jurnal manajemen dan bisnis indonesia vol. 1 no. 2hal. 165
TRANSCRIPT
Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Sri Winarti
165
STRATEGI KEPALA SEKOLAH DALAM PENINGKATAN
PROFESIONALISME GURU
(STUDI PADA SMP NEGERI 21 KOTA MALANG)
Dyah Sawitri
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, PPs. Magister Manajemen Universitas Gajayana Malang
e-mail: [email protected]
Andarwati
Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya Malang
e-mail: [email protected]
Sri Winaryati
SMP Negeri 23 Malang, Kota Malang
e-mail: [email protected]
ABSTRAKSI
Fokus penelitian ini adalah: Peran kepala sekolah SMPN 21 Kota Malang dalam
meningkatkan profesionalisme guru; Faktor-faktor yang menjadi pendukung dan kendala
dalam peningkatan profesionalisme guru di SMPN 21 Kota Malang; Strategi kepala sekolah
SMPN 21 Kota Malang menangani kendala dalam peningkatan profesionalisme guru. Metode
penelitian ini menggunakan rancangan kualitatif dengan metode pengambilan data melalui
wawancara, observasi dan dokumentasi kepada informan.
Temuan penelitian terkait dengan fokus penelitian: Kepala sekolah dalam meningkatkan
pofesionalisme guru SMPN 21 Kota Malang. Pertama, dengan mengoptimalkan fungsi
kepala sekolah sebagai pemimpin, pendidik, supervisor, pencipta iklim sekolah dan
wirausahawan. Kedua, Faktor kendala dalam peningkatan profesionalime guru antara lain:
masih adanya tenaga pendidik yang merangkap tugas, rendahnya semangat tenaga pendidik
dalam meningkatkan kompetensinya, menumpuknya beban tugas yang diberikan kepada
tenaga pendidik dan sarana prasarana pendukung proses kegiatan belajar mengajar yang
belum memadai. Sedangkan faktor pendukung meliputi: dukungan Dinas Pendidikan Kota
Malang dalam hal penciptaan sekolah unggulan, kondisi sosial dan ekonomi masyarakat
sekitar sekolah dan partisipasi Komite Sekolah yang maksimal. Ketiga, kepala sekolah
memberikan pembinaan kedisiplinan, memberikan penghargaan (reward), memberikan
motivasi baik secara intrinsik maupun ekstrinsik, memberikan persepsi yang baik terhadap
prestasi kerja para tenaga pendidik.
Kata kunci: Strategi, kepala sekolah, profesionalisme guru.
Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Sri Winarti
166
PENDAHULUAN
Sejak tahun 2005, isu mengenai profesionalisme guru gencar dibicarakan di
Indonesia. Profesionalisme guru sering dikaitkan dengan tiga faktor yang cukup penting,
yaitu kompetensi guru, sertifikasi guru, dan tunjangan profesi guru. Ketiga faktor tersebut
merupakan latar yang disinyalir berkaitan erat dengan kualitas pendidikan. Guru profesional
yang dibuktikan dengan kompetensi yang dimilikinya akan mendorong terwujudnya proses
dan produk kinerja yang dapat menunjang peningkatan kualitas pendidikan. Guru kompeten
dapat dibuktikan dengan perolehan sertifikasi guru berikut tunjangan profesi yang memadai
menurut ukuran Indonesia. Fakta bahwa guru telah tersertifikasi merupakan dasar asumsi
yang kuat, bahwa guru telah memiliki kompetensi.
Kompetensi guru tersebut mencakup empat jenis, yaitu (1) kompetensi pedagogi (2)
kompetensi profesional, (3) kompetensi sosial, dan (4) kompetensi kepribadian (Undang-
Undang No 20 Tahun 2005). Persoalan yang muncul kemudian, bahwa guru yang
diasumsikan telah memiliki kompetensi yang hanya berlandaskan pada asumsi bahwa mereka
telah tersertifikasi, tampaknya dalam jangka panjang sulit untuk dapat
dipertanggungjawabkan secara akademik. Bukti tersertifikasinya para guru adalah kondisi
sekarang, yang secara umum merupakan kualitas sumber daya guru sesaat setelah sertifikasi.
Oleh karena sertifikasi erat kaitannya dengan proses belajar, maka sertifikasi tidak bisa
diasumsikan mencerminkan kompetensi yang unggul sepanjang hayat.
Manajemen pengembangan kompetensi guru dapat diartikan sebagai usaha yang
dikerjakan untuk memajukan dan meningkatkan mutu, keahlian, kemampuan, dan
keterampilan guru demi kesempurnaan tugas pekerjaannya. Sehingga penelitian tentang
strategi kepala sekolah dalam peningkatan profesionalisme guru penting dilakukan karena
beberapa alasan: Pertama, kepala sekolah adalah sebagai pengelola instansi pendidikan tentu
saja mempunyai peran yang teramat penting, karena ia sebagai designner, pengorganisasian,
pelaksana, pengelola tenaga kependidikan, pengawas, pengevaluasi program pendidikan dan
pengajaran di lembaga yang dipimpinnya. Kedua, secara operasional kepala sekolah
memiliki standar kompetensi untuk, menyusun perencanaan strategis, mengelola tenaga
kependidikan, mengelola kesiswaan, mengelola fasilitas, mengelola sistem informasi
manajemen, mengelola mutu pendidikan, mengelola kelembagaan, mengelola kekompakan
kerja (team work) dan pengambil keputusan. Ketiga, gurupun memepunyai peranan yang
sangat penting yaitu sebagai ujung tombak pelaksanaan proses kegiatan belajar mengajar,
dilapangan guru berperan sebagai transformator (orang yang memindahkan) ilmu
pengetahuan, teknologi, menanamkan keilmuan, ketaqwaan dan membiasakan peserta didik
berakhlakul karimah serta mandiri. Keempat, guru dalam melaksanakan tugas yaitu
membantu murid/ siswa dalam proses pembelajaran masih banyak kendala diantaranya:
masih adanya guru yang merangkap tugas, rendahnya guru dalam meningkatkan kompetensi,
menumpuknya beban tugas, kurangnya sarana dan prasarana dalam proses pembelajaran.
Oleh karena itu diperlukan sistem kerja sama yang baik antara kepala sekolah, guru, staff tata
usaha dan semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) dengan pendidikan di sekolah.
Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Sri Winarti
167
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah:
1. Apa sajakah Strategi yang dilakukan oleh kepala sekolah dalam meningkatkan
profesionalisme guru di SMPN 21 Kota Malang?
2. Apa saja factor-faktor yang menjadi kendala dan pendukung dalam peningkatan
profesionalisme guru di SMPN 21 Kota Malang?
3. Bagaimana upaya yang dilakukan kepala sekolah dalam menangani faktor kendala
peningkatan profesionalisme guru di SMPN 21 Kota Malang?
Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan hal-hal sebagai berikut :
1. Untuk menggambarkan dan mengetahui peran yang dilakukan oleh kepala sekolah dalam
meningkatkan profesionalisme guru di SMPN 21 Kota Malang.
2. Untuk mengetahui factor-faktor yang menjadi kendala dan pendukung dalam peningkatan
profesionalisme guru di SMPN 21 Kota Malang.
3. Untuk mengetahui strategi yang dilakukan kepala sekolah dalam menangani faktor
kendala peningkatan profesionalisme guru di SMPN 21 Kota Malang.
LANDASAN TEORI
Manajemen Sumber Daya Manusia
Untuk menghadapi persaingan dalam organisasi dituntut adanya kemampuan dalam
mengadakan perubahan. Setiap perubahan saharusnya harus memiliki unsur keunggulan
kualitas. Dalam dunia pendidikan terlebih di organisasi Perguruan tinggi, pengendalian
kualitas merupakan suatu keharusan. Seperti pernyataan Pannen (1997) bahwa, pengendalian
kualitas pendidikan berfungsi guna membina peraturan-peraturan pendidikan dan standar
pendidikan untuk mencapai tujuan pendidikan yang sesuai dengan tujuan pembangunan
bangsa. Apa sebenarnya kualitas itu?, dikatakan oleh Evan dan Dean, (2003) dalam
Nursya’bani Purnama, (2006:9) kualitas adalah keseluruhan ciri-ciri dan karakteristik dari
suatu produk atau layanan menyangkut kemampuan untuk memenuhi kebutuhan yang telah
ditentukan dan atau bersifat laten.
Cushway (1994:13) menyatakan bahwa sumber daya manusia didefinisikan sebagai
“Part of the process that helps the organizational achieve its objectives”. Karena sumber
daya manusia adalah potensi yang merupakan asset penting yang berfungsi sebagai modal
dalam organisasi.karena itu pengembangan sumber daya manusia dalam organisasi dapat
meningkatkan keahlian, ilmu pengetahuan dan sikap karyawan. Ungkapan ini telah
dinyatakan oleh Lusthaus dkk. (2002:48) yang menyatakan: “Developing human resources in
an organization means improving employee performance by increasing or improving their
skills, knowledge and attitudes”. Selain itu juga sumber daya manusia adalah merupakan
potensi manusiawi sebagai penggerak orgasisasi, hal ini telah dikatakan oleh (Nawawi,
2005).
Kepemimpinan Sekolah Masa Depan
Tantangan nyata bagi pemimpin sekolah dalam dekade mendatang menurut Neil
Shipman, Direktur dari Interstate School Leaders Licensure Consertium (ISLLC), adalah
lebih menitik beratkan pada proses belajar mengajar dari pada sekedar menjadi seorang
manajer (Hoy & Miskel, 1987).
Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Sri Winarti
168
The Interstate School Leaders Licensure Consortium (ISLLC) (konsorsium
kewenangan pemimpin sekolah antar negara bagian) of the Council of Chief State School
Officer (dalam Suyitno 2008) menjelaskan pentingnya kepemimpinan dalam proses belajar
mengajar dan menjelaskan enam standar. Seorang kepala sekolah sebagai pemimpin
pembelajaran dapat menaikkan tingkat keberhasilan semua siswa melalui:
a. Memberi fasilitas pengembangan, memberikan gagasan, implementasi, dan
pengurusan visi pembelajaran yang dibuat bersama dan didukung
masyarakat sekolah.
b. Memberi anjuran, memelihara, dan mendukung budaya sekolah dan
program pengajaran yang kondusif bagi pembelajaran siswa dan
pertumbuhan profesional bagi staff / guru.
c. Menjamin manajemen organisasi, pelaksaaan dan sumber-sumber dalam
rangka mencapai lingkungan belajar yang aman, efektif dan efisien.
d. Melakukan kerja sama dengan keluarga, anggota masyarakat, menanggapi
minat dan kebutuhan masyarakat, dan memanfaatkan sumber-sumber pada
masyarakat.
e. Berperilaku secara integritas, penuh kejujuran dan beretika.
f. Memahami, menanggapi pengaruh politik, sosial dan ekonomi, dan konteks
budaya. (ISLLC 1997)
Profesionalisme Guru
Sebenarnya apakah seorang guru itu harus profesional? Dalam pasal 35 ayat (1)
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dinyatakan bahwa standar nasional pendidikan yang terdiri atas standar isi, standar
proses, standar kompetensi lulusan, standar tenaga kependidikan, standar sarana dan
prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan harus
ditingkatkan secara berencana dan berkala.
Undang-Undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
mengisyaratkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
megajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah. Profesional dalam pendidikan perlu dimaknai bahwa guru haruslah orang yang
memiliki instink sebagai pendidik, mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus
menguasai secara mendalam minimal satu bidang keilmuan. Guru harus memiliki sikap
integritas profesional. Kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (1) berfungsi untuk meningkatkan martabat dan peran guru sebagai agen
pembelajaran berfungsi untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Yang dimaksud
dengan guru sebagai agen pembelajaran (learning agent) adalah peran guru antara lain
sebagai fasilitator, motivator, pemacu, perekayasa pembelajaran, dan pemberi inspirasi
belajar bagi peserta didik.
Kompetensi guru sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 8 Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 14 Tahun 2005 meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui
pendidikan profesi.
Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Sri Winarti
169
Secara utuh sosok kompetensi guru meliputi (a) pengenalan peserta didik secara
mendalam; (b) penguasaan bidang studi baik disiplin ilmu (diciplinary content) maupun
bahan ajar dalam kurikulum sekolah (pedagogical content); (c) penyelenggaraan
pembelajaran yang mendidik yang meliputi perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran,
evaluasi proses dan hasil belajar, serta tindak lanjut untuk perbaikan dan pengayaan; dan (d)
pengembangan kepribadian dan profesionalitas secara berkelanjutan.
Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Republik Indonesia nomor 14 tahun 2005
menyatakan bahwa profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang
dilaksanakan berdasarkan prinsip sebagai berikut:
“Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme; memiliki komitmen
untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan, dan akhlak
mulia; memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai
dengan bidang tugas; memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan
bidang tugas; memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas
keprofesionalan; memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan
prestasi kerja; memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan
secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat; memiliki jaminan
perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan; dan memiliki
organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang
berkaitan dengan tugas keprofesionalan guru”. (Pasal 7 (ayat 1) UU No 14
Tahun 2005)
Profesional adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan
menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau
kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan
profesi. Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa pekerjaan guru hanya dapat
dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, dan sertifikat
pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan jenjang pendidikan tertentu
(Suyitno, 2008). Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berkewajiban:
a. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang
bermutu, serta menilai dan mengevaluasi hasil pembelajaran;
b. Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi
secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni;
c. Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis
kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu, atau latar belakang
keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;
d. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik
guru, serta nilai-nilai agama dan etika; dan
e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa. (Suyitno, 2008).
Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Sri Winarti
170
Kerangka Pikir
Berdasarkan masalah, tujuan, dan kajian teori, maka kerangka pikir pada penelitian
ini adalah, sebagai berikut:
Sumber: Kementerian Dikbud ( 2012), Sergiovanni (1991), diolah peneliti, Tahun 2013
Gambar 1.
Strategi Kepala Sekolah Dalam Peningkatan Profesionalisme Guru
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Didasarkan pada cakupan dan realitas yang ingin dikaji strategi kepala sekolah dalam
upaya peningkatan profesionalisme guru yang cenderung dapat didekati secara studi kasus,
maka penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Penelitian ini disesuaikan
dengan permasalahan yang muncul dan tujuan penelitian yang ingin memperoleh gambaran
menyeluruh tentang strategi kepala sekolah dalam upaya peningkatan profesionalisme guru.
Hal ini juga ditegaskan (Suyitno 2006) bahwa metode kualitatif cocok digunakan untuk
memperoleh gambaran menyeluruh mengenai suatu fenomena. Pemilihan metode kualitatif
ini akan memiliki berbagai implikasi dalam penelitian yang akan dilakukan berdasarkan
ketergantungan logis pada aksioma-aksioma sebagaimana yang diungkapkan oleh Lincoln
dan Guba (1985).
Sumber Data Penelitian
Sumber data penelitian kualitatif sebagaimana dinyatakan Arikunto (1998) dapat
berupa orang (person), tempat (place), dan simbol (paper). Sedangkan menurut Spradley
(Sugiono, 2006; Faisal, 1990) menunjuk pada tiga kategori, yakni pelaku (actor), aktivitas
(activity), dan tempat (place). Berdasarkan kedua pendapat di atas, maka sumber data
penelitian ini terdiri dari empat kategori sebagai berikut:
Strategi Kepala Sekolah
Supervisor, administrator, motivator, leader dan manager
Faktor Kendala Faktor Pendukung
Upaya-upaya Menangani
Pembinaan disiplin, memberi motivasi, penghargaan dan
persepsi
Peningkatan Profesional Guru
Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Sri Winarti
171
1. Sumber data berupa orang/pelaku sebagaimana telah diuraikan sebelumnya meliputi
kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru, komite sekolah dan pihak lain terkait yang
memiliki peran dalam upaya-upaya kearah optimalisasi potensi dalam pengembangan
kinerja gueu di SMPN 21 Kota Malang. Penentuan sumber data pihak-pihak tersebut
dilakukan secara purposive dan snowball dengan pertimbangan tertentu. Penetapan
kepala sekolah, wakil kepala sekolah, komite sekolah sebagai informan dengan
menggunakan teknik purposive sampling didasarkan pada pertimbangan peran mereka
yang spesifik sesuai job kerjanya sehingga dipandang representatif untuk dijadikan
sumber data. Pertimbangan lain, bahwa subyek cukup lama dan intensif menyatu dengan
kegiatan dan menghayati secara sungguh-sungguh sebagai akibat keterlibatannya, subyek
masih terlibat secara penuh/aktif pada lingkungan atau kegiatan yang menjadi perhatian
peneliti, dan subyek mempunyai cukup waktu untuk diwawancarai. Berikutnya snowball
sampling merupakan teknik penentuan sumber data yang semula jumlahnya sedikit lama-
lama menjadi besar sehingga spesifikasi sampel tidak dapat ditentukan sebelumnya.
Teknik ini menurut Lincoln & Guba (1985), memiliki karakteristik, yakni desain sampel
sementara, pemilihan unit sampel yang menggelinding seperti salju, pemilihan sampel
disesuaikan kebutuhan, dan dipilih sampai jenuh. Dalam penelitian ini mula-mula
peneliti menentukan kepala sekolah dan salah seorang guru untuk diminta informasi
mengenai upaya peningkatan profesionalisme guru, program dan kegiatan-kegiatan yang
mendukung upaya optimalisasi potensi guru berikut aspek-aspek yang melingkupinya.
Setelah wawancara berlangsung ternyata banyak informasi mengenai permasalahan
tersebut yang dapat digali pada guru-guru lainnya, sehingga peneliti menggali informasi
kepada guru lain yang dimaksud oleh guru pertama, demikian seterusnya seterusnya.
2. Sumber data berupa tempat, yakni SMPN 21 Kota Malang sebagai institusi pendidikan
yang melaksanakan pengembangan kompetensi guru untuk mendukung peningkatan
profesionalisme guru.
3. Sumber data berupa aktivitas, dalam hal ini merujuk pada berbagai kegiatan yang relevan
dengan fokus masalah penelitian. Kegiatan tersebut dapat menghasilkan gagasan,
konsep, pemikiran, maupun aktivitas dalam arti practical. Lebih spesifik sumber data
dalam bentuk kegiatan ini diantaranya kegiatan rapat-rapat, kegiatan monitoring dan
evaluasi kinerja, kegiatan supervisi, rapat komite sekolah, pertemuan rutin pagi (briefing)
dan sebagainya. Peneliti mengamati berbagai kegiatan tersebut sambil merekam dalam
bentuk catatan, gambar dan rekam suara.
4. Sumber data berupa simbol (paper) dalam penelitian ini antara lain simbol-simbol
kelembagaan, atribut sekolah, atribut guru dan sebagainya yang manjadi karakteristik
SMPN 21 Kota Malang. Termasuk dalam sumber ini, yakni suasana lingkungan sekolah,
keberadaan sarana pendidikan, dan slogan-slogan yang mengarah pada peningkatan
kompetensi guru untuk mendukung peningkatan mutu SMPN 21 Kota Malang yang
terpasang di lingkungan sekolah.
Metode Pengumpulan Data
Untuk dapat mengungkap pelaksanaan pengelolaan pembiayaan pendidikan, dalam
penelitian ini memerlukan beragam teknik pengumpulan data. Teknik yang akan
dipergunakan untuk mengungkap permasalahan secara holistik, antara lain teknik observasi
partisipatif (participant observation), yang taraf partisipasinya menyesuaikan konteks,
wawancara mendalam (in-depth interview) dan dokumentasi (documentation). Sebagaimana
dinyatakan (Suyitno 2007), bahwa dalam penelitian kualitatif dengan natural setting lebih
banyak menggunakan ketiga teknik tersebut.
Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Sri Winarti
172
Teknik Pengamatan Partisipatif
Teknik pengamatan partisipatif digunakan untuk menyelidiki berbagai keadaan dan
kegiatan yang relevan dan memiliki makna penting bagi pencapaian tujuan penelitian ini.
Teknik pengamatan partisipatif digunakan untuk mengamati implementasi pengelolaan
lembaga pendidikan yang berorientasi pada pelayanan publik.
Teknik Wawancara Mendalam
Dalam teknik wawancara mendalam (indepth interview) ini, peneliti melakukan
wawancara kepada kepala sekolah dan guru serta komite sekolah sebagai informen utama
(key informan), dilanjutkan dengan pihak terkait yang lain secara berkelanjutan,
menggunakan pertanyaan-pertanyaan non-terstruktur yang mengarah pada fokus penelitian
(focused interview), namun pada latar tertentu dilakukan pendalaman (probing question).
Teknik ini dimaksudkan agar subyek terteliti dapat memberikan informasi sebanyak mungkin
serta dapat mengemukakan pemikiran, gagasan dan tindakannya seluas dan sebebas mungkin
dalam kaitannya dengan ketrampilan manajerial kepala sekolah dalam mengawal sekolah
sebagai organisasi pelayanan publik. Teknik wawancara ini dilakukan juga kepada kepala
sekolah, guru, komite sekolah atau wali murid.
Teknik Dokumentasi
Teknik dokumentasi dalam penelitian ini dipergunakan untuk menggali berbagai
data, peristiwa dan kebijakan yang terdokumentasikan dan sesuai dengan tujuan penelitian.
Berdasarkan jenis-jenis dokumentasi tersebut secara umum dapat di bedakan menjadi dua,
yakni dokumen yang sifatnya internal dan eksternal. Dokumen internal diantaranya Surat
Keputusan Kepala Sekolah, dan Komite Sekolah, sumber-sumber pembiayaan sekolah, tata
kerja, instruksi, tata tertib kedisiplinan, laporan rapat, keputusan pimpinan dan semacamnya
yang digunakan internal sekolah sendiri. Sedangkan dokumen eksternal adalah segala macam
peraturan dan perundang-undangan serta kelengkapan lain yang terkait dengan
penyelenggaraan satuan pendidikan.
Definisi Operasional
Untuk lebih jelas dan terhindar dari kesalahan dalam memahami istilah-istilah yang
dipergunakan dalam penelitian ini, maka dibawah ini akan dirumuskan dan dijelaskan definisi
dari istilah-istilah tersebut.
1. Strategi yang dimaksud di sini adalah cara dan seni yang dipakai kepala sekolah dalam
merumuskan rencana yang cermat dan menetapkan kebijakan sekolah khususnya dalam
membina dan meningkatkan profesional guru dengan memanfaatkan sumber daya.
2. Kepala sekolah adalah seorang guru yang memimpin suatu sekolah. Kepala sekolah pada
SMPN 21 Kota Malang berperan sebagai manajer, sebagai leader, sebagai administrator,
sebagai supervisor (pengawas utama), sebagai climate maker (pembina iklim kerja),
sebagai educator (pendidik) dan sebagai entrepreneur atau wiraswastawan (Dit. Dasmen.
Standar Kompetensi 2002:8).
3. Profesionalisme guru adalah pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan
menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau
kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan
pendidikan profesi. Guru sebagai tenaga profesional mengandung arti bahwa pekerjaan
guru hanya dapat dilakukan oleh seseorang yang mempunyai kualifikasi akademik,
kompetensi, dan sertifikat pendidik sesuai dengan persyaratan untuk setiap jenis dan
jenjang pendidikan tertentu (Suyitno, 2008).
Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Sri Winarti
173
Metode Analisis Data
Mengacu pada pendapat Miles dan Huberman (dalam Suyitno 2007) bahwa penelitian
ini dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sehingga datanya sampai
pada titik jenuh, lebih jelasnya ditunjukkan pada Gambar 2 sebagai berikut:
Sumber : Diadopsi dari Miles dan Huberman 1984, dioleh peneliti, Tahun 2013.
Gambar 2.
Analisa Data Model Interaktif
Setelah data tentang strategi kepala sekolah dalam peningkatan profesionalisme guru
direduksi selanjutnya diorganisasikan dalam suatu bentuk tertentu yang lazim dinamakan
display data (penyajian data) sehingga terlihat sosoknya secara lebih utuh. Display data
dalam penelitian ini antara lain disajikan dalam bentuk uraian, bagan, hubungan antar
kategori dan matriks. Tujuannya untuk memudahkan upaya pemaparan dan penegasan
kesimpulan (display dan verifikasi).
Siklus analisis data prosesnya tidak sekali jadi, melainkan berinteraktif secara bolak-
balik, disajikan pada Gambar 3.
Sumber: Diolah peneliti, Tahun 2013
Gambar 3.
Siklus Analisis Data
Penjelajahan, Pelacakan Kenyataan
Lapangan
Pola-Pola Tema-tema
Konsep-konsep Kategori-kategori
Ikhtisar dan Pilihan Data
Pemahaman Teoritis Deskripsi
Reduksi Data
Penyajian Data Pengumpulan Data
Kesimpulan: Penggambaran/
Verifikasi
Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Sri Winarti
174
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Peran Kepala Sekolah dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme Guru SMPN 21
Malang
Peran kepemimpinan yang diterapkan oleh Kepala SMPN 21 Kota Malang meliputi:
sebagai peran sebagai pengelola, pemimpin, pendidik, administrator, penyelia, pencipta iklim
kerja dan wirausahawan diharapkan mampu membawa lembaga pendidikannya kearah
perkembangan yang lebih baik dan sanggup untuk berkompetisi di masa depan.
Hal yang sama juga peneliti temukan dalam dokumentasi sekolah di antaranya
berbunyi sebagai berikut :
Kepala sekolah sebagai manajer, meliputi aspek-aspek di antaranya:
1. Kemampuan menyusun program, dengan indikator:
a. Memiliki proram jangka panjang (8 tahun)
b. Memiliki program jangka menengah (4 tahun)
c. Memiliki program jangka pendek (1 tahun)
2. Kemampuan menyusunorganisasi/personalia, dengan indikator:
a. Memiliki susunan program sekolah
b. Memiliki personalia pendukung
c. Menyusun personalia untuk kegiatan temporer
3. Kemampuan menggerakkan staf, guru,dan karyawan, dengan indikator:
a. Memiliki program pembinaan
b. Mengkoordinasikan staf yang sedang melaksanakan tugas
4. Kemampuan mengoptimalkan sumber daya sekolah.
a. Memanfaatkan sumber daya manusia secara optimal
b. Memanfaatkan sarana prasarana
c. Membuat sarana prasarana menjadi milik sekolah.
(Dok. Profil SMPN 21 Kota Malang tahun 2012/2013)
Menjalankan peran sebagai seorang manajer, Kepala SMPN 21 Kota Malang dengan
selalu mengutamakan asas musyawarah melakukan perencanaan, pengorganisasian dan
memimpin, serta mengendalikan program yang telah menjadi ketetapan bersama.
Sedangkan dalam menjalankan perannya sebagai leader (pemimpin), Kepala SMPN 21
Kota Malang, tampak mengayomi, mengutamakan kerjasama, saling percaya mempercayai,
dan menganggap bahwa kepemimpinannya adalah sebagai suatu seni, yang dapat dilihat dari
gaya, tehnik, dan kiat-kiat memimpinnya. Itulah makanya kepala sekolah sengaja
menerapkan gaya kombinasi antara gaya kepemimpinan mendikte, menjual dan
mendelegasikan. Hal ini untuk menyikapi sebuah fakta bahwa kondisi para tenaga pendidik
di sekolah tersebut memiliki tingkat profesionalisme yang tidak sama.
Menjalankan perannya sebagai leader ini, Kepala SMPN 21 Kota Malang selalu
memimpin, mengarahkan, mengayomi, mengutamakan kerja sama, saling percaya
mempercayai. Dan menganggap bahwa kepemimpinannya adalah sebagai suatu seni, yang
dapat dilihat dari gaya, tehnik, dan kiat-kiat memimpinnya. Sebaliknya sangat jauh dari kesan
memanfaatkan kekuasaannya untuk menakut-nakuti, anak buah serba salah, menjadikan
suasana kerja menjadi tegang dan menakutkan.
Peran kepemimpinan kepala sekolah sebagai seorang tenaga pendidik (educator),
Kepala SMPN 21 Kota Malang menggunakan strategi yang tepat untuk meningkatkan
profesionalisme para tenaga pendidik/guru, memberikan pembinaan kepada semua tenaga
pendidik baik melalui rapat sekolah secara rutin maupun yang bersifat situasional, misalnya
Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Sri Winarti
175
simulasi pembelajaran yang baik, model-model pembelajaran yang menarik, seperti team
teaching dan moving class.
Demikian juga dalam menjalankan perannya sebagai administrator kepala SMPN 21
Kota Malang secara spesifik telah melakukan pengelolaan administrasi yang bersifat
pencatatan, penyusunan dan pendokumenan seluruh program sekolah, meskipun kegiatan-
kegiatan tersebut telah dibagi habis dengan tenaga kependidikan lain yang terkait. Yang
meliputi pengelolaan kurikulum, pengelolaan administrasi peserta didik, pengelolaan
administrasi personalia, pengelolaan administrasi sarana dan prasarana, pengeloaan
administrasi kearsipan, dan pengelolaan administrasi keuangan.
Sedangkan dalam pelaksanaan perannya sebagai supervisor, kepala SMPN 21 Kota
Malang telah melakukan pengawasan serta pengendalian terhadap kinerja tenaga pendidik
yang merupakan kontrol agar kegiatan pendidikan di sekolah bisa terarah pada tujuan yang
telah ditetapkan, sekaligus sebagai tindakan preventif untuk mencegah agar para tenaga
pendidik tidak melakukan penyimpangan dalam melaksanakan pekerjaannya. Kegiatan
tersebut dilakukan dengan melalui program kunjungan kelas, pembicaraan individual, diskusi
kelompok dan simulasi pembelajaran, yang kemudian ditindaklanjuti dengan kegiatan
pembinaan untuk memecahkan suatu masalah yang dihadapi oleh para tenaga pendidik.
Meski masih belum dapat menggunakan sistem organisasi tenaga pendidik modern, yakni
dengan memanfaatkan seorang supervisor secara khusus yang lebih independen, kepala
sekolah telah berusaha memberikan layanan yang lebih baik kepada para tenaga pendidik.
Hal ini dilakukannya sebagai pengawasan dan pengendalian untuk meningkatkan kinerja
tenaga pendidik.
Pelaksanaan dalam menjalankan perannya sebagai supervisor ini, Kepala SMPN 21
Kota Malang, sangat memperhatikan prinsip-prinsip kolegial, konsultatif dan sangat
demokratis serta memposisikan dirinya sebagai orang yang berada di tengah-tengah para
bawahannya, tidak tampak seperti layaknya seorang diktator yang selalu mendominasi setiap
kegiatan kependidikan. Hubungan kepala sekolah dengan para tenaga pendidik bukan sebagai
atasan dan bawahan, namun menampilkan dirinya sebagai kolega dalam bekerja yang
mengutamakan sharing dari pada memberi perintah secara langsung.
Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Sri Winarti
176
Sumber: Data Primer diolah peneliti, Tahun 2013
Gambar 4.
Peran Kepala Sekolah dalam Peningkatan Profesionalisme Guru
TUJUAN
Merencanakan
Mengorganisa sikan
Memimpin
Mengndalikan
Program
Sarana
SDM
Dana
Informasi
1. MANAGER
2. LEADER
Gaya
Mengayomi
Kerjasama
Saling percaya
Menerima kritik
Seminar, diklat, lokakarya
Bimbingan model pembelajran
Team teching
Moving kelas
Memnfaatkan Sarpras yang tepat
Memberdayakan media Elektronik
Memberikan Kesempatan Olahraga
Memanfaatkan Gedung
Membina Mental
3. EDUCATOR
Membina Fisik
4. ADMISTRATOR Menyusun Proker
Pencatatan Proker
Mengarsip Proker Kunjungan kelas
Bimbingan Individual
Diskusi kelompok
Simulasi Pembelajaran
5. SUPERVISOR Pengawasan
Pengendalian
6. PENCIPTA IKLIM Pemenuhan Kebutuhan Sosio,Psiko, Fisik
Kegiatan Menarik dan Menyenangkan
Wisata sambil Belajar
Menginformasikan Program Sekolah
7. WIRAUSAHAWAN Training teacher exellent
Inservise training guru
Smart teaching
Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Sri Winarti
177
Penciptaan iklim kerja yang kondusif agar para tenaga pendidik lebih termotivasi untuk
menunjukkan kinerjanya secara unggul yang disertai usaha untuk meningkatkan
kompetensinya, juga dilakukan oleh kepala SMPN 21 Kota Malang dengan memperhatikan
prinsip-prinsip bahwa: para tenaga pendidik akan bekerja lebih giat apabila kegiatan yang
dilakukannya menarik dan menyenangkan, maka kepala sekolah mengadakan wisata sambil
belajar di Perpustakaan Pemerintah Daerah Kota Malang sekali waktu yang diikuti oleh
semua siswa dan didampingi oleh guru-gurunya.
Kepala sekolah selalu menginformasikan semua tujuan pendidikan kepada para tenaga
pendidik, agar mereka mengetahui tujuan dia bekerja serta melibat-kan para tenaga pendidik
dalam penyusunan tujuan pendidikan. Dan yang lebih menarik lagi bahwa kepala sekolah
menjanjikan sebuah hadiah (reward) bagi setiap tenaga pendidik yang berprestasi dalam
melaksanakan tugasnya. Namun demikian juga kadang-kadang harus memberi hukuman
kepada para guru yang dinilai melanggar aturan/tata tertib lembaga.
Sedangkan dalam hal pelaksanaan peran kepemimpinan kepala sekolah sebagai
wirausahawan, kepala SMPN 21 Kota Malang telah melakukan pembaharuan-pembaharuan
yang inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam hal-hal yang berhubungan dengan
proses pembelajaran siswa beserta kompetensi para tenaga pendidik, di antaranya inservise
training guru minimal sekali dalam setahun, antara lain yang pernah dilakukan kerja sama
dengan Universitas Negeri Malang mengadakan “Training Teacher Exellent”, dengan tema “
Smart Teaching pendekatan Neo Psikologi”, dan lain-lain.
Temuan mengenai peran kepala sekolah dalam peningkatan profesionalisme guru dapat
dilihat pada Gambar 4. Temuan mengenai kendala dan pendukung dalam peningkatan
profesionalisme guru di SMPN 21 Kota Malang dapat dilihat pada Gambar 5, sebagai
berikut:
Sumber : Data Primer diolah peneliti, Tahun 2013
Gambar 5.
Faktor Kendala dan Pendukung dalam Peningkatan Profesionalisme Guru
Peningkatan
profesionalisme
guru
Faktor kendala:
1. Pendidik yang rangkap tugas
2. Rendahnya semangat untuk
meningkatkan kompetensi
3. beban kerja pendidik yang
terlalu banyak. 4. Sarana prasarana yang kurang
memadai
Guru Profesional
Faktor pendukung:
1. Dukungan dari Dinas
Pendidikan menuju sekolah
unggulan.
2. Tingkat sosioekonomi
masyarakat sekitar sekolah
3. partisipasi komite sekolah
Upaya
menangani
kendala
Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Sri Winarti
178
Temuan mengenai upaya-upaya menangani kendala-kendala dalam peningkatan
profesionalisme guru dapat dilihat pada Gambar 6, sebagai berikut:
Sumber : Data Primer diolah peneliti, Tahun 2013
Gambar 6.
Upaya Menangani Faktor Kendala Dalam Peningkatan Profesionalisme Guru
Pembahasan
Dalam pembahasan ini, terdapat (tiga) buah tema yang akan dibahas secara berturut-
turut sebagaimana yang tercantum dalam fokus penelitian, yaitu: (1) Peran Kepala Sekolah
dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru. (2) Kendala dan Pendukung Dalam Peningkatan
Profesionalisme Guru. (3) Strategi Kepala Sekolah menangani Faktor Kendala Peningkatan
Profesionalisme Guru.
Peran Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru Kinerja kepala sekolah SMPN 21 Kota Malang dalam pengelolaan pemberdayaan
guru dapat ditegaskan bahwa dari hasil penelitian, kepala sekolah telah mampu mengelola
dengan baik meskipun ada kendala, namun kendala tersebut dapat diatasi dengan kemampuan
mengelola, memimpin, dan mengarahkan yang mengutamakan kerjasama serta saling
percaya-mempercayai. Aktifitas proses pembelajaran yang merupakan inti dari proses
pendidikan, guru sebagai salah satu pemegang utama di dalam menggerakkan kemajuan dan
perkembangan dunia pendidikan. Tugas utama seseorang guru ialah mendidik, mengajar,
membimbing, melatih, oleh sebab itulah tanggung jawab keberhasilan pendidikan berada di
pundak guru.
Guru sebagai juru mudi dari sebuah kapal, mau kemana arah dan haluan kapal
dihadapkan, bila juru mudinya pandai dan terampil, maka kapal akan berlayar selamat
ditujuan, gelombang dan ombak sebesar apapun dapat dilaluinya dengan tenang dan
tanggungjawab. Oleh karena itu, untuk menjadi seorang juru mudi harus melalui pendidikan
dan latihan khusus serta dengan memiliki keahlian khusus. Manajemen sekolah tidak lain
berarti pendayagunaan dan penggunaan sumber daya yang ada dan yang dapat diadakan
secara efisien dan efektif untuk mencapai visi dan misi sekolah. Kepala sekolah bertanggung
jawab atas jalannya lembaga sekolah dan kegiatannya. Kepala sekolah berada di garda
Kinerja Guru
Meningkat
Upaya Menangani
Kendala
Peningkatan
Kinerja Guru
Pembinaan Disiplin
Pemberian Motivasi
Penghargaan/Reward
Persepsi
Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Sri Winarti
179
terdepan dan dapat diukur keberhasilannya (Xaviery 2004). Hal tersebut di atas sejalan
dengan hasil penelitian ini yang dirumuskan dalam proposisi sebagai berikut:
Proposisi minor I : jika kepala sekolah mengimplementasikan fungsi sebagai manager
dalam organisasi pendidikan maka hal ini merupakan perwujudan dari
strategi peningkatan profesionalisme guru.
Proposisi minor II : jika kepala sekolah mengimplementasikan fungsi sebagai pemimpin
dalam organisasi pendidikan maka hal ini merupakan perwujudan dari
strategi peningkatan profesionalisme guru.
Sedangkan dalam menjalankan perannya sebagai leader (Pemimpin), Kepala SMPN
21 Kota Malang tampak mengayomi, mengutamakan kerja sama, saling percaya
mempercayai. Dan menganggap bahwa kepemimpinannya adalah sebagai suatu seni, yang
dapat dilihat dari gaya, tehnik, dan kiat-kiat memimpinnya.
Menjadi guru profesional juga memerlukan pendidikan dan pelatihan serta pendidikan
khusus. Manajemen berbasis sekolah merupakan suatu model manajemen yang memberikan
otonomi lebih besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang
melibatkan secara langsung semua warga sekolah guru, siswa, kepala sekolah, karyawan,
orang tua dan masyarakat untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kebijakan
pendidikan nasional (Norma Sitepu 2006).
Hal tersebut di atas sejalan dengan hasil penelitian ini yang dirumuskan dalam
proposisi sebagai berikut:
Proposisi minor III : jika kepala sekolah mengimplementasikan fungsi sebagai edukator baik
mental maupun fisik dalam organisasi pendidikan maka hal ini
merupakan perwujudan dari strategi peningkatan profesionalisme guru.
Proposisi minor IV : jika kepala sekolah mengimplementasikan fungsi sebagai administrator
dalam organisasi pendidikan maka hal ini merupakan perwujudan dari
strategi peningkatan profesionalisme guru.
Proposisi minor V : jika kepala sekolah mengimplementasikan fungsi sebagai supervisor
dalam organisasi pendidikan maka hal ini merupakan perwujudan dari
strategi peningkatan profesionalisme guru.
Proposisi minor VI : jika kepala sekolah mengimplementasikan fungsi sebagai pencipta
iklim dalam organisasi pendidikan maka hal ini merupakan perwujudan
dari strategi peningkatan profesionalisme guru.
Perubahan peran guru yang tadinya sebagai penyampai pengetahuan dan pengalihan
pengetahuan dan pengalih keterampilan, serta merupakan satu-satunya sumber belajar,
berubah peran menjadi pembimbing, pembina, pengajar, dan pelatih. Dalam kegiatan
pembelajaran, guru akan bertindak sebagai fasilisator yang bersikap akrab dengan penuh
tanggung jawab, serta memperlakukan peserta didik sebagai mitra dalam menggali dan
mengolah informasi menuju tujuan belajar mengajar yang telah direncanakan.
Faktor-Faktor Kendala dan Pendukung Dalam Peningkatan Profesionalisme Guru
Yang dimaksud dengan profesionalisme disini adalah kemampuan dan keterampilan
guru dalam merencanakan, melaksanakan pengajaran dan keterampilan, merencanakan dan
melaksanakan evaluasi hasil belajar siswa.
Beberapa kendala dalam melaksanakan peningkatan professional guru, adalah dari
factor internal yang menjadi sangat penting dan utama. Hal ini seperti yang ditunjukkan
dalam proposisi sebagai berikut:
Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Sri Winarti
180
Proposisi minor I : jika dalam organisasi pendidikan terdapat pendidik yang rangkap tugas,
rendahnya semangat untuk meningkatkan kompetensi, beban kerja
pendidik yang terlalu banyak, sarana prasarana yang kurang memadai
maka upaya peningkatan profesionalisme guru akan terhambat.
Tugas pemerintah (pusat dan daerah) memberikan fasilitas dan bantuan kepada
sekolah. Hal ini senada dengan proposisi sebagai berikut:
Proposisi minor II : Jika dalam organisasi pendidikan terdapat dukungan dari Dinas
Pendidikan menuju sekolah unggulan, tingkat sosioekonomi masyarakat
sekitar sekolah yang tinggi dan partisipasi komite sekolah maka akan
mendukung upaya peningkatan profesionalisme guru.
Strategi Kepala Sekolah Menangani Kendala Dalam upaya Peningkatan
Profesionalisme Guru
Sekarang ini, guru dihadapkan pada perubahan paradigma persaingan dari
sebelumnya lebih bersifat physical asset menuju paradigma knowledge based competition.
Perubahan paradigma tersebut menuntut efesiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya
guru, karena guru merupakan agen perubahan dan agen pembaharuan, sehingga mereka
mampu bersaing dan memiliki keunggulan kompetitif. Pemantapan sumber daya guru sebagai
intellectual capital harus diikuti dengan pengembangan dan pembaharauan terhadap
kemampuan dan keahlian yang dimilikinya, sehingga mereka mampu dan peka terhadap arah
perubahan yang terjadi. Strategi pemberdayaan merupakan salah satu cara pengembangan
guru melalui employee involvement. Analog dengan pikiran (Wahibur Rokhman 2003), dapat
dikonsepsikan bahwa pemberdayaan merupakan upaya kepala sekolah untuk memberikan
wewenang dan tanggung jawab yang proporasional, menciptakan kondisi saling percaya, dan
pelibatan guru dalam menyelesaikan tugas dan pengambilan keputusan.
Kedisiplinan juga menjadi unsur penting bagi seorang guru. Kedisiplinan ini memang
menjadi kelemahan bangsa Indonesia, yang perlu diberantas sejak bangku sekolah dasar.
Untuk itu hanya mungkin bila guru hidup dalam kedisiplinan sehingga anak didik dapat
meneladaninya. Kedisiplinan adalah salah satu faktor yang penting dalam suatu organisasi.
Dikatakan sebagai faktor yang penting karena disiplin akan mempengaruhi kinerja pegawai
dalam organisasi. Semakin tinggi disiplin pegawai, semakin tinggi prestasi kerja yang dapat
dicapai. Disiplin adalah merupakan cerminan besarnya tanggungjawab seseorang dalam
melakukan tugas – tugas yang diberikan kepadanya yang mendorong gairah dan semangat
kerja seseorang. Pada umumnya disiplin yang baik apabila pegawai datang ke kantor ataupun
perusahaan dengan teratur dan tepat waktu. Mereka berpakaian serba baik pada tempat
bekerjanya. Mereka menggunakan bahan-bahan dan perlengkapan dengan hati-hati. Mereka
menghasilkan jumlah dan kualitas pekerjaan yang memuaskan dan mengikuti cara kerja yang
ditentukan oleh perusahaan dan menyelesaikan dengan sangat baik (Hasibuan, 2000).
Dari hasil penelitian di lapangan sering terlihat beberapa guru tidak disiplin waktu,
seenaknya bolos, tidak disiplin dalam koreksi pekerjaan siswa sehingga siswa tidak mendapat
masukan dari pekerjaan mereka. Ketidakdisiplinan guru tersebut membuat siswa ikut-ikutan
suka bolos dan tidak tepat mengumpulkan perkerjaan rumah. Yang perlu diperhatikan di sini
adalah, meski guru sangat disiplin, ia harus tetap membangun komunikasi dan relasi baik
dengan siswa. Kepala sekolah sebagai pimpinan sekolah mengupayakan dengan memberikan
pembinaan kedisiplinan terhadap para tenaga pendidik yang meliputi perihal pengembangan
pola perilaku tenaga pendidik, peningkatan standar perilaku tenaga pendidik serta
menggunakan pelaksanaan aturan sebagai alat. Hal ini sejalan dengan temuan dalam
penelitian ini dalam bentuk proposisi sebagai berikut:
Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Sri Winarti
181
Proposisi mayor : Jika kepala sekolah berusaha untuk menumbuhkan disiplin,
memberikan penghargaan sesuai dengan prestasi, memotivasi dan
memberikan persepsi yang baik kepada guru maka akan mengurangi
hambatan dalam upaya peningkatan profesionalisme guru.
Manajemen peningkatan kompetensi guru bermuara pada pertumbuhan manusiawi
dan profesionalisme guru (Mantja, 2002). Dalam hal ini, hubungan antara kepala sekolah dan
guru bersifat proaktif mengupayakan perbaikan, pengembangan, peningkatan keefektifan dan
didasarkan atas kekuatan persepsi, bakat/potensi, dan minat individu. Artinya, kepala sekolah
hendaknya memiliki kepedulian terhadap kebutuhan manusiawi dan profesionalisasi guru
dalam tiga perspektif. Pertama, keterlibatan guru dengan segala keunikan kepribadiannya,
bakatnya, mengupayakan promosi yang wajar berdasarkan kemampuan kerja guru. Kedua,
kepedulian kepala sekolah terhadap pengembangan guru. Ketiga, program peningkatan
profesionalisme guru dilakukan secara kolaboratif antara kepala sekolah dan guru dalam
rangka meningkatkan keefektifan sekolah. Keempat, perspektif tersebut dalam proses
manajemen bersifat interdependensi dinamis.
Kepala sekolah memiliki peran strategis dalam proses pemberdayaan guru sebagai
agen perubahan. Dalam hal ini, kepala sekolah dituntut memiliki kesadaran yang tinggi dalam
mendistribusi wewenang dan tanggung jawab secara proporsional. Cara ini, di satu sisi
merupakan proses kaderisasi, di sisi lain adalah untuk mengakomodasi proses peningkatan
kompetensi guru secara berkelanjutan. Untuk menjamin keberhasilan proses pemberdayaan
guru, dapat digunakan model pemberdayaan Khan (dalam Wahibur Rokhman, 2003) dengan
beberpa paradigma, diantaranya paradigma desire, trust, confident, credibility, accountability,
communication.
Paradigma desire merupakan upaya kepala sekolah untuk (a) memberi kesempatan
kepada guru untuk mengidentifikasi permasalahan yang sedang berkembang, (b)
memperkecil directive personality dan memperluas keterlibatan guru, (c) mendorong
terciptanya perspektif baru dan memikirkan kembali strategi untuk meningkatkan kinerja, dan
(d) menggambarkan keahlian team dan melatih guru untuk melakukan self-control.
Paradigma trust mencakup upaya kepala sekolah untuk (a) memberi kesempatan
kepada guru untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan, (b) menyediakan waktu dan
sumber daya pendukung yang mencukupi bagi upaya guru untuk meningkatkan kinerja, (c)
menyediakan pelatihan yang mencukupi bagi kebutuhan peningkatan kinerja guru, (d)
menghargai perbedaan pandangan dan mengakui kesuksesan yang diraih oleh guru, dan (e)
menyediakan akses informasi yang memadai bagi upaya guru untuk meningkatkan kinerja.
Paradigma Confident merupakan upaya kepala sekolah untuk (a) mendelegasikan
tugas-tugas yang dianggap penting kepada guru, (b) menggali dan mengakomodasi gagasan
dan saran guru, (c) memperluas tugas dan membangun jaringan dengan sekolah dan instansi
lain, dan (d) menyediakan jadwal job instruction dan mendorong munculnya win-win
solution.
Beberapa upaya kepala sekolah terkait dengan paradigma credibility, adalah (a)
memandang guru sebagai partner strategis, (b) menawarkan peningkat standar tinggi di
semua aspek kinerja guru, (c) mensosialisasikan inisiatif guru sebagai individu kepada guru
lain untuk melakukan perubahan secara partisipatif, dan (d) menggagas win-win solution
dalam mengatasi perbedaan pandangan dalam penentuan tujuan dan penetapan prioritas.
Paradigma accountability merupakan upaya kepala sekolah untuk (a) menggunakan
jalur training dalam mengevaluasi kinerja guru, (b) memberikan tugas yang terdefinisikan
secara jelas dan terukur, (c) melibatkan guru dalam penentuan standar dan ukuran kinerja, (d)
Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Sri Winarti
182
memberikan bantuan dan saran kepada guru dalam menyelesaikan beban kerjanya, dan (e)
menyediakan periode dan waktu pemberian feedback.
Paradigma communication adalah upaya kepala sekolah untuk (a) menetapkan
kebijakan open door communication, (b) menyediakan waktu untuk memperoleh informasi
dan mendiskusikan permasalah secara terbuka, dan (c) menciptakan kesempatan untuk cross-
training.
SIMPULAN
1. Peran Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru SMPN 21 Kota
Malang
a. Kepala sekolah selalu mengutamakan asas musyawarah dalam menyusun
perencanaan, pengorganisasian dan kepemimpinan, serta dalam mengendalikan
program yang telah menjadi ketetapan bersama.
b. Dalam hal menjalankan perannya sebagai leader, kepala sekolah selalu memimpin,
mengarahkan, mengayomi, mengutamakan kerja sama, saling percaya mempercayai
dan memberdayakan tenaga pendidik melalui kerja sama, dan mendorong keterlibatan
seluruh tenaga pendidik dalam berbagai kegiatan yang menunjang program sekolah.
c. Dalam menjalankan perannya sebagai leader (pemimpin) ini, kepala sekolah
menggunakan gaya kombinasi antara gaya kepemimpinan mendikte, menjual dan
mendelegasikan.
d. Dalam menjalankan perannya sebagai seorang tenaga pendidik (educator), kepala
sekolah menggunakan strategi yang tepat untuk meningkatkan profesionalisme para
guru, memberikan bimbingan baik melalui rapat sekolah secara rutin maupun yang
bersifat situasional.
e. Dalam menjalankan perannya sebagai supervisor, kepala sekolah telah melakukan
pengawasan serta pengendalian terhadap kinerja guru yang merupakan kontrol agar
kegiatan pendidikan di sekolah bisa terarah pada tujuan yang telah ditetapkan,
memperhatikan prinsip-prinsip kolegial, konsultatif dan sangat demokratis serta
memposisikan dirinya sebagai orang yang berada di tengah-tengah para bawahannya.
f. Dalam menjalankan perannya sebagai menciptakan iklim kerja yang kondusif agar
para guru lebih termotivasi untuk menunjukkan kinerjanya secara unggul yang disertai
usaha untuk meningkatkan kompetensinya, dengan selalu menginformasikan semua
tujuan pendidikan kepada para guru.
g. Dalam menjalankan perannya sebagai wirausahawan kepala sekolah melakukan
pembaharuan-pembaharuan yang inovatif di sekolahnya, termasuk perubahan dalam
hal-hal yang berhubungan dengan proses pembelajaran siswa beserta kompetensi para
guru.
2. Faktor-Faktor Kendala dan Pendukung dalam Peningkatan Profesionalisme Guru
di SMPN 21 Kota Malang
Faktor Kendala
Faktor Kendala dalam upaya peningkatan profesionalisme guru di SMPN 21 Kota
Malang meliputi:
a. Masih adanya tenaga pendidik yang merangkap tugas di lembaga lain yang hal ini
dinilai dapat mengganggu konsentrasi dalam bekerja.
b. Rendahnya semangat tenaga pendidik dalam meningkatkan kompetensinya juga dapat
berpengaruh pada kinerjanya.
Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Sri Winarti
183
c. Menumpuknya beban tugas yang diberikan kepada tenaga pendidik dapat
menimbulkan rasa jenuh dalam tugasnya yang berakibat menurunnya semangat dan
gairah bekerja secara maksimal.
d. Sarana prasarana pendukung proses kegiatan belajar mengajar yang belum memadai.
Faktor Pendukung
Sedangkan faktor pendukung dalam upaya peningkatan profesionalisme guru di SMPN
21 Kota Malang meliputi:
a. Dukungan Dinas Pendidikan Kota Malang dalam hal penciptaan sekolah unggulan.
b. Kondisi sosial dan ekonomi masyarakat sekitar sekolah yang memiliki tingkat
pendidikan dan pengetahuan akan memberikan kontrol baik secara langsung maupun
tidak langsung terhadap penyelenggaraan sekolah.
c. Partisipasi Komite Sekolah yang maksimal baik dalam pemberian ide/gagasan,
koreksi serta terlibat dalam perumusan-perumusan kebijakan sekolah.
3. Strategi Kepala Sekolah dalam Menangani Kendala-Kendala dalam Peningkatkan
Profesionalisme Guru SMPN 21 Kota Malang
Upaya-upaya yang dilakukan oleh kepala SMPN 21 Kota Malang, untuk menangani
kendala-kendala dalam peningkatan profesionalisme guru antara lain:
a. Berusaha untuk menumbuhkan disiplin guru sebagai tenaga pendidik untuk
mengembangkan pola perilaku, meningkatkan standar perilakunya.
b. Pemberian motivasi, baik motivasi yang bersifat intrinsik dan ekstrinsik.
c. Pemberian penghargaan (reward). Dalam hal ini kepala sekolah secara terbuka
menawarkan sebuah penghargaan (reward), yang dikhususkan bagi para tenaga
pendidik yang berhasil meraih prestasi yang ada hubungannya dengan kegiatan
akademik dilembaganya.
d. Persepsi, dalam upaya untuk meningkatkan kinerja guru, juga dilakukan oleh kepala
sekolah dengan memberikan perhatian penuh terhadap prestasi kerja para tenaga
pendidik dengan menggunakan panca indera langsung. Hal ini dilakukan oleh kepala
sekolah dengan didasari oleh asumsi bahwa dengan pemberian persepsi yang baik
diyakini akan dapat menimbulkan iklim kerja yang lebih kondusif serta akan mampu
meningkatkan produktivitas kerja.
KETERBATASAN PENELITIAN
Keterbatasan penelitian ini pada metode pengambilan sampelnya, karena tidak semua
guru menjadi sampel sehingga belum bisa digunakan untuk menarik kesimpulan secara
general. Untuk memperjelas hasil penelitian ini, diharapkan ada peneliti lebih lanjut untuk
hasil yg bisa digeneralisasikan dalam strategi yang terkait dengan profesional guru.
SARAN BAGI PENELITI BERIKUTNYA
Dari proses pengolahan data dapat diketahui bahwa hasil penelitian yang terkait
dengan strategi kepala sekolah dalam peningkatan profesionalisme guru, ditemukan
beberapa faktor penghambat dalam upaya tersebut . Sehingga perlu dikaji lebih lanjut
temuan pada penelitian-penelitian lain yang sejenis sehingga bisa didapatkan
penyempurnaan-penyempurnaan temuan dan akan dapat dijadikan referensi untuk
penelitian berikutnya.
Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Sri Winarti
184
DAFTAR REFERENSI
Arikunto, S. 1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. PT. Rineka
Cipta
Bogdan, R. C & S. J Taylor. 1993. Introduction to Qualitative Research Method; A
Phenomenological Approach to the Social Science, Alih Bahasa Arief F, John Wiley
and Sons-Usaha Nasional, New York- Surabaya.
Bogdan, R. C., & Biklen,.S.K. 1998. Qualitative Research In Education: An Introduction to
Theory and Methods. Boston : Allyn and Bacon.
Burhanuddin. 1994. Analisis Administrasi, Mmanajemen dan Kepemimpinan Pendidikan.
Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
Cipta. Jakarta.
Cushway, Barry. 1994. Human resource management Fast-track MBA series
Kogan Page: Pennsylvania State University
Danim, Sudarwan. 2002. Inovasi pendidikan: Dalam Upaya Peningkatan Profesionalisme
Tenaga Kependidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Depdiknas. 2004. Pola Pembinaan Sistem Pendidikan Tenaga Kependidikan PGSD. Jakarta:
Depdiknas.
Depdiknas. 2005. Undang-Undang RI Nomor 14 Tentang Guru dan Dosen.Jakarta:
Depdiknas.
Dimyati, H M. 2004. Paradigma dan Prinsip-Prinsip Penelitian Kualitatif. Makalah
Lokakarya Metodologi Peneliitian Kualitatif. Lembaga Penelitian UM Malang
Echols, John M. dan Hasan Shadily. 1997. Kamus Inggris-Indonesia: An English-Indonesian
Dictionary. Jakarta: Penerbit PT. Gramedia.
Faisal, Snapiah. 1990. Metode Penelitian Pendidikan. Surabaya: PT. Usaha-
Usaha Nasional.
Fathan, A. 2005. Konsep dan Metode Penelitian Kualitatif beserta contoh proposal
penelitiannya. Malang: PPs-UM Prodi Pendidikan Geografi Tidak dipublikasikan..
Fattah, N. 2003. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah MBS. dan Dewan Sekolah. Bandung :
Pustaka Bani Quraisy.
Fullan. 2001. The Meaning of Educational Change. New York: Teachers College Press.
