iv. kondisi umum daerah penelitian - repository.ipb.ac.id · proses pembentukan, dan data serta...

33
IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN Sebelum Indonesia merdeka, Provinsi Sulawesi Selatan, terbagi dalam beberapa wilayah kerajaan yang berdiri sendiri dan didiami oleh empat etnis yaitu; suku Bugis, Makassar, Mandar, dan suku Toraja. Pada ke XVI dan XVII ada tiga kerajaan besar yang berpengaruh luas dan mencapai kejayaannya yaitu Kerajaan Luwu, Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone. Masing-masing kerajaan telah melakukan hubungan dagang dan persahabatan dengan bangsa-bangsa lain terutama bangsa Eropa, India, Cina, Melayu dan Arab. Setelah kemerdekaan, Sulawesi Selatan menjadi Provinsi Administratif Sulawesi berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 1950. Status tersebut bertahan hingga akhir tahun 1959. Kemudian pada tahun 1960, Provinsi Administratif Sulawesi berubah menjadi daerah otonom Sulawesi Selatan dan Tenggara berdasarkan UU Nomor 47 Tahun 1960. Selanjutnya terjadi lagi perubahan yaitu pemisahan Sulawesi Selatan dari daerah otonom Sulawesi Selatan dan Tenggara yang ditetapkan dengan UU Nomor 13 Tahun 1964, sehingga menjadi daerah otonom Sulawesi Selatan. Kemudian, terjadi lagi pemekaran wilayah sejak dikeluarkan UU No. 11 Tahun 2004, Sulawesi Selatan dimekarkan menjadi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Secara administratif Sulawesi Selatan terdiri dari 20 Kabupaten dan 3 Kota, sedangkan Sulawesi Barat terdiri dari 5 Kabupaten. Pada saat penelitian ini dilakukan, Provinsi Sulawesi Barat masih dalam proses pembentukan, dan data serta informasi yang tersedia umumnya masih merupakan data dan informasi gabungan dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan “Sulawesi Selatan” sebagai satu kesatuan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. 4.1. Letak Geografis, Kondisi Tanah dan Keadaan Iklim Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat terletak di Jazirah Selatan Pulau Sulawesi diantara 0º 12LU dan LS dan antara 116º 48BT - 122º 36BT. Luas wilayah ± 62.361,71 km² atau sekitar 33% dari luas Pulau Sulawesi, dengan batas- batas sebagai berikut (Gambar 5).

Upload: vodang

Post on 03-Mar-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

Sebelum Indonesia merdeka, Provinsi Sulawesi Selatan, terbagi dalam

beberapa wilayah kerajaan yang berdiri sendiri dan didiami oleh empat etnis yaitu;

suku Bugis, Makassar, Mandar, dan suku Toraja. Pada ke XVI dan XVII ada tiga

kerajaan besar yang berpengaruh luas dan mencapai kejayaannya yaitu Kerajaan

Luwu, Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone. Masing-masing kerajaan telah melakukan

hubungan dagang dan persahabatan dengan bangsa-bangsa lain terutama bangsa

Eropa, India, Cina, Melayu dan Arab.

Setelah kemerdekaan, Sulawesi Selatan menjadi Provinsi Administratif

Sulawesi berdasarkan UU Nomor 21 Tahun 1950. Status tersebut bertahan hingga

akhir tahun 1959. Kemudian pada tahun 1960, Provinsi Administratif Sulawesi

berubah menjadi daerah otonom Sulawesi Selatan dan Tenggara berdasarkan UU

Nomor 47 Tahun 1960. Selanjutnya terjadi lagi perubahan yaitu pemisahan

Sulawesi Selatan dari daerah otonom Sulawesi Selatan dan Tenggara yang

ditetapkan dengan UU Nomor 13 Tahun 1964, sehingga menjadi daerah otonom

Sulawesi Selatan. Kemudian, terjadi lagi pemekaran wilayah sejak dikeluarkan UU

No. 11 Tahun 2004, Sulawesi Selatan dimekarkan menjadi Sulawesi Selatan dan

Sulawesi Barat. Secara administratif Sulawesi Selatan terdiri dari 20 Kabupaten dan

3 Kota, sedangkan Sulawesi Barat terdiri dari 5 Kabupaten.

Pada saat penelitian ini dilakukan, Provinsi Sulawesi Barat masih dalam

proses pembentukan, dan data serta informasi yang tersedia umumnya masih

merupakan data dan informasi gabungan dari Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.

Oleh karena itu dalam penelitian ini digunakan “Sulawesi Selatan” sebagai satu

kesatuan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.

4.1. Letak Geografis, Kondisi Tanah dan Keadaan Iklim

Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat terletak di Jazirah Selatan Pulau

Sulawesi diantara 0º 12′ LU dan 8º LS dan antara 116º 48′ BT - 122º 36′ BT. Luas

wilayah ± 62.361,71 km² atau sekitar 33% dari luas Pulau Sulawesi, dengan batas-

batas sebagai berikut (Gambar 5).

71

Sebelah Utara : dengan wilayah Sulawesi Tengah,

Sebelah Timur : dengan Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara,

Sebelah Selatan : dengan Laut Flores,

Sebelah Barat : dengan Selat Makasar.

Gambar 5. Peta Provinsi Sulawesi Selatan.

72

Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat terletak di posisi yang strategis

berada ditengah-tengah Kepulauan Nusantara antara Kawasan Barat dan di Kawasan

Timur Indonesia, sehingga memungkinkan Sulawesi Selatan berfungsi sebagai Pintu

Gerbang ke dan dari Kawasan Timur Indonesia sekaligus sebagai pusat pelayanan,

baik bagi Kawasan Timur Indonesia maupun untuk skala internasional. Pelayanan

tersebut mencakup perdagangan, transportasi darat – laut – udara, pendidikan,

pendayagunaan tenaga kerja, pelayanan dan pengembangan kesehatan, penelitian

pertanian tanaman pangan, perkebunan, perikanan laut, air payau tambak,

kepariwisataan bahkan potensial untuk pengembangan lembaga keuangan dan

perbankan.

Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat mempunyai topografi

dari datar, landai, berbukit dan bergunung-gunung. Daerah datar ditemui di wilayah

pesisir pantai, sedangkan daerah berbukit dan pegunungan umumnya pada bagian

tengah jazirah dan merupakan hulu-hulu sungai. Daerah yang datar dengan

kemiringan 0-8 % relatif sempit yaitu sekitar 10% dari total wilayah dan umumnya

digunakan untuk lahan persawahan dan tambak. Demikian pula halnya dengan

daerah landai dengan kemiringan 8-15% hanya meliputi sekitar 8% dari total wilayah

dan umumnya digunakan untuk usaha perkebunan, tanaman hortikultura dan

tanaman pangan lainnya. Sementara wilayah yang dominan adalah daerah berbukit

dan bergunung dengan kemiringan di atas 15% yaitu lebih dari 80% dari total

wilayah (Tabel 5).

Tabel 5. Kondisi topografi wilayah Provinsi Sulawesi Selatan Kemiringan Luas wilayah

(%) (km²) (%) 0-8 6.093,93 9,77 8-15 5.070,78 8,13 15-25 9.170,29 14,71 25-40 10.362,62 16,62 40-60 22.918,25 36,75 >60 8.745,84 14,02

Total 62.361,71 100 Sumber: Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2004°.

73

Dengan kondisi topografi yang didominasi oleh wilayah dengan kemiringan

di atas 15 %, menyebabkan sebagian besar wilayah Provinsi Sulawesi Selatan dan

Sulawesi Barat sangat rawan erosi atau mempunyai tingkat bahaya erosi yang

tergolong tinggi. Erosi tanah di sembilan belas Daerah Aliran Sungai (DAS) dan Sub

DAS tahun 2003 tercatat rata-rata cukup tinggi yaitu berkisar antara 45 ribu ton pada

DAS Sanrego sampai 1,67 juta ton pada DAS Saddang (Tabel 6).

Tabel 6. Erosi tanah pada beberapa daerah aliran sungai (DAS)/sub DAS

DAS/Sub DAS Nilai Erosi (ton/thn) Saddang 1.672.850 Mamasa 543.789 Bila 81.408 Jeneberang 734.689 Tangka 54.766 Rongkong 389.765 Maros 436.322 Karama 677.237 Balease 264.768 Kelara 178.600 Mata Allo 68.655 Paremang 473.467 Lariang 55.487 Mandar 95.400 Mapili 154.878 Minraleng 56.889 Sanrego 45.673 Selayar 75.389 Calendu 67.809

Sumber: Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2004a

Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat memiliki beberapa jenis tanah antara

lain: Aluvial, Gley, Latosol, Regosol, Podsolik, Grumosol, Mediteran, Renzina,

Lateritik dan Andosol. Sementara jenis batuannya meliputi: batuan Sedimen,

Vulkan, Plasonik Masam dan Plasonik Basa (Dinas Perkebunan Propinsi Sulawesi

Selatan, 2004). Menurut Natsir (2004), pengembangan komoditas di Sulawesi

Selatan umumnya menyesuaikan dengan jenis dan kesuburan lahan. Jenis lahan

Alluvial umumnya digunakan untuk pengembangan tanaman pangan dan sebagian

74

palawija serta hortikultura dan perikanan. Sedangkan jenis tanah Latosol, Mediterani

dan Grumosol digunakan untuk pengembangan komoditas perkebunan, peternakan

dan konservasi.

