inventory of damage to coastal and marine ecosystems in

9
OPEN ACCESS Artikel Penelitian 1. Pendahuluan Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai jumlah pulau sangat banyak. Data SLHI 2013 yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup, jumlah Pulau di Indonesia adalah 13.466 pulau dengan garis pantai sepanjang 80.791 km. Indonesia memiliki peluang sekaligus tantangan yang besar dalam mengembangkan dan mengelola potensi sumberdaya pesisir dan laut. Wilayah pesisir dan laut Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat besar serta menyediakan jasa-jasa lingkungan yang beragam, seperti minyak dan gas, mineral, perikanan, ekosistem terumbu karang dan mangrove, maupun pariwisata. Sayangnya, sumberdaya di wilayah pesisir dan laut Indonesia pada masa lampau belum mendapat perhatian serius sebagaimana halnya pembangunan di wilayah daratan. Beberapa kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan telah terjadi serta pencurian terhadap sumberdaya laut oleh pihak asing yang tidak terkendali (Pramudyanto, 2014). Propinsi di Indonesia yang mungkin telah mengalami penurunan kualitas lingkungan perairan akibat aktivitas pembangunan di wilayah pesisir adalah Kepulauan Riau. Kepulauan Riau merupakan sebuah daerah yang sebagian besar berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta memiliki potensi keanekaragaman sumberdaya hayati yang sangat besar. Wilayah Kepulauan Riau terletak pada jalur lalu lintas transportasi laut yang strategis dan sebagian besar luas wilayahnya berupa lautan dengan 1.350 pulau besar dan kecil. Kondisi geografis tersebut sangat potensial untuk tumbuh kembangnya terumbu karang, lamun dan berbagai jenis spesies laut lainnya. Dengan kekayaan sumber daya kelautan tersebut Kepulauan Riau berpotensi untuk menjadi gerbang wisata dari mancanegara. Perkembangan pembangunan yang pesat di Kepulauan Riau terutama di Pulau Batam dan Bintan menjadi daerah industri, perdagangan dan pariwisata akan mempengaruhi kondisi perairan dan ekosistem di dalamnya. Penurunan kualitas perairan yang terjadi akan berakibat pada perubahan kondisi

Upload: others

Post on 28-Apr-2022

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Inventory of damage to coastal and marine ecosystems in

OPEN ACCESS

Artikel Penelitian

1. Pendahuluan

Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai jumlah pulau sangat banyak. Data SLHI 2013 yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup, jumlah Pulau di Indonesia adalah 13.466 pulau dengan garis pantai sepanjang 80.791 km. Indonesia memiliki peluang sekaligus tantangan yang besar dalam mengembangkan dan mengelola potensi sumberdaya pesisir dan laut. Wilayah pesisir dan laut Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat besar serta menyediakan jasa-jasa lingkungan yang beragam, seperti minyak dan gas, mineral, perikanan, ekosistem terumbu karang dan mangrove, maupun pariwisata. Sayangnya, sumberdaya di wilayah pesisir dan laut Indonesia pada masa lampau belum mendapat perhatian serius sebagaimana halnya pembangunan di wilayah daratan. Beberapa kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan telah terjadi serta pencurian terhadap sumberdaya laut oleh pihak asing yang tidak terkendali (Pramudyanto, 2014).

Propinsi di Indonesia yang mungkin telah mengalami penurunan kualitas lingkungan perairan akibat aktivitas pembangunan di wilayah pesisir adalah Kepulauan Riau. Kepulauan Riau merupakan sebuah daerah yang sebagian besar berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil serta memiliki potensi keanekaragaman sumberdaya hayati yang sangat besar. Wilayah Kepulauan Riau terletak pada jalur lalu lintas transportasi laut yang strategis dan sebagian besar luas wilayahnya berupa lautan dengan 1.350 pulau besar dan kecil.

Kondisi geografis tersebut sangat potensial untuk tumbuh kembangnya terumbu karang, lamun dan berbagai jenis spesies laut lainnya. Dengan kekayaan sumber daya kelautan tersebut Kepulauan Riau berpotensi untuk menjadi gerbang wisata dari mancanegara. Perkembangan pembangunan yang pesat di Kepulauan Riau terutama di Pulau Batam dan Bintan menjadi daerah industri, perdagangan dan pariwisata akan mempengaruhi kondisi perairan dan ekosistem di dalamnya. Penurunan kualitas perairan yang terjadi akan berakibat pada perubahan kondisi

‘ ’

‘’

Page 2: Inventory of damage to coastal and marine ecosystems in

Mosriula, M. Inventarisasi kerusakan ekosistem terumbu karang

32 https://www.sangia.org/

tutupan karang hidup, padang lamun, mangrove maupun berkurangnya tingkat keanekaragaman hayati biota penting yang terdapat di kawasan tersebut.

Hal yang dilakukan untuk memperoleh informasi kedua kabupaten yang dimaksud yaitu dilakukannya penilitian untuk mengetahui kerusakan ekosistem pesisir dan laut di Kabupaten Bintan dan Kota Batam, dimana indikator penelitian diharapkan tersedianya basis data kerusakan ekosistem pesisir dan laut di 2 (dua) lokasi tersebut yang ditujukan akan memberikan peningkatan terhadap kualitas ekosistem pesisir dan laut.

