issn 1693-4849 jurnal pendidikan · menurut winkel (dalam sukestiyarno dan budi waluya, 2006:6),...
TRANSCRIPT
ISSN 1693-4849
JURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU
(Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan)
VOLUME 10 NOMOR 1 SEPTEMBER 2011
Diterbit Oleh
FKIP Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh
Jurnal
Pendidikan
Serambi Ilmu
Volume 10
Nomor 1
Hal
1 - 60
Banda Aceh
September
2011
• Hasil Belajar Siswa Pada Materi Bangun Ruang Melalui Pendekatan Realistik (Suatu Penelitian Pada
Anak Kelas VIII SMP Negeri 1 Kuta Malaka Aceh Besar)
Muhammad Isa (1 – 13 )
• “Model Project Citizen Untuk Meningkatkan Kecakapan Pendidikan Kewarganegaraan
Dalam Mengembangkan Sikap Nasionalisme”
Hafid Maksum (14 - 19)
• Efektifitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Tai Teams Assisted Individualization )
Dalam Peningkatan Hasil Belajar Siswa Kelas XI Pada Materi Hidrolisis Garam Di SMTI Negeri Banda Aceh
Mariati (21 - 25)
• Pelaksanaan Supervisi Klinis Dalam Meningkatkan Profesional Guru Pada Sma Negeri 1
Ingin Jaya Kab. Aceh Besar
Musriadi dan Agus Jumaidi (26 – 41)
• Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Menin gkat kan K iner ja Gur u
Pada MTSN 1 Lhokseumawe
Jalaluddin ( 42 – 46 )
• Landasan Filosofis dalam Pendidikan
Irwansyah (47 – 60)
Hasil Belajar Siswa Pada Materi Bangun Ruang Melalui Pendekatan
Realistik (Suatu Penelitian Pada Anak Kelas VIII SMP Negeri 1
Kuta Malaka Aceh Besar)
Oleh
Muhammad. Isa, *
Abstrak : Pembelajaran matematika realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan
lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika,
sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik dari pada yang lalu. Yang
dimaksud dengan realita yaitu hal-hal yang nyata atau kongret yang dapat diamati atau
dipahami peserta didik lewat membayangkan, sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan
adalah lingkungan peserta didik berada baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat
yang dapat dipahami peserta didik. Lingkungan dalam hal ini disebut juga kehidupan sehari-
hari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa melalui
pendekatan realistik pada anak kelas VIII SMP Negeri 1 Kuta Malaka Aceh Besar. Populasi
dan sampel dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Kuta Malaka
Aceh Besar yang tersebar dalam tiga kelas paralel. Berdasarkan hal tersebut penulis tetapkan
satu kelas sebagai kelas eksperimen yaitu kelas VIII-2 dengan jumlah siswa 40 orang dan satu
kelas sebagai kelas kontrol yaitu kelas VIII-3 dengan jumlah siswa 39 orang. Hasil belajar
siswa yang diajarkan dengan pendekatan realistik lebih baik dari pada hasil belajar siswa yang
diajarkan tanpa menggunakan pendekatan realistik pada bangun ruang di SMP Negeri 1 Kuta
Malaka Aceh Besar.
Kata Kunci : Prestasi, Pendekatan Realistik, Materi, Bangunan
Sebagaimana tercantum dalam
kurikulum matematika sekolah bahwa tujuan
diberikannya matematika antara lain agar siswa
mampu menghadapi perubahan keadaan di dunia
yang selalu berkembang, melalui latihan
bertindak atas dasar pemikiran secara logis,
rasional, kritis, cermat, jujur dan efektif. Hal ini
jelas merupakan tuntutan yang sangat tinggi yang
tidak mungkin di capai hanya melalui hafalan,
latihan pengerjaan soal yang bersifat rutin, serta
proses pengerjaan soal yang biasa.
Untuk menjawab tuntutan tujuan yang
demikian tinggi maka perlu di kembangkan
materi serta proses pembelajarannya yang sesuai.
Berdasarkan teori belajar yang di kemukakan
Gagne (1970), bahwa "keterampilan intelektual
tingkat tinggi dapat di lakukan melalui
pemecahan masalah''. Suryuadi dkk. (1999)
dalam surveinya tentang Current situation on
matematics and science education in Bandung'',
antara lain menemukan bahwa pemecahan
masalah matematika merupakan salah satu
kegiatan matematika yang dianggap penting baik
oleh para guru maupun siswa di semua tingkatan
mulai dari Sekolah Dasar sampai SMU.
Sehubungan dengan pemecahan masalah
(Problem Solving), National Council of Teachers
of Mathematics (NCTM, 2000) Menyatakan
bahwa pembelajaran matematika sekolah harus
mengupayakan agar siswa dapat (1) membangun
pengetahuan matematika melalui pemecahan
masalah, (2) memecahkan masalah yang muncul
dalam konteks matematika dan konteks yang lain,
jadi pembelajaran matematika di sekolah perlu
mengupayakan agar siswa mempunyai
kemampuan memecahkan masalah dan menjadi
pemecah masalah yang baik.
Salah satu karakteristik matematika
mempunyai objek yang bersifat abstrak. Sifat
abstrak ini menyebabkan banyak siswa
mengalami kesulitan dalam matematika.
Rendahnya prestasi matematika siswa di
sebabkan oleh faktor siswa yaitu mengalami
masalah secara konfrehensif
Abidin (1989:5) menyatakan bahwa
pemecahan masalah dapat membentuk sikap
positif pada diri siswa untuk dapat mengambil
keputusan yang tepat dalam situasi tertentu.
Menurut NCTM (2000: 335), Pemecahan
masalah mempunyai dua fungsi dalam
pembelajaran matematika. Pertama Pemecahan
masalah adalah alat penting mempelajari
matematika. Banyak konsep matematika yang
dapat dikenalkan secara efektif kepada siswa
melalui pemecahan masalah. Kedua pemecahan
masalah dapat membekali siswa dengan
pengetahuan dan alat sehingga siswa dapat
memformulasikan, mendekati, dan
menyelesaikan masalah sesuai dengan yang telah
mereka pelajari di sekolah. Sebagai implikasinya,
maka siswa harus diberi kesempatan untuk
mengembangkan kemampuan-kemampuan dan
strategi-strategi pemecahan masalah.
Media pembelajaran matematika
merupakan alat untuk mengoptimalkan hasil
belajar siswa dalam matematika terutama dalam
proses pemecahan masalah, selain itu alat peraga
dapat lebih membantu siswa agar tidak bosan saat
belajar dan lebih terfokus pada masalah yang
sedang di pecahkan. Penggunaan alat peraga yang
tepat diperlukan agar siswa dapat memahami
konsep abstrak pada konsep yang diajarkan. Alat
peraga pengajaran diperlukan dalam
pembelajaran matematika umumnya dan pada
bangun ruang khususnya. Bangun Ruang
merupakan sub konsep dari geometri yang
berhubungan dengan bentuk dari benda yang
mempunyai panjang, lebar dan tinggi sebagai
unsur-unsurnya. Hal ini menyebabkan timbulnya
kesulitan dalam mengongkritkan sifat-sifat
abstrak dalam imajinasi siswa. Siswa juga tidak
bisa mengkaitkan persoalan bangun ruang ke
dalam persoalan sehari hari. Dan siswa juga tidak
bisa menyelesaikan persoalan bangun ruang ke
penyelesaian Problem Solving.
Berdasarkan permasalahan di atas
penulis ingin mengetahui apakah melalui
pendekatan realistik bisa meningkatkan
pemahaman konsep-konsep kesebangunan dan
simetri lipat pada anak. Untuk menjawab
permasalahan tersebut, maka penulis tertarik
untuk melakukan penelitian dengan judul “Hasil
Belajar Siswa Pada Materi Bangun Ruang
Melalui Pendekatan Realistik (Suatu
Penelitian Pada Anak Kelas VIII SMP Negeri
1 Kuta Malaka Aceh Besar).
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas,
maka yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah : Apakah ada peningkatan
prestasi belajar siswa pada materi bangun ruang
melalui pendekatan matematika realistik di kelas
VIII SMP Negeri 1 Kuta Malaka Aceh Besar?
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa
melalui pendekatan realistik pada anak kelas VIII
SMP Negeri 1 Kuta Malaka Aceh Besar.
Manfaat Penelitian
a. Sebagai masukan bagi guru, dengan
dilaksanakannya penelitian ini guru dapat
dengan baik menilai bagaimana pendekatan
realistik ini lebih tepat untuk meningkatkan
prestasi belajar siswa. Serta dapat
memberikan pembelajaran baru dalam dunia
pendidikan.
b. Sebagai masukan bagi siswa, penelitian ini
akan bermanfaat bagi siswa untuk
meningkatkan prestasi belajar siswa pada
materi bangun ruang, serta dapat
meningkatkan proses belajar mengajar yang
baik.
c. Manfaat bagi lembaga terkait dan sekolah,
dengan dilaksanakannya penelitian ini
diharapkan dapat menjadi bahan masukan
bagi Kepala Sekolah dan guru Bidang studi
Matematika SMP Negeri 1 Kuta Malaka
dalam perbaikan mengajar ke arah yang lebih
baik.
Anggapan Dasar dan Hipotesis Anggapan dasar adalah sesuatu hal yang
diterima sebagai landasan berpikir. Arikunto
(2006:65) menyatakan bahwa “Anggapan dasar
atau asumsi adalah sesuatu hal yang diyakini
kebenarannya oleh peneliti harus dirumuskan
secara jelas. Anggapan dasar ini merupakan
landasan teori di dalam pelaporan hasil penelitian
nanti”. Adapun anggapan dasar dalam penelitian
ini adalah model pendekatan Matematika
Realistik sebagai salah satu model yang dapat
diterapkan dalam pembelajaran matematika dan
siswa dianggap berhasil dengan pendekatan
Matematika Realistik.
Hipotesis adalah dugaan mengenai
sesuatu hal yang dibuat untuk menjelaskan hal
yang sering dituntut untuk melakukan
pengecekannya. Berdasarkan anggapan dasar
tarsebut, yang menjadi hipotesis yaitu: Hasil
belajar siswa yang diajar dengan Pendekatan
Matematika Realistik lebih baik dari pada hasil
belajar siswa yang diajar dengan pembelajaran
konvesional pada materi Bangun Ruang di SMPN
Kuta Malaka Aceh Besar.
Definisi Istilah
Untuk menghindari penafsiran yang
berbeda terhadap istilah yang digunakan dalam
penelitian ini. Maka menjadi definisi operasional
dalam penelitian ini adalah :
1. Hasil Belajar
Hasil belajar merupakan perubahan perilaku
yang diperoleh pembelajar setelah mengalami
aktivitas belajar (Chatarina, 2004:4). Sedangkan
menurut Winkel (dalam Sukestiyarno dan Budi
Waluya, 2006:6), hasil belajar merupakan bukti
keberhasilan yang telah dicapai peserta didik di
mana setiap kegiatan belajar dapat menimbulkan
suatu perubahan yang khas. Penilaian hasil
belajar dilakukan sekali setelah suatu kegiatan
pembelajaran dilaksanakan.
2. Bangun Ruang
Bangun ruang adalah bangun yang semua
elemen pembentuknya tidak seluruhnya terletak
pada sebuah bidang datar atau lengkung. Bangun
ruang dapat berupa luasan dan bukan berupa
luasan, misalnya spiral. Yang dibahas hanya
berupa luasan saja. Pada penelitian ini bangun
ruang yang dibahas adalah Bangun Ruang Kubus
dan Balok.
3. Pendekatan Realistik
Pembelajaran matematika realistik pada
dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan
lingkungan yang dipahami peserta didik untuk
memperlancar proses pembelajaran matematika,
sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika
secara lebih baik dari pada yang lalu. Yang
dimaksud dengan realita yaitu hal-hal yang nyata
atau kongret yang dapat diamati atau dipahami
peserta didik lewat membayangkan, sedangkan
yang dimaksud dengan lingkungan adalah
lingkungan tempat peserta didik berada baik
lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat
yang dapat dipahami peserta didik. Lingkungan
dalam hal ini disebut juga kehidupan sehari-hari.
TINJAUAN PUSTAKA
1. Tujuan Pembelajaran Matematika di SMP
Kegiatan belajar dan mengajar
matematika seyogianya juga tidak disamakan
begitu saja oleh ilmu yang lain. Karena peserta
yang belajar matematika itu sebagai ilmu
pengetahuan yang dewasa ini berkembang sempat
pesat, baik materi maupun kegunaannya
merupakan salah satu bidang studi yang diajarkan
kepada pendidik dasar, menengah dan tinggi,
masing-masing mempunyai tujuan pembelajaran
tersendiri.
Menurut Badan Standar Nasional
Pendidikan (2006: 388) tujuan pembelajaran
matematika di SMP berdasarkan Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan adalah sebagai
berikut:
1. Memahami konsep matematika, menjelaskan
keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan
konsep atau algoritma secara luwes, akurat,
efisien dan tepat dalam pemecahan masalah.
2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat.
Melakukan manipulasi matematika dalam
membuat generalisasi, menyusun bukti, atau
menjelaskan gagasan dan menyatakan
matematika;
3. Memecahkan masalah yang meliputi
kemampuan memahami masalah, merancang
model matematika, menyelesaikan model dan
menafsirkan solusi yang diperoleh.
4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol,
tabel, diagram atau media lain untuk
menjelaskan keadaan atau masalah;
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan
matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki
rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam
mempelajari matematika, serta sikap ulet dan
percaya diri dalam pemecahan masalah.
Matematika sekolah tidak dapat
dipisahkan sama sekali dari ciri-ciri yang dimiliki
matematika. Dua ciri penting matematika
menurut GBPP matematika adalah:
a. Memiliki obyek kajian yang abstrak.
b. Berpola pikir deduktif dan konsisten (Suyitno,
2000:10).
Dari kutipan di atas, jelas bahwa
tujuan diberikannya Matematika di SMP adalah
untuk memahami konsep matematika,
memecahkan masalah, mengkomunikasikan
gagasan dan memiliki sifat menghargai kegunaan
matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa
ingin tahu, perhatian dan minat dalam
mempelajari matematika, serta sikap ulet dan
percaya diri dalam memecahkan masalah. Selain
itu juga mempersiapkan siswa dalam menempuh
pendidikan yang lebih tinggi, serta berguna untuk
membantu siswa dalam mempelajari ilmu
pengetahuan.
2. Pembelajaran Matematika Realistik
a. Sejarah dan landasan filosofis
Matematika Realistik Pendidikan matematika realistik atau
Realistic Mathematics Education (RME) mulai
berkembang karena adanya keinginan meninjau
kembali pendidikan matematika di Belanda yang
dirasakan kurang bermakna bagi pembelajar.
Gerakan ini mula-mula diprakarsai oleh
Wijdeveld dan Goffre (1968) melalui proyek
Wiskobas. Selanjutnya bentuk RME yang ada
sampai sekarang sebagian besar ditentukan oleh
pandangan Freudenthal (1977) tentang
matematika. Menurut pandangannya matematika
harus dikaitkan dengan kenyataan, dekat dengan
pengalaman anak dan relevan terhadap
masyarakat, dengan tujuan menjadi bagian dari
nilai kemanusiaan. Selain memandang
matematika sebagai subyek yang ditransfer,
Freudenthal menekankan ide matematika sebagai
suatu kegiatan kemanusiaan.
Pelajaran matematika harus memberikan
kesempatan kepada pembelajar untuk
“dibimbing” dan “menemukan kembali”
matematika dengan melakukannya. Artinya
dalam pendidikan matematika dengan sasaran
utama matematika sebagai kegiatan dan bukan
sistem tertutup. Jadi fokus pembelajaran
matematika harus pada kegiatan bermatematika
atau “matematisasi” (Freudental,1968).
Kemudian Treffers (dalam Diyah, 2007) secara
eksplisit merumuskan ide tersebut dalam 2 tipe
matematisasi dalam konteks pendidikan, yaitu
matematisasi horisontal dan vertikal. Pada
matematisasi horizontal siswa diberi perkakas
matematika yang dapat menolongnya menyusun
dan memecahkan masalah dalam kehidupan
sehari-hari. Matematisasi vertikal di pihak lain
merupakan proses reorganisasi dalam sistem
matematis, misalnya menemukan hubungan
langsung dari keterkaitan antar konsep-konsep
dan strategi-strategi dan kemudian menerapkan
temuan tersebut. Jadi matematisasi horisontal
bertolak dari ranah nyata menuju ranah simbol,
sedangkan matematisasi vertikal bergerak dalam
ranah simbol. Kedua bentuk matematisasi ini
sesungguhnya tidak berbeda maknanya dan sama
nilainya (Freudenthal, 1991 dalam Gusti Putu
Suharta, 2008). Hal ini disebabkan oleh
pemaknaan “realistik” yang berasal dari bahasa
Belanda “realiseren” yang artinya bukan
berhubungan dengan kenyataan, tetapi
“membayangkan”. Kegiatan “membayangkan”
ini ternyata akan lebih mudah dilakukan apabila
bertolak dari dunia nyata, tetapi tidak selamanya
harus melalui cara itu.
b. Karakteristik Pendidikan Matematika
Realistik.
Pendidikan Matematika Realistik
mencerminkan pandangan matematika tertentu
mengenai bagaimana anak belajar matematika
dan bagaimana matematika harus diajarkan.
Pandangan ini tercermin pada 6 prinsip, yang
diturunkan dari 5 kaidah yang di kemukakan
Treffers (1987) yaitu eksplorasi fenomenologis
menggunakan konteks, menjembatani dengan
menggunakan instrumen vertikal, konstruksi dan
produksi oleh pembelajar sendiri, pembelajaran
interaktif, dan jalur-jalur belajar yang saling
menjalin.
Berdasarkan kaidah-kaidah tersebut,
maka keenam prinsip yang merupakan
karakteristik pendidikan matematika realistik
akan dipaparkan sebagai berikut.
1) Prinsip kegiatan
Pembelajar harus diperlakukan sebagai
partisipan aktif dalam proses pengembangan
seluruh perangkat perkakas dan wawasan
matematis sendiri. Dalam hal ini pembelajar
dihadapkan situasi masalah yang memungkinkan
ia membentuk bagian-bagian masalah tersebut
dan mengembangkan secara bertahap algoritma,
misalnya cara mengalikan dan membagi
berdasarkan cara kerja nonformal.
2) Prinsip nyata
Matematika realistik harus
memungkinkan pembelajar dapat menerapkan
pemahaman matematika dan perkakas
matematikanya untuk memecahkan masalah.
Pembelajar harus mempelajari matematika
sedemikian hingga bermanfaat dan dapat
diterapkan untuk memecahkan masalah
sesungguhnya dalam kehidupan. Hanya dalam
konteks pemecahan masalah pembelajar dapat
mengembangkan perkakas matematis dan
pemahaman matematis.
3) Prinsip bertahap
Belajar matematika artinya pembelajar
harus melalui berbagai tahap pemahaman, yaitu
dari kemampuan menemukan pemecahan
informal yang berhubungan dengan konteks,
menuju penciptaan berbagai tahap hubungan
langsung dan pembuatan bagan yang selanjutnya
pada perolehan wawasan tentang prinsip-prinsip
yang mendasari dan kearifan untuk memperluas
hubungan tersebut. Kondisi untuk sampai tahap
berikutnya tercermin pada kemampuan yang
ditunjukkan pada kegiatan yang dilakukan.
Refleksi ini dapat ditunjukkan melalui interaksi.
Kekuatan prinsip tahap ini yaitu dapat
membimbing pertumbuhan pemahaman
matematika pembelajar dan mengarahkan
hubungan longitudinal dalam kurikulum
matematika.
4) Prinsip saling menjalin
Prinsip saling menjalin ini ditemukan
pada setiap jalur matematika, misalnya antar
topik-topik seperti kesadaran akan bilangan,
mental aritmatika, perkiraan (estimasi), dan
algoritma.
5) Prinsip interaksi
Dalam matematika realistik belajar
matematika dipandang sebagai kegiatan sosial.
Pendidikan harus dapat memberikan kesempatan
bagi para pembelajar untuk saling berbagi strategi
dan penemuan mereka. Dengan mendengarkan
apa yang ditemukan orang lain dan
mendiskusikan temuan ini, pembelajar
mendapatkan ide untuk memperbaiki strateginya.
Lagi pula interaksi dapat menghasilkan refleksi
yang memungkinkan pembelajar meraih tahap
pemahaman yang lebih tinggi.
6) Prinsip bimbingan
Pengajar maupun program pendidikan
mempunyai peranan terpenting dalam
mengarahkan pembelajar untuk memperoleh
pengetahuan. Mereka mengendalikan proses
pembelajaran yang lentur untuk menunjukkan apa
yang harus dipelajari untuk menghindarkan
pemahaman semu melalui proses hafalan.
Pembelajar memerlukan kesempatan untuk
membentuk wawasan dan perkakas matematisnya
sendiri, karena itu pengajar harus memberikan
lingkungan pembelajaran yang mendukung
berlangsungnya proses tersebut. Artinya mereka
harus dapat meramalkan bila dan bagaimana
mereka dapat mengantisipasi pemahaman dan
keterampilan pembelajar untuk mengarahkannya
mencapai tujuan pembelajaran. Dalam hal ini
perbedaan kemampuan pembelajar harus
diperhatikan, sehingga setiap pembelajar
mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan
pengetahuannya dengan cara yang paling cocok
untuk mereka masing-masing.
c, Langkah-langkah Pembelajaran dengan
Pendekatan Realistik Pendekatan Matematika Realistik
mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai
berikut: siswa memiliki seperangkat konsep
laternatif tentang ide-ide matematika yang
mempengaruhi belajar selanjutnya; siswa
memperoleh pengetahuan baru dengan
membentuk pengetahuan itu untuk dirinya
sendiri; pembentukan pengetahuan merupakan
proses perubahan yang meliputi penambahan,
kreasi, modifikasi,penghalusan, penyusunan
kembali, dan penolakan; pengetahuan baru yang
dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal
dari seperangkat ragam pengalaman; setiap siswa
tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin
mampu memahami dan mengerjakan matematika.
Konsepsi tentang guru sebagai berikut: guru
hanya sebagai fasilitator belajar; guru harus
mampu membangun pengajaran yang interaktif;
guru harus memberikan kesempatan kepada siswa
untuk secara aktif menyumbang pada proses
belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa
dalam menafsirkan persoalan riil; dan guru tidak
terpancang pada materi yang termaktub dalam
kurikulum, melainkan aktif mengaitkan
kurikulum dengan dunia-riil, baik fisik maupun
sosial. Hartono (dalam Diyah, 2007).
Menurut Sudharta (2004), dalam
pengajaran matematika realistik, dibutuhkan
upaya (1) penemuan kembali terbimbing dan
matematisasi progresif, artinya pembelajaran
matematika realistik harus diberikan kesempatan
seluas-luasnya kepada siswa untuk mengalami
sendiri proses penemuan matematika ;(2)
fenomena didaktik, artinya pembentukan situasi
dalam pemecahan masalah matematika realistic
harus menetapkan aspek aplikasi dan
mempertimbangkan pengaruh proses dari
matematisasi progresif; (3) mengmbangkan
model-model sendiri, artinya pemecahan masalah
matematika realistic harus mampu dijembatani
melalui pengembangan model-model yang
diciptakan sendiri oleh siswa dari yang konkrit
menuju situasi abstrak, atau model yang
diciptakan sendiri oleh siswa untuk memecahkan
masalah, dapat menciptakan kreasi dalam
keprbadian siswa melalui aktifitas di bawah
bimbingan guru.