Jenis tanah Latosol, Mediterani dan Grumosol umumnya berada pada

kawasan pengembangan tanaman perkebunan. Ke tiga jenis tanah tersebut

mempunyai tingkat kepekaan terhadap erosi (erodibilitas = K) bervariasi mulai dari

K=0,12-0,26 untuk jenis tanah Latoso, K= 0,13-0,22 untuk jenis tanah Mediteran dan

K=0,25 untuk jenis tanah Grumosol (Rahim, 2000 dan Suripin, 2002).

Menurut klasifikasi Sehmidt dan Fergusson, Sulawesi Selatan dan Sulawesi

Barat memiliki lima tipe iklim meliputi: Tipe A, B, C, D, dan E dengan penyebaran

seperti tertera pada Tabel 7.

Tabel 7. Tipe iklim, bulan kering dan penyebarannya

Tipe Iklim Bulan Kering Penyebaran Iklim

A 1-5 bulan Kabupaten Mamuju, sebagian Polmas, Luwu dan Enrekang.

B 1,5-3 bulan Kabupaten Tana Toraja, Wajo, Bone, sebagian Majene, Polmas, Enrekang, Luwu, Pinrang, Gowa, Soppeng dan Bantaeng.

C 3-4,5 bulan Kabupaten Sidrap, Barru, Pangkep, Selayar, sebagian Majene, Polmas, Pinrang, Maros,Sinjai, Gowa, Soppeng, Bantaeng dan Bulukumba, serta Kota Pare-Pare.

D 5-6 bulan Kota Makassar, Kabupaten Takalar, Maros, Gowa, Jeneponto, Bulukumba dan Bantaeng.

E 9 bulan Sebagian Kabupaten Jeneponto, Bulukumba dan Bantaeng.

Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, 2004.

75

4.2. Penduduk dan Matapencaharian

Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat dihuni oleh hampir semua etnis

yang ada di Indonesia, tetapi yang dominan adalah penduduk asli yang terdiri dari

empat etnis yaitu; suku Bugis, Makassar, Mandar, dan suku Toraja. Pada tahun 2003,

jumlah penduduk Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat tercatat sebanyak 8.213.864

jiwa, terdiri dari 4.038.155 jiwa laki-laki dan 4.175.709 jiwa perempuan. Penduduk

tersebut tersebar di 28 Kabupaten dan Kota dengan perincian seperti pada Tabel 8.

Tabel 8. Perkembangan penduduk kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Selatan, 1999-2003

Kabupaten/ Jumlah Penduduk (jiwa) Kode Area Kota 1999 2000 2001 2002 2003

Prtbhn (%/thn)

1 Selayar 103 102 103 596 104 079 104 205 109 415 1,44 2 Bulukumba 350 830 352 419 353 970 354 796 371 453 1,39 3 Bantaeng 157 185 158 632 160 072 160 840 164 841 1,16 4 Jeneponto 314 735 317 588 320 426 321 754 323 245 0,66 5 Takalar 227 255 229 718 232 178 232 681 240 578 1,38 6 Gowa 503 746 512 876 522 105 528 313 552 293 2,20 7 Sinjai 203 326 204 385 205 423 207 416 216 589 1,53 8 Maros 268 692 272 116 275 548 278 833 286 260 1,53 9 Pangkep 261 818 263 565 265 290 268 008 275 151 1,21

10 Barru 150 688 151 085 151 464 152 412 156 661 0,95 11 Bone 644 371 648 089 651 746 654 213 679 904 1,31 12 Soppeng 220 169 219 505 218 943 218 859 224 121 0,44 13 Wajo 357 698 357 720 357 742 358 677 362 683 0,34 14 Sidrap 237 882 238 419 238 926 239 795 246 259 0,85 15 Pinrang 309 508 310 833 312 124 313 801 331 592 1,66 16 Enrekang 164 280 166 307 168 337 169 812 175 962 1,66 17 Luwu 392 365 398 131 403 931 407 277 425 834 1,96 18 Tator 389 682 392 726 395 744 398 796 416 610 1,62 19 Polmas 441 929 446 765 451 596 455 572 469 867 1,49 20 Majene 119 673 120 621 121 561 121 958 128 783 1,77 21 Mamuju 281 458 296 625 312 569 323 692 334 863 3,99 22 Luwu Utara 421 293 431 680 442 267 449 836 462 437 2,22 71 Makassar 1 083 319 1 100 019 1 116 834 1 127 785 1 145 406 1,36 72 Parepare 107 590 108 258 108 917 111 660 113 057 1,21

Total 7 712 593 7 801 678 7 891 792 7 960 991 8 213 864 1,53 Catatan: Penduduk Kabupaten Mamuju Utara, Mamasa, Luwu Timur dan Kota Palopo masih

bergabung dengan kabupaten induk sebelum pemekaran.

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2004.

Kepadatan penduduk rata-rata 131 jiwa/km² dengan penyebaran yang tidak

merata. Pada umumnya penduduk Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat

76

terkonsentrasi pada daerah perkotaan, sementara di pedesaan penduduknya relatif

jarang. Kepadatan penduduk tertinggi terdapat di Kota Makassar dengan kepadatan

rata-rata 6.516 jiwa/km², sedangkan yang terendah di Mamuju dengan kepadatan

rata-rata 30 jiwa/km² (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2004).

Selama empat tahun terakhir (1999-2003), pertumbuhan penduduk Provinsi

Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat rata-rata 1,53 %/tahun. Laju pertumbuhan

penduduk yang paling pesat terjadi di Kabupaten Mamuju dengan pertumbuhan rata-

rata 3,99 %/tahun, sedangkan laju pertumbuhan penduduk yang paling rendah terjadi

di Kabupaten Wajo dengan pertumbuhan rata-rata 0,34 %/tahun.

Pada tahun 2003, dari 8.213.864 jiwa penduduk Provinsi Sulawesi Selatan

dan Sulawesi Barat yang tergolong angkatan kerja tercatat sebanyak 6.525.108 jiwa.

Dari jumlah tersebut yang termasuk angkatan kerja aktif secara ekonomi tercatat

sebanyak 3.279.832 jiwa yang terdiri dari 3.054.774 jiwa pekerja dan 225.058 jiwa

pencari kerja. Sementara itu, angkatan kerja yang tidak aktif berjumlah 3.245.276

jiwa dengan kegiatan bersekolah, menjadi ibu rumah tangga dan lain-lain. Jadi rasio

pekerja penduduk Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat relatif rendah yaitu 46,82 %

dari angkatan kerja atau hanya 37,19 % dari total penduduk. Para pekerja tersebut

berkerja pada berbagai lapangan pekerjaan dan yang paling dominan bekerja pada

sektor pertanian dalam arti luas, disusul sektor perdagangan, jasa, angkutan dan

komunikasi, serta industri (Tabel 9).

77

Tabel 9. Distribusi pekerja pada berbagai lapangan pekerjaan, 2003

Lapangan Pekerjaan Pekerja (jiwa) Jumlah Laki-laki Perempuan (jiwa) (%) Pertanian 1.418.833 406.612 1.825.445 59,76 Pertambangan & galian 14.328 2.425 16.753 0,55 Industri 91.162 71.446 162.608 5,32 Listrik, gas dan air 8.474 1.785 10.259 0,34 Konstruksi 77.779 1.296 79.075 2,59 Perdagangan 239.278 206.052 445.33 14,58 Angkutan & komunikasi 158.548 6.944 165.492 5,42 Keuangan 9.742 2.059 11.801 0,39 Jasa 205.679 131.639 337.318 11,04 Lainnya 407 286 693 0,02 Total 2.224.230 830.544 3.054.774 100,00

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2004.

4.3. Pembangunan Regional Sulawesi Selatan

Pembangunan merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dan tolok ukur keberhasilannya umumnya masih bertumpu pada bidang

ekonomi. Hal ini sangat wajar karena tanpa adanya pertumbuhan ekonomi yang

mantap, pertumbuhan bidang lainnya seperti politik, sosial dan kebudayaan tidak

memadai. Pada bagian ini akan diuraikan secara singkat tentang rencara strategis dan

kebijakan pembangunan, program dan kegiatan pembangunan, serta kinerja

kebijakan pembangunan regional Sulawesi Selatan tahun 2003.

4.3.1. Kondisi Perekonomian Regional

Selama 15 tahun terakhir, struktur perekonomian regional Sulawesi Selatan

tidak mengalami perubahan yang berarti. Sektor pertanian masih sangat

mendominasi perekonomian Sulawesi Selatan dan menjadi sumber kehidupan

sebagian besar penduduknya. Peranan sektor pertaniaan mengalami sedikit fluktuasi

karena goncangan krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Kontribusi sektor

pertanian pada awalnya mengalami penurunan secara perlahan-lahan dari 42 %

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) atas harga yang berlaku pada tahun 1990,

78

menjadi 38,9 % pada tahun 1995 serta mencapai titik terendah sebesar 38,6% pada

tahun 1996. Namun karena goncangan krisis ekonomi yang melanda Indonesia,

maka berimbas juga pada struktur perekonomian regional Sulawesi Selatan dimana

kontribusi sektor pertanian dalam pembentukan PDRB kembali meningkat pada

tahun 1997 dan mencapai puncaknya pada tahun 1998.

