isi filsafat ilmu “etika dalam pengembangan ilmu dan teknologi” (pls unesa)

16
Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Etika memang bukanlah bagian dari ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Etika lebih merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis yang berhadapan dengan moralitas. Kendati demikian etika tetaplah berperan penting dalam IPTEK. Penerapan IPTEK dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari memerlukan adanya dimensi etis sebagai pertimbangan yang terkadang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan IPTEK selanjutnya. Hakikatnya, IPTEK dipelajari untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia, dan bukan sebaliknya, menghancurkan eksistensi manusia dan justru menjadikan manusia budak teknologi. Oleh karena itu, tanggung jawab etis diperlukan untuk mengontrol kegiatan dan penggunaan IPTEK. Dalam kaitan hal ini, terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang, dan bersifat universal.[1] Keberadaan tanggung jawab etis tidak bermaksud menghambat kemajuan IPTEK. Justru dengan adanya dimensi etis yang mengendalikan, kemajuan IPTEK akan semakin berlomba-lomba meningkatkan martabat manusia sebagai “tuan” teknologi dan bukan hamba teknologi. Tanggung jawab etis juga diharapkan mampu menginspirasi, memacu, dan memotivasi manusia untuk mengembangkan teknologi yang IPTEK yang tidak mencelakakan manusia serta aman bagi lingkungan hidup. Pada awalnya teknologi diciptakan untuk meringankan dan membebaskan manusia dari kesulitan hidupnya. Namun manusia justru terjebak dalam kondisi konsumerisme yang semakin meningkatkan ketergantungan manusia akan teknologi dan parahnya, menjadikan manusia budak teknologi. Manusia semestinya memajukan IPTEK sesuai dengan nilai intrinsiknya sebagai pembebas beban kerja manusia. Bila tidak sesuai, maka teknologi justru akan menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat, karena ada

Upload: tesaardiansya1731

Post on 22-Nov-2015

319 views

Category:

Documents


24 download

TRANSCRIPT

  • Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com

    1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 LATAR BELAKANG Etika memang bukanlah bagian dari ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK).

    Etika lebih merupakan sarana untuk memperoleh orientasi kritis yang berhadapan dengan

    moralitas. Kendati demikian etika tetaplah berperan penting dalam IPTEK. Penerapan

    IPTEK dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari memerlukan adanya dimensi etis

    sebagai pertimbangan yang terkadang ikut berpengaruh dalam proses perkembangan

    IPTEK selanjutnya.

    Hakikatnya, IPTEK dipelajari untuk mengembangkan dan memperkokoh

    eksistensi manusia, dan bukan sebaliknya, menghancurkan eksistensi manusia dan justru

    menjadikan manusia budak teknologi. Oleh karena itu, tanggung jawab etis diperlukan

    untuk mengontrol kegiatan dan penggunaan IPTEK. Dalam kaitan hal ini, terjadi

    keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, martabat manusia, menjaga

    keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan

    generasi mendatang, dan bersifat universal.[1] Keberadaan tanggung jawab etis tidak

    bermaksud menghambat kemajuan IPTEK. Justru dengan adanya dimensi etis yang

    mengendalikan, kemajuan IPTEK akan semakin berlomba-lomba meningkatkan martabat

    manusia sebagai tuan teknologi dan bukan hamba teknologi. Tanggung jawab etis juga

    diharapkan mampu menginspirasi, memacu, dan memotivasi manusia untuk

    mengembangkan teknologi yang IPTEK yang tidak mencelakakan manusia serta aman

    bagi lingkungan hidup.

    Pada awalnya teknologi diciptakan untuk meringankan dan membebaskan

    manusia dari kesulitan hidupnya. Namun manusia justru terjebak dalam kondisi

    konsumerisme yang semakin meningkatkan ketergantungan manusia akan teknologi dan

    parahnya, menjadikan manusia budak teknologi. Manusia semestinya memajukan IPTEK

    sesuai dengan nilai intrinsiknya sebagai pembebas beban kerja manusia. Bila tidak sesuai,

    maka teknologi justru akan menimbulkan ketidakadilan dalam masyarakat, karena ada

  • Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com

    2

    yang diuntungkan dan ada yang dirugikan. Selain itu, martabat manusia akan semakin

    direndahkan dengan menjadi budak teknologi, berbagai penyakit sosial merebak di

    masyarakat, hingga pada fenomena dehumanisasi ketika manusia kehilangan peran dan

    fungsinya sebagai makhluk spiritual.

    Apakah kemajuan iptek itu merendahkan atau meningkatkan keberadaan manusia

    sangat ditentukan oleh manusia itu sendiri, karena IPTEK sendiri merupakan salah satu

    dari 7 cultural universal yang dihasilkan manusia yang terdiri dari: sistem mata

    pencaharian, sistem kepercayaan, bahasa, sistem kemasyarakatan, kesenian, sistem ilmu

    pengetahuan, dan sistem peralatan hidup. Oleh karena itu, perkembangan IPTEK haruslah

    diikuti kedewasaan manusia untuk mengerti mana yang baik dan yang buruk, mana yang

    semestinya dan yang tidak semestinya dilakukan dalam pengembangan IPTEK. Di sinilah

    peran etika untuk ikut mengontrol perkembangan IPTEK agar tidak bertentangan dengan

    niilai dan norma dalam masyarakat, serta tidak merugikan manusia sendiri. Etika,

    terutama etika keilmuan sangatlah penting dalam kehidupan ilmiah karena etika keilmuan

    menyoroti kejujuran, tanggung jawab, serta bebas nilai atau tidak bebas nilai dalam ilmu

    pengetahuaan.

