jurnal sharia law ed 04
TRANSCRIPT
Sharia Law Institute adalah lembaga riset,m
pengkajian dan pendidikan yang berfokus pada
hukum syariah, baik perkara Hukum Tata
Negara, Hukum Pidana, Hukum Perdata dll.
Setiap kajian yang dilakukan selalu berupaya
untuk hati-hati berdasarkan al-Qur‟an, as-
Sunah, Ijma Sahabat, Itjihad Imam Mahzab dan
Ulama hanif, serta qiyas.
Semua itu dilakukan dalam rangka
mempersiapkan dan memahamkan masyarakat
akan bagaimana mekanisme hukum syariah saat
diterapkan di Negara Khilafah.
Dan yang lebih penting adalah menopang
Negara Khilafah, agar Khalifah semakin mudah
dalam menerapkan hukum-hukum syariah.
Alhamdulillah, saat ini karya yang telah kami
luncurkan diantaranya;
1. Hukum Tata Negara Khilafah
2. Kitab Undang-undang Hukum Pidana
Negara Khilafah
3. Kitab Undang-undang Hukum Perdata
Negara Khilafah
4. The Constitutional of the Islamic
Khilafah
Selamat membaca.
Daftar Isi ;
ISLAMIC LAWYER
Adakah Pengacara Dalam Islam? - 01
Law Enforcment dalam Islam – 10
Meneladani Prinsip Rasulullah dalam
Law Enforcment- 15
ISLAMIC LAWYER Adakah Pengacara Dalam Islam?
Pendahuluan Bagaimana hukum menjadi pengacara yang membela orang-orang yang dizalimi?
Bagaimana dengan praktik suap yang terpaksa harus dilakukan oleh pengacara dalam
mendapatkan hak orang-orang yang dizalimi?
Dalam dunia peradilan terdapat istilah kuasa hukum, pengacara bahkan juga sering
disebut pembela yang mewakili atau mendampingi pihak-pihak yang mencari keadilan.
Dalam bahasa Arab pengacara disebut mahami. Kata ini merupakan derivasi dari kata
himayah yaitu pembelaan yang dilakukan oleh seseorang atau perlindungan seorang kuasa
hukum terhadap kliennya di depan sidang pengadilan.
Profesi pengacara sudah dikenal oleh Masyarakat Yunani dan Romawi dan diatur oleh
negara. Di dalam Al-Qur‟an juga disebutkan bahwa Nabi Musa telah meminta bantuan
kepada Nabi Harun untuk mendampingi dan membela serta melindungi beliau dari kejahatan
pembunuhan yang dituduhkan kepadanya. Nabi Musa menganggap Nabi Harun lebih pandai
Jurnal Sharia Law Halaman | 01
berbicara sehingga mampu mengedepankan argumentasi secara sistematis dan logis. Hal ini
menunjukkan bahwa sejak awal, Islam telah mengenal konsep pembelaan atau kuasa hukum
untuk mengungkap kebenaran di depan pengadilan.
Dalam perkembangan selanjutnya, para fuqaha‟ mengkonsepsikan pembelaan tersebut
dalam bentuk yang lebih dinamis dan komprehensif ke dalam sistem wakalah (perwakilan).
Sistem wakalah di pengadilan banyak kemiripan dengan sistem kepengacaraan. Hanya saja
hukum Islam (fiqh) dengan ragam mazahab yang ada menetapkan bahwa untuk membentuk
wakalah harus memenuhi dua hal: penetapan wakalah harus di depan hakim, dan pihak
lawan dapat menerima keberadaan wakil tersebut.
Pada masa Khilafah Usmaniyah yaitu pada tahun 1292 H diterbitkan sebuah peraturan
yang disebut nizam wukala‟ al- da‟awa (pengacara dan kuasa hukum). Menyusul kemudian
peraturan-peraturan yang mengatur profesi kepengacaraan di beberapa negeri Islam. Dengan
hadirnya undang-undang tersebut diharapkan dapat membangun citera positif bagi pengacara
dalam membela dan mengungkapkan kebenaran di depan pengadilan.
Dalam tulisan ini secara spesifik mencoba memfokuskan pembahasan wakil di
persidangan terutama dari aspek legalitas, ruang lingkup, hak dan kewajiban serta beberapa
aspek lain yang berkenaan dengan akad wakâlah.
Pengertian Wakalah Menurut bahasa, wakalah atau al-wiklah memiliki beberapa pengertian antara lain al-
mura‟at wa al hifzu, dan al tafwid al-i‟timad yaitu penyerahan, pendelegasian, dan pemberian
kuasa kepada seseorang. Para fuqaha‟ menghendaki wakalah dalam pengertian yang
kedua,namun dengan beberapa ketentuan sehingga lebih spesifik dari pada pengertian bahasa.
Oleh karena itu dalam mendefinisikan wakalah “Memberikan kekuasaan kepada orang lain
yang akan bertindak atas namanya untuk melakukan suatu perbuatan yang memang dapat
diwakilkan”. Definisi yang hampir sama dikemukakan oleh penulis al-Minhaj salah seorang
fuqaha‟ Syafi‟iyah “Wakalah yaitu pendelegasian hak kepada seseorang dalam hal-hal yang
bisa diwakilkan kepada orang lain selagi ia masih hidup”.
Menurut mazahab Hanafi, wakalah adalah pendelegasian suatu tindakan hukum
kepada orang lain yang disebut wakil. Dalam al-majallah al-‟adliyah bahwa wakalah adalah
pelimpahan perkara oleh seseorang kepada orang lain yang akan menggantikan
kedudukannya.
Legalitas wakalah Para ahli fiqh menyatakan bahwa akad wakalah dibolehkan dalam Islam. Dasar
hukum kebolehan ini antara lain : surat al-Kahf ayat 19 yang menunjukkan kebolehan
wakalah dalam masalah jual beli. Sekalipun ayat ini menunjuk pada kaum terdahulu namun
tidak terdapat pengingkaran dari syariah sehingga menjadi syariah umat Islam juga. Ayat al-
Nisa‟ ayat 35 tentang perwakilan dalam menyelesaikan masalah perkawinan. Walaupun
konteks ayat ini tentang sengketa antara suami isteri, namun secara esensial menjadi dalil
kebolehan wakalah secara umum.
Wakalah juga banyak ditemukan dalam praktik faktual Nabi. Menurut beberapa
riwayat Rasulullah mewakilkan kepada Amr bin Umayyah al-Damiri r.a, untuk menerima
nikah Ummu Habibah binti Abi Sufyan r.a. Juga riwayat Rafi‟ maula Rasulullah Saw, beliau
berkata Rasulullah menikahi Maimunah dalam keadaan halal (tidak sedang dalam ihram),
sementara saya adalah sebagai penengah atau mediator antara keduanya.
Juga yang diriwayatkan oleh Urwah Al Bariqi r.a, mengatakan bahwa Rasulullah
Saw. telah memberiku satu dinar untuk membelikan beliau seekor kambing, maka aku
membeli dua kambing, lalu aku menjual kambing yang satunya seharga satu dinar, kemudian
aku membawa seekor kambing beserta satu dinar kepada Rasulullah dan menceritakan apa
Jurnal Sharia Law Halaman | 02
yang telah aku perbuat, maka Rasulullah berkata: Allah memberkatimu dengan transaksi
yang telah kamu lakukan.
