interferensi

Upload: riairmayani10

Post on 05-Oct-2015

129 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

laporan lengkap praktikum kimia analitik. jurusan kimia FMIPA UNM makassar.

TRANSCRIPT

HALAMAN PENGESAHANLaporan lengkap Praktikum Kimia Analitik II dengan Judul Pemisahan Metodik Interferensi Fe (III) pada Penentuan Tembaga (Cu) disusun oleh:Nama Praktikan: RisnawatiNIM: 1213141010Kelas / Kelompok: B / IITelah diperiksa oleh Asisten dan Koordinator Asisten yang bersangkutan dan dinyatakan diterima.

Makassar, Juni 2014 Koordinator Asisten Asisten

Rismayanti Kamase Rini Widya Ayu Jaswella

Mengetahui,Dosen Penanggung Jawab

Maryono, S.Si, Apt., MM, M.SiNIP. 19760307 200501 2 002

A. Judul PercobaanPemisahan Metodik Interferensi Fe (III) pada Penentuan Tembaga (Cu)

B. TujuanMencegah gangguan interferensi Fe (III) pada percobaan tembaga (II) dengan cara titrasi Iodometri.

C. Landasan TeoriKimia analitik merupakan cabang ilmu kimia yang berhubungan dengan pemisahan dan analisis senyawa kimia yang mencakup analisis kualitatif dan kuantitatif. Dikatakan berhubungan dengan pemisahan, karena mencakup pemisahan secara fisis maupun kimia. Pemisahan secara fisis dapat dilakukan sejak pengambilan sampel sampai dengan memisahkan hasil (misalnya penyaringan endapan). Pemisahan secara kimia misalnya menentukan karbonat dan bikarbonat yang berasal dari suatu campuran melalui titrasi. Kedua senyawa tidak perlu dipisahkan secara fisis, tetapi dengan menggunakan indikator yang berbeda, kedua senyawa tetap berada dalam sampel bersama-sama dapat ditentukan secara terpisah (Tim Dosen Kimia Analitik, 2014: 1).Adakalanya didalam suatu analisis, tahap pengukuran baik untuk tujuan kualitatif maupun kuantitatif dapat dilakukan langsung terhadap sampel. Namun, lebih sering terjadi adalah diperlukannya tahap pemisahan anlit dari zat-zat pengganggu agar proses pengukuran itu terjadi dalam medium bebas dari gangguan. Bila hal ini terjadi, maka tahap pemisahan seringkali menjadi tahap yang paling sulit dalam serangkaian proses analisis. Berikut diberikan secara garis besar tahap-tahap urutan didalam analisis. Tahap-tahap tersebut adalah: (a) seleksi dan penyiapan sampel; (b) pengukuran sampel; (c) pelarutan sampel; (d) perlakuan awal sampel (seperti pengukuran pH); (e) pemisahan komponen yang digunakan; (f) pengukuran komponen yang diinginkan; (g) penganalisisan data dan pelaporan. Dari tahap-tahap diatas nampak bahwa bila komponen yang diinginkan berada bersama-sama dengan komponen lain (sebagai pengganggu), maka hasil pengukuran akan menjadi bias, dan akan mempengaruhi hasil analisis data gun penarikan kesimpulan (Soebagio, 2003: 1).Melakukan identifikasi serta melakukan suatu pengukuran untuk menentukan banyaknya kandungan suatu zat dalam sebuah sampel, memang merupakan salah satu mata rantai pekerjaan analisis kimia. Namunpun demikian, suatu analisis kimia merupakan rangkaian berbagai manipulasi yang saling berkaitan. Menimbang, menitrasi, dan mengukur hanya merupakan mata rantai yang sebenarnya merupakan hal yang pling mudah dilakukan. Padahal jalannya suatu analisis adalah dimulai sejak pengambilan sampel (Tim Dosen Kimia Analitik, 2014: 1).Prosedur pemisahan dapat digunakan untuk keperluan pemurnian senyawa identifikasi dan penentuan kuantitatif komponen yang dicari dari suatu sampel bahan. Pemurnian senyawa dilakukan dalam pekerjaan preparatif sedangkan identifikasi kualitatif dan penentuan kuantitatif dilakukan dalam pekerjaan analisis kimia. Dalam identifikasi dan penentuan kualitatif suatu senyawa, diperlukan persyaratan keselektifan, kepekaan dan kespesifikan, terhadap suatu pereaksi atau alat ukur yang digunakan. Komponen-komponen lain yang berada bersama-sama dengan komponen yang dicari dapat mengganggu identifikasi dan penentan kuantitatif karena ketiga syarat tersebut tidak atau kurang dapat terpenuhi. Jadi tujuan pemisahan dalam analisis kimia adalah memisahkan komponen yang dicari dari komponen-komponen lain yang dapat mengganggu identifikasi dan penentuan kuntitatifnya. Pemisahan dapat dilakukan dengan berbagai cara yang dapat diklasifikasikan atas dasar sifat fisik atau kimia, tipe prosesnya, dan tipe fasanya (Soebagio, 2003: 1).Sebelum pengukuran fisik atau kimia dapat dilakukan untuk menentukan banyaknya analit didalam larutan sampel, biasanya perlu untuk dapat memecahkan persoalan interferensi. Penentuan kadar ion tembaga dalam suatu sampel dengan menambahkan kalium iodida dan menitrasi iodium yang bebas dengan natrium tiosulfat. Jika larutan juga mengandung ion besi (III), maka