isi proposal

Upload: linaluph-buccu

Post on 14-Jul-2015

138 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

A. Judul : Relasi Gender Dalam Keluarga Pada Masyarakat Nelayan Di Bajoe Kabupaten Bone B. Pendahuluan 1. Latar Belakang Gender masih menjadi isu penting dalam kehidupan masyarakat diberbagai negara. Munculnya berbagai ketimpangan dan ketidakadilan gender merupakan salah satu pemicu munculnya gagasan kesetaraan gender di semua aspek kehidupan baik di ranah domestik maupun publik. Keluarga, sebagai sub sistem dari masyarakat, memiliki fungsi strategis dalam menanamkan nilai-nilai kesetaraan dalam setiap aktivitas dan pola hubungan antar anggota keluarga, karena dalam keluargalah semua struktur, peran, fungsi sebuah sistem berada. Dalam keluarga terjadi proses negosiasi yang tidak akan pernah selesai, di mana segala bentuk perbedaan harus menemukan harmoninya dengan pembagian peran dan fungsi yang seimbang antar anggota keluarga yang terdiri dari ayah/suami, ibu/istri dan anak-anak. Oleh karenanya, dengan berbagai perbedaan itulah, seluruh anggota keluarga dapat memperkuat fungsi keluarga sebagai institusi pertama bagi setiap anak manusia untuk mengenal dirinya,

lingkungannya, tempat tumbuh dan berkembang, saling mengasihi, melakukan proses pendidikan, membentuk karakter setiap individu dan mempersiapkan setiap individu (anak) untuk mencapai tujuan utama sebagai manusia yang berkualitas. Keluarga merupakan sub sistem dari masyarakat dan negara, yang memiliki struktur sosial serta sistemnya sendiri. Dalam keluarga, kehidupan seseorang dimulai, dimana seorang anak mendapat perlindungan dengan nyaman, seorang

2

istri/ibu melakukan tugas, mendapatkan haknya dan melakukan tugas-tugas keibuanya, seorang ayah/suami memberikan kenyamanan, ketentraman,

melakukan tugas-tugasnya sebagai kepala keluarga. Banyak hal dimulai dari rumah, anak tumbuh dan berkembang, mengenal dirinya, ayah dan ibunya, saudara- saudaranya, belajar memahami segala sesuatu yang terjadi di sekitar lingkungannya termasuk mengenal berbagai perbedaan bahkan konflik yang terjadi. Sungguh ironis, jika setiap hari selalu ada berita yang tersaji di koran atau televisi yang menginformasikan terjadinya peristiwa kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sebagian besar kekerasan tersebut terjadi pada perempuan dan anak-anak yang secara sosial masih dianggap sebagai kaum yang lemah dan tidak berdaya. Bagaimana tidak, institusi keluarga yang seharusnya menjadi tempat paling aman, damai dan tentram bagi seluruh anggotanya. Namun, pada faktanya masih banyak terjadi kekerasan yang menyisakan persoalan besar bukan saja bagian keluarga yang bersangkutan tetapi pada aspek yang lebih luas, kekerasan dalam rumah tangga merupakan ancaman substantif pada masalah kualitas sumber daya manusia secara umum. Disadari atau tidak, apabila hal itu terus berlangsung bukan saja telah mengganggu sistem dalam institusi keluarga, tetapi juga sistem dalam masyarakat dan negara. Persoalan yang terjadi dalam keluarga lebih disebabkan oleh konstruksi sosial dan kultural yang dipahami dan dianut oleh masyarakat yang tidak didasarkan pada asas kesetaraan gender. Pemahaman tentang subyek-obyek, dominan-tidak dominan, superior-imperior serta pembagian peran-peran yang

3

tidak seimbang antara anggota keluarga laki-laki (ayah, anak laki-laki) dan perempuan (ibu, anak perempuan) seringkali memposisikan laki-laki lebih mendapatkan hak-hak istimewa, sedangkan perempuan sebagai kaum kelas kedua. Meskipun pada kelompok masyarakat tertentu (kelas menengah dan

berpendidikan, misalnya) relasi yang dibangun antara perempuan dan laki-laki sudah lebih baik, tetapi jika ditelaah lebih jauh, pada sebagian besar kelompok masyarakat lainnya, relasi yang seimbang antara perempuan dan laki-laki masih jauh dari harapan. Keberhasilan suatu keluarga dalam membentuk sebuah rumah tangga dan sejahtera tidak lepas dari peran seorang ibu yang begitu besar. Baik dalam membimbing dan mendidik anak mendampingi suami, membantu pekerjaan suami bahkan sebagai tulang punggung keluarga dalam mencari nafkah. Namun demikian kebanyakan dari masyarakat masih menempatkan seorang ayah sebagai subyek, sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah. Sedangkan ibu lebih ditempatkan sebagai objek yang dinomor duakan dengan kewajiban mengurus anak di rumah. Demikian pula, dengan keluarga nelayan Desa Bajoe Kabupaten Bone yang secara tak sadar para perempuan yang telah berumah tangga membantu juga suaminya yang bekerja sebagai nelayan. Selain itu, mereka juga harus mengurus anak dan mempersiapkan makan dan minum untuk keluarganya. Dengan singkat para istri nelayan tidak hanya bertugas dibagian domestik saja tetapi juga bekerja di bagian publik dengan membantu suaminya yang bekerja sebagai nelayan.

4

Peran

perempuan/istri

dapat

didukung

oleh

pendekatan

curahan

waktu/tenaga yang imbalannya akan memiliki nilai ekonomi (menghasilkan pendapatan) maupun nilai sosial (mengurus/mengatur rumah tangga dan solidaritas mencari nafkah dalam menghasilkan pendapatan rumah tangga). Dengan demikian, peran ganda wanita merupakan pekerjaan produktif karena meliputi mencari nafkah (income earning work) dan mengurus rumah tangga (domestic/household work) sebagai kepuasan dan berfungsi menjaga

kelangsungan rumah tangga (Sajogyo, 1994). Curahan waktu/tenaga dalam pembagian kerja suatu rumah tangga tentu berkaitan dengan distribusi dan alokasi wewenang/kekuasaan (kewibawaan), yang berujung pada pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Distribusi kekuasaan dan wewenang di antara suami-istri mungkin senilai/seimbang (equal) atau sepihak (inequal), yang bergantung kepada sumber daya pribadi ketika dibawa dalam hubungan rumah tangga. Hal tersebut juga dipengaruhi oleh sistem keluarga (family orientation), kekerabatan (kinship), dan sosial budaya masyarakat (social society culture) suatu daerah. Pekerjaan-pekerjaan dilaut, seperti melakukan kegiatan penangkapan, menjadi ranah laki-laki karena karakteristik pekerjaan ini membutuhkan kemampuan fisik yang kuat, kecepatan bertindak, dan berisiko tinggi. Dengan kemampuan fisik yang berbeda, kaum perempuan menangani pekerjaan-pekerjaan di darat, seperti mengurus tanggung jawab domestik, serta aktivitas sosial-budaya dan ekonomi. Kaum perempuan memiliki cukup banyak waktu untuk menyelesaikan tangung jawab pekerjaan tersebut. Sebagian besar aktivitas

