buletin iqra’,edisi vii, ramadhan 1434

12
Rusydiana Tsani A l-Quran sebagai kitab suci umat Islam diturunkan oleh Allah SWT pada bulan Ramadhan, khususnya pada lailatul qadar. Malam yang telah dijelaskan serta disembunyikan oleh Sang Pencipta malam dan tak akan muncul di hada- pan kita, kecuali dengan tahajud, iktikaf, berdzikir, berdoa dan memperbanyak amalan- amalan baik. Tulisan ini akan membahas ten- tang peristiwa nuzul al -Quran yang disebut secara gambling dalam tiga ayat. Per- tama, dalam QS. al- Baqarah: 185-186, (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan- penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Ba- rangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpua- sa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah bag- inya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesu- karan bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. Dan apabila hamba-hamba- Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada- Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” Kedua, pada surat al-Dukhan ayat 1-4, dan juga pada surat al- Qadr. Nuzul al-Quran di Bulan Ramadhan Turunnya al-Quran di bulan Ramadhan mengandung banyak makna, baik secara akidah, iman, nafsiyah, ruhaniyah, akhlak dan adab, yang banyak diperbincangkan oleh para ulama kontemporer tentang penafsiran ayat-ayat al-Quran yang berhubungan dengannya. Imam Muhammad Abu Zahrah menyebutkan bahwa bulan Rama- dhan menjadi bulan yang dikhususkan dalam berpuasa karena al-Quran turun pada bulan ini, serta per- Memuliakan Nuzul al-Quran E D I S I V I I S etiap manusia memiliki nafsu, karena seseorang yang mengetahui dirinya (nafsunya), maka ia mengenali Tuhannya. Manusia akan mengakui keberadaan Tuhannya ketika menyadari bahwa dirinya lemah, miskin, dan tidak berdaya di hadapan Allah. Kendati demikian, manusia terkadang lalai akan semua itu. Mereka merasa sombong dan berbesar hati, padahal Allah telah berfirman dalam sebuah Hadis qudsi, Kebanggan adalah jubah-Ku, dan kebesaran adalah pakaian-Ku. Barangsiapa yang mengenakan salah satu di antaranya, akan Aku musuhi dan Aku tidak peduli kepadanya.” (HR. Daud) Kesombongan manusia ini muncul, salah satunya karena mereka lebih mengikuti dan mengedepankan hawa nasfu ketimbang petunjuk-petunjuk Allah SWT, sedang hawa nafsu adalah musuh terbesar NADHRAH SEBAGAI PEDOMAN DAFTAR ISI Hawa Nafsu DZIKRA KAJIAN AL-I’JAZ IKPM CABANG KAIRO Bersambung ke hlm 8 R A M A D H A N 1 4 3 4 Bersambung ke hlm 5 NADHRAH 1 TAHNIAH 2 MARJA 11 UDHAMA, 10 6 SALAM 12 MABHATS MEMULIAKAN NUZUL AL-QURAN PEDOMAN SEPANJANG MASA AL-SHIYAM FIQHAN WA ‘IBATAN IMAM SUYUTHI: PECINTA ILMU, PEWARIS ILMU ISLAM MEMBACA AL-QURAN DI BULAN AL-QURAN MENYAMBUT LAILA AL- QADR Saeful Luthfy

Upload: fauzul-hanif

Post on 08-Apr-2016

75 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: BULETIN IQRA’,EDISI VII, RAMADHAN 1434

Rusydiana Tsani

A l-Quran sebagai kitab suci umat Islam diturunkan oleh Allah SWT pada bulan Ramadhan, khususnya pada lailatul qadar. Malam yang

telah dijelaskan serta disembunyikan oleh Sang Pencipta malam dan tak akan muncul di hada-pan kita, kecuali dengan tahajud, iktikaf, berdzikir, berdoa dan memperbanyak amalan-amalan baik. Tulisan ini akan membahas ten-tang peristiwa nuzul al-Quran yang disebut secara gambling dalam tiga ayat. Per-tama, dalam QS. al-Baqarah: 185-186, “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di d a l a m n y a d i t u r u n k a n (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Ba-rangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpua-sa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah bag-inya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki

kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesu-karan bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka

(jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang

berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu

memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” Kedua, pada surat al-Dukhan ayat 1-4, dan juga pada surat al-Qadr.

Nuzul al-Quran di Bulan

Ramadhan Turunnya al-Quran di bulan

Ramadhan mengandung banyak makna, baik secara akidah, iman, nafsiyah,

ruhaniyah, akhlak dan adab, yang banyak diperbincangkan oleh para ulama kontemporer tentang penafsiran ayat-ayat al-Quran yang berhubungan dengannya. Imam Muhammad Abu Zahrah menyebutkan bahwa bulan Rama-dhan menjadi bulan yang dikhususkan dalam berpuasa karena al-Quran turun pada bulan ini, serta per-

Memuliakan Nuzul al-Quran

E D I S I V I I

S etiap manusia memiliki n a f s u , k a r e n a s e s e o r a n g y a n g mengetahui dirinya

(nafsunya), maka ia mengenali Tuhannya. Manusia akan m e n g a k u i k e b e r a d a a n Tuhannya ketika menyadari bahwa dirinya lemah, miskin, dan tidak berdaya di hadapan

Allah. Kendati demikian, manusia terkadang lalai akan semua itu. Mereka merasa sombong dan berbesar hati, padahal Allah telah berfirman dalam sebuah Hadis qudsi, “Kebanggan adalah jubah-Ku, dan kebesaran adalah pakaian-Ku. Barangsiapa yang mengenakan salah satu di antaranya, akan Aku

musuhi dan Aku tidak peduli kepadanya.” (HR. Daud) Kesombongan manusia ini muncul, salah satunya karena mereka lebih mengikuti dan mengedepankan hawa nasfu ketimbang petunjuk-petunjuk Allah SWT, sedang hawa nafsu ada lah musuh terbesar

N A D H R A H

A L - Q U R A N

S E B A G A I P E D O M A N

DAFTAR ISI

Hawa Nafsu

D Z I K R A

K A J I A N A L - I ’ J A Z

I K P M C A B A N G

K A I R O

Bersambung ke hlm 8

R A M A D H A N 1 4 3 4

Bersambung ke hlm 5

NADHRAH 1

TAHNIAH 2

MARJA 11

UDHAMA, 10

6

SALAM 12

MABHATS

MEMULIAKAN NUZUL AL-QURAN

PEDOMAN SEPANJANG

MASA

A L - S H I Y A M

F I Q H A N W A

‘ I B A T A N

IMAM SUYUTHI: PECINTA

ILMU, PEWARIS ILMU

ISLAM

MEMBACA AL-QURAN DI

BULAN AL-QURAN

MENYAMBUT LAILA AL-

QADR

Saeful Luthfy

Page 2: BULETIN IQRA’,EDISI VII, RAMADHAN 1434

“Ia merupakan pedoman sekaligus penyempurna syariat yang ada dalam kitab-kitab sebelumnya.”

Pedoman Sepanjang Masa

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I V I I , R A M A D H A N 1 4 3 4

2 T A H N I A H

P ada hakikatnya, setiap agama-yang b e r a s a l d a r i wahyu Tuhan

(Din Samawi) ataupun bukan (Din Wadh‟ i ) -memiliki kitab suci. Kedua kelompok agama ini mem-iliki perbedaan mendasar dari berbagai sisi, dari sum-ber agama, ibadah dan juga konsep ajarannya. Meski begitu, keduanya sama-sama memiliki kitab suci, seperti Taurat bagi Yahudi; Injil untuk Nasrani; Wedha milik Hindu; Tripitaka

untuk Budha; Avesta bagi Zoroaster. Begitu pula dengan al-Quran yang diturunkan untuk umat Islam. Ia merupakan pedoman sekaligus penyempurna syariat yang ada dalam kitab-kitab sebelumnya.

Ada tiga alasan mengapa al-Quran dijadikan kitab suci bagi umat Islam, dan mereka harus meyakininya. Pertama, semenjak diturunkan empat belas abad silam hingga hari ini, tidak ada seorang pun yang mampu membuat semisal dengannya. Suatu kitab baru bisa dikatakan kitab suci apabila ia terbebas dari intervensi manusia, terlebih bila manusia tersebut menyelipkan ajaran yang menyesatkan di dalamnya. Kisah tentang usaha Musailamah al-Kadzdzab yang mencip-takan tandingan surat al-Fil membuktikan kebenaran al-Quran. Sepintas lafal surat buatan Musailamah tersebut memang mirip dengan al-Quran, tapi isi dan kandungan ayatnya sama sekali berbeda dengan al-Quran. Hal ini sekaligus menepis tuduhan kaum Orientalis yang menyatakan bahwa Rasulullah menciptakan al-Quran. Bila memang al-Quran diciptakan oleh Rasulullah, tentu karya Musailamah tersebut berhasil menandinginya, namun pada kenyataannya tidak demikian, sebab al-Quran adalah wahyu Tuhan.