Hasballah. 1999. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Hasibuan, Malayu SP. 2001. Manajemen: Dasar, Pengertian, dan Masalah. Jakarta: Bumi
Aksara.
Hoy & Miskel, 1987. Education Administration.: Theory, Research and Practice. New
York: Random Hause.
Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Sri Winarti
185
King, Patricia. 1993. Performance Planning and Appraisal. New York: McGraw-Hill Book
Company.
Lamatenggo. 2001. “Kinerja Guru: Korelasi antara Persepsi Guru terhadap Perilaku
Kepemimpinan Kepala Sekolah, Motivasi Kerja dan Kinerja Guru SD di Gorontalo”.
Tesis. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta.
Lincoln, Y. S & Guba E. G, 1985. Naturalistic Inquiry. Beverly Hill: SAGE Publication. Inc.
Luthans, F. 2002. Positive organizational behavior: Developing and managing
psychological strengths. Academy of Management Executive , 16(1): 57-72
Malhotra, N.K. 1996. Marketing Research An Applied Orientation. Prentice Hall
International. London
Mantja, W. 2007. Profesionalisasi Tenaga Kependidikan: Manajemen Pendidikan dan
Supervisi Pengajaran. Malang: Elang Mas.
Moedjiarto. 2001. Sekolah Unggul: Metodologi untuk Meningkatkan Mutu Pendidikan.
Jakarta: Duta Graha Pustaka.
Moleong, L. J. 1994. Metodologi Penelitian Kualitatif. Cetakan kedua. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Mudhoffir, 1993. Prinsip-prinsip Pengelolaan Pusat Sumber Belajar. Bandung: Remaja
Karya.
Mulyana, D. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan
Ilmu Sosial lainnya. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Mulyasa. 2002. Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi. Bandung:
PT. RajaGrafindo Persada.
Nunung Chomzanah dan Atingtedjasutisna. 1994. Dasar-Dasar Manajemen. Bandung :
Penerbit Armico.
Pannen dan Purwanto. 1997. Punulisan Bahan Ajar. Jakarta: Depdikbud
Purnama, Nursya’bani. 2006. Manajemen Kualitas: Perspektif Global.
Yogyakarta: Ekonisia.
Purwanto, Ngalim. 1998. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung: Penerbit PT.
Remaja Rosdakarya.
Republik Indonesia. 2006. Undang-Undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 Tentang
Guru dan Dosen serta UU No. 20 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS. Bandung:
Penerbit Citra Umbara.
Robbins, Stephen R. 2003. Perilaku Organisas Jilid I. Terjemahan Tim Indeks. Jakarta: PT.
Ineks Kelompok Gramedia.
Rosyada, Dede. 2004. Paradigma Pendidikan Demokratis: Sebuah Model Pelibatan
Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Sahertian. 2000. Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan: Dalam Rangka
Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Sawitri, Dyah. 2008. Program Pelatihan dan Pengembangan manajemen Sumber daya
Manusia: Perspektif Teori Strategik. Jurnal Sosio-Religia Vol 7 No 4. Agustus 2008.
Dyah Sawitri Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Andarwati Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Sri Winarti
186
Sergiovanni, T. J. 1991. The Principalship: A Reflective Practice Perspective.
Massachusetts: Alyn and Bacon.
Siagian, Sondang P. 1992. Fungsi-Fungsi Manajerial. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara.
Siagian, Sondang P. 1996. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Penerbit Bumi
Aksara.
Silahahi, Ulbert. 2002. Studi tentang Ilmu Administrasi: Konsep, Teori, dan Dimensi.
Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Sitepu, Bintang P. 2012. Penulisan Buku Teks Pelajaran. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Steers, Richard M. 1985. Efektivitas Organisasi, Erlangga, Jakarta
Strengthening Educational Leadership; The ISLLC Standards. Murphy, Joseph;
Shipman, Neil; Pearlman, Mari Streamlined Seminar, v16 n1 p1-4 Sep
1997
Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Adminitrasi. Edisi Kelimabelas. Bandung:
CV. Alfabeta.
Supriadi, D. 2000. Reformasi Pendidikan Dalam Konteks Otonomi Daerah.Yogyakarta:
Adicita.
Sutopo 1999. Administrasi, Manajemen dan Organisasi. Jakarta: Lembaga Administrasi
Negara.
Suyitno dan Tanzeh, 2007. Dasar-Dasar Penelitian, Surabaya. Elkhaf
Suyitno, 2008. Kepemimpinan Pendidikan dalam Orientasi Efektivitas Organisasi,
Surabaya, Elkhaf.
Suyitno, 2011. Model Pembinaan dan Supervisi Pendidikan. Malang, Sinar Akademika
Malang.
Tim Penyusun. 2010. Pedoman Format Penulisan Tesis, Program Pascasarjana Univ.
Gajayana Malang.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional
Wahibur, Rokhman, J. 2003. Pemberdayaan dan komitmen: Upaya mencapai kesuksesan
organisasi dalam menghadapi persaingan global. Dalam Usmara, A Ed..: Paradigma
baru manajemen sumber daya manusia. 121-133. Yogyakarta: Amara Book.
Wahjosumidjo. 1999. Kepemimpinan Kepala Sekolah: Tinjauan Teoritik dan
Permasalahannya. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Xaviery. 2004. Benarkah Wajah Sekolah Ada Pada Kepala Sekolah. Diambil dari
www.diknas.go.id.
Helma Malini Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohamad Jais Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
187
Testing the Existence of January Effect in Indonesia and Kuala Lumpur Shari’ah
Compliance
Helma Malini
Faculty of Economy
Department of Management
Tanjungpura University
West Kalimantan
Indonesia
Mohamad Jais
Faculty of Economics and Bussines
University Malaysia Sarawak
Department of Management and Finance
Sarawak
Malaysia
Abstract
This paper investigates the existence of January Effect in Indonesia and Malaysia
Shari’ah stock market and the implication for stock market efficiency. Shari’ah Compliance
is relatively a new industry both for Indonesia and Malaysia, although the growth is
continously increasing over the year. There are significant differences between investing in
Shari’ah compliant than the conventional stock market, since Shari’ah capital market have to
followed a set of rules form the stock exchange and also followed Islamic capital market law
and principles. Study that focusing about Shari’ah compliance both for Indonesia and
Malaysia is still rare, that is why this study taking one step further by examining the january
effect in Indonesia and Malaysia Shariah compliance. Regression model with dummy
variables and monthly price of companies that classified in the Indonesia and Malaysia
Shari’ah compliance from January 2000 to December 2012 to test the Janaury effect in the
stock return of Indonesia Shari’ah compliance and Kuala Lumpur Shari’ah compliance. It
was empirically found that, although Janaury anomaly does not exist in Indonesia Shari’ah
compliance and in Kuala Lumpur Shari’ah compliance. Other result showed that both
Shari'ah compliance also enjoyed significant return in other month beside January which is
July for Indonesia and September, October and November for Malaysia, which raises
question against Efficient Market Hypothesis (EMH).
Keywords: Calendar effects, Indonesia and Malaysia Shari’ah compliance, January Effect,
Efficient Market Hypothesis
Helma Malini Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohamad Jais Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
188
I. Introduction
For almost ten years after the publication of Fama’s classic exposition in 1970, the Efficient
Markets Hypothesis (EMH) dominated the academic and business scene. According to this
hypothesis the market is efficient if its price are formed on the basis of all available
information. Stock market is efficient not only if all relevant information about the company
are incorporated into stock price, but also influence investor rationality in taking investment
decisions.
The assumption that investors are rational and therefore value investments rationally – that is,
by calculating the net present values of future cash flows, appropriately discounted for risk –
has not been supported by empirical evidence. Rather the evidence shows that investors are
affected by herd instinct, a tendency to “churn” their portfolios, and a tendency to under-react
or over-react to news or asymmetrical judgements about the causes of previous profits and
losses. Furthermore, many alleged anomalies have been detected in the patterns of historical
share prices. The best known are calendar anomalies.
The objective of this study is to investigated the existence of “turn-of-the-year” or
January effect in Islamic capital market or familiar with the term of Shari’ah compliant. The
January effects a seasonal irregularity of the financial market where tock prices tend to fall
towards the end of December and then recuperate quickly in the first month of the New year,
i.e., January.
Monthly value of Indonesia and Malaysia Shari’ah compliance for ten years from 2000
to 2012, has been employed for detecting January effect of Shari’ah compliance from both
countries. Regression modles coupled with dummy variables is used to test the existence of
January effect. The reason for choosing Shari’ah compliant as the backgorund of study is
looking at the growth of the industry both in Indonesia and Malaysia. In Indonesia about
86.1% of 230 million of population are Muslim, which makes Indonesia the biggest Muslim
majority country in the world. Therefore, Indonesia offers bright prospects for the
development of Islamic capital market. Based on the 2012 Indonesian Islamic Capital Report,
the development of Shari’ah stocks on the Indonesia Shar’iah Securities List shows an
increasing number from 173 in 2007 to 253 Shari’ah stocks in 2012. As March 2012, the
percentage of Shari’ah stocks have exceeded the percentage of conventional stocks at 50.7%.
While in Malaysia the growth of Shari’ah compliance is very significant showed by number
of listed companies in 2012 were 766 and the percentage of exceeded the percentage of
conventional stocks at 82.3%. Thus making comparison between Indonesia and Malaysia
Shari’ah compliance are appropriate since not only both countries are geographically closed
but also of the strong correlation and integration of Shari’ah stock market in both countries.
II. Literature Review
The January effect is a calendar-related market anomaly in the financial market where
financial security prices increase in the month of January. This creates an opportunity for
investors to buy stock for lower prices before January and sell them after their value
increases. Therefore, the main characteristics of the January Effect are an increase in buying
securities before the end of the year for a lower price, and selling them in January to generate
profit from the price differences. The recurrent nature of this anomaly suggest that the market
is not efficient, as market efficiency would suggest that this effect should disappear. Keim
Helma Malini Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohamad Jais Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
189
(1983) shows that a large part of the year return is due to January effect and especially to the
excess return obtained in the first days of trading in January; the relation between the
company size and the excess return being negative. Horowitz, Loughran and Savin (2000) are
consistent with the existence of January effect - the existence of higher average return in
January in comparison with the average returns for the rest of the year's months, but their
paper does not support the negative relation between the excess return in January and the
company's size.
January effect has also been detected in Canada (Berges, McConnell, & Schlarbaum,
1984), Japan (Kato & Schallheim, 1985), Malaysian (Nassir & Mohammad, 1987), U.K.
(Mills & Coutts, 1995), Greece (Mills, Siriopoulos, Markellos & Harizanis, 2000), Chile,
Greece, Korea, Taiwan and Turkey (Fountas & Segredakis, 2002), India (Pandey, 2002),
Sweden (Hellstrom, 2002), Nepal (Bahadur & Joshi, 2005), Poland, Romania, Hungary and
Slovakia (Asteriou & Kovetsos, 2006), Argentina (Rossi, 2007). However, conflicting results
are also available. For instance, January effect in Jordon (Maghayereh, 2003), Greece (Flores,
2008), Brazil, Chile and Mexico (Rossi, 2007) wasn’t detected.
December, and new information effect. Tax-loss selling hypothesis (Branch, 1977)
asserts that in December, i.e., end of tax year, investors tend to sell out the stocks held to
realize capital losses. This helps them in reducing tax paid by them on their gains. As a result
of this downward trend in market, stock prices go down. As the new tax year starts in
January, investors again start to buy stocks and this upward drift pushes the stock prices up.
Window dressing hypothesis (Haugen & Lakonishok, 1988) posits that, to manipulate their
performance, fund managers, avoid showing losers at their credit at year end, and thus start
selling loser stocks from their fund and let only the winners stay in their portfolio. However,
on January, fund managers reverse their action and start selling winners and put small stocks
back in the portfolio. These window dressing actions by the fund managers create artificial
downward pressure (and low returns) in December and upward pressure in the market (and
high returns) in January.
III. Research Method
3.1 Data
This Section offers a brief description of the research method and the data set. Using
daily closing price of Indonesia Shari’ah compliance and Malaysia shari’ah compliance from
the period of 2000 : 1 to 2012 : 12. The companies that classified as Shari’ah in Indonesia are
214 companies while in Malaysia there are 766 companies.
Since Indonesia and Malaysia Shari’ah compliance has experienced major structural
changes with the potential for affecting market efficiency, we divide our chosen sample
period into three following sub periods of differing market stages :
1. January 1, 2000 – 2004; periods during its early stages of Indonesia Shar’iah
compliance and Malaysia Shari’ah compliance development. In the early stages
showed that many turbulances influence the establishment of shari’ah indices in both
countries specially in term of policy and socialization.
Helma Malini Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohamad Jais Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
190
2. January 1, 2005 – 2008; periods during which the Indonesia Shari’ah Compliance and
Kuala Lumpur Shari’ah compliance stock market grew significantly in size and
number. The growth of Indonesia Shari’ah Compliance and Malaysia Shari’ah
compliance are because both countries has implemented and formulated socialization
process.
3. January 1, 2009 – 2012 periods after market crash. The period after market crash
showed that both shari’ah index in Indonesia and Malaysia are reluctant to several
crisis such as Subprime mortgage crisis in US and debt crisis in Europe.
The stages allowed us to test for the presence of January effect over shorts period of time.
It also enables us to determine whether there was January effect in the Indonesia and
Malaysia Shari’ah compliant.
3.2 Methodology
Monthly return of DSI Index is calculated as the natural log of [today’s Index Value /
previous day’s Index Value]:
Rt = In( ) (1)
Where:
Rt = Monthly return of ISC and KLSC
Pt = Closing value of ISC and KLSC Index at time t.
Pt-1= Closing value of ISC and KLSC Index at time t-1.
The reasons to choose logarithm returns over general return are justified by both theoretically
and empirically. Theoretically, logarithmic returns are analytically more tractable when
linking together sub-period returns to form returns over longer intervals. Empirically,
logarithmic returns are more likely to be normally distributed which is prior condition of
standard statistical techniques (Strong, 1992).
To test the existence of monthly seasonality, the following basic regression model is used:
Rt = C + β2Dfeb + β3Dmar +β4Dapr + β5Dmay +β6Djun + β7Djul + β8Daug
+ β9Dsep + β10Doct + β11Dnov + β12Ddes+ μᵗ (2)
Where, Rt is the monthly return and the intercept term, C , indicates the average return for
January. Di is a dummy variable that takes the value of 1 in month and i zero otherwise. For
instance, DFeb = 1 if the return is on February and 0 otherwise; DMar = 1 if the return is on
March and 0 otherwise; DDec = 1 if the return is on December and 0 otherwise and so on.
The OLS coefficients β2 to β12 indicate the difference in return between January and the i th
month of the year. The stochastic disturbance term is denoted by μᵗ
Helma Malini Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohamad Jais Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
191
IV. Result and Discussion
Figure 1. ISC (Indonesia Shari’ah Compliance) Monthly Return from 2000-2012
Figure 1 showed the monthly return for Indonesia Shariah compliance from the year
2000-2012. The monthly return from the January until December showed volatility. The
graphics noted in certain months Indonesia having increasing and decreasing towards their
monthly return. On average month of the year showing stability of monthly return. May 2007
showed increasing of the monthly return at 208.29, while on December 2003, July 2005, and
July 2010 are showing decreasing in the monthly return with average point of -99.00. From
the behavioural investor perspective we can see that investor the movement related to
investor behaviour particularly during crisis and the increasing of oil prices in Indonesia that
happened in 2004, which was the first democration general election in Indonesia, continoued
with the increasing of oil price in 2006 and subprime mortgage crisis in 2008.
Figure 2. KLSC (Kuala Lumpur Shariah Compliance) Monthly Return From 2000-2012
Figure KLSC (Kuala Lumpur Shari’ah Compliance) monthly return from 2000-2012
Helma Malini Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohamad Jais Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
192
Monthly return for Kuala Lumpur Shari’ah compliance was showing stability although
in year 2008 and 2010 there was some decreasing point. Looking back at that year there was
national election in Malaysia (2008) and several bombing that happened in praying places
(2010), although Malaysian society is very sensitive towards the increasing of oil prices, the
monthly return showed no reaction at 1.74 point. From the behavioural perspective we can
see that investor in Kuala Lumpur Shari’ah Compliance were more prone to the social and
political condition in their country including global financial crisis that surely bring severe
impact to the investing condition.
Return data has been tested for unit roots employing the augmented Dickey-Fuller (ADF)
test. The results of the ADF test, presented in table 1, leads to rejection of the hypothesis of a
unit root, so that the monthly in Indonesia and Kuala Lumpur Shari’ah compliance returns
series can be taken to be stationary.
Table 1
Test for unit roots for Indonesia Shari’ah Compliance (ISC) and Kuala Lumpur Shari’ah
compliance (KLSC)
ADF With Constant ADF Without Constant
1 Lag
ISC KLSC
-09.5882 -10.5643
(6.339e-024)*** (6.738e-028)***
ISC KLSC
-11.7343 -9.9836
(7.683e-025)*** (9.764e-034)***
5 Lag -6.38915 -8.23940
(1.726e-011)*** (1.834e-001)***
-3.96975 -5.674543
(9.861e-007)*** (8.872e-016)***
-7.46633 -6.56453
(1.71e-011)*** (1.71e-043)***
10 Lag -5.02877 -5.08733
(1.782e-005)*** (1.756e.004)*** Note: figures in the parentheses show p-values. *** indicates significant at 1% level.
Table 2
Summary Statistics of Monthly Returns Indonesia Shari’ah compliance
Statistics Observations Mean t-stats Variance Skewness Kurtosis
January 289 -0.0186 -0.2213 0.5576 1.2512 4.2594
February 231 -0.0221 -0.1626 0.2183 -2.8137 11.2397
March 242 -0.0022 -0.2893 0.3134 -0.0844 1.8952
April 231 -0.0125 -0.2344 0.2137 -0.2885 1.7653
May 242 0.0252 -0.0831 0.2396 1.0748 2.3908
June 231 0.0506 -0.0804 0.2859 1.0064 1.4775
July 220 -0.0081 -0.1431 0.1879 0.6904 0.3974
August 187 0.0109 -0.1566 0.1696 0.016 1.7085
September 242 0.0271 -0.0618 0.3159 2.7519 10.188
October 241 0.0413 -0.1521 0.5692 2.9903 12.9692
November 242 0.0191 -0.1714 0.2546 0.6453 0.4085
December 231 -0.0046 -0.2671 0.1469 -2.6359 11.4431
Table 2 provides a summary of statistics on the mean returns for each month of Indonesia
Shari’ah compliance. The descriptive statistics run for the whole periods : 2000-2010. The
results showed that mean return for Indonesia is positive in the month of May, June, August,
September, October and November while the rest of the month is showed negative returns,
while March suffers lowest return, June observes the highest return in stock market in
Helma Malini Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohamad Jais Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
193
Indonesia Shari’ah Market. Returns exhibit negative skewness (i.e., data are skewed to the
left) for four months and positive skewness (i.e., data are skewed to the right) for eight
months. Five months have kurtosis greater than three which represents leptokurtic
distribution, i.e., flatter tails than the normal distribution.
Table 3
Summary Statistics of Monthly Returns Kuala Lumpur Shari’ah compliance
Statistics Observations Mean t-stats Variance Skewness Kurtosis
January 198 0.03226 -0.02603 0.02124 -0.7388 7.8385
February 209 -0.01322 -0.01350 0.01378 -0.3467 5.3195
March 231 -0.01444 -0.01211 0.00872 -0.5260 10.797
April 242 -0.01327 -0.07890 0.01210 -0.1227 5.7002
May 242 -0.01704 0.02123 0.01316 -0.2084 6.1468
June 231 -0.00550 0.03271 0.01295 -0.0804 7.5173
July 220 -0.01062 0.01791 0.01486 -0.8530 7.2839
August 209 -0.01421 0.01867 0.01731 -0.3603 7.6900
September 231 0.01295 0.01951 0.00886 -0.4229 7.1434
October 242 0.01286 0.04460 0.01583 -0.4008 8.4188
November 231 0.01731 0.02112 0.01173 -0.1519 11.346
December 165 0.00686 -0.01622 0.01568 -0.4416 5.8470
Table 3 provides a summary of statistics on the mean returns for each month of Malaysia
Shari’ah compliance. The descriptive statistics run for the whole periods : 2000-2010. The
results showed that mean return for Malaysia Shari’ah compliance is positive in the month of
January, September, October, November and December. while the rest of the month is
showed negative returns, while June suffers lowest return, January observes the highest return
in stock market in Malaysia Shari’ah compliance. Returns exhibit negative skewness (i.e.,
data are skewed to the left) for four months and positive skewness (i.e., data are skewed to
the right) for eight months. Five months have kurtosis greater than three which represents
leptokurtic distribution, i.e., flatter tails than the normal distribution.
Table 4
Regression analysis for period 2000-2012 (dependent variable: logarithmic return) Indonesia
Shariah Compliance
Note: *** indicates significant at 1% level;** indicates significant at 5% level; * indicates significant at 10% level.
Coefficient Std. Error t-ratio p-value
Intercept (C) -0.0332656 0.0214116 -0.5163 0.26295
DFebruary -0.0233915
0.0312119
-0.0112227
-0.0313121
-0.0233192
0.0120816
0.0454851
-0.0232023
0.0480856
-0.0310151
-0.0321086
0.1321742
0.0325412 -0.6374 0.41281
DMarch
DApril
DMay
DJune
DJuly
DAugust
DSeptember
DOctober
DNovember
DDecember
R-squared
0.0125851
0.0140731
0.0340714
0.0060752
0.693472
0.0342541
0.0340752
-0.0340752
0.0360752
0.0875114
0.2205
-0.0612
-1.0508
-0.4865
0.7944
-0.1163
-0.0140
1.0432
-0.7100
-1.3249
Adjusted R-squared
0.42111
0.83204
0.25460
0.65810
0.48119
0.59969
0.88991
0.20911
0.35473
0.12942
0.02225
Helma Malini Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohamad Jais Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
194
Table 4 shows regression results for the partial sample period January, 2000 to December,
2012. In this sample period, the mean return for January is negative while the July effect is
positively stand out and reliable. This result showed that January effect is not exist in
Indonesia Shari’ah compliance and investor were not influence to effect and event that
happened around december until January. The result also parallel with the theory of Efficient
Market Hypothesis where is no investor could earn abnormal profit during certain month or
taking advantages towards new information that arrives in certain month.
Table 5
Regression analysis for period 2000-2012 (dependent variable: logarithmic return) Kuala
Lumpur Shariah Compliance
Coefficient Std. Error t-ratio p-value
Intercept (C) -0.00892203 0.0322269 -0.3082 0.65272
DFebruary -0.00633712
-0.00611287
0.00236818
0.01332322
0.543435623
0.0123706
0.0251077
0.024021
0.0564435
0.5644554
-0.8383415
0.34804
0.1310779 -0.3231 0.70715
DMarch
DApril
DMay
DJune
DJuly
DAugust
DSeptember
DOctober
DNovember
DDecember
R-squared
0.1210778
0.0310889
0.0411779
-0.021077
0.0332779
0.0410877
0.0210669
-0.0210669
0.0891669
0.0326196
-0.2358
-0.0653
-0.6692
0.0448
-0.0220
0.3833
1.0241
1.5430
0.3428
-0.0956
Adjusted R-squared
0.81377
0.54915
0.34657
0.04165
0.88043
0.56939
0.21251
0.65290
0.54357
0.9237
0.00289
Note: *** indicates significant at 1% level; ** indicates significant at 5% level; * indicates significant at 10% level.
Table 5 shows regression result for the partial sample period January, 2000 to December,
2012. In this sample period, the mean return for January is negative while the September,
October and November effect positively stand out and reliable. The result of Kuala Lumpur
Shari’ah compliance also the same with Indonesia Shari’ah compliance that the existence of
January effect is non existence, although in July, august, september and november investor
could earn profit above abnormal return, which also against the Efficient Market Hypothesis.
Through the period of 2000-2012, January anomaly in Indonesia Shari’ah Compliance
is not found. Although during the sample period, mean stock return in December to April was
negative. April is the first month of the financial year in Indonesia, and the absence of
significant positive return in July rejects usefulness of tax-loss selling hypothesis. The same
result also came from the Kuala Lumpur Shari’ah compliance where January effect is not
found, although first month of the financial year start at January in Malaysia.
However, there are significant positive June anomaly in Indonesia Shari’ah Compliance
and April anomaly for Kuala Lumpur Shari’ah compliance. Both result are parallel with
Efficient Market Hypothesis. The existence of significicant positive in July for Indonesia
Shari’ah Complianve and September, October and November for Kuala Lumpur Shari’ah
compliance showed that investor enables to forecast future stoc prices by observing the
current trend in stock market and can devise investment strategies which may help them to
outperform the market.
Helma Malini Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohamad Jais Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
195
V. Conclusion
To explain the non existence of January effect in Indonesia Shari’ah compliance, we
can give several explanation; First, from behavioural perspective or more known as holiday
pyschology, this term more related or against to the Efficient Market Hypothesis, where
during holiday investor tend to taking a break from investing activity which is happened in
christmas holiday followed with the new year holiday, and after the break, January would be
a proper month to start investing, while in Indonesia and Malaysia investor tend to react
normally during the holiday season. Second, investing in Shari’ah compliance meaning that
this compliance is more sensitive to riba or interest rather than tax, although tax is great
motivation to earn benefit at the ehnd of the year, but the wash rule of 30 days expiration date
does not interest investor in Shariah compliance.
References
Asteriou, D., & Kovetsos, G. 2006. Testing for the existence of the January effect in
transition economies. Applied Financial Economic Letters, 2(6), 375-381.
http://dx.doi.org/10.1080/17446540600706817
Bahadur, K. C. F., & Joshi, N. K. 2005. The Nepalese stock market: efficiency and
calendar anomalies. Economic Review, 17(17).
Berges, A., Mcconnel, J. J., & Schlarbaum, G. G. 1984. The turn of the year in Canada.
Journal of Finance, 39(1), 185-192. http://dx.doi.org/10.1111/j.1540-6261.1984.tb03867.x
Branch, B. 1977. A tax loss trading rule. Journal of Business, 50(2),
198-207. http://dx.doi.org/10.1086/295930 Fama, E. F. 1970. Efficient capital markets: A review of theory and empirical work.
Journal of Finance, 25(2), 383-417. http://dx.doi.org/10.2307/2325486 Floros, C. 2008. The monthly and trading month effects in Greek stock market returns:
1996-2002. Managerial Finance, 34(7), 453-464.
http://dx.doi.org/10.1108/03074350810874415 Fountas, S., & Segredakis, K. N. 2002. Emerging stock markets return seasonalities: the
January effect and The tax-loss selling hypothesis. Applied Financial Economics, 12(4),
291-299. http://dx.doi.org/10.1080/09603100010000839
Haugen, R. A., & Lakonishok, J. 1988. The incredible January effect: the stock market’s
unsolved mystery. Homewood, Illinois: Dow Jones-Irwin.
Hellstrom, T. 2002. Trends and calendar effects in stock returns (Working Paper).
Retrieved from http://www.citeseerx.ist.psu.edu/viewdoc/summary?
Horowitz, J.L., T. Loughran, and N.E. Savin, 2000, “Three Analyses of the Firm Size
Premium,” Journal of Empirical Finance, 7, 143-153.
Kato, K., & Schallheim, J. S. 1985. Seasonal and size anomalies in the Japanese stock
market. The Journal Of Financial and Quantitative Analysis, 20(2), 243-260.
http://dx.doi.org/10.2307/2330958
Keim, D. 1983. Size-related anomalies and stock return seasonality: Further empirical
evidence. Journal of Financial Economics, 12(1), 12-32. http://dx.doi.org/10.1016/0304-
405X(83)90025-9
Helma Malini Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Mohamad Jais Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
196
Maghayereh, A. 2003. Seasonality and January effect anomalies in an emerging capital
market. The Arab Bank Review, 5(2), 25-32.
Mills, T. C., & Coutts, J. A. 1995. Calendar effects in the London Stock Exchange FT-SE
Indices. European Journal of Finance, 1(1), 79-94.
http://dx.doi.org/10.1080/13518479500000010
Mills, T. C., Siriopoulos, C., Markellos, R. N., & Harizanis, D. 2000. Seasonality in the
Athens Stock Exchange. Applied Economics Letters, 10(2), 137-142.
Nassir, A., & Mohammad, S. 1987. The January effect of stocks traded on the Kuala
Lumpur stock exchange: an empirical analysis. Hong Kong Journal of Business
Management, 5, 33-50.
Pandey, I. M. 2002. Is there seasonality in the SENSEX monthly returns? Working
Paper, No.WP 2002-09-08. Retrieved from http://www.iimahd.ernet.in/publications
Rossi, M. 2007. Calendar anomalies in stock returns: evidence from South America.
Bachelor Thesis, Lappeenranta University of Technology.
Strong, N. 1992. Modelling abnormal returns: a review article. Journal of Business,
Finance and Accounting, 19 (4), 533-553.
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
197
Perancangan Knowledge Management System
pada Bagian Diklat PT Dirgantara Indonesia
Joeliaty
Ajeng Pritha Aryani
Program Studi Manajemen Dan Bisnis
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis
Universitas Padjadjaran
Abstract
The problem that emerged on every organization now days especially company is how to
increase sustainable knowledge from their human resources that suitable with the challenges
faced. However, a lot of organizations such as PT Dirgantara Indonesia is not yet or have not
discovered hidden knowledge within their employees. Therefore, the objective of this
research is to find a constructive plan, implementation and evaluation of Knowledge
Management System (KMS) that should be applied to PT Dirgantara Indonesia. Research
method used on this paper is descriptive qualitative methodology, 10-step knowledge
management roadmap, and differentiation quantitative test. The results from this research are
implementations on business startegy of PT Dirgantara Indonesia on their Training and
Education Department, with personal approach. Knowledge that needs to be followed is
career analysis method, English language ability, SAP creation and system analysis. Those
implementations are running through online forum such as intranet portal and offline forum
such as scheduled formal forum.
Keywords : knowledge management strategy, knowledge management system, 10 steps
roadmap, SECI model, MOODLE
I.Pendahuluan
Perubahan dunia ini mengarah ke fenomena bahwa sumber ekonomi bukan lagi dalam bentuk
money capital atau sumber daya alam, tapi ke arah knowledge capital. Persaingan ini oleh
Peter F. Drucker disebut sebagai “knowledge to knowledge competition”. Artinya, semakin
kuat pengetahuan dari SDM suatu organisasi, semakin kuat daya saingnya. Maka, masalah
yang dihadapi setiap organisasi, khususnya perusahaan, pada saat ini adalah bagaimana agar
perusahaan mampu meningkatkan pengetahuan secara berkelanjutan dari SDM-nya yang
sesuai dengan tuntutan tantangan yang dihadapi.
Namun, banyak organisasi belum atau tidak mengetahui potensi pengetahuan tersembunyi
yang dimiliki oleh karyawannya. Setiap orang mengetahui bahwa organisasinya mengetahui
sesuatu, tetapi seringkali tidak tahu bagaimana mendapatkan informasi tersebut atau
mendapatkan nama ahli terkait informasi tersebut (Burk 1999). Hal ini didukung oleh Riset
Delphi Group yang menunjukkan bahwa pengetahuan dalam organisasi tersimpan dalam
struktur : 42% dipikirkan (otak) karyawan, 26% dokumen kertas, 20% dokumen elektronik,
12% knowledge base elektronik. Fakta umum ini memang terjadi dimana-mana, bahwa aset
pengetahuan sebagian besar tersimpan dalam pikiran kita yang disebut tacit knowledge. Oleh
karena itu, knowledge management ada untuk menjawab persoalan ini yang proses mengubah
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
198
tacit knowledge menjadi knowledge yang mudah dikomunikasikan dan didokumentasikan
(explicit knowledge).
Kesadaran untuk menerapkan pendekatan knowledge management ke dalam strategi bisnis
diperlukan karena terbukti perusahaan yang menjadikan pengetahuan sebagai sumber daya
utamanya senantiasa mampu mendorong perusahaan lebih inovatif yang bermuara pada
kepemilikan daya saing perusahaan. Posisi pengetahuan yang sedemikian penting dalam
konteks daya saing perusahaan saat ini membuat Komite Malcolm Baldrige memasukkan
kriteria knowledge management ke dalam salah satu dari tujuh kriteria penilaiannya.
PT Dirgantara Indonesia atau Indonesian Aeorospace (IAe) adalah industri pesawat terbang
yang pertama dan satu-satunya di Indonesia dan di wilayah Asia Tenggara. Perusahaan ini
dimiliki oleh Pemerintah Indonesia. PT DI didirikan pada 26 April 1976 dengan nama PT
Industri Pesawat Terbang Nurtanio dan BJ Habibie sebagai Presiden Direktur. Industri
Pesawat Terbang Nurtanio kemudian berganti nama menjadi Industri Pesawat Terbang
Nusantara (IPTN) pada 11 Oktober 1985. Setelah direstrukturisasi, IPTN kemudian berubah
nama menjadi Dirgantara Indonesia pada 24 Agustus 2000. PT DI didukung oleh 3.720
tenaga kerja yang semula berjumlah 9.670 orang.
Dalam rangka menyediakan sumber daya teknisi pendukung produksi part pesawat terbang
pada tahun 1978 dibentuklah PUSDIKLAT di bawah Direktorat Umum. Dalam
perkembangannya PUSDIKLAT berubah menjadi Diklat yang merupakan pusat
penyelenggaraan training baik teknis maupun nonteknis di bawah Departemen Pelatihan dan
Pengembangan SDM. Diklat kini hanya memiliki 12 orang karyawan setelah adanya lay off
massal.
Bagian Diklat yang merupakan pusat penyelenggaraan training memiliki peran penting dalam
proses operasional di PT Dirgantara Indonesia. Dengan jumlah karyawan yang sedikit, Diklat
harus terus mampu menjadi ‘penyedia kompetensi’ bagi karyawan PT DI secara terus
menerus dan berkelanjutan. Dalam pelaksanaannya, masing-masing individu menjadi
spesialis dan tidak adanya pendistribusian pengetahuan antarkaryawan.
Dengan banyaknya pengetahuan yang terus mengalir, maka perlu ditangkap, diklasifikasi,
disimpan, disebarkan, dan diaplikasikan sehingga menjadi nilai pengetahuan yang bermanfaat
untuk meningkatkan kualitas pekerjaan karyawan dan keberlangsungan training di Diklat.
Berdasarkan latar belakang penelitian yang telah dijabarkan diatas, maka dirumuskan
masalah yang akan dianalisis sebagai berikut : Bagaimana perbandingan metodologi
knowledge management secara teori dan praktek? Bagaimana perancangan knowledge
management system yang sebaiknya diterapkan di bagian Diklat PT Dirgantara Indonesia
yang mencakup pemilihan infrastruktur teknologi, penerapan model SECI, rancangan
implementasi KMS, portal intranet, pengelolaan implementasi (perubahan, budaya, dan
reward), dan instrumen evaluasi KMS? Tujuan dan manfaat penelitian ini adalah untuk
mendapatkan perbandingan metodologi knowledge management secara teori dan praktek dan
untuk mendapatkan rancangan knowledge management system yang sebaiknya diterapkan di
bagian Diklat PT Dirgantara Indonesia yang mencakup pemilihan infrastruktur teknologi,
penerapan model SECI, rancangan implementasi KMS, portal intranet, pengelolaan
implementasi (perubahan, budaya, dan reward), dan instrumen evaluasi KMS.
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
199
II. Kajian Pustaka
Tiwana (2000) mendefinisikan knowledge management sebagai pengelolaan knowledge
perusahaan dalam menciptakan nilai bisnis (business value) dan menghasilkan keunggulan
kompetitif yang berkesinambungan (sustainable competitive advantage) dengan
mengoptimalkan proses penciptaan, pengomunikasian, dan pengaplikasian semua knowledge
yang dibutuhkan dalam rangka pencapaian tujuan bisnis. Davidson dan Voss (2002)
mendefinisikan knowledge management sebagai sistem yang memungkinkan perusahaan
menyerap pengetahuan, pengalaman, dan kreativitas para stafnya untuk perbaikan kinerja
perusahaan. Sementara menurut Karl-Erick Sveiby (1998) knowledge management adalah
seni penciptaan nilai dari intangible asset.
Menurut Paul L. Tobing (2007), knowledge management system adalah mekanisme dan
proses yang terpadu dalam penyimpanan, pemeliharaan, pengorganisasian informasi bisnis
dan pekerjaan yang berhubungan dengan penciptaan berbagai informasi menjadi aset
intelektual organisasi yang permanen.
Michel Polanyi (1966) membedakan pengetahuan dalam dua bentuk yaitu tacit dan explicit
knowledge. Tacit knowledge adalah pengetahuan yang masih berada dalam otak atau pikiran
manusia/individu yang tersimpan dalam pengalaman individu dan faktor-faktor tak berwujud,
seperti kepercayaan pribadi, perspektif, dan sistem nilai. Tacit knowledge sulit untuk
diartikulasikan dengan bahasa formal. Isinya mencakup pemahaman pribadi, intuisi, dan
firasat. Sebelum dikomunikasikan, tacit knowledge harus diubah dalam bentuk kata-kata,
model, atau angka-angka yang dapat dipahami. Explicit knowledge atau terkadang disebut
pengetahuan formal adalah pengetahuan yang dapat diartikulasikan dan telah dikodifikasikan
sehingga bisa disampaikan dalam bahasa, juga termasuk nomor dan kata, tanda matematika,
spesifikasi, manual, dal lainnya. Pengetahuan eksplisit juga siap disebar pada yang lainnya.
Selain itu pengetahuan eksplisit bisa dengan mudah diproses oleh komputer, alat elektronik,
atau basis data penyimpanan.
Nonaka dan Takeuchi (The Knowledge Creating Company, 1995 : 63-69) lebih lanjut
mendiskusikan empat gaya konversi atau ciptaan pengetahuan yang diperoleh dari kedua
macam pengetahuan. Keempat gaya konversi ini disebut model SECI (S:Sosialization,
E:Externalization, C: Combination, ,dan I:Internalization). Model pertama diberi nama oleh
Nonaka dan Takeuchi (1995) dengan istilah sosialisasi. Sosialisasi meliputi kegiatan berbagi
pengetahuan tacit antar individu. Model kedua adalah eksternalisasi. Eksternalisasi
membutuhkan penyajian pengetahuan tacit ke dalam bentuk yang lebih umum sehingga dapat
dipahami oleh orang lain. Model yang ketiga, kombinasi meliputi konversi pengetahuan
eksplisit ke dalam bentuk himpunan pengetahuan eksplisit yang lebih kompleks. Model
terakhir, internalisasi pengetahuan baru merupakan konversi dari pengetahuan eksplisit ke
dalam pengetahuan tacit organisasi.
Hansen dan kawan-kawan (1999) mengemukakan bahwa ada dua jenis strategi knowledge
management, yakni strategi kodifikasi dan personalisasi. Strategi kodifikasi adalah salah satu
strategi KM yang menitikberatkan perhatian sistem knowledge management organisasi
terhadap pengelolaan explicit knowledge, termasuk di dalamnya penggunaan database
pengetahuan yang tersimpan dalam storage komputer/server. Strategi personalisasi adalah
strategi KM yang meniktikberatkan sistem knowledge management organisasi terhadap
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
200
konektivitas antar individu. Strategi ini biasanya dipakai pada organisasi yang memerlukan
penggunaan tacit knowledge yang tinggi di dalam suatu organisasi.
III.Metode Penelitian
Penelitian ini dilakukan di PT Dirgantara Indonesia bagian Diklat , yang terdiri dari 12
karyawan , sebagai populasi. Untuk melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode
penelitian deskriptif kualitatif untuk melakukan prosedur penyusunan rancangan knowledge
management system, yang mengacu pada metodologi 10-step Knowledge Management
Roadmap sebagai berikut :
Sumber : Amrit Tiwana (2000 : 101)
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
201
Sedangkan untuk mengetahui strategi penerapan manajemen pengetahuan yang dilakukan PT
Dirgantara , digunakan metode uji beda antara strategi personalisasi dan strategi kodifikasi.
IV.Hasil dan Pembahasan
Berikut adalah langkah-langkah metodologi 10 step roadmap yang dilaksanakan PT
Dirgantara Indonesia Bagian Diklat.
Langkah 1 : Analisis Infrastruktur
Keadaan infrastruktur Diklat :
• Telah memiliki jaringan LAN dan dimanfaatkan untuk keperluan internet (128 Kbps)
dan intranet (100 Mbps)
• Topologi jaringan LAN : star dan peer to peer
• Hardware yang dimiliki : 5 komputer di ruangan kelas, 12 komputer utk masing-
masing karyawan, 2 laptop, 7 printer, dan 5 unit telepon
• Software yang dimiliki : OS, Ms. Office, Visual Basic, PHP, MySql, Camtasia,
CATIA, Adobe Acrobat, Browser
• Keperluan intranet menggunakan Ms. Outlook dengan email add masing-masing yang
telah diberikan perusahaan
• Keperluan internet menggunakan 2 user id yang digunakan secara bergantian
• Secara keseluruhan para karyawan sudah merasa cukup dengan infrastruktur yang ada
tetapi masih merasa kurang pada memory komputer terutama untuk keperluan
explorasi database dan penggunaan CATIA Advance.
Gambar 1 Topologi jaringan LAN di Diklat
Sumber : Data primer yang diolah, 2010
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
202
Langkah 2 Mengintegrasikan Knowledge Management Dengan Strategi Bisnis
Tabel 2 Analisis SWOT
Strength (S) Weakness (W)
1. Diklat memiliki trainer
yang semuanya telah
bersertifikat TOT
2. Trainer adalah para ahli di
bidangnya dengan
pengalaman yang lebih
dari 20 tahun sebagai
trainer
3. Menjadi tumpuan
pelaksanaan training (efek
regulasi) untuk seluruh
unit di perusahaan
4. Memiliki fasilitas kelas,
bengkel dan laboratorium
lengkap
5. Trainer multi tasking baik
secara struktural maupun
bidang pengajaran
1. Diklat hanya memiliki
sedikit karyawan yaitu 12
orang
2. Hampir semua karyawan
Diklat mendekati masa
pensiun
3. Tidak jelasnya batas
waktu policy tentang
regenerasi
4. Kurang adanya dukungan
keuangan dari perusahaan
5. Operasional kurang
leluasa karena birokrasi
yang cukup panjang
Opportunity (O) Threat (T)
1. Hubungan yang harmonis
dengan seluruh unit
2. Masih sangat sedikitnya
sekolah/pendidikan
industri penerbangan
3. Beberapa airliner dan
bandara sudah melakukan
lobi untuk melakukan
kerjasama dalam
pemenuhan kebutuhan
tenaga mekanik pesawat
terbang berlisensi
1. Adanya kebijakan zero
recruitment pada bagian
non produksi
2. Kebijakan dukungan
pemerintah yang masih
belum jelas, karena
eksistensi sebuah industry
pesawat terbang sangat
tergantung pada campur
tangan pemerintah
(industry strategis perlu
dukungan dan biaya yang
besar)
Sumber : Data primer yang diolah, 2010
Dengan memperhatikan kekuatan (S), kelemahan (W), peluang (O), dan ancaman (T), maka
strategi yang dapat dilakukan Diklat PT DI adalah :
1. Analisis kekuatan (S) dan peluang (O) :
mengembangkan Diklat sebagai training center pencetak tenaga mekanik
pesawat terbang yang berlicense
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
203
2. Analisis kekuatan (S) dan ancaman (T) :
Meningkatkan pembelajaran para trainer dengan penyediaan sumber-sumber
atau tools pembelajaran
Mengadakan forum-forum untuk mengevaluasi metode pelatihan yang ada
agar kualitasnya bisa meningkat dan tetap hemat biaya
3. Analisis kelemahan (W) dan peluang (O) :
Mengadakan kerja sama dengan pihak eksternal untuk menyelenggarakan
sekolah/training center
Memanfaatkan hubungan yang harmonis dengan seluruh unit untuk
melancarkan kegiatan operasional
4. Analisis kelemahan (W) dan ancaman (T) :
Memaksimalkan potensi karyawan yang ada dengan melakukan training dan
pemberian insentif
Melakukan kodifikasi pengetahuan untuk meminimalisir pengetahuan yang
keluar
Setelah mengolah hasil kuesioner strategi bisnis dengan uji beda independen/bebas hasilnya
adalah sebagai berikut :
Tabel 3 Hasil uji beda strategi bisnis
Group Statistics
Strategi
Bisnis N Mean
Std.
Deviation
Std. Error
Mean
Total Kodifikasi 12 24.5833 3.20393 .92489
personalisasi 12 32.0833 4.88892 1.41131
Sumber : Data primer yang diolah, 2010
Hasil analisis di atas menunjukkan bahwa fokus pengembangan KMS di bagian Diklat adalah
personalisasi yaitu lebih fokus pada pertukaran pengetahuan tacit antarkaryawan.
Berdasarkan hasil kuesioner, knowledge gap yang ada di bagian Diklat adalah
, pengetahuan yang perlu ditindaklanjuti karena memiliki knowledge gap tinggi, yaitu >1
adalah :
- Career analysis method
- Bahasa inggris
- Cara pembuatan satuan pelajaran
- Analisis sistem
- Administrasi umum
Langkah 3 : Merancang Infrastruktur KM
Untuk mendukung penerapan Knowledge Management di bagian Diklat perlu dilakukan
bebrapa pengembangan diantaranya :
Topologi yang digunakan diubah dari peer to peer menjadi client and server
Penyediaan satu buah komputer server dengan spesifikasi :
Intel® Core™2 Duo Processor E7500 (3M Cache, 2.93 GHz, 1066 MHz FSB), HDD
2x 72GB, Gigabyte G31M-ES2C, dan Kingston 2GB PC6400 DDR2 (Spesifikasi
komputer server harus lebih tinggi dari spesifikasi komputer client)
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
204
Penambahan RAM dan HD pada komputer client menjadi
Kingston 1GB PC6400 DDR2 dan HDD 2x 80GB
Software Linux/Windows Server 2003/2008
Software XAMPP dan MOODLE
Langkah 4 : Memeriksa dan Menganalisis Pengetahuan
Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwan kondisi dokumen dan pengetahuan di bagian
Diklat adalah sebagai berikut :
• Pengetahuan karyawan sebagian besar berupa tacit knowledge
• Hardcopy dokumen-dokumen yang ada sulit ditemukan dan disimpan karena tidak
terklasifikasi sehingga terkadang kerja para karyawan tidak efisien
• Dokumen masih belum dikelola dengan baik sehingga sering terjadi duplikasi hasil
pekerjaan
• Bagian Diklat memiliki “bank data” tetapi data yang ada tidak update (banyak data-
data dan knowledge yang terdokumentasi pada masing-masing individu)
• Belum ada mekanisme untuk saling berbagi informasi dan knowledge
• Tidak adanya sistem penghargaan/reward
Langkah 5 : Mendesian tim KM
Dalam penelitian kali ini, karena objek penelitiannya adalah bagian dari perusahaan maka
yang dirancang bukanlah tim/divisi Knowledge Management tetapi dalam penerapannya di
Diklat hanya membutuhkan seorang administrator yang fungsinya sebagai berikut :
Melakukan perancangan sistem dokumentasi dan implementasinya
Menjamin beroperasinya portal intranet
Mengatur hak akses setiap individu dalam portal
Mengelola administrasi sistem
Mengelola konten yang akan diupload ke portal
Melakukan evaluasi rutin atas implementasi Knowledge Management
Menjalankan program knowledge sharing melalui forum tatap muka yang bervariasi
Menyediakan fasilitator untuk setiap forum
Langkah 6 : Membuat cetak biru KM
Penerapan model SECI bagian diklat adalah :
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
205
Gambar 2 Penerapan model SECI di Diklat
Socialization
- Knowledge Sharing
- Mempelajari
pengetahuan/ketrampilan baru
dan mempraktekan langsunng
- Rapat formal secara berkala
- Evaluasi kerja
- Diskusi informal
Externalization
- Dokumentasi hasil rapat
- Dokumentasi bahan mengajar
- Penyimpanan bahan mengajar
dalam database diklat
Internalization
- Pelatihan untuk karyawan diklat
- Buletin/surat edaran dari
perusahaan
- Papan pengumuman di bagian
diklat
Combination
- Penggunaan fasilitas internet
dan intranet
- Diskusi masalah atau hal terkait
pekerjaan melalui milis
Sumber : data primer yang diolah, 2010
Langkah 7 : Mengembangkan sistem KM
Untuk menerapkan KMS maka perlu dibuat forum online berupa portal intranet dan forum
offline berupa forum knowledge sharing secara formal dan berkala. Bentuk forum offline
dapat berupa evaluasi pelatihan yang ada dan knowledge sharing materi-materi pelatihan.
Portal online yang dibuat menggunakan software MOODLE.
C
E
I
S
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
206
Gambar 3 user interface portal online
Sumber : Data primer yang diolah, 2010
Langkah 8 : Rencana Implementasi KMS
Dalam implementasinya, seperti yang telah dipaparkan peneliti, tahapan yang harus
dilakukan adalah:
1. Mengembangkan infrastruktur yang ada dengan menambahkan komputer server,
mengubah topologi yang ada dan menambah software server dan MOODLE
2. Mengangkat seorang administrator yang berasal dari bagian Diklat sendiri yaitu
orang yang selama ini bertanggung jawab atas pengelolaan IT.
3. Mengimplementasikan KMS yang berupa portal intranet yang telah dibuat oleh
peneliti
4. Menjalankan forum tatap muka secara reguler satu bulan sekali
Forum tatap muka yang dapat dilakukan :
- evaluasi metode mengajar
- evaluasi pelatihan yang ada
- knowledge sharing materi-materi baru yang dapat ditambahkan
- knowledge sharing mengenai buku-buku, ilmu-ilmu baru yang relevan dengan
pekerjaan
5. Mengimplementasikan model penerapan SECI yang telah dibuat oleh peneliti
6. Melakukan evaluasi atas penerapan knowledge management yang ada
Langkah 9 : Rencana Pengelolaan Perubahan, Budaya Dan Reward
Tabel 7 Pengelolaan Perubahan
Kondisi saat ini Perubahan yang perlu dilakukan
Jarang melakukan rapat Melakukan rapat secara rutin
Belum ada mekanisme
knowledge sharing
Melakukan knowledge sharing baik
secara formal dan informal lewat
forum tatap muka dan forum online
Pengetahuan sebagian besar
berupa tacit knowledge
Melakukan dokumentasi data
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
207
Hardcopy yang ada sulit
ditemukan
Melakukan pengklasifikasian data
Data terdokumentasi pada
masing-masing individu
Menyerahkan data-data untuk
didokumentasikan pada “bank data”
Tidak adanya sitem reward Menerapkan KMS berbasis reward
Dokumentasi rapat hanya
pada beberapa individu
Melakukan dokumentasi notulen
rapat pada portal
Karyawan sudah tidak
pernah mengupdate “bank
data”
Melakukan update data pada “bank
data”
Tidak menggunakan portal
intranet
Membiasakan penggunaan portal
intranet untuk pekerjaan sehari-hari
Sumber : Data primer yang diolah, 2010
Dalam rangka mendorong terbentuknya budaya knowledge sharing tersebut, bagian Diklat
harus memenuhi berbagai persyaratan organisasional atau kultural berikut:
Adanya komitmen dari manajemen melalui kebijakan, anjuran dan memberi teladan
(contoh) knowledge sharing dalam berbagai kesempatan. Keteladanan dapat
dilakukan melalui pembuktian bahwa dengan saling berbagi pengetahuan dan
pengalaman, semua masalah dapat dipecahkan secara lebih mudah, efisien dan cepat.
Kepemimpinan dalam KM adalah secara terus menerus dan konsisten memberi
inspirasi kepada karyawan tentang aktivitas dan manfaat KM secara nyata bagi semua
elemen organisasi. Pemimpin harus menciptakan iklim bahwa seorang karyawan tidak
lagi merasa sendirian dalam memecahkan masalah apapun dalam pekerjaan.
Budaya perusahaan yang memberikan iklim kepercayaan dan keterbukaan
Adanya kemauan dari pemimpin divisi untuk mempromosikan knowledge sharing dan
kolaborasi
Divisi menghargai knowledge, pembelajaran, dan inovasi
Memiliki struktur informal yang fleksibel
Membangun kepercayaan antar karyawan
Dalam penerapannya, di bagian Diklat belum ada penilaian kerja dan tindaklanjutnya seperti
reward ataupun insentif.
Rancangan bentuk reward yang dapat diterapkan adalah :
• Forum tatap muka
Setiap kontribusi yang dapat dijadikan perbaikan dan tambahan serta sebagaibahan
pengambilan keputusan akan mendapat reward 5% gaji tetap
• Forum online
Tabel 8 Rancangan reward KMS
Bentuk
kontribusi
Frekuensi Reward
Akses ke
portal
> 30x/bulan 1% gaji tetap
Menyimpan,
updating
materi dalam
database
Minimal tiap
adanya
pelatihan
3% gaji tetap
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
208
Knowledge
sharing
> 5x /bulan 5% gaji tetap
Interaksi di
forum
>10x/bulan 4% gaji tetap
Kontribusi
terbaik
Diberikan
training/seminar
sesuai bidangnya
Sumber : Data primer yang diolah, 2010
Langkah 10 : Membuat instrumen evaluasi KMS
Untuk membuat instrumen evaluasi Knowledge Management System, peneliti mengacu pada
pendekatan indikator dari Department of The Navy (DON) Amerika Serikat.
Tabel 9 Indikator performansi KM DON
Inisiatif KM Indikator Sistem Indikator
Output
Indikator Outcome
Special Interest
Group
• Jumlah Kontribusi
• Frekuensi Update
• Jumlah Anggota
• Rasio jumlah
kontributor dengan
jumlah anggota
• Jumlah
masalah
yang
diselesaikan
• Peningkatan
mutu dan
efisiensi
• Pengetahuan
yang di
capture
Direktori
Expertis
• Jumlah akses ke
situs
• Frekuensi
penggunaan
• Jumlah kontribusi
• waktu
penyelesaian
masalah
• waktu untuk
mencari
expert
• peningkatan
mutu dan
efisiensi
• waktu dan
uang yang
dihemat
melalui
pemanfaatan
knowledge
expert
Sistem
Kolaborasi
• Jumlah Pengguna
• Jumlah Paten
yang dihasilkan
• Jumlah artikel dan
presentasi yang
dihasilkan
• Jumlah
proyek
• Jumlah
produk baru
• Rata-rata
learning
curve
• Pengurangan
jumlah delay
• Waktu
tanggap yang
lebih cepat
terhadap
proposal
• Pengurangan
learning curve
bagi karyawan
baru
Sumber : metric guide for KM Intitiatives DON, 2005
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
209
a. Evaluasi forum online
Tabel 10 Form evaluasi forum online
No. Nama Karyawan Waktu
akses
Informasi/bentuk
kontribusi
Jumlah
Kontribusi
Sumber : Data primer yang diolah, 2010
Selain itu MOODLE dalam fiturnya jg terdapat menu reports yang dapat menunjukkan
aktivitas pengguna pada web. Berikut contoh laporannya :
Gambar 4 Fitur report di MOODLE
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
210
Gambar 5 Live Log MOODLE
b. Evaluasi forum offline
Tabel 11 Form evaluasi forum offline
No. Nama Karyawan kehadiran Informasi Jumlah
Kontribusi
Rencana pengukuran ROI KMS di bagian Diklat :
Tabel 12 Rencana pengukuran ROI KMS
No. Deskripsi Jumlah Unit
Cost
1 Biaya Pengembangan
a. Perangkat Lunak dan Keras yang
Baru
1. Pengembangan Hardware
Server
2. Server Operating System
3. Pengembangan Hardware
Client
1 unit
1 unit
1 paket
12 unit
b. Biaya Lain
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
211
1. Pelatihan bagi operator dan
manajemen
2. Maintanance perangkat dan
jaringan
Benefit
1. Peningkatan produktivitas karyawan
2. Efisiensi biaya training
3. Lebih sedikit kesalahan yang terjadi
4. Efisiensi biaya operasional
5. Efisiensi waktu karyawan menjadi
level produktif setelah pelatihan
Benefit yang disebutkan pada tabel di atas bisa terjadi karena dengan penerapan knowledge
management system para karyawan diberi fasilitas lengkap untuk mendapatkan ilmu dan
pembelajaran sehingga kualitas dan produktivitas pekerjaannya akan meningkat. Dengan
demikian biaya training dan operasional akan bisa semakin ditekan. Kemudian, adanya
dokumentasi data dengan klasifikasi data yang baik akan menurunkan tingkat kesalahan yang
dilakukan karyawan. Selain itu, dengan metode konversi pengetahuan yang tepat akan
memperpendek kurva belajar para karyawan sehingga waktu karyawan menjadi level
produktif akan menjadi semakin cepat pula.
VI.Kesimpulan Dan Saran
4.1.Kesimpulan
metodologi knowledge management pada dasarnya terdiri dari menyelaraskan strategi
KM dan strategi perusahaan, merancang infrastruktur, merancang tim atau struktur,
implementasi yang harus terdapat portal intranet yang mengacu pada seven layers,
dan terakhir evaluasi penerapan KM yang menyeluruh.
Strategi bisnis bagian Diklat adalah strategi personalisasi yaitu lebih fokus pada
pertukaran pengetahuan tacit antarkaryawan.
Pengetahuan yang perlu ditindak lanjuti karena memiliki knowledge gap yang
besar adalah career analysis method, bahasa inggris, cara pembuatan SAP , dan
analisis sistem.
