jurnal - icel.or.id · tulis ilmiah alsa english competition 2019 dan meraih penghargaan best...

164

Upload: vankhuong

Post on 18-Aug-2019

242 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest
Page 2: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

JURNAL HUKUM

LINGKUNGAN INDONESIA

Indonesian Center for Environmental Law

Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia (JHLI) terbit dengan nomor ISSN baru mulai volume 5 nomor 1. Sebelumnya, “JHLI” terdaftar dengan nomor ISSN: 2355-1350 dengan nama Jurnal Hukum Lingkungan (JHL). JHLI adalah sebuah inisiatif dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) yang digunakan sebagai wadah akademik perdebatan hukum dan kebijakan lingkungan hidup. Redaksi menerima 3 (tiga) jenis tulisan: (1) hukum lingkungan murni (aspek pidana/perdata/administrasi/ hukum internasional terkait lingkungan) dan kebijakan publik yang terkait dengan lingkungan; (2) tinjauan hukum dari ilmu lingkungan yang bersifat teknis terhadap kebijakan dan arah hukum yang ada; atau (3) politik hukum lingkungan. Tulisan dapat dikirimkan melalui surat elektronik sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Penulisan.

Volume 05 Nomor 2, April 2019

ISSN: 2655-514X

Page 3: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

ii

ii

INDONESIAN CENTER FOR ENVIRONMENTAL LAW (ICEL)

DISCLAIMER

Opini yang dimuat dalam Jurnal ini tidak mewakili pendapat resmi ICEL, melainkan merupakan pendapat pribadi masing-masing Penulis.

Redaksi mengundang para akademisi, pengamat, praktisi, mahasiswa dan mereka yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. Tulisan dapat dikirimkan melalui pos atau e-mail sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Penulisan.

Jl. Dempo II No. 21, Kebayoran Baru

Jakarta Selatan 12120

Telp. (62-21) 7262740, 7233390

Fax. (62-21) 7269331

Desain Sampul : Suparlan, S.Sos.

Tata Letak : Tim ToscaBook

Diterbitkan oleh:

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA

Volume 05 Nomor 2 / April / 2019

ISSN: 2655-514X

Website: icel.or.id/publikasi-jurnal/

E-mail: [email protected]

Page 4: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

iii

R E D A K S I D A N M I T R A B E S T A R I

Dewan PenasihatDr. Mas Achmad Santosa, S.H. LL.M.

Prof. Dr. Muhammad Zaidun, S.H. M.Si.Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, S.H., M.H.

Indro Sugianto, S.H. M.H.Sandra Moniaga, S.H., LL.M.

Ir. Yuyun Ismawati, M.Sc.Dadang Trisasongko, S.H.

Penanggung JawabHenri Subagiyo, S.H., M.H.

Pemimpin RedaksiAstrid Debora S.M., S.H., M.H.

Redaktur PelaksanaMarsya Mutmainah Handayani, S.H., LL.M.

Yanuar Filayudha, S.Hum.

Dewan Redaksi

Mitra BestariAndri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D.

Dr. Tristam Pascal Moeliono, S.H., M.H., LL.M.

Redaksi dan segenap Penulis Artikel mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada Dewan Redaksi dan Mitra Bestari atas peer review dan saran yang diberikan dalam penyempurnaan Artikel Ilmiah yang diterima.

Laode M. Syarief, S.H., LL.M., Ph.D.Wiwiek Awiati, S.H., M.Hum.

Josi Khatarina, S.H., LL.M.Rino Subagyo, S.H.

Dyah Paramita, S.H., LL.M.Windu Kisworo, S.H., LL.M.

Margaretha Quina, S.H., LL.M.

Rika Fajrini, S.H., M. GES.Ohiongyi Marino, S.H.Isna Fatimah, S.H.Fajri Fadhillah, S.H.Angela Vania, S.H.Adrianus Eryan, S.H.Antonius Aditantyo N, S.H.

Page 5: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

iv

P E N g A N T A R R E D A K S I“Dinamika Politik terhadap Kebijakan

Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam”

Momentum Pemilihan Umum tahun 2019 ini merupakan sarana bagi kita untuk kembali mengevaluasi pilihan kebijakan yang diambil pemerintah dan catatan untuk perbaikan pasca perubahan periode pemerintahan.

Momen pergantian pimpinan tertinggi di Indonesia akan mengubah struktur organisasi dan pemangku kepentingan setidaknya di beberapa sektor.

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia (JHLI) Volume 5 Nomor 2 ini memotret bagaimana dinamika politik yang telah dan akan terjadi mempengaruhi kebijakan lingkungan hidup dan sumber daya alam dalam artikel-artikelnya. Selain itu, edisi kali ini juga memuat ulasan perundang-undangan terkini dan buku terkait tema.

Tahun 2018, telah terbit secercah harapan bagi pemulihan lingkungan hidup, yaitu Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2018 (Perpres 77/2018) tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup. Lahirnya Perpres 77/2018 dapat dianggap sebagai salah satu implementasi dari Nawacita ketujuh. Sayangnya, Perpres dikritik karena berpotensi menyimpangi prinsip pencemar membayar. Kritik terhadap Perpres ini dapat dibaca pada artikel pertama berjudul “Aktualisasi Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup di Indonesia: Mencegah Penyimpangan Prinsip Pencemar Membayar dan Earmarking” oleh Adryan Adisaputra Tando dan Theresia E.K. Hindriadita.

Kembali menunjukkan “keberpihakannya” pada lingkungan, Presiden juga menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 8 tahun 2018 (Inpres 8/2018) tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Sawit. Sejatinya, penerbitan Inpres 8/2018 ini bertujuan untuk memperbaiki silang sengkarut perizinan perkebunan sawit. Namun, apakah benar Inpres ini merupakan kebijakan hijau sebagaimana teori politik hijau? Hal ini dikaji lebih dalam pada artikel kedua berjudul “Moratorium Sawit Jokowi dalam Perspektif Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan ala Politik Hijau” oleh Sekar Banjaran Aji.

Meski demikian, terdapat pula kritik atas seringnya terjadi relativisme hukum dalam kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Relativisme hukum ini menimbulkan masalah setidaknya dalam perspektif etika lingkungan dalam pelaksanaan tugas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Kajian lebih lanjut tentang hal ini dapat dibaca pada artikel ketiga berjudul “Tinjauan Etis atas Fenomena Relativisme Hukum Dalam Kasus Pabrik Semen di Rembang” oleh Raynaldo Sembiring.

Page 6: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

v

Dinamika politik tak dapat dilepaskan dari kebijakan yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat dari tren muatan peraturan perundang-undangan di sektor kehutanan dan lahan. Hubungan antara kepentingan politik dan produk hukum yang dihasilkan dapat dilihat dari keberpihakan pemerintah terhadap keberadaan masyarakat hukum adat yang berada di kawasan hutan dan lahan yang sering menimbulkan konflik. Kajian ini dapat dibaca lebih dalam pada artikel keempat berjudul “Politik Hukum di Kawasan Hutan dan Lahan Bagi Masyarakat Hukum Adat” oleh Destara Sati.

Intervensi politik terhadap hukum dalam porsi yang tepat tentunya memberikan dampak positif pada tujuan diterbitkannya hukum itu sendiri. Persoalan pelanggaran penggunaan pemanfaatan kawasan hutan yang telah terjadi selama puluhan tahun, mulai mendapatkan titik cerah. Hasil identifikasi arena aksi yang terjadi selama 3 tahun terakhir menunjukkan adanya inovasi-inovasi penyelesaian masalah, keterbukaan pengambilan keputusan, serta fleksibilitas tindakan sesuai dengan kondisi di lapangan. Salah satu praktik baik dapat dilihat pada Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) di Provinsi Riau dalam mengatasi persoalan pelanggaran penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan. Pembelajaran dalam menyeimbangkan kepentingan negara dengan masyarakat dapat dilihat dalam artikel penutup berjudul “Mengatasi Persoalan Institusional Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA)” oleh Prof. Hariadi Kartodihardjo dan Chalid Muhammad.

Selain artikel, jurnal ini juga berisi beberapa ulasan sesuai dengan isu hukum lingkungan yang ada beberapa tahun terakhir. Ulasan pertama adalah terkait kontroversi dari diperbolehkannya perubahan peruntukan dan fungsi zona inti sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 3/PERMEN-KP/2018 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Zona Inti Pada Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk Eksploitasi (Permen KKP No. 3 Tahun 2018). Ulasan ini ditulis oleh Angela Vania Rustandi.

Terdapat pula ulasan dari buku “Struggling for Air: Power Plants and the War on Coal” karya Richard L. Revesz dan Jack Lienke”, yang ditulis oleh Fajri Fadhillah. Buku ini menceritakan upaya pengendalian pencemaran udara yang didominasi oleh PLTU Batubara dalam sistem ketenagalistrikannya.

Sebagai penutup, JHLI Volume 5 Nomor 2 juga menerbitkan kembali analisis terhadap Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2018 (PP 24/2018) tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau juga dikenal sebagai Online Single Submission (OSS), yang sudah pernah disampaikan dalam Kompetisi Karya Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Conflict of Interest Antara Usaha Perlindungan Lingkungan Hidup Dengan Kemudahan Berinvestasi Dalam Peraturan Pemerintah

Page 7: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

vi

Nomor 24 Tahun 2018” (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dengan penyesuaian seperlunya), Penulis Arya Rema Mubarak menganalisis persoalan perbaikan tata kelola perizinan untuk mempermudah investasi dikaitkan dengan dampak lingkungan.

Akhir kata, Redaksi mengucapkan terima kasih kepada para Penulis yang telah mendedikasikan waktu, tenaga dan pikirannya dalam menyelesaikan artikel ini berdasarkan masukan dari penelaahan sejawat dan Dewan Redaksi. Redaksi juga berterima kasih kepada segenap anggota Dewan Redaksi serta Mitra Bestari, Andri G. Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D dan Dr. Tristam Pascal Moeliono, S.H., LL.M,. yang telah melakukan peninjauan terhadap artikel dalam jurnal edisi ini. Redaksi JHLI Volume 5 Nomor 2 (April 2019) dengan senang hati menerima kritik dan masukan dari berbagai pihak untuk memperbaiki proses, substansi, maupun hasil akhir artikel yang dimuat dalam jurnal ini.

Jakarta, April 2019

Redaksi

Page 8: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

vii

JURNAL HUKUM LINgKUNgAN INDONESIAISSN: 2655-514X

VOLUME 05, NOMOR 2, APRIL 2019HALAMAN 160-304

D A F T A R I S IRedaksi & Mitra Bestari .............................................................................................. iiiPengantar Redaksi....................................................................................................... ivDaftar Isi ..................................................................................................................... viiDaftar Gambar ..............................................................................................................ixDaftar Tabel ...................................................................................................................x

Artikel Ilmiah Aktualisasi Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup di Indonesia:

Mencegah Penyimpangan Prinsip Pencemar Membayar dan Earmarking Adryan Adisaputra Tando dan Theresia E.K. Hindriadita ............................ 160-185 Moratorium Sawit Jokowi dalam Perspektif Kebijakan Pembangunan

Berkelanjutan ala Politik Hijau Sekar Banjaran Aji ............................................................................................... 186-207 Tinjauan Etis atas Fenomena Relativisme Hukum dalam Kasus Pabrik

Semen di Rembang Raynaldo Sembiring ............................................................................................. 208-233 Politik Hukum di Kawasan Hutan dan Lahan Bagi Masyarakat Hukum

Adat Destara Sati ........................................................................................................... 234-252 Mengatasi Persoalan Institusional PSDA: Pembelajaran dari Kasus

Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo di Provinsi Riau Hariadi Kartodihardjo dan Chalid Muhammad ............................................. 253-270

Ulasan Ulasan Peraturan: Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.3/Permen-Kp/2018 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan

dan Fungsi Zona Inti Pada Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk Eksploitasi

Angela Vania Rustandi ........................................................................................ 271-279 Ulasan Buku "Struggling for Air: Power Plants and The War on Coal"

oleh Richard L. Revesz dan Jack Lienke Fajri Fadhillah ...................................................................................................... 280-283

Page 9: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

viii

Conflict of Interest antara Usaha Perlindungan Lingkungan Hidup dengan Kemudahan Berinvestasi dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018

Arya Rema Mubarak ............................................................................................ 284-298

Daftar Indeks Subjek ...................................................................................................299-302Daftar Indeks Pengarang ................................................................................................... 303Pedoman Penulisan Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia ..............................................

Page 10: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

ix

D A F T A R g A M B A R

Gambar 1. Keterkaitan antara Politik Hukum dan Teori Lain ..............................192Gambar 2. Alur Koordinasi antar Pemerintah dalam Inpres Moratorium Sawit 197Gambar 3. Kerangka Pendekatan untuk Analisis Institutional ............................257Gambar 4. Identifikasi Penguasaan Lahan di ETN .................................................259Gambar 5. Skema mekanisme perizinan lingkungan .............................................292Gambar 6. Sistematika permohonan akan izin lingkungan berdasarkan PP OSS ....295

Page 11: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

x

D A F T A R T A B E L

Tabel 1. Perbandingan Pendapat Ahli Mengenai Teori Politik Hijau ..................191Tabel 2. Perkembangan Gerakan Lingkungan dan Etika Lingkungan ................223Tabel 3. Pengecekan Relativisme Hukum ...............................................................229

Page 12: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

JURNAL HUKUM

LINGKUNGAN INDONESIA

Indonesian Center for Environmental Law

Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia (JHLI) terbit dengan nomor ISSN baru mulai volume 5 nomor 1. Sebelumnya, “JHLI” terdaftar dengan nomor ISSN: 2355-1350 dengan nama Jurnal Hukum Lingkungan (JHL). JHLI adalah sebuah inisiatif dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) yang digunakan sebagai wadah akademik perdebatan hukum dan kebijakan lingkungan hidup. Redaksi menerima 3 (tiga) jenis tulisan: (1) hukum lingkungan murni (aspek pidana/perdata/administrasi/ hukum internasional terkait lingkungan) dan kebijakan publik yang terkait dengan lingkungan; (2) tinjauan hukum dari ilmu lingkungan yang bersifat teknis terhadap kebijakan dan arah hukum yang ada; atau (3) politik hukum lingkungan. Tulisan dapat dikirimkan melalui surat elektronik sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Penulisan.

Volume 05 Nomor 2, April 2019

ISSN: 2655-514X

Page 13: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

160

Aktualisasi Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup di Indonesia: Mencegah Penyimpangan Prinsip Pencemar Membayar dan Earmarking

Adryan Adisaputra Tando1 dan Theresia E.K. Hindriadita2

AbstrakTahun 2018 adalah momentum kebangkitan pemerintah berorientasi lingkungan hi-dup. Hal demikian bukan hanya karena penegakan hukum lingkungan yang semakin masif dilakukan, akan tetapi juga karena adanya perkembangan kebijakan yang ber-nuansa hijau. Pada September 2018, Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No-mor 77 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup. Langkah ini meru-pakan salah satu bentuk implementasi Nawacita ketujuh. Tetapi, ada beberapa hal yang perlu dikaji ulang terkait dengan sumber dan alokasi pendanaan lingkungan. Singkatnya, detail pengaturan kedua hal tersebut berpotensi menyimpangi prinsip pencemar membayar. Peraturan ini menjadikan APBN dan APBD sebagai sumber dana lingkungan serta melakukan penggabungan alokasi dana yang berasal dari dua jenis dana berbeda. Dampaknya, peraturan yang awalnya menjadi harapan bagi ling-kungan hidup berpotensi menjadi bumerang bagi masyarakat, pemerintah, dan ling-kungan hidup itu sendiri. Tulisan ini merupakan suatu bentuk analisis kritis Peratur-an Presiden Nomor 7 Tahun 2018 agar mampu membawa dampak baik untuk pemerintahan selanjutnya.Kata Kunci: Dana Lingkungan Hidup, Sumber Pendanaan, Alokasi Pendanaan, Prin-sip Pencemar Membayar AbstractThe year 2018 is the year of environmental-oriented government. This is not only because of the massive enforcement toward environmental damage, but also the increasing number of green policies. On September 2018, the government published a President Regulation Number 77 of 2018 on the Management of Environmental Funds. This action is one of the implementations of the seventh Nawacita. However, there are several issues need to be reviewed and criticized rela-ted to the source and earmarking of environmental funds. Shortly, the regulation of those two could violate the polluter pays principle. This regulation uses APBN and APBD as its sources of fund and merges the allocation of two different sources of fund. As a result, it would be a boo-merang for people, government, and the environment itself. This paper aims to critic the Presi-dent Regulation Number 7 of 2018 in order to give feedback for improving the next government.Keywords: Environmental Funds, Source of Funding, Allocation of Funding, Polluter Pays Principle

1 Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia.2 Penulis memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada ta-

hun 2018.

Page 14: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

161

Adryan Adisaputra Tando dan Theresia E.K. HindriaditaAktualisasi Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup di Indonesia: Mencegah Penyimpangan

Prinsip Pencemar Membayar dan Earmarking

I. Pendahuluan

Pada akhir tahun 2018, Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Re-publik Indonesia Nomor 77 tahun 2018 tentang Pengelolaan Dana Lingkung-an Hidup (selanjutnya disebut Perpres 77/2018). Peraturan ini merupakan pera-turan lanjutan dari Pasal 30 ayat (3) Pera-turan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2017 (PP 46/2017) tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup.

Pemerintahan Jokowi sendiri mem-berikan perhatian lebih terhadap peles-tarian sumber daya alam dan lingkung-an hidup. Hal tersebut dapat dilihat dalam Nawacita ketujuh pemerintahan Jokowi yang tercantum dalam Lampiran Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019. Salah satu arah dan kebijakan Nawaci-ta ketujuh adalah dengan melakukan penguatan instrumen pengelolaan ling-kungan hidup serta sistem insentif dan disinsentif pengelolaan lingkungan hi-dup.

Perwujudan rencana tersebut dapat dilakukan dengan adanya pelaksana-an mobilisasi pendanaan melalui kerja sama kementerian/lembaga.3 Hal terse-but patut diapresiasi, namun di sisi lain,

kebijakan ini dapat menjadi bumerang karena dalam pelaksanaan kebijakan-nya. Terdapat beberapa hal dalam nor-ma pendanaan lingkungan di peraturan ini yang berpotensi menyebabkan imple-mentasi yang tidak sesuai dengan prin-sip pencemar membayar dan earmarking.

Dalam PP 46/2017, sebenarnya di-atur 3 (tiga) jenis instrumen pendanaan lingkungan hidup, yaitu dana jaminan pemulihan lingkungan hidup, dana pe-nanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup, serta dana amanah/bantuan un-tuk konservasi. Dari ketiga jenis tersebut, hanya dua jenis dana yang berkaitan de-ngan proses pemulihan dan penanggu-langan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, yaitu dana jaminan pemulihan lingkungan hidup dan dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup. Namun, dari dua jenis tersebut, yang telah menerapkan prinsip pence-mar membayar hanya dana jaminan pe-mulihan lingkungan hidup4 saja.

Perbedaan utama dari dana jamin-an pemulihan lingkungan hidup de-ngan dana penanggulangan pencemar-an dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup adalah jenis dana

3 Indonesia, Peraturan Presiden Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019, Perpres No. 2 Tahun 2015, LN No. 3 Tahun 2015.

4 Meskipun jenis dana ini setidaknya telah memenuhi prinsip pencemar membayar, sebenarnya terdapat beberapa kritik yang dapat diberikan terkait dengan pengaturannya. Akan tetapi, mengingat banyaknya hal yang perlu dibahas, maka kritik terhadap jenis dana ini nantinya akan dilakukan di dalam tulisan yang berbeda.

Page 15: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

162

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 160-185

kedua ini hanya dapat digunakan ter-hadap pencemaran yang tidak diketa-hui sumber atau pelakunya, sedangkan pencemaran yang sudah diketahui pen-cemarannya menggunakan dana jamin-an pemulihan. Tetapi, meskipun dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup hanya dapat digunakan terhadap wilayah yang tidak diketahui sumber atau pelaku pencemarannya, bukan ber-arti dana ini dapat menyimpangi prinsip pencemar membayar.

Tulisan ini fokus membahas potensi penyimpangan prinsip pencemar mem-bayar dalam pengaturan tentang dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Selain itu, dana amanah bantuan/konservasi juga akan dibahas karena adanya potensi pe-nyimpangan prinsip earmarking.

Perpres 77/2018 mengatur bahwa pengelolaan dana lingkungan hidup adalah suatu sistem dan mekanisme untuk mendanai upaya perlindungan lingkungan hidup dan pengelolaan ling-kungan hidup.5 Pengelolaan dana ini ter-diri dari 3 (tiga) bentuk kegiatan yaitu penghimpunan dana, pemupukan dana, dan penyaluran dana.6

Dalam kegiatan penghimpunan dana, ada 2 (dua) jenis dana yang perlu dihimpun, yaitu dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan ling-kungan hidup dan pemulihan lingkung-an hidup serta dana amanah/bantuan konservasi.7 Dana penanggulangan pen-cemaran dan/atau kerusakan dan pe-mulihan lingkungan hidup bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan sum-ber dana lainnya yang dapat berasal dari pajak dan retribusi lingkungan,8 sedang-kan dana amanah/bantuan berasal dari hibah dan donasi.9 Untuk kegiatan pe-nyaluran dana lingkungan hidup, harus dilakukan sesuai dengan kesepakatan dalam kontrak/perjanjian.10

Apabila dilihat secara kasat mata, Perpres 77/2018 seakan-akan tidak ber-masalah dan menunjukan pemerintahan yang peduli terhadap lingkungan hidup. Hal ini dapat dilihat terutama dengan adanya peruntukan APBN dan APBD diarahkan kepada penanggulangan pen-cemaran dan/atau kerusakan dan pemu-lihan lingkungan. Tetapi apabila dianali-sis, justru melalui kebijakan penggunaan APBN dan APBD ini timbul pertanya-

5 Indonesia, Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup, Perpres No. 77 Tahun 2018, LN No. 160 Tahun 2018, Pasal 2 huruf d. Lihat juga dalam Pasal 1 angka 2 PP 46. 2017.

6 Ibid.7 Ibid., Pasal 3 huruf a dan b.8 Ibid., Pasal 4 ayat 1 dan 2.9 Ibid., Pasal 4 ayat 3.10 Ibid., Pasal 6 ayat 1.

Page 16: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

163

Adryan Adisaputra Tando dan Theresia E.K. HindriaditaAktualisasi Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup di Indonesia: Mencegah Penyimpangan

Prinsip Pencemar Membayar dan Earmarking

an, apakah hal ini telah sesuai dengan polluter pays principle (prinsip pencemar membayar)? Apakah penyaluran yang dilakukan telah sesuai dengan prinsip earmarking? Tulisan ini akan membahas kedua pertanyaan tersebut.

II. Prinsip Pencemar Membayar: Suatu Kekhususan dalam Hu-kum Lingkungan

Prinsip pencemar membayar diper-kenalkan pertama kali oleh Organization for Economic Cooperation and Develop-ment (OECD) pada tahun 1972. Reko-mendasi Guiding Principles Concering the International Economic Aspects of Environ-mental Policies menyebutkan bahwa prin-sip pencemar membayar adalah:11

“The principle to be used for allocating costs of pollution prevention and control me-asures to encourage rational use of scarce en-vironmental resources and to avoid distorti-ons in international trade and investment is the so-called “Polluter-Pays Principle”. This principle means that the polluter should bear the expenses of carrying out the above-menti-oned measures decided by public authorities to ensure that the environment is in an ac-ceptable state. In other words, the cost of the-

se measures should be reflected in the cost of goods and services which cause pollution in production and/or consumption. Such mea-sures should not be accompanied by subsidies that would create significant distortions in international trade and investment.” (garis bawah oleh penulis)

Pada awal diperkenalkan, prinsip ini masih bersifat abstrak. Namun, reko-mendasi OECD tersebut akhirnya mem-bawa angin segar dalam perkembangan prinsip hukum lingkungan. Hal ini da-pat dilihat dalam pengadopsian prinsip pencemar membayar dalam cerminan hukum lingkungan internasional baik yang berupa soft-law maupun yang ber-sifat hard-law.

Salah satu hukum internasional yang mengadopsi prinsip pencemar mem-bayar adalah Deklarasi Rio tahun 1992. Prinsip ke 16 menyatakan adanya ben-tuk internalisasi dari biaya-biaya ling-kungan dan instrumen ekonomi lainnya yang dibebankan kepada pencemar.12 Pada dasarnya prinsip pencemar mem-bayar mewajibkan ongkos pencemaran ditanggungkan (should be borne) kepada mereka yang melakukan pencemaran.13 Bentuk tanggung jawab tersebut berupa

11 OECD, Guiding Principles Concering the International Economic Aspects of Environmental Policies, Da-lam OECD, The Polluter-Pays Principle: OECD Analyses and Recommendations (Paris, OECD, 1992), hlm 19.

12 Sands dan Galizi meringkas Prinsip ke-16 Deklarasi Rio dengan menyatakan: menyatakan “In-ternalisation of environmental costs and economic instruments should be promoted in a manner that takes into account that the polluter should bear the cost of pollution.” Philippe Sands, Paolo Galizi, Documents in Inter-national Environmental Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2004), hlm. 18.

13 Philippe Sands, Principles of International Environmental Law 2nd Edition (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), hlm. 280

Page 17: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

164

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 160-185

14 Alan Boyle dan Patricia Birnie, International Law and the Environment, 2nd Edition. (Oxford: Oxford University Press, 2002), hlm. 322.

15 Hal ini mengingat bahwa prinsip pencemar membayar ini juga memiliki unsur ekonomi yang kental untuk mewujudukan perlindungan lingkungan. (Laode M. Syarif, Maskun, dan Birkah Latif, Evolusi Kebijakan dan Prinsip-Prinsip Lingkungan Global dalam Laode M. Syarif dan Andri Wibisana, Hu-kum Lingkungan, Teori, Legislasi, dan Studi Kasus (Jakarta: INCLE, 2010, hlm. 55). Pendapat serupa juga diungkapkan oleh Van Lennep pada tahun 1970 yang menyatakan bahwa prinsip pencemar membayar difungsikan untuk mengontrol pencemar dengan biaya yang paling efektif (cost-effective) (Jan-Henrik Meyer, “Who Should Pay for Pollution? The OECD, the European Communities and the Emergence of Environmental Policy in the Early 1970s”, European Review of History: Revue européenne d’histoire, 24:3, (2017), hlm. 4)

16 Sharon Beder “The Polluter Pays Principle.“ dalam Sharon Beder, Environmental Principles and Policies. An Interdisciplinary Introduction, (London: Earthscan, 2006), hlm. 32.

17 John Adler dan David Wilkinson, Environmental Law and Ethics (London: Macmillan Press, 1999), hlm. 177.

ongkos untuk melakukan pencegahan dan kontrol terhadap pencemaran yang dicerminkan ke dalam harga-harga pro-duksi atau jasa yang sifatnya mencemari lingkungan.14 Ongkos hasil cerminan itu nantinya harus ditujukan untuk menjaga lingkungan. Permasalahan yang perlu dijawab oleh prinsip pencemar memba-yar adalah siapa yang dimaksud pence-mar, apa saja yang harus dibayar oleh pencemar, tujuan, dan bagaimana imple-mentasinya dalam kebijakan lingkung-an?15

A. Siapa yang dimaksud dengan Pencemar?

Siapa itu Pencemar? Pertanyaan ini timbul seiring dengan adanya keharusan untuk membebankan tanggung jawab pemulihan kepada pihak yang melaku-kan pencemaran. Isu ini penting meng-ingat bahwa prinsip pencemar mem-bayar bukan hanya mengenai etika saja akan tetapi juga keadilan dan pertang-gungjawaban.16 Dalam hal pencemaran, sebenarnya setiap orang atau korporasi memiliki peran yang sama dalam suatu lingkaran produksi dan konsumsi yang berakibat pada pencemaran.17 Misalnya, terdapat kendaraan yang melakukan pencemaran udara. Siapakah pencemar-nya? Pabrik yang melakukan produksi kendaraan tersebut atau pembeli kenda-raan?

Page 18: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

165

Adryan Adisaputra Tando dan Theresia E.K. HindriaditaAktualisasi Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup di Indonesia: Mencegah Penyimpangan

Prinsip Pencemar Membayar dan Earmarking

Pada dasarnya pencemar adalah me-reka yang baik secara langsung maupun tidak langsung menimbulkan kerugian (damages) kepada lingkungan atau mere-ka yang menciptakan kondisi untuk itu.18 Namun, umumnya para sarjana berpen-dapat bahwa alokasi biaya lingkungan yang ada pada pelaku usaha akan dite-ruskan kepada konsumen dalam wujud harga barang atau jasa.19 Dengan kata lain, yang dimaksud dengan pencemar adalah konsumen karena konsumen yang menanggung seluruh biaya ling-kungan (environmental cost).

Akan tetapi, pada kenyataannya, pe-nerapan mengenai siapa yang dimaksud dengan pencemar harus dilihat secara vis-à-vis dengan kondisi yang ada. The Comprehensive Environmental Response,

18 Joint Working Party on Trade and Environment, The Polluter-Pays Principle as It Relates to Interna-tional Trade, (Paris: OECD, 2002), hlm. 11, Lengkapnya dinyatakan sebagai berikut: ‘someone who directly or indirectly damages the environment or who creates conditions leading to such damage’.

19 Dalam hal demikian alokasi yang diberikan kepada konsumen tersebut akan diwujdukan ke dalam permintaan pasar, harga yang dibayar oleh konsumen, ataupun pengurangan gaji atau keun-tungan. Maka secara kasuistis Pearson menyatakan itu tidak ada bedanya dengan apa yang dinamakan Consumer Pays Principle. Lebih lanjut Selanjutnya sisa biaya polusi setelah memenuhi tujuan pengu-rangan polusi sebagaimana sudah ditetapkan oleh otoritas publik maka akan ditanggung oleh korban, dalam hal timbullah apa yang dinamakan dengan Victims Pays Principle. Dalam kesumpulannya, Pear-son menyatakan hal demikian sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh OECD dan European Commis-sion (‘EC’). Charles S. Pearson, “Testing the System: GATT + PPP=? “Cornell International Law Journal. Vol 27, Issue 3, Article 4 (1994), hlm. 555-556.

20 Selengkapnya CERCLA menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pencemar adalah mereka yang: 1) Current owners or operators of the facility, regardless of whether the owner or operator caused the release of the hazardous substance. 2)Past owners or operators, who owned or operated the facility at the time of disposal of the hazardous substance. 3) Any person who arranges for the treatment or disposal of the hazardous substance owned or possessed by that person. 4) Any person who accepts or accepted any hazardous substance for transport to disposal or treatment facilities, incinerators or sites selected by that person from which there is a release or a th-reatened release. Sebagaimana dikutip dari David Wilkinson, Law and Environment, (London: Roudledge Publishing, 2002) hlm. 125.

Compensation, and Liability Act (CERCLA) menyebutkan bahwa pencemar adalah:20

1. Pemilik atau operator fasilitas, terlepas apakah mereka yang memiliki atau mengoperasikan fasilitas pada saat pembuangan zat berbahaya (hazardous sub-stance);

2. Pemilik atau operator masa lalu yang memiliki atau mengopera-sikan saat terjadinya pembuang-an zat berbahaya;

3. Setiap orang yang mengatur pe-rawatan atau pembuangan zat berbahaya yang dimiliki oleh orang tersebut;

4. Setiap orang yang menerima atau diterima zat berbahaya untuk di-angkut ke fasilitas pembuangan atau perawatan atau lokasi yang dipilih oleh orang yang darinya terlepas atau terancam dilepaskan.

Page 19: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

166

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 160-185

21 OECD, op.cit., hlm. 8.22 Ibid., hlm. 13.23 Smets, H. ‘The Polluter Pays Principle in the Early 1990s’, dalam L. Campiglio, L. Pineschi, D.

Siniscalco dan T. Treves (eds) The Environment After Rio: International Law and Economics, (London: Gra-ham and Trotman, 1994). Lihat juga Pearson, op.cit., hlm. 556.

24 Permasalahan environmental damage ini menjadi suatu masalah yang cukup pelik mengingat efek domino yang ditimbulkan. Lebih lanjut environmental damages juga memiliki sifat yang sulit untuk di-kembalikan seperti semua (irreversible) dan juga secara luas/katastropik (catastrophic). Dalam hal ini Sunstein memberikan contoh beberapa hal di lingkungan misalnya rekayasa genetik, perubahan iklim, dan nuklir. Sekalipun dalam tulisannya Sunstein memberikan kritik terhadap asas pencegahan (precau-tionary principle) akan tetapi perlu dipahami bahwa Sunstein setuju bahwa environmental harm bersifat irreversible dan catastrophic. Cass R. Sunstein, “Irreversible and Catastrophic: Global Warming, Terro-rism, and Other Problems: Eleventh Annual Lloyd K. Garrison Lecture on Environmental Law”, Pace Environmental Law Review, Vol. 23 (Januari, 2006).

Environmental damage apabila dibiarkan maka tidak hanya merugikan kepentingan generasi yang tinggal dan menikmati hasil dari lingkungan. Tetapi hal ini akan menjadi sebuah kerugian bagi generasi yang akan datang sebagaimana juga hal ini harusnya dilindungi. Padahal sebagai contoh bahwa apabila environmental damage dibiarkan maka akan merugikan generasi yang akan datang. Pada saat yang sama pula bahwa prinsip keadilan antar-generasi sudah menjadi prinsip-prinsip hukum lingkungan. Dalam hal ini Weiss memberikan empat kriteria keadilan anrar generasi yang harus dilindungi. Pertama yaitu perlindungan terhadap pilihan (conservation of options), perlindungan akan kualitas (conservation of quality), dan perlindungan atas akses (conservation of access). Edith Brown Weiss, “Our Rights and Obligations to Future Generations for the Environment”, The American Journal of International Law, Vol. 84 (1990), hlm. 202.

25 Roy E. Cordato, “The Polluter Pays Principle: A Proper Guide for Environmental Policy”, Insti-tute for Research on the Economics of Taxation (IRET) Studies in Social Cost, Regulation and the Environment, No. 6, (2001), hal 1. Terkait pendapat Cordato, penulis setuju bahwa pencemar harus membayar de-ngan jumlah yang setara dengan pencemaran yang terjadi. Namun, penulis kurang setuju dengan per-nyataan bahwa kerugian hanya perlu dibayarkan kepada orang yang dirugikan, tidak perlu terhadap

B. Apa Saja Biaya yang Harus Ditanggung oleh Pencemar?

OECD pada tahun 1972 merekomen-dasikan bahwa pencemar bertanggung jawab atas ongkos pencegahan pence-maran dan langkah pengendalian (con-trol measure).21 Langkah pengendalian ini akan ditentukan oleh otoritas publik un-tuk menyatakan kelayakan lingkungan. Pencemar akan bertanggung jawab atas biaya untuk menjaga lingkungan.22 Bia-ya tersebut biasanya berupa biaya sistem kontrol terhadap pencemaran, pengelu-aran lisensi (issuing licences), pengawas-an atas emisi polusi dan lainnya.23

Melihat penjelasan tersebut, dida-pati bahwa isu kerusakan lingkungan kurang diperhatikan.24 Cordato menya-takan bahwa pencemar harus membayar dengan jumlah yang setara dengan keru-sakan dan pembayaran ditujukan kepa-da orang yang dirugikan. Ia juga menya-takan bahwa benda mati dan lingkungan tidak mengalami kerugian namun orang pasti mengalami kerugian dan membu-tuhkan biaya ganti kerugian.25 Sarana perwujudan dari kerugian lingkungan yang diakibatkan oleh orang lain dapat dilakukan melalui pertanggungjawab-an perdata yang mana merupakan salah

Page 20: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

167

Adryan Adisaputra Tando dan Theresia E.K. HindriaditaAktualisasi Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup di Indonesia: Mencegah Penyimpangan

Prinsip Pencemar Membayar dan Earmarking

satu perwujudan dari prinsip pencemar membayar.26

C. Prinsip Pencemar Membayar: Tujuan Objektif dan Implemen-tasi

Tujuan objektif dari prinsip pence-mar membayar adalah internalisasi eks-ternalitas.27 Hal ini dapat dilihat dalam Prinsip 16 Deklarasi Rio yang memberi-kan kesatuan diantara keduanya.28 Inter-

nalisasi eksternalitas ini menjadi penting dikarenakan merupakan salah satu wu-jud terjadinya kegagalan pasar (market failure).29

Dalam konsep ekonomi, eksternali-tas merujuk kepada suatu cara di mana produksi, transaksi pasar, atau perilaku konsumsi yang nantinya memengaruhi secara tidak langsung perilaku orang-orang yang tidak terlibat dalam hal ter-sebut (third party).30 Akibat dari tidak

lingkungan. Seolah-olah pendapat ini menyatakan bahwa lingkungan yang rusak tidak perlu untuk dipulihkan. Padahal, lingkungan bukan benda mati. Lingkungan memiliki hak. Hal ini sejalan dengan pendapat dari Keraf yang berpegangan pada pendapat Taylor. Perkataan Taylor sebagaimana dikutip oleh Keraf, yang menyatakan, “Pertama, alam mempunyai hak untuk tidak diganggu gugat dan diru-gikan. Alam mempunyai hak untuk tidak dirusak dan dicemari . . . Kedua, manusia mempunyai kewa-jiban untuk membiarkan organisme berkembang sesuai dengan hakikatnya . . . Singkatnya, “kita tidak boleh berusaha untuk memanipulasi, mengontrol, memodifikasi, atau “mengelola” ekosistem alamiah atau sebaliknya mengintervensi fungsi-fungsi alamiahnya.” Lihat: A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan Hidup, (Jakarta: Kompas, 2010), hal 141-142 dan Paul W. Taylor, Respect for Nature: A Theory of Environ-mental Ethics, (Princeton: Princeton University Press, 1986).

Berdasarkan hal tersebut kembali ditekankan sebagaimana halnya hak yang melekat pada subjek hukum lainnya, begitu pula dengan hak yang melekat pada lingkungan hidup pun tidak boleh di-langgar. Misalnya ketika terjadi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, maka peristiwa itu dapat dikatakan dengan pelanggaran hak kepada lingkungan hidup. Secara otomatis maka para pencemar atau perusak itu dilekatkan tanggung jawab untuk memulihkan keadaan lingkungan hidup seperti keadaan semula. Lebih lanjut, Syarif dan Wibisana juga menyatakan bahwa lingkungan adalah Ibu Kehidupan, sehingga tanpa lingkungan, maka manusia tidak akan bisa bertahan hidup. Lingkungan adalah sumber hidup segala makhluk. Lihat: Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana, ed., op.cit.

26 Andri Gunawan Wibisana, Prinsip-Prinsip Hukum Lingkungan, Bahan Ajar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Minggu II, Draft Oktober 2014, hlm. 57.

27 OECD, op.cit., hlm. 14.28 Andri Gunawan Wibisana, op.cit., hlm. 57.29 Menurut Cooter dan Ulen ada empat alasan terjadi kegagalan pasar. Pertama adalah posisi yang

tidak seimbang masing-masing aktor pasar. Dalam hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah kondisi, hal tersebut tentu saja tidak ideal dikarenakan seharusnya dalam pasar setiap pelaku dalam posisi sama kuat dalam pengambilan keputusan. Dengan kata lain, konsumen tidak memiliki kekuatan untuk me-nentukan pilihan dan harus mengikuti apa yang dinyatakan oleh produsen. Kedua, adanya informasi yang tidak seimbang atau asymmetry information. Pelaku usaha akan mengambil keuntungannya seba-nyak mungkin dari ketidaktahuan konsumen. Ketiga, kegagalan pasar tercermin dari adanya barang publik. Dimana setiap individu merasa tidak ada kewajiban untuk mengadakannya akan tetapi terus menggunakannya. Contoh klasik dari barang publik ini adalah sinar mercusuar, dimana setiap indivi-du merasa akan mendapatkan manfaatnya tanpa bisa dikurangi. melihat hal demikian masing-masing individu yang sadar dan rasional tentu tidak akan mau memasang mercusuar tersebut sehingga tidak ada satupun pihak yang memasang sinar di mercusuar. Terakhir, adalah eksternalitas yang tidak per-nah diinternalisasi oleh pelaku usaha. Robert Cooter dan Thomas Ulen, Law and Economics, 6th edition, (New York: Addison-Wesley, 2012), hlm. 38-41.

30 R. C. d’ Arge dan E. K. “Hunt, Environmental Pollution, Externalities, and Conventional Econo-mic Wisdom: A Critique”, B.C. Environmental Affair Law Review. Vol. 1 (1971), hlm. 266.

Page 21: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

168

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 160-185

dihitungnya biaya ke dalam manfaat ter-sebut akan berdampak pada masyarakat sebagai pihak yang menanggung segala biaya yang ada.31 Eksternalitas dapat tim-bul juga karena manusia yang selalu ber-usaha mencari keuntungan maksimum tanpa memikirkan pihak lain (self interes-ted),32 sehingga dalam hal ini pasar telah gagal33 mencerminkan harga sebenarnya. Jadi dapat dikatakan bahwa eksternali-tas berbentuk perbedaan harga antara private costs dengan social cost.34 Eksterna-

litas ini merupakan sebuah contoh klasik dari bagaimana ketidakmampuan pasar dalam menjaga aset lingkungan (environ-mental asset).35

Dalam konteks lingkungan hidup, salah satu wujud pengambilan kebijakan internalisasi eksternalitas adalah dengan penerapan pajak lingkungan.36 Hal ini juga didukung oleh mayoritas ekonom yang menyatakan bahwa bentuk opti-mal regulasi kepada pelaku usaha yang melakukan eksternalitas negatif adalah

31 Draper meuyatakan bahwa eksternalitas merupakan salah satu dari tiga hal yang mempenga-ruhi analisis biaya-keuntungan/cost and benefit analysis (‘CBA’). Dua hal lainnya yang mempengaruhi CBA adalah isu hak kepemilikan properti (property rights) dan permasalahan implisit dari pemasukan CBA dalam peraturan pemerintah. John William Draper, “Why Law Now Needs to Control Rather than Follow Neo-Classical Economics”, Pace Environmental. Law Review, Vol. 33 (2016), hlm. 194.

32 Hal ini juga dapat dipahami dalam pandangan model Neo Klasik. Menurut Mixon, ada dua perilaku utama manusia dalam hal Neo Klasik. Pertama, manusia adalah pihak yang rasional. Kedua manusia selalu memikirkan diri sendiri (self interested). Nixon pun menambahkan bahwa di dalam sua-tu pasat tidak akan orang-orang yang jujur, dapat dipercaya (truthful) adil (fair), dan sebagainya kecuali mereka mendapatkan keuntungan dari perilaku yang dilakukan tersebut. John Mixon, “Neoclassical Economics and the Erosion of Middle-Class Values: An Explanation for Economic Collapse”, Notre Dame Journal Law Ethics & Public Policy, Vol. 24 (2010), hlm. 327-328.

33 Menurut Cooter dan Ulen ada empat alasan terjadi kegagalan pasar. Pertama adalah posisi yang tidak seimbang masing-masing aktor pasar. Dalam hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah kondisi, hal tersebut tentu saja tidak ideal dikarenakan seharusnya dalam pasar setiap pelaku dalam posisi sama kuat dalam pengambilan keputusan. Dengan kata lain, konsumen tidak memiliki kekuatan untuk me-nentukan pilihan dan harus mengikuti apa yang dinyatakan oleh produsen. Kedua, adanya informasi yang tidak seimbang atau asymmetry information. Pelaku usaha akan mengambil keuntungannya seba-nyak mungkin dari ketidaktahuan konsumen. Ketiga, kegagalan pasar tercermin dari adanya barang publik. Dimana setiap individu merasa tidak ada kewajiban untuk mengadakannya akan tetapi terus menggunakannya. Contoh klasik dari barang publik ini adalah sinar mercusuar, dimana setiap indivi-du merasa akan mendapatkan manfaatnya tanpa bisa dikurangi. melihat hal demikian masing-masing individu yang sadar dan rasional tentu tidak akan mau memasang mercusuar tersebut sehingga tidak ada satupun pihak yang memasang sinar di mercusuar. Terakhir, adalah eksternalitas yang tidak per-nah diinternalisasi oleh pelaku usaha. Robert Cooter dan Thomas Ulen, Law and Economics, 6th edition, (New York: Addison-Wesley, 2012), hlm. 38-41.

34 Robert S. Pindyck dan Daniel L. Rubinfeld, Microeconomics, (Prentice Hall, 2001), hlm. 592.35 Arrow, K. “The Organization of Economic Activity: Issues Pertinent to the Choice of Market

Versus Nonmarket Allocation”, (Disampaikan pada The Analysis and Evaluation of Public Expenditures: The PPB System), Washington D.C: Joint Economic Committee, 91st Congress, 47-64, 1969. Lihat juga: E. Mansfield, Principles of Microeconomics (New York: W.W. Norton & Company, 1983), hal. 73-76. Lihat juga dalam John Mixon, op.cit., hlm. 328.

36 William J. Baumol dan Wallace E. Oates, The Theory of Environmental Policy (Cambridge: Cambrid-ge University Press, 1988), hlm. 22.

Page 22: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

169

Adryan Adisaputra Tando dan Theresia E.K. HindriaditaAktualisasi Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup di Indonesia: Mencegah Penyimpangan

Prinsip Pencemar Membayar dan Earmarking

pajak.37

Ide tersebut diawali dari pemikiran awal seorang ekonom Inggris, Arthur Cecil Pigou. Dalam pandangannya, ia fo-kus kepada maksimalisasi kesejahteraan (welfare maximixation) dan membangun teori efisiensi ekonomi untuk pendapat-an nasional (national dividend) serta mem-bawa dampak kepada tingkat optimali-sasi jika eksternalitas biaya lingkungan dapat diinternalisasi.38 Teori yang diba-wa oleh Pigou tersebut dikenal secara umum dengan sebutan Pigouvian Tax.

Latar belakang pemikiran Pigou di-awali dengan melihat adanya kewajiban untuk alokasi yang tepat antara biaya oleh pelaku usaha, baik pencemar maupun tercemar, akan menemukan titik yang seimbang dengan cara membandingkan manfaat sosial dan biaya sosial dari ke-giatan tersebut.39 Pajak lingkungan ini nanti akan memberikan suatu tekanan untuk mencari titik seimbang (equivalen-cy) antara private costs dengan social costs

yang timbul dari produksi atau aktivi-tas.40 Misalnya, suatu pabrik A (sebelum dikenakan pajak lingkungan) memiliki keuntungan sebesar 5, namun A menye-babkan kerugian lingkungan sebesar 10. Maka dari itu, kerugian sebesar 10 nan-tinya akan diinternalisasi melalui pajak sebesar 10 pula dan harus ditanggung oleh A. Jika skema tersebut diterapkan, kemungkinan besar A tidak akan mau mencemari karena nilai keuntungannya akan lebih kecil dibandingkan kerugian yang ditanggung.

Awalnya tujuan dari pajak lingkung-an adalah memperoleh keuntungan gan-da (double dividend), yaitu keuntungan bagi lingkungan dan keuntungan ekono-mi.41 Pengenaan pajak lingkungan akan menciptakan keuntungan bagi lingkung-an yang pada akhirnya akan menghasil-kan efisiensi ekonomi.42

Namun demikian, keuntungan gan-da menimbulkan permasalahan lain apabila tidak dilakukan earmarking, ka-

37 Agnar Sandmo, “Direct Versus Indirect Pigouvian Taxation,” European Economic Review, Vol. 7 (1976). Dalam tulisannya Sandmo menjelaskan secara rinci bagaimana cara kerja pajak dalam melaku-kan internaliasi eksternalitas untuk mencapai titik optimum.

38 Arthur Cecil Pigou, The Economics of Welfare, (London: Macmillian and Co., Limited, 2002), hlm. 192.39 Claudia Alexandra Dias Soares, “The Design Features of Environmental Tax”, Doctoral Thesis,

London School of Economics, September 2011, hlm. 36.40 Kondisi tersebut baru akan terpenuhi ketika ongkos marginal yang tidak dikompensasi dapat

diinternalisasi lewat pajak kepada suatu organ (agents) yang menyebabkan terjadinya eksternalitas. Logika simetris tersebut harus diimplementasikan pada kasus terjadinya biaya eksternal (external cost) dimana manfaat eksternal (external benefits) terjadi sebaliknya. Dalam hal demikian, pajak harus disubtitusi dengan subsidi kepada organ-organ ekonomi yang berkepentingan. Ibid.

41 Michael Faure, Marjan Peeters, dan Andri G. Wibisana, “Economic Instruments: Suiteed Developing Countries?”, dalam Michael Faure dan Nicole Niessen, Environmental Law in Development: Lesson from the Indonesian Experience (Northampton, Edward Elgar, 2010), hlm. 231.

42 Misalnya Terkla memberikan contoh bahwa effluent charges dapat meningkatkan efisiensi ekono-mi dengan memberikan pungutan (charges) kepada pencemar untuk biaya kesmpatan yang sebenarnya

Page 23: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

170

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 160-185

rena pajak lingkungan yang seharusnya ditujukan untuk lingkungan berpotensi digunakan untuk hal lain. Andersen me-nyatakan, “modern externality theory hard-ly deals with the question of what should hap-pen to the revenues from externality taxes”.43 Hal ini akan membawa permasalahan kepada sulitnya mencapai tujuan ling-kungan melalui pajak.

III. Earmarked Taxes sebagai Suatu Contoh Prinsip Earmarking

Earmarked Taxes adalah sebuah de-sain pendanaan yang mengacu kepada satu atau beberapa sumber dengan tuju-an akhir yang spesifik.44 Earmarking ada-lah solusi yang menarik menurut politi-si dan pembayar pajak, serta dianggap layak untuk pendanaan jaminan sosial, pendidikan, dan program lingkungan

hidup. Earmarking menurut para peng-ambil kebijakan sebagai suatu alat untuk mengurangi resistensi tinggi pembayar pajak serta akuntabilitas yang jelas dari pembayar pajak mengenai peruntukan pajak tersebut.45

Earmarking memiliki dua pengertian yang berkaitan dengan penganggaran (budgeting), yaitu sebagai pemasukan pendapatan secara umum yang nantinya dikonsentrasikan untuk proyek tertentu dan sebagai perpisahan aliran pendapat-an program tertentu ke dalam anggaran lokal atau nasional.46

Dalam perkembangannya, earmar-king tidak luput dari kritik. Marisiliani dan Renstrom memberikan kritik meng-gunakan contoh alokasi pajak kendara-an bermotor.47 Apakah pajak kendaraan bermotor seharusnya digunakan sepe-

(true opportunity cost) daripada sumber daya yang dicemar. Pungutan berupa pajak itu didesain untuk meningkatkan alokasi sumber daya dengan mempengaruhi perilaku ekonomi. Di sisi lain dengan dia-dakan pungutan teersebut dapat memberikan keuntungan bagi pendapatan. Sebaliknya, semua pajak lainnya selain pajak lingkungan pada dasarnya dirancang untuk meningkatkan pendapatan dan tidak dirancang dengan sengaja untuk dikonsentrasikan mengganggu keputusan ekonomi dan mendistorsi pilihan yang efisien. David Terkla, “The Efficiency Value of Effluent Tax Charges”, Journal of Environ-mental Economics and Management, Vol. 11 (1984), hlm. 108. Lihat juga Oates, “Green Taxes: Can We Protect the Environment and Improve the Tax System at the Same time?”, Southern Economic Journal, Vol. 61, No. 4 (April, 1995), hlm. 916-918.

43 Mikael Skou Andersen, Governance by Green Taxes: Making Pollution Prevention Pay, (Manchester: St. Martin Press, 1994), hlm. 37.

44 Ranjit S. Teja, “The Case of Earmarked Taxes”, International Monetary Fund, Vol. 35 (September, 1988), hlm. 523. Dalam sejarahnya pengunaan kata earmark ditujukan kepada praktek penggembala yang membuat sobekan kepada telinga hewannya (notch) untuk menunjukan kepemilikan dari hewan ternak tersebut. Tim Weiner, “Sending Money to Home District: Earmarking and Congressional Pork Barrrel”, New York Times, 13 Juli 1994, hlm. A01.

45 Richard M Bird dan Joosung Jun, “Earmarking Theory and Korean Practice”, International Tax Program Paper (2005), hlm. 15-17.

46 Rob Porter dan Sam Walsh, “Earmarks in the Federal Budget Process”, Harvard Law School Federal Budget Policy Seminar Briefing Paper, No. 16 (2008), hlm. 2.

47 Laura Marsiliani dan Thomas I. RenstroÈm, “Time Inconsistency in Environmental Policy: Tax Earmarking as a Commintment Solution”, The Economic Journal, Vol. 110 (Maret 2000), hlm. C 123.

Page 24: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

171

Adryan Adisaputra Tando dan Theresia E.K. HindriaditaAktualisasi Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup di Indonesia: Mencegah Penyimpangan

Prinsip Pencemar Membayar dan Earmarking

nuhnya untuk perkembangan jalan atau untuk transportasi umum?48 Sekalipun menurut mereka kedua argumen terse-but tidak rasional untuk menciptakan efisiensi ekonomi atau kesahjeteraan, akan tetapi memperlihatkan bahwa seti-ap golongan ingin mendapatkan bagian yang lebih besar dari ‘public cake’. Argu-men yang dibawa bagi masing-masing kelompok adalah bahwa bagian tersebut harus disesuaikan dengan apa yang me-reka anggap dibutuhkan.49 50Sekalipun menimbulkan masalah, earmarking pajak lingkungan merupakan hal yang umum dilakukan di berbagai negara seperti di Eropa,51 Jepang,52 dan Amerika Serikat.

