jurnal beras analog umbi garut

11
BERAS ANALOG BERBASIS UMBI GARUT (Maranta arundinaceae L) DAN ALGINAT SEBAGAI PANGAN BERKHASIAT OBAT (MEDICINAL FOODS) YANG DIUJIKAN PADA TIKUS HIPERGLIKEMIK. Arrowroot (Maranta arundinaceae) and Alginat Based Artificial Rice as Medicinal Foods Tested In Hyperglycemic Rat Anindya Dyah Rachmadani 1) , Teti Estiasih 2) 1) Alumni Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang 2) Staf Pengajar Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang Penulis Korespondensi : [email protected] ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proporsi tepung garut : tepung beras yang optimal dalam pembuatan beras analog dengan penambahan alginat dan mengetahui pengaruhnya terhadap sifat fisik, kimia,organoleptik dan keefektifan beras analog terhadap penurunan kadar glukosa pada tikus hiperglikemik. Penelitian ini terdiri dari 2 tahap penelitian. Tahap pertama adalah proses pembuatan beras analog dari tepung garut. Penelitian tahap 1 disusun dengan menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 2 faktor dimana faktor pertama terdiri dari 3 level dan faktor kedua terdiri dari 3 level. Penelitian tahap ke dua adalah pengujian efek hipoglikemik beras analog umbi garut perlakuan terbaik pada tikus wistar jantan secara in-vivo menggunakan rancangan tersarang. Hasil penelitian menunjukkan beras analog perlakuan terbaik diperoleh pada perlakuan proporsi tepung garut : tepung beras 60 : 40 dan penambahan alginat 2%. Perlakuan terbaik uji MTT diperoleh pada kelompok tikus dengan pakan beras garut, dimana tikus mengalami peningkatan kadar glukosa darah sebesar 24,70 mg/dl darah. Perlakuan terbaik uji efek glikemik diperoleh pada kelompok tikus dengan pakan beras garut, yaitu tikus mengalami penurunan kadar glukosa darah sebesar 89,90 mg/dl darah. Kata kunci: diabetes mellitus, beras analog, umbi garut, in-vivo, alginat ABSTRACT The research was conducted to determine the proportion of arrowroot flour: rice flour in making optimal artificial rice with the addition of alginate and determine their effects on physical, chemical, organoleptic properties and effectiveness of artificial to the decrease glucose levels in hyperglycemic rats. The research consisted of two phases. The first phases made artificial rice from arrowroot processing. Phase 1 used Randomized Block Design method (RBD) with two factors, which the first factor consisted of 3 levels and the second factor consisted of 3 levels. The second phase of the study was the hipoglicemic effects of the best treatment artificial rice using nested designs. The best treatment based on the physical and organoleptic parameters was obtained from the treatment of arrowroot flour and rice flour proportion = 60 : 40 with the addition of Na- alginate 2%. The best treatment MTT assay obtained in groups of rats with feed arrowroot rice, where rats have elevated levels of blood glucose by 24.70 mg / dl of blood. The best treatment glycemic effects obtained in groups of rats with feed arrowroot rice, which level of blood glucose decreased of 89.90 mg / dl of blood. Keyword: diabetes mellitus, artificial rice, arrowroot, in-vivo, alginate

Upload: gilang-wijaya

Post on 26-Nov-2015

72 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

menjelaskan beras analog dari tepung umbi garut dengan proporsi kompisisi yang paling baik.diuji keunggulan fungsionalnya, nilai ignya dan lain-lain

TRANSCRIPT

  • BERAS ANALOG BERBASIS UMBI GARUT (Maranta arundinaceae L) DAN ALGINAT SEBAGAI PANGAN BERKHASIAT OBAT (MEDICINAL FOODS)

    YANG DIUJIKAN PADA TIKUS HIPERGLIKEMIK.

    Arrowroot (Maranta arundinaceae) and Alginat Based Artificial Rice as Medicinal Foods Tested In Hyperglycemic Rat

    Anindya Dyah Rachmadani 1), Teti Estiasih 2)

    1) Alumni Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang 2) Staf Pengajar Jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Universitas Brawijaya, Malang

    Penulis Korespondensi : [email protected]

    ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui proporsi tepung garut : tepung beras

    yang optimal dalam pembuatan beras analog dengan penambahan alginat dan mengetahui pengaruhnya terhadap sifat fisik, kimia,organoleptik dan keefektifan beras analog terhadap penurunan kadar glukosa pada tikus hiperglikemik. Penelitian ini terdiri dari 2 tahap penelitian. Tahap pertama adalah proses pembuatan beras analog dari tepung garut. Penelitian tahap 1 disusun dengan menggunakan metode Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 2 faktor dimana faktor pertama terdiri dari 3 level dan faktor kedua terdiri dari 3 level. Penelitian tahap ke dua adalah pengujian efek hipoglikemik beras analog umbi garut perlakuan terbaik pada tikus wistar jantan secara in-vivo menggunakan rancangan tersarang. Hasil penelitian menunjukkan beras analog perlakuan terbaik diperoleh pada perlakuan proporsi tepung garut : tepung beras 60 : 40 dan penambahan alginat 2%. Perlakuan terbaik uji MTT diperoleh pada kelompok tikus dengan pakan beras garut, dimana tikus mengalami peningkatan kadar glukosa darah sebesar 24,70 mg/dl darah. Perlakuan terbaik uji efek glikemik diperoleh pada kelompok tikus dengan pakan beras garut, yaitu tikus mengalami penurunan kadar glukosa darah sebesar 89,90 mg/dl darah. Kata kunci: diabetes mellitus, beras analog, umbi garut, in-vivo, alginat