Langkah-langkah pembelajaran
matematika dengan PMR dapat digambarkan
sebagai berikut (Sudharta, 2004):
Dunia Nyata Dunia
Berdasarkan gambar tersebut dapat
dijelaskan bahwa pembelajaran matematika
realistik diawali dengan fenomena yang ada di
dalam dunia nyata, kenudian siswa dengan bantuan
guru diberikan kesempatan menemukan kembali
dan mengkonstruksi dalam model matematika
kemudian membuat jawaban atas model
matematika tersebut.Setelah itu diaplikasikan
dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain.
Dalam pembelajaran, sebelum siswa
masuk pada sistem formal, terlebih dahulu siswa
Masalah Konkrit Model Matematika
Jawaban Model Jawaban Atas Masalah
dibawa ke ‘situasi informal’, misalnya
pembelajaran pecahan dapat diawali dengan
pembagian menjadi bagian yang sama (misalnya
pembagian kue) sehingga tidak terjadi loncatan
pengetahuan informal anak dengan konsep-konsep
matematika (pengetahuan matematika formal).
Setelah siswa memahami pembagian menjadi
bagian yang sama, baru dikenalkan istilah pecahan.
Ini sangat berbeda dengan pembelajaran
konvensional (bukan PMR) di mana siswa sejak
awal sudah dicekoki dengan istilah pecahan dan
beberapa jenis pecahan.
Jadi, Pembelajaran matematika realistik
diawali dengan fenomena, kemudian siswa dengan
bantuan guru diberikan kesempatan menemukan
kembali dan mengkonstruksi konsep sendiri.
Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah sehari-
hari atau dalam bidang lain.
1. Kriteria Pemilihan Media Pada Bangun
Ruang
Ely (Ariel 2005:85) mengatakan bahwa
pemilihan seyogyanya tidak terlepas dari
konteksnya bahwa media merupakan komponen
dari sistem instruksional secara keseluruhan.
Karena itu meskipun tujuan dan isi sudah diketahui,
faktor-faktor lain seperti karakteristik siswa,
strategi belajar mengajar, Organisasi kelompok
belajar, alokasi waktu dan sumber, serta prosedur
penilaiannya perlu di pertimbangkan.
Menurut Azhar (2004:75) bahwa ada
beberapa kriteria yang patut diperhatikan dalam
memilih media yaitu sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai, tepat untuk mendukung isi pelajaran
yang sifatnya fakta konsep, prinsip dan
generalisasi, praktis, lues dan bertahan, dan guru
terampil menggunakannya, pengelompokan sasaran
dan mutu teknis.
METODE PENELITIAN
1. Populasi dan Sampel
Menurut Margono (2005:118), populasi
adalah keseluruhan data yang menjadi perhatian
kita dalam suatu ruang lingkup dan waktu yang kita
tentukan. Adapun yang menjadi populasi dalam
penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP
Negeri 1 Kuta Malaka Aceh Besar yang tersebar
dalam tiga kelas paralel. Sedangkan sampel adalah
sebagian dari populasi yang diteliti (Margono,
2005:121). Sampel dari penelitian ini dipilih dua
kelas yang mempunyai kemampuan sama,
berdasarkan dari pengamatan guru bidang studi
matematika pada sekolah tersebut dan diperkuat
dari hasil tes awal yang penulis berikan pada kedua
kelas. Dari pengolahan hasil tes awal dan pengujian
terhadap hipotesis didapat bahwasanya siswa kelas
VIII-2 dan siswa kelas VIII-3 mempunyai
kemampuan yang homogen. Berdasarkan hal
tersebut penulis tetapkan satu kelas sebagai kelas
eksperimen yaitu kelas VIII-2 dengan jumlah siswa
40 orang dan satu kelas sebagai kelas kontrol yaitu
kelas VIII-3 dengan jumlah siswa 39 orang. Kelas
eksperimen adalah kelas yang digunakan untuk
penerapan pembelajaran dengan pendekatan
Realistik, sedangkan kelas kontrol adalah kelas
yang proses belajarnya tanpa menggunakan
pendekatan Realistik. Jumlah keseluruhan sampel
dari kedua kelas tersebut adalah 79 orang.
b. Teknik Pengumpulan Data Adapun perangkat pembelajaran yang
dipersiapkan dalam penelitian ini adalah Rencana
Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar
Kerja Siswa (LKS), sedangkan instrumen
pengumpulan data yang disiapkan adalah lembaran
tes, yang terdiri dari tes awal dan tes hasil belajar.
LKS dan lembaran tes yang penulis siapkan
berlaku untuk kedua kelas tersebut.
Untuk memperoleh data dalam penelitian
ini peneliti terlebih dahulu memberikan tes awal
yang bertujuan untuk mengetahui homogenitas
sampel dari kedua kelas yang akan diteliti.
Selanjutnya pada kelas eksperimen pembelajaran
dilanjutkan dengan menerapkan pembelajaran
pendekatan Realistik pada materi Bangun Ruang.
Pada akhir pertemuan, untuk kedua kelas tersebut
(eksperimen dan kontrol) diadakan tes hasil belajar
yang diberikan dalam bentuk essay sebanyak 5
butir soal. Nilai yang diperoleh dari kedua hasil tes
tersebut inilah yang diambil sebagai data
penelitian.
c. Teknik Pengolahan Data Data yang telah terkumpul kemudian
diolah dengan menggunakan statistik uji-t pada
taraf signifikan 05,0=α . Adapun statistik
lainnya yang diperlukan sehubungan dengan
pengujian uji-t adalah:
1. Menstabulasikan data ke dalam daftar
distribusi frekuensi.
2. Menentukan nilai rata-rata ( x ) dan
varians (2
s )
3. Uji Normalitas Sebaran Data
4. Uji Homogenitas Varians
Uji homogenitas varians berguna untuk
mengetahui apakah penelitian ini berasal dari
populasi yang sama atau bukan. Menurut Sudjana
(2001:250) uji homogenitas dapat dihitung dengan
menggunakan rumus:
terkecilians
terbesariansF
var
var=
Kriteria pengujian tolak H0 jika
)1,1( 21 −−≥ nnFF α dan dalam hal lain H0 diterima
dengan α = 0,05.
5. Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini
menggunakan uji-t pihak kanan, dengan taraf
signifikan α = 0,05. Hipotesis yang diuji dalam
penelitian ini adalah:
H0 : 21 µµ = Hasil belajar siswa yang
diajarkan dengan pendekatan
Realistik pada materi Bangun
Ruang di SMPN 1 Kuta Malaka
sama dengan hasil belajar siswa
yang diajarkan dengan
pembelajaran selain pendekatan
Realistik .
H1 : 21 µµ > Hasil belajar siswa yang
diajarkan dengan pendekatan
Realistik pada materi Bangun
Ruang di SMPN 1 Kuta Malaka
lebih baik dari pada hasil belajar
siswa yang diajarkan dengan
pembelajaran selain pendekatan
Realistik.
Untuk menguji hipotesis yang telah
dirumuskan dapat digunakan rumus uji-t yang
menurut Sudjana (2001: 239) ialah:
21
21
11
nns
xxt
gab +
−=
Dimana varians gabungan (s2gab), menurut Sudjana
(2001:239) dapat dihitung dengan rumus:
2
)1()1(
21
2
22
2
112
−+
−+−=
nn
snsnsgab
Untuk pengujian digunakan dk = n1 + n2 – 2
dengan peluang (1 - α ), kriteria pengujian adalah:
terima 0H jika tabhit tt < dan tolak 0H untuk
harga t lainnya.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
1. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian
diproleh dari tes hasil belajar yang diberikan pada
pertemuan terakhir untuk kedua kelas tersebut.
Adapun rincian nilai tes hasil belajar dari masing-
masing kelas adalah sebagai berikut:
Tabel 4.1 Daftar Nilai Tes Hasil Belajar Siswa yang diajarkan dengan Pembelajaran dengan pendekatan realistik
(Kelas Eksperimen)
No Kode
Sampel
Total
Nilai
No Kode
Sampel
Total
Nilai
1 X1 100 21 X21 60
2 X2 70 22 X22 80
3 X3 80 23 X23 85
4 X4 75 24 X24 90
5 X5 70 25 X25 70
6 X6 100 26 X26 90
7 X7 90 27 X27 85
8 X8 100 28 X28 90
9 X9 85 29 X29 80
10 X10 100 30 X30 60
11 X11 70 31 X31 90
12 X12 85 32 X32 85
13 X13 60 33 X33 85
14 X14 90 34 X34 80
15 X15 75 35 X35 100
16 X16 85 36 X36 85
17 X17 100 37 X37 85
18 X18 90 38 X38 80
19 X19 70 39 X39 80
20 X20 90 40 X40 75
Tabel 4.2 Daftar Nilai Tes Hasil Belajar Siswa yang diajarkan dengan Pembelajaran Non pendekatan realistik
(Kelas Kontrol)
No Kode
Sampel
Total
Nilai
No Kode
Sampel
Total
Nilai
1 Y1 75 21 Y21 60
2 Y2 85 22 Y22 60
3 Y3 80 23 Y23 75
4 Y4 60 24 Y24 65
5 Y5 60 25 Y25 80
6 Y6 60 26 Y26 50
7 Y7 65 27 Y27 80
8 Y8 75 28 Y28 65
9 Y9 60 29 Y29 70
10 Y10 70 30 Y30 90
11 Y11 75 31 Y31 85
12 Y12 55 32 Y32 70
13 Y13 65 33 Y33 70
14 Y14 70 34 Y34 50
15 Y15 50 35 Y35 80
16 Y16 65 36 Y36 90
17 Y17 70 37 Y37 70
18 Y18 65 38 Y38 90
19 Y19 75 39 Y39 55
20 Y20 65
2. Pengolahan Data
• Nilai tes hasil belajar siswa kelas eksperimen
Tabel 4.3 Daftar Distribusi Frekuensi Nilai Tes Hasil Belajar Kelas Eksperimen di SMP Negeri 1 Kuta Malaka
Aceh Besar
Nilai fi xi fixi xi2 fixi
2
59 − 64
65 − 70
71 − 76
77 − 82
83 − 88
89 − 94
95 − 100
3
5
3
6
9
8
6
61,5
67,5
73,5
79,5
85,5
91,5
97,5
184,5
337,5
220,5
477
769,5
732
585
3782,25
4556,25
5402,25
6320,25
7310,25
8372,25
9506,25
11346,75
22781,25
16206,75
37921,5
65792,25
66978
57037,5
Jumlah 40 - 3306 - 278064
∑∑
=i
ii
f
xfx1
40
3306=
65,82=
)1(
)(22
2
1−
−=∑ ∑
nn
xfxfns
iiii
)140(40
)3306()278064(40 2
−
−= 66,123=
66,1231 =s
12,11=
• Nilai tes hasil belajar siswa kelas kontrol
Tabel 4.4 Daftar Distribusi Frekuensi Nilai Tes Hasil Belajar Kelas Kontrol di Negeri 1 Kuta Malaka Aceh
Besar
Nilai fi xi fixi xi2 fixi
2
50 − 55
56 − 61
62 − 67
68 − 73
74 − 79
5
6
7
7
5
52,5
58,5
64,5
70,5
76,5
262,5
351
451,5
493,5
382,5
2756,25
3422,25
4160,25
4970,25
5852,25
13781,25
20533,5
29121,75
34791,75
29261,25
80 − 85
86 – 91
6
3
82,5
88,5
495
265,5
6806,25
7832,25
40837,5
23496,75
Jumlah 39 - 2701,5 - 191823,75
∑∑
=i
ii
f
xfx 2
39
5,2701= 26,69=
)1(
)(22
2
2−
−=∑ ∑
nn
xfxfns
iiii
)139(39
)5,2701()75,191823(39 2
−
−=
1482
183024= 49,123=
49,1232 =s
11,11=
Sebelum dilakukan analisa data dengan
menggunakan uji-t, maka terlebih dahulu data dari
masing-masing kelas harus memenuhi syarat-syarat
normalitas dan homogenitas variansi.
2. Uji Normalitas Sebaran Data
Uji normalitas diperlukan untuk
mengetahui apakah data yang diperoleh dari
masing-masing kelas dalam penelitian ini
berdistribusi normal atau tidak. Adapun hipotesis
yang digunakan adalah:
H0 : data berdistribusi normal
H1 : data tidak berdistri normal
Kriteria pengujian menurut Sudjana
(2001:273): ”tolak H0 jika 2
hitungχ ≥2
tabelχ , dengan
α = 0,05 dalam hal lain H0 diterima.
Tabel 4.5 Daftar Uji Normalitas Nilai Tes Hasil Belajar Kelas Eksperimen di Negeri 1 Kuta Malaka Aceh Besar
Nilai
Batas Kelas
(x)
Zscore
Ls. DKN
Ls. DKI
Frekuensi
Diharapkan
(Ei)
Frekuensi
Pengamatan
(Oi)
59 − 64
65 − 70
71 − 76
77 − 82
83 − 88
89 − 94
95 − 100
58,5
64,5
70,5
76,5
82,5
88,5
94,5
100,5
-2,17
-1,63
-1,09
-0,55
-0,01
0,52
1,06
1,60
0,4850
0,4484
0,3621
0,2088
0,0040
0,1985
0,3554
0,4452
0,0366
0,0863
0,1533
0,2048
0,1945
0,1569
0,0898
1,46
3,45 11,04
6,13
8,19
7,78
6,27
9,86
3,59
11
6
9
14
Keterangan: Ls. DKN = luas daerah kurva normal
Ls. DKI = luas daerah kurva interval
Berdasarkan tabel diatas diperoleh:
∑=
−=
k
i i
ii
E
EO
1
2
2 )(χ
86,9
)86,914(
78,7
)78,79(
19,8
)19,86(
04,11
)04,1111( 2222
2 −+
−+
−+
−=χ
73,119,058,00001,02
+++=χ
50,22
=χ
Dengan taraf signifikan α = 0,05 dan derajat kebebasan (dk) = 4 – 3 = 1, maka diperoleh nilai tabel2
)1(95.0χ
= 3,84. Karena2
hitungχ = 2,50 < 2
tabelχ = 3,84, maka H0 diterima dan dapat disimpulkan bahwa data berdistribusi
normal.
Tabel 4.6 Daftar Uji Normalitas Nilai Tes Hasil Belajar Kelas Kontrol di Negeri 1 Kuta Malaka Aceh Besar
Nilai
Batas Kelas
(x)
Zscore
Ls. DKN
Ls. DKI
Frekuensi
Diharapkan
(Ei)
Frekuensi
Pengamatan
(Oi)
50 − 55
56 − 61
62 − 67
68 − 73
74 − 79
49,5
55,5
61,5
67,5
73,5
-1,77
-1,23
-0,69
-0,15
0,38
0,4616
0,3907
0,2549
0,0596
0,1480
0,0709
0,1358
0,1953
0,0884
0,1732
2,76
8,05
5,29
7,61
3,44
10,19
6,75
11
7
12
80 − 85
86 − 91
79,5
85,5
91,5
0,92
1,46
2,00
0,3212
0,4279
0,4772
0,1067
0,0493
4,16
6,08
1,92
9
Berdasarkan tabel diatas diperoleh:
∑=
−=
k
i i
ii
E
EO
1
2
2 )(χ
08,6
)08,69(
19,10
)19,1012(
61,7
)61,77(
05,8
)05,811( 2222
2 −+
−+
−+
−=χ
40,132,004,008,12
+++=χ
84,22
=χ
Dengan taraf signifikan α = 0,05 dan derajat
kebebasan (dk) = 4 – 3 =1, maka diperoleh nilai tabel2
)1(95.0χ = 3,84. Karena2
hitungχ = 2,84 < 2
tabelχ =
2,84, maka H0 diterima dan dapat disimpulkan bahwa
data berdistribusi normal.
3. Uji Homogenitas Varians
Uji homogenitas varians berguna untuk
mengetahui apakah sampel dari penelitian ini berasal
dari populasi yang sama atau bukan, sehingga
generalisasi dari penelitian ini hasilnya berlaku bagi
populasi. Adapun hipotesis yang akan diuji adalah:
H0 : 2
2
2
1 σσ = (varians data homogen)
H1 : 2
2
2
1 σσ > (varians data tidak
homogen)
Statistik yang digunakan adalah
terkecilians
terbesariansF
var
var= , dengan kriteria pengujian
adalah tolak H0 jika )1,1( 2 −−≥ nnFF α dan dalam
hal lain H0 diterima (Sudjana, 2001:251).
Dari hasil perhitungan data sebelumnya
diperoleh:
n1 = 40 ; 1x = 82,65 ; 1s = 11,12 ;
2
1s = 123,66
n2 = 39 ; 2x = 69,26 ; 2s = 11,11 ;
2
2s = 123,49
sehingga: 49,123
66,123=F
F = 1,001
Dengan taraf signifikan α = 0,05 maka dari
tabel distribusi F diperoleh: )38,39(05,0FF ≥ = 1,71.
Ternyata Fhitung < Ftabel maka H0 diterima, sehingga
dapat disimpulkan bahwa kedua kelas berasal dari
populasi yang sama berarti kedua varians homogen.
4.Tinjauan terhadap Hipotesis Pengujian hipotesis dalam penelitian ini
menggunakan uji-t pihak kanan, dengan taraf
signifikan α = 0,05. Hipotesis yang diuji dalam
penelitian ini adalah:
H0 : 21 µµ = Hasil belajar siswa yang diajarkan
dengan pendekatan Realistik pada
materi Bangun Ruang di SMPN 1
Kuta Malaka sama dengan hasil
belajar siswa yang diajarkan
dengan pembelajaran selain
pendekatan Realistik .
H1 : 21 µµ > Hasil belajar siswa yang diajarkan
dengan pendekatan Realistik pada
materi Bangun Ruang di SMPN 1
Kuta Malaka lebih baik dari pada
hasil belajar siswa yang diajarkan
dengan pembelajaran selain
pendekatan Realistik.
Sebelum mencari thit terlebih dahulu dicari
standar deviasi gabungan dari kedua sampel yaitu:
2
)1()1(
21
2
22
2
112
−+
−+−=
nn
snsnsgab
23940
)49,123)(139()66,123)(140(
−+
−+−=
77
36,9515= 57,123=
57.123=gabs
12,11=
Dengan demikian dapat dihitung nilai t
sebagai berikut:
21
21
11
nns
xxt
gab +
−=
39
1
40
112,11
26,6965,82
+
−=
1560
40
1560
3912,11
39,13
+
=
0506,012,11
39,13=
)22,0)(12,11(
39,13=
4464,2
39,13= 47,5=
Dengan taraf signifikan α = 0,05 dan dk =
(40 + 39 - 2) = 77 maka ( ) 67,17795,0 =t . Karena
tabelhitung tt > yaitu 5,47 >1,67, maka H0 ditolak dan
diterima H1. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil
belajar siswa yang diajarkan dengan pendekatan
realistik lebih baik dari pada hasil belajar siswa yang
diajarkan dengan pembelajaran selain pendekatan
realistik pada materi bangun ruang (kubus dan Balok)
di kelas VIII SMP Negeri 1 Kuta Malaka Aceh Besar.
4. Pembahasan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan,
penulis menganalisis pengaruh penerapan
pembelajaran dengan pendekatan Realistik hasil
belajar siswa pada materi bangun ruang di kelas VIII
SMP Negeri 1 Kuta Malaka Aceh Besar. Penelitian
ini dilakukan lima kali pertemuan, pada pertemuan
pertama dilakukan tes awal untuk menguji
homogenitas kemampuan siswa pada kedua kelas
(kontrol dan eksperimen) yang penulis teliti. Dari
pengujian tersebut didapat bahwasanya siswa pada
kedua kelas tersebut mempunyai kemampuan yang
homogen. Selanjutnya pada pertemuan kedua sampai
ke empat dilakukan proses pembelajaran dengan
pendekatan realistik. Model ini juga diberlakukan
untuk kedua kelas, hanya saja pada kelas eksperimen
(kelas VIII-2) pendekatan realistik. Pada pertemuan
terakhir dilakukan tes hasil belajar.
Dari hasil pengolahan data dan analisis data
yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa pada
dasarnya siswa dapat menguasai materi bangun
ruang, baik itu dengan menggunakan pendekatan
realistik maupun tanpa menggunakan pendekatan
realistik. Ini dapat dilihat dari nilai rata-rata hasil tes
kedua kelas tersebut. Nilai rata-rata hasil tes kelas
yang diajarkan dengan pendekatan realistik adalah
82,65, sedangkan nilai rata-rata hasil tes kelas yang
diajarkan tanpa pendekatan realistik adalah 69,26.
Selisih nilai rata-rata dari kedua kelas tersebut adalah
13,39. Sehingga terdapat perbedaan hasil belajar
siswa pada materi sistem persamaan linear dua
variabel yang diajarkan dengan menggunakan
pembelajaran pendekatan realistik dibandingkan
tanpa menggunakan pembelajaran pendekatan
realistik. Hal ini disebabkan dalam pembelajaran
pendekatan realistik siswa yang tadinya tidak berani
bertanya atau malu untuk bertanya pada guru utama
(berada di depan) dapat bertanya pada assistant
teacher (berada di belakang), sehingga guru dapat
membantu mengatasi kesulitan yang dihadapi siswa
dengan segera.
Tingkat keberhasilan proses belajar
mengajar pada kedua kelas dapat dilihat dari nilai
rata-rata hasil tes belajar siswa. Dengan demikian,
tingkat keberhasilan proses belajar mengajar dengan
pembelajaran pendekatan realistik berada pada
tingkat baik sekali atau optimal, sedangkan tingkat
keberhasilan proses belajar mengajar tanpa
pembelajaran pendekatan realistik berada pada
tingkat baik atau minimal. Secara umum kedua kelas
telah mencapai ketuntasan belajar. Hal ini ditinjau
menurut kurikulum tingkat satuan pendidikan, yaitu
suatu kelas dikatakan tuntas belajar apabila 85% atau
lebih dari jumlah siswa dalam satu kelas
mendapatkan nilai di atas 65. Namun secara
individual, pada kelas yang menerapkan
pembelajaran pendekatan realistik terdapat 3 orang
siswa yang tidak mencapai ketuntasan belajar dan
pada kelas yang tidak menerapkan pembelajaran
pendekatan realistik terdapat 11 orang siswa yang
tidak mencapai ketuntasan belajar. Hal ini mungkin
disebabkan oleh beberapa faktor, baik yang berasal
dari dalam diri siswa sendiri maupun dari luar diri
siswa.
Dalam proses belajar, pada kelas yang
menerapkan pembelajaran pendekatan realistik
siswanya terlihat lebih aktif baik secara fisik maupun
mental dibandingkan dengan kelas yang tidak
menerapkan pembelajaran pendekatan realistik.
