jawara banten - repository.uinjkt.ac.id

202
1

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

1

Page 2: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

2

JAWARA BANTEN Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya

Fahmi Irfani, MA.Hum

YPM Press

2011

Page 3: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

3

Perpustakaan Nasional Katalog dalam Penerbitan (KDT) IRFANI, Fahmi JAWARA BANTEN: Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya

1. Jawara 2. Sosial, Politik dan Budaya 3. Banten

Penulis : Fahmi Irfani, MA.Hum Jakarta Selatan: YPM Press, 2011 Editor : Jajat Burhanuddin Layout : Fazlul Rahman, Qustulani ZH. Penerbit:

YPM Press (Young Progressive Muslim) Komunitas Ujung Ciputat Wisma Safira No 1-2, Jl. Pisangan Barat I Cirendeu Ciputat Timur 15419, Jakarta Selatan, Tlp 02140991556.

ISBN : 978-602-99996-0-0 Cetakan Pertama September 2011 16,25 x 24 cm, 196 halaman Dilarang keras memproduksi sebagian atau seluruh isi buku ini, dalam bentuk apapun, atau dengan cara apapun, serta memperjual belikanya tanpa izin tertulis dari penerbit. ©. Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang

Page 4: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

4

Daftar Isi ...................................................................................... i

Pengantar Penulis ..................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN

Pendahuluan ................................................................................. 1

Awal Lahirnya Jawara.................................................................. 5

Definisi Pengertian Jawara Banten............................................. 10

Pengklasifikasian Jawara............................................................ 16

Jawara Aliran Putih .................................................................... 18

Jawara Aliran Hitam................................................................... 21

Permasalahan ............................................................................. 25

Penelitian Terdahulu................................................................... 25

BAB II AKAR BUDAYA KEKERASAN JAWARA

Sejarah Singkat Kekerasan di Banten ....................................... 28

Konstruk Kekerasan ................................................................... 38

Paguron Padepokan Persilatan ................................................... 44

Silat Aliran Terumbu ................................................................. 47

Silat Aliran TTKDH .................................................................. 49

Permainan Debus Banten ........................................................... 53

Magis di Pesantren ..................................................................... 55

Ilmu Kebal .................................................................................. 59

Page 5: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

5

Ziyad, Jeblag, Jurujud ................................................................ 61

Wafaq ......................................................................................... 61

Hizib ........................................................................................... 62

BAB. III PROFIL HISTORIS SOSIOLOGIS JAWARA BANTEN

Peranan Jawara Pada Masa Penjajahan ..................................... 66

Munculnya Jawara Sebagai Bandit Sosial ................................ 72

Profil Tokoh Jawara ................................................................... 78

Kiyai Wasyid dan Geger Kalong ............................................... 78

Mas Jakaria ................................................................................ 80

Pola Hubungan Relasi Antara Ulama dan Jawara ..................... 81

Antara Guru Dengan Murid ....................................................... 83

Sebagai Tentara Kiyai ............................................................... 87

Kepemimpinan dan Kharisma .................................................... 94

BAB IV JAWARA DI MASA ORDE BARU

Relasi Hubungan Antara Jawara dan Rezim Orde Baru .......... 107

Orde Baru, Masa Pemberdayaan Jawara ................................. 121

Masuknya Jawara Kedalam Satkar Ulama Banten ................. 127

Mengempisnya Peran Ulama dan Munculnya Jawara ............. 129

Page 6: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

6

BAB V JAWARA BANTEN DAN ERA REFORMASI

Jawara dan Pemerintah Lokal di Era Reformasi ..................... 137

Dominasi Jawara Dalam Aspek Politik ................................... 142

Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Perdana ................. 146

Dominasi Jawara Dalam Aspek Ekonomi ............................... 159

Praktek Premanisme Proyek .................................................... 164

Pengaruh “Tokoh Jawara” Dalam Komunitas Jawara...............167 H. Tubagus Chasan Sohib / The Godfather ............................. 168

BAB VI PENUTUP

Kesimpulan .............................................................................. 174

Glosarium................................................................................. 177

Daftar Pustaka ........................................................................ 182

Indeks ...................................................................................... 189

Page 7: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

7

PENGANTAR PENULIS

Alhamdulillah segala puji bagi Allah Swt, atas izinNya-lah karya tulis yang berjudul Jawara Banten, Sebuah Kajian Sosial, Politik dan Budaya, dapat diselesaikan dalam waktu kurun, satu tahun lebih satu bulan. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada Nabi Muhammad Saw.

Karya tulis ini pada awalnya adalah sebuah Tesis, yang berjudul Perkembangan Jawara dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Banten pada masa Orde Baru - era reformasi, dan bertujuan dalam meraih gelar S2 MA. Hum (Magister Agama bidang Humaniora), konsentrasi Sejarah dan Peradaban Islam di Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatulah Jakarta. Atas masukan dari Prof. Azra, agar buku ini lebih menarik di baca maka judul ini pun berubah menjadi, Jawara Banten Sebuah Kajian, Sosial, Politik, dan Budaya. Selain itu, atas ketentuan dan kebijakan dari pihak Pasca, maka Tesis ini dapat dipublikasikan.

Berbicara tentang Banten maka mindset yang ada dipikiran kebanyakan orang adalah, kiyai, jawara, Ilmu kesaktian, debus, teluh, silat, dan lain sebagainya. Lantaran muncul dan berkembangnya pemikiran demikian, karena secara realita kita dapat dengan mudah menemui hal-hal diatas, banyaknya pondok-pondok salaf yang berkembang di Serang, Pandeglang, Labuan, dan Tangerang yang mengajarkan ilmu-ilmu hikmah dan silat kanuragan. Panasnya iklim cuaca di Serang dan wilayah plosok Banten, tidak menyurutkan penulis untuk terus menelisik jauh tentang dunia jawara dan kehidupan sosial di Banten.

Jika dahulu Jawara hanya berperan sebatas peranan tradisional informal leader, lain halnya dengan masa kini, peranan Jawara telah berubah menjadi lebih modern tanpa harus melupakan identitas mereka. Dalam perkembangannya, peranan Jawara mengalami tingkat mobilitas vertikal dalam aspek kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Peran dan posisi Jawara

Page 8: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

8

tidak hanya meliputi sebatas jaro, guru ilmu magis, atau penjaga keamanan. Pada Era Reformasi kini, banyak Jawara yang beralih profesi menjadi, pegusaha, pejabat dan politikus.

Selain itu, sebagai bentuk syukur penulis menyampaikan penghargaan dan terimakasih kepada berbagai pihak yang telah membantu riset penelitian ini, membimbing, dan memberikan kemudahan dalam penyelesaian buku ini. Tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang terkait, riset penelitian ini belum tentu akan selesai dan dapat dipublikasikan.

Kepada Prof. Dr. Azyumardi Azra, M.A selaku Direktur Sekolah Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Serta Prof. Dr. Suwito, M.A, Dr. Fuad Jabali, M.A, Dr. Yusuf Rahman, M.A. Serta seluruh pihak dosen yang telah mengajar dan staf akademik yang melayani keperluan baik akademik, maupun surat riset penelitian penulis. Kepada Dr. Jajat Burhanuddin, M.A selaku pembimbing Tesis. Ditengah kesibukannya, menyempatkan diri untuk membimbing penulis dalam riset penelitian selama satu tahun lebih satu bulan, dengan penuh kesabaran dan ketelitian dalam mengoreksi tulisan ini. Selain itu, memberikan masukan baik secara metodologi maupun tekhnik terjun dilapangan, dalam mengumpulkan sumber-sumber. Kepada Pihak Komunitas Ujung Ciputat /YPM Press, terimakasih telah bersedia menerbitkan hasil penelitian ini, semoga komunitas intlektual ini terus berkembang dan melebarkan sayap pemikiran-pemikarannya. Tak lupa penulis mengucapkan rasa terimaksih kepada Mas Suaedy, Dr. Ali Munhanif, dan Prof. Dr. Didin Saefuddin, yang telah bersedia memberikan komentar dan kritisinya atas terbitnya buku ini.

Kepada Ibunda tercinta, Hj. Mumun Maemunah sebagai single parent yang telah sukses membesarkan ke-sebelas anaknya. Selalu memberikan dukungan motivasi baik materi maupun spiritual, dengan kasih sayangnya mengasuh penulis semenjak ditinggal oleh abah duapuluh satu tahun silam. Juga, kepada para kakanda-kakanda Drs. Utuy Masturo, MM.Pd, Drs. H. Dadang Munandar, teh eneng, teh enok, teh muning, ncing, utan, ifah, oji,

Page 9: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

9

dede, kabeh sadayana duduluran, hatur nuhun atas samangat sareng nasehatna.

Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada para nara sumber dan sahabat, rekan-rekan Jawara PPPSBBI, para Kiyai, para peneliti, para tokoh politik dan para ustad ; Kang Mamed, Khatib Mansur, Kang Azwar, Hudaeri, Abdul Hamid, Aa Hera, H. Embang, KH. Uci, KH. Nur Alam, Abuya Muhtadi, Kang Gofur Kadu. Dan nara sumber lainnya, yang tidak dapat disebutkan satu persatu, tanpa mengurangi rasa hormat. Rekan-rekan sahabat Komunitas Ujung Ciputat alias YPM Young Progressive Muslim, Fazlul Rahman, Qustulani, Fuad, Fauzi, mbk Mala, mbk Iswatin, mbk Eti, Falah, H. Rizal, Ust. Indra, mas Darsito, Uda Agus, mang Mu’an, yang selau setia menemani dan meanghadirkan canda tawa, diskusi di kosan pak Azra, semanggi, dan warung kopi. Harapan penulis semoga karya ini mendapatkan perhatian baik dari kalangan akademisi, politisi, dan pemerintah, agar menjadikan bahan rujukan.

Fahmi Irfani

Ciputat, 18 Juni 2011.

Page 10: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

10

BAB I

PENDAHULUAN

Banten adalah salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di bagian barat penduduk pulau jawa.1 Sebagaian besar penduduk yang mendiami wilayah ini menganut agama Islam sebagai kepercayannya, walaupun masih terdapat sedikit yang menganut kepercayaan nenek moyang (Orang Baduy). Berbicara tentang Banten, maka setiap orang akan berasumsi bahwa daerah tersebut adalah daerah para Ulama, Kiyai dan Jawara. Sterio tipe tersebut muncul lantaran kuatnya Islam mengakar dalam setiap individu masyarakatnya baik secara tradisi, kultural, maupun ritual. Selain itu pun daerah ini dikenal dengan daerah magis tempat mencari ilmu kanuragan, kesaktian, Debus dan sebagainya. Pada abad ke-16 M, Islam menyebar di wilayah Banten sampai puncaknya yang ditandai dengan berdirinya Kesultanan Banten Girang (1520-1820 M). Kesultanan Banten sendiri berdiri pada tahun 1552, yang diprakarsai oleh pangeran Sabakingking putra sunan Gunung Djati, dengan melakukan pemberontakan dan menaklukan Banten Girang.

Sebagai bekas Kerajaan Islam (Banten), posisi Ulama di wilayah ini tentu sangat kuat dan memiliki hirarki sosial yang signifikan di dalam struktur masyarakat Banten. Hal ini dikarenakan kedudukan Ulama adalah perpanjangan tangan dari Sultan dalam proses Islamisasi di daerah pedesaan yang mendorong munculnya lembaga pesantren yang dipimpin oleh kiyai sebagai figure kepemimpinan. Kiyai sebagai

1 Adapun penduduk etnik terbesar yang mendiami wilayah ini adalah

suku sunda, sebagian besar mendiami wilayah Banten selatan sedangkan wilayah Banten utara didiami oleh suku jawa yang bermigrasi dari wilayah Cirebon, sedangkan bahasa Sunda yang digunakan oleh masyarakat Banten termasuk kedalam bahasa Sunda Kuno. Lihat, Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan Cet-24, 2004), 17.

Page 11: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

11

guru yang mentransmisikan ilmu keislaman kepada santri-santrinya di pesantren.2

Kiyai tidak hanya dipandang sebagai tokoh agama, tetapi juga sebagai seorang pemimpin masyarakat yang kharismatik, sehingga kekuasaanya seringkali melebihi kekuasaan pemimpin formal elit pemerintahan.3 Kedudukan ini terus berlangsung walaupun Kesultanan telah dihapus oleh Daendels pada tahun 1808 M dan dikuasai oleh pemerintahan kolonial Belanda. Kelestarin kepemimpinan Kiyai sebagai tokoh masyarakat ini pun nampaknya didukung penuh oleh element masyarakat Banten. Para tokoh Kiyai inilah yang telah berhasil memimpin mobilisasi massa untuk memberontak, seperti halnya pemberontakan petani Banten yang terjadi pada tahun 1888 dan pemberontakan komunis 1926 di Banten.4

Disamping dikenal sebagai daerah Kiyai, Bantenpun dikenal sebagai tempatnya para Jawara. Tihami mendeskripsikan perbedaan makna dan peran antara Kiyai, Santri, dan Jawara. Dalam masyarakat Banten Kiyai adalah tokoh sentral dalam komunitasa ini, sedangkan Jawara dan santri adalah murid dari Kiyai. Perbedaan antara Jawara dan santri terletak pada ketekunan mereka ketika berguru. Santri lebih menekuni ilmu-ilmu keagamaan, sedangkan Jawara lebih menekuni bidang yang

2 Menurut pendapat Dhofier tentang pandangan hidup Kiyai, ia

mendefinisikan konsep Kiyai sebagai elemen penting dari suatu pesantren,sekaligus Kiyai merupakan pemberian gelar terhadap Ulama dari kelompok Islam tradisional yang memiliki pesantren. Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren , Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta: LP3ES, 1985).

3 Hal tersebut senada seperti yang diungkapkan oleh Turmudi, bahwasanya hubungan Kiyai dengan masyarakatnya diikat dengan emosi keagamaan yang membuat kekuasaan sahnya semakin berpengaruh. Kharisma yang menyertai aksi-aksi Kiyai pun, menjadikan hubungan tersebut penuh dengan emosi. Lihat, Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiyai dan Kekuasaan (Yogyakarta: LKiS, 2004).

4 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984). Lihat pula, Michael C Williams, Sickle and Crescent, The Communist Revolt of 1926 in Banten (Ohio University: Centre for International Studies, 1990).

Page 12: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

12

terkait dengan pengolahan raga dan batin5. Eksponen-eksponen inilah yang mewarnai masyarakat Banten.

Terdapat semacam image bahwa sebagian masyarakat Banten memiliki watak keras dan tutur bahasa yang kasar. Bahkan sebagian lainya berpendapat jika orang-orang Banten lekat dengan sifat keberanian, kekuatan fisik, menguasai magis ataupun mistik6, patuh kepada kiyai (sebagai guru) dan hal-hal lainnya yang menandai sosok keperibadian Jawara. Mereka yang mengakui akan adanya eksistensi para Jawara tidak hanya terdiri dari masyarakat awam, termasuk kalangan akademis yang pernah meneliti tentang Banten, seperti Kartodirdjo (1984), Martin Van Bruinessen, Nina H Lubis, Williams dan Tihami (1992).

Dengan pengakuan atas keperibadiannya itu tak heran jika Jawara dianggap pemimpin oleh segolongan tertentu masyarakat lokal. Para Jawara tersebut turut berperan serta dengan para Kiyai dalam memobilisasi pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di Banten, sebut saja peristiwa pemberontakan petani Banten 1888 yang dimotori oleh kiyai Washid, pemberontakan komunis di Banten 1926 (Kiyai Achmad Chatib), dan peristiwa Banten Girang. Eksistensi Jawara di Banten tak bisa lepas dari sosok Kiyai, Jawara adalah muridnya Kiyai. Pada masa kolonial, Jawara berfungsi sebagai tentara fisik yang bersama Kiyai melakukan perlawanan terhadap tentara kolonial.

Dalam studinya Tihami menjelaskan bahwasanya Kiyai memiliki dua varian murid, di antara muridnya tersebut ada yang memiliki kecenderungan bakat pada ilmu pengetahuan agama. Tapi, adapula di antara muridnya yang memiliki kecenderungan kearah perjuangan. Pada

5 Disini Kiyai berperan sebagai golongan yang berkemampuan

mewujudkan magis dan menjadi sumber dari mantra-mantra tersebut, sedangkan Jawara adalah golongan yang menerima kemampuan magis dari kiyai. Lihat MA Tihami, “Kiyai dan Jawara di Banten, Studi tentang Agama, Magi, dan Kepemimpinan di desa Pesanggrahan Serang, Banten” (Jakarta: Tesis, Universitas Indonesia, 1992), 4.

6 Pada awal perkembangan Islam di sekitar pantai-pantai Nusantara dipengaruhi penyebaran mistik, hal inipun terjadi diwilayah Banten dan sampai saat ini mistik menjadi kebudayaan bagi orang-orang Banten, hal ini dapat dilihat dengan berkembangnya kesenian Debus di Banten. Lihat. Lihat Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia ..., 25.

Page 13: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

13

akhirnya murid yang cenderung pada ilmu agama disebut santri, sedangkan yang cenderung pada kekuatan fisik dan bernuansa magis adalah Jawara.7 Maka dahulu posisi Jawara merupakan pengawal para Kiyai. Pada masa-masa sulit Jawara banyak membantu peran para Kiyai terutama dalam hal keamanan dan ketertiban masyarakat. Kekuatan fisik, magis dan kharisma para Jawara diperoleh langsung dari Kiyai.

Lain halnya dengan Kartodirdjo, ia mendefinisikan kelompok Jawara sebagai orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan sering melakukan perbuatan kriminal, dan cenderung di golongkan kedalam kelompok bandit sosial. Kedua golongan inilah yang memiliki peran kekuasan politik informal di daerah Banten, bahkan hal tersebut berlangsung sampai saat ini. Kedua golongan inilah yang disebut oleh Kartodirdjo sebagai golongan yang menembus batas-batas hirarki masyarakat Banten.8

Orang yang menyandang gelar Kiyai dipandang sebagai ahli kebatinan, ahli hikmah, guru dan pemimpin masyarakat yang berwibawa dan legitimate berdasarkan kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu, gelar Kiyai merupakan suatu tanda kehormatan dalam kedudukan sosial, bukanlah suatu gelar akademis yang diperoleh dalam pendidikan formal. Sementara itu, Jawara adalah sekelompok yang memiliki kekuatan fisik dan memiliki ilmu kesaktian, sehingga bagi sebagian orang dapat membangkitkan rasa hormat, kagum, takut bahkan benci. Oleh karena itu, Jawara dapat menjadi seorang tokoh kharismatik di Banten. Berbeda halnya dengan para Kiyai, peranan sosial Jawara lebih cenderung kepada kepada pengolahan kekuatan yang berujung kepada premanisme dan kekuasaan.

Sampai saat ini terdapat beberapa perbedaan kapan jelasnya Jawara itu muncul dan lahir. Sebagian sarjana berpendapat, bahwa Jawara muncul pada abad ke-19, ketika tekanan pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat pribumi semakin besar, sehingga memunculkan konflik dan berakibat kepada pemberontakan yang

7 MA Tihami, “Kiyai dan Jawara di Banten,Studi tentang Agama,

Magi”..., 21. 8 Sartono Kartodirdjo: Pemberontakan Petani Banten 1888..., 83.

Page 14: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

14

dipimpin oleh tokoh masyarakat khususnya Kiyai. Dari kondisi seperti inilah muncul Jawara, sementara itu Kartodirdjo mengungkapkan Jawara muncul akibat dari hancur dan ambruknya tatanan sosial masyarakat akibat dihapusnya Kesultanan oleh Dandles pada masa kolonial, sehingga memunculkan perilaku kriminal dan bandit sosial.9 Jawara dalam pandangan masyarakat Banten dianggap pemimpin oleh segolongan tertentu masyarakat lokal, dan membentuk kultur dan kebudayaan tersendiri di daerah Banten.

Awal Lahirnya Jawara

Banten merupakan daerah yang unik dengan tradisi dan kultur budaya lokalnya. Para antropolog mencoba mendefinisikan bermacam-macam pengertian budaya. Definisi budaya menurut Clyde Kluckhohn berbeda dengan Kuntowijiyo, walaupun demikian terdapat persamaan substansi. Budaya sendiri terbentuk dari suatu komunitas masyarakat, yang memiliki pemikiran dan menciptakan warisan tradisi serta kultur budaya terhadap komunitas itu sendiri10.

9 Pendapat ini diperkuat oleh Nina H lubis Banten Dalam Pergumulan

Sejarah: Sultan, Ulama, dan Jawara, Sartono Kartodirdjo Pemberontakan Petani Banten 1888 dan Williams, Sickle and Crescent, The Communist Revolt of 1926 in Banten

10 Menurut Kluckhohn, kebudayaan adalah sebagai keseluruhan cara hidup manusia, yaitu warisan sosial yang diperoleh seseorang dari kelompoknya, atau kebudayaan bisa dianggap sebagai lingkungan yang diciptakan manusia. Lihat Clyde Kluckhohn, Mirror for Man, dalam Pasurdi Suparlan, Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya. (Jakarta: Rajawali, 1984), 69. Lain halnya dengan Kuntowijoyo, menurutnya budaya adalah sebuah system yang memiliki kohersi yang meliputi, bentuk-bentuk symbol yang berupa kata, benda, laku, mite, lukisan, nyanyian, music, kepercayaan yang memiliki kaitan erat dengan konsep-konsep epistimologi dari system pengetahuan masyarakatnya. Lihat Kuntowijoyo, Budaya dan Masyaraka., (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1987), xi pengantar. Pengertian tentang budaya diatas, merupakan hanya sebagian kecil dari bayaknya definisi-definisi tentang budaya. oleh karena itu penulis mendefinisikan budaya seperti halnya diatas, agar mudah dipahami dan tidak lepas dari makna substansi dari budaya itu sendiri.

Page 15: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

15

Kultur budaya Banten yang sangat erat dengan nilai-niai budaya Islam telah menciptakan budaya tersendiri yang dapat dikatakan sebagai sebuah asimilasi budaya, dan sebuah diffusonis budaya antara kultur budaya lokal dengan Islam. Sedangkan menurut Ankerman, kombinasi antara suatu kultur kebudayaan (Islam) dengan kultur kebudayaan setempat dinamakan kompleks kebudayaan (kumpulan kebudayaan), sedangkan lingkungan tempat unsure kebudayaan itu terdapat dinamakan lingkaran kebudayaan kulturkreise11.

Kedudukan peran dan jaringan jawara menciptakan kultur tersendiri yang agak berbeda dengan kultur dominan masyarkat Banten, sehingga jawara tidak hanya menggambarkan suatu sosok tetapi juga telah menjadi kelompok yang memiliki norma, nilai dan pandangan hidup yang khas. Inilah yang disebut sebagai subkultur komunitas jawara Banten, yang berbeda dari komunitas lokal daerah lainnya.12 Bahkan lebih dari hal demikian, kata Jawara sendiri telah dikenal dalam kamus bahasa Indonesia. Dengan demikian terdapat indikasi bahwa kata Jawara menurut terminologi budaya, telah masuk kedalam domain nasional dan telah dikenal luas dalam bahasa sehari-hari masyarakat Indonesia.

Selanjutnya adalah, karakter yang dimiliki oleh para jawara merupakan hasil suatu rekonstruksi kultur budaya yang ditanamkan melalui interaksi sosial antar budaya. Dalam proses interaksi tersebut terjadi penanaman dan pewarisan nilai-nilai kultur tradisi budaya kejawaraan. Untuk menjadi sosok seorang

11 C.H.M. Palm,Sejarah Antropologi Budaya. (Bandung: Jemmars,

1984), 45. 12 Walaupun di setiap daerah di nusantara terdapat kultur budaya

kekerasan yang mirip dengan jawara Banten, seperti halnya di daerah Betawi yang dikenal dengan “jago” atau “buaya” dan Madura yang dikenal dengan budaya “Carok”nya. Lain halnya dengan jawara, komunitas jawara Banten dianggap sebagai pemimpin non formal dikalangan masyarakat pedesaan Banten. walaupun terdapat persamaan dalam segi kebudayaan sebagai suatu kultur kekerasan, sama sekali tidak terkait dengan diffusionisme budaya. Nampaknya teori Ratzel tentang gejala kebudayaan itu menyebar dari tempat asalnya keberbagai jurusan, dan persamaan kebudayaan bukan disebabkan oleh perkembanganya, melainkan hampir selamanya disebabkan oleh pengambilan dan penyebaran budaya, itu keliru. Karena hal ini tidak Nampak terjadi dalam kasus kultur kekerasan dan kepemimpinan daaerah-daerah lokal. Lihat C.H.M. Palm, Sejarah Antropologi Budaya. (Bandung: Jemmars,1980),45.

Page 16: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

16

jawara yang berkharisma dan disegani dibutuhkan proses pelatihan yang panjang dan cukup berat, baik dari aspek fisik dan mental batin. Maka tidak heran jika seorang jawara tidak hanya cakap secara fisik, melainkan secara rohaniah spiritual batin telah siap. Dalam proses pelatihanya jawara harus menempa diri dengan latihan panjang ilmu-ilmu bela diri atau persilatan yang banyak berkembang di wilayah provinsi Banten. Selain itu ia pun harus menempuh latihan spiritual, dengan melaksanakan puasa yang cukup panjang dan bervariasi, ada puasa empat hari, tujuh hari, empat puluh hari dan seterusnya. Sedangkan tingkatan panjangnya puasa yang dijalankan seorang jawara, merupakan lapisan yang membedakan level kesaktian para jawara.

Terdapat beberapa versi tentang lahir atau awal munculnya jawara di Banten, akan tetapi secara historis kapan lahirnya jawara Banten tidak diketahui secara tepat. Sebagian data sumber diperoleh dari folklore masyarakat Banten, akan tetapi peranan jawara dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat Banten dapat ditelusuri hingga pada masa Kesultanan Banten. Peranan jawara dalam kehidupan masyarakat Banten mulai muncul ke permukaan terjadi pada masa akhir keruntuhan Kesultanan Banten, dan kekuasaan kolonial sudah lagi tidak efektif pada abad ke 19 M. Pasca dihapusnya pemerintahan Kesultanan Banten oleh Dandles, tekanan pemerintah Hindia Belanda terhadap masyarakat pribumi semakin besar sehingga memunculkan konflik di masyarakat. Di sejumlah wilayah Banten terjadi kekosongan pemerintah yang menyebabkan kekacauan, dari konflik dan kekacauan inilah berakibat pada pemberontakan-pemberontakan yang dipimpin oleh tokoh masyarakat khususnya para kiyai.

Dari kondisi seperti inilah jawara muncul dan tampil bersama para kyai sebagai pemimpin informal masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena jawara memiliki keterampilan beladiri, silat, ilmu magis sebagai keterampilan untuk menghadapi situasi yang kacau dalam menghadapi pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda13. Selain itu posisi jawara sebagai murid khodam kiyai dianggap relevan dalam membantu perjuangan kiyai. Lain halnya dengan Kartodirdjo, jawara muncul

13 Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara dan Demokrasi, Geliat Politik Banten Pasca-Orde Baru. (Jakarta: Dian Rakyat, 2010),65.

Page 17: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

17

akibat dari hancur dan ambruknya tatanan sosial masyarakat akibat dihapusnya Kesultanan, sehingga memunculkan perilaku kriminal dan bandit sosial14. Selain itu para jawara memiliki paguron (padepokan silat) dan jaringan antar paguron, yang kemudian menjadi basis sosial utamanya. Sebagai pemimpin informal, jawara berupaya untuk memulihkan keadaan, tidak sedikit diantara mereka kemudian ada yang berprofesi sebagai jaro, baik pada masa kolonial, pasca kemerdekaan, orde baru, bahkan sampai saat ini.

Sumber lain menyebutkan bahwa jawara lahir tak luput dari peran dan eksistensi para kiyai Banten. Di mana pada saat itu aneksasi pemerintahan kolonial Belanda yang tejadi pada abad 19 M. telah memunculkan kiyai sebagai tokoh sentral pemberontakan. Kiyai sendiri memiliki dua varian murid, diantara muridnya tersebut ada yang memiliki kecenderungan bakat pada ilmu pengetahuan agama. Tetapi di lain pihak, adapula murid yang kurang begitu memahami pendalaman agama melainkan memiliki bakat silat dan kecenderungan kearah perjuangan. Pada akhirnya murid yang cenderung pada ilmu agama disebut santri, sedangkan yang memiliki bakat kekuatan fisik (silat) dan bernuansa magis adalah jawara15. Disini kiyai berperan sebagai sumber kekuatan magis bagi para jawara, lewat kiyai lah ilmu kesaktian, sepertihalnya kanuragan, brajamusti, kebal dan magis ditransform kepada jawara. Hubungan emosional antara murid dengan guru yang dialami oleh kiyai dan jawara, terjalin sangat erat di antara kedu belah pihak.

Tidak heran jika para akademisi memunculkan spekulasi anggapan bahwa awal lahirnya komunitas jawara ditengarai pada

14 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Jakarta:

Pustaka Jaya, 1984), 83. 15 Perbedaan antara jawara dan santri terletak pada ketekunan mereka

ketika berguru, santri lebih menekuni ilmu-ilmu keagamaan, sedangkan jawara lebih menekuni bidang yang terkait dengan pengolahan raga dan bathin. Kiyai berperan sebagi tokoh yang berkemampuan mewujudkan magis dan menjadi sumber dari mantra-mantra tersebut, kekuatan magis tersebut ditransform kepada jawara untuk memiliki kemampuan tersebut. Lihat MA. Tihami, Kiyai dan Jawara di Banten, Studi Tentang Agama, Magi, dan Kepemimpinan di desa Pesanggrahan Serang Banten. (Jakarta: Tesis, Universitas Indonesia, 1992), 21.

Page 18: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

18

masa pemberontakan yakni pada abad 19 M. Karena pada masa itulah komunitas jawara mulai dikenal, dan secara tidak langsung dimunculkan oleh Kartodirdjo dan Williams16 dalam penelitiannya yang ditinjau dalam aspek historis. Penelitian yang dilakukan oleh Kartodirdjo maupun William, belum tentu dapat dibenarkan perihal lahir dan munculnya komunitas jawara di Banten.

Selain ada yang mengatakan bahwa jawara Banten muncul pada abad ke 19 M, ada pendapat yang mengatakan bahwa kata “jawara” muncul di dunia persilatan di Banten. Tidak heran jika ada sebagian pendapat yang mengemukakan hal demikian, selain daerah Banten dikenal dengan basis Islamnya yang kuat daerah ini pun dikenal dengan daerah persilatan. Sejarah dunia persilatan di Banten sendiri memiliki akar yang panjang. Di dalam Serat Centhini disebutkan bahwa pada masa pra-Islam telah dikenal istilah “paguron” atau “padepokan” di daerah seekitar gunung karang , Pandeglang.

Pada masa lalu tradisi persilatan di Banten nampaknya menjadi suatu kebutuhan bagi individu-individu tertentu untuk mempertahankan keehidupan dirinya dan kelompoknya. Hidup di daerah terpencil dan rawan dari tindakan-tindakan kriminal dari pihak lain, tentunya membutuhkan keberanian dan memiliki kekuatan fisik yang baik. Kondisi seperti ini nampaknya mendorong setiap individu untuk membekali dirinya dengan kemampuan bela diri dengan belajar di persilatan. Dalam dunia persilatan sendiri terdapat turnamen-turnamen, dimana para

16 Penelitian yang dilakukan oleh Kartodirdjo dan Williams, sebenarnya tidak concern membahas awal lahir dan munculnya subkultur Jawara di Banten, melainkan hanya mencantumkan eksistensi jawara dalam proses pemberontakan-pemberontakan di Banten pada abad ke 19 M secara historis. Penelitian Kartodirdjo dan Williams nampaknya dijadikan rujukan oleh beberapa kalangan akademisi dalam menentukan kemunculan jawara, hal ini dapat dilihat dari karya Nina H lubis, Atu Karomah, Andi Rahman Alamsyah dan Ahmad Abrori. Lihat Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Jakarta : Pustaka Jaya, 1984), Michael C Williams, Communism, Relegions, and Revolt in Banten. (Ohio : Ohio University Press, 1990), Nina H Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah : Sultan, Ulama, Jawara. (Jakarta: LP3S, 2003), Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara dan Demokrasi, Geliat Politik Banten Pasca-Orde Baru. (Jakarta: Dian Rakyat, 2010).

Page 19: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

19

pesilat bertarung untuk menjajal kemampuan bela diri mereka. Dapat dimungkinkan bahwa istilah jawara sendiri nampaknya muncul dari kondisi tersebut. Jawara yang juga dapat dimaknai “juara” atau “pemenang” mengindikasikan makna bahwa orang yang telah berhasil mengalahkan lawan-lawannya. Seorang jawara yang terkenal dan ditakuti oleh lawan maupun kawan, dapat dipastikan karena memiliki keunggulan dalam hal keberanian dan menaklukan lawan-lawanya. Kemempuan tersebut ditunjang oleh keahlian dalam ilmu persilatan atau bela diri serta dalam memainkan senjata khas yang dimiliki oleh jawara yakni sebuah golok.

Definisi Pengertian Jawara Banten

Selanjutnya adalah, apa sebenarnya definisi dan pengertian dari jawara itu sendiri. Terdapat stigma yang negative dari kebanyakan masyarakat Indonesia tentang memaknai definisi dan pengertian dari Jawara itu sendiri. Jawara kerap kali diartikan sebagai orang yang memiliki kekuatan fisik yang kuat, mahir dalam berkelahi, berwatak kasar, sering menggunakan kekerasan, serampangan, jagoan dan sampai kepada kesimpulan sebagai bandit lokal. Pandangan dan stigma masyarakat terhadap makna pengertian dari jawara itu sendiri tidak lepas dari beberapa aspek antara lain; aspek tempat daerah dimana jawara itu hadir, aspek historis dimana jawara itu lahir, dan aspek kultur kebudayaan lokal masyarakat dimana jawara itu berada. Oleh karena itu daerah dan orang Banten selain dikenal sebagai basis daerah Islam tradisional yang kuat, selain itu oleh sebagian masyarakat Indonesia, Banten dikenal sebagai daerah yang kasar, pemberani, lekat dengan magis dan ilmu-ilmu mistik. Hal tersebut terkait tentang keberadaan dan eksistensi para jawara di Banten.

Eksistensi Jawara di Banten turut berkontribusi atas image dan pandangan masyarakat terhadap Banten itu sendiri. Menurut Boas daerah-daerah kebudayaan yang memiliki ciri kelompok corak-corak kebudayaan yang khas seperti Banten inilah, disebut dengan “cultur are”.17 Banten sebagai tempat dearah Jawara di

17 Boas memberikan interpretasi tentang muncul dan lahirnya suatu kebudayaan, bahwa segi kebudayaan itu harus ditinjau dari rangka seluruh kebudayaan, selain itu ia memperhatikan pula pengaruh masa lampau terhadap

Page 20: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

20

lahirkan, telah membentuk karakter sifat dan budaya sebagian masyarakat Banten yang sering menggunakan instrument kekerasan dalam setiap keadaan-keadaan tertentu. Hal ini tidak terlepas dari sudut pandang historis perkembangan Banten itu sendiri, dalam pergolakan pemberontakan dalam melawan penjajahan masa lalu.

Sejauh ini terdapat beberapa akademisi yang meneliti tentang keberadaan Jawara Banten, baik dari kalangan dalam negeri maupun luar negeri. Hadirnya kajian dari beberapa peneliti ini, turut memberikan definisi pengertian-pengertian yang berbeda tentang Jawara itu sendiri. Kata “Jawara” di daerah asalnya (Banten) sendiri umumnya dikenal untuk menunjukan seorang laki-laki berpenampilan sangar, berpakaian serba hitam, celana pangsi, baju silat, barangbang semplak (ikat kepala) atau menggunakan peci hitam, kumis panjang melintang, mata merah, tangan penuh dengan cincin dan akar bahar, membawa golok, ikat pinggang yang lebar, dan beserta sarung yang diselempangkan di pundaknya. Setidaknya inilah gambaran jawara dalam artian keseharian mereka, sedangkan pada umumnya kepandaian seorang jawara dinilai dari sisi bela diri dan dianggap lebih tinggi dari pada yang lain sehingga yang lain takluk kepadanya.akan tetapi pengertian seperti yang di sebutkan diatas, hanyalah salah satu dari sekian banyak pengertian dan definisi jawara.

Sebagian besar orang menginterpretasikan jawara berasal dari kata “juara” yakni orang yang menang dalam suatu kompetisi, atau dapat diartikan sebagai orang pilihan nomor satu. Sedangkan mengenai pengertian definisi makna Jawara, banyak para akademisi baik dari kalangan sejarawan maupun budayawan telah mencoba menyusun berbagai definisi-definisi pengertian tentang jawara itu sendiri. Berikut adalah definisi pengertian dan deskripsi tentang jawara menurut para kalangan:

Dalam bukunya Communism, Religion, and Revolt ini Banten, Williams mendeskripsikan jawara sebagai kelompok

munculnya kebudayaan baru. Pengamatan seperti ini dapat digolongkan kedalam aliran fungsionalis. Singkatnya teori Boas meliputi; daerah kebudayaan, yang nyata-nyata berbeda dengan daerah lain, dinamakannya “cultur are” lihat C.H.M. Palm, Sejarah Antropologi Budaya. (Bandung: Jemmars, 1980),100-101.

Page 21: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

21

orang yang mengangkat sumpah janji (oath-taking) dan ketaatan tegas kepada sang pemimpin. Kelompok ini bertujuan membangun kekuatan supranatural dengan cara mengembangkan unsur-unsur mistis dan magis selanjutnya diformulakan kedalam amalan-amalan ataupun sejenis jimat, rajah dan wafak18. Kekuatan tersebut bersumber dari seorang guru kepada muridnya, guru disini merupakan seorang pemimpin dari sebuah padepokan persilatan ataupun seorang kiyai.

Kekuatan magis yang dimiliki oleh para jawara, merupakan proses transfromasi oleh seorang guru (kiyai) kepada muridnya, proses kepemilikan ilmu kedigjayaan magis ataupun kanuragan hanya berhak dipergunakan oleh si murid yang menerimanya. Kepemilikan ilmu tersebut tidak bisa untuk diturunkan atau dimiliki oleh orang lain, terkecuali jika diberi oleh sang guru (kiyai) tersebut kepada orang lain. Selain itu jawara memiliki jaringan-jaringan yang membentuk suatu kelompok yang dipersatukan dalam suatu ikatan, dengan memiliki kultur dan budaya tersendiri, seperti halnya mereka mengenakan pakaian serba hitam sebagai kostum ciri khasnya. Pandangan Williams tentang jawara lebih didominasi oleh pandangan negative, yakni lebih memosisikan jawara yang erat dengan dunia hitam, mistis, kekebalan tubuh dan kemaskulinannya. Sehingga melupakan unsur-unsur kesantrian dan keislaman, yang semestinya lekat dengan kultur budaya mereka.

Adapun Sartono Kartodirdjo salah seorang sejarawan indonesia, yang turut memberikan deskripsikan Jawara dalam karyanya Pemberontakan Petani Banten 1888 M, ia menggambarkan jawara dengan citra negative. Definisi pengertianya tentang jawara yang digambarkan sebagai elit pedesaan di Banten yang menembus batas-batas hirarki sosial. Jawara merupakan pimpinan non formal dalam kultur budaya masyarakat Banten. Umumnya mereka para jawara terdiri dari orang-orang yang tidak memilki pekerjaan tetap, cenderung membangkang, tidak mempunyai tempat tinggal tetap, hidup

18 Michael C Willims, Communism, Relegions, and Revolt in Banten.

(Ohio: Ohio University Press, 1990).

Page 22: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

22

diluar hukum dan seringkali melakukan kegiatan-kegiatan kriminal, dan digolongkan kedalam kelompok bandit sosial19.

Pandangan Kartodirdjo tentang jawara dapat dikatakan keliru, karena mendeskripsikan jawara secara tidak lengkap. Penelitianya tentang Banten hanya difokuskan tentang gejala-gejala aspek pemberontakan sosial yang terjadi di Banten. Ia tidak meneliti lebih lanjut kultur historis Jawara dalam budaya di Banten, justru sebaliknya Jawara dalam pandangan masyarakat saat itu, diposisikan sebagai pahlawan dan membela orang-orang lemah. Pada masa ini posisi jawara di gambarkan sebagai Si Pitung (tokoh legendaris dari Betawi), mereka melakukan perbuatan kriminal dengan merampok para pejabat, pegawai kolonial Belanda atau para saudagar kaya, dan membagikan hasilnya kepada rakyat miskin. Perbuatan tindakan yang mereka lakukan, merupakan ekses dari tekanan pihak kolonial Belanda terhadap warga Banten.

Sedangkan Tihami seorang antropologis Indonesia dalam karyanya kiayi dan jawara Banten, ia menggunakan kajian Loze dan Meijer tentang jawara. Loze mendefinisikan pengertian Jawara dari segi negative, dan ia mendeskripsikan jawara sebagai sosok yang jahat. Lain halnya dengan Meijer, ia mendefinisikan karakteristik jawara sebagai seorang pemberani yang dapat dipercaya untuk menjadi pengawal keamanan pribadi dan umum. Selain itu jawara inipun terorganisasi dalam sebuah jaringan, sehingga memiliki pengikut yang disebut anak buah, dan kepala jawara yang disebut Abah (kepala jawara). Adapun yang kerap melakukan tindakan kejahatan adalah para anak buah, sedangkan pimpinan jawara sendiri duduk dan mengamati sebagai tokoh mengatur dari kejauhan. Walaupun demikian keduanya tetap disebut sebagai bandit.

Lain halnya dengan Williams, Loze maupun Meijer, Tihami mendefinisikan Jawara adalah sebagai seorang pendekar, kesatria dan menjadi pembela orang-orang yang lemah. Selain itu jawarapun termasuk orang yang saleh, karena ia merupakan murid dari kiayi yang mendalami ilmu-ilmu kanuragan dan magis. Selain itu jawara merupakan sosok pahlawan Banten, yang

19 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984).

Page 23: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

23

bersama dengan kiyai melakukan pemberontakan terhadap pihak kolonial Belanda.20 Muncul dan berkembangnya image buruk jawara sebagai pemberontak lebih di dominasi persoalan politik pada masa penjajahan dan pasca kemerdekaan, hal ini karena tekanan-tekanan pihak kolonial kepada rakyat Banten, dan sulitnya pendapatan di sektor ekonomi. Menurut Tihami jawara pada masa sekarang cenderung menjadi symbol kelompok yang ingin turut berkontribusi dalam peran kemasyarakatan dengan memiliki skill keberanian dan kekuatan fisik.

Definisi selanjutnya datang dari Nina Lubis yang meneliti tentang jawara di lihat dari aspek historis (Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara menurutnya). Menurutnya, jawara saat ini diartikan dengan berbagai perilaku negative, seperti halnya kata jawara sendiri dikonotasikan sebagai “jalema wani rampog” (orang yang berani merampok) atau “jalema wani ruhul” (orang yang berani berbohong atau menipu). Pencitraan jawara sebagi sosok yang negative dan kriminil terus terbawa hingga sampai abad ke 20 M, bahkan sampai saat ini citra negative jawara sebagai sosok bandit lokal terus dikenal. Padahal pada masa lalu, jawara dikenal sebagai pahlawan yang berjuang melawan penjajahan kolonial Belanda, dan membela orang-orang lemah. Akan tetapi makna pengertian jawara saat ini telah mengalami pergeseran sosial, hal ini dikarenakan perbuatan sebagaian oknum jawara yang telah berbuat kekacauan, dan pada akhirnya pengertian jawara sendiri terkontaminasi dengan perilaku premanisme.21

Sedangkan menurut Abrori, terdapat perbedaan antara Jawara dengan pendekar, walaupun keduanya memiliki persamaan makna dalam kaca mata masyarakat Banten. Jawara didefinisikan sebagai seorang pahlawan Banten yang memiliki kekuatan fisik dan keberanian yang luar biasa karena kemampuannya dalam mengolah ilmu silat dan magis. Sedangkan pendekar lebih dipahami sebagai orang-orang yang dengan

20 M.A. Tihami, Kiyai dan Jawara di Banten : Studi Tentang Agama,

Magi dan Kepemimpinan di Desa Pesanggrahan Serang Banten (Jakarta: Tesis, Universitas Indonesia, 1992).

21 Nina H Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah : Sultan, Ulama, Jawara. (Jakarta: LP3S, 2003), 127.

Page 24: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

24

keberanianya dapat menguasai ilmu-ilmu silat, kekebalan tubuh, dan berusaha berpartisipasi dalam pembangunan dan keamanan Banten saat ini22. Lebih dari itu, jawara untuk saat ini menjadi pemimpin sosial dan memiliki sumber-sumber ekonomi, inilah yang gambaran jawara kontemporer. Dimana peran sosial jawara tidak hanya sebatas sebagai jaro, lurah, guru silat, dan pemimpin tradisional, melainkan menjadi pengusaha dan patron kekuasaan.

Disinilah terdapat perubahan dalam struktur sosial jawara, akan tetapi walau bagaimanapun kultur budaya dan tradisi yang melekat dalam jawara tidaklah berubah. Kebudayaan bukan saja gejala etis, astetis, ataupun simbolis, akan tetapi kebudayaanpun masuk kedalam gejala sosial. Perubahan sosiokultural yang terjadi dalam dunia jawara, sama halnya dengan kasus yang di kaji oleh Kuntowijoyo pada masyarakat priyayi Jawa.23 Perbedaanya terletak pada perubahan sosiokultural di Jawa yang diikuti pula oleh berubahnya kultur budaya priyayi dari keraton ke pemerintahan kolonial, sedangkan jawara tidak mengalami hal yang demikian. Jawara tetap lekat dengan kultur tradisinya, sebagai pemimpin non formal dalam kultur budaya masyarakat Banten.

Dari berbagai definisi-definsi tentang pengertian jawara yang diungkapkan oleh berbagai kalangan akademisi, terdapat beberapa perbedaan antara satu sama lain. Terdapat penilaian yang menyudutkan posisi peranan jawara dalam masyarakat Banten, dilain pihak ada yang mendeskripsikan kelompok jawara dari sisi positif dan negatifnya. Tetapi yang lebih penting dari hal

22 Ahmad Abrori, Perilaku Politik jawara Banten dalam Proses Politik di Banten (Depok: Tesis FISIP Universitas Indonesia, 2003).

23 Kuntowijoyo melakukan penelitian terkait denganperubahan sosiokultural yang dialami oleh priyayi-priyai di jawa. Dimana pada saat itu, birokrasi colonial sedang meluas maka tumbuhlah satu golongan baru dalam masyarakat, yakni golongan priyayi yang akhirnya lepas dari ikatan kraton , karena subtradisi mereka tidak lagi kepada raja, melainkan beralih kepada pemerintah kolonial. Lihat Kuntowijoyo, Budaya dan Masyaraka., (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1987), 26. Lain halnya dengan jawara yang tumbuh sebagai subkultur masyarakat Banten, perubahan yang terjadi dalam kelompok jawara sendiri hanya dalam tataran perubahan sosial. Saat ini jawara lebih berperan aktif sebagai patron kekuasaan dan ekonomi di banten, sedangkan kulturnya sebagai symbol kekerasan, kepemimpinan serta tradisi tunduk kepada kiyai di Banten sama sekali tidak berubah.

Page 25: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

25

di atas, terdapat perubahan peranan sosial para jawara dikalangan masyarakat Banten. Dari beberapa definisi pengertian di atas, penulis memberikan definisi pengertian tentang jawara; bahwa jawara adalah, salah satu murid dari kiyai yang memiliki keberanian dan kemampuan bela diri dalam mengolah tubuh dan tenaga dalam, seperti halnya ilmu kekebalan tubuh, ilmu brajamusti, kanuragan, kekuatan magis dan kewibawaan kharisma, selain itu ia melakukan aktivitas kegiatan sosial dengan spirit perjuangan, membela rakyat lemah dan semangat heroisme.

Kekuatan yang diperoleh dari jawara baik magis ataupun fisik bersumber dari kiyai sebagai guru. Jawara sendiri bertumpu pada segi keberanian mereka, dengan mengoptimalisasikan kekuatan dan kemampuan bela diri mereka berani menegakan keadilan dan kebenaaran dengan semangat juang memberantas sesuatu yang dinilai zhalim. Selain itu yang perlu dicermati adalah terjadinya perubahan peranan sosial dalam kelompok jawara, dahulu jawara berperan dalam lingkup pemimpin tadisional (informal) menjadi jaro, lurah atau guru silat, saat ini banyak dari kalangan kelompok jawara berprofesi sebagai (pemimpin formal) anggota dewan, pengusaha, dan pejabat pemerintah.

Pengklasifikasian Jawara

Dalam dunia Jawara terdapat beberapa pengklasifikasian dan pelapisan struktur kelompok jawara. Kelompok jawara tidak hanya memiliki satu varian melainkan terdapat dua jenis varian jawara. Yakni jawara yang beraliran putih dan jawara yang beraliran hitam. Pengklasifikasian tersebut berdasarkan dari sumber magis yang diperoleh para jawara. Sumber magis Jawara aliran putih biasanya didapati dari ajaran Islam, sumber-sumber magis tersebut biasanya bersumber dari tarekat-tarekat yang popular dan sebagian lain dari tradisi animisme. Sedangkan sumber magis yang berasal dari tradisi animisme inilah yang digunakan oleh jawara aliran ilmu hitam.

Kehadiran mantra putih maupun mantra hitam itu sendiri berpangkal pada kepercayaan masyarakat pendukung di dalamnya yang memunculkan fenomena yang semakin kompleks di zaman sekarang.

Page 26: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

26

Sejumlah penilaian, sikap, dan perlakuan masyarakat Sunda terhadap mantra semakin berkembang24. Dapat dicermati bahwa mantra putih di antaranya bertujuan untuk menguasai jiwa orang lain, agar diri dalam keunggulan, agar disayang, agar maksud berhasil dengan baik, agar perkasa dan awet muda, berani, agar selamat, untuk menjaga harta benda, mengusir hantu atau roh halus, menaklukan binatang, menolak santet, untuk menyembuhkan orang sakit. Adapun kategori mantra hitam diantaranya bertujuan untuk mencelakai orang agar sakit atau mati, membalas perbuatan jahil orang lain, dan memperdayakan orang lain karena sakit hati.

Sedangkan proses munculnya pengklasifikasian dalam suatu tempat kebudayaan, seperti halnya yang terjadi antara Jawara. Dapat di tinjau dari sudut pandang aspek antropologis yang terkait dengan kultur historis. Menurut Evon Vogt dan Thomas F O’dea, terdapat perbedaan kebudayaan dalam masyarakat yang ekologinya memperlihatkan kesamaan. Telah menunjukan hipotesa pokok yaitu bahwa orientasi nilai-nilai memainkan peranan penting dalam bentuk pranata sosial yang diamati. Orientasi nilai-nilai disini adalah, makna pandangan-pandangan hidup dalam memberikan defininsi arti kehidupan manusia atau “situasi kehidupan manusia”25. Hal ini menunjukan kasus

24 Ada sebagian masyarakat yang begitu mengikatkan secara penuh

maupun sebagian dirinya terhadap mantra dalam kepentingan hidupnya. Sebagian masyarakat lainnya secara langsung atau tidak langsung menolak kehadiran mantra dengan pertimbangan bahwa menerima mantra berarti melakukan perbuatan syirik. Pada bagian masyarakat yang disebutkan pertama dapat digolongkan ke dalam masyarakat penghayat atau pendukung mantra, sedangkan bagian masyarakat yang lainnya digolongkan ke dalam masyarakat bukan penghayat mantra. Artinya mereka menganggap bahwa mantra ini berdaya magis seolah mantra ini adalah sebagai alat komunikasi antara manusia dengan kosmos-Nya agar sang makrokosmos mengabulkan atau memberi kemudahan Lihat, Jakob Sumardjo, Estetika paradoks. (Bandung: Sunan Ambu press, 2006), 5.

25 Penelitaian yang dilakukan oleh Vogt dan O’dea, dilakukan pada hubungan antara dua komunitas Mormon dan Homestead yang terletak didaerah New Mexico. lihat Evon Z.Vogt dan Thomas F.O’dea, Cultural Differences In Two Ecologically Similar Communities. Dalam Parsudi Suparlan, Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan. (Jakarta: Rajawali pers,1984), 161-162.

Page 27: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

27

pengklasifikasian Jawara aliran putih dan jawara aliran hitam, memperlihatkan adanya adanya perbedaan kebudayaan dalam masyarakat yang sama. Dimana pandangan-pandangan hidup jawara aliran putih dan jawara aliran hitam yang berbeda, orientasi nilai jawara aliran putih bersumber dari ajaran Islam dan kiyai, sedangkan orientasi nilai pandangan hidup yang dipegang oleh jawara aliran hitam bersumber dari animisme sepenuhnya. 1. Jawara Aliran Putih

Seperti yang disebutkan diatas berdasarkan klasifikasi sumber magis yang diperoleh para Jawara. Jawara beraliran ilmu putih adalah, mereka yang memiliki kesaktian magis yang berasal dari sumber-sumber agama Islam, khususnya mereka yang mendalami kelompok tarekat. Jawara yang beraliran putih dipandang dekat dengan kiyai, bahkan lebih dari itu mereka berafiliasi dengan para kiyai. Sumber magis yang mereka dapat berasal dari kiyai sebagai mentor ataupun gurunya, selain itu amalan-amalan ritual yang dijalankan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Beberapa ritual yang terlihat paling penting adalah amalan dan puasa. Kedua bentuk ritual ini memiliki pengaruh yang sangat besar. Puasa merupakan latihan pengendalian diri menahan hawa nafsu. Puasa dalam ritual ini bukan seperti puasa ramadhan yang lazim dilaksanakan, sedangkan puasa dalam ritual ini merupakan upaya pengolahan bathin dengan tetap mengingat Allah. Sedangkan jumlah puasa yang dijalankan oleh seorang murid dapat dilakukan selama 3-7 hari bahkan ada yang sampai 40 hari, perbedaan kuantitas tersebut bergantung pada kelompok yang ia ikuti.

Sementara amalan merupakan kegiatan zikir. Zikir ini biasanya dengan mengulang beberapa kalimat atau ayat-ayat al-quran. Bentuk zikir disesuaikan dengan kemampuan yang ingin diperoleh, bentuk zikir yang paling pendek adalah membaca berulang tahmid ataupun takbir, sedangkan yang paling panjang adalah pembacaan ayat kursi ataubebrapa zikir khusus yang dimiliki kelompok tertentu. Jumlahnya beragam, ada yang perlu dibaca tiga kali bahkan ada yang dibaca tiga kali. Ritual zikir ini biasanya dilakukan setelah shalat wajib atau tahajud.Disamping itu juga ada amalan yang bukan dari ayat-ayat al-Quran tetapi menggunakan bahasa kuno, ada yang menggunakan bahasa Sunda dan bahasa Jawa.

Page 28: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

28

Begitu pula tentang hal-hal perbuatan yang dilarang dalam menjalani norma kehidupan, ataupun dalam bahasa mereka yang lebih dikenal dengan “pantangan” biasanya bersumber dari Islam dan sesuai dengan ajaran syariat-syariat Islam. Seperti halnya dilarang mencuri, tidak boleh sombong, tidak boleh meninggalkan sholat, dilarang main perempuan dan sebagainya. Kekuatan magis yang bersumber dari kiyai, merupakan suatu kebutuhan bagi para jawara aliran putih, sebagai legitimasi kepemimpinan dalam masyarakat Banten26.

Salah satu contoh pertunjukan seni kebudayaan setempat yang dimainkan oleh para jawara aliran putih, antara lain adalah seni kebudayaan Debus. Akulturasi debus dengan Islam merupakan bentuk sakralisasi kebudayaan, sehingga dikatakan bahwa hubungan debus dengan Islam seperti mata uang yang tidak memiliki arti jika salah satu bagiannya hilang. Konsep ini dapat dipahami bahwa hanya muslimlah yang dapat mempelajari permainan debus. Debus bukan semat permainan pertunjukan kekebalan tubuh terhadap benda-benda tajam, namun lebih dari itu debus merupakan sikap kepasrahan, totalitas kepada Allah27.

26 Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa peran Ulama

dalam masyarakat Banten memiliki peranan signifikan, baik dalam aspek kehidupan sosial keagamaan maupun kepemimpinan. Oleh karena itu legitimasi dari kiyai dianggap penting sebagai sumber kekuatan magis yang diperoleh jawara aliran putih, untuk menjadi pemimpin dalam masyarakat. Lihat, Yanwar Pribadi, The Background to the Emergence of Jawara in the Erly Nineteenth Century Banten. (Serang: Al Qalam, Jurnal Ilmiah Bidang Keagamaan dan Kemasyarakatan. Vol. 25, No.3 September-Desember, Lembaga Penelitian IAIN “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten, 2008), 412.

