jurnal penelitian 3

30
PARADIGMA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TENTANG STATUS SAKSI NIKAH Endang Hamzah, Jejen Abdullah, Imam Sucipto Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Nurul Hikmah ABSTRAK Pernikahan menurut Islam bertujuan memperoleh kedamaian, kecintaan, dan kasih sayang. Dalam akad pernikahan terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Salah satu rukun akad pernikahan menurut jumhur ulama adalah harus dihadiri oleh dua orang saksi yang adil. Tetapi kehadiran saksi dalam akad pernikahan tersebut terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, Undang- Undang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam. Penelitian ini mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa: Status saksi nikah menurut pendapat empat madzhab adalah sebagai berikut: menurut Madzhab Hanafi, saksi merupakan rukun dalam akad nikah, tetapi menurutnya untuk menjadi saksi dalam pernikahan tidak disyaratkan harus orang yang adil, menurutnya pernikahan yang disaksikan oleh dua orang laki-laki sekalipun fasik atau dengan seorang laki- laki dan dua orang perempuan hukumnya adalah sah. Madzhab Maliki berpendapat bahwa saksi bukan merupakan rukun dalam akad pernikahan, sesungguhnya yang menjadi syarat adalah pemberitahuan. Madzhab Syafi`i berpendapat bahwa saksi merupakan rukun dalam akad nikah. Pernikahan tersebut harus diakadkan di hadapan dua orang saksi laki- laki yang adil. Madzhab Hanbali berpendapat, saksi tidak termasuk rukun nikah. Pernikahan yang tanpa di hadiri oleh saksi hukumnya tetap sah. Karena Nabi Muhammad SAW pernah memerdekakan Shafiyah dan menikahinya tanpa disaksikan seorang saksi. Status saksi nikah menurut 1

Upload: ilhamakbararifin

Post on 21-Nov-2015

15 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

punya bapa

TRANSCRIPT

PARADIGMA HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIFTENTANG STATUS SAKSI NIKAH

Endang Hamzah, Jejen Abdullah, Imam SuciptoDosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Nurul Hikmah

ABSTRAKPernikahan menurut Islam bertujuan memperoleh kedamaian, kecintaan, dan kasih sayang. Dalam akad pernikahan terdapat syarat dan rukun yang harus dipenuhi. Salah satu rukun akad pernikahan menurut jumhur ulama adalah harus dihadiri oleh dua orang saksi yang adil. Tetapi kehadiran saksi dalam akad pernikahan tersebut terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, Undang-Undang Perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam.Penelitian ini mendapatkan sebuah kesimpulan bahwa: Status saksi nikah menurut pendapat empat madzhab adalah sebagai berikut: menurut Madzhab Hanafi, saksi merupakan rukun dalam akad nikah, tetapi menurutnya untuk menjadi saksi dalam pernikahan tidak disyaratkan harus orang yang adil, menurutnya pernikahan yang disaksikan oleh dua orang laki-laki sekalipun fasik atau dengan seorang laki-laki dan dua orang perempuan hukumnya adalah sah. Madzhab Maliki berpendapat bahwa saksi bukan merupakan rukun dalam akad pernikahan, sesungguhnya yang menjadi syarat adalah pemberitahuan. Madzhab Syafi`i berpendapat bahwa saksi merupakan rukun dalam akad nikah. Pernikahan tersebut harus diakadkan di hadapan dua orang saksi laki-laki yang adil. Madzhab Hanbali berpendapat, saksi tidak termasuk rukun nikah. Pernikahan yang tanpa di hadiri oleh saksi hukumnya tetap sah. Karena Nabi Muhammad SAW pernah memerdekakan Shafiyah dan menikahinya tanpa disaksikan seorang saksi. Status saksi nikah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah saksi wajib ada dalam akad nikah. Hal itu sesuai pada pasal 26 ayat 1 yang berbunyi: Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri. Sedangkan status saksi dalam akad nikah menurut KHI adalah sebagai rukun, yakni dalam akad nikah harus disaksikan oleh dua orang saksi sebagaimana terdapat pada bagian keempat Pasal 24 yang bunyinya sebagai berikut, Pasal 24 ayat 1. saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. Dan ayat 2 setiap perkawinan harus di saksikan oleh dua orang saksi.

TUJUANpernikahan menurut konsepsi Islam terdapat syarat-syarat dan rukun-rukun yang harus ditempuh, karena tanpa memenui aturan yang ada, maka pernikahan dianggap tidak sah. adapun syarat pernikahan agak tersamar dengan rukun pernikahan itu sendiri. Sebagaimana kita ketahui, syarat dan rukun itu berbeda, syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam suatu perbuatan, namun berada di luar perbuatan itu. Sedangkan rukun adalah, suatu yang harus ada dan menjadi bagian dari perbuatan tersebut. Di antara rukun nikah yang banyak di perdebatkan adalah masalah status saksi dalam akad pernikahan.[footnoteRef:1] Berkaitan dengan masalah tersebut dapat di jelaskan tujuan penelitian adalah ntuk menjelaskan bagaimana status saksi nikah menurut hukum islam dan hukum positif. [1: Rahmat Hakim, Hukum, hlm. 82]

