jawa pos rabu pahing 30 september 1992 halaman bu.daya … · juga karya tulis lekra. mungkin, yang...

1
Jawa Pos Rabu Pahing 30 September 1992 Halaman 010 Bu.daya Ber-Man.ifesto Pra-1965 PADA 1988, penyair-jurnalis Goenawan Mohamad menulis se- buah esei berjudul "Peristiwa Ma- nikebu: Kesusastraan Illdonesia dan Politik di Tahun 1'960-an". Esei itu diterbitkan sebagai suple- men dalam salah satu dari sejum- lah majalah besar di negeri ini yang dipimpin atau dimiliki penulisnya sendiri, Tempo (21 Mei 1988). Inilah esei terbaik yang pernah dipublikasikan di Indonesia ten- tang "Manikebu" atau Manifes Kebudayaan (selanjutnya MK). Esei itu menegaskan bahwa ke- eendekiawanan Goenawan Moha- mad merupakan mutiara yang diberikan MK kepada Orde Baru. Sebaliknya, keeendekiawanan itu dimungkinkan oleh kondisi kese- jarahaan yang dieapai dan dapat dibagikan Orde Baru bagi MK. MK merupakan pernyataan si- kap politik dan kebudayaan yang ditandatangani 20 seniman dan intelektual di Jakarta. MK itu di- publikasikan (September 1963) sebagai tanggapan terhadap di- namika politik dan kebudayaan di bawah pemerintahan otoriter De- mokrasi Terpimpin yang berpihak kepada kelompok kiri, termasuk Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Tantangan MK ini men- dapatkan simpati dari kalangan militer, tetapi diserang PKI, Le- kra, maupun aparat pemerinta- han. Pada8 Mei 1964, pemerintah RI menyatakan MK terlarang. MK ''bebas kemba:li bersuara", seperti kata Goenawan di akhir eseinya, dengan runtuhnya peme- rintahan Demokrasi Terpimpin, pembubaran PKIlLekra, dan ban- jir darah 1965-1966. Tentu saja, dalam seperempat abad ini MK tidak sekadar "bebas kemhali bersuara". Ia merupakan monumen hegemoni intelektual- kesenian Orde Baru minimal hingga akhir 1970-an. Ia mem- berikan°asastunggal"kerangkaber- kisah tentang sejarah politik budaya nasional pada 1960-an, sementara para anggota Lekra telah terbung- kam, terbantai, atau terbuang ke Pulau Buru tanpa diadili. Dalam masa kejayaan pasea- 1966, MK tidak saja bebas men- jelaskan posisi dan cita-citanya. Iajuga bisa menjelaskan penderi- taannya di bawah tekanan Lekra. Kebebasan bersuara MK bahkan sering digunakan untuk menje- laskan alarn berpikir dan cita-cita Lekra, tentu saja menurut penafSiran, imajinasi, dan mungkin juga seba- tas kepentingan si peneerita. Selama bertahun-tahun, sejarah yang dituturkan secara monolog ini menampilkan sebuah kisah yang serba hitam-putih. Seakan- akan MK dan Lekra merupakan dua kubu yang berbeda atau ber- tentangan dalam segala hal, khu- susriya eita-eita berkesenian. Da- lam gambaran karikatural itu, MK ditampilkan sebagai pejuang "kebebasan", bersemboyan seni untuk seni atau "humanisme uni- versal". Lekra digambarkan seba- gai tukang propaganda yang di- peralat PKI, .memperalat keseni- an untuk kepentingan politik, bersemboyan "realisme so sial" dan berslogan seni untuk rakyat. Gambaran karikatural demiki- an bukan tak pernah dipersoal- kan. Buku Keith Foulcher yang dikutip Goenawan merupakan kajian terbaik barbahasa asing tentang ini. Di Indonesia sendiri, sejarah hitam-putih itu pernah dipertanyakan dalam sebuah se- minar (Jakarta, 1982). Waktu itu Satyagra'ba Hoerip menggugat klaim-klaim besar yang dinf'ata- kan Wiratmo Soekito, perumus dan penanda tangan MK yang pa- ling gencar berkampanye sesudah 1966. Pada 1987, sejarah MK menjadi pokok perdebatan yang panas kembali dalam majalah Horison, sarang para tokoh MK. Sayang, dari kedua kontroversi itu, seperti rangkaian kontroversi tentang Presiden Soekarno, be- lum muneul suatu sintesis penge- tahuan yang mendasar. Yang ada Oleh Ariel Heryanto barulah hiruk pikuk perdebatan dan bukti masih segarnya trauma akibatluka-lukalamaitu.Banyak pertanyaan besar harus menung- gu waktu untuk bisa dikaji dan dijawab dengan kepala dingin dan hati lapang. Di tengah gejolak seperti itu, esei Goenawan bagaikan eahaya pene- rangan yang baru, gambar ber- warna bagi karikatur hitarn-pu- tih yang selama ini mendominasi pembahasan MK-Lekra. Penulis- nya menunjukkan niat berdialog. Ia berusaha menunjukkan berba- gai kompleksitas persoalan, kon- tradiksi, ambiguitas, dan pata- han-patahan realitas di sekitar pertentangan 1960-an itu. Goenawan berbicara dengan modal dan wibawa sebagai salah seorang pelaku-kunei dalarn seja- rah yang dituturkannya. Ia peru- mus