27 Budaya dan agama dalam permainan debus melebur menjadi satu, budaya sebagai bentuk dari pemikiran manusia dan agama sebagai bentuk keyakinan melahirkan pola baru dalam kehidupan masyarakat. Disinilah terjadi proses akulturasi pada masyarakat Banten, antara budaya lokal dengan nili-nilai ajaran Islam. Sakralisasi kebudayaan dalam kasus debus merupakan perwujudan terhadap pemahaman keagamaan yang terealisasikan dalam bentuk tindakan keberagamaan, religiusitas mereka. Kebudayaan inilah yang diperankan oleh para jawara aliran putih, sebagai salah satu bentuk dalam mempertahankan co-exsistensi mereka dalam masyarakat dan kebudayaan Banten. Lihat Nauval Syamsu, Debus Sebuah Fenomena Keagamaan, Studi Kultural Debus Banten (Jakarta: Tesis, Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), 43.

Page 29: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

29

Adapun tarekat yang populer dan berafiliasi di kalangan Jawara Banten aliran ilmu putih adalah antara lain, tarekat Qodariyah, Rifa’iyya^h dan Samma^niyah. Tarekat-tarekat inilah yang berkembang luas dikalangan masyarakat Banten dan banyak dipergunakan oleh para jawara yang gemar mengamalkan praktik magis dengan menggunakan teknik-teknik dan doa-doa dari tarekat tersebut. Doa-doa tersebut biasanya berbahasa arab, karena sumber tersebut diambil dari Qur’an dan Hadist. Oleh karena itu para jawara sendiri mendeklarasikan, bahwa ilmu kesaktian yang mereka peroleh didapati dan bersumber dari para kiyai khususnya para murshyid tarekat masing-masing. Seorang jawara yang menjadi guru ilmu-ilmu magis ataupun hikmah biasanya telah dikenal kesaktianya didalam kalangan jawara dan masyarakat lokal setempat. Berdasarkan ilmu kesaktian magis yang diperoleh jawara dan banyaknya jumlah pengikut anak buahnya, masyarakat lokal setempat sering menggunakan istilah jawara “gede” dan jawara “teri”28

2. Jawara Aliran Hitam Jawara yang beraliran ilmu hitam adalah mereka yang

mempergunakan sumber-sumber kesaktian dari tradisi pra Islam. Adapun doa atau mantra yang mereka gunakan sebagai sumber magis dan kesaktian berasal dari kepercayaan animisme dan dinamisme, disebut dengan Jangjawokan. Bahasa mantra yang digunakan biasanya berasal dari bahasa Jawa kuno dan Sunda kuno, yang terkadang sulit untuk dipahami lagi, termasuk orang yang mengamalkannya. Ilmu tersebut dianggap berasal bukan sumber ajaran dan tradisi dari Islam, masyarakat sering menyebutnya dengan elmu Rawayan. Sumber elmu Rawayan

28 Jawara “gede” Istilah yang sering digunakan oleh masyarakat

Banten adalah, mereka yang memiliki kesaktian magis tinggi dan dekat dengan para kiyai. Sedangkan jawara “teri” adalah, mereka yang tidak begitu memumpuni dalam pengolahan ilmu kesaktian, selain itu aktivitas mereka biasanya melakukan perampokan dan menjadi centeng penjaga.

Page 30: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

30

sendiri berasal dari masyarakat Baduy yang mendiami daerah lebak, dan sering mempraktekanya dalam hal mistis29.

Para jawara yang memiliki ilmu seperti ini sering dianggap sebagai jawara yang jahat, minimal mereka dianggap kurang taat dalam menjalankan dan melaksanakan ajaran-ajaran perintah Islam. Karena dipandang ilmu-ilmu yang dipergunakannya itu bertentangan dengan ajaran Islam, seperti halnya mengadakan ritual yang berbau animisme dan dinamisme, seperti memberikan persembahan ataupun sesajen kepada benda-benda tertentu, antara lain seperti halnnya keris, golok ataupun benda-benda yang dianggap keramat. Oleh karena itu jawara ini disebut dengan jawara aliran hitam, hal ini dikarenakan perbedaan sumber magis yang mereka dapat.

Adanya pembagian antara mantra putih white magic yang digunakan oleh jawara aliran putih dan mantra hitam black magic perwakilan jawara aliran hitam. Sebenarnya sulit untuk diukur dalam pengertian tidak ada pembeda secara nyata di antara keduanya, karena sering terjadi penyimpangan tujuan dari mantra putih ke mantra hitam tergantung kepada siapa dan bagaimana akibat yang ditimbulkan oleh magic tersebut. Meskipun demikian, dapat dibedakan jika jawara aliran hitam sepenuhnya menggunakan elmu rawayan. Pada umumnya sebagian jawara Banten, mecampur adukan eklektik terhadap kedua sumber magis tersebut. Sehingga dapat dijumpai praktek-praktek magis yang diawali dengan pembacaan dua kalimah syahadat atau ayat-ayat suci al-Quran kemudian dibarengi dengan membaca mantra-mantra sejenis jangjawokan.

Perkembangan Jawara sendiri mengalami perubahan dari waktu ke waktu, pada masa awal Jawara disegani karena dianggap sebagai pembela kaum lemah selanjutnya Jawara dikonotasikan negative “jalma wani rampog” (orang yang berani merampok). Kemudian citra ini terus

29 Ada yang berpendapat, bahwa kata “Rawayan” sendiri adalah

sebutan bagi masyarakat suku Baduy pedalaman. Suku baduy sendiri adalah penduduk asli Banten, mayoritas dari mereka memeluk kepercayaan Animisme dan Dinamisme, serta memegang teguh tradisi dari para leluhur mereka. Ilmu Rawayan sendiri telah dipraktekan jauh sebelum datangnya Islam, dan merupakan tradisi pra Islam. Wawancara dengan H. Isnan, Tokoh masyarakat desa kanekes (Baduy luar), Rangkas, Juli 2010.

Page 31: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

31

terbawa hingga abad ke 20 karena alas an-alasan tertentu. Selain itu Jawara terbagi menjadi dua bagian Jawara ilmu putih dan Jawara ilmu hitam.30

Saat ini peranan penguasaan politik di Banten tidak dapat dipisahkan dari kelompok Jawara, kelompok elit lokal (Jawara) ini masih berpengaruh di dalam menentukan orientasi politik masyarakat di provinsi ujung bagian barat pulau ini. Terdapat pergeseran dan mobilitas sosial yang cukup cepat dalam kelompok Jawara. Jika dahulu peranan tradisional yang sering dimainkan para Jawara hanya sebatas menjadi jaro, guru silat dan satuan–satuan pengamanan.31 Maka berbeda pada masa ini terjadi pergeseran nilai dalam kelompok Jawara itu sendiri, mereka adalah elit masyarakat karena di antara mereka ada yang menyibukan diri di bidang ekonomi sebagai pengusaha, ada yang mendalami ilmu agama sebagai Kiyai dan ada yang mengabdikan diri ke dunia politik sebagai birokrat.

Pengelompokan kepemimpinan di dalam tubuh kelompok Jawara sendiri menunjukan adanya pengikut ataupun anak buah yang mengakui pimpinannya masing-masing. Pada setiap daerah di Banten khususnya daerah Serang, dapat ditemui perguruan-perguruan persilatan disamping mengajarkan aliran persilatan, juga mengajarkan kemampuan olah batin yang dijadikan sarana untuk memperoleh beberapa jenis kemampuan, di antaranya ilmu kekebalan. Dapat dikatakan bahwa ilmu olah batin dan ilmu kekebalan masih banyak diminati oleh masyarakat Banten. Di dalam komunitas perguruan persilatan inilah kelompok Jawara terorganisir dalam sebuah kepemimpinan.

30 Nina H Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama,

dan Jawara...,128. 31 Salah satu yang menjadi menarik di dalam masyarakat banten,

adalah peranan para Jawara sebagai satuan pengamanan. Jika di daerah-daerah lain di Indonesia Polisi dan TNI memiliki peranan signifikan dalam masalah pengamana hajatan akbar, pentas, pemilu dan sebagainya, maka yang terjadi di Banten adalah para Jawara lah yang mengambil alih pengamanan tersebut, seperti halnya ketika rapat sidang pemilihan Gubernur Banten untuk pertamakali. Selain itu pola pemikiran mayarakat Banten lebih memercayai para Jawara.

Page 32: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

32

Setiap pemimpin diakui pengikutnya baik itu Jawara kelompok pengusaha, Kiyai ataupun politisi. Meski pengelompokan pemimpin dan pengikut tersegmentasi, tetapi tetap ada garis koordinasi yang sangat kuat antar Jawara karena mereka tergabung dalam sebuah organisasi bernama Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia (PPPSBBI) yang didirikan pada tahun 1973. Ikatan inilah yang menjadi pemersatu para Jawara, perlu diketahui bahwa ikatan emosional kelompok Jawara sangat erat sekali antara guru dengan murid, antara beda perguruan yang memunculkan istilah satu guru satu elmu.32 Ikatan tersebut merupakan ikatan emosional kekeluargaan di dalam kelompok Jawara, sehingga memunculkan rasa as’abiah33 dan solidaritas tinggi antar Jawara, sehingga mempermudah mereka dalam gerak politik.

Masa Orde Baru merupakan era merekonstruksi peranan dan pemberdayaan Jawara. Pada masa inilah kelompok Jawara dirangkul dan dikooptasi oleh para penguasa, hal ini ditandai dengan dimasukanya kelompok Jawara kedalam organisasi Satuan Karya (Satkar) Ulama pada tahun 1970, yang mana saat itu menjadi mesin politik Golkar. Penyatuan Jawara dalam satu payung organisasi tersebut kemungkinan mempunyai latar belakang politis. Semenjak itu peran Jawara sangat signifikan di Banten, terutama dalam mendukung perolehan suara Golkar, dan melaksanakan program pembangunan lokal pada masa pemerintahan Orde Baru. Politik akomodasi dan kooptasi yang dilakukan oleh Orde Baru terhadap entitas Jawara, membawa kelompok tersebut kestrata sosial yang lebih atas dan mengalami mobilitas vertikal secara drastis.

32 Istilah ”satu guru satu elmu” dalam masyarakat Banten, merupakan

jargon bagi para pendekar/Jawara Banten, yang memiliki makna ikatan persaudaraan yang kuat dan tidak boleh saling mengganggu antara perguruan satu dengan perguruan yang lainya.

33 Hubungan emosional yang erat antara Jawara memunculkan rasa solidaritas yang tinggi terhadap kelompok mereka, hal tersebut memunculkan as’abiah ataupun fanatisme kesukuan yang di kemukakan oleh Ibn Kahaldun dalam Muqaddimahnya tentang teori as{a>bi’ah dalam kekuasan. Lihat, Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khald}u>n, terj, Ahmadie Toha (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986), 156-161.

Page 33: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

33

Kekuasaan sendiri adalah kemungkinan seorang pelaku mewujudkan keinginannya di dalam suatu hubungan sosial yang ada, termasuk dengan kekuatan.34 Pada masa Orde Baru posisi Jawara berhasil ditempatkan dan diberdayakan sebagai kelompok yang tergantung pada pemerintah dan mesin politiknya, dilain hal kelompok inipun diberi peran peran ekonomi yang setrategis di Banten.35 Oleh karena itu perannya bergeser menjadi sebuah kekuatan ekonomi yang penting dan patron bagi pengusaha-pengusaha lokal.

Kini peranan Jawara dalam masyarakat Banten semakin penting setelah Banten menjadi Provinsi sendiri. Peranan Jawara tidak hanya mendominasi dalam aspek budaya dan ekonomi bahkan masuk kedalam ranah politik lokal. Tumbuh dan berkembangnya elit lokal informal leader disuatu wilayah, merupakan akibat dari terjadinya pelapukan fungsi dari institusi formal Negara. Hal ini dapat dapat dilihat dari gejala perubahan yang dialami oleh informal leader, di tengah perubahan sosial dan politik di suatu Negara. Dominasi politik dan ekonomi di Banten telah dikuasai oleh para elit lokal (Jawara), dan lembaga pemerintah baik eksekutif maupun legeslatif tersandera oleh kepentingan elit (Jawara) tersebut. Selain itu, elit lokal tersebut sampai kini masih tetap berpengaruh dalam menentukan orientasi politik masyarakat Banten.

Permasalahan

34 Roderick Martin, Sosiologi Kekuasaan (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 1993), 70-71. 35 Kelompok Jawara yang berperan dalam bidang ekonomi ini sering

di sebut dengan kelompok Jawara pasar yang di pimpin oleh H.Chasan Sohib, beliaulah tokoh pemimpin Jawara Banten yang paling di segani dan memimpin organisasi PPPSBBI. Bahkan bukan hanya aspek ekonomi saja yang dikuasai melainkan aspek politik dan pemerintahan dikuasai oleh mereka, hal ini ditandai dengan menangnya Atut Chociah sebagai Gubernur Banten pada pilkada Banten tahun 2006, Atut Chochiah sendiri adalah putri dari H.Chasan Sohib, dan baru-baru ini Andika Hazyrumi (putra Atut Chochiah) terpilih sebagai anggota DPD Banten dalam pemilu 2009 kemarin. Mereka inilah yang dikenal sebagai dinasti Jawara Chasan Sohib, nampak jelas disana terdapat berganing politik kelompok Jawara pasar di Banten.

Page 34: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

34

Permasalahan pokok yang dibahas dalam penelitian ini ialah bagaimana keberadaan eksistensi Jawara secara historis, kehidupan sosial dan budaya mereka, kedudukan dan peranan Jawara dalam masyarakat lokal, kapan mulai diberdayakannya Jawara, pola hubungan ulama dan Jawara baik dari aspek sosial dan kultural, serta bagaimana hubungan mereka sebagai elit sosial dalam masyarakat Banten dengan Pemerintahan lokal saat ini.

Sebagai sebuah kelompok yang bersumber dari tradisi (lokal), komunitas Jawara mencerminkan budaya yang berbeda dari daerah-daerah lain di Indonesia. Dahulu peranan tradisional yang sering dimainkan para Jawara hanya sebatas menjadi jaro, guru silat dan satuan–satuan pengamanan, saat ini bergeser kearah level yang lebih atas, bahkan membentuk organisasi (yang mencerminkan budaya modern). Kelompok jawara memiliki kesekertariatan keanggotaan yang terstruktur dan terorganisir secara rapih, dan memiliki hubungan yang intens dengan pemerintahan setempat.

Penelitian Terdahulu

Karya tulis ataupun penelitian mengenai Banten, baik dari aspek kajian historis, budaya antropologi, dan kajian sosial maupun aspek politik, telah dilakukan oleh beberapa kalangan akademisi baik dalam negeri maupun luar negeri, bahkan kajian tersebut terkesan terfragmentasi dalam aspek historis. Oleh karena itu tidak heran jika kita menemukan adanya disparitas dalam penulisan tentang sejarah Banten itu sendiri.

Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara dan Demokrasi, Geliat Politik Banten Pasca Orde Baru.36 Dalam karyanya, menjelaskan tentang pengaruh dan dominasi kelompok Jawara dalam aspek kehidupan sosial, ekonomi dan politik di Banten. kelompok Jawara

36 Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara dan Demokrasi, Geliat

Politik Banten Pasca Orde Baru (Jakarta: Dian Rakyat, 2009).

Page 35: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

35

memiliki peranan signifikan dalam percaturan politik di Banten, khususnya pada masa Reformasi, pasca runtuhnya Orde Baru dan Banten menjadi provinsi tersendiri. Jawara yang lekat dengan kultur Islam tradisional dan berfungsi sebagai pemimpin tradisional informal leader, digambarkan sebagai bayang-bayang yang membelut demokrasi politik di Banten.

Sedangkan dalam penelitian tentang Banten bidang antropologi terdapat Tihami, dengan karyanya yang berjudul, “Kiyai dan Jawara Banten : Studi Tentang Agama, Magi dan Kepemimpinan Di Desa Pesanggrahan Serang Banten”. Tesis, Antropologi UI. Jakarta, 1992. Menjelaskan definisi dari Kiyai dan Jawara itu sendiri dalam konteks lokal, bahkan kedua kelompok ini merupakan kelompok elit masyarakat Banten, yang memiliki kekuasaan informal dengan kharisma dan kekuatan magis yang mereka miliki. Berbeda halnya Kartodirdjo yang medefinisikan Jawara sebagai suatu yang negative, tetapi walau bagaimanapun pada masa tersebut kekuasaan Jawara tetap berada di bawah ulama. Sedangkan Tihami berpendapat Jawara merupakan murid dari Kiyai dan terdapat hubungan simbiosis mutualisme antara keduanya.37

Dari aspek politik, terdapat William Reno, dalam Corruption and State Politics in Sierra Leone yang memiliki kesimpulan bahwa intervensi kebijakan oleh suatu elit terhadap pemerintahan formal mengisyaratkan bahwa praktek informal market telah terjadi, bersamaan dengan lemahnya peran pemerintah itu sendiri, atau yang kemudian disebut sebagai shadow state. Hal ini lah yang terjadi di Banten, Jawara sebagai elit lokal informal leader mendominasi segala aspek kehidupan masyarakat, baik itu politik maupun ekonomi. Praktek shadow state yang terjadi di Banten diperankan oleh para Jawara, hal tersebut terjadi dikarenakan absennya negara dalam menangani para elit lokal tersebut.

37MA Tihami, “Kiyai dan Jawara di Banten, Studi tentang Agama,

Magi, dan Kepemimpinan di desa Pesanggrahan Serang, Banten” (Jakarta: Tesis, Universitas Indonesia, 1992).

Page 36: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

36

Sedangkan Menurut Nina Lubis dalam karyanya, Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, dan Jawara. Adapun sejarah awal munculnya Jawara terjadi pada abad ke 19, pasca dihapusnya pemerintahan Kesultanan Banten oleh Dandles. Perkembangan Jawara sendiri mengalami perubahan dari waktu ke waktu, pada masa awal Jawara disegani karena dianggap sebagai pembela kaum lemah selanjutnya Jawara dikonotasikan negative “jalma wani rampog” (orang yang berani merampok). Kemudian citra ini terus terbawa hingga abad ke 20 karena alas an-alasan tertentu. Selain itu Jawara terbagi menjadi dua bagian Jawara ilmu putih dan Jawara ilmu hitam.38

BAB II

AKAR BUDAYA KEKERASAN JAWARA

Banten merupakan daerah yang unik dengan tradisi dan kultur budaya lokalnya. Kultur budaya Banten yang sangat erat dengan nilai-niai budaya Islam, dan telah menciptakan budayanya tersendiri. Salah satu komunitas yang merupakan produk dari kultur masyarakat Banten adalah, jawara Banten. Jawara Banten merupakan sosok fenomenal dalam tataran masyarakat lokal. Bahkan lebih dari itu komunitas ini dianggap sebagai elit yang menembus batas-batas sosial.39 Sebagai elit, peranan jawara dianggap signifikan dalam aspek kehidupan masyarakat Banten. Pada Bab ini penulis, akan membahas tentang akar-akar kekerasan dalam budaya jawara. Dimulai dari pergumulan sejarah singkat kekerasan yang terjadi di Banten. Akar budaya kekerasan dalam kelompok jawara ini muncul yang salah satunya diperoleh dari dunia pesantren, dan padepokan paguron. Dimana para

38 Nina H lubis Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, dan Jawara. (Jakarta: LP3S, 2003).

39 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Jakarrta: Pustaka Jaya, 1984), 83.

Page 37: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

37

jawara mempelajari praktek-praktek ilmu magis, kesaktian, ziyad, kebal dan lain sebagainya. Selain itu, akan dijelaskan kemunculan praktek magis dalam dunia pesantren dan paguron padepokan di Banten. Salah satu akar kekerasan yang terjadi dalam budaya jawara Banten dan masyarakat pada umumnya, adalah fenomena teluh dan tenung. Sihir Teluh dan tenung yang berkembang di Masyarakat, merupakan salah satu representasi dari ilmu hitam di Banten, akar budaya kekerasan ini pun akan dijelaskan dalam bab ini.

A. Sejarah Singkat Kekerasan di Banten

Banten merupakan salah satu daerah yang cukup dikenal, bukan hanya tempat pariwisata pantai anyer, suku Baduy ataupun badak bercula satu yang menjadi land mark andalan pariwisata provinsi ini. Lebih dari itu Banten dikenal karena budaya masyarakat lokal yang unik dan berbeda dari daerah lainnya, walaupun setiap suku masyarakat yang mendiami daerah-daerah lain di Indonesia memiliki kutur budaya mereka tersendiri. Identitas budaya masyarakat lokal inilah yang disebut Ali Fadillah sebagai kearifan lokal, disinilah nilai-nilai budaya, tradisi, adat istiadat yang bersumber dari ascriptive ataupun atavistic selalu dipegang oleh masyarakat Banten di dalam melestarikan dan menjaga kebudayaan mereka.40

Secara geografis Banten sendiri salah satu provinsi yang terletak di ujung barat pulau Jawa Indonesia, di sebelah barat provinsi ini langsung menghadap ke selat sunda, di sebelah timur berbatasan dengan provinsi DKI Jakarta, di sebelah utara ia berbatasan dengan laut jawa, di sebelah selatan provinsi ini langsung menghadap ke laut pasifik. Dari segi letak geografis provinsi ini memegang peranan perekonomian yang cukup

40 Persoalan selanjutnya adalah kultur identitas lokal Banten sendiri

kerapkali hanya dijadikan symbol bagi segelintir elit, dalam meraih kepentingan pribadi maupun kelompok. Lihat Ali Fadillah, Identitas Banten: Reposisi Nilai Budaya Dalam Modernitas, dalam Banten Melangkah Menuju Kemandirian , Kemajuan dan Kesejahteraan, editor Agus Sutisna (Banten: Biro Humas Provinsi Banten, 2005),73.

Page 38: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

38

strategis, provinsi ini sendiri merupakan jalur transit yang menghubungkan pulau Jawa dengan pulau Sumatera, sekaligus menjadi wilayah alternative dan wilayah penyangga hinterland bagi DKI Jakarta, dan memiliki bandara udara internasional (Soekarno-Hatta) sebagai jalur akses dunia luar. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2000 penduduk Banten berjumlah 8.096.809 jiwa, dan pada tahun 2003 meningkat 8.956.229 jiwa, dengan komposisi 4.563.563 jiwa laki-laki dan 4.392.666 jiwa perempuan. Sebagian besar penduduk Banten berpendidikan rendah, khususnya yang terletak di wilayah serang, lebak dan pandeglang.

Masyarakat Banten dimata orang luar dikenal dengan daerah yang keras, baik dari gaya bicaranya, bahasanya, dan tindakannya. Sehingga menimbulkan image bahwa tindakan kekerasan seolah-olah telah melekat dalam kehidupan masyarakatnya. Untuk memahami kondisi sosial dan budaya kekerasan pada masyarakat Banten tersebut, dapat dilihat dari aspek historis dimana peristiwa-peristiwa kekerasan telah terkonstruk pada masa awal berdirinya Kesultanan Banten. Jika dilihat dari aspek sosial dan budaya, Banten dikenal dengan salah satu daerah berbasis Islam tradisionalis dan fanatik di kepulauan Jawa. Maka tak heran jika ketika seseorang membicarakan Banten, ia akan berasumsi bahwa daerah ini adalah daearah para Kiayi, Jawara, magis dan debus. Pandangan ini sendiri muncul lantaran kuatnya Islam mengakar dalam setiap aspek kehidupan masyarakatnya, baik secara taradisi, kultur dan Budaya. Selain itu Banten juga dikenal dengan tingkat religiusitas masyarakatnya yang cukup tinggi.41 Identitas budaya tradisi masyarakat Banten inilah yang lebih dikenal luas oleh sebagian masyarakat Indonesia, baik masyarakat awam maupun akademik. Selain itu

41 Bruinessen menyimpulkan bahwa masyarakat Banten memiliki

tingkat religiusitas yang tinggi berdasarkan faktor historis, diantaranya, Banten merupakan bekas wilayah Kesultanan Islam,kiyai berperan sebagai elit masyarakat lokal dan memiliki peran signifikan, kultur dan budaya Banten diwarnai oleh nili-nilai ajaran Islam dan lain sebagainya. Lihat Martin Van Bruinessen, Shari’a court, Tarekat and Pesantren : Religius Istitutions in The Banten (Paris: Archipel, 1995),168.

Page 39: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

39

kultur dan budaya lokal Banten dianggap memiliki nilai jual marketable dikalangan para peneliti ataupun dunia pariwisata.

Daerah Banten pada masa awal merupakan sebuah daerah terpencil yang diapit oleh berbagai sungai diantaranya, CiBanten, Cisadane, dan Cidurian. Sejarah Banten sendiri lebih dikenal ketika penetrasi Islam masuk ke wilayah ini dan membentuk sebuah sistem pemerintahan yang berbentuk kerajaan oligarki. Pada abad ke-16 M Islam telah menyebar di wilayah ini sampai kepada puncaknya yang diatandai dengan berdirinya kesultanan Banten Girang pada tahun 1525 M. Adapun tentang keberadaan ataupun masukknya Islam di Banten, sekitar tahun 1512 M telah di temukan komunitas Islam di daerah Cimanuk kota pelabuhan dan batas kerajaan Sunda Hindu dengan Cirebon. Hal ini berarti menunjukan bahwa pada abad 15 M di wilayah kerajaan Sunda Hindu Padjajaran telah terdapat masyarakat yang memeluk Islam.42

Penetrasi Islam di wilayah ini mulai menyebar secara signifikan ketika datangnya Syarif Hidayatulah (Sunan Gunung Djati) dan putranya pangeran Sabakingking (Maulana Hasanuddin) yang mulai menyebarkan Islam di wilayah ini. Dalam proses menyebarkan ajaran Islam kepada penduduk pribumi, Maulana Hasanuddin mempergunakan cara-cara yang lebih dikenal oleh masyarakat setempat yakni dengan mengadu kesaktian. Dengan metode seperti inilah Maulana Hasanuddin berhasil menaklukan Pucuk Umun yakni punggawa dari Padjajaran beserta 800 ajar melalui adu kesaktian, dan bersedia memeluk agama Islam dan menjadi pengikut Hasanuddin. Dengan takluknya Pucuk Umun terhadap Hasanuddin, hal ini telah menandakan berakhirnya masa kekuasaan Kerajaan Sunda Hindu Padjajaran atas wilayah Banten.43

Sekitar tahun 1525 M. wilayah Banten secara teritorial dapat dikuasai penuh oleh pasukan Sultan Maulana Hasanuddin, yang kemudian lebih dikenal dengan gelar Panembahan

42 Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten (Serang: Saudara Serang, 1993), 50.

43 Else Ensering, Banten in Times of Revolutions (Paris: Archipel,1995),131-132.

Page 40: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

40

Surosowan. Dengan berdirinya kesultanan Islam di wilayah Banten, telah menandai peralihan kekuasaan dari penguasa Hindu saat itu, yaitu Pucuk Umun kepada Sultan Maulana Hasanuddin sebagai penguasa dengan pemerintahan Islam yang berkedudukan di Cirebon. Banten Girang pada saat itu menjadi pusat kegiatan pemerintahan Kesultanan Banten, tetapi atas intruksi dari Sunan Gunung Djati pusat Ibu Kota pemerintahan Kesultanan Banten di pindahkan dari Banten Girang menuju teluk Banten (1526-1820 M) yang kemudian disebut Surosowan. Daerah ini menjadi pusat kegiatan Kesultanan Banten, kerajaan yang bercorak Islam terbesar di ujung barat pantai utara pulau Jawa, selama kurang lebih empat abad 16-19 M.

Setidaknya tercatat 19 orang Sultan yang pernah memimpin Kesultanan Islam terbesar di ujung barat pulau Jawa ini. Walaupun kerajaan ini berlandaskan Islam, asas kerukunan toleransi dan pluralisme beragama terbuka bagi masyarakat. Kesultanan Banten merupakan kesultanan yang egaliter dan terbuka bagi semua golongan dan agama, setidaknya sampai saat ini kita dapat melihat klenteng Tionghoa yang didirikan pada masa Sunan Gunung Djati sampai saat ini masih terawat dengan baik dan menjadi situs cagar budaya nasional. Kejayaan Kesultanan Banten tetap terus bertahan setelah Sultan Maulana Hasanuddin wafat (1570 M). Adapun para Sultan yang menggantikan beliau seperti halnya; Maulana Yusuf (1570-1580 M), Maulana Muhammad (1580-1596 M), sampai kepada Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1672 M), berhasil mempertahankan kejayaan dan terus berusaha memperluas wilayah teritorial Kesultanan Islam Banten.

Pada masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa wilayah Kerajaan Kesultanan Banten terus meluas dengan mengadakan invasi dan menguasai beberapa daerah meliputi; Jayakarta (Jakarta), Bogor, Karawang sampai ke daerah Lampung. Bahkan pada masa kekuasaan Sultan Maulana Yusuf, kekuasaan Kerajaan Sunda Padjajaran telah berhasil ditaklukan, sehingga kekuasaan Kesultanan Banten telah menguasai sepenuhnya Ibu Kota

Page 41: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

41

Kerajaan Padjajaran.44 Meskipun Kesultanan Banten sedang berada pada masa puncak kejayaan, tak berarti Kesultanan ini bebas dari konflik-konflik, baik internal maupun eksternal. Pada masa kekuasan Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir (1596-1651 M) konflik internal pernah dialami oleh Kesultanan Banten pada saat itu, bahkan Kesultanan ini sempat goyah karena adanya persaingan internal antara sesama pangeran keturunan Sultan yang ingin berkuasa dengan memperebutkan tahta. Pada saat situasi seperti inilah kapal-kapal dagang Belanda Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) mulai berdatangan di kawasan wilayah perairan Nusantara, termasuk wilayah Banten dan sempat berhasil menguasai wilayah Jayakarta (Batavia).

Kesultanan Banten merupakan Kerajaan yang berlandaskan asas syariat Islam, secara otomatis perkembangan Islam pada masa ini berkembang pesat. Perkembangan Islam yang signifikan pada masa ini diperoleh dengan dukungan politik pemerintah yang berkuasa saat itu. Seperti halnya menurut Thomas Aquinas, agama rakyat menuruti agama raja (penguasanya).45 Teori seperti ini nampaknya berlaku pada masyarakat Banten pada masa tersebut. Perkembangan pesat tersebut ditandai dengan tumbuh dan bermunculanya kelompok tarekat-tarekat, pesantren-pesantren di pedesaan-pedesaan di wilayah Banten, serta kultur masyarakat yang memegang teguh agama dan tradisi budaya mereka. Sebagai Kerajaan Kesultanan Islam (Banten) tentunya posisi Ulama ataupun Kiyai memiliki peran yang signifikan, dan menduduki struktur sosial teratas setelah Sultan dalam masyarakat Banten. Para Kiyai merupakan perpanjangan tangan dari Sultan dalam proses Islamisasi di pedesaan-pedesaan, bahkan peran Kiyai lebih dari sekedar orang kepercayaan Sultan, mereka menjadi guru spiritual para Sultan dan memberikan masukan serta restu. Sebagai sosok tokoh agama islam, para kiyai memiliki kewajaiban untuk memberikan nasehat-nasehat Mau’izatul

44 Ota Atsushi, Change of Regim and Social Dynamic in West Java, Society, State, and the Outer World of Banten 1750-1830 (Leiden Netherland: Brill, 2006), 5.

45 Teori ini dikenal dengan teori teokratis, dimana negara dibentu oleh Tuhan dan pemimpin negara ditunjuk oleh Tuhan. Thomas Aquinas merupakan salah satu pengusung teori ini. Lihat, F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik (Bandung: Bina Cipta, 1980), 152-153.

Page 42: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

42

hasanah lil mu’minin baik terhadap Sultan maupun masyarakat Banten pada umumnya.46

Dengan mulai berdatanganya kapal-kapal dagang Belanda yang berlabuh di wilayah Jawa dan pelabuhan Karangantu, Kesultanan Banten secara bertahap mengalami fase kemunduran. Perusahaan dagang Belanda Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) yang kemudian mendirikan markas besarnya di pantai utara Jayakarta berusaha melakukan monopoli perdagangan dengan berbagai cara. Masuknya Belanda dalam teritori Banten mengancam stabilitas keamanan dan perekonomian Kesultanan Banten, Sultan Ageng Tirtayasa yang berkuasa pada masa itu (1651-1672 M) telah melakukan beberapa kali konfrontasi penyerangan secara langsung ke Batavia, namun selalu mengalami kegagalan. Bahkan sebaliknya pihak kolonial Belanda dapat mematahkan penyerangan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa dan menjebloskanya ke dalam penjara. Salah satu taktik yang digunakan Belanda dalam menangkap Sultan Ageng Tirtayasa, adalah dengan menggunakan taktik adu domba devide et impera antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan anaknya Sultan Haji. Dengan taktik tersebut Belanda berhasil menguasai wilayah Banten.47

Pada tahun 1808 M, atas instruksi dari Dandels Keraton Surosowan Kesultanan Banten dihancurkan oleh penguasa kolonial Belanda. Banten dijadikan wilayah keresidenan dan Serang menjadi regentschap di bawah struktur pemerintahan Hindia Belanda. Pusat pemerintahan Kesultanan Banten yang dahulu terletak di Surosowan di pindahkan ke Keraton Kaibon. Pada masa ini dapat dikatakan Kesultanan tidak memiliki kekuasan dalam memerintah, dan menentukan kebijakan.

Dihapus dan berakhirnya Kesultanan Banten pada tahun 1816 M. berakibat kepada hancur dan ambruknya tatanan sosial masyarakat. Selain itu tekanan pemerintah kolonial Belanda terhadap masyarakat pribumi semakin besar, sehingga

46 Syeikh Muhammad Jamaluddin Qosim Addimsyiq, Mau’iz}atul

Mu’mini>n min ihya’ulumuddin (Beirut: Darunnafais, 1981), 40. 47 Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu

Banten (Serang: Saudara Serang, 1993),151-152.

Page 43: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

43

menimbulkan perilaku kriminal di dalam kalangan pribumi.48 Tidak hanya perilaku kriminal dan perampokan saja yang terjadi di masyarakat, lebih dari itu konflik antara pemerintah kolonial Belanda berakibat kepada pemberontakan-pemberontakan yang dipimpin oleh tokoh masyarakat khususnya Kiyai. Aneksasi Kesultanan Banten oleh Deandles tersebut menimbulkan kebencian masyrakat terhadap pemerintah kolonial. Ingatan masyarakat Banten tentang kejayaan Banten masa dahulu tetap hidup dalam pikiran masyarakat, oleh karena itu perlawanan rakyat terhadap pihak kolonial Belanda tidak pernah padam. Hampir setiap dasa warsa terjadi pemberontakan rakyat yang menuntut kebebasan dan dikembalikannya kekuasaan Kesultanan Banten.

Selain itu Kiyai memandang hina kekuasaan pemerintah kolonial karena mereka dipandang sebagai orang kafir yang telah merebut kekuasaan dari tangan umat muslim. Lebih dari itu kebebasan beragama pun di batasi oleh pihak kolonial, pelarang ibadah Haji menuju ke Mekah bagi warga Banten.49 Intervensi pihak kolonial Belanda terhadap aspek agama, ditenggarai menambah memperkeruh keadaan politik di Banten.

Dengan kedudukan Kiyai sebagai tokoh pemimpin masyarakat, para kiyai memiliki peranan penting dalam melangsungkan pemberontakan. Dukungan penuh mengalir dari elit-elit sosial lainya, antara lain para Jawara, dan para bangsawan yang bersama-sama melakukan pemberontakan. Setidaknya tercatat lebih dari 6 kali pemberontakan besar yang terjadi di Banten, mulai dari perlawanan Sultan Ageng Tirtayasa, pemberontakan pandeglang (1811 M) peristiwa geger Cilegon

48 Ota Atsushi, Change of Regim and Social Dynamic in West Java,

Society, State, and the Outer World of Banten 1750-1830 (Leiden Netherland: Brill, 2006),153.

49 Penyebab terjadinya pelarang besar-besaran bagi warga Banten untuk melakukan ziarah ibadah Haji ke Mekah, dikarenakan sebagian para penziarah melakukan hubungan jaringan dengan para pemberontak Banten di Mekah. Seperti halnya Syekh Nawawi Al Bantani yang bermukim di Mekah yang terus memberikan dukungan spirit dan perintah jihad untuk melawan kolonial Belanda. Dampak ini membawa penyebaran ideology untuk melakukan pemberontakan terhadap pihak kolonial. Ideology inilah yang di bawa oleh para penziarah Haji selepas pulang dari Mekah.

Page 44: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

44

atau yang lebih dikenal dengan pemberontakan petani Banten (1888 M), Cikande Udik (1845 M), peristiwa Kolelet (1866 M), pemberontakan Wakhia (1850 M), sampai kepada pemberontakan komunis di Banten (1926 M).

Sejarah kekerasan di Banten pun tidak selesai sampai disitu, pada tahun 1926 terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh pimpinan dan anggota Partai Komunis Indonesia wilayah Banten. Pemberontakan tersebut tidak hanya melibatkan kelompok jawara tetapi juga mendapat dukungan dari kelompok Kiyai Banten. akibat dari peristiwa pemberontakan tersebut, banyak dari tokoh-tokoh Kiyai dan jawara Banten ditangkap dan diasingkan ke Boven Digul. Berbagai macam pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di atas, secara tidak langsung telah merekonstruk budaya kekerasan pada masyarakat Banten dan telah membentuk budaya Banten sebagai pribadi watak yang kasar dan keras.

Pasca kemerdekaan Indonesia pada masa Orde Lama, wilayah Banten tidak lepas dari berbagai tindakan bernuansa kekerasan, dimana terjadi pergolakan politik dan tindakan kekerasan. Konflik perebutan kekuasaan tersebut lebih dikenal dengan penghianatan Dewan Rakyat. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1945 M, yang dipimpin oleh seorang tokoh Jawara Ce Mamat, mereka menamakan gerakan mereka ini dengan sebuatan Gulkut atau Laskar Gutgut. Adapaun anggota dari laskar ini terdiri dari para Jawara. Sedangkan kegiatan mereka antara lain mengintimidasi penduduk, merampas harta, membunuh penduduk yang tidak sepaham, terutama keluarga pamong praja (pejabat daerah).50

Gerakan ini muncul karena ketidak sepakatan Dewan Rakyat dengan KH. Ahmad Khatib selaku Residen Banten saat itu, yang ingin hendak mengangkatan kembali pejabat lama pada masa kolonial Belanda menjadi bawahannya (pamong praja). Mereka menuntut agar Residen Banten membatalkan keputusan tersebut, bahkan lebih dari itu Dewan Rakyat mengambil alih kekuasaan di seluruh Keresidenan Banten. Melihat penculikan-penculikan pejabat dan pembunuhan serta perampokan harta yang terus dilakukan oleh laskar Gulkut (para Jawara). Maka KH. Ahamad Khatib selaku Residen Banten menginstruksikan kepada

50 Else Ensering, Banten in Times of Revolutions..., 151.

Page 45: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

45

KH. Syam’un selaku pimpinan tertinggi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) Banten, untuk menumpas pengkhianatan Dewan Rakyat.51

Perkembangan Banten yang tercatat dalam sejarah terjadi pada masa Reformasi, yakni sebuah perjuangan rakyat Banten yang ingin membentuk administrasi pemerintahan sendiri dan memisahkan diri dari provinsi Jawa Barat. Perjuangan rakyat tersebut membuahkan hasil dengan disahkannya Banten menjadi sebuah Provinsi pada tanggal 17 oktober tahun 2000. Jauh sebelum disahkanya Banten menjadi provinsi, sebenarnya pada sekitar tahun 1967-1970an rakyat Banten telah memperjuangkan agar Banten menjadi sebuah Provinsi lepas dari Jawa Barat, namun ada beberapa hal yang menghalanginya terpaksa tertunda. Tepat ketika runtuhnya Orde Baru peluang tersebut digunakan oleh rakyat Banten terutama tokoh Jawara yang melibatkan diri dalam proses pembentukan Provinsi Banten. Diantara tokoh-tokoh yang terlibat tersebut anatara lain; H. Uwes Qorny, Hasan Alydrus, Chassan Sohib, Tryana Syam’un dan para tokoh jawara lainya.52

Peristiwa kekerasan yang terjadi di Banten, tidak hanya terlepas pada tataran aspek politik semata-mata. Aspek agama pun turut memberikan kontribusi atas memacu terjadinya peristiwa-peristiwa konflik kekerasan dalam kehidupan masyarakat Banten. Sebut saja peristiwa pemberontakan-pemberontakan Geger Cilegon, Cikande udik, Wakhia, adalah pemberontakan yang di latar belakangi oleh sensitifitas agama, perlawanan tersebut atas dorongan jihad terhadap kaum kafir Belanda. Peristiwa kekerasan tidak hanya terhenti pada masa kemerdekaan dan revolusi, pada masa reformasi pun konflik kekerasan terus terjadi. Bahkan baru-baru ini peristiwa Cikeusik yang terjadi pada hari minggu 06 Februari 2011,53 secara tidak langsung telah menegaskan bahwa

51 Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten..., 250-251. Lihat pula Else Ensering, Banten in Times Revolutions..., 153.

52 Agus Sutisna (edit), Mengenang Hikayat, Merajut Bersama (Banten: Biro Humas Provinsi Banten, 2005), 8-11.

53 Kasus kekerasan yang terjadi di Cikeusik sempat menjadi headline di media-media massa baik cetak maupun telivisi, setidaknya terdapat tiga korban tewas pada peristiwa tersebut. Ketiga korban tersebut berasal dari

Page 46: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

46

budaya kekerasan di Banten terus diwariskan. Konflik kekerasan yang terjadi di Cikeusik Pandeglang Banten, merupakan konflik agama. Antara masyarakat lokal yang menolak kehadiran Ahmadiyah sebagai aliran sesat di Banten, khususnya Cikeusik Pandeglang.

B. Konstruk Kekerasan

Sebagai salah satu produk kultur budaya masyarakat Banten, jawara memiliki komunitas dan dunianya tersendiri. Walaupun dalam kehidupan sosial masyarakat terdapat beberapa entitas (ulama, Jawara, dan akademisi) yang mewarnai Banten, tetapi tetap komunitas jawara dan ulama lebih dominan memiliki peran signifikan dalam aspek kehidupan sosial masyarakat wong Banten. Keperibadian jawara merupakan ciri khas wong Banten, sebagaian besar masyarakat bangga akan ciri khas dan status tersebut. Namun ada sebagian masyarakat yang menolak pleabelan tersebut, bahkan beranggapan ciri khas tersebut sudah tidak layak dalam era modern54.

kalangan warga Ahmadiyah, antara lain Sumarno, Roni, dan Chandra. Konflik kekerasan yang terjadi di Cikeusik disebabkan oleh faktor sekterian dalam agama, dimana para warga menolak kehadiran Ahmadiyah dalam lingkungannya. Terlebih lagi aliran Ahmadiyah dibawa dan disebarkan oleh warga pendatang yang menetap di Cikeusik. Konflik kekerasan ini dapat diartikulasikan sebagai konflik atas nama agama, walaupun perilaku anarkisme itu sendiri tidak diajarkan dalam agama. Permasalahan diatas menggambarkan bahwa perilaku kekerasan yang dipraktekan oleh warga Banten, telah membudaya dan menjadi solusi dalam setiap pemecahan masalah sosial. Untuk lebih jelas tentang peristiwa Cikeusik lihat, Surat Kabar Kompas, Jum’at 10 February, 2011.

54 Sebagian element masyarakat yang berkeberatan jika Banten di lakatkan dengan jawara adalah, mereka yang menolak dominasi jawara dalam dunia perpolitikan yang menguasai Banten. Budaya kekerasan yang melekat dalam kehidupan jawara, ditengarai dijadikan insturemet dalam meraih kekuasaan perpolitikan maupun ekonomi. Ketika berbicara jawara, maka citra negatiflah yang terlekat dalam pikiran masyarakat wong Banten. Peneliti mengadakan riset lapangan, dan wawancara dengan berbagai element masyarakat, sebagian besar mereka terdiri dari para aktivis LSM, Mahasiswa dan akademisi.

Page 47: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

47

Sebagaimana telah disinggung diatas, bahwa Banten terkenal dengan tingkat relegiusitasnya yang tinggi55, dan dikenal dengan dua model kepemimpinan informal leader yakni dengan hadirnya eksistensi kiyai dan jawara. Ternyata eksistensi jawara dalam panggung budaya masyarakat Banten memiliki akar sejarah yang panjang. Pada masa awal perjuangan mereka (jawara) merupakan bagian dari murid kiyai yang memiliki kemampuan ilmu kanuragan. Namun dalam perkembanganya kemudian dimulai pada masa Orde Baru, sebagian jawara melepaskan diri dari kiyai dan membentuk aliansi kekuatan tersendiri.

Jawara sebagai salah satu entitas dari masyarakat wong Banten, tidak hanya dikenal karena pengaruh kharismanya yang melewati batas-batas geografis. Tetapi lebih dari itu, budaya kekerasanpun melekat dalam aspek kehidupan mereka.

Karakter yang dimiliki jawara merupakan hasil suatu rekonstruksi sosial yang ditanamkan melalui interaksi sosial. Dalam interaksi tersebut terjadi penanaman dan pewarisan nilai-nilai kejawaraan. Untuk menjadi seorang sosok jawara yang disegani dibutuhkan latihan baik secara fisik maupun mental. Jawara sebagai salah satu entitas dari masyarakat wong Banten, tidak hanya dikenal karena pengaruh kharismanya yang melewati batas-batas geografis. Tetapi lebih dari itu, budaya kekerasanpun melekat dalam aspek kehidupan mereka. Oleh karena itu menurut Atu karomah jawara dikenal sebagai subculture of violence56

55 Tingginya tingkat relegiusitas masyarakat wong Banten, dilihat dari

berkembangnya pesatnya tarekat-tarekat yang diikuti oleh masyarakat, dan pesantren yang ada di Banten. Selain itu, Banten merupakan bekas kerajaan Islam nusantara, dimana para kiai berperan sebagai elit masyarakat lokal di wilayah ini. Lihat Martin Van Bruinessen, Shari’a court, Tarekat and Pesantren : Religius Istitutions in The Banten. (Paris: Archipel, 1995),172-174.

56 Subculture of violence atau budaya kekerasan, telah lama melekat dalam kehidupan sehari-hari komunitas jawara, kultur tersebut terbentuk dari rentetan sejarah masyarakat Banten yang lekat dengan pemberontakan pada masa kolonial. Lihat, Atu Karomah, “Jawara dan Budaya Kekerasan Pada Masyarakat Banten” (Depok: Tesis FISIP Universitas Indonesia, 2002), 106. Lihat pula, Williams, Communism, Relegions, and Revolt in Banten (Ohio: Ohio University Press, 1990). dan Kartodordjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984).

Page 48: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

48

dalam masyarakat Banten. Lebih dari itu budaya kekerasanpun telah menjadi kultur bagi sebagian wong Banten, tidak sedikit permasalahan diselesaikan dengan bentuk kekerasan. Selain itu jawara memiliki ciri khas dalam pergaulanya, seperti halnya mengembangkan gaya bahasa yang terkesan kasar (sompral) dan penampilan diri yang berbeda dari mayoritas masyarakat, seperti berpakaian hitam dan memakai senjata golok yang diselempangkan diikat pinggang mereka. Salah satu contoh budaya kekerasan yang sering di ucapkan jawara antara lain:

“Naon dia ngadeleken aing Hah...., hente resep ka aing...(sambil memelototkan matanya), kadek ku aing dia...... !(biasanya tangangnya telah diayunkan kearah lawanya)” “kenapa meledek ke saya hah....., tidak suka sama saya...., saya bacok kamu....!

Perkataan sompral (blak-blakan) kasar yang diucapkan oleh para jawara, biasanya dilakukan dengan bukti praktek tindakan dan tidak hanya gertakan ancaman. Ketika seorang jawara telah mengatakan “ku aing kadek sia” saya bacok kamu...! maka golok yang disarungnya telah diayunkan atau tertancap kearah lawanya.57 Selain itu kekerasan juga dipandang alat untuk meraih posisi atau status sosial lebih tinggi sebagai seorang jawara yang disegani dalam lingkungan komunitas mereka. Sehingga mereka dapat menjadi pemimpin jawara Abah dan memiliki sejumlah pengikut anak buah. Dengan posisi status sosial mereka sebagai elit lokal, komunitas jawara dapat dengan mudah memperoleh kedudukan formal dalam lingkungan pemerintahan ataupun institusi, sepertihalnya menjadi jaro, lurah, bahkan dapat muncul sebagai bupati, gubernur dan walikota.

Deskripsi gambaran jawara yang dikemukakan dikemukakan diatas, bertumpu pada pemahaman konsep budaya atau kebudayaan menurut Pasurdi Suparlan58. Berdasarkan

57 Lain halnya dengan para jago-jago ataupun preman di daerah lain,

kebanyakan ketika mengucapkan kata-kata sompral hanya bernada gertakan dan ancaman, tidak langsung dibarengi dengan tindakan.

58 Menurut Pasurdi Suparlan kebudayaan adalah, keseluruhan pengetahuan manusia sebagai mahluk sosial, yang dipergunakan untuk menginterpretasi dan memahamilingkungan yang dihadapi, dan untuk

Page 49: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

49

konsep tersebut bahwa, perilaku kekerasan merupakan hasil interpretasi dan pemahaman pelakunya terhadap lingkungan yang berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Konsep tentang perilaku budaya yang dipengaruhi oleh lingkungannya, didukung oleh pendapat Adolf Bastian59, bahwa tiap-tiap kebudayaan dibentuk kesatu arah yang ditentukan oleh lingkungan daerah geografis. Dalam hal kasus yang terjadi di Banten ini, perilaku kultur budaya jawara telah bercampur dengan masyarakat Banten setempat. Sebagian besar masyarakat Banten, memiliki karakter yang terbuka (blak-blakan), berani, keras dan tingkat emosionalitas keprimordialan yang tinggi. Dari sisi letak geografis daerah Banten dan lingkunganya, mendukung hal yang demikian dalam proses pembentukan karakter wong Banten.

Perilaku kekerasan yang dilakukan jawara merupakan sarana untuk mempertahankan harga diri mereka “konstruksi maskulinitas”. Tak heran jika banyak dari kalangan jawara memiliki lebih dari satu Istri. Berdasarkan penelitian dan wawancara narasumber, salah satu konstruk maskulinitas yang dipraktekan oleh para jawara, yakni dengan memiliki banyak isteri. Biasanya dalam lingkungan jawara, istri selalu berjumlah empat orang, isteri pertama dan kedua selalu dipertahankan, tidak dicerai. Lain halnya dengan isteri ketiga dan keempat, kerap berganti-ganti dan kawin cerai60. Tetapi terkadang adapula, dari sebagian kalangan jawara yang memiliki lebih dari empat istri, bahkan sampai ada yang memiliki isteri sebelas sampai duapuluh dua isteri61. Para jawara acap kali sering melontarkan guyon, “ncan jadi lalaki ari n’can nyandung mah” belum menjadi laki-laki jika belum punya (madu) isteri lebih dari satu. menciptakan serta mendorong terwujudnya kelakuan. Lihat Pasurdi Suparlan, Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya. (Jakarta: Rajawali, 1984), 84.

59 Adolf Bastian merupakan tokoh antropolog aliran determinisme geografis, dimana letak geografis suatu daerah menentukan kebudayan dalam komunitas tersebut. Lihat C.H.M. Palm, Sejarah Antropologi Budaya. (Bandung: Jemmars, 1980), 43.

60 Wawancara dengan Azwar, tokoh jawara dari kresek Tangerang, April 2010.

61 Wawancara dengan Muhammad Hudaeri, akademisi dan peneliti Banten, Juni 2010.

Page 50: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

50

Kehidupan sosial dan budaya jawara yang dahulu erat dengan ciri-ciri fisik, seperti halnya selalu membawa golok kemana-mana, memakai peci dan pakaian serba hitam sudah tidak dipergunakan lagi, kalaupun ada hanya sebatas upacara-upacara ceremonial adat istiadat, seperti halnya pelantikan pejabat, hajatan, dan kesenian Debus. Oleh sebab itu, telah terjadi pergeseran arti tentang makna jawara saat ini. Adapun eksistensi jawara yang ada saat ini, hanyalah dalam arti simbolik dengan ciri-ciri mengandalkan keberanian, kekuatan fisik, terbuka (blak-blakan), agresif, keras, dan tutur bahasa yang sompral. Jawara sebagai element masyarakat wong Banten digambarkan sebagai sosok yang disegani, ditakuti, orang yang pandai bersilat, orang yang menyeramkan dan seorang sosok berilmu tinggi.

Perkembangan jawara pada masa sekarang cenderung menjadi simbol kelompok orang yang berhasrat dalam peran-peran kemasyarakatan dengan bermodalkan keberanian. Dikalangan masyarakat saat ini, istilah jawara selalu dikonotasikan negatif, seperti halnya menurut Nabila lubis jawara disingkat menjadi Jalma Wani Rampog (orang yang berani merampok). Padahal tidak selalu jawara dipandang negatif, justru sebaliknya jawara dipandang sebagai pelindung rakyat. Menurut Nanang, citra buruk jawara dimata masyarakat dibentuk oleh pemerintah kolonial Belanda. Dalam hal ini ia mengatakan :

Jawara itu merupakan sosok yang disegani oleh masyarakat Banten, dan mereka itu murid dari kiyai. Mereka itu pelindung rakyat, mereka dipandang bandit, penjahat itu kata orang Belanda...! Justru sebaliknya kalau kata wong Banten mereka itu pahlawan! Mereka (jawara) itu orang yang bersih dan suci, karena ilmu kanuragan yang mereka peroleh melalui proses ritual pembersiahan hati. Jawara bersama kiyai saling bahu membahu melawan penjajahan Belanda, para jawara mencuri dan menyabotase lahan milik penjajah lalu dibagikan kepada rakyat-rakyat miskin..... Wajar kalau pihak penjajah mendeskripsikan dan menggambarkan jawara dengan hal-hal yang negatif. Kalau model kaya “H. S” dan yang ngaku-ngaku jawara, mereka itu bukan jawara..! mereka itu cuma preman-preman berdarah yang mengaku jawara... saya mesangsikan ko.. kalau mereka memiliki ilmu brajamusti, ziyad, dan lain sebagainya.62.

62 Wawancara dengan nara sumber, Nanang Tahqiq, pengamat,

akademisi dan tokoh pemuda Banten, September 2010.

Page 51: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

51

Selain jawara dideskripsikan dengan perilaku-perilaku

negatif pada masa kini, disisi lain ada sebagaian aktiviatas sosial positif yang dilakukan oleh para jawara. Lain halnya dengan Nanang menurut Hudaeri, posisi jawara saaat ini digambarkan sebagai Robin Hood (tokoh legendaris dari Inggris), mereka merampok uang pemerintah. Sepertihalnya dengan tender proyek yang selalu dimenangi oleh PT. Sinar Ciomas, walaupun terdapat berbagai kecurangan dalam proses pitcing tersebut. Intimidasi, ancaman, golok menjadi instrument kekerasan dalam proses memenagkan tender proyek dari pemerintah. Tetapi hal demikian untuk kepentingan rakyat, dan sebagian hasil dana tersebut disumbangkan kepada rakyat miskin, yatim dan para janda63.

Jawara kini lebih dimaknai sebagai kelompok masyarakat atau orang-orang yang berperilaku sombong dan kurang taat menjalankan perintah agama Islam atau melakukan sesuatu dengan cara yang tidak baik dengan menggunakan instrumen kekerasan dalam meraih tujuannya. Oleh karena itu menurut Lili Romli, pada masa kini jawara lebih dikenal sebagai subkultur kekerasan dalam masyarakat Banten. Selain itu jawara telah mengembangkan kulturnya tersendiri, maka kiyai pun pada akhirnya menjaga jarak dengan para jawara64.

Untuk saat ini Jawara yang pure murni, yang bersih tidak mudah untuk ditemukan. Jika dideskripsi ataupun diperumpamakan, jawara ini seperti tokoh Musasi seorang samurai Jepang yang tidak diketahui dan menutupi identitasnya sebagai seorang samurai, tapi ketika ada hal yang dianggap

63 lain halnya dengan Nanang yang beranggapan H.S bukanlah seoerang Jawara, Tihami dan Hudaeri beranggapan mereka tetaplah Jawara, walaupun memang terdapat problematis bagaimana cara mendefinnisikan jawara itu sendiri, karena jawara telah mengalami perkembangan dan pergeseran nilai. Wawancara dengan Hudaeri, Peneliti dan akademisi Banten. Juni 2010.

