iqra' ed. 5.pdf

Upload: iqrakajianal-ijaz

Post on 01-Mar-2016

47 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

  • Faiq Aziz

    F akhr al-Razi, begitulah Muhammad bin Umar dikenal. Kejeniusannya dalam menguasai berbagai disiplin ilmu membuat namanya harum di

    kalangan Muslimin hingga zaman sekarang. Namanya semakin melejit seiring keberhasi-lannya mencetuskan metode baru dalam menafsirkan al-Quran. Para ulama dari se-antero Irak, bahkan d u n i a , datang berduyun- d u y u n untuk belajar dan berdiskusi den-gannya.

    K i -tab tafsirnya yang fenome-nal bernama Mafat ih a l -Ghaib, atau sering dikenal dengan nama al-Tafsir al-Kabir, terdiri dari dela-pan jilid besar, dengan tafsir surat al-Fatihah yang ditulis dalam satu jilid tersendiri.

    Dapat dikatakan bahwa metode yang digunakan dalam tafsir ini, merupakan sebuah terobosan baru, yang mana belum pernah ditemukan pada kitab-kitab tafsir sebe-lumnya. Dengan kemahirannya dalam bidang Filsafat dan Kalam, Fakhr al-Razi berhasil mengolaborasikan tafsir al-Quran dengan ilmu Filsafat, Sains, Astronomi, Kedokteran, Kalam dan Tasawuf. Selain itu, Fakhr al-Razi juga

    selalu menitikberatkan korelasi antar ayat dan surat.

    Di antara keistimewaan tafsir karya Fakhr al-Razi ini adalah keterangan dan pan-dangannya terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Ide-ide cerdasnya dalam menerangkan ayat- ayat mutasyabihat, menjadi rujukan bagi khalayak luas. Fakhr al-Razi menerapkan dua metode dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, yaitu metode matsur dan rayi.

    Metode Penaf-siran Fakhr al-Razi Dengan berba-gai keistime-waan tersebut, t i d a k l a h mengherankan apabila tafsir ini begitu masyhur. Ada beberapa metode yang diterapkan Fakhr al-Razi dalam

    Mafatih al-Ghaib, antara lain: Pertama, pem-bahasan ayat secara luas dan mendalam. Kedua, fokus pada korelasi antar ayat dan juga antar surat. Ketiga, membantah argumen-argumen kelompok yang berseberangan den-gan mazhabnya, Suni, seperti Muktazilah; Kramiyah; Khawarij dan Rafidhah. Dalam hal ini, Razi menyebutkan pendapat mereka, lalu menjawab argumen tersebut dengan logika yang sangat cerdas. Keempat, dalam beberapa tempat, pemba-

    Metode Penafsiran Ayat Mutasyabihat dalam Tafsir al-Kabir

    E D I S I V

    D unia adalah lahan bagi kehidupan a k h i r a t , d e m i k i a n l a h

    ungkapan yang se r ing terdengar. Salah satu bekal u n t u k m e m p e r s i a p k a n kehidupan akhirat adalah introspeksi atau mengoreksi diri. Introspeksi tersebut

    sangatlah penting, sebab ia berfungsi untuk mengetahui segala kekurangan diri. Setelah itu, hendaklah kita mengubah diri dan melihat kembali tujuan kita dalam kehidupan ini. Lantas, apakah sebenarnya tujuan tersebut?

    T u j u a n u t a m a manusia hidup di muka bumi

    in i semata -mata untuk beribadah dan bertakwa kepada Allah, seperti yang dijelaskan dalam ayat 21 surat al-Baqarah, Hai manu s ia , s embah lah T u h a n m u y a n g t e l a h menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa. Semua aktifitas yang

    N A D H R A H

    A L - Q U R A N

    S E B A G A I P E D O M A N

    DAFTAR ISI

    Muhasabah

    D Z I K R A

    K A J I A N A L - I J A Z

    I K P M C A B A N G

    K A I R O

    Bersambung ke hlm 8

    A P R I L 2 0 1 3

    Bersambung ke hlm 5

    NADHRAH 1

    TAHNIAH 2

    MARJA 11

    UDHAMA, 10

    6

    SALAM 12

    MABHATS

    Metode Penafsiran Ayat Mutasyabihat dalam Tafsir al-Kabir

    Menjadi Pemenang

    M E N G E N A L K A I D A H

    D A S A R P E N A F S I R A N

    A L - Q U R A N

    A B D U L H A L I M

    M A H M U D : S Y E K H

    I S L A M , P E M I M P I N

    P A R A S U F I

    Memahami Tafsir Sufi

    B E R G U R U

    K E P A D A S E J A R A H

    Alfina Wildah

  • Kehidupan adalah perlombaan, sedangkan kemenangan adalah imbalan atas usaha yang dilakukan.

    Menjadi Pemenang

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I V , A P R I L 2 0 1 3

    2 T A H N I A H

    B ila ditadaburkan, ada pesan yang sangat berharga dalam ayat 148 surat al -

    Baqarah. Ayat ini berbunyi, Maka berlomba-lombalah (dalam berbuat) kebaikan. Di mana saja kamu berada pasti Allah akan mengumpulkan kamu sekalian (pada hari kiamat). Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah agar mereka beribadah kepada penciptanya, yaitu Allah SWT. Bentuk

    ibadah yang bisa dilakukan bermacam-macam, dan tidak terbatas pada ibadah mahdlah saja, sehingga kalimat berlomba-lomba dalam kebaikan pada ayat di atas bisa dikate-gorikan dalam bentuk ibadah. Bila demikian, kehidupan adalah perlombaan, sedangkan kemenangan adalah imbalan atas usaha yang dilakukan. Untuk mengikuti dan memenang-kan perlombaan ini, Allah SWT telah mem-berikan manusia bekal khusus, yaitu al-Quran. Dalam al-Quran, manusia akan menemukan petunjuk yang bisa mengantarkan mereka sampai di garis finish dengan selamat, dan bahkan menjadi pemenang. Kendati demikian, pilihan untuk mengikuti atau men-inggalkan petunjuk tersebut tetap berada di tangan manusia. Bila mengikutinya, ada ke-mungkinan mereka akan sampai di garis akhir dengan senyum kemenangan atau terjatuh dan bahkan tertinggal sejak langkah awal.

    Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya dalam tubuh ada segumpal darah. Jika ia baik, maka seluruh anggota lainnya akan baik pula. Namun bila ia rusak, maka rusaklah semua anggota lainnya, itulah hati. Mengenai Hadis ini, Syekh Abdullah Syarqawi dalam Fath al-Mubdi menjelaskan bahwa hati merupakan pemimpin jiwa dan raga manusia. Ia juga mengutip pendapat mayoritas Ushuliy-yin yang menyatakan bahwa hati merupakan tempat akal berada. Sehingga pilihan yang dijatuhkan manusia, untuk menang ataupun kalah; untuk berduka atau bersuka cita; ber-

    Susunan Redaksi Buletin IQRA Kajian AL-IJAZ IKPM Kairo

    Dewan Penasihat: Ketua IKPM Cabang Kairo; Pembimbing: Bagian Keilmuan IKPM Cabang Kairo; Penanggung Jawab Umum: Novan Hariansyah, Dede permana;

    Pemimpin Umum: Maulidatul Hifdhiyah Malik; Pemimpin Redaksi: Faiq Aziz; Editor: Saeful Luthfy; Layouter: Rusydiana Tsani; Kru: Hilmy Mubarak, Muhammad

    Hafif Handoyo, Jakfar Shodiq, Alfina Wildah, Jauharotun Naqiyah, Anisa Nur Rohmah, Ari Kurniawati, Risky Maratul Mu'allamah, Nur Fitria Qorrotu Aini, Putri Rezeki

    Rahayu, Uswahtun Hasanah, Kuntum Afifah.

    Alamat Redaksi: Swessry B - Gami', Hay 10, Nasr City, Egypt 32206

    diam diri atau berusaha, tidak akan terlepas dari kata hati.

    Ada banyak nutrisi yang dibutuhkan hati untuk bisa menentukan pilihan dengan tepat, di antaranya adalah hikmah yang telah dijelaskan oleh al-Quran dalam berbagai ayatnya. Salah satunya al-Quran meminta manusia untuk merenungkan sejarah umat-umat sebelum mereka. Allah berfirman dalam QS. al-Mukmin: 82 yang artinya, Maka apakah mereka tiada men-gadakan perjalanan di muka bumi lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang sebelum mereka. Adalah orang-orang yang sebelum mereka itu lebih hebat kekua-tannya dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi, maka apa yang mereka usahakan itu tidak dapat menolong mereka. Perintah untuk memperhatikan kesudahan umat-umat di masa lampau ini, tentu bukan tanpa alasan. Al-Quran dengan tegas menjelaskan bahwa umat-umat tersebut telah meraih kejayaan dalam kehidupan mereka, atau dalam bahasa yang lebih sederhana, mereka telah memenangkan perlombaan dalam kehidupan mereka. Namun sayang, kegemilan-gan tersebut ternyata sama sekali tidak mem-bantu mereka di hari akhir kelak. Ini artinya, mereka telah menentukan pilihan yang salah, sebab hanya mengantarkan mereka pada ke-menangan di dunia. Padahal, masih ada ke-hidupan lain yang menanti setelah kehidupan dunia, yaitu kehidupan akhirat. Dengan demikian, semua pilihan yang ditentukan, ha-ruslah mengantarkan manusia pada dua pintu kemenangan, kemenangan dunia dan akhirat.

