isi filsafat ilmu “etika dalam pengembangan ilmu dan teknologi” (pls unesa)
TRANSCRIPT
-
Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG Etika memang bukanlah bagian dari ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).
Etika lebih merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis yang berhadapan dengan
moralitas. Kendati demikian etika tetaplah berperan penting dalam IPTEK. Penerapan
IPTEK dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari memerlukan adanya dimensi etis
sebagai pertimbangan yang terkadang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan
IPTEK selanjutnya.
Hakikatnya, IPTEK dipelajari untuk mengembangkan dan memperkokoh
eksistensi manusia, dan bukan sebaliknya, menghancurkan eksistensi manusia dan justru
menjadikan manusia budak teknologi. Oleh karena itu, tanggung jawab etis diperlukan
untuk mengontrol kegiatan dan penggunaan IPTEK. Dalam kaitan hal ini, terjadi
keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga
keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan
generasi mendatang, dan bersifat universal.[1] Keberadaan tanggung jawab etis tidak
bermaksud menghambat kemajuan IPTEK. Justru dengan adanya dimensi etis yang
mengendalikan, kemajuan IPTEK akan semakin berlomba-lomba meningkatkan martabat
manusia sebagai tuan teknologi dan bukan hamba teknologi. Tanggung jawab etis juga
diharapkan mampu menginspirasi, memacu, dan memotivasi manusia untuk
mengembangkan teknologi yang IPTEK yang tidak mencelakakan manusia serta aman
bagi lingkungan hidup.
Pada awalnya teknologi diciptakan untuk meringankan dan membebaskan
manusia dari kesulitan hidupnya. Namun manusia justru terjebak dalam kondisi
konsumerisme yang semakin meningkatkan ketergantungan manusia akan teknologi dan
parahnya, menjadikan manusia budak teknologi. Manusia semestinya memajukan IPTEK
sesuai dengan nilai intrinsiknya sebagai pembebas beban kerja manusia. Bila tidak sesuai,
maka teknologi justru akan menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat, karena ada
-
Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com
2
yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Selain itu, martabat manusia akan semakin
direndahkan dengan menjadi budak teknologi, berbagai penyakit sosial merebak di
masyarakat, hingga pada fenomena dehumanisasi ketika manusia kehilangan peran dan
fungsinya sebagai makhluk spiritual.
Apakah kemajuan iptek itu merendahkan atau meningkatkan keberadaan manusia
sangat ditentukan oleh manusia itu sendiri, karena IPTEK sendiri merupakan salah satu
dari 7 cultural universal yang dihasilkan manusia yang terdiri dari: sistem mata
pencaharian, sistem kepercayaan, bahasa, sistem kemasyarakatan, kesenian, sistem ilmu
pengetahuan, dan sistem peralatan hidup. Oleh karena itu, perkembangan IPTEK haruslah
diikuti kedewasaan manusia untuk mengerti mana yang baik dan yang buruk, mana yang
semestinya dan yang tidak semestinya dilakukan dalam pengembangan IPTEK. Di sinilah
peran etika untuk ikut mengontrol perkembangan IPTEK agar tidak bertentangan dengan
niilai dan norma dalam masyarakat, serta tidak merugikan manusia sendiri. Etika,
terutama etika keilmuan sangatlah penting dalam kehidupan ilmiah karena etika keilmuan
menyoroti kejujuran, tanggung jawab, serta bebas nilai atau tidak bebas nilai dalam ilmu
pengetahuaan.
Berbicara masalah bebas nilai atau tidaknya ilmu pengetahuan sangatlah relevan
dengan apa yang terjadi di zaman Renaissance, yang terkenal dengan paham Aufklarung
yang mendewakan rasionalitas manusia. Pada zaman kegelapan (Dark Age), gereja
senantiasa mengatur dan mengendalikan kaum cendekiawan sehingga mereka merasa
sangat terkekang. Setiap teori atau penemuan-penemuan baru hanya dapat dipergunakan
dengan persetujuan dan pengakuan gereja. Sejak saat itulah para cendekiawan Barat
beranggapan bahwa nilai dan norma hanya menghambat kemajuan IPTEK. Pemahaman
rasional tentang dirinya dan alam mengantar manusia pada suatu pragmatisme ilmiah,
dimana perkembangan ilmu dianggap berhasil ketika memiliki konsekuensi-konsekuensi
pragmatis. Keadaan ini pula yang menggiring ilmuwan untuk menjaga jarak terhadap
problem nilai secara langsung.