    ABSTRACT The research was conducted to determine the proportion of arrowroot flour: rice

    flour in making optimal artificial rice with the addition of alginate and determine their effects on physical, chemical, organoleptic properties and effectiveness of artificial to the decrease glucose levels in hyperglycemic rats. The research consisted of two phases. The first phases made artificial rice from arrowroot processing. Phase 1 used Randomized Block Design method (RBD) with two factors, which the first factor consisted of 3 levels and the second factor consisted of 3 levels. The second phase of the study was the hipoglicemic effects of the best treatment artificial rice using nested designs. The best treatment based on the physical and organoleptic parameters was obtained from the treatment of arrowroot flour and rice flour proportion = 60 : 40 with the addition of Na-alginate 2%. The best treatment MTT assay obtained in groups of rats with feed arrowroot rice, where rats have elevated levels of blood glucose by 24.70 mg / dl of blood. The best treatment glycemic effects obtained in groups of rats with feed arrowroot rice, which level of blood glucose decreased of 89.90 mg / dl of blood. Keyword: diabetes mellitus, artificial rice, arrowroot, in-vivo, alginate

  • PENDAHULUAN Bagi penderita Diabetes Mellitus

    (DM), konsumsi nasi harus dibatasi. Diabetes Mellitus adalah suatu penyakit metabolik yang ditunjukkan dengan kondisi hiperglikemia kronik dan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein (ADA, 2003). Menurut WHO Indonesia menduduki tempat ke 4 terbesar penderita diabetes mellitus dengan pertumbuhan sebesar 152% pada tahun 2000 menjadi 21.257.000 orang di tahun 2030 (Suyono, 2007).

    Tanaman garut (Maranta arundinaceae L) merupakan salah satu bahan pangan lokal yang mulai dikembangkan dan memiliki nilai ekonomi yang cukup baik. Keunggulan dari umbi garut memiliki kandungan serat dalam karbohidrat yang cukup tinggi, untuk serat larut air sebesar 5,03% dan serat tidak larut air sebesar 8,74% serta umbi garut mempunyai keunggulan dalam hal nilai indeks glikemik (IG) rendah yaitu 14 (Marsono, 2002). Berdasarkan penelitian Novitasari dkk (2011) pemberian emping garut selama 28 hari dengan jumlah 20 gram/hari belum mampu menurunkan kadar glukosa darah. Maka dari itu perlu adanya pengkajian penambahan serat larut air dalam produk pangan untuk keefektifan dalam menurunkan kadar glukosa darah.

    Penambahan serat larut air pada diet penderita diabetes dapat menurunkan kadar gula darah. Di dalam usus halus, serat dapat memperlambat penyerapan glukosa dan meningkatkan viskositas isi usus. Akibat kondisi tersebut, kadar glukosa dalam darah mengalami penurunan secara perlahan (Sulistijani, 2001).

    Alginat adalah suatu bahan yang dikandung oleh alga laut dari kelas Phaeophyceae. Di industri pangan alginat digunakan sebagai bahan pengental. Gel yang dihasilkan oleh alginat bersifat thermostable dimana gel yang terbentuk lebih stabil dan

    memberikan perlindungan terhadap koloid yang lebih baik dibandingkan dengan agar, karagenan dan CMC apabila digunakan pada suhu yang tinggi (Yunizal, 2004).

    Permasalahan yang terjadi adalah kandungan amilosa tepung garut yang cukup tinggi (25,94%) yang menyebabkan tekstur nasi analog menjadi keras. Tekstur, kenampakan, rasa dan warna merupakan komponen yang penting dan harus diperhatikan dalam pembuatan beras analog ini. Beberapa faktor tersebut dapat mempengaruhi daya terima masyarakat terhadap beras analog yang dihasilkan. Pembuatan beras analog tidak hanya menggunakan tepung garut, namun juga harus ditambahkan tepung beras agar didapatkan beras analog yang sesuai selera masyarakat. Dengan demikian, penelitian ini perlu dilakukan pengkajian pengaruh penggunaan proporsi tepung garut dan tepung beras serta penambahan alginat pada beras analog yang dihasilkan dan diharapkan akan meningkatkan nilai organoleptik beras analog yang selain dapat diterima oleh masyarakat juga memiliki efek obat terhadap penurunan kadar glukosa darah. Keefektifan dari beras analog akan diuji secara In Vivo menggunakan hewan coba tikus menggunakan metode Meal Tolerant Test (MTT) dan uji efek hipoglikemik.

