issn : 2087 - 9865 volume viii nomor 2, juni 2018repository.ittelkom-pwt.ac.id/615/1/jurnal...
TRANSCRIPT
Kajian Sosiologi Masjid Al-Irsyad Parahyangan BandungELIANNA GERDA PERTIWI
Logo Kota Jogja 'Jogja Istimewa’MONICA REVIAS PURWA KUSUMA
Ambiguitas Target Komunikasi Marketing dalam Konser Malam Gembira : Merayakan Karya Cipta Guruh Soekarno Putra
GISELA ANINDITA
Aspek Hukum dalam Pengelolaan Produksi Media Televisi dan FilmFERDINANDA
Pengaruh Metode Dalcroze terhadap Peningkatan Kemampuan Mendeteksi Nada dan Ritme Siswa Kelas V SD Kanisius Wates Yogyakarta
LUSIA HESTININGTYAS
Tradisi Mooi Indie dalam Imaji Fotografi Kartu Pos IndonesiaNOFRIZALDI
Hidup Berdampingan dengan Zona Merah Pasca Erupsi Gunung Sinabung dalam Fotografi Dokumenter
BENNY KURNIADI
Grup Dambus Maharani dalam Festival Budaya Kota Pangkalpinang Kepulauan Bangka Belitung
ONNY NUR PRATAMA
Flying Baloons Puppet : Proses Kreatif Dan Metode Penciptaan Pertunjukan Teater Boneka
WAHYU KURNIA
Perwujudan Chimera melalui Seni AsemblasiYUSUF FERDINAN YUDHISTIRA
Tari Manumpe: Sebuah Kajian GenderFERI FADLI POMONTOLO
Partisipasi Masyarakat dan Komunitas Wisata Kampung Dolanan Panggungharjo Sewon BantulM. AMIN SALAM
Teknik “Chroma Key” Pada Film Superhero “Braja- Jubah Perang”BENI PUSANDING TUAH
Proses Kreatif Program Feature “hangout” Di Mnc Home Living (Indovision)ARIFA KHAIRIANTI
ISSN : 2087 - 9865Volume VIII Nomor 2, Juni 2018
Hamdan Juhanis
DAFTAR ISI
Kajian Sosiologi Masjid Al-Irsyad Parahyangan Bandung Elianna Gerda Pertiwi 01 - 11
Logo Kota Jogja ‘Jogja Istimewa’ Monica Revias Purwa Kusuma
12 - 29
Ambiguitas Target Komunikasi Marketing dalam Gisela Anindita 30 - 36
Konser Malam Gembira : Merayakan Karya Cipta
Guruh Soekarno Putra
Aspek Hukum dalam Pengelolaan Produksi Ferdinanda 37 - 44
Media Televisi dan Film
Pengaruh Metode Dalcroze terhadap Peningkatan Lusia Hestiningtyas 45 - 53 Kemampuan Mendeteksi Nada dan Ritme Siswa
Kelas V SD Kanisius Wates Yogyakarta
Tradisi Mooi Indie dalam Imaji Fotografi Nofrizaldi 54 - 64 Kartu Pos Indonesia
Hidup Berdampingan dengan Zona Merah Pasca Erupsi Benny Kurniadi 65 - 78 Gunung Sinabung dalam Fotografi Dokumenter
Grup Dambus Maharani dalam Festival Budaya Onny Nur Pratama 79 - 98 Kota Pangkalpinang Kepulauan Bangka Belitung
Flying Baloons Puppet : Proses Kreatif dan Wahyu Kurnia 99 - 108 Metode Penciptaan Pertunjukan Teater Boneka
Perwujudan Chimera melalui Seni Asemblasi Yusuf Ferdinan Yudhistira 109 - 116
Tari Manumpe: Sebuah Kajian Gender Feri Fadli Pomontolo 117 - 125
Partisipasi Masyarakat dan Komunitas Wisata M. Amin Salam 126 - 133 Kampung Dolanan Panggungharjo Sewon Bantul
Teknik “Chroma Key” Pada Film Superhero Beni Pusanding Tuah 135 - 143
“Braja- Jubah Perang”
Proses Kreatif Program Feature Arifa Khairianti 144 - 152
“Hangout” di Mnc Home Living
(Indovision)
12
Harmoni, Volume 8 Nomor 2, Juni 2018 ISSN 2087-9865
LOGO KOTA JOGJA ‘JOGJA ISTIMEWA’
MONICA REVIAS PURWA KUSUMA
Institut Teknologi Telkom Purwokerto
Abstrak: Suatu logo sebuah kota pada city branding diperoleh maknanya
dari suatu kualitas yang disimbolkan melalui pendekatan budaya daerah
tersebut dan penempatan posisi (positioning) historis daerah tersebut.
Yogyakarta sebagai salah satu kota besar yang mempunyai predikat
Daerah Istimewa di Indonesia mempunyai keberagaman destinasi wisata
yang menarik banyak wisatawan lokal maupun mancanegara. Di era
globalisasi sekarang ini kota Jogja tak terelakkan harus mampu memberi
pesona lebih dalam membangun citra kotanya agar tidak tersaingi oleh
kota lain di Indonesia. Penerapan city branding pada kota Jogja digagas
untuk memperbaharui citra untuk menyesuaikan semangat jaman yang
ada saat ini. Salah satu elemen yang di-rebranding yaitu logo dan tagline
kota Jogja. Logo kota Jogja Istimewa tidak terbentuk begitu saja tanpa
ada makna-makna yang bersifat kesejarahan ikut membentuk logo
tersebut. Penelitian kualitatif ini mencoba mencari makna-makna yang
terkandung pada logo tersebut dengan cara menelaah hal-hal yang
bersifat tekstual, konseptual, dan simbolik menggunakan pendekatan
Ikonologi-Ikonografi yang dikemukakan oleh Erwin Panowsky dalam
bukunya yang berjudul “Meaning in The Visual Art”. Kesimpulan yang
di dapat dari penelitian ini adalah makna ekspresional yang muncul pada
logo tersebut adalah prinsip kesederhanaan tetapi menyiratkan ketegasan,
keberanian, dan kebulatan tekad di baliknya. Tema & konsep yang
diungkap pada logo ‘Jogja Istimewa’ adalah tema kesederhanaan ‘wong
cilik’ yang tetap berpegang pada tradisi. Nilai simbolik yang
diungkapkan dalam logo ‘Jogja Istimewa’ merupakan kristalisasi simbol-
simbol kebudayaan Jogja yang mempunyai banyak filosofi misalnya 9
Renaisance,Cokro Manggilingan, Hamemayu Hayuning Bhawana, dll.
Kata kunci: Ikonologi-ikonografi, logo, city branding, Yogyakarta
Abstract: The quality of logo and brand of a city are coming from the
meaningful aspect and historical position of the city branding.
Yogyakarta as one of the big city in Indonesia who got “Special Region”
title on it, have a lot of interesting and historical tourism destination that
attract local and foreign tourist. In this globalization time, unavoidably
Yogyakarta have to create special charm to build strogner image of the
city that will win the competition with the other city. City branding is one
of visual communication strategy to win this competition through re-
branding logo and new tagline for the city. The new logo and tagline for
‘Jogja Istimewa’ is a culmination of how historical and cultural aspect
13
Harmoni, Volume 8 Nomor 2, Juni 2018 ISSN 2087-9865
influence visual communication design strategy. This qualitative
research aim to find meaning in this new logo through Erwin Panofsky’s
Iconography and Iconology approach from “Meaning in The Visual Art”
Book. The result of this research will be a thick description about the
theme also the concept, and deep interpretation of the visual and
symbolic aspect of the new ‘Jogja Istimewa’ logo. Conclusion from this
research is the meaning of ekspresional which appears on logo was the
simplicity but implying firmness, courage, and determination behind that.