Inventarisasi kerusakan ekosistem pesisir dan laut Kepulauan Riau di Kabupaten Bintan dan Kota Batam dimaksudkan untuk memperoleh gambaran status dan kodisi kerusakan ekosistem pesisir laut, terutama padang lamun dan terumbu karang di 2 (dua) lokasi tersebut, sedangkan tujuannya adalah mendapatkan data status dan kondisi kerusakan ekosistem pesisir laut di Kabupaten Bintan dan Kota Batam. 2. Bahan dan Metode

2.1. Waktu dan Tempat

Penelitian telah dilakukan pada bulan Juni sampai Agustus 2019 di 2 daerah yaitu Kab. Bintan (Pantai Berakit) dan Kota Batam (Pulau Pasir) (Gambar 1).

Gambar 1. Peta lokasi penelitian Desa Berakit Kab. Bintan dan Pulau Pasir Kota Batam Kepulauan Riau. 2.2. Alat dan Bahan

Peralatan selam SCUBA, GPS(Global Positioning System), Kamera Underwater, Roll Meter, Frame ukuran 58x44 cm, Transek Kuadran ukuran 50x50 cm2, Speed Boat. Thermometer, Layangan arus, Hand-refractometer, Secchy disk, Sabak, Harddisk eksternal.

2.3. Metode pengumpulan data

Metode yang digunakan untuk pengambilan data dilapangan adalah dengan cara observasi, wawancara, serta studi pustaka.

2.4. Teknik pengamatan dan pengambilan data 2.4.1. Ekosistem padang lamun

Metode pengukuran yang digunakan untuk mengetahui status padang lamun adalah metode transek dan petak contoh (kuadrat). Metode transek dan petak contoh adalah metode pencuplikan contoh populasi suatu komunitas dengan pendekatan petak contoh yang berada pada garis yang ditarik melewati wulayah eksositem tersebut.

Teknis pelaksanaan pengambilan data kondisi dan status padang lamun adalah sebagai berikut: a. Pengamatan dilakukan pada tiga transek dengan

panjang masing-masing 50 m dan jarak antara satu transek dengan yang lain adalah 25 m sehingga total luasannya 75 x 75 m2. Frame kuadrat diletakkan di sisi kanan transek dengan jarak antara kuadrat satu dengan yang lainnya adalah 10 m sehingga total kuadrat pada setiap transek adalah 11.

Gambar 2. Skema transek kuadrat di padang lamun saat pengambilan data. b. Menentukan nilai persentase tutupan lamun pada

setiap kotak kecil dalam frame kuadrat. Pada setiap kotak kecil, komposisi jenis lamun dicatat dan diamati dengan bantuan “panduan identifikasi lamun” dan nilai penutupan setiap jenis lamun. Setelah itu mengamati dan dicatat karakteristik substrat. Karakteristik substrat terdiri dari lumpur, pasir, dan Rubble (pecahan karang).

Gambar 3. Nomor kotak pada kuadrat 50 x 50 cm2. Tabel 1. Penilaian penutupan lamun dalam kotak kecil peyusun kuadrat 50 x 50 cm2.

Kategori Nilai Penutupan Jenis Lamun Tutupan penuh 100

Tutupan ¾ kotak kecil 75 Tutupan ½ kotak kecil 50 Tutupan ¼ kotak kecil 25

Kosong 0 Sumber: Rahmawati et al., 2014.

Page 3: Inventory of damage to coastal and marine ecosystems in

Vol. 3 No. 1: 31-39, Mei 2019

https://www.ejournal.stipwunaraha.ac.id/index.php/ISLE 33

2.4.2. Ekosistem terumbu karang

Penentuan awal stasiun pengamatan terumbu karang menggunakan metode metode pengamatan skala luas, seperti manta tow atau timed swim dengan tujuan melihat keanekaragaman terumbu karang yang masih dalam kategori baik maupun rusak serta mewakili keseluruhan lokasi pengamatan pada masing-masing lokasi survei. Pengambilan data ekosistem terumbu karang di lapangan dilakukan dengan penyelaman menggunakan peralatan selam SCUBA dengan metode UPT (Underwater Photo Transect = Transek Foto Bawah Air).

Adapun teknis pelaksanaan metode UPT di lapangan adalah sebagai berikut: a. Menarik dan meletakkan garis transek dengan

menggunakan roll meter (pita berskala) sepanjang 50 meter pada kedalaman dimana karang umumnya tumbuh yaitu pada kedalaman antara 3-7 m dan sejajar garis pantai, dimulai dari titik awal sebagai meter ke-0.

Gambar 4. Arah penarikan garis transek dan garis transek sepanjang 50 m (Mosriula et al., 2018). b. Setelah garis transek terpasang, mulai dilakukan

pengambilan data dengan melakukan pemotretan di bawah air dimulai meter ke-1, meter ke-2, dan seterusnya hingga meter ke-50 pada garis transek.

Gambar 5. Ilustrasi dalam penarikan sampel dengan metode transek foto bawah air (Mosriula et al., 2018).

