its master 12525 chapter1
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Krisis energi menjadi topik yang banyak dibahas beberapa tahun ini
mengingat kondisi persediaan energi tak terbaharui seperti minyak bumi yang
semakin menipis. Sejalan dengan itu juga munculnya isu global warming yang salah
satu akibatnya adalah peningkatan suhu dunia. Sebelas dari duabelas tahun terakhir
menunjukkan tahun - tahun terpanas sejak 1850. Rata – rata suhu udara global telah
meningkat setidaknya 0,74 derajat C selama abad 20 dimana dampaknya paling terasa
di daratan dibanding di lautan (Data UNEP, 2007). Peningkatan suhu ini akan
berdampak pada penambahan pemanfaatan energi untuk kepentingan kenyamanan
bangunan.
Krisis energi dunia ternyata memacu dikembangkannya konsep arsitektur baru
yang lebih sadar energi. Arsitektur hemat energi (energy efficient architecture) adalah
arsitektur dengan kebutuhan energi serendah mungkin yang bisa dicapai dengan
mengurangi jumlah sumber daya yang masuk akal (Enno, 1994). Dengan demikian,
arsitektur hemat energi ini berlandaskan pada pemikiran meminimalkan penggunaan
energi tanpa membatasi atau merubah fungsi bangunan, kenyamanan, maupun
produktifitas penggunanya. Konsep Arsitektur Hemat Energi ini mengoptimasikan
sistem tata cahaya dan tata udara, integrasi antara sistem tata udara buatan – alamiah
dan sistem tata cahaya buatan – alamiah serta sinergi antara metode pasif dan aktif
dengan material dan instrumen hemat energi.
Konsep bangunan dengan efisiensi energi sangat penting karena jika melihat
pada penggunaan energi secara global, sektor bangunan sendiri menyerap 45 % dari
kebutuhan energi keseluruhan. Pemanfaatan energi dalam bangunan ini khususnya
untuk pemanasan, pendinginan dan pencahayaan bangunan. Komposisi persentase
penggunaan energi menurut sektor kegiatan dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 1.1.
2
Konsumsi energi yang terbesar dalam bangunan baik dalam fungsinya sebagai
hunian maupun kantor adalah untuk memenuhi kebutuhan akan listrik yang
digunakan untuk pencahayaan buatan, pendinginan dan pemanasan ruang
(Mintorogo, 1999). Komposisi konsumsi energi antara kedua fungsi ini berbeda (lihat
Gambar 1.2) namun secara umum yang terbesar adalah kebutuhan listrik. Konsumsi
energi terbesar pada sebuah hunian adalah untuk memenuhi kebutuhan akan listrik
sejumlah 67,5% dari keseluruhan konsumsi energi. Ini menunjukkan bahwa dalam
perencanaan bangunan untuk tujuan efisiensi energi yang paling harus diperhatikan
adalah pengaruhnya terhadap penghematan penggunaan energi listrik yang termasuk
sebagai purchased energy.
Sedangkan untuk di Indonesia sendiri, konsep konservasi energi pada
bangunan dimulai pada tahun 1985 saat diperkenalkannya program DOE
(Departement of Energy, USA) oleh Departemen Pekerjaan Umum. Dalam rangka
meningkatkan pemahaman akan konservasi energi pada bangunan maka disusun SNI
Konservasi Energi pada Sistem Pencahayaan dan Petunjuk Teknis Konservasi Energi
pada Sistem Pencahayaan. Menurut SNI 03-6197-2000 tentang Konservasi Energi
Gambar 1.1 Komposisi penggunaan energi menurut sektor kegiatan. Sumber : Krishan, Arvin Dkk (2001)
Gambar 1.2 Perbandingan Konsumsi energi listrik dalam persentase pertahun. Sumber : Mintorogo, 1999
3
pada Sistem Pencahayaan, penggunaan energi sehemat mungkin dengan mengurangi
daya terpasang melalui tiga metode yaitu :
- Pemilihan lampu yang memiliki efikasi lebih tinggi dan menghindari lampu yang
dengan efikasi rendah. Dianjurkan menggunakan lampu fluoresen dan lampu
pelepasan gas lainnya.
- Pemilihan armatur yang mempunyai karakteristik distribusi pencahayaan sesuai
dengan penggunaannya, mempunyai efisiensi yang tinggi dan tidak
mengakibatkan silau atau refleksi yang mengganggu.
