jantung

53
BAB I PENDAHULUAN Penyakit kardiovaskular adalah penyakit gangguan pada jantung dan pembuluh darah. Karena sistem kardiovaskular sangat vital, maka penyakit kardiovaskular sangat berbahaya bagi kesehatan. Lebih dari 80 % kematian akibat Penyakit Kardiovaskuler terjadi dinegara berpenghasilan rendah dan menengah, dan banyak menimpa polulasi dibawah usia 60 tahun, yaitu usia produktif. Diprediksikan pada tahun 2030 kematian akibat penyakit kardiovaskular mencapai 24,2 juta, yaitu 32,5% dari seluruh kematian pada tahun tersebut (Ford, 2005) Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab utama kematian di negara maju dan diperkirakan akan terjadi di negara berkembang pada tahun 2020. Dinegara industry yaitu sebesar 40%, jauh diatas kanker.Dewasa ini, kematian tertinggi pada perempuan di Amerika Serikat disebbkan oleh Penyakit Kardiovaskular. Penyakit ini juga menjadi penyebab terbesar perawatan dirumah sakit dan kecacatan menetap serta menimbulkan beban ekonomi dan social yang berarti. Jumlah penderita penyakit jantung kembali meningkat diseluruh Negara terutama dinegara berkembang seperti asia tenggara dan asia selatan dengan adanya industrialisasi, 1

Upload: widariniharuno

Post on 07-Dec-2015

34 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

JANTUNG

TRANSCRIPT

Page 1: JANTUNG

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit kardiovaskular adalah penyakit gangguan pada jantung dan

pembuluh darah. Karena sistem kardiovaskular sangat vital, maka penyakit

kardiovaskular sangat berbahaya bagi kesehatan. Lebih dari 80 % kematian akibat

Penyakit Kardiovaskuler terjadi dinegara berpenghasilan rendah dan menengah, dan

banyak menimpa polulasi dibawah usia 60 tahun, yaitu usia produktif. Diprediksikan

pada tahun 2030 kematian akibat penyakit kardiovaskular mencapai 24,2 juta, yaitu

32,5% dari seluruh kematian pada tahun tersebut (Ford, 2005)

Penyakit kardiovaskuler merupakan penyebab utama kematian di negara maju

dan diperkirakan akan terjadi di negara berkembang pada tahun 2020. Dinegara industry

yaitu sebesar 40%, jauh diatas kanker.Dewasa ini, kematian tertinggi pada perempuan di

Amerika Serikat disebbkan oleh Penyakit Kardiovaskular. Penyakit ini juga menjadi

penyebab terbesar perawatan dirumah sakit dan kecacatan menetap serta menimbulkan

beban ekonomi dan social yang berarti. Jumlah penderita penyakit jantung kembali

meningkat diseluruh Negara terutama dinegara berkembang seperti asia tenggara dan asia

selatan dengan adanya industrialisasi, urbanisasi dan gaya hidup, Perkiraan proyeksi 20

tahun mendatang di Negara berkembang, Kematian akibat Penyakit kardiovaskular akan

meningkat 137% pada laki-laki dan 120% pada perempuan (CDC, 2007)

Pravelansi penyakit jantung dan pembuluh darah (Cardiovaskuler) di Indonesia

terus meningkat angka kejadiannya. Dari hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)

Depertamen Kesehatan 2006 tingkat kematian akibat penyekit kardiovasuler mencapai

25% (Kemenkes, 2011).

Kegawatan Kardiovaskuler adalah gangguan yang mengancam nyawa yang harus

didiagnosis dengan cepat untuk menghindari keterlambatan dalam pengobatan dan untuk

meminimalkan morbiditas dan mortalitas. meliputi henti jantung, kegawatan hipertensi,

sindrom koroner akut, dan edema paru kardiogenik (rilantono, 2013)

1

Page 2: JANTUNG

Terdapat tiga peran utama dalam bidang kardiovaskular yang dapat dilakukan

para tenaga medis dibidang pelayanan kesehatan primer yaitu peran pertama adalah peran

lini terdepan dalam kewaspadaan tanda dan gejala penyakit kardiovaskular seperti

penyakit jantung koroner, payah jantung dan penyakit jantung bawaan. Peran kedua

adalah peran dalam bidang kegawatdaruratan kardiovaskular, dokter uum diharapkan

mampu member pertolongan awal pada sindrom koroner akut, termasuk memberikan

bantuan hidup dasar maupun bantuan hidup lanjut dan melakukan terapi awal krisis

hipertensi, payah jantung akut serta berbagai gangguan irama jantung seperti atrial

fibrilasi, supraventricular takikardi, ventricular takikardi dan ventrikuar fibrilasi. Peran

ketiga adalah peran dalm pencegahan sekunder penyakit kardiovaskular (Rlantono,

2013).

Upaya Pencegahan dan deteksi dini serta intervensi factor-faktor risikonya akan

mengurangi risiko kematian dari penyakit kardiovaskular sehingga dokter atau profesi

kedokteran di pelayanan kesehatan primermemegang peranan yang menentukan dalam

uapaya menekan masalah penyakit kardiovaskular di masyarakat.

2

Page 3: JANTUNG

BAB II

PEMBAHASAN

A. HENTI JANTUNG ( CARDIAC ARREST)

1. Definisi

Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara tiba-tiba dan

mendadak, bisa terjadi pada seseorang yang memang didiagnosa dengan

penyakit jantung ataupun tidak. Waktu kejadiannya tidak bisa diperkirakan,

terjadi dengan sangat cepat begitu gejala dan tanda tampak (American Heart

Association,2010). Jameson, dkk (2005), menyatakan bahwa cardiac arrest

adalah penghentian sirkulasi normal darah akibat kegagalan jantung untuk

berkontraksi secara efektif.

Berdasarkan pengertian di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan

bahwa henti jantung atau cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung

secara mendadak untuk mempertahankan sirkulasi normal darah untuk

memberi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya akibat kegagalan

jantung untuk berkontraksi secara efektif.