5

perekonomian di kawasan pesisir melibatkan kaum perempuan dan sistem pembagian kerja tersebut telah menempatkan kaum perempuan sebagai penguasa aktivitas ekonomi pesisir. Dampak dari sistem pembagian kerja ini adalah kaum perempuan mendominasi dalam urusan ekonomi rumah tangga dan pengambilan keputusan penting di rumah tangganya (Kusnadi, 2001). Dengan demikian, kaum perempuan tidak berposisi sebagai suplemen tetapi bersifat komplemen dalam menjaga kelangsungan hidup rumah tangganya. Begitu pula dalam keseharian para istri juga harus memperhatikan relasi atau kesetaraannya dengan suaminya dalam membina keluarga dalam ruang lingkup keluarga nelayan. Selanjutnya dalam keseharian para istri juga harus memperhatikan relasi atau kesetaraannya dengan suaminya dalam membina keluarga dalam ruang lingkup keluarga nelayan. Berpijak dari latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul Relasi Gender Dalam Keluarga Pada Masyarakat Nelayan Di Bajoe Kabuaten Bone. 2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas dapat ditemukan beberapa masalah yang dirumuskan sebagai berikut : a. Mengapa relasi gender bisa terjadi di dalam keluarga pada masyarakat nelayan di Bajoe Kabupaten Bone? b. Faktor-faktor apa yang mendukung terjadinya relasi gender dalam keluarga pada masyarakat nelayan di Bajoe Kabupaten Bone?

6

3. Tujuan Penelitian Dengan dilakukannya penelitian ini, penulis bertujuan untuk mengetahui beberapa hal, yaitu : a. Untuk mengetahui mengapa relasi gender bisa terjadi di dalam keluarga pada masyarakat nelayan di Bajoe Kabupaten Bone. b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mendukung terjadinya relasi gender dalam keluarga pada masyarakat nelayan di Bajoe Kabupaten Bone. 4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, di antaranya : a. Untuk pengembangan akademik, diharapkan dapat dijadikan bahan pemikiran untuk penelitian selanjutnya. b. Sebagai bahan masukan, bagi pemerhati gender mengenai pemahaman bagi masyarakat tentang relasi gender dalam keluarga nelayan yang umumnya hanya dipandang sebagai teman hidup bagi seorang pria yang hanya bertugas untuk mengurus anak dan rumah dapat dirubah bahwa seorang istri juga memiliki potensi atau kemampuan yang dapat meningkatkan ekonomi keluarganya. c. Dapat menjadi bahan informasi bagi mahasiswa sosiologi yang ingin mengadakan penelitian yang sama di masa akan datang. dikembangkan guna

7

C. Tinjauan Pustaka Dan Kerangka Pikir 1. Tinjauan Pustaka a. Pengertian Keluarga Sebagaimana yang dikemukakan oleh Burgess dan Locke dalam (Khairuddin, 1997: 7) bahwasanya salah satu karakteristik yang terdapat pada semua keluarga dan juga yang dapat membedakan keluarga dari kelompokkelompok sosial lainnya, yaitu keluarga merupakan kesatuan dari orang-orang yang berinteraksi dan berkomunikasi yang menciptakan peranan peranan sosial bagi suami dan isteri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan saudara perempuan. Dimana peranan-peranan tersebut dibatasi oleh masyarakat, tetapi masing-masing keluarga diperkuat oleh kekuatan melalui sentimen-sentimen, yang sebahagian merupakan tradisi dan sebahagian lagi emosional, yang menghasilkan pengalaman. Keluarga adalah suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang direkat oleh ikatan darah, perkawinan, atau adopsi serta tinggal bersama. Para sosiolog berpendapat bahwa asal-usul pengelompokkan keluarga bermula dari peristiwa perkawinan. Akan tetapi asal-usul keluarga dapat pula terbentuk dari hubungan antara laki-laki dan perempuan dengan status yang berbeda, kemudian mereka tinggal bersama memiliki anak. Anak yang dihasilkan dari hidup bersama memiliki anak. Anak yang dihasilkan dari hidup bersama ini disebut keturunan dari kelompok itu. Dari sinilah pengertian keluarga dapat dipahami dalam berbagai segi. Pertama, dari segi orang yang melangsungkan perkawinan yang sah serta

8

dikaruniai anak. Kedua, lelaki dan perempuan yang hidup bersama serta memiliki seorang anak, namun tidak pernah menikah. Ketiga, dari segi hubungan jauh antara anggota keluarga, namun masih memiliki ikatan darah. Keempat, keluarga yang mengadopsi anak orang lain (Suhendi, 2001 : 41). Dengan memperhatikan berbagai definisi di atas, menurut Horton dan Hurt (1996 : 267) memberikan beberapa pilihan dalam mendefinisikan keluarga yaitu : 1) Suatu kelompok yang mempunyai nenek moyang yang sama. 2) Suatu kelompok kekerabatan yang disatukan oleh darah dan perkawinan. 3) Pasangan perkawinan dengan atau tanpa anak. 4) Pasangan tanpa nikah yang mempunyai anak. 5) Para anggota suatu komunitas yang biasanya mereka ingin disebut sebagai keluarga. b. Fungsi Keluarga Setelah sebuah keluaraga terbentuk, anggota keluarga yang ada di dalamnya memiliki tugas masing-masing. Suatu pekerjaan yang harus dilakukan dalam kehidupan keluarga inilah yang disebut fungsi. Jadi fungsi keluarga adalah suatu pekerjaan atau tugas yang harus dilakukan di dalam atau di luar keluarga. Fungsi disini mengacu pada peran individu dalam mengetahui, yang pada akhirnya mewujudkan hak dan kewajiban. Mengetahui fungsi keluarga sangat penting sebab dari sinilah terukur dan terbaca sosok keluarga yang ideal dan harmonis. Munculnya krisis dalam rumah tangga dapat juga sebagai akibat tidak berfungsinya salah satu fungsi keluarga.