Siswa dengan bebas mengeluarkan pendapat dalam
memahami konsep dan siswa saling berinteraksi baik
antara siswa maupun dengan guru, baik itu dengan
guru utama ataupun dengan assistant teacher dalam
berdiskusi. Pengetahuan siswa mengenai materi
bangun ruang juga lebih lengkap karena diberikan
dan ditinjau oleh guru-guru yang pandangan dan
pengetahuannya saling melengkapi, sehingga siswa
tidak hanya dapat memahami materi tetapi juga dapat
menguasai fakta, konsep serta prinsip-prinsip yang
digunakan dalam menyelesaikan soal-soal materi
persamaan linear dengan dua variabel terutama dalam
mengubah soal yang berbentuk cerita ke dalam
kalimat matematika. Hasil penelitian Rahmayani
(2009:71) juga menemukan bahwa dengan adanya
bimbingan yang lebih fokus dari dua orang guru
siswa lebih konsentrasi dalam belajar. Siswa juga
tidak berani mengganggu temannya karena mereka
diawasi/diamati oleh dua orang guru. Konsentrasi
yang tinggi dalam belajar mengakibatkan hasil
belajar yang lebih baik, sehingga prestasi belajar
matematika siswa juga meningkat.
Pembelajaran dengan pendekatan realistik
tidak hanya meningkatkan hasil belajar, tetapi juga
dengan adanya kolaborasi dua orang guru di dalam
kelas, maka proses observasi terhadap siswa lebih
intens. Catatan khusus terhadap perilaku,
ketidakbiasaan, kesulitan siswa akan terekam dengan
baik, sehingga setiap permasalahan yang muncul
dalam proses pembelajaran dapat diatasi secara
bersama-sama.
Walaupun pembelajaran dengan pendekatan
realistik dapat mencapai hasil belajar yang lebih baik
(optimal), namun masih terdapat kekurangan dalam
pelaksanaan pembelajaran ini seperti team mudah
kembali kepada kerja individual sehingga tanggung
jawab kelompok terabaikan. Sulit untuk membentuk
team yang kompak terutama saat membagi peran di
dalam kelas.
PENUTUP
1. Simpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data dan
pengujian hipotesis yang dilakukan pada siswa kelas
VIII SMP N 1 Kuta Malaka Aceh Besar pada materi
bangun ruang dapat di simpulkan bahwa, “Hasil
belajar siswa yang diajarkan dengan pendekatan
realistik lebih baik dari pada hasil belajar siswa yang
diajarkan tanpa menggunakan pendekatan realistik
pada bangun ruang di SMP N 1 Kuta Malaka Aceh
Besar”.
2, Saran Mengingat penerapan dengan pendekatan
realistik membawa pengaruh positif terhadap prestasi
belajar siswa, maka:
a) Diharapkan kepada guru untuk dapat
menerapkan strategi, model dan metode
pembelajaran yang sesuai dengan materi
pelajaran dalam meningkatkan ketuntasan belajar
siswa.
b) Diharapkan kepada siswa untuk lebih sering
belajar, baik secara individu maupun
berkelompok karena hasil yang didapat akan
lebih baik dan memuaskan.
c) Disarankan kepada pihak lain untuk melakukan
penelitian selanjutnya terhadap bidang studi
matematika pada pokok bahasan lainnya untuk
memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang
dengan pendekatan realistic.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, Azhar. 2004. Media pembelajaran. Jakarta:
PT. Raja Grafindo persada.
Arikunto, S. 2002. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan.
Jakarta: Bumi Aksara.
Baroody. A.J. 1993. Problem Solving, Reasoning,
and Communicating. Macmillan Publising,
New York.
Freudenthal, H. 1977. Antwoord door Prof. Dr. H.
Freudenthal na het verlenen van het
eredoctoraat [Speech by Prof. H.
Freudenthal upon being granted an
honorary doctorate]. Euclides.
Freudenthal, H. 1968. Why to Teach Mathematics so
as to Be Useful. Educational Studies in
Mathematics. Dordrecht, Reidel.
Freudenthal, H. 1991. Revisiting Mathematics
Education. China Lectures. Dordrecht:
Kluwer Academic Publishers.
Gagne 1970. Realistic Mathematics.
http://www.depdiknas.co.id/editorial:jurn
al pendidikan Indonesia. (diakses Januari
2010)
Gravemeijer, K. 1994. Educational Development and
Developmental Research in Mathematics
Education. Journal for Research in
Mathematics Education
Hudojo. 1997. Strategi Belajar Mengajar
Matematika. Malang. IKIP Malang.
Junaedi, Samsul. 2004. Matematika SMP untuk Kelas
VII. Jakarta: Erlangga.
Junaedi, Dedi. 1999. Penuntun Belajar Matematika
Untuk SLTP Kelas 3. Jakarta: Mizan.
Maschke Kathy L., Gagne: The Condition of
Learning,
www.nc.gsu/~mstswh/course/it7000/paper
s/robert.htm.
Musser, Gary L and Brnger. 1994. Mathematics for
Ellementary Teachers A Cotemporary
Approuh. New York: Macmillan
Publishing Co.
M. Cholik Adinawan, Sugijono. 2006. Matematika
SMP Kelas VIII. Jakarta: Erlangga.
National Council of Teachers of Mathematics (2000).
Principles and standards for school
mathematics. Reston: Author.
Polya, G. How to solve it. 1957. Garden City, NY:
Doubleday and Co., Inc.
Suryuadi. 1999. Current situation on matematics and
science education in Bandung.
http://www.ditnaga-
dikti.org/ditnaga/files/PIP/MRE. (akses
Januari 2010)
Sudjana. 1996. Metode Statistik. Bandung. Tarsito.
Sukestiyarno, dan Budi Waluya. 2006. Upaya
Meningkatkan Penguasaan Konsep dan
Membentuk Mahasiswa menjadi
Matematikawan yang Filsafati Melalui
Pembelajaran Filsafat Ilmu dengan Strategi
Student Team Heroic Leadership. Laporan
Teaching Grant: Pend. Matematika Unnes
Treffers. A. 1987. Thee Dimensions, A Model of Goal
and Theory Description in Mathematics
Instruction, The Wiskobas project, D. Reidal
Publishing Company
“Model Project Citizen Untuk Meningkatkan Kecakapan Pendidikan Kewarganegaraan
Dalam Mengembangkan Sikap Nasionalisme”
Oleh :
Hafidh Maksum
Abstrak. Salah satu model pembelajaran untuk meningkatkan kecakapan pendidikan kewarganegaraan
dalam pengembangan sikap nasionalisme siswa adalah dengan model Project citizen, yaitu sebuah
model pembelajaran berbasis portofolio. Melalui model ini para siswa bukan hanya diajak untuk
memahami konsep dan prinsip keilmuan, tetapi juga mengembangkan kemampuannya untuk bekerja
secara kooperatif melalui kegiatan belajar praktik empirik. Dengan demikian pembelajaran akan
semakin menantang, mengaktifkan dan lebih bermakna. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
perbedaan hasil pretest dan postest antara siswa yang proses belajar mengunakan project citizen dengan
siswa yang belajar secara konvensional dalam meningkatkan kecakapan pendidikan kewarganegaraan
dalam pengembangan sikap nasionalisme. Penelitian ini didasarkan pada teori bahwa strategi
instruksional yang digunakan dalam model ini, pada dasarnya bertolak dari strategi “inquiriy, discovery,
problem solving, research-oriented,” yang dikemas dalam model ”project” ala John Dewey. Dalam hal
ini ditetapkan langkah-langkah sebagai berikut: mengindentifikasi masalah, memilih masalah untuk
dikaji oleh kelas, mengumpulkan informasi, mengembangkan portofolio kelas, menyajikan portofolio,
dan melakukan refleksi pengalaman belajar. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Metode
yang digunakan adalah eksprimen kuasi dengan desain ”nonequivalent control group pre-test dan post-
test design.” Dalam desain ini kedua kelompok tidak dipilih secara radom. Pengumpulan data
dilakukan dengan pre-test dan post-test dengan mengunakan test angket. Hasil analisis menunjukkan
adanya peningkatan signifikan pada kecakapan intelektual, dan peningkatan kategori sedang pada
kecakapan kewarganegaraan dan kecakapan partisipatoris antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol.
Analisis data dapat menunjukkan bahwa siswa merespon positif pembelajaran PKn dengan
menggunakan model project citizen. Dari hasil diatas rekomendasi penelitian ini ditujukan kepada
pengajar agar mempraktekkan pembelajaran PKn dengan model project citizen karena terbukti
disenangi siswa dan dapat meningkatkan kecakapan kewarganegaraan.
Kata Kunci: Project Citizen, Kecakapan pendidikan kewarganegaraan dan Nasionalisme.
Pengaruh konflik yang berkepanjagan di Aceh
telah menimbulkan masalah baru yaitu memudarnya
rasa nasionalisme sesama anak bangsa. Arus masalah
tersebut dapat mempengaruhi identitas nasional
sebuah bangsa. Kalau kita perhatikan dewasa ini jika
ditinjau dari segi sikap nasionalisme (sebagai elemen
penting dalam penumbuhan nasionalisme), kita
banyak mengalami kemunduran.
Generasi muda Aceh khususnya dan
generasi muda indonesia pada umumnya pada saat
ini telah berada jauh dari rentang waktu
kepahlawanan ’45 (Nilai nilai nasionalisme atau nilai
nilai semangat kebangsaan pejuang kita tahun 1945).
Hal inilah yang kemudian membuat generasi muda
tidak terlalu peduli dengan hari kebangsaan. Mereka
perlu mengingat kembali peristiwa kolonial
(penjajah) di masa lampau.
Dalam menjawab persoalan ini, kecakapan
pendidikan kewarganegaraan dapat berpengaruh
dalam penyelesaian masalah masalah nasionalisme
terutama terhadap siswa yang tinggal di daerah
konflik dan daerah pasca konflik.
Identitas nasional erat kaitannya dengan
nasionalisme. Kecakapan PKn diyakini sebagai salah
satu cara untuk menumbuhkan sikap dan jiwa
nasionalisme. Pendapat ini nampaknya sesuai dengan
usulan Ernest Gelner yang dikutip oleh Tilaar (2007:
25) yang berpendapat bahwa :
Kewarganegaraan merupakan suatu keanggotaan
moral (moral membership) dari suatu masyarakat
modern. Keanggotaan itu diperolehnya melalui
pendidikan nasional dan biasanya menggunakan
bahasa yang dipilih sebagai bahasa ibu atau bahasa
nasional.
Tilaar (2007: 25) berpendapat bahwa pendidikan
merupakan faktor penting untuk menumbuhkan
nasionalisme disamping bahasa dan budaya.
Pendidikan kewarganegaraan sangat kental dan erat
dengan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme. Hal
tersebut bukanlah sebuah mitos belaka. Karena
memang secara substanstif pendidikan
kewarganegaraan bertujuan untuk membentuk warga
negara yang baik, yang salah satu didalamnya kental
nuansa nasionalisme-nya.
Nasionalisme sebagai ungkapan perasaan
senasib sepenanggungan dalam lingkup bangsa dalam
bentuk kepedulian dan kepekaan akan masalah-
masalah yang dihadapi bangsa, termasuk didalamnya
masalah yang berkaitan dengan rasa solidaritas
sebangsa dan setanah air, dan pada saat kini perlu
terus ditumbuh kembangkan.
Dalam hal ini dapat diyatakan bahwa
nasionalisme adalah suatu kepercayaan yang dimiliki
oleh sebagian besar individu di mana mereka
menyatakan rasa kebangsaan sebagai perasaan yang
secara bersama di dalam suatu bangsa.
Nasionalisme hari ini tentunya berbeda
dengan nasionalisme pada masa perjuangan
perebutan kemerdekaan bangsa Indonesia dulu,
sebagaiman dikemukakan oleh Cohyo (1995: 30)
Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang
integralistik, dalam arti yang tidak membeda-bedakan
masyarakat atau warga negara atas dasar golongan
atau yang lainnya, melainkan mengatasi segala
keanekaragaman itu tetap diakui. Singkatnya
nasionalisme bangsa Indonesia dalam perbedaan dan
berbeda dalam persatuan (Bhineka Tunggal Ika).
Dengan demikian dapat diambil sebuah
kesimpulan bahwa kebanggaan akan bangsa negara
sendiri dan rasa cinta terhadap tanah air perlu
dimiliki. Karena hal tersebut merupakan wujud dari
sikap seorang warga negara yang siap berjuang,
berkorban dan menegakkan kehidupan berbangsa dan
neagra didalam berbagai bidang.
Jiwa Nasionalisme sangat penting untuk
dimiliki setiap individu terutama generasi muda .
Namun, ada anggapan yang mengatakan generasi
muda tidak memiliki jiwa nasionalisme. Bahkan ada
pula yang mengatakan jiwa nasionalisme itu ada.
Hanya saja tidak ada pemicu yang dapat membuat
jiwa nasionalisme itu tampak. Berbagai cara harus
dilakukan untuk memicu jiwa nasionalisme dalam
diri generasi muda.
Siswa sebagai generasi muda penerus
bangsa memegang peranan penting dalam
menumbuhkan sikap dan jiwa nasionalisme. Salah
satu hal yang dapat dilakukan oleh para generasi
muda untuk mewujudkan sikap dan jiwa
nasionalisme yaitu dengan memanfaatkan pendidikan
dengan sebaik-baiknya, karena pendidikan
merupakan salah satu hal penting dalam hal
pembinaan sikap nasionalisme.
Menurut Somantri (2001: 279) pendidikan
kewarganegaraan memiliki tujuan mendidik warga
negara yang baik, yang dapat dilukiskan dengan
‘warga negara negara yang patriotik, toleran, setia
terhadap bangsa dan negara, beragama,
demokratis…, Pancasila sejati.
Kecerdasan yang dimiliki warganegara harus
tercermin dalam tiga aspek. yaitu pengetahuan
kewarganegaraan (civic knowledge), kecakapan
pendidikan kewarganegaraan (civic skill), dan watak-
watak kewarganegaraan (civic disposition). Senada
dengan hal ini Wahab (2006: 62) mengemukakan
bahwa "...kewarganegaraan yang dikembangkan
haruslah mengandung pengetahuan. keterampilan-
keterampilan. nilai-nilai. dan disposisi yans idealnya
dimiliki warganegara". Jika warganegara sudah
tercerdalam aspek aspek tersebut maka tujuan Pkn
sudah dapat dikatakan berhasil
Sekolah sebagai lembaga formal
penyelenggara pendidikan sudah barang tentu
memiliki peran yang sentral dalam hal ini. Terlebih
sekolah merupakan pranata yang digunakan untuk
mengimplementasikan tujuan penyelenggaraan
pendidikan nasional yang sesuai dengan idealita yang
tertera dalam Undang-Undang negara kita.
Siswa sebagai generasi muda penerus bangsa
tentunya harus memiliki pengetahuan yang kuat akan
dinamika kehidupan kebangsaan. Sekolah tentu saja
mempunyai tanggungjawab untuk melakukan hal
tersebut. Dalam kacamata kewarganegaraan siswa
diyakini sebagai warga negara baru tumbuh, yakni
warga negara yang masih harus dididik menjadi
seorang yang sadar akan hak dan kewajibannya baik
sebagai individu maupun sebagai anggota
masyarakat. Terlebih sikap nasionalisme sangat harus
dimiliki oleh generasi muda yang kelak akan
menjalankan roda kehidupan negeri ini.
Salah satu model pembelajaran dalam
pengembangan nasionalisme siswa adalah dengan
model Project citizen, yaitu sebuah model
pembelajaran berbasis potofolio, Melalui model ini
para siswa bukan hanya diajak untuk memahami
konsep dan prinsip keilmuan, tetapi juga
mengembangkan kemampuannya untuk bekerja
secara kooperatif melalui kegiatan belajar praktik-
empirik. dengan demikian pembelajaran akan
semakin menantang, mengaktifkan dan lebih
bermakna
Menurut Budimansyah (2009: 2) ,dengan
model prozect citizen dapat meningkatkan
pemahaman siswa terhadap apa yang dikaji
khususnya tengtang kewarganegaraan. Program
tersebut mendorong para siswa untuk terlibat aktif
dengan organisasi organisasi pemerintah dan
masyarakat sipil untuk memecahkan satu persoalan di
sekolah atau masyarakat dan untuk mengasah
kecerdasan social dan intelektual yang penting bagi
kewarganegaraan demokratis yang
bertanggungjawab.
Berangkat dari pemaparan di atas, maka
penulis merasa tertarik untuk melakukan sebuah
pengkajian mengenai pengembangan sikap
nasionalisme siswa. Hal tersebut dilatar belakangi
pula oleh adanya sebuah keyakinan bahwa
pendidikan dan sekolah merupakan pranata yang
dapat membentuk pikiran, sikap, mental serta
semangat siswa. Atas dasar itulah maka judul yang
diambil ialah Model Project Citizen Untuk
meningkatkan kecakapan Pendidikan
kewarganegaraan pada konsep Pengembangan
Sikap Nasionalisme siswa. (Studi Kuasi
Eksprimental Pada SMA Negeri 12 Banda Aceh )
Metode Penelitian.
Penelitian ini mengunakan pendekatan
kuantitatif dengan metode kuasi eksprimen. Dalam
penelitian, yang menjadi fokus adalah model project
citizen untuk mengembangkan kecakapan sikap
nasionalisme siswa. Metode yang digunakan adalah
penelitian kuasi eksperimen (Best, 1982). Metode
tersebut dilakukan untuk memperoleh informasi yang
merupakan perkiraan bagi informasi yang dapat
diperoleh dengan eksperimental sesungguhnya,
dalam keadaan tidak memungkinkan untuk
mengontrol atau mengendalikan semua variabel.
Untuk mendapatkan gambaran implementasi
model project citizen untuk mengembangkan sikap
nasionalisme siswa melalui pendidikan
kewarganegaraan, digunakan metode quasi
eksperiment dengan desain "randomized control
group pre-test post-test design" (Fraenkel,1993).
Dengan desain ini sampel dibagi dalam 2 kelompok
yaitu satu kelompok dengan eksperimen dan satu
kelompok lagi dengan kelompok kontrol. Kelompok
eksperimen mendapatkan pembelajaran konsep
nasionalisme dengan model project citizen sedangkan
kelompok control mendapatkan pelajaran dengan
model konvensional.
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Pembelajaran PKn dengan Model project
citizen berpengaruh kategori sedang terhadap
kecakapan Kewarganegaraan,
Berdasarkan output SPSS diatas, karena
varians tidak sama, maka untuk melihat hasil uji t
memakai hasil pada baris ke dua (equal varians not
assumed). Diperoleh nilai p-value sebesar 0,503,
karena nilai p-value > 0,05 maka dapat diketahui
bahwa tidak terdapat perbedaan rerata skor
kecakapan partisipatoris dengan indikator
kemampuan partisipasi umum yang signifikan antara
kelas kontrol dan eksperimen. Tetapi berpengaruh
kategori sedang.
Hal ini menunjukkan bahwa model project
citizen berpengaruh secara sedang untuk
meningkatkan kecakapan kewarganegaraan. Adanya
pengaruh kategori sedang antara model project
citizen untuk meningkatkan kecakapan
kewarganegaraan dapat dianalisis dari beberapa hal:
Pertama: model project citizen bersifat alamiah bagi
siswa. Artinya, memberikan kesempatan kepada
siswa untuk mempraktikkan berpikir kritis,
berinteraksi dan berdiskusi dengan teman-teman
sekelas, melakukan negosiasi, bekerjasama dan
membuat keputusan terbaik untuk kepentingan
umum.
Hal tersebut sejalan dengan paham
konstruktivistik yang dikemukakan oleh Glaserfeld
dalam Budiningsih dalam Adha (2010: 160) bahwa
ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam
proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu; (1)
perlakuan.kemampuan mengingat dan
mengungkapkan kembali pengalaman, (2)
kemampuan membandingkan dan mengambil
keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan (3)
kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman
yang satu dari pada lainnya. Manusia dapat
mengetahui sesuatu dengan menggunakan indranya.
Melalui interaksinya dengan objek lingkungan,
misalnya dengan melihat, mendengar, menjamah,
membau, atau merasakan, seseorang dapat
mengetahui sesuatu. Pengetahuan bukanlah sesuatu
yang sudah ditentukan, melainkan sesuatu proses
pcmbentukan. Semakin banyak seseorang
berinteraksi dengan objek dan lingkungannya,
pengetahuan dan pemaliamannya akan objek dan
lingkungan akan lebih meningkat. Pengetahuan tidak
dapat dipindahkan begitu saja dari otak seorang
(guru) ke kepala orang lain (siswa). Siswa sendirilah
yang hams mengartikan apa yang telah diajarkan
dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-
pengalaman mereka (Lorsbach & Tobin dalam
Komalasari, 2008).
Pembelajaran PKn dengan Model Project Citizen
berpengaruh senifikan terhadap Kecakapan
Intelektual (intelectual skill) siswa
Model Project Citizen untuk meningkatkan
kecakapan kewarganegaraan berpengaruh secara
signifikan, Berdasarkan output SPSS , karena varians
tidak sama, maka untuk melihat hasil uji t memakai
hasil pada baris ke dua (equal varians not assumed).
Diperoleh nilai p-value sebesar 0,000, karena nilai p-
value < 0,05 maka dapat diketahui bahwa terdapat
perbedaan rerata skor kecakapan intelektual dengan
indikator mengidentifikasi masalah yang signifikan
antara kelas kontrol dan eksperimen.
Kuatnya pengaruh secara signifikan antara
model project citizen untuk meningkatkan kecakapan
intelektual dapat dianalisis dari beberapa hal:
Pertama: model project citizen dalam proses
pembelajaran, dikaitkan dengan konteks kehidupan
sehari-hari siswa, sehingga dapat membentuk
kecakapan hidup dan menambah wawasan siswa
yang sesuai dengan kehidupan nyata di masyarakat.
Kecakapan hidup itulah yang nantinya digunakan
oleh anak didik memasuki kehidupan nyata di
masyarakat. Dalam hal ini siswa dituntut untuk lebih
dapat berpikir secara lebih mendalam, dengan melihat
permasalahan apa saja yang terjadi di sekitar
lingkungan tempat mereka tinggal. Dan dalam proses
inilah maka terjadi proses belajar bagi siswa itu
sendiri.
Senada dengan yang dikemukakan oleh
Surya dalam Sutrisno (1997) : "belajar dapat
diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh
individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru
secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman
individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan
lingkungannya". Berdasarkan pendapat tersebut dapat
dijelaskan bahwa dengan belajar maka perubahan
perilaku secara keseluruhan akan terjadi, dimana hal
tersebut didapat dari interaksi antar manusia dan
lingkungan dimana siswa tinggal. Dengan demikian
siswa dapat dapat berpikir secara lebih kritis dan
mampu mengembangkan kecakapan intelektualnya.
Kedua, dengan menggunakan model Project
Citizen lebih menekankan sikap dan perilaku yang
lebih baik dalam proses pembelajaran erat kaitannya
dengan kecakapan intelektual. Seperti yang
dikemukakan oleh Andriyan (2007) bahwa
Intelektualitas, sebagaimana yang selalu kita pahami
adalah seperangkat sikap dan perilaku yang lebih
bijak, lebih mengarahkan kepada pendekatan otak
dan rasional serta selalu menimbang-nimbang apa
yang akan diambil berdasarkan resiko yang akan
terjadi kemudian. Pendek kata, orang intelektual
adalah orang yang selalu mengedepankan prinsip
kehati-hatian dan pertimbangan-pertimbangan yang
rasional dibandingkan emosional. Intelektual, selalu
akan mencoba menghindari segala hal yang bersifat
kekerasan dan irasionalitas yang justru akan merusak
sisi intelektualitasnya. Sebab, intelektual selalu
mencari cara dan solusi yang lebih baik daripada
hanya mengedepankan otot dan perilaku kasar
semata.
