isi proposal
TRANSCRIPT
EFEKTIVITAS PENEGAKAN PERATURAN DAERAH NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN PERTAMA PERATURAN KOTA SAMARINDA NOMOR 27 TAHUN 2000 TENTANG KETENTUAN TEMPAT PENUMPUKAN KAYU BUNDAR, KAYU MASAK DAN BAHAN BANGUNAN LAINNYA DI KECAMATAN SUNGAI KUNJANG KOTA SAMARINDA
A. LATAR BELAKANG
Pembangunan merupakan salah satu bentuk dari keinginan pemerintah
untuk dapat merubah tatanan kehidupan yang lebih baik. Perkembangan
kehidupan masyarakat dari tahun ke tahun sangat mempengaruhi pemerintah
dalam mengambil kebijakan dalam hal mengimbangi proses pengembangan
dalam bidang pembangunan. Pengaturan yang dilakukan oleh pemerintah melalui
kebijakan yang dikeluarkannya diharapkan dapat memberi wujud yang nyata dari
manfaatnya, agar tujuan untuk mensejahterakan kehidupan rakyat dapat tercapai.
Pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah yang tercakup dalam
segala bidang pada saat ini masih dalam suatu proses perbaikan, yang mana
pemerintah selaku penguasa harus lebih terbuka kepada masyarakat, agar dalam
wujud nyatanya, pembangunan tersebut dapat terkontrol baik oleh masyarakat
luas maupun oleh pemerintah itu sendiri.
Salah satu bentuk pembangunan yang bersifat fisik adalah
pembangunan sarana dan prasarana, seperti pembangunan gedung-gedung
pemerintahan dan pembangunan perumahan tempat tinggal yang dilakukan oleh
masyarakat, yang perlu mendapatkan perhatian yang serius dan harus dilakukan
1
pengontrolan dan pengawasan terhadap pembangunan tersebut, agar dikemudian
hari tidak menimbulkan permasalahan. Adanya bentuk pengaturan yang
dilakukan melalui kebijakan yang diambil oleh pemerintah mengenai sarana dan
prasarana dalam pembangunan fisik yang dilakukan masyarakat secara luas, salah
satu bentuk pengaturan yang dilakukan yaitu pengaturan terhadap bahan-bahan
untuk kegiatan pembangunan gedung-gedung dan rumah tempat tinggal.
Sumber daya kekayaan alam yang digunakan dalam kegiatan
pembangunan yang perlu adanya pengaturan antara lain hasil hutan berupa kayu
dan bahan-bahan seperti besi/baja, pipa, batu, kerikil, pasir, batubata, minyak
bumi dan lain sebagainya. Sumber kekayaan tersebut diatur dan dikuasai oleh
negara sebagaimana diatur dalam Undang - Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3)
disebutkan bahwa Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar - besar kemakmuran
rakyat. Ketentuan mengenai hak menguasai negara untuk mengatur sumber
kekayaan alam juga dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria atau yang biasa kita sebut dengan
UUPA yaitu terdapat dalam pasal 2 yang menyebutkan bahwa hak menguasai dari
negara atas sumber daya alam memberi kewenangan kepada negara untuk : (a)
mengatur dan menyelenggarakan, peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut; (b) menentukan dan mengatur
hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang
angkasa; (c) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara
2
orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang
angkasa.
Menurut ketentuan – ketentuan di atas dikatakan bahwa negara
memiliki hak menguasai terhadap kekayaan alam yang terkandung di dalam
tanah/bumi, air dan ruang angkasa, oleh karena itu negara memiliki kewenangan
untuk dapat melakukan pengaturan dalam hal penggunaannya agar tidak memberi
dampak yang buruk dikemudian hari.
Kayu, besi/baja, pipa, batu, kerikil, pasir, batubata dan bahan lainnya
merupakan bahan - bahan utama penunjang pembangunan khususnya di wilayah
kota samarinda, sehingga jumlah peredaran bahan-bahan tersebut perlu adanya
pengaturan, pengontrolan, dan pengawasan secara lebih lanjut. Salah satu bentuk
pengaturan yang terdapat di wilayah kota samarinda, yang mengatur mengenai
tempat penumpukan bahan-bahan bangunan dan kayu yaitu Peraturan Daerah
Nomor 22 tahun 2004 Tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kota
Samarinda Nomor 27 Tahun 2000 tentang ketentuan tempat penumpukan kayu
bundar, kayu masak dan bahan bangunan lainnya. Peraturan tersebut mengatur
mengenai kewajiban memiliki ijin apabila orang pribadi atau usaha yang
berbadan hukum melakukan kegiatan penumpukan kayu masak, kayu bundar dan
bahan bangunan lain, yang mana bahan-bahan bangunan jenis tersebut
diperuntukan untuk diperjual belikan kembali.
Adapun yang menjadi objek dari Peraturan Daerah Nomor 22 tahun
2004 Tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 27
3
Tahun 2000 tentang ketentuan tempat penumpukan kayu bundar, kayu masak dan
bahan bangunan lainnya yaitu kegiatan menumpuk terhadap kayu bundar, kayu
masak dan segala macam bahan-bahan yang dapat digunakan untuk suatu
bangunan seperti besi/baja, pipa, balok, papan, kayu, batu, kerikil, pasir, batubata
dan lain sebagainya di Wilayah Samarinda.
Pengaturan terhadap kegiatan menumpuk kayu bundar, kayu masak
dan bahan bangunan lainnya sudah diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 22
tahun 2004 Tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kota Samarinda
Nomor 27 Tahun 2000 tentang ketentuan tempat penumpukan kayu bundar, kayu
masak dan bahan bangunan lainnya. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah antara
lain :
1. Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa setiap orang pribadi atau badan
hukum yang menyimpan/menumpuk kayu masak dan bahan bangunan lainnya
wajib memiliki izin tempat penyimpanan dan penumpukan dari Walikota
Samarinda.
2. Pasal 4 yang menyatakan bahwa izin dapat dicabut apabila, atas permintaan
secara tertulis oleh pemegang izin, pemegang izin meninggal dunia kecuali
apabila ahli waris dalam jangka waktu 1 (satu) bulan setelah pemegang izin
meninggal dunia melaporkan dan menyampaikan permohonan secara tertulis
kepada kepala Daerah untuk meneruskan izin selama sisa jangka waktu
berlakunya izin tersebut, tempat tersebut terkena rencana pembangunan
Pemerintah daerah.