    BAHAN DAN METODE Bahan yang digunakan dalam

    pembuatan beras analog terdiri dari adalah tepung garut yang diproduksi oleh toko Warung Organik, tepung beras merk Rose Brand, aquades yang diperoleh dari Laboratorium Biologi Fakutas MIPA Universitas Brawijaya, minyak kelapa, garam . Sedangkan bahan bahan kimia Alginat, Sodium Tripolyphospat, Gliserol Monostearat, dan Titanium dioxide diperoleh dari CV. Panadia Malang.

  • Bahan yang digunakan dalam analisa in vivo terdiri dari tikus wistar jantan umur 1 bulan dengan berat 180-220 g, aloksan dan glucose kit. Metode Penelitian Tahap 1 adalah pembuatan beras analog berbasis umbi garut dan natrium alginat. Metode penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan dua faktor. Faktor I yaitu proporsi tepung garut : tepung beras (T) yang terdiri dari 3 level dan faktor II yaitu penambahan alginat (A) yang terdiri dari 3 level, sehingga didapatkan 9 kombinasi perlakuan. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali, sehingga diperoleh 27 satuan percobaan. Formula beras analog perlakuan terbaik dari diuji lebih lanjut secara in vivo untuk mengetahui potensinya sebagai diabetal rice. Beras varietas sedang digunakan sebagai beras kontrol dalam penelitian ini. Pada percobaan ini mengunakan rancangan tersarang (Nested) dengan 2 faktor yaitu faktor pakan (B) dengan 3 level dan waktu (M) dengan 5 level. Pelaksanaan penelitian tahap I

    Tepung garut dan tepung beras ditimbang dengan proporsi 80 : 20, 70 : 30, 60 : 40 serta penimbangan alginat 1%, 2%, dan 3% dari berat total tepung komposit. Selanjutnya, Pencampuran tepung komposit dan tepung beras sesuai perlakuan. Pembuatan emulsi yang terdiri dari alginat, GMS, STPP, garam, titanium dioksida, akuades, minyak kelapa, Kemudian dilakukan homogenisasi selama 5 menit, lalu dipanaskan sampai suhu 800C.

    Pengulenan campuran tepung dengan emulsi. Pengulenan dilakukan sampai homogen dan secara manual menggunakan tangan. Adonan dicetak dengan menggunakan alat pencetak beras analog. Butiran beras analog yang dihasilkan dikukus selama 10 menit. Beras yang telah tergelatinisasi

    dikengeringkan menggunakan kabinet pengering otomatis pada suhu 600C selama 4 jam.

    Pelaksanaan Penelitian tahap II Pengujian bioassay penurunan

    kadar glukosa darah dilakukan dengan pengelompokan tikus menurut perlakuan .Sebelum dilakukan pengujian, semua tikus terlebih dahulu diadaptasikan lingkungan selama 1 minggu. Pemberian pakan pada tikus dilakukan secara ad libitum dan pada setiap minggunya diukur berat badan tikus serta kadar glukosa darahnya. Untuk menaikkan glukosa darah tikus dilakukan induksi aloksan secara intraperitoneal (langsung ke dalam rongga perut (peritoneal) dengan konsentrasi 80 mg/kg berat badan. Tiga hari setelah injeksi aloksan, darah diambil secara retro orbital plexus (pembuluh darah sekitar mata) dengan menggunakan hematokrit untuk memastikan apakah tikus telah mengalami hiperglikemia atau belum. Sebelum diambil darahnya, tikus dipuasakan terlebih dahulu selama 16 jam. Hanya tikus dengan kadar glukosa darah puasa (16 jam post prandial (16 jam setelah puasa)) > 126 mg/dl (hiperglikemik) yang digunakan dalam percobaan ini. Nilai kadar glukosa darah diperoleh dengan cara pemberian reagen glucose kit GOD-FS pada tiap sampel darah untuk kemudian dihitung nilai absorbansinya dan kadar gula darah. Sebelumnya sampel darah sebanyak 1-1,5 ml disentrifugasi terlebih dahulu pada 4000 rpm selama 15 menit pada suhu 250C.

    Pengujian dengan metode Meal Tolerance Test dilakukan dengan pengelompokkan tikus meurut perlakuan. Sebanyak 9 ekor tikus putih (Ratus norwegicus) jenis wistar jantan dibagi menjadi 3 kelompok yaitu 3 seperti pada pengujian efek hipoglikemik. Tikus sebelumnya dipuasakan selama 16 jam, selanjutnya diberi pakan dan minum

  • secara ad libitum sesuai kelompoknya. Kemudian dilakukan pengambilan darah setelah menit ke 0, 30, 60, 90, 120 secara retro orbital plexus untuk analisis kadar gula darah. Nilai kadar glukosa darah diperoleh dengan cara pemberian reagen glucose kit GOD-FS pada tiap sampel darah untuk kemudian dihitung nilai absorbansinya dan kadar gula darah.

