istilah pluralisme merupakan sebuah istilah yang banyak didengar dewasa ini.docx
TRANSCRIPT
Istilah pluralisme merupakan sebuah istilah yang banyak didengar dewasa
ini. Banyak ilmuwan dan Pemikir yang membahas dan memasarkan istilah
ini kepada masyarakat. Menurut mereka paham ini sangat cocok di
kembangkan di Indonesia, dikarenakan kondisi masyarakatnya yang plural
(sangat beragam dalam segala hal terutama agamanya). Menurut Adnin
Armas, Paham ini mengajarkan bahwa semua agama adalah sama.
Kebenaran adalah milik bersama. Dalam setiap agama terdapat kebenaran.
Banyak jalan menuju kebenaran. Oleh sebab itu, Islam bukanlah satu-
satunya jalan yang sah menuju kepada kebenaran.[1]
Karena bukan Islam jalan satu-satunya kebenaran, maka paham ini
menjamin apapun agamanya pasti akan membawanya menuju Tuhan yang
berakhir mendapatkan syurganya. Yang menyebabkan seseorang masuk
syurga bukan apa agamanya tapi apa kebaikan yang telah dia perbuat.
Semakin banyak seseorang berbuat baik maka akan semakin besar peluang
dia mendapatkan syurga, tak peduli apapun agamanya. Diantara orang yang
mempunyai pemikiran seperti itu adalah Prof. Dr. Munir Mulkhan, dia
menyatakan : “Jika semua agama memang benar sendiri, penting diyakini
bahwa surga Tuhan yang satu itu sendiri, terdiri banyak pintu dan kamar.
Tiap pintu adalah jalan pemeluk tiap Agama memasuki kamar surganya.
Syarat memasuki surga ialah keikhlasan pembebasan manusia dari
kelaparan, penderitaan, kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya.
Inilah jalan universal surga bagi semua agama. Dari sini kerjasama dan
dialog pemeluk berbeda agama jadi mungkin.[2]
Sementara itu MUI mempunyai pendapat lain mengenai paham ini. Melalui
fatwanya yang dikeluarkan dalam MUNAS ke 7 tahun 2005, MUI telah
dengan tegas menyatakan bahwa Pluralisme merupakan paham yang
bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan melarang kepada segenap umat
Islam untuk mengikuti apalagi mengamalkan paham ini. Argumentasi MUI
melarang paham ini adalah ayat-ayat al Qur’an, seperti “barang siapa yang
mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu), dan dia diakhirat termasuk orang-orang yang merugi”[3] . Dan
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam”[4].
Dan “Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku”.[5]
Selain ayat al Qur’an argumentasi lainnya adalah Hadits Rosulullah saw.
Imam Muslim (w 262 H) dalam kitabnya Shahih Muslim, meriwayatkan
hadits Rosulullah saw : “Demi zat yang menguasai jiwa Muhamad, tidak ada
seorangpun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku
dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran
yang aku bawa, kecuali ia mati akan menjadi penghuni neraka.”. Begitu
juga Nabi mengirimkan surat-surat Dakwah kepada orang-orang non
muslim, antara lain kaisar Heraklius, Raja Romawi yang beragama Nasrani,
al-najasyi raja Abesenia yang beragama Nasrani dan Kisra Persia yang
beragama Majusi, dimana Nabi mengajak mereka untuk masuk Islam
(Hadits Riwayat Ibnu Sa’ad dalam al-Thabaqat al-Kubra dan imam al
Bukhari dalam Shahih al Bukhari).
Antara Pluralisme dan Pluralitas
Melalui fatwa MUI ini maka dengan tegas menyatakan bahwa umat Islam
harus meyakini bahwa agamanyalah yang paling benar. Hanya Islamlah
yang akan membawa penganutnya kepada jalan keselamatan. Hanya Islam
yang diridloi Allah swt yang dengannya menjadi jaminan seseorang masuk
syurga. Yang perlu dicatat, sikaf eksklusif umat Islam ini terhadap orang
kafir adalah hanya dalam hal yang bersifat Aqidah dan Ibadah. Dan tidak
berlaku dalam urusan mu’amalah dan masalah-masalah sosial lainnya.
Karena dalam fatwanya MUI pun mengakui Pluralitas (keberagaman
agama) dalam suatu kelompok masyarakat. Oleh karena itu, dalam hal ini
MUI tetap menganjurkan umat Islam agar bersikap inklusif, dalam arti
untuk masalah sosial yang tidak terkait Aqidah dan Ibadah, umat Islam
dianjurkan tetap melakukan pergaulan sosial dengan agama lain sepanjang
tidak merugikan.
Pluralisme sendiri bukanlah
paham yang lahir dalam diskursus keislaman. Dalam penelitian Syamsudin
Arif, paham ini merupakan turunan dari paham Relativisme. Menurutnya,
fakta bahwa agama yang ada didunia ini sangat banyak telah melahirkan
dua aliran pemikiran besar, yaitu skeptisisme dan relativisme. Kaum skeptis
menyatakan bahwa beragamnya agama tersebut menjadi pembenar bahwa
kebenaran dalam agama itu tidak ada. Sementara kaum relativis
berpendapat sebaliknya, bahwa beragamnya agama merupakan sebuah
fakta bahwa kebenaran itu tidak satu, ia ada pada setiap agama.
Lebih lanjut, kaum relativis ini memiliki tiga aliran pemikiran, yaitu
esensialisme, sinkretisme, dan pluralisme. Esensialisme menyatakan bahwa
semua agama pada esensinya sama, percaya pada ketuhanan. Bedanya
hanya pada bentuk formalnya saja. Sementara Sinkretisme, melangkah
lebih jauh dengan mencoba menyatukan agama-agama dalam satu format
keagamaan. Contohnya sikhisme di india, baha’isme di iran, caudaisme di
Vietnam, atau semacam aliran-alian kebatinan.
Adapun Pluralisme mengakui bahwa agama itu sama dalam porsinya
masing-masing. Dengan kata lain, mengakui persamaan dalam perbedaan.
Sama-sama benar dalam posisi dan kedudukannya masing-masing.
[6] Semua keyakinan dan paham ini bertentangan dengan konsep Islam
yang telah dirumuskan dan menjadi Fatwa MUI diatas. Dan menunjukan
bahwa Pluralisme bukan merupakan paham yang lahir dari Islam bahkan
justru bertentangan dengan Islam.
Meskipun pluralisme ini bukan berasal dari Islam, tapi kaum pluralis
mencari legitimasinya dari ayat-ayat al Qur’an. Mereka mengakalinya
sehingga terkesan al Quran pun mendukung terhadap paham ini. Ayat al
Qur’an yang sering dijadikan rujukan mereka adalah QS al Baqarah ayat
62 :
�ه�م� ف�ل � �حا ص�ال و�ع�م�ل� اآلخ�ر� � �و�م �ي و�ال �ه� �الل ب آم�ن� م�ن� �ين� �ئ و�الص�اب ى �ص�ار� و�الن � ه�اد�وا �ذ�ين� و�ال � �وا آم�ن �ذ�ين� ال �ن� إ
�ون� ن �ح�ز� ي ه�م� � و�ال �ه�م� �ي ع�ل خ�و�ف- � و�ال /ه�م� ب ر� ع�ند� ه�م� �ج�ر� أ
“Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang
Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-
benar beriman kepada Allah, hari Kemudian dan beramal saleh, mereka
akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada
mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”
Menurut kaum pluralis, ayat ini merupakan pendukung pendapat mereka
yang menyatakan bahwa semua agama benar. Apapun agamanya asal
beriman kepada Allah, hari akhir dan beramal shaleh maka mereka tidak
perlu khawatir dan bersedih hati, yang itu artinya mendapat ridlo Allah swt.
Namun, pendapat ini jelas keliru. Karena konsep beriman kepada Allah swt
dan beramal shaleh dituntut sebuah totalitas dan tidak parsial. Tidak boleh
orang yang mengaku beriman kepada Allah tapi tidak mengakui Rosulullah
saw sebagai Nabi-Nya, dan atau tidak meyakini al Qur’an sebagai wahyu-
Nya. Orang yang mengaku beriman kepada-Nya pasti akan mengerjakan
setiap perintah-Nya termasuk mengakui dan mentaati Rosulullah saw
sebagai utusan-Nya, dan meyakini al Qur’an sebagai wahyu-Nya.
Pandangan Islam tentang Keberagaman (pluralitas)
Allah swt melalui wahyunya telah memberikan petunjuk yang jelas tentang
bagaimana seharusnya seorang hamba berinteraksi dengan sesamanya.
Begitu juga hal ini telah di contohkan oleh utusan-Nya Muhamad saw. Dan
fatwa MUI di atas dirasa telah cukup untuk mewakili bagaimana
sebenarnya Islam mengajarkan umatnya menyikapi masalah pluralitas.
