jurnal borneo administrator, vol. 8 no. 2 tahun 2012

123

Upload: bidang-kkian-pkp2a-iii-lan-kalimantan

Post on 20-Jun-2015

1.263 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012
Page 2: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

ISSN: 1858-0300Anggota ISBN/KDN No. 979-99635-1-6

Jurnal Borneo Administrator diterbitkan 3 kali setiap tahun oleh Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III Lembaga Administrasi Negara (PKP2A III LAN).

Pengarah:Kepala PKP2A III LAN

Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab:Mariman Darto, SE., M.Si

Redaktur:

Penyunting:

Mitra Bestari:

Sekretariat:

Alamat:

Email: [email protected]; [email protected]: http://www.samarinda.lan.go.id

Andi Wahyudi, S.IP.Maria A.P. Sari, S.Sos.

Siti Zakiyah, S.Si., MSE, MA.

Lina Maulana, S.Sos.Mayahayati K., S.E., M.Ec.Dev

Tri Noor Aziza, SP.

Prof. Dr. Hj. Aji Ratna Kusuma, M.Si. (Perencanaan Pembangunan)Prof. Dr. Erman Aminullah, M.Sc. (Kebijakan Publik, Kebijakan Iptek)

Prof. Dr. Hj. Nur Fitriyah, MS. (Manajemen Publik, Sosiologi, Antropologi)Dr.rer.publ. Samodra Wibawa, M.Sc. (Administrasi Negara)

Prof. H. Sarosa Hamongpranoto, SH., M.Hum. (Ilmu Hukum)Tri Widodo W. Utomo, SH., MA. (Hukum Tata Negara, Administrasi Publik)

Kemal Hidayah, SH Lia Rosliana, S.PsiWildan Lutfi A., SE

Jl. H.M. Ardans, SH. (Ring Road III) SamarindaTelp. 0541-7040851, 7040852, Fax. 0541-737983

Akreditasi LIPI No. : 311/Akred-LIPI/P2MBI/10/2010 Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

CALL FOR PAPER:Redaksi menerima naskah hasil penelitian, kajian maupun pemikiran kritis mengenai isu-isu dalam lingkup bidang administrasi publik. Naskah diketik dalam Ms Word menggunakan Bahasa Indonesia sepanjang 15-20 halaman, ukuran kertas A4, huruf Times New Roman ukuran 12, dan spasi tunggal. Intisari/Abstract ditulis dalam dwi bahasa (Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia) masing-masing sepanjang 100-200 kata. Naskah bisa dikirim langsung ke Redaksi, melalui pos atau email, dan untuk naskah yang dicetak di atas kertas harus disertakan softfile copy. Redaksi berhak melakukan penilaian dan penyuntingan terhadap naskah yang masuk. Naskah yang lolos seleksi oleh Redaksi, akan direview oleh Mitra Bestari (Peer Reviewer). Dan terhadap naskah yang dimuat diberikan cetak lepas (off-print) dan imbalan yang menarik.

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 I

Jurnal

Media Pengembangan Paradigma dan Inovasi Sistem Administrasi Negara

BORNEO ADMINISTRATOR

Page 3: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Best PracticesBontang : Menuju Keberlanjutan Pembangunan (Sustant Development)Melalui Implementasi Eco-Office, Eco School, Eco Hospital dan Eco Market

Info KebijakanPemanfaatan Pulau-Pulau Kecil Terluar(Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 62 Tahun 2010)

ResensiMeniti Demokrasi Memimpin Kaltim dengan Hati,Jejak H. Awang Faroek IshakIntrik dan Konflik Politik Memenangi Pilkada LangsungGubernur Kalimantan Timur

110 - 114

115 - 118

119 - 123

Daftar Isi

Dari Sudut Tepian MahakamPERCEPATAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI, REALITIS ATAU UTOPIS?

AnalisaKULTUR BIROKRASI PATRIMONIALISME DALAM PEMERINTAHPROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTAWasisto Raharjo Jati

KORUPSI DI DAERAH : SALAH JALAN PENYELENGGARAANADMINISTRASI DAERAHPrakoso Bhairawa Putera

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN(Studi Pelaksanaan Perda Nomor2 Tahun 2007 TentangPenanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara)Efri Novianto

KEBIJAKAN PENGELOLAAN KONSERVASI KELAUTAN DAN PERIKANANRadityo Pramoda dan Sonny Koeshendrajana

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN DESENTRALISASI PADA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT (Studi Kasus: Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat)Krismiyati Tasrin dan Putri Wulandari

Ø

Ø

Ø

Ø

139 - 144

145 - 160

161 - 179

180 - 205

206 - 229

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012II

Jurnal

Media Pengembangan Paradigma dan Inovasi Sistem Administrasi Negara

BORNEO ADMINISTRATOR

Ø

230 - 253

Page 4: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Pembaca yang budiman,Ada beberapa perist iwa

penting yang terjadi di catur wulan kedua tahun 2012 ini. Di antaranya merupakan peristiwa rutin yang terjadi setiap tahun yaitu peringatan HUT Kemerdekaan RI yang ke-67 pada 17 Agustus 2012. Kemudian pada bulan Agustus ini juga bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri 1433 H. Oleh karena itu, segenap pengelola Jurnal B o r n e o A d m i n i s t r a t o r ( J B A ) m e n g u c a p k a n D i r g a h a y u Kemerdekaan RI yang ke-67, semoga kita menjadi bangsa yang senantiasa optimis karena negara ini dibangun dengan semangat optimisme dari para founding fathers kita. Kami juga mengucapkan Selamat Idul Fitri kepada segenap pembaca sekalian, mohon maaf lahir batin atas segala kekurangan yang ada pada kami. Semoga hari-hari ke depan senantiasa menjadi hari yang lebih baik dan penuh berkah.

Selain peritiwa tersebut, bagi keluarga besar Lembaga Administrasi Negara, catur wulan kedua 2012 ini juga terdapat dua peristiwa penting yaitu hari ulang tahun LAN yang ke-55 pada 6 Agustus 2012, serta pelantikan Prof. Dr. Agus Dwiyanto, MPA. m e n j a d i K e p a l a L A N y a n g menggantikan Dr. Asmawi Rewansyah pada tanggal 21 Juni 2012. Agus Dwiyanto adalah pemimpin LAN pertama hasil seleksi open bidding atau penawaran terbuka sejak lembaga ini berdiri pada tahun 1957. Ini merupakan hal baru bagi proses seleksi pimpinan

lembaga pemerintah di Indonesia yang belum pernah terjadi sebelumnya. Fenomena ini menjadi menarik karena setiap orang yang memiliki kompetensi berpeluang untuk memimpin sebuah lembaga pemerintah.

Wacana open bidding untuk p i m p i n a n b e r b a g a i l e m b a g a pemerintah baik pusat maupun daerah juga muncul belakangan ini seiring dengan adanya Rancangan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara (RUU ASN) sebagai penyempurnaan UU No. 8 Tahun 1974 (dan UU No. 43 Tahun 1 9 9 9 ) t e n t a n g P o k o k - P o k o k Kepegawaian. Apabila rencana pola baru tersebut dilaksanakan maka akan menjadi satu fenomena baru dimana semua orang yang berkompeten baik dari lingkungan pemerintah maupun swasta bisa menduduki jabatan-jabatan strategis di instansi pemerintah.

Selamat bekerja dan sukses untuk Prof. Agus Dwiyanto, semoga bisa membawa LAN menuju kondisi yang lebih baik!

Redaksi

Salam Redaksi

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 III

Jurnal

Media Pengembangan Paradigma dan Inovasi Sistem Administrasi Negara

BORNEO ADMINISTRATOR

Page 5: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012
Page 6: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Pada 23 Mei 2012 lalu, Pemerintah menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 55 Tahun 2012 tentang Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK) Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014. Lahirnya kebijakan ini disambut pro-kontra di kalangan masyarakat. Bagi yang mendukung kebijakan ini, umumnya mereka menganggap bahwa kebi jakan pemerintah ini merupakan respon kebijakan atas harapan publik untuk pemberantasan korupsi, sekaligus sebagai bentuk dukungan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, sebaliknya bagi kalangan yang pesimis, umumnya mereka menganggap bahwa kebijakan seperti ini merupakan pengulangan dari kebijakan sebelumnya dan belum berdampak sigmifikan terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.

***Sudah cukup banyak kebijakan

pemerintah untuk membatasi ruang gerak para koruptor. Sebut saja Inpres No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Inpres ini, mengamanatkan berbagai langkah strategis, diantaranya berupa Rencana Aksi Nasional (RAN) Pemberantasan Korupsi Tahun 2004-2009. Dokumen yang dimaklumatkan sebagai acuan bagi para pihak di Pemerintahan Pusat dan Daerah dalam memberantas korupsi ini menekankan pada upaya-

Percepatan dan Pemberantasan Korupsi, Realitis atau Utopis?

upaya pencegahan dan penindakan, selain juga sebagai pedoman bagi pelaksanaan monitoring (pemantauan) dan evaluasi.

D i t i n g k a t p e n e r a p a n kebijakan pemerintah tersebut, muncul dinamika yang cukup menarik : terjadi pembentukan dan konsol idas i kelembagaan; sekaligus masyarakat masyarakat makin sadar dan kritis terhadap upaya pemberantasan korupsi. Sebagaimana yang dijelaskan dalam lampiran Perpres No. 55 Tahun 2012 , pe rkembangan d inamis pemberantasan korupsi tersebut telah d i a k o m o d a s i d a l a m R A N Pemberantasan Korupsi Tahun 2004-2009. Sejumlah Daerah bahkan sudah mengembangkan Rencana Aksi Daerah Pemberantasan Korupsi secara swakarsa. Pantaslah kiranya jika ada daerah yang memelopori inovasi kebijakan yang terbukti mampu mencegah praktik korupsi di birokrasi pemerintahan. Bahkan, pemberantasan korupsi di Indonesia telah menarik perhat ian dunia internasional . Indonesia, melalui Undang-Undang (UU) No. 7 Tahun 2006, telah m e r a t i f i k a s i U n i t e d N a t i o n s Convention Against Corruption (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti korupsi, UNCAC) 2003.

Pada tahun 2011, Indonesia menjadi salah satu negara pertama yang dikaji oleh Negara Peserta lainnya di dalam skema UNCAC. Upaya pemberantasan korupsi di Indonesia

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 139

Dari Sudut Tepian MahakamCatatan Tentang Dinamika Isu-Isu Lokalitas di Tengah Gelombang Globalisme

Page 7: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Dari Sudut Tepian MahakamCatatan Tentang Dinamika Isu-Isu Lokalitas di Tengah Gelombang Globalisme

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012140

dengan fokus utama pencegahan korupsi pada lembaga penegak hukum. A k s i n y a b e r u p a p e n i n g k a t a n akuntabilitas, keterbukaan informasi, kapasitas dan pembinaan sumber daya manusia, serta koordinasi antar lembaga. Inpres No. 9 Tahun 2011 dan Inpres No. 17 Tahun 2011 diharapkan menjadi bagian pertama dan kedua dari rangkaian Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (RAN-PPK) yang akan diselenggarakan tahunan.

P e l a k s a n a a n b e r b a g a i dokumen nasional pemberantasan korupsi ini tentu menuai tantangan. Salah satunya, pelaksanaannya oleh Kementerian/Lembaga (K/L) maupun Daerah terasa berjalan sendiri-sendiri, belum sinergis, sehingga capaiannya belum maksimal dalam mendorong pemberantasan korupsi. Oleh karena itu, hadirnya Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2025 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014 (Stranas PPK) yang komprehensif menjadi urgen, terutama sebagai acuan bagi segenap pemangku kepentingan dalam bergerak ke arah yang sama.

Setidaknya terdapat enam (6) strategi yang diandalkan oleh Pemerintah untuk pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia dalam jangka menengah dan panjang sebagaimana yang termuat dalam Perpres No. 55 tahun 2012 tersebut :

Pertama, strategi pencegahan. S t r a t e g i i n i b e r t u j u a n u n t u k mempersempit peluang terjadinya tindak pidana korupsi (tipikor) pada tata kepemerintahan dan masyarakat menyangkut pelayanan publik maupun penanganan perkara yang bersih dari

diperbandingkan dengan klausul-klausul di dalam UNCAC melalui kajian analisis kesenjangan (gap analysis study). Hasil kajiannya menunjukkan bahwa, sejumlah penyesuaian perlu segera dilakukan untuk memenuhi klausul-klausul di dalam UNCAC, terkhusus bidang kriminalisasi dan peraturan perundang-undangan.

Transparency International (TI) pun setiap tahunnya menjajak pendapat masyarakat Indonesia mengenai eksistensi korupsi, terutama menyangkut kegiatan komersial, dengan mengukur Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia. IPK Indonesia saat ini, kendati mengalami peningkatan terbesar di

(ASEAN) hingga tahun 2011, masih terbilang rendah: 3,0 dari nilai maksimal 10. Pada tahun 2014, ditargetkan sejumlah peningkatan yang terukur, antara lain pemerintah menargetkan 5,0 untuk IPK, serta penyelesaian 100 persen rekomendasi hasil review pelaksanaan Bab III dan Bab IV UNCAC sebagai alat ukur keberhasilan pemberantasan korupsinya. Bahkan dalam jangka panjang akan disusun suatu Sistem Integritas Nasional untuk melengkapi ukuran keberhasilannya.

Demi menjawab target 2014 itu, maka pada bulan Mei 2011, Presiden memaklumatkan Inpres No. 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2011 diteruskan dengan Inpres No. 17 Tahun 2011 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2012, yaitu pada bulan Desember 2011. Melaluinya, Presiden mengins t ruksikan pelaksanaan berbagai rencana aksi yang terinci

Association of Southeast Asian Nations

Page 8: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Dari Sudut Tepian MahakamCatatan Tentang Dinamika Isu-Isu Lokalitas di Tengah Gelombang Globalisme

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 141

UNCAC dengan hukum yang berlaku di Indonesia.Indikator keberhasilan percapaian strategi ini terletak pada perbaikan kondisi inkonsistensi peraturan perundang-undangan di Indonesia agar dapat memberi dasar hukum yang memadai bagi PPK. Tingkat keberhasilan strategi ini diukur berdasarkan persentase kesesuaian antara peraturan perundang-undangan anti korupsi Indonesia dengan aturan UNCAC.

Keempat, strategi kerjasama internasional dan penyelamatan aset hasil tipikor. Strategi ini bertujuan untuk meningkatkan pengembalian aset untuk mengganti kerugian negara yang ditempuh melalui peningkatan kerja sama internasional dalam rangka PPK, khususnya dengan pengajuan bantuan timbal-balik masalah pidana, peningkatan koordinasi intensif antar lembaga penegak hukum, serta peningkatan kapasitas aparat lembaga penegak hukum. Keberhasi lan pelaksanaan strategi ini diukur b e r d a s a r k a n 2 ( d u a ) u k u r a n keberhasilan, yakni persentase tingkat keberhasilan kerja sama internasional dalam bidang tipikor dan persentase penyelamatan aset hasil tipikor.

Kelima, strategi pendidikan dan budaya anti korupsi. Tujuan penerapan strategi ini adalah untuk Memperkuat setiap individu dalam mengambil keputusan yang etis dan berintegritas, selain juga untuk menciptakan budaya zero tolerance te rhadap korupsi . Masyarakat diharapkan menjadi pelaku aktif pencegahan dan pemberantasan k o r u p s i s e h i n g g a m a m p u mempengaruhi keputusan yang etis dan berintegritas di lingkungannya, lebih luas dari dirinya sendiri. Terwujudnya

korupsi. Indikator keberhasilan pencapaian strategi ini diukur dari indeks pencegahan korupsi yang dihitung berdasarkan sub indikator Control of Corruption (CoC) Index dan peringkat Ease of Doing Business (EoDB) yang dikeluarkan World Bank. CoC Index pada dasarnya mengukur efektifitas kebijakan dan kerangka instansional suatu negara dalam mencegah korupsi. Sementara, peringkat EoDB adalah mengukur tingkat kemudahan untuk memulai dan menjalankan usaha, yang erat kaitannya dengan proses pemberian perizinan.

Kedua, strategi penegakan hukum. Tujuan dari strategi ini adalah untuk menuntaskan kasus tipikor secara konsisten dan sesuai hukum positif yang berlaku demi memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang berkeadilan dan transparan. Ukuran keberhasilan pencapaian strategi ini adalah persentase penyelesaian pengaduan t ip ikor, penye l id ikan t ip ikor, penye le sa i an peny id ikan dan conviction rate yang dihitung berdasarkan jumlah pemidanaan kasus t i p iko r d iband ingkan dengan pelimpahan berkas kasus tipikor ke pengadilan.

Ketiga, strategi harmonisasi peraturan perundang-undangan. Strategi ini bertujuan untuk menyusun dan merevisi peraturan perundang-undangan anti korupsi di bidang tipikor maupun di bidang strategis lain yang berpotensi membuka peluang korupsi, agar tercipta tatanan regulasi yang h a r m o n i s d a n m e m a d a i b a g i PPK.Selain itu, strategi ini juga bertujuan untuk tercapainya kesesuaian antara ketentuan-ketentuan di dalam

Page 9: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012142

Dari Sudut Tepian MahakamCatatan Tentang Dinamika Isu-Isu Lokalitas di Tengah Gelombang Globalisme

telah menyeruak masuk dalam sendi-send i keh idupan masya raka t . Keterlibatan semua pihak di luar pemerintah penting untuk mengontrol keberadaan pemerintah yang telah menggunakan dana publik yang tidak diperuntukkan bagi kepentingan publik secara proporsional. Keterlibatan dunia usaha dan masyarakat penting dalam m e n g e f e k t i f k a n p e n d e k a t a n pemberantasan korupsi di Indonesia.

Banyak ka l angan yang menyayangkan posisi masyarakat yang tidak secara optimal dilibatkan dalam pemberantasan korupsi. Mungkin karena inilah korupsi terus melaju kencang seiring dengan kemajuan bangsa ini. Kita dapat melihat beberapa fakta penting berikut ini! Indikator Perseps i Korupsi ( IPK) yang merupakan gambaran persepsi korupsi di Indonesia oleh kalangan pebisnis m e n u n j u k k a n b a h w a u p a y a pemberantasan korupsi di Indonesia cukup lamban. Lihat skor IPK berikut ini : 2007 : 2,3; 2008 : 2,6; 2009 : 2,8; 2010 : 2,8; dan 2011 : 3,0.

Fakta lain juga memberikan petunjuk lambannya pemberantasan korupsi di Indonesia. Survei integritas sektor publik yang dilakukan oleh

rintahan daerah menunjukkan proposisi di atas : 2007 (5,53); 2008 (6,84) 2009 (6,50); 2010 (5,42), dan tahun 2011 (6,31).

Skala nilai IPK berkisar dari 0 sampai dengan 10. Nilai 0 berarti dipersepsikan paling tinggi korupsinya dan nilai 10 d i p e r s e p s i k a n p a l i n g r e n d a h korupsinya.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengukur persepsi masyarakat tentang pelayanan publik pemerintahan pusat dan peme

Survei ini dilakukan terhadap instansi pusat dan daerah yang memberikan layanan

masyarakat dengan budaya integritas dalam berbagai lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Strategi ini diukur berdasarkan Indeks Perilaku Anti Korupsi yang ada dikalangan tata kepemerintahan maupun individu di seluruh Indonesia. Semakin tinggi angka indeks ini, maka diyakini nilai budaya ant i korups i semakin terinternalisasi dan mewujud dalam perilaku nyata setiap individu untuk memerangi tipikor.

Keenam, strategi mekanisme pelaporan pelaksanaan pemberantasan korupsi. Tujuan dari penerapan strategi ini antara lain adalah memastikan ketersediaan laporan rutin dan informasi terkai t pelaksanaan ketentuan UNCAC dan kegiatan pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia beserta capaian-capaiannya. Tujuan lain yang ingin dicapai adalah terpenuhinya (100%) semua kewajiban dalam pelaporan terkai t pelaksanaan ketentuan UNCAC. Keberhasilan pelaksanaan strategi mekanisme pelaporan PPK dilakukan dengan memakai Indeks Kepuasan Pemangku Kepentingan terhadap Laporan PPK yang diukur dari 2 (dua) elemen yakni pemanfaatan Laporan PPK dan ketepatan waktu publikasi laporan berbagai upaya PPK, termasuk pelaksanaan UNCAC, beserta capaiancapaiannya.

***T i d a k m u d a h u n t u k

memberantas korupsi di Indonesia. Membu tuhkan kesada ran dan kepedulian serta komitmen semua pihak, tidak hanya pemerintah! Dunia swasta, civil society dan masyarakat umum juga bertanggungjawab. Tidak ada satupun elemen masyarakat yang boleh ditinggalkan. Karena korupsi

Page 10: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 143

Dari Sudut Tepian MahakamCatatan Tentang Dinamika Isu-Isu Lokalitas di Tengah Gelombang Globalisme

perundang-undangan yang berada di atasnya. Selain itu yang juga umum terjadi dalam korupsi pungutan daerah adalah besarnya penghasilan aparat. Dan yang terakhir adalah (6) korupsi terhadap DAU/DAK dan dana Dekonsentrasi. Terdapat tiga modus yang sering terjadi pada korupsi ini yakni melalui penyalahgunaan wewenang dan penggelapan melalui pintu masuk APBD. Selain itu, cara lainnya adalah lewat pelaporan yang t i d a k s t a n d a r s e r t a a l o k a s i penggunaannnya yang tidak trasparan.

Peta korupsi yang disampaikan KPK di atas bukan tanpa alasan. menurut data KPK yang dipublikasikan di awal tahun 2012 memperlihatkan peta korupsi tersebut benar dan tidak dapat ditolak. Jumlah perkara yang ditangani oleh KPK masih didominasi oleh perkara pengadaan barang dan jasa (41%). Disusul dengan perkara penyuapan (35%), penyalahgunaan anggaran (15%), pungutan (5,1%) dan perizinan (4,3%). Jika dilihat wilayah pemerintahan yang paling dominan berperkara korupsi di KPK adalah pemerintah pusat sebanyak 54,1% dan sisanya pemerintah daerah, dan sisanya adalah pemerintah daerah (35,9%). Pada pemerintah daerah, provinsi Jawa Barat merupakan daerah yang paling banyak berperkara korupsi (9,4%), DKI Jakarta (6,9%), dan Kalimantan Timur sebagai juara ketiga (4,7%).

***M a m p u k a h P e m e r i n t a h

menjalankan Stranas PPK secara efektif? Melihat perjalanan penerapan kebijakan terkait dengan pencegahan dan pemberantasan korupsi yang s e b e l u m n y a d i j a l a n k a n o l e h Pemerintah, tampaknya Pemerintah akan menghadapi berbagai rintangan

kepada publik (masyarakat, perusahaan maupun layanan antar lembaga). Skala penilaian dimulai dari 1 sampai dengan 10. Interpretasi dari nilai tersebut adalah semakin mendekati nilai 10 semakin baik integritas sektor publik. Berbagai survei yang dilakukan oleh l e m b a g a i n t e r n a s i o n a l j u g a menempatkan Indonesia sebagai negara dengan status terkorup dari 16 negara Asia Pacifik yang menjadi tujuan investasi dengan skala 9,27 (PERC, 2011).

Berbagai survei baik yang dilakukan oleh KPK sendiri maupun yang dilakukan oleh berbagai pihak menunjukkan bahwa korupsi di Indonesia disebabkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi kemudian KPK mencoba menelusuri berbagai modus korupsi yang diungkapkan kedalam enam peta korupsi di Indonesia (KPK, 2012). Peta korupsi tersebut bersumber dari : (1) korupsi terhadap penerimaan pajak yang dilakukan antara lain melalui penyelewengan target capaian, pemerasan kepada wajib pajak, manipulasi data wajib pajak. (2) korupsi terhadap penerimaan non-pajak yang dilakukan antara lain melalui : penyalahgunaan perizinan, tidak adanya single data base dan p e n y e l e w e n g a n p e n y e t o r a n penerimaan negara non-pajak. (3) korupsi dalam pengadaan barang dan jasa yang sering dilakukan melalui modus penyimpangan prosedur pengadaannya. (4) korupsi bantuan sosial yang jamak dilakukan melalui penyimpangan peruntukannya, penggelapan dan bantuan sosial fiktif. (5) korupsi pungutan daerah yang dilakukan melalui penyusunan Perda yang tidak sesuai dengan peraturan

Page 11: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012144

Dari Sudut Tepian MahakamCatatan Tentang Dinamika Isu-Isu Lokalitas di Tengah Gelombang Globalisme

publik, (8) pemerintah daerah, (9) media yang independen dan bebas, (10) masyarakat s ip i l , (11) sektor perusahaan swasta, dan (12) pelaku dan mekanisme internasional.

Kedua belas pilar kelembagaan sistem integritas nasional di atas bersifat saling menopang, saling mengisi satu sama lain, saling melengkapi, dan tidak bisa berdiri sendiri. Sebab, tujuan pokok sistem integritas nasional adalah untuk menjadikan korupsi sebagai tindakan yang memiliki ”resiko tinggi” dan ”memberi hasil sedikit”. Pendekatan sistem integritas nasional menawarkan format terkini untuk mendiagnosa perbuatan korupsi dan cara-cara yang berpeluang untuk menghapus korupsi sampai ke akar-akarnya.

Dan kekurangan inilah yang seharusnya diisi agar pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia menjadi sesuatu yang realistis bukan utopis. Wallahu a'lamu bishawab.* (Mariman Darto).

yang terus berulang. Beberapa kelemahan dalam rencana strategi tersebut, di antaranya tidak berangkat dari kondisi faktual serta minim partisipasi publik. Disamping itu, tidak terlihat mekanisme rewards dan punishment bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang tidak melaksanakan strategi nasional tersebut. Hal lain yang menjadi titik kritis dari pelaksanaan strategi ini adalah kemauan dan kemampuan politik presiden dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, pembentukan ke lembagaan , dan koord inas i antarlembaga dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, dan fokus target program.

Meminjam Jeremy Pope (2003), dalam bukunya yang berjudul “Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional”, melontarkan wacana “elemen sistem integritas nasional” sebagai sebuah “strategi memberantas korupsi”. Yang dimaksud dengan elemen sistem integritas nasional dalam buku ini adalah s is tem tanggung-gugat horizontal dengan penyebaran kekuasaan, tidak ada monopoli kekuasaan dan masing-masing p e m e g a n g k e k u a s a a n m e m p e r t a n g g u n g j a w a b k a n penggunaan kekuasaannya pada masyarakat.

D a l a m h a l i n i , P o p e memberikan penjelasan mendetail mengenai pilar-pilar kelembagaan sistem integritas nasional pada bagian kedua bukunya: (1) legislatif yang terpilih, (2) peranan eksekutif, (3) sistem peradilan yang independen, (4) auditor-negara, (5) ombudsman, (6) organisasi anti-korupsi independen, (7) pelayanan publik untuk melayani

Page 12: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Abstract.

.

This study aims to analyze patrimonialism bureaucratic culture in the Provincial Government of Yogyakarta. Analysis of the study was conducted by using patrimonialism bureaucracy theory to analyze characteristics of bureaucracy in Yogyakarta. The result shows that patrimonialism in bureaucracy is built by the recruitment of bureaucrats became “abdi dalem”/(servants in the palace); patrimonialism in bureaucracy also creates hybrid system which consist of modernity and traditional values; king as the governor using the bureaucracy to strengthen the loyalty of the people; patrimonialism establishes mutual relationships where bureaucracy need noble status to enhance their social status in society and sultan needs support from bureaucrats in order to maintain the stability of power: patrimonialism is manifested in the political mobilization of bureaucrats to support sultan become governor in the discussion of the privileges of Yogyakarta.

Keywords : patrimonialism bureaucratic, “abdi dalem”, sultanate of Yogyakarta.

Intisari

Studi ini bertujuan untuk mengkaji kultur birokrasi patrimonialisme yang berada di Pemerintahan Provinsi DIY. Analisa dalam studi ini menggunakan teori birokrasi patrimonialisme dalam menganalisa studi kasus birokrasi di DIY. Hasil studi menunjukkan bahwa patrimonialisme dalam birokrasi dibangun melalui sistem rekrutmen abdi dalem; patrimonialisme dalam birokrasi juga menciptakan sistem birokrasi campuran atau hibrid yang mana terdiri dari nilai modernitas dan tradisional; raja selaku gubernur menggunakan birokrasi untuk memperkuat loyalitas masyarakat; patrimonialisme menciptakan relasi mutualisme raja selaku gubernur menggunakan birokrasi untuk memperkuat loyalitas masyarakat; patrimonialisme menciptakan relasi

KULTUR BIROKRASI PATRIMONIALISME DALAM PEMERINTAH 1PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

2Wasisto Raharjo Jati

Jurusan Politik dan Pemerintahan, FISIPOL UGMGedung PAU UGM Lt.3 Sayap Timur,

Jl. Teknika Utara, Pogung, Yogyakarta-55281. Telp/ Fax: 0274 552212

Email : [email protected]

1 Naskah diterima: 5 Juni 2012, revisi pertama: 16 Juli 2012, revisi kedua: 26 Juli 2012, revisi terakhir: 28 Juli 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 145

Page 13: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

mutualisme dimana birokrat membutuhkan gelar kerajaan untuk menaikkan status sosial dan Sultan membutuhkan dukungan agar menjaga stabilitas kekuasaan dan Sultan membutuhkan dukungan agar menjaga stabilitas kekuasaan; patrimonialisme dimanifestasikan dalam mobilisasi politis para birokrat untuk mendukung Sultan menjadi gubernur dalam pembahasan RUUK DIY.

Kata kunci: patrimonialisme birokrasi, abdi dalem, kerajaan Yogyakarta

A.PENDAHULUANSekretaris Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta (DIY), Tri Harjun Ismaji, melalui Surat Edaran (SE) Sekretaris Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta No. 800/3945 tanggal 13 Nopember 2009 perihal Arahan PNS di Lingkungan Pemprov DIY Menjadi Abdi DalemKeraton Yogyakarta, menghimbau agar para birokrat di lingkungan Pemprov DIY menjadi abdi dalemdalam rangka ikut berpartisipasi secara aktif mempertahankan dan melestarikan kebudayaan tradisional Jawa.

D a l a m s u r a t t e r s e b u t diterangkan pula bahwa semua pimpinan Satuan Kerja Perangkat D a e r a h ( S K P D ) d i h a r u s k a n memberikan suri teladan dengan menjad i abdi da lem Kera ton Yogyakarta baik dalam internal birokrasi maupun kepada masyarakat luas dan juga memberikan motivasi atau dorongan kepada PNS di lingkungan SKPD masing-masing untuk menjadi abdi dalem Keraton Yogyakarta. Meskipun surat edaran

tersebut sifatnya hanya imbauan dan tidak memaksa bagi birokrat untuk menjadi abdi dalem, namun berbagai kalangan menilai bahwa surat edaran

2tersebut bermakna politis.Hal itu sama saja dengan kian

meneguhkan budaya kerajaan dalam sistem birokrasi modern dan akan membuat rancu dalam menilai Sultan sebagai gubernur ataukah raja. Persoalan yang kemudian berkembang i a l a h n a n t i m u n c u l n y a pencampuradukan antara kultur kerajaan dengan birokrasi modern sehingga struktur patrimonialisme kian menancap kuat dalam kinerja para birokrat di lingkungan Pemprov DIY. Dalam hal ini, Surat edaran tersebut merupakan suatu cara bagi pihak kerajaan untuk mengikat bagi birokrat pemerintahan dan juga masyarakat untuk menjadi abdi dalem. Menurut Suwarno (1994), makna abdi dalem dalam era modern sekarang ini memiliki makna penting yakni pihak kerajaan bisa mengukur tingkat loya l i t as maupun pener imaan masyarakat Yogyakarta terhadap

2 Prof. Dr. Warsito Utomo, salah seorang pengajar di MAP (Magister Administrasi Publik) UGM dalam acara diskusi panel MAP (5/1/10) menilai bahwa surat edaran itu bernuansa politik karena surat itu muncul bersamaan dengan polemik Keistimewaan DIY. Warsito Utomo menilai surat itu merupakan upaya konsolidasi politik Sultan dalam meraih dukungan masyarakat Yogyakarta melalui abdidalemisasi birokrat untuk mendukung penetapan Sultan menjadi gubernur dimana seharusnya birokrat merupakan entitas netral yang terbebas dari kepentingan politik penguasa. Selain itu, kritikan juga hadir dari Tri Ratnawati, peneliti politik di P2P LIPI, yang menilai kebijakan abdidalemisasi PNS tersebut merupakan langkah yang diperlihatkan Sultan sehubungan dengan berlarutnya RUUK DIY. Upaya abdidalemisasi ini menimbulkan dilema loyalitas PNS antara kepada Sultan atau kepada pusat (Ratnawati, 2011 : 56).

KULTUR BIROKRASI PATRIMONIALISME DALAM PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Wasisto Raharjo Jati

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012146

Page 14: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

warga masyarakat lainnya, para birokrat memperlihatkan simbolisasi t radis ional untuk memperkuat legitimasinya di mata masyarakat d e n g a n l a m b a n g K a s u l t a n a n Yo g y a k a r t a , g a m b a r S u l t a n Hamengkubuwono X dan Paku Alam IX, serta lukisan wayang yang “diwajibkan” ada dipasang baik di alat transportasi maupun lingkungan instansi kerja untuk menimbulkan k e s a n k e n i n g r a t a n d a n kebangsawanan. Apalagi dikaitkan dengan isu RUU Keistimewaan DIY yang hingga kini belum selesai dibahas, adanya birokrasi menjadi abdi dalem menjadikan birokrasi tidak netral karena adanya mobilisasi birokrat untuk kian menjunjung kekuasaan kerajaan di atas masyarakat.

Maka pertanyaan penelitian yang ingin dijawab dalam studi ini adalah bagaimana bentuk birokrasi patrimonialisme yang berkembang di Pemprov DIY?

B. T E O R I B I R O K R A S I PATRIMONIALISME

T e o r i s a s i m e n g e n a i patrimonialisme dalam birokrasi dalam kajian ilmu politik di Indonesia dilakukan oleh berbagai Indonesianis seperti halnya Donald K. Emmerson (1983). Adapun lokus mengenai studi patrimonialisme yang dilakukan oleh Emmerson adalah dengan meneliti struktur birokrasi yang terdapat di pemerintahan Orde Baru. Dalam menjelaskan kasus patrimonalisme b i r o k r a s i d i I n d o n e s i a , p a r a I n d o n e s i a n i s i n i m e n c o b a mengkomparasikan kasus serupa yang terjadi dalam masa feodalisme Eropa pada abad 13-15. Patrimonalisme sendiri merujuk pada sentralisasi

kekuasaan kasultanan maupun kadipaten dalam menjalankan fungsi administrasi pemerintahan provinsi dan fungsi pelestrasi khazanah budaya Jawa. Sehingga pegawai provinsi yang menjalankan fungsi abdi dalem di kerajaan merupakan simbolisasi loyalitas dari kalangan birokrat.

Abdi dalem merupakan bagian dari kesatuan bulat dari Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat (nama resmi Kasultanan Yogyakarta) dan juga menjadi pengawal budaya Jawa yang diwajibkan memiliki pengamalan nilai-nilai berikut yakni (pengangen-angen ingkang luhur), komitmen terhadap kesanggupan atau tugas(tumindak sarta set ia ( tuhu) dhumateng kesagahan), memiliki integritas moral (ngutamakaken tumindak ingkang sae sarta prayogi) dan memiliki nurani yang bersih (wening lan jujur manahipun). Besarnya peran dualisme antara menjadi birokrat dan abdi dalem inilah yang kemudian mendapatkan status sosial yang bergengsi dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat Yogyakarta menilai menjadi birokrat dapat menaikkan citra dan pamor di lingkungan tempat tinggalnya. Hal tersebut tidak telepas dari karakter orang Jawa yang cenderung mengejar status sosial, status kebangsawanan, maupun status terpelajar untuk mendapat pengakuan dari sekitarnya. Radjiman (2002) menilai abdi dalem juga disebut kelompok birokrasi yang birokratik. Kelompok ini sangat banyak jumlah dan jenisnya. Kekuatan dan kewibawaan birokrasi raja di b i d a n g p e n g u a s a a n d a n penyelenggaraan pemerintahan kerajaan terletak pada kekuatan dan kemantapan birokrasi ini.

Dalam relasi birokrat dengan

KULTUR BIROKRASI PATRIMONIALISME DALAM PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Wasisto Raharjo Jati

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 147

Page 15: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

beberapa hal, diantaranya adalah adanya hubungan antara client-hamba dengan patron-tuan yang diibaratkan sebagai suatu hubungan pertukaran yang vertikal, dimana perubahan-perubahan selalu berada di bawah legitimasi kaum elit. Terbentuknya relasi tersebut lebih didasarkan pada ketidaksamaan' dan 'fleksibilitas yang tersebar' sebagai sebuah sistem pertukaran pribadi. Oleh karena itulah, pola internalisasi nilai dan norma penguasa diterima meluas sehingga timbullah kekuasaan yang hegemonik. Adapun kerangka kekuasaan yang hegemonik tersebut dapat diwujudkan dalam model masyarakat prismatik. Fred Riggs (1964) dalam karyanya Adminis trat ion in Developing Countries: The Theory of Prismatic Society mendefinisikan masyarakat primastik sebagai bentuk transisi masyarakat dari era tradisional menuju m o d e r n y a n g b e l u m s e l e s a i dikarenakan adanya benturan nilai modern dan tradisional tersebut. Benturan budaya tersebut dikarenakan masih kuatnya nilai tradisional-kultural di saat nilai modernitas mulai menyebar dalam karakter sosiologis masyarakat. Contohnya dapat kita lihat adanya monopoli kekuasaan yang dimiliki kelompok masyarakat tertentu dengan mengandalkan adanya sumber kuasa t r ad i s iona l -khar i smat ik meskipun pada saat yang sama demokrasi telah menyebar dan mempersilakan semua orang untuk terlibat dalam suksesi pemerintahan.

Pola masyarakat prismatik inilah yang menjadi karakter birokrat di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dimana secara struktural, birokrasi menampakkan ciri-ciri sebagaimana layaknya birokrasi

kekuasaan yang berpusat pada penguasa perseorangan tertentu ( k i n g s h i p r u l e r s h i p s ) y a n g mengakumulasikan kekuasaan, s e d a n g k a n y a n g l a i n mengidentifikasikan kepentingannya. Penguasa membagikan sumber daya kekuasaannya kepada pihak yang dapat dipercaya dan memiliki pengaruh besar di masyarakat untuk menjaga keberlangsungan dan stabilitas kekuasaannya. Sementara, bagi pihak yang berkepentingan tersebut memiliki a k s e s i b i l i t a s d a l a m m e n c a r i perlindungan politis maupun ekonomi dalam struktur kekuasaan tersebut. Hubungan tersebut berlangsung dalam pertukaran keuntungan (advantage exchange) yang dijaga dengan rapi oleh kedua belah pihak. Santoso (1997) menilai semasa Orde Baru berkuasa dikenal istilah “ABG” yakni akronim untuk menyebutkan ABRI-Birokrat-Golkar sebagai tiga serangkai saluran patrimonialisme kekuasaan Presiden Soeharto dalam menjaga stabilitas dan soliditas pemerintahannya. ABRI digunakan untuk mendisiplinkan dan mengatur masyarakat, Birokrat digunakan untuk mengendalikan administrasi pemerintahan, dan Golkar untuk menyeragamkan pilihan politis masyarakat untuk mendukung Presiden Soeharto. Dibandingkan dengan ABRI, relasi Golkar dan Birokat memang sangatlah kuat untuk menunjukkan patrimoni kekuasaan tersebut karena sinergi keduanya memiliki pengaruh kuat dan signifikan hingga pelosok masyarakat. James C. Scott (1993) menilai kekuasaan patrimonial yang berlangsung di Indonesia memiliki aka r an t ropo log i s kua t yang diwujudkan dalam 'patron-client' atau 'solidaritas vertikal' dapat dilihat dari

KULTUR BIROKRASI PATRIMONIALISME DALAM PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Wasisto Raharjo Jati

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012148

Page 16: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

atas prinsip priyayi-kawula. Priyayi sendiri merupakan kelas bangsawan yang dipekerjakan sebagai pegawai administrasi kerajaan di berbagai instansi (tepas) kerajaan dan kawula merupakan rakyat biasa. Menurut Kartodirdjo (1987) priyayi merupakan kelas terhormat bagi kawula karena status dan materi yang dimilikinya sehingga memiliki kekuasaan terhadap kawula. Kekuasaan tersebut tercermin dari pengusahaan tanah-tanah kerajaan yang dikelola priyayi kepada kawula yang amat tergantung dari tanah tersebut untuk digarap menjadi lahan pertanian maupun permukiman.

Dalam hal ini birokrasi priyayi tersebut dikembangkanlah model kepegawaian sipil kerajaan yang dinamakan 'praja' Sistem praja sebagai bentuk birokrasi Jawa ini kemudian mengalami percabangan menjadi dua bagian penting yakni pamong praja dan pangreh praja. istilah Pamong paling tidak menekankan pada seorang pelayan publik agar mampu me-ngemong (melayani), ngomong (berkomunikasi) dan siap di-omong (dinilai). Maka, pamong praja diartikan sebagai birokrasi yang mengurus pemerintahan negara. Maknanya, birokrasi Jawa dibentuk untuk melayani rakyat sebagaimana mengasuh anak, penuh perlindungan dan kasih sayang selama kapanpun. Jika pamong praja ini dibentuk untuk melayani kepentingan publik, maka pangreh praja ini dikhususkan untuk

modern; namun secara kultural, birokrasi masih membawa semangat kuasa kerajaan dalam setiap aspek roda pemerintahannya. Oleh karena itulah kultur birokrasi di Yogyakarta sering kali disebut sebagai "Birokrasi M a t a r a m a n " . P e n d a p a t i t u dikemukakan dengan maksud untuk menggambarkan kuatnya pengaruh budaya kerajaan yang begitu kental t e rhadap s i s t em b i rok ras i d i Yogyakarta. Menurut Raharjo (1998), b i r o k r a s i m a t a r a m a n d a p a t didefinisikan sebagai birokrasi yang hidup dan bekerja pada Kerajaan Mataram. Namun demikian, pengertian birokrasi mataraman sendiri memiliki makna yang meluas terutama dalam pengaturan norma, nilai, maupun prinsipal masyarakat yang dilakukan oleh pihak kerajaan melalui birokrasi. Adapun corak birokrasi mataraman ini berkembang pesat terutama pada daerah berstatus vorstenlanden selama era kolonialisme Belanda yang memiliki sistem kewenangan mengatur rumah tangga pemerintahannya tersendiri yang diakui oleh pihak

3pemerintah kolonial. Hal itulah yang kemudian memungkinkan bagi Kasultanan Yogyakarta maupun Kadipaten Pakualaman memelihara kultur birokrasi mataraman tersebut yang berbeda dengan administrasi birokrasi kolonial.

Adapun sistem kekuasaan patrimonialisme yang berada di Kerajaan Mataram sendiri dibangun

3 Vorstenlanden merupakan daerah otonomi kerajaan yang merdeka dan diakui eksistensi pemerintahannya oleh Belanda yang diatur dalam Desentralische Wet 1930. Dalam hal ini, daerah yang berstatus vorstenlanden adalah Yogyakarta dan Surakarta yang memiliki wilayah tersendiri. Dalam perkembangannya daerah vorstenlanden sendiri kemudian dikukuhkan dalam status Daerah Istimewa pada masa Republik Indonesia dimana Yogyakarta dan Surakarta berubah menjadi provinsi dengan label DIY dan DIS. Namun demikian, DIS kemudian ditiadakan dan diintegrasikan ke Provinsi Jawa Tengah karena adanya huru-hara revolusi kemerdekaan di Surakarta pada tahun 1947 sehingga mengakibatkan instabilitas pemerintahan DIS. Oleh karena itulah, DIY yang hingga kini masih mempertahankan corak khasnya sebagai daerah kerajaan berikut cara pengaturan birokrasinya.

KULTUR BIROKRASI PATRIMONIALISME DALAM PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Wasisto Raharjo Jati

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 149

Page 17: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Yogyakarta berintegrasi ke dalam wilayah republik dimana orang yang mengenyam pendidikan formal yang kemudian duduk sebagai birokrat di pemerintahan disebut sebagai priyayi modern untuk membedakan dirinya dengan priyayi tradisional yang memiliki darah biru atau paling tidak memiliki kerterkaitan dan kedekatan dengan pihak kerajaan maupun kebangsawanan. Diperkenalkannya sistem birokrasi modern dalam pemerintahan Provinsi DIY sendiri tidak lantas kemudian menghilangkan nuansa kerajaan karena jabatan struktural modern yang diperankannya dalam nuansa kultur tradisional sehingga kultur priyayi kerajaan sebagai birokrat belum bisa direduksi. Meskipun wacana reformasi birokrasi mengamanatkan adanya penghilangan garis hierarki vertikal dalam sistem birokrasi, namun para priyayi modern j u s t r u m a s i h a d a d e n g a n mempertahankan hubungan vertikal dalam kelembagaan dinas maupun badan provinsi lainnya (Basri, 2010 : 22). Perilaku komando vertikal tersebut mendeskripsikan karakter asli sistem feudal kerajaan. Mereka cenderung menganggap masyarakat/rakyat sebagai golongan yang per lu menghormati kedudukan mereka sebagai birokrat. Mereka mentabukan kritikdan kontrol dari bawahan dikarenakan sistem feodalistik melembagakan hubungan vertikal dan hirarkis (yang tajam) dengan bawahan.

Berkembangnya kultur priyayi dalam birokrasi modern sebagian besar terbentuk dari pola pangreh praja yang tampil sebagai kekuatan konservatif yang mempertahankan status quo. Selain karena fungsi pelindung tata-t e n t r e m , k o n s e r v a t i s m e j u g a

melayani raja. Istilah pangreh praja sendiri merujuk pengertian kekuasaan penguasa / raja sehingga birokrasi ini dibentuk untuk mempertahankan stabilitas kekuasaan politis raja. Dalam perkembangannya kemudian, pamong kemudian dilebur ke dalam pangreh untuk memperkuat sistem administrasi kerajaan. Meleburnya sistem pamong yang populis menjadi pangreh yang elitis inilah yang kemudian turut berpengaruh pada karakteristik birokrasi yang mengedepankan pendekatan tradisional terlebih dahulu baru kemudian pendekatan rasional.