METODOLOGIPenelitian ini menggunakan penelitian pustaka (library research). Penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam material yang terdapat di ruangan perpustakaan, seperti: buku-buku, majalah, dokumen, catatan, kisah-kisah sejarah dan lain-lainnya. Pada hakekatnya data yang diperoleh dengan penelitian perpustakaan ini dapat dijadikan landasan dasar dan alat utama bagi pelaksanaan penelitian. Penelitian ini dikatakan juga sebagai penelitian yang membahas data-data sekunder.[footnoteRef:2] Riset pustaka tidak hanya sekedar urusan membaca dan mencatat literatur sebagaimana yang sering dipahami banyak orang selama ini. Apa yang disebut dengan riset kepustakaan ialah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan penelitian.[footnoteRef:3] [2: Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), hlm. 28] [3: Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm. 3]

Bisa dikatakan juga penelitian ini menggunakan metode Content Analisys yaitu model yang digunakan dalam penelitian yang bersifat normatif, dalam arti untuk menganalisis teks pemikiran ulama (empat madzhab) Undang-Undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

TEMUANA. Saksi nikah menurut pendapat Madzhab HanafiBerbicara tentang saksi dalam akad nikah banyak terjadi perbedaan pendapat, hal itu terjadi karena pebedaan dalam memahami al-Qur`an dan al-Hadits, sehingga istinbath hukumnya juga berbeda. Adapun pendapat madzhab hanafi adalah sebagai berikut: dalam kitab al-Ikhtiyar lita`lil al-Mukhtar dijelaskan, Pernikahan orang Islam hukumnya tidak akan terjadi (tidak sah) kecuali dihadiri (disaksikan) oleh dua orang laki-laki atau satu laki-laki dan dua orang perempuan. wajib didalam diri seorang saksi adanya sifat merdeka, dan Islam. Dan tidak disyaratkan adanya sifat adil. Dan akad nikah hukumnya sah dengan disaksikan oleh orang buta.[footnoteRef:4] [4: Maududi, Abdullah bin Muhammad bin, al-Ikhtiyar li al-Ta`lil al-Mukhtar, juz 3-5, (Araby: Dar al-Fikr, t.t,), hlm. 83]

Menurut madzhab Hanafi, saksi merupakan syarat akad nikah, hal itu mengacu pada hadits nabi la nikaha illa bi syuhud (pernikahan tidak sah kecuali adanya saksi) dan diriwayatkan dari ibn Abbas dari nabi Saw, sesungguhnya nabi bersabda al-Zaniyatu allati tankihu nafsaha bighairi al-Bayyinah (perempuan pezina adalah perempuan yang menikahkan dirinya tanpa di saksikan oleh saksi). Adapun kriteria saksi menurut madzhab hanafiyah adalah merdeka, berakal, dan baligh. Sedangkan seorang hamba sahaya, anak kecil, dan orang gila tidak boleh menjadi saksi.[footnoteRef:5] [5: Ibid.]

Sedangkan dalam kitab Jauhar al-Nayyirah di terangkan tentang saksi dalam akad nikah sebagai berikut:( ) ( )Pernikahan orang Islam hukumnya tidak sah tanpa di saksikan oleh dua saksi yang merdeka, Islam, baligh, dan berakal. Disyaratkan kedatangan saksi tersebut saat akad nikah terjadi, bukan ketika saat resepsi. Disyaratkan harus merdeka, karena sesungguhnya hamba sahaya tidak mempunyai persaksian. Dan disyaratkan harus baligh dan berakal karena karena tidak ada kekuasaan kecuali dengan keduanya. Dan wajib adanya kriteria Islam karena orang kafir tidak boleh menjadi saksi terhadap orang Islam. Sesungguhnya orang kafir tidak boleh menjadi saksi terhadap anak perempuannya yang muslimah. Mushanif juga berkata, selain kedua saksi harus merdeka, muslim, aqil, dan baligh, akad nikah juga boleh disaksikan oleh satu laki-laki dan dua perempuan. Baik adanya saksi tersebut bersifat adil atau tidak adil.[footnoteRef:6] [6: Yumna, Abi Bakr ibn Ali ibn Muhammad al-Haddadi al-Jauharah al-Nayyirah, juz 2 (Pakistan: Maktabah Haqqaniyyah, 800 H), hlm. 66]

Sedangkan dalam kitab Bidayah al-Mujtahid dijelaskan pula tentang saksi nikah, : .Menurut pendapat Abu Hanifah pernikahan hukumnya sah dengan disaksikan oleh orang fasik, karena tujuan persaksian adalah untuk mengumumkan saja. Adapun menurut imam Syafi`i, Syahadah itu mempunyai dua pengertian, pertama pengumuman dan yang kedua adalah penerimaan. Maka dari itu disyaratkan saksi harus adil. Adapun menurut malik, kata syahadah hanya mengandung arti pengumuman, dengan itu ketika akad nikah di saksikan oleh dua saksi, tetapi saksi tersebut di minta untuk merahasiakan akad tersebut, hukum pernikahan tidak sah.[footnoteRef:7] [7: Ryusdi, Ibnu, II, penerjamah Imam Ghazali, Ahmad Zaidun, Bidayah al-Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989), hlm. 17]