4
Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas jelas bahwa orang pribadi
atau usaha yang berbadan hukum melakukan kegiatan menumpuk terhadap
bahan-bahan yang disebutkan diatas harus memiliki ijin tempat penumpukan dari
walikota samarinda.
Banyaknya terdapat kegiatan penumpukan terhadap bahan kayu,
besi/baja, pipa, batu, kerikil, pasir, batubata dan bahan lainnya menurut peraturan
tersebut di Wilayah Kota Samarinda khususnya di Kecamatan Sungai Kunjang.
Perlu adanya pengaturan yang lebih rinci mengenai kegiatan penumpukan bahan
bangunan tersebut secara lebih jelas dan di tegakkan sesuai dengan peraturan
yang telah di buat. Kesesuaian penerapan Peraturan Daerah yang mengatur
terhadap kegiatan menumpuk terhadap bahan kayu dan bahan bangunan lainnya
di masyarakat dapat dilihat jika dalam pelaksanaannya sesuai dengan Peraturan
Daerah yang telah disahkan dan tidak menimbulkan pertentangan di dalam
kehidupan masyarakat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penegakan
hukum daripada Peraturan Daerah Nomor 22 tahun 2004 Tentang Perubahan
Pertama Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 27 Tahun 2000 tentang
ketentuan tempat penumpukan kayu bundar, kayu masak dan bahan bangunan
lainnya yang kewenangan mengenai perijinannya dilakukan oleh Dinas Pertanian,
Perkebunan dan kehutanan Kota Samarinda di wilayah Kecamatan Sungai
Kunjang Kota Samarinda. Sehingga dari uraian diatas, Penulis membahas dalam
sebuah skripsi dengan mengangkat judul :
5
Efektivitas Penegakan Hukum Peraturan Daerah Nomor 22 tahun 2004
Tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 27
Tahun 2000 tentang ketentuan tempat penumpukan kayu bundar, kayu
masak dan bahan bangunan lainnya Di Wilayah Kecamatan Sungai
Kunjang Kota Samarinda.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimanakah efektivitas penegakan hukum Peraturan Daerah Nomor 22
tahun 2004 Tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kota Samarinda
Nomor 27 Tahun 2000 tentang ketentuan tempat penumpukan kayu bundar,
kayu masak dan bahan bangunan lainnya Di Kecamatan Sungai Kunjang
Kota Samarinda ?
2. Apakah faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas penegakan hukum
Peraturan Daerah Nomor 22 tahun 2004 Tentang Perubahan Pertama
Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 27 Tahun 2000 tentang ketentuan
tempat penumpukan kayu bundar, kayu masak dan bahan bangunan lainnya
Di Kecamatan Sungai Kunjang Kota Samarinda ?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan dari Penelitian ini adalah :
a. Untuk mengetahui efektivitas penegakan hukum Peraturan Daerah Nomor
22 tahun 2004 Tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kota
Samarinda Nomor 27 Tahun 2000 tentang ketentuan tempat penumpukan
6
kayu bundar, kayu masak dan bahan bangunan lainnya Di Kecamatan
Sungai Kunjang Kota Samarinda.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitaspenegakan
hukum Peraturan Daerah Nomor 22 tahun 2004 Tentang Perubahan
Pertama Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 27 Tahun 2000 tentang
ketentuan tempat penumpukan kayu bundar, kayu masak dan bahan
bangunan lainnya Di Kecamatan Sungai Kunjang Kota Samarinda.
2. Manfaat Penelitian
a. Diperoleh informasi mengenai efektivitas penegakan hukum Peraturan
Daerah Nomor 22 tahun 2004 Tentang Perubahan Pertama Peraturan
Daerah Kota Samarinda Nomor 27 Tahun 2000 tentang ketentuan tempat
penumpukan kayu bundar, kayu masak dan bahan bangunan lainnya Di
Kecamatan Sungai Kunjang Kota Samarinda.
b. Diperoleh informasi mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
efektivitaspenegakan hukum Peraturan Daerah Nomor 22 tahun 2004
Tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 27
Tahun 2000 tentang ketentuan tempat penumpukan kayu bundar, kayu
masak dan bahan bangunan lainnya Di Kecamatan Sungai Kunjang Kota
Samarinda.
7
D. Landasan Teoritis
1. Pengertian Efektivitas
Secara etimologi kata efektivitas berasal dari kata efektif dalam bahasa
Inggris “effective” yang telah mengintervensi kedalam bahasa Indonesia dan
memiliki makna “berhasil”, dalam bahasa Belanda “effectief” memiliki
makna “berhasil guna”). Sedangkan efektivitas hukum secara tata bahasa
dapat diartikan sebagai keberhasilgunaan hukum, dalam hal ini berkenaan
dengan keberhasilan pelaksanaan hukum itu sendiri (Salma, 1986:31).
Adapun secara terminologi para pakar hukum dan sosiologi hukum
memberikan pendekatan tentang makna efektivitas sebuah hukum beragam,
bergantung pada sudut pandang yang diambil.
Efektivitas hukum adalah segala upaya yang dilakukan agar hukum
yang ada dalam masyarakat benar-benar hidup dalam masyarakat, artinya
hukum tersebut benar-benar berlaku secara yuridis, sosialis dan filosofis
(Soerjono Soekanto, 1989:53).
Efektifitas dari hukum untuk mengubah tingkah laku warga
masyarakat atau bagian masyarakat tidak sepenuhnya tergantung pada sikap-
sikap warga masyarakat yang sesuai dengan hukum, atau pada kerasnya
sanksi-sanksi yang ada untuk menerapkan hukum tersebut (L. Mayhew
1968:187-199).
Penjelasan lainnya di kemukakan bahwa, untuk melihat apakah
sebuah peraturan/ atau materi hukum berfungsi tidaknya, cukup melihat
8
apakah hukum itu “berlaku tidak”. Dalam teori-teori hukum tentang
berlakunya hukum sebagai kaidah biasanya dibedakan menjadi tiga macam
hal. Hal berlakunya kaidah hukum biasanya disebut “gelding” (bahasa
Belanda) “geltung” (bahasa Jerman), (Soerjono Soekanto, 1989:56-57).