Pada tahun 1998, sektor pertanian memberikan kontribusi dalam

pembentukan PDRB Provinsi Sulawesi Selatan atas harga berlaku sebesar 45,78 %,

sementara sektor perdagangan, hotel dan restoran memberikan kontribusi sebesar

13,24%, sektor perindustrian 11,23 %, sektor jasa 8,64% dan sektor pertambangan

dan galian sebesar 6,04 %. Selanjutnya kontribusi sektor pertanian berangsur-angsur

kembali berkurang dengan mulai pulihnya sektor perekonomian lainnya (Tabel 10).

Tabel 10. Perkembangan kontribusi berbagai sektor ekonomi terhadap PDRB atas harga berlaku

Kode Sektor Perekonomian 1997 1998 1999 2000 2001 2002 20031. Pertanian 39,10 45,78 41,93 39,03 37,85 37,50 35,82 2. Pertambangan & galian 3,57 6,04 8,10 8,70 7,96 7,73 7,67 3. Industri 11,89 11,23 10,91 11,54 11,78 11,46 11,46 4. Listrik, gas dan air 0,96 0,92 0,97 0,97 1,11 1,21 1,19 5. Konstruksi 6,44 4,40 4,19 4,23 4,17 4,03 4,16 6. Perdagangan 14,63 13,24 14,77 14,62 16,19 16,54 16,91 7. Angkutan & komunikasi 5,99 5,84 5,92 6,44 7,05 6,98 7,16 8. Keuangan 6,06 3,91 3,65 3,46 3,14 3,64 4,83 9. Jasa-jasa 11,36 8,64 9,56 11,01 10,75 10,91 10,80 Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 1999a, 2003 dan 2004a.

Pada tahun 2003, sektor pertanian memberikan kontribusi terbesar dalam

pembentukan PDRB yaitu sebesar 35,82% PDRB atas harga berlaku, kemudian

disusul sektor perdagangan, hotel dan restoran dengan kontribusi sebesar 16,91%,

sektor industri pengolahan dengan kontribusi 11,46% dan sektor jasa 10,79%. Nilai

sumbangan sektor pertanian dalam PDRB Sulawesi Selatan pada tahun 2003,

berdasarkan PDRB harga berlaku, tercatat sebesar Rp 14,36 trilyun atau meningkat

sebesar 42,32% dibanding tahun 2000 yang nilainya sebesar Rp. 10,84 trilyun. Sub

sektor utama pertanian yang memberikan kontribusi terbesar bagi PDRB adalah

79

tanaman bahan makanan dengan pangsa 14,40% dari PDRB, disusul tanaman

perkebunan, perikanan dan peternakan dengan pangsa masing-masing 12,25%,

7,88%, dan 1,04% (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 2004a).

Pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan berfluktuasi cukup tajam, terutama

karena adanya krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997. Pada

periode pra krisis (1993-1996), perekonomian Sulawesi Selatan tumbuh cukup tinggi

yaitu rata-rata 7,96%/tahun, dengan tingkat pertumbuhan terendah 7,67% pada tahun

1994 dan tertinggi 8,31% pada tahun 1996. Pada saat krisis ekonomi mulai menerpa

Indonesia pertengahan tahun 1997, pertumbuhan ekonomi regional Sulawesi Selatan

turun menjadi 4,30 %, bahkan mengalami kontraksi sebesar -5,33 % pada tahun 1998

sebagai puncak krisis ekonomi nasional.

Kontraksi pertumbuhan ekonomi di Sulawesi Selatan tersebut tidak terlalu

besar dibandingkan dengan kontraksi pertumbuhan secara nasional yang besarnya

mencapai -13,13%. Kondisi ini terjadi karena struktur perekonomian regional

Sulawesi Selatan pada tahun 1997 masih sangat didominasi sektor pertanian dengan

kontribusi 34,66%. Sementara kontribusi sektor pertanian secara nasional relatif

lebih kecil yaitu sebesar 16,01% (Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan,

1999 dan Badan Pusat Statistik, 1998).

Dengan kondisi yang demikian, maka dalam situasi perekonomian yang

cukup sulit pada tahun 1998, beberapa sektor ekonomi Sulawesi Selatan masih dapat

tumbuh, terutama sektor pertanian yang memang menjadi basis kekuatan ekonomi

Sulawesi Selatan. Sektor pertanian di Sulawesi Selatan masih dapat tumbuh positif

sebesar 0,06 persen dengan sub sektor yang mempunyai pertumbuhan cukup tinggi

yaitu perkebunan dan kehutanan yang masing-masing tumbuh sebesar 15,07 persen

dan 2,69 persen. Sementara sektor-sektor lainnya mengalami kontraksi pertumbuhan.

Sektor yang mengalami kontraksi pertumbuhan terbesar tercatat pada sektor

Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan yakni sebesar 32,31 persen terutama pada

sub sektor Bank dengan kontraksi pertumbuhan sebesar 96,20 persen. Terjadinya

kontraksi yang besar pada sektor ini merupakan kondisi umum yang terjadi selama

80

krisis ekonomi di Indonesia yang memang pada awalnya merupakan dampak dari

mismanajemen perbankan yang berdampak besar pada sektor-sektor lainnya.

Meskipun mengalami kontraksi yang cukup besar pada tahun 1998, kondisi

perekonomian daerah ini dapat segera pulih dan pada tahun 1999 perekonomian

Sulawesi Selatan mengalami pertumbuhan ekonomi sebesar 2,83 persen. Nilai

pertumbuhan ekonomi Sulawesi Selatan tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan

pertumbuhan ekonomi nasional yang hanya mencapai 0,85 persen pada periode yang

sama. Selanjutnya perekonomian Regional Sulawesi Selatan mengalami

pertumbuhan yang lebih pesat lagi yaitu rata-rata 4,96% pada periode 2000-2003

(Tabel 11).

Tabel 11. Pertumbuhan PDRB Provinsi Sulawesi Selatan 1993-2003

Tahun Atas harga berlaku Atas harga konstan 1993 (Rp milyar) (%) (Rp milyar) (%) 1993 7.512 12,02 7.512 7,72 1994 8.738 16,32 8.088 7,67 1995 10.372 18,70 8.745 8,12 1996 11.833 13,97 9.486 8,31 1997 13.538 14,41 9.893 4,30 1998 21.951 62,14 9.366 -5,33 1999 24.065 9,63 9.631 2,83 2000 27.772 15,41 10.102 4,89 2001 34.771 25,20 10.604 4,97 2002 38.523 10,79 11.093 4,61 2003 42.855 11,25 11.691 5,39

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan 1997, 2003, 2004a dan 2005.

4.3.2. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Regional Sulawesi Selatan

Dalam rangka mewujudkan sasaran pembangunan daerah, maka disusunlah

sebuah dokumen ”Rencana Strategis Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Tahun

2003-2008” yang isinya antara lain meliputi: visi, misi, strategi, dan kebijakan, serta

program dan kegiatan pembangunan yang sedang dan akan terus dilaksanakan.

Dalam dokumen Rencana Strategis tersebut tercantum empat kebijakan dasar

pembangunan regional Sulawesi Selatan yaitu:

81

Pertama : Peningkatan Kualitas Hidup Manusia,

Kedua : Peningkatan Ketahanan Ekonomi Wilayah,

Ketiga : Peningkatan Kualitas Kehidupan Bermasyarakat Berbangsa dan

Bernegara,

Keempat : Pemberdayaan Kelembagaan Pemerintah dan Masyarakat.

Keempat kebijakan tersebut selanjutnya dijabarkan dalam bentuk program dan

kegiatan prioritas serta program dan kegiatan penunjang.

Rencana Strategis Pemerintah Provinsi tersebut dituangkan dalam Peraturan

Daerah (PERDA) Provinsi Sulawesi Selatan No. 3 Tahun 2003, dan ditindak lanjuti

dengan Rencana Strategis dari masing-masing unit kerja Lingkup Pemerintah

Provinsi dengan tetap memperhatikan kewenangan yang ada. Selanjutnya

dirumuskan kerangka operasionalnya berupa Rencana Pembangunan Tahunan.

Penyusunan program prioritas dan penunjang perlu disesuaikan setiap tahun

berdasarkan hasil evaluasi tahun sebelumnya. Pada tahap awal, penyusunan program

prioritas didasarkan pada hasil identifikasi simpul-simpul pembangunan yang

dilakukan pemerintah daerah dalam program seratus hari kerja Gubernur dan Wakil

Gubernur.

Rencana Strategis Pemerintah Provinsi tersebut selanjutnya diharapkan

menjadi acuan bagi pemerintah kabupaten maupun kota dalam menyusun rencana

pembangunan daerah masing-masing kabupaten maupun kota yang ada di Provinsi

Sulawesi Selatan.

4.3.3. Program dan Kegiatan Pembangunan Regional Sulawesi Selatan

Sebagaimana telah dikemukakan bahwa strategi dan kebijakan dasar

pembangunan regional Sulawesi Selatan dalam Rencana Strategis dirinci lagi dalam

bentuk program dan kegiatan prioritas serta program dan kegiatan penunjang. Secara

singkat kebijakan dasar pembangunan regional Sulawesi Selatan dirinci dalam

program dan kegiatan sebagai berikut (Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi

Selatan, 2003):

82

2. Kebijakan dasar pembangunan ”Peningkatan Kualitas Hidup Manusia”

dilaksanakan melalui lima program prioritas meliputi:

a. Program peningkatan kualitas, relevansi dan pemerataan pendidikan,

b. Program peningkatan penghayatan agama,

c. Program peningkatan derajat kesehatan dan gizi,

d. Program pengembangan budaya dan kesenian,

e. Program pengembangan ketenagakerjaan.