Menurut para ulama, wakalah juga dibolehkan berdasarkan ijma‟. Sebagian di antara
mereka bahkan cenderung mensunnahkan wakalah melihat aspek tolong menolong yang
dominan di dalamnya seperti disebutkan dalam Q.S al-Maidah ayat 2 “Dan tolong
menolonglah kamu dalam kebaikan”
Wakalah juga telah dikenal semenjak jaman jahiliyah dan Islam. Dalam catatan
sejarah bahwa Abdurrahman bin Auf mewakilkan kepada Umayyah bin Khalaf untuk
menjaga keluarganya di Makkah, demikian juga sebaliknya, Umayyah bin Khalaf
mewakilkan kepada Abdurrahman bin Auf untuk menjaga keluarganya di Madinah,
sementara keduanya berlainan agama. Nabi Yusuf pun pernah meminta saudara-saudaranya
untuk membawa baju beliu kemudian mengusapnya pada wajah ayahandanya.
Dalil-dalil tersebut menempatkan wakalah sebagai aktifitas yang legal karena
maslahat yang melekat di dalamnya. Status hukum wakalah bersifat dinamis dan kondisional.
Wakalah menjadi sunnah, jika untuk membantu hal yang sunnah. Sebaliknya wakalah
menjadi makruh, jika untuk membantu hal yang makruh. Wakalah pun juga akan menjadi
haram, jika untuk membantu hal yang haram. Seperti juga halnya akan menjadi wajib, jika
untuk membantu hal yang wajib
Unsur-unsur Wakalah Wakalah merupakan bentuk akad yang melibatkan minimal dua pihak pertama
disebut muwakkil yaitu orang yang mewakilkan pihak kedua disebut wakil yaitu orang akan
menerima wakalah. Keduanya merupakan rukun dalam akad wakalah. Rukun lainnya adalah
sigah yaitu pernyataan yang dinyatakan oleh muwakkil dan yang dinyatakan oleh wakil.
Menurut fuqaha Hanafiyah, rukun wakalah hanya sigah yaitu dan Ijab dan qabul.
Secara teknis akad wakalah baru sah apabila memenuhi beberapa syarat yang
terdistribusi pada muwakkil dan wakil dan maupun wakil harus memiliki kecakapan bertindak
secara sempurna (kamilul ahliyah). Namun demikian proses taukil dari orang yang tidak
memiliki kecakapan secara sempurna seperti anak yang berakal atau orang yang sedang
dalam pengampuan karena bodoh atau memiliki sifat lalai dianggap tidak sah, bahwa
pengangkatan wakil yang tidak memiliki kecakapan secara sempurna tidak sah karena syarat
wakil adalah mereka secara hukum sah melakukan perbuatan yang diwakilkan secara
langsung, sementara anak-anak yang berakal tapi belum dewasa terhadap beberapa tindakan
hukum masih belum dianggap.
Menurut ulama Hanafi wakil harus secara tegas dan serius menjalankan tugasnya. Hal
ini sejalan dengan prinsip mereka bahwa seorang wakil harus tegas dan jelas mengungkapkan
penerimaannya terhadap pendelegasian hak tersebut. Akad perwakilan ini boleh dilakukan
secara lisan maupun tulisan.
Objek wakalah Sehubungan dengan objek wakalah para ulama fiqh membuat suatu kriteria bahwa
seluruh akad yang bisa dilaksanakan seseorang secara mandiri boleh diwakilkan kepada
orang lain, dan seluruh amalan yang tidak bisa didelegasikan kepada orang lain tidak
termasuk objek wakalah.
Oleh karena itu semua hak keperdataan yang dapat dilakukan langsung oleh seseorang
boleh pula diwakilkan. Namun demikian, silang pendapat terjadi antara ulama fiqh mengenai
masalah hak-hak yang berkaitan dengan pidana teruma menyangkut hak-hak Allah dan hak-
hak pribadi (Hak Allah dan Hak „Ibad). Yang menyangkut hak-hak Allah yaitu seluruh
bentuk jarimah hudud (tindak pidana yang jenis hukuman, ukuran dan jumlahnya telah
Jurnal Sharia Law Halaman | 03
ditentukan syara‟ melalui perintah dan larangan Allah). Kemudian juga membedakan antara
hak-hak Allah yang memerlukan dakwaan/gugatan kepada hakim, seperti tindak pidana
pencurian; dan tindak pidana yang sama sekali tidak memerlukan dakwaan/gugatan, seperti
zina dan meminum minuman keras.
Masalah hudud yang tidak memerlukan pengajuan gugatan kepada hakim seperti zina
dan meminum minuman keras, menurut mazhab Hanafi tidak boleh diwakilkan karena
jarimah hudud dibuktikan berdasarkan alat bukti, kesaksian, dan pengakuan di hadapan
hakim, tanpa didahului dengan gugatan. Apabila tindak pidana tersebut memerlukan
pengajuan gugatan kepada hakim seperti tindak pidana pencurian dan menuduh orang lain
berbuat zina menurut imam Abu Hanifah dan sahabatnya Muhammad bin Hasan as-Syaibani
boleh diwakilkan dengan mengemukakan alat-lat bukti dalam membuktikan tindak pidana
tersebut. Sedangkan Imam Abu Yusuf, sahabat Abu Hanifah lainnya, berpendirian bahwa
dalam tindak pidana seperti ini tidak berlaku sistem wakalah.
Ulama mazhab Syafi‟i menyatakan bahwa jika tindak pidana tersebut menyangkut
hak-hak Allah SWT, maka pembuktiannya tidak boleh diwakilkan. Tetapi jika tidak
menyangkut hak Allah (menyangkut tindak pidana pembunuhan dan tuduhan berbuat zina),
maka pembuktiannya boleh diwakilkan karena kedua tindak pidana tersebut termasuk hak-
hak pribadi.
Ulama mazhab Hanbali menyatakan bahwa boleh mewakilkan pembuktian dan
pelaksanaan hukuman yang berkaitan dengan hak-hak Allah SWT seperti zina dan hak-hak
pribadi seperti tindak pidana pencurian. Alasannya Rasulullah telah mewakilkan pembuktian
dan pelaksanaan hukuman zina kepada beberapa orang sahabat beliau ketika Ma‟iz mengaku
telah melakukan zina. Ketika itu Rasulullah mengatakan bawalah orang ini (Ma‟iz) kemudian
rajamlah ia.