2. Faktor Predisposisi

Menurut American Heart Association (2010), seseorang dikatakan

mempunyai risiko tinggi untuk terkena cardiac arrest dengan kondisi:

a. Adanya jejas di jantung karena serangan jantung terdahulu atau oleh sebab

lain; jantung yang terjejas atau mengalami pembesaran karena sebab

tertentu cenderung untuk mengalami aritmia ventrikel yang mengancam

jiwa. Enam bulan pertama setelah seseorang mengalami serangan jantung

adalah periode risiko tinggi untuk terjadinya cardiac arrest pada pasien

dengan penyakit jantung atherosclerotic.

3

Page 4: JANTUNG

b. Penebalan otot jantung (cardiomyopathy) karena berbagai sebab

(umumnya karena tekanan darah tinggi, kelainan katub jantung) membuat

seseorang cenderung untuk terkena cardiac arrest.

c. Seseorang sedang menggunakan obat-obatan untuk jantung; karena

beberapa kondisi tertentu, beberapa obat-obatan untuk jantung (anti

aritmia) justru merangsang timbulnya aritmia ventrikel dan berakibat

cardiac arrest. Kondisi seperti ini disebut proarrythmic effect. Pemakaian

obat-obatan yang bisa mempengaruhi perubahan kadar potasium dan

magnesium dalam darah (misalnya penggunaan diuretik) juga dapat

menyebabkan aritmia yang mengancam jiwa dan cardiac arrest.

d. Kelistrikan yang tidak normal; beberapa kelistrikan jantung yang tidak

normal seperti Wolff-Parkinson-White-Syndrome dan sindroma

gelombang QT yang memanjang bisa menyebabkan cardiac arrest pada

anak dan dewasa muda.

e. Pembuluh darah yang tidak normal, jarang dijumpai (khususnya di arteri

koronari dan aorta) sering menyebabkan kematian mendadak pada dewasa

muda. Pelepasan adrenalin ketika berolah raga atau melakukan aktifitas

fisik yang berat, bisa menjadi pemicu terjadinya cardiac arrest apabila

dijumpai kelainan tadi.

f. Penyalahgunaan obat; penyalahgunaan obat adalah faktor utama

terjadinya cardiac arrest pada penderita yang sebenarnya tidak

mempunyai kelainan pada organ jantung.

4

Page 5: JANTUNG

3. Tanda Cardiac Arrest

Tanda- tanda cardiac arrest menurut Diklat Ambulans Gawat Darurat 118

(2010) yaitu:

a. Ketiadaan respon; pasien tidak berespon terhadap rangsangan suara,

tepukan di pundak ataupun cubitan.

b. Ketiadaan pernafasan normal; tidak terdapat pernafasan normal ketika

jalan pernafasan dibuka.

c. Tidak teraba denyut nadi di arteri besar (karotis, femoralis, radialis).

4. Penatalaksanaan

5

Page 6: JANTUNG

Urutan Terapi fibrilasi Ventrikel dan Takikardi ventrikel tanpa nadi

- Defibrilasi sampai 3 kali dengan energy yang semakin meningkat 200 J,

200-300 J, 360 J

- Epinefrin 1 mg IV bolus diulang 3-5 menit

- Defibrilasi berulang pada 360 J setelah setiap pengobatan

- Lidokain 1-1,5 mg/kgBB IV bolus, diulang jika perlu sampai dosis

maksimum 3mg/kgBB

- Bretilium 5 g/Kg IV bolus diulang dalam 5 menitjika diperlukan dengan

10mg

- Magnesium Sulfat 1-2 g IV

- Prokainamid 30mg/menit sampai dosis maksimum 17 mg/kgBB

Urutan terapi Asistol dan PEA :

- Epinefrin 1mg IV bolus setiap 3-5 menit

- Atropin 1 mg IV bolus setiap 3-5 menit sampai total 0,04 mg/kg (3 mg

pada orang dengan berat badan rata-rata) untuk asistole dan untuk PEA

yang didasari bradikardi

Gambaran EKG Fibrilasi ventrikel kasar

6

Page 7: JANTUNG

Gambaran EKG fibriasi ventrikel halus

(Bresler,2014)

5. Prognosis

Kematian otak dan kematian permanen dapat terjadi hanya dalam

jangka waktu 8 sampai 10 menit dari seseorang tersebut mengalami henti

jantung (Diklat Ambulans Gawat Darurat 118,2010). Kondisi tersebut dapat

dicegah dengan pemberian resusitasi jantung paru dan defibrilasi segera

(sebelum melebihi batas maksimal waktu untuk terjadinya kerusakan otak),

untuk secepat mungkin mengembalikan fungsi jantung normal. Resusitasi

jantung paru dan defibrilasi yang diberikan antara 5 sampai 7 menit dari

korban mengalami henti jantung, akan memberikan kesempatan korban untuk

hidup rata-rata sebesar 30% sampai 45 %.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa dengan penyediaan

defibrillator yang mudah diakses di tempat-tempat umum seperti pelabuhan

udara, dalam arti meningkatkan kemampuan untuk bisa memberikan

pertolongan (defibrilasi) sesegera mungkin, akan meningkatkan kesempatan

hidup rata-rata bagi korban cardiac arrest sebesar 64% (American Heart

Assosiacion.2010).

7

Page 8: JANTUNG

B. Kegawatan Hipertensi

1. Definisi

Krisis hipertensi adalah penigkatan tekanan darah yang mendadak dimana

tekanan darah sistolik ≥ 200mmHg dan diastolic ≥120 mmHg. (Setianto et al,

2011)

2. Klasifikasi

Secara praktis krisis hipertensi dapat diklasifikasikan berdasarkan

perioritas pengobatan, sebagai berikut :

1. Hipertensi emergensi (darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg,

disertai kerusakan berat dari organ sasaran yag disebabkan oleh satu atau

lebih penyakit/kondisi akut. Keterlambatan pengobatan akanmenyebebabkan

timbulnya sequele atau kematian. TD harus diturunkan sampai batas tertentu

dalam satu sampai beberapa jam. Penderita perlu dirawat di ruangan

intensive care unit atau (ICU).

2. Hipertensi urgensi (mendesak), TD diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa

kerusakan/komplikasi minimum dari organ sasaran. TD harus diturunkan

dalam 24 jam sampai batas yang aman memerlukan terapi parenteral. (tabel

II).

Dikenal beberapa istilah berkaitan dengan krisis hipertensi antara lain :

1. Hipertensi refrakter : respons pengobatan tidak memuaskan dan TD >

200/110 mmHg, walaupun telah diberikan pengobatan yang efektif (triple

drug) pada penderita dan kepatuhan pasien.