Dalam hal Aqidah dan Ibadah, umat Islam diperintahkan untuk tidak
berkompromi dengan orang kafir. Umat Islam dilarang meyakini kebenaran
agama lain selain Islam. Umat Islam dilarang juga mencampuradukan
konsep peribadahan dengan agama lain diluar Islam (sinkretisme). Diantara
ayat al Qur’an yang membahas masalah ini adalah QS al kaaFirun [109] : 1-
6;
4ه�ا ق�ل� ي� �اأ ون� ي �اف�ر� �ك �د� ال�( 1 )ال �ع�ب �د�ون� م�ا أ �ع�ب �م� و�ال�( 2 )ت �ت �ن �د�ون� أ �د� م�ا ع�اب �ع�ب �ا و�ال�( 3 )أ �ن �د- أ �م� م�ا ع�اب �د�ت و�ال�( 4 )ع�ب
�م� �ت �ن �د�ون� أ �د� م�ا ع�اب �ع�ب �م�( 5 )أ �ك �م� ل �ك �ي� د�ين (6 )د�ين� و�ل
“Katakanlah: Hai orang-orang kafir, Aku tidak akan menyembah apa yang
kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan
Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, Dan kamu
tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu
agamamu, dan untukkulah, agamaku.”
Dari awal sampai akhir ayat diatas dengan sangat jelas melarang umat
Islam melakukan kompromi Aqidah dan ibadah dengan orang-orang kafir.
Umat Islam diperintahkan untuk mengatakan kepada orang kafir bahwa kita
bukanlah penyembah dan tidak akan pernah menjadi penyembah apa yang
mereka sembah. Sebaliknya, orang kafir bukanlah penyembah dan tidak
akan pernah menjadi penyembah apa yang orang Islam sembah.
Imam Ibnu Jarir dalam tafsirnya meriwayatkan Hadits yang menjadi asbabu
nuzul ayat ini, Yaitu: Menurut Ibnu Abas, bahwa orang Quraisy pernah
menawarkan kepada Rosulullah saw harta yang banyak sehingga beliau
akan menjadi orang yang paling kaya di Mekah. Bahkan beliau boleh
memilih perempuan Quraisy yang mana saja untuk dinikahi dengan syarat
tidak lagi mencaci maki Tuhan-tuhan yang mereka sembah.
Jika beliau menolak kesepakatan itu, maka orang Quraisy menawarkan
kesepakatan lain yaitu mereka akan beribadah kepada Tuhan Muhamad
selama satu tahun dan Muhamad pun harus beribadah kepada tuhan
mereka selama satu tahun penuh. Menurut Ibnu Abas, kepada ajakan kaum
Quraisy ini Rosulullah saw tidak langsung memberikan jawaban sehingga
turun Qur’an Surat al Kaafirun ayat satu sampai enam.[7]
Penolakan Rosulullah saw kepada ajakan Quraisy diatas menunjukan bahwa
tidak ada kompromi bagi umat Islam dengan agama lain dalam hal Aqidah
dan Ibadah. Namun, Rosulullah saw juga mengajarkan tetap berkompromi
dan bergaul dengan masyarakat diluar agama Islam dalam hal-hal yang
bersifat sosial kemasyarakatan. Rosulullah saw tetap berinteraksi (inklusif)
dan tidak menutup diri (eksklusif) dengan orang-orang diluar agama Islam.
Diantaranya Rosulullah saw pernah menggadaikan baju besinya kepada
orang yahudi. Seperti hadits yang diriwayatkan oleh siti A’isyah: “Bahwa
Rosulullah saw pernah membeli makanan kepada orang yaudi dengan
menggadaikan baju besinya” (Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim). Hal ini
menunjukan bahwa Islam mengakui Pluralitas dan menolak pluralisme,
sebagaimana kata Adnin Armas, merupakan sebuah paham syirik
kontemporer. Wallahu ‘Alam.
PART 2
Adapun kata pluralisme berasal dari bahasa Inggris “plural” yang berarti jamak atau banyak, adapun
pluralisme itu sendiri berarti suatu paham atau teori yang menganggap bahwa realitas itu terdiri dari
banyak substansi.[1] Pluralisme juga sering digunakan untuk melihat makna realitas keragaman
sosial-masyarakat sekaligus sebagai prinsip atau sikap terhadap keragaman itu. Baik kemajemukan
dalam unsur budaya maupun keragaman manusia dengan segala aspeknya.
Allah telah menciptakan manusia dengan berbagai macam keunikan mulai dari: warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, suku, dan postur tubuh serta keragaman agama dan budaya yang berbeda dari
manusia satu dengan lainnya. Hal ini merupakan kehendak-Nya yang bersifat kodrati dan hukum Allah:
sunnatullah ini mencerminkan kekuasaan dan keagungan Tuhan yang layak disembah.
ومن ايته خلق السموات واالرض واختال ف السنتكم والوانكم ان في ذلك أليت للعلمين.
Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-
lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang mengetahui.” (Q.S. ar-Rum 22)[2]
Pluralisme Dalam Pandangan Islam. Kemajemukan memang murni kekuasaan Allah SWT bukan
berarti Ia tidak mampu menciptkan ummat yang satu. Kenapa Allah tidak menghendaki demikian?
Karena dengan ini manusia akan diuji kesalehannya, untuk dapat menghormati dan menghargai antar
person ciptaan-Nya dan berlomba-lomba dalam hal kebaikan. Kalau memang keragaman merupakan
sunatullah maka tidak ada sikap lain bagi muslim terhadap pluralitas itu kecuali menerima
sepenuhnya.
...ولوشاء الله لجعلكم امة واحدة ولكن ليبلوكم في ما اتكم فالستبقواالخيرت...
Artinya: “…Sekiranya Allah mengendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu ummat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan….” (Q.S. al-Maidah 48)[3]
Dalam hubungannya dengan pluralitas, Islam menetapkan prinsip untuk saling menghormati dan
untuk saling mengenal serta saling mengakui eksistensi kelompok lain, seperti yang ditegaskan al-
Qur’an:
يأيهاالناس اناخلقنكم من ذكر وانثى وجعلنكم شعوبا وقبائل لتعارفوا قل ان اكرمكم عندالله اتقكم قل ان الله عليم خبير
Artinya: “Wahai manusia, sesunguhnya telah kami jadikan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu sekalian saling mengenal.”
(Q.S. al-Hujurat 13)[4]
Pluralisme Dalam Pandangan Islam. Bahkan, pluralisme adalah suatu keharusan bagi keselamat
umat manusia di muka bumi dan merupakan wujud kemurahan Allah yang melimpah kepada manusia.
Allah menciptkan umat yang majemuk karena di situ terletak kekuatan penyeimbang dan mekanisme
pengawasan antara sesama manusia. Hal ini dapat dilihat dalam firman Allah berikut ini:
...ولوالدفع الله الناس بعضهم ببعض لفسدت األرض ولكن الله ذوفضل على العلمين
Artinya: “Seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang lain,
maka pastilah bumi hancur; namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh
alam.” (Q.S. al Baqoroh 251)[5]
Pluralisme Dalam Pandangan Islam. Dengan demikian penghormatan atas pluralitas adalah suatu
keharusan. Secara tegas Islam menolak dan melarang manusia merendahkan golongan lain dan
menganjurkan untuk bersifat khusnudzan (berbaik sangka), dengan kata lain umat satu dapat melihat
secara obyektif kelemahan diri sendiri dan dapat mengambil pelajaran positif dari orang lain. Hal
tersebut diikuti dengan mengindari perbuatan shu’udzan (berburuk sangka), karena perbuatan ini
dapat menyebabkan kurangnya melihat kelemahan yang ada padanya. Allah telah menunjukkan hal di
atas dalam al Qur’an:
يأيهاالذين امنوااليسخرقوم من قوم عسى ان يكونوا خيرا منهم والنس��اء من نس��اء عس��ى ان يكن خ��يرا منهن والتلم��زوا انفس��كم
والتنابزوا باأللقابقلبئس اإلسم الفسوق بعد اإليمان ومن لم يتب فأولئك هم الظلمون
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman janganlah sekumpulan laki-laki merendahkan kumpulan yang
lain, boleh jadi yang direndahkan lebih baik dari mereka dan jangan pula sekumpulan perempuan
merendahkan kumpulan perempuan yang lain, boleh jadi yang direndahkan lebih baik dari mereka dan
janganlah kamu suka menjela bangsamu dan janganlah memangil dengan gelar ejekan. Jahat sesudah
beriman itulah nama yang amat buruk. Siapa yang tidak kembali itulah orang-orang yang bersalah”
(Q.S. al Hujurat 11)[6]
Pluralisme Dalam Pandangan Islam. Selain manusia diharuskan untuk menghormati dan mengenal
kelompok manusia yang berbeda agama, ada sisi penting yang seyogyanya terus dilakukan oleh umat
manusia yaitu untuk melakukan musyawarah dan kerjasama guna membangun peradaban di muka
bumi ini. Penghormatan atas kemajemukan telah dicontohkan oleh Rasulullah dalam usahanya
melakukan konsolidasi dengan masyarakat madinah yang kemudian disebut: perjanjian madinah atau
piagam madinah[7]. Nabi mampu menyatukan masyarakat madinah yang multi agama dan multi
etnik. Nabi menjumpai tiga komunitas agama: Muslimin, Yahudi, dan Musyrikin. Pertama, Muslimin
terdiri dari Muhajirin dan Anshar; Muhajirin terdiri dari bani Hasyim dan bani Muthalib, sementara
anshar terdiri dari suku Aus dan Khajraj. Kedua, golongan Yahudi terdiri dari banu Qaynuqa, banu
Nadhir, dan banu Qurayzah. Ketiga yaitu kaum Musyrikin yang menyembah berhala (paganisme).[8]
Untuk memelihara keamanan, keselamatan dan hidup damai maka harus ada undang-undang yang
disepakati bersama. Hal ini diwujudkan Rasul dalam piagam madinah. Piagam ini merupakan bukti
autentik bahwa Islam mendukung dan memerintahkan umatnya melakukan kerjasama dengan
kelompok lain meskipun berbeda agama dan keyakinan. Sifat inklusif ini terus digalang oleh rasulullah.
