jatidiri manusia indonesia: keberadaan lahan irigasi...
TRANSCRIPT
1
JATIDIRI MANUSIA INDONESIA:
Keberadaan lahan irigasi sebagai perwujudan karakter bangsa agraris berbasis beras1
Oleh: Sahid Susanto2
ABSTRACT Keberadaan lahan sawah beririgasi dapat ditelusuri dari jejak-jejaknya sejak masa kolonialisme Belanda
sampai sekarang. Lahan sawah beririgasi mempunyai berbagai peran, mencakup menjaga stabilitas suplai
pangan khususnya beras, meningkatkan fungsi ekologis, menciptakan aktivitas sosial-ekonomi-budaya
masyarakat pedesaan, dan wahana pembentuk peradaban. Jejak-jejak tersebut mencerminkan perwujudan
karakter bangsa Indonesia yang agraris berbasis beras. Pembangunan ekonomi yang menekankan
industrialisasi menekan alih fungsi dan menggeser keberadaan dan perannya. Lahan sawah irigasi perlu
ditempatkan sebagai bagian dalam meningkatkan harkat dan martabat petani penerima air irigasi maupun
masyarakat secara keseluruhan. Ciri masyarakat Indonesia dengan menu utama beras telah menjadi
bagian dari peradaban. Mengembalikan jati diri manusia Indonesia melalui beras, sekaligus sebagai
bagian dalam membangun harga diri bangsa sangat diperlukan saat ini.
Kata kunci: lahan sawah irigasi, beras, karakter bangsa agraris,
1. Pengantar
Sejarah tentang keberadaan lahan sawah irigasi memberi pelajaran bahwa air sudah
menjadi bagian hidup sebagian masyarakat di Indonesia. Keberadaan lahan ini juga
mecerminkan dinamika social-ekonomi-budaya masyarakat. Tulisan ini mencoba menelusuri
jejak-jejak keberadaan lahan irigasi. Dari jejak-jejak mampu diungkap bahwa keberadaan lahan
sawah beririgasi pada dasarnya merupakan cermin karakter bangsa agraris berbasis beras.
Pembangunan ekonomi yang lebih menekankan pada industrialisasi menggeser peran strategis
1 Bahan tulisan ini telah diterbitkan sebagai bagian dalam buku: JatiDiri Manusia Indonesia Dalam Perspektif
Pembentukan Karakter Bangsa. Penerbit Gadjah Mada University Press, 2013. ISBN 979_420-890-6 2 Guru Besar pada Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada
Lahan sawah beririgasi mempunyai peran utama dalam menjaga stabilitas suplai pangan....
khususnya beras.... meningkatkan fungsi ekologis lingkungan pertanian, dan menciptakan aktivitas
sosial dan ekonomi masyarakat pedesaan, wahana pembentuk peradaban masyarakat berbasis
agraris dalam menuju masyarakat yang mempunyai harkat dan martabat
2
lahan sawah beririgasi dalam mendukung produksi beras. Tulisan diakhiri dengan mengajukan
pemikiran strategis untuk menempatkan lahan irigasi sebagai bagian dari mengembalikan jati diri
manusia Indonesia dengan menempatkan beras sebagai bagian dalam membangun harga diri
bangsa.
2. Jejak-jejak dinamika pembangunan sumberdaya air dan irigasi
Jejak-jejak keberadaan lahan irigasi dapat dilihat di pulau Jawa. Sejak jaman kerajaan ---
jauh sebelum penjajahan Belanda--- pembangunan sumberdaya air difokuskan untuk
transportasi, air kebutuhan sehari hari (air minum dan MCK), estetika dan perlindungan istana
kerajaan dengan kanal mengelilingi istana dan membendung sungai untuk mengairi lahan sawah
irigasi. Sisa artefak bangunan air ini masih ada sampai sekarang. Adanya lahan sawah beririgasi
di Kerajaan Majapahit dan Demak, misalnya menjadikan kerajaan tersebut dikenal sebagai
pengekspor beras waktu itu.
Pada masa penjajahan Belanda, sampai tahun 1930 pembangunan sumberdaya air
diarahkan untuk control banjir, sedangkan pembangunan irigasi ditekankan untuk mengairi tebu
sebagai bahan baku utama gula (Tabel 1 dan Tabel 2). Gula yang dihasilkan dari bahan mentah
tebu di ekspor ke Belanda. Dalam perjalannya, setelah kemerdekaan tahun 1945, lahan irigasi
pelan-pelan berubah fungsi untuk lahan sawah. Kondisi politik dibawah regim Presiden Sukarno
(1945-1965) tidak memfokuskan pada pembangunan kemandirian pangan, maka lahan irigasi
peninggalan Belanda menjadi terlantar.
Musim kemarau kering panjang tahun 1963 menjadikan titik balik. Kondisi sosial politik
menjadi tak menentu. Krisis pangan karena kemarau panjang memicu pergantian regim. Sejak
itu, pemerintah mencanangkan program swasembada yang didukung dengan rehabilitasi dan
3
pembangunan infrastuktur irigasi besar-2an. Luas lahan sawah irigasi, pada tahun 1970an masih
sekitar 1,8 juta ha, pada tahun 1985 berkembang menjadi sekitar 4,8 juta ha. Pembangunan ini
sukses membawa membawa Indonesia menjadi Negara swasembada pangan khususnya beras
(Tabel 3). Dengan demikian infrastuktur irigasi ini sudah menjadi aset nasional strategis.
Setelah 1985, pembangunan baru infrastuktur irigasi menurun tajam, diikuti dengan
penurunan luas lahan sawah beririgasi karena berkompetisi dengan peruntukan lahan lain yang
mempunyai nilai ekonomi jauh lebih tinggi. Dari data yang ada, selama kurun waktu 1981-1989
neraca lahan sawah positif 1,6 juta ha. Selama kurun waktu 1999-2002 neraca lahan sawah sudah
negatif 0,17% per tahun.3 Laju neraca negatif ini terus meningkat. Kecenderungan ini terjadi
hampir merata di seluruh wilayah di Indonesia, khususnya pulau Jawa. Perubahan ini dipicu oleh
alih fungsi lahan sawah beririgasi semakin meningkat dari tahun ke tahun karena kompetisi
kebutuhan lahan untuk berbagai peruntukan yang lebih bernilai ekonomis.
Secara nasional, diperkirakan laju konversi lahan sawah beririgasi telah mencapai 40.000
ha per tahun, sebagian besar terjadi di Jawa. Konversi terus berlangsung sampai sekarang. Bila
produksi gabah kering giling (GKG) rata-2 6 ton/ha/sekali panen dengan satu tahun tanam padi
dua kali, produksi GKG nasional menyusut 4.840.000 ton per tahun. Suatu angka yang cukup
signifikan. Di sisi lain, laju pencetakan sawah baru sangat kecil bahkan tidak ada.
Tergusurnya lahan sawah beririgasi merupakan bagian dari phenomena menurunnya
pertanian berbasis padi yang perlu dukungan air irigasi. Dalam kata lain, pengembangan
sumberdaya air dan irigasi masih belum mampu mengakat harkat dan martabat petani pemanfaat
air, sejak kemerdekaan sampai sekarang. (Gambar 1).
3 Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Kebijakan untuk menciptakan Lahan Pertanian
Pangan Abadi (2007).
4
Dilihat dari perspektif pembangunan karakter bangsa, jejak-jejak pembangunan
sumberdaya air dan irigasi tersebut membuktikan bahwa dinamika memanfaatkan keberadaan air
di wilayah iklim munson tropis telah menyatu dengan masyarakat dan terwujud dalam
pembentukan karakter jatidiri bangsa agraris berbasis beras. Pertanyaan yang layak diajukan
adalah, sudahkah terjadi penggerusan jati diri bangsa secara pelan dan pasti?
Pembangunan ekonomi sejak rejim Orde Baru yang menekankan pada industrialisasi
hingga Orde Reformasi sekarang yang mengarah pada diijinkannya liberasi pasar dirasakan
menggeser peran sektor pertanian, khususnya sektor pertanin skala kecil. Ketimpangan produk
sektor pertanian skala kecil semakin ketinggalan jauh dibanding produk sektor industri. Jati diri
bangsa yang pernah terwujud dari dinamika masyarakat agraris berbasis beras bergseser ke arah
pembentukan karakter dan jatidiri bangsa bermuatan nilai liberal. Berbagai cara telah dilakukan
pemerintah. Payung payung hukum untuk melindungi asset lahan ini juga sudah memadahi.
Bahkan sudah disiapkan Rencana Undang-Undang (RUU) lahan Pertanian Pangan Abadi.4
4 Pusat Analisis Sosial Ekonmi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Kebijakan untuk menciptakan Lahan Pertanian
Pangan Abadi (2007).