Adapun dalam kitab al-Mabsuthat al-Syarkhasi dijelaskan pula tentang saksi dalam akad nikah: Pada dasarnya menurut kita (madzhab hanafiyah) setiap orang yang boleh melakukan akad dengan dirinya sendiri, maka hukumnya boleh juga menjadi saksi. Dan setiap orang yang patutt menjadi saksi, maka hukumnya sah menjadi saksi. dan masih berbicara dalam masalah pernikahan, menurut kita akad nikah hukumnya sah dengan disaksikan oleh orang fasik.[footnoteRef:8] [8: Syarkhasi, Syam al-Din, Kitab al-Mabsuthat, (Bairut: Dar al-Ma`rifah, t.t), hlm. 31]

Sedangkan dalam kitab al-Binayah fi Syarh al-Hidayah di jelaskan pula tentang masalah saksi: Pernikahan orang Islam hukumnya tidak sah tanpa dihadiri oleh dua orang saksi yang merdeka, berakal, baligh, islam, dua laki-laki atau satu laki-laki dan dua orang perempuan, baik saksi tersebut adil atau tidak.

B. Saksi nikah menurut pendapat Madzhab MalikiSebagaimana madzhab yang lain, madzhab maliki yang didirikan oleh Imam Malik juga mempunya pendapat tersendiri tentang saksi nikah, adapun pendapat tersebut bisa dilihat dalam kitab Bidayah al-Mujtahid: : .Abu Tsur dan jama`ah berkata, saksi itu tidak termasuk syarat dari syarat sahnya akad nikah dan juga tidak termasuk syarat sempurnanya akad nikah, hal itu di lakukan oleh al-Hasan bin Ali, diriwayatkan darinya bahwa sesungguhnya nabi menikah tanpa di saksikan oleh saksi, tetapi kemudian mengumumkan pernikahan tersebut.[footnoteRef:9] [9: Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusydi al-Qurtubi, Bidayah al-Mujtahid, (Lebanon Bairut: Dar al-Ma`rifah, 140 H), hlm. 18]

Sedangkan dalam kitab al-Mabsuthat dikatakan, Malik dan ibn Abi Laily dan Ustman al-Baty Rahimahullah berkata, saksi tidak termasuk syarat dalam akad nikah, sesungguhnya syarat nikah adalah mengumumkan. Dan ketika akad nikah tersebut diumumkan walau dihadapan anak-anak kecil dan orang-orang gila, maka pernikahan hukumnya sah.[footnoteRef:10] [10: Syarkhasi, Syam al-Din, Kitab al-Mabsuthat, (Bairut: Dar al-Ma`rifah, t.t), hlm. 30-31]

Begitu pula di jelaskan dalam kitab al-Kafi fi al-Fiqh Ahli Madinah al-Maliki, Pernikahan hukumnya sah tanpa dihadiri dan disaksikan oleh saksi, hal itu menurut Malik sebagaimana sahnya akad jual beli tanpa adanya saksi, dengan catatan ketika antara laki-laki yang perempuan yang akad sama-sama ridha. Dan menurut Malik yang termasuk fardhu nikah adalah mengumumkan pernikahan tersebut, tujuannya adalah untuk menjaga nasab.[footnoteRef:11] [11: Qurtuby, Abi Umar Yusuf ibn Abdullah ibn Muhammad ibn Abd al-Birri al-Namri, al-Kafi fi Fiqh Ahl Madinah al-Maliki, (Bairut Lebanon: Dar al-Kitab al-Alamiyah, t.t), hlm. 229]

Sedangkan dalam kitab al-Tafrig Malik juga berpendapat sebagai berikut, Malik rahimahullah berkata, akad nikah hukumnya boleh tanpa disaksikan oleh saksi, tetapi di sunnahkan untuk mengumumkannya.[footnoteRef:12] [12: Bashri, Abi Qasim Ubaidillah bin al-Hasan bin al-Hasan bin al-Jallab, al-Tafrig, Juz 2, (Bairut: Dar al-`Arab al-Islami,378 H), hlm. 33]

C. Saksi nikah menurut pendapat Madzhab Syafi`iUntuk selanjutnya, adalah pendapat Imam Syafi`i tentang saksi nikah, sebagaimana imam-imam yang lain, al-Syafi`i dan para pengikutnya juga punya pendapat tersendiri, salah satunya yang di jelaskan dalam kitab al-Muhaddab sebagai berikut: Pernikahan hukumnya tidak sah kecuali disaksikan oleh dua orang saksi. Dan pernikahan hukumnya tidak sah tanpa disaksikan oleh dua saksi laki-laki. Maka ketika akad nikah disaksikan oleh satu laki-laki dan dua orang perempuan hukum pernikahan tidak sah. Sebagaimana hadits `Aisyah radhiyallahu anha pernikahan hukumnya tidak sah tanpa disaksikan oleh dua saksi yang adil sebagaimana diriwayatkan oleh ibnu Mas`ud, sesungguhnya nabi bersabda: tidak sah suatu pernikahan kecuali adanya wali dan dua orang saksi yang adil.[footnoteRef:13] [13: Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Syaerazi Abu Ishaq, al-Muhaddab fi al-Fiqh al-Imam al-Syafi`i, Juz 2, (Bairut: Dar al-Ma`rifah, 160), hlm. 40 ]

