jurnal ekonomi dan bisnis indonesia vol 12 no.2 tahun 1997

22
PENGUKURAN KINERJA PERUSAHAAN DENGAN BALANCED SCORECARD: BENTUK, MEKANISME, DAN PROSPEK APLIKASINY A PADA BUMN Bambang Sudibyo Universitas Gadjah Mada LATAR BELAKANG DAN STATUS Balanced Scorecaid (BSC), sebagaimana dituturkan oleh penciptanya yaitu Robert S. Kaplan dan David P. Norton (Kaplan dan Norton, 19% A), bermula dari suatu penelitian satu tahun pada selusin perusahaan-Advanced Micro Devices, American Standard, Apple Computer, Bell South, CIENA, Conner Peripherals, Coy Research, Du Pont, Electronic Data Systems, General Electric, Hewlett- Pachard, dan Shell Canada pada tahun 1990 disponsori oleh Nolan Norton Institute, lembaga penelitian milik KPMG. Penelitian itu berjudul "Measuring Performance in the Organization of the Future," dan David Norton, CEO dari Nolan Norton, bertindak sebagai ketua tim peneliti sementara Bob Kaplan menjadi konsultan akademisnya. Studi itu dimotivasi oleh keyakinan bahwa model pengukuran kinerja perusahaan melalui akuntansi keuangan tidak lagi memadai dan bahkan bisa menghambat kemampuan perusahaan menciptakan nilai ekonomis di masa yang akan datang. Motivasi ini tentu mengingatkan kita pada buku Johnson dan Kaplan berjudul "Relevance Lost' (1987) yang menceritakan perkembangan akuntansi manajemen yang cenderung lebih memenuhi selera sofistikasi akademik daripada menjawab permasalahan rifl dalam bisnis. Temuan- temuan dari studi itu diringkas dalam suatu attikel, Measures That Drive Performance!' di Harvard Business Review (HBR) edisi Januari-Februari 1992 (Kaplan dan Norton, 1992). Pengamatan lebih lanjut terhadap penerapan BSC di beberapa perusahaan menyadarkan Kaplan dan Norton bahwa BSC bisa dipakai lebih dari sekedar sebagai sistem pengukuran, melainkan juga untuk mengkomunikasikan strategi Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Upload: others

Post on 18-Oct-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

PENGUKURAN KINERJA PERUSAHAAN

DENGAN BALANCED SCORECARD: BENTUK,

MEKANISME, DAN PROSPEK APLIKASINY A PADA

BUMN

Bambang SudibyoUniversitas Gadjah Mada

LATAR BELAKANG DAN STATUS

Balanced Scorecaid (BSC), sebagaimana dituturkan oleh penciptanya yaitu

Robert S. Kaplan dan David P. Norton (Kaplan dan Norton, 19% A), bermula dari

suatu penelitian satu tahun pada selusin perusahaan-Advanced Micro Devices,

American Standard, Apple Computer, Bell South, CIENA, Conner Peripherals,

Coy Research, Du Pont, Electronic Data Systems, General Electric, Hewlett-

Pachard, dan Shell Canada pada tahun 1990 disponsori oleh Nolan Norton

Institute, lembaga penelitian milik KPMG. Penelitian itu berjudul "Measuring

Performance in the Organization of the Future," dan David Norton, CEO dari

Nolan Norton, bertindak sebagai ketua tim peneliti sementara Bob Kaplan

menjadi konsultan akademisnya. Studi itu dimotivasi oleh keyakinan bahwa

model pengukuran kinerja perusahaan melalui akuntansi keuangan tidak lagi

memadai dan bahkan bisa menghambat kemampuan perusahaan menciptakan nilai

ekonomis di masa yang akan datang. Motivasi ini tentu mengingatkan kita pada

buku Johnson dan Kaplan berjudul "Relevance Lost' (1987) yang menceritakan

perkembangan akuntansi manajemen yang cenderung lebih memenuhi selera

sofistikasi akademik daripada menjawab permasalahan rifl dalam bisnis. Temuan-

temuan dari studi itu diringkas dalam suatu attikel, Measures That Drive

Performance!' di Harvard Business Review (HBR) edisi Januari-Februari 1992

(Kaplan dan Norton, 1992).

Pengamatan lebih lanjut terhadap penerapan BSC di beberapa perusahaan

menyadarkan Kaplan dan Norton bahwa BSC bisa dipakai lebih dari sekedar

sebagai sistem pengukuran, melainkan juga untuk mengkomunikasikan strategi

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Page 2: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

baru dan mengalign organisasi terhadap strategi baru itu. Observasi ini mereka

tulis dalam artikel HBR lain dengan judul "Putting the Balanced Scorecard to

Work," (Kaplan dan Norton, 1993). Pengamatan lebih lanjut terhadap penggunaan

banyak ukuran dalam BSC yang satu sama lain dirangkai bersama oleh suatu seri

hubungan sebab-akibat mengantarkan mereka pada kesimpulan baru, yaitu bahwa

BSC bisa dipakai untuk mengelok strategi. Tegasnya BSC adalah suatu sistem

manajemen yang bisa dipakai sebagai kerangka sentral dalam berbagai proses

managerial penting: penentuan gol individual dan tim, pemberian konpensasi,

alokasi sumberdaya, perencanaan dan peranggaran, pemberian umpan balik

strategis, dan pemberdayaan karyawan serta penumbuhan iklim belajar dalam

organisasi. Perkembangan baru ini mereka laporkan dalam artikel HBR yang

ketiga, "Using the Balanced Scorecard as a Strategic Management System'

(Kaplan dan Norton, 1996). Dan akhirnya, laporan yang paling komprehensif

tentang BSC ini mereka tulis dalam buku monograf berjudul "The Balanced

Scorecard' (Kaplan dan Norton, 199 A), acuan utama penulis dalam penulisan

makalah ini. Mereka berharap BSC masih akan berkembang lebih lanjut, terbukti

dari pengakuan mereka bahwa monograf itu masih merapakan suatu progress

report.

