investasi dalam persediaan barang
TRANSCRIPT
INVESTASI DALAM PERSEDIAAN BARANG
(INVENTORY)
A. Pengertian, Jenis-jenis dan Perputaran Persediaan (Inventory Turnover)
Inventory atau persediaan barang sebagai elemn utama dari modal
kerja merupakan aktiva yang selalu dalam keadaan berputar dimana secara
terus menerus mengalami perubahan. Masalah investasi dalam inventory
merupakan masalah pembelanjaan aktif, seperti halnya investasi dalam
aktiva-aktiva lainnya. Masalah penentuan besarnya investasi atau alokasi
modal dalam inventory mempunyai efek yang langsung terhadap keuntungan
perusahaan. Kesalahan dalam penetapan besarnya investasi dalam inventory
akan menekan keuntungan perusahaan.
Adanya investasi dalam inventory yang terlalu besar dibandingkan
dengan kebutuhan akan memperbesar beban bunga, memperbesar biaya
penyimpanan dan pemeliharaan di gudang, memperbesar kemungkinan
kerugian karena kerusakan turunnya kualitas, keusangan, sehingga semuanya
ini akan memperkecil keuntungan perusahaan.
Demikian pula sebaliknya, adanya investasu yang terlalu kecil dalam
inventory akan mempunyai efek yang menekan keuntungan juga, karena
kekurangan material, perusahaan tidak dapat bekerja dengan luas produksi
yang optimal. Oleh karena perusahaan tidak bekerja dengan full capacity,
berarti bahwa “capital assets” dan “direct labor” tidak hanya didayagunakan
dengan sepenuhnya, sehingga hal ini akan mempertinggi biaya produksi rata-
ratanya, yang pada akhirnya akan menekan keuntungan yang diperoleh.
Dalam perusahaan perdagangan pada dasarnya hanya ada satu
golongan mentory, yang mempunyai sifat perputaran yang sama yaitu yang
disebut merchandise inventory” (Persediaan barang dagangan). Inventory ini
merupakan persediaan barang yang selalu dalam perputaran yang selalu dibeli
dan dijual yang tidak mengalami proses lebih lanjut di dalam perusahaan
tersebut yang mengakibatkan perubahan bentuk dari barang yang
bersangkutan.
Tingkat perputaran barang perniagaan (Merchandise Turnover)
Dalam suatu periode tertentu dapat diketahui dengan cara sebagai berikut :
Net Sales Merchandise Turnover =
Average Merchandise Inventory at Sales Price
Cost of Goods Sold Atau =
Average Merchandise Inventory at Cost
Average Merchandise Merchandise Inventory Permulaan Tahun : Akhir TahunInventory =
2
Dengan mengetahui “turnover” nya dapat ditentukan pula “hari rata-
rata penjualannya” atau ”hari rata-rata barang simpanan di gudang”, yaitu
dengan membagi hari dalam satu tahun dengan persediaan rata-rata.
Untuk perhitungan yang teliti sering digunakan perhitungan 1 tahun =
365 hari. Tetapi banyak juga yang hanya memperhitungkan hari kerjanya, dan
ditentukan 1 tahun = 300 hari kerja. Untuk pembicaraan selanjutnya di sini
akan digunakan perhitungan 1 tahun 360 hari.
Dalam perusahaan produksi (pabrik) pada umumnya diadakan
penggolongan dalam 3 golongan inventory utama yaitu :
1) Persediaan bahan mentah (raw material inventory)
2) Persediaan barang dalam proses/barang setengah jadi (work in
process/goods in process inventory)
3) Persediaan barang jadi (finished goods inventory)
Masing-masing golongan inventory tersebut dapat dihitung turnovernya
dengan rumusan sebagai berikut :
Cost raw material used 1) Raw material turnover =
Average raw material inventory
Cost of material used (biaya bahan mentah yang dimasukkan dalam
proses produksi/digunakan) dapat diketahui dengan cara sebagai berikut :
“Persediaan bahan mentah permulaan tahun ditambah dengan
jumlah bahan mentah yang dibeli selama setahun setelah dikurangi
dengan “return & allowance” kemudian dikurangi dengan
persediaan bahan mnetah akhir tahun”
2) Goods in process/Work in process turnover
Cost of goods manufactured
Average work in process inventory
Cost of goods manufavtured dapat diketahui dengan cara sebagai berikut :
”Persediaan work in process (W.I.P) pada permulaan tahun
ditambah dengan “cost of raw materials used”, “direct labor”, dan
“manufacturing overhead”, kemudian dikurangi dengan persediaan
W.I.P akhir tahun”.
