jurnal resuscitation

17
Keputusan Melakukan Resusitasi Resusitasi jantung paru (Cardiopulmonary resuscitation / CPR) adalah suatu intervensi yang dikembangkan dalam bidang kedokteran emergensi untuk mengembalikan fungsi sirkulasi dan respirasi pada seseorang yang mengalami henti jantung atau henti napas. CPR menggabungkan suatu spektrum prosedur yang mencakup tindakan bantuan hidup dasar seperti ventilasi mulut ke mulut dan kompresi "dada tertutup" (closed chest) yang dilakukan oleh penolong dengan teknik Advanced Cardiac Life Support (ACLS), termasuk defibrilasi listrik, pijat jantung dada terbuka, atau penggunaan obat-obatan yang diberikan oleh tim tenaga kesehatan profesional di rumah sakit. Ketika konsep aslinya diperkenalkan, CPR dirancang untuk meresusitasi korban tenggelam, kontak listrik, overdosis obat dan kecelakaan lainnya serta infark miokard akut (serangan jantung). Sejak tahun 1960 dan 1970-an penggunaan CPR berkembang hingga ke luar bidang kedokteran emergensi, dan menjadi standar perawatan untuk hampir semua pasien gawat. 1 Baru-baru ini, muncul pertanyaan mengenai kesesuaian CPR untuk pasien yang "diselamatkan dari kematian" hanya untuk memperpanjang proses kematian, atau yang bertahan hidup dengan ancaman langsung kegagalan fungsi jantung-paru tetapi menderita masalah neuro- kognitif mulai dari gangguan intelektual ringan sampai keadaan vegetatif permanen. Penggunaan Dan Efektivitas CPR

Upload: khairunnisa

Post on 12-Feb-2016

13 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jurnal

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Resuscitation

Keputusan Melakukan Resusitasi

Resusitasi jantung paru (Cardiopulmonary resuscitation / CPR) adalah suatu

intervensi yang dikembangkan dalam bidang kedokteran emergensi untuk mengembalikan

fungsi sirkulasi dan respirasi pada seseorang yang mengalami henti jantung atau henti napas.

CPR menggabungkan suatu spektrum prosedur yang mencakup tindakan bantuan hidup dasar

seperti ventilasi mulut ke mulut dan kompresi "dada tertutup" (closed chest) yang dilakukan

oleh penolong dengan teknik Advanced Cardiac Life Support (ACLS), termasuk defibrilasi

listrik, pijat jantung dada terbuka, atau penggunaan obat-obatan yang diberikan oleh tim

tenaga kesehatan profesional di rumah sakit. Ketika konsep aslinya diperkenalkan, CPR

dirancang untuk meresusitasi korban tenggelam, kontak listrik, overdosis obat dan kecelakaan

lainnya serta infark miokard akut (serangan jantung). Sejak tahun 1960 dan 1970-an

penggunaan CPR berkembang hingga ke luar bidang kedokteran emergensi, dan menjadi

standar perawatan untuk hampir semua pasien gawat.1 Baru-baru ini, muncul pertanyaan

mengenai kesesuaian CPR untuk pasien yang "diselamatkan dari kematian" hanya untuk

memperpanjang proses kematian, atau yang bertahan hidup dengan ancaman langsung

kegagalan fungsi jantung-paru tetapi menderita masalah neuro-kognitif mulai dari gangguan

intelektual ringan sampai keadaan vegetatif permanen.

Penggunaan Dan Efektivitas CPR

Karena henti jantung-paru biasanya terjadi pada tahap akhir proses kematian, hampir

setiap pasien gawat dapat dinilai berpotensi sebagai calon dilakukannya CPR. Dalam

masyarakat modern, kematian paling sering terjadi di rumah sakit, dan CPR dicoba pada

sekitar sepertiga dari 2 juta pasien rumah sakit di AS yang meninggal setiap tahun. Lebih dari

50% dari pasien rumah sakit yang dilakukan CPR berusia 65 tahun atau lebih, dan lebih dari

70% nya adalah laki-laki.2 Data kejadian sebenarnya upaya resusitasi di pusat rawatan atau

tim ambulans darurat tidak mendukung generalisasi secara luas, tetapi bukti parsial yang ada

menunjukkan bahwa, dibandingkan dengan pasien rawat inap, upaya CPR tersebut jauh lebih

jarang di antara populasi rumah rawatan,3 dan jauh lebih sering pada pasien yang ditangani

oleh pelayanan medis gawat darurat.