2.4.3. Kualitas Perairan Pengukuran kualitas perairan dilakukan karena hal ini

merupakan faktor penunjang dalam pertumbuhan ekosistem terumbu karang, selain itu bisa juga sebagai faktor rusaknya

terumbu karang. Parameter kualitas perairan yang diukur, yaitu kecepatan arus, kedalaman, salinitas dan suhu 2.5. Pengolahan dan Analisis Data 2.5.1. Analisis padang lamun

Data monitoring padang lamun diolah dengan menggunakan perangkat lunak Microsoft Excel. Pengolahan data terdiri dari beberapa tahap yang akhirnya akan menghasilkan nilai rata-rata penutupan lamun (%) dan persentase penutupan lamun per jenis, termasuk komposisinya, dalam satu lokasi atau pulau. Berikut adalah tahapan perhitungan dan contoh perhitungan menggunakan Microsoft Excel. a. Menghitung penutupan lamun dalam satu kuadrat.

Rata² Penutupan Lamun (%)= 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑃𝑒𝑛𝑢𝑡𝑢𝑝𝑎𝑛 𝐿𝑎ℎ𝑎𝑛 (4 𝑘𝑜𝑡𝑎𝑘)4 𝑥100%

b. Menghitung rata-rata penutupan lamun per stasiun

Rata² Penutupan Lamun (%)= 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑛𝑢𝑡𝑢𝑝𝑎𝑛 𝐿𝑎𝑚𝑢𝑛 𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑇𝑟𝑎𝑛𝑠𝑒𝑘Jumlah kuadrat seluruh transek 𝑥100%

c. Menghitung penutupan lamun per jenis pada satu

stasiun. Rata² Nilai Dominasi (%)= 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑃𝑒𝑛𝑢𝑡𝑢𝑝𝑎𝑛 𝐿𝑎𝑚𝑢𝑛 𝑆𝑒𝑙𝑢𝑟𝑢ℎ 𝑇𝑟𝑎𝑛𝑠𝑒𝑘Jumlah kuadrat seluruh transek 𝑥100%

d. Menghitung rata-rata penutupan lamun per

lokasi/pulau. Rata2Penutupan Lamun Satu Lokasi (%)= 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑁𝑖𝑙𝑎𝑖 Rata2Penutupan Lamun Seluruh Stasiun dlm satu LokasiSeluruh Stasiun dlm satu LokasiPulau 𝑥 100%

e. Hasil rata-rata lamun pada setiap stasiun dan setiap lokasi

dikategorikan berdasarkan Tabel 2 untuk menentukan kriteria kondisi lamun pada suatu lokasi.

Tabel 2. Kategori tutupan lamun.

Persentase penutupan (%) Kategori

0 - 24,9 Jarang 25 – 49,9 Cukup Padat 50 – 74,9 Padat 75 – 100 Sangat Padat

Sumber: Rahmawati et al., 2014 f. Setelah itu, status kesehatan lamun juga ditentukan

berdasarkan berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 200 Tahun 2004 tentang kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun (Tabel 3).

Page 4: Inventory of damage to coastal and marine ecosystems in

Mosriula, M. Inventarisasi kerusakan ekosistem terumbu karang

34 https://www.sangia.org/

Tabel 3. Kriteria Status Padang Lamun.

Kondisi Penutupan (%)

Baik Kaya/Sehat ≥ 60 Rusak Kurang kaya/kurang sehat 30 – 59,9

Miskin ≤ 29,9 Sumber: Rahmawati et al., 2014

2.5.2. Analisis terumbu karang a. Analisis foto berdasarkan foto hasil pemotretan

dilakukan menggunakan komputer dan perangkant lunak (software) CPCe (Kohler & Gill 2006). Sebanyak 30 sampel titik acak dipilih untuk setiap frame foto, dan untuk setiap titiknya diberi kode sesuai dengan kode masing-masing kategori dan biota dan substrat yang berada pada titik acak tersebut.

Gambar 6. Proses Pengolahan Analisis Data Dengan 30 Titik Sampel Acak Menggunakan Software CPCe. b. Bentuk pertumbuhan yang akan dianalisis setidaknya

memuat dua kategori utama yaitu kelompok “Karang Hidup” dan “Karang Mati”.

c. Berdasarkan proses analisis foto yang dilakukan terhadap setiap frame foto yang dilakukan, maka dapat diperoleh nilai persentase tutupan kategori untuk setiap frame dihitung berdasarkan rumus sebagai berikut:

𝑃𝑒𝑟𝑠𝑒𝑛𝑡𝑎𝑠𝑒 𝑡𝑢𝑡𝑢𝑝𝑎𝑛 𝑘𝑎𝑡𝑒𝑔𝑜𝑟𝑖 = 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑘𝑎𝑡𝑒𝑔𝑜𝑟𝑖𝐵𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘𝑛𝑦𝑎 𝑡𝑖𝑡𝑖𝑘 𝑎𝑐𝑎𝑘 𝑥 100%

d. Sebagai catatan, banyaknya titik acak untuk setiap 1 foto

adalah 30 titik sehingga untuk 1 garis transek yang terdiri dari 50 buah foto maka banyaknya titik acak 1.500 titik.

e. Nilai tutupan karang hidup untuk satu stasiun pengamatan adalah sama dengan nilai tutupan karang hidup untuk satu garis transek pada stasiun pengamatan tersebut (bila hanya dilakukan satu transek saja pada setiap stasiun pengamatan).

f. Berdasarkan nilai tutupan karang hidup yang diperoleh, maka dapat ditetapkan status terumbu karang baik untuk setiap stasiun pengamatan maupun untuk setiap lokasi penelitian yang terdiri dari beberapa stasiun pengamatan. Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang, Kepmen LH No. 04 Tahun 2001 sebagai berikut:

o Rusak, bila persen tutupan karang hidup antara 0-24,9%

o Sedang bila persen tutupan karang hidup antara 25-49,9%

o Baik bila persen tutupan karang hidup antara 50-74,9%, dan

o Sangat baik apabila persen tutupan karang batu hidup 75-100%

g. Kerusakan ekosistem terumbu karang dapat diketahui dengan melakukan perhitungan indeks kematian karang batu atau indeks mortalitas.