Mengenai hal berlakunya kaidah hukum di kemukakan juga bahwa agar
kaidah hukum atau sebuah peraturan berfungsi bahkan hidup dalam tatanan
kehidupan masyarakat, maka kaidah hukum/ atau peraturan tersebut harus
memenuhi tiga unsur sebagai berikut :
a. Hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada
kaidah yang lebih tinggi tingkatannya, atau bila terbentuk menurut cara
yang telah ditentukan/ atau ditetapkan, atau apabila menunjukan hubungan
keharusan antara suatu kondisi dan akibatnya.
b. Hukum berlaku secara sosiologis, apabila kaidah tersebut efektif, artinya
kaidah tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa (teori
kekuasaan), atau diterima dan diakui oleh masyarakat (teori pengakuan).
c. Hukum tersebut berlaku secara filosofis artinya sesuai dengan cita-cita
hukum sebagai nilai positif tertinggi. Pernyataan Soekanto tersebut di atas,
dapat diartikan bahwa agar suatu hukum berfungsi atau agar hukum itu
benar-benar hidup dan bekerja dalam masyarakat maka suatu hukum atau
kaidah hukum harus memenuhi ketiga macam unsur tersebut diatas, Hal
tersebut karena :
9
- Jika hukum hanya berlaku secara yuridis maka kaidah itu merupakan
kaidah mati (dode regel);
- Jika hukum hanya berlaku secara sosiologis dalam arti teori
kekuasaan, maka kaidah kaidah tersebut menjadi aturan pemaksa
(dwaangmatreegel);
- Jika hukum hanya berlaku secara filosofis maka kaidah tersebut
merupakan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) (Soerjono
Soekanto, 1986:57).
Maka sudah menjadi sebuah postulat atau asumsi yang pasti bahwa
hukum akan berfungsi dan bekerja serta hidup dalam masyarakat jika dalam
hukum (baik materi atau kaidahnya) dapat belaku secara yuridis, sosiologis
dan filosofis, hal tersebut dalam ilmu hukum dikenal dengan “Laws of Life”
(Soerjono Soekanto, 1986:58).
Efektivitas penegakan hukum baru akan terpenuhi apabila lima pilar
hukum dapat berjalan dengan baik. Lima pilar hukum itu adalah instrumen
hukumnya, aparat penegak hukumnya, peralatannya, masyarakatnya, dan
birokrasinya. Secara empirik, efektivitas penegakan hukum juga telah
dikemukakan oleh Walter C. Reckless, yaitu harus dilihat bagaimana sistem
dan organisasinya bekerja, bagaimana sistem hukumnya, bagaimana sistem
peradilannya dan bagaimana birokrasinya. Dari berbagai kajian kesisteman
tersebut dapat dikatakan bahwa efektivitas penegakan hukum dalam teori
maupun praktik problematika yang dihadapi hampir sama. Kemauan politik
10
(political will) dari para pengambil keputusan merupakan faktor yang
menentukan hukum dapat tegak atau ambruk, atau setengah-setengah
(Bambang Sutoyoso, 2004:58).
Efektivitas merupakan kemampuan untuk memilih tujuan yang tepat
atau peralatan yang tepat atas pencapaian tujuan yang telah ditetapkan,
menyangkut bagaimana melakukan pekerjaan yang benar (Handoko, 2001:7).
Efektivitas merupakan suatu ukuran yang memberikan gambaran seberapa
jauh tujuan tercapai, baik secara kualitas maupun waktu, orientasinya pada
keluaran yang dihasilkan. Efektivitas dapat diartikan sebagai tingkat atau
derajat pencapaian hasil yang diharapkan, semakin besar hasil yang dicapai
maka akan berarti semakin efektif (Yamit, 2003:14).
2. Unsur - unsur yang mempengaruhi efektivitas
Soerjono Soekanto (1986:5) mengemukakan bahwa masalah pokok
efektivitas hukum sebenarnya terletak pada unsur-unsur yang
mempengaruhinya. Unsur-unsur yang mempengaruhi efektivitas tersebut
adalah :
1. Faktor hukumnya sendiri, yakni muatan daripada peraturan perundang-
undangan itu sendiri. Semakin baik suatu peraturan hukum akan semakin
memungkinkan penegakannya. Sebaliknya tidak baik suatu peraturan
hukum akan semakin sukarlah menegakkannya. Secara umum dapatlah
dikatakan, bahwa peraturan hukum yang baik adalah peraturan hukum
11
yang berlaku secara yuridis, sosiologis, dan filosofis. Suatu hukum
berlaku secara yuridis apabila peraturan hukum tersebut penentuannya
berdasarkan kaidah yang lebih tinggi tingkatannya. Sementara peraturan
hukum berlaku secara sosiologis maksudnya adalah bilamana peraturan
hukum tersebut diakui atau dapat diterima oleh masyarakat kepada siapa
peraturan hukum tersebut ditujukan/ atau diberlakukan. Kemudian, suatu
peraturan hukum berlaku secara filosofis apabila peraturan hukum tersebut
sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi. Dalam
negara Indonesia cita-cita hukum sebagai nilai positif yang tertinggi
adalah masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945. Hanya peraturan-peraturan hukum yang
mempunyai ketiga unsur kelakuan itulah yang dapat berfungsi dengan
baik dalam masyarakat. Kalau tidak, peraturan hukum tersebut bisa
menjadi peraturan hukum yang mati atau dirasakan sebagai suatu tirai
karena tidak berakar dalam hati sanubari masyarakat secara menyeluruh.
Selain mempunyai ketiga unsur tersebut, peraturan hukum sebaiknya juga
dapat menjangkau masa depan yang jauh, agar-agar peraturan hukum
tersebut dapat berlaku lama dan demikian akan didapat suatu kekekalan
hukum. Peraturan hukum diciptakan dan dituangkan dalam bentuk
perundang-undangan, bukan untuk mengatur keadaan yang statis atau
tidak berubah-ubah, melainkan justru mengatur kehidupan masyarakat
yang dinamis. Karena itu materi yang diatur dalam peraturan perundang-
12
undangan haruslah lengkap, yang dirumuskan dengan teliti dan cermat
walaupun tanpa menghilangkan sifatnya yang harus dapat mengikuti
perkembangan keadaan dan bahasa yang jelas agar tidak menimbulkan
penafsiran yang berbeda-beda (Soerjono Soekanto, 1986:7).
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang
menerapkan hukum. Penegak hukum yang dimaksud yaitu sebagai salah
satu faktor yang menentukan proses penegakan hukum tidak hanya pihak-
pihak yang menerapkan hukum tetapi juga pihak-pihak yang membuat
hukum. Pihak-pihak yang terkait secara langsung dalam proses penegakan
hukum, yaitu kepolisian, kejaksaan, kehakiman, kepengacaraan, dan
pemasyarakatan, yang mempunyai peranan yang sangat menentukan bagi
keberhasilan usaha penegakan hukum dalam masyarakat. Secara
sosiologis setiap penegak hukum mempunyai kedudukan dan peranan.