Ketika upaya CPR terbukti berhasil, detak jantung dan pernapasan pasien akan

kembali, dan pasien dapat melanjutkan kehidupan mereka. Seringkali, CPR mengembalikan

fungsi dasar hidup ini, tetapi meninggalkan kerusakan otak atau gangguan lainnya pada

Page 2: Jurnal Resuscitation

pasien. Sebagai contoh, pasien mungkin membutuhkan pemantauan terus menerus dan obat-

obatan untuk mengkompensasi irama jantung yang abnormal, dan mungkin juga tetap sakit

kritis karena penyakit mendasar yang serius dengan risiko besar bahwa serangan jantung akan

terulang. Studi hasil dari upaya resusitasi telah menunjukkan berbagai variasi tetapi, secara

rata-rata, sekitar sepertiga dari CPR yang dilakukan di rumah sakit berhasil mengembalikan

denyut jantung dan pernapasan. Namun hanya 10-15% dari pasien yang menjalani CPR

dikarenakan serangan jantung di rumah sakit kembali menjadi siuman.4 Kelangsungan hidup

jangka panjang belum diteliti secara luas, tetapi dalam suatu penelitian, hampir 60% dari

pasien yang dipulangkan dari rumah sakit setelah CPR masih hidup setelah 2 tahun.5 Karena

outcome buruk pada banyak pasien, namun, secara umum diakui bahwa CPR bukanlah

pengobatan yang tepat untuk setiap pasien henti jantung atau napas saat ini.

Meskipun usia sebagai faktor penentu penting dari kelangsungan hidup jangka

panjang setelah dilakukan CPR tidak jelas, penelitian memberikan hasil yang bertentangan

dengan pertanyaan apakah ada penurunan angka harapan hidup yang signifikan pada pasien

yang berusia 70 tahun atau lebih.6 Dikarenakan ketidakpastian pertanyaan ini, usia pasien

dapat mempengaruhi keputusan untuk melakukan CPR, tapi setelah keputusan itu dibuat,

prosedur yang digunakan adalah sama terlepas usia, dan sedikit yang dilakukan untuk

mengurangi risiko tambahan. Berdasarkan luasnya pandangan CPR pada orang tua, federasi

Office of Technology Assessment (OTA) menyimpulkan bahwa "meskipun faktor-faktor

terkait usia (misalnya, arthritis reumathoid, pneumonia, stroke akut) dapat mempersulit

prosedur resusitasi pada beberapa pasien usia lanjut, menghambat pemantauan respon pasien

terhadap pengobatan, dan meningkatkan risiko cedera karena resusitasi, tidak ada bukti CPR

dilakukan secara berbeda pada orang tua dari pada orang yang lebih muda. Banyak prosedur

yang harus diterapkan dengan kekuatan penuh agar manfaat maksimal dapat dicapai.7

Namun, studi OTA menyimpulkan bahwa, secara umum, usia bukan prediktor yang dapat

diandalkan sebagai outcome CPR jangka panjang.

Pasien Menolak Resusitasi

Menanggapi pengakuan yang berkembang bahwa resusitasi tidak tepat untuk semua

pasien, perintah the do-not-rescucitate (DNR) dikembangkan. Perintah DNR ditujukan

kepada profesional medis yang tidak melakukan CPR pada situasi pasien dengan henti

jantung dan napas. Secara teori, perintah DNR tepat dan terbatas. Banyak ahli berpendapat

Page 3: Jurnal Resuscitation

bahwa perintah tersebut sepenuhnya sesuai dengan perawatan medis yang agresif dan tidak

dapat dipahami untuk menerapkannya sebagai tatalaksana untuk mempertahankan

kelangsungan hidup selain CPR, seperti oksigen atau cairan IV, harus ditahan atau ditunda.8

