jurnal gambaran psychological well being pada...
TRANSCRIPT
1
GAMBARAN PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA INDIVIDU LANJUT
USIA YANG TINGGAL DI PANTI WERDHA
Novalia Desty Utami
Pembimbing : Dra. Retnaningsih, MSi
ABSTRAK
Pada masa lanjut usia, individu ingin untuk dapat lebih menghabiskanwaktunya dengan orang-orang yang berarti buat mereka seperti anak-anak dancucu-cucunya. Dukungan sosial menjadi kebutuhan yang semakin diperlukanlansia, lansia membutuhkan cinta, persahabatan, pen gertian dan butuh untukdihargai. Kebutuhan emosional tersebut dapat diperoleh dari keluarga, baikpasangan hidup maupun keturunan. Namun, tidak semua lansia kemudiantin ggal bersama keluarganya. Ada juga lansia yang akhirnya tin ggal di institusi.Salah satunya di Indonesia institusi yang menyediakan sarana tempat tin ggalbagi para lansia adalah panti werdha.
Kontak sosial yang dimiliki lansia akan mempengaruhi psychological wellbeing lebih dari sebelumnya. Kontak sosial merupakan sumber untukmendapatkan dukungan pada lansia, keluarga memberikan keamanan dandukungan emosional, sedang teman juga merupakan sumber penting untukmendapatkan kesenangan dengan segera.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk men getahui alasan, gamba ranpsychological well being, dan faktor-faktor yang mempengaruhi psychologicalwell being individu lanjut usia yang tinggal di panti werdha.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metodekualitatif yang berbentuk studi kasus. Jumlah subjek yang diambil adalah 1 oranglansia berjenis kelamin wanita yang tinggal di panti werdha, berusia 80 tahun,dan telah tin ggal di panti werdha selama 3 setengah tahun. Dari hasil penelitiandiketahui bahwa alasan lansia dalam penelitian ini tin ggal di panti werdha adalahkarena perubahan tipe keluarga dan kemandirian. Selain itu, diketahui bahwalansia yang tin ggal di panti werdha dalam penelitian ini memiliki psychologicalwell being yang positif, hal ini berarti lansia yang tin ggal di panti werdha memilikipenerimaan diri yang baik, mampu menjalin hubungan yang positif dengan oranglain, memiliki otonomi yang baik, penguasaan lingkungan yang baik, memilikitujuan dalam hidup, dan merasakan pribadinya terus tumbuh. Faktor jaringansosial yang baik, kondisi ekonomi yang baik, interpretasi yang positif terhadappengalaman yang dilewati, dan dukungan sosial yang baik, merupakan hal-halyang dapat mempengaruhi psychological well being individu lanjut usia yangtin ggal di panti werdha.
Kata kunci: Lansia, Psychological Well Being, Panti werdha
1
PENDAHULUAN
Agar individu dapat
berkembang dengan normal, maka
mereka harus dapat menyesuaikan
dir i , memenuhi kebutuhan dan
mengatasi tugas dalam setiap tahap
perkembangannya (Papalia, Olds, &
Feldman, 2004). Ketika individu
memasuki masa balita, individu
dapat menyesua ikan di r i dan
m e m e n u h i t a n t a n g a n
perkembangannya, jika mulai dapat
m e n g g u n a k a n k e t e r a m p i l a n
motoriknya serta memahami dan
m e n g g u n a k a n b a h a s a u n t u k
berbicara. Pada masa anak-anak,
mereka harus mengembangkan
identitas jenis kelaminnya serta
m u l a i b e r m a i n d a n m e n j a l i n
h u b u n g a n d e n g a n t e m a n
sebayanya, individu harus mulai
mencari identitas dirinya termasuk
identitas seksual, mengembangkan
konsep diri mereka ketika mereka
berada pada masa remaja. Pada
masa dewasa muda individu harus
d a p a t m e n gam b i l kep u t us a n
mengenai gaya hidup, hubungan
dekat, serta pendidikan dan karir
(Papalia, Olds, & Feldman, 2004),
juga tantangan-tantangan lain
seterusnya hingga individu
memasuki masa lansia atau lanjut
usia dan akhirnya meninggal.
Masa lansia merupakan masa
yang akan dilewati setiap individu.
Menur u t A i ken (199 5) l ans i a
didefinisikan sebagai individu yang
telah memasuki dekade ketujuh
dalam hidupnya. Secara tradisional
yang tergolong dalam lansia adalah
mereka yang berusia 65 tahun atau
lebih.
Troll dan Fingerman (dalam
Papalia, Olds, & Feldman, 2004)
mengatakan bahwa lansia ingin
untuk dapat lebih menghabiskan
waktunya dengan orang-orang yang
berarti buat mereka seperti anak-
anak dan cucu-cucunya. Dukungan
sosial menjadi kebutuhan yang
semakin diperlukan lansia, lansia
membutuhkan cinta, persahabatan,
pengertian dan butuh untuk dihargai
(Kohut et al . , 1983) . Menurut
Antonucci dan Akiyama (dalam
Papalia, Olds, & Feldman, 2004)
kebutuhan emosional tersebut dapat
d ipero leh dar i keluarga, ba i k
pasangan hidup maupun keturunan.
N a m u n , t i d a k s e m u a l a n s i a
kemudian tinggal bersama
3
keluarganya. Ada juga lansia yang
akhirnya tinggal di institusi. Salah
satunya di Indonesia institusi yang
menyediakan sarana tempat tinggal
bagi para lans ia adalah pant i
werdha. Lansia yang memi l ik i
kemungkinan besar tinggal di panti
werdha diantaranya adalah lansia
yang tidak memiliki keluarga (Kohut
et al., 1983), hidup sendiri, tidak
mengambil bagian dalam aktivitas
sosia l , memi l ik i keterbatasan
kesehatan dan kemampuan, serta
memiliki keluarga yang terbebani
dengan kehadiran mereka (McFall &
Mi l ler dalam Papal ia , Olds, &
Feldman, 2004). Perubahan dalam
kehidupan berkeluarga saat ini juga
dapat menjdi salah satu faktor yang
mendorong lansia tinggal di panti
werdha. Nilai keluarga kecil bahagia
sejahtera di Indonesia saat ini,
m e n y e b a b k a n j u m l a h a n a k
berkurang, sehingga mengakibatkan
ketergantungan lansia pada anaknya
pun menurun atau berkurang. Selain
itu, peran kaum perempuan yang
saat ini sudah tidak hanya di rumah
saja sebagai ibu rumah tangga,
tetapi juga memasuki dunia kerja,
atau yang kini biasa disebut wanita
karir, menyebabkan kaum
perempuan dalam sebuah keluarga
tidak dapat lagi diandalkan sebagai
pemberi pelayanan penuh bagi
keluarganya, termasuk lansia dalam
keluarga tersebut. Hal ini tentunya
menyebabkan semakin sedikit anak
u s i a p r o d u k t i f y a n g d a p a t
menampung orang tuanya yang
sudah lanjut usia dalam keluarga
dan lama kelamaan akan ditemukan
kenyataan bahwa keluarga tidak lagi
dapat sepenuhnya diandalkan
sebagai pemberi pelayanan bagi
keluarganya, termasuk menopang
kesejahteraan lansia sehingga
mereka memutuskan hidup sendiri
(Achi r , 2001) . Di samping i tu,
menurut Coles (dalam Gunarsa,
2 0 0 2 ) l a n s i a y a n g m e m i l i k i
keterbatasan dalam memenuhi
kehidupan sehari-harinya sendiri pun
akhirnya memilih untuk tinggal di
panti werdha.
Panti werdha merupakan unit
pe l aksanaan tekn is kegia tan
pelayanan sosial kepada lansia
untuk memenuhi kebutuhan hidup
m ereka secara l ayak mela lu i
pemberian penampungan yaitu
penempatan lansia di dalamnya,
jaminan hidup seperti makanan dan
4
pakaian, pemeliharaan kesehatan,
pengisian waktu luang termasuk
rekreasi, bimbingan sosial, mental
serta agama, sehingga mereka
dapat menikmati hari tuanya dengan
diliputi ketentraman lahir dan batin
(Direktorat Jenderal Pelayanan dan
Rehabilitasi Sosial & Direktorat Bina
Pelayanan Sosial Lanjut Usia, 2004).
Panti werdha di Indonesia
dikelola oleh pihak pemerintah dan
juga pihak swasta. Di wilayah DKI
Jakarta terdapat 12 panti jompo baik
swasta maupun pemerintah (Dinas
B i n a M e n t a l S p i r i t u a l d a n
Kesejahteraan Sosial, 2004). Panti
tersebut menyediakan sarana dan
prasarana untuk menampung,
merawat, serta memberikan kegiatan
keterampilan, keagamaan, olahraga,
d a n j u g a k e s e n i a n . N a m u n ,
pandangan terhadap panti werdha
k u r a n g b e g i t u b a i k . D e n g a n
tinggalnya lansia di panti werdha,
maka lansia dianggap sebagai
m anus ia yang t i dak m emi l i k i
orientasi, tidak dapat mengatur
dirinya, tidak bahagia, memiliki
gambaran diri yang negatif, merasa
tidak berharga dan tidak mampu
(Tobin dan Lieberman, 1978).
Menurut Sommer (dalam Ebersole
dan Hess, 1990), lansia yang tinggal
di panti menunjukkan gejala antara
lain deindividuasi , yai tu lansia
mengalami peningkatan
ketergantungan, penurunan
asertifitas dan tidak mampu untuk
membuat keputusan, keterasingan
terhadap teknologi, dan perubahan
lain di dunia luar, serta kebosanan
akibat kekurangan stimulus baru.
Tinggalnya lansia di panti
w e r d h a , j u g a a k a n s e m a k i n
menegaskan pemiki ran bahwa
dirinya sudah tua, menyulitkan, dan
tidak dapat berbuat apa-apa lagi.
Selain i tu, menurut Kleeimeier
(dalam Lawton, 1977) peri laku
individu yang tinggal di panti diatur
atau distandarisasi oleh petugas dan
peraturan dari organisasi panti
tersebut. Panti werdha memiliki Giri
dimana para anggotanya dipisahkan
dari masyarakat luas. Pemisahan ini
terjadi karena penghuni yang ada
memiliki perbedaan dalam usia,
kesehatan, dan status lainnya dari
masyarakat sekitarnya. Selain itu,
penghuni juga jarang bergabung
dengan komunitas sekitarnya dan
5
kedatangan orang luar ke dalam
panti pun terbatas. Panti werdha
j u g a m e m i l i k i G i r i d i m a n a
penghuninya melakukan aktivitas
yang sama untuk bangun tidur,
makan, atau kegiatan lainnya di
waktu dan tem pat yang sama.
Perlmutter dan Hall (1992)
mengatakan pemisahan lansia dari
masyarakat sekitarnya ini akan
mengurangi kontak mereka dengan
k a u m m u d a d a n d a p a t
mempertahankan stereotipe bahwa
lansia rapuh dan tidak berguna
dimata kaum muda serta kehilangan
stimulasi atas ide-ide baru yang
mungkin dapat diperoleh dari kaum
muda. Pemisahan ini juga membuat
lansia tinggal dalam kondisi dimana
hu bungan den gan ora ng la i n
terbatas, sehingga lansia akan
merasa terisolasi, mobilitas terbatas,
pengalaman sosia l yang juga
terbatas, terorientasi pada keg iatan
rutin, dan aktivitas yang tidak kreatif
( T ow nsen d d a l a m T o b i n d an
Lieberman, 1978). Berbagai kondisi
t e r s e b u t k e m u n g k i n a n a k a n
berpengaruh terhadap psychological
well being lansia yang tinggal di
panti werdha.
Psychological well being
adalah reaksi evaluasi seseorang
mengenai kenyaman hidupnya
(Nathawat dalam Katarina, 2007).
Menurut Voyer dan Boyer (dalam
Louvet dan Rohmer, 2005) indikasi
dari kemampuan individu untuk
menyesuaikan diri dalam berbagai
konteks kehidupannya, sepert i
menyesuaikan diri terhadap masa
rem aja , de wasa, us i a l an ju t ,
pekerjaan, dan lain sebagainya
disebut Psychological well being.