Perlu dilakukan pengembangan infrastruktur yaitu pengubahan topologi LAN dari
peer to peer menjadi client and srever, penyediaan komputer server, penambahan
RAM dan HD pada komputer client, dan penggunaan software windows server,
xampp, dan MOODLE
Kondisi pengetahuan yang ada di bagian Diklat adalah sebagian besar berupa tacit
knowledge dan pengelolaan dokumen kurang baik sehingga kerja karyawan kurang
efektif dan efisien
Kebutuhan karyawan tehadap IT tinggi terlihat dari nilai kumulatif jawaban
responden mengenai perlunya penambahan beberapa tools IT untuk mendukung
pekerjaan sebesar 531 dari 662 yang berarti berada dalam interval kategori setuju.
Skill karyawan terhadap teknologi tinggi terlihat dari nilai kumulatif jawaban
responden mengenai pemahaman menggunakan teknologi sebesar 455 dari 600
yang berarti berada dalam interval kategori setuju.
Penerapan KMS dilakukan dengan melaksanakan forum online berupa portal
intranet dan forum offline berupa forum formal secara berkala
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
212
4.2.Saran
Strategi bisnis Diklat adalah strategi personalisasi maka lebih dibutuhkan berbagai
forum tatap muka yang sebagai media knowledge sharing dan knowledge creation.
Perlu dilakukannya pelatihan untuk menangani pengetahuan yang memiliki
knowledge gap yaitu career analysis method, bahasa inggris, cara pembuatan SAP ,
dan analisis sistem agar gap tersebut dapat hilang
Melakukan implementasi KMS secara menyeluruh
Mendeklarasikan peran dan value yang ditawarkan kepada perusahaan. Hal ini
penting di samping untuk meyakinkan manajemen dan anggota organisasi lainnya
akan perlunya implementasi KM.
Adanya dukungan atasan dan budaya yang kondusif untuk menciptakan adanya
knowledge sharing yang efektif
Joeliaty Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Ajeng Pritha Aryani Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
213
V.Daftar Pustaka
Burk, M. 1999. Knowledge Management : Everyone Benefit by Sharing Information. Public
roads Vol 63 No. 3.
Davidson, Carl & Philip Voss. 2002. Knowledge Management : An Introducing to Creating
Competitive Advantage From Intelectual Capital. New Zealand : Tandem Press.
Hansen et al. 1999. What’s your strategy for managing knowledge? Harvard Business
Review, March–April, pp. 106–115.
Nonaka, Ikoujiro and Hirotaka Takeuchi. 1995. The Knowldedge Creating Company – How
Japanese Create The Dynamics of Innovation . New York : Oxford University Press.
Paul L. Tobing. 2007. Knowledge Management : Konsep, Arsitektur, dan Implementasi.
Yogyakarta : Graha Ilmu.
Ross, MV dan Schulte, WD. 2005. Knowledge management in a Millitary Enterprise.
Elsevier Inc.
Sveiby, K.E. 1998. Measuring Intangible and Intellectual Capital.
www.sveiby.com/article/MeasuringIntangibleandIntellectualCapital
Tiwana, Amrit. 2000. The Knowledge Management Toolkit : Practical Techniques for
Building A Knowledge Management System. New Jersey : Prentice Hall.
Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Lilik Rudianto
214
CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY:
ANALISIS VARIABEL ANTESEDEN DAN KONSEKUENSI
Masmira Kurniawati
Sri Hartini
Lilik Rudianto
Departemen manajemen FEB Universitas Airlangga
Email : [email protected]
ABSTRACT
This study is exploratory in nature and tries to explain buying consumer behavior of
environmental friendly product. Specifically, this study focuses on the antecedents and
consequences of corporate social responsibility (CSR) strategy and its impact on marketing
outcome using qualitative method. Information on identification of consumer’s buying
decision process of green marketing products, types of CSR, and marketing outcomes based
on customer’s perspectives are gathered through in-depth interview.
Nine propositions in relation to the antecedents and consequences of corporate social
responsibility strategy from customer perspectives proposed from this study are: (1)
consumer perception of CSR activity objectives influences consumer evaluation on CSR
activity; (2) consumer evaluation on CSR activity influences consumer buying decision; (3)
CSR activity influences customer value; (4) CSR activity creates consumer skepticism
toward company; (5) product-related CSR activity which directly impact on consumer will
increase consumer attitude toward product; (6) CSR activity influences consumer perception
on company’s and product’s image and increase company as well as brand reputation; (7)
consumer judgment on CSR activity influences consumer loyalty; (8) consumer
characteristics strengthen the impact of CSR toward consumer buying decision; (9) consumer
culture of collectivism influences their attitude toward CSR activity and buying decision of
environmental friendly product.
Keywords: corporate social responsibility, green marketing, marketing outcome, qualitative
method
PENDAHULUAN
Pada pasar global seperti sekarang ini persaingan antar perusahaan semakin tinggi.
Para pemasar harus mempertimbangkan peran yang semakin luas, antara lain tanggung jawab
etis dan lingkungan. Dengan kata lain masyarakat menuntut dunia bisnis tidak hanya
memikirkan keuntungan perusahaannya, namun harus memperhatikan pihak-pihak lain di
sekitarnya. Corporate social responsibility (CSR) yang ada di perusahaan sangat beragam,
seperti green product, philanthropy dan cause-related Marketing.
Banyak teori yang menyatakan bahwa strategi perusahaan, termasuk strategi CSR,
bertujuan untuk meningkatkan marketing outcome yakni respon positif konsumen, baik
kognitif, afektif maupun konatif seperti loyalitas, word of mouth, dan pembelian ulang
(Kotler & Keller, 2012). Banyak studi empiris yang mendukung teori tersebut, antara lain
Rahim et al. (2011) membuktikan bahwa philanthropic responsibility akan berpengaruh pada
perilaku konsumen dan Ali & Israr (2012) membuktikan bahwa organization green image
berpengaruh signifikan terhadap niat pembelian konsumen. Namun banyak pula studi empiris
Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Lilik Rudianto
215
yang tidak sejalan dengan teori tersebut (Ali et al., 2010; Becker-Olsen et al., 2006). Ide
penelitian ini didasarkan adanya theoritical gap pada hubungan kausal antara corporate
social responsibility terhadap marketing outcome perusahaan. Penelitian ini dimaksudkan
untuk menjembatani theoritical gap tersebut. Adapun temuan yang ditargetkan dalam
penelitian ini adalah kejelasan teori mengenai corporate social responsibility, baik kejelasan
mengenai variabel anteseden maupun variabel konsekuensi dari strategi tersebut. Untuk
menjelaskan teori corporate social responsibility digunakan pendekatan kualitatif untuk
menggali/mengeksplorasi variabel-variabel anteseden dan konsekuensi.
LANDASAN TEORI
Green Marketing
Menurut American Marketing Asociation (AMA) green marketing merupakan strategi
pemasaran suatu produk yang diasumsikan sebagai produk ramah lingkungan, pengembangan
produk yang didesain untuk meminimalisasi dampak negatif pada lingkungan alam, dan
meningkatkan kualitasnya. Green marketing merupakan usaha perusahaan dalam
memproduksi, mempromosikan, dan mengemas produk dengan cara yang sensitif atau
responsif pada masalah lingkungan.
Strategi green marketing meliputi: 1) menawarkan produk yang etis; 2) memproduksi
produk yang tidak hanya bertujuan komersil, tapi juga memenuhi kebutuhan konsumen; 3)
berkomunikasi dengan jujur dan menyampaikan pesan yang bertanggung jawab; 4)
mengembangkan transportasi dan sistem logistik yang tidak menyebabkan polusi serta ramah
lingkungan; 5) melakukan advertising dengan jelas dan benar; dan 6) memahami kebutuhan
konsumen dan stakeholder di masa depan. Implementasi green marketing melibatkan banyak
faktor seperti ecological, political, humanitarian, equality, sustainability, eco-conscious
consumers, conservation, fair trade, dan CSR (corporate social responsibility) (Ashok, 2004)
Corporate Social Responsibility
Terdapat konsep pemasaran baru terkait perhatian pada lingkungan yang dikenal
dengan Holistic marketing. Holistic marketing didasarkan pada pengembangan, desain, dan
implementasi program pemasaran, proses, dan segala aktivitas yang menunjukkan keluasan
dan saling ketergantungan di antaranya (Kotler & Keller, 2012). CSR (Corporate Social
Responsibility) merupakan salah satu bentuk aplikasi dari holistic marketing. Di Indonesia,
CSR dinyatakan dalam UU Perseroan Terbatas No. 40 tahun 2007. Pasal 74 ayat 1 undang-
undang tersebut menyatakan bahwa “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di
bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan tanggung jawab
sosial dan lingkungan. Dalam Undang-undang No. 25 tahun 2007 tentang penanaman Modal
pasal 15 (b) juga menyatakan bahwa “setiap penanam modal berkewajiban melaksanakan
tanggung jawab sosial perusahaan.”
CSR merupakan bentuk perhatian dari kalangan pebisnis untuk berbagi kepada pihak
luar yang membutuhkan. Terdapat beberapa cara untuk mengimplementasikan inisiatif CSR
seperti cause-related marketing, phylanthropy, atau green product. CSR dapat menurunkan
sikap skeptis konsumen terhadap perusahaan dan meningkatkan sikap positif dan pada
akhirnya dapat mempengaruhi niat membeli (Szykman et al., 1997).
CSR sebagai strategi perusahaan tentu diharapkan akan membawa dampak positif
pada pemasaran (marketing outcome). Green & Peloza (2011) menunjukkan bahwa CSR
berpengaruh terhadap loyalitas. Penelitian yang dilakukan di negara-negara maju seperti di
Amerika Serikat maupun Eropa menemukan bahwa perusahaan yang melaksanakan tanggung
jawab sosialnya berhasil membuat pelanggan mereka menjadi loyal.
Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Lilik Rudianto
216
Berkaitan dengan perilaku pembelian konsumen, ada beberapa faktor yang
mempengaruhi konsumen dalam membeli suatu produk, antara lain faktor eksternal dan
faktor internal konsumen ataupun strategi pemasaran perusahaan (Schifman & Kanuk, 2007;
Kotler & Keller, 2012). Faktor eksternal konsumen antara lain meliputi budaya, kelompok
referensi, dan strategi pemasaran perusahaan. Faktor internal konsumen antara lain meliputi
persepsi, proses pembelajaran, dan sikap konsumen. Pemahaman mengenai tahapan
keputusan yang dilalui konsumen ini penting dalam penyusunan strategi pemasaran termasuk
strategy corporate social responsibility.
Terdapat beberapa bentuk program CSR yang dapat diimplementasikan oleh
perusahaan seperti cause promotion, cause-related marketing (CRM), corporate social
marketing, corporate philanthropy, corporate volunteering dan socially responsible business
(Kotler & Nancy, 2005). Pada cause promotion, perusahaan menggunakan isu tertentu untuk
mendapatkan atau meningkatkan perhatian (awareness) dari konsumen. Isu yang digunakan
oleh perusahaan tidak harus sesuai dengan bidang bisnis yang dilakukan oleh perusahaan,
disini perusahaan berusaha mengajak konsumen (masyarakat) untuk meluangkan waktu atau
dana mereka untuk membantu suatu permasalahan yang terjadi.
Dalam CRM, perusahaan akan mengajak konsumen (masyarakat) untuk
menggunakan atau membeli produk dari perusahaan, yang nantinya sebagian dari keuntungan
hasil penjualan produk tersebut akan disumbangkan pada instansi tertentu atau untuk
mengatasi dan mencegah suatu masalah tertentu di masyarakat. Corporate social marketing
merupakan kegiatan dimana perusahaan berusaha untuk merubah kebiasaan-kebiasaan di
masyarakat (yang kurang baik) dalam suatu isu tertentu, misalnya isu kesehatan seperti
bahaya kanker akibat kebiasaan-kebiasaan tidak sehat (merokok, dsb.), atau isu di bidang
lingkungan hidup dan juga di bidang sosial dan kemanusiaan. Pada program CSR yang
berbentuk corporate philanthropy ini, perusahaan memberikan sejumlah bantuan dalam
bentuk dana, jasa atau barang pada pihak-pihak lain yang membutuhkan, baik itu perorangan,
lembaga atau organisasi tertentu. Pada community volunteering, perusahaan berusaha
mengajak segala elemen di dalam perusahaan (karyawan) untuk turut serta berpartisipasi
pada kegiatan corporate social responsibility yang sedang dijalankan oleh perusahaan. Dalam
socially responsible business, perusahaan melakukan perbaikan dalam sistem kerja maupun
supply chain miliknya dengan tujuan mengurangi dampak negatif terhadap masyarakat dan
lingkungan.
Program CSR sudah mulai bermunculan di Indonesia seiring telah disahkannya
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan Undang-Undang
Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Adapun isi undang-undang tersebut yang
berkaitan dengan CSR, yaitu: Pada pasal 74 di Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007,
berbunyi: 1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan
dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan; 2)
Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang
pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran; 3) Perseroan
yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan pada pasal 25 (b)
Undang–Undang Penanaman Modal menyatakan kepada setiap penanam modal wajib
melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan. Dari kedua pasal diatas dapat kita lihat
bagaimana pemerintah Indonesia berusaha untuk mengatur kewajiban pelaksanaan CSR oleh
perusahaan atau penanam modal
Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Lilik Rudianto
217
Program CSR merupakan investasi bagi perusahaan demi pertumbuhan dan
keberlanjutan (sustainability) perusahaan dan bukan lagi dilihat sebagai sarana biaya (cost
centre) melainkan sebagai sarana meraih keuntungan (profit centre). Program CSR
merupakan komitmen perusahaan untuk mendukung terciptanya pembangunan
berkelanjutan (sustainable development). Di sisi lain masyarakat mempertanyakan apakah
perusahaan yang berorientasi pada usaha memaksimalisasi keuntungan-keuntungan ekonomis
memiliki komitmen moral untuk mendistribusi keuntungan-keuntungannya membangun
masyarakat lokal, karena seiring waktu masyarakat tak sekedar menuntut perusahaan untuk
menyediakan barang dan jasa yang diperlukan, namun juga menuntut untuk bertanggung
jawab sosial.
Penerapan program CSR juga merupakan salah satu bentuk implementasi dari konsep
tata kelola perusahaan yang baik (good coporate governance). Diperlukan tata kelola
perusahaan yang baik agar perilaku pelaku bisnis mempunyai arahan yang bisa dirujuk
dengan mengatur hubungan seluruh kepentingan pemangku kepentingan (stakeholders) yang
dapat dipenuhi secara proporsional, mencegah kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi
korporasi dan memastikan kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki dengan segera.
Keputusan manajemen perusahaan untuk melaksanakan program-program CSR secara
berkelanjutan pada dasarnya merupakan keputusan yang rasional. Sebab implementasi
program-program CSR akan menimbulkan efek lingkaran emas yang akan dinikmati oleh
perusahaan dan seluruh stakeholder-nya. Melalui CSR, kesejahteraan dan kehidupan sosial
ekonomi masyarakat lokal maupun masyarakat luas akan lebih terjamin. Kondisi ini pada
gilirannya akan menjamin kelancaran seluruh proses atau aktivitas produksi perusahaan serta
pemasaran hasil-hasil produksi perusahaan. Sedangkan terjaganya kelestarian lingkungan dan
alam selain menjamin kelancaran proses produksi juga menjamin ketersediaan pasokan bahan
baku produksi yang diambil dari alam.
Bila CSR benar-benar dijalankan secara efektif maka dapat memperkuat atau
meningkatkan akumulasi modal sosial dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Modal sosial, termasuk elemen-elemennya seperti kepercayaan, kohesifitas,
altruisme, gotong royong, jaringan dan kolaborasi sosial memiliki pengaruh yang besar
terhadap pertumbuhan ekonomi. Melalui beragam mekanismenya, modal sosial dapat
meningkatkan rasa tanggung jawab terhadap kepentingan publik, meluasnya partisipasi dalam
proses demokrasi, menguatnya keserasian masyarakat dan menurunnya tingkat kekerasan dan
kejahatan.
Tanggung jawab perusahaan terhadap kepentingan publik dapat diwujudkan melalui
pelaksanaan program-program CSR yang berkelanjutan dan menyentuh langsung aspek-
aspek kehidupan masyarakat. Dengan demikian realisasi program-program CSR merupakan
sumbangan perusahaan secara tidak langsung terhadap penguatan modal sosial secara
keseluruhan. Berbeda halnya dengan modal finansial yang dapat dihitung nilainya kuantitatif,
maka modal sosial tidak dapat dihitung nilainya secara pasti. Namun demikian, dapat
ditegaskan bahwa pengeluaran biaya untuk program-program CSR merupakan investasi
perusahaan untuk memupuk modal sosial.
Perilaku Pembelian Konsumen
Banyak tahapan yang dilalui konsumen dalam keputusan pembelian yaitu tahap
pengenalan masalah, mengumpulkan informasi, mengevaluasi alternatif, memilih alternatif
dan yang terakhir post consumption (Kotler & Keller, 2012). Post consumption ini penting
bagi manajer karena terkait dengan respon konsumen untuk pembelian ulang produk yang
ditawarkan. Perusahaan harus memahami tahapan keputusan pembelian tersebut. Tahapan
Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Lilik Rudianto
218
pembelian tersebut tidak baku untuk setiap proses namun tergantung pada jenis produk yang
akan dibeli maupun banyak tidaknya pertimbangan yang diperlukan dalam proses
pengambilan keputusan pembelian (high involvement/low involvement product).
Tujuan utama pemasar adalah melayani dan memuaskan kebutuhan dan keinginan
konsumen. Oleh karena itu, pemasar perlu bagaimana memahami bagaimana konsumen
berperilaku dalam usaha memuaskan kebutuhan dan keinginannya. Perilaku konsumen
merupakan serangkaian aktivitas konsumen dalam mengkonsumsi suatu produk meliputi
proses menyeleksi, membeli dan mempergunakan barang dan jasa sehingga memuaskan
kebutuhan dan hasratnya. Beberapa aktivitas melibatkan mental dan proses emosional,
sebagai tambahan dalam reaksi fisik. Perilaku konsumen berkaitan erat dengan proses
pengambilan keputusan dalam usaha memperoleh dan menggunakan barang dan jasa untuk
memenuhi kebutuhannya. Perilaku konsumen dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal seperti
fakotr budaya dan sosial maupun faktor-faktor internal seperti faktor personal dan
psikologis. Secara lebih rinci, yang termasuk dalam dalam faktor-faktor eksternal adalah
faktor sosial budaya, faktor ekonomi, faktor teknologi, faktor politik, dan strategi bauran
pemasaran (marketing mix) yang dilakukan oleh suatu perusahaan. Sedangkan yang tergolong
faktor internal secara lebih rinci meliputi faktor-faktor dari dalam diri konsumen sendiri
seperti kebutuhan, motivasi, persepsi, sikap, dan kepribadian terhadap suatu jenis produk atau
jasa.
Secara sederhana pengambilan keputusan konsumen terdiri dari tiga komponen
utama, yaitu: input, proses dan output (Shiffman & Kanuk, 2007:443). Input adalah pengaruh
eksternal yang dapat berupa informasi mengenai suatu produk dan pengaruhnya terhadap
nilai, sikap dan perilaku konsumen. Proses menjelaskan bagaimana konsumen membuat
keputusan. Proses tersebut terdiri dari tiga tahap, yaitu pengenalan kebutuhan(need
recognition), pencarian sebelum pembelian (prepurchase search) dan evaluasi alternatif
(evaluation of alternatives). Tahap pengenalan kebutuhan dimulai dengan adanya motif yang
menimbulkan ketegangan dalam diri. Pada tahap pencarian sebelum pembelian, konsumen
merasakan adanya kebutuhan yang harus dipuaskan melalui pembelian produk atau jasa.
Output dari proses pembelian adalah perilaku membeli dan evaluasi setelah pembelian.
Dalam melakukan pembelian ada dua macam, yaitu: trial atau percobaan yakni bila
konsumen membeli produk atau merek untuk pertama kalinya. Bila konsumen mendapat
kepuasan maka, ia cenderung untuk melakukan pembelian ulang. Evaluasi pembelian
berguna untuk mengurangi ketidakpastian konsumen.
Dalam melakukan pembelian, konsumen melewati beberapa tahap, dimulai dengan
adanya masalah, kemudian konsumen mencari informasi, menyeleksi alternatif pemecahan
masalah, kemudian mengambil keputusan. Pada tahap ini konsumen dipengaruhi oleh adanya
motivasi yang merupakan dorongan dalam diri manusia untuk melakukan tindakan dan
merupakan kekuatan yang bersifat internal dan eksternal yang mengarahkan perilaku demi
pencapaian tujuan. Dasar dari motivasi adalah mencari kesenangan, pemenuhan kebutuhan
dasar dan kebutuhan yang lebih tinggi, serta bila kebutuhan telah terpenuhi, konsumen akan
mengurangi atau dapat pula meningkatkan tegangan. Tugas pemasar adalah mengenali
kebutuhan pasar sasaran dan menciptakan stimulus yang akan memberikan motivasi kepada
konsumen agar ia melakukan tindakan untuk memenuhi kebutuhan. Setelah konsumen
menyadari adanya masalah, konsumen akan menuju pembelian, untuk itu tahap selanjutnya
dari proses pembelian konsumen adalah mencari alternatif pemecahan masalah. Konsumen
akan mencari informasi baik secara internal maupun eksternal. Para ahli psikologi
menggambarkan proses belajar sebagai proses perubahan pikiran serta perilaku manusia yang
bersifat cenderung permanen yang diakibatkan dari pengalaman yang dialaminya.
Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Lilik Rudianto
219
Konsumen mendasarkan pilihan yang dipengaruhi oleh sikap yang telah terbentuk,
termasuk di dalamnya adalah sikap terhadap merek-merek yang tersedia dalam membuat
keputusan pembelian. Sikap adalah kecendrungan yang dipelajari dalam menanggapi suatu
obyek secara konsisten, apakah menyukai atau tidak menyukai. Para psikolog dan pemasar
berkeyakinan bahwa sikap konsumen merupakan campuran dari kepercayaan, perasaan dan
kecenderungan terhadap perilaku. Sikap merupakan hasil proses belajar seseorang. Proses
pengolahan informasi akan menimbulkan keinginan untuk membeli walaupun keinginan
tersebut belum tentu harus dilaksanakan. Pemasar menggunakan promosi dan strategi harga
untuk mempengaruhi konsumen agar membeli produk yang ditawarkannya. Manusia selalu
termotivasi untuk berperilaku ke arah pemenuhan kebutuhan dan pemuasan keinginan yang
belum terpenuhi. Rasa puas tersebut dapat dirasakan apabila nilai produk melebihi dari apa
yang diharapkan konsumen. Apabila konsumen merasa puas dari produk yang dikonsumsinya
maka, ia akan melakukan pembelian ulang (repeat purchase). Namun, apabila sebaliknya
apabila produk tersebut tidak memberikan kepuasan maka, ia akan berpaling ke produk lain
yang memberikan kepuasan lebih dari produk sebelumnya.
Menurut Kotler & Keller (2012) konsumen akan menjalani sejumlah proses dalam
pengambilan keputusan. Berikut ini adalah proses–proses pada saat sebelum dan setelah
melakukan pembelian suatu produk, yaitu problem recognition, information source,
alternatives evaluation, purchase decision, post-purchase evaluation.
Problem recognition merupakan sebuah proses dimana konsumen akan membeli
sebuah produk sebagai solusi terhadap permasalahan yang sedang dihadapinya. Konsumen
tidak dapat menentukan produk apa yang akan dibeli, jika tidak ada pengenalan masalah yang
muncul. Information source merupakan sebuah proses lanjutan dari pengenalan masalah
dimana konsumen akan termotivasi untuk mencari informasi dalam menyelesaikan
permasalahan yang sedang dihadapinya. Proses pencarian informasi tersebut dapat berasal
dari dalam memori (internal) maupun berdasarkan pengalaman orang lain (eksternal).
Alternative evaluation merupakan sebuah proses lanjutan dari pencarian informasi, dimana
setelah konsumen tersebut mendapatkan berbagai macam informasi konsumen tersebut akan
mengevaluasi alternatif–alternatif strategis apa saja yang akan dipilih untuk mengatasi
permasalahan yang dihadapinya. Purchase decision merupakan sebuah proses lanjutan dari
evaluasi alternatif dimana konsumen akan membuat keputusan pembelian suatu produk yang
diinginkan. Terkadang konsumen memerlukan waktu yang cukup lama sebelum konsumen
tersebut memutuskan untuk membeli produk yang diinginkan, karena adanya hal-hal yang
masih perlu dipertimbangkan. Post-purchase evaluation merupakan sebuah proses setelah
konsumen membeli suatu produk dimana konsumen akan mengevaluasi apakah produk
tersebut sesuai dengan keinginannya. Didalam proses ini, dapat terjadi kepuasan dan
ketidakpuasan konsumen. Konsumen akan merasa puas jika produk yang telah dibeli sesuai
dengan keinginannya dan selanjutnya akan meningkatkan permintaan terhadap merek produk
tersebut pada masa yang akan datang. Tetapi sebaliknya, konsumen akan merasa tidak puas
jika barang yang telah dibeli tidak sesuai dengan keinginannya dan hal ini akan menurunkan
permintaan konsumen pada masa yang akan datang.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dasar yang bertujuan untuk mengembangkan teori
dengan menjelaskan hubungan antar variabel. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan
kualitatif yakni in-depth interview mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi konsumen
Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Lilik Rudianto
220
dalam pembelian green product, bagaimana proses pembelian konsumen dalam green
product, serta respon konsumen.
Penelitian ini ingin mengeksplorasi dan menginvestigasi perilaku konsumen dengan
menggunakan grounded theory. Grounded theory adalah proses investigasi secara induktif
dimana peneliti merumuskan sebuah teori tentang fenomena dengan mengumpulkan dan
menganalisis data yang relevan secara sistematis. Grounded theory menurut Goulding (2003)
merupakan metode dimana teori didasarkan pada perkataan dan tindakan individual dalam
suatu penelitian, metode ini cocok untuk mempelajari tindakan individu yang memiliki
elemen interaksi dalam tindakannya. Pengembangan teori merupakan tujuan dari peneliti
sesuai dengan relevansi yang muncul dari data. Keuntungan dari penggunaan metode ini
adalah peneliti dapat melihat permasalahan melebihi apa yang terlihat di permukaan,
memungkinkan intrepretasi sebelum mengembangkan konsep terakhir, dan dapat
menunjukkan penjelasan dengan data pendukung. Penelitian bertujuan mengeksplorasi dan
mengidentifikasi bagaimana strategi green marketing yang merupakan salah satu bentuk CSR
yang dilakukan oleh perusahaan akan mempengaruhi proses keputusan pembelian dan respon
konsumen terkait produk yang ramah lingkungan.
Sumber dan Teknik Pengambilan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer yang didapat
langsung dari hasil wawancara responden. Data sekunder yang digunakan dalam penelitian
ini diperoleh dari sumber eksternal seperti media, buku, dan literatur lainya.
Penelitian ini menggunakan non probabilty sampling dengan sumber data dipilih
secara accidental sampling yang mana partisipan dipilih secara kebetulan kepada konsumen
yang menggunakan produk ramah lingkungan atau produk yang diproduksi oleh perusahaan
yang melakukan kegiatan corporate social responsibility yang secara kebetulan ditemui dan
bersedia untuk dijadikan partisipan
In-depth interview pada responden terpilih dipilih sebagai teknik wawancara yang
dipilih. Burns & Bush (2010) menjelaskan bahwa teknik ini merupakan satu rangkaian
penyelidik yang diajukan satu persatu kepada responden dengan pewawancara langsung
untuk mendapatkan ide dari apa yang dipikirkan oleh subyek tentang sesuatu atau kenapa
subyek melakukan suatu hal dengan cara tertentu. Teknik ini dilakukan secara intens
langsung face to face dan mendalam untuk menghasilkan informasi yang berkualitas. Dalam
penelitian ini digunakan semi-structured in-depth interview dalam pengambilan data karena
dengan demikian wawancara dapat dilakukan secara lebih fleksibel dan data yang tidak
tampak bisa diobservasi. Pengambilan data dilakukan terus menerus sampai peneliti
mencapai theoretical saturation, yakni pada saat tidak ada data tambahan yang dapat
ditemukan yang akan ditambahkan kedalam kategori yang dikembangkan dan diuji maka
pengambilan data kemudian dihentikan (Pace, 2003).
Jarratt (1996) menyatakan bahwa keuntungan dari menggunakan teknik semi-
structured in-depth interview antara lain peneliti dapat menyelidiki, menanyakan banyak
pertanyaan tambahan, dan menggali sedalam mungkin subyek sehingga informasi yang
didapat sangat kaya, dalam dan mengandung banyak informasi. Kelemahanya teknik ini
kurang terstruktur sehingga respon yang didapat bisa sangat bermacam macam. Untuk itu
peneliti membutuhkan guideline pertanyaan untuk memfokuskan interview dengan
responden.
Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Lilik Rudianto
221
Variabel penelitian
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah aktivitas corporate social
responsibility, proses keputusan pembelian, dan respon konsumen. Agar tidak terjadi
kesalahpahaman dalam mendefinisikan variabel yang digunakan dalam penelitian ini maka
variabel penelitian tersebut didefinisikan sebagai berikut :
1. Aktivitas Corporate Social Responsibility adalah aktivitas yang dilakukan perusahaan
yang terkait dengan kegiatan kegiatan yang relevan dengan masalah lingkungan sosial
maupun lingkungan alam.
2. Proses Keputusan Pembelian adalah tahapan yang dilalui konsumen dalam memutuskan
penggunaan suatu produk. Tahapan tersebut meliputi a) identifikasi kebutuhan, b)
pencarian informasi untuk memenuhi kebutuhan tersebut, c) evaluasi berbagai alternatif
yang memungkinkan, d) pemilihan alternatif/keputusan pembelian, e) post consumption.
3. Respon Konsumen adalah tanggapan konsumen atas aktivitas–aktivitas yang dilakukan
perusahaan terkait kegiatan corporate social responsibility. Respon bisa berupa kognitif,
afektif, konatif, dan perilaku.
Uji Validitas dan Reliabilitas
Uji reliabilitas berhubungan dengan seberapa konsisten peneliti dalam melakukan
penelitian dengan menggunakan teknik yang diulang-ulang pada obyek yang sama akan
memberikan hasil yang sama (Gremler, 2004). Untuk mendapatkan data yang andal
tergantung pada kemampuan penilai atau pemberi kode untuk tetap konsisten
mengklasifikasikan data pada spesifik kategori, dimana diskusi penilai ini terjadi antara
intrajudge reliability dan interjudge reliability. Intrajudge reliability merupakan seberapa
konsisten seorang penilai membuat keputusan kategori selama penelitian sedangkan
interjudge reliability merupakan tingkatan dimana dua atau lebih penilai setuju bahwa
observasi harus diklasifikasikan dengan cara tertentu.
Validitas data dalam pendekatan kualitatif didapat dari cara triangulasi (Creswell &
Miller, 2000; Guion, Diehl, & McDonald, 2011) dengan mengkombinasi sumber data yang
berbeda untuk melihat data. Triangulasi dilakukan dengan melakukan cek silang data kepada
sumber yang berbeda. Dalam penelitian ini data diperoleh dengan wawancara pada konsumen
lalu dicek dengan sumber pada akademisi dan sumber media.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Hasil Penelitian
Penelitian ini berfokus membahas tentang bagaimana perilaku pembelian konsumen
khususnya produk yang diproduksi oleh perusahaan yang melakukan kegiatan CSR, dan
bagaimana respon konsumen terhadap aktivitas CSR yang dilakukan perusahaan. Data
didapatkan oleh peneliti dengan melakukan wawancara kepada 14 orang dengan durasi
masing-masing sekitar 45 menit wawancara. Adapun karakteristik demografi dari informan
adalah sebagai berikut.
Tabel 1
Karakteristik Informan Penelitian
Informan Umur Pekerjaan Pendidikan Produk yang dibeli
1 29 Karyawan Bank
Niaga
Sarjana Teknik
Lingkungan
The Bodyshop
2 47 Karyawan Hotel SMA Lampu Philips
Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Lilik Rudianto
222
Garden
3 36 Karyawan Carefour D3 Ekonomi Batik Mangrove, The Bodyshop
4 48 Ibu rumah tangga Sarjana Lampu philips, sayuran organik
5 27 Karyawan Bank
Bukopin
Sarjana Psikologi Tas dari eceng gondok, batik
pewarna alami
6 47 Wiraswasta Sarjana ekonomi AC low watt
7 47 Dosen unesa S3 AC low watt, lampu Philips
8 38 Karyawan swasta
(Teh Botol Sosro)
Sarjana ekonomi AC low watt
9 18 Mahasiswa SMA Gelas daur ulang, sabun mandi
eco green
10 38 Guru SMA Sarjana AC low watt
11. 29 Wiraswasta Sarjana ekonomi AC low watt, lampu Philips
12 31 Karyawan swasta
(Granito)
Sarjana teknik Produk The Bodyshop
13 38 Wiraswasta Sarjana teknik Sabun mandi
14 32 Karyawan swasta Sarjana Pemanas surya
Peneliti kemudian menganalisis hasil wawancara dengan menemukan pola dari
transkip hasil wawancara dan merumuskannya dalam laporan. Mengadopsi pendapat Gremler
(2008), uji reliabilitas dilakukan dengan berfokus pada interjudge reliability, yaitu sejauh
mana satu atau dua juri setuju dengan cara peneliti mengklasifikasikan dan memberi kode
dengan cara tertentu. Satu juri didatangkan dan menyaksikan peneliti melakukan coding.
Uji validitas dalam penelitian ini mengadopsi pendapat Shah & Corley (2006) yaitu
memperpanjang waktu observasi, triangulasi sumber data, dan hasil wawancara diteliti oleh
subyek. Dalam penelitian ini validasi dicapai dengan triangulasi berupa pengumpulan data
yang lebih dari satu sumber, wawancara dilakukan terus menerus dan berhenti ketika data
yang didapat secara garis besar sudah sama. Data yang didapat juga diperkuat dengan peer
debriefing yaitu dengan membicarakan masalah penelitian dengan tanya jawab kepada teman
sejawat yang cukup mengerti dengan permasalahan penelitian. Setelah data terkumpul dan
sudah melalui uji reliabilitas dan validitas ringkasan hasil wawancara terangkum dalam tabel
berikut
Tabel 2
Ringkasan Hasil Wawancara
Tema Pertanyaan Kategori Frek.
Karakteristik
responden
terkait
lingkungan
Bagaimana kepedulian
anda pada sesama
Orang seharusnya membantu orang lain
yang kurang beruntung
6
Menolong orang yang dalam kesulitan
adalah sangat penting
4
Bagaimana kepedulian
anda pada lingkungan
alam
Saya tidak khawatir kondisi lingkungan di
masa depan, generasi yang akan mampu
menjaganya dengan baik
5
Bagaimana sikap anda
pada keadilan
Orang butuh menjaga diri sendiri, tanpa
perlu mengkhawatirkan orang lain
5
Setiap orang di dunia harus diperlakukan
sama
6
Setiap orang harus tinggal di lingkungan
yang aman
5
Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Lilik Rudianto
223
Pemahaman
CSR
Apa yang anda fahami
tentang CSR
Perusahaan memproduksi produk tidak
berbahaya
10
Perusahaan mengelola limbahnya 6
Perusahaan ikut membantu masalah
masyarakat
6
Perusahaan menjaga lingkungan alam 9
Perusahaan menggunakan bahan dari alam 9
Alasan perusahaan
melakukan CSR
Bentuk promosi yang baru 1
Bentuk promosi terselubung 4
Kewajiban perusahaan untuk menutupi rasa
bersalahnya
1
Untuk menarik simpati masyarakat 1
Ide CSR Bentuk –bentuk CSR
bagaimana yang
diharapkan/dipandang
positif konsumen
Membuka lapangan pekerjaan baru 3
Memberikan fasilitas/kegiatan untuk
masyarakat
7
Memberi beasiswa 8
Menjaga kelestarian alam 6
Membuat barang yang berkualitas 10
Membuat barang yang ramah
lingkungan/tidak bahaya
4
Membantu orang miskin 2
Proses
Keputusan
Pembelian
Kebutuhan apa yang
membuat anda membeli
Produk tersebut
Barangnya berkualitas 9
Efisiensi biaya operasional 4
Barangnya unik 3
Ikut menjaga lingkungan 5
Dihargai teman-teman 3
Menjadi konsumen yang cerdas 3
Barang yang aman/tidak bahaya 2
Bagaimana anda
mendapatkan informasi
ttg produk dan kegiatan
CSR perusahaan
Aktif mencari informasi 10
Sumber informasi media 7
Sumber informasi teman 2
Sumber informasi brosur dari perusahaan 2
Evaluasi alternatif Dasar evaluasi adalah dana 7
Dasar evaluasi kualitas barang 8
Dasar evaluasi adalah manfaat 7
Dasar evaluasi adalah pendapat teman 5
Dasar evaluasi adalah keterlibatan perasaan
bangga/senang
2
Bagaimana evaluasi
setelah konsumsi
Akan rekomendasi ke teman teman 7
Akan membeli lagi 5
Puas, telah melakukan pilihan dgn benar 5
Kecewa, barang terlalu mahal 2
Respon atas
CSR aktivity
dan green
product
Bagaimana respon
terhadap CSR aktivity
yang dilakukan
perusahaan
Curiga harga barang dinaikkan 7
Curiga itu hanya kebohongan publik 6
Tidak sebesar yang diberitakan 7
Suka pada aktivitas CSR 2
Membeli produk yang melakukan aktivitas
CSR sama artinya ikut melakukan kegiatan
CSR
3
Perusahaan yang melakukan aktivitas CSR
adalah perusahaan besar/bereputasi baik
2
Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Lilik Rudianto
224
Bagaimana respon
terhadap keberadaan
green product
Produk bermanfaat bagi lingkungan 8
Produk bermanfaat bagi diri sendiri 11
Suka mengkonsumsi karena merasa menjadi
konsumen yang cerdas
2
Suka mengkonsumsi karena menjadi orang
yang peduli lingkungan
3
Diskusi
Penelitian ini berfokus pada penemuan pola tentang bagaimana perilaku pembelian
konsumen terkait produk yang dihasilkan perusahaan yang melakukan aktivitas CSR. Berikut
adalah proposisi sebagai hasil intrepretasi peneliti.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa informan melakukan CSR sebagai “bentuk
promosi yang terselubung”, “aktivitas untuk menarik simpati masyarakat”, “bentuk promosi
baru” atau merupakan “kewajiban perusahaan untuk menutupi rasa bersalahnya”. Namun ada
pula informan yang menyatakan bahwa CSR merupakan tanggung jawab perusahaan
“menjaga lingkungan” atau sebagai salah satu bentuk kebaikhatian membantu masyarakat.
Sedangkan di Indonesia terdapat aturan yang mewajibkan perusahaan untuk melakukan
aktivitas CSR. Demikan pula dengan informan akademisi yang menyatakan bahwa alasan
utama perusahaan melakukan aktivitas CSR adalah keberadaan undang-undang dan
keinginan perusahaan untuk menjaga image perusahaan dalam masyarakat. Dengan demikian
disusun proposisi 1: Persepsi konsumen tentang tujuan aktivitas CSR mempengaruhi
evaluasi konsumen tentang kegiatan CSR tersebut. Dalam penelitian ini semua informan adalah para konsumen produk ramah lingkungan
atau produk dari perusahaan yang melaksanakan kegiatan CSR. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa para informan tersebut telah memiliki pemahaman yang baik mengenai
konsep CSR, bahwa CSR merupakan “aktivitas perusahaan dengan memproduksi produk
tidak berbahaya”, “perusahaan mengelola limbahnya”, “perusahaan ikut membantu masalah
masyarakat” atau “perusahaan menjaga lingkungan alam”. Terkait dengan hal tersebut Kotler
& Keller (2012) menyatakan salah satu dari empat komponen yang menjadi karakteristik
pemasaran holistik adalah pemasaran kinerja (performance marketing). Di dalam pemasaran
kinerja (performance marketing) dapat dilihat bahwa hasil yang diperoleh perusahaan tidak
hanya berasal dari program dan aktivitas pemasaran yang mereka lakukan, namun juga
sebagai hasil dari perusahaan yang memberikan perhatiannya pada kegiatan-kegiatan terkait
dengan kepatuhan mereka terhadap hukum, etika dan kepedulian terhadap masyarakat dan
lingkungan. Lee & Shin (2010) ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif
antara kesadaran konsumen akan aktivitas CSR terhadap minat pembelian (purchase
intention). Berdasar uraian di atas disusunlah proposisi 2: Evaluasi konsumen atas aktifitas
CSR yang dilakukan perusahaan mempengaruhi keputusan pembelian
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa beberapa informan menyatakan alasan
pembelian produk ramah lingkungan dengan alasan ekonomis, antara lain: “efisiensi biaya
operasional” atau “barangnya berkualitas”. Alasan kedua adalah alasan emosional, seperti
dinyatakan oleh informan “merasa menjadi konsumen yang cerdas” atau “merasa ikut
menjaga lingkungan alam”. Selain itu terdapat pula alasan sosial seperti “dihargai teman-
teman” atau “barangnya unik”. Dan alasan terakhir adalah alasan fungsioanal, yaitu
mendapatkan “barang yang aman/tidak berbahaya”. Menurut Ali et al. (2010), aktivitas CSR
secara potensial dapat menciptakan nilai tambah bagi perusahaan karena CSR
mengkombinasikan aspek sosial dan lingkungan dalam menjalankan bisnisnya. Jika dikelola
dengan baik, pendekatan CSR dapat menciptakan nilai bagi dua pihak, yaitu bisnis itu sendiri
Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Lilik Rudianto
225
dan masyarakat secara simultan. Menurut Green & Peloza (2011) yang penting untuk
diperhatikan oleh manajer adalah kemampuan untuk membedakan nilai CSR yang akan
diterjemahkan dalam pengaruh yang berbeda pada isu sosial dan lingkungan. Ketika seorang
pelanggan memilih produk yang mengandung CSR dalam bentuk nilai fungsional,
tersebarnya produk secara luas di antara ribuan atau jutaan konsumen akan memberikan
dampak yang lebih besar kepada masyarakat. Ketika CSR ditambahkan pada fitur produk,
maka konsumen akan selalu mengingat manfaat fungsional CSR yang menciptakan tingkat
kesadaran dan keterlibatan yang lebih tinggi akan akibat dari konsumsi. Dapat disusun
proposisi 3: Aktivitas CSR berdampak pada nilai yang diterima konsumen, baik nilai
ekonomis, nilai fungsional, nilai emosional, maupun nilai sosial.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar informan menunjukkan
kecurigaan terhadap akitivitas CSR yang dilakukan perusahaan. Diantaranya “curiga harga
barang dinaikkan”, “curiga bahwa aktivitas itu hanya kebohongan publik”, dan kegiatan CSR
yang diinformasikan “tidak sebesar yang diberitakan”. Dalam hal ini Trudel & Cotte (2009)
menemukan bahwa konsumen bervariasi pada keinginan untuk membayar untuk sebuah
produk etis dari perusahaan di dasarkan pada ekspektasi mereka terkait dengan perilaku etis
dari perusahaan ini. Dengan demikian dapat disusun proposisi 4: Aktivitas CSR membuat
konsumen menjadi skeptis pada perusahaan. Hasil penelitian menunjukkan semua informan merasa bahwa produk yang ramah
lingkungan “bermanfaat bagi diri sendiri” karena “barang aman/tidak berbahaya”. Lebih
lanjut Hasil dari pelaksanaan aktifitas CSR terhadap tanggapan pelanggan meliputi evaluasi
yang bersifat positif terhadap perusahaan (Brown & Dacin, 1997), tingginya niat beli
konsumen (Mohr & Webb, 2005). Dengan demikian dapat disusun proposisi 5: Aktivitas
CSR terkait produk yang langsung dapat dirasakan konsumen meningkatkan sikap
positif konsumen terhadap produk. Hasil penelitian menunjukkan informan merasa bahwa perusahaan yang melakukan
aktivitas CSR adalah “perusahaan besar atau perusahaan yang bereputasi [baik]”. Hellen et al.
(2006) mengatakan bahwa aktivitas CSR meningkatkan kredibilitas merek/perusahaan.
Corporate social responsibility seringkali digunakan sebagai kriteria penting untuk
mengendalikan reputasi perusahaan, dimana reputasi perusahaan juga berhubungan dengan
corporate credibility yang dimiliki oleh perusahaan. Ahmad & Buttle (2001) menyatakan
sekarang ini diyakini bahwa menjadi perusahaan yang memiliki tanggungjawab sosial dapat
meningkatkan reputasi dan citra yang lebih baik di pasar. Maka disusun proposisi 6:
Aktifitas CSR berdampak pada persepsi konsumen atas citra perusahaan dan produk
serta meningkatan kredibilitas perusahaan dan merek.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa informan dalam mengevaluasi keputusan
pembeliannya menyatakan akan “merekomendasikan ke teman”, “akan membeli lagi”, karena
merasa “puas, telah melakukan dengan benar”. Namun informan yang berpemahaman negatif
terhadap CSR, seperti “[CSR merupakan] bentuk promosi terselubung”, “[CSR hanya] untuk
menarik simpati masyarakat” membuat konsumen merasa curiga pada aktivitas CSR tersebut
sehingga dalam evaluasi atas keputusan pembeliannya, informan merasa kecewa karena
“barang terlalu mahal”. Aktivitas CSR akan menambah nilai produk yang dirasakan
konsumen. Aktivitas CSR ini akan menciptakan loyalitas (Onlaor & Rotchanakitumnuai,
2010; Zdravkovic et al., 2010; Mohr, Webb, & Harris, 2001). Dengan demikian disusun
proposisi 7: Penilaian konsumen atas aktivitas CSR mempengaruhi loyalitas konsumen.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa informan memiliki tingkat kepedulian pada
lingkungan yang bervariasi. Beberapa informan mengatakan “orang harus diperlakukan
sama”, namun beberapa orang lagi menyatakan bahwa “orang butuh menjaga diri sendiri
Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Lilik Rudianto
226
tanpa perlu mengkhawatirkan orang lain”. Sedangkan apabila dilihat dari karakteristik
pendidikan informan, hampir semua informan berpendidikan tinggi (Sarjana) dan berada
pada usia produktif (29-47 tahun) di mana hampir semuanya adalah karyawan. Menurut
informan akademisi, karakteristik konsumen yang mempengaruhi keputusan pembelian
produk ramah lingkungan adalah konsumen yang “berusia 30-45 tahun, berpendidikan tinggi,
tingkat ekonomi yang cukup”. Lebih lanjut informan akademisi tersebut menyatakan bahwa
antara karakteristik demografi dengan kepedulian lingkungan ini dapat berinteraksi dalam
mempengaruhi keputusan pembelian. Sen & Bhattacharya (2001) menyatakan bahwa ketika
konsumen altruistic mempersepsikan merek yang mencoba untuk memproyeksikan citra CSR
dengan mengasosiasikannya melalui suatu social cause, konsumen akan berusaha membuat
penilaian pada kredibilitas merek tersebut berdasarkan attribution of motivation, dimana tetap
meyakinkan konsumen bahwa brand tersebut sesuai dengan personal identities konsumen
dan untuk memuaskan kebutuhan dasar definisi personal. Altruistic value yang ada pada diri
konsumen akan mempengaruhi perilaku mereka dalam merespon aktivitas CSR, seperti yang
disampaikan oleh Stren, Kalof & Mohamed (2009). Maka dapat disusun proposisi 8:
Karakteristik konsumen (umur, pendidikan, pendapatan dan kepedulian pada
lingkungan memperkuat pengaruh CSR terhadap keputusan pembelian konsumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar informan memiliki budaya
kebersamaan, yaitu mereka mengatakan bahwa “setiap orang seharusnya membantu orang
lain yang kurang beruntung”, atau “adalah sangat penting menolong orang lain yang dalam
kesulitan”. Rojanasak & Ken (2009) mengatakan bahwa pengaruh inisiatif CSR terhadap
brand preference dipengaruhi oleh nilai budaya. Dengan demikian dapat disusun proposisi 9:
Budaya konsumen yang kolektivism (lebih mengutamakan kebersamaan)
mempengaruhi sikap atas kegiatan CSR dan keputusan pembelian produk ramah
lingkungan. Sembilan proposisi tersebut merupakan suatu hubungan kausal antara proposisi satu
dengan proposisi lainya. Keterkaitan semua proposisi hasil penelitian satu dengan proposisi
lainya dapat dilihat dalam gambar berikut
Gambar 1
Model CSR: Variabel Anteseden dan Konsekuensi
Tujuan CSR
- Peraturan
- Kebaikan
hati
- promosi
Aktivitas CSR
- Bagi diri
konsumen
- Bagi
lingkungan
Respon
Konsumen
- Value
- Loyalitas
- Skeptis
- Sikap
- Image
- Kredibilitas
- Budaya
konsumen
- Karakteristik
(demografi
dan
kepedulian)
Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Lilik Rudianto
227
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Terdapat 9 proposisi sebagai hasil penelitian ini, yaitu: 1) persepsi konsumen tentang
tujuan aktivitas CSR mempengaruhi evaluasi konsumen tentang kegiatan CSR tersebut; 2)
evaluasi konsumen atas aktifitas CSR yang dilakukan perusahaan mempengaruhi keputusan
pembelian; 3) aktivitas CSR berdampak pada nilai yang diterima konsumen baik nilai
ekonomis, nilai fungsional, nilai emosional, maupun nilai sosial; 4) aktivitas CSR membuat
konsumen menjadi skeptis pada perusahaan; 5) aktivitas CSR terkait produk yang langsung
dapat dirasakan konsumen meningkatkan sikap positif konsumen terhadap produk; 6)
aktivitas CSR berdampak pada persepsi konsumen atas citra perusahaan dan produk serta
meningkatan kredibilitas perusahaan dan merek; 7) penilaian konsumen atas aktivitas CSR
mempengaruhi loyalitas konsumen; 8) karakteristik konsumen (umur, pendidikan,
pendapatan dan kepedulian pada lingkungan memperkuat pengaruh CSR terhadap keputusan
pembelian konsumen; 9) budaya konsumen yang kolektivism (lebih mengutamakan
kebersamaan) mempengaruhi sikap atas kegiatan CSR dan keputusan pembelian produk
ramah lingkungan.
Ditemukan variabel moderasi pada hubungan aktivitas CSR dan respon konsumen
pada CSR yaitu karakteristik konsumen berupa demografi dan kepedulian pada lingkungan
yang pada awalnya dianggap sebagai varienel anteseden. Hasil penelitian kualitatif yang
berupa proposisi-proposisi penelitian ini perlu dijabarkan dalam bentuk hipotesis yang
nantinya perlu diuji secara kuantitif. Agar hasil penelitian lebih terfokus, maka penelitian
lanjutan perlu dilakukan dengan objek penelitian yang spesifik.
DAFTAR REFERENSI
Ahmad R., Buttle F. 2001. Customer retention: a potentially potent marketing management
strategy. Journal of Strategic Marketing, 9 (1), 29-45.
Ali A., Israr A. 2012. Environtment friendly product: factors that influence the green
purchase intentions of Pakistani Consumers. Pakistani Journal Technology Science, pp
84-117.
Ali I., Rehman KU., Yilmaz, AK., Nazir S., Ali JF. 2010. Effects of corporate social
responsibility on consumer retention in cellular industry of Pakistan. African Journal of
Business management, Vol.4(4), pp. 475-485.
Ashok R. 2004. Marketing Strategies: A Contemporary Approach. New Jersey: Prentice Hall.
Becker-Olsen KL., Cudmore BA., Hill, RP. 2006. The impact of Perceived Corporate Social
Responsibility on Consumer Behavior. Journal of Business Research, 59, pp. 46-53.
Brown TJ., Dacin PA. 1997. The company and the product: corporate associations and
consumer product responses. The Journal of Marketing, 68-84.
Burns AC., Bush RF. 2010. Marketing Research. New Jersey: Prentice Hall.
Creswell JW., Miller DL. 2000. Determining validity in qualitative inquiry. Theory Into
Practice, 39 (3), 124-130.
Goulding, C. 2003. Issues in representing the postmodern consumer”, Qualitative Market
Research: An International Journal, 6 (3), 152-159.
Green T., Peloza J. 2011. How does corporate social responsibility create value for
consumers? Journal of Consumer Marketing, 28/1, pp. 48-56.
Gremler DD. 2004. The critical incidence technique in service research. Journal of Service
Research, 7 (1), 65-89.
Masmira Kurniawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Sri Hartini Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Lilik Rudianto
228
Guion LA., Diehl DC., McDonald D. 2011. Triangulation: Establishing the Validity of
Qualitative Studies. Working paper: University of Florida.
Jarratt DG. 1996. A comparison of two alternative interviewing techniques used within an
integrated research design: a case study in outshopping using semi-structured and non-
directed interviewing techniques. Marketing Intelligence & Planning, 14 (6), 6-15.
Kotler P., Keller KL. 2012. Marketing Management. New Jersey: Prentice Hall.
Kotler P., Nancy L. 2005. Corporate social responsibility: doing the most good for your
company and your cause. Resource Policy, 27, 61-75.
Lee, KH., Shin D. 2010. Consumers’ responses to CSR activities: The linkage between
increased awareness and purchase intention. Public Relation Review, 36, pp. 193-195
Mohr LA., Webb DJ., Harris KE. 2001. Do Consumers expect companies to be socially
responsible? The impact of Corporate Social responsibility of buying behavior. Journal
of Consumer Affairs, 35, pp. 45-72.
Mohr LA., Webb DJ. 2005. The effects of corporate social responsibility and price on
consumer response. Journal of Consumer Affairs, 39, 121-147.
Onlaor W., Rotchanakitumnuai S. 2010. Enhancing Customer Loyalty towards CSR of Thai
Mobile Service Provider. World Academy of Science, Engineering and Technology, 66,
1574-1578.
Pace S. 2004. A Grounded Theory of the Flow Experiences of Web Users. International
Journal of Human-Computer Studies, 60, 327–363.
Rahim R., Jalaludin F., Tajuddun K. 2011. The Importance Of Corporate Responsibility On
Consumer Behaviour In Malaysia. Asian Academy of Management Journal, 16, pp 119-
139.
Schifman, LG., Kanuk LL. 2007. Consumer Bahavior. International Edition. New Jersey:
Pearson Education Inc.
Sen S., Bhattacharya CB. 2001. Does doing good always lead to doing better? Consumer
reactions to corporate social responsibility. Journal of marketing Research, 38 (2), 225-
243.
Shah SK., Corley KG. 2006. Building Better Theory by Bridging the Quantitative–
Qualitative Divide. Journal of Management Studies, 43 (8), 1821-1835.
Trudel R., Cotte J. 2009. Does it pay to be good. MIT Sloan Management Review, 50 (2), 61-
68.
Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal.
Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.
Webb & Mohr. 1998. Do Consumer Expect Companies to be Socially Responsible? The
Impact of CSR on Buying Behavior. The Journal of Consumer Affairs, Vol. 35, No. 1
Zdravkovic S., Magnusson P., Stanley, SM. 2010. Dimensions of fit between a brand and a
social cause and their influence on attitudes. International Journal of Research in
Marketing, 27(2), 151-160.
Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
229
BUDAYA ORGANISASI, KOMPETENSI DAN KINERJA KARYAWAN PADA PT.
ANGKASA PURA II (PERSERO) KANTOR CABANG BANDAR UDARA SULTAN
SYARIF KASIM II PEKANBARU
Raden Lestari Garnasih
Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Riau
ABSTRACT
ORGANIZATIONAL CULTURE , COMPETENCE AND EMPLOYEES PERFORMANCE
IN ANGKASA PURA II (LIMITED) AIRPORT BRANCH SULTAN SYARIF KASIM II
PEKANBARU
This study aims to determine how the variables influence organizational culture and
competencies on the performance of employees at PT Angkasa Pura II (Limited) Branch Airport
Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru.
This study uses primary data is data obtained from interviews and questionnaires giving
to all employees at PT Angkasa Pura II (Limited) Branch Airport Sultan Syarif Kasim II
Pekanbaru. Secondary data relating to the object and organizational structure. The population is
the entire workforce of about 291 employees and 74 employees were sampled. The method of
analysis used in this study is the method of multiple linear regression.
From the results of testing that has been done, the results of the partial test (t test)
showed that the variables of organizational culture and competence partially significant effect on
employee performance. The results of the calculation of the coefficient of determination (R2) is
equal to 0.538 which means that the culture of the organization and competence variables jointly
affect the performance of employees by 53.8%, while the remaining 46.2% is influenced by other
variables were not examined in the study this.
Keywords: organizational culture, competencies, and employee performance
Pendahuluan
Kinerja organisasi yang merupakan akumulasi dari kinerja karyawan selalu menjadi
tujuan setiap organisiasi. Hal ini tidak bisa dipungkiri karena kinerja yang dihasilkan akan
menentukan keberlangsungan hidup organisasi. Sebaliknya kinerja yang buruk akan
mempengaruhi organisasi dalam mengembangkan dirinya, seperti melakukan ekspansi
perusahaan, pengembangan produk, perbaikan sistem dan teknologi, dan sebagainya. Oleh
sebab itu kinerja karyawan akan selalu menjadi tujuan dari setiap aktifitas di dalam
organisasi.
Kinerja merujuk pada tingkat pencapaian tujuan di tempat kerja yang ditetapkan
dalam kerja karyawan (Cascio 2006). Peneliti-peneliti lain memiliki pikiran yang berbeda
mengenai kinerja. Banyak para peneliti menggunakan istilah kinerja untuk mengekspresikan
tingkatan ukuran dari efisiensi transaksi input dan output (Stannack 1996).
Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
230
Banyak faktor yang mempengaruhi pencapaian kinerja antara lain adalah
budaya organisasi. Setiap organisasi memiliki budaya atau kumpulan nilai sendiri yang unik
dan organisasi yang berbeda memiliki makna yang lengkap tentang budayanya. Agar supaya
tujuan-tujuan organisasi dan mencapai persaingan kompetitif, semua organisasi yang sedang
berkembang merekrut individu-individu yang berkinerja tinggi. Di lain sisi, individu
membutuhkan dukungan budaya organisasi untuk membantu mereka mencapai tujuan-tujuan
individu. Oleh karena itu, sebuah organisasi dengan sadar mengkoordinasikan sistem yang
dikarakteristikkan dengan interaksi individu, kelompok, dan organisasi satu sama lain dan
berinteraksi efektif tergantung pada budaya organisasi yang mempertajam kinerja karyawan
(Kozlowski & Klein, 2000).
Budaya organisasi merupakan perilaku bersama karyawan organisasi, yang terbentuk
dari nilai-nilai organisasi, visi, bahasa kerja, sistem dan simbol-simbol ( Saher, et al 2012).
Selanjutnya Schein menyatakan bahwa budaya organisasi mempengaruhi cara orang dan
kelompok berinteraksi satu sama lain, klien, dan stakeholder yang lainnya. Hofstede (1991)
menyatakan bahwa budaya mempengaruhi bagaimana orang berperilaku dan berpikir , jadi
sangat penting untuk memahami budaya organisasi dalam organisasi. Jim Grives (2000)
mendukung dengan kuat bahwa pengembangan organisasi dapat meningkatkan nilai-nilai
kemanusiaan. Agar dapat mencapai budaya dengan berhasil, pimpinan tidak boleh
mengabaikan budaya organisasi karena budaya organisasi dapat digunakan sebagai
keunggulan bersaing selama pengembangan organisasi (Sun 2008). Pada dasarnya fungsi-
fungsi budaya organisasi mencerminkan budaya dalam dua tujuan yakni pertama, penciptaan
perasaan identitas di dalam individu dan komitmen terhadap organisasi; kedua, penciptaan
sebuah persaingan pada para anggota (terutama karyawan baru) di dalam organisasi untuk
dapat memahami perilaku dengan baik dan kestabilan sistem sosial (Martins 2000).
Kompetensi merupakan faktor yang berperan dalam menghasilkan kinerja karyawan.
Kompetensi merupakan karakteristik dasar dari seseorang yang memungkinkannya
memberikan kinerja yang unggul dalam pekerjaan. Apabila karyawan memiliki kompetensi
yang terdiri pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang baik maka akan memiliki
kinerja yang baik pula ( McCleland dalam Yuniarsih dan Suwatno 2009).
Kompetensi juga memberi manfaat yang besar bagi suatu organisasi. Jika kompetensi
ini dimiliki oleh para karyawan , maka organisasi akan lebih mudah untuk mencapai kinerja
yag diharapkan. Beberapa manfaat kompetensi tersebut adalah (Manopo 2011) ; pertama,
manfaat proses seleksi berbasis kompetensi antara lain; meminimalkan biaya investasi atas
merekrut orang-orang yang ternyata tidak memenuhi harapan perusahaan, menyediakan
gambaran yang jeals mengenai peryaratan jabatan Kedua, manfaat pelatihan dan
penegembangan berbasis kompetensi, antara meliputi; menjadikan organisasi untuk fokus
pada perilaku dan keterampilan yang relevan, menjadikan kegiatan pelatihan dan
pengembangan llebih efektif, dan menyediakan kerangka bagi atasan untuk melakukan
bimbingan.
PT. Angkasa Pura II (Persero) Kantor Cabang Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II
Pekanbaru merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di
bidang jasa kebandarudaraan dan pelayanan lalu lintas udara Angkasa Pura II sebagai Air
Navigation Service Provider (ANSP) senantiasa berupaya meningkatkan kualitas
pelayanannya baik dari fasilitas, prosedur kerja maupun kemampuan personil, sehingga
mampu melaksanakan misinya untuk mengelola jasa pelayanan lalu lintas udara yang
mengutamakan keselamatan penerbangan dan kepuasan pelanggan.
Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
231
Pengukuran kinerja karyawan PT. Angkasa Pura II (Persero) Kantor Cabang Bandar
Udara Sultan Syarif kasim II Pekanbaru dilakukan dengan menggunakan konsep KPI (Key
Performance Indicator). Penilaian dilakukan oleh atasan langsung dari karyawan yang
dinilai.
Berdasarkan data yang diperoleh penulis, secara umum KPI di perusahaan ini belum
mampu mencapai standar perusahaan dengan nilai 4, dengan rincian :
a. Nilai 4, untuk hasil kerja di atas 90% dan menemukan hal baru yang dikategorikan sebagai
inovasi
b. Nilai 3, untuk hasil kerja di ata 90%
c. Nilai 2, untuk hasil kerja 70% - 90%
d. Nilai 1, untuk hasil kerja kurang dari 70%.
Perusahaan juga masih menghadapi berbagai persoalan yang sangat mengganggu
keberlangsungan pencapaian kinerja yang diharapkan, yakni : masih terdapatnya perilaku
karyawan yang melanggar Standard Operating Procedure (SOP) yang ada. Internalisasi
kejujuran, masih belum dapat dijalankan oleh semua karyawan. Masih banyak karyawan
yang tidak jujur dengan diri sendiri ketika menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya.
Terutama kejujuran dalam bidang tugasnya, jika ada pekerjaan yang salah selalu mengelak
dan beralasan dengan bekerja untuk mengamankan dirinya. Dalam pelaksanaan pekerjaan
masih sering terjadi konflik kecil yang terkait dengan dengan persoalan perilaku karyawan.
Misalnya, dalam hal keterlambatan pelaporan pekerjaan ke kantor pusat sering terjadi yang
disebabkan kurang adanya kerjasama antar bagian. Rata-rata keterlambatan laporan ke kantor
pusat sampai satu minggu. Karyawan juga belum mampu beradaptasi dengan budaya kerja
yang berorientasi pada prestasi. Masih ditemukan banyak karyawan yang bekerja dengan
caranya sendiri padahal budaya kerja sudah ditetapkan oleh perusahaan untuk dijadikan
pedoman. Namun banyak karyawan yang tidak menjalankan pekerjaannya sesuai dengan
Standar Operating Procedure (SOP) yang ada. Masih ditemukan karyawan yang enggan
menanggapi perubahan terhadap sistem pelaksanaan pekerjaan baru. Karyawan masih banyak
yang menolak terhadap proses pembaharuan dalam sistem manajemen. Sebagai contoh,
ketika diperlakukan ketentuan baru tentang perlunya karyawan menilai diri sendiri, mereka
umumnya enggan untuk merubah kebiasaan.
Dari uraian di atas maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah:
1. Apakah budaya organisasi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan PT.
Angkasa Pura II (Persero) Kantor Cabang Bandar Udara Sutan Syarif Kasim II Pekanbaru.
2. Apakah kompetensi berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan PT.
Angkasa Pura II (Persero) Kantor Cabang Bandar Udara Sutan Syarif Kasim II Pekanbaru.
Tujuan penelitian ini untuk mengkaji pengaruh budaya organisasi dan kompetensi
terhadap kinerja karyawan PT. Angkas Pura II (Persero) Kantor Cabang Bandar Udara Sutan
Syarif Kasim II Pekanbaru.
Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
232
Landasan Teori
1. Kinerja Karyawan
Kinerja merujuk pada kepada kemampuan (physical dan psychologiacal) untuk
melakukan sebuah tugas khusus di dalam sebuah pola yang dapat diukur sebagai skala tinggi,
menengah atau rendah . Kata kinerja dapat digunakan untuk menjelaskan aspek-aspek seperti
kinerja sosial, kinerja organisasi, kinerja karyawan, dan kinerja individu., dan sebagainya.
Para peneliti (Roe, 1999; Campbell, Mc.Cloy. Oppler, & Sager, 1993; Campbell,
1990; Kanfer, 1990) cenderung mengidentifikasikan dua dimensi kinerja, yakni sebagai
dimensi kegiatan (aspek perilaku) dan dimensi hasil (aspek prestasi). Kinerja karyawan
didefenisikan sebagai produktivitas dan output karyawan sebagai hasil pengembangan
karyawan yang pada akhirnya akan berdampak pada efektivitas organisasi. (Hameed,
Waheed 2011).
Suatu perusahaan tentu membutuhkan karyawan sebagai tenaga kerjanya guna
meningkatkan produk dan jasa yang berkualitas. Mengingat karyawan merupakan asset
penting bagi perusahaan, banyak hal yang perlu diperhatikan terkait dengan peningkatan
kinerjanya. Kinerja (performance) berasal dari akar kata ‘to perform” yang mempunyai
beberapa pengertian : (1) to do or carry out execute, (2) to discharge of fulfill as a vow, (3) to
portray, as character in a play, (4) to tender by the voice or musical instrument, (5) to
execute or complete an undertaking (6) to act a part in a play, (7) to perform music, (8) to do
what is expected of a person or machine. (The Scribner Bantam English Dictionary, (1979)
dalam Sedarmayanti (2011). Artinya: (1) melakukan, menjalankan,melaksanakan, (2)
memenuhi atau menjalankan kewajiban suatu nazar, (3) menggambarkan suatu karakter
dalam suatu permainan, (4) menggambarkannya dengan suara atau alat music (5)
melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab, (6) melakukan suatu kegiatan dalam
suatu permainan (7) memainkan (pertunjukan) music, (8) melakukan sesuatu yang
diharapkan oleh sesorang atau mesin.
Ivansevich mendefenisikan kinerja karyawan sebagai tingkat keberhasilan dalam
melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Sementara itu menurut Rivai (2011) kinerja adalah kesediaan seseorang atau kelompok
orang untuk melakukan suatu kegiatan dan menyempurnakannya sesuai dengan
tanggungjawabnya dengan hasil seperti yang diharapkan. Kinerja karyawan didefenisikan
sebagai produktivitas dan output karyawan sebagai hasil pengembangan karyawan yang pada
akhirnya akan berdampak pada efektivitas organisasi. (Hameed, Waheed, 2011).
Robbins&Judge (2011) mendefinisikan kinerja karyawan sebagai ukuran hasil kerja,
yaitu ukuran dari hasil yang menggambarkan sejauh mana aktivitas seseorang dalam
melaksanakan tugas dan berusaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Pemenuhan kebutuhan karyawan akan berdampak pada produktivitas karyawan.
Karyawan yang produktif dan kompeten akan menghasilkan output berkualitas yang
berdampak pada peningkatan pendapatan perusahaan yang pada akhirnya meningkatkan
kinerja perusahaan. Kinerja karyawan merujuk pada tingkat pencapaian tujuan di tempat
kerja yang ditetapkan dalam kerja karyawan (Cascio 2006). Peneliti-peneliti lain memiliki
pikiran yang berbeda mengenai kinerja. Banyak para peneliti menggunakan istilah kinerja
karyawan untuk mengekspresikan tingkatan ukuran dari efisiensi transaksi input dan output
(Stannack,1996)
Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
233
2. Budaya Organisasi
Budaya organisasi dikonsepkan sebagai nilai-nilai dan keyakinan yang tersebar di
dalam organisasi untuk mempertajam pola-pola perilaku karaywan (Kotter and Haskett,
1992). Gordon and Cummins (1979) mendefenisikan budaya organisasi sebagai dorongan
yang memperkenalkan usaha-usaha dan kontribusi anggota organisasi dan menyediakan
pemahaman-pemahaman yang tinggi tentang apa dan bagaimana sesuatu dicapai, bagaimana
tujuan saling dihubungkkan dan bagaimana setiap karyawan dapat mempertahankan tujuan-
tujuannya.
Banyak pakar telah mengemukakan definisi dan dimensi yang berkenaan dengan
budaya perusahaan. Hofstede (1980) menyatakan bahwa Corporate Culture telah menjadi
topik yang populer pada banyak literatur Manajemen sejak tahun 1980-an. Hofstede
menyimpulkan bahawa budaya organisasi sebagai proses kolektif pemikiran yang
membedakan anggota-anggota organisasi dengan organisasi lain. Selanjutnya budaya
organisasi dapat bermakna dapat menjaga karyawan untuk tetap berada dalam garis dan
berakselearasi terhadap tujuan- tujuan organisasi.
Peters dan Watermans (1982) bahkan mengemukakan bahwa Budaya Perusahaan
merupakan konsep yang sederhana, namun menyeluruh dan memiliki konsekuensi yang
tinggi. Lebih lanjut Peters dan Watermans (1982) mengemukakan bahwa budaya yang kuat
akan lebih efektif daripada budaya yang lemah. Budaya organisasi dirancang oleh Schein
(1990) sebagai keseluruahn fenomena seperti pengelolaan alami, ritual, iklim dan nilai-nilai
perusahaan. Didasarkan pada Martins dan Terblanche (2003), budaya secara mendalam
dihubungkan dengan nilai-nilai dan keyakinan-keyakinan yang tersebar di dalam sebuah
organisasi. Budaya organisasi menghubungkan karyawan dengan nilai-nilai organisasi,
norma-norma, cerita-cerita, keyakinan dan prinsip-prinsip serta memasukkan semua hal
tersebut sebagai standar perilaku dan aktivitas. Klein, et.el (1995) memposisikan budaya
organisasi sebagai nilai inti kegiatan organisasi yang secara menyeluruh berdampak pada
efektivitas menyeluruh dan kualitas produk dan jasa. Schein (2004) myawan dan bentuk
mamanjemen, mendefenisikan budaya organisasi sebagai kekuatan dinamis di dalam
organisasi yang melibatkan, menguatkan dan berinteraksi, serta dipertajam melalui karyawan
dan gerak manajemen, perilaku dan kebiasaan.
Budaya yang kuat dianggap merupakan budaya yang relatif lebih efektif sedangkan
budaya yang lemah relatif lebih homogen Menurut hasil penelitian Institute for Research on
Intercultural Cooperation (IRIC) bahwa budaya yang kuat memiliki korelasi yang signifikan
dengan budaya yang berorientasi pada hasil. Selanjutnya, Graham (2004) mengungkapkan
bahwa budaya organisasi yang berbasis kinerja mengakui bahwa kesuksesan mereka
bergantung pada keberhasilan kinerja karyawan mereka. Kemampuan organisasi untuk
melaksanakan misinya dan mencapai tujuan organisasi, bergantung pada kompetensi, inovasi,
dan produktivitas karyawannya. Manajemen dalam organisasi ini berkomitmen kuat untuk
menciptakan kondisi dan konsekuensi yang mendukung dan mempertahankan kinerja yang
baik dan berkelanjutan. Organisasi dengan budaya yang berbasis kinerja menghasilkan hasil
yang lebih baik dan pelanggan yang lebih puas. Perusahaan juga memiliki karyawan yang
lebih bahagia.
Gordon dan DiTomaso dan Denison (1990) berpendapat bahwa karakteristik budaya
bisa mempengaruhi kinerja tetapi dikendalikan atau dikondisikan dengan conteks khusus.
Mereka lebih jauh berargumen bahwa budaya dapat mengarahkan kepada kinerja yang lebih
tinggi dengan jika terdapat kepastian perubahan-perubahan faktor lingkungan. Akhir-akhir
ini, para peneliti berargumentasi bahwa sifat-sifat budaya dicopy dan pada akhirnya menjadi
sumber keberlangsungan organisasi. Pandangan yang didasarkan pada sumber daya (RBV)
Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
234
(Barney 1986 dan 1991) menyarankan bahwa keberlangsungan bergantung kepada nilai-nilai,
kelangkaan dan keberlangsungan perhatian pada budaya.
Terdapat hubungan antara budaya organisasi dan kinerja (Ogbonna dan Harris 2000).
Penelitian lain menyatakan bahwa budaya yang kuat memiliki andil dalam mencapai
kesuksesan organisasi (Deal and Kennedy 1982). Penelitian ini menyatakan bahwa hasil
study mengindikasikan bahwa dua bentuk budaya , yakni birokrasi dan komunitas tidak
memiliki hubungan langsung terhadap kinerja. Menariknya, birokrasi dan komunitas
memiliki masing-masing karakteristik integrasi, kohesif internal, dan kemantapan kesamaan
yang menciptakan budaya yang kuat. Hasil studi lain menyatakan bahwa budaya organisasi
memiliki pengaruh yang mendalam pada variasi proses organisasi, karyawan dan kinerjanya
(Sahzad, Luqman, Khan, Shabbir 2012). Penelitian ini lebih lanjut menyatakan bahwa jika
karyawan komitmen dan memiliki kesamaan norma-norma dan nilai-nilai sebagaimana yang
dimiliki organisasinya, maka akan dapat meningkatkan pencapaian tujuan organisasi secara
menyeluruh. Penelitian lain menyatakan terdapat hubungan positif antara budaya organisasi
dengan kinerja dengan variable antara adaptation (Stoica dan Minet 1999). Kekuatan budaya
berkorelasi secara signifikan dan positif dengan kepuasan kerja. Temuan ini mengungkapkan
bahwa organisasi yang memiliki kekuatan budaya kerja yang lebih tinggi, lebih mungkin
untuk memiliki kepuasan pekerjaan yang lebih tinggi dan berimplikasi terhadap kinerja
organisasi yang lebih baik. (Mallack dkk. 2003).
Selanjutnya, Graham (2004) mengungkapkan bahwa budaya organisasi yang berbasis
kinerja mengakui bahwa kesuksesan mereka bergantung pada keberhasilan kinerja karyawan
mereka. Kemampuan organisasi untuk melaksanakan misinya dan mencapai tujuan
organisasi, bergantung pada kompetensi, inovasi, dan produktivitas karyawannya.
Manajemen dalam organisasi ini berkomitmen kuat untuk menciptakan kondisi dan
konsekuensi yang mendukung dan mempertahankan kinerja yang baik dan berkelanjutan.
Organisasi dengan budaya yang berbasis kinerja menghasilkan hasil yang lebih baik dan
pelanggan yang lebih puas. Perusahaan juga memiliki karyawan yang lebih bahagia.
Budaya organisasi yang diterapkan pada PT. Angkasa Pura II (Persero) meliputi:
(Buku Perjanjian Kerja Sama , PKB, PT. Angkasa Pura II) : dapat dipercaya, kejujuran,
kepedulian, kelugasan, integritas, bebas dari konflik kepentingan, kelancaran aliran, perilaku
etikal, keinsanan korporasi yang baik, kehati-hatian dan pengendalian resiko.
3. Kompetensi
Kompetensi merupakan karakteristik individu yang mendasari kinerja atau perilaku di
tempat kerja (Wibowo 2007) . Pendapat lain dikemukakan oleh Lucia dan Lepsinger dalam
Manopo (2011:12) menyatkan bahwa kompetensi menggambarkan kombinasi perilaku antara
pengetahuan , keterampilan, dengan karakteristik yang diperlukan untuk menunjukkan
perannya dalam organisasi secara efektif dan kinerja yang sesuai di dalam organisasi.
Ada dua istilah yang muncul dari dua aliran yang berbeda tentang konsep kesesuaian
dalam pekerjaan. Istilah tersebut adalah Competency (kompetensi) yaitu deskripsi mengenai
perilaku, dan Competence (kecakapan) yang merupakan deskripsi tugas atau hasil pekerjaan.
(Palan, 2007:5). Walau perbedaan arti kedua istilah tersebut diterima secara umum, namun
penggunaannya masih sering dipertukarkan, yang menyebabkan setiap orang memiliki
pengertian yang berbeda-beda. Umumnya orang menggunakan istilah kompetensi dan
sejenisnya menciptakan pengertian sendiri sesuai dengan kepentingannya.
Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
235
Kompetensi didefenisikan oleh Miller (1990) sebagai mengetahui bagaimana
melakukan sesuatu. Defenisi lain dari kompetensi adalah merupakan kombinasi dari
pengetahuan, keterampilan dan prestasi, kemampuan untuk menerapkan pengetahuan,
keterampilan dan penyesuaian dalam praktek (Sanford, 1989). ..
Kompetensi merupakan suatu karakteristik yang mendasar dari seseorang individu,
yaitu penyebab yang terkait dengan acuan kriteria tentang kinerja yang efektif. (Spencer &
Spencer, 1993:9). Penyesuaian tekonologi dalam komunikasi di Perusahaan kecil untuk
meningkatkan kompetensi sebagai upaya peningkatan kinerja. (Wainwright dkk. 2005). Di
dalam buku Human Resources Development PT. Angkasa Pura II (Persero) disebutkan
bahwa indikator kompetensi adalah sebagai berikut : orientasi kepada prestasi, adaptasi,
bertindak proaktif, komunikasi, memimpin perubahan, membangun jaringan dan orientasi
pada keuntungan.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa kinerja karyawan dan kompetensi
berhubungan langsung dan menjadi penting dalam sektor ekonomi. Di samping itu banyak
faktor yang memiliki hubungan positif terhadap kinerja dan kompetensi. Hasil penelitian
Ainon (2003) menyatakan ada individu-individu yang memiliki tingkat kompetensi tinggi
tetapi rendah kinerja disebabkan tidak menggunakan kompetensinya. Oleh sebab itu kinerja
yang lebih tinggi juga dihasilkan melalui disiplin dan kerja keras. Kompetensi
mempengaruhi kinerja juga dinyatakan oleh Ismail dan Abidin (2010)
Dari pemaparan di atas maka, kerangka berpikir pada penelitian ini adalah :
Hipotesis yang dirumuskan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara budaya organisasi terhadap kinerja
karyawan pada PT. (Persero) Angkasa Pura II Cabang Kantor Bandar Udara Sultan Syarif
Kasim II Pekanbaru.
2. Terdapat pengaruh positif dan signifikan antara kompetensi terhadap kinerja karyawan pada
PT. (Persero) Angkasa Pura II Cabang Kantor Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II
Pekanbaru.
Metode Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di PT. Angkasa Pura II (Persero) Kantor Cabang Bandar
Udara Sultan Syarif Kasim II , jalan Perhubungan Udara, Kelurahan Maharatu, Kecamatan
Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru , Propinsi Riau.
Budaya
Organisasi
Kompetensi
Kinerja Karyawan
Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
236
Sampel pada penelitian ini adalah 74 orang karyawan dari 291 populasi. Metode
penarikan sampel dilakukan dengan stratified random sampel. Pengambilan sampel dilakukan
dengan metode stratified Random Sampling . Penulis mengelompokkan populasi berdasarkan
divisi yang ada di PT (Persero) Angkasa Pura II dengan perhitungan sebagai berikut
Tabel 1 Jumlah Populasi dan Sampel Berdasarkan Divisi
No. Divisi Populasi Sampel
1 Pelayan Operasi 178 45
2 Teknik 60 15
3 Keuangan Administrasi dan
Komersial
53 14
Jumlah 291 74
Sumber: Data Olahan PT. Angkasa Pura II (Persero) Bandar Udara
Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru
Sedangkan pengumpulan data dilakukan dengan metode wawancara dan penyebaran
kuesioner, dimana kuesioner yang disebarkan berisi pertanyaan-pertanyaan dengan
menggunakan skala Likert.
Operasional Variabel pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
Tabel 2 : Operasional Variabel Penelitian
Variabel Indikator Skala Pengukuran
Kinerja Karyawan (Y) adalah
hasil atau tingkat
keberhasilan seseorang
secara keseluruhan selama
periode tertentu pada PT.
Angkasa Pura II Cabang
Kantor Bandar Udara Sultan
Syarif Kasim II Pekanbaru
a. komitmen pada perusahaan,
b. orientasi pada pelanggan,
c. kerjasama,
d. keteraturan dan keakuratan,
e. jiwa kepemimpinan,
f. pengembangan,
g. pengambilan keputusan
(Human Resources
Development PT. Angkasa
Pura II)
Ordinal
Budaya Organisasi (X1)
adalah nilai-nilai yang
diterima bersama oleh
anggota organisasi yang
menjadi dasar berperilaku
karyawan PT. Angkasa Pura
II Cabang Kantor Bandar
Udara Sultan Syarif Kasim II
pekanbaru
a. dapat dipercaya,
b. kepedulian,
c. kelugasan,
d. integritas,
e. bebas dari konflik
kepentingan,
f. kelancaran aliran ,
g. perilaku etikal,
h. keinsanan korporasi yang
baik,
i. kehati-hatian,
j. pengendalian resiko
Ordinal
Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
237
(Perjanjian Kerja
Bersama/PKB PT. Angkasa
Pura II)
Kompetensi (X2) adalah
karakteristik dasar seseorang
yang mempengaruhi cara
seseorang berpikir dan
bertindak dalam bekerja di
PT. Angkasa Pura II Cabang
Kantor Bandar Udara Sultan
Syarif Kasim II Pekanbaru.
a. orientasi pada pelanggan,
b. adaptasi,
c. bertindak proaktif,
d. komunikasi,
e. memimpin perubahan,
f. membangun jaringan,
g. orientasi pada keuntungan
(Human Resources
development PT. Angkasa
Pura II (Persero).
Ordinal
Uji instrumen yang dilakukan meliputi uji validitas, reliabilitas, normalitas data,
heterokedasitas, multikorelasi, dan autokorelasi. Metode analisis data yang digunakan untuk
menganalisis pengaruh antara variabel bebas dan terikat adalah dengan menggunakan
analisis regresi berganda.
Hasil data yang berhasil dikumpulkan akan diubah terlebih dahulu dari data yang
berbentuk ordinal kepada data yang berbentuk interval dengan menggunakan metode MSI
(Method of Successive Interval). Hal ini dilakukan untuk memenuhi sebagian syarat analisis
parametrik.
Hasil dan Pembahasan
1. Profil Responden
2.
Dari hasil penyebaran kuesioner, maka dihasilkan profil responden meliputi jenis
kelamin, usia, tingkat pendidikan, dan masa kerja yang dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini :
Tabel 3: Profil Responden
No. Profil responden Persentase
1. Jenis Kelamin :
Laki – laki
Perempuan
68,92
31,08
2. Usia :
< 30 tahun
30- 40 tahun
>40 tahun
18,92
52,70
28,38
3. Tingkat
Pendidikan:
SMA/SMK
Diploma
Sarjana
22,97
31,08
45,95
Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
238
4. Masa Kerja
<5 tahun
5 – 10 tahun
>10 tahun
29,73
43,24
27,03
Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa dari identitas jenis kelamin, responden didominasi
oleh laki-laki (68,92%). Hal ini merupakan hal yang lumrah mengingat PT. Angkasa Pura II
merupakan perusahaan yang bergerak di bidang jasa kebandarudaraan yang menuntut para
pekerja untuk bekerja di lapangan sehingga karyawan lebih banyak laki-laki. Usia para
karyawan didominasi oleh usia 30 – 40 tahun, yakni 52,70%, yang artinya sebagian besar
karyawan berada pada usia produktif. Hal ini memberi nilai positif bagi perusahaan, karena
usia produktif adalah usia yang diharapkan mampu menyelesaikan setiap pekerjaan sesuai
dengan targetnya masing-masing. Dari aspek tingkat pendidikan, sebagian besar
karyawan berpendidikan sarjana (S1) (45,95%). Hal ini menunjukkan bahwa organisasi
memiliki karyawan yang memiliki tingkat intelektualnya yang cukup baik, sehingga
diharapkan para karyawan memiliki kemampuan dan mampu dengan baik menyerap dan
mengimplementasikan nilai-nilai budaya organisasi yang ada sehingga mampu menciptakan
kinerja karyawan sesuai target yang ditetapkan. Masa kerja karyawan sebagian besar berada
pada 5-10 tahun, dan hanya 27,93% berada pada masa kerja di bawah 5 tahun. Kondisi ini
menunjukkan kan karyawan memiliki loyalitas yang baik, dan semakin lama mereka bekerja
pada perusahaan maka semakin baik kompetensi mereka dalam mengerjakan setiap pekerjaan
yang diberikan oleh perusahaan. Semakin lama karyawan bekerja pada organisasinya juga
akan berdampak pada kemampuan mereka untuk lebih memahami nilai-nilai budaya tempat
mereka bekerja, yang pada akhirnya akan menghasilkan kinerja optimalnya.
3. Hasil Uji Instrumen
1. Uji Validitas Pada uji validitas, sampel yang digunakan sebanyak 74 responden. Pengujian validitas
dilakukan dengan membandingkan nilai korelasi r hitung dengan r tabel, dengan kriteria
pengujian:
Jika r hitung ≥ r tabel maka item-item pernyataan dinyatakan valid
Jika r hitung < r tabel maka item-item pernyataan dinyatakan tidak valid.
Untuk menetukan nilai r tabelnya df = jumlah sampel – 2, yang berarti df = 74 – 2 = 72.
Dari tabel r dengan alpha 5% diketahui nilai df sebesar 0,229 dan nilai ini dibandingkan dengan
nilai r hitung. Nilai r hitung dalam uji ini adalah pada kolom Item –Total Statistics (Corrected
Item – Total Correlation). Nilai uji validitas dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4 : Hasil Uji Validitas Instrument
Variabel Item r hitung t tabel Keterangan
Kinerja 1 0.832 0.299 Valid
2 0.774 0,299 Valid
3 0.665 0,299 Valid
4 0.738 0,299 Valid
5 0.706 0,299 Valid
6 0.674 0,299 Valid
7 0.625 0,299 Valid
Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
239
Budaya
Organisasi
1 0.657 0,299 Valid
2 0.708 0,299 Valid
3 0.702 0,299 Valid
4 0.611 0,299 Valid
5 0.717 0,299 Valid
6 0.735 0,299 Valid
7 0.693 0,299 Valid
8 0.605 0,299 Valid
9 0.433 0,299 Valid
10 0.608 0,299 Valid
Kompetensi 1 0.631 0,299 Valid
2 0.654 0,299 Valid
3 0.712 0,299 Valid
4 0.767 0,299 Valid
5 0.734 0,299 Valid
6 0.716 0,299 Valid
7 0.539 0,299 Valid
Hasil uji validitas menunjukkan nilai r hitung berkisar antara 0,433 sampai 0,832,
sedangkan r tabel adalah 0,299, (r hitung > r tabel), dan ini berarti bahwa semua data saduah
valid. Sedangkan uji reliabilitas menujukkan hasil yang reliabel, dimana nilai reliabilitasnya
adalah lebih 0,6. Dan ini berarti alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini reliabel.
4. Uji Reliabilitas
Pengujian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keandalan dan instrumen pernyataan yang
valid. Pengujian dilakukan dengan menggunakan cronbach’s alpha. Batsan nilai dalam uji
adalah 0.6. Jika nilai reliabilitas kurang dari 0.6, maka tingkat keandalannya kurang baik.
Tabel 5: Hasil Uji Reliabilitas Instrument
Variabel Cronbach’s Alpha Keterangan
Kinerja 0.902 Reliabel
Budaya Organisasi 0.898 Reliabel
Kompetensi 0.887 Reliabel
Dari tabel 5 diketahui hasil pengujian nilai reliabilitas ketiga variabel berada di atas 0.6.
Artinya adalah bahwa alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini reliabel.
5. Analisis Regresi Linear Berganda
Dari hasil tanggapan responden data kemudian diolah untuk mengetahui bagaimana
pengaruh faktor-faktor tersebut dapat dilihat dengan menggunakan analisis regresi linear
berganda. Berikut adalah hasil olahan data :
Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
240
Tabel 6 : Hasil Analisis Regesi Linear Berganda
Model Unstandarized
Coeficients
Standardized
Coeficient
t Sig
B Std Error Beta
(Constant)
Budaya Organisasi
Kompetensi
.092
.310
.528
.375
.120
.115
.286
.508
.245
2.592
4.602
.807
.012
.000
Sumber : Data Olahan
Dari hasil pada tabel 6 dibuat persamaan regresi linear berganda sebagai berikut :
Y = 0.092 + 0.310 X1 + 0.528 X2
Makna dari persamaan di atas adalah :
a. Nilai konstanta sebesar 0.092 bermakna bahwa apabila budaya organisasi dan kompetensi
diasumsikan konstan atau nol, maka kinerja karyawan bernilai 0.092
b. Nilai koefisien regresi variabel budaya organisasi sebesar 0.310, bermakna bahwa setiap
peningkatan budaya organisasi sebesar satu satuan, akan meningkatkan kinerja sebesar 0.310
dengan asumsi variabel lain tetap.
c. Nilai koefisien regresi kompetensi sebesar 0.528 bermakna setiap peningkatan variabel
kompetensi sebesar satu satuan , akan meningkatkan kinerja sebesar 0.528 dengan asumsi
variabel lain tetap.
6. Uji t ( Parsial )
Hasil uji t (parsial) dilakukan dengan membandingkan t hitung dengan t tabel. Dengan α =
5% t tabel sebesar 1,994. Hasil uji t sebagai berikut :
1. Variabel budaya organisasi (X1) memiliki t hitung (2,592) > t tabel (1,994) dengan sig 0,012
< 0,05. Artinya variabel budaya organisasi berpengaruh terhadap kinerja karyawan.
2. Variabel kompetensi (X2) memiliki t hitung (4,602) > t tabel (1,994), dengan sig. (0,000) <
0,05. Artinya variabel kompetensi berpengaruh terhadap kinerja karyawan.
7. Uji Koefisien Determinasi (R )
Analisis determinasi dalam regresi linear berganda digunakan untuk mengetahui persentase
sumbangan pengaruh variabel independen secara simultan terhadap variabel dependen.
Berikut adalah hasil olahan data SPSS: :
Tabel 7 : Koefisien Determinasi Berganda ( R ² )
Model R R Square Adjusted R
Square
Std. Error of
The Estimated
Durbin
Watson
.733 .538 .525 .515824 1.755
Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
241
Dari tabel 7 nilai R Square sebesar 0.538. Artinya adalah bahwa sumbangan
pengaruh variabel independen (budaya organisasi dan kompetensi) terhadap variabel
dependen (kinerja karyawan) adalah sebesar 53,8%, sedangkan sisanya sebesar 46,2 %
dipengaruhi oleh variabel yang tidak dimasukkan dalam model penelitian ini.
Pembahasan
1. Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Kinerja karyawan
Berdasarkan analisis yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat dilihat bahwa
hipotesis yang menyatakan “Diduga terdapat pengaruh budaya organisasi terhadap kinerja
karyawan pada PT (Persero) Angkasa Pura II Kantor Cabang Bandar Udara Sultan Syarif
Kasim II Pekanbaru”, dapat diterima. Budaya organisasi yang merupakan seperangkat nilai-
nilai, keyakinan dan prinsip-prinsip dasar merupakan landasan bagi karyawan untuk
berperilaku. Nilai budaya yang mengkristal dalam diri setiap karyawan akan memberikan
dampak positif bagi pencapaian kinerja.
Dari hasil jawaban responden, implementasi nilai-nilai budaya pada perusahaan ini
berada pada kategori baik. Karyawan memiliki komitmen untuk peduli terhadap tumbuh
kembang perusahaannya. Kelugasan karyawan dalam mengambil keputusan yang cerdas,
cermat, cepat dan tegas juga diiplementasikan dengan baik oleh karyawan. Karyawan
memiliki integritas yang baik, selalu menciptakan kelancaran pekerjaan . Sebagai perusahaan
jasa, karyawan juga menjunjung tinggi etika dalam bekerja , selalu berhati-hati dalam
menjalankan tugas, dan memiliki perhatian terhadap resiko dari pengambilan keputusan yang
dilakukan.
Hasil penelitian ini didukung oleh Ogbonna da haris (2000) yang menyatakan terdapat
hubungan antara budaya organisasi dan kinerja. Penelitian lain juga menyatakan bahwa
budaya yang kuat memiliki andil dalam mencapai kesuksesan organisasi (Deal and Kennedy
1982). Hasil penelitian ini juga didukung oleh Kotter dan Heskett (1992) yang
mengemukakan bahwa budaya organisasi mempunyai dampak positif terhadap kinerja
karyawan. Hasil studi lain menyatakan bahwa budaya organisasi memiliki pengaruh yang
mendalam pada variasi proses organisasi, karyawan dan kinerjanya (Sahzad, Luqman, Khan,
Shabbir 2012). Penelitian ini lebih lanjut menyatakan bahwa jika karyawan komitmen dan
memiliki kesamaan norma-norma dan nilai-nilai sebagaimana yang dimiliki organisasinya,
maka akan dapat meningkatkan pencapaian tujuan organisasi secara menyeluruh. Penelitian
lain yang mendukung hasil penelitian ini dikemukakan oleh Nugroho (2006) hasil penelitian
menyimpulkan bahwa secara parsial budaya organisasi memiliki pengaruh signifikan
terhadap kinerja karyawan. Rashid (2003) juga menyimpulkan bahwa budaya organisasi
memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan.
2. Pengaruh Kompetensi Terhadap Kinerja Karyawan.
Hipotesis yang menyatakan “Diduga terdapat pengaruh dari variabel kompetensi
terhadap kinerja karyawan pada PT (Persero) Angkasa Pura II Kantor Cabang Bandar Udara
Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru”, dapat diterima.
Berdasarkan hasil deskriptif kompetensi karyawan berada pada kategori baik atau sesuai
dengan yang ditetapkan perusahaan, walaupun belum mencapai tingkat sangat baik/sangat
sesuai. Para karyawan sudah mampu berpikir dan bertindak dengan cepat. Kemampuan
Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
242
karyawan menjalin kerjasama dengan jejaring kerja untuk kelancaran dan keberhasilan
pekerjaan juga sudah dimiliki karyawan dengan baik. Karyawan juga sudah mampu bekerja
dengan berorientasi pada keuntungan perusahaan dengan memaksimalkan kontribusi dari unit
kerja.
Hasil penelitian ini didukung oleh Wainwright, dkk (2005) yang menyatakan bahwa
kompetensi dapat digunakan sebagai upaya peningkatan kinerja melalui penyesuaian
kemampuan komunikasi (Wainwright dkk. 2005). Pengaruh kompetensi terhadap kinerja ini
juga didukung oleh Winanti (2011) yang menyimpulkan bahwa secara parsial kompetensi
memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan. Penelitian lain juga dilakukan oleh
Sumarno (2008) hasil penelitian menyimpulkan bahwa secara parsial kompetensi memiliki
pengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan.
Penelitian yang dilakukan ini memiliki keterbatasan yang diharapkan dapat
disempurnakan oleh para peneliti berikutnya. Penilaian kompetensi dan kinerja karyawan
masih bersifat persepsi. Peneliti tidak melakukan penilaian terhadap hasil kinerja karyawan
yang bersifat kuantitatif, misalnya pada para pekerja lapangan (divisi teknis), mereka
memiliki penilaian kinerja seperti berapa kali melakukan kesalahan, berapa kali karyawan
melakukan ketidaktepatan waktu pengerjaan tugas. Peneliti-peneliti berikutnya dapat
menguji bagaimana pengaruh kepemimpinan yang dilihat dari aspek keteladanan dan
komitmen mereka terhadap penerapan budaya organisasi. Kepemimpinan akan
mempengaruhi budaya organisasi yang pada akhirnya akan berdampak pada pencapaian
kinerja karyawan. Hal ini menjadi penting karena nilai-nilai budaya akan mengkristal dalam
diri setiap karyawan manakala adanya keteladanan dan komitmen dari pimpinan dalam
menjalankan nilai-nilai budaya tersebut.
Simpulan
Implementasi nilai-nilai budaya pada perusahaan berada pada kategori baik. Namun
demikian, ada beberapa nilai-nilai budaya yang harus diperkuat oleh pimpinan perusahaan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai “ dapat dipercaya dengan melaksanakan transaksi
secara jujur dan memegang teguh janji” berada pada kategori cukup baik. Karyawan juga
masih belum terbebas dari konflik-konflik kepentingan untuk tidak menyatukan kepentingan
pribadi dan perusahaan. Sekalipun secara umum implementasi nilai budaya berada pada
kategori baik, tetapi perusahaan harus tetap terus meningkatkan pengkristalan nilai-nilai
tersebut dalam diri setiap karyawannya, sehingga diharapkan PT. Angkasa Pura II (Persero)
Kantor Cabang Bandar Udara Sultan Syarif Kasim II Pekanbaru akan menjadi perusahaan
yang mampu memberikan pelayanan prima baik kepada eksternal maupun internal
konsumennya.
Walaupun kompetensi berpengaruh pada kinerja dan dikategorikan pada tingkat
baik/sesuai dengan yang ditetapkan organisasi. Namun demikian terdapat beberapa
kompetensi yang masih harus ditingkatkan, karena dari hasil penelitian deskriptif terdapat
kompetensi karyawan yang belum optimal atau berada pada kategori “cukup”. Kompetensi
tersebuat adalah: karyawan belum terlalu mampu bekerja dengan berorientasi pada prestasi,
karyawan belum bisa dengan cepat beradaptasi dengan individu atau kelompok, komunikasi
antar karyawan juga belum menunjukkan hasil yang optimal, dan terakhir karyawan juga
belum mampu dengan baik mengikuti perubahan yang dilakukan perusahaan. Pimpinan
perusahaan harus lebih memberikan perhatian yang besar pada kemampuan-kemampuan
Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
243
tersebut. Dengan demikian diharapkan peningkatan kualitas karyawan dapat meningkat dan
pada akhirnya akan menghasilkan kinerja yang diharapkan.
Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
244
Daftar Referensi
Ainon, M., 2003. Psikologi Kejayaan. PTS Publication and Distribution Sdn, Bhd, Pahang
Barney, J. B. 1986. Organizational Culture: Can it be a Source of Sustained Competitive
Advantage? Academy of Management Review, 11, 656-665.
Cascio, W. F. 2006. Managing Human Resources: Productivity, Quality of Life, Profits.
McGraw-Hill Irwin
Deal, TE. And kennedy, A.A . 1982. Corporate Cultures : The Rites and Ritual of Corporate
Life, Reading, MA : Addison-Wesley
Denison, D. R., & Mishra, A. K. 1995. Towards a theory of organizational culture and
effectiveness. Organisation Science, 6(2), 204-23.
Gordon G., & Cummins W. 1979. Managing management climate. Toronto, Canada,
Lexington Books.
Graham, Julia. Spring 2004. Developing a Performance-Based Culture , The Journal for
Quality and Participation 27.1 : 4-8.
Gordon G., & DiTomaso N. 1992. Predicting corporate from performance organizational
culture. Journal of Management Studies, 29, 783-798.
Hameed, Abdul; Waheed, Aameer, 2011. Employee Development and Its Affect on Employee
Performance A Conceptual Framework, Journal of Business and Social Science . Vol. 2 No.
13/Special Issue-July
Hofstede and Hofstede, 2005 Cultures and Organizations, 2nd Edition
Ismail, Rahmah; Abidin, Zainal, Syahida. 2010. Impact of workers’ competence on their
performance in the malaysian private service sector, BEH, Business and Economic Horizons
Volume 2 July pp 25-36
Klein, A. 1996. Validity and reliability for competency-based systems: reducing litigation
risks. Compensation and Benefits Review, July/August, 31-7.
Kotter, J. P., & Heskett, J. L. 1992. Corporate Culture and Performance New York: Free
Press.
Kozlowski, S. W. J., & Klein, K. J. 2000. A multilevel approach to theory and research in
organizations: Contextual, temporal, and emergent processes. In K.J. Klein & S. W. J.
Kozlowski (Eds.), Multilevel theory, research, and methods in organizations (pp. 3-90). San
Francisco: Jossey-Bass.
Legge, K. 1994. Managing Culture: Fact or Fiction. In Sisson, K. (ed.), Personnel
Management: A Comprehensive Guide to Theory and Practice in Britain (pp. 397-433).
Oxford: Blackwell.
Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
245
Mallack, Larry A; Lyth, David M; Olson, Suzan D; Ulshafer, Susan M;Sardone, Frank J.
2003. Culture, the Built Environment and Healthcare Organizational Performance .
Managing Service Quality 13.1 : 27-38.
Martin, E. C., & Terblanche F. 2003. Building organizational culture that stimulates
creativity and innovation. European Journal of Innovation Management, 6(1), 64-74.
Manopo, Christine. 2011. Competency Based Talent and Performance Magement System.
Jakarta: Salemba Empat.
Miller, G. 1990 . The assessment of clinical skills/competence/performance. Academic
Medicine, 65(9):S63 ,7.
Nugroho, Bambang. 2006. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja (Studi
Empiris pada PT. Bank Tabungan Negara Cabang Bandung), Thesis.
Ogbonna and Harris, 2000. Leadership Style, Organizational Culture and Performance;
Emprical evidence from UK Companies. Int. J. Of Human Resource Manegement 11;4
August 2 766-788
Peters, T. J., & Waterman, R. H. 1982. In Search of Excellence. New York, NY: Harper &
Row.
Rashid, Abdul, Zahid. 2003. The Influence of Corporate Culture and Organizational
Commitment on Performance. Journal of Management Development< Vo. 22 iss;8 pp.708-
728
Saher, Noreen; Podsiadlowski, Astrid; Khan, Amanullah, Muhammad. 2012. Organizational
Culture and Organizational Sustainainability in the Liberalized Economy of Pakistan; A case
Study of Service Sector Firm. Interdiciplinary Journal Of Contemporary Reserch In
Business, Vol. 3, No. 11, March.
Sanford, B. (Ed.). 1989. Strategies for maintaining professional competence: A manual
for professional associations and faculty. Toronto, Canada: Canadian Scholars Press, Inc.
Schein, E. M. 2004. Organizational culture and leadership (3rd ed.). Jossy-Bass.
Sedarmayanti. 2011, Manajemen Sumber Daya Manusia
Shahzad, Fakhar; Luqman, Adeel; Khan, Rashid; Shabbir,Lalarukh. 2012. Impact of
Organizational Culture on Organizational Performance: An Overview. Indiciplinary Journal
of Contemporary Research In Business, Vol. 3, No. 9 January.
Spencer & Spencer. 1993 A competency is an underlying characteristic of an individual that
is causally related to criterion-referenced effective and or superior performance in a job or
situation.
Stannack, p. 1996. Perspective on employees Performance. Management Research News,
119 (4/5), 38-40
Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
246
Stoica, Michael; Minet Schindehutte. 1999. Understanding Adaptation in Small firms: Links
to Culture and Oerformance. Journal of Developmental Entrepreneurship 4.1: 1-18.
Su, Shili, Organizational Culture and It Themes. 2008. International Journal of Busines and
Management, Vol 3, No. 12 Dec,, Scholl of Foreign Language, Ludong University, Shandong
Province, China
Wainwright, David ; Green, Gill; Mitchel, Ed;Yarrow,David. 2005. Toward a Framework
For Benchmarking ICT Practice, Competence and Performance in Small Business
Wibowo. 2011. Manajemen Kinerja. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada 7.
Willmott, H. 1993. Strength is Ignorance: Slavery is Freedom: Managing Culture in Modern
Organizations. Journal of Management Studies, 30(4), 515-51.
Winanti, Marliana Budhiningtias, Pengaruh Kompetensi terhadap Kinerja karyawan pada
PT.Frisian Flag Indonesia wilayah Jawa Barat. http://jurnal.unikom.ac.id/ jurnal/pengaruh-
kompetensi-terhadap.24 Vol.7, No. 2
Yuniarsih, Tjutju dan Suwatno. 2009. Manajemen Sumber Daya Manusia Teori, Aplikasi dan
Isu Penelitian. Bandung : Alfabeta.
Raden Lestari Gamasih Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
247
BIBLIOGRAFI PENULIS
Nama : Raden Lestari Garnasih
Tempat/Tgl. Lahir ; Pekanbaru/13 Juni 1968
NIP : 19680613 199403 2002
Jabatan ; Lektor
Instansi : Fakultas Ekonomi Universitas Riau,
Jurusan : Manajemen
Hasil Penelitian (4 tahun terakhir) :
1. Analisis Pengaruh Disiplin, pembinaan dan Pengawasan terhadap Prrestasi Kerja PNS pada
Kantor Lurah di Pekanbaru. (research grantt)
2. Pemakalah pada seminar regional Syariah Accounting a Jorney t Madanism Society
3. Pengaruh kepemimpinan transformasional, kepemimpinan transaksional dan komitmen
organisasional terhadap kinerja dosen Fakultas Ekonomi Universitas Riau
4. Kajian dan Profil UKM di Kabupaten Bengkalis, Propinsi Riau
5. Pengaruh Kompetensi dan Kecerdasan Emosional terhadap kinerja guru SMAN 8 Pekanbaru.
6. Persepsi Profesi Sales di Mata Freshgraduate Universitas Riau.
==================================================================
=
Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
248
KETEPATAN DAN KESALAHAN PERSEPSI KONSUMEN
TERHADAP PIONIR DAN PEMIMPIN PASAR
Ervina Triandewi dan Fandy Tjiptono
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Email: [email protected]
ABSTRACT
Pioneer and market leader positions are sources of unique differentiation and
competitive advantages. Empirical studies have suggested that pioneer or leader brands tend
to be evaluated more favourably than follower brands. However, consumers’ ability to
recognize pioneer or market leader brands accurately is limited. In fact, their perception and
misperception of market pioneership and market leadership may affect their beliefs and
decision making processes.
The present study aims to investigate consumers’ ability to identify pioneer and
market leader brands across three product categories representing high-tech products, low
involvement goods, and services. It also analyzes consumer evaluation, attitude, and
purchase intention of brands perceived as market leaders, pioneers, and followers. Data
were collected using self-administered questionnaires from a convenient sample of 225
college students in Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Four hypotheses adapted from
Kamins et al. (2003) were examined using F-tests, post-hoc tests with Tukey and Duncan
Multiple Range Test (DMRT), and pairwise t-tests.
The results indicate that consumers have lower ability to recognize pioneer brands
than market leader brands (70.89% versus 29.95%). In general, consumers have more
favourable evaluation, attitude, and purchase intention of brands perceived as pioneers or
market leaders than those perceived as followers.
Keywords: Market pioneer, market leader, pioneer advantages, misperception, follower.
PENDAHULUAN
Menjadi yang pertama dan memimpin pasar dalam sebuah kategori produk
merupakan salah satu bentuk diferensiasi ekstrinsik yang mampu membedakan sebuah merek
dengan me-too brands (Carpenter dan Nakamoto 1989; Golder dan Tellis 1993; Trout dan
Rivkin 2008; Kamins et al. 2003). Status pionir pasar (market pioneer) merefleksikan
kemampuan perusahaan untuk berinovasi dalam pasar produk yang dimasuki, sedangkan
status pemimpin pasar (market leader) diasosiasikan dengan kualitas produk yang unggul
(Kamins dan Alpert 2004). Sejumlah riset empiris mengindikasikan bahwa status pionir dan
pemimpin pasar berpotensi memberikan keunggulan kompetitif bagi merek bersangkutan
(Carpenter dan Nakamoto 1989; Kalyanaram dan Urban 1992; Min et al. 2006).
Status pionir dan pemimpin pasar merupakan diferensiasi yang unik karena umumnya
hanya terdapat satu pionir dan satu pemimpin pasar dalam sebuah kategori produk spesifik.
Kendati demikian, dalam praktik, konsumen acapkali keliru mempersepsikan mana yang
merupakan merek pionir atau merek pemimpin pasar dan mana yang bukan (Alpert dan
Kamis 1995; Turnbull et al. 2000). Ketika dihadapkan dengan begitu banyak alternatif merek
dan produk, konsumen sering mengalami situasi yang disebut tyranny of choice (Trout dan
Rivkin 2008) dan akibatnya mereka mengalami kebingungan atau consumer confusion (Leek
dan Kun 2006; Walsh et al. 2007; Edward dan Sahadev 2012). Tantangan bagi pemasar
Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
249
adalah bahwa persepsi konsumen (baik akurat maupun tidak akurat) tentang status pionir dan
pemimpin pasar berpengaruh signifikan terhadap evaluasi, sikap, dan niat beli konsumen atas
merek yang dipersepsikan (Kamins dan Alpert 1995; Kamins et al. 2003).
Kamins et al. (2003) secara spesifik menguji kemampuan konsumen di Amerika
Serikat dalam mengidentifikasi pemimpin pasar dan pionir pasar pada kategori produk high-
tech dan low-involvement. Mereka menemukan bahwa mayoritas responden keliru
mengidentifikasi pionir dan pemimpin pasar. Menariknya, merek-merek yang dipersepsikan
sebagai pionir dan pemimpin pesar mendapat keuntungan berupa evaluasi, sikap, dan niat beli
yang lebih besar dibandingkan merek-merek yang dipersepsikan sebagai merek pengikut
(follower brands). Riset ini bermaksud mereplikasi dengan beberapa modifikasi penelitian
yang dilakukan Kamins et al. (2003). Selain konteks merek yang beredar atau tersedia di
Indonesia, riset ini juga menambahkan satu kategori jasa, yaitu bank umum. Secara spesifik,
rumusan masalah dalam penelitian ini ada dua, yaitu (1) bagaimana kemampuan konsumen
dalam mengidentifikasi merek pionir dan pemimpin pasar? dan (2) bagaimana evaluasi,
sikap, dan niat beli konsumen terhadap merek-merek yang dipersepsikan sebagai merek
pionir, pemimpin pasar, maupun follower?
TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Pionir Pasar Istilah pionir pasar (market pioneer) seringkali diinterpretasikan secara berbeda-beda
(Tjiptono 2011). Schmalensee (1982), misalnya, mendefinisikan pionir sebagai merek yang
pertama kali muncul dalam sebuah kategori baru. Robinson dan Fornell (1985) menegaskan
bahwa pionir merupakan perusahaan yang pertama kali masuk ke sebuah pasar baru. Urban et
al. (1986) merumuskan bahwa pionir adalah produk pertama yang memasuki sebuah pasar.
Golder dan Tellis (1993) mengkritisi bahwa definisi-definisi tersebut memungkinkan ada
beberapa inventor sebuah kategori produk, karena sebuah produk yang benar-benar baru bisa
saja direalisasikan menggunakan beberapa gagasan dan proses. Padahal, belum tentu semua
inventor tersebut memasarkan produknya pertama kali. Oleh karena itu, Golder dan Tellis
(1993) mendefinisikan pionir secara lebih spesifik sebagai merek yang pertama kali
dikomersialisasikan dalam sebuah kategori produk baru.
Sebuah merek pionir diyakini memiliki keunggulan spesifik yang dikenal dengan
istilah first-mover advantages (Lieberman dan Montgomery 1988). Keunggulan tersebut
meliputi dua aspek, yakni consumer-based advantages dan producer-based advantages
(Golder dan Tellis 1993; lihat Tabel 1 untuk rangkuman hasil riset terdahulu tentang
keunggulan pionir). Keunggulan berbasis pelanggan mencakup sejumlah aspek, di antaranya
konsumen cenderung lebih loyal dan enggan beralih merek karena telah familiar dan
memiliki pengalaman dengan merek pionir (Schmalensee 1982; Lieberman dan Montgomery
1988; Alpert et al. 1992), merek pionir menjadi standar industri dan prototype dalam kategori
produk bersangkutan (Schmalensee 1982; Carpenter dan Nakamoto 1989; Carson et al.
2007), konsumen memiliki perilaku, persepsi, niat beli, dan perilaku pembelian yang positif
serta dapat mengingat status merek pionir daripada merek lain (Kamins dan Alpert, 1995;
Rettie dan Hillar 2002), dan merek pionir cenderung lebih diingat, dikenal, dipilih, dan dapat
meningkatkan niat beli konsumen (Kardes et al. 1993; Rettie dan Hillar 2002).
Sementara itu, keunggulan berbasis produsen meliputi hambatan masuk bagi later
entrants dalam bentuk pengendalian aset langka berupa akses pasokan bahan mentah dan
bahan baku, karyawan potensial, dan jejaring distribusi, peluang mendapatkan perlindungan
hak paten, kesempatan menjadi monopolis sementara, potensi melakukan perluasan merek,
Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
250
dan raihan pangsa pasar yang lebih besar dibandingkan pesaing (Robinson dan Fornell 1985;
Lieberman dan Montgomery 1988; Kalyanaram dan Urban 1992; Schnaars 1994).
Tabel 1. Keunggulan Pionir
No. Peneliti Tujuan Penelitian Metode/Konteks Temuan Utama
1. Schmalensee
(1982)
Mengeksplorasi perilaku
rasional konsumen dalam
menanggapi keterbatasan
informasi mengenai
kualitas produk.
Studi eksploratoris Later entrants lebih sulit bersaing,
terutama jika merek pionir mampu
membuktikan kualitas dan
memuaskan konsumen.
2. Robinson dan
Fornell (1985)
Mengidentifikasi sumber-
sumber keunggulan pionir.
Analisis 371
consumer products
Urutan memasuki pasar (order of
entry) merupakan determinan utama
pangsa pasar.
3. Urban et al.
(1986)
Meneliti pengaruh urutan
memasuki pasar terhadap
pangsa pasar.
82 merek pada 24
kategori.
Urutan memasuki pasar berbanding
terbalik dengan pangsa pasarnya.
Merek yang pertama kali masuk akan
mendapatkan pangsa pasar terbesar,
sedangkan yang paling lambat
mendapatkan pangsa pasar yang
paling kecil.
4. Lambkin (1988) Meneliti pengaruh order of
entry terhadap tingkat
kinerja pionir, early
followers, dan late
entrants.
129 bisnis yang
masih baru mulai
dan 187 bisnis yang
berkembang.
Pionir memiliki keuntungan jangka
panjang dan pangsa yang lebih tinggi
dibandingkan early followers dan
later entrants.
5. Lieberman dan
Montgomery
(1988)
Meneliti keunggulan dan
kerugian potensial pionir.
Survei literatur
mengenai
keunggulan dan
kerugian
perusahaan-
perusahaan first
mover.
Keunggulan pionir:
Pionir memiliki keleluasaan dalam
mendapatkan sumber daya dan
menentukan strategi ceruk pasar
yang belum terjamah.
Keengganan konsumen untuk
berpindah berkaitan dengan
switching costs dan loyalitas.
Kelemahan pionir:
Kehadiran para pesaing (late
movers) dapat mengurangi
keunggulan pionir.