Dalam praktek klinis, DNR order sering dikaitkan dengan tidak melakukan atau menunda

terapi untuk kelangsungan hidup selain CPR, menghasilkan ketetapan yang pada hakikatnya

perawatan yang kurang intensif.9 Dalam sebuah penelitian, misalnya, pasien dengan penunjuk

DNR ditemukan secara signifikan lebih kecil kemungkinannya untuk menerima intervensi

medis mahal atau invasif dibandingkan dengan pasien lain yang menderita penyakit yang

sama atau kondisi medis lain yang sebanding.10

Variasi jenis perawatan yang diberikan kepada pasien ini sering disebabkan karena

kurang spesifiknya nya perintah DNR mengenai intervensi apa yang tidak dilakukan.

Beberapa ahli berpendapat bahwa perintah DNR harus menentukan apakah defibrilasi listrik,

obat anti-arrhythmia, pijat jantung dada terbuka, alat pacu jantung temporer, atau langkah-

langkah CPR lain yang harus ditunda. Para ahli lain menyarankan kebingungan ini dan ruang

lingkup tersebut, mungkin diatasi dengan menggunakan desain alternatif seperti "Do-Not-

Attempt-Resuscitation” (DNAR) atau lebih spesifik “No-CPR” untuk menunjukkan lebih

tepatnya maksud dari perintah untuk menunda prosedur resusitasi.11 Untuk mengurangi

ambiguitas dan ketidakjelasan, perintah DNR harus dimasukkan secara eksplisit ke dalam

seluruh rencana perawatan yang juga melakukan intervensi lain selain CPR secara tradisional.

Hal ini akan membantu untuk mengurangi kekhawatiran terhadap pasien dengan status DNR

akan, akhirnya, ditinggalkan oleh petugas kesehatan.

Banyak juga yang berpendapat bahwa alasan untuk perintah DNR dan proses yang

dirumuskan harus didokumentasikan dengan hati-hati.12 Misalnya, salah satu komentator

menyatakan, "[a] harus ada catatan tertulis siapa yang membuat keputusan dan kemungkinan

untuk melakukan komunikasi, diskusi, dan review dari perintah DNR - yang bertentangan

dengan kecurigaan, ketidakpastian, keraguan, dan kemarahan yang mengiringi jelas dan si

pengambil keputusan DNR yang tidak diketahui.13 Di lain pihak ada yang berpendapat,

karena ketidakpastian yang mungkin terjadi selama perawatan di rumah sakit, tidak semua

kemungkinan skenario yang dapat dilakukan seperti yang direncanakan sebelumnya;

khususnya mengenai tatalaksana mana yang harus dan tidak harus dilakukan ketika perintah

DNR dinyatakan bahkan tidak perlu menanyakan mengenai perawatan potensialnya yang

tidak disebutkan dalam perintah.14 Jadi tidak bisa diharapkan adanya solusi prosedural untuk

Page 4: Jurnal Resuscitation

menghilangkan semua ketidakpastian tentang tatalaksana yang tepat yang mungkin timbul

sehubungan dengan keputusan resusitasi.

Alasan Perintah DNR

Karena terbatasnya waktu dan tekanan karena dihadapkan dengan tatalaksana

emergensi, hal ini tidak selalu mungkin bagi petugas kesehatan profesional untuk

menjelaskan biaya dan manfaat dari pilihan pengobatan dan mendapat persetujuan sebelum

memulai tindakan life-saving. Perlunya segera melakukan tindakan jika tindakan darurat yang

sifatnya efektif memungkinkan mendapat persetujuan untuk melakukan resusitasi. Hal ini

mencerminkan etika tradisional yang beranggapan hal ini menguntungkan untuk

mempertahankan hidup, dan menyimpulkan bahwa pasien secara sah setuju untuk dilakukan

perawatan darurat. Dengan demikian, CPR secara rutin dimulai, sedangkan perintah DNR

umumnya diperlukan untuk mengesampingkan anggapan yang mendukung pemberian CPR.