Perasaan terhadap well being tadi
merupakan evaluasi individu atas
hidupnya (Papalia, Olds, & Feldman,
2004). Ryff (1989) merumuskan
terdapat enam dimensi dalam
psychological well being, yaitu
dimensi penerimaan dir i (self-
acceptance), dimensi hubungan
positif dengan orang lain (positive
relations with others ), dimensi
otonomi (autonomy ) , d imensi
p e n g u a s a a n l i n g k u n g a n
(environmental mastery), dimensi
tujuan hidup (purpose in life), dan
dimens i per tumbuhan pr ibadi
(personal growth). Keenam dimensi
i n i m a s i n g - m a s i n g m e m i l i k i
tantangan-tantangan yang berbeda
6
dalam hidup yang dihadapi individu
untuk dapat berfungsi secara positif
(Ryff, 1989). Terdapat juga berbagai
kondisi lain atau faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi keadaan
psychological well being pada lansia,
antara lain menurut Pinquart &
Sorenson (dalam Gusmilizar, 2009)
yaitu terdiri dari dua faktor, faktor
jaringan sosial dan faktor status
sosial ekonomi. Sedangkan menurut
Andrew dan Robinson (dalam
Syamsudin, 2008) faktor-faktor yang
mempengaruhi psychological well
being, adalah faktor pengalaman
hidup dan interpretasinya juga faktor
dukungan sosial yang diterima
individu.
Di sisi lain, panti juga dapat
m em be r i ka n h a l p os i t i f b ag i
penghuninya. Tinggal di tempat
khusus bagi lansia dapat membuat
lansia tidak terganggu lagi oleh
keributan ataupun tingkah laku ramai
dari kaum muda. Menurut Perlmutter
dan Hal l (1992) , hal in i dapat
m e m b u a t l a n s i a j u g a d a p a t
berinteraksi dengan teman sebaya
y a n g t a m p a k n y a d a p a t
meningkatkan semangat hidup,
aktivitas sosial, dan kepuasan
tempat tinggal. Di samping itu, panti
j uga menyed iakan keper l uan
sandang, pangan, dan papan para
peng hun i nya.
Panti umumnya memberikan
kesempatan kepada penghuninya
untuk melakukan kegiatan yang
positif. Di dalam panti biasanya
disediakan petugas sosial, tenaga
medis, pengasuh spiritual yang
dapat membantu lansia dalam
m e n j a l a n k a n d a n m e n j a g a
kehidupan sehari-hari. Lansia yang
menghuni panti, biasanya juga
d i b e r i k an k esem pa t an un tu k
melakukan rekreasi bersama-sama.
Dengan lingkungan yang asri, tertata
r a p i , m a k a n t e r a t u r , d a n
pengawasan kesehatan yang ketat,
para lansia i tu biasanya hidup
dengan sejahtera, bahkan di panti
m i l i k p e m e r i n t a h s e k a l i p u n
(Ratnawati, 2005).
Berdasarkan uraian diatas,
m a k a p e n e l i t i t e r t a r i k u n t u k
mengetahui psychological well being
pada individu lanjut usia yang tinggal
di panti werdha.
Pertanyaan Penelitian
7
Berdasarkan uraian latar belakang
masalah tersebut diatas, maka
diajukan pertanyaan-pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Mengapa individu lanjut usia
tinggal di panti werdha?
2. Bagaimanakah gambaran
psychological well being pada
individu lanjut usia yang
tinggal di panti werdha?
3. Faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi psychological well
being pada individu
lanjut usia yang tinggal di panti
werdha?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari peneli t ian ini
adalah untuk mengetahui mengapa
individu lanjut usia tinggal di panti
werdha, psychological well being
pada individu lanjut usia yang tinggal
di panti werdha, dan faktor-faktor
yang mempengaruhi psychological
well being pada individu lanjut usia
yang tinggal di panti wedha.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan memiliki
dua manfaat, yaitu:
1. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan informasi
y a n g b e r m a n f a a t b a g i
pengembangan ilmu psikologi
k h u s u s n y a P s i k o l o g i
Perkembangan dan Gerontology
serta dapat menjadi masukan
yang berguna bagi penelitian
l e b i h l a n j u t m e n g e n a i
psychological well being pada
individu lanjut usia yang tinggal di
panti werdha.
2. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan
dapat memberikan gambaran
kepada para individu lanjut usia
dan keluarganya, serta pihak
p a n t i w e r d h a , t e n t a n g
psychological well being pada
individu lanjut usia yang tinggal
di panti werdha, sehingga dapat
menjadi pertimbangan dalam
merawat lansia di panti werdha.
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep psychological well
being atau kesejahteraan psikologis
diperkenalkan oleh Neugarten
(dalam Palupi, 2008) yang diartikan
sebagai kondisi psikologis yang
dicapai oleh seseorang pada saat
8
berada pada usia lanjut. Nathawat
(dalam Katarina, 2007) berpendapat
bahwa psychological well being
adalah reaksi evaluasi seseorang
mengenai kenyamanan hidupnya.
Ryff (dalam Palupi, 2008),
menyatakan bahwa psychological
well being adalah suatu keadan
dimana individu dapat menerima
kekuatan dan kelemahan di r i
sebagaimana adanya, memil iki
hubungan positif dengan orang lain,
mampu mengarahkan perilakunya
sendiri, mampu mengembangkan
potensi diri secara berkelanjutan,
mampu menguasai lingkungan, serta
memiliki tujuan dalam hidupnya.
Diener (dalam Papalia, Olds,
dan Feldman, 2004) mengatakan
bahwa psychological well being
adalah perasaan subjekt i f dan
evaluasi individu terhadap hidupnya
sendiri.
Berdasarkan dari beberapa
definisi psychological well being
yang dikemukakan diatas, maka
d a p a t d i s i m p u l k a n b a h w a
psychological well being meru pakan
kondisi psikologis yang dicapai oleh
individu, dimana individu dapat
menerima kekuatan dan kelemahan
diri sebagaimana adanya, memiliki
hubungan positif dengan orang lain,
mampu mengarahkan perilakunya
sendiri, mampu mengembangkan
potensi diri secara berkelanjutan,
mampu menguasai lingkungan, serta
memiliki tujuan dalam hidupnya
dalam bentuk perasaan subjektif,
sebagai reaksi evaluasi seseorang
mengenai kenyamanan hidupnya.
Dimensi-dimensi Psychological
Well Being
a) Penerimaan Diri (Self-
Acceptance)
Dimensi ini merujuk pada
k e m a m p u a n i n d i v i d u d a l a m
menerima segala aspek dirinya
secara positif, baik di masa lalu
m a u p u n s e k a r a n g . D i m e n s i
penerimaan diri dikatakan sebagai
karakteristik sentral dari individu
yang sehat mental dan matang yang
akhirnya mendukung terciptanya
kondisi well-being . (Ryff dalam
Lopez & Snyder, 2004). Individu
yang t inggi da lam dimens i in i
dikarakteristikan sebagai individu
yang memiliki sikap positif terhadap
diri, mengetahui dan menerima
semua aspek diri, dan memiliki
9
pandangan positif tentang kehidupan
masa lalunya. Sebaliknya, individu
yang rendah dalam dimensi ini
memi l ik i perasaan t idak puas
den g an d i r i , kec ewa deng an
kehidupan masa lalu, cemas dengan
kualitas personal yang dimiliki, dan
berharap untuk bisa berbeda dari
dirinya sendiri. (Ryff & Keyes, 1995).
b) Hubungan Positif dengan Orang
Lain (Positive Relations with
Others)
Adanya kemampuan untuk
membina hubungan interpersonal
yang baik, saling percaya, penuh
kehangatan, dan penuh c in ta
dipandang sebagai kriteria penting
individu yang sehat mental dan
matang. Individu yang sudah mampu
mengaktualisasikan dirinya juga
digambarkan sebagai individu yang
mampu menunjukkan empati dan
afeksi , mampu mencintai , dan
m emi l i k i pe r saha ba t an ya ng
mendalam. Pada intinya, seluruh
kemampuan tersebut menjadi
komponen penting dalam
psychological well being individu
(Ryff dalam Lopez & Snyder, 2004).
Individu yang tinggi dalam dimensi
ini dikarakteristikkan sebagai individu
yang memiliki kehangatan, mampu
menampilkan pribadi yang jujur
ketika berhubungan, peduli dengan
kesejahteraan orang lain, mampu
menunjukkan empati, afeksi, dan
keintiman, serta memahami makna
“take and give” ketika berhubungan
dengan orang lain. Sebaliknya,
individu yang rendah dalam dimensi
ini tidak terlalu dekat dan jujur dalam
menjalin suatu hubungan, merasa
sulit untuk menjadi hangat, terbuka,
dan peduli terhadap orang lain,
merasa terisolasi dan frustasi dalam
hubungan interpersonal, dan tidak
bersedia untuk membuat kompromi
untuk mempertahankan ikatan
penting dengan orang lain (Ryff &
Keyes, 1995).
c) Otonomi (Autonomy)
Adapun yang menjadi dasar
dalam dimensi ini adalah penentuan
diri (selfdetermination), kebebasan,
dan regulasi emosi didalamnya.
Individu yang tinggi dalam dimensi
ini adalah individu yang memiliki
kebebasan dalam menentuan diri,
mampu mengatasi tekanan sosial
ketika berpikir dan bertindak, mampu
mengontrol perilaku, dan mampu
mengevaluasi diri dengan standar
10
personal (Ryff dalam Lopez &
Snyder, 2004). Sebaliknya, individu
yang rendah dalam dimensi ini
sangat mementingkan harapan dan
evaluasi dari orang lain, bergantung
pada penilaian orang lain ketika
membuat keputusan yang penting,
dan mengikuti (conform) tekanan
sosial dalam berpikir dan bertindak
(Ryff & Keyes, 1995).
d) Penguasaan Lingkungan
(Environmental Mastery)
Dimensi ini melibatkan
k e m a m p u a n i n d i v i d u d a l a m
mengatur dan mengubah lingkungan
melalui aktivitas fisik dan mental.
Ryff menyebutkan bahwa individu
yang sehat mental dan matang
adalah individu yang memi l ik i
kemampuan untuk memilih dan
menciptakan lingkungan yang sesuai
dengan kondis i psikis di r inya,
mampu berpartisipasi dalam aktivitas
di luar diri, dan memanipulasi serta
mengontrol lingkungan sekitarnya
yang kompleks. Individu yang tinggi
dalam dimensi ini dinilai sebagai
individu yang sangat kompeten dan
memiliki penguasaan yang baik
dalam mengontrol lingkungan dan
aktivitas eksternal, serta mampu
memilih dan menciptakan situasi
yang sesuai dengan ni lai dan
keinginannya (Ryff dalam Lopez &
Snyder, 2004). Sebaliknya, individu
yang rendah dalam dimensi ini
merasa sulit untuk mengatur hidup
sehari-hari, merasa tidak mampu
untukmengubah atau meningkatkan
situasi di sekelilingnya, tidak peduli
pada sekitar,dan kehilangan kontrol
diri (Ryff & Keyes, 1995).
e) Tujuan Hidup (Purpose in Life)
Ryf f mengatakan bahwa
individu yang dapat berfungsi secara
positif adalah individu yang memiliki
tujuan, intensi, dan arahan yang
dapat memberikan kontribusi pada
kebermaknaan hidupnya. Individu
yang t inggi da lam dimens i in i
dikarakteristikkan sebagai individu
yang memiliki tujuan dalam hidup
dan mampu memberi makna pada
hidupnya baik masa sekarang
maupun masa lalu (Ryf f dalam
Lopez & Snyder, 2004). Sebaliknya,
individu yang rendah dalam dimensi
ini merasa bahwa dirinya kehilangan
petunjuk, tidak meyakini bahwa
hidup ini memberikan arti, memiliki
sedikit tujuan, dan tidak mampu
11
melihat tujuan di kehidupan masa
lalunya (Ryff & Keyes, 1995).
f) Pertumbuhan Pribadi (Personal
Growth)
Ryf f mengatakan bahwa
tercapainya fungsi positif yang
optimal tidak hanya digambarkan
ketika individu sudah berhasi l
mencapai suatu kriteria tertentu,
t e t a p i j u g a k e t i k a d i r i n y a
menumbuhkan, mengembangkan,
dan meluaskan potensi atau fungsi
dirinya. Individu yang tinggi dalam
dimensi ini memiliki pandangan
bahwa dirinya selalu berkembang,
terbuka pada pengalaman baru,
m e m i l i k i k e m a m p u a n u n t u k
merealisasikan potensi diri, mampu
melihat perkembangan diri dan
perilakunya sepanjang waktu, dan
melakukan perubahan dengan cara-
cara tertentu yang merefleksikan
pengetahuan diri (Ryff dalam Lopez
& Snyder, 2004). Sebal iknya,
individu yang rendah dalam dimensi
ini merasa bahwa hidupnya berhenti
(stagnation), kehilangan kemampuan
untuk meningkatkan diri sepanjang
waktu, merasa jenuh dan merasa
bahwa hidupnya tidak menarik, dan
m e r a s a t i d a k m a m p u u n t u k
membangun sikap atau perilaku baru
(Ryff & Keyes, 1995).