Untuk melaksanakan hukuman terhadap pelaku pidana yang telah dibuktikan dan
diputuskan hakim, ulama sepakat menyatakan boleh diwakilkan, baik yang menyangkut
tindak pidana yang semata-mata merupakan hak Allah maupun tindak pidana yang termasuk
hak-hak pribadi. Hal ini sesuai dengan apa yang dilakukan Rasulullah dalam kasus Ma‟iz di
atas. Akan tetapi terdapat perbedaan pendapat ulama fiqh dalam pelaksanaan hukuman yang
bersifat pribadi, ketika ia dalam keadaan gaib (tidak berada di tempat). Ulama mazhab Hanafi
mengatakan bahwa tidak boleh mewakilkan pelaksanaan hukuman (baik hukuman itu
merupakan hak Allah maupun hak pribadi), apabila yang mempunyai hak itu sedang gaib,
karena tidak diketahui secara pasti keinginan orang yang mewakilkan, apakah akan ia
laksanakan hukuman itu atau akan ia dimaafkan. Dengan adanya keraguan ini maka ulama
mazhab Hanafi tidak membolehkan perwakilan dalam pelaksanaan hukuman tersebut karena
Rasulullah SAW bersabda: “Tolaklah hudud jika ada keraguan”
Adapun dalam jarimah ta‟zir (tindak pidana yang jenis hukuman, ukuran dan
jumlahnya tidak ditentukan oleh syara‟, tetapi atas dasar kebijakan hakim), ulama mazhab
Hanafi membolehkan untuk mendelegasikan pelaksanaan hukumannya kepada hakim, baik
itu dihadiri oleh muwakkil atau tidak, karena hukuman pada takzir adalah hak hamba dan
tidak gugur dengan keraguan.
Di samping itu penentuan hukuman takzir juga didelegasikan kepada hakim. Adapun
mewakilkan pelaksanaan hukuman dalam pelaksanaan kisas, jika yang menjadi pelaksana
adalah ahli waris terbunuh dan dia berada di tempat, maka wakalah boleh karena mungkin
dia tidak mampu melaksanakannya. Akan tetapi jika ahli warisnya sedang gaib, pelaksanaan
kisas tidak boleh diwakilkan karena masih ada kemungkinan ahli waris memaafkan
pembunuh.
Jumhur ulama berpendapat bahwa mewakilkan pelaksanaan hukuman dalam masalah
hudud, kisas dan takzir adalah boleh, tanpa membedakan apakah orang yang mewakilkan itu
berada di tempat atau sedang gaib. Alasan mereka adalah hadis tentang seorang perempuan
Jurnal Sharia Law Halaman | 04
yang berbuat zina di zaman Rasulullah. Ketika itu Rasul mewakilkan pelaksanaan
hukumannya kepada Unais.
Adapun yang berkaitan dengan perwakilan dalam hak-hak pribadi. Para ulama
terutama pengikut mazhab Hanafi membagi hak-hak pribadi dalam dua bentuk, yaitu hak-hak
yang tidak boleh didelegasikan untuk melaksanakannya karena ada keraguan, seperti qisas
dan qazf, serta hak-hak yang boleh diwakilkan, seperti melunasi utang, sedakah, melakukan
perdamaian dalam masalah pembunuhan, dalam masalah titipan, pinjam meminjam, gadai,
dan syerikat dagang. Hak pribadi dalam bentuk pertama boleh diwakilkan dalam pembuktian
dan penetapan hukumnya, namun tidak boleh diwakilkan dalam pelaksanaan hukumannya
apabila orang yang berwakil tidak hadir. Adapun hak-hak pribadi dalam bentuk kedua
menurut ulama mazhab Hanafi, boleh diwakilkan. Akan tetapi jumhur ulama tidak
membedakan bentuk-bentuk hak pribadi tersebut dan seluruh hak pribadi boleh diwakilkan.
Mekanisme Kerja Wakil Wakalah hanya dilakukan dan ditetapkan di depan hakim, dengan melakukan
pernyataan dan oleh kedua belah pihak secara lisan maupun tulisan. Sistem wakalah pun
juga diatur antara lain kewajiban para wukala‟ al-da‟wa atau kuasa hukum untuk membuat
surat izin dan didaftarkan pada Departemen Kehakiman (al-Qadla). Biasanya profesi
kepengacaraan bergabung dalam suatu lembaga sehingga dalam suatu kasus seorang klien
akan didampingi oleh seorang atau beberapa orang pengacara yang tergabung dalam suatu
lembaga .
Apabila kuasa hukum terdiri dari beberapa orang, dan masing-masing mempunyai
bidang garapan khusus, mereka tidak boleh campur tangan terhadap kasus yang bukan
garapannya. Apabila sejumlah wakil itu ditunjuk untuk satu kasus, maka terdapat perbedaan
pendapat antara fuqaha”. yang bermazhab Hanafi mengatakan bahwa apabila kasus itu bisa
ditangani oleh masing-masing wakil, maka setiap wakil boleh menyelesaikan kasus tersebut
tanpa harus bermusyawarah dengan wakil-wakil lainnya. Akan tetapi jika kasusnya harus
ditangani bersama atau harus dimusyawarahkan lebih dahulu , maka masing-masing wakil
tidak boleh bertindak sendiri-sendiri.
apabila wakil yang ditunjuk ada beberapa orang, maka masing-masing wakil tidak
dibenarkan bertindak sendiri sebelum bermusyawarah dengan wakil yang lain.
Perwakilan dalam sengketa Apabila suatu akad wakalah telah memenuhi rukun dan syarat yang dikemukakan di
atas, maka akibat hukumnya adalah: Apabila wakil itu seorang pengacara, maka ia bebas
untuk bertindak hukum sebagai wakil yang ditunjuk untuk dan atas nama orang yang
diwakilinya. Ulama mazhab Hanafi menyatakan bahwa pengacara itu berhak untuk
mengucapkan pengakuan untuk dan atas nama orang yang diwakilinya, baik pengakuan itu
berkaitan dengan penetapan hak atau mengingkarinya, selama pengakuan itu tidak
menyangkut masalah hudud.
Akan tetapi jumhur ulama menyatakan bahwa apabila akad wakalah bersifat mutlak,
maka yang berkaitan dengan masalah pengakuan tidak termasuk dalam akad tersebut karena
pengacara itu sifatnya hanya membela hak bukan untuk mengaku suatu hak orang lain yang
ada pada kliennya. Misalnya Ahmad menggugat Rusli ke sidang pengadilan dengan tuduhan
bahwa Rusli tidak mau membayar utangnya, padahal Rusli merasa tidak pernah berutang.
Dalam kasus seperti ini, menurut jumhur ulama, pengacara yang ditunjuk Rusli tidak boleh
mengakui adanya utang tersebut karena ia sebagai wakil harus membela kepentingan Rusli,
bukan sebaliknya. Di samping itu, pengacara juga berhak menerima harta yang
dipersengketakan jika hakim memutuskan kliennya yang menang, serta menyerahkannya
kepada orang yang diwaklinya.
Jurnal Sharia Law Halaman | 05
Akan tetapi menurut para ahli fiqh apabila seorang pengacara telah ditunjuk sebagai
wakil dalam suatu sengketa, ia tidak boleh lagi menerima perwakilan dari orang lain dalam
kasus yang lain pula agar ia dapat konsentrasi pada tugasnya, kecuali orang yang pertama kali
mengangkatnya sebagai wakil.
