jurnal biowallacea vol.1.no(1).hal.(1-62), april 2014

64
Volume 1 Nomor 1. April 2014 ISSN : 2355-6404 JURNAL PENELITIAN BIOLOGI Terbit dua kali dalam setahun yakni bulan April dan Oktober. Berisi tulisan yang diangkat dari penelitian, gagasan konseptual, kajian, dan aplikasi teori dibidang biologi. Ketua Dewan Redaksi : Jamili Sekretaris Redaksi : Nur Arfa Yanti Redaksi Pelaksana : Analuddin Muzuni Suriana Nurhayani Sitti Wirdhana Ahmad Bakareng Anggota Dewan Redaksi : Yusuf Sabilu Muhsin Nasaruddin Dwi Arinto Adi Indrawati Andi Septiana Bendahara : Rita Ningsih Pembantu Umum : Wa Ode Nanang Trisna Dewi La Ode Adi Parman Rudia Surat Keputusan DEKAN FMIPA Universitas Halu Oleo No. 286/SK/J29.5/PP/2014 Dr. Jati Batoro, M.Si. (Universitas Brawijaya) Dr. Tarsan Purnomo, M.Si. (Universitas Negeri Semarang) Dr. Khaerul Amri, M.Si. (Universitas Hasanudin) Dr. Alif T. Athoric, M.Si. (Universitas Sumatera Utara) Dr. Jumari, M. Si. (Universitas Diponegoro) Dr. Agung Sri Widodo, S.Si., M.Si. (Universitas Diponegoro) Alamat Penerbit/Redaksi : Jurusan Biologi FMIPA, Lantai-1 FMIPA-Baru Jurusan Biologi Universitas Halu Oleo, Jl. H.E.A Mokodompit Kampus Baru Universitas Haluoleo, Anduonohu, 93232 Kendari. E-mail : [email protected] BIO WALLACEA Diterbitkan Oleh Jurusan Biologi FMIPA Universitas Halu Oleo Kendari.

Upload: vonhan

Post on 30-Dec-2016

274 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Volume 1 Nomor 1. April 2014 ISSN : 2355-6404

JURNAL PENELITIAN BIOLOGI

Terbit dua kali dalam setahun yakni bulan April dan Oktober. Berisi tulisan yang diangkat dari

penelitian, gagasan konseptual, kajian, dan aplikasi teori dibidang biologi.

Ketua Dewan Redaksi :

Jamili

Sekretaris Redaksi :

Nur Arfa Yanti

Redaksi Pelaksana :

Analuddin

Muzuni

Suriana

Nurhayani

Sitti Wirdhana Ahmad Bakareng

Anggota Dewan Redaksi :

Yusuf Sabilu

Muhsin

Nasaruddin

Dwi Arinto Adi

Indrawati

Andi Septiana

Bendahara :

Rita Ningsih

Pembantu Umum :

Wa Ode Nanang Trisna Dewi

La Ode Adi Parman Rudia

Surat Keputusan DEKAN FMIPA Universitas Halu Oleo

No. 286/SK/J29.5/PP/2014

Dr. Jati Batoro, M.Si. (Universitas Brawijaya)

Dr. Tarsan Purnomo, M.Si. (Universitas Negeri Semarang)

Dr. Khaerul Amri, M.Si. (Universitas Hasanudin)

Dr. Alif T. Athoric, M.Si. (Universitas Sumatera Utara)

Dr. Jumari, M. Si. (Universitas Diponegoro)

Dr. Agung Sri Widodo, S.Si., M.Si. (Universitas Diponegoro)

Alamat Penerbit/Redaksi : Jurusan Biologi FMIPA, Lantai-1 FMIPA-Baru Jurusan Biologi

Universitas Halu Oleo, Jl. H.E.A Mokodompit Kampus Baru Universitas Haluoleo,

Anduonohu, 93232 Kendari. E-mail : [email protected]

BIO WALLACEA Diterbitkan Oleh Jurusan Biologi FMIPA Universitas Halu Oleo Kendari.

Page 2: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Yanti dan Munir. Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1-6, April 2014 1

SCREENING BAKTERI AMILOLITIK DAN SELULOLITIK DARI LIMBAH SAGU

(Screening of Amylolytic and Cellulolytic Bacteria From Sago waste)

Nur Arfa Yanti1 dan Asmawati Munir

2

1 Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Haluoleo Kendari, Sulawesi Tenggara

e-mail : [email protected] 2 Prodi Biologi, Jurusan PMIPA FKIP Universitas Haluoleo, Kendari Sulawesi Tenggara

ABSTRACT

Screening of indigenous bacteria from sago waste based on amylolytic and cellulolytic activity

was done to obtain bacterial isolate having double activity, i.e. could to hydrolize of starch

(amylolytic) and cellulose (cellulolytic). Screening amylolytic and cellulolytic bacteria was

done based on amylolytic and cellulolytic activity on agar media. Determination of amylolytic

activity on starch agar media was based on the presence of clear zone around the bacterial

colony upon flooding with lugol’s iodine solution. Cellulolytic activity was determine based on

the presence of clear zone around the bacterial colony on Carboxy methyl cellulose (CMC)

agar upon flooding with congo red solution. Presence of a clear zone around the colony

indicated starch and cellulose hydrolysis. The diameters of clear zone produced on CMC and

starch agar were measured and used as an indication of the amylolytic and cellulolytic

activities of the bacteria. The results of the screening based on amylolytic and cellulolytic

activity showed that a number of 21 bacterial isolates that having both activities. LCA2 was the

bacterial isolate with the highest amylolytic and cellulolytic activity as revealed by the size of

clearing zone on both types of agar plates. The diameters of clear zone on starch and CMC

agar were 4,98 and 3,65 cm2, respectively. Therefore, LCA2 isolate was bacterial isolate that

potent for biconvertion sago hampas into value-added products.

Keywords : Bacteria, Amylolytic, Cellulolytic, Sago waste.

PENDAHULUAN

Ampas sagu yang merupakan

limbah padat dari pengolahan pati sagu,

pada dasarnya adalah serat empulur sisa

pemerasan pati sagu. Produksi pati dari

tiap pohon sagu berkisar antara 200-450 kg

sagu basah. Empulur sagu yang dihasilkan

sebanyak 321.180 ton/tahun mengandung

20–30 % tepung sagu dan 70–80 % ampas

sagu. Dengan demikian, setiap tahun total

ampas sagu yang dihasilkan berkisar antara

224.826 – 256.944 ton/tahun (Anonim,

1987).

Pengolahan sagu di Sulawesi

Tenggara yang merupakan salah satu

daerah penghasil pati sagu di Indonesia

berlangsung sepanjang tahun, sehingga

limbah yang dihasilkan semakin

menumpuk dan menyebabkan keasaman

pada tanah serta dapat mencemari air dan

menimbulkan bau tidak sedap (Awg-Adeni

dkk., 2010). Limbah sagu yang kaya

karbohidrat tersebut, hingga saat ini belum

dikelola/dimanfaatkan secara optimal

(Nurdin, 1995; Yanti dkk., 2006). Oleh

karena itu, pemanfaatan ampas sagu perlu

Page 3: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Screening Bakteri Amilolitik Dan Selulolitik Dari Limbah Sagu 2

Yanti dan Munir. Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1-6, April 2014

dimaksimalkan agar pencemaran

lingkungan oleh ampas sagu dapat

diminimalkan.

Ampas sagu berpotensi digunakan

sebagai substrat untuk pertumbuhan

bakteri sekaligus digunakan untuk

memproduksi berbagai macam produk

bermanfaat dan bernilai ekonomi seperti

gula-gula fermentasi, enzim, asam-asam

organik, dan etanol karena masih

mengandung bahan organik tinggi (Awg-

Adeni, dkk. 2010). Komposisi ampas sagu

didominasi oleh pati dan selulosa. Kadar

pati dan selulosa ampas sagu berturut-turut

adalah 41,7 – 65,0 % dan 14,8 % (Wina

dkk., 1986). Namun demikian, sebelum

ampas sagu dikonversi menjadi berbagai

macam produk, ampas sagu perlu

dihidrolisis terlebih dahulu menjadi gula

sederhana. Apun dkk. (2000) melaporkan

bahwa ampas sagu dapat dihidrolisis

menjadi gula reduksi dengan baik oleh

bakteri yang memiliki aktivitas ganda yaitu

amilolitik dan selulolitik untuk

mendegradasi komponen pati dan selulosa.

Oleh karena itu, penggunaan bakteri yang

memiliki aktivitas amilolitik dan selulolitik

dibutuhkan agar biokonversi ampas sagu

menjadi produk-produk bernilai ekonomi

dapat berlangsung dengan baik.

Langkah pertama yang penting

dilakukan untuk dapat mengkonversi

ampas sagu menjadi berbagai macam

produk bermanfaat dan bernilai ekonomi

adalah menemukan strain bakteri dari

habitat lokal (indigenous) yang dapat

memecah komponen amilum (bersifat

amilolitik) dan komponen selulosa

(bersifat selulolitik) dari ampas sagu

tersebut. Pada penelitian ini dilakukan

screening isolat bakteri indigenous

berasal dari limbah sagu yang memiliki

kemampuan amilolitik dan selulolitik

sehingga diperoleh isolat bakteri yang

berpotensi untuk dimanfaatkan dalam

biokonversi ampas sagu.

METODE, PENELITIAN

Bahan dan Alat

Bahan baku yang digunakan dalam

penelitian ini adalah pati terlarut untuk uji

aktivitas amilolitik dan

Carboxymethylcellulosa (CMC) untuk uji

aktivitas selulolitik. Bahan kimia lain yang

digunakan adalah lugol yodium, Congo

red dan medium Nutrient Agar. Alat-alat

yang digunakan dalam penelitian ini

meliputi laminar air-flow, autoklaf dan

inkubator.

Dua puluh tiga isolat bakteri

indigenous yang diisolasi dari ampas sagu

dan limbah cair sagu di sekitar lokasi

pengolahan sagu di Kabupaten Konawe,

Sulawesi Tenggara discreening

berdasarkan kemampuannya

menghidrolisis pati (amilolitik) dan

selulosa (selulolitik).

Page 4: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Screening Bakteri Amilolitik Dan Selulolitik Dari Limbah Sagu 3

Yanti dan Munir. Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1-6, April 2014

a. Screening bakteri amilolitik pada

media padat

Aktivitas amilolitik pada media

padat dilakukan dengan menumbuhkan

isolat bakteri pada media NA pati dan

diinkubasi pada suhu kamar selama 48 jam

kemudian ditetesi dengan larutan lugol

yodium (JKJ) pada permukaan medium.

Isolat bakteri yang mampu membentuk

zona jernih di sekeliling koloninya setelah

diteteskan larutan JKJ merupakan bakteri

amilolitik (Apun dkk., 2000). Aktivitas

amilolitik dideterminasi dengan mengukur

diameter koloni dan diameter zone jernih.

b. Screening bakteri selulolitik pada

media padat

Screening isolat bakteri

berdasarkan aktivitas selulolitik dilakukan

dengan menumbuhkan isolat bakteri pada

media minimal agar dengan

Carboxymethylcellulosa (CMC) sebagai

sumber Cnya (Apun dkk., 2000).

Hidrolisis selulosa dideteksi dengan

meneteskan larutan Congo red pada

permukaan media agar. Terbentuknya zone

jernih di sekeliling koloni bakteri

menunjukkan adanya aktivitas selulolitik.

c. Pengukuran aktivitas amilolitik dan

selulolitik pada media padat

Aktivitas amilolitik dan selulolitik

bakteri dihitung dengan menggunakan

rumus (De Lima dkk., 2005; Yanti dkk.,

2009) sebagai berikut :

S = 4

(dc

2 – dco

2)

Keterangan :

S = Aktivitas amilolitik/selulotik (cm2)

dc = Diameter zone jernih (cm)

dco = Diameter koloni (cm)

HASIL DAN DISKUSI

Screening bakteri amilolitik

Sebanyak 23 isolat bakteri yang

diisolasi dari ampas sagu dan limbah cair

sagu menunjukkan kemampuan

amilolitiknya pada media pati agar. Bakteri

tersebut menunjukkan zona jernih di

sekeliling koloninya setelah ditetesi larutan

JKJ pada media pati agar yang

mengindikasikan adanya hidrolisis pati

(Gambar 1).

Gambar 1. Determinasi aktivitas amilolitik

isolat bakteri. Keterangan : K :

Koloni bakteri, Zj : Zone jernih

Screening isolat bakteri berdasarkan

aktivitas selulolitik

Sebanyak 23 isolat bakteri

amilolitik yang diperoleh dari ampas sagu

dan limbah cair sagu discreening juga

berdasarkan kemampuan selulolitiknya.

Page 5: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Screening Bakteri Amilolitik Dan Selulolitik Dari Limbah Sagu 4

Yanti dan Munir. Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1-6, April 2014

Aktivitas selulolitik dari isolat bakteri uji

dilihat berdasarkan kemampuan

membentuk zone jernih di sekeliling

koloni bakteri yang ditumbuhkan pada

media selulosa agar (Gambar 2). Zone

jernih menunjukkan bahwa isolat bakteri

menggunakan selulosa pada media untuk

pertumbuhannya dan menyebabkan

selulosa di sekeliling koloni habis terpakai

sehingga terbentuk zone jernih tersebut

(Apun dkk., 2000).

A B

Gambar 2. Determinasi Aktivitas Selulolitik

Isolat Bakteri. Keterangan. A. Isolat

tanpa aktivitas selulolitik, B. Isolat

dengan aktivitas selulolitik, K :

koloni bakteri, Zj : Zone jernih

Screening bakteri amilolitik dan

selulolitik

Hasil screening bakteri amilolitik

dan selulolitik pada Tabel 1 menunjukkan

bahwa ditemukan 4 isolat bakteri dari 25

isolat bakteri amilolitik yang tidak bersifat

selulolitik, dengan demikian hanya 21

isolat bakteri indigenous yang memiliki

kemampuan ganda yaitu bersifat amilolitik

dan selulolitik. Isolat bakteri amilolitik dan

selulolitik paling banyak diperoleh dari

ampas sagu yaitu 17 dari 18 isolat bakteri

(94 %), sedangkan dari limbah cair sagu

hanya ditemukan 3 dari 7 isolat bakteri (43

%). Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa ampas sagu merupakan sumber

isolat yang paling potensial untuk

memperoleh bakteri amilolitik dan

selulolitik. Ampas sagu menjadi sumber

isolat bakteri amilolitik dan selulolitik

terbaik dibandingkan limbah cair sagu

karena ampas sagu masih mengandung

amilum dan selulosa yang cukup tinggi

yaitu berturut-turut 41,7 % dan 22,9 %

(Wina dkk., 1986).

Aktivitas amilolitik 25 isolat

bakteri yang diisolasi dari ampas sagu dan

limbah cair sagu berkisar antara 1,88-6,24

Cm2

dan 21 isolat bakteri amilolitik

memiliki aktivitas selulolitik berkisar 0,13-

3,65 Cm2

(Tabel 1). Hasil penelitian pada

Tabel 1 menunjukkan bahwa aktivitas

amilolitik dari isolat-isolat bakteri

indigenous lebih tinggi dibandingkan

dengan aktivitas selulolitiknya. Hal ini

mungkin disebabkan karena pati lebih

mudah dihidrolisis dibandingkan selulosa.

Sugiyono (2008), menyatakan bahwa

selulosa lebih sulit dihidrolisis oleh

mikrobia dibandingkan pati sehingga

mikrobia dengan aktivitas amilolitik tinggi

lebih mudah ditemukan di alam

Page 6: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Screening Bakteri Amilolitik Dan Selulolitik Dari Limbah Sagu 5

Yanti dan Munir. Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1-6, April 2014

dibandingkan mikrobia beraktivitas

selulolitik tinggi.

Tabel. Hasil Screening isolat bakteri

berdasarkan aktivitas amilolitik dan

selulolitik

Berdasarkan hasil screening isolat

bakteri indigenous pada Tabel 1, diperoleh

bahwa isolat bakteri LCA2 mempunyai

aktivitas amilolitik dan selulolitik yang

tinggi. Aktivitas ganda dari isolat LCA2

ini lebih tinggi dibandingkan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Apun dkk.

(2000) yang berhasil mengisolasi bakteri

Bacillus amylolyquefaciens UMAS 1002

dengan aktivitas amilolitik 1,7 Cm2

dan

aktivitas selulolitik 1,45 Cm2 dan isolat

bakteri tersebut mampu menghidrolisis

ampas sagu menjadi gula reduksi yang

tinggi sehingga dapat dimanfaatkan untuk

biokonversi ampas sagu. Hal ini

menunjukkan bahwa isolat bakteri LCA2

sangat berpotensi untuk dimanfaatkan

dalam biokonversi ampas sagu menjadi

produk bernilai ekonomi. Pemanfaatan

isolat bakteri dengan aktivitas ganda

seperti LCA2 dalam proses biokonversi

ampas sagu sangat menguntungkan karena

tidak perlu penambahan enzim amilase dan

selulase untuk menghidrolisis ampas sagu.

Awg-Adeni dkk., (2010)

menyatakan bahwa penggunaan bakteri

yang memiliki aktivitas amilolitik dan

selulolitik pada biokonversi ampas sagu

menjadi produk bermanfaat sangat efisien

dari segi waktu dan biaya karena tidak

memerlukan perlakuan pendahuluan untuk

menghidrolisis ampas sagu. Dengan

demikian, isolat LCA2 merupakan isolat

bakteri yang berpotensi digunakan untuk

mengkonversi ampas sagu menjadi produk

yang bernilai ekonomi sehingga masalah

pencemaran lingkungan oleh ampas sagu

dapat teratasi dan nilai jual ampas sagu

juga dapat ditingkatkan.

No. Sumber

Isolat Kode

Isolat Aktivitas

Amilolitik

(Cm2)

Aktivitas

Selulolitik

(Cm2)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.

19. 20. 21. 22. 23. 24. 25.

Ampas

Sagu

Limbah

Cair

Sagu

ALA1 ALA7 ALA 8 ALA9 ALA13 ALA17 ALA18 ALD1 ALD2 ALD3 ALD5 ALD6 ALD12 ALD17 ALL3 ALL4 ALL5 ABA4

LCA2 LCA8 LCA9 LCD1 LCR5 LCR7 LCL4

4,57 6,24 4,41 2,81 4,01 4,24 1,38 4,32 4,52 4,09 4,28 4,97 4,66 4,61 4,67 4,17 1,88 4,39

4,98 6,14 4,62 5,12 4,31 5,19 4,98

1,57 2,35 2,11 1,85 1,61 1,34 1,67 1,81 2,90 2,38 1,77 0.50 1,81

0 1,25 1,30 0,93 3,09

3,65 0,87

0 0

0,13 2,38

0

Page 7: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Screening Bakteri Amilolitik Dan Selulolitik Dari Limbah Sagu 6

Yanti dan Munir. Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1-6, April 2014

KESIMPULAN

1. Dua puluh satu isolat bakteri

indigenous yang diisolasi dari

limbah sagu memiliki aktivitas

amilolitik dan selulolitik.

2. Isolat bakteri LCA2 merupakan

isolat bakteri dengan aktivitas

amilolitik dan selulolitik yang

tinggi dan berpotensi digunakan

untuk biokonversi ampas sagu

menjadi produk-produk

bermanfaat.

SARAN

Penelitian lanjutan mengenai

aktivitas Isolat bakteri LCA2

menghidrolisis ampas sagu menjadi gula

reduksi perlu dilakukan untuk mengetahui

kemampuan isolat tersebut mengkonversi

ampas sagu menjadi produk fermentasi

yang bermanfaat dan bernilai ekonomi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terimakasih

kepada Lembaga Penelitian Universitas

Haluoleo atas bantuan dana penelitian

melalui Program Hibah Kompetisi BLU-

Unhalu.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 1987. Tanaman Sagu dan

Pengolahannya. Departemen

Pertanian Balai Informasi

Pertanian, Sulawesi Tenggara.

Apun, K., Jong, B.C. & Salleh, M.D.

2000. Screening and Isolation of a

Cellulolytic and Amylolitic

Bacillus from Sago Pith Waste.

Journal of General and Applied

Microbiology, 46 : 263-267.

Awg-Adeni, D. S., Abd-Aziz, S., Bujang,

K. & Hassan, M. A. 2010.

Bioconversion of sago residue into

value added products. African

Journal of Biotechnology, 9 (14) :.

2016-2021.

De Lima, S.M., Lima, M.A.G.A.,

Sarmento, S.M., Vinhas, G.M. &

De Almeida, Y.M.B. 2005. Starch

Selection for Biodegradable Blend

Preparation. Mercosur Congress on

Chemical Engineering. Rio de

Janeiro, Brasil. 14-18 Agustus

2005.

Nurdin, M. 1995. Pemanfaatan Ampas

Sagu Sebagai Substrat Pembuatan

Protein Sel Tunggal. Laporan Hasil

Penelitian, Lembaga Penelitian

Unhalu, Kendari.

Sugiyono, 2008. Kadar Protein dan Serat

Kasar Ampas Sagu (Metroxylon

sp.) Terfermentasi dengan Lama

Pemeraman yang Berbeda. Jurnal

Ilmiah Inkoma, 19 (1) : 11-23.

Wina, E., Anthony, J., Evansa & Lowry, J.

B. 1986. The Composition of Pith

from the Sago Palms Metroxylon

sagu and Arenga pinnata. J. Sci.

FoodAgric., 37 : 352-358

Yanti, N.A. & Muhiddin, N. 2006.

Aktivitas Amilolitik Isolat Bakteri

pada Limbah Sagu. Bionature. 7 (2)

: 35-39.

Yanti, N.A., Sembiring, L. & Margino, S.

2009. Bakteri Amilolitik yang

diisolasi dari Lokasi Pengolahan

Pati Sagu. Proceeding pada

Seminar Nasional Biologi, Ilmu

Lingkungan & Pembelajaran.

Universitas Negeri Yogyakarta,

Yogyakarta, 4 Juli 2009.

Page 8: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Rita, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 7-15, April 2014 7

IDENTIFIKASI MIKORIZA ANGGREK Spathoglottis plicata Blume. DAN

Phalaenopsis amabilis L.

(Identification Of Orchid Mycorrhiza Of Spathoglottis plicata Blume. And Phalaenopsis

amabilis L.)