Kuntowijoyo berpandangan bahwa Islam mengakui adanya diferensiasi dan bahkan polarisasi sosial.
Al-Qur’an menggariskan bahwa fenomena ketidaksamaan sosial tersebut sebagai sunnatullah, sebagai
hukum alam dan realitas empiris yang ditakdirkan terhadap dunia manusia.[9]
Dengan demikian pluralitas masyarakat baik mengenai sifat manusia maupun kemajemukan budaya
sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Islam tidak terkecuali pluralitas masyarkat Indonesia.
Kemajemukan suatu masyarakat atau bangsa haruslah tetap dipelihara dan dijaga bersama demi
tegaknya keadilan dan keamanan hidup manusia yang berbangsa dan bernegara.
Ada pendapat yang perlu dicermati dan diperhatikan dalam menanggapi perbedaan yaitu pendapat
Fuad Jabali. Ia mengatakan bahwa ajaran Islam yang sesungguhnya hanya diketahui Allah SWT.
Sedangkan menurut pandangan Jabali ajaran Islam yang dibawakan nabi Muhammad untuk
disampaikan kepada umatnya telah mengalami reduksi.[10] Reduksi pertama telah terjadi pada nabi,
karena iapun manusia biasa yang tidak dapat menyamai kesempurnaan Allah. Karena itu kehendak
Allah tentu tidak semuanya dapat diterima oleh nabi. Kemudian ketika ajaran Islam dari nabi
disampaikan dan diamalkan oleh generasi berikutnya (para imam madzab), maka tentu apa yang
diamalkan dan dikehendaki oleh nabi berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para imam madzab
tersebut, karena mereka harus memahami ajaran Islam dari dua sumber yaitu al-Qur’an dan sunnah.
Dengan demikian ajaran Islam mengalami reduksi untuk yang kedua kalinya.
Pluralisme Dalam Pandangan Islam. Proses reduksi ini akan terus-menerus terjadi dari generasi ke
generasi. Oleh karena itu perlu diketahui bahwa ajaran Islam yang sesungguhnya adalah ajaran yang
belum mengalami reduksi (Islam yang ideal: hanya diketahui dan dikehendaki Allah). Ini yang harus
ditangkap oleh umat Islam. Berbagai tafsir al-Qur’an dan Imam Madzab ditulis dalam rangka
memahami kesempurnaan ajaran Islam tersebut. Kesempurnaan ajaran Allah tentu tidak dapat
seluruhnya ditangkap oleh manusia karena pada hakikatnya kesempurnaan milik Allah. Di sinilah letak
esensi dari keberagamaan dan keragaman umat yakni ada pencarian terus-menerus (on going quest),
dan proses menjadi tanpa batas (timeless process of becoming). Pemahaman dan penafsiran yang
berbeda harus disikapi dengan rasa penghormatan dan dihargai sebagai rahmat Allah.
Merespon pluralisme dalam kehidupan bermasyarkat prof. Dr. H. A. Mukti Ali lebih cenderung
berpedoman pada cara agree in disagreement (setuju dalam perbedaan), dalam cara pandang ini
seseorang berasumsi dan percaya agama yang dipeluk adalah agama yang paling baik dan benar di
antara yang lainnya, selain terdapat perbedaan juga ada persamaan.[11] Berbeda dengan Amin
Abdullah bahwa sikap agree in disagreement tidak cocok untuk level kehidupan sosial, karena konsep
ini masih tampak menonjolkan pendekatan teologi dan kalam, lantaran disagreementnya masih
sempat ditonjolkan, sedang agreenya bisa saja sempat tertindih oleh disagreement.[12] Dan ia lebih
cocok dengan pola kontrak sosial dalam menyikapi pluralitas masyarakat, hal ini dikarenakan bahwa
manusia harus menjalin hubungan kerjasama dengan manusia lain dalam membangun dan
memecahkan masalah bersama. Dengan demikian dalam kontak sosial ada kecenderungan menerima
dengan tulus atas perbedaan itu dibaregi dengan dialog untuk mengambil nilai lebih. Bukan berarti
untuk menafikkan hakikat kebenaran yang diyakini.
[1] Pius A. Partanto dan M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Ar Kolah, 1994), hlm. 604
[2] Depag RI, Al Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: CV. Al-Waah, 1989), hlm. 644
[3] Ibid., hlm. 168
[4] Ibid., hlm. 847
[5] Ibid., hlm. 62
[6] Ibid., hlm. 847
[7] Piagam Madinah menunjukkan bukti bahwa nabi konsisten dalam menjunjung nilai-nilai demokrasi. Perlindungan terhadap warga masyarakat menjadi perhatian bagi nabi termasuk kebebasan memeluk agama dan beribadah. Sikap toleransi terhadap agama lain mewarnai perkembangan Islam saat itu.
[8] Ayang Utriza Nway, “Demokrasi dalam Konteks Piagam Madinah Arkeologi Demokrasi dalam Islam”, Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi 16 Tahun 2004, hlm.100
[9] Kuntowijoyo, Paradigma Islam, Interpretasi untuk Aksi (Bandung: Mizan, 1991), hlm. 299.
[10] Muqowim, “Shifting Paradigm Pendidikan Islam dalam Masyarakat Plural”, Amin Abdullah, dkk, Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2002), hlm. 352
[11] M. Jadra, “Pluralisme Baru dan Cinta Kebangsaan”, Amin Abdullah, dkk, Tafsir Baru…, hlm 289
[12] Sumartana, dkk., Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, (Yogyakarta: Interfidie, 2001), hlm. 255
http://satriabajahikam.blogspot.com/2013/04/pluralisme-dalam-pandangan-islam.html
PART 3
Pluralisme muncul sarat muatan politis, yang tak lebih sebagai respons politis terhadap kondisi masyarakat Kristen Eropa akibat perlakuan dikriminatif dari gereja
Menelusuri lahirnya gagasan liberalisme dan pluralisme agama. Gagasan Protestanistik yang kini digandrungi sebagian kaum Muslimin
Proses liberalisasi sosial politik, yang menandai lahirnya tatanan dunia abad modern, semakin marak. Disusul kemudian dengan liberalisasi atau globalisasi (baca: penjajahan model baru) ekonomi. Wilayah agama pun, pada gilirannya, dipaksa harus membuka diri untuk diliberalisasikan.
Sejak era reformasi gereja abad ke-15, wilayah yurisdiksi agama telah direduksi, dimarjinalkan, dan didomestikasikan sedemikian rupa. Hanya boleh beroperasi di sisi kehidupan manusia yang paling privat. Dan saat ini, agama tetap masih dianggap tidak cukup kondusif (atau bahkan mengganggu) bagi terciptanya tatanan dunia baru yang harmoni, demokratis, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan HAM seperti toleransi, kebebasan, persamaan, dan pluralisme. Seakan-akan semua agama adalah musuh demokrasi, kemanusiaan, dan HAM. Oleh karenanya agama harus mendekonstruksikan-diri (atau didekonstruksikan secara paksa) agar, menurut bahasa kaum liberal, merdeka dan bebas dari kungkungan teks-teks dan tradisi yang jumud serta sudah tak sesuai lagi dengan semangat zaman.
Proses liberalisasi sosial politik di Barat telah melahirkan tatanan politik yang pluralistik yang dikenal dengan pluralisme politik". Liberalisasi agama harus bermuara pada terciptanya suatu tatanan sosial yang menempatkan semua agama pada posisi yang sama dan sederajat, sama benarnya dan sama relatifnya. Orang menyebutnya sebagai pluralisme agama
Pluralisme, Gagasan Protestanistik
Paham liberalisme pada awalnya muncul sebagai mazhab sosial politis. Oleh karenanya, wacana pluralisme yang lahir dari rahimnya, termasuk gagasan pluralisme agama, juga lebih kental dengan nuansa dan aroma politik. Maka tidak aneh jika gagasan pluralisme agama itu sendiri muncul dan hadir dalam kemasan pluralisme politik (political pluralism), yang merupakan produk dari liberalisme politik (political liberalism).
Jelas, faham liberalisme tidak lebih merupakan respons politis terhadap kondisi sosial masyarakat Kristen Eropa yang plural dengan keragaman sekte, kelompok, dan mazhab. Namun kondisi pluralistik semacan ini masih terbatas dalam masyarakat Kristen Eropa untuk sekian lama, baru kemudian pada abad kedua puluh berkembang hingga mencakup komunitas-komunitas lain di dunia.
Saat itu, hembusan angin pluralisme yang mewarnai pemikiran Eropa khususnya, dan Barat secara umum, rupanya belum mengakar kuat dalam kultur masyarakat. Beberapa sekte Kristen masih mengalami perlakuan dikriminatif dari gereja. Hal itu misalnya dialami sekte Mormon, yang tetap tidak diakui oleh gereja karena dianggap gerakan heterodoks. Diskriminasi ini berlangsung sampai akhir abad kesembilan belas, ketika muncul protes keras dari Presiden Amerika Serikat, Grover Cleveland (1837-1908).