Pada hemat penulis ada dua faktor penting saling berhubungan yang

melatar-belakangi lahirnya BSC, yaitu 1) semakin tidak memadainya pengukuran

akuntansi untuk merefleksikan realitas bisnis yang mulai terasa sejak dekade

1970an, dan 2) terjadinya pergeseran-pergeseran fundamental dalam lingkungan

bisnis sejak dekade 1970 an yang menyebabkan pergeseran-pergeseran yang

fundamental pula dalam paradigma dan pendekatan manajemen bisnis pada

dekade 1980an dan 1990an. Akuntansi keuangan sudah dirundung kontroversi

sejak dekade 1960an. Misalnya kontroversi dalam metode penilaian aset dan

pengukuran zmomeantara kubu entry-value (Edwards dan Bell 1961) dan exit-

value (Sterling, 1970; Chambers, 1965), kontroversi tentang akuntansi inflasi,

kontroversi tentang obyek pengukuran akuntansi (Sorter, 1969), dan kontroversi

tentang tujuan akuntansi keuangan. Financial Accounting Standard Board

(FASB), yang didirikan di Amerika Serikat pada akrtir dekade 1970an untuk

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Page 3: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

mengatasi berbagai kontroversi ini dan sebagai tanggapan profesi akuntansi

terhadap kritikan dan tekanan Konggres serta Senat alas berbagai kekurangan

dalam pengukuran dan pelaporan akuntansi, menghasilkan Conseptual

Framework (FASE 1978; 198Q 1984; dan 1985), yang lebih merupakan produk

politik yang sangat kenyal untuk mengelabuhi Konggres dan Senat daripada suatu

penyelesaian rasional yang komprehensif dan konsisten. Perkembangai akuntansi

manajemen juga tidak lebih baik daripada akuntansi keuangan. Seperti telah

dikemukakan di muka, Johnson dan Kaplan (1987) mensinyalir bahwa

perkembangan teknik-teknik akuntansi manajemen cenderung mengarah ke

sofistikasi akademis terlepas dari komitmennya untuk mengatasi masalah dan

tantangan riil dalam penyediaan informasi untuk bisnis. Pada hemat penulis,

permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh akuntan keuangan dan akuntansi

manajemen ini sebagian bersifat teknologis, sebagian lagi bersumber pada

lingkungan penerapan akuntansi yang mengalami perubahan-perubahan yang

mendasar. Mengenai yang terakhir, karena lingkungan penerapan yang berubah

secara fundamental maka akuntansi menjadi semakin tidak memadai dalam

merefleksikan realitas bisnis.

Perubahan lingkungan penerapan ini terkait erat dengan faktor penting

kedua yan melatarbelakangi munculnya BSC, yaitu terjadinya pergeseran

fundamental dalam lingkungan bisnis yang menyebabkan pergeseran fundamental

pula dalam paradigma dan pendekatan manajemen bisnis. Dua dekade terakhir di

penghujung abad ini manusia menyaksikan perubahan dan pergeseran yang

mendasar sekali dalam pola hubungan dan interaksi antar sesama manusia pada

skala mikro maupun makro, bahkan mondial. Penyebab utama dari perubahan dan

pergeseran itu, pada hemat penulis, adalah dua hal, yaitu meredarnya semua

ketegangan yang bersumber pada perang dingin dan kemajuan yang fenominal

pada teknologi komputer dan komunikasi. Dampak dari dua faktor tersebut secara

populer dinamai "globalisasi," yang cenderung untuk bias pada pengamatan

eksoterik perubahan dan pergeseran pada skala makro mondial dan karenanya

kurang peduli pada pengamatan serta analisis isoterik dan detail akan perubahan

dan pergeseran pada tingkat mikro.

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Page 4: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Kegagalan sistem komunis di Eropa Timur, yang segera diikuti dengan

peredaan ketegangan perang dingin antara blok Barat dan Timur, menyebabkan

timbulnya persepsi pada tingkat mondial akan supremasi sistem ekonomi pasar di

atas sistem ekonomi komando. Dua kekuatan raksasa komunis pun, yaitu Uni-

Soviet dan RRC, serta-merta mempercayai dan mengadopsi sistem ekonomi pasar.

Langkah Uni-Soviet dan RRC itu segera diikuti oleh negara-negara komunis

lainnya. Pada negara-negara non komunis terjadi pendalaman sistem pasar dalam

bentuk deregulasi, yang dilakukan tidak hanya oleh negara-negara berkembang

yang masih malu-malu terhadap sistem pasar, tetapi bahkan juga oleh negara-

negara yang sudah lama dikenal sebagai strong advocate sistem pasar seperti

Amerika Serikat, Canada, dan Inggris.

Bersamaan dengan itu kemajuan pada teknologi elektronika dan material

telah melahirkan teknologi komputer, yang secara drastis merubah teknologi

desain dan produksi informasi. Munculnya teknologi komputer yang segara

tumbuh dan berkembang secara cepat itu terjadi kontemporer dengan kemajuan

yang luar biasa pada teknologi komunikasi, terutama telekomunikasi satelit.

Perkembangan dan interaksi antara teknologi komputer dan teknologi komunikasi

itu melahirkan serta menyuburkan pertumbuhan teknologi informasi.

Adalah perluasan serta pendalaman sistem ekonomi pasar dan

perkembangan yang luar biasa pada teknologi informasi itulah yang menyebabkan

perubahan pola hubungan antar manusia, baik pada skala mikro kelembagaan

maupun pada skala makro mondial. Secara bersama-sama kedua faktor tersebut

telah berdampak menambah keberdayaan manusia sebagai individu relatif

terhadap semua bentuk kelembagaan seperti perusahaan, partai politik, organisasi

masa, negara, dan lain sebagainya. Proses pemberdayaan manusia sebagai

individu itu terjadi baik dalam arti meningkatnya kekuatan, kekuasaan, dan

pengaruh manusia individual, maupun dalam arti melonggarnya berbagai ikatan

struktural dan kultural yang membelenggu kebebasannya sebagai pribadi.

