jathilan sang kuda lumping dengan segala dilema

Upload: arde-candra-pamungkas

Post on 06-Jul-2015

150 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Jathilan Sang Kuda Lumping dengan Segala DilemaNovember 30, 2010 Oleh Komunitas Ngijo Bantul Jatilan atau biasa disebut kuda lumping adalah drama tari dengan adegan pertempuran sesama prajurit berkuda dengan senjata pedang, dimana tarian ini mengutamakan tema perjuangan prajurit yang gagah perkasa di medan perang dengan menunggang kuda dan bersenjatakan pedang. Namun demikian, masyarakat lebih mengenalnya sebagai sebuah tarian yang identik dengan tarian yang mengandung unsur magis dan kesurupan. Jatilan Yang Unik Jathilan merupakan kesenian yang menyatukan antara untur gerakan tari dengan magis, nampak dari gerakan tari yang atraktif dan bahkan berbahaya selalu ditampilkan diiringi musik khas jathilan. Kelompok penggamel hanya terdiri dari beberapa orang yang memainkan satu set gamelan sederhana yang terdiri dari masing-masing satu saron, kendang, gong, dan kempul. Secara umum, Jathilan tidak mengalami perubahan mendasar dari segi musik pengiring. Kesan irama bertempo statis dengan sedikit variasi lonjakan di sana sini tetap dipertahankan. Tarian yang diperagakan pun cenderung berulang-ulang dan monoton dengan komposisi musik yang sederhana, namun dengan penuh semangat. Pagelaran ini dimulai dengan tari-tarian. Para penari yang umumnya menggunakan kuda kepang bambu yang dianyam menyerupai kuda. Kemudian para penari bak kerasukan roh halus sehingga hampir tidak sadar dengan apa yang mereka lakukan. Pada versi aslinya, para penari Jathilan akan melakukan adegan tarian yang terus-menerus tanpa berhenti sambil berputar-putar hingga salah satu dari mereka mengalami apa yang disebut trance (kondisi tidak sadarkan diri), atau biasa disebut kesurupan. Di saat para penari bergerak mengikuti irama musik dari jenis alat musik jenis alat gamelan seperti saron, kendang, dan gong ini, terdapat pemain lain yang mengawasi dengan memegang pecut atau cemeti. Selain mengandung unsur hiburan ritual dan, kesenian tradisional jathilan ini senantiasa juga mengandung unsur religi karena sebelum pagelaran dimulai, biasanya seorang pawang atau dukun melakukan suatu ritual yang intinya memohon ijin pada yang menguasai tempat tersebut yang biasanya ditempat terbuka supaya tidak menggangu jalannya pagelaran dan demi keselamatan para penarinya. Pawang yang bertugas mengawasi itu adalah yang terpenting dalam jathilan ini. Dia adalah dukunnya dan dia mengendalikan roh halus yang merasuki para penari. Para penari ini juga melakukan atraksi-atraksi berbahaya yang tak dapat dinalar oleh akal sehat. Pemain jathilan dapat dengan mudah memakan benda-benda tajam sperti silet, pecahan kaca, atau bahkan lampu tanpa terluka atau merasakan sakit. Dan ketika mereka di lecuti dengan cambuk atau cemeti pun, tanpa membuat tubuh mereka memar atau tergores. Dalam pertunjukan jathilan juga disediakan beberapa jenis sesaji antara lain pisang raja satu tangkep, jajanan pasar yang berupa makanan-makanan tradisional, tumpeng robyong yaitu tumpeng robyong yang dihias dengan kubis, dawet, aneka macam kembang, dupa Cina dan menyan, ingkung klubuk (ayam hidup) yang digunakan sebagai sarana pemanggilan makhluk halus dan lain-lain. Hikayat Jathilan Sesungguhnya Jathilan merupakan sebuah drama tari yang menampilkan kegagahan seorang prajurit di medan perang dengan menunggang kuda sambil menghunus sebuah pedang. Ketika ditampilkan, sang penari menggunakan sebuah kuda tiruan yang terbuat dari anyaman bambu atau kulit binatang yang disebut dengan Kuda Kepang. Penari menempatkan kuda kepang ini diantara kedua pahanya sehingga tampak seperti seorang kesatria yang menunggang kuda sambil menari dengan diiringi alat musik kendhang, bonang, saron, kempul, slompret dan ketipung. Kesan minimal juga terpancar dari kelompok musik pengiringnya, sebagai cerminan bahwa kesenian ini berasal dan berkembang di kalangan bawah. Jika diperhatikan, bunyi-bunyian yang dihasilkan terasa datar dan monoton. Namun