Themes and concepts that are expressed on the logo ‘Jogja Istimewa’
was the theme of the simplicity of the ‘little people’ who stick to
traditions. Symbolic values expressed in the logo "Yogyakarta Special" is
the crystallization of cultural symbols of Jogja that has lot of philosophy
for example 9 Renaisance, Manggilingan, Hamemayu Hayuning Cokro
Bhawana,etc.
Keywords: Iconology-iconography, logo, city branding, Yogyakarta
A. Pendahuluan
Pemasaran sebuah kota
maupun daerah dan negara menjadi
suatu hal yang sangat penting dewasa
ini. Dalam keadaan tersebut suatu
kota, daerah maupun negara telah
berusaha membuat citra yang baik
agar lebih menonjol dari kompetitor
mereka. Dampak globalisasi
melahirkan semangat untuk
membangun sebuah kota di
Indonesia, salah satunya dengan city
branding. City Branding adalah salah
satu strategi dari suatu kota, daerah,
atau negara untuk membuat
positioning kuat dari sebuah produk
atau jasa daerah tersebut sehingga
dikenal luas. City branding dapat
diartikan sebagai sebuah proses
dalam membentuk suatu merek suatu
daerah ataupun kota supaya dikenal
oleh target pasar yang dituju
misalnya investor atau turis dapat
menggunakan logo, slogan, eksibisi,
serta positioning yang baik dalam
bentuk media promosi. Dalam proses
branding ini, kota atau suatu wilayah
tertentu ‘dikemas’ dengan suatu
brand identity dan brand. Melalui
brand identity inilah identitas kota
berupa nilai, sejarah, kultur, karakter
dan kondisi sosialnya dirangkum
dalam visual (logo dan ikon) maupun
verbal (naming dan tagline).
Fokus yang akan diteliti
dalam penelitian ini adalah logo yang
digunakan sebagai ikon yang
menggambarkan suatu kota dalam
sebuah city branding. Logo berasal
dari Bahasa Yunani yaitu logos ,
yang berarti kata, pikiran,
pembicaraan, akal budi. Sularko, dkk
(2008:6) dalam buku How Do They
Think, mengemukakan bahwa logo
atau corporate identity atau brand
identity adalah sebuah tanda yang
secara langsung tidak menjual, tetapi
memberi suatu identitas yang pada
akhirnya sebagai alat pemasaran
yang signifikan, bahwa logo mampu
membantu membedakan suatu
produk atau jasa dari kompetitornya.
Suatu logo sebuah kota pada city
branding dapat diidentifikasi
maknanya dari simbol yang terdapat
di dalamnya melalui pendekatan
budaya daerah tersebut, penempatan
14
Harmoni, Volume 8 Nomor 2, Juni 2018 ISSN 2087-9865
posisi (positioning) historis daerah
tersebut, nantinya apa yang diartikan
atau dimaksudkan lebih penting
daripada seperti apa yang
divisualisasikan.
Yogyakarta sebagai salah satu
kota besar yang mempunyai predikat
Daerah Istimewa di Indonesia
mempunyai keberagaman destinasi
wisata yang menarik banyak
wisatawan lokal maupun
mancanegara. Unsur alam dan
historikal dibalut secara apik dalam
sebuah tradisi yang mempesona. Di
era globalisasi sekarang ini kota
Jogja tak terelakkan harus mampu
memberi pesona lebih dalam
membangun citra kotanya agar tidak
tersaingi oleh kota lain yang ada di
Indonesia. Penerapan city branding
pada kota Jogja digagas untuk
memperbaharui citra untuk
menyesuaikan semangat jaman yang
ada saat ini. Salah satu elemen yang
di-rebranding adalah logo dan
tagline kota Jogja. Logo Jogja yang
terdahulu menggunakan tipografi
dekoratif berwarna hijau khas
keraton Jogja dengan tagline yang
berbunyi “never ending asia”,
sedangkan logo yang baru
menggunakan tipografi yang lebih
simpel dengan warna merah khas
logo keraton Jogja dengan pergantian
tagline menjadi ‘Jogja Istimewa’.
Sumber : www.google.com
Gambar 1. Logo Jogja lama (atas)
dan logo Jogja baru (bawah)
Logo kota Jogja Istimewa
tidak terbentuk begitu saja tanpa ada
makna-makna yang bersifat
kesejarahan ikut membentuk logo
tersebut. Dalam penelitian ini
mencoba mencari makna-makna
yang terkandung pada logo tersebut
dengan cara menelaah hal-hal yang
bersifat tekstual, konseptual, dan
simbolik menggunakan pendekatan
Ikonologi-Ikonografi yang
dikemukakan oleh Erwin Panowsky
dalam bukunya yang berjudul
“Meaning in The Visual Art”.
Adapun rumusan masalah
yang muncul pada penelitian ini
adalah bagaimana telaah makna yang
terdapat pada logo Jogja Istimewa
yang bersifat tektual, konseptual, dan
simbolik berdasarkan teori
Ikonografi-Ikonologi Erwin
Panowsky?
Tujuan Penelitian ini adalah
untuk mendeskripsikan aspek visual
apa saja pada logo ‘Jogja Istimewa’
yang bersifat faktual maupun
ekspresional, untuk menganalisis
tema dan konsep yang membangun,
dan untuk menginterpretasi nilai
simbolik yang disampaikan dalam
logo Jogja Istimewa tersebut
Logo Kota Jogja ‘Jogja Istimewa’
15
Harmoni, Volume 8 Nomor 2, Juni 2018 ISSN 2087-9865
menggunakan teori Ikonologi-
Ikonografi Erwin Panowsky.
B. Metode Penelitian
Metode penelitian yang
digunakan adalah kualitatif yaitu
penelitian yang bermaksud untuk
memahami fenomena tentang apa
yang dialami oleh subjek penelitian,
misalnya: perilaku, persepsi,
motivasi, tindakan, dan lain-lain
secara holistik dengan cara
mendeskripsikan dalam bentuk kata-
kata dan bahasa pada suatu konteks
khusus (Moleong, 2004:6). Tujuan
dari penelitian kualitatif ini adalah
mengetahui interpretasi nilai
simbolik yang terdapat pada logo
Jogja istimewa dengan menerapkan
teori ikonologi-ikonografi Erwin
Panowsky.
Sampel dalam penelitian ini
adalah logo Jogja Istimewa.
Sampling digunakan untuk menggali
informasi yang akan menjadi dasar
dari rancangan dan teori yang
muncul. Pada penelitian kualitatif
tidak ada sampel acak, tetapi sampel
bertujuan atau purposive sampling
(Moleong, 2004:224).
Teknik pengumpulan data
yang dilakukan adalah observasi dan
dokumentasi. Observasi dilakukan
dengan mengamati objek penelitian
untuk menentukan sampel.
Dokumentasi dilakukan dengan
mendokumentasikan data-data hasil
kepustakaan yang berhubungan
dengan logo kota Jogja.
C. Landasan Teori
Teori Ikonologi-Ikonografi
Dalam bukunya Meaning in
The Visual Arts (1955), Panofsky
menyampaikan bahwa untuk meneliti
dan memahami suatu karya seni bisa
dilakukan dengan pendekatan
sejarah, lewat tiga tahapan teori yang
harus diteliti.