Untuk menentukan bahwa ilmu itu bebas nilai atau tidak, maka diperlukan
sekurang-kurangnya 3 faktor sebagai indikator. Pertama, ilmu tersebut harus bebas dari
pengandaian dan pengaruh faktor eksternal seperti politik, ideologi, agama, budaya,
-
Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com
3
dll. Kedua, perlunya kebebasan usaha ilmiah demi terjaminnya otonomi ilmu
pengetahuan.Ketiga, tidak luputnya penelitian ilmiah dari pertimbangan etis yang selalu
dituding menghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Indikator pertama dan kedua
memperlihatkan upaya ilmuwan untuk menjaga objektivitas ilmiah ilmu pengetahuan,
sedangkan indikator ketiga ingin menunjukkan adanya faktor X yang hampir mustahil
dihindarkan dari perkembangan ilmu pengetahuan, yaitu pertimbangan etis.[5] Selain 3
indikator tadi, masih ada indikator keempat yang amat sulit ditolak oleh ilmu
pengetahuan, yakni kekuasaan. Perkembangan IPTEK selalu sarat dengan berbagai
kepentingan, terutama kepentingan kekuasaan yang kadang memunculkan konflik
kepentingan antara ilmuwan dengantruth claim melawan penguasa
dengan authority claimnya. Dan di negara berkembang, konflik itu hampir selalu
dimenangkan pihak penguasa.
Ilmu sendiri, baik secara teoritis maupun praktis tidak pernah bebas dari nilai.
Selalu ada kepentingan yang bermain di dalam ilmu itu. Namun, pertimbangan etis
semestinya hanya berperan sebagai rambu-rambu saja, dan bukannya mengekang
perkembangan IPTEK tersebut. Kesalahan Barat adalah mereka menganggap bahwa ilmu
selalu bebas nilai dan sudah semestinya ilmu pengetahuan tidak berhubungan dengan
agama (sekularisme). Akan tetapi, intervensi nilai yang berlebihan ke dalam ilmu
pengetahuan juga akan mengekang kreativitas manusia dalam berpikir. Ilmu pengetahuan
semata-mata hanya menjadi alat dari berbagai macam kepentingan, terutama kepentingan
ideologis dan politik.
Karena IPTEK tidaklah bebas nilai, maka sudah sewajarnya kita mengkuti
perkembangannya, asalkan jangan sampai kita terjebak rasa ketergantungan pada
teknologi. Teknologi hanyalah alat untuk membantu meringankan beban kerja kita
sehingga jangan sampai justru kita menjadi malas dan diperbudak teknologi. Dalam
perkembangan teknologi komunikasi dan komunikasi kontemporer sendiri, sudah begitu
banyak media yang dikembangkan untuk memperlancar komunikasi dan memperpendek
jarak antar manusia. Sebut saja komputer, jaringan telepon selular yang dibantu adanya
satelit komunikasi, serta internet yang mengusung Super Highway Communication
dengan electronic mail. Selain itu, telepon selular di beberapa negara pun sudah
-
Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com
4
dilengkapi fasilitas 3G atau bahkan 4G yang memungkinkan manusia mengakses data
dalam waktu yang amat singkat.
Berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengantar kita pada
kemudahan-kemudahan untuk mengerjakan pekerjaan sehari-hari baik di rumah, sekolah,
maupun kantor. Namun, jangan sampai justru dengan segala fasilitas itu kita menjadi
diperbudak oleh alat. Kita adalah manusia yang bisa berpikir dan menciptakan berbagai
macam peralatan. Oleh karena itu hendaknya kita menciptakan teknologi sesuai dengan
keadaan dan kebutuhan manusia, bukannya membuat manusia harus menyesuaikan diri
dengan teknologi.
1.2 RUMUSAN MASALAH 1.2.1 Apa pengertian dari etika.
1.2.2 Apa saja jenis- jenis dari etika.
1.2.3 Bagaimana etika dalam ilmu dan teknologi.
1.2.4 Apa peranan etika dalam perkembangan ilmu dan teknologi.
1.3 MANFAAT DAN TUJUAN 1.3.1 Untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat ilmu.
1.3.2 Untuk memahami makna etika.
1.3.3 Untuk mengetahui jenis- jenis dari etika.
1.3.4 Untuk memahami bagaiamana etika dalam ilmu dan teknologi.
1.3.5 Untuk mengetahui peranan etika dalam pengembangan ilmu dan teknologi.
-
Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com
5
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 PENGERTIAN ETIKA
Etika berarti moral sedangkan etiket berarti sopan santun. Dalam bahasa Inggeris
dikenal sebagai ethics dan etiquette. Etika disebut juga filsafat moral adalah cabang
filsafat yang berbicara tentang praxis (tindakan) manusia. Etika tidak mempersoalkan
keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak.
Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam norma. Norma ini masih dibagi
lagi menjadi norma hukum, norma moral, noprma agama dan norma sopan santun. Norma
hukum berasal dari hukum dan perundang-undangan,norma agama berasal dari agama
sedangkan norma moral berasal dari suara batin. Norma sopan santun berasal dari
kehidupan sehari-hari sedangkan norma moral berasal dari etika.
2.2 JENIS- JENIS ETIKA
Untuk menganalisis arti-arti etika, dibedakan menjadi dua jenis etika (Bertens, 2000):
1. Etika sebagai Praktis
a. Nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktekkan atau justru tidak
dipraktekkan walaupun seharusnya dipraktekkan.
b. Apa yang dilakukan sejauh sesuai atau tidak sesuai dengan nilai dan norma moral.
2. Etika sebagai Refleksi
a. Pemikiran moral berpikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa
yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
b. Berbicara tentang etika sebagai praksis atau mengambil praksis etis sebagai
objeknya.
c. Menyoroti dan menilai baik buruknya perilaku orang.
d. Dapat dijalankan pada taraf populer maupun ilmiah.
2.3 ETIKA DALAM ILMU DAN TEKNOLOGI
-
Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com
6
Di antara faktor-faktor yang mengakibatkan suasana etis di zaman kita sekarang,
perkembangan pesat dan menakjubkan di bidang ilmu dan teknologi pasti mempunyai
kedudukan penting. Dengan ilmu di sini terutama dimaksudkan ilmu alam. Dengan
teknologi dimengerti penerapan ilmu alam yang memungkinkan kita menguasai dan
memamfaatkan daya-daya alam. Di antara masalah-masalah etis berat yang dihadapi
sekarang ini tidak sedikit berasal dari hasil kadang-kadang spektekuler yang di capai
ilmu dan teknologi modern. Di bandingkan dengan generasi sebelumnya, perkembangan
ilmiah dan teknologis itu mengubah banyak sekali dalam hidup manusia, antara lain juga
menyajikan masalah-masalah etis yang tidak pernah terduga sebelumnya. Tentu saja topic
yang begitu luas dan rumit tidak mungkin di uraikan disini dengan lengkap dan menurut
segala aspeknya. Kita harus membatasi diri pada beberapa catatan saja.
1. MASALAH BEBAS NILAI
Dari yang dikatakan tadi kiranya sudah jelas bahwa kami melihat hubungan
langsung antara ilmu dan pertimbangan moral. Ilmu dan moral tidak merupakan dua
kawasan yang sama sekali asing yang satu terhadap yang lain, tetapi ada titik temu di
antaranya. Pada saat-saat tertentu dalam perkembangan ilmu dan teknologi bertemu
dengan moral. Dengan itu kami sebenarnya sudah menjawab pertanyaan hubungan
antara ilmu dan nilai-nilai moral yang dikenal baik dalam bentuk apakah ilmu itu
bebas nilai?. Atas pertanyaan ini sekarang agak umum dijawab bahwa ilmu tidak
asing terhadap nilai dan dalam arti itu ilmu tidak bebas nilai. Dulu banyak ilmuwan
merasa segan mengakui bahwa ilmu itu tidak bebas nilai, karena mereka
mengkhawatirkan dengan itu otonomi ilmu pengetahuan akan dirongrong. Tapi
kekhawatiran seperti itu tidak beralasan. Metode ilmu pengetahuan memang otonom
dan tidak boleh dicampuri oleh pihak lain, entah itu terjadi atas nama nilai moral,
nilai keagamaan, pertimbangan nasional atau alas an apapun juga. Dalam hal ini kita
sudah cukup belajar dari sejarah. Kita ingat saja akan perkara Galilei yang terjadi
dalam abad ke-17. tahun 1633 Gereja Katolik memaksa ilmuwan Italia, Galileo
Galilei, untuk menarik kembali teorinya bahwa bumi mengelilingi matahari dan tidak
sebaliknya (heliosentrisme), yang dinilai bertentangan dengan Kitab Suci Kristen.
Campur tangan agama dalam metode ilmiah tidak saja merugikan ilmu, tapi
merugikan agama itu sendiri, karena kredibilitasnya bisa berkurang. Dalam abad ke-
-
Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com
7
20 masih terjadi kasus yang sejenis di Uni Soviet. Ahli biologi dan Genetika, T.D.
Lysenko, berhasil meyakinkan pemerintah Stalin bahwa teori genetika Mendel yang
tradisional itu bersifat anti marxixtis dan bahwa teorinya sendiri sesuai dengan ajaran
komunis dan akan memungkinkan loncatan maju di bidang pertanian. Di kemudian
hari terbentuk pendapat umum dal;am kalangan ilmiah bahwa teori Lysenko itu tidak
benar. Tapi Stalin memenangkan Lysenko dan para pengikutnya, sedangkan
ilmuwan-ilmuwan yang tidak sependapat disingkirkan. Ahli genetika terkemuka,
N>I> Vavilov, yang sampai berani mengeritik teori Lysenko, meninggal dalam camp
konsentrasi sebagai martir demi ilmu pengetahuan yang otonom.