Kebutuhan konsumen yang
dinamis menciptakan kesempatan
bagi late movers, kecuali jika
pionir dapat segera meresponnya.
6. Robinson
(1988)
Meneliti keunggulan
pangsa pasar pionir pada
industrial goods.
1.209 industri bisnis
manufaktur dari
data PIMS.
Pionir memiliki pangsa pasar,
kualitas produk, lini produk, dan
pasar yang lebih besar/luas
dibandingkan later entrants.
7. Carpenter dan
Nakamoto
(1989)
Meneliti pengaruh urutan
memasuki pasar terhadap
preferensi dan proses
pembelajaran konsumen.
Eksperimen
48 mahasiswa S2.
Merek pionir lebih dipilih oleh
konsumen dan menjadi prototype
dalam kategori produk bersangkutan.
8. Golder dan
Tellis (1993)
Menganalisis kesuksesan
dan kegagalan pionir
berdasarkan tingkat
kesuksesan, pangsa pasar,
dan kepemimpinan pasar.
Analisis 500 merek
dalam 50 kategori.
Hampir setengah (47%) pionir
pasar gagal dan memiliki pangsa
pasar (rata-rata 10%) yang jauh
lebih rendah daripada yang
ditemukan di studi lain.
Hanya 11% pionir yang juga
merupakan pemimpin pasar
Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
251
No. Peneliti Tujuan Penelitian Metode/Konteks Temuan Utama
Pemimpin pasar memiliki
kesuksesan jangka panjang dan
rata-rata memasuki pasar 13 tahun
setelah pionir.
9. Kardes, et al.
(1993)
Menginvestigasi pengaruh
status pionir pada proses
pengambilan keputusan
konsumen.
Eksperimen
115 mahasiswa
MBA.
Merek pionir lebih diingat, dikenal,
dan dipilih oleh konsumen
dibandingkan dengan follower
brands.
10. Kamins dan
Alpert (1995)
Menginvestigasi perilaku
konsumen berdasarkan
memori, sikap, dan
persepsi terhadap
keunggulan merek pionir.
Survei
560 rumah tangga
di AS.
Konsumen memiliki perilaku,
persepsi, niat berperilaku, dan
perilaku pembelian yang positif
terhadap merek pionir.
Konsumen mengingat merek
pionir lebih baik daripada merek
lain.
11. Kerin et al.
(1996)
Menjelaskan hubungan
antara order of entry, tipe
merek, dan pangsa pasar.
Analisis 2.500 scan
perilaku panelis.
Keunggulan pionir lebih besar dalam
kategori produk baru dan brand
extensions. Kombinasi kedua hal
tersebut adalah yang terbaik.
12. Song (1999) Meneliti keuntungan pionir
dengan membandingkan
industri jasa dan
manufaktur.
Survei
2.419 manajer
perusahaan
manufaktur dan jasa
dari 9 negara.
Manajer dari semua negara
menganggap bahwa pionir
berhubungan dengan pangsa pasar
dan keuntungan yang lebih tinggi.
Risiko pionir lebih dirasakan
penting oleh manajer perusahaan
manufaktur daripada jasa.
Keuntungan biaya dan diferensiasi
pionir lebih dirasakan oleh manajer
perusahaan manufaktur daripada
jasa.
13. Bohlmann et al.
(2002)
Mengkaji potensi
keunggulan pangsa pasar
yang mungkin diraih
pionir.
Studi pada 36
kategori produk (18
high-tech & 18 low-
involvement goods).
Pionir lebih baik pada kategori
produk yang menonjolkan
keragaman produk daripada
kategori produk yang menonjolkan
kualitas.
Pionir pada ketegori produk
dengan high vintage effects
(terutama pada high-tech goods)
menunjukkan pangsa pasar yang
lebih rendah dan tingkat kegagalan
yang lebih tinggi.
14. Rettie dan
Hillar (2002)
Meneliti keunggulan
merek pionir berdasarkan
perspektif konsumen.
Survei
560 rumah tangga
di Inggris.
Konsumen dapat mengingat status
merek pionir daripada merek lain.
Komunikasi mengenai status
pionir meningkatkan niat beli.
Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
252
No. Peneliti Tujuan Penelitian Metode/Konteks Temuan Utama
5. Carson, et al.
(2007)
Meneliti pengaruh evolusi
desain produk secara
simultan pada
kelanggengan keunggulan
pionir sebagai prototype.
Eksperimen
97 mahasiswa S1
4 merek
Pionir memiliki keunggulan
prototype setelah pengenalan awal
di pasaran dibandingkan dengan
me-too brands.
Keunggulan prototype yang
dimiliki oleh pionir akan menurun
jika produk pionir tersebut tidak
melakukan inovasi (stagnan).
Keunggulan prototype yang
dimiliki oleh merek pionir akan
meningkat apabila pionir secara
aktif melakukan inovasi yang
mendahului/selangkah di depan
me-too brands.
Kepemimpinan Pasar
Kamins et al. (2003) mendefinisikan pemimpin pasar sebagai merek dalam sebuah
kategori yang memiliki pangsa pasar paling besar di antara semua merek lain dalam kategori
tersebut, didasarkan pada hasil penjualan. Menurut Pleshko dan Heiens (2012), tingkat
kepemimpinan pasar diasosiasikan dengan kinerja sebuah perusahaan. Kepemimpinan pasar
dipandang tidak hanya sekedar pangsa pasar, melainkan juga termasuk atribut kinerja, seperti
teknologi, inovasi, kualitas, dan reputasi (Simon 2009).
Status pionir pasar tidak selalu berkaitan dengan posisi sebagai pemimpin pasar,
apalagi dalam jangka panjang. Riset Golder dan Tellis (1993) dan Schnaars (1994)
menunjukkan dengan gamblang bahwa banyak di antara pionir yang berguguran. Dari total
212 perusahaan yang memasarkan produk yang benar-benar baru, 66 di antaranya adalah
pionir, dan hanya 23%-nya saja yang mampu bertahan selama kurang lebih 12 tahun, namun
pada pionir yang memulai sebuah pasar baru disertai peningkatan inovasi dapat bertahan
selama kurang lebih 12 belas tahun sebanyak 61% (Min et al. 2006). Trout (2001)
mengingatkan bahwa kesuksesan dapat menimbulkan arogansi sehingga perusahaan menjadi
kurang objektif, terlalu cepat puas diri, dan meremehkan kemajuan pesaing.
Pengembangan Hipotesis
Kesalahan Persepsi Konsumen
Persepsi merupakan suatu proses memilih, memilah, mengatur, dan
menginterpretasikan informasi dari dunia luar melalui reseptor sensorik (pancaindera)
terhadap stimulus dasar (cahaya, warna, dan suara) yang memengaruhi tindakan, keputusan,
dan kebiasaan dalam berbelanja (Schiffman dan Kanuk 2010; Solomon et al. 2012). Setiap
individu memiliki persepsi yang unik didasarkan pada pengalaman, kebutuhan, keinginan,
hasrat, dan ekspektasi masing-masing (Schiffman dan Kanuk 2010). Implikasinya, persepsi
dalam pemasaran bahkan sering lebih penting daripada realitas karena persepsi dapat
memengaruhi tindakan konsumen selanjutnya (Kotler dan Keller 2012). Ries dan Trout
(2000) bahkan menegaskan bahwa pemasaran bukan mengenai pertarungan produk,
melainkan pertarungan persepsi.
Jacoby dan Hoyer (1982) menguraikan bahwa kesalahan persepsi konsumen terjadi
ketika penerima pesan membuat kesimpulan secara tidak benar atau mendapatkan arti yang
membingungkan dari suatu komunikasi. Dalam konteks pionir dan pemimpin pasar,
Kalyanaram et al. (1992) menemukan bahwa urutan memasuki pasar memengaruhi
pembelajaran dan menciptakan bias pada penentuan preferensi terhadap pionir. Sayangnya,
Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
253
dalam praktik, tidak sedikit pionir dan pemimpin pasar yang tidak mengkonfirmasi status
pionir dan pemimpin pasarnya. Akibatnya, para pesaing berpeluang merebut klaim tersebut
melalui media iklan, logo, dan kemasan yang pada akhirnya menimbulkan misleading
advertising. Kamins et al. (2003), misalnya, menemukan bahwa sebesar 81,9% responden
keliru mengidentifikasi merek pionir yang bukanlah pemimpin pasar saat ini. Dengan
demikian, H1a dan H1b dirumuskan sebagai berikut:
H1a: Mayoritas responden akan mengalami kesalahan persepsi dalam mengidentifikasi
pemimpin pasar.
H1b: Mayoritas responden akan mengalami kesalahan persepsi dalam mengidentifikasi
merek pionir.
Keuntungan Dipersepsikan Sebagai Pionir dan Pemimpin Pasar
Trout dan Rivkin (2008) dan Denstadli et al. (2005) menyatakan bahwa merek yang
pertama kali ‘menancap’ dalam ingatan konsumen dianggap sebagai merek superior
sedangkan sisanya adalah merek kelas dua. Berdasarkan fenomena double jeopardy, merek
besar dan terkenal memiliki atribut yang kuat, seperti pada merek pionir dan pemimpin pasar,
yang cenderung menikmati keuntungan dengan memiliki lebih banyak pelanggan dan tingkat
loyalitas yang lebih tinggi (Ehrenberg et al. 1990). Dengan demikian, H2a dan H2b
dirumuskan sebagai berikut:
H2a1: Evaluasi konsumen akan lebih baik jika sebuah merek diidentifikasi sebagai pemimpin
pasar dibandingkan jika diidentifikasi sebagai follower.
H2a2: Sikap konsumen akan lebih baik jika sebuah merek diidentifikasi sebagai pemimpin
pasar dibandingkan jika diidentifikasi sebagai follower.
H2a3: Niat beli akan lebih baik jika sebuah merek diidentifikasi sebagai pemimpin pasar
dibandingkan jika diidentifikasi sebagai follower.
H2b1: Evaluasi konsumen akan lebih baik jika sebuah merek diidentifikasi sebagai pionir
dibandingkan jika diidentifikasi sebagai follower.
H2b2: Sikap konsumen akan lebih baik jika sebuah merek diidentifikasi sebagai pionir
dibandingkan jika diidentifikasi sebagai follower.
H2b3: Niat beli akan lebih baik jika sebuah merek diidentifikasi sebagai pionir dibandingkan
jika diidentifikasi sebagai follower.
Keuntungan Kesalahan Persepsi Konsumen Sebagai Pionir dan Pemimpin Pasar
Banyak merek follower yang berusaha memposisikan diri dan menciptakan kesan
pada konsumen bahwa mereknya adalah pionir dan pemimpin pasar. Ironisnya, terdapat
beberapa pemimpin pasar yang justru tidak mengkomunikasikan kepemimpinan mereka
(Trout dan Rivkin 2008). Padahal dari sisi konsumen, posisi perusahaan sebagai pemimpin
pasar diasosiasikan sebagai produk yang berkualitas, dipercaya dan dapat diandalkan
(Kamins dan Alpert 2004). Persepsi yang akurat memang akan memberikan keuntungan lebih
pada pemegang status yang sesungguhnya, namun persepsi yang keliru justru akan
memberikan keuntungan bagi merek-merek follower yang dianggap sebagai pionir dan
pemimpin pasar (Kamins et al. 2003). Oleh sebab itu, hipotesis H3a dan H3b dirumuskan
sebagai berikut:
H3a1: Evaluasi konsumen terhadap merek follower yang keliru dipersepsikan sebagai
pemimpin pasar akan sama/ekuivalen dengan evaluasi konsumen yang mampu
mengidentifikasi pemimpin pasar sejati (true market leader).
Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
254
H3a2: Sikap konsumen terhadap merek follower yang keliru dipersepsikan sebagai pemimpin
pasar akan sama/ekuivalen dengan sikap konsumen yang mampu mengidentifikasi
pemimpin pasar sejati.
H3a3: Niat beli konsumen terhadap merek follower yang keliru dipersepsikan sebagai
pemimpin pasar akan sama/ekuivalen niat beli konsumen yang mampu
mengidentifikasi pemimpin pasar sejati.
H3b1: Evaluasi konsumen terhadap merek follower yang keliru dipersepsikan sebagai pionir
akan sama/ekuivalen dengan evaluasi konsumen yang mampu mengidentifikasi pionir
sejati (true pioneer).
H3b2: Sikap konsumen terhadap merek follower yang keliru dipersepsikan sebagai pionir
akan sama/ekuivalen dengan sikap konsumen yang mampu mengidentifikasi pionir
sejati.
H3b3: Niat beli konsumen terhadap merek follower yang keliru dipersepsikan sebagai pionir
akan sama/ekuivalen niat beli konsumen yang mampu mengidentifikasi pionir sejati.
Persepsi Konsumen Terhadap Pemimpin Pasar vs. Pionir
Hellofs dan Jacobson (1999) meneliti pengaruh pangsa pasar pada perceived quality
dan menemukan bahwa konsumen mempersepsikan produk dengan pangsa pasar besar
memiliki kualitas unggul, terutama pada merek dengan harga premium. Berdasarkan
psikologi kepemimpinan pasar, Trout dan Rivkin (2008) menegaskan bahwa konsumen
memiliki tendensi untuk mengagumi, memercayai, dan menyukai merek besar yang
diasosiasikan dengan kesuksesan, status, dan kepemimpinan. Kamins et al. (2003)
menyatakan bahwa market pioneership merupakan prestasi masa lalu, sedangkan
kepemimpinan pasar adalah prestasi saat ini. Oleh karena itu, mereka berargumen bahwa
informasi saat ini (kepemimpinan pasar) lebih bermanfaat bagi informasi masa lalu
(pioneership). Dengan demikian, H4a, H4b, dan H4c dirumuskan sebagai berikut:
H4a: Sebuah merek yang dipersepsikan sebagai pemimpin pasar akan dievaluasi secara lebih
baik daripada jika dipersepsikan sebagai pionir.
H4b: Sebuah merek yang dipersepsikan sebagai pemimpin pasar akan memiliki sikap
konsumen yang lebih baik daripada jika dipersepsikan sebagai pionir.
H4c: Sebuah merek yang dipersepsikan sebagai pemimpin pasar akan memiliki niat beli
konsumen yang lebih baik daripada jika dipersepsikan sebagai pionir.
METODE PENELITIAN
Konteks Penelitian
Penelitian ini merupakan replikasi studi Kamins et al. (2003) yang meneliti produk
high-tech dan low-involvement. Obyek penelitian dalam riset ini mencakup produk high-tech,
low-involvement goods, dan jasa. Sektor jasa diwakili bank umum (BRI = pionir, Bank
Mandiri = pemimpin pasar, BNI, dan BCA), produk high-tech diwakili smartphone android
(HTC = pionir, Samsung = pemimpin pasar, Sony, dan LG), dan produk low-involvement
diwakili minyak angin aromatherapy roll-on (Safe Care = pionir, Fresh Care = pemimpin
pasar, Herborist, dan V Fresh). Sumber konfirmasi status dalam setiap kategori produk
berasal dari peraturan perundang-undangan, data publikasi konvensional Bank Indonesia,
serta artikel dari website-website resmi yang reliabel.
Instrumen Pengukuran
Riset ini menerapkan survei dengan kuesioner berupa 75 pertanyaan tertutup yang
diadaptasi dari Kamins et al. (2003). Jumlah pertanyaan per kategori produk adalah 4 item
Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
255
identifikasi pionir dan pemimpin pasar, 5 item evaluasi, 3 item sikap, dan 1 item niat beli.
Skala yang dipergunakan untuk pertanyaan mengenai identifikasi dan variabel evaluasi
adalah dengan check point. Sedangkan untuk variabel sikap dan niat beli menggunakan 7
point Likert scale. Pada identifikasi pionir dan pemimpin pasar, responden diminta untuk
menjawab merek dalam ketiga kategori produk yang mereka persepsikan sebagai pionir dan
pemimpin pasar. Responden kemudian diminta menjawab seberapa yakinkah bahwa jawaban
mereka jawaban tepat. Pada variabel evaluasi, sikap, dan niat beli, responden diminta
mengevaluasi keempat merek dalam ketiga kategori produk. Pada variabel evaluasi,
responden diminta membandingkan 4 merek dalam ketiga kategori produk yang diteliti
berdasarkan lima atribut (paling dapat diandalkan, paling terpercaya, berteknologi paling
tinggi, nilai terbaik (best value), dan bercitra terbaik). Mereka diminta memberi tanda
centang () pada salah satu merek yang mereka anggap terbaik untuk setiap atribut. Oleh
sebab itu, setiap merek berkemungkinan mendapat tanda centang antara 0 dan 5. Indeks
evaluasi adalah 0 (tanpa centang), 0,2 (1 centang), 0,4 (2 centang), sampai 1 (5 centang).
Pada variabel sikap, meliputi: sangat tidak baik (unfavorable)-sangat baik (favorable), sangat
tidak suka-sangat suka, dan sangat negatif-sangat positif (skoring 1-7). Pada variabel niat
beli, responden diberi pertanyaan seberapa inginkah mereka membeli merek-merek tersebut
(skoring 1-7).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Profil Responden
Sebanyak 255 kuesioner didistribusikan pada mahasiswa/i di enam perguruan tinggi
swasta dan negeri, yaitu UAJY, UKDW, USD, ISI, UMY, dan UGM. Namun, hanya 213
kuesioner yang terisi lengkap dan dapat dianalisis lebih lanjut (response rate 83,53%).
Mayoritas responden adalah pria (60,6%), memiliki uang saku per bulan kurang dari Rp 1
juta (53,1%), dan berusia antara 18-20 tahun (70,4%).
Reliabilitas dan Validitas
Multiple-item scales yang digunakan adalah evaluasi dan sikap. Kedua-duanya
reliabel dengan Cronbach’s Alpha masing-masing 0,802 (evaluasi) dan 0,917 (sikap). Semua
item individual juga valid, dengan nilai r-hitung yang lebih besar daripada r-tabel (0,134).
Variabel niat beli tidak diuji reliabilitas dan validitas karena hanya memiliki 1 item
pertanyaan.
Kesalahan Persepsi Konsumen Terhadap Merek Pionir dan Pemimpin Pasar
Statistika deskriptif digunakan untuk menganalisis kesalahan persepsi konsumen
terhadap pionir dan pemimpin pasar (lihat Tabel 2). Berdasarkan rata-rata kesalahan persepsi
konsumen pada ketiga kategori produk, mayoritas responden cenderung keliru
mengidentifikasi pionir dibandingkan pemimpin pasar (70,89% vs. 29,95%). Persentase
kesalahan persepsi konsumen terhadap pionir tertinggi terdapat pada kategori smartphone
android, yaitu 85,33% dan terendah pada bank umum, yaitu 56,19%. Untuk kesalahan
persepsi konsumen terhadap pemimpin pasar, persentase tertinggi terdapat pada kategori
bank umum (67,78%) dan terendah pada smartphone android (9,05%). Dengan demikian, H1a
ditolak dan H1b diterima.
Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
256
Tabel 2. Kesalahan Persepsi Responden Berdasarkan Kategori Produk
Kategori
Kesalahan Persepsi terhadap
Pionir
Kesalahan Persepsi terhadap
Pemimpin Pasar
Jumlah Persentase Jumlah Persentase
Bank Umum 107/188* 56,91% 122/180 67,78%
Smartphone Android 157/184 85,33% 18/199 9,05%
Minyak Angin
Aromatherapy Roll-on 116/164 70,73% 25/172 14,53%
Rata-rata 380/536 70,89% 165/551 29,95%
Catatan: * Jumlah responden yang keliru dalam mengidentifikasi merek pionir dan pemimpin pasar namun
yakin bahwa jawabannya tepat. Contoh pada kategori bank umum kolom kesalahan persepsi terhadap
pionir tertulis angka 107/188. Artinya, dari total sampel 213 orang, terdapat 188 responden yang
keliru mengidentifikasi merek pionir bank umum dan sebanyak 107 orang di antaranya merasa yakin
bahwa jawabannya tepat.
Terdapat tiga faktor yang mungkin menyebabkan responden mengalami kesalahan
persepsi terhadap tiga kategori produk tersebut. Pertama, faktor historis berkenaan dengan
usia kategori produk dapat menyebabkan kekeliruan persepsi. Usia kategori produk yang
cukup tua (bank umum) cenderung membuat responden sulit untuk mengingat sang pionir,
terlebih jika responden tidak berada di era yang sama ketika kategori produk tersebut pertama
kali muncul. Hal tersebut kemudian dapat memicu adanya primary effect yang tidak selaras
dengan fakta sesungguhnya.
Kedua, faktor similarity juga dapat disinyalir menjadi penyebab kesalahan persepsi.
Pada kategori minyak angin aromatherapy roll-on, merek pionir (Safe Care) dan pemimpin
pasar (Fresh Care) memiliki kemiripan baik dari nama merek maupun kemasan, sehingga
responden mengalami kebingungan dalam mengidentifikasi dan kemudian muncullah
kesalahan persepsi dalam proses identifikasi (Kocyigit dan Ringle 2011).
Ketiga, status pionir dan pemimpin pasar yang tidak diklaim oleh sebuah merek juga
dapat berpotensi membuat responden keliru dalam mengidentifikasinya, sehingga responden
hanya sekedar menebak berdasarkan merek yang sering didengar atau terkenal (Kamins dan
Alpert 1995). Hal itu kemudian menimbulkan recency effect, dimana responden cenderung
mempersepsikan merek yang lebih familiar, memiliki pamor, dan sering muncul dalam
aktivitas pemasaran sebagai pionir. Faktor popularitas merek, familiaritas, kekuatan jejaring
distribusi, dan intensitas komunikasi pemasaran berkontribusi pula pada tingginya akurasi
identifikasi pemimpin pasar.
Keuntungan Dipersepsikan Sebagai Pionir dan Pemimpin Pasar
Uji F-test dan post-hoc test digunakan untuk menguji H2a dan H2b. Dari 36 kasus,
terdapat 13 hasil F-test yang tidak signifikan. Hasil uji yang tidak signifikan mencerminkan
tidak adanya perbedaan pada ketiga status merek (pionir, pemimpin pasar, dan follower).
Hasil uji yang tidak signifikan banyak ditemukan pada kategori high-tech, khususnya pada
variabel sikap dan niat beli. Hal tersebut mengindikasikan bahwa secara umum tidak terdapat
perbedaan sikap dan niat beli konsumen yang mempersepsikan merek-merek smartphone
android (HTC, LG, Samsung, dan Sony) sebagai pionir, pemimpin pasar, maupun follower.
Untuk 23 hasil F-test yang signifikan diuji lebih lanjut menggunakan Tukey dan Duncan
Multiple Range Test (DMRT) (lihat Tabel 3a, 3b, dan 3c).
Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
257
Tabel 3a. Hasil Uji Tukey Untuk Perbedaan Evaluasi Konsumen
No. Kategori Produk
Merek Mean difference
P-L P-F L-P L-F F-P F-L
1. Bank umum (jasa)
BCA 0,0164
(p=0,939) 0,440***
(p=0,000) -0,0164
(p=0,939) 0,424***
(p=0,000) -0,440*** (p=0,000)
-0,424*** (p=0,000)
BNI -0,231*** (p=0,005)
0,081 (p=0,112)
0,231*** (p=0,005)
0,311*** (p=0,000)
-0,081 (p=0,112)
-0,311*** (p=0,000)
BRI -0,068
(p=0,268) 0,087***
(p=0,008) 0,068
(p=0,268) 0,154***
(p=0,001) -0,087*** (p=0,008)
-0,154*** (p=0,001)
Mandiri -0,015
(p=0,963) 0,185***
(p=0,002) 0,015
(p=0,963) 0,200***
(p=0,000) -0,185*** (p=0,002)
-0,200*** (p=0,000)
2. Smartphone android (high-
tech)
HTC 0,039
(p=0,773) 0,107*
(p=0,000) -0,039
(p=0,773) 0,067
(p=0,418) -0,107*** (p=0,000)
-0,067 (p=0,418)
LG -0,137
(p=0,106) 0,115***
(p=0,001) 0,137
(p=0,106) 0,252***
(p=0,000) -0,107*** (p=0,001)
-0,252*** (p=0,000)
Sony -0,087
(p=0,637) 0,108***
(p=0,008) 0,087
(p=0,637) 0,196
(p=0,094) -0,108*** (p=0,008)
-0,196 (p=0,094)
3. Minyak angin aromatherapy roll-on (low-involvement
Fresh Care
0,009 (p=0,990)
0,387*** (p=0,010)
-0,009 (p=0,990)
0,378*** (p=0,007)
-0,387*** (p=0,010)
0,378*** (p=0,007)
Herborist 0,105
(p=0,107) 0,184***
(p=0,000) -0,105
(p=0,107) 0,079
(p=0,200) -0,184*** (p=0,000)
-0,079 (p=0,200)
Safe Care 0,102
(p=0,401) 0,277***
(p=0,000) -0,102
(p=0,401) -0,379*** (p=0,000)
-0,277*** (p=0,000)
0,379*** (p=0,000)
V Fresh -0,124**
(p=0,017) 0,079***
(p=0,009) 0,124**
(p=0,017) 0,204***
(p=0,000) -0,079*** (p=0,009)
-0,204*** (p=0,000)
Catatan: 1. Uji Tukey hanya dilakukan pada merek-merek yang sikap konsumennya berbeda signifikan pada uji F-test. Oleh sebab
itu, untuk merek Samsung tidak dilakukan uji Tukey.
2. ** signifikan pada = 5%; *** signifikan pada = 1%; P = merek dipersepsikan sebagai pionir; L = merek dipersepsikan sebagai pemimpin pasar; F = merek dipersepsikan sebagai follower.
Tabel 3b. Hasil Uji Tukey Untuk Perbedaan Sikap Konsumen
No. Kategori Produk
Merek Mean difference
P-L P-F L-P L-F F-P F-L
1. Bank umum (jasa)
BCA 0,253
(p=0,711) 4,222***
(p=0,000) -0,253
(p=0,711) 3,968***
(p=0,000) -4,222*** (p=0,000)
-3,968*** (p=0,000)
BRI -0,578**
(p=0,047) 0,285
(p=0,181) 0,578**
(p=0,047) 0,863***
(p=0,001) 0,285
(p=0,181) -0,863*** (p=0,001)
Mandiri -0,053
(p=0,980) 0,563
(p=0,070) 0,053
(p=0,980) 0,616***
(p=0,002) 0,563
(p=0,070) -0,616*** (p=0,002)
2. Minyak angin aromatherapy roll-on (low-involvement
Fresh Care
-0,034 (p=0,989)
1,281** (p=0,016)
0,034 (p=0,989)
1,315*** (p=0,007)
-1,281** (p=0,016)
-1,315*** (p=0,007)
Herborist 0,108
(p=0,973) 0,724**
(p=0,012) -0,108
(p=0,973) 0,615
(p=0,324) -0,724**
(p=0,012) -0,615
(p=0,324)
Safe Care -0,052
(p=0,984) 0,552***
(p=0,006) 0,052
(p=0,984) 0,603
(p=0,085) -0,552*** (p=0,006)
-0,603 (p=0,085)
Catatan: 1. Uji Tukey hanya dilakukan pada merek-merek yang sikap konsumennya berbeda signifikan pada uji F-test. Pada
kategori smartphone android, tak satupun merek yang berbeda nilai sikap konsumennya. Demikian pula halnya dengan BNI dan V Fresh.
2. ** signifikan pada = 5%; *** signifikan pada = 1%; P = merek dipersepsikan sebagai pionir; L = merek dipersepsikan sebagai pemimpin pasar; F = merek dipersepsikan sebagai follower.
Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
258
Tabel 3c. Hasil Uji Tukey Untuk Perbedaan Niat Beli
No. Kategori Produk
Merek Mean difference
P-L P-F L-P L-F F-P F-L
1. Bank umum (jasa)
BCA 0,378
(p=0,382) 1,378***
(p=0,000) -0,378
(p=0,382) 1,000***
(p=0,000) -1,378*** (p=0,000)
-1,000*** (p=0,000)
BRI -0,565
(p=0,199) 0,285
(p=0,392) 0,565
(p=0,199) 0,851**
(p=0,026) -0,285
(p=0,392) -0,851**
(p=0,026)
Mandiri -0,191
(p=0,832) 0,690
(p=0,062) 0,191
(p=0,832) 0,882***
(p=0,000) -0,690
(p=0,062) -0,882*** (p=0,000)
2. Minyak angin aromatherapy roll-on (low-involvement)
Fresh Care
0,164 (p=0,852)
2,500*** (p=0,000)
-0,164 (p=0,852)
2,336*** (p=0,000)
-2,500*** (p=0,000)
-2,336*** (p=0,000)
Herborist -0,235
(p=0,913) 0,709**
(p=0,015) 0,235
(p=0,913) 0,944
(p=0,189) -0,709**
(p=0,015) -0,944
(p=0,189)
Safe Care 0,098
(p=0,963) 0,962***
(p=0,000) -0,098
(p=0,963) 0,864**
(p=0,036) -0,962*** (p=0,000)
-0,864** (p=0,036)
Catatan: 1. Uji Tukey hanya dilakukan pada merek-merek yang sikap konsumennya berbeda signifikan pada uji F-test. Pada
kategori smartphone android, tak satupun merek yang berbeda nilai sikap konsumennya. Demikian pula halnya dengan BNI dan V Fresh.
2. ** signifikan pada = 5%; *** signifikan pada = 1%; P = merek dipersepsikan sebagai pionir; L = merek dipersepsikan sebagai pemimpin pasar; F = merek dipersepsikan sebagai follower.
Pada kategori bank umum, smartphone android, maupun minyak angin aromatherapy
roll-on, terdapat perbedaan evaluasi antara merek yang dipersepsikan sebagai pionir maupun
pemimpin pasar dengan merek yang dipersepsikan sebagai follower pada ketiga kategori
produk. Sebanyak 10 dari 11 kasus menunjukkan perbedaan yang signifikan antara merek
yang dipersepsikan sebagai pionir dengan follower dengan nilai antara 0,000 sampai 0,010.
Terdapat 8 dari 11 kasus yang menunjukkan perbedaan signifikan antara merek yang
dipersepsikan sebagai pemimpin pasar dengan follower dengan nilai antara 0,000 sampai
0,007 pada variabel evaluasi. Skor P-F dan L-F menunjukkan nilai mean difference positif,
artinya ketika merek-merek tersebut dipersepsikan sebagai pionir maupun pemimpin pasar,
evaluasi konsumen terhadap merek tersebut lebih baik jika dibandingkan ketika merek-merek
tersebut dipersepsikan sebagai follower.
Hasil uji Tukey untuk sikap konsumen menunjukkan bahwa secara umum terdapat
perbedaan signifikan antara merek yang dipersepsikan sebagai pionir maupun pemimpin
pasar dengan merek yang dipersepsikan sebagai follower pada jenis kategori bank umum
(jasa) dan smartphone android (low-involvement). Perbedaan signifikan antara merek yang
dipersepsikan sebagai pionir dengan follower dijumpai pada 4 dari 6 kasus ( antara 0,000
sampai 0,016). Begitu pula dengan merek yang dipersepsikan sebagai pemimpin pasar
dengan follower ( antara 0,000 sampai 0,007). Skor positif pada P-F dan L-F
mengindikasikan bahwa sikap konsumen yang mempersepsikan merek-merek tersebut
sebagai pionir maupun pemimpin pasar lebih baik dibandingkan sikap konsumen yang
mempersepsikan merek-merek bersangkutan sebagai follower. Untuk kategori high-tech
(smartphone android), tidak dilakukan uji lanjut karena tidak ditemukan perbedaan yang
signifikan berdasarkan variabel sikap pada hasil F-test.
Perbedaan signifikan juga dijumpai pada merek yang dipersepsikan sebagai pionir
versus follower (4 dari 6 kasus) dan pemimpin pasar versus follower (5 dari 6 kasus) pada
kategori jasa dan low-involvement product. Hasil pada Tabel 3c menunjukkan bahwa niat beli
konsumen yang mempersepsikan merek-merek tersebut sebagai pionir dan pemimpin pasar
lebih besar dibandingkan ketika merek-merek tersebut dipersepsikan sebagai follower.
Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
259
Khusus untuk kategori high-tech product, tidak dijumpai perbedaan signifikan dalam
hal sikap konsumen dan niat beli. Sementara untuk evaluasi konsumen, perbedaan signifikan
ditemukan pada 3 merek, kecuali Samsung. Tampaknya status pionir, pemimpin pasar, dan
follower tidak berkaitan erat dengan sikap dan niat beli konsumen untuk smartphone android.
Faktor-faktor lain, seperti harga, fitur, dan desain, mungkin lebih dipertimbangkan konsumen
dalam memilih produk ini. Dengan demikian, H2a1 dan H2b1 mengenai evaluasi diterima,
untuk H2a2 dan H2b2 mengenai sikap diterima untuk kategori produk bank umum dan minyak
angin aromatherapy roll-on, serta H2a3 dan H2b3 mengenai niat beli diterima untuk kategori
produk bank umum dan minyak angin aromatherapy roll-on.
Keuntungan Kesalahan Persepsi Konsumen Sebagai Pionir dan Pemimpin Pasar
Hipotesis ketiga menyatakan bahwa penilaian konsumen terhadap follower brands
yang keliru diidentifikasi sebagai pemimpin pasar atau pionir akan sama dengan penilaian
konsumen terhadap pemimpin pasar atau pionir sejati. Dengan kata lain, merek-merek yang
keliru dipersepsikan akan mendapatkan manfaat atau keuntungan yang sama dengan merek-
merek yang dipersepsikan secara akurat. Pengujian dilakukan dengan membandingkan rata-
rata skor evaluasi, sikap, dan niat beli untuk kasus accurate identification dan kesalahan
persepsi untuk merek pemimpin pasar dan pionir.
Hasil uji pairwise t-test untuk kepemimpinan pasar pada Tabel 4 menunjukkan
perbedaan penilaian konsumen dijumpai pada 5 dari 9 kasus. Dalam hal ini, pemimpin pasar
sejati mendapatkan penilaian lebih tinggi daripada follower brands yang keliru dipersepsikan
sebagai pemimpin pasar. Sementara itu, merek follower yang keliru dipersepsikan sebagai
pemimpin pasar menikmati evaluasi yang sama dengan pemimpin pasar sejati pada
smartphone android dan minyak angin aromatherapy, sikap yang sama pada bank umum,
serta niat beli yang sama pada minyak angin aromatherapy. Dengan demikian, H3a1 diterima
untuk kategori smartphone android dan minyak angin aromatherapy, H3a2 diterima untuk
bank umum, serta H3a3 diterima untuk minyak angin aromatherapy.
Untuk market pioneership, hanya 1 dari 9 kasus yang menunjukkan bahwa pionir
sejati mendapatkan penilaian lebih baik daripada merek follower yang keliru dipersepsikan
sebagai pionir. Sisanya, merek-merek yang keliru dipersepsikan justru menikmati keuntungan
yang sama dalam hal evaluasi, sikap, dan niat beli konsumen. Jadi, H3b1 dan H3b3 diterima
untuk semua kategori, sedangkan H3b2 diterima untuk bank umum dan minyak angin
aromatherapy roll-on. Hal ini merefleksikan kekuatan persepsi konsumen dalam
mempengaruhi penilaiannya terhadap sebuah merek. Keuntungan merek pionir dan pemimpin
pasar sejati dapat direbut oleh merek-merek follower yang keliru dipersepsikan sebagai pionir
atau pemimpin pasar.
Tabel 4. Keuntungan Accurate Identification versus Misperception
No. Kategori Produk
Kepemimpinan Pasar Market Pioneership
Pemimpin Pasar Sejati
Follower Dipersepsikan
Sebagai Pemimpin
Pasar
t-test Pionir Sejati
Follower Dipersepsikan
Sebagai Pionir
t-test
Skor Rata-rata Evaluasi
1. Bank umum 0,389 0,116 4,529
(=0,020)** 0,314 0,116
2,358
(=0,100)
2. Smartphone android 0,349 0,440 -0,634
(=0,571) 0,302 0,440
-1,053
(=0,370)
3. Minyak angin aromatherapy roll-on
0,297 0,226 0,435
(=0,693) 0,320 0,226
0,673
(=0,549)
Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
260
Skor Rata-rata Sikap
1. Bank umum 5,680 4,149 1,881
(=0,157) 5,498 4,149
2,358
(=0,100)
2. Smartphone android 5,401 5,037 3,565
(=0,038)** 5,394 5,037
4,748
(=0,018)**
3. Minyak angin aromatherapy roll-on
5,295 4,532 4,122
(=0,026)** 5,186 4,532
2,589
(=0,081)
Skor Rata-rata Niat Beli
1. Bank umum 5,714 4,877 10,392
(=0,002)*** 5,526 4,877
2,358
(=0,100)
2. Smartphone android 5,267 4,642 7,098
(=0,006)*** 5,190 4,642
2,561
(=0,083)
3. Minyak angin aromatherapy roll-on
5,128 3,954 2,959
(=0,060) 4,972 3,954
1,875
(=0,158)
Catatan: Evaluasi dinilai dengan skor antara 0-1, sikap dan niat beli menggunakan skoring antara 1 sampai 7.
** Signifikan pada = 5%; *** Signifikan pada = 1%.
Persepsi Konsumen Terhadap Pemimpin Pasar vs. Pionir
Untuk menguji apakah merek yang dipersepsikan sebagai pemimpin pasar dinilai
lebih baik daripada merek yang dipersepsikan sebagai pionir, pengujian dilakukan dengan
mengacu pada kolom L-P pada Tabel 3a, 3b, dan 3c. Hasilnya, hanya terdapat 3 dari 23 kasus
yang mengindikasikan bahwa merek yang dipersepsikan sebagai pemimpin pasar dinilai lebih
baik daripada pionir. Dapat disimpulkan bahwa secara umum persepsi konsumen (evaluasi,
sikap, dan niat beli) terhadap pemimpin dan pasar dan pionir tidak berbeda signifikan. Ini
mungkin dikarenakan status pionir dan pemimpin pasar merupakan hal yang ambigu bagi
sebagian konsumen. Bisa jadi mereka mempersepsikan pemimpin pasar saat ini adalah juga
pionir di kategori bersangkutan. Itu juga sebabnya tingkat kesalahan persepsi konsumen
terhadap pionir lebih tinggi dibandingkan tingkat kesalahan persepsi konsumen terhadap
pemimpin pasar. Konsekuensinya, H4a, H4b, dan H4c ditolak.
SIMPULAN DAN IMPLIKASI MANAJERIAL
Simpulan
Riset ini menemukan bahwa kekeliruan persepsi konsumen terhadap pionir lebih
tinggi dibandingkan pemimpin pasar (70,89% vs. 29,95%). Tidak terdapat perbedaan persepsi
(evaluasi, sikap, dan niat beli) yang signifikan antara merek yang dipersepsikan sebagai
pionir dan pemimpin pasar, baik pada kategori jasa, high-tech, maupun low-involvement
product. Akan tetapi, secara umum merek-merek yang dipersepsikan sebagai pemimpin pasar
atau pionir mendapatkan penilaian yang lebih baik dibandingkan merek follower, terutama
untuk bank umum dan minyak angin aromatherapy.
Implikasi Manajerial
Perusahaan penyandang status pionir perlu mengkomunikasikan statusnya agar
keunggulan pionir dapat dimaksimalkan. Selain itu, melihat dari kemampuan mayoritas
responden yang lebih baik dalam mengidentifikasi pemimpin pasar, maka akan lebih bagus
jika merek pionir mampu meraih posisi sebagai pemimpin pasar. Dalam hal ini tidaklah
cukup hanya menjadi pionir saja, tetapi merek pionir harus berusaha menjadi pemimpin
pasar, sehingga posisi akan semakin kuat dengan dua kemenangan yang diperoleh (Trout dan
Rivkin 2008).
Bagi pemimpin pasar, berbagai upaya dalam rangka mengkomunikasikan dan/atau
mengklaim status perlu dilakukan, misalnya mencantumkan prestasi-prestasi yang diraih pada
Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
261
kemasan atau menginformasikan pada konsumen melalui media massa mengenai capaian
pangsa pasar. Bila klaim status tidak dilakukan, maka merek follower siap menikmati
keuntungan pionir dan pemimpin pasar lewat misperception effects.
DAFTAR REFERENSI
Alpert, F.H., A.M. Kamins, dan J.L. Graham. 1992. An Examination of Reseller-Buyer
Attitudes toward Order of Brand Entry. Journal of Marketing 56: 25-37.
Bohlmann, J.D., P.N. Golder, dan D. Mitra. 2002. Deconstructing the Pioneer’s Advantage:
Examining Vintage Effects and Consumer Valuations of Quality and Variety.
Management Science 48/9: 1175-1195.
Carpenter, G.S. dan K. Nakamoto. 1989. Consumer Preference Formation and Pioneering
Advantage. Journal of Marketing 26: 285-298.
Carson, S.J., R.D. Jewell, dan C. Joiner. 2007. Prototypically Advantages for Pioneer over
Me-Too Brands: The Role of Evolving Products Designs. Journal of the Academy of
Marketing Science 35: 172-183.
Denstadli, J.M., R. Lines, dan K. Gronhaug. 2005. First Mover Advantages in the Discount
Grocery Industry. European Journal of Marketing 39/7-8: 872-884.
Edward, M. dan S. Sahadev. 2012. Modeling the Consequences of Customer Confusion in a
Service Marketing Context: An Empirical Study. Journal of Services Research 12/2:
127-146.
Ehrenberg, A.S., G.J. Goodhardt, dan T.P. Barwise. 1990. Double Jeopardy Revisited.
Journal of Marketing 54: 82-91.
Golder, P.N. dan G.J. Tellis. 1993. Pioneer Advantage: Marketing Logic or Marketing
Legend? Journal of Marketing Research 30: 158-170.
Hellofs, L.L. dan R. Jacobson. 1999. Market Share and Customer's Perceptions of Quality:
When Can Firms Grow Their Way to Higher Versus Lower Quality? Journal of
Marketing 63: 16-25.
Jacoby, H. dan W.D. Hoyer. 1982. Viewer Miscomprehension of Televised Communication:
Selected Findings. Journal of Marketing 46: 12-26.
Kalyanaram, G. dan G.L. Urban. 1992. Dynamic Effects of the Order of Entry on Market
Share, Trial Penetration, and Repeat Purchases for Frequently Purchased Consumer
Goods. Marketing Science 11/3: 235-250.
Kamins, M.A. dan F.H. Alpert. 1995. An Empirical Investigation of Consumer Memory,
Attitude, and Perceptions Toward Pioneer and Follower Brands. Journal of Marketing
59: 34-45.
Kamins, M.A. dan F.H. Alpert. 2004. Corporate Claims as Innovator or Market Leader:
Impact on Overall Attitude and Quality Perceptions and Transfer to Company Brands.
Corporate Reputation Review 7/2: 147-159.
Kamins, M.A., F.H. Alpert, dan L. Perner. 2003. Consumers' Perception and Misperception
of Market Leadership and Market Pioneership. Journal of Marketing 19: 807-834.
Kardes, F.R., G. Kalyanaram, M. Chandrashekaran, dan R. Dornoff. 1993. Brand Retrieval,
Consideration Set, Composition, Consumer Choice, and Pioneering Advantage. Journal
of Consumer Research 20: 62-75.
Kerin, R.A., G. Kalyanaram, dan D.J. Howard. 1996. Product Hierarchy and Brand Strategy
Influences on the Order of Entry Effect for Consumer Packaged Goods. Journal of
Product Innovation and Management 13: 21-34.
Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
262
Kocyigit, O. dan C.M. Ringle. 2011. The Impact of Brand Confusion on Sustainable Brand
Satisfaction and Private Label Proneness: A Subtle Decay of Brand Equity. Journal of
Brand Management 19/3: 195-212.
Kotler, P. dan K.L. Keller. 2012. Marketing Management, 14th
ed. Upper Saddle River, NJ:
Pearson Education, Inc.
Lambkin, M. 1988. Order of Entry and Performance in New Markets. Strategic Management
Journal 9: 127-140.
Leek, S. dan D. Kun. 2006. Consumer Confusion in the Chinese Personal Computer Market.
Journal of Product and Brand Management 15/3: 184-193.
Lieberman, M.B. dan D.B. Montgomery. 1988. First-Mover Advantages. Strategic
Management Journal 9: 41-58.
Min, S., M.U. Kalwani, dan W.T. Robinson. 2006. Market Pioneer and Early Follower
Survival Risks: A Contigency Analysis of Really New versus Incrementally New
Product-Markets. Journal of Marketing 70: 15-33.
Pleshko, L.P. dan R.A. Heiens. 2012. The Market Share Impact of the Fit Between Market
Leadership Efforts and Overall Strategic Aggressiveness. Business and Economics
Research Journal 3/3: 1-15.
Ries, A. dan J. Trout. 2000. Positioning: The Battle for Your Mind, 20th
Anniversary Edition.
New York: McGraw-Hill, Inc.
Rettie, R. dan S. Hillar. 2002. Pioneer Brand Advantage with UK Consumers. European
Journal of Marketing 36/7-8: 895-911.
Robinson, W.T. 1988. Sources of Market Pioneer Advantages: The Case of Industrial Goods
Industries. Journal of Marketing Research 25: 87-94.
Robinson, W.T. dan C. Fornell. 1985. Sources of Market Pioneer Advantages in Consumer
Goods Industries. Journal of Marketing Research 22: 305-317.
Schiffman, L.G. dan L.L. Kanuk. 2010. Consumer Behavior, 10th
ed. Upper Saddle River,
NJ: Pearson Education, Inc.
Schmalensee, R. 1982. Product Differentiation Advantages of Pioneering Brands. The
American Economic Review 72/3: 349-365.
Schnaars, S.P. 1994. Managing Imitation Strategies: How Later Entrants Seize Markets from
Pioneers. New York: The Free Press.
Simon, H. 2009. Hidden Champions of the 21st Century: Success Strategies of Unknown
World Market Leaders. New York: Springer.
Solomon, M.R., G.W. Marshall, dan E.W. Stuart. 2012. Marketing: Real People, Real
Choices, 7th
ed. Upper Saddle River, NJ: Pearson Education, Inc.
Song, X.M., C.A. Benedetto, dan Y.L. Zhao. 1999. Pioneering Advantages in Manufacturing
and Service Industries: Empirical Evidence from Nine Countries. Strategic
Management Journal 20: 811-836.
Tjiptono, F. 2011. Manajemen & Strategi Merek. Yogyakarta: Penerbit ANDI.
Trout, J. 2001. Big Brands Big Trouble: Lessons Learned the Hard Way. New York: John
Wiley & Sons, Inc.
Trout, J. dan Rivkin, S. 2008. Differentiate or Die: Survival in Our Era of Killer
Competition, 2nd
ed. Hoboken, NJ: John Wiley & Sons, Inc.
Turnbull, P.W., S. Leek, dan G. Ying. 2000. Customer Confusion: The Mobile Phone Market.
Journal of Marketing Management 16: 143-163.
Urban, G.L., T. Carter, S. Gaskin, dan Z. Mucha. 1986. Market Share Reward to Pioneering
Brands: An Empirical Analysis and Strategic Implications. Management Science 32/6:
645-659.
Ervina Triandewi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Fandy Tjiptono Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
263
Walsh, G., T. Hennig-Thurau, dan V.W. Mitchell. 2007. Consumer Confusion Proneness:
Scale Development, Validation, and Application. Journal of Marketing Management
23/7-8: 697-721.
BIBLIOGRAFI PENULIS
Ervina Triandewi adalah alumnus Fakultas Ekonomi dan Program Pascasarjana, Universitas
Atma Jaya Yogyakarta. Topik riset yang diminatinya adalah perilaku konsumen, khususnya
dalam hal pembelian merek orisinal dan merek tiruan, persepsi konsumen terhadap status
pionir dan pemimpin pasar, dan isu-isu terkait lainnya.
Fandy Tjiptono adalah staf akademik di Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya
Yogyakarta. Ia telah menerbitkan sejumlah buku, di antaranya Pemasaran Strategik,
Pemasaran Global, Manajemen & Strategi Merek, Pemasaran Jasa, dan Total Quality
Management. Selain itu, beberapa tulisan ilmiahnya telah dipublikasikan dan forthcoming di
beberapa jurnal internasional bergengsi, seperti Journal of Business Ethics, Marketing
Intelligence & Planning, Journal of Promotion Management, dan Social Responsibility
Journal.
Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
264
PEMETAAN STORE DESIGN DAN VISUAL MERCHANDISING DISTRO
DI KOTA BANDUNG
Jurry Hatammimi & Brhiyawan RH Cendekia
Fakultas Ekonomi & Bisnis, Universitas Telkom
Jl. Telekomunikasi, Terusan Buah Batu, Dayeuh Kolot, Bandung 40257
[email protected] / [email protected]
ABSTRACT
One of the evidence of creative industry growth in fashion sector in the city of Bandung is the
establishment of many distro or distribution outlet. There are 4 distro that has the highest
sales level, i.e Ouval Research, Unkl347, Dloops, and Black Id. The four distro were trying to
show differentiation in terms of store design and visual merchandising to make up the store
uniqueness and influencing buying behavior. Beside there is no research about the mapping
of distro in the city of Bandung yet, especially about their store design and visual
merchandising, this study will also show the difference of the four distro even though they
have some similarities. This study aims to determine the perceptual map of store design and
visual merchandising which applied by each distro. By using Multi Dimensional Scaling,
there are consumer assessment in making perceptual maps include shopping convenience,
easy to find goods, shopping experience, signage, entrance, cash wraps, promotional aisle,
windows, fitting room, traffic flow, alignment rack with the theme, the attractiveness of
presentation techniques, and impulse purchase. The research shows Ouval Research superior
in largely indicators namely shopping convenience, easy to find goods, shopping experience,
signage, entrance, promotional aisle, windows, fitting room, the attractiveness of
presentation techniques, and impulse purchase. Unkl347 win in two indicators namely cash
wraps and alignment rack with the theme. Dloops only win in the traffic flow indicator. Black
Id ranks fourth at all indicators.
Keywords: Perceptual Map, Store Design, Visual Merchandising, Distribution Outlet
Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
265
PENDAHULUAN
Distribution store atau Distro yang dikenal oleh masyarakat kota besar di Indonesia
lebih dimaknai sebagai tempat dijualnya pakaian dengan merek tertentu dan dijual dalam
jumlah yang terbatas. Menurut Bank Indonesia (2008:1-2), distro bermula dari Bandung
sejak tahun 1993 namun baru berkembang pada tahun 1998.
Kota Bandung pada tahun 2012 memiliki jumlah penduduk sebesar 2.455.517 orang
(BPS Kota Bandung 2013). Menghubungkan dengan target utama pasar distro yaitu mereka
yang berusia sekitar 15 – 29 tahun, data menunjukkan bahwa jumlah penduduk Kota
Bandung di rentang usia tersebut adalah berjumlah 264.190 orang atau 10,76 % dari total
penduduk Kota Bandung. Dengan melihat persentase tersebut, usaha distro masih dianggap
berpotensi untuk terus dikembangkan.
Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Daerah 2010 (BPS Kota Bandung 2012),
tingkat rata-rata konsumsi pakaian per kapita sebulan penduduk Kota Bandung pada tahun
2010 sebesar 2,67% dari total pengeluaran atau Rp. 23.783. Tingkat konsumsi itu berada di
posisi ke-3 jumlah pengeluaran terbanyak dari sub golongan bukan makanan.
Jumlah konsumsi pakaian tersebut jika dihitung per tahun maka bernilai Rp. 285.396
per orang. Jika menghitung proyeksi konsumsi pakaian khusus bagi penduduk Kota Bandung
yang berusia 15 - 29 tahun, maka akan tercatat nilai sebesar Rp. 75.398.769.240 dalam satu
tahun. Hal ini jelas merupakan potensi ekonomi yang sangat besar.
Sektor pariwisata pun memiliki andil meningkatkan potensi ekonomi bagi distro.
Menurut Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung, pada tahun 2011 terdapat
6.712.824 wisatawan yang berkunjung ke Bandung. Data tahun 2010 menunjukkan bahwa
wisata belanja (fashion) adalah jenis wisata yang paling diminati. Tercatat 2.401.312
wisatawan yang berkunjung ke Kota Bandung melakukan wisata belanja (fashion). Data
tersebut menunjukkan bahwa potensi pasar bidang fashion di kota Bandung adalah sangat
besar.
Dinas Koperasi, UKM, Perindustrian, dan Perdagangan (KUKM & Perindag) Kota
Bandung mencatat ada tujuh jenis tempat yang dikategorikan sebagai pasar modern yang
merupakan saluran distribusi bidang fashion seperti tertera pada Tabel 1.
Tabel 1
Data Potensi Pasar Modern di Kota Bandung
No. Kategori Jumlah
1. Supermarket 27
2. Hypermarket 9
3. Departement Store 16
4. Pusat perdagangan 7
5. Mall 22
6. Distro 135
7. Factory Outlet 98
Jumlah 314
Sumber: Dinas KUKM dan Perindag Kota
Bandung, 2012
Seluruh fashion retail yang tercatat dalam Tabel 1 memiliki cara dan strategi khusus
untuk bersaing satu sama lain tentunya demi memenangkan persaingan. Persaingan yang ada
terjadi lebih kuat lagi di dalam kategori yang sama.
Penelitian Dewi (2010:6) menyebutkan paling tidak ada 32 distro di kota Bandung
yang memiliki umur lebih dari 4 tahun pada tahun 2009. Selain itu diketahui pula tingkat
Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
266
permintaan produk distro di Kota Bandung pada tahun 2009 adalah sebagaimana tercantum
pada Tabel 2. Empat distro di Kota Bandung yang memiliki jumlah permintaan terbanyak.
Distro tersebut adalah Ouval Research, Unkl347, Dloops, dan Black Id.
Distro merupakan fashion store yang menjual produknya sendiri dan sangat
menonjolkan sisi eksklusifitas store design. Setiap distro memiliki cara masing-masing
dalam menarik konsumen dari segi layout toko, display produk, desain interior maupun
eksterior.
Penelitian Nento (2005:92) menjelaskan bahwa ada korelasi yang kuat antara visual
merchandising dengan minat beli konsumen pada Flexi Center Dago, begitu juga Stiefi
(2012:87) menambahkan terdapat hubungan yang sangat kuat antara store layout dengan
minat beli. Hasil penelitian Nento (2005) & Stiefi (2012) sejalan dengan teori yang
dikatakan oleh Levy & Weitz (2009:507) bahwa ada pengaruh yang signifikan antara
perilaku membeli dengan store design & merchandise presentation.
Dibandingkan fashion retail lainnya, keberadaan distro di Kota Bandung adalah yang
terbanyak dengan jumlah 135 distro (Dinas KUKM & Perindag Kota Bandung 2012).
Mengingat perkembangan distro yang pesat dan sebagai fashion retail di Kota Bandung
dengan jumlah terbanyak saat ini, penelitian terkait store design dan visual merchandising
perlu dilakukan terhadap distro. Empat distro dengan permintaan terbanyak (Ouval
Research, Unkl347, Dloops, dan Black Id) dapat dijadikan obyek penelitian tersebut.
Tabel 2
Permintaan Produk Distro Per 2009
No. Nama Distro Jumlah Permintaan (unit)
1 Ouval Research 38.401
2 Unkl 347 37.579
3 Dloops 36.230
4 Black Id 30.237
5 Blankwear 26.720
6 Kuya Gaya 26.375
7 Air Plane System 25.632
8 Cosmic 23.651
9 Skaters 23.348
10 Green Light 22.654
11 Flashy 21.935
12 Yodium Freedom 21.206
13 Evil 20.671
14 Order 19.721
15 Wadezig 18.810
16 3 Second 18.237
17 Proshop 17.997
18 Coffee Park 16.325
19 Provider 15.190
20 Diery 14.237
21 Invictus 14.197
Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
267
Sumber: Dewi (2010:6)
Keempat distro tersebut dipilih juga karena memiliki kesamaan segmentasi berdasarkan usia,
tingkat ekonomi, kedekatan wilayah penjualan, dan kesamaan dalam konsep yang
mengusung tema urban. Selain karena belum adanya penelitian yang melakukan pemetaan
terhadap distro di Kota Bandung khususnya terhadap empat distro dengan permintaan
terbanyak pada unsur store design dan visual merchandising-nya, penelitian ini ingin pula
menunjukkan perbedaan posisi keempat distro tersebut berdasarkan persepsi konsumennya
meskipun keempatnya memiliki beberapa kesamaan.
Berdasarkan beberapa hal tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peta
persepsi konsumen terhadap store design dan visual merchandising distro Ouval Research,
Unkl347, Dloops, dan Black Id.
LANDASAN TEORI
Retail Strategy
Levy & Weitz (2009:134) menjelaskan arti retail strategy adalah pernyataan yang
mengidentifikasikan target pasar yang dituju retailer, format retail yang di desain untuk
memuaskan kebutuhan target pasarnya, serta perencanaan dalam membuat sustainable
competitive advantage yang bisa bertahan dalam jangka waktu yang lama serta tidak mudah
ditiru oleh pesaing. Menurut Levy & Weitz (2009:134) retail format menjelaskan tentang
operasional perusahaan berkaitan dengan retail mix, antara lain tipe merchandise dan jasa
yang ditawarkan, penetapan harga, program promosi dan periklanan, desain toko dan visual
merchandising, tipe lokasi, serta customer service.
Store Design dan Visual Merchandising
Store design dan visual merchandising termasuk ke dalam bagian store management
yang mempengaruhi keunikan toko. Perusahaan sebisa mungkin memberikan keunikan
tersendiri serta membuat desain yang menarik agar suasana toko yang tercipta mendukung
proses belanja konsumen. Levy & Weitz (2009:508) menjelaskan bahwa store design
memiliki peran yang penting dalam membuat serta memperkuat brand image.
