isi-laporan akhir tahun-2011 - kementerian...
TRANSCRIPT
LEMBAR PENGESAHAN
1. Judul RPTP : Teknologi Pemupukan Untuk Mendukung Percepatan Peningkatan Produksi Padi
2. Penanggungjawab RPTP a. Nama : Drs. Edi Santosa, MS. b. Pangkat/Golongan : Pembina Tingkat I/IIId. c. Jabatan Fungsional : Peneliti Muda.
3. Lokasi Kegiatan : Jawa Barat, Bengkulu, dan Kalimantan Selatan.
4. Biaya Penelitian a. Total Biaya TA 2011 : Rp. 141.500.000,- (Seratus empat puluh satu
juta lima ratus ribu rupiah)
5. Sumber Dana : DIPA/RKAKL Satker : Balai Penelitian Tanah Tahun Anggaran 2011
Mengetahui, Kepala Balai Penelitian Tanah
Dr. Sri Rochayati, M.Sc. NIP.19570616 198603 2 001
Penanggungjawab RPTP
Drs. Edi Santosa, MS
NIP.19570205 198403 1 001
ii
KATA PENGANTAR
Laporan Tengah Tahun ini menyampaikan hasil akhir pelaksanaan kegiatan
Teknologi Pemupukan Untuk Mendukung Percepatan Peningkatan Produksi Padi. Pelaksanaan kegiatan penelitian lapang di Bengkulu telah selesai dan di
Kalimantan Selatan masih berjalan. Penelitian ini diharapkan dapat memperoleh
pengetahuan tentang pengaruh cara pengelolaan limbah pertanian, penggunaan
pupuk NPK dan pupuk hayati terhadap perubahan sifat kimia, fisika, dan biologi
tanah. Berdasarkan pengetahuan tersebut dapat dirakit teknologi pengelolaan limbah
pertanian, penggunaan pupuk NPK dan pupuk hayati secara terpadu sehingga dapat
meningkatkan efisensi penggunaan pupuk anorganik, meningkatkan kualitas
lingkungan dan produktivitas tanah sawah secara berkelanjutan. Dengan demikian
maka harapan aplikasi teknologi ini oleh para petani dapat meningkatkan produktivitas
padi sawah yang tinggi, berkelanjutan, efisien dalam penggunaan pupuk anorganik,
dan kualitas lingkungan persawahan terjaga.
Pada kesempatan ini disampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak
yang telah bekerjasama dengan baik.
Bogor, Desember 2011
Kepala Balai
Dr. Ir. Sri Rochayati, MSc.
NIP. 19570616 198603 2 001
iii
DAFTAR ISI
Hal.
KATA PENGANTAR .............................................................................................. ii DAFTAR ISI ............................................................................................................. iii DAFTAR TABEL .................................................................................................... iv RINGKASAN .......................................................................................................... v SUMMARY ............................................................................................................... v I. PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 1 1.2. Dasar pertimbangan ............................................................................... 3 1.3. Tujuan .................................................................................................... 4 1.4. Luaran yang diharapkan ......................................................................... 4 1.5. Perkiraan manfaat dan dampak dari kegiatan ........................................ 4
II. TINJAUAN PUSTAKA ……......…………………………………………........... 5 2.1. Kerangka teoritis ..................................................................................... 5 2.2. Hasil-hasil penelitian .............................................................................. 7 III. METODOLOGI PENELITIAN ………………………………………………..... 9 3.1. Pendekatan/Kerangka penelitian ........................................................... 9
3.2. Ruang lingkup kegiatan ......................................................................... 9 3.3. Bahan dan metoda penelitian ................................................................. 9 3.4. Analisis resiko …..………........................................................................ 9
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ 12 4.1. Sifat tanah sebelum percobaan ............................................................... 12 4.2. Sifat tanah setelah panen ........................................................................ 13 4.3. Keragaan tanaman padi var. Inpari 13 .................................................... 16
V. KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 23
VI. PRAKIRAAN DAMPAK HASIL KEGIATAN .................................................. 24
VII. DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 25
iv
DAFTAR TABEL
Tabel Judul Hal.
1 Karakteristik tanah sawah di Seluma, Bengkulu dan Haruyan, Kalimantan Selatan sebelum percobaan ……………………………….....................................
12
2 Dosis pupuk rekomendasi pada perlakuan percobaan di Seluma, Bengkulu dan Haruyan, Kalimantan Selatan ………………………………..................................
13
3
v
RINGKASAN
Penelitian Teknologi Pemupukan Untuk Mendukung Percepatan Peningkatan Produksi Padi merupakan kegiatan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh cara pengelolaan limbah pertanian, penggunaan pupuk NPK dan pupuk hayati terhadap perubahan sifat kimia, fisika, dan biologi tanah serta pertumbuhan dan hasil padi. Dalam jangka panjang penelitian ini diharapkan mendapatkan teknologi pengelolaan limbah pertanian, penggunaan pupuk NPK dan hayati bagi peningkatan produktivitas tanah sawah yang berkelanjutan. Kegiatan ini dilaksanakan di lahan sawah petani daerah Bengkulu dan Kalimantan Selatan. Percobaan disusun berdasarkan rancangan petak terpisah, dimana petak utama berupa pengelolaan jerami, yaitu : 1. Pengomposan jerami padi dengan cara disebar langsung di lahan sawah, disemprot dengan dekomposer, 2. Pengomposan jerami padi dengan cara dikumpulkan disamping petakan (ditumpuk) dengan diberi dekomposer, dan 3. Tanpa kompos (jerami padi). Adapun anak petaknya adalah : 1. Pemupukan NPK sesuai Permentan no 40/2007, 2. NPK majemuk (15:15:15), 3. NPK majemuk (20:10:10). 4. NPK majemuk (30:6:8), dosis berdasarkan hasil uji tanah, 5. NPK majemuk 15:15:15 + Silikat, dan 5. Pupuk hayati + ½ NPK (tunggal)-rekomendasi Permentan 40/2007 Setiap perlakuan diulang 3 kali dan ukuran anak petak 6 m x 5 m. Parameter yang diamati meliputi sifat fisik, kimia dan biologi tanah dilakukan pada awal dan akhir percobaan, agronomi dan komponen hasil panen tanaman padi.
SUMMARY
Research of Fertilization Technology to Accelerate the Increasing of Rice Production is a research activity that has the objective to determine the influence of the agricultural waste management, the use of NPK fertilizers and biological fertilizers on the changing nature of the chemical, physical, and biological soil and rice growth and yield. In the long term this research will be expected to get the technology of agricultural waste management, the use of NPK fertilizers and biofertilizer for increasing of productivity of sustainable rice-fields. The research will be carried out in the rice paddy field in Bengkulu and South Kalimantan. The experiment will be conducted using a split plot design with three kinds of composting straw in main plots and six sub-plot treatments consisting of inorganic and organic fertilizers (1: NPK fertilizer as recommendation of Permentan No. 40/2007; 2: NPK compound (15:15:15), 3: NPK compound (20:10:10). 4: NPK compound (30:6:8); 5: NPK compound 15:15:15 + silicate, 6: biofertilizer + ½ NPK (single) – as recommendation of Permentan No. 40/2007). Each treatment will be repeated three times. Properties of physical, chemical and biological soil at the beginning and end of the experiment, as well as agronomy and crop yield components of rice will be observed.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang Beras merupakan makanan pokok yang mempunyai nilai strategis di dalam
ketahanan pangan nasional. Saat ini dan ke depan, tantangan pembangunan nasional
semakin berat khususnya menyangkut pangan. Oleh karena itu Kementerian Pertanian
memfokuskan 4 target sukses Kemtan yaitu (1) swasembada pangan berkelanjutan, (2)
difersifikasi pangan, (3) peningkatan daya saing dan nilai tambah, (4) kesejahteraan petani.
Walaupun pertumbuhan penduduk rata-rata pertahun mencapai 1,34 % (BPS, 2011),
keamanan pangan harus selalu terjamin sehingga Kementerian Pertanian pada tahun 2011
telah menargetkan produksi padi nasional 70,6 juta ton GKG (meningkat 7%) dan stok
beras mencapai surpluss 10 juta ton pada tahun 2014. Oleh karena itu selain diperlukan
kerja keras juga diperlukan perubahan tata kerja bagi seluruh pemangku (stake holder)
pertanian serta penerapan teknologi bagi percepatan peningkatan produksi padi.
Pada tahun 1984 Indonesia dapat mencapai swasembada beras, namun kondisi
tersebut tidak dapat dipertahankan, beberapa penyebabnya antara lain adalah penurunan
luas sawah baku (Fagi, 1999) dan penurunan laju kenaikan produksi dari 1,3 %/tahun pada
tahun 1983-1988 menjadi 0,8 %/tahun pada periode 1999 – 2001 (BPS, 2001). Gejala ini
dapat terjadi karena para petani mempraktekkan budidaya pertanian konvensional yang
menyebabkan terjadinya ketidak-seimbangan hara dalam tanah, kemunduran peran hayati
tanah, dan meningkatnya cekaman biologis (hama/penyakit). Keadaan tersebut diakibatkan
dari penggunaan pupuk dan zat kimia pertanian lainnya yang tidak rasional. Pemakaian
pupuk anorganik yang tidak terkontrol dapat pula menurunkan produktivitas serta kualitas
lingkungan (Moersidi et al., 1990; Sri Rochayati et al., 1990; Sri Adiningsih, 1992). Pupuk merupakan salah satu komponen penting dalam proses produksi pertanian,
oleh karena itu inovasi teknologi di bidang pupuk (anorganik, organik, hayati) masih terus
dikembangkan, baik dalam pengembangan formula baru, peningkatan efektivitas maupun
peningkatan efisiensi penggunaannya. Selain pupuk, pengembangan inovasi di bidang
formulasi pembenah tanah juga sangat dibutuhkan untuk mengembalikan/meningkatkan
produktivitas lahan sawah yang pada umumnya mempunyai tingkat produktivitas rendah
karena terkendala oleh sifat-sifat tanah yang telah mengalami kemunduran.