2. Hipetensi akselerasi : TD meningkat (Diastolik) > 120 mmHg disertai

dengan kelainan funduskopi KW III. Bila tidak diobati dapat berlanjut ke

fase maligna.

3. Hipertensi maligna : penderita hipertensi akselerasi dengan TD Diastolik

> 120 – 130 mmHg dan kelainan funduskopi KW IV disertai papiledema,

peniggian tekanan intrakranial kerusakan yang cepat dari vaskular, gagal

ginjal akut, ataupun kematian bila penderita tidak mendapat pengobatan.

8

Page 9: JANTUNG

Hipertensi maligna, biasanya pada penderita dengan riwayat hipertensi

essensial ataupun sekunder dan jarang terjadi pada penderita yang

sebelumnya mempunyai TD normal.

4. Hipertensi ensefalopati : kenaikan TD dengan tiba-tiba disertai dengan

keluhan sakit kepala yang sangat, perubahan kesadaran dan keadaan ini

dapat menjadi reversible bila TD diturunkan.

(Khan, 2006)

3. Patofisiologi

Krisis hipertensi berpengaruh terhadap berbagai sistem organ.

Peningkatan tekanan darah mendadak dapat menyebabkan hiperperfusi dan

meningkatkan Cerebral Blood Flow, yang menyebabkan tekanan intrakranial

meningkat edema otak. Selama keadaan darurat hipertensi, atrium kiri tidak

dapat mengimbangi kenaikan akut resistensi vaskular sistemik. Hal ini

menyebabkan kegagalan ventrikel kiri dan edema paru atau iskemia miokard.

Hipertensi kronis juga menyebabkan perubahan patologis pada arteri kecil

ginjal. Selama krisis hipertensi terjadi kontraksi sfingter pre kapiler vasa

aferen, hal ini dapat mengakibatkan iskemia ginjal akut.

Krisis hipertensi bisa terjadi pada keadaan-keadaan sebagai berikut:

penderita hipertensi yang tidak meminum obat atau minum obat anti

hipertensi tidak teratur, kehamilan, penggunaan NAPZA,penderita dengan

rangsangan simpatis yang tinggi seperti luka bakar berat,

phaeochromocytoma, penyakit kolagen, penyakit vaskular, trauma kepala

serta penderita hipertensi dengan penyakit parenkim ginjal.

(Rilantono, 2013)

9

Page 10: JANTUNG

4. Diagnosa

Diagnosa krisis hipertensi harus ditegakkan sedini mungkin, karena hasil

terapi tergantung kepada tindakan yang cepat dan tepat. Tidak perlu

menunggu hasil pemeriksaan yang menyeluruh walaupun dengan data-data

yang minimal kita sudah dapat mendiagnosa suatu krisis hipertensi.

4.1. Anamnesa : Sewaktu penderita masuk, dilakukan anamnesa singkat.

Hal yang penting ditanyakan :

Riwayat hipertensi : lama dan beratnya.

Obat anti hipertensi yang digunakan dan kepatuhannya.

Usia : sering pada usia 40 – 60 tahun.

Gejala sistem syaraf ( sakit kepala, hoyong, perubahan mental, ansietas ).

Gejala sistem ginjal ( gross hematuri, jumlah urine berkurang ).

Gejala sistem kardiovascular ( adanya payah jantung, kongestif dan

oedem paru, nyeri dada ).

Riwayat penyakit : glomerulonefrosis, pyelonefritis.

Riwayat kehamilan : tanda eklampsi.

4.2. Pemeriksaan fisik :

Pada pemeriksaan fisik dilakukan pengukuran TD ( baring dan

berdiri ) mencari kerusakan organ sasaran ( retinopati, gangguan neurologi,

payah jantung kongestif, altadiseksi ). Perlu dibedakan komplikasi krisis

hipertensi dengan kegawatan neurologi ataupun payah jantung, kongestif

dan oedema paru. Perlu dicari penyakit penyerta lain seperti penyakit

jantung koroner.

10

Page 11: JANTUNG

4.3. Pemeriksaan penunjang :

Pemeriksaan penunjang dilakukan dua cara yaitu :

1. Pemeriksaan yang segera seperti :

darah : rutin, BUN, creatirine, elektrolik, KGD.

urine : Urinelisa dan kultur urine.

EKG : 12 Lead, melihat tanda iskemi.

Foto dada : apakah ada oedema paru ( dapat ditunggu setelah

pengobatan terlaksana ).

2. Pemeriksaan lanjutan ( tergantung dari keadaan klinis dan hasil

pemeriksaan yang pertama ) :

sangkaan kelainan renal : IVP, Renald angiography ( kasus tertentu ),

biopsi renald ( kasus tertentu ).

menyingkirkan kemungkinan tindakan bedah neurologi : Spinal tab,

CAT Scan.

Bila disangsikan Feokhromositoma : urine 24 jam untuk

Katekholamine, metamefrin, venumandelic Acid ( VMA ).

(Rilantono, 2014)

5. Diagnosa banding

Krisis hipertensi harus dibedakan dari keadaan yang menyerupai krisis

hipertensi seperti :

- Hipertensi berat

- Emergensi neurologi yang dapat dikoreksi dengan pembedahan.

- Ansietas dengan hipertensi labil.

- Oedema paru dengan payah jantung kiri.

11

Page 12: JANTUNG

6. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan krisis hipertensi sebaiknya dilakukan di rumah sakit

dengan fasilitas pemantauan yang memadai. Namun dapat dilaksanakan di

tempat pelayanan primer sebagai pelayanan pendahuluan dengan pemberian obat

anti hipertensi oral. Di rumah sakit, pengobatan parenteral diberikan secara bolus

atau infus sesegera mungkin. Tekanan darah harus diturunkan dalam hitungan

menit sampai jam dengan langkah sebagai berikut:

- 5 menit s/d 120 menit pertama tekanan darah rata-rata (mean arterial blood

pressure) diturunkan 20-25%.

- 2 s/d 6 jam kemudian tekanan darah diturunkan sampai 160/100 mmHg.

- 6-24 jam berikutnya diturunkan sampai <140/190 mmHg bila tidak ada

gejala iskemia organ.