Pola kekuasaan patrimonial yang dilakukan pangreh praja sebagai bentuk nyata corak b i rokras i mataraman tersebut memanfaatkan politisasi kultur Jawa yang memiliki karakter statis dan homogen yang lebih mengedepankan adanya harmonisasi dan perdamaian dalam kehidupan. N a m u n d e m i k i a n , b e n t u k “patrimonial” telah dikaitkan pada kegigihan perspektif budaya jawa tradisional akan kekuasaan. Pemegang kekuasaan dan gejala kekuasaan dipandang sebagai sesuatu kesatuan yang nyata. Kegiatan politik dianggap pada si pemegang kekuasaan, dan struktur politik menggantung dalam bentuk jaringan-jaringan vertikal yang saling bersaing untuk memperoleh perlindungan pribadi dari para pemegang kekuasaan.

Maka pengertian priyayi sendiri kemudian berkembang tidak lagi untuk menyebutkan para kerabat kraton dan kaum bangsawan diakui memiliki kedudukan sosial yang tinggi, sehingga seolah terlepas dari atribut pribumi. Makna priyayi kemudian b e r k e m b a n g t e r u t a m a p a s k a kolonialisme berakhir di Nusantara dan

KULTUR BIROKRASI PATRIMONIALISME DALAM PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Wasisto Raharjo Jati

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012150

Page 18: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

bagi masyarakat karena sudah “dianggap” sebagai bagian dari pihak kerajaan sehingga mendapatkan penghormatan dari masyarakat. Dalam menjalani profesi sebagai birokrat adanya gelar tradisional kerajaan yang tersemat di nama pegawai tersebut maka akan disegani oleh pihak lain sesama birokrat, terlebih lagi apabila yang mendapatkan gelar tersebut sudah berpangkat dan memiliki karir eselon yang tinggi dalam sistem struktur birokrasi. Implikasinya berdampak pada munculnya sistem bapakisme dalam birokrat. Bapakisme tersebut bisa terlihat dari etika pergaulan antar sesama birokrat yang terdapat di lingkungan kantor pemerintahan Provinsi DIY dimana panggilan “rama” dari birokrat junior kepada seniornya yang mempunyai tingkat eselon tinggi. Kata “rama” merupakan Bahasa Jawa krama halus untuk menyebut bapak / ayah, “rama” sendiri biasanya diucapkan anak kepada b a p a k n y a s e b a g a i b e n t u k penghormatan maupun tanda bakti karena ayah telah membesarkan dan merawat si anak yang umunya etika tersebut dalam lingkungan keluarga

5kerajaan. Dalam konteks birokrasi, “rama” sendiri dipahami sebagai bentuk penghormatan bagi birokrat junior atas perlindungan maupun bimbingan senior kepada juniornya karena telah diberi tunjangan gaji dan kenaikan pangkat yang lumayan atas kesetiannya kepada atasan seniornya.

d ipe r lukan un tuk me l indung i kedudukannya sendiri merupakan ciri khas birokrasi priyayi ini. Dalam aspek yang lain dimensi mempertahankan status quo tersebut erat kaitannya dengan mempertahankan nilai-nilai kultur tradisional ke dalam sistem

4birokrasi modern.Adapun ciri lainnya yang tidak

kalah menonjol adalah bukan hanya peraturan-peraturan sebagai aspek rasional-legal, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah tradisi kharisma, yaitu tradisi kemampuan untuk mengilhami pengikut dengan rasa panutan, rasa permisif kepada atasan, sikap arogan rutin yang dijalankan oleh atasan kepada bawahan, kepatuhan, pengabdian dan semangat kerja. Sikap kharismatik tersebut biasanya didorong oleh adanya tingginya gelar akademik, tingginya tingkat eselon kepangkatan, dan juga kalau bisa ditambah gelar tradisional yang diberikan oleh pihak kerajaan yang dibuktikan dengan surat kekancingan. Meskipun secara makro, pemberian gelar tradisional sendiri kini sudah berpengaruh dalam struktur sos ia l -kul tura l sebagian keci l masyarakat seiring dengan modernitas zaman. Namun demikian bagi kalangan birokrat yang mengabdi dan bekerja di jajaran pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan kalangan mayoritas masyarakat kawula Yogyaka r t a , pember i an ge l a r tradisional dari pihak kerajaan merupakan bentuk prestise tersendiri

4 Status quo juga bisa dimaknai tetap mempertahankan Sultan sebagai gubernur sebagaimana yang sudah berjalan selama ini sehingga birokrat tetap nyaman dengan kondisi seperti ini dan tidak menginginkan perubahan secara mendasar utamanya dalam kepemimpinan gubernuran.

5 krama halus merupakan bagian dari stratifikasi dalam Bahasa Jawa yang terdiri dari empat tingkatan yakni krama inggil, krama halus, ngoko halus, ngoko. Adanya tingkatan dalam bahasa tersebut adalah untuk mempertahankan kastanisasi dalam masyarakat. Penggunaan bahasa krama sendiri digunakan oleh lingkungan kerajaan atau digunakan dalam etika pergaulan antara yang muda kepada yang tua, sementara bahasa ngoko digunakan untuk bahasa sehari-hari rakyat jelata.

KULTUR BIROKRASI PATRIMONIALISME DALAM PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Wasisto Raharjo Jati

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 151

Page 19: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

diserahkan kepada negara. Maka dalam kapasitasnya sebagai daerah istimewa, kerajaan yang juga provinsi ini membentuk sistem birokrasi modern dengan tetap mempertahankan tradisi. Adanya ikatan modernitas dan tradisionalitas dalam sistem birokrasi, menjadikan pemerintahan di Provinsi DIY berbeda dengan daerah lainnya. Maka tidaklah mengherankan, apabila Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman tetap eksis dalam era republik saat ini berkat sistem birokrasi hibrid tersebut dimana birokrasi menjalankan fungsi tradisional yang dikhususkan menjaga hubungan k e k u a s a a n p a t r i m o n i d e n g a n masyarakat selain halnya birokrasi tetap memegang nilai birokrasi modern dalam menjalankan roda pemerintahan provinsi.

Adapun dua cara mengikat antara lain, abdi dalem punokawan dan abdi dalem keprajan. Abdi dalem punokawan adalah kesempatan yang diberikan oleh pihak kerajaan Yogyakarta bagi masyarakat luas untuk menjadi abdi dalem. Abdi dalem punokawan atau lebih mudah dipahami sebagai birokrat tradisional yang mengurusi berbagai upacara adat maupun fungsi sosio-kultural dan mengurusi berbagai protokoler internal kerajaan. Layaknya jenjang birokrasi modern, abdi dalem merupakan seoang pegawai yang memiliki tugas pokok dan gaji sesuai dengan pangkat dan kedudukan eselon dan juga memili u a n g p e n s i u n a n d i s e s u a i k a n loyalitasnya kepada kerajaan dengan menerima uang sebesar 3000 rupiah per bulan beserta tanah kedudukan. Jenjang pangkatnya dari posisi terendah hingga tertinggi meliputi magang, jajar, bekel enom, bekel

Kata “rama” sendiri merupakan bentuk neo-feodalisme dalam birokrasi modern dimana hubungan antara senior dan junior itu tak lebih sebagai suatu pertukaran antara loyalitas/ pengabdian dan jabatan. Apabila tak loyal dan mengabdi secara maksimal pada senior, seorang birokrat junior tidak akan mendapatkan jabatan. Adanya politisasi jabatan antara birokrat senior dan birokrat junior dikarenakan posisi jabatan dianggap sebagai sumber penghasilan material. Semakin tinggi jabatan, maka semakin tinggi pula pendapatan yang diperoleh. Asumsinya ialah bahwa di dalam jabatan itu melekat wewenang besar untuk memperluas kesempatan memperoleh penghasilan.

C. B I R O K R AT I S A S I A B D I DALEM

Dalam era demokrasi sekarang ini, abdi dalem masih menjadi cara bagi pihak Kasultanan dan Kadipaten untuk mengikat masyarakat biasa maupun birokrat pemerintahan untuk menjadi b a g i a n i n t e g r a l d a r i s i s t e m pemerintahan kerajaan sehingga kerajaan bisa mempertahankan struktur h i e r a r k i s k e k u a s a a n d e n g a n masyarakat Yogyakarta. Pengertian abdi dalem dalam hal ini bukanlah secara harfiah dimaksudkan sebagai pembantu Sultan, melainkan abdi dalem ini dimaknai sebagai agen simbolisasi budaya dan kekuasaan tradisional Kasultanan dan Kadipaten.

Baik Kasultanan maupun Kadipaten perlu untuk memikirkan strategi untuk mempertahankan eksistensi kekuasaan tradisional s e k a l i g u s m e n j a g a h u b u n g a n patrimonialnya dengan masyarakat se t e l ah kekuasaan po l i t iknya

KULTUR BIROKRASI PATRIMONIALISME DALAM PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Wasisto Raharjo Jati

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012152

Page 20: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

punokawan dengan Sultan merupakan relasi patrimonialistik yang terbangun dari aspek kultural sebagai Raja dan ekonomi sebagai Tuan Tanah terbesar di Yogyakarta.

Di samping abdi dalem keprajan sebagai birokrasi yang bekerja di pemerintahan provinsi s e k a l i g u s m e n j a l a n k a n t u g a s formalitasnya di kerajaan yakni mengikuti acara resmi maupun upacara adat lainnya. Abdi dalem ini tidaklah menerima gaji dari kerajaan dan birokrat yang menjadi abdi dalem keprajan ini disesuaikan dengan yang dimiliki dalam jenjang kepangkatan Pegawai Negeri Sipil yang dijadikan pijakan untuk memberi pangkat dalam sistem kerajaan yang dilakukan setiap empat tahun sekali dengan menimbang sikap dan perilakunya kepada kerajaan d a n p e m e r i n t a h a n . S u l t a n Hamengkubuwono X selaku raja dan gubernur menilai keberadaan birokrat yang menjadi abdi dalem keprajan sangatlah vital keberadaannya yakni sebagai kekuatan politis administratif dan juga kekuatan sosial kultural. Politis-administratif sendiri dimaknai mobilisasi kekuatan birokrat dalam upaya perjuangan politis menjaga keistimewaan DIY dan sosio-kultural sendiri dimaknai sebagai agen penjaga kebudayaan tradisional kerajaan. Abdi dalem keprajan juga merupakan simbol feodalisme kerajaan terbalut dalam sistem birokrasi modern dimana kata keprajan sendiri konotasinya c e n d e r u n g m e n g a r a h p a d a pemer in tahan kera jaan . Maka dibandingkan dengan abdi dalem punokawan s ebaga i b i rokras i tradisional yang hanya mengurusi urusan kultural dan domestik kerajaan. Abdi dalem keprajan dalam wujud

sepuh, lurah enom, lurahsepuh, penewu, wedono, riyo bupati anom, bupati anom, bupati kliwon, bupati nayoko, dan Kanjeng Pangeran Haryo (KPH). Kenaikan pangkat juga mengikuti procedural dalam birokrasi modern yakni empat tahun sekali yang d i b u k t i k a n d e n g a n diselenggarakannnya wisuda oleh p i h a k k e r a j a a n d e n g a n mempertimbangkan kesetiannya menjalankan tugas kerajaan yang terindikasi dari menjalankan tugas di kraton selama satu hingga tiga kali seminggu dengan durasi kerja selam tiga jam yakni dari 09.00 hingga 12.00 maupun mengikuti acara-acara resmi kerajaan yakni sowan bekti, acara ngabekten, grebegan, jamasan pasak, mios dan kudurgongso. Perlu diketahui b a h w a , m e n j a d i a b d i d a l e m punokawan sendiri merupakan bentuk panggilan pengabdian kepada kerajaan dan tidak mengejar materi ekonomi selama menjalankan tugas, Memang gaji seorang abdi dalem punokawan dilihat secara numerik tidaklah cukup memeuhi kebutuhan hidup sehari-hari karena gaji dati kerajaan berkisar antara 500 rupiah hingga 3000 rupiah perbulan, Namun demikian, para abdi dalem punokawan justru bisa hidup berkecukupan dengan melakukan sambilan pekerjaan lainnya baik itu bertani, berdagang, maupun berladang. Dalam kultur masyarakat Yogyakarta, menjadi abdi dalem punokawan sendiri merupakan berkah, karena dekat dengan Sultan maka rezeki pun mengalir lancar. Hal tersebut tidak bisa dipungkiri, karena Sultan memiliki aset-aset ekonomi yang banyak untuk diberikan kepada abdi dalem-nya atas balas jasa loyalitasnya. Maka bisa dibilang, relasi antara abdi dalem

KULTUR BIROKRASI PATRIMONIALISME DALAM PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Wasisto Raharjo Jati

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 153

Page 21: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

birokrasi modern juga memiliki jabatan di kerajaan. Selain halnya unsur sipil, abdi dalem keprajan juga berasal dari kalangan militer dan para-militer seperti TNI dan Kepolisian untuk memberi legit imasi kekuasaan kerajaan juga berada di unsur non sipil. Berukut ini perbandingan jenjang kepangkatan abdi dalem baik yang datang dari punokawan (unsur masyarakat) dan keprajan (unsur birokat dan militer).

birokrasi modern bisa dibilang memegang peran ganda yakni sebagai kekuatan teknokratik-administratif s e k a l i g u s j u g a k e k u a t a n patrimonialisme kerajaan yang sesungguhnya. Oleh karena itulah, abdi dalem keprajan ini tidaklah netral secara politik dan cenderung memihak Sultan Hamengkubuwono X sebagai gubernur sekaligus pula sebagai seorang Raja. Maka sebagai abdi dalem keprajan, selain menduduki jabatan

Tabel 1. Jenjang KepangkatanAbdi Dalem Keprajan (Birokrat) dan Abdi Dalem Punokawan (Masyarakat).

Urutan Pangkat Pegawai Negeri Sipil Kepolisian TNI ADPunokawan Keprajan Pangkat Gol.

1

1

KPH

Jenderal Jenderal

2

2

Bupati Nayoko

Pembina Utama

IV e

Kom.Jend Let.Jend3

3

Bupati Kliwon

Pem.Ut. Mdy

IV d

Ir. Jend May.Jend

4

4

Bupati Sepuh

Pem.Ut. Muda

IV c

Brig.Jend Brig.Jend5

5

Bupati

Anom

Pembina I

IV b

Kombes/ AKBP

Kolonel / Let.Kol

Pembina

IV a

Komisaris Polisi

Mayor Kolonel

-

6

Riyo

Bupati Anom

Penata I

Penata

III d

III c

AKPIp-tuIp-da

KaptenLet-tuLet-da

7

7

Wedono

Penata Muda I

Penata Muda

III b

III a

A.Ip-tuA.Ip-da

Pbt. LettuPbt.Letda

8

8

Penewu

Pengatur I

Pengatur

II d

II c

Brip-kaBrigpol

SermaSerda

9

9

Lurah

Peng. Muda I

Peng.Muda

II b

II a

Brip-tuBrip-da

Ser-tuSer-da

10 10 Bekel Juru IJuru

I dI c

Aj.Brip / Aj.BriptuAj.Bripda

KopkaKoptuKopda

11 11 Jajar Juru Muda IJuru

I bI a

BharakaBharatuBharada

PrakaPratuPrada

Sumber : Sudaryanto (2008)

Maka, jikalau seorang birokrat yang bekerja di pemerintahan provinsi DIY sendiri golongan III A maupun III B maka akan diberikan pangkat oleh kerajaan sebagai wedono, golongan IV A dan IV B akan diberikan pangkat sebagai bupati anom reh keprajan.

Terkhusus untuk pangkat bupati anom sendiri, pada umumnya pihak kerajaan memberikan pangkat pada birokrat yang memiliki jenjang kepangkatan selevel kepala kantor wilayah, kepala dinas, maupun kepala sub dinas yang membawahi berbagai unit teknis

KULTUR BIROKRASI PATRIMONIALISME DALAM PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Wasisto Raharjo Jati

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012154

Page 22: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

merupakan bentuk pengakuan dari kerajaan atas kinerjanya selama duduk menjadi birokrat. Namun demikian, di balik pengakuan tersebut tersimpan makna politis kerajaan ingin mengikat berbagai birokrasi level menengah untuk menjadi bagian dari kerajaan. Perkembangannya bisa dilihat dari tabel berikut.

maupun fungsional tertentu. Hal itulah yang dialami Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Prov. DIY, Drs. H. Afandi M.Pd.I yang kemudian diberi kalungguhan sebagai abdi dalem Bupati Anom reh Keprajan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat (Majalah Bakti, 2010). Pangkat yang diberikan o leh p ihak kera jaan te r sebut

Tabel 2. Jumlah Birokrat yang menjadi Abdi Dalem

Tahun Birokrat Menjadi Abdi Dalem2007

72 birokrat

2008

84 birokrat 2009

77 birokrat

2010

156 biroktat

2011 118 birokrat

Sumber : diolah dari berbagai data

Makna politis lainnya seputar abdi dalem keprajan dalam unsur birokrat bisa tersimak pula dari jabatan KPH (Kangjeng Pangeran Haryo) atau KRT (Kangjeng Raden Tumenggung) yang umumnya diberikan kepada bupati dan walikota di Provinsi DIY atau siapa saja yang memegang jabatan birokrat karir tinggi. Hal ini bisa nampak pemberian pangkat tersebut kepada Herry Zudianto, selaku Walikota Yogyakarta periode 2007-2011 yang mendapat gelar dan pangkat KRT Wasesadipraja, Bupati Sleman, Sri Purnomo mendapat gelar Kanjeng Mas Tumenggung Purnamapradipta, dan Bupati Bantul Sri Surya Widati bergelar Nyai KRT Suryawati. Gunanya pemberian gelar dan pangkat kepada bupati dan walikota tersebut adalah untuk memperkuat konsolidasi dan memperkuat pengaruh kekuasaan kerajaan di berbagai wilayahnya masing-masing. Pemberian gelar dan pangkat kepada para bupati dan

walikota di DIY sendiri merupakan bentuk tradisi bupati pamong praja sebagai warisan dari era birokrasi mataraman lama. Adapun para bupati dan walikota yang tergabung dalam bupati pamong praja sendiri tidak memiliki otonomi melainkan hanya wilayah administratif saja. Artinya pihak kerajaan yang memiliki kekuasaan atas berbagai wilayah tersebut. Oleh karena itulah, meskipun penerapan otonomi daerah di seluruh Indonesia dipusatkan pada kota dan kabupaten. Namun dalam konteks Yogyakarta, pelaksanaan otonomi daerah secara politis dan kultural tetap dipegang Sultan Hamengkubuwono X dan Adipati Paku Alam sebagai kepala daerah provinsi sekaligus penguasa lokal Yogyakarta. Maka para birokrasi level atas sendiri dalam menentukan kebijakan domestik senantiasa meminta pertimbangan kepada pemer in t ahan p rov ins i un tuk mendapatkan persetujuan.

KULTUR BIROKRASI PATRIMONIALISME DALAM PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Wasisto Raharjo Jati

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 155

Page 23: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Daerah (BKD) Provinsi DIY, setelah mendapatkan gelar dan pangkat dari kerajaan namanya berubah menjadi Raden Sastro Drs. Widya Purnama. Pemberian gelar seperti itu bagai kalangan birokrat di lingkungan Pemerintahan Provinsi dianggap bergengsi menaikkan harga diri untuk mencari status, kehormatan, dan kemuliaan diantara sesama rekan kerja, kelompok, maupun masyarakat. Hal itulah yang kemudian mengentalkan feodalisme kerajaan di masa modern sekarang melalui pemberian nama gelar tersebut.

Adanya sistem birokasi t radisional dalam abdi dalem punokawan dan birokrasi modern yang diwujudkan dalam bentuk abdi dalem keprajan bisa dibilang merupakan transformasi dari sistem birokrasi mataraman lama yang dikembangkan oleh Kasultanan maupun Kadipaten sebelum melakukan integrasi wilayah ke Republik Indonesia dengan menempatkan pangreh praja sebagai birokrasi yang mengurusi jalannya adminstrasi pemerintahan dan abdi dalem untuk urusan rumah tangga domestik kerajaan. Kini setelah bergabung ke dalam republik dan memperoleh status daerah istimewa, Yogyakarta diperbolehkan untuk mempertahankan unsur tradisionalitas pemerintahan sepanjang t idak melanggar kewenangan pemerintah pusat. Dalam hal ini, konsep birokrasi mataraman yang menjadi pola baku dalam sistem pemerintahan maupun birokrasi di Yogyakarta masih tetap dipertahankan dalam era modern ini. berikut ini model birokrasi mataraman modern Yogyakarta.

Abdi dalem keprajan sendiri juga memperoleh gelar nama profesi bagi yang memiliki ikatan darah dengan kerajaan yang biasanya datang dari keturunan pejabat kerajaan terdahulu yang membawahi berbagai unit tertentu. Maka selain memiliki pangkat kraton, birokrat ini juga memiliki gelar raden atau raden roro yang kemudian ditambahi dengan gelar profesi kerajaan. Adapun macam-macam gelar profesi tersebut antara lain : 1) projo : d i b e r i k a n k e p a d a

b i rokra t t ekn is d i l i n g k u n g a n pemerintahan daerah

2) danu : d i b e r i k a n k e p a d a birokrat yang bekerja mengurusi peternakan

3) karti : d i b e r i k a n k e p a d a birokrat yang bekerja di bagian umum

4) tirta : d i b e r i k a n k e p a d a birokrat yang bekerja di sektor pengairan

5) dirjo : d i b e r i k a n k e p a d a birokrat yang bekerja di dinas ekonomi

6) sastro : d i b e r i k a n k e p a d a birokrat yang bekerja di sektor kepegawaian

7) broto : d i b e r i k a n k e p a d a birokrat yang menjadi guru atau menjadi pendidik.

Berbagai nama tersebut dipakai di depan nama yang diberikan gelar tersebut untuk menunjukkan derajat dan kedudukan birokrat pengguna gelar tersebut. Seperti yang bisa dicontohkan dalam kasus Drs. Widya Purnama yang menjadi birokrat yang bekerja di Badan Kepegawaian

KULTUR BIROKRASI PATRIMONIALISME DALAM PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Wasisto Raharjo Jati

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012156

Page 24: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

pembahasan RUUK tersebut. Dalam level lokal sendiri, kini telah terbentuk berbagai organisasi birokrasi yang terlihat dari munculnya berbagai paguyuban di tingkat akar rumput masyarakat yang terbentuk di berbagai kota / kabupaten DIY. Sebut saja, Ismaya (Ing Sedya Memetri Asrining Yogyakarta) yakni persekutuan birokrasi di ranah Pemerintahan Provinsi DIY dan Kabupaten Bantul, Semar di Kabupaten Sleman, Semar Semabaga di Kabupaten Gunung Kidul, Jaga Raga di Kabupaten Kulon Progo. Belakangan juga muncul paguyuban birokrat sejenis lainnya yang menamakan dirinya Apdesi yang memiliki basis massa kuat di kalangan petani dan pedagang pasar. Munculnya berbagai paguyuban ini merupakan bentuk warisan birokasi patrimonial yang sudah mengakar di struktur masyarakat. Umumnya birokrat yang tergabung dalam paguyuban tersebut

Politisasi Birokrat Abdi Dalem dalam RUUK DIY

Pengikatan birokrat menjadi abdi dalem merupakan langkah strategis dan politik bagi Sultan untuk kian memperkuat relasi patrimonial dengan masyarakatnya terlebih untuk menuai dukungan politis dan moril dari masyarakat dalam menggolkan RUUK DIY. Adapun langkah strategisnya dapat ditinjau dari upaya Sultan untuk memperkuat basis loyalitas di kalangan birokrat provinsi maupun nasional. Dalam level nasional sendiri, Sultan juga memberikan predikat abdi dalem kepada para pejabat tinggi negara di berbagai kelembagaan yang tujuannya untuk ikut andil dalam mempengaruhi proses perumusan RUUK di tingkat nasional sehingga secara tidak langsung Sul tan mendapatkan k e k u a t a a n m o r i l d a l a m m e n e g o s i a s i k a n d e n g a n p a r a s t a k e h o l d e r y a n g m e r a n c a n g

Gambar 1 : Struktur Birokrasi Patrimonialisme di DIY

Sultan Hamengkubuwono X

Birokrat / Abdi Dalem Keprajan

Abdi Dalem Punokawan

Gubernur Provinsi DIY

Raja Kasultanan Yogyakarta

Sekretaris Daerah

Dinas Inspektorat Badan Pemda

1) Panimbang2) Pandhite

3)Kawedanan Hageng Punokawan

4)Kawedanan Hageng5) Kawedanan 6) Tepas

Sumber : Depdikbud (1999 : 105)

KULTUR BIROKRASI PATRIMONIALISME DALAM PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Wasisto Raharjo Jati

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 157

Page 25: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

(segan dan penghormatan tertinggi) kepada Sultan karena selama ini mereka menggunakan tanah Sultan sebagai tempat tinggal maupun sumber ekonomi lainnya.Maka warisan patrimonialisme yang terwariskan dalam birokrasi sebagai agen kuasa dalam membentuk sikap loyalitas masyarakat merupakan corak utama politisasi birokrasi dalam RUUK DIY. Meskipun ditinjau dari perspektif otonomi daerah, setiap gubernur berhak untuk mengatur jajaran pemerintahannya. Namun dalam kasus Yogyakarta, posisi birokrat menjadi dilema antara pengabdi negara dan pengabdi kerajaan. Dalam satu sisi, b i r o k r a s i d i b u t u h k a n u n t u k menjalankan roda pemerintahan sementara di sisi lain birokrasi harus menempatkan loyalitas tertinggi kepada gubernur selaku pimpinan tertinggi eksekutif di daerah.

Perjuangan RUUK dengan menempatkan birokrasi sebagai basis patrimonialisme sendiri memang memiliki benang merah dengan kekuasaan kerajaan terdahulu. Sultan H B X m e l a l u i b i r o k r a s i n y a menginginkan agar kekuasaan kraton menjadi aktor utama dalam suksesi pemerintahan gubernuran di DIY. Makanya kemudian, corak khas birokrasi patrimonialisme yang berkembang di DIY berkaitan dengan isu RUUK ini cenderung bersikap s t a t u s q u o y a k n i t e t a p mempertahankan kondisi yang ada dan telah mengakar di masyarakat agar Sultan tetap menjadi gubernur. Pola status quo yang ditunjukkan oleh para birokrat di DIY mengindikasikan bahwa birokrasi juga menjaga posisi mereka agar mereka bisa mendapatkan rente ekonomi yang didapatkan dari

adalah keturunan birokasi pangreh praja maupun birokrat yang kemudian diangkat menjadi abdi dalem, Posisi mereka sangatlah kuat karena mereka secara sosial budaya menempati posisi sebagai pengabdi kerajaan yang hingga kini masih diakui dan disegani oleh masyarakat Yogyakarta. Oleh karena itulah munculnya paguyuban birokrat berbasis abdi dalem sangatlah berdimensi politik bagi kelangsungan kekuasaan Sultan sebagai gubernur maupun raja. Dalam hal ini, terjadi hubungan t imbal balik antara paguyuban birokrat dengan Sultan dalam RUUK DIY. Paguyuban birokrat sendiri membutuhkan Sultan sebagi raja dan gubernur untuk tetap bisa berkuasa atas tanah-tanah Sultan yang mereka gunakan di berbagai wilayah DIY. Tanah Sultan (Sultanate Ground) merupakan penghasilan rente ekonomi bagi para birokrat dengan menyewakan tanahnya kepada pihak ketiga untuk digunakan sebagai sumber usaha lainnya. Adapun pemberian tanah Sultan kepada paguyuban tersebut merupakan warisan sejarah kerajaan yang telah berlangsung lama sehingga jikalau Sultan tidak menjabat gubernur lagi dengan dilangsungkannya Pilgub. Maka secara otomatis, paguyuban sendiri akan kehilangan mata pencahariannya sebagai makelar tanah Sultan. Sementara bagi Sultan, munculnya paguyuban birokrat tersebut merupakan upaya Sultan untuk terus memberikan pengaruh politik, moral, maupun sosial-budaya kepada masyarakat DIY dengan mengiming-imingi masyarakat akan mendapatkan tanah Sultan jika bersedia menjadi abdi dalem. Tentunya masyarakat DIY jelas tidak akan menampik permintaan raja tersebut mengingat budaya pakewuh

KULTUR BIROKRASI PATRIMONIALISME DALAM PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Wasisto Raharjo Jati

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012158

Page 26: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

bureaucracy untuk menjadi abdi dalem di kerajaan. Abdi dalem keprajan adalah simbolisasi birokrasi patrimoni baru sekaligus pula sebagai agen kekuasaan tradisional kerajaan di mata masyarakat. Masyarakat Yogyakarta yang cenderung masih menilai posisi birokrat sebagai profesi terhormat yang mendapatkan status sosial bergengsi t u r u t m e n a m b a h n u a n s a patrimonialisme tersebut. Oleh karena itulah, birokrat kemudian menjadi mata rantai penghubung kerajaan dengan kondisi masyarakat di sekitarnya. Corak kultur birokasi mataraman yang masih menghinggapi pola kerja birokat di pemerintahan membuat ambiguitas dalam menilai jajaran birokrasi dalam pemerintahan Provinsi DIY apakah sebagai birokat pemerintahan atau birokrat kerajaan dikarenakan tidak ada batasan yang jelas pemisahnya. Meskipun demikian, dualisme sistem dalam birokrasi di Yogyakarta merupakan bentuk dinamika otonomi daerah terbalut sejarah kerajaan yang perlu kita hormati sebagai khazanah keilmuan dalam studi administrasi publik di Indonesia.

Adapun sumbangan keilmuan y a n g b i s a d i b e r i k a n d a l a m pembelajaran studi ini dalam ranah kajian administrasi negara ialah birokrasi patrimonialisme kini masih b e r k e m b a n g d a l a m s t r u k t u r masyarakat prismatik dimana masih kuatnya local strongmen yang memiliki kekuasaan hegemonik melalui politisasi birokrasi dalam praktik demokrasi lokal yang berkembang di Indonesia. Kuatnya sumber kuasa berbasis kharismatik-tradisional memang menjadi cara kuat bagi penguasa untuk kembali mengikat patrimonialisme kuat di kalangan

hasil sewa lahan maupun pemberian posisi jabatan strategis lainnnya yang diberikan oleh pihak kerajaan. Oleh karena itulah, meski resistensi yang dilakukan oleh kaum birokrat tersebut mengatasnamakan sejarah dan jasa DIY kepada negara selama era revolusi fisik. Namun dibalik itu semua birokrat masih menjaga patrimoni secara ekonomi kepada Sultan. Maka tidaklah mengherankan apabila kini di DIY, birokrat yang berada di akar rumput senantiasa mengkampanyekan secara agitasi perihal RUUK DIY dan mengingatkan kepada masyarakat akan nilai arti sejarah hingga kemudian menggeruduk ke Jakarta berdemo di kantor Kemendagri.

D. PENUTUPRelasi sinergisitas yang

terbangun dalam sistem birokrasi yang terbangun antara sistem birokrasi tradisional (abdi dalem punokawan) dan sistem birokrasi modern (abdi dalem keprajan) semata-mata d i l akukan un tuk memperkua t kekuasaan patrimonialisme kerajaan di era modern sekarang ini. Posisi Sultan Hamengkubuwono dan Paku Alam sebagai raja sekaligus kepala daerah sangatlah strategis untuk tetap mempertahankan eksistensi kerajaan dengan mengkonversi nilai-nilai kultural ke dalam sistem birokrasi modern. Hal inilah yang kemudian menciptakan sistem birokrasi modern di pemerintahan provinsi menjadi birokrasi hibrid yakni birokasi modern yang terbalut dalam tradisionalitas. Abdi dalem keprajan merupakan contoh riil dari dualisme sistem birokrasi tersebut dengan mengikat berbagi unsur birokrasi mulai dari top level-bureaucracy hingga street level

KULTUR BIROKRASI PATRIMONIALISME DALAM PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Wasisto Raharjo Jati

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 159

Page 27: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Ratnawati, Tri (2011). Antara Otonomi Sultan dan Kepatuhan pada Pusat di Era Reformasi: Studi Kasus Daerah Ist imewa Yogyakarta. Governance, 2(1). 42-68.

Riggs, F. (1964). Administration in Developing Countries : The Theory of Prismatic Society. London: Sage Publication.

Santoso, P. B. (1997). Birokrasi Pemerintah Orde Baru: Perspektif Kultural dan S t r u k t u r a l . J a k a r t a : RajaGrafindo Persada.

Scott, J. C. (1993). Perlawanan Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Sudaryanto, A. Hak dan Kewajiban A b d i D a l e m d a l a m P e m e r i n t a h a n K r a t o n Yogyakarta. Mimbar Hukum, 20 (1), Hal.164-177.

Suwarno, P. (1994). Hamengku Buwono IX dan Sis tem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta , 1942-1974. Yogyakarta: Kanisius.

masyarakat. Adapun posisi birokrat dalam stuktur patriminonialisme mengharuskan aktor ini bergerak secara statis hanya untuk menopang kekuasaan orang kuat tersebut. Walhasil, esensi otonomi daerah yang bertujuan mendekatkan negara untuk mensejahterakan masyarakat dalam k o n t e k s D I Y b e rg a n t i y a k n i mendekatkan masyarakat dalam stuktur patrimonial untuk menguatkan posisi Sultan sebagai gubernur dan raja.

DAFTAR PUSTAKABasri, M.(2010). Reformasi Sistem

Administrasi Kepegawaian Menuju Netralitas Pegawai Negeri Sipil. Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS, 2(1), 18-22.

Buchori, M. (1982). Pola Tingkah Laku Birokrasi sebagai Akibat P e n g a r u h K e b u d a y a a n . Prisma, Hal. 70-85.

Depdikbud. (1999). Sejarah Kerajaan Tr a d i s i o n a l S u r a k a r t a . Jakarta: Depdikbud.

E m m e r s o n , D . K . ( 1 9 8 3 ) . Understanding The New Order: Bureaucratic Pluralism. Asian Survey, 28 (1), 124-144.

Kartodirdjo, S. (1987). Perkembangan P e r a d a b a n P r i y a y i . Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Radjiman. (2002). Orang Jawa: Suatu Tinjauan Sosial Budaya Masyarakat Jawa, Surakarta: Penerbit Medio

Raharjo. (1998). Menyimak Kerancuan dalam Hubungan Lintas Struktur dan Kultur. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2 (1), 88-103.

KULTUR BIROKRASI PATRIMONIALISME DALAM PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Wasisto Raharjo Jati

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012160

Page 28: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Abstract.

.

Implementation of regional autonomy in Indonesia provides an important record, which the granting authority to local governments to develop policies and manage budgets, creates the domination of power by local elites. It brings the local elites close to and have access to the sources of corruption-prone areas or abuse of authority. This is what gave rise to the new form of decentralized corruption (corruption in regional administration). According on the KPK during 2004 - 2011 there were 42.06% of the total number of cases of corruption made in the level or by local officials. Primary and recurrent mode of corruption in the region is the markup of the procurement of goods and services, fictitious expenses and projects for their own advantage. Misguided practice of the administration area (corruption in the region) could be reduced by involving as broad as possible the public participation in the presence of anti-corruption movement which next would transformed into a social movement and simultaneous in all regions of Indonesia.

Keywords : Corruption, regional administration, civil society, anti-corruption movement.

Intisari

Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia memberikan catatan penting, dimana pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyusun kebijakan dan pengelolaan anggaran, menciptakan dominasi kekuasaan oleh elit lokal. Dominasi tersebut membawa elit lokal sangat dekat dan memiliki akses terhadap sumber-sumber daerah yang rawan korupsi atau penyalahgunaan wewenang. Hal inilah yang kemudian memunculkan wacana baru berupa desentralisasi korupsi (korupsi di daerah). Berdasarkan data KPK selama 2004 – 2011 terdapat 42,06% dari total jumlah kasus tindak pidana korupsi dilakukan di tingkat atau oleh pejabat daerah. Modus utama dan berulang dari korupsi di daerah adalah markup dari pengadaan barang dan jasa, pengeluaran fiktif dan proyek-proyek untuk keuntungan diri sendiri. Praktik salah jalan

KORUPSI DI DAERAH : SALAH JALAN PENYELENGGARAAN 1ADMINISTRASI DAERAH

Prakoso Bhairawa Putera

Program Magister Administrasi dan Kebijakan Publik - Universitas Indonesia, Kampus UI Depok, Jawa BaratEmail: [email protected]

1 Diterima: 16 Maret 2012, revisi: 01 Agustus 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 161

Page 29: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

penyelenggaraan administrasi daerah (korupsi di daerah) dapat ditekan dengan melibatkan seluas mungkin partisipasi masyarakat dengan adanya gerakan anti-korupsi yang menjelma menjadi gerakan sosial dan serentak di seluruh wilayah Indonesia.

Kata kunci: Korupsi, administrasi daerah, civil society, gerakan anti-korupsi

A.PENDAHULUANKerangka desentra l isas i

sebagaimana telah diatur dalam paket Undang-undang No. 32 Tahun 2004 (amandemen Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah) dan Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan K e u a n g a n P u s a t - D a e r a h (diamandemen dari Undang-undang No. 25 Tahun 1999) memiliki dua dimensi dasar (Putera, 2007:2). D i m e n s i t e r s e b u t s e k a l i g u s menunjukkan konsepsi dan arah kebi jakan desentra l i sas i yang diinginkan policy maker. Dimensi pertama sebagaimana tercermin dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004 menitik-beratkan pada desentralisasi a d m i n i s t r a t i f ( a d m i n i s t r a t i v e decentralization).

Desentralisasi administratif dimaksudkan untuk mendistribusikan kewenangan, tanggungjawab dan sumber daya keuangan sebagai upaya menyediakan pelayanan umum kepada berbagai level pemerintah (Siregar, 2008:30). Delegasi tanggung-jawab ini meliputi kegiatan perencanaan, pendanaan dan pengelolaan berbagai pelayanan umum dari pemerintah pusat dan lembaga pelaksananya kepada berbagai unit pemerintah di berbagai level (regional authorities).

Pelaksanaan desentralisasi administratif didasarkan pada sebuah

argumentasi bahwa pengelolaan oleh unit-unit pelayanan publik akan lebih efektif jika diserahkan kepada unit yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Asumsinya, semakin dekat hubungan antara pemerintah (region) dengan masyarakat, semakin bisa dipahami kebutuhan masyarakat akan suatu pelayanan. Dengan kata lain, d e s e n t r a l i s a s i a d m i n i s t r a t i f dimaksudkan untuk menciptakan efisiensi dan efektifitas pelayanan umum.

Dimensi kedua sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 33 Tahun 2004 adalah desentralisasi keuangan yang merupakan komponen inti dari konsep desentralisasi. Adanya desentralisasi keuangan merupakan konsekuensi dari adanya kewenangan untuk mengelola keuangan secara m a n d i r i ( P u t e r a , 2 0 0 7 : 2 ) . Desentralisasi keuangan dalam prakteknya terdiri dari beberapa bentuk, termasuk pendanaan mandiri, menjalin kerjasama pendanaan dengan pihak swasta dalam penyediaan pelayanan dan infrastruktur, ekspansi sumber pendapatan daerah melalui berbagai retribusi, dana bagi hasil dari Pemerintah Pusat, dan utang luar negeri.

Kedua dimensi tersebut dalam konsep desentralisasi di Indonesia menekankan pada kewenangan pemerintah daerah untuk mengelola

KORUPSI DI DAERAH : SALAH JALAN PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI DAERAH

Prakoso Bhairawa Putera

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012162

Page 30: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

wewenang. Hal inilah yang kemudian memunculkan wacana baru berupa desentralisasi korupsi.

Kondisi tersebut sejalan dengan sejumlah literatur seperti yang diungkapkan oleh Treisman (2000) dan O y o n o ( 2 0 0 4 ) b a h w a d a l a m implementasi desentralisasi, seperti kinerja pemerintah daerah mengalami tidak adanya meningkat, partisipasi dan keadaan demokratisasi yang tidak membaik. Justru desentralisasi meningkatkan kesempatan untuk “rent-seeking” dan korupsi.

Berdasarkan latar belakang tersebut dan sejumlah fenomena yang terjadi maka tulisan ini bertujuan untuk mengulas sejumlah fenomena korupsi di daerah yang terjadi sebagai akibat dari penyelenggaraan desentralisasi di era otonomi daerah, baik dari sisi penyebab terjadinya hingga langkah pemberantasan yang dapat dilakukan dalam mewujudkan good governance pada pemerintahan daerah.

Pendekatan yang dipilih dalam penulisan ini dengan deskriptif, dimana fenomena desentralisasi korupsi diulas melalui fakta-fakta, temuan dan hasil penelitian sebelumnya, dan teori terkait, yang kesemuanya diperoleh melalui penelusuran sumber-sumber data sekunder dan review atas hasil sejumlah penelitian sebelumnya.

B. ESSENSI KORUPSIAda sejumlah pengertian yang

diberikan untuk mendeskripsikan korupsi itu sendiri, seperti beberapa pendefinisian yang diberikan oleh Said, Sudirman., & Nizar Suhendra (2002:98) (Lihat Kotak 1).

sumber daya yang dimiliki secara otonom untuk memenuhi permintaan layanan (services demand) dari masyarakat. Lokus dari desentralisasi administratif dan keuangan adalah pada pemberian otoritas kepada Pemerintah Daerah. Otoritas tersebut dalam UU No. 32 tahun 2004 dikenal dengan prinsip otonomi seluas-luasnya, di mana daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan kecuali urusan pemerintah pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter, dan peradilan.

Kementerian Dalam Negeri (2011) dalam naskah akademik Rancangan Undang-undang tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa secara umum desentralisasi dan otonomi daerah mampu mendorong munculnya berbagai inovasi, tetapi desentralisasi juga melahirkan banyak masalah baru dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hidayat (2003) mencatat bahwa sisi lain, kebijakan desentralisasi tidak luput dari serangkaian permasalahan seperti munculnya pembengkakan organisasi daerah, terjadinya oligarki politik oleh e l i t l o k a l m a u p u n g e j a l a pembangkangan daerah terhadap pemerintah pusat adalah sebagian d i an t a r anya . Pu te ra (2007 :2 ) memberikan catatan pada pelaksanaan o t o n o m i d i m a n a p e m b e r i a n kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menyusun kebijakan dan pengelolaan anggaran, pada akhirnya menciptakan dominasi kekuasaan oleh elit lokal. Monopoli kewenangan untuk menyusun kebijakan dan mengelola anggaran membuat akses terhadap sumber-sumber daerah rawan terhadap korups i a t au penya lahgunaan

KORUPSI DI DAERAH : SALAH JALAN PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI DAERAH

Prakoso Bhairawa Putera

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 163

Page 31: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

diri sendiri atau orang lain atau k o r p o r a s i , m e n y a l a h g u n a k a n wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukan yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara”. Namun secara umum opini populer yang melekat di benak masyarakat memuat tiga pokok di atas.

B e r d a s a r k a n b e b e r a p a pengertian yang telah ada, maka setidaknya ada tiga kata kunci dalam pengertian korupsi ini, yaitu; pertama, pelaku yang terlibat dalam korupsi terdapat di kalangan pemerintah (pegawai negeri), swasta (pengusaha) maupun politik (politisi); kedua, mereka berperilaku memperkaya diri atau yang berdekatan dengannya atau merangsang orang lain memperkaya diri. Pengertian memperkaya diri tidak saja dalam makna harta tetapi juga kekuasaan; dan ketiga, cara yang digunakan adalah tidak wajar dan tidak legal dengan menyalahgunakan kedudukannya.

Sesuai dengan kedudukan pelaku korupsi maka nilai uang atau barang yang terlibat di dalamnya bisa kecil sekedar "uang persenan" yang

Asian Development Bank (1998:9) merujuk pada konsep T r a n s p a r e n c y I n t e r n a t i o n a l menyempurnakan pengertian korupsi t e r s e b u t , s e h i n g g a k o r u p s i didefinisikan sebagai perilaku mereka yang bekerja di sektor publik dan swasta, baik politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri dan/atau memperkaya mereka yang berdekatan dengannya, atau merangsang orang lain b e r b u a t s e r u p a d e n g a n menyalahgunakan kedudukan yang mereka emban.

Selain itu, perumusan/definisi lain juga diungkapkan menurut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999) pada Pasal 2 Ayat 1 disebutkan tindak pidana korupsi merupakan tindakan “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”, dan pada Pasal 3 disebutkan bahwa tindak pidana korupsi dilakukan oleh “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan

Kotak 1. Beberapa Definisi Korupsi Webster's Third New International Dictionary: “Ajakan (dari seorang pejabat publik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya untuk melakukan pelanggaran tugas”. Suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai tindak korupsi jika mengandung unsur-unsur berikut: adanya pelaku atau beberapa orang pelaku; adanya tindakan yang melanggar norma-norma yang berlaku, baik aspek moral/ agama, etika, ataupun aspek hukum; adanya unsur merugikan keuangan atau kekayaan negara atau masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung; adanya unsur memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok/golongan tertentu.Bank Dunia: “Penyalahgunaan kewenangan publik untuk memperoleh keuntungan pribadi (the abuse of public office for private gain)”. Robert Klitgaard: “Korupsi ada apabila seseorang secara tidak sah meletakkan kepentingan pribadi di atas kepentingan masyarakat dan sesuatu yang dipercayakan kepadanya untuk dilaksanakan. Korupsi muncul dalam berbagai bentuk dan bervariasi dari yang kecil sampai yang monumental. Korupsi dapat melibatkan penyalahgunaan perangkat kebijakan”

Sumber: Said, Sudirman., & Nizar Suhendra. (2002:98)

KORUPSI DI DAERAH : SALAH JALAN PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI DAERAH

Prakoso Bhairawa Putera

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012164

Page 32: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

apabila tidak ada keterbukaan (transparency) dengan pengecekan dan pengawasan yang t e r ins t i tus i (accountability). Dan keadaannya menjadi semakin runyam jika tidak ada demokrasi dengan kebebasan.

C. K O R U P S I D A N P E N Y E L E N G G A R A A N ADMINISTRASI DAERAH

Isra (2009) dalam artikelnya bertema Kreatif dan Mandiri Tanpa Korupsi memberikan catatan mengenai administrasi daerah dan hubungannya dengan tumbuh dan berkembang korupsi. Kontek tersebut dapat dilihat dari tiga persoalan penting. Pertama, program otonomi daerah tidak diikuti dengan program demokratisasi yang membuka peluang keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan di d a e r a h . K a r e n a n y a , p r o g r a m desentralisasi ini hanya memberi peluang kepada elit lokal untuk mengakses sumber-sumber ekonomi dan politik daerah, yang rawan terhadap korupsi atau penyalahgunaan wewenang; Kedua, program otonomi daerah telah memotong struktur hirarki pemerintahan, sehingga tidak efektif lagi kontrol pemerintah pusat ke daerah karena tidak ada lagi hubungan s t r u k t u r a l s e c a r a l a n g s u n g memaksakan kepatuhan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat; dan Ketiga, masyarakat belum mampu mengawasi ketika kolusi terjadi antara pihak eksekutif dengan legislatif.