Dalam hal ini, CPR adalah terapi yang luar biasa bila dibandingkan dengan hampir semua

jenis perawatan medis lainnya -karena membutuhkan persetujuan untuk pengobatan, setuju

untuk tidak diresusitasi adalah suatu kelaziman. Dua pembenaran untuk perintah DNR telah

diakui: pertama, pasien atau yang mewakili pembuat keputusan dapat memutuskan sebelum

serangan jantung untuk tidak melakukan CPR dengan menyetujui perintah DNR; dan kedua,

dokter yang merawat mungkin tidak melakukan CPR atas dasar penilaian akan sia-sia karena

itu tidak akan memberikan manfaat bagi kesehatan.

Persetujuan Perintah DNR

Menghormati hak otonomi pasien, atau hak pasien untuk membuat keputusan tentang

perawatan medis mereka sendiri, adalah prinsip dasar etika dan hukum dalam kedokteran.

Prinsip ini memberikan dukungan moral dan hak hukum untuk menyetujui atau menolak

intervensi medis, termasuk segala bentuk tindakan untuk menyelamatkan nyawa. Seorang

pasien memiliki kapasitas untuk pengambilan keputusan, oleh karena itu, ia bisa

mengungkapkan penolakan atau alasannya mengapa menolak dilakukan CPR jika terjadi

serangan jantung. Bagi pasien yang tidak memiliki kapasitas pengambilan keputusan, suatu

keputusan untuk tidak melakukan CPR dapat dilakukan melalui wali atau kuasanya yang

membuat keputusan, berdasarkan pilihan yang dinyatakan sebelumnya oleh pasien atau, jika

seperti tidak diketahui apa yang menjadi pilihan pasien, maka disesuaikan dengan keinginan

pasien yang terbaik.15

Page 5: Jurnal Resuscitation

Begitulah keputusan pasien atau wali pasien untuk menolak CPR dapat menjadi

alasan sebagai dasar untuk perintah DNR. Alasan untuk perintah DNR ini diterima dengan

baik dalam bidang kedokteran serta hukum. Beberapa kasus hukum yang dilaporkan yang

melibatkan perintah DNR meyimpulkan bahwa CPR dapat harus didahulukan di keadaan

tertentu.16 Penggunaan petunjuk medis lanjut secara hati-hati untuk keselamatan jiwa atau

kekuasaan pengacara yang bertahan lama memungkinkan pasien untuk mempertahankan

keputusannya tersebut, tetapi adanya alasan mempertahankan hidup belaka tidak akan

diambil sebagai indikasi preferensi untuk perintah DNR.17 Kesadaran masyarakat tentang

kemungkinan perencanaan lanjutan telah berkembang sejak dijalankan oleh Congress of the

Patient Self Determination Act (PSDA).18

Kapan saja memungkinan, pasien atau wali mereka harus terlibat dalam keputusan

untuk menjalani CPR atau meminta perintah DNR. Namun ada banyak hambatan yang

menghalangi dokter untuk berbicara serius mengenai pilihan pasien untuk resusitasi.19

Sejumlah penelitian telah menunjukkan keengganan dokter untuk melontarkan pertanyaan

tentang resusitasi terhadap pasien mereka, sebagian karena kekhawatiran bahwa hal tersebut

akan menyebabkan pasien meyakini kondisi mereka lebih buruk daripada yang sebenarnya,

atau wali mereka memiliki telah menyerahkan sepenuhnya pada mereka. Pasien mungkin

ragu-ragu untuk mengajukan pertanyaan karena merasa ini adalah tanggung jawab dari dokter

mereka, atau karena mereka tidak ingin menginterupsi sibuknya kegiatan dokter. Dalam

prakteknya, pasien dan wali mereka tidak secara rutin berkonsultasi tentang keinginan

mereka tentang CPR. Dan ketika mereka berkonsultasi, itu lebih memungkinkan untuk

memunculkan keputusan untuk tidak melakukan resusitasi dari keputusan untuk melakukan

resusitasi,20 mungkin karena anggapan CPR selalu menguntungkan jika dilakukan.