9

Fungsi keluarga terdiri dari fungsi biologis, fungsi pendidikan, fungsi keagamaan, fungsi perlindungan, fungsi sosialisasi anak, fungsi rekreatif, dan fungsi ekonomis. Sementara itu, dalam tulisan Horton dan Hurt, fungsi keluarga meliputi, fungsi pengaturan seksual, fungsi reproduksi, fungsi sosialisasi, fungsi afeksi, fungsi penentuan status, fungsi perlindungan, dan fungsi ekonomi. Di antara semua fungsi tersebut, ada tiga pokok fungsi keluarga yang dulu diubah dan digantikan orang lain, yaitu fungsi biologis, fungsi sosialisasi anak, dan fungsi afeksi : 1) Fungsi Biologis Fungsi biologis berkaitan erat dengan pemenuhan kebutuhan seksual suami istri. Keluarga adalah lembaga pokok yang secara absah memberikan uang bagi pengaturan dan pengorganisasian kepuasan seksual. Namun, ada pula masyarakat yang memberikan toleransi yang berbeda-beda terhadap lembaga yang mengambil alih fungsi pengaturan seksual ini, misalnya tempattempat hiburan dan panti pijat. Kenyataan ini pada dasarnya merupakan suatu kendala dan sekaligus suatu hal yang sangat rumit untuk dipikirkan. Kelangsungan sebuah keluarga, banyak ditentukan oleh keberhasilan dalam menjalani fungsi biologis ini. Apabila salah satu pasangan kemudian tidak berhasil menjalankan fungsi biologisnya, dimungkinkan akan terjadinya gangguan dalam keluarga yang biasanya berujung pada perceraian dan poligami. 2) Fungsi Sosialisasi Anak

10

Fungsi sosialisasi anak menunjuk pada perana keluarga dalam membentuk kepribadian anak. Melalui fungsi ini, keluarga berusaha mepersiapkan bekal selengkap-lengkapnya kepada anak dengan

memperkenalkan pola tingkah laku, sikap, keyakinan, cita-cita, dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat serta mempelajari peranan yang diharapkan akan dijalankan mereka. Dengan demikian, sosialisasi berarti melakukan proses pembelajaran terhadap seorang anak. Belajar tidak selalu diartikan sebagai suatu aktivitas yang sifatnya semata-mata intelektual, tetapi juga mencakup hal lain, yaitu pengamatan. Sejalan dengan itu, baik atau buruknya sosialisasi dalam keluarga akan berpengaruh terhadap anggotanya. Abdullah Nasikh Ulwan (1989 : 17) berpendapat bahwa anak adalah amanat yang berada pada pundak orang tuanya. Kalbunya yang murni bersih, seperti mutiara yang tak ternilai. Bila dibiasakan dan dididik kebaikan, dia akan tumbuh menjadi orang baik dan berbahagia di dunia dan akhirat. Apabila dibiarkan pada kejelekan seperti layaknya hewan, niscaya dia akan rusak dan menderita. Kalau sudah begitu keadaannya, sukar untuk dididik dan mengarahkan. Apabila orang tua tidak menjalankan fungsi sosialisasi dengan baik, problem yang muncul adalah anak kehilangan perhatian. Setelah itu dia mencari tokoh lain selain orang tuanya untuk ditiru. Semua masyarakat sangat menggantungkan diri kepada keluarga dalam hal sosialisasi sebagai persiapan untuk memasuki usia dewasa agar anak dapat berperan secara positif di tengah-tengah masyarakat. Salah satu caranya adalah melalui pemberian model bagi anak. Anak belajar menjadi laki-laki, suami, dan

11

ayah dengan keluarga yang betul-betul dipimpin oleh seorang laki-laki. Sosialisasi akan menemukan kesulitan apabila model semacam itu tidak ada dan bila anak harus mengandalkan diri pada model yang disaksikan dalam keluarga lain. Dalam proses sosialisasi tidak ada peran pengganti ayah dan ibu yang betul-betul memuaskan. Sejumlah studi mutakhir menyimpulkan bahwa alasan utama perbedaan prestasi intelektual anak adalah suasana dalam keluarga. Studi semacam ini semakin menegaskan bahwa keluarga merupakan faktor penentu utama bagi sosialisasi anak. 3) Fungsi Afeksi Salah satu kebutuhan dasar manusia ialah kebutuhan kasih sayang atau rasa dicinta. Pandangan psikiatrik mengatakan bahwa penyebab utama gangguan emosional, perilaku dan bahkan kesehatan fisik adalah ketiadaan cinta, yakni tidak adanya kehangatan dan hubungan kasih sayang dalam suatu lingkungan yang intim. Banyak fakta menunjukkan bahwa kebutuhan persahabatan dan keintiman sangat penting bagi anak. Data-data menunjukkan bahwa kenakalan anak serius adalah salah satu cirri khas dari anak yang tidak mendapat perhatian atau merasakan kasih sayang. Belakangan ini banyak muncul kelompok sosial yang mampu memenuhi kebutuhan persahabatan dan kasih sayang. Tentu saja kelompok ini secara tidak langsung merupakan perluasan dari fungsi afeksi dalam keluarga. Akan tetapi, perlu diwaspadai apabila kebutuhan afeksi itu kemudian diambil alih oleh kelompok lain di luar keluarga. Kecendrungan dewasa ini

12

menunjukkan bahwa, fungsi afeksi telah bergeser kepada orang lain, terutama bagi mereka yang orang tuanya bekerja di luar rumah. Konsekuensinya, anak tidak lagi dekat secara psikologis karena anak akan menganggap orang tuanya tidak memiliki perhatian. Lebih buruk lagi istri yang bekerja diluar rumah, senantiasa memanjakan anak-anaknya dengan barang-barang mewah (benda yang bersifat materialistis), padahal kebutuhan sesunggunhya bagi anak bukanlah hal itu, melainkan keintiman, perhatian, dan kasih sayang tulus dari ibunya. Lebih jauh lagi, seorang ibu yang bekerja di luar rumah akan memanjakan anaknya. Hal itu dilakukan karena adanya rasa bersalah terhadap anaknya akibat tidak bertemu seharian. Oleh karena itu, dampak lain yang muncul adalah longgarnya nilai control orang tua terhadap anak dan pemberian toleransi terhadap perbuatan anak yang melanggar etika. c. Bentuk-Bentuk Keluarga Bentuk keluarga sangat berbeda antara satu masyarakat dan masyarakat lainnya. Bentuk di sini dapat dilihat dari jumlah anggota keluarga, yaitu keluarga batih dan keluarga luas, dilihat dari sistem yang digunakan, yaitu keluarga pangkal (sistem family) dan keluarga gabungan (joint family), dan dilihat dari segi status individu dalam keluarga, yaitu keluarga prokreasi dan keluarga orientasi. 1) Keluarga Batih (Nuclear Family) Keluarga batih ialah kelompok orang yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anaknya yang belum memisahkan diri dan membentuk keluarga tersendiri. Keluarga ini bisa juga disebut sebagai keluarga conjugal (conjugal

13

family), yaitu keluarga yang terdiri dari pasangan suami istri bersama anakanaknya. Menurut Hutter (dalam Suhendi, 2001:54) berpendapat bahwa keluarga inti (nuclear family) dibedakan dengan keluarga konjugal (conjugal family). Keluarga conjugal terlihat lebih otonom, dalam arti tidak memiliki keterikatan secara ketat dengan keluarga luas, sedangkan keluarga inti tidak memiliki otonomi karena memiliki ikatan garis keturunan, baik patrilineal maupun matrilinieal). Hubungan intim antara suami dan istri lebih mendalam, namun biasanya dikaitkan dengan suatu hubungan pertukaran yang menyenangkan. Apabila suami mampu memberikan suasana kepuasan batin dan materi, hubungan suami dan istri menyebabkan mekanisme pertukaran sosial tidak berjalan, terbuka peluang bentuk berpisah. 2) Keluarga Luas (Extended Family) Keluarga luas, yaitu keluarga yang terdiri dari semua orang yang berketurunan dari kakek dan nenek yang sama termasuk keturunan masingmasing isteri dan suami. Dengan kata lain, keluarga luas adalah keluarga batih ditambah kerabat lain yang memiliki hubungan erat dan senantiasa dipertahankan. Sebutan keluarga yang diperluas (Extended Family) digunakan bagi suatu sistem yang masyarakatnya menginginkan beberapa generasi yang hidup dalam satu atap rumah tangga. Sistem semacam ini ada pada orang-orang China yaitu bila seorang laki-laki telah menikah, ia tinggal bersama dengan keluarga yang telah menikah dan bersama anak-anaknya yang lain yang belum menikah, juga bersama cicitnya dari garis keturunan laki-laki.