Rita Ningsih

1, Dinarni

2, Dwi Febrianti

2

1 Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Halu Oleo, Sulawesi Tenggara

2Laboratorium Biologi, Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara

e-mail : [email protected]

ABSTRACT

Isolation and identification of mycorrhiza fungal that associated with Spathoglottis plicata

Blume and Phalaenopsis amabilis L. orchid root have been done. The descriptive research consist

of three steps that were isolation, purification and identification. Slice of roots were

inoculated on Potato Dextro Agar (PDA) media for 2 – 5 days. The fungal colony were

purified then identified based on colony and morphology characters. The observed parameter

were fungal colony, hypha and spore type. The result showed that there were 3 isolates found

from root of terrestrial orchid Spathoglottis plicata Blume i.e SA1.1 was Chaetoium

belonging to Ascomycetes class; SA2.2 was Beltrania belonging to Ascomycetes class too

and SA2.3 was Rhizoctonia belonging to Deuteromycetes class. Meanwhile the identification

result of mycorrhiza fungal from root of epiphytic orchid Phalaenopsis amabilis L. showed that 2

isolate i.e PA1.2 and PA1.3 both of them Rhizoctonia belonging to Deuteromycetes class.

Keywords : orchid mycorrhiza, Spathoglottis plicata Blume, Phalaenopsis amabilis L., orchid

root

PENDAHULUAN

Kehidupan makhluk hidup seperti

manusia, hewan, dan tumbuhan tidak dapat

dilepaskan dari peranan mikroorganisme.

Salah satu contoh mikroorganisme adalah

jamur. Lebih dari 90% dari spesies

tanaman terrestrial berpembuluh memiliki

sebuah simbiosis yang saling

menguntungkan antara akar dan jamur

(mikoriza). Umumnya mikoriza yang

berasosiasi tersebut termasuk dalam tipe

endomikoriza.

Mikoriza merupakan suatu bentuk

simbiosis mutualistik antara jamur dan

akar tanaman (Brundrett et al., 1996). Ada

enam tipe asosiasi mikoriza, salah satunya

adalah Orchid Mycorrhiza. Tipe mikoriza

ini terdapat pada tanaman anggrek,

terutama banyak dijumpai pada kecambah

anggrek maupun tanaman anggrek dewasa

yang klorofilnya kurang baik. Jamur

dengan tipe ini membentuk struktur hifa

yang berupa lilitan padat (peloton). Semua

anggrek memerlukan infeksi jamur

mikoriza untuk melengkapi siklus

hidupnya.

Biji tanaman anggrek memiliki

sedikit sekali bahkan hampir tidak

memiliki endosperma, sehingga secara

alami beberapa spesies anggrek dapat

mengalami suatu mekanisme yang

menyebabkan tertundanya perkecambahan.

Page 9: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Identifikasi Mikoriza Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Dan 8

Phalaenopsis amabilis L.

Rita, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 7-15, April 2014

Keberadaan miselium mikoriza yang

kompatibel dapat membantu menginisiasi

dan meningkatkan perkecambahan anggrek

secara signifikan (Andersen & Rasmussen,

1996).

Sulawesi Tenggara merupakan

wilayah tropis yang berada pada garis

Wallace dengan keanekaragaman

tumbuhan yang melimpah salah satunya

adalah Hutan Wolasi di Kabupaten

Konawe Selatan Provinsi Sulawesi

Tenggara. Banyak tanaman yang

digunakan oleh masyarakat setempat

diantaranya tanaman anggrek. Anggrek

merupakan salah satu tumbuhan yang

memiliki keanekaragaman sangat tinggi

diantaranya anggrek Spathoglottis plicata

Blume. (anggrek tanah) dan Phalaenopsis

amabilis L. (anggrek epifit). Hal ini berarti

pula tingginya keanekaragaman jenis

jamur mikoriza anggrek. Di Papua telah

diteliti jamur mikoriza pada 10 jenis

anggrek tanah (Agustini et al., 2009).

Sedangkan identifikasi jamur mikoriza

pada anggrek epifit Phalaenopsis manii

pernah dilakukan oleh Saha dan Rao

(2006). Diketahui bahwa jamur yang

berasosiasi pada akar anggrek tersebut

berasal dari spesies Rhizoctonia dan

Tulasnella.

Berdasarkan uraian tersebut di atas

dan mengingat pentingnya prospek

pemanfaatan jamur mikoriza anggrek baik

sebagai sumber zat pemacu pertumbuhan

tanaman (plant growth promotion

microorganism), bahan baku obat

(antibiotik), khususnya sebagai pupuk

hayati (biofertilizer) maka, diperlukan

penelitian tentang identifikasi jamur

mikoriza yang bersimbiosis pada akar

anggrek tanah (Spathoglottis plicata

Blume.) dan anggrek epifit (Phalaenopsis

amabilis L.)

METODE PENELITIAN

Bahan dan Alat

Bahan baku yang digunakan dalam

penelitian ini adalah PDA (Potato Dextro

Agar) sebagai media pertumbuhan jamur

pada saat isolasi dan purifikasi. Bahan

lainnya yaitu laktofenol, etanol 70%,

sodium hipoklorit, alumunium foil dan

kertas saring. Alat-alat yang digunakan

dalam penelitian ini meliputi laminar air-

flow, autoklaf, inkubator, hotplate &

magnetic stirrer.

Sampel dalam penelitian ini yaitu

akar anggrek yang berasal dari sekitar

Hutan Wolasi Kabupaten Konawe Selatan

Provinsi Sulawesi Tenggara. Akar diambil

dengan cara mencungkil tanaman anggrek

beserta akarnya yang melekat pada substrat

yaitu tanah untuk anggrek Spathoglottis

plicata Blume. dan kulit pohon tua untuk

anggrek Phalaenopsis amabilis L.

a. Isolasi Jamur

Langkah awal yang dilakukan

terhadap sampel adalah sterilisasi pada

permukaan akar. Permukaan akar dicuci

Page 10: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Identifikasi Mikoriza Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Dan 9

Phalaenopsis amabilis L.

Rita, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 7-15, April 2014

dengan air mengalir selama 10 menit,

kemudian direndam didalam etanol 70%

selama 3 menit, sodium hipoklorit

(NaOCl) 5,3% selama 5 menit, dan

terakhir dicuci secara aseptik dengan

akuades steril sebanyak 3X kemudian

dipotong melintang setebal 1 mm. (Ritchie,

1995; Lumyong et al., 2001; Park, 2003).

Potongan akar yang sudah kering

diletakkan dalam cawan petri yang berisi

media potato dextrose agar (PDA), lalu

diinkubasi selama 2-5 hari pada suhu ruang

kamar. Koloni yang tumbuh disekitar

potongan akar, selanjutnya dipilih dan

ditumbuhkan kembali pada media PDA

untuk dipurifikasi.

b. Purifikasi dan Karakterisasi Koloni

Jamur

Mikoriza yang tumbuh setelah masa

inkubasi 2 - 5 hari, kemudian diisolasi dan

diberi tanda sesuai dengan ciri koloni

(warna, bentuk, permukaan, dan tepi)

selanjutnya tiap jenis isolat direisolasi

beberapa kali dengan menggunakan

metode gores untuk mendapatkan biakan

murni kemudian dikerjakan duplo masing-

masing satu untuk working culture dan

satu lagi ke agar miring untuk stok culture.

Selanjutnya dilakukan pengamatan

karakteristik koloni yang meliputi warna,

bentuk, permukaan, tepi.

c. Identifikasi Jamur

Jamur yang telah diisolasi dan

dimurnikan kemudian diidentifikasi

dengan mengamati beberapa karakter

morfologi secara makroskopis dan

mikroskopis berdasarkan panduan Barnet

dan Hunter (1972). Pengamatan

makroskopis meliputi warna dan

permukaan koloni, tekstur, zonasi, daerah

tumbuh, garis-garis radial dan konsentris,

warna balik koloni (reverse color), dan

tetes eksudat (exudate drops). Pengamatan

secara mikroskopis terhadap slide culture

yang dibuat berdasarkan (Lay, 1994)

meliputi ada tidaknya septa pada hifa,

pigmentasi hifa, hubungan ketam (clamp

connection), bentuk dan ornamentasi spora

(vegetatif dan generatif), serta bentuk dan

ornamentasi tangkai spora (Gandjar et al.,

1999).

d. Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara

deskriptif yaitu memberikan gambaran

tentang karakteristik dari masing-masing

jenis isolat berdasarkan hasil karakterisasi

dan identifikasi dengan berpedoman pada

buku acuan Illustrated Genera of Imperfect

Fungi (Barnett and Hunter, 1972),

Terrestrial Orchids From Seed to

Mycotrophic Plant (Rasmussen, 1995),

Moulds, Their Isolation, Coltivation, and

Indentification (Malloch, D. 1981), jurnal-

jurnal hasil penelitian dan situs internet

(www. mycobank. Com). Selanjutnya

disusun klasifikasi sampai diperoleh genus

dari masing-masing jenis isolat sehingga

diperoleh gambaran atau keterangan

Page 11: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Identifikasi Mikoriza Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Dan 10

Phalaenopsis amabilis L.

Rita, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 7-15, April 2014

tentang jamur mikoriza yang terdapat pada

akar kedua jenis anggrek.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi Jamur yang Berasosiasi dengan

Akar Anggrek

Hasil isolasi jamur yang berasal dari

akar anggrek tanah Spathoglottis plicata

Blume.dan anggrek bulan Phalaenopsis

amabilis L. selama 2 – 7 hari pada media

PDA sebanyak masing-masing 3 cawan

petri (ulangan) ditampilkan pada Gambar

1.

Gambar 1. Jamur hasil isolasi dari akar

anggrek tanah Spathoglottis plicata

Blume. (atas) dan akar anggrek bulan

Phalaenopsis amabilis L. (bawah).

Ket: S.A1,2,3: Spathoglottis plicata

akar 1,2,3; P.A1,2,3 : Phalaenopsis

amabilis akar 1,2,3.

Hasil isolasi pada cawan petri

menunjukkan selain jamur juga terdapat

khamir, hal ini disebabkan karena medium

tumbuh yaitu PDA tidak bersifat spesifik

untuk jamur. Pemilahan keduanya

dilakukan berdasarkan perbedaan antara

struktur morfologi koloni jamur dengan

struktur morfologi koloni khamir. Struktur

morfologi koloni jamur dilihat dari adanya

sekumpulan hifa yang berbentuk seperti

benang disebut miselium. Purifikasi jamur

selanjutnya dilakukan berdasarkan hal

tersebut dan hasilnya dapat dilihat pada

gambar 2.

Gambar 2. Jamur hasil purifikasi dari

akar anggrek tanah

Spathoglottis plicata

Blume. (atas) dan akar

anggrek bulan Phalaenopsis

amabilis L. (bawah).

Pada akar anggrek tanah ditemukan

sebanyak tiga isolat dari dua akar yang

berbeda yaitu satu isolat dari akar 1

potongan ke-1 (SA1.1) dan dua isolat dari

akar 2 potongan ke-2 dan ke-3 (SA2.2 dan

SA2.3). Adapun pada akar anggrek bulan

ditemukan sebanyak dua isolat dari cawan

yang sama yaitu akar 1 potongan ke-2 dan

ke-3 (PA1.2 dan PA1.3). Karakterisasi

morfologi koloni dan mikroskopik

dilakukan pada setiap isolat untuk

menentukkan identitasnya.

S

A

1.

1

S

A

2.

2

S

A

2.

3

P

A

1.

2

P

A

1.

3

SA1.1 SA2.2 SA2.3

PA1.1 PA1.3

S

.

A

1

S

.

A

2

S

.

A

3

P

.

A

1

P

.

A

2

P

.

A

3

S.A1 S.A2 S.A3

P.A1 P.A2 P.A3

Page 12: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Identifikasi Mikoriza Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Dan 11

Phalaenopsis amabilis L.

Rita, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 7-15, April 2014

a. Karakteristik dan Identitas Isolat SA1.1

Morfologi koloni isolat ini berwarna

putih baik diatas maupun di bawah

permukaan, media berwarna merah

dibagian tepi koloni dan tumbuh dengan

sangat cepat (Gambar 2). Pada pengamatan

secara mikroskopik tampak adanya hifa

atau miselium yang mempunyai septa

berwarna terang sampai coklat, dan

bercabang pada satu arah. Memiliki

ascomata bulat berwarna hitam dikelilingi

filamentous appendages lurus, dan spora

berupa sel tunggal berbentuk bulat

memanjang (oval) (Gambar 3.A). Hal ini

sesuai dengan karakteristik Chaetomium

yang dinyatakan oleh Von Arx et al.

(1986) dan Mungai et al. (2012)

Chaetomium adalah satu jamur

golongan Ascomycota dari keluarga

Chaetomiacea (Von Arx et al .1986).

Chaetomium juga dikenal sebagai jamur

tanah yang dapat tumbuh pada berbagai

substrat seperti sisa-sisa tanaman, serasah,

biji, tebu, terdiri atas beberapa spesies

yang menyukai substrat dengan kadar

selulosa tinggi (Von Arx et al. 1986;

Abdullah & Saleh, 2010). Sekitar koloni

biasanya berwarna merah yang

berhubungan dengan suatu pigmen merah

exudat. Koloni berwarna merah,

menunjukkan aktivitas degradasi lignin

yang membentuk zona berwarna merah

disekitar koloni karena adanya quinon

yang merupakan oksidasi guaicol akibat

aktivitas lactase atau peroksidase (Thorm

et al., 1996).

Von Arx et al . (1986) dan Issa et al.

(2013) menggolongkan Chaetomium

dalam family Chaetomiacea, dengan

klasifikasi sebagai berikut: Divisio

Ascomycota; Class Sordariomycetes; Ordo

Sordariales; Family Chaetomiaceae; Genus

Chaetomium.

b. Karakteristik dan Identitas Isolat

SA2.2

Morfologi koloni berwarna putih

baik diatas maupun di bawah permukaan,

bentuk serbuk, berwarna putih dibagian

tepi, dan tumbuh dengan sangat cepat.

Pada pengamatan secara mikroskopik

tampak adanya hifa atau miselium yang

mempunyai septa yaitu terdapat sekat

diantara hifa, berwarna yang sangat terang,

konidia soliter, berbentuk V bikonikal

(Gambar 3.B). Menurut literatur ciri

lainnya dari jamur tersebut yang

merupakan Beltrania sp. yaitu: seta coklat

sederhana berujung runcing; konidiofor

sederhana 138 x 3-6 µm, berwarna gelap

dengan dasar bentuk keeping radial dan

jarang bercabang, berujung tajam; konidia

berwarna coklat berbentuk V, simetris

bikonikal dibagian tengah berwarna agak

pucat menggulung secara spiral, tunggal

denticle; saprofit (Watanabe, 2002;

Kendrick, 2013; Abbas et al., 2010).

Page 13: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Identifikasi Mikoriza Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Dan 12

Phalaenopsis amabilis L.

Rita, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 7-15, April 2014

Gambar 3. Morfologi Mikroskopik Jamur

hasil purifikasi dari akar anggrek

tanah Spathoglottis plicata Blume.

A: Chaetomium (isolat SA1.1), B:

Beltrania (isolat SA2.2), C&D

Rhizoctonia (isolat SA2.3). a: hifa,

b: ascomata, c. rambut ascomata,

d. konidia, e. sel monilioid. A & C

perbesaran 200X, B & D

perbesaran 400X

Beltrania sp. Adalah jamur

mitosporik yang tersebar luas dan umum

ditemukan pada sisa daun atau tanaman

yang sudah mati didaerah tropis maupun

subtropis, termasuk dalam kelas

Ascomycetes. Informasi tentang jamur ini

masih sangat sedikit terutama tentang

toksisitas dan efeknya terhadap kesehatan.

Jamur ini ditemukan pula pada sisa-sisa

tanaman di habitat perairan. (Upadhyaya et

al., 2012), di bukit pasir (Panda et al.,

2010), hutan hujan (Crusius et al., 2006)

dan sebagainya. Menurut Barnet & Hunter

(1972) dan Jurema et al. (2004) klasifikasi

Beltrania adalah sebagai berikut : Divisi

Amastigomycota; Subdivisi

Deuteromycotina; Class Deuteromycet;

Ordo Moniliales; Family Dematiceae;

Genus Beltrania.

c. Karakteristik dan Identitas Isolat SA2.3,

PA1.2, dan PA1.3

Memiliki karakteristik morfologi

koloni berwarna putih diatas permukaan

dan dibawah permukaan, ditengah-tengah

koloni ada gumpalan putih basah,

berwarna putih dibagian tepi, dengan

pertumbuhan lambat. Pada pengamatan

secara mikroskopik tampak adanya hifa

atau miselium yang mempunyai septa yaitu

terdapat sekat diantara hifa, yang

mempunyai warna yang sangat terang,

sebagian hifa ujungnya menggulung,

terdapat sel monilioid yang tumbuh pada

bagian hifa (Gambar 3 C&D; Gambar 4

A&B). Ciri-ciri tersebut menggambarkan

jamur Rhizoctonia.

Beberapa karakteristik spesies

Rhizoctonia yang disampaikan oleh Sneh

et al. (1991), adalah jamur ini mempunyai

pigmen hifa berwarna cokelat; membentuk

percabangan di dekat sekat pada hifa

vegetatif yang muda; membentuk hifa dan

sekat yang pendek di dekat asal tempat

percabangan. Memiliki sel monilioid;

membentuk sklerosium; diameter hifa

lebih dari 5μm bagian ujung hifanya

menggulung rata-rata pertumbuhan cepat

dan patogenik tidak selalu dimiliki.

Adapun ciri-ciri morfologi utamanya

C

a

D

e

A

a

b

c

B

d

a

Page 14: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Identifikasi Mikoriza Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Dan 13

Phalaenopsis amabilis L.

Rita, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 7-15, April 2014

adalah tidak pernah terdapat :clamp

connection; konidium; dan rhizomorf.

Rhizoctonia merupakan suatu

kelompok besar jamur yang penting.

Alexopoulus & Mims. (1996),

menyebutkan bahwa anggota jamur ini

dapat berperan sebagai patogen, mikoriza,

dan saprofit. Genus Rhizoctonia juga

banyak ditemukan pada keluarga anggrek

(Andersen & Rasmussen, 1996).

Rhizoctonia sp. termasuk dalam

famili Agonomycetaceae, dikenal juga

sebagai mycelia sterilia, karena tidak

menghasilkan konidia juga tergolong

sebagai jamur imperfect ( kelas

Deuteromycetes) karena tidak mempunyai

fase reproduksi seksual. Menurut

Alexopoulus & Mims (1996), klasifikasi

Rhizoctonia adalah sebagai berikut: Divisi

Amastigomycota; Subdivisi

Deuteromycotina; Class Deuteromycetes;

Subclass Hyphomycetidae; Ordo Mycelia

Sterilia; Genus Rhizoctonia.

Gambar 4. Morfologi Mikroskopik Jamur

hasil purifikasi dari akar anggrek

bulan Phalaenopsis amabilis L.

A: Rhizoctonia (isolat PA1.2), B:

Rhizoctonia (isolat PA1.3) a:

hifa, b: sel monilioid. A & B

perbesaran 400X.

Pada penelitian ini ditemukan 3

genus jamur mikoriza pada akar anggrek

tanah Spathoglottis plicata Blume. Lebih

sedikit jika dibandingkan hasil penelitian

Currah et al. (1987) ada 6 spesies yaitu

Rhizoctoniu anaticula, Rhizoctonia repens,

Ceratobasidium obscurum,Leptodontidium

orchidicola, Trichocladium opacum,

Trichosporiella multisporum sp. Demikian

pula 17 jamur mikoriza dari 10 jenis

anggrek tanah telah ditemukan di hutan

Cycloops Jayapura, tiga diantaranya yaitu

Rhizoctonia sp., Tulasnella sp., dan

Ceratorhiza sp (Agustini et al., 2009).

Adapun keragaman jamur pada

anggrek epifit lebih rendah dibandingkan

anggrek tanah seperti halnya pada

penelitian ini hanya ditemukan satu genus

jamur dari akar anggrek Phalaenopsis

amabilis L. yaitu Rhizoctonia. Selaras

dengan penelitian Saha & Rao (2006) yang

hanya memperoleh 2 jenis jamur pada

anggrek Phalaenopsis mannii yaitu

Rhizoctonia repens dan IS-7 yang belum

teridentifikasi.

Perbedaan keragaman jenis jamur

pada kedua jenis anggrek tersebut

kemungkinan disebabkan karena

perbedaan habitat tumbuh, dimana anggrek

Phalaenopsis amabilis L. merupakan

anggrek epifit yang biasa tumbuh pada

permukaan kulit tanaman berkayu

sedangkan Spathoglottis plicata Blume.

a

b A

a

b

B

Page 15: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Identifikasi Mikoriza Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Dan 14

Phalaenopsis amabilis L.

Rita, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 7-15, April 2014

tumbuh di tanah yang mengandung

berbagai jenis mikroorganisme.

KESIMPULAN

Jamur mikoriza pada akar anggrek

tanah berhasil diisolasi sebanyak 3 genus

yaitu Chaetomium, Beltrania, dan

Rhizoctonia. Sedangkan pada akar anggrek

bulan (epifit) hanya satu genus yaitu

Rhizoctonia.

SARAN

Penelitian lanjutan mengenai

identifikasi secara molekuler sampai

tingkat spesies dan verifikasi tentang

hubungan simbiosis mutualis antara jamur-

jamur tersebut dengan akar anggrek

inangnya.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas, S.Q., Iftikhar, T., Niaz, M., Sadaf,

N. 2010. New Fungal Records on

Eucalyptus Spp. From District

Faisalabad Pakistan. Pak. J. Bot.

42(5) : 3317 – 3321.

Abdullah, S.K and Saleh, Y.A. 2010.

Mycobiota Associated with

Sugarcane (Saccharum officinarum

L.) Cultivars in Iraq. Jordan Journal

of Biological Sciences 3(4) : 193 –

202.

Agustini, V., Supeni, S., Suharno. 2009.

Mycorrhizal Association of

Terrestrial Orchids of Cycloops

Nature Reserve Jayapura.

Biodiversitas 10 (4) : 175-180.

Alexopoulus dan Mims. 1996.

Introduktory Micology. New York :

John Wiley and Sonc, Inc.

Andersen, T.F .& H.N .Rasmussen.1996 .