Masing-masing program prioritas tersebut dijabarkan dalam lima sampai enam

kegiatan pembangunan. Di samping itu masih terdapat lima program penunjang

yang meliputi program; pengendalian penduduk, peningkatan kesejahteraan

sosial, pembinaan olah raga, pemberdayaan perempuan dan program

kepemudaan. Setiap program penunjang tersebut dijabarkan dalam dua sampai

empat kegiatan pembangunan.

3. Kebijakan dasar pembangunan ”Peningkatan Ketahanan Ekonomi Wilayah”

dilaksanakan melalui enam program prioritas meliputi:

a. Program peningkatan daya saing produk unggulan,

b. Program pemantapan ekonomi kerakyatan,

c. Program pemantapan ketahanan pangan,

d. Program pemantapan struktur ekonomi daerah,

e. Program penguatan integrasi ekonomi Pulau Sulawesi,

f. Program penataan dan pengelolaan sumberdaya alam dan kelautan yang

berkelanjutan.

Masing masing program prioritas tersebut dijabarkan dalam tiga sampai sembilan

kegiatan prioritas. Di samping itu terdapat dua program penunjang yaitu Program

pengembangan prasarana dan sarana wilayah dengan enam kegiatan

pembangunan dan program pengembangan tata ruang dengan empat kegiatan

pembangunan.

4. Kebijakan dasar pembangunan ”Peningkatan Kualitas Kehidupan Bermasyarakat

Berbangsa dan Bernegara” dilaksanakan melalui dua program prioritas meliputi:

a. Program penataan sistem legislasi daerah, dan

83

b. Program peningkatan kondisi keamanan dan ketertiban masyarakat.

Program penataan sistem legislasi daerah dijabarkan dalam tiga kegiatan prioritas

pembangunan, sementara program peningkatan kondisi keamanan dan ketertiban

masyarakat dijabarkan dalam lima kegiatan prioritas pembangunan. Di samping

itu, terdapat satu program penunjang yaitu program peningkatan kualitas materi

dan penyebaran informasi dengan lima kegiatan penunjang pembangunan.

5. Kebijakan dasar pembangunan: “Pemberdayaan Kelembagaan Pemerintah dan

Masyarakat” dilaksanakan melalui dua program prioritas yaitu:

a. Program pemberdayaan kelembagaan pemerintah, dan

b. Program pemberdayaan kelembagaan masyarakat.

Program pemberdayaan kelembagaan pemerintah dijabarkan dalam delapan

kegiatan prioritas pembangunan, sementara Program pemberdayaan kelembagaan

masyarakat dijabarkan dalam lima kegiatan prioritas pembanguan. Di samping

itu, terdapat dua program penunjang yaitu: program penelitian, pengkajian dan

pengenbangan dengan empat kegiatan pembangunan serta program

pengembangan dan perencanaan dengan tiga kegiatan pembangunan.

4.3.4. Kinerja Kebijakan Pembangunan Regional Sulawesi Selatan 2003

Tahun 2003 merupakan tahun pertama penerapan kebijakan pembangunan

regional Sulawesi Selatan berdasarkan Renstra 2003-2008. Sebagai langkah awal,

Pemerintah Provinsi telah melakukan koordinasi dan konsolidasi dengan Pemerintah

Kabupaten dan Kota untuk mensosialisasikan visi dan misi provinsi yang diharapkan

dapat menjadi arahan bagi daerah dalam menetapkan kebijakan pembangunan daerah

mereka. Di samping itu, dalam program seratus hari kerja Gubernur dan Wakil

Gubernur dilakukan identifikasi simpul-simpul pembangunan yang dapat

memberikan dorongan terhadap pengembangan sektor-sektor ekonomi secara

simultan.

Beberapa isu strategis yang berhasil diidentifikasi dan dijadikan sebagai

rencana aksi pembangunan regional Sulawesi Selatan tahun 2003 meliputi: Prasarana

84

wilayah, perhubungan, pendidikan, kesehatan, pertanian, lingkungan hidup,

pertambangan dan energi, serta koperasi dan UKM. Disini tampak bahwa lingkungan

hidup menjadi salah satu isu strategis yang mendapat prioritas pada awal

pelaksanaan pembangunan berdasarkan Renstra 2003-2008, meskipun aspek

lingkungan hidup tidak tercantum secara khusus dalam Renstra 2003-2008. Aspek

lingkungan hidup hanya merupakan sub bagian dari “Program penataan dan

pengelolaan sumberdaya alam dan kelautan yang berkelanjutan” pada kebijakan

dasar pembangunan ”Peningkatan Ketahanan Ekonomi Wilayah”.

Penempatan aspek lingkungan hidup sebagai salah satu kegiatan yang

menjadi prioritas menunjukan adanya kemauan politik dari pemerintah daerah

Sulawesi Selatan untuk ikut serta melaksanakan kegiatan pembangunan

berkelanjutan selaras dengan Agenda 21 Nasional maupun Agenda 21 Global.

Meskipun anggaran belanja yang dialokasikan pada kegiatan pembangunan aspek

lingkungan hidup ini relatif masih kecil, namun perhatian yang diberikan pada tahap

awal ini cukup memberikan harapan yang baik bagi pembangunan selanjutnya.

Secara umum kinerja pembangunan daerah pada tahun 2003 cukup baik

apabila diukur berdasarkan capaian fisik dan realisasi anggaran. Evaluasi kinerja

terhadap empat pokok kebijakan menunjukkan realisasi capaian fisik berkisar antara

90,16% sampai 99,50%. Realisasi capaian fisik terendah terjadi pada kebijakan

”Peningkatan Kualitas Hidup Manusia”, sementara realisasi capaian fisik tertinggi

terjadi pada kebijakan ”Peningkatan Kualitas Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa

dan Bernegara” (Gubernur Sulawesi Selatan, 2004).

Meskipun demikian, ada beberapa hal perlu mendapat perhatian yang lebih

serius pada pelaksanaan pembangunan selanjutnya khususnya terkait dengan aspek

lingkungan hidup. Dalam Renstra 2003-2008, aspek lingkungan hidup tidak

dicantumkan sebagai salah satu program tersendiri, tetapi hanya merupakan sub

bagian dari program penataan dan pengelolaan sumberdaya alam dan kelautan yang

berkelanjutan. Akibatnya alokasi anggaran relatif kecil sesuai dengan posisinya

dalam Renstra. Sementara kondisi sumberdaya alam khususnya sumberdaya hutan

sebagai penunjang kehidupan sebagian sudah rusak dan menjadi lahan kritis.

85

Masih minimnya anggaran untuk memperbaiki kondisi sumberdaya hutan

Sulawesi Selatan menyebabkan laju upaya perbaikan sumberdaya hutan tidak

mampu mengimbangi laju degradasi hutan. Akibatnya kerusakan hutan terus

bertambah dan areal lahan kritis makin meluas. Berikut ini akan diuraikan secara

ringkas kondisi lingkungan hidup Provinsi Sulawesi Selatan.

4.4. Kondisi Lingkungan Hidup Provinsi Sulawesi Selatan

Kondisi lingkungan hidup Provinsi Sulawesi Selatan dari tahun ke tahun

cenderung menurun. Hal ini dapat diidentifikasi dari makin meningkatnya berbagai

permasalahan lingkungan hidup seperti banjir, kekeringan, tanah longsor, kebakaran

hutan, kerusakan mangrove, pendangkalan danau, kerusakan terumbu karang,

pencemaran perairan dan polusi udara. Berbagai permasalahan tersebut muncul

terutama karena kurangnya pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap

lingkungan dan belum memihaknya perencanaan pembangunan pada kepentingan

pelestarian lingkungan hidup.

Kurang berpihaknya perencanaan pembangunan pada kepentingan

lingkungan hidup dapat dilihat pada rendahnya alokasi anggaran untuk program

pelestarian fungsi lingkungan hidup. Pada tahun 2003, anggaran belanja yang

dialokasikan untuk program pelestarian fungsi lingkungan hidup provinsi Sulawesi

Selatan hanya sebesar 0,68% dari total anggaran belanja daerah Sulawesi Selatan.

Akibatnya upaya untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup Provinsi Sulawesi

Selatan masih belum memenuhi harapan.

Berikut ini akan diuraikan secara singkat kondisi lingkungan hidup Provinsi

Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat berdasarkan hasil studi dan pengamatan lapang

Tim Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan (Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan,

2004).

86

4.4.1. Kondisi Sumberdaya Alam

Sumberdaya alam merupakan sumberdaya dasar pendukung berbagai fungsi

kehidupan. Sumberdaya alam ini meliputi: sumberdaya lahan, sumberdaya hutan,

sumberdaya air, sumberdaya pesisir dan laut dan sumberdaya iklim. Secara umum

kondisi sumberdaya alami tersebut sebagian mengalami degradasi atau penurunan

kualitas maupun kuantitasnya dibandingkan tahun sebelumnya dan sebagian lagi

tidak mengalami perubahan. Namun rangkuman dari berbagai hasil kajian jangka

panjang dapat disimpulkan bahwa kondisi sumberdaya alam Provinsi Sulawesi

Selatan telah mengalami perubahan dengan kecenderungan terus menurun baik

kualitas maupun kuantitasnya.