Faktor-faktor yang mempengaruhi
Psychological Well Being
Menurut Pinquart & Sorenson
(dalam Gusmilizar, 2009) terdapat
d u a f a k t o r y a n g d a p a t
mempengaruhi psychological well
being individu, yaitu:
a) Faktor Jaringan sosial
Menurut Pinquart & Sorenson
(dalam Gusmilizar, 2009), berkaitan
dengan aktivitas sosial yang diikuti
oleh individu seperti aktif dalam
p e r t e m u a n - p e r t e m u a n a t a u
organisasi, kualitas dan kuantitas
aktivitas yang dilakukan, dan dengan
siapa kontak sosial dilakukan.
b) Faktor Status sosial ekonomi
Menurut Pinquart & Sorenson
(dalam Gusmilizar, 2009) meliputi
besarnya income keluarga, tingkat
pendidikan, keberhasilan pekerjaan,
kepemilikan materi, status sosial di
masyarakat.
Menurut Andrew & Robinson
(dalam Syamsudin, 2008) faktor-
f a k t o r y a n g m e m p e n g a r u h i
psychological well being i nd ivid u
12
lanjut usia yang tinggal di panti
werdha adalah:
a) Faktor Pengalaman Hidup dan
I nterpretasi nya
Menurut Andrew & Robinson
(dalam Syamsudin, 2008) faktor
pengalaman hidup interpretasi
individu terhadap pengalaman
hidupnya akan berpengaruh pada
p e n i l a i a n i n d i v i d u t e r h a d a p
kehidupannya secara umum.
b) Faktor Dukungan Sosial
Hasil penelitian menemukan
b ah wa d uk u n g a n s os i a l d a r i
lingkungan sekitar individu akan
sangat mempengaruhi psychological
well-being yang dirasakan oleh
individu tersebut. Menurut Sarafino
(dalam syamsudin, 2008) dukungan
sos ia l ternya ta juga memi l i k i
hubungan dengan kondisi well-
being. Dukungan sosial didefinisikan
sebagai pemberian rasa nyaman,
kepedulian, penghargaan, atau
bantuan kepada individu, yang bisa
diperoleh dari pasangan, keluarga,
t e m a n , a t a u o r g a n i s a s i
kemasyarakatan (Cobb dalam
Syamsudin, 2008). Menurut Cobb
(dalam Syamsudin, 2008), individu
yang mendapatkan dukungan sosial
akan merasa bahwa dirinya dicintai,
dipedulikan, dihargai, dan menjadi
bagian dalam jaringan sosial (seperti
keluarga dan organisasi tertentu)
y a n g m e n y e d i a k a n t e m p a t
bergantung ketika dibutuhkan.
Dalam penelitian ini, peneliti
m e n g g u n a k a n t e o r i y a n g
diungkapkan oleh kedua tokoh
tersebut diatas untuk mengetahui
faktor-faktor yang mempengaruhi
psychological well being i nd ivid u
lanjut usia yang tinggal di panti
werdha. Digunakannya teori dari
kedua tokoh tersebut karena kedua
tokoh tersebut mengatakan hal yang
berbeda mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi psychological well
being. Sehingga penel i t i ingin
mengetahui, bagaimana masing-
masing dari faktor-faktor tersebut
berpengaruh terhadap psychological
well being individu lanjut usia yang
tinggal di panti werdha.
Lanjut Usia
Manusia berubah secara
konstan, diawali kehidupan manusia
perubahan itu bersifat evolusional,
ya ng ar t i nya b ahwa manus ia
berubah menuju kedewasaan, akan
13
t e t a p i p a d a p e r k e m b a n g a n
selanjutnya mereka justru tidak
berkembang secara evolusional lagi
melainkan terjadi suatu regresi.
Perubahan ini biasa disebut menua
(Hurlock, 1980).
Menurut Constantinides
(dalam Nugroho, 2000) menua
adalah suatu proses menghilangnya
secara perlahan-lahan kemampuan
jaringan untuk memperbaiki diri atau
mengganti dan mempertahankan
fungsi normalnya, sehingga tidak
dapat bertahan terhadap infeksi dan
memperbaik i kerusakan yang
diderita.
Lansia adalah masa dewasa
akhir, yang dimulai pada usia 60-an
tahun dan diperluas sampai sekitar
usia 120 tahun, memiliki rentang
kehidupan yang paling panjang
dalam per iode perkembangan
manusia (Santrock, 1995).
Aiken (1995) mendefinisikan
lansia sebagai individu yang telah
memasuki dekade ketujuh dalam
hidupnya. Secara tradisional, yang
tergolong dalam lanjut usia adalah
mereka yang berusia 65 tahun atau
lebih.
Levinson (1978) memberikan
batasan usia lansia yaitu individu
yang berada pada usia 60 tahun
keatas. Periode ini ditandai dengan
adanya masa transisi dari dewasa
akhir ke lanjut usia yang terjadi pada
saat individu berusia 60 - 65 tahun.
Pada periode ini terdapat penurunan
keadaan fisik serta pendapatan,
namun biasanya masih memiliki
aktifitas.
Sementara di Indonesia,
terdapat batasan usia lansia yang di
berikan oleh pemerintah. Individu
yang disebut lansia adalah yang
telah mencapai usia 60 tahun dan
dinyatakan dengan pemberian kartu
tanda penduduk (KTP) seumur
hidup. Hal ini tercantum pada
Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 13 Tahun 1998 mengenai
kesejahteraan lansia (Direktorat
Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi
Sosial & Direktorat Bina Pelayanan
Sosial Lanjut Usia, 2004).
Berdasarkan dari beberapa
d e f i n i s i l a n j u t u s i a y a n g
dikemukakan diatas, maka dapat
disimpulkan bahwa lanjut usia
merupakan masa dewasa akhir,
yang dimulai pada usia 60-an dan
ditandai dengan penurunan keadaan
fisik.
14
Psychological Well Being pada
individu lanjut usia
Perasaan well being pada
lansia dihubungkan dengan memilih
tujuan spesifik sebagai hal penting
dalam berfungsi dan secara efektif
mengatur sumber-sumber internal
(energi, pemikiran, dan sebagainya)
dan eksternal (mengambil kelas
keterampilan, dukungan teknis, dan
sebagainya) untuk memaksimalkan
tingkat fungsional mereka (Biren &
Renner, 1980). Oleh karena itu, well
being bergantung pada kemampuan
untuk mengatur atau mengurangi
akibat dari peristiwa hidup yang
menekan dengan mengatur sumber-
sumber di sekitarnya untuk terus
terlibat dalam peran dan kegiatan
yang berharga (Hamarat dalam
Newman & Newman, 2006).
Dalam hubungan sosial,
u m u m n y a k e h i d u p a n l a n s i a
diperkaya dengan kehadiran teman
lama dan keluarga. Dan Landsford et
al., (dalam Papalia, Olds & Feldman,
2004) mengatakan bahwa Kontak
sosial yang dimiliki lansia akan
mempengaruhi well being lebih dari
sebelumnya. Kontak sosial
merupakan sumber untuk
mendapatkan dukungan pada lansia,
keluarga memberikan keamanan
dan dukungan emosional, sedang
teman juga merupakan sumber
p e n t i n g u n t u k m e n d a p a t k a n
k e s e n a n g a n d e n g a n s e g e r a
(Papalia, Olds & Feldman, 2004).
Teman juga dapat menjadi tempat
untuk menceritakan perasaan dan
pik i ran, ser ta dapat bercer i ta
m e n g en a i k ek h a w a t i r a n d a n
kesedihan yang dapat membantu
menghadapi perubahandan krisis
penuaan (Genevay dalam Papalia,
Olds & Feldman, 2004).
Palupi (2008)
mengungkapkan terdapat beberapa
upaya yang dapat dilakukan untuk
men i ngkatkan psychological well
being pada individu lanjut usia, yaitu
sebagai berikut:
a. Lingkungan menyediakan sumber
dukungan sosial yang positif agar
lansia tetap bisa merasa bahagia,
mencapai kepuasan hidup dan
terhindar dari depresi. Misalnya
Lingkungan, terutama keluarga,
memiliki kepedulian terhadap
15
kebutuhan lansia, melibatkan
lansia dalam aktivitas sosial yang
dilakukan keluarga dalam taraf
yang memungkinkan, misalnya
diskusi, makan malam bersama,
rekreasi bersama, dan lain-lain.
Memberikan kebebasan lansia
menjalani hobinya sebatas tidak
membahayakan diri mereka, dan
memberi kesempatan lansia
untuk tetap menjalin relasi sosial
dengan sebaya.
b. Ada kesediaan dari pihak-pihak
yang berkompeten untuk
mendesain program intervensi
bagi individu lanjut usia agar
lebih siap menghadapi masa tua,
seperti pelatihan kesiapan
menghadapi masa pensiun,
pelatihan penerimaan diri,
pelatihan manajemen stres,
pelatihan Life-Review untuk
mengurangi depresi, pelatihan-
pelatihan yang menunjang hobi,
terlebih yang mendatangkan
hasil.
c. Dari pihak lansia diharapkan
adanya kesadaran diri untuk
menjalani/memasuki masa lanjut
usia, menumbuhkan minat untuk
lebih melibatkan diri pada
kegiatan-kegiatan yang
bermakna dan peningkatan
rel igi usitas.
Panti Werdha
Panti werdha merupakan
tempat tinggal dimana penghuninya
menetap da lam jangka waktu
panjang dan umumnya selama sisa
hidup mereka (Higgins, 1989).
Pengadaan panti werdha bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan
para lansia. Berdasarkan UU RI no.
1 3 t a h u n 1 9 9 8 t e n t a n g
kesejahteraan lanj ut usia (Direktorat
Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi
Sosial & Direktorat Bina Pelayanan
Sosial Lanjut Usia, 2004), yang
dmaksud dengan peningkatan
kesejahteraan adalah peningkatan
tata kehidupan dan penghidupan
sosial baik material maupun spiritual
yang diliputi oleh rasa keselamatan,
kesusilaan, dan ketentraman lahir
dan batin yang memungkinkan untuk
mengadakan kebutuhan jasmani,
rohani dan sosial sebaik-baiknya.
Lansia yang tinggal di Panti
Werdha
16
Lansia yang tinggal di panti
menunjukkan gejala antara lain
d e i n d i v i d u a s i , y a i t u l a n s i a
m e n g a l a m i p e n i n g a t a n
keterantungan terhadap bantuan dari
orang lain, penurunan asertifitas dan
t i dak m ampu unt uk m embuat
keputusan, keterasingan terhadap
teknologi dan perubahan lain di
dunia luar, serta kebosanan akibat
kekurangan stimulus baru (Sommer
dalam Ebersole & Hess, 1990).
Lans ia juga diangap sebagai
m anus ia yang t i dak m emi l i k i
orientasi, tidak dapat mengatur
dirinya, tidak bahagia, memiliki
gambaran diri yang negatif, merasa
tidak berharga dan tidak mampu
(Tobin & Lieberman, 1978).
Akan tetapi, menurut Parmele
& Lawton (1990) mengatakan panti
dapat memberikan kepuasan kepada
p e n g h u n i n y a j i k a d a p a t
menggantikan unsur-unsur yang
h i l a n g d a r i r u m a h m e r e k a
sebelumnya, seperti keamanan,
dukungan, dan persahabatan.
Keamanan bagi lansia tidak hanya
berarti secara fisik, melainkan juga
dengan menemukan lingkungan
yang sesuai untuk menjalani sisa
hidupnya dan memiliki ketersediaan
kontak sos ia l , dukungan dan
pertolongan saat diperlukan.
Kehidupan penghuni panti
umumnya berpusat di sekitar tempat
tid u rnya aki bat keterbatasan tempat
um um d i p an t i (W ood ro f f e &
Townsend dalam Higgins, 1989).
Dan menurut Higgins (1989), panti
yang dapat menjaga privasi seperti
menyediakan tempat yang membuat
individu memiliki pilihan dan kendali,
dimana mereka dapat menarik diri
d a r i h u b u n g a n s o s i a l y a n g
mengancam juga dapat memberikan
kepuasan bagi penghuninya.
Ketika panti dapat
memberikan kesempatan lansia
untuk mengambil peran dalam
ak t i v i t as se h a r i - h a r i s e p e r t i
memasak atau yang lainnya, tingkat
kepuasan mereka terhadap panti
akan lebih tinggi, karena kualitas
pengalaman di panti juga dapat
ditingkatkan dengan memberikan
tanggung jawab dan kebebasan
melakukan kegiatan sehari-hari
kepada penghuni seperti layaknya di
rumah sendiri seperti belanja, ke
tempat ibadah, dan sebagainya
(Higgins, 1989).