    Kedua tema tersebut merupakan pembahasan yang mewarnai IQRA kali ini, tentu saja tanpa melupakan kajian seputar al-Quran dan tafsir yang merupakan topik utama, seperti penafsiran ayat mutasyabihat dalam Mafatih al-Ghaib, corak penafsiran sufi serta kaidah dasar penafsiran al-Quran.

    Al-Quran telah mengajarkan pemba-canya banyak hal, salah satunya untuk berlomba dan memenangkan perlombaan tersebut, seperti yang telah disampaikan oleh surat al-Baqarah di atas. Demikian pula halnya dengan ujian termin dua yang berada di depan mata. Pilihan untuk berdiri; berlari dan mencapai garis akhir dengan senyum kemenangan ada di tangan, dan demikian pula sebaliknya. Bila itu semua sudah

    Salam Redaksi

  • Menegaskan Kemukjizatan Al-Quran

    S ejarah telah membuktikan bahwa al-Quran merupakan kitab agung yang tidak akan pernah usai untuk dikaji. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam QS. al-Kahfi: 109 yang berbunyi:

    Katakanlah (Muhammad), seandainya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, maka pasti habislah lautan itu sebelum selesai (penulisan) kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula). Al-Quran juga merupakan Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui perantara malaikat Jibril . Ia mempunyai keutamaan begitu banyak sehingga manusia tidak akan pernah sanggup untuk menandinginya dan menc ip t akan ka rya y ang semisa l dengannya . Ketidaksanggupan inilah letak kemukjizatan al-Quran yang sebenarnya, yang telah diterangkan dalam QS. al-Isra: 88, Katakanlah, Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk membuat yang serupa dengan al-Quran ini, mereka tidak akan dapat membuat yang serupa dengannya, sekalipun mereka saling membantu satu sama lainnya. Ayat tersebut menjelaskan bahwa tidak hanya manusia saja yang tidak dapat menandinginya, melainkan juga jin. Hal ini menunjukkan bahwa al-Quran benar-benar mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW yang tidak akan pernah berubah seiring dengan perkembangan zaman dan akan selalu terjaga sampai akhir zaman. Akan tetapi, adanya ayat tersebut tidak cukup menjadi bukti bagi orang-orang yang mendustakan al-Quran. Mereka tetap saja mengatakan al-Quran merupakan karya Nabi Muhammad SAW, dan tidak memercayai bahwa ia merupakan kalamullah. Menanggapi hal ini, al-Quran kemudian meminta mereka untuk mendatangkan sepuluh surat semisal al-Quran. Seandainya tuduhan mereka benar adanya, tentu saja mereka mampu memenuhi permintaan tersebut, atau bahkan membuat yang lebih indah darinya. Namun ternyata mereka tidak mampu melakukannya, sebab al-Quran diturunkan memang kalam Tuhan dan bukan buatan Muhammad. Keterangan ini sejalan dengan salah satu ayat yang berbunyi: Bahkan mereka mengatakan, dia (Muhammad) telah membuat-buat al-Quran itu. Katakanlah, (kalau demikian) datangkanlah sepuluh surat semisal dengannya (al-Quran) yang dibuat-buat, dan ajaklah siapa saja di antara kamu yang sanggup selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar. (QS. Hud: 13) Yusuf al-Qaradhawi dalam bukunya Kaifa Nataamal maa Al-Quran al-Adzim menjelaskan beberapa dimensi kemukjizatan al-Quran, antara lain: al-Quran mengabarkan tentang hal-hal metafisika, yang hanya diketahui oleh Allah SWT. Salah satu contohnya adalah kabar tentang peristiwa yang terjadi pada hari akhir; adanya surga dan neraka. Begitu juga dengan peperangan yang terjadi antara bangsa Romawi dan Persia. Ketika itu, bangsa Romawi memeluk agama Nasrani dan memiliki kitab suci. Sedangkan bangsa Persia beragama Majusi yang

    menyembah api. Saat tersiar berita kekalahan bangsa Romawi atas bangsa Persia , kaum Kafir Mekah menyambutnya dengan gembira, sebab mereka berpihak pada Pesia . Adapun kaum Muslim berduka cita mendengar berita ini. Kemudian turunlah ayat yang menerangkan bahwa bangsa Romawi setelah menerima kekalahan tersebut, akan diberikan kemenangan dalam rentang waktu yang tidak lama. Hal ini kemudian benar-benar terjadi beberapa tahun kemudian. Kisah peperangan Romawi dan Persia tersebut diabadikan dalam salah satu ayat yang berbunyi: Bangsa Romawi telah dikalahkan, di negeri yang terdekat dan mereka setelah kekalahannya itu akan menang, dalam beberapa tahun (lagi). Bagi Allah-lah urusan sebelum dan setelah (mereka menang). Dan pada hari (kemenangan bangsa Romawi ) itu bergembiralah orang -orang yang beriman. (QS. al-Rum: 2-4) Kedua, keindahan sastra dan keelokan tatanan bahasa al-Quran. Keindahan bahasa inilah yang menjadi titik pengingkaran sekaligus diterimanya al-Quran di kalangan masyarakat Arab waktu itu. Para Sahabat dan kaum Muslim lainnya sangat bersemangat menerima dan menyimak ayat-ayat al-Quran yang diturunkan, sedangkan kaum Kafir Quraisy sebaliknya. Keindahan bahasa al-Quran ini bahkan membuat sebagian ulama menuliskan ilmu yang sekarang banyak dikaji dan dipelajari, seperti Balaghah; Nahwu; Sharaf dan Adab. Selain itu, banyak ulama yang menuliskan berbagai karya yang menjelaskan ketinggian sastra dan bahasa al-Quran, seperti al-Rumani, Abu Bakar al-Baqilani dan juga Abdul Qahir al-Jurjani.

    Ketiga, al-Quran mengandung mukjizat yang mendorong pembacanya untuk berubah menjadi lebih baik. Al-Quran juga memberi hidayah kepada hamba-Nya yang mau membaca dan menadaburkannya. Hal ini karena gaya bahasa al-Quran menyeru kepada kebaikan dan mencegah terhadap perbuatan tercela. Inilah yang membedakan al-Quran dengan kitab-kitab suci sebelumnya. Allah SWT pun telah menjelaskan tujuan ini

    dalam surat al-Baqarah ayat 185 yang artinya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia, dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu, serta pembeda

    (antara yang hak dan yang batil). Begitulah keagungan al-Quran, sehingga tidak ada sesuatu lain yang mampu mengalahkannya. Apabila kita mau memahami dan menadaburkan ayatnya, maka kita akan menemukan keagungan-keagungan lain yang tidak akan pernah berujung. Itulah mengapa al-Quran dijadikan sebagai mukjizat terbesar Nabi Muhammad SAW. Ia menyeru manusia untuk beribadah dan taat kepada Allah semata, agar mereka menyadari keesaan dan keagungan-Nya. Wallahu alam.

    3 F I K R A H

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I V , A P R I L 2 0 1 3

    Risky Maratul Mu'allamah

  • Membimbing Hati Kepada Kebajikan

    4 Q A D H A Y A

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I V , A P R I L 2 0 1 3

    S ecara etimologi, kata birru bermakna kebajikan. Adapun secara terminologi, arti kata ini menurut ahli Fikih adalah berakhlak mulia terhadap sesama manu-sia; selalu berbuat baik; menjalin tali silaturahim;

    saling percaya satu sama lain dan taat kepada Allah SWT dengan selalu menjalankan perintah dan menjahui larangan-Nya. Kata kebajikan juga dijelaskan dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan dari Nawwas bin Saman RA, Rasu-lullah bersabda: Kebajikan adalah budi pekerti yang baik, dan dosa adalah segala sesuatu yang menggelisahkan perasaanmu, dan engkau tidak menyukainya bila diketahui orang lain (HR. Muslim). Diri-wayatkan juga dari Wabishah bin Mabad RA, ia berkata: aku datang kepada Rasulullah SAW, lalu beliau bersabda, Apakah engkau datang untuk bertanya tentang kebajikan? aku berkata, ya. Beliau bersabda, bertanyalah kepada hatimu. Kebajikan adalah apa yang menjadikan jiwa dan hati merasa tenang, sedangkan dosa adalah apa yang menggelisahkan jiwa dan menimbulkan keraguan dalam hati, meskipun orang-orang terus membenarkanmu. (HR. Ahmad dan al-Darimi) Dalam kitab Arbain al-Nawawi karya Imam Nawawi dijelaskan bahwa makna kata birru dalam Hadis yang diriwayatkan oleh Nawwas bin Saman RA adalah budi pekerti yang baik, sedangkan dalam Hadis Wabishah maknanya adalah segala sesuatu yang menjadikan jiwa dan hati merasa tenang. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kata kebajikan mempunyai dua arti: Pertama, kebajikan adalah berbuat baik kepada seluruh manusia, terkhusus kepada kedua orang tua. Allah SWT berfirman dalam surat al-Isra ayat 23 yang artinya, Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyem-bah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Begitu juga dalam Hadis yang diriwayat-kan oleh Abdullah bin Umar, ia berkata: seseorang datang menghadap Rasulullah SAW dan memohon izin untuk ikut berperang, Rasulullah pun bertanya: apakah kedua orang tuamu masih hidup? Orang itu menjawab: ya. Rasulullah SAW bersabda: maka kepada keduanyalah kamu harus berperang (dengan berbakti kepada mereka). (HR. Muslim) Kedua, kebajikan mencakup seluruh perbuatan baik, secara lahir maupun batin. Secara batin adalah beriman kepada Allah, hari kiamat, malaikat-malaikat, kitab-kitab dan nabi-nabi. Sedangkan secara lahir adalah menginfakkan harta, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menepati janji serta bersabar dalam penderitaan dan ketaaatan (berjihad di jalan Allah). Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 177, Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beri-man kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan

    Saeful Luthfy

    orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya), dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Kata birru terkadang juga dikaitkan dengan kata takwa, seperti dalam surat al-Maidah ayat 2, Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelang-garan. Dalam Tafsir al-Quran al-Adhim, Ibnu Katsir menje-laskan bahwa makna birru dalam ayat ini merupakan perintah Allah kepada hamba-Nya yang beriman agar saling tolong-menolong dalam kebaikan, sedangkan takwa yaitu meninggalkan segala larangan-Nya, serta melarang sesama untuk saling menolong dalam kejahatan. Mengenai ayat ini, Imam al-Mawardi berpendapat bahwa Allah menyuruh manusia untuk berbuat baik, kemudian dikait-kannya perbuatan baik tersebut dengan takwa. Hal ini karena dalam takwa terdapat ridha Allah SWT, sedangkan dalam kebajikan terdapat ridha manusia. Dari sini kata birru dapat dipahami sebagai bentuk muamalah kepada manusia melalui perbuatan baik, sedangkan takwa adalah bermua-malah dengan Allah dengan cara menaati semua perintah dan menjahui segala larangan-Nya. Kendati demikian, kebajikan tidak akan berarti jika pelakunya masih mengharapkan imbalan atas kebaji-kan yang dilakukannya (riya), sebab kebajikan yang se-benarnya adalah berbuat baik tanpa pamrih. Kebajikan adalah memberikan apa yang dicintai karena Allah semata. Al-Quran melalui surat Ali Imran ayat 92 telah menegas-kan hal ini, Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.

    Peran Hati dalam Kehidupan Hadis Wabishah di atas memberikan satu pelajaran berharga: sebelum berbuat sesuatu, tanyakan pada hati terlebih dahulu. Hal ini dikarenakan hati meru-pakan pembeda antara kebaikan dan kejahatan. Sebagai-mana dijelaskan dalam sebuah Hadis yang berbunyi, Sesungguhnya dalam tubuh ada segumpal darah. Jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik pula. Dan jika ia rusak, rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah segumpal darah itu adalah hati. (HR. Bukhari dan Muslim) Hati mempunyai peran penting dalam setiap perbuatan, termasuk dalam pebuatan baik. Kebajikan dalam diri seseorang timbul dari kesucian dan ketakwaan hati. Dalam QS. al-Hajj: 32, Allah berfirman: Dan barang-siapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. Setiap perbuatan manusia di muka bumi ini bukan dilihat dari lahirnya saja, melainkan dari batin (niat), dan niat terletak di hati. Allah tidak men-ghukum kamu disebabkan sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Allah menghukum kamu disebabkan

  • 5 Q A D H A Y A

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I V , A P R I L 2 0 1 3

    kita lakukan semenjak bangun tidur hingga tidur kembali merupakan ibadah, selama kita meniatkannya untuk Allah semata. Selain itu, ibadah yang kita lakukan harus diiringi dengan sikap rendah hati, agar menumbuhkan rasa cinta kepada Allah SWT. Hal ini misalnya terlihat dalam sikap sufi yang sangat menanti-nantikan adzan berkumandang. Mereka bersikap demikian, sebab ingin segera bertemu dan bermunajat kepada Allah SWT. Semua itu tidak lain karena mereka sangat mencintai Allah.

    Ibadah merupakan asupan untuk jiwa. Dengan beribadah, manusia bebas untuk memohon ampunan dan pertolongan kepada-Nya. Lebih lanjut, ibadah adalah salah satu jalan menuju kebahagiaan akhirat. Namun demikian, sekalipun semua pekerjaan duniawi dan ukhrawi dapat menjadi ibadah, tapi tidak sembarang ibadah bisa diterima. Suatu bentuk ibadah akan diterima bila memenuhi dua syarat: ikhlas dan sesuai dengan syariat Islam.

    Dalam kaitannya dengan ibadah, muhasabah bisa diartikan sebagai usaha untuk mengubah diri menjadi lebih baik. Manusia sebagai khalifah di bumi, dituntut untuk memperbaiki diri sendiri sebelum memimpin orang lain. Demikian pula halnya dengan kita. Untuk mengubah keadaan di sekitar kita menjadi lebih baik, dimulai dari kita sendiri. Jika sudah berhasil, kita ajak orang terdekat untuk

    berubah. Kedua langkah tersebut merupakan rumus paten, sebab kita tidak akan bisa mengubah keadaan jika pribadi kita masih tidak memiliki arah dan tujuan hidup yang pasti. Itulah mengapa Allah menganugerahkan akal bagi manusia, agar ia membedakan yang hak dan dan batil, dan juga mengoreksi kekurangan-kekurangan dan kesalahan yang diperbuatnya.

    Salah satu waktu yang tepat untuk

    bermuhasabah antara lain sebelum tidur. Dimulai dengan

    memikirkan apa saja yang telah kita lakukan hari ini dan

    mengevaluasinya. Jika sudah berhasil, ditingkatkan, dan bila

    belum berusaha lebih keras lagi. Selain itu, satu hal yang

    penting untuk dievaluasi adalah penilaian apakah hari ini

    lebih baik dari kemarin ataukah sebaliknya. Dengan

    bermuhasabah kita juga akan mengetahui apakah iman kita

    meningkat ataukah sebaliknya. Jika kita semangat

    beribadah, itu artinya iman kita sedang berada di posisi

    atas. Namun jika sebaliknya, maka iman kita sedang berada

    di posisi bawah. Semoga kita bisa menjadi insan yang

    kaffah, yang senantiasa menjaga hati dan perbuatan kita dari

    hal-hal yang kotor, dan selalu berdzikir kepada Allah dalam

    setiap hembus nafas kita. Wallahu alam bi al-Shawab.

    Muhasabah Sambungan dari hlm. 1

    (sumpahmu) yang disengaja (untuk bersumpah) oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (al-Baqarah: 225), juga dalam Hadis yang artinya, Sesungguhnya seluruh amal itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan menda-patkan sesuai niatnya. Barangsiapa yang berhijrah karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang berhijrah karena (untuk mendapatkan) dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya itu kepada apa yang menjadi tujuannya (niatnya). (HR. Bukhari dan Muslim) Begitu vital peran hati dalam diri manusia, sehingga dengannya manusia kufur, dan dengannya pula manusia selalu bersyukur. Banyak umat-umat terdahulu yang kufur dan menyembunyikan suatu kebenaran, pada-hal mereka tahu kebenaran itu. Hal itu (kekufuran) terjadi karena hati mereka terjangkit penyakit dan tertutup (buta) untuk menerima suatu kebenaran. Allah bahkan mengu-lang tentang hal ini dalam beberapa tempat untuk mene-gaskan urgensi hati dalam kehidupan manusia. Salah satunya dalam surat al-Baqarah ayat 10, Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta. Juga di surat lain Allah menegaskan: Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (QS. al-Hajj: 46). Allah SWT pun memberikan kepada hamba-Nya obat penawar (ilaj) untuk hati, yaitu dzikir. Dengan selalu mengigat Allah (dzikir), hati akan selalu merasa tenteram dan terjaga. Sebagaimana dalam firman-

    Nya,(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengin-gat Allah-lah hati menjadi tenteram. ( QS. al-Rad: 28). Peran hati tidak berhenti di dunia saja, bahkan di akhirat kelak, hati akan menjadi saksi atas segala per-buatan kita,(Yaitu) di hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih. ( QS. al-Syuara: 88-89), (lngatlah) ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci. (QS. al-Shafat: 84), (Yaitu) orang yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemu-rah sedang Dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat. (QS. Qaaf: 33) Dari penjelasan di atas, kita dapat mengambil sebuah pelajaran, bahwa Allah SWT dan Rasul-Nya me-merintahkan kita agar selalu berbuat kebajikan dan men-jaga hati, karena hati merupakan barometer kehidupan manusia. Dengan hati manusia bisa menjadi orang yang benar-benar bersyukur dan selalu berbuat kebajikan, be-gitu pula sebaliknya. Manusia juga bisa menjadi makhluk yang paling jahat dan kufur akan nikmat Allah SWT. Untuk menjaga hati, kita diperintahkan agar selalu berdzikir di mana pun kita berada, karena dengan selalu berdzikir hati kita akan selalu tenteram dan selalu mendapat hidayah-Nya, dengan demikian kita akan men-dapatkan kebahagiaan di dunia maupun di akhirat kelak. "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang." (QS. al-Hasyr: 10)

  • Kemukjizatan (Ijaz) al-Quran tidak cukup hanya dipahami dengan makna zahir saja, namun harus melalui tafsir sufi yang mengungkap makna batin di dalamnya.