Obat-obatan yang digunakan pada hipertensi emergensi :

1. Furosemide 20-40 mg i.v. (1-2 ampul) kalau perlu tiap 6 jam.

2. Clonidin (Catapres) IV (150 mcg/ampul)

 Clonidin 900 mcg dimasukkan dalam cairan infus glucosa 5% 500 cc, dan

diberikan dengan mikrodrip 12 tetes/ menit, setiap 15 menit dapat dinaikkan

4 tetes sampai tekanan darah yang diharapkan tercapai.

Bila tekanan target darah tercapai pasien diobservasi selama 4 jam kemudian

diganti dengan tablet Clonidin oral sesuai kebutuhan.

Clonidin tidak boleh dihentikan mendadak, tetapi diturunkan perlahan-lahan

oleh karena bahaya rebound phenomen, dimana tekanan darah naik secara

cepat bila obat dihentikan.

12

Page 13: JANTUNG

3. Diltiazem (Herbesser) IV (10 mg dan 50 mg/ampul)

Diltiazem 10 mg IV diberikan dalam 1-3 menit kemudian diteruskan dengan

infus 50 mg/jam selama 20 menit.

Bila tekanan darah telah turun > 20% dad awal, dosis diberikan 30 mg/menit

sampai target tercapai Diteruskan dengan dosis maintenance 5-10 mg/jam

dengan observasi 4 jam kemudian diganti dengan tablet oral. Perlu perhatian

khusus pada penderita dengan gangguan konduksi jantung dan gagal jantung.

4. Nicardipin (Perdipin) IV (2 mg dan 10 mg/ampul)

Nicardipin diberikan 10 – 30 mcg/kgBB bolus. Bila tekanan darah tetap

stabil diteruskan dengan 0.5 – 6 mcg/kgBB/menit sampai target tekanan

darah tercapai.

Terapi pada hipertensi urgensi :

1. Captopril 20-25 mg, dapat diulang tiap 6 jam dan dapat diberikan digerus

sublingual

2. Clonidine 0, 150 mg dapat diberikan tiap jam sampai 3x

3. Nifedipine oral kalu perlu diulang tiap 3 jam

(Kabo, 2011)

C. Edema Paru Kardiogenik

1. Definisi

Edem paru akut adalah akumulasi cairan di interstisial dan alveoulus paru

yang terjadi secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan

intravaskular yang tinggi (edem paru kardiak) atau karena peningkatan

permeabilitas membran kapiler (edem paru non kardiogenik) yang

mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepaat sehingga terjadi

gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan

hipoksia (Harun et al, 2009)

13

Page 14: JANTUNG

2. Patofisiologi

Edema paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena

peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan

peningkatan filtrasi cairan transvaskular. Ketika tekanan interstitial paru lebih

besar daripada tekanan pleural maka cairan bergerak menuju pleura visceralis

yang menyebabkan efusi pleura. Sejak permeabilitas kapiler endothel tetap

normal, maka cairan edema yang meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan

protein yang rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler pulmonal

biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat

peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri.

Peningkatan ringan tekanan atrium kiri (18 – 25 mmHg) menyebabkan edema

di perimikrovaskuler dan ruang intersisial peribronkovaskular. Jika tekanan

atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25) maka cairan edema akan menembus

epitel paru, membanjiri alveolus (gambar 2.4B). Kejadian tersebut akan

menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses sebagai

berikut (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010) :

Meningkatnya kongesti paru akan menyebabkan desaturasi,

menurunnya pasokan oksigen miokard dan akhirnya semakin memburuknya

fungsi jantung.

Hipoksemia dan meningkatnya cairan di paru menimbulkan

vasokonstriksi pulmonal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan.

Peningkatan tekanan ventrikel kanan melalui mekanime interdependensi

ventrikel akan semakin menurunkan fungsi ventrikel kiri.

Insufisiensi sirkulasi akan menyebabkan asidosis sehingga

memperburuk fungsi jantung.

Penghapusan cairan edema dari ruang udara paru tergantung pada

transpor aktif natrium dan klorida melintasi barier epitel alveolar. Bagian

utama reabsorbsi natrium dan klorida adalah ion channels epitel yang terdapat

pada membran apikal sel epitel alveolar tipe I dan II serta epitel saluran nafas

14

Page 15: JANTUNG

distal. Natrium secara aktif ditranspor keluar ke ruang interstitial dengan cara

Na/ K-ATPase yang terletak pada membran basolateral sel tipe II. Air secara

pasif mengikuti, kemungkinan melalui aquaporins yang merupakan saluran

air yang ditemukan terutama pada epitel alveolar sel tipe I (Lorraine et al,

2005).

Edema paru akut kardiogenik ini merupakan bagian dari spektrum

klinis Acute Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS didefinisikan sebagai

munculnya gejala dan tanda secara akut yang merupakan sekunder dari fungsi

jantung yang tidak normal (Maria, 2010).

Secara patofisilogi edema paru kardiogenik ditandai dengan

transudasi cairan dengan kandungan protein yang rendah ke paru akibat

terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru.

Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada permiabilitas atau integritas dari

membran alveoli-kapiler dan hasil akhir yang terjadi adalah penurunan

kemampuan difusi, hiposemia dan sesak nafas (Harun dan Sally, 2009).

Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-

beda. Dikatakan pada stage 1 distensi dan keterlibatan pembuluh darah kecil

di paru akibat peningkatan tekanan di atrium kiri, dapat memperbaiki

pertukaran udara diparu dan meningkatkan kemampuan difusi dari gas karbon

monoksida. Pada keadaan ini akan terjadi sesak nafas saat melakukan

aktivitas  fisik dan disertai ronkhi inspirasi akibat terbukanya saluran nafas

yang tertutup (Harun dan Sally, 2009).

Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya atau stage 2,

edema interstitial diakibatkan peningkatan cairan pada daerah interstitial yang

longgar dengan jaringan perivaskular dari pembuluh darah besar, hal ini akan

mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang normal secara radiografik dan

petanda septum interlobuler (garis Kerley B). Pada derajat ini akan terjadi

kompetisi untuk memperebutkan tempat antara pembuluh darah, saluran nafas

dan peningkatan jumlah cairan didaerah di interstitium yang longgar tersebut,

15

Page 16: JANTUNG

dan akan terjadi pengisian di lumen saluran nafas yang kecil yang

menimbulkan refleks bronkokonstriksi. Ketidakseimbangan antara ventilasi

dan perfusi akan mengakibatkan terjadinya hipoksemia yang berhubungan

dengan ventilasi yang semakin memburuk. Pada keadaan infark miokard akut

misalnya, beratnya hipoksemia berhubungan dengan tingkat peningkatan

tekanan baji kapiler paru. Sehingga seringkali ditemukan manifestasi klinis

takipnea (Harun dan Sally, 2009).

Pada proses yang terus berlanjut atau meningkat menjadi stage 3 dari

edema paru tesebut, proses pertukaran gas sudah menjadi abnormal, dengan

hipoksemia yang berat dan seringkali hipokapnea. Alveolar yang sudah terisi

cairan ini terjadi akibat sebagian besar saluran nafas yang besar terisi cairan

berbusa dan mengandung darah, yang seringkali dibatukkan keluar oleh si

pasien. Secara keseluruhan kapasitas vital dan volume paru semakin

berkurang di bawah normal. Terjadi pirai dari kanan ke kiri pada

intrapulmonal akibat perfusi dari alveoli yang telah terisi cairan. Walaupun

hipokapnea yang terjadi pada awalnya, tetapi apabila keadaan semakin

memburuk maka dapat terjadi hiperkapnea dengan asidosis respiratorik akut

apalagi bila pasien sebelumnya telah menderita penyakit paru obstruktif

kronik. Dalam hal ini terapi morfin yang telah diketahui memiliki efek depresi

pada pernafasan, apabila akan dipergunakan harus dengan pemantau yang

ketat (Harun dan Sally, 2009).

Edema paru kardiogenik disebabkan oleh peningkatan tekanan

hidrostatik maka sebaliknya edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh

peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan

meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam intersisial paru dan alveolus

(Gambar 2.4C). Cairan edema paru nonkardiogenik memiliki kadar protein

tinggi karena membran pembuluh darah lebih permeabel untuk dilewati oleh

molekul besar seperti protein plasma. Banyaknya cairan edema tergantung

pada luasnya edema interstitial, ada atau tidak adanya cidera pada epitel

16

Page 17: JANTUNG

alveolar dan kemampuan dari epitel alveolar untuk secara aktif mengeluarkan

cairan edema alveolar. Edema paru akibat acute lung injury dimana terjadi

cedera epitel alveolar yang menyebabkan penurunan kemampuan untuk

menghilangkan cairan alveolar (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).

3. Diagnosis

Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik mempunyai

beberapa kemiripan.

·           Anamnesis

Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edema paru, misalnya

adanya riwayat sakit jantung, riwayat adanya gejala yang sesuai dengan gagal

jantung kronis. Edema paru akut kardiak, kejadiannya sangat cepat dan terjadi

hipertensi pada kapiler paru secara ekstrim. Keadaan ini merupakan

pengalaman yang menakutkan bagi pasien karena mereka batuk-batuk dan

seperti seseorang yang akan tenggelam (Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).

17

Page 18: JANTUNG

·           Pemeriksaan fisik

Terdapat takipnea, ortopnea (manifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi

atau tekanan darah bisa meningkat. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar

dapat mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi

atau sedikit membungkuk ke depan, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela

interkostal dan fossa supraklavikula yang menunjukkan tekanan negatif

intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inspirasi, batuk dengan sputum

yang berwarna kemerahan (pink frothy sputum) serta JVP meningkat. Pada

pemeriksaan paru akan terdengar ronki basah setengah lapangan paru atau

lebih dan terdapat wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan  gallop,

bunyi jantung 3 dan 4. Terdapat juga edema perifer, akral dingin dengan

sianosis (Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).

·           Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang relevan diperlukan untuk mengkaji etiologi

edema paru. Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan hematologi /

darah rutin, fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa, analisa gas darah,

enzim jantung (CK-MB, troponin I) dan Brain Natriuretic Peptide (BNP).

BNP dan prekursornya Pro BNP dapat digunakan sebagai rapid test untuk

menilai edema paru kardiogenik pada kondisi gawat darurat. Kadar BNP

plasma berhubungan dengan pulmonary artery occlusion pressure, left

ventricular end-diastolic pressure dan left ventricular ejection fraction.

Khususnya pada pasien gagal jantung, kadar pro BNP sebesar 100pg/ml

akurat sebagai prediktor gagal jantung pada pasien dengan efusi pleura

dengan sensitifitas 91% dan spesifisitas 93% (Lorraine et al, 2005; Maria,

2010). Richard dkk melaporkan bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi

dengan LV filling Pressure (Pasquate et al, 2004). Pemeriksaan BNP ini

menjadi salah satu test diagnosis rutin untuk menegakkan gagal jantung kronis

berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi gagal jantung kronik Eropa dan

Amerika. Bukti penelitian menunjukkan bahwa Pro BNP/BNP memiliki nilai

18

Page 19: JANTUNG

prediksi negatif dalam menyingkirkan gagal jantung dari penyakit lainnya

·           Radiologis

Pada foto thorax menunjukkan jantung membesar, hilus yang melebar,

pedikel vaskuler dan vena azygos yang melebar serta sebagai tambahan

adanya garis kerley A, B dan C akibat edema interstisial atau alveolar seperti

pada gambaran ilustrasi 2.5 (Cremers et al, 2010; Harun dan Sally, 2009).

Lebar pedikel vaskuler < 60 mm pada foto thorax Postero-Anterior terlihat

pada 90% foto thorax normal dan lebar pedikel vaskuler > 85 mm ditemukan

80% pada kasus edema paru. Sedangkan vena azygos dengan diameter > 7

mm dicurigai adanya kelainan dan dengan diameter > 10mm sudah pasti

terdapat kelainan, namun pada posisi foto thorax terlentang dikatakan

abnormal jika diameternya > 15 mm. Peningkatan diameter vena azygos > 3

mm jika dibandingkan dengan foto thorax sebelumnya terkesan

menggambarkan adanya overload cairan (Koga dan Fujimoto, 2009).