Penggunaan pupuk oleh petani di lahan sawah sejak empat dekade terakhir
diketahui belum berimbang karena berbagai hal, antara lain karena mahalnya harga atau
kelangkaan pupuk tertentu seperti KCl dan SP-36. Sebagian besar petani padi sawah
hanya menggunakan pupuk nitrogen dalam bentuk urea karena harganya yang murah
(pupuk bersubsidi) dan pengaruhnya bisa langsung dilihat dalam pertumbuhan vegetatif
tanaman, sedangkan pupuk P dan K belum banyak digunakan.
2
Akibat pengelolaan hara yang kurang tepat serta tidak digunakannya bahan organik
sebagai salah satu input, telah terjadi penurunan kadar bahan organik tanah di lahan
sawah. Hasil kajian yang dilakukan Kasno et al. (2000) menunjukkan bahwa sekitar 65%
tanah sawah di Indonesia berkadar C-organik di bawah batas kritis (< 2%), dan hanya 35%
yang berkadar C-organik > 2 %, inipun terjadi pada lahan sawah yang bergambut. Hasil
kajian Balai Penelitian Tanah menunjukkan 49,5% lahan sawah beririgasi teknis di
Kabupaten Karawang mempunyai kadar bahan organik rendah dan rendah-sedang, 30,6%
lahan sawah berkadar bahan organik sedang-tinggi dan tinggi, serta sisanya (19,9%)
berkadar bahan organik sedang (Laporan Tahunan 2009, hal 104). Kadar bahan organik
tanah berkorelasi positif dengan produktivitas tanaman padi sawah dimana makin rendah
kadar bahan organik makin rendah produktivitas lahan (Karama et al., 1990).
Jerami padi sebagai hasil sisa panen belum dimanfaatkan secara optimal, pada sisi
lain jerami sebagai sumber C-organik bagi hayati tanah dan sumber hara tanaman, secara
berkala selalu tersedia, setiap panen dihasilkan jerami rata-rata 1,5 x hasil gabah. Oleh
karena itu pengembalian jerami perlu dilakukan oleh para petani di setiap lahan sawah
pada setiap musim tanam, sehingga pembakaran jerami tidak terjadi. Dengan demikian
maka secara tidak sadar para petani menerapkan pengelolaan hara terpadu bagi lahan
sawah. Ketepatan pengelolaan tanah akan memperbaiki komunitas hayati tanah sehingga
dapat mengembalikan peranan hayati tanah bagi kesuburan tanah-tanaman. Aktivitas
berbagai komunitas hayati tanah seperti mikroorganisme, mikroflora, dan fauna tanah
saling mendukung bagi keberlangsungan proses siklus hara, membentuk biogenic soil
structure (Witt, 2004) yang mengatur terjadinya proses-proses fisik, kimia, dan hayati
tanah. Berbagai mikroorganisme dapat meningkatkan kesuburan tanah, melalui produksi
berbagai senyawa penting seperti zat organik pelarut hara, fitohormon, dan antipatogen.
Beberapa mikroba diazotorop endofitik dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman dan
melindungi strees tanaman melalui metabolisme zat tumbuh alami, meningkatkan
ketersediaan hara dan bahan organik, sekresi senyawa antimikroba dan hama.
Kemampuan mikroba dalam menambat N2, melarutkan P tak tersedia menjadi tersedia,
menghasilkan zat tumbuh alami, merombak bahan organik sangat berperan dalam
meningkatkan kesuburan tanah.
Pengelolaan hara terpadu mensyaratkan penggunaan pupuk organik dan anorganik
secara proposional sebagai sumber hara tanaman. Secara kuantitatif, kandungan hara
pupuk organik relatif rendah, namun keunggulan lain dari pupuk organik dapat
memperbaiki sifat kimia, fisika, dan biologi tanah serta meningkatkan efisiensi pemupukan.
Pupuk organik mengandung hampir semua hara esensial sehingga disamping dapat men -
3
suplai hara makro dalam jumlah kecil juga dapat menyediakan unsur mikro. Dengan
demikian maka pemanfaatan pupuk organik dapat mencegah kekahatan unsur mikro pada
tanah marginal atau tanah yang telah diusahakan secara intensif akibat dari pemupukan
yang kurang berimbang.
1.2. Dasar Pertimbangan Pencapaian target produksi padi nasional 70,6 juta ton GKG (meningkat 7%) pada
tahun 2011 dan stok beras mencapai surplus 10 juta ton pada tahun 2015 Kementerian
Pertanian memerlukan kerja keras bagi seluruh pemangku (stake holder) pertanian serta
penerapan teknologi percepatan peningkatan produksi padi.
Kebutuhan hara setiap tanaman sangat spesifik tergantung dari sifat tanah, kondisi
iklim dan jenis tanaman. Pupuk merupakan salah satu komponen penting dalam proses
produksi pertanian, oleh karena itu inovasi teknologi di bidang pupuk (anorganik, organik,
hayati) masih terus dikembangkan, baik dalam pengembangan formula baru, peningkatan
efektivitas maupun peningkatan efisiensi penggunaannya. Di dalam upaya mencukupi
nutrisi tanaman yang spesifik tersebut, telah dibuat beberapa formula pupuk majemuk NPK
dengan perbandingan kadar N:P:K (1) 15:15:15, (2) 20:10:10, dan (3) 30:6:8. Untuk
mengetahui formula yang paling efektif bagi penggunaan pupuk NPK majemuk tersebut
diperlukan penelitian penerapannya di lapang.
Jerami padi pada setiap habis panen selalu tersedia, merupakan sumber hara
tanaman dan sumber energi bagi hayati tanah, belum dimanfaatkan secara optimal oleh
para petani. Teknologi pengomposan in situ bagi pemanfaatan jerami telah tersedia yaitu
dengan penggunaan mikroba dekomposer untuk mempercepat pengomposan dan
meningkatkan mutu kompos yang dihasilkan. Teknologi ini mulai digunakan/diapresiasi
para pelaku pertanian pada 2009, tetapi teknologi tersebut masih memerlukan tenaga yang
banyak dan waktu yang relatif lama. Oleh karena itu perlu dicari teknologi cara
pemanfaatan jerami dengan penggunaan dekomposer yang efektif dalam mengurangi
kebutuhan tenaga dan waktu pengomposan.
Aktivitas berbagai komunitas hayati tanah seperti mikroorganisme, mikroflora, dan
fauna tanah saling mendukung dan mengatur terjadinya proses-proses fisik, kimia, dan
hayati tanah. Berbagai mikroorganisme dapat meningkatkan kesuburan tanah, melalui
produksi berbagai senyawa penting seperti zat organik pelarut hara, fitohormon, dan
antipatogen. Beberapa mikroba diazotorop endofitik dapat meningkatkan pertumbuhan
tanaman dan melindungi strees tanaman melalui metabolisme zat tumbuh alami,
meningkatkan ketersediaan hara dan bahan organik, sekresi senyawa antimikroba dan
hama. Kemampuan mikroba dalam menambat N2, melarutkan P tak tersedia menjadi
4
tersedia, menghasilkan zat tumbuh alami, sangat berperan dalam meningkatkan kesuburan
tanah. Oleh karena itu teknologi pemanfaatan kemampuan mikroba tanah tersebut perlu
diteliti dan dikembangkan untuk peningkatan produktivitas tanah sawah.
1.3. Tujuan
Jangka pendek:
1. Mengetahui pengaruh cara pengelolaan limbah pertanian, penggunaan pupuk NPK dan
pupuk hayati terhadap perubahan sifat kimia, fisika, dan biologi tanah.
2. Mengetahui pengaruh cara pengelolaan limbah pertanian, penggunaan pemupukan
NPK dan pupuk hayati terhadap pertumbuhan dan hasil padi.
3. Mengetahui pengaruh cara pengelolaan limbah pertanian, penggunaan pupuk NPK dan
pupuk hayati terhadap produktivitas tanah sawah.
4. Memperoleh informasi pengaruh interaksi cara pengelolaan limbah pertanian dengan
penggunaan pupuk NPK dan hayati terhadap sifat tanah, pertumbuhan dan hasil padi.
Jangka panjang:
Mendapatkan teknologi pengelolaan limbah pertanian, penggunaan pupuk NPK dan
hayati bagi peningkatan produktivitas tanah sawah yang berkelanjutan.
1.4. Luaran yang diharapkan
Jangka pendek :
1. Informasi tentang pengaruh cara pengelolaan limbah pertanian, penggunaan pupuk
NPK dan pupuk hayati terhadap perubahan sifat kimia, fisika, dan biologi tanah.
2. Informasi tentang pengaruh cara pengelolaan limbah pertanian, penggunaan
pemupukan NPK dan pupuk hayati terhadap pertumbuhan dan hasil padi.
3. Informasi tentang pengaruh cara pengelolaan limbah pertanian, penggunaan pupuk
NPK dan pupuk hayati terhadap produktivitas tanah sawah.