Dan dijelaskan pula dalam kitab al-Umm,

Akad nikah harus disaksikan oleh oleh dua saksi yang adil, ketika akad nikah kurang dari satu (hanya disaksikan oleh satu saksi) maka pernikahan hukumnya rusak (tidak sah) dan ketika pernikahan disaksikan oleh orang yang tidak sah kesaksiannya walaupun orang banyak dari orang Islam atau disaksikan hamba-hamba orang Islam atau disaksikan ahli dzimmi, maka pernikahan hukumnya tidak sah sehingga akan sah ketika di saksikan oleh dua orang saksi yang adil.[footnoteRef:14] [14: Syafi`i, al-Imam Muhammad bin Idris al-, al-Umm, juz 6, (Bairut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 604 H), hlm. 57-59]

Selanjutnya dijelaskan pula dalam kitab al-Bajuri,

Akad nikah hukumnya tidak sah kecuali dihadiri oleh dua orang saksi yang adil. Mushannif berkata dari syarat wali dan dua orang saksi dalam perkataannya, seorang wali dan dua orang saksi dibutuhkan adanya enam syarat, pertama Islam, kedua baligh, ketiga berakal, keempat merdeka, kelima laki-laki dan keenam adil.[footnoteRef:15] [15: Ghazzi, Ibn Qasim, Hasiyah al-Syaikh Ibrahim al-Baejuri, Juz 2, (Bairut: Lebanon, t.t), hlm. 190-195]

Di dalam kitab Minhaj al-Thalibin juga menyinggung tentang masalah saksi, Pernikahan hukumnya tidak sah kecuali dihadiri oleh dua orang saksi, adapun kriteria seorang saksi harus merdeka, laki-laki, adil, mendengar, dan melihat.[footnoteRef:16] [16: Nawawi, Muhyi al-Din Abi Zakariya Yahya bin Syaraf al-, Minhaj al-Thalibin wa `Umdah al-Muftin, (Bairut: Dar al-Minhaj, 676 H), hlm. 375]

Sedangkan dalam kitab Raudhah al-Thalibin di jelaskan, Rukun nikah yang ketiga adalah persaksian, maka pernikahan hukumnya tidak sah kecuali dihadiri oleh dua orang laki-laki yang muslim, mukallaf, merdeka, adil, mendengar, melihat, mampu mengetahui lisan (perkataan) dua orang yang sedang berakad, diucapkan dalam suatu riwayat, pernikahan hukumnya sah disaksikan oleh orang buta dengan catatan orang buta tersebut benar-benar kenal dengan suara kedua orang yang berakad.[footnoteRef:17] [17: Dimsyiqi, Imam Abi Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi al-, Raudloh al-Thalibin, Juz 5, (Bairut: Dar `Alim al-Kutub, 676 H), hlm. 391-392]

Adapun menurut kitab Mughni al-Muhtaj, ( )Pernikahan hukumnya tidak sah kecuali dihadiri oleh dua orang saksi karena adanya hadits dari ibnu Hibban didalam kitab shahihnya dari `Aisyah, tidak ada pernikahan kecuali adanya wali dan dua orang saksi yang adil, ketika ada pernikahan tanpa ada hal tersebut maka pernikahan hukumnya batal.[footnoteRef:18] [18: Syarbiny, Syams al-Din Muhammad bin al-Khatib, Mughni al-Muhtaj, (Bairut Lebanon: Dar al-Ma`rifah, 676 H), hlm. 194-195]

Selanjutnya dijelaskan pula dalam kitab al-Bayan. Pernikahan hukumnya tidak sah kecuali dihadiri oleh dua saksi laki-laki yang adil, hal itu diriwayatkan dari Umar ibn Khattab dan ali bin Abi Thalib dan Ibn Abbas dan Hasan al-Bhasri dan ibn Musayyab dan Nakha`I dan Sya`yi dan Auza`I dan Ahmad.[footnoteRef:19] [19: Yamani, Abi al-Husaini Yahya Abi al-khair ibn Salim al-Imrani al-Syafi`i, al-Bayan fi Madzhab al-Imam al-Syafi`i, juz 7, (Bairut: Dar al-Minhaj, 558 H), hlm. 221-226]