ion ini akan menggangu karena ia juga akan mengoksidasi ion iodida menjadi iodium. Interferensi ini dapat dicegah dengan menggunakan besi (III) menjadi kompleks stabil (Tim Dosen Analitik, 2014: 2).Ion besi (III) berukuran relatif kecil dengan rapatan muatan 349 C mm-3 untuk low spin dan 232 C mm-3 untuk high spin, hingga mempunyai daya mempolarisasi yang cukup untuk menghasilkan ikatan berkarakter kovalen. Sebagai contoh, besi (III) klorida berwarna merah hitam, berupa padatan kovalen dengan struktur jaringan kovalen. Semua garam besi (III) larut dalam air menghasilkan larutan asam. Rapatan muatan relatif kation yang relatif tinggi (232 C mm-3) mampu mempolarisasi cukup kuat terhadap molekul air sebagai pelarut dapat berfungsi sebagai basa dan memisahkan proton (Sugiyarto, 2001: 143).Besi yang murni adalah logam berwarna putih-perak, yang kukuh, dan liat. Ia melebur pada 1535C. Jarang terdapat besi komersial yang murni; biasanya besi mengandung sejumlah kecil karbida, silisida, fosfida, dan sulfida dari besi, serta sedikit grafit. Garam-garam besi (III) (atau feri) diturunkan dari oksida besi (III), Fe2O3. Mereka lebih stabil daripada garam besi (II). Dalam larutannya, terdapat kation-kation Fe3+ yang berwarna kuning muda; jika larutannya mengandung klorida, warna menjadi semakin kuat. Zat-zat pereduksi mengubah besi (III) menjadi besi (II) (Svehla, 1985: 257).Reaksi ion besi (III) yang cukup unik yaitu dengan larutan ion tiosulfat dalam keadaan dingin es, menghasilkan warna violet gelap ion bis(tiosulfat)ferrat (III):[Fe(H2O)6]3+(aq)+ 2S2O32-(aq) [Fe(S2O3)2]-(aq)+ 6H2O(l)(Sugiyarto, 2001: 144)Tembaga adalah logam merah-muda, yang lunak, dapat diterpa dan liat. Ia melebur pada 1038 C. Karena potensial elektroda standarnya positif (+ 0,34V untuk pasangan Cu/Cu2+), ia tak larut dalam asam klorida dan asam sulfat encer, meskipun dengan adanya oksigen ia bisa larut sedikit. Ada dua deret senyawa tembaga. Senyawa-senyawa tembaga (I) diturunkan dari tembaga (I) oksida, Cu2O yang merah, dan mengandung ion tembaga (I), Cu+. Senyawa-senyawa ini tak berwarna, kebanyakan garam tembaga (I) tak larut dalam air, perilakunya mirip perilaku senyawa perak (I). Mereka mudah dioksidasikan menjadi senyawa tembaga (II) yang dapat diturunkan dari tembaga (II) oksida, CuO hitam. Garam-garam (II) umumnya berwarna biru, baik dalam bentuk hidrat, padat maupun dalam larutan-air, warna ini benar-benar khas hanya untuk ion tetraakuokuprat (II) [Cu(H2O)4]2+ saja. Kalium iodida mengendapkan tembaga (I) iodida yang putih, tetapi larutannya berwarna coklat tua karena terbentuknya ion-ion triodida (iod):2 Cu2++ 5 I-2 CuI + I3- Dengan menambahkan natrium tiosulfat berlebihan kepada larutan, ion tri-iodida direduksi menjadi ion klorida yang tak berwarna, dan warna putih dari endapan menjadi terlihat. Reduksi dengan tiosulfat menghasilkan ion tetrationat: I3- + 2 S2O32- 3 I- + S4O62- Reaksi ini dipakai dalam analisis kuantitatif untuk penentuan tembaga secara iodometri (Svehla, 1985: 229-231).Metode titrasi iodometri ini adalah salah satu metode konvensional yang membutuhkan ketelitian dan kahati-hatian yang tinggi. Sebab, kemungkinan untuk terjadinya kesalahan itu ada. Metode konvensional dengan titrasi iodometri ini terdiri atas tahapan-tahapan yang banyak sehingga memerlukan ketelitian yang tinggi karena kemungkinan terjadinya kesalahan juga cukup besar. Misalnya, I2 yang dihasilkan mudah menguap sehingga semakin lama tersimpan maka semakin banyak I2 yang terlepas dari larutan dan akhirnya akan mengurangi kadar dari zat yang akan dianalisis (Rahmah, 2012: 65-66).Pengujian dengan metode iodometri dilakukan berdasarkan terjadinya perubahan warna dari warna ungu yang berasal dari iodium/kanji menjadi taj berwarna setelah dititrasi dengan natrium tiosulfat (Saksono, 2002: 90).Titik akhr titrasi dapat diamati dengan bantuan indikator amilum (Kanji) yang memeberikan indikasi perubahan warna biru menjadi tak berwarna (bening). Warna biru yang terbentuk disebabkan karena terjadinya kompleks iod/ kanji yang berperan sebagai uji peka terhadap iod. Apabila warna biru yang terjadi telah hilang, hal ini berarti iod telah habis bereaksi dengan tiosulfat. Larutan Natrium tiosulfat adalah larutan standar sekunder, yang konsentrasinya dapat berubah jika tersimpan lama karena sifatnya tidak stabil dan rentang terhadap bakteri pemakan belerang. Oleh karena itu, larutan natrium tiosulfat ini harus selalu distandarisasi ketika akan menggunakannya untuk menjaga agar konsentrasinya tidak berubah dengan larutan standar primer (Rahmah, 2011: 65).