17
Menurut Wade (dalam
Higgins, 1989) sebagian besar lansia
yang tinggal di panti tidak menjalin
persahabatan dengan penghuni
lainnya, hubungan antara penghuni
panti dikarakteristikkan sebagai
hubungan yang kaku yang hanya
menunjukkan rasa sopan dan
penghindaran terhadap kontak
pribadi, mereka cenderung menjaga
kehidupan pribadi mereka sendiri
dan berkomunikasi dengan orang
lain untuk menunjukkan keramahan,
bukan untuk berteman. Selain itu,
arti pertemanan dalam panti lebih
mengarah pada menjaga toleransi
kedekatan secara fisik daripada
secara aktif menikmati atau mencari
persahabatan. Maka dari itu menurut
W ade (da lam Higg i ns , 1989 )
kesempatan untuk mendapatkan
kepuasan hubungan sosial terasa
rendah.
Alasan Lansia tinggal di Panti
Werdha
Menurut Kadir (2009) terdapat
b e b e r a p a a l a s a n ya n g ya n g
menyebabkan lansia tinggal di panti
werdha, yaitu:
a. Perubahan tipe keluarga dari
keluarga besar (extended family)
menjadi keluarga kecil (nuclear
family). Dimana pada awalnya
dalam keluarga terdiri dari ayah,
ibu dan anak-anak. Tapi sesuai
dengan perkembangan keluarga
ada tahap dimana keluarga
menghadapi anak yang menikah
atau membentuk keluarga
sendiri, sehingga yang terjadi
adalah orang tua akan tinggal
berdua saja, tentu saja kondisi ini
membutuhkan peran pengganti
keluarga, yaitu suatu institusi
tertentu.
b. Berubahnya peran ibu. Pada
awalnya peran ibu ada lah
mengurus rumah tangga, anak-
anak, dan lain-lain. Sekarang
telah mengalami perubahan
dimana ibu juga ber t i ndak
sebagai pencari nafkah bekerja di
kantoran dan sebagainya.
Sehingga anggota keluarga
seperti anak-anak dan kakek
serta nenek dit i t ipkan pada
institusi tertentu.
c. Kebutuhan sosialisasi orang
lanjut usia itu sendiri. Apabila ia
tinggal dalam keluarga mungkin
ia akan mengalami perasaan
18
yang bosan ditinggal sendiri,
anaknya mungkin berangkat
bekerja dan cucunya ke sekolah.
Sehingga ia membutuhkan suatu
l ingkungan sosial dimana di
dalam komunitas tersebut yaitu
panti werdha terdapat beberapa
kesamaan sehingga ia merasa
betah dan kembali bersemangat.
Menurut Kadir (2009) panti
werdha bisa menjadi pilihan yang
baik untuk menikmati hari tua, di
panti werdha mereka menemukan
teman yang relatif seusia dengannya
dimana mereka dapat berbagi cerita.
Karena keberadaan lansia di panti
dengan berbagai karakter serta
m e m i l i k i b e r b a g a i r a g a m
problematika maka dipandang perlu
u n t u k m e m b e r i k a n s u a t u
p e n a n g a n a n k h u s u s s e s u a i
kelebihan serta kekurangan yang
mereka miliki.
Di panti werdha selain
mendapatkan pelayanan berupa
pemenuhan kebutuhan dasar juga
diberikan fungsi positif lainnya yaitu
program-program pelayanan sosial
yang bisa memberikan kesibukan
buat mereka sebagai pengisian
waktu luang diantaranya pemberian
Bimbingan Sosial, Bimbingan Mental
Spiritual serta Rekreasi, penyaluran
bakat dan hoby, terapi kelompok,
senam dan banyak kegiatan lainnya
(Kadir, 2009).
Di pant i werdha, mereka
m e n d ap a t k a n f as i l i t as se r t a
kemudahan-kemudahan/aksesibilitas
lainnya. selain bersama teman
s e u s i a n y a , m e r e k a j u g a
mendapatkan pelayanan maksimal
dari para Pekerja Sosial dimana
mereka menemukan hari-harinya
dengan ceria (Kadir, 2009).
Psychological Well Being Pada
Individu Lanjut Usia Yang Tnggal
Di Panti Werdha
Ryff (dalam Palupi, 2008),
menyatakan bahwa psychological
well being adalah suatu keadan
dimana individu dapat menerima
kekuatan dan kelemahan di r i
sebagaimana adanya, memil iki
hubungan positif dengan orang lain,
mampu mengarahkan perilakunya
sendiri, mampu mengembangkan
potensi diri secara berkelanjutan,
mampu menguasai lingkungan, serta
memiliki tujuan dalam hidupnya
Menurut B i ren & Renner
(1980), perasaan well being pada
19
lansia dihubungkan dengan memilih
tujuan spesifik sebagai hal penting
dalam berfungsi dan secara efektif
mengatur sumber-sumber internal
(energi, pemikiran, dan sebagainya)
dan eksternal (mengambil kelas
keterampilan, dukungan teknis, dan
sebagainya) untuk memaksimalkan
tingkat fungsional mereka. Oleh
karena itu, Hamarat (dalam Newman
& Newman, 2006) mengatakan
bahwa well being bergantung pada
kemampuan untuk mengatur atau
mengurangi akibat dari peristiwa
h idup yang mene kan dengan
m e n g a t u r sum b er - sum b e r d i
sekitarnya untuk terus terlibat dalam
peran dan kegiatan yang berharga.
Dalam hubungan sosial,
u m u m n y a k e h i d u p a n l a n s i a
diperkaya dengan kehadiran teman
lama dan keluarga, sedangkan
Landsford et al., (dalam Papalia,
Olds & Feldman, 2004) mengatakan
bahwa kontak sosial yang dimiliki
lansia akan mempengaruhi well
being lebih dari sebelumnya. Kontak
sosial merupakan sumber untuk
mendapatkan dukungan pada lansia,
keluarga memberikan keamanan
dan dukungan emosional, sedang
teman juga merupakan sumber
p e n t i n g u n t u k m e n d a p a t k a n
k e s e n a n g a n d e n g a n s e g e r a
(Papalia, Olds & Feldman, 2004).
Teman juga dapat menjadi tempat
untuk menceritakan perasaan dan
pik i ran, ser ta dapat bercer i ta
m e n g en a i k ek h a w a t i r a n d a n
kesedihan yang dapat membantu
menghadapi perubahandan krisis
penuaan (Genevay dalam Papalia,
Olds & Feldman, 2004).
Pant i merupakan tempat
t i ngga l d im a na pen gh un i n ya
menetap dalam waktu jangka
panjang dan umumnya selama sisa
hidup mereka (Higgins, 1989).
Menurut Townsend (dalam Tobin &
Lieberman, 1978) tinggal di panti
werdha membuat lansia tinggal
dalam kondisi dimana hubungan
dengan orang lain rendah, merasa
ter isolas i , mobi l i tas terbatas ,
pengamanan sosial yang terbatas,
terorientasi pada kegiatan rutin,
aktivitas yang tidak kreatif, dan
sebagainya.
Selain itu, lansia yang tinggal
di panti menunjukkan gejala antara
lain deindividuasi, yaitu lansia
m e n g a l a m i p e n i n g k a t a n
keterantungan terhadap bantuan dari
20
orang lain, penurunan asertifitas dan
t i dak m ampu unt uk m embuat
keputusan, keterasingan terhadap
teknologi dan perubahan lain di
dunia luar, serta kebosanan akibat
kekurangan stimulus baru (Sommer
dalam Ebersole & Hess, 1990).
Namun di sisi lain, menurut Parmele
& Lawton (1990) mengatakan panti
dapat memberikan kepuasan kepada
p e n g h u n i n y a j i k a d a p a t
menggantikan unsur-unsur yang
h i l a n g d a r i r u m a h m e r e k a
sebelumnya, seperti keamanan,
dukungan, dan persahabatan.
Keamanan bagi lansia tidak hanya
berarti secara fisik, melainkan juga
dengan menemukan lingkungan
yang sesuai untuk menjalani sisa
hidupnya dan memiliki ketersediaan
kontak sos ia l , dukungan dan
pertolongan saat diperlukan.
Berdasarkan penje lasan
tersebut diatas dapat terlihat jelas
bahwa terdapat hal-hal yang dapat
memberikan pengaruh terhadap
psychological well being i nd ivid u
lanjut usia yang tinggal di panti
werdha. Maka dari itulah penelitian
ini bermaksud untuk mengetahui
bagaimanakah psychological well
being individu lanjut usia yang
tinggal di panti werdha.
METODE PENELITIAN
Oleh karena penel i t ian in i
b e r t u j u a n u n t uk m en g e t a h u i
gambaran menyeluruh tentang
penghayatan subjektif individu lanjut
usia yang tinggal di panti werdha
untuk dil ihat kaitannya dengan
kondisi PWB, maka metode yang
tepat untuk diterapkan adalah
pendekatan kual i ta t i f dengan
m e l a k u k a n o b s e r v a s i d a n
wawancara mendalam. Partisipan
penelitian terdiri satu orang lansia
wanita yang tinggal di anti werdha,
usia 80 tahun serta telah tinggal di
panti werdha selama tiga setengah
t a h u n . A d a p u n c a r a u n t u k
menganal is is hasi lnya adalah
dengan melakukan analisis intra
kasus.
HASIL PENELITIAN
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa alasan lansia tinggal di panti
werdha adalah karena perubahan
tipe keluarga dan kemandirian yang
lansia miliki.
Menurut Kadir (2009) terdapat
b e b e r a p a a l a s a n ya n g ya n g
menyebabkan lansia tinggal di panti
21
werdha, yaitu:
a. Perubahan tipe keluarga dari
keluarga besar (extended family)
menjadi keluarga kecil (nuclear
family). Dimana pada awalnya
dalam keluarga terdiri dari ayah,
ibu dan anak-anak. Tapi sesuai
dengan perkembangan keluarga
ada tahap dimana keluarga
menghadapi anak yang menikah
atau membentuk keluarga
sendiri, sehingga yang terjadi
adalah orang tua akan tinggal
berdua saja, tentu saja kondisi ini
membutuhkan peran pengganti
keluarga, yaitu suatu institusi
tertentu.
b. Berubahnya peran ibu. Pada
awalnya peran ibu ada lah
mengurus rumah tangga, anak-
anak, dan lain-lain. Sekarang
telah mengalami perubahan
dimana ibu juga bertindak
sebagai pencari nafkah bekerja di
kantoran dan sebagainya.
Sehingga anggota keluargaseperti anak-anak dan kakekserta nenek di t i t ipkan padainstitusi tertentu.
c. Kebutuhan sosialisasi orang
lanjut usia itu sendiri. Apabila ia
tinggal dalam keluarga mungkin
ia akan mengalami perasaan
yang bosan ditinggal sendiri,
anaknya mungkin berangkat
bekerja dan cucunya ke sekolah.
Sehingga ia membutuhkan suatu
l ingkungan sosial dimana di
dalam komunitas tersebut yaitu
panti werdha terdapat beberapa
kesamaan sehingga ia merasa
betah dan kembali bersemangat.
Berdasarkan hasil wawancara
dan observasi dapat diketahui
bahwa alasan subjek tinggal di panti
werdha adalah karena perubahan
tipe keluarga dan kemandirian yang
subjek mi l i k i . Perubahan t ipe
keluarga pada subjek adalah subjek
yang kini telah tinggal sendiri, karena
suami subjek sudah meninggal, juga
anak-anak subjek yang kini telah
menikah dan membentuk keluarga
masing-masing. Mereka sudah
tinggal terpisah dengan subjek.
Bahkan anak pertama subjek sudah
tinggal di negara yang berbeda
dengan subjek. Tetapi, anak kedua
subjek masih tinggal satu kota
dengan subjek.
Kemandirian yang subjek
miliki juga menjadi alasan subjek
memi l ih untuk t inggal di pant i
22
werdha, karena anak kedua subjek
m enging inkan sub jek t i ngga l
bersama mereka, namun subjek
menolaknya. Subjek merasa tidak
ing in merepotkan orang la in ,
termasuk anak-anaknya. Sehingga
tinggal di panti werdha adalah
keputusan dan pilihan hidup subjek
sendiri. Banyak hal yang menjadi
pertimbangan subjek. Salah satunya
adalah, subjek tidak ingin terjadi
konflik antara dirinya dengan pihak
besan karena jika subjek tinggal
bersama anaknya, maka cucu
subjek akan lebih dekat dengan
subjek. Subjek khawatir besannya
akan cemburu sehingga terjadi
konf l ik, hal ini lah yang subjek
hindari . Sehingga subjek lebih
memi l ih untuk t inggal di pant i
werd ha.
