jangan salah pilih lagi

77
Jangan Salah Pilih Lagi Catatan Politik dan Pemilu Legislatif 2014 Yusradi Usman al-Gayoni Mahara Publishing 2012

Upload: duongbao

Post on 12-Jan-2017

238 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jangan Salah Pilih Lagi

Jangan Salah Pilih Lagi Catatan Politik dan Pemilu Legislatif 2014

Yusradi Usman al-Gayoni

Mahara Publishing

2012

Page 2: Jangan Salah Pilih Lagi

Sanksi Pelanggaran Pasal 72

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002

TentangHakCipta

1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat

(2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu)

dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.

5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta

atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana penjara

paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratusjuta rupiah).

Page 3: Jangan Salah Pilih Lagi

Yusradi Usman al-Gayoni

Jangan Salah Pilih Lagi: Catatan Politik dan Pemilu Legislatif

2014

Editor/Proofreader: Rina Wahyuni

Layout: Rahmadaini Usman

Design Cover: Rudi Hartono

@2013 Yusradi Usman al-Gayoni

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Diterbitkan:

Mahara Publishing

Alamat: Jalan Garuda III B 33 F Pinang Griya Permai

Tangerang, Banten – 15145

Email: [email protected]

Telp. 02197718090, 081361220435

Cetakan Pertama: 2014

ISBN: 978-602-18245-4-?

Dilarang mengutip, memperbanyak, dan menterjemahkan

sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari

penerbit

Isi diluar tanggung jawab percetakan

Page 4: Jangan Salah Pilih Lagi

PRAKATA

Jakarta, Januari 2013

Penulis,

Yusradi Usman al-Gayoni

Page 5: Jangan Salah Pilih Lagi

DAFTAR ISI

Halaman

Prakata ………………………………………………….…...v-vi

Sambutan

Daftar Isi……………………………….………………..……..x

1. Dapil Aceh yang Berkeadilan? ……….………………

2. Mengawasi Penggunaan ABPK Aceh Tengah ……….

3. Lelang Jabatan Pemkab Aceh Tengah ….……………

4. Apatisme Pemilu Legislatif 2014…….……………….

5. Apatisme Politik ……………………….……………..

6. Politik Uang Masih Berkuasa ………….……………..

7. Intropeksi Diri ……………………….……………….

8. Pembatasan Alat Peraga: Kontrol dan Sanksi? ………. 9. Caleg Keluarga Vs Caleg Ideal dan Egaliterisme di

Gayo …….……………………….…………………....

10. Menurunnya Partisipasi Politik Rakyat .………………

11. Pemilu Legislatif: Partai atau Sosok? .………………..

12. Hamal Tidur Nipi Jege Pemilu Legislatif .……………

13. Memaknai Apatisme ……………….…………………

14. Memberatkan Syarat Nyaleg ……………….…………

15. Ruang Publik Bebas Alat Peraga Kampaye …………..

16. Orang Gayo Berpikir dengan Otak dan Sertakan Hati

Nurani …….……………………….…………………..

17. Anggota Dewan D-4……………….…………………..

18. Cara Orang Gayo Memilih Pemimpin .………………..

Tentang Penulis …………………………………………………

Page 6: Jangan Salah Pilih Lagi

Dapil Aceh yang Berkeadilan? Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

Salah satu masalah Pemilihan Umum (Pemilu)

Legislatif di Aceh yang diabaikan selama ini adalah persoalan

Daerah Pemilihan (Dapil). Untuk kursi Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) RI, misalnya, Dapil Aceh dibagi jadi dua, yaitu

Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) I dan Nanggroe Aceh

Darussalam (NAD) II. NAD I terdiri atas Kota Sabang, Kota

Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Aceh

Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Gayo Lues, Aceh Barat Daya,

Aceh Selatan, Aceh Tenggara, Kota Subulussalam, Aceh

Singkil, dan Kabupaten Simelue dengan jatah 7 kursi.

Sementara itu, NAD II terdiri dari Kabupaten Bireuen, Kota

Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Utara, Bener Meriah, Aceh

Tengah, Aceh Timur, Kota Langsa, dan Kabupaten Aceh

Tamiang dengan total 6 kursi. Dalam hal ini, termasuk Dapil

untuk kursi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).

Persoalannya, apakah komposisi tersebut sudah

mereflesikan Dapil Aceh yang berkeadilan? Kalau dilihat

sepintas, Dapil itu ―sudah adil.‖ Bahkan, tidak menimbulkan

persoalan. Namun, bila diselami, ternyata banyak menyisakan

persoalan. Masalah Dapil pastinya bukan sebatas

menggabungkan kota satu dengan kota lainnya atau kabupaten

satu dengan kabupaten yang lain, melainkan banyak hal yang

mesti dipertimbangkan. Terutama, soal integritas wilayah,

kohesivitas sosio-kultural (persamaan suku, bahasa, dan

budaya), sejarah, dan kesamaan sejarah administratif masa lalu

yang sama.

Pertimbangan itulah yang masih jauh dari penetapan

Dapil yang ada (NAD I dan NAD II). Tanoh Gayo (Aceh

Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues, dan Bener Meriah),

katakanlah, semestinya digabungkan ke dalam satu Dapil yang

Page 7: Jangan Salah Pilih Lagi

sama. Kenyataannya, tanoh Gayo dipisahkan ke dalam dua

Dapil yang berbeda. Dampaknya, daerah tersebut tidak memiliki

keterwakilan penuh di Senayan. Juga, di DPRA. Pada akhirnya,

persoalan dan aspirasi dari daerah ini tidak terakomodir dengan

baik. Soalnya, wakil-wakil mereka sudah dikalahkan sebelum

bertanding.

Padahal, keempat daerah tersebut (tanoh Gayo)

memiliki sejarah yang sama baik secara integritas wilayah,

sosio-kultural, sejarah, maupun secara administratif. Pada

awalnya, keempat daerah ini (Aceh Tengah, Aceh Tenggara,

Gayo Lues, dan Bener Meriah) tergabung dalam satu kabupaten

yang sama, yaitu Kabupaten Aceh Tengah (sebelum

pemekaran). Demikian halnya soal integritas wilayah, daerah ini

dikenal dengan tanoh Gayo. Sudah barang tentu, saling

berdekatan satu sama lain. Di sisi lain, secara sosio-kultural dan

sejarah; daerah ini didiami mayoritas oleh orang Gayo. Dengan

begitu, dari sisi sejarah, bahasa, adat istiadat, dan budaya sangat

berbeda dengan masyarakat yang mendiami pesisir Aceh.

Babak Baru

Oleh karena itu, pelbagai elemen sipil terutama dari

daerah pedalaman Aceh mencoba memperjuangkan perubahan

Dapil tersebut. Sebetulnya, upaya ini sudah dimulai dari tahun

2010. Kemudian, Forum Masyarakat Tengah dan Tenggara

Aceh yang didampingi Senator Indonesia asal Aceh sempat

merekomendasikan perubahan Dapil ke Komisi Pemilihan

Umum (KPU). Termasuk, ke Komisi II DPR (20/10/2011). Hal

yang sama dilakukan pula oleh Forum Masyarakat Tengah-

Tenggara dan Barat Selatan Aceh di Jakarta (13/3/2012) usai

Diskusi Publik “Menyoal Daerah Pemilihan (Dapil) Aceh” di

Gedung Parlemen Senayan. Namun, belum menunjukkan hasil

yang berarti.

Page 8: Jangan Salah Pilih Lagi

Pada akhirnya, sembilan penduduk Aceh Tengah,

Bener Meriah, Aceh Tenggara, dan Gayo Lues (Ir Mursyid,

Anwar, Nazri Adlani, Erry Sofyan, Selamat, Ali Muammar,

Kasmawati, Syaddam Natuah, dan Mulyadi) melakukan uji

materi terhadap pasal 22 ayat (5) dan lampiran Undang-Undang

No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,

DPD, dan DPRD Terhadap Undang-Undang Dasar 1945ke MK.

Lebih khusus, terkait Dapil. Alhasil, tanggal 28 Januari 2013

lalu, Dapil Aceh ini pun mulai disidangkan. Kalau uji materi ini

berhasil, KPU dan KIP Aceh otomatis mesti menjalankan

ketetapan MK tersebut.

Dapil Ideal?

Melihat jumlah penduduk dan kuota kursi ke DPR RI,

seperti yang sudah diusulkan, idealnya Aceh terdiri dari tiga

Dapil, yaitu NAD I (Kota Sabang, Kota Banda Aceh,

Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie, dan kabupaten Pidie

Jaya), NAD II (Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo

Lues, Aceh Tenggara, Simelue, Aceh Singkil, Kota

Subulussalam, Aceh Selatan, Aceh Barat Daya, Nagan Raya,

Aceh Barat, dan Kabupaten Aceh Jaya), dan NAD III

(Kabupaten Bireuen, Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh

Utara, Aceh Timur, Kota Langsa, dan Kabupaten Aceh

Tamiang)

Kalaupun tidak memungkinkan tiga Dapil dan tetap dua

Dapil, misalnya, dengan memperhatikan aspek integritas

wilayah, sosio-kultural, sejarah, dan secara administratif, Dapil

yang ada mesti diformulasi ulang, menjadi NAD I yang terdiri

dari Kabupaten Bener Meriah, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh

Tenggara, Simelue, Aceh Singkil, Subulussalam, Aceh Selatan,

Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, dan Aceh

Jaya). Sebaliknya, NAD II yang terdiri atas Kota Sabang, Kota

Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Pidie Jaya, Bireuen, Kota

Page 9: Jangan Salah Pilih Lagi

Lhokseumawe, Aceh Utara, Aceh Timur, Kota Langsa, dan

Kabupaten Aceh Tamiang.

Dengan formulasi itu, Dapil Aceh lebih merefleksikan

keadilan. Disamping itu, menunjukkan proporsionalitas dari

masing-masing wilayah, suku, dan budaya yang ada di Aceh.

Pada akhirnya, akan ada keterwakilan penuh yang mewakili

masing-masing daerah baik di DPRA maupun di Senayan.

*Koordinator Forum Masyarakat Tengah Tenggara dan Barat

Daya Selatan Aceh-Jakarta

Sumber: Media Online Lintas Gayo, 17/2/2013

Page 10: Jangan Salah Pilih Lagi

Mengawasi Penggunaan APBK Aceh Tengah Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni

Beberapa waktu yang lalu, Dewan Perwakilan Rakyat

Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah telah menyetujui dan

mengesahkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten

(APBK) Tahun Anggaran 2013, sebesar Rp. 740.486.105.127,-

(Lintas Gayo, 28 Januari 2013). Di sini, masyarakat Takengon

harus mengawasi penggunaan anggaran tersebut: apakah

peruntukannya benar-benar untuk kepentingan rakyat

keseluruhan? Atau, ―rakyat sebagian?‖ Dalam arti, hanya

dinikmati oleh pembuat/pelaksana serta orang-orang yang

memiliki akses terhadap kebijakan dan kekuasaan. Kalau itu

yang terjadi, cukup disayangkan.

Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah juga

mesti transfaran. Misalnya, dengan membuat dan membagi-

bagikan Poster APBK, sampai ke kantor-kantor kepala

kampung, seperti yang sudah dilakukan Pemerintah Propinsi

DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Jokowi-Ahok. Dengan

kata lain, ungkapan transfaran tersebut bukan sekedar wacana

(cerak pelin), melainkan nyata dalam tindakan. Dengan

demikian, masyarakat bisa melihat, mengkritisi, dan

mengevaluasi penyusunan anggaran yang telah ditetapkan. Pada

akhirnya, penyusunan program pembangunan dan anggaran

tahun berikutnya bisa lebih baik. Pastinya, dengan

mengedepankan kepentingan masyarakat banyak, sesuai

kebutuhan ril di lapangan, dan berkeadilan.

Kemudian, masyarakat harus mendorong dan ikut

mengawasi wakil-wakil mereka yang duduk di DPRK

(mengawasi pengawas). Sejauh mana wakil-wakil rakyat

tersebut mampu memperjuangkan anggaran yang prorakyat.

Dengan kata lain, anggaran yang menyejahterakan; bukan

mengayakan segelingir orang. Disamping itu, jangan sampai

mereka pun ikut bermain, karena kurangnya keterlibatan dan

Page 11: Jangan Salah Pilih Lagi

pengawasan masyarakat. Apalagi, saat sekarang (2013) yang

merupakan tahun politik. Bisa saja, terjadi politisasi anggaran

untuk kepentingan 2014 (mengamankan posisi mereka)

Partisipatif

Yang jauh lebih penting lagi, bagaimana pemerintah

kabupaten melibatkan masyarakat dan pelbagai stakeholder di

awal penyusunan program pembangunan dan anggaran. Alhasil,

program dan anggaran yang disusun pun sesuai dengan

kebutuhan masyarakat. Bukan program titipan, yang ujung-

ujungnya ‗proyek.‘ Tujuannya, untuk mengembalikan modal.

Lalu, bisa saving (mungemas) untuk persiapan pemilu kada atau

pemilu legislatif selanjutnya. Bahkan, balas budi kepada tim

sukses-tim sukses atau pemodal yang telah ikut berjuang

sebelumnya, yang dieksekusi melalui program-program dan

anggaran-anggaran yang sudah disusun ―di belakang layar.‖

Terlepas kurangnya willing ―angan kasat ejet ni niet”

dari eksekutif dan legislatif, misalnya, masyarakat lah yang

mesti lebih aktif, cerdas, dan kritis. Khususnya, dalam

penyusunan program dan anggaran sampai

pengimplementasiannya. Pada akhirnya, masyarakat akan betul-

betul dilayani dan diposisikan sebagai penikmat pembangunan.

Genap si mulo; agih si belem.

Sumber http://www.lintasgayo.com/36884/mengawasi-

penggunaan-apbk-aceh-tengah.html

Page 12: Jangan Salah Pilih Lagi

Lelang Jabatan Pemkab Aceh Tengah?

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan

Reformasi Birokrasi, Eko Prasojo, mengingatkan, proses lelang

jabatan di Provinsi DKI Jakarta agar tidak melenceng dari

ketentuan yang berlaku. Lelang itu harus berjalan transparan

dan independen. Ketentuan lelang jabatan juga mesti mengacu

pada Surat Edaran Menteri PAN Nomor 16 Tahun 2012 tentang

Tata Cara Pengisian Jabatan Struktural yang Lowong secara

Terbuka di Lingkungan Instansi Pemerintah. Sesuai ketentuan

itu, peserta harus lulus seleksi administrasi, wawancara,

penguasaan wilayah kerja, dan mengikuti uji publik. Adapun

panitia seleksi terdiri lima orang yang berasal dari unsur pejabat

di instansi terkait, pejabat dari instansi lain yang kompetensi

jabatannya sesuai dengan jabatan yang akan diisi, dan pakar

atau akademisi. Selain DKI, lelang jabatan serupa akan

dilakukan Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah,

Kementerian Perhubungan, dan Kementerian Pariwisata

dan Ekonomi Kreatif (Kompas, 22 Maret 2013)

Sebagai masyarakat, kita menyambut baik rencana

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Aceh Tengah untuk

melakukan lelang jabatan di lingkungan pemerintahan di

Takengon. Namun, kita masih belum tahu; apakah lelang

jabatan ini berlaku mulai dari asisten, sekretaris daerah, kepala

dinas, camat, sampai kepala kampung? Lalu, sumber dan besar

anggaran yang digunakan. Belum lagi, panitia seleksi yang akan

menyeleksi pejabat-pejabat tersebut.

Kita berharap, Bupati Nasaruddin dan Wakil Bupati

Khairul Armara dapat menggunakan hak preogatifnya dengan

benar, baik, dan sesuai aturan. Sebagai akibatnya, pejabat yang

dihasilkan pun betul-betul jujur, amanah, berkualitas, mampu,

serta punya track record kinerja yang mumpuni. Juga, sejalan

Page 13: Jangan Salah Pilih Lagi

dengan prinsip the right man on the right place; bukan the

wrong man on the wrong place.

Pasalnya, di banyak tempat, penempatan jabatan ini

seringkali tidak didasarkan pada kriteria di atas, tetapi lebih

karena kedekatan (sahan rap urum rara—yang dekat dengan

kekuasaan). Dalam hal ini, pastinya, siapa yang dekat dengan

bupati atau wakil bupati. Bisa karena hubungan keluarga

(pemili) atau besanan (ume berume). Dalam kaitan itu, akan

terjadi avoidance relationship (hubungan segan) dalam birokrasi

yang berjalan; sama halnya seperti hubungan segan dalam tutur

(istilah kekerabatan dalam masyarakat Gayo). Karena, diisi

keluarga, kerabat dekat, dan ―tim sukses.‖ Misalnya, ume

(besan), ama (bapak), anak (anak), kumpu (cucu), engi (adik),

dan lain-lain. Sapaannya pun bukan lagi ―bapak‖ atau ―ibu‖

seperti yang lazim dalam tuturan pemerintahan/profesional,

melainkan sudah berganti jadi ume, ama, pun, abang, aka, dan

lain-lain. Dampak lain, bisa terbangun politik dinasti baik di

lingkungan pemerintahan maupun di luar pemerintahan (partai

politik serta jabatan-jabatan strategis yang ada di daerah).

Selain itu, karena faktor ―tim sukses‖ saat Pemilihan

Umum Kepada Daerah (Pemilu Kada) berlangsung. Yang

terjadi kemudian adalah politik balas budi. Apalagi, pejabat

yang mendukung telah berinvestasi besar, terutama prihal

pendanaan dalam menyukseskan keterpilihan bupati dan wakil

bupati. Akibatnya, bupati dan wakil bupati mesti membayar cek,

yaitu menempatkan jabatan sesuai dengan pesanan dan

kehendak tim sukses tadi—di internal dan eksternal

pemerintahan. Jika itu terjadi; bupati hanya lah simbol, selalu

galau dan ragu, serta tidak punya kuasa dalam menempatkan

pembantu-pembantunya. Karena, sudah disetir oleh orang-orang

terdekatnya.