4. Informasi tentang pengaruh interaksi cara pengelolaan limbah pertanian dengan
penggunaan pupuk NPK dan hayati terhadap sifat tanah, pertumbuhan dan hasil padi.
Jangka panjang : Teknologi pengelolaan limbah pertanian, penggunaan pupuk NPK dan hayati bagi
peningkatan produktivitas tanah sawah yang berkelanjutan.
1.5. Perkiraan manfaat dan dampak dari rencana kegiatan
Teknologi inovasi pengelolaan limbah pertanian, penggunaan pupuk NPK dan pupuk
hayati merupakan teknologi pemupukan terpadu yang akan dapat meningkatkan efisensi
penggunaan pupuk anorganik, meningkatkan kualitas lingkungan dan produktivitas tanah
sawah secara berkelanjutan.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kerangka Teoritis
Kegiatan pertanian konvensional yang dilakukan sebagian besar petani saat ini hanya
berorientasi pada memaksimalkan hasil dengan mengandalkan bahan kimia pertanian
berupa pupuk anorganik dan biosida sintettis telah banyak menimbulkan kerusakan
lingkungan. Hal ini terlihat antara lain : kadar hara-hara dalam tanah tidak seimbang,
keaneka-ragaman hayati tanah menurun, biomassa fauna tanah menurun, dan fluktuasi
populasi jenis fauna dominan meningkat (Hill, 2004). Kemunduran fisik, kimia dan biologis
tanah pada sebagian besar sistem pertanian konvensional dalam jangka panjang
merupakan salah satu masalah yang serius bagi keberlanjutan usaha tani (Dumarezq and
Geens, 2001; Kabirun, 2004).
Pupuk merupakan sarana produksi yang sangat penting dalam upaya peningkatan
produksi tanaman. Saat ini rekomendasi pemupukan masih bersifat umum belum
didasarkan pada status hara tanah dan kebutuhan hara oleh tanaman. Status hara P dan K
lahan sawah intensifikasi sangat bervariasi dari rendah sampai tinggi (Adiningsih et al.,
1989; Moersdidi et al., 1990). Lahan sawah intensifikasi yang telah dipetakan sebanyak 18
propinsi di Indonesia (Sofyan et al., 2004), sebagian besar lahan sawah berstatus P
sedang dan tinggi (43 dan 40%), dan bersatatus K sedang dan tinggi (37 dan 51%).
Dengan demikian rekomendasi pemupukan P dan K seharusnya sebagian besar lahan
sawah intensifikasi 50-75 kg SP-36 dan 50 kg KCl/ha.
Efektivitas dan efisiensi penggunaan pupuk sangat dipengaruhi oleh kadar C-
organik tanah. Kasno et al., (2003) mengemukakan bahwa kadar C-organik lahan sawah
intensifikasi yang berkadar < 2% sekitar 66%. Pemberian bahan organik berupa jerami
padi pada tanah sulfat masam dapat meningkatkan pH tanah dan C-organik, kelarutan Fe2+
dan SO42- serta menurunkan Aldd tanah (Anwar et al., 2006). Penambahan jerami padi yang
dipotong-potong pada tanah tergenang dapat meningkatkan ketersediaan N-NH4+ jauh
lebih tinggi dibandingkan pemberian kompos jerami (Indriyati et al., 2007). Selanjutnya juga
disampaikan bahwa pemberiaan bahan organik (jerami padi dan kompos jerami padi) ke
dalam tanah tergenang dapat meningkatkan aktivitas enzim nitrogenase dalam penambat
N2, sebagai sumber N yang dapat digunakan tanaman padi pada fase generatif.
Rekomendasi pemupukan di dalam Permentan No. 40/2007 telah disusun
berdasarkan peta status hara P dan K tanah skala 1:250.000, selain itu juga dapat ditentu -
kan dengan menggunakan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS). Namun kenyataannya
petani di lapang belum menggunakan rekomendasi sesuai dengan status hara tanah.
Pupuk yang tersedia di lapangan bervariasi dari pupuk majemuk dan tunggal, pupuk
6
majemuk yang umum dijumpai di lapang antara lain NPK Phonska, NPK Pelangi dan NPK
Kujang tergantung daerahnya. Pupuk tunggal yang masih banyak beredar adalah urea dan
SP-36, sedangkan pupuk KCl sudah susah dicari di lapang.
Di lapang, jerami padi belum optimum digunakan, lebih banyak ditumpuk di pematang
dan dibakar. Sebagian besar penggunaan jerami padi bersaingan dengan penggunaan lain
seperti untuk pakan ternak dan bahan pembuatan jamur. Sehingga pemanfaatan jerami
padi hanya tunggul sisa hasil panen yaang tertinggal di sawah.
Di dalam usaha penyediaan pangan/beras pada jumlah dan kualitas yang cukup
tanpa merusak lingkungan dan sumberdaya alam, banyak faktor harus diperhitungkan
(dipenuhi). Pengelolaan tanah diarahkan pada perbaikan struktur fisik, komposisi kimia dan
keseimbangan biota tanah yang optimum (Abbot 1989 in Witt 2004), sehingga interaksi
antara abiotik-biotik tanah optimal. Dengan demikian maka penerapan pengelolaan
tanaman terpadu yaitu pendekatan dalam sistem usaha tani padi yang berlandaskan
keterpaduan antara sumber daya dan pengelolaan tanaman dengan penerapan good
agricultural practices. Dimana dalam pengelolaan hara pemberian pupuk merupakan
perpaduan pupuk organik, pupuk anorganik dan pupuk hayati. Scholes et al, 1994
menyatakan bahwa untuk memperbaiki dan mempertahankan kesuburan tanah tropika
adalah dengan memanipulasi populasi biologi tanah.
Mikroba tanah sangat berperan dalam membantu pertumbuhan dan peningkatan
produksi tanaman. Hal ini disebabkan berbagai mikroba tanah berperan dalam
penambatan N2-udara (baik yang hidup bebas maupun bersimbiose), pelarutan P,
penyedia K, penghasil hormon tumbuh dan perangsang pembungaan, serta penghasil zat
pengendali penyakit. Berbagai bakteri tanah yang dikenal dengan rhizobakteri, hidup bebas
di sekitar perakaran, merupakan bakteri pemacu tumbuh tanaman yang populer disebut
sebagai plant growth promoting rhizobacteria (PGPR). PGPR mampu menstimulasi
pertumbuhan tanaman karena berperanan dalam meningkatkan ketersediaan hara atau
memproduksi fitohormon pemacu tumbuh (Kloepper and Schroth, 1978). Berbagai jenis
bakteri telah diidentifikasi sebagai PGPR, paling banyak dari genus Pseudomonas
(Kloepper, 1993), Azotobacter, Azozospirillum, Acetobacter, Burkholderia, dan Bacillus
(Glick, 1995). Beberapa rhizobakteri mampu memacu pertumbuhan tanaman karena
memproduksi asam indol asetat (AIA) yang juga dikenal sebagai auksin eksogen. Auksin
merupakan salah satu golongan senyawa yang berperan dalam menginduksi pemanjangan
organ tanaman pada bagian sub-apikal (Weerasooriya, 2005). Kemampuan menghasilkan
AIA tersebar diantara bakteri yaitu bakteri tanah, bakteri efifitik, dan bakteri endofitik
(Patten and Glick, 1996). Beberapa bakteri juga mampu menghasilkan sitokinin. Sitokinin
7
ditransfer ke daun melalui xylem, berfungsi untuk meningkatkan energi metabolisme yang
digunakan untuk mematahkan dominansi apikal dan pembentukan kuncup bunga. Inokulasi
Azospririllum brasiliense Spl3t.SR2 dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman bagian
atas lebih tinggi dibanding dengan tanaman yang diberi hormon tumbuh AIA pada
konsentrasi optimum 0,01 ppm (Tien et al., 1979).
Pemanfaatan kemampuan hayati tanah (pupuk hayati) dipadukan dengan
penggunaan pupuk anorganik merupakan inovasi teknologi yang paling tepat bagi usaha
meningkatkan dan mempertahankan produksi tanaman padi. Teknologi tersebut
merupakan teknologi yang ramah lingkungan, pengunaan pupuk anorganik yang efisien,
dan produktivitas berkelanjutan. Teknologi ini didasarkan atas penggunaan pupuk
anorganik secara rasional yaitu berdasarkan atas sifat tanah (terutama kadar hara) dan
kebutuhan tanaman, pemanfaatan hayati tanah unggul, dan penggunaan bahan organik
insitu.
Sisa tanaman (jerami padi), hewan, atau juga sisa jutaan makhluk kecil yang berupa
bakteri jamur, ganggang, hewan satu sel, maupun banyak sel merupakan sumber bahan
organik yang sangat potensial bagi produktivitas tanah. Apabila bahan tersebut dikelola
dengan baik, akan sangat berguna untuk perbaikan sifat fisik, kimia dan hayati tanah, dan
sekaligus mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Sebelum mengalami proses
perombakan atau dekomposisi, sisa hewan dan tumbuhan ini tidak berguna bagi tanaman,
karena unsur hara terikat dalam bentuk organik yang tidak dapat diserap tanaman. Dengan
adanya dekomposisi, bahan organik akan dipecah menjadi bahan-bahan yang lebih
sederhana dan menyediakan unsur hara yang berguna bagi tanaman. Pirngadi (2009)
menyatakan bahwa penggunaan bahan organik dapat meningkatkan hasil padi secara
nyata (16%).
