journal reading delayed facial nerve decompression … · baik (9/11 vs 2/6, p= 0,049) dengan...
TRANSCRIPT
UNIVERSITAS PEMBAGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA
JOURNAL READING
DELAYED FACIAL NERVE DECOMPRESSION FOR SEVERE
REFRACTORY CASES OF BELL’S PALSY : A 25 – YEAR
EXPERIENCE
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
Di Departemen Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa
Pembimbing:
dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp. S, M.Sc
Disusun Oleh:
Inayatul Maula
1820221059
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH AMBARAWA
2019
LEMBAR PENGESAHAN
JOURNAL READING
DELAYED FACIAL NERVE DECOMPRESSION FOR SEVERE
REFRACTORY CASES OF BELL’S PALSY : A 25 – YEAR
EXPERIENCE
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik
Di Departemen Ilmu Penyakit Saraf
Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa
Disusun Oleh:
Inayatul Maula
1820221059
Telah Disetujui Oleh Pembimbing
dr. Nurtakdir Kurnia Setiawan, Sp. S, M.Sc
Tanggal :
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Kehadirat Tuhan YME karena atas rahmat dan ridhoNya
penulis dapat menyelesaikan journal reading yang berjudul “Delayed facial
nerve decompression for severe refractory cases of Bell’s palsy : a 25-year
exprience”. Journal reading ini dibuat dengan maksud dan tujuan untuk
memenuhi penilaian pada kepaniteraan klinik Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit
Umum Daerah Ambarawa. Terima kasih penulis sampaikan kepada dr. Nurtakdir
Kurnia Setiawan, Sp. S, M.Sc., selaku dokter pembimbing yang banyak
memberikan masukan dan saran. Serta teman-teman sejawat yang telah membantu
dalam penyelesaian journal reading ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna,
untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan demi perbaikan penulisan
berikutnya. Akhir kata, semoga Journal reading ini dapat bermanfaat dan
menambah ilmu pengetahuan bagi penulis maupun pembaca.
Ambarawa, 21 Juni 2019
Penulis
Delayed facial nerve decompression for severe refractory cases of
Bell’s palsy : a 25-year exprience
Ilyes Berania, Mohamed Awas, Issam Saliba, Jean-Jacques Dufour, dan Marc Elie
Nader
Abstrak
Latar Belakang : penelitian ini bertujuan untuk menilai efektifitas dekompresi
nervus facialis tertunda pada Bells Palsy
Metode : penelitian ini menggunakan tinjauan kasus secara retrospektif dari
semua pasien yang telah menjalani dekompresi nervus facialis pada pasien Bells
Palsy berat antara 1984 dan 2009 pada pusat rujukan tersier. Demografi, waktu
antara onset gejala dan pembedahan untuk dekompresi, derajat disfungsi nervus
facialis pre dan post operasi, masa follow up setelah operasi dan komplikasi post
operasi dicatat. Disfungsi nervus facialis dinilai menggunakan skala House-
Brackmann (HB). Electroneurography, elektromiography dan hasil foto juga
dinilai bila tersedia.
Hasil : delapan belas pasien menjalani operasi antara 21 dan 60 hari setelah onset
BP (grup I), dan 18 pasien menjalani operasi lebih dari 60 hari setelah munculnya
gejala (grup II). Pada grup II, 11 pasien menjalani operasi antara 61 dan 89 hari
dan 7 pasien menjalani operasi setelah 90 hari. Grup I dan II menunjukkan
peningkatan fungsi yang serupa dengan HB 3 atau lebih baik (11/18 vs 11/18,
p>0,05). Pada grup II pasien melakukan operasi pada hari ke 60 hingga 89 setelah
terjadinya onset BP menunjukkan peningkatan yang signifikan ke HB 3 atau lebih
baik (9/11 vs 2/6, p= 0,049) dengan peningkatan fungsional yang lebih tinggi
dibandingkan dengan yang dioperasi setelah 90 hari onset terjadinya BP
(p=0,0293).
