pemberian terapi cairan yang tepat dan agresif untuk mencapai volume intravaskular

yang memadai adalah langkah pertama dalam prosedur resusitasi pasien dengan hipotensi parah

pasca TBI. CVP dapat digunakan sebagai pedoman manajemen cairan dan dianjurkan untuk

dipertahankan pada tekanan 8 - 10 mm Hg. Pada pasien yang tidak merespon secara baik dengan

ekspansi volume yang adekuat dan administrasi vasopressor, merupakan petanda adanya

gangguan hemodinamik atau penyakit kardiovaskular yang mendasari, kateter arteri pulmonal

atau evaluasi hemodinamik non-invasif harus dipertimbangkan.

Tekanan wedge kapiler pulmonal harus dipertahankan pada tekanan 12 - 15 mm Hg.

Beberapa indikator yang dapat diandalkan sebagai keberhasilan terapi cairan adalah seperti

15

variasi tekanan nadi, variasi tekanan sistolik, variasi stroke volume, dan kolaps vena kava

inferior direkomendasikan sebagai indikator manajemen terapi cairan. Kristaloid isotonik,

larutan khusus normal saline (NS) adalah cairan pilihan untuk terapi resusitasi cairan dan

volume pengganti. HSSs efektif untuk merestorasi tekanan darah pada syok hemoragik, namun

tidak menurunkan kadar mortalitas [73]. The National Heart, Lung, and Blood Institute of the

National Institutes of Health telah menghentikan pendaftaran untuk penelitian uji klinis efek

HSSs pada pasien dengan TBI parah karena HSS tidak lebih baik daripada pengobatan standar

NS [74]. Terapi pengganti darah dan produk darah masih dapat digunakan sesuai kebutuhan

kasus.

Anemia adalah stressor sekunder sistemik yang umumnya sering terjadi dan harus

dihindari, kadar hemoglobin yang disasarkan adalah ≥ 100 g / L atau hematokrit ≥ 0,30.

Jaringan otak merupakan jaringan yang kaya dengan tromboplastin dan kerusakan otak dapat

menyebabkan koagulopati [75]. Kelainan koagulasi harus dikoreksi secara agresif dan cepat

dengan produk darah yang sesuai, terutama pada kondisi perdarahan intrakranial pasca trauma.

Sebelum dilakukan evaluasi invasif TIK, MAP yang dianjurkan adalah pada tekanan ≥ 80

mm Hg. Alasan untuk mempertahankan MAP pada tekanan ≥ 80 mm Hg adalah untuk

mempertahankan CPP ≥ 60 mm Hg yang merupakan batasan pengobatan TIK> 20 mm Hg [4].

Setelah dilakukan evaluasi invasif TIK, manajemen MAP akan diarahkan mengikuti nilai TIK /

CPP.

Pada kasus-kasus yang jarang dimana kadar CPP atau MAP sasaran mungkin tidak dapat

dicapai meskipun terapi resusitasi cairan yang tepat dan volume intravaskular yang adekuat telah

dicapai. Pemberian cairan secara berlebihan untuk mencapai CPP atau MAP sasaran harus

dihindari kerana dapat menjadi penyebab terjadinya overload cairan dan ARDS. Administrasi

vasopressor harus digunakan untuk mencapai sasaran CPP atau MAP jika ini tidak dapat

diperoleh dengan terapi resusitasi cairan yang adekuat. Norepinefrin, dititrasi melalui jalur vena

sentral (CVL), direkomendasikan. Dopamin menyebabkan terjadinya vasodilatasi serebral dan

peningkatan TIK, namun, dopamin dapat digunakan melalui kanula intravena perifer sampai

CVL dimasukkan [76,77]. Phenylephrine, agen vasoaktif alpha-agonis murni, dianjurkan pada

pasien TBI dengan takikardia. Penelitian terbaru melaporkan bahwa pasien yang menerima

16

Phenylephrine memberikan MAP dan CPP yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang

menerima dopamin dan norepinefrin [78].

Hipertensi, yang didefinisikan sebagai SBP> 160 mm Hg atau MAP > 110 mm Hg, juga

merupakan stressor sistemik sekunder yang dapat memperburuk edema vasogenik otak dan

hipertensi intrakranial. Namun, hipertensi yang terjadi mungkin merupakan reaksi fisiologis

terhadap berkurangnya perfusi jaringan otak.

Akibatnya, sebelum dilakukan evaluasi TIK, hipertensi tidak boleh diturunkan kecuali

penyebabnya dikenalpasti dan diterapi, terutama pada tekanan SBP> 180-200 mm Hg atau

MAP> 110-120 mm Hg. Menurunkan tekanan darah yang meningkat, sebagai mekanisme

kompensasi untuk mempertahankan CPP yang memadai, dapat memperburuk iskemia otak.

Setelah dilakukan suatu prosedur evaluasi TIK, CPP harus menjadi patokan dalam pengelolaan

MAP.