    Berbicara masalah bebas nilai atau tidaknya ilmu pengetahuan sangatlah relevan

    dengan apa yang terjadi di zaman Renaissance, yang terkenal dengan paham Aufklarung

    yang mendewakan rasionalitas manusia. Pada zaman kegelapan (Dark Age), gereja

    senantiasa mengatur dan mengendalikan kaum cendekiawan sehingga mereka merasa

    sangat terkekang. Setiap teori atau penemuan-penemuan baru hanya dapat dipergunakan

    dengan persetujuan dan pengakuan gereja. Sejak saat itulah para cendekiawan Barat

    beranggapan bahwa nilai dan norma hanya menghambat kemajuan IPTEK. Pemahaman

    rasional tentang dirinya dan alam mengantar manusia pada suatu pragmatisme ilmiah,

    dimana perkembangan ilmu dianggap berhasil ketika memiliki konsekuensi-konsekuensi

    pragmatis. Keadaan ini pula yang menggiring ilmuwan untuk menjaga jarak terhadap

    problem nilai secara langsung.

    Untuk menentukan bahwa ilmu itu bebas nilai atau tidak, maka diperlukan

    sekurang-kurangnya 3 faktor sebagai indikator. Pertama, ilmu tersebut harus bebas dari

    pengandaian dan pengaruh faktor eksternal seperti politik, ideologi, agama, budaya,

  • Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com

    3

    dll. Kedua, perlunya kebebasan usaha ilmiah demi terjaminnya otonomi ilmu

    pengetahuan.Ketiga, tidak luputnya penelitian ilmiah dari pertimbangan etis yang selalu

    dituding menghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Indikator pertama dan kedua

    memperlihatkan upaya ilmuwan untuk menjaga objektivitas ilmiah ilmu pengetahuan,

    sedangkan indikator ketiga ingin menunjukkan adanya faktor X yang hampir mustahil

    dihindarkan dari perkembangan ilmu pengetahuan, yaitu pertimbangan etis.[5] Selain 3

    indikator tadi, masih ada indikator keempat yang amat sulit ditolak oleh ilmu

    pengetahuan, yakni kekuasaan. Perkembangan IPTEK selalu sarat dengan berbagai

    kepentingan, terutama kepentingan kekuasaan yang kadang memunculkan konflik

    kepentingan antara ilmuwan dengantruth claim melawan penguasa

    dengan authority claimnya. Dan di negara berkembang, konflik itu hampir selalu

    dimenangkan pihak penguasa.

    Ilmu sendiri, baik secara teoritis maupun praktis tidak pernah bebas dari nilai.

    Selalu ada kepentingan yang bermain di dalam ilmu itu. Namun, pertimbangan etis

    semestinya hanya berperan sebagai rambu-rambu saja, dan bukannya mengekang

    perkembangan IPTEK tersebut. Kesalahan Barat adalah mereka menganggap bahwa ilmu

    selalu bebas nilai dan sudah semestinya ilmu pengetahuan tidak berhubungan dengan

    agama (sekularisme). Akan tetapi, intervensi nilai yang berlebihan ke dalam ilmu

    pengetahuan juga akan mengekang kreativitas manusia dalam berpikir. Ilmu pengetahuan

    semata-mata hanya menjadi alat dari berbagai macam kepentingan, terutama kepentingan

    ideologis dan politik.

    Karena IPTEK tidaklah bebas nilai, maka sudah sewajarnya kita mengkuti

    perkembangannya, asalkan jangan sampai kita terjebak rasa ketergantungan pada

    teknologi. Teknologi hanyalah alat untuk membantu meringankan beban kerja kita

    sehingga jangan sampai justru kita menjadi malas dan diperbudak teknologi. Dalam

    perkembangan teknologi komunikasi dan komunikasi kontemporer sendiri, sudah begitu

    banyak media yang dikembangkan untuk memperlancar komunikasi dan memperpendek

    jarak antar manusia. Sebut saja komputer, jaringan telepon selular yang dibantu adanya

    satelit komunikasi, serta internet yang mengusung Super Highway Communication

    dengan electronic mail. Selain itu, telepon selular di beberapa negara pun sudah

  • Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com

    4

    dilengkapi fasilitas 3G atau bahkan 4G yang memungkinkan manusia mengakses data

    dalam waktu yang amat singkat.

    Berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengantar kita pada

    kemudahan-kemudahan untuk mengerjakan pekerjaan sehari-hari baik di rumah, sekolah,

    maupun kantor. Namun, jangan sampai justru dengan segala fasilitas itu kita menjadi

    diperbudak oleh alat. Kita adalah manusia yang bisa berpikir dan menciptakan berbagai

    macam peralatan. Oleh karena itu hendaknya kita menciptakan teknologi sesuai dengan

    keadaan dan kebutuhan manusia, bukannya membuat manusia harus menyesuaikan diri

    dengan teknologi.

