jbptunikompp gdl wahyunurdi 19780 4 babiit a

Upload: grhastatistika

Post on 15-Oct-2015

11 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Konsep keamanan internasional

TRANSCRIPT

BAB II

47

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hubungan Internasional

Hubungan Internasional mencakup berbagai hubungan atau interaksi yang melintasi batas-batas wilayah dan melibatkan pelaku-pelaku yang berbeda kewarganegaraan, berkaitan dengan segala bentuk kegiatan manusia baik yang disponsori oleh pemerintah maupun tidak. Hubungan ini dapat berlangsung secara kelompok, maupun secara perorangan dari suatu bangsa atau negara, yang melakukan interaksi baik secara resmi maupun tidak resmi dengan kelompok atau perorangan dari bangsa dan negara lain. Ilmu hubungan internasional merupakan ilmu dengan kajian interdisipliner, maksudnya adalah ilmu ini dapat menggunakan teori, konsep, dan pendekatan dari bidang ilmu-ilmu lain dalam mengembangkan kajiannya.

Sepanjang menyangkut aspek internasional (hubungan/interaksi yang melintasi batas negara) adalah bidang hubungan internasional dengan kemungkinan berkaitan dengan ekonomi, hukum, komunikasi, politik, dan lainnya. Demikian juga untuk menelaah hubungan internasional dapat meminjam dan menyerap konsep-konsep sosiologi, psikologi, bahkan matematika (konsep probabilitas), untuk diterapkan dalam kajian hubungan internasional (Rudy, 1993:3).

Hubungan Internasional mempelajari perilaku internasional yaitu perilaku aktor, negara maupun non negara didalam arena transaksi internasional. Perilaku itu bisa berwujud perang, konflik, kerjasama, pembentukan aliansi interaksi dalam organisasi internasional dan sebagainya (Masoed, 1994:28). G.A. Lopez dan Michael S. Stohl, berpendapat bahwa:

Hubungan Internasional bukan hanya mencakup hubungan antar negara atau antar pemerintah secara langsung namun juga meliputi berbagai transaksi ekonomi dan perdagangan, strategi atau penggunaan kekuatan militer, serta langkah diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah pemerintah maupun non-pemerintah (Lopez & Stohl, 1989:3).

Menurut Holsti, hubungan internasional dapat mengacu pada semua bentuk interaksi antar anggota masyarakat yang berlainan, baik yang disponsori pemerintah maupun tidak. Hubungan internasional akan meliputi analisa kebijakan luar negeri atau proses politik antar bangsa, tetapi dengan memperhatikan seluruh segi hubungan itu (Holsti, 1987:29).

2.1.1 Paradigma Realis

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma realis, yaitu Negara sebagai aktor utama dalam hubungan internasional yang bersifat rasional dan monolith, jadi bisa memperhitungkan cost and benefit dari setiap tindakannya demi kepentingan keamanan nasional sehingga fokus dari penganut realism adalah struggle for power atau realpolitik. Aliran realis berpendapat bahwa sifat dasar interaksi dalam sistem internasional yakni anarki, kompetitif, kerap kali konflik, dan kerjasama dibangun hanya untuk kepentingan jangka pendek, ketertiban dan stabilitas hubungan internasional hanya akan dicapai melalui distribusi kekuatan (power politics).

Menurut Viotti dan Kauppi terdapat empat asumsi utama dari pendekatan realis, yaitu:

1. Negara adalah aktor utama dalam hubungan internasional, sehingga negara merupakan unit analisis utama untuk mendapatkan penjelasan atas peristiwa internasional.

2. Negara dipandang sebagai aktor tunggal (unitary actor), karena negaralah yang menentukan suatu policy untuk menanggapi isu-isu tertentu pada suatu waktu tertentu.

3. Secara esensial negara merupakan aktor rasional (rasional aktor), suatu proses pembuatan keputusan luar negeri yang rasional yang mencakup suatu pernyataan tentang sasaran kebijakan luar negeri yang merupakan pertimbangan atas semua alternatif yang feasible menyangkut kemampuan yang dimiliki negara, kemungkinan relatif bagi pencapaian sasaran-sasaran kebijakan dengan berbagai alternatif yang dipertimbangkan secara matang, serta keuntungan dan biaya pencapaiannya.

4. Isu internasional utama bagi kaum realis adalah keamanan nasional (national security). Fokus utama realis adalah pada konflik aktual maupun potensial diantara aktor-aktor negara, dengan menjelaskan bagaimana stabilitas ini pecah, penggunaan kekuatan sebagai alat memecahkan perselisihan dan pencegahan terhadap pelanggaran integritas teritorial (Perwita dan Yani, 2005:25).

Paradigma realis lain diperkuat dengan realisme politik Hans J. Morgenthau dalam buku Politics Among Nations, yang menyatakan bahwa para negarawan berfikir dan bertindak menurut kepentingan yang ditentukan oleh kekuasaan, dan bukti sejarah menetapkan asumsi tersebut (Griffith, 2001:53).