Kesimpulan : ketika terdapat indikasi, dekompresi nervus facialis pada pasien BP
biasanya direkomendasikan dalam 2 minggu pertama setelah timbulnya paralisis
wajah. Meskipun demikian, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasien
dengan BP berat bisa mendapat manfaat dari operasi dekompresi dalam waktu 90
hari setelah timbul gejala tanpa adanya kesempatan lebih awal untuk melakukan
operasi. Investigasi lebih lanjut masi diperlukan untuk mengkonfirmasi penelitian
ini.
Kata kunci : Bell’s Palsy, operasi dekompresi, nervus facialis, hasil maksimal
Latar Belakang
Paralisis facial idiopatik, yang didefinisikan dengan Bell’s Palsy (BP), adalah
mono-neuropathy perifer yang paling umum pada 20 – 30 per 100.000 orang
setiap tahun1. Kondisi ini menyebabkan disfungsi akut pada nervus facialis, secara
parsial atau komplit. Gangguannya biasanya unilateral dan mempengaruhi
kontraksi volunter otot wajah2. Disfungsi motorik dapat menyebabkan kelopak
mata tidak menutup lengkap, predisposisi abrasi kornea, keratitis pajanan atau
ulserasi kornea 3. Pasien dengan Bells palsy juga mengeluhkan xerostomia,
dysgeusia, dan nyeri telinga. Gejala – gejala ini berhubungan dengan buruknya
prognosis perbaikan saraf4. Meskipun kebanyakan kasus dapat sembuh sendiri,
sekitar 4% pasien terdapat disfungsi nervus facialis yang berat dan persisten5.
Terdapat bukti awal yang kuat perawatan medis pada pasien BP6-8
, operasi
dekompresi nervus facialis masih kontroversial. Terdapat berbagai pendapat
sehubungan dengan pendekatan pembedahan yang optimal, luasnya dekompresi
saraf dan waktu operasi. Keduanya baik melalui transmastoid dan middle fossa
memiliki pendapatnya masing – masing. Beberapa penulis berpendapat bahwa
pendekatan secara transmastoid adalah pilihan terapi yang efektif yang
memungkinkan akses yang baik ke nervus faciais dengan komplikasi minimal9.
Mereka menjelaskan teknik untuk mendekompresi ganglion genikulata dan bagian
labirin distal dengan menghindari kompresi pada lobus temporal. Pendapat lain
sudah tidak menggunakan prosedur tersebut, dan menggunakan teknik melalui
middle fossa. Mereka percaya melalui middle fossa memberikan akses yang lebih
baik kepada nervus fascialis medial ke ganglion genikulata dengan resiko
komplikasi yang minimal10
. Kontroversi tentang pembedahan yang dipilih
berhubungan dengan luasnya dekompresi saraf. Beberapa penulis
merekomendasikan untuk mendekompresi secara khusus nervus facialis melalui
labirin dan segmen meatal.10
. Rekomendasi yang ada berdasarkan penelitian yang
menunjukkan bahwa dua segmen tersebut merupakan bagian tersempit dari tulang
temporal dimana gangguan konduksi saraf biasanya terjadi11,12
, rekomendasi lain
menyatakan selain dekompresi subtotal dari segmen labirin ke foramen lomastoid
terlihat penurunan kekambuhan Bells Palsy dan perbaikan13
. Mengenai waktu
operasi, secara umum hasil yang paling maksimal ketika dekompresi dilakukan
pada 14 hari pertama setelah onset gejala14
. Namun, beberapa penelitian
menyarankan dekompresi dilakukan selambat – lambatnya 1 hingga 4 bulan sejak
onset Bells Palsy9,15,16
. Penundaan tindakan dekompresi merupakan hal yang
relevan secara klinis berdasarkan sistem kesehatan Canada dimana pasien dapat
merasakan keterlambatan sebelum bertemu dengan neurologis.
Manfaat dari dekompresi pada Bells Palsy masih perlu untuk diklarifikasi karena
kurangnya laporan yang membahas subjek dan potensi resiko dari pembedahan.
Alasan tepat dari penundaan dekompresi masih belum jelas. Penelitian ini
melaporkan hasil klinis pada pasien dengan Bells Palsy persisten dan Bells Palsy
berat yang menjalani dekompresi nervus facialis tertunda pada institusi kami.