64 Dari hasil risetnya, Lili mengemukakan bahwa tejadi degradasi nilai dalam kultur budaya jawara , bersamaan dengan itu posisi jawara mengalami pelonjakan hirarki sosial secara vertikal dimata masyarakat Banten , dahulu Jawara hanya sebatas jaro dan guru silat, maka saat ini jawara telah menjadi penguasa lokal, baik dari aspek politik maupun ekonimi. Lihat, Lili Romli, Jawara dan Penguasa Politik Lokal di Provinsi Banten (2001-2006). (Depok: Disertasi, FISIP Universitas Indonesia, 2007), 91.

Page 52: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

52

mengganggunya, maka ia tak segan-segan untuk melawannya sebagai seorang samurai. Selain itu, yang mengetahui bahwa dia seorang samuarai hanya oleh seorang samurai. Begitu pula dengan eksistensi jawara yang bersih dan benar-benar jawara, ia tidak akan mengatakan bahwa ia adalah seorang jawara, justru sebaliknya mereka para jawara sengaja menutupi identitas diri mereka. Hanya seorang jawaralah yang dapat mengetahui bahwa ia seorang jawara.

Dibawah ini akan dibahas, tentang akar-akar yang mengkonstruk budaya kekerasan dalam kelompok jawara antara lain,

1. Paguronan Padepokan Persilatan

Setelah mengetahui peristiwa-peristiwa sejarah kekerasan yang turut membentuk karakter wong Banten, dan para jawara sebagai entitas masyarakat lokal. Salah satu akar kekerasan dalam budaya jawara adalah paguronan padepokan persilatan, dari paguron-paguron inilah para jawara dilahirkan. Budaya kekerasan yang dimiliki oleh jawara pada masyarakat Banten, jika didekati dengan teori Miller yang menegaskan bahwa kelompok masyarakat yang menganut budaya kekerasan memiliki nilai-nilai atau norma-norma yang mereka anut. Norma-norma tersebut yang menurut Miller antara lain, selalu mencari gara-gara, sifat keberanian dan ketangguhan, memperdaya atau menipu, selalu bersenang-senang, dan yang terakhir adalah memiliki keyakinan akan kekuatan besar.65

Pada abad ke 17 M pada masa kolonial Belanda, sulit untuk memisahkan antara pesantren dengan paguronan silat. Pada masa ini, setiap pesantren pasti mengajarkan ilmu silat dan magis. Berkembangnya silat dalam dunia pesantren, adalah salah satunya bertujuan untuk memberikan keterampilan dalam berperang melawan pihak kolonial Belanda. Bahkan sampai saat ini ilmu-ilmu silat, magis masih tetap dilestrarikan dan menjadi ciri khas pesantren-pesantren yang ada di Banten, khususnya pesantren

65 Walter B. Miller, Lower Class Culture at a Generating Milieu of

Gang Delinquency, dalam Marvin E. Wolfgang (eds), Sociology of Crime and Deliquency (New York : Jhon Wiely & Sons, 1990) 351.

Page 53: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

53

Salafi (tradisional).66 Eksistensi pesantren memiliki kontribusi besar dalam melahirkan dan mencetak jawara yang memumpuni dalam ilmu kesaktian dan magis.

Sejarah ilmu persilatan di Banten sendiri memiliki akar yang sangat panjang, bukan hanya dimulai pada masa penjajahan kolonial, melainkan lebih jauh dari itu. Di dalam serat centhini disebutkan bahwa pada masa pra-Islam telah dikenal istilah “paguron” atau “padepokan” di daerah sekitar Gunung Karang,67 Pandeglang. Pada masa lalu tradisi persilatan nampaknya menjadi sebuah kebutuhan bagi individu tertentu untuk mempertahankan kehidupan dirinya dan kelompoknya. Banten yang dikenal dengan daerah-daerah yang terpencil dan sangat rawan dari tindakan-tindakan kriminal dari pihak lain, tentunya membutuhkan keberanian dan memiliki kekuatan fisik yang baik. Hal inilah yang nampaknya mendorong setiap individu berusaha membekal dirinya dengan kemampuan bela diri dengan belajar di padepokan persilatan.

Di dalam kalangan masyarakat Banten, terdapat salah satu prasayarat untuk menjadi seorang pemimpin dalam masyarakat, yakni kemampuannya dalam menguasai ilmu silat, dan bertarung. Kemampuan seorang pemimpin dalam menguasai ilmu-ilmu persilatan menjadi hal yang pokok. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi warga kelompok masyarakat tersebut dari serangan pengganggu, maupun perampok. Seorang jawara yang terkenal dan ditakuti oleh lawan maupun kawan, hal ini dapat dipastikan karena memiliki keunggulan dalam hal keberanian dan menaklukan lawan-lawannya. Di dalam lingkungan paguronan padepokan persilatan inilah, para jawara di gembleng, diajarkan ilmu-ilmu beladiri. Peranan padepokan persilatan dalam melahirkan jawara memiliki peranan signifikan, tidak hanya sebatas pelatihan ilmu-ilmu beladiri. Lebih dari itu, pembentukan karakter dan penggemblengan sifat, watak dan mental jawara terbentuk dari padepokan persilatan.

66 Wawancara dengan Kang Ghofur, ustadz dan paranormal, Curug,

25 Oktober 2010. 67 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat :

Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (Bandung : Mizan, 1999) 25.

Page 54: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

54

Selain diajarkan seni bela diri di paguronan padepokan persilatan maupun dilingkungan pesantren, biasanya seseorang murid yang kelak menjadi jawara akan dibekali ilmu-ilmu magis kanuragan untuk hidupnya kedepan. Pada masa Kesultanan Ageng Tirtayasa (1651-1672) perkembangan padepokan paguronan silat dengan ilmu magisnya mulai berkembang di daerah Banten. Setiap perguronan silat yang dipimpin oleh para Kiyai mengajarkan ilmu-ilmu magis, ziyad, putergilling, kanuragan kepada para santri-santrinya, yang dikemudian hari disebut dengan jawara. Pemberian ilmu magis, Wafaq, Hizib dan Jimat lainnya, bukan tidak beralasan, melainkan sebagai modal berperang bersama Sultan Ageng Tirtayasa dalam melawan pihak kolonial Belanda.68

Pada perkembangan selanjutnya, jawara yang telah selesai belajar di pesantren dan telah malang melintang dalam dunia persilatan, pada masa tuanya biasanya sering mendirikan padepokan paguron persilatan sendiri. Maraknya pesantren dan padepokan-padepokan persilatan di Banten terjadi pada abad ke 19 M, setelah dihapusnya kesultanan Banten oleh Daendles pada tahun 1816 M. Perlu diketahui bahwa tidak semua padepokan persilatan di dalamnya adalah pesantren, tetapi setiap pesantren pasti ada padepokan persilatan. Paguron atau padepokan persilatan yang didirikan oleh seorang jawara biasanya terletak didekat tempat tinggalnya, hal tersebut dimaksudkan untuk mengajarkan ilmu-ilmu seni bela diri, dan magis kepada anak-anak muda yang berada disekitar tempat tinggalnya. Dunia persilatan di Banten sangat erat kaitannya dengan Islam sebagai agama.69 Hal ini dikarenakan persilatan lahir dari akulturasi antara Islam dengan kebudayaan lokal setempat. Oleh karena itu, paguronan padepokan persilatan di Banten berasaskan Islam. Selain itu, magis yang diperoleh para jawara bersumber dari

68 Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat : Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia (Bandung : Mizan, 1999) 25,27.

69 Aliran-aliran silat yang berkembang pesat di Banten saat ini, dilahirkan oleh para Kiyai-Kiyai Banten, tidak heran jika ajaran-ajaran Islam sangat terkait dengan ajaran silat. Hal tersebut dapat dilihat dari pertelekan (Janji sumpah setia, aturan hukum) dari setiap aliran-aliran persilatan di Banten. Dalam pertelekan tersebut biasanya seorang murid harus terlebih dahulu membaca dua kalimat syahadat, dan mendalami ajaran-ajaran Islam.

Page 55: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

55

Islam, walaupun pada perjalanannya ada sebagaian unsur-unsur animisme mewarnai magis tersebut. Dalam masyarakat Banten sendiri, dikenal berbagai macam paguronan silat, seperti silat Terumbu, Bandrong, Jalak Rawi, Si Pecut, Paku Banten, TTKDH dan lain sebagainya.70 Setiap paguron padepokan persilatan ini, memiliki jurus-jurus dan karakteristik yang berbeda-beda. Di bawah ini ada terdapat dua Paguronan padepokan persilatan yang memiliki pengaruh dalam aliran-aliran silat di Banten, antara lain :

Silat Aliran Terumbu

Silat aliran Terumbu, merupakan salah satu aliran silat tertua dan asli Banten. Dari silat aliran inilah muncul paguron-paguron persilatan lainnya, yang dikembangkan oleh para turunannya sepetihalnya, silat Bandrong, Jalak Rawi, Si Pecut dan lain sebagainya. Silat aliran Terumbu sendiri dinisbatkan kepada Kiyai Terumbu dan ajaran-ajarannya, yang asli berasal dari Kasemen, Serang. Kiyai Terumbu merupakan ulama besar Banten pada Abad 15 sebelum sultan Hasanudin menjadi sultan di Kerajaan Banten dan pada masa tersebut kerjaan Banten belum menjadi kerajaan Islam dan beliau bermukim di suatu kampung, yang mempunyai 5 orang, dan diantaranya bernama Abdul Fatah (Kiyai Beji) yang kemudian kelak mengajarkan silat Terumbu.71

70 Anggaran Dasar dan Rumah Tangga Organisasi PPPSBBI, Serang

Banten, 1990. 71 Wawancara dengan Abah Haji Cecep, salah satu guru silat aliran

Terumbu, Serang 12 Desember 2010.

Page 56: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

56

Gambar 1.1, Saat latihan Duel, dalam sesi latihan silat

Gambar 1.2, Silat aliran Trumbu sedang melakukan latihan pada malam hari

Julukan Kiyai Beji sendiri, diperoleh karena beliau berhati besi atau beji yang membangkang pada kompeni dan tidak mau diusir oleh penjajah kompeni (Belanda) dari tanah kampung terumbu Banten. Masyarakat dan keturunan Kiyai Terumbu diajari ilmu silat dari anak – anak hingga dewasa untuk melawan penjajahan Belanda hingga sekarang silat ini turun temurun masih terjaga kelestariannya di kampung Terumbu, Kasemen serang. Pada keturunan ke 4 atau cicit dari H. Agus (anak ke 4 dari Kiyai Zunedil Qubro bin Kiyai Terumbu) yaitu H. Mad Sidiq mewarisi ilmu silat Bandrong dan memiliki istri di Pulo Ampel Bojonegara – Serang. Selain itu, ia mengembangkan aliran silat ini ke daerah

Page 57: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

57

Cilegon dan sekitarnya untuk melawan penjajahan Belanda dan Jepang. Sedangkan M. Idris mewarisi ilmu silat terumbu dan beliau bermukim di kampung terumbu. Dalam pengembangannya aliran silat ini berkembang di daerah serang dan sekitarnya untuk melawan penjajahan Belanda dan Jepang.72

Silat aliran terumbu dikategorikan sebagai salah satu silat aliran tertua di Banten, karena faktor kemunculannya yang berbarengan dengan berdirinya Kesultanan Banten Girang. Pada perkembangan selanjutnya Silat Aliran Terumbu melahirkan aliran silat baru yakni silat Paku Banten. Silat Paku Banten inilah yang kemudian dikembangkan hanya dalam lingkungan keraton kasultanan, dari silat Paku Banten mulai muncul tradisi permainan Debus Banten. Silat Aliran Trumbu ini, merupakan salah satu persilatan yang disegani oleh kalang jawara Banten. Padepokan paguron persilatan ini memiliki peranan signifikan dalam kalangan masyarakat Banten.

Silat Aliran TTKDH

Silat aliran Tjimande Tari Kolot Djeruk Hilir, merupakan aliran silat yang bukan berasal dari daerah Banten atau silat yang bukan asli Banten. Melainkan silat aliran penca Cimande yang dikembangkan oleh Mbah Buyah seorang jawara Banten asal Lebak. Walupun demikian pada perkembangan selanjutnya, organisasi silat TTKDH bekembang pesat dan memiliki peran signifikan dalam aliran-aliran silat di daerah Banten. Banyak dari kalangan-kalangan jawara Banten yang terlahir dari paguronan silat TTKDH. Silat penca Cimande sendiri adalah silat yang asli berasal dari daerah tatar tanah Sunda yakni daerah Cianjur Jawa Barat. Aliran silat Cimande ini didirikan oleh Mbah Khoir, pada abad ke 18 M sekitar tahun 1812-an. Selanjutnya silat aliran ini dikembangkan oleh Mbah Buyah, seorang tokoh Jawara Banten asal Lebak. Mbah Buyah sendiri berguru kepada Mbah Muin

72 Wawancara dengan Zaenuddin Rojei, Ketua Silat Terumbu, Serang

12 Desember 2010.

Page 58: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

58

seorang guru silat Cimande di desa Djeruk Hilir, daerah Karawang.73

Dalam perkembangan selanjutnya, pada tahun 1951 untuk pertamakalinya Embah Buyah mendirikan paguron Cimade di daerah Lampung, yang kemudian diberi nama Tjimande Tarikolot Kebon Djeruk Hilir. Embah Buyah memberi nama paguronnya di dasari tanda bakti beliau kepada pendiri dan guru penca beliau. Dimana pendiri penca Cimande yaitu Embah Khaer mendapatkan ilmu silatnya di Kampung Tarikolot dekat Sungai Cimande. Kemudian penamaan Kebon Djeruk Hilir mengadopsi nama tempat Embah Buyah menerima ilmu penca Cimande dari Embah Main, gurunya. Tahun 1951 dibuatlah suatu aturan hukum yang sifatnya mengikat kepada seluruh warga TTKDH yang disebut pertalekan Cimande. Tujuannya adalah sebagai pengarah tertulis bagi murid sekaligus penjaga nama baik bagi TTKDH itu sendiri. Pada tahun 1953, Embah Buyah kembali ke Kampung Oteng di Lebak Banten dan mendirikan paguron TTKDH di sana.74 Sejak didirikan pada tahun 1953, TTKDH wilayah Kabupaten Lebak terus mengalami perkembangan demikian pesat sampai saat ini.

Meskipun kini sulit untuk menemukan padepokan yang menyediakan tempat tinggal untuk para murid yang sedang mendalami ilmu silat, tetapi nampaknya dahulu padepokan terletak di suatu daerah tempat terpencil, yang didalamnya terdapat tempat tinggal sang guru dengan para muridnya. Sehingga para murid dapat memfokuskan seluruh perhatiannya untuk mendalami ilmu silat, magis, kanuragan dan kesaktian dari gurunya. Pada saat ini, ketika arus modernisasi dialami oleh masyarakat Banten sudah tidak ada lagi padepokan yang khusus didalamnya terdapat tempat tinggal untuk muridnya. Kini sebuah padepokan biasanya terletak di dekat rumah atau tempat tinggal jawara sang guru. Tidak ada bangunan khusus tempat tinggal para

73 Dokumen ADA/RT Pertalekan Silat Tjimande Tari Kolot Djeruk

Hilir, Serang, 1997. 74 Dokumen ADA/RT Pertalekan Silat Tjimande Tari Kolot Djeruk

Hilir, Serang, 1997.

Page 59: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

59

murid persilatan. Untuk latihan silat biasanya pada tanah lapang yang tidak jauh dari kediaman sang guru. Latihan biasanya dilaksanakan pada malam hari, meskipun itu bukan hal yang mutlak. Kadang juga pada hal-hal tertentu dilakukan pada pagi haru atau siang hari.

Keberhasilan seorang murid dalam menguasai jurus-jurus silat sangat tergantung dengan ketekunannya saat mendalami latihan, karena biasanya sang guru silat hanya memberikan contoh-contoh gerakan silat yang mesti diikuti oleh seorang murid. Guru silat atau Abah hanya memperhatikan para muridnya ketika sedang mengulang-ulang gerakan, dan sesekali memperbaiki kesalahan gerakan dari sang murid. Dalam mendalami ilmu silat, biasanya Abah tidak akan melanjutkan jurus tingkatan ilmu silat selanjutnya kepada sang murid, terkecuali murid tersebut telah berhasil sepenuhnya menguasai jurus-jurus tersebut.

Adapun untuk mendaftarkan diri menjadi murid dari suatu paguronan padepokan silat, tidak diperlukan kriteria yang khusus, yang diperlukan hanyalah tekad, kesabaran, dan kesungguhan dalam mempelajari ilmu-ilmu silat. Paguronan silat di Banten biasanya tidak mematok bayaran kepada para murid, hanya saja para murid memberikan sumbangan sukarela seikhlasnya. Jika paguronan-paguronan yang berada disekitar pedesaan biasanya memberikan sumbangan sukarela berupa padi, jagung, dan bahan pangan lainnya, itupun ketika musim panen tiba.75 Adapun paguronan padepokan yang terletak di daerah kota, sumbangan sukarela tersebut berupa jumlah uang, tanpa ditentukan nominalnya. Apabila seorang murid telah berhasil menguasai semua jurus-jurus yang diajarkan di padepokan silat tersebut, maka ia akan menerima izajah dari sang guru Abah.

Izajah disini bukan berbentuk secarik keretas, melainkan ucapan mantra-mantra dari sang guru dengan memegang tangan sang murid, dan ucapan tersebut mesti diikuti oleh muridnya.76 Biasanya proses izajah dan transform ilmu-ilmu magis tersebut

75 Atu Karomah, “Jawara dan Budaya Kekerasan Pada Masyarakat

Banten” (Depok: Tesis, FISIP Universitas Indonesia,2002) 58, 59. 76 Wawancara dengan Kang Ghofur, ustadz dan paranormal, Curug,

25 Oktober 2010.

Page 60: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

60

berlangsung pada malam hari. Jika hal demikian telah terlaksana, maka murid tersebut telah “di isi batinna” dan “Kataekan”. Bekal ilmu magis dan batin yang diberikan oleh guru kepada muridnya, merupakan ciri khas dari padepokan persilatan yang ada di Banten. Ilmu-ilmu magis yang didapati oleh sang murid merupakan bekal kelak dalam menempuh perjalanan hidupnya. Oleh karena itu tidak heran jika para murid yang telah selesai dalam menempuh ilmu silat di Banten dalam keseharian mereka sering menggunakan ilmu-ilmu magis dan kesaktian tersebut. Dengan memiliki kemampuan silat, magis dan pengolah ilmu batin tersebut, maka mereka kelak dikenal dengan sebutan jawara.

Seorang jawara yang terkenal biasanya memiliki kemapuan silat dan ilmu batin atau magis di atas rata-rata. Maksud di atas rata-rata disini adalah memiliki kesaktian yang luar biasa dan mengungguli jawara-jawara yang lainnya. Memiliki kemampuan dalam memanipulasi kekuatan supranatural untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, seperti kebal dari senjata tajam, dapat berubah wujud, dapat mengusir jin, dapat mengobati penyakit dan lain sebagainya. Menurut Atu Karomah Kemampuan seorang jawara dalam mengolah ilmu batin ataupun magis tersebut, menjadikannya sebagai jawara yang sakti dan disegani oleh orang lain.77 Paguronan padepokan persiatan memiliki peranan signifikan, dalam proses penggemblengan karakter dan watak seorang jawara. Pada padepokan persilatan inilah akar budaya kekerasan mereka peroleh, perlu diketahui bahwa dalam proses latihan, sesekali mendapatkan ujian-ujian khusus untuk naik ketingkat selanjutnya. Ujian tersebut berupa penempaan fisik, dan diadakannya “duel” pertarungan, antara sesama murid.

Pertarungan ataupun duel antar sesama murid merupakan suatu hal yang biasa dan lumrah dalam padepokan persilatan, pertarungan ini merupakan uji kemampuan sejauh mana murid tersebut menguasai jurus-jurus, baik dengan tangan kosong maupun dengan golok. Oleh karena itu, pertarungan dan kemampuan bela diri dalam dunia padepokan persilatan, merupakan konstruk akar-akar budaya kekerasan dalam budaya jawara Banten. Tidak heran jika para jawara memiliki watak dan perilaku yang keras, hal ini dikarenakan paguron sebagai salah atu

77 Atu Karomah, Jawara dan Budaya Kekerasan..., 55.

Page 61: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

61

akar-akar budaya kekerasan, yang telah membentuk jati diri para jawara Banten.

2. Permainan Debus Banten

Selain padepokan persilatan dikenal sebagai akar budaya kekerasan yang lekat dengan jawara. Terdapat satu tradisi permainan yang turut berkontribusi dalam mengkonstruk kekerasan dalam budaya jawara antara lain ialah, permainan Debus. Sebagai budaya, kekerasan selalu diwarisi dari generasi kegenerasi selanjutnya dalam bentuk sosialisasi dan bermakna ritual. Dalam hal ini adalah, permainan debuslah yang penuh dengan unsur-unsur mistik dan lekat dengan kekerasan, yang paling dekat dengan para jawara Banten. Adanya permainan debus, seolah-oleh mengkekalkan potensi kekerasan yang dimiliki oleh para jawara, hal ini dikarenakan mereka memiliki keistimewaan dan kelebihan dari orang lainnya.

Debus merupakan permainan yang mengandalkan kekebalan tubuh dari benda tajam dan panasnya api. Oleh karena itu, yang mampu memainkan debus ini adalah mereka yang memiliki kemampuan ilmu kanuragan dan kesaktian magis yang memadai. Tanpa memiliki kemampuan tersebut, permainan debus ini dapat membahayakan jiwa. Sedangkan untuk menjadi pemain debus yang handal, diperlukan latihan-latihan pengolahan batin. Seperti halnya berpuasa selama 40 hari, mengamalkan bacaan-bacaan zikir dan doa-doa dalam jumlah tertentu. Persyaratan lainnya yang mesti dijalani oleh seorang pemain adalah ketekunan dan kesabaran. Bacaan-bacan zikir dan doa-doa sakti yang diamalkan dalam permainan debus, adalah sama dengan yang diamalkan oleh para jawara pada umumnya.78 Oleh karena itu, ilmu perdebusan inilah yang sesungguhnya banyak digunakan oleh para kalangan jawara Banten.

Gambar 1.3, dan 1.4, Mempertontonkan atraksi Debus Banten

78 Wawancara dengan Kang Ghofur, ustadz dan paranormal, Curug,

25 Oktober 2010.

Page 62: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

62

Gambar 1.3 Gambar 1.4

Debus sendiri merupakan kesenian asli masyarakat Banten, yang diciptakan pada abad ke-16 M, yaitu tepatnya pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570), dalam rangka penyebaran agama Islam. Kemudian, ketika kekuasaan Banten dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1682), debus difokuskan sebagai alat untuk membangkitkan semangat para pejuang dalam melawan penjajah Belanda.79 Dimana pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa tengah terjadi ketegangan dengan kaum pendatang dari Eropa, terutama para pedagang Belanda yang tergabung dalam VOC. Kedatangan kaum kolonialis ini di satu sisi membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain membuat pendalaman akidah Islam tidak merata, yaitu terjadinya percampuran akidah dengan tradisi pra-Islam. Hal inilah yang terdapat pada kesenian debus.

Debus dengan magis sangat lekat dan berkaitan satu sama lain, praktek-praktek mistik dan magis yang dilakukan oleh para pemainnya tidak bisa dilepaskan dari atraksi Debus Banten. Praktek magisme dalam permainan Debus Banten merupakan campuran dari tradisi masyarakat Banten Pra-Islam dan agama Islam, khususnya perpaduan antara tradisi tarekat dengan ilmu magis masyarakat Banten terdahulu.

Hosssen Djajadiningrat sendiri mengatakan, bahwa selain penduduknya dikenal sebagai masyarakat yang patuh dan taat

79 Nauval Syamsu, “Debus Sebuah Fenomena Keagamanan, Studi

Kultural Debus Banten” (Jakarta : Tesis, Program Pascasarjana UIN Jakarta, 2003) 15.

Page 63: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

63

dalam menjalankan ajaran agama. Di samping itu Banten mashur dan dikenal dengan ilmu-ilmu magisnya. Kemashuran Banten sebagi pusat ilmu-ilmu magis di Nusantara telah dikenal sejak masa pra Islam. Gunung Pulosari, Gunung Karang, dan Pulau Panaitan dikenal dengan daerah – daerah keramat sebagai tempat pertapaan dalam mencari kesaktian.80 Di Banten sendiri permainan Debus pada masa awal lebih dikenal dengan al-madad. Namun pada masa selanjutnya debus berkembang dan memiliki banyak aliran, diantaranya debus al-madad, surosowan dan langitan. Aliran debus di Banten biasanya berafiliasi kepada salah satu aliran tarekat dalam Islam yakni antara lain tarekat Rifa’iyah dan Qodariyah.

Unsur-unsur praktek kekerasan dalam pertunjukan debus Banten yang dimainkan dan ditontonkan oleh para jawara, merupakan kesenian tradisi yang terus diturunkan atau diwariskan kepada para penerusnya. Selain dari paguronan padepokan persilatan, dalam debus Banten inilah akar-akar kekerasan dalam budaya jawara diperoleh. Setidaknya disini dapat dilihat bahwa unsur-unsur kebudayaan dalam hal ini debus Banten memiliki kontribusi dalam mengkonstruk cultur of violence dalam masyarakat Banten dan khususnya para jawara. Debus sebagai sumber kekerasan dapat diartikan sebagai akar kekerasan yang diperoleh kelompok jawara, karena pertunjukan seni Debus diperankan oleh para jawara.

C. Magis di Pesantren

Ketika berbicara masalah pesantren maka gambaran yang diperoleh bahwa pesantren itu adalah tempat mencari dan memperdalam ilmu keislaman, disana identik dengan kiyai, santri, kitab kuning, masjid, dan pondokan tempat santri bermukim. Unsur-unsur budaya kekerasan dan anarkisme jauh, bahkan sama sekali tidak terlintas di dalam pandangan dunia pesantren. Tetapi lain halnya dengan kasus yang terjadi di Banten, justru pesantren inilah yang menjadi akar kekerasan budaya jawara Banten. Setidakanya terdapat alasan mengapa pesantren dilabelkan sebagai akar kekerasan dalam budaya jawara. Adapun tentang

80 Hossen Djajadiningrat, Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten (Jakarta : Djambatan, 1983) 34, 35.

Page 64: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

64

perkembangan pesantren di Banten sekitar abad ke 16 M atau 17 M, dalam Serat Centhini sendiri menyebutkan bahwa terdapat sebuah pesantren yang berlokasi di daerah Gunung Karang di bagian barat Pandeglang.

Namun lain halnya dengan Martin van Bruinessen, ia berpendapat bahwa sebelum abad ke 18 M, lembaga pesantren di Banten belum muncul. Hal ini dikarenakan pada masa abad ke 16 dan abad ke 17 M, penyebaran Islam itu sendiri diajarkan pada seputar masjid, istana dan lingkunagan Tarekat (tasawuf). Sedangkan praktek magis dalam mencari kesaktian dipusatkan di daerah Gunung Karang, Pulosari, Panaitan (Tempat pertapaan) atau dekat kuburan suci. Sedangkan menurut Bruinessen maraknya perkembangan pesantren di Banten itu sendiri muncul pada akhir abad ke 18 M, dan pada awal abad ke 19 M.81 Tumbuh berkembangnya pesantren di Banten merupakan simbol perlawanan terhadap pihak kolonial Belanda.

Dari penjelasan di atas, meskipun berbeda pendapat dengan Bruinessen, setidaknya pada abad ke 16 M, Banten telah dikenal lembaga seperti pesantren yang digunakan tidak hanya mengajarkan ilmu keislaman saja, melainkan mempelajari aspek ilmu magis ataupun ngelmu atau yang lebih dikenal dengan white magic. Menurut Harsja W. Bachtiar, mengenai kemampuan dalam aspek magis dan mempercayai kekuatan gaib dalam masyarakat Indonesia, tidak hanya terbatas pada para dukun saja, melainkan banyak santri dari pesantren yang mempraktekan (magis)82. Sebelumnya telah dibahas bahwa pada masa abad ke 17 M di daerah Banten, antara padepokan persilatan dengan pesantren menjadi satu kesatuan. Dimana ada pesantren maka disitu terdapat padepokan persilatan sebagai akar kekerasan yang mengkonstruk budaya para jawara Banten. Selain dikarenakan faktor diatas, salah satu faktor yang menyebabkan mengapa pesantren dimasukan kedalam salah satu akar budaya kekerasan jawara

81 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat

(Bandung: Mizan, 1995) 25-27. 82 Harsja W. Bachtiar, The Religion of Java: a Commentary, in

Readings on Islam in Southeast Asia, compiled by Ahmad Ibrahim (Pasir Panjang: Institute of Southeast Asian Studies, 1985) 280.

Page 65: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

65

adalah, pesantren merupakan pusat ilmu magis white magic kesaktian yang diperoleh para jawara Banten.

Magis merupakan suatu kebutuhan bagi para jawara Banten, tanpa magis jawara tidak memiliki kemampuan dalam memimpin maupun menjalani kehidupan di dalam masyarakat. Bagi masyarakat Banten dalam memandang jawara tanpa kekuatan magis dan kesaktian maka ia bukanlah seorang jawara. Jawara sendiri adalah seseorang yang memiliki kemampuan dalam mengolah kesaktian, magis, dan ilmu hikmah. Untuk memperoleh kesaktian, para jawara membutuhkan seorang kiyai yang dianggap sebagai sumber kesaktian ilmu magis.

Eksistensi para jawara tak luput dari peranan kiyai dan dunia pesantren, melalui pesantren-pesantren di Banten inilah kemudian muncul dan berkembangnya jawara Banten. Kiyai sendiri memiliki dua varian murid, diantara muridnya tersebut ada yang memiliki kecenderungan bakat pada ilmu pengetahuan agama. Tetapi di lain pihak, adapula murid yang kurang begitu memahami pendalaman agama melainkan memiliki bakat silat dan kecenderungan kearah perjuangan. Pada akhirnya murid yang cenderung pada ilmu agama disebut santri, sedangkan yang memiliki bakat kekuatan fisik (silat) dan bernuansa magis adalah jawara.83 Disini kiyai berperan sebagai sumber kekuatan magis bagi para jawara, lewat kiyai lah ilmu kesaktian sepertihalnya kanuragan, brajamusti, kebal dan magis ditransform kepada jawara. Hubungan emosional antara murid dengan guru yang dialami oleh kiyai dan jawara, terjalin sangat erat di antara kedu belah pihak.

Dilihat dari aspek inilah, pesantren dinilai sebagai akar atupun sumber-sumber kekerasan yang melahirkan jawara. Dimana khususnya dalam hal ini pesantren memfasilitasi ilmu-

83 Perbedaan antara jawara dan santri terletak pada ketekunan mereka

ketika berguru, santri lebih menekuni ilmu-ilmu keagamaan, sedangkan jawara lebih menekuni bidang yang terkait dengan pengolahan raga dan bathin. Kiyai berperan sebagi tokoh yang berkemampuan mewujudkan magis dan menjadi sumber dari mantra-mantra tersebut, kekuatan magis tersebut ditransmisikan kepada jawara untuk memiliki kemampuan tersebut. Lihat MA. Tihami, “Kiyai dan Jawara di Banten, Studi Tentang Agama, Magi, dan Kepemimpinan di desa Pesanggrahan Serang Banten” (Jakarta: Tesis, Universitas Indonesia, 1992), 21.

Page 66: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

66

ilmu magis dan kesaktian. Disamping mengajarkan ilmu-ilmu agama, pesantren-pesantren di Banten secara turun temurun mewarisi ilmu-ilmu magis kepada santri-santrinya. Hal inilah yang menjadi ciri khas dari pesantren yang berkembang di daerah Banten. Berkembangnya praktek-praktek magis dalam dunia pesantren merupakan salah satu kebutuhan pada masa tersebut. Dimana para santri atau jawara di bekali ilmu kesaktian magis agar mampu melakukan pemberontakan dalam melawan pihak kolonial Belanda yang dipimpin oleh para kiyai. Selain itu, kemampuan magis merupakan bekal untuk kehidupan. Situasi dan kondisi lingkungan daerah Banten pada abad ke 17 – 19 M, yang rawan dengan tindakan kriminal, menghajatkan atas seseorang untuk memiliki kesaktian magis dan bela diri. Hal ini lah yang melatar belakangi tumbuh berkembang pesatnya praktek magis di lingkungan pesantren yang kemudian melahirkan jawara-jawara Banten.

Secara umum terdapat dua jenis model pesantren yang berkembang di Banten, yakni 'pesantren salafi' dan 'pesantren modern’. Untuk kasus praktek magis, pesantren salafilah atau yang lebih dikenal dengan kobong, memiliki kontribusi besar terhadap perkembangan praktek magis di wilayah Banten. Dari model pesantren seperti inilah banyak jawara yang dilahirkan, dan diajarkan ilmu gaib sihir oleh seorang kiyai sebagai pemimpin pondok tersebut. Sedangkan proses belajar mengajar ilmu magis di dalam lingkungan pesantren ditentukan pada hari-hari yang khusus. Praktek tersebut biasanya terjadi pada Kamis malam, dan hari ke 10 pada bulan Muharram. Dalam lingkungan pesantren salafi terdapat beberapa jenis praktik magis yang dilakukan oleh para santri (yang kemudian menjadi jawara). Praktik pembelajaran magis tersebut langsung di bawah pengawasan santri senior, ustadz atau kiyai. Adapun jenis-jenis kesaktian magis yang diajarkan dalam lingkungan pesantren kepada para jawara, baik secara langsung maupun dengan sesuatu benda antara lain, Ilmu Hadiran, Ilmu Ziyad, Kekebalan (kekebalan), Putergiling, Wafaq, Rajah, dan Hizib. Dibawah ini akan dijelaskan ilmu magis yang populer, dan sering dipraktekkan di lingkungan pesantren, antara lain :

Page 67: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

67

Ilmu Kebal

Ilmu kebal (ilmu kekebalan), bagi sebagian orang kemampuan seperti ini, identik bersumber dari praktek black magic ilmu hitam. Padahal tidak demikian, justru ilmu kebal ini berkembang diderah Banten khususnya pesantren. Contoh kecilnya, pertunjukan kesenian tradisional debus, dimana atraksi-atraksi kekebalan kerap ditontonkan. Jika debus saat ini dilakukan hanya bertujuan hiburan atau sebagai pertunjukan kesenian tradisional, sedangkan ilmu kebal (Ilmu kekebalan) yang diajarkan di dunia pesantren bertujuan untuk melindungi para santri dari bahaya. Baik ketika mereka masih tinggal maupun setelah lulus dari pesantren. Terlepas dari citra negatif, dimana ilmu kebal kerap digunakan oleh black magic. Ilmu kebal seperti yang dipelajari didunia pesantren Banten dimaksudkan untuk tujuan yang baik. Seorang santri ataupun jawara, sebagai murid kiyai biasanya diperingatkan untuk tidak menggunakannya ilmu kebal dengan tujuan yang buruk. Namun dalam prakteknya setelah keluar dari pesantren, beberapa dari mereka kadang-kadang menggunakannya untuk tujuan buruk.

Untuk mendapatkan ilmu kekebalan dari seorang kyai, seorang jawara biasanya diberikan dua pilihan 'Asak' atau 'Atah’. Pengertian yang pertama Asak, artinya seorang jawara tidak perlu melakukan puasa dan wirid, dia hanya memberikan sejumlah uang untuk kyai sebagai bentuk mahar.84 Untuk pengertian yang kedua Atah, artinya seorang jawara harus melakukan ritual tertentu seperti halnya berpuasa dalam beberapa hari.85

84 Mahar di sini berarti suatu jumlah uang atau hal-hal yang harus

diberikan kepada kyai, Ahli hikmah, atau dukun sebagai syarat untuk mendapatkan sihir (Ilmu gaib). Wawancara dengan Kang Ghofur, ustadz dan paranormal, Curug, 25 Oktober 2010.

85 Ada beberapa jenis puasa untuk memiliki Ilmu kebal, yang pertama adalah puasa seperti yang dilakukan di bulan Ramadan tetapi dengan jumlah hari yang berbeda, ada yang tiga, tujuh, atau empat puluh hari. Selama puasa seorang jawara harus melakukan beberapa wirid pada waktu tertentu. Untuk jenis puasa yang kedua adalah puasa mutih, ritual puasa di mana seseorang tidak boleh makan apa-apa kecuali nasi putih, garam dan air putih. Ketiga adalah puasa mati geni, yakni berhenti makan sesuatu, berhenti bicara dengan

Page 68: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

68

Disamping berpuasa, ritual tersebut dibarengi dengan mengamalkan wirid dalam jumlah dan waktu tertentu. Sebagai contoh, pada setiap malam hari ke 10 Muharram, KH. Nawawi seorang kyai pesantren Darul Falah di Ciruas Banten, biasanya mengundang santri yang tinggal di pesantren-nya maupun dari luar, untuk melakukan wirid berjamaah yang dimulai di 09:00 dan berlangsung sampai 02:00. Setelah melakukan wirid, ia kemudian masuk ke dalam ruangan khusus dan memanggil santri, satu per satu untuk datang ke kamarnya. Diruangan tersebut, dia memberikan beberapa amalan magis untuk para santri, salah satunya adalah Ilmu kebal (kekebalan).

Namun, meskipun semua santri melakukan wirid pada waktu itu, tidak semua orang dapat memperoleh ilmu magis darinya. Seorang kiyai tidak memberikannya kepada setiap sembarang orang, Ia hanya memberikan kepada orang-orang tertentu yang dianggapnya sebagai orang yang tepat untuk memilikinya. Sebelum memberikan Ilmu kebal, biasanya kiyai tersebut memegang tangan kanan santri atau jawaranya untuk di izajahi (diisi). Jika ia melihat bahwa santrinya adalah orang yang tepat untuk memilikinya, ia membaca wirid dan menggosok tangan santri tersebut.86 Setelah proses tersebut selesai, ia mengambil sebuah golok untuk disayatkan kekulit tangan si santri tersebut. Setelah kiyai tersebut yakin bahwa para santri/jawara berhasil dalam melaksanakan ilmu kebal, maka ia menyarankan kepada santri/jawaranya untuk tidak menggunakan ilmu tersebut untuk tujuan buruk. Hal-hal diatas merupakan kegiatan tahunan yang dilakukan di pesantren-pesantren salafi yang ada di Banten.

Ziyad, Jeblag, Jurujud

Ilmu Ziyad, atau yang dikenal juga dengan jurus Jeblag, Kontak dan Jurujud merupakan salah satu kemampuan magis yang dimiliki oleh para jawara Banten. Jenis praktik magis ini

siapapun, dari pagi sampai pagi berikutnya (dalam dua puluh empat jam), dan ia harus selalu di ruang khusus untuk mengamalkan wirid.

86 Wawancara dengan Azwar, tokoh jawara dari kresek Tangerang, April 2010.

Page 69: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

69

biasanya dilakukan oleh minimal dua orang atau lebih dengan tujuan memukul tubuh dari kejauhan. Dalam sebuah pertarungan biasanya seorang jawara menggunakan jurus ini, dengan menggerakan kedua tangan atau hanya menggerakan isyarat mata, musuh sudah terpental. Bahkan jika seorang jawara telah menguasai ilmu ziyad dengan sempurna, maka ia akan dapat membalikan dan menahan sebuah mobil. Level tertinggi dalam magis itulah yang disebut dengan jurujud.87 Selain itu, jurus ini juga digunakan untuk menahan pukulan tubuh, atau sabetan golok dari orang lain. Tidak sembarang seseorang dapat menguasai jurus ini, dalam pesantren biasanya seorang kiyai hanya memberikan kepada seseorang yang telah memumpuni secara mental dan fisik. Jika dalam pengamalan seorang jawara tak mampu dalam mengamalkannya, maka ia akan gila.

Wafaq

Wafaq adalah salah satu sarana ataupun media yang biasa digunakan oleh para jawara dalam mengolah kekuatan ilmu magis. Adapun kegunaannya bermacam-macam sesuai dengan kebutuhan, agar memiliki kharisma dan wibawa yang tinggi, pengasihan, tidak mempan di bacok, kebal, bahkan sebagai media dalam menarik keuntungan dalam berbisnis, dan lain-lain. Wafaq biasanya berbentuk selembaran keretas, atau lembaran kulit kambing dan sapi. Terdapat beberapa bentuk macam wafaq, sesuai dengan tujuan dari wafaq itu sendiri, ada yang disebut mutsallas, murabba’, mukhammas, musaddas, musabba, mutsamman, mutassa’.Wafaq sendiri berisi ayat-ayat al-qur’an, asmaul husna dan biasanya ditulis dengan tinta emas, atau ditulis dengan minyak zafa’ran. Kemudian dilipat dan dibungkus didalam plastik kecil agar tidak mudah lapuk. Lain halnya dengan jimat, walaupun fungsinya sama sebagai media, jimat dapat

87 Sebenarnya terdapat berbagai macam ilmu magis yang diajarkan dalam dunia pesantren di Banten, menariknya praktek magis ini diwarisi turun temurun dari setiap generasi. Diantara jurus magis yang biasa digunakan oleh para jawara dalam pertarungan antara lain, jurus Kama Rasa, Tendet, Jeblag, Dua Tendet, Konci, Potong, Giles, Lewat, Colok, dan Jurujud. Setiap jurus magis ini memiliki kegunaan yang berbeda antara satu sama lain. Lihat Naskah, Risalah Majmu’atul Hikmah, Banten.

Page 70: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

70

berbentuk apa saja baik itu kertas, keris, taring macan, atau lain sebagainya. Sedangkan wafaq, khusus tertulis di kertas sebagai media magis.

Hizib

Selain beberapa praktek magis yang disebutkan di atas, pesantren di Banten juga mengajarkan wirid dalam bentuk Hizib untuk tujuan magis, biasanya hizib ini diambil dari naskah kitab Risalah Majmu’atul Hikmah,88 atau Dalail Khairot.89 Hizib dalam bahasa Arab memiliki arti partai, pasukan atau tentara. Tetapi yang dimaksud hizib disini adalah, rangkaian-rangkaian amalan atau doa-doa tertentu yang panjang. Hizib merupakan salah satu doa amalan yang diandalkan, dan dibaca pada saat seseorang sendang mengalami hal-hal tertentu, seperti halnya sedang menghadapi musuh. Pada umumnya para jawara membaca hizib pada saat sedang tertimpa marabahaya, sedang bertarung elmu, diteluh, atau disantet. Terdapat beberapa hizib tertentu yang diberikan oleh seorang kiyai terhadap seorang jawara, dan santri sebagai muridnya. Adapun hizib-hizib yang biasa diajarkan dalam dunia pesantren antara lain antara : Hizib Nashr, Hizib Bahr, Hizib Ikhfa, Jailani Hizib, Hizib Yamani, Hizib Autad, Hizib Khafiy, Barqi dan Hizib Nawawi Hizib.90

88 Naskah Risalah Majmu’atul Hikmah, Banten 89 Naskah Dalail Khairot, Banten. Naskah kitab ini biasanya hanya

berisikan Hizib Nashr, yang berguna untuk menyembuhkan seseorang yang dimasuki roh halus, atau gila.

90 Naskah Risalah Majmu’atul Hikmah, Banten, dan Wawancara dengan Kang Ghofur, ustadz dan paranormal, Curug, 25 Oktober 2010.

Page 71: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

71

Gambar 1.5, salah satu jenis wafak untuk melariskan dagangan

Gambar 1.6, Jenis wafak

Selain kekuatan magis yang diperoleh jawara bersumber dari dunia pesantren, ternyata pada perkembangannya terdapat sumber-sumber magis yang diperoleh jawara bukan dari dunia pesantren. Sebut saja ilmu Teluh, kemampuan magis ini bersumber dari sihir ilmu hitam black magic, yang diperoleh dari tradisi kepercayaan kuno Banten Jangjawoken atau ilmu Rawayan. Oleh karena itu, pada perkembangan selanjutnya, banyak jawara yang terkontaminasi dengan praktek magis ilmu Rawayan. Bahkan dalam ritualnya, kita akan sering menemukan

Page 72: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

72

seorang jawara yang memadukan ritual ajaran agama dengan praktek Jangjawoken, untuk pembahasan ini akan disinggung pada bab selanjutnya. Untuk praktek Teluh91 biasanya dipergunakan oleh seorang jawara untuk mencelaki musuhnya, dengan mengirim teluh pada malam hari.92 Daerah Baduy merupakan daerah yang terkenal dengan keganasan teluh itu sendiri, yang merupakan pusat black magic di Banten.

Munculnya praktek-praktek magis dalam dunia pesantren di Banten, yang menjadi sumber kekuatan dan sekaligus akar kekerasan dalam budaya jawara. Merupakan tuntutan zaman pada masa itu (abad ke 18 M), dimana pihak kolonial Belanda menancapkan pengaruh dan kekuasaanya. Hal tersebut diperparah ketika dihapusnya kesultanan Banten, dan hilangnya otoritas Ulama dalam pemerintahan. Tekanan dan pressure pihak kolonial terhadap masyarakat lokal setempat, memicu adanya pemberontakan-pemberontakan. Oleh karena itu, praktek magis yang diajarkan disetiap pesantren di Banten berguna untuk melawan penjajahan kolonial Belanda. Pada perkembangan selanjutnya pada era kolonial, para jawara dan kiyai berperan sentral dalam memobilisasi pemberontakan-pemberontakan yang terjadi di Banten. Hampir setiap peristiwa pemberontakan yang terjadi di Banten dimotori oleh kiyai dan jawara. Disinilah, jawara

91Teluh merupakan salah satu ilmu hitam dan guna-guna yang sering

digunakan oleh seseorang untuk membunuh musuhnya. Biasanya teluh itu berbentuk bola api yang dapat terbang dan dikirim ke musuhnya pada saat malam hari. Adapun isi dari teluh bola api tersebut terdiri dari benda-benda tajam, silet, paku, beling dan lain sebagainya. Penulis melihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana teluh bola api terbang ke rumah seorang kiyai di Banten, adapun daerah yang masih terkenal dengan teluh dan ilmu hitamnya antara lain, daerah Lebak, Kanekes, Bojonegoro, Walantaka, Cikande, Petir, untuk daerah Tangerang terletak di Pala Sari, Legok dan Kresek.

92 Perlu diketahui bahwa biasanya teluh dikirim mulai dari magrib, kurang lebih jam 07.00- 11.00 malam. Jika teluh dikirim melebihi demikian, maka dipastikan teluh tersebut akan mengalami kegagalan, apa yang menyebabkan demikian? Hal tersebut, lantaran teluh tidak bisa sampai pada tujuan jika telah terkena embun malam. Oleh karena itu, pada jam 07.00-11.00 malam, adalah waktu yang tepat dimana embun malam belum mulai turun. Penulis pernah melihat dengan kepala mata sendiri, ketika bola api teluh jatuh di kediaman salah seorang kiyai Banten.

Page 73: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

73

berpeeran sebagai pembantu kiyai, dalam melaksanakan aktifitas-aktifitas perlawanan. Pada masa kolonial tersebut pemberontakan kekuatan fisik merupakan solusi dalam melawan penjajahan Belanda.

BAB III

PROFIL HISTORIS SOSIOLOGIS JAWARA BANTEN

Jawara dalam kehidupan sosial dan kultur budaya Banten dapat dikatakan sebagai simbol budaya lokal. Sebagai sebuah kelompok yang bersumber dari tradisi (lokal), komunitas Jawara mencerminkan kultur dan budaya yang berbeda dari daerah-daerah lain di Indonesia. Jawara yang merupakan subkultur masyarakat lokal, memiliki peran dalam setiap aspek kehidupan masyarakat. Pada bagian ini, penulis akan membahas tentang seputar profil jawara Banten dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Banten, baik dari aspek kepemimpinan dan kharisma. Profil jawara tersebut dapat dilihat dari peranan jawara Banten pada masa perjuangan era kolonial Belanda, dimana para kiyai dan jawara pada dekade 1800-1888an, memiliki peran signifikan dalam menggerakan pemberontakan, serta menampilkan profil tokoh-tokoh kiyai-jawara yang terlibat dalam gerakan pemberontakan. Selain itu, bagian ini juga akan membahas hubungan relasi yang terjadi antara kiyai dengan jawara, dimana para kiyai berperan besar dalam melahirkan jawara sebagai subkultur masyarakat lokal. Oleh karena itu, hubungan yang terjalin antara jawara dengan kiyai, merupakan hubungan antara murid dengan guru, dan pada masa awal perjuangan melawan kolonial jawara berfungsi sebagai tentara kiyai.

A.Peranan Jawara Pada Masa Penjajahan

Peran-peran tradisional jawara dalam masyarakat Banten berlangsung turun naik. Hal ini pula yang merubah persepsi masyarakat Banten terhadap jawara. Ketika peran sosial dan

Page 74: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

74

stabilitas keamanan kurang stabil, maka peran jawara biasanya diperlukan. Tetapi ketika keamanan mulai stabil, sosok jawara mulai tidak dibutuhkan lagi, bahkan sering dipandang negatif karena perilakunya yang sering melakukan kekacauan, kekerasan dalam masyarakat dan melakukan tindakan kriminal.

Pada masa penjajahan Belanda, kalangan jawara berperan dalam masyarakat Banten sebagai pilar dan melakukan konfrontasi langsung dalam melawan pihak kolonial. Di sinilah jawara berperan dalam pergerakan resistensi melawan pihak kolonial Belanda. Selain itu, pada masa penjajahan para jawara dikenal dengan sebutan bandit sosial. Peranannya sebagai bandit sosial dan pejuang inilah, posisi jawara dikenal pada masa penjajahan. Runtuhnya kesultanan Banten dan semakin memudarnya peran agama dalam sistem politik pemerintahan kolonial, telah mengalihkan loyalitas masyarakat ke para pimpinan agama (kiyai) yang selama ini bersifat independen.

Para kiyai memandang hina kekuasaan pemerintah kolonial karena mereka dipandang sebagai orang-orang kafir yang telah merebut kekuasaan orang-orang muslim dengan demikian hukumnya wajib untuk diperangi.93 Pemikiran keagamaan tersebut memasuki hampir semua aspek kehidupan masyarakat Banten. Pandangan ini memiliki pengaruh yang signifikan di kalangan masyarakat Banten, yang memiliki tingkat relegiusitas yang tinggi. Dengan kedudukan seperti itu, para kiyai memiliki peran penting dalam melakukan pemberontakan-pemberontakan terhadap pemerintah kolonial. Tindakan-tindakan tersebut mendapat dukungan penuh dari warga Banten saat itu, termasuk elit-elit sosial, antara lain, para bangsawan, dan para jawara.94

93 Para kiyai memberikan hukum wajib memerangi para penjajah berdasarkan pengambilan ijm’a ulama, dimana para penjajah didefinisikan sebagai orang-orang kafir, lihat Abdul Wahab Khalaf, ‘Ilmu Ushulu al-fiqhu (Kairo: Darussalam, 1978), 45.

94 Kiyai berperan aktif dalam melakukan pemberontakan, bahkan ketika pecahnya pemberontakan komunis di Banten. Walaupun ada pendapat yang mengatakan para tokoh komunis lah yang telah memobilisasi para kiyai untuk melakukan pemberontakan. Lihat Else Ensering, Banten in times of revolution (Paris: Archipel, 1995), 136-138. Lihat pula Michael C Williams, Communism, Relegions, and Revolt in Banten (Ohio: Ohio University Press, 1990)

Page 75: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

75

Semenjak dihapusnya kesultanan Banten, terjadi sejumlah pemberontakan-pemberontakan yang sebagian besar dimotori oleh para tokoh jawara. Oleh karena itu kedua elit sosial ini, jawara dan kiyai berperan sebagai tokoh pemimpin yang kharismatis dalam masyarakat Banten.

Mereka yang mengikuti seruan kiyai dan berdiri di garis depan dalam perlawanan melawan penjajah, merupakan cikal-bakal munculnya sub-kultur baru dalam masyarakat Banten yang kemudian dikenal dengan sub-kultur jawara. Tercatat dalam sejarah bagaimana gigihnya jawara-jawara Banten dalam melawan Belanda. Pada tahun 1809 M, terjadi perlawanan "Bajaklaut" yang dipimpin para jawara,95 dalam menentang pembangunan pangkalan militer penjajah di Ujung Kulon. Kang Nuriman, kiyai-jawara dari Pasir Peuteuy Pandeglang, mengadakan pemberontakan untuk memaksa Belanda mengangkat kembali seorang sultan.

Di tengah kekacauan politik, ambruknya sistem administrasi, dan terus maraknya gelombang-gelombang kekerasan dan tindakan anarkis. Pada tahun 1810 pihak kolonial kembali menobatkan Sultan untuk memerintah daerah Banten Selatan. Penobatan tersebut bertujuan agar Sultan dapat mengerahkan kesetiaan penduduk, dan dilain pihak agar lembaga-lembaga administratif dapat bekerja. Akan tetapi dibawah kepemiminan Sultan, tidak terjadi perbaikan situasi dan kondisi yang diharapkan. Selama pemerintahan Sultan, gerombolan-gerombolan jawara yang memberontak tetap masih melakukan aksinya. Kelompok pemberontak yang dipimpin oleh Ngabehi Adam, Haji Yamin, Ngabehi Utu, dan kiyai Ikram, merupakan jawara-kiyai yang malang melintang dan beroperasi di daerah Pandeglang.96 Dalam setiap aksinya kelompok jawara Ngabehi Adam selalu melancarkan perampokan terhadap, aparat-aparat kolonial dan membagikan hasilnya kepada masyarakat setempat.

95 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Kondisi Jalan Peristiwa, dan Kelanjutannya, Sebuah Studi Kasus Mengenai Gerakan Sosial di Indonesia (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), 165.

96 Halwany Michrob dan Mudjahid Chudori, Catatan Masa Lalu Banten (Serang: Saudara Serang, 1993), 187.

Page 76: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

76

Seringkali mereka menggembor-gemborkan gagasan politik tentang pemulihan kesultanan dan pembebasan dari belenggu kekuasaan orang Eropa. Dengan tindakan demikian, tidak sedikit masyarakat yang mendukung aksinya dan bahkan menjadi pengikutnya. Hal tersebut menunjukan bahwa arah tujuan mereka bersifat politik.

Pada akhir 1810-an, KH. Tassin, Mas Haji dan Mas Rakka memimpin pasukan jawara untuk kembali memberontak. Pasukan jawara ini masih tetap beroperasi di derah Banten Selatan, pada masa inilah hampir seluruh Banten Selatan ketika itu terjadi kekosongan administratif. Mas Rakka dan KH. Tassin memimpin perlawanan di Lebak, dan membunuh orang-orang pribumi yang menjadi antek dan pegawai pamongpraja Belanda. Sistem kepamongprajaan dan personil perpajakan sama sekali tidak memadai untuk menunaikan tugas. Administrasi kolonial Belanda hanya dapat berfungsi, dan dilaksanakan jika didukung oleh kekuatan militer yang besar.

Pada tahun 1815 terjadi serangan oleh para pemberontak, yang dilancarkan oleh kelompok jawara Kang Nuriman yang juga dikenal sebagai Sultan Kanoman. Pada peristiwa pemberontakan ini, pasukan Mas Bangsa, Pangeran Sane dan Kang Nuriman, berhasil mengepung Pandeglang.97 Meskipun pasukan-pasukan pemerintah berhasil memukul mundur serangan itu, dan memaksa kelompok jawara untuk mundur. Namun sulit bagi pihak Belanda untuk mengalahkan mereka sepenuhnya, hal ini dikarenakan pasukan jawara yang dipimpin oleh Kang Nuriman mendapatkan dukungan dan simpati dari rakyat. Perlu diingat bahwa peranan tokoh pemimpin dalam setiap pemberontakan-pemberontakan yang terjadi Banten memainkan peranan yang sangat signifikan. Kebanyakan kegiatan mereka tergantung kepada inisiatif pemimpin perorangan. Ketika tertangkapnya pimpinan terkemuka seperti halnya, Armaya, Kang Nuriman, Pangeran Sane dan Mas Bangsa, merupakan pukulan yang sangat berat bagi perjuangan jawara Banten. Namun demikian, kekuatan kelompok jawara dapat pulih kembali dengan tampilnya pemimpin-pemimpin baru.

97 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888..., 165-166

Page 77: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

77

Pada masa tersebut dapat digambarkan, bahwa setelah kesultanan dihapuskan di Banten, hampir tidak ada tahun yang terlewat tanpa pemberontakan. Selanjutnya pada tahun 1820, 1822, dan 1825 muncul lagi perlawanan yang dipimpin oleh Mas Raye, Tumenggung Muhammad dari Menes, Mas Arya dan para kiyai.98 Akan tetapi serangan yang dilancarkan oleh pasukan-pasukan pemerintah terlalu kuat, sehingga para pasukan pemberontak tersebut dapat dengan mudah dikalahkan. Tidak sedikit dari mereka melarikan diri ke daerah perbukitan.