dan penanda tangan awal MK. Sebenarnya ia bukan mani· festan pertama yang tampil kritis dan dingin terhadap sejarah kete- gangan politik budaya menjelang 1965 itu. Sebelumnya, AriefBudi- man telah beberapa kali menggu- gat mitos yang dibangun MK di atas pembungkaman Lekra ten- tang perselisihan kedua kubu itu. Tapi, Arief hanya melontarkan pernyataan-pernyataan pendek dan spontan yang polemis. Goena- wan menyajikan uraian rinci dan mendalam. Esei Goenawan menunjukkan betapa banyak persamaan ideal di antara mereka yang pada 1960- an itu saling memaki dan men- yakiti. Misalnya, antara Pramoe- dya A. Toer dan Sutan Takdir Ali- sjahbana yang sarna-sarna meno- lak individualisme dan mengagu- mi Maxim Gorky, bapak sosialis realisme. Juga, ditunjukkan bah- wa Demokrasi Terpimpin tak hanya menyensor buah pikiran MK, tetapi juga karya tulis Lekra. Mungkin, yang pertama bagi manifestan, Goo- nawan menyatakan bahwa secara prinsipal MK tidak menentang dok- trin realisme sasial. Ia mengkritik praktiknya di Indonesia. Goenawan memuji nilai estetik beberapa karya seniman Lekra. Ia menjelaskan tak semua seni- man Lekra mau didikte kepen- tingan politik PKI. Bahwa bukan hanya Lekra, tetapi juga MK ter- libat dalarn pertentangan politik antara PKI dan mil iter. Bahwa teks MK ditulis dengan meniru gaya gebrak Marx ketika menulis manifesto komunis. Semua kesaksian ini sangat penting, selain menarik, bukan saja karena memperkaya pema- haman kita yang dipermiskin ka- rikatur hitam-putih selama ini. Yang membuatnya lebih menarik ialah keterlibatan langsung dan status penuturnya dalam sejarah yang dituturkan. Tapi, dengan semua ini, jangan dibayangkan esei Goenawan menjungkirbalik- kan sejarah yang telanjur dires- mikan. Di balik semua coritoh yang me- ngejutkan di atas, esei Goenawan pada hakikatnya mempertegas sejarah resmi itu. Cuma, dengan cara yang sangat halus dan cang- gih. Pesan utama esei itu tetap menegaskan dosa-dosa Lekra dan penderitaan kaum manifestan. Nada utama esei itu tetap defensif. Boleh dikatakan, di Indonesia, hak berkisah tentang sejarah poli- tik budaya 1960-an itu masih menjadi monopoli pihak mani- festan. Kritik kecil-kecilan terha- dap MK atau pujian kecil-kecilan terhadap Lekra bisa muncul, tapi asal dan hanya bisa absah bila da- tang dari ''kerelaan'' suara seorang manifestan. Kita tabu, jika ada pe- ngamat luar atau pihak ketiga yang mempertanyakan sejarah manifes yang telah dibakukan, ia dengan subversif karena bersimpati kepada Lekra. Monopoli bersuara itu mungkin bukan kemauan MK. Tapi, jelas Orde Baru tidak sekadar membe- rikan "kebebasan bersuara kem- bali" kepada MK, seperti ditulis Goenawan. Bagi manifestan se- perti Goenawan, Orde Baru me- nyediakan kelimpahan peluang dan fasilitas mengembangkan ba- kat seni dan jurnalisnya ke ling- kup dan tingkat yang luasnya tak terbayangkan oleh siapa pun pada saat MK diproklamasikan. Kini seorang manifestan tak perIu me- rasa terancam lagi bila membong- kar sejarah budaya politik 1960- an itu denganjujur, terbuka, dan kritis. Tak perlu berkobar-kobar seperti akhir 1960-an, atau seper- ti yang masih terus dikerjakan orang seperti Wiratmo Soekito dan para simpatisan berat MK. Goenawan bukan orang yang bergembira menyaksikan pende- ritaan para seniman Lekra sesu- dah 1965. Penderitaan yang di- akuinyajauh lebih berat daripada yang pernah dialami manifestan. lni ditulisnya dalam tiga potong kalimat dalam esei lebih dari 30 halaman bercatatan kaki lebih dari 50 biji itu. Seperti film Pengo khianatan G 30 S / PKI, esei Goe- nawan berakhir dengan suatu masa yang justru menjadi awal peristiwa terpenting dalam selu- ruh sejarah modern Indonesia. Korbannya bukan lagi hanya PKII Lekra. Ironisnya, kondisi kontemporer inilah yang melahirkan eseinya yang supercanggih, tak emosio- nal, dan jernih. Tentu bukan ha- nya kondisi mutakhir ini yang te- lah berjasa bagi penulisan esei Goenawan. Kefasihan intelektual Goenawan bersumber, antara lain, dari bacaanya yang luas, ter- masuk buku-buku Marxisme yang tersedia bagi umum sebelum 1965. Goenawan dididik menjadi cendekiawan unggul dalam za- man yang dikutuknya. Zaman yang tidak cuma kaya perten- tangan politik, tetapi juga perde- batan filsafat dan kebudayaan. Zaman yang asing bagi para pe- muda masa kini. *** Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