Bahwa ilmu adalah otonom dalam mengembangkan metode dan
prosedurnya, kini bisa diterima tanpa keberatan apapun. Tidak ada instansi lain yang
berhak menyensor atau memerintahkan penelitian ilmiah. kami mencari kebenaran
dan bukan sesuatu yang lain sudah lama menjadi semboyan untuk banyak ilmuwan.
Akan tetapi, ilmu dan terutama teknologi sebagai penerapan ilmu teoritis tercantum
juga dalam suatu konteks lebih luas. Dan terutama karena alasan itulah ia berjumpa
dengan nilai-nilai moral. Ilmu dan teknologi bergumul dengan pertanyaan
bagaimana (bagaimana struktur materi, bagaimana crania membuat mesin mobil
yang irit bahan bakar, banyak sekali lagi). Teori ilmiah dan penerapannya dalam
tehnik memberi jawaban atas pertanyaan itu. Tapi disamping itu masih ada
pertanyaan-pertanyaan lain, misalnya, pertanyaan yang sangat penting, yaitu untuk
apa?. Dan sebenarnya pertanyaan terakhir ini secara kronologis tidak terpisah dari
yang pertama. Konon, ketika seorang ilmuwan Amerika yang ikut serta dalam
Manhattan Project- proyek yang mengembangkan bom atom pertama pada awal
tahun 1940-an ditanyakan tentang implikasi lebih lanjut dari proyek ilmiah itu, ia
menjawab: After all, it is superb physics, bagaimanapun juga, inilah fisika yang luar
biasa. Maksudnya, ia membatasi diri pada segi ilmiah saja. Ia tidak bersedia
meninggalkan lengkup pertanyaan bagaimana?. Namun demikian, pada
kenyataannya pekerjaannya tidak bisa dilepaskan dari yang terjadi beberapa waktu
kemudian di kota Hiroshima dan Nagasaki. Selama ilmuwan bisa membatasi diri
pada pertanyaan bagaimana?, mungkin ia hanya mencari kebenaran murni. Tapi
-
Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com
8
secara konkret pertanyaan ini dibarengi pertanyaan untuk apa?. Hal itu sekarang
jauh lebih jelas daripada awal perkembangan ilmu modern. Dalam situasi kita,
kemampuan manusia yang tampak dalam ilmu dan teknologi bertautan erat dengan
kekuatan ekonomis dan politik/militer. Salah satu alasan terpenting adalah bahwa
penelitian ilmiah yang amat terspesialisasi itu menjadi usaha yang semakin mahal.
Ilmuwan dengan cita-cita paling luhur pun tidak bisa berbuat banyak, kalau tidak
tersedia dana yang sangat dibutuhkan. hampir semua ilmuwan adalah orang yang
dari segi ekonomi tidak bebas sudah dikatakan Albert Einstein. Yang membiayai
penelitian ilmiah tentu sudah mempunyai maksud dan harapan tertentu. Karena
keadaan itu di zaman kita sekarang perkembangan ilmu dan teknologi hampir tidak
bisa dipisahkan lagi dari kepentingan bisnis dan politik/militer.
2. AMBIVALENSI KEMAJUAN ILMIAH
Pertama-tama perlu kita sadari bahwa kemajuan yang di capai berkat ilmu dan
teknologi bersifat ambivalen, artinya di samping banyak akibat positif terdapat juga
akibat-akibat negatif. Tidak bisa di sangkal, berkat adanya ilmu dan teknologi
manusia memperoleh banyak kemudahan dan kemajuan yang dulu malah tidak
diimpikan. Kita ingat saja akan fasilitas transportasi dan telekomunikasi yang sangat
memudahkan komunikasi bagi banyak sekali orang. Contoh yang tidak kalah penting
adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang membuat hidup kita lebih berkualitas dan
cukup drastic meningkatkan umur harapan hidup (life expectancy). Memang benar
apa yang di katakana Filsuf dan sastrawan Inggris, Bertrand Russell (1872-
1970):perbaikan dalam bidang kesehatan itu sendiri sudah cukup untuk membuat
zaman ini lebih disenangi dibanding waktu-waktu sebelumnya yang kini kadang kala
masih menjadi objek nostalgia sementara orang. Secara keseluruhan, menurut saya,
zaman ini ditandai oleh perbaikan dan kemajuan dalam segala hal dibanding dengan
sebelumnya, kecuali bagi yang dulunya sudah kaya dan memiliki hak-hak istimewa.