Meskipun ada tantangan dalam praktik, ada pengakuan umum bahwa petugas kesehatan

profesional harus mendiskusikan CPR dan pilihan perintah DNR kapan saja pasien atau

walinya ingin dilakukannya tindakan itu, atau kapan saja salah satu situasi berikut terjadi:

1. Ada sejumlah alasan untuk mempertanyakan praduga persetujuan untuk CPR;

2. Pasien sakit terminal;

3. Pasien memiliki penyakit parah atau irreversible atau kondisi lumpuh;

4. Pasien mengalami kehilangan kesadaran ireversibel; atau

5. Pasien yang cukup memungkinkan menderita henti jantung atau pernafasan.21

Page 6: Jurnal Resuscitation

Beberapa ahli menyatakan bahwa pilihan pasien untuk dilakukan CPR harus diperoleh

lebih awal, jauh sebelum penyakit bisa menghasilkan outcome yang buruk. Ini bisa dilakukan

pada saat masuk ke rumah sakit atau tempat perawatan. Menurut The Stanford University

ethics committee, “karena henti jantung dan napas dapat terjadi selama rawat inap pada

manula, pasien sakit kronis, atau pasien sakit tahap/stadium akhir, ada sedikit etika

pembenaran untuk tidak membahas itu di awal”.22 Namun, pihak yang lain berpendapat

bahwa terlibat secara rutin untuk berdiskusi akan menjadi tidak praktis atau tidak mungkin

dan bahkan dapat menimbulkan kecemasan yang tidak perlu pada pasien yang untuk nya

penghindaran terhadap perencanaan yang jelas untuk kematian mereka sendiri adalah suatu

mekanisme pertahanan diri.23

Kesia-siaan

Alasan kedua untuk order DNR masih kontroversial. Menurut beberapa komentar

ahli, walaupun seandainya pasien tidak menolak CPR, resusitasi tidak harus dilakukan jika

ada alasan yang dapat dipercaya bahwa intervensi tidak akan memberi manfaat medis dan

dengan demikian akan sia-sia. Istilah "kesia-siaan" disini digunakan secara sempit untuk

merujuk pada kemungkinan mengembalikan fungsi jantung dan pernapasan pada pasien yang

mengalami serangan jantung. Dari perspektif ini, CPR akan sia-sia tanpa adanya

kemungkinan yang beralasan untuk mengembalikan fungsi vital ini.24 Hal ini berarti bahwa

CPR tidak layak dilakukan jika "Mungkin akan gagal, atau, baik nya, akan berhasil hanya

sejauh pasien akan ditangani dengan resusitasi secara intensif dan berulang-ulang sebelum

kematian pasti terjadi."25

Menurut Tomlinson dan Brody, "ketika resusitasi tidak menawarkan manfaat medis, dokter

dapat membuat alasan yang menentukan bahwa perintah DNR harus ditulis tanpa

pengetahuan tentang nilai-nilai pasien dalam hal perkaranya. Keputusan CPR tidak

dibenarkan karena akan sia-sia adalah pendapat yang jatuh sepenuhnya dalam keahlian teknis

dokter."26 Pengamat lain berpendapat untuk kebijakan yang memungkinkan "tim petugas

kesehatan secara sepihak dapat memutuskan untuk tidak meresusitasi pasien tertentu ... yang

tidak memiliki kemungkinan untuk pulih dari CPR dimulai pada suatu [jangka panjang

perawatan] lembaga."27 Ahli Lainnya, menegaskan, bahwa ketidakpastian tentang prognosis

pasien yang telah diresusitasi membuat sulit untuk mengidentifikasi bagi siapa CPR akan

sia-sia secara medis.28

Page 7: Jurnal Resuscitation

"Kesia-siaan" juga telah digunakan untuk merujuk kepada intervensi medis yang tidak

mungkin mencapai keuntungan yang diinginkan oleh pasien. Manfaat tersebut dapat

termasuk, misalnya, kualitas hidup yang dapat diterima, sebuah "keberadaan yang berarti,"

atau kelangsungan hidup untuk jangka waktu tertentu. Gagasan kesia-siaan menggantikan

secara teknis penilaian medis terhadap potensi untuk mengembalikan fungsi jantung-paru

dengan suatu pendapat potensi CPR untuk mencapai manfaat yang berharga untuk pasien.