D. Saksi nikah menurut pendapat Madzhab HanbaliImam Ahmad Ibn Hanbal di dalam kitab al-Kafi berpendapat tentang bagaimana hukum status saksi dalam akad nikah, menurut pandangan dia bahwa dalam akad nikah tidak disyaratkan adanya saksi. Pernikahan yang tanpa di hadiri oleh saksi hukumnya tetap sah. Karena Nabi Muhammad pernah memerdekakan Shafiyah dan menikahkannya tanpa seorang saksi. Dan juga menurut Ahmad sesungguhnya pernikahan adalah akad mu`awadhah (serah terima) maka tidak syaratkan adanya persaksian sebagaimana dalam akad jual-beli. : Dari Ahmad, sesungguhnya persaksian itu tidak termasuk syarat sahnya pernikahan, karena Nabi Muhammad Saw pernah memerdekakan Shafiyah dan mengawininya tanpa menghadirkan saksi. Dan Karena sesungguhnya pernikahan adalah akad mu`awadhah (serah terima), maka tidak distaratkan adanya persaksian sebagaimana di dalam akad jual beli.[footnoteRef:20] [20: Qudamah, Muhammad `Abdullah Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn, al-Kafii, juz 4. (Bairut: Hjr, 620 H), hlm. 238]

Kejadian itu di bulan Muharram tahun ke tujuh Selepas perang khaybar setelah pembagian ghanimah, shahabat Diyyah mendapat bagian yang diantranya ada wanita cantik, kemudian Rasulullah Saw menukarnya dengan 7 (ada yg mengartikan "dibeli" sesuai bahasa aslinya 7 qurus), kemudian wanita cantik itu (selanjtnya dikenal sebagai Siti Shafiyah) oleh Rasulullah Saw dimerdekakan oleh Nabi dan diserahkan kepada Ummu Sulaym untuk "diurus" (di sini terkait dengan konsep istibro sebagi padanan `iddah bagi amat) di perkemahan sampai selesai masa istibra, yaitu satu kali haid. kemudian diantara para shahabat ada yang tidak tahu posisi Shafiyah saat itu, maka salah satunya menjawab, kita lihat saja, jika Shafiyah dihijab maka berarti ia sudah jadi istrinya Nabi, namun bila tidak maka ia hanya sebagai budak. ternyata shafiyah itu dihijab, dan itu menandakan ia telah menjadi isterinya, dari kondisi tersebut, sebagian ulama menafsirkan bahwa Rasulullah menikahi Shafiyah tanpa wali dan tanpa saksi. : . : { : } . : Ibn Mundzir berkata, sesungguhnya nabi Muhammad Saw telah memerdekakan Shafiyya binti Huyayyi kemudian menikahinya tanpa disaksikan oleh saksi, Anas bin Malik berkata, Rasulullah membeli seorang wanita jariyah dengan harga tujuh qurus, kemudian umat manusia waktu itu berkata, kita tidak tahu apakah rasulullah akan menikahinya atau menjadikan ummu walad? Maka ketika melihat Safiyyah ternyata dihijab, dengan kejadian itu berarti sesungguhnya Rasulullah telah menikahinya.[footnoteRef:21] [21: Qudamah, Muhammad `Abdullah Ibn Ahmad Ibn Muhammad ibn, al-Mughni, juz 7, Riyad, `Alamu al-Kutub, 541), hlm. 7]

Pendapat Imam Ahmad Ibn Hanbal bahwa saksi tidak termasuk syarat dalam akad nikah juga terdapat di dalam kitab al-Mughni, . . Dari Ahmad, sesungguhnya akad nikah itu hukumnya sah tanpa menghadirkan saksi. Hal itu juga dilakukan oleh Ibn Umar, Hasan bin `Ali, Ibn Zubair, Salim, Hamzah. Dan berkata Abdullah bin Idris, Abdul al-Rahman bin Mahdi, Yazid bin Harun, `Anbari, Abu Tsaur, Ibn Mundir, sesuai dengan perkataan al-Zuhri dan Malik ketika pernikahan tersebut sudah di umumkan.[footnoteRef:22] [22: Ibid.]

Dengan penjelasan di atas berarti sudah jelas bahwa pandangan Ahmad Ibn Hanbal tentang status saksi dalam akad nikah adalah bukan termasuk syarat sahnya pernikahan, pernikahan tanpa dihadiri oleh saksi hukumnya sah. Pernyataan Ahmad Ibn Hanbal yang lainnya bahwa tidak ada satupun ketetapan dalam al-Qur`an dan dari Rasulullah Saw yang mewajibkan adanya saksi dalam akad pernikahan. Jika itu diwajibkan maka hal tersebut harus bersumber dari Nabi Saw. Padahal dalam kenyataannya nabi sendiri pernah menikahkan seseorang tanpa menghadirkan saksi untuk menyaksikan akad nikah tersebut, Karena sesuatu yang wajib adanya termasuk adanya saksi dalam akad pernikahan, hukumnya wajib untuk dipublikasikan. Kedudukan hukum tentang adanya persyaratan saksi dalam akad pernikahan di dalam Islam adalah lemah (dha`if), sebab tidak ada dasar hukum penetapannya di dalam sumber hukum Islam, baik dalam al-Qur`an ataupun Sunnah. Sedangkan hadits tentang masalah saksi nikah yang diriwayatkan oleh al-Daruqutni, { : } Tidak dipandang sah pernikahan tanpa wali dan dua orang saksi laki-laki yang adil.[footnoteRef:23] [23: Qudamah, Muhammad `Abdullah Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn, al-Kafii, juz 4. (Bairut: Hjr, 620 H), hlm. 21]