Yang terutama bertambah dengan kemungkinan-kemungkinan ilmiah dan teknologis
ini adalah kemampuan manusia. Filsuf Inggris, Francis Bacon (1561-1623) sudah
menyadari aspek penting ini dengan menekankan bahwa knowledge is power,
penetahuan adalah kuasa. Tidak lama kemudian Filsuf Prancis, Rene Descartes
-
Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com
9
(1596-1650), menulis buku kecil dimana ia menguraikan pendangannya tentang
metode ilmu baru yang sedang bertumbuh itu dan pada akhir bukunya ia
mengucapkan keyakinannya bahwa dengan demikian umat manusia bisa menjadi
maitres et possesseurs de la nature, penguasa dan pemilik alam.
Mula-mula perkembangan ilmiah dan teknologi itu dinilai sebagai kemajuan
belaka. Orang hanya melihat kemungkinan-kemungkinan baru yang terbuka luas bagi
manusia. Pandangan optimistic itu berlangsung terus dan mencapai puncaknya dalam
abad ke 19. ilmu dan teknologi dianggap sebagai kunci untuk memecahkan semua
kesulitan yang mengganggu umat manusia. Kepercayaan akan kemajuan itu menjadi
kentara sekali dalam pemikiran filsuf Prancis, Auguste Comte (1798-1857), yang
memandang zaman ilmiah yang disebutnya zaman positif sebagai puncak dan titik
akhir seluruh sejarah. Pandangan yang begitu optimistic kini tampaknya agak naf.
Kita sekarang ini jauh lebih modest dalam menilai ilmu dan teknologi. Kita
menginsafi ambivalensi seluruh proses ilmiah-teknologis itu : ada segi positif tapi ada
juga segi negatif. Di samping kemajuan luar biasa, ditimbulkan juga banyak problem
dan kesulitan baru. Dan tidak bisa dipungkiri, problem dan kesulitan ini sering
mempunyai konotasi etis. Kesadaran akan aspek=aspek negatif yang melekat pada
ilmu dan teknologi mungkin belum pernah dirasakan begitu jelas dan meyakinkan
seperti pada saat bom atom pertama dijatuhkan di atas kota Hiroshima tanggal 6
agustus 1945 dan tiga hari kemudian di atas kota Nagasaki. Pada ketika itu segera
disadari akibat-akibat dahsyat dari kemampuan manusia melalui penguasaan fisika
nuklir. Dengan adanya bom nuklir ini ternyata manusia memiliki kemungkinan yang
mengerikan utnuk memusnahkan kehidupan di seluruh bumi. Untuk kedua kalinya
kesadaran yang sama menyatakan diri ketika sekitar tahun 1960-an mulai dikenal dan
diinsafi dengan jelas masalah ekologi dan lingkungan hidup. Bukan saja bom nuklir,
melainkan juga perusakan dan pencemaran lingkungan hidup merupakan ancaman
besar bagi kehidupan di planet kita. Penggunaan teknologi tanpa batas dalam industri
modern akhirnya membahayakan kelangsungan hidup itu sendiri. Yang dibawakan
oleh ilmu dan teknologi bukan saja kemajuan, melainkan juga kemunduran, bahkan
kehancuran, jika manusia tidak segera tahu membatasi diri. Dengan adanya
-
Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com
10
persenjataan nuklir dan perlunya kelestarian lingkungan hidup menghadapi manusia
dengan tanggung jawabnya dank arena itu menjadi masalah maslah etis.