Kondisi Sumberdaya lahan teridentifikasi mengalami penurunan kualitas

terutama ditunjukkan oleh penurunan produktivitas dan peningkatan luas lahan kritis.

Hal ini terjadi karena kebijakan tata ruang, kebijakan penggunaan lahan dan pilihan

teknologi yang tidak tepat. Kebijakan tata ruang pada setiap kabupaten dan kota

umumnya lebih berorientasi kepada kepentingan ekonomi jangka pendek dan kurang

berpihak pada kepentingan kelestarian lingkungan hidup. Penataan ruang kurang

memperhatikan kepentingan perlindungan tata air, keanekaragaman hayati dan

kemantapan ekosistem sebagai sarana penyangga kehidupan. Penetapan fungsi

kawasan, khususnya kawasan lindung dan konservasi tidak didasarkan pada kriteria-

kriteria yang tepat.

Luas kawasan hutan Provinsi Sulawesi Selatan tercatat seluas 3,88 juta ha

terdiri dari hutan lindung 1,93 juta ha, hutan produksi terbatas 0,81 juta ha, hutan

produksi 0,2 juta ha, hutan suaka alam dan margasatwa 0,21 juta ha, hutan yang

dapat dikonversi 0,1 juta ha, kawasan perairan 0,58 juta ha dan kawasan lindung

perairan 45,11 ribu ha. Dari segi luas hutan, khususnya hutan lindung dan konservasi

wilayah daratan dengan luas lebih dari 2,1 juta ha atau 34,26% dari total wilayah

Provinsi Sulawesi Selatan, seharusnya lebih dari cukup untuk penyangga lingkungan

hidup. Namun pada kenyataannya kawasan hutan tersebut tidak mampu memenuhi

fungsinya sebagai penyangga fungsi kehidupan khususnya mencegah banjir,

87

mengendalikan erosi, menjaga kesuburan tanah, menanggulangi intrusi air laut,

menjaga kelestarian plasma nutfah dan keanekaragaman hayati serta faktor

lingkungan lainnya. Di samping itu kerusakan hutan berdampak pada peningkatan

kemiskinan dan kesengsaraan rakyat disekitar hutan. Hal ini terjadi karena berbagai

faktor antara lain; letak, luas dan posisi hutan lindung dan hutan konservasi tidak

tepat, kondisinya umumnya sudah rusak dan lemahnya pengawasan serta penegakan

hukum (Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2004).

Hasil pemetaan Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa

kondisi penutupan lahan hutan tahun 1997 hanya seluas 2,026 juta ha dengan areal

regenarasi potensial 146.848 ha. Kehilangan areal tutupan hutan selama periode

1985-1997 mencapai 833.197 ha yang terdiri dari hutan dataran rendah 390.169 ha,

hutan sub pegunungan 268.115 ha dan hutan pegunungan 174.913 ha (Gambar 6).

Lebih lanjut, kondisi sumberdaya air di Sulawesi Selatan pada tahun 2003

relatif sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Provinsi Sulawesi Selatan memiliki 72

buah sungai utama. Debit aliran air sungai tersebut secara kuantitas tidak mengalami

perubahan, tetapi fluktuasi dan kualitasnya semakin menurun. Demikian juga dengan

air danau, air waduk, air kolam, air genangan, air tanah pada umumnya mengalami

penurunan kualitas dan waktu ketersediaannya.

Beberapa sungai besar di Sulawesi Selatan telah dibendung, sehingga dapat

menyimpan jutaan m³ air dalam waduk buatan tersebut. Namun proses pendangkalan

waduk karena sedimentasi akhir-akhir ini makin cepat dan akan mengurangi umur

pakai waduk lebih cepat dari yang diperkirakan. Hal lain yang menunjukkan adanya

penurunan kualitas waduk adalah adanya kerusakan lingkungan yang dikeluhkan

masyarakat yang tinggal di sekitar waduk. Sedimentasi memang tidak bisa dihindari

karena adanya erosi, tetapi perlu upaya untuk mengendalikannya sehingga dapat

memperpanjang umur ekonomis bendungan.

88

Sumber: Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan, 2003.

Gambar 6. Peta penutupan lahan hutan, 1997.

Pendangkalan tempat penampungan air tawar akibat sedimentasi sudah

sangat nyata terjadi di tiga danau dari enam buah danau di Sulawesi Selatan yaitu

Danau Sidenreng di kabupaten Sidrap dan Danau Buaya serta Danau Tempe di

Kabupaten Wajo. Ketiga danau tersebut tidak lagi dapat berfungsi sebagai tempat

penyimpanan cadangan air tawar karena pendangkalan akibat sedimentasi. Pada

musim hujan air meluap dan menyebabkan banjir pada kawasan sekitar danau dan

Sungai Wanae hilir. Sementara itu, dibeberapa kawasan hulu DAS Walanae terdapat

lahan-lahan kritis (Gambar 7).

89

Sumber: Amin et al. (2005)

Gambar 7. Peta Kawasan yang mempengaruhi dan dipengaruhi Danau Tempe.

Sedangkan tiga danau lainnya terdapat di Kabupaten Luwu Timur yaitu:

Danau Towuti, Mahalona dan Matano. Ketiga danau ini relatif belum terganggu dan

mempunyai kapasitas penampunan air tawar yang sangat besar bahkan termasuk

terbesar di Indonesia dan terkenal sebagai danau paling dalam di dunia setelah danau

di Kanada. Danau Matano mempunyai kedalaman sekitar 589 m dan termasuk danau

yang sangat potensial untuk mendukung pembangunan di Sulawesi Selatan. Pada

saat ini kekayaan sumberdaya air danau tersebut baru dimanfaatkan oleh perusahaan

tambang nikel PT International Nickel Indonesia (PT Inco) yang telah membangun

dua lokasi pembangkit listrik di Sungai Larona.

Di samping bendungan dan danau, masih ada tempat penampungan air tawar

berupa kolam/embung, tambak dan persawahan walaupun sifatnya sementara karena

pada musim kemarau mengalami kekeringan. Ada beberapa kolam yang pada musim

90

kemarau masih berisi air dan dapat dikonsumsi masyarakat yaitu kolam-kolam yang

terdapat di kabupaten Sidrap, Bone, dan Tana Toraja.

Sebagaimana telah diketahui bahwa sumberdaya air dan lahan merupakan

sumber kehidupan utama selain udara dan sinar matahari. Tanah dan air merupakan

bagian dari ekosistem lingkungan, sehingga kerusakan sumberdaya air dan tanah

merupakan kerusakan ekosistem. Kemajuan pembangunan menuntut kebutuhan

lahan semakin besar dan tuntutan kebutuhan tersebut mendorong terjadinya alih

fungsi lahan dari kawasan yang berfungsi sebagai daerah resapan air dan pelindung

fungsi kehidupan berubah menjadi lahan pertanian dan perkebunan, sehingga tanpa

disadari terjadi kerusakan lingkungan terutama tata air. Akibatnya pada musim hujan

terjadi banjir dan pada musim kemarau terjadi kekeringan. Di Sulawesi Selatan, alih

fungsi lahan tidak hanya terjadi di dataran tinggi atau daerah hulu DAS, tetapi juga

terjadi di daerah hilir dan muara DAS seperti konversi hutan sagu, nipah dan

mangrove.

Hutan mangrove di Sulawesi Selatan tercatat hanya seluas 26.911 ha.

Kondisi ini tergolong sangat memprihatinkan karena panjang pantai Sulawesi

Selatan mencapai sekitar 2.500 km. Kerusakan hutan mangrove tersebut berdampak

buruk pada ekosistem pesisir dan laut yang pada gilirannya menurunkan produksi

ikan, nener alam dan minat wisatawan untuk mengunjungi pantai. Di samping itu

kerusakan hutan mangrove juga berakibat masuknya air laut (intrusi) ke wilayah

daratan.

Sebenarnya kebijakan pemanfaatan wilayah pesisir telah dituangkan dalam

berbagai peraturan perundangan, tetapi perangkat kebijakan tersebut tidak didukung

oleh perangkat kelembagaan, program dan pendanaan yang memadai, sehingga

kawasan pesisir tersebut seolah-olah tidak bertuan. Di sisi lain masyarakat mendapat

tekanan kebutuhan hidup dan pelaku bisnis melihat peluang usaha pertambakan

cukup prospektif, sehingga mereka berlomba-lomba memanfaatkan dan merambah

kawasan tersebut. Akibatnya kerusakan dan penyusutan kawasan hutan mangrove

tidak bisa dielakkan.

91

Kerusakan hutan mangrove ternyata juga berimbas pada kerusakan terumbu

karang, dan hal ini juga tidak terlepas dari tuntutan kebutuhan hidup. Penyusutan

potensi ikan dan nener alam mendorong masyarakat untuk melakukan berbagai cara

untuk menangkap ikan termasuk dengan cara melakukan pengeboman dan

memanfaatkan karang untuk keperluan bahan bangunan. Berbagai kegiatan yang

dilakukan masyarakat tersebut makin menambah dan mempercepat kerusakan

wilayah pesisir dan laut Sulawesi Selatan.