Sehubungan dengan hal tersebut, menurut fuqaha‟ mazhab Hanafi (selain imam Zufar
bin Huzail), memandang bahwa perwakilan dalam sengketa mencakup seluruh apa yang
berhubungan dengan perkara tersebut baik berupa pengakuan dan lain-lain, karena menurut
mereka perwakilan dalam sengketa merupakan usaha untuk menampakkan, menjelaskan dan
menetapkan kebenaran dengan segala konsekuensinya, mendatangkan maslahat bagi
muwakkil atau tidak, karena proses dalam persidangan mengharuskan wakil untuk melakukan
pengakuan atau bantahan.
Sedangkan dari mazhab Maliki, Syafi‟i, Hanbali dan Zufa dari fuqaha‟ mazhab
Hanafi berpendapat bahwa pada dasarnya wakalah terbatas pada hal-hal yang dapat
mendatangkan maslahat bagi muwakkil. Alasannya perwakilan dalam sengketa memerlukan
perdebatan di depan pengadilan yang bertujuan untuk memperoleh maslahat bagi muwakkil.
Sedangkan pengakuan adalah bentuk perdamaian yang bukan menjadi tujuan wakalah.
Pengakuan juga dapat menghentikan persengketaan, padahal tujuan muwakkil mengangkat
wakil adalah untuk menjalankan urusan sengketa bukan untuk menghentikanya.
Upah Wakil. Pada dasarnya, wakalah merupakan kontrak biasa, lebih bersifat tolong menolong,
bahkan disebut juga sebagai akad atau sukarela sehingga tidak perlu mendapatkan upah.
Akan tetapi, jika di dalam kontrak wakalah disyaratkan dengan upah dalam jumlah yang
sudah ditentukan dan wakil melakukan tugasnya dengan baik, maka ia berhak atas upah yang
telah disepakati. Sebaliknya, kalau wakil tidak melakukan pekerjaannya dengan baik maka ia
tidak layak untuk menerima upah apalagi memintanya.
Dan jika wakil itu adalah orang yang memang memiliki profesi dalam bidang itu, dan
biasanya mengambil upah dalam jumlah tertentu, sedangkan ia dalam hal ini tidak
menyepakati jumlah nominal upah atau semata-mata menyerahkan urusan tersebut kepada
muwakkil, maka wakil tersebut berhak untuk mendapatkan upah yang wajar sesuai dengan
kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat.
Mayoritas fuqaha‟ berpendapat jika transaksi wakalah dilakukan dengan
menyebutkan upah, maka pemberian upah disesuaikan dengan kesepakatan dalam akad
tersebut. Sebaliknya jika akad terjadi tanpa menyebutkan apakah disertai dengan upah atau
tidak, maka hukumnya mengikuti adat kebiasaan yang berlaku. Jika wakalah menurut
kebiasaan disertai dengan upah, seperti dalam perwakilan oleh seorang pengacara di
pengadilan, atau makelar dalam jual beli, maka upah tersebut harus diberikan. Jika dalam
kebiasaan tidak disertai dengan ketentuan upah, maka wakil berhak atas upah yang wajar
yang disesuaikan dengan kualitas dan kuantitas pekerjaannya.
Lebih jauh seperti disebutkan di atas bahwa profesi kepengacaraan sama dengan akad
walaupun mereka juga mengakui adanya perbedaan ijarah dengan wakil di pengadilan
terutama pada konsekuensi dan akibat hukumnya sebelum dan sesudah menerima upah.
Melihat adanya perbedaan konsekuensi tersebut, maka akad wakalah juga dapat disamakan
dengan akad ji‟alah. Oleh sebab itu, hukumnya tidak mengikat sebelum pekerjaan yang
diwakilkan itu terlaksana. Jika muwakkil membatalkan akad sebelum wakil menyelesaikan
tugasnya, maka wakil tersebut berhak atas upah wajar, dan jika seluruh tugas yang
diwakilkan kepadanya dapat diselesaikan, maka wakil berhak atas upah yang telah disepakati.
Hal ini terjadi jika wakalah dilakukan tanpa menentukan besarnya upah dan waktu untuk
menyelesaikan pekerjaan.
Jurnal Sharia Law Halaman | 06
Sedangkan ulama mazhab Hanbali tetap memandang wakalah sebagai akad (sukarela)
dan dapat terjadi dengan menggunakan kata-kata apa pun yang mengindikasikan wakalah
tersebut. Oleh karena itu tidak ada syarat untuk menggunakan kata-kata tertentu yang
menyebabkan adanya ikatan tanggungjawab di antara kedua belah pihak, karena hanya
merupakan akad pendelegasian yang dapat mendatangkan suatu kebaikan bagi orang yang
mendelegasikannya.
Berakhirnya akad Wakalah Berakhirnya akad wakalah menurut ketentuan hukum Islam yakni dengan selesainya
perkara yang diwakilkan, atau dengan meninggalnya salah satu pihak baik muwakkil maupun
wakil , atau salah satunya terbukti sudah tidak memiliki kecakapan atau kemampuan seperti
gila atau lainnya, atau muwakkil melepaskan diri dari wakil atau wakil itu sendiri
mengundurkan diri dari akad wakalah.
Tetapi kalau wakil itu diberhentikan dalam hal ini, ulama mazhab Hanafi
mengemukakan beberapa syarat dalam memberhentikan wakil tersebut antara lain: a. wakil
mengetahui bahwa tugasnya dicabut, baik secara lisan maupun tulisan; b. dalam perwakilan
itu tidak tersangkut hak orang lain, seperti perwakilan dalam menjual harta yang digadaikan
untuk membayar utang orang yang diwakilkan. Dalam kasus seperti ini, orang yang
mewakilkan tidak boleh mencabut wakilnya, kecuali seizin orang yang mempunyai piutang.
2. orang yang mewakilkan melakukan suatu tindakan hukum terhadap objek yang telah
diwakilkan. Misalnya, seseorang menunjuk wakil untuk membeli sebidang tanah tertentu.
Tetapi sebelum wakil mulai bekerja, orang yang memberinya tugas telah membeli tanah
tersebut. 3. tujuan yang ingin dicapai dari perwakilan telah tercapai. Artinya wakil telah
melaksanakan tugasnya dengan baik dan karenanya secara otomatis masa perwakilannya
telah habis. 4. salah satu pihak (wakil atau yang mewakilkan) berubah status menjadi orang
yang tidak cakap bertindak hukum, seperti gila atau dikenakan status di bawah pengampuan.