Tahap pertama adalah
deskripsi pra ikonografi (pre
iconographical description), tahap
kedua adalah analisis ikonografis
(iconographical analysis), serta
tahap ketiga adalah interpretasi
ikonologis (iconological interpreta-
tion) (Panofsky, 1955:26-40). Ketiga
tahapan itu mempunyai kaitan yang
bersifat prerequisite atau prasyarat
dari satu tahap ke tahap lainnya.
Pada objek interpretasi yang
pertama pokok bahasan primer dan
alami (A) faktual, (B) ekspresional,
menyusun dunia motif artistik
mempunyai aksi intepretasi yaitu
deskripsi praikonografi (analisis
pseudo-formal). Lalu dilanjutkan
dengan objek interpretasi kedua yaitu
pokok bahasan sekunder atau
konvensional, menyusun dunia
gambar, cerita dan alegori
menggunakan aksi interpretasi
analisis ikonografis. Tahap yang
ketiga atau terakhir yang objek
interpretasinya yaitu makna intrinsik
atau isi, menyusun dunia nilai
‘simbolis’ menggunakan alat
interpretasi yang berbentuk
interpretasi ikonologis.
16
Harmoni, Volume 8 Nomor 2, Juni 2018 ISSN 2087-9865
Tabel 1. Objek dan aksi
interpretasi
Untuk memperoleh
ketajaman analisis, Panofsky juga
memberikan kerangka konfirmasi
yang bisa menjadi prinsip korektif
dari setiap tahapan analisis. Tahap
awal penelitian adalah tahap pra
ikonografi yang meneliti aspek
visual pada karya seni. Motif artistik
atau bentuk visual akan mengungkap
makna primer yang terbentuk dari
makna faktual dan ekspresional.
Tahap meneliti makna faktual adalah
mengidentifikasi bentuk visual yang
tampak pada objek maupun
perubahannya pada adegan dan
momen objeknya. Penelitian itu
dilakukan dengan mengamati dan
membaca unsur-unsur visual yang
tampak seperti garis, warna, bentuk,
material, teknik, dan objek pokok
maupun pendukungnya seperti
manusia, binatang, tumbuhan, atau
pendukung lainnya. Adapun pada
tahap meneliti makna ekspresional
dilakukan dengan mengungkap
empati dari pengamatan peneliti pada
kebiasaan dan rasa familiair dari
objek dan adegan objeknya.
Mengamati hubungan antara objek
dan bentuk-bentuk pendukung
dengan adegan peristiwanya, dapat
mengungkap kualitas ekspresional
karakter objek dalam karya seni itu
(Panofsky, 1955:33-34).
Tabel 2. Alat Interpretasi dan
Prinsip Korektif dari Interpretasi
Agar deskripsi tekstual ini
tajam, diperlukan kerangka
konfirmasi dengan prinsip korektif
interpretasi sejarah gaya. Untuk
mengetahui sejarah gaya pada logo
‘Jogja Istimewa’ diperlukan sejarah
desain grafis untuk memahami gaya
yang digunakan pada logo tersebut
menurut sejarah desain yang pernah
ada.
Menurut buku yang berjudul
Tinjauan Desain Dari Revolusi
Industri Hingga Postmodern yang
ditulis oleh Arief Adityawan banyak
mengemukakan gaya desain menurut
fase kesejarahannya yang
mempengaruhi berbagai desain yang
muncul. Gaya desain tersebut
mempengaruhi desain-desain yang
ada hingga saat ini. Contoh gaya
desain yang dibahas adalah art
nouveau, ekspresionisme, kubisme,
futurism, kontrukstivisme, surealis-
me, dada, de stijl, sampai pada
Bauhaus dan perkembangan gaya
International Style serta Pop Art.
Selain itu logo tersebut bisa juga
diklasifikasikan menurut jenis-jenis
bentuk dan gaya melalui elemen
yang di gunakan. Dalam buku
“Trademarks & Symbols of The
World”, Yasaburo Kuwayama
membagi logo menjadi empat jenis
gaya yaitu berbentuk huruf/alphabet,
Logo Kota Jogja ‘Jogja Istimewa’
17
Harmoni, Volume 8 Nomor 2, Juni 2018 ISSN 2087-9865
lambang-lambang atau angka, bentuk
yang serupa dengan objek aslinya,
dan yang terakhir adalah bentuk
abstrak. Di Indonesia sendiri
klasifikasi bentuk logo secara singkat
sering di bedakan menurut 3 aspek
pembentuknya yaitu picture mark
dan letter mark (elemen gambar dan
tulisan saling terpisah), picture mark
sekaligus letter mark (bisa disebut
gambar,bisa disebut tulisan/saling
berbaur), letter mark saja (elemen
tulisan saja).
Tahap kedua penelitian, yaitu
analisis ikonografi untuk
mengidentifikasi makna sekunder.
Proses ini menghubungkan antara
penelitian sebelumnya yaitu bentuk
visual dan ekspresinya dengan tema
dan konsep. Untuk melihat hubungan
itu diperlukan pengetahuan dan
pengamatan pada kebiasaan
pengalaman praktis sehari-hari. Di
samping itu juga diperlukan melihat
kebiasaan tema dan konsep itu dari
berbagai imaji karya seni lain,
sumber literer, dan berbagai alegori
(Panofsky,1955:35). Untuk memper-
tajam analisis ikonografi ini,
diperlukan kerangka konfirmasi
dengan prinsip korektif interpretasi
sejarah tipe. Sejarah tipe adalah
kondisi-kondisi sejarah yang
mempengaruhi tentang terbentuknya
suatu tema atau konsep yang
diekspresikan dalam objek-objek dan
peristiwa spesifik dan berlaku pada
suatu masa dan wilayah (Panofsky,
1955:40)
Tahap ke tiga penelitian
adalah tahap interpretasi ikonologis.
Tahapan ini paling esensial untuk
mengetahui makna intrinsik atau isi
dari sebuah karya seni. Setelah
dilakukan penelitian tahap deskripsi
praikonografi dan analisis
ikonografi, maka untuk mengetahui
makna intrinsik atau memahami
simbol karya seni, dibutuhkan
kemampuan mental yang disebut
dengan intuisi sintesis. Intuisi
sintesis menyangkut tendensi
esensial pemikiran psikologi
personal dan weltanschauung
(pandangan hidup) pencipta karya
(Panofsky, 1955:41). Teori bantu
untuk menelaah simbol dipakai teori
simbol Ernest Cassirer. Diterangkan
bahwa manusia adalah hewan yang
bersimbol (animal symbolicum),
sehingga banyak mengenal dunianya
melalui simbol dan kesenian. Dalam
seni simbol dapat mewakili ekspresi
atau perasaan estetik yang memuat
berbagai gagasan dan pengalaman
yang dihayati bersama (Casssirer,
1990:36-40). Demikian juga dalam
teori Suzanne K. Langer, simbol seni
merupakan bentuk ekspresi, sebagai
jalinan antara sensibilitas, emosi,
perasaan, dan kognisi impersonal,
yang merupakan ciri utama karya
seni (Sudiarja, 1982:75-78).
Ketajaman interpretasi ikonologis ini
memerlukan kerangka konfirmasi
dengan prinsip korektif interpretasi
sejarah kebudayaan dalam
membangun simbol simbol dalam
karya seni itu. Cara yang harus
dilakukan yaitu dengan meninjau
berbagai simtom (gejala) yang ada di
sekitar objek dan senimannya, dan
juga merujuk pada psikologi dan
pandangan hidup masyarakat
penyangganya (Panofsky, 1955:41).
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dengan pendekatan dan
teori sejarah seni. Teori utama yang
digunakan adalah ikonografi dan
ikonologi dari Panofsky. Metode
penelitian yang digunakan adalah
metode penelitian sejarah.