    Analisis Penelitian Tahap 1

    Penelitian tahap I yaitu menentukan perlakuan terbaik dari sifat fisik (warna, daya rehidrasi, cooking time, pengembangan volume) dan sifat sensoris (warna beras, warna nasi, kenampakan beras, kenampakan nasi, tekstur, aroma beras, rasa nasi). Perlakuan terbaik diperoleh dengan cara menghitung indeks efektifitas De Garmo.

    Analisis Penelitian Tahap II Pengukuran kadar glukosa darah darah dilakukan setiap minggu yang berlangsung selama 28 hari. Data pengamatan beras analog yang diperoleh dianalisa secara statistik menggunakan metode analisa ragam ANOVA (Analysis of Variance), dilanjutkan dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil) menggunakan selang kepercayaan 5 % untuk mengetahui perbedaan pengaruh dari tiap-tiap perlakuan.

    HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Fisik dan Kimia Beras Nalog Perlakuan Terbaik Penentuan perlakuan terbaik dari perlakuan proporsi tepung garut : tepung beras dan penambahan alginat terhadap beras analog berdasarkan pada metode indeks efektifitas yaitu menentukan bobot untuk setiap parameter, kemudian menentukan nilai efektifitas (NE) dan nilai produk (NP), selanjutnya nilai produk pada setiap parameter dijumlah untuk mendapatkan perlakuan terbaik.

    Parameter yang digunakan meliputi rasa, tekstur (kekenyalan), aroma, warna (paramater organoleptik), daya rehidrasi, kenampakan, cooking time, dan derajat pengembangan. Parameter organoleptik dipilih untuk menentukan perlakuan terbaik karena paramater tersebut berkaitan langsung dengan persepsi konsumen. Pengujian kimia dilakukan untuk mengetahui nilai nutrisi dari beras analog yang dihasil. Pengujian kimia hanya dilakukan pada beras analog perlakuan terbaik. Berikut adalah perbandingan nutrisi beras analog perlakuan terbaik dengan beras varieas sedang : Tabel 1. Nilai parameter kimia dan fisik beras analog perlakuan terbaik

    No.

    Parameter Beras giling

    (kontrol)

    Beras Analo

    g

    1 Energi (Kal) 360* 371 2 Protein (g) 6,8* 3,27 3 Lemak (g) 0,7* 3,99 4 Karbohidrat

    (g) 78,9* 79,59

    5 Serat larut (%) - 3,37 6 Kadar air (%) 13* 9,59 7 Kadar Abu

    (%) - 2,14

    8 Pati (%) - 36,01 9 Warna (L*) - 66,47 10 Daya rehidrasi

    (%) - 175,3

    11 Derajat pengembangan (%)

    - 298,7

    12 Cooking time (menit)

    - 38,33

    Keterangan : * = Sumber : Direktorat Gizi, Depkes RI, 1992

  • Tabel 1 menunjukkan perbandingan nilai parameter-parameter penting pada analog analog perlakuan terbaik dengan kontrol (beras). Berdasarkan Tabel 1 tersebut, dapat dikatakan bahwa nilai parameter beras analog perlakuan terbaik tidak berbeda jauh dengan kontrol. Adanya perbedaan nilai parameter beras analog perlakuan terbaik dengan kontrol disebabkan karena beras analog yang dihasilkan terbuat dari tepung beras, tepung garut dan alginat yang memiliki komposisi kimiawi yang berbeda-beda. Selain itu, adanya proses pengolahan dari bahan baku hingga menjadi beras analog mengakibatkan terjadinya perubahan komposisi kimiawi pada beras analog yang dihasilkan sehingga berbeda dengan kontrol (beras). Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa kadar protein beras analog perlakuan terbaik lebih rendah dibandingkan dengan beras giling (kontrol). Hal tersebut diduga disebabkan oleh kadar protein pada umbi-umbian lebih rendah dibandingkan beras. Marsono (2002) menyebutkan bahwa kadar protein pada umbi garut sekitar 1 2,2 %. Kadar lemak beras analog perlakuan terbaik memiliki kadar lemak lebih tinggi dibandingkan dengan beras kontrol. Hal ini disebabkan oleh saat pembuatan beras analog, terdapat penambahan minyak kelapa sebanyak 10%. Minyak kelapa tersebut turut menyumbangkan lemak pada beras analog.

    Dengan mengetahui nilai parameter fisik dan kimia beras analog perlakuan terbaik yang tidak jauh berbeda dengan kontrol (Tabel 1), dapat dinyatakan bahwa beras analog perlakuan terbaik ini dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif makanan pokok selain beras sekaligus dapat berfungsi sebagai pangan obat.