Korupsi dilihat dari segi etika p e n y e l e n g g a r a a n k e g i a t a n pemerintahan menurut A'yuni dan Puspita (2012) sangatlah tidak etis dan melanggar hak-hak orang lain. Perlu adanya kontrol yang baik dalam upaya pemenuhan dan kesadaran akan

bisa diberikan ikhlas sebagai tanda terima kasih dan dikenal dengan "smiling money", tetapi bisa pula terpaksa diberikan sebagai prasyarat pelayanan dan dikenal dengan "crying money".

Di samping ini ada pelaku korupsi besar yang meminta sogokan atau imbalan besar atas perilakunya menyalahgunakan kedudukannya. Pertimbangan menerima uang bisa berdalih "untuk kepentingan umum," seperti untuk partai, pemilihan umum, usaha sosial, proyek kemanusiaan, yayasan sosial dan yang serupa. Apapun pertimbangannya ini yang terjadi adalah kekuasaan yang melekat pada kedudukan untuk dipakai bagi kepentingan umum, disalahgunakan untuk hal-hal lain yang terletak di luar mandat dan dilaksanakan atas dasar kesewenangan (discretion) pemegang kekuasaan.

Besar atau kecil uang atau nilai barang yang diterima tidak mengurangi hakeka t pe rmasa lahan bahwa kekuasaan yang terpaut pada kedudukan dan harus diabdikan bagi kepentingan umum disalahgunakan untuk maksud-maksud lain menurut kesewenangannya pribadi. Maka terlangkahilah garis pemisah antara "kepentingan umum" dan "kepentingan pribadi" sehingga menumbuhkan konflik kepentingan (conflict of interest). Dan disinilah tersimpul esensi korupsi.

Keadaan ini menjadi semakin kisruh jika tidak tersedia mekanisme yang bisa mengecek kehadiran garis pemisah ini. "Kepentingan umum" ini dapat menjadi semacam "keranjang sampah" menampung berbagai kegiatan. Namun sampai seberapa jauh dalih ini layak dipakai sulit dilacak

KORUPSI DI DAERAH : SALAH JALAN PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI DAERAH

Prakoso Bhairawa Putera

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 165

Page 33: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

yang menyatakan bahwa korupsi terjadi karena adanya kekuasaan monopoli atas sumber daya yang sifatnya ekonomis disertai kewenangan untuk mengelolanya tanpa disertai pertanggungjawaban. Dengan kata lain, ketiga unsur diatas merupakan satu kesatuan yang akan selalu menyimpan potensi atau peluang besar untuk terjadinya korupsi.

D. P R A K T I K K O R U P S I D I DAERAH

Praktek korupsi di era otonomi daerah yang kian menyebar dan melibatkan semakin banyak aktor menggambarkan ironi desentralisasi. Berikut beberapa gambaran praktik korupsi tersebut. Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) di tahun 2004 membeberkan fakta, terdapat 432 kasus korupsi di berbagai daerah dengan bermacam aktor, modus dan tingkat kerugian yang diderita oleh negara. Pada era itu sebagian besar praktek korupsi yang terjadi pada era desentralisasi justru dilakukan oleh anggota parlemen (DPRD) yang notabenenya secara fungsional merupakan lembaga kontrol yang seharusnya merepresentas ikan kehendak publik. Setidaknya sudah ada 102 kasus korupsi DPRD yang diberitakan oleh media massa selama kurun waktu Januari-Desember 2004.

beretika dalam menjalankan tugas-tugas sebagai sosok abdi negara, pelayan masyarakat, dan pengayom masyarakat. Untuk tetap fokus pada tugas-tugas dan terhindar dari hal-hal yang menyimpang tersebut perlu adanya sosok pemimpin yang mampu mengendalikan, mengatur dan menjaga bawahannya supaya tidak terjerumus da lam l ingkaran korups i dan penyelewengan dana atau anggaran. Sosok pemimpin lokal yang ideal menjadi harapan akan terbebasnya masyarakat dari kata korupsi.

Sisi lain dari penyelenggaraan administrasi daerah, tidak dapat dilepaskan dari administrasi keuangan. Administrasi keuangan dapat diamati dari aspek-aspek masukan, proses perubahan dan aspek keluaran yang dilakukan oleh pemerintah, dan apabila dilihat dari segi pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia maka pelaksanaan fungsi-fungsi ini dilakukan oleh pemerintah daerah yang menyangkut pelaksanaan perencanaan input, proses pelaksanaan program dan output yang dihasilkan. Dari ketiga unsur ini ternyata melahirkan dimensi-dimensi yaitu; pada masukan akan melahirkan upeti yang merupakan sumbangan b i a sa sebaga i kehendak da r i perwujudan keinginan dari pihak penguasa. Dewasa ini hal tersebut sering disebut sebagai suap.

Hal ini sejalan dengan pemikiran Robert Klitgaard (2002:29)

Tabel 1. Perkara Tindak Pidana Korupsi Tahun 2004 – 2011 Berdasarkan Tingkat Jabatan

KORUPSI DI DAERAH : SALAH JALAN PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI DAERAH

Prakoso Bhairawa Putera

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012166

Page 34: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Kebanyakan pelanggaran telah diungkapkan terkait dengan pegadaan barang dan jasa dan prosedur pelayanan dengan 96 kasus dan suap pada 82 kasus (Tabel 2).

Bahkan berdasarkan catatan KPK, antara kurun waktu 2004 hingga 2011 (lihat Tabel 1), KPK telah menyelesaikan 284 kasus korupsi, t e rmasuk d i t i ngka t Dae rah .

Sumber: Laporan Tahunan 2011 (KPK, 2011:72)

Tabel 2. Perkara Tindak Pidana Korupsi Tahun 2004 – 2011 Berdasarkan Jenis Perkara

Sumber: Laporan Tahunan 2011 (KPK, 2011:72)

Terdapat 42,06 % dari total jumlah kasus, terjadi di daerah 98 kasus. Dari angka ini, pelanggaran paling banyak terjadi di Provinsi Jawa Barat 22 kasus, diikuti oleh Kalimantan

Timur 11 kasus, DKI Jakarta 10 kasus, dan Riau dan Kepulauan Riau sebanyak 10 kasus (Tabel 3). (Komisi Pemberantasan Korupsi, 2011)

Tabel 3. Perkara Tindak Pidana Korupsi Tahun 2004 – 2011 Berdasarkan Wilayah

KORUPSI DI DAERAH : SALAH JALAN PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI DAERAH

Prakoso Bhairawa Putera

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 167

Page 35: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Jakarat Post, edisi 10 November 2010). F a k t a d a n d a t a l a i n

menunjukkan, dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, Indonesia sudah melahirkan 205 daerah baru, terdiri dari 7 provinsi, 164 Kabupaten dan 34 kota. Sejak itu pula, perilaku korupsi di daerah semakin menggila. Berdasarkan catat ICW hingga satu semester 2010, setidaknya ada 1.800 kasus korupsi t e r u n g k a p d a n s u d a h m a s u k pengadilan. Dari data ini, sepanjang 2004-2009 tercatat setidaknya 1.243 anggota DPRD terlbat korupsi.

Fakta dan data korupsi ICW ini hampir sama dengan data Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM). Pukat UGM melaporkan kepada KPK, terdapat 1.891 kasus korupsi di daerah hasil pemekaran. Korupsi terbanyak terjadi di Provinsi Banten 593 kasus, Kepulauan Riau 463 kasus, Maluku Utara 184 kasus, Kepulauan Bangka Belitung 173 kasus, Sulawesi Barat 168 kasus, Gorontalo 155 kasus, dan Papua Barat 147 kasus. Sisanya di daerah lain. Bagi Pukat, melonjaknya kasus korupsi di daerah lantaran dipicu oleh tingginya anggaran negara digelontorkan ke daerah. Hal tersebut menyebabkan gagalnya proses pembangunan di daerah baru hasil pemekaran. 80 % daerah baru hasil pemekaran gagal m e n i n g k a t k a n k e s e j a h t e r a a n

Berdasarkan Tabel 1 pun terlihat ada banyak pejabat daerah terlibat dalam tindak pidana korupsi. Modus utama dan paling berulang korupsi di tingkat daerah adalah markup dari pengadaan barang dan jasa, banyak pejabat pemda membuat pengeluaran fiktif dan proyek-proyek untuk keuntungan diri mereka sendiri. Ini dilakukan oleh Gubernur, Bupati, Walikota dan wakil-wakil mereka, termasuk pejabat mereka. Bentuk korupsi lainnya termasuk manipulasi p r o s e d u r p e n g a d a a n d a n menggelapkan dana daerah dengan p rak t ik pa l ing umum seper t i menggunakan dana negara untuk urusan peribadi seperti liburan keluarga. Lebih melibatkan bentuk manipulasi prosedur pencarian dana, Daerah manipulasi perizinan konsesi kehutanan dan per tambangan, m e r a j a l e l a d i S u m a t e r a d a n Kalimantan, dan pelanggaran prosedur gratifikasi biasanya melibatkan bank-bank Daerah.

Sementara itu, Public Sector In t egr i t y Survey t ahun 2010 menunjukkan bahwa indeks integritas nasional turun sampai 5,42 tahun ini d a r i 6 , 5 t a h u n l a l u . S u r v e i mengevaluasi dan memberi skor lembaga-lembaga tingkat daerah mencakup administrasi 22 kota, mendapat skor rata-rata 5,07 (The

Sumber: Laporan Tahunan 2011 (KPK, 2011:73)

KORUPSI DI DAERAH : SALAH JALAN PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI DAERAH

Prakoso Bhairawa Putera

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012168

Page 36: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

menjelang Pemilukada. Modus penggelapan umumnya terkait dengan penyimpangan dana langsung berhubungan dengan kepentingan masyarakat seperti dana bantuan sosial marak terjadi pada tahun 2008-2009.

Dari temuan BPK RI, pada semester I tahun 2010, total temuan mencapai 10.113 kasus dengan potensi kerugian negara Rp. 26,12 triliyun secara nasional. Khusus untuk potensi kerugian daerah mencapai Rp. 2 triliyun. Dari sekian banyak itu, ternyata ada beberapa oknum memang sengaja melakukan hal-hal berpotensi merugikan negara dan daerah. Khusus untuk daerah, BPK mencatat ada 348 laporan keuangan pemda (LKPD) menunjukkan adanya kerugian sebanyak 1.246 kasus dengan nilai Rp. 306,63 miliyar. Kerugian di daerah dimaksud adalah berkurangnya kekayaan daerah berupa uang, surat berharga, dan barang, nyata dan pasti jumlah sebagai akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai. Kerugian ini timbul karena kasus-kasus meliputi belanja atau pengadaan barang dan jasa fiktif, rekanan pengadaan barang dan jasa tidak menyelesaikan pekerjaan, kekurangan vo lume peke r j aan , ke l eb ihan pembayaran selain kekurangan volume pekerjaan dan termasuk proses pemahalan harga (mark up). Sementara i t u , K e m e n t e r i a n K e u a n g a n menyatakan hingga kini belum memi l ik i l angkah j i t u un tuk mengantispasi manipulasi dan korupsi para pegawai daerah dalam proses pengadaan barang dan jasa atau kegiatan lain.

Tidak hanya itu sejak tahun 2005 Bupati menjadi tersangka sebanyak 150 o rang . Jumlah

masyarakat (LiraNews, Jakarta, 30 Oktober 2010).

Dalam kurun waktu 2004-2010, ICW mencatat ada 1.243 anggoat DPRD terjaring kasus korupsi. Tetapi saat divonis, hampir separuhnya d i b e b a s k a n o l e h p e n g a d i l a n . Kejaksanaan telah berupaya keras membawa kasus korupsi itu banyak, yang melibatkan anggoat legislative daerah, ternyata dibebaskan di pengadilan.

Selain itu dari hasil investigasi ICW, APBD menjadi sektor paling diminati para koruptor. Terbukti, kini keuangan daerah menyumbang potensi kerugian negara terbesar yakni Rp. 596, 232 miliyar. Temuan ICW baik tahun 2009 maupun tahun 2010, keuangan daerah tetap sebagai pintu masuk utama terjadinya korupsi. Keuangan daerah penyumbang potensi kerugian negara terbesar yakni Rp. 596.232 mliyar dengan 38 kasus. Tiga sekor lainnay menyumbangkan potensi kerugian negara yakni perizinan Rp. 420 miliyar (1 kasus), pertambangan Rp. 365,2 miliyar (2 kasus), dan energy/listrik Rp. 140,8 miliyar (5 kasus). Sebagai perbandingan, ada semester I tahun 2009, kasus korupsi meraup keuangan daerah sebesar Rp. 410.857 miliyar dengan 23 kasus. Adapun modus paling banyak digunakan para pelaku korupsi untuk mengeruk uang negara yakni penggelapan (62 kasus). Diikuti modus mark up (52 kasus), proyek fiktif (20 kasus), penyelahgunaan anggaran (18 kasus) dan suap (7 kasus). Sementara modus tertinggi semester I tahun 2009, yakni modus penye lahgunaan anggaran dengan 32 kasus. Ini terkait dengan kondisi politik terjadi, yakni tahun 2008-2009, tahun persiapan

KORUPSI DI DAERAH : SALAH JALAN PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI DAERAH

Prakoso Bhairawa Putera

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 169

Page 37: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

penyimpangan sebesar Rp. 91,03 miliyar. BPK membagi penyimpangan tersebut dalam lima jenis temuan, yaitu: 1. Penggunaan anggaran tidak sesuai dengan ketentuan sebesar Rp. 45,8 miliyar (37%) ; 2. Tidak didukung bukti yang lengkap Rp. 32,05 miliyar (38%) ; 3. Terlambat menyampaikan laporan Rp. 8, 2 miliyar (6%); 4. Penggunaan anggaran tidak tepat sasaran Rp. 4,4 milyar (9%); dan 5. Belum dipungut pajak/denda Rp. 466 juta.

E. S E J U M L A H K A S U S ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH DAERAH

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Daerah (APBD) adalah pernyataan tentang rencana pendapatan dan belanja daerah dalam periode tertentu (1 tahun). Pada awalnya fungsi APBD adalah sebagai pedoman pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah untuk satu periode. Selanjutnya, sebelum anggaran dijalankan harus mendapat persetujuan dari DPRD sebagai wakil rakyat maka fungsi anggaran juga sebagai alat pengawasan dan pertanggungjawaban terhadap kebijakan publik. Dengan melihat fungsi anggaran tersebut maka seharusnya anggaran merupakan power relation antara eksekutif, legislatif dan rakyat itu sendiri (Wahyudi & Sopanah, 2005).

Korupsi APBD kebanyakan melanggar Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Keuangan DPRD. Kasus Kampar misalnya, sejumlah 45 anggota DPRD telah dijadikan tersangka karena telah menganggarkan pesangon. Di Kota Padang (Sumatra Barat) 43 anggota

tersangka dari total jumlah Kepala Daerah 524 orang i tu sangat memprihatinkan (Potret Indonesia, 17 Oktober 2010). Di lahin pihak, berdasarkan hasil investigasi ICW kecenderungan korupsi 2010 semester I, korupsi di semester awal tahun ini sudah terjadi di 27 Provinsi. Provinsi menempati jumlah kasus paling banyak adalah Sumut dengan 26 kasus, empat besar di bawahnya yakni Jabar (16 kasus), DKI Jakarat dan kasus terjadi pada Pemerintahan pusat 18 kasus, NAD (14 kasus), Jateng (14 kasus). Meski demikian, potensi kerugian negara dengan jumlah paling besar terjadi pada kasus-kasus di DKI Jakarta, sebesar Rp. 709,514 miliyar dengan 12 kasus, diikuti Lampung sebesar Rp. 408,382 miliyar (7 kasus), NAD sebesar Rp. 275,1 miliyar (14 kasus), Maluku sebenar Rp. 118,875 miliyar (6 kasus) dan Riau potensi kerugian negara mencapai Rp. 117, 75 miliyar (3 kasus). Beberapa kasus APBD dengan potensi kerugian negara sangat besar selama tahun 2010, di antara kasus pembobolan kas daerah Aceh Utara (Rp. 220 miliyar), kasus korupsi APBD di Indragiri Hulu (Rp. 116 miliyar), kasus korupsi kas daerah di Pasuruan Jawa Timur (Rp. 74 miliyar) dan kasus dana otonomi daerah Kabupaten Boven Digoel Rp. 49 miliyar.

D a l a m l a p o r a n y a n g diserahkan kepada DPR awal Oktober 2009 dan DPD 22 November 2009, B P K m e m a p a r k a n b e r b a g a i penyimpangan uang negara. Tidak saja di Pemerintah pusat, penyimpangan juga merambah secara merata di Pemda. Hasil pemeriksaan atas 237 Pemda mel iput i Propinsi dan Kabupaten/Kota, BPK menemukan

KORUPSI DI DAERAH : SALAH JALAN PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI DAERAH

Prakoso Bhairawa Putera

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012170

Page 38: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

daerah, bantuan biaya komunikasi, serta biaya purna tugas

Semenjak DPRD mempunyai otoritas dalam penyusunan APBD terdapat perubahan kondisi yang menimbulkan banyak masalah (Wahyudi & Sopanah, 2005). Pertama, sistem pengalihan anggaran yang tidak jelas dari pusat ke daerah. Kedua, karena keterbatasan waktu partisipasi rakyat sering diabaikan. Ketiga, esensi otonomi dalam penyusunan anggaran masih dipelintir oleh pemerintah pusat karena otonomi pengelolaan sumber-sumber pendapatan masih dikuasai oleh pusat sedangkan daerah hanya diperbesar porsi belanjanya. Keempat, ternyata DPRD dimanapun memiliki kesulitan untuk melakukan asessment prioritas kebutuhan rakyat yang harus didahulukan dalam APBD. Kelima, volume APBD yang disusun oleh daerah meningkat hingga 80% dibandingkan pada masa orde baru, hal ini menimbulkan masalah karena sedikit-banyak DPRD dan pemerintah daerah perlu berkerja lebih keras untuk menyusun APBD. Keenam, meskipun masih harus melalui pemerintah pusat namun pemerintah menurut UU No 33 tahun 2004 memiliki kewenangan untuk melakukan pinjaman daerah baik ke dalam negeri maupun ke luar negeri.

Kondisi yang berubah diatas memicu beberapa kecenderungan. ( H a n d a y a n i , 2 0 0 9 ) m e n c a t a t setidaknya ada dua hal yaitu; (1) adanya jargon dari pemerintah daerah yang begitu kuat untuk meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah) dalam rangka otonomi daerah. Dengan demikian bagi beberapa daerah yang miskin SDA akan memilih menggali PAD dengan meningkatan pajak. Bagi daerah kaya sekalipun meningkatkan

DRPD telah dijatuhi vonis karena merugikan uang negara sebanyak 10,4 M. Demikian juga DPRD Bali telah melakukan penggelapan uang Tirtayatra (persembahyangan di India) sejumlah 112 juta. Deretan kasus penyimpangan APBD juga terjadi di Jawa Timur seperti di DPRD Kota Surabaya 2,7 M, DPRD Sidoarjo 20,3 M, DPRD Tulungagung 1,6 M, DPRD Nganjuk 5,3 M, DPRD Banyuwangi 225 juta, DPRD Kota Blitar 1,5 M dan masih banyak lagi (Kompas, edisi 8 September 2004).

Demikian pula kasus korupsi APBD terjadi di wilayah Malang Raya. Di Kota Malang misalnya kasus sisa anggaran 2,1 M dan pesangon dewan senilai 1,7 M sampai saat ini belum ada kepastian hukum sementara uang tersebut sudah masuk ke kantong anggota dewan yang terhormat. Di Kabupaten Malang penyimpangan dana APBD juga dilakukan untuk kepentingan pejabat dan keluaraganya seperti penyelewengan sekwan 22,5 juta, umrah gate dan Dem-deman Mobil. Di Kota Batu mark-up APBD telah digunakan untuk kepentingan Pilihan Kepala Daerah (Wahyudi & Sopanah, 2005).

Umumnya ada sejumlah pos keuangan DPRD yang dikorupsi dalam APBD berupa: tunjangan keluarga dan beras, uang kehormatan, uang rapat, biaya perjalanan dinas, biaya pemeliharaan rumah, biaya tunjangan perumahan, biaya kegiatan adeksi, biaya lain-lain penunjang kelancaran tugas, biaya penunjang anggota fraksi, biaya kegiatan fraksi, biaya kegiatan, panitia legislasi, biaya penunjang kegiatan sosial kemasyarakatan, bantuan biaya peningkatan SDM, bantuan biaya koordinasi pimpinan

KORUPSI DI DAERAH : SALAH JALAN PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI DAERAH

Prakoso Bhairawa Putera

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 171

Page 39: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

kasus APBD) dipengaruhi demand (by the public) for corrupt acts dan supply (by public officials) of acts of corrupt ion. Dari s is i demand dimungkinkan karena adanya (1) r e g u l a s i d a n o t o r i s a s i y a n g memungkinkan terjadinya korupsi; (2) karakteristik tertentu dari sistem perpajakan; dan (3) adanya provisi atas barang dan jasa di bawah harga pasar. S e d a n g k a n d a r i s i s i s u p p l y dimungkinkan terjadi karena (1) tradisi birokrasi yang cenderung korup; (2) tingkat gaji di sektor publik; (3) kontrol atas institusi yang tidak memadai; dan (4) transparansi dari peraturan dan hukum.

Fuady (2002) memberikan catatan atas masing-masing pos anggaran tersebut. (Tabel 4)

pajak adalah alternatif yang paling mudah karena tidak perlu melakukan banyak investasi dibandingkan jika mengekplorasi SDA; dan (2) otoritas yang sangat besar bagi DPRD untuk menyusun APBD dan menyusun anggaran untuk DPRD sangat memungkinkan terjadinya korupsi APBD karena tidak ada pengawasan yang sistematis kecuali jika rakyat mempunyai kesadaran yang tinggi. Dengan demikian kembali pada kenyataan bahwa anggaran adalah power relation maka kemungkinan terjadinya suap (bribery) terhadap DPRD untuk menyetujui pos anggaran tertentu yang tidak dibutuhkan rakyat sangat mungkin terjadi.

Tanzi (1998) menunjukkan terjadinya korupsi (termasuk dalam

Tabel 4. Catatan Pos Anggaran Publik

Pos Anggaran Catatan Pendapatan 1. Darimana komponen PAD berasal, dan bagaimana pengaruhnya bagi

masyarakat. Apakah keinginan daerah untuk mengejar target PAD seringkali ditempuh dengan cara membebani masyarakat, misalnya menaikkan pajak dan retribusi.

2.

Dana Perimbangan (selain DAU dan DAK) memang terlihat memiliki angka prosentase yang cukup besar bagi daerah. Namun sumber-sumber daya tersebut hanya berada di beberapa daerah tertentu.

Belanja Aparatur Daerah

1.

Pada dasarnya, selain gaji pegawai, pengeluaran-pengeluaran dalam belanja aparatur daerah potensial untuk dimanipulasi daan digunakan oleh pegawai pemerintah untuk mencari pendapatan tambahan.

2.

Adanya pos-pos titipan dari unit kerja lain, misalnya, tunjangan anggota DPRD yang dititipkan di Sekwan.

3.

Pemberian honor kepada petugas atau unit tertentu, padahal tugas tersebut sebenarnya adalah tugas pokok dan fungsinya sendiri.

4.

jumlah anggaran yang diperbesar, misalnya dengan mempertinggi frekuensi kegiatan atau acara -acara pejabat dengan anggaran yang bisadiambil dari dana taktis dan sesudahnya dikembalikan berdasar pembebanan atau urusan dari dinas-dinas. Contoh lain adalah pengadaan barang/ATK/Kendaraan dinas/percetakan yang disertai pemberian komisi atau potongan yang tidak dicatat.

5. Biaya perjalanan din as dari berbagai sumber untuk tujuan perjalanan yang sama, misalnya dari biaya rutin kantor dan dari anggaran beberapa proyek. Selain itu, sering terjadi penyimpangan berupa perhitungan yang dilebihkan, jumlah orang diperbanyak dan biaya perjalanan dinas yang tidak wajar.

KORUPSI DI DAERAH : SALAH JALAN PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI DAERAH

Prakoso Bhairawa Putera

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012172

Page 40: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

menjalankan fungsinya sebagai lembaga control, justru sebaliknya terjadi kolusi yang erat antara pihak eksekutif dan legislative di daerah, sementara kontrol dari kalangan civil society masih lemah.

Kultur patrimonial sangat tidak kondusif bagi terciptanya budaya berfikir kritis dan reflektif. Hal ini mengingat bahwa birokrasi sejak era 70'an oleh Soeharto dijadikan sebagai instrument kontrol sosial dan politik. Politisasi birokrasi sengaja dibuat sebagai sumber pengumpulan suara pada saat pemilu sekaligus untuk mengendalikan dan memastikan loyalitas “ideologi” birokrasi pada pemerintah yang berkuasa. Meskipun telah diterapkan desentralisasi, tidak berubahnya posisi, watak, perspektif dan orientasi birokrasi membuat praktek korupsi kian subur.

Padahal jika dikaji lagi berdasarkan teori yang ada maka alokasi yang bersifat birokrasi merupakan hak dan pemberian anggaran resmi yang sekaligus disusun

F. PENYEBAB DESENTRALISASI KORUPSI

Fenomena korupsi yang terjadi, khususnya di era desentralisasi sebenarnya tak bisa dilepaskan dari model birokrasi di Indonesia. Richard Robinson (1986) sebagaimana dikutip Anang Arief Susanto menyebutkan bahwa jenis birokrasi di Indonesia adalah birokrasi patrimonial sehingga praktek korupsi yang dilakukan oleh a p a r a t b i r o k r a s i s u l i t u n t u k dikendalikan.

Sementara itu menurut TA. 2Legowo terdapat tiga hal yang menjadi

penyebab terjadinya desentralisasi korupsi pada era otonomi daerah. Pertama, program otonomi daerah hanya terfokus pada pelimpahan w e w e n a n g d a l a m p e m b u a t a n kebijakan, keuangan dan administrasi dari pemerintah pusat ke daerah, tanpa disertai pembagian kekuasaan kepada masyarakat. Kedua, tidak ada institusi negara yang mampu mengontrol secara efektif penyimpangan wewenang di daerah. Ketiga, legislatif gagal dalam

6.

Pengeluaran tidak wajar atas suatu kegiatan tertentu dan penggandaan jumlah kebutuhan dalam kaitan dengan belanja barang misal ATK tidak dibelikan karena sudah dipenuhi dari anggaran proyek dinas tersebut.

7.

Overlapping sumber pengeluaran, m isalnya dana untuk pembelian obatobatan atau peralatan Rumah sakit yang sangat banyak sumbernya.

Belanja Pelayanan

Publik

1.

Pemerintah cenderung tidak mengakomodir adanya perbedaan atau karakteristik masing -masing daerah. Adanya penyeragaman pos-pos pengeluaran menyulitkan daerah untuk optimalisasi dana yang ada pada jenis-jenis pengeluaran yang sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat.

2. Dari segi alokasi dana, dalam belanja pelayanan publik masih belum dilandasi ukuran/indikator kinerja yang jelas.

3. Sering terjadi suatu proyek diselenggarakan lebih dari satu kali, telah masuk dalam satu sektor tetapi masuk juga dalam sektor lain.

4. Pos anggaran biaya administrasi proyek potensial untuk dijadikaan side income bagi pejabat.

Sumber : Fuady, 2002

2 Indonesia Corruption Watch (ICW). Laporan akhir tahun2004 ICW. hal. 4. ICW, Jakarta, 2004

KORUPSI DI DAERAH : SALAH JALAN PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI DAERAH

Prakoso Bhairawa Putera

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 173

Page 41: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

menjangkau hampir di setiap daerah di Pulau Jawa. Namun demikian, bukan berarti daerah lain yang angka korupsinya relat if keci l telah menggambarkan tingkat akuntabilitas dan transparansi pemerintahannya s e h i n g g a m e n e k a n a n g k a penyelewengan. Melainkan karena faktor lemah atau tidaknya kontrol publik, baik melalui media massa maupun organisasi masyarakat itu dilakukan. Karena secara nyata, baru ditemukan segelintir daerah yang telah m e m i l i k i k o m i t m e n u n t u k menciptakan pemerintahan yang bebas KKN seperti dicontohkan oleh Kabupaten Solok, Sumatera Barat.

Jika dilihat dari sisi aktor, jumlah 432 kasus korupsi yang terjadi pada 2004 telah menyeret mayoritas dua elit lokal di daerah, yakni anggota DPRD (124 kasus) dan Kepala Daerah (83 kasus). Data ini semakin menegaskan hipotesis bahwa otonomi daerah hanya memberikan kekuasaan monopoli kepada pemerintahan daerah (Kepala Daerah dan Legislatif) untuk mengelola sumber daya ekonomi yang rawan dengan penyelewengan karena tiadanya intervening factor yang secara fungsional mempunyai daya kontrol terhadap kedua lembaga tersebut.

Secara umum, sepanjang korupsi 2004-2010 menggambarkan pola yang berulang-ulang dan konvensional. Dari data menunjukkan sebagian besarnya adalah korupsi yang berkaitan dengan tender/lelang proyek. Dimana modus yang terjadi meliputi

oleh biro dan komisi anggran, sesuai dengan kebijakan yang telah digariskan Kabinet dan DPR. Tetapi yang ada justru disanalah paraktek-prakter suap terjadi.

Dari data yang diperoleh oleh ICW pada kurun waktu 2004, terdapat 432 kasus korupsi yang meliputi hampir di semua wilayah Indonesia. Jumlah ini jauh meningkat sebelum diberlakukannya otonomi daerah bahkan pada tahun-tahun berikutnya kondisi korupsi di daerah semakin

3memperihatinkan. Merujuk pada data yang ada, wilayah di Pulau Jawa, yakni DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur menempati posisi tertinggi dibandingkan dengan tempat lainnya. Hal ini bisa dimengerti karena dua hal.

Pertama, wilayah di Pulau Jawa mengelola anggaran daerah yang relatif lebih besar dibanding dengan daerah lain di luar Pulau Jawa. Untuk APBD DKI Jakarta tahun 2004 saja, tercatat alokasi anggaran sebesar Rp 13 triliun. Namun perbandingan ini tidak berlaku di daerah-daerah luar pulau Jawa yang memiliki alokasi anggaran cukup besar seperti Riau (Kabupaten Bengkalis) atau Kalimantan Timur (Kabupaten Kutai Kertanegara).

Kedua, dibanding daerah luar pulau Jawa, wilayah Jawa sudah dapat dikategorikan sebagai daerah pusat sehingga tingkat pengawasan, terutama oleh masyarakat dan media massa cukup tinggi. Lagipula, jumlah media massa di Pulau Jawa sudah dapat

3 Selama 2008, ICW mencatat lebih dari separuh kasus korupsi yang divonis bebas di peradilan umum. Tahun 2008, terdapat 194 perkara korupsi dengan 444 terdakwa yang diperiksa dan divonis oleh pengadilan di seluruh Indonesia. Di tingkat pengadilan negeri ada 159 perkara, banding di pengadilan tinggi 10 perkara, dan kasasi di Mahkamah Agung 25 perkara. Nilai kerugian negara dari perkara-perkara itu mencapai Rp 11,7 triliun. Dari 444 terdakwa korupsi yang telah diperiksa dan diputus, sebanyak 277 terdakwa (62,38 persen) divonis bebas pengadilan. Hanya 167 terdakwa (37,61 persen) yang akhirnya divonis bersalah. Namun, ICW melihat, dari 167 terdakwa korupsi yang akhirnya diputuskan bersalah, vonisnya belum memberikan efek jera bagi pelaku korupsi.

KORUPSI DI DAERAH : SALAH JALAN PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI DAERAH

Prakoso Bhairawa Putera

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012174

Page 42: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

memeloporinya.Cara ini pernah dilakukan

Perdana Menteri Cina Jiang Zemin dalam memberantas korupsi dan b e r h a s i l s e h i n g g a m a m p u menempati negara Cina pada tingkat korupsi yang relatif rendah dari 102 daftar negara paling korup di dunia.

2. Pemberantasan korupsi harus dimulai dari yang paling mudah dilakukan, bukan apa yang harus d ip r io r i t a skan , supaya ada keberhasilan yang bisa diperhatikan untuk meneguhkan kepercayaan dalam melembagakan gerakan pemberantasan korupsi yang lebih bagus.

3. Perang melawan korupsi sistematis harus menjadi bagian dari perbaikan yang lebih luas, bagian dari upaya untuk membenahi administrasi pemerintah, menjadi alat untuk m e n i n g k a t k a n p a r t i s i p a s i masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik

Selain ketiga hal tersebut, satu lagi metoda yang bisa menjadi alternatif dalam memerangi korupsi yaitu dengan melibatkan seluas mungkin partisipasi masyarakat. Cara ini bisa dilakukan dengan adanya gerakan anti-korupsi yang menjelma menjadi gerakan sosial. Untuk itu perlu dirumuskan suatu strategi dan taktik bagi gerakan anti-korupsi tersebut. Ada dua wilayah kerja dari gerakan anti-korupsi, yakni:- Wilayah Masyarakat (Civil Society)

Prinsip utama yang harus menjadi perhatian bagi gerakan anti korupsi adalah bagaimana memberdayakan masyarakat untuk melakukan kontrol terhadap pejabat publik dan

mark-up, mark-down, pelanggaran prosedur, manipulasi data/dokumen, merubah spesifikasi barang dan penunjukan langsung. Artinya, praktek k o r u p s i d a l a m p e n g a d a a n / lelang/tender menjadi mudah terjadi mengingat sebagian besar alokasi anggaran pemerintah digunakan untuk proyek-proyek pengadaan barang/jasa.

G. L A N G K A H P E M -BERANTASAN

Makin merebaknya praktik korupsi di tingkat daerah perlu mendapat perhatian kita bersama, seluruh lapisan dan komponen masyarakat, karena dengan mencegah k o r u p s i d a p a t m e m b a n t u meningkatkan pendapatan daerah, memperbaiki pelayanan bagi warga masyarakat, membangkitkan rasa percaya diri masyarakat di daerah, serta mendorong partisipasi masyarakat.

Menurut Robert Klitgaard, memberantas korupsi di beberapa negara dan pemerintahan seperti Hongkong, New York (AS) dan Kota La Paz di Bolivia, dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut:1. Harus ada pemimpin yang

mempunyai keinginan kuat untuk membasmi korupsi. Kalau tidak ada pemimpin di tingkat nasional, paling tidak di tingkat daerah atau pimpinan suatu departemen pemerintah.

Memutuskan mata rantai korupsi sistematis didalam keadaan politik yang tidak mendukung hampir tidak mungkin agenda pemberantasan korupsi dapat dimulai tanpa ada pemimpin dengan kesadarannya sendir i untuk memakmurkan rakyatnya yang mau

KORUPSI DI DAERAH : SALAH JALAN PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI DAERAH

Prakoso Bhairawa Putera

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 175

Page 43: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

H. PENUTUPPraktik korupsi di daerah

dilakukan bermacam aktor, modus dan tingkat kerugian yang diderita oleh negara. Sebagian besar praktek korupsi yang terjadi dilakukan oleh anggota parlemen (DPRD) yang notabenenya secara fungsional merupakan lembaga k o n t r o l y a n g s e h a r u s n y a merepresentasikan kehendak publik. Berdasarkan catatan KPK, 2004 – 2011 terdapat 42,06 % dari total jumlah kasus tindak pidana korupsi dilakukan di tingkat atau oleh pejabat daerah. Modus utama dan berulang dari korupsi di daerah adalah markup dari p e n g a d a a n b a r a n g d a n j a s a , pengeluaran fiktif dan proyek-proyek untuk keuntungan diri sendiri.

Dalam mengurangi dan menghilangkan korupsi sebagai praktik s a l a h j a l a n p e n y e l e n g g a r a a n administrasi daerah harus melibatkan seluas mungkin partisipasi masyarakat. Cara ini bisa dilakukan dengan adanya gerakan anti-korupsi yang menjelma menjadi gerakan sosial. Selain itu munculnya gerakan kelompok-kelompok masyarakat madani (civil society). Kelompok ini memainkan peran dalam memberikan pengaruh dan tekanan-tekanan kepada pemerintah d a n D P R D u n t u k l e b i h bertanggungjawab kepada rakyat dan mengubah poli t ical behaviour pemimpin yang korup.

Selain itu juga perlu tindakan secara besar-besaran dan harus serentak di seluruh Indonesia untuk memulai langkah anti-korupsi. Alangkah baiknya langkah tersebut dimulai dengan pembersihan dari unsur keluarga paling kecil. Dengan cara begitu, harapan mayoritas rakyat Indonesia untuk memiliki pemerintah

pelaku bisnis. Dalam hal ini terkait proses penyadaran masyarakat tentang pentingnya memerangi korupsi, dan pengorganisasian gerakan.

- Wilayah Negara (State Society / Political Society)Gerakan anti-korupsi mendorong pembentukan/perubahan kebijkan dan institusi yang dapat mendorong terciptanya sistem politik yang transparan, bersih dan demokratis sehingga tercipta ruang yang luas bagi masyarakat untuk melakukan kontrol.

Adapun penerapan sanksi dalam gerakan anti-korupsi adalah dengan sanksi sosial. Sanksi sosial bila d i ja lankan secara to ta l maka pengaruhnya akan lebih efektif ketimbang hukuman penjara atau denda. Karena pada dasarnya koruptor itu paling takut kalau dipermalukan. Sanksi sosial di sini bisa saja berupa pengucilan dari lingkungan sekitar, sanksi bisnis, caci maki, hujatan dan lain sebagainya. Dengan cara demikian niscaya koruptor itu tidak bisa menikmati harta haramnya dengan tenang.

Penerapan sanksi sosial untuk membuat jera para koruptor di satu sisi juga menuntut adanya kode etik bersama, yang satu sama lain saling mengikat. Dalam hal ini dituntut penegakan etik di semua lapisan sosial, seperti di kalangan profesional, bisnis, dan birokrasi serta etika sosial kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari. Sanksi sosial demikian hanya akan efektif kalau ada kebenciaan yang luar biasa dari masyarakat terhadap para koruptor.

KORUPSI DI DAERAH : SALAH JALAN PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI DAERAH

Prakoso Bhairawa Putera

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012176

Page 44: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

aksara dan Patnership for Good Governance Reform.

Bernardi R.A. (1994). Fraud Detection: The Effect of Client Integrity and Competence and Auditor Cognitive Style. Auditing: A Journal of Practice and Theory 13 (Supplement): 68-84.

De Asis, Maria Gonzales. (2000). Coalition-Building to Fight Corruption, Paper Prepared for the Anti-Corruption Summit, World Bank Institute, November 2000.

Fuady, Ahmad Helmi, dkk. (2002). M e m a h a m i A n g g a r a n Publik.Yogyakarta: IDEA Press.

Handayani, Bestari Dwi. (2009). P e n g a r u h R e f o r m a s i P e n y u s u n a n A n g g a r a n Terhadap Kualitas APBD Kota Semarang. Jurnal Dinamika Akuntansi, Vol. 1, No. 1, Maret 2009: 31-40.

Hidayat, Syarif. (2008). Desentralisasi dan Otonomi Daerah Dalam Perspektif State-Society Relation. Jurnal Poelitik, Vol. 1 No. 1 Tahun 2008: 1 – 28.

Halim, Abdul. (2003) Bunga Rampai Keuangan Daerah. Jogjakarta: UPP AMP YKPN.

Isra, Saldi. (2009). Sepuluh Tahun Otonomi Daerah: Kemajuan dan Persoalan Pemberantasan Korupsi di Daerah. Makalah Seminar Nasional “Kreatif dan Mandiri Tanpa Korupsi”. Diselenggarakan oleh Harian Padang Ekspres , Ho te l Pangeran Beach (Padang), 17 Februari 2009.

yang bersih dan pemerintahan yang efisien dan bertanggungjawab akan terwujud.

DAFTAR PUSTAKAArdyanto, Donny. (2002). Korupsi di

Sektor Pelayanan Publik dalam Basyaib, H., dkk. (ed.) 2002. Mencuri Uang Rakyat: 16 kajian Korupsi di Indonesia (Buku 2). Jakarta: Yayasan aksara dan Patnership for Good Governance Reform.

Asian Development Bank. (1998). Anticorruption Policy. Metro Manila (Philippines): ADB Publishing.

A'yuni, Qurrotul., & Puspita, Dyah Retna. (2012). Membangun Reformasi Birokrasi Melalui Penguatan Local Leadership. Simposium Nasional Asosiasi Ilmuwan Administrasi Negara (SIMNAS ASIAN) ke-2 di Universitas Slamet Riyadi, Surakarta, pada tanggal 10 Pebruari 2012.

Baswir, Revrisond. (1993). Ekonomi, Manusia dan Etika, Kumpulan Esai-esai Terpilih. Yogyakarta: BPFE.

Baswir, Revrisond. (1996). Ekonomi P o l i t i k K e s e n j a n g a n , Konglomerasi, dan korupsi di Indones ia , da lam buku Pembangunan Ekonomi dan P e m b e rd a y a a n R a k y a t . Yogyakarta: BPFE.

Basyaib, H., Holloway R., dan Makarim NA. (ed.). (2002) Mencuri Uang Rakyat : 16 kajian Korupsi di Indonesia, Buku 3. Jakarta: Yayasan

KORUPSI DI DAERAH : SALAH JALAN PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI DAERAH

Prakoso Bhairawa Putera

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 177

Page 45: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

kajian Korupsi di Indonesia (Buku 2). Jakarta: Yayasan aksara dan Patnership for Good Governance Reform.

Siregar, Muhammad Arifin. (2008). P e n e r a p a n T a t a Kepemerintahan yang Baik dalam Penyelenggaraan Pengadaan Barang dan Jasa P e m e r i n t a h a n P ro v i n s i Bengkulu. Semarang: Program Pascasarjana Magister Ilmu H u k u m U n i v e r s i t a s Diponegoro. Tesis (Tidak dipublikasikan).

TA. Legowo. (2002). Otonomi Daerah dan Akomodasi Politik Lokal dalam Memahami Kembali K e b a n g s a a n I n d o n e s i a , disunting oleh Hadi Soesastro dan Indra J. Piliang. Jakarta: CSIS.

Tanzi, Vito. (1998). Corruption Around t h e W o r l d : C a u s e s , Consequences, Scope, and Cures. IMF Staff Papers, Vol. 45, No. 4 (December 1998): 559-594.

Tambu la s i , R . I . C . ( 2009 ) . Decentralization as a Breeding Ground for Conflicts: an Analysis of Institutional C o n f l i c t s I n M a l a w i ' s D e c e n t r a l i z e d S y s t e m , JOAAG, Vol. 4. No. 2: 28 – 39.

Tim Penyusun Laporan Tahunan KPK 2011 . (2011) . Laporan Tahunan 2011. Jakar ta : Komus i Pemberan t a san Korupsi.

Treisman, Daniel. (2000). The Causes of Corruption: A Cross-National Study. Journal of Public Economics 76 (3):399-457.

Khudori. (2004). Politik Anggaran Publik, Pikiran Rakyat, Rabu, 04 Februari 2004

Klitgaard, dkk (2002). Penuntun Pemberantasan Korupsi dalam Pemerintahan Daerah. Yayasan Obor Indonesia & Patnership for Governance in Indonesia: Jakarta.

Kementerian Dalam Negeri. (2011). Naskah Akademik Rancangan Undang-undang ten tang Pemerintah Daerah. Jakarta: Kementerian Dalam Negeri. D i a k s e s d a r i http://www.dpr.go.id/complorgans/adhoc/53_na_NA_RUU_Pemda.pdf, tanggal 31 Juli 2012.

Mardiasmo. (2003). Konsep Ideal A k u n t a b i l i t a s d a n Transparansi Organisasi Layanan Publik, Majalah Swara MEP, Vol. 3 No. 8 Maret, MEP UGM, Jogjakarta.

Putera, Prakoso Bhairawa. (2007). Gerakan ANTI-Korupsi di Daerah. Radar Banten, edisi 17 Juli 2007.

Putera, Prakoso Bhairawa. (2005a). Pembaruan Kinerja Pelayanan Publik. Sumatera Express, edisi 5 Januari 2005.

Putera, Prakoso Bhairawa. (2005b). Desentralisasi Korupsi. Berita Pagi, edisi 26 Mei 2005.

Putera, Prakoso Bhairawa. (2005c). P e m b o r o s a n B i r o k r a s i Pemerintahan . Sumatera Ekspres, edisi 31 Mei 2005.

Said, Sudirman., & Nizar Suhendra. ( 2 0 0 2 ) . K o r u p s i d a n Masyarakat Indonesia dalam Basyaib, H., dkk. (ed.) 2002. Mencuri Uang Rakyat: 16

KORUPSI DI DAERAH : SALAH JALAN PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI DAERAH

Prakoso Bhairawa Putera

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012178

Page 46: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Daerah (APBD) di Malang Raya . Legal i t y : Jurna l Ilmiah Hukum, Volume 13, No 1: 27-47.

Wahyudi, Isa., & Sopanah. (2005). Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruh i Korups i Anggaran Pendapatan Belanja

KORUPSI DI DAERAH : SALAH JALAN PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI DAERAH

Prakoso Bhairawa Putera

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 179

Page 47: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Abstract.

.

One of our national goals is to realize people well-being. When local autonomy was applied, it is the mutual responsibility between local government and central government for making people prosperous. District government of Kutai Kartanegara, in its effort to eradicate poverty, has issued policy through Local Regulation Number 2 Year 2007. Based on the data analysis, it can be concluded that the implementation of Local Regulation Number 2 Year 2007 did not run well. This can be seen from the fact that some of the policies and programs did not work well. This was caused by the quality of Local Regulation Number 2 Year 2007 which was not good enough because it only regulated technical and operational matters. TKPKD as a coordinating forum for poverty eradication did not play its role and function optimally. There was still sectoral ego from each SKPD in implementing the poverty eradication program. Data and information used as the basis for poverty eradication were out of date. Their reliability were unguaranteed, and the budget allocated for poverty eradication was very low and not comparable with the number of poor people in the District. The outcomes of this Local Regulation showed that there was a decrease in the number of poor people either in macro level (survey) or micro level (census) and this regulation was not effective in eradicating poverty in Kutai Kartanegara.