Dengan pemahaman yang lebih luas tentang "kesia-siaan," sebuah ketentuan bahwa resusitasi

akan sia-sia tidak akan berhenti pada penilaian dokter di satu pihak. Sebaliknya, "penilaian

kesia-siaan ini sesuai hanya jika pasien adalah satu-satunya untuk menentukan ada atau tidak

ada manfaat, dengan tetap menjaga nilai-nilai dan prioritas pribadinya."29 Ketika pertanyaan

adalah apakah CPR akan sia-sia dalam arti luas ini, petugas kesehatan tidak harus

mengecualikan anggota keluarga dan pasien dari keputusan untuk mengeluarkan perintah

DNR dan tidak menggantikan nilai-nilai mereka bagi pasien "dengan kedok keahlian

medis."30

Akhirnya, beberapa telah menggunakan gagasan sia-sia dalam arti yang lebih luas,

untuk membatasi perawatan yang dinilai tidak cost-effective.31 Masalah paling serius terkait

dengan gagasan kesia-siaan dengan pertimbangan penahanan biaya adalah bahwa hal ini

secara fundamental mengubah alasan bagi otoritas petugas kesehatan dalam menilai

intervensi tertentu yang akan sia-sia.32 Pihak berwenang tidak lagi menjalankan kepentingan

maupun integritas moral profesi medis untuk mencapai keuntungan bagi masing-masing

pasien – tapi malahan akan mewakili suatu pelaksanaan lembaga sosial yang diarahkan untuk

kesejahteraan suatu masyarakat yang lebih luas. Meskipun kepentingan masyarakat pasti

harus membatasi praktek kedokteran, petugas kesehatan harus mengakui bahwa mereka tidak

memiliki keahlian khusus dalam membedakan suatu kepentingan atau menentukan

bagaimana cara terbaik untuk melayani masyarakat.

ISU KHUSUS KEPUTUSAN RESUSITASI

Perintah DNR pada ruang operasi

Beberapa pasien dengan perintah DNR menjadi calon untuk prosedur bedah yang

dapat memberikan manfaat yang signifikan meskipun kondisi yang mendorong penolakan

CPR secara mendasar tidak dapat diubah. Sebagai contoh, pasien dengan kanker stadium

lanjut dapat menjalani operasi sebagai tatalaksana obstruksi usus atau untuk mengurangi rasa

sakit. Prosedur bedah dan disertai sedasi atau anestesi dapat mengekspos pasien tersebut

Page 8: Jurnal Resuscitation

dengan risiko baru dan berpotensi henti jantung paru yang dapat dikoreksi. Selain itu,

beberapa prosedur sama yang digunakan dalam resusitasi, seperti ventilasi mekanis atau obat

vasoaktif, merupakan bagian integral dari manajemen anestesi. Pertanyaannya muncul,

bagaimana perintah DNR harus ditangani untuk pasien tersebut. Haruskah DNR dibatalkan

sebelum operasi dan dilakukan setelah itu, atau harus dilakukan selama operasi?

Sebagaimana seorang dokter telah mencatat, jika perintah DNR dicabut selama operasi,

"pasien DNR dihadapkan pada posisi yang sulit karena harus mempertimbangkan manfaat

dari operasi paliatif dibandingkan risiko resusitasi yang tidak diinginkan. "Di sisi lain, jika

perintah DNR dilakukan selama operasi, "dokter bedah dan anestesi dirasa mungkin tidak

dapat menerimanya dikarenakan mereka yang harus menyembuhkan komplikasi yang

merupakan tanggung jawab mereka."33

Dibandingkan kebijakan yang melarang perintah DNR selama proses pembedahan

atau mengharuskan semua perintah tersebut dilaksanakan, hal ini telah disarankan kebijakan