Garis kerley A (gambar 2.6) merupakan garis linear panjang yang

membentang dari perifer menuju hilus yang disebabkan oleh distensi saluran

anastomose antara limfatik perifer dengan sentral. Garis kerley B terlihat

sebagai garis pendek dengan arah horizontal 1-2 cm yang terletak dekat sudut

kostofrenikus yang menggambarkan adanya edema septum interlobular. Garis

kerley C berupa garis pendek, bercabang pada lobus inferior namun perlu

pengalaman untuk melihatnya karena terlihat hampir sama dengan pembuluh

darah (Koga dan Fujimoto, 2009).

Gambaran foto thorax dapat dipakai untuk membedakan edema paru

kardiogenik dan edema paru non kardiogenik. Walaupun tetap ada

keterbatasan yaitu antara lain bahwa edema tidak akan tampak secara

radiologi sampai jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa masalah tehnik

juga dapat mengurangi sensitivitas dan spesifisitas rontgent paru, seperti

rotasi, inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi film (Lorraine et al, 2005;

Maria, 2010).

19

Page 20: JANTUNG

Label 2.1 Beda Gambaran Radiologi Edema Paru Kardiogenik dan Non

Kardiogenik (dikutip dari Lorraine et al, 2005)

NO. Gambaran Radiologi Edema Kardiogenik Edema Non

Kardiogenik

1 Ukuran Jantung Normal atau membesar Biasanya Normal

2 Lebar pedikel Vaskuler Normal atau melebar Biasanya normal

3 Distribusi Vaskuler Seimbang Normal/seimbang

4 Distribusi Edema rata / Sentral Patchy atau perifer

5 Efusi pleura Ada Biasanya tidak ada

6 Penebalan Peribronkial Ada Biasanya tidak ada

7 Garis septal Ada Biasanya tidak ada

8 Air bronchogram Tidak selalu ada Selalu ada

Gambaran Radiologi Edema Paru Akut Kardiogenik (dikutip dari Koga dan Fujimoto, 2009)

·          

20

Page 21: JANTUNG

Ekokardiografi

Pemeriksaan ini merupakan gold standard untuk mendeteksi disfungsi

ventrikel kiri. Ekokardiografi dapat mengevalusi fungsi miokard dan fungsi katup

sehingga dapat dipakai dalam mendiagnosis penyebab edema paru (Maria, 2010).

·           EKG

Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tanda-tanda

iskemia atau infark miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis hipertensi

gambaran ekg biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien

dengan edema paru kardiogenik tetapi yang non iskemik biasanya menunjukkan

gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang khas, dimana

akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1 minggu.

Penyebab dari non iskemik ini belum diketahui tetapi beberapa keadaan yang

dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardial yang

berhubungan dengan peningkatan tekanan pada dinding, peningkatan akut dari tonus

simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolik atau

ketokolamin (Harun dan Sally, 2009).

·           Kateterisasi pulmonal

Pengukuran tekanan baji pulmonal (Pulmonary artery occlusion pressure /

PAOP) dianggap sebagai pemeriksaan gold standard untuk menentukan penyebab

edema paru akut. Lorraine dkk mengusulkan suatu algoritma pendekatan klinis untuk

membedakan kedua jenis edema tersebut (Gambar 2.7). Disamping itu, ada sekitar

10% pasien dengan edema paru akut dengan penyebab multipel. Sebagai contoh,

pasien syok sepsis dengan ALI, dapat mengalami kelebihan cairan karena resusitasi

yang berlebihan. Begitu juga sebaliknya, pasien dengan gagal jantung kongesti dapat

mengalami ALI karena pneumonia (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).

21

Page 22: JANTUNG

22

Page 23: JANTUNG

4. Penatalaksanaan

Algoritma Penatalaksanaan Edema Paru Akut Kardiogenik (dikutip

dari ESC, 2012)

23

Page 24: JANTUNG

D. Sindrom Koroner Akut

1. Definisi

Merupakan spektrum manifestasi akut dan berat yang merupakan

keadaan kegawatdaruratan dari koroner akibat ketidakseimbangan antara

kebutuhan oksigen miokardium dan aliran darah (Rilantono, 2013).

2. Penyakit yang termasuk dalam SKA

a. Angina Pektoris tak stabil

- Definisi

Angina pektoris tak stabil ditandai dengan nyeri angina yang frekuensi

nya meningkat. Serangan cenderung di picu oleh olahraga yang ringan, dan

serangan menjadi lebih intens dan berlangsung lebih lama dari angina pektoris

stabil. Angina tak stabil merupakan tanda awal iskemia miokardium yang

lebih serius dan mungkin ireversibel sehingga kadang-kadang disebut angina

pra infark. Pada sebagian besar pasien, angina ini di picu oleh perubahan akut

pada plak di sertai trombosis parsial, embolisasi distal trombus dan/ atau

vasospasme. Perubahan morfologik pada jantung adalah arterosklerosis

koroner dan lesi terkaitnya (Rilantono, 2013).

- Patogenesis

1. Ruptur plak

Ruptur plak arterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina

pektoris tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari

pembuluh koroner yang sebelunya mempunyai penyempitan yang mininal.

Dua pertiga dari pembuluh yang mengalami ruptur sebelumnya

mempunyai penyempitan 50% atau kurang, dan pada 97% pasien dengan

angina tak stabil mempunyai penyempitan kurang dari 70%. Plak

arterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan

pelindung jaringan fibrotic (fibrotic cap).Plak tidak stabil terdiri dari inti

24

Page 25: JANTUNG

yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag.

Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima

yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang

keretakan timbul pada dinding plak yang paling lemah karena adanya

enzim protease yang di hasilkan makrofag dan secara enzimatik

melemahkan dinding plak (fibrous cap).

Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi

platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus

menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen

ST, sedangkan bila trombus tidak menyumbat 100% dan hanya

menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil .

2. Trombosis dan agregasi trombosit

Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu

dasar terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak

terganggu di sebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot

polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan

ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan

dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk

memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan

trombin dan fibrin.

3. Vasospasme Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada

angina tak stabil. Di perkirakan ada disfungsi endotel dan bahan vasoaktif

yang diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus

pembuluh darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir

seperti pada angina prinzmetal juga menyebabkan angina tak stabil.

Adanya spasme sering kali terjadi pada plak yang tak stabil dan

mempunyai peran dalam pembentukan thrombus.