Tekanan perfusi serebral/ Cerebral perfusion pressure (CPP)

Iskemia otak dianggap kondisi sekunder yang paling penting untuk dinilai pada pasien

dengan kasus TBI berat. CPP, didefinisikan sebagai MAP dikurangi TIK, (CPP = MAP- TIK),

CPP di bawah 50 mm Hg harus dihindari [4]. CPP yang rendah dapat membahayakan daerah

otak yang mengalami iskemia, dan peningkatan tekanan CPP dapat membantu untuk

menghindari terjadinya iskemia otak. Nilai sasaran dari CPP minimal yang harus dipertahankan

sebelum melewati batas paling rendah dimana dikhwatiri terjadinya iskemik adalah pada tekanan

60 mm Hg [4]. Mempertahankan CPP diatas 60 mmHg adalah terapi pilihan yang mampu

membantu mengurangi secara substansial kadar mortalitas dan peningkatan kemungkinan

bertahan hidup, dan nilai sasaran diata 60 mmHg ini juga memungkinkan terjadinya peningkatan

perfusi ke daerah otak yang iskemik pada pasien dengan kasus TBI berat. Tidak ada bukti

peningkatan pada kadar terjadinya hipertensi intrakranial, morbiditas, atau mortalitas pada

perawatan aktif mempertahankan CPP di atas 60 mmHg dengan normalisasi volume

intravaskular atau induksi hipertensi sistemik. Pada literature yang diteliti CPP pada kadar 60

mm Hg dan 70 mm Hg batasan CPP harus dipertahankan sebagai patokan penatalaksanaan

iskemia serebral pada pasien dengan TBI berat. CPP harus dipertahankan minimal 60 mm Hg

pada kasus TBI tanpa adanya tanda iskemia serebral, dan minimal pada kadar 70 mm Hg pada

kasus TBI dengan tanda iskemia serebral [4]. Evaluasi PbtO2 disarankan untuk mengidentifikasi

secara individual kadar CPP optimal [79]. Dengan tidak adanya iskemia serebral, upaya secara

17

agresif untuk mempertahankan CPP otak di atas 70 mm Hg dengan administrasi cairan dan

vasopressor harus dihindari karena berisiko menyebabkan terjadinya ARDS [4].

Terapi Hiperosmolaritas

Administrasi manitol merupakan metode yang efektif untuk menurunkan peningkatan

TIK pasca terjadinya TBI berat [80]. manitol meningkatkan gradien osmotik sementara dan akan

dan keadaan ini menyebabkan peningkatan osmolaritas serum sehingga 310-320 mOsm / kg

H2O. Namun pemberian manitol profilaksis tidak dianjurkan [4]. Sebelum dilakukan evaluasi

TIK, penggunaan manitol harus dibatasi untuk pasien dengan tanda-tanda herniasi transtentorial

atau kerusakan neurologis progresif yang tidak disebabkan faktor ekstrakranial.

walaubagaimanapun, manitol tidak boleh diberikan jika osmolaritas serum > 320 mOsm / kg

H2O. Diuresis osmotik harus dikompensasi oleh penggantian cairan yang memadai dengan

larutan garam isotonik untuk mempertahankan euvolmia. Dosis manitol yang efektif adalah 0,25

1 g / kg, diberikan secara intravena selama 15 sampai 20 menit. Pemberian sering manitol dapat

menyebabkan dehidrasi intravaskular, hipotensi, azotemia/uremia prerenal dan hiperkalemia

[81]. Manitol boleh melewati Blood Brain Barrier (BBB) dan menumpuk di otak, sehingga

menyebabkan terjadinya pergeseran reversal pada tekanan osmotik atau rebound efek, dan hal ini

menyebabkan osmolaritas otak meningkat, sehingga TIK juga meningkat [82,83]. Pada pasien

TBI dengan gagal ginjal pemberian manitol menjadi kontraindikasi karena berrisiko

menyebabkan terjadinya edema paru dan gagal jantung. HSSs telah diusulkan sebagai alternatif

untuk manitol. HSS memiliki sejumlah efek menguntungkan pada pasien dengan cedera kepala,

antaranya termasuk peningkatan volume intravaskular, ekstraksi air dari ruang intraseluler,

penurunan TIK, dan peningkatan kontraktilitas jantung. HSS dapat menyebabkan dehidrasi

osmotik dan peningkatan viskositas yang boleh menyebabkan terjadinya vasokonstriksi serebral.

Administrasi berterusan dari HSS dapat membantu menurunkan TIK, menghindari terjadinya

edema serebral, tanpa efek samping supraphysiologic hyperosmolarity seperti gagal ginjal,

edema paru, atau demielinasi pontine sentralis [84,85]. Pada meta-analisis yang baru dilakukan,

Kamel et al. menemukan bahwa saline hipertonik lebih efektif dibandingkan administrasi

manitol, dan mungkin adalah lebih baik dari manitol yang menjadi pilihan untuk perawatan

standar peningkatan TIK buat masa kini.[86].

18

Modulasi suhu

Hipotermia sistemik sedang pada suhu 32 ° C hingga 34 ° C, dapat mengurangi

metabolisme otak dan CBV, menurunkan TIK, dan meningkatkan CPP [87]. Namun bukti

adanya dampak hipotermia pada pasien dengan kasus TBI masih kontroversial. Penelitian awal

menunjukkan bahwa hipotermia sedang, pada saat pasien dibawa masuk, dikatakan mampu

memberi perbaikan signifikan prognosis pada bulan ke 3 dan 6 setelah TBI [88]. Namun, pada

suatu RCT besar yang dilakukan, tidak ditemukan korelasi dari efek hipotermia sedang yang

dapat mempengaruhi prognosis TBI [89,90]. The National Acute Brain Injury Study:

Hypothermia II was a randomized, multicentre clinical trial of patients with severe TBI

merupakan uji klinis pasien dengan TBI berat yang mengambil sampel pasien dengan

karekteristik 2 sampai 5 jam pasca TBI. Pasien secara acak dikelompokan untuk kelompok

hipotermia (pendinginan sampai 33 °C selama 48 jam) atau normothermia. Tidak ada perbedaan

signifikan dari prognosis antara kelompok hipotermia dan kelompok normothermia. Uji klinis ini

tidak mengkonfirmasi metode terapi hipotermia sebagai strategi proteksi neurologis pada pasien

dengan kasus TBI berat [88]. Namun, suhu pasien harus harus tetap dikontrol dan demam harus

diobati dengan cepat pada pasien dengan TBI berat. Hipotermia sedang dapat digunakan pada

kasus peningkatan TIK tidak terkendali dan refrakter.