Kedua, ajaran yang terkandung dalam al-Quran sesuai dengan fitrah manusia. Allah adalah Zat yang menciptakan manusia, sehingga Dia pun mengetahui batas kemam-

Susunan Redaksi Buletin IQRA Kajian AL-I’JAZ IKPM Kairo

Dewan Penasihat: Ketua IKPM Cabang Kairo; Pembimbing: Bagian Keilmuan IKPM Cabang Kairo; Penanggung Jawab Umum: Novan Hariansyah, Dede permana;

Pemimpin Umum: Maulidatul Hifdhiyah Malik; Pemimpin Redaksi: Faiq Aziz; Editor: Saeful Luthfy; Layouter: Rusydiana Tsani; Kru: Hilmy Mubarak, Muhammad

Hafif Handoyo, Jakfar Shodiq, Alfina Wildah, Jauharotun Naqiyah, Anisa Nur Rohmah, Ari Kurniawati, Risky Maratul Mu'allamah, Nur Fitria Qorrotu Aini, Putri Rezeki

Rahayu, Uswahtun Hasanah, Kuntum Afifah.

Alamat Redaksi: Swessry B - Gami', Hay 10, Nasr City, Egypt 32206

Putri Rezeki Rahayu

puan manusia. Oleh karena itulah, Kitab yang diturunkan sesuai dengan keadaan mereka. Ini artinya, apabila mereka menginginkan kebahagi-aan di dunia maupun akhirat, haruslah mengikuti semua ajaran yang ada di dalam al,Quran, sebab apa yang ada di dalamnya sudah „pas‟ dengan keadaan manusia, kapan pun itu. Ketiga, kan-dungan isi al-Quran tidak saling bertentangan. Kitab-kitab suci yang diturunkan sebelum al-Quran, seperti Injil, kini telah mengalami berbagai macam perubahan. Injil tidak hanya berubah, bahkan telah „berkembang‟ dalam berbagai versi, sesuai dengan kepentingan penu-lisnya. Dalam Injil tertulis bahwa Tuhan Esa, dan di sisi lain juga menuliskan bahwa Tuhan ada tiga (trinitas). Pertentangan ini tentu men-imbulkan kebingungan bagi penganutnya, karena keterangan yang ada di dalamnya kontradiktif. Keganjilan seperti ini, sama sekali tidak ditemukan dalam al-Quran. Sejak dulu, al-Quran berjumlah tiga juluh juz dengan 114 surat di dalamnya, dan sama sekali tidak ditemukan keterangan yang tumpang tindih antar ayat-ayatnya.

Selain itu, al-Quran tidak diturunkan sekaligus dalam satu waktu, melainkan secara berangsur-angsur. Kaum Yahudi bertanya men-gapa al-Quran diturunkan secara bertahap, tidak seperti Injil ataupun Zabur. Pertanyaan ini dija-wab oleh Allah dalam QS. al-Furqan: 32, “Demikianlah, agar Kami memperteguh hatimu (Muhammad) dengannya, dan Kami membacakannya secara tartil.” Sebab lain al-Quran diturunkan kepada Rasulullah secara berangsur-angsur, karena Kitab sebelum al-Quran diturunkan kepada nabi yang bisa membaca dan menulis, sedangkan al-Quran diturunkan kepada nabi yang ummi (tidak bisa baca tulis).

Pada intinya, semua hikmah tersebut memerintahkan kepada siapapun yang membaca al-Quran, agar meyakini dan membenarkan semua hal yang termaktub dalam al-Quran, bukan sebaliknya. Hal ini tidak lain karena al-Quran diturunkan dalam posisi yang „pas‟, baik dengan fitrah manusia ataupun zaman. Al-Quran ibarat kompas, yang akan menunjukkan pembacanya sampai pada garis akhir dengan selamat. ”Sungguh al-Quran ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus.” (QS. al-Isra: 9)

Page 3: BULETIN IQRA’,EDISI VII, RAMADHAN 1434

Membaca Al-Quran di Bulan Al-Quran

“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan,” demikian bunyi perintah pertama yang turun kepada Nabi Muhammad SAW. Kata „bacalah‟ dalam ayat tersebut memiliki makna yang amat luas, salah satunya membaca secara hakiki. Berangkat dari makna ayat terse-but, dapat dipahami bahwa al-Quran diturunkan tidak lain agar manusia membaca, mendengarkan dan menadaburkan isi dan kandungan ayat-ayat al-Quran.

Membaca al-Quran merupakan suatu ibadah yang sangat mulia di sisi Allah SWT. Bahkan Allah SWT sendiri yang memerintahkan hamba-Nya untuk selalu membacanya. Barangsiapa yang membaca al-Quran, Allah akan memberinya pahala yang berlipat, “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. Agar Allah menyempurnakan pahala kepada mereka dan menambah karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Men-syukuri.” (QS. Fathir: 29-30)

Tidak sampai di sini saja, al-Quran akan men-jadi syafaat ketika hari Kiamat nanti, sebagaimana sabda Nabi Muhammad, “Bacalah al-Quran, sesungguhnya ia akan datang pada hari Kiamat sebagai syafaat bagi pembacanya.” Dalam sebuah riwayat, Ali bin Abi Thalib RA berkata, “Barangsiapa yang membaca al-Quran dengan keadaan berdiri dalam salat, maka baginya setiap huruf al-Quran dilipatgandakan menjadi seratus kebaikan; dan barangsiapa yang membaca dengan keadaan duduk dalam salatnya, maka baginya setiap huruf al-Quran dilipatgandakan menjadi lima puluh kebaikan; dan barangsiapa yang membacanya di luar salat dalam keadaan berwudhu, maka baginya dua puluh lima kebaikan; dan barangsiapa mem-bacanya dalam kondisi tidak berwudhu, maka baginya sepuluh kebaikan.” (HR. Dailami)

Dari dalil di atas, para ulama berlomba-lomba untuk membaca dan menadaburkan al-Quran. Terlebih di bulan suci Ramadhan yang merupakan bulan diturunkann-ya al-Quran. Inilah mengapa Ramadhan juga disebut se-bagai „bulan al-Quran.‟ Imam Malik, ketika bulan Rama-dhan tiba, meninggalkan majelis Hadisnya, dan menghabis-kan waktu dengan membaca al-Quran. Begitu pula dengan Imam Syafi‟i, yang mengkhatamkan al-Quran hingga enam puluh kali selama bulan Ramadhan.

Sebagai seorang Muslim, tadarus al-Quran sudah seharusnya menjadi amalan yang tidak pernah ditinggalkan dan menerangi rumah dengan bacaan dan ayat-ayat al-Quran. Namun, jika tidak bisa membaca al-Quran di rumah disebabkan ada kepentingan yang berhubungan dengan kemaslahatan umat, maka ia dapat meminta salah satu pembaca (qari‟) untuk membacakan ayat-ayat al-Quran di kediamannya, agar dapat berkah dengan lantunan al-Quran dan mendapatkan rahmat dari bacaan tersebut. Hal ini diterapkan oleh sebagian orang Mesir dengan tujuan

mengharap pahala yang berlimpah, khususnya pada bulan yang mulia ini.

Abu Hurairah menjelaskan, sesungguhnya rumah yang di dalamnya dibacakan al-Quran, Allah akan meluaskan rizki penghuninya, memperbanyak kebaikannya, mendatangkan malaikat dan mengeluarkan setan darinya. Begitu pula sebaliknya bila rumah tersebut tidak dibacakan al-Quran di dalamnya. Allah akan me-nyempitkan rizki penghuninya, menyedikitkan kebaikan baginya, malaikat keluar dari rumahnya dan setan akan didatangkan ke dalamnya. Selain itu, orang yang berpegang pada al-Quran ia diibaratkan telah membawa bekal yang terbesar karena al-Quran merupakan bekal yang kekal dan akan bermanfaat bagi pemegangnya dunia dan akhirat. Dari Abdullah bin Amru mengatakan bahwa orang yang membaca al-Quran maka ia tidak akan mudah marah dan jauh dari kebodohan. Ia senantiasa akan menjadi seorang yang sabar, berhati-hati dalam menyikapi suatu perkara, dan menempatkan sesuatu pada tempat yang benar.