25

Page 26: JANTUNG

4. Erosi pada plak tanpa ruptur

Terjadinya penyempitan juga dapat di sebabkan karena terjadinya

proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan

endotel; adanya perubahan bentuk dari lesi karena bertambahnya sel otot

polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan

iskemia

(Topol, 2007)

- Diagnosis Dan pemeriksaan Penunjang

Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan

angina yang bertambah dari biasa. Nyeri dada pada angina biasa tapi lebih

berat dan lebih lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau timbul

karena aktivitas yang minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan sesak nafas,

mual sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat dingin. Pada

pemeriksaan fisik sering kali tidak ada yang khas.

- Pemeriksaan penunjang

• Elektrokardiografi (EKG)

• Pemeriksan laboratorium

Pemeriksaan troponin T atau I dan pemeriksaan CK-MB telah di

terima sebagai pertanda paling penting.

- Penatalaksanaan

Tindakan umum

Pasien perlu perawatan di rumah sakit sebaiknya di unit intensif

koroner, pasien perlu di istirahatkan (bed rest), di beri penenang dan oksigen;

pemberian morfin atau petidin perlu pada pasien yang masih merasakan nyeri

dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin

Terapi medikamentosa

• Obat anti iskemia

• Nitrat, penyekat beta, antagonis kalsium.

26

Page 27: JANTUNG

• Obat anti agregasi trombosit

• Aspirin, tiklodipin, klopidogrel, inhibitor glikoprotein IIb/ IIIa

• Obat anti trombin

• Unfractionnated Heparin , low molecular weight heparin

• Direct trombin inhibitors

Tindakan revaskularisasi pembuluh darah

Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien dengan

iskemia berat, dan refrakter dengan terapi medikamentosa.

b. Infark miokard dengan elevasi ST

- Definisi

Infark miokardium menunjukan terbentuknya suatu daerah nekrosis miokardium

akibat iskemia total.

- Patofisiologi

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara

mendadak setelah oklusi trombus pada plak arterosklerosik yang sudah ada

sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat

biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral

sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara

cepat pada lokasi injury vaskular, dimana injury ini di cetuskan oleh faktor-

faktor seperti merokok,hipertensi dan akumulasi lipid.

Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak arterosklerosis

mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik

memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur

yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Penelitian histologis menunjukkan

plak koroner cenderung mengalami ruptur jika mempunyai fibrous cap yang

tipis dan inti kaya lipid (lipid rich core). Pada STEMI gambaran patologis

27

Page 28: JANTUNG

klasik terdiri dari fibrin rich red trombus, yang dipercaya menjadi dasar

sehingga STEMI memberikan respon terhadap terapi trombolitik.

Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP,

efinefrin, serotonin) memicu aktivasi trombosit, yang selanjutnya akan

memproduksi dan melepaskan tromboxan A2 (vasokontriktor lokal yang

poten). Selain aktivasi trombosit memicu perubahan konformasi reseptor

glikoprotein IIb/IIIa.

Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas

tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin)

seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah

molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara

simultan, menghasilkan ikatan silang platelets dan agregasi.

Kaskade koagulasi di aktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel

endotel yang rusak. Faktor VII dan X di aktivasi, mengakibatkan konversi

protrombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen

menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat kemudian akan mengalami oklusi

oleh trombus yang terdiri agregat trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang

jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas

kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik

- Diagnosis

Pada anamnesis perlu ditanyakan dengan lengkap bagaimana kriteria

nyeri dada yang di alami pasien, sifat nyeri dada pada pasien STEMI

merupakan nyeri dada tipikal (angina). Faktor resiko seperti

hipertensi,diabetes melitus, dislipidemia, merokok, serta riwayat penyakit

jantung koroner di keluarga

Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi

STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stress, emosi, atau penyakit medis lain

yang menyertai. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam,

28

Page 29: JANTUNG

tetapi variasi sirkadian di laporkan dapat terjadi pada pagi hari dalam

beberapa jam setelah bangun tidur.

Pada pemeriksaan fisik di dapati pasien gelisah dan tidak bisa istirahat.

Seringkali ektremitas pucat di sertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada

substernal > 30 menit dan banyak keringat di curigai kuat adanya STEMI.

Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop,

penurunan intensitas jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung

kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang

bersifat sementara.

Selain itu diagnosis STEMI ditegakan melalui gambaran EKG adanya

elevasi ST kurang lebih 2mm, minimal pada dua sadapan prekordial yang

berdampingan atau kurang lebih 1mm pada 2 sadapan ektremitas.

Pemeriksaan enzim jantung, terutama troponin T yang meningkat, memperkuat

diagnosis

- Penatalaksanaan

Tatalaksana di rumah sakit ICCU; Aktivitas, Pasien harus istirahat dalam 12 jam pertama. Diet,

karena resiko muntah dan aspirasi segera setelah infark miokard, pasien harus

puasa atau hanya minum cair dengan mulut dalam 4-12 jam pertama. Diet

mencakup lemak < 30% kalori total dan kandungan kolesterol <300mg/hari.

Menu harus diperkaya serat, kalium, magnesium, dan rendah natrium.

Terapi farmakologis

• Fibrinolitik

• Antitrombotik

• Inhibitor ACE

• Beta-Blocker

29

Page 30: JANTUNG

c. Infark miokard tanpa ST elevasi

o Patofisiologi

NSTEMI dapat di sebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan

atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh

obstruksi koroner. NSTEMI terjadi karena trombosis akut atau proses

vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner di awali

dengan adanya ruptur plak yang tak stabil. Plak yang tidak stabil ini

biasanya mempunyai inti lipid yang besar, densitas otot polos yang

rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi faktor jaringan yang

tinggi. Inti lemak yang cenderung ruptur mempunyai konsentrasi ester

kolesterol dengan proporsi asam lemak tak jenuh yang tinggi. Pada

lokasi ruptur plak dapat di jumpai sel makrofag dan limfosit T yang

menunjukan adanya proses inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan

sitokin proinflamasi seperti TNF α, dan IL-6. selanjutnya IL-6 kan

merangsang pengeluaran hsCRP di hati

o Diagnosis

Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadang kala di

epigastrium dengan ciri seperti di peras, perasaan seperti di ikat,

perasaan terbakar, nyeri tumpul,rasa penuh, berat atau tertekan,

menjadi persentasi gejala yang sering di temukan pada penderita

NSTEMI. Gejala tidak khas seperti dispnea, mual, diaforesis, sinkop

atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu atas atau leher juga terjadi

dalam kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih

dari 65 tahun. Gambaran EKG, secara spesifik berupa deviasi segmen

ST merupakan hal penting yang menentukan resiko pada pasien.