Profilaksis anti-kejang

Kejang pasca trauma diklasifikasikan sebagai kejang kejang pasca-trauma awal yang

terjadi dalam waktu 7 hari dari terjadinya cedera, atau kejang pasca-trauma lambat yaitu

melewati 7 hari dari terjadinya cedera [91]. Terapi profilaksis (fenitoin,carbamazepine, atau

fenobarbital) tidak dianjurkan untuk mencegah kejang pasca trauma lambat[4]. BTF

merekomendasikan terapi profilaksis untuk mencegah kejang pasca-trauma awal pada pasien

TBI yang berisiko tinggi untuk kejang [4]. Faktor risiko meliputi: GCS skor <10, contusio

kortikal, depresi fraktur cranii, subdural hematoma, epidural hematoma, intraserebral hematoma,

TBI dengan penetrasi, dan kejang dalam waktu 24 jam cedera [4,92].

Fenitoin adalah obat yang direkomendasikan sebagai profilaksis pada kasus kejang pasca-

trauma awal. Dosis awal sebesar 15 sampai 20 mg / kg intravena (IV) dapat diberikan selama 30

menit diikuti dengan dosis 100 mg, IV, setiap 8 jam, dititrasi ke level plasma, selama 7 hari,

merupakan penatalaksanaan yang direkomendasi. Pasien yang menerima profilaksis anti-kejang

harus dievaluasi potensi terjadinya efek samping.

19

Profilaksis thrombosis vena dalam

Pasien TBI berat mempunyai risiko lebih tinggi untuk terjadinya proses thromoembolik

vena (VTEs) termasuk thrombosis vena dalam (DVT) dan emboli paru. Risiko terjadinya DVT

pada keadaan ketiadaan profilaksis diperkirakan terjadi sebanyak 20% pasca TBI berat[93].

Metode tromboprofilaksis mekanik, seperti alat graduated compression stockings dan alat

kompresi berurutan, dianjurkan penggunaannya namun menjadi kontraindikasi jika adanya

cedera ekstremitas bawah. Penggunaan alat tersebut harus dilanjutkan sehingga kondisi pasien

cukup hanya dirawat jalan. Jika tidak adanya kontraindikasi, heparin dengan berat molekul

rendah (LMWH) atau dosis rendah unfractionated heparin harus digunakan dengan kombinasi

profilaksis mekanik. Namun, penggunaan profilaksis farmakologis berpotensi menyebabkan

terjadinya peningkatan risiko untuk perluasan perdarahan intrakranial. Meskipun, bukti untuk

mendukung rekomendasi waktu yang tepat untuk menggunakan profilaksis farmakologis kurang,

kebanyakan ahli menyarankan memulai profilaksis farmakologis sedini mungkin yaitu sekitar 48

sampai 72 jam setelah terjadinya cedera, tanpa adanya kontraindikasi lain [94].

Profilaksis stres ulkus

TBI berat merupakan faktor risiko yang diketahui mampu menyebabkan ulkus stres

(Ulkus Cushing) di perawatan ICU. Profilaksis termasuk pemberian awal asupan nutrisi secara

enteral dan profilaksis farmakologi seperti H2-blocker, proton pump inhibitor dan sukralfat

[95,96].

Dukungan nutrisi

Pasien TBI berat biasanya berada didalam kondisi hipermetabolik, hiperkatabolik dan

hiperglikemia, dengan disertai gangguan fungsi GI. Ada bukti yang menunjukkan kondisi gizi

buruk meningkatkan kadar mortalitas pada pasien TBI [97]. Telah dilakukan penelitian

sebelumnya dimana didokumentasikan pemberian asupan nutrisi secara enteral adalah lebih baik

dari pemberian asupan nutrisi secara parenteral (PN). Penggunaan PN harus dibatasi dan hanya

dipilih jika adanya kontraindikasi dari pemberian asupan nutrisi enteral, hal ini karena ia dapat

menyebabkan peningkatan terjadinya komplikasi dan kadar mortalitas [98]. Oleh karena itu,

pemberian awal asupan nutrisi enteral dianjurkan pada pasien dengan TBI berat, karena

pemberian asupan nutrisi enteral aman, murah, hemat biaya, dan fisiologis. Potensi keuntungan

dari pemberian asupan nutrisi secara enteral termasuk menstimulasi semua fungsi saluran gastro-

intestinal, mempertahankan immunitas usus, mempertahankan fungsi dan integritas mukosa usus,

20

dan pengurangan infeksi dan komplikasi septik. Secara umum, pasien dengan TBI berat memiliki

intoleransi lambung terhadap asupan nutrisi karena berbagai alasan antaranya termasuk

pengosongan lambung yang abnormal dan gangguan fungsi lambung yang merupakan akibat

sekunder dari peningkatan TIK, dan penggunaan opiat. Agen prokinetik seperti metoclopramide

atau eritromisin, meningkatkan toleransi. Asupan makanan postpyloric dapat menghindari

intoleransi lambung dan dapat memastikan suplai kalori yang tinggi dan asupan nitrogen.