Keywords : Local Autonomy, Local Regulation, Poverty Eradication

Intisari

Salah satu tujuan negara kita adalah mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Ketika otonomi daerah diberlakukan, tanggung jawab untuk mensejahterakan masyarakat menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Pemerintah Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara dalam rangka menanggulangi kemiskinan telah mengeluarkan Perda Nomor 2 Tahun 2007. Berdasarkan analisis

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (Studi Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang

1Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara)

Efri Novianto

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas KartanegaraJl. Gunung Kombeng No. 27 Tenggarong,

Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.Telp./Fax: 0541-665123, Email: [email protected]

1 Naskah diterima: 30 Mei 2012, revisi: 7 Agustus 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012180

Page 48: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

data, maka bisa disimpulkan bahwa Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 tidak berjalan dengan baik, hal ini bisa dilihat dengan tidak jalannya beberapa kebijakan dan program. Hal ini disebabkan oleh kualitas Perda Nomor 2 Tahun 2007 kurang baik karena terlalu mengatur hal-hal yang besifat teknis operasional, TKPKD selaku forum koordinasi penanggulangan kemiskinan peran dan fungsinya tidak optimal, masih adanya ego sektoral masing-masing SKPD dalam melaksanakan program penanggulangan kemiskinan, data dan Informasi sebagai landasan penanggulangan kemiskinan adalah data lama sehingga tidak terjamin validitasnya dan anggaran penanggulangan kemiskinan yang rendah dan tidak sebanding dengan jumlah penduduk miskin di Kabupaten Kutai Kartanegara. Hasil pelaksanaan perda ini adalah telah terjadi penurunan jumlah penduduk miskin di Kabupaten Kutai Kartanegara baik secara makro (survei), maupun mikro (sensus). Sementara dari segi efektivitas, Perda ini tidak efektif dalam menanggulangi kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara.

Kata kunci: Otonomi Daerah, Perda, Efektivitas Penanggulangan Kemiskinan

A.PENDAHULUANTujuan setiap negara salah

s a t u n y a a d a l a h b a g a i m a n a menciptakan masyarakatnya sejahtera (Charles E. William dalam Budiarjo, 2004:46). Konstitusi negara kita mengungkapkan hal ini secara jelas dalam pembukaan dan dalam pasal 33 dan 34 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Mengenai bagaimana upaya-upaya yang dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut, maka dijabarkan dalam berbagai kebijakan.

Kebijakan Desentralisasi (Otonomi Daerah) merupakan salah satu upaya untuk mempercepat tujuan negara tersebut. Keberhasilan sebuah daerah dalam mensejahterakan masyarakat bisa dilihat dari angka kemiskinan yang dimiliki.

Kabupaten Kutai Kartanegara adalah salah satu Kabupaten yang menikmati berkah otonomi daerah. Dengan sumber daya alam yang

melimpah, otonomi daerah telah menjadikan Kabupaten ini sebagai daerah terkaya di Indonesia.

APBD Kabupaten Kutai Kartanegara rata-rata sejak tahun 2005 + Rp. 4 Triliun dimana + 70 % berasal dari dana perimbangan. Dana perimbangan yang besar ini didapatkan dari dana bagi hasil pengelolaan sumber daya alam yang ada di Kabupaten Kutai Kartanegara. Kondisi APBD yang besar berbanding terbalik dengan realita kehidupan di Kutai Kartanegara, karena nominal APBD yang besar tidak menjamin rakyat-nya sejahtera.

Berdasarkan data BPS Kutai Kartanegara yang melakukan survei kemiskinan, dengan menggunakan pendekatan rumah tangga pada tahun 2005 sebesar 45.679 rumah tangga miskin. Pada tahun 2008 angka ini menurun menjadi 30.095 rumah tangga miskin. Dengan menggunakan pendekatan yang berbeda (pendekatan

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (Studi Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kuta Kartanegara)

Efri Novianto

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 181

Page 49: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Oleh karena itu, penelitian ini memiliki beberapa tujuan yang ingin dijawab yaitu:1. Untuk menjawab permasalahan

da lam pene l i t i an in i ya i tu mengetahui hasil pelaksanaan dan efektivitas Perda Nomor 2 Tahun 2007 dalam menanggulangi kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara.

2. Sebagai bahan masukan bagi p e m e r i n t a h d a e r a h d a l a m menanggulangi kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara.

C. METODE PENELITIAN1. Pendekatan Penelitian dan

Sumber DataPenelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif, karena menurut p e n u l i s s a n g a t s u l i t u n t u k mengkuantifisir tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini terutama dalam mendeskripsikan apa yang s e h a r u s n y a d i l a k u k a n d a l a m menanggulangi kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara.

Sedangkan metode yang digunakan lebih menekankan pada metode deskriptif karena pendekatan ini lebih peka dalam menangkap berbagai fenomena informasi , khususnya yang berkaitan dengan fokus penelitian. Disamping itu pendekatan ini juga dapat menyajikan bentuk yang menyeluruh dalam menganalisis suatu fenomena sosial. Metode penelitian deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk menemukan pengetahuan seluas-luasnya terhadap objek penelitian pada suatu saat tertentu. penelitian dekriptif bertujuan untuk mendeskripsikan apa-apa yang sudah belaku. Didalamnya terdapat upaya-upaya mencatat,

individu), jumlah penduduk miskin di Kabupaten Kutai Kartanegara pada tahun 2005 berjumlah 73.250 jiwa. Angka ini terus menurun, hingga pada tahun 2009 hanya tersisa 42.480 jiwa.

S e b a g a i p e l a k s a n a a n Desentralisasi, Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara. Setelah 2 (dua) tahun implementasi Perda ini, angka kemiskinan di Kutai Kartanegara masih cukup tinggi (18,22 %). Padahal alokasi anggaran dalam rangka pelaksanaan Perda ini ditetapkan minimal 0,5 % dari total APBD Kutai Kartanegara, artinya setiap tahunnya selalu meningkat seiring dengan meningkatnya APBD.

Atas dasar inilah penulis tertarik untuk melakukan penelitian berkai tan dengan pelaksanaan desentralisasi di Kabupaten Kutai Kartanegara dalam menanggulangi kemiskinan dengan mengangkat judul “ E v a l u a s i K e b i j a k a n Penanggulangan Kemiskinan (Studi Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara)”.

Berdasarkan latar belakang yang penulis kemukakan diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:1. Bagaimana hasil pelaksanaan Perda

Nomor 2 Tahun 2007 dalam menanggulangi kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara?

2. Sejauhmana efektivitas Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2007 dalam menanggulangi kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara?

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (Studi Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kuta Kartanegara)

Efri Novianto

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012182

Page 50: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

dikarenakan daerah ini kaya sumber

daya alam dengan nominal APBD yang

besar setiap tahun-nya, disisi yang lain

angka penduduk miskin di Kabupaten

ini menempati urutan kedua terbanyak

(setelah Kota Samarinda) di Propinsi

Kalimantan Timur.

3. Teknik Pengumpulan DataDalam mengumpulkan data

yang akan mendukung penelitian ini, penulis akan menggunakan beberapa proses dan teknik pengumpulan data, yaitu :a. Data Primer

1. O b s e r v a s i P a r t i s i p a t i f (Participant Observation)

2. Wawancara Mendalam (in-dept Interview)

b. Data SekunderPengumpulan data sekunder yaitu dengan cara melakukan studi literatur dan studi dokumentasi.

4. Fokus PenelitianFokus penelitian ini akan

diarahkan untuk menjawab rumusan masalah yang telah ditetapkan yaitu melakukan evaluasi kebijakan dengan melihat dari:a. Subtansi Kebijakan;b. Pelaksanaan Kebijakan;c. Biaya Kebijakan;d. Hasil yang dicapai.

5. Teknik Analisis DataTeknik analisis data yang

digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif, mengikuti konsep yang diberikan Miles and Huberman (dalam Sugiyono 2005).

menganalisis , mendeskripsikan kondisi-kondisi yang sekarang ini terjadi. Dengan kata lain penelitian deskriptif bertujuan untuk memperoleh informasi-informasi mengenai keadaan saat ini dan melihat kaitan antara variabel-variabel yang ada.

Metode yang digunakan untuk menentukan sumber data dalam penelitian ini adalah Purposive Sampling yaitu teknik penentuan sumber data dengan pertimbangan tertentu, misalnya orang (nara sumber) tersebut dianggap paling tahu tentang apa yang kita harapkan (Sugiyono, 2005:96).

Dengan metode Purposive Sampling maka sumber data dalam penelitian ini adalah para pejabat dinas atau instansi yang diberikan wewenang oleh Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2 0 0 7 d a l a m m e n a n g g u l a n g i kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara. Dinas atau Instansi yang diberikan wewenang tersebut adalah Badan Pemberdayaan Masyarakat, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Tenaga Kerja, Dinas Sosial dan Dinas Perindustrian, Perdagangan & Koperasi. Untuk melihat bagaimana perseps i masyarakat te rhadap penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara, penulis juga mewawacarai Akademisi, Tokoh Masyarakat dan Tokoh LSM yang dianggap mengetahui masalah yang sedang diteliti oleh penulis.

2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di

Kabupaten Kutai Kartanegara Propinsi

Kalimantan Timur. Ketertarikan

penulis untuk mengambil daerah

tersebut sebagai lokasi penelitian

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (Studi Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kuta Kartanegara)

Efri Novianto

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 183

Page 51: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

kesehatan yang buruk dan kekurangan transportasi yang dibutuhkan oleh masyarakat.

BPS dan Depsos (2002:3) mendefinisikan kemiskinan sebagai ketidak mampuan individu dalam memenuhi kebutuhan dasar minimal untuk hidup layak. Yang dimaksud dengan kebutuhan dasar dalam definisi ini meliputi kebutuhan akan makanan, pakaian, perumahan, perawatan kesehatan dan pendidikan.

1.1. Bentuk KemiskinanKemiskinan mempunyai

pengertian yang luas dan tidak mudah untuk mengukurnya. Nasikun (dalam Fahrunsyah dkk, 2008: IV-7) membagi kemiskinan dalam empat bentuk yaitu:a. Kemiskinan absolut yaitu bila

p e n d a p a t a n d i b a w a h g a r i s kemiskinan atau tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja;

b. Kemiskinan relatif yaitu kondisi miskin karena pengaruh kebijakan p e m b a n g u n a n y a n g b e l u m menjangkau seluruh masyarakat, s e h i n g g a m e n y e b a b k a n

B. DASAR TEORI

1. KemiskinanKemiskinan merupakan salah

satu problem sosial yang amat serius. Langka awal yang perlu dilakukan dalam membahas masalah ini adalah mengidentifikasi apa yang dimaksud dengan miskin atau kemiskinan itu dan bagaimana mengukurnya (Usman 2006:125).

Kemiskinan adalah situasi kesengsaraan dan ketidakberdayaan yang dialami seseorang, baik akibat ketidakmampuannya memenuhi kebutuhan hidup, maupun akibat ke t idakmampuan nega ra a t au masyarakat memberikan perlindungan sosial kepada warganya (Suharto 2009:16).

M a f r u h a h ( 2 0 0 9 : 1 ) mendefinisikan kemiskinan sebagai suatu kondisi yang serba terbatas, baik dalam aksesibilitas pada faktor produksi, peluang/ kesempatan berusaha, pendidikan, fasilitas hidup lainnya, sehingga dalam setiap aktifitas maupun usaha menjadi sangat terbatas.

Smeru (da l am Suha r to 2005:134) mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi yang ditandai oleh serba kekurangan pendidikan, keadaan

Data Collection

Data display

Conclusions: Drawing/veri

fying

Data reduction

Gambar 1. Komponen dalam analisis data (interaktif model)

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (Studi Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kuta Kartanegara)

Efri Novianto

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012184

Page 52: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

M a s ' o e d ( 1 9 9 4 : 1 4 ) membedakan kemiskinan menjadi dua bentuk yaitu kemiskinan alamiah berkaitan dengan kelangkaan sumber daya alam dan prasarana umum, serta keadaan tanah yang tandus. Sedangkan kemiskinan buatan lebih banyak diakibatkan oleh sistem modernisasi atau pembangunan yang membuat masyarakat tidak dapat menguasai sumber daya, sarana dan fasilitas ekonomi yang ada secara merata.

S u m o d i n i n g r a t ( d a l a m Mahrufah 2009:9) mengemukakan bentuk kemiskinan yaitu:a. P re s i s t e n t P o v e r t y , y a i t u

kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun. Daerah yang mengalami kemiskinan ini pada umumnya merupakan daerah kritis sumber daya alam atau terisolasi;

b. Cyclical Poverty, yaitu kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan;

c. Seasonal Poverty, yaitu kemiskinan musiman seperti yang sering dijumpai pada kasus-kasus nelayan dan petani tanaman pangan;

d. A c c i d e n t a l P o v e r t y, y a i t u kemiskinan karena terjadi bencana alam atau dampak dari suatu k e b i j a k a n t e r t e n t u y a n g menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat.

D e n g a n m e n g g u n a k a n perspektif yang lebih luas lagi, David Cox (dalam Suharto 2005: 132) membagi kemiskinan kedalam beberapa bentuk yaitu:a. Kemiskinan yang diakibatkan

g l o b a l i s a s i . G l o b a l i s a s i menghasilkan pemenang dan yang kalah. Pemenang umumnya adalah negara-negara maju. Sedangkan

ketimpangan pendapatan;c. Kemiskinan kultural yaitu mengacu

pada persoalan sikap seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh faktor budaya, seperti tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupan, malas, pemboros, tidak kreatif meskipun ada bantuan dari luar;

d. Kemiskinan struktural yaitu situasi miskin yang disebabkan karena rendahnya akses terhadap sumber daya yang terjadi dalam suatu sistem sosial budaya dan sosial politik yang tidak mendukung pembebasan kemiskinan, tetapi sering kali menyebabkan suburnya kemiskinan.

U s m a n ( 2 0 0 6 : 1 2 7 ) menyatakan bahwa konsep kemiskinan absolut dan relatif memiliki banyak kekurangan dalam memahami dan merumuskan kemiskinan. Kemiskinan absolut memiliki kekurangan karena membuat ukuran standar dalam melihat kemiskinan, padahal kebutuhan sandang, papan dan pangan di masing-mas ing daerah be rbeda-beda . K e m i s k i n a n r e l a t i f m e m i l i k i kekurangan karena sangat sulit menentukan bagaimana hidup layak itu, karena belum tentu sesuai dengan komunitas tertentu dan waktu tertentu. Usman selanjutnya mengemukakan konsep kemiskinan subjektif dalam melihat kemiskinan. kemiskinan subjektif dirumuskan berdasarkan perasaan kelompok miskin itu sendiri. Konsep kemiskinan semacam ini d ianggap leb ih t epa t apab i la dipergunakan untuk memahami dan merumuskan cara atau strategi yang efektif untuk penanggulangannya.

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (Studi Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kuta Kartanegara)

Efri Novianto

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 185

Page 53: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

a l a t p roduks i yang t e rba t a s , penguasaan teknologi dan kurangnya keterampilan.

Sharp (da lam Kuncoro 2004:157) mengidentifikasikan penyebab kemiskinan dipandang dari sisi ekonomi. Pertama, secara mikro kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan ditribusi pendapatan yang timpang. Kedua, kemiskinan muncul akibat perbedaan dalam kualitas sumber daya manusia. Ketiga, kemiskinan muncul akibat perbedaan akses dalam modal.

Menurut Kartasasmita (dalam Mahrufah 2009:6) kemiskinan disebabkan oleh sekurang-kurangnya empat penyebab yaitu:a. Rendahnya taraf pendidikan yang

mengak iba tkan kemampuan pengembangan diri terbatas dan menyebabkan sempitnya lapangan kerja yang dapat dimasuki;

b. Rendahnya derajat kesehatan dan gizi yang menyebabkan rendahnya daya tahan fisik, daya pikir dan prakarsa;

c. Terbatasnya lapangan kerja;d. Kondisi keterisolasian yang

menyebabkan mereka su l i t t e r j angkau o l eh pe l ayanan pendidikan, kesehatan dan gerak k e m a j u a n y a n g d i n i k m a t i masyarakat lainnya.

M a h r u f a h ( 2 0 0 9 : 7 ) menyimpulkan bahwa penyebab kemiskinan antara lain:a. Kegagalan kepemilikan, terutama

tanah dan modal;b. Terbatasnya ketersediaan bahan

kebutuhan dasar, sarana dan prasarana;

c. Kebijakan pembangunan yang bias

n e g a r a - n e g a r a b e r k e m b a n g seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan pasar bebas yang merupakan prasyarat globalisasi;

b. Kemiskinan yang berkaitan dengan p e m b a n g u n a n . K e m i s k i n a n subsisten (kemiskinan akibat r e n d a h n y a p e m b a n g u n a n ) , kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran desa dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang disebabkan oleh hakekat dan kecepatan pertumbuhan perkotaan);

c. Kemiskinan sosial. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak dan kelompok minoritas;

d. Kemisk inan konsekuens ia l . Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau faktor-faktor eksternal diluar si miskin, seperti konflik, bencana alam, k e r u s a k a n l i n g k u n g a n d a n tingginya jumlah penduduk.

1.2. Penyebab KemiskinanSen (dalam Suharto 2009:31)

menyatakan bahwa kemiskinan bukan saja dikarenakan tidak adanya sumber-sumber; melainkan tidak adanya hak (entitlement) atas sumber-sumber itu. Kelaparan terjadi seringkali bukan karena tidak cukupnya makanan disuatu wilayah, melainkan karena orang miskin tidak memiliki hak atau t idak diperbolehkan memakan makanan disana. Lebih lanjut Sen mengatakan bahwa konsekuensi dari kemiskinan adalah tidak adanya pilihan bagi penduduk miskin (poverty giving most people no option) untuk mengakses kebutuhan-kebutuhan dasar, misalkan (1) kebutuhan pendidikan; (2) kesehatan; dan (3) kebutuhan ekonomi-kepemilikan alat-

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (Studi Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kuta Kartanegara)

Efri Novianto

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012186

Page 54: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

kerja dan mata pencaharian yang berkesinambungan;

h. Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental;

i. Ketidakmampuan dan ketidak-beruntungan sosial (anak terlantar, wanita korban KDRT, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil).

Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara melalui Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2007 Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara menetapkan indikator kemiskinan sebagai berikut:a. Luas lantai bangunan tempat

2tinggal, kurang 8 m per orang;

b. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/ bambu/ kayu murahan;

c. Jenis dinding tempat tinggal terbuat da r i bambu/ rumbia / kayu berkualitas rendah/ tembok tanpa diplester;

d. Tidak mempunyai fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah tinggal lain;

e. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik;

f. Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/ sungai/ air hujan;

g. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari berasal dari kayu bakar/ arang/ minyak tanah;

h. Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam satu kali dalam seminggu;

i. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun;

j. Hanya sanggup makan satu/ dua kali dalam sehari;

k. Tidak sanggup membayar biaya pengoba t an d i Puskesmas / Poliklinik pemerintah;

perkotaan dan bias sektor;d. Adanya perbedaan kesempatan

diantara anggota masyarakat dan sistem yang kurang mendukung;

e. Adanya perbedaan sumber daya manusia dan perbedaan antara s e k t o r e k o n o m i ( e k o n o m i tradisional vs ekonomi medern);

f. Rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam masyarakat;

g. Budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang mengelola sumber daya alam dan lingkungannya;

h. Tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik (good governance);

i. Pengelolaan sumber daya alam yang ber leb ihan dan t idak berwawasan lingkungan.

1.3. Indikator KemiskinanSmeru (da l am Suha r to

2005:132) menunjukan bahwa kemiskinan memiliki beberapa indikator yaitu:a. Ket idakmampuan memenuhi

kebutuhan konsumsi dasar (pangan, sandang dan papan);

b. K e t i a d a a n a k s e s t e r h a d a p k e b u t u h a n d a s a r l a i n n y a (kesehatan, pendidikan, sanitasi, air bersih, transportasi);

c. Ketiadaan jaminan masa depan (karena tidak adanya investasi untuk pendidikan keluarga);

d. Kerentanan terhadap goncangan yang bersifat individual maupun massal;

e. Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan sumber daya alam;

f. Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan;

g. Ketiadaan akses terhadap lapangan

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (Studi Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kuta Kartanegara)

Efri Novianto

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 187

Page 55: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

makanan dan bukan makanan. Untuk kebutuhan minimum makanan digunakanlah patokan 2.100 kalori per orang perhari yang disetarakan dengan pendapatan tertentu atau pendekatan Bank Dunia yang menggunakan 1 dolar AS per orang perhari.

Sajogyo (dalam Kuncoro 2004:144) mendefinisikan tingkat kemiskinan sebagai tingkat konsumsi perkapita setahun yang sama dengan beras. Dengan kata lain, garis kemiskinan Sajogyo adalah nilai rupiah yang setara dengan 20 Kg beras untuk daerah pedesaan dan 30 Kg beras untuk daerah perkotaan. Hal yang berbeda di kemukakan oleh Hendra Esmara ( d a l a m K u n c o r o 2 0 0 4 : 1 4 5 ) menetapkan suatu garis kemiskinan pedesaan dan perkotaan yang dipandang dari sudut pengeluaran aktual pada sekelompok barang dan jasa esensial.

1.5. Penanggulangan KemiskinanDalam melakukan penang-

gulangan kemiskinan, ada dua teori mendasar yang menjadi rujukan yaitu:a. Teori Neo Liberal

Teori Neo Liberal berakar pada karya politik klasik yang ditulis oleh Thomas Hobbes, Jhon Lock dan Jhon stuar Mill. Intinya menyerukan bahwa komponen penting dari sebuah masyarakat adalah kebebasan individu (Suharto 2005:138).

Para pendukung Neo Liberal berargumen bahwa kemiskinan merupakan masalah individual yang d i s e b a b k a n o l e h k e l e m a h a n -kelemahan dan atau pilihan-pilihan i n d i v i d u y a n g b e r s a n g k u t a n . Kemiskinan akan hilang dengan sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan

l. Sumber penghasilan rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 0,5 ha, buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan atau p e k e r j a a n l a i n n y a d e n g a n pendapatan dibawah Rp. 300.000,- perbulan dan atau memiliki p e n d a p a t a n d i b a w a h g a r i s kemiskinan;

m. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga tidak sekolah/ tidak tamat SD/ hanya SD;

n. Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp. 500.000,- seperti : sepeda motor, emas, ternak, kapal motor atau barang modal lainnya.

1.4. Pendekatan KemiskinanE l l i s ( d a l a m S u h a r t o

2005:133) menyatakan bahwa dimensi kemiskinan menyangkut aspek ekonomi, politik dan sosial-psikologis. Seca ra ekonomis kemisk inan didefinisikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan m e n i n g k a t k a n k e s e j a h t e r a a n sekelompok orang. Sumber daya dalam konteks ini tidak hanya aspek finansial, tetapi juga semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Berdasarkan konsepsi ini, maka kemiskinan dapat diukur secara l angsung dengan mene tapkan persediaan sumber daya yang dimiliki melalui penggunaan standar baku yang dikenal dengan garis kemiskinan (poverty line).

B P S ( d a l a m K u n c o r o 2004:142) menggunakan batas kemiskinan dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (Studi Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kuta Kartanegara)

Efri Novianto

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012188

Page 56: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

kebebasan bearti memiliki kemampuan (capabilities) untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu, misalnya kemampuan un tuk memenuh i kebutuhan dasarnya, kemampuan menghindari kekurangan gizi , kemampuan membaca, menulis dan berkomunikasi. Negara karenanya memiliki peranan dalam menjamin bahwa setiap orang dapat berpartisipasi d a l a m t r a n s a k s i - t r a n s a k s i kemasyarakatan yang memungkinkan mereka menentukan pilihan-pilihan d a n m e m e n u h i k e b u t u h a n -kebutuhannya.

2. Kebijakan PublikD e s e n t r a l i s a s i t e l a h

memberikan kewenangan kepada daerah untuk membuat kebijakan yang berkenaan dengan penanggulangan k e m i s k i n a n . D e n g a n a d a n y a pelimpahan wewenang ini maka tanggung jawab menanggulangi kemiskinan bukan hanya di tangan pemerintah pusat , te tapi juga dipencarkan ke daerah otonom-daerah otonom.

Thomas Dye (dalam Abidin, 2006:20) menyebutkan kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Selanjutnya Anderson (dalam N u r c h o l i s , 2 0 0 5 : 1 5 8 ) mengklasifikasikan kebijakan (policy) m e n j a d i d u a y a i t u s u b t a n t i f menyangkut apa yang seharusnya dikerjakan oleh pemerintah dan prosedural menyangkut siapa dan bagaimana kebi jakan tersebut diselenggarakan.

S u h a r t o ( 2 0 0 9 : 3 3 ) mengatakan bahwa kebijakan publik adalah keputusan-keputusan atau pilihan-pilihan tindakan yang bersifat

pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Secara langsung strategi penanggulangan kemikinan harus bersifat “residual”, sementara dan hanya melibatkan keluarga, kelompok-kelompok swadaya dan lembaga-lembaga keagamaan. Peran negara hanyalah sebagai “penjaga malam” yang hanya boleh ikut campur manakala lembaga-lembaga diatas tidak mampu lagi menjalankan tugasnya (Cheyne, O'Brien dan Belgrave, dalam Suharto 2005:138).

b. Teori Demokrasi-SosialTeori Demokrasi - Sosial

memandang bahwa masalah kemikinan bukanlah masalah indiv idual , malainkan struktural. Kemiskinan disebabkan oleh adanya ketidak-adilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumber-sumber kemasyarakatan. Teori ini berporos pada prinsip-prinsip ekonomi campuran (mixed economic) dan ekonomi manajemen permintaan (demand managemant economics) gaya keynesia yang muncul sebagai jawaban terhadap depresi ekonomi yang terjadi pada tahun 1920-an dan awal 1930-an.

Pendukung Demokrasi-Sosial berpendapat bahwa kesetaraan merupakan prasyarat penting dalam memperoleh kemandi r ian dan kebebasan. Pencapaian kebebasan hanya dimungkinkan jika setiap orang memiliki atau mampu menjangkau sumber-sumber seperti pendidikan, kesehatan yang baik dan pendapatan yang cukup. Kebebasan lebih dari sekedar bebas dari pengaruh luar, melainkan juga bebas menentukan pilihan (choices). Dengan kata lain

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (Studi Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kuta Kartanegara)

Efri Novianto

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 189

Page 57: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

dan dampak (Anderson dalam Winarno 2005:166). Dalam hal ini evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional artinya evaluasi tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, malainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan, meliputi perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi maupun dampak kebijakan.

Menurut Lester dan Stewart (dalam Winarno 2005: 166) evaluasi kebijakan dapat dibedakan kedalam dua tugas berbeda. Tugas pertama a d a l a h u n t u k m e n e n t u k a n konsekuensi-konsekuensi apa yang ditimbulkan oleh suatu kebijakan dengan ca r a menggambarkan dampaknya. Sedangkan tugas kedua adalah untuk menilai keberhasilan atau kegagalan dari suatu kebijakan berdasarkan standar atau kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Tugas pertama merujuk pada usaha untuk melihat apakah program kebijakan publik mencapai tujuan atau dampak yang diinginkan ataukah tidak. Bila tidak, faktor-faktor apa yang menjadi penyebabnya. Tugas kedua dalam evaluasi kebijakan pada dasarnya berkaitan erat dengan tugas yang pertama. Setelah kita mengetahui konsekuensi-konsekuensi kebijakan melalui penggambaran dampak kebijakan publik, maka kita dapat mengetahui apakah program kebijakan yang dijalankan berhasil ataukah gagal. Dengan demikian tugas kedua dalam evaluasi kebijakan adalah menilai apakah suatu kebijakan berhasil atau tidak dalam meraih dampak yang diinginkan.

strategis atau garis besar yang secara langsung mengatur pengelolaan dan pendistribusian sumber daya publik (alam, finansila dan manusia) demi kepentingan rakyat banyak, penduduk, masyarakat atau warga negara. Sebagai keputusan yang mengikat publik, maka kebijakan publik haruslah dibuat oleh mereka yang memegang otoritas politik. Mereka harus menerima mandat dari publik atau orang banyak, umumnya melalui proses pemilihan umum (pemilu) yang bertindak atas nama dan mewakili kepentingan rakyat.

2.1. Evaluasi Kebijakan PublikEvaluasi kebijakan merupakan

tahap akhir dalam proses kebijakan, jika kebijakan dipandang sebagai suatu pola yang berurutan (Winarno 2005: 165). Pada dasarnya kebijakan publik dijalankan dengan maksud-maksud tertentu, untuk meraih tujuan-tujuan tertentu yang berangkat dari masalah-masalah yang telah dirumuskan sebelumnya.

Evaluasi dilakukan karena tidak semua program kebijakan publik meraih hasil yang diinginkan. Seringkali terjadi kebijakan publik gagal meraih maksud atau tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian, evaluasi kebijakan ditujukan untuk melihat sebab-sebab kegagalan suatu kebijakan atau untuk mengetahui apakah kebijakan publik yang telah dijalankan meraih dampak yang diinginkan (JP. Lester dan Joseph Stewart dalam Winarno 2005: 165).

S e c a r a u m u m e v a l u a s i kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang menyangkut subtansi, implementasi

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (Studi Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kuta Kartanegara)

Efri Novianto

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012190

Page 58: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

a. M e n g h e n t i k a n k e b i j a k a n bersangkutan dan menggantinya dengan kebijakan baru;

b. M e n e r u s k a n k e b i j a k a n bersangkutan dengan mengadakan perubahan-perubahan;

c. Menjadikan keberhasilan dari kebijakan sebagai contoh bagi kebijakan lebih lanjut.

2.2. Tipe-Tipe Evaluasi Kebijakan

PublikJames Anderson (dalam

Winarno 2005:167) membagi evaluasi kebijakan dalam tiga tipe yaitu:a. Evaluasi kebijakan dipahami

sebagai kegiatan fungsional yaitu evaluasi kebijakan dipahami sebagai kegiatan yang sama pentingnya dengan kebijakan itu sendiri. Hanya saja evaluasi tipe ini memiliki kelemahan, karena para p e m b u a t k e b i j a k a n d a n administrator dalam membuat pertimbangan mengenai manfaat dan dampak dari kebijakan-kebijakan, program-program dan proyek-proyek berdasarkan pada bukti yang terpisah-pisah dan dipengaruhi oleh ideologi, sehingga mendorong terjadinya konflik karena evaluator-evaluator yang berbeda akan menggunakan kriteria-kriteria yang berbeda, s eh ingga kes impu lan yang didapatkannya pun berbeda mengenai manfaat dari kebijakan yang sama;

b. Evaluasi yang memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan atau program-program tertentu. Tipe evaluasi seperti ini berangkat dari pertanyaan-pertanyaan dasar yang menyangkut: Apakah program dilaksanakan dengan semestinya,

A b i d i n ( 2 0 0 6 : 2 1 1 ) mengatakan evaluasi secara lengkap mengandung tiga pengertian yaitu:a. Evaluasi awal, sejak dari proses

perumusan kebijakan sampai saat sebelum dilaksanakan (ex-ante evaluation);

b. Evaluasi dalam proses pelaksanaan atau monitoring;

c. Evaluasi akhir, yang dilakukan setelah selesai proses pelaksanaan kebijakan (ex-post evaluation).

S e l a n j u t n y a A b i d i n (2006:213) menambahkan bahwa informasi yang dihasilkan dari evaluasi merupakan nilai (values) yang antara lain berkenaan dengan:a. Efisiensi (ef f iciency), yaitu

perbandingan antara hasil dengan biaya;

b. Keuntungan (profitability), yaitu selisih antara hasil dengan biaya;

c. Efektif (effectiveness), yaitu penilaian pada hasil , tanpa memperhitungkan biaya;

d. K e a d i l a n ( e q u i t y ) , y a i t u keseimbangan (proporsional) dalam pembagian hasil (manfaat) dan atau biaya (pengorbanan);

e. Deritments yaitu indikator negatif dalam bidang sosial seperti kriminal dan sebagainya;

f. Manfaat tambahan (marginal rate of return), yaitu tambahan hasil banding biaya atau pengorbanan.

Evaluasi dimaksudkan untuk penyempurnaan atau pembangunan kebijakan, temuan hasil evaluasi digunakan untuk bahan analisis penyempurnaan kebijakan berikutnya. Abidin (2006:230) mengatakan ada tiga kemungkinan tindak lanjut dari hasil evaluasi yaitu:

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (Studi Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kuta Kartanegara)

Efri Novianto

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 191

Page 59: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

keuntungan dari program kebijakan yang telah dijalankan. Evaluasi kebijakan sistematis memberi suatu pemikiran tentang dampak dari kebijakan dan merekomendasikan perubahan-perubahan kebijakan dengan mendasarkan kenyataan yang sebenarnya kepada para pembuat kebijakan dan masyarakat umum.

2.3. Langkah-Langkah Dalam

Evaluasi Kebijakan PublikUntuk melakukan evaluasi

yang baik dengan margin kesalahan y a n g m i n i m a l , p a r a a h l i mengembangkan langkah-langkah dalam evaluasi kebijakan. Salah satu ahli tersebut adalah Edward A. Suchman (dalam Winarno 2005: 169) yang mengemukakan langkah dalam evaluasi kebijakan yakni:a. Mengidentifikasi tujuan program

yang akan dievaluasi;b. Analisis terhadap masalah; c. Deskripsi dan standarisasi kegiatan;d. Pengukuran terhadap tingkatan

perubahan yang terjadi;e. Menentukan apakah perubahan

yang diamati merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena penyebab lain;

f. B e b e r a p a i n d i k a t o r u n t u k menentukan keberadaan suatu dampak.

Selain itu suchman (dalam W i n a r n o 2 0 0 5 : 1 6 9 ) j u g a mengiden t i f ikas ikan beberapa per tanyaan operas ional untuk menjalankan riset evaluasi yakni:a. Apakah yang menjadi isi dari tujuan

program;b. Siapa yang menjadi target program;

Berapa Biayanya, Siapa yang menerima manfaat (pembayaran atau pelayanan) dan berapa jumlahnya. Apakah terdapat duplikasi atau kejenuhan dengan program-program lain, Apakah ukuran-ukuran dasar dan prosedur-prosedur secara sah diikuti.. Dengan m e n g g u n a k a n p e r t a n y a a n -pertanyaan seperti ini dalam m e l a k u k a n e v a l u a s i d a n memfokuskan diri pada bekerjanya kebijakan atau program-program, maka evaluasi dengan tipe ini akan l e b i h m e m b i c a r a n s e s u a t u mengenai kejujuran atau efisiensi dalam melaksanakan program. Kelemahan evaluasi ini adalah i n f o r m a s i y a n g d i h a s i l k a n mengenai dampak suatu program terhadap masyarakat hanya sedikit.

c. Evaluasi kebijakan sistematis. Tipe ini secara komparatif masih dianggap baru, tetapi akhir-akhir ini telah mendapat perhatian yang meningkat dari para peminat kebi jakan publ ik . Evaluas i sistematis melihat secara objektif program-program kebijakan yang di jalankan untuk mengukur dampaknya bagi masyarakat dan melihat sejauh mana tujuan-tujuan yang telah dinyatakan tersebut tercapai. Evaluasi sistematis diarahkan untuk melihat dampak yang ada dari suatu kebijakan dengan berpijak pada sejauh mana kebijakan tersebut menjawab kebutuhan masyarakat. Evaluasi sistematis akan berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan: Apakah keb i j akan yang d i j a l ankan mencapai tujuan sebagaimana yang telah ditetapkan sebelumnya. Berapa biaya yang dikeluarkan serta

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (Studi Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kuta Kartanegara)

Efri Novianto

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012192

Page 60: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

konsekuensi kebijakan dalam bentuk policy feedback termasuk didalamnya reaksi dari tindakan-t i n d a k a n p e m e r i n t a h a t a u p e r n y a t a a n d a l a m s i s t e m pembuatan kebijakan atau dalam pembuat keputusan.

Pada sisi yang lain, dampak dari suatu kebijakan mempunyai beberapa dimensi dan semuanya harus diperhitungkan dalam membicarakan evaluasi (Thomas R. Dye dalam Winarno 2005: 171) yaitu:a. D a m p a k k e b i j a k a n k e p a d a

masalah-masalah publik dan dampak kebijakan kepada orang-orang yang terlibat;

b. Kebijakan-kebijakan mungkin mempunyai dampak pada keadaan-keadaan atau kelompok-kelompok d i luar sasaran a tau tu juan kebijakan;

c. K e b i j a k a n m u n g k i n a k a n mempunyai dampak pada keadaan-keadaan sekarang dan keadaan dimasa yang akan datang;

d. Biaya langsung yang dikeluarkan untuk membiayai program-program kebijakan publik;

e. Biaya t idak langsung yang ditanggung oleh masyarakat atau beberapa anggota masyarakat akibat adanya kebijakan publik.

2.5. M a s a l a h - M a s a l a h D a l a m

Evaluasi KebijakanEvaluasi merupakan proses

yang rumit dan kompleks. Proses ini m e l i b a t k a n b e r b a g a i m a c a m kepentingan individu-individu yang terlibat dalam proses evaluasi. Kerumitan dalam proses evaluasi juga karena melibatkan kriteria-kriteria yang ditujukan untuk melakukan

c. Kapan perubahan yang diharapkan terjadi;

d. Apakah tujuan yang ditetapkan satu atau banyak;

e. Apakah dampak yang diharapkan besar;

f. Bagaimanakah tujuan-tujuan tersebut dicapai;

Menurut Suchman (dalam Winarno 2005: 170), dari keseluruhan tahap yang telah dicantumkan diatas, mendefenisikan masalah merupakan tahap yang paling penting dalam evaluasi kebijakan. Hanya setelah masalah-masalah dapat didefenisikan dengan jelas, maka tujuan dapat disusun dengan jelas pula.

2.4. Dampak Kebijakan PublikEvaluasi kebijakan merupakan

usaha untuk menentukan dampak dari kebijakan pada kondisi-kondisi kehidupan nyata. Evaluasi tentang dampak kebijakan pada dasarnya merupakan salah satu saja dari apa yang bisa dilakukan oleh seorang evaluator dalam melakukan evaluasi kebijakan. Lester dan Stewart (dalam Winarno 2005: 170) menyatakam setidaknya ada tiga hal yang dapat dilakukan oleh seorang evaluator didalam melakukan evaluasi kebijakan publik yaitu:a. Evaluasi kebijakan mungkin

menjelaskan keluaran-keluaran kebi jakan seper t i misa lnya pekerjaan, uang, materi yang diproduksi dan pelayanan yang disediakan;

b. Evaluasi kebijakan barang kali mengenai kemampuan kebijakan dalam memperbaiki masalah-masalah sosial;

c. Evaluasi kebijakan barangkali m e n y a n g k u t k o n s e k u e n s i -

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (Studi Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kuta Kartanegara)

Efri Novianto

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 193

Page 61: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

bentuk yaitu:a. Perubahan inkremental pada

kebijakan yang sudah ada;b. Pembuatan status baru untuk

kebijakan-kebijakan khusus;c. Penggantian kebijakan yang besar

sebagai akibat dari pemilihan umum kembali.

Sementara itu, perbaikan terhadap kebijakan tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perbaikan kebijakan meliputi:a. Kemampuan kebijakan tersebut

dalam memecahkan persoalan;b. Kemampuan kebijakan semacam

itu dikelolah;c. Kelemahan yang mungkin ada

selama proses implementasi kebijakan berlangsung;

d. Kekuatan-kekuatan politik dan k e s a d a r a n d a r i k e l o m p o k -kelompok dimana kebijakan tersebut ditujukan.

C. HASIL PENELITIAN

1. Potret Kemiskinan di Kabupaten

Kutai Kartanegara

Kemiskinan merupakan topik

yang semakin menjadi perhatian,

terlebih sejak terjadinya krisis

ekonomi. Dengan adanya krisis

m e n j a d i k a n a n a l i s i s m a s a l a h

kemiskinan yang komprehensif dan

mendalam jelas sangat diperlukan.

Lebih dari itu, sangat perlu ditelaah

bagaimana dampak krisis pada

penduduk lapisan bawah dari segi

ketahanan pangan, aspek kemampuan

rumah tangga mempertahankan

anaknya untuk tetap sekolah dan tetap

sehat.

evaluasi. Ini bearti kegagalan dalam menentukan kriteria akan menghambat proses evaluasi yang akan dijalankan.

Anderson (dalam Winarno 2005:175) mengidentifikasikan bahwa setidaknya ada enam masalah yang akan dihadapi dalam proses evaluasi kebijakan yakni:a. Ketidakpastian atas tujuan-tujuan

kebijakan;b. Variabel kausalitas yaitu hubungan

kebijakan dengan perubahan-perubahan yang terjadi;

c. Dampak kebijakan yang menyebar;d. K e s u l i t a n - k e s u l i t a n d a l a m

memperoleh data;e. Resistensi pejabat;f. Evaluasi mengurangi dampak.

2.6. Perubahan dan Penghentian

Program KebijakanPada dasarnya suatu evaluasi

kebijakan ditujukan untuk melihat sejauh mana program-program kebijakan yang telah dijalankan mampu menyelesaikan masalah-masalah publik. Ini bearti bahwa evaluasi ditujukan untuk melihat sejauh mana tingkat efektivitas dan efisiensi suatu program kebijakan dijalankan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada. Efektif berkenaan dengan cara yang digunakan u n t u k m e m e c a h k a n m a s a l a h , sedangkan efisien menyangkut biaya-biaya yang dikeluarkan. Konsep perubahan kebijakan merujuk pada penggantian kebijakan yang sudah ada dengan satu atau lebih kebijakan yang lain. Perubahan kebijakan ini meliputi pengambilan kebijakan baru atau merevisi kebijakan yang sudah ada.

Menurut Anderson (dalam Winarno 2005:182), perubahan k e b i j a k a n m e n g a m b i l t i g a

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (Studi Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kuta Kartanegara)

Efri Novianto

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012194

Page 62: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

penurunan angka kemiskinan di

Kabupaten Kutai Kartanegara dimana

pada tahun 2005 sebesar 45.679 RTM

menurun menjadi 30.095 RTM pada

tahun 2010. Indikator yang digunakan

dalam sensus adalah 14 indikator

(sebagaimana Pasal 5 Perda Kab. Kutai

Kartanegara Nomor 2 Tahun 2007)

d i l i h a t d a r i f i s i k b a n g u n a n ,

penghasilan, pengeluaran, pendidikan

dan aset yang dimiliki.

2. Perda Kab. Kutai Kartanegara Nomor 2 Tahun 2007

Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara di tetapkan di Tenggarong tanggal 22 Januari 2007 oleh Bupati Kutai Kartanegara pada waktu itu Prof. Dr. H. Syaukani HR, MM atas persetujuan bersama dengan DPRD Kutai Kar tanegara . Perda in i selanjutnya diundangkan pada tanggal 24 Januari 2007 dan dimuat dalam Lembaran Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2007 Nomor 2. Secara yuridis Perda ini berlaku pada saat diundangkan, artinya pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara di mulai pada tanggal 24 Januari 2007.

Secara historis, Perda ini dimulai pembahasannya sejak tahun 2006, sebagai tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan dan Surat Menteri Dalam Negeri RI Nomor 412.6/3189/SJ tanggal 14 Desember 2005 tentang Panduan Operasional Tim K o o r d i n a s i P e n a n g g u l a n g a n Kemiskinan Daerah.

M e n y a d a r i p e n t i n g n y a

pengentasan kemiskinan, Pemerintah

Kabupaten Kutai Kartanegara melalui

Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2007

tentang Penanggulangan Kemiskinan

di Kabupaten Kutai Kartanegara telah

mengeluarkan program-program

pengentasan kemiskinan untuk

mengangkat masyarakat miskin

tersebut. Namun data tentang jumlah

penduduk dan rumah tangga miskin

yang representatif menurut wilayah

sangat terbatas. Walaupun data yang

dimaksud ada namun keakuratannya

masih dipertanyakan. Salah satu

penyebab adalah hingga saat ini belum

diperoleh secara pasti satu konsep

a t a u p u n m e t o d e p e n g u k u r a n

kemiskinan yang dapat diterima secara

un ive r sa l , mesk ipun masa lah

kemiskinan dipercaya telah ada seusia

peradaban manusia.

Berdasarkan hasil survei yang

dilakukan oleh BPS Kutai Kartanegara,

secara makro penduduk miskin di

Kabupaten Kutai Kartanegara telah

terjadi penurunan yaitu dari 63.500

jiwa (12,59 %) pada tahun 2007

menjadi 54.700 jiwa (8,69 %) pada

tahun 2010. Rata-rata setiap tahun

penurunan penduduk miskin di Kutai

Kartanegara sebesar 2933 jiwa atau

(4,21 %). Indikator yang digunakan

dalam survei kemiskinan dengan

pendekatan makro adalah pengeluaran

makanan dan non makanan penduduk

per jiwa. Berdasarkan hasil sensus yang

juga dilakukan oleh BPS Kutai

Kartanegara dengan pendekatan rumah

tangga miskin, juga telah terjadi

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (Studi Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kuta Kartanegara)

Efri Novianto

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 195

Page 63: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

pembangunan dan memberikan kesempatan berusaha se r ta dukungan permodalan;

c. Melaksanakan pembinaan dan pengembangan potensi sumber kesejahteraan sosial, bantuan dan r e h a b i l i t a s i s o s i a l s e r t a perlindungan dan jaminan sosial untuk mewujudkan kesejahteraan yang memungkinkan setiap warga masyarakat dapat memenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan sosial sebaik-baiknya;

d. Meningkatkan ekonomi warga miskin dengan mengembangkan ekonomi kerakyatan melalui usaha ekonomi produktif, pemanfaatan teknologi tepat guna, peningkatan pemberdayaan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang ditunjang dengan penguatan peran Lembaga Keuangan Mikro (LKM) dan Lembaga Perkreditan Desa (LPD), yang bertumpuh pada mekanisme pasar yang berkeadilan, berbasis pada agribisnis dan sumber daya manusia yang produktif, mandiri tanpa ketergantungan pada pihak lain dan pemerintah.