Upload: doanhanh

Post on 11-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jawa Pos Rabu Pahing 30 September 1992 Halaman Bu.daya … · juga karya tulis Lekra. Mungkin, yang pertama bagi manifestan, Goo-nawan menyatakan bahwa secara prinsipal MK tidak menentang

Jawa Pos Rabu Pahing 30 September 1992 Halaman 010

Bu.daya Ber-Man.ifesto Pra-1965 PADA 1988, penyair-jurnalis

Goenawan Mohamad menulis se­buah esei berjudul "Peristiwa Ma­nikebu: Kesusastraan Illdonesia dan Politik di Tahun 1'960-an". Esei itu diterbitkan sebagai suple­men dalam salah satu dari sejum­lah majalah b~rita besar di negeri ini yang dipimpin atau dimiliki penulisnya sendiri, Tempo (21 Mei 1988).

Inilah esei terbaik yang pernah dipublikasikan di Indonesia ten­tang "Manikebu" atau Manifes Kebudayaan (selanjutnya MK). Esei itu menegaskan bahwa ke­eendekiawanan Goenawan Moha­mad merupakan mutiara yang diberikan MK kepada Orde Baru. Sebaliknya, keeendekiawanan itu dimungkinkan oleh kondisi kese­jarahaan yang dieapai dan dapat dibagikan Orde Baru bagi MK.

MK merupakan pernyataan si­kap politik dan kebudayaan yang ditandatangani 20 seniman dan intelektual di Jakarta. MK itu di­publikasikan (September 1963) sebagai tanggapan terhadap di­namika politik dan kebudayaan di bawah pemerintahan otoriter De­mokrasi Terpimpin yang berpihak kepada kelompok kiri, termasuk Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Tantangan MK ini men­dapatkan simpati dari kalangan militer, tetapi diserang PKI, Le­kra, maupun aparat pemerinta­han. Pada8 Mei 1964, pemerintah RI menyatakan MK terlarang.

MK ''bebas kemba:li bersuara", seperti kata Goenawan di akhir eseinya, dengan runtuhnya peme­rintahan Demokrasi Terpimpin, pembubaran PKIlLekra, dan ban­jir darah 1965-1966.