itu bukan tanpa maksud. Selain ingin menghadirkan kesan magis, hal itu melambangkan keseharian kaum pekerja kelas bawah yang dipenuhi rutinitas. Jathilan ini juga sering disebut dengan nama jaran kepang atau kuda lumping merupakan dikenal sebagai salah-satu bentuk kesenian tari yang paling tua di Jawa.. Tari Jathilan juga merupakan pentas drama yang dibawakan enam orang secara berpasangan yang menggunakan seragam serupa. Sebagai tambahan tari ini, juga menampilkan penari yang menggunakan topeng. Dengan tokoh-tokoh yang beragam, ada gondoruwo (setan) atau barongan (singa). Mereka muncul kala para prajurit itu berangkat perang dengan tujuan untuk menganggu. Tidak ada yang mengetahui dan mendefinisikan kapan mulanya tari ini ada. Namun yang pasti, Jathilan berkembang di beberapa wilayah seperti, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Yogyakarta. Masing-masing wilayah tersebut menampilkan versi masing-masing. Soal cerita, mereka biasanya identik menampilkan lakon yang sama, seperti Panji, Ario Penangsang maupun gambaran kehidupan prajurit pada masa kerajaan Majapahit. Dahulu, Jathilan merupakan sebuah tarian ritual untuk memanggil roh kuda dan meminta keamanan desa serta keberhasilan panen. Hal yang menginspirasi seluruh pertunjukan Jathilan yang menempatkan penari dengan kuda-kudaan sebagai pusat perhatian, karena menurut perannya dalam masyarakat Jawa, kuda melambangkan kekuatan, kepatuhan, dan sikap pelayanan dari kelas pekerja. Kelas pekerja yang diwakili para penari kuda digambarkan tanpa aturan, tak henti-henti bergerak; pacak golu (Menggerakkan kepala ke kiri dan kanan), siring (bergeser kesamping dengan setengah berlari), njondil (melompat), berguling, bahkan sampai kerasukan. Upaya Pelestarian Jathilan Kesurupan, adegan mistis mengundang decak kagum dan perasaan penonton sehingga terhibur. Namun di sisi lain, adegan ini juga mengundang kontroversi terutama jika dipertemukan dengan ajaran agama Islam. Secara faktual, proses kesurupan dalam kuda kepang meliputi proses pemanggilan roh lewat pembakaran kemenyan (incene) dan pembacaan mantra (doa) untuk meningkatkan ketahanan tubuh penunggang kuda sehingga ia tahan memakan kaca dan lainnya. Setelah kedua prosesi itu selesai, maka itulah awal tanda mulai dibukanya ruang ekpresi spiritualitas, momen dimana penari jaranan menyiapkan dirinya untuk kalab, rasa dimana para penonton secara emosional terlibat dalam jaranan. Antara penari dan penonton bisa saling oya (memberikan respon yang atraktif). Pertarungan mistis itu membuat penari jaranan kepangnya harus mengalami kesurupan terkadang hingga berjam-jam, bahkan ketika pertunjukkan jaranan kepang usai, penarinya masih mengalami kesurupan. Pak Guatno sang pawang paguyuban Kudo Sembodo asal Piyungan, yang sudah 25 tahun menekuni jathilan ini, bertugas mengembalikan kesadaran sang penari. Komunikasi emosional dengan penonton tetap terjadi tatkala kalap, ekpresi simbolik penonton kerapkali ditunjukkan dengan berbagai atraksi seperti mengoyak, bersiul, dan saling kerjar mengejar. Inilah bagian dari pertunjukkan yang sangat menarik. Ekpresi komunikasi melalui gerak tubuh antara penonton dan penari jaranan kepang mampu menjelmakan pertunjukkan jathilan sebagai media tolong menolong, wayuh roso, dan manifestasi keguyupan masyarakat pedesaan. Ketika kesurupan usai, para penari jaranan memperoleh kembali kesadarannya. Dahulu permainan jathilan didominasi pemain pria, sekarang juga ada jatilan putri. Seperti yang ada di paguyuban Jathilan Kudo Sembodo pimpinan Bpk. Sukardi. Menurut Pak Sukardi , pertunjukan menjadi semakin menarik para penonton dengan adanya pemain putri, dan penonton sangat antusias menyaksikan hingga akhir pertunjukan jathilan. Jatilan versi baru Kudo Sembodo, Kelompok jathilan asal Banyakan Tigo, Siti Multo, Piyungan, Bantul ini mungkin salah satu dari kelompok jatilan yang mulai memodifikasi kesenian jathilan dengan iringan musik kreasi baru yakni menambahkan alat musik drum dan lagu-lagu campur sari, pop, maupun dangdut, sebagai variasi iringan tarian jathilan. Paguyuban seni Jathilan satu ini masih tetap setia mengusung kesenian Jathilan pada masyarakat khususnya di Yogyakarta, ditengah banyaknya kendala yang mereka hadapi. Berbagai cara untuk mencoba menarik perhatian para generasi muda untuk mencintai kesenian tradisional yang mulai memudar pamornya dibanding dengan kesenian modern yang dengan leluasa merongrong budaya asli negri kita ini. Jathilan mungkin salah satu dari ribuan kesenian tradisional yang