Secara khusus, pemberlakuan ear-marking dalam hal lingkungan dapat dibenarkan karena sesuai dengan prin-sip pencemar membayar. Hal ini juga disetujui oleh Pigou yang secara impli-sit menyatakan bahwa earmarking pajak lingkungan dapat dialokasikan untuk memperbaiki kerugian pada masyarakat oleh pencemar.53

Secara politik, earmarking dapat di-benarkan dengan melihat dua hal yaitu sebagai bentuk precommitment dan alat transparansi.54 Deran menyatakan ada empat keuntungan yang didapat dari penggunaan earmarking baik secara eko-nomi maupun non-ekonomi yaitu:55

48 Ibid.49 Ibid.50 Ibid.51 Di Eropa terutama negara Perancis. Jerman, Italia, dan Belanda. Earmarking pajak lingkungan

dikhususkan kepada pungutan pencemaran air (water pollution charges). Ibid.52 Di Jepang merujuk kepada pendapatan dari pajak emisi (emission taxes) yang digunakan untuk

kompensasi kepada korban hasil pencemaran. Ibid.53 Claudia Alexandra Dias Soares, op.cit., hlm. 47.54 Rebecca M. Kysar, Listening to Congress: Earmark Rules and Statutory Interpretation, Cornell

Law Review. Volume 94, (2009), hlm. 526-534. Pada dasarnya fungsi dari adanya earmark sebagai precommitmen device adalah bahwa aturan-aturan legislatif (yang berasal dari earmark) didasari dari ‘veil of ignorance’ Rawlsian yang memaksa pembuat aturan untuk merumuskan aturan demi kepentiungan publik semata tanpa bisa mencampuradukan kepentingan lain didalamnya. Secara khusus, aturan tersebut nantinya akan diberlakukan tanpa melihat siapa yang akan diuntungkan atau dirugikan dari pemberlakuannya. Hal ini dalam bahasa Rawlsian dikenal dengan sebutan original position atau posisi sebenarnya. Lebih lanjut dengan pemberlakukan earmark pembuat kebijakan dapat mengantispasi diri dari kurangnya disiplin diri (dalam hal penganggaran). Dalam hal ini Elster menyatakan demikian ‘person acts at one point in time in order to ensure that at some later time he will perform an act that he could but would not have performed without that prior act.’ Dalam Jon Elster, Don’t Burn Your Bridge Before You Come to It: Some Ambiguities and Complexities of Precommitment, Texas Law Review Volume. 81. (2003), hlm. 1754. Dalam penganggran sendiri precommitmen device ini timbul sebagai bentuk imbalan atas pengeluaran yang telah dilakukan. Lalu dari sisi earmarking sebagai alat transparasi. Hal ini dapat dibenarkan dengan melihat tujuannya untuk menghilangkan distrorsi yang terjadi akibat ketidaktahuan tentang isi atau tujuan alokasi yang tampaknya tidak sesuai dan juga ambigu.

55 Elizabeth Deran, Earmarking and Expenditures: A Survey and a New Test, National Tax Journal, Volume. 18 No. 4 (Desember, 1965), hlm. 357. Bird juga mengungkapkan dalam beberapa kasus

Page 25: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

172

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 160-185

1. memberikan keuntungan dari penggunaan teori perpajakan;

2. memberikan kepastian pengelu-aran yang efisien untuk tujuan pemerintahan yang diinginkan tanpa perlu memberikan tekanan kepada pembuatan kebijakan;

3. kestabilan yang lebih baik dan keberlanjutan pendanaan me-nimbulkan ongkos yang lebih rendah dalam proyek karena le-bih cepat selesai;

4. tercipta link yang menghubung-kan pajak dengan pengeluaran, sehingga peruntukan khusus da-pat mengatasi pajak lain dan membantu menghasilkan sum-ber pendapatan baru.

Patterson menyatakan agar pajak lingkungan ini efektif dan efisien diper-lukan adanya linkages dan earmarking revenue.56 Pajak lingkungan harus dide-

katkan sedekat mungkin kepada pen-cemaran yang akan dikontrol.57 Apabila linkage-nya lemah, maka pajak gagal da-lam memberikan dampak yang seharus-nya diberikan kepada pencemaran dan menimbulkan distorsi yang tidak perlu ke dalam harga produksi dan keputusan konsumsi.58 Hal yang sama juga berlaku terhadap kebijakan revenue earmarking. Dalam menjalankan kebijakan tersebut. perlu juga dilakukan precommitment atau “tying the government’s hands” dalam pengunaan pendapatan dari pajak ling-kungan.59 Earmarking juga menunjukan bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk berusaha memperbaiki lingkung-an bukan hanya meningkatkan pajak.60 Sebab tanpa earmarking mungkin saja bahwa pajak lingkungan tersebut di-gunakan untuk kepentingan lain.61 Hal

earmarking menjadi solusi atas penyelesaian pengganggaran dari sistem penganggaran umum yang bersifat birokratik dan berbelit-belit. Richard M. Bird, Budgeting and Expenditure Control in Columbia, Public Budgeting and Finance Volume. 2 No. 3 (1982), hlm. 91-95.

56 Charles D. Patterson III, Environmental Taxes and Subsidies: What is the Appropriate Fiscal Policy for Dealing with Modern Environmental Problems? William. & Mary Environmental Law & Policy Review Volume. 121. No. 121 (2000), hlm, 136. Linkages adalah bahasa yang digunakkan oleh Patterson untuk menunjukan alokasi khusus yang akan digunakan untuk pengeluaran.

57 Stephen Smith, Environmental Tax Design, dalam Tim O’Riordan, ed. Ecotaxation (Park Square, Milton Park,Abingdon: Earthscan Routledge Publishing, 1997), hlm. 27. Berdasarkan pendapat European Environmental Agency ada enam untuk menciptakan kedekatan antara pajak dengan masalah lingkungan yang ada, 1) identifikasi dan menjelaskan permasalahn lingkungan yang ada, 2) rundingkan kebijakan yang dibutuhkan untuk mengintervensi and tuuan yang akan dicapai, 3) Merancang dan nilai dari efektifitas dari opsi-opsi kebijakan yang ada 4) merundingkan, memilih ninstrumen apa yang akan dipilih terhadap masalah lingkungan tersebut, 5) pengenalan terhadap instrument, implementasi kontrol, dan penegakan hukum, 6) modifikasi instrument setelah evaluasi yang dilakukan. European Environmental Agency, Environmental Taxes: Implementation and Environmental Effectiveness (Copenhagen: European Environmental Agency, 1996), hlm. 32.

58 Daniel McCoy, Reflections on the Double Dividend Debate, dalam Tim O’Riordan, ed. Ecotaxation (Park Square, Milton Park, Abingdon: Earthscan Routledge Publishing, 1997), hlm. 207.

59 Stephen Smith, op., cit., hlm. 29.60 Ibid., hlm. 30.61 Dalam beberapa kasus hal ini disebut dengan fiscal environmental taxes European Environmental

Agency, op.cit, hlm. 21-22.

Page 26: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

173

Adryan Adisaputra Tando dan Theresia E.K. HindriaditaAktualisasi Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup di Indonesia: Mencegah Penyimpangan

Prinsip Pencemar Membayar dan Earmarking

tersebut berdampak terciptanya potensi policital backlash.62

IV. Teori Pendanaan Lingkungan Hidup: Suatu Tinjauan untuk Pemulihan Lingkungan

Pendanaan Lingkungan Hidup ada-lah suatu sistem dan mekanisme penge-lolaan dana yang digunakan bagi pembi-ayaan upaya perlindungan dan pengelo-laan Lingkungan Hidup.63 Menurut Liu Jing, “dana” seringkali merujuk kepada instrumen keuangan yang terdiri dari kontribusi beberapa pelaku, pihak yang berpotensi menjadi korban, ataupun ke-lompok lain yang relevan.64 Akan tetapi, untuk memahami ”dana” terkait pence-maran dan perusakan lingkungan, di-perlukan pemahaman yang lebih terha-dap struktur dan kategori pendanaan itu sendiri.65

Dana pencemaran dan perusak-an dapat digunakan untuk melindungi pertanggungjawaban, intervensi ketika pertanggungjawaban tidak dapat di-

62 Charles D. Patterson III, op.cit, hlm. 137—140.63 Indonesia, op.cit., Pasal 1 angka 2.64 Liu Jing, Compensating Ecological Damage Comparative and Economic Observation (Cambridge: Inter-

sentia, 2013), hlm. 143-144.65 Ibid., hlm. 143. 66 Ibid., hlm. 143.67 H. Bocken, “Alternatives to Liability and Liability Insurance for The Compensation of Pollution

Damages (part 2), Milieu aansprakelijkheid (Environmental Liability Law), 1988, hlm. 4-6.68 Michael G. Faure, “Alternative Compensation Mechanism as Remedies for Uninsurability of

Liability”, The Geneva Paper on Risk and Insurance, Vol. 29, No. 3, (July 2004), hlm. 480. 69 Contoh dari pendanaan ini adalah IOCPF yang dibentuk oleh Fund Convention. Kontirbusi

tahunan yang masuk ke dalam IOCPF berasal dari pihak yang menerima minyak lebih dari 150.000 ton daripada pemilik kapal yang mengangkut minyak, meskipun pemilik kapal ini lebih berpotensi menjadi pencemar. Liu Jing, op.cit., hlm. 145.

70 Ibid., Liu Jing menjelaskan lebih lanjut bahwa dana yang bersumber dari masyarakat umum se-ringkali dikritik karena dianggap sebagai pemberian subsidi kepada industri-industri pencemar.

mintakan, atau memberikan kompensasi kepada korban, terlepas apakah pihak yang bertanggung jawab sudah ditemu-kan atau belum.66

Kategori dari pendanaan itu sendiri berbeda-beda. Setiap ahli memiliki kate-gori pendanaannya masing-masing, mi-salnya saja kategori menurut Bocken dan Faure. Bocken mengelompokkan dana kompensasi ke dalam empat jenis, yaitu Guarantee Funds, Complementary Compen-sation Funds, Autonomous Compensation Funds, dan Funds Holding The Polluter Harmless.67 Agak berbeda dengan Boc-ken, Faure mengategorikan jenis dana menjadi empat, yaitu Guarantee Fund, Limitation Fund, Advancement Fund, dan General Compensation Fund.68 Sementara itu, terkait dengan sumber dananya, Liu Jing membaginya menjadi tiga tipe, yaitu dana yang bersumber dari pelaku pence-maran, dana yang bersumber dari pihak lain yang berkaitan69, dan dana yang ber-sumber dari masyarakat umum.70

Page 27: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

174

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 160-185

71 H. Bocken, op.cit., hlm. 10.72 Dalam Green Paper, diatur bahwa ada dua lapis kompensasi, yaitu pertanggungjawaban perdata

yang disertai dengan asuransi tanggung jawab dalam lapis pertama dan dana kompensasi pada lapis kedua. (Commision of European Communities, “Communication from the Commision to the Cpuncil and Parliament and the Economic and Social Committee: Green Paper on remedying Environmental Damage”, COM (93) 7 Final, May 14, 1993) Tetapi, Wibisana dalam tulisannya “The Myths of Environ-mental Compensation in Indonesia: Lesson from Sidoarjo Mudflow” menambahkan lagi lapisan kompensasi ini menjadi tiga lapisan, yaitu pertanggungjawaban dan asuransi tanggung jawab di lapis pertama, alternatif atas asuransi tanggung jawab di lapisan kedua dan dana kompensasi di lapisan ketiga. (A. G. Wibisana, “The Myths of Environmental Compensation In Indonesia: Lessons from Sidoarjo Mudflow”, Progress Report for the 2008-2010 KNAW-SPIN Post Doctoral Research.)

73 Nicole Franklin, “The Superfund Program Past and Present Funding Implications”, (Tesis Virgi-nia Commonwealth University, 2011), hlm. 8.

Secara garis besar, pendapat Liu Jing juga sejalan dengan pendapat Bocken yang mengategorikan kondisi pengguna-an dana dalam empat kategori. Pertama, penggunaan dana baru dapat dilakukan apabila korban tidak mendapatkan kom-pensasi dari sistem pertanggungjawaban dengan alasan pihak yang dimintai per-tanggungjawaban tersebut pailit (tidak mampu membayar). Kedua, dilakukan jika tidak ada kompensasi yang bisa di-peroleh dari sistem pertanggungjawaban yang ada. Ketiga, bisa dilakukan kapan saja, terlepas dari adanya kemungkinan bahwa korban bisa mendapat kompen-sasi di bawah sistem gugatan perdata. Keempat, dana digunakan untuk per-tanggungjawaban atas sumber pence-maran yang tidak berbahaya71.

Merujuk pendapat di atas, Penulis menyimpulkan bahwa ada dana yang berfungsi sebagai lapisan72 namun ada juga dana yang berdiri sendiri. Dana yang berfungsi sebagai lapisan adalah dana tersebut baru dapat digunakan jika

sistem pertanggungjawaban gagal mem-berikan kompensasi kepada pihak yang dirugikan, sedangkan dana yang berdiri sendiri adalah dana yang terlepas dari sistem pertanggungjawaban, sehingga bisa bersifat sebagai alternatif ataupun komplementer dari sistem pertanggung-jawaban. V. Sistem Pengelolaan Pendanaan

Amerika Serikat: Old Super-fund vs. New Superfund

Salah satu mekanisme pendanaan lingkungan Amerika Serikat yang terke-nal adalah Superfund Trust Fund (biasa disebut Superfund) yang dibentuk mela-lui CERCLA. Menurut Franklin, Super-fund merupakan dana yang dibentuk se-bagai sumber dana bagi EPA untuk me-lakukan pemulihan pemulihan terhadap lingkungan yang tercemar.73 Pengertian yang sama juga diberikan oleh Judy dan Probst yang menyatakan bahwa Super-fund adalah salah satu mekanisme pen-danaan untuk pemulihan serta penang-gulangan lingkungan hidup yang rusak

Page 28: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

175

Adryan Adisaputra Tando dan Theresia E.K. HindriaditaAktualisasi Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup di Indonesia: Mencegah Penyimpangan

Prinsip Pencemar Membayar dan Earmarking

atau tercemar yang ada dalam CERC-LA.74

Pada dasarnya Superfund dibentuk untuk membiayai tindakan pemulihan terhadap wilayah yang tercemar namun Potentially Responsible Party (PRPs) tidak dapat ditemukan atau tidak mampu membayar.75 Selain untuk membiayai ke-dua hal tersebut, Superfund juga diguna-kan untuk melakukan pemulihan terle-bih dahulu sebelum mencari PRPs yang bertanggung jawab dan mendapatkan penggantian uang atas pemulihan yang telah dilakukan. Hal ini bisa dilihat dari adanya mekanisme paksaan76 bagi PRPs ketika harus bertanggung jawab atas

wilayah yang tercemar berupa Cost Re-covery.77 Environmental Protection Agency (EPA) akan melakukan pemulihan terle-bih dahulu dengan menggunakan dana yang ada dalam Superfund dan kemudi-an akan meminta PRPs untuk mengganti uang yang telah digunakan tersebut78

Hal yang perlu ditinjau lebih jauh dari mekanisme pendanaan ini adalah sumber dana Superfund serta pengalo-kasiannya. Sejak tahun 1980 hingga 1995 (disebut sebagai Old Superfund), sumber dana utamanya adalah pajak khusus be-rupa cukai untuk bahan kimia dan mi-nyak serta pajak lingkungan bagi peru-sahaan.79 Sistem yang digunakan adalah

74 Martha L. Judy dan Katherine N. Probst, “Superfund at 30”, Vermont Journal of Environmental Law, Vol. 11, hlm. 213.

75 David M. Bearden, “Comprehensive Environmental Response, Compensation, and Liability Act: A Summary of Superfund Cleanup Authorities and Related Provisions of the Act”, Congressional Re-search Service, (Juni 2012), hlm. 3. Terhadap kondisi dimana PRPs tidak mampu membayar, penulis menyarankan bahwa dana yang dibentuk ini sifatnya bukan berdiri sendiri, namun sebagai lapisan, untuk mencegah timbulnya moral hazard. Moral hazard adalah salah satu fenomena yang dikenal dalam asuransi dimana sikap perilaku seseorang (dalam asuransi disebut tertanggung) akan berubah segera setelah risiko dihilangkan darinya. (Michael G. Faure dan David Grimeaud, “Financial Assurance Issu-es of Environmental Liability”, Final Report, (Maastricht University and European Centre For Tort and Insurance Law, 2000), hlm 120). Pengertian Moral Hazard juga disampaikan serupa oleh S. Shavell yang menyatakan: “Moral hazard refers here to the tendency of insurance protection to alter an individual’s motive to prevent loss” (Steven Shavell, “On Moral Hazard and Insurance”, Quarterly Journal of Economics, Vol. 93, No. 4 (November 1979), hlm. 541) Jadi, moral hazard dapat timbul apabila seseorang merasa tanggung jawab bisa dipindahkan kepada pihak lain, sehingga ia bisa berbuat apapun tanpa menimbulkan risiko yang merugikan dirinya. Dalam hal pendanaan lingkungan, dana lingkungan perlu berfungsi sebagai lapisan untuk menghindari perilaku ini, sehingga PRPs tetap memiliki tanggung jawab atas pencemar-an yang dilakukan, baik dalam bentuk pertanggungjawaban perdata maupun asuransi yang preminya dibayarkan setiap bulan oleh pencemar. (Pembahasan tentang lapisan telah dijelaskan dalam sub bab Pendanaan Lingkungan Hidup).

76 Ada tiga pilihan paksaan bagi PRPs ketika harus bertanggung jawab ketika wilayah tercemar, yaitu voluntary settlement agreement, cost recovery, atau Judicial/Administrative Order. (United States En-vironmental Agency, “Superfund Enforcement: 35 Years of Protecting Communities and the Environment”, https://www.epa.gov/enforcement/superfund- enforcement-35-years-protecting-communities-and-environment, diakses pada tanggal 16 Januari 2018.

77 Bearden, op.cit., hlm. 178 United States Environmental Agency, op.cit.79 Bearden, op.cit., hlm. 20.

Page 29: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

176

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 160-185

80 Craig Brett dan Michael Keen, “Political Uncertainty and The Earmarking of Environmental Taxes”, Journal of Public Economics, Vol. 75 (2000), hlm. 316.

81 Nicole Franklin, op.cit., hlm. 882 Ibid.83 Charles W. Schmidt, “Not-So-Superfund: Growing Needs vs. Declining Dollars”, The Environ-

mental Health Perspectives”, Vol. 111, No. 3 (Maret, 2003), hlm. 164. 84 Ibid.85 Mark Haggerty dan Stephanie A. Welcomer, “The Ascendance of Enabling Myths”, Journal of

Economic Issues, Vol. 37, No. 2, hlm. 453-454.86 Major Garrett, “White House Won’t Tax Corporations For Superfund Cleanup”, http://edition.

cnn.com/2002/ALLPOLITICS/02/24/bush.superfund/, diakses pada 20 Januari 2019.87 Lily Rothman, The Story Behind Geogre H.W. Bush’s Famous ‘Read My Lips: No New Taxes’ Promi-

se”, http://time.com/3649511/george-hw-bush-quote-read-my-lips/, diakses pada 20 Januari 2019.

dengan mengambil sejumlah biaya dari pencemar (dalam hal ini, yang mempro-duksi atau mengeluarkan limbah bahan kimia dan minyak bumi) yang dimasuk-an ke dalam Superfund untuk membia-yai kegiatan pembersihan (clean up) dari produksi dan pembuangan bahan kimia dan minyak bumi.80 Dalam versi Old Superfund, pengaturan dan mekanisme pendanaannya telah sesuai dengan prin-sip pencemar membayar dan konsep ear-marking.

Sayangnya, kewenangan memungut pajak khusus untuk dana Superfund ber-akhir tahun 1995.81 Meskipun telah ber-akhir, dana Superfund masih tersedia hingga akhir tahun 2003.82 Sejak bera-khirnya kewenangan memungut pajak lingkungan pada tahun 1995 (disebut sebagai New Superfund), setiap tahunnya, pemerintahan Clinton meminta Kongres untuk mengembalikan kewenangan pe-mungutan pajak ini, namun Kongres ti-dak menerimanya.83

Saat pemerintahan Bush, Bush mem-batalkan seluruh permintaan otorisasi pemungutan pajak yang diajukan sebe-

lumnya oleh pemerintahan Clinton. Hal ini tentu berakibat pada berubahnya sumber dana utama yang awalnya ber-asal dari pajak khusus lingkungan men-jadi berasal dari pajak umum.84 Bahkan, masyarakat yang membayar pajak pada akhirnya menanggung beban biaya un-tuk pemulihan lingkungan yang lebih besar daripada perusahaan. Hal tersebut bisa dilihat dari data tahun 1991-1995, porsi kontribusi pajak umum terhadap Superfund hanya 17%, namun di tahun 2000-2002 menjadi 50%.85

Penolakan serta pembatalan terjadi karena beberapa faktor politik. Peno-lakan dilakukan oleh Kongres yang ada dalam kendali The Republican, yang telah lama menyatakan bahwa program Su-perfund hanya membuang uang untuk membuktikan pihak yang bertanggung jawab pada suatu wilayah tercemar.86 Sebagai informasi, The Republican meru-pakan pihak yang memang melakukan penolakan terhadap pajak. Hal ini bisa dilihat dari pidato Bush yang terkenal, yaitu “Read my lips: No new taxes”.87 Bush juga menunjukkan ketidakberpihakan-

Page 30: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

177

Adryan Adisaputra Tando dan Theresia E.K. HindriaditaAktualisasi Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup di Indonesia: Mencegah Penyimpangan

Prinsip Pencemar Membayar dan Earmarking

nya pada pajak dengan melakukan pe-motongan pajak untuk keluarga dan in-vestor pada masa pemerintahannya.88

Pembatalan yang dilakukan oleh Bush juga mungkin disebabkan keluh-an perusahaan minyak dan bahan kimia serta perusahaan lainnya tentang pajak, yang merasa sangat terbebani dengan pajak yang berjumlah sekitar $4 juta/hari.89

Meskipun mendapat banyak peno-lakan, pada dasarnya pajak ini sangat dibutuhkan. Hal ini mengingat bahwa filosofi fundamental dari Superfund ada-lah polluter pays principle dan dengan dihapuskannya pajak ini, terjadi pe-nyimpangan terhadap prinsip pencemar membayar itu sendiri, terjadi penurunan jumlah dana dan penurunan jumlah wi-layah tercemar yang berhasil dipulihkan.

Sejak masa pemerintahan Bush, tin-dakan pemulihan wilayah tercemar mu-lai melambat. Tahun 2001, EPA menyele-saikan pemulihan di 47 wilayah. Tahun 2002, 65 wilayah yang kemudian berku-rang menjadi 4 dan juga berlanjut terja-di di tahun 2003.90 Jumlah pembersihan yang dilakukan pada saat itu hanya sete-ngah dari jumlah wilayah yang dibersih-kan pada akhir tahun 1990.91

Selain itu, terjadi juga penyimpang-an earmarking dalam versi New Super-fund. Hal ini dikarenakan pajak umum yang seharusnya digunakan untuk ke-pentingan masyarakat secara luas, justru dialokasikan untuk pencemaran ling-kungan, sehingga seolah-olah menun-jukkan penggunaan pajak umum untuk memberikan subsidi bagi pencemar.

Melihat sistem pendanaan pemulih-an yang ada di Amerika Serikat melalui Superfund, dapat dilihat bahwa politik membawa dampak yang cukup besar terhadap pengambilan kebijakan. Bah-kan, Haggerty dan Welcomer menyata-kan bahwa dalam pemerintahan Bush, prinsip pencemar membayar sudah ti-dak bisa lagi berfungsi sebagai prinsip/asas dasar, namun sebagai mitos. Melalui kebijakan yang diputuskan oleh peme-rintahan Bush, pihak yang diuntungkan adalah industri/perusahaan, sedangkan masyarakat secara umum. semakin dibe-bani oleh tanggungan atas pencemaran yang tidak mereka lakukan.

Haggerty dan Welcomer juga me-ngutip salah satu ucapan pengacara se-nior untuk Environmental Defense Fund yang menyatakan bahwa sebagai prin-sip, pajak harus dibayar oleh kelom-

88 Kimberly Amadeo, “Bush Tax Cuts, Causes, Expiration, and Their Impact to Economy”, https://www.thebalance.com/president-george-bush-tax-cuts-3306331, diakses pada pada 22 Januari 2019.

89 Katherine Q. Seelye, “Bush Proposing Policy Changes On Toxic Sites”, https://www.nytimes.com/2002/02/24/us/bush-proposing-policy-changes-on-toxic-sites.html, diakses pada 21 Januari 2019.

90 Mark Haggerty dan Stephanie A. Welcomer, op.cit., hlm. 454-456.91 Ibid.

Page 31: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

178

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 160-185

pok yang memiliki keterkaitan dengan permasalahan yang ada. Kelompok ini adalah industri/perusahaan, bukan in-dividu yang tidak memiliki keterkait-an apapun, yaitu masyarakat umum.92

Pengacara tersebut menyatakan bahwa ini mungkin dikatakan sebagai ‘rough justice’, namun ‘rough justice’ lebih baik daripada tidak sama sekali.93

Apakah Indonesia juga akan me-nerapkan hal serupa dengan Amerika Serikat dengan menggunakan APBN/APBD sebagai sumber dana untuk pe-mulihan lingkungan? Apakah pemerin-tah di tahun politiknya ini tidak cukup berani menerapkan pajak khusus untuk lingkungan dan menghapuskan APBN/APBD sebagai sumber bagi pendanaan lingkungan serta melakukan earmarking pajak?

VI. Peraturan Pendanaan Lingkung-an Hidup di Indonesia dan Po-tensinya terhadap Penyimpang-an Prinsip Pen cemar Membayar dan Earmarking

Pada dasarnya, Pasal 42 dan Pasal 43 UU PPLH jo PP 46/2017, serta Perpres 77/2018 merupakan langkah yang baik untuk memberikan perlindungan, mem-

perbaiki, ataupun mencegah terjadi pen-cemaran/kerusakan pada lingkungan hidup. Namun, ada beberapa hal yang perlu dikritisi terutama pada PP 46/2017 maupun Perpres 77/2018.

Pertama, mengenai sumber dana bagi dana penanggulangan pencemar-an dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup serta alokasi penda-naan tersebut. Dalam kedua peraturan tersebut, disebutkan bahwa dana pe-nanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan lingkungan hidup dapat bersumber dari APBN serta APBD.94 Hal ini berarti seluruh masya-rakat, baik yang memiliki keterkaitan de-ngan pencemaran yang ada atau tidak, akan ikut menanggung beban biaya pe-mulihan lingkungan.

Penyaluran dana lingkungan hidup dapat dilakukan dengan mekanisme:

a. perdagangan karbon;b. pinjaman;c. subsidi;d. hibah; dan/ataue. mekanisme lainnya sesuai dengan ke-

tentuan peraturan perundang-undangan.95

Ketentuan tersebut menunjuk-kan terjadi penggabungan penyaluran dana. Kedua sumber dana yang berbe-

92 Ibid., hlm. 454.93 Ibid.94 Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan

Hidup, PP No. 46 Tahun 2017, LN No. 228 Tahun 2017, TLN No. 6134, Pasal 27 ayat 1 juncto Indonesia, Peraturan Presiden tentang Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup, PerPres No. 77 Tahun 2018, LN No. 160 Tahun 2018, Pasal 4 ayat 1.

95 Ibid., Pasal 6 ayat 2.

Page 32: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

179

Adryan Adisaputra Tando dan Theresia E.K. HindriaditaAktualisasi Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup di Indonesia: Mencegah Penyimpangan

Prinsip Pencemar Membayar dan Earmarking

da dicampuradukkan untuk peruntukan yang sama tanpa dijelaskan pengguna-an spesifik masing-masing dana. Hal ini menyimpangi prinsip kompensasi96, juga berarti telah menyimpangi juga prinsip pencemar membayar serta menunjukkan adanya penyimpangan alokasi pendana-an.

Faure dan Hartlief berpendapat bahwa ada dua prinsip utama kompen-sasi, yaitu kewajiban untuk memberi-kan kompensasi hanya ada pihak yang berkontribusi atas terjadinya risiko dan yang kedua adalah kewajiban untuk ber-kontribusi atas kompensasi harus setara dengan kontribusi terhadap risiko yang

ada.97 Kedua prinsip ini sejalan dengan polluter pays principle dan seyogyanya di-jalankan oleh pemerintah dalam kebijak-an lingkungan hidup.

Sebenarnya, APBN98 atau APBD99 dapat dijadikan salah satu sumber pen-danaan lingkungan, dengan syarat harus dilakukan pungutan secara khusus dan dilakukan earmarking atas hasil pungut-an tersebut. Pungutan bisa dalam ben-tuk PNBP100 berupa pajak lingkungan.101 Namun, belum ada satu pun peraturan di Indonesia yang mengatur lebih detail terkait pajak lingkungan terutama terka-it dengan alokasi penerimaan ataupun earmark yang seharusnya dilakukan.

96 Faure dan Hartlief berpendapat bahwa ada dua prinsip utama kompensasi, yaitu kewajiban untuk memberikan kompensasi hanya ada pihak yang berkontribusi atas terjadinya risiko dan yang kedua adalah kewajiban untuk berkontribusi atas kompensasi harus setara dengan kontribusi terha-dap risiko yang ada. Michael G. Faure dan Tom Hartlief, “Compensation Funds versus Liability and Insurance for Remedying Environmental Damage”, Review of European Community and International Environmental Law (RECIEL), Vol. 5, Issue 4 (1996), hal. 323.

97 Michael G. Faure dan Tom Hartlief, “Compensation Funds versus Liability and Insurance for Remedying Environmental Damage”, Review of European Community and International Environmental Law (RECIEL), Vol. 5, Issue 4 (1996), hlm. 323.

98 Indonesia, Undang-Undang tentang Keuangan Negara, UU No. 17 tahun 2003, LN No. 43 tahun 2003, TLN No. 4286, Pasal 1 angka 13 menyatakan Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Sedangkan berdasarkan Pasal 1 angka 2 UU APBN menyatakan ‘Pendapatan Negara adalah hak Pemerintah Pusat yang diakui sebagai penambah kekayaan bersih yang terdiri atas Penerimaan Perpajakan, Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan Pene-rimaan Hibah.’ (garis bawah dari penulis). Dengan demikian PNBP merupakan salah satu komponen pendapatan negara di dalam APBN. Indonesia, Undang-Undang tentang Anggaran Pendaptan dan Belanja Negara tahun Anggaran 2019, UU No. 12 tahun 2018, LN No. 223 tahun 2003, TLN No. 6263, Pasal 1 angka 2.

99 Konsep yang sama berlaku juga terhadap pendapat daerah yang masuk ke dalam APBD. Lihat dalam Indonesia, Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah, UU No. 32 tahun 2004, LN No. 125 tahun 2004, TLN No. 4437 Pasal 157.

100 Indonesia, Undang-Undang tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak, UU No. 9 Tahun 2018, LN No. 147 Tahun 2018, TLN 6245. Pasal 1 angka 1 menyatakan:

“Penerimaan Negara Bukan Pajak yang selanjutnya disingkat PNBP adalah pungutan yang di-bayar oleh orang pribadi atau badan dengan memperoleh manfaat langsung maupun tidak langsung atas layanan atau pemanfaatan sumber daya dan hak yang diperoleh negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang menjadi penerimaan Pemerintah Pusat di luar penerimaan perpajakan dan hibah dan dikelola dalam mekanisme anggaran pendapatan dan belanja negara.”

101 Penjelasan Pasal 43 ayat (3) huruf b UU PPLH.

Page 33: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

180

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 160-185

VII. Penutup

Pembuatan suatu peraturan perlu memperhatikan prinsip dasar. Sangat disayangkan ketika ada suatu peraturan yang dibentuk untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, namun justru mengesampingkan prinsip hu-kum lingkungan, dalam hal ini prinsip pencemar membayar dan earmarking.

PP 46/2017 dan Perpres 77 /2018 telah menyimpangi prinsip pencemar membayar dan earmarking. Melalui pera-turan ini, APBN dan APBD dijadikan sa-lah satu sumber pendanaan lingkungan dan dilakukan penggabungan penggu-naan dana dari dua jenis berbeda yang mana seharusnya tiap jenis memiliki tujuan penggunaannya masing-masing. Pemerintah perlu mengambil langkah konkret untuk memperbaiki peraturan tersebut.

Pelaksanaan pendanaan lingkungan hidup yang ada dalam Old Superfund da-pat menjadi contoh bagi Indonesia untuk melakukan perbaikan. Apabila pemerin-tah tidak mengambil langkah perbaikan, maka prinsip pencemar membayar dan earmarking dalam pengelolaan dana ling-kungan hidup hanya akan menjadi mi-tos.

Page 34: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

181

Adryan Adisaputra Tando dan Theresia E.K. HindriaditaAktualisasi Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup di Indonesia: Mencegah Penyimpangan

Prinsip Pencemar Membayar dan Earmarking

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Amerika Serikat, Comprehensive Environ-mental Response, Compensation, and Li-ability Act (‘CERCLA’)

Indonesia. Undang-Undang tentang Peru-bahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. UU No. 39 Tahun 2007. LN No. 105 Tahun 2007. TLN No. 4755.

_____. Undang-Undang tentang Pajak Dae-rah dan Retribusi Daerah. UU No. 28 Tahun 2009. LN No. 130 Tahun 2009. TLN No. 5049.

_____. Undang-Undang tentang Perlin-dungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU No. 32 Tahun 2009. LN No. 140 Tahun 2009. TLN No. 5059.

______. Undang-Undang tentang Peneri-maan Negara Bukan Pajak. UU No. 9 Tahun 2018. LN No. 147 Tahun 2018. TLN 6245.

_____. Peraturan Pemerintah Republik In-donesia tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup. PP No. 46 Tahun 2017. LN No. 228 Tahun 2017. TLN No. 613.

_____. Peraturan Presiden Tentang Renca-na Pembangunan Jangka Menengah Na-sional Tahun 2015-2019. Perpres No. 2 Tahun 2015. LN No. 3 Tahun 2015.

_____. Peraturan Presiden tentang Pengelo-laan Dana Lingkungan Hidup, Perpres No. 77 Tahun 2018. LN No. 160 Ta-hun 2018.

Buku

Adler, John dan David Wilkinson. En-vironmental Law and Ethics. London: Macmillan Press. 1999.

Anderson, Mikael Skou Andersen. Go-vernance by Green Taxes: Making Pollu-tion Prevention Pay. Manchester: St. Martin Press. 1994.

Baumol, William dan Wallace Oats. The Theory of Environmental Policy: ed. 2. cet. 8. Cambridge: Cambridge Uni-versity Press, 1988.

Beder, Sharon. “The Polluter Pays Prin-ciple.” Dalam Sharon Beder, Environ-mental Principles and Policies. An Inter-disciplinary Introduction. London: Earthscan. 2006.

Boyle, Alan dan Patricia Birnie. Internati-onal Law and the Environment. 2nd Edi-tion. Oxford: Oxford University Press. 2002.

Cooter, Robert dan Thomas Ulen. Law and Economics. 6th edition. New York: Addison-Wesley. 2012.

Faure, Michael G., Marjaan Peeters, dan Andri G. Wibisana. “Economic In-struments: Suiteed Developing Co-untries?” Dalam Michael Faure dan Nicole Niessen, Environmental Law in Development: Lesson from the Indonesi-an Experience. Northampton, Edward Elgar. 2010.

H. Smets, ‘The Polluter Pays Principle in the Early 1990s’. Dalam L. Campiglio, L. Pineschi, D. Siniscalco dan T. Tre-ves (eds). The Environment After Rio:

Page 35: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

182

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 160-185

International Law and Economics. Lon-don: Graham and Trotman. 1994.

Keraf, A. Sonny. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Kompas. 2010.

Liu, Jing. Compensating Ecological Damage Comparative and Economic Observati-on. Cambridge: Intersentia. 2013.

Mansfield, E. Principles of Microeconomics. New York: W.W. Norton & Com-pany. 1983.

McCoy, Daniel. “Reflections on the Do-uble Dividend Debate” dalam Eco-taxation diedit oleh Tim O’Riordan, Park Square, Milton Park, Abingdon: Earthscan Routledge Publishing, 1997.

Pigou, Arthur Cecil. The Economics of Welfare. London: Macmillian and Co. Limited. 2002.

Pindyck, Robert S. dan Daniel L. Rubin-feld. Microeconomics. New Jersey: Prentice Hall. 2001.

Sands, Philippe. Principles of International Environmental Law 2nd Edition. Cambridge: Cambridge University Press. 2003.

Sands, Philippe dan Paolo Galizi. Docu-ments in International Environmental Law. Cambridge: Cambridge Univer-sity Press. 2004.

Smith, Stephen. “Environmental Tax De-sign” dalam Ecotaxation diedit oleh Tim O’Riordan, Park Square, Milton Park. Abingdon: Earthscan Routled-ge Publishing, 1997.

Syarif, Laode M dan Andri Wibisana. Hukum Lingkungan, Teori, Legislasi, dan Studi Kasus. Jakarta: INCLE. 2010.

Taylor, Paul W. Respect for Nature: A The-ory of Environmental Ethics. Princeton: Princeton University Press. 1986.

Wilkinson, David. Law and Evironment. London: Roudledge Publishing. 2002.

Artikel Jurnal dan Media Massa

Bird, Richard M dan Joosung Jun. “Ear-marking Theory and Korean Practi-ce.” International Tax Program Paper. 2005.

Bird, Richard M. “Budgeting and Expen-diture Control in Columbia.” Public Budgeting and Finance Volume. 2 No. 3. 1982.

Bocken, H. “Alternatives to Liability and Liability Insurance for The Compen-sation of Pollution Damages (part 2). Milieu aansprakelijkheid (Environmen-tal Liability Law). 1988.

Brett, Craig dan Michael Keen. “Political Uncertainty and The Earmarking of Environmental Taxes”. Journal of Public Economics. Vol. 75. 2000.

Cordato, Roy E. “The Polluter Pays Prin-ciple: A Proper Guide for Environ-mental Policy.” Institute for Research on the Economics of Taxation (IRET) Studies in Social Cost, Regulation and the Environment. No. 6. 2001.

D’ Agre, R. C. dan E. K. “Hunt, Environ-mental Pollution, Externalities, and

Page 36: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

183

Adryan Adisaputra Tando dan Theresia E.K. HindriaditaAktualisasi Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup di Indonesia: Mencegah Penyimpangan

Prinsip Pencemar Membayar dan Earmarking

Conventional Economic Wisdom: A Critique”. B.C. Environmental Affair Law Review. Vol. 1. 1971.

Deran, Elizabeth. “Earmarking and Expenditures: A Survey and a New Test.” National Tax Journal, Volume. 18 No. 4. 1965.

Draper, John William. “Why Law Now Needs to Control Rather than Follow Neo-Classical Economics”. Pace En-vironmental. Law Review. Vol. 33. 2016.

Elster, Jon. “Don’t Burn Your Bridge Be-fore You Come to It: Some Ambigui-ties and Complexities of Precommit-ment.” Texas Law Review Volume. 81. 2003,

Faure, Michael G. “Alternative Compen-sation Mechanism as Remedies for Uninsurability of Liability.” The Ge-neva Paper on Risk and Insurance. Vol. 29. No. 3. July 2004.

Faure, Michael G dan Tom Hartlief. “Compensation Funds versus Liabi-lity and Insurance for Remedying Environmental Damage”. Review of European Community and International Environmental Law (RECIEL). Vol. 5. Issue 4. 1996.

Haggety, Mark dan Stephanie A. Wel-comer. “The Ascendance of Enabling Myths”. Journal of Economic Issues. Vol. 37. No. 2.

Judy, Martha L. dan Katherine N. Probst. “Superfund at 30”. Vermont Journal of Environmental Law. Vol. 11.

Marsiliani, Laura dan Thomas I. Rens-troÈm. “Time Inconsistency in En-vironmental Policy: Tax Earmarking as a Commintment Solution”. The Economic Journal. Vol. 110. Maret 2000.

Meyer, Jan-Henrik. “Who Should Pay for Pollution? The OECD, the European Communities and the Emergence of Environmental Policy in the Early 1970s”. European Review of History: Revue européenne d’histoire. 24:3. 2017.

Mixon, John. “Neoclassical Economics and the Erosion of Middle-Class Va-lues: An Explanation for Economic Collapse.” Notre Dame Journal Law Et-hics & Public Policy. Vol. 24. 2010.

Oates. “Green Taxes: Can We Protect the Environment and Improve the Tax System at the Same time?” Southern Economic Journal. Vol. 61. No. 4 April, 1995.

Patterson III, Charles. “Environmental Taxes and Subsidies: What is the Ap-propriate Fiscal Policy for Dealing with Modern Environmental Prob-lems?” William. & Mary Environmen-tal Law & Policy Review Volume. 121. 2000.

Pearson, Charles S. “Testing the System: GATT + PPP = ?” Cornell International Law Journal. Vol. 27. Issue 3. Article 4. 1994.

Porter, Rob dan Sam Walsh. “Earmarks in the Federal Budget Process.” Har-vard Law School Federal Budget Policy Seminar Briefing Paper. No. 16.

Page 37: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

184

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 160-185

Rebecca, Kysar M. “Listening to Cong-ress: Earmark Rules and Statutory In-terpretation.” Cornell Law Review. Vo-lume 94. 2009.

Sandmo, Agnar. “Direct Versus Indirect Pigouvian Taxation.” European Eco-nomic Review. Vol. 7. 1976.

Schmidt, Charles W. “Not-So-Superfund: Growing Needs vs. Declining Dol-lars.” The Environmental Health Perspectives. Vol. 111. No. 3. Maret, 2003.

Shavell, S. “On Moral Hazard and Insu-rance.” Quarterly Journal of Economics. Vol. 93. No. 4. November 1979.

Sunstein, Cass R. “Irreversible and Catas-trophic: Global Warming, Terrorism, and Other Problems: Eleventh Annu-al Lloyd K. Garrison Lecture on En-vironmental Law”. Pace Environmen-tal Law Review. Vol. 23. Januari 2006.

Teja, Ranjit S. “The Case of Earmarked Taxes.” International Monetary Fund. Vol. 35. September. 1988.

Terkla, David. “The Efficiency Value of Effluent Tax Charges.” Journal of En-vironmental Economics and Manage-ment. Vol. 11. 1984.

Weiner, Tim. “Sending Money to Home District: Earmarking and Congressi-onal Pork Barrrel.” New York Times. 13 Juli 1994.

Weiss, Edith Brown. “Our Rights and Obligations to Future Generations for the Environment.” The American Journal of International Law. Vol. 84. 1990.

Lain-lain

Amadeo, Kimberly. Bush Tax Cuts, Cau-ses, Expiration, and Their Impact to Economy. https://www.thebalance.com/president-george-bush-tax-cuts-3306331. Diakses pada 22 Janua-ri 2019.

Bearden, David M. “Comprehensive En-vironmental Response, Compensati-on, and Liability Act: A Summary of Superfund Cleanup Authorities and Related Provisions of the Act”. Cong-ressional Research Service. Juni 2012.

European Environmental Agency. En-vironmental Taxes: Implementation and Environmental Effectiveness. Copenha-gen: European Environmental Agen-cy, 1996.

Faure, Michael. G dan David Grimeaud. “Financial Assurance Issues of En-vironmental Liability.” Final Report. Maastricht University and European Centre For Tort and Insurance Law. 2000.

Franklin, Nicole. “The Superfund Pro-gram Past and Present Funding Im-plications”. Tesis Virginia Common-wealth University. 2011.

Garrett, Major. White House Won’t Tax Corporations For Superfund Clea-nup. http://edition.cnn.com/2002/ALLPOLITICS/02/24/bush.super-fund/. Diakses pada 20 Januari 2019.

Joint Working Party on Trade and En-vironment. The Polluter-Pays Principle as It Relates to International Trade. Pa-ris: OECD. 2002.

Page 38: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

185

Adryan Adisaputra Tando dan Theresia E.K. HindriaditaAktualisasi Pengelolaan Dana Lingkungan Hidup di Indonesia: Mencegah Penyimpangan

Prinsip Pencemar Membayar dan Earmarking

K. Arrow. “The Organization of Econo-mic Activity: Issues Pertinent to the Choice of Market Versus Nonmarket Allocation”. (Disampaikan pada The Analysis and Evaluation of Public Expenditures: The PPB System). Was-hington D.C.: Joint Economic Com-mittee, 91st Congress, 47-64, 1969.

OECD. The Polluter-Pays Principle: OECD Analyses and Recommendations. Paris, OECD. 1992.

Rothman, Lily. The Story Behind Geogre H.W. Bush’s Famous ‘Read My Lips: No New Taxes’ Promise. http://t ime.com/3649511/george-hw-bush-quote-read-my-lips/. Diakses pada 20 Januari 2019.

Seelye, Katherine Q. Bush Proposing Po-licy Changes On Toxic Sites. https://www.nytimes.com/2002/02/24/us/bush-proposing-policy-changes-on-toxic-sites.html. Diakses pada 21 Januari 2019.

Soares, Alexandra Dias. “The Design Fe-atures of Environmental Tax”. Docto-ral Thesis London School of Econo-mics. September 2011.

United States Environmental Agency. Su-perfund Enforcement: 35 Years of Pro-tecting Communities and the Environ-ment. www.epa.gov/enforcement/superfund- enforcement-35-years-p r o t e c t i n g - c o m m u n i t i e s - a n d -environment. Diakses pada 16 Janua-ri 2018.

Wibisana, Andri Gunawan. Prinsip-Prin-sip Hukum Lingkungan, Bahan Ajar

Fakultas Hukum Universitas Indone-sia. Minggu II. Draft Oktober 2014.

_____. “The Myths of Environmental Compensation In Indonesia: Lessons from Sidoarjo Mudflow.” Progress Report for the 2008-2010 KNAW-SPIN Post Doctoral Research.

Page 39: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

186

Moratorium Sawit Jokowi dalam Perspektif Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan ala Politik Hijau

Sekar Banjaran Aji1

AbstrakPada fase terakhir pemerintahannya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menandatangani Instruksi Presiden (Inpres) tentang penghentian sementara (moratorium) perluasan lahan dan evaluasi perkebunan sawit. Regulasi ini tercantum dalam Inpres Nomor 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Serta Peningkatan Produk-tivitas Perkebunan Sawit, ditandatangani Jokowi pada 19 September 2018. Kajian ini melihat apakah kebijakan Moratorium Sawit Jokowi dapat dikategorikan sebagai ke-bijakan hijau yang sesuai dengan Teori Politik Hijau sehingga berpihak untuk kepen-tingan lingkungan. Lebih jauh lagi, melihat seberapa solutif kebijakan moratorium sawit ini menyelesaikan masalah tata kelola lahan dan konflik yang mencederai sektor pemasok APBN terbanyak tahun 2017. Kata kunci: Moratorium Sawit, Politik Hijau, Kebijakan Tata Kelola Lahan

AbstractIn the last phase of his administration, President Joko Widodo (Jokowi) approved the Presidential Instruction (Inpres) on the temporary suspension (moratorium) of clearing land and renewing plantations. Presidential Instruction Number 8 of 2018 concerning Delays and Evaluation of Licensing and Increased Productivity of Oil Palm Plantations, signed by Jokowi on September 19, 2018. This study refers to the Environmental Palm Moratorium policy. Furthermore, see the resolution of the palm oil moratorium policy solution to resolve land governance issues and conflicts that have hurt the supplier sector of the most state budget in 2017.Keywords: Oil Palm Moratorium, Green Politics, Land Management Policy

1 Penulis merupakan pengacara publik sekaligus peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Dia juga aktif dalam Koalisi Masyarakat Sipil yang mendorong perbaikan tata kelola sawit berkelanjutan di Indonesia.

2 Riva Suastha, “WALHI Tagih Janji Jokowi Selesaikan Konflik Lingkungan”, https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160602195942-20-135483/walhi-tagih-janji-jokowi-selesaikan-konflik-lingkungan, diakses tanggal 1 Januari 2019.

I. Pendahuluan

Joko Widodo (Jokowi) merupakan Presiden yang berani menempatkan per-masalahan degradasi lingkungan jadi masalah serius sehingga perlu dimani-

festasikan dalam Nawacita.2 Beberapa kebijakan strategis kemudian dilahirkan, misalnya menggabungkan badan dan kementerian menjadi satu kementerian besar bernama Kementerian Lingkungan

Page 40: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

187

Sekar Banjaran AjiMoratorium Sawit Jokowi dalam Perspektif Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan ala Politik Hijau

kum di lain-lain negara serta perkem-bangan hukum internasional.5 Demikian membuat ruang lingkup politik hukum menjadi luas dan menarik untuk digali.

Salah satu yang menarik untuk dicer-mati adalah Instruksi Presiden (Inpres) di mana kebijakan ini memang dapat dibu-at dalam berbagai macam bentuk doku-men tertulis yang bersifat membimbing, menuntun, memberi arahan kebijakan, dan mengatur suatu pelaksanaan tugas dan pekerjaan.

Inpres masuk dalam kategori In-struction to Officials dalam kerangka per-aturan kebijakan atau “policy rule” yang dapat disebut juga sebagai “quasi legisla-tion” oleh Jimly Asshiddiqie.6 Inpres bu-kan merupakan keputusan yang meng-ikat umum (semua orang, tiap orang). Inpres merupakan perintah atasan ke-pada bawahan yang bersifat individual, konkret dan sekali-kali (final, einmahlig) sehingga tidak dapat digolongkan dalam peraturan perundang-undangan (wet-geving) atau peraturan kebijakan (beleid-sregel, pseudo-wetgeving). Inpres hanya dapat mengikat Menteri, kepala lembaga pemerintah non departemen, atau peja-bat-pejabat pemerintahan yang berkedu-dukan di bawah Presiden dalam melak-

Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kemudi-an, mereformasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang kemudian di-kenal sebagai kementerian yang bergigi.

Tahun 2016, Jokowi membentuk Ba-dan Restorasi Gambut (BRG) yang diha-rapkan mampu merestorasi lahan-lahan gambut yang terbakar dan rusak parah.3 Hal tersebut menjadi sebuah peluang yang besar dan membuat gerakan ling-kungan di Indonesia semakin percaya diri. Oleh karenanya, gerakan lingkung-an memiliki harapan besar supaya Jo-kowi dapat menempatkan lingkungan menjadi prioritas.

Dalam konteks tersebut, diskursus politik hukum menjadi menarik untuk digali. Mahfud M.D berpendapat bah-wa politik hukum adalah garis kebijakan resmi tentang hukum yang akan diber-lakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hu-kum lama, dalam rangka mencapai tu-juan negara.4 Sunaryati Hartono menya-takan, faktor-faktor yang akan menen-tukan politik hukum tidak semata-mata ditentukan oleh apa yang dicita-citakan pembentuk hukum, praktisi atau para te-oretisi saja, namun ikut ditentukan pula oleh kenyataan serta perkembangan hu-

3 Mongabay Indonesia, “Rangkuman: Melacak Komitmen Presiden Jokowi dalam Pengelolaan Lingkungan di Indonesia”, https://www.mongabay.co.id/2016/07/31/rangkuman-melacak-komitmen-presiden-jokowi-dalam-bidang-pengelolaan-lingkungan-di-indonesia/, diakses tanggal 1 Januari 2019.

4 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo, 2014), hlm. 1.5 Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1991), hlm. 1.6 Letezia Tobing, “Perbedaan Keputusan Presiden Dengan Instruksi Presiden”, https://www.hu-

kumonline.com/klinik/detail/lt50cf39774d2ec/perbedaan-keputusan-presiden-dengan-instruksi-pre-siden/, diakses tanggal 1 Januari 2019.

Page 41: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

188

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 186-207

sanakan penyelenggaraan pemerintah-an.7 Dengan demikian, Inpres menjadi menarik karena posisinya yang spesifik dan menggambarkan secara jelas bagai-mana Presiden menyikapi sesuatu de-ngan memerintahkan jajarannya.

Keberadaan Inpres Nomor 8 tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Serta Peningkatan Produktiv-itas Perkebunan Sawit (Inpres Morato-rium) menjadi penting untuk dilihat da-lam kacamata politik hukum mengingat kebijakan ini didorong oleh gerakan lingkungan beberapa organisasi masya-rakat sipil. Dorongan tersebut mewakili banyak impian untuk menyelesaikan masalah dalam sektor perkelapasawit-an terutama permasalahan lingkungan. Sehingga secara implisit, ada harapan bahwa kebijakan Inpres Moratorium ini menjadi kebijakan hijau sesuai semangat Teori Politik Hijau yang menempatkan keadilan antar generasi menjadi tujuan utama.

Tujuan penulisan ini ialah mengana-lisis politik hukum dari kebijakan Inpres Moratorium Sawit dan sejauh mana ke-sesuaiannya dengan Teori Politik Hijau yang dianggap sebagai penentu kebijak-an berkelanjutan.

II. Moratorium Sawit dalam Rekam Historis

Kebijakan otorisasi legal untuk me-nunda sesuatu atau kewajiban terten-tu selama batas waktu yang ditentukan (moratorium) bukan istilah baru.8 Istilah tersebut berasal dari Bahasa Latin, mora-ri, yang berarti penundaan. Dalam kon-teks tata kelola hutan dan lahan, “mora-torium” sudah lazim digunakan. Misal-nya moratorium izin hutan dan gambut melalui Inpres Nomor 10 Tahun 2011 tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut, mem-beri perintah kepada tiga menteri (Ke-hutanan, Dalam Negeri dan Lingkungan Hidup) dan kepala lima lembaga (Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, Badan Per-tanahan Nasional, Badan Koordinasi Pe-nataan Ruang Nasional, Badan Koordi-nasi Survei dan Pemetaan Nasional dan lembaga yang dibentuk untuk mengelola REDD+), serta para gubernur dan bupa-ti. Inpres ini menjelaskan tugas dan tang-gung jawab masing-masing lembaga se-lama dua tahun sejak Inpres diterbitkan.9

Moratorium sebenarnya telah ada sejak era Pemerintahan Presiden Susilo

7 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar dan Cara Pembentukannya, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 184.

8 Dictionary, “Definition of Moratorium from the Cambridge Advanced Learner’s Dictionary & Thesaurus”, https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/moratorium, diakses tanggal 2 Ja-nuari 2019.

9 D Murdiyarso, et. al., “Moratorium Hutan Indonesia: Batu Loncatan Untuk Memperbaiki Tata Kelola Hutan?”, https://www.cifor.org/library/3631/, diakses tanggal 2 Januari 2019.

Page 42: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

189

Sekar Banjaran AjiMoratorium Sawit Jokowi dalam Perspektif Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan ala Politik Hijau

Bambang Yudhoyono (SBY). Mulai In-pres No.10/2011 tertanggal 20 Mei 2011 diperpanjang dengan Inpres No 6/2013. Terakhir, Jokowi melanjutkan moratori-um dengan Inpres No.8/2015.