Tentu saja, dalam seperempat abad ini MK tidak sekadar "bebas kemhali bersuara". Ia merupakan monumen hegemoni intelektual­kesenian Orde Baru minimal hingga akhir 1970-an. Ia mem­berikan°asastunggal"kerangkaber­kisah tentang sejarah politik budaya nasional pada 1960-an, sementara

para anggota Lekra telah terbung­kam, terbantai, atau terbuang ke Pulau Buru tanpa diadili.

Dalam masa kejayaan pasea-1966, MK tidak saja bebas men­jelaskan posisi dan cita-citanya. Iajuga bisa menjelaskan penderi­taannya di bawah tekanan Lekra. Kebebasan bersuara MK bahkan sering digunakan untuk menje­laskan alarn berpikir dan cita-cita Lekra, tentu saja menurut penafSiran, imajinasi, dan mungkin juga seba­tas kepentingan si peneerita.

Selama bertahun-tahun, sejarah yang dituturkan secara monolog ini menampilkan sebuah kisah yang serba hitam-putih. Seakan­akan MK dan Lekra merupakan dua kubu yang berbeda atau ber­tentangan dalam segala hal, khu­susriya eita-eita berkesenian. Da­lam gambaran karikatural itu, MK ditampilkan sebagai pejuang "kebebasan", bersemboyan seni untuk seni atau "humanisme uni­versal". Lekra digambarkan seba­gai tukang propaganda yang di­peralat PKI, .memperalat keseni­an untuk kepentingan politik, bersemboyan "realisme so sial" dan berslogan seni untuk rakyat.

Gambaran karikatural demiki­an bukan tak pernah dipersoal­kan. Buku Keith Foulcher yang dikutip Goenawan merupakan kajian terbaik barbahasa asing tentang ini. Di Indonesia sendiri, sejarah hitam-putih itu pernah dipertanyakan dalam sebuah se­minar (Jakarta, 1982). Waktu itu Satyagra'ba Hoerip menggugat klaim-klaim besar yang dinf'ata­kan Wiratmo Soekito, perumus dan penanda tangan MK yang pa­ling gencar berkampanye sesudah 1966. Pada 1987, sejarah MK menjadi pokok perdebatan yang panas kembali dalam majalah Horison, sarang para tokoh MK.

Sayang, dari kedua kontroversi itu, seperti rangkaian kontroversi tentang Presiden Soekarno, be­lum muneul suatu sintesis penge­tahuan yang mendasar. Yang ada

Oleh Ariel Heryanto

barulah hiruk pikuk perdebatan dan bukti masih segarnya trauma akibatluka-lukalamaitu.Banyak pertanyaan besar harus menung­gu waktu untuk bisa dikaji dan dijawab dengan kepala dingin dan hati lapang.

Di tengah gejolak seperti itu, esei Goenawan bagaikan eahaya pene­rangan yang baru, gambar ber­warna bagi karikatur hitarn-pu­tih yang selama ini mendominasi pembahasan MK-Lekra. Penulis­nya menunjukkan niat berdialog. Ia berusaha menunjukkan berba­gai kompleksitas persoalan, kon­tradiksi, ambiguitas, dan pata­han-patahan realitas di sekitar pertentangan 1960-an itu.

Goenawan berbicara dengan modal dan wibawa sebagai salah seorang pelaku-kunei dalarn seja­rah yang dituturkannya. Ia peru­mus dan penanda tangan awal MK. Sebenarnya ia bukan mani· festan pertama yang tampil kritis dan dingin terhadap sejarah kete­gangan politik budaya menjelang 1965 itu. Sebelumnya, AriefBudi­man telah beberapa kali menggu­gat mitos yang dibangun MK di atas pembungkaman Lekra ten­tang perselisihan kedua kubu itu. Tapi, Arief hanya melontarkan pernyataan-pernyataan pendek dan spontan yang polemis. Goena­wan menyajikan uraian rinci dan mendalam.

Esei Goenawan menunjukkan betapa banyak persamaan ideal di antara mereka yang pada 1960-an itu saling memaki dan men­yakiti. Misalnya, antara Pramoe­dya A. Toer dan Sutan Takdir Ali­sjahbana yang sarna-sarna meno­lak individualisme dan mengagu­mi Maxim Gorky, bapak sosialis realisme. Juga, ditunjukkan bah­wa Demokrasi Terpimpin tak hanya menyensor buah pikiran MK, tetapi juga karya tulis Lekra. Mungkin, yang pertama bagi manifestan, Goo-

nawan menyatakan bahwa secara prinsipal MK tidak menentang dok­trin realisme sasial. Ia mengkritik praktiknya di Indonesia.