Menurut Levy & Weitz (2009:508) tujuan dari desain toko adalah untuk
mengimplementasikan strategi retailer, mempengaruhi perilaku membeli, memberikan
fleksibilitas, mengontrol biaya desain dan perawatan, serta memenuhi aspek legal.
22 Mountly 13.590
23 Volta Folks 13.436
24 Omnium 13.001
25 Gummo 12.826
26 Black Jack 11.110
27 Rock Star 10.798
28 God Inc 10.540
29 Badger 8.208
30 Frontline 8.125
31 Rollink 6.761
32 Tee Company 6446
Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
268
a. Implementasi strategi retailer
Desain toko harus selaras dengan kebutuhan target pasar yang ditentukan karena desain
toko merupakan salah satu bagian dari positioning untuk membentuk image perusahaan
dalam pikiran konsumen.
b. Mempengaruhi perilaku pembeli
Menurut Levy & Weitz (2009:509) desain toko yang baik akan menarik konsumen
untuk berkunjung, mempermudah konsumen untuk menemukan barang yang dicari,
memotivasi dan memberi dorongan kepada konsumen untuk melakukan pembelian lain
yang tidak direncanakan sebelumnya, serta memuaskan konsumen dengan pengalaman
berbelanja yang menyenangkan.
c. Fleksibilitas
Fleksibilitas yang dimaksud dalam hal ini adalah kemudahan untuk mengganti
komponen didalam toko jika sewaktu-waktu ada perubahan konsep toko, kehadiran
barang baru, serta promo-promo yang diadakan retailer.
d. Mengontrol biaya
Perbedaan produk yang dijual berarti berbeda pula desain toko yang dibuat. Hal ini akan
mempengaruhi kebijakan perusahaan dalam mengimplementasikan desain toko. Sebagai
contoh Levy & Weitz (2009:510) menjelaskan dengan mengeluarkan biaya lebih pada
faktor pencahayaan berarti akan membuat produk yang dipajang lebih menarik. Hal ini
diharapkan akan meningkatkan penjualan produk tersebut.
e. Aspek legal
Beberapa negara menetapkan kebijakan perlindungan terhadap orang dengan kebutuhan
khusus. Hal ini tentu saja berpengaruh pada desain toko yang harus dapat
mengakomodir semua golongan tak terkecuali orang dengan kebutuhan khusus.
f. Design trade-offs
Trade-offs ini berkaitan dengan mengimplementasikan alternatif desain yang
menguntungkan dengan menghilangkan beberapa keuntungan lain.
Levy & Weitz (2009:512) memberikan salah satu contoh trade-off yang dihadapi oleh
retailer yaitu memberi dorongan kepada konsumen untuk lebih konsumtif atau memberi
kemudahan dalam mencari produk. Sebagai contoh barang Z yang memiliki penjualan
tinggi ditaruh di ujung toko dengan harapan konsumen yang ingin membeli barang Z
berjalan melewati beberapa rak produk agar ada hasrat untuk membeli produk lain,
namun hal ini justru akan mengurangi kenyamanan konsumen yang hanya ingin
membeli barang Z. Alternatif lain bisa diimplementasikan dengan menaruh barang Z di
depan toko untuk memberikan kenyamanan kepada konsumen dengan pertimbangan
tidak akan ada konsumen yang berkeliling toko terlebih dahulu sebelum membeli barang
Z.
Store Design
Store design menurut Levy & Weitz (2009:508) mencakup layout, signage, serta feature
areas.
a. Layouts
Layout mencakup susunan bagian toko yang terbagi atas wilayah tertentu yang
memisahkan jenis produk atau fungsi tertentu. Dari penjelasan yang dikemukakan oleh
Levy & Weitz (2009:512-515) layout dibuat untuk memudahkan konsumen dalam
mencari barang, mengefisiensikan biaya melalui penggunaan ruang yang optimal,
mengarahkan konsumen pada lokasi tertentu di dalam toko, memberikan kenyamanan
berbelanja, serta memberikan pengalaman belanja yang menyenangkan.
Layout toko dapat merepresentasikan tema toko serta image yang ingin dimunculkan.
Layout dapat di sesuaikan dengan kebutuhan toko berdasarkan barang yang dijual.
Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
269
Menurut Levy & Weitz (2009:512-515) Layout toko dapat dibuat seperti lorong-lorong,
dibentuk asimetris, atau dikondisikan seperti jalur agar konsumen melewati seluruh
bagian toko mengikuti layout yang dibentuk.
b. Signage & Graphics
Signage merupakan penanda suatu produk atau penanda arah yang menunjukan suatu
tempat di dalam toko. Menurut Levy & Weitz (2009:516) selain dapat membantu
konsumen mencari bagian departemen, produk, dan informasi, graphics seperti panel foto
juga harus mencirikan karakteristik sebuah toko.
Ada beberapa fungsi komunikasi visual dalam implementasi di sebuah toko, antara lain
seperti yang diungkapkan Levy & Weitz (2009:516-517):
(1) Lokasi
Signage dapat digunakan untuk menunjukan lokasi suatu tempat atau produk tertentu.
Biasanya signage penunjuk lokasi digunakan oleh toko yang memiliki lahan yang
luas seperti mall atau suatu gedung.
(2) Category signage
Category signage digunakan untuk menunjukan tempat sesuai dengan tipe produk.
Levy & Weitz (2009:516) menjelaskan bahwa category signage digunakan antar
sektor yang ada dalam toko untuk membedakan tipe produk, category signage
biasanya ditempatkan dekat dengan barang yang ditawarkan.
(3) Promotional signage
Tipe signage ini untuk menunjukan promosi atau diskon yang sedang
diselenggarakan oleh toko. Levy & Weitz (2009:516) menjelaskan biasanya
promotional signage ditempatkan di jendela depan toko agar orang-orang tahu
mengenai promo yang sedang berlangsung.
(4) Point of sale
Point of sale ditempatkan di dekat produk sehingga konsumen dengan mudah
mengetahui harga dan informasi detail produk, seperti diskon dan lain sebagainya
(Levy & Weitz 2009:516).
(5) Lifestyle image
Levy & Weitz (2009:517) menjelaskan bahwa lifestyle image dapat bervariasi seperti
gambar orang atau suatu tempat. Jenis signage ini bertujuan untuk membuat mood
yang mendorong konsumen untuk membeli.
Saat ini signage tidak hanya dalam bentuk media konvensional tetapi juga dalam bentuk
digital. Media digital dapat lebih menarik konsumen karena sifatnya yang dinamis.
Beberapa contoh digital signage antara lain video clip serta penunjuk harga digital (Levy
& Weitz 2009:517)
c. Feature Areas
Feature areas menurut Levy & Weitz (2009:518) adalah area di dalam toko yang
dibentuk agar menarik perhatian konsumen. Feature areas juga bisa dijadikan sebagai
petunjuk arah bagi konsumen. Feature areas dibagi menjadi entrances (jalan masuk),
freestanding display, cash wraps (kasir), end caps, promotional aisle/area (area promosi),
walls (tembok), windows (jendela/etalase toko), dan fitting rooms (ruang ganti) (Levy &
Weitz 2009:518-521).
(1) Entrances (jalan masuk)
Pada bagian ini biasanya dipajang hal-hal mengenai produk yang dijual di toko. Toko
ponsel memajang ponsel dengan teknologi terkini, toko pakaian memajang baju
keluaran terbaru, dan seterusnya. Fetterman & O’Donnel (2006) dalam Levy & Weitz
(2009:518) menerangkan bahwa area ini disebut area decompression zone karena
merupakan tempat orang berpindah dari lingkungan luar ke lingkungan dalam toko.
Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
270
Entrances area juga merupakan tempat untuk menarik konsumen agar mau
berkunjung.
(2) Freestanding displays
Bagian ini merupakan rak atau manekin yang dipajang pada lorong untuk tujuan
menarik konsumen (Levy & Weitz 2009:518). Levy & Weitz (2009:518)
menambahkan freestanding displays bisa merupakan boneka (manekin), barang
terbaru, atau barang paling menarik yang dimiliki toko. Sifat freestanding display
hampir sama dengan bagian entrances yaitu untuk menarik konsumen.
(3) Cash wraps (kasir)
Tempat ini merupakan tempat di mana orang-orang melakukan pembayaran atas
barang yang dibelinya. Seringkali pengunjung mengantri dan menunggu cukup lama
untuk melakukan pembayaran. Menurut Levy & Weitz (2009:518-519) dikarenakan
banyak pengunjung yang menunggu maka dibagian ini retailer biasanya memajang
produk-produk yang mendorong konsumen untuk membelinya seperti permen,
majalah, serta pisau cukur.
(4) End caps
Menurut Levy & Weitz (2009:519) end caps merupakan bagian yang ada di ujung
rak, bisa berupa pajangan, produk-produk promosi, atau poduk musiman. Retailer
memanfaatkan bagian ini juga untuk mendorong konsumen melakukan pembelian
lebih banyak.
(5) Promotional aisle / area (area promosi)
Area ini merupakan area khusus yang disediakan retailer untuk barang-barang yang
sedang dalam masa promosi atau barang yang bersifat musiman. Area ini dapat
berganti setiap minggu atau dalam periode yang singkat sesuai dengan jangka waktu
promosi yang berlaku.
(6) Walls (tembok)
Area tembok juga dapat dijadikan untuk memajang produk yang dijual. Kelebihan
dari penggunaan tembok adalah retailer dapat menyisakan banyak ruang untuk
dijadikan tempat hilir mudik konsumen atau dimanfaatkan sebagai display produk
lain.
(7) Windows (jendela)
Jendela merepresentasikan produk yang dijual di toko. Dengan desain dan display
yang unik, jendela bisa dijadikan alat untuk menarik konsumen (Levy & Weitz
2009:520).
Menurut Levy & Weitz (2009:520) yang perlu diperhatikan dalam menata sebuah
jendela toko adalah bahwa yang terpajang di jendela merupakan barang yang juga
dijual di toko sehingga konsumen tidak merasa tertipu dengan apa yang dipajang di
jendela.
(8) Fitting rooms (ruang ganti)
Retailer yang bergerak dalam bidang fashion umumnya memiliki fitting room untuk
mencoba pakaian yang akan dibelinya. Grant (2007) dalam Levy & Weitz (2009:521)
mengatakan bahwa fitting room merupakan tempat yang krusial yang menjadi salah
satu penentu keputusan konsumen dalam pembelian. Fitting room dengan suasana
yang baik akan menambah nilai dari pengalaman berbelanja.
Levy & Weitz (2009:520) menambahkan bahwa kondisi fitting room haruslah cukup
luas, bersih dan nyaman.
Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
271
Visual Merchandising
Visual merchandising berkaitan dengan penyajian produk dan toko untuk menarik
konsumen. Yang termasuk dalam faktor visual merchandising adalah (Levy & Weitz
2009:527):
a. Fixture
Fixture merupakan rak atau gantungan untuk menaruh produk yang dijual agar dengan
mudah dapat diketahui oleh konsumen. Levy & Weitz (2009:527) menjelaskan fungsi rak
salah satunya adalah untuk memperlihatkan produk (display merchandise) serta untuk
mendukung traffic flow sehingga konsumen tertarik untuk melihat dan berkeliling ke tiap-
tiap rak. Levy & Weitz (2009:527) juga menambahkan penggunaan rak harus serasi
dengan tema/desain toko secara keseluruhan.
Terdapat empat jenis fixture yang umum digunakan oleh toko fashion yaitu straight rack,
rounder, dan four-way, sedangkan untuk barang lain pada umumnya menggunakan tipe
gondola (Levy & Weitz 2009:527).
b. Presentation techniques
Teknik penyajian menjadi salah satu faktor yang ada dalam visual merchandising.
Menurut Levy & Weitz (2009:528-530) ada beberapa teknik penyajian produk yang bisa
diterapkan dalam retail business, antara lain sebagai berikut:
(1) Idea-oriented presentation
Teknik penyajian ini menekankan pada ide atau gagasan produk yang dibuat oleh
retailer. Retailer sebisa mungkin menunjukan bagaimana seharusnya produk ini
dipakai serta mendeskripsikan bagaimana produk ini terlihat jika sedang digunakan.
(2) Style / item presentation
Style presentation menyajikan produk sesuai dengan tipe dan jenis produk. Tipe ini
menurut Levy & Weitz (2009:529) paling banyak diimplementasikan oleh para
retailer. Selain itu Levy & Weitz (209:529) juga menambahkan style presentation
akan memudahkan konsumen mencari barang dalam satu bagian.
Retailer mengumpulkan seluruh barang yang berjenis sama dalam satu bagian,
dengan begitu konsumen dapat dengan mudah membandingkan produk yang
memiliki jenis sama. Sebagai contoh fashion retailer mengumpulkan kaos lengan
panjang dalam satu rak.
(3) Color presentation
Teknik penyajian menggunakan kesamaan warna dari produk yang ada. Penyusunan
ini bisa diimplementasikan pada ritel fashion dengan mengurutkan produk
berdasarkan warna.
Teknik ini juga bisa mencirikan toko pada image tertentu, sebagai contoh jika suatu
fashion retail pria menjual produk untuk digunakan saat suasana formal maka toko
tersebut bisa menggunakan warna dominan netral seperti krem atau coklat.
(4) Price lining
Price lining berarti mengurutkan produk berdasarkan harga yang menunjukan
klasifikasi produk (Levy & Weitz 2009:529).
(5) Vertical merchandising
Teknik ini menyajikan produk secara vertikal dengan susunan produk yang sama
pada satu garis lurus. Levy & Weitz (2009:529) menjelaskan bahwa teknik ini
didasari pada pergerakan alamiah mata (eye’s natural movement) yang selalu melihat
secara berurutan dari kiri ke kanan dan dari atas ke bawah.
(6) Tonnage merchandising
Tonnage merchandising merupakan teknik penyajian dimana satu jenis barang dalam
jumlah yang banyak dikumpulkan pada satu tempat. Dengan teknik ini retailer
Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
272
berusaha untuk meningkatkan citra harga dengan meyakinkan konsumen bahwa stok
sedang banyak sehingga harga lebih terjangkau (Levy & Weitz 2009:529).
(7) Frontal presentation
Teknik penyajian ini menampilkan dan mengekspos produk dengan sangat terbuka
(frontal) untuk menarik konsumen. Hal ini bisa dilakukan dengan cara menyajikan
produk secara lebih intens. Sebagai contoh retailer membuat replika produk dengan
ukuran yang lebih besar dari biasanya atau juga bisa dibuat gambar dengan ukuran
yang besar jika ingin meningkatkan penjualan suatu produk.
Kerangka Pemikiran
Store design menurut Levy & Weitz (2009:508) mencakup layout, signage, serta
feature areas. Layout mencakup susunan bagian toko yang terbagi atas wilayah tertentu yang
memisahkan jenis produk atau fungsi tertentu. Signage merupakan penanda suatu produk
atau penanda arah yang menunjukan suatu tempat di dalam toko. Feature areas adalah area
di dalam toko yang dibentuk agar menarik perhatian konsumen dan juga bisa dijadikan
sebagai petunjuk arah bagi konsumen. Feature areas dibagi menjadi entrances (jalan
masuk), freestanding display, cash wraps (kasir), end caps, promotional aisle/area (area
promosi), walls (tembok), windows (jendela / etalase toko), dan fitting rooms (kamar pas)
(Levy & Weitz 2009:518-521).
Visual merchandising berkaitan dengan penyajian produk dan toko untuk menarik
konsumen (Levy & Weitz 2009:527). Fixture merupakan rak atau gantungan untuk menaruh
produk yang dijual agar dengan mudah dapat diketahui oleh konsumen, unsurnya adalah
traffic flow dan keselarasan dengan tema. Teknik penyajian Menurut Levy & Weitz
(2009:528-530) terdiri dari Idea-oriented presentation, Style/item presentation, Color
presentation, Price lining, Vertical merchandising, Tonnage merchandising, dan Frontal
presentation. Sebagai empat distro dengan permintaan terbanyak, Ouval Research, Unkl347,
Dloops, dan Black Id akan dibuatkan peta 3 aspek store design dan 2 aspek visual
merchandising-nya berdasarkan persepsi konsumen sebagaimana tertera pada gambar 1.
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Sumber: pengolahan data penulis
Peta Posisi:
1. Ouval Research
2. Unkl347
3. Dloops
4. Black ID
Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
273
METODE PENELITIAN
Agar dapat membandingkan antara masing-masing store design dan visual
merchandising, maka indikator yang diambil dalam penelitian ini merupakan indikator yang
sama-sama dimiliki tiap distro yang menjadi objek penelitian. Indikator yang diambil
dicocokan dengan kondisi lapangan penerapan store design dan visual merchandising tiap
distro. Penjelasan sub variabel dan indikatornya tertera pada tabel 3.
Pada penelitian ini yang menjadi populasi adalah orang yang pernah mengunjungi
Ouval Research, Unkl347, Dloops, dan Black Id pada satu tahun terakhir. Dikarenakan
populasi tidak diketahui pasti jumlahnya, maka untuk menentukan jumlah sampel yang akan
diteliti penulis menggunakan persamaan Bernoulli. Tingkat kepercayaan yang digunakan
pada penelitian ini adalah sebesar 95 %, tingkat ketelitian (α) 5%. Dari tabel distribusi
ditemukan bahwa Error! Reference source not found. = 0,025 sehingga Z = 1,960. Tingkat
kesalahan ditentukan sebesar 10% dengan probabilitas kuesioner benar (diterima) atau salah
(ditolak) 0,5. Berdasarkan kriteria tersebut, persamaan Bernoulli untuk mencari sampel
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Variabel Operasional
Sumber: pengolahan data penulis
Hasil dari perhitungan sampel di atas menunjukan jumlah sampel minimum adalah 97 buah
yang kemudian penulis bulatkan menjadi 100 buah.
Variabel Sub Variabel Indikator
Store Design
Layout
Kenyamanan berbelanja
Kemudahan dalam mencari barang
Shopping Experience
Signage & Graphic Signage yang merepresentasikan
karakteristik toko
Feature Areas
Entrances
Cash Wraps
Promotional Aisle
Windows
Fitting Rooms
Visual
Merchandising
Fixture Traffic flow
Keselarasan dengan tema
Presentation
techniques
Kemenarikan teknik penyajian
Impulse purchase
Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
274
Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non-probability sampling
dengan menggunakan metode convenience sampling. Teknik pengambilan sampel dengan
non-probability sampling menurut Cooper & Schindler (2011:388) dianggap lebih
menghemat biaya. Convenience sampling merupakan pengambilan sampel yang dilakukan
secara bebas kepada siapapun yang ditemui. Walaupun convenience sampling tidak memiliki
pengawasan untuk memastikan keakuratan, tetapi metode ini masih merupakan prosedur
yang dapat digunakan (Cooper & Schindler 2011:385).
Uji validitas dalam penelitian Multi Dimensional Scaling (MDS) dilakukan dengan
memperhatikan R Square (RSQ). Maholtra (1999) dalam Simamora (2005:268)
menyebutkan RSQ yang dapat diterima adalah yang lebih besar dari sama dengan 0,6 (RSQ
≥ 0,6). Semakin besar RSQ yang didapat maka semakin baik pula model MDS yang
dihasilkan (Simamora, 2005:268). Setelah dilakukan pre test dengan menyebarkan kuesioner
kepada 30 responden dan pengolahan data menggunakan SPSS maka didapatkan RSQ =
0,991 yang berarti data yang dihasilkan adalah valid.
Uji reliabilitas dalam penelitian MDS menggunakan stress measure. Hasil data yang
dikumpulkan kemudian dibandingkan dengan tabel 4 berikut.
Tabel 4. Indikator Stress
Stress (persen) Goodness of Fit
20 Poor
10 Fair
5 Good
2,5 Excelent
0 Perfect
Sumber: Simamora (2005:269)
Dari hasil pre test yang dilakukan dengan menyebarkan kuesioner kepada 30 responden dan
pengolahan data menggunakan SPSS maka didapatkan Stress sebesar 13% yang berarti fair.
Teknik analisis data menggunakan Multi Dimensional Scaling (MDS) adalah untuk
mengetahui persepsi responden terhadap suatu objek dibandingkan dengan objek lain.
Penyajian data menggunakan diagram yang memperlihatkan pemetaan persepsi responden.
Menurut Hair, Jr et al (2010:568) MDS yang juga biasa disebut perceptual mapping
merupakan teknik analisis untuk mengolah pendapat konsumen yang memiliki kesamaan
pada bidang multidimensional.
Penelitian ini memaparkan bagaimana tiap distro berkompetisi dalam hal store design
dan visual merchandising. Penilaian dilakukan oleh responden untuk membandingkan tiap-
tiap distro. Hasil dari penelitian ini nantinya akan memaparkan peta persaingan yang terjadi
diantara distro berdasarkan atribut store design dan visual merchandising.
Selain akan memperlihatkan peta persaingan masing-masing distro dari segi store
design dan visual merchandising, grafik MDS akan memperlihatkan distro mana yang
unggul dalam salah satu indikator serta memperlihatkan distro mana yang tidak memiliki
penilaian baik dari responden. Penilaian dihitung berdasarkan kedekatan jarak antara
indikator dan objek yang digambarkan pada grafik MDS.
Penghitungan jarak dilakukan dengan menggunakan jarak euclidean (euclidean
distance). Jarak euclidean dapat menunjukan perbandingan secara pasti jarak antara setiap
objek. Menurut Hair, Jr et al (2010:506) euclidean distance adalah cara mengukur panjang
garis lurus antara dua objek yang ada di grafik. Berikut rumus euclidean distance menurut
Hair, Jr et al (2010:523):
Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
275
Gambar 2. Euclidean Distance Sumber: Hair, Jr et al (2010:523)
Dari perhitungan menggunakan rumus tersebut, semakin kecil angka yang dihasilkan maka
semakin dekat pula jarak antara objek yang berarti semakin ketat pula persaingannya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data yang diolah menghasilkan peta persepsi yang akan memperlihatkan posisi
masing-masing objek penelitian dengan variabel store design dan visual merchandising.
Gambar 3. Peta Persepsi Store Design dan Visual Merchandising
Sumber: pengolahan data penulis
Output yang dihasilkan dari pengolahan data di SPSS 20 merangkum seluruh posisi
objek dan item penilaian kedalam satu peta persepsi. Semakin dekat jarak antara objek
penelitian dengan titik indikator maka semakin unggul pula objek tersebut pada indikator itu.
Kenyamanan Berbelanja
Ouval Research dinilai paling unggul dalam hal kenyaman berbelanja yang dihasilkan dari
layout yang terbentuk. Dloops dan Unkl347 berada di posisi kedua dan ketiga, sedangkan
Black Id berada pada peringkat keempat.
Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
276
Kemudahan Mencari Barang
Dalam indikator ini Ouval Research menempati urutan pertama sebagai distro dengan layout
yang paling memudahkan dalam mencari barang. Sementara itu urutan berikutnya ditempati
oleh Dloops, Unkl347, serta Black Id.
Shopping Experience
Pada indikator shopping experience Ouval Research berada pada posisi pertama. Responden
menilai layout toko yang diterapkan oleh Ouval Research memberikan pengalaman
berbelanja yang paling menyenangkan dibanding ketiga distro yang lain. Posisi dua, tiga, dan
empat secara berurut ditempati oleh Dloops, Unkl347, dan Black Id.
Signage yang Merpresentasikan Karakter Toko
Responden memilih Ouval Research sebagai distro dengan signage yang paling representatif
dibanding ketiga distro yang lain. Posisi selanjutnya disusul oleh Dloops, Unkl347, serta
Black Id.
Entrance
Pada indikator entrance responden menilai Ouval Research memiliki desain pintu masuk
yang paling mendorong rasa ingin berkunjung ke dalam toko. Ouval Research berada di
posisi pertama disusul Dloops, Unkl347 serta Black Id.
Cash Wraps
Menurut penilaian responden penataan cash wraps yang paling mendorong rasa ingin
membeli barang yang dipajang di meja kasir selagi menunggu transaksi adalah Unkl347.
Sedangkan posisi dua, tiga, dan empat ditempati oleh Ouval Research, Dloops, serta Black
Id.
Promotional Aisle
Berdasarkan atribut promotional aisle yang paling unggul adalah Ouval Research dengan
euclidean distance sebesar 0,6388. Posisi selanjutnya ditempati oleh Unkl347, Dloops, serta
Black Id.
Windows
Dari penilaian responden dapat dilihat bahwa Ouval Research menduduki peringkat pertama
dalam indikator windows. Responden menganggap Ouval Research paling unggul dalam
menarik konsumen melalui etalase toko. Peringkat kedua, ketiga, dan keempat ditempati
Unkl347, Dloops, lalu Black Id.
Fitting Rooms
Dari keempat distro yang diteliti, responden menilai Ouval Research memiliki fitting room
paling nyaman dibanding distro lainnya. Peringkat kedua yang memiliki fitting room
ternyaman adalah Dloops, disusul Unkl347, serta Black Id.
Traffic Flow
Pada indikator traffic flow responden menilai Dloops merupakan distro dengan pengaturan
rak yang paling menarik sehingga membuat konsumen memiliki ketertarikan untuk terus
berkeliling toko. Posisi dua, tiga, dan empat secara berurut adalah Ouval Research, Unkl347,
serta Black ID.
Keselarasan Rak dengan Tema Toko
Hasil dari penilaian responden terhadap indikator ini adalah bahwa Unkl347 merupakan
distro yang dianggap paling memiliki keserasian antara penggunaan rak dengan desain toko.
Posisi dua, tiga, dan empat secara berurut diisi oleh Dloops, Ouval Research, dan Black Id .
Kemenarikan Teknik Penyajian
Penilaian responden memilih Ouval Research sebagai distro yang paling menarik dalam
teknik penyajian. Posisi kedua dengan teknik penyajian yang menarik adalah Dloops.
Selanjutnya posisi ketiga dan keempat ditempati oleh Unkl347 dan Black Id.
Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
277
Impulse Purchase
Berdasarkan indikator impulse purchase, distro yang paling unggul dalam teknik penyajian
yang mendorong rasa ingin membeli adalah Ouval Research. Peringkat dua, tiga, dan empat
secara berurut ditempati oleh Unkl347, Dloops, serta Black ID.
Pembahasan
Pemetaan store design dan visual merchandising berdasarkan persepsi konsumen
yang telah dibahas di atas menunjukan keunggulan distro di masing-masing indikator. Peta
persepsi terbentuk dari penilaian konsumen terhadap penerapan store design dan visual
merchandising distro sesuai fakta di lapangan. Walaupun ada persamaan segmentasi
berdasarkan usia, tingkat ekonomi, letak lokasi penjualan, serta konsep yang sama-sama
mengusung tema urban, namun tiap distro tetap memiliki perbedaan pada desain produk
sesuai ciri khas masing-masing. Selain itu tiap distro juga dapat memiliki segmen yang
berbeda dalam hal lain seperti pekerjaan, hobi, komunitas tertentu, dan lain sebagainya.
Secara keseluruhan peta persepsi yang terbentuk sesuai dengan data jumlah
permintaan yang disusun oleh Dewi (2010:6). Jika diakumulasikan lalu diurutkan
berdasarkan perolehan peringkat satu dalam tiap indikator, maka keempat distro
mendapatkan peringkat yang sama dengan peringkat jumlah permintaan seperti tercantum
pada Tabel 5.
Tabel 5.
Perbandingan Jumlah Permintaan dengan
Hasil Pemetaan Store Design dan Visual Merchandising
No. Nama Distro Jumlah Permintaan
Tahun 2009 (unit)
Akumulasi perolehan peringkat satu
pemetaan store design dan visual
merchandising
1 Ouval Research 38.401 10 Indikator
2 Unkl 347 37.579 2 Indikator
3 Dloops 36.230 1 Indikator
4 Black Id 30.237 0 Indikator
Sumber: Dewi (2010) & Pengolahan Data Penulis
Unkl347, Dloops, dan Black Id hampir dalam setiap indikator selalu kalah dibandingkan
Ouval Research. Hal ini bisa saja terjadi karena Unkl347, Dloops, dan Black Id memiliki
segmen khusus yang lebih sempit selain segmentasi berdasarkan usia.
SIMPULAN
Berdasarkan peta persepsi konsumen mengenai store layout dan visual merchandising:
1. Ouval Research unggul dalam sebagian besar indikator dibanding dengan distro lainnya.
Dari 13 indikator yang dinilai oleh responden, ada 10 indikator di mana Ouval Research
berada pada posisi pertama sebagai distro yang dipersepsikan lebih baik dibandingkan
ketiga distro lainnya, indikator tersebut adalah kenyamanan berbelanja, kemudahan
mencari barang, shopping experience, signage yang mewakili karakteristik toko,
entrance, promotional aisle, windows, fitting rooms, kemenarikan teknik penyajian, serta
impulse purchase.
2. Unkl347 memiliki keunggulan dalam indikator cash wraps serta keselarasan rak dengan
tema toko secara keseluruhan, karena dipersepsikan lebih baik dibanding dengan ketiga
distro lainnya.
Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
278
Penataan cash wraps yang dimiliki Unkl347 dianggap oleh responden adalah yang paling
menarik sehingga memunculkan rasa ingin membeli barang yang dipajang dimeja kasir.
Hal ini menjadi keuntungan bagi Unkl347 untuk mengoptimalkan profit dari penjualan
barang yang dipajang di meja kasir.
3. Berdasarkan 13 indikator yang dinilai, Dloops hanya unggul pada satu indikator yakni
traffic flow yaitu pengaturan rak yang paling menarik. Pengaturan rak yang Dloops
terapkan dinilai paling membuat konsumen tertarik untuk terus berkeliling toko.
4. Black Id dalam keseluruhan indikator menempati urutan keempat. Pengaturan store
design dan visual merchandising yang dilakukan oleh Black Id mendapat penilaian yang
paling tidak baik dibanding tiga distro lainnya. Oleh karena itu pada peta persepsi posisi
Black Id berada jauh dari seluruh atribut yang dinilai.
5. Berdasarkan akumulasi perolehan peringkat satu dari tiap indikator distro yang dinilai,
urutan hasil penelitian ini ternyata sesuai dengan urutan jumlah permintaan distro yang
dijelaskan oleh Dewi (2010:6). Ouval Research di peringkat pertama, Unkl347 di
peringkat kedua, Dloops di peringkat ketiga, dan Black Id di peringkat keempat. Hasil ini
berbanding lurus dengan Teori Levy & Weitz (2009:507) yang mengatakan bahwa ada
pengaruh yang signifikan antara perilaku membeli dengan store design & visual
merchandising. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan hasil penelitian Nento (2005:92)
dan Stiefi (2012:87) yang mengatakan ada korelasi kuat antara visual merchandising dan
store layout dengan minat beli konsumen.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut:
1. Ouval Research hendaknya membenahi pemakaian rak yang saat ini digunakan. Hal ini
dikarenakan penilaian responden yang menyatakan bahwa penggunaan rak di Ouval
Research kurang sesuai dengan tema toko secara keseluruhan. Dari empat distro yang
diteliti, Ouval Research berada di posisi tiga di bawah Unkl347 dan Dloops.
Penyelarasan rak dengan tema toko secara keseluruhan nantinya akan membuat desain
toko menjadi lebih berkarakter sehingga pembentukan image dan persepsi konsumen akan
menjadi lebih kuat.
2. Unkl347 mendapatkan penilaian yang tidak terlalu baik di delapan indikator. Indikator itu
antara lain adalah kenyamanan berbelanja, kemudahan mencari barang, shopping
experience, signage yang merepresentasikan karakter toko, entrance, fitting room, traffic
flow, serta kemenarikan teknik penyajian. Namun dari keseluruh indikator tersebut
Unkl347 sebaiknya terlebih dahulu memperbaiki teknik penyajian produknya agar lebih
menarik lagi. Teknik penyajian produk bisa diurutkan misalnya berdasarkan warna agar
konsumen lebih tertarik untuk membeli. Selain itu Unkl347 juga hendaknya membenahi
layout toko agar dapat memudahkan konsumen dalam mencari barang yang dibutuhkan.
Dua perbaikan ini disarankan oleh penulis karena tidak terlalu membutuhkan banyak
biaya dan waktu. Dalam jangka panjang tentunya perbaikan secara menyeluruh lebih
dianjurkan demi mendapatkan penilaian konsumen yang lebih baik.
3. Dloops memiliki empat indikator yang mendapat penilaian tidak terlalu baik dari
konsumen, antara lain cash wraps, promotional aisle, windows, serta impulse purchase.
Sebaiknya Dloops terlebih dahulu memperbaiki tempat barang promosi serta penataan
barang yang dipajang di meja kasir. Perbaikan tersebut bertujuan untuk memaksimalkan
profit dengan mengoptimalkan tampilan barang agar konsumen mau membeli produk
yang sedang dalam masa promosi maupun yang dipajang di meja kasir.
4. Black Id adalah satu-satunya distro yang selalu menduduki peringkat empat di setiap
indikator. Dalam hal ini pembenahan menyeluruh untuk meningkatkan penilaian
konsumen sangat diperlukan. Namun begitu perbaikan jangka pendek yang dapat
Jurry Hatammimi Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Bhriawan RH Cendekia Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
279
diterapkan adalah melalui pembenahan pada aspek kemudahan mencari barang,
kemenarikan teknik penyajian, serta impulse purchase. Ketiga aspek itu hendaknya lebih
diperhatikan agar produk yang dipajang tetap menarik untuk dibeli.
5. Walaupun peta persepsi memperlihatkan distro mana yang paling unggul dalam atribut
tertentu namun tiap distro harus tetap memperhatikan segmentasi dan target pasar yang
dituju sehingga pengembangan store design dan visual merchandising selanjutnya akan
tetap terfokus dan tidak terpengaruh oleh pesaing dengan target pasar yang berbeda.
6. Penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan mengenai perumusan strategi store design dan
visual merchandising yang diinginkan oleh konsumen serta pemetaan strategi lokasi yang
diterapkan distro berdasarkan persepsi konsumen.
DAFTAR REFERENSI
BPS Kota Bandung. (2013). Kota Bandung Dalam Angka 2013. Bandung: BPS.
BPS Kota Bandung. (2012). Survey Sosial Ekonomi Daerah 2010. Bandung: BPS.
Bank Indonesia. (2008). Pola Pembiayaan Usaha Kecil Distro. Jakarta: Bank Indonesia.
Dewi, Hanni Puspita. (2010). Pengaruh Fitur, Promosi, dan Pangsa Pasar, Terhadap
Permintaan Kaos, Kemeja, dan Celana pada Industri Kreatif di Kota Bandung (Studi
pada Distro di Kota Bandung). Tugas Akhir UPI: tidak diterbitkan.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung. (2012). Rekapitulasi Data Potensi
Pariwisata di Kota Bandung Tahun 2011 Triwulan IV. Bandung: Disbudpar.
Dinas Koperasi UKM dan Perindustrian Perdagangan Kota Bandung. (2012). Data Potensi
Pasar Modern / Pasar Tradisional. Bandung: Dinas KUKM & Perindag
Cooper, Donald R., & Schindler, Pamela S. (2011). Business research method (eleventh
edition). New York, America: McGraw-Hill Education.
Hair Jr, Joseph F., Black, William C., Babin, Barry J., Anderson, Rolph E. (2010)
Multivariate Data Analysis A Global Perspective. New Jersey: Pearson Education Inc.
Levy, Michael., & Weitz, Barton A. (2009). Retailing Management -7/E. Boston: McGraw
Hill-Irwin.
Nento, Prima R. Susanti. (2005). Hubungan Visual Merchandising Display dengan Minat
Beli Konsumen (Studi Kasus pada Flexi Center Dago Bandung). Skripsi STMB Bandung:
tidak diterbitkan.
Simamora, Bilson. (2005). Analisis Multivariat Pemasaran. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Stiefi, Deswitha Arvinci. (2012). Pengaruh Store Layout Terhadap Minat Beli (Studi Pada
Toko Sepatu Payless di Margocity). Tugas Akhir Universitas Indonesia: tidak diterbitkan.
Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Linus Pacasa
280
ANALYSIS ON THE PREPARATION OF INTERNATIONAL STANDARD
IMPLEMENTATION TO INDONESIA AUTOMOTIVE INDUSTRY EXPECTED
PERFORMANCE FACING ASEAN ECONOMIC COMMUNITY 2015
Muhammad Ikhsan, Nila K. Hidayat, Linus Pasasa
[email protected], [email protected], [email protected]
Management Study Program - Swiss German University
Abstract
This is largely due to the substantial range of networking and interconnectivity brought on by
the positive surge of development in global trade that enables companies to expand their
business overseas and reach out to more than just domestic markets scene. The ASEAN
Economic Community 2015 is a challenge to make a single barrier free market all through of
the 10 (ten) member countries, devoid of barriers its services, capital, and allowing goods,
and skilled labor to move freely across borders. ASEAN Member States are agreed to
implementing UNECE Wp. 29 for to be a basis harmonization automotive technical
regulation in ASEAN region. The purpose of this thesis is to measure a correlation between
UNECE International Automotive Standard and The Indonesia Automotive Industry
(expected) performance. As a result it has been concluded that correlations between UNECE
International Automotive Standard and Indonesia Automotive Industry performance does
exists. Implementing UNECE International Standard bring technologies, economic and
social benefits into the country and the manufacturing and it will helps to contribute an
improvement in Automotive Industry in Indonesia. Process documentation and control is the
major influence towards improving the performance of Automotive Industry in Indonesia and
Supplier Related Benefits is the factor that gives a significant influence for improvement
Indonesia Automotive Industry performance.
Keywords : AEC 2015, UNECE International Automotive Standard, ASEAN MRA,
Indonesia Automotive Industry.
INTRODUCTION
In conjunction with the globalization in the automotive industry, it is required international
harmonization of technical requirements for motor vehicles. The goals are reducing the cost
and time of development of the automotive industry and avoid a repeat of an administrative
procedure in the national automotive industry.
ASEAN has three top automotive producers: Thailand, Malaysia, and Indonesia, and all used
an advantage of the government schemes to promote prosperous automotive industry and that
report for 90% of motor vehicle output (passenger vehicles and truck) in ASEAN.
Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Linus Pacasa
281
Table 1 ASEAN Top Three Automotive Production and Sales
Source: ASEAN Automotive Federation (AAF)
All of ASEAN members have agreed to achieve economic integration by establishing the
ASEAN Economic Community (AEC), including for automotive sector. The establishment of
AEC is intended as a means to enhance the competitiveness of the ASEAN region, to boost
economic growth, to reduce poverty and to improve the living standard of the ASEAN
countries (Sosesatro, 2008).
ASEAN Member States have agreed that UN Regulations set up in the UNECE 1958
Agreement should be the basis for the harmonization of technical regulations for automotive
products in the region. The ASEAN Mutual Recognition Agreement provide a mutual frame
of recognition for the conformity assessment results (testing, inspection and certification) of
the 19 automotive systems that divided by two, which are 14 regulations for automobile and 5
regulations for motorcycle systems (EIBD, 2012).
Indonesian automotive industry has SNI (Standar Nasional Indonesia) as their based
technical regulation for domestic product. In this case, SNI already adopt some international
standard for the product, but is not 100% (a hundred percent) complying with UNECE
international standard for automotive. To make Indonesia automotive industry competitive in
the region facing ASEAN Economic Community 2015, they should make UNECE
international automotive standard as a basis technical regulation in the region. Indonesia
automotive industry has not implementing full international standard yet for their technical
regulation, thus in this study the researcher analyzes the impact by implementing full
standardization to the expected performance of Indonesia automotive industry.
PRODUCTION OF MOTOR VEHICLES
Country 2011 2012 2013 January -
November
Thailand 1.457,795 2.453,717 2.298,193
Indonesia 837.948 1.065,557 1.113,555
Malaysia 533.515 569.620 548.420
SALES OF MOTOR VEHICLES
Country 2011 2012 2013
January - November
Thailand 794,081 1,436,335 1,216,751
Indonesia 894,164 1,116,212 1,132,174
Malaysia 600,123 627,753 595,300
Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Linus Pacasa
282
LITERATURE REVIEW AND HYPOTHESIS
Globalization
At the present time, there are vast opportunities for business expansion especially overseas.
This is largely due to the substantial range of networking and interconnectivity brought on by
the positive surge of development in global trade that enables companies to expand their
business overseas and reach out to more than just domestic markets scene. As mentioned
before in literature review, since early 1990s there has been a significant increase in global
strategy and organization as so many different issues has been addressed in a range of
perspectives resulting in various methods of keeping up with global competitive market, and
also develop the general understanding of the intrigue of competing in global market.
No clear definition exists to what defines the Internationalization process (Fillis, 2001) gives
a broad definition about the Internationalization process as explained; “Internationalization is
a continuous process of choice between policies which differ maybe only marginally from the
status quo. It is perhaps best conceptualizes in terms of the learning curve theory. Certain
stimuli tempt a firm to shift to a higher export phase, the experience (or learning) that is
gained then modifies the firm’s insights, prospects and indeed managerial capacity and
competence. ); and new stimuli then induce the firm to move to the next higher export stage,
and so on” (Cunningham and Homse, 1982; cited by Ajdari, 2007; p. 3).
Other opinions posit that globalization goes together with an internationalization concept and
the core question is whether the firm should internationalize its activities along a variety of
dimensions including where it sells its products or services, where it produces these products
or services, where it outsources key inputs and where it obtains the know-how or technology
to produce these products or services (Lessard, D. 2003).
ASEAN Economic Community 2015
The ASEAN Economic Community 2015 is a challenge to make a single barrier free market
all through of the 10 member countries, devoid of barriers its services, capital, and allowing
goods, and skilled labor to move freely across borders. Although ASEAN as a whole will
likely benefit from becoming a single, fully integrated economy, the definition and means of
achieving it have not been clearly defined (Lloyd 2005; Hew and Soesastro 2003).
The ASEAN Economic Community Blueprint, established to fast – track the ASEAN
Economic Community (AEC) establishment by 2015, envisioned ASEAN as a highly
competitive region, fully integrated into the global economy, possessing a single market
production base, and characterized by equitable economic development (Goh, 2008).
The ASEAN Leaders at their Summit in Kuala Lumpur in December 1997 decided to
transform ASEAN into a stable, prosperous, and highly competitive region with equitable
economic development, and to reduce poverty and socio-economic disparities (ASEAN
Vision 2020). At the Bali Summit in October 2003, ASEAN Leaders declared that the
ASEAN Economic Community (AEC) shall be the goal of regional economic integration
(Bali Concord II) by 2020. In addition to the AEC, the ASEAN Security Community and the
ASEAN Socio-Cultural Community are the other two integral pillars of the envisaged
ASEAN Community. All the three pillars are expected to work in tandem in establishing the
ASEAN Community in 2020 (ASEAN Economic Blueprint).
According to Soesastro (2008), The idea of a single market and production base is essentially
about providing consumers in the region with an expended market from which they can fulfill
their consumption needs and producers in the region with an expended space in which they
Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Linus Pacasa
283
can undertake their production activities without having to worry about national
(administrative) boundaries in the region.
The AEC meant to be a single market and production base, with a free movement of goods,
services, investment, skilled labor and free flow of capital. The AEC should also foster
equitable economic development in the region and reduce poverty and socio-economic
disparities by the year 2020 (ASEAN Secretariat, 2007).
ASEAN Mutual Recognition Agreement
MRA is an agreement from all ASEAN countries to mutually recognize or accept some or all
aspects of the assessment results such as test results or certificates (Soesastro, 2008).
Through MRAs, products that are tested and certified before export can enter the importing
country directly without having to undergo similar conformity assessment procedures in the
importing country. With the increasing importance of standardization and conformity
assessment in international trade, MRAs have emerged as a key strategy to facilitate trade by
reducing the need for multiple testing and certification that incur unnecessary costs to exports
and delay delivery to market (MRA Framework Agreement).
ASEAN Mutual Recognition Arrangement identify for conformity assessment activities
could be an important means of eliminating Technical Barriers to Trade and enhancing
market access and that such mutual recognition could be of particular interest to small and
medium-sized businesses in ASEAN and MRAs could contribute positively in encouraging
greater international harmonization of standards and regulations and that any such MRAs
would require confidence in the other Member States' capacity and competence to test or
assess conformity to a Member State's own requirements.
The harmonization of automotive product standards is essential as basis for a single
manufacturing base. As work has begun within ASEAN on the alignment of technical
requirements, 50 UNECE regulations have been identified where 19 of those have been
prioritized and will form part of the Mutual Recognition Arrangement (MRA) for automotive
products in ASEAN. This research has limitation from 19 UNECE regulations to be only
focused on 14 regulations for 4-wheels components. This are the list of 14 regulations will
adopt by ASEAN Member States by UNECE:
ITEM NEEDED
R13 Series 11 (Braking system)
R13H Series 00 (Braking for passenger car)
R14 Series 06 (Seatbelt anchorage)
R16 Series 06 (Seatbelt)
R17 Series 07 (Seat)
R25 Series 04 (Head restraint)
R30 Series 05 (Pneumatic tyre – passenger)
R43 Series 02 (Safety glass)
R46 Series 02 (Rear – view mirror)
Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Linus Pacasa
284
R49 Series 05 (Emission for heavy vehicle)
R51 Series 02 (Noise emission at least 4 – wheel)
R54 Series 00 (Pneumatic tyre – commercial)
R79 (Steering Equipment)
R83 (Emission for light vehivle)
International Standard Organization
To facilitate the international coordination and unification of industrial standards” was the
primary reason behind the meetings between delegates from 25 countries that took place at
the Institute of Civil Engineers in London in 1946. Short of a year later, the new organisation
ISO was officially up-and-running.
More than 19,500 international standards have been published since then, standards that
cover virtually all of technology and manufacturing aspects that has been taken care of by
members from 164 countries and 3,368 technical bodies from all around the world and
accommodated by over 150 full-time workers in the ISO’s headquarter in Geneva,
Switzerland.
Ensuring safe, reliable, environmentally friendly and good quality products and services is
the primary intentions of the ISO international standards. These standards may also be
considered as strategic tools to achieving efficient process and in the way also minimize
errors and waste, and ultimately reducing costs for businesses, and increasing productivity.
Furthermore, these international standards will be of a great help in facilitating free and fair
global trade by accommodating companies to access new markets, and level the playing field
for companies and businesses from developing countries.
International Standards bring technological, economic and societal benefits. They help to
harmonize technical specifications of products and services making industry more efficient
and breaking down barriers to international trade. Conformity to International Standards
helps reassure consumers that products are safe, efficient and good for the environment.
International Standards are strategic tools and guidelines to help companies tackle some of
the most demanding challenges of modern business. They ensure that business operations are
as efficient as possible, increase productivity and help company access new markets. The
benefits includes: cost savings, enhanced customer satisfaction, access to new markets,
increased market share, environmental benefits.
Industrial Organizational Theory
Coming back to the global strategy it is needed to mention that according to Zou and
Cavusgil (1996) the literature regarding global strategy is mainly dominated by the industrial
organization (IO) perspective (Bartlett and Ghoshal, 1991).
While the IO approach has enriched understanding of the external market and industry forces
which drive globalization, it generally has neglected a business’s idiosyncratic internal
characteristics (Bartlett and Ghoshal, 1991). It means that business performance is not solely
determined by global strategy and that internal organizational characteristics also play an
important role. As a result, domination by the IO perspective can lead to incomplete
explanation of global strategy and performance.
In the IO-based model, competitive advantage is viewed as a position of superior
performance that a business attains through offering undifferentiated products at low prices or
Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Linus Pacasa
285
offering differentiated products for which customers are willing to pay a price premium (see
Porter, 1980).
It can be said that Porter (1980; 1985) made the most influential contribution to the field
employing IO economics. Using a structural analysis approach, (Porter, 1980) outlines an
analytical framework that can be used in understanding the structure of an industry. (Porter,
1980; 1985) suggested generic strategies (low cost leadership, differentiation, and focus) that
can be used to match particular industry foci and, thereby, build competitive advantage (cited
in Hoskisson, Hitt, Wan, &Yiu, 1999).
United Nations Economic Commissions for Europe Working Parties 29 (ENECE Wp.
29)
One of the five United Nations’ regional commissions is the United Nation Economic
Commissions for Europe (UNECE) was formed in 1947. Environmental policy, Inland
transport, Sustainable energy, European statisticians, Trade, Timber, Housing and land
management, Economic cooperation and integration are the areas that is covered by the
expertise of UNECE that comprises 56 countries in Europe, North America, Regions of
Caucasus, and Central Asia.
Resolution No. 45 of the Subcommittee on Road Transport (SC.1) of the Economic
Commission for Europe of the United Nations (UNECE) established World Forum for
Harmonization of Vehicle Regulations (WP.29), which previously known as the Working
Party on the Construction of Vehicles. In order to instigate the general technical provisions
set in the Convention on Road Traffic adopted in Geneva in 1949, the resolution called for
the establishment of a working party of experts competent in the field of technical
requirements for vehicles, and in the end, those provisions identified vehicle characteristics as
a major cause of road traffic crashes, deaths and injuries.
The United Nations Economic Commission for Europe (UNECE) envisioned to eliminate
technical barriers to the trade in motor vehicles internationally, and subsequently develops
harmonized requirements for the systems used for motor vehicles between the Contracting
Parties to the Revised 1958 Agreement and ensuring that such vehicles and systems offer a
high level of safety and environmental protection.
Generic Strategy
Michael Porter (1980) detailed the three generic strategies available to a firm: cost leadership,
differentiation, and focus strategies. Firms must make a choice if the firm is to attain a
competitive advantage vis-à-vis its rivals. Modern manufacturing systems and technologies
support global mass customization, which in turn supports the strategic position the firm has
chosen. The key is to align business process with customers’ need using mass customization
(Salvador, Martin de Holan, and Piller, 2009).
Generic strategy is a core idea about how a firm can best compete in the marketplace. From a
scheme developed by Michael Porter, many planners believe that any long term strategy
should derive from a firm’s attempt to seek a competitive advantage based on one of three
generic strategies:
a. Striving for overall low-cost leadership in the industry. Low-cost leaders depend on some
fairly unique capabilities to achieve and sustain their low-cost position. Examples of such
capabilities are having secured suppliers of scarce raw materials, being in a dominant
market share position, or having a high degree of capitalization. Low-cost leadership are
maximize economies of scale, implement cost-cutting technologies, stress reductions in
Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Linus Pacasa
286
overhead and in administrative expenses, and use volume sales technique to propel
themselves up the earning curve.
b. Striving to create and market unique products for varied customer groups through
differentiation. Strategies dependent on differentiation are designed to appeal to
customers with a special sensitivity for a particular product attribute. By stressing the
attribute above other product qualities, the firm attempts to build customer loyalty. The
product attribute also can be the marketing channels through which it is delivered, its
image for excellence, the features it includes, and the service network that supports it.
c. Striving to have special appeal to one or more groups of consumer or industrial buyers,
focusing on their cost or differentiation concerns. A focus strategy, whether anchored in a
low-cost base or a differentiation base, attempts to attend to the needs of a particular
market segment. Likely segments are those that are ignored by marketing appeals to
easily accessible markets, to the “typical” customer, or to customers with common
applications for the product. A firm pursuing a focus strategy is willing to service isolated
geographic areas; to satisfy the needs of customers with special financing, inventory, or
servicing problems; or to tailor the product to the somewhat unique demands of the small-
to medium-sized customer.
HYPHOTHESIS
Hypothesis 1: There is a correlation between International Automotive Standard
implementation dimensions and Indonesian Automotive Industry
(expected) performance parameters.
Hypothesis 2: Continuous improvement is the major significant influence of UNECE
International Standard implementation dimensions.
Hypothesis 3: Business related benefits are the major significant influence of Indonesia
Automotive Industry (expected) performance parameters.
RESEARCH METHODOLOGY
This study conducted in 30 medium to large scale automotive manufacturing companies in
Indonesia which is in the midst of implementing UNECE international standard.
Primary and secondary data are gathered from various sources. Questionnaire and interviews
from Indonesia Automotive Industry while keeping the focus on braking system are the
method by which the primary data are gathered with the intention to determine the obstacles
of the preparation of implementing International Automotive Standard (UNECE Wp. 29)
based on ASEAN MRA Agreement for facing ASEAN Economic Community 2015.
A sampling method is used to collect the data. The sampling method selected only a handful
part of the population to represent the whole population. In this case, the survey was
conducted with the help of 30 manufacturing companies that are members of GAIKINDO
(Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia or Association of Indonesian Automotive
Industry).
Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Linus Pacasa
287
Data Estimate of True
Proportion 0.9
Sampling Error 0.05
Confidence Level 95%
Intermediate Calculations
Z Value -1.9600
Calculated Sample Size 138.2925
Result
Sample Size Needed 139
Finite Populations Population Size 37
Calculated Sample Size 29.3577
Sample Size Needed 30
The result from the questionnaire helps to recognize the success factor for the international
standard implementation in Indonesian automotive standard particularly on the safety system
implementation manufacturing industry. Member companies of GAIKINDO and random
samplings from randomly researcher-selected companies with better possibility of relation
with the study are the samples from which the survey is conducted, and with the members of
GAIKINDO, the interview was performed several times in order to gather the qualitative
information required to understand the research issues better.
In this research the research using Structural Equation Modelling (SEM) for analyze the data
because the model needs more data and have a high level of complexity. Structural Equation
Modelling (SEM) is a statistical technique using a combination of statistical data for testing
and estimating causal relationships between observed (measured) and unobserved (latent)
variables, and also the relationship between two or more variables (Burns & Bush, 2006).
To demonstrate the relationship between observed and unobserved variables, and also the
define the interconnections between the two, examiners used the path diagram as a SEM tool.
The visual model and the way that the hypotheses are connected to the problem can be
explained by the diagram. The path diagram in this research is constructed by using AMOS
Software (Analysis of Moment Structures). The correlation coefficient is an index number,
constrained to fall between the range of -1.0 and +1.0 that communicates both the strength
and the direction of a linear relationship between two variables (Burns & Bush, 2006).
Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Linus Pacasa
288
RESULT AND DISCUSSION
Path Diagram
From the model above showing that there are 14 factors will influence regarding an
improvement for Indonesia automotive industry by implementing UNECE international
automotive standard. This study will examine the most factors from UNECE International
automotive standard and also from Indonesian automotive industry will contribute towards
improving for Indonesian automotive industry.
Hypothesis 1: There is a correlation between International Automotive Standard
implementation dimensions and Indonesian Automotive Industry
(expected) performance parameters.
Factor Correlation r Correlation r2
Association
UNECE International
Automotive Standard
Implementation
0.77 52.29% Moderate
Expected Indonesia
Automotive Industry
Performance
Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Linus Pacasa
289
Based on analysis using AMOS, the percentage in table above shown that UNECE
International Automotive Standard have a strong correlation with Indonesia Automotive
Industry with coefficient correlation 0.77 or contribute 52.29% and moderate association.
Therefore, hypothesis 1 above is accepted.
The interpretation table above that shown UNECE International Automotive Standard has a
strongest correlation Indonesia Automotive Industry performance. It means that international
standardization have a significant contribution on improvement Indonesia Automotive
Industry performance.
Hypothesis 2: Continuous improvement is the major significant influence of UNECE
International Standard implementation dimensions.
Factor Correlation r Correlation r2
Association
Continuous
improvement
0.60 36.00% Moderate
Based on analysis using AMOS, the percentage in table above shown that continuous
improvement is not a strongest influence of UNECE International Automotive Standard with
coefficient correlation 0.60 or contribute 36.00% and of moderate association.
Therefore, hypothesis 2 above is rejected.
The interpretation of table above, showing that continuous improvement factor is not
significantly influence UNECE International Automotive Standard on contributing to
improve Indonesia Automotive Industry performance.
Hypothesis 3: Business related benefits are the major significant influence of Indonesia
Automotive Industry parameters.
Factor Correlation r Correlation r2
Association
Business related
benefits
0.67 44.89% Moderate
Based on analysis using AMOS, the percentage in table above shown that business related
benefits factor is not a strongest correlation with coefficient correlation 0.67 or contribute
44.89% and moderate association. Therefore, hypothesis 3 above is rejected.
The interpretation of table above that shows business related benefits is not a strongest
correlation on implementing UNECE International Automotive Standard. In this research that
business related benefits is not significantly improved by implementing UNECE International
Standard.
Analysis of implementing the International Automotive Standard for the Indonesia
Automotive Industry
Benefits in economy, technology, and society are just some of the advantage that
international standard can bring into any industry. Compliance to international standard may
help to synchronise technical specifications of any products and services and therefore
Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Linus Pacasa
290
removing any trade barriers, which will eventually makes the industry more effective and
consumers are encouraged to think that the products are safe and environmentally friendly
because it has passed the international standard, of which will ultimately resulting in
increased customer satisfaction and sales.
Supported by some facts and result from the questionnaire, below are the researcher’s
analyses of the benefits of implementing International Standard for Indonesia Automotive
Industry for facing ASEAN Economic Community 2015.
Figure above shows that the most profitable benefit nominated by Indonesian automotive
companies in Indonesia is the ability to access new market or make the companies itself to be
ready more globally, and it supposed to be chance for Indonesian automotive companies to
increase their market share.
The other benefits are by implementing international standard would be enhanced quality and
customer satisfaction, because nowadays the customer awareness about quality of safety is
increased following many traffic accidents. By implementing International Standard the
exporter could be reduce their cost of doing process fit and proper test in destination export
country. This process is rather expensive and could be entirely eliminated if Indonesia
implements the international standards, and could ultimately be highly profitable in terms of
cutting the cost for the companies because the companies do not need to perform those tests
before exporting anymore.
Economic Implication of UNECE International Standard Implementation to the
Indonesian’s automotive industry
Even Indonesia is still based on SNI (Standard National Indonesia) but the roadmap to
implement UNECE as international standard will bring a great benefits including economic
implication. The International Standard will make Indonesia automotive industry competitive
in the region facing ASEAN Economic Community 2015. Thus, it relates with the increasing
volumes of export. The manufacture will gain a potential access to new global market and as
well reducing any technical trade barriers. Technical barriers for each country it would be
different because each government apply different technical requirements to protect their
domestic market. Implementing international standard also will bring new technological
Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Linus Pacasa
291
benefits for Indonesian domestic production and it would definitely be an advantage for
Indonesian Industry.
