jurnal mitra pendidikan (jmp online) vol 2, no. 8, 789-805

17
Rohayati 789 Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805 SIMULASI KELAINAN HIPERMETROPIA YANG BERHUBUNGAN DENGAN KINERJA AKADEMIK PADA SISWA SEKOLAH DASAR SWASTA JEMBAR BANDUNG TAHUN 2018 Rohayati SDIT Nur Al Rahman Kota Cimahi Jawa Barat INFORMASI ARTIKEL ABSTRAK URL : http://e-jurnalmitrapendidikan.com JMP Online Vol 2, No. 8, 789-805. © 2018 Kresna BIP. e-ISSN 2550-0481 p-ISSN 2614-7254 Jurnal Mitra Pendidikan (JMP Online) Dikirim : 16 Agustus 2018 Revisi pertama : 20 Agustus 2018 Diterima : 21 Agustus 2018 Tersedia online : 31 Agustus 2018 Kelainan pada penglihatan akan menjadi suatu hambatan bagi seseorang dalam menjalankan aktivitas sehari-hari dan mewujudkan cita-citanya. Diantara kelainan-kelainan pada mata, hipermetropia merupakan kelainan refraksi terbanyak urutan ke-2 setelah kelainan refraksi myopia (rabun jauh) yang dating berobat ke Poliklinik Mata. Pada anak-anak yang memiliki kelainan refraksi ditemukan 25% mereka tidak mampu menunjukan performa yang maksimal dalam bidang akademik dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengalami kelainan refraksi. Tujun dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hasil dari Simulasi Kelainan Hipermetropia yang berhubungan dengan Kinerja Akademik siswa di Sekolah Dasar Jembar Bandung tahun 2018. Desain penelitian yang digunakan adalah Cross Sectional, jenis penelitian yang digunakan adalah deskriftif analitik dengan sampel sebanyak 30 siswa Sekolah Dasar Swasta Jembar Bandung. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ada hubungan Simulasi Hipermetropia dengan Kinerja Akademik (membaca, menulis, dan menggambar) dengan nilai ρ = 0.000 < 0,05. Hipermetropia berat yang dinyatakan tidak bisa dalam kinerja akademik sebanyak 28 responden (93,3%). Kata Kunci : Simulasi Hipermetropia, Kinerja Akademik, Siswa SD Email : [email protected]

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Mitra Pendidikan (JMP Online) Vol 2, No. 8, 789-805

Rohayati

789

Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805

SIMULASI KELAINAN HIPERMETROPIA YANG BERHUBUNGAN

DENGAN KINERJA AKADEMIK PADA SISWA SEKOLAH DASAR SWASTA

JEMBAR BANDUNG TAHUN 2018

Rohayati

SDIT Nur Al Rahman Kota Cimahi Jawa Barat

INFORMASI ARTIKEL ABSTRAK

URL : http://e-jurnalmitrapendidikan.com

JMP Online

Vol 2, No. 8, 789-805.

© 2018 Kresna BIP.

e-ISSN 2550-0481

p-ISSN 2614-7254

Jurnal Mitra Pendidikan (JMP Online)

Dikirim : 16 Agustus 2018 Revisi pertama : 20 Agustus 2018 Diterima : 21 Agustus 2018 Tersedia online : 31 Agustus 2018

Kelainan pada penglihatan akan menjadi suatu

hambatan bagi seseorang dalam menjalankan aktivitas

sehari-hari dan mewujudkan cita-citanya. Diantara

kelainan-kelainan pada mata, hipermetropia merupakan

kelainan refraksi terbanyak urutan ke-2 setelah kelainan

refraksi myopia (rabun jauh) yang dating berobat ke

Poliklinik Mata. Pada anak-anak yang memiliki kelainan

refraksi ditemukan 25% mereka tidak mampu menunjukan

performa yang maksimal dalam bidang akademik

dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengalami

kelainan refraksi. Tujun dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui hasil dari Simulasi Kelainan Hipermetropia

yang berhubungan dengan Kinerja Akademik siswa di

Sekolah Dasar Jembar Bandung tahun 2018. Desain

penelitian yang digunakan adalah Cross Sectional, jenis

penelitian yang digunakan adalah deskriftif analitik

dengan sampel sebanyak 30 siswa Sekolah Dasar Swasta

Jembar Bandung. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa

ada hubungan Simulasi Hipermetropia dengan Kinerja

Akademik (membaca, menulis, dan menggambar) dengan

nilai ρ = 0.000 < 0,05. Hipermetropia berat yang

dinyatakan tidak bisa dalam kinerja akademik sebanyak 28

responden (93,3%).

Kata Kunci : Simulasi Hipermetropia, Kinerja Akademik, Siswa SD

Email : [email protected]

Page 2: Jurnal Mitra Pendidikan (JMP Online) Vol 2, No. 8, 789-805

Rohayati

790

Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kelainan refraksi mata adalah suatu keadaan dimana bayangan tidak dibentuk

tepat diretina, melainkan dibagian atau belakang bintik kuning dan tidak terletak pada

satu titik yang tajam. Kelainan refraksi dikenal dalam beberapa bentuk, yaitu: miopia,

hipermetropia dan astigmatisma (Ilyas, 2017).

Kelainan refraksi memiliki prevalensi cukup tinggi di Indonesia, yaitu sebesar

24,7 dan pada anak-anak usia sekolah dasar sebesar 10% dari 66 juta anak Indonesia,

kelainan refraksi merupakan kelainan kondisi mata yang paling sering terjadi (Saboe,

2009).

Orang-orang yang mengalami kelainan refraksi tidak saja harus menanggung

beban fisik, melainkan mereka juga memiliki konsekuensi sosial dan finansial.

Penglihatan merupakan sesuatu yang secara signifikan memberikan pengaruh dalam

pilihan karir dan aktivitas seseorang. Contohnya saja pada anak-anak yang memiliki

kelainan refraksi di temukan 25% mereka tidak mampu menunjukan performa yang

maksimal dalam bidang akademik dibandingkan dengan anak-anak yang tidak

mengalami kelainan refraksi, selain itu, 60% anak-anak dengan masalah belajar di

laporkan juga mengalami kelainan pada penglihatan nya (Hedge, et al, 2015).

Kelainan Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan

kekuatan pembiasan mata saat sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik

fokusnya terletak di belakang retina. Pada hipermetropia sinar sejajar difokuskan di

belakang makula lutea (Ilyas, 2017).

Masalah penglihatan dapat menyebabkan efek yang tidak diinginkan pada

komprehensi dan kinerja dalam membaca dan menulis, yang menyusun hampir tiga

perempat kegiatan belajar di sekolah. Terdapat banyak studi yang menemukan

hubungan antara gangguan penglihatan dan buruknya kinerja siswa di sekolah.