Cost of goods sold 3) Finished goods turnover =
Average finished goods inventory
Cost of goods sold (dalam manufacturing companies) dapat diketahui
dengan cara sebagai berikut :
“Persediaan finished goods pada permulaan tahun ditambah
dengan cost of goods manufactured, kemudian dikurangi dengan
persediaan finished goods pada akhir tahun”.
Disamping keuntungan tersebut masih ada pula keuntungan lainnya
antara lain dalam bentuk makin kecilnya biaya-biaya penyimpanan di gudang,
makin kecilnya kemungkinan kerugian karena kerusakan keusangan turunnya
harga dan makin kecilnya biaya asuransi.
B. Persediaan Bahan Mentah (Raw Material Inventory) dan Persediaan
Barang Jadi (Finished Goods Inventory)
Untuk melangsungkan usahanya dengan lancer maka kebanyakan
perusahaan merasakan perlunya mempunyai persediaan bahan mentah. Besar
kecilnya persediaan bahan menah yang dimiliki oleh perusahaan ditentukan
oleh berbagai factor, antara lain :
1. Volume yang dibutuhkan untuk melindungi jalannya perusahaan terhadap
gangguan kehabisan persediaan yang akan menghambat atau mengganggu
jalannya proses produksi
2. Volume produksi yang direncanakan di mana volume produksi yang
direncanakan itu sendiri sangat tergantung kepada volume sales yang
direncanakan
3. Besarnya pembelian bahan mentah setiap kali pembelian untuk
mendapatkan biaya pembelian yang minimal
4. Estimasi tentang fluktuasi harga bahan mentah yang bersangkutan di
waktu-waktu yang akan dating
5. Peraturan-peraturan pemerintah yang menyangkut persediaan material
6. Harga pembelian bahan mentah
7. Biaya penyimpanan dan risiko penyimpanan di gudang
8. Tingkat kecepatan material menjadinya rusak atau turun kualitasnya
Dalam pada itu banyak perusahaan merasakan perlunya untuk
mempunyai ”persediaan minimal” dari bahan mentah yang harus
dipertahankan untuk menjamin koninuitas usahanya dan persediaan tersebut
ialah apa yang disebut persediaan besi/persediaan inti/persediaan minimal
bahan mentah (safety stock). Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
besar-kecilnya safety stock suatu perusahaan adalah sebagai berikut :
1) Risiko Kehabisan Persediaan
Besar kecilnya risiko kehabisan persediaan tergantung kepada :
a. Kehabisan para leveransir menyerahkan barangnya kepada kita,
apakah mereka bisa menyerahkan barangnya sesuai dengaan skedul
yang telah kita tentukan atau tidak. Apabila mereka biasa
menyerahkan barangnya sesuai dengan skedul yang telah ditentukan
sebelumnya, berarti risiko kehabisan persediaan adalah kecil, yang ini
berarti bahwa kita tidak perlu mempunyai safety stock yang besar.