Membaca al-Quran akan semakin menda-tangkan pahala berlimpah, ketika al-Quran tersebut dire-nungkan maknanya dan diajarkan kepada sesama. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang mengajarkan anaknya al-Quran secara nadhar, maka akan diampuni dosa-dosa yang lalu dan dosa yang akan datang. Barangsiapa yang mengajarkannya secara dzahir, Allah akan membangkitkannya pada hari kiamat seperti bulan purnama, dan jika ia menyuruh anaknya membaca al-Quran, maka setiap ayat yang dibacakan anaknya akan mengangkat derajat orang tuanya sampai ia selesai membaca al-Quran.” ( HR Thabrani) Terlepas dari semua keistimewaan tersebut, satu hal penting yang tidak boleh dilupakan adalah mem-bacanya dengan tartil. Hal ini sangat penting, sebab al-Quran sendiri menjelaskan dan memerintahkannya. “Dan bacalah al-Quran itu dengan tartil.” (QS. al-Muzzammil: 4) Al-Quran memerintahkan demikian sebab tartil akan mengantarkan pembacanya untuk memahami makna dan pesan yang disampaikan al-Quran. Dari penjelasan di atas, dapat diambil sebuah pelajaran yang sangat berharga bahwa seorang Muslim hendaknya menjadikan tadarus sebagai sebuah kewajiban sekaligus kebutuhan, terlebih di bulan Ramadhan. Hal ini karena puasa puasa dan al-Quran merupakan syafaat bagi manusia di akhirat kelak. Rasulullah SAW bersabada, “Puasa dan al-Quran, keduanya memberikan syafaat kepada seorang hamba ketika hari Kiamat. Puasa berkata: Ya Tuhanku, saya melarangnya (hamba) makan dan bersyahwat, maka jadikan-lah aku syafaat baginya (hamba). Dan al-Quran berkata: aku melarangnya (hamba) tidur ketika malam, maka jadikanlah aku syafaat baginya (hamba). Allah berkata: kalian (puasa dan al-Quran) memberikan syafaat baginya.” (HR. Ahmad dan Tha-bari)

3 F I K R A H

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I V I I , R A M A D H A N 1 4 3 4

Nur Fitria Qurratu „Aini

Page 4: BULETIN IQRA’,EDISI VII, RAMADHAN 1434

Wahyu Sebagai Sumber Ilmu

4 Q A D H A Y A

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I V I I , R A M A D H A N 1 4 3 4

T idak terasa, Ramadhan telah berada pada penghujung bulan. Bulan yang di dalamnya ber-gelimang keberkahan dan keistimewaan. Pada bulan inilah pahala kebaikan dilipatgandakan, ampunan

dari-Nya tiada terbatas dan pintu taubat terbuka lebar bagi yang menyambutnya. Juga pada bulan inilah Allah SWT menyambung ikatan yang menghubungkan antara alam dunia dengan alam metafisika dengan cara menurunkan wahyu kepada hamba-Nya yang Ia kehendaki. Sebagaimana Hadis yang diriwiyatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya dari Watsilah (Ibnu al-Asqa‟), Rasulullah SAW bersabda: “Shuhuf Ibrahim AS diturunkan pada awal bulan Rama-dhan, Taurat diturunkan pada hari keenam, Injil diturunkan pada hari ketiga belas, dan al-Quran diturunkan pada hari kedua puluh empat.” Dalam redaksi lain, dari Jabir bin Abdullah, “Zabur diturunkan pada hari kedua belas dan Injil pada hari kedelapan belas.” Allah SWT juga menerangkan waktu diturunkannya al-Quran pada bulan yang penuh berkah ini, yaitu pada malam lailatul qadr, “Sungguh Kami menurunkannya (al-Quran) pada malam lailatul qadr.” (QS. al-Qadr: 1)

Terdapat perbedaan di antara ulama dan pakar sejarah terkait tanggal pasti diturunkannya al-Quran. Demikian juga wahyu yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelumnya yang kini sudah terdistorsi isinya atau bahkan sebagian yang lain telah hilang ditelan masa. Hanya saja, tulisan ini akan memfokuskan pada kedudukan wahyu yang begitu penting bagi manusia dalam menjalani kehidupannya. Ia adalah pedoman hidup sekaligus ilmu yang menuntun manusia kepada kebahagiaan hakiki baik di dunia maupun di akhirat. Oleh karena itu, Allah SWT tidak pernah menciptakan umat manusia tanpa mengutus rasul untuk menyampaikan wahyu dari-Nya. “Dan tidaklah kami menyiksa (suatu kaum) sebelum kami mengutus seorang rasul.” (QS. al-Isra’: 15)

Kaitan Antara Wahyu dengan Ilmu Kata wahyu dalam bahasa Arab merupakan

bentuk mashdar dari kata wa ha yang artinya berkisar pada: al-Isyârah al-Sarî„ah (isyarat yang cepat), al-Kitâbah (tulisan), al-Maktûb (tertulis), al-Risâlah (pesan), al-Ilhâm (ilham), al-I‟lâm al-khafi (pemberitahuan tertutup), al-kalâm al-khafi al-sirri (pembicaraan tertutup dan rahasia). Ini adalah arti secara bahasa yang terdapat dalam kamus-kamus bahasa Arab.

Dalam al-Quran sendiri, derivasi kata wahyu memiliki kurang lebih lima pengertian. Terkadang bermakna ilham suci kepada manusia (QS. al-Qashash: 7); ilham yang bersifat insting kepada hewan (QS. al-Nahl: 68); isyarat cepat melalui tanda atau petunjuk lain seperti yang dilakukan Zakaria (QS. Maryam: 11); bsikan setan dalam hati manusia (QS. al-An’âm: 121), dan perintah Allah SWT kepada malaikat (QS. al-Anfâl: 12). Sedangkan arti wahyu dalam terminologi Islam menurut al-Zurqani dalam bukunya “Manâhil al-‘Irfân,” yaitu pemberitahuan dari Allah SWT kepada hamba-Nya yang dikehendaki berupa varian hidayah dan ilmu yang

Muhammad Hafif Handoyo

disampaikan kepadanya secara rahasia dan tidak biasa bagi manusia umumnya. Dari pengertian ini, maka wahyu di samping bermakna hidayah (QS. al-Baqarah: 185), juga berfungsi sebagai sumber ilmu yang otentik. Semua sepakat bahwa setiap manusia yang lahir di muka bumi ini pada awalnya tidak mengetahui sesuatu apapun. Hal ini diperjelas dalam firman Allah SWT, “Dan Allah SWT mengeluarkanmu dari perut ibumu dalam keadaan kamu tidak mengetahui apapun ...” (QS. al-Nahl: 78). Dengan demikian, untuk mengetahui sesuatu, seseorang membutuhkan faktor-faktor luar berupa pengetahuan (ilmu) yang nantinya dapat membentuk pandangan hidup. Faktor-faktor ini dengan kata lain adalah cara bagaimana ilmu itu dapat diperoleh. Syamsudin Arif di salah satu tulisannya pada jurnal “Islamia,” seraya menukil pendapat Sa„aduddin al- Taftazani dalam bukunya “Syarh al-„Aqâid al-Nasafiyyah,” mengemukakan terdapat tiga sumber untuk memperoleh ilmu, yaitu persepsi indra, kerja akal (termasuk di dalamnya adalah intuisi), dan informasi yang benar. Informasi yang benar ini salah satunya adalah wahyu.

Pada dasarnya wahyu berisi hidayah dan ilmu sehingga menjadikan umat manusia mengetahui kebenaran. Akan tetapi, dalam perjalanannya, wahyu yang diturunkan oleh-Nya kepada beberapa rasul mengalami penyelewengan atau distorsi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, otentisitas atau keasliannya diragukan. Dengan demikian, „wahyu‟ tersebut sudah tidak bisa disebut lagi sebagai wahyu, karena wahyu adalah informasi yang benar (khabar shâdiq), sedangkan ‘wahyu-wahyu‟ ini telah terdistorsi sehingga masuk dalam kategori informasi dusta (khabar kâdzib). Dengan begitu, hilanglah keabsahannya untuk disebut sebagai sumber ilmu karena tidak memenuhi syarat yang disepakati.

Syarat informasi yang benar sehingga dapat diterima menjadi salah satu sumber ilmu adalah tidak terputusnya rantai informasi sampai kepada yang meneri-ma. Namun, hal ini saja tidak cukup. Dibutuhkan jaminan akan kejujuran dari si pembawa informasi. Islam memiliki jaminan kuat akan terjaganya wahyu yang menjadi pe-doman hidup kaum Muslim. Al-Quran, sebagai kitab suci umat islam, dalam sejarahnya menunjukkan ketiadaan rantai informasi yang terputus di antara pembawanya. Bahkan informasi yang terkandung di dalamnya dibawa oleh sekumpulan orang terpercaya dalam jumlah besar di setiap masanya, sehingga menjadikannya mustahil untuk diselewengkan. Inilah yang disebut dengan informasi yang mutawatir. Setali tiga uang dengan Hadis yang merupakan wahyu kedua bagi umat Islam (wahyu ghairu matluw). Mes-kipun tidak semuanya berstatus mutawatir sebagaimana al-Quran, namun ulama-ulama Hadis telah menerapkan standar ketat dalam memilah dan memilih Hadis yang dapat dijadikan pedoman. Hal itu tercermin pada penera-

Page 5: BULETIN IQRA’,EDISI VII, RAMADHAN 1434

5 Q A D H A Y A

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I V I I , R A M A D H A N

manusia, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh al-Baihaqi, “Musuh terbesarmu adalah nafsu yang ada pada dirimu.” Menurut Syekh Muhammad Amin Kurdi dalam “Tanwir al-Qulub fi Mu‟amalati „allam al-Ghuyub,” nafsu terbagi menjadi tujuh. Pertama, nafsu ammarah, yaitu nafsu yang mengajak kepada kejelekan. Kedua, nafsu lawwamah, nafsu yang terkadang berbuat maksiat, kemudian taubat dan menyesali perbuatannya. Ketiga, nafsu muthmainnah. Nafsu ini merupakan nafsu yang terbebas dari perbuatan maksiat sekaligus permulaan menuju kesempurnaan. Keempat, nafsu mulhamah, adalah nafsu yang mendapatkan ilham dari Allah berupa ilmu, kerendahan hati dan kepuasan. Kelima, nafsru radhiyah, yaitu nafsu yang selalu ridha dengan kehendak Allah. Keenam, nafsu mardhiyyah, merupakan nafsu yang mendapatkan keridhaan Allah. Terakhir, nafsu kamilah, yaitu nafsu yang telah sempurna (suci) dari perbuatan tercela dan selalu berbuat apa yang disenangi oleh Allah SWT. Dari klasifikasi nafsu tersebut, kita dapat mengetahui di mana posisi kita. Oleh karena itulah, manusia diperintahkan untuk selalu berdzikir kepada Allah SWT, agar terhindar dari sifat-sifat tercela. Dengan dzikir,

manusia akan selalu mengingat Allah, sehingga hatinya senantiasa merasa tenang, “Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tentram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. al-Ra‟d: 28).