Metode
Setelah mendapat persetujuan (University of Montreal Hospital Center), kami
melakukan peninjauan kasus retrospektif yang mencakup semua pasien yang telah
menjalani dekompresi nervus fascialis antara tahun 1984 dan 2009 pasien dengan
Bells Palsy berat pada pusat perawatan kami. Total 36 pasien dipilih berdasarkan
kriteria inklusi sebagai berikut : 1) Paralisis wajah dengan diagnosis Bells Palsy,
2) usia > 18 tahun, 3) pasien dengan nilai House-Brackmann (HB) grade V atau
VI yang persisten sebelum pembedahan, 4) manajemen dengan steroid dosis
tinggi dengan atau tanpa antiviral atau pengawasan klinis. Pasien yang datang
lebih awal, yaitu 2 minggu saat onset BP, diterapi dengan kortikosteroid oral.
Pasien yang didiagnosis 3 hari setelah onset juga diterapi dengan antiviral.
Pembedahan untuk dekompresi ditawarkan kepada pasien dengan facial paralisis
persisten nilai HB grade 5 atau 6 yang menunjukkan denervasi lebih dari 90%
pada electroneurography (ENoG). Terdapat beberapa pasien yang tidak menjalani
tes ENoG, alasanya baik karena mereka berobat 21 hari setalah onset dari gejala
atau tidak tersedia nya tes tersebut. Keputusan tersebut didiskusikan dengan
pasien secara mendalam oleh neurologis senior mengenai kontroversi pengobatan
ini tanpa adanya tes electrofisiologi.
36 pasien menjalani operasi dekompresi transmastoid. Teknik pembedahan serupa
dengan yang dijelaskan oleh Yanagihara et al. Singkatnya setelah mastoidektomi,
segmen vertikal nervus facialis diidentifikasi dan recess wajah dibor. Sendi
incudostapedial didisartikulasi secara hati – hati, incus secara perlahan
dikeluarkan. Udara dari tulang semisirkuler anterior ke superior dibedah, sehingga
memungkinkan akses ke ganglion genikulata dan segmen distal labirin. Melalui
pembedahan transmastoid ini, nervus facialis didekompresi 180o dari segmen
distal labirin menuju foramen stylomastoid, termasuk ganglion genikulata.
Epineurium diinsisi dengan hati – hati menggunakan pisau beaver. Pada akhir
prosedur flap timpanomeatal ditinggikan /(diangkat) dan incus kembali
dimasukkan. Dua pasien juga mengalaimi pembedahan melalui middle fossa
karena menggunakan metode transmastoid. Perubahan teknik pembedahan ini
menurut preferensi individu atas aran neurologis (IS).
Pasien yang menjalani bedah dekompresi diklasifikasikan berdasarkan waktu
antara paralisis wajah, ditentukan sejak pertama kali mengunjungi neurologis, dan
hari saat pembedahan; grup I termasuk pasien yang melakukan operasi pada hari
ke 21 hingga 60 setelah onset pertama dan grup II untuk pasien yang menjalani
operasi pada >60 hari setelah onset pertama. Grup kedua dibagi lagi sebagai
kelompok IIa untuk pasien yang menjalani operasi antara hari ke 61 hingga 89
dan kelompok IIb untuk pasien yang menjalani operasi pada hari ke 90 atau lebih
setelah munculnya onset. Penelitian ini tidak mengidentifikasi pasien yang
menjalani operasi pada hari ke 21 sejak diagnosis awal. Tiap pasien diperoleh data
sebagai berikut : demografis, terapi konservatif awal, waktu antara awal onset
hingga dilakukan dekompresi, derajat disfungsi nervus facialis sebelum dan
sesudah operasi, kunjungan tindak lanjut setelah operasi, dan komplikasi post
operasi. Disfungsi nervus facialis dinilai menggunakan skala House-Brackmann
(HB). Elektroneurografi, EMG dan hasil foto juga dinilai jika tersedia.