2.2. Hasil-hasil penelitian
Hasil kajian tentang penggunaan kompos, pupuk NPK, dan pupuk hayati
memperlihatkaan bahwa penggunaan pupuk hayati + kompos 2,5 t/ha + ½ (NPK)-
rekomendasi pada sistem budidaya pengelolaan tanaman terpadu (PTT) maupun
konvensional (praktek petani) memberikan hasil nyata lebih tinggi dibanding dengan yang
hanya pemberian kompos 5 t/ha demikian pula pada penggunaan mikroorganisme lokal
(MOL) pada system rice intensification (SRI). Keadaan ini memberikan indikasi bahwa
kombinasi penggunaan bahan organik, pupuk hayati (mikroba yang unggul/hasil seleksi),
dan pupuk anorganik ½ dosis rekomendasi pada tanah sawah ini merupakan kombinasi
yang paling ideal bagi budidaya tanaman padi sawah (Balittanah, 2011).
8
Bagian penting dari siklus karbon, nitrogen, fosfor, sulfur dan air yang terjadi di dalam
tanah sebagian besar melibatkan interaksi mikroba dan fauna tanah dengan sifat kimia dan
fisika tanah (Doran dan Parkin, 1996). Kadar dehidrogenase tanah menggambarkan
besarnya aktivitas mikroba tanah, semakin tinggi kadar dehidrogenase tanah aktivitas
mikroba tanah juga semakin tinggi. Kadar dehidrogenase paling tinggi dicapai oleh
perlakuan sistem Konvensional dengan pengunaan pupuk hayati + kompos 2,5 t/ha + ½
(NPK)-rekomendasi sebesar 49,9 ppm nyata lebih tinggi dibanding dengan perlakuan
lainnya yang hanya 11,4 – 27,53 ppm. Penelitian sebelumnya yang dilakukan Nayak et al.
(2010) menyebutkan bahwa aktivitas dehidrogenase pada lahan sawah adalah sekitar
18,47 ppm saat curah hujan rendah dan sekitar 17,45 ppm saat curah hujan tinggi.
Demikian pula pada SRI ternyata penggunaan MOL dikombinasikan dengan kompos 2,5
t/ha + ½ (NPK)-rekomendasi cenderung memberikan kadar dehidrogenase lebih tinggi
dibanding dengan hanya pemberian kompos 5 t/ha. Keadaan ini juga terlihat pada sistem
PTT yang dibarengi dengan kompos 2,5 t/ha + ½ (NPK)-rekomendasi lebih baik dibanding
dengan kompos 5 t/ha atau pemupukan NPK-rekomendasi. Dengan demikian maka
aktivitas mikroba tanah paling tinggi pada perlakuan pupuk hayati + kompos 2,5 t/ha + ½
(NPK)-rekomendasi, pemakaian pupuk hayati dapat meningkatkan populasi mikroba tanah,
pemberian kompos 2,5 t/ha cukup memenuhi kebutuhan sumber energi bagi mikroba dan
penggunaan ½ (NPK)-rekomendasi cukup untuk memenuhi kebutuhan hara makro
esensial baik bagi mikroba maupun tanaman padi.
9
III. METODOLOGI
3.1. Pendekatan/Kerangka pemikiran
Penggunaan jerami merupakan pemanfaataan limbah pertanian in situ sebagai
sumber hara tanaman dan sumber energi bagi mikroba tanah, selalu tersedia sehabis
panen padi. Penggunaan jerami tersebut secara tepat disertai dengan pupuk hayati dapat
meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk anorganik dan memperbaiki kualitas
lingkungan. Penelitian dilaksanakan dengan mengadakan percobaan di lahan sawah milik
petani, pada T.A. 2011 dilaksanakan di 2 lokasi kegiatan yaitu di Bengkulu dan Kalimantan
Selatan.
3.2. Ruang Lingkup Kegiatan
Kegiatan yang akan dilakukan ada TA 2011 berupa penelitian lapang yang dilakukan
di dua lokasi yaitu Bengkulu dan Kalimantan Selatan. Perlakuan dari percobaan ini berupa
kombinasi antara cara pengomposan jerami yang akan dilakukan secara insitu dengan
dosis pemupukan NPK, Si dan pupuk hayati. Pengamatan yang akan dilakukan adalah
pengamatan sifat fisik, kimia dan biologi tanah serta pengamatan agronomis berupa hasil
dan komponen hasil. Luas petakan 5mx6m.
3.3. Bahan dan Metode Penelitian
Bahan
• Bahan ATK yaitu alat tulis (pensil dan ball poin), kerta HVS, tinta printer, disket, CD, penghapus, spidol, penggaris, dan sebagainya.
• Pupuk NPK majemuk dengan 3 macam perbandingan kadar N:P:K yaitu: 15:15:15,
20:10:10, dan (3) 30:6:8.
• Dekomposer, pupuk hayati, dan kalium silikat (sumber Si lainnya).
Peralatan
• Perangkat uji tanah sawah (PUTS)
• Peralatan untuk pengolahan tanah, tanam padi, panen serta peralatan untuk
pengamatan agronomi tanaman padi dan komponen hasil hasil.
• Peralatan untuk pengambilan contoh tanah dan tanaman.
• Peralatan untuk analisis kimia, fisika, dan biologi tanah.
• Peralatan kantor: komputer/laptop.
Metode
Percobaan disusun berdasarkan rancangan petak terpisah, dimana petak utama
berupa pengelolaan jerami, yaitu :
10
1. Pengomposan jerami padi dengan cara disebar langsung di lahan sawah disemprot
dengan dekomposer
2. Pengomposan jerami padi dengan cara dikumpulkan disamping petakan (ditumpuk)
dengan diberi dekomposer
3. Tanpa kompos (jerami padi)
Adapun anak petaknya adalah ;
1. Pemupukan NPK sesuai Permentan no. 40/2007
2. NPK majemuk (15:15:15)
3. NPK majemuk (20:10:10)
4. NPK majemuk (30:6:8), dosis berdasarkan hasil uji tanah
5. NPK majemuk 15:15:15 + Silikat
6. Pupuk hayati + ½ NPK (tunggal)-rekomendasi Permentan 40/2011
Asam silikat ([SiOx(OH)4-2x]n asal Jepang) sebanyak 200 kg/ha disebar satu hari sebelum
tanam, Setiap perlakuan diulang 3 kali dan ukuran anak petak 6 m x 5 m. Parameter yang
diamati meliputi sifat fisik, kimia dan biologi tanah dilakukan pada awal dan akhir
percobaan serta pengamatan agronomis berupa pertumbuhan tanaman, hasil dan
komponen hasil panen tanaman padi.
3.4. Analisis resiko
Ada beberapa faktor resiko yang ditengarai akan berpengaruh terhadap pelaksanaan
kegiatan ini. Beberapa diantaranya adalah : (1) perubahan kebijakan di tingkat Badan
Litbang, (2) bencana alam, dan (3) kenaikan harga barang/jasa yang cukup ekstrim
sehingga akan berpengaruh terhadap harga pengadaan bahan penelitian, tenaka kerja,
dan tarif transportasi udara (tiket pesawat).
Terkait dengan faktor resiko pertama, kegiatan ini akan menyesuaikan dengan
prioritas akibat perubahan kebijakan tersebut, baik dalam hal lokasi maupun substansi
kegiatan sejauh perubahan kebijakan tersebut berlangsung di awal tahun 2011. Apabila
perubahan kebijakan tersebut terjadi pada pertengahan tahun, bahkan menjelang akhir
tahun maka akan sulit untuk melakukan penyesuaian.
Terkait dengan faktor resiko kedua maka kegiatan ini akan ditiadakan pada lokasi-
lokasi kegiatan yang terkena bencana alam dan dialihkan ke lokasi lain atau peningkatan
intensitas pengamatan pada percobaan di lokasi yang tidak terkena bencana dengan
sepengetahuan kepala institusi. Kemudian terkait dengan faktor resiko ketiga, kegiatan ini
akan difokuskan pada lokasi atau substansi yang dapat terjangkau setelah dilakukan
perhitungan ulang mengenai dampak peningkatan harga barang/jasa/transportasi terhadap
11
ketersediaan dana dalam kegiatan ini. Parameter pengamatan dimungkinkan untuk
dikurangi dan disesuaikan dengan ketersediaan dana tetapi harus diusahakan semaksimal
mungkin yang bisa dikerjakan.
Lokasi prioritas kegiatan yang akan dilaksanakan apabila terjadi salah satu faktor
resiko di atas adalah (1) Bengkulu, dan (2) Kalimantan Selatan.
12
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Sifat tanah sebelum percobaan
Lokasi penelitian di Bengkulu dan Kalimantan Selatan telah ditentukan yaitu di lahan
sawah di daerah Seluma dan Haruyan dengan karakteristik tanah sebelum diberi perlakuan
disajikan pada Tabel 1. Tanah di Seluma menunjukkan tanah bereaksi masam dengan
kadar C-organik rendah, kadar P-potensial sangat tinggi tetapi kadar K-potensial rendah.
Sedangkan nilai tukar kation, kapasitas tukar kation (KTK), dan kejenuhan basa (KB) masih
dianalisa di laboratorium kimia tanah. Pengamatan hayati tanah diperoleh bahwa populasi
total bakteri, mikroba pelarut P, dan bakteri penambat N (Azotobacter sp.) cukup melimpah
sedangkan populasi fungi dan Bacillus sp. lebih dari 104 cfu/g. Hasil analisis tanah di
Haruyan memperlihatkan tanah bereaksi sangat masam dengan kadar C-organik rendah,
kadar P-potensial tergolong sedang dan kadar K-potensial sangat rendah. Kadar kation-
kation Cadd sedang, Mgdd tinggi, Kdd dan Nadd sangat rendah. Populasi total bakteri, total
Tabel 1. Karakteristik tanah sawah di Seluma, Bengkulu dan Haruyan, Kalimantan Selatan sebelum percobaan.