    Meal Tolerance Test Beras Analog Perlakuan Terbaik Uji Meal Tolerance Test (MTT) dilakukan untuk mengetahui indeks glikemik suatu prosuk pangan. Pengujian MTT ini menggunakan 9 tikus wistar jantan yang dikelompokkan berdasarkan pakan yang diberikan. Pengelompokkan tikus wistar jantan yaitu 3 tikus dengan pakan standar, 3 tikus dengan pakan beras giling, dan 3 tikus dengan pakan beras analog garut. Pengujian ini dilakukan beberapa saat setelah tikus wistar jantan diberi pakan secara ad libitum. pengambilan darah dilakukan 5 kali yaitu pada 0 menit, 30 menit, 60 menit, 90 menit dan 120 menit setelah pemberian pakan. Hasil pengukuran darah uji MTT ditunjukkan pada Gambar 1.

    Gambar 1. Rerata kadar glukosa darah tikus dengan perlakuan beras garut, beras giling dan pakan standar melalui MTT. Pada gambar 1 menyajikan hasil

    pengukuran kadar glukosa darah melalui uji MTT. Dari grafik tersebut terlihat bahwa kelompok tikus dengan pakan beras garut mengalami peningkatan kadar glukosa darah paling rendah (24,70 mg/dl) sedangkan kelompok tikus dengan pakan beras mengalami peningkatan kadar glukosa darah paling tinggi (46,61 mg/dl). Hasil analisa ragam menunjukkan jenis kelompok tikus berdasarkan pakan dan waktu (menit)

  • memberikan pengaruh nyata (=0,05) terhadap rerata kadar glukosa darah. Rerata kadar glukosa tikus wistar jantan akibat uji MTT ditunjukkan pada Tabel 2. Tabel 2. Pengaruh waktu pengambilan serum darah terhadap Kadar Glukosa Darah pada uji MTT

    Menit ke-

    Pakan standar

    Pakan beras

    Pakan beras analog

    0 71,52a 73,46a 71,85a

    30 103,24b 107,55b 84,79b

    60 107,55c 110,34c 90,18c

    90 109,60d 113,7d 93,96d

    120 110,47d 120,07e 96,55e

    BNT 5% 0,746

    Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3

    kali ulangan 2. Angka yang didampingi hurut yang tidak sama menunjukkan berbeda nyata ( + 0,05)

    Tabel 2 menunjukkan kadar kelompok tikus dengan pakan beras mengalami kenaikan glukosa darah paling tinggi dibandingkan kelompok tikus dengan pakan standar dan beras garut. Semakin tinggi kenaikan glukosa darah setelah makan menunjukkan semakin tinggi indeks glikemik produk pangan tersebut. Indeks glikemik (glycemic index/GI) adalah ukuran kecepatan makanan diserap menjadi gula darah. Miller et al., (1992) menyatakan bahwa beras giling mempunyai kisaran IG dari 54 (rendah) sampai dengan 121 (tinggi, lebih tinggi dari IG glukosa = 100). Selain karena indeks glikemik yang lebih rendah, adanya serat larut air akan menurunkan kadar glukosa postpandrial dengan mengurangi tingkat absorpsi karbohidrat

    Tabel 3 menunjukkan kelompok tikus dengan pakan beras garut mengalami peningkatan kadar glukosa darah paling rendah. Hal ini menunjukkan bahawa beras garut memiliki indeks

    glikemik rendah dan memiliki potensi sebagai obat bagi penderita diabetes. Beras garut mengandung polisakarida larut air (PLA) dan alginat yang merupa Menurut Chen et al (2003) terbentuknya larutan kental seperti gel dari serat larut menurunkan tingkat kadar glukosa postpandrial dan insulin dengan memperlambat pengosongan lambung dan mengurangi tingkat absorpsi karbohidrat. Selain itu adanya serat larut air baik dari tepung garut ataupun alginat sebagai serat pangan juga membantu mengansorpsi pati sehingga dapat menghindari terjadinya hidrolisis pati oleh enzim -amilase. Adanya enzim -amilase yang terdapat dalam air liur (saliva) dan pankreas memecah pati menjadi gula yang lebih sederhana yang kemudian dialirkan ke jaringan-jaringan sel melalui darah sehingga kadar glukosa darah akan meningkat.

    Tabel 3. Pengaruh Jenis Pakan terhadap Kadar Glukosa Darah pada uji MTT

    Jenis pakan Kadar

    glukosa BNT 5%

    Pakan Standar

    100,50b

    1,05 Beras 104,96c

    Beras analog 87,45a

    Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 3

    kali ulangan 2. Angka yang didampingi hurut yang

    tidak sama menunjukkan berbeda nyata ( + 0,05)

    Proses pre-gelatinisasi adalah pati yang mengalami proses gelatinisasi dan selanjutnya dikeringkan. Pati ini akan mengalami perbuahan sifat fisik dan sifat pati alami. Dalam pembuatan beras analog pati dari tepung garut akan mengalami pre-gelatinisasi (pengukusan) yang kemudian dalam pengolahannya dilakukan pengeringansehingga pati yang tergelatinisasiakan mengeras atau

  • disebut dengan retrogradasi pati. Adanya perubahan pada pati ini akan berpengaruh pada daya cerna pangan, karena memiliki struktur yang sudah tidak dikenali oleh enzim pencernaan sehingga berpengaruh pada kenaikan kadar glukosa darah (Padmaja et al., 1996).