Perbaikan fungsi dari nervus facialis dilaporkan menggunakan tiga metode : 1)
jumlah pasien dengan skala HB grade 3 atau lebih baik, 2) perbaikan fungsi
didefinisikan sebagai perbedaan nilai HB antara pra dan post operasi; 3)
keuntungan fungsional berdasarkan skala yang mencerminkan kondisi klinis
fungsi nervus facialis. Didasarkan pada nilai HB pasca operasi (Tabel 1), dan
memungkinkan bagi kita untuk membandingkan hasil HB1 dan 2 dengan metode
penguatan fungsional. Kebalikan dari penguatan fungsional, tidak ada poin yang
diberikan jika skor HB naik dari 6 menjadi 5, jika tingkat perubahannya tidak
menunjukkan perbaikan secara klinis.
Analisa Statistik
Analisa statistik menggunakan SPSS versi 19.0 (SPSS,IL, USA). Data disajikan
dalam bentuk rasio dan dianalisis menggunakan uji pearson X2 atau Fisher exact
2 tailed jika data ada yang kurang dari 10 pasien pada tabel 2x2. Demografis
parametrik dan data klinis dianalisis menggunakan uji ANNOVA dan uji-t.
Kemajuan fungsional dan sederhana dianalisis menggunakan uji Mann-Whitney
karena data nya non parametrik. Hubungan antara durasi follow up dan perbaikan
nervus facialis dievaluasi menggunakan regresi linier. Nilai p<0,05 dianggap
signifikan secara statistik.
Hasil
Populasi penelitian ini terdiri dari 19 orang laki – laki (52,7%) dan 17 (47,2%)
orang perempuan. Nilai mean usia saat didiagnosis adalah 47.0 ( + 14.4) tahun.
Tiga (8,6%) orang pasien mengalami kekambuhan saat proses penelitian. Pada
kelompok pasien sebanyak 26 (72,2%) mengalami paralisis wajah total (HB VI).
Studi ENoG tersedia pada 13 (36,1%) pasien, yang semuanya memiliki 0% saraf
yang berfungsi saat penelitian berlangsung. Follow up pasien berkisar antara 30
hari hingga 8 tahun pasca operasi. Terdapat korelasi ringan antara durasi follow
up dan perbaikan fungsi nervus facialis menggunakan skor akhir HB (R Square=
0,31, p<0.01) dan kemajuan fungsional (R Square = 0,30, P<0,01) sebagai ukuran
adanya perbaikan fungsi nervus facialis. Tidak ada hubungan yang didapat antara
durasi follow up dengan kemajuan fungsi sederhana (R Square = 0,06, p=0,1454)
parameter tambahan ditunjukkan pada Tabel 2.
Populasi penelitian ini 18 (50,0%) pasien yang menjalani operasi pada hari ke 21
hingga 60 (Grup I) dan 18 (50,0%) pasien yang menjalani operasi pada > hari ke
60 (Grup II) setelah timbulnya onset. Dalam grup II, 11 (61,1%) kasus menjalani
dekompresi pada hari antara 60 hingga 89 hari (grup IIa) dan 7 (38,9%) pasien
menjalani operasi setelah hari ke 89 (grup IIb). Perbaikan klinis pasca operasi
hingga nilai HB 3 atau lebih baik pada follow up terakhir terlihat pada 11 (61,1%)
pasien pada grup I dan 11 (61,1%) pasien pada grup II. Pada grup kedua, 9
(81,8%) pasien di grup IIa dan 2 (28,6%) pasien di grup IIb menunjukkan hasil
pemulihan yang baik (p=0,049). Parameter tambahan termasuk nilai akhir HB dan
penelitian pra operasi terdapat pada Tabel 3.
Perbandingan peningkatan nilai klinis mengungkap bahwa tidak terdapat
perbedaan signifikan antara pasien yang menjalani dekompresi pada hari ke 20
hingga hari ke 60 (grup I) dibandingkan dengan pasien yang menjalani
dekompresi setelah hari ke 60 (grup II, p=0,9862). Namun dari hasil penelitian
didapat pasien yang menjalani dekompresi pada hari ke 60 hingga 89 (grup IIa)
menunjukkan peningkatan klinis yang lebih baik dibandingkan dengan yang
didekompresi setalah hari ke 90 (grup IIb) dalam hal kemajuan fungsional
sederhana dan kemajuan fungsional yang menguntungkan (p=0,0293 dan
p=0,0314, masing – masing) (Tabel 3).