Analisis Seluma Haruyan
Nilai Kriteria* Nilai Kriteria* pH H2O (1:2,5) 5,23 Masam 4,42 Sangat masam KCl 1 N (1:2,5) 5,01 3,67 Bahan organik C-organik (%) 1,95 Rendah 1,69 Rendah Ekstrak HCL 25% P-potensial (mgP2O5/100g) 124,60 Sangat tinggi 39,1 Sedang K-potensial (mg K2O/100g) 17,7 Rendah 3,2 Sangat rendah Nilai tukar kation Ca (Cmol/kg) - - 8,11 Sedang Mg (Cmol/kg) - - 2,25 Tinggi K (Cmol/kg) - - 0,05 Sangat rendah Na (Cmol/kg) - - 0,05 Sangat rendah KTK (Cmol/kg) - - 16,66 Sedang KB (%) - - 63 Tinggi Hayati Total bakteri (cfu/g) 6,3x109 - 1,5x1011 - Total fungi (cfu/g) 1,5x104 - 2,2x105 - Mikroba pelarut P (cfu/g) 3,9x107 - 8,0x108 - Bacillus sp. (cfu/g) 2,1x104 - 4,3x104 - Azotobacter sp. (cfu/g) 1,1x105 - 2,2x106 -
Keterangan: * Berdasarkan Balai Penelitian Tanah, 2009.
13
fungi, mikroba pelarut P, dan bakteri penambat N (Azotobacter sp.) cukup banyak,
sedangkan populasi Bacillus sp. > 104.
Dari uraian tersebut secara ringkas tanah Haruyan mempunyai pH, kadar P, dan K-
potesial lebih rendah dibanding tanah Seluma, tetapi kemelimpahan hayati tanahnya lebih
tinggi.
Berdasarkan hasil analisis tanah tersebut maka macam dan dosis pada setiap
perlakuan percobaan di setiap lokasi diperoleh seperti pada Tabel 2, penggunaan NPK-
majemuk masih memerlukan pupuk tunggal berupa urea, SP-36 atau KCl sebagai
penambahan unsur N, P, atau K sehingga mencapai kesetaraan bagi setiap unsur yang
ditambahkan pada setiap perlakuan.
Tabel 2. Dosis pupuk rekomendasi pada perlakuan percobaan di Seluma, Bengkulu dan Haruyan, Kalimantan Selatan.
Lokasi/Perlakuan
Dosis pupuk (kg/ha)
NPK* Urea SP-36 KCl Seluma NPK 15-15-15 125 225 0 25 NPK 20-10-10 175 175 0 15 NPK 30-6-8 300 50 0 10 NPK-tunggal 0 250 50 50 Haruyan NPK 15-15-15 180 190 0 55 NPK 20-10-10 270 130 0 55 NPK 30-6-8 375 0 12,5 50 NPK-tunggal 0 250 75 100
Keterangan: * sesuai dengan NPK yang diperlakukan
Hasil dan pembahasan berikut ini merupakan hasil percobaan di Seluma, Bengkulu,
sedangkan percobaan di Haruyan, Kalimantan selatan masih berjalan.
4.2.1. Sifat tanah setelah panen
Sifat Fisik Tanah
Hasil analisis beberapa sifat fisika tanah sebelum percobaan disajikan pada Tabel 1.
Sebelum dilakukan penelitian dilakukan pengambilan contoh tanah untuk mengetahui berat
jenis (bulk density/BD) tanah, berat jenis butir (particle density/PD) tanah, persen volume
ruang pori total (RPT) tanah, dan permeabilitas tanah pada dua kedalaman, yaitu 0 – 20
cm, dan 20-40 cm.
14
Pada Tabel 3 telihat pada kedalaman 0-20 cm bahwa BD, PD dan ruang pori total
lapisan atas lebih kecil dibanding lapisan 20-40, semakin kecil BD maupun PD, semakin
mudah tanah untuk diolah. Ruang pori total menunjukan persen volume dari pori-pori tanah
terhadap keseluruhan volume tanah. Ruang pori berkaitan dengan ruang yang akan diisi air
dan udara tanah. Permeabilitas berkaitan dengan kemampuan tanah dalam melewatkan air
ke bagian dalam tanah. Umumnya permeabilitas lapisan bawah memiliki angka
permeabilitas yang lebih rendah dibanding bagian atasnya, keadaan demikian
menunjukkan tanah bagian atas lebih gembur, sedang bagian bawahnya relatif lebih padat.
Hal ini berkaitan dengan kondisi lahan sebelum disawahkan, ditanami palawija (jagung)
dengan kondisi tanah gembur. Makin rendah permeabilitas, semakin kecil kehilangan air ke
lapisan bawah, sehingga berperan dalam mengefisienkan kebutuhan air.
Tabel 3. BD, PD, distribusi pori dan permeabilitas tanah pada dua kedalaman tanah sebelum percobaan.
Kedalaman tanah (cm)
BD (g/cc)
PD (g/cc)
Ruang Pori Total
(% volume)
Permeabilitas (cm/jam)
0-20 1,07 2,26 52,60 5,22
20 - 40 1,12 2,42 53,73 2,50
Setelah tanaman padi dipanen, kemudian diambil contoh tanah utuh dengan
menggunakan “ring sample” untuk ditetapkan beberapa sifat fisika tanah. Sifat fisik tanah
yang ditetapkan sama dengan yang ditetapkan sebelum percobaan. Hal ini dimaksudkan
untuk melihat apakah ada perubahan sifat fisik tanah akibat pengaruh perlakuan dalam
penelitian ini.
Hasil analisis beberapa sifat fisik tanah setelah perlakuan (tanaman padi di panen)
disajikan pada Tabel 4 dan 5. Pada Tabel 4 terlihat bahwa pengaruh perlakuan petak
utama A, B dan C terhadap BD, PD, dan volume ruang pori total tidak ada perbedaan yang
nyata. Permeabilitas tanah pada petak utama tersebut berkisar antara 2,15 cm/jam sampai
2,80 cm/jam masih tergolong dalam kelas sedang (2,00-6,35 cm/jam), tetapi jika
dibandingkan antara nilai permeabilitas lapisan atas (0-20 cm) setelah perlakuan dengan
sebelum perlakuan menunjukkan penurunan, semula 5,22 cm/jam (Tabel 3) menjadi 2,15-
2,80 cm/jam, nilai tersebut kelas kisarannya sama dengan pada kedalaman 20-40 cm
sebelum perlakuan. Hal ini membuktikan bahwa pelumpuran dalam pengolahan tanah
untuk pertanaman padi sawah dapat menurunkan permeabilitas tanah lapisan atas (0-20
15
cm) yang hampir sama dengan permeabilitas lapisan bawah (20-40 cm) pada sebelum
perlakuan dilakukan.
Tabel 4. BD, PD, Ruang Pori Total dan Permeabilitas pada perlakuan Petak Utama, kedalaman 0-20 cm saat panen.
Perlakuan (Petak Utama)
BD (g/cc)
PD (g/cc)
Ruang Pori Total
(% volume)
Permeabilitas(cm/jam)
A = Pengomposan jerami padi dengan cara disebar langsung di lahan sawah disemprot dengan decomposer
1,10 2,31 52,4 2,15
B = Pengomposan jerami padi dengan cara dikumpulkan disamping petakan (ditumpuk) dengan diberi dekomposer
1,13 2,40 52,6 2,21
C = Tanpa jerami padi 1,09 2,42 55,0 2,80
Pada Tabel 4 terlihat bahwa pengaruh perlakuan pemupukan pada anak petak (1, 2,
3, 4, 5, dan 6) terhadap BD, PD, Ruang Pori Total dan Permeabilitas pada kedalaman 0-20
cm juga tidak menunjukkan perbedaan kelas yang nyata, hal ini sejalan dengan pengaruh
petak utama bahwa yang berpengaruh terhadap sifat fisik tanah tersebut adalah diduga
akibat pelumpuran dalam pengolahan tanah, bahkan menurunnya permeabilitas pada
Tabel 5. BD, PD, Ruang Pori Total dan Permeabilitas pada perlakuan Anak Petak, kedalaman 0-20 cm
Perlakuan (Anak Petak)
BD (g/cc)
PD (g/cc)
Ruang Pori Total
(% volume)
Permeabilitas(cm/jam)
1= Pemupukan NPK sesuai Permentan no.40/2007
1,17 2,39 51,0 1,95
2= NPK majemuk (15:15:15) 1,09 2,38 54,3 2,99
3= NPK majemuk (20:10:10) 1,15 2,47 53,5 2,19
4= NPK majemuk (30:6:8) dosis berdasarkan hasil uji tanah
1,09 2,47 55,7 2,43
5= NPK majemuk (15:15:15) + silikat 1,06 2,22 52,3 2,90
6= Pupuk hayati + ½ NPK (tunggal)- rekomendasi permentan 40/2011
1,08 2,32 53,2 1,87
16
perlakuan 1 dan 6 mencapai 1,87 – 1,95 cm/jam tergolong dalam kelas agak lambat (0,50-
2,00 cm/jam). Penurunan nilai permeabilitas ini menguntungkan menyebabkan kehilangan
air ke lapisan lebih dalam menjadi lebih rendah, sehingga dapat meningkatkan efisiensi
penggunaan air.