Menyikapi hadits diatas, Imam Ahmad sepakat dengan pendapat Ibnu Mundir di dalam kitab al-Mugni bahwa sesungguhnya tidak ada hadits yang menjelaskan tentang disyaratkannya saksi dalam akad nikah. : Ibnu Mundir berkata: tidak ada ketetapan hadits yang menjelaskan tentang disyaratkannya saksi dalam akad nikah.[footnoteRef:24] [24: Qudamah, Muhammad `Abdullah Ibn Ahmad Ibn Muhammad ibn, al-Mughni, juz 7, Riyad, `Alamu al-Kutub, 541), hlm. 7]

Tentang ketidak sahihannya hadits yang mensyaratkan adanya saksi dalam akad nikah juga dipertegas oleh Ibn Abdul al-Birri, menurut beliau bahwa hadits di atas yang diriwayatkan oleh al-Daru Qutni adalah hadits yang lemah. : { : Ibnu Abd al- Birri berkata: diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil dari hadits yang diriwayatkan di atas dari Ibn Abbas dan Abi Huraerah dan Ibn Umar adalah termasuk hadits dhoif.[footnoteRef:25] [25: Ibid.]

Begitu pula Ibn Mundzir berpendapat, dengan melihat peristiwa bahwa Nabi pernah memerdekakan Shafiyah dan mengawinkannya tanpa menghadirkan saksi, maka menurutnya bahwa status saksi dalam akad pernikahan bukanlah suatu kewajiwan yang harus di jalankan. : Ibnu Mundir berkata: sesungguhnya Nabi memerdekakan Shafiyah kemudian mengawininya tanpa ada saksi.[footnoteRef:26] [26: Ibid.]

Kenyataannya, persyaratan mahar dalam pernikahan lebih utama dari pada adanya saksi. Akan tetapi mengapa mereka tidak mengangkat adanya mahar menjadi permasalahan yang penting dalam akad pernikahan? Seharusnya adanya mahar itu dijelaskan karena para sahabat pun tidak akan mengabaikan sesuatu yang harus diketahui oleh semua orang muslim. Ada sebuah kekeliruan berpikir dalam masyarakat yang suka mempermasalahkan sesuatu yang bukan merupakan masalah, tetapi suka menganggap penting sesuatu yang sebenarnya bukan merupakan kewajiban. Contohnya adalah masalah mahar dan saksi. Karena Anas bin Malik telah berkata: : { : } Anas bin Malik r.a berkata: Rasulullah Saw pernah membeli hamba sahaya dengan tujuh qurus, orang-orang berkata: kami tidak tau apakah Rasulullah menikahinya atau menjadikannya pengasuh? Ketika beliau hendak membuka hijabnya, maka mereka mengetahui bahwa beliau telah menikahinya.[footnoteRef:27] [27: Ibid.]

Dengan melihat hadits diatas, Ahmad berpendapat, pernikahan tanpa adanya saksi itu sah karena setiap akad pernikahan cukuplah Allah sebagai saksi. Oleh karena itu, orang orang yang menetapkan persyaratan adanya saksi dalam akad penikahan merasa kebingungan karena mereka telah merusak tatanan pokok hukum dan mereka juga tidak mempunyai pernyataan yang berdasar pada hukum syar`i. yang lebih mengherankan lagi yaitu bahwa sesungguhnya Allah memerintahkan persaksian itu adalah dalam rujuk bukan dalam pernikahan. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur`an surat al-Thalaq ayat 2 menjelaskan: Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar.[footnoteRef:28] [28: Dkk, Soenarjo, al-Qur`an Terjamah, (Semarang: Toha Putra, 1971), hlm. 945]

Akan tetapi mereka memerintahkan persaksian dalam pernikahan dan kebanyakan tidak mewajibkan persaksian dalam rujuk. Pendapat Yazid bin Harun yang menemukan kerancauan berpikir ahli ra`yi, yaitu Allah memerintahkan persaksian dalam jual-beli tidak dalam pernikahan, : Yazid bin Harun berkata: Allah Swt memerintahkan persaksian didalam jual-beli tidak didalam pernikahan, tetapi para ahli ra`yi justru mensyaratkan persaksian didalam pernikahan.[footnoteRef:29] [29: Qudamah, Muhammad `Abdullah Ibn Ahmad Ibn Muhammad ibn, al-Mughni, juz 7, Riyad, `Alamu al-Kutub, 541), hlm. 7]

E. Status saksi menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974Adapun hasil akhir Undang-Undang Perkawinan yang disahkan DPR terdiri dari 14 (empat belas) bab yang dibagi dalam 67 (enam puluh tujuh) pasal.[footnoteRef:30] Sedangkan rancangan semula yang diajukan pemerintah ke DPR yaitu terdiri dari 73 pasal. Setelah melalui perdebatan yang cukup sengit hingga timbul ketegangan-ketegangan di dalam masyarakat, akhirnya pada tanggal 22 Desember 1973 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dapat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perkawinan Tahun 1973 (untuk selanjutnya ditulis RUUP 1973) menjadi Undang-Undang, dan pada tanggal 02 Januari 1974 pemerintah telah mengundangkannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 dengan nama Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dengan berlakunya Undang-Undang ini maka berakhirlah keanekaragaman hukum perkawinan yang dulu pernah berlaku bagi berbagai golongan warga Negara dan berbagai daerah. [30: Yaitu undang-undang perkawinan yang berlaku sampai saat ini yang diundangkan pada tanggal 02 Januari 1974. Dan penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara No. 3019. C,S,T, Cansil, Pengantar, hlm. 222.]