The Mycorrhizal species of

Rhizoctonia .In :Sneh, B., S.Jabaji-Hare, S .Neate, & G .Dijst .Rhizoctonia Spesies :Taxonomy,

Molecular Biology, Ecology,

Pathology and Disease Control .

KAP.London .379-390 pp.

Barnett, H.L. and Hunter, B.B. 1972.

Illustrated Genera of imperfect fungi.

4th

ed .Prentice-Hall, Inc. USA.

Beihefte zur Nova Hedwigia 84: 1-

162.

Brundrett, M., N .Bougher, B .Dell, T .

Grove, & N .Malajczuk.1996 .

Working with Mycorrhizas in

Forestry and Agriculture .ACIAR

Monograph 32.374 +x p.

Crusius, I.H.S., Milanez, A.I., Trujem,

S.F.B., Zottarelli, C.L.A., Grandi,

R.A.P., Santos, M.L., Giustra, K.C.

2006. Microsporic Fungi in the

Atlantic Rainforest in Cubatao Sao

Paulo Brazil. Brazilian Journal of

Microbiology 37 : 267 – 275.

Currah, R.S. Sigler, R., Hambleton, S.

1987. New Records and New Taxa

Of Fungi From The Mycorrhizae Of

Terrestrial Orchids Of Alberta,

University Of Alberta Microfurzgus

Collectiorl and Herbariurrz,

Devorziarz Botanic Garden

Ed,norztor, Alta.,Canada t6g 2ei,

Can. J. Bot. 65: 2473-2482.

Gandjar, I., Samson R.A, K. van den

Tweel-Vermeulen, Oetari, A. and

Santoso, I. 1999. Pengenalan kapang

tropik umum. Yayasan Obor

Indonesia. Jakarta.

Issa H., Alghamdi A., Aljishi A., Al-

Salem.,Chaetomium peritonitis in

an immunocompetent patient

simulating tuberculous peritonitis:

A case report and review of the

literature, April 2013,

Microbiology Research

International Vol. 1(1), pp. Hal. 1-

5.

Jurema do Socorro Azevedo Dias Eng.

Agr. MSc., Embrapa Amapá Lana

Page 16: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Identifikasi Mikoriza Anggrek Spathoglottis plicata Blume. Dan 15

Phalaenopsis amabilis L.

Rita, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 7-15, April 2014

Patrícia dos Santos, Gilberto Ken-

Iti Yokomizo Eng. Agr. DSc. 2004.

O Fungo Beltrania sp. em

Pupunheirano Estado do Amapa,

Empresa Brasileira de Pesquisa

Agropecuária Centro de Pesquisa

Agroflorestal do Amapá Ministério

da Agricultura, Pecuária e

Abastecimento.Ministerio da

agricultura, pecuaria e

Abastecimento. Hal. 69

Kendrick, B. 2013. Analyse of

morphogenesis in the

hyphomycetes : New characters

derived from considering some

conidiophores and conidia as

condensed hyphal systems. Can. J.

Bot. 81 : 75 – 100.

Lay, B.W. 1994. Analisis Mikroba di

Laboratorium. PT Raja Grafindo

Persada. Jakarta

Lumyong S, Norkaew N, Ponputhachart D,

Lumyong P, dan Tomita F. 2001.

Isolation, Optimitation and

Characterization of Xylanase from

Endophytic fungi. Biotechnology for

Sustainable Utilization of Biological

Resources. The Tropic, 15.

Maloch, D., 1981. Mould; Their Isolation,

Cultivation and Identification.

University of Toronto, Canada. 2010.

A Comparative account of the

diversity and distribution of fungi in

tropical forest soils and sand dunes

of Orissa, India. J. Biodiversity 1(1) :

27 – 41.

Munngai P.G, Chukeatirote, E. Njogu, J.G.

Hyde, K.D. 2012. Coprophilous

Ascomycetes in Kenya: Chaetomium

Species from Wildlifes Dung.

Current Research in Enviromental

and Applied Mycology 2(20 : 113 –

128

Panda, T., Pani, P.K., Mishra, N.,

Mohanty, R.B.

Park, J.Y. 2003. Surface sterilization

method. Workshop on Isolation

Methods of Microbes. 37-38.

Biotechnology Center NITE & Pusat

Penelitian Bioteknologi LIPI,

Cibinong: 24-26 Juni 2003.

Rasmussen, H .N. 1995. Terrestrial

Orchids From Seed To Mycotrophic

Plant. Cambridge University Press.

Ritchie, B.J. 1995. International course on

identification of fungi of agricultural

importance : Plant Pathology

Techniques. International

Mycological Institute, Egham :7

Agustus-15 September 1995 .

Saha, D. and Rao, A.N. 2006. Studies on

Endophytic Mycorrhiza of Some

Selected Orchids of Arunachal

Pradesh-1. Isolation and

Identification. Bulletin of Arunachal

Forest Research 22 (1&2) : 9-16.

Sneh, B., Burpee, L., Ogoshi, A. 1991.

Identification of Rhizoctonia

Species. APS Press. St. Paul. MN.

Thorn, R.G, Reddy, C.A., Harris, D., and

Paul, E.A. Issolation of Saprophytic

Basidiomycetes from Soil. Appl.

Environ. Microbiol. 62 : 4.288 –

4.292 Upadhyaya, A., Singh, J., Tiwari, J., Gupta, S.

2012. Biodiversity of water borne

conidial fungi in Narmada River.

International Multidisciplinary

Research Journal. 2(9) : 20 – 22.

Von Arx, J.A. Guarro, J. and Figueras, M.J.

(1986). The ascomycete genus

Chaetomium. Beihefte zur Nova

Hedwigia 84: 1-162.

Watanabe, T. 2002. Soil and Seed Fungi :

Morphologies of Cultured Fungi and

Key to Species. 2nd

Edition. CRC

Press. London, New York,

Washington, D.C

Page 17: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Amirullah, et. al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 16—24, April, 2014 ISSN : 2355-6404 16

KEANEKARAGAMAN KUMBANG CERAMBYCIDAE (COLEOPTERA) DI

KAWASAN GUNUNG MEKONGGA DESA TINUKARI

KECAMATAN WAWO KABUPATEN KOLAKA UTARA PROVINSI SULAWESI

TENGGARA

(Diversity Of Cerambycidae Beetle (Coleoptera) In Mekongga Mount Area, In

Tinukari Village Wawo Sub District North Kolaka Regency In South East

Sulawesi Province)

Amirullah1, Citra Ariani

2, dan Suriana

1

1Jurusan Biologi, Fakultas MlPA Universitas Halu Oleo Kendari, Sulawesi Tenggara 2Laboratorium Biologi, Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara

e-mail : [email protected]

Jurusan Biologi, Fakultas MlPA Universitas Halu Oleo Kendari, Sulawesi Tenggara 93232.

ABSTRACT

The aim of this research is to determine the distribution, diversity, evenness and

similarity of Cerambycidae bettle based on the total of species and individual at different

altitude in mount of Mekongga area in Tinukari village Wawo sub district, north Kolaka

regency in South East Sulawesi province. This research was used a survey method,

catching Cerambycidae bettle by using sweep net, light trap, malaise trap, artocarpus trap

and yellow pan trap by TCBG-LIPI mekongga team. Mounting and identification in

laboratory entomology, sector zoology, biology research center Tndonesian of science,

Cibinong Bogor, west java. The result show that there are 3 subfamilies of Cerambycidae

bettle; Laminae (54 species), Cerambycidae (21 species) and Prioninae (1 species). The

highest diversity index, was found at 0-500 asl (H'=3,389) and the evennes high category

was found at 1000-1500 asl (H'=1). The highest similarity index of species was found at

0-500 and 500-1000 asl (47,225%).

Key words : Cerambycidae Bettle, Diversity, Mekongga Mount.

Page 18: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

19

Amirullah, et. al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 16—24, April, 2014

Keanekaragaman Kumbang Cerambycidae (Coleoptera) Di Kawasan Gunung

Mekongga Desa Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten Kolaka Utara Provinsi

Sulawesi Tenggara

PENDAHULUAN

Serangga merupakan kelompok

hewan dengan keragaman terbesar bila

dibandingkan dengan golongan hewan

lain yaitu hampir 75% dari total hewan

yang hidup di dunia (Listiani, 2008).

Serangga berhasil dalam

mempertahankan keberlangsungan

hidupnya pada habitat yang bervariasi,

kapasitas reproduksi yang tinggi,

kemampuan memakan jenis makanan

yang berbeda dan kemampuan

menyelamatkan diri dari musuhnya.

Serangga juga memegang peranan

yang sangat penting dalam suatu

ekosistem yakni sebagai herbivora,

predator, parasit, dekomposer maupun

sebagai penyerbuk dalam pembungaan

dan pembuahan (Latumahina dan

Anggraeni, 2010).

Kumbang (Coleoptera)

merupakan kelompok terbesar, sekitar

40% dari seluruh jenis serangga.

Anggotanya diperkirakan lebih dari

350.000 jenis yang sudah diketahui

namanya, 30.000 jenis ada di Amerika

Serikat dan Kanada (Borror et al.,

1996), di Australia 30.000 jenis

(Lawrence and Britton, 1994), dan

diperkirakan sekitar 10% dari jumlah

jenis kumbang dunia yang terdapat di

Indonesia. Khusus di Sulawesi,

diperkirakan terdapat 6000 jenis

kumbang setelah Hammond berhasil

mengoleksi 4500 jenis kumbang dari

hutan dataran rendah di Sulawesi Utara

(Shahabuddin dkk, 2005).

Kumbang sungut panjang

(Coleoptera, Cerambycidae) merupakan

kelompok serangga perombak kayu

yang mempunyai keanekaragaman yang

tinggi. Di Asia telah teridentifikasi

sekitar 35.000 spesies dan sekitar 10%

diduga terdapat di Tndonesia. Koleksi

kumbang sungut panjang yang

tersimpan di Laboratorium Entomologi,

Bidang Zoologi, Pusat Penelitian

Biologi-LTPT, diperkirakan sekitar 1.200

spesies yang telah teridentifikasi

(Noerdjito dkk, 2011).

Kumbang Cerambycid

memainkan peran penting dalam

ekologi hutan karena membantu dalam

penguraian pohon yang mati. Kumbang

sungut panjang (Cerambycidae)

diketahui berperan sebagai perombak

bahan organik, terutama larvanya hidup

di dalam kayu yang sedang melapuk.

Susunan komunitas kumbang sungut

panjang yang ada di suatu kawasan

akan mencerminkan kondisinya

(Noerdjito et al., 2005).

17

Page 19: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

20

Amirullah, et. al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 16—24, April, 2014

Keanekaragaman Kumbang Cerambycidae (Coleoptera) Di Kawasan Gunung

Mekongga Desa Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten Kolaka Utara Provinsi

Sulawesi Tenggara

Pegunungan Mekongga adalah

suatu pegunungan yang terletak di

Provinsi Sulawesi Tenggara tepatnya

di Kabupaten Kolaka Utara yang

memiliki hutan dengan ciri khas

tersendiri. Dari sisi biologis, hutan

tersebut mempunyai fungsi pokok

untuk mendukung kelangsungan

berbagai keanekaragaman hayati yang

ada di dalamnya (Budiman, 2008).

Hutan Mekongga telah diusulkan

menjadi kawasan hutan lindung sejak

tahun 2008, sehingga untuk

pengelolaannya diperlukan data

pendukung tentang berbagai aspek

ekologi, termasuk status flora dan

fauna yang ada di dalamnya. Data

dasar mengenai aspek biologi,

keanekaragaman dan komposisi jenis

biota terutama untuk jenis-jenis

endemik, rawan punah dan

mempunyai nilai ekonomi di kawasan

hutan tersebut sangat diperlukan.

Sejauh ini di pegunungan

Mekongga telah ditemukan adanya variasi

morfometri dan corak warna tubuh

beberapa spesies tawon (Suriana dkk.,

2011), sementara itu Wirawan (2012)

menemukan 22 spesies capung pada

ketinggian 1000-2000 m dari permukaan

laut (dpl) yang terdiri atas 6 famili dari tiga

subordo Anisoptera dan tiga dari subordo

Zygoptera. Tnformasi jenis kumbang

Cerambycidae di setiap ketinggian pada

kawasan Gunung Mekongga belum

dilakukan, oleh karena itu, dilakukan

penelitian tentang Keanekaragaman

Kumbang Cerambycidae (Coleoptera) di

Kawasan Gunung Mekongga Desa

Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten

Kolaka Utara Provinsi Sulawesi

Tenggara.

METODE PENELITIAN

Pengambilan sampel dilakukan

pada bulan Agustus sampai Desember

2009, Juli sampai Desember 2010 dan

Juli 2011 oleh tim TCBG-LTPT.

Bertempat di Gunung Mekongga di

ketinggian 0-1500 mdpl di kawasan

Desa Tinukari Kecamatan Wawo

Kabupaten Kolaka Utara Provinsi

Sulawesi Tenggara. Identifikasi

dilaksanakan selama tiga bulan yaitu 26

Maret sampai dengan 28 Juni 2013

bertempat di Laboratorium Entomologi,

Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi,

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia,

Cibinong Bogor, Jawa Barat. Alat dan

bahan yang digunakan Mikroskop

Binokuler, Loup, Jangka sorong, Kamera

Sony 16.2 MP, Killing bottle, Sweap net,

Malaise trap, Kertas label, Pinning block,

Pins insect, Plastozot, Oven, Kotak

penyimpanan,

18

Page 20: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

21

Amirullah, et. al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 16—24, April, 2014

Keanekaragaman Kumbang Cerambycidae (Coleoptera) Di Kawasan Gunung

Mekongga Desa Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten Kolaka Utara Provinsi

Sulawesi Tenggara

Ju

mla

h s

pes

ies

Botol koleksi, Lem serangga, Kain

putih 2x3, Lampu mercury 150 watt,

Generator 1000 watt, Drower, Jarum

trap. Prosedur penelitian terdiri dari 4

tahap yaitu pengambilan spesimen,

pengawetan spesimen, identifikasi

pentul, Pinset runcing,

Mangkok kuning,

(Coleoptera), Buku

Desikator,

Serangga

identifikasi,

kumbang dan analisis data. Pengawetan

spesimen menggunakan alkohol.

Identifikasi dilakukan dengan melihat

Alkohol 70%, Air panas, Kamper/ ciri-ciri morfologi pada kepala/caput,

kapur barus, Silica gel,

Ethyl Acetat,

dada/thorax dan perut/abdomen. Data

Daun nangka, Garam,

Sabun cair.

disajikan dalam

bentuk gambar,

Pelaksanaan penelitian ini

menggunakan metode survei dengan

penangkapan kumbang Cerambycidae

diagram dan tabel jumlah spesies

kemudian dianalisis dengan

menggunakan aplikasi Primer 5 yaitu

menggunakan jaring penangkap, dengan menghitung indeks

perangkap lampu, malaise trap,

perangkap daun nangka dan yellow pan

keanekaragaman,

kesamaan.

kemerataan dan

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Spesies dan Jumlah Individu

Kumbang Cerambycidae dan

Hasil penelitian terhadap populasi

kumbang Cerambycidae ditiga

ketinggian lokasi penelitian, di kawasan

Distribusinya pada Berbagai

Gunung Mekongga, Kabupaten Kolaka Ketinggian di Kawasan Gunung Mekongga

Utara, Sulawesi

Tenggara dapat

disajikan pada Histogram 1 dan 2.

50 42

40 30 30

20 14 8

10 1 0 0

3 4

0

0-500 500-1000 1000-1500

Ketinggian (mdpl)

Lamiinae Cerambycinae Prioninae

Gambar 1. Histogram Jumlah Spesies Kumbang Cerambycidae yang

ditemukan di kawasan Gunung Mekongga.

19

Page 21: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

22

Amirullah, et. al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 16—24, April, 2014

Keanekaragaman Kumbang Cerambycidae (Coleoptera) Di Kawasan Gunung

Mekongga Desa Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten Kolaka Utara Provinsi

Sulawesi Tenggara

Ketinggian

(mdpl)

(H') Kategori

0 - 500 3,389 Tinggi

500 - 1000 3,296 Tinggi

1000 - 1500 1,946 Sedang

Ju

mla

h in

div

idu

250

200

150

100

50

220

36

2

72

10 0

3 4 0

0-500 500-1000 1000-1500

Ketinggian (mdpl)

subfamili Lamiinae subfamili Cerambycinae subfamili Prioninae

Histogram 1 dan 2 menunjukkan

jumlah spesies kumbang Cerambycid

yang ditemukan di Gunung Mekongga

beragam dengan jumlah jenis yang

bervariasi pada setiap ketinggian.

Pada hutan gunung Mekongga

ditemukan 347 individu dengan 76

spesies kumbang Cerambycid.

Kumbang Cerambycidae di area

hutan Gunung Mekongga pada

ketinggian yang berbeda memiliki

jumlah individu dan spesies yang

berbeda. Pada ketinggian 0-500 mdpl

ditemukan 57 spesies dengan total

individu 258, yang mendominasi adalah

Pterolophia sp.1 sebanyak 31

individu. Ketinggian 500-1000 mdpl

ditemukan 38 spesies dengan 82

individu, yang didominasi oleh Gnoma

sp.2 dengan 10 individu, dan

ketinggian 1000-1500 mdpl

merupakan habitat yang memiliki

jumlah spesies dan jumlah individu

yang paling rendah, disini ditemukan 7

spesies dengan 7 individu, tidak

ditemukan jenis yang mendominasi.

Dengan demikian dari ketiga habitat

tersebut, jumlah spesies dan jumlah

individu paling banyak ditemukan pada

ketinggian 0-500 mdpl.

B. Indeks Keanekaragaman

Kumbang Cerambycidae

(Coleoptera) yang ditemukan

pada Berbagai Ketinggian di

Kawasan Gunung Mekongga

Nilai keanekaragaman spesies

menggunakan indeks keanekaragaman

Shannon dan Wiener (H') (Lien and

Yuan, 2003) dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Indeks keanekaragaman

spesies kumbang Cerambycidae yang

ditemukan pada berbagai ketinggian di

kawasan Gunung Mekongga

Gambar 2. Distribusi jumlah individu kumbang Cerambycidae yang

ditemukan di kawasan Gunung Mekongga

20

Page 22: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

23

Amirullah, et. al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 16—24, April, 2014

Keanekaragaman Kumbang Cerambycidae (Coleoptera) Di Kawasan Gunung

Mekongga Desa Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten Kolaka Utara Provinsi

Sulawesi Tenggara

Hasil perhitungan indeks

keanekaragaman pada Tabel 1

menunjukkan ketinggian 0-500 mdpl

dan 500-1000 mdpl tergolong

kategori tinggi bila dibandingkan

dengan ketinggian 1000-1500 mdpl

menunjukkan kategori rendah.

Menurut Deshmukh (1992) dalam La

Hendri (2011), faktor yang menunjang

tinggi rendahnya indeks

keanekaragaman adalah kerapatan

jenis dalam komunitas, sehingga

dengan kondisi yang berubah pada

suatu komunitas akan mempengaruhi

jumlah jenis maupun jumlah individu

jenis tertentu.

Tingginya tingkat

keanekaragaman pada ketinggian 0-500

mdpl dan 500-1000 mdpl disebabkan

karena pada habitat tersebut terdapat

berbagai jenis sumber daya untuk

dimanfaatkan dengan kondisi

lingkungan yang dapat ditoleransi oleh

berbagai jenis kumbang Cerambycidae.

Tingginya keanekaragaman jenis ini

ditunjukkan dengan ditemukannya 347

individu dari 76 spesies. Ketinggian 0-

500 mdpl sebanyak 258 individu,

ketinggian 500-1000 mdpl sebanyak 82

individu dan ketinggian 1000-1500

mdpl mempunyai keanekaragaman

yang sedang dengan jumlah 7 individu.

Menurut Odum (1996) dalam La

Hendri (2011), semakin banyak jumlah

spesies maka semakin tinggi

keanekaragamannya. Sebaliknya, bila

nilainya kecil maka komunitas tersebut

didominasi oleh satu atau sedikit jenis.

C. Indeks Kemerataan Kumbang

Cerambycidae (Coleoptera) yang

ditemukan pada Berbagai Ketinggian

di Kawasan Gunung Mekongga

Indeks kemerataan spesies

memakai indeks kemerataan Shannon

(Mangguran, 2004). Berikut Tabel 2

yang menunjukkan indeks kemerataan

spesies kumbang Cerambycidae.

Tabel 2. Indeks kemerataan spesies

kumbang Cerambycidae yang

ditemukan pada berbagai ketinggian di

kawasan Gunung Mekongga

Ketinggian

(mdpl) (E) Kategori

0 - 500 0,8382 Tinggi 500 - 1000 0,9062 Tinggi 1000 - 1500 1 Tinggi

Hasil perhitungan indeks

kemerataan jenis pada kawasan

Gunung Mekongga menunjukkan

bahwa kumbang Cerambycidae pada

masing-masing habitat cukup merata.

Ketinggian 0-500 mdpl menunjukkan

nilai kemerataan 0,8382, ketinggian

500-1000 mdpl dengan nilai

kemerataan 0,9062 dan lokasi

penelitian dengan ketinggian 1000-

1500 mdpl dengan nilai kemerataan 1,

hal ini dikarenakan jenis vegetasi yang

terdapat di lokasi penelitian tersebar

21

Page 23: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

24

Amirullah, et. al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 16—24, April, 2014

Keanekaragaman Kumbang Cerambycidae (Coleoptera) Di Kawasan Gunung

Mekongga Desa Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten Kolaka Utara Provinsi

Sulawesi Tenggara

Ketinggian

(mdpl) 0- 500

500 -

t000 t000 -

t500

0 - 500

500 - 1000 47,2%

merata di seluruh kawasan. Menurut

Dendang (2009) bahwa ukuran

keseimbangan antara satu komunitas

dengan komunitas lainnya sangat

ditentukan oleh nilai Tndeks

kemerataan dan nilai ini dipengaruhi

oleh jumlah jenis yang terdapat dalam

satu komunitas. Perbedaan ketinggian

akan menyebabkan perbedaan iklim

(seperti suhu, kelembaban dan curah

hujan), pola penyebaran vegetasi dan

mempengaruhi kemerataan spesies

kumbang Cerambycidae.