Page 14: Jangan Salah Pilih Lagi

Kita berharap agar wacana tersebut dapat berjalan

secepatnya. Dengan begitu, pejabat yang dihasilkan akan sesuai

dengan harapan publik—jujur, amanah, berkualitas, mampu,

dan punya track record kinerja yang mumpuni. Pada akhirnya,

akan berdampat baik dan sehat bagi birokrat/birokrasi yang ada

dan daerah. Dengan kata lain, birokrat yang berjalan akan

senantiasa melayani, transparan (apalagi soal anggaran),

memudahkan, singkat, cepat, dan bisa menyejahterakan. Bukan

sebaliknya, birokrasi yang ingin selalu dilayani, tertutup,

mempersulit, panjang, lambat (lelet), dan tidak berdampat sama

sekali pada perbaikan serta kesejahteraan masyarakat Takengon

secara keseluruhan.

*Direktur Research Center for Gayo

Sumber: Suara Leueser Antara April 9, 2013

http://suaraleuserantara.com/2013/04/09/lelang-jabatan-

pemkab-aceh-tengah/

Page 15: Jangan Salah Pilih Lagi

Apatisme Pemilu Legislatif 2014

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

Apatis, skeptis, dan kemungkinan golput. Begitulah

gambaran sikap masyarakat di Takengon menghadapi Pemilu

Legislatif 2014. Lebih khusus lagi, di Daerah Pemilihan (Dapil)

4, yaitu Kecamatan Bebesen, Bies, dan Kecamatan Kute

Panang. Apalagi, di Kecamatan Bebesen.

Barangkali, terlalu dini menilai sikap tersebut. Karena,

Pemilu Legislatif masih berlangsung sebelas bulan lagi.

Sementara, daerah yang dinilai tidak mewakili keseluruhan

daerah pemilihan—empat belas kecamatan di Kabupaten Aceh

Tengah. Namun, kondisi itu tetap merupakan gambaran sikap

masyarakat. Selebihnya, tinggal dipetakan secara wilayah dan

keangkaaan (kuantitatif).

Dari amatan dan wawancara yang dilakukan—sejak 14

April-16 Mei 2013, dapat disimpulkan bahwa sikap itu

disebabkan karena tindakan partai dan anggota legislatif sendiri.

Partai politik tidak mampu memberikan pendidikan,

pembelajaran, dan pencerahan politik kepada masyarakat.

Sebaliknya, partai politik sebatas alat untuk meraih kekuasan.

Selain itu, tidak mampu ―menyejahterakan‖ masyarakat melalui

wakil-wakil mereka di parlemen, yaitu dengan memperjuangkan

apirasi dan anggaran yang pro masyarakat akar rumput (grass

root). Kebalikannya, lebih memperjuangkan kepentingan partai,

pribadi, keluarga, golongan, dan penguasa.

Di lain pihak, anggota legislatif tidak mampu

menunaikan janji-janji politiknya. Juga, kebanyakan anggota

dewan tidak menjalankan tugas kedewananannya. Dengan

demikian, masyarakat semakin tidak percaya pada keberadaan

parlemen dan anggota legislatif. Dengan kata lain, ada-tidaknya

dewan tidak memberikan dampak signifikan kepada

masyarakat. Apalagi, masyarakat akar rumput. Hal tersebut

Page 16: Jangan Salah Pilih Lagi

berdampak negatif pada calon legislatif yang maju sekarang.

Termasuk, wajah-wajah baru. Hal itu makin memperburuk citra

parlemen dan situasi di tengah-tengah masyarakat.

Pindah Dapil

Akibat kurangnya kepercayaan masyarakat, terutama

dari daerah pemilihan sebelumnya, banyak anggota legislatif

yang pindah ke dapil yang berbeda pada pemilu legislatif 2014

mendatang. Misalnya, dari Dapil 1 (Kec Bintang, Kebayakan,

dan Kec Lut Tawar) ke Dapil 4 (Kec Bebesen, Bies, dan Kec

Kute Panang), Dapil 4 ke Dapil 1, dan sebagainya. Dengan

harapan, mereka mendapat tempat di hati masyarakat Dapil

yang baru. Soalnya, mareka sudah kehilangan kepercayaan di

Dapil sebelumnya.

Dalam kaitan itu, masyarakat, terutama yang memiliki

hak pilih mesti benar-benar melihat, menilai, dan selektif dalam

memilih wakil rakyatnya. Lebih khusus lagi, yang pindah Dapil.

Dengan begitu, masyarakat tidak akan salah pilih. Dengan

begitu, mereka tidak akan menyesal setelah melakukan

pencoblosan. Sebab, wakil yang telah dipilih tidak

memperhatikan dan tidak memperjuangkan mereka ―lupa diri.‖

Pencerdasan Bersama

Melihat keapatisan sikap masyarakat, upaya

pencerdasan politik oleh semua pihak mesti terus dilakukan.

Terutama, dari partai politik, akademisi, mahasiswa, pers,

elemen sipil, dan masyarakat Gayo di luar Takengon (tanoh

Gayo). Termasuk, dari bakal calon anggota legislatif. Sebagai

contoh, mengkampayekan anti politik uang (sen) dan anti politik

barang (penosah); sebelum, saat serangan fajar, dan waktu

pemilu legislatif berlangsung baik dari calon anggota legislatif

maupun dari partai politik.

Page 17: Jangan Salah Pilih Lagi

Lebih tegas lagi, menolak dan bahkan sampai tidak

memilih calon yang berpolitik uang dan berpolitik barang.

Lebih-lebih, calon yang tidak tahu tugas dewan sama sekali.

Bukan rahasia umum lagi, anggota dewan seringkali hanya

datang, duduk, diam, dan tidur. Selain itu, sebatas

mengharapkan proyek, fee, dan dana aspirasi. Praktik tersebut

pastinya telah merusakkan sendi-sendi kehidupan masyarakat,

memperburuk demokrasi, dan ―meruntuhkan akidah

masyarakat.‖

Kemudian, menyampaikan prihal calon anggota

legislatif yang benar-benar berjuang untuk masyarakat.

Pasalnya, keberadaan anggota legislatif dan parlemen sangat

berpengaruh terhadap penetapan anggaran, pengawasan

pembangunan, dan pembuatan perundang-undangan (qanun)

yang berpihak pada perkembangan dan kemajuan masyarakat.

Sebagai akibatnya, akan berdampak luas pada masyarakat

Takengon, tanoh Gayo, dan Aceh secara keseluruhan.

Sumber: Suara Leuser Antara (Rabu, 22 Mei 2013)

Page 18: Jangan Salah Pilih Lagi

Apatisme Politik? Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

Dalam amatan penulis—sejak 14 April-16 Mei 2013,

masyarakat Takengon, Aceh Tengah masih apatis, skeptis, dan

adanya kemungkinan untuk golput pada Pemilu Legislatif 2014

mendatang. Khususnya, di Daerah Pemilihan (Dapil) 4, yaitu

Kecamatan Bebesen, Bies, dan Kecamatan Kute Panang.

Terlebih lagi, di Kecamatan Bebesen. Sikap tersebut merupakan

hak masyarakat. Persoalannya, apakah sikap tersebut akan

menyelesaikan masalah?

Jawabannya, pasti tidak. Malah, akan merugikan

masyarakat. Khususnya, yang memiliki hak pilih (suara). Pada

akhirnya, akan berdampak pada masyarakat Takengon secara

keseluruhan. Sebab, keapatisan mereka, dan apalagi sampai

golput akan menguntungkan partai politik, (calon) anggota

legislatif, dan pihak-pihak tertentu. Terutama, yang suka

bermain uang (money politics) dan politik barang (penosah—

kerudung, kain sarung, sajadah, piring, payung, dan lain-lain)

dalam meraih simpati masyarakat.

Bisa saja, suara yang golput tadi ―dimainkan‖ oleh

yang berduit dan punya kekuasaan. Dalam prosesnya; yang

mestinya terpilih jadi tidak terpilih. Kebalikannya, yang

awalnya tidak terpilih jadi terpilih dan duduk di dewan (DPRK).

Pada akhirnya, dewan akan dikuasai orang-orang yang bermodal

dan punya kekuasan. Karena, sudah melakukan ―jual-beli‖

suara. Sebagai akibatnya, apa pun kebijakan yang diajukan

kepala daerah (eksekutif), serta merta akan diamini dewan.

Di pihak lain, sepertinya ada upaya pembiaran

(―pembodohan‖) oleh pihak-pihak tertentu. Ironisnya, mereka

menyenangi kondisi demikian. Masyarakat dibiarkan tidak

cerdas. Termasuk, cerdas dalam berpolitik. Utamanya, cerdas

Page 19: Jangan Salah Pilih Lagi

dalam memilih calon anggota dewan yang ideal. Dengan

pengertian lain, yang amanah, mampu, berkualitas, punya rekam

jejak yang baik (pendidikan, kinerja, moral, dan hukum),

tanggung jawab, dan betul-betul berjuang mewakili rakyat.

Masyarakat juga seolah-olah ―tidak memiliki akses‖ terhadap

kebijakan dan anggaran.

Balik Modal

Bila praktik politik uang dan politik barang masih

menghiasi Pemilu Legislatif 2014, dapat dipastikan bahwa

prosesnya sudah tidak berjalan seperti yang diharapkan. Tidak

ada lagi etika dan moral dalam berpolitik. Niat, cara, dan tujuan

calon anggota legislatif yang maju pun sudah tidak benar.

Mereka tidak lagi memperjuangkan rakyat yang mereka wakili.

Namun, lebih mengurusi kepentingan pribadi, keluarga (pemili)

baik dari pihak pedih (dari keturunan bapak) maupun ralik

(pihak keturunan ibu) serta ume berume (besanan), golongan,

penguasa, dan partai politik. Lebih spesifik, mengembalikan

uang yang sudah keluar. Juga, barang-barang yang sudah

dibagi-bagikan ke masyarakat.

Misalnya, dengan meminta fee dari setiap kebijakan

yang digulirkan pemerintah (eksekutif), mengurusi proyek, dan

menunggu dana aspirasi keluar. Dengan demikian, kebijakan

(program) dan anggaran yang ada ―sudah dibajak‖ dari awal.

Tujuannya, untuk mengembalikan uang (modal) yang sudah

keluar tadi.

“DPRKemeh”

Lagi-lagi, masyarakat kembali menelan pil pahit

kekecewaan. Tidak diurus dan tidak adanya tempat mengadu.

Pasalnya, wakil mereka asyik mengurusi kepentingannya.

Walhasil, sumpah serapah dari masyarakat pun keluar, ―DPR

Page 20: Jangan Salah Pilih Lagi

Kemeh‖ (DPR kurang ajar/tidak amanah/tidak tahu untung/tidak

tanggung jawab/tidak ada gunanya). Padahal, keterpilihan

mereka tidak terlepas pula dari pilihan masyarakat. Siapakah

yang salah?

Oleh sebab itu, masyarakat mesti punya harga diri.

Jangan sampai merendahkan sebaligus menghinakan diri dengan

uang seratus/dua ratus/dua ratus lima puluh/tiga ratus/lima ratus

ribu atau barang tertentu. Padahal, dampak yang dirasakan bisa

lima tahun, dan bahkan lebih. Jika nilai yang diterima

masyarakat seratus ribu/suara, maka yang didapat cuma Rp. 54

(Rp. 100.000/365 hari x 5 tahun). Nilai tersebut bahkan lebih

rendah dari harga depik (rasbora tawarensis—ikan endemik di

Danau Laut Tawar) yang dijajakan di Pasar Inpres Takengon.

Yang mesti diingat, tidak ada yang gratis. Setiap pemberian

(uang atau barang), pasti akan ada pengembaliannya.

Selanjutnya, pengawasan dan pengawalan mesti terus

dilakukan oleh semua pihak. Tanpa pengawalan, suara yang

sudah dicoblos dan yang golput pun bisa ―lari kemana-mana.‖

Dampaknya, yang tidak duduk pun bisa jadi duduk. Lalu,

pendidikan dan pencerdasan politik tetap harus dilakukan.

Targetnya, bagi yang punya hak pilih dan termasuk pemilih

pemula (muda). Upaya itu bisa dilakukan pihak-pihak yang

independen baik dari penyeleggara (KIP), akademisi,

mahasiswa, pers, LSM, maupun elemen sipil lainnya. Dengan

demikian, masih ada harapan untuk mewujudkan pemilu

legislatif 2014 yang jujur, bersih, independen, dan antipolitik

uang.

http://www.wartadki.com/berita-703-apatisme-politik.html (24

Mei 2013)

Page 21: Jangan Salah Pilih Lagi

Politik Uang Masih Berkuasa Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni

“Seni, beret ke gere ber sen” (sekarang, sulit kalau tidak pakai

uang)

Begitulah tanggapan sebagian masyarakat menghadapi

Pemilu Legislatif 2014. Khususnya, di Takengon, Kabupaten

Aceh Tengah. Ada dua hal yang bisa dimaknai dari pernyataan

di atas. Pertama, terkait biaya politik. Biaya ini memang mesti

dikeluarkan calon yang bersangkutan. Namun, tidak berlebihan.

Sampai-sampai, membeli suara pemilih dengan uang. Walhasil,

berdampak negatif kepada masyarakat. Juga, terhadap

pelaksanaan demokrasi di tanah air.

Kedua, mengarah kepada politik uang (money politics).

Politik uang ini makin membudaya dalam praktik perpolitikan

di Indonesia. Buktinya, dari pernyataan masyarakat tadi.

Walaupun tidak semuanya menerima politik uang. Namun,

secara umum masih demikian. Ada rasa pesimisme, sepertinya

praktik politik uang sulit untuk dihapuskan.

Praktik seperti itu kerap dilakukan politisi baik saat

Pemilu Presiden, Pemilu Legislatif maupun Pemilu Kepada

Daerah. Tujuannya, untuk menarik hati dan membuaikan

masyarakat secara instan. Akibatnya, masyarakat tidak lagi

berpikir jangka panjang—dampak lima tahun setelahnya—tapi

lebih ke pemberian tadi. Singkatnya, ada uang ada suara.

Kemungkinan, politik uang tadi bertujuan untuk juga

―mengkondisikan‖ penyelenggara sekaligus pengawas pemilu.

Jika sudah dibiasakan seperti itu, maka jangan salahkan

masyarakat kemudian. Karena, memang sudah dididik dari dari

awal

Page 22: Jangan Salah Pilih Lagi

Di lain pihak, praktik tadi masih terjadi karena

lemahnya penegakan undang-undang dan peraturan-peraturan

terkait. Selain itu, masih kurangnya pengawasan dari Panitia

Pengawas Pemilu. Lalu, terbatasnya sanksi-sanksi terhadap

setiap pelanggaran. Sayangnya, peraturan-peraturan yang ada

seringkali dilanggar. Sebab, sifatnya ―sebatas formalitas.‖

Padahal, ada norma, nilai, dan kekuatan hukum yang

dimilikinya. Namun, tidak mampu menghukumi karena

lemahnya penegakan hukum tadi.

Di luar itu, sampai saat ini, masih belum ada undang-

undang yang membatasi dana kampaye partai politik yang

digodok pemerintah dan DPR RI. Mestinya, undang-undang ini

harus segera dirumuskan. Ketiadaan undang-undang ini

menjadikan politik berbiaya tinggi. Pada akhirnya, mendorong

legislator atau kepala daerah untuk korupsi. Soalnya, harus

mengembalikan modal dan hutang (uang) yang sudah

dikeluarkan, selain saving (mungemas) untuk keperluan dana

maju berikutnya. Pada akhirnya, kerjanya bukan lagi mengurusi

rakyat, melainkan memikirkan pengembalian modal serta

mengurusi proyek, fee, atau dana aspirasi.

Pemilih Cerdas

Terlepas dari masalah tersebut, masyarakat (pemilih)

mesti cerdas dalam memilih wakil-wakil mereka. Dasar

pilihannya tidak didasarkan pada besaran uang atau jumlah

barang yang diberikan, tapi lebih pada rekam jejak (track

record) calon yang bersangkutan. Misalnya, dengan mengetahui

pengetahuan, tingkat pendidikan, pengalaman, kemampuan

teknis, penguasaan undang-udang dan peraturan, program

kedewanan, dan lain-lain.

Nanti, jangan sampai masyarakat menuntut kinerja

dewan. Soalnya, tidak ada yang dikerjakannya buat masyarakat.

Sebaliknya, kerjanya hanya datang, duduk, dengar, diam,

Page 23: Jangan Salah Pilih Lagi

pulang, dan mengambil gaji bulanan. Karena, tidak paham sama

sekali soal pekerjaannya.

Sementara itu, masyarakat sudah diuangi (dibeli) dari

awal. Satu suara, misalnya, dibeli seratus ribu rupiah. Tinggal

dibagi 365 hari (satu tahun) dan dikalikan selama 5 tahun.

Artinya, selama mereka duduk di parlemen, suara pemilih

(masyarakat) hanya dihargai Rp. 54. Itulah nilai dan harga

pemilih sesungguhnya.

Kalau pemilih sudah cerdas dalam memilih, maka

besar kemungkinan legislator yang terpilih pun adalah orang-

orang yang cerdas. Dalam arti, jujur, amanah, mampu,

berkualitas, punya rekam jejak yang baik, dan paham akan tugas

kedewanan. Termasuk, dalam memperjuangkan aspirasi

konstituennya (masyarakat).

