interpretasi ayat-ayat mutasyĀbihĀt tentang posisi …

101
INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI ALLAH (Studi Komparatif Tafsir Marāh Labīd dan Tafsir Al-Misbāḥ) SKRIPSI Diajukan Untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag.) Oleh: Nama : Irfan Hazri NIM : 11140340000183 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLA JAKARTA 1441 H/2019 M

Upload: others

Post on 03-Oct-2021

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI

ALLAH

(Studi Komparatif Tafsir Marāh Labīd dan Tafsir Al-Misbāḥ)

SKRIPSI

Diajukan Untuk memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag.)

Oleh:

Nama : Irfan Hazri

NIM : 11140340000183

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLA

JAKARTA

1441 H/2019 M

Page 2: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …
Page 3: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …
Page 4: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …
Page 5: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

v

ABSTRAK

Irfan Hazri, Interpretasi Ayat-ayat Mutasyābbihāt Tentang Posisi

Allah (Studi Komparatif Tafsir Marāh Labīd dan Tafsir Al-Misbāḥ)

Ayat-ayat al-Qur’an menurut mayoritas ulama diklasifikasikan

menjadi dua bagian yaitu muhkam dan mutasyabih. Muhkam menjadi

legitimasi dan dapat dipahami secara rasional. Sebaliknya mutasyabih

sebuah istilah untuk ayat-ayat yang tidak dapat dipahami secara rasional.

Salah satu poin ayat mutasyabih adalah posisi Allah. Perdebatan mengenai

bersemanyam Allah sampai saat ini masih banyak di kalangan ulama terjadi

perbedaan, apakah Allah memiliki tempat yang sama atau tidak. Menurut

dua tokoh mufasir Indonesia memiliki kemiripan dalam menafsirkan

tempat bersamanyam Allah. Meskipun bersemanyam ini tidak diartikan

sebagai tempat hanya saja majaz (metafor). Perbedaan yang sangat

signifikan di antara dua tokoh ini adalah ketika menentukan posisi Allah

dengan merujuk QS. al-Baqarah [2]: 29. Bagi Quraisy Syihab kata ila al-

samā’ sebagai bentuk tempat bersemanyam Allah lebih tingga dari

makhluknya. Bagi Imam Nawawi, ia tidak menjelaskan mengenai posisi

hanya saja kata ila merupakan akat imbuhan yang tidak diartikan sebagai

posisi. Permasalahan yang timbul dari kedua mufasir mengenai intepretasi

posisi Allah in yang menjadikan pijaka awal untuk melakukan penelitian

lebih lanjut.

Skripsi ini membahas tentang komparasi penafsiran Imam Nawawi

dan Quraish Shihab terkait posisi Allah didalam al-Qur’an.Penulis memilih

Tafsir Marāh Labīd dan Tafsir al-Misbah dalam penelitian ini karena kedua

kitab ini ditulis bernegara yang sama dan berteologikan sama.tetapi

memiliki perbedaan dalam menafsirkan posisi Allah.

Setelah melakukan penelitian, penulis menganggap bahwa kedua

mufasir ini memiliki kesamaan dalam mendefinisikan konsep mutasyabih

dan memiliki kesamaan terkait metodologi penafsiran yaitu ta’wīl.

Sedangkan perbedaanya, Quraish Shihab menjelaskan bahwa Allah

memiliki tempat yang lebih tinggi dari mahluknya. dan berkuasa di ‘arsy

(tempat kerajaan-Nya). Sedangkan Imam Nawawi hanya mengatakan

bahwa posisi Allah bersemanyam di ‘arsy (tempat kerajaan-Nya),dan ia

menafsirkan kata ( الى السماءتوى ٱس ) Allah menciptakan langit, bukan posisi

tempat tertinggi Allah.

Page 6: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

vi

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN

Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI

dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor: 158/1987 dan

0543 b/U/1987, Tanggal 22 Januari 1988.

A. Konsonan Tunggal

Huruf

Arab Nama Huruf Latin Keterangan

alif tidak dilambangkan ا

ba’ b be ب

ta’ t te ت

sa’ ṡ es (dengan titik di atas) ث

jim j je ج

ha’ ḥ حha (dengan titik di

bawah)

kha’ kh ka dan ha خ

dal d de د

zal ż ذzet (dengan titik di

atas)

ra’ r er ر

zai z zet ز

sin s es س

syin sy es dan ye ش

Page 7: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

vii

sad ṣ صes (dengan titik di

bawah)

dad ḍ ضde (dengan titik di

bawah)

ta’ ṭ طte (dengan titik di

bawah)

za’ ẓ ظzet (dengan titik di

bawah)

ain ‘ koma terbalik di atas‘ ع

gain g ge غ

fa f ef ف

qaf q qi ق

kaf k ka ك

lam l el ل

mim m em م

nun n en ن

wawu w we و

ha’ h ha ه

hamzah ’ apostrof ء

ya y ye ي

B. Konsonan Rangkap Karena Syaddah Ditulis Rangkap

ditulis muta‘aqqidin متعقدين

Page 8: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

viii

ditulis ‘iddah عدة

C. Ta’ Marbutah

1. Bila dimatikan ditulis h

ditulis hibbah هبة

ditulis jizyah جزية

(Ketentuan ini tidak diberlakukan terhadap kata-kata Arab

yang sudah terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti shalat,

zakat, dan sebagainya, kecuali bila dikehendaki lafal aslinya).

Bila diikuti dengan kata sandang “al” serta bacaan kedua

itu terpisah, maka ditulis dengan h.

الأولياء كرامة ditulis karāmah al-auliyā

2. Bila ta’ marbutah hidup atau dengan harakat, fathah, kasrah

dan ḍammah, ditulis t

الفطر زكاة ditulis zakātul fitri

D. Vokal Pendek

kasrah ditulis i

_____ fathah ditulis a

ḍammah ditulis u ___ۥ__

E. Vokal Panjang

fathah + alif ditulis ā

Page 9: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

ix

هلية جا ditulis jāhiliyah

fathah + ya’ mati ditulis ā

ditulis yas` ā يسعى

kasrah + ya’ mati ditulis ī

ditulis karīm كريم

ḍammah + wawu

mati ditulis

ū

F. Vokal Rangkap

fathah + ya’ mati ditulis ai

ditulis bainakum بينكم

fathah + wawu

mati ditulis au

ditulis qaulun قول

G. Vokal Pendek yang Berurutan dalam Satu Kata

Dipisahkan dengan

Apostrof

ditulis a’antum أأنتم

ditulis u‘iddat ت أعد

ditulis la’in syakartum شكرتم لئن

Page 10: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

x

H. Kata Sandang Alif + Lam

a. Bila diikuti huruf Qamariyyah

ditulis al-Qur’ān القرأن

ditulis al-qiyās القياس

b. Bila diikuti huruf Syamsiyyah ditulis dengan

menggandakan huruf Syamsiyyah yang mengikutinya serta

menghilangkan huruf l (el)-nya

’ditulis as-samā السماء

ditulis asy-syams الشمس

I. Penulisan Kata-kata dalam Rangkaian Kalimat

Ditulis menurut bunyi pengucapannya dan menulis

penulisannya

الفوض ذوي ditulis żawī al-furūd

السنة أهل ditulis ahl as-sunnah

Page 11: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

xi

KATA PENGANTAR

“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha

Penyayang.”

Segala Puji serta rasa syukur yang sangat mendalam penulis panjatkan

kepada Allah SWT. Tuhan Yang Maha Menguasai segala sesuatu, dibumi

maupun dilangit. Yang Maha Memudahkan segala urusan hamba-Nya.

Karena atas kuasa-Nyalah penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan baik.

Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi

Muḥammad SAW. Yang telah memberikan tauladan bagi umat manusia

dengan perilaku qur’ānī nya. Dan atas izin-Nya pula ia memiliki

keistimewaan untuk dapat memberikan syafaat kepada umatnya.

Pada dasarnya, penulisan skripsi Skripsi ini membahas tentang

komparasi penafsiran Imam Nawawi dan Quraish Shihab terkait posisi

Allah di dalam al-Qur’an. Mereka sepakat ayat-ayat posisi Allah

dikategorikan sebagai ayat-ayat mutasyabih yang memiliki unsur-unsur

teologi. Penulis memilih Tafsir Marāh Labīd dan Tafsir al-Misbah dalam

penelitian ini karena kedua kitab ini ditulis bernegara yang sama tetapi

memiliki perbedaan di antaranya: Imam Nawawi cendikiawan yang non-

akademisi, sedangkan Quraish Shihab tokoh intlektual akadamisi yang

pernah duduk di bangku perkuliahan.

Oleh karena itu, penulis menulis skripsi yang berjudul “,

Interpretasi Ayat-ayat Mutasyābbihāt Tentang Posisi Allah (Studi

Komparatif Tafsir Marāh Labīd dan Tafsir Al-Misbāḥ)”. Semoga

skripsi ini dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran dalam memahami

Ayat-Ayat Mutasabihat.

Page 12: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

xii

Penulisan skripsi ini tentu melibatkan berbagai pihak yang turut

membantu dari awal proses penulisan hingga terselesaikannya skripsi ini.

Oleh karena itu, penulis juga ingin menyampaikan terimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Amany Lubis, MA. Selaku Rektor Universitas Islam

Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Yusuf Rahman.Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Lebih khusus, penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada

Dr Eva Nugraha. Selaku Ketua Program Studi Ilmu al-Qu’an dan

Tafsir.

4. Dr. Hasani Ahmad Said, M.A, sebagai Dosen Pembimbing

Skripsi terbaik bagi penulis. Terimakasih telah meluangkan

banyak waktunya untuk membimbing, menasehati, sekaligus

memberikan gagasan-gagasannya kepada penulis. Sehingga

penulisan skripsi ini bisa terselesaikan dengan baik.

5. SeluruhDosendan Guru Besar Fakultas Ushuluddin yang telah

memberikan begitu banyak pengetahuan sekaligus bimbingannya

selama empat tahun.

6. Terimakasih kepada bapak Mafri Amir, M.A selaku Dosen

Pembimbing Akademik

7. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada parapimpinan dan

segenap civitas akademik Fakultas Ushuluddin, segenap Staf

Perpustakaan Fakultas Ushuluddindan Perpustakaan Utama

Universitas Islam Negeri (UIN) SyarifHidayatullah Jakarta yang

turutmembantu penulis dalam menemukan buku-buku referensi

untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini.

8. Terimakasih sebesar-besarnya kepada keluarga penulis,

khususnya kedua orang tua penulis yang telah membesarkan dan

Page 13: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

xiii

mendidik penulis dengan kasih sayang, perjuangan, dan

pengorbanan yang begitu luar biasa. Teruntuk Ayahanda dan

Ibunda tercinta, Arisman dan Siti Azizah yang telah menanamkan

semangat berjuang, yang selalu mendampingi penulis sampai

akhir penulisanskripsi ini. Semoga Allah SWT senantiasa

memberikan umur panjang, kesehatan dan kelapangan rezki.

9. Kepada adik-adik penulis, Nurfa zira dan Muhammad Husnul

Hakim,Terimakasih untuk doa, semangat, dan dukungannya

kepada penulis selama proses penyelesaian skripsi ini.

10. Teman-teman terbaik penulis di Jurusan Ilmu al-Qur’an dan

Tafsir Angkatan 2014,khususnya kepada. Bahaludin Siregar,

Dadan Haerudin, Alwi Abdussalam. Dan Aprido.

11. Kepada temen-temen seperjuangan M febri Armada Lc, Alfian

Arman Spd.i, Hasbi Assydiqy, Aminul Hijrah Yulinda dan Nur

hidayat .Terimakasih karena telah menjadi teman yang selalu

memberi motivasi dan semnagat.

Hanya kepada Allah penulis berharap, siapapun yang telah membantu

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga Allah membalasnya,

memberikan kesehatan, optimisme, kemudahan segala urusan, dan

takdir baik menyertainya, amin.

Jakarta, 12 November 2019

Irfan Hazri

NIM. 111403310000183

Page 14: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

xiv

DAFTAR ISI

COVER…………………………………………………………………….i

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING……………………………ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN……………………………………..iii

LEMBAR PERNYATAAN…………………………………………… iv

ABSTRAK .................................................................................................. v

PEDOMAN TRANSLITERASI .............................................................. vi

KATA PENGANTAR .............................................................................. xi

DAFTAR ISI ........................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................. 1

B. Permasalahan Penelitian............................................................... 5

1. Identifikasi Masalah ...................................................................... 5

2. Pembatasan dan Perumusan Masalah ......................................... 6

C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 6

D. Manfaat Penelitian ....................................................................... 6

E. Tinjauan Pustaka .......................................................................... 7

F. Metodologi Penelitian................................................................. 10

1. Jenis Penelitian ............................................................................ 10

2. Sumber Data ................................................................................. 11

3. Teknik Pengumpulan Data ......................................................... 12

4. Teknik Analisis dan Langkah-langkah Penelitian................... 12

Page 15: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

xv

G. Sistematika Penulisan ................................................................ 13

BAB II TINJAUAN UMUM TAFSIR MARĀH LABĪD DAN TAFSIR

AL-MĪSBĀH ............................................................................................ 14

A. Biografi Imam Nawawī ............................................................. 14

B. Biografi Quraish Shihāb ............................................................. 23

C. Karakteristik Tafsir Marah Labid ............................................... 30

D. Karakteristik Tafsir Al-Mishbāh ................................................ 35

BAB III KONSEP MUTASYĀBIHĀT MENURUT IMAM NAWĀWI

DAN QURAISH SHIHAB ...................................................................... 39

A. Definisi Mutasyābihāt ................................................................ 39

B. Mutasyabîhāt Perspektif Imam Nawawī ................................... 47

C. Mutasyabîhāt Perspektif M. Quraish Shihab ............................. 51

D. Ruang Lingkup Mutasyābbihāt .................................................. 53

E. Hikma Konsep Mutasyābihāt .................................................... 55

BAB IV TAFSIRAN ISTIWA’ POSISI ALLAH PERSPEKTIF IMAM

NAWĀWI DAN QURAISH SHIHB ...................................................... 58

A. Kajian Ayat-ayat Posisi Allah .................................................... 58

1. Bentuk Term Posisi Allah .......................................................... 59

2. Identifikasi Ayat .......................................................................... 62

3. Munasabah Ayat ......................................................................... 65

B.Argumentasi Posisi Allah Menurut Imam Nawawi .................. 68

C. Argumentasi Posisi Allah Menurut Quraish Shihab ................. 71

D. Persamaan dan Perbedaan Kedua Mufassir ............................... 76

Page 16: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

xvi

BAB V PENUTUP .................................................................................. 80

A. Kesimpulan ................................................................................ 80

B. Saran ........................................................................................... 81

DAFTAR PUSTAKA

Page 17: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Memahami ayat-ayat al-Qur’an agar tidak menjadi mis intrepertasi

maka seseorang harus mempelajari metode-metode yang telah disediakan

oleh ulama konservatif maupun progresif. Karena Bahasa al-Qur’anyang

penuh sekali dengan maksud dan tujuan.1 Menurut al-Dzhahabi, lafadz al-

Qura’n memiliki dua dimensi, pertama dimensi Dzhahir (teks), kedua

dimensi Batin (ta’wil),2 bahkan terjadi tiga golongan dalam

mengklasifikasi lafadz ayat al-Quran,3 pertama menyakini bahwa seluruh

lafadz ayat al-Qur’anadalah Muhkam4 sebagaimana firman Allah QS. al-

Hūd [11] 1

خبير حكيم لدن من فصلت ثم آياته أحكمت كتاب الر

“Alif laam raa, (inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi

serta dijelaskan secara terperinci, yang diturunkan dari sisi (Allah) Yang

Maha Bijaksana lagi Maha Tahu”.5

1 Lihat selengkapnya mengenai alasan al-Quran ditirunkan menggunakan

Bahasa Arab, M. Quraish Shihab, Mukjizat Al-Quran, Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan,

Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib (Bandung: Mizan, 2009), 105-106. 2 Muhammad Husain al-Dzhahabī, Tafsīr Wa Mufassirūn (Maktabah Wahbah,

2000) 262. 3 Al-Syaikh Muhammad Abd al-‘Adzīm al-Zarqānī, Manāhil al-‘Irfān Fī ‘Ulūm

al-Quran (Bairūt: Dār al-Kitab al-‘Arabī), juz 2, 213-214. 4 Muhkam ialah lafadz yang memiliki makna yang jelas dan mudah dimengerti

sehingga memiliki ketetapan makna tanpa perlu penjelasan lain kemudiann muhkam ayat

yang tidak dinaskah (dihapus) lihat Al-Syaikh Muhammad Abd al-‘Adzīm al-Zarqānī,

Manāhil al-‘Irfān Fī ‘Ulūm al-Quran (Bairūt:Dār al-Kitab al-‘Arabī) juz 2, 215. Badr al-

Dīn al-Zarkasyī, al-Burhān Fī ‘Ulūm al-Quran (Mesir: Dār al-Turāts, 2008), juz 2, h. 68-

69. Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Rahman ibn Abī Bakr al-Suyūtī Abū al-Fadl, al-Itqān Fī ‘Ulūm

al-Quran (Riyad: al-Irsyād al-Su’udiyyah, 2008), 640. Abū Muhammad ‘Abdullah ibn

Muslim ibn Qutaibah al-Dīnawarī, Ta’wīl Muskil al-Quran (Bairūt: Dār al-Kitab al-

‘Alamiyyah, 2010), 86. 5M. Hasby Al- Shiddieqy, Ilmu-Ilmu Al-Quran (Jakarta: PT. Bulan Bintang,

1993), 166.

Page 18: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

2

Kedua, sebagian kelompok meyakini bahwa seluruh lafadz ayat al-

Qur’anadalah Mutasyabbihat,6 sebagaimana dijelaskan oleh Allah dalam

QS. al-Zumar [39] 23

م الله نز ل أحسن ال حديث كتابا متشابها م ثاني تق شعر منه جلود الذين يخشون رب ه

ومن ذلك هدى الله يهدي به من يشاء ثم تلين جلودهم وقلوبهم إلى ذك ر الله

يضلل الله فما له من هاد

“Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al Quran

yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar karenanya

kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudiann menjadi

tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah petunjuk

Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan

barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya seorang

pemimpinpun”.7

Ketiga, sebagian mereka menyakini bahwa ayat-ayat al-Qur’an

memiliki lafadz Muhkam dan lafadz Mutasyabbihat sebagai mana firman

Allah QS. Alī ‘Imran [3] 7

محكمات هن أم ال كتاب وأخر متشابهات هو الذي أنزل عليك ال كتاب منه آيات

وما يعلم فأم ا الذين في قلوبهم زيغ فيت بعون ما تشابه منه ابتغاء ال فتنة وابتغاء تأ ويله

6Mutasyabbihāt adalah memiliki maksud tersembunyiyang tidak bisa diketahui

dalil Akli dan Naqli sehingga membutuhkan penjelasan lainnya seperti penjelasan hari

kimata dan huruf muqatta’ah. Lihat Al-Syaikh Muhammad Abd al-‘Adzīm al-Zarqānī,

Manāhil al-‘Irfān Fī ‘Ulūm al-Quran (Bairūt: Dār al-Kitab al-‘Arabī) juz 2, . 215. Badr

al-Dīn al-Zarkasyī, al-Burhān Fī ‘Ulūm al-Quran (Mesir: Dār al-Turāts, 2008), juz 2, h.

68-69. Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Rahman ibn Abī Bakr al-Suyūtī Abū al-Fadl, al-Itqān Fī

‘Ulūm al-Quran (Riyad: al-Irsyād al-Su’udiyyah, 2008), h. 640. Abū Muhammad

‘Abdullah ibn Muslim ibn Qutaibah al-Dīnawarī, Ta’wīl Muskil al-Quran (Bairūt: Dār al-

Kitab al-‘Alamiyyah, 2010), h. 86. al-Rāghib al-Asfahānī, Mufradāt Alfādz al-Quran

(Dār al-Qalam, 2009), . 254-255 7 Ramli Abdul Wahid, Ulumul Quran (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1996), 82.

Page 19: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

3

وما يذكر يقولون آمن ا به كل من عند ربنا ل م والر اسخون في ال ع تأ ويله إلا الله

إلا أولو ال أل باب

“Dialah yang menurunkan Al-Kitab (al-Quran) kepada kamu. Di antara

(isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi al-Qur'an

dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang

dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti

sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk

menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang

mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam

ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat,

semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran

(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.”8

Dari tiga kelompok ini yang lebih tendensius adalah pendapat yang

ketiga yang menerima lafadz al-Qur’anyang Muhkam dan mutasyabbihāt.

Setelah pengklasfikasian, terjadi lagi perbedaan kalangan ulama

bagaimana mengintrepretasikan ayat-ayat mutasyabbihāt karena secara

global ayat mutasyabbihāt adalah ayat yang terkait dengan sifat-sifat Allah

,pertama, kelompok yang menafsirkan ayat mutasyabbihāt dengan cara

Nafi al-Sifat (menegasikan sifat).9 Kedua, kelompok antromorfisme

(tasbih) yaitu menafsirkan dengan cara menyerupakan sifat-sifat yang ada

pada manusia.10 Ketiga, kelompok yang lebih moderat, mereka menyakini

sifat-sifat Allah tetapi tidak menyerupakan kepada sifat-sifat manusia.11

Selanjutnya terjadi benturan di kalangan moderat atau yang

sebagian kelompok yang mengaku moderat (salaf) metode apa yang layak

8 Ramli Abdul Wahid, Ulumul Quran (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,

1996), 82. 9Abī al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karīm ibn Abī Bakr Ahmad al-Syahrastanī,

Al-Milal Wa al-Nihal (Bairūt: Dār al-Fikr, 2002), 34. 10Abī al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karīm ibn Abī Bakr Ahmad al-Syahrastanī,

Al-Milal Wa al-Nihal (Bairūt: Dār al-Fikr, 2002), 86. 11Abī al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karīm ibn Abī Bakr Ahmad al-Syahrastanī,

Al-Milal Wa al-Nihal (Bairūt: Dār al-Fikr, 2002), 75.