4.3. Keragaan tanaman padi var. Inpari 13
A. Pertumbuhan tanaman
● Tinggi tanaman Pengaruh perlakuan terhadap tinggi tanaman saat primordia (umur 45 hari) disajikan
pada Tabel 6, rata-rata tinggi tanaman berkisar antara 89,40 – 97,24 cm. Cara pengelolaan
jerami tidak berpengaruh terhadap tinggi tanaman tetapi formula pupuk NPK berpengaruh
terhadap tinggi tanaman. Perlakuan-perlakuan NPK-tunggal, NPK 15-15-15, NPK 20-10-
10, dan NPK-tunggal + Si memberikan tinggi tanaman yang sama berkisar antara 95,46 –
97,24 cm, ke 4 perlakuan tersebut nyata lebih tinggi dibanding perlakuan ½ NPK-tunggal +
P. hayati maupun NPK 30-6-8. Sedangkan ½ NPK-tunggal + P. hayati memberikan tinggi
tanaman lebih tinggi dibanding NPK 30-6-8 masing-masing sebesar 93,36 dan 89,40 cm.
Tidak ada interaksi antara pengelolaan jerami dengan formula pupuk NPK.
Keadaan ini menunjukkan bahwa penggunaan jerami tidak efektif dalam
meningkatkan tinggi tanaman. Hal ini disebabkan pengaruh penggunaan jerami baru
terlihat jika digunakan secara berturutan beberapa kali musim tanam. Demikian pula
penggunaan NPK 30-6-8 maupun Si (pada NPK-tunggal) tidak efektif dalam meningkatkan
tinggi tanaman padi Inpari var. 13. Sedangkan penggunaan pupuk hayati pada ½ dosis
NPK-tunggal keefektivannya walaupun belum bisa menyamai penggunaan NPK-tunggal,
NPK 15-15-15, dan NPK 20-10-10 tetapi lebih efektif dibanding dengan penggunaan pupuk
Tabel 6. Pengaruh pengelolaan jerami, formula NPK, dan pupuk hayati terhadap tinggi tanaman padi var. Inpari 13 umur 45 hari.
Formula NPK
Pengelolaan jerami (cm) Rata-rata (cm) disebar dikomposkan Tanpa jerami
NPK-tunggal 96,57 a 97,75 a 97,17 a 97,16 a NPK 15-15-15 96,70 a 97,83 a 97,19 a 97,24 a NPK 20-10-10 94,28 a 96,61 a 95,49 ab 95,46 ab NPK 30-6-8 88,22 b 89,37 b 90,62 b 89,40 c NPK-tunggal + Si 96,68 a 97,47 a 96,91 a 97,02 a ½ NPK-tunggal + P. hayati 92,87 a 92,63 ab 94,57 ab 93,36 b
Rata-rata 94,22 A 95,28 A 95,33 A 94,94 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada satu kolom atau huruf besar
yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak berbeda nyata 5% DMRT.
17
NPK 30-6-8. Disamping itu untuk selanjutnya penggunaan pupuk hayati akan lebih efektif
jika disertai dengan pemupukan ¾ dosis NPK-rekomendasi.
● Jumlah anakan
Pengaruh perlakuan terhadap jumlah anakan saat primordia (umur 45 hari) disajikan
pada Tabel 7, rata-rata jumlah anakan berkisar antara 8,12 – 12,21 batang/rumpun. Cara
pengelolaan jerami tidak berpengaruh terhadap jumlah anakan tetapi formula pupuk NPK
berpengaruh terhadap jumlah anakan. Perlakuan-perlakuan NPK-tunggal, NPK 15-15-15,
NPK 20-10-10, NPK-tunggal + Si, dan ½ NPK-tunggal + P. hayati memberikan jumlah
anakan yang sama berkisar antara 10,89 – 12,21 batang/rumpun, ke 5 perlakuan tersebut
nyata lebih tinggi dibanding perlakuan NPK 30-6-8 yang memberikan jumlah anakan 8,12
batang/rumpun. Tidak ada interaksi antara pengelolaan jerami dengan formula pupuk NPK.
Keadaan ini menunjukkan bahwa penggunaan jerami tidak efektif dalam
meningkatkan jumlah anakan. Hal ini disebabkan pengaruh penggunaan jerami baru
berpengaruh jika digunakan secara berturutan beberapa kali musim tanam. Demikian pula
penggunaan NPK 30-6-8 maupun Si (pada NPK-tunggal) tidak efektif dalam meningkatkan
jumlah anakan padi Inpari var. 13. Sedangkan penggunaan pupuk hayati pada ½ dosis
NPK-tunggal keefektivannya bisa menyamai penggunaan NPK-tunggal, NPK 15-15-15, dan
NPK 20-10-10 serta lebih efektif dibanding dengan penggunaan pupuk NPK 30-6-8.
Dengan demikian maka terhadap jumlah anakan, penggunaan pupuk hayati dapat
meningkatkan efektivitas penggunaan pupuk NPK-tunggal sebesar ½ dosis NPK-
rekomendasi atau setara urea 125 kg, SP-36 25 kg, dan KCl 25 kg/ha.
Tabel 7. Pengaruh pengelolaan jerami, formula NPK, dan pupuk hayati terhadap anakan padi var. Inpari 13 umur 45 hari.
Formula NPK
Pengelolaan jerami (batang/rumpun) Rata-rata (batang/rumpun) disebar dikomposkan Tanpa jerami
NPK-tunggal 11,17 a 13,53 a 11,93 a 12,21 a NPK 15-15-15 12,03 a 11,57 ab 12,07 a 11,89 a NPK 20-10-10 11,50 a 11,10 ab 12,43 a 11,68 a
NPK 30-6-8 8,43 b 8,07 c 7,87 b 8,12 b
NPK-tunggal + Si 11,23 a 11,90 ab 12,93 a 12,02 a
½ NPK-tunggal + P. hayati 9,77 ab 10,47 bc 12,43 a 10,89 a
Rata-rata 10,69 A 11,11 A 11,61 A 11,14 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada satu kolom atau huruf besar
yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak berbeda nyata 5% DMRT.
18
● Bobot jerami saat panen
Pengaruh perlakuan terhadap bobot jerami saat panen disajikan pada Tabel 8, rata-
rata bobot jerami berkisar antara 11,20 – 18,11 ton/ha. Cara pengelolaan jerami tidak
berpengaruh tetapi formula pupuk NPK berpengaruh terhadap bobot jerami. Perlakuan-
perlakuan NPK-tunggal dan NPK-tunggal + Si memberikan bobot jerami yang sama
berkisar antara 17,87 – 18,11 ton/ha, ke 2 perlakuan tersebut nyata lebih tinggi dibanding
perlakuan NPK 20-10-10, NPK-tunggal + pupuk hayati, dan NPK 30-6-8. Pada perlakuan
NPK 30-6-8 yang memberikan bobot jerami paling rendah sebesar 11,20 ton/ha, nyata
lebih rendah dibanding perlakuan lainnya. Sedangkan pada ½ NPK-tunggal + pupuk hayati
menghasilkan bobot jerami sebesar 14,64 ton/ha, tidak berbeda dengan NPK 20-10-10.
Tidak ada interaksi antara pengelolaan jerami dengan formula pupuk NPK.
Keadaan ini menunjukkan bahwa penggunaan jerami yang baru satu musim tanam
belum efektif dalam meningkatkan bobot jerami. Demikian pula penggunaan NPK 30-6-8
maupun Si (pada NPK-tunggal) tidak efektif dalam meningkatkan bobot jerami padi Inpari
var. 13. Sedangkan penggunaan pupuk hayati pada ½ dosis NPK-tunggal keefektivannya
bisa menyamai penggunaan NPK 20-10-10 serta lebih efektif dibanding dengan
penggunaan pupuk NPK 30-6-8.
Tabel 8. Pengaruh pengelolaan jerami, formula NPK, dan pupuk hayati terhadap bobot jerami padi var. Inpari 13 saat panen.
Formula NPK
Pengelolaan jerami (ton/ha) Rata-rata (ton/ha) disebar dikomposkan Tanpa jerami
NPK-tunggal 19,18 a 15,03 b 19,40 a 17,87 a NPK 15-15-15 17,52 ab 16,92 ab 16,40 a 16,94 ab NPK 20-10-10 15,32 bc 13,85 bc 16,93 a 15,37 bc
NPK 30-6-8 9,88 d 11,45 c 12,26 b 11,20 d
NPK-tunggal + Si 19,52 a 18,48 a 16,34 a 18,11 a
½ NPK-tunggal + P. hayati 13,97 c 13,88 bc 16,08 a 14,64 c
Rata-rata 15,9 A 14,93 A 16,24 A 15,69 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada satu kolom atau huruf besar
yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak berbeda nyata 5% DMRT.
● Jumlah malai
Pengaruh perlakuan terhadap jumlah malai disajikan pada Tabel 9, rata-rata jumlah
malai berkisar antara 7,53 – 11,31 helai/rumpun. Cara pengelolaan jerami berpengaruh
terhadap jumlah malai yang dihasilkan, tanpa jerami memberikan 10,58 helai/rumpun tidak
berbeda dengan jerami dikomposkan tetapi lebih besar dibanding dengan perlakuan jerami
19
disebar. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian jerami yang belum matang dapat
menghambat pertumbuhan tanaman, walaupun dalam hal ini jerami tersebut telah diberi
dekomposer. Demikian pula formula pupuk NPK berpengaruh terhadap jumlah malai.