D. Indeks Kesamaan Kumbang

Cerambycidae (Coleoptera) yang

ditemukan pada Berbagai

Ketinggian di Kawasan Gunung

Mekongga

Kesamaan spesies kumbang

Cerambycidae antar ketinggian tempat

menggunakan indeks kesamaan Bray-

Curtis. Data yang digunakan adalah

data spesies dan kelimpahan spesies

masing-masing ketinggian tempat

(Cheng, 2004). Indeks Kesamaan

Bray-Curtis dihitung menggunakan

program Primer (Plymouth Routines

Tn Multivariate Ecological Research).

Tabel 3. Indeks kesamaan spesies

kumbang Cerambycidae yang

ditemukan pada berbagai

ketinggian di kawasan Gunung

Mekongga

Tingkat kesamaan jenis diukur

dengan menggunakan perhitungan

indeks kesamaan jenis (Tndeks

Similaritas). Berdasarkan hasil

perhitungan indeks similaritas pada

Tabel 3 menunjukkan kumbang

Cerambycidae pada tiga lokasi kategori,

memiliki nilai indeks tertinggi yaitu

pada ketinggian 0-500 mdpl dan 500-

1000 mdpl yaitu sebesar 47,2%. Hal

tersebut menunjukkan adanya

kemiripan komunitas dalam hal jumlah

spesies pada kumbang Cerambycidae

antara ketinggian 0-500 mdpl dengan

500-1000 mdpl. Hal ini disebabkan

karena pada kedua ketinggian tersebut

terdapat kesamaan jenis habitat yang

berupa hutan alami yang didominasi

oleh pepohonan besar dan tanaman

perdu.

Nilai indeks kesamaan yang

lebih rendah terdapat pada ketinggian

500-1000 mdpl dengan 1000-1500

mdpl dengan nilai 6,4%. Ketinggian

tersebut memiliki kondisi lingkungan

yang cukup berbeda. Kondisi

lingkungan pada ketinggian 1000-1500

mdpl cukup ekstrim, karena kurangnya

vegetasi dan sumber makanan sehingga

kumbang Cerambycidae hanya sebagian

kecil yang mampu bertahan.

1000 - 1500 14,1% 6,4%

22

Page 24: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

25

Amirullah, et. al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 16—24, April, 2014

Keanekaragaman Kumbang Cerambycidae (Coleoptera) Di Kawasan Gunung

Mekongga Desa Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten Kolaka Utara Provinsi

Sulawesi Tenggara

A. Simpulan

PENUTUP B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian

tersebut maka penulis menyarankan :

Berdasarkan hasil penelitian dan

identifikasi yang telah dilakukan, dapat

disimpulkan bahwa:

1. Jumlah spesies dan individu

kumbang Cerambycidae

(Coleoptera) yang di temukan pada

ketinggian 0-500 mdpl di Kawasan

Gunung Mekongga lebih banyak

dibandingkan pada ketinggian 500-

1000 dan 1000-1500 mdpl.

2. Indeks keanekaragaman jenis

kumbang Cerambycidae kategori

tinggi di kawasan Gunung

Mekongga terdapat pada ketinggian

0-500 mdpl, sedangkan kategori

rendah terdapat pada ketinggian

1000-1500 mdpl.

3. Indeks kemerataan spesies

kumbang Cerambycidae pada

kawasan Gunung Mekongga dari

tiga ketinggian cukup merata.

4. Indeks kesamaan spesies kumbang

Cerambycidae yang terdapat di

kawasan Gunung Mekongga

memiliki nilai kesamaan spesies

yang tinggi terdapat pada

ketinggian 0-500 mdpl dengan 500-

1000 mdpl dan terendah pada

ketinggian 500-1000 mdpl dengan

1000-1500 mdpl.

5. Perlu adanya kajian diversitas

secara mendalam tentang hubungan

ketinggian dan faktor

lingkungannya terhadap spesies

kumbang Cerambycidae di

kawasan Gunung Mekongga.

6. Perlu dilakukan penelitian lebih

lanjut tentang hubungan vegetasi

terhadap perkembangan populasi

kumbang Cerambycidae di

kawasan Gunung Mekongga.

DAFTAR PUSTAKA

Borror, D.J., Triplehorn C.A., and

Johnson. N.F., 1996, Pengenalan

Pelajaran Serangga Edisi Keenam,

Penerjemah: Partosoedjono, S. dan

Brotowidjoyo, M,D., Gadjah Mada

University Press, Yogyakarta

Budiman, U., 2008, Gambaran Umum

Pengetahuan Tentang

llegalogging Kayu Serta Dampak

Pada Pemanasan Global di

Pegunungan Mekongga,

Cakrabuana, Makassar.

Cheng, C., 2004, Statistical approaches

on discriminating spatial

variation of species diversity,

Bot. Bull Acad Sin, 45, 339-

346.

Dendang, B. 2009. Keragaman Kupu-

Kupu Di Resort Selabintana Taman

Nasional Gunung Gede

Pangrango, Jawa Barat. Penelitian

Hutan dan Konservasi Alam, 6. 25-

36.

23

Page 25: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Amirullah, et. al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 16—24, April, 2014

Keanekaragaman Kumbang Cerambycidae (Coleoptera) Di Kawasan Gunung

Mekongga Desa Tinukari Kecamatan Wawo Kabupaten Kolaka Utara Provinsi

Sulawesi Tenggara

La Hendri., 2011, Keanekaragaman dan

Komposisi Jenis Semut di

Gunung Mekongga Desa

Tinukari Kecamatan Wolo

Kabupaten Kolaka Utara

Provinsi Sulawesi Tenggara,

Skripsi, Universitas Haluoleo,

Kendari.

Latumahina, F,S., dan Anggraeni, T., 2010,

Diversitas Coleoptera Dalam

Kawasan Hutan Lindung Sirimau

Kota Ambon, Seminar,

Yogyakarta, 24-25 Septembar

2010.

Lawrence, J.F., and Britton, E.B., 1994,

Australian Beetles, Melbourne

University Press.

Lien, V,V., and Yuan, D., 2003. The

differences of butterfly

(Lepidoptera, Papilionoidea)

communities in habitats with

various degrees of disturbance

and altitudes in tropical.

Biodiversity and Conservation,

12, 1099-1111.

Listiani, L., 2008, Pengaruh Pola

Perkawinan Poliandri

Kumbang Ulat Tepung

(Tenebrio molitor L.) Terhadap

Jumlah Larva Dan Jumlah

Kumbang Anaknya, Skripsi,

Tnstitut Pertanian Bogor,

Bogor.

Mangguran, A. E., 2004. Measuring

biological diversity. Malden:

Blackwell Publishing.

Noerdjito, W.A., H. Makihara & K

Matsumoto. 2005. Longicorn

beetle fauna (Coleoptera,

Cerambycidae) collected from

Friendship Forest at Sekaroh,

Lombok. Proc. Tnt. Workshop

on the Landscape Level

Rehabilitation of degraded

Tropical Forests, 22-

23 February, 2005.,

FFPRT, Tsukuba, Japan,

pp. 55-64.

Noerdjito, W.A., 2011, Evaluasi

Kondisi Hutan Berdasarkan

Keragaman Kumbang Sungut

Panjang (Coleoptera :

Cerambycidae) di Kawasan

Gunung Slamet. Berita Biologi

(dalam proses penerbitan).

Noerdjito, W.A., Aswari, P., Peggie,

D., 2011, Fauna Serangga

Gunung Ciremai, Lipi Press,

Bogor

Odum, E.P., 1993, Dasar-Dasar

Ekologi, Penerjemah:

Sarningan, T., dan Srigandono,

B., Gadjahmada University

Press, Yogyakarta.

Shahabuddin, Hidayat, P., Noerdjito,

W. A., Manuwoto, S., 2005,

Penelitian Biodiversitas

Serangga di lndonesia:

Kumbang Tinja (Coleoptera:

Scarabaeidae) dan Peran

Ekosistemnya, Biodiversitas,

Vol. 6, No. 2, Hal. 141-146.

Suriana, M., Nurhayani., Ambardini,

S., Adi, D.A., 2011, Morfometri

dan Corak Warna Tubuh

Beberapa Spesies Tawon di

Kawasan Gunung Mekongga,

BLV, Universitas Haluoleo,

Kendari.

Wirawan, G.S., 2012, Jenis-jenis

Capung di Kawasan Gunung

Mekongga Pada Ketinggian

1000-2000 m dpl Desa Tinukari

Kecamatan Wawo Kabupaten

Kolaka Utara Sulawesi

Tenggara, Skripsi, Universitas

Haluoleo, Kendari.

24

Page 26: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014 ISSN : 2355-6404 25

Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014

KARAKTERISASI FRAGMEN GEN 18S rRNA POKEA (Batissa violacea celebensis

Martens, 1897) DI SUNGAI POHARA KECAMATAN SAMPARA KABUPATEN

KONAWE

(Characterization of 18S rRNA Gene Fragmen from Pokea (Batissa violacea celebensis

Martens, 1897) in the Pohara River Sampara District Konawe Regency)

Muzuni1,2*

, Dwi Arinto Adi1,2

, dan Satriani Syarif2

1Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Halu Oleo, Kendari

2Laboratorium Biologi FMIPA, Universitas Halu Oleo, Kendari

e-mail :[email protected]

ABSTRACT

This study aims to characterize sequences of 18S rRNA gene fragment from Pokea (Batissa

violacea celebensis Martens, 1897) and its role in differentiated Pokea with other Bivalvia.

The method used is a series of PCR (Polymerase Chain Reaction) reaction used to determine

the sequence of 18S rRNA gene fragments Pokea. Analysis of the data using program NCBI

(National Center for Biotechnology Information), Clustal X, Phydit (Phylogenetik editor), and

TreeViewX for characterization 18S rRNA gene sequence to construct a phylogenetik tree of

Pokea. The results showed that character of 18S rRNA gene fragments Pokea, namely: size

827 bp, including the family Corbicullidae because it has the closest kinship with Corbicula

fluminea, as well as having restriction enzyme sites XhoI, PstI, BamHI, and DraI.

Keywords: Morphology, characterization, 18S rRNA gene, Pokea (Batissa Violacea

celebensis Martens, 1897).

PENDAHULUAN

Provinsi Sulawesi Tenggara

memiliki beberapa sungai besar maupun

sungai kecil yang sangat potensial untuk

kebutuhan air bersih, irigasi, pembangkit

listrik, dan untuk berbagai kebutuhan

lainnya. Sungai Pohara merupakan salah

satu sungai yang terdapat di Sulawesi

Tenggara. Masyarakat yang bermukim di

daerah Sungai Pohara menggunakan

sungai tersebut sebagai sumber mata

pencaharian dan salah satunya adalah

menangkap kerang di sungai lalu

menjualnya (Nafsal, 2008).

Kerang (Bivalvia) adalah salah

satu jenis makanan yang banyak

dikonsumsi oleh masyarakat karena

mengandung gizi yang tinggi terutama

protein. Selain itu, kerang dapat pula

digunakan sebagai bahan perhiasan yang

mempunyai nilai ekonomis penting.

Cangkangnya, setelah melalui proses

tertentu, dapat dijadikan pupuk, makanan

tambahan unggas, dan pembuatan cat, serta

kapur (Nadia, 2011).

Bivalvia yang hidup di Sungai

Pohara berasal dari family Corbicullidae

dengan jenis Batissa violacea celebensis

Martens, 1897. Masyarakat setempat

mengenalnya dengan sebutan Pokea.

Berdasarkan informasi LIPI-Cibinong

dalam Bahtiar (2005) bahwa pokea ini

Page 27: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

26

Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014

Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di

Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe

merupakan hewan endemik di Sulawesi

Tenggara sedangkan di sungai lain yang

ada di Sulawesi Tenggara belum ada

informasi ditemukannya organisme ini.

Penelitian mengenai karakter

morfologi dan fenotip pada Pokea (Batissa

violacea celebensis Martens, 1897) telah

banyak dilakukan (Bahtiar, 2005; Nafsal,

2008; Renel, 2001), namun untuk

mengidentifikasi suatu organisme

menggunakan teknik molekuler belum

banyak dilakukan. Beberapa teknik

molekuler telah dikembangkan untuk

melacak adanya urutan DNA spesifik dari

organisme tertentu, contohnya penggunaan

urutan gen 18S rRNA untuk menentukan

hubungan kekerabatan suatu organisme

dengan yang lain melalui pohon

filogenetik.

Gen 18S rRNA sering digunakan

untuk studi filogenetik karena mempunyai

daerah yang conserve (tidak berubah dari

satu organisme ke organisme yang lain).

Daerah conserve dan unik dapat digunakan

untuk pencirian organisme bersangkutan

sehingga menjadi urutan tanda tangan

(signature sequence). Data basa penyandi

gen 18S rRNA memungkinkan untuk

digunakan dalam mengkontruksi pohon

filogenetik yang menunjukkan nenek

moyang dan kekerabatan suatu organisme

(Suwanto, 2011). Penelitian secara

molekuler dapat menjadi pelengkap atau

alternatif untuk mengidentifikasi

organisme secara morfologi. Penelitian ini

dapat menjelaskan karakteristik fragmen

gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea

celebensis Martens, 1897) yang diperoleh

dari Sungai Pohara Kecamatan Sampara

Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi

Tenggara. Karakteristik ini dapat dijadikan

sebagai pembeda dengan organisme yang

lain.

METODE PENELITIAN

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam

penelitian ini adalah micropipet, tip,

sentrifugator, vortex, set elektroforesis,

mesin PCR, waterbath, tabung eppendorff,

inkubator, timbangan analitik,

photoforesis, erlemeyer, hotplate,

spektrofotometer, spatula, alu dan mortar.

Bahan yang digunakan dalam

penelitian adalah pokea (Batissa violacea

celebensis Martens, 1897) yang diambil

dari Sungai Pohara Kecamatan Sampara

Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi

Tenggara, buffer CTAB, primer, master

mix, agarose, PCI (Phenol-Chlorofom-

Isoamyl Alcohol), pasir kuarsa, ethidium

bromide, TAE (Tris-acetic EDTA) 1X,

etanol 70 %, etanol absolut, aquadest,

RNAse, dan loading dye.

Page 28: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

27

Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014

Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di

Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe

Prosedur Kerja

Isolasi DNA

Ektraksi DNA Pokea (Batissa

violacea celebensis Martens,1897)

menggunakan metode CTAB (Cetyl

Trimetyl Ammonium Bromide) (Sambrook

et al., 1989). Sebelum dilakukan ekstraksi,

terlebih dahulu buffer lisis disiapkan

dengan kebutuhan sesuai jumlah sampel

yang akan diekstraksi. Sampel yang

diambil dari kaki Pokea terlebih dahulu

ditimbang sebanyak 0,1-0,2 gr dan

dipotong kecil-kecil, lalu digerus dengan

bantuan pasir kuarsa. Sampel dimasukkan

ke dalam eppendorff 1,5 ml dan

ditambahkan 600 μl buffer lisis. Sampel

diinkubasi selama 30 menit dengan suhu

65oC dan dibolak-balik setiap 5 menit.

Sampel kemudian dimasukkan ke dalam es

selama 5 menit lalu disentrifugasi pada

10.000 rpm selama 10 menit. Supernatan

diambil lalu dimasukkan ke dalam

eppendorff baru ukuran 1,5 ml dan

ditambahkan 1 x volume PCI (Phenol-

Chlorofom-Isoamyl Alcohol) yang

berfungsi memisahkan kontaminan seperti

protein dan senyawa - senyawa organik

dengan DNA.

Selanjutnya suspensi disentrifugasi

pada 10.000 rpm, suhu 40C selama 10

menit. Supernatan diambil dan

dipindahkan dalam eppendorff 1,5 ml lalu

ditambahkan dengan 0,1 volume sodium

asetat 3 M pH 5,2 kemudian ditambahkan

2 x volume etanol absolut lalu diinkubasi

selama 2 jam. Setelah 2 jam suspensi

kemudian disentrifugasi kembali selama 20

menit pada 10.000 rpm suhu 40C sehingga

pellet DNA diperoleh. Selanjutnya pellet

DNA dicuci dengan 0,5 ml ethanol 70 %,

lalu dikeringkan kemudian dilarutkan

dalam 20 μl H2O. Untuk menghilangkan

RNA, larutan ditambahkan 100 μg/μl

RNAse, lalu diinkubasi pada suhu 370C

selama 12 jam. Larutan DNA selanjutnya

disimpan pada suhu -40C.

Uji Kualitas dan Kuantitas DNA

Kualitas DNA dapat diukur dengan

elektroforesis dan spektofotometer,

sedangkan kuantitas DNA diukur dengan

alat spektrofotometer. Elektroforesis DNA

hasil isolasi berfungsi untuk mengetahui

apakah DNA utuh atau terdegradasi.

Spektrofotometer pada panjang gelombang

260 nm dan 280 nm berfungsi untuk

mengetahui apakah DNA murni atau

terkontaminasi. Panjang gelombang yang

digunakan untuk mengetahui kandungan

DNA/RNA menggunakan spektrofotometri

UV adalah 260 nm, sedangkan untuk

mengetahui kandungan protein

menggunakan spektrofotometri UV dengan

panjang gelombang 280 nm.

Kualitas DNA ditetapkan

berdasarkan nilai rasio A260/A280 sekitar

1,8 - 2,0. Kuantitas DNA ditetapkan

Page 29: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

28

Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014

Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di

Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe

berdasarkan asumsi bahwa 1 DO = 50

μg/ml DNA utas ganda dengan rumus:

Keterangan :

= Konsentrasi DNA

A260 = Absorbansi pada panjang

gelombang 260 nm

50 μg/ml = Konstanta untuk DNA

FP = Faktor pengenceran

Desain Primer

Primer spesifik yang digunakan

dalam penelitian ini adalah bagian dari

urutan 18S rRNA beberapa Bivalvia,

yakni: Anodonta cygnea (AM774476);

Psilunio littoralis (AF120536); Anodonta

sp. (AY579090); Lampsilis cardium

(AF120537); Elliptio complanata

(AF117738); Neotrigonia lamarckii

(AM774478). Urutan-urutan DNA tersebut

diperoleh dari bank data gen (Genebank).

Selanjutnya seluruh urutan tersebut

disejajarkan dengan menggunakan

Program BioEdit versi 7.0.9. Daerah yang

terkonservasi merupakan daerah spesifik

yang dimiliki oleh gen tersebut sehingga

dapat digunakan sebagai primer spesifik.

Primer yang digunakan dalam penelitian

ini adalah primer Anodr-F (5’-GAC ACG

GGG AGG TAG TGA CG-3’) dan primer

Anodr-R (5’-CCA CCC ACC GAA TCA

AGA AA-3’). Perkiraan jumlah urutan

fragmen gen 18S rRNA yang akan

terbentuk adalah 821 bp (base pair).

Reaksi Amplifikasi dan Elektroforesis

Persiapan PCR untuk amplifikasi

dilakukan dalam bak berisi es. Sebanyak

1,5 μl DNA contoh (konsentrasi 100

ng/μl), 1 μl primer forward (konsentrasi 10

μM), 1 μl primer reverse (konsentrasi 10

μM), 1,5 μl dH2O dan 5 μl master mix 2x

yang terdiri dari H2O, 10 x Stoffel Buffer,

dNTP, MgCl2, dan enzim Taq DNA

Polymerase, dimasukkan dalam eppendorff

ukuran 0,5 ml. Campuran kemudian

divortex dan disentrifugasi, lalu

dimasukkan ke dalam mesin PCR.

Reaksi PCR dilakukan sebanyak 35

siklus yang terdiri dari 2 stage. Stage 1

dilakukan sebanyak 5 siklus yang terdiri

dari 3 step, yaitu: denaturasi selama 1

menit pada suhu 940C, annealing selama

30 menit pada suhu 600C, dan extension

selama 90 menit pada suhu 720C. Stage 2

dilakukan sebanyak 30 siklus yang terdiri

dari 3 step, yaitu: denaturasi selama 1

menit pada suhu 940C, annealing selama

30 menit pada suhu 550C, dan extension

selama 90 menit pada suhu 720C.

Hasil amplifikasi selanjutnya

dielektroforesis dengan agarose 1 % (0,3 g

agarose, 30 ml TAE 1x dan 7,5 μl etidium

bromida) pada voltase konstan 100 volt

dan 80 A selama 30 menit lalu

divisualisasikan di atas UV transiluminator

kemudian dilakukan pemotretan dengan

photoforesis.

[DNA] = A260 x 50 μg/ml x FP

Page 30: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

29

Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014

Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di

Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe

Pengurutan DNA

Pengurutan DNA hasil amplifikasi

menggunakan alat DNA sequencer ABI

Prism 377. Pengurutan dilakukan dengan

metode Sanger, menggunakan terminator

dye berupa fluorescent dye rhodamin

(PRISM reaction dyedoaxy terminator

cycle sequencing kit). Setelah

mendapatkan hasil pengurutan, urutan

kemudian disejajarkan dengan

menggunakan program NCBI blast.

Analisis Data

Identifikasi urutan nukleotida

dilakukan dengan beberapa analisis.

Analisis kesejajaran lokal (local

alignment) hasil pengurutan DNA dengan

data yang ada di GeneBank dilakukan

dengan program BLAST (Basic Local

Alignment Search Tools) yang disediakan

NCBI (National Center for Biotechnology

Information) melalui http://www.

ncbi.nlm.nih.gov/blast (Muzuni et al.,

2010 ; Mursyidin et al., 2012). Data urutan

gen 18S rRNA disejajarkan dengan

program Clustal X (Hidayat et al., 2008).

Konstruksi pohon filogenetik dengan

metode neighbour-joining menggunakan

program Phydit (phylogenetik tree)

(Sembiring et al., 2008). Analisis situs

retriksi menggunakan program NEBcutter

2.0 (Muzuni et al., 2010).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Isolasi DNA Pokea (Batissa violacea

celebensis Martens, 1897)

Pada tahap ini sampel yang

digunakan terdiri dari 4 ulangan. Setelah

diisolasi DNA kemudian dielektroforesis

untuk mengetahui apakah isolasi berhasil

atau tidak. Keberhasilan proses isolasi

dilihat berdasarkan ada atau tidaknya pita

DNA hasil elektroforesis. Elektroforesis

juga berfungsi untuk mengetahui apakah

DNA hasil isolasi utuh atau terdegradasi.