Kedudukan social merupakan posisi tertentu di dalam struktur masyarakat,
yang mungkin tinggi, sedang, ataupun rendah. Kedudukan tersebut
merupakan wadah, yang isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban
tertentu. Hak dan kewajiban tadi merupakan peranan . Oleh karena itu,
seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan
memegang peranan. Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk
berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu, sedangkan kewajiban adalah
beban atau tugas (Soerjono Soekanto, 1986:13).
13
Menurut Zainuddin Ali (2006:63), mengemukakan penegak hukum atau
orang yang bertugas menerapkan hukum mencakup ruang lingkup yang
sangat luas, sebab menyangkut petugas pada strata atas, menengah, dan
bawah. Artianya, di dalam melaksanakan tugas-tugas penerapan hukum,
petugas seharusnya memiliki suatu pedoman, di antaranya peratura tertulis
tertentu yang mencakup ruang lingkup tugas-tugasnya. Di dalam hal
penegakan hukum dimaksud, kemungkinan petugas penegak hukum
menghadapi hal-hal sebagai berikut: a) sampai sejauh mana petugas
terikat dari peraturan-peraturan yang ada, b) sampai batas-batas mana
petugas berkenan memberikan kebijakan, c) teladan macam apakah yang
sebaiknya diberikan oleh petugas kepada masyarakat, d) sampai sejauh
manakan derajat sinkronisasi penegasan-penegasan yang diberikan kepada
para petugas sehingga memberikan batas-batas yang tegas pada
wewenangnya.
Dalam tulisan lain Soerjono Soekanto (2004:19-22), mengemukakan
bahwa setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan
peranan (role). Kedudukan ( Sosial) merupakan posisi tertentu di dalam
struktur kemasyarakatan, yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau
rendah. Kedudukan tersebut sebenarnya merupakan suatu wadah yang
isinya adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban tertentu. Hak-hak dan
kewajiban-kewaiban tadi merupakan peranan atau role. Oleh karena itu,
seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan
14
pemegang peranan (role occupant). Suatu hak sebenrnya merupakan
wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah
beban atau tugas. Suatu peranan tertentua, dapat dijabarkan ke dalam
unsur-unsur, antara lain : peranan yang ideal (ideal role), peranan yang
seharusnya (expected role), peranan yang dianggap oleh diri sendiri
(perceived role) dan peranan yang sebenarnya dilakukan ( actual role).
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. Tanpa
adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan
hukum akan berlangsung dengan lancer. Sarana atau fasilitas tersebut,
antara lain mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil,
organisasi yang baik, peralatan memadai, serta keuangan yang cukup.
Kalau hal-hal tersebut tidak terpenuhi, mustahil penegakan hukum akan
mencapai tujuannya. Sarana atau fasilitas mempunyai pengaruh yang
besar bagi kelancaran pelaksanaan penegakan hukum. Tanpa ada sarana
atau fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak akan dapat berjalan
lancer dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peranannya yang
seharusnya (Soerjono Soekanto, 1986:27).
Sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam
penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut, tidak
mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan
peranan yang aktual. Khususnya untuk sarana atau fasilitas tersebut,
15
sebaiknya dianuti jalan pikiran sebagai berikut (Purbacaraka dan Soerjono
Soekanto 1983) :
a. Yang tidak ada, diadakan yang baru betul
b. Yang rusak atau salah, diperbaiki atau dibetulkan
c. Yang kurang, ditambah
d. Yang macet, dilancarkan
e. Yang mundur atau merosot, dimajukan atau ditingkatkan
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan juga mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan
penegakan hukum. Sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan
bertujuan untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat. Bagian yang
terpenting dari masyarakat yang menentukan penegakan hukum adalah
kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin memungkinkan
penegakan hukum yang baik. Sebaliknya semakin rendah tingkat
kesadaran hukum masyarakat, maka akan semakin sukar untuk
melaksanakan penegakan hukum yang baik (Soerjono Soekanto, 1968:35).
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Kebudayaan
pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku,
nilai-nilai mana merupakan konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap
baik (sehingga dituruti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga
dihindari). Nilai-nilai tersebut lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai
16
yang mencerminkan 2 (dua) keadaan ekstrem yang harus diserasikan.
Maka dari itu, kebudayaan Indonesia merupakan dasar atau yang
mendasari hukum adat yang berlaku. Hukum adat tersebut merupakan
kebiasaan yang berlaku di kalangan rakyat banyak. Akan tetapi, berlaku
pula hukum tertulis (perundang-undangan) yang dibentuk oleh golongan
tertentu dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang
untuk itu. Hukum perundang-undangan tersebut harus mencerminkan
nilai-nilai yang menjadi dasar dari hukum adat agar hukum perundang-
undangan tersebut dapat berlaku secara efektif. Semakin banyak
persesuaian antara perundang-undangan dan kebudayaan masyarakat,
maka akan semakin mudahlah menegakkannya. Sebaliknya apabila suatu
peraturan perundang-undangan tidak sesuai atau bertentangan dengan
kebudayaan masyarakat, akan semakin sukar untuk melaksanakan atau
menegakkan peraturan hukum (Soerjono Soekanto, 1986:45).
Lawrence M. Friedman, dalam Soerjono Soekanto (2004:59),
mengemukakan faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan
faktor masyarakat sengaja dibedakan, karena di dalam pembahasannya
diketengahkan masalah sistem nlai-nilai yang mnjadi inti dari kebudayaan
spiritual atau non materiil. Sebagai suatu sistem ( atau subsistem dari sistem
kemasyarakatan), maka hukum mencakup, struktur, substansi dan
kebudayaan. Struktur mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut
yang umpamanya, mencakup tatanan lembaga-lembaga hukum formal,
17
hubungan antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-
kewajibannya, dan seterusnya. Substansi mencakup isi norma-norma hukum
beserta perumusannya maupun acara untuk menegakkannya yang berlaku bagi
pelaksana hukum maupun pencari keadilan. Kebudayaan (sistem) hukum pada
dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-
nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap
baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari).
Nilai-nilai tersebut, laimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang
mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan.
Unsur-unsur tersebut mempunyai arti yang netral, sehingga dampak
positif atau negatifnya terletak pada isi unsur-unsur itu. Kelima unsur tersebut
di atas ini saling berkaitan dengan erat, oleh karena merupakan esensi dari
penegakan hukum, serta juga merupakan tolak ukur efektivitas penegakan
hukum (Soerjono Soekanto, 1986:53).