Sementara menurut Gilpin, berpendapat bahwa stabilitas sistem bergantung pada eksistensi hegemoni politik dan ekonomi. Namun hal ini sulit dijaga karena perubahan ekonomi dan tekhnologi tidak pernah sekalipun terdistribusi merata antar negara-negara. Itulah alasan mengapa terdapat jarak antara status dan prestise suatu negara dan kekuatan yang dapat mereka susun sedemikian rupa untuk mengamankan kepentingan nasional mereka. Secara tegas Gilpin menyatakan bahwa hingga sekarang prinsip mekanisme perubahan adalah perang atau biasa disebut dengan perang hegemoni (perang yang menentukan suatu negara, atau negara akan menjadi dominan dan akan mengendalikan sistem), faktor yang melatarbelakangi perubahan dalam sistem internasional adalah lingkungan dan susunan struktur yang mendorong negara untuk mengubah sistem demi kepentingan mereka seperti perubahan populasi dan difusi tekhnologi militer melalui sistem (Griffith, 2001:17).2.2 Kerjasama Internasional

Dalam Hubungan Internasional dikenal dengan apa yang dinamakan kerjasama internasional. Dalam kerjasama internasional ini bertemu berbagai macam kepentingan nasional dari berbagai bangsa dan negara yang tidak dapat dipenuhi di dalam negerinya sendiri. Kerjasama Internasional adalah sisi lain dari konflik internasional yang juga merupakan salah satu aspek dalam Hubungan Internasional. Isu utama dari kerjasama internasional yaitu berdasarkan pada sejauhmana keuntungan bersama yang diperoleh melalui kerjasama dapat mendukung konsepsi dari kepentingan tindakan yang unilateral dan kompetitif.

Dengan kata lain kerjasama dapat terbentuk karena kehidupan internasional yang meliputi berbagai bidang seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial, lingkungan hidup, kebudayaan, pertahanan, dan keamanan. Hal tersebut memunculkan kepentingan yang beraneka ragam sehingga mengakibatkan berbagai masalah sosial. Untuk mencari solusi atas berbagai masalah tersebut maka beberapa negara membentuk suatu kerjasama internasional.

Sebagaimana diungkapkan oleh Mochtar Masoed mengenai Kerjasama Internasional dapat didefinisikan sebagai berikut:

1. Merupakan suatu proses dimana antar negara-negara yang berhubungan secara bersama-sama melakukan pendekatan satu sama lainnya.

2. Mengadakan pembahasan dan perundingan mengenai masalah-masalah tersebut.

3. Mencari kenyataan-kenyatan teknis yang mendukung jalan keluar tertentu.

4. Mengadakan perundingan atau perjanjian di antara kedua belah pihak (Masoed, 1977:33).

Berdasarkan pernyataan dari Masoed diatas, dapat diketahui bahwasannya pelaksanaan politik luar negeri tidak mungkin dicapai jika hanya mengandalkan kekuatan sendiri. Maka dari itu suatu kerjasama akan diusahakan untuk memperoleh manfaat yang diperkirakan akan memberikan manfaat besar dari pada konsekuensi-konsekuensi yang ditanggungnya. Suatu kerjasama diawali dengan adanya suatu kesepakatan dan yang paling mudah apabila tidak mengandung banyak resiko. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Frankle bahwa masalah kerjasama terletak pada pencapaian tujuan. Kerjasama Internasional itu sendiri terbagi atas beberapa bagian yaitu:

1. Kerjasama Global, dasar utama dari kerjasama ini adalah adanya hasrat yang kuat dari berbagai bangsa di dunia untuk bersatu dalam suatu wadah yang mampu mempersatukan cita-cita bersama. Contoh bentuk representasi dari kerjasama global ini adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang memungkinkan terbentuknya konvensi-konvensi internasional (badan-badan khusus tersebut diantaranya WHO, ILO, dan lain-lain).

2. Kerjasama Regional, indikator yang dapat menentukan kerjasama ini terwujud adalah secara geografis letaknya berdekatan, adanya kesamaan pandangan dibidang politik dan kebudayaan maupun perbedaan struktur produktivitas ekonomi (contoh ASEAN).

3. Kerjasama Fungsional, kerjasama ini adalah suatu fokus yang terkonsentrasi, misal kerjasama dalam bidang ekonomi, politik, dan lain-lain. kerjasama ini berangkat dari pemikiran yang mensyaratkan adanya kemampuan tertentu pada masing-masing partner kerjasama. Dalam artian kerjasama ini tidak akan terselenggara apabila diantara mitra kerjasama ada yang tidak mampu mendukung suatu fungsi yang spesifik diharapkan darinya oleh yang lain.