Senada dengan yang dikemukakan oleh
Susanto (2008) bahwa pendidikan merupakan sebuah
proses penting dalam kehidupan manusia, karena
melalui proses ini manusia dibentuk dan dilahirkan
sebagai seorang manusia yang utuh dan sebenamya.
Pendidikan semestinya bertanggungjawab terhadap
proses pencerdasan bangsa dan berimplikasi kuat
pada proses empowerment (pemberdayaan). Hal ini
perlu ditegaskan kembali, karena tingkat pendidikan
yang meningkat ternyata tidak selalu inheren dengan
tingkat pemberdayaan, dan karenanya tidak inheren
pula dengan tingkat kemandirian.
Pembelajaran PKn dengan Model Project
Citizen tidak berpengaruh signifikan terhadap
Kecakapan Partisipatoris (partisipatory skill) siswa.
Tetapi kategori sedang.
Berdasarkan output SPSS diatas, karena
varians sama, maka untuk melihat hasil uji t memakai
hasil pada baris pertama (equal varians assumed).
Diperoleh nilai p-value sebesar 0,064, karena nilai p-
value > 0,05 maka dapat diketahui bahwa tidak
terdapat perbedaan rerata skor kecakapan
partisipatoris dengan indikator keahlian pemecahan
masalah yang signifikan antara kelas kontrol dan
eksperimen.
Model Project Citizen untuk meningkatkan
kecakapan partisipatoris berpengaruh kategori
sedang, adanya pengaruh secara sedang antara model
Project Citizen untuk meningkatkan kecakapan
partisipatoris dapat dianalisis dari beberapa hal: yaitu
adanya perubahan sikap. Hasil pembelajaran yang
berupa kecakapan individu untuk memilih macam
tindakan yang akan dilakukan. Dengan kata lain.
Sikap adalah keadaan dalam diri individu yang akan
memberikan kecenderungan bertindak dalam
menghadapi suatu obyek atau peristiwa, didalamnya
terdapat unsur pemikiran, perasaan yang menyertai
pemikiran dan kesiapan untuk bertindak.
Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan
tentang model project citizen untuk meningkatkan
kecakapan pendidikan kewarganegaraan pada konsep
pengembangan sikap nasionalisme pada SMA Negeri
12 Banda Aceh. secara umum dapat disimpulkan
bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dan
kategori sedang. Secara Umum dan khusus dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Kesimpulan Umum
Dari hasil analisis dan pengujian terhadap
hipotesis yang dilakukan oleh peneliti serta hasil
pembahasan, secara umum dapat disimpulkan bahwa
penggunaan model project citizen dipandang dapat
mempengaruhi dalam meningkatkan kecakapan
kewarganegaraan (civic skills) pada konsep
pengembangan sikap nasionalisme, yang pada
dasarnya disenangi oleh siswa , ketika dalam
pembelajaran di dalam dan di luar kelas. Model
belajar project citizen merupakan suatu pembaharuan
proses belajar dalam pendidikan yang cukup baik
untuk dipratekkan dalam mata pelajaran pendidikan
kewarganegaraan karena dirasakan bermanfaat untuk
siswa dalam kehidupannya. umumnya dan
memecahkan suatu permasalahan pada khususnya.
2. Kesimpulan Khusus
Dari hasil analisis data dan temuan yang
diperoleh dari lapangan tentang implementasi model
project citizen untuk meningkatkan kecakapan
kewarganegaraan siswa di SMA Negeri 12 Banda
Aceh, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Kelas eksperimen yang mendapatkan
pembelajaran model project citizen terlihat
perbedaan yang tidak senifikan tetapi mengalami
peningkatan kategori sedang, untuk kecakapan
kewarganegaraan. Pada pengukuran kecakapan
kewarganegaraan terdapat perbedaan yang
signifikan kecakapan kewarganegaraan antara
siswa yang menggunakan model project citizen
dengan pembelajaran konvensional. Hal ini
dikarenakan pada tahap pengukuran kecakapan
kewarganegaraan tersebut, siswa pada kelas
eksperimen dapat melakukan sedikit lebih baik
untuk indikator kecakapan intelektual dan
kecakapan partisipatoris dilihat dari hasil
pengukurannya melalui insrrumen untuk
kecakapan intelektual dan kecakapan
partisipatoris.
2. Kelas eksperimen yang mendapatkan pembeljaran
model project citizen terlihat perbedaan yang
signifikan untuk kecakapan intelektual. Terdapat
perbedaan yang signifikan antara hasil siswa yang
menggunakan model project citizen dengan kelas
kontrol pada pengukuran akhir (post-test) untuk
kecakapan intelektual. Hal ini dikarenakan pada
tahap pengukuran kecakapan intelektual tersebut,
siswa pada kelas eksperimen dapat melakukan
dengan sangat baik bagaimana untuk berpikir
kritis mengenai permasalahan yang menjadi
bahan kajian kelas dimana siswa dapat berpikir
dengan lebih efektif dan bertanggung jawab
berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.
Dengan demikian siswa dapat mengidentifikasi
dan membuat deskripsi, menjelaskan dan
menganalisis mengenai permasalahan yang ada di
sekitarnya.
3. Kelas eksperimen yang mendapatkan pebelajaran
model project citizen terlihat perbedaan yang
tidak senifikan untuk kecakapan partisipatoris.
Tetapi tetapi adanya peningkatan kategori sedang.
,Pada pengukuran kecakapan partisipatoris
terdapat perbedaan yang signifikan kecakapan
partisipatoris antara siswa yang menggunakan
model project citizen dengan yang tanpa
perlakuan. Hal ini dikarenakan pada tahap
pengukuran kecakapan tersebut, siswa pada kelas
eksperimen dapat melakukan sedikit lebih baik
untuk indicator kecakapan partisipatoris pada
tahap pengukuran, siswa pada kelas eksperimen
dapat melakukan dengan baik bagaimana untuk
berpartisipasi yang bertanggung jawab, efektif
dan ilmiah, dimana siswa dapat berkomunikasi
dan bekerjasama dengan baik dan santun.
Kemudian pada tahap tersebut siswa dapat belajar
dan berinteraksi dengan kelompok-kelompok
kecil dalam rangka mcngumpulkan informasi,
bertukar pikiran, dan menyusun rencana-rencana
tindakan sesuai dengan pengetahuan yang siswa
miliki.
DAFTAR PUSTAKA
Adha Mona. (2010), Model Projec Citizen Untuk
Meningkatkan
KecakapanKewarganegaraan Pada Konsep
Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat UPI,
Bandung:Tidak diterbitkan.
Arikunto, Suharsimi (2006) Prosedur Penelitian;
Suatu Pendekatan Praktik Jakarta; PT Rineka
Cipta.
Azra, A. (2006). “Pancasila dan Identitas Nasional
Indonesia: Perspektif Multikulturalisme”.
Dalam Restorasi Pancasila: Mendamaikan
Politik Identitas dan Modernitas. Bogor:
Brighten Press.
Branson, M.S. (1998). The Role of Civic Education.
Calabasas: CCE.
Budimansyah, D. (2009). “Project Citizen”UPI
Bandung.
---------------------, (2002). Model Pembelajaran dan
Penilaian Berbasis Portofolio. Bandung:
PT. Genesindo.
Budi Utomo, (1995). Dinamika Pergerakan
Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan
Hingga Kemerdekaan. Semarang : IKIP
Semarang Press.
Burhan, A.S. dan Muhammad, Agus (Eds.). 2001.
Demokratisasi dan Demiliterisasi: Wacana dan
Pergulatan di Pesantren. Jakarta: P3M.
Dault, Adhyaksa.( 2005). Islam dan Nasionalisme:
Reposisi Wacana Universal Dalam
Konteks Nasional. Jakarta: Pustaka al-Kautsar..
Danial AR, Endang dan Nanan Warsiah. 2007.
Metode Penulisan Karya Ilmiah. Bandung :
Laboratorium PKN FPIPS UPI.
Djahiri, K. (2003). Pemilihan Strategi Dan Media
Pembelajaran dan Fortofolio Learning and
Evalation Based. Jakarta: Depdiknas
Komalasari,. (2008). Pengaruh pembelajaran
Kontekstual Dalam pendidikan
Kewarganegaraan Terhadap Kompetensi
Kewarganegaraan Siswa SMP. Disertasi Doktor
pada Sekolah Pascasarjana Universitas
pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak
diterbitkan.
---------------,. (2008). Pengaruh pembelajaran
Kontekstual Dalam pendidikan
Kewarganegaraan Terhadap Kompetensi
Kewarganegaraan Siswa SMP. Acta Civicus,
Vol. 2, No. 1, Oktober 2008, 77.
Kahim, George Mc Turnan. 1995. Nasionalisme dan
Revolusi di Indonesia. Refleksi Pergumulan
Lahirnya Republik. Semarang: UNS Press.
Maududi, Abul A’la. Tanpa Tahun. Islam Kaffah:
Menjadikan Islam Sebagai Jalan Hidup.
Terjemahan oleh Muhammad Humaidi. 2004.
Jogjakarta: Cahaya Hikmah
Maleong, Lexy J. 1999. Metode Penelitian Kualitatif.
Bandung : Remaja Rosdakarya.
Nasution, S. 2001. Metode Research (Penelitian
Ilmiah). Bandung : Bumi Aksara.
Somantri, M. Numan. (2001). Menggagas
Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Suparlan, P. (2005). Sukubangsa dan Hubungan
Antar Sukubangsa. Jakarta: Yayasan
Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
Suryadi, A. (2009). Mewujudkan Masyarakat
Pembelajaran: Konsep, Kebijakan dan
Implimentasi. Bandung: Genesindo.
Purwoko, Dwi. 2002. Dari bung Karno ke Megawati.
Dalam Mega Wati Soekarno Putri,Presiden
Republik Indonesia.Depok : Rumpun Dian
Nugraha, Gema Pesona.
Ristina, (2009), Pengaruh Project Citizent
(Pembelajaran Berbasis Fortofolio) Dalam PKn
Terhadap Pengetahuan Warga Negara (Civic
Knowlage). Tesis Magister Pada Sekolah
Pascasarjana UPI Bandung: Tidak diterbitkan.
Triantoro,H.B. (2008). Erosi rasa kebangsaan
Indonesia. Yayasan pananjung wibawa mukti:
Jakarta.
Tilaar, H.A.R. 2007. Mengindonesia Etnisitas dan
Identitas Bangsa Indonesia. Jakarta : Rineka
Cipta.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan
nasional
Winataputra, Udin S. dan Budimansyah D, (2007),
Civic Education, Konteks, landasan, Bahan Ajar
dan Kuitul Kelas, Bandung,UPI Pres.
-------------------------, (2007), Pendidikan
Kewarganegaraan Dalam perspektif
Internasional.Acta civicus, No. 1, Oktober 2007,
Wahab, A.A. (2006). Pengembangan Konsep dan
paradigm Kewarganegaraan baru Indonesia
Bagi Terbinanya warga Negara Dimensional
Indonesia” Dalam Pendidikan Nilai Moral
dimensi PKn Menyanbut 70 tahun Prof.Drs.
H.A.Kosasih Djahiri. Bandung: Laboratorium
PKn FPIPS UPI.
Yatim, Badri.( 2001). Soekarno, Islam, Dan
Nasionalisme. Bandung: Nuansa
Efektifitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Tai
( Teams Assisted Individualization ) Dalam Peningkatan Hasil
Belajar Siswa Kelas Xi Pada Materi Hidrolisis Garam
Di Smti Negeri Banda Aceh
Oleh :
MARIATI MR
Abstrak. Telah dilakukan penelitian ”Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI
(Teams Assisted Individualization) pada materi Hidrolisis Garam di SMTI Negeri Banda
Aceh”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas model pembelajaran kooperatif
tipe TAI (Teams Assisted Individualization) dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada
materi Hidrolisis Garam. Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah siswa SMTI
Negeri Banda Aceh kelas XI-A yang berjumlah 31 siswa yang terdiri dari 25 orang siswa
laki-laki dan 6 orang siswa perempuan. Untuk mengetahui pengaruh efektivitas model
pembelajaran kooperatif tipe TAI (Teams Assisted Individualization) pada materi Hidrolisis
Garam dilakukan pre-test dan post-test, obsevasi terhadap keaktifan siswa, kemampuan guru
dalam mengajar dan tanggapan siswa dari angket. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap
aktivitas siswa dari pertemuan pertama sampai pertemuan kedua mengalami peningkatan dari
80,5% menjadi 83.3% dan keterampilan guru mengalami peningkatan dari pertemuan
pertama sebesar 3,10 (75,5%) menjadi 3,30 (82,5%) pada pertemuan kedua. persentase
ketuntasan hasil belajar siswa meningkat dari 80,5 % menjadi 83,3 %. Dengan demikian,
hasil belajar siswa tuntas secara klasikal, aktivitas siswa dan keterampilan guru mengalami
peningkatan dan sebagian besar siswa memberikan respon yang positif terhadap efektivitas
model pembelajaran kooperatif tipe TAI yaitu sebesar 87,9 %. Berdasarkan data yang
diperoleh dari hasil pengamatan terhadap keaktifan siswa dan guru baik berdasarkan kriteria
yang telah ditetapkan. Untuk mengetahui hasil belajar siswa dengan efektifitas model
pembelajaran tipe TAI dilakukan analisis ketuntasan hasil belajar siswa. Berdasarkan data
hasil pekerjaan rumah diperoleh 75%. Dengan demikian, ketuntasan hasil belajar secara
klasikal dengan menerapkan tipe TAI telah tercapai. Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan bahwa efektivitas model pembelajaran kooperatif tipe TAI pada materi
Hidrolisis Garam di kelas XI-A SMTI Negeri Banda Aceh dalam meningkatkan hasil belajar
siswa dan tanggapan siswa baik.
Kata Kunci: Cooperative Learning Model, Type TAI.
Pendidikan memegang peranan penting
dalam proses pembangunan bangsa. Proses
pendidikan perlu diarahkan untuk menyediakan atau
membentuk tenaga terdidik yang profesional bagi
kepentingan bangsa Indonesia. Pendidikan
berkualitas merupakan hal yang penting yang
merupakan dasar kualitas manusia Indonesia.
Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan
kualitas pendidikan melalui perbaikan-perbaikan baik
sarana maupun prasarana pendidikan.
Seorang guru dituntut untuk memiliki
kemampuan keterampilan, menampilkan materi yang
akan diberikan oleh guru kepada siswanya. Apabila
guru dapat menciptakan suasana yang membuat
siswa termotivasi dan aktif dalam mengajar maka
akan meningkatkan hasil belajar siswa sesuai dengan
yang diharapkan.
Sehubungan dengan peranan guru, menurut
Kuswana (2005:5) “salah satu kemampuan yang
harus dimiliki oleh guru adalah memilih, menentukan
metode dan model yang tepat dalam proses belajar
mengajar”. Model pembelajaran sangat menentukan
keberhasilan mengajar selain didukung oleh faktor
materi, metode, kemampuan mengajar, serta realitas
dan situasi kelas yang ada. Dalam memilih suatu
model pembelajaran harus disesuaikan dengan
realitas dan situasi kelas yang ada, serta pandangan
hidup yang akan dihasilkan dari proses kerjasama
yang dilakukan antara guru dan peserta didik.
Menurut Jailani (2003:36) “tujuan
pembelajaran kooperatif ini adalah untuk
memotivasi siswa agar saling membantu
meningkatkan kemampuan anggota kelompok,
sehingga dapat meningkatkan motivasi sosial dan
siswa akan bekerja keras sehingga hasilnya dapat
member sumbangan kepada kelompoknya”.
Penerapan model pembelajaran yang bervariasi akan
dapat mengurangi kejenuhan siswa dalam menerima
pelajaran. Materi hidrolisis garam sangat sulit,
karena pada sub materi hidrolisis garam siswa harus
menentukan garam yang bersifat asam dan garam
yang bersifat basa dari sifat larutan garam,
menentukan sifat larutan garam dan konsep hidrolisis
kemudian menghitung pH larutan garam sehingga
dapat diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe
TAI (Teams Assisted Individualization) dalam
meningkatkan hasil belajar siswa didalam proses
pembelajaran.
Menurut Lie (2004:115) “Model
pembelajaran kooperatif tipe TAI mengelompokkan
siswa kedalam kelompok kecil yang dipimpin oleh
seorang ketua kelompok yang mempunyai
pengetahuan yang lebih dibandingkan anggotanya”.
Kesulitan pemahaman materi yang dialami oleh
siswa dapat dipecahkan bersama dengan ketua
kelompok serta dengan bimbingan guru.
Materi hidrolisis garam merupakan salah
satu materi yang dapat diterapkan dengan
mengunakan model pembelajaran kooperatif tipe
TAI (Teams Assisted Individualization). Pemilihan
materi hidrolisis garam ini, karena merupakan materi
yang mempelajari tentang sifat larutan garam dan
konsep hidrolisis, serta menghitung pH larutan
garam. Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan
penelitian guna membantu siswa dalam menguasai
materi pada hidrolisis garam.
METODE PENELITIAN 1. Pengumpulan Data
Penelitian yang penulis laksanakan bersifat
eksperimen, maka untuk memperoleh data yang
diperlukan dalam penelitian ini penulis menggunakan
instrumen penelitian sebagai berikut:
a. Observasi.
Penulis mengadakan pengamatan langsung ke
lokasi penelitian yaitu pada SMTI Negeri Banda
Aceh. Pengamatan tersebut bertujuan untuk
mengetahui apakah penulis dapat melakukan
penelitian dan apakah model pembelajaran
kooperatif tipe TAI sudah diterapkan atau belum di
sekolah tersebut. Penulis juga mengadakan
pendekatan pada guru bidang studi, guna mengetahui
masalah materi yang akan diajarkan dan juga untuk
mengetahui jumlah siswa yang akan dijadikan sampel
dalam penelitian tersebut.
b. Tes.
Tes merupakan sejumlah soal yang diberikan
kepada siswa yang terpilih sebagai sampel. Tes ini
diberikan kepada siswa dalam 2 tahap yaitu:
1) Tes awal (Pre-tes)
Tes ini diberikan kepada siswa sebelum dimulai
proses belajar mengajar. Tes ini bertujuan untuk
mengetahui kemampuan awal siswa sebelum proses
belajar mengajar dimulai.
2) Tes Akhir (post-tes).
Tes ini diberikan kepada siswa setelah
berlangsungnya proses belajar mengajar. Tes ini
bertujuan untuk mengetahui kemampuan/
pengetahuan siswa setelah diterapakan pembelajaran
kooperatif tipe TAI pada materi hidrolisis garam.
a. Angket.
Angket pada penelitian ini berisikan tentang
respon siswa terhadap model pembelajaran kooperatif
tipe TAI yang telah diterapkan, dimana angket
tersebut berisikan 8 pertanyaan dan di setiap
pertanyaan terdapat alternatif jawaban ”ya” atau
”tidak” juga disertai alasan siswa mengapa memilih
salah satu alternaif jawaban yang telah ditentukan.
Angket ini akan diberikan pada pertemuan terakhir
sebelum jam pelajaran berakhir.
b. Analisis Data Dan Indikator Penelitian
Data yang diperoleh dalam penelitian ini
kemudian dianalisis untuk mengetahui perkembangan
yang dialami siswa dari setiap pertemuan, baik dari
segi keaktifan siswa maupun hasil belajar siswa.
1. Aktivitas siswa.
Aktivitas siswa diperoleh dari lembaran
pengamatan, dianalisis dengan rumus seperti
yang dikemukakan oleh Sudirman (2005 )
����� � ��� � ���������
���� �� ������� � 100%
2. Tes.
Tes ini dilakukan untuk mengetahui hasil
belajar siswa dengan model pembelajaran
kooperatif tipe TAI dengan rumus deskriptif
persentase
seperti yang dikemukakan oleh Sudjana
(1992:5).
� ��
��100%
keterangan:
P = Angka persentase.
f = Frekuensi yang sedang dicari
presentasenya.
n = Jumlah keseluruhan sampel yang diteliti.
Nilai yang diperoleh setelah dianalisis
dengan rumus tersebut diatas telah tercapai
jika memenuhi
kriteria ketuntasan minimal (KKM) untuk
materi hidrolisis garam yaitu sebesar 60.
Nilai ketuntasan ini disesuaikan dengan nilai
KKM di SMTI Negeri Banda Aceh tempat
dilakukannya penelitian ini.
3. Angket
Angket pada penelitian ini terlampir di
lampiran kuisioner respon siswa terhadap
penerapan model pembelajaran kooperatif
tipe TAI (Teams Assisted Individualization)
Pada materi hidrolisis garam di SMTI
Negeri Banda Aceh.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Penelitan
Untuk mengawali proses pembelajaran,
peneliti memberikan tes awal (pre-test) yang
tujuannya untuk mengukur kemampuan awal siswa.
Data hasil belajar tahap awal dapat diperoleh dari
pemberian soal pre-test yang dapat dipersentasekan
dari hasil belajar siswa yang disajikan pada tabel
dibawah ini.
Hasil Tes Awal (Pre-test) Siswa Kelas XI-A di SMTI Negeri Banda Aceh.
Nilai Pre-Test
Keterangan
(KKM ≥≥≥≥
60)
Jumlah Siswa Tuntas dan Tidak Tuntas
60 - 100 Tuntas 13 siswa
0 - 59 Tidak
Tuntas 18 siswa
Sumber : Data diolah berdasarkan hasil penelitian di SMTI N Banda Aceh (2011)
Berdasarkan Tabel diatas maka dapat
diketahui nilai ketuntasan hasil belajar siswa pada
soal pre-test sebagai berikut:
1. Jumlah siswa yang tuntas secara individu adalah:
13 orang
2. Jumlah siswa yang tuntas secara klasikal adalah:
� � ������ ����� ���� ������
������ ����� � �������� � 100%
� � 13
31 � 100%
� � 41,9% Data penelitian ketuntasan hasil belajar
dapat diperoleh dari pemberian soal pos-test
sebanyak 5 soal yang diberikan di akhir pembelajaran
pada pertemuan kedua. Data penelitian ketuntasan
hasil belajar siswa tersebut dapat dilihat dalam Tabel
berikut ini.
Tabel Ketuntasan Hasil Belajar Siswa Kelas XI-A (Post-test)
Nilai Post-Test Keterangan
(KKM ≥≥≥≥ 60)
Jumlah Siswa Tuntas
dan Tidak Tuntas
60 - 100 Tuntas 25 siswa
0 - 59 Tidak Tuntas 6 siswa
Sumber : Data di olah berdasarkan penelitian di SMTI N Banda Aceh (2011)
Berdasarkan Tabel diatas maka dapat
diketahui nilai ketuntasan belajar siswa pada soal
post-test:
1. Jumlah siswa yang tuntas secara individu
adalah: 25 orang
2. Jumlah siswa yang tuntas secara klasikal
adalah:
� � ������ ����� ���� ������
������ ����� � �������� � 100%
� � 25
31 � 100%
� � 80,6%
2, Pembahasan
Sebelum dilaksanakan proses pembelajaran
peneliti terlebih dahulu membuat suatu rumusan
hipotesis. Rumusan hipotesis merupakan tanggapan
awal sebelum melakukan penelitian, dimana
tanggapan tersebut hasilnya bisa sesuai dengan
keinginan kita dan juga bisa berbeda dengan hasil
penelitian.