Perluasan dan pendalaman pasar, atau liberalisasi pasar, berdampak pada

semakin kuatnya posisi tawar-menawar konsumen relatif terhadap posisi produsen

dan/atau penjual. Pasar, bila terbebas dari berbagai bentuk intervensi dari luar

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Page 5: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

sistem, adalah lembaga ekonomi yang sangat demokratis. Keputusan terpenting di

pasar, yaitu keputusan tentang harga, terjadi melalui proses tawar-menawar yang

demokratis tanpa paksaan dan pengaruh siapapun. Kedaulatan konsumen dalam

lingkungan seperti itu ditentukan oleh perimbangan antara jumlah konsumen dan

produsen/penjual Semakin besar jumlah produsen/penjual relatif terhadap

konsumen, artinya semakin pasar efisien, semakin kuat posisi konsumen dalam

tawar-menawar. Liberalisasi pasar menghilangkan berbagai bentuk intervensi

pasar dan menghilangkan entry baniers bagi produsen/penjual baru untuk masuk

ke pasar, dan berakibat pada semakin kuatnya kedaulatan atau keberdayaan

konsumen.

Sebelum merebaknya teknologi informasi seperti sekarang ini, manusia

individual hanya bisa dengan mudah mengakses informasi pasar dan informasi tak

resmi dalam pergaulan sosial, tetapi sangat tidak mudah untuk mengakses

informasi resmi kelembagaan. Informasi kelembagaan terproteksi baik secara

horisontal maupun vertikal Secara horisontal, ada filter kelembagaan yang

membatasi lalulintas informasi keluar dan masuk lembaga. Bahkan di dalam

lembaga itu sendiri infortnasi tidak bebas mengalir horisontal keluar-masuk unit-

unit di dalam organisasi secara vertikal informasi mengalir melalui jalur di dalam

struktur politik yang hierarkis. Setiap hierarki berfungsi sebagai filter aliran

informasi baik ke atas maupun ke bawah. Birokrat yang berpengalaman, baik dari

lembaga pemerintah maupun swasta, bisa dengan piawai memainkan filter-filter

informasi vertikal dan horisontal itu untuk membangun kekuasaan dan pengaruh

efektif, dan pada saat yang sama mengurangi atau membatasi keberdayaan

stakeholders yang mereka layani. Kemajuan yang pesat dalam teknologi informasi

secara drastis mengurangi keefektifan filter-filter informasi vertikal dan horisontal

itu. Terhadap mereka yang di luar lembaga, organisasi menjadi lebih transparan.

Di dalam lembaga, organisasi juga menjadi lebih transparan baik vertikal maupun

horisontal. Informasi di puncak piramid organisasi menjadi lebih mudah untuk

diakses oleh para pelaksana yang berada di dasar piramid, dan demikian pula

sebaliknya, sehingga relevansi lapis tengah piramid yang berfungsi sebagai

perantara antara puncak dan dasar piramid menjadi berkurang sekali. Teknologi

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Page 6: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

informasi juga memperluas span of control seorang fungsionaris, sehingga jumlah

sekat yang membagi organisasi secara horisontal juga menurun secara drastis.

Dengan demikian, organisasi yang sesuai dengan kebutuhan zaman adalah yang

lebih melebar (Bat) dan transparan. Perkembangan yang seperti itu berdampak

pada semakin berdayanya mereka yang berada di luar lembaga dan mereka yang

berada di lapis lebih bawah dalam organisasi.

Apa yang terjadi pada era revolusi informasi sekarang ini adalah kebalikan

daripada era revolusi industri. Pada era revolusi industri masuknya teknologi ke

dalam fungsi produksi menyebabkan tumbuhnya organisasi-organisasi birokratis,

yang berfungsi sebagai teknostruktur yang cocok untuk mengelola kegiatan

produksi dan distribusi yang agar ekonomis ham bersekala besar (Galbraith,

1973). Munculnya lembaga-lembaga birokratis dan tertutup itu mengurangi

keberdayaan individu melalui dua cara. Pertama, penerapan teknologi

memerlukan skala ekonomi besar, yang mendorong pada semakin

terkonsentrasinya pasar dari sisi penawaran (Galbraith,1973). Semakin

terkonsentrasinya sisi penawaran itu memperlemah keberdayaan sisi permintaan,

yaitu sisinya konsumen. Kedua, lembaga besar yang birokratis dan tertutup itu

mempunyai tabiat alami suka memonopoli informasi yang berdampak pada

semakin tak berdayanya individu di hadapan lembaga. Era revolusi informasi

sekarang ini mengembalikan kedaulatan konsumen di pasar, dan kedaulatan

individu di hadapan lembaga. Faktor inilah yang menjadi pemicu utama

munculnya berbagai metoda atau pendekatan baru dalam pengelokan organisasi.

Organisasi-organisasi bisnis adalah lembaga yang paling responsif dan

adaptif terhadap perubahan lingkungan yang terutama ditandai oleh menguatnya

keberdayaan konsumen di pasar dan keberdayaan individu di hadapan lembaga

tersebut. Berbagai metoda dan pendekatan baru dalam manajemen bisnis -total

quality management, business process reengineering, employee empowerment,

flat-nonbureaucratic-intelligent-enterpreneurial organization, partisipative work

teams, cross training, downsizing, push-ing decision making down the pyramid,

customer orientation, outsourcing, just-in-time inventory, activity based

management, dan overhead reduction- pada hakekatnya merapakan upaya-upaya

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Page 7: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

untuk melakukan adaptasi struktural kultural, atau sistemik terhadap fakta dan

prospek melemahnya keberdayaan lembaga bisnis di hadapan konsumen dan para

stakeholders lainnya sebagai individu.