Selama dua rezim pemerintahan, kebijakan moratorium kurang memuas-kan. Tata kelola hutan dan gambut be-lum baik. Hal ini terkonfirmasi dari dua fakta, pertama, masih ada pemberian izin kehutanan dan perkebunan oleh peme-rintah melalui revisi-revisi areal morato-rium dan pelepasan kawasan hutan. Re-visi areal moratorium sejak 2011- 2013, mengurangi 5.055.089 hektare. Pada 2015, dengan menambah kembali areal moratorium 2.353.151 hektare. Inkon-sistensi penerapan areal moratorium ini membuka peluang pemberian izin baru, baik izin usaha kehutanan maupun per-kebunan melalui pelepasan kawasan hu-tan.10 Kedua, masih terjadi pembakaran hutan dan lahan masif dalam pembuka-an perkebunan sawit, terutama di tiga pulau utama Indonesia, Sumatera, Kali-mantan dan Papua. Bank Dunia menca-tat, 2015 saja terdapat seluas 2,6 hektare lahan terbakar pada perkebunan sawit

menyebabkan kerugian mencapai Rp221 triliun.11

Kata kunci sawit dalam temuan ha-sil capaian Inpres Moratorium Hutan dan Gambut, membuat masyarakat sipil mengusulkan kebijakan yang lebih fokus terhadap komoditas sawit. Moratorium sawit tercantum dalam Inpres Moratori-um yang ditandatangani Jokowi pada 19 September 2018. Moratorium ini bertuju-an memberikan waktu bagi Pemerintah untuk mengevaluasi dan menata kemba-li izin perkebunan sawit dan meningkat-kan produktivitas.12

Kebijakan yang diadvokasi masyara-kat sipil kurang lebih dua tahun, akhir-nya diterbitkan dalam bentuk Inpres ten-tang moratorium perluasan lahan dan evaluasi perkebunan sawit. Aturan ini jadi pemenuhan janji Jokowi dalam Hari Hutan Internasional di Kepulauan Seri-bu, 14 April 2016.13

Desakan masyarakat sipil yang di-motori oleh Sawit Watch, HuMA dan ELSAM untuk moratorium dikarenakan beberapa hal yakni:14

1. Produktivitas perkebunan sawit Indonesia yang rendah;

10 Nurul Firmansyah, “Moratorium Izin Hutan dan Gambut, Berjilid-jilid (Tanpa) Ada Perbaikan?,” https://www.mongabay.co.id/2017/05/28/opini-moratorium-izin-hutan-dan-gambut-berjilid-jilid-tanpa-ada-perbaikan/, diakses tanggal 3 Januari 2019.

11 Ibid.12 Sapariah Saturi, “Akhirnya, Inpres Moratorium Perkebunan Sawit Terbit,” https://www.

mongabay.co.id/2018/09/20/akhirnya-inpres-moratorium-perkebunan-sawit-terbit/, diakses tanggal 2 Januari 2019.

13 Ibid.14 Anonim, “Policy Brief Rasionalitas Moratorium Sawit”, http://sawitwatch.or.id/wp-content/

uploads/2017/07/Full-rasionalitas-moratorium-sawit2.pdf, diakses tanggal 2 Januari 2019.

Page 43: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

190

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 186-207

2. Berpotensi melanggengkan keba-karan hutan dan lahan;

3. Eskalasi konflik agraria seiring dengan ekspansi perkebunan;

4. Realisasi pembangunan perke-bunan kelapa sawit yang tidak sesuai dari perencanaan bahkan ditemukan kebun tanpa dileng-kapi izin;

5. Praktik perbudakan modern di perkebunan sawit;

6. Ketidakselarasan kebijakan da-lam ekosistem gambut.

Pada rezim sebelumnya, Pemerin-tah Indonesia telah berkomitmen untuk memperbaiki tata kelola hutan dan lahan gambut dengan mengeluarkan Inpres Nomor 10 tahun 2011 tentang Penun-daan Pemberian Izin Baru dan Penyem-purnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang berlaku selama dua tahun. Kebijakan ini diperpanjang dengan terbitnya Inpres Nomor 6 Tahun 2013 dan kemudian diperpanjang lagi oleh Inpres Nomor 8 tahun 2015.

Perbedaan yang mencolok antara In-pres Moratorium Hutan dan Gambut de-ngan Inpres Moratorium Sawit terletak pada klausa mandat evaluasi izin. Dalam Inpres Moratorium Hutan dan Gambut, ketiadaan klausa evaluasi izin menjadi

salah satu penyebab tidak ada ruang pe-nyelesaian konflik lahan antara masya-rakat adat, lokal dengan pemerintah dan perusahaan, sebab perlindungan, pengu-kuhan kebijakan penundaan pemberian izin dan penguatan atas hak dan ruang kelola rakyat belum sepenuhnya dijalan-kan.15

Belajar dari kekurangan Inpres Mora-torium Hutan dan Gambut maka dalam Inpres Moratorium Sawit terdapat klau-sa evaluasi perizinan yang bersifat ‘ke-terlanjuran’. Caranya dengan mengkaji dampak lingkungan, sosial dan kesesu-aian dengan tata ruang yang dilakukan KLHK Jika dilihat dari perspektif refor-ma agraria, evaluasi izin semestinya bisa membantu pekebun sawit rakyat men-dapatkan pengakuan hak hingga mem-peroleh pemodalan. Pelaksanaan aturan ini, semestinya bersamaan dengan im-plementasi Peraturan Presiden Nomor 88/2017 tentang Penyelesaian Pengua-saan Tanah dalam Kawasan Hutan, khu-sus perkebunan sawit di kawasan hutan. Keduanya, merupakan rangkaian kebi-jakan di bawah koordinasi Kementerian Koordinator Perekonomian (Kemenko Perekonomian).16

15 Anonim, “Enam Tahun Memperbaiki Tata Kelola Hutan dan Lahan Gambut: Sebuah Evaluasi atas Pelaksanaan Instruksi Presiden Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut”, http://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2017/05/Kertas-Kebijakan-Moratorium-dari-Koalisi.pdf, diakses pada tanggal 3 Mei 2019.

16 Lusia Arumingtyas dan Indra Nugraha, “Akhirnya, Inpres Moratorium Perkebunan Sawit Terbit”, https://www.mongabay.co.id/2018/09/20/akhirnya-inpres-moratorium-perkebunan-sawit-terbit/, diakses tanggal 2 Januari 2005.

Page 44: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

191

Sekar Banjaran AjiMoratorium Sawit Jokowi dalam Perspektif Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan ala Politik Hijau

Dari kronologi kebijakan moratori-um dalam konteks perbaikan tata kelola lahan dalam kedua Inpres tersebut, po-litik hukum yang melatarbelakangi pe-nyusunannya tidak berasal dari inisiatif Pemerintah semata. Masyarakat sipil cu-kup berperan dalam mengadvokasi isu hingga menghasilkan sebuah kebijakan

John Barry jadi satu dari empat tokoh Teori Politik Hijau yang punya kriteria yang sederhana dan jelas indikatornya. Tiga prinsip utama ini merupakan kon-sepsi yang mewakili makna dari pusat Politik Hijau. Prinsip ini digunakan se-bagai sarana untuk menjelaskan kon-sepsi dari teori hijau, seperti dalam me-mahami kelangsungan dari eko-otorita-rianisme yang menjadi salah satu usaha keberlanjutan bagi biaya demokrasi dan keadilan sosial.

Arah kebijakan hukum di bidang lingkungan hidup itu disebut dengan politik hukum lingkungan. Politik hu-kum lingkungan merupakan arah kebi-jakan hukum yang ditetapkan oleh nega-ra atau pemerintah untuk mencapai tu-juan dan sasaran dari perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Namun, dalam kenyataannya hu-kum lingkungan seolah tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik de-ngan munculnya berbagai masalah ling-

Eckersley Goddin Barry DobsonPandangan ekosentris ini menempatkan fokus utamanya pada lingkungan atau ekosistem dalam aspek kehidupan

Mengedepankan sumber nilai sebagai fakta dari sesuatu yang dibentuk oleh proses alamiah sejarah dan lebih dari sekedar peran manusia

Tiga prinsip utama antara lain teori distribusi (intergenerasional) keadilan, komitmen terhadap proses demokratisasi dan usaha untuk mencapai keberlangsungan ekologi

Menolak pandangan antroposentrisme seperti yang telah diungkapkan Ekscersly sebelumnya. Kemudian, perlu ada batasan pertumbuhan, yang merupakan penyebab munculnya krisis lingkungan secara alami.

Tabel 1. Perbandingan Pendapat Ahli Mengenai Teori Politik Hijau

serta memastikan suatu kebijakan berke-lanjutan.

III. Politik Hijau dan Kebijakan Pem bangunan Berkelanjutan

Terdapat beberapa pendapat ahli me ngenai teori ini.

Page 45: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

192

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 186-207

kungan hidup, salah satu penyebab ma-salah-masalah lingkungan hidup adalah belum dipahami, dilaksanakan, dan di-

Ada dua teori yang dapat dipakai un-tuk mengaji kebijakan moratorium yakni teori politik hijau dengan menggunakan kebijakan teori pembangunan berkelan-jutan sebagai perspektif yang dianalisis dengan teori politik hijau. Keduanya da-pat dipergunakan secara bersamaan ka-rena memiliki banyak kriteria yang sama yakni keinginan mewujudkan keadilan antar generasi. Teori politik hijau John Barry mencita-citakan distribusi keadil-an antar generasi (intergenerasional). Hal tersebut sama persis dengan, pengertian Emil Salim tentang pembangunan berke-lanjutan mengandaikan solidaritas trans-generasi, di mana pembangunan ini me-

mungkinkan generasi sekarang untuk meningkatkan kesejahteraannya, tanpa mengurangi kemungkinan bagi generasi masa depan untuk meningkatkan kese-jahteraannya.

Berkaca lewat Teori Hukum Ling-kungan, hal tersebut juga selaras dengan salah satu “asas keberlanjutan” sebagai asas pengelolaan lingkungan hidup da-lam konteks teori hukum lingkungan. Asas berkelanjutan yang termuat dalam Pasal 2 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 mengandung makna setiap orang memikul kewajibannya dan tanggung ja-wab terhadap generasi mendatang, dan terhadap sesamanya dalam satu genera-

tegakkannya prinsip dan norma hukum lingkungan secara komprehensif sesuai dengan politik hukumnya.

Politik Hukum

Asas Berkelanjutan Asas Berkelanjutan Asas Berkelanjutan

Teori Politik Hijau John Barry

Teori Pembangunan Berkelanjutan

Teori Hukum Ling-kungan

Teori Politik Teori Hukum

gambar 1. Keterkaitan antara Politik Hukum dan Teori Lain

Page 46: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

193

Sekar Banjaran AjiMoratorium Sawit Jokowi dalam Perspektif Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan ala Politik Hijau

si, dengan melakukan upaya pelestarian daya dukung ekosistem dan memperba-iki kualitas lingkungan hidup.

Teori-teori tersebut memiliki ke-samaan yang dapat dimaknai menjadi menjadi kesatuan yang melatarbelakangi terbentuknya kebijakan. Teori Politik Hijau John Barry, Teori Pembangunan Berkelanjutan, dan Teori Hukum Ling-kungan selaras mengedepankan keadil-an antar generasi sebagai tujuan bersa-ma. Dengan demikian, generasi hari ini dalam membuat kebijakan haruslah me-mikirkan kewajibannya dan tanggung jawab terhadap generasi mendatang atau dengan kata lain kebijakan terse-but haruslah berasaskan keberlanjutan. Selanjutnya, penulis akan menyebutnya dengan istilah kebijakan berkelanjutan.

IV. Moratorium Sawit Jokowi Sebagai Kebijakan Berkelanjutan

Apakah moratorium dalam kerang-ka kerja Jokowi termasuk kebijakan berkelanjutan? Tulisan ini akan fokus menganalisis kebijakan moratorium itu sendiri disandingkan dengan indikator keberlanjutan.

A. Komitmen Politik Kebijakan

Rezim Jokowi berada dalam posisi tidak menyenangkan jika dilihat dalam kontestasi perkelapasawitan. Begitu ba-nyak kepentingan baik Negara, korpo-rasi, petani dan gerakan lingkungan ber-adu sepanjang Jokowi berkuasa. Mulai dengan fakta bahwa pada level dunia, Indonesia adalah produsen dan ekspor-tir kelapa sawit terbesar di dunia, yang bersama Malaysia, menghasilkan 85-90 persen total minyak sawit di dunia.17 Menurut RSPO (Roundtable on Sustai-nable Palm Oil), Indonesia berkontribusi sebesar 58% dari produksi minyak kela-pa sawit berkelanjutan yang bersertifikat RSPO di seluruh dunia. Sementara pro-duksi minyak kelapa sawit berkelanjut-an yang telah mendapat sertifikat RSPO secara global saat ini mencapai 12,15 juta ton. Ini sama saja dengan 17% dari total produksi minyak kelapa sawit dunia.18

Sementara data dari Direktorat Jen-deral Perkebunan Kementerian Per-tanian menyebut kelapa sawit telah menyumbang devisa kepada negara mencapai Rp239,4 triliun.19 Hal tersebut membuat sawit dianggap sebagai emas hijau yang menempati urutan pertama penyumbang devisa dari data BPS pada

17 Anonim, “Minyak Kelapa Sawit”, https://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komo-ditas/ minyak-sawit/item166, diakses tanggal 13 Oktober 2018.

18 Ibid.19 Agustiyanti, “Kementan Klaim Sawit Sumbang Devisa Negara Rp239 Triliun”, https://www.

cnnindonesia.com/ekonomi/20170829150806-92-238106/kementan-klaim-sawit-sumbang-devisa-negara-rp239-triliun, diakses tanggal 13 Oktober 2018.

Page 47: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

194

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 186-207

2017 dan hingga Oktober, mengalahkan minyak dan gas serta sektor pariwisata.20 Menurut data BPS, jumlah total luas area perkebunan sawit di Indonesia pada 2017 mencapai sekitar 11.9 juta hektare, hampir tiga kali lipat dari luas area di tahun 2000 (sekitar 4 juta hektare lahan di Indonesia dipergunakan untuk perke-bunan kelapa sawit). Jumlah ini diduga akan bertambah menjadi 13 juta hektare pada tahun 2020.21

Resolusi non-legislatif Uni Eropa ter-kait Kelapa Sawit dan Deforestasi dilun-curkan pada bulan April tahun 2017 oleh Parlemen Uni Eropa. Resolusi non-legis-latif adalah resolusi yang tidak melalui normalnya prosedur legislatif Uni Ero-pa, oleh karena itu, resolusi non-legislatif hanya bersifat soft law dan tidak mengi-kat. Resolusi ini fokus untuk mendorong Uni Eropa untuk melakukan aksi-aksi dalam menghadapi deforestasi, khusus-nya yang diakibatkan oleh perkebunan kelapa sawit. Dengan kata lain, resolu-si tersebut menitikberatkan kebutuhan untuk menghadapi dampak lingkungan dan sosial dari produksi kelapa sawit, khususnya terkait biodiversitas, peru-bahan iklim, dan emisi gas rumah kaca,

serta hak asasi manusia dan kesehatan dari perkebunan kelapa sawit di negara-negara produsen.22

Sementara itu, Resolusi Parlemen Uni Eropa tentang “Minyak Kelapa Sa-wit dan Deforestasi Hutan Tropis” ber-isi dua poin penting terkait perkebunan kelapa sawit di Indonesia. Pertama, de-forestasi global terjadi karena adanya pe-ningkatan pertumbuhan dan konsumsi dari komoditas pertanian, termasuk mi-nyak kelapa sawit. Proses pembukaan la-han untuk perkebunan dengan memba-kar hutan telah mengakibatkan bencana asap tahun 2015 yang berdampak pada 69 juta orang. Dengan demikian, Indone-sia menjadi salah satu kontributor uta-ma terhadap pemanasan global. Kedua, Parlemen Uni Eropa menyatakan bahwa operasi perkebunan kelapa sawit terkait dengan pelanggaran HAM. Pelanggaran yang terjadi antara lain adalah pekerja anak, penggusuran, diskriminasi ter-hadap masyarakat adat, kekerasan dan lain-lain. Selain itu, Eropa mengusulkan resolusi untuk melarang penggunaan minyak kelapa sawit dalam biofuel pada 2020.23

20 Martin Sihombing, “Beginilah Geliat Industri Sawit, Si Emas Hijau”, http://industri.bisnis.com/read /20180205/99/734393/beginilah-geliat-industri-sawit-si- , diakses tanggal 13 Oktober 2018.

21 Ibid.22 Kania Mezariani G, “Kelapa Sawit: Antara Kebijakan Ketahanan Energi Dan Climate Change Uni

Eropa, Serta Respon Pemerintah Indonesia”, http://perpustakaan.elsam.or.id/index.php?p=show_de-tail&id=15289 &keywords=kelapa+sawit, diakses tanggal 9 Oktober 2018.

23 Ibid.

Page 48: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

195

Sekar Banjaran AjiMoratorium Sawit Jokowi dalam Perspektif Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan ala Politik Hijau

Dalam perkembangan terakhir, De-wan dan Komisi Eropa menyepakati akan memberikan tambahan waktu bagi Indonesia dan Malaysia, meskipun ke-tiga pihak membuahkan kompromi ter-kait impor minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia pada pertemuan tripartit antara Parlemen Juni 2018. Kandungan minyak sawit dalam biodiesel nantinya tidak lagi akan termasuk sasaran iklim Uni Eropa dan baru akan dilarang sepe-nuhnya pada 2030. Uni Eropa juga me-mutuskan akan mempertahankan volu-me impor serupa 2019 dan akan mengu-rangi impor minyak sawit secara perla-han mulai tahun 2023.24

Setelah dinamika tersebut tidak lagi dibahas oleh media, barulah Inpres Mo-ratorium Sawit terbit pada September 2018. Walaupun terlambat, kebijakan moratorium ini cukup ampuh memberi-kan efek kejut pada pasar. Hal tersebut terbukti pada periode 7-23 September 2018, harga tandan buah segar (TBS) kela-pa sawit naik sebesar Rp23 per kilogram. Kenaikan terjadi dari harga Rp1473 pada periode sebelumnya, menjadi Rp1496 perkilogram untuk periode ini.25

Kejadian kenaikan harga TBS me-mang belum dapat diklaim bahwa Inpres Moratorium Sawit merupakan kebijakan

berkelanjutan. Dalam Teori Politik Hijau John Barry setidaknya ada tiga hal yang harus diuji yakni teori distribusi (interge-nerasional) keadilan, komitmen terhadap proses demokratisasi, dan usaha untuk mencapai keberlangsungan ekologi. Apabila ketiga hal tersebut tercapai, ba-rulah Inpres Moratorium dapat dilekati dengan sebutan kebijakan berkelanjutan.

Pertama, unsur distribusi manfaat atau keadilan antar generasi dalam In-pres Moratorium ini belum terlihat jika dilihat dalam konteks jangka waktu ber-lakunya Inpres Moratorium. Instruksi ini berlaku hanya tiga tahun (2018-2021). Pe-riode implementasi Inpres di bawah pe-merintahan ini hanya satu tahun (hingga Oktober 2019). Apabila Inpres ini ber-akhir masanya dan masih ada kegiatan yang belum dikerjakan, pun tidak ada klausul untuk memperpanjang morato-rium sawit, sebagaimana ada dalam Inp-res penundaan izin baru di hutan primer dan lahan gambut.

Dalam masa efektif jabatan Presiden Jokowi 2014-2019, proses maksimal pe-laksanaan Inpres moratorium ini hanya satu tahun. Per Februari 2019, sudah lima bulan sejak Inpres moratorium diri-lis, Tim Kerja yang dimandatkan belum terbentuk. Sementara Inpres moratori-um mengamanatkan sistem pelaporan

24 Hans Spross, “Uni Eropa Tunda Larangan Sawit Hingga 2030”, https://www.dw.com/id/uni-eropa-tunda-larangan-sawit-hingga-2030/a-44315242, diakses tanggal 26 Januari 2019.

25 Fitri Amalia, ”Update Harga TBS Kelapa Sawit September 2018, Semakin Membaik”, http://jambi.tribunnews.com/2018/09/10/update-harga-tbs-kelapa-sawit-7-23-september-2018-semakin-membaik, diakses tanggal 26 Januari 2019.

Page 49: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

196

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 186-207

kemajuan pelaksanaan kebijakan dila-kukan Tim Kerja setiap enam bulan. Pe-laporan fase pertama akan jatuh tempo pada bulan Maret 2019, tidak akan dapat disebut pelaporan hasil kerja jika Tim Kerja belum terbentuk di bulan Februari 2019.

Dalam shadow report yang dibuat ke-lompok masyarakat sipil terkait capai-an semester pertama dari implementasi Inpres Moratorium Sawit, disebutkan bahwa per April 2019, Kemenko Bidang Perekonomian selaku koordinator pe-laksanaan Moratorium Sawit sedang menyiapkan Standar Operasional (SOP) untuk penyusunan pemetaan dan vali-dasi data. SOP tersebut akan berisi data mengenai tipologi permasalahan sawit dan Kawasan hutan yang nantinya akan direkomendasikan ke kementerian tek-nis. Kemenko Bidang Perekonomian juga sudah menentukan 7 provinsi yang akan menjadi prioritas pelaksanaan Inp-res Moratorium Sawit, provinsi tersebut antara lain Jambi, Riau, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Ka-limantan Tengah dan Timur.

Perkembangan tersebut tergolong sangat lambat sebab semestinya 6 (enam) bulan pertama sudah ada laporan yang diberikan kepada Presiden berupa ca-paian pelaksanaan Inpres. Dampak dari belum selesainya SIP penyusunan pe-metaan dan validasi data menyebabkan tidak tercatatnya praktik-praktik baik dari daerah. Akhirnya, beberapa Provin-si dan Kabupaten sudah meresponsnya dengan komitmen kebijakan publik se-perti Provinsi Nangroe Aceh Darusalam, Kabupaten Buol (Sulawesi Tengah), dan Kabupaten Sanggau (Kalimantan Barat) tidak terdokumentasi dan mendapatkan apresiasi yang baik.

Fenomena yang terjadi dalam fase pertama pelaporan merupakan capaian yang kurang baik. Jika hal tersebut tidak diperbaiki pada fase kedua, belum dapat dipastikan seluruh capaian tercapai, se-bab fase ketiga terjadi pasca pemilu. Suk-sesi kepemimpinan mungkin saja meng-ubah struktur birokrasi atau kebijakan.26

Prasyarat teori distribusi harus mem-berikan manfaat demi terciptanya keadil-an antar generasi. Kondisi ini dapat di-capai dengan kebijakan yang berjangka

26 Hal tersebut pernah terjadi dalam pembubaran Badan Pengelola Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (BP-REDD+) dan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Kedua Lembaga tersebut dibentuk dalam rezim SBY, dan ketika terjadi perubahan ke rezim Jokowi, kedua Lembaga tadi dibubarkan melalui Perpres 16 Tahun 2015 yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 21 Januari 2015. Ichwan Susanto, “Presiden Jokowi Bubarkan BP-REDD dan DNPI”, https://sains.kompas.com/read/2015/01/28/18352191/Presiden.Jokowi.Bubarkan.BP-REDD.dan.DNPI, diakses tanggal 1 Mei 2019.

27 Joko Waluyo, “Urgensi Kebijakan Moratorium Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia”, https://www.tuk.or.id/2017/09/17/urgensi-kebijakan-moratorium-perkebunan-kelapa-sawit-di-indonesia/, diakses tanggal 3 Mei 2019.

Page 50: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

197

Sekar Banjaran AjiMoratorium Sawit Jokowi dalam Perspektif Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan ala Politik Hijau

panjang. Hal ini mengingat kondisi bah-wa tidak semua kebijakan akan langsung terlihat dampaknya dalam sekejap mata. Misalnya, dari analisis tentang urgensi kebijakan moratorium perkebunan sawit di Indonesia yang dilakukan Walhi ber-sama Kemitraan, TuK Indonesia, Sawit Watch, dan Auriga tahun 201727 tak ada perubahan signifikan dari implementasi Inpres sebelumnya. Kebijakan morato-rium tak mengurangi struktur pengua-saan sumber daya alam, khususnya di perkebunan sawit skala besar yang diku-asai segelintir penguasa ekonomi. Wak-tu pemulihan jasa layanan alam tidak sebanding dengan laju kerusakan yang dihasilkan dari sebuah perizinan. Oleh karenanya, Walhi menawarkan kebijak-an moratorium yang kuat, yakni dengan tak lagi memberikan izin kepada industri kebun kayu, sawit, dan tambang dalam kurun waktu minimal 25 tahun sembari secara aktif pemerintah melakukan kaji

ulang dan audit perizinan yang sudah ada, yang ditengarai banyak melakukan pelanggaran hukum serta perundang-undangan dan kejahatan korupsi.

Kedua, prasyarat tentang komitmen demokratitasasi dalam menjalankan su-atu kebijakan dalam Inpres Moratorium dapat dilihat secara eksplisit dengan me-lihat aktor yang dilibatkan. Demokratisa-si adalah suatu proses yang demokratis. Dalam teorinya, Scumpeter menggagas dua dimensi teoritik yang dapat dipakai sebagai acuan untuk menyebut demo-krasi, yaitu: (1) seberapa tinggi tingkat kontestasi, kompetisi atau oposisi yang dimungkinkan, dan (2) seberapa banyak warga negara memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam kompetisi politik itu.28 Semakin banyak pembagian we-wenang antar Pemerintah dan semakin masyarakat yang dapat terlibat dalam pelaksanaan kebijakan, maka proses de-mokrasi tersebut sedang berjalan.

28 M. Mas’oed, Ilmu Hubungan International: Disiplin dan Metodologi, (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 9.29 Anonim, “Analisis Substansi Inpres Moratorium Sawit 2018”, https://madaniberkelanjutan.

id/2018/09/28/analisis-substansi-inpres-moratorium-sawit-2018/, diakses tanggal 28 Januari 2019.

gambar 2. Alur Koordinasi antar Pemerintah dalam Inpres Moratorium Sawit29

Page 51: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

198

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 186-207

Dalam bagan tersebut secara seder-hana dapat dilihat bahwa hubungan an-tara delapan pejabat dalam Inpres ini da-pat dilihat pada di atas. Panah hijau me-wakili alur pelaporan data, panah merah mewakili fungsi pembinaan, dan panah oranye mewakili penyampaian reko-mendasi/hasil rapat koordinasi. Semen-tara tanda stop mewakili pejabat negara yang diperintahkan menunda penerbit-an izin terkait kelapa sawit (di kawasan hutan) sesuai dengan kewenangannya masing-masing dan gambar suryakan-ta mewakili pejabat negara yang harus melakukan evaluasi izin terkait kelapa sawit.30

Dalam hal ini, terlihat bahwa KLHK salah satu aktor yang diberi peran strate-gis untuk melakukan tiga hal di atas se-kaligus, yakni: penundaan izin, evaluasi, dan langkah-langkah tindak lanjut (ter-masuk penegakan hukum). Sementara itu, Kemenko Bidang Perekonomian ti-dak punya banyak kewenangan kecuali mengkoordinasikan pemangku kebijak-an lain.

Terkait proses demokratisasi dalam posisi ini terlihat bahwa tidak ada him-bauan dari Presiden kepada para aktor yang diberi mandat untuk mendengar-kan suara masyarakat sipil atau melibat-kan masyarakat sipil dalam implemen-tasi kebijakan. Partisipasi publik terlihat menjadi keniscayaan dalam Inpres Mo-

ratorium ini. Dengan demikian Inpres Moratorium ini tidak memenuhi prasya-rat demokratisasi.

Ketiga, prasyarat kebijakan harus menjadi usaha untuk mencapai keber-langsungan ekologi menjadi hal yang paling sulit diukur karena bentuknya berupa implementasi kebijakan. Hal ini mengingat kebijakan yang dimaksud juga masih dalam tahap awal implemen-tasi. Dengan alasan tersebut, khusus da-lam bagian ini, Penulis akan menganali-sis dari titik berat kebijakan. Apabila titik beratnya adalah usaha simultan untuk melindungi fungsi kelestarian lingkung-an hidup dan bukan ekonomi jangka pendek, maka kebijakan tersebut patut dikategorikan sebagai kebijakan yang pro keberlangsungan ekologi.

Secara implisit dapat diartikan bah-wa kebijakan ini merupakan manifestasi dari usaha mencapai keberlangsungan ekologi dengan menyelesaikan silang sengkarut perkelapasawitan melalui mo-ratorium. Jika melihat ide awal ketika ke-bijakan ini dibuat memang salah satunya untuk menyelesaikan masalah lingkung-an akibat sawit. Menurut Menteri Koor-dinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, Inpres Moratorium Sawit me-rupakan solusi berbagai persoalan tata kelola. Ia juga sejalan dua aturan lain, yakni Inpres Percepatan Penyelesaian Tanah dalam Kawasan Hutan dan Inp-

30 Ibid.

Page 52: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

199

Sekar Banjaran AjiMoratorium Sawit Jokowi dalam Perspektif Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan ala Politik Hijau

res Reforma Agraria. Jangan mengarti-kan bahwa Pemerintah akan berhenti menambah produksi minyak sawit. Pe-merintah memberikan waktu tiga tahun membereskan semua persoalan di perke-bunan sawit, termasuk di dalam kawa-san hutan.31

Berdasarkan ketiga prasyarat Teori Politik Hijau hanya ada satu yang terpe-nuhi yakni mencapai keberlangsungan ekologi dalam tataran ide imajinasi awal. Dalam dua prasyarat lain masih tergan-jal bahkan dalam tataran eksplisit kebi-jakan.

B. Impian Melampaui Evaluasi Izin dalam Moratorium Sawit

Menilik kebijakan yang serupa sebe-lumnya yakni Inpres No. 6 Tahun 2017 soal penundaan dan penyempurnaan tata kelola pemberian izin baru hutan alam primer dan lahan gambut atau In-pres Moratorium serupa di rezim SBY, ternyata tidak pernah menyinggung soal evaluasi. Namun dalam Inpres Morato-rium Sawit ini muncul mandat evaluasi pada KLHK untuk melakukan evaluasi atas pelepasan atau tukar menukar ka-wasan hutan yang telah diberikan kepa-da perkebunan kelapa sawit skala besar untuk menemukan kawasan hutan pro-duktif yang belum dikonversi yang ter-

dapat di wilayah konsesi perkebunan yang masih bisa diselamatkan atau un-tuk menemukan terjadinya pelanggaran hukum, termasuk perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di dalam kawasan hutan, beroperasi tanpa izin yang sesuai, atau pelanggaran tata ruang. Berdasar-kan evaluasi yang dilakukan, KLHK me-lalui rekomendasi dari Gubernur dapat mengembalikan kawasan yang memiliki hutan produktif di dalamnya menjadi kawasan hutan. Evaluasi izin yang telah diterbitkan adalah sebuah terobosan jika dibandingkan dengan kebijakan morato-rium sebelumnya.

Hal tersebut membuat ada sebuah impian besar yang dilekatkan oleh Ma-syarakat Sipil pada Inpres Moratorium.32 Pertama, moratorium sawit setidaknya menghentikan izin pembukaan lahan sa-wit baru untuk tiga tahun ke depan. Itu menjadi harapan terbentuknya keseim-bangan baru di pasar minyak sawit. Da-lam satu dekade terakhir, maraknya izin pembukaan lahan telah menyebabkan produksinya meningkat. Tapi kenaikan-nya tak seimbang dengan permintaan se-hingga terjadi kelebihan produksi yang mencapai 4,8 juta ton. Akibatnya, harga jualnya menjadi jatuh. Menilik lahan hu-tan yang dikonversi ke lahan sawit, In-donesia telah kelebihan lahan sekitar 960

31 Indra Nugraha, “Menteri Lingkungan Bakal Evaluasi 2,3 Juta Hektar Kebun Sawit di Kawasan Hutan”, https://www.mongabay.co.id/2018/10/20/menteri-lingkungan-bakal-evaluasi-23-juta-hek-tar-kebun-sawit-di-kawasan-hutan/, diakses tanggal 4 Januari 2019.

32 Wiko Saputra, “Selamat Datang Moratorium Sawit!“, Tempo, 26 September 2018.

Page 53: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

200

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 186-207

ribu hingga 1 juta hektare.33

Kedua, moratorium adalah momen-tum untuk penataan lahan sawit dan memperkuat legalitasnya. Saat ini luas lahan sawit mencapai 11.9 juta hekta-re dan keberadaan lahannya sering kali bermasalah. Salah satunya berasal dari konversi hutan alam yang memicu defo-restasi. Auriga mencatat, 3,4 juta hektare lahan yang sudah ditanami sawit berada di dalam kawasan hutan.34

Tidak ajegnya tata laksana perizinan lahan sawit juga menjadi pemicu konflik lahan. Tak hanya menerabas kawasan hutan, lahan-lahan itu juga tumpang-tin-dih dengan izin lainnya, seperti izin hu-tan tanaman industri dan pertambangan. Banyak juga izin yang berkonflik dengan masyarakat karena proses pengalihan haknya tak sesuai aturan. Moratorium sawit salah satunya bertujuan menyele-saikan hal itu.

Ketiga, mendukung program refor-ma agraria. Marwah moratorium adalah juga perbaikan redistribusi lahan. Ba-nyak izin lahan sawit yang berasal dari pelepasan kawasan hutan tapi tidak di-distribusikan kepada masyarakat dalam

bentuk program kemitraan inti-plasma oleh perusahaan. Seharusnya, dalam setiap pelepasan kawasan hutan, peru-sahaan wajib menyerahkan 20 persen la-han kepada masyarakat.35

Berangkat dari tiga poin tersebut, tata kelola lahan menjadi kunci pamung-kas dalam menjamin diterapkannya prinsip pembangunan berkelanjutan, mengingat selama ini izin menjadi awal untuk menentukan legalitas suatu lahan sawit. Ketika proses pemberian izin su-dah ditunda, maka semestinya sejalan dengan hal tersebut proses evaluasi izin yang sudah diberikan atau memastikan bahwa seluruh lahan tutupan yang dibu-ka sesuai dengan sebagaimana mestinya untuk kemaslahatan bagi masyarakat.

Mempersoalkan tumpang tindih la-han antara kawasan hutan dengan per-kebunan sawit dalam Inpres Moratorium ini, tujuannya tak lepas dari keberadaan perkebunan sawit dalam kawasan hutan yang sangat mungkin belum memiliki status jelas atas lahannya. Studi UGM menyebutkan bahwa terdapat 2,3 juta hektare perkebunan sawit dalam kawa-san hutan alias tumpang tindih.36 Prob-

33 Dewi Purningsih, “Inpres Moratorium Perkebunan Sawit Donong Penyerapan CPO”, https://www.greeners.co/berita/inpres-moratorium-perkebunan-sawit-dorong-penyerapan-cpo/, diakses tanggal 3 Mei 2019.

34 Wiko Saputra, op., cit.35 Indonesia, Undang-Undang Perkebunan, UU No. 39 Tahun 2014, LN No. 308 Tahun 2014, TLN

No. 5613, Ps. 58.36 Terdapat beragam data tentang luas perkebunan sawit dalam kawasan hutan. Menteri Ling-

kungan dan Kehutanan menyatakan luasnya sebesar 2,3 juta hektare (http://www. mongabay.co.id/2018/10/20/menteri-lingkungan-bakal-evaluasi-23-juta-hektare-kebun-sawit-di-kawasan-hutan/). Kajian UGM menunjukkan areal seluas 2,8 juta yang 35 persennya dikelola masyarakat, se-dangkan sisanya oleh perusahaan sawit (lihat http://www.mongabay. co.id/2018/11/04/kajian-ugm-

Page 54: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

201

Sekar Banjaran AjiMoratorium Sawit Jokowi dalam Perspektif Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan ala Politik Hijau

lem ini juga yang menyandung imple-mentasi ISPO sebagai instrumen wajib untuk usaha perkebunan sawit Indone-sia yang berkelanjutan. Direktorat Jende-ral Perkebunan Kementerian Pertanian mencatat, dari 11,3 juta hektare lahan perkebunan sawit nasional, masih ada beberapa luasan yang bermasalah. Dari 6,7 juta hektare lahan perkebunan sawit yang dikelola perusahaan besar swas-ta dan negara, sebanyak 800 ribu hek-tare terindikasi berada dalam kawasan hutan. Selain itu, merujuk pada catatan Kemenko Bidang Perekonomian, sekitar 2,5 juta hektare lahan belum memiliki kelengkapan Hak Guna Usaha (HGU).37

Terlepas dari cakupan ruang lingkup Inpres yang belum menyasar perbaikan tata kelola sawit secara keseluruhan,38 in-struksi terkait evaluasi perizinan meru-pakan bagian penting karena berpotensi menyelesaikan berbagai persoalan yang menghambat tata kelola perkebunan sa-wit berkelanjutan. Inpres Moratorium Sawit masih punya peluang besar seba-gai kebijakan dapat menjadi pintu ma-suk dalam mengurai kompleksitas tata

kelola perkebunan sawit yang sangat kompleks sehingga tercipta posisi yang menguntungkan semua pihak.

Lahan yang dijadikan areal pengem-bangan perkebunan sawit banyak bera-sal dari “kawasan hutan” yang sebelum-nya telah menimbulkan konflik. Bahkan, klaim kawasan hutan seluas 2/3 daratan dapat disebut bentuk perampasan tanah (hak) terdahsyat pasca Indonesia mer-deka. Menurut Soedomo, klaim tersebut membuat masyarakat yang tadinya hi-dup damai menjadi resah karena dita-brak oleh hukum sepihak.39 Pemukiman mendadak disebut ilegal, dan banyak desa terjebak oleh kawasan hutan dan seringkali disebut “desa berada dalam kawasan hutan”. Wilayah Indonesia ter-susun oleh puluhan ribu wilayah desa artinya kawasan hutan sesungguhnya berada di dalam teritori desa, sehingga bukan terkontrol ada sebutan desa “di dalam kawasan hutan”.

Konflik lahan di areal pengembang-an perkebunan sawit mewakili kasus yang beragam. Konflik lahan tersebut le-bih banyak disebabkan tata kelola peme-

28-juta-hektare-kebun-sawit-di-kawasan-hutan-65-milik-pengusaha-solusinya/). Sementara itu, Forest Watch Indonesia (2017) menemukan seluas 8,9 juta hektare kawasan hutan tumpang tindih dengan HPH, HTI, dan perkebunan sawit di 8 provinsi (http://www.mongabay.co.id/2017/12/13/kajian-fwi-89-juta-hektare-lahan-tumpang-tindih-di-8-provinsi/).

37 Anonim, “Mengurai Kendala Skim Berkelanjutan Ala Indonesia”, https://www.infosawit.com/news/8131/mengurai--kendala-skim-berkelanjutan-ala-indonesia, diakses tanggal 31 Desember 2018.

38 Anonim, “Policy Brief Membumikan Moratorium dan Evaluasi Perkebunan Sawit”, http://sawitwatch.or.id/wp-content/uploads/2019/03/Policy-Brief_Membumikan-Moratorium-dan-Evalu-asi-Perkebunan-Sawit.pdf, diakses tanggal 3 Mei 2019.

39 Anggiana G. Adinugraha, et.al, Tata Kelola Perkebunan Sawit di Indonesia Studi Kasus di Provinsi Riau dan Kalimantan Barat, Cetakan ke-1, (Bogor: Forci Development Fakultas Kehutanan Institut Perta-nian Bogor, 2018), hlm. 141-142.

Page 55: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

202

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 186-207

rintahan dan pengaturan agraria yang buruk. Ketika tata kelola pemerintahan dan pengaturan agraria masih buruk, apapun jenis usaha atau komoditas yang diusahakan berpotensi menghadirkan konflik. Karena itu, penyebab konflik se-mestinya tidak dialamatkan hanya pada perusahaan perkebunan sawit, tetapi di-alamatkan pada buruknya tata pemerin-tahan dan pengaturan agraria, serta ke-timpangan alokasi lahan antara kawasan hutan dan bukan kawasan hutan.40

Impian perbaikan tata kelola lahan tentu saja menjadi sangat jauh mengi-ngat mandat KLHK tentang evaluasi izin yang terbatas. Berdasarkan hasil evalua-si, ada lima pemangku kebijakan yakni Bupati dan Gubernur, Kementerian Ag-raria dan Tata Ruang (ATR/BPN), Men-teri LHK, serta Menteri Pertanian yang diberi mandat untuk melakukan ‘lang-kah-langkah tindak lanjut’ yang diputus-kan dalam ‘rapat koordinasi’ yang akan diselenggarakan oleh Menko Bidang Perekonomian. Oleh karena itu, penting untuk berpikir melampaui teks kebijak-an dengan cara pandang lain supaya ti-dak terbatas melihat kebijakan hukum secara literal.

Dalam kerangka ini penting untuk mengadopsi Teori Politik Hijau, sehing-

ga gerakan sosial memaknai mandat evaluasi perizinan tidak semata sempit sebagai mengevaluasi seluruh perizinan industri. Dengan Teori Politik Hijau John Barry sesuai dengan prinsip komitmen usaha untuk mencapai keberlangsungan ekologi, maka mandat evaluasi perizinan dapat diartikulasikan sebagai upaya tata kelola lahan, sebab selama ini izin hanya satu dari penyebab masalah lainnya.

Pendekatan tersebut dapat dimulai dengan mengaitkan moratorium sawit dengan program reforma agraria. Me-nurut Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Usep Setiawan, dari buku khu-sus arahan KSP, kementerian dan lem-baga terkait harus melakukan evaluasi izin usaha perkebunan sawit maupun hutan tanaman industri sebagai lang-kah prasyarat menuju reforma agraria. Alasannya, sebagian tanah obyek refor-ma agrarian diimajinasikan berasal dari eks HGU, termasuk HGU terlantar, tak diperpanjang maupun yang berkonflik dengan masyarakat. 41

Dalam pelaksanaannya, Perpres Re-forma Agraria42 sama seperti Inpres Mo-ratorium sawit yang dikoordinir Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Per-pres Reforma Agraria mengatur soal ke-beradaan Tim Reforma Agraria Nasional

40 Ibid.41 Lusia Arumingtyas, “Moratorium Sawit Bisa Dorong Percepatan Reforma Agraria”, https://

www.mongabay.co.id/2018/09/04/moratorium-sawit-bisa-dorong-percepatan-reforma-agraria/, di-akses tanggal 3 Mei 2019.

42 Indonesia. Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria, Perpres No. 86 Tahun 2018.

Page 56: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

203

Sekar Banjaran AjiMoratorium Sawit Jokowi dalam Perspektif Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan ala Politik Hijau

yang diketuai Menteri Koordinator Bi-dang Perekonomian dan dibantu Gugus Tugas Reforma Agraria (GT RA) yang meliputi GT RA Pusat, Provinsi, dan Kota/Kabupaten. Mekanisme dan tata kerja Tim Reforma Agraria diatur lebih lanjut oleh Peraturan Menteri Koordi-nator Bidang Perekonomian, sedangkan mekanisme dan tata kerja GT RA diatur dalam Peraturan Menteri (tidak disebut-kan). Perpres RA mewajibkan GT RA di tingkat Pusat, Provinsi, dan Kota/Kabu-paten dibentuk selambat-lambatnya tiga bulan setelah Perpres tersebut disahkan. Dalam kerangka tersebut jika dapat di-pastikan bahwa Tim Kerja dalam Inp-res Moratorium Sawit dan GT RA dapat bekerja secara sinergis, serta menjamin bahwa rapat konsolidasi Tim Kerja Inp-res Moratorium.

V. Penutup

Penulis berpendapat bahwa keter-kaitan Inpres Moratorium Sawit dengan kebijakan hijau sesuai dengan Teori Poli-tik Hijau dapat dipahami sebagai:

Pertama, Inpres Moratorium Sawit bukanlah kebijakan hijau sebagaimana dimaksud oleh Teori Politik Hijau. Hal tersebut disebabkan hanya ada satu kri-teria Teori Politik Hijau yang dipenuhi oleh kebijakan ini yakni mencapai ke-berlanjutan ekologis, meski masih da-lam tataran imajinasi cita-cita kebijakan ini. Namun kegagalan menjadi kebijak-an berkelanjutan, tidak lantas membuat

Inpres Moratorium Sawit tidak berman-faat. Pelaksanaan Inpres tersebut tetap penting untuk dikawal.

Kedua, Inpres Moratorium Sawit ma-sih memiliki peluang untuk menyele-saikan masalahnya jika kebijakan ini di-maknai menggunakan seperangkat nilai Teori Politik Hijau untuk mengartikula-sikannya. Hal tersebut untuk menghin-dari pemaknaan sempit yang biasanya dilakukan oleh para birokrat dengan membaca literal peraturan hukum. Arti-kulasi dengan nilai-nilai Teori Politik Hi-jau dapat digunakan sebagai salah satu cara melampaui teks kebijakan tersebut, salah satunya dengan mengontekskan moratorium dengan reforma agraria.

Page 57: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

204

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 186-207

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Undang-Undang Per kebunan. UU No. 39 Tahun 2014. LN No. 308 Tahun 2014. TLN No. 5613.

_____. Peraturan Presiden tentang Refor-ma Agraria, Perpres No. 86 Tahun 2018.

_____. Instruksi Presiden Republik Indo-nesia tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan La-han Gambut. Inpres No. 10 Tahun 2011.

_____. Instruksi Presiden Republik Indo-nesia tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan La-han Gambut. Inpres No. 6 Tahun 2013.

_____. Instruksi Presiden Republik Indo-nesia tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan La-han Gambut. Inpres No. 6 Tahun 2017.

_____. Instruksi Presiden Republik Indo-nesia tentang Penundaan dan Evalu-asi Perizinan Perkebunan Kelapa Sa-wit Sera Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Inpres No. 8 Tahun 2018.

Buku

Adinugraha, Anggiana G. et.al. Tata Kelo-la Perkebunan Sawit di Indonesia Studi Kasus di Provinsi Riau dan Kalimantan

Barat. Cetakan ke-1. Bogor: Forci De-velopment Fakultas Kehutanan Insti-tut Pertanian Bogor. 2018.

Barry, John. Green Political Theory. Lon-don: Routledge. 2014.

Hartono, Sunaryati. Politik Hukum Menu-ju Satu Sistem Hukum Nasional. Ban-dung: Alumni. 1991.

Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan: Dasar dan Cara Pembentuk-annya. Yogyakarta: Kanisius. 2007.

Iskandar, J. Kapita Selekta teori Adminis-trasi Negara. Bandung: Puspaga. 2012.

Islamy. Prinsip-prinsip Perumusan Kebi-jakan Negara. Jakarta: Bumi Aksara. 1997.

Mas’oed, M. Ilmu Hubungan International: Disiplin dan Metodologi. Jakarta: LP3ES. 1994.

MD, Moh. Mahfud. Politik Hukum di In-donesia. Jakarta: Raja Grafindo. 2014.

Nugroho. Kebijakan Publik, Formulasi, Im-plementasi dan Kebijakan. Jakarta: Gra-media. 2003.

Pepper, David. Environmentalism, da-lam Understanding Contemporary (Theoris and the Present). London: SAGE Publication. 2000.

Lain-lain

Adinugraha, Anggiana G. dkk, Tata Ke-lola Perkebunan Sawit di Indonesia Stu-di Kasus di Provinsi Riau dan Kaliman-tan Barat; Bogor: Forci Development Fakultas Kehutanan Institut Pertani-an Bogor. 2018.

Page 58: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

205

Sekar Banjaran AjiMoratorium Sawit Jokowi dalam Perspektif Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan ala Politik Hijau

Agustiyanti. “Kementan Klaim Sawit Sumbang Devisa Negara Rp239 Trili-un.” https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20170829150806-92-

238106/kementan-klaim-sawit-sum-bang-devisa-negara-rp239-triliun. diakses tanggal 13 Oktober 2018.

Amalia, Fitri. “Update Harga TBS Kela-pa Sawit September 2018, Semakin Membaik.” http://jambi.tribun-news.com/2018/09/10/update-harga-tbs-kelapa-sawit-7-23-septem-ber-2018-semakin-membaik. diakses tanggal 26 Januari 2019.

Anonim. “Minyak Kelapa Sawit.” htt-ps://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/ minyak-sawit/item166. diakses tanggal 13 Oktober 2018.

_____. “Analisis Substansi Inpres Mora-torium Sawit 2018.” https://madani-berkelanjutan.id/2018/09/28/anali-sis-substansi-inpres-moratorium-sawit-2018/. diakses tanggal 28 Januari 2019.

_____. “Enam Tahun Memperbaiki Tata Kelola Hutan dan Lahan Gambut: Sebuah Evaluasi atas Pelaksanaan In-struksi Presiden Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru dan Penyem-purnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut.” http://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2017/05/Kertas-Kebijakan-Moratorium-dari-Koalisi.pdf. diak-ses pada tanggal 3 Mei 2019.

_____. “Mengurai Kendala Skim Berke-lanjutan Ala Indonesia”, https://www.infosawit.com/news/8131/mengurai--kendala-skim-berkelan-jutan-ala-indonesia. diakses tanggal 31 Desember 2018.

_____. “Policy Brief Membumikan Mora-torium dan Evaluasi Perkebunan Sa-wit.” http://sawitwatch.or.id/wp-c o n t e n t / u p l o a d s / 2 0 1 9 / 0 3 /Policy-Brief_Membumikan-Morato-rium-dan-Evaluasi-Perkebunan-Sawit.pdf. diakses tang gal 3 Mei 2019.

_____. “Policy Brief Rasionalitas Morato-rium Sawit.” http://sawitwatch.or-.id/wp-content/uplo ads/2017/07/Full-rasionalitas-moratorium-sawit2.pdf. diakses tanggal 2 Januari 2019.

Arumingtyas, Lusia dan Indra Nugraha. “Akhirnya, Inpres Moratorium Per-kebunan Sawit Terbit.” https://www.mongabay.co.id/2018/09/20/akhirnya-inpres-moratorium-perke-bunan-sawit-terbit/. diakses tanggal 2 Januari 2005.

Arumingtyas, Lusia. “Moratorium Sawit Bisa Dorong Percepatan Reforma Agraria.” https://www.mongabay.co.id/2018/09/04/moratorium-sawit-bisa-dorong-percepatan-reforma-agraria/. diakses tanggal 3 Mei 2019.

Dictionary. “Definition of Moratorium from the Cambridge Advanced Lear-ner’s Dictionary & Thesaurus.” htt-

Page 59: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

206

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 186-207

ps://dictionary.cambridge.org/dic-t ionary/engl i sh/morator ium. diakses tanggal 2 Januari 2019.

Firmansyah, Nurul. “Moratorium Izin Hutan dan Gambut, Berjilid-jilid (Tanpa) Ada Perbaikan?” https://www.mongabay.co.id/2017/05/28/opini-moratorium-izin-hutan-dan-gambut-berjilid-jilid-tanpa-ada-per-baikan/. diakses tanggal 3 Januari 2019.

Mezariani G, Kania. “Kelapa Sawit: An-tara Kebijakan Ketahanan Energi Dan Climate Change Uni Eropa, Ser-ta Respon Pemerintah Indonesia.” http://perpustakaan.elsam.or.id/in-d e x . p h p ? p = s h o w _ d e t a -il&id=15289&keywords=kelapa+sa-wit. diakses tanggal 9 Oktober 2018.

Mongabay Indonesia. “Rangkuman: Me-lacak Komitmen Presiden Jokowi da-lam Pengelolaan Lingkungan di In-donesia.” https://www.mongabay.co.id/2016/07/31/rangkuman-m e l a c a k - k o m i t m e n - p r e s i d e n -jokowi-dalam-bidang-pengelolaan-lingkungan-di-indonesia/. diakses tanggal 1 Januari 2019.

Murdiyarso, D. et. al. “Moratorium hutan Indonesia: Batu loncatan untuk mem-perbaiki tata kelola hutan?” https://www.cifor.org/library/3631/. diak-ses tanggal 2 Januari 2019.

Nugraha, Indra. “Menteri Lingkungan Bakal Evaluasi 2,3 Juta Hektar Kebun Sawit di Kawasan Hutan.” https://www.mongabay.co.id/2018/10/20/menteri-lingkungan-bakal-evaluasi-

23-juta-hektar-kebun-sawit-di-kawa-san-hutan/. diakses tanggal 4 Janua-ri 2019.

Purningsih, Dewi. “Inpres Moratorium Perkebunan Sawit Donong Penye-rapan CPO.” https://www.greeners.co/berita/inpres-moratorium-per-kebunan-sawit-dorong-penyerapan-cpo/. diakses tanggal 3 Mei 2019.

Saputra, Wiko. “Selamat Datang Morato-rium Sawit!” Tempo. 26 September 2018.

Saturi, Sapariah. “Akhirnya, Inpres Mo-ratorium Perkebunan Sawit Terbit”. h t t p s : / / w w w . m o n g a b a y . c o .id/2018/09/20/akhirnya-inpres-moratorium-perkebunan-sawit-ter-bit/. diakses tanggal 2 Januari 2019.

Sihombing, Martin. “Beginilah Geliat In-dustri Sawit, Si Emas Hijau.” http://i n d u s t r i . b i s n i s . c o m / r e a d /20180205/99/734393/beginilah-geliat-industri-sawit-si-. diakses tanggal 13 Oktober 2018.

Spross, Hans. “Uni Eropa Tunda Larang-an Sawit Hingga 2030,” https://www.dw.com/id/uni-eropa-tunda-l a r a n g a n - s a w i t - h i n g g a -2030/a-44315242. diakses tanggal 26 Januari 2019.

Suastha, Riva. “WALHI Tagih Janji Joko-wi Selesaikan Konflik Lingkungan.” https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160602195942-20135483/walhi-tagih-janji-jokowi-selesaikan-konflik-lingkungan. diakses tanggal 1 Januari 2019.

Page 60: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

207

Sekar Banjaran AjiMoratorium Sawit Jokowi dalam Perspektif Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan ala Politik Hijau

Susanto, Ichwan. “Presiden Jokowi Bu-barkan BP-REDD dan DNPI.” htt-p s : / / s a i n s . k o m p a s . c o m /read/2015/01/28/18352191/Presi-den.Jokowi.Bubarkan.BP-REDD.dan.DNPI. diakses tanggal 1 Mei 2019.

Tobing, Letezia. “Perbedaan Keputusan Presiden Dengan Instruksi Presi-den.” https://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50cf39774d2ec/perbedaan-keputusan-presiden-dengan-instruksi-presiden/. diakses tanggal 1 Januari 2019.

Waluyo, Joko. “Urgensi Kebijakan Mora-torium Perkebunan Kelapa Sawit di Indonesia”, https://www.tuk.or.id/2017/09/17/urgensi-kebijakan-moratorium-perkebunan-kelapa-sawit-di-indonesia/. diakses tanggal 3 Mei 2019.