Page 20: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

4

untuk menafsirkan ayat-ayat Mutasabbihāt, apakah memerlukan tawīl atau

tidak. Menurut kalangan moderat yang menggunakan ta’wil di dalam

menetukan posisi Allah seperti yang dijelaskan QS. Ṭaha [20] 5

الر حمن على ال عرش استوى

(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy

Menurut Imam Nawawī , terma ن ـ حم diartikan sebagai ٱلر

Pencipta seluruh alam. Kata istawa ala ‘arsy sebagai majāz (metafor)

terhadap kerjaan-Nya, dan juga sebagai bentuk kinayah sehingga boleh

diartikan dengan tempat di tempat kerjaannya. Tetapi pada konteks Allah

tidak bisa diartikan bahwa Dia duduk di tempat-Nya dengan makna asli.12

Penafsiran ini sejalan dengan Quraish Shihab Kata ٱستوى (istawa)

menurut ahli bahasa memiliki kaifiyyah (caranya) tidak diketahui,

mempercayainya adalah wajib dan menanyakannya adalah bid’ah. Ia

menambahkan penjelasan, bahwa makna kata ini dengan cara

mengalihkan makna kata istawa dari makna dasarnya yaitu bersemayam

ke makna majazi (metafor) yaitu berkuasa. Sehingga penggalan ayat ini

menegaskan kekuasaan Allah SWT dalam mengatur dan mengendalikan

alam raya.13

Kedua mufasir ini sepakat bahwa ‘arsy sebagai tempat

bersemanyam Allah meskipun tidak diartikan sengan tempat hanya saja

memiliki makna metafor. Permasalahanya muncul ketika kedua mufasir

memiliki interpretasi berbeda terkait posisi Allah dengan merujuk QS. al-

Baqarah [2]: 29 dengan menggunakan kalimat ila al-samā. Menurut Imam

12 Muhammad b. ‘Umar b. Al-Nawawī al-Jāwī, Marāh Labīd Li Kasyf Ma’na al-

Qur’an al-Majīd (Libanan: Bairut Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, 1997), juz 2, 20 13 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-

Qur’an (Jakarata: Lentera Abadi, 2017), Vol. 5, 119.

Page 21: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

5

Nawawī kata ila tidak diartikan dengan makna asli melainkan kata sisipan

yang berorientasi menciptakan. Sedangkan menurut Quraish Shihab

kalimat ini mengandung makna Maha Tinggi sebagai bentuk

mengangungkan tempat bersemanyam Allah. Pandanga Quraish Shihab

masih bisa dirasionalkan yang memberikan interpretasi kalimat yang tidak

jauh dari makna aslinya. Meskipun Imam Nawawī sedikit berbeda

menginterpretasikan QS. al-Mulk [67]: 16, bahwa Allah itu tidak memiliki

tempat sebab bila memiliki tempat maka ada egaliter antara Allah dengan

makhluknya itu sebabnya ia tidak memberikan diktum bahwa Allah

berada di langit.

Dari permasalahan ini maka muncullah suatu penelitian terkait

bagaimana kedua mufasir ini menginterpretasikan ayat-ayat yang

berkaitan tentang posisi Allah dengan berjudul “Intrepertasi ayat-ayat

mutasyabbihāt tentang posisi Allah (Studi Komparati Tafsir Marāh Labīd

dan Tafsir al-Misbāh”

B. Permasalahan Penelitian

1. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang di atas banyak berdebatan mengenai ayat-ayat

mutasyabihat tentang posisi Allah di kalangan ulama, dan banyaknya

penafsiran mengenai ayat-ayat mutasabihat menjadi daya tarik penulis

untuk mengkaji lebih dalam mengenai ayat yang sering diperdebatkan

di antara nya :

a. Ayat Mutasyabihat memiliki makna yang sulit dipahamai secara

rasional, dan perlunya penjelasan.

b. Terjadi perbedaan penafsiran dalam menentukan posisi Allah.antara

Imam Nawawī dan Qurais Syihab.

Page 22: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

6

c. Imam Nawawī dan M.Qurais Syihab memiliki theology yang sama

akan tetapi penafsiran nya berbeda.

d. Metotode yang digunakan oleh Imam Nawawī dan Qurais sihab

2. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam skripsi ini, berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka

penulis merumuskan permasalahan yang akan dibahas :

a. Bagaimana intrepertasi Imam Nawawī al-Jawī dan Quraish

Syihab dalam penafsiran ayat-ayat Mutasyabbihāt tentang

posisi Allah yang sebenarnya?

C. Tujuan Penelitian

Dalam suatu penelitian atau kajian tentu mempunyai tujuan yang

mendasari tulisan ini, yaitu sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui interpretasi dalam tafsir Marā Labīd dan al-

Misbāh tentang memahami ayat-ayat mutasyabbihāt yang menjelaskan

tentang posisi Allah

2. Untuk mengetahui metode apa yang digunakan kedua mufasir dalam

menafsirkan ayat-ayat mutasyabbihāt tentang posisi Allah.

3. Umtuk mengetahui pandangan mufassir Indonesia tentang posisi

Allah.

D. Manfaat Penelitian

Selain memiliki tujuan, penelitian ini diharapkan mempunyai

kontribusi dan manfaat yaitu:

1. Dengan adanya kajian ini, dapat menambah wawasan keilmuan

khususnya dalam bidang tafsir dan ilmu theologi.

2. Dengan adanya kajian dua tokoh ini dapat menambah wawasan

keilmuan tentang tafsir ayat theologi yang lebih keindonesian.

Page 23: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

7

3. Dengan adanya kajian ini penulis berharap mudah-mudahan dapat

dijadikan sebagai literatur dan dorongan untuk mengkaji masalah

tersebut lebih lanjut.

E. Tinjauan Pustaka

Penelitian ini perlu dikaji dan diteliti dari berbagai aspek, karena

bersinggungan langsung dengan sosial kemasyarakatan yang bermayoritas

beragama Islam di negara ini. Penelitian yang berjudul “Intrepertasi

Ayat-ayat Mutasyabbihāt tentang Posisi Allah (Studi Komparati

Tafsir Marāh Labīd dan Tafsir al-Misbāḥ)”

Dari hasil penelusuran yang telah dilakukan ditemukan literatur

yang berbentuk jurnal dan skripsi yaitu:

1. al-Qadi al- Jabbar dan Ayat-ayat Mutasabbihat dalam al-Qur’anoleh

Machasin, yang diambil dalam bentuk jurnal. Penelitian ini membahas

tentang kitab mutasabbihat.14

2. Konstruksi Penafsiran Ayat-ayat Muhkamat dan Mutasyabihat

Sebagai Hujjah oleh Haryadi, yang diambil dalam bentuk jurnal.

Tulisan ini menjelaskan kembali pendapat Ulama tentang ayat

Mutasyabihat, apa ayat mutasyibihat itu bisa dicapai pengertiannya

atau tidak, ternyata ada ayat mutasyabihat itu dapat dicari

pengertiannya da nada yang tidak dapat dicari pengertiannya yang

sebenarnya, dengan ini jelas ayat mutasyabihat yang dapat difahami

pengertiannya sama kedudukannya dengan ayat yang muhkamat yang

menjadi pegangan dan sandaran bagi segala tindak tanduk kita sehari-

hari.15

14 Machasin, “al-Qadi al-Jabbar dan Ayat-Ayat Mutasabbihat dalam al-Quran,”

al-Jamia’ah, no. 57 (t. b, 1994). 15 Haryandi, “Konstruksi Penafsiran Ayat-Ayat Muhkamat dan Mutasyabihat

Sebagai Hujjah,” Garuda Ijtihad, Vol. 34, no. 1 (Juni, 2018):14.

Page 24: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

8

3. Memahami Makna Muhkamat dan Mutsyabihat dalam al-Qur’anoleh

Novi Yanti, yang diambil dalam bentuk jurnal. tulisan ini membahas

tentang Semua hal yang berkaitan dengan Al-Qur’antentang ayat

muhkam. Karena muhkam adalah subjek dari Alquran, dan ada

beberapa ayat mutasyabih yang artinya dikembalikan ke ayat

muhkamat. Takwil untuk ayat mutashabihat dilakukan tidak hanya

oleh generasi khalaf, tetapi generasi Salaf (tiga abad pertama Hijrah)

juga melakukan hal yang sama.16

4. Membincang Ayat-Ayat Muhkam dan Mutsyabihat oleh Muhammad

Anwar Firdausi, yang diambil dalam bentuk jurnal. Tulisan ini

membahas tentang dalam memahami al Quran manusia, khususnya

umat muslim masih menemukan kesulitan dalam memahami arti

secara benar. Dalam kajian studi Islam hal tersebut biasa disebut

dengan ayat-ayat muhkam dan mutasyabihat. Dalam tulisan ini juga

menjelaskan interpretasi para ulama yang terjadi berselisih pendapat,

meskipun pada subtansinya sama-sama benar, hanya caranya yang

berbeda.17

5. Skripsi Moh Hidayat Penafsiran Ayat-ayat Mutasabbihat dalam Tafsir

al-Jilani karya Syaikh Abd al-Qdir al-Jilani. Dalam skripsi ini hanya

meneliti tentang kajian penafsiran Syaikh ‘Abd al-Qadir al-jilani

terhadap beberapa ayat-ayat mutasabbihat. Yang berbicara seakan-

akan Allah menyerupai mahluknya.18

6. Skripsi yang ditulis oleh Abdul Qodir berjudul “Metode Ulama Salaf

dalam Memahami Ayat-ayat Mutasyabbihat (Studi terhadap Metode

16 Novi Yanti, “Memahami Makna Muhkamat dan Mutasyabihat dalam al-

Quran,” al-Islah Jurnal Pendidikan, Vol. 8, no. 2 (t. b, 2016): 246-256. 17 Muhammad Anwar Firdausi, “Membincang Ayat-ayat Muhkam dan

Mutsyabih”, Ulul Albab, Vol. 16, no 1 (t. b, 2015). 18 Mohammad Hidayat, “Penafsiran Ayat-Ayat Mutasabbihat dalam Tafsir al-

Jilani Karya Syaikh Abd al-Qdir al-Jilani,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuludin Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012).

Page 25: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

9

Tafwīd dan Ta’wil Ayat-ayat tentang Sifat Allah)”. skripsi ini

menjelaskan tentang metode apa yang dilakukan ulama salaf dalam

menafsirkan ayat-ayat mutasyabihat.19

7. Skripsi yang ditulis oleh Ahmad Faroqi berjudul “Analisi Ayat –ayat

Mutasyabihat Tafsir al-Munir Karya Wahbah al-Zuhailī”. Skripsi ini

menjelaskan tentang penjelasan dari Wahbah al-Zuhali di dalam

tafsirnya mengenai ayat-ayat yang mutasyabihāt.20

8. Skripsi yang ditulis oleh Hanel Betaria yang berjudul “Ayat-ayat

Mutasyabbihat dalam al-Qur’an: Studi analisis terjemahan al-

Qur’anoleh Hb. Jasin terhadap ayat-ayat antropomiorfisme. Skripsi

ini hanya membahas tentang analisis penafsiran oleh Hb. Jasin tentang

ayat-ayat mutsyabihat (antropomorfisme).21

9. Skripsi ditulis oleh A. Faroqi berjudul “Analisis Ayat-ayat

Mutasyabihat Tafsir al-Munir Karya Wahbah al-Zuhaili”. Tulisan ini

hanya fokus pada kajian analisis dalam kitab tafsir Wahbah al-

Zuhaili.22

10. Skripsi yang ditulis oleh Randa yang berjudul “Interpretasi Hadits

Terhadap Ayat-ayat Mutasyabihat: Studi Ayat-ayat Tajsim. Tulisan ini

19Abdul qodir, “metode ulama salaf dalam memahami ayat-ayat mutasyabbihat

(studi terhadap metode Tafwīd dan Ta’wil ayat-ayat tentang sifat Allah),” (Skripsi S1

Fakultas Ushuludin Jurusan Tafsir Hadits, Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga

Yogyakarta, 2015) 20Ahmad Faroqi, “Analisi ayat –ayat Mutasyabihat Tafsir al-Munir Karya

Wahbah al-Zuhailī,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Humainora, Universitas Islam

Negri Walisongo, 2016) 21 Hanel Betaria, “Ayat-ayat Mutasyabbihat dalam al-Quran : Studi analisis

terjemahan al-Quran oleh Hb. Jasin terhadap ayat-ayat antropomiorfisme,” (Skripsi S1

Fakultas Ushuludin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullan Jakarta, 2012). 22 A. Faroqi, “Analisis Ayat-ayat Mutasyabihat Tafsir al-Munir Karya Wahbah

all-Zuhaili,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuludin dan Humaniora Universitas Islam Negeri

Walisongo Semarang, 2016).

Page 26: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

10

melihat penafsiran ulama dengan merujuk interpretasi hadits tentang

ayat-ayat mutasyabihat berupa tajsim.23

Dari beberapa literatur skripsi yang dijelaskan di atas, penulisan tidak

menemukan adanya kesamaan secara khusus yang dibahas oleh penulis

dalam penulisan ini adalah “Intrepertasi ayat-ayat mutasyabbihāt tentang

posisi Allah (studi komparatif tafsir Marāh labīd dan al-Misbāh)”

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu

penelitian dengan mengumpulkan kata atau kalimat dari individu, buku

atau sumber yang lain.24 Penulis menggunakan metode pendekatan

penafsiran al-Qur’andari segi tafsir tematik. Yakni, menghimpun ayat-

ayat al-Qur’anyang memiliki tujuan yang sama, menyusunnya secara

kronologis selama memungkinkan dengan memperhatikan sebab

turunnya, menjelaskannya, mengaitkannya dengan surah tempat ia

berada, menyimpulkan dan menyusun kesimpulan tersebut ke dalam

kerangka pembahasan sehingga tampak dari segala aspek, dan

menilainya dengan kriteria pengetahuan yang sahih.

Untuk lebih jelasnya, penulis menghimpun ayat-ayat Al-

Qur’anyang berkenaan ayat-ayat mutasyabbihāt tentang posisi Allah,

kemudian menyusunnya berdasarkan kronologis serta sebab turunnya

ayat-ayat tersebut, sehingga diketahui pengklasifikasiannya. Apakah ia

tergolong ayat-ayat makkiyah atau madaniyyah.

23 Randa, “Interpretasi Hadits Terhadap Ayat-ayat Mutasyabihat: Studi Ayat-

ayat Tajsim,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam

Negeri Raden Fatah Palembang, 2018). 24 Nanang Martono, Metode Penelitian Kualitatif (Jakarta: Grafindo Persada,

2010), 19.

Page 27: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

11

2. Sumber Data

Sumber utama yang menjadi data primer adalah penafsiran Ulama

melalui buku Marāh Labīd Imam Nawawī dan al-Misbāh Quraisy

Shihab. Sedangkan data sekunder didapat dari tulisan orang lain yang

membicarakan dan mendiskusikan tentang posisi Allah dan kajian

ayat-ayat mutasyabih, artikel, jurnal dan lainnya yang memiliki

korespondensial dengan tema penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Mengenai pengumpulan data, penulis menggunakan metode atau

teknik library research, yaitu mengumpulkan data-data melalui bacaan dan

literatur-literatur yang ada kaitannya dengan pembahasan penulis. Teknik

ini bisa disebut juga sebagai studi dokumen yang merupakan salah satu

proses kajian penelitian untuk melihat dan menganalisis pernyataan atau

data seseorang atau kelompok. Studi dokumen ini dilakukan dengan

melihat hasil data dari para penelitian yang sudah ada untuk melihat gejala

perubahan sosial di masyarakat mengenai penelitian penulis.25 sebagai

sumber pokoknya adalah al-Qur’andan penafsirannya, serta sebagai

penunjangnya yaitu buku-buku ke Islaman yang membahas secara khusus

tentang Tafsir, disiplin Ilmu Bahasa dan buku-buku yang membahas

secara umum dan implisitnya mengenai masalah yang dibahas. Adapun

dalam pengumpulan ayat-ayat al-Qur’an sebagai bahan penafsiran adalah

dengan pendekatan tafsir tematik. Adapun langkah-langkah dalam mencari

tema ayat, hendaknya ditempuh untuk menerapkan metode maudhu’ī.

25 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja

Posdakarya ) hlm 216-217

Page 28: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

12

Langkah-langkah tersebut dengan menggunakan teori al-Farmawī, di

antaranya:26

1. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik).

2. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah

tersebut.

3. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai

pengetahuan tentang asbāb al-nuzūl

4. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam suratnya masing-

masing.

5. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna

(outline).

6. Melengkapi pembahasan yang relevan dengan pokok bahasan.

7. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan

jalan menghimpun ayat-ayatnya yang mempunyai pengertian

yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum)

dan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau

yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya

bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.

1. Teknik Analisis dan Langkah-Langkah Penelitian

Metode yang digunakan dalam pembahasan skripsi ini adalah

deskriptif-analitik, yaitu mendeksripsikan keseluruhan data yang sudah

ada.27

Pertama, mereduksi yaitu kegiatan merangkum atau memilih data-data

penting sehingga dapat memberikan gambaran secara spesifik dalam

26 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu

Dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung : Penerbit Mizan, 1994), h. 114-115. 27 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&B, (Bandung:

Alfabeta, 2017) hlm 245

Page 29: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

13

menentukan permasalah penelitian. Penulis memilih tema umum tentang

pembelaan terhadap al-Qur’an.

Kedua, penyajian data. Kegiatan ini dilakukan setelah mereduksi data.

Selanjutnya data yang sudah direduksi disajikan dengan diagram yang

akan mempermudah dalam memahami penjelasan deskriptif.

Ketiga, penarikan kesimpulan, kegiatan ini merupakan kegiatan

terakhir yang dilakukan dalam penelitian. Setelah melakukan dua kegiatan

di atas maka harus dilakukan kesimpulan sebagai gambaran umum hasil

penelitian tersebut.

G. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah dan memberikan arah serta gambaran materi

yang terkandung dalam skripsi ini, maka penulis menyusun dengan

sistematika sebagai berikut:

Bab I merupakan bab pendahuluan yang teridiri dari latar belakang

masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tinjauan pustaka, tujuan

penelitian, metode penelitian dan penulisan serta sistematika penulisan.

Bab II Berisi tentang Tinjauan Umum Tafsir Marā Labīd dan al-

Misbāh

Bab III Membahas tentang pngertian mutasyabbihāt, menurut

M.Quraisyihab dan Imam Nawawī al-Bantani, Ruang lingkup

mutasyabbihāt, Fungsi adanya ayat mutasyabbihāt, pengaruh adanya ayat-

ayat mutasyabbihāt,

Bab IV Sebagai pembahasan inti mengenai metode penafsiran

Imam Nawāwī al-Jāwī Marāh Labīd dan Quraisy Syihab al-Misbā di

dalam memahami ayat-ayat mutasyabbihāt, dan bagaimana menafsirkan

ayat-ayat yang mengenai posisi Allah.

Bab V Merupakan bab penutup terdiri dari kesimpulan dan saran-

saran

Page 30: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

14

BAB II

TINJAUAN UMUM TAFSIR MARĀ LABĪD DAN AL-MISBĀḤ

A. Biografi Imam Nawawī al-Bantani

Imam Nawawī adalah panggilan populer di kalangan akademisi

Islam, sedangkan nama aslinya adalah Abū ‘Abd al-Mu`thi Muhammad

Nawawi b. Umar b. ‘Arabi b. Alī al-Jāwi al-Bantāni al-Tanāra al-Syāfi’i

al-Qadari. Daerah Arab ia dikenal dengan sebutan nama al-Syaikh

Muhammad Nawawi al-Jāwi al-Makki, sedangkan di Indonesia tempat

kelahirannya lebih dikenal dengan sebutan nama Kiai Nawawi Banten.1

Nama Muhammad Nawawi sendiri diambil dari nama seorang ulama

Islam yang produktif dan penulis kitab-kitab fiqh madzhab Syafi`i,

dengan harapan agar kelak puteranya yang sudah punya tanda-tanda

kecerdasan dan kesalehan akan mengikuti jejak Imam Nawawi, dan hal

itu terbukti dengan keproduktifannya dengan banyaknya karya-karya

yang dihasilkan dalam berbagai cabang ilmu keagamaan.2

Ayahnya merupakan sosok dikenal sebagai tokoh karismatik yang

disegani, disamping sebagai seorang ulama yang memimpin pesantren

di Tanara, ia juga masih keturunan bangsawan yang taat beragama.

Ibunya adalah seorang Ibu Rumah Tangga yang sukses mendidik semua

putera-puteranya, yang dikemudian hari menjadi pemuka agama, di

antaranya: Kiai Nawawi, Kiai Tamim, Kiai Said, Kiai Ahmad, dan Kiai

Abdullah. Adapun melihat dari silsilahnya, Imam Nawawi merupakan

keturunan ke dua belas dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan

1 Mustamin Arsyad, “Signifikansi Tafsir Marāh Labīd, Terhadap

Perkembangan Studi Tafsir di Nusantara,” Studi al-Qur’an, Vol. I, no. 3 (t. b, 2006):

616. 2 Mustamin Arsyad, “Signifikansi Tafsir Marāh Labīd, 617.

Page 31: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

15

Gunung Jati), yang silsilahnya masih bersambung dengan Nabi

Muhammad SAW, melalui Imam Ja’far al-Ṣadīq, Muhammad al-Baqīr,

Alī Zainal ‘Abidīn, Sayyidina Husain, Fathimah al-Zahra3

Tempat kelahiranya Tanara, Tirtayasa, Serang, Banten letaknya

di propinsi yang pisah dari Jawa Barat, Indonesia. Nawawi al Bantani

adalah putera pertama dari seorang penghulu juga ulama berasal dari

Tanara. Ibunya bernama Jubaidah penduduk asli Tanara dari keturunan

ayahnya. Nawawi al Bantani disinyalir sebagai keturunan Maulana

Hasanuddin, yang merintis, membuka kerajaan Islam Banten atas

perintah ayahnya, Syaikh Syarif Hidayatullah atau dikenal Sunan

Gunung Djati Cirebon.

Pendidikan agama ia dimulai sejak masa kanak-kanak. Nawawi

dikenal sebagai orang yang tekun dan fokus dalam mencari ilmu.