Dalam kitab “Ihya Ulumuddin,” Imam Ghazali menjelaskan tentang keburukan hawa nafsu, serta memberikan tips agar manusia terlepas darinya. Salah satunya adalah selalu menjelek-jelekkan hawa nafsu tersebut, serta selalu ingat bahwa ia akan memerintahkan manusia untuk melakukan perbuatan tercela. Selain itu, salah satu obat ampuh agar manusia dapat mengalahkan hawa nafsu adalah puasa. Puasa banyak mengajarkan manusia untuk bersabar dalam segala hal, karena hakikat sebenarnya dari puasa adalah menahan hawa nafsu. Oleh karena itu, seseorang yang berpuasa tetapi masih berbuat kejelekan, berarti dia belum sepenuhnya berpuasa. Semoga di bulan Ramadhan, bulan yang penuh rahmat dan ampunan ini, kita senantiasa menjaga hawa nafsu kita dari perbuatan tercela, serta senantiasa berdzikir kepada Allah SWT agar selalu terjaga dari perbuatan maksiat dan selalu dalam lindungan-Nya. Wallahu a‟lam.

Hawa Nafsu… Sambungan dari hlm. 1

pan konsep jarh wa ta‟dil dalam salah satu cabang ilmu Hadis yang tidak segan-segan mengkritisi kredibilitas si pembawa kabar (Hadis) demi kemaslahatan umat. Hal ini berbeda dengan wahyu yang ditujukan kepada umat sebelum Islam. Bibel misalnya. Baik Perjan-jian Baru ataupun Lama, telah banyak ilmuwan ataupun peneliti yang meragukan otentisitas keduanya. Dalam bukunya “The History of the Quranic Text: From Reveleation to Compilation,” Mustafa al- A‟zami mengatakan bahwa teks Perjanjian Lama senantiasa beru-bah sampai abad ke-10 Masehi atau hampir 2500 tahun setelah wafatnya Musa AS. Begitu pula dengan Perjanjian Baru yang penuh dengan perubahan. Lebih lanjut, al-A‟zami memaparkan perbedaan antara Bibel dengan al-Quran ibarat terang benderangnya matahari siang hari dengan gulitanya malam. Hal inilah yang menjadikan pemeluknya cemburu dan berusaha memberikan perangkap terhadap al-Quran. Realitas inipun tidak dipungkiri oleh ilmuwan non-Muslim. Adian Husaini dalam salah satu makalahnya yang berjudul “Problem Teks Bibel” menukil pendapat mereka. Mengenai Perjanjian Lama, Th. C. Vriezen menu-lis:

“Ada beberapa kesulitan yang harus kita hadapi jika hendak membahas Perjanjian Lama secara bertanggung jawab. Sebab utamanya adalah bahwa proses sejarah ada banyak sumber kuno yang diterbitkan ulang atau diredaksi (diolah kembali oleh penyadur).”

Untuk Perjanjian Baru, seorang ilmuwan bernama Bruze M. Metzger mengatakan bahwa Perjanjian Baru yang berasal dari Yunani mengalami masalah pembukuan yang rumit, karena banyaknya versi yang beredar. Disebutkan bahwa hingga kini terdapat kurang lebih lima ribu

manuskrip Bibel yang berbeda satu sama lainnya. Al-Quran dalam banyak ayat menyeru umatnya untuk membekali diri dengan ilmu. Hal ini ter-lihat jelas dalam wahyu yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad SAW. Perintah membaca yang menjadi kalimat pertama yang didiktekan kepada Nabi SAW meru-pakan sarana terpenting untuk menambah ilmu dan pengetahuan. Dalam konteks ini, tentu saja ilmu yang mengantarkan pembacanya semakin mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dengan kata lain, ilmu yang se-makin meningkatkan ketakwaan. Di sini bukan berarti terdapat dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, atau ilmu akhirat dan ilmu dunia. Akan tetapi, menjadi suatu keniscayaan bagi seorang Muslim yang mencari ilmu untuk menyandarkan setiap ilmu yang didapat kepada al-Quran dan Hadis sebagai sumber ilmu otoritatif yang menjadi pedoman hidupnya. Maka, dengan menyandarkan setiap ilmu pada wahyu (baca: al-Quran dan Hadis), tersingkaplah kabut yang menghalangi mata hati untuk mengetahui suatu kebenaran. Dengan mengetahui kebenaran, maka akan semakin meningkatkan ketakwaan. Oleh karena itu, seorang Muslim harus haus akan ilmu agar semakin men-jadi hamba yang bertakwa. Terlebih di bulan Ramadhan yang menjadikan takwa sebagai tujuannya. Mengkaji kitabullah dan hadis, menadaburkannya, ataupun menghafalkannya merupakan sebagian bentuk sarana untuk meraih ilmu dari wahyu yang berguna untuk meningkatkan ketakwaan. Maka dari itu, tidak heran bah-wa di bulan inilah wahyu-wahyu dari Sang pengatur alam itu diturunkan. Wallahu a‟lam bi al-Shawab.

Page 6: BULETIN IQRA’,EDISI VII, RAMADHAN 1434

“Nuzûl al-Quran bisa artikan sebagai sebuah proses sampainya lafal-lafal al-Quran dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril dengan mekanisme dan tahapan-tahapan tertentu.”

6 M A B H A T S

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I V I I , R A M A D H A N 1 4 3 4

T urunnya al-Quran dari Allah SWT kepada Nabi

Muhammad SAW diistilahkan oleh para ulama studi al-Quran dengan “Nuzûl al-Quran.” Istilah tersebut terdiri dari dua unsur kata yaitu nuzûl dan al-Quran. Secara etimolo-gis, kata nuzûl diartikan oleh Ibnu al-Mundzir s e b a g a i a l - h u l û l (berdiam atau tinggal). Sedangkan al-Zurqani mengartikannya dengan dua arti: yaitu tinggal di suatu tempat, dan perpindahan sesuatu dari tempat yang tinggi menuju ke tempat yang rendah. Dari kedua arti terse-

but, al-Zurqani menganggap keduanya tidak layak disematkan kepada al-Quran. Selain karena al-Quran bukanlah suatu benda sehingga ia tinggal di suatu tempat, kata “turun” yang mengharuskan adanya proses perpindahan dari atas ke bawah juga tidak layak dinisbatkan kepada al-Quran, karena al-Quran adalah sebuah kalam yang tentu tidak mengalami proses perpindahan seperti itu. Dari sini al-Zurqani menyimpulkan bahwa kata nuzûl dalam al-Quran tidak bisa diartikan dengan arti sebenarnya, melainkan harus digeser kepada arti majazi agar sesuai dengan hakikat al-Quran sebagai sebuah kalam, bukan benda. Dalam hal ini, al-Zurqani mengartikan makna nuzûl sebagai i‟lam atau pemberitahuan. Penggunaan makna pemberitahuan sebagai ganti makna tinggal atau turun dianggap al-Zurqani sebagai makna yang paling tepat karena tiga hal: Pertama, sebuah perkataan (kalam) tidaklah dimaksudkan kecuali untuk memahamkan dan menjelaskan. Karena al-Quran adalah kalam, maka mengartikan penurunan al-Quran sebagai pemberitahuan adalah makna yang sesuai dengan tujuan sebuah kalam. Kedua,

makna ini sesuai dengan tujuan penurunan al-Quran, karena maksud dari nuzûl al-Quran ke Lauhul Mahfuzh, Bait al-Izza dan hati Nabi Muhammad SAW adalah sebagai pemberitahuan bagi seluruh alam semesta, baik yang ada di bagian jagad atas, atau di bagian jagad bawah. Karena itu, mengartikan kata nuzûl dengan pemberitahuan adalah makna yang paling tepat sesuai dengan esensi dari segala sisinya.

Dari sini, maka makna Nuzûl al-Quran bisa artikan sebagai sebuah proses sampainya lafal-lafal al-Quran dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui perantara malaikat Jibril dengan mekanisme dan tahapan-tahapan tertentu.