Perlakuan-perlakuan NPK-tunggal, NPK 15-15-15, NPK 20-10-10, NPK-tunggal + Si, dan
½ NPK-tunggal + P. hayati memberikan jumlah malai yang sama berkisar antara 9,97 –
11,31 helai/rumpun, ke 5 perlakuan tersebut nyata lebih tinggi dibanding perlakuan NPK
30-6-8.
Tidak ada interaksi antara pengelolaan jerami dengan formula pupuk NPK, namun
pada perlakuan tanpa jerami, NPK-tunggal + Si memberikan jumlah malai lebih tinggi
dibanding dengan NPK-tunggal tetapi penggunaan Si pada perlakuan jerami disebar
maupun dikomposkan tidak berbeda. Hal ini berarti bahwa penggunaan Si pada tanpa
jerami dapat meningkatkan jumlah malai dan penggunaan jerami tidak tidak memerlukan
penambahan Si.
Keadaan ini menunjukkan bahwa penggunaan dekomposer pada jerami yang disebar
belum mampu secara efektif mendegradasi jerami tersebut sehingga jerami masih
mempunyai C/N > 25, hal ini dapat menghambat pertumbuhan tanaman (menurunkan
jumlah malai). Demikian pula penggunaan NPK 30-6-8 maupun Si (pada NPK-tunggal)
tidak efektif dalam meningkatkan jumlah malai padi Inpari var. 13. Sedangkan penggunaan
pupuk hayati pada ½ dosis NPK-tunggal keefektivannya bisa menyamai penggunaan NPK-
tunggal, NPK 15-15-15, dan NPK 20-10-10 dan lebih efektif dibanding dengan penggunaan
pupuk NPK 30-6-8. Disamping itu untuk selanjutnya penggunaan pupuk hayati akan lebih
efektif jika disertai dengan pemupukan ¾ dosis NPK-rekomendasi.
Tabel 9. Pengaruh pengelolaan jerami, formula NPK, dan pupuk hayati terhadap jumlah malai tanaman padi var. Inpari 13 saat panen.
Formula NPK
Pengelolaan jerami (helai/rumpun) Rata-rata (helai/rumpun) disebar dikomposkan Tanpa jerami
NPK-tunggal 11,07 a 11,97 a 10,07 b 11,03 a NPK 15-15-15 9,73 a 10,23 ab 11,13 ab 10,37 a NPK 20-10-10 10,23 a 9,90 ab 11,23 ab 10,46 a
NPK 30-6-8 7,23 b 7,90 b 7,47 c 7,53 b
NPK-tunggal + Si 9,83 a 11,37 a 12,63 a 11,31 a
½ NPK-tunggal + P. hayati 9,00 ab 9,93 ab 10,97 ab 9,97 a
Rata-rata 9,53 B 10,22 AB 10,58 A 10,11 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada satu kolom atau huruf besar
yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak berbeda nyata 5% DMRT.
20
B. Hasil tanaman padi
● Hasil gabah kering panen
Pengaruh perlakuan terhadap bobot gabah kering panen disajikan pada Tabel 10,
rata-rata bobot gabah kering panen berkisar antara 4,69 – 6,75 ton/ha. Cara pengelolaan
jerami berpengaruh terhadap bobot gabah kering panen, tanpa jerami menghasilkan 6,40
ton/ha, tidak berbeda dengan jerami dikomposkan tetapi lebih besar dibanding dengan
perlakuan jerami disebar yang hanya menghasilkan 5,6 ton/ha. Hal ini menunjukkan bahwa
pemberian jerami yang belum matang dapat menyebabkan penurunan hasil panen.
Tidak ada interaksi antara pengelolaan jerami dengan formula pupuk NPK. Formula
pupuk NPK berpengaruh terhadap bobot gabah kering panen, perlakuan-perlakuan NPK-
tunggal, NPK 15-15-15, NPK 20-10-10, dan NPK-tunggal + Si memberikan bobot gabah
kering panen yang sama berkisar antara 6,55 – 6,75 ton/ha, ke 4 perlakuan tersebut nyata
lebih tinggi dibanding perlakuan ½ NPK-tunggal + P. hayati dan NPK 30-6-8. yang
memberikan bobot gabah kering panen berturut-turut 5,75 dan 4,69 ton/ha.
Tabel 10. Pengaruh pengelolaan jerami, formula NPK, dan pupuk hayati terhadap hasil gabah kering panen (GKP) padi var. Inpari 13.
Formula NPK
Pengelolaan jerami (ton/ha) Rata-rata (ton/ha) disebar dikomposkan Tanpa jerami
NPK-tunggal 6,52 a 6,72 ab 6,85 ab 6,70 a NPK 15-15-15 6,80 a 6,73 ab 6,53 ab 6,69 a NPK 20-10-10 5,85 abc 6,43 ab 7,36 a 6,55 a
NPK 30-6-8 4,90 c 4,37 c 4,79 c 4,69 c
NPK-tunggal + Si 6,47 ab 6,98 a 6,80 ab 6,75 a
½ NPK-tunggal + P. hayati 5,44 bc 5,69 b 6,08 b 5,73 b
Rata-rata 5,60 B 6,15 AB 6,40 A 6,18 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada satu kolom atau huruf besar
yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak berbeda nyata 5% DMRT.
Keadaan ini menunjukkan bahwa penggunaan jerami belum efektif dalam
meningkatkan bobot gabah kering panen. Hal ini disebabkan penggunaan jerami baru
berpengaruh jika digunakan secara berturutan beberapa kali musim tanam. Demikian pula
penggunaan NPK 30-6-8 maupun Si (pada NPK-tunggal) tidak mampu meningkatkan bobot
gabah kering panen. Sedangkan penggunaan pupuk hayati pada ½ dosis NPK-tunggal
keefektivannya belum bisa menyamai penggunaan NPK-tunggal, NPK 15-15-15, dan NPK
20-10-10 tetapi lebih efektif dibanding dengan penggunaan pupuk NPK 30-6-8.
21
● Komponen hasil panen
Pengamatan komponen hasil panen meliputi persentase gabah hampa dan bobot
100 butir gabah disajikan pada Tabel 11 dan 12. Pengaruh pengelolaan jerami yang
disebar, pemupukan formula NPK dan hayati terhadap persentase gabah hampa
menunjukan bahwa antar semua perlakuan tidak berbeda nyata. Meskipun demikian,
perlakuan formula NPK 20-10-10 menunjukan persentase gabah hampa yang paling kecil
yaitu sebesar 14,90%, sedangkan persentase gabah hampa tertinggi adalah pada
perlakuan formula 15-15-15 yaitu 19,63%. Penggunaan ½ NPK-tunggal dan pupuk hayati
pada pengelolaan jerami disebar ini menunjukan persentase gabah hampa sebesar
17,80%.
Pada pengelolaan jerami yang dikomposkan menunjukan bahwa formula NPK 30-6-
8 memiliki persentase gabah hampa yang terendah, berbeda nyata dengan perlakuan yang
lainnya yaitu 10,50%. Sedangkan semua perlakuan yang lainnya tidak saling berbeda
nyata. Penggunaan ½ NPK-tunggal dan pupuk hayati pada pengelolaan jerami yang
dikomposkan ini menunjukan persentase gabah hampa yang paling besar yaitu mencapai
20.33%.
Perlakuan pemberian formula NPK 20-10-10 tanpa pemberian jerami menunjukan
persentase gabah hampa yang terkecil dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya
meskipun masing-masing antar perlakuan tidak berbeda nyata yaitu 10,77%. Sedangkan
persentase gabah hampa terbesar terdapat pada perlakuan formula NPK-15-15-15 yaitu
15,50%. Penggunaan ½ NPK-tunggal dan pupuk hayati tanpa penambahan jerami ini
menunjukan persentase gabah hampa mencapai 15.00%.
Tabel 11. Pengaruh pengelolaan jerami, formula NPK, dan pupuk hayati terhadap persentase gabah hampa padi var. Inpari 13.
Formula NPK
Pengelolaan jerami (%) Rata-rata (%) disebar dikomposkan Tanpa jerami
NPK-tunggal 18,77 a 14,60 ab 13,23 a 15,53 a NPK 15-15-15 19,63 a 13,13 ab 15,50 a 16,09 a NPK 20-10-10 14,90 a 15,80 ab 10,77 a 13,82 a
NPK 30-6-8 16,60 a 10,50 b 11,87 a 12,99 a
NPK-tunggal + Si 16,80 a 17,10 ab 13,63 a 15,84 a
½ NPK-tunggal + P. hayati 17,80 a 20,33 a 15,00 a 17,71 a
Rata-rata 17,42 A 14,24 B 13,33 B 15,33 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada satu kolom atau huruf besar
yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak berbeda nyata 5% DMRT.
22
Tabel 12. Pengaruh pengelolaan jerami, formula NPK, dan pupuk hayati terhadap bobot 1000 butir gabah kering padi var. Inpari 13.
Formula NPK
Pengelolaan jerami (g) Rata-rata (g) disebar dikomposkan Tanpa jerami
NPK-tunggal 26,80 a 28,42 a 28,23 a 27,82 ab NPK 15-15-15 25,46 a 29,14 a 27,68 a 27,43 ab NPK 20-10-10 27,05 a 27,77 a 27,57 a 27,46 ab
NPK 30-6-8 26,81 a 29,52 a 28,89 a 28,40 a
NPK-tunggal + Si 27,97 a 27,66 a 27,58 a 27,74 ab
½ NPK-tunggal + P. hayati 25,44 a 27,26 a 27,08 a 26,59 b
Rata-rata 26,59 28,29 27,84 27,57 Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada satu kolom atau huruf besar
yang sama dalam satu baris menunjukkan tidak berbeda nyata 5% DMRT.