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 26 ayat 1 berbunyi: Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.F. Status saksi menurut Kompilasi Hukum IslamDijelaskan dalam kompilasi hukum Islam Bagian ke empat tentang saksi nikah, Pasal dua puluh empat ayat satu. saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. Dan ayat dua setiap perkawinan harus di saksikan oleh dua orang saksi. Pasal dua puluh lima. Yang dapat di tunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli. Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah di langsungkan[footnoteRef:31] [31: Abdurrahman bin Muhammad bin Audli al-Jaziri, juz I, al-Fiqh `Ala Madzahib al-Arba`ah, (Baerut: Dar al-Kitab, 2005), hlm.119]

KESIMPULANMenurut Madzhab Hanafi, saksi merupakan rukun dalam akad nikah, tetapi menurutnya untuk menjadi saksi dalam pernikahan tidak disyaratkan harus orang yang adil, menurutnya pernikahan yang disaksikan oleh dua orang laki-laki sekalipun fasik atau dengan seorang laki-laki dan dua orang perempuan hukumnya adalah sah.Madzhab Maliki berpendapat bahwa saksi bukan merupakan rukun dalam akad pernikahan, sesungguhnya yang menjadi syarat adalah pemberitahuan, sehingga pernikahan tersebut walau hanya dihadiri oleh anak-anak dan orang gila sekalipun, maka pernikahan tersebut adalah sah.Madzhab Syafi`i berpendapat bahwa saksi merupakan rukun dalam akad nikah. Jika pernikahan di saksikan oleh orang yang tidak boleh kesaksiannya, walaupun mereka itu banyak, maka pernikahan tersebut tidak sah, sehingga pernikahan tersebut diakadkan di hadapan dua orang saksi laki-laki yang adil.Madzhab Hanbali berpendapat, saksi tidak termasuk rukun nikah. Pernikahan yang tanpa di hadiri oleh saksi hukumnya tetap sah. Karena Nabi Muhammad SAW pernah memerdekakan Shafiyah dan menikahinya tanpa disaksikan seorang saksi.Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada pasal 26 ayat 1 berbunyi: Perkawinan yang dilangsungkan dimuka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang, wali-nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus keatas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.Sedangkan saksi dalam Kompilasi hukum Islam sebagai berikut: Bagian ke empat tentang saksi nikah, Pasal dua puluh empat ayat satu. saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah. Dan ayat dua setiap perkawinan harus di saksikan oleh dua orang saksi. Pasal dua puluh lima. Yang dapat di tunjuk menjadi saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli. Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah di langsungkan.