ada di Indonesia, masih banyak masyarakat kita sendiri yang belum mengenal kebudayaan daerah mereka sendiri. padahal nilai seni dan budaya sangat berpotensi besar di Negeri ini. Paguyuban Kudo Sembodo patut diacungi jempol, dalam upayanya mengajak para pemudapemudi untuk turut bergabung melestarikan kesenian Jathilan yang kian surut. Seperti kata Pak Sukardi yang biasa mengurusi music dan tari dalam paguyuban tersebut, bahwa dahulu di Wilayah Kecamatan Piyungan terdapat 5 paguyuban Jathilan, kini hanya tinggal 2 yang masih eksis. Dilema Jathilan Kodo Sembodo sebagai salah satu contoh paguyuban seni tradisional Jathilan yang mengalami banyak tantangan dalam usaha pelestarian budaya ini. Dari kendala teknis hingga modal operasional atau peralatan sebagai sarana pementasan Jathilan. Sebagai contoh pengalaman mereka, saat pementasan tiba-tiba soundsystem mati hingga pertunjukan berhenti di tengah-tengah permainan Jathilan.Nampak betapa minimnya modal operasional mereka hingga hanya mampu menyewa peralatan sound seadanya tanpa memikirkan kualitas. Pemerintah setempat pernah memberi bantuan dana Rp. 200.000,untuk membeli peralatan drum, namun sesungguhnya itu belumlah cukup untuk menutup kebutuhan modal pementasan jathilan. Untuk membeli 1 kuda kepang saja harganya mencapai Rp. 150.000,- belum termasuk kostum para pemain dan perlengkapan lainnya. Sungguh pengeluaran tidak sesuai dengan besar pendapatan mereka yang pas-pasan dari hasil pementasan Jathilan. Seperti yang diungkapkan Pak Sukardi, pemasukan dari sang penanggap Jathilan biasanya hanya sisa Rp. 300.000,- hingga Rp. 400.000,- saja, itupun untuk biaya perbaikan peralatan saja. Sumber dana hanya dari penanggap, dibagi-bagi untuk segala kebutuhan pentas dan pembayaran pemain. Kalaupun sisa sedikit maka untuk kas paguyuban. Para pemain hanya mendapat sekedar uang jajan, setiap pemain mendapat sekitar Rp. 10.000,- hingga Rp. 15.000,- saja, terkadang mendapat tambahan Rp. 5.000,- .Bahkan terkadang mereka nombok untuk transportasi, misalnya harus mengeluarkan ongkos bensin sendiri untuk menjemput para pemain atau sinden, seperti yang diungkapkan Purnomo, salah satu pemain jathilan Kudo Sembodo. Beruntung sebagian masyarakat yang peduli turut membantu menyumbang sekedarnya untuk operasional paguyuban tersebut. Sungguh tak sepadan dengan beratnya usaha mereka turut melestarikan budaya negeri ini, dari mulai proses latihan hingga pementasan yang memakan waktu, tenaga, dan dana yang tidak sedikit. Nasib yang sama rata-rata juga dialami paguyuban-paguyuban jathilan yang lain di Yogyakarta ini, khususnya yang ada di Bantul.Kurangnya perhatian maksimal pemerintah terhadap nasib para pejuang pelestari kesenian Jathilan ini sungguh sangat disayangkan. Generasi muda memiliki tanggung jawab dalam menjaga kelestarian kebudayaan-kebudayaan khususnya Jathilan, bisa menjadi sosok pelaku ataupun pendukung, minimal sebagai penonton yang menghargai pementasan jathilan. Harapan Pak Guatno, Pak Sukardi, dan Purnomo dan para anggota paguyuban Kudo Sembodo yang lain, hanya diantara segelintir orang yang peduli melestarikan dan mengembangkan kesenian jathilan. Semoga jathilan akan tetap lestari hingga turun temurun, dan generasi muda tanpa perasaan malu ataupun gengsi, dengan bangga turut menjadi bagian dari pelestarian kesenian jathilan. Ayo njathil!