Goenawan memuji nilai estetik beberapa karya seniman Lekra. Ia menjelaskan tak semua seni­man Lekra mau didikte kepen­tingan politik PKI. Bahwa bukan hanya Lekra, tetapi juga MK ter­libat dalarn pertentangan politik antara PKI dan mil iter. Bahwa teks MK ditulis dengan meniru gaya gebrak Marx ketika menulis manifesto komunis.

Semua kesaksian ini sangat penting, selain menarik, bukan saja karena memperkaya pema­haman kita yang dipermiskin ka­rikatur hitam-putih selama ini. Yang membuatnya lebih menarik ialah keterlibatan langsung dan status penuturnya dalam sejarah yang dituturkan. Tapi, dengan semua ini, jangan dibayangkan esei Goenawan menjungkirbalik­kan sejarah yang telanjur dires­mikan.

Di balik semua coritoh yang me­ngejutkan di atas, esei Goenawan pada hakikatnya mempertegas sejarah resmi itu. Cuma, dengan cara yang sangat halus dan cang­gih. Pesan utama esei itu tetap menegaskan dosa-dosa Lekra dan penderitaan kaum manifestan. Nada utama esei itu tetap defensif.

Boleh dikatakan, di Indonesia, hak berkisah tentang sejarah poli­tik budaya 1960-an itu masih menjadi monopoli pihak mani­festan. Kritik kecil-kecilan terha­dap MK atau pujian kecil-kecilan terhadap Lekra bisa muncul, tapi asal dan hanya bisa absah bila da­tang dari ''kerelaan'' suara seorang manifestan. Kita tabu, jika ada pe­ngamat luar atau pihak ketiga yang mempertanyakan sejarah manifes yang telah dibakukan, ia dengan mudah~dituduh subversif karena bersimpati kepada Lekra.

Monopoli bersuara itu mungkin bukan kemauan MK. Tapi, jelas Orde Baru tidak sekadar membe-

rikan "kebebasan bersuara kem­bali" kepada MK, seperti ditulis Goenawan. Bagi manifestan se­perti Goenawan, Orde Baru me­nyediakan kelimpahan peluang dan fasilitas mengembangkan ba­kat seni dan jurnalisnya ke ling­kup dan tingkat yang luasnya tak terbayangkan oleh siapa pun pada saat MK diproklamasikan. Kini seorang manifestan tak perIu me­rasa terancam lagi bila membong­kar sejarah budaya politik 1960-an itu denganjujur, terbuka, dan kritis. Tak perlu berkobar-kobar seperti akhir 1960-an, atau seper­ti yang masih terus dikerjakan orang seperti Wiratmo Soekito dan para simpatisan berat MK.

Goenawan bukan orang yang bergembira menyaksikan pende­ritaan para seniman Lekra sesu­dah 1965. Penderitaan yang di­akuinyajauh lebih berat daripada yang pernah dialami manifestan. lni ditulisnya dalam tiga potong kalimat dalam esei lebih dari 30 halaman bercatatan kaki lebih dari 50 biji itu. Seperti film Pengo khianatan G 30 S / PKI, esei Goe­nawan berakhir dengan suatu masa yang justru menjadi awal peristiwa terpenting dalam selu­ruh sejarah modern Indonesia. Korbannya bukan lagi hanya PKII Lekra.

Ironisnya, kondisi kontemporer inilah yang melahirkan eseinya yang supercanggih, tak emosio­nal, dan jernih. Tentu bukan ha­nya kondisi mutakhir ini yang te­lah berjasa bagi penulisan esei Goenawan. Kefasihan intelektual Goenawan bersumber, antara lain, dari bacaanya yang luas, ter­masuk buku-buku Marxisme yang tersedia bagi umum sebelum 1965. Goenawan dididik menjadi cendekiawan unggul dalam za­man yang dikutuknya. Zaman yang tidak cuma kaya perten­tangan politik, tetapi juga perde­batan filsafat dan kebudayaan. Zaman yang asing bagi para pe­muda masa kini. ***

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>