Oleh karena itu, masyarakat khususnya yang punya hak

pilih mesti terus dicerdaskan, yaitu dengan memberikan

pendidikan politik. Khususnya, membuka kesadaran untuk

berpartisifasi dalam pemilu 2014 mendatang. Yang lebih

penting lagi, tidak sampai salah memilih sehingga tidak

mengecewakan masyarakat itu sendiri.

Sumber http://frontroll.com/berita-2295-politik-uang-masih-

berkuasa-.html (5/6/2013)

Page 24: Jangan Salah Pilih Lagi

Intropeksi Diri Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

Secara keseluruhan, ada 450 calon anggota legislatif

yang akan bertarung menuju Dewan Perwakilan Rakyat

Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah pada Pemilu Legislatif 2014

mendatang. Ke 450 calon ini berasal dari 12 partai nasional—

Nasdem, PKB, PKS, PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN,

PPP, Hanura, PBB, dan PKPI—serta 3 partai lokal—PA, PNA,

dan PDA. Daerah Pemilihan atau Dapil I (Kec Bintang, Kec

Kebayakan, dan Kec Lut Tawar) dan Dapil III (Kec Celala, Kec

Ketol, Kec Rusip Antara, dan Kec Silih Nara) masing-masing 7

kursi. Sementara, Dapil II (Kec Atu Lintang, Kec Jagong Jeget,

Kec Linge, dan Kec Pegasing) dan Dapil Dapil IV (Kec

Bebesen, Kec Bies, dan Kec Kute Panang) masing-masing ada 8

kursi yang diperebutkan.

Terlepas dari kekurangan dan motivasinya, niat baik

dari keseluruhan calon mesti tetap dihargai. Pasalnya, image

lembaga ini sangat buruk, dewasa ini. Di lain pihak, Demokrasi

dibangun pun masih di tataran prosedural, bukan substantif.

Politik transaksional sebagai imbas tingginya biaya politik

makit menguat. Ditambah lagi, tambah berkembangnya politik

keturunan (politik dinasti). Namun, masih ada mau masuk ke

kubangan sistem tersebut. Harapannya, wakil-wakil yang

terpilih nantinya bisa memperbaiki kondisi tersebut. Disamping

itu, maksimal dalam menjalankan tugas kedewanannnya.

Dalam masyarakat Gayo, ada peri mestike

kepemimpinan yang cukup populer, yaitu reje mu suket sipet;

imem mu perlu sunet; petue mu sidik sasat; dan rayat genap

mupakat. Kata reje atau raja dimaknai sebagai ‗pemimpin‘

secara luas. Termasuk, calon anggota legislatif yang akan maju.

Secara khusus, terminologi anggota dewan dalam bahasa Gayo

dikenal dengan istilah ulu rintah.

Page 25: Jangan Salah Pilih Lagi

Suket dan Sipet

Lantas, apakah makna reje mu suket sipet tadi? Ada tiga

kata kunci di sini; reje (raja—pemimpin), suket (menakar), dan

sipet (mengukur). Dalam banyak literatur Gayo, reje mu suket

sipet diartikan ‗adil.‘ Memang, seorang pemimpin baik formal

maupun informal harus adil. Dalam hal ini, bupati yang ada di

Gayo: Kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues,

dan Kabupaten Bener Meriah. Mereka mesti adil kepada Tuhan,

diri sendiri, keluarga, golongan, masyarakat luas, dan

lingkungan alam. Demikian halnya calon legislator, mesti adil.

Karena, mereka akan mewakili daerah pemilihan dan

konstituennya. Amanah, beban, tanggung jawab, dan resiko

yang diemban pun pasti berat.

Sesungguhnya, makna reje mu suket sipet tadi cukup

luas. Hakikat pemaknaanya ada pada kata suket (menakar) dan

sipet (mengukur). Indikator suket ini pun jelas sekali, antara lain

kal, are, tem, dan seterusnya. Sebaliknya, sipet—untuk

mengukur jarak—biasanya menggunakan jari tangan. Di sini,

ada unsur relativitas. Panjang jari seseorang pasti berbeda.

Dengan demikian, yang diukur pun akan berbeda hasilnya.

Secara denotatif bisa dimaknai demikian. Namun, ada pula

makna konotatifnya.

Dalam konteks pemimpin dan kememimpinan tersebut,

suket merujuk kepada pemimpin (yang sedang maju) yang

bersangkutan. Dengan kata lain, suket merujuk kepada hal-hal

yang konkrit (i panang sareh, i amat nyata): fisik, tempat

tinggal, masa-masa kecil, sekolah, kampus, tempat berkarir, dan

lain-lain . Kebalikannya, sipet merujuk kepada hal-hal yang

abstrak. Misalnya, jujur, amanah, umur, memiliki popularitas,

elektabilitas serta akseptabilitas yang tinggi, punya keagungan

sifat dan karakter, kedalaman ilmu, pengalaman yang luas,

bekal pendidikan yang memadai, menguasai agama, punya

rekam jejak dan kinerja yang baik, tidak cacat moral dan tidak

Page 26: Jangan Salah Pilih Lagi

cacat hukum, dan lain-lain. Alhasil, pemimpin-pemimpin formal

dan informal tadi—termasuk anggota/calon anggota dewan—

bisa menuntun dan membawa masyarakat dan daerah yang

dipimpinnya ke arah yang benar, baik, maju, dan bermartabat.

Sebab, didasari dengan bekal yang cukup dan mumpuni.

Persoalannya, sudahkah ke 450 calon anggota legislatif

yang maju dan pemimpin-pemimpin formal dan informal yang

ada munyuket dan munyipet (intropeksi) dirinya masing-masing?

Sumber www.suaragayo.com (20/6/2013)

Page 27: Jangan Salah Pilih Lagi

Pembatasan Alat Peraga: Kontrol dan Sanksi? Yusradi Usman al-Gayoni*

Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan membatasi pemasangan

alat peraga oleh peserta Pemilu 2014. Komisioner KPU Ida

Budhiati mengatakan, pembatasan ini akan ditegaskan dalam

sebuah peraturan. Ia mengungkapkan, peserta pemilu akan

dibatasi hanya boleh memasang dua baliho di satu kecamatan.

Ia memaparkan, pembatasan ini bertujuan untuk mewujudkan

asas keadilan bagi setiap peserta pemilu. Dengan adanya

pembatasan, baliho tidak lagi didominasi oleh peserta pemilu

yang memiliki modal besar.

Selain pembatasan jumlah alat peraga, KPU juga mengatur

tentang tempat-tempat pemasangan alat peraga. Alat peraga

tidak boleh ditempatkan pada fasilitas dan sarana publik seperti

tempat ibadah, rumah sakit, sekolah, taman, pepohonan, dsb.

Hal tersebut bertujuan untuk menjaga estetika dan keindahan

kota (Kompas, 31 Juli 2013).

Kontrol dan Sanksi?

Kita menyambut baik terobosan Komisi Pemilihan Umum

(KPU) tersebut. Harapannya, peraturan itu bisa berjalan efektif

di lapangan. Dengan demikian, akan tercipta pemilu legislatif

yang berkeadilan dan tidak didominasi kalangan punya punya

modal besar serta kekuasaan. Di Takengon, Kabupaten Aceh

Tengah, misalnya, ada 450 caleg yang maju dari 15 partai

politik. Sementara itu, di Dapil 4 (Kec Bebesen, Kec Bies, dan

Kec Kute Panang) ada 120 kontestan.

Kalau satu kecamatan saja ada 2 baliho, maka akan ada 720

baliho di tiga kecamatan (Dapil 4). Rata-rata per kecamatan ada

240 baliho. Itu baru di Dapil 4. Belum lagi, Dapil 1 (Kec

Bintang, Kec Kebayakan, dan Kec Lut Tawar), Dapil 2 (Kec

Page 28: Jangan Salah Pilih Lagi

Atu Lintang, Kec Jagong Jeget, Kec Linge, dan Kec Pegasing),

dan Dapil 3 (Kec Celala, Kec Ketol, Kec Rusip Antara, dan Kec

Silih Nara). Tentu, jumlahnya makin besar.

Bisa dibayangkan, baliho ada dimana-mana. Kota jadi kurang

berestetika, indah, dan ―menyesakkan‖ warganya. Bahkan, bisa-

bisa masyarakat tambah muak dan ―ingin muntah‖ melihatnya.

Karenanya, peraturan penempatan baliho ini pun dipandang

tepat. Nantinya, tidak akan ada caleg-caleg yang memaksakan

kehendak, memasang di sembarang tempat, dan bertindak

seenaknya. Apalagi, caleg-caleg yang punya kekuasaan dan

punya banyak modal (uang).

Masalah kedua ialah pengontrolannya. Bukan perkara mudah

mengontrol atribut kampaye ini sampai ke desa-desa. Juga,

memastikan cuma dua baliho di setiap satu kecamatan. Akan

tetapi, peraturan tersebut mesti tetap dijalankan. Terlebih lagi,

KPU punya jejaring dan SDM sampai ke desa-desa, sebagai

penyelenggara Pemilu. Segala kekurangannya, bisa dievaluasi

dan disempurkan. Dengan begitu, penyelenggaraan pemilu-

pemilu berikutnya jadi tambah baik dan makin berkualitas.

Dalam kaitan itu, Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu) mesti

benar-benar berfungsi. Banwaslu jangan menunggu pelbagai

laporan pelanggaran terlebih dahulu. Sebaliknya, ikut melihat

dan mengontrol langsung terjadinya pelanggaran-pelanggaran.

Alhasil, proses penyelenggaran pemilu legislatif 2014 bisa

berjalan dengan mudah, baik, dan efektif. Utamanya, prihal

pengontrolan pembatasan alat peraga tadi.

Disamping penguatan pengontrolan, perlu adanya sanksi yang

tegas dari KPU terhadap caleg-caleg yang melanggar. Bila

perlu, sanksi pemberhentian jadi caleg. Selanjutnya,

mengumumkan ke masyarakat bahwa yang bersangkutan

pelanggar peraturan. Jadi, masyarakat juga ikut menghukum

caleg bersangkutan (sanksi sosial). Dengan kata lain, mereka

Page 29: Jangan Salah Pilih Lagi

tidak layak untuk dipilih dan menjadi wakil mereka di parlemen.

Karena, dari awal sudah tidak disiplin, bertindak sesuka hati,

dan melanggar peraturan.

Yang tidak kalah penting adalah sosialisasi peraturan ini.

Sasarannya, bukan hanya kepada partai politik, caleg, elemen

sipil lainnya, melainkan langsung ke masyarakat. Di sini, ada

upaya pelibatan masyarakat dalam segala kegiatan KPU.

Termasuk, dalam memberikan laporan pelanggaran-pelanggaran

yang dilakukan caleg dan langsung ditindaklanjuti KPU.

Demikian halnya dalam pemberian sanksi-sanksi dimaksud.

Hasilnya, peraturan tadi bisa berjalan dengan efektif, terukur,

dan maksimal.

*Jaringan Masyarakat Pemilih Cerdas

Sumber: www.lintasgayo.com (2/8/2013)

Page 30: Jangan Salah Pilih Lagi

Caleg Keluarga Vs Caleg Ideal dan Egaliterisme di Gayo

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

Pemilu legislatif 2014 tinggal delapan bulan lagi. Kamis

(22/8/2013), Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah

mengumumkan daftar calon tetap (DCT). Dengan demikian,

mereka telah resmi bertarung memperebutkan kursi legislator

baik di tingkat kabupaten, propinsi maupun ke Senayan.

Secara keseluruhan, ada 450 calon anggota legislatif

yang bertarung dan memperebutkan 30 kursi di Dewan

Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Aceh Tengah. Ke 450

calon ini berasal dari 12 partai nasional—Nasdem, PKB, PKS,

PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat, PAN, PPP, Hanura, PBB,

dan PKPI—serta 3 partai lokal—PA, PNA, dan PDA. Daerah

Pemilihan atau Dapil I (Kec Bintang, Kec Kebayakan, dan Kec

Lut Tawar) dan Dapil III (Kec Celala, Kec Ketol, Kec Rusip

Antara, dan Kec Silih Nara) masing-masing 7 kursi.

Sementara, Dapil II (Kec Atu Lintang, Kec Jagong Jeget, Kec

Linge, dan Kec Pegasing) dan Dapil Dapil IV (Kec Bebesen,

Kec Bies, dan Kec Kute Panang) masing-masing ada 8 kursi

yang diperebutkan.

Banyaknya calon anggota legislatif yang maju di

Takengon, karena ketentuan KPU (KIP Aceh Tengah) yang

mengharuskan demikian. Kelima belas partai politik mesti

mendaftarkan 7-8 calonnya di Dapil-dapil di Takengon. Dapil I

dan III, 7 calon. Dapil II dan IV 8 calon, karena jumlah

penduduk yang lebih besar.

Dari keseluruhan Caleg yang maju, pastinya ada yang

berasal dari satu keluarga, satu kampung (desa), dan satu

kecamatan. Dapil IV (Kec Bebesen, Kec Bies, dan Kec Kute

Panang), misalnya, dalam satu kampung ada yang maju sampai

10, bahkan 15 calon. Alhasil, potensi ―pecah suara‖ semakin

Page 31: Jangan Salah Pilih Lagi

besar. Dengan begitu, peluang keterpilihan dan keterwakilan

dari kampung yang bersangkutan pun makin kecil. Namun, tidak

ada yang tidak mungkin dalam politik. Perubahan bisa terjadi

setiap saat. Bisa saja, yang terpilih malah dari kampung yang

banyak nyaleg. Sebaliknya, bisa dari kampung yang

kontestannya kurang.

Dampak lain, makin menguatkan disharmoni

antarcaleg, keluarga, kampung, dan antarkecamatan. Lebih luas,

―kerenggangan sosial‖ dalam masyarakat. Karena, masih belum

adanya kedewasan berpolitik dari partai politik, calon, elite

politik, politisi, dan masyarakat. Lebih khusus lagi, dalam

menyikapi perbedaan pilihan. Di sisi lain, pendidikan dan

pembangunan kesadaran berpolitik yang bermartabat dan

bermoral masih kurang. Masih sebatas lip service politik.

Akibatnya, muncul rasa curiga yang berlebihan, saling tidak

percaya, saling tidak menyapa, saling menjelekkan, dan sampai-

sampai tidak saling bersilaturrahim. Bahkan, bisa sampai

konflik. Karena, lebih mengedepankan pendekatan Machiavelli

dibandingkan Ibnu Khaldun dalam berpolitik, utamanya

dalam meraih kekuasaan.

„Track Record‟

Dewasa ini, ada kecenderungan bahwa masing-masing

keluarga tetap memilih caleg yang berasal dari keluarganya,

meski kualitasnya kurang (wawasan, keilmuan, dan kemampuan

dalam menjalankan tugas kedewanannya minim, kurangnya

dukungan pendidikan, dan punya rekam jejak yang buruk:

kejujuran, tanggung jawab serta punya catatan moral dan hukum

yang buruk). Apalagi, yang bersangkutan punya modal yang

lebih. Meski tidak semuanya demikian, tapi rata-rata.

Sayangnya, masih belum terpetakan secara kuantitatif. Karena,

masih kurangnya kajian, penelitian, dan dokumentasi terkait

politik, kepemiluan, dan pelaksanaan demokrasi di Takengon.

Page 32: Jangan Salah Pilih Lagi

Termasuk, publikasi secara terbuka oleh Komisi Independen

Pemilihan (KIP) Aceh Tengah, selaku penyelenggara.

Di lain pihak, masyarakat Gayo sendiri berkarakter

terbuka, toleran, akomodatif terhadap perubahan, dan egaliter.

Mereka memandang sama setiap orang. Antara rakyat biasa,

ulama, anggota dewan, dan bupati/wakil bupati sekalipun, tetap

sama. Soal kepemimpinan, ada yang diembani amanah, ada

yang tidak. Namun, yang tidak mengemban amanah tetap

mengawasi dan mengevaluasi kepemimpinan yang berjalan

(bahasa Gayo= besitegahen—saling mengingatkan). Jadi, kalau

ada anggota masyarakat yang mengkritik pemimpinannya baik

bupati maupun dewan, itu sudah biasa di Takengon, tanoh

(tanah) Gayo. Sebab, sistem nilai yang berlaku demikian.

Dalam memilih pemimpin pun, seperti itu. Mereka lebih

mengutamakan rekam jejak calon yang bersangkutan baik calon

anggota dewan, bupati dan wakil bupati maupun pemimpin

informal. Jadi, ―betul-betul dipertimbangkan.‖ Dalam kearifan

lokal setempat dikenal anak ni Reje mujadi kude, anak ni

Tengku mujadi asu (anak Raja bisa jadi kuda, anak Tengku

bisa jadi anjing). Maksudnya, keagungan nama, keluhuran sifat,

kedalaman ilmu, keluasan wawasan dan pengalaman,

kerendahhatian, dan keberhasilan orang tua (perekomendasi)

belum tentu diwarisi anaknya (calon yang maju—yang

direkomendasikan).

Dengan demikian, rekomendasi dan garis komando

―tidak berlaku‖ di Gayo. Kalau ada tokoh, partai politik atau

organisasi yang memfatwakan memilih calon tertentu, dalam

kenyataannya, belum tentu dipilih. Termasuk, dalam keluarga

dan dalam satu kampung. Tidak semuanya memilih calon yang

sama.

Harapannya, masyarakat Gayo tetap memelihara sifat

dan karakter keegaliterannya meski ada pergeseran nilai sejak

Page 33: Jangan Salah Pilih Lagi

tiga pemilu demokratis sebelumnya (sejak masa reformasi).