"required reconsideration" akan lebih fleksibel dan lebih menjunjung tinggi hak otonomi

pasien.34 Pendekatan seperti itu akan mengharuskan dokter berdiskusi dengan pasien sebelum

operasi jika memungkinkan, apakah pasien akan memerlukan CPR selama operasi atau

selama periode perioperatif, untuk menggambarkan langkah-langkah CPR yang akan

diperlukan, memperkirakan kemungkinan keberhasilan, dan memprediksi outcome yang

mungkin terjadi dengan atau tanpa dilakukannya CPR. Jika pasien menginginkan agar DNR

dilakukan selama operasi, hal ini perlu dicatat pada formulir perintah preoperatif.35

Perintah DNR Prehospital

Petugas kesehatan dalam sistem kedokteran emergensi (Emergency Medical

Systems/EMS) di sebagian besar ranah hukum dituntut secara hukum untuk mencoba

meresusitasi semua pasien kecuali ada tanda-tanda kematian yang jelas seperti pemenggalan

kepala, rigor mortis atau dekomposisi. Lagi pula, di kebanyakan negara bagian, personel

EMS, yang biasanya bukan perawat atau dokter, tidak berwenang untuk mendiagnosa pasien

mati, sehingga harus terus mengupayakan resusitasi sampai dokter dapat menentukan

kematian telah terjadi. Pilihan personil EMS karena itu sangat terbatas, yang menyebabkan

"Situasi di mana prosedur intensif perawatan pasien kritis [termasuk CPR] harus dilakukan,

dengan protokol, di luar rumah sakit pasien dalam extrem atau serangan jantung kapan saja

layanan ambulans dapat diaktifkan."36

Page 9: Jurnal Resuscitation

Sebagai upaya untuk menghormati keinginan pasien yang tidak ingin diresusitasi,

sejumlah negara bagian telah mengadopsi beberapa bentuk kebijakan DNR prehospital.37

Pelaksanaan perintah DNR prehospital memunculkan sejumlah masalah unik, yang paling

mendesak adalah bagaiman cara mengidentifikasi pasien yang tidak boleh diresusitasi. Masih

ada kebingungan tentang perbedaan antara perintah DNR dan kehendak hidup, dan karena di

kebanyakan negara bagian kehendak hidup tidak dapat dipaksakan kecuali pasien yang sakit

parah, personil EMS tidak bisa meniadakan resusitasi meskipun ada perintah jelas untuk

DNR. Dalam beberapa masyarakat, bentuk standar yang digunakan untuk tujuan ini, dan

catatannya disimpan oleh tim EMS lokal; di lain pihak, pasien memakai gelang khusus atau

membawa kartu identitas - tetapi dalam kekacauan sekitarnya panggilan darurat dengan

metode identifikasi ini tidak selalu efektif. Sumber kebingungan tambahan muncul dari fakta

bahwa dokumentasi yang diperlukan bervariasi antara masyarakat. Masalah kedua adalah

bagaimana membuat perintah DNR prehospital cukup spesifik untuk mencerminkan

keinginan pasien secara adekuat. Jika perintah DNR prehospital tidak menunjukkan secara

tepat apa intervensi yang akan dijalankan, beberapa pasien akan dipaksa untuk menjalani

perawatan yang diinginkan untuk menghindari resusitasi, atau penderita yang tidak

menginginkan resusitasi untuk menyetujui tindakan medis lain.38 Akhirnya, ada

ketidaksepakatan tentang apakah personil EMS harus diberi wewenang untuk menyatakan

pasien mati sebelum dirawat di rumah sakit dan upaya menghentikan resusitasi. Hal ini akan

memungkinkan Tim EMS untuk memenuhi kebutuhan orang lain yang bisa mendapatkan

manfaat dari pertolongan medis darurat, dan mengurangi risiko yang terkait dengan

transportasi berkecepatan tinggi pasien ke bagian gawat darurat rumah sakit.39

Kode “Slow”