Sasaran penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara adalah keluarga miskin yang terdata lewat kegiatan pendataan penduduk miskin di Desa atau Kelurahan berdasarkan kriteria atau indikator yang ditetapkan oleh TKPKD Kabupaten Kutai Kartanegara yang selanjutnya diberikan kartu identitas penduduk miskin.

Dari Perda Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara ditetapkan 6 Strategi penanggulangan kemiskinan yaitu:

Dari Perda ini, selanjutnya Pemer in t ah Kabupa t en Ku ta i Ka r t anega ra memben tuk Tim K o o r d i n a s i P e n a n g g u l a n g a n Kemiskinan Daerah (TKPKD) yang di ketuai Wakil Bupati dan Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat sebagai Ketua Pelaksana TKPKD. Dinas atau Ins t ans i d i Kabupa ten Ku ta i Kartanegara sebagai pelaksana teknis yang diberi tugas dan kewenangan untuk menangani kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara, dibawah koordinasi TKPKD. Dinas dan Instansi tersebut adalah Bappeda, Dinas Sosial, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi, Dinas Kesehatan dan Dinas Pendidikan. Tim K o o r d i n a s i P e n a n g g u l a n g a n Kemiskinan Daerah merupakan forum lintas sektor dan lintas pelaku di Kabupaten Kutai Kartanegara yang berfungsi sebagai wadah koordinasi serta penajaman kebijakan dan program-program penanggulangan kemiskinan.

V i s i p e n a n g g u l a n g a n kemiskinan dalam Perda ini adalah Menurunkan angka kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara menjadi dibawah sepuluh persen (10%) pada tahun 2010.

M i s i p e n a n g g u l a n g a n kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara ditetapkan sebagai berikut yaitu:a. Mewujudkan kesejahteraan dan

kemakmuran rakyat dengan perhatian utama pada terwujudnya peningkatan kebutuhan dasar yaitu s a n d a n g , p a n g a n , p a p a n , pendidikan dan kesehatan;

b. Mendorong warga miskin untuk berperan ser ta akt i f dalam

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (Studi Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kuta Kartanegara)

Efri Novianto

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012196

Page 64: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

modal usaha bagi keluarga miskin s e h i n g g a d a p a t m e n c e g a h ketergantungan pada pihak lain atau pemerintah. Dinas atau instansi yang berwenang dengan program ini adalah Dinas Sosial, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop) dan Badan Pemberdayaan Masyarakat;

e. Strategi penunjang pembangunan infrastruktur Per Desaan. Dinas atau instansi yang berwenang dengan program ini adalah Dinas Pekerjaan Umum;

f. Strategi penunjang biaya bantuan rehabilitasi sarana dan prasarana perumahan tidak layak huni. Dinas atau instansi yang berwenang dengan program ini adalah Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan dan Bapemas;

Pembiyaan untuk kegiatan p e n a n g g u l a n g a n k e m i s k i n a n dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Be lan ja Daerah (APBD) Kabupaten Kutai Kartanegara minimal 0,5 % (setengah persen) dari total APBD. Untuk keberhasilan program penanggulangan kemiskinan dan membantu kerja TKPKD, Bupati Kutai Kartanegara selanjutnya membentuk Gugus Tugas (Task Force) Peningkatan Pendayagunaan Potensi Ekonomi Kabupaten Kutai Kartanegara yang terdiri dari tim ahli atau pakar dibidang ekonomi. Tugas dan fungsi Task Force adalah memberikan pemikiran dan rekomendasi kepada TKPKD dalam menanggulangi kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara.

a. S t r a t e g i P e n u n j a n g B i a y a Pendidikan yaitu pemberian bantuan biaya pendidikan bagi anak keluarga miskin yang menempuh pendidikan dari tingkat Taman Kanak-Kanak sampai dengan Perguruan Tinggi dan atau bantuan o p e r a s i o n a l b a g i l e m b a g a pendidikan yang menampung anak keluarga miskin. Dinas atau instansi yang berwenang dengan program ini adalah Dinas Pendidikan;

b. S t r a t e g i P e n u n j a n g B i a y a Pelayanan Kesehatan ya i tu pemberian bantuan pelayanan kesehatan dan pengobatan bagi keluarga miskin yang sedang menderita sakit, baik penyakit ringan yang hanya memerlukan penanganan di Puskesmas maupun penyakit-penyakit khusus yang memerlukan pengobatan dan perawatan baik di Puskesmas maupun Rumah Sakit yang ditetapkan oleh pemerintah daerah. Dinas atau instansi yang berwenang dengan program ini adalah Dinas Kesehatan;

c. S t r a t e g i P e n u n j a n g B i a y a Peningkatan Keterampilan yaitu pemberian bantuan bagi keluarga miskin yang ingin berwirausaha dan atau ingin melakukan kegiatan l a i n n y a d a l a m r a n g k a m e n i n g k a t k a n p e n d a p a t a n keluarganya tetapi masih memiliki keterampilan terbatas. Dinas atau instansi yang berwenang dengan program ini adalah Dinas Tenaga Kerja, Dinas Sosial dan Badan Pemberdayaan Masyarakat;

d. Strategi Pemberian Bantuan Modal Usaha Ekonomi Produktif (UEP) dan atau Usaha Kecil Perdesaan (UKP) yaitu pemberian kemudahan

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (Studi Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kuta Kartanegara)

Efri Novianto

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 197

Page 65: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

ini terlalu mengatur hal-hal yang bersifat teknis operasional misalnya indikator kemiskinan dan program kebijakan penanggulangan kemiskinan yang seharusnya diatur lebih lanjut dalam kebijakan dibawahnya misalnya peraturan Bupati. Karena mengatur h a l - h a l y a n g b e r s i f a t t e k n i s operasional, Perda ini menjadi tidak f l e k s i b e l a t a u k a k u d a l a m pelaksanaanya. Misalnya saja dalam menetapkan rumah tangga yang dianggap miskin dan layak untuk mendapatkan bantuan. Di beberapa d a e r a h d i K a b u p a t e n K u t a i Kartanegara, bentuk kemiskinan berbeda-beda sehingga tidak tepat kiranya kalau indikator kemiskinan di seragamkan bagi seluruh daerah. Dari segi program kebijakan, seharusnya juga tidak dilakukan penyeragaman dalam artian harus disesuaikan dengan bentuk kemiskinan yang dialami oleh si miskin. Kalau seandainya hal-hal yang bersifat teknis operasional ini ditetapkan didalam Peraturan Bupati, maka hal-hal yang bersifat teknis operasional ini bisa cepat dilakukan penyesuain. Sementara itu, karena hal ini telah diatur didalam peraturan d a e r a h , m a k a m e k a n i s m e p e r u b a h a n n y a h a r u s m e l a l u i pembahasan yang panjang di DPRD.

Usulan perubahan Perda Nomor 2 Tahun 2007 sebenarnya sudah diwacanakan pada saat acara sosialisasi dan diseminasi pada tahun 2007 dengan mengundang dinas/ instansi terkait serta masyarakat dunia usaha yang diwakili oleh Kadin, Badan Perwakilan Desa (BPD), akademisi dan Konsultan PNPM. Kesepakatan dari hasil diseminasi adalah melakukan peninjauan ulang Perda tersebut pada tahun 2009, karena Perda ini dianggap

3. H a s i l d a n E f e k t i v i t a s Pelaksanaan Perda Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 2 Tahun 2007

Evaluasi kebijakan merupakan tahap akhir dalam proses kebijakan, jika kebijakan dipandang sebagai suatu pola yang berurutan. Pada dasarnya kebijakan publik dijalankan dengan maksud-maksud tertentu, untuk meraih tujuan-tujuan tertentu yang berangkat dari masalah-masalah yang telah dirumuskan sebelumnya. Evaluasi dilakukan karena tidak semua program kebijakan publik meraih hasil yang di inginkan. Ser ingkal i ter jadi kebijakan publik gagal meraih maksud atau tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian, evaluasi kebijakan ditujukan untuk melihat sebab-sebab kegagalan suatu kebijakan atau untuk mengetahui apakah kebijakan publik yang telah dijalankan meraih dampak yang diinginkan.

Seca ra umum eva lua s i kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang menyangkut subtansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional artinya evaluasi tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan, meliputi perumusan masalah-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi maupun dampak kebijakan. Jadi untuk mengetahui dampak kebijakan merupakan tujuan akhir dari sebuah evaluasi kebijakan.

Dari segi subtansi atau isi, Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2007

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (Studi Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kuta Kartanegara)

Efri Novianto

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012198

Page 66: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Pergant ian Kepala Daerah d i Kabupaten Kutai Kartanegara biasanya di ikuti dengan perubahan struktur pemer in tahan (Mutas i Kepala Dinas/Badan), yang secara otomatis mempengaruhi struktur dan kinerja TKPKD. Hal ini disebabkan karena s t ruk tu r (pe jaba t ) yang ba ru membutuhkan adaptasi lebih lanjut dengan proses kerja TKPKD dalam m e n a n g g u l a n g i k e m i s k i n a n . Terkadang pejabat baru yang masuk dalam struktur TKPKD tidak punya pemahaman yang sama, sehingga menyebabkan kinerja TKPKD dalam menanggulangi kemiskinan menjadi terganggu.

Dengan dibentuknya TKPKD, maka penanggulangan kemiskinan di bawah koordinasi Bapemas, hanya saja belum bisa berjalan efektif karena masih adanya ego sektoral masing-masing SKPD. Forum koordinasi penanggulangan kemiskinan terkadang dianggap sebagai forum biasa, sehingga sering kali yang diutus untuk hadir pada rapat koordinasi bukan para pengambil kebijakan (Kepala Dinas/ Badan), tetapi pejabat-pejabat eselon IV, sehingga pertemuan menjadi tidak efektif. Selain itu juga intensitas pertemuan (koordinasi) TKPKD juga sangat kurang dan hanya dilakukan apabila ada yang akan dibahas.

Seharusnya ego sektoral masing-masing SKPD ini bisa dihilangkan. Tentunya Bupati selaku penanggung jawab yang seharusnya bisa mengarahkan masing-masing SKPD yang tergabung dalam TKPKD meminimalisir ego sektoral tersebut. Misalnya saja dengan membuat Standard Operational Procedure ( S O P ) a t a u p r o s e d u r k e r j a penanggulangan kemiskinan antar

terlalu mengatur hal-hal yang bersifat teknis operasional yang seharusnya di atur lebih lanjut dalam Peraturan Bupati seperti indikator kemiskinan dan program penanggulangan kemiskinan.

Secara legalitas, Perda Nomor 2 Tahun 2007 hingga saat ini masih tetap berlaku, karena sampai sekarang belum ada perda perubahan. Jadi walaupun perda ini direkomendasikan untuk ditinjau ulang, tetapi isi dari perda ini tetap dilaksanakan.

Berdasarkan Perda in i , selanjutnya dibentuk Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan Daerah ( T K P K D ) K a b u p a t e n K u t a i Kartanegara yang terdiri dari Bupati selaku Penanggung Jawab, Wakil Bupati Selaku Ketua, Sekretaris Daerah, Kepala Bappeda dan seluruh Assisten Sekretariat Daerah sebagai Pengarah, Kepala Bapemas sebagai Ketua Pelaksana, Kepala Bidang Usaha Ekonomi Kerakyatan pada Bapemas selaku Sekretaris dan anggota TKPKD terdiri dari Dinas/ Badan/ Instansi Pemerintah terkait, Dunia Usaha, P e r g u r u a n Ti n g g i , L e m b a g a K e m a s y a r a k a t ( O r n o p ) s e r t a stakeholder yang diakomodasikan dalam kelompok kerja (pokja) yang dibentuk dan ditetapkan dalam Keputusan Bupati yang selalu diperbaharui setiap tahunnya.

Setiap Struktur yang masuk dalam TKPKD tidak menyebutkan orangnya, tetapi jabatannya, jadi siapapun yang menjabat maka otomatis masuk dalam struktur TKPKD. Tetapi harus diakui, peralihan kekuasaan (Kepala Daerah) yang terjadi sebanyak 6 (enam) kali dalam periode 2007 sampai 2010 memberikan pengaruh terhadap struktur dan kinerja TKPKD.

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (Studi Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kuta Kartanegara)

Efri Novianto

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 199

Page 67: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

diyakini kebenarannya, sehingga program yang dilakukan terutama yang bersentuhan langsung dengan penduduk miskin (bantuan langsung/ subsidi) sangat mungkin tidak tepat sasaran.

Data kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara juga terjadi perbedaan antara data makro yang diperoleh dari survei dan data mikro y a n g d i p e r o l e h d a r i s e n s u s . Berdasarkan hasil survei kemiskinan, jumlah penduduk miskin Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2008 sebesar 48.160 jiwa atau sebesar 9,29 %. Di tahun yang sama dengan menggunakan sensus, jumlah rumah tangga miskin sebesar 30.095 RTM atau setara dengan 96.344 jiwa (18,22 %). Perbedaan data kemiskinan ini disebabkan karena indikator kemiskinan yang digunakan berbeda, padahal yang melakukan survei maupun sensus adalah lembaga y a n g s a m a ( B P S ) . I n d i k a t o r kemiskinan dengan pendekatan makro (survei) adalah pengeluaran makanan dan non makanan. Sedangkan indikator dengan pendekatan mikro (sensus) adalah 14 indikator sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 5 Perda Kab. Kutai Kartanegara Nomor 2 Tahun 2007.

Berdasarkan hasil sensus kemiskinan yang dilakukan oleh BPS, jumlah penduduk miskin di Kabupaten Kutai Kartanegara telah terjadi penurunan. Pada tahun 2005 jumlah rumah tangga miskin sebesar 45.679 RTM, menurun menjadi 30.095 RTM p a d a t a h u n 2 0 0 8 . A d a d u a kemungkinan yang menyebabkan terjadinya penurunan angka ini, yang pertama disebabkan oleh program-program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan pemerintah, yang

SKPD dibawah koordinasi TKPKD, sehingga ada kesepahaman bersama. Kalau sudah ada kesepahaman bersama (sinergi) terkait penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara, maka tidak ada lagi program kebijakan yang tumpang tindih.

Pasal 6 Perda Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 2 Tahun 2007 mengamanatkan untuk melakukan sensus penduduk setiap tahun atau maksimal 2 tahun sekali. Sensus t e r sebu t d i l akukan o l eh Tim K o o r d i n a s i P e n a n g g u l a n g a n Kemiskinan Daerah (TKPKD) Kabupaten Kutai Kartanegara bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS). Selama Perda ini disah-kan (2007) sampai saat ini (2010) sensus hanya dilakukan satu kali yaitu pada tahun 2008 dan seharusnya kalau mengacu pada pasal 6 perda tersebut diatas, pada tahun ini (2010) harus dilakukan sensus kembali, hanya saja hal tersebut belum bisa dilaksanakan dengan alasan anggaran yang minim. Padahal berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-U n d a n g a n , p a s a l 5 h u r u f d menyebutkan bahwa salah satu asas pembentukan Undang-Undang (Peraturan Daerah) yang baik adalah mampu dilaksanakan.

Survei kemiskinan dilakukan setiap tahun sekali oleh BPS sebagai data pembanding. Untuk program penanggulangan kemiskinan yang ditangani oleh TKPKD, data yang digunakan adalah data sensus. Sementara itu, data sensus terakhir adalah data tahun 2008, sehingga untuk pelaksanaan program tahun 2009 dan 2010 data tersebut tidak bisa lagi

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (Studi Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kuta Kartanegara)

Efri Novianto

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012200

Page 68: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

kesehatan antara pasien umum dan pasien SKTM.

V i s i p e n a n g g u l a n g a n kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 Perda Kab. Kutai Kartanegara Nomor 2 Tahun 2007 adalah jumlah penduduk miskin pada tahun 2010 dibawah 10 %. Secara makro (data survei) visi ini tercapai, dimana penduduk miskin di Kabupaten Kutai Kartanegara pada tahun 2009 hanya sebesar 42.480 jiwa atau 8,03 % dengan garis kemiskinan Rp. 248.249,- perbulan. Tetapi secara mikro, visi ini belum tercapai karena penduduk m i s k i n d i K a b u p a t e n K u t a i Kartanegara masih sebesar 30.095 RTM atau setara dengan 96.344 jiwa (18,22%). Memang data yang terakhir ini (96.344 jiwa/ 18,22 %) tidak perna dilansir oleh BPS ke publik, karena merupakan data rahasia dan hanya akan digunakan apabila ada program yang akan dikeluarkan oleh pemerintah. Untuk tahun 2010, data penduduk miskin baik secara mikro (sensus) maupun makro (survei) te tap menggunakan data tahun sebelumnya, karena hingga saat ini baik sensus maupun survei kemiskinan belum dilakukan.

TKPKD bekerja berdasarkan data mikro atau hasil sensus. Berdasarkan data mikro tadi, maka dibuatlah program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan.

Pada umumnya strategi dan program penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara sudah berjalan, hanya saja strategi dan program penanggulangan kemiskinan yang telah dilaksanakan tidak mengacu pada pasal 10 Perda Kab. Kutai Kartanegara Nomor 2 Tahun 2007.

kedua disebabkan oleh kesalahan da l am menggunaan ind ika to r kemisk inan an ta r wi layah d i Kabupaten Kutai Kartanegara, terutama untuk mengukur kemiskinan relatif.

Setelah sensus penduduk miskin dilaksanakan, maka setiap penduduk miskin yang terdata akan diberikan kartu identitas penduduk miskin. Kartu identitas penduduk miskin ini dapat digunakan untuk mengakses program layanan bagi penduduk miskin seperti pelayanan kesehatan dan beras miskin. Hanya saja kartu identitas penduduk miskin ini tidak perna diberikan kepada para penduduk miskin yang terdata. Padahal kartu tersebut bisa digunakan oleh penduduk miskin untuk mengakses layanan subsidi yang disediakan oleh pemerintah, misalnya saja layanan pengobatan gratis. Alasan kartu identitas miskin ini tidak diberikan karena pemerintah pusat melarang hal tersebut.

Untuk mengatasi hal ini, pemerintah daerah dalam hal ini Dinas Kesehatan mengeluarkan kebijakan subsidi pelayanan kesehatan bagi para penduduk miskin dengan cara meminta Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari kecamatan tempat penduduk miskin tersebut berdomisili. Dinas Kesehatan hanya menanggung 50 % dari biaya pengobatan terhadap penduduk miskin yang menggunakan SKTM. Hanya saja berdasarkan hasil temuan dilapangan, pelayanan kesehatan yang diberikan kepada p e n d u d u d u k m i s k i n y a n g menggunakan SKTM terkesan kurang maksimal dan kurang baik, hal ini bisa dilihat dari lambannya penanganan dan diskriminasi dalam proses pelayanan

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (Studi Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kuta Kartanegara)

Efri Novianto

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 201

Page 69: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Kabupaten Kuta i Kar tanegara d i t e t a p k a n s e b e s a r R p . 104.053.796.000,- (2,77 %) dari total APBD tahun 2008 sebesar Rp. 3.750.368.791.453. Kalau dilihat dari persentase minimal yang telah ditetapkan, alokasi anggaran ini sudah lebih dari 0,5 % dari total APBD Kabupaten Kutai Kartanegara, hanya saja anggaran ini masih terlalu kecil jika dibandingkan dengan total APBD pada tahun 2008 yang mencapai Rp. 3,75 Triliun. Kalau seandainya alokasi anggaran untuk penanggulangan kemiskinan ini dibagi secara merata ke-setiap penduduk miskin di Kabupaten Kutai Kartanegara pada tahun 2008 (96.344 jiwa), maka setiap penduduk miskin di Kutai Kartanegara akan mendapatkan alokasi anggaran sebesar Rp. 1.080.023,- per tahun. Selanjutnya, apabila alokasi anggaran ini di breakdown lagi, maka Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara hanya mengalokasikan anggaran untuk setiap penduduk miskin sebesar Rp. 3000,- per hari. Seharusnya anggaran ini bisa d ipe rbesa r, meng inga t APBD Kabupaten Kutai Kartanegara yang mencapai 3 Triliun setiap tahunnya.

Alokasi anggaran yang disediakan untuk TKPKD juga masih terlalu minim. Padahal TKPKD m e r u p a k a n u j u n g t o m b a k penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara. Untuk tahun anggaran 2008, pemerintah daerah hanya mengalokasikan anggaran sebesar Rp. 500 juta, tahun 2009 turun menjadi Rp. 330 juta dan tahun 2010 sebesar Rp. 438 juta. Anggaran ini digunakan untuk melakukan sensus penduduk miskin bekerjasama dengan BPS, evaluasi program penanggulangan kemiskinan

Pelaksanakan program tersebut dilaksanakan secara lintas SKPD, dibawah koordinasi SKPD masing-masing. Hanya saja banyak diantara program-program tersebut tidak perna dikoordinasikan sebelumnya melalui forum TKPKD. Sehingga ada program atau kegiatan yang tumpang tindih (overlap) yang berakibat pada in-efisiensi anggaran karena muatannya sama tetapi dikerjakan oleh SKPD yang berbeda. Contoh kasus misalnya program Pemugaran/ Renovasi Rumah Penduduk Miskin, Petani dan Nelayan, dimana instansi yang melaksanakan program ini ada Bapemas, Disnakertras dan Disperindagkop. Seharusnya forum koordinasi TKPKD ini bisa o p t i m a l k a n , s e h i n g g a b i s a meminimalisir tumpang t indih program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan.

Anggaran yang disediakan oleh Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara untuk menanggulangi kemiskinan pada tahun 2008 sebesar Rp. 104.053.796.000,-. Anggaran ini meningkat dari tahun sebelumnya (2007) dimana hanya dialokasikan sebesar Rp. 89.916.29.576,-. Selain d a r i A P B D K a b u p a t e n , penanggulangan kemiskinan juga berasal dari APBD Propinsi dan APBN. Pada tahun 2008 APBD Propinsi mengalokasikan anggaran sebesar Rp. 3,16 Milyar dan APBN Rp. 77,39 Milyar.

Berdasarkan Pasal 18 ayat (2) Perda Kab. Kutai Kartanegara Nomor 2 Tahun 2007, pembiayaan kegiatan p e n a n g g u l a n g a n k e m i s k i n a n ditetapkan minimal 0,5 % dari total APBD Kabupaten Kutai Kartanegara. Pada tahun 2008 pembiayaan kegiatan penanggulangan kemiskinan di

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (Studi Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kuta Kartanegara)

Efri Novianto

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012202

Page 70: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

menurun pada tahun 2008 menjadi 30.095 RTS (96.344 jiwa) atau 18,22 %.

Had i rnya p rog ram dan kebijakan penanggulangan kemiskinan sebagaimana yang telah di tetapkan dalam Perda Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 2 Tahun 2007 mendapat sambutan yang antusias dari masyarakat. Hanya saja untuk program-program yang bersifat bantuan langsung dan subsidi telah m e n i m b u l k a n m o r a l h a z a rd masyarakat untuk mendapatkan program penanggulangan kemiskinan, misalnya saja SKTM, SWTM, Raskin dan lain sebagainya. Akibatnya banyak masyarakat yang secara indikator tidak tergolong miskin, tetapi karena adanya program tersebut mengaku menjadi miskin.

Dari segi efektivitas, jika kita membandingkan jumlah penduduk miskin antara sebelum dan sesudah perda ini dilaksanakan dimana telah terjadi penurunan jumlah penduduk miskin, maka Perda Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 2 Tahun 2007 efektif menurunkan angka kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara. Hanya saja sangat sulit mengukur berapa persen penurunan angka kemiskinan ini disebabkan oleh Perda ini, karena kebijakan penanggulangan kemiskinan juga ada dari pemerintah pusat. Tetapi jika kita membandingkan penurunan jumlah penduduk miskin d e n g a n v i s i p e n a n g g u l a n g a n kemiskinan yang telah ditetapkan dalam Pasal 4 ayat (1) Perda Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 2 Tahun 2007, maka bedasarkan data mikro (sensus) Perda ini tidak efektif dalam menanggulangi kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara.

yang dilaksanakan oleh SKPD dan pembiayaan lainnya terkait koordinasi penanggulangan kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara.

Disamping TKPKD, ada lembaga lain yang juga mempunyai peran yang sangat strategis dalam penanggulangan kemiskinan di Kutai Kartanegara. Berdasarkan Pasal 20 Perda Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 2 Tahun 2007, untuk keberhasilan program penanggulangan kemiskinan, Bupati Kutai Kartanegara membentuk gugus tugas (Task Force) peningkatan pendayagunaan potensi ekonomi Kabupaten Kutai Kartanegara yang berfungsi memberikan pemikiran atau rekomendasi kepada TKPKD. Task Force sendiri terdiri dari para pakar atau ahli di bidang ekonomi, hanya saja lembaga ini tidak berumur panjang seiring dengan lengsernya Bupati Kutai Kartanegara Syaukani HR pada September 2007. Bubarnya Task Force sebe tu lnya t i dak mengganggu kinerja penanggulangan kemiskinan secara langsung, hanya saja tim yang bisa memberikan pemikiran dan rekomendasi menjadi tidak ada.

Hasil yang dicapai dari pelaksanaan Perda Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 2 Tahun 2007 adalah terjadinya penurunan angka penduduk miskin di Kabupaten Kutai Kartanegara. Secara makro (survei) jumlah penduduk miskin di Kabupaten Kutai Kartanegara (2009) berjumlah 42.480 jiwa atau 8,03 % menurun dari tahun sebelumnya (2005) sebesar 73.250 jiwa atau 14,44 %. Secara mikro (sensus) jumlah penduduk miskin di Kutai Kartanegara juga telah terjadi penurunan dimana pada tahun 2005 berjumlah 45.679 RTS (146.629 jiwa)

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (Studi Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kuta Kartanegara)

Efri Novianto

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 203

Page 71: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

m e n i n g k a t k a n a n g g a r a n penanggulangan kemiskinan;

DAFTAR PUSTAKAAbidin, Said Zainal. 2006. Kebijakan

Publik. Jakarta: Suara Bebas.Anonim. BPS Kutai Kartanegara. 2008.

Monografi Daerah Kab. Kukar. Tenggarong: BPS.

---------- BPS Kutai Kartanegara. 2009. Indikator Pembangunan M a n u s i a K a b . K u k a r. Tenggarong: BPS.

---------- BPS Kutai Kartanegara. 2009. Survei Sosial Ekonomi Daerah Kab. Kukar. Tenggarong: BPS.

---------- KUA PPAS RAPBD Kutai Kartanegara tahun 2010.

- - - - - - - - - - LKPJ Bupa t i Kuta i Kartanegara Akhir TA. 2005-2010.

Budiarjo, Miriam. 2004. Dasar-Dasar I l m u P o l i t i k . J a k a r t a : Gramedia Pustaka Utama.

Kuncoro, Mudrajad .2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah. Jakarta: Erlangga.

Mafruhah, Izza. 2009. Multidimensi Kemiskinan. Surakarta: UNS Press.

Mas'oed, Mochtar. 1994. Ekonomi Politik Internasional dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Miles, Matthew B. & Huberman, A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitiatif. Jakarta: UI-Press.

Moleong, Lexy J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif, PT. R e m a j a R o s d a k a r y a , Bandung. N u r c h o l i s . Hanif. 2005. Teori dan Praktik; Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Jakarta: Grasindo.

D. PENUTUP1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis data yang telah penulis lakukan mengenai hasil pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 da l am menanggu langan kemiskinan di Kabupaten Kutai Kartanegara, maka bisa disimpulkan bahwa:1. Telah terjadi penurunan jumlah

penduduk miskin di Kabupaten Kutai Kartanegara baik secara makro (survei), maupun mikro (sensus);

2. Perda Nomor 2 Tahun 2007 tidak efektif dalam menanggulangi kemiskinan di Kutai Kartanegara k a r e n a p e n u r u n a n j u m l a h kemiskinan tidak mencapai target yang telah ditetapkan.

2. SaranDari kesimpulan tersebut

diatas, maka penulis dapat memberikan beberapa saran yaitu:a. Kepada Pemerintah Kabupaten

Kutai Kartanegara segera merevisi Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2007 karena terlalu mengatur hal-hal yang bersifat teknis operasional;

b. Kepada Bupati Kutai Kartanegara selaku penanggung jawab TKPKD u n t u k m e m b u a t S t a n d a rd operational procedure (SOP) penanggulangan kemiskinan, sehingga peran TKPKD selaku forum koordinasi penanggulangan kemiskinan bisa dioptimalkan;

c. Kepada TKPKD dan BPS untuk segera melakukan pendataan (sensus) kemiskinan di Kutai Kartanegara;

d. Kepada Pemerintah Kabupaten K u t a i K a r t a n e g a r a u n t u k

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (Studi Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kuta Kartanegara)

Efri Novianto

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012204

Page 72: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Rakyat. Bandung: Aditama.----- - - - - - - - - - - - . 2005. Analis is

Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.

----------------. 2009. Kemiskinan & Perl indungan Sosial d i Indonesia. Bandung: Alfabeta.

Usman, Sunyoto. 2006. Pembangunan d a n P e m b e r d a y a a n Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Winarno, Budi. 2005. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo.

Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Adminis t ras i . Bandung: Alfabeta.

Peraturan Daerah Kab. Kutai Kartanegara Nomor 2 Tahun 2007.

Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945.Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun

2004. - - - - - - - - - - - - - . 2 0 0 5 . M e m a h a m i

P e n e l i t i a n K u a l i t a t i f , Alfabeta, Bandung.

Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan

EVALUASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN (Studi Pelaksanaan Perda Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Kuta Kartanegara)

Efri Novianto

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 205

Page 73: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Abstract.

.

Fisheries resources are spread across the territory of Indonesia, if not managed sustainably will become extinct. The efforts made by the government, is to make regulation that establishes a territory become a conservation area/protected. The purpose of this study is to assess the conservation regulations contained in the UU No. 27/2007, PP No. 60/2007, and UU No. 45/2009. Analysis of study is conducted qualitatively using normative juridical approach, through by desk study. The result shows that the terminology of conservation according to the those regulations, can not provide sufficient understanding of the term conservation; the role of local government and indigenous/local, is still not transparent governance in the field governed, as well as the distribution of rights over the territory that has been used as a conservation area. Improving the conservation management of marine and fisheries regulation can be done by reflecting the planning and good, community empowerment, collaborative institutional, policy and fair regulations, and improving the quality of human resources. UU No. 27/2007, PP No. 60/2007, and UU No. 45/2009, need to be revised in order to build sustainable conservation areas and create justice.

Keywords : Regulation, Conservation, Marine and Fishery

Intisari

Sumber daya perikanan yang tersebar di wilayah Indonesia, jika tidak dikelola secara lestari akan punah. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah, adalah membuat peraturan yang menetapkan suatu wilayah menjadi kawasan konservasi/dilindungi. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji ketentuan konservasi yang termuat di dalam UU No. 27/2007, PP No. 60/2007, dan UU No. 45/2009. Analisa kajian dilakukan secara kualitatif dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif, melalui studi kepustakaan. Hasil kajian menunjukkan, bahwa terminologi konservasi menurut ketiga peraturan tersebut, belum bisa memberikan pemahaman yang cukup mengenai istilah konservasi; peran pemerintah daerah dan masyarakat adat/lokal masih belum transparan diatur tata

KEBIJAKAN PENGELOLAAN KONSERVASI 1KELAUTAN DAN PERIKANAN

Radityo Pramoda dan Sonny Koeshendrajana

Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Kelautan dan PerikananJl. KS. Tubun Petamburan VI, Jakarta – 10260

Telp. 021 53650162/Fax. 021 53650159

1 Naskah diterima: 28 Februari 2012, revisi: 27 Juni 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012206

Page 74: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

kelolanya di lapangan, serta pembagian hak atas wilayah yang telah dijadikan kawasan konservasi. Pembenahan pengelolaan konservasi kelautan dan perikanan, dapat dilakukan dengan merefleksikan perencanaan dan penataan ruang yang baik, pemberdayaan masyarakat, kelembagaan kolaboratif, kebijakan dan peraturan yang adil, serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia. UU No. 27/2007, PP No. 60/2007, dan UU No. 45/2009, perlu untuk direvisi agar dapat membangun kawasan konservasi yang berkelanjutan serta menciptakan keadilan.

Kata kunci: Peraturan, Konservasi, Kelautan dan Perikanan

A.PENDAHULUANPotensi sumber daya pada

suatu wilayah, merupakan kekayaan yang dikuasai negara dan perlu dijaga kelestariannya, serta dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat. Hal ini sesuai dengan amanat Pasal 33, Ayat (3), Bab XIV, Undang-undang Dasar 1945: “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya d i k u a s a i o l e h n e g a r a d a n dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Ketentuan pasal tersebut , merupakan landasan konstitusional dan menjadi garis petunjuk pengaturan berbagai hal yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya. Merujuk kepada hal itu, pada tanggal 17 Juli 2007, pemerintah mengundangkan UU No. 27 Tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (P3K) (UU No. 27/2007). UU No. 27/2007, secara umum memuat ketentuan pengelolaan wilayah P3K sebagai proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya.

Sumber daya yang dimaksud UU ini, yaitu: sumber daya hayati, sumber daya non hayati, sumber daya buatan, dan jasa lingkungan. Salah satu sumber daya yang penting untuk diatur

tata kelolanya adalah sektor perikanan. Upaya pengaturannya, ditindaklanjuti dengan menetapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 60 Tahun 2007, tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (PP No. 60/2007), pada tanggal 16 November 2007. PP No. 60/2007, merupakan aturan teknis mengenai upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga dan menangani keberlanjutan sumber daya ikan. P o t e n s i s u m b e r d a y a i k a n membutuhkan pembangunan sistem hukum secara holistik, agar dapat menciptakan ketert iban dalam manajemennya.

Pemberdayaan hukum yang dilakukan pemerintah sebagai politik pembangunan konservasi, bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat atas dasar partisipatif aktif, bebas, dan bermanfaat. Pemberdayaan perlu dilakukan, guna menindaklanjuti belum meningkatnya kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan. Parameter tersebut menjadi dasar lahirnya UU No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 (UU No. 31/2004), tentang Perikanan (UU No. 45/2009), yang tercantum pada bagian menimbang huruf b:

KEBIJAKAN PENGELOLAAN KONSERVASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Radityo Pramoda dan Sonny Koeshendrajana

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 207

Page 75: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012208

B. METODE PENELITIAN

1. Kerangka Berpikir

Konsepsi perlindungan dan

pelestarian merupakan kebijakan yang

inheren dan te lah ada dalam

pengelolaan sumber daya alam (SDA),

termasuk kebijakan perlindungan

keanekaragaman hayati yang sudah ada

sejak dahulu. Gejala degradasi sumber

daya kelautan dan perikanan yang

potensial, mengharuskan adanya

penetapan wilayah sebagai kawasan

konservasi.

Menindaklanjut i hal tersebut ,

pemerintah menerbitkan UU No.

27/2007, PP No. 60/2007, dan UU No.

45/2009, sebagai landasan hukum

penetapan dan panduan dalam

pengelolaan, serta pemanfaatan

kawasan konservasi. Salah satu faktor

penting keberhasilan pengelolaan

kawasan konservasi adalah adanya

peran serta masyarakat, khususnya

masyarakat lokal/adat sebagai pemilik

wilayah. Menurut Canter dalam

Sembiring et al. (2011), peran serta

masyarakat akan dapat meningkatkan

kualitas keputusan pemerintah dan bisa

mereduksi kemungkinan munculnya

konflik, karena menghasilkan tingkat

penerimaan keputusan yang lebih besar

pada masyarakat.

Dilibatkannya masyarakat

lokal/adat dalam pengelolaan kawasan

konservasi, merupakan pengertian

Konservasi sebagai upaya

melestarikan dan memanfaatkan fungsi

ekosistem, merupakan kegiatan

melindungi habitat penyangga

kehidupan biota perairan pada masa

s e k a r a n g d a n a k a n d a t a n g .

“. . . . . bahwa pemanfaa tan sumber daya ikan belum memberikan peningkatan taraf hidup yang berkelanjutan dan b e r k e a d i l a n m e l a l u i p e n g e l o l a a n p e r i k a n a n , pengawasan , dan s i s tem p e n e g a k a n h u k u m y a n g optimal”.

K e b e r a d a a n k a w a s a n konservasi sangat diperlukan untuk menjaga keberlangsungan sumber daya ikan, agar dapat berkontribusi terhadap masyarakat kelautan dan perikanan. Paradigma ekonomi dalam angka yang dijadikan dasar mengelola sumber daya ikan selama ini, harus segera diseimbangkan dengan menekan berbagai kemungkinan dampak negatif.

Keberadaan UU No. 27/2007, PP No. 60/2007, dan UU No. 45/2009, menjadi penting sebagai penjaga nilai strategis wilayah konservasi untuk menselaraskan pembangunan dengan pelestarian. Berbagai peraturan nasional dan konvensi internasional telah ditetapkan dan disahkan oleh pemerintah, akan tetapi permasalahan konservasi sampai saat ini belum dapat diatasi. Permasalahan tersebut, seperti berkurangnya potensi sumber daya dan rusaknya lingkungan perairan akibat kegiatan penangkapan ikan yang berlebihan. Menurut Supriatna (2008), pengelolaan sumber daya harus lestari d a n b e r k e l a n j u t a n , s e h i n g g a manfaatnya dapat dinikmati generasi penerus. Berdasarkan paparan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji ketentuan konservasi yang termuat di dalam UU No. 27/2007, PP No. 60/2007, dan UU No. 45/2009.

KEBIJAKAN PENGELOLAAN KONSERVASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Radityo Pramoda dan Sonny Koeshendrajana

Page 76: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

d e n g a n b a i k k e l e s t a r i a n n y a .

Pengetahuan lokal dalam konteks

konservasi, berkaitan dengan upaya

masyarakat lokal dalam mengelola

serta memanfaatkan sumber dayanya

secara lestari untuk kesejahteraan.

Kerangka berpikir kajian pengelolaan

konservasi kelautan dan perikanan

berdasarkan UU No. 27/2007, PP No.

60/2007, dan UU No. 45/2009, dapat

dilihat pada Gambar 1.

sederhana peran serta masyarakat.

Kearifan lokal yang tumbuh dalam tata

laku masyarakat, secara tidak langsung

dapat menyeimbangkan lingkungan

sumber daya di wilayah konservasi.

Keseimbangan dapat tercapai, karena

adanya harmonisasi pengelolaan yang

baik dan pemanfaatan yang bijaksana

oleh masyarakat sekitar. Kondisi ini

menyebabkan, wilayah yang dijadikan

kawasan konservasi tetap dapat terjaga

Gambar 1. Kerangka Berpikir Kajian Kebijakan Pengelolaan Konservasi Kelautan dan Perikanan

diinterpretasikan menggunakan teori

yang relevan dan dikaitkan dengan

kondisi konservasi yang berkembang.

Keluaran interpretasi tersebut

dirangkum menjadi kajian hukum dan

wacana kebijakan lanjutan, dalam

m e n d o r o n g p e r b a i k a n /

perubahan/pembuatan berbagai

ketentuan yang terkait dengan kawasan

konservasi kelautan dan perikanan, ke

arah yang lebih baik.

2. Pendekatan Penelitian

Penelusuran dan pengkajian

materi ketentuan UU No. 27/2007, PP

No. 60/2007, dan UU No. 45/2009,

dilakukan secara kualitatif dengan

menggunakan pendekatan yuridis

normatif. Studi dokumen terhadap

materi ketiga peraturan tersebut,

difokuskan untuk menggali informasi

mengenai konservasi. Hasil kajian

y a n g d i p e r o l e h , s e l a n j u t n y a

KEBIJAKAN PENGELOLAAN KONSERVASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Radityo Pramoda dan Sonny Koeshendrajana

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 209

Page 77: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

kedaulatan bangsa. Potensi yang

dimiliki tersebut, harus dikelola secara

berkesinambungan dan berwawasan

global dengan memperhatikan aspirasi,

partisipasi masyarakat, serta nilai

bangsa berdasarkan hukum nasional.

Pembangunan kelautan dan perikanan

yang diatur di dalam UU No. 27/2007,

secara umum mengacu kepada Pasal

33, Ayat (3), UUD '45. Siombo (2010),

mengemukakan pengaturan wilayah

pengelolaan perikanan dimaksudkan

agar tercapai pemanfaatan yang

optimal, serta terjaminnya kelestarian

sumber daya ikan dan lingkungannya.

Wilayah yang mempunyai SDA

potensial, biasanya merupakan daerah

pusat pertumbuhan ekonomi yang

mempunyai populasi penduduk padat.

K o n d i s i t e r s e b u t ,

menimbulkan tekanan terhadap SDA

yang ada dan menyebabkan kerusakan

ekosistem lingkungan. Penerapan

sistem pengelolaan wilayah P3K

selama ini belum dapat mengeliminir

kerusakan, serta memberi kesempatan

SDA yang dikelola untuk pulih kembali

secara alami dan disubstitusi. Supriatna

(2008), berpendapat bahwa pelestarian

sumber daya harus memperhatikan

spesies komunitas, habitat, dan

geografi. Cara yang paling efisien

untuk menampung spesies dalam

jumlah besar pada kawasan yang

minimal, adalah dengan memberikan

p r i o r i t a s p a d a a r e a d e n g a n

keanekaragaman yang tinggi. Materi

UU No. 27/2007, dimaksudkan untuk

menjaga kelestarian ekosistem P3K;

melindungi alur migrasi ikan dan biota

3. Metode Pengumpulan Data

Data pene l i t i an berupa

peraturan pengelolaan konservasi

kelautan dan perikanan, dikumpulkan

m e n g g u n a k a n m e t o d e d e s k

study/kepustakaan, melalui UU No. 27

Tahun 2007, tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia No. 60 Tahun 2007, tentang

Konservasi Sumber Daya Ikan; dan UU

No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan

atas UU No. 31 Tahun 2004 (UU No.

31/2004), tentang Perikanan.

4. Metode Analisis Data

Data penelitian mengenai

ketentuan konservasi kelautan dan

perikanan, dianalisis menggunakan

metode deskriptif. Metode ini dipilih

untuk menggambarkan pengaturan

konservasi berdasarkan UU No.

27/2007, PP No. 60/2007, dan UU No.

45/2009; kebijakan tata kelola kawasan

konservasi menurut UU No. 27/2007,

PP No. 60/2007, dan UU No. 45/2009;

serta kelemahan UU No. 27/2007, PP

No. 60/2007, dan UU No. 45/2009,

dalam mengakomodasi ketentuan

konservasi.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. P e n g a t u r a n K o n s e r v a s i

Berdasarkan UU No. 27/2007

Lahirnya UU No. 27/2007,

dilatarbelakangi bahwa wilayah P3K

merupakan bagian SDA yang menjadi

potensi kekayaan dan berguna bagi

pengembangan sosial, ekonomi,

budaya, lingkungan, serta penyangga

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012210

KEBIJAKAN PENGELOLAAN KONSERVASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Radityo Pramoda dan Sonny Koeshendrajana

Page 78: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

sumber daya dan sistem ekologi

lingkungan. Pembentukan kawasan

konservasi, mutlak diperlukan dalam

mengoptimalkan pemanfaatan sumber

daya yang terkandung di wilayah

kawasan tersebut. Lingkup pengaturan

tata ruang konservasi dalam UU No.

27/2007, dapat dilihat pada Tabel 1.

laut lain; melindungi habitat biota laut;

serta melindungi situs budaya

tradisional.

Penataan Ruang Wilayah Konservasi

Penataan ruang pengelolaan

P3K melalui UU No. 27/2007,

mempunyai tujuan untuk melindungi

Tabel 1. Penataan Ruang Konservasi P3K

Pengelolaan Konservasi P3K Wilayah Ruang Lingkup

Pesisir

Ruang lautan

yang masih dipengaruhi oleh kegiatan di daratan dan ruang daratan yang masih terasa pengaruh lautnya

Pulau-pulau

kecil

Perairan sekitar pulau kecil yang merupakan satu kesatuan dan mempunyai potensi cukup besar, yang pemanfaatannya berbasis sumber daya, lingkungan, dan masyarakat

serta proses menghubungkannya dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas. Pengertian tersebut menegaskan, bahwa untuk mengelola pembangunan sumber daya secara optimal dibutuhkan pemahaman secara menyeluruh, tentang dinamika dan struktur ekosistem wilayah P3K. Berdasarkan ketentuan UU No. 27/2007, kewenangan teknis dalam menata pengelolaan untuk menjamin pengembangan kawasan konservasi diserahkan kepada pemerintah daerah.

P e n g e l o l a a n k a w a s a n konservasi kelautan dan perikanan oleh pemerintah daerah mungkin dapat lebih baik, karena cenderung lebih memahami wilayahnya dan berada dekat dengan objek konservasi itu send i r i . Penge lo laan wi layah konservasi dapat berhasil, apabila pemerintah daerah dengan melibatkan masyarakat lokal diberikan wewenang

Tabel 1 , menunjukkan bahwa pengaturan ruang konservasi P3K ditetapkan sejauh 12 mil (diukur dari garis pantai), sedangkan ke arah daratan ditetapkan sesuai batas kecamatan untuk kewenangan provinsi.

Paradigma KonservasiKonservasi menurut UU No.

27/2007, menunjukkan bahwa keunikan wilayah P3K yang rentan konflik dan akses pemanfaatan yang terbatas oleh masyarakat kelautan dan perikanan, wajib dikelola dengan baik. Pengelolaan yang baik, mempunyai tujuan agar dampak aktivitas manusia dapat dikendalikan dan keberadaan suatu wilayah konservasi dapat dipertahankan ekosistemnya. Menurut Dahuri et al. (2008), ekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuhan, hewan, organisme dan non organisme lain,

Sumber: UU No. 27/2007

KEBIJAKAN PENGELOLAAN KONSERVASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Radityo Pramoda dan Sonny Koeshendrajana

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 211

Page 79: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

P e m b a n g u n a n b e r k e l a n j u t a n menekankan kepada perbaikan pembangunan masa kini, serta mengefisienkan penggunaan sumber daya (Indrawan et al., 2007).

Menurut Dahuri et al. (2008), karakteristik dan dinamika alamiah ekosistem P3K secara ekologis saling terkait satu sama lain, termasuk ekosistem lahan atas SDA, serta jasa lingkungan. Kedua pendapat tersebut m e m b e r i k a n m a k n a , b a h w a pembangunan sumber daya P3K mensyaratkan adanya upaya optimal serta berkelanjutan, yang hanya dapat diwujudkan melalui pendekatan secara terpadu dan terprogram. Pendekatan ini diperlukan, agar keutuhan potensi sumber daya dalam wilayah P3K tidak punah/rusak dan dapat dimanfaatkan untuk menopang kesinambungan pembangunan nas iona l , s e r t a kesejahteraan masyarakat. Turunan UU No. 27/2007, adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: Per.17/Men/2008, tentang Kawasan Konservasi di Wilayah P3K dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.: Per.02/Men/2009, tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan. Materi ketentuan pengaturan pengelolaan kawasan konservasi yang terdapat di dalam UU No. 27/2007, hasil akhirnya terletak pada koordinasi pelaksanaan di lapangan.