Akan tetapi dua tahun kemudian, setelah gagalnya pemberontakan Tumenggung Muhammad 1825, gerakan pemberontakan kembali dikobarkan oleh para jawara dan kiyai. Kali ini seorang tokoh lama dari kalangan jawara tampil kembali, Mas Jakaria seorang tokoh jawara kenamaan dari Banten Selatan Pandeglang. Sebelumnya pada tahun 1811 pasukannya pernah menduduki Pandeglang yang saat itu menjadi pusat keraton. Beberapa bulan kemudian melalui pertempuran yang hebat pasukannya berhasil dipukul mundur oleh pihak kolonial Belanda. Namun pada tahun 1827 M, ia berhasil kembali menyusun kekuatan dan mengadakan pemberontakan.99 Pertempuran itu diakhiri dengan ditangkapnya Mas Jakaria dan dijatuhi hukuman mati.

Setelah terbunuhnya sosok kharismatis Mas Jakaria jawara dari Banten Selatan, hampir setiap tahun terjadi kerusuhan di Banten yang dipimpin para kiyai dan jawara. Khusus pada tahun 1836 terjadi perlawanan yang dipimpin seorang perempuan bernama Nyimas Gamparan di Balaraja, yang kemudian dapat dipatahkan oleh demang R. Kartanagara.100 Atas jasanya dalam menangkap Nyimas Gamparan, demang Kartanegara diangkat oleh pihak Belanda menjadi bupati Lebak. Pada tahun 1839 Mas Jabeng putra jawara dari Banten Selatan (Mas Jakaria),

98 Teuku Ibrahim Alfian, Semangat Keagamaan Rakyat Banten Dalam

Mempertahankan Kemerdekaan, dalam Mansyur Muhyidin, Banten Menuju Masa Depan (Serang: Yayasan Kiyai Haji Wasyid, 1999), 83

99 Teuku Ibrahim Alfian, Semangat Keagamaan Rakyat Banten..., 84 100 Halwany Michrob dan Mudjahid Chudori, Catatan Masa Lalu

Banten..., 187.

Page 78: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

78

mengadakan perlawanan bersama Ratubagus Ali dan Pangeran Qadli, namun dapat dipatahkan oleh Belanda dengan bantuan Bupati Serang waktu itu.

Selain peristiwa pemberontakan yang dimotori oleh para kiyai dan jawara terjadi di daerah Banten Selatan, khususnya Pandeglang dan lebak. Di wilayah distrik Serang-pun terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh kiyai kharismatik, yakni kiyai Wakhiya. Pemberontakan tersebut berlangsung selama enam tahun, dimulai pada tahun 1850-1856. Dalam menggerakan pemberontakannya, kiyai Wakhiya di damping oleh para jawara yakni, Tubagus Ishak, Mas Diad, Mas Berik dan Nasyid. Pemberontakan yang diusung oleh kiyai Wakhiya, adalah mengobarkan semangat perang sabil melawan pemerintah kolonial. Namun akhirnya ia tertangkap dan dihukum mati pada tahun 1856.

Sebelumnya pada tanggal 13 Desember tahun 1845, terjadi penyerbuan para petani di Cikande terhadap para tuan tanah yang digerakan oleh keturunan jawara Banten selatan (Mas Jakariya). Peristiwa tersebut lebih dikenal dengan sebutan pemberontakan Cikande udik. Akibat dari pemberontakan tersebut, seorang tuan tanah PJ. Kampuys beserta isteri dan kelima anaknya terbunuh. Selain itu, turut pula beberapa orang Eropa yang terbunuh, seperti Pes Viering beserta isteri dan empat anaknya, dan Wanbert de Puiseau.101

Peristiwa pemberontakan Cikande Udik ini, akhirnya dapat dihancurkan dan dipukul mundur oleh pihak kolonial, dengan tambahan pasukan dari Batavia. Sebanyak 384 orang ditangkap, sedangkan yang lainnya dapat meloloskan diri ke daerah sekitar. Walaupun demikian, terdapat pemberontak yang berhasil melarikan diri. Diantara mereka yang berhasil meloloskan diri antara lain kiyai Buyut Pasar. Beliau merupakan seorang jawara sakti berambut panjang, yang melarikan diri ke daerah kresek,

101 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten..., 173.

Page 79: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

79

kemudian menetap dan berketurunan di kampung Talok.102 Sampai saat ini kuburannya masih sering diziarahi orang.

Pada tahun 1888 terjadi peristiwa "Geger Cilegon". Yaitu sebuah pemberontakan yang dipimpin kiyai-kiyai tarekat dari Banten pesisir utara, dan dibantu oleh para jawara. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pemberontakan ini adalah Syeikh Abdul Karim dari Tanara, seorang penyebar tarikat Qadiriyah dan Naqsabandiyah yang juga sepupu Syeikh Nawawi al-Bantani, diikuti oleh murid-muridnya seperti kiyai Wasyid dari Beji, kiyai Syadeli dari Kaloran Serang, kiyai Asnawi dari Lampuyang Tirtayasa, kiyai Abubakar dari Pontang, kiyai Tb. Ismail dari Gulacir, dan kiyai Marzuki dari Tanara.

Sebagai panglima operasi ditunjuklah kiyai Wasyid dan Tb. Ismail. Pemberontakan ini berhasil membunuh orang-orang Belanda di Cilegon termasuk asisten residen Gubbels. Peristiwa pemberontakan Geger cilegon, merupakan salah satu pemberontakan terbesar dalam sejarah Banten. Pemberontakan ini tidak hanya melibatkan para tokoh kiyai dan jawara saja, para warga Banten yang mayoritas petani-pun turut andil dalam pemberontakan ini. Setidaknya tercatat 94 tokoh-tokoh pemberontak yang dibuang ke luar pulau.

Munculnya Jawara Sebagai Bandit Sosial

Image negatif tentang pencitraan jawara dalam komunitas lokal, sebagai subculture of violences, terus berkembang sampai saat ini. Kartodirjo misalnya, menempatkan jawara dalam posisi sebagai bandit sosial ataupun bandit lokal.103 Selain itu dalam kegiatanya sebagai bandit sosial jawara cenderung melakukan tindakan kriminal, merampok dan adanya sabotase terhadap pemerintahan kolonial walaupun seringkali yang dirugikan adalah pihak kecil. Sementara menurut Williams, jawara sendiri merujuk kepada seseorang yang tidak hanya siap menentang hukum-hukum dan segala macam aturan-aturan legal yang ada,

102 Wawancara dengan Azwar, tokoh jawara dari kresek Tangerang, April

2010 103 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888..., 83.

Page 80: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

80

namum juga siap melawan siapa pun demi meraih tujuan mereka.104

Atas identifikasi tersebut, jawara dikategorikan sebagai bandit sosial oleh pihak kolonial Belanda, walaupun sebagaian besar dari mereka memperoleh dukungan dari rakyatnya. Tidak heran karena masa abad 19 M, sering terjadi pencurian, perampokan dan sabotase terhadap pemerintahan kolonial Belanda. Oleh karena itulah pemerintah kolonial menetapkan bahwa jawara, dan mereka yang menentang eksistensi pemerintah kolonial di hakimi sebagai bandit lokal. Pencitraan yang negatif terhadap jawara terus berkembang sampai saat ini, sebagai orang ataupun kelompok yang sering menggunakan kekerasan dan metode premanisme di dalam menyelesaikan setiap persoalan.

Sebelum kita membahas lebih jauh tentang jawara dan bandit sosial, ada kalanya kita harus memahami pengertian dan gejala bandit sosial itu sendiri. Istilah mengenai perbanditan dipandang sangat subjektif, dari sudut pandang mana istilah itu dilabelkan. Biasanya istilah tersebut muncul dari dari kalangan penguasa, dalam hal ini pemerintah kolonial. Istilah tersebut datang dari penguasa yang merasa dirugikan oleh tindakan destruktif baik secara kelompok ataupun perorangan.

Pada akhirnya istilah tersebut diterima oleh masyarakat, karena perbuatan tersebut dianggap bertentangan dengan kepentingan pemerintah kolonial. Sedangkan pihak yang melakukan aktifitas perbanditan tersebut tidak menerima istilah yang dilegitimasikan oleh pihak kolonial kepada mereka. Setidaknya perbaditan itu tidak jauh mengacu kepada tindakan perbuatan individual, personal ataupun kelompok yang menentang aturan hukum. Suhartono memberikan pengertian tentang istilah bandit itu sendiri, pengertian tersebut mencakup diantara lain ; perampok berkawan (kolektif), seorang yang mencuri, membunuh dengan cara kejam (gengster), dan seorang yang mendapatkan keuntungan secara tidak wajar.105 Adapun gerakan bandit sosial sendiri dilakukan untuk menghilangkan ketidakadilan, penekanan dan eksploitasi, hal inilah yang terjadi

104 Michael C Williams, Communism, Relegions, and Revolt..., 45-50. 105 Suhartono, Jawa Bandit-Bandit Pedesaan Studi Historis 1850-1942

(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), 105-107.

Page 81: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

81

di wilayah Banten pada masa penguasaan kolonial. Pada akhirnya gerakan tersebut mengarah kepada gerakan politik untuk mengadakan pemberontakan, dan kemerdekaan.

Di indonesia, fenomena bandit sosial juga ada, hanya nama dan istilahnya saja yang berbeda-beda. Di dalam mayarakat jawa misalnya, dikenal dengan istilah bromocorah atau yang dikenal dengan jago. Di daerah jawa lainya lainya ada yang dikenal dengan weri, gali, atau blater dalam istilah masyarakat Madura. Untuk kasus di Banten istilah jago, weri, gali, atau blater adalah jawara yang memiliki makna pendekar atau jagoan.106 Menurut Tihami, kata jawara diambil dari bahasa Arab yakni majhul jauharo yang memiliki arti unggul atau jagoan dalam hal kebaikan dan mencegah kemungkaran.

Sedangkan ciri khas dari gerakan bandit sosial itu sendiri antara lain ; tidak meninggalkan komunitasnya, mencerminkan nilai moral dan ideologi komunitasnya, perbuatanya yang keras karena konsisten terhadap ideologi yang mereka pegang teguh, dan tindakan mereka didukung dan dibantu oleh masyarakat setempat. Gerakan bandit sosial muncul dikarenakan kondisi pertentangan kelas yang kronis, dan gerakan tersebut dianggap sebagai protes lokal. Di wilayah Banten misalnya, pada masa abad ke 19 M, dimana pihak kolonial berhasil menguasai Banten baik secara ekonomi dan politik. Sangat cocok jika manifestasi protes sosial terjadi di wilayah tersebut, dengan bermunculanya jawara sebagai bandit sosial.

Dalam terminologi pemerintah kolonial Belanda istilah bandit sosial, digolongkan sebagai pengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Padahal sebenarnya pelabelan bandit sosial tersebut masih diperdebatkan, tergantung subjektifitas masing-masing. Di satu pihak dari sudut pandang pemerintah kolonial dan dilain pihak dari sudut padang penduduk lokal, petani ataupun rakyat kecil yang umumnya tinggal di pedesaan. Dilihat dari pandangan yang subjektif dan formal, bandit dianggap sebagai tindakan kriminal dan berdampak negatif bagi pemerintahan. Itulah sebabnya perbanditan harus dihilangkan agar

106 Lebih jauh lihat Okamoto Masaaki dan Abdur Rozaki, Kelompok

Kekerasan dan Bos Lokal Di Era Reformasi (Yogyakarta: CSEAS IRE Press, 2006).

Page 82: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

82

jalannya pemerintahan lancar dan mendapatkan keuntungan besar. Sebaliknya dari pandangan subjektif informal, bandit dipandang sebagai tindakan heroik dan terpuji karena membela kepentingan rakyat.

Sehubungan dengan subjektifitas yang datang dari dua kutub yang berbeda memang dapat dimengerti, akan tetapi sudah pada tempatnya bila sudut pandang diletakan pada pihak yang tereksploitasi (dalam hal ini masyarakat petani Banten). Bandit lahir dari petani yang membela diri untuk mempertahankan eksistensi kehidupan dipedesaan yang terdesak oleh proyek perkebunan pemerintah. Dengan kata lain, perbanditan sebenarnya merupakan respon yang tepat terhadap desakan pihak kolonial. Pada masa kolonial jawara yang dikenal sebagai bandit sosial oleh pemerintah, adalah pembela hak rakyat yang terdesak. Mereka melakukan perbuatan mulia yang didukung oleh masyarakat setempat.

Menurut Suhartono, tidak semua bandit pada abad ke 19 M, bertujuan untuk membela rakyat dari penindasan pihak kolonial. Di satu pihak ada kelompok bandit yang murni melakukan kegiatan kriminal dan dipihak lain, terdapat kelompok bandit yang berorientasi untuk membela kepentingan rakyat. Bandit yang berorientasi membela kepentingan rakyat inilah, muncul sebagai kekuatan protes terhadap masuknya pihak kolonial yang merusak tatanan kehidupan pedesaan yang otonom.107 Aktivitas perbanditan yang terjadi di wilayah Banten tidak lain merupakan protes sosial, yang di latar belakangi oleh faktor sosial ekonomi, politik dan keagamaan.

Menurut Ota Atsushi pada masa 1808-1830, merupakan masa pergantian rezim setelah runtuhnya Kesultanan Banten, dimana

107 Dalam studinya tentang bandit-bandit pedesaan di tanah Jawa pada

abad 18 M, Suhartono menyimpulkan bahwa tindakan-tindakan destruktif yang dilakukan oleh para bandit, merupakan akses dari tekanan pihak kolonial terhadap masyarakat setempat yang notabene bekerja sebagai petani. Oleh karena itu, dari sudut pandang berbeda bandit-bandit sosial yang melakukan tindakan kriminalits dan sabotase terhadap pemerintah, merupakan pahlawan bagi masyarakat lokal setempat. Lihat, Suhartono, Jawa, Bandit-Bandit Pedesaan Studi Historis..., 53

Page 83: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

83

kegiatan kriminalitas dan bandit-bandit sosial bermunculan dimana-mana. Para jawara yang disebut oleh pihak kolonial sebagai bandit sosial, mendapat dukungan oleh berbagai lapisan masyarakat wong Banten yang menjadi simpatisanya. Lingkungan yang menguntungkan bagi para jawara, ditambah lagi dengan dukungan masyarakat terhadap tindakan para jawara yang merugikan pihak kolonial.108 Keadaan seperti inilah yang menyebabkan kelompok perbanditan jawara terus hidup. Suasana magis di dalam kehidupan masyarakat Banten masih terpelihara dengan baik, selain itu para jawara memiliki ilmu kesaktian magis yang dapat diandalkan dalam melakukan aktivitasnya menghadapi musuhnya.

Walaupun demikian, memang terdapat aktifitas perbanditan murni yang dilakukan oleh para jawara. Apa yang menjadikan sebagain jawara berperilaku sebagai bandit profesional. Faktor yang menyebabkan demikian antara lain, ketika administrasi kolonial menjadi semakin efektif, dan aristokrasi Banten bergabung dengan penguasa-penguasa asing, maka sisa dari gerombolan pemberontak yang dipukul mundur (1820-1845), menjadi terisolasi dan tak berdaya, tanpa ikatan teritorial dan tanpa dukungan dari penduduk setempat. Sebagai akibatnya, keadaan yang demikian memaksa para jawara sebagai pemberontak, menjadi bandit-bandit profesional.109 Keadaan dan situasi demikianlah, yang memaksa para jawara melakukan tindakan-tindakan kriminal, menjadi bandit profesional. Padahal dahulu para jawara ini, berjuang dan memberontak terhadap penjajahan asing untuk membela rakyat.

Seperti yang sebelumnya telah dijelaskan sebelumnya, salah satu jawara yang terkenal pada masa itu adalah Mas jakaria, yang melakukan aktivitas perbanditan berlangsung pada tahun 1811-

108 Pada ke 19 M, Banten dianggap sebagi wilayah yang tersulit ditangani

oleh pihak pemerintahan kolonial, banyak perlawanan dan aksi perbanditan yang dilakukan oleh para jawara. Hal tersebut merugikan pihak kolonial baik dalam aspek ekonomi maupun stabilitas keamanan. Lihat, Ota Atsushi, Change of Regim and Social Dynamic in West Java, Society, State, and the Outer World of Banten 1750-1830 (Leiden Netherland: Brill, 2006), 143.

109 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten..., 171.

Page 84: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

84

1827. Mas Jakaria merupakan salah satu tokoh jawara yang berjuang demi rakyatnya dalam menentang hegemoni pihak kolonial. Mas Jakaria yang dianggap sebagai bandit sosial, menolong sesamanya dalam menentang penguasa kolonial. Selain itu, diantara jawara yang terkenal sebagai bandit bandit ulung diantaranya, Sahab, Conat, Ija, Sakam, Kamudin, dan Saniin. Diantara mereka ada yang dikenal sebagai jawara aliran putih dan jawara aliran hitam yang murni melakukan kejahatan biasa.

Jawara Sahab dan Ija misalnya mereka melakukan aktivitas pebanditan dikarenakan untuk menolong rakyat, hal ini dapat dilihat dari orang-orang pemerintahan kolonial Belanda dan para pamong praja yang menjadi korbannya. Jawara Sahab yang mengusai wilayah Banten Selatan, menjadi pelindung bagi masyarakat setempat. Selain itu ia pun sering keluar masuk penjara, dan pada akhirnya menjadi jaro di wilayah lebak untuk menjaga stabilitas keamanan diwilayah itu. Selain itu, dikenal pula Sakam sebagai jawara aliran hitam yang terkenal sebagai bandit yang murni meresahkan warga. Ia merupakan jawara aliran hitam yang ganas dengan menyerang desa dan tidak segan-segan membunuh korbannya. Masyarakat Banten pada masa itu mengkui bahwa Sakam adalah jawara yang memiliki kesaktian yang luar biasa.110

Jika Geertz mengklasifikasikan keberagamaan masyarakat jawa dengan tiga varian, santri, abangan, dan priyayi. Maka ia harus menjelaskan dimana posisi jawara, apakah kelompok ini sebagai santri atau abangan. Jika dilihat dari aspek historis dan kultural, kelompok jawara sangat erat berkaitan dengan islam. Tetapi dalam sisi hal lainya, aktivitas kegiatan jawara cenderung melakukan perbuatan-perbuatan kriminal dan sering mencampur adukan tradisi lokal dan setempat.111

110 Aktivitas perbanditan yang dilakukan oleh para jawara Banten, selalu

memperkuat militansinya dengan kekuatan magis dan keagamaan, tidak hanya melakukan tindakan kriminalitas belaka. Lihat, Suhartono, Jawa, Bandit-Bandit Pedesaan Studi Historis..., 149-151.

111 Tri kotonomi yang diciptakan oleh Geertz dalam mengklasifikasikan keber-agamaan masyarakat Jawa, terdapat kekeliruan di dalam

Page 85: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

85

Pada masa sekarang, jawara cenderung menjadi simbol kelompok orang yang berhasrat dalam peranan-peranan kemasyarakatan dengan bermodalkan keberanian. Dikalangan masyarakat, istilah jawara sebagai bandit sosial masih melekat sebagai sesuatu yang jelek dan negatif. Pencitraan masyarakat tersebut, berdasarkan aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh para jawara, dalam kegiatan kriminal dan premanise.

A. Profil Tokoh Jawara a. Kiyai Wasyid dan Geger Cilegon

Menyebut nama besar kiyai Wasyid, sepertinya tidak lepas dari sejarah perlawanan bersenjata yang paling menonjol di Banten abad ke-19 terhadap kekuasaan pemerintahan Belanda. Peristiwa yang dikenal dengan nama “Geger Cilegon” terjadi pada 9 Juli 1888 yang dipimpin sejumlah ulama besar. Peran Kiyai Wasyid dalam Geger Cilegon cukup signifikan. Kemampuannya di bidang agama yang didapatkan dari Syekh Nawawi al-Bantani, membuat kiyai Wasyid cukup disegani.112 Perlawanan yang dikobarkan kiyai Wasyid bersama para tokoh Banten dalam Geger Cilegon, dilatarbelakangi oleh kesewenang-wenangan Belanda yang saat itu merupakan peralihan terhadap kependudukan VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) di Banten.

Esensi peristiwa Geger Cilegon, yang motori oleh kiyai Wasyid dan para ulama lainnya, adalah perjuangan membebaskan diri dari penjajahan Belanda.113 Kebencian masyarakat makin memuncak, saat masyarakat tertekan dengan dua musibah yakni dampak meletusnya Gunung Krakatau di Selat Sunda (23 Agustus 1883). Letusan tersebut menimbulkan gelombang laut yang

merepresentasikan agama masyarakat Jawa. Lihat Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa (Jakarta: Pustaka Jaya, 1981).

112 Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu Banten..., 194.

113 Rachmat Djatnika, Perjuangan KH. Wasyid dan Para Ulama Banten Lainnya Menentang Kolonialisme Belanda Pada Tahun 1888, dalam Mansyur Muhyidin, Banten Menuju Masa Depan (Serang : Yayasan Kiyai Haji Wasyid, 1999), 117.

Page 86: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

86

menghancurkan Anyer, Merak, Caringin, Sirih, Pasauran, Tajur, dan Carita. Selain itu musibah kelaparan, penyakit sampar (pes), dan penyakit binatang ternak (kuku kerbau) membuat penderitaan rakyat bertambah berat.

Di tengah kemelut ini, kebijakan pemerintah kolonial Belanda mengharuskan masyarakat membunuh kerbau karena takut tertular penyakit, hal tersebut membuat warga semakin terpukul. Belum lagi penghinaan Belanda terhadap aktivitas keagamaan menambah rentetan alasan dilakukannya perlawanan bersenjata. Di lain pihak, tekanan hidup yang makin terdesak membuat warga banyak lari ke klenik (tahayul). Contoh kasus di desa Lebak Kelapa, terdapat pohon kepuh besar yang dianggap keramat, dapat memusnahkan bencana dan meluluskan yang diminta asal memberikan sesajen bagi jin penunggu pohon. Berkali-kali kiyai Wasyid mengingatkan penduduk bahwa meminta selain kepada Allah termasuk syirik.

Namun fatwa kiyai Wasyid tidak diindahkan. Melihat keadaan ini, kiyai Wasyid dengan beberapa murid menebang pohon berhala pada malam hari. Inilah yang membawa Kiyai Wasyid ke depan pengadilan kolonial pada 18 November 1887. Ia dipersalahkan melanggar hak orang lain, sehingga dikenakan denda 7,50 gulden.114 Hukuman yang dijatuhkan kepada kiyai Wasyid menyinggung rasa sensifitas keagamaan, dan rasa harga diri muridnya. Satu hal lagi yang ikut menyulut api perlawanan adalah dirobohkan menara Masjid di Jombang Tengah atas perintah Asisten Residen Goebels.

Goebels menganggap menara yang dipakai untuk mengalunkan azan setiap waktu Shalat mengganggu ketenangan karena suaranya yang keras, terlebih lagi ketika azan salat subuh. Asisten Residen menginstruksikan kepada Patih agar dibuat surat edaran yang melarang salawat, tarhim dan azan dengan suara keras.115 Faktor-faktor ketidakpuasan terhadap sistem ekonomi, politik dan budaya yang dipaksakan pemerintah kolonial Belanda

114 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten..., 272. 115 Halwany Michrob dan Mudjahid Chudari, Catatan Masa Lalu

Banten..., 198.

Page 87: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

87

berbaur dengan penderitaan rakyat. Perlawanan besar yang dimotori oleh kiyai Wasyid pun dilakukan. Keterlibatan sejumlah ulama dan jawara dalam Geger Cilegon membuat rakyat bangkit melawan Belanda. Sayangnya, insiden ini dapat dipadamkan Belanda karena serdadu Belanda yang dipimpin Letnan I Bartlemy sudah terlatih. Meski api perlawanan dapat dipadamkan, namun sebelumnya terjadi pertempuran hebat.

Kiyai Wasyid yang dianggap pemimpin pemberontakan dihukum gantung, sedangkan yang lain dihukum buang. Haji Abdurahman dan Haji Akiyaib dibuang ke Banda, Haji Haris dibuang ke Bukiyait Tinggi, Haji Arsyad Thawil dibuang ke Gorontalo, Haji Arsyad Qashir dibuang ke Buton, Haji Ismail dibuang ke Flores, dan banyak lagi yang dibuang ke Tondano, Ternate, Kupang, Manado, Ambon, dan Saparua. Jumlah semua pimpinan yang terkait dengan pemberontakan “geger Cilegon” dibuang sebanyak sembilan puluh empat 94 orang.116

b. Mas Jakaria Bagi masyarakat Banten, siapa yang tidak mengenal Mas

Jakaria, sosok jawara yang disegani. Ketokohannya diliputi dengan kisah epik, romantik dan melegenda dikalangan warga Banten. Jika di daerah Betawi kita mengenal sosok Si Pitung, maka di Banten dikenal Mas Jakaria, Robin Hoodnya wong Banten. Mas Jakaria merupakan keturunan keraton Kesultanan Banten,117 dalam silsilah keluarganya, memang telah dikenal sebagai keluarga pemberontak.

Petualangan Mas Jakaria sebagai jawara dan pemimpin, telah dikenal sejak menggerakan pemberontakan, dan menduduki Pandeglang pada tahun 1811. Pada masa itu, Pandeglang merupakan kota keraton kesultanan, karena atas desakan para pemberontak pihak kolonial menobaatkan kembali Sultan. Walaupun pada kemudian hari gerakan pemberontakan tersebut

116 Untuk lebih jelas daftar para tokoh yang dibuang, lihat Sartono

Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 117 Dalam tradisi sejarah Banten, atau yang lebih dikenal dengan Sejarah

Haji Mangsur, nama Mas Jakaria disebut-sebut terkait dengan kerusuhan yang terjadi disaat kepemimpinan Sultan Ishak. Lihat, G.W.J. Drewes, Short Notice on The Story of Haji Mangsur of Banten (Paris : Arciphel, 1995)

Page 88: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

88

dapat diatasi oleh pihak kolonial, dan ditangkapnya Mas Jakaria. Dalam masa penahanannya, pada tahun 1827 Mas Jakaria berhasil meloloskan diri kamp tawanan kolonial.118 Dengan lolosnya Mas Jakaria dari kamp penahanan, hal tersebut membuat kolonial kewalahan. Mas Jakaria merupakan tokoh yang berbahaya, dan dapat mengancam stabilitas keamanan di daerah Banten. Oleh karena itu, pihak kolonial menjanjikan hadiah sebesar seribu piaster Spanyol bagi siapa yang dapat menagkapnya. Taktik yang digunakan oleh pihak kolonial untuk menangkap Mas Jakaria dianggap sia-sia, hal ini dikarenakan Mas Jakaria merupakan sosok yang sangat dihormati dikalangan penduduk Banten.

Setelah lolos dari kamp tahanan kolonial, dalam waktu singkat ia berhasil mengumpulkan banyak pengikut, dan dalam tahun itu pula (1827) ia kembali menggerakan pemberontakan. Petualangan Mas Jakaria berakhir ketika ia ditangkap dalam pengejaran, beberapa bulan setelah peristiwa pemberontakan, dan kemudian dijatuhi hukuman mati. Riwayat hidupnya sebagai seorang jawara dan pemberontak, sangat terkenal. Ia dianggap memiliki kesaktian magis yang luar biasa, bahkan makamnya diwarnai dengan suasana keramat.

C. Pola Hubungan Relasi Antara Ulama dan Jawara

Sebelumnya telah disinggung diatas bagaimana pola hubungan yang terjadi antara ulama dengan jawara. Pengertian ulama disini merupakan kiyai, karena masyarakat Banten lebih familiar dengan sebutan kiyai jika dibandingkan dengan ulama. Kiyai sendiri merupakan elit sosial dalam masyarakat wong Banten, elit sendiri dapat diartikan sebagai tokoh, atau pemimpin dalam suatu komunitas, dan lain sebagainya. Selain kiyai sebagai elit sosial, terdapat jawara yang kemudian diakui oleh masyarakat Banten sebagai elit sosial. Adapun proses lahirnya kedua elit sosial tersebut memiliki akar historis yang panjang, karena kedua elit tersebut antara jawara dan kiyai, sama-sama memiliki hubungan historis dan kultural.

118 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten..., 171.

Page 89: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

89

Menurut masyarakat Banten gelar kiyai hanya diberikan kepada seorang yang “terpelajar” dalam pemahaman keislamannya dan ia membaktikan hidupnya “demi mencari ridha Allah” untuk menyebarluaskan serta memperdalam ajaran-ajaran agama Islam kepada seluruh masyarakat melalui lembaga pendidikan ataupun pesantren, yang menyandang gelar tersebut biasanya memiliki kesaktian dan ahli kebatinan, ahli hikmah, guru dan pemimpin masyarakat yang berwibawa yang memiliki legitimasi berdasarkan kepercayaan masyarakat. Karenanya, gelar kiyai merupakan suatu tanda kehormatan dalam kedudukan sosial, bukan suatu gelar yang diperoleh dalam pendidikan formal.

Sedangkan jawara dalam pandangan masyarakat Banten merujuk kepada seseorang atau kelompok yang memiliki kekuatan fisik dalam bersilat (kanuragan) dan mempunyai ilmu-ilmu kesaktian (kadigjayaan), seperti kekebalan tubuh dari senjata tajam, bisa memukul dari jarak jauh dan sebagainya, sehingga membangkitkan perasaan hormat dan takut, rasa kagum dan benci. Berkat kelebihannya itu, ia bisa muncul menjadi tokoh yang kharismatik, terutama pada saat-saat kehidupan sosial mengalami krisis.

Tokoh-tokoh kiyai, terutama yang berperan sebagai pemimpin tarekat. Selain dipandang sebagai orang yang mengerti tentang pesan-pesan dan ajaran-ajaran agama, juga dipandang sebagai sosok yang paling dekat pusat kekuatan supernatural. Oleh karena itu, kiyai demikian dipercayai memiliki kekuatan magis dan mistis, yang lebih dikenal dengan ilmu-ilmu hikmah. Karena kharisma seseorang kiyai akan semakin besar apabila disamping memiliki kemampuan untuk memahami ajaran-ajaran agama, terutama kitab-kitab kuning juga dipercayai oleh masyarakat, ia juga memiliki kekuatan mistis dan magis yang besar pula. Sehingga ia dianggap dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang biasa.

Tokoh lain di wilayah Banten yang memiliki status sosial yang dihormati dan disegani dalam masyarakat lokal karena

Page 90: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

90

dianggap memiliki kemampuan untuk memanipulasi kekuatan supra-natural yang berupa magis dan mistis adalah jawara. Jawara dianggap memiliki ilmu-ilmu kedigjayaan (kesaktian) dan menguasai ilmu persilatan. Selain itu jawara juga harus memiliki keberanian (wanten, kawani) secara fisik. Dengan keberaniannya tersebut, didukung oleh kemampuan dirinya dalam menguasai ilmu bela diri (persilatan) dan ilmu-ilmu kesaktian. Karena itu seseorang yang hanya memiliki ilmu-ilmu kadigjayaan dan persilatan tidak akan dinamakan jawara apabila ia tidak memiliki keberanian. Karena kelebihannya yang dimilikinya itu maka kiyai dan jawara dipandang sebagai pemimpin masyarakat dan merupakan “elit sosial” di masyarakat Banten.

Kedua tokoh tersebut memiliki pengaruh yang cukup besar di masyarakat dan juga memiliki para pengikut yang setia. Kepemimpinannya bersifat kharismatik, yakni: kepemimpinan yang bertumpu kepada daya tarik pribadi yang melekat pada diri pribadi seorang kiyai atau jawara tersebut. Karena posisinya yang demikian tersebut, maka seorang kiyai atau jawara dapat selalu dibedakan dari orang kebanyakan. Hal tersebut karena didukung dari keunggulan kepribadian mereka. Kedua elit tersebut dianggap, bahkan diyakini memiliki kekuatan supernatural sehingga memiliki kemampuan luar biasa dan mengesankan di hadapan masyarakat Banten.

1. Antara Guru dengan Murid

Menurut Hudaeri Pola relasi hubungan antara kiyai dan jawara tersebut tidak bisa dilepaskan dari adanya jaringan sosial antar mereka. Jaringan sosial tersebut terbentuk dari hubungan adanya hubungan emosional yang dekat, yakni melalui jalur kekerabatan, hubungan guru-murid seguru seelmu dan berbagai lembaga-lembaga sosial lainnya. Dalam masyarakat tradisional seperti Banten ini, jaringan sosial itu terbentuk dengan cara-cara yang alamiah sehingga memiliki derajat hubungan emosional dan solidaritas yang tinggi. Jaringan-jaringan sosial itu terbentuk

Page 91: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

91

melalui hubungan kekerabatan, guru-murid dan lembaga-lembaga sosial tradisional lainnya.119

Dalam studinya Tihami menegaskan, bahwasanya polarisasi hubungan antara jawara dengan kiyai, merupakan pola hubungan antara seorang murid dan seorang guru. Dimana posisi kiyai berperan sebagai guru dan jawara merupakan seorang murid. Dahulu kiyai memiliki dua varian murid, diantara muridnya tersebut ada yang memiliki kecenderungan bakat pada ilmu pengetahuan agama. Tetapi, adapula diantara muridnya yang memiliki kecenderungan kearah perjuangan.

Kiyai di Banten pada tempo dulu tidak hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam, seperti halnya fiqih, aqidah, tasawuf, tafsir ataupun hadist. Adapun kitab tafsir yang diajarkan para kiyai Banten antara lain, tafsir Muruhu Labib, karya Nawawi al-Bantani.120 Akan tetapi disamping itu para kiyai, mengajarkan ilmu persilatan atau kanuragan. Hal ini disebabkan pesantren, pada masa yang lalu, berada di daerah-daerah terpencil dan kurang aman, karena kesultanan tidak mampu menjangkau daerah-daerah yang terpencil yang sangat jauh dari pusat kekuasaan.

Pada akhirnya murid yang cenderung pada ilmu agama disebut santri, sedangkan yang cenderung pada kekuatan fisik dalam mengolah kanuragan dan bernuansa magis disebut dengan jawara.121 Dalam kultur tradisi budaya kejawaran bahwa seorang jawara harus patuh dan tunduk kepada kiyai, karena disini kiyai berperan sebagai tokoh guru dan orang tua yang membimbing anaknya (jawara). Mungkin atas dasar tersebut, seorang pengurus

119 Wawancara dengan Hudaeri, Peneliti, dan akademisi Banten. Juni

2010. 120 Syekh Nawawi al-Bantani, Kitab Muruhu labib Tafsir Nawawi

(Semarang: Putra Semarang, 1992). 121 Menurut Tihami disinilah pada awal mula lahirnya seorang jawara

Banten dalam kehidupan masyarakat Banten, dan sampai pada akhirnya menjadi kelas elit dalam masyarakat lokal. Lihat MA Tihami, “Kiyai dan Jawara di Banten, Studi tentang Agama, Magi, dan Kepemimpinan di desa Pesanggrahan Serang, Banten” (Jakarta: Tesis, Universitas Indonesia, 1992), 21.

Page 92: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

92

persilatan dan seni budaya Banten menyatakan bahwa jawara itu adalah khodimnya (pembantunya) kiyai. Bahkan seperti yang diungkapkan salah seorang kiyai di Serang, juwara iku tentrane kiyai (jawara itu tentaranya kiyai).

Oleh karena itu, dahulu jika pada masa kolonial posisi jawara merupakan pengawal para kiyai. Pada masa-masa sulit jawara banyak membantu peran para kiyai terutama dalam hal keamanan dan ketertiban masyarakat. Kekuatan fisik, magis dan kharisma para jawara diperoleh langsung dari kiyai. Perolehan kesaktian kekuatan magis tersebut atas izin dan ridho dari kiyai setelah seorang jawara dianggap memumpuni untuk menerima trasform elmu kepadanya.

Untuk mempertahankan hubungan sosial tersebut muncul mitos-mitos bagi para pelanggarnya. Sehingga setiap individu dari komunitas tersebut tetap mematuhi aturan sosial tersebut. Pelanggaran terhadap norma sosial dalam masyarakat tradisional dipandang akan merusak tatanan sosial yang lebih luas, yang akhirnya akan menimbul chaos atau kekacauan. Demikian pula dengan kiyai dan jawara dalam mempertahankan status sosial mereka. Mereka membuat aturan-aturan tertentu yang dapat mempertahankan status sosial mereka yang diiringi dengan mitos-mitos tertentu bagi para pelanggarnya. Aturan-aturan tersebut diantaranya, adalah izajah dan kawalat.

Izajah adalah pernyataan restu dari seorang guru kepada muridnya untuk mengamalkan atau mempergunakaan serta mengajarkan suatu ilmu tertentu kepada orang lain. Izajah ini sangat penting karena diyakini dapat menentukan berguna atau tidaknya ilmu yang diberikan oleh seorang guru terhadap muridnya. Pemberian izajah ini merupakan bentuk legitimasi bagi sang murid dari gurunya bahwa ia telah dianggap menguasai ilmu (elmu) yang dipelajarinya. Dalam lingkungan jawara, istilah izajah juga diperlukan dalam mendapatkan atau mengajarkan

Page 93: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

93

ilmu-ilmu yang bersifat magis. Tanpa izajah dari sang guru ilmu-ilmu magis itu tidak akan “manjur.”122

Sedangkan, kawalat (kualat) atau katulah adalah mendapat bencana, celaka atau terkutuk karena telah melanggar suatu larangan (tabu) dari aturan-aturan sosial yang telah ditetapkan. Seorang murid akan kawalat apabila dia dianggap membangkang perintah gurunya. Bentuk-bentuk kawalat itu bermacam-macam, seperti sakit yang tidak bisa diobati, gila, kecelakaan, bangkrut usahanya dan sebagainya.

Begitu pula ketika mereka membina hubungannya dengan sesama kiyai dan jawara disatukan dalam dalam ruang lingkup kebudayaan Banten. Sifat hubungan keduanya tidak hanya bersifat simbiosis, yakni saling ketergantungan tetapi juga kontradiktif. Jawara membutuhkan elmu dari kiyai, sedangkan sebaliknya kiyai, atas jasanya tersebut, menerima uang shalawat (bantuan material) dari jawara. Tetapi juga banyak kiyai yang tidak senang terhadap berbagai perilaku jawara yang sering menghalalkan segara cara, walau dengan cara kekerasaan dalam menyelesaikan masalah.

Pola hubungan tersebut antara seorang guru dan murid sampai saat ini terjalin, akan tetapi walaupun demikian terdapat sebagian kiyai yang melepas para jawara, hal ini dikarenakan telah terjadi penyimpangan yang dilakukan oleh para jawara dalam urusan politik. Lain halnya dengan Tihami, ia menegaskan pola hubungan tersebut akan terus terjalin, dan tidak akan terlepas. Hubungan antar murid dengan guru, merupakan unsur tradisi kultur dan kebudayaan yang tetap dijaga oleh para jawara, bahkan lebih dari itu hubungan emosional tersebut terjalin

122 Mohammad Hudaeri, Tasbih dan Golok, Studi tentang Kedudukan, Peran dan Jaringan Kiyai dan Jawara di Banten. Laporan penelitian (Serang: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2002). Lihat pula Ahmad Rivai, “Suatu Tinajuan Kriminologi Atas Kepemimpinan Koersif Jawara Dalam Pembuatan Kebijakan Pemerintahan Di Daerah: Studi Kasus Di Wilayah X” (Depok: Tesis, Pasca Sarjana FISIP Universitas Indonesia, 2003), 78.

Page 94: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

94

layaknya antara anak dengan bapak. Oleh karena itu di dalam dunia jawara dikenal dengan “kuwalat” yakni pemahaman tentang seseorang akan tertimpa sial jika ia melawan guru atau orang tuanya. Pada posisi ini, kiyai sebagai guru berperan sebagai orang tua dari muridnya yakni para jawara.

Dalam tradisi jawara hubungan dengan guru dalam hal ini adalah kiyai, terutama yang menurunkan ilmu kesaktian atau magis, sama kedudukannya dengan orang tua. Anak buah jawara menyebut para gurunya (kepala jawara) itu dengan panggilan abah, yang artinya sama dengan bapak. Panggilan tersebut menyimbolkan bahwa kedekatan hubungan guru-murid adalah seperti kedekatan hubungan orang tua dengan anaknya. Kini relasi seguru-seilmu ini sebenarnya masih bertahan dengan baik dalam perguruan-perguruan persilatan yang masih tetap bertahan sampai saat ini, bahkan mampu mengembangkannya sehingga satu perguruan memiliki berapa cabang di daerah-daerah lain.

Akar hubungan historis dan kultural inilah, yang terjalin antara kiyai dan jawara. Kutur dan kebudayaan tertentu dalam suatu kelompok, tercipta dari akulturasi ataupun suatu difussi antar kebudayaan. Dalam hal ini jawara merupakan produk dari kebudayaan lokal setempat, terciptanya jawara dalam konstruk budaya lokal sangat terkait dengan peran kiyai. Menurut Tihami kiyai lah yang memiliki peran andil dalam melahirkan jawara Banten, sampai diakuinya eksistensi jawara sebagai elit lokal dalam komunitas warga masyarakat wong Banten.

2. Sebagai Tentara Kiyai

Menurut Ota Atsushi, pola relasi hubungan yang terjadi antara jawara dengan kiyai dimulai pada masa abad ke 19. Dimana para jawara berperan sebagai tentara kiyai, atau khodim (pembantu) kiyai. Para kiyai sebagai elit masyarakat lokal merupakan pemimpin dalam mengadakan pemberontakan terhadap pihak kolonial. Sebagai pemimpin pemberontak, kiyai merekrut para jawara untuk dijadikan pion-pion mereka dalam

Page 95: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

95

melawan pemerintahan kolonial123. Lebih dari itu, para jawara mematuhi secara penuh apa yang diperintahkan oleh para kiyai. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya diatas, bahwa disamping jawara sebagai tentara kiyai, jawara pun merupakan murid dari kiyai. Rasa solidaritas dan intensitas kepatuhan yang tinggi terhadap kiyai sebagai pemimpin, mengkonstruk budaya jawara sebagai khodim (pembantu) kiyai. Tanpa instruksi dari kiyai, jawara tidak akan melakukan tindakan apapun.

Munculnya kiyai sebagai tokoh agama yang dihormati di wilayah Banten berkaitan dengan kontrol pemerintah kolonial Belanda yang semakin kuat terhadap kesultanan Banten pada abad ke-18 dan ke-19. Meskipun pemerintah kolonial masih tetap mempertahankan pejabat-pejabat yang mengurusi soal-soal keagamaan masyarakat Banten, seperti Faqih Najamuddin untuk di tingkat atas dan para penghulu untuk di tingkat bawah, namun pengaruh mereka semakin menurun, akibat intervensi pemerintah kolonial yang terlalu besar.124

Kiyai, yang pada saat itu merupakan tokoh agama yang independen dan tidak bersentuhan langsung dengan pemerintah, muncul sebagai tokoh masyarakat. Apalagi semenjak jabatan Faqih Najamuddin dihapuskan oleh pihak pemerintah kolonial Belanda. Penghapusan jabatan tersebut mengalihkan loyalitas penduduk ke para kiyai. Pembayaran zakat pun yang

123 Atsushi selalu menyebut jawara dengan istilah”strong man”manusia

kuat, sakti, yang ada di Banten. Setelah runtuhnya Kesultanan Banten, situasi sosial masyarakat Banten berada dalam suasana kekacauan. Pemberontakan-pemberontakan selalu terjadi, oleh karena hal tersebut residen Banten ditetapkan sebagai keresidenan yang sulit ditata dalam administrasi pemerintah kolonial. Para kiyai berperan sebagai pemimpin pemberontakan, segala element masyarakat direkrut termasuk jawara strong man direkrut kedalam gerakan pemberontakan. Lihat Ota Atsushi, Change of Regim and Social Dynamic in West..., 153-158.

124 Pada masa kekuasaan Kesultanan, sistem syariah lah yang digunakan sebagi hukum legimasi, bahkan ketika VOC datang jabatan Qodi tetap digunakan. Lihat Martin Van Bruinessen, Shari’a court, Tarekat and Pesantren : Religius Istitutions in The Banten (Paris: Archipel, 1995), 171-172. Lihat pula Muhammad Hudaeri : Tasbih dan golok, Studi tentang Kedudukan, Peran dan Jaringan Kiyai dan Jawara di Banten. Laporan penelitian (Serang: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2002).

Page 96: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

96

selama kesultanan Banten dan masa-masa awal pemerintahan kolonial diserahkan kepada penghulu.

Setelah penghapusan jabatan Faqih Najamuddin yang diberikan kepada para kiyai, pada tahun 1888 misalnya terjadi pemberontakan hebat di Banten. Dimana KH. Wasyid memimpin pemberontakan terhadap pemerintahan kolonial. Pemberontakan tersebut yang kemudian dikenal dengan pemberontakan peetani Banten atau Geger Cilegon. Pemberontakan yang dilangsungkan oleh kiyai Wasyid dibantu oleh para jawara, termasuk Konidin jawara yang paling disegani di Banten. Else Ensering, mendeskripsikan pemberontakan-pemberontakan yang terjadi Banten, baik peristiwa pemberontakan petani Banten, pemberontakan komunis di Banten, merupakan pemberontakan yang dimotori oleh para kiyai dan jawara Banten.125

Pemberontakan kiyai yang dibantu oleh para jawara sangat menarik jika dihubungkan dengan situasi, dan kondisi sosial politik yang terjadi pada masyarakat Banten waktu itu. Menurut Kartodirdjo keterlibatan kiyai dan jawara dalam pemberontakan pada masa kolonial, dipergunakan oleh para kalangan aristokrat saat itu yang memanipulasi isu-isu politik, ekonomi, dan budaya. Tujuan tersebut demi kepentingan kekuasaan para kalangan aristokrat, yang pada saat itu sedang mengalami deprivasi politik.126 Pemanipulasian kekuatan kiyai dan para jawara, menimbulkan kerugian bagi pihak para kiyai dan jawara sendiri. Pemberontakan yang dimotori oleh para ulama mengalami kegagalan, yang berakibat kepada pembuangan besar-besaran para tokoh kiyai dan jawara yang terlibat dalam pemberontakan tersebut. Setidaknya terdapat 94 pemberontak yang terdiri dari kiyai dan jawara yang dibuang oleh pihak kolonial. Diantaranya ada yang dibuang didaerah Sulawesi, Maluku, Ternate, Kupang, Padang, dan daerah lainnya.

125 Dalam kasus pemberontakan di Banten, kiyai tidak berperan sendiri

sebagai tokoh sentral pemberontakan. Setidaknya terdapat dua tokoh, pertama kiyai dan kedua sebagian para Bangsawan, yakni keturunan Sultan Banten. Sedangkan posisi jawara hanya hanya sebagai tentara ataupun pion ketika menghadapi pihak kolonial. Lihat, Else Ensering, Banten in Times of ..., 132-143.

126 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten..., 450-452.

Page 97: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

97

Kiyai dalam masyarakat Banten merupakan tokoh panutan masyarakat yang dihormati berkat perannya dalam mengarahkan dan menata kehidupan bermasyarakat. Sedangkan jawara berkedudukan sebagai pemimpin dari lembaga adat masyarakat diapun tokoh yang dihormati apabila ia menjadi pemimpin atau penguasa. Keduanya merupakan pemimpinan yang memiliki pengaruh pada masyarakat Banten, kebesaran namanya sangat ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang dimiliki, kemampuan dalam penguasaan ilmu pengetahuan (agama dan sekuler), kesaktian dan keturunannya.

Peranan kiyai dalam masyarakat Banten adalah sebagai tokoh masyarakat (kokolot), guru ngaji, guru kitab, guru tarekat, guru ilmu “hikmah” (ilmu ghaib) dan sebagai mubaligh. Peranan seorang kiyai selain sebagai pewaris tradisi keagamaan juga pemberi arahan atau tujuan kehidupan masyarakat yang mesti ditempuh. Karena itu ia lebih bersifat memberikan pencerahan terhadap masyarakat, semua itu menjadi masyarakat Banten yang madani dan memiliki religiusitas yang tinggi,127 peran-peran seperti itu sangat diperlukan, apalagi bagi masyarakat yang masih mencari jati dirinya. Sedangkan jawara lebih cenderung kepada kekuatan fisik dan “batin”. Sehingga dalam masyarakat Banten peran-peran yang sering dimainkan oleh para jawara adalah menjadi jaro (kepala desa atau lurah), guru ilmu silat dan ilmu “batin” atau magis, satuan-satuan pengamanan.

Peranan tersebut bagi masyarakat sangat membantu apalagi saat Banten dalam kekacauan dan kerusuhan yang cukup lama, namun demikian peranan para jawara dalam sosial, ekonomi dan politik dalam kehidupan masyarakat Banten saat ini sangat

127 Dhofier menyebutkan nilai-nilai spiritual yang ikut membentuk

bangunan kehidupan spiritual kiyaiai selain zuh{u>d yang merupakan pandangan keagamaan dari tasawuf Islam yang secara luas diamalkan oleh para kiyaiai, adalah wiro’i (menjauhi diri dari perbuatan-perbuatan yang dilarang, makruh dan yang tidak jelas boleh tidaknya), khusyu’(perasaan dekat dan selalu ingat kepada Tuhan), tawakkal (percaya penuh kepada kebijaksanaan Allah), sabar, tawaddlu’ (rendah hati), ikhlash dan shiddiq (selalu jujur dan bertindak yangsebenarnya). Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta: LP3ES, 1985), 165.

Page 98: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

98

diperlukan. Tetapi akhir-akhir ini peranan para jawara mulai berbeda dibandingkan dengan peranan jawara pada masa-masa lalu dalam sejarah kehidupan masyarakat Banten sesuai perkembangan zaman.

Pada tahun 1945 dimana Indonesia mendapatkan kemerdekaannya, pada saat itu kekuasaan kresidenan Banten langsung dipegang sepenuhnya oleh para kiyai. KH. Achmad Khatib menjabat sebagai residen Banten, dan KH. Syam’un menjabat sebagai kepala (BKR) Badan Keamanan Rakyat, pimpinan tertinggi militer dengan pangkat kolonel128. Begitu pula dengan struktur dibawahnya, para Bupati, Wedana, Camat, Kepolisian dan Lurah semua diserahkan kepada para kiyai. Sementara itu peran jawara terlihat sebagai pendamping kiyai, sekaligus pendamping pemerintah dalam menjaga stabilitas keamanan masyarakat Banten.129

Bagi masyarakat Banten dan sekitarnya, kiyai dipandang sebagai tokoh masyarakat yang menjadi sumber kepemimpinan informal terpenting. Masyarakat mematuhi perintah kiyai karena memandang para kiyai sebagai sosok yang disegani. Berbeda halnya dengan kedudukan kiyai, pamong praja dan jawara merupakan kelompok sosial yang kedudukannya tidaklah melebihi kedudukan para kiyai. Namun diantara ketiganya, kiyai dan jawara menjadi golongan yang khas di daerah ini. Keduanya diibaratkan bagai dua sisi mata uang, bahkan karena kedekatan emosional diantara keduanya, jawara dianggap sebagai “khodam” nya para kiyai. Karena dari para kiyailah sebagian besar “keilmuan” jawara itu berasal. Oleh karena itu, tidaklah

128 Jika dibandingkan dengan masa sekarang (BKR) Badan Keamanan

Rakyat, setara dengan (TNI) Tentara Nasional Indonesia. Sedangkan posisi jabatan KH. Syam’un sama halnya dengan Pangdam (Panglima Daerah Militer) Sultan Maulana Hasanuddin Banten.

129 Pola hubungan relasi yang teradi antara jawara dengan kiyai pada masa perjuangan dan kemerdekaan, dapat diartikan sebagai tentara kiyai ataupun pendamping kiyai. Lihat Else Ensering, Banten in Times of Revolution (Paris: Archipel, 1995), 148-157. Lihat pula, Ahmad Abrori, “Perilaku Politik Jawara Banten Dalam Proses Politik di Banten” (Depok: Tesis, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Indonesia, 2003), 63.

Page 99: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

99

berlebihan kalau Taufik Abdullah menyebut Banten, sebagai “negeri para kiyai dan jawara”.130

Penjelasan di atas tentang peran yang dimainkan oleh kiyai dan jawara serta relasi hubungan yang dibangun oleh kedua menggambarkan dalam tahapan yang lebih lanjut bahwa kedua kelompok masyarakat tersebut memiliki kultur yang berbeda dalam lingkupan kebudayaan Banten. Kiyai lebih banyak berperan sebagai tokoh masyarakat dalam bidang sosial keagamaan. Sedangkan, jawara lebih banyak berperan dalam lembaga adat pada masyarakat Banten. Kiyai dan jawara merupakan sumber kepemimpinan tradisional informal, terutama masyarakat pedesaan. Kiyai mewakili kepemimpinan dalam bidang pengetahuan, khususnya keagamaan. Sedangkan jawara mewakili kepemimpinan berdasarkan kriteria keberanian dan kekuatan fisik (kesaktian).

Pola hubungan relasi tentang peran-peran yang dimainkan oleh kiyai dan jawara serta jaringan sosial yang dibangun oleh keduanya, menggambarkan dalam tahapan yang lebih lanjut, bahwa kedua kelompok elit lokal tersebut memiliki kultur yang berbeda dalam lingkupan kebudayaan Banten. Kiyai lebih banyak berperan sebagai tokoh masyarakat dalam bidang sosial keagamaan. Sedangkan, jawara lebih banyak berperan dalam lembaga adat pada masyarakat Banten.

Dalam hubungan sosial bersifat integratif, jawara membutuhkan kiyai sebagai sebagai tokoh agama dan sumber kekuatan magis. Sebagai tokoh, kiyai merupakan alat legitimasi yang penting dalam kepemimpinan jawara, Tanpa dukungan dari para kiyai, para jawara akan sulit untuk menjadi pemimpin formal masyarakat. Sedangkan kepentingan kiyai terhadap jawara adalah bantuannya, baik fisik atau materi. Seorang jawara yang meminta ilmu (kesaktian dan magis) dari kiyai, ia akan memberikan sejumlah materi, seperti uang atau benda-benda berharga, yang dinamakan dengan salawat. Pemberian salawat kepada kiyai

130 Nina H Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah : Sultan, Ulama, Jawara (Jakarta: LP3ES, 2003), 129.

Page 100: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

100

dipandang sebagai penebus “berkah” kiyai yang telah diberikan kepadanya.

Salah satu hubungan relasi tradisional yang dibangun kelompok kiyai dan kelompok jawara adalah mengandalkan hubungan kedekatan emosional yang dalam. Oleh karena itu, jaringan yang terbentuk pun melalui hubungan kekerabatan, baik melalui hubungan nasab atau perkawinan, hubungan guru dengan murid, lembaga sosial-keagamaan seperti perkumpulan pesantren atau perguruan.

Ketika membina relasi hubungannya dengan sesama subkultur, kiyai dan jawara disatukan dalam dalam ruang lingkup kebudayaan Banten. Karena itu, sifat hubungan keduanya tidak hanya bersifat simbiosis, saling ketergantungan, tetapi juga kontradiktif. Jawara membutuhkan ilmu dari kiyai, sebaliknya kiyai atas jasanya tersebut menerima uang salawat (bantuan material) dari jawara. Akan tetapi, banyak juga kiyai yang tidak senang terhadap berbagai perilaku jawara yang sering mengedepankan kekerasaan dalam menjalin hubungan sosial.

Kiyai dalam masyarakat Banten merupakan elit sosial dalam bidang sosial-keagamaan. Ia merupakan tokoh masyarakat yang dihormati atas peran-peran yang dimiliki dalam mengarahkan dan menata kehidupan sosial. Sedangkan, jawara berkedudukan sebagai pemimpin dari lembaga adat masyarakat. Ia menjadi tokoh yang dihormati apabila ia menjadi pemimpin sosial berkat penguasaannya terhadap sumber-sumber ekonomi131 saat ini. Keduanya merupakan sumber-sumber kepemimpinan tradisional masyarakat yang memiliki pengaruh melewati batas-batas geografis. Kebesaran namanya sangat ditentukan oleh nilai-nilai pribadi yang dimiliki masing-masing kelompok.

131 Sumber-sumber ekonomi yang dimaksudkan disini adalah, dominasi

para jawara Banten dalam memainkan perananya sebagai patron ekonomi di wilayah Banten. Setidaknya pada saat ini para jawara telah menguasai perekonomian diwilayah Banten, lain halnya dengan para kiyai yang peranannya redup dalam aspek politik dan ekonomi.