Dokter kadang-kadang secara verbal mengarahkan kode "slow" di mana CPR ala

kadarnya dilakukan dalam rangka menciptakan kesan bahwa "segala sesuatu yang sedang

dilakukan" bagi pasien. Hal ini sering terjadi ketika anggota keluarga tidak bisa menerima

kematian yang akan terjadi, sehingga tidak akan menyetujui perintah DNR. Konsensus yang

luar biasa ini adalah "[s]how code' atau 'slow code' – muncul untuk memberikan CPR,

sebenarnya tidak melakukannya, atau melakukannya dengan cara yang diketahui tidak efektif

- kompromi mengenai integritas etika profesional petugas kesehatan harus dihindari."40

Praktek-praktek seperti ini dapat merusak kepercayaan antara penyedia layanan kesehatan

dan pasien serta integritas profesional dokter yang terlibat dalam kenyataan tersebut.

Sementara, kode palsu tersebut tidak pantas, namun, mereka tidak harus bingung dengan

Page 10: Jurnal Resuscitation

sahnya "limited codes" yang hanya tindakan yang tidak invasif seperti kompresi dada

eksternal dilakukan dibandingkan spektrum luas dari tindakan resusitasi.41

Perintah Melarang Intubasi

Intubasi, secara sederhana, berarti memasukkan pipa ke dalam tubuh pasien. Intubasi

bersifat tumpang tindih, tetapi tidak boleh disamakan dengan resusitasi - intubasi adalah

dibutuhkan untuk beberapa intervensi medis, seperti pemberian infus, yang tidak

dimaksudkan untuk meresusitasi pasien, tetapi juga mencakup intervensi yang merupakan

bagian dari upaya resusitasi seperti ventilasi mekanik.

Keputusan apakah dilakukan atau tidaknya intubasi pasien harus dipisahkan,

misalnya, apakah dilakukan atau tidaknya kompresi dada eksternal. Perintah Do-not-

resuscitate (DNR) harus dapat dibedakan dari perintah do-not-intubate. Ini berarti bahwa

perintah DNR tidak bertentangan dengan intubasi - pasien dapat diintubasi dan masih

berstatus DNR. Misalnya, seorang pasien dengan perintah DNR yang menderita emfisema

bisa diintubasi secara elektif sebelum terjadi henti napas. Singkatnya, sekalipun perintah

DNR melarang segala bentuk resusitasi, perintah DNI sesuai dengan berbagai upaya

resusitasi termasuk intubasi.

Beberapa objek perintah DNI sebagai batasan tertentu pada CPR yang menghasilkan

keberhasilan upaya resusitasi sangat kecil kemungkinannya. Perintah DNI di beberapa situasi

mungkin mirip dengan "slow codes," mengorbankan etika integritas petugas kesehatan. Tapi

ketika Status DNI secara akurat mencerminkan tujuan pasien, keterbatasan tersirat pada

resusitasi yang tepat dan dibenarkan.

REKOMENDASI UNTUK PERINTAH DNR

Banyak pengamat etika telah mengusulkan, dan Komisi Bersama untuk Akreditasi

Organisasi Kesehatan sekarang mengharuskan, bahwa rumah sakit dan rumah rawatan

menetapkan kebijakan resusitasi formal. Lembaga yang merumuskan kebijakan DNR harus

memasukkan setidaknya ketentuan berikut:42

1. Perintah DNR harus didokumentasikan secara tertulis dalam rekam medis pasien.

2. Perintah DNR harus menentukan sifat alami yang tepat dari pengobatan yang tidak

akan dilakukan.

Page 11: Jurnal Resuscitation

3. Pasien, ketika mereka mampu, dan keluarga atau wali harus berpartisipasi dalam

keputusan DNR. Keterlibatan dan keinginan mereka harus didokumentasikan dalam

rekam medis.

4. Keputusan untuk tidak melakukan CPR harus didiskusikan dengan semua staf yang

berinteraksi dengan pasien.

5. Status DNR harus ditinjau secara teratur.

6. DNR tidak bisa disamakan dengan pengabaian medis atau psikologis pasien -

perbedaan yang harus dipahami oleh staf dan pasien yang harus terus diyakinkan.43