Kami melakukan analis tambahan pada beberapa subyek yang sudah diberikan
steroid oral. Analisis ini juga mengeksklusikan dua pasien yang melakukan
dekompresi fosaa untuk memiliki populasi yang lebih homogen. Tidak terdapat
perbedaan yang signifikan dalam perbaikan klinis antara grup I (11 pasien) dan
grup II (delapan pasien) (Tabel 4).
Komplikasi pembedahan yang paling sering ditemukan adalah perforasi membran
timpani setelah peninggian tympanomeatal flap pada 4/36 pasien (11,1%).
Komplikasi lain yang dilaporkan adalah hematoma (2/36, 5,6%) dan infeksi lokasi
pembedahan (1/36, 2,8%). Hasil audiogram tidak tersedia secara sistematis dan
tidak ada laporan mengenai gangguan pendengaran. Laporan dari operasi tidak
ada yang mengungkapkan adanya kerusakan pada tulang labirin atau kesulitan
dalam mendekompresi segmen distal labirin nervus facialis.
Diskusi
Dalam ilmu kami, penelitian ini mewakili penilaian terbesar pasien yang
menjalani penundaan bedah dekompresi untuk Bells Palsy berat yang refrakter
hingga perawatan medis, sementara tidak ada perbedaan yang signifikan antara
dua kelompok pembanding utama, yaitu analisis kelompok menunjukkan bahwa
pasien dengan Bell Palsy berat mungkin mendapat manfaat dari operasi
dekompresi hingga 90 hari setelah timbulnya gejala tanpa adanya kemauan untuk
melakukan operasi lebih awal. Penelitian sebelumnya melaporkan beberapa hasil
variabel penelitian tentang penundaan dekompresi nervus facialis pada pasien
dengan Bells Palsy refrakter. Sejalan dengan penelitian kami, Bodenez et al,
menyatakan bahwa terdapat hal yang menguntungkan mengenai penundaan
dekompresi nervus facialis pada 13 pasien dengan paralisis wajah yang parah
yang dioperasi antara 1 hingga 4 bulan sejak awal onset Bells Palsy15
. Selama satu
tahun follow up, seluruh pasien menunjukkan pemulihan klinis pada HB grade III
atau lebih baik. Yanagihara et al memiliki kesimpulan yang sama9.
Mereka melaporkan hasil setelah dilakukan dekompresi transmastoid yang
dilakukan pada hari ke 15 dan 120 setelah onset BP. Meskipun mereka mengakui
bahwa hasil yang optimal ketika operasi dilakukan lebih awal, data mereka
menunjukkan bahwa penundaan dekompresi hingga 3 bulan mungkin masih dapat
bermanfaat. Mereka mencatat bahwa 38,1% pasien dioperasi antara hari ke 31
hingga 60 setelah onset mencapai skor HB grade I dibandingkan dengan
kelompok kontrol 23,2%. Semua pasien juga dirawat 60 hari setelah onset saat
skor HB 3 atau lebih baik dibandingkan dengan 86% pasien yang tidak dioperasi.
Disisi lain, penelitian lain tidak menemukan penundaan dekompresi sama
efektifnya. Li et al memeriksa hasil dari dekompresi transmastoid yang dilakukan
2 bulan setelah onset gejala muncul pada Bells Palsy kasus refrakter yang sudah
diterapi dengan kortikosteroid18
. Pasien yang menjalani operasi antara 2 dan 3
bulan setelah onset gejala memiliki peningkatan perkembangan wajah yang lebih
tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol pada 3 bulan follow up. Namun
perbedaan itu tidak terdapat pada follow up bulan ke 12. Demikian pula, Kim et al
mengevaluasi efektivitas penundaan dekompresi nervus facialis transmastoid
antara 3 minggu dan 2 bulan pada 12 pasien dengan Bells Palsy19
. Penelitian
mereka tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan pada fungsi nervus facialis
antara operasi dan grup kontrol. Penelitian lain melaporkan hasil pemulihan
setalah penundaan operasi dilakukan 2 minggu setelah diagnosis pada pasien
dengan paralisis wajah yang tidak berespon terhadap terapi konservatif.