Business process engineering, misalnya, adalah "..... pemikiran ulang

fundamental dan perancangan ulang proses bisnis secara radikal untuk mencapai

perbaikan kinerja secara dramatik" (Wahjudi Prakarsa, 1995), dalam rangka

memenuhi dengan sebaik-baiknya kebutuhan konsumen dan para stakeholders

lainnya yang keberdayaannya semakin menguat Sejalan dengan itu, total quality

management adalah upaya berkelanjutan untuk memperbaiki kualitas produk,

proses, dan aktivitas dalam rangka sebaik-baiknya memenuhi keinginan

konsumen yang senantiasa tambah berdaya. Demikian pula, transformasi

pyramidal-bureaucratic-mechanistic-otocratic organization menjadi flat-

nonbureaucratic-intelligent-enterpreneurial organization, adalah upaya struktural

dan kultural untuk mengakomodasikan kenyataan semakin menguatnya posisi

individu rektif terhadap perusahaan. Wahjudi Prakarsa (1995) dengan baik

mendeskripsikan serta memetakan berbagai bentuk transformasi kelembagaan

bisnis itu.

Pada dunia bisnis era informasi ini, yang lingkungan internal dan

eksternalnya sudah mengalami pergeseran dan perubahan fundamental seperti itu,

akuntansi konvensional yang masih merupakan perangkat bisnis era industrial

tentunya tidak lagi memadai. Informasi akuntansi konvensional sangat akomodatif

terhadap kepentingan satu stake-holders saja, yaitu pemegang saham, padahal

dalam era informasi ini stakeholders lain, terutama konsumen dan karyawan,

menjadi semakin berdaya. Meningkatnya keberdayaan stakeholders lain itu

menyebabkan semakin penting dan strategisnya informasi lain di luar informasi

finansial. Pada lingkungan penerapan akuntansi yang seperti itu sistem informasi

yang unidimensional seperti akuntansi konvensional tidak lagi memenuhi

kebutuhan. Dibutuhkan sistem informasi multidimensional yang mampu

menyediakan informasi relevan lain disamping informasi finansial yang sudah

disediakan oleh sistem informasi akuntansi konvensionai

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Page 8: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Kelemahan lain dari informasi akuntansi adalah sifatnya yang historis

sehingga hanya mampu memberikan lagging indicators dari kinerja manajemen.

Pada era informasi dan pasar bebas ini persaingan bisnis begitu intens dan

terbukanya sehingga lagging indicators sap tidak lagi mencukupi bagi

pengambilan keputusan. Di samping lagging indicators yang mengukur dampak

keputusan manajemen pada hasil, seperti return on investment (ROI), bisnis juga

membutuhkan leading indicators, yaitu drivers atau key succes factors yang

mempengaruhi dan menentukan kinerja masa depan. Kekurangan lain, adalah

orientasi akuntansi yang terlalu ke arah manajemen operasional, dan kurang ke

arah manajemen tingkat puncak atau strategis. Kekurangan lain lagi adalah

ketidakmampuan akuntansi untuk merepresentasikan aset tak berujud (intangibel

assets) dalam laporan keuangan secara memadai, padahal struktur aset perusahaan

era informasi justru semakin didominasi oleh aset tak berujud itu seperti sistem,

teknologi, skill dan enter-preneurship karyawan, loyalitas konsumen, kultur

organisasi, kepuasan karyawan dan lain sebagainya. BSC diciptakan pada

mulanya untuk menutup serta mengkompensasi kelemahan-kelemahan informasi

akuntansi ini, serta untuk menyediakan informasi yang kompatibel dengan

lingkungan internal dan eksternal bisnis yang telah berubah dan bergeser secara

fundamental itu, tanpa harus meninggalkan akuntansi konvensional.

BENTUK, KARAKTERKTIK, DAN MEKANISME

Sifat-sifat dan deskripsi berikut ini menggambarkan bentuk, karakteristik,

dan mekanisme BSC secara singkat:

1. Instrumen pengukuran kinerja manajemen yang multidimensional;

2. Akomodatif terhadap kepentingan banyak kelompok stakeholders,

3. Berorientasi pada implementasi misi dan strategi

4. Management by obyectives (MBO).

5. Operasional-konkrit

6. Seimbang (balanced)

7. Hubungan sebab-akibat

8. Memberikan lagging dan leading investors kinerja sukses;

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Page 9: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

9. Sistem manajemen era informasi;

10. Top-downdan Bottom-up

11. Strategic business unit (SBU) based

INSTKUMEN PENGUKUR KINERJA MULTIDIMENSIONAL.

BSC mengukur kinerja manajemen dari dimensi finansial dan nonfinansial.

Jadi di samping memberikan indikator kinerja finansial seperti yang lazim

diberikan oleh fungsi akuntansi, BSC juga memberikan indikator-indikator kinerja

penting lainnya yang dimensinya tidak finansial seperti kepuasan konsumen,

retensi konsumen, perolehan konsumen baru, waktu pelayanan (delivery time),

kualitas, kepuasan kerja, tingkat penguasaan skill, segmen pasar, dan lain

sebagainya. Sejak semula studi oleh Nolan Norton Institute yang melatar-

belakangi lahirnya BSC dimaksudkan untuk menciptakan instrumen pengukuran

kinerja secara multidimensional, karena pengukuran kinerja oleh akuntansi yang

hanya melihatnya dari dimensi finansial saja menurut perspektif pemegang saham

dipandang tidak lagi memadai (Kaplan dan Norton, 1996 A). Pada era informasi

ini, di mana persaingan begitu intens dan terbuka, perusahaan perlu diukur

kinerjanya secara lebih komprehensif dari banyak perspektit seperti persepektif

konsumen, karyawan, dan lain sebagainya. Pengukuran kinerja secara multi

dimensional tidak hanya terbatas pada area-area yang mudah diukur (hard

measurement) seperti area finansial, tetapi juga pada area-area yang sulit diukur

(soft measurement)-memang tampaknya sedang menjadi kecenderungan baru

dalam pengukuran. Kontemporer dengan diterapkannya BSC yang

mutidimensional di kalangan bisnis, World Bank menggunakan social indicators -

soft measures-, di samping economic indicator-hard measures-, dalam mengukur

tingkat kemakmuran negara-negara di dunia.