Meskipun BTF merekomendasikan instruksi istirahat dari aktivitas metabolik sebanyak 140%

pada pasien tidak lumpuh dan 100% pada pasien lumpuh untuk tidak lagi digunakan, ada bukti

yang menunjukkan adanya manfaat dari asupan rendah kalori [99-102].

kontrol glikemik

Pada pasien dengan TBI berat, stres hiperglikemia adalah merupakan antara stressor

sekunder otak sistemik yang sering terjadi. Penelitian menunjukkan hiperglikemia yang terjadi

berulang kali dikaitkan dengan prognosis neurologis buruk pasca terjadinya TBI [103-108].

Namun meskipun hiperglikemia merugikan, mempertahankan kadar glukosa darah yang rendah

dalam batas optimal masih menjadi isu yang kontroversial pada pasien dengan TBI berat, karena

hipoglikemia, yang merupakan komplikasi umum dari penurunan kadar glukosa yang intensif,

dapat malah menyebabkan cedera otak dan memperburuk cedera otak sudah terjadi[109]. Vespa

et al. melaporkan bahwa terapi insulin intensif (IIT) memberikan hasil penurunan microdialisis

glukosa dan peningkatan microdialisis glutamat dan rasio laktat / piruvat tanpa memberikan hasil

keuntungan fungsional [110]. Oddo dkk. menndokumentasikan bahwa kontrol glukosa sistemik

secara intensif mampu menyebabkan terjadinya penurunan ketersediaan glukosa otak

ekstraseluler dan meningkatkan prevalensi terjadinya krisis energi otak, yang pada akhirnya

berkorelasi dengan meningkatnya kadar mortalitas. IIT dapat mengganggu metabolisme glukosa

otak setelah terjadinya cedera otak berat [111]. Suatu meta-analisis IIT pada cedera otak

mengungkapkan bahwa IIT tampaknya tidak mengurangi risiko meningkatnya mortalitas di

rumah sakit atau mortalitas lambat (RR = 1,04, 95% CI = 0,75, 1,43 dan RR = 1,07, 95% CI =

0,91, 1,27 masing-masing). Selain itu, IIT juga tidak memiliki efek protektif neurologis jangka

panjang (RR = 1,10, 95% CI = 0,96, 1,27). IIT malah meningkatkan kadar terjadinya episode

hipoglikemik (RR = 1,72, 95% CI = 1,20, 2,46) [112]. Akibatnya, Mayoritas bukti klinis yang

tersedia saat ini tidak mendukung kontrol glukosa intensif (mempertahankan kadar glukosa

darah di bawah 110-120 mg / dl) selama perawatan akut pasien dengan TBI berat [113].

21

Steroid

Administrasi steroid tidak dianjurkan untuk memperbaiki prognosis atau mengurangi TIK

pada pasien dengan TBI berat. Pemberian steroid dapat membahayakan pada kasus TBI.

Penelitian CRASH merupakan suatu penelitian kolaborasi internasional yang multisenter,

bertujuan untuk mengkonfirmasi atau menolak efek steroid pada kasus TBI telah melakukan

penelitian dengan target merekrut 20000 pasien sebgai sampel. Pada bulan Mei 2004, data

monitoring committee mempresentasikan hasil penelitian mereka kepada steering committee,

bahawa penelitian CRASH yang berhenti pada perekrutan 10008 pasien memberikan hasil

jumlah pasien yang dibandingkan dengan plasebo, risiko mortalitas dari semua penyebab dalam

waktu 2 minggu lebih tinggi pada kelompok yang dialokasikan pada kelompok yang diberi

kortikosteroid (1052 [21,1%] vs 893 [17,9%] kematian, risiko relatif = 1,18 [95% CI = 1,09-

1,27], p = 0,0001). Para penulis menyimpulkan bahwa tidak ada pengurangan kematian dengan

pemberian metilprednisolon dalam jangka waktu 2 minggu setelah terjadinya cedera kepala.

Penyebab kenaikan risiko kematian dalam 2 minggu pada penelitian ini bagaimanapun masih

tidak jelas [114]. Oleh karena itu, pada pasien dengan TBI parah, pemberian dosis tinggi

metilprednisolon menjadi kontraindikasi [4]

Koma barbiturat

Barbiturat terbukti sebagai terapi yang efisien untuk kasus hipertensi intrakranial

refrakter. Barbiturat mengurangi metabolisme serebral dan CBF, dan menurunkan TIK [115].

Admnistrasi dosis tinggi barbiturat dapat dipertimbangkan pada pasien TBI berat dengan kondisi

hemodinamik yang stabil, namun refrakter terhadap penatalaksanaan terapi maksimal TIK secara

medis maupun bedah. efek samping utama dari golongan obat ini adalah: hipotensi, terutama

pada hipovolemik, dan imunosupresi yang dapat meningkatan terjadinya infeksi [116]. Namun,

administrasi profilaksis barbiturat untuk menginduksi keadaan burst suppression EEG tidak

dianjurkan [4]. Pentobarbital merupakan obat yang direkomendasikan untuk menginduksi koma

barbiturat sebagai dengan pemberian seperti berikut:

Pentobarbital: 10 mg / kgBB selama 30 menit, kemudian

5 mg / kgBB / jam selama 3 jam, kemudian

1 mg / kgBB / jam

Sebagai alternatif, natrium thiopental dapat digunakan sebagai berikut:

2,5-10 mg / kgBB IV, bolus perlahan, diikuti dengan

22

0,5-2 mg / kgBB / jam

Cairan dan elektrolit

Tujuan dari terapi cairan adalah untuk mengembalikan dan mempertahankan keadaan

euvolemia ke hipervolemia sedang (CVP = 8-10 mm Hg, PCWP = 12 - 15 mm Hg).