Setelah test awal dikerjakan siswa,
dilanjutkan dengan kegiatan pembelajaran pertemuan
pertama yang dilaksanakan pada hari kamis tanggal 8
April 2011 pada pukul 09:15 sampai 10:45 WIB di
kelas XI-A yang berjumlah 31 siswa. Dalam kegiatan
belajar mengajar, peneliti menyampaikan materi
hidrolisis garam sesuai dengan RPP yang telah
disusun dengan menggunakan model pembelajaran
kooperatif tipe TAI yang sintak atau langkah-langkah
pembelajarannya dilaksanakan secara sistematis,
siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yaitu
6 kelompok dimana setiap kelompok terdiri dari 5
orang siswa. Langkah selanjutnya adalah
menyampaikan tujuan pembelajaran dan
mengarahkan siswa untuk dapat berdiskusi di
kelompok masing-masing mengenai materi hidrolisis
garam.
Setelah melakukan pre test dan post test,
peneliti terlebih dahulu melihat KKM yang ada di
sekolah yang akan di teliti sesuai dengan standar
kopetensi sekolah tersebut dengan materi Hidrolisis
Garam. Setelah di dapatkan nilai KKM SMTI Negeri
Banda Aceh, barulah peneliti mencari nilai
ketuntasan secara individu dan ketuntasan secara
klasikal di dalam proses belajar mengajar. Dari hasil
penilitian diperolah nilai pre-test secara klasikal
55,4% (cukup) nilai ketuntasannya, dan nilai
ketuntasan individunya 68,95, nilai post-test
ketuntasan secara klasikal 72,9% (baik). dan nilai
ketuntasan individunya 77,4%, hasil nilai pekerjaan
rumah (PR) secara klasikal 75%.
Kendala dalam pelaksanaan pembelajaran
dengan menggunakan tipe TAI pada pertemuan
pertama adalah keterbatasan waktu yang dialokasikan
untuk mata pelajaran kimia kelas XI hanya 90 menit
dimana kesempatan siswa untuk berdiskusi sangat
singkat sedangkan materi yang dibahas harus jelas
dan tepat. Hal ini merupakan kelemahan dari tipe
TAI yang membutuhkan waktu berdiskusi sekurang-
kurangnya 90 menit, jika waktu yang tersedia dapat
lebih dari 90 menit maka pembelajaran akan lebih
optimal.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa:
a. Efektifitas model pembelajaran kooperatif tipe
TAI dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada
materi hidrolisis garam di SMTI Negeri Banda
Aceh. Tingkat keberhasilan siswa pada materi
hidrolisis garam secara klasikal mencapai
ketuntasan 72,9% nilai post-test, dari 55,4% hasil
nilai pre-test sebelumnya dan ketuntasan hasil
nilai pekerjaan rumah (PR) secara klasikal
mencapai 75%.
b. Siswa sangat tertarik penggunaan model
pembelajaran kooperatif tipe TAI dilihat dari
tanggapan (respon) positif siswa dalam lembaran
angket yang dibagikan pada akhir pembelajaran
yaitu sebesar 87,9%.
2. Saran
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan, maka penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe TAI dapat memberi pengaruh positif
terhadap ketuntasan belajar dan mampu
meningkatkan hasil belajar siswa kelas XI-A SMTI
Negeri Banda Aceh. Namun demikian, untuk hasil
yang lebih baik lagi diharapkan kepada guru bidang
studi kimia agar dapat melakukan uji coba
pembelajaran kooperatif tipe TAI untuk materi pokok
bahasan lain yang dianggap sesuai.
DAFTAR PUSTAKA
Hakim, Thursan. 2002. Belajar Secara Efektif,
Jakarta: Puspa Swaran, Rineka Cipta.
Jailani, 2003. Pembelajaran Kooperatif. Jakarta:
Bumi Aksara.
Kuswana. 2005. Model, strategi, metode, gaya,
(Online) (http: // Scied. Edu/Hassard/Mos/.,)
diakses 4 Januari 2011.
Lie, A. 2004. Cooperative Learning Memperaktekkan
Kooperatif learning Diruang Kelas. Jakarta:
PT.Gramedia Widiasarana Indonesia.
Nurhadi. 2004. Pembelajaran Kooperatif. Jakarta:
PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.
Purba, Micheal. 2006. Kimia Untuk SMA Kelas XI.
Jakarta; Erlangga.
_____________2004. Kimia Untuk SMA Kelas XI.
Jakarta; Erlangga.
Slavin. 2002. Cooperative Learning, Theory,
Research And Practi. Boston: Allyn and
Bacon
Sudirman. 2005. Interaksi dan Motivasi Berlajar
Mengajar, Jakarta: Rajawali Pers.
Sudjana. 2001. Penilaian Hasil Proses Belajar
Mengajar, Bandung, PT. Remaja Rosda Karya.
Yuliadi, Dkk. 2007. Kimia 2 Tekhnologi Industri.
Bandung: Armico
Pelaksanaan Supervisi Klinis Dalam Meningkatkan
Profesional Guru Pada Sma Negeri 1 Ingin Jaya
Kab. Aceh Besar
Oleh
Musriadi* dan Agus Jumaidi**
ABSTRAK: Supervisi klinis terhadap guru merupakan salah satu bentuk aktivitas yang
direncanakan untuk membantu para guru dalam melakukan pekerjaan secara efektif.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Tehnik
pengumpulan data observasi, wawancara, studi dokumentasi. Subjek penelitian adalah
kepala sekolah 1 orang, pengawas sekolah 1 orang dan guru 5 orang jadi totalnya sabjek
penelitian adalah 7 orang. Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa : (1) program
supervise klinis yang dilaksanakan kepala sekolah dalam meningkatkan profesional guru
melalui: (a) kegiatan kelompok, dilakukan dengan meningkatkan hubungan kerjasama yang
harmonis antar guru, dan memotivasi keterlibatan guru dalam kelompok, dan (b) Kegiatan
belajar individual guru, dilakukan pengawas sekolah dengan meningkatkan kemampuan
akademik guru (penyusunan program pengajaran, pelaksanaan program pengajaan,
pelaksanaan program pengajaran serta evaluasi hasil proses belajar) dan meningkatkan rasa
sosial guru dengan pembinaan mental, moral, fisik (2). Pelaksanaan supervisi klinis dalam
meningkatkan profesional guru pada SMA Negeri 1 Ingin Jaya. kepala sekolah sangat
berperan, karena kepala sekolah sebagai supervisor harus mampu melakukan pengawasan
dan pengendalian untuk meningkatkan profesionalitas tenaga kependidikan.(3).Upaya
pelaksanaan supervisi klinis dalam meningkatkan profesional guru pada SMA Negeri 1
Ingin Jaya adalah dengan cara mengikutsertakan guru pada pelatihan- pelatihan, seminar,
mengadakan rapat khusus yang mencakup tentang pembinaan dan peningkatan profesionali
guru yakni KKG (Kelompok Kerja Guru) yang diadakan satu bulan sekali agar guru-guru
di SMA Negeri 1 Ingin Jaya mempunyai wawasan yang lebih luas lagi tentang dunia
pendidikan.(4). Hambatan supervisi klinis dalam meningkatkan kemampuan profesional
guru pada SMA Negeri 1 Ingin Jaya. Kurangnya kemampuan kepala sekolah mengadakan
supervisi klinis secara efektif baik dari teknik-teknik supervisi yang digunakan maupun
cara pemberian bimbingan merupakan salah satu penghambat kepala sekolah melaksanakan
supervisi klinis.
Kata Kunci: Supervisi, Klinis dan Profesional Guru
Era globalisasi merupakan era
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
yang telah menimbulkan persaingan dalam
berbagai bidang, yang menuntut masyarakat
Indonesia untuk memantapkan diri dalam
peningkatan kualitas dan sumber daya
manusia yang unggul, mampu berdaya
saing, menguasai ilmu pengetahuan,
teknologi serta mempunyai etos kerja yang
tinggi.
Suatu organisasi akan berhasil dalam
mencapai tujuan dan programprogmmya jika
orang-orang yang bekerja dalam organisasi
tersebut dapat melaksanakan tugas-tugasnya
dengan baik sesuai dengan bidang dan
tanggung jawabnya. Agar orang-orang
dalam organisasi tersebut dapat
melaksanakan tugasnya dengan baik, maka
diperlukan seorang pemimpin yang dapat
mengarahkan segala sumber daya menuju
kearah pencapaian tujuan. Dalam suatu
organisasi, berhasil atau tidaknya tujuan
tersebut sangat dipengaruhi oleh due faktor,
yaitu Pemimpin dan orang yang
dipimpinnya. Agar kepemimpinan yang
dilaksanakan oleh pemimpin tersebut efektif
dan efesien, salah satu tugas yang harus
dilakukan adalah memberikan kepuasan
kepada orang yang dipimpinnya.
Menurut UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa
pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana, untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, Bangsa
dan Negara.
Dalam pelaksanaan fungsi dan
tugasnya, guru sebagai profesi menyandang
persyaratan tertentu sebagaimana tertuang di
dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Dalam pasal 39 (1)
dan (2) dinyatakan bahwa:
Tenaga kependidikan bertugas
melaksanakan administrasi, pengelolaan,
pengembangan, pengawasan, dan pelayanan
teknis untuk menunjang proses pendidikan
pada satuan pendidikan.Pendidik merupakan
tenaga profesional yang bertugas
merencanakan dan melaksanakan proses
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran,
melakukan pembimbingan dan pelatihan,
serta melakukan penelitian dan pengabdian
kepada masyarakat, terutama bagi pendidik
pada perguruan tinggi.
Untuk dapat melaksanakan tugas dan
tanggung jawab diatas, seorang guru dituntut
memiliki beberapa kemampuan dan
ketrampilan tertentu. Kemampuan dan
ketrampilan tersebut sebagai bagian dari
kompetensi professional guru. Kompetensi
merupakan suatu kemampuan yang mutlak
dimiliki oleh guru agar tugasnya sebagai
pendidik dapat terlaksana dengan baik.
Percepatan arus informasi dalam era
globalisasi dewasa ini menuntut semua
bidang kehidupan untuk menyesuaikan visi,
mini dan tujuan serta strateginya agar sesuai
dengan kebutuhan dan tercapainya tujuan
pembangunan. Peningkatan kualitas sumber
days manusia (SDM) merupakan prayarat
mutlak untuk mencapai tujuan
pembangunan.
Wahana untuk meningkatkan kualitas
SDM tersebut adalah pendidikan, sehingga
kualitas pendidikan harus senantiasa
ditingkatkan. System pendidikan nasional
senantiasa harus dikembangkan sesuai
dengan kebutuhan dan perkembangan yang
terjadi baik di tingkat local, nasional
maupun global. Usaha untuk meningkatkan
kualitas pendidikan yang paling mendasar
adalah melalui proses pembelajaran
disekolah, dimana sekolah sebagai lembaga
terdepan dalam meningkatkan mute
pendidikan dan tempat berlangsungnya
kegiatan pembelajaran.
Peningkatan SDM di sekolah, guru
merupakan ujung tombak personil
pendidikan di sekolah yang berhadapan
langsung dengan peserta didik sehingga guru
merupakan komponen pendidikan yang
harus dibina dan dikembangkan terns
menerus. Sehubungan dengan hal tersebut,
Surya (2003: 2) menyatakan: "Guru
merupakan unsur utama dalam keselunthan
proses pendidikan, khususnya di tingkat
sekolah. Tanpa guru pendidikan hanya
menjadi slogan muluk karena segala bentuk
kebijakan dan progam pada akhimya
ditentukan oleh kinerja guru". Guru
mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk
mendidik peserta didik dalam
mengembangkan kepribadiannya, baik yang
berlangsung di sekolah maupun di luar
sekolah. Undang-undang Republik Indonesia
Nomor 14 Pasal 1 Tahun 2005 tentang guru
menetapkan bahwa: "Guru adalah pendidik
professional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, mengarah, melatih, menilai dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal,
pendidikan dasar dan pendidikan
menengah".
Upaya yang dilakukan dalam rangka
peningkatan mutu pendidikan membawa
akibat pula kepada guru-guru yang ada
sekarang. Perubahan yang tedadi akhibat
perubahan kurikulum, penggunaan buku
pelajaran dan proses belajar mengajar yang
diseragamkan dalam kurikulum memerlukan
penyesuaian terhadap guru-guru baik dalam
memberi pelajaran, metode, yang
dipergunakan, teknik dalam mengajar
maupun sikap dalam mengajar yang serasi.
Kepemimpinan seorang kepala
sekolah sedikit banyak dapat mempengaruhi
pendidikan di lingkungan sekolah. Sekolah
jugs membutuhkan figur seorang pemimpin
yang siap bekerja keras untuk dapat
memajukan sekolah untuk meningkatkan
mutu pendidikan di lingkungan sekolah yang
dipimpinnya. Faktor lain yang berperan
mempengaruhi pendidikan adalah kinerja
guru yang berkualitas. Seorang guru dituntut
untuk dapat memberikan kontribusi yang
sangat besar terhadap pendidikan di
lingkungan sekolah terutama dalam hal
belajar mengajar.
Dunia pendidikan yang terns menerus
dituntut untuk dapat menghasilkan, sumber
daya manusia yang handal, sehingga dapat
mengikuti perkembangan zaman. Pendidikan
merupakan hak seluruh warga sesuai dengan
tujuan negara yang terdapat dalam undang-
undang 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan
bangsa. Dalam era globalisasi seperti
sekarang ini, pendidikan merupakan salah
satu kewajiban yang hares ditempuh oleh
personal maupun sosial yang tidak bisa
ditawar lagi. Karena pada dasarnya
pendidikan adalah merupakan proses sosial
yang bertujuan untuk mengembangkan
potensi hidup manusia guna menghadapi
tuntutan zaman dimasa yang akan datang,
seiring dengan perkembangan dan
perubahan zaman yang semakin lama
semakin bergeser.
Peran tersebut sejalan dengan
maksud supervisi pendidikan yang
memberikan bantuan, layanan kepada guru
dalam mengembangkan proses
pembelajaran, dalam hubungan ini, maka
supervisi pendidikan merupakan salah satu
fungsi khusus dare pengawasan dalam
manajemen pendidikan, kegiatan supervisi
bukan saja memperbaiki kemampuan
mengajar tipe jugs pengembangan kualitas
guru.yang dilakukan cenderung kepada
pemberian bantuan dalam rangka
memajukan dan meningkatkan proses
pembelajaran.
Guru memengang peranan yang
sangat penting dalam keseluruhan upaya
proses belajar dalam pembelajaran. Semua
upaya perubahan dapat di lihat kurikulum
maupun penerapan metode mengajar yang
bare sangat tergantung pada guru. Apabila
seorang guru tidak meguasai bahan
pelajaran, srategi belajar mengajar, motivasi
siswa belajar siswa untuk maraih prestasi
yang tinggi, maka segala upaya peningkatan
kualaitas pendidikan tidak akan mencapai
hasil yang maksimal.
Guru yang profesional setidak-
tidaknya memiliki ciri sebagai berikut:
mempunyai komitmen kepada peserta didik
dan proses belajarnya, menguasai secara
mendalam bahan pelajaran yang akan di
ajarkannya, serta cara menyampaikannya
kepada siswa, bertanggung jawab memantau
hasil belajar siswa melalui berbagai teknik
evaluasi, mampu berpikir sistematis tentang
apa yangdi lakukannya, mengadakan refleksi
dan koreksi, belajar dari pengalaman dan
perhitungan dampaknya pada proses belajar
mengajar, seyogiyanya merupakan bagian
dari masyarakat belajar dalam lingkungan
profesinya, sehingga tedadi interaksi yang
luas dan profesional.
Kemampuan profesional adalah
kemampuan yang di isyaratkan kepada
seseorang untuk dapat menyelesaikan
pekedaan atau menduduki jabatan secara
efektif dan efesien. Keahlian atau kemahiran
dapat memiliki hanya dengan melalui proses
pendidikan spesialisasi. Dengan demikian
standar kemampuan profesional guru
keahlian dan kemahiran yang secara baku di
persyaratkan pada guru untuk menyelesaikan
tugas-tugas sebagai tenaga pendidikan.
Undang-undang Republik Indonesia
No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen
menegaskan bahwa: profesi guru merupakan
bidang pekedaan khusus yang di laksanakan
bersadarkan prinsip sebagai berikut: memilki
bakat, minat, panggilan jiwa dan idialisme,
memiliki komitmen untuk memingkatkan
mute pendidikan, keimanan, ketagwaan, dan
akhlak mulia, memilki kualifikasi akademik
dan latar belakang pendidikan sesuai dengan
bidang tugas, memiliki kompetansi yang di
perlukan sesuai dengan bidang tugas,
memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan
tugas keprofesionalan, memperoleh
penghasilan yang di tentukan sesuai dengan
prestasi kerja, memiliki kesempatan untuk
mengembangkan profesional secara
berkelanjutan dengan belajar sepanjang
hayat, memiliki jaminan perlindungan
hokum dan melaksanakan tugas
keprofesionalan, memilki organisasi profesi
yang mempunyai kewenangan mengatur hal-
hal yang berkaitan dengan tugas professional
guru".
Departemen pendidikan dan
kebudayaan (2005: 73) menegaskan bahwa:
"rendahnya pendidikan dewasa ini
disebabkan rendahnya kemampuan guru
dalam mengelola proses
pembelajaran".Bertolak dari kenyataan
bahwa para guru dewasa ini belum mampu
bekerja sebagai guru profesional.
METODE Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan kualitatif
dengan menggunakan metode deskriptif.
Data yang diperoleh dari responden
digunakan sebagaimana adanya. Dengan
demikian data hasil pengamatan
diinterpretasi langsung dengan mengacu
pada konsep dan teori yang relevan,
kemudian disimpulkan. Moleong, (2005: 12)
mengatakan: "Penelitian kualitatif pada
hakekatnya mengandung ciri-ciri yaitu:
Mempunyai sifat induktif (pengembangan
konsep yang didasarkan atas data yang ads,
(2) Melihat setting dan respons secara
keseluruhan, (3) Memahami responden dari
titik tolak pandangan peneliti, (4)
Menekankan validitas penelitian pada
kemampuan peneliti, (5) Menekankan
setting alarm, (6) Mengutamakan proses
daripada hasil, (7) Menggunakan
nonprobablitas sampling, (8) peneliti sebagai
instrument, (9) menganjurkan penggunaan
trianggulasi, (10) Menggantungkan pada
teknik dasar studi lapangan dan (11)
Mengadakan analisis data sejak awal
penelitian.
Inti penelitian secara kualitatif adalah
sampainya temuan peneliti terhadap
makna perilaku atau terra budaya yang
merupakan alasan seseorang atau kelompok
dalam melakukan suatu latar sosial.
Lokasi penelitian pada seluruh SMA
Negeri 1 Ingin Jaya, beralamat di Jalan
Desan Lubuk Pasi Kecamatan Ingin Jaya.
Penelitian dilaksanakan dari tanggal 13
September 2011 sampai dengan tanggal 22
November 2011.
Penelitian ini mengambil lokasi pada
SMA Negeri 1 Ingin Jaya Maka subjek
penelitian adalah kepala sekolah 1 orang,
pengawas sekolah satu orang dan guru lima
orang jadi totalnya sabjek penelitian adalah
tujuh orang.
Instrumen dalam penelitian adalah
peneliti sendiri, sebab dalam penelitian yang
menggunakan pendekatan kualitatif peneliti
merupakan instrumen pokok sebagai peneliti
sebagaimana yang dikatan oleh Nasution
(2005: 18) yaitu:
1. Peneliti sebagai alat peka dan dapat
bereaksi terhadap stimulus dare
lingkungan yang harus diperkirakan
bermakna,
2. Peneliti sebagai alat yang dapat
menyesuaikan dire terhadap semua aspek
keadaan Berta dapat mengumpulkan
aneka data sekaligus,
3. Tiap situasi merupakan suatu
keseluruhan. Tidak ada, suatu instrumen
berupa tes atau angket yang dapat
menangkap keseluruhan situasi, kecuali
manusia.
4. Suatu situasi yang melibatkan interaksi
manusia tidak dapat dengan pengetahuan
semata-mata. Untuk memahami, kita
perlu merasakannya, menyelaminya
berdasarkan penghayatan kita.
5. Peneliti sebagai instrumen dapat segera
menganalisis data yang diperoleh dan
menafsirkannya.
6. Hanya manusia sebagai instrumen yang
dapat mengambil kesimpulan
berdasarkan data yang dikumpulkan pada
suatu saat dan segera mengunakannya
sebagai balikan untuk memperoleh
penegasan, perubahan, perbaikan dan
penolakan
Sedangkan untuk mengetahui
bagaimana pelaksanaan supervise klims
dalam meningkatkan profesional guru pada
di SMA Negeri 1 Ingin jays Aceh Besar,
peneliti menggunakan wawancara dengan
berpedoman pada pertanyaan yang telah
dipersiapkan terhadap Kepala Sekolah
Pengawas Sekolah dan Guru. Selain itu
dokumentasi yang peneliti lakukan adalah
untuk melihat kejadian terhadap proses
supervisi klinis baik tentang teknik yang
digunakan maupun kegiatan supervisi klinis.
Sumber data dalam penelitian adalah
subjek dare mana data diperoleh. Apabila
peneliti menggunakan wawancara dalam
pengumpulan datanya, maka sumber data
disebut responden, yaitu orang yang
merespon atau menjawab pertanyaan-
pertanyaan peneliti, baik pertanyaan tertulis
maupun lisan. Apabila peneliti
menggunakan teknik observasi, maka
datanya bisa berupa bends, gerak atau proses
sesuatu. Peneliti mengamati tentang
supervisi klinis dalam meningkatkan
profesional guru, sedang objek penelitiannya
adalah kepala sekolah dan guru. Apabila
peneliti mengunakan dokumentasi, maka
dokumen atau catatanlah yang menjadi
sumber data, sedang catatan subjek
penelitian atau variabel penelitian.
Dalam penelitian ini, penulis sebagai
human instrumen, menggunakan slat bantu
seperti kamera digital , tape recorder, dan
buku cacatan untuk memper elas ketika
wawancara dengan responden. Peneliti
sebagai instrumen mempunyai days
penyesuaian yang cukup tinggi dengan
situasi yang berubah. Nasution (2005: 59)
mengatakan bahwa
Catatan lapangan disusun melalui
observasi, wawancara dan studi dokumen
tali. Matra pengumpulan data pads kegiatan
penelitian ini di lakukan dengan
mengunakan teknik-teknik tersebut. Ketiga
teknik ini dikombinasikan dan dapat
diaplikasikan secara bersama, dengan
diharapkan dapat memberikan informasi
untuk memporoleh data yang diperlukan
sehinga Baling melengkapi dan menunjang.
Untuk memperoleh data dalam
penelitian kualitatif ini secara akurat dan
kredibel serta dapat di pertangung jawabkan,
dan data yang di hasil kan tersebut benar-
benar sesuai dengan masalah di lapangan
yaitu dengan mengunakan metode observasi,
wawancara, dan studi dokumentasi dengan
rinciannya sebagai berikut:
Teknik ini digunakan unuk
mengamati gejala- gejala yang terwujud
ditempat penelitian, dengan metode ini
peneliti dapat dengan lengkap memperoleh
gambaran mengenai peristiwa dan gejala-
gejala yang bermakna bagi peneliti dan
tempat dilakukan penelitian, Nasution
(2005: 71). Pada kegiatan penelitian ini
peneliti melakukan observasi. Di SMA
Negeri 1 Ingin Jaya . Personil yang
diobservasi adalah kepala Sekolah, wakil
kepala sekolah dan lima orang guru, yang
menjadi sorotan dalam observasi ini adalah
supervise klinis dalam meningkatkan
profesional guru pada SMA Negeri 1 Ingin
Jaya Kabupaten Aceh Besar.