Bersama saudaranya Ahmad dan Tamim, ia belajar ilmu pengetahuan

agama Islam zdari ayahnya sendiri. Ilmu-ilmu yang dipelajari meliputi

pengetahuan dasar gramatika Arab (Nahwu dan Sharf), Fiqh, Tauhid,

dan Tafsir. Mereka juga belajar pada Kiai Sahal, seorang ulama terkenal

di daerah Banten. Kemudian mereka dikirim oleh ayahnya ke daerah

Purwakarta (Karawang) untuk melanjutkan studi pada K.H. Yusuf,

seorang kiai alim yang muridnya banyak berasal dari luar Jawa Barat.4

Dalam usia 15 tahun, Nawawi al Bantani rihlah intlektual ke

Mekkah.5 Di sana ia menuntut ilmu dan berguru pada Sayyid Ahmad

3 Mustamin Arsyad, “Signifikansi Tafsir Marāh Labīd, 58. Lihat pula, Mamat

Burhanuddin, Hermeneutika Al-Qur’an ala Pesantren (Analisis Terhadap Tafsir

Marâh Labîd Karya K.H. Nawawi Banten), cet. I, (Yogyakarta: UII Press, 2006), h.

21. 4 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup

Kiyai, (Jakarta: LP3S, 1982), 87. 5 ‘Abd al-Rahman, “Nawawi al Bantani; an Intellectual Master of The

Pesantren Tradition.” Studia Islamika. Vol. III. no. 3, (t. b, 1996): 23-24.

Page 32: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

16

Nahrawi, Sayyid Ahmad Dimyathi, Sayyid Ahmad Zaini Dahlan, yang

semuanya itu mereka ulama yang tinggal di Mekkah. Ia juga belajar

pada Muhammad Khathib al Hanbali, seorang ulama yang bermukim di

Madinah, kemudian ia melanjutkan rihlah intlektual ke daerah Syam

dan Mesir. Ilmu-ilmu yang diperoleh dari para gurunya inilah yang di

kemudian hari menjadi bekal bagi Nawawi al-Bantani untuk

menghasilkan sebuah karya tafsir marāh labīd dan tidak hanya tafsir tapi

ilmu-ilmu lainnya. Kegiatan selain belajar, ia juga menyibukan dengan

kegiatan mengajar murid-muridnya yang di kemudian harinya menjadi

ulama besar di Nusantara6. Di Indonesia, murid-murid Nawawi

termasuk tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan selain

dalam dakwah Islam juga dalam perjuangan Nasional. Di antaranya

adalah K.H. Hasyim Asy`ari dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur

(Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama), K.H. Khalil dari Bangkalan,

Madura, Jawa Timur, K.H. Asy`ari dari Bawean, yang menikah dengan

dengan puteri Syekh Nawawi, Nyi Maryam, K.H. Najihun dari

Kampung Gunung, Mauk, Tangerang, Banten yang menikahi cucu

perempuan Syekh Nawawi, Nyi Salmah bint Rokayah bint Nawawi,

K.H. Tubagus Muhammad Asnawi dari Caringin, Labuan, Pandeglang,

Banten, K.H. Ilyas dari kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang,

Banten, K.H. Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Tirtayasa, Serang,

Banten, K.H. Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta, Jawa Barat.7 Ada

pula yang berasal dari Malaysia, seperti K.H. Dawud (Perak). Murid-

murid lainnya adalah Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabau, Syekh

6 Sunanto Musyrifah. “Nawawi al Bantani: Ulama Indonesia Pengarang

Tafsir Munir” (zHasil Penelitian). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 27. 7 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup

Kiyai, 89.

Page 33: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

17

Abd al-Hamid Quds, Syekh Abd al-Sattar al-Dihlawi, dan Syekh Said

al- Yamani.8

Setelah lamanya menuntut ilmu di negeri Arab, ia kemudian

pulang ke Tanara, Banten tepatnya pada tahun 1833. Sesampai di

kampung halamannya, ia menyebarluaskan ilmunya kepada santri-santri

pesantren orang tuanya dengan harapan agar mereka mendapatkan

pengetahuan Islam dan disebarluaskannya. Selain mengajar para santri,

ia juga memberikan ceramah-ceramah umum di lingkungan masyarakat

sekitarnya. Ceramah-ceramahnya ternyata mampu menyedet masa dan

menggairahkan kesadaran mereka untuk bangkit melawan para kolonial

yang membawa penindasan di bumi Nusantara ini. Meskipun situasi

politik Banten pada saat itu belum berubah jauh dari saat

ditinggalkannya di Mekkah. Para Kolonial Belanda selalu terus-

menerus melakukan pengawasan terhadap kegiatan keagamaan tanpa

terkecuali kegiatan-kegiatan Nawawi al Bantani. Kemampuannya

dalam memobilisasi masa semakin membuat pihak Belanda ketakutan.

Untuk mengurung pengaruhnya di masyarakat, para Kolonial merasa

perlu membuat cara yang dapat menghalangi hubungannya dengan

masyarakat (pengikut-pengikutnya) yang pada akhirnya ceramah-

ceramahnya tersebut dapat dibekukan oleh pihak Belanda.9 Pemikiran

Nawawi al Bantani bisa dilihat ketika hegemoni yang dibawa oleh Imam

Nawawi itu ditulis dalam karya-karya fikih, tauhid, tasawuf, tafsir,

hadis, dan sejarah.10 Menurut ‘Abd al-Rahman tipikal dan tipologis

8 Aan Parhani, “Metode Penafsiran Syekh Nawawi al-Bantani Dalam Tafsir

Marāh Labīd,” Tafsere, Vol. 1, no. 1 (t. b, 2013): 10. 9 Ansor Bahary, “Tafsir Nusantara: Studi Kritis Terhadap Tafsir Marāh Labīd

Nawawi al-Bantani,” Ulul AlBab, Vol. 16, No. 2 (t. b, 2015): 178-179. 10 Tihami, “Pemikiran Fiqh al Syaikh Muhammad al Nawawi al Bantani,”

(Disertasi S2., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,1998), 8-9.

Page 34: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

18

pandangan Nawawi al Bantani diringkas menjadi empat bidang; tafsir,

sufisme, hukum Islam, dan tauhid.11 Artinya, menyangkut tasawuf atau

sufisme, ia tidak menyuruh dan tidak pula melarang murid-muridnya

untuk memasuki tarekat, ia tampaknya berusaha bersikap netral,

sekalipun diketahui ia merupakan pengikut salah seorang gurunya

Syaikh Khathib al Sambasi, tokoh pendiri tarekat Naqsyabandiyah wa

Qadiriyah di Nusantara ini. Nawawi al Bantani sendiri menulis

beberapa karya tentang tasawuf atau sufisme seperti disebutkan dalam

karya-karya ilmiahnya. Tasawuf yang diikutinya adalah tasawuf al

Ghazali. Dalam bidang hukum Islam, lebih tendensius kepada madzhab

al Syafi’i. Pada konteks ini, ia juga menafsirkan dan memberikan

penjelasan karya-karya Syafi’iyah, seperti al Ramli, Zakaria al Anshari,

Ibnu Hajar al Asqalani dan sebagainya. Dalam bidang tauhid, Nawawi

al Bantani adalah tipikal Asy’ariyah, sekalipun ia tetap menekankan

pentingnya penggunaan akal dalam memahami Tuhan khususnya, di

samping wahyu al Quran itu sendiri.

Selain itu, terkait sikap dan pemikiran Nawawi al Bantani, secara

sosio-kultural dan sejarah, para penulis Ensiklopedi Islam dapat

memotretnya menjadi beberapa hal, antara lain: pertama, Ia tidak begitu

agresif atau reaksioner alias konfrontasi frontal dalam menghadapi

pemerintahan Kolonial Belanda, sekalipun ia tidak kooperatif dalam

bentuk apapun. Kedua, senantiasa memusatkan pada pendidikan dan

pengajaran, memperhatikan jiwa-jiwa keagamaan dalam membekali

muridmuridnya, serta semangat untuk menegakkan kebenaran. Ketiga,

Membina dan menganjurkan hubungan sosial dengan orang-orang kafir

11 Azbd al- Rahman, “Nawawi al-Bantani; an Intellectual Master of The

Pesantren Tradition.” Studia Islamika. Vol. III. no. 3,(t. b, 1996): 82.

Page 35: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

19

yang tidak menjajah, karena semua manusia adalah saudara. Keempat,

ia mendukung segala bentuk ide pembaharuan dalam memahami agama

demi mewujudkan hakikat kebenaran, apalagi pada masa hidupnya di

Mekkah merasakan langsung ‘kehangatan’ iklim pembaharuan yang

bergejolak pada saat itu. Kelima, Dalam menghadapi tantangan zaman,

umat Islam perlu menguasai berbagai bidang keterampilan dan keahlian.

Keenam, Terkait urusan khilafiyah yang ada di umat, Nawawi al Bantani

menganggapnya sebagai rahmat pada konteks keragaman dalam

beragama, kemampuan dan persaingan untuk kemajuan Islam. Dengan

demikian, pemikiran dan sikap Nawawi al Bantani dapat dikatakan

sebagai ulama yang memegang prinsip dan keteguhan terhadap

kebenaran, terutama sekali kebenaran keyakinan agamanya. Yang tidak

kalah pentingnya dalam hubungan sosi-politiknya pada saat itu adalah

open minded baik terhadap orang yang seakidah maupun mereka yang

tidak seakidah dengannya, mengakui adanya pluralitas manusia di dunia

ini, tidak alergi pada pembaharuan dan dalam menempuhnya orang

Islam harus memiliki keahlian dan keterampilan sehingga bisa sejajar

dan sebanding dengan manusia lainnya. 12

Imam Nawawi menikah dengan seorang isteri yang berasal dari

daerah yang sama yaitu daerah Bnaten. Dia yang senantiasa

mendampingi beliau selama perjalanan hidupnya. Dia memegang

peranan penting dalam keluarga. Dengan sukses dia berusaha

menentang hasrat suaminya untuk mengambil isteri yang kedua yang

dikenal dengan istilah poligami.13 Dari isterinya itu, beliau dikarunia

12 Ansor Bahary, “Tafsir Nusantara: Studi Kritis Terhadap Tafsir Marāh

Labīd Nawawi al-Bantani, 182. 13 Aan Parhani, “Metode Penafsiran Syekh Nawawi al-Bantani Dalam Tafsir

Marāh Labīd, 7.

Page 36: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

20

satu orang Putera yang bernama ‘Abd al-Mu`thi dan meninggal ketika

masih balita, dan empat orang puteri, yaitu: Rokayah, Nafisah, Maryam,

dan Zahrah.14

Imam Nawawi wafat pada hari Kamis 25 Syawal 1314 H/1897

M di Syi’ib Ali, Mekkah dalam usia 84 tahun. Ia dikubur di Pemakaman

Ma’la yang berdekatan dengan kuburan Ibnu Hajar alAsqalani (pakar

hadis abad 9 H) dan Siti Asma’ binti Abu Bakar al Shiddiq.15

Sepak terjang dalam dunia pendidikan tidak diragukan lagi,

ditambah karya-karya yang ia tulis cukup banyak dan memiliki

kemanfaatan bagi kalangan generasi setelahnya sebagai referensi

agama. Adapaun karya-karyanya di antara beberapa pemerhati karya

Syekh Nawawi tidak ada kesepakatan mengenai jumlah buku yang

ditulis oleh Nawawi. Sebagian mengatakan Imam Nawawi memiliki

karya sekitar 100 karya dalam berbagai bidang ilmu. Sebagian

kelompok berpendapat Imam Nawawi memiliki 80 karya. Sumber lain

menyebut lebih dari 100 karya yang kesemuanya ditulis dalam bahasa

Arab.16 Mustamin melacak karya-karya Imam Nawawi dengan berusaha

keras untuk mendapatkan yang belum dicetak/ diterbitkan, atau minimal

mendapatkan judul-judulnya yang dikatakan mencapai seratusan karya

tersebut, dengan mengunjungi Perpustakaan Al- Haram al-Makki yang

terletak di sebelah Masjid al-Haram, pada bulan Dzul Hijjah 1418 H,

14 Mamat, mengutip pendapat Chaidar, menyebutkan bahwa dari Nasimah

lahir dua anak; Maryam Nafisah (jadi satu nama) dan Rokayah, sedangkan dari

Hamdanah lahir Zahrah. Ia tidak menyebutkan Abd al-Mu’thi anak dari isteri yang

mana. Lihat. Aan Parhani, “Metode Penafsiran Syekh Nawawi al-Bantani Dalam

Tafsir Marāh Labīd,” Tafsere, Vol. 1, no. 1, (t. b, 2013): 8. 15 Ansor Bahary, “Tafsir Nusantara: Studi Kritis Terhadap Tafsir Marāh

Labīd Nawawi al-Bantani, 178. 16 M. Mustamin Arsyad, al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jāwi wa Juhūduhu

fī al-Tafsīr al-Qur’an al-Karīm fī Kitābihi “al-Tafsīr al-Munīr li Ma`ālim al-Tanzīl,

(Desertasi Doktor S3., Universitas al-Azhar Kairo-Mesir, 2000), 157-158.

Page 37: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

21

akan tetapi tidak ditemukan sama sekali. Dari sekian banyak karyanya

tersebut, diklasifikasikan ke dalam tujuh bidang, yaitu di antaranya:

1. Bidang Tafsir. Imam Nawawi menulis Marāh Labīd li Kasyf

ma’na Qur’an Majīd, yang lebih dikenal dengan al-Tafsīr al-

Munīr li Ma’ālim al-Tanzīl al-Musfar ‘an wujūh Mahāsin al-

Ta’wīl, yang diterbitkan pertama kali di Kairo tahun 1305 H.

2. Bidang Hadis. Ia menulis di antaranya: Tanqīh al-Qaul al-

Hatsīts bi Syarh Lubāb al-Hadīs, Nashā’ih al-‘Ibād fī Bayān

Al-fāzh Munabbihāt ‘ala al-Isti’dād li Yaum al-Ma’ād.

3. Bidang Tauhid dan Ushuluddin. Karyanya antara lain: Tîjān

al-Durari Syarh Risālah al-Bājūrī, Dzarī’ah al-Yaqīn ‘ala

Umm al-Barāhīn, Syarh `Alā Manzhūmah al-Syekh

Muhammad al-Dimyāthī fī al-Tawashshul bi Asmā’ Allah al-

Husna, al-‘Aqd al-Tsamīn Syarh Fath al-Mubīn Fath al-

Majīd fî Syarh al-Durr al-Farīd, Qāmi’ al-Tughyān ‘ala

Manzhūmah Syu’ab al-Imān, Qathr al-Ghaits fī Syarh

Masā’il Abī al-Laits, Naqāwah al-‘Aqīdah wa Syarhuh al-

Musamma al-Nahjah al-Jayyidah li Hall Naqāwah al-

‘Aqīdah, Nūr al-Zhallām fī Syarh ‘Aqīdah al-‘Awwām.

4. Bidang Fiqh dan Ushul Fiqh. Ia menulis di antaranya:

Bahjah al Wasā’il bi Syarh Masā’il (2) al-Tsamār al-

Yāni’ah fī al-Riyādh al-Badī’ah, Sullam al-Munājah ‘ala

Safīnah al-Shalāh, Sulūk al-Jāddah fī Bayān al-Jum’ah wa

al-Mu’ādah, Fath al-Mujīb bi Syarh Mukhtashar al-Khatīb,

Qūth al-Habīb al-Gharīb Hāsyiah ‘ala Fath al-Qarīb al-

Mujīb, Kāsyifah al-Sajā Syarh Safīnah al-Najā, Nihayah al-

Zain fī Irsyād al-Mubtadi’īn.

Page 38: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

22

5. Bidang Tasawuf dan Akhlaq, ia menulis yang sudah

diterbitkan di antaranya: Salālim al-Fudhalā Syarh

Manzhūmah Hidāyah al-Adzkiyā, Marāqī al-‘Ubūdiyyah

Syarh Bidāyah al-Hidāyah, Mirqāh Shu’ūd al-Tashdīq fī

Syarh Sulam al-Taufīq, Mishbāh al-Dhallām ‘ala al-Manhaj

al-Atamm fī Tabwīb al-Hikam, Minhâj al-Rāghibīn fī al-

Shafā wa al-Uns

6. Bidang Sīrah (Sejarah Nabi Muhammad SAW). Ia menulis

di antaranya adalah: al-Ibrīz al-Dāni fī Maulid Sayyidinā

Muhammad al-‘Adnānī, Bughyah al-‘Awwām fī Syarh

Maulid Sayyid al-Anām, Targhīb al-Musytāqīn li Bayān

Manzhūmah al-Sayyid al-Barjanjī fī Maulid Sayyid al-

Awwalīn wa al-Ākhirīn, al-Durar al-Bahiyyah fī Syarh al-

Khashāish al-Nabawiyyah, Fath al-Shamad al-‘Ālim ‘ala

Maulid al-Syekh Ahmad ibn Qāsim, Madārij al-Shu’ūd ila

Iktisāh al-Burūd.

7. Bidang Nahw, Sharf, dan Balaghah. Ia menulis di antaranya

adalah: Fath Ghāfir al-Khathiyyah ‘ala al-Kawākib al-

Jaliyyah fī Nazhm al-Ajrūmiyyah, al-Fushūsh al-Yāqūtiyyah

‘ala al-Raudhah al-Bahiyyah, al-Riyādh al-Qauliyyah fī al-

Sharf, Kasyf al-Marūthiyyah ‘ala Sitār al-Ajrūmiyyah,

Lubab al-Bayan fî `Ilm al-Balâghah.

8. Bidang tajwid, ia menulis Hilyah al-Shibyān fī ‘Ilm al-

Tajwīd

Page 39: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

23

9. bidang ahwāl al-syakhsiyyah (hubungan suami isteri) ada

kitab yang berjudul ‘Uqūd al-Lujjain fī Bayān Huqūq al-

Zaujain.17

B. Biografi M. Quraish Shihab

Nama kepanjangannya adalah Muhammad Quraish Shihab, ia lahir

tanggal 16 februari 1944 di daerah Rapang, Ujung Pandang, Sulawesi

Selatan. Ia merupakan anak ke-4 dari delapan bersaudara serta dari

pasangan suami istri Prof. KH. Abdurrahman Sihab dan Asma Aburisyi

yang merupakan keluarga bernasab (keturunan) arab seorang

berpendidikan akademisi dan terpelajar yang menjadi ulama sekaligus

guru besar di IAIN Alauddin Ujung Pandang.18 sebagai seseorang yang

memiliki berfikiran progresif, Abdurrahman percaya bahwa pendidikan

merupakan agen perubahan. Maka tak heran ayahnya sejak kecil

memberikan edukasi kepada anaknya M. Quraish Shihab. Ia telah

menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap al-Qur’an pada usia enam

sampai tujuh tahun. Ia mengikuti pengajian al-Qur’an yang diadakan

oleh ayahya sendiri. Selain menyuruh membaca al-Qur’an, ayahnya

juga menjelaskan maksud dari isi ayat al-Qur’an secara sepintas tentang

17 Lihat dalam desertasinya Mustamin hampir membahas dan mencantumkan

seluruh karya-karya di atas. Sebagian juga ada beberapa karya yang tidak sempat

beliau temukan kitabnya, tantang substansi dari isi masing-masing kitab dan

kedudukannya di Indonesia. M. Mustamin Arsyad, al-Syekh Muhammad Nawawi al-

Jāwi wa Juhūduhu fī al-Tafsīr al-Qur’an al-Karīm fī Kitābihi “al-Tafsīr al-Munīr li

Ma`ālim al-Tanzīl, (Desertasi Doktor pada Universitas al-Azhar Kairo-Mesir, 2000),

h. 155-233. Lihat pula, Sobby Arsyad, Buku Daras Potret Tafsir al-Qur’an Di

Indonesia (Bandar Lampung: 2007), 8. 18 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu

dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 2003), 6.

Page 40: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

24

kisah-kisah dalam al-Qur’an. Di sinilah mulai tumbuh benih-benih

kecintaan M. Quraish Shihab kepada al-Qur’an.

Riwayat pendidikan M. Quraish Shihab dimulai dari pendidikan

formal yaitu dari Sekolah Dasar (SD) Lompobattang, Ujung Pandang.

Ia tamat SD pada usia 11 tahun. Setelah tamat SD, ia melanjutkan

pendidikannya di SMP Muhammadiyyah Makassar. Namun tak sampai

lulus di SMP Muhammadiyah Makassar, tepatnya hanya setahun

mengenyam pendidikan di sana, ia terpikat oleh kepiawaian kakaknya

yang bernama Ali Shihab dalam berbahasa Arab setelah nyantri di

pesantren Dar al-Hadits al-Fiqhiyyah Malang. Oleh karena itu M.

Quraish Shihab pindah sekolah dari SMP Muhammadiyah Makassar ke

pesantren Dar al-Hadits al- Fiqhiyyah Malang diasuh langsung oleh

Habib Abdul Qadir bin Ahmad Bilfaqih al-Alwi dan putranya Prof. DR.

Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfaqih yang terkenal sebagai ulama

ahli hadis.19

Pada tahun 1958, ketika berusia 14 tahun Quraish berangkat ke

Mesir untuk melanjutkan studi dan diterima di kelas II Tsanawiyah al-

Azhar, Mesir. Pada tahun 1959, Kemudian Quraish Shihab melanjutkan

studinya ke Universitas al-Azhar dengan diterimanya di jurusan Tafsir

Fakultas Usuluddin di Universitas al-Azhar. Tetapi ia menempuh

pendidikan Tsanawiyah di Al-Azhar terlebih dahulu sebelum masuk

perguruan tinggi Universitas al-Azhar. Quraish Shihab di Mesir banyak

belajar dengan Ulama-ulama besar seperti Syaikh Abdul Halim

Mahmud pengarang buku al-Tafsīr al-Falsafī fī al-Islam, al-Islam wa

al-‘Aql, dan lainnya. Abdul Halim Mahmud juga merupakan dosen M.

Quraish Shihab sewaktu menuntut ilmu di Universitas al- Azhar.

19 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, 6.