Penglihatan merupakan bagian besar dari proses belajar, 80% dari apa yang anak-anak

pelajari di dapatkan melalui pemprosesan informasi secara visual. Untuk memastikan

kemampuan anak-anak untuk belajar, penglihatan yang jelas dan nyaman adalah hal

yang penting (Charenton, 2012).

Berdasarkan hasil observasi di SD Jembar Bandung pada hari Senin 26 Maret

2018. Peneliti mengambil 3 sampel untuk mensimulasikan kelainan hipermetropia

dengan ketentuan siswa dan siswi tersebut dalam kondisi tidak ada kelainan refraksi

(Emmetropia) dan harus mencapai visus 6/6. Pada sempel pertama dan kedua ketika di

beri lensa minus dengan skalaringan dan sedang, objek menyatakan bahwa masih bisa

membaca, menulis dan menggambar atau mengenali gambar. Saat diberikan lensa

minus dengan skala ukuran berat siswa menyatakan kesulitan dalam membaca,

menulis dan menggambar. Sedangkan pada sempel ketiga saat diberi lensa dengan

skala ringan objek menyatakan masih bisa membaca, menulis dan menggambar.Ketika

di berikan lensa minus dengan skala ringan dan berat objek menyatakan tidak bisa

membaca, menulis dan menggambar.

Berdasarkan ketiga sampel tersebut 100% terganggu ketika disimulasikan

kelainan hipermetropia berat dan 33% terganggu kegiatan kinerja akademiknya ketika

disimulasikan hipermetropia sedang. Berdasarkan uraian dan data diatas, peneliti

Page 3: Jurnal Mitra Pendidikan (JMP Online) Vol 2, No. 8, 789-805

Rohayati

791

Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805

menarik untuk mensimulasikan kelainan hipermetropia yang berhubungan dengan

kinerja akademik siswa Sekolah Dasar Jembar Bandung tahun 2018.

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas peneliti merumuskan masalah penelitian,

sebagai berikut “Bagaimana hasil hubungan simulasi kelainan hipermetropia yang

berhubungan dengan kinerja akademik pada siswa Sekolah Dasar Swasta Jembar

Bandung tahun 2018?”.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah

untuk untuk mengetahui hubungan simulasi kelainan hipermetropia yang berhubungan

dengan kinerja akademik (membaca, menulis dan menggambar) pada siswa Sekolah

Dasar Jembar Bandung tahun 2018.

KAJIAN PUSTAKA

Hipermetropia

Pada simulasi hipermetropia bayangan jatuh tepat di belakang retina. Objek

yangakan diteliti adalah siswa dan siswi Sekolah Dasar Jembar Bandung jl. Jatinegara

kelas 3, 4 dan 5. Yang akan menjadi objek peneliti siswa dan siswi tersebut dalam

kondisi tidak ada kelainan refraksi (Emmetropia) dan harus mencapai visus 6/6.

Anak dengan usia 5 tahun telah memiliki penglihatan yang berkembang

sempurna. Dengan visus normal bisa mencapai 6/6. Dengan demikian pada siswa yang

memiliki visus 6/6 sehingga dapat diberikan lensa minus dengan ukuran ringan, sedang

dan beratuntuk simulasi hipermetropia. Dimana penglihatan siswa tesebut seolah-

olahmengalami gangguan padakeja dekat yang terganggu.

Sebelum dilakukan simulasi, peneliti melakukan probling lens antara lensa plus

dan minus untuk mengetahui kondisi penglihatan siswa tersebut apakah normal

(Emmetropia) atau tidak. Saat peneliti memberikan lensa minus dengan ukuran ringan,

sedang, dan berat siswadihimbau untuk membaca, menulis dan menggambar apakah

jelas atau buram.

Selanjutnya akan ditinjau oleh peneliti untuk mengidentifikasi apakah tajam

penglihatannya menurun dan berpengaruh terhadap kinerja akademiknya. Jika

mengalami penurunan tajam penglihatan saat dilakukan tes tersebut tentunya akan

mempengaruhi hasil kinerja akademiknya.

Gambar 1. Kondisi Mata Saat Mengalami Kelainan Hipermetropia

Menurut Ilyas (2017), Kelainan Hipermetropia atau rabun dekat merupakan

keadaan gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup

Page 4: Jurnal Mitra Pendidikan (JMP Online) Vol 2, No. 8, 789-805

Rohayati

792

Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805

dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina. Pada hipermetropia sinar

sejajar difokuskan di belakang makula lutea.

Penyebab Hipermetropia

Sumbu utama bola mata yang terlalu pendek. Penyebab hipermetropia yang

pertama adalah sumbu utama bola mata yang terlalu pendek biasanya terjadi karena

mikropthalmia, retinitis sentralis, atau ablasio retina (lapiran retina lepas lari ke depan

titik fokus cahaya tidak tepat dibiaskan) ini salah satu penyebab hipermetropia.

Daya pembiasan bola mata yang terlalu lemah. Penyebab hipermetropia yang

kedua adalah terjadi gangguan-gangguan refraksi pada kornea, aqueus humor, lensa

dan vitreus humor. Gangguan yang dapat menyebabkan hipermetropia adalah

perubahan pada komposisi kornea dan lensa sehingga kekuatan refraksi menurun dan

perubahan pada komposisi aqueus humor dan vitreus humor. Misal pada penderita

Diabetes Militus terjadi hipermetropiajika kadar gula darah dibawah normal. Ini

menjadi salah satu penyebab hipermetropia.

Kelengkungan kornea dan lensa tidak kuat.penyebab hipermetropia yang ketiga

adalah kelengkungan kornea dan lensa tidak kuat. Kelengkungan kornea ataupun lensa

berkurang sehingga bayangan difokuskan dibelakang retina. Ini menjadi salah satu

penyebab hipermetropia.

Perubahan posisi lensa penyebab hipermetropia yang berikutnya adalah

perubahan posisi lensa. Dalam hal ini, posisi lensa menjadi lebih posterior. Ini salah

satu penyebab hipermetropia. (https://oprasi-mata.com/penyebab-hipermetropia-apa-

saja/kbbi).

Terdapat 3 bentuk hipermetropia:

1. Hipermetropia kongenital, diakibatkan bola mata pendek atau kecil.

2. Hipermetropia simple, biasanya merupakan lanjutan hipermetropia anak yang tidak

berkurang pada perkembangan nya jarang melebihi >5 dioptri.

3. Hipermetropia didapat, umum didapat setelah bedah pengeluaran lensa pada katarak

(afakia) (Ilyas, 2017).