Conclusion
To achieve the goals of ASEAN Economic Community, ASEAN Member States should
liberalize trade in goods, service, investment, and labor. ASEAN Mutual Recognition
Arrangement (MRA) is one of several ASEAN mechanisms to facilitate trade liberalization.
To facilitate the liberalization of trade in ASEAN Region, the main efforts is to harmonize
standard of existing as well as on trade in goods. The ASEAN Member States have agreed
that the UNECE International Standard especially in Wp. 29 for Automotive Standard should
be the basis for harmonization of the automotive technical regulation in ASEAN. In the
agreement there are 14 standards that should be harmonized for the ASEAN Member States,
but in this research only focus on safety system.
The findings of this research are there strong correlations between UNECE International
Standard and Expected Indonesia Automotive Industry Performance. The result from
statistical method shows that UNECE International Standard will enhance Indonesia
Automotive Industry performance. There are 7 factors will influence UNECE International
Standard on affecting Indonesia Automotive Industry performance parameters, such as:
management commitment, resources issues, customer orientation, process documentation and
control, quality function, feed-back control and auditing, and continuous improvement. From
this validates shown that process documentation and control has a biggest impact for the
Indonesia Automotive Industry for enhancing company performance.
From the Indonesia Automotive Industry side, there are 7 factors as an indicator for
performance parameters such as: business related benefits, technological benefits, operational
benefits, production benefits, supplier related benefits, employee related benefits, customer
related benefits. This validates shown that supplier related benefits are the major factors
would be affected on implementing UNECE International Standard. Supplier related benefits
can effectively contribute for the Indonesia Automotive Industry in realization implementing
UNECE International Standard.
There are many benefits for Indonesia Automotive Industry on implementing UNECE
International Standard. Based on the questionnaire results include an open answer question,
this research reveals that the main benefits for the manufacturing companies are prepared
them into global market and it supposed to be chance for Indonesia Automotive Industry for
increase market share. To support manufacturing companies ready for global, implementing
international standard also helping to reduce trade barriers. Implementation international
standard will reduce cost of doing proper and test because the manufacturing company
already fulfil the requirement standard for global. There are many benefits for manufacturing
companies if implementing International Standard. The findings suggest that effective of
UNECE International Standard implementation can significantly contribute towards
realization of strategic manufacturing performance improvement for competing in the highly
dynamic global market place.
Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Linus Pacasa
292
References
Ajdari, B. (2007). Impact of e-commerce on internationalization of Iranian’s SMEs, Master
Thesis, Luleå University of Technology, Department of Business Administration and Social
Sciences.
Amit, R., & Schoemaker, P. J. H. (1993). Strategic assets and organizational rent. Strategic
Management Journal, 14(1), 33-46. http://dx.doi.org/10.1002/smj.4250140105
ASEAN Economic Blueprint, www.asean.org/archive/5187-10.pdf . Accessed on
14th
November 2013)
ASEAN Secretariat. ASEAN Economic Community Blueprint. Jakarta, November 2007
Bartlett, C. and Ghoshal, S. (1991). Global strategic management: impact on the new
frontiers of strategy research, Strategic Management Journal, Vol. 12, pp. 5-16
Burns, A. C., & Bush, R. F. (2006). Marketing Research (5th Edition ed.). Pearson
International Edition.
Caves, R. and Williamson, P. (1985). What is Product Differentiation, Really? The Journal of
Industrial Economics (34), 1985, pp. 113 132.
Collis, D.J. (1991). A resource-based analysis of global competition: the case of the bearings
industry. Strategic Management Journal, Vol. 12, pp. 49-68. Revised April 18th, 2010
Cooper, D. R., & Schindler, P. S. (2011). Business Research Methods (11th Edition ed.).
McGraw Hill.
Crook, T. R., Ketchen, D. J., Combs, J. G., & Todd, S. Y. (2008). Strategic resources and
performance: a meta-analysis. Strategic Management Journal, 29(11), 1141-1154.
http://dx.doi.org/10.1002/smj.703
Daft, R. (1983). Organization Theory and Design. West. New York, NY. Revised April 18th
,
2010.
Fillis, I. (2001). Small firm internationalization: an investigative survey and future research
directions, Management decision, Vol. 39 No. 9, pp. 767-783. Revised April 17th, 2010
Goh, C. Y. (2008). ASEAN Infrastructure Financing Mechanism: Concepts and progress.
Paper presented at the ASEAN Infrastructure Financing Mechanism Conference, Kuala
Lumpur, Malaysia, 10 November 2008.
Grant, R. M. (2002). Contemporary Strategy Analysis, (4th ed.). Oxford: Blackwell
Publishers Inc.
Hew, D. and Soesastro, H. (2003). Realizing the ASEAN Economic Community
by2020:ISEAS and ASEAN-ISIS Approaches, ASEAN Economic Bulletin, IS-EAS.
Hoskisson, Hitt, Wan & Yiu, (1999). Theory and Research in Strategic Management:
Swings of a Pendulum, Journal of Management, 25(3): 417-465.
Jain, Sanjiv Kumar; Inderpreet Singh Ahuja. (2012). An evaluation of ISO 9000 initiatives in
Indian industry for enhanced manufacturing performance,
http://search.proquest.com/docview/1095558499/fulltextPDF/1429AE385B83E3EE7D2/1?ac
countid=48290. Accessed on November 12th
, 2013.
Kogut, B. (1988). Joint ventures: theoretical and empirical perspectives. Strategic
Management Journal, 9, 319–32.
Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Linus Pacasa
293
Lessard D. (2003). Frameworks for global strategic analysis. Journal of Strategic
Management Education 1, Senate hall Academic Pusblishing (1). pp. 8-10 Revised May 30th,
2010
Lloyd PJ (2005). What is a single market? An application to the case of ASEAN. ASEAN
Econ Bull 22:251–265
Newbert, S. L. (2007). Empirical research on the resource based view of the firm: an
assessment and suggestions for future research. Strategic Management Journal, 28(2), 121-
146. http://dx.doi.org/10.1002/smj.573
Newbert, S. L. (2008). Value, rareness, competitive advantage, and performance: a
conceptual-level empirical investigation of the resource-based view of the firm. Strategic
Management Journal, 29(7), 745-768. http://dx.doi.org/10.1002/smj.686
Pearce, J. A., & Robinson, R. B. (2013). Strategic Management: Planning for Domestic and
Global Competition (13th Edition ed.). McGraw Hill.
Porter, M. (1980). Competitive Strategy: Techniques for Analyzing Industries and
Competitors. New York: Free Press.
Porter, M. E. 1985. Competitive Advantage. New York: The Free Press.
Salvador, F., Martin de Holan, P., & Piller, F. (2009). Cracking the code of mass
customization. MIT Sloan Management Review, 50(3), 71-78.
Schwandt, (1997). Qualitative Inquiry: A Dictionary of Terms Sage.
Sekaran, U., & Bougie, R. (2009). Research Methods for Business A Skill Building Approach
(5th Edition ed.). John Wiley & Sons Ltd.
Sekaran, U., & Bougie, R. (2012). Research Methods for Business. A Skill Building
Approach. Forth Edition. John Wiley & Sons
Soesastro, H. (2008). Implementing the ASEAN Economic Community Blueprint. The ASEAN
Community: Unblocking the Roadblocks (pp.30-38). Singapore: Institute for Southeast Asian
Studies.
Thee, K. W. (1990). Indonesia: Technology Transfer in the Manufacturing Industry, In
Soesastro, H. and M. Pangestu (eds.), Technological Challenge in the Asia-Pacific Economy,
Sydney: Allen & Unwin.
Zikmund, W., & Babin, B. (2012). essentials of marketing research , 5th
Ed. Ohio:Cengage
Learning
Zou, S. and Cavusgil C (1996). Global strategy: a review and an integrated conceptual
framework. European Journal of Marketing,Vol.30, pp. 52. Revised April 18th, 2010
Zou, S. and Cavusgil C (1996). Global strategy: a review and an integrated conceptual
framework. European Journal of Marketing,Vol.30, pp. 52. Revised April 18th, 2010
Muhammad Ikhsan Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Nila K. Hidayat Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
Linus Pacasa
294
Web References
EIBD 2012 Recommendation, http://eibd-
conference.com/assets/files/Recomendation2012/EIBD%20Recommendation%20Book%20C
ontent%20FINAL%20for%20web.pdf (Accessed on 7th
November 2013)
http://www.asean.org/news/item/asean-framework-agreement-on-mutual-recognition-
arrangements (Accessed on 15th
November 2013)
http://www.asean.org/news/item/asean-vision-2020 (Accessed on 18th
November 2013)
http://www.asean.org/news/item/asean-vision-2020 (Accessed on 18th
November 2013)
http://www.iso.org/iso/home/about.htm (Accessed on 19hNovember 2013)
http://www.iso.org/iso/home/standards.htm (Accessed on 19hNovember 2013)
http://www.iso.org/iso/home/standards/benefitsofstandards.htm (Accessed on 19hNovember
2013)
http://www.unece.org/fileadmin/DAM/trans/main/wp29/wp29wgs/wp29gen/wp29inf/121/blu
ebook.pdf (Accessed on 19hNovember 2013)
http://www.unece.org/trans/main/wp29/meeting_docs_wp29.html (Accessed on
19hNovember 2013)
United Nations Economic Commission for Europe – UNECE, http://www.unece.org/
(Accessed on 19hNovember 2013)
Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
295
Pengaruh Kesadaran Nilai, Integritas, Gratifikasi Personal, dan Penghindaran Risiko
terhadap Sikap dan Perilaku pada Produk Lagu Bajakan
Sony Kusumasondjaja & Syahrial Ashari,
Universitas Airlangga
Abstract
The increasing adoption of pirated music products in Indonesia intesifies the needs to
understand factors influecing consumers to buy pirated music products. This study examines
the impact of value consciousness, personal integrity, risk avoidance, and personal
gratification on consumer attitude toward pirated music products and their intention to buy
the products. Data was collected through mall-intercept survey distributed on several music
concerts involving 150 music lovers. Findings suggest that consumers who are aware of
product value tend to have favorable attitued and intention toward pirated music products,
meanwhile consumers whose high level of personal integrity, risk avoidance, and personal
gratification also have positive attitude and intention toward the pirated music products.
Research contributions and implications are also discussed.
Kata Kunci: kesadaran nilai, risiko, sikap, niat konsumen, online marketing
1. Latar Belakang Masalah
Produk musik di Indonesia tidak saja berada pada ranah seni karena saat ini sudah
berkembang menjadi industri yang cukup besar. Awal perkembangan industri musik di
Indonesia ditandai dengan munculnya rekaman musik dalam pita kaset pada tahun 1967
setelah pada masa sebelumnya piringan hitam menjadi media rekaman produk musik. Kaset
segera menggantikan peran piringan hitam karena alasan kepraktisan dan harga jual yang
lebih murah. Dan alasan yang sama pula yang membuat konsumen Indonesia saat ini lebih
memilih mendengarkan musik melalui Compact Disc daripada pita kaset. Penjualan fisik
album CD di pasar Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup bagus. Menurut
laporan Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI) Januari 2009, 85% total penjualan
produk musik Indonesia tahun 2008 dikuasai musik dalam negeri. Pada tahun 2006, total
penjualan produk musik sebesar 26 juta kopi, tahun 2007 sebesar 19 juta kopi, sedangkan
tahun 2008 total penjualan sebesar 15 juta kopi. Walaupun mengalami penurunan, penjualan
musik Indonesia lebih besar dibandingkan penjualan musik luar negeri (Kompas, 2012).
Potensi industri musik juga berkembang seiring kemajuan teknologi saat munculnya
peralihan dari teknologi analog ke digital pada awal tahun 2000. Perubahan teknologi
tersebut membuat musisi lebih mudah merekam dan mengolah sendiri musiknya dengan lebih
cepat. Kemajuan teknologi Internet juga memudahkan produser rekaman untuk
mempromosikan dan mendistribusikan produk musik. Sayangnya, perkembangan teknologi
digital dan Internet tidak hanya membantu perkembangan industri musik Indonesia karena
pada saat yang bersamaan juga menciptakan musuh besar industri tersebut yang berwujud
kemudahan pembajakan lagu. Asiri mencatat, sejak 2007 angka pembajakan produk rekaman
musik mencapai lebih dari 90%. Rasio peredaran album CD musik bajakan dan legal di tahun
2007 mencapai 96% : 4%, angka ini diprediksikan terus bertambah (Sindo, 2010). Hal ini
berarti bahwa dari 10 kaset atau CD yang beredar hanya satu buah yang original dan legal.
Asiri menghitung, setidaknya tiap tahun kerugian dari pembajakan ini mencapai Rp 1-2
triliun (Sindo, 2010).
Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
296
Salah satu hal yang mendorong semakin menjadi-jadinya transaksi pembajakan musik di era
digital adalah kemudahan untuk memperoleh produk musik yang diinginkan. Konsumen
tidak perlu pergi ke penjual CD pinggir jalan dan membayar 5000 rupiah. Cukup
bermodalkan komputer dan koneksi Internet, konsumen dapat dengan mudah mengunduh dan
mendengarkan lagu apapun yang diinginkan sebanyak apa pun melalui situs-situs file sharing
dengan gratis. Bila dibandingkan dengan biaya memperoleh produk musik secara legal yang
berkisar mulai Rp 25.000 hingga Rp 150.000 per keping CD, kemudahan dalam memperoleh
dan menggunakan lagu bajakan menjadi alternatif menarik bagi konsumen Indonesia.
Selain itu, ukuran file lagu yang relatif lebih kecil daripada ukuran file film atau software
membuat pembajakan lagu relatif lebih mudah dilakukan dan lebih sulit dihentikan daripada
pembajakan film atau software. Apalagi, kemunculan lagu-lagu baru jauh lebih sering
daripada kemunculan film atau software baru. Lagu-lagu tersebut biasa disimpan di
perangkat-perangkat handheld terbaru seperti telepon genggam dan pemutar musik mobile
untuk didengarkan sambil beraktivitas. Lebih-lebih lagi, saat ini sungguh mudah menemukan
situs-situs Internet penyedia lagu-lagu populer yang dapat diunduh secara cuma-cuma.
Tingginya kebutuhan dan adanya kemudahan inilah yang mendorong kegiatan pembajakan
lagu melalui teknologi digital dan Internet.
Sebenarnya ada sebagian konsumen yang tidak meyakini atau tidak memahami bahwa
tindakan tersebut termasuk perbuatan ilegal. Mereka yang memahami pun seringkali tidak
peduli pada aturan hukum karena melihat tidak ketatnya sanksi hukum yang diberikan pada
konsumen produk bajakan. Itulah sebabnya sebagian dari mereka tidak segan menggunakan
musik gratis di tempat umum, memutarnya terang-terangan tanpa rasa takut, bahkan dengan
eksplisit menyarankan atau menawarkan kepada teman-teman mereka yang lain untuk
menggunakan lagu atau musik tersebut. Faktor yang lain yaitu tentang daya beli konsumen
musik Indonesia yang cukup rendah, sehingga besar sekali keinginan konsumen untuk
membayar lebih murah sebuah produk musik bajakan meskipun mendapatkan kualitas yang
lebih rendah dibandingkan dengan produk yang asli. Dengan perbandingan harga yang sangat
jauh, banyak konsumen musik Indonesia yang lebih memilih membeli produk bajakan
daripada produk resmi.
Penelitian Gupta et al (2004) menemukan adanya beberapa faktor yang mempengaruhi
konsumen untuk melakukan pembajakan produk secara ilegal. Faktor yang ditemukan
mempengaruhi konsumen dalam melakukan pembajakan produk secara ilegal adalah
kesadaran akan nilai produk (value consciousness), kecenderungan untuk menjaga sikap jujur
dan sikap positif diri sendiri (integrity), kebutuhan untuk memperoleh pengakuan sosial
(personal gratification), dan kecenderungan untuk menghindari kegiatan yang berisiko (risk
aversion). Penelitian ini mengadaptasi penelitian Gupta et al. (2004) tersebut karena hasil
penelitian empiris tentang sikap terhadap musik bajakan di Indonesia masih jarang ditemukan
padahal hal ini marak terjadi. Penelitian ini berusaha untuk memberikan pemahaman tentang
bagaimana kesadaran nilai produk, integritas, gratifikasi personal, dan penghindaran risiko
berpengaruh pada sikap terhadap musik bajakan konsumen musik Indonesia.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, pertanyaan yang dijawab oleh
penelitian ini adalah (1) apakah kesadaran nilai, integritas, gratifikasi personal, dan
penghindaran risiko berpengaruh secara simultan terhadap sikap pada produk lagu bajakan?
dan (2) apakah sikap pada produk musik bajakan berpengaruh terhadap niat menggunakan
produk lagu bajakan ?
Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
297
2. Landasan Teori
2.1. Manajemen Pemasaran dan Konsep Pemasaran
Pemasaran menurut Kotler dan Keller (2012) dapat dibedakan atas definisi sosial serta
manajerial. Definisi sosial dari pemasaran, yaitu suatu proses sosial dimana individu dan
kelompok mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan,
menawarkan, dan menukar produk yang mempunyai nilai secara bebas dengan pihak lain.
Sedangkan menurut definisi manajerial, pemasaran seringkali diartikan sebagai seni dalam
menjual produk. Namun penjualan bukanlah hal yang paling penting dalam pemasaran itu
sendiri. Peter Drucker dalam Kotler dan Keller (2012) menambahkan bahwa tujuan
pemasaran adalah untuk mengetahui dan memahami konsumen dengan baik, sehingga produk
yang dihasilkan dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen, yang selanjutnya dapat
meningkatkan penjualannya. Sedangkan The American Marketing Association memberikan
definisi pemasaran sebagai proses dari perencanaan dan pelaksanaan konsep, penetapan harga,
promosi, dan distribusi dari ide, barang, dan jasa untuk menciptakan pertukaran yang memuaskan
tujuan individual maupun organisasional (Kotler dan Keller, 2012).
Perusahaan sekarang ini sudah banyak yang bergeser dari product-centered, dimana
perusahaan hanya membuat dan menjual produk, ke customer-centered, dimana perusahaan
berusaha untuk memahami dan merespon apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh
konsumen. Tugas dari pemasaran sendiri bukanlah mencari konsumen yang tepat bagi
produk, namun membuat produk yang tepat bagi konsumen. Kebutuhan dan keinginan
konsumen menjadi fokus utama bagi perusahaan, dan filosofi consumer-oriented inilah yang
kemudian dikenal dengan konsep pemasaran (Schiffman dan Kanuk, 2013).
Konsep pemasaran sendiri menurut Kotler dan Keller (2012) mengacu pada konsep yang
menyatakan bahwa kunci untuk meraih tujuan organisasional adalah dengan menjadi lebih
efektif daripada pesaing dalam menciptakan, mengantarkan, dan mengkomunikasikan nilai
produk lebih tinggi kepada konsumen yang menjadi target pasarnya. Senada dengan yang
dikemukakan oleh Kotler, Schiffman dan Kanuk (2013) menyatakan bahwa asumsi kunci
yang mendasari konsep pemasaran adalah, untuk mencapai kesuksesan perusahaan harus
menentukan kebutuhan dan keinginan konsumen dari target pasar yang spesifik dan
memberikan kepuasan yang diharapkan dengan lebih baik dibandingkan dengan pesaing.
2.2. Nilai Pelanggan dan Kesadaran Nilai
Kotler dan Keller (2012) menyatakan bahwa customer value atau nilai pelanggan merupakan
kombinasi kualitas pelayanan, harga dari suatu produk. Berdasarkan konsep ini, nilai
pelanggan bersumber dari benefit ekonomi, benefit pelanggan dan benefit emosional. Buttle
(2004) mengatakan bahwa pelanggan menggunakan istilah nilai untuk empat pengertian yang
berbeda, yaitu:
1. Nilai adalah harga yang murah. Beberapa pelanggan mengatakan bahwa harga yang
paling murah adalah nilai yang terbaik.
2. Nilai adalah mendapatkan apa yang diinginkan dari suatu produk atau jasa. Pelanggan ini
mendefinisikan nilai dalam artian manfaat yang mereka terima dan bukannya harga yang
mereka terima melainkan harga yang harus pelanggan bayar.
3. Nilai adalah kualitas yang didapatkan atas harga yang dibayar. Pelanggan menganggap
nilai sebagai pertukaran antara harga yang mereka bayarkan dan kualitas yang mereka
dapatkan.
Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
298
4. Nilai adalah semua yang didapatkan atas semua pengorbanan yang telah diberikan.
Perbedaan pandangan tentang nilai dapat ditangkap dalam sebuah definisi tentang nilai yaitu
nilai adalah persepsi pelanggan tentang keseimbangan antara manfaat yang diterima dengan
pengorbanan yang diberikan untuk mendapatkan manfaat tersebut. Kotler dan Keller (2012)
mengatakan bahwa “Customer perceived value is difference between the perspective
customer’s evaluations of all beenfits and all the costs of an offering and the perceived
alternatives”. Bisa diartikan bahwa perceived value sebagai trade – off yang dihadapi
konsumen antara kualitas dan harga yang dirasakan ketika mengevaluasi sebuah merek atau
dengan kalimat lain bahwa customer value dihasilkan dari evaluasi konsumen atas
keterkaitan antara harga yang harus mereka bayarkan dari kualitas yang akan mereka
dapatkan dari produk yang akan mereka konsumsi.
Menurut Cateora dan Graham (2007) price-quality relationship dianggap ideal jika
memenuhi harapan dasar dan tidak lebih, memungkinkannya untuk diberi harga secara
kompetitif. Dalam beberapa situasi, konsumen mengembangkan harapan mengenai price-
quality relationship (Mowen dan Minor, 2001:107). Secara umum, keterkaitan harga dan
kualitas mendorong konsumen untuk mengharapkan produk berkualitas tinggi pada saat
harga yang harus mereka bayarkan tinggi, begitu pula sebaliknya.
Bagi kebanyakan konsumen Indonesia yang menganggap harga sebagai komponen yang
sangat penting dalam keputusan pembelian produk, faktor kesadaran pada nilai pelanggan
(value consciousness) berperan penting dalam proses pengambilan keputusan tersebut.
Lichtenstein et al. (1990) mendefinisikan value consciousness sebagai perhatian untuk
membayar harga yang lebih rendah dengan kendala kualitas. Dalam konteks produk
bajakan, penelitian sebelumnya menemukan bahwa harga merupakan elemen utama yang
menentukan kecenderungan konsumen untuk membelinya (Maldonado dan Hume,
2005:110). Bloch et al. (1993) juga menambahkan bahwa ketika harga barang dari barang
bajakan mempunyai keungggulan terhadap barang asli, maka konsumen akan lebih
memilih barang bajakan. Menurut Shaari dan Halim (2006) produk bajakan biasanya akan
sedikit mengabaikan kualitas barang. Mereka tidak mengharapkan kualitas yang tinggi
dari barang bajakan, melainkan lebih pada manfaat fungsionalnya.
2.3. Integritas Personal
Teori psikoanalitik yang dikemukakan Sigmund Freud menunjukkan bahwa perilaku manusia
dikuasai oleh kepribadiannya. Mowen dan Minor (2001) menjelaskan bahwa kepribadian
atau personality sendiri berasal dari perjuangan dinamis antara dorongan fisiologis dalam diri
dan tekanan sosial untuk menaati hukum, aturan , dan kode moral. Tekanan sosial untuk
menaati hukum, aturan, dan kode moral timbul dari sistem superego seseorang. Superego
adalah sesuatu yang ideal yang ada dalam diri manusia serta dapat menjadi motivasi untuk
bertindak secara bermoral dan menaati hukum. Pernyataan diatas didukung oleh moral
competence theory dari Kohlberg (1976), yang menyatakan bahwa perilaku konsumen dapat
dipengaruhi oleh perasaan terhadap hukum (personal sense of justice) dari konsumen itu
sendiri.
Integrity berkaitan dengan standar etika dan kepatuhan konsumen terhadap hukum (Wang et
al., 2005:342). Steenhaut dan Van Kenhove (2006) dalam Phau dan Teah (2009) menyatakan
bahwa pengaruh nilai dasar seperti integrity dapat mempengaruhi keputusan untuk tidak
bertindak tidak etis. Dijelaskan oleh Ang et al. (2001) dalam penelitiannya di konteks
konsumsi produk bajakan, konsumen yang lawful-minded dan memiliki integritas tinggi
cenderung untuk tidak berhubungan dengan barang bajakan. Sebaliknya konsumen yang
Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
299
mempunyai integritas yang rendah cenderung untuk merasa tidak bertanggung jawab dengan
tindakannya dalam mengkonsumsi produk bajakan.
2.4. Gratifikasi Personal
Personal gratification berkaitan dengan keinginan konsumen untuk memperoleh pemenuhan
atas apa yang diinginkan, mendapatkan pengakuan sosial, serta menikmati kenyamanan
dalam hidup (Phau dan Teah, 2009). Dijelaskan oleh Phau dan Teah (2009) bahwa konsumen
yang memiliki perasaan mengenai personal gratification yang tinggi mempunyai
kecenderungan yang rendah untuk dapat menerima produk dengan kualitas sedikit rendah.
Dalam konteks penelitian produk bajakan, konsumen yang memiliki personal gratification
yang tinggi cenderung untuk mengkonsumsi produk berkualitas tinggi karena memberikan
jaminan kenyamanan lebih besar bagi diri mereka dalam proses konsumsinya (Phau dan
Teah, 2009). Sebaliknya, konsumen yang membeli barang bajakan bersedia untuk
mengorbankan kualitas dan jaminan kenyamanan yang diasosiasikan dengan barang asli.
Konsumen dengan personal gratification rendah tidak menilai kenikmatan dengan memiliki
barang dengan kualitas yang lebih baik, serta tidak memiliki perasaan memperoleh prestasi
atau penghargaan dengan memiliki barang asli (Ang et al., 2001:224).
2.5. Risk Avoidance
Fraedrich dan Ferrell (1992) mengukur dampak risiko yang dirasakan dan filsafat moral pada
pembuatan keputusan secara etis. Hal ini diringkas enam aspek risiko, yaitu keuangan,
kinerja, fisik, psikologis, sosial, dan risiko secara keseluruhan, dari literatur masa lalu.
Menurut Tan (2002), keuangan, kinerja, sosial, dan penuntutan adalah aspek yang paling
penting dari risiko yang berlaku di konteks pembajakan perangkat lunak. Begitu pun pada
pembajakan musik, berfokus pada efek risiko penuntutan sikap pembajakan untuk alasan
berikut. Pertama, karenabiaya pembelian CD musik bajakan tidak sangat mahal, risiko
keuangan sangat rendah. Kedua, seperti yang disebutkan, dengan munculnya era digital,
performance CD bajakan biasanya dapat memiliki kualitas sebagus asli satu. Oleh karena itu,
risiko performance tidak sangat kuat. Akhirnya, konsep risiko sosial sangat mirip dengan
konsep konsensus sosial di literatur intensitas moral. Untuk mempermudah, konsep risiko
pengaruh sosial akan dimasukkan di bagian berikutnya tentang intensitas moral. Hampir sama
dengan pendapat Tan (2002), Chiou, Huang dan Lee (2005) mengusulkan bahwa risiko
sangat penting dalam mempengaruhi sikap pembajakan konsumen. Perilaku membeli CD
musik bajakan adalah melanggar hak cipta. Konsumen akan menanggung risiko tindakan
hukum oleh pemegang hak cipta.
2.6. Sikap Konsumen
Peter dan Olson (1999:120) mendefinisikan sikap secara umum sebagai evaluasi menyeluruh dari
seseorang terhadap sebuah konsep. Secara spesifik, Schiffman dan Kanuk (2013:253)
menyatakan, “In a consumer behavior context, an attitude is a learned predisposition behave in a
consistenly favorable or unfavorable way with respect to a given object.” Artinya adalah dalam
konteks perilaku konsumen, sikap merupakan pembelajaran dari kecenderungan seseorang untuk
berperilaku dengan cara menyukai atau tidak menyukai secara konsisten terhadap suatu objek.
Sikap terdiri dari tiga komponen penting, yaitu komponen kognitif (cognitive component),
komponen afektif (affective component), dan komponen konatif (conative component), yang
disebut tricomponent attitude model (Schiffman dan Kanuk, 2013:256). Komponen pertama
adalah kognisi, yaitu pengetahuan dan persepsi yang didapat dari kombinasi antara
pengalaman dari sikap terdahulu dan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber.
Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
300
Pengetahuan dan pengalaman tersebut diperoleh dari bentuk kepercayaan (beliefs), dimana
konsumen percaya bahwa sikap memiliki berbagai atribut dan perilaku tertentu yang akan
mengarah pada hasil tertentu pula. Kedua, afeksi adalah emosi atau perasaan dari konsumen
tentang produk atau merek. Emosi dan perasaan tersebut seringkali diperlakukan oleh para
peneliti sebagai evaluasi dasar, maksudnya adalah emosi dan perasaan tersebut merupakan
penilaian umum seseorang terhadap sesuatu. Dan, komponen ketiga adalah konatif yang
berkaitan dengan kecenderungan seseorang untuk bertindak secara khusus terhadap sesuatu.
Attitude Towars Piracy merupakan bentuk dari attitude-toward-object model yang
merupakan salah satu tipe dari multiattribute attitude models. Multiattribute attitude models
menggambarkan sikap dari konsumen terhadap sesuatu yang merupakan fungsi dari persepsi
konsumen dan penilaian atribut-atribut atau kepercayaan pada objek khusus (Schiffman dan
Kanuk, 2013:259). Schiffman dan Kanuk (2013:259) mengatkan bahwa attitude-toward-
object model merupakan model yang sesuai untuk mengukur sikap terhadap suatu kategori
produk (atau jasa) atau merek tertentu. Berdasarkan model tersebut, sikap konsumen terhadap
suatu kategori produk (atau jasa) atau merek tertentu. Berdasarkan model tersebut, sikap
konsumen terhadap sebuah produk atau merek tertentu merupakan fungsi dari kehadiran (atau
ketidakhadiran) serta evaluasi dari kepercayaan dan atau atibut-atribut yang ada dalam
produk tertentu. Dengan kata lain, konsumen secara umum bersikap suka terhadap suatu
produk yang mereka percaya mempunyai atribut-atribut yang dinilai positif, sebaliknya
konsumen akan bersikap tidak suka terhadap suatu produk yang mereka anggap idak
mempunyai atribut-atribut yang dapat memberi kepuasan.
Menurut Ang et al. (2001) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi attitude toward
piracy dari konsumen yaitu kesadaran nilai, integritas, gratifikasi personal, dan penghindaran
risiko. Mowen dan Minor (2010) mengemukakan dua model dari multiattribute models untuk
mengidentifikasi bagaimana konsumen mengkombinasikan kepercayaan mereka tentang
atribut produk untuk membentuk sikap terhadap berbagai alternative merek, korporasi, atau
objek lainnya. Dua model tersebut adalah model sikap terhadap objek, atau model Fishbein
dan model keinginan berperilaku.
2.7. Niat untuk Menggunakan Produk
Seluruh tindakan konsumen dalam memutuskan untuk menggunakan dan tidak menggunakan
suatu produk berawal dari niat. Niat berkaitan dengan keinginan terhadap suatu hal yang
biasanya diikuti oleh tingkah laku yang mendukung keinginan tersebut. Niat (intention)
merupakan keinginan berperilaku yang didefinisikan sebagai keinginan konsumen untuk
berperilaku menurut cara tertentu dalam rangka memiliki, membuang, dan menggunakan
produk atau jasa. Jadi, konsumen dapat membentuk keinginan untuk mencari informasi,
memberitahukan orang lain tentang pengalamannya dengan sebuah produk, membeli produk
atau jasa tertentu, atau membuang produk dengan cara tertentu (Mowen dan Minor,
2002:322).
Dalam penelitiannya, Ajzen dan Fishben (1980) mengasumsikan behavioral intention sebagai
“the motivational factors that influence a behavior, they are indications of how hard people
are willing to try, of how much of an effort they are planning to exert, in order to perform the
behavior.” Berdasarkan Theory of Reasoned Action, faktor yang mempengaruhi niat adalah
sikap pada tindakan, dan norma subyektif menyangkut persepsi seseorang, apakah orang lain
yang dianggap penting akan mempengaruhi perilakunya (Schiffman dan Kanuk, 2013).
Berdasarkan penelitian dari Ajzen (1998), Schiffman dan Kanuk (2013) mendefinisikan niat
berperilaku (intention) sebagai kecenderungan seseorang untuk memilih melakukan atau
Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
301
tidak melakukan suatu pekerjaan. Niat untuk menggunakan produk diawali oleh adanya
kesadaran akan kebutuhan dan adanya sikap positif terhadap suatu produk.
3. Pengembangan Hipotesis
Penelitian sebelumnya mengenai pengaruh kesadaran nilai, integritas, gratifikasi personal,
dan penghindaran risiko terhadap niat untuk menggunakan melalui sikap terhadap produk
bajakan dilakukan oleh Phau dan Ng (2009), dalam penelitian yang berjudul “Predictors of
Usage Intention of Pirated Software”. Penelitian ini mempunyai beberapa tujuan, yaitu untuk
mengetahui perbedaan sikap antara konsumen yang menggunakan dan tidak menggunakan
software bajakan. Tujuan lain dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana
pengaruh antara kesadaran nilai, integritas, gratifikasi personal, dan penghindaran risiko
terhadap sikap pada software bajakan. Selain itu, juga meneliti apakah sikap pada software
bajakan berpengaruh terhadap niat untuk menggunakan software bajakan. Hasil dari
penelitian ini menyatakan bahwa sikap pada software bajakan dipengaruhi positif oleh
kesadaran nilai dan dipengaruhi secara negatif oleh penghindaran risiko. Sedangkan integritas
dan gratifikasi personal bukan merupakan variabel yang berpengaruh signifikan terhadap
sikap pada software bajakan. Hasil lainnya adalah bahwa sikap pada software bajakan
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap niat untuk menggunakan software bajakan.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Ian Phau dan James Ng
(2009), adalah variabel yang dipakai seluruhnya sama. Penelitian ini juga menggunakan
kesadaran nilai, integritas, gratifikasi personal dan penghindaran risiko sebagai variabel
bebas, sikap terhadap produk bajakan sebagai variabel intervening, dan niat untuk
menggunakan produk bajakan sebagai variabel terikat. Sedangkan perbedaan penelitian ini
dengan penelitian sebelumnya adalah penelitian ini menggunakan musik sebagai obyek
penelitian. Phau dan Ng (2009) menggunakan software sebagai obyeknya. Selain itu
penelitian ini tidak menambahkan dua faktor yang ditambahkan Phau dan Ng (2009) yaitu
normative dan informative susceptibility sebagai variabel bebas, karena pada penelitian
tersebut tidak memiliki pengaruh pada sikap terhadap produk bajakan.
Kesadaran nilai adalah persepsi konsumen terhadap harga dan kualitas produk, apakah harga
yang konsumen bayarkan sesuai dengan kualitas produk yang didapatkan (Zeithaml 1988, p.
14). Orang yang mempunyai kesadaran nilai tinggi diperkirakan mempunyai sikap terhadap
produk bajakan yang positif. Hal ini disebabkan oleh persepsi konsumen yang menganggap
produk bajakan mempunyai manfaat fungsional yang sama dengan produk versi asli, dengan
harga yang lebih murah (Wang et al., 2005:342). Berdasarkan penjelasan ini, diajukan
hipotesis sebagai berikut:
H1: Kesadaran nilai berpengaruh positif terhadap sikap pada produk lagu bajakan.
Integritas berkaitan dengan etika dan kepatuhan konsumen terhadap hukum. Cordell et al.
(1996) dalam Ang et al. (2001) berpendapat bahwa konsumen yang lebih lawful-minded
mempunyai kecenderungan yang rendah untuk membeli barang bajakan. Sedangkan
konsumen yang mempunyai standar etika yang rendah lebih tidak mempunyai tanggung
jawab apabila membeli barang bajakan. Sehingga mereka tidak menganggap bahwa tindakan
mereka tidak etis. Jadi, dengan membandingkan dengan konsumen yang mempunyai
integritas rendah, maka konsumen yang memiliki integritas tinggi diperkirakan mempunyai
sikap negatif terhadap sikap pada produk bajakan (Ang et al., 2001:224). Berdasarkan
penjelasan ini, diajukan hipotesis sebagai berikut:
Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
302
H2: Integritas diri berpengaruh negatif terhadap sikap pada produk lagu bajakan.
Gratifikasi personal berhubungan dengan kebutuhan konsumen untuk mendapatkan
pemenuhan atas apa yang diinginkan, mendapatkan pengakuan sosial, serta menikmati
kenyamanan dalam hidup Ang et al., (2001). Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh
Bloch et al., (1993), konsumen yang membeli barang bajakan memiliki kepercayaan diri
yang rendah, kurang sukses, dan merasa statusnya rendah sehingga kebutuhan untuk
memberikan gratifikasi untuk dirinya sendiri pun rendah. Maka, konsumen yang lebih ingin
memperoleh gratifikasi personal yang tinggi diperkirakan mempunyai sikap negatif terhadap
produk bajakan.
H3: Gratifikasi personal berpengaruh negatif terhadap sikap pada produk lagu bajakan.
Penghindaran risiko dalam konteks ini mengacu pada tingkat toleransi risiko individu untuk
terlibat dalam aktivitas ilegal yang berhubungan dengan produk bajakan. Karakteristik
pribadi konsumen tentang risk aversion merupakan komponen yang cukup penting dalam
pengambilan keputusan konsumen. Hal ini dapat disimpulkan dari apa yang dikatakan
Hofstede dan Bond, (1984) tentang definisi risk aversion yakni sejauh mana seseorang
merasa dirinya terancam oleh situasi yang tidak pasti, dan kemudian menciptakan
keyakinannya sendiri yang bertujuan untuk mencoba menghindari kondisi ketidakpastian
tersebut. Oleh karena pengambilan keputusan konsumen sudah pasti tidak dapat dihindarkan
dari adanya faktor risiko, (Cunningham et al. 2005) maka konsumen secara otomatis akan
menciptakan suatu perilaku tertentu sebagai bentuk pertahanan diri untuk menghindari segala
bentuk risiko yang dapat muncul dari keputusannya tersebut. Sementara kepedulian terhadap
kesadaran nilai dapat mempengaruhi individu untuk menggunakan produk bajakan, takut
terhadap hukuman pidana juga harus dapat mencegah perilaku tersebut (Albers-Miller, 1999).
Literatur menyelidiki keterlibatan konsumen dalam perilaku terlarang telah menunjukkan
bahwa ada hubungan terbalik antara keseriusan dari hukuman dan tindak kriminal. Penelitian
juga telah membuktikan bahwa ada juga hubungan terbalik antara kemungkinan tertangkap
yang dirasakan dan perilaku kriminal (Hollinger and Clark, 1983). Sebaliknya, dapat juga
dikatakan bahwa ada kecenderungan yang lebih tinggi untuk terlibat dalam kegiatan “gelap”
jika ada anggapan resiko tertangkap yang lebih rendah. Oleh karena itu, keuntungan yang
didapatkan dalam hal sikap terhadap musik bajakan mungkin dibatasi oleh rasa takut
tertangkap dan dihukum oleh hukum. Hal ini dapat dikatakan bahwa hukum hak cipta dan
beratnya hukuman menempatkan kontrol perilaku individu atas niat untuk menggunakan
produk bajakan. Kemudian disimpulkan dalam Phau dan Ng (2009) bahwa seseorang yang
lebih menghindari risiko lebih cenderung memiliki sikap negatif terhadap produk lagu
bajakan.
H4: Penghindaran risiko berpengaruh negatif terhadap sikap pada produk lagu bajakan.
Teori perilaku terencana (TPB) yang mencakup sikap, norma subyektif, dan kendali perilaku
jelas memiliki pengaruh terhadap niat seseorang untuk menggunakan musik secara ilegal.
Seperti yang telah dikemukakan oleh Beck dan Ajzen (1991), bahwa TPB secara akurat
mampu memprediksi perilaku tidak jujur seseorang. Sehingga, landasan seseorang untuk
menggunakan musik secara ilegal juga dapat diprediksi menggunakan TPB seperti halnya
yang dilakukan peneliti sebelumnya untuk meneliti hal-hal yang mendahului pembajakan
musik (Wang dkk., 2009). Unsur pertama dalam TPB ialah sikap. Sikap dijelaskan melalui
tindakan seseorang pada suatu perilaku tertentu merupakan faktor penting yang mendahului
niat (Ajzen, 1985). Pembentukan sikap terjadi akibat pengaruh yang kuat oleh pengalaman
pribadi, pengaruh keluarga dan teman, pemasaran langsung, dan media massa (Schiffman dan
Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
303
Kanuk, 2013). Kemudian disimpulkan dalam Wang dkk. (2009) bahwa semakin positif sikap
seseorang terhadap sesuatu, maka makin besar juga niat seseorang dalam melakukan hal
tersebut.
H5: Sikap pada produk lagu bajakan berpengaruh positif terhadap niat menggunakan musik
bajakan.
Berdasarkan uraian pengembangan hipotesis di atas, model analisis yang digunakan pada
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Model Analisis
4. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif eksplanatori yang bertujuan untuk
menjelaskan pengaruh kesadaran nilai, integritas diri, penghindaran risiko, dan gratifikasi
terhadap sikap konsumen terhadap produk musik bajakan serta niat konsumen untuk
mengkonsumsinya. Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek atau subyek
yang mempunyai kuantitas atau karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari (Malhotra, 2006). Populasi dari penelitian ini ialah Generasi Y yang berdomisili di
Surabaya, dikarenakan Generasi Y lebih heterogen dalam istilah rasial dan sosioekonomis
daripada Generasi X (Mowen and Minor, 2001). Generasi Y adalah 72 juta anak-anak dari
Generasi X, di mana yang pertama akan mencapai dewasa pada tahun 2000. Generasi Y
adalah mereka yang lahir antara tahun 1978 dan 2000 (Yarrow and O’Donnell, 2009), yang
berarti saat ini mereka berusia 13 tahun sampai dengan 35 tahun, yang mewakili 28 persen
dari populasi sekarang dan menyaingi 30 persen Generasi X yang dilahirkan antara tahun
1965 dan 1980 (Mowen and Minor, 2001). Sampel penelitian ini adalah konsumen musik
Indonesia yang pernah membeli atau mengunduh musik bajakan dalam kurun waktu satu
tahun terakhir.
Instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data adalah kuesioner yang disebarkan pada
beberapa acara konser musik di Surabaya untuk memperoleh responden yang memang secara
intensif mengkonsumsi musik. Terdapat sejumlah 150 responden yang berpartisipasi pada
Kesadaran Nilai (X1)
Integritas (X2)
Gratifikasi Personal (X3)
Penghindaran Risiko (X4)
Sikap pada produk lagu
bajakan (Z)
Niat
menggunakan
produk lagu
bajakan (Y)
(Y)
Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
304
penelitian ini. Karakteristik responden yang terlibat dalam penelitian ini adalah 52% pria,
75% berusia di bawah 30 tahun, 35% berstatus mahasiswa, 33% memiliki pendapatan per
bulan di atas Rp 3.500.000,-.
Indikator yang digunakan untuk mengukur variabel kesadaran nilai diadaptasi dari
Lichtenstein et al. (1990), sedangkan indikator variabel integritas dikembangkan dari
penelitian Vinson et al (1997), ). indikator gratifikasi personal dikembangkan dari Ang et al.
(2001:227), dan indikator variabel penghindaran risiko dalam penelitian ini dikembangkan
dari penelitian Donthu and Gilliland (1996). Untuk mengukur variabel sikap pada produk
musik bajakan digunakan indikator yang diadaptasi dari Kwong et al (2003), sementara
pengukuran yang digunakan untuk menilai niat untuk menggunakan produk musik bajakan
diadaptasi dari Wang et al. (2005:350). Indikator-indikator yang digunakan untuk mengukur
variabel penelitian tersaji pada Tabel 1.
Item di kuesioner disajikan dengan menanyakan tingkat kesetujuan responden atas
pernyataan-pernyataan yang tersaji. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan skala Likert
1-5, di mana 1 menunjukkan sangat tidak setuju dan 5 menunjukkan sangat setuju. Pengujian
reliabilitas dan validitas menunjukkan bahwa semua item di kuesioner dinilai reliabel dan
valid. Untuk menganalisis data, menguji hipotesis, dan menguji model penelitian, penelitian
ini menggunakan program SPSS versi 18.
Tabel 1
Indikator Variabel Penelitian
Variabel Indikator Referensi
Kesadaran Nilai a. Saya sangat peduli tentang harga murah,
tapi saya juga peduli tentang kualitas
produk.
b. Ketika berbelanja, saya membandingkan
harga produk dari merek yang berbeda
untuk memastikan saya mendapatkan
harga terbaik.
c. Ketika membeli sebuah produk, saya
selalu mencoba untuk mendapatkan
kualitas yang maksimal untuk uang yang
saya habiskan.
d. Ketika saya membeli produk, saya ingin
memastikan bahwa saya menjadikan uang
saya bernilai.
e. Saya biasanya berbelanja untuk harga
yang lebih murah, tapi masih harus
memenuhi persyaratan kualitas tertentu
sebelum saya akan membelinya.
f. Saat saya berbelanja, saya biasa
membandingkan informasi harga setiap
barang untuk merek yang saya beli
biasanya.
g. Saya selalu memeriksa harga produk di
toko kelontong, untuk memastikan bahwa
saya mendapatkan nilai terbaik untuk uang
yang saya habiskan.
Lichtenstein et al (1990)
Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
305
Integritas Personal a. Saya tidak mau menggunakan produk
bajakan.
b. Saya menghargai hasil kerja orang lain
dengan cara tidak menggunakan produk
bajakan
c. Saya lebih suka menggunakan produk lagu
asli meski harganya lebih mahal.
Vinson et al. (2000)
Gratifikasi Personal a. Penting bagi saya untuk mendapatkan
hidup yang nyaman.
b. Penting bagi saya untuk mendapatkan
hidup yang menyenangkan.
c. Penting bagi saya untuk mendapatkan apa
yang saya inginkan.
d. Saya adalah orang yang menghargai
kesenangan diri.
e. Saya adalah orang yang menghargai
pengakuan sosial.
Ang et al. (2001)
Penghindaran risiko a. Saya lebih suka menjadi aman daripada
menyesal karena menggunakan produk
bajakan.
b. Saya ingin memastikan risiko yang bisa
saya hadapi sebelum menggunakan produk
bajakan
c. Saya menghindari hal-hal yang berisiko
karena menggunakan produk bajakan.
Donthu and Gilliland
(1996)
Sikap a. Saya pikir itu adalah positif bagi saya untuk
membeli produk bajakan jika kebanyakan
orang melakukannya.
b. Saya pikir itu adalah positif bagi saya untuk
membeli produk bajakan jika saya tidak
akan membeli satupun yang asli dalam
kondisi apapun.
c. Saya pikir itu adalah positif bagi saya untuk
membeli produk bajakan
Kwong et al. (2003)
Niat Menggunakan
Produk Bajakan
a. Saya akan merekomendasikan untuk
menggunakan produk lagu bajakan kepada
orang lain.
b. Bila ada permintaan, saya akan
mempertimbangkan untuk memberikan
produk lagu bajakan untuk digunakan oleh
orang lain.
c. Saya akan mempertimbangkan untuk
menggunakan produk lagu bajakan sebagai
alternatif pilihan.
d. Saya akan menggunakan produk lagu bajakan.
Wang et al. (2003)
5. Hasil dan Pembahasan
Analisis regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel
independen terhadap variabel dependen, dalam hal ini adalah pengaruh variabel Kesadaran
Nilai (X1), Integritas (X2), Gratifikasi Personal (X3) dan Penghindaran Risiko (X4) dengan
Sikap Pada Produk Lagu Bajakan (Z). Berikut akan dipaparkan hasil pengujian regresi linier
berganda :
Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
306
Tabel 1.
Besarnya Pengaruh Variabel Kesadaran Nilai (X1), Integritas (X2), Gratifikasi
Personal (X3) dan Penghindaran Risiko (X4) Terhadap Sikap Pada Produk Lagu
Bajakan (Z)
Model Summary
,443a ,196 ,174 1,138
Model
1
R R Square
Adjusted
R Square
Std. Error of
the Est imate
Predictors: (Constant), Penghindaran Risiko, Gratif ikasi Personal, Kesadaran Nilai, Integritasa.
Berdasarkan Tabel 1 di atas, dapat diperoleh beberapa bahwa kolom R menunjukkan bahwa
korelasi/hubungan antara variabel Kesadaran Nilai (X1), Integritas (X2), Gratifikasi Personal
(X3) dan Penghindaran Risiko (X4) dengan Sikap Pada Produk Lagu Bajakan (Z) sebesar
0,443 atau sebesar 44,3% atau kurang kuat. Kolom R square atau koefisien determinasi
adalah 0,196. Hal ini berarti bahwa 19,6% variasi variabel Kesadaran Nilai (X1), Integritas
(X2), Gratifikasi Personal (X3) dan Penghindaran Risiko (X4) Terhadap Sikap Pada Produk
Lagu Bajakan (Z) sedangkan sisanya dijelaskan oleh sebab-sebab lain. Standard error of
estimate (SEE) adalah 1,138. makin besar SEE akan membuat model regresi kurang tepat
dalam memprediksi variabel dependen.
Tabel 2.
Hasil Pengujian Regresi Linier Berganda
Coefficientsa
20,442 1,513
,091 ,031 ,219
-,164 ,058 -,216
-,111 ,043 -,193
-,223 ,053 -,323
(Constant)
Kesadaran Nilai
Integritas
Gratif ikasi Personal
Penghindaran Risiko
Model
1
B Std. Error
Unstandardized
Coeff icients
Beta
Standardized
Coeff icients
Dependent Variable: Sikap pada produk lagu bajakania.
Berdasarkan Tabel 2 di atas maka persamaan regresi linier berganda yang diperoleh dalam
penelitian ini serta bermanfaat untuk mengetahui arah perubahan variabel kesadaran nilai
(X1), integritas (X2), gratifikasi personal (X3) dan penghindaran risiko (X4) terhadap sikap
pada produk lagu bajakan (Z) adalah sebagai berikut :
Y = 20,442 + 0,091X1 - 0,164X2 - 0,111X3 - 0,223X4 + e
Analisis regresi linier berganda digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh variabel
independen terhadap variabel dependen, dalam hal ini adalah pengaruh variabel sikap pada
produk (Z) terhadap Niat untuk Menggunakan Produk Lagu Bajakan (Y). Berikut akan
dipaparkan hasil pengujian regresi linier berganda :
Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
307
Tabel 3
Besarnya Pengaruh Variabel Sikap Pada Produk (Z) Terhadap Niat Untuk
Menggunakan Produk Lagu Bajakan (Y)
Model Summary
,195a ,038 ,031 1,321
Model
1
R R Square
Adjusted
R Square
Std. Error of
the Est imate
Predictors: (Constant), Sikap pada produk lagu bajakania.
Berdasarkan Tabel 3 di atas, dapat dilihat bahwa kolom R menunjukkan bahwa
korelasi/hubungan antara variabel sikap pada produk (Z), dengan niat untuk menggunakan
produk lagu bajakan (Y) sebesar 0,195 atau sebesar 19,5% atau kurang kuat. Kolom R square
atau koefisien determinasi adalah 0,038. Hal ini berarti bahwa 38% variasi variabel sikap
pada produk (Z), sedangkan sisanya dijelaskan oleh sebab-sebab lain. Standard error of
estimate (SEE) adalah 1,321. makin besar SEE akan membuat model regresi kurang tepat
dalam memprediksi variabel dependen.
Tabel 4.
Hasil Pengujian Regresi Linier Berganda
Coefficientsa
14,210 1,402
,209 ,086 ,195
(Constant)
Sikap pada produk
lagu bajakani
Model
1
B Std. Error
Unstandardized
Coef f icients
Beta
Standardized
Coef f icients
Dependent Variable: Niat untuk menggunakan produka.
Berdasarkan Tabel 4 di atas maka persamaan regresi linier berganda yang diperoleh dalam
penelitian ini serta bermanfaat untuk mengetahui arah perubahan variabel sikap pada produk
(Z), terhadap niat untuk menggunakan produk lagu bajakan (Y) adalah sebagai berikut :
Y = 14,210 + 0,209 X1 +e
Tabel 5.
Hasil Pengujian Hipotesis (Uji F)
ANOVAb
45,821 4 11,455 8,851 ,000a
187,672 145 1,294
233,493 149
Regression
Residual
Total
Model
1
Sum of
Squares df Mean Square F Sig.
Predictors: (Constant), Penghindaran Risiko, Gratif ikasi Personal, Kesadaran Nilai,
Integritas
a.
Dependent Variable: Sikap pada produk lagu bajakanib.
Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
308
Berdasarkan tabel 5 di atas dapat diketahui bahwa besarnya nilai F hitung adalah 8.851 dengan
taraf signifikan sebesar 0,000 dan dapat diketahui bahwa pada kolom sig/significance
mempunyai angka signifikansi di bawah 0,05. Oleh karena itu secara simultan variabel
Kesadaran Nilai (X1), Integritas (X2), Gratifikasi Personal (X3) dan Penghindaran Risiko (X4)
berpengaruh Terhadap Sikap Pada Produk Lagu Bajakan (Z). Berdasarkan hasil pengujian
maka dapat disimpulkan bahwa secara simultan kesadaran nilai (X1), integritas (X2),
gratifikasi personal (X3) dan penghindaran risiko (X4) dapat meningkatkan sikap pada produk
lagu bajakan (Z).
Tabel 6.
Hasil Pengujian Hipotesis (uji t)
Coefficientsa
10,135 ,000
2,415 ,017 ,195 ,195 ,195
(Constant)
Sikap pada produk
lagu bajakani
Model
1
t Sig. Zero-order Part ial Part
Correlations
Dependent Variable: Niat untuk menggunakan produka.
Dari hasil uji t yang tersaji pada Tabel 6 diketahui besarnya nilai koefisien korelasi (r) antara
sikap pada produk lagu bajakan dengan niat untuk menggunakan produk lagu bajakan adalah
sebesar 0,195 sedangkan besarnya koefisien determinasi yang menunjukkan pengaruh antara
sikap pada produk lagu bajakan terhadap niat untuk menggunakan produk lagu bajakan
adalah sebesar (0,195)2 = 0,0380 atau 3,80 %, Nilai t hitung variabel antara sikap pada produk
lagu bajakan adalah 2.415 dengan tingkat signifikansi 0,017 dimana nilainya kurang dari
0,05. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa secara parsial antara sikap pada produk
lagu bajakan berpengaruh signifikan terhadap niat untuk menggunakan produk lagu bajakan.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa secara bersama-sama kesadaran nilai,
integritas, gratifikasi personal, penghindaran resiko, berpengaruh signifikan terhadap sikap
pada produk bajakan. Hasil ini didasarkan pada hasil pengujian regresi linier berganda
dengan signifikansi sebesar 0.000 yang berarti secara bersama-sama kesadaran nilai,
integritas, gratifikasi personal, penghindaran resiko, berpengaruh terhadap sikap pada produk
bajakan. Hal ini berarti bahwa hipotesis H1 terdukung.
Berpengaruh positif dan signifikan dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa apabila
semakin baik secara bersama-sama kesadaran nilai, integritas, gratifikasi personal, penghindaran
resiko maka sikap pada produk bajakan juga akan meningkat. Konsumen yang mempunyai
kesadaran nilai tinggi diperkirakan mempunyai sikap terhadap produk bajakan. Hal ini
sejalan dengan penelitian terdahulu yang menyatakan bahwa persepsi konsumen yang
menganggap produk bajakan mempunyai manfaat fungsional yang sama dengan produk versi
asli, dengan harga yang lebih murah (Wang et al., 2005:342).
Konsumen yang mempunyai standar etika yang rendah lebih tidak mempunyai tanggung
jawab apabila membeli barang bajakan. Sehingga mereka tidak menganggap bahwa tindakan
mereka tidak etis. Jadi, dengan membandingkan dengan konsumen yang mempunyai
integritas rendah, maka konsumen yang memiliki integritas tinggi diperkirakan mempunyai
sikap negatif terhadap sikap pada produk bajakan (Ang et al., 2001).
Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
309
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Bloch et al., (1993), konsumen yang membeli
barang bajakan memiliki kepercayaan diri yang rendah, kurang sukses, dan merasa statusnya
rendah sehingga kebutuhan untuk memberikan gratifikasi untuk dirinya sendiri pun rendah.
Maka, konsumen yang lebih ingin memperoleh gratifikasi personal yang tinggi diperkirakan
mempunyai sikap negatif terhadap produk bajakan. Selain itu penelitian ini sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Ian Phau dan James Ng (2009), hasil dari penelitiannya
tersebut adalah bahwa ada pengaruh antara kesadaran nilai, integritas, gratifikasi personal,
dan penghindaran risiko terhadap niat untuk menggunakan melalui sikap terhadap produk
bajakan.