4. Kerjasama Ideologi, menurut Vilfredo Pareto adalah suatu kelompok kepentingan untuk membenarkan tujuan dan perjuangan kekuasaan. Misal: organisasi Konfrensi Partai Komunis Sedunia (Darmayadi, 2004:1-2)

2.3 Kerjasama Trilateral Kerjasama Trilateral adalah suatu kerjasama yang dilakukan oleh tiga negara dalam suatu bidang tertentu, dalam hal ini adalah kerjasama yang terjalin antara Indonesia-Malaysia-Singapura yang bertujuan untuk memberikan dukungan dan masukan mengenai penanganan kejahatan di perairan Selat Malaka dari adanya berbagai macam gangguan keamanan yang sering kali terjadi seperti: perompakan, pembajakan, penyelundupan (komoditas pasir laut, ilegal logging, bahan bakar minyak), dan pencurian ikan, yang akan menimbulkan kerugian bagi negara pengguna (user state) dan negara pantai.. Menurut sumber Departemen Pertahanan, dalam hitungan matematis, Indonesia selama ini telah kehilangan devisa sekitar Rp 180 triliun pertahun (Kirbiantoro&Rudianto, 2007:80).

Suatu negara memutuskan untuk bekerjasama dengan negara lain karena disebabkan oleh adanya motivasi tertentu dari negara yang bersangkutan. Sebagaimana diungkapkan oleh . Peter. A. Toma dan Robert. F. Gorman dalam bukunya Understanding Global Issues, mendapatkan motivasi-motivasi yang membuat suatu negara berhasrat untuk bekerjasama dengan negara lain seperti adanya kepentingan untuk: memperkuat kepentingan nasional, memelihara perdamaian, mendorong kemakmuran ekonomi, dan untuk menangani dampak negatif yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia seperti pencemaran lingkungan (Toma dan Gorman, 1991:385-386).

2.4 Hukum Internasional

Merupakan salah satu kajian dalam studi Hubungan Internasional. Hukum Internasional merupakan keseluruhan hukum yang sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku dimana negara-negara terikat untuk mentaatinya. Pada dasarnya hukum internasional didasarkan atas beberapa pemikiran sebagai berikut :

1. Masyarakat Internasional yang terdiri dari sejumlah negara yang berdaulat dan merdeka (Independen) dalam arti masing-masing berdiri sendiri tidak dibawah kekuasaan yang lain (Multi State System).

2. Tidak ada suatu badan yang berdiri di atas negara-negara baik dalam bentuk negara (world state) maupun badan supranasional yang lain. 3. Merupakan suatu tertib hukum koordinasi antara anggota masyarakat internasional sederajat. Masyarakat internasional tunduk pada hukum internasional sebagai suatu tertib hukum yang mengikat secara koordinatif untuk memelihara dan mengatur berbagai kepentingan bersama (Rudy, 2002:2).

Menurut J.G. Starke, Hukum Internasional dapat dirumuskan sebagai sekumpulan hukum (body of law) yang sebagian besar terdiri dari asas-asas dan karena itu biasanya ditaati dalam hubungan antara negara-negara satu sama lain, yang juga meliputi:

1. Peraturan-peraturan hukum mengenai pelaksanaan fungsi lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi itu masing-masing serta hubungannya dengan negara-negara dan individu-individu.

2. Peraturan-peraturan hukum tersebut mengenai individu-individu dan kesatua-kesatuan bukan negara, sepanjang hak-hak atau kewajiban-kewajiban individu dan kesatuan itu merupakan masalah persekutuan internasional (Rudy, 2002:1).

Sedangkan menurut Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes dalam bukunya Pengantar Hukum Internasional, yang dimaksud dengan istilah hukum internasional dalam pembahasan ini adalah hukum internasional publik, yang harus dibedakan dari hukum perdata internasional. Hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata. Sedangkan hukum perdata internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara. Hukum internasional itu sendiri adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara :

a. Negara dengan negara

b. Negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara, satu sama lain (Kusumaatmadja & Agoes, 2003:1-4).2.5 Keamanan Internasional

Pengkajian keamanan internasional dalam studi Hubungan Internasional telah berlangsung lama. Berakhirnya Perang Dingin telah membuka era baru dalam pemahaman tentang keamanan. Definisi keamanan pasca Perang Dingin tidak lagi bertumpu pada konflik ideologis antara blok Barat dan blok Timur. Namun definisi keamanan dewasa ini meliputi pula soal-soal ekonomi, pembangunan, lingkungan, hak-hak asasi manusia, demokratisasi, konflik etnik dan berbagai masalah sosial lainnya. Pasca Perang Dingin keamanan tidak lagi diartikan secara sempit sebagai hubungan konflik atau kerjasama antar negara (inter-state relations), tetapi juga berpusat pada keamanan untuk masyarakat dan memerlukan kerjasama dengan negara lain untuk mengatasinya.