Pengelompokan hipermetropia secara klinis:

a. Simple atau developmental hypemetropia, merupakan hipermetropia yang paling

sering, yang berhubungan dengan variasi proses pertumbuhan normal dari bola

mata.

b. Pathological hypemetropia, dihasilkan dari kondisi tidak normal dari mata, bisa

kongenital atau didapat (Khurana AK et al, 2007; Lang GK, 2000).

Pengelompokan hipermetropia berdasarkan penyebabnya:

1. Hipermetropia aksial, merupakan bentuk hipermetropia yang paling sering

dijumpai. Pada hipermetropia ini diameter anteroposterior bola mata lebih pendek

dari normal sedangkan total kekuatan refraksi mata normal

2. Hipermetropia refraktif, merupakan hipermetropia yang di sebabkan oleh

penurunan kekuatan refraksi mata.

Jenis hipermetropia ini dibedakan lagi atas:

a. Curvatural hypemetropia, hipermetropia yang disebabkan oleh penurunan kekuatan

refraksi mata akibat kelengkungan kornea, lensa atau keduanya yang lebih tipis dari

normal.

Page 5: Jurnal Mitra Pendidikan (JMP Online) Vol 2, No. 8, 789-805

Rohayati

793

Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805

b. Index hypemetropia, disebabkan penurunan indeks refraksi lensa mata pada usia

tua.

c. Positional hypemetropia, disebabkan pergerakan lensa mata ke posterior (Khurana

AK et al,2007).

Menurut Ilyas, 2017 Pengelompokan hipermetropia berdasarkan kekuatan lensa

koreksi yang dibedakan (derajat) :

1. Hipermetropia ringan: Spheris +0.25 D s/d Spheris +3.00 D

2. Hipermetropia sedang: Spheris +3.25 D s/d Spheris +6.00 D

3. Hipermetropia berat : > +6.00 D

Hipermetropia dikenal dalam bentuk:

a. Hipermetropia manifes: Hipermetropia manifes di dapatkan tanpa siklopegik, yang

dapat dikoresi dengan kacamata positif maksimal yang memberikan tajam

penglihatan normal. Hipermetropia ini terdiri atas hipermetropia absolut di tambah

dengan hipermetropia fakultatif .

b. Hipermetropia manifes absolut: Kelainan refraksi tidak di imbangi dengan

akomodasi dan memerlukan kacamata positif untuk melihat jauh.

c. Hipermetropia manifes fakultatif: Kelainan hipermetropia dapat di imbangi dengan

akomodasi ataupun dengan kacamata positif. Pasien yang hanya mempunyai

hipermetropia fakultatif akan melihat normal tanpa kacamata, bila di berikan

kacamata positif memberikan penglihatan normal maka otot akomodasinya akan

istirahat.

d. Hipermetropia laten: Dimana kelainan hipermetropia tanpa sikloplegia (atau dengan

obat yang melemahkan akomodasi) diimbangi seluruhnya dengan akomodasi.

Hipermetropia laten sehari-hari diatasi pasien dengan akomodasi terus-menerus.

Hipermetropia hanya dapat diukur bila diberikan siklopegia. Makin muda makin

besar komponen hipermetropia laten seseorang. Makin tua seseorang akan terjadi

kelemahan akomodasi sehingga hipermetropia laten menjadi hipermetropia

fakultatif dan kemudian akan menjadi hipermetropia absolut.

e. Hipermetropia total: Hipermetropia laten dan manifes yang ukurannya di dapatkan

sesudah di berikan sikloplegia (Ilyas, 2017).

Gejala Hipermetropia

Gejala yang ditemukan pada hipermetropia adalah penglihatan dekat dan jauh

kabur, sakit kepala, silau dan kadang rasa juling atau lihat ganda. Pasien hipermetropia

sering disebut sebagai pasien rabun dekat. Pasien dengan hipermetropia apapun

penyebabnya akan mengeluh matanya lelah dan sakit karna terus-menerus harus

berakomodasi untuk melihat atau memfokuskan bayangan yang terletak dibelakang

makula agar terletak didaerah macula lutea. Keadaan ini disebut astenopia akomodatif.

Akibat terus menerus berakomodasi, maka bola mata bersama-sama melakukan

konvergensi dan mata akan sering terlihat mempunyai kedudukan esotropia atau juling

kedalam (Ilyas, 2015).

Page 6: Jurnal Mitra Pendidikan (JMP Online) Vol 2, No. 8, 789-805

Rohayati

794

Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805

Faktor Resiko

Resiko mengembangkan klinis yang signifikan hipermetropia fisiologis

ditentukan oleh kombinasi faktor herediter (keturunan) dan perbedaan biologis. Faktor

resiko meliputi :

1. Panjang aksial mata terlalu pendek

2. Kelengkungan kornea terlalu datar

3. Ada atau tidak adanya gejala (hyperopic signifikan). (American Optometric

Assosiation, 2017).

Pengobatan

Mata dengan hipermetropia akan memerlukan lensa cembung untuk

mematahkan sinar lebih kuat kedalam mata. Koreksi hipermetropia adalah diberikan

koreksi lensa positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal.

Hipermetropia sebaiknya diberikan kacamata lensa positif terbesar yang masih

memberikan tajam penglihatan maksimal (Ilyas, 2017).

Diberikan koreksi hipermetropia manifest dimana tanpa sikloplegia didapatkan

ukuran lensa positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal (6/6). Bila

terdapat juling kedalam atau esotropia diberikan kacamata koreksi hipermetropia

total.Bila terdapat tanda atau bakat juling keluar (eksotopia) maka diberikan kacamata

positif kurang.

Pada pasien dengan hipermetropia sebaiknya diberikan kacamata sferis positif

terkuat atau lensa positif terbesar yang masih memberikan tajam penglihatan

maksimal. Bila pasien dengan S+3.00 ataupun dengan S+3.25 memberikan ketajaman

penglihatan 6/6, maka diberikan kacamata S+3.25. Hal ini untuk memberikan istirahat

pada mata.Pada pasien dimana akomodasi masih sangat kuat atau pada anak-anak,

maka sebainya pemeriksaan dilakukan dengan memberikan sikloplegik atau

melumpuhkan otot akomodasi. Dengan melumpuhkan otot akomodasi, maka pasien

akan mendapatkan koreksi kacamatanya dengan mata yang istirahat.

Pasien muda dengan hipermetropia tidak akan memberikan keluhan karena

matanya masih mampu melakukan akomodasi kuat untuk melihat benda dengan jelas.

Pada pasien yang banyak membaca atau mempergunakan matanya, terutama pada usia

yang telah lanjut, akan memberikan keluhan kelelahan setelah membaca. Keluhan

tersebut berupa sakit kepala, mata terasa pedas dan tertekan. Pada pasien ini diberikan

kacamata sferis positif terkuat yang memberikan penglihatan maksimal.