Lebih dari itu, memelihara akal sehat dan nuratinya, terutama

dalam menghadapi dan melakukan pencoblosan pada pemilu

legislatif 2014. Hasilnya, wakil-wakil rakyat yang terpilih

nantinya betul-betul berkualitas, punya rekam jejak yang

mumpuni, serta ada dan berjuang untuk memperjuangkan

kepentingan masyarakat. Pada akhirnya, bisa memberikan

dampak perbaikan dan kemajuan di Takengon, Gayo, dan Aceh

pada umumnya.

*Direktur Research Center for Gayo/Jaringan Masyarakat

Pemilih Cerdas

Sumber: http://www.kabargayo.com/2013/08/caleg-keluarga-vs-

caleg-ideal-dan.html (29 Agustus 2013)

Page 34: Jangan Salah Pilih Lagi

Menurunnya Partisipasi Politik Rakyat

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

Partisipasi pemilih dalam pemilu—presiden dan

legislatif—terus menurun. Misalnya, angka 92 peserta tahun

1999, pileg DPR 2004 (84, 07 persen), pilpres 2004 putaran

pertama (78,23 persen), pilpres 2004 putaran kedua (76,63

persen), dan pileg 2009 (70 persen). Pemilih 2014 akan diikuti

190 juta pemilih terdaftar (Kompas, 27/8/2013)

Penurunan partisipasi tersebut karena kekecewaan

masyarakat. Masyarakat sebetulnya menaruh harapan besar

akan adanya perubahan. Terutama, perbaikan ekonomi dan

tingkat kesejahteraanya. Karenanya, mereka menggunakan hak

politiknya. Sayangnya, mereka terlalu banyak berharap. Pada

akhirnya, masyarakat makin skeptis, apatis, dan berujung putus

asa. Sebab, seringkali ditinggalkan dan serta merta dilupakan

pemimpin dan wakil-wakilnya yang terpilih.

Disamping itu, masyarakat melihat tidak adanya calon

alternatif. Masyarakat enggan menggunakan hak politiknya.

Karena, sudah tahu track record (rekam jejak) calon yang

bersangkutan. Juga, adanya ―ketidakpercayaan‖ terhadap

penyelenggara pemilu, karena kuatnya kepentingan (conflict of

interest). Hasilnya, terjadi keberpihakan, ketidakadilan,

ketidakfairan, ketidakterbukaan, ketidakjujuran,

ketidakbersihan, dan ketidakprofesionalan dalam

penyelenggaraan pemilu.

Saat sudah terpilih, wakil-wakil rakyat yang ada lebih

berorientasi pada pengembalian modal. Karena, jorjoran saat

mencalonkan. Tak hanya itu, mereka seperti ―berjudi‖ dengan

menghalalkan segala cara. Yang penting, bisa terpilih dan

mendapatkan kekuasaan. Dalam kaitan itu, pendekatan

Machiavelli digunakan daripada pendekatan Ibnu Khaldun

Page 35: Jangan Salah Pilih Lagi

dalam berpolitik. Setelah itu, bisa saving untuk modal maju

pada pemilu berikutnya, mengayakan diri, ―menyejahteraan‖

keluarga dan tim suksesnya, serta mengutamakan partai

politiknya melalui pelbagai proyek, fee, atau mengharapkan

dana aspirasi.

Atas dasar itu—gaji, fasilitas penunjang, proyek, fee,

dan dana aspirasi—barangkali, banyak yang ikut nyaleg.

Walaupun, tidak menutup kemungkinan, banyak pula yang tidak

tahu kedudukan, fungsi, dan tugas kedewanannya. Alhasil,

wakil-wakil seperti ini sebatas datang, duduk, dengar, dan diam

(―legislator D4.‖) Legislator model ini baru kelihatan lagi saat

mendekati pemilu. Saat seperti itu, mereka biasanya jadi orang

yang paling dermawan, santun, dekat dengan rakyat, dan paling

saleh dari biasanya. Tak jarang, ada yang sampai

mempolitisisasi agama, yaitu dengan ―menjual‖ ayat-ayat Tuhan

dan hadist rasul-Nya serta simbol-simbol keagamaan.

Tingginya biaya politik dan banyaknya tuntutan dari

konstituen ―pemenuhan janji-janji politik,‖ tak jarang, membuat

wakil rakyat sampai terjerat korupsi. Di saat yang sama, proses

demokrasi yang berjalan pun lebih bersifat prosedural, bukan

substantif. Baik presiden dan wakil presiden, kepala daerah,

legislator maupun senator kurang peka melihat pelbagai

persoalan yang dihadapi masyarakat. Mereka baru peka dan

reaktif saat bersentuhan langsung dan menguntungkan diri atau

partai pengusungnya.

Pemilu Jujur dan Bersih

Penurunan partisipasi pemilih pastinya jadi ujian

sekaligus tantangan bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU),

Badan Pengawas Pemilu (Banwaslu), dan Badan Kehormatan

Penyelenggara Pemilu (BKPP), selaku penyelenggara pemilu.

Dengan demikian, salah satu barometer keberhasilan pemilu

2014 nanti adalah meningkatnya partisifasi pemilih dari pemilu-

pemilu sebelumnya.

Page 36: Jangan Salah Pilih Lagi

Namun, kesuksesan pelaksanaan pemilu 2014 yang

menghabiskan dana Rp. 17 triliun anggaran negara ini jadi

tanggung jawab semua pihak, mulai dari pemerintah, DPR,

penyelenggara pemilu, partai politik, elite politik, politisi, calon

legislator/senator, akademisi, pers, mahasiswa, dan elemen sipil

lainnya. Pasalnya, keberhasilan tersebut akan menentukan

perbaikan, perkembangan, kemajuan, dan kelangsungan

kehidupaan berdemokrasi dan Indonesia pada masa-masa

mendatang. Oleh karena itu, KPU mesti menyakinkan semua

kalangan bahwa pemilu 2014 nanti akan berlangsung dengan

jujur, bersih, independen, adil, fair, terbuka, profesional, dan

demokratis.

Masyarakat sendiri, khususnya yang memiliki hak pilih

harus hati-hati dalam menyalurkan hak pilihnya. Jangan lagi

mau ―dibeli‖ dengan uang atau barang. Tolak money politics

dan politik barang. Alhasil, politik yang benar, baik, dan sehat

mulai dapat berjalan. Kondisi ini akan ikut memengaruhi sistem

nilai dan budaya yang ada dalam masyarakat. Kebalikannya,

lihat rekam jejaknya. Apalagi, soal integritas, kualitas, dan

kapabilitas. Dengan demikian, wakil-wakil rakyat yang duduk

tahun 2014 nanti betul-betul yang tahu pekerjaan, peka, dan

responsif terhadap pelbagai persoalan. Juga, ada dan berjuang

untuk masyarakat.

*Jaringan Masyarakat Pemilih Cerdas

http://frontroll.com/berita-3591-menurunnya-partisipasi-politik-

rakyat.html (30 Agustus 2013)

Page 37: Jangan Salah Pilih Lagi

Pemilu Legislatif: Partai atau Sosok?

Yusradi Usman al-Gayoni*

Keberadaan sosok sejauh ini masih menjadi kekuatan

terbesar dalam peningkatan ataupun penurunan popularitas

partai politik. Kuat atau lemahnya peran sosok tersebut

mengubah konfigurasi penguasaan parpol saat ini. Indikasi

semacam itu tampak dari perbandingan dua hasil survei opini

publik Kompas, yang menghimpun 1.400 responden calon

pemilih dalam Pemilu 2014 di 33 provinsi.

Hasil kedua survei tersebut menunjukkan ada perubahan

konfigurasi penguasaan calon pemilih oleh parpol. Perubahan

konfigurasi popularitas parpol itu sangat terkait erat dengan

keberadaan dan kiprah sosok-sosok yang ada dalam parpol.

Dalam hal ini, parpol yang memiliki sosok populer dan positif

dipandang publik akan menuai dukungan. Sebaliknya, jika tidak

memiliki sosok yang diandalkan atau memiliki sosok yang

kurang berkenan di mata publik, parpol cenderung tidak

bergerak atau justru makin resistan (Kompas, 27 Agustus 2013)

Di Takengon?

Hasil itu tak jauh berbeda dengan kondisi di Takengon,

khususnya di Kecamatan Bebesen. Hal tersebut terlihat dari

amatan yang dilakukan pada tanggal 14 April-16 Mei 2013. Pun

tidak mewakili, hasil itu menggambarkan sikap pemilih di

Takengon yang terdiri atas empat Dapil, yaitu Dapil I (Kec

Bintang, Kec Kebayakan, dan Kec Lut Tawar), Dapil II (Kec

Atu Lintang, Kec Jagong Jeget, Kec Linge, dan Kec Pegasing),

Dapil III (Kec Celala, Kec Ketol, Kec Rusip Antara, dan Kec

Silih Nara), dan Dapil Dapil IV (Kec Bebesen, Kec Bies, dan

Kec Kute Panang)

Page 38: Jangan Salah Pilih Lagi

Sejauh ini, keberadaan sosok sangat berperan penting

dalam partai politik. Termasuk, calon legislatif (caleg) yang

diusung partai. Dengan begitu, tingkat popularitas,

akseptabilitas, dan elektabilitas berpengaruh signifikan terhadap

persepsi, sikap, dan keputusan politik pemilih. Calon yang

populer, belum tentu diterima masyarakat. Alhasil,

kemungkinan keterpilihannya pun semakin kecil. Sebaliknya,

calon yang diterima masyarakat—meski tingkat kepopulerannya

kurang—kemungkinan besar akan dipilih. Namun, persoalan

memilih tidak sampai di situ. Masih banyak pertimbangan lain

dari pemilih.

Selanjutnya, masyarakat lebih melihat sosok ketimbang

partai pengusungnya baik yang maju dalam pemilu kepala

daerah (pemilu kada) maupun pemilu legislatif. Dalam

masyarakat Gayo, dikenal istilah ‗perau‘ yang merujuk kepada

partai politik. Dengan pengertian lain, partai politik sebatas

kendararan atau instrumen untuk maju (meraih kekuasaan).

Memang, pemilu legislatif sedikit berbeda dengan pemilu kada.

Dalam pemilukada, calon kepala daerah bisa maju melalui jalur

independen. Tapi, tidak untuk nyaleg. Calon anggota legislatif

harus melalui partai politik, kalau tetap ingin maju ke parlemen.

Di lain pihak, masih belum ada undang-undang, peraturan atau

ketentuan yang membolehkan calon anggota legislatif maju

melalui jalur independen, sampai sekarang.

Untuk jangka pendek, peran sosok dan kesosokannya

bisa berkontribusi terhadap kemenangan partai politik. Akan

tetapi, ketergantungan terhadap sosok itu bisa berdampak

negatif bagi partai politik. Akibatnya, bisa mematikan proses

kaderisasi dan regenerasi di tubuh partai. Karena, besarnya

ketergantungan tadi.

Sebagai tambahan, masalah ini—kaderisasi dan

regenerasi—merupakan salah satu kelemahan orang Gayo baik

dalam partai politik maupun nonpartai politik, mulai dari tingkat

Page 39: Jangan Salah Pilih Lagi

kabupaten, propinsi sampai tingkat nasional. Karena, masih

belum ada upaya yang sungguh-sungguh dan komprehensif

untuk membenahinya dari semua pihak di Gayo dan di luar

Gayo.

Rekam Jejak

Selain kepopuleran, masyarakat, khususnya yang

memiliki hak pilih juga melihat rekam jejak calon. Dengan kata

lain, bukan sembarang calon (sah kenak). Sebaliknya, lebih

melihat kemampuan, kualitas, pendidikan, wawasan,

pengalaman, kesalehan personal, dan dedikasinya selama ini.

Namun, ada pergeseran nilai yang terjadi dalam sistem

perpolitikan di Takengon dan umumnya di tanoh Gayo.

Terutama, paskareformasi. Sebagian masyarakat ―ikut

terpengaruh‖ oleh adanya politik uang (money politics) yang

dimanfaatkan calon-calon yang bermodal dan punya kekuasaan.

Barangkali, itulah memang cara satu-satunya dari yang

bersangkutan untuk bisa terpilih, yaitu dengan ―menyogok‖

pemilih (bermain politik uang). Tak menutup kemungkinan

juga, pihak penyelenggara.

Dalam kaitan itu, pendidikan politik mesti terus

dikuatkan. Akibatnya, masyarakat tidak salah memilih. Kalah

salah memilih, dampak yang dirasakan masyarakat bukan cuma

lima tahun, melainkan lebih. Bisa-bisa, masyarakat lagi yang

―jadi korban.‖

*Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah/Direktur

Research Center for Gayo

Sumber: www.lintasgayo.co (5 September 2013)

Page 40: Jangan Salah Pilih Lagi

Hamal Tidur Nipi Jege Pemilu Legislatif

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

Ada dua puluh empat urutan dalam upacara adat

perkawinan Gayo, yaitu risik kono, munginte, sesuk pantang,

turun caram, munos benten, segenap (pakat sara ine), begenap

(pakat sudere), beguru, muniri, tongkoh, jege uce, jege kul,

belulut, bekune, munalo, mah bei, semah, luah pantang, mujule

gule, mujule wih, mah kero, munenes, mangan kero karih, dan

mangan kero opat ingi.

Berkenaan dengan munginte (meminang), tidak

langsung dilakukan orang tua mempelai laki-laki kepada orang

tua atau keluarga mempelai perempuan. Tapi, ditunjuk orang

tertentu sebagai penghubung yang disebut telangke. Telangke

juga berfungsi sebagai diplomator. Anggota telangke biasanya

berjumlah tiga sampai lima pasang suami isteri dari kerabat

dekat keluarga pengantin laki-laki. Lamaran tersebut tidak

langsung diterima atau ditolak keluarga mempelai perempuan.

Perlu waktu untuk berpikir, dua sampai tiga hari (meski lamaran

diterima, misalnya). Istilah yang menggambarkan proses

berpikir ―masa tenang‖ itu sendiri disebut “berhamal tidur

bernipi jege.” Artinya, lihat dulu hasil mimpi. Kalau mimpinya

bagus, maka lamaran pun diterima. Kalau kurang, maka akan

ditolak. Teknisnya, cukup mengatakan, ‗mimpi kurang bagus.

Lantas, apa hubungannya dengan pemilu legislatif atau

pileg? Seperti munginte, pileg tak ubahnya seperti prosesi

lamaran tadi. Partai politik yang merumahi pengurus dan

anggota serta calon legislatif (caleg) yang diusung adalah ibarat

orang tua pengantin; calon anggota legislatif seperti ―calon

pengantin laki-laki;‖ dan telangke adalah tim sukses,

pendukung, simpatisan atau relawan caleg. Sementara itu,

masyarakat, khususnya yang memiliki hak pilik diposisikan

sebagai pihak yang dilamar atau ―calon pengantin perempuan.‖

“Masa Tenang”

Page 41: Jangan Salah Pilih Lagi

Seperti disebutkan, ada masa berpikir atau ―masa

tenang‖ bagi pihak yang dilamar sebelum memutuskan atau

memilih. Seperti itu pula posisi masyarakat dalam pileg. Dengan

kata lain, masih ada waktu tujuh bulan lagi bagi pemilih untuk

mencermati, menilai, mengkritisi, dan ―menguliti‖ para caleg

yang maju. Pertanyaannya, apakah yang mesti dikritisi pemilih?

Dalam UU No 8/ 2012, BAB VII, Bagian Kesatu

tentang Persyaratan Bakal Calon Anggota DPR, DPRD

Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Pasal 51 menulis syarat

bakal calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD

Kabupaten/Kota adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang

memenuhi persyaratan, diantaranya (1) Telah berumur 21 (dua

puluh satu) tahun atau lebih; (2) Bertakwa kepada Tuhan Yang

Maha Esa; (3) Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia; (4) Cakap berbicara, membaca, dan

menulis dalam bahasa Indonesia; (5) Berpendidikan paling

rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah

menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau pendidikan

lain yang sederajat; (6) Setia kepada Pancasila sebagai dasar

negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; (7)

Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan

pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena

melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5

(lima) tahun atau lebih; (8) Sehat jasmani dan rohani; (9)

Terdaftar sebagai pemilih; (10) Bersedia bekerja penuh waktu;

(11) Mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala

daerah, pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional

Indonesia, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,

direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan

usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah atau

badan lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara,

yang dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat

ditarik kembali; (12) Bersedia untuk tidak berpraktik sebagai

akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat

Page 42: Jangan Salah Pilih Lagi

akta tanah (PPAT), atau tidak melakukan pekerjaan penyedia

barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara

serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik

kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota

DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan; (13) Bersedia untuk

tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, direksi,

komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha

milik negara dan/atau badan usaha milik daerah serta badan lain

yang anggarannya bersumber dari keuangan negara; (14)

Menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu; (15) Dicalonkan

hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; (16) Dicalonkan hanya di

1 (satu) daerah pemilihan; dan (17) Mampu membaca al-Quran

bagi caleg-caleg yang maju di Propinsi Aceh.

Syarat-syarat itulah yang harus dikritisi lagi oleh

pemilih. Misalnya, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

apakah yang bersangkutan bertakwa dengan menjalankan

kewajiban agamanya atau tidak? Bagaimana moralnya selama

ini? Juga, catatan hukumnya. Hal ini penting. Sebab, mereka

(caleg dan yang tepilih nantinya) bakal jadi tokoh publik yang

ditauladani lisan, laku, dan perbuatannya. Dengan demikian,

mereka mesti lebih dari yang lain.