5. salah satu pihak (wakil atau yang mewakilkan) meninggal dunia. 6. orang yang
mewakilkan itu menurut ulama mazhab Hanafi keluar dari agama Islam (murtad). Dalam
kasus seperti ini perwakilan menjadi gugur dengan sendirinya karena tindakan orang murtad
tidak bisa dilaksanakan, kecuali ia masuk Islam kembali. 7. wakil murtad. Menurut ulamam
mazhab Maliki, perwakilan yang demikian menjadi batal. Akan tetapi menurut ulamam
mazhab Hanafi, Syafi‟i dan Hanbali perwakilan tidak batal. 8. wakil mengumumkan
pengunduran dirinya sebagai wakil dan diketahui oleh orang yang mewakilkan. 9. hilangnya
barang yang menjadi objek perwakilan. 10. barang yang diwakilakn tidak lagi menjadi milik
orang yang mewakilkan. Mislnya, seseorang mewakilkan kepada orang lain untuk
menjualkan rumahnya, tetapi ternyata kemudian setelah akad itu sempurna, rumah itu disita
negara, maka perwakilan itu menjadi batal. 11. orang yang mewakilkan jatuh pailit. 12.
terjadinya penipuan oleh masing-masing pihak. Hal ini dikemukakan oleh ulama mazhab
Hanafi dan Syafi‟i. 13. Munculnya tindakan sewenang-wenang dari masing-masing pihak
terhadap objek yang diwakilkan. Hal ini dikemukakan oleh ulama mazhab Syafi‟i dan
Hanbali, perwakilan akan berakhir apabila wakil menjadi orang fasik dalam akad yang
mensyaratkan wakil tidak fasik, jadi seperti wakil dalam akad nikah, orang fasik tidak boleh
menjadi wakil dalam masalah nikah. 15. kedua belah pihak sepakat mengakhiri masa
wakalah.
Uraian tentang berakhirnya wakalah secara umum dapat diberlakukan pada wukala‟
al-da‟wa (pengacara dan kuasa hukum) karena mereka sesungguhnya berstatus sebagai wakil
dari klien.
Kesimpulan
Jurnal Sharia Law Halaman | 07
Pertama, Menjadi pengacara yang membela orang yang dizalimi, boleh dan tidaknya,
dikembalikan pada status pembelaannya terhadap hak orang tersebut. Jika hak orang yang
dizalimi tersebut merupakan hak yang ditetapkan oleh syariah contoh: seorang pengemban
dakwah, khatib atau ulama yang menyampaikan dakwah, kemudian ditangkap dan dipenjara
maka dengan tegas Islam menyatakan orang tersebut harus dibela dan dikeluarkan dari
penjara, karena kebebasan untuk menyampaikan dakwah dan kalimat al-haq adalah hak yang
ditetapkan oleh syariah. Dalam kasus seperti ini, pembelaan yang dilakukan oleh pengacara
untuk menghilangkan kezaliman dan membebaskannya dari penjara merupakan pekerjaan
yang bukan saja dibolehkan oleh syariah, tetapi hukumnya juga wajib.
Contoh lain, ketika ada orang yang menjadi korban pencurian atau perampokan,
dengan tegas Islam menetapkan bahwa harta orang tersebut yang dicuri harus dikembalikan.
Karena itu, jika seorang pengacara membela orang seperti ini dalam rangka menuntut haknya,
maka profesi dan tindakan pengacara dalam membela kasus seperti ini merupakan profesi dan
tindakan yang dibolehkan.
Contoh lainlagi, ada orang yang menjual rumahnya kepada seseorang, dengan
pembayaran di muka, sisanya dicicil. Si pembeli rumah tersebut membayar sebagian,
sementara sisanya tidak dibayar, alias mangkir. Pada saat yang sama, rumah tersebut telah
dibeli dan ditempati. Dalam hal ini, Islam menetapkan, bahwa hak penjual dari pembeli
rumah tersebut harus dibayar. Karena itu, jika ada pengacara yang membela si penjual agar
bisa mengambil haknya yang tidak dibayar oleh si pembeli tersebut, maka hukum pembelaan
tersebut dibolehkan. Sebab, hak-hak tersebut merupakan hak yang telah ditetapkan oleh
syariah sebagai hak pemiliknya, sehingga profesi dan tindakan pengacara yang membela
pihak yang dizalimi agar haknya kembali kepada dirinya adalah tindakan yang dibenarkan
oleh syariah.
Namun, jika hak tersebut merupakan hak yang ditetapkan oleh hukum atau
perundang-undangan buatan manusia, bukan hukum dan perundang-undangan syariah, maka
profesi dan tidakan pengacara yang membela hak seperti ini tidak dibolehkan. Sebagai
contoh, ada seorang investor yang berinvestasi pada PT atau Koperasi yang jelas akadnya
batil, kemudian pada saat pembagian deviden, orang tersebut merasa bagiannya kurang dari
hak yang semestinya dia dapatkan, maka jika seorang pengacara membela hak seperti
ini, profesi dan tindakannya dalam kasus ini tidak dibolehkan. Sebab, hak tersebut pada
dasarnya bukan merupakan hak yang ditetapkan oleh syariah, karena PT atau Koperasi
tersebut, termasuk devidennya, merupakan perseroan yang batil, tidak diakui oleh syariah,
dan harus ditinggalkan oleh seorang Muslim.
Contoh lain, ada nasabah yang menyimpan dananya di bank ribawi, dengan kadar
bunga tertentu. Namun, ketika bank memberikan bagiannya, dia hitung ternyata kurang dari
hak yang semestinya dia dapatkan. Dalam kasus seperti ini, hukum pembelaan yang diberikan
oleh pengacara agar hak nasabah tersebut bisa diambil, jelas tidak dibenarkan.
Begitulah, profesi dan tindakan pengacara yang membela hak yang ditetapkan oleh
syariah, juga untuk menghilangkan kezaliman, maka profesi dan tindakan tersebut
dibolehkan. Sebaliknya, jika hak tersebut tidak ditetapkan oleh syariah, tetapi oleh hukum
dan perundang-undangan buatan manusia, maka profesi dan tindakan pengacara dalam
membela kasus tersebut tidak dibolehkan.
Kedua: Adapun hukum suap yang dilakukan oleh pengacara sebagai sarana untuk
mengambil hak, yang secara syar‟i memang menjadi hak pemiliknya, maka tindakan tersebut
tetap haram, sekalipun tujuannya untuk mengembalikan hak kepada pemiliknya, dan
karenanya tidak dibolehkan. Sebab, nas yang mengharamkan suap tidak disertai „illat (alasan
hukum), baik untuk merealisasikan kemaslahatan yang batil, atau yang haq. Sebaliknya, nas-
nas tentang larangan suap tersebut bersifat umum, sebagaimana tampak dengan jelas pada
nas-nas sebagai berikut:
Jurnal Sharia Law Halaman | 08
ع للا عت اش اش شحش ا
Laknat Allah kepada orang yang menyuap dan menerima suap (HR Ahmad).
يع سع١للاصللاسس اش اش شحش ا ائش اش ٠ع از ش ب٠ ب١
Rasulullah saw. melaknat orang yang menyuap, menerima suap dan menjadi perantara, yaitu
orang yang mengantarkan keduanya (HR Ahmad).
Hadis-hadis ini bersifat umum, meliputi semua bentuk suap, baik untuk menuntut hak
yang haqmaupun hak yang batil. Hadis-hadis ini juga tidak menyatakan keharaman suap
dengan „illat tertentu, ataupun ada nas lain yang bisa digali dari sana „illat atas keharaman
suap tersebut. Karena itu, tidak boleh seorang pengacara (advokat) melakukan suap meski
tujuannya untuk memudahkan pengembalian hak kepada pemiliknya, karena hak tersebut
sulit dikembalikan, jika tanpa suap.