    6 M A B H A T S

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I V , A P R I L 2 0 1 3

    T afsir sufi merupakan salah satu corak penafsiran yang menjelaskan makna batin dalam al-Quran. Corak penaf-

    siran yang juga dikenal dengan tafsir isyari ini telah ada semenjak munculnya Islam, kemudian mengalami perkem-bangan semenjak tahun kedua dan ketiga Hijriyah di antara sufi sehingga sampai pada pembagian yang berbeda-beda.

    Dalil yang yang dijadikan pedoman oleh para sufi adalah sabda Rasulullah yang menyatakan bahwa dalam al-Quran tersimpan makna dzahir dan batin. Setiap huruf memiliki bata-sannya, dan setiap batasan tersebut memiliki tempat untuk dilihat. Begitu juga Hadis yang diriwayatkan Abdullah Bin Abbas, Rasulullah bersabda: Al-Quran punya rasa sedih dan seni, punggung dan perut seluruh keajaibannya tidak akan tercapai, batasannya tidak akan terlampaui. Maka barangsiapa memasukinya dengan kasar, ia akan celaka. Al-Quran juga punya kabar, permisalan, halal dan haram, nasikh dan mansukh, muhkam dan mutasyabih, dzahir dan batin. Dzahirnya adalah ba-caannya dan yang batin adalah takwil. Oleh karena itu, pergaulilah ulama untuk mengeta-hui itu dan jauhilah orang-orang bodoh.

    Tafsir sufi bukanlah hal yang baru dalam penafsiran al-Quran. Bahkan Dr. Jaudah al-Mahdi mengata-kan bahwa corak penafsiran ini sudah ada semenjak turunnya al-Quran. Lebih lanjut, al-Suyuthi mengatakan bahwa kemukjizatan (Ijaz) al-Quran tidak cukup hanya dipahami dengan makna zahir saja, namun harus melalui tafsir sufi yang mengungkap makna batin di dalamnya.

    Tafsir sufi sendiri terbagi menjadi dua bagian, yaitu tafsir yang sejalan dengan tasawuf al-Nazhari dan tafsir yang sejalan dengan tasawuf amali atau faidhi. Jenis tafsir sufi al-Nazhari berorientasi pada penelitian dan pem-belajaran. Sehingga tidak bisa dipung-kiri jika tafsir ini, dalam beberapa hal, bertolak belakang dengan makna ayat al-Quran, karena sejatinya al-Quran adalah kitab yang diturunkan untuk memberikan hidayah bagi umatnya, dan

    bukan untuk menetapkan penelitian mereka. Sedangkan tafsir amali yang me-rupakan orientasi praktis para sufi, dan lebih menitikberatkan pada latihan rohani untuk mencapai pengetahuan akan Tuhan (marifah).

    Tafsir sufi yang terdiri dari dua karakter berbeda ini ternyata tidak terlepas dari perdebatan ulama yang pastinya ber-beda-beda dalam menghukuminya. Se-bagian mereka menerima dan menyetu-juinya, dan sebagian lain menolaknya den-gan menggunakan dalil-dalil tertentu. Sebut saja Muhammad Husain al-Dzahabi dalam Tafsir wa al-Mufassirun. Ia menolak adanya tafsir sufi yang bercorak nazhari dengan dalil bahwa penafsiran corak ini lebih mengedepankan pada pan-dangan dan keyakinan seorang sufi, se-hingga terkesan memaksa. Lebih lanjut lagi ia menyatakan bahwa penafsiran ini hanya membawa kerusakan bagi agama. Oleh sebab itulah, tidak pernah kita mendengar seorang yang menulis buku khusus yang menafsirkan al-Quran sepenuhnya dengan menggunakan tafsir yang bercorak nazhari ini. Pendapat ini juga diamini oleh Dr. Mahmud Zaqzuq yang menyatakan penaf-siran corak nazhari ini sesat, karena terkon-taminasi dengan pandangan-pandangan yang menyimpang dari syariat Islam, seperti wahdat al-wujud. Di sini penulis belum menemukan banyak ulama yang menerima penafsiran sufi yang bercorak nazhari ini selain Ibnu Arabi. Dalam menafsirkan al-Quran, Ibnu Arabi mengklasifikasikan tafsir sufi dalam dua tipe, yaitu nazhari dan isyari. Oleh karena itulah, penulis menyimpulkan bahwa corak penafsiran ini sangat rentan untuk diterap-kan dalam penafsiran al-Quran.

    Lain halnya dengan penafsiran isyari. Apabila kita meneliti, maka kita akan menemukan beberapa ulama yang men-yetujui penafsiran isyari. Mereka yang menerima penafsiran ini berpedoman pada Hadis di atas. Imam al-Khuaini, Hassan Abbas Zaki, dan al-Taftazani termasuk dari ulama yang menerima penafsiran bercorak isyari ini dengan argumen bahwa kalam Allah tidak akan pernah cukup hanya dipahami dari makna dzahir atau sebatas pemahaman akal saja, karena makna al-Quran tidak ada batasannya, dan di atas

    Jauharotun Naqiyah

    Memahami Tafsir Sufi

  • akal ada hati yang bisa mengungkap makna batin dari ayat al-Quran tersebut. Begitu juga dengan Fahd al-Rumi. Ia menyatakan bahwa tafsir isyari tidak bertentan-gan dengan makna dzahir dari al-Quran, sebab corak penafsiran ini lahir dari lafal dzahir ayat tersebut. Sedang-kan ulama yang menolak penafsiran ini ialah Umaid al-Zanjani. Menurutnya, apapun bentuk dari penafsiran ini, nazhari ataupun isyari, adalah usaha para sufi untuk men-dukung keyakinannya.

    Dari sini, penulis menyimpulkan bahwa penaf-siran yang banyak ditentang oleh ulama ialah penafsiran yang bercorak nazhari, sedangkan penafsiran isyari lebih diterima dan disetujui oleh banyak ulama. Adapun mereka yang menerima penafsiran isyari, tidak serta merta menerima tanpa memberikan batasan-batasan yang harus dipenuhi oleh seorang sufi dalam menaf-sirkan ayat secara isyari. Di antara syarat-syarat yang dimaksud ialah: Pertama, harus ada bukti dalil yang men-guatkannya. Kedua, tidak boleh bertentangan dengan syariat dan akal. Ketiga, tidak boleh mengabaikan makna dzahir dari al-Quran. Keempat, tidak boleh menganggap bahwa penafsiran ini ialah maksud dari ayat al-Quran

    7 M A B H A T S

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I V , A P R I L 2 0 1 3

    yang tersurat ataupun tersirat dalam suatu ayat. Wallahu alamu bi al-Shawab.

    kan bahwa maksud dari adanya bukti atau dalil yang harus menguatkan tafsiran ini ialah Kitab dan Sunah atau ilmu ushul yang dapat dipercayai kebenarannya. Kedua, Tidak boleh bertentangan dengan syariat dan akal. Dalam hal ini ia mencontohkan takwil batin yang dengannya sampai pada syariat dengan keseluruhan, seperti salat lima waktu yang mereka tafsirkan dengan empat usul dan imam. Ketiga, ketika ia menjelaskan bahwa kita tidak boleh menganggap tafsir isyari ini merupakan satu-satunya maksud dari makna al-Qukan, ia mengutip perkataan al-Ghazali yang menyatakan bahwa perumpamaan seorang yang manafsirkan makna batin al-Quran tanpa melewati dzahir seperti seorang yang masuk rumah tanpa melewati pintu terlebih dahulu.

    Terlepas dari berbagai pendapat di atas, al-Quran ternyata menegaskan kedudukannya yang tidak akan pernah habis dikaji. Perkem-bangan penafsiran al-Quran akan terus berlangsung dan sesuai dengan perkembangan zaman, termasuk tafsir sufi ini sendiri. Para ahli tasawuf tersebut telah berhasil menyuguhkan makna lain yang tersembunyi di balik ayat-ayat al-Quran, yang tidak lain merupakan nilai plus bagi corak penafsiran ini. Lebih dari itu, corak penafsiran ini pun menyadarkan kita bahwa pelajaran yang diberikan al-Quran akan selalu kita temukan, baik

    yang sesungguhnya dengan menafikan zahir nas, akan tetapi penafsiran ini harus melewati dzahir nas terlebih dahulu. Kelima, tidak menafsirkan al-Quran dengan menggunakan takwil yang jauh dari makna dzahir.