Jenis derajat Hipermetropia dapat diklasifikasikan menjadi 3 menurut Irvin

m.borish: 1998

1. Hipermetropia rendah, berukuran S+3.00. Tajam penglihatan biasanya baru

terganggu sesudah usia menjelang presbyopia dimana aplitude akomodasi sudah

menurun.

2. Hipermetropia sedang, berukuran antara S+3.12 sampai 5.00 kelainan tajam

penglihatan biasanya sudah terganggu sejak muda karena amplitude akomodasinya

tidak mampu mengatasi hipermetropia.

3. Hipermetropia tinggi, berukuran diatas S+5.00, pada kelainan ini biasanya tajam

penglihatan sudah terganggu sejak kecil biasanya kelainan astenopia tidak timbul

karena hipermetropia terlalu tinggi untuk diatasi dengan akomodasi. Pada kelainan

Page 7: Jurnal Mitra Pendidikan (JMP Online) Vol 2, No. 8, 789-805

Rohayati

795

Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805

ini bagi penderita yang sangat muda penting perhatikan masalah amblyopia dan

strabismus terutama pada strabismus konvergensi, karena memerlukan koreksi

sendiri mungkin koreksi penuh sebagai pencegah dan rehabilitasi penglihatan nya

pada penderita ini sudah dewasa kelainan ini perlu diperhatikan kesulitan koreksi

oleh efek lensa berukuran tinggi.

Teknik pemeriksaan hipermetropia menurut Irvin m.borish: 1998

1. Pasien duduk menghadap ke kartu Snellen pada jarak 6 meter.

2. Mata dipasang dengan lensa coba.

3. Tutup satu mata, biasanya mata kiri ditutup terlebih dahulu untuk memeriksa mata

kanan.

4. Pasien diminta menyebutkan kartu Snellen mulai dari hurup teratas dan diteruskan

pada baris dibawah hingga hurup yang masih dilihat atau disebutkan.

5. Lensa positif (+) terkecil ditambah pada mata yang sedang diperiksa bila lebih jelas

lensa positif di mata pasien tersebut ditambah kekuatannya perlahan-lahan dan

pasien diminta menyebutkan huruf-huruf pada baris lebih bawah.

6. Kemudian kekuatan lensa ditambah sampai terlihat huruf-huruf pada baris 6/6.

7. Tambah lensa positif S+0,25 lagi dan tanyakan kembali pada pasien masih dapat

melihat huruf-huruf diatas.

Alat pemeriksaan menurut Irvin m.borish 1998

a. Snillen

b. Lensa coba

c. Satu set lensa coba

Kinerja Akademik

Mulyasa, 2005, menyatakan bahwa kineja adalah “output drive from processes,

human otherwise”. Kinerja merupakan hasil atau keluaran dari suatu proses. Dikatakan

lebih lanjut oleh Mulyasa bahwa kinerja atau performance dapat diartikan sebagai

prestasi kerja, pelaksanaan kerja, pencapaian hasil kerja, hasil-hasil kerja atau unjuk

kerja.

Pengertian tentang kinerja tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa kinerja

adalah prestasi kerja yang telah dicapai oleh seseorang.Kinerja atau prestasi kerja

merupakan hasil akhir dari suatu aktivitas yang telah dilakukan seseorang untuk

meraih suatu tujuan.Pencapaian hasil kerja ini juga sebagai bentuk perbandingan hasil

kerja seseorang dengan standar yang telah di tetapkan.Apabila hasil kerja yang

dilakukan oleh seseorang sesuai dengan standar kerja atau bahkan melebihi standar

maka dapat dikatakan kinerja itu mencapai prestasi yang baik.

Akademik adalah keadaan orang-orang bisa menyampaikan dan menerima

gagasan, pemikiran, ilmu pengetahuan dan sekaligus dapat mengujinya secara jujur,

terbuka dan leluasa (Fadjar,2002).

Menurut Krisnawati dan Suryani (2010) Kemampuan akademik merupakan

sebagian dari kemapuan intelektualyang umumnya tercermin dalam prestasi akademik

(nilai hasil belajar). Konsep kemampuan akademik adalah keyakinan individu dan

evaluasi diri mengenai sifat akademik yang berhubungan dengan keterampilan dan

kemampuan individu tersebut (McGrew, 2008).

Page 8: Jurnal Mitra Pendidikan (JMP Online) Vol 2, No. 8, 789-805

Rohayati

796

Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805

Kemampuan akademik siswa dapat tergambar dari pencapaian akademiknya.

Pencapaian akademik merupakan fungsi akumulatif dari keluarga, masyarakat dan

pengalaman sekolah baik masa lalu maupun saat ini (Rivkin, dkk., 2005). Hal tersebut

didukung oleh pernyataan Dahar (2011) yang menyatakan bahwa prestasi atau

pencapaian akademik siswa sebelumnya menunjukkan kemampuan dan kinerja

akademik siswa di kelas sebelumnya.

Macam-Macam Kinerja Akademik

Kinerja akademik yang dilihat oleh peneliti dalam simulai kelainan

hipermetropia antara lain sebagai berikut.

1. Membaca

Samsu Somadayo (2011), mengungkapkan bahwa membaca adalah suatu

kegiatan interaktif untuk memetik serta memahami arti yang terkandung di dalam

bahan tulis. Pendapat tersebut didukung Henry Guntur Taringan (2009), yang

menjelaskan bahwa membaca adalah memahami pola-pola bahasa dari gambaran

tulisannya. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa membaca

adalah proses pengasosiaan huruf, penerjemahan dan pemahaman makna isi bacaan.

Menurut Farida Rahim (2008), ada beberapa tujuan membaca yang

mencakup kesenangan, menyempurnakan membaca nyaring, memperbaharui

pengetahuannya tentang suatu topik, mengaitkan informasi baru dengan informasi

yang telah diketahuinya, menjawab pertanyaan-pertanyaan yang spesifik, dan lain-

lain, sedangkan menurut Henry Guntur Taringan (2009), tujuan membaca adalah

memperoleh perincian-perincian atau fakta-fakta, memperoleh ide-ide utama,

membaca untuk menyimpulkan, mengelompokkan atau mengklarifikasi, serta

menilai dan mengevaluasi.

Dari uraian tersebut peneliti menyimpulkan bahwa tujuan membaca yang

paling utama adalah memperoleh informasi. Setelah informasi diperoleh pembaca

akan melakukan tindak lanjut yang dapat berupa kegiatan menyimpulkan, menilai

dan membandingkan isi bacaan.