Ada pula doktrin "di luar gereja tidak ada keselamatan". Ini tetap dipegang teguh oleh Gereja Katolik hingga dilangsungkannya Konsili Vatikan II pada awal tahun 1960-an, yang mendeklarasikan doktrin keselamatan umum, bahkan bagi agama-agama selain Kristen.
Jadi, gagasan pluralisme agama sebenarnya merupakan upaya peletakan landasan teoritis dalam teologi Kristen untuk berinteraksi secara toleran dengan agama lain. Gagasan pluralisme agama adalah salah satu elemen gerakan reformasi pemikiran agama atau liberalisasi agama yang dilancarkan oleh Gereja Kristen pada abad ke-19. Gerakan ini kemudian dikenal dengan Liberal Protestantism. Pelopornya adalah Friedrich Schleiermacher.
Memasuki abad ke-20, gagasan pluralisme agama semakin kokoh dalam wacana pemikiran filsafat dan teologi Barat. Muncul tokoh gigih, seperti teolog Kristen liberal Ernst Troeltsch (1865-1923). Dalam sebuah makalahnya yang berjudul "Posisi Agama Kristen di antara Agama-agama Dunia" yang disampaikan dalam sebuah kuliah di Universitas Oxford (1923), Troeltsch melontarkan gagasan pluralisme agama secara argumentatif. Menurutnya, semua agama, termasuk Kristen, selalu mengandung elemen kebenaran dan tidak satu agama pun yang memiliki kebenaran mutlak. Konsep ketuhanan di muka bumi ini beragam dan tidak tunggal.
Ada lagi William E Hocking. Gagasannya ditulis dalam buku Re-thinking Mission (1932) dan Living Religions and A World Faith. Ia tanpa ragu-ragu memprediksi akan munculnya model keyakinan atau agama universal baru yang selaras dengan konsep pemerintahan global.
Gagasan serupa datang dari sejarawan Inggris ternama, Arnold Toynbee (1889-1975), dalam karyanya An Historian's Approach to Religion (1956) dan Cristianity and World Religions (1957). Juga teolog dan sejarawan agama Kanada, Wilfred Cantwell Smith. Dalam buku Towards A World Theology (1981), Smith mencoba meyakinkan perlunya menciptakan konsep teologi universal atau global yang bisa dijadikan pijakan bersama bagi agama-agama dunia dalam berinteraksi dan bermasyarakat secara damai dan harmonis. Nampaknya karya tersebut memuat saripati pergolakan pemikiran dan penelitian Smith, dari karya-karya sebelumnya The Meaning and End of Religion (1962) dan Questions of Religious Truth (1967).
Dua dekade terakhir abad ke-20, gagasan pluralisme agama telah mencapai fase kematangan. Kemudian menjadi sebuah wacana pemikiran tersendiri pada dataran teologi dan filsafat agama modern. Fenomena sosial politik juga mengetengahkan realitas baru kehidupan antar agama yang lebih nampak sebagai penjabaran, kalau bukan dampak dari (atau bahkan suatu proses sinergi) gagasan pluralisme agama ini.
Dalam kerangka teoritis, pluralisme agama pada masa ini telah dimatangkan oleh beberapa teolog dan filosof agama modern. Konsepsinya lebih lihai, agar dapat diterima oleh kalangan antar agama. John Hick telah merekonstruksi landasan-landasan teoritis pluralisme agama sedemikian rupa, sehingga menjadi sebuah teori yang baku dan populer.
Hick menuangkan pemikirannya dalam buku An Interpretation of Religion: Human Responses to the Transcendent. Buku ini diangkat dari serial kuliahnya pada tahun 1986-1987, yang merupakan rangkuman dari karya-karya sebelumnya.
Ternyata, fenomena yang murni Protestanistik atau terjadi dalam kerangka gerakan reformasi Protestan secara khusus ini, masih mendominasi pemikiran orang-orang Protestan hingga akhir abad ke-19. Sedangkan Kristen Katolik cenderung tidak menerima gagasan pluralisme agama, dan tetap berpegang teguh pada doktrin "di luar gereja tidak ada keselamatan hingga akhirnya Konsili Vatikan II berlangsung.
Wabah Pluralisme dalam Islam
Dalam wacana pemikiran Islam, wacana pluralisme agama masih merupakan hal baru dan tidak mempunyai akar ideologis atau bahkan teologis yang kuat. Gagasan pluralisme agama lebih merupakan perspektif baru yang ditimbulkan oleh proses penetrasi kultural Barat modern dalam dunia Islam.
Pendapat ini diperkuat oleh realitas bahwa gagasan pluralisme agama dalam wacana pemikiran Islam, baru muncul pada masa-masa pasca Perang Dunia II. Yaitu ketika mulai terbuka kesempatan besar
bagi generasi-generasi muda Muslim untuk mengenyam pendidikan di universitas-universitas Barat sehingga mereka dapat berkenalan dan bergesekan langsung dengan budaya Barat.
Dalam waktu yang sama, gagasan pluralisme agama menembus dan menyusup ke wacana pemikiran Islam. Antara lain melalui karya-karya pemikir-pemikir mistik Barat Muslim seperti Rene Guenon (Abdul Wahid Yahya) dan Frithjof Schuon (Isa Nuruddin Ahmad).
Karya-karya mereka ini, khususnya Schuon dengan bukunya The Transcendent Unity of Religions, sangat sarat dengan pemikiran-pemikiran dan tesis-tesis atau gagasan-gagasan yang menjadi inspirasi dasar bagi tumbuh-kembangnya wacana pluralisme agama.
Barangkali Seyyed Hossein Nasr, seorang tokoh Muslim Syi'ah moderat, adalah tokoh yang paling bertanggung jawab dalam mempopulerkan gagasan pluralisme agama di kalangan Islam tradisional. Suatu prestasi; yang kemudian mengantarkannya pada sebuah posisi ilmiah kaliber dunia yang sangat bergengsi selevel nama-nama besar seperti Ninian Smart, John Hick, dan Annemarie Schimmel.
Nasr mencoba menuangkan tesisnya tentang pluralisme agama dalam kemasan sophia perennis atau perennial wisdom (al-hikmat al-khalidah, atau ;kebenaran abadi). Yaitu sebuah wacana menghidupkan kembali kesatuan metafisikal (metaphysical unity) yang tersembunyi di balik ajaran dan tradisi-tradisi keagamaan yang pernah dikenal manusia semenjak Adam alaihis-salam. Menurut Nasr, memeluk atau meyakini satu agama dan melaksanakan ajarannya secara keseluruhan dan sungguh-sungguh, berarti juga memeluk seluruh agama, karena semuanya berporos kepada satu poros, yaitu kebenaran hakiki yang abadi.
Perbedaan antar agama dan keyakinan, menurut Nasr, hanyalah pada sombol-simbol dan kulit luar. Inti dari agama tetap satu. Dari sini dapat dilihat bahwa pendekatan Nasr ini sejatinya tidak jauh berbeda dengan pendekatan-pendekatan yang ada pada umumnya. Suatu hal yang membuat kita bertanya-tanya, apakah tesis Nasr ini mempunyai justifikasi yang solid dalam tradisi pemikiran Islam yang diklaimnya sebagai basis dari bangunan pemikirannya?
Saat ini wacana pluralisme agama modern muncul dengan berbagai trend dan bentuknya. Ini menggambarkan sebuah fakta secara telanjang bahwa betapa dominan dan hegemoniknya Barat, baik dari segi politik, ekonomi, peradaban, maupun kultur. Sebuah fakta yang untuk menjamin eksistensi dan kelestariannya, meniscayakan adanya semacam legitimasi relijius, atau apa yang disebut Peter L Berger sebagai sacred canopy (tirai suci). Dan itu harus sejalan dengan logika kemanusiaan modern yang berlandaskan pada asas toleransi dan kebebasan, atau lebih tepatnya, liberalisme.
Obsesi Barat ini kentara sekali dan sulit untuk ditutup-tutupi, sebagaimana nampak dari upaya-upaya serius yang dilakukannya untuk mensosialisasikan gagasan ini. Bahkan mereka tak segan melakukan tekanan politik, ekonomi, maupun militer terhadap negara-negara lain yang enggan menerapkan gagasan pluralisme. Semua harus mau bernaung di bawah jargon Tatanan Dunia Baru yang dicanangkan Amerika Serikat pada awal sembilan puluhan dari abad yang lalu. (Bersambung)
Oleh: Anis Malik Thoha (Dosen Ilmu Perbandingan Agama pada International Islamic University, Malaysia) sumber: rubrik "Tsaqafah", Majalah Hidayatullah, edisi Agustus 2004
PART 4
Hanya Islam Agama Yang Hak (Menyikapi Pluralisme Beragama Faham Liberal)January 16, 2013 at 5:23pm
Post, 17/1/13, abou fateh
Hanya Islam Agama Yang Benar
Agama adalah seperangkat aturan yang apa bila diikuti seutuhnya akan memberikan jaminan
keselamatan hidup, baik di dunia maupun di akhirat. Agama yang benar pada prinsipnya
adalah wadl’i Ilahiyy, artinya aturan-aturan yang telah dibuat oleh Allah, karena sesungguhnya
hanya Allah saja yang berhak disembah, dan Dialah pemilik kehidupan dunia dan akhirat. Dengan
demikian hanya Allah pula yang benar-benar mengetahui segala perkara yang membawa
kemaslahatan kehidupan di dunia, dan hanya Dia yang menetapkan perkara-perkara yang dapat
menyelamatkan seorang hamba di akhirat kelak. Karena itu, di antara hikmah diutusnya para nabi
dan rasul adalah untuk menyampaikan wahyu dari Allah kepada para hamba-Nya tentang perkara-
perkara yang dapat menyelamatkan para hamba itu sendiri.