    1.2 RUMUSAN MASALAH 1.2.1 Apa pengertian dari etika.

    1.2.2 Apa saja jenis- jenis dari etika.

    1.2.3 Bagaimana etika dalam ilmu dan teknologi.

    1.2.4 Apa peranan etika dalam perkembangan ilmu dan teknologi.

    1.3 MANFAAT DAN TUJUAN 1.3.1 Untuk memenuhi tugas mata kuliah filsafat ilmu.

    1.3.2 Untuk memahami makna etika.

    1.3.3 Untuk mengetahui jenis- jenis dari etika.

    1.3.4 Untuk memahami bagaiamana etika dalam ilmu dan teknologi.

    1.3.5 Untuk mengetahui peranan etika dalam pengembangan ilmu dan teknologi.

  • Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com

    5

    BAB II

    PEMBAHASAN

    2.1 PENGERTIAN ETIKA

    Etika berarti moral sedangkan etiket berarti sopan santun. Dalam bahasa Inggeris

    dikenal sebagai ethics dan etiquette. Etika disebut juga filsafat moral adalah cabang

    filsafat yang berbicara tentang praxis (tindakan) manusia. Etika tidak mempersoalkan

    keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak.

    Tindakan manusia ini ditentukan oleh bermacam-macam norma. Norma ini masih dibagi

    lagi menjadi norma hukum, norma moral, noprma agama dan norma sopan santun. Norma

    hukum berasal dari hukum dan perundang-undangan,norma agama berasal dari agama

    sedangkan norma moral berasal dari suara batin. Norma sopan santun berasal dari

    kehidupan sehari-hari sedangkan norma moral berasal dari etika.

    2.2 JENIS- JENIS ETIKA

    Untuk menganalisis arti-arti etika, dibedakan menjadi dua jenis etika (Bertens, 2000):

    1. Etika sebagai Praktis

    a. Nilai-nilai dan norma-norma moral sejauh dipraktekkan atau justru tidak

    dipraktekkan walaupun seharusnya dipraktekkan.

    b. Apa yang dilakukan sejauh sesuai atau tidak sesuai dengan nilai dan norma moral.

    2. Etika sebagai Refleksi

    a. Pemikiran moral berpikir tentang apa yang dilakukan dan khususnya tentang apa

    yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan.

    b. Berbicara tentang etika sebagai praksis atau mengambil praksis etis sebagai

    objeknya.

    c. Menyoroti dan menilai baik buruknya perilaku orang.

    d. Dapat dijalankan pada taraf populer maupun ilmiah.

    2.3 ETIKA DALAM ILMU DAN TEKNOLOGI

  • Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com

    6

    Di antara faktor-faktor yang mengakibatkan suasana etis di zaman kita sekarang,

    perkembangan pesat dan menakjubkan di bidang ilmu dan teknologi pasti mempunyai

    kedudukan penting. Dengan ilmu di sini terutama dimaksudkan ilmu alam. Dengan

    teknologi dimengerti penerapan ilmu alam yang memungkinkan kita menguasai dan

    memamfaatkan daya-daya alam. Di antara masalah-masalah etis berat yang dihadapi

    sekarang ini tidak sedikit berasal dari hasil kadang-kadang spektekuler yang di capai

    ilmu dan teknologi modern. Di bandingkan dengan generasi sebelumnya, perkembangan

    ilmiah dan teknologis itu mengubah banyak sekali dalam hidup manusia, antara lain juga

    menyajikan masalah-masalah etis yang tidak pernah terduga sebelumnya. Tentu saja topic

    yang begitu luas dan rumit tidak mungkin di uraikan disini dengan lengkap dan menurut

    segala aspeknya. Kita harus membatasi diri pada beberapa catatan saja.

    1. MASALAH BEBAS NILAI

    Dari yang dikatakan tadi kiranya sudah jelas bahwa kami melihat hubungan

    langsung antara ilmu dan pertimbangan moral. Ilmu dan moral tidak merupakan dua

    kawasan yang sama sekali asing yang satu terhadap yang lain, tetapi ada titik temu di

    antaranya. Pada saat-saat tertentu dalam perkembangan ilmu dan teknologi bertemu

    dengan moral. Dengan itu kami sebenarnya sudah menjawab pertanyaan hubungan

    antara ilmu dan nilai-nilai moral yang dikenal baik dalam bentuk apakah ilmu itu

    bebas nilai?. Atas pertanyaan ini sekarang agak umum dijawab bahwa ilmu tidak

    asing terhadap nilai dan dalam arti itu ilmu tidak bebas nilai. Dulu banyak ilmuwan

    merasa segan mengakui bahwa ilmu itu tidak bebas nilai, karena mereka

    mengkhawatirkan dengan itu otonomi ilmu pengetahuan akan dirongrong. Tapi

    kekhawatiran seperti itu tidak beralasan. Metode ilmu pengetahuan memang otonom

    dan tidak boleh dicampuri oleh pihak lain, entah itu terjadi atas nama nilai moral,

    nilai keagamaan, pertimbangan nasional atau alas an apapun juga. Dalam hal ini kita

    sudah cukup belajar dari sejarah. Kita ingat saja akan perkara Galilei yang terjadi

    dalam abad ke-17. tahun 1633 Gereja Katolik memaksa ilmuwan Italia, Galileo

    Galilei, untuk menarik kembali teorinya bahwa bumi mengelilingi matahari dan tidak

    sebaliknya (heliosentrisme), yang dinilai bertentangan dengan Kitab Suci Kristen.