Sebaliknya apabila leveransir sering tidak menetapi janjinya, berarti
risiko kehabisan persediaan adalah besar, maka dirasakan perlunya
untuk mempunyai safety stock yang besar.
b. Besar kecilnya jumlah bahan mentah yang dibeli setiap saat. Kalah
jumlah bahan mentah yang dibeli setiap saat besar berarti bahwa
persediaan rata-rata di atas safety stock selama suatu priode tertentu
adalah besar, maka risiko kehabisan persediaan adalah kecil, sehingga
kita tidak perlu mempertahankan safety stock yang besar.
c. Dapat diduga atau tidaknya dengan tepat kebutuhan bahan mentah,
untuk produksi. Apabila untuk menghasilkan barang jadi tertentu
dapat ditentukan dengan mudah besarnya kebutuhan bahan mentahnya
dengan tepat. Maka risiko kehabisan persediaan adalah kecil. Tetapi
apabila besarnya bahan mentah tidak mudah ditetapkan atau selalu
berubah-ubah untuk menghasilkan sejumlah tertentu barang jadi
(bahan mentah yang tidak dengan standar), maka risiko kehabisan
persediaan di sini adalah besar, sehingga perlulah kita mempunyai
safety stock yang besar.
2) Hubungan antara biaya penyimpanan di gudang di satu pihak dengan
biaya-biaya ekstra yang harus dikeluarkan sebagai akibat dari
kehabisan persediaan di lain pihak
Yang merupakan biaya ekstra yang harus dikeluarkan apabila
kehabisan persediaan antara laina dalah pesanan pembelian darurat, biaya
ekstra yang diperlukan kita, kemungkinan kerugian karena adanya
stagnasi produksi dan lain-lain.
Apabila ternyata biaya-biaya ekstra yang harus dikeluarkan karena
kehabisan persediaan lebih mahal daripada biaya penyimpanannya, maka
perlu adanya safety stock yang sebaik-baiknya ialah pada tingkat di mana
tambahan biaya penyimpanan adalah sama besarnya dengan biaya ekstra
karena kehabisan persediaan.
Perusahaan di samping mempertahankan persediaan minimal
bahan mentah, bagi perusahaan tertentu juga perlu mempertahankan
adanya persediaan minimal barang jadi untuk menghadapi pesanan-
pesanan ekstra di atas pesanan normal. Besarnya persediaan minimal atau
safety stock barang jadi ini tidak sama esensinya bagi setiap perusahaan.
Seperti halnya pada uraian tentang persediaan minimal bahan mentah
maka disini pun kita harus memperhatikan berbagai faktor yang
mempengaruhi besar kecilnya persediaan minimal barang jadi yang harus
dipertahankan oleh suatu perusahaan. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi besar kecilnya persediaan minimal barang jadi terutama
adalah sebagai berikut :
1. Sifat penyesuaian skedul produksi dengan pesanan ekstra
Adakalanya suatu perusahaan sering mendapatkan pesanan
ekstra di atas volume pesanan normal. Selama perusahaan tersebut
dapat dengan mudah menyesuaikan skedul produksinya dengan
pesanan-pesanan eksra tersebut tanpa mengakibatkan adanya
tambahan biaya ekstra, maka perusahaan ini tidak begitu
memerlukan adanya persediaan yang besar. Sebaliknya apabila
perusahaan tersebut tidak dapat segera menyesuaikan skedul
produksinya dengan pesanan ekstra. Maka dirasakan perlu baginya
untuk mempertahankan persediaan barang jadi yang relatif besar
dibandingkan dengan perusahaan lain yang dapat dengan mudah
menyesuikan skedul produksinya.
2. Sifat Persaingan Industri
Apabila suatu perusahaan termasuk dalam industri dimana
penyerahan pesanan yang dapat merupakan bentuk persaingan
umumnya, maka bagi jenis perusahaan ini perlu mempertahankan
adanya persediaan barang jadi yang relatif lebih besar dalam
hubungannya dengan salesnya dibandingkan dengan perusahaan lain
dimana bentuk persaingan utamanya terletak pada harga atau
kualitas.