Mekanisme dan Tahapan

Turunnya al-Quran Sebagai kitab terakhir yang menjadi

pedoman hidup manusia hingga akhir za-man, penurunan al-Quran dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad tidaklah dilakukan sembarangan, namun melalui mekanisme yang sangat akurat, teliti, dan menenangkan. Untuk menurunkan wahyu terakhir ini Allah SWT menggunakan perantara kurir wahyu yang sangat amanah dan terpercaya, yaitu Jibril AS. Jibril AS menerima al-Quran dari Allah SWT dengan cara yang hanya Dia ketahui dan dapat diterima oleh Jibril. Jibril kemudian membawa apa yang dia terima dari Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW secara utuh, tanpa ada campur tangan sedikit pun dari Jibril. Dalam hal ini, al-Quran turun dengan lafal dan makna dari Allah SWT sekaligus, seperti yang dijelaskan dalam QS. al-Zumar: 1, QS. al-Isra: 105, QS. Yusuf: 2, dan al-Syuara: 193-195. Jibril AS tidak pernah mengurangi dan menambahi, melainkan hanya sebagai penyampai saja. Maka, kita bisa menyimpulkan bahwa turunnya al-Quran dari Allah SWT hingga sampai kepada Nabi Muhammad adalah dengan lafal dan makna secara integral. Hal ini bisa dibuktikan secara mudah dengan status al-Quran sebagai sebuah mukjizat dengan susunan kalimat dan gramatika bahasanya. Dengan nilai kemukjizatan dari sisi susunan kalimatnya tersebut, al-Quran secara tidak langsung menegaskan bahwa susunan kalimat tersebut hanya dari Allah SWT karena dalam kenyataannya tidak ada satupun manusia yang bisa membuat yang

Jauharotun Naqiyah

Menelisik Lebih Dalam Peristiwa Nuzul al-Quran

Page 7: BULETIN IQRA’,EDISI VII, RAMADHAN 1434

serupa. Selain proses penurunan yang begitu akurat, al-

Quran juga turun dari Allah SWT kepada Nabi Muham-mad SAW melalui tahapan sebagai berikut: Pertama, penurunan al-Quran dari Allah SWT ke Lauh Mahfuzh. Tahapan ini didasarkan pada firman Allah SWT yang berbunyi: “Bahkan (yang didustakan itu) ialah al-Quran yang mulia, yang (tersimpan) dalam tempat yang terjaga (Lauh Mah-fuzh)”. Pada tahapan ini, tidak ada yang tahu bagaimana proses, mekanisme, dan waktu penurunannya selain Allah SWT, karena tidak ada satupun riwayat sahih yang bisa dijadikan patokan untuk menentukan mekanisme penurunan al-Quran dalam tahapan ini. Turunnya al-Quran pada tahapan ini berupa al-Quran secara kese-luruhan, dan bukan secara berangsur-angsur. Hikmah dari penurunan al-Quran ke Lauh Mahfuzh ini adalah sabagai salah satu bentuk penetapan adanya Lauh Mahfuzh itu sendiri, di mana ia adalah tempat menyimpan segala sesua-tu yang telah ditetapkan Allah SWT.

Kedua, penurunan dari Lauh Mahfuzh ke Bait al-Izza. Tahapan ini didasarkan pada firman Allah SWT yang terletak pada QS. al-Dukhan: 3, QS. al-Qadar : 1, dan QS. al-Baqarah: 185. Dari ketiga ayat tersebut dapat disimpul-kan bahwa tahapan penurunan ini berlangsung dalam satu malam, yaitu salah satu malam di bulan Ramadhan (QS. al-Baqarah) yang disifati sebagai malam penuh berkah (QS. al-Dukhan) dan malam kemuliaan (QS. al-Qadar). Para ulama tidak sependapat terkait mekanisme penurunan al-Quran dalam tahapan ini; mereka berselisih pada dua kelompok: Satu, kelompok yang berpendapat bahwa al-Quran diturunkan sekaligus (dari awal sampai akhir) ke Bait al-Izza dalam semalam, yaitu pada malam Lailatul Qadar. Dua, golongan yang berpandangan bahwa al-Quran diturunkan ke Bait al-Izza secara berangsur-angsur selama 20, 23 atau 25 kali Lailatul Qadar. Dalam setiap penurunan itu, al-Quran memuat jumlah ayat-ayat yang akan diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW selama setahun, hingga datang Lailatul Qadar setelahnya.

Dari kedua pendapat tersebut, pendapat pertama adalah pendapat yang diikuti oleh mayoritas ulama ber-dasarkan pada riwayat Ibnu Abbas RA. Meski jalur trans-misi riwayat Ibnu Abbas berstatus mauqûf, namun dalam hal-hal ghaibiyyât semacam ini, ulama Hadis sepakat menghukuminya sebagai Hadis Marfu‟.

Ketiga, tahapan penurunan dari Bait al-Izzah kepada Nabi Muhammad SAW. Tahapan ini dijelaskan oleh salah satu firman Allah SWT yang berbunyi: “Yang dibawa turun oleh al-Ruh al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar engkau termasuk orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas.” Tidak seperti dua tahapan sebelumnya, dalam tahapan ini al-Quran di-turunkan secara berangsur-angsur kepada Nabi Muham-mad SAW selama kurang lebih 23 tahun, diawali pada malam 17 Ramadhan tahun 41 kelahiran Nabi Muhammad SAW (6 Agustus 610 M), dan diakhiri pada tanggal 9 Dzulhijjah tahun 10 Hijrah (Maret 632 M). Di sinilah salah satu letak perbedaan antara al-Quran dengan kitab suci lainnya, seperti Taurat, Zabur dan Injil yang diturunkan

7 M A B H A T S

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I V I I , R A M A D H A N 1 4 3 4

sekaligus satu paket tanpa melalui tahapan dan angsuran. Dari penjelasan di atas, kita dapat menarik se-

buah kesimpulan bahwa al-Quran merupakan perkataan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW baik secara lafal maupun maknanya dengan perantara Malaikat Jibril, terjaga dalam Mushaf dan ditransmisikan secara mutawatir (recurrence) tanpa keraguan sedikitpun. Oleh karena itu, al-Quran yang ada saat ini, adalah al-Quran seperti apa yang ada di Lauhul Mahfuzh, yang diturunkan ke Bait al-Izzah, dan yang diturunkan kepada Nabi Mu-hammad SAW melalui Malaikat Jibril

Selain itu, penurunan al-Quran dengan cara berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW juga tidak lepas dari sebuah hikmah. Menurut Manna al-Qaththan, setidaknya ada empat hikmah yang bisa diambil dari proses penurunan al-Quran sedemikian rupa. Per-tama, turunnya al-Quran dengan cara bertahap mem-berikan pelajaran kepada Nabi Muhammad dan kaum Muslimin untuk sabar, hati-hati dalam menghadapi cobaan dan bertahap dalam memahami hukum Islam. Kedua, proses seperti ini mempermudah hafalan dan pemahaman, karena al-Quran turun di tengah-tengah umat yang ummi dan tidak pandai membaca dan menulis. Ketiga, turunnya ayat sesuai dengan peristiwa yang terjadi akan lebih berke-san di hati, karena segala persoalan dapat ditanyakan lang-sung kepada Nabi SAW. Keempat, ini adalah salah satu bukti kuat bahwa turunnya al-Quran dari sisi Allah SWT karena ketika terjadi pengingkaran terhadap al-Quran itu, maka Allah SWT mendatangkan jawaban yang serupa dengannya. Wallahu a‟lam.

Page 8: BULETIN IQRA’,EDISI VII, RAMADHAN 1434

Sambungan Memuliakan Nuzul al-Quran...

ayaan akan dimulainya wahyu dan pengu-tusan Muhammad sebagai nabi akhir za-man. Perayaan di sini adalah perayaan akan nikmat dan hidayah yang telah diberikan-Nya, nikmat terlepas dari kegelapan menuju cahaya serta kenikmatan akan diutusnya nabi SAW yang telah dipilih Allah SWT sebagai penunjuk jalan bagi umat manusia. Penafsiran seperti ini juga telah dijelaskan oleh Ibnu Katsir dengan per-kataannya mengenai ayat, (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al- Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). (QS. al-Baqarah: 185) Ayat tersebut merupakan pujian terhadap al-Quran yang diturunkan oleh Allah SWT sebagai petunjuk atas hamba-Nya yang percaya dan beriman kepadanya, serta menjadi penjelas yang nyata antara hak dan batil, halal dan ha-ram. Disebutkan juga dalam tafsir ini bahwa bulan Ramadhan tidak hanya men-jadi waktu yang dipilih oleh-Nya untuk menurunkan al-Quran, akan tetapi seluruh kitab suci agama samawi juga diturunkan di bulan ini. Syekh al-Sya‟rawi menjelaskan bahwa puasa sebagai salah satu bentuk latihan, juga menambahkan bahwa apa yang telah disyariatkan oleh-Nya merupa-kan bentuk peningkatan derajat manusia. Ia menyebutkan bahwa Allah SWT mem-berikan bulan Ramadhan derajat yang

lebih dari bulan-bulan lainnya, karena menjadi bulan diturunk-annya al-Quran y a n g a k a n menuntun manu-sia ke jalan yang benar. Puasa pada bulan ini mencegah manu-sia dari makanan, sehingga secara tidak langsung bulan Ramadhan menjadi waktu yang tepat untuk melatih tubuh dan hawa nafsu, maka apa yang d i s y a r i a t k a n