Seorang muslim meyakini sepenuhnya bahwa satu-satunya agama yang benar adalah hanya
agama Islam. Karena itu ia memilih untuk memeluk agama tersebut, dan tidak memeluk agama
lainnya. Allah mengutus para nabi dan para rasul untuk membawa Islam dan menyebarkannya,
serta memerangi, menghapuskan serta memberantas kekufuran dan syirik. Salah satu gelar
Rasulullah adalah al-Mahi. Ketika beliau ditanya maknanya beliau menjawab:
ه) لم و�الترمذي وغير� �خ�اري وم�س� �ف�ر� (رو�اه الب �ك �ي� ال �م�ح�و الله� ب �م�اح�ي� الذ�ي� ي �ا ال و�أن
”Aku adalah al-Mahi, yang dengan mengutusku Allah menghapuskan kekufuran”. (HR. al-Bukhari,
Muslim, dan at-Tirmidzi)
Sebagian orang ada yang beriman, dan mereka adalah orang-orang yang berbahagia. Sebagian
lainnya tidak beriman, dan mereka adalah orang-orang yang celaka dan akan masuk neraka serta
kekal di dalamnya tanpa penghabisan.
Allah menurunkan agama Islam untuk diikuti. Seandainya manusia bebas untuk berbuat
kufur dan syirik, bebas untuk berkeyakinan apapun sesuai apa yang ia kehendaki, maka Allah tidak
akan mengutus para nabi dan para rasul, serta tidak akan menurunkan kitab-kitab-Nya.
Adapun maksud dari firman Allah:
�ف�ر� (الكهف: �ك �ي اء� ف�ل �ؤ�م�ن� و�م�ن� ش� �ي اء� ف�ل )29ف�م�ن� ش�
Yang secara zhahir bermakna “Barang siapa berkehandak maka berimanlah ia, dan barang siapa
berkehandak maka kafirlah ia”, QS. Al-Kahfi: 29, bukan untuk tujuan memberi kebebasan untuk
memilih (at-takhyir) antara kufur dan iman. Tapi tujuan dari ayat ini adalah untuk ancaman (at-
tahdid). Karena itu lanjutan dari ayat tersebut adalah bermakna “Dan Kami menyediakan neraka
bagi orang-orang kafir”.
Demikian pula yang maksud dengan firman Allah:
اه� ف�ي الد/ين� (البقرة: �ر� �ك )256ال� إ
Yang secara zhahir bermakna bahwa dalam beragama tidak ada paksaan. Ayat ini bukan dalam
pengertian larangan memeksa orang kafir untuk masuk Islam. Sebaliknya, seorang yang kafir
sedapat mungkin kita ajak ia untuk masuk dalam agama Islam, karena hanya dengan demikian ia
menjadi selamat di akhirat kelak. Adapun ayat di atas menurut salah satu penafsirannya sudah
dihapus (mansukhah) oleh ayat as-saif. Yaitu ayat yang berisi perintah untuk memerangi orang-
orang kafir. Sementara menurut penafsiran lainnya bahwa ayat di atas hanya berlaku bagi kafir
dzimmyy saja.
Bahwa manusia terbagi kepada dua golongan, sebagian ada yang mukmin dan sebagian lainnya
ada yang kafir, adalah dengan kehendak Allah. Artinya, bahwa Allah telah berkehandak untuk
memenuhi neraka dengan mereka yang kafir, baik dari kalangan jin maupun manusia. Namun
demikian Allah tidak memerintahkan kepada kekufuran, dan Allah tidak meridlai kekufuran tersebut.
Karena itu dalam agama Allah tidak tidak ada istilah pluralisme beragama sebagai suatu ajaran dan
ajakan. Demikian pula tidak ada istilah sinkretisme; atau faham yang menggabungkan “kebenaran”
yang terdapat dalam beberapa agama atau semua agama yang lalu menurutnya diformulasikan.
Seorang yang berkeyakinan bahwa ada agama yang hak selain agama Islam maka orang ini bukan
seorang muslim, dan dia tidak mengetahui secara benar akan hakekat Islam.
Allah berfirman:
�ي� د�ين� (الكافرون: �م� و�ل �ك �م� د�ين �ك )6ل
Makna zhahir ayat ini “Bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku”, QS. Al-Kafirun: 6.Maksud
ayat ini sama sekali bukan untuk pembenaran atau pengakuan terhadap keabsahan agama lain.
Tapi untuk menegaskan bahwa Islam bertentangan dengan syirik dan tidak mungkin dapat
digabungkan atau dicampuradukan antara keduanya. Artinya, semua agama selain Islam adalah
agama batil yang harus ditinggalkan.
Kemudian firman Allah:
�ين³ (سبأ: ل³ م�ب و� ف�ي ض�ال�� �ع�ل�ى ه�د�ى أ �م� ل �اك �ي و� إ
� �ا أ �ن )24و�إ
Makna zhahir ayat ini “…dan sesungguhnya kami atau kalian –wahai orang-orang musyrik- pasti
berada dalam kebenaran atau dalam kesesatan yang nyata”, QS. Saba’: 24. Ayat ini bukan dalam
pengertian untuk meragukan apakah Islam sebagai agama yang benar atau tidak, tapi untuk
menyampaikan terhadap orang-orang musyrik bahwa antara kita dan mereka pasti salah satunya
ada yang benar dan satu lainnya pasti sesat. Dan tentu hanya orang-orang yang menyembah Allah
saja yang berada dalam kebenaran, sementara orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah
berada dalam kesesatan. Bahkan menurut Abu ‘Ubaidah kata “aw” (أو) dalam ayat di atas dalam
pengertian “wa” (و) yang berarti “dan”. Gaya bahasa semacam ini dalam ilmu bahasa Arab disebut
dengan al-laff wa an-nasyr. Dengan demikian yang dimaksud ayat tersebut adalah “kami berada
dalam kebenaran dan kalian -wahai orang-orang musyrik- dalam kesesatan yang nyata”.
Demikianlah yang telah dijelaskan oleh pakar tafsir, Imam Abu Hayyan al-Andalusi dalam kitab
tafsirnya, al-Bahr al-Muhith.
Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
م� (ءال عمران: ال� �س� �ه� اإل� �د� الل ن �ن� الد/ين� ع� )19إ
“Sesungguhnya agama yang diridlai oleh Allah hanya agama Islam”, QS. Ali ‘Imran: 19.Dalam ayat
lain Allah berfirman:
ر�ين� (ءال عمرا: �خ�اس� ة� م�ن� ال �خ�ر� �ه� و�ه�و� ف�ي اآل� �ل� م�ن �ق�ب �ن� ي �ا ف�ل � د�ين م ال� �س� �ر� اإل� �غ� غ�ي �ت �ب )85و�م�ن� ي
“Dan barang siapa mencari selain agama Islam maka tidak akan diterima darinya dan dia diakhirat
termasuk orang-orang yang merugi”. QS. Ali ‘Imran: 85. Dengan demikian maka Islam adalah satu-
satunya agama yang hak dan yang diridlai oleh Allah bagi para hamba-Nya. Allah memerintahkan
kita untuk memeluk agama Islam ini. Maka satu-satunya agama yang disebut dengan agama
samawi hanya satu, yaitu agama Islam. Tidak ada agama samawi selain agama Islam. Sementara
makna Islam adalah tunduk dan turut terhadap apa yang dibawa oleh nabi dengan mengucapkan
dua kalimat syahadat.
Islam Agama Seluruh Nabi
Agama Islam adalah agama seluruh nabi. Dari mulai nabi dan rasul pertama, yaitu nabi Adam, yang
sebagai ayah -moyang- bagi seluruh manusia, hingga nabi dan rasul terakhir yang sebagai pimpinan
mereka dan makhluk Allah paling mulia, yaitu nabi Muhammad. Demikian pula seluruh pengikut
para nabi adalah orang-orang yang beragama Islam. Orang yang beriman dan mengikuti nabi Musa
pada masanya disebut dengan mulim Musawi. Orang yang beriman dan mengikuti nabi ‘Isa pada
masanya disebut dengan muslim ‘Isawi. Demikian pula orang muslim yang beriman dan mengikuti
nabi Muhammad dapat dikatakan sebagai muslim Muhammadi.