Troponin T atau Troponin I merupakan pertanda nekrosis miokard

30

Page 31: JANTUNG

yang lebih di sukai, karena lebih spesifik daripada enzim jantung

tradisional seperti CK dan CK-MB.

- Penatalaksanaan

Empat komponen utama terapi harus dipertimbangkan pada setiap pasien

NSTEMI yaitu:

Terapi antiiskemia

Terapi anti platelet/antikoagulan

Terapi invasif (kateterisasi dini/ revaskularisasi)

Perawatan sebelum meninggalkan RS dan sesudah perawatan RS.

3. Komplikasi Sindroma Koroner Akut

1. Syok Kardiogenik

2. Aritmia Malignant

3. Gagal Jantung

4. Mechanical ruptur, MR akut, VSD

5. Gangguan Hantaran

31

Page 32: JANTUNG

BAB III

KESIMPULAN

Kegawatan Kardiovaskuler adalah gangguan yang mengancam nyawa yang harus

didiagnosis dengan cepat untuk menghindari keterlambatan dalam pengobatan dan untuk

meminimalkan morbiditas dan mortalitas. meliputi henti jantung, kegawatan hipertensi,

sindrom koroner akut, dan edema paru kardiogenik.

Cardiac arrest adalah hilangnya fungsi jantung secara mendadak untuk

mempertahankan sirkulasi normal darah untuk memberi kebutuhan oksigen ke otak

dan organ vital lainnya akibat kegagalan jantung untuk berkontraksi secara efektif.

Tanda- tanda cardiac arrest menurut Diklat Ambulans Gawat Darurat 118 (2010)

yaitu Ketiadaan respon, Ketiadaan pernafasan, Tidak teraba denyut nadi di arteri

besar (karotis, femoralis, radialis). Pada kondisi tersebut harus dilakukan CPR sedini

mungkin.

Krisis hipertensi adalah penigkatan tekanan darah yang mendadak dimana

tekanan darah sistolik ≥ 200mmHg dan diastolic ≥120 mmHg. Hipertensi emergensi

(darurat) ditandai dengan TD Diastolik > 120 mmHg, disertai kerusakan berat dari

organ sasaran yag disebabkan oleh satu atau lebih penyakit/kondisi akut. TD harus

diturunkan sampai batas tertentu dalam satu sampai beberapa jam. Penderita perlu

dirawat di ruangan intensive care unit atau (ICU). Hipertensi urgensi (mendesak), TD

diastolik > 120 mmHg dan dengan tanpa kerusakan/komplikasi minimum dari organ

sasaran. TD harus diturunkan dalam 24 jam sampai batas yang aman memerlukan

terapi parenteral.

Edem paru akut adalah akumulasi cairan di interstisial dan alveoulus paru yang

terjadi secara mendadak. Tampilan klinis edema paru kardiogenik dan nonkardiogenik

mempunyai beberapa kemiripan. Gambaran foto thorax dapat dipakai untuk

membedakan edema paru kardiogenik dan edema paru non kardiogenik. Walaupun

tetap ada keterbatasan

32

Page 33: JANTUNG

Merupakan spektrum manifestasi akut dan berat yang merupakan keadaan

kegawatdaruratan dari koroner akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen

miokardium dan aliran darah yang meliputi angina pectoris tak stabil, Infark mikard

akut dengan ST elevasi dan Non ST elevasi. Angine pectoris merupakan spektrum

manifestasi akut dan berat yang merupakan keadaan kegawatdaruratan dari koroner

akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dan aliran darah.

STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah

oklusi trombus pada plak arterosklerosik yang sudah ada sebelumnya. NSTEMI dapat

di sebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen

miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. Tatlaksananya meliputi evaluasi

awal, penangnan awal dilanjutkan terapi medikamentosa berupa pemberian

antiplatelet jangka panjang, penyekat bet da golonga statin.

33

Page 34: JANTUNG

DAFTAR PUSTAKA

American heart association. 2010. Text book of advanced cardiac life support. AHA

publication: Dallas

Bresler, Michael J., Sterbach, George. 2014. Kegawatan jantung dalan buku

Kedokteran darurat. EGC: Jakarta

Department of Health and human services; Center for disease control and prevention

(CDC); Womans health; Leading causes of death in femalesunited states,

2007.

Ford ES., 2005. Prevalence of the methabolic syndrome defined by the international

federation among adults in the US.

Harun S dan Sally N. EdemParuAkut. 2009. In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,

Simadibrata M, SetiatiS,editor. BukuAjarIlmuPenyakitDalam 5th ed. Jakarta:

PusatPenerbitanDepartemenIlmuPenyakitDalamFakultasKedokteranUniversit

as Indonesia. p. 1651-3.

Kabo, Peter., 2011. Bagaimana menggunakan obat-obat kardiovaskular secarar

rasional. FKUI: Jakarta

Koga dan Fujimoto. Kerley’s A, B and C Line. N Engl J M 2009;360:15.

Lorraine et al. Acute Pulmonary Edema. N Engl J Med. 2005; 353:2788-96.

Maria I. 2010. PenatalaksanaanEdemParupadaKasus VSD dan Sepsis VAP.

Anestesia& Critical Care. Vol 28 No.2 Mei 2010 p.52.

Pasquate et al. Plasma Surfactant B : A Novel Biomarker in Chronic Heart Failure.

Circulation 2004; 110: 1091-6.

Profilkesehatan Indonesia 2010. Kementrian Kesehatan RI, 2011.

Rilantono, lily I., 2013., Kegawatan kardiovaskular dalam buku Penyakit

Kardiovaskuler. FKUI: Jakarta

Setianto, Budhi., Firdaus, isman., 2011. Buku saku jantung dasar. Ghalia Indonesia:

Bogor

Topol EJ.2007. Textbook of cardiovascular medicine 3rd edition.

34