Seiring dengan berkembangnya peradaban manusia, dan dengan adanya berbagai macam konflik di dunia, konsep keamanan adalah konsep yang masih diperdebatkan (contested concept), yang mempunyai makna berbeda bagi aktor yang berbeda. Hal ini terjadi karena konsep keamanan makin luas yang didorong dengan meningkatnya interdependensi dan semakin kompleksnya jaringan hubungan antar bangsa (international relation) dalam era globalisasi.

Secara umum dapat dikatakan bahwa suatu hal yang membahayakan eksistensi dan mengganggu kesejahteraan hidup bangsa dan negara, maka hal tersebut akan dirasakan sebagai suatu ancaman terhadap masalah keamanan nasional negara tersebut. Sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Dr. Yahya A. Muhaimin dalam buku Masalah Kebijakan Pembinaan Pertahanan Indonesia, yaitu:

bahwa pembinaan pertahanan negara dapat dilakukan denga konsep Preventif defense yakni strategi pertahanan yang mengonsentrasikan keamanan nasional pada berbagai macam potensi ancaman, meskipun ancaman tersebut bersifat kecil, namun jika tidak dikelola secara tepat maka ancaman tersebut akan menjadi bahaya yang konkrit, yang secara langsung akan mengancam eksistensi dan kelangsungan hidup suatu bangsa dan negara (Muhaimin, 2006:23).

Konsep keamanan kini dapat dikaji sebagai pengaruh dari masing-masing posisi ekstrim antara kekuatan dan perdamaian. Sebagaimana yang dikatakan oleh Buzan dalam buku People, States, and Fear: An Agenda for International Security Studies in the Post-Cold War Era, bahwa:

keamanan berkaitan dengan masalah lingkungan hidup, dimana isu-isu yang mengancam kelangsungan hidup suatu unit kolektif tertentu akan dipandang sebagai ancaman yang eksistensial. Berdasarkan kriteria isu keamanan, Buzan membagi keamanan kedalam lima dimensi yaitu politik, militer, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dimana tiap dimensi keamanan tersebut mempunyai unit keamanan, nilai dan karakteristik kelangsungan hidup dan ancaman yang berbeda-beda (Perwita & Yani, 2005:122).2.5.1 Dimensi Keamanan dari Konsep Tradisional Non TradisionalMengemukanya berbagai konflik komunal di dunia ini, tentunya tidak terlepas dari dua persoalan; yaitu perkembangan yang terjadi di dunia internasional (globalisasi), dan semangat partikularisme domestik dan transnasional (merupakan reaksional dari globalisasi). Globalisasi telah memunculkan kecenderungan persamaan individu, kelompok dan sistem sosial yang melewati dan bahkan menghapus batas tradisional negara (vanishing traditional borders).

Dengan demikia, globalisasi memunculkan aktor-aktor baru seperti gerakan separatis, kelompak penjahat lintas batas, dan kelompok teroris internasional. Konsep keamanan itu sendiri memiliki beberapa dimensi, yaitu:

1. The origin of threats, dalam hal ini suatu ancaman tidak saja berasal dari pihak luar (eksternal), tapi juga berasal dari dalam negeri yang biasanya terkait dengan isu-isu primordial seperti konflik etnis, budaya, dan agama.

2. The nature of threats, dimensi ini menyoroti ancaman yang bersifat militer, dengan persoalan keamanan yang lebih komprehensif karena menyangkut aspek lain seperti ekonomi, sosial-budaya, lingkungan hidup, dan bahkan isu-isu lain seperti demokratisasi dan HAM seiring dengan adanya perkembangan baik dalam lingkup nasional maupun internasional.

3. Changing response, dalam dimensi ini yaitu adanya pergeseran pendekatan keamanan dari yang bersifat militeristik kearah pendekatan non-militer seperti ekonomi, politik, hukum, dan sosial budaya.

4. Changing responsibility of security, tercapainya keamanan tidak hanya bergantung pada negara melainkan ditentukan pula oleh kerjasama internasional antar aktor non-negara.

5. Core values of security, yakni perlindungan terhadap nilai-nilai baru baik dalam tataran individu maupun global seperti penghormatan pada HAM, demokratisasi, perlindungan terhadap lingkungan hidup dan upaya memerangi kejahatan lintas batas (transnational crime) baik itu perdagangan narkotika, pencucian uang, ataupun terorisme (Perwita & Yani, 2005:123-126).

2.5.2 Pendekatan Konsep Keamanan Non Tradisional

Pendekatan dalam konsep keamanan Non Tradisional beranggapan bahwa keamanan seluruh entitas politik ada dibawah negara (state actors), selain dari tekanan yang berasal dari lingkungan internasional, juga berasal dari lingkungan domestik dalam artian bahwa negara dapat menjadi sumber ancaman keamanan warga negara. Kemudian sifat dari ancaman keamanan itu sendiri bersifat multidimensional dan kompleks, karena ancaman keamanan dewasa ini tidak saja berasal dari militer akan tetapi berasal dari faktor lainnya seperti terjadinya perompakan, konflik etnik, masalah lingkungan hidup, kejahatan internasional, dan sebagainya. Landasan berfikir dari pendekatan non tradisional ini diantaranya sebagai berikut:

1. Keamanan komprehensif yang menekankan pada aspek ancaman apa yang dihadapi oleh negara. Kandungan politik dari keamanan ini adalah upaya untuk menciptakan kestabilan dan ketertiban yang mencakup semua aspek keamanan.