Jurnal Sharia Law Halaman | 09
Law Enforcment dalam Islam
Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk
melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap
pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui
prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa
lainnya (alternative desputes or conflicts resolution). Bahkan, dalam pengertian yang lebih
luas lagi, kegiatan penegakan hukum mencakup pula segala aktifitas yang dimaksudkan agar
hukum sebagai perangkat kaedah normatif yang mengatur dan mengikat para subjek hukum
dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-
sungguh dijalankan sebagaimana mestinya. Dalam arti sempit, penegakan hukum itu me-
nyangkut kegiatan penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap
peraturan perundang-undangan, khususnya yang lebih sempit lagi melalui proses peradilan
pidana yang melibatkan peran aparat kepolisian, kejaksaan, advokat atau pengacara, dan
badan-badan peradilan.
Jurnal Sharia Law Halaman | 10
Sumber hukum dalam peradilan Islam jelas yakni al-Quran dan as-Sunnah dan apa
yang ditunjukkan oleh keduanya yaitu Ijma‟ Sahabat dan Qiyas dengan illat syar‟iy. Allah
swt berfirman:
ب بعض ٠فخنع أ احزس اء الحخبعأ ضيللا بأ ب ب١ احى أ إ١ه ضيللا أ
“Dan hukumilah mereka berdasarkan apa yang telah diturunkan Allah dan janganlah
mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah dari upaya mereka untuk memalingkan
kamu dari sebagaian apa yang telah diturunkan oleh Allah kepadamu.” (QS. Al-Maidah [5]:
49)
Ini jelas berbeda dengan sumber hukum dalam sistem kapitalisme yang didasarkan
pada aturan yang dibuat oleh manusia yang serba lemah dan terbatas kemampuannya untuk
mengetahui hukum yang paling layak; sangat dipengaruhi oleh latar belakang dan berbagai
kepentingan. Oleh karena itu salah satu problem yang mengemuka dalam hukum sekuler saat
ini adalah bagaimana memadukan antara aturan hukum formal dengan rasa keadilan
masyarakat. Artinya aturan hukum yang berlaku belum tentu sesuai dengan apa yang
dianggap adil oleh masyarakat. Padahal apa yang dianggap adil oleh masyarakat juga sangat
relatif. Allah swt berfirman:
٠ع للا ى شش اش١ئب ححب عسأ خ١شى حىشاش١ئب عسأ الحع خ أ
“…Dan boleh jadi kalian membenci sesuatu sementara ia baik bagi kalian. Dan boleh jadi
kalian menyenangi sesuatu namun ia buruk bagi kalian. Dan Allah maha mengetahui
sementara kalian tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216)
Disamping itu bobot hukuman yang ditetapkan Islam dalam masalah hudud, jinayat,
ta‟zir serta mukhalafat yang ditetapkan oleh khalifah tidak tanggung-tanggung beratnya.
Dengan demikian hukuman tersebut selain menjadi penghapus dosa pelakunya (jawabir) juga
memberikan efek jera bagi pelaku (zawajir) dan pencegah bagi masyarakat secara umum.
Integritas Penegak Hukum
Adapun pihak yang berwenang menetapkan hukum dalam Islam adalah khalifah atau
orang yang telah diberi wewenang oleh khalifah yaitu qadhi. Rasulullah saw memutuskan
sendiri berbagai perkara hukum yang terjadi di masanya. Di samping itu beliau juga
mengangkat sejumlah sahabat untuk menjadi qadhi di sejumlah wilayah dan daerah seperti
penunjukan Ali sebagi qadhi di Yaman dan Muadz bin Jabal di Janad.
Qadhi sendiri dibagi menjadi tiga kategori: qadhi yaitu qadhi yang menangani perkara
muamalat dan „uqubat dalam masyarakat; al-muhtasib yakni qadhi yang menangani
Jurnal Sharia Law Halaman | 11
pelanggaran yang membahayakan kepentingan umum; dan qadhi al-madzhalim yakni qadhi
yang mengani kasus yang terjadi antara rakyat dan pejabat negara.
Para qadhi tersebut diangkat dan diberhentikan oleh khalifah atau orang yang telah
diberikan kewenagan untuk mengatur lembaga peradilan yaitu qadhi qudhat.
Fungsi qadhi adalah menyampaikan hukum suatu terhadap suatu perkara yang bersifat
mengikat pihak yang berperkara. Dengan demikian ia berbeda dengan fatwa yang
kedudukannya tidak mengikat seseorang.
Qadhi yang diangkat oleh khalifah atau qadhi qudhat disyaratkan muslim, merdeka,
baligh, berakal, ahli fiqhi dan mampu menetapkan hukum terhadap realitas. Selain itu
kekuatan ruhiyyah juga menjadi penting bagi seorang hakim memiliki integritas yang tinggi
sehingga tidak menyalahi hukum syara‟ dalam dalam memutuskan perkara. Sebagaimana
diketahui keputusan hukum yang bertentangan dengan syariat Islam merupakan keputusan
yang batil dan hakimnya akan diganjar oleh Allah swt dengan siksa neraka. Rasulullah saw
bersabda:
اب ع أب١ ع بش٠ذة اب بازف»لبي-صللاع١س-ع فابسفأ اثب جت احذفا مضبةثالثت ا
سج فمضب حك عشفا جتفشج فا ف لضبطعج سج فابس ف فجبسفاحى حك عشفا
«.ابس
Dari Ibnu Buraidah dari bapaknya dari Nabi saw beliau bersabda: “Hakim ada tiga: satu
masuk surga dan dua masuk neraka. hakim yang masuk surga adalah hakim mengetahui
kebenaran dan memutuskan dengannya; sementera hakim yang mengetahui kebenaran lalu ia
menyimpang darinya ketika memutuskan perkara maka ia di neraka; demikian pula hakim
yang memutuskan perkara dengan jahil maka ia pun masuk neraka.” (HR. Abu Daud dan
menurutnya shahih)
Pemenuhan aspek material hakim meski bukan faktor utama dalam terwujudnya
keputusan yang benar, juga tetap diperhatikan. Posisi hakim adalah pegawai (ajir) negara
yang berhak mendapatkan gaji dan tunjungan yang layak. Tidak ada jumlah pasti mengenai
batasan gaji pejabat dalam Islam. Catatan Ibnu Saad setidaknya dapat memberikan kisaran
gaji pejabat di masa Rasul dan Khulafau Rasyidun. Atab bin Usaid misalnya yang ditugaskan
menjadi wali di Mekkah oleh Rasullah, mendapat 40 uqiyyah pertahun (1 uqiyyah = 40
dirham) atau 133 dirham per bulan. Ibu Saad juga memberitakan bahwa Umar telah menggaji
Iyyadh bin Gunma yang menjadi wali Janad satu dinar perhari (4,25 gram emas), satu
kambing dan satu mud gandum. Di samping itu pejabat dalam daulah Islam juga mendapat
beberapa tunjangan seperti rumah dan pembantu. Rasulullah saw pernah bersabda:
Jurnal Sharia Law Halaman | 12
عجاب ادلبيس شذ ب سد سخ ا ١ىخس»٠مي-صللاع١س-ع ف ال عب ب وب ٠ى فإ جت بص
سىب ١ىخسب ف سى ٠ى بفإ ١ىخسبخبد ف «.خبد اب لبي-صللاع١س-لبيلبيأببىشأخبشثأ
أ» غبي احخزغ١شرهف سبسق .»