Pengaruh pengelolaan jerami yang disebar, pemupukan formula NPK dan hayati
terhadap bobot 1000 butir gabah kering var. Inpari 13 menunjukan bahwa antar semua
perlakuan tidak berbeda nyata. Meskipun demikian, perlakuan formula NPK –tunggal + Si
menunjukan bobot 1000 butir gabah kering yang paling besar yaitu sebesar 27,97 gram
sedangkan bobot 1000 butir gabah kering yang terendah adalah pada perlakuan NPK-
tunggal dan pupuk hayati yaitu 25,44 gram.
Pada pengelolaan jerami yang dikomposkan menunjukan bahwa formula NPK 30-6-
8 memiliki bobot 1000 butir gabah kering yang tertinggi, tetapi tidak berbeda nyata dengan
perlakuan yang lainnya yaitu 29,52 gram. Penggunaan ½ NPK-tunggal dan pupuk hayati
pada pengelolaan jerami yang dikomposkan ini menunjukan bobot 1000 butir gabah kering
yaitu mencapai 27,26 gram.
Perlakuan pemberian formula NPK 30-6-8 tanpa pemberian jerami menunjukan bobot
1000 butir gabah kering yang terbesar dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya
meskipun masing-masing antar perlakuan tidak berbeda nyata yaitu 28,89 gram.
Sedangkan bobot 1000 butir gabah kering terendah terdapat pada perlakuan penggunaan
½ NPK-tunggal dan pupuk hayati tanpa penambahan jerami ini yaitu 27,08 gram.
23
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
1. Perlakuan pemberian kompos dan pupuk an-organik pada musim pertama belum
berpengaruh terhadap perubahan beberapa sifat fisik tanah.
2. Pengaruh pelumpuran dalam pengolahan tanah mengakibatkan permeabilitas tanah
lapisan atas (0-20 cm) menurun yang hampir sama dengan kelas permeabilitas lapisan
bawah (20-40 cm) pada sebelum perlakuan dilakukan.
3. Penggunaan kompos jerami belum mampu meningkatkan pertumbuhan dan hasil
tanaman dan pemberian jerami disebar dapat menyebabkan penghambatan
pertumbuhan tanaman dan penurunan hasil padi var. Inpari 13.
4. Penggunaan NPK-tunggal (berupa urea, SP-36, dan KCl), NPK 15-15-15, dan NPK 20-
10-10 memberikan pertumbuhan dan hasil tanaman yang relatif sama, tetapi
penggunaan NPK 30-6-8 memberikan pertumbuhan tanaman hasil padi yang paling
rendah.
5. Penggunaan pupuk hayati dikombinasikan dengan ½ dosis rekomendasi NPK-tunggal
belum mampu menyamai efektivitas penggunaan NPK-tunggal (berupa urea, SP-36,
dan KCl), NPK 15-15-15, dan NPK 20-10-10 tetapi lebih efektiv dibanding dengan NPK
30-6-8.
5.2. Saran
1. Penggunaan jerami segar secara langsung perlu dihindari dan penggunaan kompos
jerami tidak perlu disertai dengan penambahan Si.
2. Di tingkat petani, penggunaan NPK 30-6-8 perlu dievaluasi kembali sedangkan NPK 15-
15-15 dan NPK 20-10-10 dapat diteruskan
24
VI. PRAKIRAAN DAMPAK KEGIATAN
Dihasilkannya teknologi pemupukan yang dapat mendukung percepatan peningkatan
produksi padi akan memberikan peluang petani untuk menerapkan teknologi pengelolaan
limbah pertanian, penggunaan pupuk NPK dan pupuk hayati secara terpadu yang akan
dapat meningkatkan efisensi penggunaan pupuk anorganik, meningkatkan kualitas
lingkungan dan produktivitas tanah sawah secara berkelanjutan.
25
DAFTAR PUSTAKA
Balai Penelitian Tanah, 2010. Laporan Tahunan. Balai Penelitian Tanah. Bogor
BPS. 2002, 2003, dan 2011. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta.
Dumaresq, D. and R. Greene 2001. Soil structure, fungi, fauna and phosphorus in sustainable cropping systems. RIRDC Pub. No. 01/130.
Doran, J.W., Parkin, T.B., 1996. Quantitative indicators of soil quality: a minimum data set. In: Doran, J.W., Jones, A.J. (Eds.), Methods for Assessing Soil Quality. Soil Science Society of America, Madison, WI, pp. 25–37.
Fagi, A.M. 1999. Strategi perluasan dan pengelolaan lahan sawah irigasi untuk meningkatkan pendapatan petani dan meraih kembali swasembada beras. Pros. Seminar Nasional Sumber Daya ahan. Buku 1:5-20. Cisarua-Bogor, 9-11 Februari 1999.
Glick, B.R. 1995. The enhancement of plant growthby free living bacteria. Can. J. Microbiol. 4: 109 – 117.
Hartatik, W., D. Setyorini, L.R. Widowatidan S. Widati. 2005. Penelitian teknologi pengelolaan hara pada budidaya pertanian organik. Laporan Akhir 2005. Balai Penelitian Tanah Badan Litbang Pertanian.
Kabirun, S. 2004. Peranan mikoriza arbuskula pada pertanian berkelanjutan. Pidato pengukuhan jabatan guru besar dalam ilmu mikrobiologi pada Fakultas Pertanian UGM.
Karama, S.S., A.R. Marzuki, dan I. Manwan. 1990. Penggunaan pupuk organik pada tanaman pangan. Prosiding Lokakarya Nasional Penggunaan Pupuk V. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Hal:395-425.
Kasno, A., Nurjaya dan Diah Setyorini. 2003. Status C-organik lahan sawah di Indonesia. Prosiding Kongres Nasional VIII Himpunan Ilmu Tanah Indonesia (HITI). Padang 21-23 Juli 2003.
Kloepper, J.W. 1993. Plant growth promoting Microbe as biological control agent. P. 255 – 274. In F.B. Meeting Jr. (ed.). Soil microbial ecology. Aplications in agricultural and environmental management. Marcel Deekker, Inc. New York.
Menteri Pertanian, 2006. Peraturan Menteri Pertanian No. 02/Pert/HK.060/2/2006 tentang Pupuk Organik dan Pembenah Tanah. Deptan 2006.
Moersidi, S., Djoko Santoso, M. Soepartini, M. Al-Jabri, J. Sri Ainingsih dan M. Sudjadi. 1989. Peta keperluan fosfat Tanah sawah di Jawa dan Madura 1988. Pemb. Penelitian Tanah dan Pupuk 8, 1989. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Nayak, B. Ramesh and K. Manjappa. 2010.Topo-sequential variations in enzyme activity in rice growing soils in hilly region. Karnataka J. Agric. Sci.,23 (4) : (640-641).
Pirngadi, K. 2009. Peran bahan organik dalam peningkatan produksi padi berkelanjutan mendukung ketahanan pangan nasional. Pengembangan Inovasi Pertanian: 2 (1). Hal 48-64. Badan Litbang Pertanian.
Scholes, M.C., M.J. Swift, O.W. Heal, P.A. Sanchez, J.S. Ingram, and R. Dalal. 1994. Soil fertility Research in respons to demand for sustainability. In : P.L. Woomer and M.J. Swift (eds). The Biological Management of Tropical Soil fertility. John Wiley and Sons Pub. Pp. 1-15.
26
Setyorini, D., D. Suriadikarta, D. Santoso, A.Kasno dan W. Suastika. 2006. Pengembangan pupuk majemuk NPK Pusri untuk tanaman pangan dan hortikultura serta pembentukan Desa Binaan Pusri. Balai Penelitian Tanah. Badan Litbang Pertanian.
Sri Adiningsih, J. 1992. Peranan Efisiensi Penggunaan Pupuk untuk Melestarikan Swasembada Pangan. Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama.
Sri Rochayati, Mulyadi, dan J. Sri Adiningsih. 1990. Penelitian efisiensi penggunaan pupuk di lahan sawah. Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan pupuk V. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Thomas, Pious, Kumari, Sima, Swarna, K. Ganiga, and T.K.S. Gowda. 2007. Papaya shoot tip associated endophytic bacteria isolated from in vitro cultures and host-endophyte interaction in vitro and in vivo. Canadian Journal of Microbiology, Vol. 53, 3. pp. 380-390.
Tien, T.M., M.H. Gaskin, and D.H. Hubel. 1979. Plant growth substances produced by Azospirillum brasiliense and their effect on the growth of pear millet (Pennicetum americanum L). Appl. Environt. Microbiol. 37: 1016 – 1024.
Weerasooriya, R. 2005. Auxin: Indole-3-acetic acid (IAA), a hormone with diverse effects, synthesis and applications. http://www. projectlabs.com/htmldocs/auxin.html. (31 Maret 2005).
Witt, B. 2004. Using soil fauna to improve soil health. http://www.hort.agri.umn.edu/h5015/97 papers/witt/html (21-4-2007).
Zuberer, D.A. 1998. Biological Dinitrogen Fixation: Introduction and Nonsymbiotic. p 295 – 321 In D.M. Silvia, J.J. Fuhrmann, P.G. Hartel, D.A. Zuberer (eds). Principales and Applications of Soil Microbiology. Prentice Hall. New Jersey.