    4.3.2. Uji Efek Hipoglikemik Pengujian efek hipoglikemik secara in vivo dilakukan dalam jangka waktu 4 minggu dengan 12 tikus wistar jantan yang diberi perlakuan berbeda yaitu 4 tikus diabetes dengan pakan standar, 4 tikus diabetes dengan pakan beras giling dan 4 tikus dengan pakan beras garut. Sebelum diberi pakan perlakuan, tikus dibuat diabetes terlebih dahulu dengan penyuntikan aloksan. Pemberian pakan dilakukan setiap hari secara ad libitum dan pengambilan darah dilakukan tiap minggu (minggu ke-0, 1, 2,3, dan 4). Hasil pengukuran kadar glukosa darah tikus wistar diabetes setiap minggunya ditunjukkan pada gambar 2.

    Gambar 2. Rerata penurunan kadar glukosa darah dari tikus diabetes dengan pakan standar, beras giling dan beras garut.

    Gambar 2 menyajikan grafik penurunan kadar glukosa darah tikus wistar selama 4 minggu. Gambar tersebut menunjukkan kelompok tikus dengan pakan beras garut mengalami penurunan kadar glukosa darah paling besar (89,90 mg/dl), kelompok tikus dengan pakan beras giling juga

    mengalami penurunan (2,42 mg/dl) namun untuk kelompok tikus dengan pakan standar mengalami kenaikan kadar glukosa darah sebesar 12,66 mg/dl. Hasil analisa ragam menunjukkan jenis kelompok tikus berdasarkan pakan dan waktu (menit) memberikan pengaruh nyata (=0,05) terhadap rerata kadar glukosa darah. Rerata kadar glukosa tikus wistar jantan akibat uji efek hipoglikemik ditunjukkan pada tabel 4. Tabel 4. Pengaruh Waktu Pengambilan Serum Darah Terhadap Rerata Kadar Glukosa Darah Tikus Wistar Jantan

    Minggu ke-

    Pakan standar

    Pakan beras

    Pakan beras analog

    1 225,86a 225,31a 220,411e

    2 230,72a 228,53a 204,55d

    3 231,15a 228,58a 186,84c

    4 236,53a 227,94a 143,81b

    5 238,52b 220,41a 130,50a

    BNT 5% 10,75

    Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 4 kali ulangan 2. Angka yang didampingi hurut yang tidak sama menunjukkan berbeda nyata ( + 0,05) Tabel 4 menunjukkan bahwa terjadi penurunan kadar glukosa darah pada kelompok tikus dengan pakan beras garut dan pakan beras giling, namun pada kelompok tikus dengan pakan standar mengalami kenaikan kadar glukosa darah setiap minggu. Kenaikan kadar glukosa darah pada tikus disebabkan tidak berfungsinya insulin untuk memasukkan glukosa hasil hidrolisis kedalam jaringan sel untuk dimanfaatkan oleh tubuh sehingga kadar glukosa dalam plasma darah meningkatkan. Hasil pengujian kadar glukosa darah kelompok tikus dengan pakan beras garut pada minggu ke-4 menunjukkan angka 130,50 mg/dl. Angka tersebut sudah mendekati kadar glukosa

  • darah normal. Kadar glukosa darah normal pada pagi hari setelah malam sebelumnya berpuasa adalah 70-110 mg/dl darah. Kadar glukosa darah biasanya kurang dari 120-140 mg/dl pada 2 jam setelah makan atau minum cairan yang mengandung gula maupun karbohidrat lainnya (Soegondo,2008). Tabel 5. Pengaruh Jenis Pakan Terhadap Rerata Kadar Glukosa Darah Tikus Wistar Jantan

    Jenis pakan

    Kadar glukosa darah

    BNT 5%

    Standar 232,56b

    13,88 Beras 226,65b Beras analog 177,22a

    Keterangan : 1. Setiap data merupakan rerata dari 4 kali ulangan 2. Angka yang didampingi hurut yang tidak sama menunjukkan berbeda nyata ( + 0,05) Tabel 5 menunjukkan kelompok tikus dengan pakan beras analog memiliki kadar glukosa darah paling rendah sedangkan kelompok tikus dengan pakan beras memiliki rerata kadar glukosa darah paling tinggi. Pakan yang tidak mengandung polisakarida larut air dan alginat yang dikonsumsi oleh kelompok tikus dengan pakan standar tidak mempunyai kemampuan dalam meningkatkan sensitivitas insulin sehingga dapat memperbaiki kerusakan sel beta pankreas akibat penyuntikan aloksan melalui regenerasi sel, dimanan Wikanta, dkk (202) menyebutkan pemberian sediaan uji natrium alginat menunjukkan indikasi membantu mempercepat proses perbaikan sel beta pankreas yang rusak akibat pemberian aloksan. Penurunan kadar glukosa darah dapat disebabkan oleh adanya kandungan serat yang terdapat baik dalam beras analog yang berasal dari tepung garut ataupun pada alginat. Serat