Kemudian, cakap berbicara, membaca, dan menulis

dalam bahasa Indonesia. Kalau bicara saja tidak bisa, apa yang

maju disuarakannya di parlemen? Jika kemampuan

membacanya kurang, tambah wawasan, pergaulan, dan

pengalamannya pun terbatas; bagaimana calon wakil rakyat itu

menjalankan tugas dan fungsi kedewanannya. Terutama, dalam

melakukan pengawasan atau menyusun qanun (legislasi)? Soal

kecakapan menulis, ukurannya apa? Apakah terpublikasi di

media cetak atau online? Atau, di prosiding atau jurnal ilmiah

berskala nasional atau internasional?

Masih banyak lagi yang mesti dipertanyakan dan

dikritisi pemilih pada masa hamal tidur nipi jege tadi.

Khususnya, dalam waktu tujuh bulan yang tersisa. Apalagi, soal

track record (rekam jejak) caleg. Jangan sampai karena

Page 43: Jangan Salah Pilih Lagi

kepentingan pragmatis (sesaat), yaitu dengan menerima uang

atau barang (money politics), masyarakat sampai salah memilih.

Akibatnya, hanya menghasilkan anggota dewan D4 (datang,

duduk, dengar, dan diam) dan ―jadi belalu APBK.‖ Akhir bulan,

mengambil gaji dengan menikmati fasilitas yang ada. Selain itu,

berorientasi ke proyek atau minimal fee. Tujuannya, untuk

mengembalikan modal—karena money politics tadi,

memperkaya diri, dan menyejahterakan kerabat, parpol, dan

kelompoknya. Juga, mengharapkan dana aspirasi yang

peruntukannya bisa jadi melanggar aturan.

Pada akhirnya, masyarakat lagi yang ―jadi korban.‖

Masyarakat bertambah apatis (jejeren), putus asa, dan bisa-bisa

sampai berbuat anarkis. Karena, tidak merasakan keberadaan,

peran, dan fungsi bupati/wakil bupati (eksekutif) serta anggota

dewan terpilih (legislatif). Disamping itu, pemilu—presiden,

kepala daerah, dan legislatif—yang digelar pun lebih berupa

rutinitas lima tahunan, bersifat prosedural, dan menghabiskan

anggaran.

*Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah

http://www.lintasgayo.com/41647/hamal-tidur-nipi-jege-

pemilu-legislatif.html (13 September 2013)

Page 44: Jangan Salah Pilih Lagi

Memaknai Apatisme

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

Tujuh bulan lagi, pemilu legislatif (pileg) digelar.

Namun, masyarakat sepertinya makin apatis menghadapi pileg.

Indikatornya, bisa dilihat dari tingkat partisipasi pemilih yang

terus menurun. Misalnya, angka 92 peserta tahun 1999, pileg

DPR 2004 (84, 07 persen), pilpres 2004 putaran pertama (78,23

persen), pilpres 2004 putaran kedua (76,63 persen), dan pileg

2009 (70 persen). Pemilih 2014 akan diikuti 190 juta pemilih

terdaftar (Kompas, 27/8/2013).

Kekecewaan dan rasa frustasi dari masyarakat, jadi

alasan pertama dan utama terkait penurunan partisipasi tersebut.

Khususnya, kepada presiden dan wakil presiden, kepala daerah

(gubernur dan wakil gubernur; bupati dan wakil bupati, walikota

dan wakil walikota), serta anggota dewan yang terpilih. Mereka

dinilai ―tidak peka‖ dalam menyikapi pelbagai persoalan yang

meliliti masyarakat. Sebaliknya, pemerintahan dan parlemen

yang berjalan lebih pada perkara rutinitas, prosedural, birokratis,

dan pencitraan.

Baik eksekutif maupun legislatif seperti absen dalam

menyikapi persoalan-persoalan di tengah-tengah masyarakat.

Padahal, keberadaan mereka di ―istana‖ dan parlemen tidak

terlepas dari suara yang diberikan masyarakat. Namun, seolah-

olah mereka bisa melegetimasi apa pun. Dengan raihan suara

tertinggi (dasar legitimasi), mereka bisa ―berbuat sesuka hati.‖

Bahkan, melupakan sekaligus meninggalkan rakyat, pemilihnya.

Tak salah kalau kemudian muncul anggapan, ―ada atau tidaknya

dewan dan pemerintah, nasib masyarakat di tataran grass root

tidak akan pernah berubah banyak. Selain itu, pelaksanaan

pemilu juga tidak berdampak langsung dan sistemik pada

peningkatan kesejahteraan masyarakat.‖

Page 45: Jangan Salah Pilih Lagi

Di luar alasan itu, penurunan partisipasi tersebut

disebabkan karena tidak adanya calon alternatif. Yang maju, itu

itu saja (oya pelin, gere mu jema len—bahasa Gayo). Ada

kemuakkan yang dirasakan masyarakat. Masyarakat sudah tahu

betul rekam jejak (track record) yang bersangkutan. Pada

akhirnya, masyarakat lebih memilih golput alias tidak memilih.

Sebab, tidak ada calon yang terbaik dari yang baik. Minimal,

calon yang lebih baik dari yang terburuk.

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, istilah apatis

diartikan acuh tak acuh; tidak peduli; masa bodoh’ (Pusat

Bahasa, 2008: 83). Di sini, apatisme dimaknai sebagai gejala

acuh tak acuh, tidak peduli, atau gejala masa bodoh. Akan

tetapi, kalau apatis dipahami sebatas pergi ke tempat

pemungutan suara (TPS) dan mencoblos, maka pengertiannya

sangat sempit. Sebaliknya, dalam kaitan pemilu—presiden,

legislatif, dan kepala daerah, ada tiga makna kata apatis ini,

yaitu prapencoblosan, saat pencoblosan, dan paskapencoblosan.

Sejauh ini, penulis belum mendapatkan angka tingkat

partisipasi pemilu legislatif di Takengon (1999-2004, 2004-

2009, dan 2009-2014). Pasalnya, dokumentasi tertulis tentang

perpolitikan dan kepemiluan masih kurang. Termasuk, release

secara terbuka dari penyelenggara, Komisi Independen

Pemilihan (KIP) Aceh Tengah. Seperti disebutkan, partisipasi

pemilih dari pemilu ke pemilu terus menurun.

Pemilih Aktif

Dalam amatan penulis, partisipasi prapencoblosan dan

paskapencoblosan yang masih kurang di tanoh Gayo, khususnya

di Takengon. Sebelum mengumumkan daftar caleg tetap (DCT),

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memberikan kesempatan

kepada masyarakat untuk memberikan sanggahan terkait seluruh

caleg yang maju baik ke DPRK Aceh Tengah, DPRA maupun

Page 46: Jangan Salah Pilih Lagi

ke DPR RI. Di situlah kesempatan masyarakat untuk

menyanggah caleg-caleg yang bermasalah secara administratif.

Melalui sanggahan masyarakat, caleg-caleg yang maju bisa saja

tidak maju. Karena, kendala administratif dimaksud. Misalnya,

menggunakan ijazah palsu, dan lain-lain.

Pada masa ini (prapencoblosan), masyarakat juga mesti

mengetahui rekam jejak caleg-caleg yang maju. Lihat, nilai,

cermati, kritisi, dan ―kuliti‖ seluruh caleg yang mencalonkan.

Dengan demikian, pemilih akan tahu kejujuran, kebersihan,

keterbukaan, tanggung jawab, pendidikan, wawasan,

kemampuan, kualitas, pengalaman, dan keterampilan mereka.

Pada akhirnya, masyarakat tidak salah pilih. Lebih dari itu, tidak

mudah terbius oleh janji-janji semu yang tidak terukur dan

keluar dari tugas, kedudukan, dan fungsi DPR. Juga, saat

diiming-imingi kepentingan pragmatis (sesaat) melalui politik

uang, barang, dan praktik pembodohan politik lainnya. Lagi-

lagi, masyarakat yang jadi penilai dan pemutus. Jangan sampai

salah pilih lagi.

Lalu, apakah setelah pencoblosan kewajiban masyarakat

selesai? Masih ada satu tahapan lagi, yaitu paskapencoblosan

(pemilu). Masyarakat sebaiknya terus memantau dan mengawal

suara yang sudah dicobloskan. Tidak menutup kemungkinan,

suara yang diberikan lari kemana-mana. Karena, besarnya

kepentingan. Tak menutup kemungkinan pula, terjadi

kecurangan dan ketidakindependenan dalam penyelenggaraan

pemilu mendatang. Karenanya, semua pihak mesti terus

mengawasi pelaksanaan pemilu legislatif tersebut.

Setelah penetapan dan pelantikan, masyarakat beserta

akademisi, mahasiswa, pers, LSM, dan elemen sipil lainnya

harus tetap dan terus mengontrol sekaligus mengevaluasi kinerja

wakil-wakil mereka di parlemen. Kalau kinerjanya kurang,

harus diingatkan. Bila perlu, minta untuk diganti. Sayangnya,

aturan yang masih berlaku sekarang party recall, bukan

Page 47: Jangan Salah Pilih Lagi

constituent recall. Maksudnya, hanya partai yang bisa mem-

PAW-kan, memecat atau mengganti anggotanya di parlemen,

bukan konstituen. Tidak mustahil, dalam proses perbaikan

kepemiluan di Indonesia, nantinya pelaksanaan constituent

recall bisa terwujud. Pun demikian, mesti didorong oleh semua

pihak. Saat bersamaan, kekurangan-kekurangan praktik

berdemokrasi yang ada mesti terus dibenahi. Dengan begitu,

selain jadi pemilih aktif, masyarakat bakal jadi pemilih yang

berdaulat, bermartabat, dan punya harga diri.

Sebaliknya, anggota dewan harus pula (tetap)

memperhatikan dan menyuarakan aspirasi dan kepentingan

masyarakat di atas kepentingan pribadi, keluarga, partai, dan

kelompoknya. Dengan demikian, masyarakat akan merasakan

keberadaan dan kemanfaatan anggota dewan. Apalagi, yang

berhubungan dengan kedudukan, fungsi, dan kewajiban

kedewanannya. Termasuk, ketauladanannya. Disamping itu,

kepercayaan publik dapat memulih, pelan-pelan. Dengan

demikian, ―kecintaan‖ kepada anggota dewan dan lembaga ini

pun dapat tumbuh dan ―mekar.‖

*Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah

Sumber: Rumah Baca Taqwa

http://rumahbacataqwa.com/2013/09/19/memaknai-apatisme/

(20/9/2013)

Page 48: Jangan Salah Pilih Lagi

Memberatkan Syarat Nyaleg

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

6-15 April 2013 lalu, Anggota DPR-RI, DPD-RI, dan

DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan pelbagai latar

profesi dan keilmuan mulai mendaftar ke Komisi Pemilihan

Umum (KPU). Di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, tercatat

450 calon anggota legislatif (caleg) yang maju di empat Dapil

berbeda. Jumlah tersebut pastinya lebih banyak. Karena, di luar

pendaftaran dan penyeleksian awal di internal partai politik.

Alhasil, ada yang diusung dan sebaliknya. Termasuk, pada masa

verifikasi, 16 April-30 Juni 2013. Juga, saat uji baca al-Quran—

syarat khusus caleg di Propinsi Aceh—dimana ada 80 caleg

yang tidak lulus, karena dianggap tidak mampu membaca al-

Quran. Dengan demikian, mesti dilakukan penggantian.

Otomatis, jumlahnya lebih dari catatan tersebut.

Pertanyaannya, kenapa begitu banyak yang

mendaftarkan diri jadi calon anggota legislatif? Seolah, seperti

―eufuria‖ atau ―ajang pencarian bakat.‖. Terlepas dari berbagai

niat, motivasi, maksud, dan tujuan, tulisan ini khusus membedah

syarat nyaleg dari kacamata undang-undang. Dalam UU No

8/2012, BAB VII, bagian kesatu tentang Persyaratan Bakal

Calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD

Kabupaten/Kota, pasal 51 disebutkan bahwa syarat bakal calon

anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota

adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang memenuhi

persyaratan, diantaranya: (1) Telah berumur 21 (dua puluh satu)

tahun atau lebih; (2) Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;

(3) Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia; (4) Cakap berbicara, membaca, dan menulis dalam

bahasa Indonesia; (5) Berpendidikan paling rendah tamat

sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah

kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau pendidikan lain yang

sederajat; (6) Setia kepada Pancasila sebagai dasar negara,

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

Page 49: Jangan Salah Pilih Lagi

dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; (7) Tidak pernah

dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang

telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan

tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)

tahun atau lebih; (8) Sehat jasmani dan rohani; (9) Terdaftar

sebagai pemilih; (10) Bersedia bekerja penuh waktu; (11)

Mengundurkan diri sebagai kepala daerah, wakil kepala daerah,

pegawai negeri sipil, anggota Tentara Nasional Indonesia,

anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, direksi,

komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha

milik negara dan/atau badan usaha milik daerah atau badan lain

yang anggarannya bersumber dari keuangan negara, yang

dinyatakan dengan surat pengunduran diri yang tidak dapat

ditarik kembali; (12) Bersedia untuk tidak berpraktik sebagai

akuntan publik, advokat/pengacara, notaris, pejabat pembuat

akta tanah (PPAT), atau tidak melakukan pekerjaan penyedia

barang dan jasa yang berhubungan dengan keuangan negara

serta pekerjaan lain yang dapat menimbulkan konflik

kepentingan dengan tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota

DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan; (13) Bersedia untuk

tidak merangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya, direksi,

komisaris, dewan pengawas dan karyawan pada badan usaha

milik negara dan/atau badan usaha milik daerah serta badan lain

yang anggarannya bersumber dari keuangan negara; (14)

Menjadi anggota Partai Politik Peserta Pemilu; (15) Dicalonkan

hanya di 1 (satu) lembaga perwakilan; (16) Dicalonkan hanya di

1 (satu) daerah pemilihan; dan (17) Mampu membaca al-Quran

bagi caleg-caleg yang maju di Propinsi Aceh.

Caleg Berkualitas

Di sinilah akar persoalannya. Penulis, menilai, syarat

nyaleg tersebut terlalu ringan. Walhasil, siapapun bisa nyaleg.

Persoalan nyaleg memang hak personal seseorang. Dalam arti,

siapa pun bisa mencalonkan dan dicalonkan. Melihat syarat

Page 50: Jangan Salah Pilih Lagi

demikian, akan sangat sulit menghasilkan caleg yang

berintegritas, kompeten, dan berkualitas. Cakap berbicara,

membaca, dan menulis dalam bahasa Indonesia, misalnya, tidak

ada parameternya sama sekali. Kalau dalam bahasa Inggris, ada

tes Test of English as a Foreign Language (TOEFL). Nilai

TOEFL ini yang kemudian dijadikan rujukan saat seseorang

melamar beasiswa S-2 dan S-3 atau melamar suatu pekerjaan.

Sementara, dalam pencalegan ini, tidak ada sama sekali.

Sebalinya, hanya bersifat normatif-formalitas.

Kalau parameter tadi disertakan, bisa jadi, bakal

banyak yang terganjal pencalegannya. Sebagai contoh, cakap

menulis. Tulisan-tulisan caleg di media cetak atau online, jurnal

ilmiah, makalah, atau dalam bentuk buku turut disertakan dalam

berkas pencalegan. Kalau seperti itu—perkiraan penulis, kurang

dari 10% caleg-caleg di Aceh Tengah yang bisa mendaftar.

Artinya, hanya 45 orang. Bahkan, kurang. Karena, tidak cakap

menulis. Belum lagi, kalau syarat menulis tersebut diberatkan

lagi. Kemungkinan, lebih sedikit lagi yang bisa nyaleg. Di lain

pihak, kalau syarat itu dipenuhi—tak menutup kemungkinan,

bakal lahir makelar-makelar tulisan. Ujung-ujungnya, duit yang

bermain (transaksional). Di situ, uang yang dikedepankan.

Dengan (kekuatan) uang, seolah ―apa saja bisa dibeli‖ dan

―dikondisikan.‖

Di syarat lainnya, berpendidikan paling rendah tamat

sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah

kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau pendidikan lain yang

sederajat. Selayaknya, kalau lembaga ini (parlemen) ingin

berwibawa dan anggotanya pun berkualitas, pendidikan minimal

caleg harus S-1. Pendidikan memang bukan ukuran. Namun,

pendidikan ikut menentukan kualitas seseorang. Apalagi,

seorang wakil rakyat. Mereka harus lebih dari konstituennya.

Pasalnya, mereka adalah pejabat publik. Lisan, laku, dan

perbuatannya akan ditauladani banyak pihak. Lebih-lebih,

konstituennya.

Page 51: Jangan Salah Pilih Lagi

Kalau wawasan, keilmuan, kemampuan, dan

kualitasnya di bawah rata-rata, termasuk di bawah eksekutif—

yang berpendidikan rata-rata S-1, dan mulai S-2 serta S-3,

bagaimana mungkin mereka mampu menjalakan fungsinya

dengan baik? Apalagi, tidak cakap dalam menyampaikan

pelbagai persoalan dan aspirasi dari masyarakat (tidak cakap

berbicara—tidak memiliki language skill sama sekali). Apa

yang mau disampaikannya di gedung dewan tersebut? Akhirnya,

mereka sekedar datang, duduk, dengar, dan diam atau jadi

anggota dewan D-4. Akhir bulan, mengambil gaji. Mereka

ibarat ―benalu‖ yang menggerogoti APBK. Lagi-lagi,

masyarakat yang korban. Saat yang sama, mereka kemungkinan

bermain proyek sebelum, saat, dan setelah pengesahan APBK.