Nabi Ibrahim seorang muslim dan datang dengan membawa agama Islam. Allah berfirman:
�ين� (ءال عمران: ر�ك �م�ش� �ان� م�ن� ال �م�ا و�م�ا ك ل �يف�ا م�س� ن �ان� ح� �ك�ن� ك �يا و�ل ان �ص�ر� �ه�ود�يا و�ال� ن اه�يم� ي �ر� �ب �ان� إ )67م�ا ك
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan pula seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang
yang jauh dari syirik dan kufur dan seorang yang muslim. Dan sekali-kali dia bukanlah seorang yang
musyrik”. (QS. Ali ‘Imran: 67)
Nabi Sulaiman seorang muslim dan datang dengan membawa agama Islam. Allah berfirman:
) � ح�يم ح�م�ن� الر� �ه� الر� � الل م �س� �ه� ب �ن �م�ان� و�إ �ي ل �ه� م�ن� س� �ن �م�ين� (النمل: 30إ ل �ي م�س� �ون �ت �وا ع�ل�ي� و�أ �ع�ل �ال� ت )31) أ
“Sesungguhnya surat itu dari Sulaiman, dan sesungguhnya -isi-nya: Dengan menyebut nama Allah
yang maha pemurah lagi maha penyayang, bahwa jangalah kalian berlaku sombong terhadapku
dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang memeluk Islam”. (QS. An-Naml: 30-31)
Nabi Yusuf seorang muslim dan datang dengan membawa agama Islam. Tentang doa nabi Yusuf
Allah berfirman:
�ح�ين� (يوسف: �الص�ال �ي ب �ح�ق�ن �ل �م�ا و�أ ل �ي م�س� �و�ف�ن )101ت
“Wafatkanlah aku dalam keadaan muslim dan gabungkan aku bersama orang-orang yang
saleh”. (QS. Yusuf: 101)
Nabi ‘Isa seorang muslim, juga orang-orang yang beriman kepadanya dan menjadi pengikut
setianya, yaitu kaum Hawwariyyun, mereka semua adalah orang-orang Islam. Allah berfirman:
�ا �ن �أ ه�د� ب �ه� و�اش� �الل �ا ب �م�ن �ه� آ �ص�ار� الل �ن �ح�ن� أ 4ون� ن �ح�و�ار�ي �ه� ق�ال� ال �ل�ى الل �ص�ار�ي إ �ن �ف�ر� ق�ال� م�ن� أ �ك �ه�م� ال �ح�س� ع�يس�ى م�ن �م�ا أ ف�ل�م�ون� (ءال عمران: ل )52م�س�
“Maka tatkala ‘Isa mengetahui keingkaran mereka (Bani Isra’il) berkatalah ia: Siapakah yang akan
menjadi pembela-pembelaku untuk -menegakan agama- Allah. Para Hawwariyyun (sahabat-sahabat
setia) menjawab: Kamilah pembela-pembela -agama- Allah. Kami beriman kepada Allah dan
saksikanlah bahwa sesungguhnya kami adalah orang-orang muslim”. (QS. Ali ‘Imran: 52)
Dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya yang menunjukan bahwa agama semua nabi dan
rasul adalah agama Islam dan bahwa mereka adalah orang-orang Islam. Dengan demikian semua
nabi datang dengan membawa agama Islam, tidak ada seorangpun dari mereka yang mambawa
selain agama Islam.
Adapun perbedaan di antara para nabi adalah terletak dalam syari’at-syari’at yang mereka bawa
saja. Yaitu dalam aturan-aturan hukum praktis, seperti dalam tata cara ibadah, bersuci, hubungan
antar manusia dan lainnya. Tentang hal ini Allah berfirman:
�ه�اج�ا ( ع�ة� و�م�ن ر� �م� ش� �ك �ا م�ن �ن ع�ل �ل¹ ج� �ك )48ل“Dan untuk tiap-tiap umat di antara kamu (umat Muhammad dan umat-umat sebelumnya) Kami
berikan aturan dan jalan yang terang”. (QS. Al-Ma’idah: 48)
dalam ayat ini Allah memberitahukan bahwa masing-masing umat mengikuti syari’atnya tersendiri.
Allah tidak menyatakan bahwa masing-masing memiliki agama tersendiri. Lebih tegas lagi
Rasulullah dalam hal ini bersabda:
�خ�اري) �ى (رو�اه الب ت �ه�م� ش� م�ه�ات� �ه�م� و�اح�د- و�أ �ن �ع�الت³ د�ي �اء� إخ�و�ة- ل �ي �ب األن
“Seluruh nabi bagaikan saudara seayah, agama mereka satu yaitu agama Islam, dan syari’at-
syari’at mereka yang berbeda-beda”. (HR. al-Bukhari)
Dakwah Islam
Seluruh nabi dan rasul menyeru umatnya masing-masing hanya kepada menyembah Allah saja,
tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun. Dalm hal ini Allah berfirman:
�ق�يم�وا الد/ين� �ن� أ اه�يم� و�م�وس�ى و�ع�يس�ى أ �ر� �ب �ه� إ �ا ب �ن �ك� و�م�ا و�ص�ي �ي �ل �ا إ �ن ي و�ح�� �ذ�ي أ ا و�ال �وح� �ه� ن �م� م�ن� الد/ين� م�ا و�ص�ى ب �ك ع� ل ر� ش�
)13(الشورى:
“Allah telah mensyari’atkan bagi bagi kalian tentang agama apa yang telah diwasiatkannya kepada
Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada
Ibrahim, Musa, dan ‘Isa; yaitu tegakanlah agama Islam”. (QS. Asy-Syura: 13)
Dalam ayat ini terdapat pernyataan yang sangat jelas ialah tidak boleh dikatakan bahwa nabi
Ibrahim adalah bapak atau peletak pertama bagi konsep tauhid (monoteisme). Karena semua nabi,
dari mulai nabi Adam, nabi Nuh, nabi Idris, hingga nabi Muhammad semuanya adalah para ahli
tauhid dan membawa misi tauhid trsebut kepada umatnya. Tentang hal ini Allah berfirman:
�د�ون� (األنبياء: �ا ف�اع�ب �ن �ال� أ �ه� إ �ل �ه� ال� إ ن� �ه� أ �ي �ل �وح�ي إ �ال� ن س�ول³ إ �ل�ك� م�ن� ر� �ا م�ن� ق�ب �ن ل س� ر�
� )25و�م�ا أ
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu –wahai Muhammad-, melainkan Kami
wahyukan kepadanya bahwasannya tiada tuhan yang berhak disembah selain Aku, maka
sembahlah oleh kalian akan aku”. (QS. Al-Anbiya: 25)
Seluruh nabi melarang umatnya berbuat syirik atau menyekutukan Allah dengan makhluk-
Nya. Allah berfirman:
اء� (النساء: �ش� �م�ن� ي �ك� ل �غ�ف�ر� م�ا د�ون� ذ�ل �ه� و�ي ك� ب ر� �ش� �ن� ي �غ�ف�ر� أ �ه� ال� ي �ن� الل )48إ
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni bila Dia disekutukan, dan Dia mengampuni selain dosa
menyekutukan itu bagi orang yang Dia kehendaki”. (QS. An-Nisa: 48)
Di masa dahulu, pada masa nabi Adam, nabi Syits dan nabi Idris, seluruh manusia memeluk agama
Islam, tidak ada seorangpun yang kafir atau musyrik kepada Allah. Kekufuran dan perbuatan syirik
baru terjadi setelah masa nabi Idris. Seribu tahun setelah nabi Idris Allah mengutus nabi Nuh untuk
memperbaharui dakwah kepada Islam. Maka nabi Nuh adalah nabi pertama yang diutus oleh Allah
kepada orang-orang kafir. Allah telah mengingatkan seluruh para nabi setelah nabi Nuh dari
perbuatan syirik kepada-Nya. Setelah nabi Nuh kemudian Allah mengutus nabi-nabi dan rasul-rasul
lainnya hingga nabi terakhir yaitu nabi Muhammad. Dan nabi Muhammad ini juga datang dengan
memperbaharui dakwah kepada Islam, setelah sebelumnya terputus di kalangan manusia di muka
bumi ini. Untuk ini beliau dikuatkan dengan berbagai mukjizat sebagai bukti akan kebenaran
kenabiannya.
Ketika ditanya tentang Islam, Rasulullah menjawab:
�ح�ج� م�ض�ان� و�ت �ص�و�م� ر� �اة� و�ت �ي� الزك �ؤ�ت �ة� و�ت �م� الصال �ق�ي و�ل� الله� و�ت س� � إله� إال الله� و�أن م�ح�مد�ا ر� ه�د� أن� ال �ش� �م� أن� ت ال اإلس�� (رواه مسلم) �ال �ي ب �ه� س� �ي �ط�ع�ت� إل ت �ت� إن� اس� �ي �ب ال
“Islam adalah bahwa engkau bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah
dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa
ramadlan, dan melaksanakan haji ke baitullah jika engkau mampu”. (HR. Muslim)
Dan ketika Rasulullah tentang iman, Rasulullah menjawab:
( �م- ل ره� (رو�اه� م�س� �ر�ه� و�ش� ي �ؤ�م�ن� بالق�د�ر� خ� � اآلخ�ر� و�ت �و�م �ي �ه� و�ال ل س� �ه� و�ر� �ب �ت �ه� و�ك �ت �ك �ئ �الله� و�م�ال �ؤ�م�ن� ب أن� ت
“Bahwa engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari
akhir, dan engkau beriman dengan ketentuan Allah; baik dan buruknya”. (HR. Muslim)
Konsep Iman Dalam Islam
Ketika al-Qur’an memerintahkan manusia untuk beriman kepada Allah, maka al-Qur’an pula yang
menjelaskan konsep atau cara beriman kepada Allah tersebut. Konsep inilah yang membedakan
antara cara beriman seorang yang benar-benar beriman kepada-Nya dengan seorang yang
mengaku-aku beriman kepada-Nya namun sesungguhnya dia bukan seorang mukmin. Karena
hakekat beriman kepada Allah tidak hanya sebatas percaya keberadaan-Nya saja, lalu selesai.
Tetapi mempercayai adanya Allah sesuai dengan konsep yangtelah dijelaskan oleh al-Qur’an.