2. Faktor untuk menjelaskan perkembangan ini adalah proses globalisasi dan perkembangan tekhnologi informasi, demokratisasi dan hak-hak azasi manusia, masalah lingkungan hidup, masalah ekonomi, masalah sosial dan budaya.

3. Bentuk ancaman yang dihadapi Negara bisa berasal dari dalam negeri seperti tekanan individu, tekanan dari Lembaga Sawadaya Masyarakat (LSM), dan kelompok masyarakat sebagai akibat dari proses demokratisasi dan adanya penyebaran nilai hak-hak azasi manusia. Selain itu ancaman juga bisa berasal dari luar negeri, yaitu ancaman yang datang dari transaksi-transaksi dan isu-isu yang melewati batas-batas nasional suatu negara seperti kejahatan internasional, dan sebagainya.

4. Pendukung dari pendekatan ini adalah aliran non realis yakni aliran liberal-Institusionalisme dan post-positifisme (Perwita & Yani, 2005:128-129).

2.5.3 Cooperative SecurityKonsep ini menekankan upaya untuk menciptakan keamanan melalui dialog, konsultasi, pembentukan rasa saling percaya tanpa harus melalui pendekatan-pendekatan formal institusional. Konsep dari Cooperative Security ini dapat terlihat pada kerjasama keamanan negara-negara Asia Pasifik melalui forum:

1. ASEAN Regional Forum (ARF),

2. Diplomasi (second track diplomacy),

3. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi-organisasi masyarakat, yakni menyusun hubungan-hubungan baru atas dasar nilai-nilai bersama tentang keamanan sebagai sesuatu yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain dan bahwa masing-masing aktor harus mempunyai komitmen dan tanggung jawab sebagai anggota dari masyarakat internasional (Perwita & Yani, 2005:129).Keamanan nasional yang dahulu dipersepsikan sebagai ancaman terhadap hal-hal yang militeristik, kini sedang mengalami perubahan. Yakni adanya perubahan atau pergeseran kedalam bentuk dimensi lain seperti: politik, ekonomi, sosial, dan lingkungan. Sebagaimana diungkapkan oleh Kirbiantoro & Rudianto dalam buku Rekonstruksi Pertahanan Indonesia: Potensi, Tantangan dan Prospek, Bahwa:

konsepsi pertahanan senantiasa selalu berubah, sesuai dengan pergeseran perkembangan iklim perpolitikan internasional. Pertahanan merupakan status kesiagaan tiap negara dalam mengatasi datangnya ancaman keamanan nasional, regional maupun internasional, baik dalam keadaan damai maupun kemungkinan terjadi peperangan (Kirbiantoro&Rudianto, 2007:1).2.5.4 Definisi Perompakan2.5.4.1 Definisi Perompakan menurut Konvensi UNCLOS 1982

Dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nation Convention on The Law of The Sea) UNCLOS 1982 pasal 100 disebutkan bahwa aksi kejahatan Piracy-Perompakan merupakan tindakan ilegal yang terjadi di laut lepas atau disuatu tempat diluar yurisdiksi suatu negara. Kemudian dalam pasal 101 UNCLOS 1982, dijelaskan bahwa perompakan di laut dapat disebut sebagai piracy apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:

1. merupakan tindak kekerasan yang tidak sesuai hukum;2. untuk tujuan pribadi; 3. yang dilakukan kepada awak atau penumpang dari private ship atau private aircraft; 4. terjadi di laut bebas (high seas) atau di tempat lain di luar yurisdiksi nasional suatu negara.

Dalam definisi tersebut dikatakan bahwa perompakan yang diatur dalam Konvensi ini merupakan tindakan kejahatan yang terjadi di laut bebas. Namun sebaliknya kegiatan pelanggaran terhadap kapal-kapal di dalam laut teritorial tidak dapat dianggap sebagai perompakan menurut hukum internasional. Karena pada kenyataannya justru sebagian besar insiden perompakan terjadi di laut teritorial suatu negara. Jadi mengenai aksi perompakan yang sering terjadi di perairan Selat Malaka, jika mengacu pada konvensi ini maka hal ini kurang relevan. Mengingat wilayah perairan Selat Malaka merupakan wilayah yurisdiksi negara pesisir yakni Malaysia-Singapura-Indonesia.2.5.4.2 Definisi Perompakan menurut IMO