14

Istilah keluarga luas seringkali digunakan untuk mengacu pada keluarga batih berikut keluarga lain yang memiliki hubungan baik dengannya dan tetap memelihara dan mempertahankan hubungan tersebut. Keluarga luas tentu saja memiliki keuntungan tersendiri. Pertama, keluarga luas banyak ditemukan di desa-desa dan bukan pada daerah industri. Keluarga luas sangat cocok dengan kehidupan desa, yang dapat memberikan pelayanan sosial bagi anggota-anggotanya. Kedua, keluarga luas mampu mengumpulkan modal ekonomi secara besar. Proses pengambilan keputusan dalam keluarga luas terlihat sangat berbelit-belit. Penyelesaian masalah waris yang dikehendaki jatuh pada anak yang paling tua sering mengakibatkan benturan dan gesekan pada istri-istri muda lainnya. Peraturan mengenai hal itu tidak secara terperinci memuaskan mereka. Inilah posisi kehidupan keluarga yang memperlihatkan segi-segi kooperatif pada satu sisi dan pertentangan pada sisi lainnya. 3) Keluarga Pangkal (Stem Family) Keluarga pangkal, yaitu sejenis keluarga yang menggunkan sistem pewarisan kekayaan pada satu anak yang paling tua. Keluarga pangkal ini banyak terdapat di Eropa zaman feodal. Para petani imigran AS dan di zaman Tokugawa Jepang. Pada masa tersebut seorang anak yang paling tua bertanggung jawab terhadap adik-adiknya yang perempuan sampai menikah, begitu pula terhadap saudara laki-lakinya yang lain. Dengan demikian, pada jenis keluarga ini pemusatan kekayaan hanya pada satu orang.

15

4) Keluarga Gabungan (Joint Family) Keluarga gabungan, yaitu keluarga yang terdiri atas orang-orang yang berhak atas hasil milik keluarga, antara lain saudara laki-laki setiap generasi. Di sini, tekanannya hanya pada saudara laki-laki karena menurut adat Hindu, anak laki-laki sejak kelahirannya mempunyai hak atas kekayaan keluarga. Walaupun antara saudara laki-laki itu tinggal terpisah, mereka manganggap dirinya sebagai suatu keluarga gabungan dan tetap menghormati kewajiban mereka bersama, termasuk membuat anggaran perawatan harta keluarga dan menetapkan anggaran belanja. Lelaki tertua yang menjadi kepala keluarga tidak bisa menjual harta milik bersama itu. 5) Keluarga Prokreasi dan Keluarga Orientasi Keluarga prokreasi adalah sebuah keluarga yang individunya merupakan orang tua. Adapun orientasi adalah keluarga yang individunya merupakan slah seorang keturunan. Ikatan perkawinan merupakan dasar bagi terbentuknya suatu keluarga baru (keluarga prokreasi) sebagai unit terkecil dalam masyarakat. Namun demikian, perkawinan ini tidak dengan sendirinya menjadi sarana bagi penerimaan anggota dalam keluarga asal (orientasi). Hubungan suami dan istri dengan keluarga orientasinya sangat erat dan kuat. d. Konsep Gender Gender sering diidentikkan dengan jenis kelamin (sex), padahal gender berbeda dengan jenis kelamin. Gender sering juga dipahami sebagai pemberian dari Tuhan atau kodrat Ilahi, padahal gender tidak semata-mata demikian. Secara etimologis kata gender berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin

16

(John M. Echols dan Hassan Shadily, 1983: 265). Kata gender bisa diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dalam hal nilai dan perilaku (Victoria Neufeldt (ed.), 1984: 561). Gender bisa juga dijadikan sebagai konsep analisis yangdapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu (Nasaruddin Umar, 1999: 34). Lebih tegas lagi disebutkan dalam Womens Studies Encyclopedia bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Siti Musdah Mulia, 2004: 4). Konsep gender yang dipahami sebagian besar orang seringkali bias dan lebih diartikan sangat sempit sebagai sebuah konsep yang hanya membicarakan masalah perempuan dengan kodrat keperempuaanya saja. Padahal gender berbeda dengan jenis kelamin, dia tidak hanya membicarakan perempuan saja ataupun laki-laki saja, bukan juga konsep tentang perbedaan biologis yang dimiliki keduanya. Gender merupakan perbedaan peran laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan (dibangun) oleh masyarakat atau kelompok masyarakat dengan latar belakang budaya dan struktur sosial yang berbeda-beda di setiap daerah, suku, negara dan agama. Oleh karenanya, perbedaan peran, perilaku, sifat laki-laki dan perempuan yang berlaku di suatu tempat/budaya belum tentu sama atau berlaku di tempat yang berbeda. Kekaburan makna atas istilah gender ini telah mengakibatkan

perjuangan gender menghadapi banyak perlawanan yang tidak saja datang dari kaum laki-laki yang merasaterancam hegemoni kekuasaannya tapi juga datang

17

dari kaum perempuan sendiri yangtidak paham akan apa yang sesungguhnya dipermasalahkan oleh perjuangan gender itu. Berikut ini beberapa pengertian gender yang didapat dari berbagai sumber, yaitu : 1) Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan permepuan apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku 2) Gender adalah suatu konsep cultural, berusaha membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. 3) Menurur Hilary M. Lips. Gender merupakan harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya : perempuan dikenal dengan lemahlembut, cantik, emosional, dan keibuan. Sementaara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu merupakan sifat yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan yangkuat, rasional dan perkasa. Perubahan cirri dari sifat-sifat terbeut dapat terjadidari waktu kewaktu dan dari tempat ketempat yang lain. Oleh karena gender merupakan suatu istilah yang dikonstruksi secara sosial dankultural untuk jangka waktu yang lama, yang disosialisasikan secara turuntemurun. Maka pengertian yang baku tentang konsep gender ini pun belum ada sampai saat ini, sebab pembedaan laki-laki dan perempuan berlandaskan hubungan gender dimaknai secara berbeda dari satu tempat ke tempat lain, dari satu budaya ke budaya lain dan dari waktu ke waktu. Membahas permasalahan gender berarti membahas permasalahan

perempuan dan juga laki laki dalam kehidupan masyarakat. Dalam pembahasan

18

mengenai gender, termasuk kesetaraan dan keadilan gender dikenal adanya 2 aliran atau teori yaitu teori nurture dan teori nature. Namun demikian dapat pula dikembangkan satu konsep teori yang diilhami dari dua konsep teori tersebut yang merupakan kompromistis atau keseimbangan yang disebut dengan teori equilibrium, antara lain : 1) Teori Nurture Menurut teori nurture adanya perbedaan perempuan dan laki laki adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu membuat perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam kehidupan berkeluarga,