Page 41: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

25

Gurunya ini juga lulusan Universitas Al-Azhar kemudian melanjutkan

studinya ke Sorbon University dalam bidang falsafah. M. Quraish

Shihab menyatakan keberkesanannya terhadap sang guru:20

“beliau adalah dosen saya yang kemudian menjadi Syaikh Al-Azhar,

saya sering naik bus bersama beliau, beliau punya pengaruh yang

besar”

Pada tahun 1967 ia selesai kuliah S-1 dengan mendapatkan meraih

gelar Lc (S1) di Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadits

Universitas al-Azhar. Kemudian ia melanjutkan pendidikan di Fakultas

yang sama dan pada tahun 1969 berhasil meraih gelar MA, dengan judul

tesis “al-‘Ijāz al-Tasyrīy li al-Qur’an al-Karīm.21 Setelah

menyelesaikan pendidikanya di Fakultas Ushuludin al-Azhar Mesir, ia

kembali ke tanah kelahirannya di Ujung Pandang. Dalam waktu kurang

lebih sebelas tahun dari waktu selesai magister tahun 1969 sampai 1980,

ia terjun ke berbagai aktivitas sambil menambah pengalaman, baik

dalam bidang kegiatan akademik di IAIN Alauddin maupun di berbagai

institusi pemerintah setempat. Dalam mas pengalaman ini, ia terpilih

sebagai pembantu Rektor III IAIN Ujung Pandang. Selain itu, ia juga

terlibat dalam pengembangan pendidikan perguruan tinggi swasta

wilayah timur Indonesia dan diserahi tugas sebagai koordinator wilayah.

Di tengah-tengah kesibukannya itu ia juga aktif melakukan kegiatan

ilmiyah yang menjadi dasar kesarjanaannya. Beberapa penelitian telah

dilakukannya. Di antaranya, ia meneliti tentang “Penerapan Kerukunan

Hidup Beragama di Timur Indonesia” (1975), dan “Masalah Wakaf di

Sulawesi Selatan” (1978). Meskipun telah mendapat gelar Master, ia

20 Miftahudin bin Kamil, Tafsir al-Misbah M.Quraish Shihab Kajian Aspek

Metodologi, (Malaysia: Universiti Malaya, 2007), 208. 21 Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia

(Jakarta: Raja Grafindo, 2005), 364.

Page 42: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

26

merasa ilmu yang dimilikinya masih belum cukup, pada tahun 1980 M.

Quraish Shihab kembali lagi ke Kairo, Mesir, untuk melanjutkan

studinya di Universitas al- Azhar setelah ia banyak berkiprah di

Indonesia baik di pemerintahan maupun di luar pemerintahan. Pada

tahun 1982 akhirnya ia mendapatkan gelar Doktor Falsafah (Ph.D)

dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur’an dengan disertasi yang berjudul

“Nazham al-Durār Li al-Biqa’ī: Tahqīq wa Dirāsah”. Ia mendapat

predikat Summa cum Laude disertasi. Dengan keberhasilannya itu, M.

Quraish Shihab tercatat sebagai orang pertama dari Asia Tenggara yang

meraih gelar Doktor Falsafah dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur‟an dari

Universitas al-Azhar Kairo, Mesir.22

Pada tahun 1984 setelah masa pendidikan S-3, ia ditugaskan untuk

menjadi dosen di UIN Syarif Hidayatullah untuk mengajar di bidang

tafsir dan ulum al-Qur'an. Selain itu, ia sempat diberikan amanah untuk

menduduki jabatan rektor selama dua periode, yakni pada tahun 1992-

1996 dan 1997-1998. Selain itu dia pernah menduduki jabatan sebagai

menteri agama selama kurang lebih dua bulan, Ketua Majelis Ulama

Indonesia (MUI) Pusat pada 1984, anggota Lajnah Pentashih al-Qur-an

Departemen Agama. Dengan sepak terjang dari lembaga-lembaga yang

diikuti, ini membuktikan Kehadiran M. Quraish Shihab di ibukota

Jakarta telah memberikan suasana baru dan disambut hangat oleh

masyarakat. Ia juga pernah terlibat dalam beberapa organisasi

profesional, antara lain asisten ketua umum ikatan cendikiawan muslim

se-Indonesia (ICMI), ketika organisasi ini didirikan. Selanjutnya ia juga

tercatat sebagai pengurus perhimpunan ilmu-ilmu syari’ah, dan

22 Abudin Nata, Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islqam di Indonesia,

364.

Page 43: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

27

Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan. Aktivitas lainnya yang ia lakukan adalah sebagai Dewan

Redaksi Studia Islamika: Indonesian Journar for Islamic Studies,

Ulumul Qur’an, Mimbar Ulama, dan Refleksi Jurnal Kajian Agama dan

Filsafat. Semua penerbitan ini berada di Jakarta.23

Karya-karyanya cukup banyak ditulis dan diterbitkan berbagai

penerbit. Di antaranya:

1. Menyingkap Tabir Ilahi; Asma al-Husna dalam Perspektif al-

Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 1998)

2. Untaian Permata Buat Anakku (Bandung: Mizan 1998)

3. Pengantin al-Qur'an (Jakarta: Lentera Hati, 1999)

4. Haji Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan, 1999)

5. Sahur Bersama Quraish Shihab (Bandung: Mizan 1999)

6. Panduan Puasa bersama Quraish Shihab (Jakarta: Penerbit

Republika, November 2000)

7. Panduan Shalat bersama Quraish Shihab (Jakarta: Penerbit

Republika, September 2003)

8. Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Ibadah Mahdah

(Bandung: Mizan, 1999)

9. Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Al Qur'an dan Hadits

(Bandung: Mizan, 1999)

10. Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Ibadah dan Muamalah

(Bandung: Mizan, 1999)

11. Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Wawasan Agama

(Bandung: Mizan, 1999)

23 Badiatul Raziqin, dkk., 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia (Yogyakarta: e-

Nusantara, 2009), 270.

Page 44: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

28

12. Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Tafsir Al Quran

(Bandung: Mizan, 1999)

13. Satu Islam, Sebuah Dilema (Bandung: Mizan, 1987)

14. Yang Tersembunyi: Jin, Iblis, Setan dan Malaikat dalam Al-

Qur’an –Al-Sunah (Jakarta: Lentera Hati, 2006)

15. Mukjizat Al-Qur’an (Bandug: Mizan, 2007)z

16. Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987)

17. Pandangan Islam Tentang Perkawinan Usia Muda (MUI &

Unesco, 1990)

18. Membumikan al-Qur'an; Fungsi dan Kedudukan Wahyu dalam

Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan, 1994)

19. Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan,

1994)

20. Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996)

21. Wawasan al-Qur'an; Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan

Umat (Bandung: Mizan, 1996)

22. Tafsir al-Qur'an (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997)

23. Secercah Cahaya Ilahi; Hidup Bersama Al-Qur'an (Bandung;

Mizan, 1999)

24. Hidangan Ilahi, Tafsir Ayat-ayat Tahlili (Jakarta: Lentara Hati,

1999)

25. Jalan Menuju Keabadian (Jakarta: Lentera Hati, 2000)

26. Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an (15

Volume, Jakarta: Lentera Hati, 2003)

27. Menjemput Maut; Bekal Perjalanan Menuju Allah SWT. (Jakarta:

Lentera Hati, 2003)

Page 45: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

29

28. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah; dalam Pandangan Ulama dan

Cendekiawan Kontemporer (Jakarta: Lentera Hati, 2004)

29. Dia di Mana-mana; Tangan Tuhan di balik Setiap Fenomena

(Jakarta: Lentera Hati, 2004)

30. Perempuan (Jakarta: Lentera Hati, 2005)

31. Logika Agama; Kedudukan Wahyu & Batas-Batas Akal Dalam

Islam (Jakarta: Lentera Hati, 2005)

32. Rasionalitas al-Qur'an; Studi Kritis atas Tafsir al-Manar

(Jakarta: Lentera Hati, 2006)

33. Menabur Pesan Ilahi; al-Qur'an dan Dinamika Kehidupan

Masyarakat (Jakarta: Lentera Hati, 2006)

34. Wawasan al-Qur'an Tentang Dzikir dan Doa (Jakarta: Lentera

Hati, 2006)

35. Asmā al-Husnā; Dalam Perspektif al-Qur'an (4 buku dalam 1

boks)(Jakarta: Lentera Hati)

36. Sunnah - Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?; Kajian

atas Konsep Ajaran dan Pemikiran (Jakarta: Lentera Hati, Maret

2007)

37. Al-Lubāb; Makna, Tujuan dan Pelajaran dari al-Fâtihah dan Juz

'Amma (Jakarta: Lentera Hati, Agustus 2008)

38. M. Quraish Shihab Menjawab; 1001 Soal Keislaman yang Patut

Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati, 2008)

39. Doa Harian bersama M. Quraish Shihab (Jakarta: Lentera Hati,

Agustus 2009)

40. M. Quraish Shihab Menjawab; 101 Soal Perempuan yang Patut

Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati, Maret 2010)

Page 46: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

30

41. Al-Qur'ân dan Maknanya; Terjemahan Makna disusun oleh M.

Quraish Shihab (Jakarta: Lentera Hati, Agustus 2010)

42. Membumikan al-Qur'ân Jilid 2; Memfungsikan Wahyu dalam

Kehidupan (Jakarta: Lentera Hati, Februari 2011)

43. Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW, dalam sorotan Al-Quran

dan Hadits Shahih (Jakarta: Lentera Hati, Juni 2011)

44. Do'a al-Asmâ' al-Husnâ (Doa yang Disukai Allah SWT.) (Jakarta:

Lentera Hati, Juli 2011)

45. Tafsir al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung

Pandang, IAIN Alauddin, 1984).24

C. Karakteristik Tafsir Marāh Labīd

Pada sub bab ini, membahas tentang metode penafsiran, corak

penafsiran, sumber penafsiran. Sebelum menjelaskan mengenaik

karakteristik, terlebih dahulu harus diketahui sekilas tentang dasar

dalam penulisan kitab marāh labīd. Dasar penulisan ini tidak diketahui

secara pasti kapan atau sejak kapan Nawawi al-Bantani memulai dalam

menulis Tafsir Marāh Labīd. Namun demikian, ia mulai menulis tafsir

tersebut setelah adanya sebagian permohanan dari banyak orang-orang

mulia yang ada di sekelilingnya ketika itu agar menulis tafsir al-Quran.

Hal ini tampak pada penjelasan di awal sekali sebelum ia menjelaskan

pembahasan surah al Fatihah, menceritakan:

“Sungguh para teman-teman muliaku memohon kepadaku untuk

menuliskan tafsir Qur’an yang mulia. Maka akupun ragu dalam waktu

yang lama... . Pada akhirnya, aku penuhi permintaan mereka itu demi

mengikuti jejak para salaf yang telah menyusun ilmu agar tetap

24 Hasani Ahmad Said, Diskusi Munasabah al-Qur’an: Tinjauan Kritis

Terhadap Konsep dan Penerapan Munasabah dalam Tafsir al-Misbah (Jakarta:

Lecture Press, 2013), 129-178.

Page 47: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

31

berkesinambungan (lestari). Tidak ada tambahan apapun atas

perbuatanku, akan tetapi pada setiap masa ada pembaharuan agar hal

tersebut dapat menjadi pertolongan bagiku dan bagi mereka (orang-

orang) yang tak berdaya sepertiku. Aku mengambil (merujuk)nya dari

beberapa kitab, seperti al-Futuhāt al-Ilahiyyah, Mafātih al-Ghaib, al-

Sirāj al-Munīr, Tanwīr al-Miqbās, Tafsir Abū Su’ūd. Aku

menamakannya sesuai pada masanya “Marāh Labīd li Kasyfi Ma’na al

Quran al-Majīd”. Hanya kepada Yang Maha Mulia dan Maha Pembuka

aku bersandar, kusandarkan dan kuserahkan sepenuhnya hanya

kepada-Nya. Pada saat ini aku memulainya karena kebaikan

pertolongan-Nya, yakni Dia adalah Yang Maha Menolong kepada siapa

saja yang meminta perlindungan-nya”

Permintaan inilah yang membuat Imam Nawawi untuk segera

menulis tafsir. Muncul sebelum tafsirnya diberi nama dengan sebutan

atau nama tersebut. Inilah sebenarnya yang melatarbelakangi atau

mendasari penulisan Tafsir Marāh Labīd muncul. Kata Marāh Labīd

secara etimologi berarti “karung atau tempat kebahagiaan” dan secara

terminologi berarti “tempat kebahagiaan bagi kaum atau mereka yang

kembali kepada ke jalan Allah SWT”. Penamaan ini juga untuk sebuah

karya tafsirnya rasanya tidak ada tendensius apapun, karena makna dari

bahasa judul yang diberikan layaknya seperti orientasi tafsir-tafsir

(ittijah al Tafsir) lainnya.25

Tafsir Marah Labid ini ditulis menggunakan berbahasa Arab, bukan

bahasa Melayu seperti Tafsir Turjuman al Mustafid karya Abddurrauf

Sinkel (tokoh tafsir indonesia) yang juga ulama Nusantara dan

kemunculannya lebih dahulu daripada Tafsir Marāh Labīd. Bahkan di

antara sekian tafsir karya Nusantara yang ada, boleh jadi hanya Tafsir

Marāh Labīd yang penulisannya menggunakan berbahasa Arab. Karena

mayoritas tafsir Nusantara yang di tulis dan selama ini ada

25 Ansor Bahary, “Tafsir Nusantara: Studi Kritis Terhadap Tafsir Marāh

Labīd Nawawi al-Bantani, 183-185.

Page 48: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

32

menggunakan bahasa Nusantara, seperti Melayu, Jawa, dan bahasa

Nusantara itu sendiri (Indonesia). Terlepas dari sebagian pandangan

yang menganggap tafsir hanyalah untuk karya yang ditulis

menggunakan berbahasa Arab, dan di luar itu kurang dianggap sebagai

tafsir atau bahkan sama sekali tidak dianggap karya tafsir. Apalagi,

mungkin hanya sekedar terjemahan dari tafsir-tafsir sebelumnya tanpa

berbuat lebih banyak dari terjemhan yang dilakukannya.

1. Metode penafsiran

Dalam kajian ‘ulum al-tafsir ada beberapa metode yang

digunakan para ulama dalam menginterpretasikan, sebagaimana

yang dilakukan oleh al-Farmawi, mengenai segmentasi metode

penafsiran. Ia mengklasifikasikan menjadi empat bagian antaranya:

Ijmālī, Tahlilī, Muqaran, dan Maudhū’ī26.

Dalam tafsir Imam Nawawi tafsir marāh labīd dari segi teknik

penafsirannya, marā labīd dikategori dalam tafsir yang

menggunakan metode Ijmali, di mana Nawawi berusaha untuk

menafsirkan seringkas mungkin tetapi tetap mencakup banyak hal

dengan menggabungkan pendapat-pendapat dalam bahasa yang

ringkas. Kemudian dengan menyertakan penyebutan nama surat dan

status makiyah atau madaniyah. Ia juga menjelaskan terlebih dahulu

jumlah ayat, kata (kalimat), dan huruf suatu surat di mana hal ini

beliau lakukan dengan mengikuti langkah kitab tafsir referensinya

yaitu Abū Su’ūd dan al- Sirāj al-Munīr yang selalu menyebut jumlah

ayat, kata, dan huruf setiap surat. Ia juga menjelaskan Asbāb al-

Nuzūl dengan memotong sanadnya dan langsung menyebutkan

26 Abū al-Hayy al-Farmawī, al-Bidayah Fi ala Tafsir al-Maudhu’iy (Mesir :

Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977), 25.

Page 49: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

33

sumbernya dari sahabat, sehingga lebih ringkas. Sebagian kalangan

juga memberikan pendapat bahwa tafsir marāh labīd menggunakan

metode penafsiran yaitu tahlili.27

2. Corak tafsir

Corak penafsiran Nawawi banyak sekali hegemoninya

dipengaruhi oleh keluasan ilmunya (multi-disipliner) yang meliputi

berbagai bidang ilmu agama Islam. Hal ini bisa ditemukan dengan

banyaknya hasil karya yang ia hasilkan dalam berbagai bidang ilmu

tersebut. Karenanya, ketika mengkaji kitab tafsir karyanya, didapati

berbagai aspek kajian di dalamnya. setidaknya ditemukan lima

bidang ilmu, di antaranya: Ulum al-Qur’an, Ilmu bahasa (Nahw,

sharf, dan balāghah), Fiqh, Ushul Fiqh, Ilmu Kalam (Teologi), dan

Tasawuf.

Dalam bidang fiqh, Nawawi menggunakan corak penafsiran

dengan tendensius kepada kelompok Syafi’iyah, karena ia menyebut

dirinya sebagai penganut madzhab al-Syafi`i. Sekalipun ia tidak

fanatisme terhadap madzhab yang ia gunakan tetapi di beberapa

tempat dalam tafsirnya banyak membandingkan empat madzhab

yang ada. Dalam bidang Teologi, Nawawi menganut paham Ahl al-

Sunnah wa al-Jama`ah, yang afiliasinya kepada Asy`ariyah. Aspek

lain yang bisa dilihat dari tafsir Nawawi adalah qira’at. Nawawi

termasuk mufassir yang menempuh tradisi menafsirkan dan

memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan pendekatan ilmu qira’at,

27 M. Mustamin Arsyad, “al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jāwi wa

Juhūduhu fī al-Tafsīr al-Qur’an al-Karīm fī Kitābihi “al-Tafsīr al-Munīr li Ma`ālim al-

Tanzīl,” (Desertasi Doktor Universitas al-Azhar Kairo-Mesir, 2000), 240. Lihat pula

Ansor Bahary, Tafsir Nusantara: Studi Kritis Terhadap Marah Labid Nawawi al-

Bantani(Pdf : Ulul al-babVolume 16, No.2 Tahun 2015), 186.

Page 50: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

34

sehingga jarang ditemukan ayat yang tidak dikomentari perbedaan

qira’atnya dan terkadang mengemukakan argumentasi setiap

penganut qira’at yang ada.28

3. Sumber tafsir

Dalam kajian ulum al-tafsir sumber penafsiran diklasifikasikan

menjadi dua yaitu bi al-Ma’tsūr dan bi al-Ra’yī. Dalam tafsir marāh

labīd termasuk perpaduan antara bentuk tafsir bi al-ma’tsūr dan bi

al-ra’yī. Dalam banyak tempat, Nawawi sering menafsirkan suatu

ayat dengan ayat. Ia juga mengutip banyak mengutip hadis sebagai

tafsiran ayat. Pola penafsiran seperti ini dikenal dengan penggunaan

teknik interpretasi tekstual, yaitu menafsirkan ayat dengan ayat atau

hadis Nabi saw. Dalam bentuk bi ma’tsūr lainnya, Nawawi juga

banyak mengutip perkataan sahabat sebagai sumber penafsirannya,

seperti perkataan Ibn ‘Abbās, Ibn Mas’ūd, Alī b. Abī Thālib, dan

lain-lain.29 Begitu juga ia menambah literatur bi ma’tsūr diambil

dari sumber tabi’in.

Sedangkan paduan lainnya ia juga mengaktualisasikan tafsir bi

al-ra’y. Pada kasus ini, Nawawi memahami bi al-ra’yī bukan berarti

bahwa seseorang boleh mengaktualisasikan secara langsung

kedalam penafsiran al-Qur’an dengan tanpa dibekali perangkat

disiplin keilmuan yang memadai sebagai alat bantunya.

Menurutnya, bi al-ra’yī berarti seseorang berijtihad memahami al-

Qur’an dengan dilandaskan kepada perangkat-perangkat ilmiyah

28 Mustamin Arsyad, “Signifikansi Tafsir Marāh Labīd Terhadap

Perkembangan Studi Tafsir di Nusantara, 635. 29 M. Mustamin Arsyad, “al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jāwi wa

Juhūduhu fī al-Tafsīr al-Qur’an al-Karīm fī Kitābihi “al-Tafsīr al-Munīr li Ma`ālim al-

Tanzīl,” (Desertasi Doktor S3., Universitas al-Azhar Kairo-Mesir, 2000), 157-158

246-264.

Page 51: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

35

dan syar’iyah, yang dikenal dalam syurūth al-mufassir (syarat-syarat

mufasir). Nawawi sendiri dalam menginterpretasikan ayat dengan

pendekatan keilmuan, senantiasa mengutip pendapat pakar dalam

bidangnya. Dalam bidang bahasa, beliau senantiasa memulai dengan

ungkapan “Ahl al- Ma’āni berkata:..” atau langsung menyebut

tokohnya misalnya “al-Zujāj berkata:…” dan sebagainya.

D. Karakteristik Tafsir al-Misbāh

Sejarah awal ditulisnya tafsir ini Tafsir al-Mishbah mulai

ditulisnya pada hari Jum’at, 14 Rabi’ul Awwal 1420 H/ 18 Juni 1999

M ketika beliau menjabat sebagai Duta Besar RI di Kairo, dan

selesai ditulis pada hari Jum’at, 8 Rajab 1423 H/ 5 September 2003.

Pendorong Quraish Shihab untuk menulis Tafsir al-Mishbah

dikarenakan rasa antusias masyarakat terhadap al- Qur’an baik dari

segi membaca ataupun pemahaman terhadap isi kandungan ayat al-

Qur’an. Penulisan Tafsir al-Mishbah ini sebelumnya diawali dengan

karya dia yakni, Tafsir al- Qur’an al-Karim yang diterbitkan oleh

Pustaka Hidayah, pada tahun 1997. Dinilai terlalu panjang lebar

dalam menjelaskan definisi derivasi setiap kata. karya tersebut

kurang menarik minat orang untuk membacanya. Sehingga dia tidak

melanjutkan penulisan tersebut.30 Berdasarkan kebutuhan

masyarakat akan pemahaman al-Qur'an. Tafsir al- Mishbah dalam

konteks memperkenalkan ayat al-Qur’an berusaha menghidangkan

suatu bahasan setiap surat dengan tujuan surat atau tema pokok

surat. dalam penerbitan tafsir ini terdiri dari 15 volume atau jilid,

30 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-

Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), Vol. I, xiii.