Dengan demikian metode
sejarah merupakan langkah untuk
18
Harmoni, Volume 8 Nomor 2, Juni 2018 ISSN 2087-9865
mengidentifikasi semua aspek Logo
‘Jogja Istimewa’. Langkah pertama
metode sejarah adalah pencarian
sumber-sumber data (heuristic).
Pencarian sumber data itu
dilaksanakan di lapangan, di pusat-
pusat dokumentasi dengan sumber
perpustakaan, dan nara sumber
pelaku sejarah sebagai bahan data
penelitian. Langkah kedua adalah
seleksi dan kritik sumber-sumber
data. Langkah ketiga adalah analisis
dan interpretasi sumber-sumber data
yang digunakan untuk menghasilkan
sintesis. Langkah keempat adalah
penyusunan historiografi atau
laporan penelitian sejarah
(Garraghan S.J, 1957: Part 2-Part 4).
D. Pembahasan
1. Deskripsi Pra Ikonografi logo
‘Jogja Istimewa’ : Pokok
Bahasan Primer Makna
Faktual dan Ekspresional
Pembahasan penelitian pada
tahap pertama adalah tahap pra
ikonografi, yaitu meneliti aspek
visual yang ada pada logo ‘Jogja
Istimewa’. Makna dasar bentuk
visual yang diungkap adalah makna
yang dibangun dari aspek makna
faktual dan ekspresional. Makna dari
bentuk visual itu diperoleh dari
melihat ciri bentuk pada objek dan
perubahannya dari adegan suatu
peristiwa tertentu. (Panofsky,
1955:33-34).
Sumber : www.google.com
Gambar 2. Logo Jogja Istimewa
Dalam aspek makna faktual
logo ‘Jogja Istimewa’ ini
menggunakan huruf kecil dengan
warna merah bata (C: 0 M :100
Y:100 K :10). Menurut jenis font
nya, font yang digunakan pada logo
‘Jogja Istimewa’ merupakan jenis
font san serif yaitu font yang tidak
menggunakan sirip/serif tetapi ada
penambahan dan pengurangan suatu
elemen pada font tersebut sehingga
memunculkan gaya yang berbeda
(dekoratif). Font tersebut secara
sekilas terlihat mirip dengan aksara
Jawa. Pada bagian titik pada huruf ‘j’
berbentuk menyerupai bentuk daun
dan pada huruf ‘g’ terdapat lubang
berbentuk lancip pada ujung huruf
tersebut. Font yang digunakan pada
logo ‘Jogja Istimewa’ adalah font
yang berbentuk modern, simple dan
dinamis.
Dalam aspek makna
ekspresional, penelitian dilakukan
dengan cara menggali empati dari
visualisasi yang ada pada objek
tersebut. Logo ‘Jogja Istimewa’
tersebut jika dilihat sekilas gampang
terbaca oleh mata, dikarenakan jenis
tipografi yang dipakai sederhana dan
mencerminkan sesuatu yang clean,
elegan, dan modern. Sesuatu yang
terlihat simpel dan minimalis seperti
tipografi yang digunakan dalam logo
‘Jogja Istimewa’ biasanya merujuk
pada sesuatu yang modern.
Kesederhanaan elemen yang dipakai
Logo Kota Jogja ‘Jogja Istimewa’
19
Harmoni, Volume 8 Nomor 2, Juni 2018 ISSN 2087-9865
pada logo bisa juga diartikan bahwa
kota Jogja adalah kota yang
sederhana dengan orang-orang yang
penuh kesederhanaan dalam hidup.
Tampilan tipografi yang digunakan
pada logo tersebut adalah huruf kecil
yang bisa juga dimaknai sebagai
simbol ‘wong cilik’ (huruf kecil
melambangkan rakyat kecil). Warna
merah yang digunakan pada logo
tersebut jika dilihat dari arti warna
pada umumnya melambangkan
keberanian seperti halnya filosofi
warna merah yang terdapat pada
bendera Indonesia.
Dalam tahap deskripsi aspek-
aspel visual ini untuk mendapatkan
ketajaman diperlukan alat
konfirmasi, yaitu prinsip korektif
interpretasi sejarah gaya.
Pada dasarnya logo terbagi
atas logotype, yaitu logo yang
menggunakan wordmark (kata/ nama
dengan unsur tipografi), Logogram,
yaitu logo yang menggunakan ikon
(ilustratif atau inisial), serta jenis
logo yang merupakan penggabungan
antara keduanya, sehingga
menjadikan logo tampil komplit.
Dalam bukunya “Trademarks &
Symbols of The World”, Yasaburo
Kuwayama membagi logo menjadi
empat jenis gaya yaitu berbentuk
huruf/alphabet, lambang-lambang
atau angka, bentuk yang serupa
dengan objek aslinya, dan yang
terakhir adalah bentuk abstrak.
Dilihat dari segi konstruksinya, logo
pada umumnya terbagi menjadi tiga
jenis yaitu:
a. Elemen gambar dan tulisan
terpisah (picture mark dan letter
mark)
Sumber : www.google.com
Gambar 3. Logo Djarum
b. Bisa disebut gambar, bisa juga
disebut tulisan/ saling berbaur
(picture mark sekaligus letter
mark)
Sumber : www.google.com
Gambar 4. Logo VW
c. Elemen tulisan saja (letter mark)
Sumber : www.google.com
Gambar 5. Logo Samsung
Logo ‘Jogja Istimewa’ jika
dikategorikan menurut jenisnya
merupakan suatu logotype karena
hanya menggunakan kata dengan
unsur tipografi saja tanpa adanya
ilustrasi atau gambar pendukung.
Elemen yang terkandung di dalam
logo tersebut merupakan elemen
tulisan saja (letter mark).
Logo yang terkesan modern
tersebut jika dilihat dari gaya desain
yang berkembang sedikit mengacu
atau terpengaruhi pada desain pada
era International Typograpic Style
20
Harmoni, Volume 8 Nomor 2, Juni 2018 ISSN 2087-9865
atau sering disebut sebagai Swiss
Style. Gaya ini muncul dan
berkembang di Swiss dan Jerman
setelah usai perang dunia ke-2 tahun
50-an dan pengaruhnya ada hingga
tahun 80-an bahkan sampai sekarang.
Pada saat perang Swiss adalah
negara netral, sehingga setelah
Jerman kalah perang dunia industri
dan desain tidak terpengaruh banyak.
Gaya tersebut sering dikaitkan
dengan aliran Kontruktivisme, De
Stijl, Bauhaus, dan New Typography
pada tahun 30-an. Ciri-ciri desain
pada masa International
Thypograpic Style tersebut adalah
menggunakan sistem grid yang
berdasarkan pendekatan psikologi
persepsi (arah pandang mata kiri-
kanan), prinsip obyektifitas juga
menyebabkan tata letak jadi ‘bersih’
dan jelas agar pembaca menerima
informasi tanpa diganggu unsur lain
di luar isi pesan, memanfaatkan
huruf tanpa kait atau san serif, dan
mengutamakan foto bukan gambar.
Menurut ciri-ciri tersebut logo ‘Jogja
Istimewa’ sudah mempunyai
kesamaan kecuali pada poin
menggunakan foto daripada gambar.