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan laki laki dalam perbedaan kelas. Laki laki diidentikkan dengan kelas borjuis, dan perempuan sebagai kelas proletar. 2) Teori Nature Menurut teori nature adanya pembedaan laki laki dan perempuan adalah kodrat, sehingga harus diterima. Perbedaan biologis itu memberikan indikasi dan implikasi bahwa diantara kedua jenis kelamin tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Ada peran dan tugas yang dapat dipertukarkan, tetapi ada yang tidak bisa karena memang bebeda secara kodrat alamiahnya. Dalam proses perkembangannya, disadari bahwa ada beberapa

kelemahan konsep nurture yang dirasa tidak menciptakan kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan berkeluarga maupun bermasyarakat, yaitu terjadi ketidak-adilan gender, maka beralih ke teori nature. Agregat ketidak-

19

adilan gender dalam berbagai kehidupan lebih banyak dialami oleh perempuan, namun ketidak-adilan gender ini berdampak pula terhadap laki laki. 3) Teori Equilibrium Disamping kedua aliran tersebut terdapat kompromistis yang dikenal dengan keseimbangan (equilibrium) yang menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan antara perempuan dengan lakilaki. Pandangan ini tidak mempertentangkan antara kaum perempuan dan laki laki, karena keduanya harus bekerja sama dalam kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Untuk mewujudkan gagasan tersebut, maka dalam setiap kebijakan dan strategi pembangunan agar diperhitungkan kepentingan dan peran perempuan dan laki laki secara seimbang. Hubungan diantara kedua elemen tersebut bukan saling bertentangan tetapi hubungan komplementer guna saling melengkapi satu sama lain. Menurut R.H. Tawney dalam Megawangi (1999:34) menyebutkan bahwa keragaman peran apakah karena faktor biologis, etnis, aspirasi, minat, pilihan, atau budaya pada hakikatnya adalah realita kehidupan manusia. Hubungan lakilaki dan perempuan bukan dilandasi konflik dikotomis, bukan pula struktural fungsional, tetapi lebih dilandasi kebutuhan kebersamaan guna membangun kemitraan yang hamonis, karena setiap pihak memiliki kelebihan sekaligus kelemahan yang perlu diisi dan dilengkapi pihak lain dalam kerjasama yang setara.

20

Istilah gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan laki laki yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan dan mana yang merupakan tuntutan budaya yang dikonstruksikan, dipelajari dan disosialisasikan. Pembedaan itu sangat penting, karena selama ini kita sering kali mencampur-adukkan ciri ciri manusia yang bersifat kodrati dan tidak berubah dengan ciri ciri manusia yang bersifat non kodrat (gender) yang sebenarnya bisa berubah ubah atau diubah. Pembedaan peran gender ini sangat membantu kita untuk memikirkan kembali tentang pembagian peran yang selama ini dianggap telah melekat pada perempuan dan laki- laki. Perbedaan gender dikenal sebagai sesuatu yang tidak tetap, tidak permanen, memudahkan kita untuk membangun gambaran tentang realitas relasi perempuan dan laki laki yang dinamis yang lebih tepat dan cocok dengan kenyataan yang ada dalam masyarakat. Di lain pihak, alat analisis sosial yang telah ada seperti analisis kelas, analisis diskursus (discourse analysis) dan analisis kebudayaan yang selama ini digunakan untuk memahami realitas sosial tidak dapat menangkap realitas adanya relasi kekuasaan yang didasarkan pada relasi gender dan sangat berpotensi menumbuhkan penindasan. Dengan begitu analisis gender sebenarnya

menggenapi sekaligus mengkoreksi alat analisis sosial yang ada yang dapat digunakan untuk meneropong realitas relasi sosial lelaki dan perempuan serta akibat akibat yang ditimbulkannya.

21

Perbedaan konsep gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran perempuan dan laki- laki dalam masyarakat. Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat dimana manusia beraktifitas. Sedemikian rupanya perbedaan gender itu melekat pada cara pandang masyarakat, sehingga masyarakat sering lupa seakan akan hal itu merupakan sesuatu yang permanen dan abadi sebagaimana permanen dan abadinya ciri ciri biologis yang dimiliki oleh perempuan dan laki laki. Secara sederhana perbedaan gender telah melahirkan pembedaan peran. Sifat dan fungsi yang berpola, seperti konstruksi biologis dari ciri primer, skunder, maskulin, feminim. Serta konstruksi sosial dari peran citra baku (stereotype) dan konsruksi agama dari keyakinan kitab suci agama. Dalam konsep gender didukung juga para feminis modern yang kemudian banyak memunculkan teori-teori baru mengenai feminisme, seperti feminisme liberal, feminisme Marxis-sosialis, dan feminisme radikal. Untuk lebih jelasnya dapat dijelaskan sebagai berikut tentang teori feminime antara lain : 1) Teori Feminisme Liberal Teori ini berasumsi bahwa pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Karena itu perempuan harus mempunyai hak yang sama dengan laki-laki. Meskipun demikian, kelompok feminis liberal menolak persamaan secara menyeluruh antara laki-laki dan perempuan. Dalam beberapa hal masih tetap ada pembedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan. Bagaimanapun juga, fungsi organ reproduksi bagi perempuan membawa konsekuensi logis dalam kehidupan bermasyarakat (Megawangi, 1999: 228).