- Pemanfaatan cahaya alami siang hari.
Sebagaimana disebutkan diatas salah satu cara dalam metode efisiensi energi
pada bangunan adalah pemanfaatan cahaya alami siang hari dan khususnya untuk
penghematan energi listrik. Jika dilakukan secara integral dalam tahap desain
bangunan, pencahayaan alami bisa meningkatkan kualitas bangunan dengan cara :
(Lyons and Lee, 1994)
- Penghematan energi listrik dan biaya operasional
- Menyediakan cahaya langsung dan cahaya difusi dengan karakteristik alami
- Bisa disesuaikan dengan keinginan setiap orang
- Menyediakan keterhubungan dengan dunia luar dan perubahannya.
Selain jendela sebagai heat gain, ada permasalahan lain dalam pemanfaatan
pencahayaan alami pada daerah beriklim tropis. Permasalahan yang pertama adalah
bagaimana menyediakan kualitas pencahayaan alami yang memadai walaupun jika
jendela dilindungi dengan kisi – kisi sekaligus nyaman secara visual dengan
menghindarkan bidang kerja dari kelebihan sinar yang menyebabkan silau
(Koenigsberger, 1973 : 144). Ukuran dan pengaturan bukaan pada sisi bangunan yang
bervariasi mempengaruhi distribusi pencahayaan alami di dalam ruangan. Ketinggian
posisi bukaan dari permukaan tanah juga menyebabkan adanya perbedaan kualitas
pencahayaan yang masuk ke dalam ruang. Kecenderungan tingkat pencahayaan alami
pada lantai teratas lebih besar daripada lantai – lantai dibawahnya.
4
Silau bisa dihindari dengan memperhatikan desain dalam hubungannya
dengan kedalaman dan ketinggian bangunan, atribut pada permukaan ruang dan
hubungan antara jendela, ruang luar dan pengguna (Mc Elroy dalam Edwards, 1996 :
62). Kenyamanan visual akan sangat bervariasi tergantung pada kebutuhan dari
aktifitas yang dilakukan didalam ruangan tersebut. Apabila suatu ruangan sudah
nyaman secara visual dengan menggunakan pencahayaan alami di siang hari maka
akan mengurangi pemanfaatan pencahayaan buatan. Hal ini secara tidak langsung
akan mengurangi pemanfaatan energi tak terbaharui yang digunakan dalam
penyediaan energi listrik sehingga tujuan untuk efisiensi energi tercapai.
Salah satu penelitian yang bisa menjadi acuan dalam penelitian ini adalah
penelitian tentang peran pencahayaan alami pada bangunan Eco-house ITS yang
merupakan salah satu bangunan yang menjadi contoh aplikasi bangunan hemat energi
di Indonesia (Siwi, 2005). Objek penelitian Eco-house ini merupakan bangunan tiga
lantai berukuran 10, 80 x 10,80 m dengan jarak lantai ke lantai 3,10 m dimana lantai
satu yang terbuka memberi kesan panggung dan mewadahi ruang pompa dan terbuka.
Lantai dua dan tiga digunakan untuk ruang kerja yang berjumlah delapan buah.
Tangga terletak di sisi timur bangunan dan bagian tengahnya berupa void yang
menerus ke lantai paling atas serta atap berbentuk atap bertingkat. Penelitian ini
meneliti performa pencahayaan alami pada unit – unit ruang kerja yang ada di lantai
dua dan tiga. Tahapan simulasi awal dilakukan untuk mengetahui kondisi eksisting
peran pencahayaan alami pada masing – masing ruang kerja. Simulasi awal ini
dilanjutkan dengan tiga kali tahap optimasi. Optimasi pertama dengan mengubah
posisi jendela dari jendela yang terletak di bagian tengah bawah dinding menjadi di
bagian tengah atas dinding. Tahapan optimasi kedua mengubah pola perletakan
jendela dan optimasi ini menghasilkan kondisi DF (Daylight Factor) dan iluminasi
membaik. Tahap terakhir dengan mengganti kaca bening menjadi kaca reflektif 60%
namun hal ini tidak membawa pengaruh berbeda dari kondisi eksisting. Dari beberapa
kali optimasi ini dapat disimpulkan awalnya pendistribusian cahaya alami pada objek
5
belum optimal dan melalui pengaturan pola perletakan yang berbeda diperoleh
optimasi pencahayaan alami yang lebih baik.