Tinggal di panti werdha yang
saat ini subjek tingali pun memang
merupakan salah satu tujuan hidup
subjek. Subjek sudah berniat di hari
tuanya akan menghabiskan waktu
dengan tinggal di panti werdha
tempat subjek tnggal saat ini. Bagi
subjek, terdapat beberapa nilai lebih
dari panti werdha tempat subjek
tinggal. Diperbolehkannya kegiatan
bercocok tanam yang sesuai dengan
hob i su b j ek dan kam ar ya n g
diperuntukkan masing-masing,
adalah nilai lebih yang penti werdha
tersebut miliki. Sehingga membuat
subjek tertarik.
Bagi subjek, subjek tidak
m e r a sa m e m b u t u hk a n s u a t u
l ingkungan yang di dalamnya
terdapat banyak kesamaan, salah
satunya kesamaan usia, untuk
membuat subjek merasa kembali
bersemangat. Subjek memang
memiliki kebutuhan berosialisasi,
tapi tidak sampai membuat subjek
merasa membutuhkan kesamaan
dari suatu l ingkungan tersebut
kemudian baru bisa membuat subjek
kembal i bersemangat. Apalagi
dijadikan alasan subjek memilih
tinggal di panti werdha. Apa yang
ada di dalam diri dan hidup subjek
sudah cukup bagi subjek untuk
membuat subjek bersemangat. Jadi
alasan subjek memilih tinggal di
panti werdha adalah karena
perubahan tipe keluarga dan
kemandirian yang subjek miliki.
Hasil penelitian juga
menunjukan bahwa gambaran
Psychological Well Being
lansia yang tinggal di panti
werdha adalah positif, hal ini
23
ditunjukkan dengan:
a. Penerimaan diri
Menurut Ryff (dalam Lopez &
S n y d e r , 2 0 0 4 ) , d i m e n s i
penerimaan diri merujuk pada
kemampuan indiv idu dalam
menerima segala aspek dirinya
secara positif, baik di masa lalu
maupun sekarang. Dimensi
pener imaan di r i d i katakan
sebagai karakteristik sentral dari
individu yang sehat mental dan
m a t a n g y a n g a k h i r n y a
mendukung terciptanya kondisi
well-being. Ryff & Keyes (1995)
mengatakan bahwa individu yang
t i n g g i d a l a m d i m e n s i i n i
dikarakteristikan sebagai individu
yang memi l ik i s ikap posi t i f
terhadap diri, mengetahui dan
menerima semua aspek diri, dan
memi l ik i pandangan posi t i f
tentang kehidupan masa lalunya.
Sebaliknya, individu yang rendah
dalam dimensi ini memiliki
perasaan tidak puas dengan diri,
kecewa dengan kehidupan masa
lalu, cemas dengan kualitas
personal yang dimi l ik i , dan
berharap untuk bisa berbeda dari
dirinya sendiri.
Da lam kasus in i sub jek
memiliki sikap positif terhadap
dirinya, dengan bersyukur telah
menjadi dirinya sendiri. Subjek
menging inkan di r inya bi sa
mandiri, karena subjek sejak kecil
mengalami sakit-sakitan. Saat
akan melakukan sesuatu, subjek
akan mempela jar i ter leb ih
d a h u l u , b a r u k e m u d i a n
dijalankan. Subjek merasa puas
dengan apa yang ada di dirinya
hingga saat ini dan seterusnya.
Subjek merasa, hal yang orang
lain dapat lakukan, maka subjek
pun juga dapat melakukannya.
Subjek menerima dirinya apa
adanya, mensyukuri apa yang
ada pada dirinya, sama sekali
subjek tidak berharap untuk
menjadi orang lain. Subjek
menyadari dirinya berbeda dari
orang-orang seusianya yang
biasanya ingin dekat dengan
24
keluarga, namun subjek tidak
bisa melakukannya. Tetapi
subjek tetap bersyukur. Karena
subjek menyadari bahwa tinggal
di panti kini pun karena memang
keinginan subjek sendiri. Jadi
subjek t idak merasa dir inya
terbuang atau tidak diperhatikan
oleh anak-anak. Subjek sendiri
yang menging inkan di r inya
mandiri, tidak tergantung pada
anak-anak. Subjek pun merasa
senang dengan tinggal di panti
werdha. Karena dengan tinggal di
panti werdha subjek tetap dapat
merasakan hubungan yang baik
dengan keluarga, dirinya menjadi
tidak merepotkan anak-anak, dan
keinginan-keinginannya juga bisa
terlaksana. Penerimaan diri
subjek juga dikatakan baik
karena subjek mengetahui
aspek-aspek yang ada pada
dirinya. Kekurangan diri tidak
dapat subjek ketahui jika dicari,
namun yang pasti saat subjek
m e r a s a o r a n g l a i n b i s a
melakukan sesuatu dan dirinya
t idak, maka dia harus bisa
melakukan hal itu juga, dengan
mempelejarinya. Subjek merasa
kelebihan yang ada di r inya
adalah mau berusaha untuk
menjadi bisa, tidak takut untuk
mencoba, sekalipun awalnya
tidak bisa sama sekali. Awalnya
subjek merasa terpaksa untuk
menjadi bisa dan harus bisa, itu
adalah didikan dar i ibu dan
neneknya. Tingga l di pant i
membuat subjek juga semakin
mengetahui aspek-aspek yang
ada di dirinya, yaitu kelebihan
d a n k e k u r a n g a n d i r i .
Pengalaman-pengalaman baru
yang subjek dapatkan di panti
s e m a k i n m e m b u a t s u b j e k
mengetahui ke l eb ihan dan
kekurangan yang ada pada
dirinya. Mau berusaha untuk
menjadi bisa adalah kelebihan
yang subjek miliki. Terbukti dari
kegiatan-kegiatan yang sama
sekal i belum pernah subjek
lakukan, namun kini subjek mahir
melakukannya. Begitu juga untuk
kegiatan yang sulit sekali baginya
untuk mengikutinya, subjek tidak
akan putus asa, terus berusaha
hingga bisa. Kekurangan diri
sub jek j uga subjek ketahui
selama subjek tinggal di panti.
25
Lingkungan yang bersahabat,
k e k e l u a r g a a n , m e m b u a t
hubungan yang baik antara
subjek dengan para petugas
p a n t i . S e h i n g g a s a l i n g
mengkoreksi dalam rangka
perbaikan diri menjadi hal yang
berdampak positif bagi subjek.
Penerimaan diri subjek dikatakan
baik juga karena subjek memiliki
pandangan yang positif terhadap
kehidupannya di masa lalu.
S u b j e k m e m a n d a n g
kehidupannya di masa lalu
s e b a g a i k e h i d u p a n y a n g
menyenangkan, karena di masa
lalunya subjek termasuk orang
yang terpandang. Subjek merasa
bangga karena dihargai, hal ini
karena memandang kedudukan
orang tua subjek. Pandangan
subjek terhadap masa lalunya
baik, subjek menikmatinya,
karena sewaktu kecil subjek
adalah salah seorang putr i
bangsawan, yang disebut noni-
noni pada zaman itu.
b. Hubungan Positif dengan orang
lain
Menurut Ryff (dalam Lopez &
Snyder, 2004), dimensi
hubungan positif dengan orang
lain ditunjukkan dengan adanya
kemampuan untuk membina
hubungan interpersonal yang
baik, saling percaya, penuh
kehangatan, dan penuh cinta
dipandang sebagai kr i ter ia
penting individu yang sehat
mental dan matang. Individu
y a n g s u d a h m a m p u
mengaktualisasikan dirinya juga
digambarkan sebagai individu
yang mampu menun jukkan
empat i dan afeks i , mampu
m e n c i n t a i , d a n m e m i l i k i
persahabatan yang mendalam.
P a d a i n t i n y a , s e l u r u h
kemampuan tersebut menjadi
k o m p o n e n p e n t i n g d a l a m
psychological well being individu.
Ryff & Keyes (1995) mengatakan
bahwa individu yang tinggi dalam
dimensi ini dikarakteristikkan
sebagai individu yang memiliki
k e h a n g a t a n , m a m p u
menampilkan pribadi yang jujur
ket ika berhubungan, pedul i
dengan kesejahteraan orang lain,
mampu menunjukkan empati,
afeksi, dan keintiman, serta
memahami makna “ take and
26
give” ketika berhubungan dengan
orang lain. Sebaliknya, individu
yang rendah dalam dimensi ini
tidak terlalu dekat dan jujur dalam
menja l i n su a t u hub ungan,
merasa sul i t untuk menjadi
hangat, terbuka, dan pedul i
terhadap orang lain, merasa
terisolasi dan frustasi dalam
hubungan interpersonal, dan
tidak bersedia untuk membuat
k o m p r o m i u n t u k
mempertahankan ikatan penting
dengan orang lain.
Dalam kasus ini subjek tidak
merasa kesulitan untuk menjalin
hubungan yang hangat dengan
orang lain, di panti pun subjek
merasakan hal tersebut. Karena
subjek merasa pergaulan itu
diperlukan. Subjek memang
menjaga dalam bersahabat agar
tidak terlalu mendalam. Hal ini
dikarenakan subjek tidak mau
m e n c a r i m a s a l a h . S u b j e k
mengibaratkan, karena apabila
terlalu dekat lalu kemudian jatuh,
maka keduanya akan rugi. Dalam
hubungan pertemanan, subjek
bersikap lebih hati-hati untuk
terlalu membuka dirinya kepada
orang lain, karena
subjek
mengetahui tujuan setiap orang
yang mencoba dekat dengannya.
Contohnya seperti salah satu
penghuni panti, subjek sengaja
tidak mau menjalin hubungan
y a n g t e r l a l u m e n d a l a m
dengannya, karena menurut
subjek, apabi la nanti terjadi
sesuatu yang tidak diinginkan di
dalam hubungan pertemanan itu,
keduanya akan merugi. Subjek
j uga d i ka t ak an b a i k da l am
dimensi hubungan positif dengan
orang lain karena subjek adalah
orang yang pedul i terhadap
orang lain. Subjek suka
melakukan tolong-menolong.
Dalam menolong subjek melihat
dulu keadaan orang yang perlu
d i t o l o n g d a n b a g a i m a n a
orangnya. Subjek menolong
dengan sewajarnya, sebatas
kemampuan yang subjek miliki.
Tolong-menolong merupakan
p e n d i d i k a n y a n g t e l a h
ditanamkan di keluarga subjek
sejak keci l , ayah dan kakek
subjek menjadi contoh bagi
subjek. Di panti subjek merasa,
27
kepeduliannya terhadap orang
28
lain adalah hal yang penting.
Karena subjek merasa, di panti
hubungannya sudah seperti
keluarga, baik antara sesama
penghuni panti ataupun petugas.
Jadi harus saling peduli satu
sam a l a i n . S a l i n g t o l o n g -
menolong, yang sewajarnya
dapat subjek lakukan.
c. Otonomi
Menurut Ryff (dalam Lopez
& Snyder, 2004) adapun yang
menjadi dasar dalam dimensi
otonomi adalah penentuan diri
(selfdetermination), kebebasan,
dan regulasi emosi didalamnya.
Indiv idu yang t inggi dalam
dimensi ini adalah individu yang
memi l ik i kebebasan dalam
m e n e n t u a n d i r i , m a m p u
mengatasi tekanan sosial ketika
berpikir dan bertindak, mampu
mengontrol perilaku, dan mampu
mengeva luas i d i r i dengan
standar personal. Ryff & Keyes
(1995) mengatakan individu yang
rendah dalam dimensi ini sangat
mementingkan harapan dan
e v a l u a s i d a r i o r a n g l a i n ,
bergantung pada penilaian orang
lain ketika membuat keputusan
yang penting, dan mengikuti
(conform) tekanan sosial dalam
berpikir dan bertindak.
Dalam kasus ini , subjek
memiliki kebebasan menentukan
apa yang subjek inginkan,
contohnya pilihan untuk tinggal di
p a n t i . D a l a m m e m b u a t
keputusan, subjek selalu
mempertimbangkan masukan
dari orang lain atau seluruh pihak
yang berkaitan juga dengan
pertimbangan subjek sendiri. Hal
i n i s u b j e k l a k u k a n u n t u k
menghindari konflik. Jika subjek
menginginkan sesuatu maka
subjek akan mengemukakan
kepada keluarganya lebih dahulu,
untuk meminta persetujuan
mereka. Subjek merasa tetap
dapat bebas menentukan dirinya
sendiri selama tinggal di panti.
Karena panti memberikan kamar
masing-masing, sehingga subjek
t e t a p m e r a s a k a n b e b a s
menentukan dirinya. Subjek juga
b e b a s m e n e n t u k a n u n t u k
mengikuti atau tidak kegiatan
yang diadakan di panti. Subjek
memiliki otonomi yang baik juga
dikarenakan subjek berusaha
29
untuk mengontrol prilakunya agar
dirinya tidak menjadi omongan
oleh orang lain. Selama subjek
merasa yang di lakukannya
adalah benar atau pandangan
terhadap dirinya positif, maka
kontrol dirinya tetap terjaga.