    Campur tangan agama dalam metode ilmiah tidak saja merugikan ilmu, tapi

    merugikan agama itu sendiri, karena kredibilitasnya bisa berkurang. Dalam abad ke-

  • Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com

    7

    20 masih terjadi kasus yang sejenis di Uni Soviet. Ahli biologi dan Genetika, T.D.

    Lysenko, berhasil meyakinkan pemerintah Stalin bahwa teori genetika Mendel yang

    tradisional itu bersifat anti marxixtis dan bahwa teorinya sendiri sesuai dengan ajaran

    komunis dan akan memungkinkan loncatan maju di bidang pertanian. Di kemudian

    hari terbentuk pendapat umum dal;am kalangan ilmiah bahwa teori Lysenko itu tidak

    benar. Tapi Stalin memenangkan Lysenko dan para pengikutnya, sedangkan

    ilmuwan-ilmuwan yang tidak sependapat disingkirkan. Ahli genetika terkemuka,

    N>I> Vavilov, yang sampai berani mengeritik teori Lysenko, meninggal dalam camp

    konsentrasi sebagai martir demi ilmu pengetahuan yang otonom.

    Bahwa ilmu adalah otonom dalam mengembangkan metode dan

    prosedurnya, kini bisa diterima tanpa keberatan apapun. Tidak ada instansi lain yang

    berhak menyensor atau memerintahkan penelitian ilmiah. kami mencari kebenaran

    dan bukan sesuatu yang lain sudah lama menjadi semboyan untuk banyak ilmuwan.

    Akan tetapi, ilmu dan terutama teknologi sebagai penerapan ilmu teoritis tercantum

    juga dalam suatu konteks lebih luas. Dan terutama karena alasan itulah ia berjumpa

    dengan nilai-nilai moral. Ilmu dan teknologi bergumul dengan pertanyaan

    bagaimana (bagaimana struktur materi, bagaimana crania membuat mesin mobil

    yang irit bahan bakar, banyak sekali lagi). Teori ilmiah dan penerapannya dalam

    tehnik memberi jawaban atas pertanyaan itu. Tapi disamping itu masih ada

    pertanyaan-pertanyaan lain, misalnya, pertanyaan yang sangat penting, yaitu untuk

    apa?. Dan sebenarnya pertanyaan terakhir ini secara kronologis tidak terpisah dari

    yang pertama. Konon, ketika seorang ilmuwan Amerika yang ikut serta dalam

    Manhattan Project- proyek yang mengembangkan bom atom pertama pada awal

    tahun 1940-an ditanyakan tentang implikasi lebih lanjut dari proyek ilmiah itu, ia

    menjawab: After all, it is superb physics, bagaimanapun juga, inilah fisika yang luar

    biasa. Maksudnya, ia membatasi diri pada segi ilmiah saja. Ia tidak bersedia

    meninggalkan lengkup pertanyaan bagaimana?. Namun demikian, pada

    kenyataannya pekerjaannya tidak bisa dilepaskan dari yang terjadi beberapa waktu

    kemudian di kota Hiroshima dan Nagasaki. Selama ilmuwan bisa membatasi diri

    pada pertanyaan bagaimana?, mungkin ia hanya mencari kebenaran murni. Tapi

  • Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com

    8

    secara konkret pertanyaan ini dibarengi pertanyaan untuk apa?. Hal itu sekarang

    jauh lebih jelas daripada awal perkembangan ilmu modern. Dalam situasi kita,

    kemampuan manusia yang tampak dalam ilmu dan teknologi bertautan erat dengan

    kekuatan ekonomis dan politik/militer. Salah satu alasan terpenting adalah bahwa

    penelitian ilmiah yang amat terspesialisasi itu menjadi usaha yang semakin mahal.

    Ilmuwan dengan cita-cita paling luhur pun tidak bisa berbuat banyak, kalau tidak

    tersedia dana yang sangat dibutuhkan. hampir semua ilmuwan adalah orang yang

    dari segi ekonomi tidak bebas sudah dikatakan Albert Einstein. Yang membiayai

    penelitian ilmiah tentu sudah mempunyai maksud dan harapan tertentu. Karena

    keadaan itu di zaman kita sekarang perkembangan ilmu dan teknologi hampir tidak

    bisa dipisahkan lagi dari kepentingan bisnis dan politik/militer.