Anderson (Sabarti Akhadiah, dkk., 1992), menjelaskan bahwa ada lima ciri

membaca yaitu membaca adalah proses kontruktif, membaca harus lancar,

membaca harus dilakukan dengan strategi yang tepat, membaca memerlukan

motivasi, serta membaca merupakan keterampilan yang harus dikembangkan secara

berkesinambungan.

2. Menulis

Menurut Suparno (2005), menulis dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan

penyampaian pesan (komunikasi) dengan menggunakan bahasa tulis sebagai alat

atau medianya. Sehingga menulis merupakan keterampilan produktif dengan

menggunakan tulisan.

Menurut Semi (2007), mengemukakan bahwa menulis merupakan suatu

kreatif memindahkan gagasan dalam lambang-lambang tulisan. Dalam pengertian

ini menulis mempunyai tiga aspek utama, yaitu adanya tujuan atau maksud tertentu

yang hendak dicapai, adanya gagasan atau maksud tertentu yang hendak dicapai dan

sistem pemindahan gagasan itu yaitu berupa sistem bahasa atau penyajian.

Page 9: Jurnal Mitra Pendidikan (JMP Online) Vol 2, No. 8, 789-805

Rohayati

797

Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805

Langkah-langkah kegiatan menulis permulaan terbagi ke dalam dua

kelompok, yakni mengenal huruf dan latihan. Pengenalan huruf kegiatan ini

dilaksanakan bersama dengan kegiatan pembelajaran membaca permulaan.

Penekanan pembelajaran diarahkan pada pengenalan bentuk tulisan serta

pelafalannya dengan benar. Fungsi pengenalan ini dimaksudkan untuk melatih indra

siswa dalam mengenal dan membedakan bentuk dan lambang-lambang tulisan.

3. Menggambar

Menggambar adalah kegiatan-kegiatan membentuk imaji, dengan

menggunakan banyak pilihan tekhnik dan alat. Bisa pula berarti membuat tanda-

tanda tertentu diatas permukaan dengan mengolah goresan dari alat gambar.

Definisi Simulasi

Simulasi berasal dari kata Simulate yang artinya berpura-pura atau berbuat

seakan-akan. Simulasi dapat diartikan cara penyajian pengalaman belajar dengan

menggunakan situasi tiruan untuk memahami tentang konsep, prinsip atau

keterampilan tertentu (Sanjaya, 2008). Menurut Sa’ud (2005) Simulasi dalam

perspektif model pembelajaran adalah sebuah reflikasi atau visualisasi dari perilaku

sebuah sistem, misalnya sebuah perencanaan pendidikan, yang berjalan pada kurun

waktu yang tertentu.

Jadi, dapat dikatakana bahwa simulasi itu adalah sebuah model yang berisi

seperangkat variabel yang menampilkan ciri utama dari sistem kehidupan yang

sebenarnya. Simulasi kemungkinan keputusan-keputusan yang menentukan bagian

ciri-ciri utama itu bisa dimodifikasi secara langsung.

Metode pembelajaran simulasi merupakan metode pembelajaran yang membuat

suatu peniruan terhadap sesuatu yang nyata, terhadap keadaan sekelilingnya (state of

affaris) atau proses (Sudjana, 2009).

METODE PENELITIAN

Waktu, Tempat dan Subjek Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Sekolah Swasta yaitu Sekolah Dasar Jembar

Bandung, sekolah ini didirikan pada tahun 1971 yang berlokasi di Propinsi Jawa Barat

Kabupaten Kota Bandung Kecamatan Batununggal Desa Kebon Waru terletak di jalan

Jatinegara No.1 yang merupakan salah satu SD dengan luas wilayah 150 m². SD

Jembar Bandung ini mepunyai 6 ruang kelas dengan jumlah siswa seluruhnya 81

siswa, selain itu Guru yang mengajar di SD Jembar ini berjumlah 7 orang Guru.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari hingga Mei 2018.

Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif analitik. Peneliti

akan melakukan pengukuran variabel independen dan dependen, kemudian akan

menganalisa data yang terkumpul untuk mencari hubungan antara variabel.

Teknik Pengumpulan Data

Populasi penelitian ini dibatasi yaitu pada siswa kelas 3, 4 dan 5 yang

berjumlah 42 orang. Penelitian dengan cross-sectional dengan 3 kelompok penelitian

Page 10: Jurnal Mitra Pendidikan (JMP Online) Vol 2, No. 8, 789-805

Rohayati

798

Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805

ini dilakukan di Sekolah Dasar Jembar Bandung dalam rentang waktu bulan Februari

sampai bulan Mei 2018. Sampel penelitian ini menggunakan metode total samping.

Dalam penelitian ini sampel yang diteliti adalah siswa dan siswi kelas3, 4 dan 5

sebanyak 42 orang. Sampel diambil berdasarkan kriteria yang telah ditentukan peneliti

yaitu responden dengan mata normal (emmetropia) dan visus mencapai 6/6.

Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitin ini menggunakan teknik analisis univariate

dan bivariate.

Responden disimulasikan seolah-olah mengalami kelainan hipermetropia

dengan klasifikasi hipermetropia ringan, sedang, dan berat peneliti melihat apakah

akan mempengaruhi kinerja akademik. Penelitian ini membahas tentang hubungan

derajat kelainan hipermetropia dengan kinerja akademik menggunakan metode

simulasi pada siswa Sekolah Dasar Jembar Bandung tahun 2018.

Secara skematis penelitian ini dapat digambarkan dalam kerangka konsep

sebagai berikut.

Peneliti akan melakukan pengukuran variabel independen dan dependen,

kemudian akan menganalisa data yang terkumpul untuk mencari hubungan antara

variabel. Dalam penelitian ini bertujuan melihat adanya gambaran fungsi penglihatan

hipermetropia pada orang simulasi hipermetropia ringan, sedang dan berat. Hal ini

dilakukan untuk melihat gambaran antara gelaja satu dengan gejala yang lain, atau

variabel satu dengan variabel yang lain (Notoatmodjo, 2012).

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah metode observasi

eksperimental, dalam observasi ini responden dicoba atau dimasukan ke dalam suatu

kondisi atau situasi tertentu. Kondisi dan situasi tertentu diciptakan sedemikian rupa

sehingga gejala atau perilaku yang akan dicari atau diamati akan timbul. Dengan

mengkondisikan kedua bola mata pada orang emmetropia (mata normal) seolah-olah

menyerupai keadaan hipermetropia dengan diberikan lensa koreksi ringan, sedang, dan

berat. Setelah itu peneliti melihat kinerja akademik pasien dengan tes membaca,

menulis, dan menggambar lalu menuliskan hasilnya dilembar observasi. Observasi

dibantu oleh numerator yang memiliki kompetensi yang sama dengan peneliti.