Minimal, mengharapkan fee atau dana aspirasi. Tujuannya,

untuk mengembalikan biaya ―hutang‖ politik dan memperkaya

diri. Pasalnya, pendekatan money politics—bagi-bagi uang dan

barang—yang dipakai dalam meraih kursi dewan.

Sebetulnya, masih ada upaya untuk menghasilkan caleg

yang berintegritas, mampu, dan berkualitas, yaitu melalui partai

politik. Partai politik yang harus betul-betul menyeleksi calon-

calon anggota legislatif yang ideal. Terutama, saat rekrutmen

awal pencalegan. Sayangnya, rekrutmen ideal itu tidak

sepenuhnya berjalan di internal partai. Tak jarang, partai politik

lebih mengedepankan pemodal dan yang berkuasa. Di internal

partai pun, saling sikut-sikutan dan saling menjatuhkan

(―kanibalisasi‖). Lagi-lagi, uang ―yang bicara.‖ Politik

transaksional dikedepankan. Jadi, jangan berharap banyak kalau

caleg-caleg yang diusung punya kemampuan, kualitas, dan

standar ideal lainnya. Karena, ringannya undang-undang,

peraturan, ketentuan, dan kurangnya itikad memperbaiki dan

memajukan proses kepemiluan dan demokrasi di tataran lokal

dari (pengurus) partai politik itu sendiri.

Page 52: Jangan Salah Pilih Lagi

Lagi-lagi, masyarakatlah yang jadi penentu.

Masyarakatlah yang mesti mengakhiri caleg-caleg demikian.

Jangan salah pilih lagi. Lihat, nilai, cermati, kritisi, dan ―kuliti‖

seluruh caleg yang mencalonkan (―kebersihan,‖ kejujuran,

keterbukaan, keamanahan, tanggung jawab, ilmu, wawasan,

kualitas, kemampuan, dan keterampilannya) . Pada akhirnya,

yang terpilih betul-betul caleg, bukan caleg-calegan.

*Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah/Jaringan

Masyarakat Pemilih Cerdas

Sumber: Tabloid Gayo Post, 27 September 2013

Page 53: Jangan Salah Pilih Lagi

Ruang Publik Bebas Alat Peraga Kampaye

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan

Peraturan KPU No 15 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas

Peraturan KPU Nomor 01 Tahun 2013 tentang Pedoman

Pelaksanaan Kampaye Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD,

dan DPRD, tanggal 22 Agustus 2013 lalu. Melalui penetapan

ini, diharapkan akan ada fairness dan keadilan. Pastinya, tidak

didominasi calon-calon petahana, calon bermodal atau yang

berafiliasi dengan para bosisme lokal (meminjam istilah Boni

Hargens). Tak hanya itu, pemberlakuan peraturan ini akan

mengurangi pengotoran ruang publik. Bahkan, ikut

menyelamatkan pengguna jalan dan tidak menganggu pengguna

tempat-tempat publik lainnya.

Pasal 17 ayat 1 tentang pemasangan alat peraga di

tempat umum, huruf (a), misalnya, disebutkan, alat peraga

kampaye tidak ditempatkan pada tempat ibadah, rumah

sakit atau tempat-tempat pelayanan kesehatan, gedung

milih pemerintah, lembaga pendidikan (gedung dan

sekolah), jalan-jalan protokol, jalan bebas hambatan,

sarana dan prasarana publik, taman dan pepohonan.

Sementara itu, ketentuan prihal pemasangan alat peraga

diatur dalam huruf (b), yaitu: (1). baleho atau papan reklame

(billboard) hanya diperuntukan bagi Partai Politik 1 (satu) unit

untuk 1 (satu) desa/kelurahan atau nama lainnya memuat

informasi nomor dan tanda gambar Partai Politik dan/atau visi,

misi, program, jargon, foto pengurus Partai Politik yang bukan

Calon Anggota DPR dan DPRD; (2) Calon Anggota DPD

dapat memasang baleho atau papan reklame (billboard) 1 (satu)

unit untuk 1 (satu) desa/kelurahan atau nama lainnya; (3).

Bendera dan umbul-umbul hanya dapat dipasang oleh

Partai Politik dan calong Anggota DPD pada zona atau

wilayah yang ditetapkan KPU, KPU/KIP Provinsi, dan atau

Page 54: Jangan Salah Pilih Lagi

KPU/KIP Kabupaten/Kota bersama Pemerintah Daerah;

(4). Spanduk dapat dipasang oleh Partai Politik dan Calon

Anggota DPR, DPD dan DPRD dengan ukuran maksimal 1,5

x 7 meter hanya 1 (satu) unit pada 1 (satu) zona atau

wilayah yang ditetapkan oleh KPU, KPU/KIP Provinsi, dan

atau KPU/KIP Kabupaten/Kota.

Yang jadi permasalahan, apakah peraturan ini dapat

berjalan dengan baik, benar, dan sesuai seperti yang

diundangkan (mulai berlaku sejak tanggal 27 September 2013)?

Bukan rahasia umum lagi, di Indonesia, pelbagai undang-

undang, peraturan, dan ketentuan seringkali dibuat untuk

dilanggar. Namun, willing dan upaya perbaikan pelaksanaan

pemilu dari KPU mesti dihargai. Disamping itu, kita mesti tetap

optimis terkait pelaksanaan peraturan ini.

Berkenaan dengan pelaksanaan peraturan ini, khususnya

di Takengon, Kabupaten Aceh Tengah, pertama: Komisi

Independen Pemilihan (KIP) Aceh Tengah harus segera

mensosialisasikan peraturan itu kepada partai politik, caleg,

seluruh jajarannya, dan semua pihak terkait. Alhasil, semua

pihak bisa tahu dan terlibat langsung dalam pengawasannya.

Sebagai akibatnya, kalau ada pelanggaran, serta merta bisa

dilaporkan dan segera diselesaikan.

Kedua, KIP Aceh Tengah, Panitia Pemilih Kecamatan

(PPK), dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) harus segera

berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah,

pemerintah kecamatan, dan pemerintah kampung

(desa)/kelurahan untuk menetapkan lokasi pemasangan alat

peraga tersebut. Walhasil, pelaksanaannya bisa berjalan dengan

cepat. Apalagi, sudah mulai diberlakukan. Di pihak lain, caleg

pun bisa sesegera mungkin memasang alat peraganya—

walaupun jauh hari ada yang sudah memasangnya. Meski bukan

satu-satu sarana pengenalan diri, masyarakat diharapkan dapat

mengenal calon wakil-wakil rakyatnya dengan baik. Terutama,

Page 55: Jangan Salah Pilih Lagi

rekam jejak (track record) yang bersangkutan. Lebih khusus

lagi, program yang akan dijalankannya saat duduk di kursi

parlemen.

Peran Panwaslu?

Di lain pihak, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu)

Aceh Tengah harus benar-benar mengawasi keberjalanan

peraturan ini. Oleh karena itu, diperlukan willing yang kuat,

inisiatif, keaktifan, dan progresivitas kerja Panwaslu di

lapangan. Panwaslu diharapkan tidak menunggu pelbagai

laporan pelanggaran terlebih dahulu. Sebaliknya, langsung turun

dan menindak caleg-caleg pelanggar ―menjembut bola.‖

Lebih khusus lagi, secepatnya merekomendasikan

Pemkab Aceh Tengah dan aparat keamanan untuk segera

membersihkan ruang publik dan seluruh kampung di Takengon

dari alat peraga ini (spanduk dan baleho). Pasalnya—seperti

disinggung, peraturan ini sudah mulai diberlakukan. Hasilnya,

bisa berjalan efektif dan maksimal.

Selain Panwaslu, pengawasan dari semua pihak menjadi

keharusan. Apalagi, dari media, akademisi, tokoh

agama/masyarakat, mahasiswa, LSM, dan elemen sipil lainnya.

Dengan begitu, proses pileg di Takengon dapat berjalan dengan

baik, benar, lancar, dan sesuai aturan

Yang tidak kalah penting adalah penegakan sanksi,

yaitu berupa pencabutan atau pemindahan atribut caleg.

Mestinya, pemberian sanksi ini ―lebih keras‖ lagi. Dengan

begitu, caleg—calon presiden/wakil presiden dan calon kepala

daerah—―tidak sesuka hati,‖ bisa disipin, dan menunjukkan suri

tauladan yang baik.

Karena sudah diberlakukan, Pemerintah Kabupaten

Aceh Tengah dan aparat keamanan—dengan rekomendasi

Page 56: Jangan Salah Pilih Lagi

Panwaslu—dapat dengan segara mencabut alat peraga yang

bertebaran di perbagai tempat di Takengon. Bahkan, upaya

pembersihan itu bisa langsung dilakukan masyarakat itu sendiri.

Seperti disebutkan, spanduk dan baleho itu bukan hanya

mengotori ruang publik, merusak lingkungan, melainkan

mengganggu kenyamaman dan keselamatan pengguna jalan dan

penikmat ruang publik di Takengon. Lagi-lagi, terlepas dari

kekurangan peraturan tersebut dan lemahnya sanksi yang

diberikan, diperlukan willing serta upaya nyata dan sungguh-

sungguh dari semua pihak, khususnya pihak-pihak terkait.

*Penggagas Jaringan Masyarakat Pemilih Cerdas

Sumber: www.lintasgayo.co (27 September 2013)

Page 57: Jangan Salah Pilih Lagi

Orang Gayo Berpikir dengan Otak dan Sertakan Hati Nurani

Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

"Orang Gayo punya cara berfikir berbeda dengan

kosakata secara umum. Urang Gayo berfikir dengan hati," kata

Penyusun silsilah Gayo, Kurnia Item Teganing atau biasa

disapa Aman Peteri Punce kepada ATJEHPOSTcom di Banda

Aceh, Rabu 4 September 2013 (Atjeh Post, 4/9/2013).

Pada dasarnya, orang (masyarakat) Gayo tetap

menggunakan otak atau logika dalam berpikir, seperti suku lain

kebanyakan. Hanya saja, mereka ikut menyertakan rasa atau hati

nurani. Karenanya, muncul pelbagai ungkap berbahasa yang

merujuk pada rasa (rasa) atau ate (hati). Misalnya, sok nate

(dugaan), anger nate (kegelisahan), kene ate (kata hati), deme

ku ate (rasakan dengan hati), uwes nate (sedih hati), pes nate

(tega), simehate (pilihan hati), man ate (makan hati), pikir

natemu (pikiran hatimu), dan lain-lain.

Dalam konteks berpikir (berlogika atau ―berfilsafat‖)

tadi, sehingga muncul istilah kurasa ‗saya rasa‘ (bukan “ku

pikir” atau “ku ate”). Kenapa kata rasa yang digunakan?

Kenapa bukan pikir atau ate? Di sini—seperti disebutkan,

bukan berarti orang Gayo tidak memiliki otak atau tidak

menggunakan logika (akal sehat) dalam berpikir, tetap memakai

otak.

Seperti istilah rasa, pikir, dan ate tersebut; dalam

bahasa Aceh dikenal istilah teurimenggeunaseh atau

teurimenggaseh. Kata ini merupakan serapan dari bahasa

Indonesia, yang berarti ‗terima kasih.‘ Dan, tidak istilah khusus

yang merujuk kepada kata terima kasih dalam bahasa Aceh.

Dalam hal ini, tidak berarti orang (suku) Aceh tidak tahu

berterima kasih, tapi pengungkapannya, lain. Biasanya,

diungkapkan melalui kata alhamdulillah. Kebalikannya, orang

Page 58: Jangan Salah Pilih Lagi

Gayo tahu diri dan tahu terima kasih. Sebab, ada ungkapan

berijin (terima kasih) dalam bahasa Gayo.

Pengaruh geografis pegunungan dengan pesona

keindahan alamnya ikut memengaruhi cara dan konstruksi

berbahasa orang Gayo. Alhasil, mereka cenderung lebih halus,

lembut, ―indah,‖ dan tidak langsung (memakai tamsil ibarat)

dalam berbahasa. Sebaliknya, masyarakat pesisir di Aceh ―lebih

kasar‖ dalam penyampaiannya. Karena, mereka tinggal di

pesisir pantai. Penggunaan bahasa demikian—halus, lembut,

―indah,‖ dan tidak langsung—juga turut memengaruhi aktivitas

kebudayaan mereka. Salah satunya, dalam tradisi lisan.

Masyarakat Gayo memiliki sepuluh sastra lisan, yaitu didong,

kekeberen, kekitiken, melengkan, pantun, peribahasa, saer,

sebuku, tep onem, dan ure-ure (al-Gayoni, 2010: 2). Model atau

konstruksi berbahasa seperti tadi terkandung dalam keselupuh

sastra lisan tersebut. Karenanya, daerah ini (Gayo) dikenal

sebagai ladang ―sumber‖ seni, budaya, dan sejarah di Aceh.

Meski menggunakan bahasa yang halus, lembut,

―indah,‖ dan tidak langsung dengan puitis-estetis, tapi orang

Gayo bukanlah ―masyarakat penghayal.‖ Dalam arti, asyik

berpuisi atau bersastra lisan, pasif, dan pasrah menerima hidup.

Sebaliknya, mereka tife masyarakat pekerja keras, tidak suka

mengeluh, dan apalagi sampai meminta-minta. Hal itu

dibuktikan dari konstruksi berbahasa mereka yang banyak

mengandung verba. Verba dimaknai sebagai upaya, aksi, kerja

keras, lebih, berprestasi, dan jadi yang terbaik (kemel dan

besikelemen).

Akan tetapi, mereka tetap bersyukur dan melihat sisi

lain ―positif‖ dari setiap kejadian dan ujian yang menimpanya.

Sebagai contoh, gempa tektonik 6,2 SR, 2 Juli 2013 lalu. Ada

banyak pelajaran dan hikmah di balik gempa masif dan

desktruktif sepanjang sejarah Gayo itu. Misalnya, adanya upaya

penguatan pendidikan gempa, manajemen bencana yang baik

dan benar, pembangunan perumahan dan infrastruktur tahan

Page 59: Jangan Salah Pilih Lagi

gempa, blue print pembangunan daerah Gayo secara

keseluruhan yang disertakan dengan peta kerawanan bencana di

Aceh, dan lain-lain.

Dalam politik juga demikian. Pun tetap menggunakan

rasa atau hati nurani ―ruang Tuhan dalam hati,‖ namun mereka

(orang Gayo) tetap menggunakan logika atau akal sehat dalam

memilih presiden/wakil presiden, bupati/wakil bupati, calon

anggota legislatif (caleg), dan calon anggota DPD ―senator.‖

Termasuk, dalam menilai, mencermati sekaligus mengkritisi visi

misi dan program yang diajukan. Apakah benar atau tidak;

masuk akal atau tidak (terukur dan tidak terukur)?; selain

pertimbangan rekam jejak (track record). Oleh sebab itu, di

Gayo, tidak berlaku fatwa atau garis komando dari tokoh atau

partai tertentu. Saat direkomendasikan untuk memilih calon A;

kenyataannya, belum tentu dipilih. Karena, mereka tetap

menggunakan akal sehat dan pertimbangan hati nurani tadi.

Tetapi, harus diakui pula bahwa terjadi pergeseran nilai

dalam memilih pemimpin, caleg, dan senator dalam masyarakat

Gayo. Terutama, sejak pemilu langsung digelar. Politik uang

mulai merusak tatanan nilai yang ada dalam masyarakat

tersebut, namun masih perlu dikuantitatifkan secara keangkaan.

Di sisi lain, memang pendidikan politik di tengah-tengah

masyarakat masih lemah.

*Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah (Pengkaji

Bahasa/Ekolinguistik)

Sumber: www.atjehtoday.com (29 September 2013)

http://www.atjehtoday.com/article.php?art_id=710

Page 60: Jangan Salah Pilih Lagi

Kampaye (Politik) Ramah Lingkungan Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

Pemilu legislatif (pileg) tinggal tujuh bulan lagi.

Namun, ―eufuria‖ pileg kian terasa. Terutama, dari partai

politik, elite politik, dan caleg yang maju. Meskipun belum

dimulai secara resmi, tapi para calon wakil rakyat itu sudah

mulai berkampaye dini. Khususnya, paskapendaptaran ke KPU,

April lalu. Salah satunya, melalui pemasangan alat peraga

kampaye: spanduk, baleho atau billboard. Alat peraga itu

memenuhi ruang-ruang publik. Utamanya, di badan-badan jalan.

Tujuannya, agar bisa terlihat dan menarik perhatian masyarakat.

Lebih khusus lagi, pengguna jalan.

Dalam Pasal 1 ayat (1) huruf (a) Peraturan KPU

Nomor 15 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan KPU

Nomor 01 Tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Kampaye

Pemilihan Anggota DPR, DPD dan DPDRD disebutkan bahwa

alat peraga kampaye tidak ditempatkan pada tempat ibadah,

rumah sakit atau tempat-tempat pelayanan kesehatan, gedung

milik pemerintah, lembaga pendidikan (gedung dan sekolah),

jalan-jalan protokol, jalan bebas hambatan, sarana dan prasarana

publik, taman dan pepohonan.

Merujuk pada aturan tersebut, apa yang dilakukan

caleg—memasang alat peraga sudah melanggar aturan.

Sayangnnya, saat pendaftaran, aturan ini belum ditetapkan.

Bahkan, baru diundangkan pada tanggal 27 Agustus 2013. Dan,

baru berlakukan sebulan setelahnya, 27 September 2013. Para

caleg pun kemudian memainkan celah tersebut. Pada akhirnya,

mereka memasang alat peraganya di ruang-ruang publik.