Mengangkat
harkat dan
martabat
petani
Gambar 1. Pembangunan infrastruktur sumberdaya air dan irigasi sampai sekarang masih belum menunjukkan
signifikansinya dalam mengangkat harkat dan martabat masyarakat petani sebagai penerima air irigasi dan
sekaligus sebagai produser pangan (beras)
a. stabilitas pangan secara kuantitas dan kualitas dalam tingkat harga yang layak b. peningkatan produksi pertanian domestik sebagai tujuan utama dan secara bersama sama dengan kombinasi
yang serasi dalam meningkatkan produk pertanian untuk cadangan (stockpiles) dan ekspor c. menjaga keamanan tersedianya pangan (food security) dalam situasi yang tidak diharapkan d. ingkungan e. menjaga cagar budaya, f. dsb. g. umberdaya manusia agar mempunyai harkat, serta memberikan kontribusi dalam membangun struktur produksi
yang layak (appropriate) h. Mempertahankan dan memperbaiki mekanisme siklus alam lingkungan pertanian (natural cycle mechanism of
agriculture environment) n:
i. Memperbaiki kondisi produksi pertanian j. Memperbiki kesejahteraan, harkat dan martabat masyarakat yang sebagian besar berada di wilayah terpencil
dan pedesaaan dengan diikuti perbaikan-2 kondisi lingkungan agar kondusif dalam mewujudkan terciptanya berbagai bentuk keadilan (fairness) *
77/2001 ?
5
Namun demikian, alih fungsi lahan sawah masih saja sulit dicegah. Hukum besi ekonomi berlaku
disini.
Tabel 1: Bangunan waduk yang dibangun setelah Perang Dunia I (1918)
Nama Waduk Tahun pemba-ngunan
Tipe waduk
Daya tampung, 1000 m3
Daerah Pengaliran
Sungai
Wilayah
Ngalon 1911-1914 urugan tanah 1.104 Lusi Semarang, Jateng
Tempuran 1914-1916 urugan tanah 2.143 Lusi Semarang, Jateng
Cengklik - urugan tanah 11.100 - Surakarta, Jateng
Jombor - urugan tanah 4.100 - Surakarta, Jateng
plumbon - urugan tanah 1.200 - Surakarta, Jateng
Mulur - urugan tanah 1.200 - Surakarta, Jateng
Delingan - urugan tanah 4.000 - Surakarta, Jateng
Gebyar - urugan tanah 2.100 - Surakarta, Jateng
Lalung - urugan tanah 5.000 - Surakarta, Jateng
Dawuhan - urugan tanah 5.425 - Madiun, Jatim
Notopuro - urugan tanah 2.060 - Madiun, Jatim
Saradan - urugan tanah 1.631 - Madiun, Jatim
Dungbendo - urugan tanah 2.400 - Madiun, Jatim
Gunung rowo 1918-1925 urugan tanah 5.000 - Pati, Jateng
Gembong 1930-1933 urugan tanah 9.200 - Pati, Jateng
Malahayu 1935-1940 urugan tanah 60.000 Kabuyutan Brebes, Jateng
Sumber: Abdullah Angoedi, 1984. Sejarah Irigasi Di Indonesia. Komite Nasional Indonesia, International Commision on Irrigation and Drainage (ICID) - : tidak ada data
Tabel 2: Pembangunan irigasi oleh pemerintah kolonial Belanda sampai tahun 1930
No
Daerah irigasi
Luas, ha
Nama Sungai
Karesidenan
1. Ciujung 31.200 Ciujung Banten
2. Tangerang 52.000 Cisadane Jakarta
3. Krawang 73.000 Citarum Krawang
4. Cipunegara 28.000 Cipunegara Krawang dan Indramayu
5. Cimanuk 89.000 Cimanuk Indramayu
6. Cilutung 15.800 Cilutung Indramayu dan Priyangan
7. Pemali 31.200 Pemali Tegal
8. Gung-Kumisik 26.900 Gung dan Kumisik Tegal
9. Comal-Cacaban 26.900 Rambut, Waluh, Comal Pekalongan
10. Bodri 19.100 Bodri Semarang
11. Demak 33.700 Tuntang dan Serang Kudus dan Blora
12. Pacal 14.900 Waduk Pacal Bojonegoro
13. Sidoarjo 34.000 Brantas Surabaya
14. Kraksaan Timur 14.900 Sungai-sungai kecil Probolinggo
15. Banyuwangi Selatan 35.000 Baru, Setail, Blambangan Jember
6
16. Bondoyudo-Tanggul 24.000 Bondoyudo, Tanggul Jember
17. Badadung 16.300 Badadung Jember
17. Warujayeng-Kertosono 15.200 Brantas Kediri
18. Madiun 13.400 Madiun Madiun
Sumber: Abdullah Angoedi, 1984. Sejarah Irigasi Di Indonesia. Komite Nasional Indonesia, International Commision on Irrigation and Drainage (ICID)
Tabel 3: Bangunan waduk yang dibangun setelah Perang Dunia II (1945)
Nama Waduk Tahun pemba-ngunan
Tipe waduk
Daya tampung, 1000 m3
Daerah Pengaliran Sungai
Wilayah
Cacaban 1952-1958 Urugan tanah 90.000 Cacaban Legal, Jateng
Darma 1959-1962 Timbunan batu 40.000 Cisanggarung Kuningan, Jabar
Jatiluhur 1957-1967 Urugan tanah 3.000.000 Citarum
Krangkates Urugan tanah Jatim
Lahor 1972-1975 Urugan tanah 37.000 Lahor, Karangkates Jatim
Selorejo 1970-1972 Urugan tanah 62.300 Konto Madang, jatim
Wlingi 1972-1978 24.000 Karangkates Blitar. Jatim
Sempor 1959 Timbunan batu & lapisan aspal
36 jua Sempor Gombong, Jatim
Klampis 1974-1976 Urugan tanah 10.250 Sampang, Madura
Wonogiri 1974-1976 735.000 Bengawan Solo Wonogiri, Jateng
Widas 1977-1981 Urugan pasir dan gravel
24.800 Widas Nganjuk, Jatim
Campean Baru 1979-1981 Beton, gravel, urugan tanah
1.500 Sampean Situbondo, Jatimn
Sumber: Abdullah Angoedi, 1984. Sejarah Irigasi Di Indonesia. Komite Nasional Indonesia, International Commision on Irrigation and Drainage (ICID)
3. Jejak-jejak lahan sawah irigasi sebagai cerminan bangsa agraris berbasis beras
Bangsa Indonesia pada dasarnya adalah bangsa agraris. Tradisi masyarakat yang
mencerminkan budaya agraris yang diwujudkan dengan perayaan rasa syukur setelah panen ada
di berbagai wilayah di Indonesia. Tradisi Seren Tahun pada masyarakat Sunda, tradisi Sedekah
Bumi untuk masyarakat Jawa, khususnya masyarakat Jawa Tengah dan tradisi berkumpul dan
makan bersama keluarga pada masyarakat Minahasa merupakan sedikit contoh cerminan
masyarakat agraris. Khusus yang berkaitan dengan produk pangan berupa beras, tradisi perayaan
rasa syukur setelah panen padi ada di hampir daerah yang mempunyai lahan sawah.
7
Beras sudah menjadi menu pangan dan sumber karbohidart utama bagi bangsa
Indonesia. Hal ini dapat dirunut dari sejarah budaya air untuk mendukung penyediaan pangan,
khususnya beras. Penelusuran jejak-jejak perjalanan masyarakat dalam kaitannya dengan
memanfaatkan sumberdaya air sebagai fungsi ruang dan waktu. Sebagai fungsi waktu dapat
ditelusuri dari era pra-kolonial, era-kolonial dan era-kemerdekaan. Sedangkan sebagai fungsi
ruang ditekankan pada fungsinya sebagai penyedia air untuk lahan sawah dalam memproduksi
beras, fungsi habitat, fungsi estetika dan rekreasi.
Dinamika pembentuk karakter budaya tersebut mempunyai kronologis dan sangat erat
kaitannya atau dikendalikan oleh pusat kekuasaan (nucleus of power) sebagai fungsi waktu (di
setiap eranya).5 Dinamika pembentuk karakter melalui jejak-jejak keberadaan lahan sawah
sebagai perwujudan karakter bangsa agraris dapat dilihat dari aspek filosofis (software), aspek
institusi (organoware) dan aspek teknologi (technology). Studi yang komprehensif tentang
budaya dan kaitannya dengan teknologi pengairan pernah dilakukan oleh DitJen Pengairan
(2004) 6 dan beberapa hal yang penting juga diungkap melalui studi khususnya yang berkaitan
dengan lahan sawah sebagai perwujudan karakter bangsa Indonesia yang agraris.7
3.1. Aspek filosofis
Gambar 2 memperlihatkan lengkung garis yang mencerminkan perubahan
kecenderungan komponen budaya air dalam mayarakat agraris dilihat dari aspek filosofis sebagai
fungsi waktu. Dalam konteks komponen budaya dari aspek filosofis diwujudkan melalui
pandangan hidup masyarakat dalam hubungan antara manusia dengan Pencipta alam dengan air
5 Abdullah Angoedi, 1984. Sejarah Irigasi Di Indonesia. Komite Nasional Indonesia, International Commision on
Irrigation and Drainage (ICID) 6 Direktorta Jendral Pengairan, Kementrian Pekerjaan Umum, 2004. Sejarah Irigasi.