Hasil elektroforesis memperlihatkan

pita DNA utuh (Gambar 1) hanya pada

ulangan 2 dan 4, sedangkan pada ulangan 1

dan 3 tidak terlihat. DNA utuh

terkonsentrasi pada ujung sedikit di bawah

sumur. Pemendekan yang ada di sepanjang

sumur bagian tengah menunjukkan DNA

yang mengalami degradasi. Degradasi

DNA dapat terjadi karena adanya DNA

yang terpotong-potong akibat pemipetan

sampel berulang-ulang atau penempatan

DNA dalam suhu kamar terlalu lama.

DNA mengalami degradasi juga bisa

disebabkan oleh karena DNA mengalami

pembekuan berulang-kali, pengenceran

atau kontaminasi nuklease selama proses

ekstraksi DNA (Lester, 2011).

Page 31: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

30

Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014

Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di

Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe

Gambar 1. Hasil elektroforesis DNA. 1, 2, 3 dan 4 menunjukkan 4 ulangan.

RNA yang telah terdegradasi

tampak pada bagian bawah sumur di setiap

ulangan. Untuk menghilangkan RNA,

sebelum pengukuran kualitas dan kuantitas

DNA sampel nomor 2 ditambahkan

RNAse sehingga dapat memberikan hasil

elektroforesis yang bersih dari RNA pada

proses elektroforesis selanjutnya.

Penambahan RNAse hanya diberikan pada

sampel nomor 2 karena hanya pada sampel

nomor 2 pita DNA utuh terlihat tebal dan

jelas.

Pengukuran Kualitas Dan Kuantitas

DNA

Pengukuran kualitas dan kuantitas

DNA diperlukan untuk mengetahui

kualitas DNA, sehingga dapat ditentukan

pengenceran yang diperlukan untuk proses

selanjutnya. Pengenceran DNA yaitu hasil

ekstraksi DNA yang didapatkan dicampur

aquabides. Perbandingan antara DNA dan

aquabides disesuaikan dengan besarnya

pengenceran. Pengenceran dilakukan agar

mendapatkan konsentrasi yang seragam

untuk digunakan dalam analisis PCR.

Kuantitas DNA didasarkan pada

nilai konsentrasi DNA, dimana konsentrasi

DNA didapatkan dengan rumus

konsentrasi DNA (μg/ml) = Absorbansi

(260) x Faktor konversi DNA (50 μg/ml) x

Faktor pengenceran (pembacaan 1 pada

260 nm setara dengan 50 μg/ml DNA untai

ganda). Tingkat kemurnian DNA yang

baik untuk digunakan dalam proses

amplifikasi dengan PCR, jika nilai rasio

yang didapatkan adalah 1,8-2,0

(Suharsono, 2005 ; Sambrook et al., 1989)

DNA utuh

DNA terdegradasi

RNA terdegradasi

Page 32: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

31

Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014

Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di

Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe

M 1 2 3 4

Tabel 1. Hasil spektrofotometer pada sampel nomor 2

No Perlakuan

Sampel

Absorbansi pada panjang

gelombang () Konsentrasi

(μg /ml)

Kemurnian

(260/280) 260 280

1 Sampel

Pokea 0,274 0,142 2740 1,9291

Hasil spektrofotometer pada Tabel

1 menunjukkan kualitas DNA adalah

1,9291, hal ini mengindikasikan DNA

tergolong murni dan bisa digunakan pada

tahap selanjutnya yaitu amplifikasi DNA.

Konsentrasi DNA adalah 2740 μg/ml,

setelah perhitungan maka DNA diencerkan

dengan konsentrasi akhir 100 µg/ml

volume 20 μl, menggunakan 0,7299 μl dan

aquabides 19,270 μl untuk proses

amplifikasi PCR. Nilai dari volume akhir

pengenceran 20 µg/ml dipilih karena

dianggap jumlah yang sesuai agar DNA

stok yang digunakan tidak terlalu banyak

dan tidak terlalu sedikit sehingga dapat

menghemat stok DNA yang ada.

Amplifikasi DNA

Hasil PCR kemudian dielektroforesis

untuk melihat pita DNA yang terbentuk.

Pada tahap ini ada 4 ulangan dari 1 sampel

yang sama (nomor 2) dengan komposisi

DNA yang berbeda-beda. Ulangan 1

jumlah DNA yang digunakan sebanyak

0,5 μl, ulangan 2 jumlah DNA yang

digunakan sebanyak 1 μl, ulangan 3

jumlah DNA yang digunakan sebanyak 1,5

μl, dan ulangan 4 jumlah DNA yang

digunakan sebanyak 2 μl (Gambar 2).

Gambar 2. Hasil PCR. M = Marker 1 kb

leader; 1, 2, 3 dan 4

menunjukkan 4 ulangan

Pada tahap ini digunakan banyak

ulangan dengan komposisi DNA yang

berbeda-beda untuk mencari komposisi

DNA yang tepat agar proses PCR

selanjutnya lebih maksimal. DNA dalam

proses PCR terdiri dari dua jenis yaitu: (1)

DNA target yang akan diamplifikasi

kembali, (2) DNA non target (Kennedy,

2011). Hasil visualisasi PCR menunjukkan

tidak terbentuk pita DNA pada ulangan 2,

sedangkan pada ulangan 1, 3 dan 4

terbentuk pita DNA yang mengindikasikan

komposisi PCR berhasil melipatgandakan

DNA. Ulangan 1 hanya menghasilkan

DNA target atau DNA yang diinginkan,

sedangkan pada ulangan 3 dan 4

2000 pb

1650 pb

1000 pb

850 pb

Page 33: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

32

Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014

Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di

Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe

membentuk pita DNA non target dan DNA

target. Hal ini menunjukkan jumlah DNA

0,5 μl komposisi yang tepat untuk

mendapatkan hasil PCR yang maksimal.

DNA target berukuran sekitar 850

bp, hal ini sesuai dengan perkiraan jumlah

yang akan dihasilkan oleh primer forward

dan primer reverse. Sedangkan DNA non

target berukuran sekitar 12.000 bp yang

merupakan DNA genom. Komposisi DNA

1,5 μl dan 2 μl merupakan komposisi yang

menghasilkan DNA non target berupa

DNA genom, hal ini menunjukkan jumlah

tersebut bukan komposisi yang tepat untuk

mendapatkan hasil PCR yang maksimal

untuk Pokea (Batissa violacea celebensis

Martens, 1897).

Banyaknya DNA target yang

digunakan akan menentukan hasil akhir

dari proses amplifikasi. Jika DNA target

yang digunakan terlalu sedikit maka DNA

yang dihasilkan sedikit bahkan

kemungkinan tidak teramplifikasi,

sedangkan apabila terlalu banyak DNA

target maka akan diperoleh lebih banyak

DNA yang tidak diinginkan (Yuwono,

2006; Kennedy, 2011).

Pengurutan Fragmen DNA

Pengurutan fragmen gen 18S rRNA

dilakukan dari dua arah, arah ujung

forward dan ujung reverse menggunakan

primer Anodr-F dan Anodr-R. Primer

yang digunakan dalam penelitian ini

sengaja dirancang agar berukuran kecil

yaitu berukuran 20 nukleotida, karena

primer yang memiliki urutan yang pendek

lebih mudah diamplifikasi. Kespesifikan

primer tidak akan meningkat jika panjang

primer lebih dari 30 nukleotida. Primer

yang tidak spesifik dapat menyebabkan

teramplifikasinya daerah lain dalam genom

yang tidak dijadikan target atau sebaliknya

tidak ada daerah pada genom yang

teramplifikasi.

Hasil pengurutan fragmen gen 18S

rRNA menggunakan mesin sequencer

berupa dendogram yang memperlihatkan

grafik nukleotida. Nukleotida diwakili

warna yang berbeda-beda. Nukleotida G

diwakili oleh warna hitam, nukleotida C

diwakili oleh warna biru, nukleotida T

diwakili oleh warna merah dan nukleotida

A diwakili oleh warna hijau. Setelah diolah

menggunakan program Bioedit dapat

diketahui bahwa urutan gen 18S rRNA

yang diurutkan dari arah forward memiliki

688 nukleotida sedangkan dari arah

reverse memiliki 677 nukleotida (data

tidak ditunjukkan).

Page 34: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

33

Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014

Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di

Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe

Gambar 3. Urutan gen 18S rRNA parsial Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897).

Urutan fragmen gen 18S rRNA dari Pokea

masih harus diolah kembali menggunakan

analisis contig menggunakan program

Bioedit untuk mengetahui urutan DNA

yang terbaca dari dua arah (forward dan

reverse). Setelah diolah lebih lanjut,

diketahui bahwa fragmen gen 18S rRNA

Pokea berukuran 827 bp (Gambar 3).

Sebagai pembanding, gen 18S rRNA full

length berukuran sekitar 1.800 bp

(Itskovich et al., 2007 ; Soltis et al., 2001).

Fragmen gen 18S rRNA Pokea dalam

penelitian ini berada pada bagian tengah

gen 18S rRNA, yaitu daerah yang diapit

oleh primer Anodr-F dan Anodr-R yang

berukuran 827 bp.

Analisis Filogenetik Berdasarkan

Urutan Fragmen Gen 18S rRNA

Urutan fragmen gen 18S rRNA

Pokea (Batissa violacea celebensis

Martens, 1897) selanjutnya dianalisis

secara online menggunakan program

BLAST pada situs genebank NCBI.

Analisis yang dilakukan yakni

penyejajaran (alignment) dengan database

urutan gen 18S rRNA yang terdapat pada

GeneBank. Secara otomatis program

BLAST akan memproses penyejajaran

urutan gen 18S rRNA yang dimasukkan.

Analisis dengan menggunakan program ini

dilakukan untuk mengetahui kesesuaian

antara urutan basa yang didapatkan dengan

urutan yang terdapat dalam bank data gen.

Hasil blast menggunakan NCBI

tidak ditemukan adanya urutan gen 18S

rRNA yang memiliki presentase identitas

kemiripan hingga 100% dengan Pokea.

Beberapa urutan gen 18S rRNA yang

terdapat di NCBI mempunyai identitas

kemiripan hanya berkisar 93% sampai

dengan 99% (data tidak ditunjukkan). Hal

ini menunjukkan bahwa belum tersedianya

urutan fragmen gen 18S rRNA Pokea di

Page 35: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

34

Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014

Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di

Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe

GeneBank. Persentase identitas kemiripan

teratas ditempati oleh Corbicula fluminea.

Hal ini menandakan Urutan gen 18S rRNA

Pokea apabila dilihat dari hasil blast

memiliki hubungan kekerabatan dengan

Corbicula fluminea.

Pengolahan data dilakukan

otomatis menggunakan software yang

berkaitan dengan pembuatan pohon

filogenetik. Pada penelitian ini digunakan

3 program yaitu NCBI, Clustal X, Phydit

(Phylogenetik editor), dan TreeViewX.

Metode yang digunakan untuk

mengkontruksi pohon filogenetik adalah

neighbour-joining dengan 1000x replikasi.

Berdasarkan Gambar 4, terlihat Pokea

berada pada clade X dengan 4 spesies

lainnya pada skala 0,1. Diantaranya

Corbicula fluminea, Hemidonax pictus,

Artica, dan Ruditapes variegatus. Clade ini

mempunyai nilai kepercayaan 100 % yang

menunjukkan Clade X ini adalah

kelompok yang stabil. Menurut Felsenstein

(1985) dalam Bahagiawati (2010) clade

yang memiliki nilai bootstrap atau nilai

kepercayaan 95% atau lebih dapat

dikatakan sebagai clade yang benar-benar

stabil.

Gambar 4. Pohon filogeni yang menunjukkan hubungan kekerabatan antara Pokea (Batissa violacea

celebensis martens,1897) dengan spesies Bivalvia atas dasar urutan gen 18S rRNA.

Angka pada percabangan mengindikasikan nilai bootstrap (%) berdasarkan alogaritma

neighbour-joining dengan 1000x replikasi. Skala mengindikasikan subtitusi 1 per 10

nukleotida pada urutan gen.

Page 36: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

35

Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014

Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di

Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe

Pokea terlihat memiliki hubungan

kekerabatan paling dekat dengan

Corbicula fluminea dengan tingkat

kepercayaan 71 %. Hal ini menandakan

clade Batissa violacea celebensis belum

stabil dan masih bisa mengalami

perubahan dalam pengambilan sampel atau

replikasi menggunakan metode neighbour-

joining. Tingkat kepercayaan atau nilai

bootstrap ini bisa meningkat apabila

Batissa violacea celebensis Martens, 1897

dibandingkan dengan genus yang sama

yaitu genus Batissa dari spesies lain. Pokea

dan Corbicula fluminea dari segi

morfologi dan taksonomi memiliki

hubungan kekerabatan yang dekat;

keduanya berada dalam famili yang sama

yaitu Corbicullidae namun berbeda genus.

Tabel 2. Hubungan similaritas dan

nukleotida difference dari

clade Batissa violacea

celebencis

Hubungan kekerabatan antara

Batissa violacea celebensis dan Corbicula

fluminea juga didukung dari hasil analisis

similaritas. Diantara kelima spesies

Bivalvia tersebut pada Tabel 3,

menunjukkan urutan nukleotida gen 18S

rRNA Batissa violacea celebensis

Martens,1897 dan Corbicula fluminea

memiliki kemiripan tertinggi dengan

indeks similaritas sebesar 99.27 % dengan

perbedaan 6 nukleotida dari 827 basa yang

diperbandingkan. Analisis ini

menggunakan software clustal X dan

Phydit (Phylogenetik editor).

Urutan fragmen gen 18S rRNA

Pokea setelah diamplifikasi berdasarkan

primer Anodr-F dan Anodr-R serta

dikonstruksi pohon filogenetiknya dapat

dijadikan pembeda dengan organisme yang

lain atau Bivalvia lain. Urutan fragmen gen

18S rRNA dapat digunakan untuk

membandingkan Pokea dengan Bivalvia

lain sampai tingkat genus, untuk

mengetahui hubungan kekerabatan Pokea

dengan organisme lain. Namun dalam

penelitian ini hanya dibandingkan sampai

ke tingkat famili, hal ini disebabkan belum

tersedianya urutan gen 18S rRNA Pokea

genus Batissa di dalam GeneBank. Hasil

analisis restriksi urutan fragmen gen 18S

rRNA Pokea menggunakan NEBcutter

dapat dilihat pada Gambar 5. Berdasarkan

hasil amplifikasi urutan fragmen gen 18S

rRNA Pokea setelah diamplifikasi

berdasarkan primer Anodr-F dan Anodr-R,

urutan gen ini dikenali oleh banyak enzim

restriksi, diantaranya yang biasa digunakan

Spesies Bvc Cf A Rv Hp

Batissa

violacea

celebencis

(Bvc)

--- 6/827 7/827 8/827 24/827

Corbicula

fluminea

(Cf)

99.27 --- 9/827 10/827 28/827

Artica (A) 99.15 98.91 --- 3/827 23/827

Ruditapes

variegates

(Rv)

99.03 98.79 99.64 --- 24/827

Hemidonax

pictus (Hp) 97.1 96.61 97.22 97.1 ---

Page 37: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

36

Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014

Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di

Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe

di laboratorium adalah XhoI, PstI, BamHI,

dan DraI. Enzim-enzim ini merupakan

salah satu karakter yang dimiliki oleh

fragmen gen 18S rRNA pokea yang

berhasil diisolasi sehingga dapat digunakan

sebagai pembeda dengan bivalvia lain pada

daerah yang setara.

Gambar 5. Enzim restriksi umum pada fragmen gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea

celebensis Martens, 1897) yaitu: XhoI, PstI, BamHI, dan DraI (kotak) dengan

menggunakan program NEBcutter.

Gen 18S rRNA berperanan dalam

membedakan Pokea (Batissa violacea

celebensis Martens, 1897) dengan Bivalvia

lain. Berdasarkan hasil penelitian

menunjukkan bahwa fragmen gen 18S

rRNA dapat juga digunakan untuk

membedakan pokea dengan bivalvia lain

(Gambar 4 dan 5). Fragmen yang

digunakan sebagai acuan pembeda adalah

fragmen gen 18S rRNA pokea yang

dibatasi oleh primer Anodr-F dan Anodr-R,

sedangkan fragmen bivalvia lain yang

digunakan sebagai pembanding adalah gen

18S rRNA bivalvia lain yang diperoleh

dari GeneBank yang sejajar dengan

fragmen gen 18S rRNA pokea. Oleh

karena fragmen gen 18S rRNA pokea

diperoleh dengan menggunakan metode

PCR, maka dapat dijelaskan bahwa metode

PCR dapat digunakan untuk memperoleh

fragmen DNA yang dapat membedakan

satu organisme dengan organisme lain.

Page 38: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

37

Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014

Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di

Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Simpulan dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Karakteristik fragmen gen 18S rRNA

Pokea adalah: memiliki ukuran 827 bp,

termasuk dalam family Corbicullidae

karena Pokea dan Corbicula fluminea

mempunyai hubungan kekerabatan

paling dekat dengan tingkat

kepercayaan 71% dan perbedaan 6

nukleotida dari 827 basa yang

diperbandingkan, serta mempunyai

situs enzim restriksi XhoI, PstI,

BamHI, dan DraI.

2. Gen 18S rRNA berperan dalam

membedakan spesies Pokea dengan

Bivalvia spesies lain.

Saran

Saran dalam penelitian ini adalah

dilakukan penelitian lanjutan dengan

mengkarakterisasi gen 18S rRNA Pokea

(Batissa violacea celebensis Martens,

1897) hingga ke tingkat spesies

menggunakan daerah ITS.

DAFTAR PUSTAKA

Bahagiawati, Utami, W., D., dan Buchori,

D. 2010. Pengelompokkan dan

Struktur Populasi Parasitoid Telur

Trichogrammatoidea armigera pada

Telur Helicoverpa armigera pada

Jagung Berdasarkan Karakter

Molekuler, J. Entomologi, 7(1):54-

65.

Bahtiar. 2005. Keberadaan Populasi Pokea

(Batissa Violacea Celebensis

Martens, 1897) pada Berbagai

Daerah yang Berbeda pada Sungai

Pohara Kecamatan Sampara

Kabupaten Konawe. Tesis Sekolah

Pasca Sarjana, IPB, Bogor.

Hidayat, T., Kusumawaty, D., Yati, D., D.,

Muchtar, A., dan Mariana, D. 2008.

Analisis Filogenetik Molekuler pada

Phyllanthus niruri L.

(Euphorbiaceae) menggunakan

Urutan Basa DNA Internal

Transcribed Spacer (ITS). Jurusan

Biologi Fakultas Matemateka dan

Ilmu Pengetahuan Alam, Bandung.

Itskovich, V., Belikov, S., Efremova, S.,

Masuda, Y., Perez, T., Alivon, E.,

Borchiellini, C., and Boury, N.

2007. Phylogenetic Relationship

Between Freshwater and marine

Haplosclerida (Porifera,

Demospongiae) based on the Full

Length 18S rRNA and Partial COXI

Gene Sequences, Porifera

Researches Biodeversity, Rusia.

Kennedy, N. 2011. PCR Troubleshooting

and Optimization. Caister Academic

Press, USA.

Lester, J. 2011. Troubleshooting Poor

Quality Template,

http://www.bio.cam.ac.uk

/pflgroup/DNA_Facility/Quality.ht

ml, Diakses pada tanggal 01 Juni

2012.

Mursyidin, D., H. 2012. Kekerabatan

Filogenetik 15 Jenis Durian (Duri

spp.) Berdasarkan Analisis

Bioinformatik Gen 5.8S rRNA dan

ITS Region. BIOSCIENTIAE,

9(1):45-54.

Muzuni, Soepandi, D., Suharsono, U.

W., Suharsono. 2010. Isolasi dan

Pengklonan Fragmen cDNA Gen

Penyandi H+-ATPase Membran

Plasma dari Melastoma

malabathricum L. J. Agron.

Indonesia, 38(1): 67-74.

Nadia, L. A. R. 2011. Kumpulan Jurnal

Internasional : Bivalvia,

Page 39: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

38

Muzuni et. al, Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 25-38, April 2014

Karakterisasi Fragmen Gen 18S rRNA Pokea (Batissa violacea celebensis Martens, 1897) Di

Sungai Pohara Kecamatan Sampara Kabupaten Konawe

Gastropoda, dan Echinodermata.

Program Pasca Sarjana,

Universitas Gajah Mada,

Yogyakarta.

Nafsal, A. 2008. Distribusi dan Kepadatan

Kerang Pokea (Batissa Violacea

Celebensis Martens, 1897) Secara

Spasial dan Temporal di Perairan

Sungai Pohara Sulawesi Tenggara.

Skripsi, Universitas Halu Oleo,

Kendari.

Renel, K. 2001. Studi Kepadatan dan

Distribusi Kerang Pokea (Curbicula

spp) pada Desa Andadowi

Kecamatan Bondoala. Skripsi,

Universitas Halu Oleo, Kendari.

Sambrook, J., Fritsch, E.F., and Maniatis, T.

1989. Molecular Cloning: a

laboratory manual. 2nd ed. Cold

Spring Harbor, NY.

Sembiring, L., Susilawati, L., dan

Suhartanti, D. 2008. Seleksi,

Karakterisasi, dan Identifikasi

Bakteri Pendegradasi 2-

(thiocyanomethylthio) benzothiazole

(TCMTB). Biota, 13(3): 126-131.

Soltis, E., D., Soltis, S., P., Doyle, J., J.

2001 Molecular Systematics of

Plants II; DNA Sequencing. Kluwer

Academic Publisher, New York.

Suharsono, S. 2005. Penuntun Praktikum

Pelatihan Teknik Pengklonan Gen

dan Pengurutan DNA. Pusat Antar

Universitas Bioteknologi IPB,

Bogor.

Suwanto, A. 2011. Keanekaragaman

Hayati Mikroorganisme. Jurusan

Biologi FMIPA IPB, Bogor.

Yuwono, T. 2006. Teori dan Aplikasi

Polymerase Chain Reaction, ANDI

OFFSET, Yogyakarta.