Kemudian peneliti melakukan penjelasan kepada numerator untuk menyamakan

pemahaman (Notoatmodjo, 2012).

.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Hasil Penelitian

Pada bab ini diuraikan hasil penelitian mengenai Simulasi Kelainan

Hipermetropia yang berhubungan dengan Kinerja Akademik pada siswa Sekolah Dasar

Jembar Bandung tahun 2018. Pengambilan data dengan menggunakan metode

penelitian cross sectional data yang menyangkut variabel bebas atau resiko dan

variabel terikat atau variabel akibat, akan dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan.

Selanjutnya data disajikan secara univariat dan bivariat, inklusi adalah kriteria atau

Simulasi

Hipermetropia

Kinerja Akademik

Post

Page 11: Jurnal Mitra Pendidikan (JMP Online) Vol 2, No. 8, 789-805

Rohayati

799

Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805

ciri-ciri yang dapat digunakan setiap orang akan dijadikan sampel (Notoatmodjo

2010). Sampel yang diambil atau didapatkan dalam penelitian ini yaitu anak yang tidak

memiliki kelainan refraksi yaitu mata normal (emmetropia) sebanyak 30 sampel.

Karakteristik Responden Berdasarkan Usia, dan Jenis Kelamin

Karakteristik responden berdasarkan usia dan jenis kelamin di Sekolah Dasar

Jembar Bandung dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 1. Distribusi Frekuensi Simulsi Kelainan Hipermetropia yang

Berhubungan dengan Kinerja Akademik Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin

Usia Distribusi

Frekuensi Persentase

9 7 23,3%

10 13 43,3%

11 9 30,0%

12 1 3,3%

Total 30 100,0%

Jenis Kelamin Distribusi

Frekuensi Persentase

Laki-laki 16 53,3%

Perempuan 14 46,7%

Total 30 100,0%

Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018)

Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa dari 30 responden, dengan kelompok usia

antara 9 tahun sampai 12 tahun dengan kelompok usia terbanyak yaitu 10 tahun

dengan jumlah 13 siswa (43,3%). Sedangkan berdasarkan jenis kelamin responden

laki-lakisebanyak 16 siswa (53,3%) dan perempuan sebanyak 14 siswa (46,7%).

Merupakan analisa yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran distribusi

frekuensi dari variabel independen dan depeden tentang hubungan derajat kelainan

hipermetropia dengan kinerja akademik (membaca) menggunakan metode simulasi

pada siswa Sekolah Dasar Jembar Bandung Tahun 2018. Dalam penyajian data analisa

univariat berbentuk tabel distribusi frekuensi dari tiap-tiap variabel. Pada penelitian ini

Simulasi Hipermetropia dilakukan pada 30 siswa masing-masing dengan 3 kategori

hipermetropia yaitu : hipermetropia ringan, hipermetropia sedang dan hipermetropia

berat, sehingga peneliti mendapatkan 90 data peneltian. Distribusi frekuensi simulasi

hipermetropia dapat dilihat pada tabel 2 dibawah ini.

Tabel 2. Tabel Distribusi Frekuensi Simulasi Hipermetropia

No. Derajat Hipermetropia Frekuensi Persentase

1 Hipermetropia Berat 30 33,3%

2 Hipermetropia Sedang 30 33,3%

3 Hipermetropia Ringan 30 33,3%

Total 90 100.,0%

Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018)

Setelah disimulasikan dengan hipermetropia dengan klasifikasi ringan, sedang

dan berat siswa di ukur Kinerja Akademiknya dengan cara siswa diperintahkan untuk

membaca, menulis dan menggambar. Distribusi frekuesnsi Kinerja Akademik dapat

dilihat pada tabel berikut ini.

Page 12: Jurnal Mitra Pendidikan (JMP Online) Vol 2, No. 8, 789-805

Rohayati

800

Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805

Tabel 3. Tabel Distribusi Frekuensi Kinerja Akademik

No. Kategori Frekuensi Persentase

1 Terganggu 32 35.6

2 Tidak Terganggu 58 64.4

Total 90 100.0

Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018)

Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada tabel 3 diatas menunjukan

bahwa kinerja akademik yang terganggu sebanyak 32 responden (35,6%), dan

kategori tidak terganggu sebanyak 58 responden (64,4%).

Tabel 4. Tabel Distribusi Frekuensi Aktivitas Akademik

No Kinerja Akademik Terganggu Tidak Terganggu Total

F % F % F %

1 Membaca 32 35,6 58 64,4 90 100,0

2 Menulis 31 34,4 59 65,6 90 100,0

3 Menggambar 30 33,3 60 66,7 90 100,0

Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018)

Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada tabel 4 diatas menunjukan

bahwa kinerja akademik membaca yang terganggu sebanyak 32 responden (35,6%),

dan kategori tidak terganggu sebanyak 58 responden (64,4%). Pada kinerja akademik

menulis yang terganggu sebanyak 31 responden (34,4%) dan kategori tidak terganggu

sebanyak 59 responden (65,6%). Pada kinerja akademik menggambar yang terganggu

sebanyak 30 responden (33,3%) dan kategori tidak terganggu sebanyak 60 responden

(66,7%).

Hasil analisa bivariat hubungan Simulasi Hipermetropia dengan Kinerja

Akademik sepeti membaca, menulis, dan menggambar dapat dilihat pada tabel 4

dibawah ini.

Tabel 5. Hubungan Simulasi Hipermetropia

dengan Kinerja Akademik (Membaca)

Simulasi Hipermetropia Membaca

Total P Value Tidak Bisa Bisa

Hipermetropia Berat 28 2 30

P=0.000 <

0,05

93,3% 6,7% 100,0%

Hipermetropia Sedang 4 26 30

13,3% 86,7% 100,0%

Hipermetropia Ringan 0 30 30

.0% 100,0% 100,0%

Total 32 58 90

35,6% 64,4% 100,0%

Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018)

Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada tabel 5 diatas menunjukan

bahwa simulasi dengan Kinerja Akademik (membaca) pada hipermetropia ringan yang

dinyatakan bisa membaca sebanyak 30 siswa (100,0%). Pada hipermetropia berat yang

dinyatakan tidak bisa membaca sebanyak 28 siswa (93,3%) dan dinyatakan bisa

membaca sebanyak 2 siswa (6,7%).