Masalah tauhid dan tanzih adalah di antara dua prinsip terpenting dalam konsep beriman kepada
Allah yang telah ditekankan oleh al-Qur’an.
1. Tauhid. Pengertian tauhid ialah berkeyakinan bahwa Allah maha esa, bahwa hanya Dia
yang berhak disembah, dan bahwa hanya Dia yang menerima ibadah kita. Prinsip ini
terkandung dalam kalimat La Ilaha Illallah, artinya tidak ada tuhan yang berhak disembah
kecuali Allah. Bila seseorang beribadah kepada selain Allah maka ia telah terjatuh dalam
syirik dan telah keuar dari prinsip tauhid ini. Beribadah artinya mempersembahkan puncak
ketundukan dan pengagungan kepada Allah. Perbuatan-perbuatan yang memiliki makna
dan mengagungkan dan mentaati Allah hingga ke puncak pengagungan dan ketundukan, -
yang melampaui pengagungan dan ketaatan kepada sesama manusia-, inilah yang maksud
dengan pengertian ibadah.
2. Tanzih. Artinya mensucikan Allah dari menyerupai makhluk-Nya. Prinsip tanzih adalah
berkeyakinan bahwa Allah tidak menyerupai suatu apapun dari makhluk-Nya. Allah
berfirman:
ي�ء- �ه� ش� �ل �م�ث �س� ك �ي )11(الشورى: ل
“Dia Allah tidak menyerupai sesuatu apapun dari makhluk-Nya”. (QS. Asy-Syura: 11)
Dengan dasar ini maka kaum muslimin berkeyakinan bahwa Allah bukan benda, dan tidak disifati
dengan sifat-sifat benda. Karena itu mereka berkeyakinan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa
arah. QS. Asy-Syura: 11 di atas adalah ayat yang paling jelas dalam al-Qur’an dalam menjelaskan
bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Ayat ini sangat luas maknanya, ia
mengandung pemahaman at-tanzih al-kulliyy, artinya kesucian yang total dari menyerupai makhluk.
Kandungan ayat ini memberikan pemahaman bahwa Allah bukan sebagai benda, dan tidak boleh
disifati dengan sifat-sifat benda, seperti bergerak, diam, turun, naik, berubah, pindah dari satu
keadaan kepada keadaan yang lain, bersemayam, memiliki arah dan lain sebagainya. Imam Abu
Hanifah berkata: “Suatu hal yang mustahil Allah menyerupai makhluk-Nya”.
Ulama Ahlussunnah berkeyakinan bahwa alam (segala sesuatu selain Allah) terbagi kepada
dua bagian, yaitu benda dan sifat benda. Kemudian benda terbagi kepada dua macam:
1. Benda Lathif, yaitu benda yang tidak dapat diraba dengan tangan, seperti cahaya,
kegelapan, udara, ruh, dan lainnya.
2. Benda Katsif, yaitu benda yang dapat diraba dengan tangan, seperti manusia, tanah, dan
benda-benda padat lainnya.
Sedangkan sifat benda contohnya seperti bergerak, diam, berubah, bersemayam, berada pada
tempat dan arah, duduk, turun, naik, dan lain sebagainya. Ayat di atas menjelaskan kepada kita
bahwa Allah sama sekali tidak menyerupai makhluk-Nya. Dia bukan benda lathif juga bukan benda
katsif. Dan Dia tidak boleh disifati dengan sifat-ifat benda tersebut. Ayat ini lebih dari cukup untuk
dijadikan dalil bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Karena seandainya Allah mempunyai
arah dan tempat maka akan banyak yang serupa dengan-Nya. Dan bila demikian maka berarti Dia
memiliki dimensi (panjang, lebar, dan kedalaman). Dan segala sesuatu yang memiliki dimensi maka
dia itu pasti sebagai makhluk yang membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam dimensi
tersebut.
Dua prinsip keimanan ini, tauhid dan tanzih, adalah di dua perkara yang tidak dapat dipisahkan satu
sama lainnya. Dengan demikian beriman kepada Allah baru dianggap benar dan sah bila dibarengi
dengan dua prinsip keimanan tersebut. Tanpa mempercayai dua prinsip keimanan terhadap Allah ini
maka keimanan tersebut adalah keimanan yang cacat, dan pemeluknya tidak dikatakan seorang
mukmin.
Makna Kufur Dalam al-Qur’an
Iman adalah kebalikan dari kufur. Secara umum jika kata kufur dipakai dalam al-Qur’an maka yang
dimaksud adalah keluar dari Islam. Namun kata kufur terkadang juga dipergunakan untuk
mengungkapkan dosa besar. Inilah yang dimaksud dengan kufr duna kufr, artinya kufur yang berada
di bawah kekufuran. Makna kufur yang kedua ini bukan dalam pengertian kufur yang mengelurkan
seseorang dari Islam. Contohnya seperti dalam firman Allah QS. al-Ma’idah, pada ayat 44, 45, dan
47. Kata kufur terkadang juga dipakai untuk mengungkapkan kufur nikmat (juhud an-ni’mah), yaitu
lawan dari syukur. Perbedaan makna yang dimaksud sangat tergantung kapada konteks ayat dan
dalil-dali lain yang terkait.
Bentuk kekufuran dapat terjadi dengan mengandung syirik atau penyekutuan terhadap Allah.
Namun dapat pula terjadi dengan tanpa mengandung syirik. Seorang yang kafir ada kalanya karena
dia terlahir dari keluarga yang kafir lalu ia tumbuh dan baligh dalam keyakinan kufur tersebut, orang
ini dinamakan kafir ashliyy. Dan ada kalanya ia semula seorang muslim lalu kemudian keluar dari
Islam, orang demikian ini dinamakan dengan kafir murtadd. Kekufuran kadang dilakukan secara
terang-terangan oleh pelakuanya dan pelaku tersebut mengaku sebagai non muslim (kafir mu’lin li
kufrih). Dan ada kalanya kekufuran ini disembunyikan di dalam hati sementara lidahnya mengaku
sebagai seorang muslim, orang demikian ini dinamakan kafir munafiq.
Seluruh kekufuran pada dasarnya berasal dari salah satu dari tiga macam pintu kufur. Yaitu;
1. Ta’thil. Yaitu menafikan adanya Allah, atau menafikan salah satu dari sifat-sifat-Nya yang
telah disepakati oleh para ulama.
2. Tasybih. Yaitu menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, seperti berkeyakinan bahwa Allah
sebagai cahaya, meyakini Allah memiliki anggota badan, seperti muka, tangan, kaki dan
lainnya. Termasuk dalam hal ini mensifati Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya.
3. Takdzib. Yaitu mendustakan Allah dan rasul-Nya, seperti mendustakan salah satu ayat al-
Qur’an atau ajaran yang telah diketahui secara pasti keberadaannya, baik oleh orang-orang
Islam yang alim maupun oleh orang-orang Islam yang awam. Perkara yang telah diketahui
secara pasti semacam ini disebut dengan ma’lum min ad-din bi adl-dlarurah. Seperti orang
yang berkeyakinan bahwa kenikmatan di surga tidak dapat dirasakan secara indrawi, atau
berkeyakinan bahwa siksa neraka tidak terjadi secara fisik.
Adapun pembagian dari segi macamnya, kekufuran dapat terjadi dengan salah satu dari tiga
perkara, sebagaimana disepakati oleh ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah dari empat madzhab, di
antaranya; dari ulama madzhab Syafi’i; Imam an-Nawawi dalam kitab Raudlah at-Thalibin dan
Imam Taqiyyiddin al-Hushni dalam kitab Kifayat al-Akhyar, dari ulama madzhab Hanafi; Imam Ibn
Abidin dalam kitab Radd al-Muhtar ‘Ala ad-Durr al-Mukhtar, dari ulama madzhab Hanbali; Imam al-
Buhuti, dan dari madzhab Maliki; Imam Muhammad Illaisy, serta berbagai ulama lainnya. Tiga
macam kufur tersebut ialah:
1. Kufur I’tiqadi (kufur keyakinan). Kufur ini letaknya di dalam hati. Seperti menafikan sifat-sifat
wajib bagi Allah, (seperti sifat Qudrah, Iradah, sama’, Bashar, dan lainnya), atau berkeyakinan
bahwa Allah adalah sinar, atau bahwa Dia adalah ruh. Tentang hal ini Imam ‘Abdul Ghani an-
Nabulsi berkata:
�م- ل ع�م� أنه� م�س� �اف�ر- وإن� ز� م- ق�اع�د- ف�و�ق� الع�ر�ش� ف�ه�و� ك � السم�و�ات� و�األر�ض� أو� أنه� ج�س� �ق�د� أن الله� م�أل� م�ن اع�ت
“Barang siapa berkeyakinan bahwa Allah adalah benda yang memenuhi langit dan bumi atau
bahwa Dia adalah benda yang duduk bertempat di atas arsy maka ia adalah seorang yang kafir,
sekalipun ia mengaku bahwa dirinya seorang muslim”.
Contoh lain dari kufur i’tiqadi; Seorang yang ragu-ragu tentang ketuhanan Allah, ragu-ragu
tentang Rasul-Nya, ragu akan kebenaran al-Qur’an, atau hari akhir, atau adanya surga dan neraka,
atau adanya pahala dan siksa, dan perkara-perkara yang telah disepakati akan kebenarannya.