Secara mate r i UU No. 2 7 / 2 0 0 7 , t e l a h m e m a s u k k a n masyarakat adat/lokal ke dalam salah satu bagian kajian topik pengaturan pengelolaan wilayah P3K. Masyarakat adat menurut UU ini, adalah kelompok

Keterlibatan Masyarakat Adat/Lokal Mengelola Wilayah Konservasi

secara kemitraan dalam otoritas pelaksanaannya. Menurut Sembiring et al., (2011), mengelola kawasan konservasi yang kurang lebih 16.2 juta hektar kawasan darat dan 3.2 juta hektar kawasan laut, tidak bisa dilakukan oleh pemerintah sendiri. Upaya meletakkan pola hubungan pemerintah dengan masyarakat dalam b e n t u k k e m i t r a a n a k a n menguntungkan semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, ataupun kawasan konservasi itu sendiri. Keterlibatan dalam pengelolaan kawasan konservasi bagi masyarakat adat/lokal bukan merupakan sebuah tugas, akan tetapi lebih kepada dorongan motivasi dan rasa memiliki kawasan konservasi.

P e m e r i n t a h d a e r a h mempunyai kewenangan dalam pengusulan kawasan konservasi, perubahan status zona inti, dan penentuan penetapan batas sempadan pantai. Sempadan pantai merupakan daratan sepanjang tepian yang lebarnya proporsional, dengan bentuk dan kondisi fisik pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat. Kawasan konservasi, merupakan wilayah yang bebas terhadap kegiatan pemanfaatan dalam bentuk Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP-3). HP-3 merupakan hak yang diberikan kepada orang perseorangan, badan hukum, serta masyarakat adat, untuk memanfaatkan perairan pesisir dengan pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut. Pembangunan kawasan konservasi P3K, dilakukan guna memenuhi kebutuhan hidup saat ini, tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012212

KEBIJAKAN PENGELOLAAN KONSERVASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Radityo Pramoda dan Sonny Koeshendrajana

Page 80: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

d i t e t a p k a n s e b a g a i k a w a s a n konservasi. Ketentuan Pasal 28, Ayat (3), huruf b, menyatakan bahwa kawasan konservasi diselenggarakan untuk melindungi wilayah yang diatur oleh adat tertentu. Pernyataan “melindungi wilayah yang diatur adat”, seharusnya diikuti juga dengan pengaturan akses pemanfaatan oleh masyarakatnya. Ketiadaan pengaturan mengenai pemanfaatan tersebut, menunjukkan bahwa pemerintah kurang serius memperhatikan hak masyarakat adat. Pasal ini secara tidak langsung justru akan mengancam kehidupan masyarakat adat, karena telah membatasi ruang otoritas kehidupan ser ta sumber mata pencaharian mereka. Materi UU No. 27/2007, sama sekali tidak menyentuh persoalan pemberian jaminan terhadap tanah adat yang dijadikan kawasan konservasi.

2. P e n g a t u r a n K o n s e r v a s i

Berdasarkan PP No. 60/2007Pembentukan PP No. 60/2007,

dilatarbelakangi bahwa tantangan dalam proses pembangunan nasional s e c a r a k e s e l u r u h a n a d a l a h meningkatnya jumlah penduduk, yang menuntut adanya pemenuhan berbagai kebutuhan dasar. Kondisi tersebut mengakibatkan pembangunan berjalan dengan cepat dan secara bersamaan telah menyebabkan penurunan populasi, khususnya sumber daya ikan. Berdasarkan hal itu, pemerintah menyusun dan mengeluarkan PP No. 60/2007, yang merupakan bentuk pelaksanaan amanat Pasal 13, UU 31/2004:

(1) Dalam rangka pengelolaan s u m b e r d a y a i k a n , dilakukan upaya konservasi

masyarakat pesisir yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan sumber daya P3K, serta adanya sistem nilai yang menentukan. Penger t ian masyarakat lokal, yaitu kelompok masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang diterima sebagai nilai yang berlaku umum, tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada sumber daya P3K tertentu. Cakupan materi UU No. 27/2007, secara umum belum memberikan ruang kepada masyarakat adat untuk mendapatkan manfaat atas pengelolaan P3K. UU ini terlihat mempunyai tendensi keberpihakan kepada pengusaha dan menjadi peluang yang menjanjikan, khususnya bagi perusahaan yang bergerak di bidang perikanan.

Pengaturan yang berkaitan dengan peran masyarakat adat secara langsung dalam mengelola kawasan konservasi menurut UU No. 27/2007, terdapat di dalam Pasal 28, Ayat (7) sebagia berikut:

(7) Pengusu lan kawasan konservasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat di lakukan oleh perseorangan, kelompok masyarakat, dan/atau oleh pemerintah/pemerintah daerah, berdasarkan ciri k h a s k a w a s a n y a n g ditunjang dengan data dan informasi ilmiah.

Materi pasal tersebut, memberi peran kepada masyarakat adat hanya sebatas pengusulan wilayah yang akan

KEBIJAKAN PENGELOLAAN KONSERVASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Radityo Pramoda dan Sonny Koeshendrajana

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 213

Page 81: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

mengelola sumber daya ikan, yang berpedoman pada UU No. 45/2009. PP No. 60/2007, tidak mencantumkan pasal Pasal 33, Ayat (3), UUD '45, pada bagian mengingat, lebih dikarenakan bahwa PP ini merupakan produk turunan UU No. 45/2009, sehingga secara tidak langsung akan mengikuti produk hukum di atasnya.

Penataan Ruang Wilayah KonservasiPenataan ruang konservasi

berdasarkan ketentuan PP No. 60/2007, dapat dilihat pada Tabel 2.

ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika ikan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengena i konservas i ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Produk hukum dalam bentuk peraturan teknis sangat penting untuk penataan regulasi di lapangan guna

Tabel 2. Penataan Ruang Konservasi Sumber Daya Ikan

Pengelolaan Konservasi Sumber Daya Ikan Wilayah

Ruang Lingkup

Konservasi oleh pemerintah

-

Perairan laut di luar 12 mil laut, yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan pulau

-

Perairan yang berada dalam wilayah kewenangan pengelolaan lintas provinsi atau perairan yang memiliki karakteristik tertentu

Konservasi oleh pemerintah provinsi

-

Perairan laut paling jauh 12 mil laut, yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan pulau

-

Kawasan konservasi perairan yang berada dalam wilayah kewenangan pengelolaan lintas kabupaten/kota

Konservasi oleh pemerintah kabupaten/kota

- Perairan laut 1/3 dari wilayah kewenangan pengelolaan provinsi- Perairan payau dan/atau perairan tawar yang berada dalam wilayah

kewenangannya

Sumber: PP No. 60/2007

Paradigma KonservasiP e m a h a m a n k a w a s a n

konservasi perairan menurut PP No. 60/2007, mempunyai dua hal penting yang menjadi paradigma baru dalam pengelolaan konservasi. Pertama, kawasan konservasi perairan dikelola menggunakan sistem zonasi (zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan, dan zona lainnya). Kedua, kewenangan pengelolaan k a w a s a n k o n s e r v a s i m e n j a d i kewenangan pemerintah pusat. PP No.

Tabel 2, menunjukkan bahwa tata ruang konservasi yang dilakukan oleh pemerintah terhadap perairan yang memiliki karakteristik tertentu, merupakan perairan: (a) memiliki nilai serta kepentingan konservasi nasional dan/atau internasional; (b) secara ekologi bersifat lintas negara; (c) mancakup habitat dan daerah ruaya ikan; (d) memiliki potensi sebagai warisan alam dunia.

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012214

KEBIJAKAN PENGELOLAAN KONSERVASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Radityo Pramoda dan Sonny Koeshendrajana

Page 82: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

konservasi ekosistem atau habitat ikan, termasuk pengembangan kawasan konservasi perairan. Konteks materi ini, memahami kawasan konservasi perairan sebagai bagian konservasi e k o s i s t e m u n t u k m e n j a m i n pemanfaatan berkelanjutan, serta terpeliharanya keanekaragaman genetik ikan. Pemberian jaminan ini sangat diperlukan, mengingat tidak semua wilayah konservasi tidak berpenghuni. Pihak yang paling dirugikan menyangkut tanah ini, adalah masyarakat adat itu sendiri sebagai pemilik hak yang sah. Ketentuan PP No. 60/2007, tidak memberikan p e n g e r t i a n k h u s u s m e n g e n a i masyarakat adat, namun mengatur keterlibatan masyarakat adat di dalam Pasal 18, Ayat (1):

(1) P e m e r i n t a h a t a u pemerintah daerah sesuai kewenangannya dalam m e n g e l o l a k a w a s a n k o n s e r v a s i p e r a i r a n sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) d a p a t m e l i b a t k a n m a s y a r a k a t m e l a l u i kemitraan antara unit organisas i penge lo la d e n g a n k e l o m p o k masyarakat dan/a tau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat , k o r p o r a s i , l e m b a g a p e n e l i t i a n , m a u p u n perguruan tinggi.

M a t e r i p a s a l t e r s e b u t , menunjukkan keraguan un tuk melibatkan masyarakat adat dalam mengelola kawasan konservasi. Konotas i “dapat mel ibatkan”,

60/2007, memberikan ruang kepada pemerintah daerah untuk melakukan pengelolaan teknis kawasan konservasi di wilayah otonominya. Hal ini sejalan dengan mandat UU

terkait pengaturan pengelolaan wilayah laut dan konservasi. Pengaturan zona menurut PP No. 60/2007, serta perkembangan desentralisasi dalam pengelolaan kawasan konservasi, telah memberikan tempat adanya akses nelayan untuk lebih terlibat.

W i l a y a h p e m a n f a a t a n perikanan oleh masyarakat di kawasan konservasi melalui pengaturan zona, berguna bagi terciptanya sumber daya ikan yang berkelanjutan. Sistem zonasi merupakan bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang, melalui penetapan batas fungsional sesuai dengan potensi sumber daya, daya dukung, dan proses ekologis sebagai kesatuan ekosistem. Pengelolaan kawasan konservasi oleh pemerintah melalui kemitraan, dapat dilakukan antara unit organisasi p e n g e l o l a d e n g a n k e l o m p o k masyarakat dan/atau masyarakat adat, lembaga swadaya masyarakat , korporasi, lembaga penelitian, maupun perguruan tinggi. Derivasi PP No. 60/2007, ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Per ikanan No. : Per.17/Men/2008, tentang Kawasan Konservasi di Wilayah P3K dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.: Per.02/Men/2009, tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan.

Secara global materi PP No. 60/2007, mengatur upaya pengelolaan

No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Keterlibatan Masyarakat Adat/Lokal Mengelola Wilayah Konservasi

KEBIJAKAN PENGELOLAAN KONSERVASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Radityo Pramoda dan Sonny Koeshendrajana

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 215

Page 83: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

20, 21, dan 33, Ayat (3) UUD '45, serta memperbaiki kekurangan atas UU 3 1 / 2 0 0 4 , t e n t a n g P e r i k a n a n . Pencantuman ketiga pasal pada bagian komparisi ”mengingat”, mempunyai maksud agar UU ini tetap pada koridor kewenangannya, sehingga seluruh syarat dan ketentuan yang diatur di dalamnya mendukung tujuan yang ingin dicapai. Menurut Siombo (2008), salah satu pertimbangan dibentuknya UU yang mengatur perikanan, adalah bahwa pegelolaan sumber daya ikan perlu dilakukan sebaik-baiknya berdasarkan keadilan dan pemerataan dalam pemanfaatannya. UU No. 45 /2009, menekankan kepada perluasan kesempatan kerja dan peningkatan taraf hidup nelayan, pembudidaya ikan, para pihak yang terkait dengan kegiatan perikanan, serta pembinaan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya.

Materi ketentuan UU No. 45/2009, mensyaratkan pemerintah menjaga ketersediaan sumber daya ikan dan berkewajiban meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan. Lahirnya UU No. 45/2009 merupakan bentuk revisi atas UU No. 31/2004, yang mengatur sektor perikanan. Masa berlaku UU No. 31/2004 yang relatif pendek, memberikan penafsiran bahwa UU ini tidak mampu menjangkau permasalahan perikanan secara holistik, sehingga perlu cepat dilakukan perubahan. Menurut Ann dan Robert Seidmen dalam Siombo (2008), terkadang perancangan kebijakan publik serta pemberlakuan UU hanya untuk tujuan simbolis, tanpa berusaha memikirkan bagaimana pelaksanaannya kelak dan persoalan yang akan muncul di kemudian hari.

menimbulkan penafsiran bahwa masyarakat adat bisa dilibatkan mengelola kawasan konservasi, dan juga bisa tidak dilibatkan. PP No. 60/2007, secara tidak langsung dapat dikatakan menutup keikutsertaan masyarakat adat dalam mengelola kawasan konservasi. Pemanfaatan yang diatur di dalam PP No. 60/2007, tidak sedikitpun membahas mengenai hak masyarakat adat. Penggunaan kata “orang atau masyarakat” pada materi PP No. 60/2007, dapat ditafsirkan b a h w a p e m a n f a a t a n k a w a s a n konservasi bisa dilakukan oleh semua orang atau seluruh masyarakat yang t inggal di wilayah Indonesia. Penekanan ketentuan izin bagi setiap orang untuk memanfaatkan sumber daya pada kawasan konservasi menurut PP No. 60/2007, tidak relevan diperuntukkan bagi masyarakat adat yang memang sudah jelas memiliki hak atas wilayah tersebut.

Pemberian izin pemanfaatan o l e h m e n t e r i , g u b e r n u r, d a n bupati/pejabat yang ditunjuk sesuai kewenangannya, menunjukkan kompleksitas budaya birokrasi Indonesia yang berbiaya mahal. Di terbi tkannya PP ini , jus t ru memperlihatkan keinginan pemerintah untuk memberikan peluang pengusaha dengan modal besar, guna mendapat manfaat atas kawasan konservasi yang ditetapkan. PP ini juga menonjolkan mengenai kegiatan pemanfaatan untuk wisata, sedangkan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat adat tidak diatur.

3. P e n g a t u r a n K o n s e r v a s i

Berdasarkan UU No. 45/2009 Lahirnya UU No. 45/2009,

dilatarbelakangi oleh ketentuan Pasal

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012216

KEBIJAKAN PENGELOLAAN KONSERVASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Radityo Pramoda dan Sonny Koeshendrajana

Page 84: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Penataan Ruang Wilayah KonservasiTata ruang merupakan wujud

s t r u k t u r a l d a n s e b a g a i p o l a pemanfaatan ruang, baik yang direncanakan maupun tidak. Tujuan penataan ruang adalah pemanfaatan ruang yang bersifat aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Sifat aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan, adalah arti utama dari ruang atau tata lingkungan yang berkualitas. Kebijakan tata ruang hendaknya berwawasan sosiologis, yakni nilai adat istiadat, agama, dan nilai yang hidup dalam masyarakat (Siahaan, 2009). Penataan ruang konservasi dalam UU No. 45/2009, tidak diatur secara tegas mengenai batas wilayahnya, akan tetapi secara global UU ini dapat menjadi panduan yuridis formal.

P e n g a t u r a n w i l a y a h pengelolaan konservasi sumber daya ikan menurut UU No. 45/2009, hanya sebatas pemberian kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan suatu kawasan konse rvas i . Ha l in i dikarenakan UU No. 45/2009, merupakan induk hukum yang pelaksanaan pengaturan teknisnya, ditetapkan di dalam peraturan setingkat di bawah UU. Menurut Satjipto Rahardjo dalam Siombo (2008), ciri sumber hukum utama (perundang-undangan), yaitu: (a) bersifat umum dan komprehensif; (b) universal; (c) memiliki kekuatan untuk mengoreksi dan memperbaiki dirinya sendiri, karena selalu terdapat klausul yang m e m u n g k i n k a n d i l a k u k a n n y a peninjauan kembali.

Paradigma KonservasiM a t e r i k e w e n a n g a n

pengelolaan kawasan konservasi

UU pada prinsipnya hanya mengatur hal yang pokok saja, tidak kaku, dan dibuat untuk masa berlaku yang panjang. Pencantuman Pasal 33, Ayat (3), UUD 1945, pada bagian meng inga t UU No . 45 /2009 , menunjukkan bahwa pasal tersebut selalu dijadikan rujukan untuk membangun kelautan dan perikanan selama ini. Konsepsi mengenai bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat, k e n y a t a a n n y a b e l u m m a m p u m e n s e j a h t e r a k a n m a s y a r a k a t . Penekanan terhadap pemahaman “hak penguasaan oleh negara” sangat ditonjolkan oleh pembuat kebijakan, dan memberikan kesan bahwa SDA yang ada di Indonesia menjadi milik negara secara mutlak.

Tanah dengan status adat atau di bawah kekuasaan masyarakat adat yang banyak dikenal di Indonesia sejak zaman Kolonial Belanda, dapat menjadi hapus apabila negara menghendakinya. Pasal 33 ayat (3), lebih menekankan pada “pemanfaatan” bagi kesejahteraan masyarakat dan perhatian terhadap upaya perlindungan belum tercermin secara eksplisit maupun implisit. UUD 1945, setelah melalui beberapa kali amandemen t i d a k m e n u n j u k k a n a d a n y a peningkatan kesejahteraan masyarakat secara umum. Pasal 33 (3), yang tercantum di dalam batang tubuh UUD 1945, tidak memberikan penjelasan mengenai makna setiap kalimatnya. Hal ini menyebabkan substansi terhadap pasal tersebut, dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda.

KEBIJAKAN PENGELOLAAN KONSERVASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Radityo Pramoda dan Sonny Koeshendrajana

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 217

Page 85: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

ketentuan UU No. 45/2009, sebagai kebijakan publik seharusnya sudah dapat merubah paradigma sistem pengelolaan kawasan konservasi di masa lalu menuju ke arah yang lebih baik. Menurut Rogene A. Bucholz dalam Madani (2011), kebijakan publik mengacu kepada apa yang pemerintah secara nyata lakukan, bukan sekedar pernyataan atau sasaran tindakan yang diinginkan.

Ident if ikasi perubahan paradigma konservasi yang lama dan baru, dapat dilihat pada Tabel 3.

berdasarkan UU No. 45/2009, tidak sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat mempunyai kewenangan untuk menetapkan kawasan konservasi, memfasilitasi, dan berkewajiban membantu daerah mengembangkan potensinya. UU ini secara umum berupaya memberikan ruang kepada masyarakat untuk berperan aktif dalam perencanaan, pelaksanaan, serta pengawasan pengelolaan sumber daya ikan secara berkelanjutan di kawasan konservasi. Keseluruhan materi

Tabel 3. Identifikasi Perubahan Paradigma Konservasi

Indikator Perubahan Paradigma Lama Paradigma Baru

Arti dan fungsi konservasi

Hanya sebagai perlindungan

keanekaragaman SDA

Kawasan perlindungan keanekargaman SDA yang memiliki fungsi sosial, ekonomi, dan budaya jangka panjang, guna mendukung pembangunan yang berkesinambungan

Pengambilan keputusan (kebijakan)

Top-down

Bottom-up (paticipatory)

Pengelolaan/Management

Pengelolaan berbasis pemerintah

Pengelolaan berbasis multi pihak atau berbasis masyarakat

Pelayanan

Birokratis-normatif

Profesional, responsif, fleksibel, dan netral

Tata pemerintahan Sentralistis/Centralized Desentralistis

Peranan pemerintah Penyedia Fasilitator

Sumber: Setyowati et al. (2008)

pengelolaan dalam koridor kawasan, memer lukan sua tu pe rubahan p a r a d i g m a t e r h a d a p f u n g s i d i t e t apkannya wi l ayah un tuk konservasi. Secara umum UU No. 45/2009, telah berusaha untuk merubah cara pandang pengelolaan konservasi ke arah yang lebih baik. Perubahan cara

P e m a h a m a n p a r a d i g m a konservasi berdasarkan Tabel 3, menunjukkan bahwa pemanfaatan kawasan konservasi saat ini, diarahkan untuk mengakomodir kepentingan bangsa dan seluruh masyarakat Indonesia, serta memberikan manfaat secara adil dan bijaksana. Pelaksanaan

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012218

KEBIJAKAN PENGELOLAAN KONSERVASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Radityo Pramoda dan Sonny Koeshendrajana

Page 86: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

langsung mengatur masyarakat adat/lokal dalam pengelolaan kawasan konservasi, materinya dapat dijadikan dasar untuk mengaturnya. Substansi materi Pasal 6 mengatur ketentuan yang normatif, dimana memang sudah seharusnya pengelolaan perikanan mengacu kepada aturan/kebiasaan yang menjadi hukum adat/kearifan lokal, serta memperhatikan peran serta masyarakat lokal. Ketentuan Pasal 6 maupun penjelasannya, secara tidak langsung justru mengurangi peran masyarakat lokal untuk mendapatkan manfaat dengan adanya kawasan konservasi. Materi Pasal 6, Ayat (2), hanya memberikan penekanan terhadap pengelolaannya, dan bukan terhadap pemanfaatannya.

Pengelolaan perikanan akan jauh lebih penting, apabila masyarakat lokal dilibatkan secara nyata dan mendapatkan manfaat atas adanya wilayah konservasi. Pasal 6, Ayat (2), menunjukkan keraguan materi pasalnya untuk mengikutsertakan masyarakat lokal secara khusus. Pasal 6 , Aya t (1 ) , mesk ipun t e l ah menyinggung mengenai manfaat, akan tetapi hanya agar kelestarian sumber daya ikan terjamin saja dan tidak menerangkan siapa yang menjadi pihak penerima manfaat tersebut. Pengertian “masyarakat” dalam pasal tersebut, juga tidak merujuk khusus kepada peran masyarakat lokal. Masyarakat yang dimaksud, dapat diartikan bahwa pengelolaan perikanan juga dapat melibatkan masyarakat umum juga.

Ketidaktegasan materi pasal tersebut, menimbulkan kesan bahwa pemerintah masih berat memberikan hak dan peran masyarakat lokal untuk terlibat langsung, khususnya sebagai penerima manfaat. Hukum dan

pandang tersebut, perlu diikuti dengan penataan kembali regulasi dan sistem kategori/klasifikasi kawasan, yang dapat menjembatani kepentingan pemahaman konservasi secara lebih

amoderat. Menurut Rahardjo (2010), dewasa ini hukum tidak lagi melihat ke belakang, melainkan ke depan dengan cara banyak melakukan perubahan terhadap keadaan kini menuju ke masa depan yang dicita-citakan.

Suatu peraturan yang disahkan, memiliki fokus pada implikasi pelaksanaannya sebagai titik temu berbagai perbedaan yang ada. Pasal 6, UU No. 45/2009, menyebutkan:

(1) Pengelolaan perikanan dalam wilayah pengelolaan p e r i k a n a n R e p u b l i k Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, s e r t a t e r j a m i n n y a kelestarian sumber daya ikan.

(2) Pengelolaan perikanan u n t u k k e p e n t i n g a n penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan hukum adat dan/atau kearifan lokal serta memperhatikan peran serta masyarakat.

Penjelasan Pasal 6 secara tegas menyatakan, bahwa hukum adat dan/atau kearifan lokal yang dijadikan pertimbangan dalam pengelolaan per ikanan, adalah yang t idak bertentangan dengan hukum nasional. Pasal ini meskipun tidak secara

Keterlibatan Masyarakat Adat/Lokal Mengelola Wilayah Konservasi

KEBIJAKAN PENGELOLAAN KONSERVASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Radityo Pramoda dan Sonny Koeshendrajana

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 219

Page 87: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

aktor/sejumlah aktor, yang pada prinsipnya menjadi tanggung jawab negara, sebagai upaya mengatasi m a s a l a h d a n m e n i n g k a t k a n kesejahteraan masyarakat.

Menurut Fermana (2009), kebijakan publik yang memiliki nilai demokratis, hasilnya akan mempunyai b a s i s y a n g k u a t d a n m u d a h d i i m p l e m e n t a s i k a n . H a l i n i dikarenakan, nilai demokrasi dalam kebijakan publik membuat semua elemen masyarakat akan merasa memiliki kebijakan itu. Pengembangan kebijakan sendiri harus bersifat bottom up, berdasarkan karakteristik lokal, m e n g a k o m o d i r k e p e n t i n g a n pemerintah daerah, serta masyarakat setempat. Pengembangan kebijakan p e r l i n d u n g a n s u m b e r d a y a , membutuhkan adanya kewenangan dan t a n g g u n g j a w a b d i d a l a m p e n g e l o l a a n n y a .

Upaya untuk menjamin prinsip akuntabilitas, memerlukan

P e m a h a m a n kewenangan dan tanggung jawab pada konteks konservasi SDA, berhubungan dengan perspektif publik.

Perspektif publik merupakan salah satu komponen pent ing governance, yang berkaitan dengan akuntabilitas publik.

tata kelola pemerintahan yang ba ik dan t e ro rgan i sas i . G o v e r n a n c e ( t a t a k e l o l a pemerintahan), merupakan proses penetapan, penerapan, dan penegakan aturan main. Good governance haruslah memuat setidaknya tiga komponen kunci: transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Usaha penguatan good governance dalam k e r a n g k a k o n s e r v a s i S D A , mensyaratkan: (a) lembaga perwakilan rakyat yang mampu menjalankan fungsi kontrol yang efektif terhadap

keadilan masyarakat merupakan potensi kekuatan yang besar untuk bisa m e m b a n t u p e m e r i n t a h d a l a m menyelenggarakan keadilan bagi masyarakat (Sulistyowati dalam

2009).

Menurut Sulistiyono dan Rustamaj i (2009) , pembuatan peraturan diperlukan dalam rangka menjamin konsistensi tindakan administrasi, dimana kebutuhan akan konsistensi ini berkaitan dengan salah satu asas umum penyelenggaraan pemerintah yang layak, yaitu kepastian hukum. Kepastian hukum disahkannya

sangat dibutuhkan u n t u k m e m p e r h i t u n g k a n d a n mengantisipasi resiko diberlakukannya suatu peraturan sebagai kebijakan publik.

Cahyadi dan Danardono,Menurut UU No. 45/2009, keterlibatan dan peran serta masyarakat lokal dalam mengelola perikanan, hanya sebatas t e r h a d a p s e p e r a n g k a t a t u r a n adat/kearifan lokal yang mereka miliki s a j a dan t i dak meny inggung masyarakat lokal sebagai subyek pengaturannya. Masyarakat lokal yang hidup di sekitar kawasan konservasi, merupakan bagian yang t idak t e r p i s a h k a n d e n g a n a t u r a n adat/kearifan lokal yang berlaku.

4. Kebijakan Tata Kelola Kawasan

Konservasi dalam UU No.

27/2007, PP No. 60/2007, dan UU

No. 45/2009

UU No. 27/2007, PP No. 60/2007, dan UU No. 45/2009,

Kebijakan publik, adalah keputusan mengikat bagi orang banyak pada tataran strategis atau bersifat garis besar, yang dibuat oleh pemegang otoritas publik (Suharto, 2008). Kebijakan publik merupakan sasaran yang terarah untuk diikuti oleh

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012220

KEBIJAKAN PENGELOLAAN KONSERVASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Radityo Pramoda dan Sonny Koeshendrajana

Page 88: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Kritik yang muncul terhadap kese r iusan pemer in tah da lam mengelola kawasan konservasi, disebabkan karena berbagai kebijakan yang ada justru memberi legitimasi eksploitasi SDA, sementara upaya konservasi bukan merupakan prioritas yang setara Kenyataan tersebut menimbulkan kesan, bahwa kebijakan dan peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan konservasi, hanya sebagai aturan pelengkap saja dan bukan berperan sebagaimana misi sebenarnya. Menururt Islamy (2004), k e b i j a k a n s e b a g a i i n s t r u m e n pengelolaan pemerintahan, merupakan m a t a r a n t a i u t a m a d a l a m o p e r a s i o n a l i s a s i f u n g s i kepemerintahan. Sebagai mata rantai utama, jika kebijakan itu keliru atau tidak tepat dalam menangani persoalan pembangunan sua tu w i l ayah , konsekuensinya adalah kegagalan p e m e r i n t a h s e b a g a i f u n g s i implementatif. Persoalan mendasar pengelolaan konservasi adalah adanya ego sektoral otoritas pemangku kepentingan; bentuk pengelolaan yang belum seluruhnya mengakomodir peran masyarakat sebagai kekuatan riil dan potensial di lapangan; serta masih lemahnya penegakan hukum.

Menurut Utsman (2009), kalau kita mau melihat bagaimana bangunan hukum, maka bagian yang tidak terpisahkan adalah penegakan hukum. Lemahnya penegakan hukum dalam pengelolaan kawasan konservasi saat ini, menyebabkan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah belum dapat menjamin kepastian hukum dan penegak hak masyarakat.

.

Kelemahan dalam kepast ian hukum telah menyebabkan pemberdayaan kawasan konservasi selama ini dirasakan belum

tata kelola pemerintahan; (b) pengadilan yang independen, mandiri, bersih, dan profesional, khususnya dalam rangka penegakan hukum; (c) aparatur pemerintahan (birokrasi) yang profesional dan memiliki integritas; (d) masyarakat peduli konservasi SDA, yang mampu melaksanakan fungsi kontrol publik; (e) terjadinya desentralisasi pusat terhadap tata kelola k o n s e r v a s i S D A k e t i n g k a t k a b u p a t e n / k o t a , m a u p u n k e pemerintahan desa dan kelurahan (Setyowati et al., 2008).

Konteks pemanfaatan kekayaan SDA d i I n d o n e s i a , m a s i h s e r i n g menimbulkan ketidakharmonisan antara pemerintahan, masyarakat, dan swasta.

Sejak otonomi bergulir t e l ah t e r j ad i t umpang t ind ih kewenangan serta peraturan antara pemerintah pusat dan daerah, antara sektor yang satu dan sektor lainnya, an t a r a kebu tuhan umum dan masyarakat tertentu di suatu lokasi.

Keberadaan proses yang demokratis mengharuskan adanya prinsip akuntabilitas, agar peraturan perundangan dapat mengakomodir kepentingan masyarakat setempat, komprehensif, terintegrasi, konsisten, serta tidak tumpang tindih (baik peraturan vertikal maupun horizontal).

bMenurut Rahardjo (2009),

problema hukum yang sering dihadapi saat ini adalah bahwa kandungan nilai dalam hukum yang dipakai (hukum modern), tidak sama dengan yang ada d a l a m m a s y a r a k a t . H a l i n i menyebabkan perilaku substantif dengan berlakunya suatu peraturan sebagai kebijakan publik, mempunyai pemahaman sistem nilai yang berbeda antara pemerintah, masyarakat, maupun swasta.

KEBIJAKAN PENGELOLAAN KONSERVASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Radityo Pramoda dan Sonny Koeshendrajana

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 221

Page 89: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Kondisi ini disebabkan kawasan konservasi merupakan bagian SDA, sehingga hukum konservasi pada dasarnya merupakan bagian kebijakan dan hukum pengelolaan SDA. Pengelolaan sumber daya dan ekosistem secara efisien, pada dasarnya menjadi bagian integral program pembangunan berkelanjutan. Menurut Dahuri et al. (2008), secara garis besar dimensi konsep pembangunan berkelanjutan salah satunya adalah hukum. Pembangunan berkelanjutan menurut Lubchenco dkk. dalam Indrawan et al. (2007), berupa pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan manusia, baik sekarang maupun di masa mendatang, tanpa m e r u s a k l i n g k u n g a n a t a u keanekaragaman hayati.

Hukum pada hakekatnya, merupakan bagian sistem sosial yang ada pada masyarakat dan merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. F. C. von Savigny dalam Samidjo (1986), mengemukakan bahwa hukum tidak dapat dibuat, terkecuali terjadi atau diproses bersama-sama dengan masyarakat. Hukum juga mengatur perilaku manusia dalam memanfaatkan sumber daya, agar selaras dan serasi dengan lingkungan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan, adalah dengan membentuk suatu wilayah konservasi s e c a r a b e r t a n g g u n g j a w a b . Pengelolaan konservasi memerlukan dasar hukum dan pengaturan yang jelas, tegas, menyeluruh, demi terciptanya kepastian hukum.

P e n g a t u r a n k o n s e r v a s i terhadap keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia, diantaranya diatur di dalam UU No.

optimal, dan masih memerlukan kerjasama lembaga terkait. Setiap lembaga pada dasarnya mempunyai karakteristik yang berbeda, namun antara satu dan yang lainnya saling menunjang (komplementer). Tata kelola kawasan konservasi selama ini, belum ada kejelasan mengenai formulasi kewenangan dan tanggung jawab antara instasi pemerintah terkait.

Tanggung jawab sebuah institusi pengelola konservasi, sering tidak sejalan dengan kapasitas organisasi yang dimiliki. Implikasi p e r m a s a l a h a n g o v e r n a n c e menegaskan, adanya persoalan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi. Persoalan tersebut, terlihat pada hilangnya beberapa komponen penting governance dalam prosesi pengelolaan kawasan konservasi.

Kebijakan tata ke

( K e m e n t e r i a n K e l a u t a n d a n Perikanan/KKP)

Hart (2010), mengungkapkan bahwa ketidaksanggupan memenuhi syarat peraturan mengakibatkan apa yang dilakukan menjadi tidak efektif.

lola kawasan k o n s e r v a s i m e l a l u i o t o r i t a s

, belum mampu menjadikan UU No. 27/2007, PP No. 60/2007, dan UU No. 45/2009, sebagai landasan yuridis guna menjaga potensi sumber daya kelautan dan perikanan.

5. Kelemahan UU No. 27/2007, PP

No. 60/2007, dan UU No. 45/2009

d a l a m M e n g a k o m o d a s i

Pengelolaan Konservasi

Terminologi Konservasi Secara umum, kebijakan yang

berkaitan dengan pengelolaan SDA tidak dapat dipisahkan dengan pengelolaan kawasan konservasi.

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012222

KEBIJAKAN PENGELOLAAN KONSERVASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Radityo Pramoda dan Sonny Koeshendrajana

Page 90: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

kesuburan tanah, bisa juga berfungsi sebagai habitat bagi sumber daya ikan, demikian juga sebaliknya. Sistem klasifikasi kawasan konservasi menurut ketiga peraturan tersebut secara umum kurang mangakomodir permasalahan terhadap fungsi serta tujuan tersebut. Pengertian yang dikemukakan

, belum dapat memberikan kejelasan pemahaman konservasi yang digunakan untuk menamakan kategori m a u p u n t u j u a n n y a , s e r t a menggambarkan arti konservasi yang tepat secara bahasa dan ekologi.

Peran Masyarakat Adat/Lokal dalam Pengelolaan Wilayah Konservasi

bahwa penguasaan mereka atas kawasan telah mengaplikasikan sistem pengelolaan dan tatanan konservasi sendiri. Bukti atas tatanan tersebut, terlihat dalam sejumlah aturan dan praktek lokal yang masih ditaati. Konservasi berbasis masyarakat, dapat dikatakan sebagai

,

ket iga peraturan tersebut

Masyarakat lokal berbasis s e j a r ah , menun jukkan

Ketiga terminologi pada Tabel 4, telah menjadikan keberadaan wilayah k o n s e r v a s i d a l a m p r o g r a m pembangunan wilayah kelautan dan perikanan menjadi penting, sebagai penunjang kehidupan masyarakat secara menyeluruh dan berkelanjutan.

UU No. 27/2007, PP No. 60/2007, serta UU No. 45/2009,

pada PP No. 60/2007 dan UU No. 45/2009.

Pe rbedaan fundamen ta l dengan UU No. 27/2007, terlihat dalam objek yang diaturnya saja, yaitu wilayah P3K. Kemiripan pengertian tersebut, bisa menyebabkan kesulitan u n t u k

Konteks terminologi konservasi berdasarkan

menunjukkan adanya kesamaan tata bahasa, terutama

m e m b e d a k a n m a u p u n memahami maksudnya. Kesulitan memberikan definisi konservasi, lebih dikarenakan secara alami setiap kategori kawasan konservasi pada dasarnya memiliki banyak fungsi dan tujuan. Sebagai contoh, suatu wilayah yang memiliki fungsi pokok sebagai pengatur tata air dan pemelihara

Tabel 4. Terminologi Konservasi Menurut UU No. 27/2007, PP No. 60/2007,dan UU No. 45/2009

UU No. 27/2007 PP No. 60/2007 UU No. 45/2009

Konservasi wilayah P3K: upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan wilayah pesisir dan p u l a u - p u l a u k e c i l s e r t a ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya

Konservasi sumber daya ikan: upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan

Konservasi sumber daya ikan: upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumber daya ikan, termasuk ekosistem, jenis, dan genetik untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman sumber daya ikan

Sumber: UU No. 27/2007, PP No. 60/2007, dan UU No. 45/2009

KEBIJAKAN PENGELOLAAN KONSERVASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Radityo Pramoda dan Sonny Koeshendrajana

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 223

berdasarkan ketiga produk hukum tersebut, dapat dilihat pada Tabel 4.

27/2007, PP No. 60/2007, dan UU No. 45/2009. Terminologi konservasi

Page 91: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

kawasan konservasi di Indonesia, pada umumnya selalu bersinggungan dengan kehidupan masyarakat sekitar. Materi pasal

peluang kepada masyarakat adat untuk terlibat dalam memanfaatkan hasil di dalam kawasan konservasi. Menurut Sulistyowati dalam (2009), masyarakat juga memiliki mekanisme dan kapasitas untuk menciptakan hukum dan keadilannya sendiri. Hukum negara bukanlah satu-satunya acuan yang memonopoli perilaku masyarakat. Terdapat banyak acuan hukum lain yang justru lebih bekerja secara sinergis dalam kehidupan sehari-hari, yang berakar pada budaya hukum masyarakat yang lekat dengan agama , ada t , keb ia saan , dan kesepakatan sosial lain.

Sudut pandang antara pemerintah dengan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi, sampai saat ini masih ada perbedaan. Menurut Sat r ia (2009) , t idak berjalannya peraturan perundangan yang berlaku selama ini disebabkan tidak diakomodasikannya aspirasi masyarakat dan a turan lokal . Pembatasan ruang gerak masyarakat adat bisa menjadi sumber konflik, apabila tidak ada upaya pemerintah untuk memperbaikinya secara bijaksana.

UU No. 27/2007, PP No. 60/2007, dan UU No. 45/2009, belum terlihat memberikan

Cahyadi dan Danardono

Keberadaan masyarakat lokal, menjadi salah satu unsur paling penting guna mengatur pengelolaan kawasan konservasi.

cMenurut Rahardjo (2010),

produk legislasi yang sudah tentu mempunyai maksud dan tujuan yang mulia, pada waktu dilaksanakan justru dapat menimbulkan distorsi pada struktur masyarakat yang telah mapan.

upaya mempertemukan antara tuntutan ekonomi dan kepentingan lingkungan hidup. Upaya konservasi SDA yang d i l a k u k a n o l e h m a s y a r a k a t sesungguhnya telah berkembang sejak lama, khususnya pada masyarakat yang m e m i l i k i p e n g e t a h u a n l o k a l . Pengetahuan lokal, merupakan pengetahuan yang dikembangkan oleh suatu komunitas masyarakat selama berabad-abad.

Alokasi, a k s e s , d a n k o n t r o l t e r h a d a p pengelolaan kawasan konservasi yang ditetapkan pemerintah berlandaskan ilmu pengetahuan modern, berbeda dengan pemahaman masyarakat. Pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat terhadap wilayahnya, merupakan hasil konstruksi sosial masyarakat dengan ekosistem di sekitarnya.

Pengetahuan lokal tersebut d i j a d i k a n l a n d a s a n d a l a m mengalokasikan, mengakses, dan mengontrol SDA yang ada dalam kawasan konservasi. Situasi ini menyebabkan, wilayah yang dijadikan

S a l a h s a t u k e l o m p o k masya raka t yang mempunya i kepentingan terhadap sumber daya perikanan di kawasan konservasi, adalah masyarakat adat atau juga dikenal dengan masyarakat lokal. Masyarakat adat menurut Konvensi ILO, diartikan sebagai masyarakat yang berdiam di negara yang merdeka, dimana kondisi sosial, kultural, serta ekonominya membedakan mereka dengan bagian masyarakat lain di negara tersebut dan yang statusnya diatur, baik seluruhnya maupun sebagian oleh adat dan tradisi masyarakat adat tersebut atau dengan hukum serta peraturan khusus (Sembiring et al., 2011).

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012224

KEBIJAKAN PENGELOLAAN KONSERVASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Radityo Pramoda dan Sonny Koeshendrajana

Page 92: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

terakomodir dalam ruang, peran, dan manfaat akan adanya konservasi. Pengembangan dan pembuatan peraturan perundangan pada masa sekarang, harus mempunyai arah pada pendeka t an dan p rose s yang demokratis, terbuka, serta dapat diakses oleh masyarakat. Menurut Sembiring et al., (2011), kondisi ini menuntut adanya pemberian peluang terhadap peran serta (khususnya masyarakat adat/lokal) dalam konsep perencanaan, pelaksanaan, monitoring, hingga evaluasi.

Kepentingan dalam Pengelolaan Konservasi

P e m b u a t a n k e b i j a k a n diperlukan dalam rangka menjamin konsistensi tindakan administrasi (Yuswanto, 2011). Materi ketentuan UU No. 27/2007, PP No. 60/2007, dan UU No. 45/2009, memberikan kesan bahwa pemerintah (KKP) masih t e r l i h a t s e t e n g a h h a t i u n t u k mengembangkan desentralisasi. Hal ini terlihat, dengan adanya peran pemerintah sebagai otoritas tertinggi untuk melakukan pengelolaan. Peran pemerintah daerah meskipun sudah diatur, masih belum terlihat jelas pengaturan tata kelolanya di lapangan dan pembagian hak atas wilayah yang telah dijadikan kawasan konservasi.

kepada pemerintah daerah juga Pemberian kewenangan

dapat m e m u n c u l k a n k o n f l i k b a r u pengelolaan kawasan konservasi, karena adanya kepentingan yang berbeda. Kepentingan pemerintah untuk menetapkan suatu wilayah menjadi kawasan konservasi, sampai saat ini masih mempunyai perbedaan dengan daerah.

Kenyataan yang harus dijaga dan dipahami secara holistik, bahwa masyarakat sekitar (adat/lokal) secara historis sudah terlibat dengan sumber d a y a w i l a y a h n y a , d a n menggantungkan hidupnya untuk kebutuhan sehari-hari pada sumber tersebut. Santosa dalam Sembiring et al. (2011), menyebutkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan konservasi, mempunyai manfaat: (a) sebagai proses pembuatan suatu kebijakan, karena masyarakat merupakan kelompok yang berpotensi menanggung konsekuensi suatu kebijakan, serta memiliki hak untuk dikonsultasi (rights to consult); (b) sebagai suatu strategi, dimana melalui peran serta masyarakat suatu kebijakan pemerintah akan mendapatkan dukungan, sehingga keputusan tersebut memiliki kredibilitas (credible); (c) sebagai a lat komunikasi bagi pemerintah – yang dirancang untuk melayani masyarakat – untuk mendapatkan masukan dan informasi dalam pengambilan keputusan, sehingga melahirkan keputusan yang responsif; (d) peran serta masyarakat dalam penyelesaian sengketa atau konflik, didayagunakan sebagai suatu cara untuk mengurangi atau meredakan konflik.

Luasnya wilayah sebaran kawasan konservasi, terbatasnya sumber daya (manusia, dana, dan fasilitas), serta beragamnya ancaman terhadap kawasan konservasi , membutuhkan adanya kemitraan (masyarakat adat / lokal) untuk melaksanakan pengelolaannya. Materi ketentuan UU No. 27/2007, PP No. 60/2007, dan UU No. 45/2009, menunjukkan keterlibatan masyarakat adat/lokal secara langsung belum

KEBIJAKAN PENGELOLAAN KONSERVASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Radityo Pramoda dan Sonny Koeshendrajana

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 225

Page 93: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

mempertahankan lingkungan dan yang t a m p a k j u s t r u s e b a l i k n y a : kemerosotan.

memahami bahwa pemanfaatan suatu wilayah untuk kepentingan berbagai sektor, tidak selalu memperhitungkan akibat pada keuntungan tidak langsungnya bagi semua pihak.

S u p r i a t n a ( 2 0 0 8 ) , mengungkapkan bahwa keuntungan tidak langsung sukar untuk dirasakan manfaatnya. Pada tingkat yang lebih rendah, implementasi konflik antara pengelola kawasan konservasi dengan masyarakat juga bisa muncul. Subarsono (2011), mengungkapkan bahwa kebijakan publik tidak boleh bertentangan dengan nilai dan praktik sosial yang ada dalam masyarakat. Konflik yang paling menonjol, adalah permasalahan yang terkait dengan hak masyarakat untuk mengakses kawasan konservasi. Menurut Lewis dalam Setyowati et al. (2008), berdasarkan studi kasus di berbagai kawasan lindung, konflik pada umumnya berkaitan: (a) kurangnya perhatian terhadap proses keterlibatan komunitas l o k a l d a n p i h a k l a i n y a n g berkepentingan dalam perencanaan,

Akar berbagai persoalan dan konflik mengenai pengelolaan k a w a s a n k o n s e r v a s i , y a i t u ketidakadilan dalam alokasi SDA itu sendiri. Penetapan wilayah untuk menjadi kawasan konservasi sampai saat ini, masih terkesan adanya nuansa politis. Muatan materi UU No. 27/2007, PP No. 60/2007, dan UU No. 45/2009, masih terlihat bersifat mendua, dimana pemerintah (KKP) di satu sisi berupaya untuk melindungi kawasan tertentu, namun di sisi lain membuka peluang untuk dieksploitasi. Dibutuhkan pemahaman secara komprehensif guna

P e n g e l o l a a n k a w a s a n k o n s e r v a s i , p a d a h a k i k a t n y a m e r u p a k a n s a l a h s a t u a s p e k pembangunan yang berkelanjutan serta berwawasan lingkungan.

pemerintahannya

pemerintah daerah

pemerintah daerah

pemerintah daerah

S y a r a t p e n g e l o l a a n k a w a s a n konservasi yang diserahkan kepada pemerintah daerah bisa berjalan dengan baik, yaitu dengan memberi daerah kewenangan untuk mengelola dan melibatkan masyarakat lokal/adat sebagai mitra.