22

Teori kelompok ini termasuk paling moderat di antara teori-teori feminisme. Pengikut teori ini menghendaki agar perempuan diintegrasikan secara total dalam semua peran, termasuk bekerja di luar rumah. Dengan demikian, tidak ada lagi suatu kelompok jenis kelamin yang lebih dominan. Organ reproduksi bukan merupakan penghalang bagi perempuan untuk memasuki peran-peran di sektor publik. 2) Teori Feminisme Marxis-Sosialis Feminisme ini bertujuan mengadakan restrukturisasi masyarakat agar tercapai kesetaraan gender. Ketimpangan gender disebabkan oleh sistem kapitalisme yang menimbulkan kelas-kelas dan division of labour, termasuk di dalam keluarga. Gerakan kelompok ini mengadopsi teori praxis Marxisme, yaitu teori penyadaran pada kelompok tertindas, agar kaum perempuan sadar bahwa mereka merupakan kelas yang tidak diuntungkan. Proses penyadaran ini adalah usaha untuk membangkitkan rasa emosi para perempuan agar

bangkit untuk merubah keadaan (Megawangi, 1999: 225). Berbeda dengan teori sosial-konflik, teori ini tidak terlalu menekankan pada faktor akumulasi modal atau pemilikan harta pribadi sebagai kerangka dasar ideologi. Teori ini lebih menyoroti faktor seksualitas dan gender dalam kerangka dasar ideologinya. Teori ini juga tidak luput dari kritikan, karena terlalu melupakan pekerjaan domistik. Marx dan Engels sama sekali tidak melihat nilai ekonomi pekerjaan domistik. Pekerjaan domistik hanya dianggap pekerjaan marjinal dan tidak produktif. Padahal semua pekerjaan publik yang mempunyai nilai ekonomi sangat bergantung pada produk-produk yang

23

dihasilkan dari pekerjaan rumah tangga, misalnya makanan yang siap dimakan, rumah yang layak ditempati, dan lain-lain yang memengaruhi pekerjaan publik tidak produktif. Kontribusi ekonomi yang dihasilkan kaum perempuan melalui pekerjaan domistiknya telah banyak diperhitungkan oleh kaum feminis sendiri. Kalau dinilai dengan uang, perempuan sebenarnya dapat memiliki penghasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki dari sektor domistik yang dikerjakannya (Megawangi, 1999: 143). 3) Teori Feminisme Radikal Teori ini berkembang pesat di Amerika Serikat pada kurun waktu 1960an dan 1970-an. Meskipun teori ini hampir sama dengan teori feminisme Marxis-sosialis, teori ini lebih memfokuskan serangannya pada keberadaan institusi keluarga dan sistem patriarki. Keluarga dianggapnya sebagai institusi yang melegitimasi dominasi laki-laki (patriarki), sehingga perempuan tertindas. Feminisme ini cenderung membenci laki-laki sebagai individu dan mengajak perempuan untuk mandiri, bahkan tanpa perlu keberadaan laki-laki dalam kehidupan perempuan. Menurut Elsa Gidlow (dalam Megawangi, 1999: 226) mengemukakan teori bahwa menjadi lesbian adalah telah terbebas dari dominasi laki-laki, baik internal maupun eksternal. Martha Shelley (dalam Megawangi, 1999: 226) selanjutnya memperkuat bahwa perempuan lesbian perlu dijadikan model sebagai perempuan mandiri. Karena keradikalannya, teori ini mendapat kritikan yang tajam, bukan saja dari kalangan sosiolog, tetapi juga dari kalangan feminis sendiri. Tokoh feminis liberal tidak setuju sepenuhnya dengan teori ini. Persamaan total antara laki-laki dan perempuan

24

pada akhirnya akan merugikan perempuan sendiri. Laki-laki yang tidak terbebani oleh masalah reproduksi akan sulit diimbangi oleh perempuan yang tidak bisa lepas dari beban ini. Dalam memahami konsep gender ada beberapa hal yang perlu difahami, antara lain : 1) Ketidak adilan dan diskriminasi gender Kondisi tidak adil akibat dari sistem dan struktur sosial dimana baik perempuan maupun lakilaki menjadi korban dari sistem tersebut. Berbagai pembedaan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki laki baik secara langsung yang berupa perlakuan maupun sikap dan yang tidak langsung berupa dampak suatu peraturan perundangundangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidak-adilan yang berakar dalam sejarah, adat, norma, ataupun dalam berbagai struktur yang ada dalam masyarakat. Ketidak-adilan gender terjadi karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam berbagai bentuk yang bukan hanya menimpa perempuan saja tetapi juga dialami oleh lakilaki. Meskipun secaraa. Ketidak adilan dan diskriminasi gender agregat ketidak adilan gender dalam berbagai kehidupan ini lebih banyak dialami oleh perempuan, namun hal itu berdampak pula terhadap lakilaki. 2) Kesetaraan gender Kesetaraan dan keadilan gender adalah suatu kondisi dimana porsi dan siklus sosial perempuan dan lakilaki setara, seimbang dan harmonis. Kondisi ini dapat terwujud apabila terdapat perlakuan adil antara perempuan dan laki-

25

laki. Penerapan kesetaraan dan keadilan gender harus memperhatikan masalah kontekstual dan situasional, bukan berdasarkan perhitungan secara sistematis dan tidak bersifat universal. e. Relasi Gender Dalam Keluarga Peran masing-masing anggota keluarga sangat ditentukan oleh struktur kekuasaan laki-laki (ayah) sebagai kepala keluarga yang secara hierarkis memiliki kewenangan paling tinggi dalam keputusan-keputusan keluarga. Hierarki dilanjutkan pada perbedaan usia dan jenis kelamin anggota keluarga, misalnya saudara laki-laki memiliki struktur sosial lebih tinggi dibanding saudara perempuan. Relasi yang terbangun seringkali menempatkan seolah-olah laki-laki memiliki kemampuan/kekuasaan/kekuatan lebih besar dibanding anggota keluarga perempuan. Banyak streotype bahkan mitos yang sudah tertanam di masyarakat, misalnya tanggungjawab mutlak terhadap ekonomi keluarga hanya ada di tangan ayah/suami, sementara tanggungjawab domestik melulu tanggung jawab ibu/istri. Padahal, faktanya begitu banyak kaum perempuan (istri/ibu) yang mampu menjadi tulang punggung keluarga, secara mandiri menghidupi keluarganya dan lebih mampu bertahan dalam kesulitan ekonomi keluarga. Banyak pedagang perempuan di pasar-pasar tradisional, buruh pabrik perempuan yang secara tekun dan pantang menyerah, sampai pada profesi terhormat di masyarakat, mampu menjadi sumber ekonomi keluarga. Tetapi dalam tradisi di banyak daerah, peran perempuan dalam memperkuat ekonomi keluarga tersebut seringkali tidak diperhitungkan dan selalu dianggap sebagai pelengkap saja (pencari nafkah tambahan).

26

Persepsi seperti itu tidak saja mengesampingkan peran perempuan dalam keluarga tetapi di sisi lain membebani kaum laki-laki dengan tanggung jawab mutlak terhadap ekonomi keluarga. Atau sebaliknya, karena peran mutlak yang dibebankan kepada suami/ayah sebagai pencari nafkah, sehingga peran lain seperti pengasuhan dan pendidikan anak, serta peran-peran domestik lainnya menjadi peran mutlak ibu/istri. Kesetaraan gender dimaksudkan untuk

memberikan keseimbangan peran antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga maupun masyarakat sehingga tidak ada peran-peran yang dilabelkan mutlak milik laki-laki saja atau milik perempuan saja. Pada pendekatan teori struktural-fungsional yang menempatkan keluarga sebagai institusi dengan sistem struktur yang menempatkan kedudukan suami, istri, dan anak-anak pada posisi vertikal, sehingga peran, hak, kewajiban, tanggung jawab sangat ditentukan oleh hierarki patriakal. Sedangkan menurut teori sosial konflik, struktur yang vertikal tersebut sangat potensial untuk menimbulkan konflik berkepanjangan di dalam keluarga. Karena sistem struktur yang hierarkis seringkali menciptakan situasi yang tidak demokratis dimana pembagian sumberdaya yang terbatas (kekuasaan, kesempatan, keputusankeputusan keluarga) berlaku mutlak tanpa proses negosiasi antaranggota keluarga. Menurut Collins yang dikurip Megawangi (1999), bahwa keluarga yang ideal adalah yang berlandaskan companionship, yang hubungannya horizontal (tidak hierarkis). Model konflik memang tidak melihat kesatuan sebuah sistem, yang menurut model struktural-fungsional adalah aspek utama untuk solidnya sebuah masyarakat, tetapi lebih memfokuskan pada adanya konflik antarindividu,