Disini memperkuat gaya
International Typograpic Style
sebagai gaya yang mempengaruhi
gaya pada logo tersebut. Contoh logo
yang menggunakan gaya
International Thypograpic Style di
era tersebut dan terkenal adalah logo
buatan Herb Lubain (art director)
dan Alan Peckolick dalam logo
“Family Circle” yang dibuat. Selain
itu Herb Lubain dengan karya
logonya “Marriage” juga terkenal
pada kala itu (1965). Perkembangan
International Thypograpic Style
berlangsung pesat di Zurich dan
Basek di Utara Switzerland dan
tokohnya yang paling terkenal adalah
Emil Ruder (1914-1970) dan Armin
Hoffman (lahir 1920). Akhir 1970-an
gaya International Thypograpic Style
banyak mempengaruhi desain
corporate identity di Amerika
Selatan, dengan bentuk-bentuk yang
geometris.
Gaya International
Thypograpic Style banyak dianut
oleh para desainer karena menurut
mereka desain adalah pekerjaan yang
penting dan bermanfaat secara sosial.
Pendesain harus menghindari
ekspresi pribadi dan solusi yang
eksentrik maka dari itu lebih
diutamakan pendekatan keilmuan
dan universal dalam pemecahan
masalah desain. Pendesain bukan
seniman, tetapi sebuah saluran
objektif untuk menyebarkan
informasi penting antara komponen
masyarakat. Karena itu, menciptakan
keteraturan dan kejelasan (clarity)
adalah hal utama (Meggs, 1985
:332). Disini sebagai logo yang
digunakan sebagai penunjang city
branding kota Yogyakarta, logo
‘Jogja Istimewa’ diharapkan bisa
menjadi logo yang universal dan
dengan bentuknya yang teratur dan
jelas membuat logo tersebut mudah
diterima oleh masyarakat luas.
2. Analisis ikonografis Logo ‘Jogja
Istimewa’ : Pokok bahasan
sekunder atau konvensional,
menyusun dunia gambar,
cerita, dan alegori
Pembahasan penelitian pada
tahap yang kedua adalah tahap
analisis ikonografis. Dalam tahap ini
dilakukan langkah identifikasi makna
sekunder yang dihubungkan dengan
penelaahan tema dan konsep dari
logo tersebut. Untuk itu penelitian
dilakukan dengan mengamati dan
Logo Kota Jogja ‘Jogja Istimewa’
21
Harmoni, Volume 8 Nomor 2, Juni 2018 ISSN 2087-9865
menelaah hubungan objek lukisan,
tema dan konsepnya dalam
kebiasaan pengalaman sehari-hari.
Melihat konsep dan tema pada suatu
karya seni juga bisa diperoleh dari
berbagai imaji, sumber sastra, dan
alegori (Panofsky, 1955:35).
Tema dari logo ‘Jogja
Istimewa’ yang mengusung tentang
kesederhanaan wong cilik,
ketegasan, keberanian dan tekad
yang utuh dalam suatu masyarakat
yang masih memegang teguh tradisi.
Tema tersebut dapat dilihat dari
penggambaran font pada logo yang
menggunakan huruf kecil pada
rangkaian kata jogja istimewa yang
menggambarkan kesederhanaan
wong cilik, serta warna merah yang
menggambarkan keberanian,
ketegasan dan tekad yang teguh,
sedangkan tradisi diperlihatkan dari
gambaran secara keseluruhan
tipografi pada logo yang mirip
dengan huruf Jawa. Secara umum
yang tema yang diusung pada logo
tersebut adalah tema kesederhanaan.
Tema kesederhanaan juga sering
merujuk pada tema yang sering
muncul pada mitologi dan sastra.
Salah satu sastra Indonesia yang
mempunyai tema kesederhanaan
adalah novel karya Arswendo
Atmowiloto yang berjudul Keluarga
Cemara. Keluarga Cemara
merupakan novel yang dibuatnya
pada tahun 1980 yang mengusung
cerita suatu keluarga yang hidupnya
penuh perjuangan. Keluarga tersebut
pernah kaya namun pada suatu saat
jatuh miskin. Saat itulah keluarga
yang hidupnya penuh kesederhanaan
membuat lika-liku cerita menjadi
apik dan mengharukan. Dikarenakan
novel tersebut mendapat respon yang
bagus di pasar lalu dibuatlah sinetron
yang berjudul sama, sinetron tersebut
juga sangat digemari di sekitar tahun
1996-an karena mempunyai pesan
moril yang baik untuk kehidupan.
Tema kesederhanaan juga sangat
luas dipakai hingga pada karya puisi.
Karya sastra puisi yang memakai
tema kesederhanaan salah satunya
pernah ditulis oleh Sapardi Djoko
Darmono tentang kesederhanaan
cinta. Puisi tersebut berbunyi :
“Aku ingin mencintaimu dengan
sederhana dengan kata yang tak
sempat diucapkan kayu kepada
api yang menjadikannya abu.
Aku ingin mencintaimu dengan
sederhana dengan isyarat yang
tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang
menjadikannya tiada “
Puisi yang singkat tersebut namun
sarat makna, makna kesederhanaan
cinta membuat seseorang yang
membacanya menjadi terenyuh dan
bisa merasakan berharganya cinta.
Kesederhanaan tersebut berkaitan
juga dengan rasa ketulusan saat
mencintai.
Simbol-simbol kesederhanaan
juga dilukiskan lewat alegori yang
terdapat pada karya-karya sastra.
Seperti pada novel Keluarga Cemara,
kesederhanaan tergambar pada
pendeskripsian karakter dan alur
cerita, misalnya saja saat Euis harus
berjualan Opak untuk membantu
ekonomi keluarga. Keluarga Cemara
mengingatkan kita bahwa
kebahagiaan dapat diperoleh dari
hal-hal sederhana.
Dalam puisi karya Sapardi
yang berjudul Aku mencintaimu
dengan sederhana juga memakai
alegori untuk mengungkapkan suatu
tema kesederhanaan. Penggunaan
kayu dan abu menjadi contoh untuk
menggambarkan suatu keadaan yang
tidak biasa, seakan-akan karena cinta
22
Harmoni, Volume 8 Nomor 2, Juni 2018 ISSN 2087-9865
yang terlalu sederhana itu membuat
kita lupa dan mengorbankan diri kita
sendiri. Sederhana juga bisa
mengungkapkan ketulusan dalam
cinta, yang tak menginginkan
balasan saat mengorbankan sesuatu
seperti perumpamaan awan dan
hujan yang ditulis dalam puisi
tersebut.
Tema dan konsep logo ‘Jogja
Istimewa’ sebenarnya memang
menggambarkan konsep
kesederhanaan yang diungkapkan
pada visualisasi logo tersebut. Dalam
penelitian ini, logo-logo yang
mengungkakan kesederhanaan wong
cilik yang tetap hidup berakar pada
tradisi selain logo ‘Jogja Istimewa’
terdapat logo-logo lain yang juga
mengungkapkan hal yang mirip,
contohnya yaitu logo kota Solo Spirit
of Java.
Sumber : www.google.com
Gambar 6. Logo Kota Solo
Logo kota solo dengan hurufnya
yang terkesan sederhana dengan
elemen yang clean dan dipengaruhi
oleh gaya yang sama dengan logo
Jogja yaitu gaya International
Thypograpic Style. Selain itu logo
Solo juga menggunakan ornament
batik untuk mengungkapkan tradisi
yang masih erat di kota tersebut.
Selain logo kota Solo ada logo lagi
yang mempunyai kesamaan tema dan
konsep dalam pembuatannya yaitu
logo kabupaten Gunungkidul. Logo
tersebut menggunakan huruf yang
sederhana, clean dan mudah dibaca
namun tetap menyisipkan ornamen
ombak yang merupakan kekhasan
dari daerah tersebut yang terkenal
akan pantai-pantainya yang indah.