BSC mempunyai atribut pengukuran kinerja yang baik sebagaimana

dikemukakan oleh Lynch dan Cross pada 1991 (Vokurka dan Fliender, 1995),

sebelum artikel pertama tentang BSC dipublikasikan oleh Kaplan dan Norton

(1992) pada tahun 1992, yaitu:

1. Menghubungkan operasi dengan gol strategis

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Page 10: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

2. Mengintegrasikan informasi finansial dan nonfinansial

3. Mengukur apa yang penting bagi konsumen

4. Memotivasi operasi untuk melampaui pengharapan konsumen

5. Mengidentifikasi dan mengeliminasi pemborosan

6. Menggeser fokus organisasi dari birokrasi vertikal yang kaku ke sistem bisnis

horisontal yang lebih responsif.

7. Mengakselerasikan organizational learning dan membangun konsensus untuk

berubah ketika pengharapan konsumen bergeser atau strategi mengharuskan

organisasi untuk berperilaku berbeda.

8. Menerjemahkan "fleksibilitas" menjadi pengukuran yang spesifik.

PERSPEKTIF BANYAK STAKEHOLDERS

Tidak seperti akuntansi keuangan konvensional yang mengambil sudut

pandang pemilik pada proprietary concept atau investor dan kreditor pada entity

concept dalam pengukuran dan pelaporan akuntansi, BSC secara teoritis bisa

mengakomodasikan sudut pandang semua kelompok stakeholders. Semua

indikator kinerja penting menurut perspektif berbagai kelompok stakeholders -

pemegang saham, kreditor, konsumen, rekanan, karyawan, pemerintah, dan

publik- secara beoritis bisa dimasukkan ke dalam BSC Namun demikian, antara

perspektif terjadi saling tumpang-tindih (overlaps) dan dalam kenyataan riil yang

dihadapi manajemen tidak semua stakeholders sama pentingnya atau sama besar

luas dan intensitas pengaruhnya, sehingga Kaplan dan Norton (1996 A)

menyarankan hanya empat perspektif saja yang pada umumnya betul-betul

relevan untuk manajemen era informasi, yaitu perspektif finansial (pemegang

saham), perspektif konsumen, perspektif proses bisnis internal manajemen, dan

perspektif belajar serta pertumbuhan (karyawan). Keempat perspektif ini cukup

mewakili permasalahan dan tantangan yang dihadapi kebanyakan perusahaan era

informasi.

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Page 11: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

IMPLEMENTASI MISI DAN STRATEGI

Ukuran-ukuran kinerja yang di pakai dalam BSC diidentifikasi serta

diseleksi tidak secara asal-asalan dari populasi berbagai ukuran potensial,

melainkan diturunkan secara hati-hati dan rasional dah visi, misi, dan strategi

perusahaan. BSC mendorong dan memaksa manajemen untuk menjabarkan visi,

misi, dan strategi ke dalam tujuan-tujuan strategis (strategic objectives) sespesifik

dan sekonkrit mungkin. Kemudian untuk tujuan-tujuan strategis itu ditentukan

ukuran-ukuran keberhasilannya (strategic outcome measures) sebagai lag

indicators dari kinerja perusahaan. Untuk setiap lag indicator itu selanjutnya

diidentifikasikan per-formance drivers atau lead indicatomya, yaitu key succes

faktors yang sangat menentukan hasil strategis itu. Gambar 1, diambil dari Kaplan

dan Norton (1996 A) memberikan contoh tentang strategic objectives, strategic

outcome measures dan performance drivers pada National Insurance untuk setiap

perspektif yang dianggap penting dalam BSC yaitu perspektif keuangan,

perspektif konsumen, perspektif proses bisnis internal, dan perspektif belajar.

MANAGEMENT BY OBJECTIVES (MBO).

BSC mengasumsikan diterapkannya management by objectives.

Manajemen pada setiap hirarki dalam organisasi harus mempunyai tujuan-tujuan

yang jelas yang dijabarkan ke dalam sasaran-sasaran spesifik dan konkrit. Pada

tingkat puncak tujuan itu adalah strategic objectives yang dijabarkan ke dalam

sasaran spesifik dan konkrit berupa strategic outcomes, yang ukurannya

merupakan lag indicators dari kinerja (lihat gambar 1). Pada tingkat operasional

tujuan itu adalah tactical objectives yang dijabarkan ke dalam sasaran spesifik dan

konkrit berupa performance drivers atau key succes factors yang ukurannya

merupakan leading indicators kinerja masa depan. Karena mengasumsikan

diterapkannya MBO, maka tentunya BSC sangat action oriented.

OPERASIONAL-KONKRIT.

Visi misi dan strategi cenderung untuk abstrak, umum, dan kabur. BSC

adalah instrumen yang mengoperasionalisasikan misi dan strategi itu menjadi

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Page 12: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

sesuatu yang spesifik dan konkrit serta mudah dipahami. Misi dan strategi berada

di alam ide, sementara BSC yang diturunkan dari misi dan strategi itu berada

dialam empirik. Oleh karena itu Kaplan dan Norton (1996 A) berpendapat bahwa

BSC bisa dipakai untuk mengkomunikasikan misi dan strategi ke bawah dalam

organisasi serta untuk mengalign organisasi terhadap strateginya. Gambar 2

mengilustrasikan operasionalisasi itu. BSC berfungsi menterjemahkan visi, misi,

dan strategi yang abstrak, umum, dan kabur itu menjadi aksi-aksi yang konkrit

melalui suatu proses yang oleh Kaplan dan Norton (1996) disebut strategic

learning." The process of strategic learning begins with the clarification of the

shared vision that the entire organization is attempting to achieve. The use of

measurement as a language helps translate complex and frequently nebulous

concept into a more precise form mat alligns and mobilizes all individuals into

actions directed at attaining organizational obbjectives." Kaplan dan Norton

(1996C) berpendapat bahwa aspek yang paling berharga dari BSC adalah strategic

learning itu pada tingkat eksekutif. Dalam literatur akuntansi sejak dekade 1980an

sudah disadari bahwa pengukuran berdampak pada perilaku, sehingga muncul

suatu school of thought tersendiri yang sering disebut behavioral accounting.