Sementara itu, sumberdaya alam yang relatif tidak berubah adalah iklim.

Kondisi iklim Sulawesi Selatan tahun 2003 tidak berubah dibanding tahun-tahun

sebelumnya. Curah hujan, dan unsur iklim lainnya seperti suhu, kelembaban, angin

dan lain-lain sepanjang tahun 2003 berada dalam kondisi normal. Secara umum

wilayah Sulawesi Selatan memiliki 3 wilayah iklim yaitu Wilayah Timur, Wilayah

Barat dan Daerah Peralihan. Curah hujan yang jatuh pada ketiga wilayah tersebut

tidak sama, sehingga berpengaruh pada pola tanam dan produksi. Produksi buah-

buahan, padi dan palawija terjadi sepanjang tahun secara bergiliran sesuai dengan

pergiliran musim di ketiga wilayah iklim.

Perubahan yang terjadi yang terkait dengan unsur iklim adalah tingkat

konsentrasi ambien, debu, timbal, SO2, CO2, NO2 dan CO di udara di kota-kota

besar seperti Makasar, Pare-Pare, Palopo, Bone dan beberapa ibukota kabupaten

lainnya. Pada tahun 2003, konsentrasi unsur-unsur tersebut umumnya meningkat

dibanding tahun 2001, terutama CO, Pb, debu dan Ambien. Peningkatan konsentrasi

tersebut terkait dengan semakin meningkatnya kepadatan lalu lintas, masih

banyaknya industri-industri yang tidak menggunakan penangkap polutan dan

berbagai aktivitas masyarakat lainnya.

4.4.2. Kondisi Lingkungan Buatan

Lingkungan buatan merupakan sumberdaya yang dibuat dan dikelola oleh

manusia. Lingkungan buatan tersebut meliputi: pertanian dan perkebunan,

kehutanan, perikanan, peternakan, pertambangan dan perindustrian. Secara umum

92

kondisi lingkungan buatan di Sulawesi Selatan tahun 2003 dapat digambarkan

sebagai berikut:

Pertanian dan perkebunan merupakan sektor yang paling dominan dalam

perekonomian regional Sulawesi Selatan. Sektor ini memberikan kontribusi sebesar

35,8% PDRB tahun 2003. Sumbangan terbesar bersumber dari tanaman bahan

makanan yang meliputi padi dan palawija. Permasalahan lingkungan yang muncul

dari kegiatan pertanian adalah karena tingginya penggunaan pupuk kimia dan

pestisida, erosi tanah dan pembukaan areal hutan serta emisi gas metan (CH4) dari

lahan persawahan. Namun berbagai permasalahan tersebut belum mendapat

perhatian serius dari masyarakat maupun pengambil kebijakan karena dampaknya

belum dirasakan secara langsung merugikan masyarakat. Sebagai contoh tanaman

palawija banyak ditanam di lahan kering yang miring di areal hutan tanpa

mengindahkan kaidah-kaidah konservasi lahan dan air, sehingga menimbulkan erosi

yang cukup tinggi dan hilangnya vegetasi hutan. Demikian pula kegiatan penanaman

perkebunan maupun sayur-sayuran yang umumnya dilakukan di dataran tinggi dan

menggunakan pupuk buatan serta pestisida yang tinggi, sangat potensial

menimbulkan erosi dan degradasi lahan serta pencemaran lingkungan. Namun

kegiatan pertanian yang menimbulkan kerusakan lingkungan tersebut tetap berjalan

apa adanya, tanpa pengaturan konservasi dan perlindungan untuk kelestarian

lingkungan.

Kehutanan sebagai lingkungan buatan adalah kawasan hutan produksi yang

luasnya mencapai 1.014.921 ha yang terdiri dari hutan 811,10 ribu ha hutan produksi

terbatas dan 203,82 ha hutan produksi biasa. Kawasan hutan tersebut sebagian besar

berada di Kabupaten Luwu dan Mamuju. Pada tahun 2003, produksi hutan baik

berupa kayu maupun non kayu mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya.

Kondisi ini terjadi karena berkurangnya stok kayu akibat lambatnya kegiatan

penanaman kembali dan lambatnya pertumbuhan tanaman. Dikhawatirkan produksi

kayu maupun non kayu akan terus menurun dan perambahan areal hutan akan

meningkat khususnya di daerah bekas tebangan kayu yang umumnya berupa semak

belukar.

93

Kegiatan perikanan di Sulawesi Selatan didominasi oleh kegiatan perikanan

tangkap (laut) dan budidaya pada tambak-tambak di sepanjang pesisir pantai.

Sementara kegiatan perikanan air tawar terutama dilakukan penduduk di sekitar

danau Tempe, Kabupaten Wajo. Kegiatan perikanan tangkap menghasilkan jenis-

jenis ikan kerapu, cakalang dan sejenisnya, sedangkan perikanan tambak

menghasilkan udang dan ikan bandeng. Produksi perikanan tahun 2003 mengalami

peningkatan dibanding tahun sebelumnya. Namun kegiatan perikanan tersebut

memberikan tekanan terhadap kelestarian lingkungan karena cara penangkapan yang

dilakukan sebagian tidak bersahabat dengan lingkungan, sementara kegiatan

budidaya menimbulkan pencemaran yang berasal dari pupuk dan pestisida, serta sisa

pakan yang membusuk. Di samping itu tambak-tambak yang dibuka petani

umumnya adalah lahan-lahan mangrove di sepanjang pantai, sehingga makin

memperparah kerusakan hutan mangrove di sepanjang pantai Sulawesi Selatan.

Peternakan sebagai lingkungan buatan meliputi berbagai jenis ternak, baik

ternak besar maupun ternak unggas. Pada tahun 2003, jenis ternak besar yang paling

banyak dipelihara adalah sapi, disusul kambing, babi, kerbau, kuda dan domba.

Jumlah peliharaan ternak besar mengalami peningkatan dibanding tahun sebelumnya

kecuali ternak babi dan kerbau yang mengalami sedikit penuruan. Dari segi

lingkungan, kegiatan peternakan hampir tidak mempunyai dampak negatif terhadap

lingkungan. Limbah atau kotoran ternak umumnya digunakan petani untuk

pelengkap atau pengganti pupuk buatan.

Pertambangan di Sulawesi Selatan di dominasi oleh kegiatan pertambangan

galian C yang menghasilkan pasir, kerikil dan batu kali. Di samping itu juga terdapat

kegiatan tambang oleh perusahaan besar yaitu pertambangan nikel oleh PT. Inco di

Kabupaten Luwu Utara dan Luwu Timur, serta penambangan batu kapur dan tanah

liat oleh PT. Semen Tonasa di Kabupaten Pangkep dan PT. Bosowa di kabupaten

Maros. Selain itu masih terdapat beberapa perusahan tambang yang memproduksi

marmer. Dampak lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan penambangan adalah

berubahnya bentang alam, hilangnya vegetasi dan flora yang ada di atasnya serta

berubahnya alur sungai dan dasar sungai.

94

Perindustrian di Sulawesi Selatan dapat dibagi dalam dua kelompok besar

yaitu: industri kimia, agro dan hasil hutan, dan industri logam, mesin dan aneka.

Pada tahun 2003, industri kimia, agro dan hasil hutan tercatat sebanyak 45,382 buah

dan menyerap sebanyak 135.433 orang tenaga kerja. Sedangkan industri logam,

mesin dan aneka tercatat sebanyak 33.246 buah dengan melibatkan 101.840 orang

tenaga kerja. Secara individual masing-masing industri tidak memberikan dampak

lingkungan yang signifikan, tetapi secara bersama-sama kegiatan industri tersebut

telah menimbulkan pencemaran, baik pencemaran perairan maupun udara.

4.4.3. Penurunan Kualitas Lingkungan

Kondisi sumberdaya alam dan lingkungan buatan yang digambarkan diatas

merupakan hasil dan dampak pembangunan yang telah dilakukan selama ini.

Disadari bahwa kegiatan pembangunan tidak hanya menghasilkan manfaat, tetapi

juga membawa risiko. Oleh karena itu dalam upaya untuk menghasilkan manfaat

yang optimal, maka penurunan kualitas lingkungan yang telah terjadi perlu dikelola

dengan baik. Sebagaimana telah diketahui bersama bahwa pembangunan ekonomi

untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat tidak bebas dari adanya bahan sisa

atau limbah, baik berupa gas, cair maupun padat. Apabila limbah tersebut tidak

dikelola dengan baik dan melampaui ambang batas mutu serta masuk ke lingkungan,

maka akan menimbulkan tekanan terhadap daya dukung lingkungan.

Berdasarkan kegiatan sektor perekonomian di Sulawesi Selatan, maka

sumber limbah dapat berasal dari kegiatan pertanian, peternakan, kehutanan,

perikanan, pertambangan dan energi, industri, perhubungan, perumahan, kesehatan

dan perdagangan. Menurut Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan (2004), yang

menjadi sumber utama pencemaran di Sulawesi Selatan adalah sektor transportasi,

pemukiman, industri dan pertambangan. Berikut ini akan diuraikan secara singkat

risiko penurunan kualitas lingkungan sebagai dampak negatif dari berbagai aktivitas

pembangunan ekonomi yang terjadi di Sulawesi Selatan pada tahun 2003.