3. TANDA-TANDA YANG MENIMBULKAN HARAPAN
Bukan saja sedikit sekali perhatian untuk etika dalam masyarakat, melainkan
juga perhatian itu hampir selalu terlambat datang. Pemikiran etis hanya menyusul
perkembangan ilmiah-teknologis. Baru sesudah problem-problem etis timbul, etika
sebagai ilmu mulai diikutsertakan. Refleksi etis tentang persenjataan nuklir baru
dimulai, setelah bom atom pertama diledakkan. Refleksi etis tentang reproduksi
artificial baru dikembangkan, sesudah bayi tabung pertama telah lahir dan
eksperimen-eksperimen sudah lama diadakan. Perkembangan ilmiah-teknologis
selalu mendahului pemikiran etis. Yang ideal adalah bahwa pemikiran etis
mendahului dan mengarahkan perkembangan ilmiah-teknologis, tapi cita-cita seperti
itu rasanya masih mustahil untuk diwujudkan. Namun demikian, perlu dicatat bahwa
di sini ada beberapa perkembangan yang menggembirakan dan dapat membesarkan
hati. Salah satu di antaranya adalah munculnya komisi-komisi etika. Di banyak
Negara modern sudah menjadi kebiasaan luas bahwa rumah sakit-rumah sakit dan
proyek-proyek penelitian biomedis mempunyai komisi etika yang mendampingi dan
mengawasi rumah sakit atau proyek penelitian itu dari sudut etis. Komisi etika seperti
itu bisa menjadi semacam hati nurani, agar rumah sakit memberi pelayanan yang
sungguh-sunggu manusiawi. Komisi dapat dikonsultasi, jika direksi dan staf medis
mengalami keraguan etis dalam menjalankan tugasnya, dan komisi sendiri dapat
mengambil inisiatif juga, jika menurut pendapatnya terjadi peristiwa yang dari segi
moral menimbulkan tanda tanya. Komisi etiaka untuk setiap penelitian ilmiah yang
melibatkan manusia sudah menjadi rutin di banyak Negara. Komisi itu harus
menyetujui rancangan penelitian dan akan mendampingi seluruh penelitian selama
proyek berlangsung. Perhatian untuk segi etis penelitian menjadi suatu sector penting
di antara masalahmasalah etis yang disebabkan ilmu dan teknologi. Setelah lebih
dulu di buat eksperimen dengan binatang atau ditempuh cara eksperimentasi lain lagi,
mau tidak mau timbul saatnya bahwa tidak bisa dihindari lagi mengadakan percobaan
langsung dengan manusia untuk mencobai obat baru, prosedur medis baru, atau
sebagainya. Percobaan-percobaan ini selalu harus dilakukan demikian rupa sehingga
-
Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com
11
martabat manusia tetap dihormati. Dalam hal ini kekejaman-kekejaman yang
dilakukan dokter-dokter nasional-sosialis di Jerman waktu rezim Hitler merupakan
peringatan tetap bagi seluruh umat manusia. Tidak pernah bisa diterima kemajuan
ilmiah yang diperoleh dengan memperkosa martabat manusia.
Suatu gejala lain yang menggembirakan adalah keikutsertaan etika dalam
penelitian genetika tentang gen-gen manusia. Di Amerika Seriakt pada tanggal 1
Oktober 1990 secara resmi dimulai proyek penelitian raksasa yang bertujuan
mempelajari bentuk dan isi gen-gen manusia. Proyek yang diberi nama resmi The
Human Genome Project ini akan memetakan dan menentukan runtunan seluruh DNA
genom manusia. Melalui proyek besar ini lokasi yang tepat dan runtunan nucleotide
yang menyusun sekitar 3 biliun DNA genom manusia akan diketahui dan
dikatalogkan. Telah didirikan suatu institute khusus, yaitu National Center for
Human Genome Research, yang akan melaksanakan penelitian ini dalam kerja sama
dengan organisasi-organisasi lain dalam dan luar negeri. Diperkirakan penelitian ini
dapat diselesaikan dalam jangka waktu 15 tahun. The Human Genome Project ini
telah dinilai proyek Apollo dalam tahun 1960-an yang bertujuan membawa manusia
ke bulan. Tidak mustahil informasi yang diperoleh melalui penelitian ini akan
mengakibatkan revolusi baru di bidang ilmu-ilmu biomedis umtuk masa mendatang.
Akan tetapi, penelitian genetis yang sangat kompleks ini mempunyai banyak
implikasi etis yang berat. Bagaimana informasi yang diperoleh di sini akan
dimanfaatkan? Penelitian seperti ini selalu dibayangi kekhawatiran bahwa manusia
tergoda untuk memanipulasi gen-gennya sendiri dan akhirnya berusaha menciptakan
keturunan yang serba-super. Tapi masih ada banyak penyalahgunaan lain lagi yang
dimungkinkan dengan penelitian canggih ini. Tidak bisa disangkal, dengan memulai
penelitian genetis seperti itu manusia memikul tanggung jawab moral yang berat.
Rupanya dalam proyek ini tanggung jawab moral ini diakui sepenuhnya. Dari
permulaannya seluruh proyek ini didampingi oleh Ethical, Legal and Social
Implications Program: suatu program yang menyoroti implikasi moral, yuridis dan
sosial dari proyek penelitian ini (yang konon diberi jatah 3% dari seluruh budgetnya).
Dengan demikian mungkin untuk pertama kali dalam sejarah suatu proyek ilmiah
-
Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com
12
besar menyoroti juga aspek-aspek non-ilmiah, khususnya aspek-aspek etis. Hal itu
merupakan tanda yang menggembirakan. Kita hanya dapat mengharapkan bahwa
dengan itu kesulitan-kesulitan etis dalam wilayah penelitian yang rawan ini dapat
diatasi dengan memuaskan.