    2. AMBIVALENSI KEMAJUAN ILMIAH

    Pertama-tama perlu kita sadari bahwa kemajuan yang di capai berkat ilmu dan

    teknologi bersifat ambivalen, artinya di samping banyak akibat positif terdapat juga

    akibat-akibat negatif. Tidak bisa di sangkal, berkat adanya ilmu dan teknologi

    manusia memperoleh banyak kemudahan dan kemajuan yang dulu malah tidak

    diimpikan. Kita ingat saja akan fasilitas transportasi dan telekomunikasi yang sangat

    memudahkan komunikasi bagi banyak sekali orang. Contoh yang tidak kalah penting

    adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang membuat hidup kita lebih berkualitas dan

    cukup drastic meningkatkan umur harapan hidup (life expectancy). Memang benar

    apa yang di katakana Filsuf dan sastrawan Inggris, Bertrand Russell (1872-

    1970):perbaikan dalam bidang kesehatan itu sendiri sudah cukup untuk membuat

    zaman ini lebih disenangi dibanding waktu-waktu sebelumnya yang kini kadang kala

    masih menjadi objek nostalgia sementara orang. Secara keseluruhan, menurut saya,

    zaman ini ditandai oleh perbaikan dan kemajuan dalam segala hal dibanding dengan

    sebelumnya, kecuali bagi yang dulunya sudah kaya dan memiliki hak-hak istimewa.

    Yang terutama bertambah dengan kemungkinan-kemungkinan ilmiah dan teknologis

    ini adalah kemampuan manusia. Filsuf Inggris, Francis Bacon (1561-1623) sudah

    menyadari aspek penting ini dengan menekankan bahwa knowledge is power,

    penetahuan adalah kuasa. Tidak lama kemudian Filsuf Prancis, Rene Descartes

  • Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com

    9

    (1596-1650), menulis buku kecil dimana ia menguraikan pendangannya tentang

    metode ilmu baru yang sedang bertumbuh itu dan pada akhir bukunya ia

    mengucapkan keyakinannya bahwa dengan demikian umat manusia bisa menjadi

    maitres et possesseurs de la nature, penguasa dan pemilik alam.

    Mula-mula perkembangan ilmiah dan teknologi itu dinilai sebagai kemajuan

    belaka. Orang hanya melihat kemungkinan-kemungkinan baru yang terbuka luas bagi

    manusia. Pandangan optimistic itu berlangsung terus dan mencapai puncaknya dalam

    abad ke 19. ilmu dan teknologi dianggap sebagai kunci untuk memecahkan semua

    kesulitan yang mengganggu umat manusia. Kepercayaan akan kemajuan itu menjadi

    kentara sekali dalam pemikiran filsuf Prancis, Auguste Comte (1798-1857), yang

    memandang zaman ilmiah yang disebutnya zaman positif sebagai puncak dan titik

    akhir seluruh sejarah. Pandangan yang begitu optimistic kini tampaknya agak naf.

    Kita sekarang ini jauh lebih modest dalam menilai ilmu dan teknologi. Kita

    menginsafi ambivalensi seluruh proses ilmiah-teknologis itu : ada segi positif tapi ada

    juga segi negatif. Di samping kemajuan luar biasa, ditimbulkan juga banyak problem

    dan kesulitan baru. Dan tidak bisa dipungkiri, problem dan kesulitan ini sering

    mempunyai konotasi etis. Kesadaran akan aspek=aspek negatif yang melekat pada

    ilmu dan teknologi mungkin belum pernah dirasakan begitu jelas dan meyakinkan

    seperti pada saat bom atom pertama dijatuhkan di atas kota Hiroshima tanggal 6

    agustus 1945 dan tiga hari kemudian di atas kota Nagasaki. Pada ketika itu segera

    disadari akibat-akibat dahsyat dari kemampuan manusia melalui penguasaan fisika

    nuklir. Dengan adanya bom nuklir ini ternyata manusia memiliki kemungkinan yang

    mengerikan utnuk memusnahkan kehidupan di seluruh bumi. Untuk kedua kalinya

    kesadaran yang sama menyatakan diri ketika sekitar tahun 1960-an mulai dikenal dan

    diinsafi dengan jelas masalah ekologi dan lingkungan hidup. Bukan saja bom nuklir,

    melainkan juga perusakan dan pencemaran lingkungan hidup merupakan ancaman

    besar bagi kehidupan di planet kita. Penggunaan teknologi tanpa batas dalam industri

    modern akhirnya membahayakan kelangsungan hidup itu sendiri. Yang dibawakan

    oleh ilmu dan teknologi bukan saja kemajuan, melainkan juga kemunduran, bahkan

    kehancuran, jika manusia tidak segera tahu membatasi diri. Dengan adanya

  • Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com

    10

    persenjataan nuklir dan perlunya kelestarian lingkungan hidup menghadapi manusia

    dengan tanggung jawabnya dank arena itu menjadi masalah maslah etis.