8 N A D H R A H

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I V I I , R A M A D H A N 1 4 3 4

berhubungan dengan pelatihan manusia menuju derajat yang lebih tinggi pada bulan diturunkannya al-Quran, Al-Sa‟di menegaskan dalam kitab taysir al-Karim al-Rahman fi tafsir kalam al-Manar bahwa pada bulan ini telah sampai pada umat manusia segala kebaikan dengan turunnya al-Quran, “Puasa yang diwajibkan Allah SWT kepada umat Islam adalah puasa di bulan Ramadhan, bulan agung yang telah sampai pada kita sesuatu yang besar dari-Nya, yaitu al-Quran al-Karim. Di dalamnya mengandung petunjuk untuk kepent-ingan manusia baik dari segi agama maupun dunia, serta menjelaskan yang hak dengan sejelas-jelasnya, juga pembeda antara yang hak dan batil, petunjuk dan kesesatan. Al-Quran telah merinci waktu turunnya di bulan Ramadhan, yaitu pada waktu lailatul qadar. Dalam al-Tahrir wa al-Tanwir, Ibnu Asyur menyebutkan bahwa keberkahan yang ada pada malam turunnya al-Quran adalah keberkahan yang telah ada sebelum datangnya waktu turunnya al-Quran, agar al-Quran di awal turunnya berada pada waktu barakah, sehingga bertambahlah kemuliaan dan keutamaannya. Adapun lailatul qadr, dalam pandangan Sayyid Quthb, merupakan sebuah malam yang menjadikan seseorang bersujud karena keagun-gannya. Ia berkata, “Jika kita menyinggung tentang apa yang dijelaskan dalam surat ini -yaitu surat al-Qadr- kita akan menemukan bahwa ia mencoba menerangkan tentang lailatul qadar, malam yang diharapkan oleh seluruh umat karena kemuliaan yang ada padanya, malam yang dirindukan. Malam yang padanya awal diturunkannya wahyu ke dalam hati Muhammad, yaitu sesuatu yang tak pernah sekalipun alam menerimanya, pada malam kemuli-aan yang manusia pun tidak pernah memba-yangkannya. Sedangkan Ibn Asyur mencoba mengaitkan antara bulan Ramadhan dan malam lailatul qadar dengan al-Quran. Dan akhirnya ia berkata, ”Maksud dari kemuliaan malam yang menjadi awal diturunkannya al-Quran adalah kemuliaan terakhir untuk al-Quran dengan kamuli-aan waktu munculnya. Sebagai peringatan bahwa Allah SWT memilih waktu mulai turunnya sebagai waktu yang penuh barakah, karena kemuliaan al-Quran maka Allah SWT memilih waktu dan tem-pat yang tepat untuknya. Sehingga pemilihan waktu yang utama untuk memulai turunnya wahyu merupakan kewenangan dari-Nya yang akhirnya dinamakan sebagai malam lailatul qadar. Berbeda dengan apa yang dicoba untuk dijelaskan, waktu turunnya al-Quran tetap dirahasiakan. Sehingga kemuliaan malam lailatul qadar benar-benar nyata.” Turunnya al-Quran pada malam lailatul

Page 9: BULETIN IQRA’,EDISI VII, RAMADHAN 1434

qadar bukan berarti turun kepada umat Islam dalam waktu satu mal-am sekaligus. Akan tetapi, ia berarti turun dari lauh mahfudz ke bait al-Izzah dan akhirnya turun secara bertahap kepada nabi Muhammad SAW, untuk melatih umat dan mempelajarinya dalam waktu-waktu tertentu selama dua puluh tiga tahun. Kewajiban-kewajiban yang dituntut oleh kemuliaan ini Turunnya al-Quran –atau mulai turunnya- merupakan peringatan yang akan berlangsung terus menerus dalam kehidupan manusia. Ia juga penuh dengan cahaya, ilmu dan hidayah dan men-jadikan umat Islam saksi akan kebesaran ciptaan-Nya. Sedangkan semua kemuliaaan dan keutamaan ini turun pada bulan Ramadhan, maka terdapat kewajiban dan kebutuhan-kebutuhan mengenai hal ini. Kewajiban pertama umat Islam yang berkaitan dengan hal ini adalah menghormati dan memuliakan hari-hari yang dimuliakan oleh-Nya. Ibni Asyur menyebutkan bahwa hal ini merupakan bagian dari pelati-han umat Islam untuk memuliakan hari-hari yang diutamakan oleh agama, dan hari-hari yang dilimpahkan nikmat oleh-Nya atau siksaan terhadap kaum-kaum terdahulu. Seperti hari-hari yang disyariatkan oleh Allah kepada Nabi Musa AS untuk diutamakan di sebagian dari hari-hari lainnya. “Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya): "Keluarkanlah

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I V I I , R A M A D H A N 1 4 3 4

kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah". Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi Setiap orang penyabar dan banyak bersyukur.” (QS. Ibrahim: 5) Dengan demikian, lailatul qadar diperingati sebagai malam turunnya al-Quran terus-menerus sesuai dengan apa yang telah disyariatkan pada umat terdahulu, seperti apa yang ada dalam ajaran Nabi Musa AS. Kewajiban lainnya adalah menyempurnakan bilangan puasa, karena Allah SWT telah mensyariatkan puasa kepada kita. Sehingga kewajiban kitalah untuk melakukannya dalam keadaan apapun, baik ketika sehat ataupun sakit atau dalam keadaan bepergian ataupun tidak. “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya.” (QS. al-Baqarah: 185) Kewajiban ketiga adalah mengagungkan-Nya serta bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah SWT, yaitu pemberian kitab suci serta syariat yang tidak diberikan kepada umat lain. “Dan hendaklah kamu menga-gungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. al-Baqarah: 185) Kewajiban keempat ialah beribadah kepada-Nya, dan doa adalah inti dari ibadah. Oleh karena itu, terdapat ayat mengenai doa di akhir ayat puasa, “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku.” Al-Sa‟di mencoba untuk menjelaskan arti dari doa dan dekat pada ayat ini. Doa dan dekat mempunyai dua makna, yaitu doa karena ibadah ataupun doa karena masalah, juga dekat karena ia mengetahui segala ciptaan-Nya ataupun dekat terhadap hamba-Nya, serta menjawab doanya dan mem-berikannya taufik ataupun hidayah. Orang-orang yang berdoa kepada Allah SWT dengan segenap hati, akan

berusaha untuk mendektakan diri kepada-Nya, dan mengerjakan apa yang telah disyariatkan serta tidak mengerjakan hal-hal yang dapat menghalangi-Nya untuk mengabulkan doanya seperti memakan makanan haram dan lain sebagainya. Dengan demikian, Allah SWT akan mengabulkan permintaannya.“Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. al-Baqarah: 185-186) Sedangkan dalam taysir al-Karin al-Rahman fi tafsir kalam al-Manan dijelaskan bahwa kebenaran yang sampai kepada orang-orang tersebut adalah hidayah yang datang karena keimanan dan amal saleh, sehingga mereka mengetahui manfaat yang datang dari keduanya, karena iman kepada Allah SWT dan mengerjakan perintah-Nya adalah sebab dari datangnya ilmu. “Hai orang-orang beriman, jika kamu bertaqwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqan.” (QS. al-Anfal: 29) Kewajiban terakhir adalah mengerjakan semua

perintah-Nya dan beriman kepada-Nya, yang akhirnya

memberikan petunjuk dan kemenangan di dunia dan di

akhirat seperti yang telah dijelaskan oleh al-Sa‟di.

Demikianlah hikmah di balik peristiwa nuzul al-Quran di

bulan Ramadhan ini. Hal ini seharusnya menjadikan kita

kembali kepada keyakinan, akhlak dan adab yang

sebenarnya, seperti yang telah disebutkan dalam al-Quran.

Sebagaimana keharusan kita untuk mengerjakan apa yang

diperintahkan-Nya serta menjadi pemimpin umat dan

saksi atas kebesaran ciptaan-Nya. Wallahu a‟lam.