Menyadari adanya hubungan kausal antara pengukuran dan perilaku itu Kaplan

dan Norton (1996A) melalui instrumentasi dan pengukuran dalam BSC

merekayasa perilaku. Pada dekade 1990an ini muncul kesadaran baru di kalangan

eksekutif bisnis akan pentingnya operasionalisasi visi, misi dan strategi melalui

pengukuran kinerja pada area-area yang kritikal dan strategis. Lingle dan

Schiemann (1996) menyebut kesadaran baru tersebut sebagai suatu measurement

renaissance. Hingga saat ini BSC adalah puncak dari renaissance itu. Melalui

BSC pengukuran menjadi bagian integral dari manajemen era informasi ini, dan

BSC berfungsi sebagai agen pencerahan eksekutif bisnis tentang pentingnya dan

krusialnya pengukuran dalam manajemen. Melalui suatu studi empiris Lingle dan

Schiemann membuktikan bahwa measurement managed companies mempunyai

kinerja yang lebih baik dahpada non-measurement managed companies.

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Page 13: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

SEIMBANG (BALANCED).

Variabel-variabel dan ukuran-ukuran yang dimasukkan ke dalam BSC

adalah ibarat suku cadang yang diciptakan dan distel secara seimbang sehingga

membentuk suatu mesin manajemen yang efisien, efektif, dan stabil.

Keseimbangan di sini berarti keseimbangan antar perspektif stakeholders -

pemegang saham, konsumen, manajemen, dan karyawan, antara perspektif waktu

masa lalu dan masa depan, antara perepektif internal dan ekstemal, antara

perspektif finansial dan non-finansial, dan antara perspektif strategis dan taktis.

Newing (1995) mengibaratkan BSC dengan dash-board pada cockpit pesawat

terbang. Di dalam cockpit terdapat dash-board yang memberi sinyal tentang laju

pesawat ketinggiannya, arahnya, dan posisinya, untuk bisa sampai pada tujuan

dengan aman dan efisien. Seorang pilot harus mencari keseimbangan yang

optimal antara variabel-variabel kecepatan, ketinggian, arah dan posisi itu. BSC

berfungsi sebagai dash-board tersebut. Me Nerney (1996) bahkan berpendapat

bahwa nilai dari BSC justru terletak pada keseimbangan itu. Dengan BSC kita

menjadi tidak terlalu terfokus pada keuangan tidak pula terlalu terfokus pada

konsumen, proses internal, dan tidak pula pada inovasi dan pertumbuhan. BSC

mengoptimumkan kinerja pada semua perspektif yang kritikal, tidak hanya pada

satu perspektif saja yang secara taken for granted dianggap penting.

HUBUNGAN SEBAB-AKIBAT.

Ukuran-ukuran di dalam BSC dipilih secara logis agar organisasi berjalan

terfokus pada strateginya. Oleh karena itu harus bisa ditunjukkan secara jelas

hubungan sebab-akibat antara ukuran-ukuran itu. (lihat gambar 3)

LAGGING AND LEADING INDICATORS

Ukuran-ukuran dalam BSC terbagi ke dalam dua macam ukuran, yaitu

lagging indicators dan leading indicators. Lagging indicator adalah indicator

tingkat keberhasilan pencapaian suatu sasaran. Oleh karena itu perspektif

waktunya mengarah ke masa lalu sehingga disebut lagging indicator. Leading

indicators adalah indikator tingkat keberhasilan mempengaruhi faktor-faktor

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Page 14: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

kunci penentu kinerja masa depan. Perspektif waktunya mengarah ke masa depan.

Seandainya BSC itu sebuah mobil, leading indicators adalah kaca depan,

sementara lagging indicators adalah kaca spion. Keduanya merupakan instrumen

penting dari mobil itu. Akuntansi keuangan sampai sekarang hanya mampu

memberikan lagging indicators, sementara leading indicators diperoleh

manajemen dari luar sistem akuntansi keuangan.

SISTEM MANAJEMEN ERA INFORMASI

BSC dalam perkembangannya bukan hanya sekedar suatu instrumen

pengukuan kinerja. Ia bisa dipakai sebagai suatu sistem manajemen dalam arti

bisa dipakai sebagai kerangka (framework) sentral yang terfokus pada misi dan

strategi dalam melaksanakan berbagai proses manajemen penting seperti

perencanaan dan peranggaran, alokasi sumberdaya, pemberian kompensasi,

pemberdayaan karyawan, pengadaan umpan balik strategis, dan lain sebagainya.

BSC juga merupakan bagian dari pendekatan-pendekatan baru dalam manajemen

pada era informasi ini. BSC tidak hanya lahir kontemporer dengan pendekatan-

pendekatan baru tersebut awal dekade 1990an, tetapi ia juga responsif terhadap,

mengimplementasikan, serta menginspirasi penerapan pendekatan-pendekatan

baru tersebut. Diangkatnya perspektif konsumen sebagai perspektif penting dalam

BSC mengasumsikan bahwa perusahaan sudah mengadopsi customer orientation

Perspektif proses bisnis internal pada suatu BSC yang efektif bisa menginspirasi

serta mendorong dilakukannya business process reengineering, total quality

management, outsourcing, just-in-time inventory system, activity based costing,

dan activity based management Perspektif belajar dan pertumbuhan bisa memicu

penerapan fat-nonbureaucratic-intelligent-enterpreneureal organization,

employee empowerment, partisipative work teams, cross training, down-sizing

dan pushing decision making down the pyramid. Penggunaan BSC yang baik akan

mengendalikan penerapan pendekatan-pendekatan baru tersebut supaya tidak

sembarangan dan asal-asalan, tidak terarah, dan tidak sekedar mengikuti mode,

sebab BSC yang efektif akan menjaga pendekatan-pendekatan tersebut tetap

secara konsisten terikat pada dan integral dengan misi dan strategi.