Page 101: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

101

3. Perbedaan Peranan Antara Jawara dan Kiyai

Tabel 1 : Perbedaan Antara Jawara dan Kiyai

Jawara Kiyai Ruang lingkup nilai perbedaan antara Kiyai dan Jawara dalam masyarakat Banten

- Sebagai informal leader

- Pemimpin Padepokan Paguron Silat

- Pemain Debus - Penguasa / preman

Pasar - Jaro/ Lurah - Pendekar Banten, dan

tergabung di dalam (PPPSBBI)

- Sebagai informal leader

- Pemimpin pesantren - Guru ngaji - Pemimpin upacara

ritual keagamaan - Ahli hikmah

Kepemimpinan dan Kharisma Jawara

Setelah sebelumnya dibahas tentang peranan jawara pada masa kolonial, dan relasi hubungan yang terjalin antara kiyai dengan jawara. Maka pada bagian ini, akan dibahas pola kepemimpinan dan kharisma yang melekat pada seorang jawara. Sebagai elit sosial, jawara memiliki daya tarik tersendiri dikalangan masyarakat. Berbeda halnya dengan kebanyakaan

Page 102: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

102

daerah-daerah lain di Indonesia, Banten memiliki jawara sebagai produk budaya lokal.

Kepemimpinan jawara dalam masyarakat Banten sering dipandang sebagai kepemimpinan non formal, atau informal leader. Kartodirdjo sendiri menyebut dua element ini (kiyai dan jawara), sebagai elit yang menembus batas-batas hirarki sosial masyarakat.132 Pemimpin adalah elit dalam suatu kelompok, menjadi pemimpin dalam suatu kelompok kelompok adalah elit dari kelompok tersebut adalah. Menurut Lidlle, elit merupakan kelas sosial yang mendapat penilaian penghargaan tinggi dalam suatu, karena nilai-nilai yang mereka peroleh, sehingga akan mencapai kedudukan dominan dalam suatu kelompok tersebut.133 Elit sendiri dapat diartikan, mereka yang mencapai puncak posisi institusi dalam masyarakat. Sedangkan nilai-nilai values tersebut dapat berbentuk kekuasaan, kehornatan, ataupun kekayaan.

Eksistensi kepemimpinan bagi sebagaian jawara dalam masyarakat Banten, dapat berupa formal leader maupun informal leader. Seperti halnya yang dibahas dalam riset Hudaeri sebelumnya, bahwa ada sebagain jawara yang berperan sebagai jaro lurah dikalangan masyarakat desa, jabatan seperti ini merupakan jabatan yang formal sebagai pemimpin. Bahkan terdapat pula kalangan jawara yang beraktivitas sebagai pejabat pemerintah. Tetapi bagi masyarakat Banten, figure jawara dianggap sebagai informal leader dalam masyarakat.

Besarnya peranan jawara dalam komunitas masyarakat Banten, terkait dengan latar belakang historis, dan tingkat religiusitas masyarakat lokal yang tinggi pada masa pemerintahan kolonial. Dimana Kiyai dan jawara berperan sebagai pemimpin perjuangan dalam melawan pihak kolonial. Sebagai pemimimpin dalam komunitas lokal, jawara memiliki daya tarik tersendiri

132 Maksud dari elit atau golongan yang menembus batas-batas hirarki sosial masyarakat disini adalah, golongan yang memiliki peranan signifikan dalam masyarakat Banten dan menjadi pemimpin masyarakat non formal, disinilah kapasitas kiyai dan jawara sebagai pemimpin lokal. Lihat Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888. (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), 82-84.

133 William R. Liddle, Leadership and Culture in Indonesia Politics (Sidney Allen and Urwin, 1996) 65-67.

Page 103: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

103

yakni sebagai pemimpin lokal yang memiliki aura kharismatis dan kewibawaan tersendiri. Peranan eksistensi mereka sebagai informal leader dalam masyarakat wong Banten, terkadang melebihi otoritas kepemimpinan pemerintahan yang resmi di daerah maupun dipusat.

Kepemimpinan jawara sebagai elit sosial dalam masyarakat Banten, memiliki ciri khas yang berbeda, yakni kharisma yang dimiliki oleh para jawara. Tanpa kharisma, kepemimpinan jawara tidak berbeda jauh dengan model-model kepemimpinan lainya di indonesia. Kepemimpinan kharismatis inilah yang menjadikan jawara sebagi elit sosial dalam masyarakat wong Banten. Sedangkan otoritas kepemimpinan jawara berasal dari kepercayaan, dalam hal ini agama merupakan sumber otoritas kepemimpinan para jawara. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa eksistensi jawara sangat berkaitan erat dengan agama Islam. Jawara sendiri muncul akibat akulturasi antara kebudayan lokal setempat dengan Islam. Interaksi kebudayaan inilah yang berhasil menciptakaan jawara sebagai produk lokal, dan elit sosial masyarakat Banten.

Menurut Martin Van Bruinessen tingkat intensitas religiusitas masyarakat Banten terhadap Islam, diakui memiliki tingkat religiusitas yang tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari aspek historis dan sosial masyarakat, antara lain :

1. Banten merupakan salah satu wilayah kesultanan Islam di nusantara

2. Lembaga-lembaga seperti Tarekat dan Pesantren berkembang pesat diwilayah ini, demikian pula dengan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang diterima oleh masyarakat.

3. Lembaga Qodi hukum syari’ah pada masa kesultanan, dijadikan sebagai hukum perdata dan pidana yang resmi bagi masyarakat Banten.

4. Kiyai dianggap sebagai pemimpin masyarakat lokal bahkan terkesan dikultuskan.

Page 104: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

104

5. Jumlah masyarakat Banten yang pergi ke tanah suci Mekah lebih banyak jika di bandingkan dengan daerah-daerah lain di nusantara.

6. Segala aspek kehidupan upacara tradisi masyarakat diwarnai oleh ritual agama.134

Dalam kehidupan sehari-hari, agama dijadikan acuan oleh masyarakat untuk menjawab persoalan problematika segala aspek kehidupan. Sebagai masyarakat yang berbasiskan agraria, persoalan gagal atau berhasilnya hasil pertanian juga mengacu kepada agama. Agama bagi masyarakat setempat adalah suatu sistem keyakinan dan upacara-upacara atau perbuatan-perbuatan untuk memperoleh kebaikan.

Berkaitan dengan jawara, bahwa kekuatan magis supranatural merupakan bagian terpenting dalam kehidupan kelompok jawara. Pengetahuan tentang kesaktian, magis, dan supranatural bersumber dari adanya keyakinan tentang kekuatan-kekuatan dan kemurahan-kemurahan Tuhan. Bagi masyarakat Banten Tuhan dianggap memiliki segala kekuatan dan memiliki segala kehendak. Kekuatan tersebut sebagian diberikan kepada ciptaannya selain manusia, sebab pada dasarnya manusia dianggap tidak memiliki kekuatan apa-apa.

Istilah pemimpin dalam leader menurut Thomas Wren secara tradisional adalah seorang yang dengan jelas dibedakan dengan orang lain dalam hal kekuasaan, status dan pandangan. disamping itu ia membuat table bentuk kepemimpinan diantaranya memiliki karakter, pendirian, keberanian, kharisma dan integritas.135

134 Martin Van Bruinessen, Shari’a court, Tarekat and Pesantren :

Religius Istitutions in The Banten (Paris: Archipel, 1995), 168-179. Penyebaran Islam di Banten telah berhasil masuk dan diterima oleh masyarakat lokal, kehadiran Islam sebagai agama dipegang kuat sebagai prinsip, bahkan muncul kearah fanatik keagamaan. Salah satu contoh, di wilayah Pandeglang, Rangkas dan sekitarnya tidak didapati gereja, ataupun tempat peribadatan selain Islam. Inilah semangat keberagamaan masyarakat Banten dalam memegang Islam, dan menolak eksistensi kehadiran agama lain selain Islam.

135 Tentang teori-teori leadership yang dianalisa oleh Thomas wren, meliputi beberapa kajian antara lain antropologi budaya dan pemahaman sosial

Page 105: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

105

Tanda-tanda yang menunjukan kepemimpinan ini, hanya dimiliki oleh sebagian orang saja. Berdasarkan teori diatas, maka manusia diklasifikasikan kedalam dua bagian. Pertama golongan yang memimpin, dan hanya terdiri dari sebagian kecil saja yang terpilih. Kedua, golongan yang dipimpin, seperti kebanyakan lainnya.136 Ciri-ciri diatas merupakan suatu persyaratan bagi seseorang untuk menjadi pemimpin, walaupun demikian tidak berarti seorang pemimpin tidak berarti harus memenuhi semua persyaratan tersebut.

Jika didalam kepemimpin terdapat prasyarat yang harus dipenuhi untuk menghadirkan seorang pemimpin. Maka terjadinya suatu kepemimpinan berdasarkan proses pemilihan tertentu. Oleh karena itu, kepemimpinan dapat diwujudkan melaui proses usaha-usaha tertentu demi meraih posisi kepemimpinan tersebut. Adapun, bentuk upaya usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam meraih kepemimpinan, tergantung kepada kebudayaan dimana kepemimpinan tersebut berada. Kebudayaan merupakan unsur terpenting dalam proses penilaian dan penentuan kepemimpinan dalam suatu daerah. Kepemimpinan sendiri merupakan suatu integral keseluruhan dalam kebudayaan.137

Kepemimpinan adalah suatu proses seseorang mempengaruhi orang lain untuk menunaikan suatu misi, tugas, atau tujuan dan mengarahkan organisasi yang membuatnya lebih kohesif dan koheren. Mereka yang memegang jabatan sebagai pemimpin menerapkan seluruh atribut kepemimpinannya (keyakinan, nilai- tentang kepemimpinan itu sendiri. George R. Goethals and Georgia. L.J. Sorenson, The Quest For General Theory Of Leadership (Northampton: Edwar Elgar Publishing, 2006), 13.

136 Kartodirdjo, mengklasifikasikan kelompok tersebut, berdasarkan pemberontakan yang terjadi di Banten, dimana hanya sebagian kecillah kelompok yang berperan sebagai pemimpin. Lihat Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten..., 16.

137 Lebih jauh lagi Harvey mendefinisikan kepemimpinan leadership adalah bagian integral dari sisi kehidupan alami natural manusia, sedih, senang, bahagia dan lain sebagainya, dapat mempengaruhi gaya kepemimpinan. Lihat Michael Harvey dalam, George R. Goethals and Georgia. L.J. Sorenson, The Quest For General Theory Of Leadership..., 39-41.

Page 106: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

106

nilai, etika, karakter, pengetahuan, dan ketrampilan). Jadi seorang pemimpin berbeda dari majikan, dan berbeda dari manajer. Seorang pemimpin menjadikan orang-orang ingin mencapai tujuan dan sasaran yang tinggi. Sedangkan seorang majikan memerintah orang-orang untuk menunaikan suatu tugas untuk mencapai tujuan.

Di dalam kehidupan masyarakat Banten ada aturan-aturan yang disebut agama dan darigama. Agama adalah aturan-aturan yang dianggap sakral, sedangkan darigama dipandang sebagai suatu yang profan. Walaupun demikian, sesuatu yang profan dikalangan masyarakat Banten kadang kala sering dianggap suatu yang sakral, karena diselimuti oleh agama. Aturan-aturan agama adalah segala sesuatu yang harus diyakini, dipatuhi, dan ditakuti. Hal tersebut dipercaya dapat membawa kebahagiaan dalam kehidupan mayarakat.138

Kehidupan manusia tidak hanya mengacu kepada aspek peraturan agama saja, melainkan disisi lain terdapat aturan yang bukan dari agama. Peraturan tersebut dinamakan darigama, yang ditaati pula oleh masyarakat Banten. Aturan-aturan darigama ini biasanya tidak bertentangan dengan agama. Sebaliknya peraturan agamapun tidak bertentangan dengan aturan darigama. Kedua aturan inilah yang biasa disebut oleh masyarakat Banten sebagai Tata Tentrem Kerta Raharja hidup makmur, aman dan tertib. Walupun kedua aturan itu berbeda sumbernya, namun keduanya bertujuan sama yakni ingin membahagiakan kehidupan manusia. Dalam pengajiannya Kiyai Nuralam mengatakan bahwa :

“agama eta sumberna ti Pangeran (koasa), umpami darigama teh ti pamarentah........ moal mantak pamarentah nyilakakeun rakyatna! Jadi, kadua duana (agama dan darigama)

138 Ahmad Rivai, “Suatu Tinajuan Kriminologi Atas Kepemimpinan

Koersif Jawara Dalam Pembuatan Kebijakan Pemerintahan Di Daerah : Studi Kasus Di Wilayah X” (Depok: Tesis, Pasca Sarjana FISIP Universitas Indonesia, 2003), 75.

Page 107: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

107

tujuana mah sami. Sami-sami ngabahagiaken urang sadayana”.139

Agama itu sumbernya dari Tuhan, adapun darigama bersumber dari pemerintah...... tidak mungkin pemerintah ingin mencelakakan rakyatnya! Jadi, kedua-duanya memiliki tujuan yang sama. Sama-sama ingin membahagiakan kita semua”. Para kiyai di Banten biasanya dekat dengan para penguasa, baik itu pejabat daerah maupun pusat. Terlebih lagi pada masa Orde baru, para kiyai dan jawara direkrut oleh pemerintah pusat dan dijadikan motor penggerak partai tertentu. Oleh karena itu, tidak heran jika para tokoh kiyai mendukung kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah.

Kewenangan terhadap dua aturan tersebut melahirkan dua macam model kepemimpinan, pertama kepemimpinan agama (kiyai) dan kepemimpinan darigama (pemerintah). Kiyai dan pemerintah inilah yang menjadi pemimpin, karena memiliki kelebihan-kelebihan dibandingkan dengan kebanyakan orang lainya. Salah satu kelebihan kiyai yakni memiliki pengetahuan dalam mengolah ilmu kesaktian magis, dan mentranfromnya kepada orang yang memerlukanya. Kemampuan seperti inilah, yang menjadikan salah satu faktor pendukung kiyai menjadi pemimpin dalam masyarakat Banten.

Masyarakat Banten memiliki kepercayaan tentang keberadaan kehidupan magis, sebagian diantaranya adalah elmu kesaktian. Elmu kesaktian atau yang lebih dikenal dengan kedigjayaan biasanya meliputi kemampuan untuk meemancarkan kharisma, kewibawaan, bahkan ditakuti. Lebih dari itu, kemampuan magispun meliputi tenaga dalam, ilmu kebal dari senjata tajam, brajamusti, ziyad, dan lain sebagainya. Ilmu-ilmu magis kesaktian seperti inilah yang banyak dibutuhkan dan dimiliki oleh para jawara. Jawara yang dikategorikan memiliki kemampuan seperti diatas, ditenggarai cukup banyak. Namun demikian tidak semua jawara dapat menjadi pemimpin, kecuali

139 Hasil ceramah pengajian yang disampaikan oleh KH. Nuralam (tokoh ulama) di Masjid Baetussa’adah, Kp. Kadu, Curug, Mei 2010.

Page 108: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

108

jika ia menduduki jabatan formal, baik dipedesaan ataupun diranah politik. Disamping itu, tokoh jawara dipandang sebagai pemimpin jika ia menjadi pengusaha.140 Akhir-akhir ini banyak diantara jawara yang beralih profesi menjadi enterpreneur.

Kekuatan supranatural magis, dan kesaktian para jawara bersumber dari ajaran-ajaran Islam. Kesaktian magis tersebut dapat dimanifestasikan dalam berbagai bentuk, seperti halnya jimat, rajah dan benda pusaka lainnya. Tanpa keahlian dalam mengolah kesaktian magis, jawara tidak memiliki otoritas kepemipinan dikalangan masyarakat. Dengan magis dan kesaktianlah, jawara mampu berperan sebagai pemimpin. Karena salah satu peran yang dimainkan jawara dalam peranan tradisional yakni sebagai jaro lurah, yang memiliki tangggung jawab memelihara stabilitas keamanan di desa.

Kharisma sendiri adalah gejala sosial yang terdapat ketika kebutuhan kuat muncul terhadap legitimasi otoritas. Sedangkan yang menentukan kebenaran kharisma adalah pengakuan pengikutnya. Pengakuan atau kepercayaan kepada tuntutan kekuatan gaib merupakan unsur integral dalam gejala kharisma. Kharisma adalah pengakuan terhadap suatu tuntutan sosial. Gejala kharisma pada umumnya muncul pada waktu krisis, waktu perang atau pada waktu kebudayaan saling bertentangan, terutama disebabkan masalah akulturasi. Kharisma selalu menyebabkan perubahan sosial, dan akan memunculkan sebuah konflik antar pihak.141 Situasi masyarakat sebelum kharisma tidak pernah sama setelah kharisma.

140 Menjadi pengusaha dan beralih dibidang bisnis tidak menghilangkan

identitas dan kharisma jawara sebagai pemimpin lokal. Justru sebaliknya, penguasaanya terhadap aspek perekonomian menjadikan jawara lebih memiliki otoritas kekuasaan dan berpengaruh. Disamping itu kharisma jawara sebagai pemimpin lokal, menjadi lebih desegani. Lihat Abdul Hadi, dalam Okamoto Masaakiyai dan Abdur Rozakiyai, Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal Di Era Reformasi (Yogyakarta: CSEAS IRE Press, 2006), 76.

141 Konflik dapat terjadi ketika salah satu pihak benar-benar merasa puas dengan posisinya dan menganggap pihak lain mengancam posisinya tersebut. Kharisma dapat dikatan sebagai salah satu instrument terciptanya konflik

Page 109: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

109

Dari segi kemunculannya, kharisma yang disematkan pada seorang pemimpin itu terkandung pada persepsi rakyat yang dipimpinnya. Dengan demikian, dapat didefinisikan kembali tanpa keluar dari maksud Weber yang hakiki, sebagai kemampuan seorang pemimpin untuk mendapatkan kehormatan, ketaatan serta kehebatan terhadap dirinya sebagai sumber dari kekuasaan tersebut. Dan apa yang dilakukan pemimpin kharismatik guna memaksakan kekuasaannya terhadap mereka yang dipimpin olehnya, serta bagaimana dilaksanakannya. Dan hal yang perlu digaris bawahi adalah bahwa kharisma itu berlaku melalui persepsi pengikutnya sehingga kedudukan Kharisma dapat berbeda atas pemimpin lainnya. Jhon Potts menegaskan bahwa Weber lah yang telah membuat teori-teori baru tentang kharisma ataupun kepemimpinan kharisma itu sendiri. Lebih jauh lagi, Weber telah membagi dan mengklasifikasi model-model kepemimpinan kharismatik.142

Proses ini secara umum dapat dikatakan sebagai suatu interaksi antara pemimpin dengan pengikutnya. Di dalam interaksi itu terdapat suatu integritas bahwa ketika pemimpin itu mengungkapkan maka pengikutnya menerima tentang pengenalan dirinya sebagi pemimpin dan tentang pendapatnya mengenai dunia mereka yang sebenarnya, dan bagaimana semestinya dunia itu. Adapun hal yang perlu ditekankan pada pemimpin kharismatik adalah kepemimpinan nasional yang mampu menggandeng semua kelompok, golongan, etnis, suku, agama dan siapapun saja untuk mendapatkan kesetiaan.

Dalam hal ini analisis Weber tentang Kharisma, adalah suatu kualitas tertentu dalam kepribadian seseorang dengan mana dia dibedakan dari orang biasa dan diperlakukan sebagai seseorang tersebut. Lihat Dean G. Pruitt, Jeffrey Z. Rubin, Sung Hee Kiyaim, Social Conflict Escalation, Stalemate, and Setllement (USA: McGraw-Hill, 1994).

142 Akar mula sejarah tentang pemahaman kharisma itu sendiri dimulai pada munculnya kebudayaan Yunai dan Yahudi, dimana kepemimpinan para elit-elit tersebut dianggap memiliki kekuatan adikodrati, baik sang penguasa ataupun kaum agamawan. Weber sendiri menciptakan teori-teori tentang kharisma berdasarkan studinya pada umat Kristen Protestan, dimana para pendeta dianggap memiliki nilai-nilai kharismatik. Lihat Jhon Potts, A History of Charisma (New York: Palgrave Macmillan, 2009), 106-107.

Page 110: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

110

yang memperoleh anugerah kekuasaan adikodrati, adimanusiawi, atau setidak-tidaknya kekuatan atau kualitas yang sangat luar biasa143. Kekuatannya sedemikian rupa sehingga tidak terjangkau oleh orang biasa, tetapi dianggap sebagai berasal dari khayangan atau sebagai teladan dan atas dasar itu individu tersebut diperlakukan sebagai seorang pemimpin.

Bagi Weber kharisma memainkan dua peranan yang sangat menonjol dalam kehidupan. Sebagai hal yang luar biasa, kharisma merupakan sumber kegoncangan dan pembaharuan, karena itu merupakan unsur strategis dalam perubahan sosial.144 Salah variabel yang representatif untuk menjelaskan kharisma dan kepemimpinan kharismatik adalah kharisma yang dimiliki oleh para jawara di Banten. Jawara merupakan pemimpin kharismatik dalam lingkup budaya lokal masyarakat Banten.

Bagi Weber salah satu bentuk kewibawaan kepemimpinan adalah charismatic authority, kekuasaan ataupun kepemimpinan kharismatik yang didukung oleh kekuatan luar biasa. Kekuatan luar biasa inilah yang ia sebut dengan kekuatan adi kodrati, yang kadang kala ditandai dengan kekuatan magis. Dari sudut pandang inilah kepemimpinan kharismatis jawara tidak terlepas dari otoritas kekuatan magis yang mereka miliki. Kekuatan dalam mengolah ilmu kesaktian magis merupakan kemampuan yang membedakannya dengan orang kebanyakan. Dalam kepemimpinan jawara yang berperan sebagai jaro, kerap kali memerlukan ilmu kesaktian magis. Kemampuan magis diperlukan oleh seorang jaro, karena terkait dengan tugas yang ia emban untuk menjaga desa dari segala gangguan keamanan. Kemampuan seperti inilah yang mengkonstruk para jawara menjadi pemimpin yang penuh dengan wibawa dan kharisma,

143 Diskusi Weber mengenai pengesahan kekuasaan dimulai dari sini, sosiologi politik Weber banyak menganalisi mengenai struktur sosial dan perubahan sosial, khususnya tentang masyarakat tradisional yang menjadikan kharisma sebagai legitimasi. Lihat Wardi Bachtiar, Sosiologi Klasik dari Comte Hingga Parsons (Bandung: Rosdakarya, 2006), 280.

144 Pandangan Weber tentang legitimasi penguasa kharismatik tergantung pada keyakiyainan suatu masyarakat, dan hal tersebut terjadi pada masyarakat tradisional. Lihat Max Weber, The Hand Book of Sociology, Studi Komprehensif Sosiologi Kebudayaan (Yogyakarta: IRCiSoD, 2006), 65.

Page 111: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

111

disamping hal tersebut terdapat kelompok kiyai yang juga memiliki wibawa dan kharisma dalam pandangan masyarakat lokal.

Terdapat sejumlah peraturan-peraturan yang berakar pada agama Islam, yang memperkokoh eksistensi jawara sebagai pemimpin kharismatik dalam pandangan masyarakat Banten. Peraturan-peraturan tersebut dapat dikatakan sebagai bakti jawara terhadap kiyai, dimana kiyai sebagai guru dan orang tua bagi para jawara. Peraturan-peraturan yang dipatuhi oleh jawara sendiri antara lain, pebakti, izajah dan kawalat.145

Salah satu tokoh jawara yang memiliki kharisma dan disegani oleh masyarakat Banten pada masa kini adalah, H. Tb Chasan Sohib seorang jawara yang kharismatik dalam pandangan masyarakat lokal. Ia memiliki lebih dari 20 jabatan penting, mulai sebagai ketua umum pengurus besar pendekar, ketua umum satkar ulama, ketua umum Kadin Banten sampai penasehat ikatan persaudaraan Lampung, Banten dan Bugis. Dalam bidang politik pun, pengaruh tokoh jawara sangat besar. Hal ini bisa dilihat dari terpilihnya Hj. Ratu Atut Chosiyah, anak perempuan Chasan Sochib, sebagai wakili gubernur Propinsi Banten untuk periode 2001-2006. Lalu terpilih menjadi Gubernur pada periode 2006-2011, ada pendapat yang bisa dipahami oleh masyarakat Banten, bahwa terpilihnya Atut Chosiyah sebagai gubernur Propinsi Banten karena didukung oleh para tokoh jawara. Kepemimpinan kharismatik H. Tb Chasan Sohib, tidak hanya diakui oleh sekitar masyarakat Banten saja. Lebih dari itu, pemerintah pusat pada masa Orde baru pun mengakui hal yang demikian.146

145 Ahmad Rivai, “Suatu Tinajuan Kriminologi Atas Kepemimpinan

Koersif Jawara...,” 65. 146 Peranan kepemimpinan H. Chasan Sohib sebagai jawara yang

kharismatis yang telah berhasil mengakomodir para jawara Banten dibawah kekuasaannya, sulit untuk ditandingi, bahkan terkesan sulit mencari pengganti dirinya sepeninggalanya nanti. Banyak rumor yang beredar jika Chasan Sohib, maka dominasi keluarga H. Chasan Sohib dalam hal aspek politk akan redup. Hal ini ditengarai oleh munculnya konflik-konflik antar jawara, dalam segi kepemimpinan. telah meniggal Lebih jauh lihat Mansur Khatib, Profil Haji

Page 112: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

112

Istilah ‘pemimpin kharismatik’ kini bermakna semakin meluas namun disertai dengan pemerosotan arti yang terkandung. Weber mengambil istilah kharisma dari perbendaharaan kata pada permulaan pengembangan agama Kristen guna menunjuk satu dari tiga jenis kekuasaan authority. Sedangkan menurut Jhon Potts, Weber membedakan kekuasaaan authority kharismatik kedalam tiga klasifikasi antara lain:

1. Kekuasaan tradisional atas dasar suatu kepercayaan yang telah ada (estabilished) pada kesucian tradisi kuno.

2. Kekuasaan yang rasional atau berdasarkan hukum legal yang didasarkan atas kepercayaan terhadap legalitas peraturan-peraturan dan hak bagi mereka yang memegang kedudukan, yang berkuasa berdasarkan peraturan-peraturan untuk mengeluarkan perintah.

3. Kekuasaan kharismatik yang didapatkan atas pengabdian diri atas kesucian, sifat kepahlawanan atau yang patut dicontoh dan dari ketertiban atas kekuasaannya.147

Kekuasaan kharismatik menurut Weber, berbeda dengan kedua hal lainnya karena bersifat tidak mantap stable. Dengan penjabaran kharismatik adalah kemampuan untuk mengobarkan semangat dan mempertahankan loyalitas dan pengabdian terhadapnya secara pribadi diluar dari jabatan dan kedudukannya. Kharismatik dianggap memiliki sesuatu yang luar biasa, memimpin dengan bukan cara yang lazim dari suatu yang telah dikenal. Kharismatik mampu mematahkan hal terdahulu, menciptakan hal-hal baru yang bersifat revolusioner dan tumbuh dalam keadaan serumit apapun.148

Jawara merupakan sumber kepemimpinan tradisional informal, terutama masyarakat pedesaan. Dalam masyarakat yang masih tradisional, sumber-sumber kewibawaan pemimpin terletak pada: (1) pengetahuan (baik tentang agama dan masalah keduniawian/sekuler atau kedua-duanya), (2), kesaktian, (3), Tubagus Chasan Sochib, Beserta Komentar 100 Tokoh Masyarakat Seputar Pendekar Banten (Jakarta: Pustaka Antara Utama, 2000).

147 Jhon Potts, A History of Charisma..., 121-126. 148 Max Weber, The Hand Book of Sociology..., 65.

Page 113: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

113

keturunan dan (4) sifat-sifat pribadi. Kiyai mewakili kepemimpinan dalam bidang pengetahuan, khususnya keagamaan. Sedangkan, jawara mewakili kepemimpinan berdasarkan kriteria keberanian dan kekuatan fisik (kesaktian).149 Tanpa dukungan dari para kiyai jawara akan sulit untuk menjadi pemimpin formal masyarakat. Kharisma dan kepemimpinan para jawara diperoleh langsung oleh kiyai.

BAB IV

JAWARA DI MASA ORDE BARU

Pada bagian ini, penulis akan membahas bagaimana pola perkembangan yang terjadi dalam status sosial para jawara Banten. Perkembangan tersebut dapat dilihat dari berbagai aspek, antara lain politik, ekonomi dan status sosial. Perubahan signifikan yang berawal dari peranan tradisional melebar kedalam cup yang lebih luas dan modern. Hal tersebut tercermin dari posisi dan peranan jawara dalam masyarakat Banten saat ini. Sedangkan proses perkembangan dan perubahan tersebut dapat dilihat secara historis, bagaimana pola relasi hubungan yang terjadi antara jawara dengan pemerintahan Orde Baru. Rezim pemerintahan Orde Baru merupakan masa pemberdayaan para jawara. Selain itu, dominasi para jawara terhadap perekonomian di Banten merupakan ekses dari kedekatan jawara dengan pihak pemerintah. Bahkan tidak hanya dominasi ekonomi yang dikuasai jawara, lembaga politik di Banten pada masa itu mulai dikuasai oleh para jawara. A. Relasi Hubungan Antara Jawara dan Pemerintahan Orde Baru

149 Mohamad Hudaeri, Tasbih dan Golok, Studi tentang Kedudukan, Peran..., 34

Page 114: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

114

Dominasi suatu kekuasaan politik disuatu daerah, tidak terlepas dari bagaimana seseorang atau suatu komunitas tertentu dapat mengkooptasi dan mangakomodasi entitas lokal di daerahnya. Bahkan lebih dari sekedar perekrutan, bagaimana suatu penguasa politik mampu menjadikan suatu entitas lokal tersebut ikut terlibat dan menjadi mesin politiknya.150 Nampaknya teori seperti ini dipraktekan oleh pemerintahan Orde Baru dalam memonitoring stabilitas kekuasaannya disetiap daerah. Pembangunan pada sektor ekonomi tidak akan berjalan jika tidak tercapainya stabilitas keaman di suatu daerah maupun pusat. Tidak terlepas dengan wilayah Banten, sebagai wilayah yang dinilai kuat dengan kultur budaya lokalnya. Strategi yang dijalankan Orde Baru dalam memanfaatkan entitas komunitas masyarakat lokal telah terbukti berhasil. Hal ini ditandai dengan berkuasanya Orde Baru selama kurang lebih 32 tahun.151

Perkembangan sosial budaya dan politik di Banten tidak terlepas dari peranan pemerintahan pusat di Jakarta. Pada masa Orde Baru Banten merupakan salah satu basis suara partai Golkar yang merupakan mesin politik pemerintahan Orde Baru. Selanjutnya salah satu strategi politik yang dijalankan oleh Orde Baru dalam meraih suara, antara lain melakukan pendekatan-pendekatan terhadap entitas-entitas sosial budaya lokal yang ada di Banten.152 Banten yang dikenal dengan kultur

150 Dari sudut pandang politik hal ini merupakan suatu hal yang lumrah, jika suatu penguasa politik merekrut dan memanfaatkan entitas komunitas lokalnya menjadi motor penggerak politiknya. Bahkan menurut Lidlle, komunitas lokal yang direkrut oleh pihak Orde Baru akan terjalin relasi hubungan dengan pemerintahan pusat, dan relasi kekuasaan pemerintahan Orde Baru seperti bentuk prisma dimana Soeharto berada diposisi yang paling atas. Lihat William R. Liddle, Leadership and culture in Indonesia Politics (USA: Urwin press, 1996), 18-20.

151 Rezim Orde Baru tercatat 32 tahun lamanya berkuasa, gerakan mahasiswa telah berhasil menggulingkan rezim yang dikenal otoriter ini. Untuk lebih jauh lihat, Diro Aritonang, Runtuhnya Rezim dari pada Soeharto, Rekaman Perjuangan Mahasiswa Indonesia 1998 (Pustaka Hidayah : Bandung, 1999).

152 Pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh pihak pemerintah terhadap para tokoh masyarakat Banten, yakni yang dikenal dengan kiyai dan jawara sebagai simbol dan entitas masyarakat Banten terus dijalin. Hubungan relasi ini terjalin dengan baik, dapat dilihat bagaimana pihak pemerintahan Orde Baru menggandeng para kiyai-kiyai di Banten, dengan melakukan silturahmi kunjungan-kunjungan disetiap pondok pesantren di Banten. Bahkan

Page 115: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

115

budaya Islamya, dilirik oleh Orde Baru sebagai salah satu cara dalam mendompleng peraihan suara di wilayah ini. Sebelumnya telah dibahas pada bab ke dua, bahwa terdapat dua entitas yang menjadi kultur kepemimpinan tradisional di Banten. Kedua entitas tersebut yakni kiyai dan jawara, mencerminkan tradisi masyarakat Banten yang kental dengan keislamannya. Bahkan lebih dari itu, masyarakat lokal setempat sering menyebut kedua entitas ini sebagai simbol orang wong Banten.153

Jawara yang dulunya dikonotasikan terlibat dalam dunia kejahatan dan kriminal, dalam perkembangannya di Banten tenyata aktif dalam dunia politik dan bisnis. Akibat keterlibatannya tersebut, tidak sedikit para jawara aktif di partai politik, baik sebagai anggota maupun sebagai pengurus, serta menjadi anggota dewan DPRD Provinsi, kabupaten, kota, bahkan ada yang menjadi anggota DPR pusat. Menurut Lili Romli dalam sejumlah kebijaksanaan politik, pemerintahan Orde Baru melakukan reorganisasi dan refungsionalisasi, baik pada tingkat suprastuktur politik maupun infrastuktur politik.154 Termasuk dengan wilayah Banten, kebijakan serupa pun ditetapkan dengan mengakomodir entitas jawara salah satunya.

Kebijakan politik yang dilakukan oleh pemerintahan Orde Baru terhadap daerah-daerah kekuasaanya, dimaksudkan sebagai usaha untuk menciptakan stabilitas politik sebagai landasan terlaksananya pembangunan ekonomi. Bagi Orde Baru, stabilitas keamanan politik merupakan prasayarat terlaksananya pembangunan baik didaerah-daerah maupun dipusat.

Menurut pandangan rezim Orde Baru, pembangunan dapat terlaksana jika stabilitas politik telah tercapai. Orde Baru melihat bahwa sumber kekacauan yang mengganggu stabilitas politik, antara lain adalah partai-partai politik. Oleh karena itu, Orde Baru melakukan penyederhanaan jumlah partai politik yang berkembang saat itu. Tehitung pada tahun 1971 rezim Orde Baru membuat kebijakan tentang bukan hanya di Banten saja, melainkan diwilayah-willayah daerah lainnya. Lihat, Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiyai dan Kekuasaan (Yogyakarta : LKIS, 2004), 34.

153 Harian Banten, “Karakter Wong Banten”, 24, mei, 2003 154 Lili Romli, “Jawara dan Penguasa Politik Lokal di Provinsi Banten

2001-2006” (Depok: Disertasi, FISIP Universitas Indonesia, 2007), 193.

Page 116: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

116

partai politik, sembilan partai politik yang ada (PSII, NU, PNI, Parmusi, Parkindo, Partai Katolik, Murba, IPKI, dan Perti) dikelompokan atas dua kelompok. Kelompok tersebut antara lain yaitu: pertama, kelompok materil-spirituil yang terdiri dari PNI, IPKI, Partai Katolik, Murba, dan Parkindo; dan kedua, kelompok spirituil-materil yang terdiri dari Parmusi, NU, Perti, dan PSII.155

Pada dekade tahun 1973 rezim Orde Baru mengeluarkan kebijakan terhadap kedua kelompok partai tersebut (kelompok partai materil-spirituil dan spirituil materil) untuk melakukan fusi. Mulai dari sinilah kebijakan tentang fusi partai dikenal, selama 25 tahun pemerintahan Indonesia hanya mengizinkan tiga partai untuk berpolitik. Kelompok pertama, yang terdiri dari partai-partai Islam, tergabung kedalam wadah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kelompok kedua, yang terdiri dari partai nasionalis dan Kristen, membentuk Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Selanjutnya disusul dengan Golongan karya (Golkar), yang memuat segala kelompok golongan baik nasionalis, Islam, maupun Kristen.156

Selain kebijakan-kebijakan dalam hal mengenai partai politik, Orde Baru pun melakukan serangkaian strategi kebijakan, antara lain, dibentuknya aparat-aparat keamanan yang refresif disetiap daerah. Aparatur keamanan ini bertugas menjaga ketertiban dan mepertahankan aturan politik dan stabilitas negara. Oleh karena itu, pada masa rezim Orde Baru kita mengenal badan-badan seperti Kopkamtib, BAKIN, dan Opsus. Selanjutnya rezim ini melakukan proses depolitisasi massa, dimana massa diasingkan dari arena politik. Terakhir, kebijakan populer yang digaungkan oleh rezim Orde Baru adalah, kebijakan asas tunggal Pancasila, dimana setiap organisasi-organisasi dan partai politik yang

155 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik

(Yogyakarta: Tiara Wacana,1999), 83. 156 Selain itu pada masa ini pula menurut Din Syamsuddin, merupakan

masa pengkondisian dimana terjadi depolitisasi terhadap umat Islam. Lihat M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik : Era Orde Baru (Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999), 43.

Page 117: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

117

ada di Indonesia diwajibkan menggunakan asas tunggal Pancasila. Pancasila merupakan harga mati sebagai asas tunggal negara ini.157

Selain itu, proses-proses perekrutan yang dilakukan oleh pihak rezim Orde Baru dalam menarik simpati masyarakat Banten, salah satu caranya adalah dengan melakukan pendekatan-pendekatan secara persuasif dan personal kepada para tokoh kiyai dan pimpinan pondok pesanten di Banten. Dalam membangun dan menjalin hubungan relasi dengan para tokoh kiyai pemimpinan pesantren, bisanya pemerintahan pusat mengirimkan seorang Menteri dengan agenda kunjungan kerja, atau hanya sekedar sowan silaturrahmi. Hal ini dapat dilihat dengan sering hadirnya para Menteri terkait pada acara tertentu di setiap pondok pesantren. Tentunya bukan sekedar pondok pesantren sembarang yang dikunjungi, melainkan pesantren atau kyai yang memiliki nama dan pengaruh signifikan dikalangan masyarakat Banten.

Akibat dari kedekatan relasi hubungan pemerintah dengan para kiyai Banten, timbul ekses dampak negatif terhadap para kiyai dikalangan masyarakat lokal setempat. Dampak tersebut berakibat mulai terpinggirkannya image kewibawaan, dan peran kiyai dari mata masyarakat. Masyarakat Banten memandang, bahwa hubungan yang terjalin erat antara kiyai dengan rezim Orde Baru merupakan sebagai suatu hal yang negatif. Bagi masyarakat kiyai merupakan sosok yang independen, tidak terkontaminasi dengan pengaruh kekuasaan.158 Ketika sosok kiyai berafiliasi dengan kekuasaan pemerintahan setempat, maka kedekatan tersebut akan selalu dicurigai oleh masyarakat lokal setempat.

Selain mendekati para kiyai, rezim Orde Barupun melirik komunitas jawara sebagai entitas lokal yang memiliki peranan sosial kepemimpinan tradisonal dalam masyarakat Banten. Jika komunitas kiyai dilirik sebagai mesin politik dalam domain religiusitas kepemimpinan, maka jawara memiliki potensi dalam bidang keamanan, kepemimpinan, dan menjaga stabilitas politik di daerah tersebut. Pemerintahan rezim Orde Baru tampaknya mengerti dan faham betul

157 Lili Romli, “Jawara dan Penguasa Politik Lokal di Provinsi

Banten...,” 193. 158 Pengajian bersama dengan KH. Uci Turtusi, Tokoh Ulama Banten

Syeikhul Islam Banten. Cilongok, September, 2010.

Page 118: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

118

dengan keadaan sosial dan budaya masyarakat Banten. Dimana bahwa kekuatan yang cukup dominan di banten bukan hanya sekedar para kiyai melainkan jawarapun merupakan sumber kekuatan politik.

Pada masa kekuasaan rezim Orde Baru inilah jawara direkrut sebagai gerakan underbownya rezim Orde Baru. Citra dan kredibilitas jawara Banten sebagai tokoh pemimpin tradisional dan sekaligus bandit sosial yang erat dengan kultur premanisme menjadi salah satu faktor utama mengapa jawara direkrut oleh rezim Orde Baru. Hubungan relasi yang terjalin antara Orde baru dengan komunitas jawara, dapat dikatakan sebagai hubungan yang menguntungkan bagi dua belah pihak. Dengan diakomodirnya kelompok jawara oleh rezim Orde Baru, telah memberikan perubahan yang signifikan dalam aspek ekonomi dan kekuasaan politik. Begitu pula dengan pemerintahan pusat, rezim Orde Baru merasa diuntungkan, karena perolehan suara Golkar dan stabilitas keamanan terjamin oleh eksistensi jawara.159

Sebagaimana telah dikemukakan pada bab sebelumnya, peran kepemimpinan jawara sebagai salah satu elit sosial di Banten cukup signifikan. Dengan kekuatan magis, kesaktian dan instrument kekerasan, jawara sangat berpengaruh dikalangan masyarakat Banten. Dalam konteks tersebut, tidak heran bila rezim Orde Baru kemudian mendekati jawara agar masuk kedalam organisasi partai Golkar. Orde Baru menyadari betul bahwa komunitas jawara dapat mengendalikan kontrol sosial di daerah Banten. Oleh karena itu kooptasi dan politik akomodasi terhadap jawara perlu dilakukan. Salah satu bentuknya adalah dengan cara melakukan pengorganisasian jawara, dan meletakannya sebagai kepanjangan tangan partai pemerintah.

159 Kelompok jawara merupakan agen dari pemerintahan Orde Baru,

menurut Nordholt Henk fungsi kelompok jawara ketika masa Orde Baru berfungsi sebagai mesin politik dan kelompok Underbownnya pihak rezim Orde Baru dalam mendompleng peraihan suara di Banten. Selain berfungsi sebagai mesin politik di Banten, biasanya dalam pemanfaatannya peranan jawara tidak hanya sebatas di wilayah Banten terkadang berfungsi dalam menjaga stabilitas keamanan diwilayah Indonesia. Lihat Schulte Henk Nordholt, Greet Aren Van Klinken, Gerry Van Klinken, Renegotiating Boundaries : Local Politics in Post-Suharto Indonesia (Leiden : KITLV Press, 2007), 173-174.

Page 119: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

119

Gambar 2.1, Masjid Agung Banten, symbol provinsi Banten

Pada tahun 1970, pihak Orde Baru melatar belakangi diadakannya kongres yang bertujuan mengorganisir potensi jawara dan Ulama. Hasilnya adalah terbentuknya organisasi Satuan Karya Ulama yang dipimpin langsung KH. Mahmud. Setahun kemudian dibentuk organisasi yang khusus menaungi jawara, maka pada tahun 1971 dibentuklah Satuan Karya jawara, yang dipimpin langsung oleh H. Chasan Sohib. Pembentukan organisasi-organisasi ini dihadiri oleh para petinggi militer, pejabat Orde Baru, dan tokoh daerah setempat dan nasional.160 Peristiwa tersebut merupakan moment bersejarah bagi kelompok jawara Banten. Dengan berdirinya wadah yang memayungi jawara, para jawara berhasil mengkonstruk kekuatan.

Penggunaan istilah SATKAR jawara dalam nama organisasi, memiliki citra yang negatif tentang arti jawara itu sendiri. Oleh karena itu pada tahun 1977, SATKAR jawara berganti nama menjadi PPPSBBI (Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia). Istilah pendekar dalam PPPSBBI, dipakai untuk merubah citra stigma negatif yang melekat dalam istilah jawara itu sendiri. Walaupun demikian, istilah jawara tetap tidak tergantikan sebagai sebutan dan

160 Wawancara KH. Dadang Tokoh Ulama dan Pengusaha Banten,

Tangerang, Agustus 2010. Lihat pula Anggaran Dasar dan Rumah Tangga Organisasi PPPSBBI, Serang Banten, 1990.

Page 120: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

120

istilah yang khas dalam masyarakat Banten.161 Adapun eksistensi organisasi PPPSBBI lebih mirip dengan sekretariat bersama. Dengan adanya organisasi ini, dapat dikatakan bahwa sebenarnya pendekar adalah jawara yang dikumpulkan dalam satu wadah. Sedangkan motto organisasi ini adalah “bela diri, bela bangsa dan bela negara”.

Pengertian Bela diri disini dapat diartikan sebagai kemampuan jawara dalam untuk mempertahankan diri. Menurut Abdul Hamid pengertian tentang mempertahankan diri, tidak hanya sebatas kemampuan pengolahan fisik dengan silat. Lebih dari itu, pengertian survive disini memiliki kemampuan untuk menghidupi diri sendiri. Hal inilah yang kemudian menjadi jawaban mengapa sebagian besar dari jawara tergabung kedalam wadah organisasi PPPSBBI ini adalah para pengusaha.162 Para jawara pengusaha inilah yang kemudian menjadi penyokong dana dari segala aktivitas-aktivitas PPPSBBI.

Intervensi pihak rezim Orde Baru dalam melatar belakangi berdirinya PPPSBBI, merupakan salah satu kebijakan dalam mengkooptasi para jawara. Dengan berdirinya organisasi tersebut, memudahkkan Orde Baru dalam mengendalikan situasi dan politik di daerah Banten. Sampai saat ini PPPSBBI memiliki 26 cabang disetiap kepengurusan tingkat provinsi. H. Chassan Sohib merupakan tokoh yang berpengaruh sampai saat ini dalam kelompok jawara, dengan

161 Dengan dibentuknya oganisasi jawara PPPSBBI, sturuktur

kekuasaan jawara semakin terlihat jelas, bila dahulu jawara tersebar dan mempunyai kekuasaan informal hanya sebatas model kepemimpinan tradisional, maka saat ini kekuasaan jawara mulai terpusat pada satu orang pimpinan jawara yang diakui oleh pimpinan jawara lainnya. Wawancara dengan H. Khatib Mansur, Tokoh jawara Banten dan pengurus KADIN Provinsi Banten, Serang, Desember 2010.

162 Organisasi PPPSBBI, atau yang lebih dikenal dengan sebutan jawara kelompok pasar memberikan keuntungan bagi para jawara, karena dengan wadah inilah mereka bersatu dan membagi-bagikan proyek pemerintah kepada para jawara-jawara lainya. Hal inilah yang menjadikan para petinggi organisasi ini menjadi jawara pengusaha. Lihat Abdul Hamid, Jawara dan Penguasaan Politik Lokal di Banten, dalam Okamoto Masaaki dan Abdur Rozaki, Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal di Era Reformasi (Yogyakarta : CSEAS IRE Press, 2006), 49.

Page 121: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

121

menduduki berbagai jabatan ketua Organisasi dan politik, termasuk PPPSBBI.163

Tokoh H. Chassan dianggap memiliki segenap ciri jawara yang ideal, walaupun tidak semua komunitas menganggap H. Chassan sebagai orang yang bersih. Berlatar belakang dari pesantren, dikenal memiliki keberanian dan kekuatan yang menonjol dikalangan teman-temannya dan belajar menjadi pengusaha sejak muda. Ia memiliki banyak posisi penting di wilayah Banten, sebagai pendiri dan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Banten, pendiri dan Ketua SATKAR Ulama Indonesia, pendiri Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, dan banyak posisi penting dalam organisasi lainya.164 Pada masa rezim Orde Baru dan sampai saat ini, komunitas jawara sering disebut sebagai jawara kelompok pasar. Sebutan ini dikarenakan tempat berkumpulnya para jawara di kantor H. Chassan Kadin Banten, dikawasan pasar tradisional terbesar di Banten. Pasar itu sendiri merujuk kepada profesi para tokoh jawara yang bergerak dalam bidang bisnis.

Kooptasi yang dilakukan oleh rezim Orde Baru terhadap komunitas jawara di Banten, tidak hanya sekedar untuk mengendalikan mereka agar tidak melawan terhadap pemerintah. Lebih dari itu, jawara dipergunakan dalam upaya menjadikan komunitas ini sebagai mesin politik untuk memenangkan Golkar.165 Hubungan yang terjalin antara pihak pemerintah Orde baru dengan jawara, menciptakan akselerasi yang menguntungkan keduanya. Disatu sisi, rezim Orde Baru memberikan keuntungan kepada para jawara dalam ekonomi dan pengaruh kekuasaan. Sedangkan disisi lain, pihak pemerintahan Orde

163 Lihat, Buku Dokumen Panduan Sarasehan PPPSBBI di Jakarta, 15

Oktober 1990 dan lihat pula Anggaran Dasar dan Rumah Tangga Organisasi PPSBBI, Serang Banten, 1990.

164 Khatib Mansur, Profil Haji Tubagus Abah Beserta Komentar 100 Tokoh Masyarakat Seputar Pendekar Banten (Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2000), 89.

165 Salah satu peran kelompok jawara dalam pentas perpolitikan diBanten adalah, berupaya mendompleng suara Partai Golkar, sebagai partai pemerintahan Orde Baru. Oleh karena itu, menurut nara sumber jawara merupakan mesin politik Orde Baru. Wawancara dengan salah seorang anggota Partai Politik di Banten, yang tidak ingin disebutkan identitas namanya dengan alasan khawatir, Oktober 2010.

Page 122: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

122

Baru merasa diuntungkan oleh kehadiran jawara dalam mempertahankan kekuasaan politik pemerintahan pusat.

Sebagaimana telah diketahui, bahwa Golkar adalah partai bentukan pemerintahan yang merupakan mesin politik dan pengumpul suara. Melalui kedua entitas tersebut (jawara dan kiyai) dapat diharapkan Golkar dapat keluar sebagai pemenang dalam setiap pemilu di Banten. Hasilnya sunguh luar biasa, sepanjang pemerintahan Orde Baru, Golkar selalu keluar menjadi pemenang dalam setiap pemilu. Selain itu, kedekatan hubungan antara Orde Baru dengan jawara membawa keuntungan yang besar bagi mobilitas jawara secara vertikal.166 Jawara yang pada umumnya tidak memiliki pekerjaan yang tetap, terkecuali yang hanya berprofesi sebagai centeng-centeng pengusaha. Namun berkat terjalinya hubungan kedekatan dengan pemerintahan Orde Baru baik dengan Golkar maupun militer, membuat jawara mengalami mobilitas vertikal.

Mobilitas vertikal ini dapat dilihat dari aspek pekerjaan, penghasilan, dan kekuasan politik, dimana banyak para jawara yang terjun kedalam dunia bisnis dan memiliki penghasilan besar. Dari aspek politik, kalangan jawara menduduki jabatan di pemerintahan, baik sebagai anggota dewan maupun pejabat daerah. Strategi yang dilakukan oleh rezim Orde Baru, nampaknya berhasil menggalang kekuatan kalangan jawara. Hampir tidak ada kalangan jawara di Banten yang tidak masuk menjadi pendukung Golkar. Bahkan pada Orde Baru ini, tidak ada kalangan jawara yang aktif terlibat di PPP dan PDI, mereka semuanya mendukung dan masuk kedalam partai Golkar. Hal ini dikarenakan sebagai pengusaha (kelompok jawara), rezim Orde Baru dengan Golkarnya telah memberikan keuntungan terhadap komunitas jawara. Dalam bidang sektor ekonomi jawara diberikan proyek-proyek pemerintah dan banyak dari mereka menjadi pengusaha. Pola pikir pragmatis inilah yang melatar belakangi dukungan para jawara terhadap

166 Mobilitas vertikal yang dimaksud disini adalah mobilitas vertikal

naik Social Climbing, dimana kelompok jawara dirempatkan kestruktur kelas sosial yang lebih tinggi. Adapun faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut adanya faktor politik, yang menjadi penggerak ke sektor ekonomi sehingga kelas jawara terangkat. Lihat Doyle Paul Jhonson, Teori Sosiologi : Klasik dan Modern (terj), Robert MZ Lawang (Jakarta : Gramedia Pustaka, 1986), 87.

Page 123: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

123

rezim Orde Baru.167 Kedekatan hubungan yang terjalin antara jawara dengan pemerintahan pusat lebih memberikan keuntungan, dibandingkan berafilisasi dengan partai-partai Islam.

Peranan Orde Baru dalam mengembangkan eksistensi jawara, dianggap memiliki kontribusi besar dalam melahirkan jawara masa kini (reformasi). Oleh karena itulah, rezim Orde Baru dianggap sebagai masa pemberdayaan jawara. Hal ini dikarenakan pada masa inilah jawara mulai membangun konstruk kekuatan, yang terorganisir. Selain itu, rezim Orde Baru memberikan fasilitas-fasilitas kepada jawara, baik dalam hal aspek ekonomi dan kekuasaan politik. Pada masa ini pula jawara diberikan kemudahan dalam memperoleh akses jaringan networking ke pemerintahan pusat, pengusaha dan penguasa. Pada masa ini jawara dianggap sebagai anak emas Orde Baru, karena hal demikian menguntungkan komunitas jawara.168 Karena kontribusi Orde Baru-lah, jawara mendapatkan akses ekonomi, politik dan puncak status sosial dikalangan masyarakat Banten.

Keterlibatan jawara Banten dalam dunia bisnis di Banten dimulai pada masa Orde Baru, yang kemudian menjadi patron penguasa ekonomi di Banten sampai saat ini. Mereka terjun ke dunia bisnis umumnya bergerak dalam bidang kontraktor sebagai pemborong proyek jalan, pasar, gedung sekolah, dan prasarana pengairan. Adapun pelopor terjunnya jawara kedalam aleansi bisnis adalah, H. Chassan yang

167 Pola pikir pragmatis tidak hanya dimiliki oleh kalangan komunitas

kelompok jawara, banyak diantara golongan maupun kelompok yang bersinggungan dengan politik dan kekuasaan cenderung berperilaku pragmatis, diantaranya para elit politik Muhammadiyah yang menurut Thaba telah berpikir pragmatis ketika berhadapan dengan kekuasaan. Lihat Thaba dalam Haedar Nashir, Perilaku Politik Elit Muhammadiyah (Yogyakarta : Terawang, 2000), 29.

168 Karena kedekatan komunitas jawara terhadap pemerintahan pusat, secara tidak langsung relasi hubungan tersebut menguntungkan kedua belah pihak, kekuasaan Orde Baru dijaga oleh para jawara, dan jawara mendapatkan akses ekonomi dan kekuasaan lokal. Maka tidak heran jika pada masa inilah, disebut dengan masa pemberdayaan jawara. Lihat Schulte Henk Nordholt, Geert Arend Van Klinken, Gerry Van Klinken, Renegotiating Boundaries : Local Politics in Post-Suharto Indonesia (Leiden : KITLV Press 2007).

Page 124: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

124

dimulai pada awal Orde Baru, yakni permulaan Pelita I.169 Politik kooptasi dan akomodasi jawara oleh penguasa Orde Baru tentu diikiti pula dengan diberikannya berbagai kompensasi dan fasilitas kepada para jawara. Adapun bentuk kompensasi yang diberikan adalah adanya proyek pembangunan pemerintah, terutama dalam bidang konstruksi. Pada tahun 1973 misalnya, perusahaan H. Chassan mendapatkan proyek pembebasan lahan untuk PT. Krakatau Steel, pembangunan pasar Rau, proyek pembangunan jalan dan irigrasi.170 Selanjutnya, segala pembangunan proyek dari pemerintahan provinsi Banten, hampir seluruhnya dikuasai oleh perusahaan H. Chassan.

Kelompok jawara biasanya mengelak jika dikatakan mendominasi perekonomian di Banten, khususnya ketika memenangkan tender proyek di pemerintah. Biasanya mereka beralih bahwa “proyek pemerintahkan lewat tender dan terbuka untuk umum, jadi banyak perusahaan yang mengajukan proposal”.171 Permasalahnnya adalah, pada prakteknya kelompok jawara sering menggunakan cara kekerasan dan intimidasi demi mendapatkan proyek tersebut.

H. Chassan sendiri sering disebut dengan Gubernur Jendral,172 sebagai julukannya karena kemampuan dirinya dalam mengendalikan kekuasaan politik dan ekonomi di Banten. Bahkan saat ini, bidang bisnis yang dimiliki oleh para jawara antara lain, di bidang konstruksi melalui PT. Sinar Ciomas Group. Di bidang pariwisata, ada PT. Bahtera Banten Jaya yang memiliki pantai dan pulau di daerah selat sunda, juga tempat pemandian air hangat di Serang, di bidang properti terdapat PT. Mustika Empat Lima, perusahaan ini membangun ruko dan kios modern di wilayah Banten. Langkah awal H. Chassan sebagai seorang bisnisman, ternyata diikuti oleh jawara-jawara lainnya. Banyak kader

169 Khatib Mansur, Profil Haji Tubagus Abah Beserta Komentar 100

Tokoh Masyarakat Seputar Pendekar Banten (Jakarta : Antara Pustaka Utama, 2000), 94.