Organisasi Maritim Internasional (International Maritime Organization) memberikan definisi perompakan sebagai unlawful acts as defined in article 101 of the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea-tindakan ilegal sebagaimana termaktub dalam pasal 101 Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut 1982. Dan berdasarkan pasal 2.2 dari International Maritime Organization Maritime Security Commite-Organisasi Maritim Internasional Komite Keamanan Maritim (IMO MSC) Circular No. 984 tentang the Draft Code of Practice for the Investigation of the Crimes of Piracy and Armed Robbery Against Ships-Naskah kode praktek Investigasi terhadap Kejahatan Perompakan dan Perampokan bersenjata terhadap kapal, Armed robbery against ship-Perompakan terhadap kapal didefinisikan sebagai berikut:

Armed robbery against ships means any unlawful act of violence or detention or any act of depredation, or threat thereof, other than an act of piracy, directed against a ship or against persons or property on board such a ship, within a States jurisdiction over such offenses perompakan bersenjata terhadap kapal merupakan suatu ancaman atau tindak kekerasan yang tidak sesuai dengan hukum, selain dari tindak perompakan, atau pembunuhan terhadap tawanan, terhadap kapal, individu, harta kekayaan, yang dilakukan didalam wilayah yurisdiksi suatu negara (IMO Draft Code of Practice).

Dalam definisi yang dijelaskan oleh IMO di atas semakin mempertegas perbedaan dari aksi perompakan, yaitu sebagaimana tercantum dalam UNCLOS 1982 bahwa perompakan terjadi diluar yurisdiksi suatu negara. Sedangkan aksi kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah yurisdiksi suatu negara disebut sebagai armed robbery-perampokan bersenjata.2.5.4.3 Definisi Perompakan menurut IMB

International Maritime Bureau (IMB), mempunyai definisi piracy-perompakan yang lebih luas dari pada yang diatur dalam UNCLOS 1982 pasal 101. Dalam laporan IMB dikatakan bahwa perompakan hendaknya diartikan sebagai:

act of boarding any vessel with the intent to commit theft or any other crime and with the intent or capability to use force in the furtherance thereof-tindakan menumpang terhadap kapal dengan tujuan untuk mencuri atau tindakan kejahatan lainnya dengan dorongan untuk menggunakan kekerasan (Beckmean, 2002).Sehubungan dengan hal tersebut diatas, segala tindakan ataupun itikad untuk melakukan tindakan kejahatan di laut wilayah maupun di perairan kepulauan suatu negara dianggap sebagai tindakan piracy. Definisi ini juga berlaku bagi kapal-kapal yang sedang berada di pelabuhan untuk maksud bongkar muat. Lebih luasnya definisi piracy yang digunakan oleh IMB dapat dipahami, mengingat IMB sebagai suatu organisasi maritim (non government) yang didirikan oleh International Chambers of Commerce (ICC) dan didukung oleh suatu industri maritim yang mempunyai kepentingan besar terhadap keselamatan pelayaran di laut. Sehingga walaupun masalah definisi ini masih ada perbedaan satu sama lain, data-data IMB selalu dijadikan rujukan di dunia maritim internasional.

2.6 Politik Internasional

Salah satu kajian pokok (core subject) dalam Hubungan Internasional, Politik Internasional mengkaji segala bentuk perjuangan dalam memperjuangkan kepentingan (interest) dan kekuasaan (power). Politik Internasional merupakan salah satu wujud dari interaksi dalam hubungan internasional yang membahas keadaan atau soal-soal politik di masyarakat internasional dalam arti yang lebih sempit, yaitu dengan berfokus pada diplomasi dan hubungan antar negara dan kesatuan-kesatuan politik lainnya. Politik internasional terdiri dari elemen-elemen kerjasama dan konflik, permintaan dan dukungan, gangguan dan pengaturan. Dengan kata lain politik internasional adalah proses interaksi antara dua negara atau lebih (Perwita & Yani, 2005:39-40).

Menurut C.J. Johari Ruang lingkup Hubungan Internasional meliputi seluruh tipe hubungan atau interaksi antar negara, termasuk asosiasi dan organisasi non-pemerintah (ekonomi, pariwisata, perdagangan, dsb). Sedangkan ruang lingkup Politik Internasional hanya terbatas pada kekuasaan permainan (power game) yang melibatkan negara-negara berdaulat (Johari, 1985:9).

Menurut Holsti dalam buku Politik Internasional: Suatu Kerangka Analisis memberikan definisi studi Politik Internasional sebagai:

studi mengenai pola tindakan negara terhadap lingkungan eksternal sebagai reaksi atas respon negara lain, selain mencakup unsur kekuasaan (power), kepentingan, dan tindakan, politik internasional juga mencakup perhatian terhadap sistem internasional dan perilaku para pembuat keputusan dalam situasi konflik. Jadi politik internasional menggambarkan hubungan dua arah (reaksi dan respon) bukan aksi (Holsti, 1987:58).