95

4.4.3.1. Pencemaran Udara

Pencemaran udara dari aktivitas manusia di Sulawesi Selatan bersumber dari

sumber bergerak dan sumber tidak bergerak. Pencemaran udara dari sumber bergerak

terutama adalah dari kendaraan bermotor yang dari tahun ke tahun terus meningkat.

Pada tahun 2003, jumlah kendaraan bermotor tercatat sebanyak 687.464 unit dari

berbagai jenis mobil dan sepeda motor. Jumlah tersebut meningkat 13,12%

dibanding tahun sebelumnya. Jumlah kendaraan terbanyak terdapat di kota Makassar

yaitu sebanyak 350 ribu unit (51%) dan selebihnya tersebar di 23 daerah

kabupaten/kota.

Pada tahun 2002, beban pencemaran dari kegiatan transportasi karena

konsumsi bahan bakar minyak masing-masing sebesar 85,1 ribu ton Karbon

Monoksida (CO), 4,7 ribu ton Nitrogen Oksida (NO2), 4,7 ribu ton Sulfor Dioksida

(SO2), 3,5 ribu ton Hidro Karbon (HC) dan 396 ton debu. Beban pencemaran dari

kegiatan transportasi ini diperkirakan terus meningkat pada tahun-tahun berikutnya

selaras dengan peningkatan jumlah kendaraan bermotor di Sulawesi selatan

(Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2003 dan 2004)

Sementara pencemaran dari sumber tidak bergerak terutama adalah dari

konsumsi BBM oleh rumah tangga, pembakaran limbah padat oleh masyarakat,

kebakaran hutan dan kegiatan industri. Pada tahun 2003, konsumsi BBM (minyak

tanah) oleh rumah tangga mencapai 298.567 kilo liter dan Elpiji 48.813 MTM.

Sedangkan pembakaran limbah padat tidak ada data volumenya, tetapi dapat

diperhitungkan limbah atau sisa pembakarannya.

Pencemaran udara dari kegiatan industri dapat berupa partikel-partikel yang

menyebar ke udara maupun unsur-unsur dari limbah pembakaran BBM. Unsur

pencemar terbesar yang bersumber dari industri adalah debu yaitu sebesar 52.026 ton

(59,88%) dari total beban pencemar industri pengolahan. Sumber pencemar partikel

terbesar adalah industri semen (32,02%), disusul industri penggilingan biji-bijian dan

industri gula (31,49%), industri logam besi dan baja (19,80%), serta industri marmer

(8,59%).

96

Pencemaran lain yang dihasilkan industri adalah karena pembakaran BBM.

Pada tahun 2003 sektor industri telah mengkonsumsi BBM sebanyak 444,08 juta

liter Premium, 599,38 juta liter Solar, 81,48 juta Avtur, 12,76 Pelumas, 52,35 juta

liter LPG dan 327,41 juta liter minyak tanah. Di samping itu pencemaran karena

konsumsi BBM juga terjadi pada pembangkit tenaga listrik yang telah

mengkonsumsi sebanyak 530,38 juta liter Solar dan 13,25 juta liter minyak Diesel.

Beban pencemaran udara oleh rumah tangga dan industri tersebut dapat dilihat pada

Tabel 12.

Tabel 12. Pencemaran udara yang dihasilkan oleh rumah tangga dan industri dari pembakaran BBM dan limbah padat di Sulawesi Selatan Tahun 2003

Rumah Tangga Industri Listrik Parameter BBM L padat BBM BBM ……………………… (ribu ton) …………………… Karbon Monoksida (CO) 29,90 59,48 0,54 0,30 Nitrogen Oksida (NO) 122,75 21,24 0,82 6,03 Sulfur Oksida (SO2) 7,04 4,25 2,04 9,08 Hidro Karbon (HC) 11,71 0,71 0,36 0,06 Debu 29,47 11,33 5,43 0,48

Sumber: Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2004.

Hasil analisis kualitas udara dari pemantauan yang dilakukan di lingkungan

industri seperti industri semen di Kabupaten Pangkep, industri pertambangan nikel di

Soroako Kabupaten Luwu Utara, Kawasan Industri Makassar (KIMA) dan pada

beberapa titik lainnya di Kota Makassar tahun 2003 menunjukkan ada beberapa

parameter (unsur) pencemar udara yang melampaui baku mutu kualitas lingkungan

udara (Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2004). Di lingkungan industri semen

dan nikel, parameter debu sedikit melampaui baku mutu udara ambien. Sementara

itu, kualitas udara ambien di Kota Makassar menunjukkan bahwa parameter Pb, H2S,

dan debu yang terpantau di beberapa lokasi termasuk di Kawasan industri, baik pagi,

sore maupun malam hari telah melampaui baku mutu udara ambien.

97

4.4.3.2. Pencemaran Air

Pada tahun 2003, volume limbah cair yang bersumber dari kegiatan agro

industri dan rumah tangga pada berbagai kota dan kabupaten di Sulawesi Selatan

tercatat sebesar 245,99 juta m³. Limbah tersebut berasal dari kotoran hewan/ternak,

sisa-sisa makanan ternak yang membusuk dan bercampur air, limbah cair maupun

tinja yang dihasilkan oleh 1,83 juta rumah tangga, pemakaian pupuk dan pestisida,

dan eksploitasi tambang golongan C.

Bahan pencemaran air tersebut akan memberikan tekanan terhadap

lingkungan dalam berbagai bentuk seperti sedimentasi di sungai dan danau,

berkurangnya debit air, tercemarnya air oleh mikro organisme/pupuk/pestisida/

limbah industri pengolahan sehingga menimbulkan berbagai dampak negatif. Secara

ekologis, dampak pencemaran air ini akan dirasakan terutama oleh masyarakat yang

berada di bagian bawah (hilir) suatu ekosistem DAS. Berbagai limbah cair tersebut

memberikan beban pencemaran air dengan parameter pencemar seperti tercantum

pada Tabel 13.

Tabel 13. Beban pencemaran air di Sulawesi Selatan

Parameter Pencemar Jumlah (ribu ton) Kebutuhan Oksigen Biologis (BOD) 342,82 Kebutuhan Oksigen Kimiawi (COD) 199,85 Zat Padat Tersuspensi (TSS) 1.946,16 Zat Padat Terlarut (TDS) 290,46 Nitrogen (N) 106,42 Fosfor (P) 3,18

Sumber: Bapedalda Provinsi Sulawesi Selatan, 2004.

Hasil pemantauan dan analisis kualitas air pada beberapa lokasi ekosistem

Sungai Tallo dan Sungai Jeneberang Kabupaten Gowa dan Kota Makassar pada

tahun 2003 menunjukkan bahwa nilai parameter pencemarnya masih dibawah

ambang batas baku mutu golongan C. Kualitas air tersebut mengalami penurunan

dibandingkan kondisi tahun 2001 yang nilai parameter pencemarnya masih dibawah

ambang batas baku mutu golongan B. Hal ini terjadi karena masih banyaknya

industri (>55%) yang membuang limbahnya tidak memenuhi persyaratan baku mutu

98

limbah cair. Jika kondisi ini terus berlanjut maka kualitas air sungai akan terus

menurun dan akan menimbulkan berbagai dampak negatif seperti menurunnya

produksi tambak dan perikanan dan timbulnya penyakit.

4.4.3.3. Pencemaran Limbah Padat

Limbah padat sebagai pencemar di Sulawesi Selatan berasal dari berbagai

sumber yaitu: pertanian, kehutanan, peternakan, industri pengolahan, perdagangan,

rumah sakit dan rumah tangga. Penghasil limbah padat terbesar adalah Kota

Makassar yaitu sebanyak 176,96 juta ton sampah disusul Kabupaten Bone, dan

Gowa masing-masing 94,70 juta ton dan 80,43 juta ton sampah. Sumber utama

sampah Kota Makassar adalah pemukiman yaitu sebesar 48,31%, disusul pasar, dan

fasilitas umum masing-masing 16,68% dan 10,60%. Sampah Kota Makassar tersebut

dari berbagai jenis dan yang paling dominan adalah sampah organik dengan volume

mencapai 85,47%, disusul sampah plastik 6,0% dan kertas/karton 4,5%.

Di Kota Makassar, tidak semua sampah yang dihasilkan dapat tertangani

dengan baik karena terbatasnya kemampuan petugas dan sarana penanggulangan

sampah. Sampah yang tertangani hanya sekitar 68 %, sehingga masih menyisakan

sampah di lapangan dan dibiarkan di tempat-tempat penampungan sementara atau

ditanggulangi sendiri oleh masyarakat. Kondisi tersebut memberikan tekanan

terhadap lingkungan, sehingga lambat laun kualitas lingkungan udara, air dan tanah

menjadi menurun.

4.5. Perkembangan Perkebunan Kakao di Sulawesi Selatan

Sulawesi Selatan menjadi sentra utama produksi kakao Indonesia, meskipun

masyarakatnya belum lama mengenal komoditas kakao. Perkebunan kakao mulai

berkembang di daerah ini pada awal tahun 1970-an dan pada saat itu pamornya

masih jauh dibawah cengkeh yang telah banyak menghasilkan orang kaya baru di

pedalaman. Namun memasuki tahun 1980-an, tanaman kakao berhasil menggeser

posisi cengkeh yang harganya terus merosot. Petani cengkeh banyak yang mengganti

kebun cengkehnya dengan kakao.