170 Khatib Mansur, Profil Haji Tubagus Abah..., 89. 171 Wawancara dengan Kang Mamed, Tokoh jawara Banten, Pengurus

harian DPP PPPSBBI, Serang, Desember 2010. 172 Istilah Gubernur Jenderal sendiri adalah sebutan untuk penguasa

tertinggi di Hindia Belanda, dimana masa pemerintahan kolonial Belanda menguasai Indonesia. Gubernur Jenderal merupakan sosok pengusa tunggal yang kuat dan berpengaruh, pada hakikatnya H. Chassan-lah yang berperan penuh atas pengaruh kebijakan politik di Banten.

Page 125: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

125

jawara yang berterima kasih kepada beliau, yang telah mendidik mereka menjadi pengusaha.

Memang mulanya pada masa awal 1970-an, hanya ada seorang tokoh jawara yang sukses menjadi pengusaha, yakni H. Kaking dan usahanya hanya sebatas bahan pangan (sembako). Setelah itu disusul oleh H. Chassan lain halnya dengan H. Kaking, lompatan bisnis luar biasa yang dialami oleh H. Chasan, dimulai dari pengusaha penggilingan padi kemudian menjadi pemborong kontraktor, dan lain sebagainya.173 Dengan demikian, usaha bisnis jawara yang dahulu hanya sebatas penggilingan padi, pada masa Orde Baru mengalami lompatan yang begitu jauh. Dimulai pada rezim Orde Baru ini, bisnis para jawara memonopoli fasilitas proyek-proyek pemerintah di daerah Banten.

Adanya fasilitas pemberian berbagai proyek yang diberikan Orde Baru membuat loyalitas jawara terhadap rezim Orde Baru amat kuat. Loyalitas komunitas jawara terhadap pemerintahan Orde Baru tidak perlu disangsikan lagi. Ketika peristiwa 1998 gerakan demo mahasiswa menentang kekuasaan dan kepemimpinan Suharto, yang berakhir pada jatuhnya rezim Orde Baru. Maka lain halnya dengan komunitas jawara Banten, secara terang-terangan mereka menyatakan sikap mendukung penuh pemerintahan rezim Orde Baru. Pernyataan sikap ini diutarakan langsung oleh H. Chassan Sohib, ketua umum dari PPPSBBI (Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia) dan SATKAR Ulama (Satuan Karya Ulama).174

Pernyataan sikap yang disampaikan oleh Chassan Sohib kepada para wartawan, merupakan statment bahwa kelompok jawara terus mendukung rezim pemerintahan Orde Baru. Hal ini dibuktikan ketika Harmoko (pemerintahan Orde Baru) meminta bantuan kepada para jawara untuk mengirimkan pasukannya ke gedung DPR/MPR RI, untuk mengamankan sidang paripurna DPR/MPR, pada 14 Mei, 1998. Menurut Kang Mamed, tercatat sekitar 90 lebih pasukan pendekar (jawara) PPPSBBI mengamankan sidang paripurna DPR/MPR, pada kerusuhan Mei 1998, pasukan ini diminta langsung oleh Pak Harmoko

173 Khatib Mansur, Profil Haji Tubagus Abah..., 93. 174 Lihat Surat kabar Radar Banten, 12 Mei 1997.

Page 126: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

126

ketika itu, sekaligus sebagai ketua MPR.175 Kurang lebih 3 armada mobil bus yang membawa rombongan jawara, dalam mengamankan sidang paripurna, dan menahan aksi para mahasiswa.

Setelah pernyataan tersebut disampaikan oleh Chassan Sohib, ternyata statment ini menyulut demo besar-besaran mahasiswa Banten. Gerakan mahasiswa Banten, menentang keras atas pernyataan sikap dari kelompok PPPSBBI dan SATKAR Ulama yang dikomandoi oleh Chassan Sohib. Atas desakan dari mahasiswa, Chassan Sohib yang biasa disebut dengan Gubernur Jendral, diminta untuk meralat kembali pernyataanya.176 Dukungan dan loyalitas penuh komunitas jawara, membuktikan bahwa relasi hubungan yang terjalin antara rezim Orde Baru sangat erat.

Gambar 2.2, Gerbang kota Serang

175 Pemerintahan rezim Orde Baru meminta kepada H. Chassan untuk

mengamankan jalannya sidang DPR/MPR, pada 14 mei 1998, dari demo Mahasiswa. Seketika itu, pasukan jawara yang dikomandoi oleh H. Chassan PPPSBBI, mengirimkan empat armada bus dengan jumlah 90 (sembilan puluh) jawara dikerahkan di gedung DPR/MPR RI, untuk mengkawal jalannya sidang. Wawancara dengan Kang Mamed, tokoh jawara Banten, dan Pengurus Pusat PPPSBBI. Posko PPPSBBI, Serang, Desember 2010.

176 Peristiwa pernyataan sikap yang disampaikan oleh H. Chassan, telah membuat mahasiswa asal Banten marah dan membanjuiri gedung DPRD Kabupaten Serang, mereka meminta kelompok jawara yang dikomandoi oleh H. Chassan untuk meminta maaf dan meralat kembali pernyataannya. Lihat di surat kabar Radar Banten, 12 Mei 1997.

Page 127: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

127

2.3, Gambar pemandangan di Terminal Pakupatan

B. Orde Baru, Masa Pemberdayaan Jawara Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa relasi hubungan yang terjadi

antara rezim Orde Baru dan jawara sangat harmonis, dimana jawara memiliki loyalitas yang tinggi terhadap pemerintahan Orde Baru. Selain itu hubungan yang terjalin antara keduanya saling menguntungkan, baik dari pihak Orde Baru maupun kelompok jawara. Dapat dikatakan bahwa, masa kekuasan rezim Orde Baru merupakan masa transisi entitas jawara di Banten. Selain itu Rezim Orde Baru, dianggap sebagai masa momentumnya para jawara Banten, karena pada masa inilah konstruk jawara di bentuk secara terorganisir.

Kontribusi Orde Baru terhadap eksistensi jawara, dianggap memiliki peranan yang signifikan dalam melahirkan jawara masa kini. Oleh karena itu, rezim Orde Baru dianggap sebagai masa pemberdayaan jawara.177 Diberdayakannya jawara oleh pihak pemerintahan Orde baru terkait dengan praktik politik kooptasi, dimana jawara dikooptasi dan

177 Orde Baru dianggap memiliki kontribusi besar dalam melahirkan jawara saat ini, dan memposisikan jawara kedalam struktur sosial kelas atas, karena pada masa inilah kelompok jawara dikonstruk baik secara organsasi, politik maupun ekonomi. Oleh karena itu pada masa ini, dapat dikatakan sebagai masa pemberdayaan jawara. Sedangkan menurut Hudaeri, kontribusi besar Orde Baru adalah mempersatukan para jawara kedalam wadah organsasi yang berafiliasi dengan rezim Orde Baru. Wawancara dengan Hudaeri, akademisi IAIN SMH Serang, Juli 2010.

Page 128: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

128

diakomodir oleh Orde Baru. Proses pemberdayaan tersebut dapat dilihat bagaimana pemerintahan Orde Baru memfasilitasi jawara untuk membangun konstruk kekuatan yang terorganisir. Selain itu, rezim Orde Baru memberikan fasilitas-fasilitas kepada jawara, baik dalam hal aspek ekonomi dan kekuasaan politik.

Transisi perubahan dalam artian peranannya, dahulu hanya berfungsi sebagai peranan tradisional, namun saat ini bergeser ke arah yang lebih modern, terorganisir dan mengalami mobilitas vertikal. Telah disinggung sebelumnya, bahwa mobilitas vertikal yang dialami oleh para jawara dapat dilihat dari berbagai aspek antara lain, aspek pekerjaan, penghasilan, dan kekuasan politik, dimana banyak para jawara yang terjun kedalam dunia bisnis dan memiliki penghasilan besar. Dari aspek politik, kalangan jawara menduduki jabatan di pemerintahan, baik sebagai anggota dewan maupun pejabat daerah.

Proses pemberdayaan jawara yang dilakukan pihak Orde Baru, memang telah diskema secara rapih dan sistematis. Jawara Banten memang selalu dikonotasikan secara negatif, baik dari sebagian masyarakat lokal maupun luar. Stigma negatif sebagai kelompok yang selalu menggunakan otot, kekerasan, dan premanisme, dimanfaatkan oleh rezim Orde Baru. Dahulu jika komunitas jawara tersebar dimana-mana tanpa adanya wadah persatuan, ketika diakomodir oleh rezim Orde baru semua berubah, jawara mulai disatukan dengan sebuah organisasi. Hubungan kekerabatan dalam tubuh jawara memang sangat erat dan kental, walaupun tidak ada kaitannya dengan ikatan darah, ikatan satu paguron atau padepokan, dan primordial kedaerahan akan menyatukan mereka dalam satu keluarga.

Ditambah lagi dengan hadirnya organisasi yang menyatukan para jawara, akan mengakomodir potensi-potensi yang dimiliki para jawara Banten. Intervensi pihak pemerintahan Orde Baru terhadap komunitas jawara Banten, merupakan sebuah fase sejarah dalam perkembangan dunia kejawaraan di ujung barat pulau jawa ini.178 Dahulu jika jawara

178 Transisi perkembangan peranan dan pengaruh dalam dunia jawara

dapat diklasifikasikan dengan fase-fase dalam sejarah, dimulai dari pada masa tradisional dimana jawara dilahirkan dan berafiliasi dengan para kiyai, selanjutnya kelompok jawara hanya berperan sebagai informal leader,

Page 129: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

129

hanya mengenal perolehan kekuasan hanya sebatas desa, perkampungan, atau pasar tradisional. Maka lain halnya dengan sekarang, cup jawara dalam aspek politik kekuasaan menjadi lebih luas. Proses diberdayakannya jawara, tidak terlepas dengan potensi-potensi jawara itu sendiri sebagai entitas lokal, maupun sumber power. Jika dilihat dari individu-individu tokoh jawara, maka sulit dipahami bagaimana seorang yang tidak memiliki latar belakang akademis dapat menjadi dan menduduki jabatan bupati, bagaimana seorang jawara dapat memanage sebuah perusahaan dan pemerintahan yang besar dan luas.

Potensi-potensi yang dimiliki jawara Banten tidak hanya sekedar modal keberanian dan kesaktian. Melainkan lebih dari itu, jawara memiliki kemampuan dalam memimpin masyarakat maupun institusi kepemerintahan maupun swasta. Mayoritas kalangan tokoh jawara tidak memiliki latar belakang akademis yang memumpuni, tapi realitanya banyak kalangan jawara yang memegang jabatan dipemerintahan dan menjadi anggota dewan. Contoh kasus, ketika Jayabaya bisa menjadi Bupati lebak, padahal ia hanya mengenyam lulusaan SD. Selain itu, tokoh jawara H. Chassan Sohib, ia hanya memiliki latar belakang pesantren salaf, dan tidak pernah mengeyam pendidikan formal hanya sebatas Ver Volk (Sekolah Rakyat), tetapi ia menajabat berbagai institusi, dari ketua dewan pembina Golkar, ketua KADIN, GAPENSI, dan lain sebagainya.

Realita diatas, membuktikan bahwa Orde Baru telah berhasil dalam membina dan memberdayakan jawara dalam aspek kehidupan sosial, ekonomi, dan politik di Banten. Bagi komunitas jawara, pendidikan akademis bukanlah suatu keharusan yang dimiliki olehnya, tapi justru potensi nilai-nilai kultur budaya kejawaraanlah yang harus dimiliki dan tetap dijaga. Bahkan menurut pandangan kelompok jawara

pemimpin tradisional dalam kalangan masyarakat Banten, selanjutnya mengalami perubahan dan bergeser dengan berafiliasi dengan pihak pemerintahan pada masa Orde Baru. Bahkan hingga saat ini, cup domain wilayah otoritas jawara tidak hanya berfungsi sebagai informal leader lebih dari itu, justru jawaralah yang saat ini mengendalikan perpolitikan dan akses ekonomi di Banten.

Page 130: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

130

“orang pintar itu belum tentu pantes jadi pemimpin, mau dia punya gelar Profesor, Doktor ke! Malahan orang-orang pinter yang jadi Gubernur, Bupati malah korupsi, terus daerahnya ga aman, ada saja kerusuhan dan ga becus jaga ketertiban dan keamanan....! beda sama jawara yang jadi Bupati, dia ga bakal korupsi, soalnya sebelum jadi Bupati jawara itu sudah kaya duluan dengan menjadi pengusaha, ditambah lagi didaerahnya ga pernah terjadi kekaucauan”.179

Peranan dan kotribusi Orde Baru dinilai penting dalam melihat perkembangan jawara Banten, dimulai dengan kebijakan-kebijakan politiknya terhadap partai-partai Islam yang berkembang di Banten, akhirnya berdampak dengan diikutsertakannya jawara dalam panggung politik. Dengan cara seperti inilah kekuatan basis partai Islam, yang saat itu diusung oleh PPP dapat ditekan. Manuver yang dilakukan oleh rezim Orde baru dengan mengkooptasi jawara kedalam partai Golkar, berhasil menandingi kekuatan PPP di Banten. Sebelumnya telah diketahui bahwa Banten merupakan basis kekuatan Islam tradisional, dimana para kiyai dianggap sebagai pemimpin informal dan memiliki massa pendukung. Khawatir akan hal tersebut, maka rezim Orde Baru segera melakukan pendekatan dengan para kiyai dan jawara Banten.

Dalam prosesnya tidak semua kiyai dapat diakomodir untuk masuk dan menjadi mesin politik Golkar. Lain halnya dengan komunitas kelompok jawara, komunitas ini dapat diakomodir dan dikooptasi sepenuhnya oleh rezim pemerintahan Orde Baru, dan masuk kedalam mesin partai politik Golkar. Adapun konsekuensi yang ditanggung oleh rezim Orde Baru adalah, adanya bergaining kesepakatan antara pihak Orde Baru dengan kelompok jawara, salah satunya adalah diberikannya akses lahan perekonomian Banten terhadap kelompok jawara.180 Rezim Orde Baru memahami betul, bahwa jawara merupakan komunitas yang tidak memiliki jelas lahan pekerjaan, kebanyakan dari mereka tersebar sebagai Lurah, preman-preman pasar,

179 Wawancara dengan Kang Mamed, tokoh jawara Banten, dan

Pengurus Pusat PPPSBBI. Posko PPPSBBI, Serang, Desember 2010. 180 Wawancara dengan Hudaeri, akademisi IAIN SMH Serang, Juli

2010.

Page 131: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

131

terminal, kepala keamanan pasar dan pelabuhan. Oleh karena itu, pendekatan yang dilakukan Orde Baru terhadap kelompok jawara ialah dengan memberikan proyek-proyek pemerintah dalam bidang konstruksi pembangunan sarana prasarana, jalan, dan bangunan dikelola oleh para jawara.

Adapun proses diberdayakannya jawara oleh Orde Baru dimulai dengan mengumpulkan dan mempersatukan jawara Banten.181 Dengan mempersatukan semua element jawara Banten dalam suatu wadah, dinilai efektif untuk memobilisasi jawara dan dukungannya terhadap Orde Baru. Dibentuknya organisai lembaga kemasyarakatan yang mewadahi jawara, akan memberikan citra positif dimata masyarakat Banten. Selain itu, wadah organisasi yang didomplengi jawara pun menjadi gerakan underbownnya pemerintahan rezim Orde Baru. Intervensi rezim pemerintahan Orde Baru terhadap organisasi-organisasi yang dibentuk oleh para jawara, secara langsung mendidik para jawara utuk turut serta belajar berpolitik, khususnya politik praktis. Pemerintahan Orde Baru menempatkan tokoh-tokoh jawara untuk menduduki kursi anggota DPR/MPR RI pada masa Orde Baru. Sebut saja, Eki Syahrudin, Tryana Syam’un, Irsyad Juweli, dan lain sebaginya, mereka merupakan sebagian kecil, tokoh jawara yang pernah menduduki kursi anggota Dewan DPR/MPR RI untuk wilayah Banten.

Adapun upaya yang diusahakan oleh rezim Orde Baru dalam memberdayakan jawara antara lain, membentuk organisasi-orgaisasi massa yang langsung berada di bawah tangan para jawara. Antara lain, membentuk Satuan Karya Jawara 1970, yang kemudian diganti menjadi PPPSBBI (Persatuan Pendekar Persilatan Seni dan Budaya Banten

181 Proses untuk mempersatukan jawara dalam satu wadah organisasi

tidak begitu sulit dilakukan oleh rezim Orde Baru, cukup dengan merekrut H. Chassan Sohib sebagai tokoh jawara dan mengintruksikanya untuk mengumpulkan dan mempersatukan semua jawara Banten kedalam organisasi Satuan Karya Jawara, lalu nama tersebut diganti dengan PPPSBBI. Hasilnya H. Chassan berhasil mempersatukan semua jawara Banten, sebagai ketua jawara Banten H. Chassan mengintruksikan kepada seluruh jawara untuk mendukung sepenuhnya terhadap pemerintahan Orde Baru. Wawancara dengan, H. Khatib Mansur, Tokoh jawara Banten dan pengurus KADIN provinsi Banten, Serang, Desember 2010.

Page 132: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

132

Indonesia) pada tahun 1973, membentuk Satuan Karya Ulama 1970, membentuk angkatan 45, membentuk GAPENSI. Organisasi ini dipimpin langsung oleh tokoh jawara H. Chassan, adapun diantara organisasi yang memiliki peranan penting dalam mengembangkan jawara adalah PPPSBBI. Organisasi PPPSBBI dianggap memiliki peranan sentral dalam usaha mengembangkan dan memberdayakan jawara, hal ini dikarenakan organisasi ini menaungi semua kalangan jawara. Seperti halnya telah dijelaskan sebelumnya bahwa PPPSBBI merupakan Sekber (Sekertariat Bersama) para jawara, semua jawara berkumpul diorganisasi ini, baik dari kalangan pengusaha, pejabat pemerintahan, dan jawara ilmu hikmah.

Pihak Orde Baru memahami bahwa komunitas kelompok jawara belum memumpuni benar dalam hal keorganisasian, dan pemahamannya tentang perpolitikan. Oleh karena itu, intervensi Orde Baru dalam mengkonstruk jawara terlihat jelas dalam organisasi ini. Kedekatan jawara dengan pihak militer sangat jelas, bagaimana militer membimbing PPPSBBI dalam mengadakan latihan silat dan berorganinsasi. Sedangkan, tahapan yang dipergunakan oleh rezim Orde Baru dalam mengembangkan dan memberdayakan jawara di panggung politik dan aspek kehidupan masyarakat Banten, dapat klasifikasikan kedalam dua tahapan. Pertama, dibentuknya organisasi PPPSBBI dan disusul dengan masuknya jawara kedalam Satkar Ulama. Kedua, mengempisnya peranan Ulama dan munculnya peranan jawara. Untuk lebih lanjut, klasifikasi tahapan tersebut akan dibahas secara lebih mendetail dibawah ini.

C. Masuknya Jawara Kedalam Satkar Ulama Banten Salah satu tahapan dan upaya yang digunakan oleh rezim Orde

Baru dalam memberdayakan potensi jawara adalah, dibentuknya Organsasi PPPSBBI dan masuknya jawara kedalam Satkar Ulama. Sebelumnya telah diketahui, bahwa Satkar Ulama berada dibawah naungan rezim Orde Baru dengan partai Golkarnya. Lebih tepatnya Satkar Ulama merupakan salah satu eksponen partai Golkar. Satkar

Page 133: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

133

Ulama sendiri terbentuk pada tahun 1970, dimasa awal permulaan Orde Baru.182

Awal berdiri Satkar Ulama dimulai pada masa Pelita I, dimana Orde Baru dengan Kombakti Siliwanginya sedang melaksanakan pembangunan jalan antara Karangantu, Malingping dan jalan Ciomas, yang dikerjakan oleh tahanan politik PKI dengan pengawalan dari Korem Maulana Yusuf. Pada saat itulah, pemerintahan Orde baru memfasilitasi perkumpulan musyawarah Ulama-ulama Banten di Batu Kuwung. Ketika musyawarah itulah, pak Harto dengan pejabat pemerintahan Orde Baru lainya, meminta restu kepada para kiyai Banten untuk menjalankan Pelita I. Semua Ulama kharismatik yang ada di Banten berkumpul semua, seperti KH. Mahmud, KH. Abdul Halim dan Ulama-Ulama pejuang lainnya. Pada perkumpulan musyawarah Ulama itulah, mulai dibentuk untuk pertama kalinya organisasi Satkar Ulama yang diketuai langsung oleh KH. Mahmud, dengan tugas mengawal para Ulama.183 KH. Mahmud sendiri merupakan sosok kiyai yang kharismatis pada masa tersebut. Tidak heran jika kalangan pemerintah, militer, maupun jawara dalam memutuskan persoalan selalu berkonsultasi terlebih dahulu kepadanya.

Berawal dari perkumpulan musyawarah antar Ulama Se-Banten tersebutlah, Ulama dan jawara berada dalam pengaruh rezim Orde Baru. Indikasi dari hal ini antara lain didirikannya Satuan Karya Ulama pada tahun 1970, hasil dari musyawarah para Ulama, dimana terdapat intervensi Militer dan Orde Baru, yang menjadi eksponen partai Golkar pada masa awal pembentukannya. Setahun setelahnya, yakni tahun 1971 mulai didirikan organisasi yang menaungi jawara yakni, Satuan Karya Jawara. Sementara itu, KH. Mahmud tetap ditunjuk menjabat sebagai Ketua Satkar Ulama, sedangkan H. Chassan Sohib ditunjuk sebagai Ketua Satkar Jawara. Di karenakan nama jawara memiliki citra negatif dalam pandangan umum masyarakat, maka pada tahun 1977

182 Ismail Makmun, Riwayat Singkat Berdirinya Satkar Ulama Golkar

(Jakarta, Munas I Satkar Ulama Golkar, 1985). 183 Lihat lebih lanjut, Ismail Makmun, Riwayat Singkat Berdirinya

Satkar Ulama Golkar (Jakarta, Munas I Satkar Ulama Golkar, 1985).

Page 134: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

134

Satkar Jawara diganti nama menjadi Persatuan Pendekar Persilatan Seni dan Budaya Banten Indonesia (PPPSBBI).184

Perlu diketahui, bahwa kedua tokoh ini sama-sama berasal dari daerah Ciomas. Daerah Ciomas dikenal sebagai salah satu daerah pusat jawara, karena daerah ini banyak melahirkan tokoh-tokoh jawara. Pada masa awal pembentukan Satkar Ulama itulah, jawara mulai masuk dan memiliki peran, terlebih lagi kedua tokoh tersebut berasal dari Ciomas yang dikenal dengan pusat jawara. Selain itu, perlu diketahui menurut Kang Mamed bahwa sebagian jawara-pun berprofesi sebagai kiyai, oleh karena itu ada yang dikenal sebagai jawara kiyai.185 Masuknya jawara kedalam Satkar Ulama, membentuk organisasi ini sebagai eksponen partai Golkar. Perlu diingat bahwa jawaralah yang memfasilitasi dibentuknya Satkar Ulama, bahkan H. Chassan sendiri merupakan termasuk salah satu pendiri Satkar Ulama. Selain itu, beliau berperan aktif menghubungkan antara rezim Orde Baru dengan pihak Ulama. Tidak begitu sulit bagi kelompok jawara untuk masuk kedalam Satkar Ulama, karena sebagian jawara-pun berprofesi sebagai kiyai.

Dengan dibentuknya Satkar Ulama dan Satkar Jawara, maka tujuan Orde Baru untuk mengkooptasi kedua kelompok pemimpin informal di Banten-pun tercapai. Melalui kedua Organisasi tersebut baik para kiyai dan jawara, dapat dikendalikan dalam satu tangan. Ulama dikendalikan melalui Satkar Ulama, ditambah dengan adanya para jawara dalam organisasi tersebut. Sedangkan para jawara dikendalikan melalui Satkar Jawara, yang kemudian diubah menjadi PPPSBBI.

Perubahan nama organisasi tersebut hanya untuk bertujuan kamuflase agar citra negatif jawara tidak melekat di PPPSBBI, sebagai organisasi pendekar. Kelompok jawara memiliki pandangan bahwa

184 Banyak para peneliti yang keliru tentang awal lahirnya PPPSBBI

sebagai organisasi yang menaungi jawara Banten, hal ini dikarenakan data yang meereka peroleh tidak akurat. Pandangan mereka tentang tahun 1971 merupakan tahun didirikanya PPPSBBI adalah suatu kekeliruan. Tahun 1971 merupakan tahun berdirinya Satkar Jawara, sedangkan PPPSBBI sendiri berdiri pada tahun 1977 atas persetujuan 48 kiyai termasuk KH. Mahmud dan KH. Syatro’i dan tokoh jawara Banten, yang diresmikan di Masjid Agung Banten. Lihat Anggaran Dasar dan Rumah Tangga Organisasi PPSBBI, Serang Banten, 1990.

185 Wawancara dengan Kang Mamed, Tokoh jawara dan pengurus DPP PPPSBBI, Serang, Desember, 2010.

Page 135: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

135

nama pendekar lebih positif dibandingkan dengan jawara, padahal pada prakteknya pendekar dengan jawara tidak ada bedanya, kekerasan dan intimidasi selalu digunakan untuk meraih suatu tujuan terterntu. Selanjutnya, hubungan keduanya antara pihak rezim Orde Baru yang dimotori oleh partai Golkar dengan jawara dan Ulama semakin dekat. Hal ini ditandai dengan Musyawarah Nasional Satkar Ulama pada bulan juli 1985 di Bogor, dengan memasukan seksi kepemudaan dan pendekar (jawara) dalam susunan kepengurusan Golkar.186

D. Mengempisnya Peranan Ulama dan Munculnya Jawara Perkembangan jawara Banten dalam aspek sosial politik, tidak

terlepas kaitanya dengan eksistensi para Ulama atau kiyai di Banten. Telah dibahas sebelumnya dalam bab terdahulu, bahwa para kiyai memiliki peran sentral dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Banten. Termasuk dalam urusan aspek politik dan kepemimpinan di Banten, para kiyai diposisikan dalam urutan pertama setelah runtuhnya sistem Kesultanan di Banten. Selanjutnya, jawara ditempatkan dalam stratifikasi lapisan kedua setelah para kiyai. Pada masa klasik, lalu disusul dengan masa penjajahan, sampai dengan Orde Lama peranan dan pengaruh kiyai tetap tidak tergantikan sebagai informal leader di Banten.187 Bahkan pada masa kemerdekaan dan Orde Lama, para tokoh kiyai menjabat sebagai Bupati, panglima militer, dan jabatan berpengaruh lainnya.

Namun saat ini keadan telah berubah, terjadi suatu pergeseran peta politik di Banten, pengaruh kiyai di Banten mulai tersingkirkan. Realita kenyataan yang terjadi di Banten mulai berubah dan bergeser, peranan dan pengaruh kiyai dalam aspek kekuasan politik tidak sehebat dulu lagi. Perubahan atmosfer politik di Banten mulai berubah, pengaruh dan peranan kiyai telah bergeser, jika dahulu berperan sebagi

186 Lihat lebih lanjut, Ismail Makmun, Riwayat Singkat Berdirinya

Satkar Ulama Golkar (Jakarta, Munas I Satkar Ulama Golkar, 1985). 187 Martin Van Bruinessen : Shari’a court, Tarekat and Pesantren :

Religius Istitutions in The Banten. (Paris: Archipel, 1995),168. Lihat pula, Ota Atsushi, Change of Regim and Social Dynamic in West Java, Society, State, and the Outer World of Banten 1750-1830 (Leiden Netherland: Brill, 2006), 67.

Page 136: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

136

pemimpin politik, saat ini bergeser dan ditempatkan hanya seputar mengurusi bidang keagamaan saja. Sedangkan untuk urusan politik dan kekuasaan, saat ini muncul kelompok komunitas jawara yang lebih dominan menguasai peta perpolitikan di Banten.

Pergeseran peran ulama serta mobilitas vertikal para jawara, merupakan suatu fenomena dalam perkembangan jawara dan masyarakat lokal di Banten. Perubahan ini hanya dapat dilihat dari aspek historis, bagaimana proses perubahan dan perkembangan itu berjalan dan berproses. Fenomena tersebut merupakan hasil dari intervensi rezim Orde Baru terhadap situasi dan kondisi perpolitikan di Banten.

Orde Baru memiliki peran signifikan, terhadap mengempisnya peranan Ulama dan munculnya jawara dalam aspek perpolitikan di Banten. Padahal pada masa awal lahirnya rezim Orde Baru, kelompok Ulama-lah yang didekati untuk ikut dan bergabung dengan Orde Baru. Walaupun pada proses pendekatannya berjalan sangat alot antara pihak Orde Baru dengan kelompok Ulama. Setidaknya dibutuhkan tiga kali pertemuan untuk mencapai kata sepakat diantara kedua pihak, bahkan Presiden Suharto-pun turun langsung pada pertemuan yang ketiga kalinya. Terkesan lambat dan alotnya proses tersebut, dikarenakan pihak ulama awalnya tidak ingin bergabung dengan Golkar.188

Melihat lambatnya proses kooptasi ulama tersebut, jelas bahwa peranan dan posisi para Ulama di Banten memiliki nilai yang sinifikan dalam masyarakat Banten. Namun seiring berjalannya proses pembangunan dan situasi perpolitikan di Banten, terjadi pergeseran peran. Para kiyai secara sistematis termarjinalkan dengan kebijakan alienasi Islam politik oleh rezim Orde Baru yang dimanifestasikan lewat partai Golkar. Saat itulah kelompok jawara memperoleh dan mengalami penguatan sistem politik dari rezim Orde Baru, dan muncul sebagai pemimpin masyarakat yang memiliki kekuasaan dan berpengaruh kuat secara politik. Sedangkan para kiyai secara sistematis eksistensinya dipinggirkan ke wilayah periferial dan bersikap apatis, oleh skema yang dijalankan Orde Baru.

188 Wawancara dengan sesepuh Kiyai Banten, nara sumber tidak ingin

diketahui identitas namanya, November 2010.

Page 137: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

137

Salah satu dampak dari kebijakan yang dilakukan Orde Baru, antara lain membuat kekuatan Islam politik termarjinalisasikan, termasuk dengan Banten. Telah diketahui bersama bahwa salah satu tujuan Orde Baru, ingin memarjinalkan kekuatan Islam poltik dari percaturan politik nasional. Marjinalisasi terhadap kekuatan Islam politik ini, dikarenakan Orde Baru memiliki anggapan bahwa Islam politik sebagai suatu ancaman yang harus dipinggirkan dari pentas politik nasional. Di antara kebijakan Orde baru yang berusaha memarjinalkan Islam politik, antara lain melarang menghidupkan kembali partai Masyumi dan kembalinya pemimpin Masyumi dalam dunia politik, fusi partai-partai Islam, sampai kepada pelarangan Islam sebagai asas partai dan organisasi massa Islam.189

Dengan kebijakan seperti itu, salah satu dampaknya adalah terpinggirkannya peran kiyai. Walaupun demikian, para kiyai tetap berpegang teguh kepada prinsip Islam politik, walaupun dalam geraknya telah dibatasi, bahkan diisolir oleh Orde Baru dari umatnya. Berbarengan dengan itu, Orde Baru mendekati para kiyai untuk bergabung dengan dengan Golkar.190 Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam konteks pendekatan ini Orde Baru membentuk Satkar Ulama sebagai salah satu sayap organisasi untuk menampung para Ulama ataupun kiyai di Golkar. Untuk pertama kalinya Satkar Ulama di bentuk di Banten, selanjutnya kebijakan membentuk Satkar Ulama-pun diterapkan di daerah-daerah lainya. Pada masa awal Orde Baru, peta politik di Banten masih dikuasai oleh partai-partai Islam, Masyumi dan NU menjadi kekuatan dominan di Banten. Dengan kebijakan depolitisasi, Orde Baru berhasil mengubah peta kekuatan politik di Banten sehingga menjadi wilayah pendukung Golkar. Strategi usaha politik Orde Baru untuk mengubah kondisi itu adalah dengan memanfaatkan dan mempolitisasi peran kiyai.

Dengan demikian, pada era 1980-an, pengaruh Ulama dalam proses perpolitikan sedikit demi sedikit mulai menyusut. Disamping karena adanya kebijakan alienasi Islam politik oleh rezim Orde Baru, salah satu mengempisnya peran Ulama dimata masyarakat karena adanya faktor konflik intern dikalangan Ulama Banten. Konflik antara

189 M. Rusli Karim, Negara dan Peminggiran Islam Politik..., 87-89. 190 M Din Syamsuddin, Islam dan Politik..., 56-57.

Page 138: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

138

kiyai ini berasal dari permasalahan siapa yang akan melanjutkan kepemimpinan KH. Syam’un di pondok pesantren Alkhaeriyah, Serang. KH. Syam’un merupakan tokoh Ulama Banten yang berkharisma dihormati oleh masyarakat Banten, dan pernah menjabat panglima tinggi militer 1945, lalu diangkat sebagai Bupati Serang 1945-1949.191 Konflik yang berkepanjangan ini, setidaknya menurunkan kharisma dan kewibawaan para kiyai dimata masyarakat Banten.

Sebagaimana telah dikatakan sebelumnya, bahwa Satkar Ulama memiliki peran untuk menghadapi kiyai di Banten. Akibat kebijakan seperti itu, para kiyai pondok pesantren, ormas Islam di Banten banyak yang bergabung dengan Golkar, diantaranya Matha’ul Anwar di Pandeglang dan Alkhaeriyah di Serang. Dengan bergabungnya para kiyai ke Golkar, tentu saja mereka menjadi bagian dari mesin politik Golkar. Bergabungnya para kiyai kedalam Satkar Ulama, menghasilkan dampak yang negatif bagi para kiyai itu sendiri karena mereka dianggap sebagai agen pemerintah.

Akses dari kedekatan hubungan antara rezim Orde Baru dengan para kiyai, adalah menurunnya citra dan peran kiyai di mata ummat, bersamaan dengan itu posisi dan peran kiyai semakin termarginalkan. Bahkan tidak akibatnya tidak sedikit dari mereka yang dijauhi dengan sendirinya dan ditinggalkan oleh ummat, dalam hal ini masyarakat Banten. Walaupun demikian, tidak semua Ulama memihak dan mendukung Orde Baru, mereka tetap netral, karena sikap mereka yang netral inilah para kiyai ini tetap disegani dan dihormati oleh ummat.

Sebut saja misalnya KH. Abuya Dimyati Cidahu (alm), KH. Cecep Bustomi (alm), dan KH. Uci Qurtusi Cilongok. Para kiyai ini dianggap sebagai kiyai yang netral dan tidak memihak partai manapun, sehingga mereka tetap dihormati dan disegani oleh ummat, bahkan mereka memiliki pengaruh yang kuat. KH. Abuya Dimyati dikenal oleh sebagian masyarakat sebagai Waliyullah, bahkan kediaman beliau pernah didatangi oleh semua Presiden Republik Indonesia, dari mulai Soekarno-Gusdur192. Walaupun semua Presiden pernah

191 Else Ensering, Banten in Times of Revolution (Paris : Archipel,

1995), 150. 192 Wawancara dengan sesepuh Kiyai Banten, nara sumber tidak ingin

diketahui identitas namanya, November 2010.

Page 139: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

139

menyambanginya hanya untuk sekedar minta restu, tapi perlakuannya tetap sama, tidak ada perbedaan antara Presiden dengan rakyat biasa.193

Namun proses pemarginalisasian Ulama yang paling jelas adalah, karena adanya intervensi rezim Orde Baru untuk menempatkan peran Ulama lebih pada urusan keagamaan saja. Sejak saat itu, unsur militer (Orde Baru) mulai mendominasi di tingkat pemerintahan Banten. Mulai tahun 1967 misalnya, Bupati Serang dijabat dari Militer dan DPRDnya sampai tahun 1987, diketuai oleh Militer.194 Dengan kata lain, Orde Baru secara sistematis telah berhasil mengempiskan peranan Ulama dalam aspek politik pemerintahan dimata masyarakat Banten.

Adapun peranan jawara malah semakin kuat posisinya dalam kancah politik lokal, karena kedekatannya dengan rezim Orde Baru. Hubungan relasi kedekatan tersebut, merupakan politik akomodasi dan kooptasi Orde Baru terhadap jawara. Salah satu upaya untuk membendung kekuatan politik kiyai, rezim Orde Baru mengkooptasi dan memanfaatkan eksistensi jawara. Dengan kebijakan politiknya, Orde Baru berhasil membelokan akses kekuasaan politik dari kiyai beralih ke kelompok jawara. Berhubungan dengan kebijakan elienasi Islam politiknya, Orde Baru menilai bahwa jawara lebih kooperatif dibandingkan dengan Ulama, selain itu Islam politik merupakan ancaman bagi pentas politik nasional. Kelompok jawara dinilai lebih kooperatif dibandingkan dengan kiyai, dikarenakan kelompok jawara lebih pragmatis dibandingkan dengan para ulama yang tetap memegang teguh prinsip.195 Singkatnya, kelompok jawara lebih mudah untuk dibayar dan menjadi rekanan Orde Baru.

193 Perlakuan yang diberaikan oleh KH. Abuya Dimyati terhadap para pejabat dan para Presiden disamakan dengan rakyat biasa, bahkan ada diantara Presiden yang rela menunggu beliau seharian. Biasanya Abuya Dimyati tidak ingin ditemui oleh siapa-pun jika beliau sedang mengajar dan berzikir, termasuk dengan Presiden sekalipun, dan jika bertemu dengan beliu biasanya singkat, hanya menanyakan maksud dan tujuannya lalu memberikan do’a dengan air putih. Wawancara dengan KH. Dadang, Tokoh Ulama dan Pengusaha Banten, Tangerang, Agustus 2010.

194 Wawancara dengan salah seorang anggota Partai Politik di Banten, yang tidak ingin disebutkan identitas namanya dengan alasan khawatir, Oktober 2010.

195 Wawancara dengan salah seorang anggota Partai Politik di Banten, yang tidak ingin disebutkan identitas namanya dengan alasan khawatir, Oktober 2010.

Page 140: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

140

Selain itu, hubungan kedekatan antara jawara dengan Orde Baru dikarenakan berbagai hal, misalnya jawara juga melatih militer untuk mendalami ilmu persilatan, atau para jawara pernah ikut terjun langsung ke daerah-daerah konflik seperti, Papua (Irian Jaya saat itu), Aceh, Ambon, dan Timor-timor. Bahkan lebih dari itu, kelompok jawarapun dapat membantu karir seorang anggota militer, dari Letnan misalnya menjadi Kapten. H. Chasan misalnya, merupakan tokoh sentral jawara yang memiliki hubungan yang erat dengan para Jenderal, diantaranya, Surono, Sudarsono, Prabowo Subiyanto, Basofi Sudirman dan lain sebagainya. Bahkan lebih dari itu, Probowo sendiri sudah dianggap menjadi anaknya, begitupun sebaliknya H. Chassan dianggap sebagai bapak oleh Prabowo.196

Jika dilihat dari kronologis kedekatan jawara dengan Orde Baru dalam hal ini (militer), dapat dilihat ketika proses terjadinya kesepakatan antara Ulama dan Jawara Banten dengan rezim pemerintahan Orde Baru. Kelompok jawaralah yang ditunjuk oleh Jenderal Surono, (yang saat itu menjabat Pangkowilhan Jawa-Madura) untuk membantu pelaksanaan kesepakatan musyawarah tersebut. Tempat pertemuannya tersebut difasilitasi oleh kelompok jawara197, di tempat wisata pemandian air hangat Batu Kuwung milik H. Chassan, ketua jawara. Kelompok jawara sendiripun mengakui bahwa Orde Baru, Militer, Polri, merupakan mitra kerja mereka dalam hal menjaga stabilitas keamanan.

Intervensi yang dilakukan oleh rezim pemerintahan Orde Baru terhadap perpolitikan di Banten, meletakan kelompok jawara sebagai kelompok yang mendominasi kekuasaan di Banten. Bahkan lebih dari itu, aspek ekonomi-pun dikuasai oleh mereka. Walupun demikian,

196 Dalam biografi profilnya, H. Chassan memiliki kedekatan secara

emosional dengan para petinggi militer, para anggota militer secara langsung di didik berlatih ilmu silat, maka secara tidak langsung proses tersebut dalam dunia kejawaraan, disebut dengan hubungan antara murid dengan guru. Walaupun demikian, kelompok jawara menolak jika hubungan tersebut disebut dengan hubungan antara murid dan guru, mereka lebih senag disebut hubungan anak dengan bapak, atau dengan hubungan dengan Sahabat. Wawancara dengan H. Khatib Mansur, salah satu jawara Banten, pengurus KADIN Provinsi, Serang, Desember 2010.

197 Wawancara dengan Kang Mamed, Tokoh jawara dan pengurus DPP PPPSBBI, Serang, Desember, 2010.

Page 141: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

141

secara kultur jawara memang masih setia terhadap kiyai sebagai pemegang pengaruh moral, tetapi kebutuhan materi tidak mengharuskan jawara untuk patuh lagi terhadap kiyai. Kelompok jawara yang pada umumnya lebih pragmatis dibandingkan dengan kiyai, dimanfaatkan oleh Orde Baru untuk upaya memobilisasi dukungan massa dan rekayasa politik Orde Baru untuk melakukan penetrasi di Banten.

Hubungan yang terjadi antara kiyai dengan para jawara secara kultural tetap tidak berubah. Para jawara tetap memegang teguh nilai-nilai tradisi budaya dan kultur jawara, sebagai murid kiyai. Secara politik rezim Orde Baru mengkonfrontir antara kelompok kiyai dengan jawara, tetapi karena sebagian kiyai telah masuk kedalam Satkar Ulama dan menjadi eksponen Golkar, hal tersebut dapat dihindarkan. Sebaliknya konflik itu sendiri terjadi di internal para kiyai Banten itu sendiri. Surutnya peranan kiyai dalam bidang kekuasaan dan politik, membuka peluang bagi para jawara untuk menempati posisi tersebut, hasilnya pentas politik di Banten dapat dikuasai oleh kelompok jawara. Dominasi jawara atas proses sosial politik di Banten, membuka peluang bagi mereka untuk lebih banyak berperan dalam berbagai bidang. Dimulai dari dominasi aspek politik, kemudian disusul aspek ekonomi dengan banyaknya tokoh jawara yang menjadi pengusaha, hanya sebagian kecil yang berkiprah menjadi kiyai.

Proses perkembangan jawara Banten pada masa rezim Orde Baru, merupakan kunci terjadinya perubahan mobilitas vertikal dalam kelompok jawara. Diantara salah satunya, menyusutnya peranan Ulama dalam hal kekuasaan di Banten. Singkatnya, kelompok jawara yang mendominasi kekuasaan politik dan ekonomi di Banten, merupakan hasil dari bentukan Orde Baru.

BAB V

JAWARA BANTEN DAN ERA REFORMASI

Page 142: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

142

Pada bagian ini, penulis akan membahas bagaimana perkembangan jawara Banten pada era Reformasi, setelah sebelumnya dibahas pada masa Orde Baru. Perkembangan jawara secara signifikan ini, dapat dilihat dari dua aspek, antara lain politik, dan ekonomi. Dominasi jawara terhadap perpolitikan di Banten, dimana kelompok ini berhasil menancapkan pengaruhnya, baik dalam lembaga eksekutif maupun legeslatif. Selain aspek politik, kelompok jawara-pun telah berhasil mendominasi aspek perekonomian di Banten. Pada bagian ini juga, akan membahas peran sentral Tokoh Jawara dalam mengendalikan perpolitikan, sosial, dan ekonomi di Banten. Era Reformasi merupakan masa kejayaan bagi kelompok jawara, hal tersebut dapat dilihat dengan dikuasainya lembaga eksekutif dan legeslatif oleh kelompok jawara. Sedangkan proses perkembangan dan perubahan tersebut dapat dilihat secara historis, bagaimana pola relasi hubungan yang terjadi antara jawara dengan pemerintahan era Reformasi.

Jawara dan Pemerintahan Lokal di Era Reformasi

Runtuhnya rezim Orde Baru dalam panggung perpolitikan di Indonesia, membuka lembaran baru dalam babak baru sejarah Indonesia. Gerakan mahasiswa, demo massa, dan peristiwa kerusuhan 14 mei 1998, merupakan bom waktu yang telah meledak akibat dari kulminasi-kulminasi kegelisahan masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan otoriter yang dikeluarkan oleh Orde Baru. Krisis ekonomi 1997 yang melanda Indonesia, mengkibatkan lumpuhnya perekonomian rakyat dimulai dari melonjaknya kebutuhan bahan-bahan pokok, naiknya BBM, merosotnya nilai tukar Rupiah dan naiknya nilai kurs Dollar. Dimulai dari aspek perekonomian-lah, mulai goyahnya stabilitas politik dan keamanan di negeri ini. Selain itu, praktek para pejabat yang korup, kolusi, dan dominasi nepotisme keluarga cendana terhadap perpolitikan di Indonesia, merupakan faktor-faktor yang menyebabkan runtuhnya rezim Orde Baru ini. Dengan goyahnya perekonomian pada masa Orde Baru, muncul berbagai

Page 143: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

143

konflik, dan konflik tersebut meluas kemana-mana konflik antar suku, agama, bahkan antar kelas sosial.198

Dengan berakhirnya rezim Orde Baru yang represif, masyarakat Banten seakan menghirup udara segar demokrasi. Masa kepemimpinan Habibie merupakan masa transisi sehingga kurang mendapatkan respon yang positif dari masyarakat. pemerintahan Habibi terutama ditunjuk untuk mengadakan berbagai perubahan politik melalui kepala negara, oleh karena itu segala persiapan untuk program tersebut lebih menyita perhatian.

Sebenarnya konstelasi politik yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997an, yang ditandai dengan berakhirnya dekade rezim pemerintahan Orde Baru, lalu kemudian disusul dengan era reformasi. Telah menempatkan posisi jawara Banten dengan pemerintahan lokal, khususnya kelompok jawara H.Chasan tokoh jawara, tidak jauh berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Konstelasi politik yang terjadi di Indonesia ini, tidak berpengaruh pada situasi dan kondisi di Banten khususnya kelompok jawara Banten. Runtuhnya rezim Orde Baru dan lahirnya era reformasi, bukan berarti menjegal kelompok jawara dalam mendominasi perpolitikan di Banten. Relasi hubungan yang terjalin antara kelompok jawara Banten dengan pemerintah daerah maupun pusat pada masa transisi ini sama sekali tidak terdapat gangguan yang berarti.199 Peralihan konstelasi politik antara rezim Orde

198 Paulus Wirutomo, Membangun Masyarakat Adab : Suatu Sumbangan Sosiologi (Jakarta : UI Press, 2001), 6.

199 Transisi bergantinya rezim pemerintahan dari Orde Baru ke era reformasi, tidak berdampak negatif terhadap dominasi kelompok jawara, walaupun konstelasi perpolitikan saat itu sedang bergejolak. Bahkan pada masa transisi ini, kalangan jawara berhasil memanfaatkan momentum reformasi, yakni dengan berusaha membentuk Banten menjadi provinsi tersendiri. Kelompok jawara memiliki peran signifikan dalam proses pembentukan provinsi Banten. Lihat Agus Sutisna, Banten Melangkah Menuju Kemandirian, Kemajuan dan Kesejahteraan (Banten: Biro Humas Provinsi Banten, 2005), 25. Dibalik peranan jawara dalam mengupayakan berdirinya Provinsi Banten, hal tersebut dilatar belakangi dengan adanya faktor kepentingan motif ekonomi salah satunya, dimana bisnis yang dijalani oleh kalangan jawara bersumber dari proyek-proyek pemerintahan setempat, oleh karena itu dengan berdirinya Banten seebagai Provinsi kelompok jawara dapat dengan mudah dan leluasa menguasai perekonomian dan perpolitikan di Banten.

Page 144: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

144

Baru dengan era reformasi, tidak mengakibatkan ekses dampak negatif terhadap eksistensi dan dominasi kelompok jawara. Khususnya dominasi jawara dalam sektor ekonomi dan penguasaan politik lokal. Justru sebaliknya, pada era reformasi hubungan yang terjalin antara kelompok jawara dengan pemerintahan setempat sangat erat.

Pada masa era reformasi ini, kelompok jawara lebih gencar dalam upaya mendominasi jaringannya di dalam birokrasi pemerintahan. Terlebih lagi ketika Banten memisahkan diri dari Jawa Barat, dan menjadi Provinsi tersendiri pada tahun 1999. Kelompok jawara melebarkan sayap pengaruh dan posisi peranannya dalam masyarakat lokal setempat. Hal tersebut dapat dilihat ketika kelompok jawara berhasil mengusung Rt. Atut Chosyiah sebagai Wakil Gubernur Banten pada periode 2002-2006. Rt. Atut Chosyiah sendiri merupakan anak dari Tokoh Jawara. Dengan naiknya Atut menjadi Wakil Gubernur pada periode 2002-2006, dan menjadi Gubernur Banten pada periode 2006-2011, telah menandai bahwa penguasaan politik lokal di Banten secara formal telah dikuasai oleh kelompok jawara.

Jika pada masa Orde Baru merupakan masa pemberdayaan jawara, maka ketika runtuhnya rezim tersebut dan digantikan dengan era reformasi, kelompok jawara telah berhasil mencapai masa puncak keemasannya. Mengapa demikian, hal ini dikarenakan para kelompok jawara telah mendominasi segala aspek kehidupan masyarakat Banten, terutama ketika kelompok jawara telah berhasil mengusung Rt. Atut menjadi Gubernur pada Pilkada 2006. Dimulai dari masa Orde Baru, peranan jawara mendominasi aspek politik dan ekonomi. Setelah runtuhnya rezim tersebut (Orde Baru) kelompok jawara Banten melebarkan sayap pengaruh dan posisinya. Telah dibahas sebelumnya, bahwa melebarnya ranah dominasi kalangan jawara tersebut tidak lepas dari rezim Orde Baru. Pada masa ini, kelompok jawara dekat dengan kalangan penguasa. Kedekatan ini tidak lepas dari rekayasa politik Orde Baru yang memainkan peran sentral dalam mengkondisikan peranan jawara.

Page 145: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

145

Kedekatan kelompok jawara dengan penguasa rezim Orde Baru telah menyebabkan jawara mendapatkan banyak kemudahan dan fasilitas untuk membangun kekuatan ekonominya. Runtuhnya Orde Baru bukan berarti menandai berakhirnya dominasi para jawara, justru sebaliknya komunitas ini menjadi semakin mendominasi bahkan dapat disebut menghegemoni. Pada era reformasi ini, relasi hubungan yang terjalin antara kelompok jawara dengan pemerintahan lokal setempat, dapat dikatakan mendominasi.200 Dari aspek politik keterlibatan jawara dalam politik dan bisnis semakin menguat. Keterlibatan jawara dalam politik yang semakin meningkat tersebut dapat dilihat dari menyebarnya para jawara kedalam partai-partai politik.

Jika pada masa rezim Orde Baru mereka hanya terkonsentrasi pada Golkar, kini pada masa era reformasi mereka menyebar ke partai-partai politik lain. Sehubungan dengan itu dapat dikatakan bahwa arena politik kalangan jawara kini semakin meluaskan posisinya, jika pada masa awal hanya terbatas dalam domain kultural kini melebar ke domain struktural. Apabila sebelumnya ranah peranan jawara hanya sebatas lingkungan pedesaan, maka kini wilayah kekuasaannya meluas ke tingkat kabupaten, kota, dan provinsi. Jika dahulu kalangan jawara hanya bergerak di ranah sebagai penjaga keamanan, kini para jawara masuk dalam ranah politik kekuasaan dan bisnis perekonomian di Banten.

200 Walaupun era reformasi dikenal sebagai era yang terbuka untuk keran

demokrasi, hak pendapat dan sebaginya, tetapi lain halnya dengan wialayah Banten ruang demokrasi telah tertutup dengan dominasi para jawara dalam apek pemerintahan. Intervensi dan intimidasi kelompok jawara mewarnai jalannya roda pemerintahan lokal setempat, memang dalam konstruk budaya lokal jawara merupakan informal leader dalam komunitas masyarakat Banten, permasalahnnya disini adalah bagaimana ketika informal leader tersebut merambah ke sektor aspek formal. Isu-isu demokrasi di Banten menjadi bahan wacana, memang jika berpijak dari undang-undang demokrasi telah diterapkan di wilayah Banten, tetapi pada prakteknya jauh dari nilai-nilai demokrasi itu sendiri. Hal tersebut dapat dilihat dengan berkuasanya Diansti keluarga dalam pemerintahan di Banten. Lihat Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara dan Demokrasi, Geliat Politik Banten Pasca Orde Baru (Jakarta: Dian Rakyat, 2009), 86.

Page 146: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

146

Ironisnya, laju reformasi yang diikuti dengan pembentukan Provinsi semestinya membuka keran demokrasi di Banten, justru memberikan berkah luar biasa bagi kelompok jawara ini. Posisi dan pengaruh jawara malah semakin menguat dan mendominasi segala aspek kehidupan masyarakat Banten. Secara cerdik kelompok jawara mendapatkan keuntungan, baik politik dan ekonomi dari perubahan tata pemerintahan di era reformasi. Menguatnya posisi jawara setelah Banten menjadi provinsi baru di Indonesia antara lain, di dukung oleh adanya kemampuan kelompok jawara secara individual maupun kolektif di dalam membangun pencitraan sebagai kelompok utama yang bengaruh didalam proses politik pembentukan Banten menjadi provinsi, khususnya peranan Tokoh Jawara.

Dibandingkan dengan berbagai tokoh pendiri Banten lainnya, Tokoh Jawara mampu bermain peran sebagai sosok yang paling menonjolkan peran dirinya di hadapan publik Banten. Begitu pula dengan kehadiran para jawara yang selalu tampil dalam setiap perhelatan sebelum maupun sesudah terbentuknya provinsi Banten. dalam deklarasi nasional pembentukan Provinsi Banten pada 5 Desember 1999, Tokoh Jawara tampil sebagai tokoh sentral dan jawara PPPSBBI sebagai element utama keamanan. Selain itu menguatnya posisi jawara didukung oleh kemampuan mengawal setiap momentum politik setelah Banten menjadi Provinsi.

Dominasi Jawara Dalam Aspek Kekuasaan Politik

Sebelumnya telah dibahas, bahwa dalam proses perpolitikan di Banten pada aspek kelembagaan politik dan birokrasi pemerintah, tidak bisa lepas dengan pengaruh dua entitas informal leader (kiyai dan jawara) di Banten. Kutur budaya masyarakat Banten yang kental dengan keislamannya, menjadikan dua entitas tesebut memiliki peran penting dalam proses percaturan politik dan pengaruh di Banten. Bahkan persaingan di tingkat informal ini turut menjalur ke wilayah formal. Tidak heran jika ada calon yang ingin maju dalam persaingan pemilihan kepala daerah dan calon legeslatif dalam putaran pemilu, jika tidak ingin ketinggalan

Page 147: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

147

kereta maka mau tidak mau harus merangkul kedua entitas tersebut.

Setelah terbentuknya Provinsi Banten, hal tersebut menciptakan arena kompetisi politik yang penting bagi berbagai pihak yang ingin mengambil keuntungan dari terbentuknya provinsi. Bahkan moment-momen seremonial sepertihalnya pelantikan anggota DPRD Provinsi Bantenpun dijaga ketat oleh para kelompok jawara. Besarnya pengamanan yang dilakukan oleh kelompok jawara menggambarkan besarnya kepentingan jawara dalam mengamankan pelantikan anggota DPRD. Hal ini tidak terlepas dari agenda pemilihan Gubernur Banten yang nanti dilakukan oleh DPRD Banten.201 Peranan lainnya adalah adanya keterlibatan jawara pada pembentukan organisasi profesi pengusaha di tingkat Banten. Terbentuknya organisasi semacam KADIN, Gapensi, atau Asosiasi Aspal Beton di tingkat Provinsi Banten memudahkan para kelompok jawara dalam mendapatkan proyek-proyek konstruksi yang di tenderkan oleh pemerintahan Banten.

Ketika terjadi perubahan dengan datangnya era reformasi dan runtuhnya rezim Orde Baru, tampaknya fenomena itu dibaca juga oleh kalangan jawara Banten. bila pada masa Orde Baru keterlibatan jawara dalam politik hanya di Golkar, maka saat ini pada era reformasi keterlibatan jawara dalam politik menyebar ke berbagai partai politik. Diantara mereka ada yang bergabung dengan PDIP dan partai-partai lainnya. Selain itu mereka juga ada yang bergabung dengan partai-partai baru. Panggung politik di Banten mencatat tampilnya para jawara sebagai ketua partai politik baru di tingkat kabupaten, kota dan provinsi.