    3. TANDA-TANDA YANG MENIMBULKAN HARAPAN

    Bukan saja sedikit sekali perhatian untuk etika dalam masyarakat, melainkan

    juga perhatian itu hampir selalu terlambat datang. Pemikiran etis hanya menyusul

    perkembangan ilmiah-teknologis. Baru sesudah problem-problem etis timbul, etika

    sebagai ilmu mulai diikutsertakan. Refleksi etis tentang persenjataan nuklir baru

    dimulai, setelah bom atom pertama diledakkan. Refleksi etis tentang reproduksi

    artificial baru dikembangkan, sesudah bayi tabung pertama telah lahir dan

    eksperimen-eksperimen sudah lama diadakan. Perkembangan ilmiah-teknologis

    selalu mendahului pemikiran etis. Yang ideal adalah bahwa pemikiran etis

    mendahului dan mengarahkan perkembangan ilmiah-teknologis, tapi cita-cita seperti

    itu rasanya masih mustahil untuk diwujudkan. Namun demikian, perlu dicatat bahwa

    di sini ada beberapa perkembangan yang menggembirakan dan dapat membesarkan

    hati. Salah satu di antaranya adalah munculnya komisi-komisi etika. Di banyak

    Negara modern sudah menjadi kebiasaan luas bahwa rumah sakit-rumah sakit dan

    proyek-proyek penelitian biomedis mempunyai komisi etika yang mendampingi dan

    mengawasi rumah sakit atau proyek penelitian itu dari sudut etis. Komisi etika seperti

    itu bisa menjadi semacam hati nurani, agar rumah sakit memberi pelayanan yang

    sungguh-sunggu manusiawi. Komisi dapat dikonsultasi, jika direksi dan staf medis

    mengalami keraguan etis dalam menjalankan tugasnya, dan komisi sendiri dapat

    mengambil inisiatif juga, jika menurut pendapatnya terjadi peristiwa yang dari segi

    moral menimbulkan tanda tanya. Komisi etiaka untuk setiap penelitian ilmiah yang

    melibatkan manusia sudah menjadi rutin di banyak Negara. Komisi itu harus

    menyetujui rancangan penelitian dan akan mendampingi seluruh penelitian selama

    proyek berlangsung. Perhatian untuk segi etis penelitian menjadi suatu sector penting

    di antara masalahmasalah etis yang disebabkan ilmu dan teknologi. Setelah lebih

    dulu di buat eksperimen dengan binatang atau ditempuh cara eksperimentasi lain lagi,

    mau tidak mau timbul saatnya bahwa tidak bisa dihindari lagi mengadakan percobaan

    langsung dengan manusia untuk mencobai obat baru, prosedur medis baru, atau

    sebagainya. Percobaan-percobaan ini selalu harus dilakukan demikian rupa sehingga

  • Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com

    11

    martabat manusia tetap dihormati. Dalam hal ini kekejaman-kekejaman yang

    dilakukan dokter-dokter nasional-sosialis di Jerman waktu rezim Hitler merupakan

    peringatan tetap bagi seluruh umat manusia. Tidak pernah bisa diterima kemajuan

    ilmiah yang diperoleh dengan memperkosa martabat manusia.

    Suatu gejala lain yang menggembirakan adalah keikutsertaan etika dalam

    penelitian genetika tentang gen-gen manusia. Di Amerika Seriakt pada tanggal 1

    Oktober 1990 secara resmi dimulai proyek penelitian raksasa yang bertujuan

    mempelajari bentuk dan isi gen-gen manusia. Proyek yang diberi nama resmi The

    Human Genome Project ini akan memetakan dan menentukan runtunan seluruh DNA

    genom manusia. Melalui proyek besar ini lokasi yang tepat dan runtunan nucleotide

    yang menyusun sekitar 3 biliun DNA genom manusia akan diketahui dan

    dikatalogkan. Telah didirikan suatu institute khusus, yaitu National Center for

    Human Genome Research, yang akan melaksanakan penelitian ini dalam kerja sama

    dengan organisasi-organisasi lain dalam dan luar negeri. Diperkirakan penelitian ini

    dapat diselesaikan dalam jangka waktu 15 tahun. The Human Genome Project ini

    telah dinilai proyek Apollo dalam tahun 1960-an yang bertujuan membawa manusia

    ke bulan. Tidak mustahil informasi yang diperoleh melalui penelitian ini akan

    mengakibatkan revolusi baru di bidang ilmu-ilmu biomedis umtuk masa mendatang.

    Akan tetapi, penelitian genetis yang sangat kompleks ini mempunyai banyak

    implikasi etis yang berat. Bagaimana informasi yang diperoleh di sini akan

    dimanfaatkan? Penelitian seperti ini selalu dibayangi kekhawatiran bahwa manusia

    tergoda untuk memanipulasi gen-gennya sendiri dan akhirnya berusaha menciptakan

    keturunan yang serba-super. Tapi masih ada banyak penyalahgunaan lain lagi yang

    dimungkinkan dengan penelitian canggih ini. Tidak bisa disangkal, dengan memulai

    penelitian genetis seperti itu manusia memikul tanggung jawab moral yang berat.

    Rupanya dalam proyek ini tanggung jawab moral ini diakui sepenuhnya. Dari

    permulaannya seluruh proyek ini didampingi oleh Ethical, Legal and Social

    Implications Program: suatu program yang menyoroti implikasi moral, yuridis dan

    sosial dari proyek penelitian ini (yang konon diberi jatah 3% dari seluruh budgetnya).