Subjek merasa sudah tua dan
menginginkan kehidupan yang
damai-damai saja, tidak mau
m e n c a r i m a s a l a h . S u b j e k
mengatasi tekanan sosial yang
a d a k e t i k a s u b j e k a k a n
melakukan sesuatu dengan
mempertimbankan dulu sampai
dimana kemampuan subjek.
terutama s isi f inansial dan
t e n a g a , a p a b i l a m e m a n g
memadai, maka subjek akan
melakukan hal tersebut. Namun
apabila tidak, maka subjek tidak
akan memaksakan diri. Subjek
mengevaluasi diri ke dirinya
sendiri, berfikir kembali. Apakah
sudah benar tindakannya dan
apakah tindakan yang dilakukan
telah merugikan orang lain atau
tidak. Hal ini subjek lakukan
sebagai salah satu cara agar
tidak terjadi konflik. Subjek tidak
selalu dapat mengevaluasi
dirinya sesuai dengan standar
pr i bad inya , karena subjek
merasa kesalahan yang telah
diperbuat sendiri tidak mungkin
disadarinya. Sehingga subjek
mengatasinya dengan selalu
berusaha melakukan sesuatu
dengan sebaik mungkin. Dengan
cara sebelum subjek melakukan
sesuatu, terlebih dahulu subjek
f ik irkan baik dan buruknya.
Subjek juga tidak merasa frustasi
ataupun terisolasi dengan tinggal
di panti. Hal ini karena subjek
merasa dapat mengungkapkan
keinginan dirinya, yaitu j ika
subjek mau atau tidak mau.
Sehingga dirinya merasa terus
bebas. Subjek juga merasa
dirinya tidak bergantung pada
orang lain. Subjek begitu karena
merasa dirinya tahu kekuatan
yang ada pada dirinya. Pergaulan
di panti pun tidak dapat dikatakan
terbatas, atau juga bebas,
keduanya seimbang. Namun bagi
subjek, memang subjek sendiri
yang membatasi pergaulannya.
d. Penguasaan Lingkungan
Menurut Ryff (dalam Lopez &
Snyder, 2004) dimensi
30
penguasaan lingkungan
melibatkan kemampuan individu
dalam mengatur dan mengubah
lingkungan melalui aktivitas fisik
dan mental. Ryff menyebutkan
bahwa indiv idu yang sehat
mental dan matang adalah
i n d i v i d u y a n g m e m i l i k i
kemampuan untuk memilih dan
menciptakan lingkungan yang
sesuai dengan kondisi psikis
dirinya, mampu berpartisipasi
dalam aktivitas di luar diri, dan
memanipulasi serta mengontrol
l ingkungan sekitarnya yang
kompleks. Individu yang tinggi
dalam dimensi ini dinilai sebagai
individu yang sangat kompeten
dan memiliki penguasaan yang
b a i k d a l a m m e n g o n t r o l
l i n g k u n g a n d a n a k t i v i t a s
eksternal, serta mampu memilih
dan menciptakan situasi yang
s e s u a i d e n g a n n i l a i d a n
keinginannya. Ryff & Keyes
(1995) mengatakan individu yang
rendah dalam dimensi ini merasa
sul i t untuk mengatur hidup
sehari-hari, merasa tidak mampu
u n t u k m e n g u b a h a t a u
meningkatkan situasi di
sekelilingnya, tidak peduli pada
sekitar, dan kehilangan kontrol
diri.
Da lam kasus in i sub jek
mampu untuk mengubah atau
m e n i n g k a t k a n s i t u a s i d i
lingkungan sekitar agar sesuai
dengan kondis i ps ikis nya,
karena subjek mengetahui apa
yang menjadi kebutuhannya. Di
lingkungan panti, subjek juga
mampu memilih dan menciptakan
lingkungan yang sesuai dengan
kondisi psikisnya. Subjek menata
taman sendiri sesuai dengan
yang subjek inginkan, karena
subjek dapat merasa tenang
dengan berada di taman. Begitu
juga dengan kamar subjek,
subjek menata nya sesuai
dengan keinginan subjek. Subjek
me nat a k am ar nya deng an
menempatkan foto-foto pada
dinding. Terutama foto cucu
subjek yang di Belanda. Agar
subjek terus merasa dekat
dengan cucu subjek tersebut.
Sub jek j uga menu n jukk an
penguasaan lingkungan yang
baik dengan ikut berpartisipasi
dalam kegiatan di panti. Subjek
31
melakukan hal ini karena subjek
m e r a s a k a n p e n t i n g n y a
bersosialisasi dan juga untuk
mengasah kemampuan dir i .
Kegiatan-kegatan yang subjek
ikuti di panti antara lain seperti
merenda, merajut, dan bercocok
tanam yang sesuai dengan hobi
subjek. Penguasaan lingkungan
subjek semakin baik karena
subjek tidak merasa kesulitan
dalam mengatur kehidupannya
sehari-hari. Subjek melakukan
segala sesuatunya sendi r i ,
subjek merasa selagi dapat
melakukannya sendiri, maka
tidak perlu merepotkan orang
lain. Untuk hal-hal yang betul-
betul tidak bisa subjek lakukan
sendiri, dan ketika subjek sedang
sakit, maka subjek akan meminta
t o l on g pad a p er a wa t a t au
pegawai. Namun hal ini pun
jarang ter jadi . Penguasaan
lingkungan yang baik juga subjek
tunjukkan dengan kepedulian
subjek terhadap lingkungan
s e k i t a r . S u b j e k m a u
membersihkan lingkungan panti,
seper t i t am an dan kor i dor
sepanjang wisma tempat subjek
tinggal. Subjek tidak keberatan
untuk melakukannya sendiri,
sekalipun itu untuk kepentingan
bersama. Bagi subjek, selagi
d i r i n y a m a m p u u n t u k
melakukannya sendiri, maka
tidak perlu merepotkan orang
lain.
e. Tujuan Hidup
Menurut Ryff (dalam Lopez &
Snyder, 2004), individu yang
dapat berfungsi secara positif
adalah individu yang memiliki
tujuan, intensi, dan arahan yang
dapat memberikan kontribusi
pada kebermaknaan hidupnya.
Indiv idu yang t inggi dalam
dimensi ini dikarakteristikkan
sebagai individu yang memiliki
tujuan dalam hidup dan mampu
memberi makna pada hidupnya
baik masa sekarang maupun
masa lalu. Ryff & Keyes (1995)
mengatakan bahwa individu yang
rendah dalam dimensi ini merasa
bahwa d i r i nya k eh i l ang an
petunjuk, tidak meyakini bahwa
hidup in i member ikan ar t i ,
memiliki sedikit tujuan, dan tidak
m a m p u m e l i h a t t u j u a n d i
kehidupan masa lalunya.
32
D alam kasus i n i sub j ek
memiliki tujuan hidup, tujuan
hidup subjek saat ini hanya satu,
yaitu melakukan segala sesuatu
dengan sebaik-baiknya, sebagai
persiapan diri untuk dipanggil
oleh Tuhan. Subjek merasa
usianya kini membuat kondisi
fisiknya juga semakin menurun.
J a d i , s u b j e k s u d a h t i d a k
menginginkan hal -hal yang
bersifat duniawi lagi. Subjek
s u d a h m e r a s a c u k u p d a n
bersyukur kepada Tuhan dengan
apa yang ada sampai saat ini.
Tujuan subjek seperti ini juga
tidak lepas dari peran panti yang
mengarahkan para werdha untuk
menjadi manusia yang lebih baik
l a g i . S u b j e k j u g a d a p a t
memaknai kehidupan masa
lalunya. Bagi subjek makna
kehidupan masa lalu adalah
masa yang harus disyukuri .
Walaupun masa lalu subjek diisi
d e n g a n j a t u h b a n g u n n y a
kehidupan, mulai dari masa
senang, mender i ta, h ingga
bangkit kembali perlahan-lahan.
T i ng g a l d i pa n t i , s em ak i n
menambah rasa syukur subjek
terhadap kehidupan di masa
lalunya. Dengan tinggal di panti,
subjek dapat bertukar cerita dan
pengalaman dari para penghuni
panti yang lain. Kekurangan dan
kelebihan yang masing-masing
mereka rasakan. Selain i tu,
subjek juga mampu memaknai
kehidupannya di masa kini .
Subjek mengisi kehidupannya
saat ini dengan penuh rasa
syukur kepada Tuhan, menikmati
apa yang telah Tuhan berikan,
dan te rus ber usaha un tuk
menjadi manusia yang lebih baik
lagi. Kegiatan yang diadakan di
panti mebuat subjek semakin
mampu memaknai dan mengisi
keh i dupan m asa k in i n ya .
Dengan mengikuti kegiatan-
kegiatan yang berorientasi pada
menjaga kesehatan, subjek
merasa sebagai wujud dari
ungkapan syukur subjek akan
masa kini yang masih Tuhan
berikan hingga saat ini. Subjek
m e y a k i n i , b a h w a T u h a n
memberikan kehidupan pada
manusia pasti memil iki arti .
Hanya saja hal ini tergantung
bagaimana setiap orang dalam
33
mengisi kehidupannya masing-
masing. Subjek merasa dirinya
menjadi lebih dapat mengetahui
arti hidup setelah mendapat
banyak informasi- informasi
mengenai agama yang subjek
dapat di panti, sehingga subjek
dapat mengetahui arti hidup yang
Tuhan berikan. Subjek juga
mampu melihat tujuan hidupnya
di masa lalu, karena subjek
merasa apa yang ada sekarang
adalah pencapaian dari tujuan
hidupnya di masa lalu. Salah satu
contoh bahwa subjek dapat
melihat tujuan hidupnya di masa
l a l u a d a l a h t e r w u j u d n y a
keinginan subjek untuk tinggal di
panti yang dipimpin oleh ibu
wirahadikusuma saat ini.
f. Pertumbuhan Pribadi
Menurut Ryff (dalam Lopez
& Snyder, 2004) tercapainya
fungsi positif yang optimal tidak
hanya digambarkan ket i ka
individu sudah berhasil mencapai
suatu kriteria tertentu, tetapi juga
ketika dirinya menumbuhkan,
m e n g e m b a n g k a n , d a n
meluaskan potensi atau fungsi
dirinya. Individu yang tinggi
dalam dimensi ini memiliki
pandangan bahwa dirinya selalu
berkembang, terbuka pada
pengalaman baru, memiliki
kemampuan untuk
merealisasikan potensi diri ,
mampu melihat perkembangan
diri dan perilakunya sepanjang
w a k t u , d a n m e l a k u k a n
perubahan dengan cara-cara
tertentu yang merefleksikan
pengetahuan diri. Ryff & Keyes
(1995), mengatakan bahwa
individu yang rendah dalam
dim ens i i n i merasa bahwa
hid u pnya berhenti (stagnation),
kehilangan kemampuan untuk
meningkatkan diri sepanjang
waktu, merasa jenuh dan merasa
bahwa hidupnya tidak menarik,
dan merasa tidak mampu untuk
membangun sikap atau perilaku
baru.
Dalam kasus ini subjek
memandang di r i nya se la lu
berkembang. Perubahan dari apa
yang tidak bisa dilakukannya
sehingga dirinya menjadi bisa
karena mau berusaha adalah
bentuk perkembangan dirinya.
Kegiatan melukis yang diadakan
34
di panti sebagai bentuk
perkembangan di r i subjek.
Subjek yang awalnya tidak bisa
melukis, kini merasa menjadi
l eb i h b i sa. Sub jek senang
melakukannya, karena memang
sesuai dengan minat subjek.
Subjek juga dapat bersikap
t e r b u k a d a n m e n e r i m a
p e n g a l a m a n b a r u d a l a m
hidupnya. Pengalaman yang ada,
diambil hikmahnya, dan dijadikan
pelajaran agar bisa menjadi lebih
baik lagi ke depannya. Menurut
subjek hidup adalah belajar, dari
pengalaman yang telah lalu atau
baru, yang baiknya diambil dan
y a n g b u r u k n y a d i j a d i k a n
pelajaran, agar tidak terulang lagi
selanjutnya. Pengalaman baru
banyak subjek dapatkan di panti.