Wawancara dilkukan sesuai dengan
pendapat Nasution (2005: 71) mengatakan
bahwa "peneliti hares mengetahui
bagaimana responden yang sebenarnya,
dalam penelitian kualitatif untuk mengetahui
bagaimana persepsi responden terhadap
dunia kenyataannya Peneliti berkomunikasi
langsung dengan responden melalui
wawancara. Teknik ini digunakan untuk
menggali dan memperoleh data atau
informasi lebih dalam dan relevan dengan
masalah yang diteliti, teknik wawancara
berstruktur dan wawancara tak berstruktur,
wawancam berstruktur ditujukan kepada
kepala sekolah dan guru. Teknik wawancara
berstruktur yang ditujukan kepada kepala
madrasah dan guru dilakukan melalui
pertanyaan yang telah dipersiapkan sesuai
dengan masalah yang diteliti dengan
berpedoman pada daftar wawancara da
dibantu dengan subjek penelitian sebagai
responder. Sedangkan wawancara tidak
berstruktur muncul apabila informasi
berkembang diluar pertanyaan- pertanyaan
berstruktur namun tidak lepas dari
permasalahan penelitian. Kegiatan
wawancara ini dimaksud unutk mengetahui
supervisi klinis dalam meningkatkan
profesional guru pada SMA Negeri 1 Ingin
Jaya Kabupaten Aceh Besar.
Teknik ini digunakan untuk
mengumpulkan data dan informasi,
meskipun data penelitian naturalistik,
kebanyakan data diperoleh dari sumber
manusia melalui observasi dan wawancara
untuk melengkapinya dilakukan studi
dokumentasi, yang dimaksud dengan
dokumentasi adalah tulisan, catatan harian,
surat dan dokumen resmi, digunakan untuk
mengkaji terhadap peristiwa, objek dan
tmdakan yang dimkam dalam bentk tulisan
lainnya. Melalui studi dokumentasi dapat
ditemukan perbadaan antara hasil observasi
dan wawancara dengan yang terdapat dalam
dokumen. Kemudian ditelaah dan
diinterpretasikan secara menyeluruh, dengan
demikian data dokumetasi yang diperoleh
dari madmsah benar- benar berfungsi
sebagai data tambahan untuk mendukung
kesempurnaan dari data yang dibutuhkan,
Nasution (2005: 71).
Sebagai telah dijelaskan bahwa
bahwa penelitian ini bersifat deskripsi
evaluatif, maka dalam upaya mengolah dan
menafsir data yang sudah terkumpul
dilakukan melalui proses membandingkan
dengan teori-teori maupun petunjuk
pelaksanaan, artinya dasar tersebut di
arahkan untuk mengevaluasi kondisi realistic
kegiatan pelaksanan dilapangan. Untuk
kepentingan itu peneliti melakukan
pengolahan dan penafsiran data dengn
tehnik analisis kualitatif Teknik kualitatif
tersebut bertujuan untuk mengungkapkan
hambatan hambatatan serta usaha-usaha
yang dilakukan oleh supervesor terhadap
guru disekoalah tersebut.
Analisis data dalam penelitian
kualitatif ini dilakukan dengan mengikuti
prosedur atau langkah-langkah seperti yang
dikemukan oleh Moleong (2005 : 129-130)
yaitu reduksi data, display data dan
mengambil kesimpulan dan verifikasi.
Tehnik dan penafsiran data tersebut
dilkaukan dengan tahapan sebagai berikut:
a. Verifikasi data, dalam kegiatan ini
peneliti melakukan pengujian atau
kesimpulan yang telah diambil dan
membandingkan dengan teori-teori yang
relevan serta petunjuk pelaksanaan.
Penetapan pengujian kesimpulan di
hubungkan dengan data awal melalui
kegiatan memberchek sehingga akan
menghasilkan suatu penelitian.
b. Reduksi data, pada tahap ini data yang
sudah terkumpul diolah dengan tujuan
untuk menemukan hal-hal pokok dalam
pemberian bantuan oleh supervesor
terhadap guru pada sekoalah tersebut.
c. Display data, pada tahap ini peneliti
membuat rangkuman temuan penelitian
secara sistematis sehingga pola dan
fokus pelaksanaan dan hambatan mudah
diiketahui , melalui kesimpulan, data
tersebut diberi makna yang relevan
dengan fokus penelitian.
Derajat kepercayaan sebagai proses
memperoleh data secara akurat sesuai
dengan fakta yang sebenamya, dilakukan
untuk mendukung kebenaran fakta sehingga
tidak ter adi bias dalam menerjemahkan
informasi sumber data. Peneliti berupaya
melakukan komunikasi kepada sumber data
sehingga data lebih terjamin kebenarannya.
Seluruh proses ini dilakukan secara
tekun, dan tidak henti-hentinya melakukan
triangulasi ke berbagai data. Seluruh proses
kepercayaan dilakukan dengan
mengkonfirmasinya secara berulang kepada
sumber data. Pada saat yang bersamaan,
proses internal itu diiringi dengan proses
transferabilitas. Derajat kepercayaan ini
akan mendukung proses keterahlian hasil
penelitian sehingga memngkinkan dapat
diterima dan digunakan dalam situasi
tertentu.
Proses internal dan eksternal telah
berlangsung sebagai proses pensahihan data,
untuk selanjutnya adalah menguji data
apakah sudah dapat dipertanggungjawabkan
keabsahannya. Proses ini memerlukan
persamaan jawaban, sehingga diketahui
bahwa hasil penelitian ini relatif sama jika
dilakukan dalam situasi yang lain. Langkah
selanjutnya untuk menunjukkan bahwa
kesemua proses pensahihan ini dapat
dipertanggungjawabkan, adalah melakukan
uji kebenaran terhadap seluruh data yang
telah dikumpulkan.
Seluruh langkah-langkah yang telah
dilakukan tidaklah terpisah sate sama
lainnya, secara bersamaan untuk
membuktikan kebenaran data, upaya
konfirmasi dilakukan dengan mengecek
kebenaran data dari berbagai sumber yang
dapat memberikan data secara utuh. Upaya
konfirmasi secara terus-menerus dilakukan
untuk menjamm kebenaran data. Kriteria
kebenaran data mengutamakan hasilhasil
dengan prinsip objektivitas, tujuannya agar
diperoleh data sesuai dengan fakta sehingga
menghindari bias dalam menedemahkan data
yang diperoleh dari setiap responden.
Bab ini mengemukakan tentang hasil
penelitian yang diperoleh dari wawancara,
observasi dan studi dokumentasi. Selain
informasi yang diperoleh dari kepala
sekolah, informasi juga diperoleh
berdasarkan hasil triangulasi dengan guru
guna mencari keabsahan data. Hasil
penelitian selanjutnya dideskripsikan,
kemudian dilakukan pembahasan. Informasi
yang dikehendaki adalah pelaksanaan
supervisi klinis dalam meningkatan
profesional guru pada SMA Negeri I Ingin
Jaya Aceh Besar.
Banyak informasi yang didapat dan juga
beberapa temuan yang perlu dikaji, terutama
dari pihak Pengawas Sekolah dan
peningkatan profesional guru tentang
peningkatkan professional guru. Sistematika
bab ini dimulai dari pendeskripsian,
penafsiran dengan trianggulasi kemudian di
akhiri dengan kegiatan member check, sesuai
dengan metode penelitian yang digunakan.
A. Hasil Penelitian
1.Program supervisi Klinis dalam
meningkatkan kemampuan profesional
guru pada SMA Negeri 1 Ingin Jaya.
Program pelaksanaan supervisi klinis
dalam meningkatkan profesional guru
berdasarkan hasil wawancara adalah: a)
Pembinaan kinerja guru dalam kelompok,
dan b) Pembinaan individual guru
Berilkut merupakan penjabaran dari
hasil wawancara dengan pengawas sekolah
tentang kegiatan supervisi klinis dalam
meningkatan profesional guru pads SMA
Negeri 1 Ingin Jaya Aceh Besar.
a. Kegiatan pembinaan kelompok
Guru merupakan bahagian paling
penting dari pelaksanaan PBM, maka
keberadaan guru yang profesional
merupakan kebutuhan mutlak. Kualitas
mengajar guru sangat ditentukan oleh
tingkat pendidikan dengan bidang studi yang
diasuhnya. Berdasarkan hasil wawancara.
dengan pengawas sekolah dalam
meningkatan profesional guru melalui
pengingkatan ker asama guru dalam
kelompok, kepala sekolah melakukan
kegiatan berupa: (1) menggerakkan guru,
dan (2) mendorong keterlibatan seluruh
guru. Menggerakkan guru melalui keda
sama kelompok dimaksudkan untuk
meningkatkan keda sama dengan guru dan
pihak lain yang terkait dalam melaksanakan
setiap kegiatan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kepala sekolah
senantiasa berusaha untuk mendayagunakan
seluruh sumber-sumber daya organisasi
dalam rangka mencapai tujuan yang telah
ditetapkan.
Hasil wawancara dengan pengawas
sekolah tentang peningkatan profesional
guru sebagai berikut: Saya membina
kegiatan kelompok pads guru karena guru
senantiasa bekerja dengan melalui orang
lain, berusaha untuk senantiasa bertanggung
jawab dan mempertanggungjawabkan setiap
tindakannya dengan waktu dan
menggunakan semua sumber daya yang ada
untuk menghadapi berbagai persoalan,
melalui ker asama dalam kelompok, saya
mengharapkan guru dapat berfikir secara
analitik dan konseptual.
Pengawas Sekolah berdasarkan hasil
wawancara, mengatakan kepala sekolah
dalam pembinaan kelompok jugs menjadi
penengah dalam memecahkan berbagai
masalah yang dihadapi oleh pars guru dalam
pelaksanaan ker asama, serta berusaha untuk
mengambil keputusan yang bijak bagi semua
bawahannya.
Pengawas Sekolah dalam suatu
wawancara mengatakan pendapatnya
mengenai pembinaan kedasama guru dalam
kelompok, yaitu: Dalam membina kegiatan
kelompok melalui kerjasarna antara guru,
saya melakukan pembinaan peningkatan
disiplin, motivasi, komitmen, memberikan
keteladanan, mendorong kreatifitas,
memperkenalkan berbagai ide dan
mengadakan pendekatan pribadi (hubungan
personal) balk terhadap guru, maupun
terhadap pegawai administrasi. Dari
kesemuanya itu, yang paling penting dan
paling berat adalah bagaimana menjalin
kekompakan seluruh guru di sekolah,
sehingga semuanya menyadari tugas dan
kewajiban masing-masing.
Selanjutnya, hasil wawancara dengan
Pengawas Sekolah mengatakan bahwa:
Pembinaan Pengawas Sekolah terhadap
professional guru dalam kegiatan kelompok
adalah memotivasi guru agar terlibat dalam
setiap kegiatan sekolah, dan berusaha untuk
mendorong keterlibatan semua guru dalam
setiap kegiatan di sekolah (partisipatif).
Kepala sekolah melakukan arahan ker asama
dalam kelompok biasanya dilakukan jika ada
kegiatan-kegiatan di sekolah, hal ini
dilaksanaka agar guru menyadari tugasnya
dalam kelompok, sehingga tidak akan
adanya ketimpangan dalam pelaksanaan
tugas dalam kelompok.
Hasil penelitian partisipatif guru
yang dilaksanakan Pengawas Sekolah
berpedoman pada asas tujuan, asas
keunggulan, asas mufakat, asas kesatuan,
asas persatuan, asas empirisme, asas
keakraban dan asas integritas. Dalam
membina kegiatan kelompok, Pengawas
Sekolah juga. melaksanakan. "team
teaching" yaitu mengembangkan kegiatan
pembelajaran dimana dalam satu mats
pelajaran dipegang oleh beberapa guru
(team), sesuai dengan keahlian masing-
masing. Mengembangkan metode mengajar
dengan menggunakan infocus, televise (TV)
dan video compact disk (VCD).
b. Kegiatan pembinaan individual
Pembina kinerja individual guru,
dilakukan kepala sekolah melalui supervise
terhadap kemampuan mengajar guru
(akademik) dan meningkatkan rasa sosial
guru terhadap tugas dan tanggung jawab.
Kegiatan Pengawas Sekolah terhadap
tanggung jawab guru dalam mengajar
berhubungan dengan: penyusunan program
pengajaran, pelaksanaan program pengajaran
dan evaluasi hasil proses belajar. Pengawas
Sekolah berdasarkan hasil wawancara
mengatakan bahwa membina guru dalam
membuat perencanaan program pengajaran
berupa program kerja tahunan. Pemberian
bimbingan, perencanaan yang dilakukan
berpijak pada program yang telah disusun
dan terdiri atas beberapa sub bidang.
Pengawas Sekolah terhadap guru dalam
upaya perencanaan program pengajaran,
berdasarkan hasil penelitian adalah: (1)
memotivasi dan meminta tiap kelompok
MGMP menyusun program pengajaran, (2)
menyediakan dan membagi kalender
pendidikan, buku tulis dan alai tulis, (3)
memberi dispensasi untuk merevisi program
pengajaran yang telah dibuat, (4) memanggil
guru untuk. memperlihatkan program
pengajaran yang telah disusun dan (5)
mencatat kelengkapan program pengajaran
dalam buku pembinaan staf (guru).
Selanjutnya hasil wawancara dengan
Pengawas Sekolah tentang pelaksanaan
program pengajaran adalah: Pembinaan
terhadap guru dalam penguasaan materi
pelajaran dilakukan kepala sekolah dengan
membuat kelompok MGMP di ruang guru,
menyediakan buku-buku sumber yang
diperlukan oleh guru, mendorong guru-guru
untuk mendalami materi pelajaran,
mendorong guru untuk melanjutkan
pendidikan ke jenjang strata lebih tinggi dan
mengaktifkan MGMP. Upaya ini sangat
bermanfaat dalam meningkatkan tanggung
jawab guru
Hasil penelitian jugs menunjukkan
bahwa pembinaan kepala Pengawas Sekolah
dalam memilih dan mengembangkan media
pendidikan adalah: menyediakan buku-buku
sumber, mendorong guru untuk mengkaji
tentang memilih dan mengembangkan media
dalam kegiatan MGMP, mendorong berlatih
memilih media yang tepat, mendorong
berlatih untuk membuat media yang
sederhana, dan berlatih menggunakannya
dan menyediakan media dan bahan untuk
membuatnya.
Evaluasi hasil proses mengajar
merupakan proses akhir dari sebuah per
alanan proses belajar mengajar di kelas pads
setiap akhir dari sebuah materi pelajaran.
Evaluasi diperlukan untuk melihat sejauh
mana kemampuan siswa dalam menyerap
materi yang telah diajarkan. Namur
demikian proses evaluasi yang dilakukan
oleh guru haruslah mendapat pembinaan dari
kepala sekolah, agar diperoleh hasil dan
tujuan sesuai yang diharapkan. Pembinaan
kepala sekolah terhadap guru dalam
membuat evaluasi meliputi: (a) kegiatan
evaluasi dan (b) melaksanakan program
perbaikan dan pengayaan.
Hasil wawancara dengan Pengawas
Sekolah, Kegiatan kepala sekolah dalam
membina guru untuk memahami kegiatan
penilaian adalah : (1) mendorong guru
untuk menyusun program evaluasi, (2)
menyediakan buku petunjuk penilaian dan
(3) mendorong guru untuk mengkaji
kegiatan penilaian dalam kelompok
MGMP. Hasil wawancara dengan
Pengawas Sekolah mengatakan: Kegiatan
terhadap guru dalam melakukan program
perbaikan dan pengayaan bertujuan: (a)
mendorong guru-guru untuk menganalisis
hasil evaluasi, (b) mendorong guru-guru
untuk membuat dan melaksanakan program
perbaikan dan pengayaan dan (c)
mendorong guru membuat program
perbaikan dan pengayaan jadwal jam tatap
muka.
Selanjutnya, kegiatan pembinaan
social yang dilakukan Pengawas Sekolah
terhadap guru melalui: pembinaan mental,
moral, fisik, dan artistik. Berdasarkan hasil
wawancara dengan Pengawas Sekolah
tentang kegiatan pembinaan mental guru
seperti berikut: Kegiatan pembinaan mental
berkaitan dengan penciptaan suasana yang
kondusif agar setiap guru dapat
melaksanakan tugasnya dengan sebaik-
baiknya, sesuai dengan tugasnya masing-
masing secara professional.
Pembinaan moral dilakukan untuk
membina para guru tentang hal-hal yang
berkaitan dengan ajaran baik buruk
mengenai perbuatan, sikap dan kewajiban
sesuai dengan tugas setiap guru secara
proposional. Kegiatan pembinaan fisik,
Pengawas Sekolah dalam suatu wawancara
mengatakan bahwa kepala sekolah
membina para guru tentang hal-hal yang
berkaitan dengan kondisi jasmani atau
badan, kesehatan dan penampilan mereka
secara lahiriah. Misalnya kepala sekolah
senantiasa memberikan dorongan agar para
guru terlibat secara aktif dalam kegiatan
olah raga di sekolah, terutama senam pagi
yang dilaksanakan setiap hari jum'at.
Pembinaan astistik, yaitu membina guru
tentang hal-hal yang berkaitan dengan
kepekaan manusia terhadap seni dan
keindahan.
Menurut Pengawas Sekolah, hal ini
biasanya dilakukan melalui kegiatan karya
wisata yang dilaksanakan setiap akhir tahun
ajaran yaitu mengisi kekosongan jam
pelajaran, dimana sekolah membuat
kegiatan ekstrakulikuler berupa berbagai
perlombaan.
2.Supervisi KliniS dalam
meningkatkan profesional guru pada
SMA Negeri 1 Ingin Jaya.
Dalam pelaksanaan supervisi klinis
dalam meningkatkan profesional guru pada
SMA Negeri 1 Ingin Jaya kepala sekolah
sangat berperan, karena kepala sekolah
sebagai supervisor harus mampu
melakukan pengawasan dan pengendalian
untuk meningkatkan profesionalitas,
tenaga kependidikan.
Pengawasan dan pengendalian ini
merupakan kontrol agar kegiatan
kependidikan disekolah terarah pada
tujuan yang telah ditetapkan. Pengawasan
dan pengendalian juga merupakan
tindakan preventif untuk mencegah agar
tenaga kependidikan tidak melakukan
penyimpangan dan lebih berhati-hati
dalam melakukan peker aannya.
Dalam menjalankan tugas sebagai
supervisor kepala sekolah dibantu oleh
staf-staf bawahannya sesuai dengan
tugasnya masing-masing. Sebagai
supervisor kepala sekolah SMA Negeri 1
Ingin Jaya harus senantiasa memberi
stimulus pada guru-guru didalam
menjalankan tugasnya dengan sebaik-
baiknya.
Berkenaan dengan hal ini peneliti
melakukan wawancara dengan bapak
kepala sekolah SMA Negeri 1 Ingin Jaya:
"Untuk mengaktifkan guru-guru dan pars
pegawai sekolah dalam menjalankan
tugasnya kami melakukan musyawarah
setiap sate minggu sekali yang dilakukan
setiap hari jumat. Menurut kami
musyawarah merupakan hal yang paling
penting".
Selain itu kepala sekolah hares
senantiasa berusaha mengadakan dan
melengkapi alai-alai perlengkapan sekolah
termasuk media instruksional yang
diperlukan bagi kelancaran proses belajar.
Mengenai hal ini peneliti melakukan
wawancara dengan waka kurikulum
sebagai berikut: "Kepala sekolah selalu
mendorong dan memotivasi guru,
memfasilitasi guru dengan menyediakan
media pembelajaran yang dibutuhkan.
Guru tidak mengeluarkan dana untuk
pembelajaran, sehingga guru tidak merasa
keberatan dan selalu termotivasi untuk
memajukan anak didiknya.
Selain itu kepala sekolah senantiasa
mempertinggi ilmu pengetahuan guru
dengan mengadakan pelatihan-pelatihan,
mengirim mereka untuk mengikuti
seminar, diktat, MGW dan hal-hal yang
meningkatkan profesionalitas mereka.
Dengan demikian berdasarkan hasil
wawancara dapat disimpulkan bahwa
pelaksanaan supervisi klinis dalam
meningkatkan profesional guru belum
efektif pada SMA Negeri 1 Ingin Jaya.
3. Upaya pelaksanaan supervisi
klinis dalam meningkatkan
kemampuan profesional guru
pada SMA Negeri 1 Ingin Jaya. Upaya pelaksanaan supervisi klinis
dalam meningkatkan profesional guru pada
SMA Negeri 1 Ingin Jaya adalah dengan
cam mengikutsertakan guru pada pelatihan-
pelatihan, seminar, mengadakan rapat
khusus yang mencakup tentang pembinaan
dan peningkatan profesionali guru yakni
KKG (Kelompok Ke6a Guru) yang
diadakan satu bulan sekali agar guru-guru
di SMA Negeri 1 Ingin Jaya mempunyai
wawasan yang lebih lugs lagi tentang dunia
pendidikan. Sama halnya yang diungkapkan
oleh waka kurikulum yaitu: "Upaya yang
sudah dilakukan kepala sekolah untuk
meningkatkan profesional guru adalah
mengupayakan guru untuk mengikuti
berbagai seminar, workshop, diklat khusus
untuk penulisan karya ilmiah, dan MGMP,
yang diadakan didalam maupun diluar
sekolah".
Selain yang diupayakan oleh kepala
sekolah, ada upaya yang dilakukan oleh
guru sendiri dalam meningkatkan
profesionalnya. Berikut hasil wawancara
dengan guru SMA Negeri 1 Ingin. Jaya: "
Kami sebagai guru juga melakukan upaya
sendiri dalam meningkatkan profesional,
yaitu dengan melanjutkan studi seperti:
mengikuti kursus, selalu mengikuti
perkembangan pendidikan dan membaca
buku-buku kontemporer yang berkaitan
dengan tugas guru dalam membangun
anakanak bangsa, serta rajm membaca
koran, majalah,dan lain-lain"
Selanjutnya wawancara dilakukan
dengan guru yang berbeda, menjelaskan
tentang upayanya sendiri dalam
meningkatkan profesional. guru: "Upaya
yang kami lakukan sendm dalam
memngkatkan profesional guru yakni
dengan mengadakan musyawarah antar
guru untuk membahas masalah yang
berkaitan dengan peningkatan profesional,
dan juga dengan banyak membaca buku-
buku tentang pendidikan dan kami juga
Bering melakukan sharing dengan guru-
guru lainnya". Oleh karena. itu Bapak
selaku kepala sekolah di SMA Negeri 1
Ingin jaya memiliki peran penting dalam
membangkitkan semangat kerja guru-guru
yang dipimpinnya, sehingga setiap ada
pertemuan seperti rapat, beliau selalu
menggerakkan dan memotivasi scluruh
para. guru agar mereka selalu bersikap,
aktif dalam bekerja dan selalu berusaha
untuk mengembangkan diri sesuai dengan
bidangnya.