Page 13: Jurnal Mitra Pendidikan (JMP Online) Vol 2, No. 8, 789-805

Rohayati

801

Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805

Tabel 6. Hubungan Simulasi Hipermetropia dengan Kinerja Akademik (Menulis)

Simulasi Hipermetropia Menulis

Total P Value Tidak Bisa Bisa

Hipermetropia Berat 28 2 30

P=0.000 <

0,05

93,3% 6,7% 100,0%

Hipermetropia Sedang 3 27 30

10,0% 90,0% 100,0%

Hipermetropia Ringan 0 30 30

.0% 100,0% 100,0%

Total 31 59 90

34,4% 65,6% 100,0%

Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018)

Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada tabel 6 diatas menunjukan

bahwa simulasi dengan Kinerja Akademik (menulis) pada hipermetropia ringan yang

dinyatakan bisa menulis sebanyak 30 siswa (100,0%). Pada hipermetropia berat yang

dinyatakan tidak bisa menulis sebanyak 28 siswa (93,3%) dan dinyatakan bisa menulis

sebanyak 2 siswa (6,7%).

Tabel 7. Hubungan Simulasi Hipermetropia

dengan Kinerja Akademik (Menggambar)

Simulasi Hipermetropia Menggambar

Total P Tidak Bisa Bisa

Hipermetropia Berat 27 3 30

P=0.000 <

0,05

90,0% 10,0% 100,0%

Hipermetropia Sedang 3 27 30

10,0% 90,0% 100,0%

Hipermetropia Ringan 0 30 30

.0% 100,0% 100,0%

Total 30 60 90

33,3% 66,7% 100,0%

Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018)

Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada tabel 7 diatas menunjukan

bahwa simulasi dengan Kinerja Akademik (menggambar) pada hipermetropia ringan

yang dinyatakan bisa menggambar sebanyak 30 siswa (100,0%). Pada hipermetropia

berat yang dinyatakan tidak bisa menggambar sebanyak 27 siswa (90,0%) dan

dinyatakan bisa menggambar sebanyak 3 siswa (10,0%).

Tabel 8. Hubungan Simulasi Hipermetropia dengan Kinerja Akademik

Simulasi

Hipermetropia

Kinerja Akademik

(Membaca, menulis dan

menggambar) Total P Value

Tidak Bisa Bisa

Hipermetropia Berat 28 2 30

P=0.000 <

0,05

93,3% 6,7% 100,0%

Hipermetropia Sedang 4 26 30

13,3% 86,7% 100,0%

Page 14: Jurnal Mitra Pendidikan (JMP Online) Vol 2, No. 8, 789-805

Rohayati

802

Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805

Lanjutan Tabel 8. Hubungan Simulasi Hipermetropia dengan Kinerja Akademik

Simulasi

Hipermetropia

Kinerja Akademik

(Membaca, menulis dan

menggambar) Total P Value

Tidak Bisa Bisa

Hipermetropia Ringan 0 30 30

.0% 100,0% 100,0%

Total 32 58 90

35,6% 64,4% 100,0%

Sumber : Hasil Penelitian, diolah (2018)

Berdasarkan hasil penelitian yang tertera pada tabel 8 diatas menunjukan

bahwa Simulasi dengan Kinerja Akademik dalam membaca, menulis dan menggambar

pada hipermetropia berat yang dinyatakan tidak bisa sebanyak 28 responden (93,3%),

dan dinyatakan bisa sebanyak 2 responden (6,7%). Pada hipermetropia sedang yang

dinyatakan tidak bisa sebanyak 4 responden (13,3%), dan dinyatakan bisa sebanyak 26

responden (86,7%). Pada hipermetropia ringan semua responden (100%) tidak

mengalami gangguan kinerja akademik (membaca, menulis dan menggambar).

Pembahasan

Penelitian ini dilakukan pada bulan 25 Mei tahun 2018 bertempat di SD Jembar

Bandung. Pada penelitian ini Simulasi Hipermetropia dilakukan pada 30 siswa masing-

masing dengan 3 kategori hipermetropia yaitu : hipermetropia ringan, hipermetropia

sedang dan hipermetropia berat,sehingga peneliti mendapatkan 90 data peneltian.

Simulasi hipermetropia pada penelitian ini dilihat dari kinerja akademik dalam

membaca, menulis dan menggambar. Apabila penglihatan siswa tidak terkoreksi sejak

dini maka akan terganggu atau berpengaruh pada kinerja akademiknya. Hal ini sesuai

dengan penelitian yang dilakukan oleh Charenton (2012), bahwa masalah penglihatan

dapat menyebabkan efek yang tidak diinginkan pada komprehensi dan kinerja dalam

membaca dan menulis, yang menyusun hampir tiga perempat kegiatan belajar di

sekolah. Terdapat banyak studi yang menemukan hubungan antara gangguan

penglihatan dan buruknya kinerja siswa di sekolah. Penglihatan merupakan bagian

besar dari proses belajar, 80% dari apa yang anak-anak pelajari didapatkan melalui

pemprosesan informasi secara visual. Untuk memastikan kemampuan anak-anak untuk

belajar, penglihatan yang jelas dan nyaman adalah hal yang penting.

Hasil ini menunjukan bahwa simulasi hipermetropia berhubungan dengan

kinerja akademik siswa. Kemampuan akademik yang meliputi menulis, membaca dan

menggambar siswa akan menurun apabila semakin besar hipermetropia yang dialami

siswa. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Ilyas (2017), yaitu kelainan

Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan kekuatan pembiasan

mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak

di belakang retina yang mengakibatkan terganggunya penglihatan dekat penderitanya.

Hal ini sesuai dengan Grosvenor (1971), mengamati bahwa hipermetropia telah

mendapat perhatian yang jauh lebih sedikit dari pada myopia, mungkin karena etiologi

tes umum nya diyakini hampir seluruhnya karena faktor genetik atau keturunan. Hal

Page 15: Jurnal Mitra Pendidikan (JMP Online) Vol 2, No. 8, 789-805

Rohayati

803

Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805

ini dapat menghasilkan pengurangan ketajaman visual jauh dan dekat nya tergantung

pada kemampuan akomodatif pasien.

Menurut Jobke, 2008 salah satu gangguan tajam penglihatan pada anak adalah

hipermetropia. Pada anak yang mengalami hipermetropia lebih mudah terkena

ambliopia dibandingkan dengan miopia. Dari hasil penelitian di Jerman, menunjukan

prevalensi kelainan refraksi hipermetropia berdasarkan klasifikasi usia 2-6 tahun, 7-11

tahun, dan 12-17 tahun dibedakan antara laki-laki dengan perempuan sebagai berikut;

pada usia 2-6 tahun untuk laki-laki 8,3% dan perempuan 10,9%. Pada usia 7-11 tahun

untuk laki-laki 5,6% dan untuk perempuan 7,2%. Pada usia 12-17 tahun untuk laki-laki

8,2% dan untuk perempuan 0,9%.