Page 61: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

208

Tinjauan Etis atas Fenomena Relativisme Hukum dalam Kasus Pabrik Semen di Rembang

Raynaldo Sembiring1

AbstrakKebijakan hukum yang berubah-ubah tentunya menimbulkan ketidakpastian hukum. Dalam tingkat tertentu, pertanyaan mengenai keadilan akan menjadi relevan ketika perubahan tersebut bertentangan dengan aturan yang seharusnya menjadi pedoman menjalankan pemerintahan. Apalagi jika hukum digunakan hanya untuk melegitima-si kebijakan yang dibentuk. Situasi ini disebut sebagai relativisme moral yang berim-plikasi terhadap munculnya relativisme hukum. Dalam beberapa tahun terakhir, re-lativisme hukum dalam kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sangat sering terjadi. Salah satunya dalam kasus pembangunan pabrik Semen di Rem-bang. Dari kasus tersebut dapat terlihat, relativisme hukum yang menimbulkan ma-salah setidaknya dalam perspektif etika lingkungan dalam pelaksanaan tugas perlin-dungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Oleh karena itu, artikel ini bertujuan me-maparkan kondisi relativisme hukum dalam kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dipilih, dengan ditinjau dari pendekatan etika lingkungan. Kata kunci: relativisme, moral, hukum, lingkungan, etika

AbstractFluctuating legal policies certainly cause legal uncertainty. In a certain level, questions about justice will be relevant when these changes conflict with the rules that should be a guideline for running the government. Especially if the law is used only to legitimize established policies. This situation is referred to as moral relativism which has implications for the emergence of legal relativism. Recent years, legal relativism in environmental protection and management policies are very frequent. One of them was in the case of the cement plant construction in Rembang. This case shows a legal relativism which becomes a problem at least in the perspective of environmental ethics in carrying out the task of protecting and managing the environment. Therefore, this article aims to explain how environmental ethics view the condition of legal re-lativism in the protection and management of the environment.Keywords: relativism, moral, law, environmental, ethics

1 Penulis adalah Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Pengajar Hukum Lingkungan Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera dan Dewan Daerah Walhi DKI Jakarta 2018-2022.

Page 62: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

209

Raynaldo SembiringTinjauan Etis atas Fenomena Relativisme Hukum dalam Kasus Pabrik Semen di Rembang

I. Pendahuluan

Salah satu prinsip dasar dari penye-lenggaraan pemerintahan yang baik adalah menjalankan pemerintahan se-suai dengan aturan yang berlaku dan menerapkan asas pemerintahan yang baik. Melanggar aturan tentunya dapat menimbulkan banyak dampak, seperti: ketidakpastian hukum, kerugian pereko-nomian, dan terancamnya akses keadil-an masyarakat. Dalam menjalankan tu-gas perlindungan dan pengelolaan ling-kungan hidup beberapa waktu terakhir, muncul fenomena mengenai kebijakan pemerintah yang seolah terlihat sesuai dengan hukum, tetapi secara nyata tidak mencerminkan keadilan dan masih me-ninggalkan permasalahan.

Fenomena seperti ini sebenarnya ba-nyak terjadi, salah satunya adalah pener-bitan izin lingkungan perubahan kepada PT Semen Indonesia (PT SI) tidak lama setelah Mahkamah Agung (MA) memba-talkan izin lingkungan sebelumnya2 dan penerbitan keputusan Gubernur Jawa Tengah yang seolah-olah memenuhi pu-tusan kasasi MA. Kasus inilah yang akan dibahas dalam tulisan, khususnya untuk

2 Diberikan saat masih bernama PT Semen Gresik3 A. Sonny Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup: Alam Sebagai Sebuah Sistem Kehidupan, (Yogyakarta: PT

Kanisius, 2014), hlm. 220.4 Phusis dapat disebut sebagai nature atau kodrat, yang oleh Platon disebut sebagai idea. Idea

adalah realitas yang bisa dipersepsi. Lihat: sebagaimana diuraikan oleh A. Setyo Wibowo, “Pengantar Sejarah Filsafat Yunani: Sofisme”. (Makalah untuk Kelas Filsafat Yunani Kuno: Kaum Phusikoi di Serambi Salihara 12 Maret 2016), hlm. 20 dengan mengutip Jean-Fraçois Pradeau, Platon, l’imitation de la philosophie, Paris: Aubier, 2009, hlm. 292.

5 Ibid., Bagi Platon, idea adalah tentang sesuatu yang baik. Idea tentang “keadilan” adalah tentang sesuatu yang baik yang berangkat dari pengalaman.

menguji apakah terjadi relativisme. Kebijakan hukum sejenis masih ba-

nyak, tetapi contoh di atas menunjukkan bagaimana kegagalan menjalankan esen-si dari penyelenggaraan pemerintahan yang baik dalam kebijakan pemerintah, yang semestinya tunduk kepada aturan sebagai panduan dan batasannya.3 Ke-bijakan Gubernur Jawa Tengah dalam menerbitkan izin lingkungan perubahan dan keputusan administratif selanjut-nya juga menempatkan hukum sebagai “alat” legitimasi. “Alat” legitimasi yang dimaksud adalah untuk “membenar-kan” kebijakan yang dibentuk. Situasi ini memantik pertanyaan sederhana menge-nai apa sebenarnya phusis4 dari hukum? Apakah hukum memang ditujukan un-tuk mengikuti kemauan penguasa?

Dalam perspektif hukum, secara prosedural terlihat kebijakan yang diam-bil tidak bermasalah. Namun rasa kea-dilan pasti terusik dan itu hanya dapat dipahami dan dimaknai dengan mata jiwa.5 Rasa keadilan yang dimaksud tentu saja tidak mengacu kepada per-sepsi subjek, melainkan kepada situasi objektif dari kesadaran moral manusia.

Page 63: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

210

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 208-233

6 Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika: Analisis Prinsip-Prinsip Moralitas, (Jakarta: Shadra Press, 2011), hlm. 8.

7 Panduan dalam mempertanggungjawabkan setiap tindakan adalah etika. Etika merupakan sarana orientasinya. Lihat: Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, (Yogyakarta: PT Kanisius, 1987), hlm 13-14.

8 Mengacu kepada mazhab hukum alam, seharusnya moral menjadi bagian tidak terpisahkan dari hukum. Disini yang dimaksud adalah hukum dalam menjalankan idea mengenai keadilan. Adanya teori separasi menjelaskan kemungkinan adanya hukum yang buruk atau tidak adil. Namun hal tersebut bukan sebagai pembenaran, karena tujuan hadirnya hukum berkaitan erat dengan idea keadilan. Penjelasan ini dikembangkan dengan menanggapi: Khudzaifah Dimiyati, et.al, Hukum dan Moral: Basis Epistemologi Paradigma Rasional H.L.A. Hart, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2017), hlm. 34.

Untuk memandunya, kita bisa mengaju-kan pertanyaan sederhana: apakah izin lingkungan perubahan yang diterbitkan oleh Gubernur Jawa Tengah benar-benar menjawab putusan Mahkamah Agung? Apakah ada rasa keadilan yang terusik?

Tulisan ini tidak akan membahas me-ngenai rasa keadilan tersebut, melainkan fokus kepada fenomena pembuatan ke-bijakan sesuai dengan persepsi masing-masing subjek yang lebih dari 25 abad lalu telah terjadi, yang disebut sebagai relativisme. Relativisme berkembang da-lam sofisme yang fokus argumentasinya menolak kebenaran universal tertentu.6

Relativisme moral sering terjadi ter-utama ketika pembuat kebijakan kehi-langan orientasi7 dalam menjalankan tu-gas dan wewenangnya. Relativisme mo-ral berimplikasi terhadap hadirnya rela-tivisme hukum. Penting untuk dicatat, relativisme hukum tidak sama dengan pluralisme hukum. Relativisme hukum hadir dari hilangnya orientasi moral se-bagai bagian inheren dari adanya hu-kum.8 Sehingga tulisan ini hanya fokus dengan pertanyaan: bagaimana tinjauan etis terhadap fenomena relativisme hu-

kum dalam kasus pembangunan pabrik semen di Rembang?

Pembahasan mengenai relativisme hukum dalam tulisan ini mengambil pendapat 2 tokoh Sofis, yaitu: Protagoras (490-420 SM) dan Thrasymakhos (459-400 SM). Pendapat ini juga akan menjadi landasan bagi pembahasan mengenai re-lativisme hukum yang dalam pan dangan Penulis terjadi pada kedua contoh kebi-jakan di atas. Selanjutnya kritik terhadap relativisme hukum ini akan didasarkan dari teori etika lingkungan. Pendapat para Sofis diambil sebagai contoh untuk menunjukkan bahwa sejak ribuan tahun lalu, hukum pun telah dipermainkan untuk kepentingan tertentu. Sedangkan etika menjadi pisau analisis untuk mem-bedah masalah ini.

Jawaban atas masalah tersebut akan diuraikan dalam 5 bagian. Setelah bagi-an pendahuluan, bagian kedua akan me-nyampaikan sejarah relativisme moral dan hukum yang dilakukan oleh para tokoh Sofis. Bagian ketiga akan menje-laskan mengenai pembelaan terhadap relativisme dan kontra argumennya. Ba-gian keempat akan membahas mengenai

Page 64: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

211

Raynaldo SembiringTinjauan Etis atas Fenomena Relativisme Hukum dalam Kasus Pabrik Semen di Rembang

etika umum dan etika lingkungan. Se-dangkan, bagian kelima membahas kri-tik terhadap relativisme hukum dengan mendasarkan bagaimana seharusnya si-kap tindak pemerintah dipandang dari konsep etika lingkungan, khususnya dalam kasus pabrik semen di Rembang. Terakhir, penulis akan memberikan sim-pulan dalam penutup.

Tulisan ini mengambil sudut pan-dang filsafat dalam membantu menja-wab masalah-masalah hukum lingkung-an yang diangkat. Sebagaimana disebut-kan oleh Hamersma, penyelidikan filsa-fat dilakukan terhadap seluruh kenyata-an yang lebih luas dibandingkan cabang ilmu pengetahuan.9 Filsafat digunakan karena hukum lingkungan sebagai ca-bang ilmu pengetahuan memiliki keter-batasan khususnya dalam menguraikan tinjauan etis dan moral dengan lebih lengkap terhadap pokok permasalahan yang diangkat.

Walaupun berangkat dari sudut pandang filsafat, tulisan ini tetap ber-singgungan dengan hukum lingkungan, karena filsafat pada hakikatnya tidak bermaksud menegasikan cabang ilmu pengetahuan, bahkan memberikan ru-ang agar terjadi kekayaan pengetahuan. Adapun sudut pandangan etika ditarik

karena melihat problematika utama ti-dak dapat diselesaikan hanya melalui mekanisme hukum yang berlaku, se-hingga etika sebagai salah satu cabang filsafat penting untuk membongkar ma-salah ini. Etika bagaimana pun juga akan merefleksikan hal paling dasar dari ma-nusia, yaitu moral.

II. SofismedanRelativismeHukum

A. Sejarah Sofisme

Sofisme merupakan sebuah aliran yang berkembang pada masa demokra-si Yunani kuno (abad ke-5 SM). Para So-fis yang merupakan kaum pendatang di polis Athena, adalah ahli retorika yang mengisi ruang-ruang demokrasi Yunani untuk memberikan legitimasi “kebenar-an” pada siapa yang membayarnya.10 Dalam memberikan “kebenaran”, para Sofis menekankan argumentasi yang ter-lihat rasional padahal mengandung ba-nyak sekali fallacy.11

Terlepas dari pro dan kontra me-ngenai baik dan buruknya sofisme, para Sofis pada dasarnya adalah pemikir cer-das dan produktif. Protagoras misalnya, ia menulis beberapa buku yang dianta-ranya: Wrestling, Mathematics, The Sta-te, Ambition, The Original State of Things, What is in Hades, dan Opposing Arguments

9 Harry Hamersma, Pintu Masuk Ke Dunia Filsafat, (Yogyakarta: Yayasan Kanisius, 1981), hlm 10.10 Sering disebut Sofisme merupakan cikal bakal sekolah atau proses belajar berbayar yang saat

ini menjadi lazim. Pada masa itu, proses belajar mengajar tidak dipungut biaya, sebagaimana yang dilakukan oleh Sokrates maupun Plato.

11 A. Setyo Wibowo, op.cit., hlm. 1.

Page 65: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

212

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 208-233

(yang juga dikenal sebagai “Truth”).12 Contoh tersebut di atas menunjukan

bahwa para Sofis memiliki kemampu-an intelektual yang mumpuni13 dan ti-dak hanya “menjual” retorika “kosong” saja. Juga perlu ditegaskan sisi positif dari Sofisme adalah membawa manusia meninggalkan kepercayaan terhadap mitologi dewa-dewi Yunani kuno. Sela-in para kaum Phusikoi, para Sofis juga yang mulai mengajar penggunaan akal budi dalam menyelidiki fenomena-feno-mena. Di kemudian hari perkembangan ini dikenal sebagai “subjektivitas” yang berkembang pesat di era pencerahan.

Demokrasi di Athena memberikan tempat pada kebebasan berpendapat. Pertarungan ide dan gagasan menjadi kesempatan bagi para kaum Sofis untuk menawarkan jasa dalam memberikan legitimasi “kebenaran”. Akibatnya ke-benaran dan keadilan bagi kaum Sofis adalah sekadar konvensi belaka yang bersifat relatif. Ia dapat berubah sesuai dengan kesepakatan pembuatnya.14 Ke-sepakatan ini perlu dipahami tidak lahir dari moral otonom, melainkan dari peni-laian yang menempatkan manusia dan keinginannya sebagai alat ukurnya. Bisa dibayangkan bagaimana keguncangan

yang dirasakan oleh penduduk Athena karena nilai keadilan yang mereka pa-hami dari mitologi dewa-dewi seakan runtuh karena argumentasi para Sofis yang menempatkannya seolah-olah ada-lah “semu”.

Dalam sofisme, ide mengenai keadil-an bukan bersifat universal. Sementara itu, ketika keadilan bukanlah sesuatu yang universal, maka akan timbul “te-gangan” mengenai rasa keadilan sese-orang dengan orang lain atau suatu ke-lompok dengan kelompok lainnya. Ke-adilan, walaupun sulit untuk didefinisi-kan dapat dipahami setiap orang dengan menggunakan moral sebagai panduan-nya. Hal ini yang tidak terjadi kepada para Sofis, karena moral diabaikan demi tujuan tertentu.

Ada beberapa tokoh sofisme yang di-kenal. Namun, yang akan disampaikan di sini adalah pemikiran dari Protagoras dan Thrasymakhos, terutama mengenai konsepsi moral dan hukum. Pemikiran Protagoras dan Thrasymakhos sesuai de-ngan bahasan tulisan ini sehingga akan memudahkan untuk memahami apa itu relativisme hukum. Secara khusus, Protagoras merupakan tokoh kunci dari pemikiran relativisme yang berkembang

12 David Wolfsdorf, “Sophistic and Method Practice” dalam W. Martin Bloomer (ed), A Companion to Ancient Education: Blackwell companions to the ancient world, (John Wiley & Sons, 2015), hlm. 70.

13 Walaupun bagi Platon para Sofis tidak memiliki kompetensi karena umumnya tidak dapat mem-buktikan apa yang mereka dalilkan. Platon menyebut mereka sebagai pseudo-practitioners of Sophia. Ibid., hlm. 63.

14 A. Setyo Wibowo, op.cit., hlm. 1.

Page 66: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

213

Raynaldo SembiringTinjauan Etis atas Fenomena Relativisme Hukum dalam Kasus Pabrik Semen di Rembang

sampai saat ini. Sedangkan, Thrasy-makhos dirujuk karena pendapatnya da-pat melengkapi pendapat Protagoras.

Penulis menyadari bahwa memilih Protagoras dan Thrasymakhos pada tu-lisan ini artinya jauh kembali ke masa lalu yang konteksnya tentu berbeda de-ngan masa kini. Beberapa pemikir masa kini pun sudah banyak yang membahas mengenai relativisme seperti: Nelson Goodman, Richard Rortry, dan Moham-mad A. Shomali. Namun, Protagoras dan Thra symakhos adalah cikal bakal dari hadirnya relativisme dalam kehidupan berdemokrasi, dengan sistem hukum yang tertata dan yang paling penting mereka bukan hanya pemikir, tetapi juga “praktisi” relavitisme moral dan hukum.

B. Relativisme Moral dan Hukum: Protagoras dan Thrasymakhos

Relativisme moral lahir dari tindak-an para Sofis yang menyingkirkan pe-nilaian moral dalam membangun argu-mentasinya. Bagaimana pun, moral ada-lah panduan yang berada dalam kondisi objektif. Artinya, setiap manusia dapat memahami ada perbuatan yang baik dan buruk dengan mengacu kepada morali-tas. Untuk memahami bagaimana rela-tivisme moral, dapat mengacu kepada pendapat Protagoras, yang menyebut-kan: man is the measure of all things.15

Menempatkan manusia sebagai ukuran, maka jelas bagi Protagoras ti-dak ada nilai atau hal lain yang patut dipertimbangkan dalam membuat sebu-ah hukum. Jika hukum ditujukan untuk mendapat keadilan, maka bagi Prota-goras adalah keadilan sesuai apa yang diinginkan manusia tersebut.16 Bahkan, jika pandangan manusia berbeda-beda mengenai keadilan itu, maka keadilan juga harus dipahami sesuai dengan ke-pentingan masing-masing kelompok. Artinya keadilan tidak mungkin akan mempersatukan karena ia ada sesuai de-ngan kepentingan setiap kelompok bah-kan sampai kepada individu.

Gambaran mengenai pemikiran Protagoras terlihat dari pendapatnya mengenai persepsi atas suhu. Ini terlihat pada komentar Platon dalam Theaete-tus 152a mengenai suhu yang dirasakan berbeda oleh dua orang. Penulis men-coba memberikan contoh dari komentar Platon tersebut. Lebih kurang seperti ini: jika ada dua orang ( X dan Y) dalam satu ruangan di Jakarta yang memiliki Air Conditioner (AC) dengan temperatur 16°C, bagi X suhu ruangan adalah di-ngin, tetapi bagi Y suhu ruangan adalah panas. Terhadap dua persepsi atas suhu yang berbeda ini, Protagoras berpenda-pat bahwa suhu di ruangan tersebut ti-dak dingin ataupun panas, melainkan

15 Plato, Theaetetus, terjemahan oleh John McDowell, (Oxford: Clarendon Press, 1973). Theaetetus 15216 Ibid.

Page 67: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

214

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 208-233

dingin dan panas.17 Jadi dingin dan pa-nasnya suhu tersebut tergantung kepa-da persepsi yang merasakannya. Jika X merasakan dingin, maka itu adalah ke-benaran baginya dan jika Y merasakan panas, maka itu juga kebenaran baginya.

Berdasarkan contoh di atas, maka ke-benaran didasarkan pada persepsi setiap orang. Hal ini wajar, karena Protagoras menempatkan manusia sebagai ukuran. Menempatkan manusia sebagai ukuran (persepsi manusia), maka menghadirkan apa yang disebut sebagai relativisme. Kembali kepada contoh di atas, maka fungsi dari AC yang seharusnya dapat menjadi pengukur dingin, tidak dingin atau panasnya suhu ruangan menjadi tidak penting. 16°C dalam ruangan di Jakarta dapat secara umum dikatakan dingin. Namun, data ini menjadi tidak penting, jika persepsi Y menyatakan bah-wa ruangan tersebut adalah panas. Inti-nya, kembali ke persepsi masing-masing orang dan itulah kebenaran.

Relativisme yang disampaikan oleh Protagoras dapat dikatakan sebagai yang tertua jika batasannya adalah rela-tivisme yang memiliki basis argumenta-si. Pandangan utuh relativisme sebenar-nya disampaikan pada tulisannya yang

17 John Gibert, “The Sophists” dalam Christopher Shields (ed), The Blackwell Guide to Ancient Philo-sophy, (Blackwell Publishing Ltd, 2003), hlm. 41.

18 Khususnya dalam dialog antara Sokrates dengan Theaetetus yang terangkum dalam Theaetetus 152a-179b dan 170e-171c. Plato, op.cit., Theaetetus 152a-179b dan 170e-171c.

19 Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika: Analisis Prinsip-Prinsip Moralitas…, hlm. 24.20 A. Setyo Wibowo, Paideia: Filsafat Pendidikan-Politik Platon, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2017),

hlm. 203.21 A. Setyo Wibowo, “Pengantar Sejarah Filsafat Yunani: Sofisme, hlm. 3.

berjudul Truth. Namun, tulisan ini sudah hilang sehingga pemikiran Protagoras hanya dapat dipelajari melalui tulisan Platon.18

Terhadap pemikiran Protagoras, de-ngan mengembangkan pendapat Brandt, Shomali menjelaskan bahwa Protagoras sejatinya ingin menjelaskan: (i) pandang-an moral tidak dapat dibuktikan benar pada setiap orang; dan (ii) orang harus mengikuti kesepakatan tidak tertulis ke-lompoknya sendiri.19 Bagi Shomali, pen-dapat pertama menjadi dasar bagi pen-dapat kedua. Sehingga sebaik apapun pembelaan terhadap Protagoras, sulit untuk menolak bahwa moral dan juga hukum dapat diletakkan di mana saja se-suai dengan persepsi.

Tokoh Sofis lainnya adalah Thrasy-makhos yang menyebutkan bah wa hu-kum adalah hasil produksi dari kesepa-katan para penguasa. Thrasymakhos, sebagaimana dikutip oleh Platon dalam The Republic 338c menyatakan: I af-firm that the just (to dikaion) is nothing else than the advantage of the stronger.20 Inti-nya Thrasymakhos menekankan bahwa apa yang adil adalah menurut hukum yang dibuat oleh penguasa, sebagai ke-untungan bagi orang “kuat”.21 Bagi Th-

Page 68: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

215

Raynaldo SembiringTinjauan Etis atas Fenomena Relativisme Hukum dalam Kasus Pabrik Semen di Rembang

rasymakhos hukum yang dibuat oleh penguasa yang disebut keadilan itu bisa jadi baik bagi sebagian orang dan buruk bagi yang lainnya. Adapun ketidakadil-an adalah kebalikannya, sehingga orang yang bersikap adil selalu memiliki keku-rangan dari yang tidak adil.22

Argumentasi Thrasymakhos diba-ngun dari pandangan pseudo-naturalis-me (karena para Sofis sebenarnya tidak setuju dengan hukum alam, tetapi tidak menjadi penting karena mereka juga me-relatifkan semua hal) bahwa alam telah menempatkan yang kuat sebagai pengu-asa (seperti hukum rimba). Karena yang kuat dapat mengatasi yang lemah, maka yang kuat berhak menjadi pemimpin/penguasa dan hukum yang dibuat bera-sal dari padanya. Thrasymakhos mene-gaskan kembali pandangannya bahwa hukum itu adalah kebutuhan yang kuat. Penguasa membutuhkan hukum untuk melindungi apa yang menjadi kepen-tingannya. Sedangkan yang lemah tidak membutuhkan hukum karena sedari awal sudah kalah dan berada dalam “ke-pasrahan” mengikuti yang kuat.

Dalam dialog di The Republic 340c-341a, Sokrates mempertanyakan bi-lamana ternyata hukum itu dibuat oleh pemimpin atau penguasa yang jahat, apakah hukum itu juga dapat dikatakan adil? Thrasymakhos menjawab bahwa

pemimpin/penguasa tidak mungkin orang yang buruk atau jahat. Mereka adalah infallible (tidak bisa salah) sehing-ga apa yang dilakukannya dapat dikata-kan “sempurna”.23

Pendapat Protagoras mengenai re-lativisme dan Thrasymakhos mengenai hukum dan keadilan, menjadi landasan penting bagi praktik Sofisme di Polis At-hena. Kombinasi dari kedua pendapat ini menghasilkan beberapa hal penting yang coba disederhanakan Penulis se-bagai bahasan dalam tulisan ini, sebagai berikut:

1. Relativisme pada satu tahap akan mengenyampingkan data

Data hanya akan relevan selama sesuai dengan persepsi manusia. Data yang dimaksud di sini bera-sal dari sebuah proses metodolo-gi ilmu pengetahuan yang sahih. Adapun hukum, dapat dibuat tanpa data dan cukup hanya de-ngan persepsi. Dalam hal adanya perubahan persepsi, maka di saat itu juga hukum dapat berubah mengikuti persepsi. Di sini jelas terlihat bahwa relativisme yang dimaksud berbeda dengan plura-lisme hukum yang mengakui ke-ragaman pada masing-masing kelompok masyarakat. Relativis-me yang diusung oleh Protago-ras hadir tidak dengan orisinal-me, melainkan dengan intensi

22 John Gibert, “The Sophists” dalam Christopher Shields (ed), The Blackwell Guide to Ancient Philo-sophy,……, hlm. 39.

23 A. Setyo Wibowo, Paideia: Filsafat Pendidikan-Politik Platon, hlm. 205.

Page 69: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

216

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 208-233

dan kepentingan tertentu yang jauh dari orientasi moral.

2. Persepsi dibangun berdasarkan kepentingan

Jika data diabaikan dan hanya mengandalkan persepsi, berarti mengandaikan adanya kepen-tingan mempengaruhi persepsi itu. Manusia sebagai pengada hi-dup adalah penentu finalitas yang dilakukan dengan kegiatan tran-sitif.24 Sehingga keinginannya akan mempengaruhi persepsinya terhadap banyak hal, termasuk yang menyangkut urusan publik (hukum dan keadilan). Penegas-annya, dengan perkembangan za-man dan kehidupan di masyara-kat, tidaklah mungkin persepsi dapat berdiri kokoh tanpa terpe-ngaruh faktor eksternal. Sejatinya, persepsi adalah bentuk dari keha-diran dan kepentingan subjek.

3. Hukum akan menjadi “alat” legi-timasi dari persepsi penguasa

Ketika keadilan menjadi keun-tungan bagi yang kuat, maka hu-kum harus dibuat sesuai dengan apa yang dianggap adil. Dalam hal rasa keadilan dipertanyakan oleh masyarakat, itu tidak akan menjadi penting karena keadilan telah dibungkus oleh hukum se-bagai legitimasi atas apa yang di-tentukan adil. Terlepas dari pro kontra bahwa hukum dapat di-gunakan sebagai alat. Penulis

24 Louis Leahy, “Siapakah Manusia? Sintesis Filosofis tentang Manusia”, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001), hlm. 67.

menekankan kepada aspek mo-ralitas yang tidak dapat dipisah-kan dari hukum.

4. Adanya negasi terhadap peran insitusi-institusi penegakan hu-kum

Relativisme hukum mengandai-kan nihilnya universalitas keadil-an. Apa yang adil, tidak dapat ditentukan oleh pengadilan atau institusi penegakan hukum. Adil adalah apa yang sesuai dengan hukum yang dibentuk dari per-sepsi penguasa. Di sini penekan-annya pada perspesi yang mem-bentuk hukum. Sehingga jika itu dianggap adil, maka makna me-ngenai keadilan akan menjadi sa-ngat sempit.

5. Terciptanya relativisme hukum Relativisme awalnya bersing-

gungan erat dengan moral, tetapi dalam hal argumentasi relatif ter-sebut menjadi sebuah hukum, maka di saat itu juga terjadi rela-tivisme hukum. Hukum tidak mungkin dijalankan tanpa ada-nya moralitas dan ketika morali-tas runtuh, maka hukum pun akan terdampak. Relativisme hu-kum bukanlah pluralisme hu-kum, karena yang dikritik bukan dari keragamanannya, melain-kan tujuan dan proses pemben-tukannya yang dominan pada persepsi subjek.

Page 70: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

217

Raynaldo SembiringTinjauan Etis atas Fenomena Relativisme Hukum dalam Kasus Pabrik Semen di Rembang

III. Pembelaan terhadap Relativisme dan Kontra Argumennya

Sebelum sampai kepada pembahas-an mengenai tinjauan etis terhadap prob-lematika yang diangkat, penting mem-bahas bagaimana pembelaan terhadap relativisme Protagoras yang disampai-kan oleh pemikir masa kini. Pembelaan terhadap relativisme umumnya didasar-kan pada hukum kebiasaan atau adat is-tiadat yang berbeda-beda.

William Graham Sumner dan Ed-ward Westermarck termasuk tokoh yang memberikan pembelaan terhadap relati-visme moral. Sumner yang seorang an-tropolog menyatakan bahwa moralitas seharusnya dapat dibagi 2, yaitu mora-litas aktual dan moralitas ideal.25 Bagi Sumner moralitas yang hidup dalam tradisi rakyat adalah moralitas aktual. Karena tradisi akan berbeda-beda, maka moralitas aktual merupakan pembenar-an bagi adanya relativisme moral.26

Berbeda dengan Sumner yang masih mencari “jalan tengah” terhadap relati-visme moral, Westermarck dengan tegas membela keyakinannya akan kebenaran relativisme moral. Dalam pengantar di bukunya Ethical Relativity, Westermarck menjelaskan bahwa moral tidak pernah

berada pada kondisi objektif. Artinya ti-dak ada universalitas mengenai moral. Bagi Westermarck putusan-putusan mo-ral hanya didasarkan dari kecenderung-an emosional.27

Kecenderungan emosional bagi Wes-termarck tidak serta merta menghilang-kan ruang bagi rasio. Namun, “emosi” menjadi dominan bagi pengambilan ke-putusan moral, dan emosi akan bersing-gungan dengan subjektivitas.28 Artinya Westermarck setuju dengan relativisme Protagoras yang menekankan kepada aspek persepsi subjek.

Terhadap pembelaan yang diaju-kan Sumner dan Westermarck, Penulis mencoba memberikan kontra argumen. Pendapat Sumner memang benar, teta-pi harus dilihat bahwa nilai yang hidup dalam tradisi masyarakat tidak serta merta menunjukkan adanya relativisme. Karena pada esensinya nilai mengenai apa yang baik, akan selalu sama pada seluruh manusia berakal budi. Mengutip Shomali, apa yang disampaikan Sumner lebih tepat disebut sebagai “keragaman moral”.29

Adapun terhadap Westermarck, emosi subjek dalam pengambilan putus-an moral memang ada, tetapi tidak serta

25 William Graham Sumner dalam Folkways, sebagaimana dikutip oleh Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika: Analisis Prinsip-Prinsip Moralitas…, hlm. 34.

26 Ibid.27 Edward Westermarck, Ethical Relativity, (London: Kegan Paul, Trench, Trubner & Co Ltd, 1932),

hlm. xvii.28 Mohammad A. Shomali, Relativisme Etika: Analisis Prinsip-Prinsip Moralitas…, hlm. 39.29 Ibid., hlm. 53.

Page 71: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

218

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 208-233

merta juga dapat digeneralisasi bahwa proporsinya sangat besar sampai men-dominasi rasio. Unsur emosi tidak akan pernah hilang dari subjek baik dalam mengambil putusan moral ataupun hal lain di kehidupannya. Jika adanya emo-si menjadi pembenaran bagi relativisme, maka pendapat yang disampaikan oleh Protagoras, Thrasymakhos, Sumner, Westermarck dan para relativis lainnya juga dapat disebut sebagai relatif. Arti-nya, tidak perlu kita memahami penda-pat mereka, karena tidak akan dapat di-gunakan dalam kehidupan sosial.

IV. Etika Umum dan Etika Lingkungan

A. Etika Umum

Etika merupakan cabang filsafat dan studi interdisipliner. Pada mulanya, fo-kus etika diarahkan kepada manusia. Diskusi mengenai etika akan menyang-kut mengenai baik dan buruk suatu per-buatan manusia. Sehingga di sini ada kaitan erat antara etika dengan moral.

30 Moralitas sendiri merupakan ciri khas manusia yang terbentuk dari hubungan antara manusia dalam menjalankan ke-bebasan sosialnya.31 Secara individu, ma-nusia juga memiliki kebebasan eksisten-

30 Etika berasal dari kata Yunani yaitu ethos yang berarti adat istiadat atau kebiasaan. Pengertian ini sama dengan moral yang berasal dari kata latin mos yang berarti juga adat istiadat atau kebiasaan. Ethos dan mos digunakan untuk sesuatu yang baik. Namun pemaknaan antara etika dan moral dapat dilihat dari berbagai sudut pandang, Lihat: A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, (Jakarta: Kompas, 2010), hlm. 14-15.

31 K. Bertens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011), hlm. 11.32 Louis Leahy, op.cit., hlm. 158-161.

sial, di mana kebebasan ini merupakan hak dasar dari manusia. Dengan kata lain, dalam menjalankan eksistensinya (kebebasan eksistensial) sebagai manu-sia dalam pergaulan sosial (kebebasan sosial), penting membicarakan moral.

Diskursus mengenai kebebasan ma-nusia yang sampai sekarang masih ter-jadi umumnya dilandaskan pada pema-haman bahwa manusia adalah makhluk berakal budi yang memiliki kesadaran dan pengertian. Lahirnya kebebasan adalah transformasi dari sadarnya ma-nusia akan eksistensi dirinya melalui kesadaran dan pengertian.32 Kesadaran, pengertian dan kebebasan merupakan kata-kata kunci yang menjadi pangkal pelaksanaan perbuatan manusia. Bagai-mana dengan makhluk hidup lainnya? Apakah hewan dan tumbuhan memiliki kesadaran? Secara filosofis, jawabannya adalah ya, walaupun dalam ukuran yang sangat rendah jika dibandingkan dengan manusia. Namun tidak serta merta ke-sadaran yang dimilikinya menjelaskan bahwa mereka juga memiliki pengertian dan kebebasan.

Kembali kepada etika, seperti telah disinggung sebelumnya, etika secara eti-

Page 72: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

219

Raynaldo SembiringTinjauan Etis atas Fenomena Relativisme Hukum dalam Kasus Pabrik Semen di Rembang

mologis adalah kebiasaan, watak atau kelakuan manusia.33 Pengertian etika setidaknya dapat dibagi menjadi 3, ya-itu: (i) sebagai sistem nilai, di mana ni-lai-nilai dan norma-norma dijadikan pe-gangan hidup untuk menilai yang baik dan buruk; (ii) kode etik34; dan (iii) seba-gai refleksi kritis dan sistematis atas mo-ralitas.35 Ada 3 teori etika normatif yang umumnya dikenal:

1. Etika teleologis/konsekuensialis Etika yang memberikan jawaban

bagaimana bertindak dalam situ-asi konkret tertentu dengan meli-hat tujuan atau akibat dari suatu tindakan. Intinya, dalam bertin-dak terhadap situasi konkret ter-tentu maka harus memilih tin-dakan yang membawa akibat baik.36 Persoalan yang muncul dalam etika adalah penentuan “tujuan baik.” Terdapat beberapa teori dalam etika teleologis, yai-tu: keuntungan pribadi (egoism), kebahagian (eudaimonism), kenik-matan (hedonism) dan manfaat (utilitarianism). Dari keempatnya, yang sering digunakan dalam pengambilan keputusan untuk kebijakan adalah utilitarianisme.

Teori utilitarianisme menyatakan bahwa yang baik adalah sejauh memajukan kebahagian dan yang buruk adalah kebalikan dari kebahagiannya tersebut.37 Kebahagian yang dimaksud ada-lah kebahagian umum, sehingga penganut utilitarian akan berpe-doman kepada the greatest happi-ness of the greatest number.

2. Etika deontologis/non-onseku-ensialis

Etika deontologis diperkenalkan oleh filsuf besar, Immanuel Kant (1724-1804). Etika deontologis memberikan kritik keras terha-dap etika teleologis, karena aki-bat dari baik dan buruk itu pada dasarnya bertujuan untuk meng-untungkan pelakunya.38 Menu-rut Kant, manusia baru bersikap moral sungguh-sungguh karena mematuhi kewajiban moralnya berdasarkan sikap hormat terha-dap hukum moral.39 Artinya, mo-tif dari suatu tindakan itu bukan-lah karena ingin mendapatkan keuntungan, ingin dipuji, dan ingin dikenal.40 Motifnya harus sikap tindak murni dan sungguh-

33 J. Sudarminta, Etika Umum: Kajian tentang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif, (Yog-yakarta: PT Kanisius, 2013) hlm. 1.

34 sebagai kumpulan nilai dan norma yang wajib dijunjung dalam menjalankan profesi tertentu35 Ibid.36 A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2010), hlm. 29.37 Pendapat ini disampaikan oleh John Stuart Mill. Lihat: Alex Lanur “Pengantar Edisi Indonesia”

dalam John Stuart Mill, On Liberty, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005).38 J. Sudarminta, op.cit., hlm. 136.39 Ibid.40 Dalam pandangan Penulis, perlu dijelaskan bahwa sikap seperti ini bukanlah tidak bermoral.

Namun moralnya adalah netral.

Page 73: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

220

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 208-233

sungguh hormat terhadap hu-kum moral.

3. Etika keutamaan Etika keutamaan menjawab per-

tanyaan mengenai mau menjadi manusia seperti apa aku ini? Apa saja keutamaan-keutamaan yang perlu kukejar? Berbeda dengan dua teori etika sebelumnya fokus pada ethics of doing, etika keuta-maan fokus pada ethics of being.41 Beberapa tokoh etika keutamaan adalah Aristoteles dan Thomas Aquinas.

Dari ketiga teori etika normatif ini, Penulis memilih menggunakan etika de-ontologis Kant dalam pembahasan de-ngan teori etika lingkungan pada bagian selanjutnya. Hal ini karena etika keuta-maan terlalu menekankan kepada pem-bentukan watak atau karakter sedang-kan etika teleologis merupakan antithe-sis dari etika deontologis dan justru akan bertentangan dengan etika lingkungan yang mendorong adanya harmonisasi di antara makhluk hidup.

Adapun etika deontologis Kant me-nekankan pada akal budi murni dan bu-kan pada kegunaan atau nilai lainnya. Bagi Kant, sikap tindak manusia itu bu-kan hanya berdasarkan kewajiban, me-lainkan juga demi kewajiban.42 Hal ini seusai dengan idea dari etika lingkungan yang menekankan pada sikap hormat

kepada alam, bukan karena misalnya kita butuh oksigen maka kita tidak me-rusak hutan, melainkan karena merupa-kan bagian dari kehidupan yang sama dengan kita.

Dalam menjalankan etika deonto-logis, Kant memberikan 2 rumusan po-kok. Pertama, manusia harus bertindak sedemikian rupa agar prinsip atau kai-dah tindakan tersebut bisa sekaligus kita kehendaki sebagai prinsip atau kaidah tindakan yang berlaku umum. Rumus-an pertama ini dikenal sebagai imperatif kategoris. Kedua, manusia harus bertin-dak memperlakukan kemanusiaan baik pada diri sendiri maupun orang lain sebagai tujuan dalam dirinya sendiri, bukan hanya sebagai sarana.43 Sederha-nanya, aplikasi etika deontologis dalam problema tika lingkungan terlihat dari penolakan terhadap superioritas manu-sia atas makhluk hidup lainnya. Kedua rumusan pokok tersebut pada dasarnya selaras dengan apa yang akan dibahas pada bagian berikut.

B. Etika Lingkungan dan Relativisme

Perkembangan etika lingkungan se-bagai salah satu cabang keilmuan dalam filsafat bersumber dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sejak era modern. Era di mana subjektivitas

41 J. Sudarminta, op. cit., hlm. 156. 42 Ibid., hlm. 137.43 Ibid., hlm. 138.

Page 74: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

221

Raynaldo SembiringTinjauan Etis atas Fenomena Relativisme Hukum dalam Kasus Pabrik Semen di Rembang

berkembang, manusia semakin otonom dan menyingkirkan berbagai faktor de-terminan yang dahulu terlihat absolut.

Pengaruh Descartes yang rasionalis44 dan Newton45 sebagai penemu hukum gravitasi membawa manusia kepada konsepsi universalitas. Konsepsi univer-salitas ditunjukkan dengan bagaimana kebenaran yang didapat melalui meto-dologi sains dan teknologi cenderung di-paksakan sebagai kebenaran umum. Era modern disebut menganut paradigma mekanistis terhadap alam. Paradigma me-kanistis menempatkan alam seperti sebu-ah “mesin” yang hanya dapat dijalankan dengan memahami bagian-bagiannya secara terpisah.46

Relativisme dengan etika lingkung-an dihubungkan oleh subjektivitas. Sub-jektivitas hadir dengan mengagungkan kemampuan rasio yang dalam konteks etika lingkungan akan memandang alam sebagai “mesin”. Adapun relativisme je-las-jelas mengedepankan persepsi yang

44 Rasionalisme Descartes terlihat dari argumentasinya mengenai pikiran manusia, terutama dalam meditasi pertama dan kedua. Lihat: René Descartes, Meditation on First Philosophy, (New York: Oxford University Press Inc, 2008), hlm. 13-24.

45 Pentingnya Newton dalam perkembangan ilmu pengetahuan membuat Alexander Pope mem-perkenalkan sebuah kutipan “Nature and Nature’s laws lay hid in night: God said, Let Newton be! and all was light.”

46 A. Sonny Keraf, Filsafat Lingkungan Hidup: Alam Sebagai Sebuah Sistem Kehidupan, hlm. 13.47 Rachel Carson, Silent Spring, (New York: Fortieth Anniversary Edition, A Mariner Book, Hough-

ton Mifflin Company, 2002), hlm. 2

asal muasalnya dari rasio. Sehingga ra-sio akan mencari pembenaran bagi tin-dakannya, yang kemudian melahirkan relativisme.

Perkembangan etika lingkungan ti-dak dapat dipisahkan dari perkembang-an gerakan lingkungan hidup global. Eskalasi gerakan lingkungan mendapat momentumnya melalui terbitnya Silent Spring yang kemudian diikuti oleh ge-rakan lanjutan seperti gerakan untuk hari bumi dan pemikiran-pemikiran eti-ka lingkungan. Rachel Carson melalui Silent Spring harus diakui sebagai peng-gerak perubahan cara pandang manusia terhadap alam. Sebagai seorang bilogist, Carson menunjukkan bagaimana tin-dakan penghancuran lingkungan yang dilakukan tersebut mengakibatkan peru-bahan pada alam. Salah satunya adalah hilangnya suara hewan tertentu yang bi-asanya ditemui pada musim semi.47

Setelah Carson gerakan lingkungan yang kemudian melahirkan etika ling-

Page 75: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

222

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 208-233

kungan banyak dipengaruhi oleh pemikir-pemikir yang beberapa di antaranya tertu-lis di bawah ini.

Waktu Penggerak Pokok Pikiran1949 Aldo Leopold Menerbitkan Land Ethic yang menolak

paradigma mekanistis para pemikir sejak era modern yang menganggap bumi sebagai media yang siap untuk dieksploitasi kapan saja.

1960-an (awal) Rachel Louise Carson

Menentang penggunaan pestisida yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan lingkungan.

1968 Paul Ralph Ehrlich Menerbitkan Population Bomb yang memberikan peringatan akan prediksi pertumbuhan umat manusia yang akan mengancam sistem penunjang kehidupan.

1972 Kelompok Roma (Dennis Meadows, Donella Meadows,

Jørgen Randers, William W. Behrens

III, dkk)

Menerbitkan Limits to Growth sebuah laporan hasil simulasi komputer mengenai pertumbuhan ekonomi eksponensial, pertumbuhan penduduk dan keterbatasan sumber daya alam. Disini telah ada pengembangan etika lingkungan hidup sebagai bagian dari filsafat moral terapan.

1972-1973 Arne Dekke Eide Næss

Menerbitkan The Shallow and the Deep, Long-range Ecological Movement: A Summary yang memperkenalkan deep ecology sebagai kritik atas shallow ecological movement yang berpandangan menyelesaikan masalah lingkungan dengan pendekatan teknis tanpa perubahan perilaku dan kesadaran.

1975 Peter Albert David Singer

Menerbitkan Animal Liberation: A New Ethics for our Treatment of Animals yang memperkenalkan prinsip moral yang sama diantara semua spesies (penekanan pada hak satwa).

Page 76: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

223

Raynaldo SembiringTinjauan Etis atas Fenomena Relativisme Hukum dalam Kasus Pabrik Semen di Rembang

48 A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, op.cit., hlm. 40.49 Ibid., hlm. 41-42.50 Ibid.51 A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, op.cit., hlm. 47.

1986 Paul W. Taylor Menerbitkan Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics, memperkenalkan biosentrisme yang menekankan kepada kewajiban moral terhadap alam yang bersumber dan berdasarkan pada perimbangan nilai kehidupan manusia dan spesies lainnya. Teori ini berpusat pada kehidupan.

Tabel 2. Perkembangan gerakan Lingkungan dan Etika Lingkungan

Perkembangan pemikiran etika ling-kungan dalam tabel di atas, didasarkan dari refleksi atas sikap tindak manusia terhadap alam. Berbeda dengan etika umum yang fokus kepada sikap tindak manusia sebagai pelaku moral, maka eti-ka lingkungan berupaya memasukkan lingkungan hidup atau alam semesta sebagai bagian dari komunitas moral.48 Di sini yang dituntut tidak hanya sikap tindak manusia yang baik untuk alam, melainkan bagaimana relasi di antara se-mua kehidupan alam semesta, baik an-tara manusia dengan manusia yang me-miliki dampak ke alam, maupun antara manusia dengan alam itu sendiri.49

Mengacu kepada Keraf, setidaknya ada 5 teori etika lingkungan yang dike-nal, di antaranya adalah: antroposentris-me, biosentrisme, ekosentrisme, hak asa-si alam dan ekofeminisme.50 Pembahas-an ini menekankan pada pendekatan an-troposentrisme dan biosentrisme, yang

sesuai dengan jangkauan konstitusi dan regulasi yang berkembang di Indonesia.

1. Antroposentrisme Pembahasan antroposentrisme

dalam etika lingkungan sedikit banyak sama dengan pembahas-an etika normatif. Hal ini wajar karena pendekatan antroposen-trisme menekankan manusia se-bagai pusat dari alam semesta. Tidak ada yang salah dengan konsep ini sampai dengan pemi-kiran berkembang kepada manu-sia dan kepentingannya diang-gap yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem serta kebijakan yang diambil terkait dengan alam.51 Pemikiran ini se-suai dengan apa yang terjadi pada era modern, di mana rasio sangat diunggulkan sehingga melahirkan subjektivitas. Jika si-kap dan tindak manusia hanya diukur dari tujuan atau akibat-nya, maka perlindungan terha-

Page 77: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

224

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 208-233

dap kepentingan alam tidak mendapat tempat. Apalagi jika kebahagian umum diukur berda-sarkan angka terbesar, maka akan sulit mengukur perban-dingan antara kepentingan “ma-nusia vs alam”. Karenanya, pen-dekatan seperti utilitarian dalam etika teleologis tidak akan sesuai dengan apa yang dimaksud etika lingkungan.

Etika deontologis Kant memiliki relevansi erat dalam menempat-kan pendekatan antroposentris-me yang bijak terhadap alam. Mengacu kepada etika deontolo-gis Kant, maka pendekatan an-troposentrisme juga seharusnya dapat menggunakan dua rumus-an pokok tersebut. Pertama, seca-ra imperatif kategoris sikap tin-dak manusia terhadap alam harus mencerminkan hormat ke-pada alam. Hormat terhadap alam adalah menghilangkan su-perioritas dalam interaksi de-ngan alam. Hal ini perlu dilaku-kan agar manusia lain juga melakukan hal yang sama. Seba-gai contoh, manusia paham bah-wa ada kewajibannya terhadap alam untuk menjaga kualitas air sungai tetap baik, maka kita ti-dak membuang sampah ke su-ngai dan sikap tindak ini dapat diberlakukan secara umum. Ke-

52 J. Sudarminta, op.cit., hlm. 139.53 Ibid., hlm. 14554 A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, op.cit., hlm. 66.

dua, sikap tindak hormat kepada alam merupakan bagian integral dari perilaku sehari-hari. Sehing-ga penggunaan akal budi dan motif kita adalah murni karena kewajiban kita menjaga alam. Penting untuk dipahami bahwa etika deontologis Kant mengha-silkan objektivitas kesadaran mo-ral, yang melawan subjektivitas dan relativisme.52 Walaupun He-gel memberikan kritik bahwa eti-ka deontologis Kant dapat meng-arah kepada individualisme subjektif,53 itu hanya terjadi pada penyalahgunaan akal budi. Pen-dapat Hegel hanya berlaku da-lam hal penggunaan akal budi dominan yang mengabaikan kondisi faktual.

2. Biosentrisme Berbeda dengan antroposentris-

me yang menekankan kepada si-kap tindak terhadap sesama ma-nusia, biosentrisme menekankan bahwa alam juga memiliki nilai pada dirinya sendiri. Sehingga pendekatan ini menegaskan bah-wa setiap kehidupan memiliki nilai. Di sini sudah ada pergeser-an subjek moral, karena biosen-trisme mendasarkan moralitas pada keluhuran kehidupan, baik pada manusia atau makhluk hi-dup lainnya.54 Dalam biosentris-

Page 78: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

225

Raynaldo SembiringTinjauan Etis atas Fenomena Relativisme Hukum dalam Kasus Pabrik Semen di Rembang

me, semua komunitas biotik ha-rus diperlakukan secara moral. Namun harus dipahami bahwa pelaku moral-nya tetaplah ma-nusia. Intinya manusia memiliki kewajiban moral terhadap alam karena kehidupan ini bersumber dan berdasarkan pada perim-bangan nilai kehidupan manusia dan spesies lainnya (teori ini ber-pusat pada kehidupan).55 Sehing-ga jelaslah perbedaan antara bio-sentrisme dengan ekosentrisme yang memberikan ruang sampai kepada komunitas abiotik.

Terdapat beberapa alasan meng-apa biosentrisme penting. Perta-ma, keyakinan bahwa manusia adalah anggota komunitas kehi-dupan di bumi yang sama de-ngan makhluk hidup lainnya. Ke-dua, ada ketergantungan manusia terhadap alam yang ditentukan oleh relasi satu dengan yang lain-nya. Ketiga, setiap makhluk hi-dup adalah pusat kehidupan yang memiliki tujuan hidupnya masing-masing. Keempat, bahwa manusia tidak lebih unggul dari makhluk lainnya.56

Biosentrisme sebagaimana arti sesungguhnya memang tidak di-kenal dalam regulasi di Indone-sia. Selain memang etika tidak

harus dimuat dalam peraturan, garis besar regulasi lingkungan hidup Indonesia masih mene-kankan pada pendekatan antro-posentrisme. Namun jika menilik kepada pembahasan penyusun-an Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindung-an dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009), maka bio-sentrisme menjadi ide dalam pe-nyusunan konsep ekoregion.57 Ide ini memang tidak diterjemah-kan secara sempurna ke dalam norma UU 32/2009, tetapi menja-di poin penting untuk menegas-kan telah ada pemikiran (walau-pun masih bercampur dengan ekosentrisme), untuk menaikkan pendekatan etika lingkungan.

Antroponsetrisme dan biosentrisme adalah dua pendekatan yang akan terus “bertarung” dan memang harus diper-tarungkan melalui pemikiran akademik dalam mencapai idea mengenai kon-sepsi relasi ideal manusia dengan alam. Dalam perkembangannya, biosentrisme terlihat lebih memiliki relasi erat de-ngan lingkungan dibandingkan dengan antroposentrisme. Hal ini wajar karena efek samping dari pendekatan antropo-sentrisme adalah subjektivitas. Namun, subjektivitas bisa tidak menjadi dominan

55 Ibid., hlm. 67.56 Paul Taylor, Respect for Nature: A Theory of Environmental Ethics (Princeton: Princeton University

Press, 1986), hlm. 13, sebagaimana dikutip A. Sonny Keraf, Etika Lingkungan, hlm. 69.57 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, “Risalah RUU tentang Pengelolaan Ling-

kungan Hidup: RDPU dengan beberapa pakar, 16 Juli 2009”, (Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Re-publik Indonesia, 2009), hlm. 15.

Page 79: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

226

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 208-233

jika rumusan pokok etika deontologis Kant digunakan dengan tepat.

V. “Tegangan” yang Muncul Akibat Relativisme Hukum

Fenomena relativisme hukum ha-dir ketika penguasa memaksakan untuk membentuk dan menjalankan hukum se-suai dengan persepsi yang diyakininya. Pernyataan ini tidak menegasikan bah-wa benar pemerintah memiliki kewe-nangan dalam membentuk dan menja-lankan hukum. Mirip seperti relativisme moral, relativisme hukum hadir karena ukuran dari lahirnya kebijakan hukum adalah ukuran manusia, yaitu si pembu-at kebijakan itu sendiri dan definisi kea-dilan ditentukan sepihak oleh penguasa. Tidak mengherankan bilamana peme-rintah akan menyatakan bahwa hukum yang dibentuknya adalah adil. Sebagai-mana yang telah disampaikan, bagian ini akan mengangkat kasus penerbitan izin lingkungan PT SI dan menguji apakah terjadi relativisme.

Posisi kasus:Kasus ini bermula ketika izin ling-

kungan Pabrik PT SI di wilayah pegu-nungan Kendeng bagian Rembang digu-gat warga karena tidak partisipatif dan diterbitkan tidak dengan Amdal yang memadai. Pada akhirnya, MA menga-bulkan permohonan Peninjauan Kem-

bali Penggugat melalui Putusan No. 99/PK/TUN/2016 yang menyatakan batal dan memerintahkan pemerintah untuk mencabut Surat Keputusan (SK) Guber-nur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Ta-hun 2012, tanggal 7 Juni 2012, tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambang-an oleh PT Semen Gresik (Persero) Tbk, di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Namun ketika kasus ini ma-sih bergulir di MA, Pemerintah Provin-si Jawa Tengah secara tidak transparan telah memulai proses revisi Amdal dan permohonan izin lingkungan baru. Ke-tika pada tanggal 5 Oktober 2016 MA menyatakan batal dan memerintahkan pencabutan izin lingkungan lama, tang-gal 9 November 2016 Gubernur menge-luarkan izin lingkungan hidup baru (SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/30 Tahun 2016) dan mencabut izin ling-kungan lama. Izin lingkungan baru ini diterbitkan tidak atas dasar putusan MA tetapi karena adanya perubahan kepemi-likan58 dan perubahan luasan lahan.

Adapun pertimbangan Putusan No. 99/PK/TUN/2016 menyatakan Amdal cacat prosedur karena:

a. Peran serta masyarakat secara formal telah terpenuhi tetapi de-ngan adanya pernyataan sikap penolakan warga rembang be-lum mencerminkan keterlibatan atau keterwakilan setiap kompo-nen masyarakat yang berpotensi

58 Pergantian nama dari PT. Semen Gresik ke PT. Semen Indonesia.

Page 80: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

227

Raynaldo SembiringTinjauan Etis atas Fenomena Relativisme Hukum dalam Kasus Pabrik Semen di Rembang

terkena dampak langsung atau tidak langsung;

b. Sosialisasi yang dilakukan belum dilaksanakan menurut yang se-harusnya, pesan-pesan yang di-harapkan belum sampai kepada sebagian masyarakat, sehingga persepsi positif yang harus dicip-takan belum terwujud; dan

c. Amdal tidak memperhatikan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) kehati-hatian dan kecermatan dengan tidak memperlihatkan pembatasan dan tata cara penambangan di atas kawasan Cekungan Air Ta-nah (CAT), sehingga tidak dapat diperhitungan jaminan keber-langsungan sistem akuifier pada kawasan CAT. Bagian dokumen Amdal tidak memperlihatkan so-lusi yang konkret dan tidak ter-gambar cara alternatif penanggu-lannya terhadap masalah kebutuhan warga (air bersih dan pertanian).