Sikap keterbukaannya terhadap
p e n g a l a m a n j u g a b a n y a k
dipengaruhi dari lingkungan
panti. Subjek merasa
keterbukaannya terhadap
pengalaman-pengalaman baru
pun lebih terasa ringan. Karena
sudah tidak ada beban apa-apa
l a g i . S u b j e k j u g a m a m p u
merealisasikan potensi yang ada
di dirinya. Bagi subjek, yang
terpenting dari merealisasikan
potensi yang ada pada dirinya,
adalah hal tersebut agar dapat
d i t e r i m a o r a n g l a i n d a n
bermanfaat. Subjek berfikir untuk
melakukan apa yang ia bisa
lakukan sebaik mungkin, dengan
belajar untuk mencapai apa yang
menjadi keinginannya. Saat di
panti subjek merasa senang
sekali, karena subjek diizinkan
untuk merealisasikan potensi
yang ada pada di r i subjek .
Subjek diizinkan untuk membuat
sebuah taman sesuai dengan
yang subjek ing inkan. Dan
semakin menambah senang
s u b j e k , k a r e n a h a s i l d a r i
karyanya tesebut dihargai dan
mendapat pujian. Dengan tinggal
di panti, tidak membuat subjek
merasa hidpnya terhenti, karena
justru dengan tinggal di panti
sub jek dapat menya lu rkan
kekreatifitasan dirinya, terutama
hobinya dalam bercocok tanam.
Dan subjek merasa dirinya juga
jadi t idak merepotkan anak-
anaknya, hanya sesekali waktu,
s e p e r t i s a a t s a k i t s u b j e k
35
memerlukan bantuan dari anak-
anaknya. Tinggal di panti tidak
m e m b u a t s u b j e k m e r a s a
kehilangan kemampuan untuk
meningkatkan dirinya sepanjang
waktu. Subjek aktif mengikuti
kegiatan-kegiatan yang diadakan
di panti. Kegiatan yang tadinya
tidak bisa subjekikuti , maka
subjek akan belajar untuk bisa
mengikutinya, hingga akhirnya
subjek pun dapat mengikuti
semua kegiatan yang diadakan di
panti.
Terakhir, dari hasil penelitian
diketahui terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi psychological well
being lansia yang tinggal di panti
werdha, yaitu:
a. Faktor Jaringan Sosial
Menurut Pinquart &
Sorenson (dalam Gusmilizar,
2009), faktor jaringan sosial
berkaitan dengan aktivitas sosial
yang diikuti oleh individu, seperti
a k t i f d a l a m p e r t e m u a n -
pertemuan atau organisasi ,
kualitas dan kuantitas aktivitas
yang dilakukan, dan dengan
siapa kontak sosial dilakukan.
Dalam kasus ini, faktor
jaringan sosial termasuk kedalam
f a k t o r e k s t e r n a l y a n g
mempengaruhi psychological well
being subjek. Bentuk jaringan
sosial yang subjek ikuti seperti
kegiatan-kegiatan yang diadakan
di panti memberikan pengaruh
terhadap beberapa dimensi
psychological well being subjek,
sehingga mendukung terciptanya
psychological well being yang
positif pada diri subjek. Aktif di
kegiatan yang diadakan di panti
werdha, memberikan pengaruh
terhadap hubungan positif subjek
dengan teman-teman sesama
penghuni panti juga perawat-
perawat. Kegiatan-kegiatan yang
diisi dengan kerja sama serta
didampingi oleh para perawat,
membuat hubungan di panti
semak in dekat dan seper t i
keluarga. Dengan terlibat dalam
jaringan sosial, aktif mengikuti
kegiatan yang diadakan di panti
werdha, juga membuat subjek
merasa hidupnya tidak pernah
b e r h e n t i . P e r t u m b u h a n
pribadinya terus berlanjut, karena
banyak hal baru yang subjek
36
dapatkan selama tinggal di panti
werdha. Salah satunya pada
kegiatan yang sebelumnya belum
pernah sama sekali subjek ikuti,
dan kini subjek menjadi tahu dan
bisa melakukan kegiatan itu.
Subjek mengikut i kegiatan
pengajian yang diadakan satu
minggu sekali di panti. Kegiatan
tersebut mempengaruhi tujuan
hidup subjek saat ini, yaitu tujuan
hidup yang kini sudah tidak
menginginkan hal yang bersifat
dun i awi . K in i sub jek l eb i h
memfokuskan pada perbaikan
diri , sebagai persiapan saat
dipanggil oleh Tuhan nanti. Hal
ini karena melalui kegiatan
pengaj ian yang subjek ikuti
t e r s e b u t , s u b j e k b a n y a k
mendapat masukan melalui
ceramah agama yang membuat
subjek tenang. Ceramah agama
serta tukar pikiran yang subjek
l a k u k a n d e n g a n u s t a d z ,
m e m b u a t s u b j e k m a k i n
merasakan kedekatan dengan
Tuhan, sehingga mempengaruhi
tujuan hidup subjek sepert i
tersebut.
b. Faktor status sosial ekonomi
Menurut Pinquart & Sorenson
(dalam Gusmilizar, 2009) faktor
s t a t u s s o s i a l e k o n o m i
mempengaruhi psychological well
being meliputi besarnya income
keluarga, tingkat pendidikan,
k e b e r h a s i l a n p e k e r j a a n ,
kepemilikan materi, status sosial
di masyarakat. Faktor status
sosial ekonomi yang subjek miliki
ini tergolong ke dalam faktor
internal.
Dalam kasus ini status sosial
ekonomi yang subjek mil ik i
memberi pengaruh terhadap
pertumbuhan pribadi subjek dan
hubungan positif nya dengan
orang lain subjek, karena dengan
status sosial ekonomi yang
subjek miliki, subjek menjadi bisa
mendapatkan pendidikan yang
layak . Seh in gga m embuat
pengetahuan subjek menjadi
l u a s , b e g i t u j u g a d e n g a n
perkembangan dirinya. Dengan
status sosial ekonomi yang
subjek miliki juga, subjek jadi bisa
melakukan tolong-menolong,
dengan sesama penguhi panti.
Bahkan dengan para pegawai di
panti. Subjek sering membagi-
37
bagikan rezeki. Hal ini dapat
subjek lakukan karena didukung
kemampuan ekonomi yang
dim i li ki nya.
c. Faktor pengalaman hidup dan
interpretasinya
Menurut Andrew &
Robinson (dalam Syamsudin,
2008) faktor pengalaman hidup
interpretasi individu terhadap
pengalaman hidupnya akan
berpengaruh pada penilaian
individu terhadap kehidupannya
secara umum. Dalam beberapa
penelitiannya, Ryff bersama
koleganya juga menemukan
bahwa pengalaman hidup yang
di temuinya sehari -hari dan
interpretasi individu terhadap
pengalaman-pengalaman
tersebut, khususnya dalam
domain-domain kehidupan yang
dianggap penting, merupakan
pengaruh utama dalam
pertumbuhan dan perkembangan
psychological well being. Bila
dibandingkan dengan factor
d e m o g r a f i s y a n g h a n y a
berpengaruh 10%, faktor ini
memiliki pengaruh yang lebih
b e s a r t e r h a d a p k o n d i s i
psychological well being i nd ivid u,
yaitu sekitar 40-60%. (Andrews &
Robinson dalam Palupi, 2008).
Faktor pengalaman hidup dan
interpretasinya ini termasuk ke
da lam faktor in terna l yang
mempengaruhi psychological well
being subjek.
Dalam kasus ini subjek
selalu menginterpretasikan setiap
p e n g a l a m a n h i d u p y a n g
dialaminya dengan positif. Subjek
merasa pengalaman hidup yang
dialaminya, dan interpretasinya
terhadap pengalaman tersebut
sangat berpengaruh terhadap
pertumbuhan pribadinya. Hal ini
karena dari pengalaman yang
a d a , s u b j e k m e n g a m b i l
hikamahnya, agar yang baik
dijadikan pegangan, dan yang
buruk, dijadikan pelajaran, agar
j a n g a n s a m p a i t e r u l a n g .
P e n g a l a m a n h i d u p j u g a
mempengaruhi penerimaan diri
subjek, subjek menganggap
pengalaman yang telah terjadi
dalam hidupnya adalah hadiah
dari Tuhan. Subjek mensyukuri
setiap pengalaman yang subjek
dapatkan, semakin banyak
38
pengalaman yang dimilikinya,
semakin menambah rasa syukur
subjek akan apa yang dimilikinya
hingga saat ini dan menjadi
dirinya sendiri. Subjek telah
banyak melewati susah dan
senang dalam menjalani
hidupnya. Mulai dari hidup
senang serba berkecukupan,
d i p a n d a n g s e b a g a i o r a n g
terhormat. Hingga sampai di
suatu masa kehidupan subjek
berubah susah. Pengalaman
t inggal di pant i selama ini ,
membuat subjek kurang lebih
telah mengetahui banyak pribadi
masing-masing orang, terutama
di dalam lingkungan panti sendiri.
Hal ini dikarenakan selama ini
subjek tidak pernah membatasi
diri dalam pergaulannya di panti.
Subjek merasa menjadi lebih
tahu untuk bersikap yang tepat
dalam menghadapi seseorang
dengan kepr ibad ian orang
tersebut, agar subjek tidak salah
langkah. Hal ini berguna dalam
penguasaan lingkungan subjek.
P e n g a l a m a n ya n g s u b j e k
dapatkan dari teman subjek yang
m e n i n g g a l d i p a n t i d a l am
keadaan yang baik, membuat
subjek ingin meniru hal tersebut.
Sehingga kini berpengaruh
terhadap tujuan hidup subjek.
Subjek kini berfokus hanya
bertujuan untuk menjadi manusia
yang lebih baik lagi agar siap
saat dipanggi l oleh Tuhan,
seperti yang teman subjek alami.
Subjek merasa pertumbuhan
pribadi subjek terus berkembang,
karena banyak pengalaman baru
yang subjek dapatkan dari panti.
Contohnya seperti menanam
dengan media selain tanah yang
baru subjek ketahui di panti.
Subjek merasa senang karena
mendapat ilmu yang mendukung
hobinya, bercocok tanam. Rasa
syukur dan menerima dengan
ikhlas menjadi diri subjek sendiri
hingga saat ini adalah bentuk
penerimaan diri subjek. Subjek
m e y a k i n i , a p a b i l a s e l a l u
bersyukur dengan apa yang telah
diberikan Tuhan, maka Tuhan
a k a n s e m a k i n m e n a m b a h
nikmat-Nya. Subjek
mendapatkan keyakinan
tersebut, banyak dari
pengalaman yang subjek
39
dapatkan di panti. Seperti dari
tukar pikiran dengan ustadz-
ustadz yang mengisi kegiatan
pengaj ian di pant i . Subjek
semakin menambah rasa syukur
nya dengan melihat kenyataan
yang terjadi pada salah satu
peng hun i p an t i . Pengh un i
tersebut tidak pernah ditengok
oleh keluarganya, sehingga
subjek merasa dirinya lebih
beruntung, dan penerimaan
dirinya semakin baik.
d. Faktor Dukungan Sosial
Menurut Andrew & Robinson
(dalam Syamsud in, 2008) ,
hasil penelit ian menemukan
bahwa dukungan sosial dari
lingkungan sekitar individu akan
s a n g a t m e m p e n g a r u h i
psychological well-being yang
dirasakan oleh individu tersebut.
M e n u r u t S a r a f i n o ( 1 9 9 1 )
dukungan sosial ternyata juga
memi l i k i hubungan dengan
kondisi well-being. Dukungan
sosial didef inisikan sebagai
p e m b e r i a n r a s a n y a m a n ,
kepedulian, penghargaan, atau
bantuan kepada individu, yang
bisa diperoleh dari pasangan,
keluarga, teman, atau organisasi
kemasyarakatan (Cobb dalam
Sarafino, 1991). Menurut Cobb
(dalam Sarafino, 1991), individu
yang mendapatkan dukungan
sosial akan merasa bahwa
dirinya dicintai, dipedulikan,
dihargai, dan menjadi bagian
dalam jaringan sosial (seperti
keluarga dan organisasi tertentu)
yang m enyed iakan tem pat
bergantung ketika dibutuhkan.
Faktor dukungan sosial termasuk
keda lam sa lah satu fak to r
eksternal yang mempengaruhi
psychological well being subjek.
Da lam kasus in i sub jek
merasa dukungan sosial yang
d i t e r i m a n ya b e r p e n g a r u h
terhadap penerimaan dirinya,
hubungan positi fnya dengan
orang lain, dan pengusaannya
terhadap lingkungan. Subjek
merasa senang dengan perhatian
dan rasa kasih sayang yang
d iber i kan oleh anak -anak,
keluarga, juga pegawai-pegawai
panti, sehingga menambah rasa
syukur subjek menjadi dirinya
s a m p a i d e n g a n s a a t i n i .