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Page 15: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

TOP-DOWN DAN BOTTOM-UP.

BSC merupakan instrumen untuk mengkomunikasika, mensosialisasikan,

serta mengoperasionalisasikan misi dan strategi yang diformulasikan secara

abstrak, umum, dan berdimensi waktu jangka panjang oleh manajemen puncak,

sehingga pada umumnya sulit dipahami serta dirasakan tidak terkait dengan

aktivitas operasional keseharian menjadi konkrit, spesifik, dan mudah dipahami di

mata karyawan. Sebaliknya karyawan yang bergelut dengan aktivitas keseharian

dan menjadi ujung tombak perusahaan bisa memberikan umpan balik kepada

manajemen puncak tentang apakah BSC cukup realitis, betul-betul

mengimplementasikan misi dan strategi secara efektif, memberikan target-target

yang pas, tidak terlalu tinggi ataupun tidak terlalu rendah, dan merupakan

instrumen pengukuran kinerja yang adil, valid, dan reliable.

SBU STRATEGIC BUSINESS UNIT BASED.

Sebagaimana diakui oleh penciptanya (Kaplan dan Norton 1996 A), BSC

paling coook untuk diterapkan secara komprehensif pada tingkat SBU. Ini bisa

dipahami karena BSC terdiri dari ukuran-ukuran kinerja yang satu sama lain

dihubungkan secara logis oleh hubungan-hubungan sebab-akibat yang jelas

sehingga membentuk satu kesatuan pemikiran yang cemerlang dan komprehensif

tentang operasionabsasi misi dan strategi SBU. Pada tingkat organisasi yang lebih

rendah, yaitu pada tingkat area fungsional dari SBU, relevansi BSC menjadi

parsial.

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Page 16: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Page 17: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Page 18: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Pada tingkat organisasi di atas SBU seperti kantor pusat dari suatu perusahaan

dengan multi-SBU, atau holding company dari suatu konglomerasi- sulit atau

bahkan tidak mungkin untuk menyusun corporate BSC, yang ukuran-ukuran

kinerjanya satu sama lain terhubungkan oleh logika sebab-akibat yang utuh dan

bulat, yang secara konprehensif mengkerangkai, mengintegrasikan, serta mewadai

BSC-BSC dari SBU-SBU yang ada..

PENERAPAN PADA BUMN

Di Amerika utara dan Eropa Barat BSC telah diterapkan pada banyak

perusahaan swasta. Bisakah ia diterapkan pada BUMN di Indonesia? Pertanyaan

seperti ini timbul karena reservasi bahwa BUMN tidak sepenuhnya profit driven

berhubung adanya tugas-tugas sosial yang dibebankan oleb Pemerintah.

Penulis tidak melihat reservasi ini suatu masalah besar. Masalah itu dengan

mudah bisa dipecahkan dengan menambahkan satu perspektif lagi yaitu perspektif

masyarakat umum atau publik terhadap empat perspektif yang sudab ada -

finansiai konsumen, proses bisnis internal, dan belajar serta pertumbuhan pada

BSC model standamya Kaplan dan Norton 1996 A). Cara lain yang bahkan lebih

mudah dan sederhana adalah dengan mendudukkan publik sebagai salah satu

segmen konsumen yang harus dilayani oleh BUMN, tanpa harus menambah

satu perspektif lagi terhadap empat perspektif versi BSC model standarnya

Kaplan dan Norton. Dengan cara ini BSC model standarnya Kaplan dan Norton

tidak pertu dimodivikasi sama sekali. Sepanjang suatu BUMN telah

memformulasikan misi dan strateginya serta telah mengenal, apresiatif, dan

bersikap positif terhadap paradigma dan pendekatan-pendekatan manajemen era

informasi, maka ia bisa menjadi lingkungan yang kondusif bagi penerapan BSC,

dan BSC bisa dipakai sebagai kerangka sentral terfokus pada misi dan strategi

untuk mengelola perubahan yang disebabkan oleh ditetapkannya pendekatan-

pendekatan baru tersebut. Yang paling penting untuk disadari adalah bahwa

penerapan BSC seperti dikatakan Creelman (1996), bukanlah sekedar menerapkan

suatu instrumen pengukuran baru, karena penerapan BSC mensyaratkan adanya

pergeseran cara berpikir yang fundamental dalam pengelolaan bisnis. " To build

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Page 19: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

and implement an action oriented framework that alligns all of a company's

people, processes and systems to the long-term business strategy is a massive

undertaking" Pergeseran dan perubahan mendasar inilah tantangan terbesar bagi

perusahaan apa saja, BUMN atau swasta, yang ingin menerapkan BSC. Penerapan

BSC tidak bisa setengah-setengah, melainkan harus all out David Norton, partner

Bob Kaplan dalam penciptaan konsep BSC, juga memperingatkan bahwa BSC

adalah alat untuk mengelola pertumbuhan dan strategi jangka panjang, yang

implikasinya adalah bahwa BSC hanya cocok bagi perusahaan-perusahaan

progresif bervisi ke depan yang mau investasi pada pelatihan, riset, teknologi,

sistem, perubahan budaya perusahaan, transformasi organisasi, pemberdayaan

karyawan, dan lain-lain investasi yang hasilnya adalah pertumbuhan jangka

panjang, yang baru akan dirasakan dampaknya dalam jangka panjang pula

(Birchard, 1996). BSC tidak cocok untuk eksekutif yang visi ke depannya pendek.