7 Penulis dan beberapa peneliti dari Fakultas Teknologi Pertanian UGM menjadi anggota Tim studi.
8
sebagai bagian dari alam (software). Pandangan hidup masyarakat dalam kaitannya dengan air
disederhanakan dalam hal fungsi dan keberadaan air di alam yang ditempatkan sebagai pengatur
siklus hidrologis dan habitat flora dan fauna sekaligus sebagai fungsi estetika harus tetap dijaga
harmoninya seiring dengan meningkatnya kebutuhan air untuk mencukupi kebutuhan hidup
manusia.
Nampak dari gambar bahwa selama masa pra kolonial, fungsi air dan khususnya
keberadaan air permukaan dan bawah permukaan (air tanah) sebagai pengatur dan habitat dalam
ekosistem yang harus dijaga masih kuat mendominsi dalam pandangan hidup masyarakat
(software). Pandangan yang bersumber terutama dari pusat kekuasaan Mojopahit di Jawa Timur
LEMAH
Perkembangan jejak aspek filosofis. Diskriptor secara kualitatif kuat
dan lemah mengindikasikan tingkat kekuatan pandangan filosofis
(software) masyarakat tentang air sebagai fungsi pengaturan proses
hidrologis, habitat dan estetika
Periode titik balik
Masa Kerajaan
Majapahit
Masa Kerajaan
Mataram
Masa Kmerdekaan
Orde Lama
MASA PRA KOLONIAL
MASA PRA KOLONIAL
MASA KOLONIAL
MASA PRA KOLONIAL
MASA KEMERDEKAAN
MASA PRA KOLONIAL
Masa Kmerdekaan
OrdeBaru Masa Kmerdekaan
Orde Reformasi
Masa Masuknya Islam
dan orang Barat
Masa kolonialisme
Belanda
Masa kolonialisme
Jepang
Gambar 2. Simplifikasi peta jejak budaya dan teknologi pengairan sebagai fungsi waktu
dilihat dari aspek filosofis
KUAT
Periode staknasi
9
dan Kerajaan Mataram di Jawa Tengah ini sangat kuat melekat di masyarakat yang saat itu.
Dalam situsi yang demikian citra masyarakat berkembang sebagai sebagai masyarakat hidraulik
menjadi sangat kuat. Bukti artefak teknologi pengairan sederhana pada masa itu membuktikan
bahwa masyarakat mampu membangun irigasi desa (technoware). Secara bersamaan
berkembang institusi tradisional petani pemakai air sebagai cara untuk mewujudkan harmoni
hubungan antara manusia dengan manusia sesama pemakai air irigasi secara harmoni
(organoware).
Masuknya Islam tidak mengubah pandangan ini karena ada kesamaan filosofis dalam
memandang alam. Fungsi dan keberadaan air lebih dominan masih ditempatkan sebagai pengatur
siklus hidrologis dan habitat flora dan fauna sekaligus sebagai fungsi estetika. Adanya artefak
peninggalam kolam air di lingkungan kerajaan memberikan justifikasi aspek filosofis tersebut.
Dengan kedatangan orang Barat yang berorientasi ekonomi, pandangan filosofis tersebut
mengalami pelemahan. Laju pelemahan pandangan filosofis ini mencapai puncaknya setelah
masa kolonialisme Belanda selama hampir 350 tahun. Sejalan dengan bergesernya pusat
kekuasaan dari kerajaan ke kekuasaan kolonialisme Belanda, fungsi air bergeser lebih kearah
sebagai fungsi produksi. Dalam kerangka untuk memberikan kontribusi perbaikan defisit
keuangan pemerintah Negeri Belanda, pemerintah kolonial Belanda di wilayah Hindia Belanda
(kelak menjadi Indonesia) menerapkan kebijakan Sistem Tanam Paksa.Sistem pengairan
sederhana yang dibangun oleh masyarakat dirombak total dengan sistem irigasi teknis untuk
tanaman tebu dalam kerangka mendukung industri gula. Melemahnya fungsi ini berlanjut sampai
masa-masa menjelang masuknya pendudukan Jepang di wilayah Hindia Belanda.
Kecenderungan pelemahan aspek filosofis ini menjadi agak mendatar setelah masuknya
kolonialisme Jepang yang relatif tidak lama (1935-1945), sehingga menjurus kearah stagnasi.
10
Hal ini disebabkan karena selama kolonialisme Jepang, praktis pengembangan irigasi berhenti
total. Stagnanasi pengembangan ini berlanjut sampai awal memasuki masa kemerdekaan
Indonesia.
Dominasi urusan politik pemerintah Indonesia di awal-awal pemerintahan setelah
proklamasi kemerdekaan menjadikan urusan pengembangan irigasi tetap stagnasi. Krisis pangan
yang parah terulang kembali saat terjadi musim kemarau panjang pada tahun 1963. Krisis ini
tidak terelakkan karena ketiadaan dukungan sistem irigasi. Krisis pangan yang parah pada masa
kolonialisme Belanda terjadi karena saat itu pemerintah kolonial Belanda lebih menekankan
pembangunan irigasi untuk mendukung industri gula dengan Sistem Tanam Paksa. Krisis pangan
yang parah di masa Orde Lama setelah kemerdekaan terjadi karena kemarau panjang dan sistem
irigasi yang telah dibangun pemerintah kolonialisme Belanda tidak diurus dan difungsikan
dengan baik. Krisis pangan berlanjut dan begeser menjadi krisis politik hingga tumbangnya Orde
Lama tahun 1965.
Dalam upaya mengatasi masalah krisis pangan, pemerintahan Orde Baru memfokuskan
solusi masalah pangan menjadi prioritas pembangunan. Program swasembada pangan
diluncurkan. Untuk mendukung program itu, proyek rehabilitasi dan pembangunan baru
infrastuktur irigasi menjadi fokus pembangunan. Swasembada pangan terwujud tahun 1984.
Dilihat dari kacamata aspek filosofis, penekanan pembangunan ini lebih menekankan fungsi air
dan keberadaan air untuk memenuhi fungsi produksi. Aspek fungsi air sebagai pengatur proses
hidrologis sekaligus sebagai habitat dan estitika menjadi terabaikan. Diiringi dengan tingkat
pertumbuhan penduduk yang tinggi, beban lingkungan untuk memenuhi sumberdaya air sebagai
fungsi pengatur proses hidrologis sekaligus sebagai habitat dan estitika menjadi semakin berat.
11
Pergantian pemerintahan dari Orde Baru ke Orde Reformasi tahun 1997 terulang kembali
dengan diawali dengan krisis. Diawali dengan krisis ekonomi yang kemudian begeser menjadi
krisis politik yang multi demensi. Dalam krisis multi demensi terkandung demensi semakin
rusaknya ekosistem lingkungan hidup sehingga terjadi penurunan yang signifkan kemampuan
alam dalam fungsinya sebagai tempat atau wahana berlangsungnya kehidupan, khususnya
manusia. Sumberdaya air sebagai bagian dari sumberdaya alam mempunyai peranan yang
dominan dalam menyediakan kemampuan alam untuk kehidupan tersebut. Dengan demikian,
selama periode Orde Lama, Orde Baru sampai Orde Reformasi dapat dikatakan terjadi staknasi
perkembangan filosofis masyarakat terhadap air dalam fungsinya sebagai pengatur proses
hidrologis di alam, sebagai habitat dan sebagai estetika.
3.2. Aspek institusi
Lengkung garis patah-patah seperti diperlihatkan dalam Gambar 3 mencerminkan
perubahan kecenderungan komponen budaya air dari aspek institusi sebagai fungsi waktu.
Seperti telah disinggung di bab terdahulu, komponen budaya dari aspek institusi merupakan
perwujudan perkembangan hubungan antara manusia dan manusia dalam membentuk institusi
(organoware).
Dengan kerangka pikir yang sama seperti diuraikan dalam aspek filosofis, aspek institusi
merupakan cara untuk mencapai tujuan bersama dengan mewujudkan hubungan antara manusia
dengan manusia secara harmoni. Dalam konteks budaya air dan teknologi pengairan maka
hubungan harmoni antara manusia diartikan sebagai hubungan sesama pemakai air irigasi
(organoware). Tujuanya adalah untuk mengelola air irigasi agar diperoleh pembagian yang adil.
12
Sejalan dengan jejak artefak teknologi pengairan (technoware), yang diawali pada masa
pra-kolonial dimana masyarakat pada masa itu mampu membangun irigasi desa secara
bersamaan berkembang pula institusi tradisional. Pada masa itu, aturan yang diterapkan dalam
institusi ini tidak tertulis (rule-in-use). Nampak dari gambar bahwa selama masa pra kolonial,
fungsi air dan khususnya air permukaan dan bawah permukaan (air tanah) sebagai fungsi
produksi secara perlahan meningkat. Laju peningkatan pemanfaatan air lebih dominan sebagai
fungsi produski terjadi selama masa pusat kekuasaan berada ditangan kolonialisme Belanda.