    larut air (soluble fiber) mempuyai kemampuan menahan air dan dapat membentuk cairan kental dalam saluran pencernaan. Dengan kemampuan ini serat larut dapat menunda pngosongan makanan dari lambung, menghambat pencamuran isi saluran cerna dengan enzim-enzim pencernaan sehingga terjadi pengurangan penyerapan zat-zat makanan dan memperlambat penyerapan glukosa sehingga menunda dan mengurangi kenaikan kadar glukosa darah setelah makan (Pamorita, 2007). Penurunan kadar glukosa darah setiap minggunya oleh beras garut disebabkan adanya kemampuan PLA dalam meningkatkan viskositas dan menunda pengosongan lambung serta pencernaan usus. Peningkatan viskositas kemungkinan melibatkan penurunan arus konvektif yang dipicu oleh kontrkasi otot polos. Menurut Moharib and El-Batran (2008), kemungkinan peristiwa tersebut mengurangi derajat pencampuran dan dengan demikian dapat mencegah absorbsi makanan di epitel usus pada luminal bulk phase. Dengan demikian penyerapan nutrisi makanan dalam usus tergantung pada ketebalan dari lapisan yang tidak bergerak menutupi permukaan absorbsi atau fase makanan berupa gumpalan ketika berada di usus sehingga hal ini bisa mengurangi interaksi antara enzim dengan nutrisi. Menurut Sunarsih dkk (2007) beberapa faktor yang mempengaruhi respon terhadap glukosa darah antara lain komposisi dari makanan, jenis karbohidrat yang terdapat dalam makanan, struktur fisik dan kimia dari molekul atau granula pati, kandungan dan jenis serat, kandungan kalsium, pemasakan, kandungan asam dari makanan, bahan tambahan makanan, indeks glikemik bahan makanan, pengaruh hidrasi dan gelatinisasi pati, retrogradasi pati, penambahan bahan pada pengosongan lambung dan interaksi nutrisi.

  • Serat larut air merupakan serat yang tidak dapat dicerna oleh sistem pencernaan tepatnya pada usus halus melainkan difermentasi oleh bakteri dalam usus besar (kolon) menghasilkan asam lemak rantai pendek (SCFA) sebagai produk utama dan beberapa metabolit. Silalahi dan Hutagalung (2008) menyatakan bahwa serat tidak bisa dihidrolisis oleh enzim pencernaan sehingga akan sampai usus besar dalam keadaan utuh dan kebanyakan menjadi substrat untuk fermentasi bakteri yang hidup dikolon. Tensiska (2008) juga menyatakan bahwa fermentasi serat dalam kolon akan menghasilan produk berupa gas seperti gas H2 dan CO2 serta asam lemak rantai pendek seperti asam asetat, asam propionat dan asam butirat. Serat pangan dapat meningkatkan perannya sebagai substrat non glikemik untuk metabolisme energi yang dapat mempengaruhi sekresi insulin dan homeostasis glukosa yaitu dengan cara penundaan atau penurunan absorbsi glukosa dan lemak atau karena adanya SCFA. Peningkatan produksi SCFA dalam kolon diasumsikan dapat mengurangi pengeluaran glukosa hepatik. Menurut Luthana (2009), SCFA hasil fermentasi akan diserap pada lokasi usus besar dan diangkut ke hati melalui sirkulasi enterohepatik yaitu suatu sistem yang menghubungkan anatara hati dan usus yang membantu proses pencernaan, dan SCFA digunakan sebagai bahan metabolisme oleh liver. Mekanisme penurunan glukosa darah oleh SCFA yaitu diduga didalam hati, SCFA digunakan untuk membantu hati dalam proses sintesis merubah monosakarida hasil penyerapan dinding usus halus yang disalurkan melalui aliran darah menjadi glikogen dan oksidasi menjadi CO2 dan H2O. Selain itu produksi SCFA digunakan sebagai sumber energi dalam tubuh. Menurut Hijova and Chmelarova (2007) metabolisme SCFA terdapat pada

    tiga bagian tubuh yaitu sel ceco-colonic ephitelium yang menggunakan butirat sebagai substrat utama untuk memelihara produksi energi, pada menggunakan butirat sebagai substrat utama untuk memelihara produksi energi, pada sel hati dengan memetabolisme propionat dan asetat untuk digunakan pada proses glukoneogenesis dan sel otot menghasilkan energi dari oksidasi residu asetat. Dari uji in vivo yang dilakukan dapat diketahui bahwa beras analog dapat membantu mengurangi peningkatan kadar glukosa darah setelah makan dan cenderung dapat menurunkan glukosa darah bila dimakan secara teratur dalam jangka waktu tertentu. Sehinga, dapat dinyatakan bahwa beras analog perlakuan terbaik ini dapat dijadikan salah satu alternatif makanan pokok selain beras sekaligus dapat berfungsi sebagai pangan obat.