2.5.3. Analisis spasial (GIS)

2.5.3.1. Persiapan data Data geospasial yang disiapkan sebelum dilakukan

pengolahan terdiri dari dua jenis, yaitu berupa data vektor serta data raster. Data tersebut dapat digunakan baik sebagai data acuan maupun sebagai data pendukung.

o Data Vektor Pembuatan peta tematik menggunakan peta dasar, peta data citra dan data hasil survey. Sebaran Ekosistem Terumbu Karang dan Lamun dapat dianalisis dengan menggunakan perangkat GIS.

o Data Raster Data raster yang digunakan sebagai bahan dalam pembuatan peta habitat perairan laut dangkal adalah citra satelit Landsat 8. Citra satelit Landsat 8 memiliki 7 saluran multispektral dengan resolusi spasial 30 meter, serta 1 saluran pankromatik dengan resolusi spasial 15 meter.

2.5.3.2. Pemrosesan Data Citra Satelit Tahapan ini merupakan serangkaian proses untuk

memperbaiki kualitas citra sebelum dilakukan interpretasi. Citra yang umumnya diperoleh mempunyai tiga tingkatan, yakni o Citra yang datanya masih dalam bentuk raw data

sehingga belum mengalami koreksi radiometrik maupun geometrik,

o Citra yang sudah mengalami koreksi radiometrik namun belum terkoreksi secara geometri,

o Citra yang telah mengalami koreksi baik radiometrik maupun geometrik. Untuk pemetaan habitat dasar perairan dangkal,

Gambar 7. Citra Sebelum (A) dan Setelah Terkoreksi Radiometri (B), Menggunakan Regresi Linier.

Page 5: Inventory of damage to coastal and marine ecosystems in

Vol. 3 No. 1: 31-39, Mei 2019

https://www.ejournal.stipwunaraha.ac.id/index.php/ISLE 35

3. Hasil dan Pembahasan

3.1. Sebaran Ekosistem Pesisir Laut Kabupaten Bintan 3.1.1. Ekosistem padang lamun

Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa pada perairan Pantai Berakit Kabupaten Bintan teridentifikasi ditumbuhi 5 jenis lamun yang tersebar di 2 (dua) lokasi pengamatan. Jenis lamun yang ditemukan yaitu: Cymodocea serullata, Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, dan Thallasia hemprichii. Padang lamun di tiap stasiun pengamatan membentuk suatu padang lamun dengan komunitas campuran antara beberapa spesies di antaranya adalah Enhalus acoroides dengan Thalassia hemprichi dan Cymodocea rotundata yang kadang-kadang di beberapa tempat seperti di stasiun 2 yang membentuk suatu hamparan padang lamun campuran Thalassia hemprichii dengan Cymodocea serullata.

Parameter kualitas perairan yang diukur pada lokasi di Pantai Berakit Kab. Bintan terdiri dari parameter fisika (suhu, kedalaman perairan) dan parameter kimia (salinitas dan pH). Hasil pengamatan kondisi kualitas perairan Pantai Berakir dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Hasil Pengukuran Kualitas Perairan Pesisir Pantai Berakit, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.

Parameter Satuan Baku Mutu Stasiun

Biota Air Laut 1 2

Suhu 0C Coral 28-32

Lamun 28-30 30,2 30,1

Kedalaman m - 2-7 1-5

Salinitas ‰ Coral 33-34

Lamun 33-34 29 29

pH - 7-8,5 6 6 Sumber: Hasil survei 2019.

Stasiun Pertama, pengukuran serta pengumpulan data dilakukan pada titik koordinat N 1° 12' 40.572" E 104° 32' 48.293", dengan tiga kali penarikan transek. Secara umum kondisi permukaan dasar perairan adalah pasir berlumpur, serta memiliki topografi yang cenderung landai dengan kedalaman rata-rata adalah 150 cm (air laut pasang) dan 50 cm (air laut surut), meskipun lokasi pengukuran disekitar di pesisir.

Hasil pengukuran serta pengumpulan data lapangan yang kemudian di analisis dengan menggunakan Excel 2013, diperoleh tutupan lamun tiap transeknya; transek pertama 13.64%, transek kedua 71.59%, transek ketiga 52.27%. Untuk rata-rata penutupan lamun secara keseluruhan pada stasiun pengukuran padang lamun (transek 1, transek 2 dan transek 3) di dapat tutupan 45,83%. Berikut kondisi lamun pada stasiun pertama disajikan pada Gambar 8.