4. TEKNOLOGI YANG TAK TERKENDALI
Dalam refleksi filosofis tentang situasi zaman kita sudah beberapa kali
dikemukakan bahwa perkembangan ilmu dan teknologi merupakan proses yang
seakan-akan berlangsung secara otomatis, tak tergantung dari kemauan manusia.
Keadaan ini bisa mengherankan, karena teknik sebenarnya dimulai untuk membantu
manusia. Fungsinya pada dasarnya bersifat instrumental, artinya, menyediakan alat-
alat bagi manusia. Teknik mula-mula dianggap memperpanjang fungsi-fungsi tubuh
manusia : kaki (alat transportasi), tangan (mesin-mesin, alat-alat besar), mata
(film,televisi), telinga (radio, telepon), sampai dengan otak (computer). Tapi apa
yang dirancang sebagai sarana yang memungkinkan manusia untuk memperluas
penguasaannya terhadap dunia ternyata menjadi sukar untuk dikuasai sendiri, malah
kadang-kadang tidak bisa dikuasai. Martin Heidegger (1889-1976), filsuf jerman
yang dalam hal ini barangkali mempunyai pandangan paling ekstrem, berpendapat
bahwa teknik yang diciptakan manusia untuk menguasai dunia, sekarang mulai
menguasai manusia sendiri. Kesan bahwa proses ilmu dan teknologi berkembang
otomatis tampaknya sering kali beralasan. Ketika astronaut Amerika, Neil Amstrong,
sebagai manusia pertama yang menginjakkan kakinya pada permukaan bulan tanggal
20 juli 1969, hal ini merupakan hasil suatu proses yang harus terjadi, walaupun tidak
ada orang yang tahu persis maksudnya apa. Sekarang manusia akan menuju ke planet
lain, khususnya Mars atau Venus. Hal itu merupakan proses yang seolah-olah tak
terhindarkan. Pertanyaan tentang tujuannya apa dan apakah dana raksasa yang
ditanamkan dalam proyek seperti itu tidak bisa dipakai dengan lebih baik, rupanya
dalam konteks ini kurang relevan. Manusia diatas bulan dan manusia diatas planet
Mars seolah-olah merupakan keniscayaan yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam hal
yang sama berlaku untuk banyak proyek ilmiah dan teknologis lainnya.
-
Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com
13
Gambaran tentang situasi ilmu dan teknologi ini bagi banyak orang barangkali
terlalu pesimistis. Tapi bagi orang lain setidak-tidaknya ada ini kebenaran
didalamnya. Kesulitan yang dialami etika untuk memasuki kawasan ilmiah dan
teknologis bisa memperkuat lagi kesan itu. Kita teringat di sini akan pengalaman
peneliti Amerika, Thomas Grissom, yang disebut pada awal bab 2: hati nuraninya
mendesak dia untuk berhenti bekerja dalam proyek pengembangan senjata nuklir,
tapi ia insaf juga bahwa tempatnya akan diisi oleh orang lain, karena -bagaimanapun
juga- proyek itu berjalan terus. Banyak orang mendapat kesan bahwa proses
perkembangan ilmu dan teknologi seolah-olah kebal terhadap tuntutan etis. Dan
memang benar, memperhatikan segi-segi etis tidak menjadi tugas ilmu pengetahuan
sendiri, melainkan tugas manusia di balik ilmu dan teknologi. Jika kemampuan
manisia bertambah besar berkat kemajuan ilmiah dan teknologis, maka
kebijaksanaannya dalam menjalankan kemampuan itu harus bertambah pula.
Apakah semua yang bisa dikerjakan ilmu dan teknologi, pada kenyataannya boleh
dikerjakan juga? tidak merupakan pertanyaan yang dapat dijawab oleh manusia
yang berperanan sebagai ilmuwan atau teknikus. Dan jelas jawabannya adalah: tidak.
Tidak semuanya yang bisa dilakukan dengan kemampuan ilmiah dan teknologis
boleh dilakukan juga. Itu berarti bahwa manusia harus membatasi diri. Batas bagi
yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan ilmu dan teknologi harus ditentukan
berdasarkan kesadaran moral manusia. Akan tetapi, secara konkret siapa yang akan
mengambil keputusan? Organisasi profesi ilmuwan dan teknisi yang harus
menentukan batas-batas moral itu, atau megara, atau masyarakat internasional? Atau
keputusan moral sebaiknya diserahkan kepada ilmuwan dan teknikus masing-
masing? Kita mulai menyadari bahwa dalam menangani masalah-masalah moral
yang ditimbulkan oleh perkembangan ilmu dan teknologi, Individu-individu sendiri
tidak berdaya. Masalah-masalah etis yang begitu berat meninta penanganan lebih
menyeluruh. Dalam praktek kita lihat bahwa masalah-masalah etis yang ditimbulakan
oleh ilmu dan teknologi ditangani dengan cara yang berbeda-beda. Masalah-masalah
di bidang ilmu-ilmu biomedis biasanya ditangani oleh setiap negara, setelah diminta
advis dari suatu komisi ahli (fertilisasi in vitro dan reproduksi artificial pada
umumnya, transplantasi organ tubuh, eksperimen dengan manusia, dan lain-lain).