    Dengan demikian mungkin untuk pertama kali dalam sejarah suatu proyek ilmiah

  • Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com

    12

    besar menyoroti juga aspek-aspek non-ilmiah, khususnya aspek-aspek etis. Hal itu

    merupakan tanda yang menggembirakan. Kita hanya dapat mengharapkan bahwa

    dengan itu kesulitan-kesulitan etis dalam wilayah penelitian yang rawan ini dapat

    diatasi dengan memuaskan.

    4. TEKNOLOGI YANG TAK TERKENDALI

    Dalam refleksi filosofis tentang situasi zaman kita sudah beberapa kali

    dikemukakan bahwa perkembangan ilmu dan teknologi merupakan proses yang

    seakan-akan berlangsung secara otomatis, tak tergantung dari kemauan manusia.

    Keadaan ini bisa mengherankan, karena teknik sebenarnya dimulai untuk membantu

    manusia. Fungsinya pada dasarnya bersifat instrumental, artinya, menyediakan alat-

    alat bagi manusia. Teknik mula-mula dianggap memperpanjang fungsi-fungsi tubuh

    manusia : kaki (alat transportasi), tangan (mesin-mesin, alat-alat besar), mata

    (film,televisi), telinga (radio, telepon), sampai dengan otak (computer). Tapi apa

    yang dirancang sebagai sarana yang memungkinkan manusia untuk memperluas

    penguasaannya terhadap dunia ternyata menjadi sukar untuk dikuasai sendiri, malah

    kadang-kadang tidak bisa dikuasai. Martin Heidegger (1889-1976), filsuf jerman

    yang dalam hal ini barangkali mempunyai pandangan paling ekstrem, berpendapat

    bahwa teknik yang diciptakan manusia untuk menguasai dunia, sekarang mulai

    menguasai manusia sendiri. Kesan bahwa proses ilmu dan teknologi berkembang

    otomatis tampaknya sering kali beralasan. Ketika astronaut Amerika, Neil Amstrong,

    sebagai manusia pertama yang menginjakkan kakinya pada permukaan bulan tanggal

    20 juli 1969, hal ini merupakan hasil suatu proses yang harus terjadi, walaupun tidak

    ada orang yang tahu persis maksudnya apa. Sekarang manusia akan menuju ke planet

    lain, khususnya Mars atau Venus. Hal itu merupakan proses yang seolah-olah tak

    terhindarkan. Pertanyaan tentang tujuannya apa dan apakah dana raksasa yang

    ditanamkan dalam proyek seperti itu tidak bisa dipakai dengan lebih baik, rupanya

    dalam konteks ini kurang relevan. Manusia diatas bulan dan manusia diatas planet

    Mars seolah-olah merupakan keniscayaan yang tidak bisa diganggu gugat. Dalam hal

    yang sama berlaku untuk banyak proyek ilmiah dan teknologis lainnya.

  • Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com

    13

    Gambaran tentang situasi ilmu dan teknologi ini bagi banyak orang barangkali

    terlalu pesimistis. Tapi bagi orang lain setidak-tidaknya ada ini kebenaran

    didalamnya. Kesulitan yang dialami etika untuk memasuki kawasan ilmiah dan

    teknologis bisa memperkuat lagi kesan itu. Kita teringat di sini akan pengalaman

    peneliti Amerika, Thomas Grissom, yang disebut pada awal bab 2: hati nuraninya

    mendesak dia untuk berhenti bekerja dalam proyek pengembangan senjata nuklir,

    tapi ia insaf juga bahwa tempatnya akan diisi oleh orang lain, karena -bagaimanapun

    juga- proyek itu berjalan terus. Banyak orang mendapat kesan bahwa proses

    perkembangan ilmu dan teknologi seolah-olah kebal terhadap tuntutan etis. Dan

    memang benar, memperhatikan segi-segi etis tidak menjadi tugas ilmu pengetahuan

    sendiri, melainkan tugas manusia di balik ilmu dan teknologi. Jika kemampuan

    manisia bertambah besar berkat kemajuan ilmiah dan teknologis, maka

    kebijaksanaannya dalam menjalankan kemampuan itu harus bertambah pula.

    Apakah semua yang bisa dikerjakan ilmu dan teknologi, pada kenyataannya boleh

    dikerjakan juga? tidak merupakan pertanyaan yang dapat dijawab oleh manusia

    yang berperanan sebagai ilmuwan atau teknikus. Dan jelas jawabannya adalah: tidak.

    Tidak semuanya yang bisa dilakukan dengan kemampuan ilmiah dan teknologis

    boleh dilakukan juga. Itu berarti bahwa manusia harus membatasi diri. Batas bagi

    yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan ilmu dan teknologi harus ditentukan

    berdasarkan kesadaran moral manusia. Akan tetapi, secara konkret siapa yang akan

    mengambil keputusan? Organisasi profesi ilmuwan dan teknisi yang harus

    menentukan batas-batas moral itu, atau megara, atau masyarakat internasional? Atau

    keputusan moral sebaiknya diserahkan kepada ilmuwan dan teknikus masing-

    masing? Kita mulai menyadari bahwa dalam menangani masalah-masalah moral

    yang ditimbulkan oleh perkembangan ilmu dan teknologi, Individu-individu sendiri

    tidak berdaya. Masalah-masalah etis yang begitu berat meninta penanganan lebih

    menyeluruh. Dalam praktek kita lihat bahwa masalah-masalah etis yang ditimbulakan

    oleh ilmu dan teknologi ditangani dengan cara yang berbeda-beda. Masalah-masalah

    di bidang ilmu-ilmu biomedis biasanya ditangani oleh setiap negara, setelah diminta

    advis dari suatu komisi ahli (fertilisasi in vitro dan reproduksi artificial pada

    umumnya, transplantasi organ tubuh, eksperimen dengan manusia, dan lain-lain).

  • Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com

    14

    Masalah-masalah persenjataan nuklir dan kimia diusahakan untuk diatur melalui

    perjanjian-perjanjian internasional. Masalah-masalah lingkungan hidup baru mulai

    dipikirkan: ada usaha pada taraf nasional, regional dan malah global, tapi hasilnya

    masih jauh dari yang diharapkan. Biarpun perhatian untuk segi etis perkembangan

    ilmu dan teknologi memang ada, namun usaha pemikiran etis ketinggalan jauh dari

    usaha untuk memacu ilmu dan teknologi. Jika kita lihat betapa banyak dana, tenaga

    dan perhatian dikerahkan untuk menguasai daya-daya alam melalui ilmu dan

    teknologi, perlu kita akui bahwa hanya sedikit sekali dilakukan untuk refleksikan

    serta mengembangkan kualitas etis dari usaha-usaha raksasa itu. Situasi di

    universitas- universitas dan institut-institut penelitian lainnya mencerminkan keadaan

    ini: ilmu dan teknologi digalakkan dengan cara mengagumkan, tapi sedikit sekali

    perhatian diberikan kepada studi mengenai masalah-masalah etisnya.

    2.4 PERAN ETIKA DALAM PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN

    TEKNOLOGI

    Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlansung sangat cepat. Dengan

    pekembangan tersebut diharapkan akan dapat mempertahankan dan meningkatkan taraf

    hidup manusia. Untuk menjadi manusia secara utuh. Maka tidak cukup dengan

    mengandalkan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, manusia juga harus menghayati secara

    mendalam kode etik ilmu, teknologi dan kehidupan. Apabila manusia sudah jauh dari

    nalai-nilai, maka kehidupan ini akan terasa kering dan hampa. Oleh karena ilmu dan

    teknologi yang dikembangkan oleh manusia harus tidak mengabaikan nilai-nilai

    kehidupan dan keluhuran. Penilaian seorang ilmuwan yang mungkin salah dan

    menyimpang dari norma, seyokyanya dapat digantikan oleh suatu etika yang dapat

    menjamin adanya suatu tanggung jawab bersama, yakni pihak pemerintah, masyarakat

    serta ilmuwan itu sendiri.

  • Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com

    15

    BAB III

    PENUTUP

    3.1 SIMPULAN

    Gambaran tentang situasi ilmu dan teknologi bagi banyak orang barangkali terlalu

    pesimistis. Tapi bagi orang lain setidaknya ada inti kebenaran di dalamnya. Kesulitan

    yang dialami etika untuk memasuki kawasan ilmiah dan teknologi bisa memperkuat lagi

    kesan itu. Kita teringat di sini akan pengalaman peneliti Amerika, Thomas Grissom: hati

    nuraninya mendesak kita untuk berhenti bekerja dalam proyek pengembangan senjata

    nuklir, tapi ia insaf juga bahwa tempatnya akan diisi oleh orang lain, karena

    bagaimanapun juga proyek itu berjalan terus. Banyak orang mendapat kesan bahwa

    proses pengembangan ilmu dan teknologi seolah-olah kebal terhadap tuntutan etis. Dan

    memang benar, memperhatikan segi-segi etis tidak menjadi tugas ilmu pengetahuan

    sendiri, melainkan tugas manusia dibalik ilmu dan teknologi.

    3.2 SARAN

    Melalui makalah yang sederhana ini kelompok ingin menyarankan kepada

    pembaca untuk lebih banyak lagi membaca referensi lain yang berhubungan dengan etika

    dan teknologi untuk menambah pengetahuan. Selain itu juga menerapkan apa yang telah

    didapatkan setelah berada di lapangan atau di lingkungan masyarakat nantinya.

  • Diarsipkan oleh PLS UNESA untuk Imadiklus.com

    16

    DAFTAR PUSTAKA

    K. Bertens, Etika, 2001, PT. Gramedia, Jakarta.

    Achmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia, Lembaga

    Studi Filsafat Islam: Yogyakarta, 2002, h. 49.

    Ibid, h. 54-55.

    Program Pendidikan Perguruan Tinggi UI, Modul MPKT, PDPT Universitas Indonesia:

    Depok, 2007, h. 82.

    Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2001, h. 168.

    http://rianasriulinapgsdipaa.blogspot.com/2013/01/peran-etika-dalam-perkembangan-

    ilmu.html (diakses pada tanggal 29 oktober 2013 pukul 16.43 WIB)

    Kebung K. Filsafat Ilmu Pengetahuan. 2011. Jakarta: Prestasi Pustaka.