Dengan demikian maka pars guru
semakin cakap dan terampil dalam
melaksanakan tugas-tugasnya sesuai
dengan tuntutan perkembangan dan
kemajuan ilmu pengetahuan dibidang
tersebut. dan dengan diadakannya
pelatihanpelatihan seperti kegiatan work
shop, MGMP, dan rapat diharapkan dapat
meningkatkan profesional guru dalam
proses belajar mengajar dan dapat
menyelesaikan problem-problem
pendidikan yang muncul serta dapat
membuat kiat-kiat khusus dalam rangka
meningkatkan mutu pendidikan di SMA
Negeri 1 Ingin Jaya.
4.Hambatan supervisi klinis dalam
meningkatkan kemampuan profesional
guru pada SMA Negeri 1 Ingin Jaya.
Dalam mewujudkan peningkatan
profesional guru, seringkali dihadapi
berbagai masalah yang dapat menghambat
perwujudannya. Secara garis besar
hambatan-hambatan itu menurut kepala
sekolah adalah: "Hambatan yang dihadapi
adalah tidak semua guru memiliki motivasi
yang sama dalam meningkatkan kuahtas
dirinya, sehingga ada guru yang mampu
mengikuti dengan cepat dan menyesuaikan
dengan lingkungan, tetapi juga ada yang
tidak mampu mengikuti pola yang kits
kembangkan sesuai dengan harapan".
Kurangnya kemampuan kepala
sekolah mengadakan supervisi klinis secara
efektif baik dare teknik-teknik supervisi
yang digunakan maupun cars pemberian
bimbingan merupakan salah satu
penghambat kepala sekolah melaksanakan
supervise klinis. Hasil wawancara dengan
Pengawas Sekolah mengatakan:
Pelaksanaan supervisi yang saya lakukan
selama ini belum membawa hasil yang
optimal dalam meningkatkan kemampuan
professional guru. Supervisi klinis yang
saya lakukan hanya observasi kelas dan
melihat pendatan mengajar guru serta
mengadakan pendekatan dengan
memanggil guru yang kurang
melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya dengan baik. Dalam diskusi
kelompok saya hanya memantau
perkembangan diskusi kelompok tanpa ikut
terlibat di dalamnya.
Berikut adalah hasil wawancara
berkaitan dengan hambatan yang dihadapi
dalam Kepala Sekolah dalam hal
pelaksonsan supervisi klinis di SMA Negeri
1 Ingin Jaya menurut kepala sekolah.
Selaku kepala sekolah SMA Negeri 1 Ingin
Jaya mengatakan sebagai berikut : "Dalam
hal pelaksanaan supervisi klivis guru
merasa kesulitan dalam. mengadakan
penilaian guru secara mandiri, hal ini
dikarenakan guru yang kurang sadar
terhadap tugas dan tanggung jawabnya
sebagai guru.
Hambatan selanjutnya yaitu dalam
hal pelaksanaan model-model pembelajaran.
Misalnya pada saat guru tersebut diutus oleh
kepala sekolah untuk mengikuti pelatihan
maka guru tersebut tidak pernah
mempresentasikan hasil pelatihannya kepada
guru-guru lain.
Wawancara dengan Pengawas
Sekolah mengenai hambatan supervisi klinis
yang dilakukan kepala sekolah adalah:
Supervisi yang dilakukan kepala sekolah
dalam satu tahun pelajaran cuma satu kali,
kemudian supervisi juga dilakukan oleh guru
senior yang ditunjuk oleh kepala sekolah.
Mungkin kepala sekolah banyak kegiatan
lain yang hares diselesaikan. Hasil supervisi
diberitahukan kepada kepala sekolah, kami
hanya dipanggil dan diberi arahan mengenai
beberapa kelemahan dalam pembelajaran di
dalam kelas. Namun ada beberapa guru,
kepala sekolah langsung mengadakan
supervisi dalam kelas. Tetapi kepala sekolah
tidak pernah mendemonstrasikan cara
mengajar yang baik.
Hasil wawancara dengan Pengawas
Sekolah mengatakan bahwa supervisi yang
dilakukan kepala sekolah secara terbuka,
konsisten, dan penuh humor namun tidak
berkesinambungan artinya supervisi yang
dilaksanakan tidak dilakukan hanya sekali
dalam satu tahun, seharusnya kepala sekolah
secara kontinue melakukan supervisi,
terutama terhadap guru yang masih kurang
mampu dalam mengajar.
B. Pembabasan Hasil Penelitian.
1. Program supervisi Klinis dalam
meningkatkan kemampuan
profesional guru pada SMA Negeri
1 Ingin Jaya.
Supervisi klinis dalam meningkatkan
profesional guru merupakan suatu proses
bimbingan dari pihak yang berkompeten
kepada guru-guru dan par personalia sekolah
lainnya yang langsung menangani belajar
para siswa, untuk memperbaiki situasi
belajar mengajar, agar para siswa dapat
belajar secara efektif dengan prestasi belajar
yang semakin meningkat. Istilah
pembimbingan mengacu kepada usaha yang
bersifat manusiawi, demokratis dan tidak
otoriter, yang dilakukan oleh pihak yang
memiliki kompetensi dalam bidang
supervisi. Memperbaiki situasi beker a dan
belajar efektif mengandung makna beke6a
dan belajar secara berdisiplin, bertanggung
jawab dan memenuhi akuntabilitas.
Purwanto (2005:76) mengemukakan bahwa.
"Pembinaan terhadap guru merupakan salah
satu bentuk/jenis aktivitas pembinaan yang
direncanakan untuk membantu para. guru
dalam melakukan peker aan mereka secara
efektif'.
Salah satu supervisi klinis yang
dilakukan oleh kepala sekolah dalam
membina guru secara kontinu adalah
membina tanggung jawab dalam
menjalankan tugas. Tugas guru yang utama
dalam kegiatan pembelajaran adalah
menyusun program, melaksanakan program
pengajaran, dan mengevaluasi hasil
pengajaran. Kemampuan guru untuk
mengelola proses belajar mengajar tidak
te6adi secara kebetulan, melainkan hares
dilakukan pembinaan terutarna oleh kepala.
sekolah. Pembinaan itu diarahkan agar guru
mampu melaksanakan pembelajaran yang
efektif yaitu dalam arti positif, efektif dan
dalam suasana yang menyenangkan.
Hamalik (2006:40) mengatakan:
Guru bertanggung jawab melaksanakan
kegiatan pendidikan di sekolah dalam arti
memberi bimbingan dan memberi
pengajaran kepada para siswa. Tanggung
jawab ini direalisasikan dalam bentuk
melaksanakan pembinaan kurikulum,
menuntun para siswa belajar, serta menilai
kemampuan belajar para siswa, agar
mampu mengemban dan melaksanakan
tanggung jawabnya, maka, setiap, guru
harus memiliki berbagai kompetensi yang
relevan dengan tugas dan tanggung jawab
tersebut.
Proses belajar mengajar sebagai inti
dari proses di sekolah, dalam hal ini
gurulah sebagai pemegang peranan utama.
Berad, keberhasilan pembelajaran
ditentukan oleh kemampuan guru dalam
mengelolaa proses belajar mengajar.
Pembinaan utama, secara umum
adalah sebagaimana dijelaskan Mulyasa,
(2005: 141) adalah: (1) pembinaan
kemampuan guru dalam merencanakan
pengajaran, (2) pembinaan kemampuan
guru dalam melaksanakan proses belajar
mengajar dan (3) pembinaan kemampuan
mengevaluasi/penilaian pengajaran.
Supervisi klinis dalam meningkatkan
professional guru merupakan hal yang
penting dan perlu mendapat perhatian
kepala sekolah, baik secara kualitatif
maupun kuantitatif Guru yang professional
diharapkan mampu melaksanakan tugas
dengan baik..
Supervisi klinis dalam
meningkatkan professional guru yang
dilakukan dengan berbagai kegiatan seperti
kesempatan untuk mengikuti kegiatan
formal ke jenjang yang lebih tinggi,
penataran, diskusi, saran, bimbingan,
teguran, kritikan, dan sebagainya,
diharapkan guru memperoleh pengetahuan
dan pengalaman yang dapat meningkatkan
profesionalnya.
2. Pelaksanaan supervisi klinis
dalam meningkatkan profesional
guru pada SMA Negeri 1 Ingin
Jaya.
Dalam menjalankan tugas sebagai
supervisor kepala sekolah dibantu oleh staf-
staf bawahannya sesuai dengan tugasnya
masing-masing. Sebagai supervisor kepala
sekolah SMA Negeri 1 Ingin Jaya hams
senantiasa memberi stimulus pada guru-
guru didalam menjalankan tugasnya dengan
sebaik-baiiknya, Mulyasa (2005:111)
Supervisi berfungsi membantu, memberi
support dan mengajak mengikutsertakan.
Dilihat dari fungsinya, tampak dengan jelas
peranan supervise itu. Peranan itu tampak
dalam kiner a supervisor yang
melaksanakan tugasnya. Mengenai peranan
supervisor, Sahertian (2005: 25)
mengemukakan: "Seorang supervisor dapat
berperan sebagai (1) koordinator, (2)
konsultan, (3) Pemimpin kelompok dan (4)
Evaluator". Berikut merupakan uraian dari
4 (empat) pesan supervisor".
a) Sebagai koordinator, supervisor dapat
mengkoordinasi program belajar
mengajar, tugas-tugas anggota staf
berbagai kegiatan yang berbedabeda
diantara guru-guru. Contoh konkret
mengkoordinasi tugas mengajar sate
mats pelajaran yang dibina oleh
berbagai guru.
b) Sebagai konsultan, supervisor dapat
memberi bantuan, bersama
mengkonsultasikan masalah yang
dialami guru baik secara individual
maupun secara kelompok. Sebagai
pemimpin kelompok, supervisor dapat
memimpin sejumlah staf guru dalam
mengembangkan potensi kelompok,
pada saat mengembangkan kurikulum,
materi pelajaran dan , kebutuhan
profesional guru-guru secara bersama.
Sebagai pemimpin kelompok,
supervisor dapat mengembangkan
keterampilan dan kiat-kiat dalam
bekerja untuk kelompok, bekerja
dengan kelompok dan bekerja melalui
kelompok.
c) d) Sebagai evaluator, supervisor dapat
membantu guru-guru dalam menilai
hasil dan proses belajar, dapat menilai
kurikulum yang sedang dikembangkan.
la juga, belajar menatap dirinya sendiri.
Supervisor dibantu dalam merefleksi
dirinya, yaitu konsep dirinya, ide/cita-
cita dirinya, realitas dirinya.
Sebagai motivator, kineda yang
dilakukan kepala sekolah adalah
memberikan motivasi kepada guru dan
tenaga kependidikan dan administrasi
sehingga mereka bersemangat dan
bergairah dalam menjalankan tugasnya
dalam rangka meningkatkan mutu.
pendidikan. Motivasi bisa diberikan dalam
bentuk hadiah atau hukuman baik fisik
maupun nonfisik. Namur, dalam rangka
memberikan motivasi ini hares
dipertimbangkan rasa keadilan dan
kelayakannya. Dalam hal ini penting bagi
kepala, sekolah untuk menciptakan iklim
yang kondusif.
Kemampuan guru di depan kelas
tidak lain adalah kemampuan mengajar,
yaitu kemampuan untuk membuat murid
lebih gist belajar. Kemampuan tersebut
meliputi beberapa segi, yakni segi
pengetahuan, keterampilan dan sikap. Segi
pengetahuan mencakup penguasaan materi
bidang studi yang diajarkan, pengetahuan
tentang berbagai metode dan alai yang
dapat di pilih untuk menyampaikan materi,
pengetahuan tentang murid dari sudut ilmu
jiwa dan teori belajar. Ketrampilan dalam
mengajar mencakup antara lain
keterampilan berkomunikasi, menggunakan
bahasa, memilih dan menerapkan metode
dan alai sesuai dengan kemampuan sasaran.
Hal ini membantu peningkatan proses
belajar murid dan hasil belajarnya.
Peningkatan kemampuan mengajar
guru, kepala sekolah hendaknya melakukan
supervisi dengan memilih teknik-teknik
supervisi yang tepat, sesuai dengan tujuan
yang akan dicapai. Untuk kepentingan
tersebut, teknik-teknik yang digunakan
dalam melakukan supervisi adalah (a)
kunjungan dan observasi kelas, (b)
pembicaraan individual, (c) diskusi
kelompok, dan (d) demonstrasi mengajar.
Kepala sekolah sebagai supervisor
harus diwujudkan dalam kemampuan
menyusun, dan melaksanakan program
supervisi pendidikan, serta memanfaatkan
hasilnya. Kemampuan menyusun program
supervisi pendidikan harus diwujudkan
dalam penyusunan program supervisi kelas,
pengembangan program supervisi untuk
kegiatan eksft-akurikuler, pengembangan
progam supervisi perpustakaan,
laboratorium, dan ujian. Kemampuan
melaksanakan program supervisi dan
program supervisi kegiatan ekstrakurikuler.
3. Upaya pelaksanaan supervisi
Minis dalam meningkatkan
kemampuan profesional guru
pada SMA Negeri 1 Ingin Jaya.
Upaya pelaksanaan supervisi klinis
dalam meningkatkan profesional guru pada
SMA Negeri 1 Ingin Jaya adalah dengan
cara mengikutsertakan guru pada
pelatihan- pelatihan, seminar, mengadakan
rapat khusus yang mencakup tentang
pembinaan dan peningkatan profesionali
guru yakni KKG (Kelompok Kerja Guru)
yang diadakan sate bulan sekali agar guru-
guru di SMA Negeri 1 Ingin Jaya
mempunyai wawasan yang lebih lugs lagi
tentang dunia. pendidikan.
Dengan demikian maka para guru
semakin cakap dan terampil dalam
melaksanakan tugas-tugasnya sesuai
dengan tuntutan perkembangan dan
kemajuan ilmu pengetahuan dibidang
tersebut. dan dengan diadakannya
pelatihanpelatihan seperti kegiatan work
shop, MGMP, dan rapat diharapkan dapat
meningkadm profesional guru dalam
proses belajar mengajar dan dapat
menyelesaikan problem-problem
pendidikan yang muncul serta dapat
membuat kiat-kiat khusus dalam rangka
meningkatkan mute pendidikan di SMA
Negeri 1 Ingin Jaya.
Indikator keberhasilan supervise
pendidikan terhadap kiner a guru,
hakekatnya Anwar (2005: 63) menyatakan
bahwa: "Supervise kinerja guru ditekankan
pads tiga kemampuan dasar, yaitu: (1)
Kemampuan professional, (2) Kemampuan
pribadi, dan (3) Kemampuan social".
Berikut merupakan uraian kinerja guru
ditinjau dare kemampuan professional,
kemampuan pribadi, dan kemampuan
social. Masing, musing poin di atas dapat
dijelaskan sebagai berikut :
1. Kemampuan Profesional
Guru dituntut untuk dapat
menciptakan situasi belajar yang dapat
mendorog siswa untuk belajar, menguasai
materi pelajaran, menguasai metode
mengajar. Di selama tidak meninggalkan
kaedah didaktik. Setelah melaksanakan
proses pembelajaran guru diharapkan
dapat melaksanakan evaluasi dengan
tujuan yang ingin dicapai. Penggunaan
teknik evaluasi harus benar dan tepat agar
siswa termotivasi belajar. Secara rinci
komponen kemampuan profesional yang
seharusnya dimiliki seorang guru, menurut
Purwanto (2005: 43) adalah sebagai
berikut: (1) Dapat merumuskan tujuan
pembelajaran, (2) Memanfaatkan somber
belajar, (3) Mengorganisasikan materi
belajar, (4) Memilih dan menggunakan
media belajar, (5) Menciptakan interaksi
belajar-mengajar yang menyenangkan, (6)
mengevaluasi dan
mengadministrasikannya, serfs (7)
Mengembangkan semua kemampuannya
sehingga berdaya guna dan berhasil guna.
2. Kemampuan pribadi
Pendidikan adalah proses yang
direncanakan agar siswa tumbuh dan
berkembang melalui kegiatan belajar. Guru
sebaik pendidik dengan sengaja
mempengaruhi tata nilai yang dianggap
baik di masyarakat. Adapun tata nilai
tersebut berupa norms etika, estetika dan
ilmu pengetahuan yang mempengaruhi
prilaku siswa sebagai pribadi dan sebagai
anggota masyarakat. Penerapan disiplin
yang baik dalam proses pembelajaran akan
menimbulkan sikap mental dan kepribadian
siswa yang kuat. Siswa akan berdisiplin
apabila guru memberikan contoh
kedisiplinan dalam tugasnya sehari-hari.
Kemampuan pribadi tersebut akan terwujud
dan melekat pads seorang guru apabila: 1)
memahami identitas dirinya, 2) komit
terhadap tugas dan tanggung jawab dan, 3)
mengembangkan diri secara sehat dan cepat
tanggap terhadap perubahan yang terjadi
terutama di bidang pendidikan.
3. Kemampuan sosial
Keahlian guru dalam berinteraksi baik
dengan rekan ker a maupun dengan
atasannya akan memperlancar kegiatan
dalam PBM. Setiap guru hares memiliki
ketiga kemampuan dasar tersebut sebagai
bekal untuk melaksanakan tugas dan
tanggung jawab. Fattah (2006: 101)
mengemuklan bahwa : "Seorang guru hares
di evaluasi pekedaannya baik oleh kepala
sekolah maupun oleh pengawas.
Pengawasan adalah proses paksa, memaksa
agar kegiatan pelaksanaannya dapat
disesuaikan dengan rencana, yang telah
ditetapkan".
Secara, umum Sahertian (2005: 34)
menyatakan bahwa guru yang professional
memiliki kompetensi yang tinggi (skill
ability). Dengan demikian tujuan supervise
ialah memberikan layanan dan bantuan
untuk meningkatkan kualitas mengajar guru
di kelas yang pada gilirannya untuk
meningkatkan kualitas belajar siswa. Bukan
saja memperbaiki kemampuan mengajar
tape juga, untuk pengembangan potensi
kualitas guru.
4. Hambatan supervisi Klinis dalam
meningkatkan kemampuan profesional
guru pada SMA Neged 1 Ingin Jaya.
Secara garis besar hambatan-
hambatan itu menurut kepala sekolah
hambatan yang dihadapi adalah fidak
semua guru memiliki motivasi yang sama
dalam meningkatkan kualitas dirinya,
sehingga ada guru yang mampu mengikuti
dengan cepat dan menyesuaikan dengan
lingkungan, tetapi jugs ada yang tidak
mampu mengikuti pola yang kits
kembangkan sesuai dengan harapan"
Kurangnya kemampuan kepala sekolah
mengadakan supervisi klinis secara efektif
baik dare teknik-teknik supervisi yang
digunakan maupun cars pemberian
bimbingan merupakan salah satu
penghambat kepala sekolah melaksanakan
supervise klinis.
Masalah-masalah yang dialami
guru disekolah dapat mempenganihi kineda.
di sekolah, maka diperlukan adanya upaya
pemberian bantuan atau bimbingan ke arch
supervise yang baik sehingga setiap guru
bermasalah perlu dibina agar masalahnya
terselesaikan dan dapat kembali
melaksanakan tugas dengan baik. Sahertian
(2005:130) menyebutkan usaha-usaha
membina dan mengembangkan potensi
sumber daya guru dan profesi mengajar,
adalah -
a. Masalah-masalah umum yang dihadapi
dalam tugas mengajar dan mendidik
yang mencakup :
1. Membantu guru dalam
menedemahkan kurikulum dan pusat
ke dalam bahasa belajar mengajar.
2. Membantu guru-guru dalam
meningkatkan program belajar
mengajar
3. Membantu dalam merancang
program belajar-mengajar.
4. Membantu dalam melaksanakan
proses belajar-mengajar.
5. Membantu dalam menilai proses dan
hasil belajar-mengajar
b. Masalah-masalah khusus yang dihadapi
guru, antara lain :
1. Membantu guru dalam menghadapi
kesulitan dalam mengajarkan tiap
mata pelajaran.
2. Membantu guru dalam memecahkan
masalah-masalah pribadi (personel
problem).
3. Membantu guru dalam menghadapi
masalah khusus ditiap tingkat mulai
SD sampai SMA.
Memperhatikan kutipan di atas,
betapa pentingnya supervise klinis terhadap
guru bermasalah karena setiap guru
bermasalah paste menghadapi banyak
persoalan persoalan baik persoalan secara
umum persoalan khusus yang pada akfurnya
akan mempengaruhi pekerja yang akan
ditangani terutama dalam mengajar di
sekolah.
Disiplin guru meliputi kehadiran
dalam kelas dan diluar kelas. Disiplin diluar
kelas meliputi kehadiran kesekolah tepat
waktu, mempersiapkan materi pelajaran yang
akan diajarkan kepada siswa sesuai dengan
kurikulum dan prosedur yang berlaku dan
melaksanakan tugas sebagai piket dan
memperhatikan kesiapan siswa dalam kelas
untuk memulai proses pembelajaran. Disiplin
guru di dalam kelas meliputi masuk kelas
sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan,
melaksanakan pembelajaran secara tertib
sesuai dengan kurikulum, membantu siswa
yang mengalami kesulitan dalam belajar
mengajar, menjaga kebersihan dan iklim
kelas yang mengalami kesulitan dalam
belajar mengajar, menjaga kebersihan dan
iklim kelas yang menyenangkan sehingga
proses belajar mengajar siswa berjalan
ekektif
Dalam supervisi klinis jugs terdapat
beberapa teknik yang perlu dilakukan agar
pelaksanaan supervisi klinis dapat bedalan
dengan baik (Sudiyono 2011: 160). Adapun
teknik-teknik supervisi Minis adalah sebagai
berikut
1. Supervisor sebaiknya mendengar
dengan cermat permasalahan yang
disampaikan guru dan berbicara
seperlunya saja.
2. Memberikan komentar yang tepat,
artinya komentar disesuaikan dengan
permasalahan guru.
3. Menegaskan ertanyaan/peryataan
guru agar lebih jelas dan mudah
dipahami
Prosedur supervisi klinis berlangsung
dalam suatu proses berbentuk siklus terdiri
dari tiga tahap yaitu: tahap pendahuluan,
tahap pengamatan dan tahap pertemuan
balikan. Pada tahap pendahuluan, supervisor
dan guru bersama-sama membicarakan
rencana tentang materi observasi yang akan
dilaksanakan. Pada tahap berikutnya guru
melatih kemampuan mengajar berdasarkan
komponen keterampilan yang telah
disepakati dalam pertemuan pendahuluan.
Supervisor mengamati dan mencatat atau
merekam tingkah laku guru ketika mengajar
berdasarkan komponen keterampilan yang
diminta oleh guru untuk direkam. Supervisor
dapat juga mengadakan observasi dan
mencatat tingkah laku siswa di kelas serta
interaksi antara guru dan siswa. Sebelum
tahap pertemuan balikan dilaksanakan,
supervisor mengadakan analisis
pendahuluan terhadap rekaman observasi
yang dibuat. Supervisor harus
mengusahakan data yang obyektif,
menganalisis dan menginterpretasikan
secara kooperatif dengan guru tentang apa
yang telah berlangsung dalam mengajar.
Hal ini perlu sebagai rujukan dan
pedoman terhadap proses pembinaan dan
peningkatan kemampuan profesional guru.