“Barangsiapa yang kami angkat sebagai maka hendaklah ia mencari istri. Jika ia tidak
memiliki pembantu maka hendaklah ia mengusahaknnya. Jika ia tidak memiliki rumah maka
hendaklah ia membangunnya. Abu Bakar berkata: Saya mendapatkan berita bahwa Nabi saw
bersabda: barangsiapa yang mengambil selain itu maka ia adalah pencuri.”(HR. Abu Daud.
Menurut Albany Shahih)
Seorang hakim tidak diperkenankan untuk mengambil apapun dari manapun selain
dari apa yang diberikan oleh negara padanya sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di
atas. Hal ini karena harta tersebut merupakan harta yang Rasulullah saw juga bersabda.:
ي غ بأخزبعذرهف فشصلبسصلبف بعع اسخع
“Barangsiapa yang kami pekerjakan atas suatu pekerjaan lalu kami memberikan rezeki
kepadanya maka apa yang ia ambil selain itu merupakan harta yang tidak sah (ghulul). (HR.
Ibnu Khuzaimah dan disahihkan Al-A‟dzamy)
Putusan yang tegas
Dalam Islam dikenal istilah tabanni hukum, yakni hukum yang berlaku bagi seseorang
adalah apa yang ia adopsi (tabanny) berdasarkan kriteria pengadopsian hukum baik dengan
ijtihad ataupun melalui taklid. Dengan demikian hukum yang diadopsi oleh seseorang bersifat
tunggal. Artinya meski dalam satu masalah ada banyak pendapat namun bagi seseorang yang
berhubungan dengan perkara tersebut ia harus memilih salah satu diantaranya. Mengeraskan
basmalah dalam shalat jahriyyah misalnya ada dua pendapat; mengeraskan atau atau
memelankannya. Namun demikian bagi seseorang yang hendak shalat maka ia harus memilih
pendapat yang dianggapnya paling rajih.
Demikian pula halnya dalam penetapan hukum di pengadilan. Meski banyak pendapat
yang berkenaan dengan suatu perkara namun hakim yang telah diberi kewenangan oleh
syara‟ untuk menetapkan perkara harus menetapkan keputusan berdasarkan apa yang
dianggapnya paling kuat. Ini karena hukum yang ia putuskan adalah berdasarkan apa yang ia
adopsi yang sifatnya tunggal. Meskipun dalam persidangan ia dapat dibantu oleh hakim
pendamping namun pandangan mereka hanya sebatas pertimbangan semata yang tidak
mengikat hakim tersebut.
Namun demikian bukan berarti keputusan apapun tidak dapat berubah. Jika terbukti
hakim menetapkan hukum tidak berdasarkan syariat Islam, menyalahi dalil yang qathi atau
Jurnal Sharia Law Halaman | 13
memutuskan perkara yang bertentangan dengan realitas maka keputusannya harus dibatalkan.
Adapun jika ia menetapkan perkara dalam kasus yang dalilnya dzanny maki keputusannya
tidak direvisi sebagaimana kaidah fiqhi di atas
Ibnu Qudamah mengatakan: “jika ijtihad seorang hakim berubah namun tidak
menyalahi nash atau ijma‟ atau ia ijtihadnya berbeda dengan hasil ijtihad orang yang
mendahuluinya maka ia tidak boleh membatalkannya karena sahabat telah bersepakat atas
hal tersebut.
Demikian pula dalam kasus yang tidak dapat dibuktikan dengan bukti-bukti yang
absah dalam Islam seperti saksi, pengakuan, sumpah, surat-surat resmi sehingga
menimbulkan syubhat maka qadhi tidak diperkenankan untuk menjatuhkan sanksi kepada
terdakwa. Hal didasarkan pada sebuah kaidah ushul yang diperoleh dari sejumlah riwayat:
“Sanksi dibatalkan karena adanya kesamaran.”
Jurnal Sharia Law Halaman | 14
Meneladani Prinsip Rasulullah dalam
Law Enforcment
Dikisahkan, seorang wanita Bani Mahzum, salah satu kelompok yang sangat
terpandang dari etnis Quraisy, kedapatan mencuri. Untuk menutupi aib dan rasa malu, para
pemuka Bani Mahzum meminta tolong Usamah yang tergolong dekat dengan Nabi
Muhammad SAW agar melakukan pendekatan dan lobi kepada Baginda Rasul.
Ternyata, Usamah gagal total. Usahanya sia-sia belaka. Nabi langsung menghardik
dan memberi peringatan keras kepadanya. "Apakah kamu mau menyuap (korupsi) soal
hukum (ketentuan) dari undang-undang Allah?" tegurnya.
Dalam kesempatan itu pula, Nabi SAW langsung naik ke atas mimbar dan
memberikan peringatan. "Inilah kebiasaan buruk yang telah menghancurkan umat-umat
terdahulu. Mereka binasa (diazab oleh Allah) karena mereka tidak berani menghukum orang-
orang terpandang dari kalangan mereka. Sebaliknya, mereka menghukum berat orang-orang
kecil. Kalau Fatimah, putriku, mencuri, pastilah aku potong tangannya." (HR Bukhari dan
Muslim dari Aisyah).
Kisah ini sungguh inspiratif dan menjadi teladan yang amat berharga, khususnya bagi
masyarakat yang mendambakan kejujuran, keadilan, dan penegakan hukum bagi setiap orang.
Jurnal Sharia Law Halaman | 15
Melalui kasus ini, Nabi SAW mengajarkan beberapa masalah dasar yang mesti diperhatikan
oleh para pemangku kekuasaan, baik di lingkaran eksektutif, legislatif, maupun yudikatif.
Pertama, soal keadilan. Keadilan adalah proses sekaligus tujuan dan cita-cita. Adil (al-
`adl) atau keadilan menunjuk pada sikap tengah, lurus, dan tidak memihak kepada siapa pun,
kecuali pada kebenaran. Dalam konteks hukum, adil bermakna menghukum siapa pun yang
salah, tanpa berpihak, dan tanpa pandang bulu.
Keadilan menuntut dan menempatkan manusia sama di depan hukum. Di sini prinsip
equal before the law tak boleh hanya dipidatokan, tapi dilaksanakan, seperti Rasulullah SAW
telah membuktikannya. "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan." (QS al-Nahl [16]: 90).
Kedua, soal penegakan hukum (law enforcement). Penegakan hukum terkait pula
dengan keadilan di atas. Demi keadilan, hukum harus ditegakkan secara jujur dan adil.