Page 52: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

36

dan pertama kali diterbitkan oleh Penerbit Lentera Hati Jakarta,

tahun 2000. Dalam penyusunan tafsirnya Quraish Shihab

memberikan pembahasan yang meliputi:

a. Penyebutan nama-nama surat serta alasan-alasan

penamaanya, juga disertai dengan keterangan tentang ayat-

ayat diambil untuk dijadiakan nama surat.

b. Jumlah ayat dan tempat turunnya, misalnya, apakah ini

dalam katagori surat makkiyyah atau dalam katagori surat

Madaniyyah, dan ada pengecualian ayat-ayat tertentu jika

ada.

c. Penomoran surat berdasarkan penurunan dan penulisan

mushaf, kadang juga disertai dengan nama surat sebelum

atau sesudahnya surat tersebut.

d. Menyebutkan tema pokok dan tujuan serta menyertakan

pendapat para ulama-ulama tentang tema yang dibahas.

e. Menjelaskan hubungan antara ayat sebelum dan sesudahnya.

f. Menjelaskan tentang sebab-sebab turunya surat atau ayat

(asbāb al-nuzūl).31

Semua itu dia lakukan guna memudahkan pemahaman yang

dilakukan pembaca atas penafsirannya walau dengan rendah hati dia

mengatakan bahwa apa yang ditulisnya bukan dari ijtihad dia melainkan

nukilan dia atas karya-karya para ulama' seperti al-Biqaiy, Sayyid

Muhammad Thanthawi, Syekh Mutawalli Sya'rawi, Sayyid Quthub,

Muhammad Thahir Ibnu 'Asyur, Sayyid Muhammad Husein

Thabathaba'i, dan beberapa tokoh lainnya

31 Atik Wartini, “Corak Penafsiran M. Quraish Shihab Dalam Tafsir al-

Mishbah,” Hunafa Jurnal Studia Islamika,Vol 11, no.1 (Juni 2014): 119-120.

Page 53: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

37

1. Metode penafsiran

Metode yang digunakan Quraish Shihab dalam Tafsir al-

Mishbah ialah metode tahlili dengan tartib mushafi, yakni

penjelasan al-Qur’an sesuai urutan mushaf dimulai dari surah QS.

al-Fatihah [1] sampai surah QS. al-Nas [114].

Pemilihan metode tahlili yang digunakan dalam tafsir al-Misbah

didasarkan pada kesadaran M. Quraish Shihab bahwa metode

maudhu’i yang sering ia gunakan pada karyanya yang berjudul

“Membumikan al-Qur'an” dan “Wawasan al-Qur'an” selain

mempunyai keunggulan dalam memperkenalkan konsep al-Qur'an

tentang tema-tema tertentu secara utuh. Sebab menurutnya al-Qur'an

memuat tema yang tidak terbatas, Jadi dengan ditetapkan judul

pembahasan yang akan dikaji hanya satu sudut dari permasalahan

tersebut. Dengan demikian kendala untuk memahami al-Qur'an

secara lebih komprehensip masih tetap ada.32

2. Corak penafsiran

Tafsir al-Misbāh ini menggunakan corak adabi ijtima'i, yaitu

corak tafsir yang berusaha memahami nash-nash al-Qur'an dengan

cara mengemukakan ungkapan-ungkapan al-Qur'an secara teliti.

Kemudian menjelaskan makna-makna yang dimaksud al-Qur'an

tersebut dengan bahasa yang indah dan menarik, dan seorang

mufassir berusaha menghubungkan nash-nash al-Qur'an yang dikaji

dengan kenyataan sosial dengan sistem budaya yang ada.

3. Sumber penafsiran

32 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian al-

Qur'an,XI.

Page 54: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

38

Sudah diketahui sebelumnya, bahwa sumber terbagi dua bagian

bi ma’tsur dan bi ra’yī. Dalam tafsir al-Misbāh dikategorikan

sebagai Tafsir bi al-Ra’yī yaitu menafsirkan melalui pemikiran atau

ijtihad, dengan cara menggunakan fenomena sosial yang menjadi

latar belakang dan sebab turunya ayat, kemampuan dan pengetahuan

kebahasaan, pengertian kealaman dan kemampuan Intelegensia.

Akan tetapi dalam menafsirkan juga tafsir a-Misbah tidak

melupakan bi al-Ma’sūr yang merujuk kepada hadits Nabi

Muhammad SAW dan para sahabat dan tabi’in.33

33 M. Nor Ichwan, Belajar al-Qur’an, Menyingkap Khasanah Ilmu-ilmu al-

Qur’an melalui pendekatan Histors Metodologis, (Semarang:zRasail, 2005), 169.

Page 55: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

39

BAB III

KONSEP MUTASYĀBIHĀT MENURUT IMAM NAWĀWI DAN

QURAISH SHIHAB

A. Definisi Mutasyābihāt

Perlu diketahui, bahwa konsep mutasyābihāt di dalam kajian ‘Ulūm

al-Qur’an selalu dikaitkan dengan konseps muhkam. Pada subbab ini,

peniliti membahas defenisi keduanya baik secara etimologi maupun

terminologi. Adapun secara etimologi, kata muhkamāt merupakan

derivasi yang berakar kata dalam bentuk fi’il محكم -يحكم احكام-احكم

(ahkama-yuhkimu-ihkāman muhkam) yang memiliki makna أتقن

(menyempurnakan atau unggul).1 Term mutasyābih berasal dari kata

kerja متشابه-تشابها-يتشابه-تشابه (tasyābaha-yatasyābahu-tasyābuhan-

mutasyābih) diartikan dengan saling menyerupai, menjadi serupa, dan

menjadi identik. Kata ini bila ditelurusuri dengan merujuk akar kata asli

berasal dari kata شبه. Dalam hal ini penulis mengemukakan beberapa

ayat-ayat tentang makna mutasyābih di dalam al-Qur’an diantaranya:

Ayat pertama mengatakan bahwa makna kata متشابها adalah serupa

sebagaimna dijelaskan didalam QS. al-Baqarah [2] 25

1 Mu’jam washit, (Maktabah al-Syurūq al-Dawliyah, 2004), 220. Dan lihat

juga, Muhammad ‘Abd al-‘Azīm al-Zarqānī, Manāhil ‘Irfān fi ‘Ulūm al-Qur’an,(

Bairūt: Dār Kitab al-‘Arabī, 1995), juz 2, 213.

Page 56: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

40

كلما وبشر الذين آمنوا وعملوا الصالحات أن لهم جنات تجري من تحتها الأنهار ولهم وأتوا به متشابها نا من قبل قالوا هذا الذي رزق رزقوا منها من ثمرة رزقا

وهم فيها خالدون فيها أزواج مطهرة “Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman

dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan surga-surga yang

mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezeki buah-

buahan dalam surga-surga itu, mereka mengatakan: "Inilah yang pernah

diberikan kepada kami dahulu". Mereka diberi buah-buahan yang

serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan

mereka kekal di dalamnya”.

Berdasarkan ayat diatas dapat dilihat kata mutsyabihāt diartikan dengan

makna serupa.

Ayat kedua, menjelaskan makna kata متشابها adalah mutu ayat-ayat

(kokoh) berdasarkan QS. al-Zumar [39] 23

أحسن الحديث كتابا متشابها مثاني تقشعر منه جلود الذين يخشون ربهم الله نزل ومن ذلك هدى الله يهدي به من يشاء ثم تلين جلودهم وقلوبهم إلى ذكر الله

من هاد يضلل الله فما له “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) Al

Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar

karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian

menjadi tenang kulit dan hati mereka di waktu mengingat Allah. Itulah

petunjuk Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-

Nya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, niscaya tak ada baginya

seorang pemimpinpun.”

Pada ayat ketiga, menjelaskan makna kata متشابهات adalah samar di

dalam QS. Alī ‘Imran [3] 7

هو الذي أنزل عليك الكتاب منه آيات محكمات هن أم الكتاب وأخر متشابهاتوما يعلم فأما الذين في قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتنة وابتغاء تأويله

Page 57: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

41

ما يذكر و يقولون آمنا به كل من عند ربنا والراسخون في العلم تأويله إلا الله إلا أولو الألباب

“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di

antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi

Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-

orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka

mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya

untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak

ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang

mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang

mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat

mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang

berakal.2”

Dari tiga ayat diatas dapat diambil inferensi (kesimpulan) bahwa

makna kata mutasyābihāt didalam al-Qur’an sangat beragam di

antaranya: samar, kokoh, dan kemudian serupa. Dalam penelitian ini

penulis tendensi dalam menjadi landasan teori dengan merujuk QS. Alī

‘Imran [3] 7, kata mutasyābihāt dalam ayat ini memiliki makna yang

samar sehingga perlu reinteprretasi (ta’wil).

Term mutasyābih dikalangan kajian tafsir memiliki perubahan

dengan maksud untuk melihat maksud ayat-ayat yang tidak dapat

dipahami secara rasional. Ayat-ayat yang memiliki unsur-unsur

mutasyābih biasanya berkaitan dengan huruf hijaiya yang disebutkan

pada beberapa awal surah al-Qur'an dan ungkapan yang menjelaskan

tentang sifat-sifat Allah. Dam kasus ini, sebagian ulama memberikan

trobosan metode untuk memahami ayat-ayat mutasyābih dengan

menghadirkan interpretasi berupa ta'wil yang digunakan untuk

2 Muhammad ‘Abd al-‘Azīm al-Zarqānī, Manāhil ‘Irfān fi ‘Ulūm al-Qur’an.

214.

Page 58: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

42

menjelaskan ungkapan ayat-ayat mutasyābih.. 121-124)QS. Alī ‘Imran

[3] 7

Pada ayat di atas, secara Bahasa kata mutasayabihāt diartikan

dengan samar. Maksudnya adalah ayat ini memberikan informasi

mengenai bahwa ayat-ayat al-Qur’an memiliki lafadz Muhkam dan

lafadz Mutasyabbihat Dari pembahasan ini, hemat penulis muhkamāt

memiliki pengertian sempurna dan jelas, sedangkan mutasyābihāt

sebaliknya yaitu memiliki makna samar dan harus dita’wilkan.

Setelah mengetahui defenisi secara etimologi (bahasa), maka

langkah selanjutnya adalah dengan mendefiniskan secara terminologi

(istilah). Kedua konsep ini memiliki pengertian yang berbeda-beda

dikalangan para ulama di antaranya:

Menurut al-Zarqānī, pertama, ia memberikan defenisi muhkam

yaitu:

لحكم الشرعي الذي لم يتطرق إليه نسخ و من نصوص الكتاب أو السنة دالا علي ا معناه بوضوح لا خفا فيه

“Hukum syari’at yang tidak dimasukkan oleh nasakh dan naṣ-naṣ al-

Qur’an atau Sunnah yang memiliki kejelasan makna yang tidak

ditemukan kesamaran di dalam makna.”

Kedua, kata mutasyābihāt menurut al-Zarqānī adalah و المتشابهاتقد نسخ ما yaitu merupakan kebalikan dari definisi muhkam yang berarti

ditemukan naskh.3 Setelah memberikan defenisi pribadinya, ia

memberikan pendapat ulama mengenai defenisi tentang muhkamāt dan

mutsyabihāt di antaranya:4

3 Muhammad ‘Abd al-‘Azīm al-Zarqānī, Manāhil ‘Irfān fi ‘Ulūm al-Qur’an,

214. 4 Muhammad ‘Abd al-‘Azīm al-Zarqānī, Manāhil ‘Irfān fi ‘Ulūm al-Qur’an,

215.

Page 59: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

43

1. Muhkam ialah kejelasan dan jelas dalam hal dilālah (petunjuk)

yang tidak ditemukan nasakh. Sedangkan mutasyābih yaitu

memiliki makna yang samar dan tidak diketahui maksudnya baik

itu dengan menggunakan rasionalitas maupun dalil yang sifatnya

naqlī.

2. Muhkam yang bisa diketahui maksudnya baik karena kejelasan

maupun dengan menggunakan ta’wīl. Sedangkan mutasyābih

hanya Allahlah yang mengetahui maksud dan tujuannya seperti

hari kiamat, keluarnya Dajjāl, huruf muqaṭa’ah di awal surah.

Defenisi ini yang dipegang oleh kelompok Ahl Sunnah wa al-

Jama’ah

3. Muhkam ialah makna yang satu, sedangkan mutasyābih

memiliki beragam makna dan maksud. Ini merupakan pendapat

dari Ibn ‘Abbās dan hegemoni ilmu uṣūl al-fiqh.

4. Konsep muhkam stagnasi pada dirinya sendiri sehingga tidak

membutuhkan kepada penjelasan. Sedangkan mutasyābih

makna yang tidak tetap sehingga membutuh penjelasan karena

perbedaan tawīl (interpretasi). Defenisi ini dipegang oleh Ibn

Ahmad.

5. Muhkam ialah konsep peraturan yang relevansi dan tertib karena

memiliki maksud yang jelas tanpa ada kontradiksi makna.

Sedangkan mutasyābih ialah yang tidak memadai dalam

menjelaskan maksud karena keterbatasan di dalam kebahasaan.

Ini merupakan pendapat Imām Haramain

6. Muhkam ialah makna dan maksud yang jelas tanpa ada

problematis yang diambil dari akar kata ihkām yaitu itqān

(sempurna), sedangkan mutasyābih sebaliknya. Muhkam juga

Page 60: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

44

merupakan sistematis dan terstruktur yang jelas, sedangkan

mutasyābih susunan nama yang ambiguitas, lafadz yang wahm

karena menyerupai dengan kebenaran. Pengertian ini disusun

oleh kelompok muta’akhirīn (kontemporer) dari pendapat ulama

sebelumnya seperti Imām al-Suyūtī menyatakan di dalam

kitabnya al-Itqān “muhkam ialah makna yang jelas, sedangkan

mutasyābih sebaliknya.5

7. Muhkam merupakan dilālah (petunjuk) yang jelas yaitu naṣ dan

zāhir, sebaliknya mutasyābih merupakan dilālah (petunjuk)

yang tidak memiliki kejelasan yaitu mujmar, mu’awwal, dan

musykal. Ini merupakan defenisi yang dipegang oleh Imām al-

Rāzī.6

Tidak hanya ini, al-Zarqānī juga menambahkan pendapat

yang lain mengenai muhkam dan mutasyābihāt yang

menurutnya pendapat ini lebih lemah daripada pendapat

sebelumnya, di antaranya:

8. Muhkam bisa diaktualisasikan, sedangkan mutasyābih

sebaliknya. Pendapat ini menurut Imām Suyūṭi diambil dari

‘Ikrimah dan Qatādah

9. Muhkam ialah makna dan maksud yang bisa dirasionalkan

dengan menggunakan akal. Sedangkan mutasyābih sebaliknya,

seperti bilangan shalat dan spesifikasi puasa di bulan Ramadhan

tidak di bulan Sya’bān.

5 Imam Suyūti, Al-itqan Fī ‘Ulūm al-Qur’an, (Su’udiyyah: al-Mamlakat al-

‘Arabiyah, t.t.h), juz 1, 645. 6 Muhammad ‘Abd al-‘Azīm al-Zarqānī, Manāhil ‘Irfān fi ‘Ulūm al-Qur’an.

216.

Page 61: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

45

10. Muhkam ialah lafadznya tidak diulang-ulang, sedangkan

mutasyābih lafadznya terulang-ulang.

11. Muhkam tidak dinaskah, sedangkan mutasyābih ayatnya

dinasakh.7

Defenisi yang diklasifikasi oleh al-Zarqāni memiliki kesamaan

dengan Imam Suyūtī yang mengakumulasi mengenai defenisi

muhkamāt dan mutasyābihāt sebagai berikut:

1. Muhkam adalah ayat yang bisa diketahui baik dengan dalil yang

jelas maupun yang samar, dan mutasyābih merupakan ayat yang

maknanya hanya diketahui Allah, seperti terjadinya hari kiamat,

kapan keluarnya Dajjal dan huruf-huruf muqaṭṭa’ah pada awal

surah.

2. Muhkam adalah ayat yang jelas maknanya dan mutasyābih ayat

yang samar maknanya.

3. Muhkam adalah bagian ayat yang tidak mungkin ditakwilkan,

yaitu hanya memiliki satu pengertian saja, dan mutasyābih ayat

yang banyak mengandung pengertian.

4. Muhkam adalah ayat dapat dipahami dengan akal, dan

mutasyābih kebalikannya, yaitu diluar jangkauan akal manusia.

5. Muhkam adalah aya-ayat yang tidak perlu penjelasan dan

mutasyābih kebalikannya.

6. Muhkam adalah ayat-ayat yang memiliki makna sesuai dengan

lahiriah ayat, sedangkan mutasyābih adalah ayat yang memiliki

makna lain disamping makna lahir.

7 Muhammad ‘Abd al-‘Azīm al-Zarqānī, Manāhil ‘Irfān fi ‘Ulūm al-Qur’an,

218-219.

Page 62: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

46

7. Muhkam ayat yang menjelaskan tentang suruhan dan larangan

serta menerangkan halal dan haram, sedangkan mutasyābih

adalah ayat yang tidak jelas maknanya

8. Muhkam adalah lafaz-lafaz yang menjelaskan tentang kewajiban

(farā’id), janji pahala,dan janji siksaan, sedangkan mutasyābihāt

adalah lafaz yang menjelaskan tentang kisah, dan perumpamaan

(al-amts āl).

9. Muhkam adalah lafaz dimana di dalamnya menjelaskan tentang

hal-hal yang hukumnya halal, haram dan lain sebagainya.

Sementara mutasyâbihât adalah lafaz yang saling membenarkan

satu dengan yang lain.8

Menurut buku Muqaddimah al-Qur’an dan Tafsirnya, muhkam

adalah naṣ yang tidak memberikan keraguan lagi tentang apa yang

dimaksudkannya (naṣ yang sudah memberikan pengertian yang pasti).

Sedangkan mutasyābih ialah sebaliknya, yakni naṣ yang mengandung

pengertian yang samar-samar dan mempunyai kemungkinan beberapa

arti.9

Setelah mengetahui dari berbagai defenisi mengenai muhkamāt dan

mutasyābihāt, kesimpulannya menurut penulis tidak ada perbedaannya

dalam mendefinisikan muhkam dan mutasyābihāt hanya berbeda dalam

menggunakan redaksinya, seperti defenisi mutasyābih merupakan ayat-

ayat yang maknanya masi samar dan butuh untuk dita’wilkan, hanya

Allah yang mengetahui sebab tidak bisa dirasionalkan dengan akal.

8 Abū al-Fadl Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Rahmān Ibn Abī Bakr al-Suyūṭī, al-Itqān

fī ‘Ulūm al-Qur’an, (al-Saudiyyah: al-Mamlakat al- ‘Arabiyyah, t.t.h), juz 4,1336. 9 Kementrian Agama RI, Muqaddimah al-Qur’an dan Tafsirnya ( Jakarta:

Lentera Abadi, 2010), jilid 1, 193.

Page 63: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

47

Sedangkan muhkam adalah ayat yang sudah jelas maksud dan

tujuannya.

B. Mutasyābihāt Prespektif Imam Nawawī

Pada bab sebelumnya, penulis menyusu defenisi muhkam dan

mutasyābih dari kalangan ulama untuk mengkompromikan defenisi dari

Imam Nawawī dan Quraish Shihab. Pertama, muhkam dan mutasyābih

dalam perspektif Imam Nawawī yang ditemukan dalam kitab tafsirnya

marāh labīd ketika menafsirkan QS. Ali ‘Imran [3]

هو الذي أنزل عليك الكتاب منه آيات محكمات هن أم الكتاب وأخر متشابهاتوما يعلم فأما الذين في قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتنة وابتغاء تأويله

ما يذكر و يقولون آمنا به كل من عند ربنا والراسخون في العلم تأويله إلا الله إلا أولو الألباب

“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di

antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi

Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-

orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka

mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya

untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak

ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang

mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang

mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat

mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang

berakal”.

Pada teks آيات محكماتmenurut Imam Nawawī berasalah dari kata

yang berarti terpelihara dari segala aspek. Ia (hikmah) حكمة

mendefenisikan muhkam sebagai dilālah (petunjuk) yang memiliki

Page 64: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

48

kejelasan makna dan maksud, ia memberikan contoh muhkam pada QS.

al-‘Arāf [7] 28.10

قل إن الله لا يأمر فاحشة قالوا وجدنا عليها آباءنا والله أمرنا بهاوإذا فعلوا أتقولون على الله ما لا تعلمون بالفحشاء

“Dan apabila mereka melakukan perbuatan keji, mereka berkata:

"Kami mendapati nenek moyang kami mengerjakan yang demikian itu,

dan Allah menyuruh kami mengerjakannya". Katakanlah:

"Sesungguhnya Allah tidak menyuruh (mengerjakan) perbuatan yang

keji". Mengapa kamu mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak

kamu ketahui?”

Pada ayat yang digaris bawahi, menurut Imam Nawawī ini

merupakan bentuk ayat muhkam yang memiliki kejelasan petunjuk

bahwa Allah melarang untuk berbuat keji. Sedangkan konsep

mutasyābih perspektif Imam Nawawī dijelaskan juga pada ayat yang

sama QS. Ali ‘Imran [3] 28 pada teks بهـات ـ Menurutnya .وأخر متش

mutasyābih adalah ayat-ayat yang pada aspek maknanya memiliki

keserupaan sehingga maksudnya menjadi tidak jelas. Ia menambahkan

bahwa ayat-ayat mutasyābih tidak membutuhkan penjelasan tetapi

membutuhkan argumentasi dalil, sebab tidak semua bisa dirasionalkan

dengan akal pikiran tetapi Allah yang lebih mengetahi tentang

interpretasi ayat-ayat mutasyābih.

Imam Nawawī juga mengutip pendapatnya Ibn ‘Abbās, bahwa

interpretasi al-Qur’an diklasifikasikan menjadi empat bagian:

a. Tafsir menjadi tidak mungkin ada bagi orang yang bodoh

b. Tafsir hanya bisa diketahui oleh orang arab karena itu

merupakan Bahasa mereka sendiri.

c. Tafsir yang diketahui oleh para ulama

10 Muhammad ibn ‘Umar ibn al-Nawawī al-Jāwī, Marāh Labīd Li Kasyf

Ma’na al-Qur’an al-Majīd (Bairūt: Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, 1997), juz 1, 111.