Perkembangan jejak aspek institusi. Diskriptor secara kualitatif kuat dan lemah mengindikasikan tingkat kekuatan perkembangan institusi (organoware) sebagai perwujudan hubungan manusia dangan manusia
Periode titik balik 1
Masa Kerajaan
Majapahit
Masa Kerajaan
Mataram
Masa Kmerdekaan
Orde Lama
MASA PRA KOLONIAL
MASA PRA KOLONIAL
MASA KOLONIAL
MASA PRA KOLONIAL
MASA KEMERDEKAAN
MASA PRA KOLONIAL
Masa Kmerdekaan
OrdeBaru Masa Kmerdekaan
Orde Reformasi
Masa Masuknya Islam
dan orang Barat
Masa kolonialisme
Belanda
Masa kolonialisme
Jepang
Gambar 3. Simplifikasi peta jejak budaya dan teknologi pengairan sebagai fungsi
waktu dilihat dari aspek institus (organoware)
KUAT Periode staknasi 1
Periode titik balik 2
Periode staknasi 2
LEMAH
13
Seiring dengan pergeseran pengaruh pusat kekuasaan dari kerajaan, khususnya Kerajaan
Majopahit di Jawa timur dan Kerajaan Mataram di Jawa Tengah berganti dengan pengaruh dari
pusat kekuasaan kolonialisme Belanda, institusi tradisional yang dibangun oleh masyarakat
pedesaan pemanfaat air irigasipun bergeser menjadi institusi yang dikelola secara sentralistik dan
birokratik. Pada masa kolonialisme Belanda ini, institusi dibangun dengan pendekatan birokratik
dan dijalankan untuk mendukung suksesnya tanam paksa. Nafas institusi yang dibangun oleh
masyarakat pedesaan sebagai perwujudan pandangan filosofis agar keberadaan air sebagai fungsi
pengatur proses hidrologis, habitat dan estetika dapat berjalan bergeser pada institusi yang
bernafaskan pemanfaatan keberadaan air (khussusnya air permukaan) untuk mendapatkan
manfaat secara maksimal dalam proses produksi. Kecenderungan yang berlawanan dengan aspek
filosofis seperti telah dikemukakan dimuka. Dibentuknya bagian Irrigatie-Afdeling dibawah
Departemen BOW di setiap daerah irigasi, yang kemudian dikembangkan badan-badan yang
mengurusi pembagian air di setiap Irrigatie-Afdeling berupa Waterstaats afdelingen sampai
mantri ulu-ulu dengan tugas-tugas seperti telah diuraikan dimuka membuktikan pergeseran
peranan institusi dari masa pra-kolonial ke masa kolonial Belanda.
Kecenderungan peranan institusi sebagai penggerak keberadaan air sebagai fungsi
produksi mengalami stagnasi setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Berakhirnya pusat
kekuasaan pemerintah kolonialisme Belanda dan diganti oleh pusat kekuasaan pemerintah
Indonesia (kelak dinamakan Orde Lama) setelah kemerdekaan diwarnai oleh susana politik yang
tidak kondusif mengurusi pembangunan irigai lebih lanjut. Kondisi ini membawa konsekuensi
terjadinya stagnasi institusi pengairan sampai berakhirnya pemerintah Orde Lama tahun 1965.
Dengan diluncurkannya program swasembada pangan selama Orde Baru, kembali
keberadaan institusi pengairan berperanan sangat signifikan. Nafas sentralistik mewarnai
14
semangat yang berkembang dalam institusi ini. Semangat sentralistik dan birokratik dalam masa
pemerintahah koloniasme Belanda dilakukan untuk mensukseskan program industrialisasi gula,
pada masa pemerintahan Orde Baru ditekankan untuk mensukseskan program swasembada
pangan. Nafas sentralistik dan birokratik mengalami pelemaha saat pemerintahan Orde
Reformasi, termasuk dalam pelemahan kendali pengelolaan institusi pengairan.
Pembelajaran yang bisa dipetik dari dinamika institusi pengairan tersebut adalah kuatnya
pengaruh pusat kekuasaan. Dalam konteks pemetaan budaya dan teknologi pengairan dapat
dipahami bahwa pergantian kekuasaan dari masa ke masa akan mewarnai dinamika institusi
pengairan, yang pada gilirannya juga mewarnai budaya yang berkembang dimasyarakat.
3.3. Aspek teknologi
Kurva yang disajikan dalam Gambar 4 berupa garis lengkung titik-titik merupakan
cerminan kecenderungan komponen budaya air dari aspek teknologi pengairan dihasilkan dari
pendiskripsian melalui jejak-jejak perkembangan sebagai fungsi waktu.
Perkembangan jejak aspek teknologi. Diskriptor secara kualitatif kuat dan lemah mengindikasikan tingkat kekuatan perkembangan teknologi pengairan (technoware) sebagai perwujudan hubungan manusi dangan alam
Periode titik balik
Masa Kerajaan
Majapahit
Masa Kerajaan
Mataram
Masa Kmerdekaan
Orde Lama
MASA PRA KOLONIAL MASA KOLONIAL MASA KEMERDEKAAN
Masa Kmerdekaan
OrdeBaru Masa Kmerdekaan
Orde Reformasi
Masa Masuknya Islam
dan orang Barat
Masa kolonialisme
Belanda
Masa kolonialisme
Jepang
KUAT Periode staknasi 1
Periode titik balik 2
Periode staknasi 2
15
Melalui pendiskripsian jejak artefak teknologi pengairan (technoware), dalam masyarakat
pada masa pra-kolonial pada dasarnya telah terbangun masyarakat hidraulik dengan bukti-bukti
adanya artefak pemanfaatan sumberdaya alam berupa air untuk membangun sistem irigasi
sederahan di pedesaan.
Nampak dari gambar bahwa walaupun selama masa pra kolonial, fungsi air dan
khususnya keberadaan air permukaan dan bawah permukaan (air tanah) didominasi dengan air
sebagai fungsi regulasi, habitat dan estetika namun perkembangan teknologi pengairan juga
berkembang. Sesuai dengan pusat kekuasaan berada di tangan kerajaan saat itu, jejak artefak
sebagai wujud pandangan hidup secara filosofis yang dituangkan dalam berbagai bentuk
teknologi kolam air di sekitar kerajaan merupakan bukti perkembangan teknologi pengairan.
Seiring dengan perkembangan teknologi pengairan kolam air di kerajaan, dalam
masyarakat sendiri juga berkembang teknologi pengairan seiring dengan meningkatnya
kebutuhan air untuk memenuhi kebutuhan manusia, khusunya pangan. Kebutuhan ini mendorong
manusia untuk meningkatkan pemanfaatan air melalui pengembangan teknologi pengairan. Oleh
karena itu tidakla mengherankan kalau pada masa itu telah masyarakat telah berkembang
menjadi masyarakat hiraulik. Laju peningkatan ini keberadaan air yang sedikit demi sedikit
bergeser sebagai fungsi produksi dan laju ini mencapai puncaknya pada masa purat kekuasaan
berada ditangan kolonialisme Belanda.
16
Seiring dengan pergeseran pengaruh pusat kekuasaan dari kerajaan, khususnya Kerajaan
Majopahit di Jawa timur dan Kerajaan Mataram di Jawa Tengah berganti dengan pengaruh dari
pusat kekuasaan kolonialisme Belanda, perkembangan teknologi pengairan --- yang untuk saat
ini dikatakan tradisional --- yang dibangun oleh masyarakat pedesaan pemanfaat air irigasipun
bergeser menjadi teknologi pengairan yang dikembangkan oleh pusat kekuasaan kolonialisme
Belanda. Nafas perkembangan teknologi bergerak untuk menciptakan teknologi pengairan teknis
dalam kerangka mendukung suksesnya sistem tanam paksa.
Dibentuknya bagian Irrigatie-Afdeling dibawah Departemen BOW di setiap daerah
irigasi, yang kemudian dikembangkan badan-badan yang mengurusi pembagian air di setiap
Irrigatie-Afdeling berupa Waterstaats afdelingen sampai mantri ulu-ulu dengan tugas-tugas yang
sangat spesifik pada masa kolonial Belanda membuktikan pergeseran peranan teknologi
pengairan tradisional di pedesan menjadi teknologi pengairan teknis yang dipisahkan antara
sistem pemberi dan pembuang.
Kecenderungan perkembangan teknologi pengairan sebagai penggerak fungsi produksi
mengalami stagnasi setelah kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Berakhirnya pusat kekuasaan
pemerintah kolonialisme Belanda dan diganti oleh pusat kekuasaan pemerintah Indonesia (kelak
dinamakan Orde Lama) setelah kemerdekaan diwarnai dengan susana politik yang tidak kondusif
untuk pembangunan irigai lebih lanjut. Kondisi ini membawa konsekuensi terjadinya stagnasi
perkembangan teknologi pengairan sampai berakhirnya pemerintah Orde Lama tahun 1965.