Logo tersebut juga dipengaruhi oleh
gaya International Thypograpic Style
sama seperti logo ‘Jogja Istimewa’
dikarenakan logo tersebut
menggunakan font san serif dan
menggunakan tata letak obyektivitas
yang menyebabkan tata letak
menjadi bersih.
Sumber : www.google.com
Gambar 7. Logo Gunungkidul
Ciri-ciri yang termuat dalam logo
‘Jogja Istimewa’ tersebut, identik
dengan ciri sejarah tipe pada tahun
2015 yang mengacu pada gaya
desain International Thypograpic
yang terkesan bersih/clean serta
minimalis (sederhana) dan terkesan
modern namun tetap sesuai citra
tradisi yang ingin ditampilkan. Pada
tahun tersebut kota-kota di Indonesia
berlomba-lomba membuat citu
branding untuk membangun citra
daerah masing-masing. Dengan
semangat modern para desainer
membuat logo tersebut dengan gaya
yang minimalis namun sarat akan
makna dan tidak kehilangan tradisi
yang menyangganya.
Logo Kota Jogja ‘Jogja Istimewa’
23
Harmoni, Volume 8 Nomor 2, Juni 2018 ISSN 2087-9865
3. Interpretasi Ikonologis Logo
‘Jogja Istimewa’ Makna
intrinsik atau isi, menyusun
dunia nilai ‘simbolis’ dari
Intuisi Sintesis dan Sejarah
Kebudayaan
Pembahasan penelitian logo
‘Jogja Istimewa’ pada tahap ke tiga
merupakan interpretasi ikonologis,
yaitu tahapan esensial untuk
memahami isi atau makna
intinsiknya. Dengan syarat pada
tahap sebelumnya telah dilakukan
deskripsi pra ikonografi dan analisis
ikonografi, maka dalam tahap ini
dilakukan interpretasi untuk
memahami simbol dengan
kemampuan mental atau intuisi
sintesis yang menyangkut tendensi
esensial pemikiran psikologi
personal dan weltanschaung
(pandangan hidup) pencipta karya
(Panofsky, 1955:41).
Bisa dilihat desainer-desainer
logo pada tahun sekitar 2015-an di
Indonesia melahirkan gaya kuat yang
bertema modern dan sederhana
seperti kecenderungan pada era
International Thypograpic Style.
Para desainer menerapkan gaya
tersebut karena dengan
kesederhanaan bentuk dan
mempersedikit elemen yang ada
membuat logo tersebut lebih
gampang diaplikasikan di era digital
seperti sekarang ini. Dengan logo
yang terkesan modern sangat cocok
jika diaplikasikan pada semua media
untuk memperkuat city branding
pada kota tersebut. Para desainer
membuat simbol atau filosofi dalam
logo dengan desain yang seminim
mungkin tanpa mengurangi kekayaan
makna yang ingin ditampilkan.
Semua itu membuktikan bahwa skill
para desainer saat ini tidak terpaku
pada kerumitan suatu karya tetapi
bagaimana cara membuat karya yang
efektif dengan meminimkan
kerumitan visual.
Ada cerita unik saat
kemunculan logo ‘Jogja Istimewa’
logo tersebut merespon logo yang
sudah ada sebelumnya yang dibuat
oleh Hermawan Kertajaya. Logo “
Jogja Istimewa” digarap oleh sebuah
tim yang dinamakan Tim 11.
Anggota tim tersebut adalah Herry
Zudianto (Tokoh masyarakat, ketua
PMI DIY), Butet Kartarajasa
(Seniman dan budayawan), Sumbo
Tinarbuko (Dosen ISI Yogyakarta,
penggiat logo Jogja Darurat), Ong
Hari Wahyu (Seniman, desainer
grafis senior), Ahmad Nor Arief
(Direktur Utama Dagadu Jogja),
Marzuki Mohamad (Seniman,
founder Jogja Hiphop Fondation),
dr.Tandean Arif Wibowo
(IMAYogyakarta), Waizly Darwin
(CEO Markeeter, Markplus),
M.Suyanto (Amikon Yogyakarta),
Fitriani Kuroda (Jogja International
Heritage Walk), M.Arief Budiman
(P3I Pemda DIY). Sebenarnya ide
dari logo tersebut tidak datang begitu
saja, Tim 11 menggiat partisipasi
para masyarakat Jogja untuk ikut
andil dalam pembuatan logo ini
dengan membuat sayembara. Karya-
karya yang masuk diseleksi dan
disempurnakan kembali oleh anggota
Tim 11 tersebut dan disesuaikan
menurut konsep yang sudah
dikehendaki Sri Sultan
Hamengkubuwono ke X.
Sebelumnya rebranding logo Jogja
tersebut diserahkan kepada
Hermawan Kertajaya yang bernaung
pada agency Markplus Inc, akan
tetapi karena hasilnya dinilai tidak
layak untuk dijadikan logo kota
tersebut karena kata Jogja terbaca
24
Harmoni, Volume 8 Nomor 2, Juni 2018 ISSN 2087-9865
menjadi Togua. Akhirnya para
seniman kritis membentuk Jogja
Darurat Logo untuk memberi
masukan kepada Sultan dan
pemerintah Jogja agar menggunakan
logo yang pantas untuk kota tersebut.
Sultan Hamengkubuwono X
meminta filosofi-filosofi khusus
disisipkan pada logo Jogja yang baru
tersebut. Beberapa filosofi yang
diinginkan ada dalam logo tersebut
antara lain :
1. Semangat Youth, Women, Netizen
2. Melambangkan keraton
3. Bertajuk pada kesederhanaan,
egaliter, kesederajatan, dan
persaudaraan
4. Tekat 9 Renaisance yang menjadi
cita-cita arah pembangunan Jogja
5. Konsep Cokro Mangilingan
6. Konsep tentang semangat
“Hamemayu Hayuning
Bhawana”
Sebagai seniman yang ingin
memasukkan filosofi-filosofi khusus
ke dalam sebuah logo perlu
pemahaman simbol-simbol yang
dipahami melalui psikologi personal
para desainernya. Seperti yang kita
tahu, warga atau masyarakat Jogja
mempunyai culture yang suka saling
membantu secara gotog-royong satu
sama lain sehingga saat menghadapi
masalah logo Jogja yang dibuat tidak
sesuai mereka yang bahu membahu
memberi masukan penting untuk
pembuatan logo yang lebih sesuai
dengan filosofi Jogja.
Sebagaimana dalam teori
simbol Ernest Cassirer, manusia
adalah hewan yang bersimbol
(animal symbolicum), sehingga
banyak mengenal dunianya melalui
simbol dan kesenian. Dalam seni
simbol dapat mewakili ekspresi atau
perasaan estetik yang memuat
berbagai gagasan dan pengalaman
yang dihayati bersama (Casssirer,
1990:36-40). Dalam teori Suzanne
K. Langer, simbol seni merupakan
bentuk ekspresi, sebagai jalinan
antara sensibilitas, emosi, perasaan,
dan kognisi impersonal, yang
merupakan ciri utama karya seni
(Sudiarja, 1982:75-78).
Berdasarkan kedua teori
simbol tersebut, maka penghayatan
dan empati atas realitas dan
penghayatan tentang makna filosofi
kota Jogja membuat desainer
menjadi paham dan dengan dorongan
tersebut mereka mampu
menginterpretasikan sehingga
muncul logo ‘Jogja Istimewa’
tersebut. Konsep dasar tentang
kesederhanaan wong cilik terbangun
dan digambarkan pada tiap elemen
yang ada pada logo tersebut, ciri
khas Jogja sebagai kota bertradisi
juga tak lupa disertakan.