Page 65: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

49

d. Terakhir adalah tafsir yang hanya Allah yang mengetahui

maksud dan tujuannya.11

C. Mutasyābihāt Prespektif M. Quraish Shihab

Konsep muhkam dan mutasyābih perspektif Qurash Shihab, dalam

hal ini penulis merujuk langsung buku yang ia tulis berjudul “kaidah-

kaida tafsir.” Kata mutasyābih berasal dari akar kata الشبه (al-syabh)

yaitu serupa (tapi tak sama) sebagaimana dijelaskan di dalam QS. al-

Zumar [39] 23

كتـابا متشـابها “Al Quran yang serupa (mutu ayat-ayatnya)”

Quraish Shihab juga menambah satu ayat terkait defenisi

mutasyābih dalam QS. Ali ‘Imran [3] 7

الكتاب وأخر هو الذي أنزل عليك الكتاب منه آيات محكمات هن أم متشابهات

“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di

antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi

Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat”.

Menurutnya, yang dimaksud dengan mutasyābih pada ayat Ali

‘Imran ini adalah samar. Ini merupakan pengembangan dari makna

keserupaan diatas. Memang keserupaan dua hal atau lebih dapat

menimbulkan kesamaran dalam membedakannya masing-masing.12

Quraish Shihab juga membeda-bedakan defenisi muhkam dan

mutasyābih seperti al-Zarqāni dan Imam Suyūti, di antaranya yang

dimaksud dengan muhkam adalah:

11 Muhammad ibn ‘Umar ibn Al-Nawawī al-Jāwī, Marāh Labīd Li Kasyf

Ma’na al-Qur’an al-Majīd (Bairut: Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, 1997), juz, 1, 111-

112. 12 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Jakarta: Lentera Hati, 2003), 210.

Page 66: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

50

a. Ayat yang diketahui maksudnya, baik karena kejelasan

redaksinya sendiri, maupun melalui ta’wīl penafsirannya.

b. Ayat yang tidak dapat menerima kecuali satu penafsiran

c. Ayang yang kandungannya tidak mungkin dibatalkan

(Mansukḥ)

d. Ayat yang jelas maknanya dan tidak membutuhkan penjelasan

dari luar dirinya, atau ayat yang tidak disentuh oleh sedikit pun

kemusykilan13

Sedangkan mutasyābih, ia mengumpulkan beberapa pendapat di

antaranya:

a. Ayat-ayat yang hanya Allah yang tahu kapan terjadi apa yang

diinformasikan, seperti kapan tibanya hari kiamat, atau hadir دابة

(dābbah) dalam QS. al-Naml [27] 82

b. Ayat yang tidak dipahami kecuali mengaitkannya dengan

penjelasan

c. Ayat yang mengandung banyak kemungkinan makna

d. Ayat yang Mansukḥ yang tidak diamalkan karena batal

hukumnya

e. Apa yang diperintahkan untuk diimani, lalu menyerahkan

maknanya kepada Allah

f. Kisah-kisah dalam al-Qur’an

g. Huruf-huruf alfabetis yang terdapat pada awal beberapa surah,

seperti Alif-Lam-Mim.

Kesimpulan dari Quraish Shihab, defenisi-defenisi di atas

mengandung kelemahan-kelemahan, sehingga pada akhirnya kita

13 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 211.

Page 67: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

51

dapat menyimpulkan bahwa muhkam adalah yang jelas maknanya,

sedangkan mutasyābih adalah yang samar.14

Setelah Quraish Shihab mengakumulasi defenisi-defenisi

terkaid muhkam dan mutasyābih, ia menjelaskan sebab-sebab

timbulnya mutasyābih (kesamaran) dalam tiga hal pokok:

a. Lafadz/kata yang digunakan ayat, seperti misalnya kata Abbā

dalam QS. ‘Abasa [80] 31. Diriwayatkan bahwa Sayyidina

‘Umar merasa lesulitan memahami makna kata itu sehingga

pada akhirnya ia hanya mengambil kesimpulan umum tentang

pesan ayat. Contoh lain adalah firman Allah SWT yang

menginformasikan sikap Nabi Ibrāhim terhadap patung-patugn

sembahan kaumnya, antara lain QS. al-Shāffāt [37] 93

فراغ عليهم ضربا باليمين

“Lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya

dengan tangan kanannya (dengan kuat)”

Derivasi yamīn ( ی م ین) tidak jelas maksdunya, apakah dalam arti

tangan kanan, atau kauat atau sumpah sehingga tersebut dapat

dipahami dalam arti Nabi Ibrāhim : Pergi dengan cepat dan

sembunyi-sembunyi menuju patung-patung itu, lalu

memukulnya dengan tangan kanan, atau memukulnya dengan

keras, atau memukulnya disebabkan sumpah yang pernah

diucapkan bahwa dia akan merusakberhala-berhala itu.15

b. Kesamaran pada makananya, seperti uraian al-Qur’an tentang

sifat-sifat Allah, misalnya QS. al-Fath [48] 10

14 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir. 211. 15 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir. 212.

Page 68: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

52

يد الله فوق أيديهم

“Tangan Allah di atas tangan mereka”

Kata yad apakah diartikan sebagai tangan layaknya bentuk

manusia, atau memiliki makna yang berbeda seperti

kekuasaan.16

c. Kesamaran pada lafadz dan makna, seperti firman Allah QS. al-

Baqarah [2] 189

وليس البر بأن تأتوا البيوت من ظهورها

“Dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari

belakangnya”

Penggalan ayat ini dapat dinilai mutasyābih, karena redaksinya

yang sangat singkat. Di samping itu maknanya tidak jelas

sehingga diperlukan pengetahuaan menyangkut adat istiadat

masyarakat arab pada masa jahiliyyāh yaitu tentang cara

menyangkut masuk rumah.17

Dari kedua defenisi ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa

tidak ada perbedaan dalam mendefinisi muhkam dan mutasyābih.

Muhkam diartikan sebagai kejelasan, sedangkan mutasyābih memiliki

kesamaran sehingga membutuhkan penjelasan lain. Perbedaan dari

keduanya, Quraish Shihab lebih banyak terpengaruh dengan defenisi-

defenisi ulama sebelumnya disbanding defenisi yang dijelaskan oleh

Imam Nawawī. Quraish Shihab juga lebih banyak menjelaskan terkaid

konsep muhkam dan mutaysabih baik itu objek kajian, sebab-sebab

16 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 212. 17 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, 213.

Page 69: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

53

adanya konsep hingga membandingkan defenisi-defenisi ulama

sebelum dengan menambah kesimpulan pribadi.

D. Ruang Lingkup Mutasyābihāt

Pada subbab ini, penulis mengutip pendapatnya al-Zarqanī dalam

kitab manāhil ‘irfān yang ia klasfifikasikan menjadi tiga hal sebagai

berikut:

1. Mutasyābih dari segi lafaz, sebagaimana dikatakan ulama tafsir

dikatakan mutasyābih adalah karena perserupaan atau kemiripan

kalimat yang satu dengan kalimat yang lain. Misalnya kata yang

memiliki kesamaan dan keserupaan, tetapi makna dan maksud

saling berbeda yang ditemukan dalam QS. al-Ra’d [13] 2 dan

QS. Luqmān [31] 29

ثم استوى على العرش وسخر الله الذي رفع السماوات بغير عمد ترونهايدبر الأمر يفصل الآيات كل يجري لأجل مسمى والقمر الشمس

لعلكم بلقاء ربكم توقنون “Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang

(sebagaimana) yang kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di

atas 'Arasy, dan menundukkan matahari dan bulan. Masing-

masing beredar hingga waktu yang ditentukan. Allah mengatur

urusan (makhluk-Nya), menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-

Nya), supaya kamu meyakini pertemuan(mu) dengan

Tuhanmu.”

يل وسخر الشمس ألم تر أن الله يولج الليل في النهار ويولج النهار في الل أ كل يجري إلى أجل مسمى وأن الله بما تعملون خبير والقمر

Page 70: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

54

“Tidakkah kamu memperhatikan, bahwa

sesungguhnya Allah memasukkan malam ke dalam siang dan

memasukkan siang ke dalam malam dan Dia tundukkan

matahari dan bulan masing-masing berjalan sampai kepada

waktu yang ditentukan, dan sesungguhnya Allah Maha

Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Dari kedua ayat ini ditemukan mutasyābih yang berupa

perbedaan terletak pada kalimat “li ajli” dan “ila ajli”. Tetapi

makna dan maksud memiliki tujuan yang sama yaitu Allah telah

mengatur matahari dan bulan yang berjalan sesuai waktu yang

telah ditentukan oleh-Nya.

2. Mutasyābih dari segi makna. Seperti sifat-sifat Allah, hari

kiamat, kenikmatan surge dan siksaan neraka. Secara rasional

manusia tidak mungkin sampai mengetahui hal-hal demikian.

3. Mutasyābih dari segi lafadz beserta makna. Seperti contoh QS.

al-Baqarah [2] 189

قل هي مواقيت للناس والحج وليس البر بأن تأتوا يسألونك عن الأهلة وأتوا البيوت من أبوابها واتقوا الله ظهورها ولكن البر من اتقى البيوت من

لعلكم تفلحون “Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit.

Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi

manusia dan (bagi ibadat) haji; Dan bukanlah kebajikan

memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan

itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. Dan masuklah ke

rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada

Allah agar kamu beruntung.”

Menurut al-Zarqāni, sesorang yang tidak mengatahui adat

jahiliyah tidaklah bisa menafsirkan ayat ini karena disamping lafaz

Page 71: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

55

“annisaa” jarang dipakai dalam bahasa Arab maknanya tidak diketahui

tanpa mengetahui fakta yang terjadi.18

Dari tiga klasifikasi yang disusun oleh al-Zarqāni, ada tiga hal

posisi mutasyābih dalam al-Qur’an yaitu mutasyābih lafadz saja,

mutasyābih maknanya saja, dan mutasyābih lafadz dan maknanya

bersamaan.

E. Hikmah Konsep Mutasyābihāt

Konsep mutasyābih memiliki hikmah tersendiri dalam

mengetahuinya. Al-Zarqānī memberikan klasifikasi mengenai hikmah-

hikmah tentang mutasyābih. Pertama, bahwa mutasabih hanya bisa

diketahui oleh Allah SWT dengan memberikan hikmah:19

a. Merupakan rahmat Allah kepada hambanya yang lemah yang

tidak bisa memikul dan menahan atas segala pengetahuan

b. Ruang informasi agar manusia bisa mempercayainnya dengan

ungkapan “kami beriman meskipun kami tidak mengetahui hal

itu.”

c. Sebagaimana dikatakan oleh Fakhruddīn al-Rāzī, bahwasanya

al-Qur’an meliputi dakwah kepada kelompok tertentu dan

awam. Dengan adanya ini agar bisa tumbuh tentang segala

pengetahuan.20

d. Membangkitkan argumentasi terhadap orang yang lemah dan

bodoh dalam ilmu pengetahuan

18 Muhammad ‘Abd al-‘Azīm al-Zarqānī, Manāhil ‘Irfān fi ‘Ulūm al-

Qur’an,(Bairūt: Dār Kitab al-‘Arabī, 1995), juz 2, 220-221. 19 Muhammad ‘Abd al-‘Azīm al-Zarqānī, Manāhil ‘Irfān fi ‘Ulūm al-Qur’an,

223-224. 20 Imam Suyūti, Al-itqan Fī ‘Ulūm al-Qur’an, (Su’udiyyah, 20080), juz 1,

670.

Page 72: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

56

e. Perkataan Fakhruddīn al-Rāzī, sekiranya seluruh ayat al-Qur’an

hanya dihukumi sebagai muhkam, maka sudah pasti hanya ada

satu aliran (madzhab) pemahaman terhadap al-Qur’an. Dimana

pemahaman-pemahaman lain sudah tentu tidak benar kecuali

mengikuti dan sesuai dengan pemahaman aliran tersebut.

Namun karena realitanya ayat al-Qur’an terbagi menjadi

muhkam sebagai induknya (umm al-kitab) dan mutasyābihāt

sebagai cabangnya, maka pemahaman terhadap teks al-Qur’an

mengalami variasi sehingga melahirkan banyak aliran yang

bermacam-macam. Dari kemunculan setiap aliran itu mereka

aka berlomba-lomba dan bersungguh-sungguh dalam

mendalami ilmu penta’wilan untuk dijadikan sebagai pisau

analisis dalam mencari makna yang benar-benar dimaksud. Dari

hal ini, penafsiran terhadap ayat muhkam menjadi acuan dasar

dalam penafsiran ayat mutasyābih dan akhirnya akan

teridentifîkasi pemahaman yang benar dan membuang

pemahaman yang salah.21

Kedua, hikmah mutasyābih yang terkandung di dalam al-Qur’an di

antaranya:22

a. Merealisasikan ‘ijāz al-Qur’an.

b. Memudahkan daya hafalan dan menjaganya.

21 Imam Suyūti, Al-itqan Fī ‘Ulūm al-Qur’an, 670. 22 Muhammad ‘Abd al-‘Azīm al-Zarqānī, Manāhil ‘Irfān fi ‘Ulūm al-Qur’an,

224-225.

Page 73: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

57

c. Menurut Fakhruddīn al-Rāzi, selama mutasyābih masih ada,

maka bisa menjadi wasilah kepada kebenaran meskipun

ditempuh secara sulit.23

d. Ia juga menambahkan, dalam memahami ayat muhkam dan

mutasyābih memerlukan logika. Hal ini memberikan kesadaran

secara tidak langsung dan sekaligus menganjurkan kepada peran

akal dalam menganalisis teks al-Qur’an.

e. Hikmah al-Qur’an meliputi muhkam dan mutasyābih adalah

untuk menghasilkan disiplin ilmu yang banyak seperti ilmu

kebahasaan, nahwu, uṣul al-fiqh.

23 Imam Suyūti, Al-itqan Fī ‘Ulūm al-Qur’an, 669.

Page 74: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

58

BAB IV

TAFSIRAN ISTIWA’ POSISI ALLAH PERSPEKTIF IMAM

NAWAWĪ DAN M. QURAISH SHIHAB

Imam Nawawī dan Quraish Shihab memiliki kesamaan dalam

mendefinisi mengenai mutayabih, yaitu ayat-ayat yang tidak memiliki

kejelasan makna dan maksud sehingga membutuhkan petunjuk lain. Secara

fundamen, mengenai ayat-ayat mutaysabih sangatlah banyak, maka pada

penelitian ini penulis membatasi ayat-ayat yang akan dibahas. Dalam

pembatasan ayat-ayat perlu menggunakan metode pengumpulan ayat agar

langkah-langkah dalam menyelesaikan penelitian ini fokus ke satu tema.

Dalam pengumpulan ayat-ayat yang akan dikaji peneliti menggunakan

metode tematik farmawi, di antaranya: pertama, menentukan tema dalam

suatu penelitian. Dalam penelitian ini penulis menentukan tema terkait

posisi Allah dengan menggunakan term kata istiwa al ‘arsy. Kedua, setelah

menentukan tema, langkah selanjutnya pencarian dengan menggunakan

kamus-kamus al-Qur’an seperti mu’jam al-mufahras li al-fādz li al-Qur’an.

Ketiga, memaparkan tentang munasabah ayat bila diperlukan serta

klasifikasi makkī dan madanī. Keempat, sebagai langkah inti untuk

melakukan kajian analisis-komparatif terhadap argumen kedua mufasir

terkait judul ini. Maka pada sub-bab berikutnya menjelaskan langkah-

langkah dalam menyelesaikan penelitian ini.

A. Kajian ayat-ayat Posisi Allah

Pada subbab ini, peneliti menjelaskan mengenai batasan-batasan ayat

yang akan diteliti, baik itu menjelaskan priodesasi tempat turunnya ayat,

dan kolerasi ayat sebelumnya (munasabah).

Page 75: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

59

1. Bentuk Term Posisi Allah

Pada penelitian ini, ayat-ayat yang akan diteliti adalah tentang posisi

Allah yang merujuk kepada ayat-ayat yang memiliki derivasi kata توى ٱس

( istawā) dan عرشٱل (al-‘arsy). Kata توى ٱس (istawā) menurut mujam al-

wasīt diartikan sebagai استقام (berlaku tegak dan seimbang) dan اعتدل

(moderat, seimbang dan lurus).1 Menurut Quraish Shibab kata ٱستوى

(istawā) diartikan pada mulanya berarti tegak lurus, tidak bengkok.

Selanjutnya kata itu dipahami secara majazī dalam arti menuju ke

sesuatu dengan cepat dan penuh tekad bagaikan yang berjalan tegak

lurus tidak menoleh ke kiri dan ke kanan.2 Sedangkan kata ٱلعر ش (al-

‘arsy) memiliki arti الملك atau سرير الملك (otoritas kerajaan atau tempat

kerajaan).3 Menurut tafsir Kementrian Agama RI, kata ٱلعرش (al-‘arsy)

pada mulanya adalah sesuatu yang beratap (syai’ musaqqaf). Pohon

anggur yang diberi kayu-kayu di atasnya agar batang-batangnya

menjalar dengan teguh dan kokoh di atasnya disebut ma’rusy. ‘Arsy

juga bisa berarti singasana raja. Dari sini bisa dibayangkan posisi raja

yang berada di atas seperti halnya sesuatu yang beratap. Dari

pengertiann hissi ini lalu ditarik ke pengertian maknawi yang berarti

keteguhan, kemantapan (tawassūq) dari sini muncul arti kekuasaan (al-

sulṭan), keperkasaan (al-‘izz) dan lainnya. Akan halnya bagaimana

1 Jumhuriyah Masr al’Arabiyyah, Mu’jam al-Wasīt, (Riyad: Maktabah al-Syurūq

al-Dauliyyah, 2004), 466. 2 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an

(Jakarata: Lentera Abadi, 2017), Vol. I, 136. 3 Jumhuriyah Masr al’Arabiyyah, Mu’jam al-Wasīt, (Maktabah al-Syurūq al-

Dauliyyah, 2004), 593.

Page 76: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

60

bentuk ‘Arsy Allah, adalah suatu yang tidak bisa diketahui dengan pasti.

Yang terpenting bahwa Allah berkuasa dan mantap dengan kekuasaan-

Nya.4

Di dalam al-Qur’an kata ستوى ٱ (istawā) ditemukan sebanyak dua

belas ayat, di antaranya: QS. al-Baqarah [2] 29, QS. al-‘Arāf [7] 54, QS.

Yūnus [10] 3, QS. al-Ra’d [13] 2, QS. Taha [20] 5, QS. al-Furqān [25]

59, QS. al-Qasas [28] 14, QS. al-Sajadah [32] 4, QS. Fussilat [42] 11,

QS. al-Fath [48] 29, QS. al-Najm [53] 6, dan QS. al-Hadīd [57] 4.5

Sedangkan kata لعرش ٱ (al-‘arsy) di dalam al-Qur’an ditemukan

sebanyak 22 ayat, di antaranya: QS. al-‘Arāf [7] 54, QS. al-Taubah, [9]

129, QS. Yūnus [10] 3, QS. Yūsuf [12] 100, QS. al-Ra’d [13] 2, QS.

al-Isrā’ [17] 42, QS. Taha [20] 5, QS. al-‘Anbiyā’ [21] 22, QS. al-

Mu’minūn [23] 82 dan 116, QS. al-Furqān [25] 59, QS. al-Namal [27]

23 dan 26, QS. al-Sajadah [32] 4, QS. al-Zumar [39] 75, QS. Ghāfir [40]

7 dan 15, QS. al-Zukhruf [43] 82, QS. al-Hadīd [57] 4, QS. al-Hāqqah

[69] 17, QS. al-Takwīr [81] 20, dan QS. al-Burūj [85] 15.6

Setelah menghimpun semua ayat, langkah selanjutnya agar lebih

mudah diketahui priodesasi ayat baik itu makkiyah maupun

madaniyyah.7 Dalam hal ini penulis memberikan dalam bentuk tabel

sebagai berikut:

4 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi, 2010),

jilid III, 356. 5 Muhammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqī,Mu’jam al-Mufahras li al-Fādz al-Qur’an al-

Karīm (Qāhirah: Dār al-Hadīts), 373. 6 Muhammad Fu’ād ‘Abd al-Bāqī,Mu’jam al-Mufahras li al-Fādz al-Qur’an al-

Karīm (Qāhirah: Dār al-Hadīts), h. 456 7 Adapaun yang dimaksud dengan istilah Makkiyah dan Madaniyyah, para ulama

berbeda pendapat dalam memberikan batasan mengenai ayat-ayat Makiyyah dan

Madaniyyah. Ada yang berpendapat berdasarkan masa turunnya yaitu ayat-ayat Makiyyah

adalah ayat-ayat yang diturunkan sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, dan ayat-ayat

Madaniyyah adalah ayat-ayat yang diturunkan setelah Rasulullah hijrah ke Madinah.

Adapun yang berpendapat berdasarkan tempat diturunkannya yaitu Makiyyah adalah ayat-

ayat yang turun di Mekah dan sekitarnya, seperti Mina, Arafah, dan Hudaibiyyah dan

Page 77: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

61

4.1Tabel Periodeisasi Ayat

Periode

Surah

No.Surah

No. Ayat

Al-‘Arāf 7 54

Al-Taubah 9 129

Yūnus 10 3

Yusūf 12 100

Al-Isrā’ 17 42

Taha 20 5

Al-‘Anbiyā’ 21 22

Al-

Mu’minūn

23 86 dan

116

Al-Furqān 25 14 dan 59

Makkiy

ah

Al-Namal 27 23 dan 26

Al-Qasas 28 14

Al-Sajadah 32 4

Al-Zumar 39 75

Ghāfir 40 7 dan 15

Fussilat 41 11

Al-Zukhruf 43 82

Al-Najm 53 6

Al-Hāqqah 69 17

Madaniyyah merupakan ayat-ayat yang turun di Madinah dan sekitarnya, seperti Uhud,

Qubā; dan Sil. Lihat, Manna Khalīl Al-Qattān, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an (Bogor: PT.