Sedangkan secara substantif Putus-an No. 99/PK/TUN/2016 menyatakan bahwa:

“…kegiatan penambangan dan pe-ngeboran di atas CAT pada prinsipnya tidak dibenarkan. Namun demikian, untuk kepentingan bangsa dan negara yang sangat strategis dapat dikecuali-kan dengan pembatasan yang sangat ketat dan cara-cara tertentu serta teru-kur agar tidak mengganggu sistem aku-ifer. Penentuan izin lingkungan selayak-

nya dilengkapi dengan persetujuan pe-jabat yang menetapkan status kawasan. Persetujuan berfungsi sebagai kebijakan dan politik lingkungan dan pembangun-an, serta urgensi kepentingan bangsa dan negara.”

Hal yang juga patut menjadi perha-tian, para penggugat dan masyarakat baru mengetahui adanya SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/30 Tahun 2016 pada tanggal 9 Desember 2016. Di kemudian hari, Gubernur Jawa Tengah kembali menerbitkan SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/4 Tahun 2017 yang mencabut SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/30 Tahun 2016. Adapun dasar pencabutan bukan karena putus-an MA, melainkan memerintahkan PT SI untuk menyempurnakan berkas do-kumen addendum Andal dan RKL-RPL untuk dinilai oleh Komisi Penilai Amdal Provinsi Jawa Tengah.

Dari posisi kasus tersebut, ada 3 fak-ta yang penting untuk dibahas. Pertama, secara administrasi penerbitan SK Gu-bernur Jawa Tengah Nomor 660.1/30 Tahun 2016 dan SK Gubernur Jawa Te-ngah Nomor 660.1/4 Tahun 2017 tidak berdasarkan Putusan No. 99/PK/TUN 2016. Kedua, SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/30 Tahun 2016 diterbitkan setelah terbitnya Putusan No. 99/PK/TUN/2016. Namun penggugat secara khusus dan masyarakat tidak pernah mengetahui proses penerbitan sampai

Page 81: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

228

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 208-233

terbitnya izin lingkungan tanggal 9 No-vember 2016 tersebut.59 Ketiga, pertim-bangan substantif Putusan No. 99/PK/TUN/2016 mengenai boleh tidaknya penambangan di kawasan Karst Pegu-nungan Kendeng tidak pernah diper-timbangkan (diabaikan) dalam pener-bitan SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/30 Tahun 2016 dan terutama SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/4 Tahun 2017.

Berdasarkan sedikitnya 3 fakta ter-sebut, fakta pertama jelas menunjukkan adanya penegasian terhadap institusi pengadilan. Seharusnya dalam proses penerbitan SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/30 Tahun 2016, Gubernur Jawa Tengah mengetahui adanya Putus-an No. 99/PK/TUN/2016. Fakta kedua, menunjukan bahwa proses penerbit-an SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/30 Tahun 2016 melanggar AUPB. Karena bagaimana mungkin penggugat dan masyarakat sama sekali tidak dibe-ritahukan adanya proses penerbitan izin lingkungan baru, di saat Putusan No. 99/PK/TUN/2016 sudah “ramai” men-jadi bahasan publik.

Adapun fakta ketiga menunjukkan nihilnya perspektif etika lingkungan dari Gubernur Jawa Tengah dalam me-nerbitkan SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/30 Tahun 2016 dan SK Gu-

59 LBH Jakarta, “Pendapat Hukum Tentang Putusan MA dan Izin Pembangunan Pabrik Semen di Rembang,” https://www.bantuanhukum.or.id/web/pendapat-hukum-tentang-putusan-ma-dan-izin-pembangunan-pabrik-semen-di-rembang/, diakses tanggal 20 Maret 2019.

bernur Jawa Tengah Nomor 660.1/4 Ta-hun 2017. Dari pertimbangan MA, jelas bahwa pengeboran dan penambangan di atas CAT tidak diperkenankan. Pe-ngecualiannya hanya untuk kepenting-an strategis bangsa, tetapi dengan pem-batasan yang sangat ketat yang tidak mengganggu sistem akuifer (lihat cetak tebal pertimbangan).

Dalam menguji fakta ketiga, maka perlu memperhatikan Peraturan Dae-rah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Ta-hun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2009-2029. Dalam Perda RTRW terse-but, kawasan CAT Watuputih ditetap-kan sebagai kawasan lindung, yaitu ka-wasan imbuhan air tanah. Selanjutnya, berdasarkan Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Ta-hun 2008 tentang Air Tanah, melarang adanya kegiatan pengeboran, penggali-an atau kegiatan lain dalam radius 200 meter dari lokasi pemunculan mata air. Sehingga dari uraian ini, pengecualian yang diberikan oleh Putusan No. 99/PK/TUN/2016, sangat sulit atau tidak mungkin dapat terlaksana. Artinya pe-nambangan, pengeboran, dan kegiatan lainnya di atas CAT Watuputih sama se-kali tidak diperkenankan.

Terhadap uraian ketiga fakta di atas dan pengujian relativisme yang dilaku-

Page 82: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

229

Raynaldo SembiringTinjauan Etis atas Fenomena Relativisme Hukum dalam Kasus Pabrik Semen di Rembang

kan oleh Gubernur Jawa Tengah, maka diperlukan alat bantu sebagaimana yang telah disampaikan pada bagian kedua yang didasarkan dari pemikiran Prota-goras dan Thrasymakhos serta subjek-

tivitas yang mengabaikan sikap etis ter-hadap alam yang telah diuraikan pada bagian keempat. Alat bantu tersebut be-rupa pertanyaan yang diuraikan dalam tabel berikut:

Pertanyaan Izin Lingkungan PT. Semen IndonesiaApakah persepsi pemerintah menjadi faktor terbesar yang mempengaruhi munculnya hukum tersebut?

Ya. Persepsi subjek tersebut terlihat dari sikap Gubernur Jawa Tengah yang ingin tetap melanjutkan proyek PT. Semen Indonesia. Walaupun dalam pernyataan di media massa Gubernur Jawa Tengah menyatakan telah memenuhi Putusan No. 99/PK/TUN/2016, tetapi pada faktanya hanya melakukan penyempurnaan Amdal agar izin lingkungan dapat kembali diterbitkan.

Apakah terjadi pengeyampingan data dalam membentuk hukum?

Ya. Putusan No. 99/PK/TUN/2016, terutama pertimbangan substantif dikesampingkan dalam penerbitan izin lingkungan baru.

Apakah hukum digunakan sebagai alat legitimasi?

Ya. Prosedural penerbitan izin dianggap sudah memenuhi Putusan No. 99/PK/TUN/2016. Akibatnya proyek PT SI dapat kembali berjalan dengan memenuhi Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/4 Tahun 2017. Walaupun tidak menjawab pertimbangan substantif Putusan No. 99/PK/TUN/2016.

Apakah proses pembentukan produk hukum menegasikan institusi-institusi penegakan hukum?

Ya. SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/30 Tahun 2016 dan terutama Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/4 Tahun 2017 jelas-jelas menegasikan Putusan No. 99/PK/TUN/2016. Pengabaian terhadap institusi MA menjelaskan bahwa nilai keadilan dalam kasus ini berasal dari persepsi subjektif dari Gubernur Jawa Tengah.

Tabel 3. Pengecekan Relativisme Hukum

Page 83: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

230

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 208-233

Berdasarkan tabel di atas maka pener-bitan SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/30 Tahun 2016 dan terutama SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/4 Tahun 2017 tepat dikatakan sebagai re-lativisme hukum. Tindakan Gubernur Jawa Tengah ini jelas-jelas menekankan kepada penyalahgunaan pendekatan antroposentrisme,60 karena jelas pertim-bangan dari kedua produk hukum ini adalah kepentingan pembangunan dan ekonomi, sehingga mengenyampingkan relevansi manusia dengan alam. Hal ini Karena seolah-olah pembangunan pro-yek PT SI menjadi nilai utama yang da-pat menegasikan keberadaan masyara-kat dan lingkungan hidup.

Kembali ke dalam konteks teori etika lingkungan, walaupun antroposentris-me menekankan manusia sebagai pusat, tetapi pendekatan relasi manusia dengan alam tidak dapat diabaikan. Sehingga tidak dapat dimaknai bahwa manusia adalah segala-galanya dan mempertim-bangkan kepentingan alam hanya berda-sarkan persepsinya. Dalam relasi dengan alam, etika deontologis Kant menjadi penting untuk diterapkan.

Dua permasalahan etis muncul da-lam pembentukan produk hukum ini. Pertama masalah etis muncul karena adanya relativisme hukum di sana. Mo-

60 Sebagaimana telah dijelaskan, etika secara umum memang hanya mengatur manusia. Lahirnya etika lingkungan juga tidak serta merta menghilangkan atau menolak secara ketat antroposentrisme. Penulis berpendapat keduanya dapat dihubungkan oleh etika deontologis Kant.

61 Hal ini perlu diuji dalam penelitian lebih lanjut.

ralitas Gubernur Jawa Tengah diperta-nyakan ketika prosedural penerbian izin dianggap sudah memenuhi Putusan No. 99/PK/TUN/2016. Mengacu kepada UU 32/2009, kewenangan bagi pemerin-tah pusat dan pemerintah daerah dalam menerbitkan izin lingkungan memang diperkenankan. Namun, sebagai ma-nusia yang hakikat eksistensinya tidak terpisahkan dengan alam, maka ia me-miliki kewajiban memelihara kelestarian dan mengendalikan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Ke-tentuan ini perlu dipertegas bahwa ke-wajiban individu tidak terbatas kepada kewenangan jabatan yang dimilikinya. Artinya dalam hal individu pengemban esensi sebagai makhluk hidup, maka si-kap hormatnya kepada alam adalah hal mutlak dalam menjaga relasi diantara-nya. Pengertian ini lebih dari sekadar menjalankan kewajiban, melainkan ke-murnian akal budi dan sikap tindak.

Kedua, masalah etis juga muncul ti-dak lepas dari penyalahgunaan pen-dekatan antroposentrisme. Walaupun kepentingan manusia yang menjadi pu-satnya, tetapi tidak serta merta dibenar-kan untuk melakukan eksploitasi alam dengan tidak bijak. Hal ini menegaskan tidak juga bahwa biosentrisme mutlak menjadi jawabannya.61 Kuncinya keti-

Page 84: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

231

Raynaldo SembiringTinjauan Etis atas Fenomena Relativisme Hukum dalam Kasus Pabrik Semen di Rembang

ka pendekatan antroponsetrisme secara garis besar mewarnai jalannya suatu pe-merintahan, maka perlu dijalankan de-ngan tetap menghormati alam. Intinya, dengan banyak kelemahan pendekatan antroposentrisme, secara imperatif ka-tegoris sikap tindak manusia terhadap alam harus tetap mencerminkan hormat kepada alam.

VI. Penutup

Menyatakan bahwa penerbitan SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/30 Tahun 2016 dan terutama SK Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/4 Tahun 2017 sebagai relativisme hukum sudah me-nunjukkan adanya masalah etis yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah. Namun pernyataan mengenai proble-matika moral yang dilakukan Guber-nur Jawa Tengah perlu dicatat sebagai

pelanggaran untuk dibaca dari masa ke masa sebagai bahan pembelajaran. Moral adalah esensi dari manusia berakal budi, kritik terhadap moral berarti sebagai respon atas esensinya sebagai makhluk hidup. Hal penting lainnya adalah, pen-dekatan antroposentrisme tidak dapat dijadikan dasar pembenar dari lahirnya produk hukum di atas. Antroposentris-me bukan pendekatan yang buruk, teta-pi penyalahgunaannya yang menghasil-kan problematika etis. Perlu dipahami secara mendasar, bahwa alam dan segala isinya bukan bersifat tidak tak terbatas. Karenanya memahami alam adalah inti dari sikap tindak manusia terlepas dari pendekatan apapun yang digunakan. Dalam kasus ini, Gubernur Jawa Tengah menunjukkan rendahnya sikap hormat terhadap alam.

Page 85: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

232

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 208-233

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU No. 32 Tahun 2009. LN No. 140 Tahun 2009. TLN No. 5059.

________. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Perubahan Kedua atas Pera-turan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2018 tentang Je-nis Tumbuhan dan Satwa yang Dilin-dungi. No. 106 Tahun 2018.

________. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. No. 20 Tahun 2018.

Buku

Bertens, K. Etika. Yogyakarta: PT Kanisi-us, 2013.

Descartes, René. Meditation on First Philo-sophy. New York: Oxford University Press Inc, 2008.

Dimiyati, Khudzaifah et.al. Hukum dan Moral: Basis Epistemologi Paradigma Rasional H.L.A. Hart.Yogyakarta: Genta Publishing, 2017.

Hamersma, Harry. Pintu Masuk Ke Dunia Filsafat. Yogyakarta: Yayasan Kanisi-us, 1981.

Keraf, A. Sonny. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: PT Kompas Media Nusanta-ra, 2010.

Keraf, A. Sonny. Filsafat Lingkungan Hi-dup: Alam Sebagai Sebuah Sistem Kehi-dupan. Yogyakarta: PT Kanisius, 2014.

Leahy, Louis, Siapakah Manusia? Sintesis Filosofis tentang Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001.

Mill, John Stuart. On Liberty. Jakarta: Ya-yasan Obor Indonesia, 2005.

Setyo Wibowo, A. Paideia: Filsafat Pendi-dikan-Politik Platon. Yogyakarta: Pe-nerbit Kanisius, 2017.

Shomali, Mohammad A. Relativisme Eti-ka: Analisis Prinsip-Prinsip Moralitas. Jakarta: Shadra Press. 2011.

Sudarminta, J. Etika Umum: Kajian ten-tang Beberapa Masalah Pokok dan Teori Etika Normatif. Yogyakarta: PT Kani-sius. 2013.

Suseno, Franz Magnis. Etika Dasar: Masa-lah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yog-yakarta: PT Kanisius, 1987.

Plato. Theaetetus. terjemahan oleh John McDowell. Oxford: Clarendon Press, 1973.

Artikel Jurnal/Media Massa

Bloomer, W. Martin (ed). A Companion to Ancient Education: Blackwell compani-ons to the ancient world. John Wiley & Sons, 2015.

Page 86: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

233

Raynaldo SembiringTinjauan Etis atas Fenomena Relativisme Hukum dalam Kasus Pabrik Semen di Rembang

Carson, Rachel. Silent Spring. New York: Fortieth Anniversary Edition, A Ma-riner Book, Houghton Mifflin Com-pany, 2002.

Damar Sinuko, “Ganjar Patuhi Putusan MA Cabut Izin Semen Rembang” www.cnnindonesia.com/nasio-nal/20170116200519-20-186754/gan-jar-penuhi-putusan-ma-cabut-izin-semen-rembang, diakses pada 21 Maret 2019.

LBH Jakarta, “Analisa Hukum Terhadap Surat Keputusan Gubernur Jawa Te-ngah Terkait Izin Pabrik Semen di Rembang” https://www.bantuan-hukum.or.id/web/analisa-hukum-terhadap-surat-keputusan-guber-nur-jawa-tengah-terkait-izin-pabrik-semen-di-rembang/, diakses pada 21 Maret 2019.

LBH Jakarta, “Pendapat Hukum Tentang Putusan MA dan Izin Pembangunan Pabrik Semen di Rembang,” https://www.bantuanhukum.or.id/web/pendapat-hukum-tentang-putusan-ma-dan-izin-pembangunan-pabrik-semen-di-rembang/, diakses pada 20 Maret 2019.

Setyo Wibowo, A. “Pengantar Sejarah Filsafat Yunani: Sofisme”. (Makalah untuk Kelas Filsafat Yunani Kuno: Kaum Phusikoi di Serambi Salihara 12 Maret 2016).

Shields, Christopher (ed). The Blackwell Guide to Ancient Philosophy. Blackwell Publishing Ltd, 2003.

Singer, Peter. “Animal Liberation at 30*” http://www.animal-rights-library.com/texts-m/singer04.pdf, diakses pada 20 Maret 2019.

Westermarck, Edward. Ethical Relativity. London: Kegan Paul, Trench, Trub-ner & Co Ltd. 1932.

Lain-lain

Dewan Perwakilan Rakyat Republik In-donesia, “Risalah RUU tentang Pe-ngelolaan Lingkungan Hidup”. Ja-karta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, 2009.

Page 87: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

234

Politik Hukum di Kawasan Hutan dan Lahan bagi Masyarakat Hukum Adat

Destara Sati1

AbstrakMasyarakat hukum adat sebagai bagian dari bangsa Indonesia menjadi salah satu sub-jek yang paling terdampak dari kebijakan terkait hutan dan lahan. Dengan membaca tren muatan peraturan perundang-undangan yang diundangkan oleh pemerintah di sektor kehutanan dan lahan, dapat dilihat arah kebijakan yang dibuat apakah semakin meminggirkan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat ataukah menempatkan masyarakat hukum adat sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang berhak atas wila-yahnya. Dengan membaca tren muatan peraturan perundang-undangan di kawasan hutan dan lahan, pula dapat dipetakan keberpihakan pemerintah terhadap kebera-daan masyarakat hukum adat yang berada di kawasan hutan dan lahan, di mana hal tersebut seringkali menimbulkan konflik.Kata kunci: Masyarakat Hukum Adat; Tren Muatan Peraturan Perundang-undangan Di Kawasan Hutan dan Lahan; Politik Hukum Atas Keberadaan Masyarakat Hukum Adat di Kawasan Hutan dan Lahan.

AbstractMasyarakat Hukum Adat as part of the Indonesian nation is one of the most affected subjects of forest and land related policies. By reading the trends in the content of legislation issued by the Government in the forestry and land sector, it can be seen the direction of policy that is made whether to marginalize the traditional rights of Masyarakat Hukum Adat or to place customary communities as part of the Indonesian nation entitled to their territory. By reading the trends in the content of laws and regulations in the forest and land areas, agrarian conflicts can also be mapped that happend to indigenous peoples over their territories in forest and land areas. The political year which is rife with the permit to release the license to borrow and use the forest area has also exacerbated forest and land tenure conflicts. By reading the legal politics in the forest and land area, it can be traced the juridical and political traces that the Government has strived to maintain the survival of Masyarakat Hukum Adat.Keyword: Masyarakat Hukum Adat; The trends in the content of laws and regulation in the forest and land areas; Legal politics of Masyarakat Hukum Adat in forest and land areas.

1 Penulis adalah Mahasiswa Magister Hukum Lingkungan dan Sumber Daya Alam Fakultas Hukum, Universitas Indonesia.

Page 88: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

235

Destara SatiPolitik Hukum di Kawasan Hutan dan Lahan bagi Masyarakat Hukum Adat

I. Pendahuluan

Persoalan agraria telah ada sejak masa kolonial. Pemerintah telah mem-bangun dasar-dasar bagi perombakan struktur agraria kolonial, menciptakan tatanan hukum baru dan melancarkan program land reform untuk melaksana-kan perombakan tersebut. Namun upa-ya tersebut tidak berhasil sepenuhnya. Rezim Orde Baru memutar balik arah politik hukum agraria, semula berorien-tasi pada perombakan struktur pengua-saan tanah untuk menciptakan pemera-taan, menjadi berorientasi pada efisiensi, pertumbuhan ekonomi, dan ekstraksi Sumber Daya Alam (SDA). Orientasi ini mengakibatkan konflik agraria semakin meningkat, masif dan meluas.

Pasca Orde Baru terdapat upaya melakukan koreksi terhadap kebijakan yang dipraktikkan oleh rezim sebelum-nya.2 Salah satunya melalui pembentuk-an TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agararia dan Pengelolaan SDA. Amanah dari TAP MPR tersebut untuk melakukan kaji ulang semua per-aturan perundang-undangan di bidang agraria dan pengelolaan SDA. Namun, pemerintah dan DPR mengabaikannya dan melakukan pola fragmentasi legisla-si di bidang SDA.3

Pada periode ini, lebih dari tiga pu-luh undang-undang (UU) yang berkait-an dengan tanah dan SDA lainnya. Ke-banyakan dari UU tersebut memperke-nalkan skema-skema pemanfaatan baru melalui model perizinan yang diberikan oleh pemerintah pada tingkat pusat dan daerah. Fragmentasi pengaturan agra-ria semakin banyak dan menjauh dari semangat yang sebelumnya pernah ada dalam UUPA.4 Pembaruan hukum pada masa reformasi banyak dipengaruhi oleh intervensi asing, khususnya Inter-national Monetery Fund (IMF) melalui letter of intents (LoI). Sebagian besar UU yang dibentuk adalah untuk memfasili-tasi semakin berkembangnya ekstraksi SDA.5 Konstelasi peraturan yang de-mikian diikuti dengan kebijakan untuk mengintegrasikan sistem perekonomian Indonesia dengan sistem perekonomian global melalui Program Masterplan Per-cepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang bero-rientasi pada pembangunan infrastruk-tur dan pengembangan industri pangan serta energi berbasiskan pada kekuatan modal. Upaya legalisasi tanah semakin diperluas untuk memberikan kepastian bagi bekerjanya modal pada tanah air In-donesia.6

2 Yance Arizona, Konstitusionalisme Agraria, (Yogyakarta: STPN Press, 2014), 2014, hlm. 400-401.3 Ibid., hlm. 159.4 Ibid., hlm. 164.5 Ibid., hlm. 190.6 Ibid.

Page 89: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

236

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 234-252

Ketimpangan penguasaan lahan dan hutan semakin melebar. Hal ini meru-pakan faktor utama terjadinya konflik. Pada tahun 2003, BPN menggambarkan situasi ketimpangan tersebut dengan mengeluarkan data bahwa mayoritas petani (84%) menguasai tanah pertani-an kurang dari satu hektare dan hanya 16% yang menguasai tanah lebih dari satu hektare.7 Sementara itu terjadi ke-timpangan alokasi pemanfaatan sumber daya hutan. Hutan Tanaman Industri (HTI) mencapai 9,39 juta hektare untuk 262 unit perusahaan, HPH untuk 21,49 juta hektare untuk 303 unit perusahaan, yang berbanding sangat sedikit dengan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang ha-nya seluas 631.628 hektare. Di bidang perkebunan, Pemerintah memberikan 9,4 juta hektar untuk 600 perusahaan perkebunan kelapa sawit.8 Data terbaru diluncurkan Fakultas Kehutanan Uni-versitas Gajah Mada (UGM) (25/10/18), terkait hasil pengolahan data perkebun-an sawit yang berada di kawasan hutan dan ilegal. Temuannya, seluas 2,8 juta hektare kebun sawit berada di kawasan hutan, 35% dikuasai masyarakat dan 65% pengusaha. Izin pelepasan dan izin

pinjam pakai kawasan hutan pun pada beberapa kasus tak melalui skema peri-zinan reguler atau ilegal. Dari jumlah itu, sekitar 35% merupakan kebun masyara-kat, sisanya, dikelola perusahaan.9

Salah satu jalan keluar yang diang-gap dapat menyelesaikan persoalan ke-timpangan penguasaan lahan ini adalah dengan mengakomodasi pengelolaan la-han oleh masyarakat, misalnya melalui perhutanan sosial. KLHK mencatat ske-ma perhutanan sosial berperan dalam memperbaiki ketimpangan pemanfaatan hutan. Sebelum ada skema perhutanan sosial, perusahaan memiliki menguasai hutan 98%, sementara masyarakat hanya 2%. Setelah diberlakukan skema perhu-tanan sosial, terdapat perbaikan propor-si, yakni 69%-72% untuk perusahaan dan 28%-31% untuk masyarakat.10 Namun demikian, klaim tersebut tidak bisa di-jadikan satu-satunya basis keberhasilan perbaikan ketimpangan penguasaan hu-tan dan lahan. Hal ini disebabkan karena masih ditemuinya persoalan di lapangan terkait dengan aspek kelembagaan dan tumpang tindih perizinan yang meng-hambat percepatan perhutanan sosial.

7 Yance Arizona, Konstitusionalisme Agraria, (Yogyakarta: STPN Press, 2014), hlm. 401. 8 Ibid., hlm. 402.9 Tommy Apriando, “ Kajian UGM: 2,8 Juta Hektar Kebun Sawit di Kawasan Hutan, 65% Milik

Pengusaha, Solusinya?http://www.mongabay.co.id/2018/11/04/kajian-ugm-28-juta-hektar-kebun-sawit-di-kawasan-hutan- 65-milik-pengusaha-solusinya/, diakses tanggal 28 November 2018.

10 Danu Damarjati, “Menteri LHK Beberkan Hasil Atasi Ketimpangan Penguasaan Hutan”. https://news.detik.com/berita/d-3952129/menteri-lhk-beberkan-hasil-atasi-ketimpangan-penguasa an-hutan, diakses tanggal 23 April 2019.

Page 90: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

237

Destara SatiPolitik Hukum di Kawasan Hutan dan Lahan bagi Masyarakat Hukum Adat

Ketimpangan penguasaan hutan dan lahan juga menyebabkan konflik yang memiliki empat karakteristik. Per-tama, bersifat kronis, masif dan meluas, berdimensi hukum, sosial, politik, dan ekonomi. Kedua, struktural, di mana pe-nyebab utamanya terjadi dikarenakan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam penguasaan dan penggunaan tanah ser-ta pengelolaan SDA. Ketiga, penerbitan izin-izin usaha penggunaan tanah dan pengelolaan SDA tidak menghormati keberagaman hukum yang menjadi da-sar hak tenurial masyarakat. Keempat, merupakan pelanggaran HAM.11 Situasi tersebut menghendaki perlu dilakukan penataan ulang penguasaan, pemilikan, peruntukan, dan penggunaan tanah dan SDA lainnya. Pada titik itulah reforma agraria menjadi relevan.

Tingginya konflik dalam pengelolaan SDA yang terjadi di Indonesia disebab-kan oleh adanya ketimpangan pengua-saan SDA antara masyarakat yang meng-gantungkan hidup dari SDA dengan pe-nguasaan oleh sektor industri, terutama perkebunan, kehutanan, pertambangan, dan penguasaan oleh Negara yang ma-sih menegasi adanya hak-hak masyara-kat adat. Terdapat sekitar 70 juta anggota Masyarakat Hukum Adat (MHA), atau sekitar 20% dari total penduduk Indone-

sia yang tersebar di seluruh nusantara, yang mana lebih dari separuhnya hidup dan bergantung dari sumber daya di ka-wasan hutan dan lahan.12

Permasalahan yang akan dibahas dan dielaborasi dalam penelitian ini ada-lah bagaimana politik hukum di kawa-san hutan dan lahan dalam konsep hak menguasai negara ditelusuri melalui je-jak yuridis sejak zaman kolonial hingga saat ini.

II. Hak Menguasai Negara

Penguasaan negara atas SDA meru-pakan cara negara mewujudkan kese-jahteraan bersama seluruh rakyat. Hak Menguasai Negara (HMN) berada da-lam domain yang bersifat publik, bukan sebagai pemilik yang bersifat privat. Konstitusi telah menggariskan prinsip penguasaan negara yang berdimensi hukum publik dan mengatur konsepsi penguasaan negara atas SDA yakni da-lam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945. Negara memperoleh legitimasi untuk menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terdapat di dalamnya karena status negara sebagai pencerminan organisasi kekuasaan bangsa. Sebagai konsekuensi, hak menguasai oleh negara merupakan hak yang tertinggi, yang berarti bahwa hak-hak atas tanah yang lain berada di

11 Yance Arizona, Konstitusionalisme Agraria., op. cit., hlm. 403. 12 Inkuiri Nasional Komnas HAM, Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya di Kawasan

Hutan, Jakarta, Diterbitkan oleh Komnas HAM RI, 2016, hlm. ix.

Page 91: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

238

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 234-252

bawah hak menguasai negara.13

Konstitusi tidak menjelaskan lebih rinci apa dan bagaimana penjabaran konsepsi HMN yang tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Salah satu penjelasan mengenai konsepsi HMN dapat dilihat dalam Pasal 2 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Po-kok-pokok Agraria (UUPA). Menurut UUPA, HMN berasal dari doktrin bahwa negara merupakan organisasi kekuasaan seluruh rakyat yang menguasai kekaya-an alam (bumi, air, udara dan kekaya-an alam yang terkandung di dalamnya) pada tingkatan tertinggi.

Konsepsi HMN masih mengakar dalam peraturan perundang-undangan serta cara pandang yang menentukan tindakan-tindakan penyelenggara ne-gara. Tidak jarang pengabaian terhadap hak-hak warga negara atas tanah dila-kukan dengan dalih bahwa negara me-rupakan penguasa tanah yang tertinggi. Atas nama HMN pula pengingkaran ter-hadap hak-hak masyarakat hukum adat atas SDA yang ada di wilayahnya (tanah ulayat) dilakukan dan sekaligus mem-beri ruang gerak bagi pengambilalihan tanah secara besar-besaran dengan dalih pembangunan. Oleh karena itu, diper-lukan pemaknaan baru yang bisa mem-berikan batasan mengenai konsepsi dan implementasi konsep HMN.14

Terdapat beberapa gagasan menge-nai pembatasan HMN. Maria Sumar-djono, Guru Besar Hukum Agraria UGM, menghendaki agar kewenangan negara yang bersumber pada hak menguasai negara dibatasi oleh dua hal. Pertama, pembatasan oleh UUD. Pada prinsipnya, hal-hal yang diatur oleh negara tidak bo-leh berakibat terhadap pelanggaran hak-hak dasar manusia yang terjamin dalam UUD. Kedua, pembatasan yang bersifat substantif. Sesuai dengan Pasal 2 ayat (3) UUPA, maka semua peraturan pertanah-an harus ditujukan untuk terwujudnya sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sedangkan ruang lingkup pengaturan-nya dibatasi oleh Pasal 2 ayat (2) UUPA.15

Gagasan lain disampaikan oleh Noer Fauzi dan Dianto Bachriadi yang me-nyatakan ada 4 (empat) pertimbangan terkait konsep HMN ini. Pertama, secara substansial, konsep HMN mengasumsi-kan penyerahan “kekuasaan masyarakat hukum adat atas tanah” kepada negara dimana tanah-tanah adat dijadikan ta-nah-tanah negara; Kedua, HMN berke-dudukan lebih tinggi dari hak milik per-data warga negara, padahal negara di-bentuk dengan maksud melindungi hak dari warga negaranya; Ketiga, mandat HMN untuk sebesar-besarnya kemak-muran rakyat tidak dijalankan dalam rangka penataan penguasaan atas tanah

13 Winahyu Erwiningsih, Hak Menguasai Negara Atas Tanah (Yogyakarta: Total Media, 2009), hlm. 43.14 Ibid., hlm. 405.15 Ibid., hlm. 406.

Page 92: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

239

Destara SatiPolitik Hukum di Kawasan Hutan dan Lahan bagi Masyarakat Hukum Adat

yang timpang. Bahkan sebaliknya, de-ngan dalih HMN, dilakukan pemberian hak-hak tanah baru yang sangat besar melalui hak pengusahaan hutan, kuasa pertambangan, hak guna usaha dan la-innya; Keempat penggunaan HMN me-lalui pemberian hak-hak baru tersebut, telah mengakibatkan konsentrasi pengu-asaan tanah di satu pihak dan sengketa-sengketa agraria yang berkepanjangan di lain pihak.16

Dengan berbagai gagasan tersebut, pemaknaan lain terhadap penguasaan negara atas tanah dan SDA lainnya ha-rus dibahas satu napas dengan ketentu-an konstitusi yang menjamin hak milik privat dan hak ulayat masyarakat adat. Relasi antara ketiga konsep hubungan hukum atas tanah tersebut berada dalam satu garis edar konstitusional di mana yang satu tidak menegasikan yang lain.17

III. Penelusuran Sejarah dan Analisis Normatif Hukum Kehutanan dan Hukum Agraria

A. Masa Hindia Belanda

Permasalahan MHA di kawasan hutan dan lahan merupakan pengeja-wantahan dari politik agraria yang ber-kembang sejak periode Hindia Belanda. Untuk memahami persoalan MHA di kawasan hutan dan lahan dengan utuh,

diperlukan penjelasan tentang latar be-lakang bagaimana sejarah klaim negara atas kawasan hutan dan lahan. Konteks historis ini penting untuk memahami bagaimana akar penyebab pelanggaran hak-hak MHA atas wilayahnya di kawa-san hutan dan lahan.

Di dalam internal pemerintah koloni-al sendiri terjadi pertentangan pendapat dalam melihat kebijakan pertanahan yak-ni antara golongan liberal dan golongan konservatif.18 Kaum liberal menekankan pentingnya pemberian izin bagi perusa-haan swasta untuk mengolah tanah, yak-ni dengan diakuinya hak kepemilikan perseorangan atas tanah yang dimiliki oleh orang Indonesia asli sehingga tanah tersebut dapat disewa atau dijual kepa-da pengusaha swasta. Sementara, kaum konservatif menentang pandangan ini dan menyatakan bahwa hak penduduk pribumi atas tanah didasarkan pada sya-rat-syarat yang bersifat asli, di mana pe-nguasaan bersama atas tanah tidak da-pat disamakan dengan konsep hak milik yang dikenal oleh Hukum Barat.

Agrarische Wet 1870 merupakan ben-tuk kompromi atas pengakuan penting-nya modal swasta dalam merintis usaha-usaha perkebunan. Namun, di sisi lain juga memberikan jaminan kepemilikan penduduk pribumi atas hak-hak tanah-

16 Ibid., hlm. 406-407. 17 Ibid., hlm. 408.18 Erman Rajagukguk, Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah, Dan Kebutuhan Hidup (Jakarta, Pener-

bit Chandra Pratama, 1995), hlm. 25.

Page 93: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

240

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 234-252

nya, karena kepemilikan penduduk pri-bumi atas tanah adatnya terancam akan hilang seluruhnya apabila pengalihan tanah untuk perkebunan swasta tidak dibatasi.19

Untuk implementasi Agrarische Wet 1870, pada tahun yang sama dikeluarkan Koninklijk Besluit yang dikenal dengan Agrarische Besluit yang berlaku untuk Jawa dan Madura. Dalam hierarki per-aturan perundang-undangan kolonial, Koninklijk Besluit berada di bawah UU, namun peraturan pelaksana ini dibutuh-kan untuk memberlakukan sebuah UU di tanah jajahan.20 Pasal 1 Agrarische Besluit menyatakan bahwa semua bidang tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilik-annya, berada di bawah kekuasaan (do-main) negara. Di dalamnya juga diatur secara lebih terperinci mengenai hak-hak atas tanah dan pelepasan hak atas tanah, pada intinya adalah pemberlakuan dua-lisme hukum pertanahan.21

Pada tahun 1872, dikeluarkan dekrit oleh pemerintah Hindia Belanda yang menafsirkan Pasal 62 Regeringsreglement bahwa hak-hak dari penduduk pribumi tidak dipandang sebagai hak-hak yang sifatnya berdaulat, karena kedaulatan

dari pemerintah Hindia Belanda tidak boleh dikurangi.22 Hak-hak dari pendu-duk pribumi harus dapat dibuktikan, bukan hak-hak yang dibuat-buat atau yang disebut pemerintah Hindia Belan-da sebagai hak-hak yang imajiner yang hanya ada dalam gambaran penduduk pribumi itu sendiri.23 Pada periode akhir pemerintahan kolonial Belanda, konflik didominasi oleh sengketa tanah yang melibatkan klaim penduduk bahwa me-reka memiliki hak atas hutan, sementara Pemerintah Kolonial menganggap ta-nah-tanah tersebut adalah milik negara.24 Dalam Pasal 2 Staatsblad No. 221 Tahun 1927 terdapat ketentuan bahwa yang ter-masuk hutan negara adalah tanah yang bebas dari hak ulayat pihak ketiga.

Hukum kolonial juga dikenal bersifat sangat eksploitatif, dualistik, feodalistik. Agrarische Wet 1870 memuat asas domein-verklaring yang pada intinya menyatakan bahwa semua tanah yang di atasnya ti-dak dapat dibuktikan hak eigendom oleh seseorang, adalah domain negara.25 Hal ini sangat bertentangan dengan kesadar-an hukum dan rasa keadilan dalam ma-syarakat. Wajar jika kemudian setelah proklamasi kemerdekaan timbul tuntut-

19 Ibid., hlm. 26.20 Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional (Jakarta: Penerbit HuMa,

2014), hlm. 78. 21 Ibid., hlm. 79.22 Van Vollen Hoven, Orang Indonesia dan Tanahnya, Penerjemah Soewargono (Yogyakarta: STPN

Press bekerja sama dengan Sayogyo Institute dan Tanah Air Beta, 2013), hlm. 87.23 Ibid., hlm. 88.24 Erman Rajagukguk, op. cit., hlm. 30.25 Yance Arizona, Konstitusionalisme Agraria., op. cit., hlm. 370.

Page 94: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

241

Destara SatiPolitik Hukum di Kawasan Hutan dan Lahan bagi Masyarakat Hukum Adat

an agar segera diadakan pembaruan ter-hadap hukum agraria.26

B. Masa Proklamasi

Pasal 33 UUD 1945 dirancang seba-gai landasan yang mengatur mengenai hubungan antara negara dengan SDA dan antara negara dengan rakyat. Ne-gara memperoleh legitimasi untuk me-nguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terdapat di dalamnya karena status negara sebagai pencerminan dari organi-sasi kekuasaan bangsa. Sebagai konseku-ensi, HMN merupakan hak yang terting-gi yang membawahi hak lainnya.27

Doktrin HMN yang tercantum da-lam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 kemu-dian diterjemahkan ke dalam berbagai peraturan perundang-undangan terkait SDA. Penerjemahan Pasal tersebut ke dalam berbagai UU sektoral terkait SDA dipengaruhi oleh nilai dan kepenting-an dari penyusunnya.28 Dengan adanya ketentuan penguasaan negara atas SDA yang diatur dalam konstitusi Pasal 33, dibuatlah berbagai peraturan perun-dang-undangan sektoral terkait dengan pengelolaan SDA.

Pada 1945-1959 pemerintah belum berhasil membuat UU Agraria Nasional yang bulat sebagai pengganti Agrarisc-

he Wet 1870. Namun telah ada langkah untuk mengakhiri produk hukum agra-ria kolonial tersebut. Pertama, pengun-dangan berbagai peraturan agraria yang bersifat parsial, artinya, menyangkut bagian-bagian tertentu dari lingkup hu-kum agraria. Kedua, membentuk pani-tia-panitia perancang UU Agraria yang bulat dan bersifat nasional.29

C. Masa UU Pokok Agraria

Pasal 33 UUD 1945 yang mengatur mengenai penguasaan negara atas bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, kemudian diterjemahkan lebih lanjut ke dalam sebuah UU yang mengatur tentang ketentuan-ketentuan pokok agraria (UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, selanjutnya disebut UUPA) UUPA dimaksudkan sebagai landas-an dari seluruh program baru perun-dang-undangan agraria. Sasaran hukum UUPA adalah meletakkan dasar bagi ter-ciptanya hukum agraria yang dapat dite-rima secara nasional, guna menyederha-nakan hukum serta pedoman penentuan hak rakyat atas tanah.30 UUPA lahir dan menciptakan Hukum Agraria Nasional berstruktur tunggal, yang berdasarkan atas Hukum Adat tentang tanah sebagai

26 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hlm. 119.27 Winahyu Erwiningsih, op. cit., hlm. 43.28 Yance Arizona, Perkembangan Konstitusionalitas Penguasaan Negara atas Sumber Daya Alam dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi, dalam Jurnal Konstitusi Vol. 8, No. 3, 2009, hlm. 258.29 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum., op. cit., hlm. 120.30 Ibid., hlm. 175.

Page 95: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

242

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 234-252

hukum aslinya sebagian terbesar rakyat Indonesia. UUPA membawa perubahan yang bersifat fundamental bagi hukum pertanahan nasional, karena baik menge-nai struktur perangkat hukumnya, mau-pun isinya, harus sesuai dengan kepen-tingan rakyat Indonesia serta memenuhi pula keperluannya menurut permintaan zaman.

UUPA menegaskan salah satu dasar hukum agraria nasional adalah hukum adat sebagaimana tersurat di dalam Pa-sal 5 UUPA yang menyatakan, “Hu-kum agraria yang berlaku di atas bumi, air, dan ruang angkasa adalah hukum adat...” Pemberian kedudukan yang de-mikian terhadap hukum adat menim-bulkan pertanyaan akademis maupun praktis. Sebab dengan masih berlakunya hukum adat di samping UUPA, membe-ri kesan masih adanya sifat dualisme da-lam masalah agraria.31 Namun ada juga sarjana yang menyatakan bahwa pembe-rian tempat kepada hukum adat dalam UUPA yang terjadi bukannya dualisme, tetapi sebaliknya meniadakan dualisme, seperti yang dikenal sebelum UUPA ber-laku.32 Dengan pemberian tempat bagi hukum adat dalam UUPA, apalagi di-tempatkan pada posisi dasar, maka hu-kum adat yang berlaku dalam kerangka UUPA dan bukan berlaku sendiri secara

terlepas dari UUPA. Dengan kata lain, pasal-pasal dalam UUPA merupakan kristalisasi dari asas hukum adat sehing-ga UUPA itulah penjelmaan hukum adat yang sebenarnya.33

D. Masa Orde Baru

UUPA menghapus beberapa kebi-jakan hukum kolonial seperti Agrarische Besluit, Agrarische Wet, prinsip domeinver-klaring, dan Buku ke-II Kitab UU Hukum Perdata sepanjang mengenai bumi, air, serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Namun, UUPA tidak menca-but sejumlah ordonansi yang mendasari kebijakan kehutanan. Artinya UUPA ti-dak sepenuhnya melakukan penyatuan hukum untuk mengakhiri pola sektoral dalam pengaturan di bidang agraria dan SDA.34

Dalam regulasi kehutanan, pola ke-bijakan sektoral tersebut kemudian di-lanjutkan oleh pemerintahan orde baru dengan disahkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan (UU Pokok Kehutanan). UU Pokok Kehutanan me-nerapkan sebagian ketentuan yang sub-stansinya mengikuti kebijakan hukum kolonial, yakni Staatsblaad 1927 untuk Jawa dan Madura. UU Pokok Kehutanan bahkan tidak menyinggung keberadaan

31 Ibid., hlm. 180. 32 Ibid., hlm. 180.33 Ibid., hlm. 181.34 Yance Arizona, Konstitusionalisme Agraria, op. cit., hlm. 88.

Page 96: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

243

Destara SatiPolitik Hukum di Kawasan Hutan dan Lahan bagi Masyarakat Hukum Adat

UUPA dan menghidupkan kembali prin-sip domeinverklaring yang menetapkan bahwa negara adalah pemilik hutan dan Menteri Kehutanan memiliki kewenang-an untuk menentukan wilayah mana saja yang termasuk kawasan hutan.35 Kelahir-an UU Pokok Kehutanan ini sejak awal telah menimbulkan fragmentasi dalam pengaturan perundang-undangan di bi-dang agraria dan SDA yang sudah diatur sebelumnya dalam UUPA. Hal ini kemu-dian menghadirkan konflik antar institu-si yang mengurusi agraria sehingga me-nimbulkan apa yang disebut sebagai ego sektoralisme.36

Dalam Pasal 5 UU Pokok Kehutanan dikatakan bahwa negara memiliki kewe-nangan untuk melakukan penguasaan atas hutan. Perumusan hak menguasai negara dalam UU Pokok Kehutanan di-jadikan dasar bagi negara untuk melaku-kan dominasi kekuasaan yang tercermin dalam kewenangan pengelolaan hutan yang sentralistik dan tidak memberi hak kepada masyarakat untuk berperan serta dalam proses pengelolaan sumber daya hutan, dan negara tidak pula mengakui keberadaan hutan yang diatasnya ter-dapat hak-hak masyarakat hukum adat. Dalam kaitannya dengan keberadaan masyarakat hukum adat di sekitar ka-wasan hutan, Inpres No. 1 tahun 1976

tentang Sinkronisasi Pelaksanaan Tugas Bidang Keagrariaan dengan Bidang Ke-hutanan, Pertambangan, Transmigrasi dan Pekerjaan Umum mengatur menge-nai mekanisme ganti rugi bagi pengam-bilalihan tanah masyarakat hukum adat yang berada di dalam areal yang telah diberi hak pengusahaan hutan diatas-nya:37

Rezim Orde Baru telah secara luas menggunakan dan menyalahgunakan kewenangan pemerintah untuk mem-berikan konsesi-konsesi pertambangan, kehutanan, dan perkebunan; serta untuk pengadaan tanah bagi proyek-proyek pembangunan kawasan industri, infra-struktur dan lainnya. Pemerintah mem-bentuk Departemen Kehutanan pada 1978 dan melalui kebijakan sentralis-tik, Menteri Kehutanan menunjuk lebih dari 120 juta hektare “kawasan hutan”. Selanjutnya terbentuklah sistem ganda penguasaan dan pengelolaan pertanah-an, yakni, pertama, apa yang disebut “kawasan hutan negara” berada di ba-wah yurisdiksi Departemen Kehutanan berdasarkan UU Pokok Kehutanan No. 5/1967 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 41/1999; dan kedua, yang dise-but tanah-tanah non-hutan yang berada di bawah yurisdiksi UUPA 1960 dikelola oleh Direktorat Jenderal Agraria, Depar-

35 Ibid., hlm. 115.36 Ibid., hlm. 116.37 Boedi Harsono, Undang-Undang Pokok Agraria: Sejarah Penyusunan Isi dan Pelaksanaannya (Jakarta:

Djambatan, Cet. III, 1970), hlm. 188-189.

Page 97: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

244

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 234-252

temen Dalam Negeri, yang selanjutnya pada tahun 1988 berubah menjadi Badan Pertanahan Nasional (BPN).38

Di wilayah tanah-tanah non-hutan, pemerintah Orde Baru menerapkan ke-bijakan “tanah untuk pembangunan” dengan mengandalkan apa yang dise-but sebagai “pembebasan tanah”. Pada mulanya, BPN dibentuk untuk mening-katkan kapasitas pemerintah dalam me-layani kepentingan pengadaan tanah un-tuk proyek-proyek pembangunan itu.39

Pada masa Orde Baru terjadi peram-pasan tanah yang dilakukan oleh negara yang dilegitimasi oleh adanya konsep-si HMN. Artinya, bila pemerintah me-nyampaikan bahwa tanah yang menjadi objek konflik sebagai tanah negara dan negara punya hak untuk mengatur dan mempergunakannya atas nama pemba-ngunan, maka rakyat harus minggir.40 Pada tataran yang lebih konkret, kon-sepsi HMN dipergunakan sebagai le-gitimasi untuk memberikan kekuasaan yang sangat besar, bahkan tanpa kontrol untuk menentukan alokasi sumber daya. Kekuasaan yang besar tersebutlah yang mendorong lahirnya konglomerasi di bi-

dang ekonomi, perampasan tanah-tanah rakyat untuk konsesi perkebunan, kehu-tanan, dan pertambangan.41

Doktrin hak menguasai negara se-masa orde baru memiliki dampak yang signifikan terhadap keberadaan hak ula-yat masyarakat hukum adat. Pertama, masyarakat adat kehilangan wewenang-nya atas tanah bersama sehingga sumber penghidupan utama hilang tanpa ada penggantinya. Kedua, hak menguasai yang diterapkan berbagai sektor yang berbeda (tanah, kehutanan, pertambang-an) tidak menunjukkan kesamaan penaf-siran tentang isi dan batas-batasnya.42 Monopoli kewenangan ini menurut Maria Sumardjono dapat mengaburkan peran negara untuk “menguasai” hutan menjadi “memiliki” hutan.43 Pengaburan peran Negara ini memiliki dampak yang signifikan dalam penguasaan hutan sela-ma rezim orde baru.

Pada masa Orde Baru, penerjemah-an konsepsi HMN ke dalam peraturan perundang-undangan di bidang agraria dan SDA, justru dijadikan dalih untuk melakukan perampasan tanah milik rak-yat secara besar-besaran atas nama pem-

38 Yance Arizona, Konstitusionalisme Agraria, op. cit., hlm. 445.39 Ibid., hlm. 446.40 Ibid., hlm. 41.41 Ibid., hlm. 131.42 Achmad Sodiki, Empat Puluh Tahun Masalah Dasar Hukum Agraria, Pidato Pengukuhan sebagai

Guru Besar dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, 2000, hal. 13-14, sebagaimana yang dikutip dari Winahyu Erwiningsih, Hak Menguasai Negara, op. cit., hlm. 173.

43 Maria SW Sumardjono, Revisi Undang-Undang Kehutanan, Kompas, 22 Juni 1999, hlm. 2, seperti yang dikutip dari Riyatno, Perdagangan Internasional dan Lingkungan Hidup, Cet 1, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009), hlm. 268.

Page 98: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

245

Destara SatiPolitik Hukum di Kawasan Hutan dan Lahan bagi Masyarakat Hukum Adat

bangunan. Hal inilah yang menjadikan HMN menjadi sasaran kritik karena di-jadikan legitimasi oleh Pemerintah Orde Baru untuk melakukan perampasan ta-nah secara legal atas nama pembangun-an. Pemerintah Orde Baru telah mela-kukan pemburaman terhadap makna hak menguasai negara. Padahal apabila HMN diterjemahkan dengan lebih jer-nih, dimaksudkan untuk menempatkan negara dapat mengatur peruntukkan tanah, air, dan kekayaan alam yang ter-kandung di dalamnya demi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

E. UU Kehutanan Pasca Reformasi dan Putusan MK Atas Uji Materi UU Kehutanan

Menurut UU. No. 41 Tahun 1999 ten-tang Kehutanan (UU Kehutanan), HMN meliputi kawasan hutan di seluruh Indo-nesia. Di samping hutan negara, diakui keberadaan hutan milik. Namun demiki-an, keberadaan hutan adat tidak diakui. Hal ini dikarenakan menurut Ketentuan Umum butir 6 UU. No. 41/1999 tentang Kehutanan, hutan adat adalah hutan ne-gara yang berada di wilayah masyarakat hukum adat. Dalam konsepsi hukum kehutanan, hanya dikenal dua status hu-tan yakni hutan negara dan hutan hak. Sementara dalam konsepsi hukum tanah nasional yang digariskan dalam UUPA

mengenal tiga entitas berkenaan dengan status tanah, yakni tanah negara, tanah hak, dan tanah ulayat. Menurut Maria Sumardjono terdapat perbedaan tegas antara konsepsi hukum tanah nasional dan konsepsi hukum kehutanan:44

UU Kehutanan (terakhir diubah de-ngan UU. No. 19 Tahun 2004) merupa-kan undang-undang di bidang tanah dan SDA lainnya yang paling sering di-uji ke Mahkamah Konstitusi (MK). Salah satu perkara monumental adalah PUU No. 35/PUU-X/2012 (selanjutnya dise-but Putusan MK 35) yang menguji kon-stitusionalitas masyarakat hukum adat di dalam kawasan hutan dan persoalan mengenai hutan adat termasuk ke dalam hutan negara menurut UU Kehutanan. Dalam pertimbangannya, MK menyata-kan bahwa masyarakat hukum adat seca-ra konstitusional merupakan subjek hu-kum yang diakui dan dihormati sebagai penyandang hak. UU Kehutanan (1999) telah memperlakukan masyarakat hu-kum adat secara inkonstitusional sebagai subjek hukum terkait dengan hutan se-cara berbeda dengan subjek hukum yang lain. Negara menguasai baik atas tanah maupun atas hutan. Pemegang hak atas tanah juga memegang hak atas hutan, te-tapi masyarakat hukum adat tidak seca-ra jelas pengaturan tentang haknya atas tanah maupun hutan.45

44 Maria Sumardjono, Tanah Dalam., op. cit., hlm. 172.45 PUU No. 35/PUU-X/2012 mengenai pengujian UU. No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Page 99: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

246

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 234-252

Melalui putusan tersebut, MK me-ngeluarkan hutan adat dari kategori hu-tan negara, namun tidak menjadikan hu-tan adat ke dalam kategori khusus seper-ti yang dimohonkan oleh Para Pemohon, melainkan memasukkannya ke dalam kategori hutan hak. Implikasi dari Putus-an MK 35 ini adalah masyarakat hukum adat memiliki wewenang untuk menga-tur peruntukan, fungsi, dan pemanfaat-an tanah ulayat dan hutan adat yang ada di wilayahnya melalui penetapan hutan adat.

Namun Pasca Putusan MK 35, penga-kuan hutan adat di Indonesia mengalami keterlambatan dalam implementasinya. Myrna Safitri dalam Dividing the Land: Legal Gaps in the Recognition of Customary Land in Indonesian Forest Areas, memperli-hatkan bahwa terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan keterlambatan peng-akuan hutan adat di Indonesia, khusus-nya pasca Putusan MK 35. Ketiga faktor tersebut tediri: a) inkosistensi hukum nasional terkait payung hukum penga-kuan masyarakat adat dan wilayahnya; b) masih bertahannya pola pikir dianta-ra birokrat kehutanan yang memandang bahwa ‘kawasan hutan’ adalah hanya hutan negara; dan c) kuatnya motivasi politik-ekonomi diantara pemerintah da-erah untuk memprioritaskan alokasi la-

han untuk investasi skala besar daripada pengakuan wilayah adat.46

F. Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Kawasan Hutan dan Lahan Pasca Putusan MK 35

Putusan MK 35 memberikan dampak pada pembaruan hukum di tingkat nasi-onal, serta mendorong hadirnya berbagai produk hukum daerah mengenai masya-rakat hukum adat, meskipun belum me-nyeluruh ada pada setiap provinsi ma-upun kabupaten/kota. Dari sisi bentuk hukumnya, produk hukum daerah ter-sebut berbagai macam bentuknya mulai dari peraturan daerah, peraturan kepala daerah, dan keputusan kepada daerah. Dari sisi materi muatan juga beragam mulai pengaturan mengenai kelembaga-an adat dan peradilan adat, keberadaa-an masyarakat adat, desa adat, maupun hak masyarakat adat terhadap wilayah, tanah, hutan, dan SDA lainnya.47

Pasca Putusan MK 35, terjadi peru-bahan dalam pemberian hak akses dan pemanfaatan bagi masyarakat lokal dan/atau masyarakat hukum adat. Per-ubahan tersebut paling tidak dapat dili-hat dari empat skema perubahan yang tengah berjalan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

46 Sebagaimana dikutip dari Muki T. Wicaksono dan Malik, “Konteks Poltik Hukum Di Balik Per-cepatan Penetapan Hutan Adat: Catatan Ke Arah Transisi” 2019, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol. 4, Februari, (2018), hlm. 29.