Bambang Sutiyoso (2004:60-67) mengemukakan faktor-faktor yang
mempengaruhi efektivitas penegakan hukum yaitu oleh tingkat perkembangan
masyarakat, tempat hukum tersebut berlaku atau diberlakukan. Dalam
masyarakat sederhana, pola penegakan hukumnya dilaksanakan melalui
prosedur dan mekanisme yang sederhana pula. Namun, dalam masyarakat
modern yang bersifat rasional dan memiliki tingkat spesialisasi dan
diferensiasi yang begitu tinggi, pengorganisasian penegakan hukumnya
18
menjadi begitu kompleks dan sangat birokratis. Faktor- faktor yang dominan
yang mempengaruhi efektivitas penegakan hukum antara lain :
1) Faktor hukum atau perundang-undangan itu sendiri, faktor ini berkaitan
dengan: (a) konsistensi asas-asas atau prinsip-prinsipnya. Apakah antara satu
asas dengan asas yang lain tidak saling menegasikan atau bertentangan, (b)
proses perumusannya, apakah memperhatikan kecenderungan hukum-hukum
kebiasaan yang berlaku di masyarakat, dan apakah penyusunannya cukup
demokratis dengan memperhatikan aspirasi masyarakat yang berkembang,
dan (c) tingkat kemampuan hukum itu sendiri dalam operasionalisasinya,
sebab tidak jarang ada sejumlah undang-undang yang tidak operasional, baik
karena konsepnya tidak jelas, juga karena keharusannya untuk ditindaklanjuti
dengan aturan pelaksanaan itu pada akhirnya keluar sudah tidak relevan lagi
dengan perkembangan yang ada dan seterusnya.
2) Faktor yang berkaitan dengan sumber daya aparatur penegak hukumnya,
aparatur penegak hukum merupakan faktor kunci, karena di pundak
merekalah terutama beban penegakan hukum diletakkan dalam praktik. Oleh
karena itu, keberhasilan dan kegagalan proses penegakan hukum sangat
dipengaruhi oleh kualitas penagk hukum, pakah penegak hukum itu
profesional ataukah tidak.
3) Sarana dan Prasarana, apakah aparat penegak hukum sudah dilengkapi dengan
sarana dan prasarana fisik yang memadai, khususnya alat-alat teknologi
modern dalam rangka sosialisasi hukum dan mengimbangi kecenderungan-
19
kecenderungan penyimpangan sosial masyarakat, termasuk ketersediaan
sarana dan prasarana tempat menjalni pidana dan seterusnya.
4) Faktor Masyarakat, yang berkaitan dengan persepsi masyarakat tentang
hukum, tentang ketertiban, dan tentang fungsi penegak hukum. Sebab dalam
kenyataan masyarakat, terutama masyarakat yang masih kuat memegang
teguh hukum rakyat (folks law) pemahaman tentang apa itu hukum, apa itu
ketertiban, dan apa itu penegak hukum bisa berbeda dengan yang
dimaksudkan oleh hukum modern, sehingga di sini diperlukan penjabaran
yang jelas menyangkut masalah ini.
5) Faktor politik atau penguasa negara, khususnya deskripsi tentang campur
tangan pemerintah dan kelompok-kelompok kepentingan di dalam usaha-
usaha penegakan hukum. Faktor ini patut diperhatikan karena pada
kenyataannya, penegakan hukum itu tidak sekali-kali hanya diperuntukkan
kepada masyarakat kecil pedesaan, tetapi semua lapisan masyarakat, sehingga
kemungkinan campur tangan dari kekuatan-kekuatan kepentingan dalam
masyarakat sangat besar.
Faktor-faktor di luar sistem hukum yang berpengaruh terhadap proses
penegakan hukum adalah kesadaran hukum masyarakat dan perubahan sosial.
Kesadaran hukum masyarakat, baik di kalangan masyarakat terdidik maupun
di seputar masyarakat kurang berpendidikan, bahkan juga di kalangan aparat
penegak hukum sendiri. Indokator rendahnya kesadaran hukum masyarakat
dapat terlihat dari banyaknya tindakan main hakim sendiri yang terjadi dalam
20
masyarakat, baik yang dilakukan masyarakat pada umumnya maupun yang
dilakukan aparat penegak hukum (Bambang Sutiyoso, 2004:65).
3. Pengertian Penegakan Hukum
Penegakan hukum ialah suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide
tentang keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan sosial menjadi
kenyataan. Proses perwujudan ide-ide itulah yang merupakan hakikat dari
penegakan hukum (Satjipto rahardjo, dalam Soejono Soekanto:192).
Sedangkan dalam tulisan Soerjono Soekanto (1986:3) mengungkapkan
bahwa penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan
nilai-nilai yang terjabar di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan
mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap
akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian
pergaulan hidup.
Dalam tulisan lain Soerjono Soekanto ( 1988: 196 ), mengungkapkan
penegakan hukum tersebut mencakup lembaga-lembaga yang menerapkannya
(misalnya pengadilan, kejaksaan, kepolisian), pejabat-pejabat yang memegang
peranan sebagai pelaksana atau penegak hukum (misalnya para hakim, jaksa,
polisi), dan segi-segi administrative ( seperti misalnya proses pengadilan,
pengusutan, penahan, dan seterusnya).
Soerjono Soekanto (1988:240), mengemukakan pola penegakan
hukum adalah pola interaksi antara unsur-unsur penegakan hukum, misalnya,
21
pola interaksi antara polisi, jaksa, hakim, petugas pemasyarakatan, pengacara,
dan seterusnya. Ada kecenderungan bahwa unsure-unsur tersebut mempunyai
kebudayaan khusus masing-masing yang menjadi landasan bagi sikap
tindaknya.
Untuk menjelaskan hakikat penegakan hukum Soerjono Soekanto
(1986:3) juga mengemukakan bahwa manusia di dalam pergaulan hidup. Pada
dasarnya mempunyai pandangan-pandangan tertentu mengenai apa yang baik
dan apa yang buruk. Pandangan-pandangan tersebut senantiasa terwujud
dalam pasangan-pasangan tertentu, sehingga ada pasangan nilai ketertiban
dengan nilai ketentraman, pasangan nilai kelestarian dengan nilai perubahan,
dan sebagainya. Dalam penegakan hukum pasangan nilai tersebut diserasikan,
misalnya perlu penyerasian antara nilai ketertiban dan nilai ketentraman,
pasangan nilai kepentingan umum dengan nilai pribadi, pasangan nilai
kelestarian dengan nilai inovatisme, dan seterusnya. Di dalam penegakan
hukum, pasangan nilai-nilai tersebut perlu diserasikan; umpamanya, perlu
penyerasian antara nilai ketertiban dengan nilai ketenteraman. Sebab, nilai
ketertiban bertitik tolak pada keterikatan, sedangkan nilai ketenteraman titik
tolaknya adalah kebebasan. Di dalam kehidupannya, maka manusia
memerlukan keterikatan maupun kebebasan di dalam wujud yang serasi.