Pustaka Litera Antar Nusa, 2013), cet. 16, h. 83-85

Page 78: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

62

Al-Takwīr 81 20

Al-Burūj 85 15

Al-Baqarah 2 29

Al-Ra’d 13 2

Madani

yah

Al-Fath 48 29

Al-Hadīd 57 4

Dari semua ayat ini, penulis hanya fokus kepada ayat-ayat yang

derivasi kata istawā dan ‘arsy terususun dalam satu konteks ayat, maka

ditemukan berjumlah enam ayat. Kemudian penulis juga menambah

ayat-ayat yang berkaitan dengan substansi posisi Allah yaitu QS. al-

Baqarah [2] 29 dan QS. Fussilat [41] 11.

2. Identifikasi Ayat

Setelah menyusun priodesasi beserta maksud term ayat yang akan

diteliti, maka pada subbab ini penulis menguraikan ayat-ayat yang akan

diteliti di antaranya QS. ‘Arāf [7] 54

ثماستوى علىالعرشإ أيام والأرضفيستة الذيخلقالسماوات نربكماللهالخلقيغشي له ألا بأمره مسخرات يطلبهحثيثاوالشمسوالقمروالنجوم النهار الليل

رتباركاللهربالعالمينوالأم“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit

dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia

menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan

(diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-

masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan

memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta

alam.”

Page 79: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

63

QS. Yūnus [10] 3

إنربكماللهالذيخلقالسماواتوالأرضفيستةأيامثماستوى علىالعرش يدبرالأمرمامنشفيعإلامنبعدإذنهذ لكماللهربكمفاعبدوهأفلاتذكرون

“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit

dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas

'Arsy untuk mengatur segala urusan. Tiada seorangpun yang akan

memberi syafa'at kecuali sesudah ada izin-Nya. (Dzat) yang

demikian itulah Allah, Tuhan kamu, maka sembahlah Dia. Maka

apakah kamu tidak mengambil pelajaran?”

QS. al-Ra’d [13] 2

الشمس العرشوسخر استوى على ثم ترونها بغيرعمد السماوات رفع الذي اللهم لأجل يجري كل ربكموالقمر بلقاء لعلكم الآيات يفصل الأمر يدبر سمى

توقنون

“Allah-lah Yang meninggikan langit tanpa tiang (sebagaimana) yang

kamu lihat, kemudian Dia bersemayam di atas 'Arasy, dan

menundukkan matahari dan bulan. Masing-masing beredar hingga

waktu yang ditentukan. Allah mengatur urusan (makhluk-Nya),

menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya), supaya kamu meyakini

pertemuan(mu) dengan Tuhanmu.”

QS. Taha [20] 5

الرحم نعلىالعرشاستوى

“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas

'Arsy.”

QS. al-Furqān [25] 59

الذيخلقالسماواتوالأرضومابينهمافيستةأيامثماستوى علىالعرشالرحم نفاسألبهخبيرا

Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara

keduanya dalam enam masa, kemudian dia bersemayam di atas

'Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang

Allah) kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia.

QS, Sajadah [32] 4

Page 80: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

64

علىالعرشاللهالذيخلقالسماواتوالأرضومابينهمافيستةأيامثماستوى أفلاتتذكرون مالكممندونهمنوليولاشفيع

“Allah lah yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di

antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas

'Arsy. Tidak ada bagi kamu selain dari pada-Nya seorang penolongpun

dan tidak (pula) seorang pemberi syafa'at. Maka apakah kamu tidak

memperhatikan?”

QS. al-Hadīd [57] 4

لجهوالذيخلقالسماواتوالأرضفيستةأيامثماستوى علىالعرشيعلممايوهومعكمأين فيالأرضومايخرجمنهاوماينزلمنالسماءومايعرجفيها

واللهبماتعملونبصير ماكنتم“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa:

Kemudian Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia mengetahui apa yang

masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang

turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. Dan Dia bersama

kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang

kamu kerjakan.”

Kemudian penulis juga menambah ayat-ayat yang terkaid dengan

substansi kajian posisi Allah yang terdapat dalam QS. al-Baqarah [2]

29

سبع فسواهن السماء إلى استوى ثم جميعا الأرض في ما لكم خلق الذي هو

هوبكلشيءعليمو سماوات

“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu

dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh

langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Dan QS. Fussilat [41] 11

ثماستوى إلىالسماءوهيدخانفقاللهاوللأرضائتياطوعاأوكرهاقالتاأتيناطائعين

“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih

merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi:

Page 81: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

65

"Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau

terpaksa". Keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati".

3. Munasabah

Pada subbab sebelumnya penulis menguraikan ayat-ayat yang akan

diteliti, maka pada bagian ini penulis menguraikan munasabah setiap

ayat yang akan diteliti. Pertama, QS. al-‘Arāf [7] 54. Pada ayat-ayat

yang sebelumnya Allah mengambarkan keadaan orang-orang kafir di

akhirat dan penyesalan mereka karena telah mengikuti anjuran

pemimpin-pemimpin dan setan-setan, sedangkan Rasul-rasul Allah

telah datang dan mengajak mereka agar menganut agama tauhid. Maka

pada ayat ini Allah menjelaskan bahwa Dia adalah Pencipta langit dan

bumi dan bagaimana besarnya kekuasaan-Nya dan bagaimana hebat dan

rapi ciptaan-ciptaan-Nya, untuk menjadi bukti bagi manusia bahwa Dia

sajalah Tuhan yang berhak disembah dan dipanjatkan doa kepada-Nya.8

Kedua, QS. Yūnus [10] 3. Pada ayat-ayat sebelumnya menjelaskan

bahwa al-Qur’an mempunyai hikmah, tetapi orang kafir tidak mau

percaya bahwa al-Qur’an itu dari sisi Allah, diturunkan kepada rasul-

Nya. Muhammad dengan perentara Jibril, mereka mengatakan bahwa

al-Qur’an itu adalah sihir dan Muhammad adalah tukang sihir. Ayat ini

merupakan bukti atau argumentasi yang membantah pendapat dan

anggapan orang-orang kafir itu, dan menetapkan bahwa al-Qur’an yang

dibacakan oleh Muhammad itu benar-benar dari Tuhan yang

menciptakan seluruh alam, yang memberikan syafaat dengan izin-Nya,

yang mengurus dan mengatur seluruh alam dan wajib disembah oleh

makhluk-Nya.9

8 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi, 2010),

jilid III, h. 356 9 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi, 2010),

jilid IV, 351-352.

Page 82: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

66

Ketiga, QS. al-Ra’ad [13] 2. Pada ayat sebelumnya yaitu QS. Yusūf

[12] 111, menjelaskan al-Qur’an bukan perkataan yang dibuat-buat,

tetapi kitab suci yang membenarkan risalah nabi-nabi sebelumnya.

Kemudian pada ayat ini menjelskan tentang penegasan kembali

kebenaran al-Qur’an yang diturunkan Allah melalui Malaikat Jibril

kepada Nabi Muhammad SAW. Allah menjelaskan dalam al-Qur’an

tanda-tanda kekuasaan dan kemampuan-kemampuan-Nya dalam

menciptakan langit dan bumi dengan berbagai kenikmatan yang ada di

antara keduanya. Hanya orang-orang yang mau berpikir yang bisa

menyadari keberadaan Allah dan kebenaran al-Qur’an.10

Keempat, QS. Taha [20] 5. Akhir dari surat Maryam menerangkan

bahwa al-Qur’an diturunkan dalam Bahasa Arab supaya mudah bagi

Nabi Muhammad SAW menyampaikan kepada kaumnya yang

berbahasa Arab. Al-Qur’an berisi kabar gembira bagi orang-orang yang

bertakwa dan sebagai peringatan bagi orang-orang yang ingkar,

sedangkan awal surah Ṭaha ini menguatkan penjelasan di atas, di

samping menerangkan bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah, sang

Pencipta langit dan bumi.11

Kelima, QS. al-Furqān [25] 59. Pada ayat-ayat sebelumnya, Allah

menjelaskan tanda-tanda keesaan-Nya di ala mini dan keindahan

ciptaan-Nya yang penuh berisi hikmah dan kebijaksanaan. Pada ayat-

ayat ini, Allah menerangkan sikap dan perbuatan kaum musyrikin yang

tetap saja berpaling dari petunjuk dan kebenaran, bahkan tetap

10 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi,

2010), jilid V, 61. 11 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi,

2010), jilid VI, 114.

Page 83: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

67

menyembah berhala yang tidak memberik kemanfaatan dan

kemudharan apa-apa.12

Keenam, QS. Sajadah [32] 4. Pada ayat-ayat sebelumnya

diterangkan mengenai kebeneran al-Qur’an sebagai Kalamullah dan

kebenaran risalah Nabi Muhammad SAW sebagai pemberi kabar

gembira dan peringatan kepada orang-orang musyrik. Pada ayat-ayat ini

diterangkan mengenai bukti-bukti kekuasaan dan keesaan Allah yang

terdapat pada penciptaan langit dan bumi pada pemulaannya, kemudian

penciptaan manusia dari tanah, dan keturunan dari sari pati air yang

hina. Kemudian Allah menyempurnakan sebagai manusia.13

Ketujuh, QS. al-Hadīd [57] 4. Pada ayat sebelumnya yaitu QS.

Waqī’ah [56] 1-96 menjelaskan mengenai kedahsyatan sakratulmaut

dan nasib manusia yang berbeda-beda, serta perintah untuk bertasbih.

Pada ayat-ayat ini menerangkan bahwa seluruh makhluk bertasbih

kepada Allah.14

Kedelapan, QS. al-Baqarah [2] 29. Pada ayat yang sebelumnya

diterangkan sikap orang-orang kafirterhadap perumpamaan-

perumpamaan yang telah disebutkan Allah, terhadap perjanjian mereka

dengan Allah dan terhadap tingkah laku mereka yang merusak agama,

manusia dan kemanusiaan. Pada ayat ini Allah SWT mencela orang

kafir itu dan memerintahkan mereka agar memperhatikan dirinya,

kejadiannya, kehidupannya, dan kemana mereka kembali dengan

meghadirkan informasi-informasi bukti-bukti kebesaran Allah.15

12 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi,

2010), jilid VII, 39-40. 13 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi,

2010), jilid VII, 581. 14 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi,

2010), jilid IX, 664. 15 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi,

2010), jilid I, .70.

Page 84: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

68

Kesembilan, QS. Fussilat [41] 11. Pada ayat sebelumnya

diterangkan bahwa Allah memerintahkan kepada Rasulullah SAW agar

mengajak umatnya untuk melaksanakan ajaran Islam, beriman kepada

Allah, memurnikan ketundukan dan ketaatan hanya kepada-Nya saja,

dan selalu meminta ampun kepada-Nya atas dosa-dosa yang telah

diperbuat. Pada ayat-ayat berikutnya dikemukakan bukti-bukti

kekuasaan dan keesaan Allah dalam menciptakan langit dan bumi, dan

menghiasi langit dengan bintang-bintang yang tidak terhingga

banyaknya. Dia mengetahui segala sesuatu, tidak ada sesuatupun yang

luput dari pengetahuan-Nya. Namun, orang-orang musyrik masih juga

menyembah patung-patung yang tidak sanggup berbuat sesuatu apalagi

mempunyai kehendak dan kekuasaan.16

B. Argumentasi Posisi Allah Menurut Imam Nawawi

Pada subbab ini, penulis membahas spesifikasi interpretasi Imam

Nawawī mengenai ayat-ayat yang akan diteliti. Adapun referensi yang

diambil oleh penulis adalah dari karya Imam Nawawī marāh labīd.

a. Pada QS. ‘Arāf [7] 54, mengenai teks ٱلتوى ٱس عرشعلى , menurut

Imam Nawawī derivasi teks tersebut merupakan tempat

bersemanyam-Nya (singgahsana kerajaan) setelah selesai

menciptakan langit dan bumi, maksudnya adalah tindakan dan

perencanaan Allah setelah menciptakan langit dan bumi. Pada teks

عرشٱل maksudnya tempat duduk kerajaan. Menurut Imam Nawawī

kata عرشٱل tidak diartikan secara tekstual melainkan menggunakan

16 Kementrian Agama RI, al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Lentera Abadi,

2010), jilid VIII, 595.

Page 85: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

69

makna lain. Menurut al-Qaffāl yang dikutip oleh Imam Nawawī ,

maksud dari derivasi di atas adalah Allah menetap di tempat

kerajaan-Nya. Sedangkan maksud penyebutan Allah terhadap istiwā

‘ala ‘arsy adalah efektif berlaku maha kuasa-Nya dan berlaku

terhadap kehendak-Nya.17

b. Pada QS. Yūnus [10] 3, menurut Imam Nawawī teks عرشعلىٱلتوى ٱس

bersemanyan meliputi wujud-Nya, maksud dari ayat ini juga

merupakan perencanaan Allah terhadap kerajaan-Nya. Ayat ini juga

memberikan informasi bahwa ‘Arsy tercipta sebelumnya diciptanya

langit dan bumi dengan argumentasi firman Allah QS. Hūd [11] 7.18

c. Pada QS. al-Ra’ad [13] 2, Imam Nawawī menafsirkan ayat ini juga

senada dengan penafsiran sebelumnya bahwa Allah menciptakan

‘Arsy sebelum menciptkan langit dan bumi. Istawā di artikan

sebagai bersemayamnya Allah di ‘Arsy sebagai tempat kerajaan-

Nya.19

d. Pada QS. Taha [20] 5, menurut Imam Nawawī maksud dari derivasi

ـن sebagai Pencipta seluruh alam. Kata istawā ala ‘arsy ٱلرح

sebagai majāz (metafor) terhadap kerajaan-Nya, dan juga sebagai

bentuk kinayah sehingga boleh diartikan dengan tempat di tempat

kerajaannya. Tetapi pada konteks Allah tidak bisa diartikan bahwa

Dia duduk di tempat-Nya dengan makna asli.20

17 Muhammad b. ‘Umar b. Al-Nawawī al-Jāwī, Marāh Labīd Li Kasyf Ma’na al-

Qur’an al-Majīd (Libanan: Bairut Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, 1997), juz 1, 375. 18 Muhammad b. ‘Umar b. Al-Nawawī al-Jāwī, Marāh Labīd Li Kasyf Ma’na al-

Qur’an al-Majīd, 378-379. 19 Muhammad b. ‘Umar b. Al-Nawawī al-Jāwī, Marāh Labīd Li Kasyf Ma’na al-

Qur’an al-Majīd, 552. 20 Muhammad b. ‘Umar b. Al-Nawawī al-Jāwī, Marāh Labīd Li Kasyf Ma’na al-

Qur’an al-Majīd (Libanan: Bairut Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, 1997), juz 2, 20.

Page 86: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

70

e. Pada QS. al-Furqān [25] 59, menurut Imam Nawawī pada teks

عرشعلىٱلتوى ٱس (istawā ‘ala ‘arsy) diarikan sebagai tempat yang

Maha Tinggi sebagai bentuk Pencipta langit dan bumi.21

f. Pada QS. Sajadah [32] 4 dan QS. al-Hadīd [57] 4, Imam Nawawī

menafsirkan ayat ini senada dengan penafsiran sebelumnya bahwa

Allah menetap di tempat kerjaan-Nya yang diciptakan sebelum

Allah ciptakan langit dan bumi.22

g. Pada QS. al-Baqarah [2] 29, derivasi توى ٱس diartikan oleh Imam

Nawawī berkeinginan, maksudnya setelah Allah menciptakan bumi

beserta isinya kemudian Allah berkeinginan menciptakan langit.23

Dari semua ayat yang ditafsirkan oleh Imam Nawawī dapat

disimpulkan bahwa ia mengangap ayat ini mutasyābih sehingga tidak bisa

diartikan dengan makna yang jelas tetapi membutuhkan ta’wīl atau

penjelasan dengan menggunakan makna lain. Ia juga tidak menjelaskan

secara ekspilisit mengenai istawā ‘ala ‘arsy. Sehingga kesimpulannya

bahwa Posisi Allah sebagai raja yang menetap di kerajaan-Nya.

Sebagaimana telah dijelaskan pada ayat-ayat sebelumnya bahwa Allah

menetap dikerajaannya setelah menciptkaan langit dan bumi. Pada dasarnya

ia menafsirkan teks istiwa dan ‘arsy tidak jauh beda dengan penafsiran

ulama sebelumnya seperti Ibn Katsīr, al-Tabarī. Ia menafsirkan istiwa

sebagai kerajaan, tetapi tidak dianalogikan sebagai kerajaan yang memiliki

keserupaan dengan manusia. Di sisi inilah Imam Nawawī menghadirkan

21 Muhammad b. ‘Umar b. Al-Nawawī al-Jāwī, Marāh Labīd Li Kasyf Ma’na al-

Qur’an al-Majīd (Libanan: Bairut Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, 1997), juz 2, 137. 22 Muhammad b. ‘Umar b. Al-Nawawī al-Jāwī, Marāh Labīd Li Kasyf Ma’na al-

Qur’an al-Majīd (Libanan: Bairut Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, 1997), juz 2, 241 dan 489. 23 Muhammad b. ‘Umar b. Al-Nawawī al-Jāwī, Marāh Labīd Li Kasyf Ma’na al-

Qur’an al-Majīd (Libanan: Bairut Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, 1997), juz 1, 14.

Page 87: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

71

re-interpretasi (ta’wīl). Sama halnya ia menafsirkan kata yang artinya ‘arsy,

ia tidak menafsirkan makna asli melainkan makna yang dipalingkan dengan

alasan bahwa ayat ini memiliki kesamaran (mutasyābih āt).

C. Argumentasi Posisi Allah Menurut Quraish Shihab

Setelah mengetahui interpretasi dari Imam Nawawī , maka langkah

selanjutnya melihat interpretasi dari Quraish Shihab agar bisa

dikomparatifkan dengan menghasilkan perbedaan dan persamaan dalam

menafsirkan ayat-ayat tentang posisi Allah. Dalam penelitian subbab ini,

penulis merujuk langsung dalam karyanya kitab al-Misbah.

a. Pada QS. al-‘Arāf [7] 54, menurut Quraish Shihab pada teks توى ٱس

ٱل شرععلى ini masih menjadi perdebatan para ulama. Ada yang

enggan menafsirkannya, “Hanya Allah SWT yang tahu maknanya”

demikian ungkapan ulama salaf (Abad I-III H). Kata توى ٱس (istawā)

dikenal oleh ahli bahasa, kaifiyyah (caranya) tidak diketahui,

mempercayainya adalah wajib dan menanyakannya adalah bid’ah.

Demikian ucapan Imam Mālik ketika makna tersebut ditanyakan

kepadanya. Ulama-ulama sesudah abad III, berupaya menjelaskan

maknya dengan mengalihkan makna kata istawā dari makna

dasarnya yaitu bersemayam ke makna majazi yaitu berkuasa, dan

demikian penggalan ayat ini bagaikan menegaskan tentang

kekuasaan Allah SWT dalam mengatur dan mengendalikan alam

raya, tetapi tentu saja hal tersebut sesuai dengan kebesaran dan

kesucian-Nya dan segala sifat kekurangan atau kemakhlukan. Ia

juga mengutip pendapat Tabathaba’ī yang diambil dari al-Rāghīb al-

Asfhānī yang menyatakan antata lain, bahwa kata ‘Arsy yang dari

Page 88: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

72

segi bahasa adalah tempat singgahsana atau tempat duduk raja,

kadang-kadang dipahami dalam arti kekuasaan. Pada mulanya

diartikan sebagai sesuatu yang beratap. Tetapi perlu dicatat, bahwa

Allah yang duduk dikursi/Arsy’ yang tertinggi itu keadaan dan

pengaturannya terhadap alam raya.24

b. Pada QS. Yunūs [10] 3, pada ayat ini Quraish Shihab tidak

menjelaskan secara mendetail, sebab telah dijelaskan pada ayat

sebelumnya pada QS. al-‘Arāf [7] 54. Ia juga menambahkan bahwa

ayat ini memberikan makna majāz (metafor)25

c. Pada QS. al-Ra’ad [13] 2, ayat ini ditafsirkan oleh Quraish Shihab

sama pada ayat sebelum-sebelumnya. Bahkan penggunaan katapun

tidak ada perbedaan dengan sebelumnya. Bahkan ia menambahkan,

agar merujuk kepada QS. al-‘Arāf [7] 54.26

d. Pada QS. Taha [20] 5, menurutnya al-Rahīm adalah pencipta alam

raya yaitu Allah SWT, yang bersemayam yakni berkuasa penuh di

atas ‘Arsy yakni pada seluruh kerajaan-Nya. Milik-Nya sendiri dan

dalam wewenang serta pengaturan-Nya tanpa campur tangan

siapapun termasuk tuhan-tuhan musyrikin semua yang ada di alngit,

dan semua yang ada di bumi, serta semua yang terdapat diantara

keduanya dan semua yang dibawah seperti barang tambang dan

kekayaan lainnya.27

e. Pada QS. al-Furqān [25] 59, QS. Sajadah [32] 4, dan QS. al-Hadīd

[57] 4. Ayat ini Qurasih Shihab menafsirkan sesuai pada ayat

24 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an

(Jakarata: Lentera Abadi, 2017), Vol. 5, . 119. 25 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an

(Jakarata: Lentera Abadi, 2017), Vol. 6, 13. 26 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an,

538. 27 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an

(Jakarata: Lentera Abadi, 2017), Vol. 8, 271.