Keseimbangan cairan negatif telah terbukti berhubungan dengan faktor yang merugikan dan juga

merupakan faktor yang mandiri namun dapat mempengaruhi TIK, MAP, dan CPP [117].

Kristaloid isotonik harus digunakan pada terapi cairan, dan cairan Normal saline (NS) adalah

cairan kritaloid yang direkomendasikan. Namun resusitasi cairan secara intensif dengan NS

dapat mengakibatkan hiperkloremik metabolik asidosis, hal ini merupakan komplikasi yang

dapat diprediksi dari pemberian NS dalam volume besar, dengan implikasi klinis yang berbeda.

Solusi hipotonik, seperti 1/2 NS, NS ¼, Dextrose 5% dalam air (D5% W), D5% 1/2 NS, atau

D5% ¼ NS harus dihindari. Larutan ringer laktat sedikit hipotonik dan merupakan cairan yang

kurang direkomendasi untuk resusitasi cairan pada pasien TBI berat, terutama untuk melakukan

resusitasi dengan volume besar, hal ini karena Riner laktat dapat menurunkan osmolaritas serum.

glukosa mengandung solusi, seperti yang disebutkan sebelumnya atau D10% W harus dihindari

pada periode 24 sampai 48 jam pertama, kecuali pada pasien yang mengalami hipoglikemia

dengan tidak adanya dukungan nutrisi. Kondisi hiperglikemia pada TBI adalah keadaan yang

sangat membahayakan, metabolisme anaerobic glukosa otak menghasilkan asidosis dan molekul

air bebas, kedua senyawa dapat memperburuk edema otak. Pemberian cairan koloid harus

digunakan secara berhati-hati karena penggunaan cairan ini seperti yang dilaporkan pada,

penelitian SAFE, merupakan antara faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan mortalitas

pada pasien dengan TBI [118]. HSSs telah terbukti efektif dalam mengurangi edema otak,

mengurangi TIK, dan meningkatkan MAP dan CPP [119]. Potensi bermanafaat lain dari

pemberian cairan HSSs termasuk, dapat cepat meningkatkan volume intravaskular (dengan

pemberian volume kecil), meningkatkan curah jantung dan pertukaran gas pulmonal, pembalikan

immunomodulation yang disebabkan oleh hipotensi, dan penurunan produksi CSF. Namun HSS

mempunyai potensi efek samping seperti hipertensi mendadak, hipernatremia, penurunan

kesadaran dan kejang. Namun, secara umum penelitian penggunaan HSS menunjukkan hasil

yang tidak konsisten sehingga penilitian klinis selanjutnya adalah diperlukan untuk menentukan

perannya dalam penatalaksanaan terapi cairan.

23

Pada pasien TBI berat dengan peningkatan TIK atau adanya bukti edema otak, tingkat

natrium serum (Na+) yang diterima sebagai kadar aman adalah pada kadar 150-155 mEq / L

[120]. Namun, gangguan konsentrasi serum elektrolit merupakan komplikasi yang umum setelah

terjadinya TBI. Cedera pada sistem hipotalamus-hipofisis adalah merupakan faktor utama

terjadinya kondisi ini. Penyebab paling umum untuk kondisi hipernatremia (Na+> 150 mmol / L)

pada pasien dengan TBI adalah diabetes insipidus sentral atau neurogenik, penggunaan diuresis

osmotik (mannitol), dan HSS. Koreksi hipernatremia berat (Na+> 160 mmol / L) harus dilakukan

secara bertahap, kerana perubahan secara mendadak pada osmolaritas serum dan penurunan

cepat konsentrasi natrium dapat memperburuk edema serebral. Resusitasi cairan pada kasus

pasien TBI dengan kondisi hipovolemik dan hipernatremik harus diterapi dengan hanya

pemberian NS pada awalnya. Penatalaksanaan gangguan elektrolit harus diikuti dengan restorasi

total volume. Hiponatremia merupakan kondisi yang membahayakan dan merupakan stressor

sekunder otak sistemik utama pada cedera otak sekunder pada pasien yang menderita TBI berat,

karena kondisi ini mengarah ke eksaserbasi edema otak dan peningkatan TIK. Hal ini merupakan

efek sekunder dari cerebral salt wasting syndrome [121], syndrome of inappropriate anti-

diuretic hormone secretion (SIADH). Hipofosfatemia dan hipomagnesemia adalah komplikasi

umum pada pasien dengan cedera kepala dan hal ini adalah faktor kejang sering terjadi [122123].