Dukungan sosial yang subjek
40
terima juga membuat hubungan
positif subjek dengan orang lain
semakin baik, karena dari
d u k u n g a n s o s i a l y a n g
diterimanya dari orang lain,
membuat subjek merasakan
saling membutuhkan diantara
sesama. Dukungan sosial yang
subjek terima juga membuat rasa
percaya diri subjek semakin
b e r t a m b a h , s e h i n g g a
penguasaan subjek terhadap
lingkungan menjadi lebih mudah,
karena kepercayaan diri yang
dimilikinya. Subjek merasa, panti
se l a l u m em ber i dukung an
terhadap hal-hal yang subjek
ingin lakukan. Panti akan selalu
mendukung dan memberikan
kebebasan kepada siapa saja
yang memil iki ide-ide untuk
melakukan sesuatu. Selama ide
tersebut berdampak postif dan
untuk kebaikan. Kemampuan
subjek da lam penguasaan
l i ngk ungan t ak l epas da r i
dukungan yang panti berikan,
y a i t u k e m a m p u a n d a l a m
menciptakan lingkungan yang
sesuai dengan kondisi psikis
su b j ek . P an t i m e n d u ku n g
keinginan subjek tersebut selain
karena alasan untuk kebaikan
subjek sendiri, juga karena untuk
kepentingan bersama.
KESIMPULAN
1. Alasan individu lanjut usia
tinggal di panti werdha
Alasan lansia tinggal di
panti werdha dalam penelitian ini
karena perubahan tipe keluarga
dan kemandirian. Suami yang
telah meninggal dan kehidupan
a n a k - a n a k y a n g t e r u s
berkembang. Anak-anak yang
telah menikah dan membentuk
keluarga sendiri , serta telah
tinggal terpisah. Hingga membuat
lansia hanya tinggal sendiri di
rumah. Kemandirian yang lansia
mi l iki , perasaan tidak ingin
merepotkan anak-anak, juga
beberapa pertimbangan pribadi,
menyebabkan lans ia leb ih
memilih untuk tinggal secara
mandiri di panti werdha. Nilai
lebih dari suatu panti werdha
sendiri, dapat menjadi alasan
lansia memilih tinggal di panti
werdha tersebut.
41
2. Gambaran pschological well
being individu lanjut usia yang
tinggal di panti werdha
Dalam penelitian ini lansia
yang tinggal di panti werdha
memiliki psychological well being
yang positif. Hal ini ditunjukkan
dengan, lansia yang tinggal di
p a n t i w e r d h a m e m i l i k i
pener imaan di r i yang baik ,
kemampuan menjalin hubungan
yang positif dengan orang lain,
otonomi yang baik, penguasaan
lingkungan yang baik, tujuan
h i d u p , d a n t e t a p d a p a t
merasakan pribadinya yang terus
tumbuh.
3 . F a k t o r - f a k t o r yang
mempengaruhi psychological
well being individu lanjut usia
yang tinggal di panti werdha
Beberapa faktor yang
menyebabkan psychological well
being individu lanjut usia yang
tinggal di panti werdha positif.
Antara lain dikarenakan, faktor
jaringan sosial yang baik, dalam
hal ini subjek mampu mengikuti
kegiatan-kegiatan yang diadakan
di panti werdha, kemudian juga
subjek memiliki hubungan yang
baik dengan keluarga termasuk
anak-anak maupun para pegawai
dan perawat di panti werdha.
Kondisi ekonomi yang baik,
dimana subjek selain masih
memiliki pensiun, subjek juga
mendapat ki riman uang dari
anak-anak yang dapat membuat
su b j ek m am p u m e ncukup i
kebutuhan subjek pribadi, bahkan
subjek pun masih dapat berbagi
dengan sesama, termasuk para
pegawai dan perawat di panti
werdha. Interpretasi yang positif
terhadap pengalaman hidup yang
d i l e w a t i n y a , m e s k i p u n
pengalaman yang di ter ima
negatif , namun subjek tetap
dapat mengambil hikmah dari
pengalaman tersebut. Adanya
dukungan sosial, dalam hal ini
s u b j e k m e r a s a t e t a p
mendapatkan kasih sayang dan
perhatian dari keluarga dan para
pegawai ataupun perawat di panti
werdha. Faktor jaringan sosial
dan faktor dukungan sosial yang
subjek terima merupakan faktor-
faktor yang tergolong faktor
42
eksternal, karena berasal dari
luar diri subjek. Sedangkan faktor
kondisi ekonomi yang baik yang
subjek miliki dan interpretasi
y a n g p o s i t i f t e r h a d a p
pengalaman hidup hidup yang
telah subjek lewati merupakan
faktor internal, karena hal ini
berkaitan dengan hal-hal yang
memang telah subjek miliki, atau
berasal dari dalam diri subjek.
SARAN
1. Bagi pengelola panti werdha,
berdasarkan hasil penelitian
diketahui bahwa lansia yang
tinggal di panti werdha tetap
memiliki psychological well being
yang positif dikarenakan fasilitas-
fasilitas dan kegiatan-kegiatan
yang diadakan di panti werdha
baik dan mendukung lansia yang
tinggal di panti werdha memiliki
psychological well being yang
positif. Lingkungan psikologis
yang hangat, penuh dengan rasa
kekeluargaan, serta kebijakan-
kebijakan yang panti werdha
b e r i k a n j u g a m e n d u k u n g
psychological well being individu
lanjut usia yang tinggal di panti
werdha positif. Maka diharapkan
di panti werdha Sasana Tresna
Werdha agar tetap dipertahankan
bahkan dikembangkan sehingga
dapat membantu kesejahteraan
psychological well being pada
lansia lain yang juga tinggal di
Sasana Tresna Werdha.
2. Bagi subjek dalam penelitian ini,
diharapkan tetap
mempertahankan psychological
well being positif yang dimilikinya
dengan menjaga kesehatan, dan
tetap melakukan kegiatan-
kegiatan yang disukai, yang
diadakan di panti werdha.
3. Bagi masyarakat pada umumnya,
diharapkan tidak
terlalu
mengkhawatirkan ketika akan
menitipkan anggota keluarga
yang telah lansia untuk tinggal di
panti werdha,
dengan
memperhatikan fasilitas serta
program-program yang ada di
panti werdha yang akan dipilih.
Maka dari itu diharapkan untuk
memi l ih panti werdha yang
memiliki program-program
dengan kegiatan yang tidak
membosankan bagi lansia serta
43
panti werdha yang memil iki
44
fasilitas-fasilitas yang baik dan
memadai.
4. Bagi peneliti berikutnya yang
ter tar i k menel i t i leb ih jauh
mengenai psychological well
being pada lansia, dapat meneliti
a s p e k - a s p e k l a i n y a n g
k e m u n g k i n a n t u r u t
mempengaruhi psychological well
b e i n g l a n s i a , a n t a r a l a i n
dukungan sosial yang lansia
t e r i m a , p r o g r a m - p r o g r a m
k e g i a t a n l a n s i a , d a n
pengembangan diri sendiri bagi
lansia.
DAFTAR PUSTAKA
Achir, Y. C. A. (2001). Bunga rampaipsikologi perkembangan dari anaksampai usia dewasa lanjut.Jakarta: UI-Press.
A ik en, L . R . (1995) . Aging: Anintroduction to gerontology .California: Sage Publications, Inc.
Basrowi & Suwandi. (2009). Memahamipenelitian kualitatif. Jakarta:Rineka Cipta.
Basuki, Heru. (2006). Penelitiankualitatif: untuk ilmu-ilmukemanusiaan dan budaya.Jakarta: Universitas Gunadarma.
Birren, J. E. & Renner, V. J. (1980).Concepts and issues of mentalhealth and aging. Handbook ofmental health and aging, pp 3-14.New Jersey: Prentice Hall.
D inas Bina Menta l Sp i r i tua l danKesejahteraan Sosial. (2004).Data dan informasi tentangl e m b a g a k e s e j a h t e r a a nsosial/organisasi sosial propinsiDKI Jakarta. Jakarta: PemerintahPropinsi DKI Jakarta.
Direktorat Jenderal Pelayanan danRehabilitasi Sosial & DirektoratBina Pelayanan Sosial LanjutUsia. (2004). Pelayanan sosiallanjut usia. Jakarta: DepartemenSosial RI.
Ebersole, P. & Hess, P. (1990), Towardhealty aging: human needs andnursing response. (3 r d ed. )M is sou r i : Th e C. V . Mos byCompany.
Gunarsa, S. D. (2002). Bunga rampaipsikologi perkembangan dari anaksampai usia lanjut. Jakarta: BPK.Gunung Mulia.
Gusmilizar, I. (2009). Subjective well-being. Diperoleh Maret 10, 2010,dari http://www.subjective-well-being.html.
Hasan. (2000). Penelitian kualitatif.Jakarta: Erlangga.
Higgins, J. (1989). Home and family:creating the domestic sphere.London: Macmillan.
Hurlock, E. B. (1980). Pendekatanperkembangan: Suatu pendekatansepanjang rentang kehidupan.E d i s i k e l i m a . A l i h b a h as a :Istiwidayanti & Soedjarwo. Jakarta:Erlangga.
Kadir, S. (2009). Panti werdha sebuahpilihan. Diperoleh Agustus 10,2 0 0 9 , d a r ihttp://subhankadir.wordpress.com/
45
2007/08/20/panti-werd ha-adalah-pilihan/.
Katarina, D. (2007). Gambaran dimensi-dimensi psychological well beingpada janda lansia dan duda lansiadi panti werdha. Tesis. (tidakditerbitkan). Jakarta: FakultasPsikolog i Un iversitas Katolik AtmaJaya.
Kohut, S. Jr., Kohut, J., & Fleishman, J.J. (1983). Reality orientation forthe elderly. (2nd ed.) New Jersey:Medical Economics Copany, Inc.
Lawton, M. P. (1977). The impact of thee n v i r o n m e n t o n ag i n g a n dbehav ior . Handbook of thepsychology of aging, pp 276-298.Kanada: L i t l on Educat i ona lPublishing, Inc.
Levinson, D. J. (1978). The seasons ofa man’s life. New York: BalantineBooks.
Lopez, S. J & Snyder, C. R. (2003).Positive Psychological Assesment.A handbook of models and
measures, pp 411-425.Washington, DC: AmericanPsychological.
Louvet, E. & Rohmer, O. (2005).Measuring psychological well-being in rehabilitation service.Diperoleh April 23, 2009, darihttp://www.epr.be/downloads/psychological%20well-being .doc.
Nawawi, H. H. (2005). Metode penelitianbidang sosial. Yogyakarta: GajahMada University Press.
Newman, B. M. & Newman, P. R.(2006). Development through life:a psychosocial approach. (9th ed.)California: Thomson Wadsworth.
Nugroho, W. (2000). Keperawatangerontik. Jakarta: EGC.
Palupi, E. (2008). Psychological wellbeing pada lansia. Diperoleh April23, 2009, darihttp://www. psychological-well-being-pada-lansia. html.
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman,R. D. (2004). Human development.(9th ed.) New York: Mc Graw-HillsCompanies, Inc.
Perlmutter, M. & Hall, E. (1992). Adultdevelopment and aging. (2nd ed.)New York: Jon Wiley & Son, Inc.
Poerwandari, E. K. (2005). Pendekatankualitatif untuk penelitian perilakumanusia . Jakarta : LembagaPengembangan SaranaPengukuran dan PendidikanPsikologi (LPSP3) FakultasPsikologi Universitas Indonesia.
Ratnawati. (2005). Du ku ngan sosialpada lansia yang tinggal di pantijompo. Skripsi. (tidak diterbitkan).D ep ok : F ak u l t a s P s i k o l og iUniversitas Gunadarma.
Ryan, Richard M., & Deci, Edward L.(2001). Jurnal: On happiness andhuman potentials: a review ofr es e a r c h o n he don i c an deudaimonic well being. DiperolehM a r e t 1 6 , 2 0 0 9 , d a r ihttp://www.proquest.com.
Ryff, Carol D. (1989). Happiness IsEverything, or Is It? Explorationson the Meaning of PsychologicalWell-Being. Journal of Personalityand Social Psychology, 57, 1069-1081.
Ryff, Carol D., & Keyes, Corey Lee M.( 1 9 9 5 ) . T h e S t r u c t u r e o fP s y c h o l o g i c a l W e l l B e i n gRevisited. Journal of Personalityand Social Psychology, 69, 719-727.
46
Sant rock , W . (1995) . Li fe spandevelopment: perkembanganmasa hidup. Edisi keempat. Jilid 2.Jakarta: Erlangga.
Syamsudin. (2008). Mencapai optimumaging pada lansia. Diperoleh Maret
10, 2010, darihttp://www.depsos.go. id.
Tobin, S. S. & Lieberman, M. A. (1978).Last home for the aged. California:Jossey-Bass, Inc.