Page 89: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

73

sebelumnya yaitu telah dijelaskan secara eksplisit dalam QS. al’Arāf

[7] 54

f. Pada QS. al-Baqarah [2] 29, menurut Quraish Shihab pada teks

ٱلسماءتوى ٱس إلى diartikan “kemudian Dia berkehendak menuju

langit”. Kata kemudian dalam ayat ini bukan dalam arti selang

masa, tetapi dalam arti peringkat, yakni peringkat sesuatu yang

disebut sesudahnya yaitu langit dan apa yang ditampungnya lebih

agung, lebih besar, indah dan misterius daripada bumi. Maka Dia,

yakni Allah menyempurnakan mereka, menjadi tujuh langit dan

menetapkannya hukum-hukum yang mengatur perjalanannya

masing-masing serta menyiapkan sarana yang sesuai bagi yang

berada di sana, apa dan atau siapa pun. Itu semua diciptakan-Nya

dalam keadaan sempurna dan amat teliti.28

Dari semua ayat yang ditafsirkan oleh Qurais Shihab dapat

disimpulkan bahwa ia mengangap ayat ini mutasyābih sama halnya

dengan pandangan Imam Nawawī , sehingga tidak bisa diartikan dengan

makna yang jelas tetapi membutuhkan re-interpretasi ta’wīl atau

penjelasan dengan menggunakan makna lain. Ketika menjelaskan kata

yang sama dalam ayat yang berbeda beliau kebanyakan menyuruk

merujuk ke penafsiran sebelumnya. M. Quraish sihab dalam

memberikan reinterpretasi (ta’wīl) ia menggunakan bahasa pengalihan

yang bisa dipahami, ini sesuai dengan corak tafsir yang ia tulis adabī

ijtima’ī yang mementingkan sosio-kultur. Bisa ditemukan ketika ia

menafsirkan kata istiwa, menurutnya diartikan dengan sebuah

28 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an

(Jakarata: Lentera Abadi, 2017), Vol. 1, 136.

Page 90: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

74

kekuasaan. Arti ini berbeda sekali dengan penafsiran yang dilakukan

oleh Imam Nawawī dengan mengartikan kerajaan.

Perbedaan ini bisa dipahami bahwa kata kekuasaan tidak hanya

stagnasi dengan membutuhkan kerajaan, sebab kekuasaan memiliki

relasi kuasa misalnya antara makhluk dengan Khalik. Antara manusia

dengan Allah memiliki jarak yang jauh, sehingga Allah memiliki relasi

kuasa dengan manusia sehingga tidak bisa diegaliterkan dalam hal

posisi. Konsekuensi dengan mengarikan kerajaan adalah membutuhkan

sebuah tempat fisik berbentuk kerajaan. Sama halnya ketia menfasirkan

kata arasy’ beliau menjelaskan bahwa kata aras itu diartikan sebagai

kursi, atau singgah sana raja, beliau mengumpamakan kata arasy dengan

maksud bahwa singgah sana seorang raja itu tempat nya lebih tinggi dari

pada rakyatnya. Kemudian ketika dijelaskan kata istiwa’ diartikan

dengan makna kekuasaan yang menguasai alam semesta dan mengatur

segala yang ada didalamnya. Maka dapat disimpulkan arti علىتوى ٱس

شرعٱل menurut M. Quraish shihab adalah Allah yang berkuasa atas

segala ciptaan nya dan berada ditempat yang maha tinggi dari

mahluknya.

Setelah memaparkan kedua interpretasi kedua mufasir, penulis

memberikan referensi dari penafsiran konstitusi berjudul “Tafsir al-Qur’an

dan Terjemahnya” sebagai perbandingannya. Menurut tafsir Kementrian

Agama ayat tentang istawā ‘ala ‘arsy, Allah bersemanyam di atas ‘’arsy

setelah menciptakan langit dan bumi. Tentang bagaimana Allah

bersemanyaam di atas ‘arsy-Nya dan bagaimana Dia mengatur semesta

alam ini tidaklah dapat disamakan atau digambarkan seperti

bersemanyamnya seorang raja di atas singgahsananya karena Allah tidak

boleh dimisalkan atau disamakan dengan makhluk-Nya. Namun hal ini

Page 91: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

75

harus dipercayai dan diimani dan hanya Allah sediri Yang Mengetahui

bagaimana hakikatnya. Para sahabat Nabi tidak ada yang merasa ragu dalam

hatinya mengenai bersemanyam-Nya Allah di atas ‘arsy. Mereka

menyakini hal itu dan beriman kepada-Nya tanpa mengetahui bagaimana

gambaranya. Demikianlah Imam Malik berkata ketika ditanyakan

kepadanya masalah bersemanyamnya Allah di atas ‘arsy sebagai berikut,

“Bersemanyamnya Allah adalah suatu hal yang tidak asing lagi, tetapi

bagaimana caranya tidak dapat dipikirkan”.29

Sedangkan penafsiran derivasi kata ٱلسماءتوى ٱس إلى , di dalam tafsir

Kementrian Agama ayat ini menjelaskan bahwa Allah menuju langit dan

menyempurnakannyaa menjadi tujuh langit. Ayat ini juga memberikan

pengertian bahwa Allah menciptakan langit lalu Allah

menyempurnakannya menjadi tujud langit.30

Dari uraian di atas dapat diambil hipotesa, ayat-ayat yang ditafsirkan

oleh Quraish Shihab masih ruang lingkup mutasyābih , kesamaran dalam

teks ayat membuat penggunaan makna berbeda dengan Imam Nawawī .

Tetapi pola penafsiran tidak jauh berbeda yang signifikan dengan Imam

Nawawī . Quraish Shihab lebih tendensi bahwa posisi Allah tidaklah

dikategorikan tempat yang memiliki ruang dan waktu, tetapi diartikan

sebagai Allah memiliki kekuasaan yang Maha Tinggi. Adapun Perbedaan

dan persamaan akan dibahas pada bab selanjutnya. Dari beberapa tafsir

yang dianalisis, penafsiran Quraish Shihab dalam memeberikan ta’wil ayat-

ayat mutasyabbihāt lebih mudah dipahami, sedangkan penafsiran lainnya

tidak memberikan penjelasan dalam pemberian ta’wil.

29 Kementrian Agama RI, Tafsir al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Lentera

Abadi, 2010), Jilid III, 360. 30 Kementrian Agama RI, Tafsir al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: Lentera

Abadi, 2010), Jilid I, 71.

Page 92: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

76

D. Perbedaan dan Persamaan kedua mufasir

Setelah melewati kajian-kajian analisi ayat kedua tafsir, maka langkah

terakhir selanjutnya, penulis menganalisa dengan melihat perbedaan dan

persamaan kedua mufasir.

1. Jangkauan makna istiwa

Kedua mufasir memiliki kesamaan dalam menentukan ayat-ayat

mutasyābih āt, sehingga ayat-ayat yang berkaitan tentang posisi Allah

dikategorisasikan sebagai mutasyābih āt. Perbedaan yang ditemukan

adalah pemberian makna terkait ayat-ayat mutasyābih seperti term

istiwa. Pada intinya kedua mufasir sepakat dalam mengarikan kata dasar

dari istawā adalah tempat kerajaan, perbedaan terjadi ketika diartikan

dengan menyandarkan sifat-sifat Allah. Quraisy Syihab mengartikan

istiwa sebagai kekuasaan Allah, menurut Imam Nawawī diartikan

dengan kerajaan. Perbedaan ini bisa mempengaruhi dalam memahami

maksud, seperti Imam Nawawī mengartikan kerjaan maka

konsekuensinya kerajaan (al-mulk) membutuhkan suatu benda atau

fisik. Berbeda ketika diartikan kekuasaan yang bisa dipahami sebagai

relasi pembeda antara Allah dengan manusia, atau Khalik dengan

makhluknya. Maksud kekuasaan tidak mesti membutuhkan sebuah

kerajaan tetapi cukup dengan relasi kuasa maka bisa menjadi pembeda.

Makna yang diberikan oleh Quraisy Syihab merupakan jangkauan

makna atau bisa disebut sebagai pengembangan makna.

2. Pengembangan makna ‘Arsy

Tidak hanya berbeda dalam memaknai istiwa, tetapi juga berbeda

dalam menafsirkan ‘arsy. Dalam hal ini Imam Nawawī menggunakan

makna aslinya meskipun ia memberikan catatan bahwa yang dimaksud

dengan tempat duduk tidak bisa disamakan dengan tempat duduk

Page 93: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

77

manusia. Berbeda dengan Quraisy Syihab, ia meskipun berpijak kepada

makna asli tetapi ia memberikan makna lain yaitu sebagai pengawasan

Allah yang tinggi. Pengambilan makna ini bisa dianalisis, bahwa ia

berpijak kepada relasi makna kekuasaan sehingga istiwa dan ‘arsy

merupakan term yang tidak bisa diartikan secara harfiyah. Pengambilan

makna kekuasaan maka cara dan ekpresi untuk melakukannya adalah

pengawasan.

3. Menentukan posisi Allah

Posisi tidak bisa diartikan dengan tempat (tamakkun) sebab

Allah tidak memiliki tempat, inilah yang argumen kedua mufasir

dalam menentukan keberadan Allah. Dalam penentuan posisi Allah

Imam Nawawī tidak menjelaskan secara detail, dengan merujuk

penafsirannya maka posisi Allah sudah dipastikan di ‘arsy. Quraisy

Syihab mencoba memberikan opini dalam menentukan posisi Allah

yang disertakan arah posisi, meskipun Allah tidak membutuhkan

arah, hanya saja ia menggunakan ta’wil (reinterpretasi) terhadap

ayat-ayat di atas. Menurutnya posisi Allah sudah pasti di ‘arsy,

tetapi dalam penentuan arah posisi, dalam hal ini ia berpendapat

posisi Allah lebih tinggi dari makhluknya sebagai bentuk relasi

kuasa kepada makhluknya. Memberikan pemahaman lebih tinggi ini

suatu opini yang menunjukkan posisi Allah yang memiliki korelasi

ketika ia menafsirkan istiwa yang berarti kekuasaan. Bentuk

kekuasaannya adalah lebih tinggi (lebih baik/lebih mulia/lebih

indah) dari makhluknya.

Dari beberapa perbedaan persamaan ini, peneliti memberikan tabel

agar bisa dipahami secara mendetail sebagai berikut:

Page 94: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

78

4.2Tabel Persamaan dan perbedaan

Perbedaan Persamaan

Penafsiran Imam Nawawī

cukup singkat daripada Qurasih

Shihab, sehingga pemahaman

yang diberikan tidak eksplisit.

Metode yang digunakan dalam

menafsirkan ayat-ayat

mutasyābih sama-sama

menggunakan ta’wīl.

Perbedaan dalam

menggunakan istilah bahasa,

seperti menurut Imam Nawawī

istawā diartikan dengan استقام (istaqāma/menetap),

sedangkan Quraish Shibab,

kata istawā terjadi perubahan

makna bukan hanya menetap

tetapi menjadi berkuasa atau

kekuasaannya dalam mengatur

alam semesta.

Kedua mufasir memiliki

persamaan dalam penolakan

tafwīd dalam menafsirkan ayat-

ayat mutaysabih.

Imam Nawawī hanya fokus kepada

penafsiran ٱلتوى ٱس عرشعلى yang

substansinya mengenai tempat

posisi Allah, sedangkan Quraish

Shihab tidak hanya menafsirkan

ayat mengenai tempat posisi Allah,

ia juga menafsirkan mengenai arah

posisi meskipun kesimpulannya itu

hanya majazī (metafor) dalam

penggunaan kata.

Imam Nawawī memiliki

kesamaan dengan Quraish

Shihab perihal memaknai ‘Arsy

sama-sama memaknai dengan

kata kerajaan

Perbedaan dalam pemaknaan

derivasi kata, ٱلسماءتوى ٱس إلى , dalam

QS. al-Baqarah [2] 29 Imam

Nawawī memaknai Allah

berkeinginan untuk menciptakan

langit, sedangkan Quraish Shihab

bahwa Allah berkehendak menuju

langit.

Memiliki kesamaan dalam

mengkategorikan ayat-ayat ini

mutasyābih

Page 95: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

79

Dari kedua pandangan mufasir ini, penulis lebih tendensi (condong)

kepada pandangan Quraish Shihab dengan beberapa alasan, di antaranya:

pertama, pemberian makna lebih tinggi (ulya) merupakan interpretasi yang

tidak jauh dari kaidah bahasa. Penafsiran ini didukung oleh pandangan al-

Rāzi yang memberikan klasifikasi masalah terkait QS. al-Baqarah [2] 29.31

Kedua, Quraish Shihab tidak melupakan kaidah ta’wīl yang diartikan

sebagai pengalihan makna dasar kepada makna yang lain. Biasanya ta’wīl

yang sulit dipahami adalah ta’wīl para sufi. Tentunnya Quraish Shihab tidak

demikian, ia mengikuti syarat bahwa dalam penggunaan ta’wīl haruslah

berpegang kepada kaidah bahasa.32 Ketiga, penggunaan makna terhadap

kata istiwa, ia memiliki pengembangan makna yang tidak stagnasi dengan

menggunakan interpretasi ulama. Quraisy Shihab mengartikan istiwa

dengan berkuasa yang lebih jauh bisa diterima dengan sebab tidak terjadi

mujassim (menyerupai) dengan makhluk-makhluk-Nya.

31Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr Fakhr al-Rāzī al-Musytahir bi al-Tafsīr al-Kabīr

Wa Mafātiḥ al-Ghaib, Juz II. 215-216 32 Muhammad Ulinnuha, Metode Kritik al-Dakhīl fi al-Tafsīr ( Jakarta, PT. QAF

Media Kreativa, 2019), 90

Page 96: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

80

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pada bab ini, penulis membahas tentang jawaban dari rumusan masalah

yang dilakukan setelah analisis dari kedua mufasir yang telah dijelaskan di

dalam bab-bab sebelumnya. Penulis mendapatkan kesimpulan beberapa hal,

di antaranya perihal kesamaan kedua mufasir.

1. kedua mufasir sepakat dalam mendefinisikan mutasyabih

merupakan ayat-ayat yang membutuhkan penjelasan lain karena

memiliki makna yang samar.

2. Imam Nawawi dan Quraish Shihab sepakat bahwa posisi Allah

merupakan kategorisasi ayat-ayat mutasyabih.

Sedangkan perbedaan yang signifikan antara Imam Nawawi dan

Quraish Shihab di antaranya:

1. Quraish Shibab menjelaskan terkait posisi Allah berkuasa di ‘arsy

(tempat kerajaan/singgahsana raja) dan memiliki tempat yang

tertinggi dibandingakan dengan mahluknya.

2. Adapun Imam Nawawi hanya memberikan penjelasan terkait Allah

bersemanyam di ‘arsy (tempat kerajaan). Sedangkan kata الى السماء tidak diartikan tempat yang tertinggi melainkan diartikan توى ٱس

oleh Imam Nawawi yaitu Allah menciptakan langit jika diartikan

dalam bentuk arah maka Allah membutuhkan tempat. dan kata

istiwa diartikan dengan makna bersemayam bukan kekuasaan.

Page 97: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

81

Adapun metode yang digunakan Imam Nawawi dan Quraish Shihab

dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabih terkait posisi Allah memiliki

kesamaan yaitu ta’wīl. Mereka tidak menggunakan tafwīd ataupun tajsīm

dalam menafsirkan ayat-ayat mutasyabih terkait posisi Allah.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis memberikan saran

terhadap penelitian ini sebagai berikut:

1. Penelitian yang penulis lakukan masih dikategorikan belum

maksimal karena fokus terhadap dua mufasir, sehingga ada harapan

untuk pengembangan wawasan terkait pembahasan.

2. Penelitian ini diharapkan ada penelitian selanjutnya dan melakukan

perkembangan bagi umat Islam khususnya mahasiswa/i jurusan

Ilmu al-Qur’an dan Tafsir terkait penelitian ayat-ayat mutaysabih

agar menumbuhkan wawasan keislaman dan bisa diaktualisasikan

dalam kehidupan sehari-hari.

3. Penelitian ini agar tetap berkembang khususnya terkait kajian

bercorak teologi, sehingga bisa memberikan wawasan baru terkait

pembahasan ini.

4. Diharapkan ada perkembangan dalam melakukan tentang posisi

Allah dengan menggunakan pendekatan yang berbeda-beda.

Page 98: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, M. Mustamin, “Al-Syekh Muhammad Nawawi al-Jāwi wa

Juhūduhu fī alTafsīr al-Qur’an al-Karīm fī Kitābihi “al-Tafsīr al-

Munīr li Ma`ālim al-Tanzīl.” Desertasi Doktor., Universitas Al-Azhar

Kairo-Mesir, 2000.

Arsyad, Mustamin. “Signifikansi Tafsir Marāh Labīd Terhadap

Perkembangan Studi Tafsir di Nusantara.” Jurnal Studi Al-Qur’an.

Vol. I, No. 3, (2006)

Arsyad, Sobby. Buku Daras Potret Tafsir Al-Qur’an Di Indonesia. Bandar

Lampung: 2007.

al-Asfahānī, al-Rāghib. Mufradāt Alfādz al-Qur’an. Bairut : Dār al-Qalam,

2009.

al-‘Asy’arī, Abū al-Hasan ‘Alī b. Ismā’il b. Ishāq b. Sālim b. Ismā’il b.

‘Abdullah b. Mūsa b. Abī Bardah b. Abī Mūsa. Risālah ila Ahli al-

Tsaghri bi bāb al-Abwāb. Riyad : al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-

Su’udiyyah, 2010.

Bahary, Ansor. “Tafsir Nusantara: Studi Kritis Terhadap Tafsir Marāh

Labīd Nawawi al-Bantani,” Ulul AlBab, Vol. 16, No. 2, (tb 2015)

al-Bāqī, Muhammad Fu’ād ‘Abd. Mu’jam al-Mufahras li al-Fādz al-

Qur’an al-Karīm. Qāhirah: Dār al-Hadīts, 2009.

Burhanuddin, Mamat. Hermeneutika Al-Qur’an ala Pesantren (Analisis

Terhadap Tafsir Marâh Labîd Karya K.H. Nawawi Banten).

Yogyakarta: UII Press, 2006.

al-Dīnawarī, Abū Muhammad ‘Abdullah b. Muslim b. Qutaibah. Ta’wīl

Muskil al-Qur’an. Bairūt: Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, 2010.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren, Studi Tentang Pandangan Hidup

Kiyai. Jakarta: LP3S, 1982.

Fāris, Zakariyā Abū Husain, Mu’jam Maqāyīs al-Lughah. Bairūt:Mufahris

Fihrasah Kāmilah, 2009.

Page 99: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

Al-Farmawī, Abū al-Hayy. al-Bidayah Fi ala Tafsir al-Maudhu’iy. Mesir:

Maktabah al-Jumhuriyyah, 1977.

Ichwan, M. Nor. Belajar Al-Qur’an, Menyingkap Khasanah Ilmu-ilmu al-

Qur’an melalui pendekatan Histors Metodologis. Semarang :Rasail,

2005.

Kamil, Miftahudin bin. Tafsir al-Misbah M.Quraish Shihab Kajian Aspek

Metodologi, Malaysia: Universiti Malaya, 2007.

Kementrian Agama RI. Muqaddimah al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta:

Lentera Abadi, 2010.

Martono, Nanang. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Grafindo Persada,

2010.

Moleong, Lexy J., Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Posdakarya.

Mu’jam washit. Maktabah al-Syurūq al-Dawliyah, 2004.

Nata, Abudin. Tokoh-tokoh Pembaharuan Pendidikan Islqam di Indonesia.

Jakarta: Raja Grafindo, 2005

Al-Nawawī, Muhammad b. ‘Umar b. al-Jāwī. Marāh Labīd Li Kasyf Ma’na

al-Qur’an al-Majīd. Libanan: Dār al-Kitab al-‘Alamiyyah, 1997

Parhani, Aan. “Metode Penafsiran Syekh Nawawi al-Bantani Dalam Tafsir

Marāh Labīd.” Tafsere, Vol. 1, No. 1, (tb 2013)

Al-Qattān, Manna Khalīl. Studi Ilmu-Ilmu Qur’an. Bogor: PT. Pustaka

Litera Antar Nusa, 2013.

Al-Rahman, ‘Abd. “Nawawi al Bantani; an Intellectual Master of The

Pesantren Tradition.” Studia Islamika. Vol. III. No. 3, (tb1996).

Raziqin, Badiatul, dkk. 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia. Yogyakarta: e-

Nusantara, 2009.

Al- Shiddieqy, M. Hasby. Ilmu-Ilmu Al-Quran. Jakarta : PT. Bulan Bintang,

1993

Page 100: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

Said, Hasani Ahmad. Diskusi Munasabah al-Qur’an: Tinjauan Kritis

Terhadap Konsep dan Penerapan Munasabah dalam Tafsir al-

Misbah.Jakarta: Lecture Press, 2013.

Shihab, M. Quraish. Kaidah Tafsir, Tangerang : Lentera Hati, 2003.

Shihab, M. Quraish. Membumikan Al-Qur’an : Fungsi dan Peran Wahyu

dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, 2003.

Shihab, M. Quraish. Mukjizat Al-Qur’an, Ditinjau Dari Aspek Kebahasaan,

Isyarat Ilmiah dan Pemberitaan Gaib. Bandung: Mizan 2003.

Shihab, Quraish. Tafsir al-Mishbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-

Qur’an, Vol. I, Jakarta: Lentera Hati, 2007.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&B. Bandung:

Alfabeta, 2017.

Sunanto, Musyrifah. Nawawi al Bantani: Ulama Indonesia Pengarang

Tafsir Munir (Hasil Penelitian). UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

2000.

al-Suyūtī, Jalāl al-Dīn ‘Abd al-Rahman b. Abī Bakr Abū al-Fadl. al-Itqān

Fī ‘Ulūm al-Qur’an. Riyad: al-Irsyād al-Su’udiyyah, 2008.

al-Syahrastanī, Abī al-Fath Muhammad ‘Abd al-Karīm b. Abī Bakr Ahmad,

Al-Milal Wa al-Nihal. Bairūt : Dār al-Fikr, 2002.

Tihami. “Pemikiran Fiqh al Syaikh Muhammad al Nawawi al Bantani.”

Disertasi S3., . Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Wahid, Ramli Abdul. Ulumul Quran. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,

1996.

Wartini, Atik. “Corak Penafsiran M. Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-

Mishbah.” Hunafa: Jurnal Studia Islamika. Vol 11, no.1 (Juni 2014).

al-Zarkasyī, Badr al-Dīn. al-Burhān Fī ‘Ulūm al-Qur’an. Bairut: Dār al-

Turāts, 2008.

Page 101: INTERPRETASI AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT TENTANG POSISI …

al-Zarqānī, Muhammad Abd al-‘Adzīm. Manāhil al-‘Irfān Fī ‘Ulūm al-

Qur’an. Bairut : Dār al-Kitab al-‘Arabī. T.th.

al-Dzhahabī, Muhammad Husain. Tafsīr Wa Mufassirūn, Kairo: Maktabah

Wahbah, 2000.