Terapi Lund

Terapi Lund pada TBI berat didasarkan pada prinsip regulasi fisiologis antara jaringan

otak dan volume darah. Terapi ini bertujuan untuk mencegah hipoksia otak dan sekaligus

mengambil langkah-langkah menghindari filtrasi transkapiler. Konsep Lund lebih

menguntungkan jika terjadinya gangguan pada fungsi blood brain barrier dan lebih tepat

digunakan jika tekanan autoregulasi hilang. Terapi ini memiliki dua tujuan utama: pertama untuk

mengurangi atau Terapi ini memiliki dua tujuan utama: pertama untuk mengurangi terjadinya

peningkatan TIK (TIK sasaran), dan yang kedua adalah untuk meningkatkan perfusi dan

oksigenasi pada sekitar daerah kontusio (perfusi sasaran) dengan mempertahankan oksigenasi

darah yang normal, normovolemia dan kadar hematokrit normal. Protokol pengobatan, untuk

mengurangi peningkatan TIK, antaranya termasuk mempertahankan tekanan normal penyerapan

dari koloid (konsentrasi protein plasma normal), penurunan tekanan intrakapiler dengan cara

mengurangkan tekanan darah sistemik dengan terapi antihipertensi (a beta1-antagonis,

metoprolol, dikombinasikan dengan alpha 2-agonis, clonidine) dan secara bersamaan, konstriksi

24

sedang pada resistensi pembuluh darah prekapiler dengan memberi thiopental dan

dihydroergotamine dosis rendah. Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa terapi Lund dapat

memberikan hasil klinis yang baik [124]

Perawatan intensif umum

Mirip dengan pasien lain pada perawatan intensif, pasien dengan kasus TBI harus

menerima perawatan rutin sehari-hari seperti berikut berikut:

Meninggikan posisi kepala pada tempat tidur pada sudut 30 ° - 45 °: yang akan

dapat membantu mengurangi TIK dan meningkatkan CPP [125], dan menurunkan

risiko ventilator-associated pneumonia (VAP).

Mempertahankan kepala dan leher pasien dalam posisi netral: ini akan dapat

membantu meningkatkan drainase vena serebral dan mengurangi TIK.

Menghindari kompresi vena jugular interna atau eksterna dengan menghindari

pemasangan cervical collar secara keras atau fiksasi berlebihan endotrakeal tube

yang akan menghambat drainase vena serebral dan dapat mengakibatkan

terjadinya peningkatan TIK.

Menggerakkan pasien miring ke kiri dan ke kanan secara teratur dan sering

namun dengan pengamatan secara tetap TIK [126].

Memberikan perawatan mata, mulut dan kebersihan kulit

Menerapkan evidence-based bundles untuk pencegahan infeksi termasuk VAP

[127] dan central line bundle [128].

Pengadministrasian rejimen usus untuk menghindari konstipasi yang dapat

meningkatkan tekanan intra-abdomen dan TIK.

Melakukan fisioterapi

Dekompresi cranioectomy dan hemicranioectomy

Prosedur bedah dekompresi cranioectomy merupakan rekomendasi pendekatan terapi

yang menjanjikan untuk pasien dengan TBI berat akut yang beresiko untuk dapat terjadinya

edema otak berat. Prosedur dekompresi cranioectomy dan hemicranioectomy, secara umum

diterima sebagai prosedur bedah yang dapat dipilih untuk mengatasi hipertensi intrakranial pada

kasus di mana penatalaksanaan non-bedah gagal. Operasi dekompresi dilakukan sebagai life-

saving procedure saat hipertensi intracranial dapat menyebabkan terjadinya mortalitas yang

cepat. Meskipun prosedur operasi semakin sering digunakan, bukti tentang efek keseluruhan

25

pada prognosis adalah bertentangan. Albanese et al, dalam penelitian kohort retrospektif pada 40

pasien dengan hipertensi intrakranial yang beresiko tinggi terjadinya kematian otak, prosedur

dekompresi cranioectomy membantu 25% dari jumlah pasien sampel untuk mencapai rehabilitasi

sosial dalam jangka waktu 1 tahun [129]. Cooper et al, dalam sebuah penelitian prospektif,

terkontrol secara acak pada 155 orang dewasa dengan TBI berat yang diffus dan hipertensi

intrakranial yang refrakter dibandingkan dengan terapi konvensional non-bedah, prosedur

bifrontotemporoparietal decompressive craniectomy, menunjukkan hasil penurunan tekanan

intrakranial (P <0,001) dan pengurangan durasi perawatan di ICU (P <0,001), namun, dengan

prognosis yang kurang baik (rasio odds = 2,21, 95% CI = 1,14-4,26, P = 0,02). Tingkat

mortalitas dalam jangka waktu 6 bulan adalah sama pada kelompok craniectomy (19%) dan

kelompok perawatan konvensional (18%) [130].

Memprediksi prognosis TBI

Prediksi awal prognosis TBI adalah penting. Beberapa model prediktif prognosis pasien

dengan TBI berat telah diusulkan [131132]. Sebuah model prognostik relatif sederhana yang

menggunakan dasar prediktif dengan 7 karakteristik penilaian termasuk usia, skor motorik,

reaktivitas pupil, hipoksia, hipotensi, klasifikasi CT-scan, dan perdarahan subarachnoid

traumatic telah dilaporkan secara akurat dapat memprediksi prognosis untuk jangka waktu 6

bulan pada pasien dengan TBI berat atau sedang [131]. Model prediktif berdasarkan usia, tidak

adanya refleks cahaya, adanya perdarahan subarachnoid luas, TIK, dan midline shift terbukti

memiliki nilai prediksi yang tinggi dan berguna untuk pengambilan keputusan, merevisi

pengobatan, dan konseling keluarga pada kasus TBI [132].