Dengan diluncurkannya program swasembada pangan selama Orde Baru, dengan nafas
kebijakan yang sentralistik dan birokratik kembali perkembangan teknologi pengairan
berperanan sangat signifikan dalam menekankan kebaradaan peran air sebagai fungsi produksi.
Kalau semangat sentralistik dan birokratik dalam masa pemerintahah koloniasme Belanda,
17
perkembangan teknologi pengairan ditekankan untuk mensukseskan program industrialisasi gula,
dalam masa pemerintahan Orde Baru ditekankan untuk mensukseskan program swasembada
pangan. Pergantian pemerintahan Orde Baru oleh pemerintahan Orde reformasi kembali nafas
sentralistik dan birokratik melemah mengiringai perkembangan teknologi pengairan yang
cenderung melemah pula.
Perkembangan teknologi pengairan yang bisa diungkap dari jejak-jejak artefak seperti
diungkapkan di atas memberikan pembelajaran bahwa pusat kekuasaan dari masa ke masa
memberikan pengaruh yang cukup siknifikan. Dalam konteks pemetaan budaya dan teknologi
pengairan dapat dipahami bahwa pergantian kekuasaan dari masa ke masa akan mewarnai
dinamika perkembangan teknologi pengairan. Pada gilirannya mewarnai budaya yang
berkembang di masyarakat. Bila perkembangan teknologi pengairan dilihat dari tingkat
kerumitan hidraulik teknologi pengairannya, perwujutan secara phisik dicerminkan dari bentuk
sistem irigasinya dapat disarikan sejak pra-kolonial sampai kemerdekaan.
4. Multi fungsi keberadaan lahan sawah berrigasi
4.1. Sebagai bagian tata ruang wilayah dan pusat resapan air
Keberadaan lahan sawah irigasi yang mempunyai banyak fungsi harus tetap terjaga.
Dengan demikian, penyusunan zonasi abadi kawasan lahan beririgasi di suatu wilayah sangat
tergantung pada kebijakan yang diambil oleh pemerintah daerah setempat. Salah satu kebijakan
yang dapat dipakai adalah dengan melakukan penataan tata ruang wilayah. Dengan mengetahui
tata ruang wilayah tersebut maka dapat diketahui pula arah kebijakan pemerintah kabupaten yang
telah disepakati masyarakat.
18
Sebagai gambaran diambil contoh di wilayah Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.8
Kabupaten ini telah mempunyai Peraturan Daerah (PERDA) no 18/2005 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW). Arah kebijakan penataan ruang untuk keperluan sudah tercantum
dalam beberapa pasal. Dalam Perda tersebut, ps. 12 disebutkan bahwa wilayah ini telah dibagi
menjadi lima sub wilayah pembangunan (SWP) dengan masing-masing mempunyai sektor
prioritas. Dari kelima SWP tersebut sektor prioritas pertanian terdapat di SWP IV dan SWP V.
Lahan sawah beririgasi juga berfungsi sebagai daerah resapan air. Dalam pasal 18 Perda
ini telah menetapkan 20 kecamatan dari 23 kecamatan yang mempunai lahan irigasi sebagai
kawasan resapan air. Daerah-daerah resapatan air tersebut juga menghasilkan padi yang cukup
signifikan bagi kabupaten Banyumas (Tabel 6). Nampak dari table tersebut bahwa kecamatan
yang menjadi wilayah resapan air juga menjadi wilayah pemasok produksi pangan (beras).
Penomena ini tidak jauh berbeda denagn wilayah lain, khususnya di pulau Jawa.
Tabel 6. Luas panen per tahun, produktivitas padi kecamatan sebagai resapan air dan
pemasok padi di Kabupaten Banyumas
Kecamatan Luas Panen (ha)
% dari total
Total produksi (ton)
% dari total
Produktivi- tas (t/ha)
% dari rerata kabupa- ten
Total luas lahan irigasi *) (ha)
Lumbir 2.222 3,5 9.904 3,0 4.46 87,2 -
Wangon 3.021 4,8 16.179 5,0 5.36 104,9 629
Jatilawang 2.812 4,4 15.436 4,7 5,49 107,4 1.113
Rawalo 3.069 4,8 16.641 5,1 5.42 106,0 960
Kebasen 1.911 3,0 9.655 2,9 5.05 100,0 932
Kemranjen 3.784 6,0 19.360 6,0 5.12 100,0 1.881
Sumpiuh 3.230 5,0 17.273 5,3 5.35 104,6 1.315
Tambak 3.422 5,4 18.334 5,6 5.36 104.9 1.662
Somagede 1.100 1,7 5.546 1,7 5.04 100,0 239
Kalibagor 1.966 3,1 9.625 3,0 4.90 95,9 584
Banyumas 1.190 1,8 6.036 1.8 5.07 100,0 1.266
Patikraja 3.050 4,8 15.184 4,7 4,98 100,0 449
Purwojati 1.742 2,7 8.295 2,6 4.76 93,1 -
Ajibarang 3.218 5,0 15.659 4,8 4.87 95,3 998
Gumelar 2.226 3,5 10.245 3,1 4.60 90,0 -
8 Bappeda Tk II Banyumas, 2005. Laporan studi alih fungsi lahan irigasi di kabupaten Banyumas, Jawa Tengah.
Penulis sebagai Ketua Tim dalam studi.
19
Pekuncen 3.696 5,8 19.183 5,9 5.19 100,0 -
Cilongok 4.956 7,8 26.251 8,0 5.30 103,7 1.938
Karanglewas 2.058 3,2 10.543 3,2 5.12 100,0 191
Kedungbanteng 2.792 4,4 14.602 4,5 5.23 102,3 529
Baturaden 2.146 3,3 10.931 3,4 5.09 100,0 969
Sumbang 865 1,4 4.531 1,4 5.24 102,5 115
Kembaran 3.843 6,0 19.006 5,8 4.95 96,9 1.788
Sokaraja 3.304 5,2 17.010 5,2 5.15 100,0 1.674
100 100 20.323
Sumber : Banyumas dalam angka diolah (BPS Banyumas, 2005) *) total luas irigasi teknis, setengah teknis dan sederhana (ha)
4.2. Lahan irigasi sebagai aset produktif mendukung ketahanan pangan
Luas lahan pertanian yang bisa diolah di Indonesia mencapai kira-kira 70 juta ha,
meliputi lahan beririgasi, termasuk lahan pasang surut dan lahan tadah hujan. Pada saat
swasembada beras tahun 1985, posisi luas lahan sawah beririgasi di Indonesia kira-kira 4.625
ribu ha. Dari luas itu lebih dari separuhnya (54%) berada di pulau Jawa, kemudian diikuti
Sumatra (1.017 ribu ha), Kalimantan (398 ribu ha), Sulawesi (412 ribu ha) dan lainnya tersebar
di Nusa Tenggara, Bali, Maluku dan Irian.
Sebaran lahan yang demikian memperlihatkan kepada kita bahwa ketergantungan pangan
pada lahan sawah beririgasi sangatlah tinggi. Fakta tersebut juga memperlihatkan adanya
ketimpangan mengenai aset produksi pangan (beras) antara pulau Jawa dan luar Jawa. Bila
dilihat dari sisi derajad irigasi, kembali terjadi ketimpangan antar pulau Jawa dan luar Jawa.
Pulau Jawa dan Bali mempunyai derajad lebih dari 60%, sedang derajad yang bernilai 40%-60%
tersebar di Nusa Tenggara, Sulawesi, Sumatra dan Kalimantan. Sisanya dengan derajad kurang
dari 20% dimiliki Maluku dan Irian. Ditinjau dari rata-rata produksi padi, bila antara tahun 1966-
1968 hanya mencapai 2,42 ton per ha, pada tahun 1987 telah mencapai 4,48 ton per ha. Angka-
angka tersebut memperlihatkan bahwa lahan sawah beririgasi merupakan aset produktif
20
mendukung ketahanan pangan. Sebagai aset produktif, tingkat produktifitas lahan dapat dilihat
dari nilai CI (crop intensity) yang besarnya sekitar 1,8.