Otoritas daerah melalui s e b a g a i p e m i l i k w i l a y a h , menginginkan wilayahnya bisa d imanfaa tkan s eca ra op t ima l untuk pembangunan. Menurut Setyowati et al. (2008), penyebab perbedaan kepentingan tersebut, antara lain dapat disebabkan oleh: (a)

t idak bisa berinvestasi dan mengalami kendala dalam membangun infrastruktur di daerah sekitar kawasan konservasi; (b) ketimpangan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dalam mengelola kawasan konservasi; (c)

tidak memperoleh informasi yang meyakinkan tentang manfaat tidak langsung dari kawasan konservasi; (d) harus mengalokasikan sumber daya untuk mengatasi konflik, apabila terjadi benturan antara masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi dengan pengelola kawasan.

Kasus yang sering terjadi dan tidak dapat dihindari, apabila pada kawasan tersebut ditemukan bahan tambang (seperti minyak, batubara, dan lainnya). Menurut Siahaan (2009), ketika faktor alam dan lingkungan hanya berperan sebagai faktor pendukung pembangunan, maka tidak banyak yang bisa dicapai dalam

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012226

KEBIJAKAN PENGELOLAAN KONSERVASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Radityo Pramoda dan Sonny Koeshendrajana

Page 94: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

pengelolaan konservasi kelautan dan perikanan secara utuh, adalah: (1) pemerintah (

kelautan dan perikanan yang lestari;melakukan pengelolaan kawasan konservasi secara optimal serta transparan, dengan melibatkan pemerintah daerah dan masyarakat adat/lokal; (4) UU No. 27/2007, PP No. 60/2007, dan UU No. 45/2009, perlu direvisi materinya, karena belum dapat menciptakan kebijakan yang adil dan belum sepenuhnya memberikan peran kepada pemerintah daerah maupun masyarakat adat/lokal, menjadi bagian pembangunan konservasi yang berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA Cahyadi, A. dan D. Danardono. 2009.

Sosiologi Hukum dalam Perubahan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, M.J. Sitepu. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

Fermana, S. 2009. Kebijakan Publik (Sebuah Tinjauan Filosofis). Jakarta: AR – RUZZ Media.

Hart, H.L.A. 2010. Konsep Hukum. Bandung: Nusa Media.

KKP) harus dapat merumuskan strategi pemanfaatan sumber daya pada wilayah konservasi yang tepat dan signifikan di masa depan sebagai kebijakan umumnya; (2) membuat perencanaan dan penataan ruang yang baik, memberdayakan m a s y a r a k a t , m e n c i p t a k a n kelembagaan yang kolaboratif, merumuskan peraturan yang adil, serta meningkatkan kapabilitas sumber daya manusia, dalam rangka menciptakan pengelolaan wilayah konservasi

(3)

pengelolaan, dan pembuatan keputusan yang terkait dengan kebijakan kawasan l i n d u n g ; ( b ) k e b u t u h a n d a n kepentingan komunitas lokal dengan tujuan pengelolaan kawasan lindung.

D. K E S I M P U L A N D A N

REKOMENDASI KEBIJAKAN

1. Kesimpulan P e m b e r l a k u a n U U N o .

27/2007, PP No. 60/2007, dan UU No. 45/2009, mempunyai maksud untuk menjaga sumber daya di wilayah perairan Indonesia dapat dimanfaatkan s e c a r a m a k s i m a l d a n berkesinambungan. Terminologi konservasi yang dikemukakan oleh ketiga kebijakan tersebut, belum bisa memberikan pemahaman yang cukup mengenai istilah konservasi. Definisi y a n g d i k e m u k a k a n k u r a n g m e n j e l a s k a n s i f a t a t a u c a r a pengelolaan sumber daya, tetapi hanya menjelaskan pemanfaatannya yang merupakan salah satu bagian aktivitas pengelolaan. Materi ketentuan di dalam UU No. 27/2007, PP No. 60/2007, dan UU No. 45/2009, meskipun telah be rusaha merubah pa rad igma konservasi lama, tetapi materinya masih belum dapat menunjukkan prinsip keadilan dan profesionalitas. Secara umum pengaturan konservasi berdasarkan UU No. 27/2007, PP No. 60/2007, dan UU No. 45/2009, kurang memberikan jaminan keterlibatan masyarakat adat untuk mendapatkan manfaat, serta belum mempunyai visi yang jelas dalam membangun kawasan konservasi yang terpadu.

2. Rekomendasi KebijakanRekomendasi kebijakan yang

dapat dirumuskan guna membenahi

KEBIJAKAN PENGELOLAAN KONSERVASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Radityo Pramoda dan Sonny Koeshendrajana

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 227

Page 95: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

S. Nurmawanti, W. Ramono, W. Sukman to ro . 2008 . Konservasi Indonesia (Sebuah Potret Pengelolaan dan K e b i j a k a n ) . d a l a m http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/PNADU286.pdf. Tanggal akses: 27 April 2011

Siahaan, N.H.T. 2009. Hukum L i n g k u n g a n . J a k a r t a : Pancuran Alam.

Siombo, M.R. 2010. Hukum Perikanan Nasional dan Internasional. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Subarsono, A.G. 2011. Analisa Kebijakan Publik (Konsep, Te o r i , d a n A p l i k a s i ) . Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suharto, E. 2008. Penerapan Kebijakan Pelayanan Publik bagi Masyarakat dengan Kebutuhan Khusus. dalam http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache:q6nC2bqgfiY J : w w w. p o l i c y. h u / s u h arto/Naskah%2520PDF/LANPelayananPublik.pdf+konsep+Penerapan+Kebijakan+PelayananPublik+Bagi+Masyarakat&hl=id&gl=id&pid=bl&srcid=ADGEESjQEjspFEsiwCrJTSHTvoogNjehWB1CL_1dnBwg20Kd11jd6qNo8XCUokCjrQYV86SSgQ5kwHr6lIvw2wU_P3uW6LfmmmvVHmmnzzDRrY4Fn11ukDf5Xx2jUTpdW_SlkX4DvQ7F&sig=AHIEtbTwLLaMM2_Q6nZQ2MT8odq1I-ED4Q. Tanggal akses: 16 Okotober 2011

Sulistiyono, A. dan M. Rustamaji. 2009 . Hukum Ekonomi sebagai Panglima. Sidoarjo: Masmedia Buana Pustaka.

Indrawan, M., R.B. Primack, J. Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Islamy, M.I. 2004. Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Madani, M. 2011. Dimensi Interaksi A k t o r d a l a m P r o s e s Perumusan Kebijakan Publik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

aRahardjo , S. 2010. Sosiologi Hukum (Perkembangan Metode dan P i l i h a n M a s a l a h ) . Yogyakarta: Genta Publishing.

bRahardjo , S. 2009. Sisi – Sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara.

cRahardjo , S. 2010. Penegakan Hukum P r o g r e s i f . J a k a r t a : PT. Kompas Media Nusantara.

Satria, A. 2009. Ekologi Politik Nelayan. Yogyakarta: Lkis Printing Cemerlang.

Samidjo. 1986. I lmu Negara . Bandung: Armico.

Sembiring, S.N., F. Husbani, A.M. Arif, F. Ivalerina, F. Hanif. 2011. Kajian Hukum dan Keb i jakan Penge lo laan Kawasan Konservasi di I n d o n e s i a – M e n u j u P e n g e m b a n g a n D e s e n t r a l i s a s i d a n Peningkatan Peran Serta M a s y a r a k a t . d a l a m www.bappenas.go.id/get-file-server/node/177/. Tanggal akses: 11 Oktober 2011

Setyowati, A.B., A. Sriyanto, A.W. Amsa, A. Santoso, A. Aliadi, B. Steni, C. Wulandari, E. Indraswati, F. Hanif, H. Alexander, I. Arsyad, N. Adi,

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012228

KEBIJAKAN PENGELOLAAN KONSERVASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Radityo Pramoda dan Sonny Koeshendrajana

Page 96: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Ta h u n 2 0 0 4 N o . 11 8 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4433, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 45 Tahun 2009, tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, Lembaran Negara Republik Indonesia Ta h u n 2 0 0 9 N o . 1 5 4 , Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 5073

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 60 Tahun 2007, tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 No. 134, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4779

Undang-Undang No. 27 Tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 No. 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4739.

Supriatna, J. 2008. Melestarikan Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Utsman, S. 2009. Dasar – Dasar Sosiologi Hukum (Makna Dialog antara Hukum dan Masyarakat). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Yuswanto. 2011. Peraturan Kebijakan. d a l a m http://blog.unila.ac.id/pdih/file s /2009 /06 /hukum- ta t a -pemerintahan-dan-pelayanan-publik-4.pdf. Tanggal akses: 13 Juli 2011

Undang-Undang dan PeraturanUndang-Undang Dasa r 1945 ,

Perubahan pertama disahkan 19 Oktober 1999, Perubahan kedua disahkan 18 Agustus 2000, Perubahan ketiga disahkan 10 Nopember 2001, Perubahan keempat disahkan 10 Agustus 2002

Undang-Undang No. 31 Tahun 2004, tentang Perikanan, Lembaran Negara Republik Indonesia

KEBIJAKAN PENGELOLAAN KONSERVASI KELAUTAN DAN PERIKANAN

Radityo Pramoda dan Sonny Koeshendrajana

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 229

Page 97: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Abstract.

.

After more than 10 years of the implementation of decentralization policy in Indonesia, it is considered essential to evaluate this policy in terms of improving public welfare. Decentralization in this study is measured by three dimensions: fiscal, functional and personnel. These three variables are not made in a single composite index, but in a separate index which include variables of economics, infrastructure, education, and health. Using panel data of 25 districts/cities in West Java Province in 2004-2010, the findings stated that: In the economic field, the effect of decentralization variables has not been demonstrated directly. However, there is indirect effect through the channel of investments variable, where the high level of investment in the region is justified as a form of improved local government performance in attracting investment. In infrastructure, personnel decentralization is the only variable that has an influence on the change of variable road infrastructure. Meanwhile, in the field of education, there are two variables of decentralization which have significant influence on the accessibility of the public to secondary education. Those two variables are functional and personnel decentralization. In the health sector, it was found that the decentralization variable has no significant effect on changes in the ratio of the number of physicians per 1000 population, but it has an influence on increasing the ratio of hospital beds to population. This shows that the channel of the decentralization variables that can have an impact on improving the public welfare is functional decentralization and personnel decentralization. However, the performance of both channels remains to be improved for the future.

Keywords : Decentralization, Public Welfare

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN DESENTRALISASI PADA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

1(Studi Kasus: Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat)

Krismiyati Tasrin dan Putri Wulandari

Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur ILembaga Administrasi Negara

Jl. Kiarapayung Km. 4,7, Jatinangor, SumedangEmail: [email protected], [email protected]

1 Naskah diterima: 29 Agustus 2012Merupakan hasil dari Penelitian Mandiri pada Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur I Lembaga Administrasi Negara Tahun 2012.

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012230

Page 98: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Intisari

Setelah lebih dari 10 tahun kebijakan desentralisasi diimplementasikan Setelah lebih dari 10 tahun kebijakan desentralisasi diimplementasikan di Indonesia, maka dianggap penting untuk melakukan evaluasi kebijakan ini dalam kerangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Desentralisasi dalam penelitian ini diukur dengan tiga dimensi: fiskal, fungsional dan personil. Ketiga variabel ini tidak dibuat dalam indeks komposit tunggal, tetapi indeks yang terpisah yang meliputi variabel bidang ekonomi, infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Dengan menggunakan data panel dari 25 kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat pada 2004-2010, temuan menyatakan bahwa: Di bidang ekonomi, variabel desentralisasi belum menunjukkan pengaruhnya secara langsung, baik dilihat dari variabel desentralisasi fiskal, desentralisasi fungsional maupun desentralisasi personnel. Meskipun tidak ada keterkaitan langsung antara ketiga variabel desentralisasi dengan pertumbuhan ekonomi, namun disinyalir terdapat keterkaitan tidak langsung variabel ini melalui saluran (channel) investasi, dimana tingginya investasi di daerah dijustifikasi sebagai bentuk peningkatan kinerja pemerintah daerah dalam menarik investasi. Di bidang infrastruktur, hanya variabel desentralisasi personil yang memiliki pengaruh terhadap perubahan variabel infrastruktur jalan. Di bidang Pendidikan, terdapat dua variabel desentralisasi yang memiliki pengaruh secara signifikan terhadap aksesibilitas masyarakat pada bidang pendidikan tingkat menengah ke atas. Kedua variabel desentralisasi dimaksud adalah variabel desentralisasi fungsional dan variabel desentralisasi personil. Di bidang kesehatan, ditemukan bahwa variabel desentralisasi tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap perubahan rasio jumlah dokter per 1000 penduduk, tapi memiliki pengaruh terhadap rasio tempat tidur di Rumah Sakit terhadap penduduk. Dari sini terlihat bahwa saluran (channel) dari variabel desentralisasi yang mampu memberikan pengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah variabel desentralisasi fungsional dan variabel desentralisasi personil. Namun demikian kinerja kedua saluran (channel) inipun tetap harus ditingkatkan untuk kedepannya.

Kata kunci: Desentralisasi, Kesejahteraan Masyarakat

A.PENDAHULUANKebijakan desentralisasi telah

m e n j a d i t r e n d m a n a j e m e n pemerintahan selama beberapa dekade terakhir setelah sebelumnya kebijakan sentralisasi mendominasi manajemen pemerintahan di banyak negara di dunia. Secara umum, desentralisasi didefinisikan sebagai pemberian (transfer) wewenang dan tanggung

jawab penanganan fungsi publik dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Adapun alasan utama yang mendorong penggantian sistem sentralisasi dengan desentralisasi adalah karena pemerintah pusat dinilai gagal dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakatnya. Hal ini karena dalam sistem sentralisasi, p e m e r i n t a h m e m b e r l a k u k a n

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN DESENTRALISASI PADA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT(Studi Kasus : Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat)

Krismiyati Tasrin dan Putri Wulandari

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 231

Page 99: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012232

membawa tingkat kesejahteraan yang lebih baik dibandingkan bila dengan sistem sentralisasi (terpusat).

Di Indonesia, kebijakan desentralisasi sesungguhnya sudah dimulai sejak lama, yaitu sejak dikeluarkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1945 tentang pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat. Namun demikian, yang disebut sebagai “big bang” kebijakan desentralisasi di Indonesia memang baru dimulai sejak 1 Januari 2001, yang ditandai dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004. Sejak diberlakukannya kebijakan desentralisasi, pemerintah daerah telah menjadi “pemain utama” dalam pembangunan di daerah, termasuk dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Hirawan, S (2007) bahwa selain untuk memenuhi tujuan demokrasi, hal penting lainnya dari p e m b e r l a k u k a n k e b i j a k a n d e s e n t r a l i s a s i a d a l a h u n t u k m e n i n g k a t k a n k e s e j a h t e r a a n masyarakat.

Terminologi kesejahteraan masyarakat sendiri semestinya tidak didefinisikan dalam arti yang sempit, yang hanya sekedar menggunakan besaran PDRB (maupun PDRB per kapita) sebagai pendekatan (proxy), melainkan harus melibatkan beberapa indikator lain yang dinilai menjadi unsur-unsur pendukung konsep kesejahteraan masyarakat dalam arti luas. Dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, di dalam bagian penjelasan umum disebutkan bahwa “lapangan

penyeragaman (uniformitas) perlakuan (treatment) pada setiap daerah. Dan kebijakan “one size fits all” ini menyebabkan tidak terakomodasinya kekhasan yang dimiliki oleh setiap daerah, sehingga model kebijakan ini dipandang tidak mencerminkan kebutuhan lokal (Oates, 1972). Selain alasan tersebut, Bird dan Vaillancourt (1998) menyatakan bahwa kebijakan desentralisasi menjadi kebijakan populer akhir-akhir ini karena model kebijakan ini menjanjikan terjadinya: efisiensi ekonomi, efektivitas biaya program, akuntabilitas, peningkatan mobilisasi sumber daya, berkurangnya tingkat kesenjangan (disparitas), peningkatan partisipasi politik, serta penguatan demokrasi dan stabilitas politik.

M e l a l u i d e s e n t r a l i s a s i , pemerintah daerah lebih banyak berperan dalam pembangunan karena mereka kini memiliki wewenang dan tanggung jawab untuk melakukan pengembangan masyarakat di wilayah yurisdiksinya. Karena pemerintah lokal dinilai memiliki pengetahuan (knowledge) yang lebih baik tentang kebutuhan (needs) dan preferensi (preferences) warga masyarakatnya, maka proses pembangunan dalam model kebijakan desentralisasi seharusnya menjadi lebih efisien daripada model kebijakan sentralisasi dalam kerangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Hal ini karena dalam kebijakan desentralisasi, p e m e r i n t a h d a e r a h d a p a t mengalokasikan sumber daya dengan lebih baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, secara teoritis, sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa model kebijakan desentralisasi seharusnya mampu

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN DESENTRALISASI PADA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT(Studi Kasus : Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat)

Krismiyati Tasrin dan Putri Wulandari

Page 100: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 233

tergantung pada kondisi setempat. Dengan kata lain, desentralisasi tidak selalu efektif dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Elhiraika (2007) menyebutkan bahwa alasan di balik fenomena ini adalah karena "lack of commensurate revenue assignments, inadequate access to financial markets, and lack of necessary administrative capacity”.

Secara umum, terdapat 3 (tiga) aspek dari desentralisasi yaitu: desentralisasi politik, desentralisasi administratif dan desentralisasi fiskal. Saat ini, dilihat dari aspek politik dan administrati f , tanggung jawab p e n a n g a n a n f u n g s i p u b l i k didistribusikan di antara beberapa tingkat pemerintahan: pusat, provinsi, kabupaten/kota. Di sini, sebenarnya "pemain utama" di era desentralisasi adalah tingkat pemerintahan kabupaten dan kota. Sementara, pemerintah provinsi berperan dalam hal koordinasi dan pengawasan lintas kabupaten/kota di bawah wilayahnya, sedangkan pemerintah pusat berperan sebagai regulator dan fasilitator. Selanjutnya, berkaitan dengan aspek keuangan atau fiskal, terdapat 4 (empat) komponen utama dari desentralisasi fiskal: "(1) tugas pengeluaran (expenditure assignment), (2) tugas pendapatan (revenue assignment), (3) sistem dana perimbangan (intergovernmental system), dan (4) penganggaran dan monitoring keuangan (budgeting and fiscal monitoring)".

Selama ini, studi kuantitatif tentang desentralisasi lebih banyak menggunakan pendekatan fiskal atau keuangan sebagai pendekatan (proxy). Namun, mengingat derajat otonomi pemerintah daerah yang berbeda, maka tidaklah tepat bila untuk mengukur

kesejahteraan sosial adalah sangat luas dan kompleks, yang mencakup antara la in , aspek-aspek pendidikan, kesehatan, agama, tenaga kerja, kesejahteraan sosial dan lain-lain”. Ditinjau dari definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa penilaian tentang kesejahteraan memiliki 2 (dua) dimensi yaitu dimensi fisik dan dimensi psikologis . Mengingat dimensi psikologis, sifatnya sangat subjektif dan proses pengukurannya tidak mudah, maka kebanyakan studi lebih sering menggunakan dimensi fisik sebagai ukuran kese jah teraan masyarakat. Oleh karenanya, saat ini banyak berkembang pengukuran kesejahteraan dari sudut pandang dimensi fisik, misalnya Human D e v e l o p m e n t I n d e x ( I n d e k s Pembangunan Manusia), Physical Quality Life Index (Indeks Mutu Hidup); Basic Needs (Kebutuhan Dasar), dan lain sebagainya.

Secara teor i t i s , t ingkat kesejahteraan masyarakat di daerah harus lebih baik ketika kebijakan desentralisasi diimplementasikan mengingat kualitas informasi dan t i n g k a t t r a n s p a r a n s i d a l a m penyelenggaraan pemerintahan di era desentralisasi lebih baik dibandingkan dari saat era sentralisasi. Namun, meskipun desentralisasi tampaknya telah menjadi gaya manajemen pemerintah yang “menguntungkan” selama beberapa dekade terakhir, Bardhan dan Mookherjee (2005) menyebutkan bahwa pengaruh desentralisasi berbeda dari satu negara ke negara lain. Ini berarti bahwa kebijakan desentralisasi tidak dapat menjamin akan selalu membawa p e n g a r u h p o s i t i f k a r e n a hasil/pengaruhnya akan sangat

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN DESENTRALISASI PADA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT(Studi Kasus : Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat)

Krismiyati Tasrin dan Putri Wulandari

Page 101: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012234

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN DESENTRALISASI PADA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT(Studi Kasus : Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat)

Krismiyati Tasrin dan Putri Wulandari

p e n i n g k a t a n k e s e j a h t e r a a n

masyarakat?

3) Apa implikasi kebijakan yang dapat

dirumuskan dalam kerangka untuk

mengefektifkan implementasi

kebijakan desentralisasi yang

selanjutnya mampu meningkatkan

kesejahteraan masyarakat.

B. METODE PENELITIAN

Objek PenelitianDalam kajian ini, yang menjadi

objek penelitian sekaligus populasi adalah seluruh kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat yang berjumlah 26 daerah. Namun demikian, Kabupaten Bandung Barat yang merupakan daerah yang dimekarkan pada tanggal 2 Januari 2007 dalam analisisnya akan digabungkan dengan Kabupaten Bandung yang merupakan kabupaten induknya. Hal ini dikarenakan penelitian ini secara keseluruhan akan m e n g g u n a k a n d a t a p a n e l kabupaten/kota se Provinsi Jawa Barat sejak tahun 2004 dimana pada saat itu Kabupaten Bandung Barat masih t e rgabung dengan Kabupa ten Bandung. Penggunaan data pada rentang tahun 2004 – 2010 ini dikarenakan penelitian ini memang menggunakan basis data pasca pemberlakukan UU No. 32 Tahun 2004.

Variabel PenelitianDengan memperhitungkan

kemungkinan atau feasibilitas dari sebuah pengukuran, maka variabel desentralisasi dalam penelitian ini diukur dengan 3 (tiga) dimensi. Pertama, derajat Desentralisasi Fiskal diukur dengan menggunakan proxy

desentralisasi hanya dilihat dari aspek fiskal saja (Bird, dalam Hong, 2011). Zimmerman menyatakan bahwa desentralisasi seharusnya diukur tidak dari sebuah single index saja, tapi oleh multiple indicator yang saling berkaitan, yang meliputi 4 (empat) dimensi yaitu: dimensi struktur, keuangan, fungsi, dan personnel (ACIR, dalam Hong, 2011). Stephens (dalam Hong, 2011) juga mengajukan tiga dimensi yaitu dimensi finansial, fungsi, dan personil untuk mengukur derajat desentralisasi pemerintah daerah (state government) di Amerika Serikat.

Selanjutnya, setelah lebih dari

10 tahun kebijakan desentralisasi

diterapkan di Indonesia, maka

dipandang penting untuk melakukan

evaluasi dan penilaian prestasi

desentralisasi kaitannya dengan upaya

peningkatan kesejahteraan masyarakat

da lam penger t i an yang leb ih

komprehensif. Oleh karenanya,

penelitian ini bertujuan untuk

mengukur bagaimana pengaruh

kebijakan desentralisasi terhadap

peningkatan kesejahteraan masyarakat

di daerah khususnya kabupaten/kota di

Provinsi Jawa Barat. Adapun rumusan

permasalahan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut:

1) Apakah pelaksanaan kebijakan

desentralisasi secara signifikan

mempengaruh i pen ingka tan

kesejahteraan masyarakat di

daerah?

2) Melalui saluran (channel) apa

kebijakan desentralisasi tersebut

memberikan pengaruh pada

Page 102: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 235

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN DESENTRALISASI PADA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT(Studi Kasus : Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat)

Krismiyati Tasrin dan Putri Wulandari

t e n a g a k e r j a d i m a k s u d a k a n menggunakan proxy prosentase angkatan kerja yang telah bekerja. Hal ini dikarenakan variabel tenaga kerja disinyalir memiliki kontribusi dalam perkembangan ekonomi suatu wilayah. Selanjutnya variabel investasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah rasio total Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) terhadap PDRB di suatu wilayah. Pemilihan variabel investasi dan variabel tenaga kerja sebagai varaibel kontrol dikarenakan variabel ini disinyalir memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu wilayah sebagaimana digunakan dalam penelitian Jing Jin dan Heng-fu Zou (2000).

Sementara i tu , variabel dependen dalam penelitian ini adalah variabel-variabel terkait dengan kesejahteraan masyarakat yang didefiniskan dalam pengertian luas, yang mencakup beberapa aspek seperti: aspek ekonomi wilayah, aspek infrastuktur, aspek pendidikan dan aspek kesehatan. Variabel yang menjadi proxy dari aspek ekonomi wilayah meliputi: variabel PDRB per kapita. Hal ini didasarkan atas logika bahwa variabel PDRB per kapita memberikan informasi mengenai seberapa banyak nilai tambah (value added) yang dihasilkan di setiap daerah, sehingga merupakan indikator dasar untuk memahami kondisi ekonomi suatu daerah secara keseluruhan.

Te r k a i t d e n g a n a s p e k infrastruktur, variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel pertambahan panjang jalan per kapita. Variabel ini dinilai penting dalam menunjang terciptanya kesejahteraan

persentase/rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) te rhadap to ta l penerimaan daerah (local revenue). Hal ini karena implikasi pertama dari d i b e r l a k u k a n n y a k e b i j a k a n desentralisasi adalah bahwa sekarang setiap daerah otonom memiliki kewenangan untuk mencari sumber pendanaannya sendiri. Kedua, derajat Desentralisasi Fungsional diukur dengan persentase/rasio pengeluaran pemerintah daerah dari pengeluaran total pemerintah secara nasional. Sebagaimana dijelaskan oleh Hong (2011), sesungguhnya proxy yang paling akurat untuk mengukur derajat desentralisasi fungsional adalah persentase/rasio fungsi yang diemban oleh pemerintah daerah terhadap fungsi pemerintah total, namun demikian, data time-series dari proxy tersebut sulit untuk dikumpulkan, sehingga dalam penelitian ini digunakan pendekatan/proxy pengeluaran (expenditures). Ketiga, derajat Desentralisasi Personil diukur dengan persentase/rasio Pegawai Negeri Sipil (PNS) daerah terhadap Pegawai Negeri Sipil (PNS) pusat. Hal ini mengingat, implikasi lain dari adanya transfer kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah harus diikuti dengan transfer sumber daya berupa dana, sarana dan personil.

Selain variabel desentralisasi sebagaimana dijelaskan di atas, dalam penelitian ini juga digunakan variabel kontrol yang terdiri dari Variabel Investasi dan Tenaga Kerja. Variabel kontrol ini dibuat dalam rangka untuk melihat kemungkinan adanya variabel-variabel lain di luar variabel yang d i t e l i t i , y a n g d i n i l a i a k a n mempengaruhi tingkat kesejahteraan masyarakat suatu wilayah. Variabel

Page 103: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012236

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN DESENTRALISASI PADA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT(Studi Kasus : Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat)

Krismiyati Tasrin dan Putri Wulandari

ini didasarkan atas pemikiran bahwa

jika perbedaan daerah tidak diukur

dengan indikator tunggal melainkan

diukur dengan berbagai indikator yang

mewakili berbagai aspek, maka hal ini

dinilai lebih persuasif untuk melihat

berbaga i aspek kese jah te raan

masyarakat di daerah dibandingkan

jika harus disusun dalam satu indeks

gabungan/komposit tunggal.

Metode Analisis

M e t o d e a n a l i s i s y a n g

digunakan dalam penelitian ini adalah

deskriptif kuantitatif. Metode analisis

ini bertujuan untuk memberikan

gambaran, mengkaji dan menguji

keberadaan teori secara empirik dari

variabel-variabel independent yang

mempengaruhi sua tu var iabe l

dependent. Metode analisis deskriptif

disusun berdasarkan data sekunder,

literatur, jurnal, makalah, artikel dan

hasil-hasil penelitian terdahulu yang

berkaitan dengan permasalahan yang

diteliti. Dalam melakukan metode

analisis kuantitatif dilakukan melalui

pemodelan ekonometrika yang

diinterpretasikan secara statistik.

Adapun teknik pengolahan data

dilakukan dengan menggunakan

Program Eviews.

Jenis Data, Teknik Pengumpulan Data dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam

penelitian ini merupakan data panel

(pooled data) yaitu gabungan data yang

terdiri dari data runtut waktu (time

series) dan data silang tempat (cross

masyarakat di daerah. Hal ini mengingat tingkat kualitas aspek infrastruktur dapat berfungsi untuk merangsang atau justru mengganggu kegiatan-kegiatan ekonomi meskipun tidak secara langsung menghasilkan produk ekonomi. Dilihat dari teorinya, panjang dan kondisi jalan memang berhubungan erat dengan kenyamanan hidup setiap warga yang lebih jauh dapat dikaitkan dengan aspek kesejahteraan masyarakat.

Selanjutnya untuk mengukur indikator pendidikan, penelitian ini menggunakan proxy jumlah gedung sekolah per penduduk dan rasio murid terhadap guru untuk tingkat pendidikan SLTA. Variabel pertama menunjukkan tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap infrastruktur pendidikan tingkat menengah atas, sementara variabel kedua menunjukkan kualitas tingkat pendidikan dipandang dari sisi komposisi rasio guru terhadap murid. Kemudian, untuk mengukur indikator kesehatan, penelitian ini menggunakan proxy jumlah dokter per 1.000 penduduk dan jumlah tempat tidur di Rumah Sakit per 1.000.000 penduduk. Di sini, jumlah dokter adalah indikator yang banyak digunakan untuk mewakili pembangunan layanan kesehatan. Sementara itu, jumlah tempat tidur di Rumah Sakit, meski terlihat tidak terkait langsung dengan pembangunan daerah, namun dapat dipastikan memiliki kaitan erat dengan tingkat kesejahteraan suatu wilayah.

S a m a h a l n y a d e n g a n

perlakukan pada variabel-variabel

independen, penelitian ini juga tidak

m e n g h a s i l k a n i n d e k s

gabungan/komposit untuk mengukur

tingkat kesejahteraan masyarakat. Hal

Page 104: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 237

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN DESENTRALISASI PADA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT(Studi Kasus : Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat)

Krismiyati Tasrin dan Putri Wulandari

dokter dan jumlah tempat tidur di

Rumah Sakit berasal dari data basis

IPM Provinsi Jawa Barat.

4) Data tentang jumlah investasi baik

berupa Penanaman Modal Dalam

N e g e r i ( P M D N ) m a u p u n

Penanaman Modal Asing (PMA)

diperoleh dari Badan Penanaman

Modal Daerah Provinsi Jawa Barat.

Model Penelitian

Pada umumnya, model yang

digunakan dalam penelitian ini

m e r u j u k p a d a m o d e l y a n g

dikembangkan oleh Hong (2011)

dengan beberapa penyesuaian dalam

pendefinisian variabel independen

yang digunakannya untuk mengukur

derajat desentralisasi dan juga variabel

dependen yang menjelaskan tentang

k e s e j a h t e r a a n m a s y a r a k a t .

Selanjutnya, secara matematis model

yang digunakan dalam penelitian ini

sebanyak 6 (enam) model, yang

diformulasikan sebagai berikut:

• Untuk melihat pengaruh kebijakan

d e s e n t r a l i s a s i t e r h a d a p

kesejahteraan masyarakat di bidang

ekonomi wilayah (region economic

disporty) digunakan Model 1 :

Y = â + â DFis + â DFung + â DP 1 2 3 4

+ â Invest + â TK + å (3.1)5 6

• Untuk melihat pengaruh kebijakan

d e s e n t r a l i s a s i t e r h a d a p

kesejahteraan masyarakat di bidang

infrastruktur digunakan Model 2 :

PJ = ã + ã DFis + ã DFung + ã DP 1 2 3 4

+ ã Invest + ã TK + å (3.2)5 6

• Untuk melihat pengaruh kebijakan

d e s e n t r a l i s a s i t e r h a d a p

section) dari 26 kabupaten/kota di

Provinsi Jawa Barat pada periode

2004-2010 yang mewakili tahun-tahun

pasca diberlakukannya Undang-

Undang No. 32 Tahun 2004. Teknik

pengumpulan data dilakukan melalui

kegiatan studi kepustakaan (library

research) dari berbagai sumber untuk

mencari gambaran secara faktual,

dimulai dengan melakukan kajian

pustaka dan review hasil penelitian

terkait, sehingga dapat diperoleh

gambaran yang jelas dan menyeluruh

tentang objek dan analisis yang akan

dilakukan.

Sifat dari penelitian ini adalah

kuantitatif, sehingga data yang

digunakan bersumber dari data

sekunder yang berasal dari berbagai

dokumen resmi pemerintah seperti

Nota Keuangan, Laporan Bank

Indonesia, dan Data Basis IPM.

Adapun instansi yang mengeluarkan

data tersebut adalah sebagai berikut:

1) Data mengenai penerimaan dan

pengeluaran nasional berasal dari

Nota Keuangan Kementerian

Keuangan.

2) Data mengenai jumlah PNS daerah

berasal dari Badan Kepegawaian

Daerah (BKD), sedangkan data

mengenai jumlah PNS nasional

berasal dari Badan Kepegawaian

Nasional (BKN).

3) Data mengenai Pendapatan Asli

Daerah, Total Penerimaan Daerah,

Tenaga Kerja, PDRB perkapita,

Panjang jalan perkapita, Jumlah

Sekolah SLTA, Jumlah Guru dan

Murid tingkat SLTA negeri, jumlah

Page 105: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012238

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN DESENTRALISASI PADA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT(Studi Kasus : Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat)

Krismiyati Tasrin dan Putri Wulandari

dikenal dengan model Common Effect,

model Fixed Effect, dan model Random

Effect. Setelah itu akan dilakukan

pengujian kesesuaian model dengan

menggunakan uji : Chow Test ,

Hausman Test dan Langrange

Multiplier (LM) test. Sementara itu, uji

kriteria statistik yang dilakukan

mel iput i penaksiran koef is ien 2

determinasi (R ), uji signifikansi

parsial dengan Uji t dan uji koefisien

regresi secara menyeluruh dengan

Uji F.

C. KONSEP DESENTRALISASISelama beberapa dekade

terakhir, kecenderungan yang jelas telah muncul di banyak negara adalah terjadinya peralihan manajemen pemerintahan dari sistem sentralisasi ke sistem desentralisasi. Desentralisasi sendiri secara umum didefinisikan sebagai pelimpahan kewenangan ( t ransfer of authori ty ) dalam penanganan fungsi publik dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sementara Cheema dan Rondinelli (1983) memberikan definisi yang lebih luas berupa: “The transfer of re s p o n s i b i l i t y f o r p l a n n i n g , management, and resource-raising and allocation from the central government to (a) field units of central government ministries or agencies; (b) subordinate units or levels of government; (c) semi-autonomous public authorities or corporations; (d) area-wide regional or functional authorities; or (e) NGOs/PVOs”.

Pada konteks negara kesatuan (unitary state), kebijakan pemberian otonomi kepada daerah merupakan kebijakan tipikal yang banyak terjadi

kesejahteraan masyarakat di bidang

pendidikan digunakan Model 3 dan

Model 4 sebagai berikut :

SKLHPDDK = è + è DFis + 1 2

è DFung + è DP + è Invest + 3 4 5

è TK + å (3.3)6

MG = ä + ä DFis + ä DFung + 1 2 3

ä DP + ä Invest + ä TK + å (3.4)4 5 6

• Untuk melihat pengaruh kebijakan

d e s e n t r a l i s a s i t e r h a d a p

kesejahteraan masyarakat di bidang

kesejatan digunakan Model 5 dan

Model 6 sebagai berikut :

DRCap = ñ + ñ DFis + ñ DFung + 1 2 3

ñ DP + ñ Invest + ñ TK + å (3.5)4 5 6

TTIDPDDK = ö + ö DFis + 1 2

ö DFung + ö DP + ö Invesr + 3 4 5

ö TK + å (3.6)6

Di mana: Ypcap = PDRB perkapita;

PJcap= Panjang jalan berkualitas baik

perkapita; DRcap = Rasio dokter per

1000 penduduk; SKLHPDDK = Rasio

gedung sekolah SLTA per penduduk;

MG = Rasio murid dan guru tingkat

SLTA; TTIDPDDK= Rasio jumlah

tempat tidur di rumah sakit per

1 . 0 0 0 . 0 0 0 p e n d u d u k ; D f i s =

Desentralisasi fiskal; Dfung =

Desentralisasi fungsional; DP =

Desentralisasi personil; TK = Jumlah

tenaga kerja; Invest = Investasi; â, ã, ä,

è, ñ = koefisien regresi; å = error term

(gangguan).

Teknik Estimasi, Evaluasi Model

dan Uji Kriteria Statistik

Dalam penelitian ini akan

digunakan tiga teknik estimasi yaitu:

metode PLS (Panel Least Square) atau

Page 106: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 239

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN DESENTRALISASI PADA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT(Studi Kasus : Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat)

Krismiyati Tasrin dan Putri Wulandari

pemerintah pusat demi tegaknya NKRI.

Merunut pada sejarah panjang pemberlakuan kebijakan desentralisasi di Indonesia, selama ini yang dikenal dengan istilah “big bang” desentralisasi adalah sejak diberlakukannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 pada tanggal 1 Januari 2001 yang kemudian digantikan oleh UU No. 32 Tahun 2004. Sejak itu manajemen pemerintahan di Indonesia telah berubah dari sistem terpusat ke sistem desentralisasi. Dalam kebijakan desentralisasi ini, pemerintah daerah berperan sebagai “pemain utama” dalam pembangunan daerah, termasuk dalam memberikan pelayanan publik.

Pelimpahan kewenangan kepada pemerintah daerah ini selanjutnya berimplikasi pada adanya penyerahan sumber daya baik berupa dana (finansial), sarana dan personil. Dalam konteks finansial, kebijakan desentral isas i te lah membawa perubahan mendasar dalam sistem manajemen keuangan (fiskal) di daerah. Hal ini terlihat dari besarnya sumber pendanaan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam bentuk transfer atau dana perimbangan (intergovernmental system). Konsekuensi di bidang fiskal yang lain adalah bahwa pemerintah daerah kini diberi wewenang untuk menarik pajak dan retribusi dan juga memperoleh bagi hasil baik dari pajak maupun dari sumber daya alam (revenue assignment). Selain itu, keb i jakan desen t ra l i sas i juga berimplikasi pada meningkatkan kewenangan bagi pemerintah daerah u n t u k m e n g a l o k a s i k a n d a n memanfaatkan sumber daya sesuai dengan sektor-sektor prioritas dalam

seperti halnya di Indonesia. Di sini pemberian kewenangan didasarkan atas beberapa justifikasi. Pertama, dalam negara kesatuan, pemberian otonomi sesungguhnya merupakan perwujudan kedaulatan rakyat sebagai satu kesatuan bangsa, bukan sebagai kedaulatan berbagai kelompok masyarakat bangsa yang berdiri sendiri-sendiri. Kedua , adanya kenyataan bahwa pemerintah pusat tidak akan cukup mampu mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat yang sangat beragam dan dalam rentang geografis yang sangat jauh. Berdasarkan hal-hal tersebutlah, selanjutnya, pemerintah pusat mendesentralisasikan kewenangannya kepada daerah agar daerah dapat memenuhi kepentingan dan aspirasi masyarakat setempat secara lebih efektif dan efisien. Keefektifan dan keefisienan ini dikarenakan pemerintah daerah dinilai lebih memahami kebutuhan (needs) dan preferensi (preference) dari masyarakat yang ada di wilayah yurisdiksinya.

P a d a p r i n s i p n y a , penyelenggaraan otonomi daerah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, pemberdayaan dan peran serta masyarakat dan peningkatan daya saing daerah dalam sistem NKRI. Otonomi daerah juga harus menjamin keserasian hubungan antara daerah satu dengan daerah lainnya, yang berarti mampu membangun kerjasama antar daerah untuk meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah (regional disparity). Penyelenggaraan otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah dengan

Page 107: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012240

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN DESENTRALISASI PADA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT(Studi Kasus : Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat)

Krismiyati Tasrin dan Putri Wulandari

(E lh i ra ika , 2007) ; persen tase penerimaan pajak daerah dibagi dengan total penerimaan pajak nasional (Hong, 2011); Share PAD terhadap total penerimaan daerah, share dana bagi hasil (revenue sharing) terhadap total penerimaan daerah, dan share dana perimbangan terhadap total penerimaan daerah (Altito (2010), Tasrin (2011), Jin Jin dan Heng-fu, Zou (2000), Slinko, Irina (2002)).

Sementara itu, beberapa variabel dari sisi pengeluaran (expenditure) yang digunakan untuk mengukur derajat desentralisasi fiskal pada beberapa kajian sebelumnya, antara lain: persentase alokasi APBD (budget allocation) untuk sektor pendidikan terhadap total pengeluaran dae rah (Tas r in , 2011 ) ; r a s io pengeluaran pemerintah daerah terhadap total pengeluaran nasional (Jin Jin dan Heng-fu, Zou (2000); Slinko, Irina (2002).

Sebenarnya, penggunaan indikator pendapatan (revenue) dan pengeluaran (expenditure) sebagai proxy untuk mengukur derajat desentralisasi fiskal mengandung kelemahan. Hal ini dinyatakan oleh Ebel dan Yilmaz (2002) serta Slinko (dalam Siagian, Altito R. (2010). Penjelasan mengenai hal ini adalah sebagai berikut:

The problem with the expenditure decentralization is that local government usually does not have real degree of autonomy but act on behalf of the r e g i o n a l a n d f e d e r a l government. We also have problems with the revenue side e s t i m a t i o n o f f i s c a l decentralization since those also could be not the consequence of

w i l a y a h y u r i s d i k s i m e r e k a ( e x p e n d i t u re a n d b u d g e t i n g assignment). Selanjutnya, implikasi lain dari adanya transfer kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah juga harus diikuti dengan transfer sumber daya sarana dan personil yang dimaksudkan untuk mendukung pelaksanaan kewenangan-kewenangan yang telah dilimpahkan kepada daerah.

D. INDIKATOR DESENTRALISASISebagaimana disebutkan

sebelumnya bahwa desentralisasi terdiri dari tiga aspek yang saling berkaitan satu sama lain: politik, administratif dan fiskal. Di antara ketiganya, desentralisasi fiskal lah yang paling banyak dibahas pada berbagai studi kuantitif. Dalam berbagai studi terkait, untuk mengukur desentralisasi fiskal di suatu daerah, variabel yang seringkali digunakan adalah pengeluaran (expenditure) dan penerimaan (revenue). Ebel dan Yilmaz (2002) menyatakan bahwa terdapat variasi dalam pemilihan indikator untuk mengukur derajat desentralisasi antara negara yang satu dengan negara yang lain. Artinya, meskipun sama-s a m a m e n g g u n a k a n v a r i a b e l p e n g e l u a r a n d a n p e n e r i m a a n pemerintah, variabel ukuran yang digunakan dapat berbeda-beda.

Beberapa studi terdahulu menggunakan variabel-variabel pengukuran derajat desentralisasi fiskal yang sangat bervariasi. Dari sisi penerimaan (revenue), beberapa pendekatan (proxy) yang digunakan misalnya variabel share PAD (own-source revenue) terhadap total pendapatan daerah dan share dana transfer terhadap total pendapatan

Page 108: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 241

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN DESENTRALISASI PADA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT(Studi Kasus : Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat)

Krismiyati Tasrin dan Putri Wulandari

merupakan penjelasan dari variabel fungsional.

A d a n y a k e l e m a h a n penggunaan variabel desentralisasi fiskal sebagai satu-satunya variabel yang digunakan untuk mengukur derajat desentralisasi, sedikit banyak telah dijawab oleh Hong (2011) melalui penggunaan beberapa variabel lain diluar variabel desentralisasi fiskal. Hal ini mengacu pada pernyataan Zimmerman yang berpendapat bahwa definisi desentralisasi harus diukur bukan dengan indeks tunggal, tetapi oleh beberapa indeks yang saling terkait. Di sini dan Zemmerman dalam Hong (2011) mengklasifikasikan desentralisasi menjadi empat dimensi struktur, fungsi, keuangan, dan personil. Mengacu pada konsep desentralisasi Zimmerman ini, penelitian Hong (2011), meniadakan aspek struktural dan menggunakan tiga dimensi lainnya yaitu: dimensi fungsi, keuangan dan personil.

Dalam kerangka penelitian yang lebih komprehensif, penelitian ini akan mengadopsi pendekatan yang dilakukan dalam penelitian Hong (2011), yang selain menggunakan dimensi desentralisasi fiskal juga menggunakan dimensi desentralisasi fungsional dan desentralisasi personil. Adapun variabel yang menjadi proxy dari dimensi fungsional adalah sama dengan variabel desentralisasi fiskal dari aspek pengeluaran (expenditure) yaitu rasio pengeluaran daerah terhadap total pengeluaran nasional. Hal ini didasarkan atas justifikasi bahwa esensi dari desentralisasi sebaga imana te lah d i je laskan sebelumnya adalah berupa penyerahan kewenangan (transfer of authority) penanganan fungsi publik dari

municipal ability to rise and a s s i g n t a x e s , b u t t h e consequence of the revenue-sharing policy of regional government.

Namun demikian, dalam penelitian ini, pendekatan dari sisi penerimaan (revenue) masih akan dijadikan sebagai variabel proxy untuk mengukur derajat desentralisasi fiskal. Adapun variabel yang akan digunakan adalah share Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total penerimaan daerah, sebagaimana digunakan dalam penelitian Jin Jin dan Heng-fu, Zou (2000), Slinko (2002); Elhiraika (2007); Altito (2010), Tasrin (2011). Penggunaan variabel ini didasarkan atas justifikasi bahwa PAD adalah alat ukur kemandirian daerah. Semakin tinggi share PAD terhadap total penerimaan daerah berarti semakin besar kemampuan daerah untuk menyelenggarakan pembangunan di d a e r a h n y a . D i s i n i , P A D mencerminkan local taxing power yang “cukup” sebagai necessary condition bagi terwujudnya otonomi daerah yang luas (Altito, 2010). Hal ini karena pajak daerah (local tax) dan retribusi daerah merupakan sumber utama dalam PAD.