Konklusi

Pengelolaan TBI berat berpusat pada perawatan intensif yang teliti dan komprehensif dan

mencakup, pendekatan multimodel protocol. Pendekatan ini mencakup dukungan hemodinamik

yang tepat, perawatan pernapasan, terapi cairan, dan aspek lain dari terapi, ditujukan untuk

mencegah stressor sekunder otak, menjaga CPP yang memadai, dan mengoptimalkan oksigenasi

serebral. Pendekatan ini jelas memerlukan upaya dari tim yang multidisiplin termasuk ahli saraf,

ahli bedah saraf, perawat, pemberi perawatan jalan nafa dan anggota lain dari tim medis.

Walaupun untuk mencapai target ini merupakan tugas yang sukar, namun ianya dapat

memberikan hasil yang baik mengingat faktor umur pasien dan faktor socio-ekonomi dari

permasalahan ini.

26

Abbreviations

BTF: Brain Trauma Foundation; CBF: Cerebral blood flow; CBV: Cerebral blood volume; CPP:

Cerebral perfusion pressure; CSF: Cerebral spinal fluid; CVP: Central venous pressure; EEG:

Electroencephalogram; GCS: Glasgow coma scale; HSS: Hypertonic saline solution; ICP:

Intracranial pressure; MAP: Mean arterial pressure; NS: Normal saline; PbtO2: Brain tissue

oxygen tension; PEEP: Positive end expiratory pressure; SBP: Systolic blood pressure; SIADH:

Syndrome of inappropriate anti-diuretic hormone secretion; SjvO2: Jugular venous oxygen

saturation; TBI: Traumatic brain injury.

Author details

Surgical Intensive Care Unit, Intensive Care Department, King Abdulaziz

Medical City, PO Box 22490, Riyadh 11426, K.S.A. 2Intensive Care Department,

College of Medicine, King Saud Bin Abdulaziz University for Health Sciences,

King Abdulaziz Medical City, PO Box 22490, Riyadh 11426, K.S.A.

Authors’ contributions

SHH performed literature review and wrote the initial draft of the

manuscript. YMA edited and rewrote portions of the manuscript. All authors

read and approved the final manuscript.

Authors’ information

Samir H. Haddad, MD, is Head Section of Surgical Intensive Care Unit; and

Consultant in the Intensive Care Department at King Abdulaziz Medical City,

Riyadh, Saudi Arabia.

Yaseen M. Arabi, MD, FCCP, FCCM, is Chairman, Intensive Care Department;

and Medical Director, Respiratory Services at King Abdulaziz Medical City,

Riyadh, Saudi Arabia. He is also Associate Professor at College of Medicine,

King Saud Bin Abdulaziz University for Health Sciences, Riyadh, Saudi Arabia.

Competing interests

The authors declare that they have no competing interests.

Received: 22 October 2011 Accepted: 3 February 2012

27

DAFTAR PUSTAKA

1) Teasdale G, Jennett B: Assessment of coma and impaired consciousness: A practical

scale. Lancet 1974, 2:81-84.

2) Bullock R, Chestnut RM, Clifton G, Ghajar J, Marion DW, Narayan RK, et

al:Guidelines for the management of severe head injury. J Neurotrauma 1996,

13(11):643-734.

3) Bullock R, Chestnut RM, Clifton G, Ghajar J, Marion DW, Narayan RK, et

al:Guidelines for the Management of Severe Traumatic Injury. J Neurotrauma 2000,

17:453-553.

4) Bullock R, et al: Guidelines for the Management of Severe TraumaticBrain Injury. J

Neurotrauma , 3 2007, 24(Suppl 1):S1-S106.

5) Vukic M, Negovetic L, Kovac D, Ghajar J, Glavic Z, Gopcevic A: The effect of

implementation of guidelines for the management of severe head injury on patient

treatment and outcome. Acta Neurochir (Wien) 1999, 141(11):1203-8.

6) Hesdorffer D, Ghajar J, Iacono L: Predictors of compliance with the evidence-based

guidelines for traumatic brain injury care: A survey of United States trauma centers. J

Trauma 2002, 52:1202-1209.

7) Fakhry SM, Trask AL, Waller MA, Watts DD: Management of brain- injured patients

by an evidence-based medicine protocol improves outcomes and decreases hospital

charges. J Trauma 2004, 56(3):492-499, discussion 499-500.

8) Arabi Y, Haddad S, Tamim H, Al-Dawood A, Al-Qahtani S, Ferayan A, et al:

Mortality Reduction after Implementing a Clinical Practice Guidelines-Based

Management Protocol for Severe Traumatic Brain Injury. J Crit Care 2010,

25(2):190-195.

9) Chesnut RM: Secondary brain insults after head injury: clinical perspectives. New

Horiz 1995, 3:366-75.

10) Unterberg AW, Stover JF, Kress B, Kiening KL: Edema and brain

trauma.Neuroscience 2004, 129:1021-9.

11) Jeremitsky E, Omert L, Dunham CM, Protetch J, Rodriguez A: Harbingers of poor

outcome the day after severe brain injury: hypothermia, hypoxia, and hypoperfusion.

J Trauma 2003, 54(2):312-319.

28

12) Abdoh MG, Bekaert O, Hodel J, Diarra SM, Le Guerinel C, Nseir R, Bastuji-Garin S,

Decq P: Accuracy of external ventricular drainage catheter placement. Acta

Neurochir (Wien) 2011.

13) Stiefel MF, Spiotta A, Gracias VH, Garuffe AM, Guillamondegui O, Maloney-

Wilensky E, Bloom S, Grady MS, LeRoux PD: Reduced mortality rate in patients

with severe traumatic brain injury treated with brain tissue oxygen monitoring. J

Neurosurg 2005, 103(5):805-811.