Stasiun Kedua, pengukuran serta pengumpulan data dilakukan pada titik koordinat N 1° 13' 50.992" E 104° 34' 0.937", dengan tiga kali penarikan transek. Secara umum kondisi permukaan dasar perairan adalah berpasir, serta memiliki topografi yang cenderung landai dengan kedalaman rata-rata adalah 80 cm (air laut pasang) dan 15 cm (air laut surut), lokasi pengukuran disekitar di pesisir.

Hasil pengukuran serta pengumpulan data lapangan yang kemudian di analisis dengan menggunakan Microsoft Office Excel, diperoleh tutupan lamun tiap transeknya;

transek pertama 26.14%, transek kedua 22.73%, transek ketiga 32.95%. Untuk rata-rata penutupan lamun secara keseluruhan pada stasiun pengukuran padang lamun (transek 1, transek 2 dan transek 3) di diketahui nilai tutupan sebesar 27,27%. Kondisi lamun stasiun pertama disajikan dalam bentuk diagram batang pada Gambar 9. Tabel 5. Jenis lamun yang ditemukan di perairan Berakit, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.

Jenis lamun Lokasi Pengamatan

(Berakit, Kabupaten Bintan) Stasiun 1 Stasiun 2

Enhalus acroides + + Thalasia hemprici - + Cymodecea serullata - + Cymodecea rotundata + - Holophila ovalis + -

Keterangan : += Ada,- = Tidak ada.

3.1.2. Ekosistem terumbu karang Stasiun pengamatan penutupan komunitas karang

hidup pada stasiun pengamatan terdiri dari acropora 42,53% dengan bentuk pertumbuhan didominasi oleh acropora digitate (ACD) 24,25% acropora branching (ACB) 12,66%, dan acropora tabulate (ACT) 4,82% (Gambar 10). Tingginya persentase karang hidup jenis acropora bentuk koloni dan bercabang di lokasi pengamatan berhubungan erat dengan kondisi perairan yang jernih dan kurangnya sedimentasi

Gambar 8. Persentase tutupan (A) dan jenis lamun (B) pada stasiun pengamatan (Stasiun 1) di Pantai Berakit, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.

A

B

Page 6: Inventory of damage to coastal and marine ecosystems in

Mosriula, M. Inventarisasi kerusakan ekosistem terumbu karang

36 https://www.sangia.org/

pada stasiun pengamatan. Pada daerah perairan dangkal tepian atau rataan terumbu dimana intensitas sinar matahari tinggi dan gelombang perairan besar pertumbuhan karang cenderung didominasi oleh karang bercabang, menjari atau masif. Menurut (Rogers, 1990 dalam Sitepu 2008) perbedaan tekanan akibat arus, gelombang terhadap dinding-dinding dasar laut dapat menyebabkan terjadinya distribusi jenis karang.

Gambar 10. Grafik Persentase Bentuk Pertumbuhan Karang Pengamatan di Pantai Berakit, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.

Sementara itu karang jenis non acropora memiliki persentase 7,50% terdiri atas 6 tipe pertumbuhan dengan karang yang berbentuk lembaran (coral foliose) sebesar

2,88% yang paling banyak tercatat, diikuti Non Acropora dengan bentuk koloni merayap 2,41%, coral branching (CB) 0,27%, coral massive (CM) 0,74%, coral heliopora (CHL) 0,87%, dan coral submassif (CS) 0,33%. Menurut (Chappell, 1980 dalam Supriharyono, 2000 dalam Sitepu 2008) di perairan yang jernih atau sedimentasi rendah, akan lebih banyak ditemukan karang dalam bentuk bercabang. Pada suatu lokasi gelombang laut dapat secara kontinyu menghempas karang, sehingga menyebabkan adanya kecenderungan bahwa semakin besar tekanan hidrodinamis atau energi pergerakan air laut, maka bentuk karang akan lebih mengarah ke bentuk masif atau encrusting. 3.2. Kerusakan Ekosistem Pesisir dan Laut Kabupaten

Bintan 3.2.1. Ekosistem padang lamun

Stasiun pertama, Pengamatan yang dilakukan lokasi pertama pengamatan didapatkan luas atau rata-rata tutupan lamun sebesar 45,83%. Besaran nilai tutupan lamun tersebut dikategorikan dalam kondisi ‘Sedang’, sesuai dengan panduan Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sedangkan berdasarakan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.200 tahun 2004 status padang lamun berada pada kondisi ‘Rusak’ (Kurang Kaya/Kurang Sehat).

Hasil pengamatan, pengukuran serta identifikasi yang dilakukan di pantai pesisir Berakit dengan kondisi tutupan lamun yang tergolong sedang atau kondisi dengan status yang rusak. Indikasi penyebab kerusakan padang lamun yang ada di pesisir Desa Berakit stasiun pertama yaitu kondisi topografi pantai yang didominasi oleh lumpur. Dominasi lumpur mengakibatkan terhambatnya lamun melakukan proses fotosintesis. Disamping itu terdapatnya kapal yang berlabu pada stasiun pengamatan, mengindikasikan adanya minyak bahan bakar yang jatuh keperairan dari kapal-kapal yang bersandar pada lokasi pengamatan.