    Syarat-syarat ini disetujui oleh semua ulama-ulama yang menerima penafsiran ini, sehingga apabila kita menelaah dan meneliti jauh penafsiran ini maka akan kita temukaan syarat-syarat yang tertera di setiap buku-buku seperti yang disebutkan di atas. Namun, dalam bukunya Ittijht al-Tafsir fi Qarni Rabi Asyar, Fahd al-Rumi memberikan penjelasan lebih mengenai syarat-syarat itu. Ia menyatakan bahwa maksud diterimanya penafsiran ini tidak berarti masuk dalam ranah wajib. Ini artinya kita tidak boleh menentang adanya penafsiran ini, karena corak penafsiran tersebut masih memperhatikan makna dzahir al-Quran. Akan tetapi bukan suatu kewaji-ban pula bagi kita untuk menerimanya, karena nas al-Quran itu ada dan dapat kita terima tanpa harus mengi-kuti syarat-syarat seperti dalam penafsiran ini.

    Begitu pula dalam buku Al-Ittijah al-Shufi. Dr. Jaudah memberikan contoh di setiap syarat-syarat dalam tafsir isyari ini. Di antaranya: Pertama, ia menjelas-

    Dr. Jaudah al-Mahdi

  • Fakhr al-Razi sendiri mendefinisikan muhkam sebagai kalam yang hak; lafalnya fasih dan maknanya sahih. Menurutnya, tidak ada satu kalam yang lebih sempurna daripada al-Quran, baik dari segi kefasihan lafal ataupun kekuatan maknanya. Sedangkan mutasyabih menurut Razi adalah ayat yang serupa dengan ayat lainnya (dalam keindahan atau maknanya), dan membenarkan antara satu dengan lainnya. .

    Sambungan Metode Penafsiran...

    hasan Razi terkadang terlihat jauh dari tema awal. Hal ini tentu tidak terlepas dari kemahirannya dalam berbagai disiplin ilmu. Meski demikian, pembahasan terse-but cukup unik, sebab Razi juga mengait-kannya dengan ayat lain. Kelima, logi-kanya mendominasi jawaban atas alasan hukum-hukum syariat. Salah satunya dapat dilihat dalam penafsirannya tentang ayat 197 surat al-Baqarah, yang artinya, Yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka ia tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dalam menafsirkan ayat ini, Fakhr al-Razi berpendapat bahwa Allah telah menetapkan pada diri manusia empat hal, yaitu: syhawat hewani; marah yang berlebihan; perasaan was-was yang berasal dari setan dan juga akal. Keenam, sedikit perhatian dalam tema-tema yang kurang bermanfaat, walaupun tema terse-but tertera dalam berbagai akhbar ahad. Salah satu contohnya adalah ayat yang berbunyi: Pukullah batu itu dengan tong-katmu. (QS. al-Baqarah: 60). Dalam ayat ini, Fakhr al-Razi tidak membahas tentang jenis kayu tongkat tersebut, panjang atau-pun bentuknya. Ia juga berkata, Ketahuilah bahwa diam dalam masalah seperti ini, wajib hukumnya. Hal ini karena tidak adanya teks yang mutwatir dalam pembahasan masalah ini. Selain itu, hal tersebut juga tidak termasuk dalam syariat.

    Secara garis besar, tafsir ini sering berbicara mengenai korelasi antar satu ayat dengan ayat lainnya. Dengan kejeniusannya, Fakhr al-Razi dapat mener-angkan suatu ayat hingga memenuhi be-berapa halaman dalam kitabnya. Selian itu, sebagaimana diketahui, Fakhr al-Razi hidup di antara berbagai macam golongan

    Islam, maka tak heran dia sering mengutip pendapat mereka ke-mudian membantahnya dengan argumen golongan Suni.

    Jika ditelaah lebih dalam, se-benarnya keterangan Fakhr al-Razi terhadap sebuah ayat tidaklah banyak melenceng jauh dari pokok pemba-hasan, bahkan dalam hakikatnya dengan keterangannya yang dinilai beberapa kalangan melenceng dari tema awal, sangat membantu untuk lebih menambah pemahaman kita kepada hal yang bersifat praktek dan bukan bersifat teori. Fakhr al-Razi juga sering mejelaskan suatu hukum

    8 N A D H R A H

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I V , A P R I L 2 0 1 3

    syari dengan mengombinasikan nalar dan penda-pat para ulama Fikih.

    Ayat Mutasyabihat dalam Perspektif Fakhr al-Razi

    Ayat muhkam merupakan ayat yang jelas maknanya, sehingga tidak didapati adanya syubhat (dua ayat yang tidak dapat dibedakan, karena adanya kemiripan dalam lafal ataupun makna). Misalnya ayat-ayat yang berbicara men-genai halal-haram, kewajiban beribadah, janji-janji dan ancaman Allah. Sedangkan ayat mutasyabih merupakan ayat yang tidak dapat langsung dipa-hami, karena adanya kemiripan dengan ayat lain, dan membutuhkan keterangan lebih dalam untuk memahaminya. Contohnya dapat ditemukan dalam ayat-ayat yang membahas sifat-sifat Allah dan juga huruf-huruf pembuka surat.

    Pemahaman tentang ayat mutasyabihat ini terbagi ke dalam dua pendapat. Pendapat per-tama menyatakan bahwa hanya Allah yang menge-tahui takwil ayat mutasyabihat. Hal ini berdasarkan Hadis yang diriwayatkan oleh Hakim dan al-Mustadrak dari Ibnu Abbas, yang mengutip ayat 7 surat Ali Imran, Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, kami beriman kepada ayat-ayat yang mustasyabihat. Pernyataan ini juga didukung oleh Ibnu Masud. Sedangkan Pendapat lainnya men-yatakan bahwa orang-orang yang mendalam il-munya mengetahui takwil ayat-ayat tersebut. Pen-dapat ini didasarkan pada riwayat Abdul bin Hamid dari Mujahid tentang Orang-orang yang mendalam ilmunya yang merupakan lanjutan dari ayat sebelumnya. Dalam hal ini, al-Nawawi berkata bahwa pendapat seperti ini adalah pendapat yang benar, karena menjauhkan manusia dari pemaha-man bahwa Allah berfirman dengan cara yang tidak dapat dimengerti oleh hamba-Nya.

    Fakhr al-Razi sendiri mendefinisikan muhkam sebagai kalam yang hak; lafalnya fasih dan maknanya sahih. Menurutnya, tidak ada satu kalam yang lebih sempurna daripada al-Quran, baik dari segi kefasihan lafal ataupun kekuatan maknanya. Sedangkan mutasyabih menurut Razi adalah ayat yang serupa dengan ayat lainnya (dalam keindahan atau maknanya), dan membenarkan antara satu dengan lainnya. Fakhr al-Razi menambahkan, suatu lafal memiliki dua sisi, yaitu sisi yang benar dan dibenarkan. Jika seorang mufasir mem-bawanya ke sisi yang benar dan tidak membawanya pada sisi yang dibenarkan, maka inilah yang dikata-kan muhkam. Namun jika sebaliknya, yaitu ketika seorang mufasir membawanya pada sisi yang dibenarkan dan menjauhkan dari sisi yang benar, maka inilah yang disebut mutasyabih. Dengan demikian, kesimpulannya adalah memalingkan lafal yang benar kepada makna yang dibenarkan wajib hukumnya, selama disertai dalil dan bukti yang

  • benar, baik berupa lafal ataupun nalar. Menurut Razi, pembahasan mengenai muhkam dan mutasyabih meru-

    pakan pembahasan yang sangat sensitif. Hal ini dikarenakan klasifikasi keduanya terkadang relatif, tergantung mazhab manakah yang memandangnya. Misalnya pada ayat 29 surat al-Kahfi yang artinya, Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) , biarlah ia kafir. Ayat ini, dalam pandangan Ahlusunah adalah ayat mutasyabihat, sedangkan menurut Muktazilah adalah ayat muhkam. Begitu pula pada ayat 29 surat al-Takwir yang berbunyi, Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam. Dalam pandangan Ahlusu-nah ayat ini juga merupakan ayat mutasyabih, sedangkan golongan Muktazilah berpendapat sebaliknya.

    Ketika menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, terutama ayat yang men-jelaskan sifat Allah, Fakhr al-Razi terlebih dahulu menggunakan nalar disertai logika yang diambil dari Filsafat dan ilmu Kalam, kemudian dilengkapi dengan naql, terutama ayat al-Quran (tafsir al-Quran bi al-Quran). Selain itu, Fakhr al-Razi terkadang juga mengutip ayat mutasyabihat lainnya sebagai penguat logika yang diungkapkannya. Adapun penggunaan Hadis, hal ini sangat jarang ditemui dalam tafsirnya. Jarangnya penggunaan Hadis ini tentu tidak terlepas dari me-tode nalar yang mendominasi tafsirnya.