-
Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com
14
Masalah-masalah persenjataan nuklir dan kimia diusahakan untuk diatur melalui
perjanjian-perjanjian internasional. Masalah-masalah lingkungan hidup baru mulai
dipikirkan: ada usaha pada taraf nasional, regional dan malah global, tapi hasilnya
masih jauh dari yang diharapkan. Biarpun perhatian untuk segi etis perkembangan
ilmu dan teknologi memang ada, namun usaha pemikiran etis ketinggalan jauh dari
usaha untuk memacu ilmu dan teknologi. Jika kita lihat betapa banyak dana, tenaga
dan perhatian dikerahkan untuk menguasai daya-daya alam melalui ilmu dan
teknologi, perlu kita akui bahwa hanya sedikit sekali dilakukan untuk refleksikan
serta mengembangkan kualitas etis dari usaha-usaha raksasa itu. Situasi di
universitas- universitas dan institut-institut penelitian lainnya mencerminkan keadaan
ini: ilmu dan teknologi digalakkan dengan cara mengagumkan, tapi sedikit sekali
perhatian diberikan kepada studi mengenai masalah-masalah etisnya.
2.4 PERAN ETIKA DALAM PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN
TEKNOLOGI
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlansung sangat cepat. Dengan
pekembangan tersebut diharapkan akan dapat mempertahankan dan meningkatkan taraf
hidup manusia. Untuk menjadi manusia secara utuh. Maka tidak cukup dengan
mengandalkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, manusia juga harus menghayati secara
mendalam kode etik ilmu, teknologi dan kehidupan. Apabila manusia sudah jauh dari
nalai-nilai, maka kehidupan ini akan terasa kering dan hampa. Oleh karena ilmu dan
teknologi yang dikembangkan oleh manusia harus tidak mengabaikan nilai-nilai
kehidupan dan keluhuran. Penilaian seorang ilmuwan yang mungkin salah dan
menyimpang dari norma, seyokyanya dapat digantikan oleh suatu etika yang dapat
menjamin adanya suatu tanggung jawab bersama, yakni pihak pemerintah, masyarakat
serta ilmuwan itu sendiri.
-
Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com
15
BAB III
PENUTUP
3.1 SIMPULAN
Gambaran tentang situasi ilmu dan teknologi bagi banyak orang barangkali terlalu
pesimistis. Tapi bagi orang lain setidaknya ada inti kebenaran di dalamnya. Kesulitan
yang dialami etika untuk memasuki kawasan ilmiah dan teknologi bisa memperkuat lagi
kesan itu. Kita teringat di sini akan pengalaman peneliti Amerika, Thomas Grissom: hati
nuraninya mendesak kita untuk berhenti bekerja dalam proyek pengembangan senjata
nuklir, tapi ia insaf juga bahwa tempatnya akan diisi oleh orang lain, karena
bagaimanapun juga proyek itu berjalan terus. Banyak orang mendapat kesan bahwa
proses pengembangan ilmu dan teknologi seolah-olah kebal terhadap tuntutan etis. Dan
memang benar, memperhatikan segi-segi etis tidak menjadi tugas ilmu pengetahuan
sendiri, melainkan tugas manusia dibalik ilmu dan teknologi.
3.2 SARAN
Melalui makalah yang sederhana ini kelompok ingin menyarankan kepada
pembaca untuk lebih banyak lagi membaca referensi lain yang berhubungan dengan etika
dan teknologi untuk menambah pengetahuan. Selain itu juga menerapkan apa yang telah
didapatkan setelah berada di lapangan atau di lingkungan masyarakat nantinya.
-
Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com
16
DAFTAR PUSTAKA
K. Bertens, Etika, 2001, PT. Gramedia, Jakarta.
Achmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia, Lembaga
Studi Filsafat Islam: Yogyakarta, 2002, h. 49.
Ibid, h. 54-55.
Program Pendidikan Perguruan Tinggi UI, Modul MPKT, PDPT Universitas Indonesia:
Depok, 2007, h. 82.
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2001, h. 168.
http://rianasriulinapgsdipaa.blogspot.com/2013/01/peran-etika-dalam-perkembangan-
ilmu.html (diakses pada tanggal 29 oktober 2013 pukul 16.43 WIB)
Kebung K. Filsafat Ilmu Pengetahuan. 2011. Jakarta: Prestasi Pustaka.