Perbedaan antara politik internasional dan politik luar negeri itu sendiri adalah, politik internasional mengkaji pola-pola yang berlaku dalam hubungan internasional, perilaku negara-negara serta para pembuat keputusan dalam situasi damai dan situasi konflik, serta melihat tingkah laku atau tindakan masing-masing negara dalam pola aksi-reaksi. Sedangkan politik luar negeri menganalisis bagaimana seharusnya tindakan atau langkah suatu negara terhadap kondisi serta perkembangan pada lingkungan eksternal (Rudy, 1993:15).

2.7 Politik Luar Negeri

Dalam suatu proses politik internasional yang melibatkan hubungan antar aktor negara dan non-negara didalamnya, dibutuhkan adanya kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh aktor-aktor tersebut sebagai representasi dari kepentingan masing-masing aktor yang kemudian saling bertemu. Dalam hubungan internasional khususnya hubungan antar negara hal ini disebut Politik Luar Negeri. Hal ini merupakan studi yang kompleks karena tidak saja melibatkan aspek-aspek internasional tapi juga aspek-aspek eksternal suatu negara (Roseneau, 1976:15).

Pengertian dasar dari Politik luar negeri ialah action theory, atau kebijaksanaan suatu negara yang ditujukan ke negara lain untuk mencapai suatu kepentingan tertentu. Secara umum, politik luar negeri (foreign policy) merupakan suatu perangkat formula nilai, sikap, arah serta sasaran untuk mempertahankan, mengamankan, dan memajukan kepentingan nasional didalam percaturan dunia internasional, melalui suatu strategi atau rencana yang dibuat oleh para pengambil keputusan yang disebut Kebijakan Luar Negeri (Perwita & Yani, 2005:47-48).

K.J. Holsti memberikan tiga kriteria untuk mengklasifikasikan tujuan-tujuan politik luar negeri suatu negara, yaitu:

1. Nilai (values) yang menjadi tujuan para pembuat keputusan.

2. Jangka waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan, dengan adanya tujuan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

3. Tipe tuntutan yang diajukan suatu negara kepada negara lain. (Perwita & Yani, 2005:51-52).

Selain itu menurut Holsti, paling sedikit ada empat kondisi atau variabel yang mampu menopang pertimbangan elit pemerintah dalam pemilihan strategi politik luar negeri, yaitu:

1. Struktur sistem internasional, yaitu suatu kondisi yang di dalamnya terdapat pola-pola dominasi, sub ordinasi, dan kepemimpinan.

2. Strategi umum politik luar negeri berkaitan erat dengan sifat kebutuhan sosial-ekonomi domestik dan sikap domestik.

3. Persepsi elit pemerintah (pembuat UU) terhadap tingkat ancaman eksternal.4. Lokasi geografis, karakteristik, topografis, dan kandungan sumber daya alam yang dimiliki negara (Holsti, 1987:133-134). Secara lebih lanjut politik luar negeri memiliki sumber-sumber utama yang menjadi input dalam perumusan kebijakan luar negeri, yaitu:

1. Sumber sistemik (systemis sources), yaitu sumber yang berasal dari lingkungan eksternal seperti hubungan antar negara, aliansi, dan isu-isu area.

2. Sumber masyarakat (societal sources), merupakan sumber yang berasal dari lingkungan internal suatu negara seperti faktor budaya dan sejarah, pembangunan ekonomi, struktur sosial, dan perubahan opini publik.3. Sumber pemerintahan (governmental sources), merupakan sumber internal yang menjelaskan tentang pertanggung jawaban politik dan struktur dalam pemerintahan.

4. Sumber idiosinkretik (idiosyncratic sources), merupakan sumber internal yang melihat nilai-nilai pengalaman, bakat serta kepribadian elit politik yang mempengaruhi persepsi, kalkulasi, dan perilaku mereka terhadap kebijakan luar negeri.

Selain empat sumber di atas terdapat pula hirauan akan faktor ukuran wilayah negara dan ukuran jumlah penduduk, lokasi geografis, serta teknologi yang dapat terletak pada sumber sistemik atau masyarakat (Roseneau, 1976:18).

2.7.1 Kebijakan Luar Negeri

Politik luar negeri sebagai serangkaian/sekumpulan komitmen mengacu kepada stategi. Dalam arti strategis juga mengacu kepada keputusan dan kebijakan yang memuat tujuan-tujuan khusus (specific goals) serta sarana-sarana (means) untuk mencapainya (Roseneau, 1976:16). Perwita dan Yani mendeskripsikan secara umum mengenai kebijakan luar negeri, menurut mereka kebijakan luar negeri dapat dibedakan sebagai sekumpulan oerientasi, sekumpulan komitmen dan rencana aksi, dan sebagai suatu bentuk perilaku. Setiap negara menghubungkan negaranya kepada peristiwa dan situasi di luar dengan ketiga bentuk kebijakan luar negeri di atas (Perwita & Yani, 2005:55).