Pada era reformasi ini kader-kader jawara banyak yang menguasai dan menjabat posisi pada partai-partai politik yang tumbuh berikutnya seperti terutama Partai Golkar, kemudian PDIP, PPP, PKB, PAN, serat partai kecil lainnya. Bukan hanya itu saja, bahkan kalangan jawara menduduki posisi sebagai ketua

201 Surat Kabar Radar Banten, Ace Siap Duel Lawan Djoko, Ribuan Orang mau Gempur DPRD, Para Pendekar Juga mau Beraksi, 14 November 2001.

Page 148: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

148

partai. Sebut saja, H. Maman Rizal yang menjadi ketua DPD II Partai Golkar Kab. Serang, Tb. Aat Syafaat menjabat ketua DPD II Partai Golkar Kota Cilegon, H. Aceng Iskak menjabat ketua PDIP Pandeglang, Hasan Cobra menjabat sebagai Ketua Partai Persatuan Daerah, Rt. Atut Chosiyah (putri dari Tokoh Jawara) wakil bendahara DPP partai Golkar, dan banyak lagi diantara para tokoh jawara yang menduduki posisi penting di partai-partai politik. Selain pada umumnya kelompok jawara menempatkan orang-orangnya baik di institusi-institusi pemerintahan maupun intitusi-institusi politik, dari mulai partai politik hingga lembaga legislatif. Orang yang ditempatkan ada yang murni kader jawara atau orang lain yang sudah dibawah pengaruh mereka.

Selain menjadi anggota dan pengurus partai, kalangan jawara juga banyak yang menjadi anggota dewan, baik di tingkat kabupaten, kota maupun ditingkat provinsi. Adapun diantara kalangan jawara yang menjadi anggota dewan antara lain, Maman Rizal sebagai ketua fraksi Golkar DPRD Serang, Jayeng Rana Anggota DPRD Provinsi Banten, Hasan Maksudi sebagai Ketua DPRD Serang, Jazuli anggota DPRD Provinsi Banten, H. Jajat Mujahidin Anggota DPRD Pandeglang,202 dan banyak lagi dintara mereka yang menjadi anggota dewan. Diantara para jawara tersebut, ada jawara yang memiliki pengaruh yang kuat dan dominan di Banten, yang sering disebut Gubernur Jendral.

Salah satu pengaruh yang dimiliki oleh Tokoh Jawara ini adalah, mampu mengontrol dan mengendalikan partai-partai politik di Banten dan DPRD Provinsi Banten. Jika dianalogikan kepemimpinan Tokoh Jawara dalam kelompok jawara, layaknya seperti Godfather di kelompok Mafia-Mafia Italia.203 Untuk

202 Wawancara dengan salah seorang anggota Partai Politik di Banten, yang tidak ingin disebutkan identitas namanya dengan alasan khawatir, Oktober 2010.

203Sama halnya dengan komunitas jawara Banten dimana ikatan kekeluargaan dijadikan penghubung jaringan dalam organisasi jawara, organisasi Mafia Italiapun demikian, oraganisasi ini berkembang dalam jaringan emosional kekeluargaan, dimana Godfather berperan sebagai pimpinan tertinggi dalam kelompok Mafia, dan tokoh Godfather ini merupakan tokoh sentral yang dapat diduduki oleh orang yang dituakan. Demikian pula dengan Tokoh Jawara merupakan sosok yang dihormati dan dituakan, yang

Page 149: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

149

mengontrol dan mengendalikan situasi perpoitikan di Banten, biasanya sang Gubernur Jenderal menempatkan orang-orangnya (kalangan jawara) di dalam partai-partai politik di Banten.

Di Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), kelompok jawara menempatkan orangnya, yakni Jayeng Rana, sebagai ketua DPW PDIP Banten. Jayeng Rana sebelumnya adalah wakil sekretaris DPC PDIP Kabupaten Serang. Pada pemilihan ketua PDIP tahun 2005, H. Chassan sebagai tokoh jawara berperan aktif agar Jayeng Rana terpilih menjadi keetua DPD PDIP Provinsi Banten. dalam pemilihan itu terjadi perebutan ketua DPDP PDIP Banten antara Jayeng Rana dengan Malawati.204 Di partai Bintang Reformasi (PBR) dengan menempatkan orangnya Jazuli sebagai ketua DPW PBR Banten. Adapun di Partai Bulan Bintang (PBB), kelompok jawara menempatkan Buety Nasir sebagai ketua DPW PBB.

Sementara itu Tokoh Jawara sendiri duduk di partai Golkar sebagai Dewan Pembina. Dengan kedudukannya sebagai Dewan Pembina ini maka tentu ia memiliki pengaruh yang kuat di Partai Golkar di Banten. Pengaruh ini semakin kuat ditambah dengan para anak buahnya banyak yang duduk di dalam kepengurusan Partai Golkar. Bahkan anaknya sendiri, Rt. Atut Chosiyah menjadi pengurus Partai Golkar di tingkat Pusat, yaitu Wakil Bendahara DPP Partai Golkar. Selain menempatkan orang-orangnya di partai-partai politik, tokoh jawara juga menempatkan orang-orangnya di DPRD Provinsi. Umumnya para kalangan jawara duduk di Komisi III DPRD Provinsi, Komisi ini membidangi tentang pekerjaan umum, pemetaan, rencana tata ruang wilayah, perhubungan, pertambangan dan energi, perumahan rakyat dan lingkungan hidup. Di Komisi inilah biasanya para tokoh jawara partai berkumpul, sebagai Komisi

berperan sebagai ketua jawara Godfather. Lihat Letizia Paoli, Mafia Brotherhoods, Organized Crime, Italian Style ( New York : Oxford University Press, 2003), 47, 48.

204 Wawancara dengan salah seorang anggota Partai Politik di Banten, yang tidak ingin disebutkan identitas namanya dengan alasan khawatir, Oktober 2010.

Page 150: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

150

yang basah dalam mengurusi proyek-proyek pemerintahan.205 Oleh karena itu tidak aneh jika komisi ini menjadi rebutan dan menjadi titipan.

Kepentingan kelompok jawara menempatkan orang-orangnya di DPRD Provinsi Banten adalah, dalam rangka memuluskan proyek-proyek yang dikerjakan oleh tokoh kalangan jawara. Di lembaga legislatif tingkat provinsi ini para jawara tidak hanya mengontrol dari luar. Lebih dari itu, mereka hadir dan terlibat di dalamnya. Para jawara ini terpilih sebagai anggota DPRD Provinsi Banten, dan ikut terlibat dalam setiap perumusan peraturan daerah.

Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Perdana

Dinamika poltik lokal pada proses pemilihan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Banten sangat menarik untuk disimak. Hal ini dikarenakan, pada fase inilah berbagai element kekuatan sosial, ekonomi, dan politik khususnya dari kalangan jawara, terlihat lebih transparan berkompetisi untuk memperebutkan dan mempengaruhi proses pemilihan kursi kepemimpinan eksekutif pemerintahan yang baru berdiri tersebut. Hal ini dapat dengan mudah dipahami, karena investasi politik dan ekonomi yang ditanam pada saat pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, merupakan bagian dari faktor determinan bagi besar kecilnya pengaruh yang dimiliki oleh masing-masing elemen terhadap pasangan Gubernur terpilih.

Fenomena yang tidak kalah menarik untuk disimak pada periode pemilihan Gubernur adalah, mulai tidak terlihatnya bahkan nyaris hilang, peran tokoh masyarakat Banten yang pada periode sebelumnya tercatat sebagai aktor penggerak utama pembentukan Provinsi Banten. Adapun aktor yang dimaksud disini antara lain, Uwes Qorni, pionir gerakan pembentukan provinsi Banten, yang menjabat sebagai ketua KPPB, Tryana

205 Wawancara dengan anggota Dewan, AY, mantan anggota DPRD

Banten, Serang, Juli 2010.

Page 151: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

151

Sjam’un Ketua Umum Bakor,206 dan Moch. Ali Yahya, sebagai konseptor sekaligus sebagai pengusul RUU Inisiatif pembentukan Provinsi Banten. Sementara disatu sisi, Tokoh Jawara yang berperan sebagai seorang tokoh dan pengusaha, yang pada periode awal pembentukan Provinsi Banten lebih banyak berperan di belakang layar. Akan tetapi pada periode pemilihan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur, Tokoh Jawara muncul sebagai kekuatan yang dominan.207 Tokoh Jawara tidak saja dapat mempengaruhi kekuatan-kekuatan politik yang ada, tetapi juga dapat mengontrol hampir seluruh tahap-tahap proses pemilihan pasangan Gubernur-Wakil Gubernur yang telah ditetapkan.

Gambar 3.1,Djoko Munandar, Gubernur Banten (2001-2006) yang diberhentikan akibat terlibat kasus korupsi dana perumahan DPRD 2003, Gambar 3.2, Rt Atut Chosyiah Wakil Gubernur Banten Periode 2001-2006.

Gambar 3.1 Gambar 3.2

Dominasi kelompok jawara dalam sektor politik kekuasaan pemerintahan dan ekonomi di Banten, sebenarnya tidak terlepas dengan peristiwa pemilihan kepala daerah di Banten periode 2001-2006 dan pemilihan kepala daerah pada periode 2006-2011. Dalam catatan sejarah, dua peristiwa Pilkada tersebut dimenangkan oleh kelompok jawara. Pada tahun 2001, untuk

206 Pada masa periode pemilihan Gubernur untuk periode 2001-2006,

nama Tryana Sjam’un sama sekali tidak mencuat, atau bahkan nyaris hilang. Walaupun dikemudian hari, pada periode pemilihan Gubernur 2006-2011, Tryana Sjam’un kembali mencuat dan menjadi salah satu rival saingan terberat pasangan Atut-Masduki.

207 Syarif Hidayat, Shadow State...? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten, dalam Henk Schulte Nordholt, Politik Lokal di Indonesia ( Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007), 281.

Page 152: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

152

pertama kalinya digelar pemilihan umum kepala daerah di Banten.208 Sebagai Provinsi yang baru berdiri tidak heran posisi Gubernur menjadi incaran para kalangan. Pada tanggal 3 Desember 2001, DPRD Provinsi Banten melaksanakan pemilihan pasangan Gubernur – Wakil Gubernur Banten periode 2001 – 2006. Iwan Kusuma menggambarkan, bahwa suasana digedung DPRD tersebut terasa semakin mencekam. Walaupun pihak DPRD sendiri secara sepenuhnya menyerahkan kepada Polri dan TNI untuk menangani keamanan persidangan, dan meminta agar pada radius 5 kilometer gedung DPRD bersih dari pihak yang tidak memiliki kepentingan, khususnya para jawara.209

Nampaknya upaya tersebut sia-sia, kelompok jawara ini masih tetap mengerahkan massa. Bahkan menurut keterangan salah satu anggota Dewan AY, para jawara telah bersiaga sejak pukul 06.00 pagi, dengan alasan mengamankan proses pemilihan. Lebih jauh lagi, para jawara tidak hanya bersiaga di luar gedung DPRD, akan tetapi berkeliaran di dalam gedung dengan memakai pakaian preman.210 Hal demikian merupakan suatu hal yang lumrah terjadi di Banten, dimana para jawara berani melakukan intervensi atas pihak manapun, baik itu swasta maupun pemerintah.

Dalam suasana yang relatif mencekam inilah, DPRD Provinsi Banten melaksanakan putaran pemilu pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur Banten. jumlah keseluruhan anggota dewan yang hadir sebanyak 69 orang. Setelah diadakan pemungutan suara dengan sistem voting tertutup, maka hasil perhitungan akhir menunjukan bahwa pasangan Djoko munandar – Rt. Atut Chosiyah keluar sebagai pemenang. Pada pemilihan kepala daerah periode 2001 - 2006, dimana pasangan Djoko

208 Surat Kabar Radar Banten, Ace Siap Duel Lawan Djoko, Ribuan orang

mau Gempur DPRD, Para pendekar Banten Juga mau Beraksi, 14 November 2001.

209 Iwan Kusuma Hamdan, Mengawal Aspirasi Masyarakat Banten Menuju Banten Iman dan Taqwa; Memori Pengabdian DPRD Banten, masa bakti 2001-2004. Sekretariat Banten, 2004.

210 Wawancara dengan AY, salah satu Anggota DPRD Provinsi Banten periode 2001-2004, Tangerang, November, 2010.

Page 153: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

153

Munandar dan Rt. Atut Chosyiah terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Banten. Pada Pilkada kali ini, pasangan Djoko Munandar – Rt. Atut yang di usung oleh Fraksi Golkar dan Fraksi PPP memperoleh 37 suara, mengungguli pasangan lainnya yakni Ace Suhaedi Masdupi – Tb. Mamas Chaeruddin meraih 23 suara, dan pasangan Herman Haeruman – Ade Sudirman memperoleh lima suara. Dengan hasil pemilihan tersebut, maka Gubernur dan Wakil Gubernur Banten terpilih di menangkan oleh Djoko dan Atut.

Kemenangan pasangan Djoko – Atut sebelumnya telah diprediksi, menurut dari beberapa nara sumber,211 kekalahan pasangan calon Gubernur – Wakil Gubernur yang diusung oleh PDI-P, ditengarai karena politik uang dan intimidasi, juga karena adanya barganing politik antara Golkar dan PDI-P dalam pembagian posisi pimpinan lembaga legeslatif dan eksekutif daerah. Dapat dipastikan diantara kalangan yang paling berbahagia dan dapat menarik nafas lega, atas putaran akhir pemilihan Gubernur – Wakil Gubernur, adalah Tokoh Jawara. Setelah melewati proses pemilihan yang banyak menyita energi politik dan ekonomi, akhirnya pasangan Djoko – Rt. Atut, yang diperjuangkan berhasil meraih tampuk kepemimpinan.

Bukan rahasia umum lagi, bahwa kemenangan Djoko dan Atut pada pemilihan Gubernur – Wakil Gubernur 2001, merupakan campur tangan intervensi kelompok jawara. Rt. Atut sendiri merupakan anak dari Tokoh Jawara, oleh karena itu siapa yang ingin menjadi Gubernur Banten, maka ia harus berpasangan dengan Atut Chosyiah.212 Kelompok jawara berperan besar dalam mengusung pasangan Djoko dan Atut sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, hal tersebut dapat dilihat ketika proses pemilihan Gubernur di gedung DPRD berlangsung, kelompok jawara mengerahkan pasukannya

211 Wawancara dengan H. Emb, H.JY dan AY, salah satu Anggota DPRD

Provinsi Banten periode 2001-2004, Tangerang, November, 2010. 212 Wawancara dengan Hasan, Ajid, dan Uung Aktifis salah satu LSM di

Banten, Serang, November, 2010.

Page 154: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

154

sebanyak 200 jawara, untuk mengamankan sidang di gedung DPRD Banten.213

Selain itu, sebagai dukungan kongkrit kelompok jawara terhadap pasangan Djoko dan Atut, sang Tokoh Jawara sendiri hadir pada saat rapat paripurna pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. Ia sendiri duduk ditempat undangan VIP, yang telah disediakan. Sehubungan dengan adanya pengaruh kelompok jawara yang besar dalam pemerintahan Provinsi Banten tersebut, pada hakikatnya Djoko Munandar sebagai Gubernur tidak memiliki peran apa-apa. Djoko Munandar hanya berperan sebagai Gubernur secara formalitas, tetapi dalam mengatur pemerintahan adalah Tokoh Jawara, yang tidak lain adalah orang tua Wakil Gubernur Rt. Atut. Tokoh jawara inilah yang sesungguhnya memegang kendali pemerintahan di Banten, karena aparat pemerintahan Propinsi tunduk kepada kepemimpinannya.

Dominasi kelompok jawara dalam aspek politik, dimana kekuasaan kalangan jawara ini melebihi kekuasaan pemerintahan Provinsi. Dalam perkembangan berikutnya, dibuktikan dengan dinonaktifkannya Djoko Munandar sebagai Gubernur Banten. Dinonaktifkannya Djoko Munandar terkait dengan kasus korupsi dana perumahan anggota DPRD Banten. Peristiwa penonaktifkan Djoko Munandar sebagai Gubernur Banten ditenggarai atas intervensi peranan kelompok jawara.214Ketika kasus tersebut mencuat kepermukaan, terdapat demonstrasi-demonstrasi yang digerakan oleh jawara agar menuntaskan kasus tersebut, sebagai usaha untuk mempercepat dinonaktifkannya Djoko sebagai Gubernur. Dengan di non aktifkannya Djoko dari jabatanya sebagai Gubernur Banten, dengan otomatis Rt. Atut Chosyiah lah yang akan menjabat sebagai Plt. Gubernur.

Salah satu motif disingkirkannya Djoko Munandar dari kursi Gubernur Banten, adalah untuk memunculkan Rt. Atut

213 Wawancara dengan Kang Mamed, Tokoh jawara dan pengurus DPP

PPPSBBI, Serang, Desember, 2010. 214 Wawancara dengan salah seorang anggota Partai Politik di Banten,

yang tidak ingin disebutkan identitas namanya dengan alasan khawatir, Oktober 2010.

Page 155: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

155

Chosyiah dalam bursa pemilihan Gubernur Banten pada peride 2006-2011. Persiapan yang telah di disain sedemikian rupa oleh kelompok jawara, untuk mengusung Rt. Atut Chosyiah dalam memperebutkan kursi Gubernur Banten, telah direncanakan secara sistematis oleh kelompok jawara. Dengan disingkirkannya Djoko Munandar dari kursi Gubernur, akan mempermudah upaya Rt. Atut Chosyiah dalam mengerahkan birokrasi pemerintahan, sebagai mesin untuk memobilisasi bagi pemenangan dirinya. Sebagai incumbent dalam Pilkada 2006, akan mempermudah kemenangan Rt. Atut Chosyiah dalam Pemilihan Gubernur 2006.

Selanjutnya pada pemilihan umum kepala daerah yang dipilih secara langsung periode 2006 – 2011, yang diikuti oleh empat pasangan antara lain, Tryana Sjam’un – Benjamin Davnie, Rt. Atut Chosyiah – HM. Masduki, Irsyad Djuweli – Daniri, dan Zulkiflimansyah – Marissa Haque. Peristiwa Pilkada yang dipilih secara langsung itupun, dapat kembali dimenangkan pula oleh kelompok jawara, dengan mengusung Rt. Atut dan HM. Masduki sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur. Walaupun hasil dari Pilkada 2006 ini terdapat banyak kontroversi, dan kecurangan-kecurangan yang melatar belakangi kemengan pasangan Atut dan Masduki. Terlepas dari kontroversi hasil Pilkada Banten 2006, kelompok jawara telah berhasil mendominasi perpolitikan di Banten.

Kemenangan pasangan Djoko Munandar – Rt. Atut Chosyiah pada pemilihan umum kepala daerah peride 2001-2006, merupakan hasil dari upaya kelompok jawara dalam memenangkan pemilihan tersebut. Sama halnya dengan Pilkada Banten periode 2006 -2011, yang dipilih secara langsung oleh warga masyarakat Banten, dimana Tokoh Jawara tidak tanggung – tanggung menempatkan putrinya Rt. Atut sebagai Gubernur Banten. Peristiwa kemengan Rt. Atut Chosyiah dalam dua kali berturut – turut Pilkada di Banten, merupakan hasil intervensi politik dan kekuasaan dikalangan jawara Banten.

Dalam melebarkan sayap kekuasaannya pada tahun 2006, kelompok jawara membangun kekuatan politik. Tidak tanggung-tanggung pada pemilihan Gubernur dan Wakil gubernur tahun

Page 156: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

156

2006 yang dipilih secara langsung oleh rakyat, tokoh jawara H. Chassan mencalonkan anaknya, tidak untuk menjadi Wakil Gubernur melainkan menjadi Gubernur Banten. Terbukti upaya yang dilakukan oleh kelompok jawara membuahkan hasil, dengan naiknya Rt. Atut Chosyiah menjadi Gubernur Banten menandakan keberhasilan jawara dalam menguasai perpolitikan di Banten. Tercatat Rt. Atut Chosyiah menjadi wanita pertama yang berhasil menjabat Gubernur di wilayah Indonesia.

Selain motif kepentingan ekonomi yang menjadi latar belakang pada pemilihan kepala daerah di Banten, tarik menarik kepentingan politik dan pengaruh sosialpun turut terlibat di dalamnya. Hal ini lah, yang menurut Gellner bahwa ruang politik berfungsi sebagai mediasi bagi berlangsungnya negosiasi antara negara dan masyarakat.215 Faktor kepentingan yang melatar belakangi pemilihan Gubernur secara langsung untuk periode 2006 – 2011 ini, setidaknya melibatkan tiga komunitas masyarakat di wilayah Banten. Adapun ketiga komunitas tersebut antara lain : kelompok jawara, kelompok ulama (kiyai), dan kelompok Islam modernis (PKS). Dinamika perkembangan jawara dalam aspek politik menjadi menarik, ketika peristiwa Pilkada Banten 2006 menghadirkan kelompok Ulama sebagai saingan politik.

Adanya latar belakang kepentingan persaingan pengaruh sosial dalam masyarakat Banten, yang melibatkan kelompok jawara dan kiyai di dalamnya, sangat terlihat jelas pada peristiwa Pilkada Banten tahun 2006. Kelompok jawara yang mendukung pasangan Rt. Atut Chosyiah – HM. Masduki sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Banten. Sedangkan kubu pasangan H.Tb. Tryana Sjam’un dan Benjamin Davnie, merupakan representasi dari kelompok kiyai-kiyai di Banten.216 Tidak heran jika peristiwa Pilkada Gubernur Banten pada tahun 2006, disebut juga dengan persaingan ulama dan jawara (ulama versus jawara) dalam persaingan pengaruh kekuasaan dan sosial di Banten. Walaupun

215 Ernest Gellner, Membangun Masyarakat Sipil, Prasyarat Menuju Kebebasan (Bandung : Mizan, 1995), 32.

216 Wawancara dengan anggota Dewan, Ahmad Yani, mantan anggota DPRD Banten, Serang, Juli 2010.

Page 157: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

157

tidak sedikit dari kalangan jawara yang juga berprofesi sebagai kiyai.

Sebelumnya telah dijelaskan, pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur tahun 2006 terdapat empat kandidat pasangan, antara lain : 1. H. Tb. Tryana Sjam’un – Benjamin Davnie, 2. Rt. Atut Chosyiah – HM. Masduki, 3. H. Irsyad Djuweli – Mas Achmad Daniri, dan 4. Zulkiflimansyah – Maissa Haque. Dari keempat pasangan kandidat tersebut, pasangan kandidat Rt. Atut Chosyiah – HM. Masduki merupakan pasangan yang dibackup oleh kelompok jawara H. Chassan Sohib. Memang pada pemilihan kepala daerah secara langsung ini, para jawara terpecah dalam mendukung kandidat Gubernur dan wakil Gubernur. Terpecahnya kelompok jawara pada masa Pilkada ini terbagai kedalam dua kubu. Pertama, kubu Tokoh Jawara H. Chassan Sohib yang tergabung kedalam organisasi PPPSBBI, dan mengusung anaknya Rt. Atut Chosyiah untuk menjadi Gubernur. Kedua, kubu H. Tb. Tryana Sjam’un sebagai basis Ulama (Mathlaul Anwar) yang didukung oleh H. Maman Rizal (ketua TTKDH), Zahidi, H. Bahruddin (Peguron Terumbu), Oya (dari Jalakrawi) dan H. Eli (BPPKB).217

Perpecahan dikalangan jawara tersebut ditenggarai karena, ketidaksukaan kubu Tryana Sjam’un dan Maman Rizal terhadap dominasi dan praktek-praktek bisnis yang dilakukan oleh Tokoh Jawara.218Selain itu, perpecahan ini dikarenakan kelompok jawara yang terlalu mendominasi pengaruh sosial di msyarakat Banten. Oleh karena itu, kelompok ulama menjadi rival saingan pada peristiwa Pilkada tahun 2006. Namun demikian, mayoritas para jawara Banten bernaung dalam wadah PPPSBBI yang mendukung Rt. Atut Chosyiah menjadi Gubernur. Hasilnya sudah dapat dipastikan, bahwa kubu Tokoh Jawara lah yang memenangkan pertarungan ini, dengan menangnya dalam Pilkada Banten 2006. Posisi dan peranan Tokoh Jawara memang sulit

217 Wawancara dengan anggota Dewan Ahmad Yani, mantan anggota

DPRD Banten, Serang Juli 2010. 218 Wawancara dengan Kang Azwar, tokoh jawara dari kresek Tangerang,

April 2010.

Page 158: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

158

untuk ditandingi, oleh karena itu beliau sebenarnya menjadi king maker dalam situasi penguasaan politik lokal di Banten.

Selanjutnya dapat dipahami dengan kemenangan dua kali berturut-turut Rt. Atut Chosyiah dalam Pilkada Gubernur di Banten. Para kalangan baik akademisi maupun politisi, telah memaklumi bahwa kemenangan Rt. Atut memang telah diprediksikan semenjak dari awal, terlepas dari kontroversi-kontroversi yang mewarnai Pilkada 2006. Setidaknya kemenangan kubu Rt. Atut yang dimotori oleh kalangan jawara Banten, menandai adanya tarik menarik antar berbagai macam kepentingan, dalam dua kali peristiwa Pilkada tersebut. Latar belakang kepentingan inilah yang melatar belakangi kelompok jawara untuk menaikan Rt. Atut ke kursi Gubernur tahun 2006. Diantara kepentingan tersebut, terdapat dua faktor kepentingan antara lain, faktor ekonomi dan faktor pengaruh kekuasaan politik. Kepentingan ekonomi merupakan faktor dasar, mengapa kelompok jawara mendominasi aspek politik dan pemerintahan. Penguasaan politik akan menjamin keberlangsungan bisnis para jawara Banten.219 Sedangkan tarik menarik kepentingan pengaruh kekuasaan, merupakan faktor terjadinya persaingan antara kelompok jawara dengan ulama pada Pilkada 2006.

Proses perkembangan perpolitikan di Banten, salah satunya dipicu dengan adanya kepentingan ekonomi, dan bahkan bukan hanya diwilayah Banten saja, di daerah-daerah lainpun di Indonesiapun demikian. Kecenderung atas penguasaan ekonomi, biasanya melibatkan proses-proses perpolitikan di suatu daerah lokal setempat. Abdul Hamid, menempatkan jawara sebagai Bos lokal setempat untuk mengamankan usaha bisnis yang dijalani oleh kelompok jawara. Hal tersebut terkait dengan tender-tender proyek yang diperoleh dari pihak pemerintah.220 Oleh karena itu, tidak heran jika terjadi konspirasi antara pihak pemerintahan Provinsi dengan pihak jawara Banten. Dalam peroses upaya

219 Wawancara dengan Hasan, Ajid, dan Uung Aktifis salah satu LSM di Banten, Serang, November, 2010.

220 Abdul Hamid dalam Okamoto Masaaki dan Abdur Rozaki, Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal Di Era Reformasi (Yogyakarta: CSEAS IRE Press, 2006). 49-50.

Page 159: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

159

pengamanan bisnis yang dikelola oleh kelompok jawara, pertarungan pemilihan kepala daerah merupakan suatu hal yang mutlak untuk dimenangkan.

Adanya latar belakang kepentingan ekonomi dibalik ajang peristiwa pemilihan kepala daerah di Banten, mendorong kelompok jawara untuk memenangkan setiap Pilkada di Banten. Hal tersebut terbukti dengan naiknya Rt. Atut Chosyiah menjadi Wakil Gubernur (selanjutnya menjadi Plt. Gubernur) pada periode 2001 – 2006, dan menjadi Gubernur untuk periode 2006 – 2011. Bahkan ajang Pilkada 2011 ini, Rt. Atut bersiap untuk mencalonkan kembali menjadi Gubernur Banten. Dalam perkembangannya, sektor ekonomi telah membawa kalangan jawara mengalami mobilitas vertikal. Persoalan selanjutnya akan hal kepentingan ekonomi, bahwa elit-elit jawara ini lahir dan besar dengan menggantungkan pada proyek-proyek pemerintah. Maka tidak heran relasi birokrasi dengan elit pengusaha di era reformasi ini berjalan intim. Pengusaan aparat negara memasukan keluarga atau kroninya di birokrasi, militer lumrah dilakukan. PT. Sinar Ciomas, PT. Jaya Baya, PT. Rizki Carlita Utama, adalah beberapa usaha yang dimiliki oleh para kalangan jawara yang sekaligus menjadi pejabat lokal setempat.221

Gambar 3.3, Gubernur & Wagub Banten terpilih periode 2006-2011.

Gambar 3.4, Tryana Sjam’un mantan Bakor Banten & mencalonkan diri pada pemilihan Gubernur Banten periode 2006-2011. Gambar 3.5, Zulkiflimansyah calon gubernur 2006-2011

221 Wawancara dengan M. Hadi, aktifis LSM di Banten, Serang,

November 2010.

Page 160: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

160

Gambar 3.4, Tryana Sjam’un Gambar 3.5, Zulkiflimansyah

Telah dipahamai jika salah satu motif jawara dalam mendominasi perpolitikan di Banten khususnya pada era reformasi, berlandaskan adanya kepentingan untuk menguasai sumberdaya ekonomi. Sebab ketika Banten masih menjadi bagian dari Jawa Barat, peran jawara dalam menguasai ekonomi relatif besar karena umumnya proyek-proyek yang ada diwilayah Banten dikerjakan oleh kalangan jawara. Oleh karena itu, tidak heran bila pada awalnya kalangan jawara tidak begitu mendukung rencana pemisahan Banten dari Jawa Barat. Dengan status Banten yang menjadi Provinsi, belum tentu dapat menjamin apakah kelompok jawara memperoleh keuntungan yang sama seperti sebelumnya.

Salah satu cara untuk menjamin eksistensi dominasi kelompok jawara dalam sektor ekonomi, maka penguasaan politik dan pemerintahanlah yang harus dikuasai. Dalam konteks ini dapat dipahami bila Tokoh Jawara mencalonkan Rt. Atut dalam Pilakada periode 2001 – 2011, dan Pilkada 2006 – 2011. Dengan penguasaan politik dan pemerintahan inilah, kelompok jawara dapat dengan leluasa menguasai perekonomian di Banten.222

Dalam aspek politik dan lembaga pemerintahan di Provinsi Banten, para kelompok jawarapun memiliki pengaruh yang kuat. Adanya pengaruh kalangan jawara terhadap

222 Faktor kekuasaan sendiri inilah baik dalam bidang, politik dan

ekonomi yang menjadikan komunitas jawara mewujudkan keinginannya , termasuk dengan kekuatan sekalipun. Lihat Roderick Martin, Sosiologi Kekuasaan (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), 70-71.

Page 161: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

161

pemerintahan daerah Provinsi Banten bukan hal yang rahasia, tetapi sudah menjadi pembicaraan umum. Jika melihat peta perpolitikan di Banten pada masa era reformasi ini, seakan mustahil seseorang dapat menduduki suatu jabatan politis dan strategis di struktur pemerintahan lokal tanpa adanya persetujuan dari sang God Father.

Berdasarkan dominasi pengaruh dan peranan jawara terhadap politik dan kekuasaan di Banten. Maka muncullah istilah dikalangan masyarakat Banten, bahwa Tokoh Jawaralah, yang sebenarnya menjadi penguasa tertinggi di Banten. Tidak mengherankan jika kalangan masyarakat Banten menyebut tokoh jawara ini sebagai Gubernur Jenderal. Sebutan ini merupakan sindiran dari kalangan masyarakat Banten, istilah Gubernur Jenderal sendiri adalah sebutan untuk pengusa tertinggi pada masa Kolonial Belanda. Jadi dengan kata lain, kekuasaan di Banten bukan di pegang oleh seorang Gubernur, melainkan dipegang oleh tokoh jawara itu sendiri.

Sehubungan dengan hal ini, jika disamakan antara organisasi Mafia di Italia ataupun di Amerika dan kasus jawara di Banten. Ternyata kekuasaan kelompok jawara ini lebih besar di bandingkan dengan Mafia. Jika dilihat dari aspek kekuasaan antara Pemerintah lokal dengan Mafia, biasanya pengaruh dan kekuasaan tersebut setara atau sebanding. Lain halnya dengan Mafia, untuk kasus di Banten ternyata kekuasaan jawara ini di atas lebih tinggi dari pemerintah lokal. Letizia Paoli menempatkan struktur Mafioso-Mafiso di Italia, U.S Amerika, dan di negara Eropa lainya memiliki kedudukan setidaknya sepadan dengan pemerintah, bahkan ada yang berada dibawah pemerintah.223 Di antara bentuk pengaruh atau intervensi jawara

223 Organisasi Mafia sendiri lahir pada abad ke 19 M sebelum jatuhnya

perang dunia pertama sekitar tahun 1838. Mafia sendiri organisasi kejahatan yang lahir di Italia tepatnya di Pulau Sisilia, jaringan organisasi ini bertumpu pada jaringan ikatan emosional kekeluargaan, oleh karena itu tidak heran jika organisasi kejahatan ini mampu berkembang dan meluaskan jaringannya, tidak hanya di Itali, bahkan sampai ke U.S Amerika, Amerika Latin, Rusia, dan negara Eropa Lainnya. Untuk saat ini terdapat dua kelompok keluarga Mafia yang memiliki dominasi kekuasan dan ditakuti yakni, kelompok Mafioso

Page 162: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

162

dalam pemerintahan Provinsi Banten, paling tidak dapat dilihat dari beberapa aspek yaitu antara lain, dalam penentuan elit-elit birokrasi beserta jajarannya. Selain itu, intervensi lainnya adalah dalam membuat kebijakan-kebijakan yang menyangkut perekonomian.

Melalui intervensi inilah pada akhirnya kelompok jawara mampu menguasai jaringan birokrasi di Banten sekaligus mengendalikan kebijakan sesuai dengan kepentingan mereka. Adanya intervensi dan pengaruh jawara dalam aspek pemerintahan lokal di Baten, tentu saja tidak lain adalah demi mendapatkan monopoli dan mengamankan proyek-proyek yang dikerjakan oleh kelompok jawara. Dengan menempatkan Rt. Atut Chosiyah sebagai penguasa Banten dan dengan menempatkan para anggota jawara dijajaran birokrasi, maka kepentingan ekonomi jawara akan berjalan mulus tanpa ada hambatan.

Dominasi Jawara Dalam Aspek Ekonomi

Pada masa era reformasi keterlibatan jawara dalam aspek perekonomian, atau dunia bisnis di Banten sebenarnya dapat dilihat dari kronologi pada masa Orde Baru. Keterlibatan jawara sendiri dalam dunia bisnis di Banten, sebenarnya dapat dipahami dari motto PPPSBBI itu sendiri. Motto pendekar itu sendiri “Bela Diri, Bela Bangsa, dan Bela Negara”. Salah satu aplikasi dari “ Bela Diri” sendiri adalah, dapat menghidupi diri sendiri dan keluarganya. Untuk menghidupi diri sendiri dan keluarganya tersebut, salah satunya adalah terjun dalam dunia usaha.

Dalam kaitan ini salah seorang nara sumber mengatakan,

“hal pertama yang harus dilakukan oleh para pendekar adalah pertama kali, harus membela diri yang dimaksud dengan Bela Diri dalam motto kami, adalah menghidupi diri sendiri dahulu, bagaimana bisa Bela Negara, Bela Bangsa, kalau urusan perut saja masih kosong, oleh karena itu pertama kali

Sicilia Costa Nostra dan Mafioso Sicilia Calabrian ‘Ndrangheta. Lihat Letizia Paoli, Mafia Brotherhoods, Organized Crime..., 28, 32-33.

Page 163: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

163

kita harus mendahulukan urusan ekonomi kita dahulu, baru selanjutnya dapat membela negara dan bangsa”224.

Keterangan diatas dapat mencerminkan bahwa pemikiran pragmatis para jawara, mendorong untuk mendominasi perekonomian di Banten. Tidak heran jika kedekatan para jawara dengan pemerintahan di Banten, salah satu motif tujuannya adalah untuk memperoleh proyek-proyek pembangunan di Banten.225 Bahkan lebih dari itu pada era reformasi ini, kelompok jawara telah berhasil menempatkan agen-agennya di pemerintahan lokal. Ketika wilayah politik dan kekuasaan secara formal telah berhasil dikuasai oleh para jawara, maka kepentingan ekonomi para kelompok jawara mendapatkan jaminan. Pada era reformasi ini, dengan naiknya Rt. Atut Chosiyah (anak dari Tokoh Jawara) menjadi Gubernur Banten, usaha bisnis kelompok jawara mengalami perkembangan pesat.

Para kalangan jawara yang terjun ke dunia bisnis ini umumnya bergerak dalam bidang kontraktor sebagai pemborong proyek jalan, pasar, gedung sekolah, dan sarana irigrasi di Provinsi Banten. Perkembangan jawara dalam dominasi perekonomian pada masa era reformasi ini, masih bertumpu kepada peranan H. Chassan sebagai tokoh jawara itu sendiri. Di mulai pada masa Orde Baru kelompok jawara telah mengalami lompatan besar dalam dunia bisnis. Lain halnya dengan para Mafia di Italia, bisnis yang dijalankan para kalangan jawara ini bukanlah bisnis haram dengan memperdagangkan narkotika ataupun sejenisnya.226 Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa bisnis

224 Wawancara dengan Kang Mamed, Tokoh jawara dan pengurus DPP

PPPSBBI, Serang, Desember, 2010. 225 Sikap politik yang demkian mengarah pada sikap pola prilaku politik

yang pragmatis, ciri yang demikian adalah kelompok tersebut mau berintegrasi dengan penguasa dan sampai masuk kedalam jajaran penguasa. Lihat Thaba dalam Haedar Nashir, Perilaku Politik Elit Muhammadiyah (Yogyakarta : Terawang, 2000), 29.

226Bisnis yang dijalankan oleh para Mafia ini, merupakan bisnis yang berjalan secara illegal, baik narkotika, menjual senjata, dan melakukan pembunuhan jika dianggap menghalangi bisnisnya, salah satu tokoh Mafia Italia legendaris yang pernah berkuasa di U.S Amerika adalah Al Capone, ia mendapatkan fasilitas mewah ketika berada dipenjara dan dapat mengendalikan

Page 164: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

164

usaha yang dijalankan oleh para jawara ini bergerak di bidang konstruksi, pariwisata, dan pariwisata.

Tapi permasalahnya disini, kalangan jawara yang terjun dalam bisnis tersebut ternyata dalam upaya mendapatkan proyek dari Pemprov Banten cenderung melakukan tindak pemaksaan dan intimidasi. Program pembangunan pemerintah daerah tidak akan berjalan efektif jika tidak mengikutsertakan para kalangan jawara. Kekuasaan para jawara cenderung melebihi kekuasaan pemerintah daerah. Bahkan lebih dari itu, terlibatnya kalangan jawara tidak terbatas pada hal-hal teknis, namun kalangan jawara juga turut serta dalam menentukan kebijakan-kebijakan pemerintah. Keterlibatan para jawara ini biasanya pada perioritas-perioritas alokasi anggaran pembangunan proyek. Permintaan kelompok jawara ini sulit untuk ditolak, jika permintaan tersebut ditolak maka dampak negatif konsekuensinya ancaman keselamatan, intimidasi akan berakibat fatal. Kelompok jawara ini tidak saja meminta hak untuk mengelola proyek yang dikontrakkan ke swasta, namun juga meminta agar alokasi-alokasi proyek ditempatkan pada lokasi tertentu.227

Bagi pemerintahan daerah keputusan untuk mengalokasikan proyek yang sesuai dengan keinginan jawara merupakan suatu pilihan yang pragmatis, walaupun bertentangan dengan menejemen modern. Intervensi dan pola kepemimpinan kelompok jawara mau tidak mau harus diterima sebagai bagian dari proses transisi tata pemerintahan. Walaupun dalam proses tersebut terdapat tekanan-tekanan dan gaya koersif, yang merupakan bagian yang menyatu dalam kepemimpinan jawara merupakan konsekuensi dari transisi itu sendiri. Bisnis yang dijalankan oleh para jawara sendiri lekat dengan unsur-unsur kekerasan, demi memperoleh proyek dari pemerintah. Golok merupakan senjata ampuh dalam bersaing bisnis dikalangan jawara, dan cara yang efektif untuk memenangkan proyek.

bisnis dan organisasinya walaupun berada dipenjara. Untuk lebih jelas lihat, Letizia Paoli, Mafia Brotherhoods, Organized Crime..., 4-5.

227 Wawancara dengan H. Faizal Rahmat, Pegawai Pemerintahan Provinsi Banten,Tangerang, Agustus 2010.

Page 165: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

165

Pemerintahan di Banten pada era reformasi ini, dapat dikatakan sebagai alat untuk meraih tujuan dikalangan jawara. Rt. Atut Chosiyah sendiri merupakan agen jawara yang berhasil menduduki jabatan Gubernut Banten, pada pilkada tahun 2006. Adanya kekuatan informal yang mengendalikan Gubernur, dalam hal ini adalah para kalangan jawara memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam mengendalikan pemerintahan Provinsi, terutama dalam bidang ekonomi. Kelompok jawara tidak hanya memonopoli hampir seluruh proyek pemerintah daerah, tetapi juga mereka menekan pemerintahan provinsi agar mengakomodasi kepentingan kelompok jawara.

Setiap proyek yang di adakan oleh pihak pemerintahan Banten, kerap dikerjakan oleh perusahaan milik H. Chassan tokoh jawara. Di mulai pembangunan proyek gedung-gedung pembangunan pusat pemerintahan provinsi Banten di daerah Pallima, gedung Depag, gedung Polda, proyek pembangunan rehabilitasi gedung serba guna yang dialihfungsikan menjadi gedung DPRD Banten, kesemuanya itu dilaksanakan oleh PT. Sinar Ciomas Putra, perusahaan yang dimiliki oleh H. Chassan. Selain itu, proyek-proyek di Pemprov Banten yang dilaksanakan oleh H. Chasan adalah pembelian kapal bekas, pembelian obat untuk keluarga miskin yang berubah menjadi mobil dan gudang. Kasus yang tidak kalah seru adalah, dialihkannya dana anggaran pembuatan jalan di wilayah provinsi Banten, dialihkan untuk menanggulangi pembelian tanah di Carita, dan pembangunan pusat pemerintahan.228

228 Praktek-praktek bisnis kecurangan dan penyelewengan dana yang

dijalankan kelompok jawara dalam mengelola proyek anggaran, sama sekali tidak ada tindakan yang konkrit dilakukan oleh pihak pemerintahan Provinsi. Padahal telah terlihat jelas disana, ketika dana yang seharusnya diperuntukan untuk membuat jalan di daerah Banten dan sekitarnya, di alokasikan untuk membeli lahan di Carita. Sehubungan dengan hal tersebut nara sumber mengatakan bahwa, lembaga Kepolisian Daerah, Kejaksaan Tinggi dan Kehakiman Daerah, merupakan lembaga yang telah dikuasai oleh kelompok jawara. Jadi tidak heran jika para elit-elit jawara kebal dari hukum. Wawancara dengan H. Faizal Rahmat, Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Provinsi Banten, Tangerang, Agustus 2010. Lihat pula, Surat Kabar Tempo, DPRD Serang Sesalkan Ulah Pendekar dalam Pembebasan Lahan, 7 Juli, 2003.

Page 166: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

166

Dalam hal dominasi perekonomian di Banten, kalangan jawara benar-benar menguasai proyek infrastuktur di Banten. Permasalahan fatalnya adalah, dalam melaksanakan proyek tersebut hasilnya berada di bawah standar. Bahkan bukan hanya itu saja, proyek yang mereka dapatkan ternyata tidak mereka kerjakan sendiri, tetapi disubkontrakan lagi ke perusahaan lain. Hal inilah yang menjadi kasus penyelewengan, dalam peraturan pemerintah proyek perusahan disubkontrakan ke perusahaan lain, merupakan suatu pelanggaran dan penyelewengan.

Di kalangan masyarakat Banten bukan rahasia umum lagi, bahwa proyek-proyek yang dilaksanakan oleh para jawara kerap terjadi kasus praktek premanisme proyek. Memang pemerintah provinsi biasanya melakukan tender kepada perusahaan-perusahaan secara umum, tetapi siapa yang akan menjadi pemenang telah ditentukan terlebih dahulu. Bahkan menurut nara sumber lain, proyek-proyek yang ada di Pemprov Banten semuanya berada di tangan tokoh jawara yakni H. Chassan atas nama organisasi KADIN atau Gapensi, setelah itu ia membagi-bagikan kepada perusahaan yang dia inginkan.229 Biasanya perusahan-perusahaan yang dilibatkan, atau yang dibagi-bagikan proyek adalah, perusahan jawara (anak buah H. Chassan) yang belum memiliki akses untuk mendapatkan proyek secara langsung.

Praktek Premanisme Proyek

Seperti telah dikemukakan secara singkat diatas, bahwa kasus premanisme proyek berakar pada praktek monopoli pelaksanaan tender proyek-proyek bangunan pemerintahan daerah Provinsi, yang di biayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Secara konseptual, berdasarkan Keppres No. 18/2000, tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang Jasa Instansi Pemerintah, antara lain disebutkan bahwa pengadaaan barang, jasa pemborongan dan jasa lainnya dilaksanakan melalui :

229 Wawancara dengan H. Faizal Rahmat, Pegawai Pemerintahan Provinsi

Banten,Tangerang, Agustus 2010.

Page 167: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

167

1. Pelelangan, yaitu serangkaian kegiatan untuk menyediakan kebutuhan barang/jasa dengan cara menciptakan persaingan yang sehat di antara penyedia barang/jasa yang setara dan memenuhi syarat, berdasarkan metode dan tata cara tertentu yang telah ditetapkan dan diikuti oleh pihak-pihak yang terkait secara taat asas sehingga tersedia penyedia jasa terbaik.

2. Pemilihan langsung, yaitu jika cara pelelangan sullit dilaksanakan atau tidak menjamin pencapaian sasaran. Pemilihan langsung dilaksanakan dengan cara membandingkan penawaran dari beberapa penyedia barang jasa yang memenuhi syarat melalui teknis dan harga, serta dilakukan negosiasi secara bersaing , baik dilakukan untuk teknis dan harga, sehingga memperoleh harga yang wajar dan secara teknis, hal tersebut dapat dipertanggungjawabkan.

Jika mengikuti dari ketentuan diatas, hampir seluruh pelaksanaan proyek-proyek pembangunan pemerintah daerah Provinsi Banten, dilakukan melalui mekanisme lelang tender. Namun sebagian besar tender yang telah dilakukan tersebut lebih bersifat formalitas, dalam rangka memenuhi prosedur administratif, hal tersebut di amini oleh YE salah seorang pengusaha Banten.230 Pada hakekatnya, siapa pemenang tender telah ditentukan sebelum proses tender itu sendiri dilaksanakan. Pada proses seperti inilah, Tokoh Jawara memainkan peran penting dalam mempengaruhi pengambil kebijakan. Strategi yang diterapkan oleh Tokoh Jawara tersebut dalam hal ini cukup variatif, antara lain lobi-lobi informal dengan pejabat pemerintahan daerah, amplop uang suap, bahkan sampai dengan praktek intimidasi fisik. Kepentingan yang diperjuangkan oleh kelompok jawara sangatlah jelas, yakni memenangkan tender proyek-proyek pemerintahan daerah, untuk tujuan pribadi maupun kelompok.

230 Wawancara dengan YS kontraktor asal Balaraja. Nara sumber hanya

bersedia disebutkan inisialnya, dengan alasan keamanan dirinya. Tanara, September 2010.

Page 168: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

168

Sebenarnya dugaan kasus premanisme proyek itu, pernah muncul kepermukaan pada tahun 2003, ketika salah satu anggota DPRD dari fraksi Amanat Bintang Keadilan (ABK), menyampaikan kata akhir fraksi dalam menyikapi laporan nota keuangan Gubernur berkaitan dengan perubahan APBD tahun 2003. Antara lain menyampaikan adanya kasus premanisasi proyek dalam lelang tender di pemerintahan. Mendengar berita yang demikian, Tokoh Jawara bersama kelompoknya berupaya melakukan counter opinion atas praktik premanisme proyek. Salah satu surat kabar daerah terkemuka misalnya, memuat pemberitaan dengan tajuk “ Tokoh Jawara bantah ada premanisme proyek”. Dalam pemberitaan ini, Tokoh Jawara menyebutkan bahwa tudingan tentang adanya premanisme proyek seperti yang disampaikan oleh fraksi ABK hanya akan menimbulkan fitnah. Bahkan pernyataan fraksi ABK tersebut cenderung akan menghancurkan Banten, dan telah menyimpang dari kultur Banten yang agamis.231 Lebih jauh, pernyataan akan adanya premanisme proyek sama artinya dengan menuding seluruh pengusaha di Banten sebagai pelaku preman proyek.

Permasalahan konflik tentang premanisme proyek menghangat, dan melebar ketika Tokoh Jawara, dalam salah satu pernyataan di media massa menyebutkan bahwa anggota DPRD Provinsi Banten bagaikan maling teriak maling.232Dalam perkembangan selanjutnya, polemik tentang kasus premanisme proyek cenderung mereda seiring perjalanan waktu. Kasus premanisme proyek di Banten, secara eksplisit mengindikasikan bahwa pada tingkat realitas, proses pengambilan keputusan dan implementasi kebijakan daerah, telah diwarnai dengan konspirasi dan tawar menawar kepentingan di antara formal leader elit penyelenggara pemerintahan, dan informal leader kelompok jawara.233

Penguasaan Tokoh Jawara dalam proses bisnis di Banten tersebut selain ditunjang oleh kekuasaan politik yang dimiliki,

231 Surat Kabar Fajar Banten, 27 Agustus, 2003. 232 Surat Kabar Fajar Banten, 03 September, 2003. 233 Syarif Hidayat, Shadow State... ? Bisnis dan politik di Provinsi

Banten..., 301-302.

Page 169: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

169

juga didukung karena penguasaannya di oraganisasi-organisasi yang menentukan kehidupan dunia usaha. Hal-hal yang mendukung itu antara lain, penguasaan jawara terhadap KADIN, Gapensi, dan LPJK. Dengan mengatas namanakan KADIN misalnya, mereka para kalangan jawara memperoleh penguatan pada Kepres No. 18 tahun 2000, dimana dalam peraturan tersebut dinyatakan peran KADIN sebagai mitra utama pemerintah daerah dalam dunia bisnis. Kedudukan KADIN sejatinya, tidak dimaksudkan sebagai sebuah institusi yang diberikan hak monopoli,234 tetapi sebagai penyalur atau penghubung legal antara kepentingan pemerintah dengan pengusaha daerah yang berkompeten dalam sebuah proyek. Realita kenyataan yang terjadi di Banten menunjukan hal yang sebaliknya, dimana peran KADIN demikian dominan dan amat menentukan.

Pengaruh “Tokoh Jawara” Dalam Komunitas Jawara

Kultur budaya dan tradisi masyarakat Banten yang melahirkan entitas jawara sebagai produk kultur budaya lokal, menampilkan suatu hal yang berbeda dengan daerah-daerah lainnya di Indonesia. Islam sebagai agama dan sekaligus tradisi bagi masyarakat lokal setempat, berperan besar dalam melahirkan eksistensi jawara Banten. Sebelumnya telah dibahas bahwa dalam kultur budaya jawara, rasa solidaritas dijunjung tinggi dikomunitas tersebut. Selain itu, rasa ikatan emosional dan kekeluargaan tetap dipelihara bersama, semboyan “seguru seelmu” merupakan pengaplikasian bahwa kalangan jawara Banten itu merupakan keluarga besar. Tidak heran jika budaya senioritas dalam kultur budaya jawara tetap dipertahankan, sebagai nilai tatakrama dan kesopanan yang selalu jalankan. Karena ikatan emosional kekeluargaan yang erat dikomunitas jawara, kiyai yang berperan sebagai guru jawara dianggap sebagai Abah (bapak), sebaliknya kiyaipun menganggap muridnya yakni jawara sebagai anaknya.

Perkembangan jawara Banten dalam panggung sejarah, mengalami beberapa fase masa perkembangan. Dimulai dari masa

234 Wawancara dengan M. Hadi, aktifis LSM di Banten, Serang, November 2010.

Page 170: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

170

klasik, ketika jawara hanya berperan sebagai tokoh pemimpin tradisional, sampai kepada masa modern dimana terjadi mobilitas vertikal di kalangan jawara Banten. Biasanya dalam suatu komunitas kelompok maupun pada suatu masa tertentu, terdapat sosok pembawa perubahan agen of change. Sosok agen of change inilah, yang memiliki pengaruh dan peranan besar dalam membawa kelompok tersebut menuju masa keemasaan. Sama halnya dengan kelompok komunitas jawara Banten, terdapat sosok agen of change yang memiliki peran dan pengaruh yang signifikan, dalam pemberdayaan jawara Banten menuju mobilitas vertikal. Sosok agen of change tersebut adalah, tokoh ketua jawara Banten H. Tb. Chasan Sohib yang memiliki pengaruh signifikan dalam kalangan komunitas jawara Banten.

H. Tubagus Chasan Sohib / The Godfather

Tidak berlebihan rasanya jika menempatkan sosok H. Tb. Chasan Sohib sebagai Godfathernya jawara Banten. Terkesan agak sedikit berlebihan jika dibandingkan dengan organisasi Mafia Italia, tapi realitasnya organisasi jawara di Banten menunjukan hal seperti itu. Jika di Italia kita mengenal Godfather sebagai pemimpin tertinggi organisasi kejahatan Mafia, maka di Bantenpun kita mengenal Godfathernya jawara, sebagai organisasi yang dapat disetarakan dengan Mafia.235 Sosok H. Chasan yang fenomenal, telah berhasil menyatukan dan mengorganisir jawara-jawara Banten dalam wadah keorganisasian. Dengan kemampuannya dalam beradu ilmu kesaktian, ia mampu menundukan satu persatu kalangan jawara, tak heran jika ia disebut dengan jawarana jawara. Oleh karena itu, ia merupakan tokoh penting dan menjadi ketua pemimpin dari kalangan jawara Banten.

Tokoh H. Chasan dianggapi sebagai tokoh ketua pemimpin jawara yang sangat ideal. Memiliki latar belakang dari pesantren, memiliki keberanian dan kekuatan yang menonjol dikalangan teman-temannya dan belajar menjadi pengusaha sejak muda. Ia memiliki banyak posisi penting di wilayah Banten, sebagai

235 Untuk lebih jelas lihat, Letizia Paoli, Mafia Brotherhoods, Organized Crime, Italian Style, ( New York : Oxford University Press, 2003).

Page 171: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

171

pendiri dan Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Banten, pendiri dan Ketua SATKAR Ulama Indonesia, ketua (PPPSBBI) Persatuan Padepokan Persilatan Seni dan Budaya Banten Indosia, pendiri Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, dan banyak posisi penting dalam organisasi lainya. Kontribusinya dalam membangun dan mengembangkan kalangan jawara Banten sangat besar. H. Chasan Sohib merupakan tokoh yang berpengaruh sampai saat ini dalam kelompok jawara, dan pemerintahan Provinsi Banten. Standarisasi ukuran pengaruh ketokohannya, dapat dilihat dengan menduduki berbagai jabatan ketua Organisasi dan politik, termasuk PPPSBBI sebagai wadah komunitas jawara Banten. Bahkan H. Chasan Sohib sendiri saat ini disebut dengan Gubernur Jendral, sebagai julukan titel penguasa tertinggi karena kemampuannya dalam mengendalikan kekuasaan politik, dan ekonomi di wilayah Banten.

Gambar 3.6, H. Tb Chassan Sohib

H. Tubagus Chasan Sohib lahir di Desa Kadu Berem, Kecamatan Pabuaran Ciomas, Kabupaten Serang, Kresidenan Banten tahun 1930. H. Chasan terlahir dari pasangan H. Tubagus Sohib dengan Nyi Ratu Rofiah, lingkungan keluarganya termasuk kedalam lingkungan yang religius. Sulung dari ke lima saudara ini, H. Tubagus Basuni, H. Tubagus Syatibi, Nyi Ratu Ojah

Page 172: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

172

Faojah, dan H. Entus Sibli,236 merupakan anak yang paling disayang dan diandalkan. Memang dalam kultur tradisi budaya masyarakat Banten, anak pertama atau sulung menjadi tumpuan keluarga. Terlebih lagi jika anak tersebut seorang laki-laki, adat istiadat yang kental memposisikan seorang anak laki-laki dalam status sosial diatas lebih tinggi dari pada anak perempuan.237

Sedangkan perjalan pendidikan yang dialaminya antara lain, pada tahun 1938 – 1943, ia sekolah jaman Belanda Ver Volk.238 Sifat dan watak keras khas jawara yang dimiliki oleh H.Chasan memang telah muncul sejak ia masih kecil. Chasan kecil sering berrkelahi dengan anak seusianya, karena keberaniannya ia termasuk anak yang cukup disegani pada zamannya. Pada tahun 1943 – 1945, H. Chasan melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Pani’is Kecamatan Jiput untuk menimba ilmu agama, asuhan Kiyai Haji Cholil. Setelah selesai menimba ilmu di pesantren Pani’is, pada tahun 1945 – 1947 H. Chasan melanjutkan pendidikannya di Pesantren Cadasari pimpinan KH. Icot.239 Di kedua pesantren inilah H. Chasan digembleng baik secara mental maupun fisik kesaktian magis, dan pengetahuan tentang agama, Tafsir, Nahwu-Sharaf, dan Fiqih. Tidak heran jika pesantren-pesantren salafi yang berkembang di Banten, masih kental dengan ilmu-ilmu magis dan kesaktian. Terlebih lagi jika pada saat itu Banten berada dalam masa perjuangan, oleh karena itu Kiyai dan santri sebagai martir perjuangan dalam melawan Belanda harus dibekali dengan ilmu kesaktian.