Penempatan alat peraga di jalan-jalan trotoar dan jalan

bebas hambatan, misalnya, selain mengganggu kenyamanan

serta keselamatan pengguna jalan, ikut menyampahi ruang

visual publik. Apalagi, baleho atau billboard yang berukuran

besar. Sewaktu-waktu, bisa membahayakan pengguna jalan.

Termasuk, memacetkan jalan saat jatuh di badan jalan. Dengan

Page 61: Jangan Salah Pilih Lagi

demikian, ikut merugikan pengendara mobil dan sepeda motor,

secara ekonomi.

Oleh sebab itu, caleg (termasuk calon senator)

diharapkan ikut menjaga kebersihan ruang visual publik.

Termasuk, menjaga kenyamanan dan keamanan pengguna jalan.

Di sisi lain, mereka sudah semestinya menggunakan alat-alat

peraga kampaye yang ramah lingkungan. Dan, tidak merusak

lingkungan. Misalnya, dengan tidak memotong kayu dan

merusak tumbuhan lainnya sembarangan. Pasalnya, tumbuhan

itu juga punya hak untuk hidup. Kalau sampai mati, perlu waktu

lama lagi untuk untuk menumbuhkembangkannya.

Contoh lainnya, tidak sesuka hati ―ugal-ugalan‖ dalam

menggunakan jalan raya. Apalagi, saat kampaye terbuka dengan

pengerahan massa. Lebih-lebih, sampai bertindak anarkis

dengan merusak fasilitas-fasilitas publik dan mengancam

nyanya seseorang. Seperti disebutkan, dampak alat peraga itu

tidak hanya membuat ketidaknyamanan, tapi ikut membayakan

keselamatan pengguna jalan atau pengguna fasilitas publik

lainnya. Bahkan, berdampak pada ekonomi. Kemungkinan yang

lebih buruk, bisa menyulut konflik horizontal dan bahkan

konflik vertikal.

Di situ, perlu kesadaran dan ketaudaladan penjagaan

lingkungan dari para caleg. Sebagai calon tokoh publik yang

lisan, laku, dan tindakan mereka bakal dicontoh, sudah

sepatutnya mereka (caleg) memberikan contoh-contoh yang

baik, beretika, bermoral, benar, dan sesuai aturan. Jangan karena

syahwat pribadi untuk mendapatkan kekuasaan, sampai-sampai

merugikan orang lain. Sebaliknya, saling memahami dan

menghargai satu sama lain. Selain itu, sudah saatnya caleg

memulai kampaye yang cerdas, santun, beretika, dan

mencerdaskan. Tak hanya itu, mengajak masyarakat berdilog.

Saat yang bersamaan, menyampaikan program-program

kedewanan, visi-misi, dan menguatkan pendidikan politik

lainnya.

Page 62: Jangan Salah Pilih Lagi

Di lain pihak, masyarakatlah—termasuk penggiat

lingkungan—yang jadi penilai. Apakah caleg-caleg seperti itu

pantas untuk dipilih? Kalau tidak, masyarat yang mesti

mengakhirinya (dengan tidak memilihnya). Juga, ikut

membersihkan atribut kampaye yang sudah menyampahi ruang-

ruang publik.

Menegakkan aturan

Berkenaan dengan Peraturan KPU Nomor 15 Tahun

2013 tersebut, pertama: Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus

segera mensosialisasikan peraturan itu kepada partai politik,

caleg, seluruh jajarannya, dan semua pihak terkait. Terutama, di

tingkatan daerah. Hasilnya, semua pihak bisa tahu, terlibat, dan

ikut langsung dalam pengawasannya. Pun ada pelanggaran, bisa

dengan segera ditindaklanjuti dan diselesaikan.

Kedua, KPU, Panitia Pemilih Kecamatan (PPK), dan

Panitia Pemungutan Suara (PPS) harus berkoordinasi

secepatnya dengan pemerintah daerah sampai pemerintah

desa/kelurahan untuk menetapkan lokasi pemasangan alat

peraga tersebut. Apalagi, peraturan ini sudah mulai

diberlakukan. Dengan begitu, mesti cepat dilaksanakan. Pada

akhirnya, caleg-caleg pun bisa dengan leluasa memasang alat

peraganya, tidak menyampahi ruang visual publik, dan tidak

melanggar peraturan.

Ketiga, Badan/Panitia Pengawas Pemilu harus benar-

benar mengawasi pelaksanaan dan keberjalanan peraturan ini.

Karenanya, diperlukan willing yang kuat, inisiatif, keaktifan,

progresivitas, kerja cerdas, dan kerja keras lembaga ini di

lapangan. Dalam hal ini, mereka diharapkan tidak menunggu

bola. Dengan kata lain, tidak menunggu pelbagai laporan

pelanggaran terlebih dahulu. Sebaliknya, harus ―menjemput

bola,‖ yaitu dengan turun langsung dan menindak caleg-caleg

pelanggar.‖ Juga, secepatnya merekomendasikan pemerintah

daerah dan aparat keamanan untuk membersihkan ruang publik

dari alat peraga ini (spanduk dan baleho).

Page 63: Jangan Salah Pilih Lagi

Karena aturan ini sudah mulai diberlakukan, sudah jadi

keharusan pihak-pihak terkait untuk melaksanakannya. Jangan

sampai aturan ini hanya formalitas, menghabiskan anggaran,

tidak berdampak perbaikan dan perubahan terhadap proses

pelaksanaan pileg dan demokrasi, berefek jera terhadap caleg-

caleg pelanggar, serta ―memang dibuat untuk dilanggar.‖

Pengawasan semua pihak

Selain Panwaslu, sangat diperkulan pengawasan dari

semua pihak. Lebih-lebih, dari media, akademisi, tokoh

agama/masyarakat, mahasiswa, LSM, dan elemen sipil lainnya.

Sebagai akibatnya, pelaksanaan pileg bisa berjalan dengan baik,

benar, lancar, dan sesuai aturan

Yang tidak kalah penting adalah penegakan sanksi,

yaitu berupa pencabutan atau pemindahan atribut caleg.

Mestinya, pemberian sanksi ini ―lebih keras‖ lagi. Diharapkan

ada efek jera bagi caleg-caleg pelanggar. Jadi, caleg—tambah

calon presiden/wakil presiden dan calon kepala daerah— pun

―tidak sesuka hati,‖ bisa disipin, dan menunjukkan suri tauladan

yang baik kepada publik. Pada akhirnya, ada pembenahan,

progress, dan kualitas pelaksanaan pemilu serta demokrasi kita

pun semakin sehat dan baik.

Selanjutnya, pemerintah daerah—propinsi dan

kabupaten/kota—dengan rekomendasi ban/panwaslu—

diharapkan bisa dengan segera mencabut alat peraga yang

bertebaran di ruang-ruang publik. Dengan kata lain, yang

melanggar aturan dimaksud. Kalau ternyata penyelenggara dan

aturan ini tidak berjalan, maka kembali lagi ke masyarakat.

Masyarakat sebagai penilai dan ―pembersih terakhir‖ alat peraga

tersebut. Masyarakatlah yang mesti mengakhirnya. Sebab,

masyarakatlah sesungguhnya yang punya kedaulatan.

*Penggagas/Direktur Jaringan Masyarakat Pemilih Cerdas

Sumber http://lintasgayo.co/2013/10/07/kampanye-politik-

ramah-lingkungan (7 Oktober 2013)

Page 64: Jangan Salah Pilih Lagi

Orang Gayo Berpikir dengan Otak dan Sertakan Hati

Nurani Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

"Orang Gayo punya cara berfikir berbeda dengan

kosakata secara umum. Urang Gayo berfikir dengan hati," kata

Penyusun silsilah Gayo, Kurnia Item Teganing atau biasa

disapa Aman Peteri Punce kepada ATJEHPOSTcom di Banda

Aceh, Rabu 4 September 2013 (Atjeh Post, 4/9/2013).

Pada dasarnya, orang (masyarakat) Gayo tetap

menggunakan otak atau logika dalam berpikir, seperti suku lain

kebanyakan. Hanya saja, mereka ikut menyertakan rasa atau hati

nurani. Karenanya, muncul pelbagai ungkap berbahasa yang

merujuk pada rasa (rasa) atau ate (hati). Misalnya, sok nate

(dugaan), anger nate (kegelisahan), kene ate (kata hati), deme

ku ate (rasakan dengan hati), uwes nate (sedih hati), pes nate

(tega), simehate (pilihan hati), man ate (makan hati), pikir

natemu (pikiran hatimu), dan lain-lain.

Dalam konteks berpikir (berlogika atau ―berfilsafat‖)

tadi, sehingga muncul istilah kurasa ‗saya rasa‘ (bukan “ku

pikir” atau “ku ate”). Kenapa kata rasa yang digunakan?

Kenapa bukan pikir atau ate? Di sini—seperti disebutkan,

bukan berarti orang Gayo tidak memiliki otak atau tidak

menggunakan logika (akal sehat) dalam berpikir, tetap memakai

otak.

Seperti istilah rasa, pikir, dan ate tersebut; dalam

bahasa Aceh dikenal istilah teurimenggeunaseh atau

teurimenggaseh. Kata ini merupakan serapan dari bahasa

Indonesia, yang berarti ‗terima kasih.‘ Dan, tidak istilah khusus

yang merujuk kepada kata terima kasih dalam bahasa Aceh.

Dalam hal ini, tidak berarti orang (suku) Aceh tidak tahu

berterima kasih, tapi pengungkapannya, lain. Biasanya,

Page 65: Jangan Salah Pilih Lagi

diungkapkan melalui kata alhamdulillah. Kebalikannya, orang

Gayo tahu diri dan tahu terima kasih. Sebab, ada ungkapan

berijin (terima kasih) dalam bahasa Gayo.

Pengaruh geografis pegunungan dengan pesona

keindahan alamnya ikut memengaruhi cara dan konstruksi

berbahasa orang Gayo. Alhasil, mereka cenderung lebih halus,

lembut, ―indah,‖ dan tidak langsung (memakai tamsil ibarat)

dalam berbahasa. Sebaliknya, masyarakat pesisir di Aceh ―lebih

kasar‖ dalam penyampaiannya. Karena, mereka tinggal di

pesisir pantai. Penggunaan bahasa demikian—halus, lembut,

―indah,‖ dan tidak langsung—juga turut memengaruhi aktivitas

kebudayaan mereka. Salah satunya, dalam tradisi lisan.

Masyarakat Gayo memiliki sepuluh sastra lisan, yaitu didong,

kekeberen, kekitiken, melengkan, pantun, peribahasa, saer,

sebuku, tep onem, dan ure-ure (al-Gayoni, 2010: 2). Model atau

konstruksi berbahasa seperti tadi terkandung dalam keselupuh

sastra lisan tersebut. Karenanya, daerah ini (Gayo) dikenal

sebagai ladang ―sumber‖ seni, budaya, dan sejarah di Aceh.

Meski menggunakan bahasa yang halus, lembut,

―indah,‖ dan tidak langsung dengan puitis-estetis, tapi orang

Gayo bukanlah ―masyarakat penghayal.‖ Dalam arti, asyik

berpuisi atau bersastra lisan, pasif, dan pasrah menerima hidup.

Sebaliknya, mereka tife masyarakat pekerja keras, tidak suka

mengeluh, dan apalagi sampai meminta-minta. Hal itu

dibuktikan dari konstruksi berbahasa mereka yang banyak

mengandung verba. Verba dimaknai sebagai upaya, aksi, kerja

keras, lebih, berprestasi, dan jadi yang terbaik (kemel dan

besikelemen).

Akan tetapi, mereka tetap bersyukur dan melihat sisi

lain ―positif‖ dari setiap kejadian dan ujian yang menimpanya.

Sebagai contoh, gempa tektonik 6,2 SR, 2 Juli 2013 lalu. Ada

banyak pelajaran dan hikmah di balik gempa masif dan

desktruktif sepanjang sejarah Gayo itu. Misalnya, adanya upaya

penguatan pendidikan gempa, manajemen bencana yang baik

Page 66: Jangan Salah Pilih Lagi

dan benar, pembangunan perumahan dan infrastruktur tahan

gempa, blue print pembangunan daerah Gayo secara

keseluruhan yang disertakan dengan peta kerawanan bencana di

Aceh, dan lain-lain.

Dalam politik juga demikian. Pun tetap menggunakan

rasa atau hati nurani ―ruang Tuhan dalam hati,‖ namun mereka

(orang Gayo) tetap menggunakan logika atau akal sehat dalam

memilih presiden/wakil presiden, bupati/wakil bupati, calon

anggota legislatif (caleg), dan calon anggota DPD ―senator.‖

Termasuk, dalam menilai, mencermati sekaligus mengkritisi visi

misi dan program yang diajukan. Apakah benar atau tidak;

masuk akal atau tidak (terukur dan tidak terukur)?; selain

pertimbangan rekam jejak (track record). Oleh sebab itu, di

Gayo, tidak berlaku fatwa atau garis komando dari tokoh atau

partai tertentu. Saat direkomendasikan untuk memilih calon A;

kenyataannya, belum tentu dipilih. Karena, mereka tetap

menggunakan akal sehat dan pertimbangan hati nurani tadi.

Tetapi, harus diakui pula bahwa terjadi pergeseran nilai

dalam memilih pemimpin, caleg, dan senator dalam masyarakat

Gayo. Terutama, sejak pemilu langsung digelar. Politik uang

mulai merusak tatanan nilai yang ada dalam masyarakat

tersebut, namun masih perlu dikuantitatifkan secara keangkaan.

Di sisi lain, memang pendidikan politik di tengah-tengah

masyarakat masih lemah.

*Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah (Pengkaji

Bahasa/Ekolinguistik)

Page 67: Jangan Salah Pilih Lagi

“Anggota Dewan D4” Yusradi Usman al-Gayoni*

Lemahnya kapasitas personal dan kinerja kolektif

anggota dewan selalu saja dikeluhkan masyarakat. Indikatornya,

misalnya, bisa dilihat ari kurangnya produk legislasi yang

dihasilkan, pengawasan terhadap roda pemerintahan, dan fostur

anggaran yang berorientasi pada perkembangan serta kemajuan

masyarakat. Bahkan, ada anggota dewan yang sebatas datang,

duduk, dengar, dan diam atau ―Anggota Dewan D4.‖ Akhirnya,

image lembaga ini pun makin buruk di mata publik.

Akan tetapi, saat berinteraksi dengan masyarakat atau

konstituen mereka, seolah-olah mereka paham betul fungsi,

tugas, dan kedudukan. Dengan menjaga wibawa dan image,

mereka seakan-seakan sudah menjalankan tugas kedewanannya

dengan baik, benar, dan maksimal. Padahal, kinerja mereka

―tidak lebih‖ dari D4 tadi. Pada awal bulan, mereka mengambil

gaji sebagai kompensasi terhadap keberadaan mereka di

parlemen. Di luar itu, mereka kemungkinan berproyek.

Minimal, mengharapkan fee, dana aspirasi. Juga, mengupayakan

uang masuk lainnya melalui kegiatan pengawasan, penyusunan

legislasi (perda—qanun), dan melalui pengesahan anggaran.

Tujuannya, untuk mengembalikan biaya politik yang sudah

keluar saat pencalegan. Lebih dari itu, memperkaya

―mensejahterakan‖ diri, keluarga, partai, dan kelompoknya.

Selanjutnya, menyiapkan modal untuk kembali nyaleg pada

periode berikutnya.

Sementara itu, uang rakyat ―terbuang percuma,‖ untuk

menggaji mereka. Ironisnya, tidak ada keterbukaan dan

pertanggungjawaban yang dibangun. Rakyat tak ubahnya seperti

anak yatim piatu. Pemimpin dan wakil mereka seringkali absen.

Suara yang diberikan jadi legitimasi untuk berbuat ―sesuka

hati.‖ Termasuk, melupakan masyarakat yang notabene telah

mengantarkan mereka ke kursi dewan dan istana ―pendopo.‖

Page 68: Jangan Salah Pilih Lagi

Hal itu makin meningkatkan kekecewaan, ketidakpercayaan,

dan keapatisan masyarakat.

Mereka baru hadir kembali dekat-dekat pemilu. Pada

tahap ini, anggota dewan dan caleg-caleg—pun tidak

semuanya—seperti orang yang paling saleh, dermawan, dekat

dengan rakyat, dan tahu ―menguasai‖ banyak hal. Semestinya,

dengan gaji dan fasilitas pendukung yang diterimanya, kinerja

mereka tambah baik dan terjadi peningkatan. Ternyata, tidak.

Malah, kemungkinan, bertambah buruk. Saat yang bersamaan,

hingga Agustus 2013, utang pemerintah Indonesia naik menjadi

Rp 2.177,95 triliun. Utang ini naik Rp 75,39 triliun

dibandingkan dengan posisi Juli 2013 (fimadani.com,

3/10/2013). Lagi-lagi, masyarakat ―rakyat‖ lah yang mesti

menanggung beban tersebut.