Penetapan hukum secara tidak adil, korup, dan penuh kecurangan, seperti kerap terjadi,
semua itu jelas melukai dan mencederai rasa keadilan masyarakat.
Penegakan hukum tak boleh seperti pedang, hanya tajam ke bawah, tetapi tumpul ke
atas. Inilah yang diperingatkan oleh Allah dan Rasul. "Sesungguhnya Allah menyuruh kamu
apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil." (QS al-
Nisa‟ [4]: 58).
Ketiga, soal kehancuran masyarakat. Bila soal keadilan dan penegakan hukum
diabaikan oleh para pemangku kekuasaan, kehancuran pasti terjadi. Tidak bisa tidak! Ini
adalah ketentuan atau hukum Allah (sunatullah) yang berlaku secara universal. Inilah pesan
penting yang hendak dikabarkan oleh Nabi SAW kepada seluruh umat manusia dalam
pidatonya di atas.
Perlu diketahui bahwa keadilan adalah hukum kosmik (alam jagat raya). Setiap
kelaliman akan menimbulkan keguncangan sosial (social dis-equilibrium) yang pada
gilirannya akan membawa pada kehancuran. "Berjalanlah kamu (di muka) bumi, lalu
perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang berdosa.” (QS al-Naml [27]: 69).
Rasulullah Saw bersabda :
"Sesungguhnya hancurnya masyarakat sebelum kalian adalah, lantaran bila ada
seorang bangsawan (orang kuat) mencuri mereka biarkan, sedangkan bila orang lemah
mencuri, mereka menegakkan hukum HUDUD atasnya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad
ada dalam genggamannya, kalau sekiranya Fatimah binti Muhammad Saw, Mencuri...Pasti
akan aku potong tangannya ". ( Sahih Buchari Juz 5/192).
Jurnal Sharia Law Halaman | 16
Pelaksanaan Hukum Tanpa Pandang Bulu.
Pernyataan tegas tersebut disampaikan oleh baginda Rasullullah Saw, dalam
menanggapi usaha meminta keringanan hukum atas pencurian oleh seorang wanita
bangsawan Quraisy yang bernama Fathimah dari Bani Makhzum ( Fathimah
Almakhzumiyah).
Mereka ingin agar Hukum Hudud atas pencurian, Yakni Potong Tangan, tidak
diterapkan untuk wanita bangsawan itu. Mereka meminta tolong kepada Usamah bin Zaid bin
Haritsah r.a, kesayangan Rasulullah Saw, agar menyampaikan permintaan tersebut kepada
beliau Muhammad Saw. Tatkala mendengar hal itu berubahlah rona wajah Rasulullah Saw,
Beliau berkata kepada Usamah r.a,
" Anda membicarakan kepadaku tentang salah satu HUKUM HAD DIANTARA HUKUM
ALLAH ?".
Demi melihat hal itu, Usamah r.a, segera berkata : " Mohon ampun untukku wahai
Rasulullah Saw ".
Lalu Rasulullah Saw, menyampaikan khutbah di atas untuk memberikan pernyataan
tegas sekaligus pelajaran kepada umat tentang bahaya dari tidak ditegakkannya Hukum
Allah, yakni HUDUDULLAH, dan juga bahaya nya TEBANG PILIH dalam penegakan
hukum.
Beliau lalu memerintahkan untuk segera memotong tangan wanita bangsawan
tersebut.
Penegakan hukum dalam Islam dengan segala jenis sanksi hukuman (Uqubat)
dilakukan oleh penguasa Kehakiman tanpa Pandang Bulu. Baik itu Hukum Hudud, hukum
Jinayat, hukum Ta'zir, maupun hukum Mukhaalafat.
Siapapun yang bersalah, melanggar hukum Allah SWT, dan telah dimajukan ke
Mahkamah, maka pasti akan dijatuhi hukuman sesuai ketentuan hukum Allah SWT.
Tidak peduli yang bersalah itu apakah anak Penggembala miskin, ataukah anak
Tuannya yang kaya raya dan hidup mewah. Tidak peduli apakah dia " Fathimah Al
Makhzumiyah ", seorang bangsawan wanita Quraisy yang mulia, ataukah bahkan " Fatimah
Jurnal Sharia Law Halaman | 17
binti Muhammad Rasulullah Saw ", yang sangat mulia, yang paling berkuasa atas Makkah,
Madinah, dan seluruh Jazirah Arab dan Sayyidul Anbiya wal Mursalin!.
Ketegasan pelaksanaan Hukum Islam yang berdimensi Dunia dan Akhirat bagi sang
pelanggar hukum menjadi Tebusan dosanya di akhirat. Bagi masyarakat yang menyaksikan
ekskusi Hudud itu menjadi PENCEGAH YANG EFEKTIF.
Pemimpin Taat Putusan Hukum.
Sikap tegas dan tanpa pandang bulu, dalam menegakkan hukum hanya bisa dilakukan
oleh Pemimpin yang Takwa kepada Allah SWT. sebab takwa itu melahirkan sikap adil (QS
al Maidah :8). Sikap adil itu diberlakukan tanpa pandang bulu walaupun kepada diri sendiri.
Allah SWT berfirman:
" Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan,
menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa mu dan kaum
kerabat mu, Jika ia kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka
janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika
kamu MEMUTAR BALIKKAN ( kat-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka sesungguhnya
Allah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan ".( QS. An Nisa : 135 )
Sikap hidup Tawadhu dan Zuhud Pemimpin.
Sikap hidup Tawadhu dan Zuhud terhadap harta yang muncul dari jiwa Takwa kepada
Allah SWT dari seorang Penguasa menyebabkan tidak hanya umat muslim, bahkan non
muslim pun merasa damai dan akan simpati kepadanya, dan menghormati. Tapi juga
menjadikan masyarakat secara umum akan memiliki Kesadaran dan Kepatuhan, Tunduk
kepada hukum Allah SWT, sehingga KEBERKAHAN ALLAH akan senantiasa tercurah.
Saat ini hukum berpihak kepada yang berkuasa dan yang memiliki Uang, sementara
yang lemah selalu diproses dan dibawa ke Pengadilan. Hukum saat ini juga tergantung pada
Negosiasi. Seharusnya Para Pemimpin, Para Pejabat tinggi, Para PENEGAK HUKUM
menegakkan hukum secara benar dan adil tanpa Pandang Bulu.
Jurnal Sharia Law Halaman | 18
BBNNII..0033..0011..886666..883311 aa..nn CChhaannddrraa PPuurrnnaa IIrraawwaann
BBRRII 11668899--0011--000000660077--5533--66 aa..nn CChhaannddrraa PPuurrnnaa IIrraawwaann
GALERY FOTO SHARIA LAW INSTITUTE & MUSLIM ROHINGNYA @Langsa, Aceh Timur
>> CEO Sharia Law Institute foto bersama Imami, muslim rohingnya
yang Hafidz 30 Juz Al-Qur’an
>> Kebutuhan air bersih +100.000 liter/hari. Sharia Law Institute turut membantu kebutuhan air tersebut
>>Menghibur anak-anak Rohingny