Pasangan nilai-nilai yang telah diserasikan tersebut, memerlukan
penjabaran secara lebih konkrit lagi, oleh karena nilai-nilai lazimnya bersifat
abstrak. Penjabaran secara lebih konkrit terjadi di dalam bentuk kaidah-
22
kaidah, dalam hal ini kaidah-kaidah hukum, yang mungkin berisikan suruhan,
larangan atau kebolehan. Di dalam bidang hukum tata negara Indonesia,
misalnya, terdapat kaidah-kaidah tersebut yang berisikan suruhan atau
perintah untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu, atau tidak
melakukannya. Di dalam kebanyakan kaidah hukum pidana tercantum
larangan-larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, sedangkan
di dalam bidang hukum perdata ada kaidah-kaidah yang berisikan kebolehan-
kebolehan (Soerjono Soekanto, 2004:6).
4. Pengertian Penegak Hukum
Penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak
hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur
penegak hukum yang terlibat tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi,
penasehat hukum, jaksa hakim dan petugas-petugas sipir pemasyarakatan.
Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang
bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan
pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya
pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana.
Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat 3
elemen penting yang mempengaruhi, yaitu : (i) institusi penegak hukum
beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme
23
kerja kelembagaannya; (ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya,
termasuk mengenai kesejahteraan aparatnya, dan (iii) perangkat peraturan
yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun yang mengatur materi
hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum
acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistematik haruslah memperhatikan
ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan hukum dan
keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata. Namun,
selain ketiga faktor diatas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan
hukum di negara kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang
lebih menyeluruh lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari
keseluruhan persoalan kita sebagai negara hukum yang mencita-citakan upaya
menegakan dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu sendiri atau belum
mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup dalam
masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya
sebagian besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan
tuntutan zaman. Artinya, persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan
dengan upaya penegakan hukum tetapi juga pembaharuan hukum atau
pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting yang
memerlukan perhatian yang seksama, yaitu: (i) pembuatan hukum (‘the
legislation of law atau Law and rule making), (ii) sosialisasi, penyebarluasan
dan bahkan pembudayaan hukum ( socialization and promulgation of law)
24
dan (iii) penegakan hukum (the enforcement of law). Ketiganya membutuhkan
dukungan (iv) administrasi hukum (the administration of law) yang efektif
dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan (eksekutif) yang
bertanggungjawab (accountable). Karena itu, pengembangan administrasi
hukum dan sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang keempat
sebagai tambahan terhadap ketiga agenda tersebut diatas. Dalam arti luas, The
administration of law itu mencakup pengertian pelaksanaan hukum (rules
executing) dan tata administrasi hukum itu sendiri dalam pengertian yang
sempit. Misalnya dapat dipersoalkan sejauhmana sistem dokumentasi dan
publikasi berbagai produk hukum yang ada selama ini telah sikembangkan
dalam rangka pendokumentasian peraturan-peraturan (regels), keputusan-
keputusan administrasi negara (beschikings), ataupun penetapan dan putusan
(vonius) hakim di seluruh jajaran dan lapisan pemerintahan dari pusat sampai
ke daerah-daerah.
Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa penegak
hukum terdiri dari dua pengertian yaitu :
1. Penegak hukum sebagai orang atau unsur manusia dengan kualitas,
kualifikasi, dan kultur kerjanya masing-masing dalam pengertian demikian
persoalan penegakan hukum tergantung aktor, pelaku, pejabat, atau aparat
penegak hukum itu sendiri.
25
2. Penegak hukum dapat pula dilihat sebagai institusi, badan atau organisasi
dengan kualitas birokrasinya sendiri–sendiri
(www.varioadvokad.awardspace.com : Diakses tanggal 30 Maret 2010).
5. Pengertian Kayu Masak
Berdasarkan Kamus Umum Bahasa Indonesia, kayu memiliki arti
yaitu batang, pohon, dahan. Sedangkan menurut Peraturan Daerah Kota
Samarinda Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Perubahan Pertama Peraturan
Daerah Kota Samarinda Nomor 27 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Tempat
Penumpukan Kayu Bundar, Kayu Masak dan Bahan Bangunan Lainnya
terdapat dalam Ketentuan Umum Pasal 1 Huruf f, yang menyatakan bahwa
kayu masak adalah kayu yang sudah diolah dalam bentuk bahan yang siap
digunakan dan atau siap pakai.
6. Pengertian Bahan Bangunan
Dalam Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 22 Tahun 2004
Tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 27
Tahun 2000 Tentang Ketentuan Tempat Penumpukan Kayu Bundar, Kayu
Masak dan Bahan Bangunan Lainnya yaitu pada Ketentuan Umum Pasal 1
huruf g, yang menyatakan bahwa bahan bangunan adalah segala macam jenis
bentuk bahan-bahan yang dapat digunakan untuk suatu bangunan seperti
besi/baja, pipa, balok, papan, kayu, batu, kerikil, pasir, batu bata, dan lain
sebagainya.
7. Pengertian Ijin Penumpukan
26
Dalam Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 22 Tahun 2004
Tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 27
Tahun 2000 Tentang Ketentuan Tempat Penumpukan Kayu Bundar, Kayu
Masak dan Bahan Bangunan Lainnya yaitu pada Ketentuan Umum Pasal 1
huruf h, ijin penumpukan memiliki arti yaitu pemberian ijin tempat
penumpukan kepada orang pribadi atau badan hukum yang menumpuk kayu
masak dan bahan bangunan lainnya dalam wilayah Kota Samarinda.
8. Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 22 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 27
Tahun 2000 Tentang Ketentuan Tempat Penumpukan Kayu Bundar,
Kayu Masak Dan Bahan Bangunan Lainnya Dalam Wilayah Kota
Samarinda.
a. Ketentuan Perizinan
Setiap orang pribadi atau usaha yang berbadan hukum
melakukan kegiatan menyimpan/menumpuk kayu bundar, kayu masak dan
bahan bangunan lainnya dalam wilayah Kota Samarinda wajib memiliki
izin tempat penyimpanan dan penumpukan dari Walikota Samarinda.