Page 40: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014 ISSN : 2355-6404 39

PENGETAHUAN DAN PEMANFAATAN TUMBUHAN OBAT TRADISIONAL

MASYARAKAT SUKU MORONENE DI DESA RAU-RAU SULAWESI TENGGARA

(Study and Utilization Of Traditional Medicine Plants By Morenene Ethnic In Rau-Rau

Village, Southeast Sulawesi)

Indrawati1,2*

, Yusuf Sabilu1,2

dan Alda Ompo2

1Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Halu Oleo, Kendari Sulawesi Tenggara

2Laboratorium Biologi, Universitas Halu Oleo, Kendari Sulawesi Tenggara

e-mail : [email protected]

ABSTRACT

Research on the Study and utilization of Traditional medicine plants by Moronene ethnic in

the Rau-Rau village Southeast Sulawesi were aims to: 1) inventory these kinds of medicinal

plants are utilized including the identification of scientific and local names, 2) study the

knowledge society in the utilization of plants as medicine, metods processing and the

efficacy, 3) study the knowledge kinds of disease and how to use of medicinal plants. With

methods survey exploration conducted interviews to expert treatment (sandro) and the

community. There are 51 spesies plant in 27 family growing in the backyard, in the gardens

and in the forests around the settlement. The organ medicinal plant species (leaves, stems,

bark, rhizome, tuber, fruit and SAP) are uses for tradisional medicines to cure about 36 kids

of diseases. Method of use will discussed in this paper.

Keywords: Medicine Plants, Rau-rau Village Sociaty Moronene

PENDAHULUAN

Keberadaan 370 suku asli di

Indonesia dengan keanekaragaman adat

dan budayanya turut memberikan

keuntungan bagi khasanah etnomedisin

dan budaya bangsa. Perbedaan adat dan

kebiasaan antar suku di Indonesia

merupakan kekayaan budaya bangsa yang

tak ternilai harganya. Kondisi yang

demikian juga dapat dicirikan dari

keragaman jenis tumbuhan yang

digunakan, ramuan obat tradisional dan

cara pengobatannya (Rosita, dkk., 2007).

Kekayaan pengetahuan masyarakat

terhadap tumbuhan obat berbeda antara

suku satu dengan suku lainnya. Untuk

suku di Sulawesi Tenggara misalnya

Tumbuhan yang sama bisa berbeda

pemanfaatannya di suku lain. Contohnya

hasil penelitian Windadri, dkk. (2006)

pada suku Muna misalnya pepaya, kapaya

(Carica papaya L.), padakawa (Ceiba

petandra, Gaert) sebagai obat pasca

persalinan,dan komba-komba (Ageratum

conyzoides L.) dimanfaatkan sebagai obat

luka. Hasil penelitian Rahayu, dkk. (2006)

pada Suku Wawonii, kepaya (carica

capaya L) dimanfaatkan sebgai obat

penurun panas dan ewo bonto (Ageratum

conyzoides L) sebagai obat penutup luka

oleh masyarakat setempat sebagai obat

tradisional seperti kawu-kawu (Ceiba

Page 41: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Pengetahuan Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di 40 Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara

Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014

pentandra Gaertn.) dimanfaatkan sebagai

obat penurun panas. Sehingga penelitian

etnobotani suatu suku masyarakat di

Indonesia perlu digali.

Bombana merupakan salah satu

kabupaten di Provinsi Sulawesi Tenggara

yang memiliki potensi untuk dilakukan

penelitian mengenai tumbuhan obat karena

terdapat berbagai macam tumbuhan dan

masyarakat yang masih mempercayai

tradisi yang berasal dari nenek moyang.

Masyarakat pribumi yang mendiami

daerah ini adalah suku Moronene

sedangkan masyarakat pendatang meliputi,

suku Bugis, Muna, Jawa, dan Bali.

Berdasarkan arti kata “moronene” yaitu

pohon resam yang biasa tumbuh di daerah

subur, maka Etnis Moronene juga menetap

atau menyebar di daerah subur yang kaya

akan sumberdaya alam diantaranya

tumbuh-tumbuhan.

Desa Rau-Rau yang berada di

Kecamatan Rarowatu Kabupaten Bombana

merupakan salah satu pusat penyebaran

dan kebudayaan dari Suku Moronene.

Secara sosial ekonomi maupun sosial

budaya masyarakat suku Moronene masih

mempraktekkan pengetahuan lokal secara

turun temurun demikianpula dalam bidang

pengobatan (Arafah, 2002).

Pemilihan Desa Rau-Rau sebagai

lokasi penelitian didasarkan pada

pertimbangan bahwa sebagian besar suku

Moronene yang tinggal di desa ini hidup

dari pertanian, masih memperaktekkan

pengobatan tradisional, kondisi demografi

dan geografis serta sosial ekonomi dan

budaya mewakili Suku Moronene di

Sulawesi Tenggara.

Penelitian mengenai pengetahuan

dan pemanfaatan tumbuhan obat pada

suatu suku terkhusus masyarakat pedesaan

perlu dilakukan karena dapat memberikan

sumbangan dalam pengungkapan potensi

sumberdaya tumbuhan sebagai bahan obat,

serta dapat menjadi dasar upaya

pelestarian jenis-jenis tumbuhan obat

potensial.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada

bulan April 2012 dengan menggunakan

metode survey eksploratif. Pengumpulan

data dilakukan dengan cara wawancara

langsung kepada ahli pengobatan

tradisional (sandro) dan masyarakat yang

masih memanfaatkan tumbuhan untuk

pengobatan. Eksplorasi dilakukan bersama

ahli pengobatan tradisional (sandro)

dengan menjelajahi tempat tumbuh jenis-

jenis tumbuhan obat, untuk selanjutnya

koleksi, dokumentasi dan membuat

herbarium. Penggalian informasi identitas

nama lokal, bagian organ yang

dimanfaatkan, pengetahuan cara

pengobatan/pengolahan dan khasiat setiap

jenis tumbuhan berdasarkan daftar

Page 42: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Pengetahuan Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di 41 Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara

Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014

questioner. Data selanjutnya ditabulasi dan

dinarasikan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pengetahuan Dalam Memanfaatkan

Tumbuhan Obat Tradisional oleh

Suku Moronene di Desa Rau-Rau

Sulawesi Tenggara

Aspek etnobotani telah menjadi

bagian dari kehidupan masyarakat suku

Moronene di desa Rau-rau. Masyarakat

Suku Moronene masih memiliki

kekayaan informasi tentang tumbuhan

obat tradisional. Dalam pengobatan

suatu penyakit dipercayakan pada ahli

pengobatan tumbuhan. Ada dua ahli

pengobatan di masyarakat ini yang

disebut : sanro dan tompuro. Sanro

adalah ahli pengobatan tumbuhan

tradisional khusus untuk manusia,

sedangkan tompuro khusus untuk

mengobati tanaman yang terkena

penyakit atau hama. Pengetahuan sanro

dan tompuro dalam mengobati suatu

penyakit diperoleh dari nenek moyang

mereka secara turun temurun dengan

pola pemakaian ramuan yang sederhana

dan terbatas di kalangan keluarga dekat

atau tetangga kampung terdekat.

Terdapat 3 macam Sanro sesuai

dengan keahliannya mengobati, yaitu:

1) dukun umum yang mengobati

berbagai macam penyakit, 2) dukun

patah tulang yang mengobati patah

tulang dan 3) dukun bersalin yang

membantu proses kelahiran dan

perawatan ibu dan bayinya. Mata

pencaharian utama dukun umum dan

patah tulang adalah bertani, sedangkan

dukun bersalin adalah ibu rumah

tangga. Berdasarkan hasil wawancara

dengan masyarakat Suku Moronene,

proses kelahiran dilakukan dengan

pengobatan tradisional oleh dukun

bersalin bekerja sama dengan bidan

desa, begitu pula dalam perawatan

pasca persalinan. Sebelum berobat pada

sanro, masyarakat suku Moronene

terlebih dahulu bertanya kepada Kilala.

Kilala menentukan sanro yang baik

untuk melakukan pengobatan,

berdasarkan ilmu gaib (onitu) yang

dimilikinya. Setelah Kilala menentukan

tempat pengobatan yang baik, pasien

akan berobat pada sanro yang telah

ditunjukkan.

Dari hasil wawancara dengan

sanro ahli pengobatan penyakit untuk

menyembuhkan suatu penyakit

mempunyai syarat tertentu. Pengobatan

akan dilakukan apabila ada kepercayaan

dari kedua belah pihak yaitu antara

sanro dan pasien. Pasien yang akan

diobati harus mempercayai kemampuan

dari sanro yang akan mengobati. Jika

pasien tidak mempercayai kemampuan

sanro maka pengobatan yang dilakukan

tidak akan berhasil.

Page 43: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Pengetahuan Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di 42 Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara

Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014

Kepercayaan tentang kegunaan

atau khasiat suatu jenis tumbuhan obat

tidak hanya didasarkan dari

pengalaman, tetapi seringkali dikaitkan

dengan nilai-nilai religius. Persepsi

masyarakat suku Moronene tentang

sakit tergantung dari sudut pandang

masing-masing orang. Sakit adalah

keadaan yang tidak seimbang, sehingga

dapat mempengaruhi kegiatan sehari-

harinya. Penyebab penyakit bermacam-

macam, ada yang datang dari Sang

Pencipta dan ada yang berasal dari

makhluk halus/jahat serta dari

lingkungan masyarakat itu sendiri. Oleh

karena itu, para ahli pengobatan (sanro)

selalu mengandalkan pengobatannya

dengan memohon pertolongan kepada

Sang Pencipta.

Beberapa jenis tumbuhan obat

yang digunakan masyarakat suku

Moronene mempunyai kesamaan dalam

pemanfaatannya dengan suku lain,

seperti pemanfaatan air rebusan kulit

batang kaki kuda (Lannea

coromandelica (Houtt.) Merr.) sebagai

obat perawatan pasca persalinan

dimanfaatkan juga oleh masyarakat di

Wawonii di pulau Wawonii (Rahayu,

2006), air rebusan daun jambu biji

(Psidium guajava L.) sebagai obat diare

dimanfaatkan oleh masyarakat suku

Muna di Kabupaten Muna (Windadri,

2006) dan air rebusan daun belimbing

wuluh (Averrhoa bilimbi L.) sebagai

penurun tekanan darah tinggi

dimanfaatkan oleh Masyarakat di

sekitar Kawasan Gunung Pangrango

(Rosita, 2007). Tumbuhan obat yang

khas digunakan oleh masyarakat suku

Moronene di Desa Rau-Rau yang tidak

digunakan oleh suku lain adalah ramuan

5 macam untuk mengobati muntah

darah yang terdiri dari tumbuhan kaki

kuda (Lannea coromandelica (Houtt.)

Merr.), Wilalo (Archidendron

fagifolium), Merica (Piper nigrum),

Asam (Tamarindus indica), dan garam.

Masyarakat Suku Moronene

masih memiliki kearifan lokal dalam

memanfaatkan tumbuhan seperti adanya

persyaratan dalam pengambilan

tumbuhan yang berkhasiat obat dan

banyaknya jumlah tumbuhan yang

digunakan. Persyaratan dalam

pengambilan tumbuhan obat adalah

dengan cara membaca sholawat hidup

yaitu bismillah dan jumlah bilangan

yang biasa digunakan adalah tujuh,

namun dapat pula digunakan bilangan

lain yang berjumlah ganjil.

B. Jenis Penyakit yang Umum Diderita

dan Tumbuhan yang Digunakan oleh

Suku Moronene di Desa Rau-Rau

Sulawesi Tenggara

Dari hasil penelitian, sanro dan

masyarakat di desa Rau-rau mengenal

36 jenis penyakit yang umum diderita

Page 44: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Pengetahuan Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di 43 Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara

Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014

dan 51 jenis tumbuhan obat dari 27

famili. Data selengkapnya mengenai

jenis penyakit yang umum diderita dan

tumbuhan yang digunakan masyarakat

suku Moronene di Desa Rau-Rau

Kecamatan Rarowatu Kabupaten

Bombana Provinsi Sulawesi Tenggara

tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis Penyakit yang Umum diderita dan Tumbuhan Obat yang digunakan oleh Suku

Moronene di Desa Rau-Rau Kecamatan Rarowatu Kabupaten Bombana

No. Jenis Penyakit Tumbuh-Tumbuhan

Nama Jenis Famili 1. Amandel Curcuma domestica Val. Zingiberaceae

Andrographis paniculata Ness. Acanthaceae 2. Batuk Citrus aurantifolia Swingle Rutaceae

Tamarindus indica L. Fabaceae Euphorbia hirta L. Euphorbiaceae

3. Bisul Capsicum annum L. Solanaceae 4. Darah tinggi Allium sativum L. Liliaceae

Apium graveolens L. Apiaceae Averrhoa bilimbi L. Oxalidaceae Coffea robusta L. Rubiaceae Cucumis sativus L. Cucurbitaceae Ocimun sanctum Lamiaceae Phyllanthus niruri L. Euphorbiaceae

5. Demam Momordica charantia Cucurbitaceae Carica papaya L. Caricaceae Jatropha curcas L. Euphorbiaceae

6. Diare Psidium guajava L. Myrtaceae Strobilanthes crispus Bl. Acanthaceae

7. Diabetes Oryza glutinosa Auct Poaceae Syzygium cumini (L.) Skeels. Myrtaceae Terminalia catappa Combretaceae

8. Gatal-gatal Graptophyllum pictum L. Griff Acanthaceae 9. Keputihan Piper betle L. Piperaceae

10. Kencing batu Averrhoa bilimbi L. Oxalidaceae 11. Keseleo Cymbopogon nardus (L) Redle. Poaceae

Spesies A Cucurbitaceae 12. Luka baru Eupatorium odoratum L. Asteraceae

Musa sp. Musaceae Curcuma domestica Val. Zingiberaceae Eclipta alba Hassk. Asteraceae Cassia fistula L. Fabaceae

13. Maag Curcuma domestica Val. Zingiberaceae Morinda citrifolia Rubiaceae Musa sp. Musaceae

14. Mabuk perjalanan Moringa oleifera Lamk. Moringaceae 15. Memperlancar ASI Carica papaya L. Caricaceae

Ipomoea aquatica Convolvulaceae 16. Memperlancar haid Curcuma cease Zingiberaceae 17 Muntah darah Allium cepa L. Liliaceae

Archidendron fagifolium Fabaceae Lannea coromandelica (Houtt.) Merr. Anacardiaceae Piper nigrum L. Piperaceae

Tabel 1.

Lanjutan

Page 45: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Pengetahuan Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di 44 Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara

Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014

Tamarindus indica L. Fabaceae 18. Patah tulang Allium cepa L. Liliaceae

Areca catechu L. Arecaceae Cocos nucifera L. Arecaceae Cymbopogon nardus (L) Redle. Poaceae

19. Penawar keracunan Makanan

Cocos nucifera L. Arecaceae

20. Penghilang rasa capek Cocos nucifera L. Curcuma cease

Arecaceae Zingiberaceae

21. Penurun lemak Euphorbia prunifolia Jacq. Euphorbiaceae 22. Penyakit dalam Leucaena leucocephala Fabaceae

Loranthus atropurpureus Blume. Loranthaceae Morinda citrifolia L. Rubiaceae Orthosiphon stamineus Benth. Lamiaceae Persea americana Mill Lauraceae Zingeber purpureum Roxb. Zingiberaceae

23. Perawatan bayi Curcuma domestica Val. Zingiberaceae 24. Perawatan paska

Melahirkan Lannea coromandelica (Houtt.) Merr. Anacardiaceae

25. Rematik Orthosiphon stamineus Benth. Lamiaceae 26. Sakit gigi Jatropha curcas L. Euphorbiaceae 27. Sakit kepala Annona muricata L. Anonaceae 28. Sakit kulit Cassia alata L. Caesalpiniaceae 29. Sakit kuning Eupatorium odoratum L.F Asteraceae

30. Sakit mata Zingiber officinale Rosc. Zingiberaceae

Piper betle L. Piperaceae Euphorbia hirta L. Euphorbiaceae Eclipta alba Hassk. Asteraceae

31. Sakit telinga Gmelina elliptica Sm. Verbenaceae 32. Sakit ulu hati Curcuma cease Zingiberaceae 33. Sarampa Cocos nucifera L. Arecaceae 34. Sembelit Cassia fistula L. Fabaceae 35. Stroke Pluchea indica Less. Asteraceae 36. Typus Legenaria leucantha Cucurbitaceae

C. Jenis Tumbuhan Obat dan Cara

Penggunaan

Dari 51 jenis tumbuhan obat

yang digunakan dalam ramuan

pengobatan, beberapa diantaranya diramu

dengan tumbuhan lain dan mempunyai

manfaat ganda. Bagian tumbuhan yang

digunakan untuk obat berupa: daun,

batang, kulit batang, umbi, rimpang,

buah, biji dan getahnya. Data

selengkapnya mengenai jenis tumbuhan

obat dan cara penggunaannya oleh

masyarakat suku Moronene di Desa Rau

Rau Sulawesi Tenggara tersaji pada

Tabel 2.

Page 46: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Pengetahuan Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di 45 Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara

Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014

Tabel 2. Jenis Tumbuhan Obat dan Cara Penggunaanya oleh masyarakat suku Moronene di Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara

No.

Nama Tumbuhan Kegunaan

Indonesia Lokal Latin Bagian Dosis Cara Pengolahan Frekuensi Penyakit

1. Alpukat Apokat Persea americana Mill. Daun 7 lembar Direbus 2 x sehari Penyakit dalam

2. Asam Sumbulawa Tamarindus indica L. Buah

Buah

1 genggam

1 genggam

Dilumerkan

Direbus

2 x sehari

2 x sehari

Batuk

Muntah darah

3. Bawang merah Bawang motaha Allium cepa L. Umbi 3 siung Digoreng 2 x sehari Patah tulang

4. Bawang putih Bawang mopila Allium sativum L. Umbi 3 siung Dibakar 2 x sehari Darah tinggi

5. Belimbing wuluh

Tangkule

Averrhoa bilimbi L.

Buah Daun

27 buah 1 genggam

Diperas Direbus

1 x sehari 2 x sehari

Kencing batu Darah tinggi

6. Beluntas - Pluchea indica Less. Daun 3 genggam Direbus 2 x sehari Stroke

7. Benalu - Loranthus atropurpureus

Blume. Daun 1 genggam Direbus 1 x sehari Penyakit dalam

8. Bengle Panini Zingeber purpureum Roxb. Rimpang 3 rimpang Direbus 1 x sehari Penyakit dalam

9. Cabe Saha Capsicum annum L. Daun 7 lembar Diremas 2 x sehari Bisul

10. Daun ungu Olondoro Graptophyllum pictum L. Griff Daun 7 lembar Diremas 2 x sehari Gatal-gatal

11. Glempangan Komba-komba Eupatorium odoratum L. Daun

Daun

1 genggam

7 lembar

Direbus

Diremas

1 x sehari

1 x sehari

Penyakit kuning

Luka baru

12. Jahe Loiya Zingiber officinale Roxb. Rimpang 3 jari/cm Diparut 1 x sehari Sakit mata

13. Jamblang Coppeng Syzygium cumini (L.) Skeels. Kulit batang 1 jengkal/7cm Direbus 2 x sehari Diabetes

14. Jambu biji Dambu watu Psidium guajava L. Daun 1 genggam Direbus 3 x sehari Diare

15. Jarak pagar - Jatropha curcas L. Daun

Getah

7 lembar

3 tetes

Ditempel

Diteteskan

1 x sehari

2 x sehari

Demam

Sakit gigi

16. Jeruk nipis Lemo Citrus aurantifolia Swingle. Buah 3 buah Diperas 2 x sehari Batuk

17. Kangkung Tarenda Ipomoea aquatica

Daun dan

batang Secukupnya Dimasak 3 x sehari

Memperlancar

ASI

18. Kayu kuda Olodawa Lannea coromandelica

(Houtt.) Merr. Kulit batang

1 jengkal/7 cm

1 jengkal/7 cm

Direbus

Direbus

2 x sehari

2 x sehari

Muntah darah

Perawatan pasca

melahirkan

19. Kelapa kuning Ni’i mokuni Cocos nucifera L.

Air

Air

1 buah

1 buah

Tanpa pengolahan

Dibakar

1 x sehari

2 x sehari

Keracunan

makanan Sarampa

20. Kelor Koloro Moringa oleifera Lamk. Daun Secukupnya Dimasak 3 x sehari

Mabuk

perjalanan

45

Page 47: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Pengetahuan Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di 46 Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara

Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014

Tabel 2. Lanjutan.

21. Kemangi Camangi Ocimun sanctum Daun 1 genggam Direbus 2 x sehari Darah tinggi

22. Ketan hitam Kinadai mo’ito Oryza glutinosa Auct. Biji 3 sendok Direndam 2 x sehari Diabetes

23. Ketapang - Terminalia catappa Kulit batang

1 jengkal/7 cm

Direbus 2 x sehari Diabetes

24. Ketepeng Gampu Cassia alata L. Daun 7 lembar Diremas 2 x sehari Sakit kulit

25. Kopi - Coffea robusta L. Daun 7 lembar Direbus 2 x sehari Darah tinggi

26. Kumis kucing - Orthosiphon stamineus Benth.

Daun

Daun

1 genggam

1 genggam

Direbus

Direbus

2 x sehari

2 x sehari

Rematik,

Penyakit dalam

27. Kunyit Kuni Curcuma domestica Val.

Rimpang

Rimpang

Rimpang

Rimpang

3 rimpang

3 rimpang

1 rimpang

1 rimpang

Direbus

Direbus

Diperas

Diperas

2 x sehari

2 x sehari

1 x sehari

1 x sehari

Maag

Amandel

Luka baru,

perawatan bayi

28. Kunyit hitam Kuni morori Curcuma cease

Rimpang

Rimpang

Rimpang

3 rimpang

3 rimpang

3 rimpang

Direbus

Direbus

Diparut

2 x sehari

2 x sehari

1 x sehari

Sakit ulu hati

Pelancar haid

Penghilang rasa

capek

29. Labu putih Konduru Legenaria leucantha Buah 1 buah Diparut 2 x sehari Typus

30. Lada Marica Piper nigrum L. Buah 7 buah Direbus 2 x sehari Muntah darah

31. Mengkudu Kudu Morinda citrifolia L.

Batang

Buah

7 cm batang

1 buah

Direbus

Tanpa pengolahan

2 x sehari

2 x sehari

Maag

Penyakit dalam

32. Meniran - Phyllanthus niruri L. Daun dan

batang

1 genggam Direbus 1 x sehari Darah tinggi

33. Mentimun Bonte Cucumis sativus L. Buah 1 buah Tanpa pengolahan 3 x sehari Darah tinggi

34. Pare Paria Momordica charantia L. Daun 7 lembar Direbus 3 x sehari Demam

35. Patikan emas - Euphorbia prunifolia Jacq. Daun 1 genggam Direbus 1 x sehari Penurun lemak

36. Patikan kebo Pati-pati Euphorbia hirta L.

Daun

Getah

1 genggam

1 tetes

Direbus

Diteteskan

1 x sehari

1 x sehari

Batuk

Sakit mata

37. Pecah beling - Strobilanthes crispus Bl. Daun 7 lembar Direbus 2 x sehari Diare

38. Pepaya Kapaya Carica papaya L.

Daun

Buah

7 lembar

1 buah

Direbus

Dimasak

2 x sehari

3 x sehari

Demam

Pelancar ASI

39. Petai cina Lamtoro Leucaena leucocephala Daun 1 genggam Direbus 1 x sehari Penyakit dalam

46

Page 48: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Pengetahuan Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di 47 Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara

Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014

40. Pinang Fua Areca catechu L. Pelepah 1 pelepah Dibalut 1 x sehari Patah tulang

41. Pisang bugis Punti bugisi Musa sp. Buah 1 buah Tanpa pengolahan 1 x sehari Maag

Getah 3 tetes Tanpa pengolahan 1 x sehari Luka baru

42 Sambiloto - Andrographis paniculata Ness. Daun 1 genggam Direbus 2 x sehari Amandel

43. Seledri Daun sop

Apium graveolens L.