Stasiun kedua, Pengamatan yang dilakukan lokasi kedua pengamatan didapatkan luas atau rata-rata tutupan lamun sebesar 27,27% (Gambar 11). Besaran nilai tutupan lamun tersebut dikategorikan dalam kondisi ‘Sedang’, sesuai dengan panduan Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sedangkan berdasarakan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.200 tahun 2004 status padang lamun berada pada kondisi ‘Rusak’ (Miskin).

Hasil pengamatan, pengukuran serta identifikasi yang dilakukan di pantai pesisir Berakit dengan kondisi tutupan lamun yang tergolong sedang atau kondisi dengan status yang rusak. Indikasi penyebab kerusakan padang lamun yang ada di pesisir Desa Berakit stasiun kedua yaitu kondisi topografi pantai yang didominasi oleh bebatuan dengan sedikit pasir, kondisi substrat yang dominasi dengan bebatuan, mengakibatkan pertumbuhan lamun terhambat. Disamping itu pada stasiun pengamatan pertumbuhan lamun terhambat karena dipengaruhi oleh kecepatan arus yang selalu berubah-ubah.

3.2.2. Ekosistem terumbu karang Hasil analisis dengan menggunakan software CPCe

didapatkan kondisi tingkat kerusakan terumbu karang pada lokasi pengamatan yang ada di Desa Berakit. Nilai persentase karang mati disajikan dalam Tabel 6.

Gambar 9. Persentase tutupan (A) dan jenis lamun (B) stasiun pengamatan (Stasiun 2) pada Pantai Berakit, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.

B

A

Page 7: Inventory of damage to coastal and marine ecosystems in

Vol. 3 No. 1: 31-39, Mei 2019

https://www.ejournal.stipwunaraha.ac.id/index.php/ISLE 37

Tabel 6. Persentase Tutupan Karang Mati dan Nilai Indeks Mortalitas Karang Pantai Berakit, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau.

Lokasi Kategori % Karang Mati %

Indeks Mortalitas

%

Desa Berakit

Dead Coral Algae (DCA) Diseased coral (DCOR) Old Dead Coral (ODC) Recently Dead Coral (RDC)

42,33 0,07 2,34 3,28

48,02 0,4894

Hasil analisis yang telah dilakukan didapatkan nilai penutupan karang mati di stasiun pengamatan Pantai Berakit adalah 48,02%. Tutupan karang mati umumnya lebih didominasi oleh kategori karang mati yang ditumbuhi alga dengan nilai DCA yakni 42,33%. DCA dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti sedimentasi, limbah rumah tangga maupun industri serta pembangunan dan pengerukan di sekitar pantai yang dapat membebaskan sedimen ke perairan laut. 3.3. Sebaran Ekosistem Pesisir Laut Kota Batam

Data parameter kualitas perairan suhu, kedalaman, salinitas dan pH pada lokasi pengamatan Pulau Pasir Kota Batam didapatkan berdasarkan hasil analisis citra Modis Aqua 2019. Hasil tersebut menunjukan kuliatas parameter fisika diperairan Pulau Pasir masih tergolong dalam batas baku mutu biota organisme untuk dapat hidup disuatu ekosistem, sedangkan parameter kimia perairan Pulau Pasir tidak memenuhi baku mutu perairan. Kondisi hasil pengukuran parameter kualitas air Pulau Pasir dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil pengukuran kualitas perairan pesisir Pulau Pasir, Kota

Batam, Kepulauan Riau.

Parameter Satuan Baku Mutu

Stasiun Biota Air Laut

Suhu 0C Coral 28-32

Lamun 28-30 30

Kedalaman m - 4-8

Salinitas ‰ Coral 33-34

Lamun 33-34 24

pH - 7-8,5 5 Sumber: Hasil survei 2019

3.3.1. Ekosistem padang lamun Pulau Pasir, pengukuran serta pengumpulan data

dilakukan pada titik koordinat N 1° 5' 27.892" E 103° 50' 28.601", dengan tiga kali penarikan transek. Secara umum kondisi permukaan dasar perairan adalah pasir serta pecahan karang, serta memiliki topografi yang landai dengan kedalaman rata-rata adalah 90 cm (air laut pasang) dan 50 cm (air laut surut). Pengukuran di Pulau Pasir dilakukan pada pagi hari yang kondisi perairannya masih mengalami surut sehingga memudahkan surveyor untuk melakukan pendataan. Perairan di Pulau Pasir juga mengalami perubahan didalam periode waktu harian, yang pada pagi hari waktu surut dan siang hari mengalami pasang. Dengan kondisi perairan yang pasang mengakibatkan perubahnya kondisi perairan menjadi keruh, kondisi keruh ini diindikasikasikan oleh sedimen yang dari pulau-pulau sekitar tidak terkendali dan tentunya yang bersumber dari musim Angin Timur yang sementara berlangsung.

3.3.2. Ekosistem terumbu karang Pengamatan kondisi terumbu karang di perairan laut

Kota Batam dilakukan di stasiun pengamatan yakni Pulau Pasir dengan titik koordinat 103° 49' 54.149" E 1° 6' 53.791" N. Penilaian kondisi terumbu karang dilakukan dengan menggunakan metode RRA, hal ini dilakukan karena kondisi perairan yang sangat keruh (sedimentasi yang sangat tinggi) sehingga tidak memungkinkan bagi surveyor untuk melakukan pengambilan gambar dengan metode UPT. Hasil survei dan pengamatan yang dilakukan, secara visual karang di semua stasiun pengamatan Kota Batam telah mengalamai kerusakan yang sangat parah.