Untuk mendapatkan izin tersebut, orang pribadi atau usaha yang berbadan
hukum bersangkutan, wajib mengajukan permohonan tertulis kepada
Walikota Samarinda diatas kertas bermaterai. Dan Untuk mendapatkan
izin ini sebelumnya harus ada rekomendasi dari instansi yang berwenang
yang ditetapkan dengan Keputusan Walikota Samarinda.
27
Izin dapat dicabut apabila :
1. Atas permintaan secara tertulis oleh pemegang izin.
2. Pemegang izin meninggal duania kecuali apabila ahli waris dalam
jangka waktu 1 bulan setelah pemegang izin meninggal dunia
melaporkan dan menyampaikan permohonan secara tertulis
kepada Walikota Samarinda untuk meneruskan izin selama sisa
jangka waktu berlakunya izin tersebut.
3. Tempat tersebut terkena rencana pembangunan Pemerintah
Daerah.
b. Retribusi
Izin Tempat Penumpukan dikenakan retribusi, bagi orang
pribadi/ usaha yang berbadan hukum yang menyelenggarakan tempat
penumpukan kayu masak dan bahan bangunan lainnya dikenakan
retribusi. Besar retribusi tempat penumpukan ditetapkan 5 % dari harga
kayu masak atau bahan bangunan lainnya dengan keputusan Walikota
Samarinda, sedangkan tata cara pemungutan retribusi penumpukan
ditetapkan berdasarkan Keputusan Walikota Samarinda.
c. Larangan
Unsur larangan yang diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 22
Tahun 2004 Tentang Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kota
Samarinda Nomor 27 Tahun 2000 Tentang Ketentuan Tempat
28
Penumpukan Kayu Bundar, Kayu Masak Dan Bahan Bangunan Lainnya
Dalam Wilayah Kota Samarinda antara lain :
1. Larangan melakukan penyimpanan dan penumpukan dalam
radius 3 (tiga ) meter dari parti gorong-gorong bagian diluar
pada badan jalan umum/raya.
2. Setiap pengusaha yang memiliki izin tempat usaha wajib
memiliki tempat bongkat muat sesuai dengan frekwensi meter
kubik (M3) kayu.
3. Dalam melaksanakan pengangkutan disesuaikan dengan
ketentuan yang berlaku.
d. Ketentuan Pidana
Dalam Peraturan Daerah Nomor 22 Tahun 2004 Tentang
Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 27 Tahun
2000 Tentang Ketentuan Tempat Penumpukan Kayu Bundar, Kayu Masak
Dan Bahan Bangunan Lainnya Dalam Wilayah Kota Samarinda mengatur
mengenai ketentuan pidana yang terdapat pada pasal 7 yang menyatakan
bahwa barang siapa yang melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan (2)
mengenai kewajiban memiliki izin terhadap kegiatan menumpuk
/menyimpan kayu bundar, kayu masak dan bahan bangunan lainnya
diwilayah kota samarinda, Pasal 6 yang berisi tentang Larangan dan Pasal
7 mengenai ketentuan pidana itu sendiri.
e. Penyidikan
29
Kegiatan penyidikan yang diatur dalam Peraturan daerah ini
dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu dilingkungan
Pemerintah Daerah diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk
melakukan penyidikan tindak pidana dibidang pajak Daerah.
Beberapa Wewenang Penyidik yang dimaksud dalam peraturan
daerah ini antara lain :
1. Menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau
laporan berkenaan dengan tindak pidana dibidang Pajak Derah.
2. Meneliti, mencari dan mengumpulkan keterangan mengenai orang
pribadi atau usaha yang berbadan hokum tentang kebenaran perbuatan
yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana dibidang Pajak
Daerah.
3. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau bahan
sehubungan dengan tindak pidana dibidang Pajak Daerah.
4. Memeriksa buku-buku, catatan-catatan, dan dokumen-dokumen, lain
berkenaan dengan tindak pidana dibidang pajak Daerah.
5. Melakukan penggeladahan untuk mendapat bahan bukti pembukuan,
pencatatan, dan dokumen-dokumen, serta melakukan penyitaan
terhadap bahan bukti tersebut.
6. Meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaaan tugas
penyidikan tindak pidana dibidang Retribusi Daerah.
30
7. Menyuruh berhenti melarang seseorang meninggalkan ruang atau
tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa
identitas orang dan dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud
angka 5.
8. Memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana dibidang
Pajak Daerah.
9. Memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai
tersangka atau saksi.
10. Menghentikan penyidikan
11. Melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan
tindak pidana dibidang Pajak Daerah menurut hukum yang dapat
dipertanggung jawabkan.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode yang
diperlukan untuk membahas permasalahan yang telah dirumuskan, maka jenis
penelitian yang digunakan adalah yuridis empiris. Dimana yuridis empiris
adalah metode penelitian yang mengutamakan metode induktif dan bertujuan
untuk menghasilkan generalisasi-generalisasi dan teori-teori. Sumber data bagi
analisa empiris adalah masyarakat (data primer). Dengan melalui penelitian data
dihimpun langsung dari masyarakat dengan mempergunakan teknik-teknik
31
tertentu. Oleh karena obyeknya adalah manusia dalam pergaulan hidup, maka
variable tersebut tak akan mungkin dikuasai secara mutlak. Pada analisa yuridis
empiris yang diuraikan secara sistematis adalah keajegan-keajegan yang dialami
dan dijalani oleh manusia terutama untuk mencapai keserasian antara ketertiban
dengan ketentraman.(Soerjono Soekanto, 1982:138) .
2. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan yang dapat
digunakan oleh peneliti hukum. Menurut Peter Mahmud Marzuki (2005:93)
pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah:
a. Pendekatan Undang-undang (Statute approach), dilakukan dengan
menelaah semua Undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut
dengan isu hukum yang sedang ditangani.
b. Pendekatan kasus (case approach), dilakukan dengan cara menelaah
terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu hukum yang dihadapi
yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
c. Pendekatan historis (historical approach), dilakukan dalam kerangka
pelacakan lembaga hukum dari waktu ke waktu.
d. Pendekatan kooperatif atau perbandingan (comparative approach),
dilakukan dengan mengadakan studi perbandingan hukum.
e. Pendekatan konseptual (Conceptual approach), dilakukan manakala
peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal ini dilakukan
32
karena memang belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang
dihadapi.