Studi lain adalah studi tentang sistem pencahayaan alami pada bangunan
hunian di iklim tropis dengan menggunakan program simulasi ECOTECT v.5.0 dan
RADIANCE (Moediartianto, 2008). Studi ini menggunakan objek permodelan rumah
berlantai 1 sederhana dengan atap pelana dan rasio lebar berbanding panjang rumah
1:1,2. Data iklim Surabaya digunakan sebagai data simulasi mewakili kota tropis di
Indonesia. Dalam studi ini ada empat tahapan simulasi dan permodelan yaitu tahap
awal dengan model rumah sederhana dengan bukaan jendela kecil di bagian tengah
dua sisi dinding yang memanjang. Model tahap dua, bukaan jendela mengisi
sepanjang sisi dinding memanjang dilanjutkan dengan tahap tiga yaitu model dengan
bukaan pada atap saja tanpa jendela. Terakhir dengan model yang menggunakan atap
bertingkat dimana bagian dinding yang memikul atap atas digunakan untuk bukaan.
Secara umum, di tahap awal disimpulkan kondisi pencahayaan alami yang tidak
maksimal dan memerlukan bantuan pencahayaan buatan. Pada tahap – tahap
selanjutnya diperoleh kualitas pencahayaan alami yang lebih baik. Dari model 3
dimensi, pencahayaan dari bidang atap mampu memaksimalkan pemanfaatan
pencahayaan alami tapi harus memperhatikan panas yang masuk kedalam ruangan
melalui bukaan dengan kaca. Pada model terakhir, desain atap bertingkat dengan
jendela disisinya mampu memberi efek cahaya diffus yang dapat menjadi teknik
pemanfaatan cahaya alami yang optimal.
Studi yang cukup erat kaitannya dengan objek penelitian ini adalah penelitian
tentang pengaruh geometri ruang bersama terhadap kualitas pencahayaan alami pada
pada unit rumah susun di Surabaya (Kisnarini dan Dinapradipta, 2008). Pada
penelitian ini mengambil studi kasus tujuh buah rumah susun yang ada di Surabaya
yang memiliki bentuk geometri denah yang berbeda. Masing – masing rumah susun
ditinjau rasio panjang dan lebar bangunan (Plan Area Ratio ) serta jarak sumber
cahaya dengan pusat ruang bersama (Depth) yang biasanya berupa koridor – koridor.
Dengan menggunakan program CAD dan Desktop Radiance kemudian kondisi
6
masing – masing studi kasus disimulasikan. Yang ditinjau adalah tingkat intensitas
iluminasi dan rata – rata iluminasi absolut yang memenuhi standar pencahayaan
alami. Dari hasil simulasi kemudian disimpulkan bahwa unit rumah susun yang
memiliki tingkat intensitas baik adalah yang geometri kedalaman kecil. Bentuk
bangunan yang kompak dan dengan nilai PAR mendekati satu merupakan bangunan
dengan kualitas pencahayaan alami yang paling baik.
Wacana tentang Rumah susun termasuk hal yang baru bagi kehidupan
masyarakat di Denpasar, Bali. Jika dilihat dari sudut pandang keterbatasan lahan yang
ada maka bukannya tidak mungkin dalam satu dekade yang akan datang akan
bermunculan rumah – rumah susun di Denpasar sebagai jawaban akan meningkatnya
kebutuhan akan hunian yang layak dan terjangkau secara ekonomi. Pembangunan
rumah susun di beberapa daerah di Indonesia termasuk Bali merupakan bagian dari
rencana pembangunan fisik oleh pemerintah melalui Gerakan Nasional Pembangunan
Sejuta Rumah (GN-PSR) selain pembangunan KPR, Perumahan swadaya dan
perbaikan rumah yang tidak layak huni. (Direktorat Perumahan dan Permukiman,
2004).