Dilihat dari kebutuhan air untuk irigasi cenderung naik dari 2.196 m3/det pada tahun 1990
menjadi 3102 m3/det pada tahun 2020. Dari kebutuhan tersebut, sebagian besar diperlukan untuk
pelayanan lahan sawah di pulau Jawa dengan kebutuhan sebesar 1,532 m3/det tahun 1990 atau
70% total kebutuhan turun menjadi 1,599 m3/det atau 52% dari total kebutuhan. Sedangkan
kebutuhan air untuk keperluan sehari-hari, perkotaan dan industri naik cukup tajam, dari 161
m3/det pada tahun 1990 menjadi 353 m
3/det pada tahun 2020, dengan kebutuhan 260 m
3/det
untuk perkotaan. Kebutuhan air untuk industri sendiri naik dari dari 12 m3/det menjadi 44 m
3/det
untuk tahun 1990 dan 2020. Dari kebutuhan tersebut, 70-80% diperlukan untuk memenuhi
kebutuhan di pulau Jawa.9
Di sisi lain, ketersediaan air sebagai fungsi ruang dan waktu juga terus berubah. Dari
perhitungan neraca ketersediaan dan kebutuhan air sampai tahun 2015, di Jawa, Bali, Nusa
Tenggara Barat dan Nusatenggara Timur selalu akan mengalami defisit air. Defisit terbesar
dialami propinsi Jawa Timur sebesar 1030 juta m3/bulan dan 1116 juta m
3/bulan masing-masing
untuk tahun 2000 dan 2005. Kemudian diikuti Jawa Barat dan Jawa Tengah, yang berkisar
anatara 750-890 juta m3/bulan. Untuk wilayah NTB dan NTT defist berkisar anatar 90-120 juta
m3/bulan.
10
4.3. Lahan irigasi sebagai aset sosial, ekonomi dan budaya
9 UNDP (United Nations Development Programme), 1992. National Water Resources Policy of Indonesia: A Summary of Water
Resources Availability and Demand Projections. FAO, Rome. 10
DRN (Dewan Riset Nasional), 1994. Kebutuhan Riset dan Koordinasi Pengelolaan Sumberdaya Air di Indonesia. Kelompok
Sumberdaya Alam dan Energi. (Hehanussa, P.E., Machbub, B., dan Susanto, S.S., ed.)
21
Dari berbagai literatur, keberadaan lahan sawah beririgasi di Indonesia telah ada sejak
beberapa abad sebelum tarikh Masehi. Budaya Dong-Son yang dibawa sewaktu terjadi migrasi
dari daratan Asia Tenggara mempengaruhi keberadaan lahan sawah beririgasi berikut ikatan erat
sosial-ekonomi-budaya.11
Salah satu yang sekarang masih menampakkan bentuk ikatan itu
adalah keberadaan lahan sawah irigasi di Bali yang tergabung dalam institusi masyarakat subak.
Cara pandang hidup masyarakat Bali, yang sering disebut sebagai Tri Hita Karana
mempunyai peranan yang signifikan dalam menjalankan organisasi subak. Van Steeten van der
Meer (1979) mengatakan bahwa manfaat yang didapat oleh petani anggota dari institusi
tradisional subak baik sebagai individu maupun kelompok tidak hanya menyangkut materi saja
tetapi juga pengkayaan (enrichment) secara religi dan sosial. Dengan jumlah anggota institusi
subak yang pada umumnya tidak lebih dari seratus kepala keluarga, mampu meningkatkan
interaksi sosial diantara anggota tidak hanya pada saat bekerja di lahan sawah tetapi juga saat
pertemuan reguler subak.
Mengingat bahwa institusi tradisional subak selalu dekat dengan hak atas air, baik air
tanah maupun permukaan, aturan-aturan yang pasti dalam bentuk aturan yang harus ditaati (rule-
in-use), yang dikenal sebagai awig-awig (Bhs. Bali) oleh anggotanya sangat tegas diperlakukan
sejak awal. Lebih lanjut Van Steeten van der Meer (1979) (cit. Groothoff, 1918) mengatakan
bahwa subak dikembangkan dengan mempertimbangkan konsep hidup masyarakat Bali, yang
mengandung tidak hanya semangat kebersamaan dan kerjasama tetapi juga dilandasi atas hak air
11
Bappeda Banyumas, 2007. Laporan studi penyusunan konsep peraturan untuk mencegah alih fingsi lahan beririgasi.
22
tanah dan air permukaan yang ada secara alami. Dalam pelaksanaannya aturan yang berkaitan
dengan hak atas air tanah dan air permukaan diserahkan kepada pengurus subak. 12
Keberadaan sistem irigasi yang membudaya tersebut ditengarai dengan masih
dijumpainya nama-nama institusi irigasi tradisional sampai saat ini dan sistem irigasi yang
masih dioperasikan dan dipelihara dengan baik oleh para petani pemakainya. Keberadaan sistem
irigasi desa di Jawa dan subak di Bali yang dapat merujuk sejarah keberadaannya mulai sejak
awal didirikan beberapa puluh tahun bahkan ada yang sudah ratusan tahun (P3PK-UGM, 1996;
Arif et al, 1996). Di beberapa tempat juga dijumpai penggunaan istilah yang mengacu pada nama
bagian atau bangunan sistem irigasi yang dijumpai pula pada ratusan tahun yang lampau (van
Setten van der Meer, 1979).
Ditinjau dari sistem sosio-kultural masjayarakat maka sistem irigasi pada awalnya adalah
merupakan suatu sistem subsisten yang hanya ditujukan sebagai produksi bahan pangan bagi
masyarakat pemakainya. Baru pada pertengahan abad ke 19, irigasi dijadikan pemerintah
Kolonial Belanda sebagai alat pembangunan ekonomi, yaitu sebagai suatu sistem produksi
komoditi pertanian tebu dan tembakau. Sejak waktu itu sistem usaha tani masyarakat pedesaan
berubah. Sistem buruh tani dikenalkan dan masyarakat Indonesia, terutama Jawa mengalami
kemerosotan sistem ekonomi dan kemiskinan di pedesaan tumbuh dengan pesat.
Dibangunnya sistem irigasi teknis oleh pemerintah Hindia Belanda, juga menyebabkan
terjadinya perubahan sistem pengelolaan irigasi. Irigasi yang semula diangun dan dikelola oleh
masyarakat secara mandiri kemudian berubah menjadi sistem irigasi yang dikuasai oleh
pemerintah. Semua aturan pengelolaan dikeluarkan oleh pemerintah. Untuk menampung
12
Anonymous, 1996-1997. A study of the subak as an indigenous cultural, social and technological system to establish a culturally based integrated water resources management. The first year an d second research report. (unpublished).
23
partisipasi masyarakat maka pemerintah kolonial pada pertengahan dekade 1920’an
mengenalkan sistem ulu-ulu vak atau ulu-ulu golongan. Sistem ini semula dikenalkan di daerah
Pasuruan Jawa Timur dan paling banyak diimplementasikan di wilayah Pemali-Comal. Sisa-sisa
keberadaan ulu-ulu golongan ini sampai saat ini masih rada.
Dalam konteks tingginya laju alih fungsi lahan sawah beririgasi sekarang ini, secara
sosio-kultural masyarakat penerima manfaat air irigasi secara lamngsung mauopun tudak
langsung mengubah karakteristik masyakarat itu sendiri. Masyarakat petani yang semula
produktif, bersifat komunal dan mempunyai modal sosial berubah menjadi masyarakat
individual. Modal sosial tergerus. Kepercayaan di antara masyarakat berkurang sehingga tumbuh
nilai-nilai baru yang pada gilirannya menjadikan kohesi social rawan dan rapuh.
Oleh sebab itu di wilayah-wilayah sentra produksi pangan dengan dukungan suplai irigasi
yang luas perlu dijaga keberadaannya. Tekakan alih fungsi yang tinggi disebabkan oleh
perkembangan sektor perdagangan yang didukung prasarana komunikasi dan transportasi yang
sangat maju.
5. Kondisi sekarang dinamika keberadaan lahan sawah irigasi
5.1. Lingkaran kemiskinan dan alih fungsi lahan sawah beririgasi
Gambar 5 menyajikan secara sederhana hubungan lingkaran kemiskinan dengan alih
fungsi lahan irigasi. Terlihat dari gambar tersebut bahwa keberadaan lahan sawah irigasi sebagai
penyangga ketahanan pangan terkait dengan politik ekonomi yang dimanifestasikan dalam
bentuk kebijakan subsidi. Meningkatnya pertumbuhan penduduk dan ekonomi mempengaruhi
keberadaan lahan irigasi. Pengaruh tersebut secara anatomis dapat diidentifikasi sehingga
membentuk lingkaran yang ujungnya adalah terjadi tekanan ekonomi terhadap alih fungsi lahan
24
irigasi. Semakin tinggi tekanan ekonomi semakin tinggi dorongan untuk terjadinya alih fungsi
lahan. Dengan posisi yuridis lahan irigasi yang pada umumnya berstatus hak milik, dorongan
alih fungsi lahan karena tekanan ekonomi sangat ditentukan oleh mekanisme pasar.
Instrumen pengendali diperlukan untuk menekan terjadinya proses alih fungsi. Ada dua
instrumen pengendali yang dapat dipakai:
(1) Pengendalian secara ekonomi yang dapat dilakukan dengan mekanisme subsidi
berbentuk insentif dan disinsentif. Instrumen ini hanya akan efektif bila besarnya subsidi
mampu meredam tekanan ekonomi terhadap lahan irigasi
(2) Pengendalian secara yuridis melalui Peraturan Daerah (Perda). Instrumen ini hanya akan
efektif bila penegakan hulum (law enforsment) berjalan dengan baik.