3. Hubungan antara biaya penyimpanan di gudang (Carrying Cost)
dengan biaya karena kehabisan persediaan (Stockout Cost)
Biaya karena kehabisan persediaan atau stockout cost
mungkin dalam bentuknya biaya ekstra produksi. Kehilangan
kesempatan mendapatkan keuntungan karena tidak dapat memenuhi
pesanan. Apabila inventory carrying cost_nya lebih kecil daripada
stockout costnya perusahaan dapat mempertahankan persediaan
barang jadi yang lebih besar. Jumlah invenstasi dalam persediaan
minimal barang jadi yang sebaiknya ialah pada tingkat dimana
tambahan carrying cost sama besar dengan tambahan stockout cost.
C. Hubungan skedul aliran kas dengan skedul penerimaan bahan mentah
dan pengiriman barang jadi.
Bagaimana aliran kas dengan kedatangan bahan mentah dan
pengiriman barang jadi. Apabila pembelian bahan mentah dilakukan dengan
tunai maka saat masuknya bahan mentah secara fisik ke dalam perusahaan
adalah bersamaan dengan saat aliran kas keluar. Demikian pula apabila
penjualan barang jadi dilakukan dengan tunai maka saat keluarnya barang
jadi dari gudang adalah bersamaan dengan saat aliran kas masuk.
Tetapi apabila pembelian bahan mentah maupun penjualan barang jadi
dilakukan dengan kredit maka saat masuk ke atau keluar barang secara fisik
tidaklah bersamaan dengan saat aliran kas keluar atau aliran kas masuk.
Dalam hubungan ini financial officer lebih berkepentingan pada saat
terjadinya aliran uang keluar atau aliran uang masuk daripada saat masuk atau
keluarnya barang secara fisik. Dalam pembelian secara kredit, saat aliran kas
keluarnya (cash out-flow) adalah lebih kemudian daripada saat datangnya
barang secara fisik. Estimasi aliran kas keluar yang terjadi karena pembelian
bahan mentah secara kredit dapat disusun dalam skedul pembayaran utang
atau ”schedule of future payments”.
Misalnya suatu perusahaan pada permulaan tahun mempunyai saldo
utang karena pembelian kredit pada bulan Desember tahun sebelumnya yang
harus dibayar dalam bulan Januari sebesar Rp. 5.000.000,- Pembelian bahan
mentah didasarkan pada syarat pembayaran dalam waktu 30 hari setelah
barang diterima. Direncanakan setiap bulannya akan dibeli bahan mentah
dengan kredit sebagai berikut : Januari Rp. 4.000.000, Februari Rp.
6.000.000, Maret Rp. 8.000.000, April Rp. 7.000.000, Mei Rp. 8.000.000,
Juni Rp. 3.000.000,-.
D. Biaya inventory, economical order quantity dan reorder piont
1. Biaya Inventory
Biaya inventory sebagian merupakan biaya variable an sebagian
lainnya merupakan biaya tetap. Biaya inventory yang bersifat variable
adalah biaya yang berubah-ubah karena adanya perubahan jumlah
inventory yang ada didalam gudang. Biaya tersebut akan naik kalau kita
mneingkatkan jumlah persediaan yang disimpan. Adapun jenis biata ini
antara lain dalam bentuknya biaya modal yang ditanamkan dalam
persediaan tersebut, biaya asuransi persediaan, biaya atau upah buruh
yang mengurusi penerimaan barang. Adapun biaya inventory yang
bersifat tetap adalah elemen-elemen biaya inventory yang relative tetap
jumlah totalitasnya dalam jangka pendek dengan tidak memandang
adanya variasi yang normal dan jumlah persediaan yang disimpan,
misalnya depreasiasi/penyusutan ruangan yang digunakan biaya
pemeliharaan gudang, pajak, pemanasa, buruh penjaga gudang. Dengan
demikian maka biaya inventory merupakan pencampuran dari biaya
variable dan biaya tetap.
Untuk tujuan perencanaan penentuan besarnya inventory yang
akan dipertahankan oleh perusahaan kita hanya memperhatikan yang
variabel saja dari biaya-biaya inventory tersebut yang secara langsung
akan terpengaruh oleh rencana tersebut.