47 Malik, Yance Arizona, dan Mumu Muhajir, “Analisis Tren Produk Hukum Daerah mengenai Masyarakat Adat”, Policy Brief Epistema Institute, Vol. 01, (2015), hlm. 1.

Page 100: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

247

Destara SatiPolitik Hukum di Kawasan Hutan dan Lahan bagi Masyarakat Hukum Adat

Pertama, dalam hal penyelesaian hak pihak ketiga melalui Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 44 Tahun 2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hu-tan yang telah diubah melalui Permenhut No 62 Tahun 2013. Peraturan ini menje-laskan bahwa penataan batas kawasan hutan adalah kegiatan yang meliputi kegiatan identifikasi dan penyelesaian hak-hak pihak ketiga yang diantaranya merupakan masyarakat hukum adat di sekitar kawasan hutan. Keberadaan ma-syarakat hukum adat tersebut ditetap-kan dengan Peraturan Daerah Provinsi atau Kabupaten/Kota. Peraturan Daerah tersebut memuat letak dan batas wilayah masyarakat hukum adat yang dinyata-kan secara jelas dalam peta wilayah ma-syarakat hukum adat. Sebagian atau se-luruh wilayah masyarakat hukum adat berada dalam kawasan hutan, maka di-keluarkan dari kawasan hutan. Tata cara mengeluarkan masyarakat hukum adat dari Kawasan Hutan, diatur dengan Per-aturan Direktur Jenderal.

Kedua, dalam hal pemulihan hak ko-munal melalui Peraturan Menteri ATR/BPN No. 10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Ta-nah Masyarakat Hukum Adat dan Ma-syarakat Yang Berada Dalam Kawasan Tertentu (Permen Hak Komunal). Per-aturan ini memberikan mandat kepada pemerintah daerah untuk membentuk

Tim Inventarisasi Penguasaan, Pemilik-an, Pengelolaan, dan Penggunaan Tanah (Tim IP4T) untuk mengidentifikasi klaim masyarakat adat dan masyarakat lokal pada kawasan hutan dan wilayah perke-bunan. Hasil inventarisasi Tim IP4T ke-mudian diikuti dengan penerbitan Ser-tifikat Hak Komunal oleh BPN. Namun hingga saat ini belum ada satupun serti-fikat hak komunal yang telah diberikan oleh pemerintah atas dasar Permen Hak Komunal.48

Ketiga, pemulihan hutan adat mela-lui Peraturan Menteri LHK No. 32 Tahun 2015 tentang Hutan Hak. Peraturan ini berisi prosedur untuk pengakuan hutan adat sebagai tindak lanjut dari Putusan MK 35. Di dalamnya berisi tanggung ja-wab kementerian untuk memfasilitasi pemerintah daerah menghasilkan pro-duk hukum daerah mengenai masyara-kat dan memberikan insentif bagi ma-syarakat pengelola hutan adat.

Keempat, skema perhutanan sosial melalui Peraturan Menteri LHK No. 83 Tahun 2016. Untuk distribusi lahan dan hutan kepada warga lewat skema per-hutanan sosial, pemerintah memasang target awal sejumlah 12,7 juta hektare. Belakangan target ini direvisi menja-di 4,39 juta hektar sampai dengan 2019. Di sisi lain, realisasi hutan adat baru 28.286,34 hektar (sekitar 1%) dari skema perhutanan sosial. Data KLHK (4 Ma-

48 Ibid., hlm. 9

Page 101: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

248

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 234-252

ret 2019), capaian perhutanan sosial se-jumlah 2.566.708,15 hektar, terdiri dari 1.281.049,18 hektar hutan desa, 645.593,82 hutan kemasyarakatan, 331.993,68 hektar hutan tanaman rakyat, 549.785,13 hektar kemitraan kehutanan dan 28.286,34 hek-tar hutan adat.49

Selain itu, juga terdapat Peraturan Menteri LHK No. 34/2017 tentang Peng-akuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan SDA dan Lingkung-an Hidup dan Sumber Daya Genetik. Dengan melibatkan masyarakat hukum adat dalam tata kelola kawasan konser-vasi, secara langsung negara telah hadir merespons dua isu penting di kawasan konservasi, yakni: a) kriminalisasi ma-syarakat adat dalam kawasan hutan; dan b) jaminan akses kelola masyarakat hu-kum adat di dalam kawasan konservasi yang lebih inklusif. Masyarakat diposi-sikan sebagai subjek atau pelaku utama dari berbagai model pengelolaan kawa-san hutan.50

Namun selain mengalami kemajuan yuridis, beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hu-tan dan lahan juga mengalami kemun-duran dalam hal pemberian akses dan pemanfaatan bagi masyarakat hukum adat. Diantaranya tercatat melalui Per-aturan Presiden No. 88 Tahun 2017 ten-

tang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan. Perpres ini me-miliki beberapa kelemahan yang akan memicu konflik baru terhadap kebera-daan masyarakat hukum adat.

Alasannya, Pertama, Perpres ini membuat rancu definisi kawasan hutan. Perpres ini masih menggunakan frase “ditunjuk” dalam mendefinisikan ka-wasan hutan dan bukan menggunakan frase “ditetapkan” seperti yang menu-rut UU No. 41/1999 tentang Kehutanan merupakan tahap akhir dalam proses pengukuhan kawasan hutan sebagai-mana dimaksud dalam Putusan MK No. 45/2011.

Kedua, Perpres ini juga membuat penyederhanaan pola penyelesaian bagi penguasaan dan pemanfaatan tanah di kawasan hutan dengan fungsi konser-vasi. Setelah kawasan hutan ditunjuk, pola penyelesaiannya hanya dengan cara dipindahkan (resettlement) dan se-belum kawasan hutan ditunjuk, hanya terdapat pola penyelesaian berupa di-keluarkan dari kawasan hutan. Program resettlement ini mengancam masyarakat dan berpotensi menyebabkan kriminali-sasi. Sedangkan berdasarkan data Alian-si Masyarakat Adat Nusantara, potensi wilayah adat yang terancam resettlement karena berada di dalam kawasan konser-

49 Lusia Arumingtyas, “Penetapan Hutan Adat Hanya 1% dari Realisasi Perhutanan Sosial”.www.mongabay.co.id/2019/03/27/penetapan-hutan-adat-hanya-1-dari-realisasi-perhutanan-sosial/, diak-ses tanggal 30 Mei 2019.

50 Muki T. Wicaksono dan Malik, Konteks Politik Hukum., op. cit., hlm. 42-43.

Page 102: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

249

Destara SatiPolitik Hukum di Kawasan Hutan dan Lahan bagi Masyarakat Hukum Adat

51 AMAN, Epistema Institute, HuMa, “Opini Hukum Dari Reformasi Kembali ke Orde Baru: Tin-jauan Kritis Peraturan Presiden No. 88 Tahun 2017”, (2017), hlm. 6.

52 Nurul Firmansyah. “Perpres Reforma Agraria Tanpa Masyarakat Adat http://www.mongabay.co.id/2018/11/05/perpres-reforma-agraria-tanpa- masyarakat-adat/, diakses pada 28 November 2018.

vasi seluas 1,62 juta hektare. Angka itu merupakan 20% dari 8,2 juta hektare wi-layah adat yang telah terdaftar.

Alasan yang ketiga, Perpres ini mengancam hidup MHA yang berada di 1,62 juta hektare wilayah adat di kawa-san konservasi. Hal ini dikarenakan da-lam ketentuan Perpres ini mengatakan bahwa pola penyelesaian untuk bidang tanah yang dikuasai dan dimanfaatkan setelah bidang tanah tersebut ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan fungsi konservasi dilakukan melalui resettle-ment. Jika ketentuan ini diterjemahkan, maka keberadaan MHA yang berada di wilayah konservasi harus dikeluarkan. Kebijakan konservasi di sini lebih me-nempatkan negara sebagai aktor utama konservasi. Padahal MHA yang hidup menyatu dengan alam juga memiliki hak biokultural yang harus mulai diperke-nalkan sebagai aktor yang memelihara keanekaragaman hayati di wilayah kon-servasi.

Keempat, Perpres ini menciptakan ketidakjelasan dan menghambat proses pengukuhan kawasan hutan; perhutan-an sosial, penetapan hutan adat; pene-tapan hak komunal. Hal ini dikarenakan Perpres ini mengatur bahwa penunjukan kawasan hutan adalah penetapan awal peruntukan suatu wilayah tertentu se-

bagai kawasan hutan. Ketentuan dalam Perpres ini bertentangan dengan Putus-an MK 35 dan Permenhut No. 44 Tahun 2012 tentang Pengukuhan Kawasan Hu-tan. Proses pengukuhan kawasan hutan termasuk di antaranya perhutanan sosi-al, penetapan hutan adat, dan penetapan hak komunal dilakukan melalui rangkai-an kegiatan yakni melalui penunjukan, penataan batas, dan penetapan kawasan hutan.

Kelima, Perpres ini mengatur peng-akuan MHA harus dengan Perda. Arti-nya, menutup peluang menggunakan in-strumen hukum pengakuan melalui Ke-putusan Kepala Daerah dan Sertifikat/SK Hak Komunal.51

Kemunduran Pemerintah dapat juga dilacak dalam keberpihakannya atas pengakuan keberadaan MHA seperti yang ditemui dalam Perpres Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria, yang tidak menyebutkan MHA sebagai subjek reforma agraria. Padahal, pera-turan ini diharapkan menjadi tonggak penting mengatasi ketimpangan dan ke-tidakadilan penguasaan lahan di Indo-nesia. Perpres ini memang menyebutkan bahwa hak ulayat bukan bagian dari Ta-nah Obyek Reforma Agraria.52 Namun, mengatur tanah bekas HGU, tanah bekas erfpacht, dan tanah dari pelepasan kawa-

Page 103: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

250

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 234-252

san hutan sebagai objek reforma agraria yang berpotensi menjadi tumpang tindih dengan hak ulayat atau berpotensi me-nyebabkan konflik.

IV. Kesimpulan

Kerentanan posisi masyarakat adat terjadi akibat konsekuensi dari ketidak-jelasan pengelolaan tenurial. Hal ini terjadi salah satunya disebabkan oleh instrumen hukum yang tidak memihak pada pengakuan keberadaan MHA. Pe-nerapan Hak Menguasai Negara harus dimaknai ulang dengan menempatkan Pasal 33 UUD 1945 dalam satu tarikan nafas dengan ketentuan lain dalam kon-stitusi yang mengakui perlindungan ter-hadap hak asasi manusia dan pengakuan konstitusional atas keberadaan masyara-kat hukum adat.

Page 104: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

251

Destara SatiPolitik Hukum di Kawasan Hutan dan Lahan bagi Masyarakat Hukum Adat

DAFTAR PUSTAKAPeraturan Perundang-Undangan

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

_________, Undang-Undang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. UU No. 5 Tahun 1960. LN No. 104 Tahun 1960. TLN No. 2043.

_________, Undang-Undang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. UU No. 5 Tahun 1967. LN No. 8 Tahun 1967; TLN No. 2823.

_________, Undang-Undang Nomor Kehu-tanan. UU No. 41 Tahun 1999. LN 167, tahun 1999. TLN 3888.

_________, Peraturan Presiden No. 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Pe-nguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan.

_________, Peraturan Presiden Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria.

_________, Instruksi Presiden No. 1 Ta-hun 1976 tentang Sinkronisasi Pelak-sanaan Tugas Bidang Keagrariaan dengan Bidang Kehutanan, Pertam-bangan, Transmigrasi dan Pekerjaan Umum.

Putusan Pengadilan

PUU No. 45/PUU-IX/2011 mengenai pengujian UU. No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

PUU No. 35/PUU-IX/2012 mengenai pengujian UU. No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Buku

Arizona, Yoga. Konstitusionalisme Agra-ria, Yogyakarta: STPN Press, 2014.

Arizona. Mahkamah Konstitusi dan Refor-masi Tenurial Kehutanan, Jakarta, 2013.

Bastiat, Frederic. Hukum, diterjemahkan oleh Zaim Rofiqi, Jakarta: Freedom Institute, 2010.

Erwiningsih, Winahyu. Hak Menguasai Negara Atas Tanah.Yogyakarta: Total Media. 2009.

Harsono, Boedi. Undang-Undang Pokok Agraria: Sejarah Penyusunan Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta:Djambatan, Cet. III, 1970.

Inkuiri Nasional Komnas HAM. Hak Ma-syarakat Hukum Adat Atas Wilayahnya Di Kawasan Hutan. Jakarta: Komnas HAM RI, 2016.

Moh. Mahfud MD. Politik Hukum di Indo-nesia, Jakarta: Rajawali Press, 2010.

Rahardjo, Satjipto. Hukum Adat Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dalam Masyarakat Hukum Adat: In-ventarisasi Dan Perlindungan Hak, Ja-karta: Komnas HAM, MK RI, Depar-temen Dalam Negeri RI, 2005.

Rajagukguk, Erman. Hukum Agraria, Pola Penguasaan Tanah, Dan Kebutuhan Hi-dup, Jakarta: Penerbit Chandra Prata-ma, Cet. Peratama, 1995.

Riyatno. Perdagangan Internasional dan Lingkungan Hidup, Cet 1, Jakarta: Pro-gram Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009.

Page 105: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

252

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 234-252

Soewargono, Yogyakarta: STPN Press bekerja sama dengan Sayogyo Insti-tute dan Tanah Air Beta, 2013.

Sumardjono, Maria. Tanah Dalam Per-spektif Hak Ekonomi, Sosial, Dan Buda-ya, Jakarta,: Kompas, 2009.

Van Volleh Hoven. Van Vollen Hoven, Orang Indonesia dan Tanahnya, Pener-jemah

Wignjosoebroto, Soetandyo.Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional, Jakarta: Penerbit HuMa, 2014.

Artikel Jurnal/Media Massa

AMAN, Epistema Institute, HuMa, Opi-ni Hukum: Dari Reformasi Kembali Ke Orde Baru, Tinjauan Kritis Pera-turan Presiden No. 88 Tahun 2017, Oktober 2017.

Arizona, Perkembangan Konstitusionalitas Penguasaan Negara atas Sumber Daya Alam dalam Putusan Mahkamah Kon-stitusi, dalam Jurnal Konstitusi Vol. 8, No. 3, 2009.

Asep Yunan Firdaus dan Emila Wilda-wati, Laporan Evaluasi Kemajuan dan Capaian Reforma Kebijakan Pe-nguasaan Tanah dan Kawasan Hu-tan di Indonesia, Jakarta, Epistema Institute.

Malik, Yance Arizona, dan Mumu Mu-hajir, Policy Brief Epistema Institute Vol. 01/2015: Analisis tren produk hu-kum daerah mengenai Masyarakat Adat.

Muki T. Wicaksono dan Malik, Konteks Poltik Hukum Di Balik Percepatan Penetapan Hutan Adat: Catatan Ke

Arah Transisi 2019, Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia Vol. 4, Febru-ari 2018.

Yance Arizona, Malik, Irena Lucy Ishi-mora, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat: Tren Produk Hukum Darah dan Nasional Pasca Putusan MK 35/PUU X/2012, Epistema Outlook 2017.

Lain-lain

Apriando, Tommy. “Kajian UGM: 2,8 Juta Hektar Kebun Sawit di Kawasan Hutan, 65% Milik, Solusinya?”. h t t p : / / w w w . m o n g a b a y . c o .id/2018/11/04/kajian-ugm-28-juta-hektar-kebun-sawit-di-kawasan-hutan-65-milik-pengusaha-solusi-nya/, diakses pada 28 November 2018

Arumingtyas, Lusia. “Penetapan Hutan Adat Hanya 1% dari Realisasi Perhu-tanan Sosial”. https://www.mong-abay.co.id/2019/03/27/penetapan-hutan-adat- hanya-1-dari-realisasi-perhutanan-sosial/, diakses pa da 30 Mei 2019.

Damarjati, Danu. “Menteri LHK Beber-kan Hasil Atasi Ketimpangan Pengu-asaan Hutan”. https://news.detik.com/berita/d-3952129/menteri-lhk-beberkan-hasil-atasi- ketimpangan-penguasaan-hutan, diakses pada 23 April 2019

Firmansyah, Nurul. “Perpres Reforma Agraria Tanpa Masyarakat Adat h t t p : / / w w w . m o n g a b a y . c o .id/2018/11/05/perpres-reforma-agraria-tanpa- masyarakat-adat/, di-akses pada 28 November 2018.

Page 106: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

253

Mengatasi Persoalan Institusional Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA): Pembelajaran dari Kasus Revitalisasi

Ekosistem Tesso Nilo (RETN) di Provinsi RiauHariadi Kartodihardjo1 dan Chalid Muhammad2

AbstrakPenulis mengaji Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) di Provinsi Riau untuk mengatasi persoalan pelanggaran penggunaan dan pemanfaatan kawasan hutan yang telah terjadi puluhan tahun lalu. Hasil identifikasi arena aksi yang terjadi selama 3 tahun terakhir menunjukkan adanya inovasi-inovasi penyelesaian masalah, keter-bukaan pengambilan keputusan serta fleksibilitas tindakan sesuai dengan kondisi di lapangan. Namun prakarsa ini nampak mulai terkendala atas semakin lemahnya du-kungan politik, sehingga berpotensi melonggarkan ikatan-ikatan modal sosial yang sudah mulai tumbuh di wilayah itu. Pembelajaran yang dapat diambil mencakup ur-gensi terhadap beberapa hal seperti pemetaan sosial untuk memprioritaskan kekuat-an lokal, pentingnya membangun trust, penguasaan arena aksi, pertimbangan sejarah dan budaya untuk menghindari kecemburuan atas pilihan kelompok masyarakat dari proses administratif, orientasi pada outcome bukan hanya capaian administrasi, ada-nya kebutuhan pendekatan ekologi politik, skala ekosistem, maupun keterbukaan in-formasi.Kata Kunci: Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN), Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), persoalan institusional, pengelolaan sumber daya alam.

AbstractThe author reviews the Revitalization of the Tesso Nilo Ecosystem (RETN) in Riau Province to address the problem of violations of the use and utilization of forest areas that have occurred decades ago. The results of the identification of the arena of action over the past 3 years show that there are innovations in problem solving, openness in decision making, and flexibility of actions in accordance with conditions in the field. But this initiative appears to be constrained due to the weakening of political support, which has the potential to loosen the bonds of social capital that have begun to grow in the region. Learning that can be taken includes the urgency of several things such as social mapping to prioritize local forces, the importance of building trust, mastery of the arena of action, historical and cultural considerations to avoid social je-alousy in the choice of the community from administrative processes. the need for a political ecology approach, ecosystem scale, and information disclosure.

1 Penulis adalah Ahli Kebijakan Kehutanan, Akademisi pada Institut Pertanian Bogor, dan Penasihat Senior Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2015-2019.

2 Penulis adalah Koordinator Institut Hijau Indonesia dan Penasihat Senor Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2015-2019.

Page 107: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

254

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 253-270

Keywords: Revitalization of the Tesso Nilo Ecosystem (RETN), Tesso Nilo National Park (TNTN), institutional issues, natural resource management.

I. Pendahuluan

Dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA) di Indonesia, penggunaan kawasan Ekosistem Tesso Nilo (ETN) di Provinsi Riau dalam bentuk kebun sawit, menjadi fenomena salah satu bentuk ke-gagalan institusional di kehutanan. ETN itu terdiri atas 3 kawasan hutan dengan status konservasi Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) seluas 83.069 ha, kawasan hutan produksi eks HPH PT.Siak Raya Timber (SRT) seluas 38.560 ha, serta eks HPH PT.Hutani Sola Lestari (HSL) selu-as 45.990 ha. Selain itu, terdapat 13 kon-sesi Hutan Tanaman Industri (HTI) dan 11 perusahaan kebun kelapa sawit da-lam ETN. Di sekitar ETN juga terdapat 23 desa di 4 wilayah Kabupaten Kampar, Pelalawan, Indragiri Hulu dan Kuantan Singingi3.

Berdasarkan analisis tutupan lahan 2016 oleh World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, di eks HPH PT.SRT dan eks HPH PT.HSL, hampir 90% diindikasikan dikuasai perambah dan ditanami kelapa sawit. Begitu pula di kawasan TNTN, dari total 83.069 ha hanya sekitar 20.000

ha berupa hutan alam, sisanya diindika-sikan dikuasai, dirambah dan ditanami kelapa sawit. Sementara itu, hasil identi-fikasi singkat pengguna lahan oleh Eyes on the Forest pada Maret 2016, pada are-al eks HPH PT.SRT ditemukan 36 areal kebun yang dikuasai atau dimiliki oleh pemodal dengan luas penguasaan lebih dari 25 ha, dengan total areal 13.666 ha. Hasil yang sama juga diidentifikasi di la-han eks HPH PT.HSL. Sebanyak 64 areal kepemilikan sawit oleh pemodal dengan luas penguasaan lebih dari 25 ha, dengan total areal 15.221 ha.

Konsep kegagalan institusional telah ditafsirkan dengan berbagai perspek-tif. Dari perspektif ekonomi neo-klasik, didefinisikan sebagai kegagalan sektor swasta dan pemerintah4. Sementara itu, dari perspektif keberlanjutan, didefini-sikan dalam hal keberlanjutan sumber daya atau ketidakmampuan untuk me-lestarikan sumber daya.5 Sementara itu, pendekatan inovasi membagi kegagalan institusional menjadi: (a) kegagalan in-stitusional keras, yaitu kegagalan dalam kerangka peraturan dan sistem hukum;

3 Informasi ini diperoleh dari dokumen-dokumen pembahasan dalam penyusunan rencana pelaksanaan revitalisasi ekosistem Tesso Nilo (RETN), 2016, di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

4 C. Pitelis, “Towards a Neo-classical Theory of Institutional Failure”, Journal of Economic Studies. Vol 19, No.1 (1992), hlm. 14-29.

5 J.M. Acheson, “Institutional Failure in Resource Management”, Annual Review of Anthropology, (2006), hlm.117-134.

Page 108: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

255

Hariadi Kartodihardjo dan Chalid MuhammadMengatasi Persoalan Institusional Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA):

Pembelajaran dari Kasus Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) di Provinsi Riau

serta (b) kegagalan kelembagaan lunak, yaitu kegagalan dalam institusi sosial se-perti budaya politik dan nilai-nilai sosi-al. Mengikuti definisi yang berbeda-beda itu, konsep kegagalan institutional dalam naskah ini adalah terkait fungsi-fungsi lembaga negara dan regulasi maupun arena aksinya dalam pengelolaan sum-ber daya hutan yang cenderung gagal mewujudkan pengelolaan sumber daya hutan secara adil dan berkelanjutan.6

Dalam kerangka kerja ini, tindakan aktor-aktor yang terlibat dianggap tidak memiliki kepastian karena mereka dia-sumsikan bergantung, bukan hanya ter-hadap peraturan perundang-undangan formal (rule in form), tetapi juga terhadap kesepakatan atau tekanan yang terjadi (rule in use) pada setiap arena tindakan bersama.7 Memahami kesepakatan dan tekanan yang sedang dijalankan tersebut dapat membantu mengidentifikasi sum-ber-sumber kekuasaan yang digunakan dan bagaimana hal tersebut menjadi pe-nyebab peraturan perundang-undangan dan fungsi lembaga-lembaga negara ti-dak berjalan.8

Naskah ini dimaksudkan untuk mendalami apakah pelaksanaan Revita-lisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) se-bagai upaya kolaboratif Pemerintah dan masyarakat sipil, dapat mengatasi perso-alan kegagalan institusional tersebut.

II. Kerangka Pendekatan

Secara empiris, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pe-rambahan di ETN, yaitu:9

1. kurangnya perlindungan hutan atas kawasan hutan;

2. banyaknya akses atau jalan di se-kitar dan di dalam ETN sehingga memudahkan perambah masuk dan menguasai lahan;

3. aspek ekonomi yaitu meningkat-nya harga tandan buah segar ke-lapa sawit dengan aspek pemeli-haraan yang tidak terlalu rumit, serta

4. terkait aspek hukum dan kebijak-an yang lemah dalam penegak-annya.

Semua itu berdampak pada belum berpengaruhnya kebijakan dan komit-men pemerintah untuk menjaga hutan alam agar tetap lestari.

6 R.K Woolthuis, M. Lankhuizen, & V. Gilsing, “A system Failure Framework for Innovation Policy Design. Technovation”.Techovation. Vol 25 (2005), hlm. 609-619.

7 B.D. Ratner, Ruth Meinzen-Dick, Candace May, “Resource Conflict, Collective Action, and Resilience: an Analytical Framework,” International Journal of the Commons, Vol 7 (1) (February, 2013), hlm. 183-208.

8 H. Kartodihardjo, Analisis Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Alam: Diskursus Politik Aktor Jaringan, (Bogor: Firdauss Pressindo).

9 Rencana Aksi RETN 2018. Rencana Aksi RETN disusun oleh Koalisi LSM di Riau (Jikalahari, Walhi Riau, WWF, Mitra Insani, Balai Taman Nasional Tesso Nilo, Yayasan Tesso Nilo) dan digunakan oleh Tim Kerja dan Tim Operasional yang dibentuk oleh KLHK.

Page 109: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

256

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 253-270

Ditinjau dari implementasinya, pe-laksanaan penyelesaian bentuk-bentuk pelanggaran penggunaan kawasan hu-tan masih belum efektif.10 Hal itu di-sebabkan oleh faktor-faktor kompleks yang kurang memuaskan apabila diana-lisis dengan pendekatan tunggal (mono-disiplin). Oleh karena itu, dalam telaah pengelolaan sumber daya alam (SDA) perlu menggunakan kerangka pendekat-an multi-faktor dengan model analisis dan pengembangan kelembagaan (insti-tutional analysis development/IAD)11, un-tuk menilai pelaksanaan RETN. Model ini dipilih karena sangat mudah disesu-aikan dengan berbagai konteks yang ber-beda dan telah diterapkan pada berbagai

analisis terjadinya kegagalan institusio-nal dalam pengelolaan SDA12.

Kerangka kerja ini mempertimbang-kan adanya faktor-faktor eksogenous, yaitu kondisi yang memengaruhi arena aksi tindakan para aktor, yang menen-tukan fungsi institusional dapat bekerja dan bagaimana menempatkan masya-rakat lokal/adat sebagai subjek. Pende-katan ini memungkinkan memasukkan faktor-faktor kontekstual sesuai kondisi lapangan. Sebagai kerangka kerja yang dinamis, kinerja pada gilirannya akan memberi umpan balik ke dalam dan me-mengaruhi konteks serta arena tindakan berikutnya.

10 Jumlah total perusahaan kelapa sawit secara nasional yang berada di dalam kawasan hutan sekitar 3,5 juta ha, dengan rincian di kawasan konservasi 115.694 ha, di hutan lindung seluas 174.910 ha, di hutan produksi terbatas seluas 454.849 ha, di hutan produksi seluas 1.484.075 ha serta di hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 1.244.921 ha (Auriga, 2019. Jakarta. hlm, 15). Di Riau, hasil dengar pendapat antara Komisi B DPRD Provinsi Riau dengan Kanwil Pajak Provinsi Riau-Kepri, ditemukan bahwa dari 513 perusahaan perkebunan yang terdaftar di Disbun Provinsi Riau dan 58 perusahaan kehutanan, hanya 104 perusahaan yang terdaftar sebagai penyumbang pajak di Kanwil Dirjen Pajak Riau-Kepri. Untuk tahun 2015 Kanwil Dirjen Pajak Riau-Kepri memiliki target pajak sebesar ± Rp 24 Triliun. Kontribusi perusahaan yang bergerak dibidang P3 (Perkebunan, Perhutanan, dan Pertambangan) sekitar 40% atau ± Rp 9,6 Triliun. Padahal potensi pajak untuk industri perkebunan dan kehutanan yang sudah dianalisis Pansus berjumlah sekitar Rp 31,2 Triliun per tahunnya. Laporan GNPSDA KPK, 2017.

11 R. J. Oakerson, Analyzing the commons: A framework. In Making the commons work (ed D.W Bromley), (San Fransisco: ICS Press, 1992), sebagaimana juga disampaikan dalam Ostrom 2005; Poteete et al. 2010.

12 B.D Ratner, et al., op. cit (hlm, 186-188), yang dimodifikasi sesuai dengan kondisi lapangan ETN serta pelaksanaan revitalisasi yang telah dilakukan.

Page 110: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

257

Hariadi Kartodihardjo dan Chalid MuhammadMengatasi Persoalan Institusional Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA):

Pembelajaran dari Kasus Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) di Provinsi Riau

KARAKTERISTIK BIOFISIK SUMBER

DAYA ALAM

KARAKTERISTIK PENGGUNA SUMBER

DAYA ALAM

ATURAN MAIN FORMAL (rule in form) DAN

INFORMAL (rule in use)

SITUASI AKSI

PARTISIPAN (aktor)

INTERAKSI

OUTCOMES

KRITERIA EVALUASI

Variabel Eksogenous

Arena Aksi

gambar 3. Kerangka Pendekatan untuk Analisis Institutional

13 E. Ostrom, R. Gardner, & J.M Walker, Rules, Games, and Common- Pool Resources, (Ann Arbor: University of Michigan Press, 1994), sebagaimana ditegaskan kembali dalam E. Ostrom, Understanding Institutional Diversity, (Princeton: Princeton University Press, 2005).

14 A.R Poteete, M.A. Janssen, & E. Ostrom, Working Together: Collective Action, the Commons, and Multiple Methods in Practice, (Princeton NJ: Priceton University Press, 2010).

15 R. Keohane & E. Ostrom, Local Commons and Global Interdependence, (London: Sage, 1995).16 V. Bekkers, J. Edelenbos, & B. Steijn, Linking Innovation to the Public Sector: Contexts, Concepts

and Challenges dalam V. Bekkers, J. Edelenbos & B. Steijn (eds), Innovation in the Public Sector: Linking Capacity and Leadership, (Houndsmills: Palgrave McMillan, 2011), hlm. 3-32.

17 Yang dimaksud yaitu menyusun perangkat kerja, regulasi, maupun konsensus bagaimana menjalankan program dan kegiatan di antara semua aktor yang terlibat. Dalam pelaksanaannya dapat mencakup inovasi proses, misalnya untuk meningkatkan kualitas dan efisiensi pelaksanaan kebijakan dengan membentuk kepemimpinan penghubung (linking leadership) yang dapat mempertemukan kepentingan kepemimpinan administratif dan kepemimpinan politik. Ibid., hlm. 24-25.

Faktor eksogenous pada gambar menggabungkan tiga faktor, yaitu: (a) karakteristik SDA, (b) pengguna SDA, serta (c) tata kelola termasuk “aturan khusus” yang menentukan penggunaan SDA di lapangan.13 Masing-masing fak-tor dapat dipecah menjadi elemen yang jauh lebih rinci tergantung pada situasi yang diteliti.14 Untuk setiap faktor, dini-lai bagaimana dapat membentuk insen-tif bagi tindakan kolektif menuju tujuan yang ditetapkan.

Premis yang diajukan oleh Keohane dan Ostrom15 maupun Bekkers16, bah-

wa dalam situasi konflik, inovasi untuk “kerja institutional baru”17 memungkin-kan beragam pemangku kepentingan dapat mengelola persaingan pemanfaat-an SDA secara adil, membantu memba-ngun ketahanan, termasuk kapasitas un-tuk beradaptasi terhadap sumber konflik yang sedang terjadi serta risiko di masa depan. Terkait hal tersebut, terdapat konsep “kekuatan ikatan lemah” (the strength of weak ties) dalam suatu jaring-an sosial. Ikatan lemah itu membuat ak-tor lebih mampu memperoleh informa-si dari luar dibandingkan dengan aktor

Page 111: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

258

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 253-270

dalam ikatan yang kuat.18 Ikatan lemah juga dapat menjembatani beragam aktor dan kelompok, menghubungkan segmen jaringan sosial yang terputus. Informasi baru cenderung mengalir melalui ikatan-ikatan itu.19

III. Variabel EksogenousA. Karakteristik SDA dan Penggunanya

SDA baik terbarukan atau tidak, da-pat mewujudkan tekanan dan sumber konflik terutama apabila bersifat High Exclusion Cost (HEC).20 Dengan sifat itu, lebih sulit mengecualikan orang yang ti-dak berhak pada sumber daya yang ter-sebar, dibandingkan dengan yang sangat

terkonsentrasi, dari ikut serta memanfa-atkan. Wilayah ETN yang dikaji ini me-menuhi kriteria sifat HEC21. Kondisi de-mikian terjadi, tidak terlepas dari peru-bahan-perubahan pengelolaan kawasan sejak tahun 1970-an dan pengelola yang tidak kuat.22 Sementara itu, telah diketa-hui bahwa semakin dapat dikuasai su-atu SDA, semakin mudah membangun pengaturan institusional dalam penge-lolaannya23. Sifat langka dan sifat HEC SDA di lokasi ETN secara konseptual dan empiris menyulitkan pelaksanaan pengelolaannya.

Di lokasi ETN, Balai TN Tesso Nilo dan WWF Indonesia telah melakukan identifikasi pengguna lahan selama

18 W. Liu, A.M. Beacom, T.W Valente, “Social Network Theory: The International Encyclopedia of Media Effects”, (2017), https://www.researchgate.net/publication/316250457_Social_Network_ Theory/link/59cca8c8a6fdcc451d61779f/download.

19 C. Prell, K. Hubacek, M. Reed, “Stakeholder Analysis and Social Network Analysis in Natural Resource Management”, Society & Natural Resources: An International Journal, Vol. 22 (6), hlm. 501-518.

20 Barang dengan biaya eksklusi atau pengecualian tinggi (HEC) adalah barang di mana apabila barang itu untuk satu pengguna, mahal untuk mengeluarkan pengguna lainnya agar tidak ikut memanfaatkannya. Karena biaya untuk mengeluarkan pengguna lainnya itu lebih besar dari nilai barang yang dibicarakan. Biaya pengecualian yang tinggi berarti bahwa penggunaan barang yang ada tidak dapat terbatas pada mereka yang telah berkontribusi pada biaya produksinya atau hak atas barang itu. Hanya karena seseorang memiliki hak untuk mengeluarkan orang lain dari sumberdaya itu tidak berarti bahwa upaya mengeluarkan hak orang lain dapat dilakukan secara efektif. A. Schmid, Property, Power, and an Inquiry into Law and Economy, (New York: Praeger, 1987), hlm. 43-54.

21 Keseluruhan areal ETN seluas 916.343 Ha, areal TNTN di dalamnya seluas 81.793 ha, yang telah dirambah seluas 44.544 ha (54%). Areal eks PT. HSL seluas 45.990 ha dan areal eks PT. SRT seluas 38.560 ha, yang telah dirambah seluas 55.834 ha (66%). Disamping itu terdapat 13 perusahaan HTI dengan luas sekitar 750.000 ha, 9 perusahaan terdapat klaim lahan. Juga terdapat HGU kelapa sawit 11 perusahaan seluas 70.193 ha, diantaranya seluas 15.808 di dalam kawasan hutan. Laporan Koalisi LSM Riau, 2017.

22 Pada 1974 wilayah TNTN masih menjadi konsesi HPH PT. Dwi Marta (200.000 ha) dan PT. Nanjak Makmur (48.370 ha). Pada 1993 dialihkan pengelolaan PT Dwi Marta kepada PT Inhutani IV (BUMN). Tahun 2001—2002 kawasan tersebut oleh Pemda Kabupaten dan Provinsi setuju diubah menjadi kawasan konservasi gajah dan tahun 2004 sebagian kawasan PT Inhutani IV (38.576 ha) diubah fungsinya menjadi TNTN. Tahun 2009 areal PT. Nanjak Makmur juga diubah fungsinya menjadi TNTN. Tahun 2014 kawasan TNTN ditetapkan dengan SK. KepMenHut No. 6588/Menhut-VII/KUH/2014, 28 Oktober 2014, tentang Penetapan Kawasan Hutan Taman Nasional Tesso Nilo seluas 81.793 Ha di Kabupaten Pelalawan dan Kabupaten Indragiri Hulu. Laporan Menteri KLHK, 2018.

23 A. Agrawal, “Common Property Institutions and Sustainable Governance of Resources”, World Development, Vol. 29, No. 10 (2001), hlm. 1649-1672.

Page 112: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

259

Hariadi Kartodihardjo dan Chalid MuhammadMengatasi Persoalan Institusional Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA):

Pembelajaran dari Kasus Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) di Provinsi Riau

24 Diperoleh dari laporan evaluasi kegiatan revitalisasi ekosistem Tesso Nilo (RETN) yang disusun oleh LSM di Riau, yang menjadi anggota Tim Operasional RETN, 13 Maret 2017.

2016-Juni 2018. Ditemukan kepemilikan lahan 0-5 ha seluas 903 ha, 6-10 ha selu-as 1.711 ha, 11-15 ha seluas 637 ha, 16-20 ha seluas 952 ha, 20-25 ha seluas 586 ha

dan lahan di atas 25 ha mencapai 19.839 ha. Dari total 19.839 ha tersebut dikuasai sekitar 165 orang pemilik modal (Lihat gambar 4)

Gambar4.IdentifikasiPenguasaanLahandiETN(Sumber:WWFIndonesia,2016)

Pada gambar tersebut, di wilayah Eks PT. HSL di Kecamatan Logas Tanah Datar, Kabupaten Kuantan Singingi de-ngan luas 9.586,37 ha, masuk dalam wi-layah adiministrasi 4 desa, yaitu Situgal, Hulu Tesso, Sidodadi dan Girisako24. Wilayah ini secara de facto di bawah pe-nguasaan Masyarakat Adat Mandailing yang berperan penting dan memiliki keterkaitan hubungan sosial dengan pe-nguasaan lahan. Areal eks PT.HSL yang masuk dalam wilayah adat Mandailing Logas Tanah Darat meliputi 7 desa, yaitu Desa Logas, Lubuk Kebun, Situgal, Hulu Tesso, Giri Sako, Sidodadi dan Kuantan

Sako. Di wilayah ini, pembukaan areal baru dan jual beli lahan harus memper-oleh izin dari pemangku adat Mandai-ling. Pembukaan lahan perkebunan oleh masyarakat dan cukong di wilayah ini dimulai pada tahun 2005 yang diawali dengan keluarnya izin dari tokoh pemu-ka adat untuk pemodal/cukong. Dengan mekanisme serupa, saat ini hampir 80% areal eks PT.HSL telah terbuka dan di-manfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit.

Selain karakteristik SDA atau sifat HEC tersebut, karakteristik sosial eko-nomi seperti etnis, pendidikan maupun

Page 113: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

260

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 253-270

kekayaan sangat menentukan potensi konflik dapat terjadi.25 Hasil penelitian tentang faktor-faktor yang memenga-ruhi pengelolaan sumber daya bersama juga menyatakan bahwa, kejelasan batas kelompok sebagai identitas bersama dan sejarah kerja sama lebih memungkinkan untuk mewujudkan manajemen sumber daya secara efektif.26 Namun, karakteris-tik pengguna SDA di ETN tidak meme-nuhi syarat pengelolaan sumber daya bersama seperti itu. Bahkan, dengan pengelolaan yang lemah, masyarakat menentukan sendiri kebijakan dan cara alokasi lahan untuk kebun sawit.

B. Tata Kelola

Faktor yang berkontribusi positif dalam pengelolaan SDA adalah trans-paransi. Karenanya, pemantauan secara independen sangat disarankan.27 Semen-tara itu, besar-kecilnya ukuran unit SDA maupun batas-batas yang jelas, dapat meningkatkan daya pengamatan dan mengurangi biaya pemantauan penggu-naan SDA, sehingga dapat mengurangi potensi konflik. Kedua faktor itu tidak terpenuhi dalam situasi ETN.

Peraturan yang menentukan tindak-an mana yang diperlukan, diizinkan atau dilarang perlu “disarangkan”28. Da-lam pelaksanaan RETN, peraturan yang menjadi fokus pelaksanaannya adalah Permen KLHK No. P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 tentang Per-hutanan Sosial serta Perdirjen KSDAE No:P.6/KSDAE/SET/Kum.1/6/2018 tentang Petunjuk Teknis Kemitraan Konservasi pada Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Dengan kondisi banyaknya pelanggaran peng-gunaan SDA yang telah meluas di ETN, kekuatan aksi para pihak melalui ikatan-ikatan yang ada, lebih besar daripada berjalannya kedua aturan tersebut. Di-samping itu, sampai pertengahan 2018, Provinsi Riau belum mempunyai Pera-turan Daerah mengenai penataan ruang, belum terdapat acuan penyelesaian ma-salah penggunaan tata ruang di tingkat provinsi.

Berdasarkan kenyataan itu, persoal-an kerusakan ETN di sini dianggap ber-asal dari kegagalan institutional yang kemudian berkembang menjadi persoal-an politik akibat kekuasaan di lapangan

25 E. Ostrom, Understanding Institutional Diversity, (Princeton: Princeton University Press, 2005).26 R. Wade, Village Republics: Economic Conditions for Collective Action in South India, (Cambridge:

Cambridge University Press, 1988).27 E. Ostrom, Governing the Commons, (Cambridge: Cambridge University Press, 1990).28 Yaitu tipikal untuk segenap aturan yang menentukan bagaimana segenap aturan lainnya dapat

diubah. Ostrom membedakan tiga jenis aturan: (a) aturan operasional yang mengatur keputusan se-hari-hari, (b) aturan pilihan kolektif yang mempengaruhi bagaimana aturan operasional harus diubah, dan siapa yang dapat mengubahnya; dan (c) aturan pilihan konstitusional digunakan dalam menyusun aturan kolektif yang pada gilirannya mengatur aturan operasional. Ibid., hlm. 50-55.

Page 114: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

261

Hariadi Kartodihardjo dan Chalid MuhammadMengatasi Persoalan Institusional Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA):

Pembelajaran dari Kasus Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) di Provinsi Riau

29 Hal itu sesuai dengan SK. MenLHK No. 267/Menlhk/Sekjen/HPL.4/3/2016 sebagaimana telah diubah dengan SK MenLHK No. 376/Menlhk/Sekjen/HPL.0/05/2016 mengenai RETN dan Areal Ka-wasan eks HPH PT.HSL dan eks HPH PT.SRT Berbasis Masyarakat.

30 Gregorio, M., K. Hagedorn, M. Kirk, B. Korf, N. McCarthy, and R. Meinzen- Dick. “Property Righ-ts, Collective Action, and Poverty: The Role of Institutions for Poverty Reduction”. CAPRi Working Paper No. 81. (2008) Washington, DC: International Food Policy Research Institute.

31 Penjelasan pada bagian ini, khususnya mengenai proses penggunaan areal eks HPH PT. HSL, diperoleh dengan menarasikan kembali laporan evaluasi kegiatan revitalisasi ekosistem Tesso Nilo (RETN), yang disusun oleh LSM di Riau yang menjadi anggota Tim Operasional RETN, 13 Maret 2017.

melampaui apa yang dapat dilakukan oleh negara. Untuk itu, pada pertengah-an 2016, sejalan dengan prioritas kerja Presiden mengenai target pelaksanaan perhutanan sosial, KLHK menjalankan RETN melalui integrasi pendekatan ma-syarakat, konservasi dan pengembangan wilayah.29

Dibentuk juga Tim Operasional yang secara langsung melakukan kegiatan di lapangan bersama semua Balai KLHK, Kepala TNTN, unsur Pemerintah Dae-rah (Pemda), Kepolisian di tingkat Pro-vinsi dan Kabupaten, LSM, akademisi serta Lembaga Adat Melayu. Ketua Tim (Kepala Balai Besar KSDA Riau), didam-pingi oleh Jikalahari (sekretariat). Seba-gai bentuk kepemimpinan penghubung (linking leadership), ditunjuk dua orang senior advisor Menteri KLHK.

Dalam naskah ini, respons yang ber-sifat institusional tersebut, dianggap se-bagai kerangka penguatan institusional yang secara konseptual diperlukan, keti-ka hierarki otoritatif untuk menegakkan aturan, hubungan antara negara dan ko-munitas di lapangan tidak memadai.

C. Arena Aksi

Arena aksi merupakan “panggung” untuk perundingan sosial yang dapat dipilih oleh pelaku yang berbeda untuk bekerja sama atau tidak30. Dalam hal ini, penting mempertimbangkan karakteris-tik aktor yang terlibat, sumber daya ma-sing-masing aktor untuk mempengaruhi orang lain, serta kendala dan peluang yang disediakan regulasi.

Di balik terjadinya deforestasi dan adanya perkebunan kelapa sawit di ETN, terdapat berbagai bentuk mekanis-me transaksi. Sebagai contoh, transaksi penggunaan kawasan hutan yang di-rambah dan kemudian dijadikan kebun sawit pada eks PT.HSL di Kabupaten Kuantan Singingi dapat dikategorikan menjadi 3 cara31, yaitu: (a). Jual beli. Ma-syarakat lokal mendapat izin dari tokoh adat dan/atau kepala desa untuk mem-buka lahan di areal itu untuk perkebun-an, kemudian menjualnya kepada pihak lain seperti pendatang atau pada masya-rakat eks transmigrasi, (b). Hibah. Pem-berian lahan oleh pemuka adat dan desa

Page 115: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

262

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 253-270

kepada pihak lain, seperti hibah lahan di areal eks PT.HSL,32 kepada masya-rakat adat Pangean seluas sekitar 2.000 ha untuk meningkatkan ekonomi anak keponakan di dua suku, (c) Kemitraan. Masyarakat yang mengklaim lahan pada eks PT.HSL bermitra dengan pemodal/cukong untuk pembangunan kebun ke-lapa sawit.

Pemanfaatan lahan di lokasi tersebut adalah untuk perumahan warga lokal maupun pendatang, perkebunan kelapa sawit milik masyarakat Melayu, mantan transmigran, masyarakat pembeli dari luar yang tinggal di desa, serta perke-bunan pemodal/cukong. Kebun cukong itu biasanya dengan areal lebih dari 25 ha yang kepemilikannya didominasi oleh pendatang dengan menggunakan ma-syarakat lokal dan luar sebagai pekerja33.

Dalam kondisi demikian, tokoh ma-syarakat adat/desa cukup antusias me-ngelola lahan bekas PT.HSL bersama-sama dan bersedia ikut menertibkan kembali kepemilikan lahan yang saat itu sudah tidak dapat dikontrol oleh lemba-ga adat/desa. Dalam hal adanya ketidak-jelasan status kepemilikan hutan/lahan, masyarakat sepakat untuk mendorong lokasi perhutanan sosial34. Namun demi-

kian, disadari bahwa kemungkinan ada penolakan dari KUD Soko Jati, karena sebagain besar kebun yang berada da-lam eks PT.HSL di Kuansing mengatas-namakan KUD Soko Jati yang dimiliki oleh Masyarakat Adat Pangean. Perke-bunan yang dimiliki cukong/pemodal juga menjadi anggota KUD tersebut.

Strategi cukong dalam penguasaan lahan yaitu dengan memberi janji kepa-da masyarakat setempat atau meminta tokoh adat mengeluarkan izin pembu-kaan lahan untuk perkebunan sawit bagi anak/keponakan. Meskipun demikian, manajemen produksi dan perawatan ke-bun dilakukan sendiri dan KUD35 hanya mendapatkan fee. Untuk menyebar kepe-milikan kebun illegal tersebut, sebagian kebun dikapling-kapling menjadi 2 ha atas nama masyarakat sekitar dan pen-datang, terutama yang tinggal di Keca-matan Pangean dan Logas. Pekerja atau masyarakat yang berada di lokasi kebun seolah-olah menjadi pemilik kebun, pa-dahal bukan.

Proses transaksi hutan dan tanah tersebut tidak terlepas dari penguasaan ekonomi Riau dari sektor perkebunan kelapa sawit yang mendorong penggu-naan kawasan hutan/lahan secara ille-

32 Sebagai wilayah adat suku Mandailing.33 Sebagian lagi didatangkan dari daerah di sekitar, Nias dan Jawa.34 Program pemerintah untuk merespons ketimpangan alokasi manfaat kawasan hutan negara.

Program ini mencakup izin Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Desa, Hutan Adat, serta program kemitraan.

35 KUD Soko Jati.

Page 116: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

263

Hariadi Kartodihardjo dan Chalid MuhammadMengatasi Persoalan Institusional Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA):

Pembelajaran dari Kasus Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) di Provinsi Riau

gal.36 Menghadapi situasi demikian, ak-tor-aktor internal terutama Pemda, yang diharapkan mengikuti sistem aturan khusus yang muncul dari perundingan institusional RETN tidak cukup meres-pons37. Sementara itu, balai-balai KLHK dan jaringan LSM, cukup dapat meme-ngaruhi proses kerja institutional yang relatif dapat mengatasi hambatan peri-zinan perhutanan sosial. Menghubung-kan modal sosial kelompok masyarakat dengan yang berwenang untuk mempe-ngaruhi kebijakan sangat penting untuk mengurangi konflik sosial yang lebih luas38. Dalam pelaksanaan RETN, peran Tim Kerja dan Tim Operasional meng-upayakan menghubungkan modal sosi-al itu, sehingga masyarakat lokal/adat dapat menempati posisi sebagai subjek, bukan sekadar objek.

Terkait upaya pengambilan kepu-tusan yang terkendala oleh kepentingan dan kekuasaan, konsep kepemimpinan penghubung (linking leadership) cukup strategis. Intervensi itu terbukti dapat memengaruhi arena aksi dan dalam prakteknya membutuhkan sensitifitas-reflektif terhadap dinamika kekuasaan.39 Sementara itu, aktor yang menjalankan fungsi jejaring sosial memastikan kebe-naran subjek dan objek dalam pelaksana-an perhutanan sosial yang dicirikan oleh interkoneksi posisi maupun pengaruh.40 Dalam pelaksanaan RETN, aktor ini diisi oleh jaringan LSM di Riau, yaitu Jikalah-ari beserta mitra-mitranya.

Meski demikian, belum ditemukan agen perubahan dari Pemda, yang diha-rapkan dapat memengaruhi aktor lain menuju jalur perubahan institutional

36 Dalam hasil kerja Pansus Komisi B DPRD Provinsi Riau yang diserahkan ke KPK terkait dengan pelaksanaan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumberdaya Alam (GNPSDA) Provinsi Riau disebutkan perusahaan yang terdaftar di Dinas Perkebunan Provinsi Riau hanya 25 persen yang memiliki izin pele-pasan kawasan hutan, 50 persen memiliki IUP-B atau IUP dan izin lokasi, serta 35 persen yang memiliki izin HGU. Perusahaan perkebunan kelapa sawit illegal ditengarai seluas 1.594.484 ha karena berada di dalam kawasan hutan.

37 Aktor internal yang dimaksud yaitu Dinas-dinas terkait di Provinsi Riau maupun Kabupaten Pelalawan, Kampar serta Kuantan Singingi; yaitu lembaga-lembaga yang mempunyai kewenangan pe-ngelolaan hutan dan lahan di luar kawasan konservasi. Itupun, pada sisi lainnya, perbaikan kebijakan pengelolaan sumberdaya alam telah difasilitasi melalui program GNPSDA oleh KPK. Namun pelak-sanaan review izin perkebunan dan tindakan terhadap hasil review tersebut hingga pertengahan 2018 belum dijalankan.

38 J. Pretty, “Social Capital and the Collective Management of Resources”, Science, Vol. 302, No.5652 (2003), hlm. 1912-4.

39 R. Ramirez, R. Stakeholder Analysis and Conflict Management in Cultivating Peace: Conflict and Colla-boration in Natural Resource Management (ed. D. Buckles), (Ottawa: IDRC, 1999).

40 Ibid., sebagaimana juga dikemukakan dalam Bodin, O. and B. I. Crona. 2009. The role of social networks in natural resource governance: What relational patterns make a difference? Global Environ-mental Change 19:366–374.

Page 117: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

264

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 253-270

permanen. Hal ini disebabkan oleh lu-asnya cakupan arena aksi di ETN diban-dingkan aktor yang terlibat langsung,41 sehingga terdapat jual-beli lahan untuk kebun sawit serta land clearing yang di-lakukan di beberapa lokasi pada saat RETN berlangsung. Untungnya kenya-taan tersebut diketahui oleh Menteri KLHK, sehingga tindakan pencegahan dini pernah dapat dilakukan.42 Namun, secara umum tanggapan Pemerintah da-lam menegakkan hukum dan menetap-kan izin-izin perhutanan sosial masih mengalami hambatan.

Lemahnya kelembagaan formal me-nyebabkan tindakan yang dilakukan oleh semua aktor yang terlibat tidak kon-sisten sehingga bergantung pada aturan dan kesempatan yang tersedia. Hal yang cukup menguntungkan ketika dalam kasus RETN ini, Tim Operasional kebe-tulan dapat berkomunikasi langsung de-ngan Menteri KLHK maupun Direktur Jenderal terkait untuk menentukan lang-kah yang diperlukan.

D. Kinerja dan Pola Kerjasama

Apakah dalam pelaksanaan RETN masyarakat lokal/adat sebagai subjek mendapat manfaat? Apakah terdapat

peningkatan fungsi institusional?43 Sejak pelaksanaan RETN tahun 2016 hingga awal 2018, Tim Kerja mendorong pe-laksanaan penegakan hukum dengan berbagai pihak seperti Ditjen Penegak-an Hukum KLHK, Polda Provinsi Riau, Pemprov Riau, Kabupaten Kampar, Kabupaten Pelalawan, Kabupaten Ind-ragiri Hulu dan Kabupaten Kuantan Si-ngingi. Telah dilakukan juga koordinasi dengan Polda Riau, khususnya terkait penanganan kasus perambahan di ETN dan terhadap perusahaan Pabrik Ke-pala Sawit (PKS) yang menerima sawit atau Tandan Buah Segar (TBS) dari ETN. Kapolda Riau pada 2017 telah mengelu-arkan Surat Himbauan bagi PKS untuk tidak menerima dan membeli TBS dari ETN. Selain itu, itu penanganan perkara perambahan TNTN atas nama Sukhdev Singh sudah memasuki tahap persidang-an dan dilakukan penangkapan alat be-rat di area-area perambahan eks HPH PT.SRT maupun TNTN.

Pada periode tersebut, Tim Opera-sional mengidentifikasi pengguna lahan secara partisipatif di dalam TNTN, yaitu di dalam dan sekitar Desa Bagan Limau. Dilakukan juga beberapa langkah, yaitu: (a) identifikasi target penegakan hukum

41 Dalam pelaksanaan RETN ini keterlibatan swasta secara langsung sangat minimal. Swasta meng-ikuti proses ini hanya melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari baik berupa sosialisasi maupun pemberitahuan agenda-agenda yang dilaksanakan.

42 Terkait dengan upaya penyiapan rencana Presiden ke lokasi ETN, MenLHK pernah melakukan perjalanan ke lapangan melihat lokasi-lokasi yang akan ditetapkan sebagai program perhutanan sosial dan menemukan kasus tersebut.