Ringannya Syarat Nyaleg

Dimanakah letak persoalannya, sehingga anggota

dewan seperti itu bisa terpilih dan duduk di parlemen? Akar

masalahnya, tidak terlepas UU No 8/2012 tentang Pemilihan

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan

Daerah (DPD) atau Senator, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD). Beberapa persyaratan dalam BAB VII bagian

kesatu, misalnya, disebutkan: telah berumur 21 (dua puluh satu)

tahun atau lebih; cakap berbicara, membaca, dan menulis

dalam bahasa Indonesia; berpendidikan paling rendah tamat

sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah

kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau pendidikan lain yang

sederajat; sehat jasmani dan rohani;

Persoalan umur, sebagai contoh, rasanya perlu dikaji-

ulang. Idealnya, calon legislator atau senator minimal berumur

24 atau 25 tahun. Setelah tamat SMA (sederajat), mereka sudah

kuliah atau kerja pada bidang tertentu. Pengalaman ―jam

terbang‖ itulah—salah satunya—yang digunakan sebagai modal

Page 69: Jangan Salah Pilih Lagi

untuk duduk di dewan. Selanjutnya, cakap berbicara, membaca,

dan menulis dalam bahasa Indonesia. Tetapi, tidak ada

indikator yang jelas dan tegas terkait kecapakan itu. Sebagai

contoh, menulis. Seharusnya, bukti-bukti tulisan calon anggota

dewan dan senator di pebagai media cetak atau online, makalah,

hasil penelitian, jurnal atau buku turut dilampirkan saat

mendaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU). Demikian

halnya tentang kecakapan berbicara dan membaca, harus jelas

indikator dan buktinya.

Kalau peraturan ini dipenuhi, diundangkan, dan paling

kurang diatur dalam satu peraturan, maka akan banyak calon

anggota legislatif yang tidak maju. Mereka akan berpikir seibu

kali untuk nyaleg. Karena, tidak memenuhi persyaratan

administratif dan tidak memiliki skill sama sekali. Salah

satunya, keterampilan berbicara, membaca, dan menulis

tersebut. Akibat tidak diundangkan atau dikuatkan dalam bentuk

peraturan, sehingga ―siapa saja‖ bisa nyaleg. Lebih-lebih, yang

bermodal lebih. Termasuk, yang punya dan dekat dengan

kekuasaan berafiliasi dengan penguasa.

Sebagai akibatnya, caleg atau anggota dewan terpilih

tidak memiliki kualitas dan kapasitas personal yang lebih.

Terlebih lagi, suri tauladan yang baik dan bisa ditauladani.

Kondisi itu kemudian berpengaruh pada minusnya kinerja

dewan secara keseluruhan. Pada akhirnya, lahirlah ―Anggota

Dewan D4.‖ Di lain pihak—seperti disebutkan, masyarakat pun

makin kecewa, apatis, dan ―prustasi‖ melihat kinerja wakil

mereka. Pasalnya, baik kepala daerah maupun legislator sebatas

prosedural, administratif, birokratis, dan tak lepas dari urusan

pencitraan.

Membenahi Rekrutmen Caleg

Sebenarnya, masih ada celah untuk menghasilkan caleg

yang bersih, jujur, terbuka, amanah, tanggung jawab, merakyat,

Page 70: Jangan Salah Pilih Lagi

mampu, dan berkualitas, yaitu melalui partai politik. Dalam

kaitan itu, partai politik harus membenahi pola rekrutmen caleg.

Yang diutamakan adalah caleg-caleg yang bersih, jujur, terbuka,

amanah, tanggung jawab, merakyat, mampu, dan berkualitas,

disamping pertimbangan popularitas, akseptabilitas, dan

elektabilitas calon. Bila perlu, diadakan uji administratif,

kelayakan (fit and proper test), dan tes baca al-Quran (khusus

caleg di Aceh) terlebih dahulu. Termasuk, mengukur

popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas calon yang

bersangkutan di tengah-tengah masyarakat.

Hasilnya, caleg-caleg yang terpilih baik dari kader

internal maupun kader eksternal partai betul-betul mumpuni.

Sebab, sudah melalui rangkaian tes yang panjang dan berat di

internal partai. Saat bersamaan, ada semacam penilaian objektif

dari masyarakat, terutama dari daerah pemilihan (caleg)

bersangkutan.

Namun, dalam praktiknya, partai politik pun lebih

mengutamakan caleg yang bermodal dan yang dekat sekaligus

―berafiliasi‖ dengan kekuasaan. Tak jarang, terjadi politik

transaksional dalam proses pencalegan. Khususnya, dalam

seleksi caleg di internal partai. Ujung-ujungnya, uanglah yang

bermain. Soal etika, moral, dan standar ideal lainnya, urusan

belakangan. Yang terpenting, dengan kekuatan uang, caleg dan

wakil partai tersebut bisa duduk di parlemen. Prihal wakil rakyat

yang minus kinerja, moral, etika, dan minus ketauladanan, yang

kemudian berimbas pada kekecewaan masyarakat, tak jadi

urusan. Keterwakilan partai di parlemen—dengan anggota

dewan abal-abal ―dewan-dewanan‖—jauh lebih penting dari

standar ideal tersebut.

Wasit Terakhir?

Kalau sudah demikian, masyarakatlah yang bertindak

sebagai wasit dan penentu. Keputusan terakhir ada di tangan

Page 71: Jangan Salah Pilih Lagi

masyarakat. Apakah memilih caleg-caleg yang bersih, jujur,

terbuka, amanah, tanggung jawab, merakyat, mampu, dan

berkualitas? Atau, menuruti kepentingan pragmatis (sesaat),

yaitu memilih caleg-caleg yang ber-money politics ―menyogok

atau membeli masyarakat‖ dan melakukan praktik pembodohan

politik lainnya?

Kalau sudah terpilih dan duduk pun, seperti yang sudah-

sudah, caleg-caleg yang ber-money politics itu bakal

meninggalkan dan melupakan masyarakat. Khususnya,

pemilihnya. Karena, mereka asyik fokus dengan pengambalian

modal, memperkaya diri, dan menyiapkan modal untuk

pencalegan berikutnya. Tak menutup kemungkinan, bakal

menyelewengkan jabatan dan melakukan korupsi. Tujuannya,

untuk mengembalikan modal politik yang sudah keluar. Karena,

tingginya modal yang dikeluarkan. Termasuk—tak menutup

kemungkinan, ikut ―membeli‖ penyelenggara pemilu, yaitu

KPU/KIP dan panitia pengawas pemilu.

Di sisi lain, kita mengharapkan keindependenan

penyelenggara pemilu. Dengan demikian, penyelenggaraan

pemilu ―kedaulatan rakyat‖ yang dilaksanakan dengan

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil bisa terlaksana

dengan baik. Pemimpin dan wakil rakyat yang terpilih pun

benar-benar ada dan memperjuangkan kepentingan masyarakat.

Pada akhirnya, demokrasi yang substantif, sehat, bermodal, dan

beretika bisa terwujud. Terutama, menghadirkan kesejahteraan

masyarakat melalui pemimpin (presiden/wakil presiden,

gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan

walikota/wakil walikota), wakil rakyat, dan senator di istana,

parlemen serta ―senat‖ (berkorelasi signifikan).

*Penggagas/Direktur Jaringan Masyarakat Pemilih Cerdas

Sumber Lintas Gayo.com (15 Oktober 2013)

http://www.lintasgayo.com/42575/anggota-dewan-d4.html

Page 72: Jangan Salah Pilih Lagi

Cara Orang Gayo Memilih Pemimpin Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*

Lima bulan lagi, tepatnya 9 April 2014, pemilu

legislatif akan berlangsung. Tahun yang sama (2014), akan

diselenggarakan pula pemilihan presiden Indonesia.

Sebelumnya (2012), masyarakat Gayo, terutama yang mendiami

Takengon sudah memilih kepala daerah ―bupati dan wakil

bupati‖ atau ―reje‖ dalam istilah lokal. Bagaimana sebetulnya

orang (masyarakat) Gayo memilih pemimpin? Di sini,

terminologi Gayo merujuk kepada tiga hal, yaitu urang ―orang

atau masyarakat‖ Gayo, daerah yang mereka diami yang dikenal

dengan Gayo atau tanoh ―tanah‖ Gayo, serta basa ―bahasa‖

Gayo (al-Gayoni, 2010: 1; 2012:1)

Secara normatif-formal-prosedural, proses pemilihan

pemimpin di Gayo sama dengan masyarakat yang lain. Mereka

punya hak pilih, terdaftar di panitia pemilihan atau

penyelenggara pemilu. Lalu, melakukan pencoblosan di bilik

suara. Akan tetapi, ada kearifan masyarakat Gayo dalam

memilih pemimpin baik formal maupun informal. Mereka selalu

melihat rekam jejak calon (track record). Dalam pemilihan

kepala kampung atau kepala desa, calon legislatif (caleg), dan

bupati/wakil bupati, misalnya, tak lepas dari penilaian rekam

jejak. Bahkan, keturunannya ke atas—ama, awan, datu, empu,

munyang, entah, rekel, dan keleng—pun ikut ―dikaji.‖

Tujuannya, untuk memastikan; apakah darah kepemimpinan

mengalir pada calon tersebut.

Dalam kearifan verbal di sana, ada istilah reje mu suket

sipet. Kata reje atau raja dimaknai sebagai ‗pemimpin‘ secara

luas. Termasuk, calon anggota legislatif (caleg) yang akan maju.

Namun, terminologi khusus yang merujuk kepada anggota

dewan dalam bahasa Gayo disebut dengan ulu rintah.

Suket dan Sipet

Page 73: Jangan Salah Pilih Lagi

Lantas, apakah makna reje mu suket sipet tadi? Ada tiga

kata kunci di sini; reje (raja—pemimpin), suket (menakar), dan

sipet (mengukur). Dalam banyak literatur Gayo, reje mu suket

sipet diartikan ‗adil.‘ Memang, seorang pemimpin baik formal

maupun informal harus adil. Dalam hal ini, bupati yang ada di

Gayo: Kabupaten Aceh Tengah, Aceh Tenggara, Gayo Lues,

dan Kabupaten Bener Meriah. Mereka mesti adil kepada Tuhan,

diri sendiri, keluarga, golongan, masyarakat luas, dan

lingkungan alam. Sejatinya, mereka bupati/wakil merupakan

pemimpin masyarakat secara keseluruhan. Bukan pemimpin

yang mewakili tim sukses, partai politik, keluarga, golongan,

dan paruh masyarakat (belah) tertentu. Begitu pula anggota

dewan, mesti adil. Sebab, mereka akan mewakili daerah

pemilihan dan konstituennya. Dengan demikian, amanah, beban,

tanggung jawab, dan resiko yang diemban pun pasti berat.

Hakikat makna reje mu suket sipet tadi terdapat pada

kata suket (menakar) dan sipet (mengukur). Indikator suket ini

pun jelas sekali, antara lain kal, are, tem, dan seterusnya (alat

penakar). Sebaliknya, sipet biasanya menggunakan jari tangan

(mengukur jarak). Di sini, ada unsur relativitas. Panjang jari

seseorang pasti berbeda satu sama lain. Hasilnya, pasti akan

berbeda. Secara denotatif bermakna demikian. Namun, makna

konotatifnya lebih dalam. Pemaknaan itu menggambarkan

konsep, nilai, kearifan, norma, moral, dan etika masyarakat

Gayo dalam memilih pemimpin.

Dalam relasi pemimpin dan kememimpinan, suket

merujuk kepada pemimpin (yang sedang maju) yang

bersangkutan. Dengan kata lain, suket merujuk kepada hal-hal

yang konkrit (i panang sareh, i amat nyata): fisik, tempat

tinggal, tempat masa-masa kecil, sekolah, kampus, tempat

berkarir, dan lain-lain . Kebalikannya, sipet merujuk kepada hal-

hal yang abstrak. Misalnya, soal kejujuran; amanah tidak

amanah; umur; tingkat popularitas, elektabilitas serta

akseptabilitas yang tinggi; keagungan sifat dan karakter;

Page 74: Jangan Salah Pilih Lagi

kedalaman ilmu; keluasan pengalaman; keluwesan pergaulan;

bekal pendidikan yang memadai; ketaatan beragama; dukungan

rekam jejak dan kinerja yang mumpuni; dan tidak cacat moral

dan tidak cacat hukum ―bersih.‖ Alhasil, pemimpin-pemimpin

formal dan informal terpilih bisa menuntun dan membawa

masyarakat serta daerah yang dipimpinnya ke arah yang benar,

baik, maju, dan bermartabat. Karena, didasari dengan bekal

pengalaman, ilmu, wawasan, dan moral yang baik (the right

man on the right place, bukan the wrong man on the wrong

place).

Selain pertimbangan rekam rejak, masyarakat Gayo

selalu menggunakan akal sehat dan menyertakan hati nurani

dalam memilih. Kalaupun ada yang merekomendasikan calon

tertentu, tidak diterima mentah-mentah. Di Gayo, tidak berlaku

garis komando atau fatwa dari tokoh tertentu. Dalam satu

keluarga inti (nuclear family) atau keluarga besar (extended

family), bahkan suami-istri pun bisa berbeda pilihan. Karena,

pertimbangan akal sehatdan hati nurani tadi. Lebih dari itu,

mereka ikut meminta petunjuk Tuhan melalui salat istikharah.

Tuntunan-tuntunan seperti itulah yang dipakai masyarakat Gayo

dalam memilih pemimpin.

Pergeseran Nilai

Akan tetapi, sejak era reformasi 1998 dan

dilangsungkannya pemilihan langsung pemilihan presiden

(pilplres), kepala daerah (pemilukada), dan pemilu legislatif

(pileg), kearifan lokal tadi mulai berubah. Masyarakat Gayo—

meski tidak semua—mulai ―menikmati‖ politik uang (money

politics). Buat penulis, money politics merupakan kejahatan

luar biasa, disamping korupsi, narkoba, pembunuhan

berencana, dan kejahatan terorisme. Melalui money politics

inilah eksekutif, legislatif, dan yudikatif menjarah uang

rakyat “korupsi.” Akibatnya, muncul istilah trias

koruptika: eksekuthief, legislathief, dan yudikathief.

Page 75: Jangan Salah Pilih Lagi

Siapakah yang salah? Dalam hal ini, masyarakat tidak

salah. Calon kepala daerah dan calon legislatif lah yang salah.

Lagi-lagi, pun tidak semuanya. Mereka yang memulai,

mengajarkan, dan menyuburkan money politics. Tak hanya itu,

mereka telah merendahkan, menghinakan, dan membodoh-

bodohi masyarakat.

Di sisi lain, masyarakat pun tidak merasakan manfaat

keberadaan bupati/wakil bupati dan dewan. Kecuali, buat

segelintir orang, yaitu bosisme lokal (meminjam istilah Boni

Hargens). Masyarakat menganggap, tidak ada korelasi

signifikan penyelenggaraan pemilu dengan keterpilihan kepala

daerah dan anggota dewan dengan perbaikan ekonomi

―kesejahteraan‖ mereka. Setelah pemilukada dan pemilu

legislatif berlangsung, masyarakat serta merta dilupakan.

Selanjutnya, mereka yang terpilih fokus pada pengembalian

modal dan hutang, memperkaya diri, dan membangun politik

dinasti (istilah lain dinasti politik dan politik kekerabatan).

Sebagai akibatnya, sebagian masyarakat menjadikan pemilu

―pesta demokrasi‖ sebagai ajang untuk meraup uang atau barang

sebanyak-banyaknya. Dengan kata lain, menjadikan calon

presiden/wakil presiden, calon kepala daerah, dan caleg jadi

―ATM berjalan.‖ Dengan harapan, ada efek jera. Namun, bukan

efek jera yang didapat. Tapi, politik uang malah makin

―menggila.‖

Namun, mereka—calon presiden/wakil presiden, calon

kepala daerah, dan caleg—pun berbuat demikian pastinya tidak

terlepas dari partai politik. Karena, buruknya sistem rekrukmen

di internal partai politik. Partai politik yang mestinya

menghasilkan pemimpin jujur, bersih, amanah, tanggung jawab,

kredibel, tahu malu, dan berkualitas; malah menghasilkan

pemimpin korup. Pasalnya, dari awal, telah terjadi politik

transaksional (setoran ke partai atau ketua partai). Siapa yang

punya modal besar, bisa maju. Soal kredibilitas dan kualitas,

Page 76: Jangan Salah Pilih Lagi

belakangan. Karenanya, yang tidak pantas pun (sah kenak—

bahasa Gayo) berbondong-bondong maju. Karena, tidak ada lagi

rasa ―terputusnya sel syaraf‖ malu.

Tolak Money Politics

Dalam menghadapi pemilu 2014, masyarakat Gayo

mesti kembali kepada kearifan lokal mereka, yaitu dengan

menolak politik uang. Jangan terima uangnya, dan jangan pilih

caleg-caleg yang ber-money politics. Yang lebih prinsip, tetap

memelihara akal sehat dan menghidupkan hati nurani. Pada

akhirnya, masyarakat tidak salah pilih. Sebab, caleg-caleg yang

jujur-tidak jujur, bersih-kotor, amanah-tidak amanah, mampu-

tidak mampu, berkualitas-tidak berkualitas, punya kesempatan

yang sama. Oleh karena itu, masyarakat harus hati-hati, untuk

tidak salah memilih.

Selanjutnya, ikut mengawasi dan mengawal

penyelenggaran pemilu legislatif oleh penyelenggara, yaitu KIP

Aceh Tengah, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia

Pemungutan Suara (PPS), dan Panitia Pengawas Pemilu

(Panwaslu) Aceh Tengah. Saat yang sama, memastikan, tidak

ada permainan politik uang; mengingat kepentingan masyarakat

dan daerah secara keseluruhan-jangka panjang. Juga,

memastikan tidak ada invervensi dari pihak mana pun.

Termasuk, dari bupati/wakil bupati, pejabat, pengusaha

(kontraktor), dan anggota dewan yang duduk sekarang

(petahana). Dengan demikian, anggota dewan yang terpilih

nantinya betul-betul jujur, mampu, bersih, amanah, tanggung

jawab, mampu, dan berkualitas. Akhirnya, daerah ini—

Takengon, Gayo, dan Aceh—bisa berkah, terbenahi,

berkembang, dan maju.

*Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah

Sumber : Media Online LintasGayo.co (1/11/2013)