Daun dan

batang 1 genggam Direbus 2 x sehari Darah tinggi

44. Serei Padamalala Cymbopogon nardus (L)

Redle.

Batang

Batang

1 batang

1 batang

Digoreng

Dimemarkan

2 x sehari

2 x sehari

Patah tulang

Keseleo

45. Sirih Riri Piper betle L. Daun

Daun

7 lembar

7 lembar

Ditumbuk

Direbus

2 x sehari

2 x sehari

Sakit mata,

Keputihan

46. Sirsak Sirikaya Annona muricata L. Daun

Daun

7 lembar

7 lembar

Tanpa pengolahan

Tanpa pengolahan

-

-

Sakit kepala

Sakit ulu hati

47. Spesies A Eungkowulu - Daun 7 lembar Diremas 2 x sehari Keseleo 48. Tangkalasi Tangkalasi Gmelina elliptica Sm. Buah 3 tetes Tanpa pengolahan 1 x sehari Sakit telinga

49. Trengguli Onangki Cassia fistula L. Daun

Kulit batang

7 lembar

1jengkal/7cm

Direbus

Ditumbuk

1 x sehari

1 x sehari

Sembelit

Luka baru

50. Urang-aring Ewolembo Eclipta alba Hassk.

Daun Getah

7 lembar 3 tetes

Diremas Tanpa pengolahan

- 1 x sehari

Luka baru Sakit mata

51. - Wilalo Archidendron fagifolium Kulit batang 1jengkal/7cm Direbus 2 x sehari Muntah darah

Tabel 2. Lanjutan

47

Page 49: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Pengetahuan Dan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Tradisional Masyarakat Suku Moronene Di 48 Desa Rau-Rau Sulawesi Tenggara

Indrawati, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 39-48, April 2014

SIMPULAN

1. Terdapat 51 jenis dalam 27 familia

tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai

obat tradisional oleh masyarakat suku

Moronene di Desa Rau-Rau

2. Bagian (organ) tumbuhan yang

digunakan sebagai obat tradisional

meliputi daun, batang, kulit batang,

buah, rimpang, umbi, dan getah.

3. Pemanfaatan tumbuhan obat dilakukan

dengan beragam cara diantaranya

dengan cara direbus, ditumbuk, diperas,

direndam, dibakar, digoreng, digosok,

dilumerkan, diremas dan tanpa

pengolahan yang kemudian digunakan

baik secara tunggal maupun campuran.

4. Khasiat tumbuhan obat tradisional

untuk mengobati penyakit panas

(demam), sakit mata, sakit telinga, sakit

gigi, sakit uluhati, sakit kuning, luka

baru, sakit kulit, keseleo, patah tulang,

sakit kepala, diare, darah tinggi, batuk,

diabetes, muntah darah, perawatan

pasca melahirkan, kencing batu,

sembelit (susah buang air besar), maag,

penyakit dalam, penghilang rasa capek,

pelancar haid, penurun lemak, typus,

mabuk perjalanan, gatal-gatal, bisul,

stroke, perawatan bayi, penawar

keracunan makanan, memperlancar

ASI, sarampa, amandel, keputihan, dan

rematik.

DAFTAR PUSTAKA

Arafah, N., 2002, Pengetahuan Lokal Suku

Moronene dalam Sistem Pertanian

di Sulawesi Tenggara.

http://repository.ipb.ac.id/bitstream

/handle/123456789/7515/bab%204

_%202002nar.pdf. Di akses tanggal

7 Maret 2013.

Rahayu, M., Sunarti, S., dan

Prawiroatmodjo, S., 2004,

Tumbuhan Obat Tradisional Pulau

Wawonii Sulawesi Tenggara, Pusat

Penelitian Biologi - LIPI, Bogor.

Rosita, S.M.D., Rostiana, O., Pribadi, E.

R., dan Hernani. 2007. Penggalian

Iptek Etnomedisin di Gunung Gede

Pangrango. Buletin Littro, XVIII

(1): 13-28.

Steenis, V. G. J. J. C., 1997, Flora Untuk

Sekolah, Pradya Paramita, Jakarta.

Windadri, F. I. , Rahayu, M., Uji, T. dan

Rustiami, H., 2006, Pemanfaatan

Tumbuhan Sebagai Bahan Obat

oleh Masyarakat Lokal Suku Muna

di Kecamatan Wakorumba

Kabupaten Muna Sulawesi

Tengggara. Biodiversitas, VII (4):

333-339.

Page 50: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014 ISSN : 2355-6404 49

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 51-64, April 2014

Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, Desa Sumber

Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

(Dragonfly (Odonata) Stocktaking Around River and Moramo Swamp, Sumber Sari

Village, Moramo District, South Konawe Regency, Southeast Sulawesi )

Suriana1 , Dwi Arinto Adi

1 , dan Wa Ode Dian Hardiyanti

2

1Jurusan Biologi, Fakultas MIPA Universitas Halu Oleo Kendari, Sulawesi Tenggara

2Laboratorium Biologi, Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara

e-mail : [email protected]

ABSTRACT

The aim of this research was to know the dragonfly (Odonata) spesies around River

and Moramo Swamp, Sumber Sari Village, Moramo District, South Konawe Regency, South-

East Sulawesi. Dragonfly captured on three site namely river, swamp I and swamp II/

Moramo swamp. This research used descriptive method. There are 28 species of dragonfly

which are include of 8 family namely Lindeniidae, Libellulidae, Megapodagrionidae,

Lestidae, Coenagrionidae, Calopterygidae, Chlorocyphidae and Plactynemididae. Suborder

Epiprocta found 13,33% family and 50% suborder Zygoptera of all families. There are 12

species in river, 15 species in swamp I and 13 species in swamp II/Moramo swamp. The

Calopterygidae, Megapodagrionidae and Platycnemididae only found in river, whereas

Lestidae (Lestes concinus Hagen) found in swamp only. The dragonfly spesies found in river

were diffirent from swamp I and swamp II/Moramo swamp.

Key word: Dragonfly, Odonata, Moramo Swamp, River,Stocktaking

PENDAHULUAN

Kepulauan Indonesia memiliki tujuh

kawasan biogeografi utama dan

keanekaragaman tipe-tipe habitat yang luar

biasa. Banyak pulau yang terisolasi selama

ribuan tahun, sehingga tingkat

endemisitasnya tinggi. Tiga lokasi utama

yang merupakan pusat kekayaan spesies di

Indonesia adalah Irian Jaya (tingkat

kekayaan spesies dan endemisme tinggi),

Kalimantan (tingkat kekayaan spesies

tinggi, endemisme sedang), dan Sulawesi

(tingkat kekayaan spesies sedang,

endemisme tinggi) (Sumargo et al., 2011).

Provinsi Sulawesi Tenggara

memiliki kawasan hutan yang luas dengan

keanekaragaman yang tinggi (BKSDA

Sultra, 2006). Salah satu kawasan hutan

lindung di Sulawesi Tenggara adalah

Suaka Margasatwa Tanjung Peropa yang

terletak di Moramo. Suaka margasatwa

Page 51: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 50 Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014

Tanjung Peropa selain sebagai habitat flora

dan fauna juga memiliki fungsi pokok

dalam menjaga mutu kehidupan manusia

yaitu sebagai wilayah perlindungan sistem

penyangga kehidupan serta menjadi

wilayah pengawetan keanekaragaman

tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya

(Djawie, 2009).

Sungai dan Rawa Moramo

merupakan salah satu sungai dan rawa

yang terletak dalam Kawasan Suaka

Margawatwa Tanjung Peropa. Menurut

Djawie (2009) sungai-sungai yang

mengalir dari kawasan ini dimanfaatkan

oleh sekitar 13 desa di wilayah tersebut.

Rawa Moramo berdasarkan kondisinya

termasuk rawa air tawar. Menurut Whitten

et al. (1992) rawa air tawar terdapat pada

daerah yang kadang-kadang terjadi

penggenangan oleh air tawar yang kaya

akan mineral dengan pH 6 atau lebih dan

permukaan airnya naik turun sedemikian

rupa, sehingga terjadi pengeringan tanah

secara periodik. Rawa air tawar ditemukan

pada tanah alluvial di tepi sungai yang

mempunyai potensi untuk budidaya

pertanian yang tinggi.

Pengelolahan dan pemanfaatan

Suaka Margasatwa Tanjung Peropa dapat

dioptimalkan dengan adanya data

pendukung tentang flora dan fauna serta

ekosistem yang ada didalamnya. Pada

umumnya data yang telah tersedia

mencakup vegetasi dan satwa/fauna yang

berukuran besar seperti mamalia dan

burung, sedangkan data dari kelompok

avertebrata seperti serangga belum ada.

Serangga yang terdapat di sekitar sungai

dan rawa Moramo, salah satu diantaranya

adalah capung (Odonata). Menurut

Hidayah (2008) capung termasuk salah

satu serangga yang memiliki

keanekaragaman yang tinggi. Jumlah

capung yang melimpah terutama terdapat

di kawasan tropis seperti Indonesia karena

di kawasan ini terdapat berbagai macam

habitat.

Capung (Odonata) merupakan

bagian penting dari rantai makanan

terutama pada habitat perairan. Capung

dapat juga disebut sebagai bioindikator air

bersih karena nimfa capung tidak akan

dapat hidup di air yang sudah tercemar

atau sungai yang tidak terdapat tumbuhan

di dalamnya. Perubahan populasi capung

merupakan tanda tahap awal pencemaran

air disamping tanda lain yang berupa

kekeruhan air dan melimpahnya ganggang

hijau. Oleh karena itu, pelestarian capung

harus disertai dengan melihara tempat

hidupnya (Susanti, 2007).

Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui jenis-jenis capung (Odonata)

yang terdapat di sekitar sungai dan rawa

Page 52: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 51 Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014

Moramo Desa Sumber Sari Kecamatan

Moramo Kabupaten Konawe Selatan

Sulawesi Tenggara.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini telah dilaksanakan

pada bulan Januari sampai Juli 2013.

Bertempat di sekitar Sungai dan Rawa

Moramo Desa Sumber Sari Kecamatan

Moramo Kabupaten Konawe Selatan

Provinsi Sulawesi Tenggara. Identifikasi

sampel dilakukan di Laboratorium Zoologi

FMIPA Universitas Haluoleo Kendari.

Alat dan bahan yang digunakan Jaring

serangga (sweep net), Kotak Serangga,

Pinset, GPS, Altimeter, Kamera Digital,

pH indikator, Lup, Aseton, Kapur Barus,

Plastik Ziplok, Kertas Label dan Buku

Identifikasi Capung Identification Guide to

the Australian Odonata oleh Theischinger

(2009). Pelaksanaan penelitian ini

dilakukan dengan menggunakan metode

deskriptif dengan teknik observasi

lapangan menjelajahi daerah sekitar sungai

dan rawa dalam Kawasan Suaka

Margasatwa. Prosedur penelitian terdiri

dari 4 tahap yaitu pengambilan sampel,

pengawetan spesimen, identifikasi dan

analisis data. Pengambilan sampel

dilakukan dalam dua tahap yaitu pagi pada

pukul 08.00–12.00 WITA dan siang pada

pukul 14.00–17.00 WITA. Pengawetan

spesimen menggunakan aseton agar warna

dan tubuh spesimen tidak rusak.

Identifikasi dilakukan dengan melihat ciri-

ciri morfologi pada kepala/caput,

dada/thorax, dan perut/abdomen serta

venasi pada sayap capung. Data

dikumpulkan dan dianalisis secara

deskriptif dan disajikan dalam bentuk table

dan gambar, serta tampilan data dalam

grafik akumulasi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Jenis capung (Odonata) yang

ditemukan disekitar sungai dan rawa

Moramo Desa Sumber Sari

Kecamatan Moramo Kabupaten

Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

Capung yang telah diidentifikasi

terdiri dari 28 jenis. Hasil inventarisasi

capung (Odonata) di sekitar sungai dan

rawa Moramo Desa Sumber Sari

Kecamatan Moramo Kabupaten

Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

disajikan pada Tabel 1.

Page 53: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 52 Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014

Tabel 1. Jenis capung yang ditemukan di sekitar sungai dan rawa Moramo pada tiap lokasi

pengambilan sampel

No Famili Genus Spesies Lokasi ∑

indvidu I* II* III*

1 2 3 4 5 6 7 8

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

12.

Lindeniidae Ichtinogomphus UI. Spesies 1 1 2 - 3

Libellulidae Neurothemis UI. Spesies 2 - 2 - 2

UI. Spesies 3 - 11 4 15

Zyxoma UI. Spesies 4 - 4 3 7

- UI. Spesies 5 - - 1 1

- UI. Spesies 6 - 4 - 4

- UI. Spesies 7 - - 7 7

- UI. Spesies 8 - - 2 2

- UI. Spesies 9 4 - - 4

Diplacodes UI. Spesies 10 - - 1 1

Nannophya Nannophya

australis Brauer

- 3 3 6

UI. Spesies 11 - - 3 3

13.

14.

15.

16.

17.

18.

19.

20.

21.

22.

23.

24.

25.

26.

27.

28.

Lestidae Lestes Lestes concinnus

Hagen

- 1 2 3

Megapodagrioni

dae

- UI. Spesies 12 2 - - 2

Calopterygidae - UI. Spesies 13 1 - - 1

- UI. Spesies 14 2 - - 2

Chlorocyphidae - UI. Spesies 15 1 - - 1

- UI. Spesies 16 4 1 2 7

- UI. Spesies 17 22 7 - 29

- UI. Spesies 18 8 1 - 9

Coenagrionidae Agriocnemis UI. Spesies 19 - - 18 18

- UI. Spesies 20 - 15 15 30

- UI. Spesies 21 - 6 3 9

Archibasis Archibasis

mimetes Tillyard

11 - - 11

Teinobasis Teinobasis

rufithorax Selys

- 45 - 45

Pseudagrion UI. Spesies 22 - 7 1 8

Platycnemididae Nosostica Nosostica solida

Hagen

6 - - 6

UI. Spesies 23 2 - - 2

Ket : UI (Unidenfite/tidak teridentifikasi)

I : Sungai,

II : Rawa I,

III : Rawa II/Rawa Moramo (Sumber : Diolah dari data hasil penelitian, 2013)

Page 54: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 53 Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014

Pada penelitian ini, 5 jenis

telah dapat diidentifikasi sampai pada

tingkat spesies, 9 jenis hanya dapat

diidentifikasi sampai pada tingkat genus

dan 14 jenis hanya dapat diidentifikasi

sampai pada tingkat famili. Hal tersebut

disebabkan literatur tentang jenis-jenis

capung di Indonesia masih sangat

terbatas. Sehingga digunakan kunci

identifikasi capung dari Australia

dengan pertimbangan kedekatan lokasi

dan sejarah geologi.

Berdasarkan tabel di atas, capung

yang ditemukan terdiri dari 2 subordo

(subordo Epiprocta dan subordo

Zygoptera), 8 famili dan 28 jenis.

Famili capung yang ditemukan secara

keseluruhan yaitu Famili Lindeniidae,

Libellulidae, Lestidae,

Megapodagrionidae, Calopterygidae,

Clorocyphidae, Coenagrionidae dan

Platycnemididae. Pada subordo

Epiprocta di temukan 2 famili dari 15

famili yang telah diketahui (13,33%)

dan subordo Zygoptera ditemukan 6

famili dari 12 famili yang telah

diketahui (50%). Pada Famili

Lindeniidae ditemukan 1 jenis, Famili

Libellulidae 11 jenis, Famili Lestidae 1

jenis, Famili Megapodagrionidae 1

jenis, Famili Calopterygidae 2 jenis,

Famili Clorocyphidae 4 jenis, Famili

Coenagrionidae 6 jenis dan Famili

Platycnemididae sebanyak 2 jenis.

Grafik akumulasi jumlah individu pada

setiap jenis capung yang dikoleksi

disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Grafik akumulasi jumlah individu setiap jenis capung yang dikoleksi

Page 55: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 54 Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014

Gambar 1 menunjukkan bahwa

jenis Teinobasis Rufithorax Selys

memiliki jumlah individu paling banyak

yaitu 45 individu, kemudian UI.Spesies

20 dengan 30 individu, UI.Spesies 17

dengan 29 individu, UI.Spesies 19

dengan 18 individu, UI.Spesies 3

dengan 15 individu, Archibasis mimetes

Tillyard dengan 11 individu dan spesies

lain dengan jumlah antara 1-10

individu.

B. Jenis Capung di Tiap Lokasi

Pengambilan Sampel

Tempat pengambilan sampel

terdiri atas tiga lokasi yaitu sungai,

rawa I, rawa II/rawa Moramo.

Beradasarkan hasil pengukuran faktor

abiotik lingkungan pada masing-masing

lokasi, di sungai memiliki pH rata-rata

7,5 dan suhu 32˚C, di rawa I memiliki

pH rata-rata 7,5 dan suhu 30,5˚C serta

di rawa II/rawa Moramo memiliki pH

rata-rata 8 dan suhu 30˚C.

Jenis capung berdasarkan lokasi

ditemukannya terbagi atas tiga

kelompok yaitu kelompok 1 merupakan

capung yang hanya ditemukan di

sungai, kelompok 2 merupakan capung

yang hanya ditemukan di rawa (rawa I

dan rawa II/rawa Moramo), kelompok 3

merupakan capung yang ditemukan di

sungai dan rawa (rawa I dan rawa

II/rawa Moramo). Setiap kelompok

disusun oleh jenis capung yang berbeda

sesuai dengan kondisi lokasi.

Jenis capung pada kelompok 1

yaitu UI.Spesies 9, UI.Spesies 12,

UI.Spesies 13, UI.Spesies 14,

UI.Spesies 15, UI.Spesies 23,

Archibasis mimetes Tillyard dan

Nosostica solida Hagen. Jenis capung

tersebut terdiri dari satu jenis yang

termasuk subordo Epiprocta dan 7 jenis

lainnya termasuk dalam subordo

Zygoptera. Capung yang banyak

ditemukan pada kelompok ini

merupakan capung jarum (subordo

Zygoptera) yang menyukai tempat-

tempat tertutup. Pada tingkat famili,

ditemukan tiga famili yang hanya ada di

sungai yaitu Famili Calopterygidae,

Megapodagrionidae dan

Platycnemididae.

Jenis capung pada kelompok 2

yaitu UI.Spesies 2, UI.Spesies 3,

UI.Spesies 4, UI.Spesies 6, UI.Spesies

7, UI.Spesies 8, UI.Spesies 10,

UI.Spesies 11, Nannophya australis

Brauer, Lestes concinus Hagen,

UI.Spesies 19, UI.Spesies 20,

UI.Spesies 21, UI.Spesies 22 dan

Teinobasis rufithorax Selys. Jenis

capung tersebut terdiri dari 10 jenis

yang termasuk subordo Epiprocta dan 6

jenis termasuk dalam subordo

Zygoptera. Capung yang banyak

ditemukan pada kelompok ini

Page 56: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 55 Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014

merupakan capung dari subordo

Epiprocta yang menyukai tempat-

tempat terbuka. Meskipun demikian,

pada kelompok ini juga ditemukan jenis

capung dari famili Lestidae (Lestes

concinus Hagen). Menurut Wirawan

(2012) capung dari famili Lestidae

dapat ditemukan di dekat sumber air

dengan perairan yang tenang untuk

berkembang biak.

Jenis capung pada kelompok 3

yaitu UI.Spesies 1, UI.Spesies 16,

UI.Spesies 17, dan UI.Spesies 18. Jenis

capung tersebut terdiri dari 1 jenis yang

termasuk subordo Epiprocta dan 3 jenis

termasuk dalam subordo Zygoptera

yaitu famili Clorocyphidae. Hal ini

menunjukkan bahwa jenis-jenis capung

tersebut dapat hidup pada kondisi

habitat yang berbeda dengan perairan

yang tenang maupun mengalir deras

yaitu di sungai maupun di rawa.

1. Jenis capung yang terdapat di

sekitar Sungai (± 87 m dpl)

Daerah sekitar aliran sungai

memiliki komposisi vegetasi yang

umumnya terdiri atas semak-semak

dan pohon-pohon besar dengan tajuk

agak terbuka. Capung yang

ditemukan pada lokasi ini terdiri atas

12 jenis yaitu UI.Spesies 1,

UI.Spesies 9, UI.Spesies 12,

UI.Spesies 13, UI.Spesies 14,

UI.Spesies 15, UI.Spesies 16,

UI.Spesies 17, UI.Spesies 18,

Nosostica solida Hagen, Archibasis

mimetes Tillyard dan UI.Spesies 23.

Pada lokasi ini, capung besar

(subordo Epiprocta) jarang

ditemukan. Jenis capung yang

ditemukan terdiri dari 2 jenis yaitu

satu jenis dari famili Lindeniidae dan

satu jenis dari famili Libellulidae.

Capung besar ini terbang dengan

gesit dan hinggap pada tangkai

pohon mati di bagian tengah sungai

untuk mendapat sinar matahari.