Dari sudut pandang konsumsi energi, jika terjadi peningkatan pembangunan
rumah susun di Denpasar akan meningkatkan kebutuhan konsumsi energi listrik
untuk pulau Bali dan Denpasar khususnya. Sedangkan selama ini untuk persediaan
energi listrik, Pulau Bali masih sangat bergantung pada suplai dari pembangkit yang
berada di Pulau Jawa sehingga belum mampu secara mandiri menyediakan energi
listrik untuk melayani peningkatan kebutuhan listrik jika dibangun lebih banyak lagi
rumah susun atau bangunan lain. Maka dari itu, perlu diteliti efisiensi penggunaan
energi melalui studi performa pencahayaan alami untuk bangunan rumah susun di
Denpasar. Alasan memilih untuk studi performa pencahayaan alami karena ia mampu
secara signifikan menggantikan pencahayaan buatan pada siang hari sehingga mampu
mengurangi pemakaian energi listrik pada operasional bangunan. Selain itu
ketersediaan pencahayaan alami yang tidak terbatas, bisa dimodifikasi dengan cara
pasif yang sederhana dan didukung material glazing yang semakin canggih.
7
Salah satu rumah susun yang ada di Denpasar adalah Rumah Susun Dinas
Kepolisian Daerah Bali di Jalan Melati. Rumah susun ini dihuni oleh anggota
Kepolisian Daerah Bali dan hanya bisa ditempati selama masih menjadi anggota.
Pada komplek Rumah Susun ini terdapat 8 unit bangunan rumah susun yang
tergolong rumah susun tingkat rendah dengan jumlah lantai empat tingkat dan hanya
menggunakan tangga biasa sebagai transportasi vertikal. Dari konfigurasi susunan
unit hunian, rumah susun ini termasuk rumah susun dengan konfigurasi tower.
Definisi konfigurasi tower adalah bentuk konfigurasi hunian berlantai banyak dengan
susunan hunian mengelilingi satu pusat atau core di tengah bangunan (Chandler,
2005 : 78).
Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 5 Tahun 2005 tentang persyaratan
Arsitektur Bangunan Gedung meliputi batas ketinggian bangunan dan penerapan
konsep arsitektur tradisional Bali merupakan aspek yang membuat karakteristik
perwujudan rumah susun di Denpasar berbeda dengan rumah susun yang terdapat di
kota – kota lain di Indonesia. Konsep Arsitektur Tradisional Bali mempengaruhi
konsep perwajahan fasade bangunan agar mencerminkan arsitektur Bali. Hal ini
ditampilkan dengan penempatan ornamentasi berupa pasangan batu paras pada
dinding luar bangunan. Dengan adanya ornamentasi ini mengurangi kemungkinan
selubung bangunan digunakan untuk bukaan berupa jendela dan ventilasi. Padahal
salah satu keuntungan konfigurasi tower dalam pemanfaatan pencahayaan alami
adalah selubung bangunan yang terekspose optimal oleh matahari. Apabila selubung
bangunan terutama dinding sebagian digunakan untuk ornamentasi maka potensi
pemanfaatan pencahayaan alami melalui bukaan jendela akan berkurang.
1.2 Rumusan Masalah
Dari penjelasan sebelumnya telah dipaparkan bahwa untuk mendapatkan
pencahayaan alami yang optimal sekaligus nyaman pada bangunan dibutuhkan
bukaan – bukaan yang mampu memasukkan cahaya alami namun mampu
meminimalkan dampak negatif seperti beban panas dan silau. Hunian dengan
8
konfigurasi tower memiliki potensi mendapat pencahayaan alami yang optimal dari
sisi fasade luar bangunan dan secara bersamaan kemungkinan kuantitas cahaya alami
akan berlebih karena kedalaman ruang yang tidak terlalu besar. Mengacu pada
potensi ini maka perlu diarahkan komposisi ruang – ruang dalam hunian agar tanggap
terhadap arah sumber cahaya sekaligus mampu mendistribusikan cahaya alami
tersebut tanpa mengurangi kenyamanan visual. Pada bentuk konfigurasi memusat
biasanya untuk mengatasi kedalaman bangunan dibuat atrium pada bagian core yang
sekaligus berfungsi sebagai sumber cahaya sekunder. Dengan strategi pencahayaan
dua arah ini diharapkan mampu menyediakan kuantitas pencahayaan alami yang
memadai untuk ruang – ruang tersebut sesuai kebutuhan aktifitas yang diwadahi.
Penelitian – penelitian lain tentang pemanfaatan pencahayaan alami yang bisa
dijadikan acuan dalam pelaksanaan penelitian ini sudah disebutkan diatas namun
secara khusus belum ada penelitian yang menggambarkan pemanfaatan pencahayaan
alami yang optimal pada rumah susun dengan konfigurasi tower di Denpasar.