Dekompresi nervus facialis lebih baik dilakukan dalam 2 minggu setelah onset
Bells Palsy dibandingkan dengan penundaan operasi setelah 26 hari atau hanya
terapi medikamentosa. Beberapa efek yang bermanfaat diamati ketika operasi
dilakukan antarahari ke 15 dan hari ke 2516
. Gantz et al menemukan pemulihan
yang lebih baik yaitu skor HB grade I-II dari paralisis wajah jika operasi
dilakukan dalam 14 hari setelah onset Bells Palsy14
. Kecuali penelitian yang
dilakukan oleh Li et al yang tifsk ttermasuk analisis sub kelompok yang
membandingkan pasien yang menjalani operasi di hari ke 14 hingga 90 setelah
timbulnya onset.
Pedoman praktik saat ini sangat merekomendasikan penggunaan awal steroid oral
dalam algoritma pengobatan Bells Palsy2. Beberapa laporan menunjukkan
perbaikan fungsi saraf dengan terapi dosis tinggi steroid tanpa antiviral
dibandingkan dengan plasebo. Pada penelitian double blind random control,
sullivan et al. Melaporkan bahwa pengobatan awal menggunakan prednisolone
secara signifikan meningkatkan potensi pemulihan yang baik, hingga 94,4%
dalam waktu 9 bulan dibandinglan dengan 81,6% pasien yang tidak menggunakan
steroid6. Penelotoan ini telah didukung oleh Cochrane
20. Penelitian ini tidak
termasuk subek yang menjalani pengobatan tunggal konservatif. Meskipun
demikian, sebagian data kami dapat dibandingkanhasil manajemen konservatif
yang terdapat di literatur. Untuk perbandingan ini akan lebih tepat untuk
memasukkan subset pasien kami yang sebelumnya memiliki steroid oral sebelum
operasi dan di follow up setidaknya selama 6 bulan. Sebelas dari 36 subyek kami
memenuhi kriteria ini. 45,5% (5/11) mencapai nilai HB grade 2 atau lebih baik
dan 100% HB 3 atau lebih baik. Kelompok kontrol dari penelitian sebelumnya
telah mengalami perbaikan dengan skor HB 2 atau lebih baik antara 41,7 dan 65%
dan peningkatan menjadi HB 3 atau lebih baik antara 81.1 dan 94,4%9,14,19
.
Perbandingan ini mungkin menyarankan penundaan dekompresi akan membantu
menghindari kelumpuhan wajah persisten yang berat dengan skor HB 4 atau lebih
buruk. Pada saatnya hal tersebut akan mengurangi gejala Bells Palsy yang tersisa
yang paling tidak diinginkan yaitu penutupan mata yang tidak sempurna dan
komplikasi okular yang dihasilkan.
Patofisiologi Bells Palsy dan temuan saat operasi oleh beberapa penulis dapat
membantu menjelaskan peran pada penundaan dekompresi nervus facialis pada
Bells Palsy refrakter. Walaupun mekanisme penyebab yang jelas masih harus
ditentukan, virus patogen terutama HSV telah diidentifikasi sebagai pemicu
potensial yang menyebabkan peradangan saraf dan disfungsi konduksi21
. Respon
peradangan yang terjadi di nervus facialis tampaknya menginduksi kompresi
intrinsi pada bagian anatomi yang sempit pada segmen labirin. Peradangan saraf
dan edema telah dilaporkan sebagai temuan intraoperatid pada pasien Bells
Palsy9,15
. Menariknya, Bodenez et al secara konsisten mencatat perubahan
inflamasi nervus facialis pada 13 pasien yang menjalani penundaan dekompresi,
bahkan pada mereka yang melakukan operasi 4 bulan setelah timbulnya onset
kelumpuhan wajah15
. Yanagihara et al juga mencatat terdapat edematous pada
nervus facialis pada sebagian besar pasien mereka hingga 3 bulan setelah onset
pertama9. Berdasarkan temuan tersebut dan penelitian ini, kita dapat berhipotesis
bahwa proses inflamasi dapat bertahan hingga atau bahkan 90 hari setelah onset
Bells Palsy. Atau, hasil kami mungkin juga menunjukkan fibrotik proses
remodelling setelah peradangan yang dapat mempertahankan kompresi intrinsik
pada saraf, yang kemudian akan lebih lega setelah dekompresi bedah.