9 N A D H R A H

Page 10: BULETIN IQRA’,EDISI VII, RAMADHAN 1434

1 0 U D H A M A

Pewaris Turats Islam

N ama lengkapnya adalah Abdurahman bin al-Kamal Abi Bakr bin Muhammad bin Sabiqudin bin al-Fakhr Utsman bin Nadzhiru-din Muhammad bin Saifudin Khudhar bin

Najmudin Abi al-Shalah Ayyub bin Nashirudin Muhammad bin syekh Himamudin al-Himam al-Khudhairy al-Suyuthi. Suyuthi lahir malam Ahad setelah Maghrib pada bulan Rajab tahun 849 H. Ia dijuluki „Ibnu Kitab‟ dan „Jalaludin,‟ serta memiliki nama panggilan „Abu Fadhil.‟ Ayahnya bernama Kamaludin Abu al-Manaqib Abu Bakar bin Nashirudin Muhammad bin Sabiqudin bin al-Fakhr Utsman bin Nadzhirudin Muhammad bin Saifudin Khudhar bin Najmudin Abi al-Shalah Ayyub bin Nashirudin Muham-mad syekh Himamudin al-Himam al-Khudhairy al-Suyuthi. Keluarga besar Suyuthi memiliki profesi yang berbeda-beda. Di antara mereka ada yang berprofesi sebagai pejabat, pedagang, dan lain sebagainya. Suyuthi sendiri tidak mengetahui satupun di antara mereka yang menyibukkan diri dengan aktifitas keilmuan, kecuali ayahnya. Ketika Ayahnya meninggal, Suyuthi berumur 5 tahun 7 bulan, dan telah hafal al-Quran sampai surat al-Tahrim. Setelah ayahnya meninggal, ia diasuh dan dididik oleh pa-mannya, Kamal bin al-Himam. Setelah mengkhatamkan al-Quran di usia delapan tahun,Suyuthi kemudian mulai menghafal Umdah al-Ahkâm, Minhaj al-Nawawi, Al-fiyah Ibnu Malik dan Minhaj Baidhawi. Ia pun banyak mendapat ijazah dari para Ulama di masanya. Suyuthi memulai mengajar pada tahun 866 H. Ketika itu pula Suyuthi mengarang buku pertamanya, "Syarhu al-Isti'adzâh wa al-Basmalah.” Karya pertaman-ya ini mendapatkan pujian dari gurunya, al-Bulqini. Bebera-pa tahun berikutnya, tepatnya pada 871 H, Suyuthi mulai berfatwa. Setahun setelahnya, ia mulai menulis ilmu-ilmu Hadis. Selama itu, sejak 866 H, tak kurang dari delapan karya telah ditulisnya. Kecintaan terhadap ilmu, membuat Suyuthi meninggalkan negerinya, dan mencari ilmu di beberapa negara, seperti Syam, Hijaz, Yaman, Hindi, Maroko dan Takrur. Saat melakukan ibadah haji dan minum air Zam-zam, ia berdoa agar bisa setara dengan Sirajudin al-Bulqiny dalam bidang Fikih dan Ibnu Hajar dalam bidang Hadis. Pada mulanya, di awal perjalanan mencari ilmu, Suyuthi menekuni ilmu Mantik. Namun setelah mendengarkan fatwa Ibnu Shalah yang mengharamkannya, ia mulai meningalkan ilmu Mantik dan beranjak menuju ilmu Hadis. Semangat menuntut ilmu yang begitu menggelora tersebut, tidak lain disebabkan wasiat Kamal Ibnu Himam kepadanya untuk mempelajari ilmu-ilmu syari-at. Wasiat ini sangat berpengaruh terhadap pribadi Suyuthi. Saking giat dan rajinnya dalam menuntut ilmu, penge-tahuannya melebihi orang-orang yang semasa dengannya. Ia pun banyak mengetahui dan menguasi berbagai macam ilmu. Suyuthi pernah berkata, "Alhamdulillah, saya telah diberikan rizki oleh Allah untuk menguasai tujuh ilmu: Tafsir, Hadis, Fikih, Nahwu, Ma'ani; Bayan; Badi' Arab

Bulaghâ." Suyuthi juga menguasai berbagai ilmu lain, seperti Usul F ik ih , Jada l , Sharaf, Insya', Faraidh, Qiraat, Kedokteran dan Matematika. S u y u t h i juga d ikena l sebagai sosok ulama yang be-rakhlak mulia. Ia pernah berkata d a l a m „Tadzkiratihi , ‟ "Sesungguhnya Allah SWT telah memberkahi dan menganugerahkan kepada saya akhlak karimah sejak saya beusia tujuh tahun." Suyuthi begitu mencintai kebaikan. Ia senantiasa menyeru kepada hal-hal yang baik, membenci perkara-perkara buruk dan menjauhi orang-orang yang mengajak pada kejahatan. Tidak hanya itu, Suyuthi juga tidak pernah menaruh dendam kepada orang-orang yang menghina dan meyakitinya. Kebaikan lain yang tampak dari pribadi Suyuthi adalah cintanya yang begitu besar terhadap orang-orang saleh. Ia sering menziarahi makam-makam mereka guna bertabaruk. Ia senantiasa berkum-pul dalam majelis-majelis shalihin dan ulama-ulama sufi. Ia juga dikenal dengan sikap zuhudnya, yang tidak pernah mengincar jabatan atau imbalan atas apa yang dikerjakannya, sedangkan waktu itu tidak sedikit pen-guasa yang menawarkan kemewahan padanya.

Suyuthi merupakan seorang ulama yang produktif. Ratusan karya yang diwariskannya kepada umat Islam membuktikan hal ini. Menurut al-Dawawidy, salah satu murid al-Suyuthi, gurunya mendapatkan ijazah (qiraatan wa sima'an) dari 51 syekh dan mempunyai seki-tar lima ratus karya. Ibnu Iyas menyebutkan dalam bukunya „Hawâdis Sanah 911 H‟ bahwa karya Suyuthi mencapai sekitar enam ratus buku. Sedangkan menurut buku „Dalil Makhtuthat al-Suyuthi wa Amakin Wujudiha, karya Ahmad al-Khazandar dan Muhammad Ibrahim al-Syaibani yang diterbitkan di Kuwait, me-nyebutkan karya Suyuthi sebanyak 981 judul.

Imam Suyuthi wafat setelah menghabiskan hidupnya dengan ilmu. Ia sakit selama tiga hari dan wafat malam Jum'at, 19 Jumadil Ula tahun 911 H. Keti-ka itu, ia berumur 61 tahun 10 bulan dan 18 hari. Ia disalatkan di Masjid Afrika di bawah benteng Shalahudin al-Ayubi, dan dimakamkan di timur pintu Qarafah. . Wallahu a‟lam.

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I V I I , R A M A D H A N 1 4 3 4

Imam Suyuthi: Pecinta Ilmu,

Saeful Luthfy

Page 11: BULETIN IQRA’,EDISI VII, RAMADHAN 1434

Ramadhan merupakan bulan yang sangat dirindukan oleh seluruh umat Islam. Kedatangannya selalu disambut dengan penuh rasa syukur, karena di bulan ini pintu-pintu surga dibuka lebar, pintu neraka ditutup rapat dan setan-setan dibelenggu.

Syekh Umar al-Deib dalam bukunya “Al-Shiyam, Fiqhan wa „Ibadatan” memaparkan dengan sangat jelas mengenai puasa di Bulan Ram-adhan serta amalan-amalan yang disunahkan di dalamnya.

Secara garis besar buku ini dibagi menjadi delapan bab. Kedelapan bab tersebut antara lain: Ramadhan di masa umat-umat terdahu-lu; puasa Rasulullah SAW dan ahlu al-bait; fatwa-fatwa mengenai puasa; zakat fitrah; puasa sunah dan makruh; dan beberapa bab lainnya.

Salah satu pembahasan yang cukup menarik untuk dikaji di anta-ra kedelapan bab tersebut adalah mengenai peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Islam yang terjadi di bulan Ramadhan. Pada tahun pertama Hijriyah, Nabi Muhammad SAW menikahi Ummul Mu‟minin, Sayyidah „Aisyah RA. Di tahun kedua Hijriyah, pada tanggal 20 Ramadhan terjadi Perang Badar yang merupakan perang pertama antara kaum Muslimin dan Musyrikin. Rasulullah sendiri yang memimpin pasukan Muslimin dalam perang ini. Dari sini, tam-paklah tanda-tanda pertolongan Allah atas kekasih-Nya dan keikhlasan kaum

Anshar dan Muhajirin dalam menegakkan agama Allah. Di tahun ini juga, puasa Rama-dhan diwajibkan kepada seluruh umat Muslim, yang mana perintah tersebut juga merupakan satu-satunya puasa wajib yang ada dalam al-Quran. Pada pertengahan tahun ketiga Hijri-yah, lahir cucu Rasulullah, Hasan bin Ali bin Abi Thalib.

Pada tanggal 10 Ramadhan tahun 8 Hijriyah, kota Makah yang berada dalam kekuasaan Quraisy berhasil ditaklukan Rasulullah bersama pasukannya. Saat itu, 360 berhala karya masyarakat Quraisy yang berada di sekitar Ka‟bah dihancurkan, dan Rasulullah berdakwah di hadapan warga Quraisy, mengajak mereka menyembah Allah dan menganjurkan untuk mencintai sesama. Pada tanggal 24 Ramadhan tahun 9 Hijriyah, datan-glah Wafdun Tsaqif ke hadapan Rasulullah SAW yang kemudian dibaiat untuk masuk Islam. Pada tanggal 3 Ramadhan tahun 11 Hijriyah, Fatimah al-Zahra, putri kesayangan Rasulullah, wafat.

Pada tahun 15 Hijriyah, terjadi perang Qadasiyah. Ketika itu, Allah mem-berikan kemenangan kepada kaum Muslim atas Persia. Dari peristiwa ini, cahaya Islam mulai berpendar di belahan bumi lain, setelah sekian lama hanya berkembang di kawasan Makah dan sekitarnya. Delapan belas tahun setelahnya, tahun 43 Hijriyah, „Amru bin „Ash, pemimpin Mesir dari Dinasti Mu‟awiyah, wafat. Disusul oleh „Aisyah RA yang dipanggil Allah pada tahun 58 Hijriyah. Aisyah dimaka-mkan di Baqi‟, Madinah.