27

kelas atau kelompok. Konflik ini tentunya dianggap akan membawa perubahan, bahkan kehancuran sistem tersebut. Pada proses selanjutnya, pendekatan sosialkonflik lebih menegaskan bahkan menumbuhkan kesadaran masing-masing individu akan perbedaannya serta bagaimana perbedaan tersebut menjadi sebuah sinergi/harmoni sehingga perubahan-perubahan yang lebih baik dapat terjadi di dalam keluarga. Menurut Tawney dalam Megawangi (1999) mengakui adanya keragaman pada manusia, entah itu biologis, aspirasi, kebutuhan, kemampuan, ataupun kesukaan, cocok dengan paradigma inklusif. Ia mengatakan bahwa konsep yang mengakui faktor spesifik seseorang dan memberikan haknya sesuai dengan kondisi perseorangan, atau disebut person-regarding equality. Kesetaraan ini bukan dengan memberi perlakuan sama kepada setiap individu agar kebutuhannya yang spesifik dapat terpenuhi, konsep ini disebut kesetaraan kontekstual. Artinya, kesetaraan adalah bukan kesamaan (sameness) yang sering menuntut persamaan matematis, melainkan lebih kepada kesetaraan yang adil yang sesuai dengan konteks masing-masing individu. Pemahaman tentang perbedaan biologis, aspirasi, kebutuhan, kemampuan masing-masing anggota keluarga seharusnya dapat ditanamkan sejak sebuah keluarga terbentuk. Sistem patriarkat yang memposisikan fungsi-fungsi di dalam keluarga didasarkan pada struktur yang kaku serta memiliki hierarki kekuasaan yang terlalu membatasi adanya peran partisipatif antaranggota keluarga telah menyebabkan terjadinya ketimpangan dan ketidakadilan.

28

Relasi gender dalam keluarga dapat dibangun jika masing-masing individu saling memahami perbedaan dan kebutuhan yang dimiliki serta mampu memberikan kesempatan yang seimbang tanpa membeda-bedakan peran gender. Kesetaraan gender dalam segala aspek kehidupan termasuk kehidupan keluarga, didasarkan pada adanya perbedaan biologis, aspirasi, kebutuhan masing-masing individu sehingga pada setiap peran yang dilakukan akan memiliki perbedaan. Kesetaraan gender juga tidak berarti menempatkan segala sesuatu harus sama, tetapi lebih pada pembiasaan yang didasarkan pada kebutuhan spesifik masingmasing anggota keluarga. Kesetaraan gender dalam keluarga mengisyaratkan adanya keseimbangan dalam pembagian peran antar anggota keluarga sehingga tidak ada salah satu yang dirugikan. Dengan demikian, tujuan serta fungsi keluarga sebagai institusi pertama yang bertanggung jawab dalam pembentukan manusia yang berkualitas dapat tercapai. f. Kehidupan Keluarga Pada Masyarakat Nelayan Sebagai suatu kesatuan sosial, masyarakat nelayan hidup, tumbuh, dan berkembang di wilayah pesisir atau wilayah pantai. Dalam konstruksi sosial masyarakat di kawasan pesisir, masyarakat nelayan merupakan bagian dari konstruksi sosial tersebut, meskipun disadari bahwa tidak semua desa-desa di kawasan pesisir memiliki penduduk yang bermata pencaharian sebagai nelayan. Walaupun demikian, di desa-desa pesisir yang sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai nelayan, petambak, atau pembudidaya perairan, kebudayaan nelayan berpengaruh besar terhadap terbentuknya identitas

29

kebudayaan masyarakat pesisir secara keseluruhan (Ginkel dalam Kusnadi, 2000:23). Baik nelayan, petambak, maupun pembudidaya perairan merupakan kelompok-kelompok sosial yang langsung berhubungan dengan pengelolaan sumber daya pesisir dan kelautan. Dalam konteks kehidupan nelayan yang mengekspoloitasi sumber daya perikanan, masyarakat nelayan kita memerankan empat perilaku sebagai berikut: 1) Mengeksploitasi terus-menerus sumber daya perikanan tanpa memahami batasbatasnya; 2) Mengeksploitasi sumber daya perikanan, disertai dengan merusak ekosistem pesisir dan laut, seperti menebangi hutan bakau serta mengambil terumbu karang dan pasir laut; 3) Mengeksploitasi sumber daya perikanan dengan cara-cara yang merusak

(destructive fishing), seperti kelompok nelayan yang melakukan pemboman ikan, melarutkan potasium sianida, dan mengoperasikan jaring yang merusak lingkungan, seperti trawl atau minitrawl; serta 4) Mengeksploitasi sumber daya perikanan dipadukan dengan tindakan

konservasi, seperti nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan disertai dengan kebijakan pelestarian terumbu karang, hutan bakau, dan

mengoperasikan jaring yang ramah lingkungan (kusnadi, 2009:126). 2. Kerangka Pikir Wanita sebagai salah satu anggota keluarga, seperti juga anggota keluarga yang lain mempunyai tugas dan fungsi dalam mendukung keluarga. Sejak dahulu hingga kini masih ada anggota masyarakat yang menganggap tugas wanita dalam

30

keluarga adalah melahirkan keturunan, mengasuh anak, melayani suami, dan mengurus rumah tangga. Dalam perkembangan kemudian ternyata tugas, peranan wanita dalam kehidupan keluarga dan masyarakat semakin berkembang. Sejalan dengan semakin kompleksnya kehidupan dan semakin beratnya beban ekonomi keluarga, tugas dan peranan wanita dalam keluarga serta masyarakat semakin diperlukan. Hal ini semakin terasa sekali baik di perkotaan maupun di pedesaan. Wanita pada saat ini tidak saja berkegiatan di dalam lingkup keluarga, tetapi banyak di antara bidang-bidang kehidupan di masyarakat membutuhkan sentuhan wanita dalam penanganannya. Kegiatan wanita dalam ikut menopang kehidupan dan penghidupan keluarga semakin nyata. Begitu pula dalam keluarga pada masyarakat Nelayan Di Bajoe Kabupaten Bone, sering membantu suaminya dalam mempersiapkan alat-alat yang digunakan untuk menangkap ikan, bahkan memasarkan hasil tanggapan ikan suaminya. Tetapi terkadang keseimbangan antara perempuan dan laki-laki dalam suatu keluarga tidak terlihat adil atau tidak seimbang peran diantara mereka. Dalam masyarakat nelayan, dimana seorang laki-laki (suami) yang bekerja menjadi nelayan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, keberadaan sosok perempuan sebagai istri dapat juga membantunya. Tetapi dalam keluarga nelayan perlu juga dilihat keseimbangan/relasi gender antara laki-laki dan perempuan dalam berperan membina keluarga mereka. Untuk memperjelas relasi gender dalam keluarga pada masyarakat nelayan maka ada beberapa aspek yang menjadi patokan seperti pembagian kerja dalam usaha ekonomi, keadilan gender dalam