Korelasi ringan ditemukan antara lama tindak lanjut dan peningkatan fungsi saraf
wajah. Temuan ini menguatkan pengamatan klinis bahwa fungsi saraf wajah
masih bisa membaik hingga 6 bulan setelah episode Bell's palsy [5]. Pendekatan
bedah yang optimal untuk mendekompresi saraf wajah masih diperdebatkan.
Menurut Cannon et al., Dekompresi saraf wajah harus dicapai dalam 2 minggu
setelah onset BP menggunakan pendekatan fossa tengah. Studi mereka
mengungkapkan tingkat peningkatan 71% dengan morbiditas rendah [10]. Studi
lain telah melaporkan hasil yang baik dan peningkatan pemulihan saraf dengan
pendekatan transmastoid [9, 13, 23-25]. Dalam penelitian kami, semua pasien
menjalani operasi dekompresi bedah transmastoid karena itu adalah pendekatan
yang lebih disukai dari neurotologis senior.
Penelitian kami menunjukkan beberapa keterbatasan termasuk sifat
retrospektifnya, proporsi pasien yang rendah yang menjalani evaluasi ENoG dan
EMG pra-operasi, dan tidak adanya kelompok kontrol yang diobati dengan
manajemen medis saja. Penilaian elektrofisiologis fungsi saraf wajah tidak
tersedia untuk semua pasien karena keterbatasan sumber daya di pusat primer dan
sekunder di samping tertundanya rujukan ke pusat perawatan tersier kami. Kami
tidak dapat mengkonfirmasi bahwa semua pasien kami memiliki denervasi > 90%
sebelum operasi. Oleh karena itu ada risiko terlalu tinggi dari penundaan
dekompresi. Selain itu, meskipun dianggap sebagai alat yang paling umum
digunakan untuk penilaian klinis fungsi saraf wajah, skala penilaian HB memiliki
keterbatasan yang melekat mengenai subjektivitas, keandalan, dan penerapan
longitudinal [26]. Keterbatasan skala HB ini sebagian diimbangi dengan meminta
semua pasien dinilai oleh ahli bedah yang sama sebelum dan sesudah operasi.
Akhirnya, risiko gangguan pendengaran yang terkait dengan dekompresi saraf
wajah merupakan pertimbangan penting untuk didiskusikan dengan pasien
sebelum intervensi bedah. Gangguan pendengaran sensorineural traumatis yang
signifikan diperkirakan antara 2 dan 5% [19]. Dalam penelitian ini, data penilaian
pendengaran tidak tersedia secara konsisten, dan tidak ada kesimpulan yang dapat
ditarik mengenai tingkat gangguan pendengaran pasca operasi.
Kesimpulan
Penelitian ini menawarkan bukti tambahan yang dapat mendukung peran operasi
dekompresi tertunda untuk Bell Palsy. Kami merekomendasikan dekompresi
nervus facialis untuk Bells Palsy dalam 2 minggu pertama saat diindikasikan.
Meskipun demikian, hasil kami menunjukkan bahwa pasien dengan Bells Palsy
parah dapat mengambil manfaat dari operasi dekompresi hingga 90 hari setelah
timbulnya gejala jika tidak bisa melakukan operasi lebih awal. Investigasi lebih
lanjut masih diperlukan untuk mengkonfirmasi temuan kami dan untuk lebih
menentukan peran intervensi bedah yang tertunda dalam algoritma pengobatan
Bells Palsy, terutama untuk pasien dengan kelumpuhan persisten melebihi 3
bulan.