14) Saul TG, Ducker TB: Effect of intracranial pressure monitoring and aggressive

treatment on mortality in severe head injury. J Neurosurg 1982, 56:498-503.

15) Saul TG, Ducker TB: Intracranial pressure monitoring in patients with severe head

injury. Am Surg 1982, 48(9):477-480.

16) Eisenberg HM, Frankowski RF, Contant CF, et al: High-dose barbiturate control of

elevated intracranial pressure in patients with severe head injury. J Neurosurg 1988,

69:15-23.

17) Howells T, Elf K, Jones P, et al: Pressure reactivity as a guide in the treatment of

cerebral perfusion pressure in patients with brain trauma. J Neurosurg 2005, 102:311-

317.

18) Aarabi B, Hesdorffer D, et al: Outcome following decompressive craniectomy for

malignant swelling due to severe head injury. J Neurosurg 2006, 104:469-479.

19) Timofeev I, Kirkpatrick P, Corteen E, et al: Decompressive craniectomy in traumatic

brain injury: outcome following protocol-driven therapy. Acta Neurochir (Suppl)

2006, 96:11-16.

20) Bulger EM, Nathens AB, Rivara FP, Moore M, MacKenzie EJ, Jurkovich

GJ:Management of severe head injury: institutional variations in care and effect on

outcome. Crit Care Med 2002, 30:1870-1876.

21) Lane PL, Skoretz TG, Doig G, Girotti MJ: Intracranial pressure monitoring and

outcomes after traumatic brain injury. Can J Surg 2000, 43:442-448.

22) Mauritz W, Steltzer H, Bauer P, Dolanski-Aghamanoukjan L, Metnitz P: Monitoring

of intracranial pressure in patients with severe traumatic brain injury: an Austrian

prospective multicenter study. Intensive Care Med 2008, 34:1208-1215.

29

23) Stocchetti N, Penny KI, Dearden M, Braakman R, Cohadon F, Iannotti F, Lapierre F,

Karimi A, Maas A Jr, Murray GD, Ohman J, Persson L, Servadei F, Teasdale GM,

Trojanowski T, Unterberg A, European Brain Injury Consortium: Intensive care

management of head-injured patients in Europe: a survey from the European brain

injury consortium. Intensive Care Med 2001, 27:400-406.

24) Cremer OL, van Dijk G, van Wensen E, et al: Effect of intracranial pressure

monitoring and targeted intensive care on functional outcome after severe head

injury. Crit Care Med 2005, 33:2207-2213.

25) Cremer OL: Does ICP monitoring make a difference in neurocritical care? European

Journal of Anaesthesiology 2008, 25(Suppl 42):87-93.

26) Shafi S, Diaz-Arrastia R, Madden C, Gentilello L: Intracranial pressure monitoring in

brain-injured patients is associated with worsening of survival. J Trauma 2008,

64(2):335-340.

27) Haddad S, AlDawood AS, AlFerayan A, Russell N, Tamim H, Arabi YM:

Relationship between intracranial pressure monitoring and outcomes in severe

traumatic brain injury patients. Anaesth Intensive Care 2011, 39(6):1043-1050.

28) Forsyth R, Wolny S, Rodrigues B: Routine intracranial pressure monitoring in acute

coma. Cochrane Database Syst Rev 2010, , 2: CD002043.

29) Treggiari MM, Schutz N, Yanez ND, Romand JA: Role of intracranial pressure

values and patterns in predicting outcome in traumatic brain injury: a systematic

review. Neurocrit Care 2007, 6(2):104-12.

30) Robertson CS, Narayan RK, Gokaslan ZL, et al: Cerebral arteriovenous oxygen

difference as an estimate of cerebral blood flow in comatose patients. J Neurosurg

1989, 70:222-230.

31) Lam JM, Chan MS, Poon WS: Cerebral venous oxygen saturation monitoring: is

dominant jugular bulb cannulation good enough? Br J Neurosurg 1996, 10:357-364.

32) Cruz J: The first decade of continuous monitoring of jugular bulboxyhemoglobin

saturation: management strategies and clinical outcome. Crit Care Med 1998, 26:344-

351.

33) Robertson CS, Cormio M: Cerebral metabolic management. New Horiz 1995, 3:410-

422.

30

34) Sheinberg M, Kanter MJ, Robertson CS, et al: Continuous monitoring of jugular

venous oxygen saturation in head-injured patients. J Neurosurg 1992, 76:212-217.

35) Gopinath SP, Robertson CS, Contant CF, et al: Jugular venous desaturation and

outcome after head injury. J Neurol Neurosurg Psychiatry 1994, 57:717-723.

36) Robertson CS, Gopinath SP, Goodman JC, Contant CF, Valadka AB, Narayan RK:

SjvO2 monitoring in head-injured patients. J Neurotrauma 1995, 12:891-896.

37) Lewis SB, Myburgh JA, Reilly PL: Detection of cerebral venous desaturation by

continuous jugular bulb oximetry following acute neurotrauma. Anaesth Intensive

Care 1995, 23:307-314.

38) Rosenthal G, Hemphill JC, Sorani M, Martin C, Morabito D, Obrist WD, Manley GT:

Brain tissue oxygen tension is more indicative of oxygen diffusion than oxygen

delivery and metabolism in patients with traumatic brain injury. Crit Care Med 2008,

36(6):1917-1924.

39) Haddad and Arabi Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency

Medicine 2012, 20:12 http://www.sjtrem.com/content/20/1/12 Page 12 of 15

31