43 Fungsi institusional itu sendiri dalam hal ini tidak diukur unsur-unsur pembentuknya, melain-kan kinerja atau outcomes yang dihasilkannya. A. Schmid, op.cit.

Page 118: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

265

Hariadi Kartodihardjo dan Chalid MuhammadMengatasi Persoalan Institusional Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA):

Pembelajaran dari Kasus Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) di Provinsi Riau

terhadap pengguna lahan di TNTN; (b) sosialisasi RETN di Desa Bagan Limau, Lubuk Kembang Bunga dan Air Hitam; (c) penanaman 125 ha tanaman kehutan-an dan buah-buahan; dan (d) kemitraan dengan TNTN Desa Lubuk Kembang Bunga dimana areal 12 ha dikelola oleh 5 kelompok tani di Desa Lubuk Kembang Bunga. Pembinaan daerah penyangga TN dilakukan dengan penguatan kelom-pok masyarakat melalui pelatihan eko-nomi bisnis dan kelembagaan, pemberi-an bantuan usaha, maupun penyusunan master plan pemberdayaan masyarakat. Kemitraan wisata alam dengan masya-rakat Desa Lubuk Kembang Bungo dihi-dupkan dengan mempertahankan keber-adaan hutan alam tersisa melalui ekspe-disi (patroli gabungan TNI dan POLRI) maupun membuat pos pengamanan di batas hutan alam yang tersisa.

Tim Operasional di eks HPH PT.SRT (didampingi Jikalahari) telah mendapat legalitas penerbitan Hutan Desa seluas 9.210 ha di Desa Pangkalan Gondai Ke-camatan Langgam, Kabupaten Pelala-wan. Pengajuan Hutan Desa Segati selu-as 7.613 ha masih menunggu verifikasi teknis, demikian juga pengusulan Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Desa Kesu-ma seluas 15.000 ha serta di Desa Sotol seluas 156,89 ha.

Tim Operasional di Eks HPH PT.HSL (didampingi Walhi Riau dan YMI) telah

mendapat legalitas izin Hutan Desa Gu-nung Sahilan seluas 2.942 ha.44 Sedang-kan pengajuan HKm di Desa Gunung Sahilan dan Sahilan Darussalam seluas 1.385 ha saat ini menunggu verifikasi teknis. Disamping itu, juga telah diaju-kan Hutan Desa di Desa Sidodadi seluas 7.613,12 ha yang telah diverifikasi serta pengajuan Perhutanan Sosial di Desa Situgal seluas 939 ha, Hulu Teso 790 ha dan Kuantan Sako, termasuk pemeta-an wilayah untuk pengajuan PS di Desa Hulu Teso seluas 790 ha, Situgal seluas 939 ha dan Kuantan Sako.

Adanya political will Pemerintah un-tuk menyelesaikan akumulasi puluh-an tahun persoalan ETN melalui RETN secara eksplisit baru berjalan sebatas penyelesaian-penyelesaian administrasi per i zinan. Namun, secara implisit telah tumbuh modal sosial, karena semua di-awali dengan pemetaan sosial termasuk penguatan hubungan antar lembaga da-lam pengambilan keputusan. Namun, adanya kondisi eksternal seperti HEC, sumber daya dengan akses terbuka ma-upun buruknya tata kelola belum dapat dijawab melalui peningkatan kerja insti-tusional yang dijalankan. Faktor penen-tu lemahnya pelaksanaan RETN pada akhirnya dapat dialamatkan pada ren-dahnya kapasitas kelembagaan dalam menghadapi kompleksitas arena aksi ak-tor-aktor yang terlibat akibat puluhan ta-

44 Saat ini Rencana Kerja Hutan Desa dan Rencana Kerja Tahunan Hutan Desa Gunung Sahilan telah disahkan.

Page 119: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

266

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 253-270

hun penggunaan kawasan hutan secara illegal maupun keberlanjutan RETN itu sendiri.

IV. Pembelajaran

Penelitian tentang pengelolaan sum-ber daya bersama sudah lama dikritik karena tidak memadai dalam memberi perhatian kepada kekuatan lokal akibat perubahan politik, sosial maupun eko-nomi.45 Pendekatan RETN ini dimak-sudkan untuk memprioritaskan kekuat-an lokal yang diawali dengan pemetaan sosial, sekaligus memberi perspektif kepada masyarakat terkait penggunaan lahan atau hutan saat ini maupun yang akan datang. Pada saat bersamaan, ke-butuhan-kebutuhan yang mereka perlu-kan tetap menjadi perhatian.

Prinsip utama dalam pelaksanaan RETN adalah menumbuhkan trust anta-ra masyarakat lokal/adat dengan penge-lola.46 Pemetaan sosial dilakukan juga untuk mendalami posisi setiap warga maupun hubungan-hubungan sosial yang ada, sebagai calon peserta perhu-tanan sosial. Hal ini dilakukan karena bertahun-tahun sebelumnya, masyara-kat lokal/adat mengembangkan ekono-mi dengan dasar-dasar modal illegal de-ngan berbagai kondisi benar-salah yang kabur. Program ini seharusnya akan mendudukkan kehadiran negara seba-gaimana semestinya, dengan memulih-

kan hak-hak masyarakat.Adanya kelompok LSM yang men-

jalankan pemetaan sosial dan mengawal langsung kegiatan di lapangan merupa-kan unsur paling menentukan bagi ke-berhasilan program ini. Hal ini bercer-min dari kondisi umum terkait perizinan bagi masyarakat local dan adat yang ti-dak didahului dengan pemetaan sosial. Relasi antara kepemimpinan administra-tif, politik maupun LSM diperlukan un-tuk mencapai kinerja ini.

Kedua, manfaat dari proses ini ada-lah adanya pengakuan interaksi berbagai aktor di berbagai tingkatan (melalui Tim Kerja dan Tim Operasional), yang men-dapat persetujuan atas rencana aksi yang dijalankan, serta menguasai arena aksi di mana pilihan-pilihan tindakan para aktor dibuat dan dijalankan. Proses yang demikian. diharapkan dapat menjadi sa-rana pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan potensinya guna mewujud-kan kegiatan produktif, maupun mendo-rong terjadinya refleksi peningkatan pe-ran lembaga-lembaga pemerintah, LSM dan juga akademisi sebagai fasilitator perubahan.

Ketiga, sejarah, budaya, atau bentuk simbolis dari sumber daya tertentu da-lam prakteknya sangat penting diperha-tikan sebagai instrumen menyelesaikan konflik penggunaan SDA dimana ke-lompok-kelompok yang bersaing saling

45 A. Agrawal., op.cit.46 Pengelola kawasan konservasi dan kawasan hutan pada umumnya.

Page 120: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

267

Hariadi Kartodihardjo dan Chalid MuhammadMengatasi Persoalan Institusional Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA):

Pembelajaran dari Kasus Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) di Provinsi Riau

47 Sanginga, P., R. Kamugisha, and A. Martin. “The Dynamics of Social Capital and Conflict Mana-gement in Multiple Resource Regimes: A Case of the Southwestern Highlands of Uganda. Ecology and Society”. Vol. 12 No.1 (2007), hlm. 6.

memperjuangkan nilai-nilai, narasi, ma-upun cara membingkai masalah. Untuk itu, dalam proses administrasi perizinan seperti perhutanan sosial di lokasi ETN, seharusnya perhatian tidak hanya di-fokuskan kepada para calon penerima izin tetapi juga kehidupan sosial-poli-tik masyarakat, dengan memperhatikan adanya kemungkinan kecemburuan, pu-tusnya jaringan kerja, maupun pengem-bangan ekonomi pasar untuk mendu-kung ekonomi rumah tangga yang men-jadi subjek utama. Oleh karena itu, reha-bilitasi keberadaan kampung-kampung tua maupun perbaikan rumah-rumah adat juga tidak dapat dilepaskan dari program perhutanan sosial tersebut. Hal tersebut tidak dapat terlihat jika perhu-tanan sosial hanya dilihat dari kacamata administratif perizinan.

Keempat, pelaksanaan RETN ini dapat dilakukan atas kesadaran bahwa pelaksanaan program Pemerintah atau Pemda dan semua pihak yang terkait harus berorientasi pada hasil akhir, yai-tu terwujudnya ruang hidup baru yang lebih harmonis baik bagi masyarakat lokal, adat, maupun satwa liar melalui pemulihan habitatnya. Hasil akhir itu hanya dapat diwujudkan apabila berba-gai output kegiatan dari berbagai lemba-ga atau unit kerja dapat diintegrasikan melalui segenap pembahasan, penyele-

saian masalah, peningkatan kapasitas, maupun penetapan urutan kegiatan. Kerangka kerja demikian tentu sangat berbeda dengan kerangka kerja birokrasi pemerintahan yang umumnya lebih me-nitikberatkan pada pertanggungjawaban administrasi. Dalam hal ini, bentuk ke-pemimpinan penghubung (linking leade-rship) menjadi kuncinya.

Kelima, diperlukan upaya mengatasi perbedaan nilai-nilai juga hubungan oto-ritas di antara berbagai aktor pemerintah. Oleh karena itu, kerangka kerja seperti ini seharusnya juga memasuki perspek-tif ekologi politik untuk melihat peran kekuasaan atau kewenangan yang dapat menafikan proses-proses yang telah ber-jalan serta sifat-sifat pemerintahan yang berbeda antara Pemda dan Pemerintah.

Keenam, solusi persoalan pengelola-an SDA di ETN ini membutuhkan ska-la ekosistem dengan kerja institutional baru yang bersarang.47 Dari pelaksanaan RETN, pendekatan ini memperhatikan keterkaitan wilayah-wilayah terutama untuk pelaksanaan revitalisasi kawa-san konservasi, dengan sekaligus mem-perhatikan kebutuhan masyarakat atas lahan dan pemukimannya dengan me-manfaatkan hutan produksi. Pendekatan ini memberi keleluasaan untuk menda-pat alternatif cara penyelesaian masalah di lapangan dengan tetap memperhati-

Page 121: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

268

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 253-270

kan kebutuhan perbaikan habitat mau-pun ruang hidup satwa liar.

Ketujuh, dalam praktek ini diper-lukan keterbukaan informasi karena kepastian dan kebenaran kondisi di la-pangan sangat menentukan keberhasil-an suatu kegiatan dalam mencapai out-come. Hal-hal yang terkait dengan proses integrasi kegiatan maupun keterbukaan informasi, semestinya menjadi bagian dari program ini yang nantinya akan di-laksanakan sendiri oleh Pemerintah dan Pemda secara lebih utuh sesuai dengan kewenangannya.

Dengan karakteristik SDA maupun penggunanya yang khas dan menjadi perhatian dalam proses ini, apabila di-perhatikan secara saksama sesungguh-nya yang diperlukan adalah perbaikan kerangka kerja institutional dalam pe-ngelolaan SDA. Kerangka kerja institu-tional itu diharapkan dapat melanjut-kan tindakan kolektif melalui hubungan kerja inter dan antar pemerintahan serta lembaga-lembaga non pemerintah. Tan-tangan utama yang saat ini dihadapi yaitu keberlanjutan program itu dari pengaruh dinamika politik nasional dan daerah yang sedang terjadi, karena kerja-kerja ini masih jauh dari selesai.

Page 122: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

269

Hariadi Kartodihardjo dan Chalid MuhammadMengatasi Persoalan Institusional Pengelolaan Sumber Daya Alam (PSDA):

Pembelajaran dari Kasus Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo (RETN) di Provinsi Riau

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Kartodihardjo, H. Analisis Kebijakan Pe-ngelolaan Sumberdaya Alam: Dis-kursus-Politik-Aktor-Jaringan. Bo-gor: Firdauss Pressindo. 2017.

Keohane, R. and E. Ostrom. Local Com-mons and Global Interdependence. Lon-don: Sage. 1995

Oakerson, R. J. Analyzing the commons: A framework. In Making the commons work, ed. D. W. Bromley. San Francis-co: ICS Press. 1992.

Ostrom, E. Governing the Commons. Cambridge: Cambridge University Press. 1990.

__________. Polycentricity, complexity, and the commons. The Good Society 9(2):37–41. 1999.

__________. Understanding Institutional Diversity. Princeton: Princeton Uni-versity. 2005Press.

Ostrom, E., R. Gardner, and J. M. Walker. Rules, Games, and Common- Pool Reso-urces. Ann Arbor, MI: University of Michigan Press. 1994.

Poteete, A. R., M. A. Janssen and E. Os-trom. Working Together: Collective Ac-tion, the Commons, and Multiple Met-hods in Practice. Princeton, NJ: Princeton University Press. 2010.

Schmid, A. Property, Power, and An Inqu-iry into Law and Economy. New York: Praeger. 1987

Wade, R. Village Republics: Economic Con-ditions for Collective Action in South In-

dia. Cambridge: Cambridge Univer-sity Press. 1988

Artikel Jurnal/Media Massa

Acheson, J.M. Institutional Failure in Reso-urce Management. Annual Review of Anthropology, 35, 2006.

Agrawal, A. Common property institutions and sustainable governance of resources. World Development 29 (10), 2001.

Bekkers, V., J. Edelenbos & B. Steijn, Lin-king Innovation to the Public Sector: Contexts, Concepts and Challenges, in: Bekkers, V., J. Edelenbos & B. Steijn (eds.), Innovation in the public sec-tor: linking capacity and leadership. Houndsmills: Palgrave McMillan. 2011

Bekkers, V.J.J.M., Tummers, L.G., Stuijf-zand, B.G.; Voorberg, W. Social Inno-vation in the Public Sector: An integrati-ve framework. LIPSE Working papers (no. 1), Rotterdam: Erasmus Univer-sity Rotterdam. 2013.

Bodin, O. and B. I. Crona. The role of social networks in natural resource gover-nance: What relational patterns make a difference? Global Environmental Change. 2009.

Liu W. Beacom AM, Valente TW. Social Network Theory. The International Enc-yclopedia of Media Effects. John Wiley & Sons, Inc. 2007 . DOI: 10.

1002/9781118783764.wbieme0092.

Pitelis, C. Towards a Neo-classical Theory of Institutional Failure. Journal of Econo-mic Studies, 19(1), 1992.

Page 123: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

270

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 253-270

Prell C, Hubacek K, Reed M. Stakeholder analysis and social network analysis in natural resource management. Society & Natural Resources: An Internatio-nal Journal. 22(6), 2009

Pretty, J. Social capital and the collective ma-nagement of resources. Science 302(5652):1912–4. New York, NY. 2003.

Ratner, B.D, Ruth Meinzen-Dick, Canda-ce May. Resource Conflict, Collective Action, and Resilience: an Analytical Framework. International Journal of the Commons. Vol. 7, no 1 February 2013, 2013.

Sanginga, P., R. Kamugisha, and A. Martin. The Dynamics of Social Capi-tal and Conflict Management in Mul-tiple Resource Regimes: A Case of the Southwestern Highlands of Uganda. Ecology and Society 12(1), 2007.

Woolthuis, R.K., Lankhuizen, M. & Gil-sing, V. A system failure framework for innovation policy design. Technovation, 25. 2005.

Lain-lain

AURIGA. Tipologi Penguasaan Lahan Perkebunan Sawit di dalam Kawa-san Hutan dan Strategi Penyelesaian-nya. Kertas Kebijakan. Jakarta. 2019

Koalisi LSM Riau, 2017. Rencana Aksi Pe-laksanaan Revitalisasi Ekosistem Tes-so Nilo, Propinsi Riau. Pekanbaru.

Page 124: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

271

Ulasan Peraturan: Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.3/PERMEN-KP/2018 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Zona Inti pada Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir

dan Pulau-pulau Kecil untuk EksploitasiAngela Vania Rustandi1

1 Penulis adalah Peneliti Divisi Pesisir dan Maritim Indonesian Center for Environmental Law.2 Indonesia, Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 1 Tahun 2014, LN Tahun 2014 No. 2, TLN No. 5490, Pasal 1 Angka 20, Indonesia, Undang-Undang Kelautan, UU No. 32 Tahun 2014, LN Tahun 2014 No. 294, TLN No. 5603, Pasal 51, Indonesia, Peraturan Pemerintah Konservasi Sumber Daya Ikan, PP No. 60 Tahun 2007, LN Tahun 2007 No. 134, TLN No. 4779, Pasal 1 Angka 8.

3 Davis, Neil, “What Role for Marine Protected Areas in A Future of Climate Change?,” http://ibis.geog.ubc.ca/biodiversity/MarineProtectedAreasUnderClimateChange.html, diakses tanggal 10 Januari 2019.

4 Roberts, M. Callum, et.al., “Marine Reserves Can Mitigate and Promote Adaptation to Climate Change,” Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America vol. 114 no. 24 (June 2017), hlm. 6171.

I. Pendahuluan

Kawasan konservasi yang terletak di ekosistem pesisir dan laut ada 3 (tiga) jenis yaitu Kawasan Konservasi Laut (berdasarkan UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan), Kawasan Konserva-si Perairan (berdasarkan UU No. 31 Ta-hun 2004 tentang Perikanan dan peru-bahannya UU No. 45 Tahun 2009), dan Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil atau Kawasan Konservasi WP3K (berdasarkan UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wi-layah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan perubahannya UU No. 1 Tahun 2014). Masing-masing kawasan konservasi me-miliki fungsi yang berbeda, tetapi pada dasarnya bertujuan untuk melindungi dan mewujudkan pengelolaan ekosistem

laut yang berkelanjutan.2 Di samping itu, kawasan konservasi juga berfungsi untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Kawasan konservasi membantu meningkatkan ketahanan ekosistem se-kitarnya terhadap perubahan iklim de-ngan cara mengurangi faktor-faktor lain yang mengancam ekosistem sehingga menempatkan ekosistem tersebut pada posisi yang lebih baik untuk mengha-dapi perubahan iklim.3 Kawasan kon-servasi juga mempromosikan ekosistem yang bertindak sebagai penyerap karbon yang lebih kuat dengan memelihara dan meningkatkan hutan bakau, padang la-mun, dan rawa serta melindungi hewan yang memegang peran penting dalam siklus karbon.4

Page 125: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

272

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 271-279

Kawasan Konservasi WP3K adalah kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan ciri khas tertentu yang dilindungi untuk mewujudkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara ber-kelanjutan.5 Kawasan Konservasi WP3K diselenggarakan untuk: (a) menjaga ke-lestarian ekosistem pesisir dan pulau-pulau kecil, (b) melindungi alur migrasi ikan dan biota laut lain, (c) melindungi habitat biota laut, dan (d) melindungi situs budaya tradisional.6 Kawasan Kon-servasi WP3K dibagi menjadi tiga zona yaitu zona inti, zona pemanfaatan ter-batas, dan zona lain sesuai dengan per-untukan kawasan.7 Zona inti ditetapkan untuk perlindungan habitat dan popula-si sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil serta pemanfaatannya hanya terba-tas untuk penelitian.8 Sedangkan, zona pemanfaatan terbatas dimanfaatkan ha-nya untuk budidaya pesisir, ekowisata, dan perikanan tradisional.9 Sayangnya, ada ketentuan dalam UU No. 27 Tahun 2007 dan perubahannya UU No. 1 Tahun 2014 serta peraturan pelaksananya yang dapat mengancam eksistensi Kawasan Konservasi WP3K di Indonesia.

II. Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Zona Inti Kawasan Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

A. Latar Belakang Lahirnya Permen KKP No. 3 Tahun 2018

Peraturan Menteri Kelautan dan Per-ikanan No. 3/PERMEN-KP/2018 ten-tang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Zona Inti Pada Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pu-lau-Pulau Kecil untuk Eksploitasi (Per-men KKP No. 3 Tahun 2018) merupakan peraturan pelaksana dari pasal 30 UU No. 1 Tahun 2014 yang mengatur bahwa terhadap peruntukan dan fungsi zona inti kawasan konservasi dapat dilakukan perubahan dalam rangka eksploitasi ber-dasarkan hasil penelitian terpadu.

Sebelum membedah lebih lanjut per-aturan ini, perlu ditelusuri terlebih dahu-lu sejarah pembentukan Pasal 30 UU No. 1 Tahun 2014. Pasal 30 UU No. 27 Tahun 2007 awalnya hanya terdiri dari satu ayat yang menyatakan bahwa perubahan sta-tus zona inti untuk kegiatan eksploitasi yang dapat menimbulkan dampak be-sar dilakukan oleh Pemerintah atau Pe-

5 Indonesia, Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 1 Tahun 2014, LN Tahun 2014 No. 2, TLN No. 5490, Pasal 1 Angka 20.

6 Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 27 Tahun 2007, LN Tahun 2007 No. 84, TLN No. 4739, Pasal 28 Ayat 1.

7 Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 27 Tahun 2007, LN Tahun 2007 No. 84, TLN No. 4739, Pasal 29.

8 Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 27 Tahun 2007, LN Tahun 2007 No. 84, TLN No. 4739, Penjelasan Pasal 29.

9 Indonesia, Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 27 Tahun 2007, LN Tahun 2007 No. 84, TLN No. 4739, Penjelasan Pasal 29.

Page 126: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

273

Angela Vania RustandiUlasan Peraturan: Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 3/PERMEN-KP/2018 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Zona Inti pada Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau

Kecil untuk Eksploitasi

merintah Daerah dengan memerhatikan pertimbangan DPR. Ada tiga unsur pen-ting yang dapat dipetik dari Pasal ini ya-itu: (1) diperbolehkannya perubahan sta-tus zona inti, (2) perubahan status zona inti ditujukan untuk kegiatan eksploitasi yang dapat menimbulkan dampak besar, dan (3) kewenangan untuk melakukan perubahan status zona inti terletak pada Pemerintah atau Pemerintah Daerah de-ngan memerhatikan pertimbangan DPR. Di sini tidak dijelaskan lebih lanjut me-ngenai apa yang dimaksud dengan eks-ploitasi. Tetapi, bagian penjelasan Pasal 30 menjelaskan bahwa zona inti dapat berubah statusnya menjadi Kawasan Strategis Nasional Tertentu. Kawasan Strategis Nasional Tertentu adalah ka-wasan yang terkait dengan kedaulatan negara, pengendalian lingkungan hidup, dan/atau situs warisan dunia, yang pe-ngembangannya diprioritaskan bagi ke-pentingan nasional.10 Artinya adalah, pa-sal 30 UU No. 27 Tahun 2007 memboleh-kan perubahan status zona inti untuk ke-pentingan-kepentingan yang berkaitan dengan kedaulatan negara, lingkungan hidup, situs warisan dunia, dan kepen-tingan nasional lainnya.

Selanjutnya, pada bulan Januari 2010 beberapa organisasi masyarakat sipil dan nelayan11 mengajukan permohonan uji materiil terhadap UU No. 27 Tahun 2007. Mahkamah Konstitusi mengabul-kan permohonan tersebut dan memu-tuskan bahwa ketentuan-ketentuan ter-kait dengan rezim hak dalam UU No. 27 Tahun 2007 harus diubah menjadi rezim izin untuk menghindari terjadinya pri-vatisasi sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil tersebut.

Putusan Mahkamah Konstitusi ini yang kemudian menjadi dasar lahirnya UU No. 1 Tahun 2014. UU No. 1 Tahun 2014 dibentuk untuk melaksanakan pu-tusan Mahkamah Konstitusi dan meng-ganti pemanfaatan ruang dan sumber daya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang berdasarkan hak menjadi ber-dasarkan instrumen perizinan.

Namun demikian, ternyata UU No. 1 Tahun 2014 tidak hanya mengatur terka-it instrumen perizinan, tetapi juga meng-amandemen Pasal 30 UU No. 27 Tahun 2007 menjadi:

1. Perubahan peruntukan dan fung-si zona inti pada kawasan konser-vasi untuk eksploitasi ditetapkan

10 Indonesia, Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 1 Tahun 2014, LN Tahun 2014 No. 2, TLN No. 5490, Pasal 1 Angka 10.

11 Organisasi masyarakat sipil yang menjadi pemohon dalam uji materiil ini adalah: (i) Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), (ii) Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), (iii) Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM), (iv) Konsorsium Pembangunan Agraria (KPA), (v) Serikat Petani Indonesia (SPI), (vi) Yayasan Bina Desa Sadajiwa, (vii) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, (viii) Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), dan (ix) Aliansi Petani Indonesia (API) beserta 37 nelayan.

Page 127: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

274

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 271-279

oleh Menteri dengan dida sarkan pada hasil penelitian terpadu.

2. Menteri membentuk tim untuk melakukan penelitian terpadu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas unsur-unsur kementerian dan lembaga terka-it, tokoh masyarakat, akademisi, serta praktisi perikanan dan kela-utan.

3. Perubahan peruntukan dan fung-si zona inti sebagaimana dimak-sud pada ayat (1) yang berdam-pak penting dan cakupan yang luas serta bernilai srategis, dite-tapkan oleh Menteri dengan per-setujuan DPR.

4. Tata cara perubahan peruntukan dan fungsi zona inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Pera-turan Menteri.

UU No. 1 Tahun 2014 memperluas dan mengatur lebih spesifik pengatur-an dalam Pasal 30 ini. Perluasan peng-aturan dilakukan dalam menentukan perubahan peruntukan dan fungsi zona inti. Dalam UU No. 27 Tahun 2007, per-ubahan zona inti hanya untuk kegiatan eksploitasi yang menimbulkan dampak besar. Sedangkan dalam UU No. 1 Ta-hun 2014, ada perubahan zona inti yang berdampak penting dan cakupan yang

luas serta bernilai strategis yang wajib mendapatkan persetujuan DPR dan ada perubahan zona inti yang tidak berdam-pak penting dan cakupan yang luas ser-ta bernilai strategi yang ditetapkan oleh Menteri. Yang dimaksud dengan dam-pak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis adalah perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan gene-rasi yang akan datang.12

Kewenangan untuk mengubah per-untukan dan fungsi zona inti kawasan konservasi hanya terletak pada Pemerin-tah Pusat saja13 , yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan. UU No. 1 Tahun 2014 juga tidak lagi mengatur bahwa zona inti hanya dapat diubah menjadi Kawa-san Strategis Nasional Tertentu. Artinya, perubahan zona inti tidak lagi terbatas pada alasan-alasan yang berkaitan de-ngan kepentingan nasional.

Sebagai peraturan pelaksana dari Pa-sal 30 UU No. 1 Tahun 2014, Permen KKP No. 3 Tahun 2018 secara tegas mengatur bahwa perubahan dan peruntukan fung-si zona inti pada kawasan konservasi un-tuk eksploitasi hanya dapat dilakukan dalam rangka pelaksanaan proyek strate-

12 Indonesia, Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 1 Tahun 2014, LN Tahun 2014 No. 2, TLN No. 5490, Pasal 1 Angka 27A.

13 Indonesia, Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, UU No. 1 Tahun 2014, LN Tahun 2014 No. 2, TLN No. 5490, Pasal 30 Ayat 1.

Page 128: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

275

Angela Vania RustandiUlasan Peraturan: Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 3/PERMEN-KP/2018 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Zona Inti pada Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau

Kecil untuk Eksploitasi

gis nasional.14 Proyek Strategis Nasional (PSN) adalah proyek yang dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau badan usaha yang memiliki si-fat strategis untuk peningkatan pertum-buhan dan pemerataan pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejah-teraan masyarakat dan pembangunan daerah.15 Proyek strategis nasional ter-diri dari kegiatan-kegiatan seperti pem-bangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap, pembangunan jalan tol, pelabuhan, kilang minyak, pipa gas, bandar udara, dan lain-lain.16 Kegiatan-kegiatan ter-sebut dapat diubah berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas.17

Perubahan peruntukan dan fungsi zona inti dapat dilakukan berdasarkan rekomendasi dari hasil penelitian terpa-du.18 Penelitian terpadu dilakukan oleh sebuah tim yang diketuai oleh Direktur Jenderal bidang Pengelolaan Ruang Laut dengan susunan keanggotaan terdiri dari unsur-unsur kementerian dan lembaga terkait, tokoh masyarakat, akademisi, dan praktisi perikanan dan kelautan.19 Penelitian terpadu meliputi kajian per-ubahan (a) peruntukan dan fungsi zona inti dan/atau (b) kawasan konservasi.20 Untuk mendukung hasil penelitian ter-padu, dapat dilakukan konsultasi pub-lik.21 Rekomendasi yang diberikan oleh hasil penelitian terpadu adalah:22

14 Indonesia, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Zona Inti pada Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk Eksploitasi, Permen KKP No. 3 Tahun 2018, Berita Negara Tahun 2018 Nomor 117, Pasal 3.

15 Indonesia, Peraturan Presiden Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, Perpres No. 3 Ta-hun 2016, LN Tahun 2016 No. 4, Pasal 1 Angka 1.

16 Indonesia, Peraturan Presiden Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, Perpres No. 3 Tahun 2016, LN Tahun 2016 No. 4, Lampiran.

17 Indonesia, Peraturan Presiden Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, Perpres No. 58 Tahun 2017, LN Tahun 2017 No. 119, Pasal 2 Ayat 3.

18 Indonesia, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Zona Inti pada Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk Eksploitasi, Permen KKP No. 3 Tahun 2018, Berita Negara Tahun 2018 Nomor 117, Pasal 5 Ayat 3.

19 Indonesia, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Zona Inti pada Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk Eksploitasi, Permen KKP No. 3 Tahun 2018, Berita Negara Tahun 2018 Nomor 117, Pasal 4.

20 Indonesia, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Zona Inti pada Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk Eksploitasi, Permen KKP No. 3 Tahun 2018, Berita Negara Tahun 2018 Nomor 117, Pasal 5 Ayat 1.

21 Indonesia, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Zona Inti pada Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk Eksploitasi, Permen KKP No. 3 Tahun 2018, Berita Negara Tahun 2018 Nomor 117, Pasal 5 Ayat 2.

22 Indonesia, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Zona Inti pada Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk Eksploitasi, Permen KKP No. 3 Tahun 2018, Berita Negara Tahun 2018 Nomor 117, Pasal 5 Ayat 3.

Page 129: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

276

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 271-279

1. Perubahan peruntukan dan fung-si zona inti yang tidak mengubah alokasi ruang untuk Kawasan Konservasi dalam Rencana Zona-si Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K) dan Rencana Zonasi Kawasan Laut atau pola ruang dalam Rencana Tata Ruang Laut Nasional/Ren-cana Tata Ruang Wilayah Nasio-nal; atau

2. Perubahan peruntukan dan fungsi zona inti yang mengubah alokasi ruang untuk Kawasan Konservasi dalam RZWP-3-K dan Rencana Zo-nasi Kawasan Laut atau pola ruang dalam Rencana Tata Ruang Laut Nasional/Rencana Tata Ruang Wi-layah Nasional.

Menteri dapat langsung menetap-kan perubahan peruntukan dan fungsi zona inti yang tidak mengubah alokasi ruang.23 Sedangkan, untuk perubahan peruntukan dan fungsi zona inti yang mengubah alokasi ruang termasuk ke dalam perubahan zona inti yang ber-dampak penting dan cakupan yang luas

serta bernilai strategis sehingga mem-butuhkan persetujuan DPR.24 Dalam hal demikian, penetapan perubahan perun-tukan dan fungsi zona inti tersebut men-jadi dasar untuk:25

1. Gubernur melakukan peninjauan kembali RZWP-3-K

2. Menteri melakukan peninjauan Rencana Zonasi Kawasan Laut dan Rencana Tata Ruang Laut Nasional; atau

3. Menteri mengusulkan perubah-an Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

B. Kritik atas Permen KKP No. 3 Tahun 2018: Mekanisme Perubahan Peruntukan dan Fungsi Zona Inti Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang Longgar

Kegiatan-kegiatan yang termasuk sebagai PSN merupakan kegiatan yang berpotensi merusak lingkungan.26 Apabi-la dilakukan di dalam zona inti kawasan konservasi yang memiliki tujuan utama untuk melindungi habitat dan populasi

23 Indonesia, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Zona Inti pada Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk Eksploitasi, Permen KKP No. 3 Tahun 2018, Berita Negara Tahun 2018 Nomor 117, Pasal 6 Ayat 1.

24 Indonesia, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Zona Inti pada Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk Eksploitasi, Permen KKP No. 3 Tahun 2018, Berita Negara Tahun 2018 Nomor 117, Pasal 6 Ayat 2, 3, dan 4.

25 Indonesia, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Zona Inti pada Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk Eksploitasi, Permen KKP No. 3 Tahun 2018, Berita Negara Tahun 2018 Nomor 117, Pasal 7.

26 Sebagian besar kegiatan-kegiatan dalam lampiran Perpres No. 58 Tahun 2017 merupakan kegiatan wajib AMDAL. Berdasarkan pasal 22 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan wajib memiliki AMDAL. Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan mendefinisikan dampak penting yaitu perubahan lingkungan hidup yang sangat mendasar yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan.

Page 130: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

277

Angela Vania RustandiUlasan Peraturan: Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 3/PERMEN-KP/2018 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Zona Inti pada Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau

Kecil untuk Eksploitasi

27 Indonesia, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Pedoman Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan, PermenLH No. 16 Tahun 2012, Berita Negara Tahun 2012 No. 991, Lampiran Bab II hlm. 4.

28 Indonesia, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Pedoman Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Ana-lisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan, PermenLH No. 16 Tahun 2012, Berita Negara Tahun 2012 No. 991, Lampiran Bab II hlm. 6.

sumber daya ikan, PSN dapat merusak ekosistem laut yang kaya keanekaragam-an hayati tersebut. Tetapi, karena zona inti telah diubah fungsi dan peruntukan-nya untuk dapat mengakomodasi kegiat-an PSN, maka pelaksanaan kegiatan PSN di dalam zona inti tersebut tidak berten-tangan dengan peraturan perundang-undangan terkait zona inti kawasan kon-servasi. Zona inti tersebut sudah tidak lagi berstatus sebagai zona inti.

Sayangnya, Permen KKP No. 3 Tahun 2018 menetapkan prosedur dan standar yang sangat longgar untuk dapat meng-ubah peruntukan dan fungsi zona inti. Pertama, tidak diatur kriteria ahli dan tokoh masyarakat yang dapat dilibatkan dalam tim penelitian terpadu. Hanya di-tetapkan bahwa tim penelitian terpadu terdiri dari unsur-unsur kementerian dan lembaga terkait, tokoh masyarakat akademisi, dan praktisi perikanan dan kelautan. Seharusnya Permen KKP No. 3 Tahun 2018 mensyaratkan tim peneli-tian terpadu untuk melibatkan ahli dan tokoh masyarakat yang berperan dalam penetapan kawasan konservasi yang sta-tus zona intinya akan diubah. Ahli dan tokoh masyarakat yang bersangkutan dapat menjelaskan landasan ilmiah dan sosiologis penetapan kawasan konserva-si tersebut. Pengetahuan ini sangat pen-

ting dalam menentukan apakah zona inti kawasan konservasi tersebut layak diu-bah atau tidak dan dampak yang akan ditimbulkan dari perubahannya.

Kedua, Permen KKP No. 3 Tahun 2018 mengatur bahwa perlu dilakukan konsultasi publik untuk mendukung ha-sil penelitian terpadu. Namun, tidak dia-tur lebih lanjut terkait pihak-pihak yang wajib diundang dalam konsultasi pub-lik, materi muatan yang harus dijelaskan dalam konsultasi publik, kapan konsul-tasi publik harus dilaksanakan, dan ha-sil dari konsultasi publik. Bandingkan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 17 Tahun 2012 tentang Pedo-man Keterlibatan Masyarakat dalam Pro-ses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan (Permen LH No. 16 Tahun 2012). Dalam Permen LH ini di-jabarkan masyarakat yang harus terlibat dalam konsultasi publik, yaitu masyara-kat terkena dampak, masyarakat pemer-hati lingkungan, dan masyarakat yang terpengaruh atas segala bentuk keputus-an dalam proses penyusunan Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL).27 Diatur pula infor-masi yang wajib disampaikan dan jenis konsultasi publik yang dapat dilaku-kan.28 Hal lain yang lebih penting adalah bahwa saran, pendapat, dan tanggapan

Page 131: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

278

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 271-279

masyarakat wajib didokumentasikan dan digunakan sebagai masukan dalam menyusun dokumen AMDAL.29

Tanpa adanya penjelasan secara eks-plisit terhadap kewajiban-kewajiban pe-libatan publik dan mekanisme tersebut, memperbesar kemungkinan konsultasi publik hanya dilakukan secara forma-litas dan mengundang segelintir pihak yang sudah berpihak terhadap pelaksa-naan kegiatan PSN.

Ketiga, berdasarkan Pasal 5 ayat (3) Permen KKP No. 3 Tahun 2018, hasil pe-nelitian terpadu dapat berupa rekomen-dasi perubahan peruntukan dan fung-si zona inti yang dapat mengubah atau tidak mengubah alokasi ruang dalam RZWP-3-K. Pasal ini tidak membuka ru-ang untuk kemungkinan hasil penelitian terpadu menyimpulkan zona inti tidak dapat diubah peruntukan dan fungsinya berdasarkan alasan ekologis atau sosi-ologis. Di luar pasal itu, tidak ada satu pun ketentuan dalam Permen KKP No. 3 Tahun 2018 yang mengatur tindak lan-jut dalam hal hasil penelitian terpadu menyatakan status zona inti tidak boleh diubah. Idealnya, Permen KKP No. 3 Ta-hun 2018 menetapkan persyaratan atau standar untuk perubahan peruntukan dan fungsi zona inti, misalkan terkait tingkat strategis kegiatan PSN dan ting-kat kepentingan zona inti dan kawasan

konservasi. Apabila persyaratan atau standar tersebut terpenuhi, perubahan zona inti dapat dilakukan. Apabila tidak terpenuhi, perubahan zona inti tidak da-pat dilakukan.

III. Penutup

Kawasan konservasi sangat penting dalam mendukung terwujudnya keber-lanjutan ekosistem laut dan sumber daya perikanan. Di antara zona-zona dalam kawasan konservasi, zona inti meme-gang fungsi terpenting karena memiliki tujuan utama untuk memberikan perlin-dungan mutlak bagi habitat dan popula-si ikan serta alur migrasi biota laut. Hal ini terbukti dengan kegiatan dalam zona inti yang hanya terbatas untuk penelitian saja, tidak diperbolehkan ada kegiatan pembangunan sama sekali.

Mengingat peran penting zona inti, Penulis berpendapat seharusnya dari awal tidak diperbolehkan adanya peru-bahan peruntukan dan fungsi zona inti sama sekali. Sekali pun muncul keadaan sangat mendesak yang mengakibatkan perubahan ini, Pemerintah seharusnya menetapkan kriteria perubahan yang sangat spesifik dan ketat, khususnya ter-kait prosedur penetapan dan keadaan yang dapat mengakibatkan terjadinya perubahan sehingga zona inti tidak akan

29 Indonesia, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Pedoman Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Ana-lisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan, PermenLH No. 16 Tahun 2012, Berita Negara Tahun 2012 No. 991, Lampiran Bab II hlm. 7.

Page 132: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

279

Angela Vania RustandiUlasan Peraturan: Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 3/PERMEN-KP/2018 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Zona Inti pada Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau

Kecil untuk Eksploitasi

diubah begitu saja untuk semata-mata kepentingan ekonomi.

Prosedur penetapan harus mengu-tamakan pelibatan masyarakat serta pi-hak-pihak yang sebelumnya terlibat da-lam penetapan zona inti yang bersang-kutan. Apabila ternyata hasil penelitian terpadu menyimpulkan bahwa zona inti tidak bisa diubah karena fungsinya yang lebih penting dibandingkan alasan peru-bahan tersebut, hasil penelitian terpadu tersebut harus dihormati dan dipatuhi. Sedangkan, mekanisme perubahan yang diatur dalam Permen KKP No. 3 Tahun 2018 masih sangat longgar dan belum terukur karena belum mencakup poin-poin penting tersebut. Hal ini dapat ber-potensi mengakibatkan perubahan sta-tus zona inti tidak berdasarkan pertim-bangan ilmiah yang memadai dan hanya sebatas untuk memenuhi kegiatan pem-bangunan saja tanpa mempertimbang-kan kepentingan lingkungan hidup.

Page 133: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

280

Ulasan Buku “Struggling for Air: Power Plants and The War on Coal” oleh Richard L. Revesz dan Jack Lienke

Fajri Fadhillah1

Penulis : Richard L. Revesz Jack LienkeJudul Buku : Struggling for Air Power Plants and the “War on Coal”Penerbit : Oxford University PressKota terbit : New YorkWaktu terbit : Edisi pertama tahun 2016Jumlah halaman : 231 halaman (termasuk 10 halaman dengan huruf romawi)ISBN : 978-0-19-023311-2

1 Penulis adalah Peneliti Divisi Pengendalian Pencemaran pada Indonesian Center for Environ-mental Law

Buku berjudul “Struggling for Air: Power Plants and the “War on Coal” menjelaskan tentang ketentuan “grand-fathering”, yakni kelemahan dari 1970 Clean Air Act yang memberikan kewe-nangan pemerintahan federal Amerika Serikat untuk menetapkan baku mutu emisi yang lebih ketat untuk Pembang-kit Listrik Tenaga Uap berbahan bakar batubara (PLTU Batubara) baru, namun mengecualikan baku mutu emisi terse-but untuk PLTU Batubara yang sudah le-bih dulu beroperasi. Ketentuan tersebut menyebabkan upaya pemulihan udara di negara-negara bagian di Amerika Se-rikat semakin sulit karena PLTU-PLTU batubara tua dengan emisi yang tinggi tetap beroperasi bahkan melebihi umur operasi pada umumnya. Ulasan buku ini menjadi relevan diletakkan dalam kon-

teks upaya pengendalian pencemaran udara di Indonesia yang juga didominasi oleh PLTU Batubara dalam sistem kete-nagalistrikannya.

Struggling for Air merupakan hasil karya Richard L. Revesz dan Jack Lienke. Richard L. Revesz merupakan ahli terkemuka di bidang kebijakan dan hukum lingkungan dari Amerika Serikat. Revesz adalah profesor hukum dan mantan dekan di New York University School of Law, di mana kini Revesz menjadi Direktur di Institute for Policy Integrity. Jack Lienke merupakan pengacara senior di Institute for Policy Integrity. Lienke fokus pada topik mengenai kebijakan perubahan iklim dan pengaturan di bidang lingkungan hidup lainnya.

Page 134: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

281

Fajri FadhillahUlasan Buku “Struggling for Air: Power Plants and The War on Coal”

oleh Richard L. Revesz dan Jack Lienke

Struggling for Air merupakan buku yang ketika kita selesai membacanya, kita akan memahami kesulitan-kesulit-an yang dihadapi untuk mengendali-kan emisi dari PLTU Batubara. Sebelum menguraikan kesulitan-kesulitan ter-sebut, Revesz dan Lienke memberikan penjelasan ringkas mengenai batubara, mencakup apa itu batubara, di mana dan bagaimana kita memanfaatkan batubara, serta dampak-dampak negatif yang tim-bul akibat pemanfaatan batubara terha-dap lingkungan hidup. Pembaca yang belum pernah menggali lebih detail me-ngenai batubara jadi cukup mengerti de-ngan penjelasan ringkas tersebut.

Sebelum masuk ke inti permasa-lahan, Revesz dan Lienke dengan baik menggugah minat pembaca terlebih da-hulu dengan memberikan konteks bagi pembaca, yakni: munculnya retorika me-ngenai “Perang terhadap Batubara” yang dilancarkan terhadap Presiden Barack Obama selama dua periode kepresiden-annya. Pembaca diajak terlebih dahulu mengetahui konteks ketika Obama dicap sebagai Presiden yang anti batubara ka-rena menerbitkan 3 (tiga) peraturan yang bertujuan mengurangi emisi dari PLTU batubara di Amerika Serikat, yakni: The Cross-State Air Pollution Rule, The Mercury and Air Toxics Standards dan The Clean Power Plan. Dari konteks ini, Revesz dan Lienke menekankan pentingnya kon-teks historis dalam melihat suatu cerita. Konteks historis ini menunjukkan upaya

mengendalikan emisi dari PLTU nyata-nya sudah berlangsung sejak 4 (empat) dekade sebelum periode kepresidenan Obama. Upaya pengendalian ini sudah dilakukan tidak hanya dalam periode kepresidenan dari kubu Demokrat, tapi juga kubu Republik.

Revesz dan Lienke menulis secara kronologis dan analitis ketika menje-laskan upaya pengendalian emisi dari PLTU Batubara di Amerika Serikat. Me-reka berdua mundur ke belakang hingga periode akhir tahun 1960an sampai tahun 1970, di mana regulasi utama mengenai pengendalian pencemaran udara, 1970 Clean Air Act disahkan. Mereka meng-gali transkrip dan diskursus publik yang muncul pada periode waktu tersebut un-tuk melihat latar belakang munculnya ketentuan “Grandfathering” dalam 1970 Clean Air Act. Rasionalitas adanya keten-tuan Grandfathering juga diuraikan dan dikomentari.

Setelah menjelaskan latar belakang munculnya ketentuan “Grandfathering” dalam 1970 Clean Air Act, Revesz dan Lienke memulai analisisnya mengenai masalah-masalah yang muncul akibat ketentuan “Grandfathering” tersebut. Masalah pertama adalah sulitnya meng-implementasikan ketentuan modifikasi dalam 1970 Clean Air Act, yakni ketentu-an yang memerintahkan pemberlakuan baku mutu emisi yang lebih ketat kepa-da PLTU yang sudah beroperasi setiap ada modifikasi dalam PLTU tersebut.

Page 135: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

282

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 280-283

Masalah kedua adalah soal dampak ke-sehatan yang timbul akibat emisi yang tinggi dari PLTU-PLTU tua. Dampak ke-sehatan tersebut semakin kompleks ka-rena pencemaran udara dari PLTU ber-sifat lintas batas negara bagian. Masalah yang terakhir adalah upaya pengusaha PLTU-PLTU tua untuk membatalkan pe-nyusunan peraturan yang bertujuan un-tuk mengurangi emisi gas rumah kaca di Amerika Serikat.

Revesz dan Lienke menutup buku-nya dengan harapan: kebijakan pengen-dalian emisi dari Obama dan rendahnya harga energi dari gas memberikan pelu-ang untuk penutupan PLTU-PLTU tua yang sudah terlalu lama mencemari uda-ra Amerika Serikat.

Struggling for Air berhasil menun-jukan pentingnya konteks sejarah dalam memahami suatu peristiwa di masa kini. Revesz dan Lienke dengan sangat baik menunjukan bahwa perbedaan periode waktu akan menghasilkan pemaknaan yang berbeda dalam melihat suatu na-rasi. Narasi “Obama memulai perang terhadap batubara” terasa nyata apabila kita memahaminya hanya terbatas pada periode waktu masa kepresidenannya. Revesz dan Lienke, dengan menekan-kan pada pentingnya konteks sejarah, berhasil meruntuhkan narasi tersebut dengan menjelaskan cukup detail upaya pengendalian emisi PLTU Batubara sejak periode akhir dekade 1960 hingga perio-de terkini. Penekanan konteks histori ini

berguna dalam menelaah narasi-narasi lainnya yang berkembang di publik.

Struggling for Air juga memberikan petunjuk-petunjuk yang bermanfaat bagi negara-negara yang sedang bergelut de-ngan upaya pengendalian emisi dari PLTU Batubara. Dua tahun belakangan ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjalankan pro-ses perubahan baku mutu emisi untuk PLTU Batubara. KLHK harus lebih cer-mat dalam merancang perubahan baku mutu emisi tersebut agar PLTU-PLTU batubara yang tua tidak mendapatkan keistimewaan berupa baku mutu emisi yang sangat longgar. Struggling for Air menunjukkan keistimewaan seperti itu menimbulkan masalah besar: PLTU-PLTU batubara yang tua terus beropera-si dengan emisi yang tinggi.

Pada akhirnya, saya merekomen-dasikan Struggling for Air sebagai bacaan penting bagi siapa pun di luar sana yang tertarik dengan cerita tentang perjalanan menuju perubahan. Hal-hal teknis yang terkesan rumit dalam bisnis PLTU Batu-bara disampaikan dengan menarik oleh Revesz dan Lienke. Jadi, buku ini tidak eksklusif bagi orang-orang yang meng-geluti isu pencemaran udara, tapi siapa pun yang senang dengan cerita perjalan-an menuju perubahan.

Page 136: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

283

Fajri FadhillahUlasan Buku “Struggling for Air: Power Plants and The War on Coal”

oleh Richard L. Revesz dan Jack Lienke

Tentang Penulis

Richard L. Revesz lulus dengan predikat summa cum laude dari Princeton Univer-sity, memeroleh gelar master di bidang Teknik lingkungan dari Massachusetts Institute of Technology, dan menerima gelar hukum dari Yale Law School, di mana dia menjadi pemimpin redaksi the Yale Law Journal. Selain menjadi peng-ajar di New York University School of Law, Revesz menjadi profesor tamu di Princeton’s Woodrow Wilson School of Public and International Affairs, Har-vard Law School, Yale Law School, dan the Graduate Institute for International Studies di Geneva, Swiss. Revesz telah menulis delapan buku dan lebih dari 70 artikel di jurnal-jurnal hukum besar.

Jack Lienke mendapatkan gelar Bache-lor of Arts (B.A.) dari Vassar College dan gelar Jurist Doctor (J.D.) cum laude dari New York University School of Law. Se-lain menjadi Policy Regulatory Director di Institute for Policy Integrity, Lienke juga menjadi asisten profesor di New York University School of Law, di mana dia mengajar Klinik Peraturan Kebijakan. Lienke menulis banyak opini di media seperti The New York Times, The Was-hington Post, Salon, Mother Jones, dan Grist. Dia juga menulis banyak pendapat untuk pengadilan dalam berbagai kasus lingkungan hidup di Amerika Serikat.

Page 137: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

284

Conflict of Interest antara Usaha Perlindungan Lingkungan Hidup dengan Kemudahan Berinvestasi dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 24 Tahun 20181

Arya Rema Mubarak2

AbstrakPemerintah tampak abai dalam melindungi dan memastikan keberlanjutan sum-ber daya alam di Indonesia. Hutan hujan di Indonesia mengalami pengurangan yang- signifikan. Sebanyak 84% total lahan pada tahun 1900, berkurang menjadi 52% pada tahun 2010. Perkembangan industri tahun 1970an-2000an diduga sebagai kontributor terbesar. Alih-alih melindunginya, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi SecaraElektronik (dikenal dengan Online Single Submission (OSS)) yang berpotensi memper- parah kerusakan lingkungan. PP ini bertujuan untuk mempersingkat permohonanizin berusaha, tidak diiringi langkah yang cermat. PP ini menyalahi mekanisme peri-zinan yang diperkenalkan oleh UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pe-ngelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) dengan menciptakan norma baru yang di- sebut sebagai “komitmen” yang dipercaya dapat mempermudah terbitnya izin yang diperlukan untuk berusaha di Indonesia. PP ini juga mengabaikan asas pencegahan dalam hukum lingkungan (preventive principle), dengan dimungkinkannya penerbitan.izin usaha berdasarkan komitmen tanpa kajian atas dampak lingkungan yang layakKata kunci: Mekanisme Perizinan, Asas Pencegahan, PP OSS, UU PPLH

Abstract The government of Indonesia seems negligent in protecting and ensuring the sustainability of Indonesia’s natural resources. Rainforests in Indonesia is declining significantly. 84% of the total land area in 1900 was reduced to 52% in 2010. The industrial development in the 1970sand 2000s was alleged to be the biggest contributor. Instead of protecting it, the government is- sued Government Regulation (PP) No. 24 of 2018 on Electronic Integrated Licensing Business Services (known as Online Single Submission (OSS)) which has the potential to exacerbate environmental damage. This regulation which aims to shorten the application for businesslicenses, is not accompanied by careful steps. This regulation violates the licensing mecha- nism introduced by the Law No. 32 of 2009 on Environmental Protection and Management (UU PPLH) by creating a new norm called “commitment” which believes able to speed up the environment and business licenses mechanism in Indonesia. It also ignores the preventive

1 Artikel telah menerima penghargaan Best Paper dalam Kompetisi Karya Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019. Kembali diterbitkan sebagai ulasan di JHLI Vol 5 No. 2, dengan penyesuaian seperlunya.

2 Penulis adalah mahasiswa semester 4 Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Page 138: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

285

Arya Rema MubarakConflict of Interest antara Usaha Perlindungan Lingkungan Hidup dengan Kemudahan Berinvestasi dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018

principle, by allowing the issuance of business licenses based on commitments without proper.assessment of environmental impactsKeywords: Permit Mechanism, Preventive Principle, PP OSS, UU PPLH

I. Pendahuluan

Indonesia merupakan salah satu ne-gara dengan diversitas biologi tertinnggi di dunia. Negara dengan hampir 18.000 pulau diantara Samudera Pasifik dan Hindia serta rumah bagi lebih dari 3000 spesies hewan termasuk hewan endemik seperti harimau sumatera, gajah, badak, dan orangutan.3 Pada tahun 1950, total hutan hujan di Indonesia mencakup 84% dari total lahan yang terdiri dari 145 juta hektare hutan primer dan 14 juta hutan sekunder.4 Pada awal tahun 1970, Indo-nesia mengkapitalsasi sumber daya alam ini untuk kepentingan ekonomi dalam bidang pulp dan kertas yang secara ma-sif menggundulkan lahan. Permasalahan lingkungan ini nampaknya belum men-jadi prioritas bagi pemerintah sehingga pada tahun 1990 hngga 2000, Indonesia kehilangan 20% (sekitar 24 juta hektare) dan pada tahun 2010, jumlah hutan di In-

donesia tersisa 52% (94 juta hektare) dari total hutan yang ada.5

Kontradiksi kebijakan antara perlin-dungan lingkungan dengan kapitalisasi sumber daya alam merupakan masalah klasik yang tidak pernah selesai, salah satunya terefleksi dalam Peraturan Pe-merintah No. 24 Tahun 2018 tentang Pe-layanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau yang dikenal de-ngan Online Single Submission (OSS). Peraturan ini diapresiasi oleh Presiden Joko Widodo sebagai bentuk usaha un-tuk mereformasi mekanisme perizinan di Indonesia untuk menarik investasi dan meningkatkan ranking Ease of Do-ing Business (EoDB) Indonesia.6 Namun, peraturan ini dilakukan dengan tidak cermat sehingga diangap menabrak ber-bagai peraturan perundang-undangan7, salah satunya adalah Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindung-

3 Ran.org , “Indonesian Rainforest”, Rainforest Action Network, diakses pada March 29 2019, htt-ps://www.ran.org/indonesian-rainforests/

4 Emily Matthews, “The State of the Forest : Indonesia”,Global Forest Watch, Forest Watch Indonesia, and World Resources Institute, (2002)

5 FAO.org, “Global Forest Resources Assessment 2010”, Food and Agriculture Organization of the United Nations., diakses pada March 29 2019 http://www.fao.org/forestry/fra/fra2010/en/

6 Hermin Esti Setyowati, “Izin Berusaha Kini Lebih Mudah, Pemerintah Melunncurkan Sistem OSS”, Kementerian Komunikasi dan Informasi, diakses pada March 29 2019, https://kominfo.go.id/content/detail/13373/izin-berusaha-kini-lebih-mudah-pemerintah-meluncurkan-sistem-oss/0/arti-kel_gpr

7 Hamalatul Qurani, “Dinilai Tabrak Aturan Sana Sini, PP OSS Harus Direvisi”, Hukumonline.com, diakses pada March 29 2019, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5bcc0df105bb5/di-nilai-tabrak-aturan-sana-sini--pp-oss-harus-direvisi

Page 139: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

286

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 284-298

an dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang selanjutnya akan dijelaskan dan di-jabarkan dalam artikel ini.