Dalam tahap interpretasi
ikonologis ini diperlukan kerangka
konfirmasi dengan prinsip korektif
interpretasi sejarah kebudayaan yang
membangun simbol-simbol karya
lukisan itu. Dalam keperluan ini, bisa
dilihat melalui berbagai gejala
(simtom) pada sekitar objek maupun
senimannya yang merujuk pada
kejiwaan dan pandangan hidup yang
berkembang pada masyarakat
pendukungnya (Panofsky, 1955:41).
Dalam kerangka konfirmasi
demikian, logo Jogja mengungkap-
kan ekspresi pembuat dalam
merespon saat logo yang tidak sesuai
akan digunakan untuk merebranding
kota Jogja. Sekitaran tahun 2015
memang banyak bermunculan logo-
logo untuk me-rebranding suatu kota
agar lebih menarik, gaya yang
digunakan pada logo-logo tersebut
menganut gaya yang minimalis
namun sarat makna. Ekspresi yang
Logo Kota Jogja ‘Jogja Istimewa’
25
Harmoni, Volume 8 Nomor 2, Juni 2018 ISSN 2087-9865
sama digambarkan para desainer
untuk merespon era media yang
sedang berkembang pesat. Pemikiran
masyarakat sekarang lebih sederhana
dan modern membentuk pola
perilaku individu.
Desainer pembuat logo ‘Jogja
Istimewa’ yang berasal dari Jogja
mempunyai karakteristik khas warga
Jogja yang hangat, bergotong-
royong, dan merasa memiliki kota
tersebut. Warga Jogja sangat care
terhadap apa yang terjadi pada
daerahnya dan jika tidak sesuai
dengan nilai-nilai tradisi maka
mereka akan memberontak dan ikut
andil dalam perubahan. Saat
membuat karya logo tersebut,
desainer terpengaruh juga akan
culture masyarakat yang ada di
Jogja, contohnya seperti
kesederhanaan, egaliter, kesederaja-
tan, dan persaudaraan yang
disimbolkan dengan huruf kecil pada
logo ‘Jogja Istimewa’. Jenis tipografi
yang sederhana tersebut juga
melambangkan filosofi Youth,
Women, Netizen yang diminta oleh
Sultan untuk dimasukkan pada aspek
simbolik pada logo kota Jogja.
Desainer dalam memilih
warna logo ‘Jogja Istimewa’ juga
tidak lepas dari pengamatannya pada
logo keraton Yogyakarta. Logo
keraton menggunakan warna merah
dan emas, warna merah tersebut lalu
diambil untuk dijadikan logo kota
Jogja yang baru oleh desainer logo
tersebut. Warna merah
menyimbolkan keberanian, ketega-
san, dan kebulatan tekad yang utuh.
Selain logo ‘Jogja Istimewa’ yang
menggunakan warna khas logo
keraton tersebut ternyata lambang
daerah Yogyakarta juga mengguna-
kan warna yang serupa. Hal ini bisa
diartikan bahwa keraton bagi
masyarakat Jogja adalah institusi
tinggi yang sangat dihormati dan
dihargai serta dijadikan pedoman dan
anutan, sehingga warna-warna yang
digunakan pada logo Keraton Jogja
diadopsi menjadi warnanya wong
Jogja dan dijadikan warna logo Jogja
pula. Selain itu warna merah diatas
putih juga melambangkan Jogja yang
selalu menyimpah ruh ke-
Indonesiaan-nya yang berdiri kokoh
di atas sejarah panjang kebudayaan
unggul Nusantara.
Dibawah ini adalah logo keraton
yang diadaptasi warnanya oleh logo
“Jogja Istimewa serta lambang
daerah kota Yogyakarta
Sumber : www.google.com
Gambar 8. Lambang keraton
Jogja (atas), Lambang DIY (kiri
bawah), Logo Jogja (kanan
bawah)
26
Harmoni, Volume 8 Nomor 2, Juni 2018 ISSN 2087-9865
Pemilihan jenis font dan tipografi
oleh desainer logo ‘Jogja Istimewa’
tidak luput dari pengaruh aspek
psikologis yang membentuk pola
pikir desainer. Logo tersebut
mengadaptasi bentuk yang sudah ada
yang kental dengan masyarakat Jawa
yaitu aksara Jawa. Jogja sebagai kota
yang berkiblat pada tradisi Jawa
mempunyai keterkaitan emosi
dengan aksara Jawa yang
berkembang dan tetap terus
dilestarikan hingga sekarang, sedikit
contoh bahwa dari sekolah dasar di
Jogja maupun daerah Jawa lainnya
(Jawa tengah dan Jawa Timur) masih
diberikan pelajaran menulis dan
membaca aksara Jawa.
Sumber : www.google.com
Gambar 9. Kata Jogja pada logo
mirip dengan aksara Jawa
Tekad 9 Renaisance yang menjadi
cita-cita arah pembangunan kota
Yogyakarta juga disimbolisasikan
oleh para desainer pada huruf ‘g’
kecil yang menyerupai angka 9. 9
Renaisance tersebut dimanifestasi-
kan sebelumnya di kota Yogyakarta
dalam slogan gerakan “Jogja
Gumregah” dalam bidang 1.
Pendidikan ; 2. Pariwisata ; 3.
Teknologi ; 4. Ekonomi ; 5. Energi ;
6. Pangan ; 7. Kesehatan ; 8.
Keterlindungan Warga ; 9. Tata
Ruang dan Lingkungan.
Sumber : www.google.com
Gambar 10. Huruf g yang
melambangkan 9 Renaisance
Untuk menggambarkan keselarasan
pada kota Jogja, serta sesuai filosofi
yang diminta oleh Sultan maka
desainer memiliki pola pikir
penggunaan daun sebagai simbol
untuk menggambarkan filosofi
“Cokro Manggilingan”. Pada logo
‘Jogja Istimewa’ tersebut ada titik
pada huruf ‘j’ yang dibuat
menyerupai bentuk biji dan daun.
Sedangkan pada huruf ‘g’ terdapat
lubang seperti bentuk ujung daun
tersebut. Simbol-simbol tersebut
menurut para desainer
melambangkan filosofi “Cokro
Manggilingan” yaitu Wiji, Wutuh,
Wutah Pecah, Pecah Tuwah. Jadi
maksud dari simbol tersebut adalah
‘wiji’/biji yang akan menjadi
pedoman untuk pembangunan yang
“lestari” dan “selaras” dengan alam
untuk lingkungan hidup yang lebih
baik. Jadi seakan-akan desainer
berimajinasi bentuk yang
menyerupain daun/biji tersebut (pada
titik huruf j) akan kembali tumbuh
jika ditanam (diimajikan pada huruf
g yang berlubang), nantinya tanaman
tersebut akan berbiji kembali,
ditanam tumbuh kembali hingga
Logo Kota Jogja ‘Jogja Istimewa’
27
Harmoni, Volume 8 Nomor 2, Juni 2018 ISSN 2087-9865
akan selalu melestarikan alam
lingkungan sekitar.
Sumber : www.google.com
Gambar 11. Perlambangan Cokro
Manggilingan pada logo Jogja
Ada satu lagi filosofi penting yang
diminta oleh Sultan yaitu semangat
“Hamemayu Hayuning Bhawana”.
Disini desainer menggunakan
simbolisasi bentuk huruf g dan j
yang saling bersinggungan dan
terkesan saling memangku.
Semangat “Hamemayu Hayuning
Bhawana” muncul dan menjadi
pedoman bagi setiap pemimpin dan
pengampu kebijakan untuk
bercermin pada kalbu rakyat.