Gambar 12. Kondisi Bawah Laut yang Keruh di Lokasi Pengamatan Pulau Pasir, Kota Batam, Kepulauan Riau. 3.4. Kerusakan Ekosistem Pesisir dan Laut Kota Batam

Gambar 11. Persentase tutupan (A) dan jenis lamun (B) di Pulau Pasir, Kota Batam, Kepulauan Riau.

A

B

Page 8: Inventory of damage to coastal and marine ecosystems in

Mosriula, M. Inventarisasi kerusakan ekosistem terumbu karang

38 https://www.sangia.org/

3.4.1. Ekosistem padang lamun

Pulau Pasir dengan lokasi stasiun pengamatan didapatkan rata-rata tutupan lamun sebesar 71,02%. Besaran tutupan lamun tersebut dikategorikan dalam kondisi ‘padat’ sesuai dengan panduan Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Sedangkan berdasarakan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.200 tahun 2004 status padang lamun yang berada di Pulau Pasir berada pada kondisi ‘Baik’ (kaya/sehat)’. Kondisi tutupan lamun yang tergolong kondisi baik dipengaruhi kondisi perairan yang optimal untuk pertumbuhan lamun, yang parameter kuaitas air yang tercantung dalam Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 51 tahun 2004, misalnya dalam hal ini intensitas cahaya yang masuk diperairan menyebabkan suhu perairan menjadi pendukung pertumbuhan lamun. Disamping itu faktor lainnya yaitu letak geografis dari stasiun pengukuran yang dikelilingi oleh pulau lainnya sehingga terlindung dari gelombang dan arus.

3.4.2. Ekosistem terumbu karang

Tutupan substrat dasar di perairan stasiun pengamatan di pesisir dan pulau-pulau kecil Kota Batam di Pulau Pasir pada umumnya didominasi oleh kategori karang mati yang telah ditumbuhi alga serta beberapa jenis alga. Hasil pengamatan kondisi terumbu karang yang dilakukan pada stasiun pengmatan Pulau Pasir Kota Batam menunjukkan bahwa terumbu karang di lokasi pengamatan berada dalam kategori “Rusak”. Tekanan aktivitas telah berdampak cukup besar terhadap keberlangsungan sumber daya terumbu karang yang ada di pulau-pulau tersebut dimana jenis karang dan kualitas terumbu karang juga berkurang, hal ini merupakan fenomena kehilangan keanekaragaman hayati atau biodiversity lost.

Perairan yang keruh akibat sedimentasi tinggi di Pulau Pasir, mengakibatkan pertumbuhan karang di lokasi tersebut lebih mengarah pada bentuk pertumbuhan massif. Menurut Van Woesik (1994), terdapat kecenderungan bahwa karang yang tumbuh atau dapat beradaptasi pada perairan dengan sedimentasi tinggi bentuk pertumbuhannya akan mengarah kebentuk masif, dan sub-masif. Hal ini dikarenakan karang jenis massif seperti Porites, Fungia, dan Favites lebih tahan terhadap adanya sedimentasi karena dapat mengeluarkan mucus untuk menyelubunginya sehingga menghindari polipnya dari sedimen yang masuk. Di Beberapa titik pengamatan tersebut masih dijumpai beberapa karang hidup dari bentuk pertumbuhan coral massive, coral foliose dan coral encrusting dengan perkiraan persentasae 1-2%. Karang yang ditemukan hampir semua telah tertutup oleh sedimen bahkan telah ditumbuhi oleh beberapa jenis alga dan rumput laut serta sponge. Walaupun pada umumnya jenis karang massif tertentu seperti Porites dapat mengeluarkan mucus untuk menyelubunginya sehingga menghindari polipnya dari sedimen yang masuk akan tetapi perairan dengan tingkat sedimentasi sangat tinggi dan berlangsung secara terus menerus seperti yang terjadi di lokasi pengamatan, tentu akan dapat membunuh semua jenis karang termasuk karang-karang masif ini (Van Woesik, 1994).

Tabel 8. Kondisi terumbu karang Pulau Pasir, Kota Batam,

Kepulauan Riau.

Lokasi Substrat Luas (ha)

Luas Kerusak

an

Tutupan (%)

Status

Pulau Pasir

Pasir, karang

mati,dan alga

167,04 167,04 1-2 Rusak

Gambar 13. Luasan kerusakan ekosistem pesisir laut Kab. Bintan dan Kota Batam, Kepulauan Riau.

4. Simpulan Kondisi perairan di lokasi pengamatan Kab. Bintan

Pantai Berakit dan Kota Batam Pulau Pasir kualitas air yang masih mendukung pertumbuhan ekosistem pesisir (padang lamun dan terumbu karang) adalah suhu, sementara salinitas dan pH tidak mendukung. Sebaran ekosistem lamun dan terumbu karang Kabupaten Bintan serta Kota Batam memiliki potensi yang cukup luas, padang lamun sekitar 981,65 Ha, dan terumbu karang 4291,73 Ha. Pantai Berakit tutupan lamun dikedua stasiun memiliki rata-rata 36,55%, sehingga masuk dalam katagori sedang (LIPI) dengan status padang lamun Rusak atau Kurang Kaya/Kurang Sehat (Kepmen LH Tahun 2004). Sedangkan Pulau Pasir tutupan lamun 71,02 %, sehingga masuk dalam katagori sedang (LIPI) dengan status padang lamun Padat atau Kaya/Sehat (Kepmen LH Tahun 2004). Pantai Berakit Persentase tutupan karang hidupnya rata-rata 42,87% (masuk katagori kondisi sedang). Sedangkan Pulau Pasir Persentase tutupan karang hidupnya rata-rata 1-2% (masuk katagori kondisi rusak).