Hofstede dan Bond, (1984) mengatakan tentang definisi risk aversion yakni sejauh mana
seseorang merasa dirinya terancam oleh situasi yang tidak pasti, dan kemudian menciptakan
keyakinannya sendiri yang bertujuan untuk mencoba menghindari kondisi ketidakpastian
tersebut. Oleh karena pengambilan keputusan konsumen sudah pasti tidak dapat dihindarkan
dari adanya faktor risiko, maka konsumen secara otomatis akan menciptakan suatu perilaku
tertentu sebagai bentuk pertahanan diri untuk menghindari segala bentuk risiko yang dapat
muncul dari keputusannya tersebut. Sementara kepedulian terhadap kesadaran nilai dapat
mempengaruhi individu untuk menggunakan produk bajakan, takut terhadap hukuman pidana
juga harus dapat mencegah perilaku tersebut (Albers-Miller, 1999). Keuntungan yang
didapatkan dalam hal bersikap terhadap musik bajakan mungkin dibatasi oleh rasa takut
tertangkap dan dihukum oleh penegak hukum dan akan dijatuhi hukuman. Hal ini dapat
dikatakan bahwa hukum hak cipta dan beratnya hukuman menempatkan kontrol perilaku
individu atas niat untuk menggunakan produk bajakan. Kemudian disimpulkan dalam Ian
Phau dan James Ng (2009) bahwa seseorang yang lebih menghindari risiko lebih cenderung
memiliki sikap negatif terhadap produk lagu bajakan.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa sikap pada produk bajakan berpengaruh
terhadap niat menggunakan produk. Hasil ini didasarkan pada hasil pengujian regresi linier
sederhana dengan signifikansi sebesar 0.017 yang berarti sikap pada produk bajakan
berpengaruh signifikan terhadap niat menggunakan produk. Berpengaruh positif dan
signifikan dalam penelitian ini mengindikasikan bahwa apabila semakin baik sikap pada
produk bajakan maka niat menggunakan produk lagu bajakan akan meningkat.
Niat seseorang untuk menggunakan musik secara ilegal. Seperti yang telah dikemukakan oleh
Beck dan Ajzen (1991), bahwa TPB secara akurat mampu memprediksi perilaku tidak jujur
seseorang. Sehingga, landasan seseorang untuk menggunakan musik secara ilegal juga dapat
diprediksi. Apabila semakin kuat sikap seseorang dalam menggunakan lagu bajakan maka
niat akan menggunakan produk music bajakan akan semakin kuat pula.
Pembentukan sikap terjadi akibat pengaruh yang kuat oleh pengalaman pribadi, pengaruh
keluarga dan teman, pemasaran langsung, dan media massa. Kemudian disimpulkan dalam
Wang dkk. (2009) bahwa semakin positif sikap seseorang terhadap sesuatu, maka makin
besar juga niat seseorang dalam
6. Simpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan yang telah dilakukan, maka kesimpulan yang dapat
diambil adalah bahwa pengaruh secara simultan antara kesadaran nilai, integritas, gratifikasi
personal, penghindaran risiko, terhadap sikap pada produk lagu bajakan. Penghindaran risiko
memiliki pengaruh yang paling signifikan terhadap sikap pada produk lagu bajakan
Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
310
dibandingkan tiga faktor yang lain yang diamati. Lebih lanjut, hasil penelitian menunjukkan
bahwa sikap pada produk lagu bajakan berpengaruh terhadap niat menggunakan produk lagu
bajakan.
Diharapkan bagi masyarakat untuk mencintai dan menghargai produk asli dari bidang musik
yaitu lagu dengan tidak melakukan pembajakan dan mengkonsumsi musik secara legal, selain
itu diharapkan bagi konsumen untuk mempertimbangkan dan memastikan risiko sebelum
menggunakan lagu bajakan dan akan merugikan industri musik untuk lebih berkembang.
Bagi pihak musisi dan pihak-pihak yang terkait dalam usaha mengurangi perilaku
mengkonsumsi musik secara ilegal yang semakin meluas di masyarakat, untuk lebih gencar
dalam memberikan informasi serta penyuluhan kepada konsumen mengenai dampak negatif
dan risiko yang akan dialami oleh baik industri musik Indonesia juga oleh konsumen sendiri.
Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk melakukan penelitian di luar variabel bebas yang
digunakan dalam penelitian ini mengingat terdapat pengaruh dari variabel lain, ataupun
mengkombinasikan variabel sikap pada produk nilai, integritas, gratifikasi personal,
penghindaran resiko dengan variabel lain di luar variabel dalam penelitian ini.
Referensi
Ajzen, I. dan Fishbein, M. 1977. Attitude-Behavior Relations: A Theoretical Analysis
and Review of Empirical Research, Psychology Bulletin, Vol. 84: 888-918.
Albers-Miller, N.D. 1999. Consumer Misbehavior: Why People Buy Illicit Goods. Journal of
Consumer Marketing, Vol. 16/3: 273-287
Ang, S.H., Cheng, P.S., Lim, E.A.C., dan Tambyah, S.K. 2001. Spot the Difference:
Consumer Responses towards Counterfeits. Journal of Consumer Marketing, Vol. 18/3: 219-
235
Bao, Y., Zhou, K.Z., dan Su., C. 2003. Face Consciousness and Risk Aversion: Do They
Affect Consumer Decision-Making?. Psychology & Marketing, Vol. 20/8, 2003: 733-755.
Bloch, P.H., Bush, R.F., dan Campbell, L. 1993. Consumer ‘accomplices’ in Product
Counterfeiting: A Demand-side Investigation. Journal of Consumer Marketing. Vol. 10/4: 27-
36.
Buttle, F. 2004. Customer Relationship Management. Oxford: Elsevier/Butterworth-
Heinemann.
Chiou, J-S., Huang, C-Y., dan Lee, H-H. 2005. The Antecedents of Music Piracy Attitudes
and Intentions. Journal of Business Ethics, Vol. 57: 161-174.
Cordell, V.V., Wongtada, N., dan Kieschnick, Jr., R.L. 1996. Counterfeit Purchase
Intentions: Role of Lawfulness Attitudes and Product Traits as Determinants. Journal of
Business Research, Vol.35: 41-53.
Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
311
Cunningham, L.F., Gerlach, J.H., Harper, M.D., dan Young, C.E. 2004. Perceived Risk and
the Consumer Buying Process: Internet Airline Reservations. International Journal of Service
Industry Management, Vol. 16/4: 357-372.
Donthu, N. dan Gilliland, D. 1996. The Informecial Shopper. Journal of Advertising
Research, Vol. 36: 69-76.
Fraedrich, J.P. dan Ferrell. O.C. 1992. The Impact of Perceived Risk and Moral Philosophy
Type on Ethical Decision Making in Organization. Journal of Business Research, Vol. 24:
283-295.
Gupta, P., Gould, S., dan Pola, B. 2004. To pirate or not to Pirate: A Comparative Study of
the Ethical Versus Other Influences on the Consumer’s Software Acquisition Mode Decision.
Journal of Business Ethics, Vol. 55/3: 255-274.
Hofstede, G. dan Bond, M. 1984. The Need for Synergy among Cross-Cultural Studies.
Journal of Cross-Cultural Psychology, Vol. 15: 417-433.
Hollinger, R.C., dan Clark, J.P. 1983. Deterrence in the Workplace: Perceived Certainty,
Perceived Severity, and Employee Theft. Social Forces, Vol. 62/2: 398-418.
Kotler, Philip, and Kevin Lan Keller. 2012. Marketing Management 14th
Edition. Prentice
Hall. Upper Saddle River, New Jersey.
Kohlberg, L. 1976. Moral Stages and Moralization: The Cognitive Development Approach in
Moral Development and Behaviour Theory. Research and Social Issues, Lickona, T. (ed.)
Holt, Rinehart, and Winston: New York: 31-53.
Kwong, K.K., Yau, O.H.M., Lee, J.S.Y., Sin, L.Y.M., dan Tse, A.C.B. 2003. The Effects of
Attitudinal and Demographic Factors on Intention to Buy Pirated CDs: The Case of Chinese
Consumers. Journal of Business Ethics, Vol. 47: 223-235
Linchestein, Donald R., Richard G. Netemeyer, dan Scot Burten. 1990. Distinguishing
coupon proneness from value consciousness: an acquisition-transaction utility theory
perspective. Journal of Marketing. Vol. 54/3: 54-67.
Maldonado, C., dan Hume, E.C. 2005. Attitudes toward Counterfeit Products: An Ethical
Perspective. Journal of Legal, Ethical, and Regulatory Issues, Vol. 8/2: 105-115.
Malhotra, Naresh K. 2006. Marketing Research An Applied Application 5th
edition. Prentice
Hall. Upper Saddle River, New Jersey.
Mowen, John C. and Michael Minor. 2001. Perilaku Konsumen Jilid I edisi kelima
(terjemahan). PT. Penerbit Erlangga.
Phau, I dan Teah, M., 2009. Devil Wears (Counterfeit) Prada: A Study of Antecedents and
Outcomes of Attitudes Toward Counterfeits of Luxuary Brands, Journal of Consumer
Marketing, Vol. 26/1: 15-27.
Sony Kusumasondjaja Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Syahrial Ashari Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
312
Phau, I. dan Ng, J. 2009. Predictors of Usage Intentions of Pirated Software. Journal of
Business Ethics, Vol. 94: 23-37.
Schiffman, L. G. dan Kanuk, L. 2013. Consumer Behavior, International edition, New Jersey:
Prentice Hall Inc.
Sekaran, U. 2003. Research Methodes for Business: A Skill-Building Approach 4th
edition.
John Willey & Son, Inc. United States of America.
Shaari, H. dan Halim, F. 2006. Consumer Purchase or Pirated VCD: Do Non-Price Factors
Matter? International Journal of Business and Society, Vol. 7/2: 119-131.
Steenhaut, S. dan Van Kehove, P. 2006. An Empirical Investigation of the Relationships
among a Consumer’s Personal Values, Ethical Ideology, and Ethical Beliefs. Journal of
Business Ethics, Vol. 64/2: 137-155.
Tan, B. 2002. Understanding Consumer Ethical Decision Making with Respect to Purchase
of Pirated Software. Journal of Consumer Marketing, Vol. 19/2: 96-111.
Vinson, D. E., Munson, J.M., dan Nakanishi, M. 1977. ‘An Investigation of the Rokeach
Value Survey for Consumer Research Application’, in W. E. Perreault (ed.), Advances in
Consumer Research, Vol. 4 (The Association for Consumer Research, Provo, UT): 247-252.
Wang, F., Zhang, H., Zang, H., dan Ouyang, M. 2005. Purchasing Pirated Software: An
Initial Examination of Chinese Consumers, Journal of Consumer Marketing, Vol. 22/6: 340-
351.
Yarrow, K. dan O’Donnell, J. 2009. Gen Buy: How Tweens, Teens, and Twenty-Somethings
are Revolutionizing Retail. Jossey-Bass, San Francisco, CA Zeithaml et al 1988
Zeithaml, V.A. 1988. Consumer Perceptions of Price, Quality, and Value: A Means-End
Model and Synthesis of Evidence. Journal of Marketing, Vol. 52/3: 2-22.
Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
313
Pengungkapan Intellectual Capital, Reputasi Underwriter dan IPO Underpricing
Zulhawati
UTY Yogyakarta
Abstract
This study examines the effect of Intellectual Capital Disclosure and Underwriter
Reputation to IPO Underpricing the company public on Indonesia Stock Exchange 2007-
2012. The Results of research on the observation period there was 80% of companies
experiencing IPO underpricing. Underpricing phenomenon is deliberately done to get the
attention of the company's stock price increases in the first day listing or may occur due to
information asymmetries between issuers and underwriters among and investors who have
information about the issuer's prospects. Information asymmetry can be reduced by
presenting financial information and non-financial information in the prospectus, one of
non- financial information to be presented is intellectual capital. Information about the
underwriter's reputation is also required by investors as a measure of financial information
that is relevant and reliable. The results of multiple regression statistical test indicates that
intellectual capital disclosure and underwriter reputation negatively affect the level of
underpricing. This suggests that the higher intellectual capital disclosure can reduce IPO
underpricing, as well as a good underwriter reputation can reduce IPO underpricing.
Keywords: IPO underpricing, intellectual capital disclosure, underwriter reputation, infor-
mation asymmetries
1. Pendahuluan
Peningkatan kebutuhan dana perusahaan dapat dipenuhi dengan memilih salah satu dari
berbagai alternatif pendanaan yang dapat digunakan. Sumber pendanaan bisa berasal dari
internal perusahaan maupun berasal dari external perusahaan. Sumber pendanaan yang
berasal dari internal perusahaan dengan memanfaatkan laba yang tidak dibagi. Sedangkan
sumber pendanaan yang berasal dari external perusahaan dapat berasal dari utang atau
menerbitkan saham. Sumber pendanaan melalui penerbitan saham yang dijual kepada
masyarakat umum dikenal dengan penawaran umum atau go public.
Perusahaan melakukan go public menjadi salah satu alternatif bagi perusahaan guna
memperoleh dana tambahan untuk kegiatan ekspansi atau operasi perusahaan sedangkan
bagi investor di pasar modal sebagai salah satu alternatif tempat berinvestasi. Tahapan
dalam proses go public, sebelum diperdagangkan di pasar skunder, saham terlebih dahulu
dijual di pasar primer atau pasar perdana yang biasa disebut dengan Initial Public Offering
(IPO). Investor membeli saham di pasar perdana dengan harapan akan mendapatkan
keuntungan yang diperoleh dari selisih harga lebih antara harga di pasar skunder dengan di
pasar perdana atau initial return. Diperolehnya initial return berarti investor menerima
abnormal return melalui IPO yang di lakukan perusahaan. Menurut Jogiyanto (2010:566)
investor yang dapat kesempatan untuk membeli sekuritas yang undervalued ini akan dapat
menikmati abnormal return yang ada hanya terjadi dengan waktu yang cepat dan tidak
Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
314
berkepanjangan. Ini berarti bahwa investor yang membeli beberapa saat setelah pengu-
muman IPO sudah tidak akan memperoleh abnormal return lagi, karena harga sekuritas
sudah mencapai keseimbangan baru.
Pada saat perusahaan melakukan IPO yang dilaksanakan di pasar primer (primary
market), tidak ada harga pasar saham sampai dimulainya penjualan di pasar sekunder. Pada
saat tersebut umumnya investor memiliki informasi terbatas seperti yang diungkapkan
dalam prospektus. Dengan demikian investor yang ingin menanamkan modalnya hanya
memiliki informasi tentang perusahaan sebatas yang diinformasikan pada prospectus
tersebut. Prospectus merupakan suatu laporan yang disyaratkan Bapepam kepada peru-
sahaan yang ingin listing di pasar modal, yang berisikan gambaran umum perusahaan yang
memuat keterangan secara lengkap dan jujur keadaan perusahaan dan prospeknya di masa
mendatang serta memuat informasi-informasi yang diperlukan sehubungan dengan pe-
nawaran umum.
Salah satu masalah saat IPO adalah berapa harga yang tepat untuk selembar saham
yang akan ditawarkan, dimana harga jual saat IPO ditentukan oleh emiten (perusahaan pe-
nerbit) dengan underwriter (penjamin emisi), sedangkan harga saham yang dijual pada
pasar skunder ditentukan oleh mekanisme pasar, yaitu permintaan dan penawaran. Bila
harga saat IPO lebih tinggi dibandingkan dengan harga yang terjadi di pasar skunder pada
hari pertama, maka disebut dengan overpricing, sebaliknya bila harga saat IPO lebih rendah
dibandingkan dengan harga yang terjadi di pasar skunder pada hari pertama, maka disebut
dengan underpricing.
Kondisi underpricing sebenarnya merugikan perusahaan, karena secara financial
perusahaan tidak mendapatkan dana secara maksimal, tapi menguntungkan bagi investor
karena akan menerima initial return dari selisih harga beli di pasar primer dengan harga jual
di pasar skunder. Underpricing yang terjadi di Bursa Efek Indonesia sangat tinggi; pada
tahun 2007 dari 22 emiten 20 emiten mengalami underpricing, tahun 2008 dari 19 emiten
16 emiten mengalami underpricing, tahun 2009 dari 13 emiten 8 emiten mengalami
underpricing, tahun 2010 dari 23 emiten 21 emiten mengalami underpricing, tahun 2011
dari 25 emiten 16 emiten mengalami underpricing, tahun 2012 dari 23 emiten 22 emiten
mengalami underpricing. Dari tahun 2007 sampai tahun 2012 diketahui ada 125 emiten
yang melakukan IPO ada 100 emiten mengalami underpricing.
Permasalahan penting yang dihadapi emiten pada saat melakukan penawaran saham
perdana adalah penutupan besarnya harga saham perdana. Sedangkan sebagai pihak yang
membutuhkan dana, emiten menginginkan harga yang tinggi. Di sisi lain, harga yang tinggi
akan mempengaruhi respon calon investor untuk membeli saham yang ditawarkan.
Sebaliknya, penjamin emisi berusaha untuk meminimalkan risiko yang ditanggungnya.
Tipe penjaminan yang berlaku di Indonesia adalah full commitment, dimana pihak
penjamin emisi akan membeli saham yang tidak habis terjual saat penawaran perdana.
Keadaan ini membuat penjamin emisi berupaya untuk meminimalkan risiko dengan
melakukan negosiasi dengan emiten agar harga saham-saham tersebut tidak terlalu tinggi,
bahkan cenderung underprice.
Fenomena underpricing dapat terjadi karena adanya asimetri informasi, dimana
asimetri informasi dapat terjadi antara emiten dengan underwriter, maupun antar investor
yang memiliki informasi tentang prospek emiten (Trisnaningsih 2005). Emiten me-
nginginkan harga perdana yang tinggi agar memperoleh dana sebesar yang diharapkan,
disisi lain underwriter berusaha meminimalkan risiko penjaminan dengan menentukan
harga yang dapat diterima oleh investor.
Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
315
Pada proses penawaran perdana, emiten membutuhkan keterlibatan penjamin emisi
sebagai perantara dalam penjualan saham dengan investor. Tinggi rendahnya harga perdana
saham yang akan dibeli investor tergantung kesepakatan antara emiten dengan underwriter,
walaupun emiten dan underwriter bersama-sama dalam penentuan harga perdana saham,
namun sebenarnya masing-masing pihak mempunyai kepentingan yang berbeda. Reputasi
underwriter menjadi menjadi tolok ukur bagi para investor untuk mendapatkan informasi
yang relevan dan dapat dipercaya sebagai pertimbangan investasi.
Fakta fenomena underpricing lebih banyak terjadi pada perusahaan yang melakukan
penawaran umum perdana. Meskipun perusahaan telah menggunakan lembaga penjamin
dan profesi penunjang yang bereputasi tinggi untuk menilai prospektus yang disediakan
oleh perusahaan, hal ini tidak menjamin bahwa underpricing akan turun. Underpricing
dapat dikurangi dengan cara menyajikan informasi akuntansi dan informasi non akuntansi
dalam prospectus. Informasi akuntansi adalah laporan keuangan yang terdiri atas neraca,
perhitungan laba/rugi, laporan arus kas dan penjelasan laporan keuangan. Informasi non
akuntansi adalah informasi selain laporan keuangan, salah satu informasi non akuntansi
yang perlu disajikan adalah intelektual capital (Lang dan Russel 2000).
Meskipun studi tentang underpricing telah banyak dilakukan, namun penelitian ini
masih menarik karena tingginya tingkat underpricing, yang secara teori seharusnya tingkat
underpricing dapat diminimalisir dengan research gap antar peneliti disamping itu beberapa
penelitian hasilnya tidak konsiten. Berdasarkan permasalahn tersebut, maka penelitian ini
akan menguji kembali pengaruh Intellectual Capital Disclosure dan Underwriter
Reputation terhadap IPO Underpricing. Penelitian dilakukan pada perusahaan yang
terdaftar di Bursa Efek Indonesia untuk periode 2007 sampe 2012.
2. Landasan Teori dan Hipotesis
2.1 Signaling Theory
Informasi merupakan unsur penting bagi investor dan pelaku bisnis karena informasi pada
hakekatnya menyajikan keterangan, catatan atau gambaran baik untuk keadaan masa lalu,
saat ini maupun keadaan masa yang akan datang bagi kelangsungan suatu perusahaan dan
bagaimana efek pasarnya. Informasi yang lengkap, relevan, akurat dan tepat waktu sangat
diperlukan oleh investor di pasar modal sebagai alat analisis untuk pengambilan keputusan
investasi.
Teori ini didasarkan pada premis bahwa manajer dan pemegang saham tidak
mempunyai akses informasi perusahaan yang sama. Ada informasi tertentu yang hanya
diketahui oleh manajer, sedangkan pemegang saham tidak tahu informasi tersebut. Jadi, ada
informasi yang tidak simetri (asymmetric information) antara manajer dan pemegang saham.
Akibatnya, ketika struktur modal ataupun kondisi perusahaan mengalami perubahan, hal itu
dapat membawa informasi kepada pemegang saham yang akan mengakibatkan nilai
perusahaan berubah. Dengan kata lain, terjadi pertanda atau sinyal (signalling).
Signalling teory menjelaskan bagaimana seharusnya sinyal-sinyal keberhasilan atau
kegagalan manajemen (perusahaan) disampaikan kepada pemilik (investor). Berdasarkan
teori ini perusahaan dituntut memberikan pengungkapan penuh kondisinya agar investor
dapat memperoleh informasi yang mendorong keputusan investasi mereka. Informasi
merupakan unsur penting bagi investor dan pelaku bisnis karena informasi yang lengkap,
akurat dan tepat waktu bermanfaat sebagai alat analisis untuk mengambil keputusan investasi.
Apabila pengumuman tersebut mengandung nilai positif, maka diharapkan pasar akan
bereaksi pada waktu pengumuman tersebut diterima oleh pasar.
Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
316
Reaksi pasar ditunjukkan dengan adanya perubahan harga saham pada waktu informasi
diumumkan dan semua pelaku pasar sudah menerima informasi tersebut, dimana pelaku pasar
terlebih dahulu menginterpretasikan dan menganalisis informasi tersebut sebagai sinyal baik
(good news) atau sinyal buruk (bad news). Jika pengumuman informasi tersebut sebagai
sinyal baik bagi investor, maka terjadi perubahan dalam harga saham, dimana harga saham
menjadi naik dan sebaliknya. Dengan demikian informasi akuntansi maupun non akuntansi
dapat mempengaruhi ekspektasi investor terhadap intial return setelah IPO.
Teori ini yang paling memungkinkan untuk menjelaskan fenomena IPO underpricing
secara komprehensif. Dalam teori ini, diasumsikan bahwa emiten memiliki informasi yang
sempurna tentang nilai perusahaan dan investor adalah entitas uninformed. Investor kemudian
menilai perusahaan sebagai fungsi dari mekanisme signaling yang berbeda-beda. Dalam
sebuah penelitian oleh Leland dan Pyle pada 1977, kesimpulan yang didapatkan adalah
bahwa perusahaan dapat memberikan sinyal nilai perusahaan kepada pihak luar dengan
menahan beberapa sahamnya (Karlis 2000).
Hipotesis ini menegaskan bahwa perusahaan dengan sengaja menurunkan nilai
penerbitannya yang memiliki tujuan spesifik untuk mendapatkan perhatian dari kenaikan
harga saham pada hari pertama saat listing. Hal tersebut memberikan publikasi tambahan dan
eksposur media bagi perusahaan dengan menyediakan nilai perusahaan kepada investor.
Teknik ini dianggap sebagai grandstanding IPO dan biasanya akan dilakukan oleh
perusahaan yang lebih kecil dan belum lama berdiri yang membutuhkan perhatian investor
dan yang nilainya dianggap sangat tidak pasti oleh investor potensial. Oleh karena itu, tingkat
undepricing akan berbanding terbalik dengan ukuran atau nilai perusahaan emiten.
Willenborg (dalam Karlis 2000) menemukan bahwa meskipun semua perusahaan
mendapatkan keuntungan dari reputasi auditor, perusahaan yang memiliki ukuran berbeda-
beda memilki alasan yang berbeda-beda juga dalam memilih underwriter dan auditor yang
presitisius. Jika sebuah perusahaan menggunakan jasa auditor yang memiliki reputasi baik,
sinyal yang diberikan kepada investor adalah bahwa perusahaan akan mendapatkan
keuntungan dengan hasil analisis laporan keuangan yang lebih akurat (proses audit oleh
auditor). Menurut Karlis 2000, teori ini juga mengasumsikan bahwa underwriter mengetahui
efek signaling dan menggunakannya saat menyetujui kontrak IPO.
Untuk menurunkan risiko penurunan (overpricing), underwriter akan menurunkan
harga saham perdana pada saat IPO. Dengan melakukan hal demikian, mereka menurunkan
risiko yang dapat merusak reputasi mereka dengan penawaran yang undersubscribed dan
overpriced, atau menyeret mereka dalam proses pengadilan efek yang melibatkan investor
dalam emiten yang memiliki risiko tinggi. Ketidakpastian perusahaan dalam melakukan emisi
saham dan motif perusahaan untuk menjaga dan meningkatkan kredibilitas perusahaan adalah
katalis-katalis di balik tujuan underwriter untuk menurunkan harga penawaran saham
perdana.
Determinan yang paling penting dalam ketidakpastian adalah nilai pasar emiten yang
disetujui dan ukuran perusahaan emiten. Oleh karena itu, teori ini memprediksi bahwa jika
nilai pasar emiten berkurang, maka tingkat underpricing akan meningkat. Karena, di dalam
banyak kasus, nilai nilai pasar emiten berhubungan secara langsung dengan nilai dan ukuran
perusahaan penerbit, teori ini memenuhi tren yang sebelumnya disebutkan tentang
underpricing pada masa sekarang. Dalam teori ini juga disebutkan bahwa jika ukuran dan
reputasi underwriter semakin besar, maka underwriter akan cenderung untuk menurunkan
nilai penerbitan.
Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
317
2.2 Asimetri Informasi
Asimetri informasi adalah kondisi di mana ada ketidakseimbangan perolehan informasi
antara pihak manajemen sebagai penyedia informasi dengan pihak pemegang saham dan
stakeholder pada umumnya sebagai pengguna informasi. Asimetri informasi terjadi karena
sifat dasar manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri, manusia memiliki daya pikir
terbatas mengenai persepsi masa mendatang dan manusia selalu menghindari risiko.
Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut, menyebabkan informasi yang dihasilkan
manusia untuk manusia lain selalu dipertanyakan reliabilitasnya dan dapat dipercaya tidaknya
informasi yang disampaikan. Emiten, underwriter (penjamin emisi), masyarakat pemodal
adalah pihak-pihak yang terlibat dalam penawaran perdana pada saat terjadinya underpricing
karena adanya asimetri informasi yang menjelaskan perbedaan informasi. Model Baron
(1982), menganggap underwriter memiliki informasi lebih mengenai pasar modal, sedangkan
emiten tidak memiliki informasi mengenai pasar modal. Oleh karena itu, underwriter
memanfaatkan informasi yang dimiliki untuk membuat kesepakatan harga IPO yang
maksimal, yaitu harga yang memperkecil risikonya apabila saham tidak terjual semua.
Karena emiten kurang memiliki informasi, maka emiten menerima harga yang murah bagi
penawaran sahamnya. Semakin besar ketidakpastian emiten tentang kewajaran harga
sahamnya, maka lebih besar permintaan terhadap jasa underwriter dalam menetapkan harga.
Sehingga underwriter menawarkan harga perdana sahamnya dibawah harga ekuilibrium.
Oleh karena itu akan menyebabkan tingkat underpricing semakin tinggi (Murni 2004).
2.3 Underpricing
Underpricing adalah suatu keadaan dimana harga saham yang diperdagangkan di pasar
perdana lebih murah dibandingkan ketika diperdagangkan di pasar skunder dan me-
mungkinkan investor memperoleh initial return positif. Fenomena underpricing inilah yang
menarik investor untuk membeli saham perusahaan yang menjanjikan keuntungan bila
dijual di pasar skunder. Fenomena underpricing terjadi karena adanya asimetri informasi
sebagai akibat tidak seimbangnya informasi antara underwriter dengan emiten.
Harga saham yang terjadi di pasar skunder ditentukan oleh mekanisme kekuatan
penawaran dan permintaan. Sedangkan harga saham yang dijual di pasar perdana (IPO)
telah ditentukan lebih dahulu berdasarkan kesepakatan antara emiten dan penjamin emisi.
Perbedaan penentuan harga ini terjadi karena masing-masing pihak mempunyai kepentingan
yang berbeda. Emiten menginginkan dana yang banyak sesuai kesepakatan harga yang telah
ditentukan, sementara underwriter berusaha menjual di pasar perdana dengan harga lebih
murah untuk menarik investor, hal ini dilakukan untuk memperkecil risiko karena saham
tidak laku dijual.
Emiten akan menerima harga yang murah bagi penawaran sahamnya karena kurang
memiliki informasi tentang investor. Implikasinya semakin sedikitnya informasi yang
dimiliki emiten dan semakin besar ketidakpastian emiten tentang kewajaran harga saham
untuk investor, maka lebih besar permintaan jasa underwriter dalam menetapkan harga.
Sebagai kompensasi atas informasi yang diberikan oleh underwriter, emiten mengijinkan
underwriter menawarkan harga sahamnya dibawah harga ekuilibrium. Dengan demikian
semakin besar ketidakpastian akan semakin besar risiko yang dihadapi underwriter, maka
tingkat underpricing semakin tinggi.
Underpricing merupakan biaya tidak langsung bagi perusahaan yang melakukan IPO.
Artinya, bila harga saham dapat diterima di pasar dengan harga yang lebih tinggi, kenapa
tidak dijual dengan harga tersebut, yaitu harga pada saat penutupan hari pertama dipasar
sekunder. Para pemilik perusahaan menginginkan agar dapat meminimalisir underpricing
Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
318
karena terjadinya underpricing akan menyebabkan transfer kemakmuran dari pemilik kepada
investor (Beatty 1989).
Mc Donald dan Fisher (1973) dalam Nyoman dan Suad (2004:426) menyatakan bahwa
pada saat terjadinya underpricing, perbedaan antara offering price dengan harga pasar setelah
penawaran perdana merupakan “rent” atau bayaran yang didistribusikan oleh penjamin emisi
kepada pembeli awal saham, sehingga IPO akan meningkat dengan tajam setelah
diperdagangkan di pasar sekunder.
Investor tidak akan membeli saham jika informasi yang didapat tidak cukup
meyakinkan untuk mendapatkan keuntungan pada pembelian saham perdana. Sedangkan
biaya penyebaran informasi perusahaan yang sempurna pada calon pembeli tidak murah,
sehingga untuk mengkompensasikan informasi yang kurang tersebut perusahaan melakukan
underpricing. Semakin tinggi ketidakpastian semakin tinggi pula tingkat underpricing yang
ditanggung perusahaan.
2.4 Pengungkapan Intelektual Capital
Intelektual capital adalah intelektual yang diformalkan, ditangkap, dan dimanfaatkan untuk
menghasilkan asset senilai lebih tinggi (Guthrie dan Richard 2000). Menurut Bontis (2001)
saat ini belum ada standar akuntansi yang mengatur secara sistematis tentang
pengidentifikasian, pengukuran, dan pelaporan intelektual capital sehingga pengungkapan
masih bersifat sukarela. Intellectual capital disclosure akan meningkatkan relevansi dan
reliabilitas laporan keuangan terutama untuk memprediksi kinerja keuangan perusahaan
dimasa yang akan datang. Intellectual capital sering didefinisikan sebagai sumber daya
pengetahuan dalam bentuk karyawan, pelanggan, proses atau teknologi yang dapat
digunakan perusahaan dalam proses penciptaan nilai bagi perusahaan (Bukh et al. 2005).
Singh dan Van der Zahn (2007; 2008) dalam penelitiannya menggunakan indeks pe-
ngungkapan intellectual capital yang dikembangkan dari indeks penelitian sebelumnya oleh
Bukh et al. (2005). Indeks pengungkapan tersebut dari 84 item yang membagi intellectual
capital menjadi 6 komponen, yaitu: karyawan ada 28 item, pelanggan ada 16 item, teknologi
informasi ada 6 item, proses ada 9 item, riset dan pengembangan (R&D) ada 9 item, serta
pernyataan strategis ada 16 item.
2.5 Reputasi Underwriter
Penjamin emisi efek adalah pihak yang membuat kontrak dengan emiten untuk melakukan
penawaran umum bagi kepentingan emiten dengan atau tanpa kewajiban membeli sisa efek
yang tidak terjual (Jogiyanto 2010). Sedangkan menurut Tandelilin (2011) penjamin emisi
berperan sebagai lembaga perantara emisi yang menjamin penjualan sekuritas yang
diterbitkan emiten. Penjamin emisi merupakan mediator yang mempertemukan emiten dan
investor.
Underwriter harus membuat strategi untuk mengalokasikan saham kepada investor
dan harus dapat memberikan informasi berharga mengenai harga IPO. Adanya hubungan
antara investor (investor institusi) dengan underwriter dimasa lalu, memungkinkan
underwriter mengalokasikan saham lebih besar untuk investor yang sama dalam industri
yang sama. Pengalokasian saham yang besar kepada investor institusi, akan mempengaruhi
besarnya underpricing karena adanya kepentingan underwriter dalam menyukseskan
penjualan saham perdana yang dijaminnya serta kontrol yang dimiliki oleh investor institusi
dalam mempengaruhi level aktivitas IPO dan dalam membentuk level underpricing.
2.6 Modal Intelektual dan Underpricing
Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
319
Berdasarkan teori signaling, emiten dan underwriter biasanya dengan sengaja akan
menurunkan harga penawaran saham perdana dengan tujuan untuk mengkompensasi
investor atas adanya informasi asimetri yang terjadi. Teori ini juga menjelaskan bagaimana
informasi asimetri dapat dikurangi dengan cara salah satu pihak memberikan signal
informasi kepada pihak lain. Agar sinyal tersebut efektif, maka harus dapat ditangkap pasar
dan dipersepsikan baik, serta tidak mudah ditiru oleh perusahaan yang berkualitas buruk.
Salah satu informasi yang dapat dijadikan sinyal adalah pengumuman yang dilakukan oleh
emiten. Peningkatan pengungkapan informasi keuangan dan non-keuangan dalam pros-
pectus dianggap sebagai mekanisme potensial untuk mengurangi asimetri informasi yang
terjadi pada saat IPO (Bukh 2003).
Pengungkapan intelektual capital menjadi salah satu komponen penting dalam
pengungkapan di dalam prospectus. Dengan adanya pengungkapan intelektual capital,
diharapkan dapat mengurangi terjadinya informasi asimetri sehingga investor dapat
menerima sinyal positif dengan memperoleh lebih banyak informasi mengenai perusahaan
dan menilai perusahaan dengan lebih baik. Ketidakpastian yang dapat mempengaruhi
tingkat underpricing dapat berkurang dan underpricing akan lebih rendah. Dari paparan
tersebut, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
H1: Pengungkapan intelektual capital berpengaruh negatif terhadap tingkat underpricing
2.7 Reputasi Underwriter dan Underpricing
Semakin besar ketidakpastian akan semakin besar risiko yang dihadapi underwriter, maka
akan menyebabkan tingkat underpricing semakin tinggi. Hal ini disebabkan karena
underwriter menggunakan kesanggupan penuh (full commitment underwriting) sehingga
underwriter mengikatkan diri untuk menawarkan saham kepada publik dan membeli sisa
saham. Keadaan ini membuat underwriter berusaha menjual di pasar perdana kemudian
membeli saham yang tidak laku dengan harga sama dengan penawaran di pasar perdana.
Agar saham habis terjual, maka underwriter berusaha menekan harga.
Reputasi penjamin emisi dapat digunakan sebagai sinyal untuk mengurangi tingkat
ketidakpastian yang tidak dapat diungkapkan oleh informasi yang terdapat dalam
prospectus dan memberi sinyal bahwa informasi privat dari emiten mengenai prospek
perusahaan di masa yang akan datang. Pasar percaya bahwa underwriter yang bereputasi
baik tidak akan menjamin perusahaan yang berkualitas rendah. Sehingga semakin tinggi
reputasi underwriter maka mencerminkan risiko perusahaan IPO tersebut rendah serta
rendah pula tingkat ketidakpastian harga saham di masa yang akan datang, sehingga tingkat
underpricing juga rendah (Carter dan Steven 1990). Dari paparan tersebut, maka hipotesis
yang diajukan dalam penelitian ini adalah:
H2: Reputasi underwriter berpengaruh negatif terhadap IPO underpricing
3. Metoda Penelitian
Metode pemilihan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling,
yaitu seluruh perusahaan yang melakukan IPO dan mengalami underpricing di Bursa Efek
Indonesia periode Januari 2007- Desember 2012. Data yang diperlukan meliputi data
kuantitatif berupa data harga penawaran saham perdana (offering price) saham, harga
penutupan (closing price) saham hari pertama di pasar skunder. Data kualitatif yang
diperlukan berupa data pengungkapan intelektual capital dan underwriter. Data tersebut
diperoleh dari www.idx.co.id, IDX Fact book, IDX Statistic 2007 – 2012, ICMD 2007 –
Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
320
2012, PDEB UGM, Media masa, internet serta publikasi lain yang dapat membantu
penelitian ini.
Berikut jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini:
Tabel 1 Sampel penelitian
Keterangan Jumlah
Perusahaan yang melakukan IPO periode 2007 - 2012 125
Perusahaan yang tidak underpricing (22)
Perusahaan yang laporannya keuangannya negatif (3)
Sampel yang digunakan 100
Untuk menjawab hipotesis digunakan model sebagai berikut:
UNDί = α + β1ICi + β2URi + β3SIZEi + ε
α = Konstan
β = Koefisien regresi
ε = residual error
UNDi = Tingkat underpricing perusahaan i
ICi = Modal Intellectual perusahaan i
RUi = Reputasi Underwriter perusahaan i
SIZEi = Ukuran perusahaan i
Tingkat underpricing perusahaan (notasi UND)
Underpricing diukur dengan menggunakan initial return atau return awal yaitu selisih antara
harga saham pada hari pertama penutupan (closing price) pada pasar skunder dikurangi harga
di pasar perdana dibagi dengan harga di pasar perdana
closing price – offering prices
Initial Return = -------------------------------------- x 100% ………… (1)
offering prices
Intellectual Capital (notasi IC)
Pengungkapan intelektual capital digunakan indek untuk menentukan persentase
pengungkapan dalam prospectus dengan content analysis. Content analysis dilakukan dengan
membaca laporan prospectus atau annual report setiap perusahaan sampel dan memberi kode
dikotomi tanpa mempertimbangkan bobot masing-masing yaitu memberi skor 1 jika atribut
intelektual capital diungkapkan, dan skor 0 jika atribut intelektual capital tidak diungkapkan.
Selanjutnya, indeks pengungkapan dihitung dengan cara berikut;
Jumlah IC yang diungkapkan dalam prospectus
Indek intelektual capital = ---------------------------------------------------------- x 100% … (2)
Jumlah IC yang seharusnya diungkapkan
Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
321
Jumlah pengungkapan intelektual capital yang seharusnya dalam penelitian ini ada 84 item yang
digunakan oleh Singh dan Van der Zahn (2007) dengan menggunakan indeks pengungkapan
intellectual capital yang dikembangkan dari indeks penelitian sebelumnya oleh Bukh et al.
(2005). Indeks pengungkapan tersebut dari 84 item yang membagi intellectual capital
menjadi 6 komponen, yaitu: karyawan ada 28 item, pelanggan ada 16 item, teknologi
informasi ada 6 item, proses ada 9 item, riset dan pengembangan (R&D) ada 9 item, serta
pernyataan strategis ada 16 item.
Reputasi Underwriter (notasi RU)
Reputasi underwriter diukur dengan memberi kode 1 untuk penjamin emisi yang masuk
peringkat 20 dari 50 most active IDX members in total trading frequency dan kode 0 untuk
penjamin emisi yang tidak masuk peringkat 20 dari 50 most active IDX members in total
trading frequency.
Ukuran perusahaan (sebagai variabel control = notasi size)
Ukuran perusahaan diukur dengan menggunakan logaritma natural (ln) dari total asset yang
dimiliki perusahaan pada periode terakhir sebelum melakukan IPO. Menurut Martani dan
Chastina 2005, perusahaan dengan asset besar akan memberikan sinyal bahwa perusahaan
memiliki prospek bagus dan dapat mengurangi ketidakpastian dimasa yang akan datang. Hal
ini mengindikasikan bahwa ada hubungan antara ukuran perusahaan dengan tingkat
underpricing.
4. Hasil dan Pembahasan
Tabel 2 Deskripsi data
Variabel N Minimum Maksimum Mean Deviasi Std.
IPO Underpricing 100 0,014 0,710 0,297 0.211
IC Disclosure 100 .071 0,675 0,341 0.157
Size 100 18,718 31,519 27.644 2.078
Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata underpricing saham dari pengamatan terhadap 100
perusahaan lebih dari 25%, rata-rata pengungkapan modal intelektual pada perusahaan
kurang dari 50%. Emiten yang mengalami underpricing terendah 1,4% adalah PT Elang
Mahkota Teknologi Tbk, sedangkan emiten dengan tingkat underpricing tertinggi adalah
71% terjadi pada perusahaan Bekasi Asri Pemula Tbk, Triwira Insanlestari Tbk, Destinasi
Tirta Nusantara Tbk, PT Bank Sinarmas Tbk, dan PT Multifiling Mitra Indonesia Tbk, Tri
Bayan Tirta Tbk, dan Waskita Karya Tbk. Pengungkapan modal intelektual terendah 7,1%
oleh PT Golden Retalindo Tbk dan pengungkapan modal intelektual tertinggi 67,5% PT
Indofood CBP Sukses Makmur Tbk.
Tabel 3 Deskripsi data berdasar kelompok pengungkapan
Keterangan Sampai 50% Lebih dari 50%
Jumlah sampel Rata-rata Jumlah sampel Rata-rata
IPO Underpricing 84 19,22% 16 65,19%
IC Disclosure 86 29,59% 14 61,79%
Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
322
IC Disclosure Sampai
50%
IC Disclosure lebih dari
50%
IPO Underpricing 29,5% 27,45%
Pada tabel 3 terlihat bahwa dari 100 sampel perusahaan yang diamati dengan tingkat
underpricing kurang dari 50% lebih banyak daripada perusahaan yang mengalami
underpricing lebih dari 50%. Perusahaan dengan tingkat pengungkapan intellectual capital
kurang dari 50% juga lebih banyak dari perusahaan dengan tingkat pengungkapan intellectual
capital lebih dari 50%. Perusahaan yang mengungkapkan intelektual capital sampai 50%
mengalami underpricing lebih besar dari perusahaan yang mengungkapkan intellectual
capital lebih dari 50%. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pengungkapan
intellectual capital akan semakin rendah tingkat underpricing saham.
Tabel 4: Deskripsi data untuk reputasi underwriter
Keterangan Frekuensi Persen
Tidak masuk peringkat 42 42
Masuk Peringkat 58 58
Total 100 100
Pada tabel 4 tersebut terlihat bahwa penjamin emisi yang masuk peringkat 20 dari 50 most
active IDX members in total trading frequency lebih dari 50%. Hal ini mengindikasikan
bahwa lebih dari 50% penjamin emisi dalam perusahaan sampel adalah penjamin emisi
yang berkualitas termasuk dalam peringkat 20 dari 50 most active IDX members in total
trading frequency.
Hasil Analisis Regresi untuk menguji hipotesis dapat dilihat pada tabel 5 berikut:
Tabel 5 Hasil uji hipotesis
Koefisien T Sig VIF
Constant 0.474 1.783 0.078
Modal Intelektual -0.292 -2.163 0.033 1.040
Reputasi Underwriter -0.144 -3.561 0.001 1.017
Ukuran Perusahaan 0.00 0.023 0.982 1.047
ependen Variabel: Underpricing Durbin-Watson; 1.805
F Statistik: 6.341 Signifikansi: 0,001
R2 : 0,165 Adjusted R
2 : 0,139
signifikan pada
α = 5%, R
2 dan Adjusted R
2 untuk menguji besarnya
korelasi, F Statistik untuk menguji model
Pada tabel 5 dapat dilihat hasil uji asumsi klasik gejala multikolonearitas data dengan VIF
(Variance Inflation Factor) kurang dari 10 menunjukkan bahwa model regresi terbebas dari
gangguan multikolinearitas (Ghozali 2007). Hasil uji autokolerasi menujukkan nilai Durbin-
Watson berada diantara nilai du – 4 du atau antara 1,6819 – 2,3181 berarti tidak terjadi gejala
autokorelasi dalam model regresi. Nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 16,5% dan
adjusted R2 sebesar 13,9%. Hal ini menunjukkan bahwa variabel modal intelektual dan
Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
323
reputasi underwriter hanya dapat menjelaskan 16,5% (13,9%), sehingga masih banyak
variabel yang bisa diteliti berkaitan dengan underpricing saham saat IPO.
Hasil regresi berganda menunjukkan nilai F statistik kurang dari 5%, hal ini
menunjukkan bahwa model dalam penelitian ini dapat digunakan. Hasil uji hipotesis pada
tabel 5 terlihat bahwa nilai signifikansi untuk variabel intellectual capital disclosure dan
reputasi underwriter signifikan dibawah 5% dengan angka t negative. Hal ini menunjukkan
bahwa intellectual capital disclosure dan reputasi underwriter secara negative mempengaruhi
tingkat underpricing. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi intellectual capital
disclosure, maka dapat mengurangi underpricing, begitu juga reputasi underwriter yang baik
dapat mengurangi underpricing.
Intellectual capital disclosure dapat mengurangi asimetri informasi antara investor
dengan agen perusahaan yang dapat mempengaruhi tingkat underpricing. Intellectual capital
disclosure dapat menjadi salah satu sumber informasi yang bermanfaat bagi pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap perusahaan dalam proses pembuatan keputusan, karena intellectual
capital disclosure dapat membuat laporan keuangan menjadi lebih relevan dan reliabel
terutama untuk memprediksi kinerja keuangan di masa yang akan datang. Hal ini
menunjukkan bahwa investor mulai mempertimbangkan intellectual capital disclosure
sebagai salah satu hal yang diperhatikan untuk pengambilan keputusan dalam membeli saham
perdana.
Reputasi underwriter merupakan sinyal bagi pasar. Underwriter dengan reputasi
yang baik akan memberikan sinyal positif terhadap pasar karena underwriter dengan
reputasi yang baik memiliki banyak informasi di pasar modal dan lebih memiliki
kemampuan dalam mengelola harga saham. Dengan adanya sinyal positif yang diberikan
oleh underwriter dengan reputasi yang baik, maka tingkat underpricing dapat dikurangi.
5. Simpulan
Pengujian menggunakan analisis regresi memperoleh hasil bahwa intellectual capital
disclosure dan reputasi underwriter berpengaruh negative terhadap underpricing saham.
Hal ini mengindikasikan bahwa intellectual capital disclosure yang tinggi dan reputasi
underwriter yang baik dapat mengurangi underpricing saham saat IPO di Bursa Efek
Indonesia. Hasil pengujian koefisien determinasi dalam penelitian ini masih rendah
sehingga perlu menguji dengan menambah variabel lain seperti leverage, ROE, kondisi
perekonomian, struktur kepemilikan, rata-rata kurs, jenis industry, karakteristik investor
dan reputasi auditor. Penelitian selanjutnya juga dapat menguji intellectual capital
disclosure dengan cara memisahkan pengungkapan yang wajib (mandatory) dengan
pengungkapan yang sukarela (voluntary).
Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
324
Daftar Referensi
Baron. 1982. A Model of the Demand for Investment Banking Advising and Distribution
Services for New Issues. Journal of finance 37/4: 955-976.
Beatty, Randolph P. 1989. Auditor Reputation and the Pricing of Initial Public Offerings.
The Accounting Review. Vol 64/4: 693-709.
Bontis, Nick. 2001. Assessing Knowledge Assets: A Review of the Models Used to Measure
Intellectual Capital. International Journal of Management Reviews. Vol. 3/1: 41-60.
Bukh, Per Nikolaj. 2003. The Relevance of Intellectual Capital Disclosure: A Paradox?.
Accounting, Auditing, and Accountability Journal. Vol. 16/1: 49-56.
Bukh, Per Nikolaj. Christian Nielsen. Peter Gormsen. dan Jan Mouritsen. 2005. Disclosure
of Information on Intellectual Capital in Danish IPO Prospectuses. Accounting,
Auditing, and Accountability Journal. Vol. 18/6: 713-732.
Carter, Richard dan Steven Manaster. 1990. Initial Public Offerings and Underwriter
Reputation. The Journal of Finance. Vol. 45/4: 1045- 1067.
Ghozali, Imam. 2007. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Guthrie, James dan Richard Petty. 2000. Intellectual Capital Literature Review;
Measurement, reporting, and Management. Journal of Intellectual Capital, Vol 1, No.
2: 156-176
Jogiyanto, Hartono. 2010. Teori Portofolio dan Analisis Investasi. Edisi Ketujuh.
Yogyakarta: BPFE
Karlis, Peter L. 2000. IPO Underpricing. The Park Place Economist. Vol. 8: 81-89.
Lang, Mark H. dan Russel J. Lundholm. 2000. Voluntary Disclosure and Equity Offerings:
Reducing Information Asymmetry or Hyping the Stock?. Contemporary Accounting
Research. Vol. 17/4: 623-662.
Martani, Dwi dan Yolana, Chastina. 2005. Variabel-variabel yang Mempengaruhi
Fenomena Underpricing Pada Penawaran Saham Perdana di BEJ Tahun 1994 –
2001. Proceedings. Simposium Nasional Akuntansi VIII, Solo, Indonesia: 538-553.
Murni, Siti Asiah. 2004. Pengaruh Luas Ungkapan Sukarela dan Asimetri Informasi
Terhadap Cost of Equity Capital pada Perusahaan Publik di Indonesia. Jurnal Riset
Akuntansi Indonesia. Vol. 7/2: 192-206.
Nyoman, T dan Suad Husnan. 2004. Perbandingan Abnormal Return Emisi Saham
Perdana Perusahaan Keuangan dan Non-keuangan di Pasar Modal Indonesia:
Pengujian Terhadap Hipotesis Informasi Asimetri. Sosiosains. XVII/3
Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
325
Singh, Inderpal dan Mitchell Van der Zahn. 2007. Does Intellectual Capital Disclosure
Reduce an IPO’s Cost of Capital? The Case of Underpricing. Journal of Intellectual
Capital, Vol. 8/3: 404-516.
Singh, Inderpal dan Mitchell Van der Zahn. 2008. Determinants of Intellectual Capital
Disclosure in Prospectuses of Initial Public Offerings. Journal of Accounting and
Business Research. Vol. 38/5: 409-431.
Tandelilin, Eduardus. 2011. Analisis Investasi & Manajemen Portofolio. Yogyakarta: BPFE
Yogyakarta.
Trisnaningsih. 2005. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Underpricing
pada Perusahaan yang Go Public di Bursa Efek Jakarta, Jurnal Akuntansi dan
Keuangan. Vol/2: 195–210
Lampiran
Daftar Perusahaan Sampel
No CODE Emiten IPO Date
1 BISI Bisi Internasioanal Tbk 28-Mei-07
2 WEHA Panorama Transportasi Tbk 31-Mei-07
3 BKDP Bukit Dramo Property Tbk 15-Jun-07
4 SGRO Sampoerna Agro Tbk 18-Jun-07
5 MNCN Media Nusantara Citra Tbk 22-Jun-07
6 MCOR Bank Windu Kentjana Internasional Tbk 3-Jul-07
7 PKPK Perdana Karya Perkasa Tbk 11-Jul-07
8 LCGP Laguna Capital Griya Tbk 13-Jul-07
9 DEWA Darma Henwa Tbk 26-Sep-07
10 BACA Bank Capital Indonesia Tbk 04-Okt-07
11 GPRA Perdana Gapuraprima Tbk 10-Okt-07
12 WIKA Wijaya Karya ( persero) Tbk 9-Jul-07
13 ACES Ace Hardware Indonesia Tbk 6-Nov-07
14 PTSN Sat Nusapersada Tbk 8-Nov-07
15 JSMR Jasa Marga( Persero) Tbk 12-Nov-07
16 JKON Jaya Konstruksi Manggala Pratama Tbk 04-Des-07
17 CSAP Catur sentosa Adiprana Tbk 12-Des-07
18 ASRI Alam Sutera Reality Tbk 18-Des-07
19 ITMG Indo Tambangraya Megah Tbk 18-Des-07
20 COWL Cowell Development Tbk 19-Des-07
21 ADRO Adaro Energy Tbk 16-Jul-08
21 BAEK Bank Ekonomi Raharja Tbk 8-Jan-08
23 BAPA Bekasi Asri Pemula Tbk 14-Jan-08
24 DBSDE Bumi Serpong Damau Tbk 6-Jun-08
Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
326
25 YPAS Yanaprima Hastpersada Tbk 5-Mar-08
26 ELSA Elnusa Tbk 6-Feb-08
27 GZCO Gosco Plantations Tbk 15-Mei-08
28 TPIA Candrha Asri Putra chemical Tbk 26-Mei-08
29 TRAM Trada Maritime Tbk 10-Sep-08
30 TRIL Triwira Insanlestari Tbk 28-Jan-08
31 KOIN Kokoh Inti Arebama Tbk 9-Apr-08
32 SIAP Sekawan Inti Pratama Tbk 17-Okt-08
33 HOME Hotel Manadarin Regency Tbk 17-Jul-08
34 INDY Indika Energy Tbk 11-Jun-08
35 PDES Destinasi Tirta Nusantara Tbk 8-Jul-08
36 BWPT BW Plantation Tbk 27-Okt-09
37 DSSA Dian Swastatika Sentosa Tbk 10-Des-09
38 INFC Inovisi Invracom Tbk 3-Jul-09
39 TRIO Trikomsel Oke Tbk 14-Apr-09
40 BBTN Bank Tabungan Negeri ( persero) Tbk 17-Des-09
41 BCIP Bumi Citra Permai Tbk 11-Des-09
42 BPFI Batavia Prosperindo Finance Tbk 1-Jun-09
43 MKPI Metropolitan Kentjana Tbk 10-Jul-09
44 EMTK PT Elang Mahkota Tbk 12-Jan-10
45 PTPP PT Pembangunan Perumahan ( persero) Tbk 9-Feb-10
46 BIPI PT Benakat Petroleum Energy Tbk 11-Feb-10
47 ROTI PT Nippon Indosari Corporindo Tbk 28-Jun-10
48 GOLD PT Golden Retailendo Tbk 7-Jul-10
49 SKYB PT Skybee Tbk 7-Jul-10
50 BCBR PT BPD Jawa Barat dan Banten Tbk 8-Jul-10
51 IPOL PT Indopoly Swakarsa Industri Tbk 9-Jul-10
52 GREEN PT Evergreen Invesco Tbk 9-Jul-10
53 BUVA PT Bukit Uluwatu Villa Tbk 12-Jul-10
54 BRAU PT Brau Coal Energy Tbk 19-Agust-10
55 HRUM PT Harum Energy Tbk 06-Okt-10
56 ICBP PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk 07-Okt-10
57 TBIG PT Tower Bersama Infrastructur Tbk 25-Okt-10
58 KRAS Krakatau Steel Tbk 10-Nop-10
59 APLN PT Agung Podomoro Land Tbk 11-Nop-10
60 MIDI PT Midi utama Indenesia Tbk 30-Nop-10
61 BSIM PT Bank Sinarmas Tbk 13-Des-10
62 MFMI PT Multi Feeling Mitra Indonesia Tbk 29-Des-10
63 MBSS Mitrabahtera Segara Sejati Tbk 6-Apr-11
64 SRAJ Sejahteraraya Anugrahjaya Tbk 11-Apr-11
65 HDFA HD Finance Tbk 10-Mei-11
Zulhawati Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
Vol.1, Nomor 2, Feb 2014
327
66 BULL Buana Listya Tama Tbk 23-Mei-11
67 SIMP Salim Ifomas Pratama Tbk 9-Jun-11
68 TIFA Tifa Fince Tbk 8-Jul-11
69 PTIS Indo Straits Tbk 12-Jul-11
70 ALDO Alkondo Naratama Tbk 12-Jul-11
71 STAR Star Petrocem Tbk 13-Jul-11
72 SUPR Solusi Tunas Pratama 11-Okt-11
73 ARII Atlas Resources Tbk 08-Nop-11
74 GEMS Golden Energy Mines Tbk 17-Nop-11
75 FIFA Fisi Media Asia Tbk 21-Apr-11
76 ABMM ABM Investama Tbk 06-Des-11
77 SDMU Sidomulyo Selaras Tbk 12-Jul-11
78 BAJA Saranacentral Bajatama Tbk 21-Des-11
79 PADI Minna Padi Investama Tbk 9-Jan-12
80 TELE Tipnone Mobile Indonesia Tbk 12-Jan-12
81 ESSA Surya Essa Perkasa Tbk 1-Feb-12
82 BEST Bekasi Fajar Industrial Estate Tbk 10-Apr-12
83 RANC Supra Boga Lestari Tbk 7-Jun-12
84 TRIS Trisula Internasional Tbk 28-Jun-12
85 KOBX Kobexindo Tractors Tbk 5-Jul-12
86 TOBA Toba Bara Sejahtera Tbk 6-Jul-12
87 MSKY MNC Sky Vision Tbk 9-Jul-12
88 ALTO Tri Bayan Tirta Tbk 10-Jul-12
89 GLOB Global Teleshop Tbk 10-Jul-12
90 GAMA Gading Develop Tbk 11-Jul-12
91 BJTM Bank Pembangunan Daerah Jawa Timur Tbk 12-Jul-12
92 IBST Inti Bangun Sejahtera Tbk 31-Aug-12
93 NIRO Nirvana Development Tbk 13-Sep-12
94 PALM Provident Agro Tbk 08-Okt-2012
95 NELY Pelayaran Nelly Dwi Putri Tbk 11-Okt-2012
96 TAXI Express Transindo Utama Tbk 2-Nov-12
97 BSSR Baramulti Suksesarana Tbk 8-Nov-12
98 ASSA Adi Sarana Tbk 12-Nov-12
99 WIIM Wismilak Inti Makmur Tbk 18-Nov-12
100 WSKT Waskita Karya Tbk 19-Nov-12