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan tergolong pendekatan
Undang-undang (Statute approach), dimana pendekatan dengan menelaah
semua Undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum
yang sedang ditangani (Peter Mahmud Marzuki, 2005:93).
3. Waktu dan jadwal penelitian
Rencana waktu yang diperlukan dalam penelitian ini adalah kurang
lebih 2 bulan. Dilakukan pada bulan Maret sampai April tahun 2010, agar data
yang diperoleh dari penelitian ini dapat memberikan gambaran-gambaran dari
masalah yang dikemukakan dalam kegiatan penelitian ini.
4. Lokasi penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan pada Dinas Pertanian, Perkebunan dan
Kehutanan Kota Samarinda, Jalan Biola No.1 Komplek Prevab Samarinda,
Provinsi Kalimantan Timur dan tempat-tempat menumpuk kayu dan bahan
bangunan lain di wilayah kecamatan sungai kunjang kota samarinda.
5. Jenis dan sumber data
Data yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini bersumber dari data
primer, data sekunder dan data tertier yang dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Data Primer
Data primer diperoleh berupa data atau surat-surat yang berkaitan
dengan ketentuan tempat penumpukan kayu bundar, kayu masak dan
33
bahan bangunan lainnya di Kecamatan Sungai Kunjang, Kota Samarinda
yang ada pada Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kota
Samarinda, dan hasil dari wawancara pada beberapa pihak yang terkait
dengan permasalahan yang diteliti.
b. Data Sekunder
Data hasil sekunder diperoleh dari hasil studi pustaka terdiri dari buku-
buku dan peraturan Perundang-undangan, berupa Undang-undang dan
Peraturan Daerah yang berhubungan erat dengan masalah yang ada.
c. Data Tertier
Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus.
6. Metode Pengumpulan Data
Dalam melakukan penelitian penulis mempergunakan metode untuk
mengumpulkan data sebagai berikut :
a. Penelitian Lapangan, yakni pencarian data dengan melakukan
wawancara yaitu memberikan beberapa pertanyaan secara langsung,
baik itu berupa wawancara yang bersifat tertutup maupun terbuka yang
dipilih menjadi responden dalam penelitian, yang mewakili pihak yang
berwenang dari Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kota
Samarinda dan melakukan wawancara langsung pada beberapa pihak
yang terkait dengan permasalahan yang diteliti.
34
b. Penelitian kepustakaan, dimana dalam pengumpulan data ini
menggunakan penelaahan kepustakaan untuk mempelajari dan
mengumpulkan data informasi dari literatur yang ada hubungannya
dengan penelitian ini
7. Metode Pengolahan Data
Menurut Abdul Kadir Muhammad (2004:126), pengolahan data dalam
penelitian hukum umumnya dilakukan dengan cara :
a. Pemeriksaan data (editing) yaitu mengkoreksi apakah data yang
terkumpul sudah lengkap, sudah benar, dan sudah sesuai atau relevan
dengan masalah
b. Penandaan data (coding), yaitu memberi catatan atau tanda yang
menyatakan jenis sumber data atau urutan rumusan masalah.
c. Rekontruksi data (reconstructing), yaitu menyusun ulang data secara
teratur, berurutan, logis, sehingga mudah dipahami dan diintegrasikan.
d. Sistematisasi data (systematizing), yaitu menempatkan data menurut
kerangka sistematika bahasan urutan masalah.
Pengelolaan data dalam penelitian ini menggunakan cara tersebut diatas
dengan tahapan pemeriksaan data, penandaan data, rekonstruksi data, dan
sistematisasi data.
8. Analisis Data
Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode
analisis Deskritif Kualitatif. Maksudnya data yang diperoleh disajikan secara
35
deskritif dalam bentuk kalimat yang benar, lengkap, sistematis, sehingga tidak
menimbulkan penafsiran yang beragam, dan kemudian disajikan sebagai dasar
dalam menarik suatu kesimpulan (Soejono Soekanto, 1986:68).
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Sistematika dalam penulisan skripsi ini akan penulis bagi dalam bab per bab
yang terdiri dari empat bab, dimana secara keseluruhan merupakan rangkaian
pembahasan dari penulisan skripsi ini yang memberikan gambaran mengenai isi
atau materi, maka disusun dengan sistematika sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini berisikan latar belakang permasalahan yaitu masih
terdapatnya penumpukan kayu bundar, kayu masak dan bahan
bangunan lainnya yang tidak memiliki ijin menumpuk, Latar Belakang,
Perumusan masalah yang diteliti, Tujuan, Manfaat, Metode Penelitian
ini memuat (Jenis penelitian, pendekatan penelitian, waktu dan jadwal,
lokasi penelitian, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data,
metode pengolahan data, dan analisis data) dan sistematika penulisan
yang dipakai dalam penulisan skripsi sehingga memudahkan pembaca.
BAB II : LANDASAN TEORITIS
Pada bab ini landasan teoritis adalah suatu uraian tentang pokok dasar
teori, konsep-konsep hukum dan dasar-dasar hukum yang
berhubungan dengan skripsi ini. Landasan teoritis ini berisi teori
36
mengenai (pengertian efektivitas, unsur-unsur yang mempengaruhi
efektivitas, pengertian penegakan hukum, pengertian aparatur penegak
hukum, pengertian kayu bundar, pengertian kayu masak, pengertian
bahan bangunan dan pengertian ijin penumpukan menurut Peraturan
Daerah Nomor 22 Tahun 2004 tentang perubahan pertama Peraturan
Daerah Kota Samarinda Nomor 27 Tahun 2000 Tentang Ketentuan
Tempat Penumpukan Kayu Bundar, Kayu Masak dan Bahan
Bangunan Lainnya Dalam Wilayah Kota Samarinda.
BAB III : PEMBAHASAN
Pada bab ini akan memuat uraian tentang analisis mengenai efektivitas
penegakan hukum Peraturan Daerah Nomor 22 Tahun 2004 tentang
perubahan pertama Peraturan Daerah Kota Samarinda Nomor 27
Tahun 2000 Tentang Ketentuan Tempat Penumpukan Kayu Bundar,
Kayu Masak dan Bahan Bangunan Lainnya Dalam Wilayah Kota
Samarinda, serta pembahasan dari masalah yang merupakan obyek
dari penelitian dalam penulisan ini.
BAB IV : PENUTUP
Pada bab ini memuat tentang kesimpulan dari semua permasalahan
yang telah dibahas pada bab sebelumnya, serta saran yang kiranya
dapat memberi konstribusi bagi pembaca dan masyarakat pada
umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
37
38