Ucapan Terima Kasih Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak

yang mendukung dan membantu selama penelitian ini. Terimakasih kepada kedua orangtua yang telah mendukung pelaksanaan penelitian ini. Terimakasih kepada nelayan yang telah bersedia untuk membantu pelaksanaan penelitian di lapangan.

Referensi

Burke L., Selig E., & Spalding M., 2002. Terumbu Karang Yang Terancam Di Asia Tenggara (Ringkasan untuk Indonesia). World Resources Institute, Amerika Serikat.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bintan. 2018. Kabupaten

Page 9: Inventory of damage to coastal and marine ecosystems in

Vol. 3 No. 1: 31-39, Mei 2019

https://www.ejournal.stipwunaraha.ac.id/index.php/ISLE 39

Bintan Dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Kabupaten Bintan.

[BPS] Badan Pusat Statistik Kota Batam. 2018. Kabupaten Batam Dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Kota Batam.

Dahuri, R., 2003. Keanekaragaman Hayati Laut: Aset Pembangunan Berkelanjutan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Dahuri, R, Jacub. R., Sapta, P.G., & Sitepu,. M.J,. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Terpadu. PT. Pradnya. Jakarta.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta. Erawan, T.S. 2015. Kondisi Terumbu Karang dan Struktur komunitas

Karang Pantai Kelapa Tujuh Kota Cilegon Provinsi Banten. Departemen Biologi fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Padjadjaran. Jatinagor.

Giyanto, Abrar., & M., Hadi, T.A. 2017. Status Terumbu Karang Indonesia. COREMAP-CTI. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Hermawan., U.E., Sjafrie., N.D.M., & Supriyadi., I.H. 2017. Status Padang Lamun Indonesia. COREMAP-CTI. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

KepMen LH No. 51 Tahun 2004 ‘Baku Mutu Air Laut’. Jakarta Kohler, K.E. & Gill, S.M. 2006. Coral Point Count with Excel

Extensions (CPCe): A Visual Basic Program for the Determination of Coral and Substrate Coverage Using Random Point Count Methodology. Computers and Geosciences, 32, 1259-1269.

Mandasari AR, M., 2014. Hubungan Kondisi Padang Lamun Dengan Sampah Laut Di Pulau Barrang Lompo. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin. Makassar.

Mangadji, I.M., 2002. Kajian Pengembangan Kawasan Konservasi Terumbu Karang Di Pulau Waidoba Kecamatan Kayoa Propinsi Maluku Utara. Thesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Mosriula, M., Jaya, J., & Hamsir, M. 2018. Inventory of damage to coral reefs ecosystem in waters of Bungkutoko Island, Kendari City and Barrang Lompo Island, Makassar City. Akuatikisle: Jurnal Akuakultur, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 2(1): 67-75. DOI: 10.29239/j.akuatikisle.2.2.67-75

Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta.

Peraturan Daerah Kabupaten Bintan Nomor 5 Tahun 2016 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Bintan 2016-2021.

Peraturan Daerah Kota Batam Nomor 8 Tahun 2016 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kota Batam 2016-2021.

Peraturan Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan No P.4/PPKPL/PKL 1/10/2017 Tentang Pedoman Inventarisasi Dan Pemantauan Ekosistem Terumbu Karang.

Peraturan Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan No P.5/PPKPL/PKL 1/10/2017 Tentang Pedoman Inventarisasi Ekosistem Padang Lamun.

Pramudyanto, B., 2014. Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Di Wilayah Pesisir. Journal. Edisi 1 No 4 Oktober-Desember 2014. Widyaiswara Pusdiklat Lingkungan Hidup. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Banten.

Rahmawati, S., Supriyadi., I.H., Azkab., M.H., & Kiswara., W. 2014. Panduan Monitoring Padang Lamun. COREMAP-CTI. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

[RZWP3K] Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kepulauan Riau. 2018. Pemerintah Provinsi Kepulauan Riau.

Sakaruddin, M.I., 2011. Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen penutupan dan Luas Penutupan Lamun Di Perairan pulau Panjang Tahun 1990-2010. [Skripsi]. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Suharsono & Sumadhiharga., O.K. 2014. Panduan Monitoring Kesehatan Terumbu Karang. COREMAP-CTI. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta.

Supriharyono. 2007. Pengelolaan Ekosisitem Terumbu Karang. Penerbit Djambatan. Jakarta.

Tobler, Waldo., 1987. Measuring Spatial Resolution. Proceedings, Land Resources Information Systems Conference. Beijing. 12-16p.

Van Woesik, R. 1994. Contemporary disturbances to coral communities of the Great Barrier Reef. Journal of Coastal Research (1994): 233-252.