Dari perumusan diatas maka didapat permasalahan yaitu :
1. Bagaimana kinerja pencahayaan alami pada rumah susun dengan konfigurasi
tower di Denpasar yang dipengaruhi oleh gaya Arsitektur Bali ?
2. Seberapa jauh optimasi pemanfaatan potensi pencahayaan alami pada unit rumah
Susun di Denpasar untuk memenuhi tuntutan akan pencahayaan alami yang sesuai
dengan kebutuhan aktifitas?
3. Bagaimana optimasi pemanfaatan pencahayaan alami ini dapat memenuhi
kenyamanan visual dalam interiornya?
1.3 Batasan Penelitian
Agar penelitian dapat terarah dan dapat mencapai sasaran yang diharapkan maka
dibuat batasan – batasan penelitian sebagai berikut :
1. Dalam perihal obyek penelitian, penelitian akan dilakukan pada ruang – ruang
pada Rumah Susun yang terdapat di Denpasar, Bali.
9
2. Penelitian dilakukan dibatasi pada pencahayaan alami yang berkaitan dengan
potensi cahaya alami untuk menggantikan pencahayaan buatan di siang hari untuk
menyediakan kualitas pencahayaan yang nyaman sekaligus lebih efisien dalam
pemanfaatan energi listrik. Apabila pencahayaan alami mampu menggantikan
pencahayaan buatan di siang hari maka tujuan efisiensi energi dapat tercapai.
3. Optimasi pencahayaan alam pada penelitian ini difokuskan pada pengaruh
ketinggian hunian dan posisi bukaan terhadap pencahayaan alami yang terjadi
dengan mempertahankan tipe ruang dan jenis bukaannya. Sedangkan mengenai
sumber pencahayaan alam, penelitian ini berfokus pada cahaya yang bersumber
dari terang langit tanpa memperhitungkan cahaya yang berasal dari sinar matahari
langsung (direct sunlight).
4. Karakteristik pencahayaan alami merupakan penilaian terhadap distribusi
iluminasi dan Daylight factor dengan membandingkan nilai iluminasi yang
diperoleh dengan standar – standar nilai iluminasi untuk kebutuhan masing –
masing ruang dalam unit hunian.
5. Kenyamanan visual menjadi kontrol ketika nilai iluminasi tidak berada pada
rentang yang sesuai untuk masing – masing ruangan. Selain harus memenuhi
standar harus juga memperhatikan adanya kontras yang berlebih dimana
perbandingan antara nilai iluminasi terendah berbanding nilai iluminasi tertinggi
di suatu ruang pada waktu yang sama melebihi 1 : 40. Apabila ini terjadi berarti
kondisi pencahayaan sudah menimbulkan silau yang sangat mengurangi
kenyamanan beraktifitas di dalam ruangan.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui kualitas pencahayaan alami dan metoda pemanfaatannya pada
bangunan rumah susun dengan konfigurasi tower di Denpasar yang
menggunakan gaya Arsitektur Bali.
10
2. Melakukan evaluasi kondisi pencahayaan alami pada Rumah Susun konfigurasi
tower di Denpasar dengan kondisi perbandingan antara nilai iluminasi terendah
berbanding nilai iluminasi tertinggi di suatu ruang pada waktu yang sama
melebihi 1 : 40 sebagai kontrol.
3. Melakukan optimasi pencahayaan alami sampai mencapai kondisi pencahayaan
dalam ruang yang seoptimal mungkin melalui proses simulasi, dengan hasil akhir
berupa rekomendasi solusi desain, perletakan – perletakan dan ukuran bukaan –
bukaan yang ideal untuk efisiensi energi.
Sedangkan manfaat penelitian ini adalah :
1. Dari segi teori
Penelitian ini diharapkan mampu memberi kajian berbeda pemanfaatan
pencahayaan alami sebagai salah satu konsep pasif untuk efisiensi energi
sehingga bisa menjadi masukan untuk penelitian – penelitian sejenis dan memberi
gambaran aplikasi teori yang dipakai.
2. Dari segi praktek
Mengacu pada kemungkinan pertumbuhan rumah susun di Denpasar pada masa
yang akan datang maka hasil penelitian ini bermanfaat sebagai referensi desain
baik bagi pemerintah daerah maupun konsultan perencana sehingga akan
menghasilkan rumah susun yang tidak saja fungsional tapi mampu memanfaatkan
energi secara efisien.