    Contohnya ketika menafsirkan ayat 5 surat Thaha, (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas 'Arsy, Fakhr al-Razi langsung menafikan semua pendapat yang memaknai bahwa Allah duduk di Arsy, dengan menggunakan dalil aql ataupun naql yang dibaginya ke dalam sepuluh poin ban-

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I V , A P R I L 2 0 1 3

    tahan. Salah satunya yang berbentuk logika adalah Allah tidak berada di tempat apapun, sebab Dia tak membu-tuhkannya. Demikian pula ketika Ia menciptakan mak-hluk, Ia sama sekali tidak membutuhkan mereka. Yang demikian adalah sifat yang terus ada pada-Nya, kecuali bagi mereka yang mengatakan bahwa Allah selalu berada di Arsy. Sedangkan ayat yang digunakannya untuk men-jawab hal ini adalah QS. Syura: 11 yang artinya: Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Fakhr al-Razi menyata-kan bahwa ayat ini mengandung pengingkaran persamaan dari segala segi dan sisi.

    Selain itu, Fakhr al-Razi juga menafsirkan huruf-huruf hijaiyah yang berada di awal surat (ahruf al-

    Muqathaah). Misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 1, ) ). Pembahasan tentang ayat ini dibahas oleh Razi dengan penjelasan yang sangat detail dan mendalam dalam dua poin pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa ayat-ayat seperti ini tidak dapat dimengerti arti dan maksud-nya. Di sini Fakhr al-Razi kemudian membandingkan pernyataan tersebut dengan mencantumkan pendapat kedua yang menyatakan bahwa ayat seperti ini dapat dipahami. Di akhir pembahasan, ia juga mengomentari kedua poin tersebut dengan menyebutkan dalil-dalil dan logika yang cerdas.

    Dalam hal ini, ia berpendapat bahwa ayat-ayat yang demikian dapat diapahami oleh Ahli al-Ilmi. Ia ke-mudian mengutip pernyataan Qathrab yang berbunyi, Sesungguhnya kaum Musyrik berkata kepada kaum Musyrik yang lain, Jangan kalian dengarkan al-Quran ini dan tinggalkanlah, sehingga ketika Rasulullah datang kepada mereka dengan awal surat ini, mereka tidak me-mahami apapun darinya. Dari sini, dapat dismpulkan bahwa Fakhr al-Razi mengamini pendapat yang menyata-kan bahwa al-Quran dapat dipahami seluruhnya. Sebagian

    besar ahli Kalam juga berpendapat bahwa seluruh al-Quran dapat dipahami dan dimengerti maknanya dengan bersandarkan pada dalil yang mereka ambil dari al-Quran, ataupun dari Hadis dan juga logika.

    Ada beberapa hikmah yang diungkapkan oleh Razi tentang adanya ayat-ayat mutasyabihat, antara lain: (1) Ayat mutasyabihat menjelaskan bahwa jalan menuju ke-benaran lebih susah untuk digapai. Dengan adanya kesuli-tan tersebut, akan menambah pahala bagi mereka yang berusaha memahaminya. Hal ini juga ditegaskan Allah dalam salah satu ayat yang berbunyi, Apakah kalian mengira akan (dengan mudah) masuk surga, sedangkan Allah mengetahui siapa di antara kalian yang bersungguh-sungguh dan bersabar. (QS. Ali Imran: 142); (2) Kaum Muslim akan berusaha menggunakan dalil akli untuk memahami ayat-ayat mutasyabihat tersebut dan melepaskan dirinya dari taklid. Jika semua ayat bersifat muhkam, niscaya mereka akan tetap berpegang teguh pada taklid dan kebodohan; (3) Dengan adanya kedua sifat ayat tersebut, manusia akan berusaha mempelajari ilmu takwil, sehingga ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk menakwilkan al-Quran, seperti Nahwu, Sharaf dan juga Usul Fikih akan semakin berkembang; (4) Kedua sifat ayat tersebut juga menunjuk-kan bahwa al-Quran mengandung seruan untuk orang awam dan juga orang yang memiliki ilmu. Wallahu alamu bi muradihi.

    9 N A D H R A H

  • 1 0 U D H A M A Syekh Islam, Pemimpin Para Sufi

    S osoknya sangat d ihormat i dan d i s e g a n i o l e h berbagai kalangan

    masyarakat Mesir dan dunia Islam. Setelah Syekh Mahmud Syaltut wafat pada tahun 1963, Mesir tidak lagi diwarnai fatwa-fatwa kontemporer di bidang Fikih. Abdul Halim Mahmud tampil untuk memberikan warna baru. Masyarakat Mesir s eo l ah mendapatkan

    curahan jiwa yang terpancar dari pribadi dan ceramah-ceramahnya yang diberikan dalam sebuah seminar atau peringatan hari besar Islam.

    Abdul Halim Mahmud lahir pada tanggal 12 Mei 1910 yang bertepatan dengan 2 Jumadi al- Ula 1328 H di Desa Abou Ahmed (sekarang al-Salam), sebuah kampung kecil di Markaz Belibis provinsi Syarqiyah, puluhan kilome-ter dari Kairo. Abdul Halim Mahmud dibesarkan di kalan-gan keluarga yang taat dan saleh. Ia mempunyai pertalian keturunan (nasab) dengan Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib dan bersambung hingga Rasulullah SAW. Ayahnya pernah mengenyam pendidikan di Universitas al-Azhar, namun tidak selesai. Ayahnya kemudian berprofesi sebagai seorang kadi di desanya.

    Abdul Halim Mahmud mulai menghafal al-Quran di Desa Kuttab dan menyelesaikannya di usia yang sangat muda. Mematuhi keinginan sang ayah tercinta, ia mulai belajar di al-Azhar pada tahun 1923 M. Abdul Halim Mahmud menempuh pendidikan menengahnya di Mahad Zaqaziq dan menerima ijazah di tahun 1928 M. Berkat kegigihannya dalam menuntut ilmu, ia berhasil lulus dari Universitas al-Azhar pada tahun 1932 M. Konon, ia adalah murid termuda di antara kawan-kawannya.

    Selama menempuh studinya di al-Azhar, ia berguru kepada beberapa syekh yang cukup berpengaruh ketika itu, seperti Syekh Mahmud Syaltut; Syekh Hamid Meheisen; Syekh Sulaiman Nawar; Syekh Muhammad Ab-dullah Darraz; Syekh Muhammad Abdul Lathif Darraz; Syekh al-Zankaluni; Syekh Muhammad Musthafa al-Maraghi dan Syekh Musthafa Abdul Raziq.

    Rasa cintanya akan ilmu membuatnya melanjut-kan studi di Prancis dengan didampingi istrinya. Pada tahun 1942, ia menyelesaikan masternya dalam bidang tasawuf dengan tesis yang mengkaji kehidupan Harits Ibn Asad al-Muhasibi, di bawah bimbingan Louis Mossingon, seorang Orientalis di Paris. Beberapa tahun setelahnya, ia meraih gelar doktor dalam bidang Filsafat dari Universitas Sor-bonne, Paris.

    Setelah lulus dari Prancis, pada tahun 1951 ia kembali ke tanah airnya. Abdul Halim Mahmud kemudian

    diangkat menjadi dosen Psikologi di Fakultas Bahasa Arab dan dosen Filsafat di Fakultas Ushuludin Univer-sitas al-Azhar. Pada tahun 1964, Abdul Halim Mahmud ditunjuk untuk menjadi dekan Fakultas Ushuludin. Selama menjadi dosen, ia banyak bepergian ke berbagai negaranegara besar di dunia. Kunjungannya ke berba-gai negara tersebut salah satunya untuk penelitian ten-tang tasawuf, seminar keagamaan, ataupun memberikan kuliah umum di berbagai perguruan tinggi. Negara-negara yang pernah dikunjunginya antara lain Irak, Sy-iria, Tunisia, Lebanon, Filipina, Indonesia, Pakistan, Sudan, Malasyia, Qatar, dan Kuwait.

    Pada tahun 1974, Syekh al-Azhar tidak lagi memiliki kedudukan dan kekuasaaan penuh, karena kekuasaannya diambil alih oleh pemerintah dan dis-erahkan kepada kementerian wakaf. Saat itu, sistem pemerintahan baru tengah dimulai di Mesir, yaitu dari monarki menjadi republik. Pada masa transisi inilah, Abdul Halim Mahmud dilantik menjadi syekh al-Azhar. Ia kemudian meminta Anwar Sadat, presiden ketika itu, untuk memberikan kebebasan kepada al-Azhar dalam mengatur rumah tangganya. Ia bahkan sempat mengan-cam Anwar Sadat bahwa ia akan meletakkan jabatannya jika al-Azhar tidak diberi wewenang seperti semula. Anwar Sadat pun mengabulkan permintaannya dan mengembalikan kedudukan al-Azhar seperti semula.

    Setelah berhasil mengembalikan kedudukan al-Azhar, Abdul Halim Mahmud mencoba untuk mema-jukan al-Azhar dengan cara memperbanyak bangunan Mahad di semua provinsi. Ia juga menganjurkan masyarakat untuk bersedekah, berinfaq dan mewakafkan harta mereka demi suksesnya pembangunan madrasah-madrasah al-Azhar. Ternyata seruan tersebut mendapat-kan respon yang sangat positif dari masyarakat Mesir. Mereka banyak membantu pembangunan Mahad al-Azhar yang dicanangkannya.