DAFTAR PUSTAKAAbu Zahra, Muhammad, Tarikh al-Madzahib fi Tarikh al-Madzahib al-Fiqhiyah, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1958).Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Jakarta: CV Akademika Pressindo, 2007).Abd al-Rahman bin Muhammad Balw, Bughyah al-Mustarsyidn (Surabaya: al-Hidyah, t.t.).Abdurrahman bin Muhammad bin Audli al-Jaziri,I, al-Fiqh `Ala Madzahib al-Arba`ah, (Baerut: Dar al-Kitab, 2005).Amak FZ. Proses Undang-Undang Perkawinan,. (Bandung: al Ma'arif, 1976).Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: (Studi Kritis perkembangan Hukum Islam dari Fiqh, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sampai KHI), (Jakarta: Kencana, 2004).Arifin, Bustanul, Pemahaman Hukum Islam dalam Konteks Perundang-Undangan, wahyu, No. 108 Th. VII Mei 1985.Abi Bakr ibn Ali ibn Muhammad al-Haddadi al-Yumna, Jauharah al-Nayyirah, juz 3, (Pakistan: Maktabah Haqqaniyyah, 800 H).Ahmad Ibn Ahmad ibn Salamah al-Qalyubi, al-Qalyubi, juz 3, (Bairut: Mustafa al-Ba`I, 957 H).Ali ibn Khalaf al-Maliki al-Misri, Kifayah al-Thalab al-Rabbani, juz 2, (Bairut: Maktabah al-Khanaji, 1987). Al-Imam al-Syafi`i, al-Umm, (Mathba`ah al- Amiriyah Kubra, 1321, jilid 1, t.th).Abdurrahman bin Muhammad bin Audli al-Jaziri, juz I, al-Fiqh `Ala Madzahib al-Arba`ah, (Baerut: Dar al-Kitab, 2005).Abdullah ibn Mahmud ibn Maudud al-Mushalli al-Hunaeni, al-Ikhtiyar li al-Ta`lil al-Mukhtar,juz 1,(Bairut Lebanon: Dar al-Kutub al-Alamiyah,t.t).Abu al-Walid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad, Bidayah al-Mujtahid wa al-Nihayah al-Muqtashid.Juz 2, (Mesir: Dar al-Salam, 1416).Abdullah Mustafa Al Maraghi, Fath al-Mubin fi Tabaqat al Ushuliyyin, Terj. Husein Muhammad, Pakar-Pakar Fiqh Sepanjang Sejarah, Yogyakarta: LKPSM, 2001.Abi Zakariyya Muhyiddin ibn Syarf al-Nawawi, al-Majmu` Syarh al-Muhadzab, juz 4( Jiddah: Mamlakah al-`Arabiyyah al-Su`udiyyah, Maktabah al-Irsyad, t.ht)Bashri, Abi Qasim Ubaidillah bin al-Hasan bin al-Hasan bin al-Jallab, al-Tafrig, Juz 2, (Bairut: Dar al-`Arab al-Islami,378 H).Basran H. Masrani, Kompilasi Hukum Islam Mimbar Ulama, No. 105. Th. X, Mei 1986Dimsyiqi, Imam Abi Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi al-, Raudloh al-Thalibin, Juz 5, (Bairut: Dar `Alim al-Kutub, 676 H).Ghazzi, Ibn Qasim, Hasiyah al-Syaikh Ibrahim al-Baejuri, Juz 2, (Bairut: Lebanon, t.t).Ibn Qudamah, al-kafi fi al-Fiqhi Ahmad Ibn Hanbal, juz VI, (Bairut, t, p. t,t,).Ibnu Rusyd, II, Bidayah al- Mujtahid, (Jakarta: Pustaka Amani, 1989).Ibn Qudamah, al-Kafii fi al-fiqh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, juz 4. (Bairut: Maktaba al-Islami. 541).Ibnu Rusyd, II, penerjamah Imam Ghazali, Ahmad Zaidun, Bidayah al-Mujtahid, (Jakarta, Pustaka Amani, 1989).Ibn Qudamah, al-Kafii fi al-Fiqh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, juz 3. (Bairut: Maktabah al-Islami. t.t).Ibrahim bin Ali bin Yusuf al-Syaerazi Abu Ishaq, al-Muhaddab fi al-Fiqh al-Imam al-Syafi`i, Juz 2, (Bairut: Dar al-Ma`rifah, 160).Muhammad Bultaji, Manhaj al-Tasyri` al-Islami fi al-Qarni al-Tsani, (Arab Saudi: Universitas Islam bin Saud, 1977).Muhammad Ibn Idris al-Syafi`i Abu `Abdillah, al-Umm , 5, (Bairut: Dar al-Ma`rifah, 1393).Muhammad `Abdullah Ibn Ahmad Ibn Muhammad ibn Qudamah, al-Mughni, juz 7, ( Riyad: `Alamu al-Kutub, 541).M.Abu Zahrah, Muhad}arat fi Tarikh fi al-Madhahib al-Fiqhiyyah (Beirut: Dirasat al-Islamiyyah,tt). Maududi, Abdullah bin Muhammad bin, al-Ikhtiyar li al-Ta`lil al-Mukhtar, juz 3-5, (Araby: Dar al-Fikr, t.t,).Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusydi al-Qurtubi, Bidayah al-Mujtahid, (Lebanon Bairut: Dar al-Ma`rifah, 140 H).Muhammad Abdul Chalim, Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam Sebagai Pranata Hukum Nasional, (Pesantren: 2/Vol. VII/ 1990).Nawawi, Muhyi al-Din Abi Zakariya Yahya bin Syaraf al-, Minhaj al-Thalibin wa `Umdah al-Muftin, (Bairut: Dar al-Minhaj, 676 H).Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia: Penggagas dan Gagasannya, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997).Qudamah, Muhammad `Abdullah Ibn Ahmad Ibn Muhammad Ibn, al-Kafii, juz 4. (Bairut: Hjr, 620H).Qudamah, Muhammad `Abdullah Ibn Ahmad Ibn Muhammad ibn, al-Mughni, juz 7,( Riyad: `Alam al-Kutub, 541H).Qurtuby, Abi Umar Yusuf ibn Abdullah ibn Muhammad ibn Abd al-Birri al-Namri, al-Kafi fi Fiqh Ahl Madinah al-Maliki, (Bairut Lebanon: Dar al-Kitab al-Alamiyah, t.t).Syafi`i, al-Imam Muhammad bin Idris al-, al-Umm, juz 6, (Bairut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 604 H).Syarbiny, Syams al-Din Muhammad bin al-Khatib, Mughni al-Muhtaj, (Bairut Lebanon: Dar al-Ma`rifah, 676 H).Yumna, Abi Bakr ibn Ali ibn Muhammad al-Haddadi al-Jauharah al-Nayyirah, juz 2 (Pakistan: Maktabah Haqqaniyyah, 800 H).Yamani, Abi al-Husaini Yahya Abi al-khair ibn Salim al-Imrani al-Syafi`i, al-Bayan fi Madzhab al-Imam al-Syafi`i, juz 7, (Bairut: Dar al-Minhaj, 558 H).

1

2