Pada lokasi ini, ditemukan 10

jenis capung jarum (subordo

Zygoptera) yang terdiri atas 1 jenis

dari famili Megapodagrionidae, 2

jenis dari famili Calopterygidae, 4

jenis dari famili Clorocyphidae, 1

jenis dari famili Coenagrionidae dan

2 jenis dari famili Platycnemididae.

Noerdjito et al., (2010) menyatakan

bahwa capung jarum dari famili

Calopterygidae merupakan capung

yang dapat ditemukan di sekirat

aliran sungai, hinggap di semak-

semak yang terlindungi pohon dan

capung Famili Clorocyphidae

banyak ditemukan pada permukaan

sungai yang mengalir deras. Hasil

penelitian ini sejalan dengan

pernyataan Susanti (1998) bahwa

capung jarum biasanya memilih

wilayah hidup yang sempit dan

Page 57: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 56 Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014

biasanya jarang menjelajah sampai

jauh.

2. Jenis capung yang terdapat di

sekitar Rawa I (± 325 m dpl)

Daerah sekitar rawa I

dikelilingi oleh vegetasi yang rapat

dan daerah tengah rawa yang

terbuka. Keberadaan tumbuhan air

pada habitat ini sangat kurang hanya

ada semak-semak atau rerumputan

dan bebatuan di daerah pinggir rawa.

Meskipun demikian, jenis capung

pada lokasi ini lebih banyak daripada

lokasi lainnya.

Capung yang ditemukan pada

lokasi ini terdiri atas 15 jenis yaitu

Teinobasis rufithorax Selys,

UI.Spesies 22, UI.Spesies 20,

UI.Spesies 21, Nannophya australis

Brauer, UI.Spesies 2, UI.Spesies 3,

UI.Spesies 4, UI.Spesies 6,

UI.Spesies 7, UI.Spesies 16,

UI.Spesies 17, UI.Spesies 18, Lestes

concinus Hagen, dan UI.Spesies 1.

Jenis capung tersebut 7 jenis

diantaranya dari subordo Epiprocta

yang sangat menyukai tempat

terbuka sebagai habitatnya agar

dapat terbang dengan bebas. Hal ini

sesuai dengan pernyataan Susanti

(1998) bahwa capung besar lebih

suka berdiam pada tempat-tempat

yang terbuka. Jenis capung lainnya

dari subordo Zygoptera yang

mendiami daerah pinggir rawa dan

berlindung di sekitar semak-

semak/rerumputan.

3. Jenis capung yang terdapat di

sekitar Rawa II/Rawa Moramo (±

360 m dpl)

Rawa II/rawa Moramo

merupakan lokasi yang sangat baik

sebagai habitat capung. Habitat

dengan vegetasi rapat di daerah

pinggir rawa cocok untuk capung

jarum yang menyukai tempat sempit.

Daerah tengah rawa yang luas dan

terbuka memungkinkan capung

besar untuk terbang, bahkan capung

jarum juga banyak ditemukan di

daerah tengah. Hal ini dikarenakan

banyaknya teratai yang tumbuh di

permukaan rawa dan tumbuhan

semak yang tumbuh pada pohon-

pohon mati pada pinggir rawa.

Hidayah (2008) menyatakan bahwa

faktor yang mempengaruhi aktivitas

capung adalah keberadaan air, cuaca

dan keberadaan tumbuhan air

sebagai tempat hinggap. Jenis

capung jarum yang banyak

ditemukan disekitar tumbuhan air

adalah UI.Spesies 22 (Pseudagrion

sp.) dan UI.Spesies 19 (Agriocnemis

sp.).

Page 58: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 57 Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014

Capung yang ditemukan pada

lokasi ini terdiri atas 13 jenis yaitu

UI.Spesies 3, UI.Spesies 4,

UI.Spesies 5, UI.Spesies 8,

UI.Spesies 10, Nannophya australis

Brauer, UI.Spesies 11, UI.Spesies

16, Lestes concinus Hagen,

UI.Spesies 19, UI.Spesies 20,

UI.Spesies 21, dan UI.Spesies 22.

Capung yang mendominasi lokasi ini

adalah jenis capung besar subordo

Epiprocta yang aktif terbang pada

daerah tengah rawa yang luas dan

terbuka. Namun beberapa jenis

capung besar ditemukan pada daerah

pinggir rawa yaitu Nannophya

australis Brauer, UI.Spesies 11

(Nannophya sp.) dan UI.Spesies 10

(Diplacodes sp.).

C. Deskripsi famili capung yang

ditemukan di sekitar Rawa

Moramo Desa Sumber Sari

Kecamatan Moramo Kabupaten

Konawe Selatan Provinsi Sulawesi

Tenggara

Berdasarkan venasi sayap,

pembeda dari subordo Epiprocta

(dragonflies) dan subordo Zygoptera

(damselflies) adalah bentuk dari

discoidial cell sayap pada kedua

subordo capung tersebut

(Theischinger, 2009).

1. Subordo Epiprocta, infraordo

Anisoptera (Theischinger, 2009)

Subordo Epiprocta memiliki

discoidial cell yang membagi

menjadi triangle dan hypertriangel

berbeda kolom pada sayap depan dan

sayap belakang serta sering

menyilang oleh crossvein. Berikut

deskripsi dari famili Lindeniidae dan

Libellulidae yang diinventarisasi.

1.1. Famili Lindeniidae

(Theischinger, 2009)

Famili Lindeniidae genus

Ichtinogomphus yang ditemukan

pada capung hasil koleksi

memiliki mata dengan lebar

memisah diatas kepala. Pada

jantan, appendages superior

langsing dan runcing. Termasuk

dragonflies yang berukuran

besar, dengan panjang sayap

belakang lebih dari 33 mm.

Triangle sayap depan dan sayap

belakang disilang oleh

crossvein.

1.2. Famili Libellulidae

(Theischinger, 2009)

Famili Libellulidae yang

ditemukan pada capung hasil

koleksi memiliki mata menyatu

digaris tengah diatas kepala.

Triangle sayap belakang tidak

memanjang sepanjang poros

Page 59: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 58 Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014

sayap. Tidak ada crossvein

dikolom median. Sisi dasar

triangle sayap belakang jauh

diluar arculus, terpisah dari sisi

dasar triangle sayap pada jarak

yang sama atau lebih

dibandingkan dengan panjang

arculus. Sayap belakang

memiliki panjang kurang dari 35

mm. Sector arculus memisah,

menutup crossvein pertama

diluar arculus, pada jantan tidak

memiliki auricle, sayap

belakang membulat didasar atau

sector arculus menyatu

diasalnya dan membentuk satu

tangkai pendek (terkecuali pada

sayap depan beberapa

Rhyothemis) warna sayap

bervariasi pada umumnya

dengan warna gelap, nodal atau

berwarna pada bagian distal.

2. Subordo Zygoptera (Theischinger,

2009)

Subordo Zygoptera memiliki

discoidial cell yang merupakan sel

bersisi empat sederhana yang kadang

menyilang oleh crossvein atau

membuka didasar, bentuknya yang

sama pada sayap depan dan sayap

belakang. Berikut deskripsi Famili

Lestidae, Megapodagrionidae,

Calopterygidae, Clorocyphidae

Coenagrionidae, dan

Platycnemididae yang

diinventarisasi.

2.1. Famili Lestidae

Famili lestidae yang ditemukan

pada capung hasil koleksi

memiliki discoidial cell yang

merupakan sel yang bersisi

empat sederhana, kadang

disilang oleh crossvein dan

kadang pula menbuka didasar.

Secara normal dua antenodal

crossvein, keduanya menyilang

pada kolom costal dan

subcostal. Anal vein panjang,

lurus atau zig-zag meluas diluar

subnodus. Arculus sayap depan

lengkap, sel discoidial menutup

didasar. Paling tidak ada satu

tambahan, beberapa vena

intercalate memanjang antara

cabang Rs pada bagian distal

sayap. Bagian depan sector

arculur (Rs) bercabang kurang

dari pertengahan jalan dari

arculus ke subnodus.

2.2. Famili Megapodagrionidae

Famili megapodagrionidae yang

ditemukan pada capung hasil

koleksi memiliki discoidial cell

yang merupakan sel yang bersisi

empat sederhana, kadang

disilang oleh crossvein dan

kadang pula menbuka didasar.

Page 60: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 59 Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014

Secara normal dua antenodal

crossvein, keduanya menyilang

pada kolom costal dan

subcostal. Anal vein panjang,

lurus atau zig-zag meluas diluar

subnodus. Arculus sayap depan

lengkap, sel discoidial menutup

didasar. Paling tidak ada satu

tambahan, beberapa vena

intercalate memanjang antara

cabang Rs pada bagian distal

sayap. Bagian depan sector

arculus Rs bercabang melewati

pertengahan jalan dari arculus

ke subnodus. CuP hampir lurus

di sel pertama di luar sel

discoidial.

2.3. Famili Calopterygidae

Famili Calopterygidae yang

ditemukan pada capung hasil

koleksi yaitu discoidial cell

yang merupakan sel yang bersisi

empat sederhana, kadang

disilang oleh crossvein dan

kadang pula membuka didasar.

Beberapa antenodal crossvein,

extra vena tidak menyilang pada

kedua kolom costal dan

subcostal. Memiliki banyak

antenodal crossvein pada kedua

kolom costal dan subcostal.

Abdomen lebih panjang

daripada sayap, tidak memiliki

pterostigma.

2.4. Famili Clorocyphidae

Famili Clorocyphidae yang

ditemukan pada capung hasil

koleksi yaitu discoidial cell

yang merupakan sel yang bersisi

empat sederhana, kadang

disilang oleh crossvein dan

kadang pula menbuka didasar.

Beberapa antenodal crossvein,

extra vena tidak menyilang pada

kedua kolom costal dan

subcostal. Memiliki banyak

antenodal crossvein pada kedua

kolom costal dan subcstal.

Abdomen lebih pendek daripada

sayap dan memiliki pterostigma.

2.5. Famili Coenagrionidae

Famili Coenagrionidae yang

ditemukan pada capung hasil

koleksi memiliki discoidial cell

yang merupakan sel yang bersisi

empat sederhana, kadang

disilang oleh crossvein dan

kadang pula membuka didasar.

Secara normal dua antenodal

crossvein, keduanya menyilang

pada kolom costal dan

subcostal. Anal vein panjang,

lurus atau zig-zag meluas diluar

subnodus. Arculus sayap depan

Page 61: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 60 Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014

lengkap, sel discoidial menutup

didasar. Tidak ada vena

tambahan yang menbujur

diantara cabang Rs (R2, IR2,

R3, IR3, R4) dibagian distal

sayap.

2.6. Famili Platycnemididae

Famili Platycnemididae genus

Nosostica yang ditemukan pada

capung hasil koleksi memiliki

discoidial cell yang merupakan

sel yang bersisi empat

sederhana, kadang disilang oleh

crossvein dan kadang pula

membuka didasar. Secara

normal dua antenodal crossvein,

keduanya menyilang pada

kolom costal dan subcostal.

Anal vein vestigial atau tidak

ada, sehingga tidak ada vena

membujur diluar sel discoidial.

Anterior sector arculus

bercabang melewati pertengahan

jalan dari arculus ke subnodus,

kadang-kadang melewari

subnodus. Damselflies hitam

dengan bertanda krem, hijau,

biru atau orange, cuP sepanjang

dua sel atau kurang, umumnya

satu sel.

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan

identifikasi yang telah dilakukan, dapat

disimpukan bahwa :

1. Capung (Odonata) yang

diinventarisasi di sekitar Sungai dan

Rawa Moramo desa Sumber Sari

Kecamatan Moramo Kabupaten

Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

sebanyak 28 terkelompok dalam 8

famili yaitu Lindeniidae,

Libellulidae, Lestidae,

Megapodagrionidae, Calopterygidae,

Clorocyphidae, Coenagrionidae dan

Platycnemididae.

2. Jumlah jenis capung yang ditemukan

pada masing-masing lokasi yaitu 12

jenis di sungai, 15 jenis di rawa I dan

13 jenis di rawa II/rawa Moramo.

3. Famili Calopterygidae,

Megapodagrionidae dan

Platycnemididae merupakan Famili

capung yang hanya ditemukan di

sungai sedangkan Lestidae (Lestes

concinus Hagen) hanya ditemukan di

rawa.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian

tersebut maka penulis menyarankan

perlu ada penelitian lanjutan pengaruh

faktor-faktor abiotik lingkungan

terhadap populasi dan aktivitas capung

di sekitar sungai dan rawa Moramo.

Page 62: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 61 Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014

DAFTAR PUSTAKA

Adearisandi, 2011, Siklus Hidup Capung,

Error! Hyperlink reference not

valid./, 8 Oktober 2012.

Adhitya, S., 2011, Mengenal Capung,

http//sukmana-adhitya.blogspot.

com/2011/05/mengenal-

capung.html, 16 Desember 2012.

Amir, M., Kahono, S., 2003, Serangga

taman nasional Gunung Halimun

Jawa bagian Barat, Biodiversity

Conservation project.

Amri, K., Sihombing, T., 2007, Mengenal

dan Mengendalikan Predator

Benih Ikan, PT Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta.

Ansori, I., 2006, Keanekaragaman Nimfa

Odonata (Dragonflies) di Beberapa

Persawahan Sekitar Bandung Jawa

Bara, Universitas Bengkulu,

Bengkulu.

Aswari, P., 2010, Sekelumit

Perikehidupan Capung, Warta

Lahan Basah, Vol. 18, No. 1, Hal.

24-25.

BKSDA Sultra, 2006, Informasi Kawasan

Koservasi Provinsi Sulawesi

Tenggara, BKSDA Sultra,

Kendari.

_______, 2010, Informasi Kawasan

Koservasi Sulawesi Tenggara,

BKSDA Sultra, Kendari.

Borror, D.J., Triplehorn, C.A., Johnson,

N.F., 1996, Pengenalan Pelajaran

Serangga Edisi Keenam, Gadjah

Mada University Press,

Yogyakarta.

Djawie, S., 2009, Suaka Margasatwa

Tanjung Peropa: Melindungi

Kantung-Kantung Air Hingga

Masa Mendatang, Error!

Hyperlink reference not valid.,

22 November 2012.

Hidayah, N., 2008, Keanekaragaman Dan

Aktifitas Capung (Ordo:Odonata)

Di Kebun Raya Bogor, Skripsi,

Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Judawi, D., Priharyanto, D., Luther, G.C.,

Purnayasa, G.N.R., 2001, Musuh

Alami, Hama dan Penyakit

Tanaman Jambu Mete, Depatremen

Pertanian, Jakarta.

Mahajoeno, E., Efendi, M., Ardiansyah,

2001, Keanekaragaman Larva

Insekta Pada Sungai-sungai Kecil

di Hutan Jobolarangan,

Biodiversitas, Vol. 2, No. 2, Hal.

133.

Noerdjito, W.A., Ubaidillah, R., Sutrisno,

H., Peggie, D., Aswari, P., 2010,

Dampak Kegiatan Manusia

Terhadap Keanekaragaman dan

Pola Distribusi Serangga Di

Gunung Salak, Pusat Penelitian

Biologi LIPI, Bogor.

Noerdjito, W.A., 2012, Keragaman

Kumbang Sungut Panjang

(Coleoptera: Cerambycidae) di

Kebun Raya Bogor, Prosiding

seminar nasional, Perhimpunan

Entomologi Indonesia, Bogor.

Paulson, D., 2004, Families and Genera

Odonata, http://www.ups.edu.com

pdf, 19 September 2012.

Pramudhaningrat, K.Y., 2008, Capung,

Error! Hyperlink reference not

valid., 6 September 2011.

Rohman, A., 2012, Keanekaraman jenis

dan distribusi capung (Odanata) di

Kawasan Kars Gunung Sewu

Kecamatan Pracimantoro

Kabupaten Wonogiri Jawa Tengah,

Skiripsi, Universitas Negeri

Yogyakarta, Yogyakarta.

Simanjuntak, A. R., 2009, Inventarisasi

spesies capung (Odonata) di

Kawasan Cagar Alam Pegunungan

Wondiboi Distritik Rasiei

Kabupaten Teluk Wondama,

Skripsi, Universitas Negeri Papua,

Manokwari.

Sumargo, W., Nanggara, S. G.,

Nianggolan, F. A., Apriani, I.,

2011, Potret Keadaan Hutan

Indonesia Periode Tahun 2000-

2009, Forest Watch Indonesia,

Bogor.

Susanti, S., 1998, Seri Panduan

Lapangan” Mengenal capung”,

Page 63: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Inventarisasi Capung (Odonata) di Sekitar Sungai dan Rawa Moramo, 62 Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan Sulawesi Tenggara

Suriana, et al., Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 49-62, April 2014

Pusat Penelitian Biologi LIPI,

Bogor.

_______, 2007, Mengenal Capung, Warta

Lahan Basah, Vol. 5, No. 2, Hal.

28-29.

Theischinger, G., 2009, Identification

Guide to the Australian Odonata,

National Library of Australia

Cataloguing, Australia.

Tol, J. V., 2000, The Odonata of Sulawesi

and Adjacant Island. Part 5. The

Genus Protosticta Selys

(Platystictidae), Tijdscrift vorr

Entomologie, Vol. 143, Hal. 221-

266.

_______, 2007, The Odonata of Sulawesi

and Adjacant Island. Part 5.

Libellago and Sclerocypa,

International Journal of

Odonatology, Vol. 10, No. 2, Hal.

221-266.

Whitten, A. J., Mustafa, M., Henderson.,

1992, Ekologi Sulawesi, Gadjah

Mada University Press,

Yogyakarta.

Wirawan, G. S., 2012, Jenis-jenis Capung

(Odonata) di Kawasan Gunung

Mekongga pada ketinggian 1000

Sampai 2000 m dpl desa Tunikari

kecamatan Wawo kabupaten

Kolaka Utara Sulawesi Tenggara,

Skripsi, Universitas Haluoleo,

Kendari.

Page 64: Jurnal Biowallacea Vol.1.No(1).Hal.(1-62), April 2014

Jurnal Biowallacea Vol. 1 (1) : Hal. 1-62, April 2014 ISSN : 2355-6404

PEDOMAN PENULISAN

Bentuk Naskah

BioWallacea menerima naskah dalam bentuk hasil penelitian, komunikasi pendek dan kajian

buku, baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris. Naskah hasil penelitian

maksimum 15 halaman termasuk Gambar dan Tabel. Short comunication dan kajian buku

maksimum 4 halaman. Naskah Belum pernah dan tidak akan diterbitkan dalam majalah atau

jurnal lain dan asli hasil karyanya.

Pengiriman Naskah

Penulis harus mengirimkan naskah dalam bentuk naskah tercetak (hard copy) tiga eksemplar

dan naskah lunak (soft copy) dalam bentuk CD atau melalui email (attachment). Setiap

naskah harus disertai alamat korespondensi lengkap. Naskah dikirimkan ke alamat Redaksi

BioWallacea : Jurusan Biologi FMIPA Universitas Halu Oleo Kampus Hijau Bumi

Tridharma, Anduonohu Kendari 93232. E-mail : [email protected]

Format Naskah

1. Judul : Menggambarkan isi pokok tulisan secara ringkas dan jelas, maksimum 15 kata.

Ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Di bawah judul harus tertulis nama

lengkap para penulis (tidak disingkat), tanpa gelar, alamat penulis (instansi asal, alamat

dan alamat e-mail untuk korespondensi penulis). Jika para penulis memiliki alamat

berbeda, maka harus diberi tanda (mis. Angka 1 atau 2 dan masing-masing tanda diberi

nama instansi atau universitasnya. Abstrak : Maksimum 300 kata. Berisi inti naskah yang

memuat tujuan, hasil dan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian yang telah

dikerjakan. Nama organisme disertai nama ilmiahnya. Ditulis dalam dua bahasa yaitu

Inggris dan Indonesia. Pada bagian akhir abstrak disertai beberapa kata kunci (key words),

4-6 kata.

2. Pendahuluan : Berisi tentang teori, hasil penelitian dan atau berita-berita terkini yang

menjadi latar belakang mengapa penelitian dilakukan, rumusan permasalahan dan tujuan

penelitian. Metode Penelitian : Mendeskripsikan dan menjelaskan secara singkat, jelas,

rinci dan padat tentang bahan dan alat, sampel (kualifikasi), disain penelitian dan analisa

data, tahapan cara kerja, parameter dan cara pengukuran serta cara analisis data.

3. Hasil dan Pembahasan : Menyajikan hasil yang diperoleh secara singkat, ilustrasi

berupa tabel, gambar atau deskripsi kualitatif, kemudian dibahas sebab-akibatnya,

keterkaitan dengan teori dan hasil penelitian terdahulu yang mirip dan sejenis. Di sini

penulis diharapkan berani untuk menilai kelebihan dan kekurangan yang diperoleh

dengan cara memperbandingkan dengan hipotesis, standar mutu dan/atau hasil penelitian

terdahulu yang sejenis dan mirip. Dampak penelitian yang dilakukan perlu juga diuraikan

diakhir pembahasan. Simpulan dan Saran : Simpulan dibuat singkat, jelas dan bersifat

kualitatif dan umum bukan sebagai rangkuman hasil. Simpulan yang ditarik

menggambarkan atau memberi jawaban atas permasalahan atau tujuan penelitian. Saran-

saran ditulis sebagai harapan peneliti untuk memperbaiki, mengembangkan, menerapkan,

dan menyempurnakan penelitian yang dilakukan. Ucapan Terima Kasih (Jika ada) :

Ditujukan kepada instansi dan/atau orang yang berjasa besar terhadap penelitian yang

dilakukan. Dibuat dalam 1 alinea maksimum 50 kata.

4. Daftar pustaka : Daftar pustaka sesuai acuan pustaka yang digunakan. Acuan pustaka

yang digunakan minimal 10 tahun terakhir. Daftar Pustaka disusun menurut abjad, diketik

1 spasi, dengan tata cara penulisan sebagai berikut :

Barret, D.M., Lasalo, S. and Hosahalli, R. 2005. Processing Fruits. CRC Press, London.

Yanti, N. A., Margino, S. dan Sembiring, L. 2010. Optimasi Produksi Poli-β-

hidroksibutirat (PHB) oleh Bacillus sp. PSA10. Biota, 15 (3) : 331-339.