Menyakini bahwa Allah adalah benda katsif (benda yang dapat disentuh dengan tangan, seperti
manusia, binatang, bulan, bintang dan lainnya), atau meyakini bahwa Allah adalah benda lathif
(benda yang tidak dapat disentuh dengan tangan, seperti cahaya, kegelapan, ruh, udara, dan
lainnya). Meyakini halal akan sesuatu yang telah disepakati (ijma’) ke-haramannya, seperti
menghalalkan zina, membunuh, mencuri, dan lainnya. Atau meyakini haram akan sesuatu yang
telah disepakati (ijma’) akan ke-halalannya, seperti mengharamkan menikah, jual beli, dan lainnya.
Atau mengingkari kewajiban yang telah disepakati (ijma’), seperti mengingkari kewajiban shalat lima
waktu, zakat, puasa ramadlan, haji, dan lainnya. Atau jika seseorang berniat untuk menjadi kafir di
masa mendatang, maka orang ini menjadi kafir saat itu juga (saat ia meletakan niat kufur tersebut).
Atau mendustakan para nabi, atau salah seorang dari mereka yang telah disepakati (ijma’) akan
kenabiannya. Atau membolehkan adanya nabi setelah nabi Muhammad. Dan lain sebagainya.
Dalil adanya kufur i’tiqadi adalah firman Allah:
�و�ا (الحجرات: �اب ت �ر� �م� ي �م� ل �ه� ث و�ل س� �و�ا بالله� و�ر� �ن� ء�ام�ن �و�ن� الذ�ي �م�ؤ�م�ن )15إنم�ا ال
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-
Nya dan mereka tidak ragu”. (QS. Al-Hujurat: 15)
2. Kufur Fi’li (kufur perbuatan), artinya kufur yang terjadi karena perbuatan. Seperti melemparkan
al-Qur’an, atau lembaran-lembaran bertuliskan ayat al-Qur’an di tempat yang menjijikan, seperti
wcl/kamar mandi dan lainnya. Imam Ibn ‘Abidin berkata: “Jika seseorang melakukan demikian maka
ia telah menjadi kafir sekalipun ia tidak bertujuan untuk menghinakan, karena perbuatannya tersebut
sudah menunjukan penghinaan”. Demikian pula melemparkan lembaran-lembaran yang berisikan
ilmu-ilmu syari’at di tempat menjijikan tersebut, atau lembaran yang berisikan nama-nama Allah, apa
bila ia mengetahui bahwa lembaran itu memuat hal-hal tersebut. Demikian pula seorang yang
menggantungkan lambang-lambang kufur pada dirinya yang bukan karena darurat (seperti salib dan
lainnya), jika ia bertujuan dari pada itu untuk mencari berkah, atau untuk mengagungkannya, atau
karena manganggap perkara tersebut sebagai sesuatu yang halal, maka orang ini telah menjadi
kafir. Termasuk seorang yang bersujud/menyebah berhala, atau sesembahan orang kafir lainnya
dengan tujuan beribadah kepadanya.
Dalil dari adanya kufur Fi’li adalah firman Allah:
�ق�م�ر� (فصلت: �ل � ل �لشم�س� و�ال ج�د�و�ا ل �س� � ت )37ال
“Janganlah kalian sujud kepada matahari dan jangan pula kalian sujud kepada bulan”. (QS.
Fushishlat: 37)
3. Kufur Qauli (kufur perkatan). Artinya kufur yang terjadi karena perkataan. Contoh kufur ini sangat
banyak, dan macam kufur ini yang sering terjadi pada masyarakat. Seperti orang yan mencaci maki
Allah, mencaci maki para nabi Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-Nya, atau
segala sesuatu yang yang diagungkan dalam Islam. Imam al-Qadli ‘Iyadl al-Maliki dalam kitab asy-
Syifa Bi Ta’rif Huquq al-Musthafa berkata: “Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa
orang yang mencaci maki Allah telah mnejadi kafir”.
Contoh; Seorang muslim berkata kepada sesama muslim lainnya: “Wahai kafir…!”, tanpa
ada takwil dari yang mengucapkannya. Maka orang yang berkata demikian telah menjadi kafir,
karena ia telah menamakan Islam sebagai kekufuran.
Contoh; Seseorang berkata: “Saya sangat rajin shalat, namun rizki saya sangat sulit.
Sementara tetangga saya tidak pernah shalat,naun rizkinya sangat luas. Ini berarti Allah telah
menzhalimi saya…!”. Maka orang ini telah menjadi kafir.
Contoh; Seorang yang sedang sakit parah berkata: “Jika Allah menyiksa saya karena saya
meninggalkan shalat dengan kondisi sakit parah semacam ini, maka berarti Allah telahmenzhalimi
saya…!. Maka orang ini telah mnejadi kafir.
Contoh; Seorang yang sedang sakit parah, karena ia tidak sabar dalam sakitnya, ia berkata:
“Ya Allah matikanlah saya segera, terserah Engkau mau Engkau matikan saya dalam keadaan
Islam atau dalam keadaan kafir…”. Maka orang semacam ini telah menjadi kafir.
Contoh; Seseorang berkata: “Untuk apa mengeluarkan zakat, itu hanya membodohi orang-
orang malas saja, mereka akan bertambah malas jika mereka di beri harta zakat…!”. Orang yang
berkata semacam ini telah menjadi kafir.
Dalil dari kufur Qauli adalah firman Allah:
�م�ه�م� (التوبة: ال �ع�د� إس� و�ا ب �ف�ر� �ف�ر� و�ك �ك �م�ة� ال �ل �و�ا ك �ق�د� ق�ال �و�ا و�ل �الله� م�ا ق�ال �ف�و�ن� ب ل �ح� )74ي
“Mereka (orang-orang kafir) bersumpah dengan nama Allah atas apa yang telah mereka ucapkan,
padahal mereka telah benar-benar berkata-kata kufur, dan mereka telah menjadi kafir setelah
mereka Islam”. (QS. At-Taubah: 74)
Pengecualian Dari Dari Kufur Qauli
Ada beberapa pengecualian dari kufur Qauli, sebagai berikut:
1. Dalam keadaan sabqullisan. Artinya “salah ucapan”, ia berkehendak mengucapkan suatu
kalimat yang bukan kufur, namun yang keluar adalah kalimat kaufur. Ia sama sekali tidak
bertujuan untuk mengucapkan kalimat kufur ini.
2. Dalam keadaan hilang akal. Karena orang semacam ini tidak mukallaf (tidak memiliki beban
syari’at), seperti orang yang gila.
3. Dalam keadaan dipaksa dengan pembunuhan. Artinya bila seorang muslim dipaksa dengan
ancaman bunuh untuk berkata-kata kufur, maka bila orang ini berkata kufur tersebut ia tidak
menjadi kafir. Dengan ketentuan hatinya harus mengingkari apa yang ia ucapkannya.
4. Dalam keadaan menceritakan kata-kata kufur dari orang lain. Artinya orang yang
menceritakan kekufuran orang lain ini tidak menjadi kafir, dengan ketentuan ia tidak meridlai
atau menyetujui kekufuran tersebut. Juga dengan ketentuan ia harus mengucapkan “adat al-
hikayah”. Arti adat hikayat adalah kalimat yang membebaskan drinya dari kekufuran
tersebut, contoh; “Si Fulan berkata:….”, atau “Orang Kristen berkata:….”.
Kaedah:
1. Setiap keyakinan, atau perbuatan, atau perkataan yang menunjukan kepada pengingkaran,
mendustakan, penghinaan, cacian, atau merendahkan terhadap Allah, Kitab-kitab-Nya, para
Rasul-Nya, para malaikat-Nya, lambang-lambang-Nya, ajaran-ajaran agama-Nya, hukum-
hukum-Nya, janji-janji-Nya dan ancaman-ancaman-nya, maka hal itu adalah merupakan
kekufuran.
2. Pengingkaran atau cacian di sini dapat mengeluarkan seeorang dari Islam, sama saja
perkara tersebut terjadi pada orang itu dalam keadaan normal, atau dalam keadaan marah,
maupun dalam keadaan bercanda. Juga sama saja hukumnya, baik orang tersebut
mengetahui hukumnya atau tidak.
3. Seseorang yang jatuh dalam salah satu dari tiga macam kufur di atas maka ia menjadi kafir,
sama halnya ia berniat keluar dari Islam atau tidak berniat keluar dari Islam. Dan sama
halnya hati orang tersebut tenang/menyetujui kekufuran yang terjadi tersebut atau tidak.
4. Setiap satu dari tiga macam kufur di atas dengan sendirinya mengeluarkan seseorang dari
Islam, sekalipun dua macam lainnya tidak terjadi. Artinya jika terjadi kufur Qauli pada diri
seseorang maka ia menjadi kafir, sekalipun ia tidak jatuh dalam kufur I’tiqadi dan kufur Fi’li.
Faedah:
Seorang yang jatuh dalam salah satu dari tiga macam kufur di atas wajib atasnya untuk kembali
masuk Islam dengan segera, yaitu dengan mengucapkan dua kalimat Syahadat. Tidak cukup
baginya hanya dengan mengucapkan istighfar. Di haruskan pula baginya untuk melepaskan perkara
kufur yang terjadi pada dirinya tersebut, juga ia wajib menyesali kejadian kufur tersebut, serta harus
menetapkan niat kuat dalam hatinya bahwa ia tidak akan pernah kembali lagi kepada kekufuran
tersebut.
Wa Allahu A’lam Bi as-Shawab.