    Abdul Halim Mahmud bukan hanya menda-patkan tempat di hati rakyat. Ia juga sangat dipercaya dan dicintai oleh para pejabat, bahkan presiden seka-lipun. Jika Syekh Mahmud Syaltut menjadi penasihat spiritual presiden Jamal Abdul Nasir, maka demikian pula Abdul Halim Mahmud. Ia merupakan penasihat spiritual presiden Anwar Sadat. Selain itu, di kalangan ulama, ia diberi gelar Syekh al-Islam, dan di antara sufi, ia bergelar Abu al-Arifin (pemimpin para sufi).

    Kehidupan sebagai seorang sufi di masa modern tergambar jelas dalam kesehariannya. Hidupnya amat sederhana, meski jabatannya demikian tinggi. Rumahnya yang tidak terlalu besar berisi perabotan seadanya dan dipenuhi oleh banyak kitab di berbagai sudut ruangan. Ketika bepergian, ia lebih memilih meng-gunakan angkutan umum daripada mobil dinasnya. Air mukanya selalu cerah dengan bibir yang selalu basah karena senantiasa berdzikir. Selain itu, Abdul Halim Mahmud juga amat disegani oleh mahasiswanya. Hal ini

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I V , A P R I L 2 0 1 3

    Abdul Halim Mahmud:

    Uswatun Hasanah

  • S ejak diturunkan belasan abad silam, al-Quran telah ditafsirkan oleh Rasulullah SAW. Usaha mengkaji dan memahami al-Quran ini kemudian dilanjutkan oleh Sahabat dan Tabiin di masa setelahnya, juga para ulama dari berbagai masa, hingga hari ini. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya kitab tafsir yang menggunakan berbagai corak dan me-

    tode penafsiran yang berbeda-beda. Kajian terhadap al-Quran ini kemudian melahirkan berbagai disiplin ilmu. Misalnya

    ilmu Nahwu, Sharaf, Balaghah dalam bidang bahasa dan sastra Arab; Fikih dan ilmu kalam dalam bidang syariat; Ulum al-Quran dalam bidang tafsir, dan beberapa cabang ilmu lainnya. Semua ilmu tersebut haruslah dipahami oleh seseorang yang menafsirkan al-Quran. Ini artinya, tidak sembarang orang bisa dan boleh menafsirkan al-Quran, sebab orang yang tidak memahami berbagai ilmu tersebut tidak akan mampu memahami pesan dan maksud yang diinginkan al-Quran.

    Kendati demikian, masih ada beberapa hal lain yang harus dipahami oleh seorang mufasir. Salah satunya adalah ilmu tentang kaidah-kaidah dasar dalam menafsirkan al-Quran (Ushul al-Tafsir). Sebagaimana ilmu Ushuludin yang berperan sebagai pondasi agama, dan ilmu Usul Fikih sebagai asas syariat, demikian pula dengan ilmu Ushul al-Tafsir ini. Dalam ilmu ini, dijelaskan berbagai macam kaidah pokok dalam menafsirkan al-Quran.

    Tema tentang kaidah dasar penafsiran al-Quran inilah yang dibahas oleh Syekh Usamah al-Azhari dalam bukunya, al-Madkhal ila Ushul al-Tafsir. Dalam mukadimah buku ini,

    Syekh Usamah menjelaskan al-Quran ditu-runkan untuk empat tujuan utama, yaitu: seba-gai pemberi informasi tentang Zat Allah; pe-tunjuk bagi manusia; menjelaskan kemukji-zatannya; menerangkan syariat agama. Dari keempat tujuan ini, muncullah berbagai ilmu yang menjadi penjelas nas al-Quran.

    Syekh Usamah membagi penjela-san buku ini ke dalam tiga belas bab. Ketiga belas bab tersebut antara lain: korelasi al-Quran dengan berbagai ilmu pengetahuan, dan pengaruhnya dalam diri mufasir; tingkatan hidayah al-Quran dan pengaruhnya terhadap pemahaman mufasir; Hadis merupakan wahyu kedua yang berfungsi sebagai penjelas makna al-Quran; gaya bahasa al-Quran untuk menca-pai jiwa pembaca dan pengaruhnya dalam pemahaman nas; tujuan pokok al-Quran (Al-Maqashid al-Quraniyyah); dan beberapa bab lainnya.

    Salah satu pembahasan yang cukup menarik di antara ketiga belas bab tersebut adalah korelasi al-Quran dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan, serta pengaruhnya dalam diri mufasir, yang diletakkan Usamah dalam bab pertama. Dalam pandangan Usamah, ada dua misi penting di balik turun-nya al-Quran. Pertama, agar manusia mau merenungkan keagungan al-Quran dan juga Zat yang menurunkannya. Kedua, agar manu-sia berusaha untuk mengetahui makna-makna dan maksud yang diinginkan oleh al-Quran, melalui pemahaman akan gaya bahasa (uslub) dan juga susunan kalimat (tarkib) bahasa Arab.

    Keragaman latar belakang pen-didikan seseorang kemudian akan mempen-garuhi pemahamannya terhadap al-Quran, sehingga akan melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan. Pemahaman seorang ahli Nahwu (Nuhat), tentu akan berbeda dengan pemahaman pakar Usul Fikih. Yang pertama akan melahirkan ilmu-ilmu yang berkaitan dengan gramatikal bahasa Arab, dan yang kedua akan memunculkan ilmu-ilmu yang berhubungan dengan Usul Fikih dan juga Fikih. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa al-Quran membidani lahirnya berba-gai cabang ilmu pengetahuan. Di akhir bab, Usamah mengutip pendapat Thahir Ibnu Asyur dalam Al-Tahrir wa al-Tanwir yang menyatakan bahwa ada empat macam hubungan ilmu pengetahuan dengan al-Quran, yaitu: (1) Ilmu yang terkandung dalam al-Quran, seperti kisah-kisah para nabi dan syariat. (2) Ilmu yang memberi pengetahuan baru bagi seorang mufasir, misalnya ilmu hikmah. (3) Sains dan eksakta, yang didapatkan melalui penelitian ayat-ayat kauni-yah. (4) Ilmu yang tidak ada kaitannya dengan al-Quran, seperti mi-tologi dan astrologi.

    Sesuai judulnya, buku ini merupakan sebuah pengantar (madkhal) untuk memahami kaidah dasar penafsiran al-Quran. Layaknya sebuah pengantar, penjelasan yang cukup singkat dalam buku kecil ini telah berhasil menyampaikan maksudnya tentang urgensi kaidah dasar sebelum menafsirkan al-Quran. Tidak hanya itu, kutipan pendapat ulama dalam berbagai bidang ilmu yang dihadirkan Usamah pada bab-bab dalam buku ini juga merupakan sebuah keunikan tersendiri yang jarang ditemukan dalam buku lain dengan tema serupa. Wallahu alam bi al-Shawab.

    Mengenal Kaidah Dasar Penafsiran Al-Quran

    Putri Rezeki Rahayu

    Data Buku:

    Judul: Al-Madkhal ila Ushul al-Tafsir Penulis: Usamah Sayyid Mahmud al-Azhari Penerbit: Al-Wabil al-Shayyib Tahun: 2010

    1 1 M A R J A

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I V , A P R I L 2 0 1 3

  • K ami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan al-Quran ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum (kami mewahyukan) nya termasuk orang-orang yang belum mengetahui." (QS.

    Yusuf: 12) Ayat di atas mengingatkan kita untuk selalu

    mengingat sejarah dan mengambil hikmah darinya. Salah satu sumber sejarah yang dapat kita petik manfaatnya adalah al-Quran, kitab suci umat Islam. Begitu banyak ayat-ayat yang menjelaskan kejadian masa lalu disertai anjuran untuk berpikir kritis dan menganalisis sebab dari setiap kejadian.

    Jika kita mau menelusuri setiap peristiwa yang ada, semua kejadian sebenarnya hanya mengulangi apa yang telah terjadi. Salah satu contohnya cerita tentang seorang pemimpin serta aparatur negara yang saleh. Den-gan kesalehan, mereka memimpin negara dengan arif dan adil, sehingga negara menjadi damai dan sentosa, dan demikian sebaliknya. Puluhan bahkan ratusan cerita ten-tang hal ini telah kita ketahui. Namun sayang, banyak dari kita dan juga umat Islam lainnya yang lupa untk mengambil pelajaran dari setiap kisah yang ada. Semua kisah tersebut agaknya hanya berperan sebagai dongeng pengantar tidur belaka.

    Heroisme para nabi dan pahlawan Islam kini hanya menjadi alasan dari sebuah kekaguman, tidak serta merta menjadi pembangkit semangat untuk bisa menjadi seperti mereka. Oleh karena itulah, tidak mengherankan jika akhirnya generasi muda Islam mengalami dekadensi moral yang cukup parah. Hal ini dikarenakan perubahan figur yang dijadikan panutan serta distorsi sejarah yang berakibat pada hilangnya nilai Islam dalam jiwa mereka. Shalahuddin al-Ayyubi ditutupi oleh Richard The Lion-heart; Khalid bin Walid diganti dengan Rambo; Rasulullah SAW disandingkan dengan Spider Man, dan lain seba-gainya.