2. Economical Order Quantity
Economical order quantity (EOQ) adalah jumlah kuanitas barang
yang dapat diperoleh dengan biaya yang minimal, atau sering dikatakan
sebagai jumlah pembelian yang optimal. Dalam menentukan besarnya
jumlah pembelian yang optimal ini kita hanya memperhatikan biaya
variabel dari penyediaan persediaan tersebut, baik biaya variabel yang
sifat perubahannya searah dengan perubahan jumlah persediaan yang
dibeli/disimpan maupun biaya variabel yang sifat perubahannya
berlawanan dengan perubahan jumlah inventory tersebut. Biaya variabel
dari inventory pada prinsipnya dapat digolongkan dalam :
1. Biaya-biaya yang berubah-ubah sesuai dengan
frekuensi pesanan, yang kini sering dinamakan ”procurrement cost”
atau ”set-up cost”
2. Biaya-biaya yang berubah-ubah sesuai dengan
besarnya ”average inventory” yang ini sering disebu ”Storage” atau
”carrying cost”.
”Procurement” atau ”Set-up Cost”.
Procurement cost adalah biaya-biaya yang berubah-ubah sesuai dengan
“frekuensi pesanan” yang ini terdiri dari :
1. Biaya selama proses persiapan
a. Persiapan-persiapan yang diperlukan untuk pesanan
b. Penentuan besarnya kuantitas yang akan dipesan
2. Biaya pengiriman pesanan
3. Biaya penerimaan barang yang dipesan
a. Pembongkaran dan pemasukan ke gudang
b. Pemeriksaan material yang diterima
c. Mempersiapkan laporan penerimaan
d. Mencatat kedalam ”material record cards”.
4. Biaya-biaya processing pembayaran
a. Auditing dan pembandingan antara laporan penerimaan dengan
pesanan yang asli
b. Persiapan pembuatan chque untuk pembayaran
c. Pengiriman cheque dan kemudian auditingnya
”set-up Cost” akan makin besar apabila ”order quantity” makin kecil.
“Storage” atau “Carrying Cost”
Carrying cost adalah biaya yang berubah-ubah sesuai dengan
besarnya inventory. Penentuan besarnya carrying cost didasarkan pada
“average inventory” dan biaya ini dinyatakan dalam persentase dari nilai
dalam upah dari average inventory. Biaya-biaya yang termasuk dalam
carrying cost adalah :
1. Biaya penggunaan/sewa ruangan gudang
2. Biaya pemeliharaan material dan allowances untuk kemungkinan
rusak
3. Biaya untuk menghitung/menimbang barang yang dibeli
4. Biaya asuransi
5. Biaya absolescence
6. Biaya modal
7. Pajak dari persediaan yanga ada dalam gudang
”carrying cost” akan makin kecil apabila jumlah material yang dipesan
makin kecil.
Cara untuk menentukan besarnya EOQ
Besarnya EOQ dapat ditentukan dengan berbagai cara, dan antara lain
yang banyak digunakan ialah dengan penggunaan rumus sebagai berikut :
2 X R X SEOQ =
P X 1
R = Jumlah (dalam unit) yang dibutuhkan selama satu periode tertentu,
misalnya 1 tahun
S = biaya pesanan setiap kali pesan
P = Harga pembelian per unit yang dibayar
I = Biaya penyimpanan dan pemeliharaan di gudang dinyatakan dalam
persentase dari nilai rata-rata dalam rupiah dari persediaan.
Dalam hal ini kita harus menyadari bahwa pembelian berdasarkan
EOQ hanya dibenarkan kalau syarat-syarat dipenuhi. Adapun syarat
utamanya adalah :
1) Harga pembelian bahan per unitnya konstan
2) Setiap saat kita membutuhkan bahan mentah selalu tersedia di pasar
dan
3) Jumlah produksi yang menggunakan bahan mentah tersebut stabil
yang ini berarti kebutuhan bahan mentah tersebut relatif stabil
sepanjang tahun
Kitapun dapat menetapkan EOQ berdasarkan besarnya biaya
penyimpanan per unit, yaitu dengan menggunakan rumus :
2 X R X SEOQ =
C
Dimana C adalah besarnya biaya penyimpanan per unit.