Dalam proses pengkajian terhadap berbagai
cara pemecahan yang mungkin dilakukan,
setiap alternatif pemecahan dipelajari
kemungkinan keterlaksanaannya dengan
cara mempertimbangkan faktor-faktor
peluang yang dimiliki seperti fasilitas dan
kendala yang mungkin dihadapi. Alternatif
pemecahan masalah yang terbaik adalah
alternatif yang paling mungkin dilakukan,
dalam arti lebih banyak faktor-faktor
pendukungnya dibandingkan dengan
kendala yang dihadapi selain memiliki nilai
tambah yang paling besar bagi pengingkatan
mutu proses dan hasil belajar siswa.
A. Kesimpulan
1. Program supervisi klinis dalam
meningkatkan kemampuan profesional
guru pads SMA Negeri 1 Ingin Jaya
adalah melalui: (a) kegiatan kelompok,
dilakukan dengan meningkatkan
hubungan kerjasama, yang harmonis
antar guru, dan memotivasi keterlibatan
guru dalam kelompok, dan (b) Kegiatan
belajar individual guru, dilakukan
pengawas sekolah dengan meningkatkan
kemampuan akademik guru (penyusunan
program pengajaran, pelaksanaan
program pengajaran, pelaksanaan
program pengajaran serta evaluasi basil
proses belajar) dan meningkatkan rasa
sosial guru dengan pembinaan mental,
moral, fisik dan artistik.
2. Supervisi klinis dalam meningkatkan
profesional guru pada SMA Negeri 1
Ingin Jaya. kepala sekolah sangat
berperan, karena kepala sekolah sebagai
supervisor harus mampu melakukan
pengawasan dan pengendalian untuk
meningkatkan profesionalitas tenaga
kependidikan
3. Pelaksanaan supervisi klinis dalam
meningkatkan profesional guru pads
SMA Negeri 1 Ingin Jaya adalah dengan
cars mengilcutsertakan guru pads
pelatihan- pelatihan, seminar,
mengadakan rapat khusus yang
mencakup tentang pembinaan dan
peningkatan profesionali guru yakni
KKG (Kelompok Keda Guru) yang
diadakan satu bulan sekali agar guru-
guru di SMA Negeri 1 Ingin Jaya
mempunyai wawasan yang lebih luas,
lagi tentang dunia pendidikan.
4. Hambatan supervisi klinis dalam
meningkatkan kemampuan profesional
guru pads SMA Negeri 1 Ingin Jaya.
Kurangnya kemampuan kepala sekolah
mengadakan supervisi Minis secara
efektif baik dare teknik-teknik supervisi
yang digunakan maupun pemberian
bimbingan merupakan salah satu
penghambat kepala sekolah
melaksanakan supervisi klinis
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Anwar, Idochi, Mohc. H, (2005),
Administrasi Pendidikan dan
Manajemen Biaya Pendidikan: Teori, Konsep dan Isu, Bandung,
Alfabeta.
Arif, Jamil. M, (2006), Strategi Kepala
Sekolah dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru, Banda
Aceh, Program Pasca Sarjana,
Universitas Syiah Kuala.
Arikunto, Suharsimi, (2002), Prosedur
Penelitian, Suatu pendekatan
Praktek, Jakarta, Rineka Cipta.
Fattah, Nanang, (2000), Landasan
Manajemen Pendidikan, Bandung,
Rosda Karya.
Fattah, Nanang, (2004), Konsep dan
Manajemen Berbasis Sekolah dan Dewan Sekolah, Bandung, Pustaka
Bani Quraisy.
Hamalik, Oemar, (2006), Pendidikan Guru
Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, Jakarta, Bumi Aksara.
Hasibuan. Malayu, SP, (2003), Manajemen
Sumber Daya Manusia, Jakarta,
Bumi Aksara.
Huntua, Ismet, (2000), Analisis Kerja,
Bandung, Dinas pendidikan.
Husaini, (2005), Pengembangan
Profesional Guru (Studi terhadap
Upaya Kepala Sekolah dan
Pengawas dalam Membina
Profesional Guru di Kabupaten Aceh Timur), Banda Aceh,
Program Pascasarjana Universitas
Syiah Kuala
Idris, Jamaluddin, (2005), Analisis Krisis
Mutu Pendidikan, Penerbit
Taufiqiah Sa’adah, Yogyakarta.
Indrawijaya, Ibrahim, Adam, (2001),
Kepemimpinan dalam Organisasi,
Jakarta, Lembaga Administrasi
Negara.
Malik, Ghulam, Farid, (2000), Pedoman
Manajemen Madrasah, Forum
Kajian Agama dan Budaya,
Yogyakarta.
Moleong, Lexy. J, (2005), Metode
Penelitian Kualitatif, Bandung,
Rosda Karya
Mulyana, Dedy, (2004), Metode Penelitian
Kualitatif, Bandung, Rosda Karya.
Mulyasa. E, (2005), Manajemen Berbasis
Sekolah, Bandung, Rosda Karya.
Nawawi. Hadari, (2003), Perencanaan
SDM untuk Organisasi Profit yang
Kompetitif, Yogyakarta, Gajah
Mada University Press
Nurkolis, (2003), Manajemen Berbasis
Sekolah : Teori, Model, dan
Aplikasi, Jakarta, Gramedia
Permadi. D, (2001), Manajemen Berbasis
Sekolah dan Kepemimpinan
Mandiri Kepala Sekolah, Bandung,
Sarana Panca Karya
Pidarta, Made, (2000), Landasan
Kependidikan, Jakarta, Rineke
Cipta
Purwanto, Ngalim. M, (2005), Administrasi
dan Supervisi Pendidikan,
Bandung, Rosda Karya
Sahertian, Piet, (2000), Konsep Dasar dan
Teknik Supervisi Pendidikan,
Jakarta, Rineke Cipta
Siagian, Sondang. P, (2002), Manajemen
Strategik, Jakarta, Bumi Aksara
Siagian, Sondang. P, (2002), Manajemen
Sumber Daya Manusia, Jakarta,
Bumi Aksara.
Supriadi, Dedi, (2001), Reformasi
Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta,
Adicita Karya Nusa.
Surya, Mohammad, (2003), Percikan
Perjuangan Guru, Semarang,
Aneka Ilmu.
Suryosubroto, (2002), Proses Belajar
Mengajar di Sekolah, Jakarta,
Rineke Cipta.
Suryosubroto, (2004), Manajemen
Pendidikan di Sekolah, Jakarta,
Rineke Cipta.
Susilo, Joko, Muhammad, (2007),
Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar.
Syafruddin, Nasution, (2005), Manajemen
Pembelajaran, Jakarta, Quantim
Teaching.
Tilaar, (2006), Manajemen Pendidikan
Nasional, Bandung, Remaja Rosda
Karya.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2003, (2003), Sistem
Pendidikan Nasional, Jakarta,
Sinar Grafika.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
14 Tahun 2005, (2005), Undang-
Undang Guru dan Dosen, Jakarta,
Penerbit Cemerlang.
Usman, Nasir, (2007), Manajemen
Peningkatan Kinerja Guru,
Bandung, Mutiara Ilmu.
Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam
Meningkatkan Kiner ja Guru
Pada MTSN 1 Lhokseumawe
Oleh
Jalaluddin
Abstrak. Kepala sekolah memegang peranan penting dalam upaya peningkatan dan pembinaan
terhadap kinerja guru, disiplin, dan komitmen guru. Berdasarkan pemikiran tersebut, fokus
penelitian ini adalah bagaimana kepemimpinan kepala sekolah dalam meningkatkan kinerja guru
pada MTs Negeri 1 Lhokseumawe. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang
upaya kepala sekolah dalam meningkatkan tanggung jawab, disiplin dan komitmen dalam
meningkatkan kinerja guru pada MTs Negeri 1 Lhokseumawe. Penelitian ini menggunakan
deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara dan
dokumentasi. Subjek penelitian ini adalah kepala sekolah dan guru. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa upaya kepala sekolah dalam penyusunan kinerja guru yang meliputi perencanaan belum
optimal sedangkan upaya penguasaan landasan pendidikan dan penyusunan program pengajaran
sudah optimal. Kepala sekolah telah melakukan upaya menegakkan disiplin kerja guru. meliputi,
pembinaan, pengawasan, dan tindakan dalam disiplin di MTs Negeri 1 Lhokseumawe secara
efektif. Kepala sekolah telah melakukan upaya meningkatkan komitmen dan tanggung jawab guru.
meliputi, mengikutsertakan guru dalam penataran, melibatkan guru dalam Musyawarah Guru Mata
Pelalajaran (MGMP) dengan baik
Kata Kunci : Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Kinerja Guru
Dalam keseluruhan proses pendidikan
khususnya pendidikan di sekolah, guru
memegang peranan yang paling utama. Perilaku
guru dalam proses pendidikan akan memberikan
pengaruh dan warna yang kuat bagi pembinaan
perilaku dan kepribadian siswa.
Kepemimpinan kepala sekolah dapat
mempengaruhi pendidikan di lingkungan
sekolah. Sekolah juga membutuhkan figur
seorang pemimpin siap bekerja keras untuk
dapat memajukan sekolah untuk meningkatkan
mutu pendidikan di lingkungan sekolah yang
dipimpinnya. Faktor lain yang berperan
mempengaruhi pendidikan adalah kinerja guru
yang berkualitas. Seorang guru dituntut untuk
dapat memberikan kontribusi yang sangat besar
terhadap pendidikan di lingkungan sekolah
terutama dalam hal belajar mengajar.
Peran kepala sekolah sebagai
pemimpin diharapkan mampu mewujudkan
fungsi-fungsi kepemimpinan dalam keseluruhan
proses pendidikan disekolah. Keberhasilan
pendidikan disekolah ditentukan oleh
kemampuannya mempengaruhi, membimbing,
menggerakkan dan memotivasi individu-
individu (guru-guru) yang terlibat dalam tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan.
Dalam mengatasi rendahnya kinerja
guru harus menjadi perioritas utama dalam
upaya peningkatan mutu pendidikan pada
akhirnya ditentukan oleh kinerja guru dalam
mengembangkan proses belajar mengajar
dikelas. Untuk meningkatkan kinerja guru
kepala sekolah dituntut untuk bekerja keras
melakukan pembinaan terhadap guru-guru di
bawah kepemimpinannya. Melalui pembinaan
yang terprogram dan terus menerus kepala
sekolah diharapkan akan mampu memperbaiki
kinerja guru-guru dibawah pimpinannya.
METODE PENELITIAN
a. Pendekatan Penelitian
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode kualitatif, yang
dimaksud dengan metode kualitatif adalah
prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa katakata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang diamati, sebagai
suatu kebutuhan.
b. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada
MTsN 1 Lhokseumawe. Data penelitian ini
dikumpulkan pada bulan Juli sampai dengan
bulan September 2011.
c. Subjek Penelitian
Populasi atau subjek dalam penelitian
ini adalah kepala sekolah, dan dewan guru pada
MTsN 1 Lhokseumawe.
d. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang
digunakan untuk meliput data dalam penelitian,
Instrumen penelitian yang diperlukan adalah
pedoman wawancara, pedoman observasi dan
pedoman dokumentasi.
e. Teknik Pengumpulan Data
1. Wawancara
Wawancara ini di gunakan untuk
menggali dan memperoleh data atau informasi
yang lebih mendalam dan relevan dengan
masalah yang diteliti. Wawancara ini ditujukan
kepada kepala sekolah dan guru MTsN 1
Lhokseumawe melalui pertanyaan-pertanyaan
yang telah disiapkan sesuai dengan
permasalahan yang diteliti dengan berpedoman
pada daftar wawancara.
2. Observasi
Observasi (pengamatan) dilakukan
untuk memperoleh data tentang kepemimpinan
yang dapat mempengaruhi kinerja guru.
Observasi dilakukan pada kondisi kegiatan
pelaksanaan kepemimpinan kepala sekolah
dalam bimbingan dan arahan terhadap guru baik
secara individu maupun secara kelompok di
MTsN 1 Lhokseumawe.
3. Dokumentasi Penelitian
Teknik ini digunakan untuk
mengumpulkan data dan informasi tentang
Kepemimpinan kepala sekolah dalam rangka
meningkatkan kinerja guru Pada MTsN 1
Lhokseumawe
f. Teknik Analisis Data
Data dan informasi yang telah
diperoleh peneliti selanjutnya dianalisis dan
diinterprestasikan mulai awal penelitian sampai
akhir penelitian, dengan merujuk kepada
landasan teori yang berhubungan dengan
masalah yang diteliti. Analisis adalah proses
penyusunan data agar dapat ditafsirkan.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian akan dilihat dari upaya
kepala sekolah yang menyangkut strategi
kepemimpinan kepala sekolah dalam menyusun
program peningkatan kinerja, disiplin,
komitmen dan tanggung jawab guru pada MTs
Negeri 1 Lhokseumawe.
a. Upaya kepala sekolah dalam menyusun
program pengajaran
Upaya kepala sekolah dalam menyusun
program pengajaran meliputi, perencanaan,
landasan kependidikan, dan program
pengajaran.
1) Dalam membuat perencanaan
Hasil penelitian menunjukkan upaya
kepala MTs Negeri 1 Lhokseumawe dalam
membina kinerja guru dalam membuat
perencanaan program pengajaran.
Berdasarkan data, dapat dijelaskan bahwa
kepala MTs Negeri 1 Lhokseumawe telah
membuat perencanaan berupa program kerja
tahunan.
2) Dalam penguasaan landasan
kependidikan
Hasil penelitian menunjukkan upaya
kepala sekolah dalam membina tanggung jawab
guru dalam menguasai landasan kependidikan
antara lain:
a) Membagikan kurikulum kepada guru-guru.
b) Mengirim guru untuk mengikuti penataran.
c) Mendorong guru untuk memberikan hasil
penelitiannya kepada temannya.
Kepala MTs Negeri 1 Lhokseumawe
sudah berusaha dalam meningkatkan kinerja
guru tentang landasan kependidikan sebagai
salah satu kemampuan guru dalam peningkatan
penguasaan landasan pendidikan.
3) Dalam menyusun program
pengajaran
Kepala MTs Negeri 1 Lhokseumawe
berupaya memotivasi dan meminta tiap
kelompok MGMP untuk menyusun program
pengajaran pada hari libur, menyediakan dan
membagi kalender pendidikan, buku tulis, dan
alat tulis. Memberi dispensasi untuk merevisi
program pengajaran yang telah dibuat tahun
lalu, memanggil guru untuk memperlihatkan
program pengajaran yang telah disusun dan
mencatat kelengkapan program pengajaran
dalam buku pembinaan staf (guru).
b. Upaya kepala sekolah dalam
melaksanakan program pengajaran
Dalam melaksanakan program
pengajaran akan dilihat mengenai upaya kepala
sekolah dalam penguasaan materi pelajaran,
memilih dan mengembangkan media pengajaran
serta dalam melaksanakan program pengajaran.
1) Dalam penguasaan materi pelajaran
Hasil penelitian menunjukkan upaya-
upaya kepala MTs Negeri 1 Lhokseumawe
dalam peningkatan kinerja guru dan penguasaan
materi meliputi:
a) Guru membuat forum diskusi kecil untuk
menjawab permasalahan mata pelajaran
b) Mengupayakan guru untuk melengkapi
semua sumber buku pelajaran.
c) Mendorong guru untuk menjadwalkan
pendalaman materi pelajaran.
d) Merekomendasi dan memotivasi guru untuk
melanjutkan pendidikan.
e) Memotivasi guru untuk mengaktifkan
MGMP.
2) Dalam memilih dan
mengembangkan media pengajaran
Hasil penelitian mengungkapkan
bahwa upaya kepala sekolah dalam memilih dan
mengembangkan media pendidikan pada MTs
Negeri 1 Lhokseumawe sebagai berikut:
a) Menyediakan buku-buku sumber.
b) Mendorong guru untuk mengkaji tentang
memilih dan mengembangkan media
kegiatan MGMP.
c) Mendorong berlatih memilih media yang
tepat.
d) Mendorong berlatih untuk membuat media
yang sederhana, dan berlatih
menggunakannya.
e) Menyediakan media dan bahan untuk
membuatnya
3) Dalam melaksanakan program
pengajaran
Hasil penelitian diperoleh data bahwa
upaya kepala MTs Negeri 1 Lhokseumawe
dalam meningkatkan kinerja guru dalam
melaksanakan program pengajaran adalah:
a) Mendorong guru untuk mampu
menciptakan iklim belajar yang tepat,
mengatur ruang belajar, dan menglola
interaksi belajar mengajar dengan baik.
b) Memeriksa/memperbaiki program
(Rencana Pembelajaran) yang akan
digunakan dalam pembelajaran.
c) Menyediakan buku-buku sumber dan buku
pelengkap untuk guru.
d) Menyediakan sarana dan prasarana yang
diperlukan.
e) Mendorong guru untuk membagikan hasil
penataran kepada kelompok MGMP.
2) Upaya kepala sekolah dalam
meningkatkan disiplin guru
Kedisiplinan sangat perlu dalam
menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai
pengajar, pendidik dan pembimbing siswa.
Disiplin yang tinggi akan mampu membangun
kinerja yang profesional sebab pemahaman
disiplin yang baik guru mampu mencermati
aturan-aturan dan langkah strategis dalam
melaksanakan proses kegiatan belajar mengajar.
Kemampuan guru dalam memahami aturan dan
melaksanakan aturan yang tepat, baik dalam
hubungan dengan personalia lain di sekolah
maupun dalam proses belajar mengajar di kelas
sangat membantu upaya membelajarkan siswa
ke arah yang lebih baik. Kedisiplinan bagi para
guru merupakan bagian yang tak terpisahkan
dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
upaya pengembangan kinerja guru yang
dilaksanakan kepala MTs Negeri 1
Lhokseumawe adalah menegakkan disiplin guru
disekolah melalui: pembinaan, pengawasan,
tindakan dalam disiplin.
3) Upaya kepala sekolah dalam
meningkatkan tanggung jawab guru
a. Mengikutsertakan guru dalam
penataran
Guna meningkatkan kinerja guru, perlu
dilakukan pelatihan dan penataran yang intens
pada guru. Pelatihan yang diperlukan adalah
pelatihan yang disesuaikan dengan kebutuhan
guru yaitu pelatihan yang mengacu pada
tuntutan kompetensi guru.
b. Melibatkan Guru dalam MGMP
Peningkatan profesionalisme guru
diarahkan pada aspek kegiatan yang meliputi
peningkatan penguasaan guru terhadap
kurikulum dan pedoman pelaksanaannya,
peningkatan pengusaan guru terhadap materi
pelajaran yang harus diajarkan dikelas.
Kesimpulan
1. Upaya kepala sekolah dalam penyusunan
program kinerja guru yang meliputi
perencanaan belum optimal. Sedangkan
upaya penguasaan landasan pendidikan dan
penyusunan program pengajaran sudah
optimal.
2. Kepala sekolah telah melakukan upaya
menegakkan disiplin kerja guru. meliputi,
pembinaan, pengawasan, dan tindakan
dalam disiplin di MTs Negeri 1
Lhokseumawe secara efektif.
3. Kepala sekolah telah melakukan upaya
meningkatkan komitmen dan tanggung
jawab guru. meliputi, mengikutsertakan guru
dalam penataran, melibatkan guru dalam
Musyawarah Guru Mata Pelalajaran
(MGMP) dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. (2005). Prosedur
Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek,
Jakarta, Rineke cipta.
Al-Abrasyi, M. Athiyah (2006). Dasar-Dasar
Pokok Pendidikan Islam (Terjemahan).
Jakarta, Bulan Bintang
Asmara, Uray, Husna (2005), Pengantar
Kepemimpinan Pendidikan, Jakarta,
Galia Indonesia.
Bogdan, Robert C & Biklen S.K (2006),
“Qualitative Research for Education:
An Introduction to Theory and Method.
Bustn: Allynabd Bacon inc.
Darmayanto (2008), Administrasi Pendidikan,
Jakarta, Rineka Cipta.
Danim, Sudarwan, Soparno (2009), Manajemen
dan Kepemimpinan Transformasional
Kekepalasekolahan, Jakarta, Rineka
Cipta.
Dharma Agus. (2007). Gaya Kepemimpinan
yang Efektif bagi Para Manajer.
Jakarta, CV. Sinar Baru.
Fattah, Nanang (2005), Manajemen Berbasis
Sekolah (School Based Management).
CV. Aditra Bandung.
----------, (2007), Ekonomi dan Pembiayaan
Pendidikan. Bandung, Remaja Rosda
Karya.
Fauziah. (2009). Pengelolaan Lembaga
Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP)
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Tesis Magister Administrasi Pendidikan
pada PPS Unsyiah, tidak diterbitkan.
Gaffar, M. Fakri (2007). Perencanaan
Pendidikan Teori dan Metodologi.
Jakarta. PPLPTK Depdikbud.
Husen Ghazali Al (2005). Upaya Kepala
Sekolah dalam Meningkatkan Kinerja
Guru. Tesis Magister Administrasi
Pendidikan pada PPS Unsyiah, tidak
diterbitkan.
Louis, K.S. (2008). Effects of teacher quality of
work life in secondary schools on
commitment and sense of efficacy.
School Effectiveness and School
Improvement.
Mangkunegara, A.A. Anwar Prabu. (2005).
Manajemen Sumber Daya Manusia
Perusahaan. Bandung, PT. Remaja
Rosdakarya.
Moleong, Leexy J, (2005). Metodologi
Penelitian Kualitatif. Bandung, CV.
Remaja Karya.
Mulyana, Deddy (2005). Metodelogi Penelitian
Kualitatif, Bandung,Remaja
Rosdakarya.
Mulyasa, (2005). Menjadi Kepala Sekolah
Profesoinal. Bandung CV. Remaja
Rosda Karya.
Nasution, S. (2006). Metode Penelitian
Naturalistis Kualitatif. Bandung,
Tarsito.
Nitisemoto, Alex S. (2006) Manajemen
Personalia. Jakarta, Ghalia Indonesia.
Notoatmodjo, Soekidjo, (2008) Pengembangan
Sumber Daya Manusia, Jakarta, Rineka
Cipta.
Soeganda, Poerbakawatja R. (2005)
Ensiklopedia Pendidikan. Jakarta,
Gunung Agung.
Purwanto Ngalim, (1987). Administrasi dan
Supervisi Pendidikan. Bandung, PT.
Remaja Rosada Karya.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia.
(2005) Nomor 19. Tentang Standar
Nasional Pendidikan.
http://www.depdiknas.go.id
Siagian, Sondang P (2007). Teori Motivasi dan
Aplikasinya. Jakarta, Bina Aksara.
Simanjuntak, Payaman J. (2005) Manajemen
dan Evaluasi Kinerja Jakarta. LPFEUI
Sudjana, Nana. (2006). Manajemen Program
Pendidikan. Bandung, Falah Production.
-------------, (2006). Dasar-Dasar Proses
Belajar Mengajar. Bandung. Sinar Baru
Sugiyono. (2007). Metode Penelitian
Pendidikan. Bandung, Alfabeta.
Sukardi (2008), Metodologi Penelitian
Pendidikan, Jakarta, Bumi Aksara.
Suprihanto, John. (2007). Manajemen Sumber
Daya Manusia II. Jakarta, Karunika UT.
Supriadi. (2008). Kebenaran Ilmiah, Metode
Ilmiah, dan Paradigma Riset
Kependidikan.. Bandung, PPS FKIP.
Sutarto. (2006). Dasar-dasar Kepemimpinan
Administrasi. Yogyakarta. Gajah Mada
University Press.
Suyanto. (2005). Kepemimpinan
Tranformasiona”. Jakarta, Kompas.
48