31

peran-peran domestik, dan keadilan dalam pengambilan keputusan. Untuk lebih jelasnya dapat kita lihat pada gambar kerangka pikir berikut : Masyarakat Nelayan Di Bajoe Kabupaten Bone

Relasi Gender Dalam Keluarga Nelayan Di Bajoe Kabupaten Bone

Pembagian Kerja Dalam Usaha Ekonomi

Keadilan Gender Dalam Peran-Peran Domestik

Keadilan Dalam Pengambilan Keputusan

D. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang bertujuan untuk menguraikan suatu keadaan atau fakta secara cermat dan mendalam. 2. Lokasi Penelitian Dalam melakukan penelitian mestilah ada tempat atau lokasi yang akan diteliti. Untuk itu, penelitian ini berlokasi di Bajoe Kabupaten Bone. 3. Jenis Data a. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari informan yakni para perempuan (istri) para nelayan yang berada di Bajoe Kabupaten Bone.

32

b. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari laporan-laporan instansi yang terkait dengan penelitian ini, sumber dapat berupa buku, jurnal dan data statistik yang terkait dengan penelitian ini. 4. Definisi Operasional Untuk memberi pemahaman yang jelas daalam melakukan penelitian, maka peneliti mencoba mendeskripsikan konsep-konsep yang dimaksud yaitu : a. Relasi Gender adalah keseimbangan peran-peran antara perempuan dan lakilaki dalam keluarga pada masyarakat Nelayan Di Bajoe Kabupaten Bone. b. Keluarga adalah unit terkecil yang ada dalam masyarakat yang terdiri dari istri dan suami serta anak. c. Masyarakat Nelayan adalah kumpulan orang-orang yang berada dalam kawasan pesisir dan sebagian besar bekerja sebagai nelayan. 5. Subjek Penelitian Untuk memperoleh informasi yang berkaitan dengan penelitian ini, maka yang menjadi subjek penelitian yaitu para perempuan (istri) para nelayan. Dalam menentukan subjek penelitian, peneliti menggunakan teknik purposive sampling atau penentuan subjek penelitian dengan sengaja sesuai dengan kriteria yang ditentukan. Kriteria penentuan subjek penelitian yaitu : a. Perempuan (istri) para nelayan yan berumur sekitar 30-45 tahun b. Keluarga nelayan yang bekerja sebagai nelayan minimal selama 5 tahun c. Keluarga yang telah mempunyai anak minimal 2 orang

33

6. Tekhnik Pengumpulan Data a. Observasi Observasi atau pengamatan yaitu pengamatan langsung yang dilakukan dilapangan. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui obyektifitas dan kenyataan yang ada, dengan berdasarkan pada perencanaan yang sistematis. b. Wawancara Wawancara atau interview merupakan salah satu cara untuk mengumpulkan data dilapangan, digunakan untuk memperoleh informasi langsung dan lebih mendalami sehingga dapat dipastikan kenyataan dari suatu fakta dengan menggunakan daftar pertanyaan. c. Dokumentasi Dokumentasi merupakan tekhnik pengumpulan data sekunder yang dilakukan dengan menyimpan data dari hasil penelitian, meliputi buku-buku dan data-data yang relevan. 7. Tekhnik Analisis Data Menurut Patton (Moleong, 1998: 103) analisis data adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan analisis data berupa analisis deskriptif kualitatif maka analisis berlangsung sejak pertama kali terjun ke lapangan sampai pengumpulan data dan terjawabnya sejumlah masalah yang ada, kemudian dilanjutkan dengan cara menuliskan, mengedit, mengklasifikasikan dan ketahap penyajian.

34

E. JADWAL PENELITIAN Untuk teraturnya penelitian yang akan dilakukan maka disajikan juga jadwal penelitian yang menjadi patokan sehingga waktu yang dipergunakan secara efektif. Untuk lebh jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut :Tahun 2011-2012 No. Keterangan 1 1. 2. 3. 5. 6. Persiapan Penelitian Pengumpulan Data Pengolahan Dan Anaisis Data Penulisan Skripsi Penggandaan X Tahap I 2 X X X X X X X X X X X X 3 4 1 Tahap II 2 3 4 1 Tahap III 2 3 4

35

DAFTAR PUSTAKA Abdullah Nasih Ulwan. 1989, Pendidikan Seks Untuk Anak Ala Nabi, Solo : Pustaka Iltiuzam, Depdikbud. 1995. Peranan Wanita Nelayan Dalam Kehidupan Ekonomi Keluarga Di Tegal Jawa Tengah. Jakarta : Depdikbud Echols, John M. dan Hassan Shadily (1983). Kamus Inggris Indonesia. Jakarta: Gramedia. Cet. XII. Hendi Suhendi, M.Si dan Ramdani Wahyu S.Ag. 2001. Pengantar Studi Sosiologi Keluarga. CV Pustaka Setia. Bandung. Horton Paul. B dan Hurt. 1996. Sosiologi. Penerjemah Amiruddin. Jakarta : Erlangga Khairuddin, H. Drs. 1997. Sosiologi Keluarga. Yogyakarta: Liberty. Kusnadi. 2000. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung: Humaniora Utama Press. ________. 2001. Pangamba Kaum Perempuan Fenomenal: Pelopor dan Penggerak Perekonomian Masyarakat Nelayan. Bandung: Humaniora Utama Press _________. 2009. Keberdayaan Nelayan dan Dinamika Ekonomi Pesisir. Yogyakarta: Ar- Ruzz Media. Lips, Hilary M. 1993. Sex and Gender: An Introduction. London: Myfield Publishing Company. Megawangi, Ratna, 1999: Membiarkan Berbeda?: Sudut Pandang Baru tentang Relasi Gender. Bandung : Penerbit Mijan Mulia, Siti Musdah (2004). Islam Menggugat Poligami. Jakarta: Gradedia Pustaka Utama. Cet. I. Neufeldt, Victoria (ed.) (1984). Websters New World Dictionary. New York : Websters New World Clevenland. Umar, Nasaruddin. (1999). Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al-Quran. Jakarta: Paramadina. Cet. I. Sajogyo, P. 1994. Peranan Wanita Dalam Perkembangan Ekonomi. Jakarta : Obor.