    Sejarah sebagai Sarana Pendidikan Allah SWT menciptakan semua makhluk yang

    ada di dunia ini dan memenuhi keperluan mereka. Allah juga memberikan tanggung jawab yang besar di atas pun-dak dari tiap manusia yang berjalan di atas bumi ini, yaitu perintah untuk menjalankan semua perintah-Nya dan mencintai-Nya. Untuk menjalankan tugas tersebut, Allah telah memberikan berbagai sarana. Di antaranya adalah sejarah bangsa-bangsa terdahulu. Dari pelajaran tersebut, manusia diperintahkan untuk mengambil pelajaran darinya, sekaligus bercermin dengan kondisi masa kini. Semua ini tidak lain agar manusia menjadi lebih baik dalam setiap langkahnya.Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi, sehingga mereka dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka. Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka, dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu. (QS. Muhammad: 10)

    Oleh sebab itulah, mempelajari sejarah, khusus-

    nya sirah nabawi; kisah tentang khulafa al-Rasyidin; penaklukan umat Islam atas tanah kaum Kafir; serta kisah para ulama dan orang saleh, adalah sebuah keniscayaan bagi kaum Mus-lim, agar mereka menjadi pribadi tangguh seperti tokoh dalam kisah-kisah tersebut. Dengan demikian, mereka juga telah menghemat waktu ratusan tahun untuk dapat mengam-bil manfaat dari setiap kejadian dan menghindarkan diri dari pengambilan keputusan yang salah.

    Mengetahui Ketentuan Allah SWT Selain sebagai sarana pendidikan, sejarah juga

    bisa menjadi alat untuk melihat masa depan yang tentunya sejalan dengan apa yang telah menjadi ketetapan-Nya. Mene-laah sejarah dapat membantu kita dalam membuka tabir atas ketentuan-Nya, sehingga kita dapat mengetahuinya dan mempersiapkan segala kemungkinan positif dan negatif. Dengan semangat seperti ini, kita dapat mengukuhkan tujuan yang akan dicapai dengan membandingkan kepada apa yang telah dimiliki oleh kaum terdahulu. Maka apakah mereka tiada mengadakan perjalanan di muka bumi lalu memperhatikan betapa kesudahan orang-orang yang sebelum mereka. Adalah orang-orang yang sebelum mereka itu lebih hebat kekuatannya dan (lebih banyak) bekas-bekas mereka di muka bumi, maka apa yang mereka usahakan itu tidak dapat menolong mereka. (QS. al-Mukmin: 82)

    Ketentuan Allah SWT terbagi menjadi dua, yaitu: Ketentuan di luar kewajaran. Hal ini terjadi pada para nabi dan rasul-Nya yang memiliki mukjizat di atas kemampuan manusia biasa, untuk menjadi pendukung atas semua dakwah yang telah dilakukan dan menambah keimanan bagi kaum-nya, seperti tongkat Musa AS yang berubah menjadi ular yang dapat merayap. Allah berfirman dalam surat Thaha ayat 19-20 yang artinya: Lemparkanlah ia, hai Musa!", lalu dilempar-kannyalah tongkat itu, maka tiba-tiba ia menjadi seekor ular yang merayap dengan cepat. Atau pukulan Musa AS pada batu yang dapat memancarkan air bagi para kaumnya, Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: "Pukullah batu itu dengan tongkatmu", lalu memancarlah darinya dua belas mata air. (QS. al-Baqarah: 60)

    Ketentuan lainnya adalah ketentuan yang berada pada batas kewajaran. Ketentuan ini pun terbagi menjadi ketentuan menurut kebiasaan alam dan ketentuan syariat yang telah ditetapkan. Ketentuan menurut kebiasaan alam adalah kebiasaan yang telah ada pada alam, seperti terjadinya siang dan malam serta berjalannya matahari dan bulan dalam langit yang sama, Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang, dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (QS. Yasin: 40)

    Sedangkan ketentuan syariat meliputi peraturan syariat yang telah ditetapkan oleh-Nya, seperti segala perintah dan larangan-Nya serta seluruh janji yang tak akan pernah berubah, juga pertolongan yang akan diberikan kepada para kekasih-Nya dan kesengsaraan kepada para pengingkar-Nya. Maka Apakah patut Kami menjadikan orng-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir). (QS. al-Qalam: 35)

    Berguru Kepada Sejarah 1 2 S A L A M

    Rusydiana Tsani

    B U L E T I N I Q R A , E D I S I V , A P R I L 2 0 1 3

  • dilalui, tinggallah tawakal, yang juga berada di hati. "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang telah Eng-kau ajarkan kepada kami, sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. al-Baqarah: 32)

  • terbukti ketika suatu saat ia memberikan kuliah umum di auditorium Muhammad Abduh. Saat itu, sebelum ia hadir, semua mahasiswa telah siap di dalam ruangan, hingga ketika kuliah telah dimulai, tidak ada satupun dari mereka yang berani untuk masuk ataupun keluar.

    Dalam berbagai karyanya, khususnya tentang pemikiran Islam, maka tampak sekali bahwa Abdul Halim Mahmud amat menghargai para sufi lainnya, sekalipun sufi tersebut berbeda aliran dengannya. Menurutnya, tasawuf merupakan sebuah jalan yang akomodatif dan konstruktif bagi kemajuan kaum Muslim. Tasawuf membawa kebahagiaan dunia dan akhirat. Dalam berbagai tulisannya, ia berusaha menunjukkan betapa para sufi telah bekerja keras membantu fakir miskin, membangun masyarakat, meluruskan penyelewengan suatu pemerintahan dan berjuang membela negara. Ia juga membela kaum sufi dari berbagai tuduhan dengan jawaban-jawaban yang cukup memuaskan. Itulah mengapa ia diberi gelar Abu al-Arifin. Selain itu, kepeduliannya kepada nasib umat Islam, baik di negeranya ataupun di dunia Islam lainnya, membuat ia mendapatkan tempat tersendiri di hari umat Islam. Karena itulah, gelar syaikh al-Islam disematkan kepadanya.

    Pemimpin para sufi ini wafat pada Selasa pagi, 15 Dzulqadah 1398 atau 17 Oktober 1978 di Kairo. Kepergiannya

    menghadirkan duka yang cukup mendalam di hati ulama dan kaum Muslim yang mengantarkannya menuju peristirahatan

    terakhir pagi itu. Wallahu alam.

  • Mengetahui Hal-hal Penting Sepanjang Sejarah Manusia Selain dua manfaat yang disebutkan di atas, sejarah juga memberitahukan kepada kita informasi mengenai hal-hal

    penting sepanjang perjalanan anak manusia ketika menapakkan kakinya di bumi. Salah satu hal penting tersebut adalah tentang kenyataan bahwa hal yang pertama kali diketahui manusia adalah keesaan Allah SWT. Seiring berjalannya waktu, manusia mulai keluar dari fitrahnya yang akhirnya menjadi sebuah pengingkaran atas wujud-Nya. Dari Ibn Abbas RA, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya jarak antara kaum Adam AS dan kaum Nuh AS adalah sepuluh kurun yang kesemuanya itu berada dalam ketak-waan kepada-Nya, kemudian mereka mengingkari-Nya, dan Allah SWT mengirimkan nabi untuk membimbing mereka kembali kepada jalan-Nya."

    Hal penting lainnya adalah kenyataan bahwa Allah SWT merupakan pencipta seluruh alam ini. Tak dapat dipung-kiri bahwa dunia beserta isinya haruslah mempunyai pencipta yang memiliki kemampuan di atas ciptaan-Nya. Dengan melihat rentetan sejarah yang terus terulang, tentu dapat terlihat bahwa kesemuanya itu telah diatur oleh Zat Pencipta Rabb al-Alamin.

    Demikianlah beberapa manfaat yang dapat kita ambil dari sejarah. Tak dapat dipungkiri bahwa sejarah bisa men-jadi sarana terbaik dalam membentuk kepribadian para generasi muda. Dengan mengetahui sejarah umat Islam, secara tidak langsung juga mengetahui identitas kaum Muslim yang sebenarnya. Bagaimana para pahlawan Islam didukung oleh para ulama yang tawaduk mewarnai dunia dengan ajaran-ajaran agama Islam yang begitu indah.

    Barat sangat berhati-hati dalam menyikapi catatan dan situs sejarahnya. Mereka menjaga betul apa yang ada juga mengharuskan anak mudanya untuk ikut menjaga serta melestarikan, bahkan sampai pada tahap memujanya. Jika Barat menyi-kapi sejarah mereka dengan penuh perhatian, maka bagaimanakah umat Islam memperlakukan sejarahnya sendiri? Padahal Umat Islam diwajibkan untuk mengabdikan dirinya kepada agama, akidah dan syariat-Nya. Walahu a'lamu bi al-shawab.