Pamor H. Chasan mulai muncul kepermukan pada saat ia terjun menjadi anggota Hizbullah pimpinan KH. Abdullah dalam melawan Belanda. Pada saat itu H. Chasan merupakan anggota

236 Data ini ditulis bukan hasil wawancara, karena beliau belum bersedia untuk di wawancarai lantaran kondisi kesehatan beliau yang saat ini tidak bisa diganggu. Data ini diambil dari dokumen-dokumen yang berkaitan dengan beliau, dan wawancara dengan orang-orang terdekat yang lebih mengenal beliau.

237 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta : Djambatan, cet,25, 2004), 320.

238 Khatib Mansur, Profil Haji Tubagus Abah..., 80. 239 Wawancara dengan sesepuh Kiyai Banten, nara sumber tidak ingin

diketahui identitas namanya, November 2010.

Page 173: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

173

termuda dalam laskar Hizbullah, yang ditempatkan di wialayah Batu Ceper, Sepatan, Cimone, dan wilayah Lengkong perbatasan Bogor.240 Selain itu, pada tahun 1948 -1949 agresi militer Belanda masuk dan menguasai wilayah indonesia termasuk Banten. Chasan muda ikut bergerilya dan memimpin front terdepan di wilayah Cikulur, Ciomas, Padarincang, Sayar dan Gunung Sari. Meskipun situasi perpolitikan di Indonesia saat itu sedang kacau, Chasan muda tetap tidak meninggalkan pendidikannya di Pesantren. Selain itu, pada dekade 1950an pula ia sempat berkelana di daerah Jakarta, Bogor, dan Banten. Dalam berkelana inilah, ia mulai melebarkan pengaruhnya sebagai jawara Banten. Sekitar tahun 1955 – 1957, ia melanjutkan pendidikannya di Pesantren Sempur Bogor selama kurang lebih dua tahun.241

Persentuhan H. Chasan dalam dunia bisnis, sebenarnya di awali oleh orang tua H. Chasan yakni H. Tubagus Sohib, yang dikenal sebagai pengusaha hasil bumi yang cukup sukses. Sepulangnya dari Pesantren, ia membantu ayahnya dalam mengurusi bisnis keluarga. Berawal dari penggilingan padi di Ciomas, ia merambah menjadi pemborong padi dan cengkeh dari Lampung. Salah satu keberhasilan H. Chasan menjadi seorang pengusaha, karena ia merupakan seorang jawara yang cukup disegani. Pengaruh kejawaran dan jaringannya, yang ia bangun pada masa berkelana membantunya dalam meraih kesuksesan bisnis. Karir bisnisnya mulai maju pada awal tahun 1967an, saat mendapatkan proyek memfasilitasi bahan pangan beras dan jagung dari Lampung, guna kepentingan logistik Kodam VI Siliwangi.242

H. Chasan merupakan pelopor terjunnya jawara kedalam aleansi bisnis dalam skala besar, yang dimulai pada awal Orde Baru yakni permulaan Pelita I. Proyek yang ia tangani antara lain membangun jalan diwilayah Banten, Serang, Malingping dan Ciomas. Pada awal mulanya hanya ada seorang tokoh jawara

240 Khatib Mansur, Profil Haji Tubagus Abah..., 81. 241 Wawancara dengan sesepuh Kiyai Banten, nara sumber tidak ingin

diketahui identitas namanya, November 2010. 242 Khatib Mansur, Profil Haji Tubagus Abah..., 89.

Page 174: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

174

yang menjadi pengusaha, yakni H. Kaking dan usahanya tersebut hanya sebatas skala menengah, yakni hanya berdagang bahan pangan. Kemudian setelah itu disusul oleh H. Chassan, lain halnya dengan H. Kaking, lompatan bisnis luar biasa yang dialami oleh H. Chasan. Di mulai dari pengusaha penggilingan padi di Ciomas, kemudian menjadi pemborong kontraktor, dan lain sebagainya. Karena kedekatan H. Chasan dengan pemerintah pusat pada zaman Orde Baru, Dimulai pada rezim inilah bisnis para jawara memonopoli fasilitas proyek-proyek pemerintah di daerah Banten.

Perlu diingat bahwa tokoh jawara H. Chasanlah yang memfasilitasi kalangan jawara Banten dalam meraih proyek-proyek tender di Banten.243 Oleh karena itu, langkah awal H. Chasan sebagai seorang bisnisman, ternyata diikuti oleh jawara-jawara lainnya. Banyak kader jawara yang berterima kasih kepada beliau, yang telah mendidik mereka menjadi pengusaha. Salah satu kontribusi terbesar H. Chasan adalah, merubah image dan kehidupan sosial jawara yang dahulunya dikenal tidak memiliki penghasilan, dan hanya berkuasa atas lingkungan pedesaan. H. Chasan telah berhasil membawa kalangan jawara Banten dalam meraih kesejahteraan, dan mengalami mobilitas vertikal dengan mendominasi penguasaan sumber ekonomi dan politik pemerintahan. Posisi dan peranan H. Chassan sebagai tokoh jawara memang sulit untuk ditandingi, oleh karena itu beliau merupakan tokoh yang berperan sentral dalam kelompok jawara yang dikenal sebagai The Godfather.

243 Telah dibahas sebelumnya pada bab sebelumnya bahwa H. Chasan

telah berhasil menyatukan para jawara dalam satu wadah organisasi PPPSSBBI pada masa Orde Baru, dengan organisasi tersebutlah beliau mampu memainkan peranannya dengan pemerintah. Karena kedekatan hubungannya dengan pemerintah baik pada masa Orde baru maupun reformasi, H. Chasan memiliki akses masuk ke sektor ekonomi dimana proyek-proyek pemerintah masuk dan ditangani oleh perusahaannya. Sebagai seorang jawara, H. Chasan memiliki rasa solidaritas yang tinggi terhadap rekan-rekan, anak buahnya (kelompok jawara) yang beliau anggap sebagai keluarga sendiri, oleh karena itu beliau memfasilitasi para jawara dalam meraih proyek-proyek ekonomi di Banten. untuk lebih jelas lihat, Wawancara dengan H. Faizal Rahmat, Pegawai Pemerintahan Provinsi Banten,Tangerang, Agustus 2010.

Page 175: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

175

BAB VI

PENUTUP

Bab ini akan menguraikan tentang beberapa kesimpulan, yang

diperoleh dan berkaitan dengan riset penelitian tentang perkembangan jawara Banten, pada bab – bab yang telah dibahas sebelumnya. Kesimpulan dan saran merupakan hasil akhir dari riset penelitian.

Kesimpulan

Dari pembahasan tentang perkembangan jawara dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat Banten, pada masa Orde Baru – Era Reformasi. Sebagaimana telah diuraikan dalam bab-bab sebelumnya, maka terdapat beberapa point yang dapat disimpulkan antara lain :

Pertama, jawara Banten lahir dari hasil suatu rekonstruksi kultur budaya lokal dengan Islam. Dalam hal ini kiyai memiliki peran dalam melahirkan jawara Banten, dimana jawara merupakan murid kiyai yang dibekali ilmu magis, kesaktian dan kanuragan. Jawara Banten memiliki posisi dan peran-peran sosial dimasyarakat Banten. Peran-peran sosial yang dilakukan jawara adalah seputar kepemimpinan tradisional informal leader, antara lain : berperan sebagai Kepala Desa (jaro), penjaga keamanan, kiyai ilmu hikmah, pemain debus dan guru silat. Peranan jawara sebagai pemimpin tradisional informal leader dalam

Page 176: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

176

kehidupan masyarakat Banten, muncul pada masa akhir keruntuhan Kesultanan Banten pada abad ke 19 M, pasca dihapusnya pemerintahan Kesultanan Banten oleh Dandles. Dimana jawara turut serta bersama para kiyai memimpin masyarakat dalam pemberontakan melawan penjajahan Belanda.

Kedua. Dalam perkembangannya, peranan jawara dalam masyarakat Banten mengalami tingkat mobilitas vertikal pada aspek kehidupan sosial dan ekonomi. Peran dan posisi jawara tidak hanya meliputi sebatas jaro, guru ilmu magis, atau penjaga keamanan. Pada masa Orde Baru dan Reformasi banyak jawara yang beralih profesi menjadi, pegusaha, pejabat dan politikus. Perkembangan jawara yang dahulu berperan sebatas peranan tradisional informal leader berubah menjadi lebih modern, tanpa harus melupakan identitas mereka. Adapun identitas kehidupan dan kultur budaya jawara lebih dikenal dengan sebagai subculture of violence, budaya kekerasan telah menjadi kultur para jawara Banten. Kekerasan dipandang sebagai alat untuk meraih posisi atau status sosial lebih tinggi, sebagai seorang jawara yang disegani dalam lingkungan komunitas mereka.

Ketiga, adapun pola hubungan relasi yang terjalin antara ulama dengan kelompok jawara, pada masa awal jawara merupakan murid dan lahir dari kiyai. Hubungan emosional antara murid dengan guru yang melandasi jawara dengan ulama sulit untuk dipisahkan. Keberadaan jawara Banten tidak lepas dari kiyai, karena ilmu-ilmu magis yang diperoleh jawara bersumber dari kiyai. Oleh karena itu, pada masa penjajahan jawara dikenal sebagai tentara kiyai, para kiyailah yang memimpin lembaga penguasaan politik di Banten. Dalam perkembangan selanjutnya pada masa Orde Baru dan era reformasi, dalam aspek penguasaan politik terjadi sebuah perubahan. Jika dahulu hubungan jawara dengan kiyai berfungsi sebagai tentara kiyai, maka pada masa Orde Baru dan era reformasi para kiyai dikempiskan dan jawara dimunculkan sebagai pemimpin politik.

Keempat, dalam aspek kehidupan sosial, ekonomi dan politik di Banten, kalangan jawara mulai diberdayakan pada masa Orde Baru. Kontribusi Orde Baru terhadap eksistensi jawara, dianggap memiliki peranan signifikan dalam melahirkan jawara masa kini, yang

Page 177: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

177

mendominasi sektor ekonomi dan penguasaan politik di Banten. Oleh karena itu, rezim Orde Baru dianggap sebagai masa pemberdayaan jawara. Hal ini dikarenakan, pada inilah jawara mulai membangun konstruk kekuatan yang terorganisir. Selain itu, rezim Orde Baru memberikan fasilitas-fasilitas kepada jawara, baik dalam hal aspek ekonomi dan kekuasaan politik. Pada masa ini pula jawara diberikan kemudahan dalam memperoleh akses jaringan networking ke pemerintahan pusat, pengusaha dan penguasa.

Kelima, relasi hubungan yang terjalin antara jawara dengan pihak pemerintahan lokal, pada masa Orde Baru dan era reformasi terjalin sangat harmonis. Dimana pada masa Orde Baru kelompok jawara berperan sebagai rekanan pemerintah lokal dan pusat. Pada masa ini jawara dianggap sebagai anak emas Orde Baru, dan hubungan yang terjalin menguntungkan kedua belah pihak. Kelompok jawara merasa diuntungkan oleh pihak Orde Baru, dengan mendapatkan fasilitas-fasilitas ekonomi melalui proyek-proyek pemerintah yang dilimpahkan kepada kalangan jawara. Selain itu, kelompok jawarapun diberikan akses kemudahan dalam sektor kekuasaan politik. Sebaliknya, pemerintahan Orde Baru merasa diuntungkan karena telah memanfaatkan kelompok jawara dalam memobilisasi masa dalam peraihan suara Golkar, dan menstabilitaskan keamanan politik. Pada era reformasi, hubungan yang terjalin antara kelompok jawara dengan pemerintahan lokal, bukan saja romantis melainkan pada masa ini kelompok jawara telah menguasai pemerinthan lokal. Dengan naiknya Rt. Atut di kursi Gubernur, menandakan bahwa kelompok jawara telah menguasai sektor politik di Banten.

Keenam, adapun tokoh yang berpengaruh dan berperan dalam kalangan jawara adalah, H. Tb. Chasan Sohib. Salah satu kontribusi terbesar H. Chasan adalah, mengorganisir kelompok jawara dalam suatu wadah organisasi PPPSBBI dan memberdayakannya. Ia merupakan tokoh yang disegani oleh kalangan jawara, lebih dari itu ia merupakan ketua jawara Banten. Oleh karena itu, tidak heran jika beliau disebut dengan Godfather ketuanya para jawara Banten, segala gerak-gerik kelompok jawara dapat dikendalikan olehnya. Peranan H, Chasan dalam memberdayakan kelompok jawara dalam aspek dominasi politik dan

Page 178: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

178

ekonomi sangat signifikan. H. Chasan Sohib sendiri saat ini disebut dengan Gubernur Jendral, sebagai julukan titel penguasa tertinggi karena kemampuannya dalam mengendalikan kekuasaan politik, dan ekonomi di wilayah Banten.

Page 179: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

179

Glosarium

Abah : Bapak laki-laki, atau sesepuh orang yang dituakan

Baduy : Suku asli pedalaman masyarakat Banten, yang bertempat tinggal di daerah Lebak, Rangkasbitung.

BKR : Badan Keamanan Rakyat

Centeng : Penjaga keamanan, tukang pukul

Debus : Kesenian tradisional daerah Banten yang khas dengan pertunjukan-pertunjukan magis dan kekerasan, seperti halnya memakan beling, berjalan di bara api, tidak mempan di bacok dan lain sebagainya. Permainan debus ini biasanya dimainkan secara berkelompok.

Di Kadek : Di bacok dengan menggunakan golok

DPD : Dewan Pimpinan Daerah

DPR : Dewan Perwakilan Rakyat

DPRD : Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Elmu : Bahasa sunda “Ilmu“

Elmu Rawayan : Ilmu sihir aliran hitam, yang berasal dari suku Baduy

Faqih Najmuddin : Hakim Agung

Gapensi : Gabungan Pengusaha Konstruksi Nasional Indonesia

Godfather : Ketua atau pemimpin tertinggi di dalam organisasi Mafia

Page 180: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

180

Golkar : Golongan Karya

Gulkut/Gutgut : Laskar jawara yang memberontak dan pimpin oleh Tje Mamat

Hinterland : Wilayah penyangga

IAIN SMH : Institut Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin

IAIB : Institut Agama Islam Banten

Ilmu Magis : Ilmu supranatural

Izajah : Tanda kelulusan yang diberikan oleh seorang kiyai kepada muridnya.

Jalma wani rampog : Orang yang berani merampok

Jangjawokan : Mantra ilmu sihir yang digunakan sebagai sumber magis dan kesaktian, yang berasal dari kepercayaan animisme dan dinamisme masyarakat kuno Banten.

Jaro : Kepala desa

Jawara : Murid kiyai yang memiliki kemampuan bela diri silat dan memiliki kemampuan dalam mengolah kekuatan magis, supranatural. Selanjutnya menjadi salah satu entitas pemimpin tradisional dalam masyarakat Banten.

KADIN : Kamar Dagang Indonesia

Kanuragan : Ilmu tenaga dalam

Kataekan : Telah berhasil dikuasai

Katulah : Mendapatkan bencana, kecelakaan, musibah, dikarenakan telah melanggar sesuatu pantangan dari seorang guru

Khodim : Pembantu

Page 181: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

181

Kiyai : Salah satu entitas pemimpin tradisional masyarakat Banten dan gelar yang khusus diperuntungkan bagi orang menguasai ajaran agama Islam dan mengajarinya.

Klenteng : Tempat sembahyah orang Tionghoa

Kobong : Asrama atau kamar santri disebuah pesantren, kobong ini biasa digunakan di pesantren daerah-daerah Jawa Barat dan Banten

Kuwalat : Mendapatkan bencana, kecelakaan, musibah, karena telah berani melawan guru.

Mafia : Salah satu organisasi kejahatan internasional yang berasal dari Italia, dan berkembang kewilayah Amerika, Eropa dan Asia.

Mahar : Mas kawin

Murshyid : Guru dalam kelompok tarekat

MPR : Majlis Permusyawaratan Rakyat

NU : Nahdlatul Ulama

Paguron : Tempat perguruan persilatan, yang mengajarkan ilmu bela diri dan magis di daerah Banten

PAN : Partai Amanat Nasional

PDI : Partai Demokrasi Indonesia

Pendekar : Orang yang ahli dalam ilmu silat dan memiliki jiwa kepahlawanan, melawan kejahatan dan membela kebenaran

Pemprop : Pemerintahan Propinsi

Pertalekan : Aturan hukum atau janji yang harus dipatuhi oleh seorang murid dalam suatu perguruan silat

Page 182: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

182

PKB : Partai Kebangkitan Bangsa

PPP : Partai Persatuan Pembangunan

PPPSBBI : Persatuan Pendekar Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia

Putter Giling : Ilmu yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan otak dan pikiran manusia, selain itu dapat dipergunakan untuk mendapatkan kembali barang yang hilang dari pencuri.

Rajah : Jimat yang bertuliskan bahasa arab

Santri : Murid Kiyai yang mendalami agama Islam dan bermukim di pesantren

SATKAR Jawara : Satuan Karya Jawara

SATKAR Ulama : Satuan Karya Ulama

Seguru-seelmu : Satu guru satu ilmu

Sowan : Silaturrahmi, sowan disini biasanya silaturrahmi kepada seorang tokoh atau kiyai pemimpin pondok pesantren

Teluh : Salah satu ilmu hitam atau guna-guna, yang sering digunakan oleh seseorang untuk membunuh musuhnya, biasanya teluh ini berbentuk bola api yang berisikan silet, paku, beling, benda-benda tajam lainnya, dan dikirim pada waktu malam hari. Sedangkan orang yang terkena teluh biasanya perutnya akan membuncit dan bahkan meledak yang berakibat akan meninggalnya seseorang.

TKR : Tentara Keamanan Rakyat

TTKDH : Tjimande Tari Kolot Djeruk Hilir

Page 183: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

183

Ulama : Orang yang alim mengusai ajaran agama Islam dan mengajarkannya.

UNTIRTA : Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Ver Volk : Bahasa Belanda, Sekolah Rakyat setingkat dengan Sekolah Dasar pada saat ini

VOC : Vereenigde Oost Indische Compagnie, perusahaan dagang pemerintah kolonial Belanda

Wafak : Jimat yang bertuliskan bahasa Arab, dan aksara Arab Sunda, atau jawi

Wanten kawani : Memiliki keberanian

Wong : Orang

Ziyad : Salah satu ilmu magis, yang memiliki kemampuan untuk mengkontak, menghajar orang lain dari jauh

Page 184: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

184

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah, Jakarta: Logos, 1999.

Abubakar, Irfan dan Bamualim, Chaidar S (ed). Transisi Politik & Konflik Kekerasan, Meretas Jalan Perdamaian di Indonesia, Timor Timur, Filipina, dan Papua New Guinea. Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta : Jakarta, 2005.

Abrori, Ahmad. Perilaku Politik Jawara Banten Dalam Proses Politik di Banten. Tesis FISIP Universitas Indonesia, Depok 2003.

Alamsyah, Andi Rahman. Islam, Jawara dan Demokrasi, Geliat Politik Banten Pasca-Orde Baru. Jakarta : Dian Rakyat, 2010.

Al Bantani, Syekh Nawawi, Muru>hu labi>b Tafsir Nawawi. Semarang: Putra Semarang, 1992.

Ankersmit, F.R. Refleksi Tentang Sejarah, Pendapat-pendapat Modern Tentang Filsafat Sejarah. Jakarta: Gramedia, 1987.

Aritonang, Diro. Runtuhnya Rezim dari pada Soeharto, Rekaman Perjuangan Mahasiswa Indonesia 1998, Bandung : Pustaka Hidayah , 1999.

Atsushi, Ota. Change of Regim and Social Dynamic in West Java, Society, State, and the Outer World of Banten 1750-1830. Leiden Netherland : Brill, 2006.

Bachtiar, Harsja W, The Religion of Java: a Commentary, in Readings on Islam in Southeast Asia, compiled by Ahmad Ibrahim (Pasir Panjang: Institute of Southeast Asian Studies, 1985)

Bachtiar, Wardi. Sosiologi Klasik Dari Comte hingga Parson. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2006.

Page 185: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

185

Biley, A. Carol. A guide to Qualitative Field Research. Thousand Oaks, CA : Pine Forge Press, 2006.

Cavallaro, Dani. Critical and Cultural Theory, Teori Kritis dan Teori Budaya. Yogyakarta : Niagara, 2004.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren , Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai. Jakarta : LP3ES, 1985.

Djajadiningrat, Hosein. Tinjauan Kritis Tentang Sejarah Banten Sumbangan Bagi Pengenalan Sifat-sifat Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta : Djambatan, 1983.

Durkheim, Emile. Suicide A Study In Sociology. London : Routledge Classic and Kegan Paul, 2005.

Ensering, Else. Banten in Times of Revolution. Paris : Archipel, 1995.

Epstein L, Richard, Siegel, Dina, Nelen, JM (ed). Organized Crime : Culture, Markets and Policies. New York : Springer Press, 2008

Geertz, Cliford. Abangan, Santri, Priyayi Dalam Masyarakat Jawa. Jakarta : Pustaka Jaya, 1981.

Geertz, Clifford. The Interpretation of Cultures. New York : Basic Books, A Member of the Perseus Books Group, 1973.

Gellner, Ernest. Membangun Masyarakat Sipil, Prasyarat Menuju Kebebasan. Bandung : Mizan, 1995.

Gottschalk, Louis, Mengerti Sejarah. Jakarta : Universitas Indonesia, 1985.

Harriss, White Barbara. India Working; Essays on Society and Economy. Cambridge : Cambridge Univiersity Press, 2003.

Hegel, G.W.F, Filsafat Sejarah. Yogjakarta : Panta Rhei Books, 2003.

Hudaeri, Mohammad. Tasbih dan golok, Studi tentang Kedudukan, Peran dan Jaringan Kiyai dan Jawara di Banten. Laporan

Page 186: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

186

penelitian, Serang : Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten, 2002.

Humaeni, Ayatullah. The Phenomenon of Magic in Banten Society. Netherlands : Leiden University, 2009.

Husain, Abdul Fatah, Fiqhu al-‘Ibada>t. Kairo : al-Risa>lah al-Isla>miyah.

Isjwara, F. Pengantar Ilmu Politik. Bandung : Binacipta, 1980.

Jamaluddin Qosim Addimsyiq, Syeikh Muhammad, Mau’iz}atul Mu’mini>n min ih}ya>’ulu>muddi>n. Beirut: Da>runnafa>is, 1981.

Jhonson, Doyle Paul. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. (ter), M.Z. Lawang, University of South Florida. Jakarta : Gramedia Pustaka, 1998.

K.Yin, Robert. Case study research: design and methods, Thousand Oaks: Sage, 2003.

Karim, M. Rusli. Negara dan Peminggiran Islam Politik. Yogyakarta : Tiara Wacana,1999.

Karomah, Atu. Jawara dan Budaya Kekerasan Pada Masyarakat Banten. Tesis FISIP Universitas Indonesia, Depok 2002

Kartodirdjo, Sartono. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta : Pustaka Jaya, 1984.

Kartodirdjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dan Metodologi Sejarah. Jakarta : Gramedia, 1993.

Khalaf, Abdul Wahab, ‘Ilmu Us}u>lu al-fiqhu. Kairo: Da>russala>m, 1978.

Khaldun, Ibn. Muqaddimah Ibn Khaldun, terj. Ahmadie Toha. Jakarta : Pustaka Firdaus, 1986.

Page 187: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

187

Khatib, Mansur. Profil Haji Tubagus Chasan Sochib, Beserta Komentar 100 Tokoh Masyarakat Seputar Pendekar Banten. Jakarta : Pustaka Antara Utama, 2000.

Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Djambatan Cet-24, 2004.

Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta : Tiara Wacana, 2003.

Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta : Tiara Wacana, 1987.

Wee, C.J.W.L. Local Cultures and The New Asia, The States, Culture, and Capitalism in Southeast Asia. Singapore : Institute of Southeast Asia Studies, 2002.

Lubis H. Nina, Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, dan Jawara. Jakarta : LP3ES, 2003,

Makmun, Ismail. Riwayat Singkat Berdirinya Satkar Ulama Golkar, Munas I Satkar Ulama Golkar, Jakarta,1985.

Martin, Roderick. Sosiologi Kekuasaan. Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1993.

McGlynn, Frank and Artur Tuden (ed), Pendekatan Antropologi pada Perilaku Politik. Jakarta : UI Press, 2000

Michrob, Halwani dan Chudori, Mudjahid. Catatan Masa Lalu Banten. Serang : penerbit Saudara Serang 1993.

Miller,Walter B, Lower Class Culture at a Generating Milieu of Gang Delinquency, dalam Marvin E. Wolfgang (eds), Sociology of Crime and Deliquency. New York : Jhon Wiely & Sons, 1990.

MS, Basri. Metodologi Penelitian Sejarah, Pendekatan, Teori, dan Praktik. Jakarta : Restu Agung, 2006.

Muhyidin, Mansyur. Banten Menuju Masa Depan. Serang : Yayasan Kiyai Haji Wasyid, 1999.

Page 188: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

188

Mulkhan, Abdul Munir. Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Umat Islam 1965-1987, Jakarta : Rajawali Press, 1989.

Masaaki, Okamoto dan Rozaki, Abdur, Kelompok Kekerasan dan Bos Lokal Di Era Reformasi. Yogyakarta : CSEAS IRE Press, 2006.

Nashir, Haedar. Perilaku Politik Elit Muhammadiyyah, Yogyakarta : Terawang, 2000.

Nordholt, Schulte Henk, Van Klinken, Geert Arend, Van Klinken, Gerry. Renegotiating Boundaries : Access, Agency and Identity in Post-Suharto Indonesia. Leiden : KITLV Press, 2007.

Nordholt, Schulte Henk, Van Klinken, Gerry. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007.

Notosusanto, Nugroho. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer: Sebuah Pengalaman. Jakarta: Inti Idayu Pres, 1984.

Palm, C.H.M. Sejarah Antropologi Budaya. Bandung : Jemmars, 1984.

Paoli, Letizia. Mafia Brotherhoods : Organized Crime, Italian Style. USA : Oxford University Press, 2003

Parsa, Misagh. States, Ideologies, & Social Revolution, A Comparative Analysis of Iran, Nicaragua and the Philippines. Edinburg UK : Cambride University Press, 2000.

Potts, Jhon. A History of Charisma. New York : Palgrave Macmillan, 2009.

Pribadi, Yanwar. The Background to the Emergence of Jawara in the Erly Nineteenth Century Banten. Al Qalam, Jurnal Ilmiah Bidang Keagamaan dan Kemasyarakatan. Vol. 25, No.3 (September-Desember) 2008. Lembaga Penelitian IAIN “Sultan Maulana Hasanuddin” Banten.

Page 189: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

189

Pruitt, G. Dean, Rubin, Z. Jeffry and Kim, Sung Hee. Social Conflict, Escalation, Stalemate, and Settlement. McGraw-Hill, Inc –2nd

ed : United States of America, 1994.

Pruitt, G. Dean, Rubin, Z. Jeffry and Kim, Sung Hee. Teori Konflik Sosial, ter. Helly P. Soetjipto, Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.

Pudjiasih, Titik. Perang, Dagang, Persahabatan, Surat-surat Sultan Banten. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007.

Reno, William. Corruption and State Politics in Sierra Leone. New York : Cambridge University Press, 1995.

Ritzer, George and Goodman, Douglas J. Teori Sosiologi Modern, terj. Aliman. Jakarta : Kencana, 2007.

Rivai, Ahmad. Suatu Tinjauan Kriminologi Atas Kepemimpinan Jawara di Wilayah X. Tesis FISIP Universitas Indonesia, Depok 2003.

Liddle, William R. Leadership and culture in Indonesia Politics, Sidney Allen and Urwin, 1996.

Goethals, George R and L.J. Sorenson, Georgia. The Quest For General Theory Of Leadership. Northampton : Edwar Elgar Publishing, 2006.

Romli, Lili. Jawara dan Penguasa Politik Lokal di Provinsi Banten (2001-2006). Disertasi, FISIP Universitas Indonesia, Jakarta, 2007.

Sabine, G.H. Teori-Teori Politik, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangannya. (terj) Soewarno Hadiatmodjo. Bandung : Binacipta,1992.

Sa>biq, Sayid, Fiqhu al-Sunnah majallidu al-awwal. Kairo: Da>ru al-thaqofah al-Islamiyah, 1999.

Page 190: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

190

Suparlan, Pasurdi. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungannya. Jakarta : Rajawali, 1984.

Sumardjo, Jakob. Estetika paradoks. Bandung : Sunan Ambu press, 2006.

Spencer, Stephen. Race and Ethnicity, Culture, Identity and Representation. New York : Routledge taylor & Francis Group, 2006.

Syamsu, Nauval. Debus Sebuah Fenomena Keagamaan, Studi Kultural Debus Banten. Tesis, Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah : Jakarta, 2004.

Syamsuddin, M. Din. Islam dan Politik : Era Orde Baru. Jakarta : Logos Wacana Ilmu, 1999.

Tihami, MA. Kiyai dan Jawara di Banten, Studi tentang Agama, Magi, dan Kepemimpinan di desa Pesanggrahan Serang, Banten, Tesis. Universitas Indonesia : Jakarta, 1992.

Turmudi, Endang. Perselingkuhan Kiyai dan Kekuasaan. Yogyakarta : LKIS, 2004.

Van Harskamp, Anton. Konflik-konflik Dalam Ilmu Sosial. Yogyakarta : Kanisius, 2005.

Van Bruinessen, Martin, Shari’a court, Tarekat and Pesantren : Religious Istitutions in The Banten. Paris : Archipel, 1995.

Pranoto, Suhartono W. Jawa Bandit-Bandit Pedesaan, Studi Historis 1850-1942. Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010.

Weber, Max. The Hand Book of Sociology, Studi Komprehensif Sosiologi Kebudayaan, (terj). A.Qodir Sale. Yogyakarta : IRCiSoD, 2006.

Williams C Michael. Sickle and Crescent, The Communist Revolt of 1926 in Banten, Centre for International Studies : Ohio university 1990.

Page 191: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

191

Wirutomo, Paulus. Membangun Masyarakat Adab : Suatu Sumbangan Sosiologi, UI Press : Jakarta , 2001.

Surat Kabar, Dokumen dan Naskah

Fajar Banten, 5 Januari 2001. Fajar Banten, 15 Oktober 1999. Harian Banten, 24, Mei 2003. Harian Banten, 15 Januari 2001. Koran Tempo, 7 Juli, 2003. Media Indonesia, 19 Juli, 2001 Radar Banten, 12 Mei 1997. Radar Banten, 14 November 2001.

Anggaran Dasar dan Rumah Tangga Organisasi PPPSBBI, Serang Banten, 1990.

Dokumen Panduan Sarasehan PPPSBBI di Jakarta, 15 Oktober 1990.

Data Jumlah Anggota DPRD Provinsi Banten 2009, Sekretariat DPRD Provinsi Banten, 2009.

Data Jumlah Lembaga Pondok Pesantren di Provinsi Banten, Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Banten, 2009.

Kitab Dalailul Khairot,Serang, Penulis dan Tahun pembuatan belum diketahui.

Kitab Majmu’atul Hikmah, Serang, Penulis dan Tahun pembuatan belum diketahui.

Presentase Penduduk Menurut Agama di Provinsi Banten, Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Banten, 2009.

Page 192: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

192

Data Jumlah Keberangkatan Jama’ah Haji dari 2006-2008 di Provinsi Banten, Kantor Wilayah Kementerian Agama provinsi Banten, 2009.

Hasil Sensus Penduduk 2010, Provinsi Banten, Badan Pusat Statistik Banten, 2010.

Banten Dalam Angka 2010, Badan Pusat Statistik Banten, 2010.

Page 193: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

193

Indeks

A Abah 13, 40, 47, 51, 115, 118, 119,

166, 169, 170 Abrori 9, 15, 91 Ace Suhaedi Masdupi 149 Ade Sudirman 149 administratif 68, 69, 164 agama 1, 2, 3, 8, 18, 20, 23, 31, 32, 33,

35, 37, 43, 46, 54, 55, 57, 58, 64, 67, 78, 82, 84, 88, 90, 92, 96, 97, 99, 100, 103, 104, 105, 106, 138, 166, 169

ahli hikmah 4, 82 ahli kebatinan 4, 82 Akulturasi 20 Ali Fadillah 29 Ali Yahya 146 al-madad 55 al-quran 19 amalan 12, 19, 60, 63 anak buah 13, 23, 40, 163 Andi Rahman 7, 9, 26, 140 anggota dewan 17, 109, 116, 122, 123,

143, 148 animisme 17, 18, 21, 47 Ankerman 5 antropologi 26, 98 APBD 163, 164 as’abiah 24 Asak 60 ascriptive 29 asimilasi 5 Asisten Residen 79 astetis 15 Atah 60 atavistic 29 Atu karomah 39

B

Baduy 1, 21, 28, 65 Bahtera Banten Jaya 119 BAKIN 110 Balaraja 70, 164 bandit sosial 4, 5, 8, 13, 67, 72, 73, 74,

75, 76, 77, 78, 112 Bandrong 47, 48 Banten 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11,

12, 13, 14, 15, 16, 19, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 57, 58, 59, 60, 61, 62, 63, 64, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 88, 89, 90, 91, 92, 93, 94, 95, 96, 97, 98, 99, 100, 103, 104, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 180, 181, 182

Banten Girang 1, 3, 30, 31 Basofi Sudirman 134 Bastian 40 Batavia 32 batin 2, 6, 23, 52, 53, 90 Batu Kuwung 127, 135

Page 194: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

194

Belanda 2, 4, 7, 8, 13, 14, 32, 33, 34, 35, 36, 37, 42, 44, 46, 48, 54, 56, 58, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 77, 78, 79, 80, 88, 89, 118, 157, 169, 180

Benjamin Davnie 151, 152, 153 bergaining 125 Betawi 6, 13, 80 bisnis 101, 109, 115, 116, 117, 118,

119, 122, 139, 140, 141, 153, 154, 155, 159, 160, 161, 162, 165, 170

blater 74 Boas 10, 11 Bogor 32, 129, 170 brajamusti 8, 16, 42, 58, 101 Buety Nasir 145 Bupati 71, 91, 123, 124, 130, 132, 134

C Ce Mamat 36 Cibanten 30 Cidahu 133 Cidurian 30 Cikande 35, 37, 64, 71 Cikeusik 37 Cilongok 111, 133 Cimone 170 Ciomas 43, 119, 127, 128, 156, 162,

168, 170, 171 Cirebon 1, 30, 31 Cisadane 30 Conat 77

D Daendels 2 Daniri 151, 153 Darul Falah 60 Deandles 34 Debus 1, 3, 20, 41, 49, 53, 54, 55, 94 diffusonis 5 Djoko munandar 148

Djoko Munandar 147, 148, 150, 151 Dominasi 25, 107, 136, 137, 142, 147,

150, 159 DPD 25, 143, 144 DPP 118, 128, 135, 143, 145, 150, 159 DPR 109, 120, 126 DPRD 109, 120, 142, 143, 144, 145,

147, 148, 149, 150, 153, 162, 164, 165

DPRD Provinsi 109, 142, 143, 144, 145, 148, 149, 165

duel 52

E eklektik 22 ekonomi 14, 15, 16, 23, 24, 25, 26, 27,

38, 74, 76, 80, 89, 91, 93, 107, 108, 109, 112, 116, 117, 118, 122, 123, 124, 135, 136, 137, 139, 140, 141, 146, 147, 149, 152, 154, 155, 156, 157, 159, 160, 161, 168, 171, 180, 181, 182

eksekutif 25, 137, 146, 149 ekses 13, 107, 111, 139 elit 2, 13, 22, 25, 26, 27, 28, 29, 30, 35,

38, 40, 68, 81, 83, 84, 87, 92, 93, 94, 95, 96, 102, 112, 117, 156, 158, 162, 165

Else Ensering 31, 36, 68, 89, 91, 132 entitas 24, 38, 39, 44, 107, 108, 109,

111, 116, 121, 123, 142, 166 Era Reformasi 137 Eropa 54, 69, 71, 158 etis 15 Evon Vogt 18

F Faqih Najamuddin 88, 89 folklore 7

Page 195: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

195

formal 2, 4, 6, 13, 16, 17, 25, 27, 40, 75, 82, 93, 95, 101, 106, 124, 139, 140, 142, 160, 165

fusi 110, 131

G GAPENSI 124, 126 gede 21 Geertz 77, 78 geger Cilegon 35, 80 Geger Cilegon 37, 72, 78, 80, 89 Godfather 144, 167, 172, 182 Golkar 24, 108, 110, 112, 115, 116,

124, 125, 127, 128, 129, 131, 132, 136, 141, 143, 145, 148, 149, 182

golok 10, 11, 22, 40, 41, 43, 53, 61, 88 Gubbels 72 Gubernur Banten23, 25, 139, 142, 148,

150, 151, 152, 153, 155, 156, 160 Gubernur Jendral 118, 120, 144, 168,

182 Gulkut 36 gunung karang 9 Gunung Karang 45, 55, 56 Gunung Pulosari 55 guru 1, 3, 4, 8, 12, 15, 16, 21, 22, 23,

26, 33, 43, 47, 50, 51, 58, 67, 82, 84, 85, 86, 87, 90, 93, 104, 135, 166, 180, 181

Gusdur 133

H H. Aceng Iskak 143 H. Chasan Sohib 104, 113, 168, 182 H. Kaking 119, 171 H. Tb Chasan Sohib 104 H. Uwes 37 Habibie 138 Haji Yamin 68 Harmoko 120 Hasan Alydrus 37

Hasan Cobra 143 Hasanuddin 20, 31, 32, 54, 86, 88, 91 Herman Haeruman 149 Hindu 30, 31 historis 7, 9, 10, 11, 13, 14, 18, 25, 26,

29, 30, 77, 82, 87, 95, 96, 107, 130, 137

Hizbullah 169 HM. Masduki 151, 152, 153 Hudaeri 41, 43, 83, 84, 86, 88, 95, 106,

122, 125

I Indonesia 1, 3, 6, 8, 10, 13, 14, 15, 23,

25, 27, 29, 30, 35, 36, 39, 43, 45, 46, 51, 57, 58, 66, 68, 84, 86, 91, 95, 99, 108, 109, 110, 112, 113, 115, 117, 118, 119, 126, 128, 133, 137, 138, 141, 144, 147, 152, 166, 168, 169, 170

informal 4, 7, 16, 25, 26, 27, 39, 75, 91, 92, 94, 95, 96, 106, 114, 123, 124, 129, 130, 140, 142, 161, 164, 165, 180

informal leader 25, 27, 95, 123, 140, 180

infrastuktur 109, 162 intervensi 27, 88, 126, 128, 130, 133,

148, 149, 150, 151, 158 intimidasi 118, 129, 140, 149, 160, 164 IPKI 109 Irsyad Djuweli 151, 153 Islam 1, 3, 5, 7, 9, 10, 17, 18, 19, 20,

21, 26, 28, 30, 31, 32, 38, 43, 45, 46, 47, 54, 55, 56, 57, 82, 84, 86, 88, 90, 96, 97, 101, 104, 110, 111, 117, 124, 131, 132, 134, 140, 152, 166, 180

Islam politik 131, 134 Izajah 51, 85

J

Page 196: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

196

Jakarta 1, 2, 3, 5, 7, 8, 9, 13, 14, 15, 18, 20, 24, 26, 27, 29, 32, 39, 40, 54, 55, 58, 68, 78, 84, 90, 92, 95, 105, 108, 110, 115, 116, 118, 127, 129, 138, 140, 147, 157, 169, 170

Jalak Rawi 47 Jangjawokan 21 jaro8, 15, 16, 22, 25, 40, 43, 77, 90, 95,

101, 103, 180 jawa. 1, 15 jawara 107, 108, 109, 111, 112, 113,

114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 134, 135, 136, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 147, 149, 150, 151, 152, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 165, 166, 167, 169, 170, 171

Jawara 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 28, 30, 35, 36, 37, 38, 39, 42, 43, 49, 51, 52, 57, 58, 66, 67, 72, 77, 78, 81, 83, 84, 86, 88, 91, 92, 93, 94, 96, 99, 101, 103, 104, 106, 107, 109, 110, 114, 116, 121, 122, 125, 126, 127, 128, 129, 135, 137, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 146, 149, 150, 151, 153, 154, 157, 159, 160, 164, 165, 166, 180

Jayeng Rana 143, 144 Jazuli 144, 145 Jhon Potts 102, 105 jimat 12, 62, 101 Jimat 46 Jombang 79 jurujud 61

K kader 119, 143, 171 KADIN 114, 115, 124, 125, 135, 142,

163, 165, 167 Kadin Banten 104, 115 Kamudin 77

Kang Mamed 118, 120, 124, 128, 135, 150, 159

Kang Nuriman 68, 69 kanuragan 1, 8, 12, 14, 16, 39, 42, 46,

50, 53, 58, 82, 84, 180 Kartodirdjo 2, 3, 4, 5, 7, 8, 9, 12, 13,

26, 28, 68, 69, 71, 72, 76, 79, 80, 81, 89, 95, 98

katulah 86 kawalat 85, 86, 104 kebal 8, 28, 52, 58, 59, 60, 61, 62, 101,

162 kekuasaan 2, 4, 7, 15, 16, 26, 31, 32,

35, 36, 38, 54, 67, 69, 78, 84, 88, 89, 91, 95, 97, 101, 102, 103, 105, 107, 108, 111, 112, 114, 116, 117, 118, 119, 122, 123, 130, 131, 134, 135, 136, 141, 147, 150, 151, 153, 154, 157, 158, 160, 165, 168, 181, 182

kelas sosial 95, 116, 138 keramat 22, 55, 79, 81 keris 22, 62 Kesultanan Banten 1, 7, 27, 30, 31, 32,

33, 34, 49, 80, 88, 180 KH. Cecep Bustomi 133 KH. Abdul Halim 127 KH. Abuya Dimyati 133 KH. Ahmad Khatib 36 KH. Mahmud 113, 127, 128 KH. Nawawi 60 KH. Syam’un 36, 91, 132 KH. Tassin 69 KH. Uci Qurtusi 133 kharisma 4, 16, 26, 62, 66, 82, 85, 94,

96, 98, 100, 101, 102, 103, 104, 105, 132

kharismatik 2, 4, 71, 82, 83, 102, 103, 104, 105, 127

khodam 7, 92 kitab kuning 56, 82 Kiyai 1, 2, 3, 4, 8, 14, 23, 26, 27, 33,

34, 35, 46, 47, 48, 57, 58, 68, 70, 78, 79, 80, 81, 84, 86, 87, 88, 90, 92, 93, 94, 96, 97, 100, 106, 108, 131, 133, 169, 170

kiyai Abubakar 72 kiyai Asnawi 72 Kiyai Beji 47

Page 197: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

197

kiyai Ikram 68 kiyai Syadeli 72 kiyai Wakhiya 71 kiyai Washid 3 kiyai Wasyid 72, 78, 79, 80, 89 Kluckhohn 5 Kodam VI Siliwangi 170 kolonial 2, 3, 4, 7, 8, 13, 14, 15, 16, 34,

35, 36, 39, 42, 44, 45, 46, 56, 58, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 79, 80, 81, 85, 87, 88, 89, 94, 96, 118

kolusi 138 Komisi 145 komunis 2, 3, 35, 68, 89 komunitas 5, 6, 9, 18, 23, 25, 28, 30,

38, 39, 40, 41, 66, 72, 81, 85, 87, 95, 107, 111, 112, 115, 117, 119, 120, 122, 123, 124, 125, 126, 130, 140, 144, 152, 157, 166, 168, 181

konstruk 41, 53, 87, 117, 121, 122, 140, 181

konstruksi 41, 118, 125, 143, 160 kooperatif 134 kooptasi 24, 112, 118, 122, 131, 134 Kooptasi 115 Kopkamtib 110 Korem 127 korup 138 kultur 5, 6, 10, 12, 13, 15, 18, 26, 28,

29, 30, 33, 38, 39, 41, 43, 66, 68, 84, 86, 92, 108, 112, 124, 135, 136, 165, 166, 169, 180

kultural 1, 25, 77, 82, 87, 136, 141 kulturkreise 6 Kuntowijiyo 5 Kuntowijoyo 5, 15

L Laskar Gutgut 36 lebak 21, 29, 71, 77, 123 legeslatif 25, 137, 142, 149 legislatif 143, 146 Lengkong 170 Letizia Paoli 144, 158, 160, 167

Lidlle 95, 108

M Mafia Italia 144, 160, 167 magis 1, 2, 3, 7, 8, 10, 12, 14, 15, 16,

17, 18, 19, 20, 21, 22, 26, 28, 30, 44, 46, 50, 52, 53, 55, 56, 57, 58, 60, 61, 62, 64, 65, 76, 77, 81, 82, 83, 84, 85, 86, 87, 90, 92, 97, 100, 101, 103, 112, 169, 180, 181

mahar 60 majhul jauharo 74 Malingping 127, 170 Maman Rizal 143, 153 mantra hitam 17, 22 Marissa Haque 151 Mas Diad 71 Mas Jakaria 70, 77, 80, 81 Mas Rakka 69 Mas Raye 70 Masyumi 131, 132 Matha’ul Anwar 132 Maulana Muhammad 32 mengakomodir 104, 109, 123 mengkooptasi 107, 114, 124, 129, 134 Menteri 111 Militer 91, 128, 134, 135 Miller 44 mistik 3, 10, 53, 55 MPR RI 120, 126 Murba 109 murshyid 20 Musasi 43 Mustika Empat Lima 119

N Nasyid 71 nepotisme 138 Ngabehi Utu 68 NU 109, 110 Nyimas Gamparan 70

Page 198: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

198

O O’dea, 18 oligarki 30 Opsus 110 Orde Baru 7, 9, 24, 26, 37, 39, 107,

108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 143, 159, 160, 170, 171, 180, 181

Orde Lama 36, 129 Ota Atsushi 32, 34, 76, 87, 88, 130

P Pabuaran 168 padepokan 8, 9, 12, 28, 44, 45, 46, 50,

51, 52, 53, 55, 57, 123 Padjajaran 30, 31, 32 paguron 8, 9, 28, 44, 45, 46, 47, 49, 50,

53, 123 Paku Banten 47, 49 PAN 143 Pancasila 110 Pandeglang 9, 38, 45, 56, 68, 69, 70,

71, 80, 97, 132, 143, 144 Pangeran Sane 69 pantangan 19 Parkindo 109 Parmusi 109 Partai Katolik 109 pasar Rau 118 Pasir Peuteuy 68 Pasurdi Suparlan 5, 40 PBB 145 PBR 145 PDI 110, 116, 149 pejabat 13, 17, 36, 41, 88, 95, 100, 113,

116, 122, 126, 127, 133, 138, 156, 164, 180

Pelita I 118, 127, 170 pemberdayaan 24, 107, 117, 122, 139,

167, 181 pemberontakan 1, 2, 3, 4, 7, 8, 9, 11,

13, 14, 34, 35, 37, 39, 58, 65, 66, 67, 68, 69, 70, 71, 72, 74, 80, 81, 87, 88, 89, 98, 180

pemerintah 4, 7, 15, 17, 24, 25, 27, 33, 34, 35, 42, 43, 67, 69, 70, 71, 73, 74, 75, 79, 80, 88, 91, 95, 100, 104, 107, 108, 111, 112, 114, 115, 117, 118, 119, 125, 127, 133, 138, 142, 148, 155, 156, 158, 160, 161, 162, 163, 164, 166, 171, 181

pemilu 23, 25, 116, 142, 148 pendekar 14, 15, 23, 74, 104, 113, 120,

129, 147, 159 penetrasi 30, 135 penggilingan 119, 170, 171 pengusaha 15, 17, 23, 25, 101, 114,

115, 116, 117, 119, 124, 126, 136, 142, 146, 156, 164, 165, 166, 167, 170, 171, 181

persilatan 7, 9, 12, 23, 44, 45, 46, 47, 49, 51, 52, 53, 55, 57, 83, 84, 85, 87, 134

Perti 109 Pes Viering 71 pesantren 1, 28, 33, 38, 44, 46, 56, 57,

58, 59, 60, 61, 62, 64, 65, 82, 84, 93, 94, 96, 108, 111, 115, 124, 132, 167, 169

Pesantren Cadasari 169 Pesantren Pani’is 169 Pilkada 140, 147, 148, 151, 152, 153,

154, 155, 157 PJ. Kampuys 71 PKB 143 PKS 152 Plt. Gubernur 150, 155 PNI 109 politik 4, 14, 22, 24, 25, 26, 27, 33, 35,

36, 37, 43, 67, 68, 74, 76, 80, 86, 89, 91, 93, 101, 103, 104, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 114, 115, 116, 117, 118, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 129, 130, 131, 132, 134, 135, 136, 137, 138, 139, 140, 141, 142, 143, 144, 145, 146, 147, 149, 150,

Page 199: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

199

151, 152, 154, 157, 159, 160, 165, 168, 171, 181, 182

Politik 7, 9, 15, 24, 26, 33, 43, 91, 109, 110, 114, 115, 117, 118, 131, 132, 134, 140, 142, 144, 145, 147, 150, 159

PPP 110, 116, 124, 143, 149 PPPSBBI 23, 24, 47, 94, 113, 114, 115,

118, 119, 120, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 135, 142, 150, 153, 154, 159, 168, 182

Prabowo Subiyanto 134 pra-Islam 54 premanisme proyek 163, 165 Presiden 130, 133 priyayi 15, 77 provinsi 1, 7, 22, 26, 28, 29, 37, 113,

114, 118, 125, 138, 141, 142, 143, 146, 161, 162, 163

proyek 43, 75, 114, 117, 118, 119, 125, 139, 143, 145, 155, 156, 157, 158, 159, 160, 161, 162, 163, 164, 165, 166, 170, 171, 182

PSII 109 PT. Krakatau Steel 118 puasa 7, 19, 60 Pucuk Umun 31 putih 17, 18, 19, 20, 22, 27, 60, 77, 133

Q Qodariyah 20, 55

R R. Kartanagara 71 rajah 12, 101 Ratu Atut Chosiyah 104 Rawayan 21, 64 reformasi 37, 117, 138, 139, 140, 141,

143, 156, 157, 159, 160, 161, 171, 181

Reformasi 26, 37, 74, 101, 114, 137, 145, 155, 180

regentschap 34 Reno 27 residen 72, 88, 91 ritual 1, 19, 21, 42, 53, 60, 64, 94, 97 Robin Hood 43 Rofiah 168 Rt. Atut Chosyiah 139, 148, 150, 151,

152, 153, 154, 155

S Sabakingking 1, 31 Sahab 77 Sakam 77 samurai 43 Saniin 77 santri 1, 2, 3, 8, 46, 56, 57, 58, 59, 60,

63, 77, 84, 169 SATKAR 113, 115, 119, 120, 168 SATKAR jawara 113 Satuan Karya jawara 113 Satuan Karya Ulama 113, 119, 128 seguru seelmu 84, 166 Sekber 126 sembako 119 Sepatan 170 Serang 3, 8, 14, 20, 23, 26, 27, 30, 34,

47, 48, 49, 50, 58, 69, 70, 71, 72, 78, 84, 85, 86, 88, 113, 114, 115, 118, 119, 120, 121, 122, 124, 125, 128, 132, 134, 135, 143, 144, 145, 149, 150, 153, 155, 156, 159, 162, 166, 168, 170

Serat Centhini 9, 56 sesajen 22, 79 shalat 19 Si Pitung 13, 80 silat 7, 8, 11, 15, 16, 22, 26, 43, 44, 45,

46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 57, 90, 114, 126, 135, 180

silaturrahmi 111 simbolis 15 Sinar Ciomas Group 119 Soekarno 29, 133

Page 200: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

200

sosiokultural 15 sowan 111 Spanyol 81 spiritual 7, 33, 90 stabilitas 33, 67, 76, 77, 81, 91, 101,

108, 109, 110, 111, 112, 135, 137 subkultur 6, 9, 15, 43, 66, 93 Sudarsono 134 Suharto 112, 117, 119, 130 Suhartono 73, 74, 75, 77 Sultan1, 5, 9, 14, 15, 20, 22, 27, 31, 32,

33, 35, 46, 54, 68, 69, 80, 81, 86, 88, 89, 91, 92, 115, 168

Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir 32

Sultan Ageng Tirtayasa 32, 33, 35, 46, 54, 115, 168

Sultan Haji 34 Sumatera 29 sunan Gunung Djati 1 Sunda 1, 17, 19, 21, 30, 31, 32, 49, 79 suprastuktur 109 Surono 134, 135 surosowan 55 syariat 19, 32 Syeikh Abdul Karim 72 Syeikh Nawawi al-Bantani 72

T tadisional 16 tahmid 19 takbir 19 Tanara 72, 164 tarekat 17, 18, 20, 33, 38, 55, 72, 82, 90 Tb. Aat Syafaat 143 Tb. Ismail 72 Tb. Mamas Chaeruddin 149 teluh 28, 64, 65 tender 43, 118, 155, 163, 164, 171 tenung 28 teri 21 Terumbu 47, 48, 49, 153 Thomas Aquinas 33 Tihami 2, 3, 8, 13, 14, 26, 27, 43, 58,

74, 84, 86, 87

Tokoh Jawara 141, 147, 150, 154, 164, 165

tradisi 1, 5, 6, 9, 15, 16, 17, 21, 25, 28, 29, 30, 33, 45, 49, 53, 54, 55, 64, 66, 78, 80, 84, 86, 87, 90, 97, 105, 109, 136, 166, 169

Transisi 122, 123, 138 Tryana Sjam’un 146, 151, 152, 153,

156 Tryana Syam’un 37, 126 TTKDH 47, 49, 50, 153 Tubagus Ishak 71 Tumenggung Muhammad 70

U Ujung Kulon 68 Ulama 1, 5, 9, 14, 15, 19, 22, 24, 27,

33, 65, 78, 81, 92, 111, 113, 115, 119, 120, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 133, 134, 135, 136, 152, 153, 168

ummat 133 ustadz 45, 52, 54, 59, 60, 63 Uwes Qorni 146

V Van Bruinessen 3, 30, 39, 45, 46, 88,

96, 97, 130 Ver Volk 124, 169 vertikal 24, 43, 116, 122, 130, 136,

155, 166, 171, 180 VOC 32, 33, 54, 78, 88

W wafak 12, 63, 64 Wakil Gubernur 139, 146, 147, 148,

149, 150, 151, 152, 153, 155 Weber 102, 103, 105

Page 201: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

201

Williams 2, 3, 5, 9, 12, 14, 39, 68, 72, 73

wirid 60, 62

Z zikir 19, 53 ziyad 28, 42, 46, 61, 101 Zulkiflimansyah 151, 153, 156

Page 202: JAWARA BANTEN - repository.uinjkt.ac.id

202

Biodata Penulis

Fahmi Irfani, lahir di Tangerang, 25 Januari 1986. Anak ke Sebelas (11) dari Duabelas (12) bersaudara. Setelah menamatkan pendidikanya di SDN Kadu III. Kec. Curug, Kab. Tangerang. Ia melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren Daar El Qolam, Gintung, Jayanti Tangerang, lulus tahun 2004. Meneruskan studi S1 Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, IPK 3.57 Cumlaude, 2008. Pernah bergabung di PKATR (Pusat Kajian Asia Tengah dan Rusia) di UIN Jakarta. Sempat menerima Beasiswa dari pemerintahan Rusia untuk studi S2 di Department of History, Yuzhni Federalni Universiteit, Rusia Selatan. Akan tetapi berhubung telah menjalani studi S2 di SPS UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, maka ia melanjutkan studinya di konsentrasi Sejarah Peradaban Islam 2009-2011. Aktif sebagai pembicara di seminar dan menulis artikel dibeberapa jurnal dan surat kabar. Saat ini bersama rekan-rekan pasca UIN Jakarta, aktif membangun Komunitas Ujung Ciputat, yang tergabung dalam Young Progressive Muslim (YPM).