Masih di bulan Ramadhan, pada tahun 64 Hijriyah, penduduk Makah mem-baiat Abdullah bin Zubair untuk menjadi khalifah, menyusul warga Bashrah, Irak, Hijaz, Yaman dan Syam yang telah mem-baiatnya terlebih dahulu. Pada tahun 73 Hijriyah, salah satu Sahabat yang memiliki andil besar dalam perjuangan Islam, Abdul-lah bin Umar bin Khattab, wafat. Terakhir, pada tahun 129 Hijriyah, Abu Muslim al-Khurasani, mulai menyebarkan Islam di Khurasan.

Demikianlah beberapa peristiwa bersejarah yang terjadi di bulan Ramadhan. Semua itu, tak lain untuk menunjukkan betapa Ramadhan adalah bulan yang sangat istimewa dan penuh berkah. Kemenangan-kemenangan yang diraih oleh umat Islam kala itu, semoga mampu menginspirasi generasi-generasi setelahnya untuk kembali menghidupkan Ramadhan, yang kini mulai diabaikan. Tidak hanya itu, prestasi-prestasi yang dicapai oleh umat Islam di bulan ini, semata-mata dihadirkan oleh Allah untuk menunjukkan kepada umat Islam setelahnya, betapa keber-hasilan tidak datang dengan sendirinya. Keberhasilan tersebut datang setelah diupayakan dan diperjuangkan. Apalagi di bulan Ramadhan, yang tentu saja terasa semakin berat, sebab menahan lapar, dahaga, dan juga amarah.

Dengan pembahasan yang sistematis, buku karya Umar al-

Dib ini sangat layak dibaca dan dijadikan pengantar dalam memahami

hakikat puasa serta Ramadhan. Selain itu, klasifikasi pembahasan serta

korelasi antar bab akan sangat memudahkan para pembaca untuk me-

mahaminya. Wallahu a‟lam.

Peristiwa Bersejarah di Bulan Penuh Berkah

Uswatun Hasanah

Data Buku: Judul: Al-Shiyam Fiqhan wa „Ibadatan Penulis: Syekh Umar al-Deib Penerbit: Dar al-Sa‟adah Tahun: 2007

1 1 M A R J A

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I V I I , R A M A D H A N 1 4 3 4

Page 12: BULETIN IQRA’,EDISI VII, RAMADHAN 1434

T ak terasa, Ramadhan telah berada di gerbang akhir. Ini artinya, semua makhluk Allah yang „menghidupkan‟ Ramadhan, berada dalam ja-minan bahwa mereka akan dibebaskan dari api

neraka. Rasulullah bersabda, “Bulan Ramadlan adalah bulan dengan rahmat di awalnya, ampunan pada pertengahannya, dan pembebasan dari api neraka sebagai akhirnya.”

Pada gerbang akhir tersebut, sebagian besar ulama meyakini bahwa Allah „menyelipkan‟ satu malam spesial, malam al-Qadr (Laila al-Qadr). Malam ini sangat istimewa, sebab pada malam itu al-Quran diturunkan dari Lauh Mahfudz ke Bait al-„Izza. Oleh sebab inilah, ibadah di dalamnya diberi pahala setara dengan ibadah selama seribu bulan. “Malam itu (laila al-Qadr) lebih baik daripada seribu bulan.” (QS. al-Qadr: 3)

Ayat pertama dari surat al-Qadr, dijadikan pedoman oleh ulama sebagai dalil utama peristiwa nuzul al-Quran. Kendati terdapat perbedaan tentang waktu pasti peristiwa ini, namun mayoritas ulama sepakat bahwa mal-am agung tersebut ada pada sepuluh malam terakhir, atau lebih jelasnya pada tanggal 27 Ramadhan.

Mengenai pendapat tentang tanggal dua puluh tujuh tersebut, berawal dari pemahaman sebagian ulama akan „isyarat‟ yang terdapat dalam surat al-Qadr. Menurut mereka, rangkaian kata dalam surat ini ada tiga puluh, dan ini sesuai dengan jumlah Ramadhan selama sebulan. Kemudian mereka meyakini bahwa dhamir „hiya‟ ada di urutan kedua puluh tujuh, sehingga mereka percaya bahwa laila al-Qadr jatuh pada tanggal 27 Ramadhan. Selain itu, kelompok yang meyakini tentang hal ini juga menyatakan bahwa huruf yang terdapat dalam kata „laila al-Qadr‟ ber-jumlah sembilan huruf. Kata tersebut diulang hingga tiga kali dalam surat al-Qadr, sehingga apabila kedua bilangan tersebut dikalikan, akan memberikan jumlah dua puluh tujuh sebagai hasil akhir. Sepintas, pendapat ini terlihat cukup logis. Namun, tidak semua ulama menerimanya. Mereka yang menolak pendapat tersebut, menyatakan bahwa laila al-Qadr ada pada malam-malam ganjil di sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, dan tidak mutlak pada tanggal 27, sekalipun ia termasuk dalam angka ganjil.

Pada intinya, terlepas dari benar ataupun tid-aknya kedua pendapat tersebut, semua umat Islam di-perintahkan untuk mempersiapkan diri menyambut ke-hadiran malam istimewa ini, tanpa mengecualikan tanggal-tanggal tertentu.

Makna Laila al-Qadr Beberapa ulama mengartikan kata laila al-Qadr

sebagai malam keagungan, karena pada malam itu al-Quran diturunkan. Selain keagungan, para ulama juga memaknai laila al-Qadr sebagai malam takdir, sebab pada malam ini Allah memutuskan segala sesuatu tentang kehidupan ham-ba-Nya, seperti rizki dan juga ajal. Dalam sebuah riwayat dari Ibnu Abbas dikisahkan bahw Allah telah menentukan

perkara-perkara tersebut ketika malam nishfu Sya‟ban. Hanya saja, keputusan tersebut baru diserahkan kepada malaikat ketika laila al-Qadr.

Suatu ketika, Husain Ibnu al-Fadhl ditanya, “Wahai Husain, bukankah Allah telah menentukan takdir manusia sejak zaman azali?” Husain menjawab, “Ya.” Kemudian ia ditanya kembali, “Lantas, bagaimanakah halnya dengan peristiwa laila al-Qadr?” Husain berkata, “Malam itu adalah malam penempatan takdir pada waktunya.”

Ketika ditanya tentang ciri-ciri laila al-Qadr, Rasulullah menjawab, “Malam itu adalah malam yang terang benderang. Tidak panas dan juga dingin. Tak berawan dan tidak pula berangin.” (HR. Muslim) Dalam Hadis lain yang diri-wayatkan oleh Ibnu Abbas, Rasulullah menjelaskan bahwa Allah mengampuni dosa-dosa hamba-Nya di malam ini, kecuali empat golongan manusia, pemabuk; anak yang durha-ka kepada orang tuanya; orang yang memutus silaturrahim; orang yang berbuat dzalim kepada sesama.

Demikianlah riwayat-riwayat tentang laila al-Qadr. Semua riwayat tersebut bersifat sangat umum, dan tidak memberikan batas pasti tentang waktu laila al-Qadr. Inilah mengapa, kaum Muslim dianjurkan untuk memper-siapkan diri menyambut kehadiran malam agung tersebut.

Adapun „penyambutan‟ malam ini, dibagi ulama ke dalam tiga tingkatan. Pertama, tingkatan atas. Seseorang yang termasuk ke dalam kategori ini, adalah mereka yang senantiasa melaksanakan ibadah pada setiap malam bulan Ramadhan, tanpa terlewat satu malam pun. Ibadah yang dilakukan tidak terbatas pada ibadah tertentu. Hanya saja, pada malam laila al-Qadr, seseorang dianjurkan untuk banyak memohon ampun kepada Allah, sebagaimana doa yang diajarkan Rasulullah kepada Aisyah tatkala menemui laila al-Qadr, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, maka ampunilah aku.”(HR. Tirmidzi)

Kedua, level tengah, yaitu mereka yang beribadah pada beberapa malam Ramadhan, dan absen di beberapa malam lainnya. Adapun level terakhir sekaligus level paling bawah diisi oleh mereka yang mendapati Isya‟ dan Shubuh berjamaah pada laila al-Qadr. Imam Syafi‟i berkata: “Barangsiapa yang melaksanakan salat Isya‟ dan Shubuh secara berjamaah pada malam laila al-Qadr, sungguh ia telah mendapatkan bagiannya. Hal ini senada dengan sabda Nabi, “Barangsiapa yang mendapati jamaah salat Isya dan Shubuh pada laila al-Qadr, maka ia telah mendapatkan bagian (pahala) yang cukup banyak.”

Pada hakikatnya, semua anjuran tersebut tidak lain berpangkal pada satu kata, takwa, sebab inti daripada ibadah seorang hamba adalah meningkatnya rasa takwa. Inilah mengapa, waktu tentang kehadiran malam agung tersebut tidak disebut secara rinci, agar seorang insan senan-tiasa bermunajat kepada Tuhannya, dan bukan sebaliknya, beribadah pada momen-momen istimewa saja. Wallahu a‟lam.

Menyambut Laila al-Qadr 1 2 S A L A M

Maulidatul Hifdhiyah Malik

B U L E T I N I Q R A ’ , E D I S I V I I , R A M A D H A N 1 4 3 4