Aktivitas kerja dekat seperti membaca dan menulis dianggap sebagai tugas

pendidikan terpenting yang di lakukan oleh anak-anak. Anak-anak menghabiskan

waktu sekitar 4 sampai 5 jam setiap hari untuk kegiatan akademik selama jam sekolah,

tugas dengan menggunakan jarak dekat sebanyak 54% dari kegiatan ini. Studi ini

menunjukan bahwa, rata-rata siswa tetap terjaga konstan mendekati fiksasi selama 16

menit setiap kalinya. Menurut Walton HN (1978) kurangnya konsesus mengenai

tingkat minimum hipermetropia yang tidak terkoreksi secara negatif akan

mempengaruhi kemampuan membaca atau prestasi Akademik umum pada anak-anak

(Ritty JM,1993).

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai Simulasi Kelainan Hipermetropia yang

Berhubungan dengan Kinerja Akademik pada Siswa Sekolah Dasar Jembar Bandung

Tahun 2018, peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa ada hubungan simulasi

hipermetropia dengan kinerja akademik (membaca, menulis dan menggambar) pada

siswa Sekolah Dasar Jembar Bandung 2018.

Saran

1. Bagi Sekolah Dasar Jembar Bandung

Diharapkan dengan adanya penelitian ini, dapat memberikan informasi yang

bermanfaat bagi pihak sekolah yaitu kelinan refraksi sehingga dapat dijadikan dasar

dalam meningkatkan status kesehatan untuk siswa yang mengalami kelaianan

hipermetropia yang berhubungan dengan kinerja Akademik dilihat dari membaca,

menulis, dan menggambar.

2. Bagi Peneliti Selanjutnya

Bagi peneliti selanjutnya dapat melakukan penelitian tentang Simulasi

Kelainan Hipermetropia Yang Berhubungan Dengan Kinerja Akademik dalam

waktu yang lebih lama agar hasilnya lebih efektif. Untuk penelitian selanjutnya

menggunakan teknik mix method, yaitu dengan pengumpulan data secara kualitatif

dan kuantitatif.

3. Bagi Institusi Pendidikan

Diharapkan bagi institusi pendidikan untuk menambah referensi terkait

dengan fenomena Simulasi Kelainan Hipermetropia yang Berhubungan dengan

Page 16: Jurnal Mitra Pendidikan (JMP Online) Vol 2, No. 8, 789-805

Rohayati

804

Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805

Kinerja Akademik (membaca, menulis, dan menggambar) pada Siswa Sekolah

Dasar.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson. (Sabarti Akhadiah, dkk). 1992. Jurnal Kreatif Tadulako. Vol: 4. (Online)

https://media.neliti.com/media/publications/121403-ID-penggunaan-metode-

latihan-untuk-katkan.pdf. Diakses pada tanggal 04 Maret 2018.

Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.

Charenton. 2012. The Social and Economic Impact of Poor Vision, The Boston

Consulting Group and Essilor. (Online)

http://wisuda.unud.ac.id/pdf/1002006154-2-JURNAL%20TANTRA.pdf.

Diakses pada tanggal 09 Febuari 2018.

Dahar, M.A. 2011. Relationship Between The School Resuorce Inputs and Academic

Achievement of Student at Secondary Level in Pakistan. Thesis. Islamabad:

Higher Education Commision Pakistan.

Fadjar. 2002. Sistem Informasi Akademik. Yogyakarta: Andi Offset.

Farida Rahim. 2008. Pengajaran Membaca di Sekolah Dasar. Jakarta: PT Bumi

Askara.

Henry Guntur Taringan. 2009. Pengkajian Pragmatik. Bandung: Angkasa.

Hedge, et al. 2015. Kelainan Refraksi Tak Terkoreksi Penuh. (Online)

http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/17660/6.BAB%20II.pdf.

Diakses pada tanggal 14 Februari 2018.

Ilyas,S. 2017. Ilmu Penyakit Mata, Edisi Kelima. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia.

Khurana AK et al. 2007; Lang GK,2000. Comprehensive Opthalmology (Ebook) . 4th

Ed. New Dellhi: New Age International.

Krisnawati, N dan Suryani,Y. 2010. Bahan Dasar untuk Pelayanan Konseling pada

Satuan Pendidikan Mencegah Jilid III. Jakarta: Grasindo, (Online)

http://www.researchgate.net/profile/Ahmad_Fauzi28/publication/312167973_PE

NGARUH_KEMAMPUAN_AKADEKIK. Diakses pada tanggal 16 Februari

2018.

McGrew, K.S. 2008. Beyond IQ: A Model of Academic Competence & Motivation

(MACM). (Online)

http://www.researchgate.net/profile/Ahmad_Fauzi28/publication/312167973_pe

ngaruh-kemampuan-akadekik. Diakses pada tanggal 16 Februari 2018.

Mulyasa. 2005. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan

Menyenangkan. (Online) http://emprints.uny.ac.id/7965/3/bab%202%20-

10504247012.pdf. Diakses pada tanggal 12 Febuari 20118.

Notoatmodjo,S. 2012. MetodologiPenelitianKesehatan. Jakarta: RinekaCipta.

Ritty JM. 1993. Impact of Simulated Hyperopia On Academic-Related Performance in

Childern. (Online)

http://jurnals.lww.com/optvissci/fulltext/2015/02000/Impact_of_Simulated_Hyp

eropia_on_Academic_Related.17.aspx. Diakses pada tanggal 09 Febuari 2018.

Rivkin, S.G., Hanushek,E.A., danKrain, J.F.2005. Teacher, Scool and Academic

Achievement. Economical. Vol: 73(2): 417-458. (Online),

Page 17: Jurnal Mitra Pendidikan (JMP Online) Vol 2, No. 8, 789-805

Rohayati

805

Rohayati / JMP Online Vol. 2 No. 8 Agustus (2018) 789-805

http://www.researchgate.net/profile/Ahmad_Fauzi28/publication/312167973_PE

NGARUH_KEMAMPUAN_AKADEKIK. Diakses pada tanggal 16 Februari

2018.

Saboe. 2009. Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Prevalensi Kelainan

Refraksi Pada Anak. (Online)

http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/17660/6.BAB%20II.pdf.

Diakses pada tanggal 14 Februari 2018.

Samsu Somadayo. 2011. Strategi dan Tekhnik Pembelajaran Membaca. Yoyakarta:

Graha Ilmu.

Semi. 2007. Jurnal Kreatif Tadulako. Vol: 4 No.8 ISSN 2354-614X (Online)

https://media.neliti.com/media/publications/121403-ID-penggunaan-metode-

latihan-untuk-katkan.pdf. Diakses pada tanggal 04 Maret 2018.

Suparno. 2005. Jurnal Kreatif Tadulako. Vol: 4 (Online)

https://media.neliti.com/media/publications/121403-ID-penggunaan-metode-

latihan-untuk-katkan.pdf. Diakses pada tanggal 04 Maret 2018.