Disitulah simbol yang ingin
dilukiskan oleh para desainer agar
logo Jogja mempunyai kesan para
pemimpin yang selalu bisa dijadikan
sebagai “pelayan rakyat sejati”
(digambarkan saling memangku)
untuk dapat mewujudkan
pembangunan yang “memanusiakan
manusianya”.
Dengan latar belakang
sejarah kebudayaan kota Yogyakarta
tersebut dan mengamaati beberapa
gejala psikologis para desainer yang
hidup di kota tersebut, serta
penghayatan imaji pada objek sekitar
merujuk pada aspek-aspek dan
pandangan hidup serta pola pikir
yang berkembang pada masyarakat
pendukungnya. Logo ‘Jogja
Istimewa’ tersebut menjadi
kristalisasi simbol tentang
kontradiksi dalam kebudayaan Jawa
yang berkembang melalui keraton
dan filosofi-filosofinya.
E. Kesimpulan
Simpulan penelitian ini yang
pertama tentang berbagai penanda
visual logo ‘Jogja Istimewa’ yang
bersifat faktual dan ekspresional.
Penanda visual logo tersebut yaitu
menggunakan huruf kecil dengan
warna merah bata (C: 0 M :100
Y:100 K :10). Menurut jenis font
nya, font yang digunakan pada logo
‘Jogja Istimewa’ merupakan jenis
font san serif yaitu font yang tidak
menggunakan sirip/serif tetapi ada
penambahan dan pengurangan suatu
elemen pada font tersebut sehingga
memunculkan gaya yang berbeda
(dekoratif). Font tersebut secara
sekilas terlihat mirip dengan aksara
Jawa. Pada bagian titik pada huruf ‘j’
berbentuk menyerupai bentuk daun
dan pada huruf ‘g’ terdapat lubang
berbentuk lancip pada ujung huruf
tersebut. Font yang digunakan pada
logo ‘Jogja Istimewa’ adalah font
yang berbentuk modern, simpel dan
dinamis. Sedangkan makna
ekspresional yang muncul yaitu
konsep kesederhanaan, simpel dan
minimalis yang bisa terlihat dari
jenis font yang digunakan adalah
huruf kecil, dan warna merah yang
dipakai melambangkan ketegasan,
keberanian, dan kebulatan tekad.
Dalam sejarah gaya, logo tersebut
bisa dikategorikan menganut gaya
International Thypography Style
yang mengacu pada model grid, logo
yang terkesan bersih, simetris, dan
mudah dibaca serta meminimalkan
ornamen yang ada. Atau bisa juga
logo tersebut jika diklasifikasikan
menurut jenisnya yaitu logo yang
bertipe logotype atau juga bisa
28
Harmoni, Volume 8 Nomor 2, Juni 2018 ISSN 2087-9865
dikatakan bertipe lettermark
(mengandung unsur tulisan saja).
Simpulan yang kedua yaitu
tentang tema dan konsep yang
diungkapkan pada logo tersebut.
Tema yang diungkap pada logo
‘Jogja Istimewa’ adalah tema
kesederhanaan wong cilik yang tetap
berpegang pada tradisi. Hal itu
mengacu pada konsep kesederhanaan
hidup. Dalam sejarah tipe konsep
kesederhanaan merupakan satu dari
banyak varian tema dan konsep dari
konvensi paradigma estetik
humanisme universal, yang
didominasi kebudayaan yang
membentuk suatu tema tersebut.
Beberapa logo yang dihasilkan pada
masa tersebut (sekitar tahun 2015)
yang mempunyai sejarah tipe yang
sama dan mempunyai konsep sejenis
yaitu logo kota Solo dan logo
Kabupaten Gunungkidul.
Simpulan yang ketiga yaitu
nilai simbolik yang diungkapkan
dalam logo ‘Jogja Istimewa’
merupakan kristalisasi simbol-simbol
kebudayaan Jogja yang mempunyai
banyak filosofi misalnya 9
Renaisance, Cokro Manggilingan,
Hamemayu Hayuning Bhawana, dll.
Dalam sejarah kebudayaan Jawa
nilai simbolik tersebut dipengaruhi
oleh culture kota Yogyakarta dengan
unsur tradisi Jawa yang kental dan
masih menghormati keraton sebagai
institusi tertinggi yang menaungi
kota tersebut. Maka dari itu para
desainer yang mempuyai karakter
sederhana, gotong royong, saling
mengabdi kepada sesama serta
menjunjung tinggi nilai-nilai tradisi
bisa mengapresiasikan pandangan
personal dan aspek psikologis dalam
logo ‘Jogja Istimewa’ dengan simbol
yang kaya akan makna dan filosofi.
Daftar Pustaka
Acuan dari buku: Adityawan,
Arief.(1999). Tinjauan
Desain Dari Revolusi Industri
hingga Postmoderen. Jakarta:
UPT Penerbitan Untar.
Rustan, Surianto.(2009). Mendesain
Logo. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Sudiarja.(1982). Suzanne K. Langer:
Pendekatan Baru dalam
Estetika dalam M.
Sastrapratedja, Manusia
Multi Dimensional, Sebuah
Renungan Filsafat. Jakarta:
PT. Gramedia.
Cassirer, Ernst.(1990). Manusia dan
Kebudayaan: Sebuah Esei
tentang Manusia, Terj. Alois
A. Nugroho. Jakarta: PT.
Gramedia.
Feldman, Edmund Burke.(1967). Art
as Image and Idea. New
Jersey: Prentice Hall, Inc.
Garraghan S.J., Gilbert J.(1957). A
Guide to Historical Method.
New York: Fordham
University Press.
Janson, H.W.(1986). History of Art.
London: Thames and Hudson
Ltd.
Panofsky, Erwin. (1955). Meaning of
The Visual Arts. New York:
Doubleday Anchor Books.
Acuan artikel dalam jurnal: Burhan,
M.Agus. (2005). Lukisan
Ivan Sagita “Makasih
Kollwitz” (2005) dalam
Logo Kota Jogja ‘Jogja Istimewa’
29
Harmoni, Volume 8 Nomor 2, Juni 2018 ISSN 2087-9865
Sejarah Seni Lukis Modern
Indonesia: Tinjauan
Ikonografi dan Ikonologi.
Jurnal Panggung, 25(1), 1-
15.
Rustan, Surianto. (2012). Logo
Olimpiade dan Kekayaan
Makna. Jurnal Ultimart,1(1),
68-79.
Acuan dari forum, diskusi, berita
online: Abdurrahman,
Wildan. (2015, Juni 15).
Mengawal City Branding
Yogyakarta. Pesan
disampaikan dalam
https://www.kompasiana.com/wildan
arrahman/mengawal-city
branding yogyakarta_
552fa2e46ea8347c068b45df
Banindro, Baskoro Suryo. (2010,
oktober 7). Tinjauan Visual
Uang Kertas Pada masa
Revolusi. Pesan disampaikan
dalam
http://baskorodiskomvis.blog
spot.co.id/2015/02/tinjauan-
visual-uang-kertas-indonesia.
html
Sangdes, Yusuf. (2015, Juli 7).
Pengertian Logo menurut
Para Ahli.Pesan disampaikan
dalam
http://sangdes.blogspot.co.id/
2015/02/tinjauan-umum-
tentang-logo.html
9 7 72087 986027
JURNAL
Alamat Redaksi :Program Studi Seni RupaFakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah MakassarGedung. Keguruan Lantai IIIJl. Sultan Alauddin Nomor 259 - Makassar 90221Telp. 0411-866972 - HP. 085 255 847 772