99

Perluasan areal perkebunan kakao di Sulawesi Selatan berlangsung sangat

pesat dan hanya dalam waktu sekitar 20 tahun, areal perkebunan kakao mencapai

lebih dari 72 ribu ha atau menempati posisi kedua setelah kelapa dalam yang

arealnya mencapai 136,7 ribu ha pada tahun 1990. Sentra utama pengembangan

kakao adalah Kabupaten Luwu, Mamuju, Pinrang dan Polmas. Dengan total areal

lebih dari 72 ribu ha tersebut, perkebunan kakao mampu menyediakan kesempatan

kerja dan pendapatan kepada sekitar 90 ribu kepala keluarga petani, serta

memberikan kontribusi terhadap PDRB sebesar Rp 215,83 milyar atau 2,07% PDRB

Sulawesi Selatan (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, 1991 dan Badan

Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 1998).

Pengembangan areal perkebunan kakao terus berlanjut terutama di sentra

utama pengembangan, sehingga pada tahun 1997 areal perkebunan kakao menjadi

yang terluas di antara komoditas perkebunan di Sulawesi Selatan dengan total areal

157,6 ribu ha. Pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia, harga kakao di tingkat

petani mengalami kenaikan yang sangat tajam. Kondisi ini makin mempercepat

perluasan areal perkebunan kakao di Sulawesi Selatan. Areal perkebunan kakao

berkembang menjadi 237.948 ha pada tahun 2000 dan menjadi 296.039 ha pada

tahun 2003 (Tabel 14).

Tabel 14. Perkembangan areal perkebunan di Provinsi Sulawesi Selatan 1990-2003

Tahun Jenis Tanaman 1990 1995 2000 2003 ……………….... (ha) ……………………. Kakao 72.176 131.194 237.948 296.039Kelapa dalam 136.701 142.936 149.363 164.809Kelapa sawit 4.937 4.788 26.738 80.928Jambu mete 44.029 65.246 72.708 79.596Kopi robusta 43.842 46.969 44.059 60.201Kemiri 34.415 43.931 52.722 56.863Kopi arabika 12.135 24.326 42.338 52.341Cengkeh 53.256 52.401 48.850 50.605Kelapa hybrida 15.347 24.832 28.077 42.321Tebu 887 1.120 12.604 27.527Lainnya 32.896 70.716 74.517 97.415Total 450.621 608.459 789.924 1.008.645

Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, 1991, 1996, 2001 dan 2004.

100

Perluasan areal perkebunan kakao yang begitu pesat ternyata menimbulkan

berbagai dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif bagi masyarakat

Sulawesi Selatan. Dampak positif yang dirasakan masyarakat adalah terciptanya

lapangan kerja yang lebih banyak dan peningkatan pendapatan bagi petani kakao.

Sedangkan dampak negatif yang dirasakan masyarakat antara lain: kerusakan

lingkungan dengan berbagai dampak turunannya dan serangan hama PBK yang

makin mengganas serta sulit dikendalikan. Berikut ini akan diuraikan secara singkat

dampak pesatnya pengembangan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan yang akan

dikaji lebih lanjut dalam penelitian ini.

4.5.1. Dampak Perluasan Perkebunan Kakao Terhadap Serangan Hama PBK

Sebagaimana telah dikemukakan, pengembangan perkebunan kakao yang

begitu pesat telah menghasilkan hamparan perkebunan kakao yang begitu luas dan

saling sambung-menyambung. Kondisi tersebut menciptakan lingkungan yang

kondusif bagi berkembangnya berbagai organisme pengganggu tanaman kakao. Di

samping itu, terbentuknya hamparan kebun yang saling sambung menyambung akan

mempermudah dan mempercepat penyebaran berbagai organisme pengganggu

tanaman kakao serta mempersulit upaya pengendaliannya.

Pada saat penelitian ini dilakukan, petani kakao Sulawesi Selatan sedang

menghadapi persoalan yang sangat serius yaitu adanya serangan hama penggerek

buah kakao (PBK). Hama PBK diduga berasal dari Tawau, Malaysia, yang terbawa

oleh kapal dagang ke Kabupaten Toli-Toli, Sulawesi Tengah. Dari Kabupaten Toli-

Toli Sulawesi Tengah inilah hama PBK menyebar dengan cepat ke berbagai penjuru

Pulau Sulawesi, tidak terkecuali ke Sulawesi Selatan. Hama PBK teridentifikasi

mulai menyerang perkebunan kakao di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan pada

tahun 1995 dan menyebar dengan pesat ke seluruh areal perkebunan kakao di

Sulawesi Selatan.

Pesatnya penyebaran hama PBK tersebut selain disebabkan oleh kondisi

perkebunan kakao petani yang saling sambung menyambung, juga karena

terbatasnya kemampuan petani untuk melakukan pengendalian hama PBK.

101

Akibatnya serangan hama PBK makin mengganas dan petani kakao Sulawesi Selatan

mengalami kerugian yang tidak sedikit.

4.5.2. Dampak Perluasan Perkebunan Kakao Terhadap Lingkungan

Pengembangan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan hampir seluruhnya

dilakukan oleh petani. Wilayah pengembangan perkebunan kakao umumnya di

lereng-lereng bukit dan pegunungan, karena kondisi sumber daya lahan Sulawesi

Selatan didominasi oleh bukit dan pegunungan. Lahan yang digunakan untuk

pengembangan kakao umumnya lahan hutan dan sebagian menggunakan lahan

sawah, ladang, dan bekas lahan tanaman perkebunan lainnya.

Dengan kondisi sumber daya lahan berbukit dan bergunung serta sebagian

berupa hutan menyebabkan kegiatan pengembangan perkebunan kakao, khususnya

pada saat pembukaan lahan akan menimbulkan masalah lingkungan. Pembukaan

hutan atau konversi tanaman perkebunan lainnya di lahan perbukitan menyebabkan

peningkatan erosi tanah, kerusakan tata air dan penyusutan keanekaragaman hayati.

Lebih lanjut, perkebunan kakao yang berhasil dibangun menghadapi ancaman

yang serius dari serangan hama PBK. Hama PBK bukanlah hama yang baru, tetapi

hama yang sudah beberapa kali menyerang dan menghancurkan perkebunan kakao di

berbagai daerah di Indonesia. Beberapa tahun terakhir, hama PBK telah

menunjukkan keganasannya dengan menyerang sebagian besar perkebunan kakao di

Malaysia, sehingga menyebabkan perkebunan kakao Malaysia saat ini diambang

kepunahan.

Apabila serangan hama PBK tidak segera dikendalikan, maka selain

menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian regional juga akan

menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Dampak negatif yang

ditimbulkan oleh serangan hama PBK terhadap lingkungan tidak bersifat langsung.

Serangan hama PBK yang berat akan merugikan petani dan kerugian yang terus

menerus menyebabkan perkebunan kakao terlantar dan menjadi rusak, sehingga

lahannya mudah terdegradasi.

102

Kerusakan lingkungan akibat pesatnya perluasan areal perkebunan kakao

maupun kerusakan lingkungan perkebunan kakao akibat serangan hama PBK

merupakan biaya lingkungan yang perlu diperhitungkan, agar peran perkebunan

kakao dalam perekonomian regional tidak bersifat semu.

4.5.3. Dampak Perluasan Perkebunan Kakao Terhadap Perekonomian Regional Pesatnya pengembangan perkebunan kakao di Sulawesi Selatan telah

memberikan kontribusi yang nyata bagi perekonomian regional Sulawesi Selatan,

khususnya pada saat krisis ekonomi melanda Indonesia. Kakao tampil sebagai

penyelamat ekonomi petani sekaligus menjadi sumber utama devisa Sulawesi

Selatan. Pada tahun 1998, kakao memberikan kontribusi output sebesar Rp 2,19

triliun dan menghasilkan devisa sebesar US $ 228,9 juta atau 38,28 % nilai ekspor

Sulawesi Selatan (Dinas Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, 1999 dan Badan

Pusat Statistik Provinsi Sulawesi Selatan, 1999).

Selanjutnya, peranan perkebunan kakao bagi perekonomian regional

Sulawesi Selatan terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2003, perkebunan kakao

Sulawesi Selatan menghasilkan output senilai Rp 2,586 triliun dengan nilai ekspor

sebesar US $ 246,9 juta atau 26,20% dari total Ekspor Sulawesi Selatan serta

menyediakan kesempatan kerja bagi sekitar 300 ribu kepala keluarga petani (Dinas

Perkebunan Provinsi Sulawesi Selatan, 2004a dan Badan Pusat Statistik Provinsi

Sulawesi Selatan, 2004 ).

Namun peran kakao yang cukup besar bagi perekonomian regional Sulawesi

Selatan tersebut perlu dikaji lebih lanjut karena berbagai masalah. Pertama, peran

tersebut masih bersifat semu karena belum memperhitungkan biaya lingkungan yang

masih diperlakukan sebagai biaya eskternalitas. Kedua, perkebunan kakao sedang

menghadapi ancaman yang serius dari hama PBK. Oleh karena itu, permasalahan

biaya lingkungan, peran perkebunan kakao, dan ancaman hama PBK terhadap

keberlanjutan peran perkebunan kakao bagi perekonomian regional Sulawesi selatan

akan dibahas pada bab berikut ini.