REFERENSI:

Birchard, Bill, "Where performance measures fail," The Magazine for Senior

Financial Executives (CFO), VoL 12, Iss. 10, Od-19%, p. 36

Chambers, R.J. "Evidence for a Market-Selling Price Accounting

System," dalam RS. Sterling (ed), Asset Valuation and Income

Determination, (Lawrence, Kansas : Scholars Book, 1971).

Creelman, James, "How do you weigh up," Director, VoL 50, Iss. 2, Sep 1996,

p.77

Edwards EO. dan P.W. Bells," The Theory of Measurement of Business Income

(Berkeley: The University of California Press, 1961) FASB,

"Statement of Financial Accounting Concepts No. 1," November 1978

———"Statement of Financial Accounting Concepts No. 2," May 1980

———"Statement of Financial Accounting Concepts No. 3," December W84

———"Statement of Financial Accounting Concepts No. 6," December 1985

Galbraitfh, John Kenneth, Economics and the Public Purpose, (New York New

American Library, 1973)

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Page 20: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Johnson T.H. dan RS. Kaplan,"?elevanae Lost The Rise and Fall of Management

Accounting!' (Boston : Harvard Business School Press, 1987)

Kaplan RS dan D.P. Norton, "The Balanced Scorecard," (Boston: Harvard

Business School Press, 1996A)

_________, "The Balanced Scorecard: Measures that Drive Performance,"

Harvard Business Review, edisi Januari-Februari 1992\

_________, "Putting the Balanced Scorecard

to Work," Harvard Business Review, edisi Septernber-Oktoberl993

"Using the Balanced Scorecard as a Strategic Mana-gement System," Harvard

Business Review, edisi Januari-Februari 1996B

"Strategic learning & the balanced scorecard," Strategy & Leadership(FLR), VoL

24, Iss. 5, Sep/Oct 1996C, p. 18-24

Ungle, John H; Schiemann, William A, "From balanced scorecard to strategic

gauges: Is measurement worth it:T,' Management Review (MKVfy !

VoL 85, Iss, 3, Mar 19%, p. 5^61 j

Me Nerney, Donald J, " Compensation: The link to customer satisfaction," HR

Focus (PHfy VoL 73, Iss. 9, Sep 1996, P. 1,4

Newing, Rod, "Wake up to the balanced scorecard," Management Accounting-

London (MAQ Vol. 73, Iss. 3, Mar. 1995, p. 22-23 (Ipage)

Prakarsa, Wahjudi,"Rekayasa Ulang. Disintermediasi, Integrasi dan Otomasi

Fleksibel" Makalah dalam Seminar Peranan Profesi Akuntansi dan

Meng-antisipasi Tantangan Era Global oleh Fakultas Ekonomi

UNUD, Denpasar, November, 1995

Sorter, George H., "Events Approach to Basic Accounting Theory," Accounting

Review, OcL 1970

Sterling, RS., The Theory of Measuremen of .Enterprise Incom (Lowrenoe, Kan-

sas: University Press of Kansas, 1970) Vokurka, Robert; Fhender,

Gene, "Measuring operating performance: A specific case study,"

Production & Inventory Management Journal (PIM), VoL 36 Iss. 1,

First Quarter 1995, p.3843(5pages)

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Page 21: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

BACAAN TAMBAHAN

Alien, Leilani, "Measure to manage," Computerworld (COW), VoL 30, Iss. 37,

Sep. 9,19%, p. 86 (1 page)

Anonymous, "The Balanced Scorecard," HR Focus (PER), VoL 73, Iss. 9, Sep.

19%, p. 21

Birchard, Bill, "Making it count," The Magazine for Senior Financial Executives

(CFO), VoL 11, Iss. 10, Oct. 1995, p.42-51 (9 pages)

Birchard, BilL "Cigna P&C A balanced scorecard," The Magazine for Senior

Financial Executives (CFO), VoL12, lss.10, OtL 19%, p. 30-34 (4

pages)

Booth, Rupert, "Accountants do it by proxy," Management Accounting-London

(MAC), Vol.74, Iss. 5, May 19%, p.48

Brotherton, Phaedra, "The Balanced Scorecard: Translating Strategy into

Action"

HR Magazine, VoL 41, Iss. 8, Aug. 19%, p. 124-126

Conigan, John, "The balanced scorecard: The new approach to performance

measurement," Australian Accountant (AAA), Vol. 66, Iss. 7, Aug.

19%, p. 47-48

Daly, Dennis C, "Performance measurement and management," Management

Accounting(NAA), Vol. 78, Iss. 3, Sep. 19%, p. 65-66

Hubbard, Gerald M, "Keys to Creating Performance Measures," Facilities Design

& Management (FDM), VoL 11, Iss. 5, May 1992, p. 66-68

Jensen, Bill; Ken, Gavin, "Seismic shifts in HR management - A case study in

mapping radical change at Pepsi," Employment Relations Today

(EFJD), VoL 21, Iss. 4, Winter 1994/1995, p. 407-417 (10 pages)

Kaplan, Robert S, "Devising a balanced Scorecard matched to business strategy,"

Planning Review (PLR), VoL 22, Iss. 5, Sep./OcL 19W>P.15-

19(4pages)

Marcum, James W, "The Balanced Scorecard: Translating Strategy Into Action,"

National Productivity Review (NPL), Vol. 15, Iss'4, Autumn 19%,

p. 117-118 (2 pages)

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Page 22: Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997

Me Williams, Brian, "The measure of success," Across the Board (CBR), VoL 33,

fes. 2, Feb 19%, p. 16-20

Me Williams, Brian, "A capital idea," Across the Board (CBR), VoL 33, Iss. 2,

Feb 19%, p. 20

Vitale, Mike; Mavrinac, Sarah Q Hauser, Mark, "DHC The chemical division's

balanced scorecard," PlanningKeview(PLR), VoL 22, Iss. 4,

Juli/Aug. 1994, p.17,45

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol 12 No.2 Tahun 1997