II. Perkembangan Hukum Lingkungan

A. Perkembangan Hukum Lingkungan Internasional

Pembahasan akan perkembangan hukum lingkungan internasional men-jadi penting karena hukum lingkungan nasional kita sedikit banyak mengacu ke-pada norma-norma dan kebiasaan yang sudah diakui dan diterapkan dalam ting-kat internasional. Perkembangan hukum lingkungan internasional pada umum-nya dibedakan menjadi 3 atau 4 tahapan, yaitu:8

1. Era Tradisional yang merepre-sentasikan era sebelum 1972, United Nations Stockholm Con-ference on Human Environment, yang terkadang dibagi lagi men-jadi era sebelum dan sesudah ta-hun 1945. Pada masa ini, hukum lingkungan banyak berasal dari kesepakatan bilateral dan regio-nal antar negara yang berisi kese-pakatan peraturan yang berlaku, juga penyelesaian sengketa, dan

juga pemanfaatan lahan. Pada era ini berkembang sebuah rezim teritorial timbal-balik, baik anta-ra negara dengan wilayah yang berdekatan ataupun penggunaan wilayah geografis yang dianggap sebagai "kepemilikan bersama" (Global Commons);

2. Era selanjutnya yang dikenal de-ngan Era Modern merepresenta-sikan era diantara Stockholm Con-ference pada tahun 1972 dan United Nations Conference on En-vironment and Development di Rio de Janeiro, atau yang dikenal se-bagai Rio Declaration. Era ini di-tandai dengan pembukaan Stoc-kholm Conference yang merupakan kumulasi usaha berasal dari dua Resolusi UN9 dan harus dilihat sesuai dengan tren serta situasi pada masanya, yaitu:

a. Berkembangnya kepedulian akan kerusakan lingkungan, di-tandai dengan rangkaian benca-na lingkungan yang terjadi10

b. Berkembangnya kepedulian pub-lik akan krisis lingkungan yang didorong oleh media dan publi-kasi ahli;11 serta

c. Inovasi akan hukum nasional yang merespon perkembangan

8 Peter H. Sand, “The History and Origin of International Environmental Law”, Elgar Research Collection (February 2016), preface xiii.

9 Resolution 1346 (XLV) of the UN Economic and Social Council of 30 July 1968, endorsed by UN General Assembly Resolution 2398 (XXIII) of 6 December 1968.

10 Peter H. Sand, The History and Origin, xv “the 1967 Torrey Canyon accident (oil pollution in the North Sea) and the 1971 Minamata cases (river pollution by organo-mercury in Japan) as the landmark cases that drives such discourses”.

11 Peter H. Sand, The History and Origin, xv “Rachel Carson’s 1962 Silent Spring, Max Nicholson’s 1969 Environmental Revolution and the Club of Rome’s 1972 Limits to Growth readily espoused by the civic protest movements of the 1960s and early 1970s.

Page 140: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

287

Arya Rema MubarakConflict of Interest antara Usaha Perlindungan Lingkungan Hidup dengan Kemudahan Berinvestasi dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018

perlindungan hukum atas ling-kungan12

3. Era selanjutnya dikenal sebagai Pasca-Modern Era yang mere-presentasikan masa dari Rio Dec-laration hingga hari ini, dimana instrumen dan norma bersumber dari kesepakatan multilateral menciptakan suatu hal yang di-sebut sebagai “Treaty Congesti-on”.13 Pada era ini, fokus akan hu-kum lingkungan tidak lagi menciptakan instrumen dan nor-ma baru, namun berfokus kepa-da efektivitas akan penerapan instrumen dan norma tersebut. Perkembangan hukum lingkung-an ini pada akhirnya mencipta-kan berbagai asas hukum inter-nasional yang bersumber dari konvensi, kesepakatan antar ne-gara, kebiasaan internasional, pendapat ahli, serta hal lain yang menekankan akan efektivitas ter-sebut.

B. Perkembangan Hukum Lingkungan Nasional

Merespons dinamika hukum ling-kungan internasional, pada tahun 1978 dikeluarkanlah Keputusan Presiden

(Keppres) No. 28 Tahun 1978 yang di-sempurnakan oleh Keppres No. 35 di tahun yang sama sebagai dasar hukum pendirian Kementerian Negara Penga-wasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup14, yang kemudian diikuti dengan peraturan pertama akan lingkungan hi-dup yaitu Undang-Undang No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Po-kok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Seiring dengan dinamika hukum ling-kungan internasional, hukum nasional memerlukan revisi untuk mengadopsi norma-norma baru sehingga dikeluar-kanlah Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang ini menga-dopsi berbagai norma baru yang lebih relevan dan juga menambah beberapa kewenangan kepada Kementerian Ling-kungan, regulasi mengenai impor ba-rang berbahaya beracun (B3), dan juga beberapa hak prosedural baru. Peratur-an yang berlaku, yaitu Undang-Undang No.32 Tahun 2009 pun juga mengadopsi norma-norma dan instrumen baru seper-ti delik kriminal yang lebih relevan pada saat ini.15

12 Peter H. Sand, The History and Origin, xv “Japan’s 1967 Kogai Act, Sweden’s 1969 Miljöskydds-lag and the 1970 National Environmental Policy Act, in conjunction with the judge-made ‘public trust doctrine’ in the United States”

13 Ibid., xviii.14 Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan,ed.3 (Yogyakarta : Gadjah Mada University

Press, 1988) hlm. 21.15 Takdir Rahmadi, “Pengembangan Hukum Lingkungan di Indonesia” http://pn-ponorogo.

go.id/joomla/index.php/artikel-umum/49-perkembangan-hukum-lingkungan-di-indonesia, diakses tanggal 29 Maret 2019.

Page 141: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

288

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 284-298

16 Laode M. Syarif and Andri Gunawan Wibisana, Hukum lingkungan, Teori, Legislasi, dan Studi Kasus,(Jakarta: USAID, Kemitraan, the Asia Foundation) hlm. 60.

17 Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, cet.7 (Raja Grafindo Persada: Depok, 2018), hlm. 20.18 Laode M. Syarif and Andri Gunawan Wibisana, Huk op.,cit., hlm. 61.19 Arie Trouwborst, Prevention, Precaution, Logic And Law - The Relationship Between The PRecautio-

nary Principle and The Preventative Principle in International Law And Associated Questions,(Netherlands Erasmus Law Review, 2009), hlm. 117.

III.AsasHukumLingkungan,Pen-cegahan versus Kehati-hatian

Asas-asas yang telah tercipta dari perkembangan hukum lingkungan ter-sebut hidup dan diakui dalam regulasi-regulasi baik tingkat nasional atau inter-nasional sehingga menjadi sesuatu yang konkrit dan juga dapat diberlakukan, di antaranya ialah asas pencegahan (pre-vention principle) dan asas kehati-hatian (precautionary principle). Asas pencegah-an merupakan asas yang menciptakan kewajiban bagi negara untuk mengam-bil langkah yang diperlukan secepat dan sesegera mungkin untuk mencegah kerusakan lingkungan16 karena, pada prinsipnya lebih baik mencegah daripa-da merehabilitasi atau mengompensasi.17 Asas ini juga menetapkan bahwa nega-ra tidak dapat mengabaikan kerusakan lingkungan apabila terjadi didalam teri-tori negara tersebut.18 Hal ini juga berla-ku bagi asas kehati-hatian, perbedaannya ialah ketika kita menggunakan “kepasti-an” sebagai parameter untuk menentu-kan garis perbedaannya. Kepastian yang dimaksud di sini adalah kepastian akan kerusakan lingkungan itu sendiri. Keti-ka dampak terhadap lingkungan akan sebuah kegiatan atau tindakan tertentu

diketahui secara pasti, langkah-langkah untuk mencegah hal tersebut dilabeli de-ngan “pencegahan”. Langkah-langakah yang sama dilakukan untuk menanggapi ketidakpastian akan dampak terhadap lingkungan dari kegiatan atau tindakan yang sama dilabeli dengan “kehati-hati-an”. Dengan demikian, secara sempit logika dari asas pencegahan ialah meng-ambil langkah pencegahan secara kon-disional berdasarkan “kepastian” dari dampak tersebut. Berkebalikan dengan hal tersebut, logika dari kehati-hatian ialah mengambil langkah-langkah yang diperlukan ketika indikasi-indkasi yang mengarah kepada dampak tersebut mes-kipun belum ada kepastian. Pada kesim-pulannya, kedua asas ini saling berkait-an dan saling mengisi satu sama lainnya.

Permasalahan menjadi lebih kom-pleks ketika seseorang menganut posisi yang relatif umum bahwa logika pence-gahan mencakup pencegahan risiko ba-haya yang diketahui. Risiko umumnya dikonstruksi sebagai fungsi dari proba-bilitas terjadinya bahaya tertentu dalam periode tertentu dan gravitasi yang di-perkirakan ketika hal tersebut terjadi.19 Pada pandangan tersebut, minimalisasi risiko yang dapat diukur masih dapat di-

Page 142: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

289

Arya Rema MubarakConflict of Interest antara Usaha Perlindungan Lingkungan Hidup dengan Kemudahan Berinvestasi dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018

lihat sebagai “pencegahan”. Dengan de-mikian, ada atau tidak adanya hubung-an kausal yang diukur secara ilmiahlah yang mendefinisikan perbedaan antara logika “pencegahan” dan “kehati-hati-an”. 20 Lebih lanjut, De Sadeleer menje-laskan:

“Pencegahan didasarkan pada ke-pastian: ia didasarkan pada pengalam-an kumulatif mengenai tingkat risiko yang ditimbulkan oleh suatu kegiatan (roulette Rusia, misalnya, melibatkan ke-mungkinan kematian satu-dalam-enam yang dapat diprediksi). Oleh karena itu, pencegahan mengandaikan sains, kon-trol teknis, dan gagasan penilaian risiko obyektif untuk mengurangi kemungkin-an terjadinya mereka. Dengan demikian langkah-langkah pencegahan dimaksud-kan untuk menghindari risiko yang su-dah diketahui hubungan sebab-akibat-nya. … Tindakan pencegahan, sebalik-nya, berperan ketika probabilitas risiko yang dicurigai tidak dapat dibuktikan secara tak terbantahkan. Perbedaan anta-ra keduanya ... dengan demikian tingkat ketidakpastian seputar probabilitas risi-ko. Semakin rendah margin ketidakpas-tian, semakin besar pembenaran untuk intervensi sebagai cara pencegahan dan bukan atas nama tindakan pencegahan.

Sebaliknya, tindakan pencegahan digu-nakan ketika penelitian ilmiah belum mencapai tahap yang memungkinkan tabir ketidakpastian diangkat.”21

Melihat hukum nasional Indonesia, berbeda dengan asas pencegahan dan asas hukum lingkungan lainnya, asas pencegahan tidak disebutkan secara eks-plisit di dalam Pasal 2 yang membahas mengenai asas yang berlaku. Namun, asas ini hidup didalam salah satu pasal yaitu mengenai Analisis Masalah Dam-pak Lingkungan atau yang dikenal de-ngan Amdal. Amdal menjadi manifesta-si dari asas pencegahan karena ia meru-pakan sebuah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hi-dup yang diperlukan bagi proses peng-ambilan keputusan tentang penyeleng-garaan usaha dan/atau kegiatan.22 Di-karenakan ia merupakan sebuah kajian yang berdasarkan data terkait dampak yang akan dilakukan terhadap lingkung-an dan juga restorasi akan hal tersebut sehingga elemen dari “kepastian” terpe-nuhi. Dampak penting yang dimaksud oleh Amdal ditentukan berdasarkan kri-teria:23

a. Besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak;

20 Ibid.21 N. de Sadeleer, Environmental Principles: From Political Slogans to Legal Rules , (Oxford: Oxford

University Press 2002, hlm. 74-75.22 Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang No.

32 Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009, Pasal 1 paragraf 11.23 Ibid., Pasal 22 (2).

Page 143: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

290

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 284-298

b. Luas wilayah penyebaran dampak;c. Intensitas dan lamanya dampak

berlangsung;d. Banyaknya komponen lingkung-

an hidup lain yang akan terkena dampak;

e. Sifat kumulatif dampak;f. Berbalik atau tidak berbaliknya

dampak; dan/ataug. Kriteria lain sesuai dengan per-

kembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Lebih lanjut, semua kondisi yang diperlukan untuk sebuah Amdal yang layak diatur dalam Pasal 23-33 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 dan juga PP Nomor 27 Tahun 2012.

IV. Kajian Amdal serta Mekanisme Perizinan sebagai Instrumen Administrasi dalam Hukum Lingkungan

Izin merupakan salah satu bentuk dari keputusan yang memiliki karak-teristik untuk menentukan. Prajaudi menggambarkan izin sebagai salah satu strategi yang digunakan oleh pemerin-tah untuk mengatur dan mengendalikan subjek hukum di bawah kewenangan-nya untuk melarang tanpa surat tertulis, kepada subjek hukum yang diatur untuk berbuat/melakukan sesuatu yang diken-dalikan dan diregulasi oleh pemerintah sejalan dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, melalui

skema mekanisme perizinan, pemerin-tah mengintervensi kegiatan-kegiatan tertentu yang dilakukan oleh publik. 24 Lebih lanjut, ia juga membedakan anta-ra izin (vergunning) dan otorisasi (mac-htging) sehingga ia mengatakan bahwa izin merupakan sebuah keputusan yang berisi dispensasi dari sebuah perbuatan yang dilarang oleh perundang-undang-an. Sebuah perbuatan yang dilarang ter-sebut memerlukan syarat dan ketentuan tertentu yang harus dipenuhi oleh pe-mohon untuk mendapatkan dispensasi tersebut. Norma hukum yang terkan-dung dalam sebuah izin adalah norma larangan dan norma kewenangan yang bersumber dari organ pemerintah yang berwenang untuk mengizinkan pub-lik melakukan perbuatan spesifik yang sebenarnya dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Dalam konteks sektoral hukum lingkungan, izin meru-pakan sebuah instrumen dari kebijakan lingkungan. Proses izin lingkungan ber-dasar kepada keputusan administrasi yang dikeluarkan oleh organ pemerintah dalam bentuk tertulis dan secara unilate-ral sesuai dengan kewenangannya. Jenis dari keputusan ini merupakan keputus-an unilateral yang bersifat konstitutif se-hingga menciptakan hak dan kewajiban bagi pemohon dan juga pembuat kepu-tusan. Ketika syarat dan ketentuan ter-kait kewajiban pemohon tidak terpenuhi

24 Harsanto Nursadi, Hukum Administrasi Negara Sektoral Edisi Revisi, cet.2 , (Depok : Badan Penerbit FHUI, 2019), hlm. 229.

Page 144: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

291

Arya Rema MubarakConflict of Interest antara Usaha Perlindungan Lingkungan Hidup dengan Kemudahan Berinvestasi dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018

dan menciptakan dampak lingkungan atau izin tersebut memiliki kecacatan prosedural ataupun materil, maka izin tersebut menjadi subjek untuk pemba-talan baik oleh pembuat keputusan atau pengadilan tata usaha negara.25

Izin lingkungan yang sebagaimana dimaksud di atas merupakan izin yang diberikan kepada pelaku usaha/kegi-atan yang memerlukan Amdal dengan tujuan untuk melindungi dan menge-lola lingkungan yang merupakan pra-syarat untuk mendapatkan izin usaha/kegiatan. Amdal merupakan dokumen penting untuk menentukan kelayakan dampak dari usaha atau kegiatan yang akan dilakukan terhadap perlindungan lingkungan. Ketika Amdal yang meru-pakan dokumen tidak terpisahkan dari izin lingkungan secara substansi dikate-gorikan sebagai tidak layak, maka per-mohonan akan perizinan ini tidak akan diterima sehingga izin usaha/ kegiatan tidak akan dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang untuk itu sehingga hal ini dapat dilihat sebagai usaha pence-gahan kerusakan lingkungan.26 Sebalik-nya ketika dokumen Amdal dinyatakan layak, maka fungsi Amdal sebagai in-strumen perlindungan lingkungan akan dampak lingkungan yang terkalkulasi didalamnya bekerja dan dalam imple-

mentasinya dapat diminimalisir dan di-antisipasi untuk mencegah terlewatnya batas atau standar kualitas dari dampak lingkungan.27 Setelah dokumen Amdal disetujui oleh pejabat yang berwenang, maka mereka akan mengeluarkan sebu-ah Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup (KKLH).28

Sebelum Undang-Undang No.32 Ta-hun 2009, banyak mekanisme perizinan yang berbeda harus didapatkan secara terpisah untuk tindakan tertentu seper-ti izin untuk mengelola limbah B3 dan membuang limbah terhadap lingkung-an didalam izin yang berbeda. Izin ling-kungan yang disediakan oleh UU No.32 Tahun 2009 memiliki niatan untuk meng-integrasi izin-izin yang berbeda untuk tujuan berbeda seperti contoh yang di-sebutkan tadi menjadi satu. Ia juga me-miliki peran yang signifikan karena da-lam satu sisi izin lingkungan ini menjadi prasyarat izin usaha, disisi lain ialah izin usaha tersebut bergantung kepada izin lingkungan sehingga ketika izin ling-kungan ini dicabut, idealnya ialah izin usaha ini akan menjadi batal demi hu-kum. Pendekatan yang digunakan oleh undang-undang ini dikenal juga seba-gai integrated permitting approach. Pende-katan ini berasal dari kepentingan akan dampak lingkungan terhadap air, uda-

25 Ibid., hlm. 230.26 Indonesia, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 37 (2).27 Ibid.28 Harsanto Nursadi, Hukum Administrasi, hlm. 231.

Page 145: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

292

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 284-298

29 Andri Gunawan Wibisana, “Pengelolaan Lingkungan Melalui Izin Terintegrasi dan Berantai : Sebuah Perbandingan Atas Perizinan Lingkungan Di Berbagai Negara”, Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 2 (2018), hlm. 5.

30 Ibid.31 Anisyah Al Faqir, “Kementerian LHK minta Amdal reklamasi teluk Jakarta dibuat lengkap”h-

ttps://www.merdeka.com/jakarta/kementerian-lhk-minta-Amdal-reklamasi-teluk-jakarta-dibuat-lengkap.html, diakses tanggal 30 Maret 2019.

ra, atau tanah atau dampak-dampak la-innya dilihat sebagai satu kesatuan dan ditanggapi juga sebagai satu kesatuan yang berkaitan.29 Dengan sistem yang demikian, mekanisme izin tersebut akan berusaha untuk melindungi lingkungan sebagai sebuah kesatuan, dan bertujuan untuk mengimplementasikan teknologi terbaik yang tersedia serta ia juga beru-saha untuk tidak hanya membatasi ku-alitas limbah, namun juga mengurangi hingga mencegah pembuatan limbah tersebut.30

Dapat disimpulkan bahwa untuk mendapatkan izin tersebut, harus dila-kukan secara bertahap. Ketika satu peri-zinan terpenuhi, maka izin lainnya dapat didapatkan dan seterusnya. Implikasi akan cacat substansial dari sebuah do-kumen Amdal dapat dilihat dari kasus reklamasi Teluk Jakarta yang berdam-pak masif terhadap keberlangsungan lingkungan hidup dan manusia di seki-tarnya.31 Untuk merekap mekanisme izin lingkungan, berikut adalah skema meka-nisme perizinan lingkungan:

AMDAL KKLHEnvironmental

PermitBusiness/Activities

permit

gambar 5. skema mekanisme perizinan lingkungan

V. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik Serta Hubungannya dengan Izin Lingkungan

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Beru-saha Terintegrasi Secara Elektronik atau yang dikenal dengan PP OSS ini meru-pakan sebuah media yang diciptakan oleh pemerintah untuk menyederhana-

kan mekanisme perizinan yang ada di Indonesia kedalam satu platform online dengan tujuan untuk memudahkan izin berusaha di Indonesia. Peraturan ini juga merupakan mandat dari Peratur-an Presiden No. 91 Tahun 2017 tentang Percepatan Pelaksanaan Berusaha. Tek-nologi yang berbasis informasi ini pada dasarnya menyambungkan dan mengin-tegrasi berbagai sistem permohonan per-izinan di Badan Koordinasi Penanaman

Page 146: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

293

Arya Rema MubarakConflict of Interest antara Usaha Perlindungan Lingkungan Hidup dengan Kemudahan Berinvestasi dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018

Modal (BKPM), Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), serta Pelayanan Terpadu Satu Pintu di tingkat daerah yang meng-gunakan sistem SiCantik Kemenkomin-fo. OSS juga menyatukan perizinan dari berbagai kementerian dan lembaga se-perti Indonesia National Single Window (INSW), Sistem Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM, serta Sistem Informasi Administrasi Ke-pendudukan Kementerian Dalam Nege-ri.32 Tidak semua perizinan bisa diproses melalui OSS, melihat bagian penjelasan didalam Peraturan Pemerintah tersebut, ada 20 sektor usaha yang perizinannya bisa diproses melalui OSS mulai dari sektor listrik hingga nuklir dan terma-suk di dalamnya perizinan lingkung-an dan kehutanan.33 Yang menarik dari mekanisme perizinan yang disediakan dalam Peraturan ini adalah ia mencip-takan sebuah ketentuan baru yang dike-nal dengan "Komitmen". Secara definisi, komitmen adalah pernyataan dari pela-ku usaha untuk memenuhi persyarat-an Izin Usaha dan/atau Izin Komersial atau Operasional.34 Dalam peraturan ini, komitmen dapat menjadi landasan di-terbitkannya Izin Usaha oleh Lembaga OSS kepada Pelaku Usaha yang tidak

memerlukan prasarana untuk menjalan-kan usaha dan/atau kegiatan , kepada Pelaku Usaha yang memerlukan prasa-rana untuk menjalankan usaha dan/atau kegiatan dan telah memiliki atau mengu-asai prasaranana, atau kepada Pelaku Usaha yang memerlukan prasarana un-tuk menjalankan usaha dan/atau kegi-atan tapi belum memiliki atau mengua-sai prasarana.35 Di saat yang bersamaan, Lembaga OSS dapat juga mengeluarkan Izin Lingkungan berdasarkan Komitmen yang berkewajiban untuk dilengkapi de-ngan Amdal atau UKL-UPL nantinya.36 Hal ini menjadi menarik karena dengan memperoleh Izin-Izin yang berdasarkan komitmen ini, Pelaku usaha dapat me-lakukan berbagai kegiatan sebagai beri-kut:37

a. Pengadaan tanah;b. Perubahan luas lahan;c. Pembangunan bangunan gedung

dan pengoperasiannya;d. Pengadaan peralatan atau sarana;e. Pengadaan sumber daya manusia;f. Penyelesaian sertifikasi atau ke-

laikan;g. Pelaksanaan uji coba produksi

(commisioning); dan/atauh. Pelaksanaan produksi.

32 Setyowati, Izin Berusaha Kini Lebih Mudah, Pemerintah Melunncurkan Sistem OSS.33 Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektro-

nik, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2018, LN No. 90 Tahun 2018.34 Ibid., Pasal 1 Paragraf 10.35 Ibid., Pasal 32.36 Ibid., pasal 50.37 Ibid., Pasal 38 ayat (1).

Page 147: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

294

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 284-298

Namun hal ini memiliki pengecuali-an bagi mereka Pelaku Usaha yang telah mendapatkan Izin Usaha namun belum menyelesaikan Amdal dan/atau renca-na teknis bangunan gedung tidak da-pat melakukan pembangunan gedung.38 Hal ini menjadi menarik karena dengan hanya memiliki izin berdasarkan ko-mitmen baik Izin Usaha dan/atau Izin Lingkungan, Pelaku Usaha berhak un-tuk melakukan berbagai kegiatan yang disebutkan di atas. Dengan demikian, peraturan ini mengubah total susunan mekanisme permohonan perizinan yang diatur dalam Undang-Undang No.32 Ta-hun 2009. Seperti yang sudah dijabarkan sebelumnya, undang-undang ini jelas mengatur bahwa Izin Lingkungan untuk Pelaku Usaha melakukan kegiatan dan/atau usaha dilakukan secara step-by-step mulai dari Amdal, lalu diikuti dengan KKLH, kemudian Izin Lingkungan, dan terakhir barulah dikeluarkan Izin Usaha. Dalam ketentuan yang diatur oleh PP OSS ini, maka mekanisme tersebut ber-ubah menjadi pengisian Komitmen oleh Pelaku Usaha, kemudian dimasukkan kedalam Lembaga OSS, yang kemudian lembaga ini mengeluarkan Izin Usaha Berdasarkan Komitmen dan Izin Ling-kungan Berdasarkan Komitmen yang dalam durasi tertentu harus dipenuhi.

Dengan ketentuan demikian, PP OSS ini mengesampingkan/mengabaikan esensi dari perlindungan lingkungan, spesifik-nya mengesampingkan asas pencegahan yang termanifestasi didalam Amdal. Da-lam ketentuan UU PPLH, Amdal menja-di bagian awal dari seluruh mekanisme perizinan karena Amdal merupakan proyeksi dari dampak terhadap ling-kungan, dampak terhadap kehidupan warga sekitar, dan durasi serta intensi-tas dampak tersebut yang merupakan efek dari kegiatan usaha yang bersang-kutan. Dengan adanya pengaturan yang demikian, maka hal ini mendiskreditkan esensi dari Amdal sebagai manifestasi dari asas pencegahan yang diregulasi di dalam UU PPLH karena memungkinkan dilakukannya sejumlah kegiatan tanpa adanya Amdal yang final. Selain itu, da-lam Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2012 yang merupakan peraturan teknis dari UU PPLH terkait izin lingkungan jelas menyebutkan bahwa dalam usaha memperoleh izin lingkungan harus me-lalui tahapan kegiatan yang meliputi:39

a. Penyusunan Amdal;b. Penilaian Amdal; danc. Permohonan dan Penerbitan Izin

Lingkungan.Dengan demikian, implikasi dari PP

OSS terkait "Izin Lingkungan Sementa-ra" ini membuat dampak-dampak yang

38 Ibid., Pasal 38 ayat (2).39 Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Tentang Izin Lingkungan, Peraturan Pemerin-

tah No. 27 Tahun 2012, LN No. 48 Tahun 2012, Pasal 2.

Page 148: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

295

Arya Rema MubarakConflict of Interest antara Usaha Perlindungan Lingkungan Hidup dengan Kemudahan Berinvestasi dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018

40 Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undang-an, Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, LN No. 82 Tahun 2011, Pasal 7.

mungkin terjadi dari kegiatan yang men-dapatkan izin dari skema OSS ini menja-di tidak terkendali dan memiliki potensi untuk terjadinya kerusakan lingkungan yang tidak dapat dikembalikan seperti sedia kala. Kemudian, dengan adanya ketentuan dalam PP OSS yang mencip-takan mekanisme baru dalam mendapat-kan izin lingkungan membuat PP OSS ini secara langsung bertabrakan dengan UU PPLH yang secara hierarkis diba-

wah sistematika peraturan perundang-undangan di Indonesia40 dan PP Ten-tang Izin Lingkungan (PP No.27 Tahun 2012) yang menjadi bukti ketidakcermat-an pembuat peraturan dalam membuat peraturan dan bentuk konkret akan ke-tidakpedulian akan kewajibannya untuk melindungi lingkungan. Sebagai kompa-rasi dari skema sebelumnya, berikut me-rupakan sistematika permohonan akan izin lingkungan berdasarkan PP OSS

Business actorsCommitment Stat-

mentOSS

Business Permit Based on Commit-

ment

Environmental Permit Based on

Commitment

Gambar6.Sistematikapermohonanakanizin lingkungan berdasarkan PP OSS

VI. Kesimpulan dan Saran

Pada kenyataannya, investasi me-mang penting bagi perkembangan se-buah negara yang masih dalam tahapan negara berkembang seperti Indonesia. Namun, harus diperhatikan secara cer-mat juga terkait batasan batasan tertentu seperti perlindungan lingkungan yang tidak dapat dikurangi mengingat Indo-nesia merupakan salah satu negara de-ngan deforestasi tercepat di dunia. UU PPLH Tahun 2009 sudah menciptakan perlindungan akan lingkungan yang cu-

kup matang dan baik melalui mekanis-me permohonan atas izin lingkungan yang dilakukan secara bertahap (step-by-step) untuk memastikan bahwa langkah-langkah yang dilakukan baik oleh pela-ku usaha maupun pejabat berwenang sudah dilakukan secara baik dan cermat sehingga hasil dari hal tersebut tidak akan membahayakan/ merugikan ling-kungan. Sangat disayangkan, meskipun UU PPLH sudah menciptakan proteksi hukum yang baik dan koheren, sering-kali ia dikecewakan oleh peraturan yang

Page 149: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

296

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 284-298

secara hierarkis berada di bawah UU ini seperti apa yang terjadi pada Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2018 Tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terinte-grasi Secara Elektronik atau yang dike-nal dengan PP Online Single Submission (OSS)

Penulis menyarankan, sebagai usaha untuk meningkatkan kemudahan dan efisiensi berinvestasi di Indonesia, ketim-bang menciptakan norma baru seperti "komitmen" sebagaimana dalam PP OSS, kita harus mereformasi etika bekerja para birokrat terkait dan batas waktu proses perizinan akan izin usaha dan juga izin lingkungan sebagaimana diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Selain itu, perlu ditekankan bahwa adanya ur-gensi untuk merevisi atau mecabut ke-tentuan PP OSS terkait mekanisme izin lingkungan dengan "komitmen". Kita su-dah melihat betapa pentingnya izin ling-

kungan untuk diproses secara baik dan benar dalam kasus reklamasi Teluk Ja-karta. Meskipun semua dokumen untuk izin lingkungan sudah ada, sebuah ke-salahan minor terkait spesifikasi terten-tu membuat dampak lingkungan yang masif pada teluk Jakarta dan sangat ber-dampak kepada keberlangsungan hidup warga yang hidup di sekitarnya. Ketika posibilitas hal seperti itu ada dan hadir ketika menggunakan norma dalam UU PPLH, maka dengan adanya ketentuan PP OSS yang sudah dijabarkan sebelum-nya membuat posibilitas akan kerusakan lingkungan seperti ini semakin tinggi terjadi. Maka dari itu, kembali kepada saran yang dituliskan sebelumnya, re-formasi akan etika bekerja birokrat harus menjadi prioritas dalam mencari keseim-bangan antara kepentingan ekonomi dan juga usaha perlindungan lingkungan.

Page 150: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

297

Arya Rema MubarakConflict of Interest antara Usaha Perlindungan Lingkungan Hidup dengan Kemudahan Berinvestasi dalam

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018

DAFTAR PUSTAKA

Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan No. 32 Tahun 2009, LN No. 140 Tahun 2009.

_________. Peraturan Pemerintah Tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terinteg-rasi Secara Elektronik, Peraturan Pe-merintah No. 24 Tahun 2018, LN No. 90 Tahun 2018, Pasal 32.

________. Undang-Undang Republik Indo-nesia Tentang Pembentukan Peraturan P e r u n d a n g - u n d a n g a n , U n d a n g -Undang No. 12 Tahun 2011, LN No. 82 Tahun 2011, Pasal 7

Buku

Hardjasoemantri, Koesnadi. Hukum Tata Lingkungan,ed.3. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1988.

Nursadi, Harsanto. Hukum Administrasi Negara Sektoral Edisi Revisi, cet.2, De-pok : Badan Penerbit FHUI. 2019.

Rahmadi, Takdir. Hukum Lingkungan di Indonesia, cet.7. Raja Grafindo Persa-da: Depok. 2018.

Sadeleer, N. de. Environmental Principles: From Political Slogans to Legal Rules , Oxford: Oxford University Press. 2002.

Syarif, Laode M. and Andri Gunawan Wibisana, Hukum lingkungan, Teori,

Legislasi, dan Studi Kasus, Jakarta: USAID, Kemitraan, the Asia Foundation.

Artikel Jurnal/Media Massa

Al Faqir, Anisyah. “Kementerian LHK minta Amdal reklamasi teluk Jakarta dibuat lengkap” https://www.mer-deka.com/jakarta/kementerian-lhk-minta-Amdal-reklamasi- teluk-jakarta-dibuat-lengkap.html, diakses tanggal 30 Maret 2019.

FAO.org, “Global Forest Resources Asse-ssment 2010”, Food and Agriculture Organization of the United Nations.http://www.fao.org/forestry/fra/fra2010/en/

Matthews, Emily. “The State of the Fo-rest : Indonesia”, Global Forest Watch, Forest Watch Indonesia, and World Re-sources Institute, 2002.

Qurani, Hamalatul “Dinilai Tabrak Atur-an Sana Sini, PP OSS Harus Direvi-si”,https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt 5bcc0df105bb5/dinilai-tabrak-aturan-sana-sini--pp-oss-harus-direvisi, diakses 29 Maret 2019.

Rahmadi, Takdir. “Pengembangan Hu-kum Lingkungan di Indonesia”. http://pn-ponorogo.go.id/joomla/index.php/artikel-umum/49-per-kembangan-hukum-lingkungan-di-indonesia, diakses 29 Maret 2019.

Ran.org, “Indonesian Rainforest” https: //www.ran.org/indonesian-rainfo-rests/, diakses 29 Maret 2019.

Resolution 1346 (XLV) of the UN Econo-mic and Social Council of 30 July 1968, endorsed by UN General Assem bly Resolution 2398 (XXIII) of 6 December 1968.

Page 151: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

298

Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 5, No. 2, 2019: Halaman 284-298

Sand, Peter H. “The History and Origin of International Environmental Law”, Elgar Research Collection (Feb-ruary 2016).

Setyowati, Hermin Esti. “Izin Berusaha Kini Lebih Mudah, Pemerintah Me-lunncurkan Sistem OSS”, https://k o m i n f o . g o . i d / c o n t e n t / d e t a -il/13373/izin-berusaha-kini-lebih-mudah-pemerintah-meluncurkan-sistem-oss/0/artikel_gpr, diakses 29 Maret 2019.

Tim Redaksi Kumparan, “Walhi : Pulau Reklamasi Tidak Boleh Untuk Ko-mersial”https://kumparan.com/@kumparannews/walhi-pulau-rekla-masi-tidak-boleh-untuk-komersi-al-1540523347274348377 ,diakses 30 Maret 2019.

Trouwborst, Arie. Prevention, Precaution, Logic And Law - The Relationship bet-ween The PRecautionary Principle and The Preventative Principle in Internatio-nal Law And Associated Questions, Netherlands Erasmus Law Review. 2009.

Wibisana, Andri Gunawan “Pengelolaan Lingkungan Melalui Izin Terintegra-si dan Berantai : Sebuah Perbanding-an Atas Perizinan Lingkungan Di Berbagai Negara”, Jurnal Hukum & Pembangunan 48 No. 2. 2018.

Page 152: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

299

INDEKS SUBJEKJURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA

VOLUME 05 NOMOR 2, APRIL 2019

AAdvancement fund 173Agraria kolonial 235, 241Agrarische Besluit 240, 242Alokasi pendanaan 160, 178, 179Andersen 170, 181Antroposentrisme 191, 223, 224, 225, 230,

231Arthur Cecil Pigou 169Asas kehati-hatian 288Asas pencegahan 288Aset lingkungan 168Autonomous Compensation Funds 173

BBadan Restorasi Gambut 187Baku mutu emisi 280, 281, 282Bekkers 257, 269Beleidsregel 187Biosentrisme 223, 224, 225, 230Bocken 173, 174, 182

CCharles D. Patterson 172, 173Clean Air Act 280, 281Complementary Compensation Funds 173Cordato 166, 182Cost recovery 175

DDana amanah 161, 162Dana jaminan pemulihan lingkungan hi-

dup 161Dana lingkungan hidup 162, 178, 180Dana penanggulangan pencemaran 161,

162, 178Deforestasi 194, 200, 261, 295Degradasi lingkungan 186Deklarasi Rio 163, 167Deontologis 219, 220, 224, 226, 230De Sadeleer 289

EEarmarked taxes 170, 184Earmarking 160, 170, 171, 172, 176, 178,

182, 183, 184Edward Westermarck 217Ekofeminisme 223Ekosentrisme 223, 225Ekosistem pesisir dan laut 271Ekosistem Tesso Nilo 253, 254, 255, 270Ekstraksi 235Elizabeth Deran 171Emil Salim 192Environmental asset 168Environmental Defense Fund 177Environmental Funds 160Environmental Protection Agency 175Etika Lingkungan 167, 182, 218, 219, 220,

223, 224, 225, 232

Page 153: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

300

FFaktor eksogenous 256Fallacy 211Faure 169, 173, 175, 179, 181, 183, 184Fragmentasi 235, 243Franklin 174, 176, 184Funds Holding The Polluter Harmless 173

gGeneral Compensation Fund 173Green politics 186Guarantee funds 173Guiding Principles Concering the Internati-

onal Economic Aspects of Environmen-tal Policies 163

HHaggerty 176, 177Hak asasi alam 223Hak biokultural 249Hak guna usaha 239Hak menguasai negara 237, 238, 243,

244, 245Hak pengusahaan hutan 239, 243Hak tenurial 237HAM 194, 237, 251, 293Hamersma 211, 232Hartlief 179, 183Hazardous substance 165Hegel 224High exclusion cost 258Hukum agraria 235, 241, 242Hutan hak 245, 246Hutan negara 240, 243, 245, 246, 262Hutan Tanaman Industri 236, 254Hutan Tanaman Rakyat 236, 262

IImmanuel Kant 219Indonesia National Single Window 293Infrastruktur 235, 243Inpres Moratorium Hutan dan Gambut

189, 190Inpres Percepatan Penyelesaian Tanah

dalam Kawasan Hutan 198Inpres Reforma Agraria 198Institutional analysis development 256Institutional issues 254Instrumen pendanaan lingkungan hidup

161Integrated permitting approach 291Izin lingkungan 209, 210, 226, 227, 228,

229, 230, 290, 291, 292, 294, 295, 296

JJack Lienke v, vii, 280, 283Jimly Asshiddiqie 187John Barry 191, 192, 193, 195, 202Judy 174, 175, 183

KKatherine N. Probst 175, 183Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir

271, 272, 275, 276Kawasan Konservasi Laut 271Kawasan Konservasi Perairan 271Kebijakan Tata Kelola Lahan 186Keohane 257, 269Keraf 167, 182, 209, 218, 219, 221, 223,

224, 225, 232Ketimpangan 202, 236, 237, 249, 252, 262Kolonial 235, 237, 239, 240, 241, 242Koninklijk Besluit 240Konsekuensi 237, 241, 250Konservatif 239

Page 154: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

301

Konstelasi 235Kronis 237

LLaura Marsiliani 170Legal politics of Masyarakat Hukum Adat

in forest and land areas 234Legislasi 235Liberal 239Limitation fund 173Liu Jing 173, 174

MMahfud M.D 187Marisiliani 170Mark Haggerty 176, 177Martha L. Judy 175Masterplan Percepatan dan Perluasan

235Masyarakat Hukum Adat 234, 237, 247,

251Mekanisme perizinan 285, 290, 291, 292,

293, 294Michael G. Faure 173, 175, 179Mikael Skou Andersen 170, 181Model perizinan 235Moral 175, 184, 210, 213, 231, 232Morari 188Moratorium sawit 189, 200, 202

NNatural Resource Management 258, 263Nicole Franklin 174, 176

OOil Palm Moratorium 186Ongkos pencegahan pencemaran 166

Online Single Submission 285, 296Organization for Economic Cooperation

and Development 163Ostrom 256, 257, 260, 269

PPatterson 172, 173, 183Pembangkit Listrik Tenaga Uap 275, 280Pembangunan Ekonomi Indonesia 235Pemilikan, Pengelolaan, dan Pengguna-

an Tanah 247Pengelolaan Sumber Daya Alam 254Pertumbuhan ekonomi 222, 235Phusis 209Pigou 169, 171, 182Pigouvian Tax 169Platon 209, 212, 213, 214, 215, 232Pluralisme hukum 210, 215, 216Politik hijau 186, 188, 191, 192, 193, 195,

199, 202, 203Politik hukum 187, 192, 204, 234, 241,

248, 251Polluter pays principle 160, 163, 177, 179PP OSS 285, 292, 294, 295, 296, 297Precautionary principle 166, 288Prevention principle 288Pribumi 239, 240Prinsip pencemar membayar 160, 161,

162, 163, 164, 167, 171, 176, 177, 179, 180

Probst 174, 175, 183Protagoras 210, 211, 212, 213, 214, 215,

217, 218, 229Proyek strategis nasional 274Pseudo-naturalisme 215Pseudo-wetgeving 187PT. Semen Gresik 226PT. Semen Indonesia 226, 229

Page 155: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

302

QQuasi legislation 187

RReforma agraria 190, 200, 202, 203, 237,

249, 250Reformasi 245, 249, 251, 252Relativisme hukum 229Rencana Pembangunan Jangka Mene-

ngah Nasional 161, 181Renstrom 170Response, Compensation, and Liability

Act 165, 175, 181, 184Revitalisasi Ekosistem Tesso Nilo 253,

255, 270Richard L. Revesz v, vii, 280, 283Roundtable on Sustainable Palm Oil 193Rule in form 255Rule in use 255

SSDA 235, 237, 238, 239, 241, 242, 243, 244,

245, 246, 248, 256, 257, 258, 259, 260, 266, 267, 268

Shomali 210, 213, 214, 217, 232Sofisme 209, 211, 212, 214, 215, 233Source of Funding 160Stephanie A. Welcomer 176, 177, 183Stockholm Conference 286Sumber Pendanaan 160Sumner 217, 218Sunaryati Hartono 187Superfund Trust Fund 174

TTaman Nasional Tesso Nilo 253, 254,

255, 258Tanah ulayat 238, 245, 246The Clean Power Plan 281The Comprehensive Environmental 165The Cross-State Air Pollution Rule 281The Mercury and Air Toxics Standards 281Thomas I. RenstroÈm 170, 183Thrasymakhos 210, 212, 213, 214, 215,

218, 229Tim Inventarisasi Penguasaan 247Tren muatan peraturan perundang-

undangan 234

UUUPA 235, 238, 241, 242, 243, 245UU PPLH 178, 179, 294, 295, 296

WWelcomer 176, 177, 183Wetgeving 187William Graham Sumner 217World Wildlife Fund 254

ZZona inti 272, 273, 274, 275, 276, 277, 278,

279Zona pemanfaatan terbatas 272

Page 156: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

303

INDEKS PENGARANGJURNAL HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA

VOLUME 05 NOMOR 2, APRIL 2019

AAdryan Adisaputra Tando 160Angela Vania Rustandi 271Arya Rema Mubarak 284

CChalid Muhammad 253

DDestara Sati 234

FFajri Fadhillah 280

HHariadi Kartodihardjo 253

RRaynaldo Sembiring 208

SSekar Banjaran Aji 186

TTheresia E.K. Hindriadita 160

Page 157: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

304

Page 158: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

PEDOMAN PENULISAN

Term of ReferenceJurnal Hukum LingkunganVol. 06 No. 1, Oktober 2019

Mengawal Kebijakan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam pada Periode Pemerintahan Ke-2 Jokowi

Latar Belakang

Momentum Pemilu 2019 menjadi sarana bagi kita untuk kembali mengevalu-asi pilihan kebijakan yang diambil pemerintah dan catatan untuk perbaikan pasca perubahan periode pemerintahan. Putusan Mahkamah Konstitusi di

akhir Juni lalu memastikan Presiden Jokowi kembali dipercaya oleh mayoritas rakyat Indonesia untuk memimpin negeri ini.

Ada banyak kebijakan baik khusus di bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam, maupun yang menimbulkan dampak pada lingkungan hidup dan sumber daya alam, yang diputusan oleh Jokowi pada periode pemerintahan yang lalu. Ada yang positif, namun tak sedikit pula yang mendapat kritik tajam dari berbagai pihak1. Bebe-rapa pro dan kontra terkait kebijakan tersebut telah dirangkum pula dalam JHLI Vol 05. No. 2.

Sebagai wadah akademik perdebatan hukum dan kebijakan lingkungan hidup, JHLI kembali mengundang akademisi dan praktisi hukum dan kebijakan lingkungan hidup, untuk menyumbangkan gagasan sesuai dengan tema “Mengawal Kebijakan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam pada Periode Pemerintahan Ke-2 Joko-wi”.

Redaksi menerima 3 (tiga) jenis tulisan: (1) hukum lingkungan murni (aspek pidana/perdata/administrasi/hukum internasional terkait lingkungan) dan kebijak-

1 Beberapa informasi dapat dibaca dalam: https://icel.or.id/catatan-akhir-tahun-icel-2017/ dan https://icel.or.id/catatan-awal-tahun-icel-2019/.

Page 159: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

an publik yang terkait dengan lingkungan; (2) tinjauan hukum dari ilmu lingkungan yang bersifat teknis terhadap kebijakan dan arah hukum yang ada; atau (3) politik hukum lingkungan.

Tema dan Topik

JHLI Volume 06 Nomor 1, Oktober 2019 memuat tulisan yang mengangkat tema umum: Mengawal Kebijakan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam pada Pe-riode Pemerintahan Ke-2 Jokowi

Beberapa topik yang dapat menjadi acuan dalam menyempitkan tema tersebut adalah: (1) Pencemaran air, udara, tanah, dan bahan beracun berbahaya (B3); (2) Pe-ngelolaan sampah; (3) Perlindungan dan pengelolaan keanekaragaman hayati; (4) Tata kelola hutan dan lahan; (5) Perlindungan dan pengelolaan sumber daya alam laut; (6) Kesehatan lingkungan dan hak asasi manusia; (7) Keadilan lingkungan; (8) Tata ruang dan lingkungan hidup; (9) Perubahan Iklim; (10) Perikanan; (11) Keterbu-kaan informasi; dan lain-lain.

Untuk setiap topik2, diharapkan ulasan dapat menjawab satu atau lebih pertanya-an kunci berikut:

1. Bagaimana permasalahan hukum/kebijakan dari topik yang bersangkutan da-lam tataran norma?

2. Bagaimana persoalan-persoalan yang dihadapi dalam mengimplementasikan norma hukum/kebijakan dari topik yang bersangkutan?

3. Bagaimana gagasan-gagasan dalam memperbaiki dan mengembangkan hu-kum dan kebijakan terkait topik yang bersangkutan?

Prosedur Pengiriman

Untuk Volume 06 Nomor 1, Oktober 2019, Penulis diharapkan mengirimkan ab-strak paling lambat 31 Juli 2019 dengan menyertakan (1) nama lengkap; (2) institusi asal; (3) nomor telepon yang dapat dihubungi. Redaksi akan menghubungi penulis yang naskahnya yang diterima. Naskah final diterima redaksi paling lambat 31 Agus-tus 2019.

Abstrak maupun naskah artikel dapat dikirimkan melalui surat elektronik yang ditujukan ke [email protected] dengan di-cc ke [email protected].

2 Topik tidak bersifat wajib/mutlak, melainkan hanya sebagai panduan untuk mempermudah penulis dalam memilih isu terkait. Penulis dapat memilih topik apa saja yang masih relevan dan masuk dalam ruang lingkup tema besar.

Page 160: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

Pemilihan Tulisan

Pemilihan abstrak bersifat prosedural untuk menyaring artikel yang relevan de-ngan aspek hukum dan kebijakan, dilakukan secara internal oleh para peneliti ICEL. Redaksi akan menghubungi penulis yang abstraknya diterima.

Pemilihan tulisan akhir melalui penelaahan formil dan plagiarisme oleh Redaksi, yang dilanjutkan dengan penelaahan substantif oleh Sidang Redaksi yang terdiri dari para peneliti ICEL dan Mitra Bestari. Tulisan yang dimuat akan diberikan honorari-um yang layak, sementara tulisan yang tidak dimuat akan diberikan notifikasi dan merupakan hak penulis sepenuhnya. Sidang Redaksi dapat meminta penulis untuk melakukan perbaikan substansi maupun teknis terhadap tulisannya.

Persyaratan Formil

A. UmumNaskah harus ditulis dalam Bahasa Indonesia, belum pernah dipublikasikan, atau

dalam pertimbangan dimanapun. Artikel yang pernah disajikan dalam pertemuan il-miah/seminar/lokakarya namun belum pernah diterbitkan dalam bentuk prosiding, perlu disertai keterangan mengenai pertemuan tersebut sebagai catatan kaki. Tabel atau gambar harus jelas, dan ditempatkan di dalam naskah dengan keterangan daftar tabel dan/atau gambar pada bagian akhir naskah setelah daftar pustaka.

B. Badan Naskah1. Naskah diketik dengan Microsoft Word, ukuran halaman A4 dengan margin

tepi dalam 3 cm, tepi luar 2 cm, atas 4 cm, dan bawah 3 cm. Tulisan mengguna-kan huruf Book Antiqua berukuran 12 pt, spasi satu setengah (1,5) tanpa spasi antar paragraf, dengan panjang naskah 4000-5000 kata.

Subjudul harus mengikuti, kaidah sebagai berikut: a. Tingkat satu: angka romawi kapital (I, II, III, …); b. Tingkat dua: alfabet kapital (A, B, C, …); c. Tingkat tiga: angka arab (1, 2, 3, …); d. Tingkat empat: alfabet kecil (a, b, c, …); e. Tingkat lima: angka romawi kecil (i, ii, iii, …).

Sementara itu, pengaturan heading harus mengikuti, kaidah berikut:a. Heading 1: Judulb. Heading 2: Abstrak, subjudul tingkat 1 (I, II, III, dst), Daftar Pustaka, dan

Daftar Tabel/Gambar

Page 161: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

c. Heading 3: subjudul tingkat 2 (A, B, C, dst)d. Heading 4: subjudul tingkat 3 (1, 2, 3, dst)

2. Subjudul pertama harus berisi Pendahuluan dan terakhir berisi Penutup. 3. Kalimat pertama setiap paragraf harus menjorok ke dalam/first line sejauh lima

ketikan atau 0,75cm.4. Kutipan langsung kurang dari 20 kata harus ditempatkan dalam paragraf de-

ngan menggunakan tanda kutipan (“........”). Sedangkan kutipan langsung le-bih dari 20 kata harus ditempatkan terpisah dari paragraf dengan margin kiri 1,27 cm, rata kanan kiri, dengan huruf miring dan jarak satu spasi.

C. Catatan Kaki1. Semua kutipan, tabel, dan/atau gambar harus mencantumkan referensi, de-

ngan catatan kaki format Chicago yang menjorok ke dalam/first line sejauh lima ketikan atau 0,75 cm, sebagaimana contoh berikut ini:

Phillipe Sands, Principles of Environmental Law, (Cambridge: Cambridge University Press, 2007), hlm. 342-344;

Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Cetakan ke-8, Edi-si ke-5, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hlm. 201-208;

Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Terjemahan dari De Structuur der Rechtswetenschap, Alih bahasa: Arief Sidharta, (Bandung: PT Alumni, 2003), hlm. 7;

“Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan Mendesak,” Sinar Harapan, 15 Januari 2014;

Prijono Tjiptoherijanto, “Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia”, http://www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005.

2. Sementara jika terjadi pengulangan sumber referensi maka menggunakan Ibid., untuk referensi yang dirujuk kembali secara berurutan dan op. cit. untuk re-ferensi yang dirujuk kembali secara tidak berurutan, kemudian ditambahkan informasi nomor halaman jika berbeda halaman.

D. Daftar PustakaDaftar pustaka ditulis pada akhir naskah, dengan judul “DAFTAR PUSTAKA,”

ditulis dalam huruf Book Antiqua 12, spasi satu setengah (1,5), format menggantung/hanging, dan alfabetis. Jika sumber beragam, maka harus dikelompokan menjadi:

a) Peraturan perundang-undanganb) Putusan Pengadilanc) Buku

d) Artikel jurnal/media massae) Lain-lain

Page 162: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest

Adapun contoh penulisan Daftar Pustaka adalah sebagai berikut:

Peraturan Perundang-UndanganIndonesia. Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU

No. 32 Tahun 2009. LN No. 140 Tahun 2009. TLN No. 5059.Indonesia. Menteri Lingkungan Hidup. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup

tentang Kerugian Lingkungan Hidup Akibat Pencemaran dan/atau Keru-sakan Lingkungan Hidup. No. 7 tahun 2014.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata [Het Herzein Inlandsch Reglement/Reglemen Indonesia yang Diperbaharui], diterjemahkan oleh Tim Visi Yustisia. Jakarta. Visi Media Pustaka, 2015.

Putusan pengadilanPengadilan Negeri Jakarta Utara, Putusan No. 108/Pdt.G/2015/PN.Jkt.Utr.Mahkamah Agung, Putusan No. 651 K/PDT/2015.Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Putusan No. 456/Pdt.G-LH/2016/PN.Jkt. Sel.

BukuDewiel, Boris. “What is the People? A Conceptual History of Civil Society,” dalam

Democracy, A History of Ideas. Vancouver: University of British Columbia Press. 2000.

Sands, Phillipe. Principles of Environmental Law. Cambridge: Cambridge University Press. 2007.

Artikel Jurnal/Media MassaRahayu, Muji Kartika. “Sistem Peradilan Kita Harus Dibenahi: Analisis Putusan

MK tentang UU Komisi Yudisial,” Jurnal Konstitusi, Vol. 3, No. 3, September 2006.

Sinar Harapan. “Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan Mendesak”. 15 Januari 2014.

Lain-LainBurchi, Tefano. “Current Developments and Trends in Water Resources Legislati-

on and Administration”. (disampaikan pada the 3rd Conference of the Inter-national Association for Water Law (AIDA). Alicante, Spain: AIDA, 11-14 Desember 1989.

Tjiptoherijanto, Prijono. Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia, http://www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005.

Page 163: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest
Page 164: JURNAL - icel.or.id · Tulis Ilmiah ALSA English Competition 2019 dan meraih penghargaan Best Paper. Dalam tulisan yang berjudul “Antara Usaha Perlindungan Conflict of Interest