    KESIMPULAN Penggunaan faktor proporsi

    tepung garut : tepung beras dan faktor konsentrasi penambahan alginat memberikan pengaruh yang nyata terhadap sifat fisik beras analog, yaitu derajat pengembangan, waktu pemasakan dan warna, sedangkan pada daya rehidrasi tidak menunjukkan pengaruh yang nyata. Pada uji organoleptik, penggunaan proporsi tepung garut : tepung beras dengan konsentrasi penambahan alginat tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata pada parameter warna, tekstur, rasa, dan aroma. Beras analog perlakuan terbaik didapatkan pada perlakuan proporsi tepung garut : tepung beras = 60 : 40 dengan konsentrasi penambahan alginat 2%. Komposisi fisik dan kimia beras tiruan perlakuan terbaik antara lain kecerahan warna sebelum pemasakan (L*) 66,47 dan setelah pemasakan 58,93,

  • daya rehidrasi 175,33 %, derajat pengembangan 298,68 %, waktu pemasakan 38,33 detik, kadar air 9,59 %, kadar pati 36,01 %, kadar abu 2,14 %, kadar lemak 3,99 %, kadar protein 3,27 %, total karbohidrat 79,59 % dan kalori 371 kal. Parameter organoleptik meliputi aroma 3,90 (netral), tekstur 3,80 (netral) dan rasa 3,05 (netral), kenampakan sebelum pemasakan 3,00 (netral), kenampakan setelah pemasakan 2,70 (tidak suka).

    UCAPAN TERIMAKASIH . Terimakasih kepada Dirjen DIKTI

    yang telah mem-berikan biaya selama penelitian.

    DAFTAR PUSTAKA

    ADA. 2003. Clinical Practice Recommendations. Diabetes Care; 26/Suppl 1: S5 S20, S33 S50.

    Chen, H.L., Wang, C.H., Chang, C.T., and Wang, T.C. 2003. Effects of Taiwanese Yam (Dioscorea japonica Thunb. Var. pseudojaponica Yamamoto) on Upper Gut Function and Liipid Metabolism in Balb/cMice. Baisc Nutritional Investigation. Nutrition 19:646-651

    Luthana, Y.K. 2009. Asam Lemak Rantai Pendek. http://www.yongikastnayaluthana.wordpress.com/2009/03/2012/asama-lemak-rantai-pendek. diakses 2 agustus 2012.

    Marsono, Y. 2002. Indeks glisemik umbi-umbian.Makalah Seminar Nasional Industri Pangan, Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia, Surabaya 1011 Oktober 2002.

    Miller, J.B., E. Pang and L. Bramall. 1992. Rice: a high or low glycemic index food?. Am. J. Clin. Nutr. 56: 1034-1036.

    Moharib, S.A. and El-Batran, S.A. 2008. Hypoglycemic Effect of Dietary Fibre in Diabetic Rats. Research Journal of Agriculture and Biological Sciences. 4(5) : 455-461

    Novitasari, Dwi., Sunarti., dan Arta Fatmawati. 2011. Emping Garut (Maranta arundinaceae Linn) sebagai Makanan Ringan dan Kadar Glukosa Darah, Angiostensin II Plasma serta Tekanan Darah pada Penderita Diabetes Mellitus Tipe 2 (DMT2). Jurnal Media Medika Indonesiana Vol. 45 No 1, 2011

    Padmaja, G., C. Balagopalan, S.N. Moorthy, dan V.P. Potty. 1996. Yuca Rava and Yuca Porridge: The Functional Properties and Quality of Two Novel Cassava Products. Cassava Flour and Starch: Progress in Reseacrh and Development p: 323-330.

    Pamorita A, Desi N, Isnawati M. 2007. Pengaruh Konsumsi Minuman Bekatul dengan Kadar Serat yang Berbeda Terhadap Kadar Gula Darah dan Kadar Kolesterol Darah. Jurnal Ilmiah Diabetik Vol.6 No 5 : 435-440

    Sulistijani DA., 2001. Sehat dengan Menu Berserat. Trubus Agriwijaya, Jakarta.

    Sunarsih, E.S., Djatmika, dan Utomo, R.S. 2007. Pengaruh Pemberian Infusa Umbi Gadung (Dioscorea hispida Dennst) terhadap Penurunan Kadar Glukosa Darah Tikus Putih Jantan Diabetes yang Diinduksi Aloksan. Majalah Farmasi Indonesia 18(1) : 29-33

    Tensiska. 2008. Serat Makanan. Fakultas Teknologi Industri Pertaniian. Universitas padjajaran. Bandung Torsdottir I, Alpsten M, Holm G, Sndberg A and Tolli K. 1991. A Small

  • Yunizal. 2004. Teknologi Ekstraksi Alginat dari Rumpt Laut Coklat. Jakarta : Balai Penelitian Perikanan Laut.