Contoh :
Jumlah material yang dibutuhkan selama setahun = 1.600 unit
Biaya pesanan sebesar Rp. 100,00 setiap kali pesanan
Biaya penyimpanan per unit = Rp. 0,50
2 X 1.600 X 100
0,50 = 640.000 = 800 unit
3. Reorder Point
Untuk melengkapi uraian mengenai ”safety stock” dan
”economical order quantity” perlulah diuraikan sedikit mengenai
”recorder point” ialah saat atau titik dimana harus diadakan pesanan lagi
sedemikian rupa sehingga kedatangan atau penerimaan material yang
dipesan itu adalah tepat pada waktu dimana persediaan di atas safety
stock sama dengan nol. Dengan demikian diharapkan datangnya material
yang dipesan itu tidak akan melewati waktu sehingga akan melanggar
safety stock. Apabila pesanan dilakukan sesudah melewati ”recorder
point” tersebut, maka material yang dipesan akan diterima setelah
perusahaan terpaksa mengambil material dari safety stock. Dalam
penentuan/penetapan ”recorder point” haruslah kita memperhatikan
faktor-faktor sebagai berikut:
1. Penggunaan material selama tenggang waktu
mendapatkan barang (procurement leadtime)
2. besarnya ’safety stock’
Dimaksudkan dengan pengertian ”procurement lead time” adalah
waktu dimana meliputi saat mulainya pelaksanaan usaha-usaha yang
diperlukan untuk memesan barang sampai barang/material tersebut
diterima dan ditempatkan dalam gudang perusahaan.
Cara menetapkan ”Recorder Point”
Recorder point dapat ditetapkan denan berbagai cara, antara lain
dengan :
a. Menetapkan jumlah penggunaan selama ”lead time” dan ditambah
dengan persentase tertentu. Misalnya ditetapkan bahwa safety stock
sebesar 50% dari penggunaan selama ”leat time”nya adalah 5 minggu,
sedangkan kebutuhan material setiap minggunya adalah 40 unit.
Recorder point = (5 x 40) + 50% (5 x 40)
= 200 + 100
= 300 unit
b. Dengan menetapkan penggunaan selama ”lead time” dan ditambah
dengan penggunaan selama periode tertentu sebagai safety stock,
misalkan kebutuhan selama 4 minggu.
Recorder point = (5 x 40) + 50% (4 x 40)
= 200 + 160
= 360 unit
Dari contoh yang terakhir ini dapatlah dikatakan bahwa ”recorder
point” nya adalah pada jumlah 360 unit, yang ini berarti pesanan harus
dilakukan pada waktu jumlah persediaan tinggal 360 menit. Apabila
pesanan, baru dilakukan sesudah persediaan tinggal 300 unit, maka ini
berarti bahwa pada saat barang yang dipesan datang perusahaan terpaksa
sudah mengambil material dari safety stock sebesar 60 unit. Pada waktu
barang yang dipesan datang persediaan dalam gudang tinggal 100 unit
(yaitu 300-200), padahal safety stock telah ditetapkan sebesar 160 unit.
Dengan demikian safety stock di sini sudah terlanggar. Apabila
pesanan dilakukan pada waktu persediaan sebesar 360 unit, maka pada
waktu barang yang dipesan datang persediaan di dalam gudang masih 160
unit (yaitu 360-200) persis sama besarnya dengan besarnya safety stock
yang ini berarti bahwa safety stock tidak terlanggar. Hubungan antara
”recorder point”, ”safety stock” dan ”economical order wuantity” dari
contoh tersebut diatas dapatlah digambarkan sebagai berikut :
Gambar
Hubungan antara recorder point, salery stock dan economical order
quantity
Recorder Point
Jumlah stock pada waktu material yang dipesan datang
5 Minggu (procurement lead time)
Safety Stock
Waktu
360
200
60
Penggunaan selama procurement lead time
Persediaan (dalam menit)
0