Selanjutnya, selain aspek penerimaan (revenue), kajian ini juga akan menggunakan variabel dari aspek pengeluaran (expenditure) yaitu rasio penge lua ran dae rah t e rhadap pengeluaran nasional. Variabel ini juga digunakan oleh Hong (2011) dalam penelitiannya yang mengambil studi kasus Korea Selatan, hanya saja Hong menempatkan variabel ini bukan sebaga i bag ian da r i va r iabe l desentralisasi fiskal melainkan

Page 109: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012242

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN DESENTRALISASI PADA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT(Studi Kasus : Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat)

Krismiyati Tasrin dan Putri Wulandari

pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Ini berarti, pasca implementasi kebijakan desentralisasi, daerah memiliki kewenangan-kewenangan untuk melakukan pembangunan di daerahnya. Berdasarkan UU No. 32 tahun 2004, saat ini kewenangan pemerintah pusat meliputi enam bidang yaitu politik luar negeri, pertahanan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional dan agama, sementara kewenangan pemerintah daerah meliputi: (1) perencanaan dan pengendalian pembangunan; (2) perencanaan, pemanfaatan dan p e n g a w a s a n t a t a r u a n g ; ( 3 ) penyelenggaraan ketertiban umum dan k e t e n t r a m a n m a s y a r a k a t ; ( 4 ) penyediaan sarana dan prasarana umum; (5) penangan bidang kesehatan; (6) penyelenggaraan pendidikan; (7) penanggulangan masalah sosial; (8) pelayanan bidang ketenagakerjaan; (9) fasilitas pengembangan koperasi serta usaha kecil dan menengah; (10) pengendalian lingkungan hidup; (11) pelayanan pertanahan; (12) pelayanan kependudukan dan catatan sipil; (13) pelayanan adminis t ras i umum pemerintahan; (14) pelayanan administrasi penanaman modal; (15) penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; (16) urusan wajib lainnya yang telah diamanatkan oleh perundang-undangan.

Selanjutnya, daerah harus menyusun pengeluaran pemerintah dalam rangka membiayai berbagai aktivitas atau fungsi yang menjadi tanggungjawabnya. Di sini, dalam mengalokasikan pembelanjaan atas sumber-sumber penerimaannya terkait dengan fungsi desentralisasi, daerah memiliki kebijakan penuh untuk menentukan besaran dan sektor apa

yang akan dibelanjakan (kecuali transfer DAK yang digunakan untuk kebutuhan khusus) yang dituangkan dalam APBD. APBD pada dasarnya memuat rancangan keuangan yang diperoleh dan dipergunakan oleh p e m e r i n t a h d a e r a h d a l a m melaksanakan kewenangannya untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum selama satu tahun angga ran . Ras io penge lua ran p e m e r i n t a h d a e r a h t e r h a d a p pengeluaran nasional inilah yang selanjutnya dijadikan proxy dari dimensi desentralisasi fiskal (aspek pengeluaran) atau oleh Hong (2011) disebut sebagai bagian dari dimensi desentralisasi fungsional.

Selanjutnya, terkait dengan dimensi desentralisasi personil, kajian ini menggunakan pendekatan variabel rasio jumlah PNS daerah terhadap PNS pusat. Adapun alasan penggunaan variabel ini adalah bahwa adanya pe l impahan kewenangan da r i pemerintah pusat kepada pemerintah daerah akan berimplikasi pada kebutuhan pelimpahan sumber daya baik keuangan, personil, maupun sarana dan prasarana.

E. INDIKATOR KESEJAHTERAAN

MASYARAKATSama halnya dengan istilah

desentralisasi, pendefinisian aspek kesejahteraan masyarakat juga sangat beragam. Dalam pemahaman sempit, kesejahteraan masyarakat sering kali didekati dengan menggunakan proxy PDB per kapita. Namun pada beberapa tahun terakhir ini, penggunaan PDB per kapita (dan juga turunannya) sebagai satuan ukuran yang kerap digunakan untuk mengukur kesejahteraan masyarakat, telah mengundang

Page 110: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 243

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN DESENTRALISASI PADA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT(Studi Kasus : Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat)

Krismiyati Tasrin dan Putri Wulandari

kesehatan. Senada dengan hal tersebut, penelitian Hong (2011) juga mencoba mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah dari sudut pandang kualitas hidup melalui 8 indikator, yang terbagi atas 4 dimensi yaitu: ekonomi regional, infratruktur, sumber daya manusia, dan kesehatan dan kesejahteraan.

S e l a n j u t n y a , d a l a m pendefinsian kesejahteraan masyarakat dalam kajian ini akan mengikuti pendefinsian menurut Hong (2011) yang tidak hanya menggunakan indikator PDRB per kapita sebagai s a t u - s a t u n y a i n d i k a t o r y a n g menjelaskan tentang kesejahteraan masyarakat, namun juga meliputi beberapa dimensi terkait dengan pelayanan publik dasar seperti p e n d i d i k a n , k e s e h a t a n d a n infrastruktur. Hal inilah yang menjadikan positioning kajian ini dalam konstelasi kajian-kajian sejenis yang pernah dilakukan, sebagai salah satu kajian yang menggunakan pendekatan yang cukup komprehensif.

F. HASIL ESTIMASI

Sebagaimana telah dijelaskan

sebelumnya bahwa terdapat tiga teknik

estimasi model regresi data panel yang

dapat digunakan yaitu model dengan

PLS (Common Effect), model Fixed

Effect dan model Random Effect.

Dalam penelitian ini, ketiga teknik

estimasi tersebut dibuat semua untuk

selanjutnya dilakukan uji untuk

menentukan teknik estimasi mana yang

paling tepat. Selanjutnya, berikut ini

disajikan ketiga hasil estimasi tersebut.

perdebatan di berbagai kalangan. Hal i n i ka rena se r ingka l i t e r j ad i ketidaksinkronan antara angka dan realitas “kesejahteraan” yang terjadi di masyarakat. Persoalan inilah yang selanjutnya menyebabkan Presiden Perancis Nicholas Sarkozy, pada Februari 2008, -yang tidak puas dengan kondisi info statistik mengenai perekonomian dan masyarakat saat itu- meminta Joseph Stiglitz, Amartya Sen, dan Jean-Paul Fi toussi untuk membentuk Komisi Pengukuran Kinerja Ekonomi dan Kemajuan Sosial (CMEPSP). Pembuatan komisi ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi keterbatasan PDB sebagai indikator kinerja ekonomi dan kemajuan sosial.

Beberapa penelitian terdahulu juga telah mencoba menggunakan pendekatan yang lebih komprehensif u n t u k m e n j e l a s k a n t e n t a n g kesejahteraan masyarakat. Trend terbaru menafsirkan bahwa konsep kesejahteraan masyarakat di suatu daerah dalam arti luas dimaknai sebagai suatu kondisi dimana tercapai kualitas hidup yang baik atau kecukupan kebutuhan dasar manusia. Liu dalam Hong (2011) adalah contoh kasus yang menggunakan pendekatan kualitas hidup untuk mengukur tingkat pembangunan daerah. Di sini, Liu membangun lima dimensi kualitas hidup seperti ekonomi, politik, lingkungan, kesehatan dan pendidikan, dan sosial, dan kemudian memilih 123 indikator untuk lima dimensi tersebut.

Jika konsep kesejahteraan masyarakat ditafsirkan sebagai konsep kualitas hidup maka penjelasan mengenai konsep ini harus diartikan sebagai konsep yang sangat luas yang m e n c a k u p d i m e n s i k e p u a s a n ps iko log i s , kebahag iaan , dan

Page 111: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012244

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN DESENTRALISASI PADA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT(Studi Kasus : Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat)

Krismiyati Tasrin dan Putri Wulandari

individu maupun waktu. Di sini

digunakan asumsi bahwa perilaku data

antar unit analisis, berupa kabupaten

dan kota, memiliki kesamaan dalam

berbagai kurun waktu. Lebih lanjut,

hasil regresi PLS ditunjukkan pada

Tabel 1.

Estimasi Dengan Pendekatan PLS (Common Effect)

Teknik estimasi yang paling

sederhana untuk mengestimasi data

panel adalah dengan menggunakan

metode PLS atau yang juga dikenal

dengan Common Effect. Pendekatan

PLS tidak memperhatikan dimensi

Tabel 1. Pencapaian IPM Beberapa Daerah Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat

Variabel Dependent

Variabel Independent Variabel KontrolR2Desentralisasi

Fiskal

Desentralisasi Fungsional

Desentralisasi Personnel

Investasi Tenaga Kerja

PDRB per kapita

51.12054*

17.59245

-3975.563*

129.9628***

71.11486*** 0.120099

Panjang Jalan per kapita

0.000158

-0.000124

-0.257653***

-0.000710*

0.001552*** 0.307635

Jumlah Gedung Sekolah SLTA

-14.76203

-448.7142**

12526.50

1803.278***

610.6346*** 0.094536

Rasio Murid dan Guru tingkat SLTA

0.161725

-0.037405

-0.25.78469

-0.030311

0.289502*** 0.004175

Jumlah dokter per 1000 penduduk

0.000567*

-0.000162

-0.155716***

-0.000170

0.001294*** 0.146739

Jumlah tempat tidur per 1,000,000 penduduk

-25.22147* -12.55769* 8700.701*** -27.46956* 12.89189*** 0.322758

Catatan: * p< 0.1; ** p < 0.05; dan *** p < 0.01Sumber: Hasil Estimasi

merubah asumsi bahwa intersep adalah

b e r b e d a a n t a r u n i t a n a l i s i s

kabupaten/kota sedangkan slope antar

unit analisis kabupaten/kota tetap

sama. Model yang mengasumsikan

adanya perbedaan intersep di dalam

persamaan tersebut dikenal dengan

model regresi Fixed Effect. Adapun

hasil regresi Fixed Effect ditunjukkan

pada Tabel 2.

Estimasi Dengan Pendekatan Fixed Effect

Pada pendekatan yang pertama

digunakan asumsi bahwa intersep dan

slope adalah sama baik antar waktu

m a u p u n a n t a r u n i t a n a l i s i s

kabupaten/kota. Namun demikian,

penggunaan asumsi ini sebenarnya

kurang realistis mengingat adanya

perbedaan karakter i s t ik an tar

kabupaten/kota baik dilihat dari potensi

sumber daya alam, karakteristik sosial

b u d a y a p e n d u d u k , m a u p u n

k a r a k t e r i s t i k m a n a j e m e n

pemerintahan. Oleh karenanya,

berbagai perbedaan karakteristik ini

semestinya diakomodasi dalam model.

Salah satu caranya adalah dengan

Page 112: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 245

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN DESENTRALISASI PADA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT(Studi Kasus : Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat)

Krismiyati Tasrin dan Putri Wulandari

intersep adalah variabel random atau

s tokast ik . Metode yang tepat

digunakan untuk mengestimasi model

Random Effect adalah Generalized

Least Squares (GLS). Adapun hasil

regresi Random Effect ditunjukkan

pada Tabel 3.

Estimasi Dengan Pendekatan Random Effect

P a d a p e n d e k a t a n i n i ,

digunakan variabel residual yang

menganggap bahwa residual mungkin

saling berhubungan antar waktu dan

antar individu. Asumsi yang digunakan

dalam pendekatan ini adalah bahwa

Tabel 2. Hasil Regresi Fixed Effect

Catatan: * p< 0.1; ** p < 0.05; dan *** p < 0.01Sumber: Hasil Estimasi

Tabel 3. Hasil Regresi Random Effect

Variabel

Dependent

Koefisien

Variabel Independent Variabel Kontrol

R2Desentralisasi

Fiskal

Desentralisasi Fungsional

Desentralisasi Personnel

Investasi

Tenaga Kerja

PDRB per kapita

4033.835***

-3.458544

-1.936252

1612.280

29.82069***

21.11355*** 0.982458

Panjang Jalan per kapita

-0.008890

-1.44E-05

3.44E-05

0.063108

-5.49E-05

0.000486 0.886199

Jumlah Gedung Sekolah SLTA

-288385.0**

-3.370697

-520.3765**

580396.7**

2304.431***

1754.948** 0.347784

Rasio Murid dan Guru tingkat SLTA

99.13308

-0.055260

-0.057271

-179.0147

-0.194527

-0.232580 0.148431

Jumlah dokter per 1000 penduduk

0.108354**

0.000111

-8.55E-05

0.003531

3.44E-05

-0.000448 0.796001

Jumlah tempat tidur per 1,000,000 penduduk

1868.388 -12.44986 -0.770172 4832.916 -8.093969 1.154147 0.800939

Variabel

Dependent

Koefisien

Variabel Independent Variabel Kontrol

R2Desentralisasi

Fiskal

Desentralisasi Fungsional

Desentralisasi Personnel

Investasi

Tenaga Kerja

PDRB per kapita

4350,448***

-3.125224

-1.917685

799.3844

30.45513***

20.15609*** 0.160517

Panjang Jalan per kapita

0.072193**

4.26E-06

8.50E-06

-0.137906**

-0.000116

0.000290 0.047097

Jumlah Gedung Sekolah SLTA

-65260.80

41.87001

-527.6597**

32323.72

2085.952***

1255.161* 0.112699

Rasio Murid dan Guru tingkat SLTA

62.10996

0.106361

-0.015840

-32.38579

-0.174260

-0.369508 0.020052

Jumlah dokter per 1000 penduduk

0.162822***

0.000141

-9.91E-05

-0.127155***

-3.33e-05

-0.000596* 0.232036

Jumlah tempat tidur per 1,000,000 penduduk

-122.5091 -14.24296 -2.012269 8483.833*** -11.19679 11.55429 0.305114

Catatan: * p< 0.1; ** p < 0.05; dan *** p < 0.01Sumber: Hasil Estimasi

penelitian ini akan menggunakan 3

(tiga) macam uji yaitu: a) Uji Chow,

digunakan untuk memilih antara

metode OLS tanpa variabel dummy

atau Fixed Effect; b) Uji Hausman,

Setelah melakukan estimasi

dengan ketiga pendekatan tersebut di

atas, selanjutnya akan ditentukan,

pendekatan manakah yang paling tepat

untuk digunakan. Untuk keperluan ini,

Page 113: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012246

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN DESENTRALISASI PADA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT(Studi Kasus : Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat)

Krismiyati Tasrin dan Putri Wulandari

variabel dummy atau Random Effect.

Adapun hasil ketiga uji tersebut dapat

dilihat pada Tabel 4 berikut.

digunakan untuk memilih antara Fixed

Effect atau Random Effect; dan c) Uji

Langrange Multiplier (LM) digunakan

untuk memilih antara PLS tanpa

Tabel 4. Kompilasi Hasil Uji Chow, Uji Hausman dan Uji LM

Model Hasil Uji Kesimpulan

Chow Test Hausman Test LM Test Model 1

0.0000

(Fixed Effect)

0.0809 (Random Effect)

0.0000 (Random Effect)

Random Effect

Model 2

0.0000

(Fixed Effect)

0.0063

(Fixed Effect)

0.0000

(Random Effect)

Fixed Effect

Model 3

0.0050

(Fixed Effect)

0.1141

(Random Effect)

0.0008

(Random Effect)

Random Effect

Model 4

0.6703

(OLS/Common Effect)

0.5091

(Random Effect)

0.5098

(OLS/Common Effect)

OLS/Common Effect

Model 5

0.0000

(Fixed Effect)

0.1470

(Random Effect)

0.0000

(Random Effect)

Random Effect

Model 6 0.0000(Fixed Effect)

0.0025(Fixed Effect)

0.0000(Random Effect)

Fixed Effect

Sumber: Hasil Estimasi

maka selanjutnya untuk kemudahan

proses analisis akan mengacu pada

Tabel 5.

G. HASIL ANALISIS

B e r d a s a r k a n h a s i l u j i

sebagaimana terlihat pada Tabel 4,

Tabel 5. Kompilasi Kesesuaian Model Yang Digunakan

Variabel

Dependent

Koefisien

Variabel Independent Variabel Kontrol

R2Desentralisasi

Fiskal

Desentralisasi Fungsional

Desentralisasi Personnel

Investasi

Tenaga Kerja

Model 1

4033.835***

-3.458544

-1.936252

1612.280

29.82069***

21.11355*** 0.982458

Model 2

0.072193**

4.26E-06

8.50E-06

-0.137906**

-0.000116

0.000290 0.047097

Model 3

-288385.0**

-3.370697

-520.3765**

580396.7**

2304.431***

1754.948** 0.347784

Model 4

0.161725

-0.037405

-0.25.78469

-0.030311

0.289502*** 0.004175

Model 5 0.108354** 0.000111 -8.55E-05 0.003531 3.44E-05 -0.000448 0.796001

Model 6 -122.5091 -14.24296 -2.012269 8483.833*** -11.19679 11.55429 0.305114

Catatan: * p< 0.1; ** p < 0.05; dan *** p < 0.01Model 1, 3, 5 menggunakan Random Effect, Model 2 dan 6 menggunakan Fixed Effect, dan Model 4 menggunakan OLS/Common Effect.Sumber: Hasil Estimasi

diwakili oleh variabel PDRB per kapita. Dan bila dilihat dari keberadaan variabel kontrol, maka terlihat jelas bahwa baik variabel investasi maupun variabel tenaga kerja mempunyai koefisien yang signifikan secara statistik dengan uji t pada á = 1% dan memiliki tanda/sign positif. Ini berarti bahwa perubahan pada kedua variabel

Analisis Model 1Dari Tabel 5, terlihat bahwa

pengaruh langsung antara derajat d e s e n t r a l i s a s i d a n t i n g k a t kesejahteraan masyarakat di bidang ekonomi tidak ada. Hal ini terlihat dari tidak adanya variabel desentralisasi yang signifikan mempengaruhi variabel ekonomi wilayah yang

Page 114: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 247

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN DESENTRALISASI PADA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT(Studi Kasus : Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat)

Krismiyati Tasrin dan Putri Wulandari

Meskipun tidak ada pengaruh langsung antara ketiga variabel desentralisasi dengan pertumbuhan ekonomi, namun disinyalir terdapat pengaruh tidak langsung variabel ini melalui saluran (channel) investasi, dimana tingginya investasi di daerah dijustifikasi sebagai bentuk kinerja pemerintah daerah dalam menarik investasi. Selanjutnya,

2nilai koefisien determinasi (R ) sebesar 0.98258 berarti model 1 mampu menjelaskan variasi kemajuan pertumbuhan bidang ekonomi sebesar 98,26%, namun demikian, pengaruh ini t i d a k b e r a s a l d a r i v a r i a b e l desentralisasi.

Analisis Model 2Dari Tabel 5 juga terlihat

bahwa hanya variabel desentralisasi personil yang memiliki koefisien yang signifikan melalui uji t pada á = 5%. Variabel ini bertanda negatif, artinya bahwa bila terjadi peningkatan rasio PNS daerah terhadap PNS pusat sebesar satu unit maka akan terjadi penurunan rasio panjang jalan yang berkualitas baik. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh besarnya jumlah PNS yang direkruit oleh daerah setiap tahun sejak diberlakukannya kebijakan desentralisasi. Akibatnya saat ini terjadi pembengkakan anggaran rutin yang dialokasikan untuk gaji dan tunjangan PNS daerah, sementara anggaran pembangunan infrastruktur jalan menjadi terkendala. Di sisi lain, laju pertumbuhan penduduk di Provinsi Jawa Barat tergolong tinggi, sehingga dengan minimnya pembangunan jalan yang dilakukan dalam kurun 6 tahun terakhir, maka rasio panjang jalan berkualitas baik per penduduk semakin kecil. Selanjutnya, bila dilihat dari

2koefisien determinasi (R ) yang sangat

kontrol tersebut memiliki pengaruh positif terhadap perekonomian wilayah. Tingginya pengaruh variabel investasi dan variabel tenaga kerja ini, dapat dijelaskan sebagai berikut:

• Berdasarkan teori Fungsi Produksi

N e o K l a s i k , t e n a g a k e r j a

merupakan salah satu faktor input,

selain modal, yang menentukan

produktifitas. Pada skala makro,

tenaga kerja merupakan salah satu

indikator pertumbuhan ekonomi,

k a r e n a t e n a g a k e r j a a k a n

menghasilkan pendapatan, dan

pendapatan yang dihasilkan setiap

individu tenaga kerja ini disebut

sebagai pendapatan per kapita.

Selain itu, tenaga kerja akan

mempengaruhi pertumbuhan

produksi, dimana peningkatan

marginal jumlah tenaga kerja akan

meningkatkan marjinal produksi.

Dan peningkatan marginal produksi

akan terus berambah jika jumlah

tenaga kerja terus bertambah hingga

mencapa i j umlah p roduks i

maksimal.

• Investasi, baik yang berupa

Penanaman Modal Asing (PMA)

maupun Penanaman Modal Dalam

N e g e r i ( P M D N ) d i y a k i n i

merupakan salah satu sumber

pembiayaan pembangunan dan

p e n g u n g k i t ( l a v e r a g e )

pertumbuhan ekonomi. Hal ini

d ikarenakan investas i akan

menambah jumlah barang modal

yang selanjutnya menentukan

produktifitas.

Page 115: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012248

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN DESENTRALISASI PADA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT(Studi Kasus : Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat)

Krismiyati Tasrin dan Putri Wulandari

SLTA per penduduk dapat disebabkan oleh beberapa faktor, pertama, jumlah sekolah SLTA tetap sementara jumlah penduduk meningkat; kedua, jumlah sekolah SLTA dan jumlah penduduk sama-sama mengalami peningkatan tapi dengan laju pertumbuhan yang berbeda, dimana laju pertumbuhan penduduk lebih tinggi dibandingkan laju pertambahan jumlah sekolah SLTA. Untuk konteks Provinsi Jawa Barat, penjelasan kedua tersebut disinyalir merupakan faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan rasio jumlah sekolah SLTA per penduduk. Selain dikarenakan laju pertumbuhan penduduk di Provinsi Jawa Barat yang tergolong tinggi yaitu 1,89 persen pada tahun 2010 yang diakibatkan oleh arus urbanisasi maupun karena pertumbuhan alamiah berupa tingkat kelahiran (natalitas). Di sisi lain, laju pertambahan jumlah sekolah SLTA di Provinsi Jawa Barat tidak terlalu banyak. Hal ini disebabkan oleh karena pemerintah daerah sesungguhnya lebih banyak terfokus pada pengembangan pendidikan tingkat dasar (SD) dan pendidikan tingkat menengah pertama (SMP) yang merupakan bagian dari program wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan secara nas ional d ibandingkan pembangunan sekolah tingkat SLTA.

Va r i a b e l d e s e n t r a l i s a s i personil bertanda positif, artinya, peningkatan rasio PNS daerah terhadap PNS pusat sebesar 1 unit akan mempengaruhi peningkatan rasio jumlah sekolah per penduduk. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: di era desentralisasi, pemerintah daerah banyak yang melakukan rekruitmen PNS, termasuk di dalamnya adalah rekruitmen tenaga pengajar atau guru

kecil, yaitu sebesar 0.047097, maka dapat dikatakan bahwa model 2 hanya m a m p u m e n j e l a s k a n v a r i a s i pertumbuhan infrastruktur jalan berkualitas baik sebesar 5%. Ini berarti b a h w a s e k i t a r 9 5 % v a r i a s i pertumbuhan infrastruktur jalan berkualitas baik dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak terdapat di dalam model ini.

Analisis Model 3Tabel 5 juga menjelaskan

bahwa t e rdapa t dua va r i abe l desentralisasi yang memiliki pengaruh secara signifikan terhadap aksesibilitas masyarakat pada bidang pendidikan tingkat menengah ke atas yang diwakili oleh variabel jumlah gedung sekolah SLTA per penduduk. Kedua variabel desentralisasi dimaksud adalah variabel desentralisasi fungsional, yang didekati dengan variabel rasio pengeluaran pemerintah daerah terhadap total pengeluaran pemerintah secara nasional , dan variabel desentralisasi personil yang diwakili oleh variabel rasio PNS daerah terhadap PNS pusat. Adapun tingkat signifikansi kedua variabel ini adalah pada tingkat kepercayaan 95% atau á = 5%. Namun demikian, kedua variabel ini memiliki pengaruh yang berbeda.

Va r i a b e l d e s e n t r a l i s a s i fungsional bertanda negatif, artinya, peningkatan rasio pengeluaran pemerintah daerah terhadap total pengeluaran pemerintah secara nasional sebesar 1 uni t akan mempengaruhi penurunan rasio jumlah sekolah SLTA per penduduk. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut: Karena variabel dependen pada model ini berbentuk rasio atau perbandingan maka penurunan rasio jumlah sekolah

Page 116: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 249

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN DESENTRALISASI PADA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT(Studi Kasus : Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat)

Krismiyati Tasrin dan Putri Wulandari

pengembangan pendidikan tingkat dasar (SD) dan pendidikan tingkat menengah pertama (SMP) yang merupakan bagian dari program wajib belajar 9 tahun. Sampai dengan saat ini, pemerintah daerah banyak melakukan rekruitmen guru untuk tingkat SD dan SLTA se la in juga melakukan perbaikan-perbaikan dalam hal kesejahteraan guru di tingkat ini. Sebenarnya, rekruitmen guru pada tingkat SLTA tetap dilakukan hanya saja jumlahnya tidak sebanyak pada tingkat SD dan SMP. Selanjutnya, bila

2dilihat dari koefisien determinasi (R ) yang sangat kecil, yaitu sebesar 0.004175, maka dapat dikatakan bahwa model 4 hanya mampu menjelaskan variasi rasio murid dan guru tingkat SLTA sebesar 0.4%. Ini berarti bahwa sekitar 99.6% variasi rasio murid dan guru tingkat SLTA dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak terdapat di dalam model ini.

Analisis Model 5Sama halnya dengan model 4,

dalam model 5, ditemukan bahwa variabel desentralisasi tidak memiliki pengaruh s ign i f ikan te rhadap perubahan rasio jumlah dokter per 1000 penduduk. Selanjutnya, bila

2dilihat dari koefisien determinasi (R ) yaitu sebesar 0.796001, maka dapat dikatakan bahwa meskipun variabel-variabel pada model 5 tidak signifikan, namun secara bersamaan, model ini mampu menjelaskan variasi rasio dokter per 1000 penduduk sebesar 79.60%. Ini berarti hanya sekitar 20.40% variasi rasio dokter per 1000 penduduk dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak terdapat di dalam model ini.

di tingkat SLTA. Sebagai akibat dari banyaknya tenaga pengajar/guru ini selanjutnya pemerintah membangun fasilitas pendidikan berupa gedung sekolah, sehingga rasio jumlah sekolah per penduduk mengalami peningkatan.

Sementara, kedua variabel kontrol, yaitu variabel investasi dan tenaga kerja, masing-masing bertanda positif dan secara statistik signifikan melalui uji t pada á = 1% dan á = 5% secara berurutan. Ini berarti bahwa perubahan pada kedua variabel ini memiliki pengaruh terhadap perubahan rasio jumlah sekolah per penduduk. Hal ini karena peningkatan investasi ini juga mencakup investasi di sektor pendidikan, yang akibatnya demand terhadap tenaga pengajar/guru untuk tingkat SLTA juga meningkat. Sedangkan nilai koefisien determinasi sebesar 0.347784 berarti model mampu menjelaskan variasi rasio jumlah sekolah SLTA per penduduk sebesar 34,78%.

Analisis Model 4Berbeda dengan kelima model

lainnya, setelah melalui serangkaian test, pendekatan yang paling cocok untuk model 4 adalah menggunakan metode PLS atau Common Effect. Sebagaimana terlihat pada tabel 2, t i d a k a d a s a t u p u n v a r i a b e l desentralisasi yang memiliki pengaruh signifikan terhadap rasio murid dan guru tingkat SLTA. Hanya saja variabel tenaga kerja yang merupakan variabel kontrol dalam penelitian ini, memiliki signifikansi pada á = 1%. Sama halnya dengan penjelasan pada model 3, ke t idak - s ign i f ikanan va r i abe l desentral isasi pada model ini disebabkan oleh karena pemerintah daerah lebih banyak terfokus pada

Page 117: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012250

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN DESENTRALISASI PADA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT(Studi Kasus : Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat)

Krismiyati Tasrin dan Putri Wulandari

pada kondisi ceteris paribus , peningkatan rasio investasi terhadap PDRB dan peningkatan rasio tenaga kerja terhadap angkatan kerja sebesar 1 u n i t , m a s i n g - m a s i n g a k a n mengakibatkan peningkatan PDRB per kapita sebesar nilai koefisiennya sebagaimana terlihat pada model 1. Signifikansi dan besarnya pengaruh variabel investasi dan variabel tenaga kerja ini dapat dijelaskan oleh teori Fungsi Produksi Neo Klasik dimana baik modal (investasi) dan tenaga kerja merupakan faktor input yang menentukan produktifitas. Terkait dengan hal ini, meskipun tidak ada keterkaitan langsung antara ketiga variabel desentralisasi dengan pertumbuhan ekonomi, namun disinyalir terdapat keterkaitan tidak langsung variabel ini melalui saluran (channel) investasi, dimana tingginya investasi di daerah dijustifikasi sebagai bentuk peningkatan kinerja pemerintah daerah dalam menarik investasi. Selanjutnya, bila dilihat dari nilai

2koefisien determinasi (R ), sebesar 0.98258, menunjukkan bahwa model 1 mampu menjelaskan variasi kemajuan pertumbuhan bidang ekonomi daerah sebesar 98,26%, namun demikian, pengaruh ini tidak berasal dari variabel desentralisasi, tetapi berasal dari variabel investasi dan variabel tenaga kerja.

Di bidang infrastruktur, hanya variabel desentralisasi personil yang memiliki pengaruh terhadap perubahan variabel infrastruktur jalan. Namun demikian, pengaruh yang d i t u n j u k k a n o l e h v a r i a b e l desentralisasi personil adalah negatif. Ini berarti bahwa bila terjadi peningkatan rasio PNS daerah terhadap PNS pusat sebesar satu unit maka akan

Analisis Model 6

Sementara itu, untuk model 6,

variabel desentralisasi personil

bertanda positif dan secara statistik

signifikan melalui uji t pada á = 1%. Ini

berar t i bahwa apabi la ter jadi

peningkatan rasio PNS daerah terhadap

PNS pusat sebesar 1 unit akan

mempengaruhi peningkatan rasio

jumlah tempat tidur di Rumah Sakit per

1.000.000 penduduk. Selanjutnya, bila 2dilihat dari koefisien determinasi (R )

yaitu sebesar 0.305114, maka dapat

dikatakan bahwa model 6 hanya

mampu menjelaskan variasi rasio

jumlah tempat tidur di Rumah Sakit per

1.000.000 penduduk sebesar 30.51%.

H. PENUTUPBerdasarkan hasil analisis,

maka beberapa kesimpulan yang dapat dibuat adalah sebagai berikut:

Di bidang ekonomi, variabel desentralisasi belum menunjukkan pengaruhnya secara langsung, baik dilihat dari variabel desentralisasi fiskal, desentralisasi fungsional maupun desentralisasi personnel. Hal ini terlihat dari tidak adanya koefisien dari variabel desentralisasi yang signifikan mempengaruhi variabel ekonomi wilayah yang diwakili oleh variabel PDRB per kapita. Adapun determinan yang secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di daerah dijelaskan oleh keberadaan variabel kontrol, yaitu variabel investasi maupun variabel tenaga kerja dimana masing-masing variabel memiliki signifikansi secara statistik dengan uji t pada á = 1% dan memiliki tanda/sign positif. Ini berarti bahwa

Page 118: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 251

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN DESENTRALISASI PADA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT(Studi Kasus : Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat)

Krismiyati Tasrin dan Putri Wulandari

berbeda yang ditunjukkan oleh koefisien variabel desentralisasi fungsional yang bertanda negatif dan koefisien variabel desentralisasi personil yang bertanda positif. Tanda negatif dari variabel desentralisasi fungsional ini menunjukkan bahwa bila terjadi peningkatan rasio pengeluaran pemerintah daerah terhadap total pengeluaran pemerintah secara nasional sebesar 1 uni t akan menyebabkan terjadinya penurunan rasio jumlah sekolah SLTA per penduduk sebesar koefisiennya. Sementara itu, tanda positif dari variabel desentralisasi personil menunjukkan bahwa bila terjadi peningkatan rasio PNS daerah terhadap PNS pusat sebesar 1 unit akan mempengaruhi peningkatan rasio jumlah sekolah per penduduk sebesar koefisiennya. Selain model 3, model 4 juga menjelaskan tentang pengaruh variabel desentralisasi di bidang pendidikan yang dilihat dari kualitas pendidikan tingkat menangah ke atas yang diwakili oleh variabel dependent berupa rasio murid dan guru. Di dalam model 4 ini, ditemukan bahwa tidak ada satupun variabel desentralisasi yang memiliki pengaruh signifikan terhadap rasio murid dan guru tingkat SLTA. Hanya saja variabel tenaga kerja yang merupakan variabel kontrol dalam penelitian ini, memiliki signifikansi pada á = 1%. Ketidak-signifikanan variabel desentralisasi pada model ini disinyalir disebabkan oleh karena pemerintah daerah lebih banyak t e r fokus pada pengembangan pendidikan tingkat dasar (SD) dan pendidikan tingkat menengah pertama (SMP) yang merupakan bagian dari program wajib belajar 9 tahun, sehingga rekruitmen guru SD dan

terjadi penurunan rasio panjang jalan yang berkualitas baik sebesar nilai koefisiennya. Disinyalir, hal ini disebabkan oleh karena pasca p e m b e r l a k u a n k e b i j a k a n desentralisasi, daerah-daerah mulai melakukan recruitmen PNS setiap tahunnya. Akibatnya jumlah PNS d a e r a h s e m a k i n b a n y a k d a n m e n y e b a b k a n p e m b e n g k a k a n kebutuhan anggaran rutin untuk pembayaran gaji dan tunjangan PNS d a e r a h . H a l i n i s e l a n j u t n y a b e r i m p l i k a s i p a d a s e m a k i n menurunnya anggaran pembangunan infrastruktur jalan. Sementara itu, di sisi lain, laju pertumbuhan penduduk di Provinsi Jawa Barat tergolong tinggi, s e h i n g g a d e n g a n m i n i m n y a pembangunan jalan yang dilakukan dalam kurun 6 tahun terakhir, maka rasio panjang jalan berkualitas baik per penduduk semakin kecil. Selanjutnya, bila dilihat dari koefisien determinasi

2(R ) yang sangat kecil, yaitu sebesar 0.047097, maka dapat dikatakan bahwa model 2 hanya mampu menjelaskan variasi pertumbuhan infrastruktur jalan berkualitas baik sebesar 5%. Ini berarti b a h w a s e k i t a r 9 5 % v a r i a s i pertumbuhan infrastruktur jalan berkualitas baik dipengaruhi oleh variabel-variabel lain yang tidak terdapat di dalam model 2.

Di bidang Pendidikan , terdapat dua variabel desentralisasi yang memiliki pengaruh secara signifikan terhadap aksesibilitas masyarakat pada bidang pendidikan tingkat menengah ke atas. Kedua variabel desentralisasi dimaksud adalah variabel desentralisasi fungsional dan variabel desentralisasi personil. Namun demikian, kedua variabel ini memiliki pengaruh yang

Page 119: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012252

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN DESENTRALISASI PADA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT(Studi Kasus : Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat)

Krismiyati Tasrin dan Putri Wulandari

mengoptimalkan kinerja instrumen-

instrumen revenue yang mampu

mendorong terjadinya peningkatan

penerimaan daerah (local revenue),

misalnya melalui optimalisasi pajak

dan r e t r ibus i dae rah yang

merupakan salah satu komponen

utama dalam Pendapatan Asli

Daerah.

• M e n g o p t i m a l k a n p e r a n a n

desentralisasi fungsional, melalui

kebijakan pengalokasian anggaran

yang disesuaikan dengan visi dan

misi daerah untuk meningkatkan

kesejahteraan dan pelayanan

publik.

• M e n i n g k a t k a n p e r a n a n

desentralisasi personil melalui

upaya-upaya peningkatan kapasitas

Sumber Daya Manusia yaitu

Pegawai Negeri Sipil (PNS) daerah.

REFERENSIBadan Pusat Statistik. Provinsi Jawa

Barat Dalam Angka Tahun 2004 -2011. Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Barat. Bandung.

Bird, R., dan Vaillancourt, F. (1998). Fiscal Decentralization in D e v e l o p i n g C o u n t r i e s . Cambridge University Press, United Kingdom.

Cheema, G.S. dan Rondinelli, D.A., (1983). Decentralization and D e v e l o p m e n t : P o l i c y Implementation in Developing Countries . Beverly Hills; London; New Delhi: Sage Publications.

Ebel, Robert D dan Seidar Yilmaz. (2002). Concept of Fiscal Desentralization and World

SLTA lebih banyak dibandingkan guru SLTA.

D i b i d a n g k e s e h a t a n , d i t e m u k a n b a h w a v a r i a b e l desentralisasi tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap perubahan rasio jumlah dokter per 1000 penduduk. Namun demikian, untuk model 6 dengan variabel dependent berupa rasio tempat tidur di Rumah Sakit terhadap, terlihat bahwa variabel desentralisasi personil signifikan dan bertanda positif. Ini berarti bahwa apabila terjadi peningkatan rasio PNS daerah terhadap PNS pusat sebesar 1 unit akan mempengaruhi peningkatan rasio jumlah tempat tidur di Rumah Sakit per 1.000.000 penduduk.

Selanjutnya, terkait dengan saluran (channel) dari variabel d e s e n t r a l i s a s i y a n g m a m p u memberikan pengaruh terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat disimpulkan bahwa variabel desentralisasi fungsional dan variabel desentralisasi personil merupakan saluran (channel) yang berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat. Namun demikian kinerja kedua saluran (channe l ) in ipun te tap harus ditingkatkan untuk kedepannya.

Berdasarkan kesimpulan t e r sebu t d i a t a s , se lan ju tnya dirumuskan beberapa saran yang mengarahkan Pemerintah daerah kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat untuk memaksimalkan peranannya dalam kerangka meningkatkan k e b e r f u n g s i a n d a r i v a r i a b e l d e s e n t r a l i s a s i , b a i k v a r i a b e l desentralisasi fiskal, fungsional maupun personil. Beberapa langkah yang dapat dilakukan, yaitu:

• M e m a k s i m a l k a n p e r a n a n

desentralisasi fiskal dengan

Page 120: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

Jurnal Borneo Administrator | Volume 8 | No. 2 | 2012 253

KAJIAN PENGARUH KEBIJAKAN DESENTRALISASI PADA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT(Studi Kasus : Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat)

Krismiyati Tasrin dan Putri Wulandari

Rose-Ackerman, Edward Elgar.Republik Indonesia. (1974). Undang-

Undang No. 6 tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.

Republik Indonesia. (2004). Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Republik Indonesia. (2007). Peraturan Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten Kota.

Slinko, Irina (2002). The Impact of Fiscal Desentralization on the Budget Revenue Inequality among Municipalities and Growth of Russian Regions. Centre for Economic and Financial Research, Moskow

Siagian, Altito R. (2010). Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah dan Ketimpangan Wilayah (Studi Kasus Provinsi Jawa Barat). Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro.

Stiglitz, Joseph. E, Sen, Amartya, and F i t o u s s i , J e a n - P a u l (diterjemahkan oleh Arumsari, Mutiara dan Bintang Timur, Fi t r i ) . (2011) . Mengukur Kese jahteraan: Mengapa Produk Domestik Bruto Bukan Tolak Ukur Yang Tepat Untuk Menilai Kemajuan.

Tasrin, Krismiyati. (2011). Study on the Impact of Decentralization Policy on the Quality of Local Public Services in the Education Sector, Case Study: West Java Province, Indonesia. Kobe University. Tesis.

Wide Overview. World Bank Institute. Available:http://www. Worldbank.org

Elhiraika, A. B. (2007). Fiscal Decentralization and Public Service Delivery in South Africa. African Trade Policy Centre, Work in Progress, No. 5 8 . D i d o w n l o a d d a r i http://www.uneca.org/atpc/Wor

k%20in%20progress/58.pdf.H i r a w a n , S u s i y a n t i . ( 2 0 0 7 ) .

Desentralisasi Fiskal Sebagai Suatu Upaya Meningkatkan Penyediaan Layanan Publik (Bagi Orang Misk in) d i I n d o n e s i a . P i d a t o p a d a Pengaugerahan Guru Besar di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, 24 Februari 2007.

Hong, Jun Hyun. (2011). Does Decen t ra l i za t ion Worsen Regional Disparity? The Case of K o r e a . P a p e r y a n g d i p r e s e n t a s i k a n p a d a International Conference on Retrospect and Prospect on Public Affairs of 100th Founding Anniversary of the Republic of China, 27-29 Mei, 2011.

Jin Jing and Zou, Heng-fu. (2000). Fiscal Decentralization and Economi Growth in China. World Bank Working Paper S e r i e s 1 4 5 2 . Av a i l a b l e :http://www.worldbank.org.

Oates, William. (1972). Fiscal Federalism. New York, NY: Harcourt Brace Jovanovich.

Pranab, Bardhan., dan Mookherjee, Dilip. (2005). Decentralization, Corruption and Government Accountability: An Overview, For Handbook of Economic Corruption edited by Susan

Page 121: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

PETUNJUK PENULISAN

Jurnal Borneo Administrator adalah jurnal ilmiah berkala yang diterbitkan oleh Pusat Kajian dan Pendidikan dan Pelatihan Aparatur III Lembaga Administrasi Negara (PKP2A III LAN). Petunjuk penulisan naskah bagi para penulis adalah sebagai berikut:1. Naskah merupakan hasil penelitian, kajian, maupun pemikiran kritis terhadap isu-

isu di bidang administrasi publik, misalnya mengenai kebijakan publik, manajemen publik, desentralisasi, otonomi daerah, pelayanan publik, kelembagaan pemerintah, sumber daya aparatur, dan sebagainya.

2. Naskah diketik dalam Bahasa Indonesia (untuk Abstract/Intisari dan Keywords/Kata kunci diketik dalam dwi bahasa yaitu Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia), menggunakan kertas ukuran A4 sepanjang 15-20 halaman (termasuk gambar, tabel dan daftar pustaka). Menggunakan huruf Times New Roman ukuran 12, dan spasi tunggal. Batas tepi kanan 2,5 cm, batas tepi kiri 3 cm, batas atas 3 cm, dan batas bawah 3 cm.

3. Setiap tabel dan gambar diberi judul. Posisi judul tabel berada di atas tabel, sedangkan posisi judul gambar berada di bawah gambar.

4. Format tulisan sekurang-kurangnya terdiri atas:a. Judul Tulisan;b. Nama Penulis, apabila penulis lebih dari satu orang maka penulis yang ditulis

pertama adalah penulis utama;c. Institusi & Alamat, nama dan alamat lembaga dimana penulis bekerja, apabila

memungkinkan disertakan nomor telepon dan alamat email penulisd. Abstract/Intisari, ditulis dalam dwi bahasa yaitu Bahasa Inggris dan Bahasa

Indonesia masing-masing sepanjang 100-200 kata, disertakan Keywords/Kata Kunci;

e. Pendahuluan, sebagai pembukaan memuat latar belakang tulisan yaitu aspek-aspek atau hal-hal yang membuat tema tulisan tersebut menarik dan mengundang rasa keingintahuan (curiousity). Penulis dapat mengemukakan fenomena-fenomena menarik terkait dengan topik tulisan dengan disertai data-data pendukung. Dan pada akhir bagian ini diberikan tujuan penulisan tema yang ditulis;

f. Metode Penelitian, apabila naskah tersebut merupakan hasil penelitian maka perlu dituliskan metode penelitian yang digunakan, cara pengumpulan data, dan cara analisis data;

g. Kerangka Teori Atau Kerangka Konsep, berisi teori-teori dan/atau konsep-konsep yang digunakan dalam naskah tersebut;

h. Hasil dan Pembahasan, atau bisa menggunakan nama lain yang relevan dengan topik tulisan berisi temuan-temuan, analisis dan pembahasan serta interpretasi terhadap data;

I. Penutup, berisi Kesimpulan dan Saran atau Rekomendasi berkaitan dengan tujuan tulisan yang dikemukakan pada bagian pendahuluan. Pada bagian akhir penutup bisa ditambahkan Implikasi Kebijakan;

j. Daftar Pustaka, ditulis menggunakan model APA, disusun berdasarkan urutan

Page 122: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012

abjad dimulai dari nama (diawali dengan nama belakang dan dipisahkan oleh tanda koma), tahun penerbitan, judul tulisan, kota penerbit, dan nama penerbit. Untuk sumber yang diperoleh dari internet harus disertakan tanggal sumber tersebut diakses/diunduh. Beberapa contoh penulisan daftar pustaka adalah sebagai berikut:

Henry, Nicholas. (1992). Public Administration and Public Affairs. New

Jersey: Prentice-Hall Inc.

Tim Kajian PKP2A III LAN. (2010). Efektivitas Perencanaan Pembangunan

Daerah di Kalimantan. Dalam Jurnal Borneo Administrator. Vol. 6

(1). hal. 1876-1898.

Utomo, Tri Widodo W. (2009). Balancing Decentralization and

Deconcentration: Emerging Need for Asymmetric Decentralization

in the Unitary States, Makalah Diskusi No. 174, Nagoya: Graduate

School of International Development (GSID), Nagoya University,

http://www.gsid.nagoyau.ac.jp/bpub/research/public/paper/article/

174.pdf diakses tanggal 25 November 2010.

6. Catatan kaki (footnote) bisa digunakan untuk memberikan penjelasan terhadap

bagian isi naskah atau sebagai acuan berkaitan dengan sumber data yang dikutip;

7. Setiap data yang berupa kutipan baik dalam bentuk kalimat langsung maupun tidak

langsung, gambar serta tabel yang diambil dari sumber lain harus dicantumkan

sumbernya, dan ditulis dalam daftar pustaka;

8. Naskah dikirim ke Redaksi Jurnal Borneo Administrator dengan alamat: PKP2A

III LAN, Jalan H.M. Ardans, S.H. (Ring Road III) Samarinda atau melalui

email ke: [email protected]. Naskah yang dicetak di atas kertas harus

disertakan softcopynya dalam bentuk Ms Words.

Setiap naskah yang masuk ke Redaksi setelah lolos seleksi oleh Redaksi, akan

direview oleh Mitra Bestari (Peer Reviewer). Atas setiap naskah yang dimuat akan

diberikan jurnal dan cetak lepas (off-print) secara gratis, serta imbalan yang pantas

kepada penulis.

Page 123: Jurnal Borneo Administrator, Vol. 8 No. 2 Tahun 2012