5.2. Ketergantungan impor pangan
TEKANAN
EKONOMI
PENGHASILAN
RENDAHDAYA SAING
RENDAH
PENDIDIKAN &
KETRAMPILAN
RENDAH
ASKES
PEKERJAAN
SEMPIT
ALIH FUNGSI TAK
TERKENDALI
LAHAN SAWAH
IRIGASI SEBAGAI
PENYANGGA
PANGAN NASIONAL
BUDIDAYA PADI
KONVENSIONAL
BERBASIS LAHAN
SEMPIT
KEMISKINAN
AKUT
TEKANAN ALIH
FUNGSI LAHAN
IRIGASI
TERANCAMNYA TERANCAMNYA
KETAHANAN KETAHANAN
PANGANPANGANPERDA ALIH FUNGSI PERDA ALIH FUNGSI
LAHAN IRIGASILAHAN IRIGASI
ANATOMI
LINGKARAN
KEMISKINAN DAN
ALIH FUNGSI
LAHAN IRIGASI
POLITIK EKONOMI
SUBSIDI
Gambar 5. Lingkaran kemiskinan dan alih fungsi lahan irigasi
25
Keberadaan lahan sawah terkait dengan laju pertumbuhan penduduk yang relatif masih
tinggi, sekitar 1,3%. Pada tahun 2050, populasi penduduk diprediksi mencapai sekitar 250 juta.
Dari angka tersebut, sekitar 50-60 persen masih bergantung pada pertanian subsisten, dengan
tingkat inkam per kapitanya berada di sekitar garis kemiskinan (Tabel 4 dan Tabel 5). Kondisi
ini mengakibatkan lemahnya daya tawar dalam kompetisi peruntukan sumberdaya lahan dengan
sektor lain khususnya industri dan perumahan. Ironisnya, impor beberapa komoditas pertanian
strategis, khususnya pangan meningkat terus secara signifikan seirama dengan peningkatan
kebutuhan. Peningkatan ini sudah cenderung berubah menjadi ketergantungan yang semakin
tinggi. Dalam waktu yang bersamaan, pembangunan industrialisasi telah merusak kelestarian
lingkungan, seperti diperlihatkan rusaknya lingkungan karena konversi hutan menjadi lahan
perkebunan kelapa sawit.
Indonesia bersama negara berkembang lain tidaklah sendirian. Dalam skala global,
ketimpangan pangan terjadi antara negara berkembang dan negara maju. Impor pangan dalam
bentuk biji-2an di negara-negara berkembang terus meningkat. Pada tahun 1995 mengimpor
pangan 170 juta ton dan diprediksi pada tahun 2030 akan mengimpor sebesar 70 juta ton. Pada
tahun yang sama (1995) negara maju mengekspor pangan sebesar 142 juta ton, pada tahun 2005
akan meningkat menjadi 280 juta ton.13
Tabel 4. Volume dan nilai komoditas impor pangan
No Komoditas
Volume (ton)
Nilai (dolar AS)
1 Gandum 3.576.665 500.312.470
2 Jagung 1.236.764 150.012.707
3 Beras 550.514 131.132.613
4 Biji kedelai 1.277.685 275.481.226
13 Mochtar M, 2007, cit FAO dalam Bisnis Indonesia, 22 September 2006. Demensi Politik Dalam Pembangunan. Makalah
disampaikan dalam Seminar Nasional Revitalisasi Kebijakan Menuju Industrialisasi Pertanian Yang Berkeadilan dan Berkelanjutan,
diselenggarakan oleh Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada, 8-9 Desember 2006.
Komoditas pertanian
Besarnya impor
Beras 2juta-3,7 juta ton/thn
Gula pasir 1,6 juta ton/thn
Gandum 4,5 juta-4,8 juta ton/thn
Kedelai 1,2 juta- 1,3 juta ton/thn
Bungkil kedele 1 juta ton/thn
Jagung 1,2 juta-1,5 juta ton/thn
Ternak sapi *) 450.000 ekor/thn
Tepung telur 30.000 ton/thn
Susu bubuk 170.000 ton/thn
Makanan olahan 1,5 limyar dollar AS
Garam 1,5 juta ton/thn
Singkong 0,85 juta ton/thn
Kacang tanah 100.000 ton/thn
Buah-buahan 167 ribu ton/thn
*) belum termasuk jerohan
Sumber: Gatra, 18-01-2003 dan Kompas 7 Juli 2004
Tabel 5. Impor komoditas pertanian
26
5 Bungkil kedelai 1.262.040 268.746.270
6 Kacang tanah 111.284 35.601.776
7 Gula pasir 1.680.275 290.873.225
8 Bawang Putih 174.702 44.120.000
Jumlah 9.869.929 1.696.280.287 Catatan: Dengan kurs Rp 9,800,- per dolar AS, nilai komoditas itu setara dengan Rp 16,62 triliun. Sumber: Mochtar M, 2007, cit. Siswono Yudho Husodo “Membangun Kemandirian di Bidang Pangan” dalam Jurnal Ekonomi Rakyat, Th. II, No.6 (September 2003)
6. Strategi menemukan kembali karakter bangsa agraris berbasis beras
6.1. Landasan strategi
Tiga cakupan prinsip dasar yang perlu dipertimbangkan dalam perumusan strategi,
mencakup:
(1) menjaga stabilitas kemantapan suplai pangan (safeguard the stable of food), khususnya beras
(2) meningkatkan peran dan fungsi lingkungan pertanian (enhance environmental functions of
agriculture)
(3) menciptakan kemakmuran dan kesejahteraaan masyarakat penerima (beneficeries) air irigasi
menuju masyarakat yang mempunyai harkat dan martabat.
Suplai air irigasi berikut lahan sawah yang menjadi sasaran pelayanaannya merupakan
salah satu sumberdaya yang penting, maka:
(1) air irigasi perlu ditempatkan sebagai bagian penting dalam memberikan peranan ketahanan pangan khususnya beras, konservasi sumberdaya lahan nasional, preservasi sumberdaya air dan ekosistem nasional, dan
(2) dengan prinsip pada butir (1) diarahkan agar mampu mengembangkan pertanian dalam menghasilkan produksi padi secara berkelanjutan, baik di wilayah pusat pertumbuhan ekonomi ataupun di wilayah terpencil dan pedesaan (remote and rural areas) untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraaan masyarakat penerima (beneficeries) air irigasi menuju masyarakat yang mempunyai harkat dan martabat.
Dengan rumusan strategi tersebut posisi instrumen legal (UU) dan instrumen legal
turunannya diarahkan agar mampu berfungsi mengamankan dan mengawal strategi yang sudah
dirumuskan dapat terimplementasikan dengan baik .
6.2. Posisi instrumen legal
27
Empat komponen dalam strategi yang harus dipertimbangkan masuk dalam instrumen legal
berupa Undang-undang:
a) Menjaga stabilitas suplai pangan:
stabilitas pangan secara kuantitas dan kualitas dalam tingkat harga yang layak
peningkatan produksi pertanian domestik sebagai tujuan utama dan secara bersama sama dengan kombinasi yang serasi dalam meningkatkan produk pertanian untuk cadangan (stockpiles) dan ekspor
menjaga keamanan tersedianya pangan (food security) dalam situasi yang tidak diharapkan
b) Pengembangan pertanian yang berkelanjutan:
Menjaga keamanan produksi sumberdaya bios (bio-resources production) seperti aset lahan pertanian beririgasi, sumberdaya air, dan sumberdaya manusia agar mempunyai harkat dan martabat, serta memberikan kontribusi dalam membangun struktur produksi pertanian yang layak (appropriate)
Mempertahankan dan memperbaiki mekanisme siklus alam lingkungan pertanian (natural cycle mechanism of agriculture environment)
c) Meningkatkan peran multi fungsi pertanian:
konservasi sumberdaya lahan nasional, preservasi sumberdaya air dan preservasi ekosistem nasional
kreatifitas pembentukan landkap yang indah dan ramah lingkungan
menjaga cagar budaya, d) Pengembangan wilayah terpencil dan pedesaaan
Dengan pendekatan masyarakat petani sebagai penerima manfaat air irigasi sebagai
subjek (people driven) maka dalam upaya menemukan kembali karakter bangsa agraris berbasis
beras pembangunan pertanian, maka perlu:
Memperbaiki kondisi produksi padi, baik secara kualitas maupun kuantitas
Memperbiki kesejahteraan, harkat dan martabat masyarakat yang sebagian besar berada di wilayah
terpencil dan pedesaaan dengan diikuti perbaikan-2 kondisi lingkungan agar kondusif melalui upaya
perwujudan nyata untuk terciptanya berbagai bentuk keadilan (fairness) 14
14
Keadilan mencakup: keadilan politik pertanahan, keadilan sosial yang terekspresikan dalam kelembagaan sosial, keadilan fasilitas
infrastuktur, keadilan akses sumberdaya finansial, keadilan posisi awar tdalam mekanisme pasar, keadilan akses terhadap perkembangan teknologi
28
6.3. Strategi pengendalian alih fungsi lahan irigasi
Status lahan sawah beririgasi pada umumnya merupakan hak milik. Proses alih fungsi
untuk peruntukan yang lain perlu prosedur administrasi. Sesuai dengan prosedur baku, Badan
Pertanahan Nasional (BPN) hanya memberikan ijin alih fungsi lahan sawah beririgasi hanya bila
ada persetujuan Bupati, Kepala Daerah Kabupaten. Dengan konteks ini, Bupati menempai posisi
sangat sentral. Dengan memperhatian bahwa kawasan pusat pertumbuhan ekonomi merupakan
sumber tekanan alih fungsi lahan beririgasi maka secara konsepsual tekanan alih fungsi dapat
dikelompokkan menjadi tiga ring, dan pengendalian alih fungsi dipertimbangkan dari tingkat
urgensinya (Tabel 7).