Menurut Plano dan Olton Kebijakan Luar Negeri adalah: Tindakan yang dibentuk oleh para pembuat keputusan suatu negara dalam menghadapi negara lain/unit politik internasional dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional spesifik yang dituangkan dalam terminologi kepentingan nasional (Plano & Olton, 1989:5). Adapun variabel untuk menganalisis kebijakan luar negeri :

1. Atribut Nasional, yaitu meliputi kapabilitas yang kuat dan lemah, sikap dan pendapat masyarakat, kebutuhan ekonomi, dan komposisi etnis sosial.

2. Kondisi Eksternal, yaitu meliputi persepsi ancaman dan perubahan fundamental dalam kondisi eksternal.

3. Atribut Ideologi dan Sikap, yang mencakup kebijakan dan peranan tradisional, sikap dan pendapat masyarakat, tanggung jawab kemanusiaan, prinsip ideologi, identifikasi diri terhadap kawasan dan pertentangan ideologi dengan negara lain (Holsti, 1987:463)

Kepentingan Nasional itu sendiri memiliki pengertian: Citra mengenai keadaan negara pada masa yang akan datang serta masa depan kondisi dengan memperluas pengaruh keluar batas negaranya serta dengan mengubah atau mempertahankan perilaku-perilaku negara lain, melalui individu pembuat kebijaksanaan yang berkehendak membuat kondisi tertentu. Output politik luar negeri dapat berupa kebijaksanaan, sikap, atau tindakan negara, yang merupakan tindakan atau pemikiran yang disusun oleh pembuat kebijaksanaan (Holsti, 1987:169).

2.7.2 Konsep Pengaruh dalam Perumusan Kebijakan Luar Negeri

K.J. Holsti dalam buku International Politics: A Framework for Analysis memberikan definisi mengenai konsep pengaruh, yaitu:

sebagai kemampuan pelaku politik untuk mempengaruhi tingkah laku orang dalam cara yang dikehendaki oleh pelaku tersebut. Konsep pengaruh merupakan salah satu aspek kekuasaan yang pada dasarnya merupakan suatu alat untuk mencapai tujuan (Holsti, 1988:159).

Alvin Z. Rubenstein dalam bukunya Soviet and Chinese Influence in The Third World, berpendapat bahwa:

pengaruh adalah hasil yang timbul sebagai kelanjutan dari situasi dan kondisi tertentu sebagai sumbernya, dalam hal ini syaratnya adalah bahwa terdapat keterkaitan (relevansi) yang kuat dan jelas antara sumber dengan hasil (Rubenstein, 1976:3-6).

Menurut Rubenstein konsep dari suatu pengaruh itu sendiri terdiri dari beberapa bagian yaitu:

1. Hal yang dipengaruhi.2. Perubahan yang terjadi dalam kebijakan luar negeri atau dalam negeri.3. Asumsi, kriteria, dan data yang penting dalam menganalisis hal yang dipengaruhi dan perubahan dalam kebijakan dalam dan luar negeri.

Lingkungan eksternal dan internal memiliki pengaruh yang kuat terhadap kebijakan luar negeri suatu negara. Pengaruh adalah hasil yang timbul sebagai kelanjutan dari situasi dan kondisi tertentu sebagai sumbernya, dalam hal ini syaratnya adalah terdapat keterkaitan (relevansi) yang kuat antara sumber dengan hasil (Rubenstein, 1976:3-6).

Menurut T. May Rudy, dalam buku Teori, Etika dan Kebjikan Hubungan Internasional Pengaruh dapat dianalisis dalam empat macam bentuk:

1. Pengaruh sebagai aspek kekuasaan, pada hakikatnya adalah saran untuk mencapai tujuan.

2. Pengaruh sebagai sumber daya yang digunakan dalam tindakan terhadap pihak lain, melalui cara-cara persuasif, sampai koersif dengan maksud mendesak untuk mengikuti kehendak yang memberikan pengaruh.

3. Pengaruh sebagai salah satu proses dalam rangka hubungan antara satu sama lain (individu, kelompok, organisasi, dan negara).

4. Besar-kecilnya pengaruh ditinjau secara relatif dengan membandingkan melalui segi kuantitas (besar-kecilnya keuntungan atau kerugian).

Besar kecilnya kekuasaan diukur berdasarkan pada faktor besar-kecilnya pengaruh suatu negara terhadap negara lain, yang berupa:

1. Mengarahkan atau mengendalikan untuk melakukan sesuatu.

2. Mengarahkan atau mengendalikan untuk tidak melakukan sesuatu. (Rudy, 1993:24-25).Sedangkan Daniel S. Paap dalam bukunya yang berjudul Contemporary International Relations: A Frame Work for Understanding, mendefinisikan kekuatan pengaruh sebagai kemampuan untuk mempengaruhi pembuat keputusan untuk menentukan hasil yang keluar. Konsep pengaruh itu sendiri merupakan suatu alat untuk mencapai tujuan (Perwita & Yani, 2005:31).

27