Pengendalian alih fungsi lahan sawah harus diawali pada pemahaman lahan sawah
beririgasi yang mempunyai dua nilai, nilai penggunaan dan manfaat intrinsik (Gambar 7).
Nilai penggunaan mencakup:
(i) manfaat langsung, baik yang nilainya dapat diukur dengan harga (misalnya keluaran usahatani) maupun yang tidak dapat diukur dengan harga (misalnya tersedianya pangan, wahana rekreasi, penciptaan lapangan kerja), dan
(ii) manfaat tidak langsung yang terkait dengan kontribusinya dalam pengendalian banjir, menurunkan laju erosi, dan sebagainya.
Tabel 7. Keterkaitan tingkat urgensi alih fungsi lahan sawah beririgasi dengan pusat pertumbuhan
Level Keberadaan dari pusat pertumbuhan
Tingkat urgensi
Level 1 Ring 1 Lahan sawah beririgasi yang status tekanan alih fungsinya telah mencapai level sangat tinggi sehingga urgensi pengendaliannya sangat tinggi.
Level 2 Ring 2 Lahan sawah beririgasi yang status tekanan alih fungsinya telah mencapai level tinggi sehingga urgensi pengendaliannya tinggi
Level 3 Ring 3 Lahan sawah beririgasi yang status tekanan alih fungsinya telah mencapai level sedang sehingga urgensi pengendaliannya sedang
29
6.4. Penetapan zonasi ”permanen” kawasan lahan irigasi
Keberadaan lahan irigasi sebagai wahana untuk proses produksi beras terkait dengan
berbagai elemen: infrastuktur, manajemen dan budidaya padi . Infrastuktur terkait dengan supali
air dari kawasan recharge area. Keberlangsungan suplai air kawasan recharge area ditentukan
oleh kebijakan dan implementasi perlindungan kawasan ini. Lahan irigasi sendiri keberadaanya
sangat ditentukan oleh besarnya perlindungan dan penegakan hukum (Gambar 8).
NILAI LAHAN SAWAH
BERAS
LAHAN SAWAH
BERIRIGASI
NILAI MANFAAT:
-Langsung
-Tidak langsung
NILAI INTRINSIK
-Sosial
-Plasma nuftah
-lingkungan
Gambar 7. Dua nilai lahan sawah
KEBERADAAN LAHAN SAWAH IRIGASI
BERAS
LAHAN SAWAH IRIGASIPENEGAKAN
HUKUM
PERLINDUNGAN
HUKUM
INFRASTRUKTUR MANAJEMEN BUDIDAYA PADI
SUPLAI AIR DARI
KAWASAN RECHARGE
AREA
PERLINDUNGAN
KAWASAN RECHARCE
AREA
Gambar 8. Keberadaan lahan irigasi
30
Dengan memahami tiga cakupan dalam strategi dan keberadaan lahan irigasi seperti
diungkap di atas, beberapa aspek perlu dipertimbangkan dan dikelompokkan menjadi:
a. Sirkulasi air dalam Daerah Aliran Sungai dan penggunanan air irigasi b. Masyarakat lokal dan penggunaan air irigasi c. Kekeringan dan air irigasi d. Diversifikasi penggunaan air irigasi
Beras dapat dipandang tdak hanya sebagai komoditas pangan, tetapi juga dapat
ditempatkan sebagai identitas, harga diri dan martabat bangsa (Gambar 9). Implikasinya adalah
pilihan politik ekonomi. Dengan demikian, posisi instrumen perlindungan hukum menjadi sangat
sangat strategis. Pemenuhan kebutuhan beras terkait dengan stabilitas politik. Apabila pilihan
swasembada sudah sulit diwujudkan, alternatif pilihan yang rasional adalah seberapa besar
pengadaan pangan (beras) dalam negeri harus diwujudkan dan seberapa besar pengadaan
kekurangan beras yang harus diimpor tanpa harus mengorbankan identitas, harga diri dan
martabat bangsa. Dengan logika berpikir yang demikian maka kebijakan penentuan zonasi
permanen lahan irigasi menjadi sangat strategis.
BERAS: KOMODITAS STRATEGIS
BERAS
BAGIAN DARI IDENTITAS, HARGA DIRI DAN
MARTABAT BANGSA
MENU MAKANAN
UTAMA
LAHAN ABADI
SAWAH IRIGASIPERLINDUNGAN
HUKUM
Pilihan 1:
SWASEMBADA
BERAS ?
Pilihan 2:
PRODUKSI
NASIONAL, (%)
IMPOR (%)
KETAHANAN
PANGAN
KETAHANAN
NASIONAL
KEMAUAN
POLITIK
LAHAN SAWAH
IRIGASI
SEJARAH BANGSA
AGRARIS BERBASIS
HIDRAULIKPILIHAN POLITIK PILIHAN POLITIK
EKONOMIEKONOMI
31
------------
R e f e r e n s i
Anonim, 2007. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor. Kebijakan untuk
menciptakan Lahan Pertanian Pangan Abad 19
Abdullah Angoedi, 1984. Sejarah Irigasi Di Indonesia. Komite Nasional Indonesia, International
Commision on Irrigation and Drainage (ICID)
Bappeda Tk II Banyumas, 2005. Laporan studi alih fungsi lahan irigasi di kabupaten Banyumas,
Jawa Tengah
Biro Pusat Statistik Kabupaten Banyumas, 2005. Banyumas Dalam Angka 2005
Direktorta Jendral Pengairan, Kementrian Pekerjaan Umum, 2004. Sejarah Irigasi.
DRN (Dewan Riset Nasional), 1994. Kebutuhan Riset dan Koordinasi Pengelolaan Sumberdaya
Air di Indonesia. Kelompok Sumberdaya Alam dan Energi.
Mochtar M, 2007, cit FAO dalam Bisnis Indonesia, 22 September 2006. Demensi Politik Dalam
Pembangunan. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Revitalisasi Kebijakan
Menuju Industrialisasi Pertanian Yang Berkeadilan dan Berkelanjutan, diselenggarakan
oleh Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada, 8-9 Desember 2006.
Susanto, S., 1996-1997 (edt). A study of the subak as an indigenous cultural, social and
technological system to establish a culturally based integrated water resources
management. The first year an d second research report. (unpublished).
32
UNDP (United Nations Development Programme), 1992. National Water Resources Policy of
Indonesia: A Summary of Water Resources Availability and Demand Projections. FAO,
Rome.
-----------------
33
BIODATA PENULIS
Sahid Susanto. Lahir di Wonosari Gunungkidul Yogyakarta 21 Desember 1953. Sarjana S-1
diselesaikan di Fakultas Teknologi Pertanian UGM (1973-1979) pada bidang ilmu Teknik
Pertanian. Setelah lulus sarjana S-1 langsung menjadi dosen di Fakultas Teknologi Petanian
UGM. Meneruskan study Master S-2 di Sekolah Pasca Sarjana UGM pada bidang yang sama
(1982-1986).
Studi doctor S-3 diselesaikan di Kyoto University, Japan dengan mengambil spesialisasi Tropical Hydrology (1986-
1991). Puncak karier akademis sebagai professor dicapai pada tahun 2000.
Selama meniti karier sebagai dosen, bidang ilmu hidrologi dan manajemen sumberdaya air menjadi fokus kegiatan
ilmiahnya. Dengan bidang ilmu yang ditekuni, mengajar mata kuliah yang berkaitan dengan bidang ilmunya di
Program Sarjana S-1, Program Pascasarjana (S-2 dan S-3) baik di fakultasnya sendiri maupun di fakultas yang
membutuhkan di lingkungan UGM. Dalam melakukan riset di bidang yang ditekuninya banyak menjalin kerjasama
dengan institusi, pemerintah maupun swasta baik dalam maupun luar negeri.
Aktif menyajikan tulisan hasil penelitiaan di bidang yang ditekuni baik dalam majalah ilmiah, seminar, konferensi
maupun kegiatan ilmiah lainnya baik dalam maupun luar negeri. Pernah menjadi research fellow di Kassel
University dan Braunsweig University, Germany (1997) dan dosen tamu di Hiroshima University, Japan (2003).