D. Alat dan Bahan1. Alata. Labu erlenmeyer 250 mL6 buahb. Labu erlenmeyer 100 mL3 buahc. Buret 50 mL2 buahd. Statif dan klem@ 2 buahe. Gelas ukur 10 mL1 buah f. Gelas ukur 50 mL1 buahg. Gelas ukur 25 mL1 buahh. Corong biasa1 buahi. Pipet ukur 25 mL2 buahj. Pipet ukur 10 mL1 buahk. Botol semprot 1 buahl. Batang pengaduk1 buahm. Gelas kimia 50 mL1 buahn. Lap kasar1 buaho. Ball pipet2 buahp. Labu ukur 100 mL 2 buahq. Labu ukur 250 mL2 buahr. Erlenmeyer 125 ml1 buahs. Gelas ukur 250 mL1 buaht. Gelas kimia 250 mL2 buah2. Bahana. Kalium iodat 0,1 N(KIO3)b. Kalium iodida 1 N dan 0,1 N (KI)c. Asam klorida 2 N (HCl)d. Natrum tiosulfat 0,1 N (Na2S2O3)e. Indikator amilumf. Sampel A (mengandung Cu2+)g. Sampel B (mengandung Cu2+ dan Fe3+)h. Natrium fluorida 0,5 N (NaF)i. Aquadesj. Tissue

E. Prosedur Kerja1. Memipet 25 mL larutan standar primer KIO3 0,1 N dan memasukkannya kedalam erlenmeyer.2. Menambahkan 5 mL KI 0,1 N setelah itu menembahkan 10 mL HCl 2 N kedalam erlenmeyer yang berisi larutan KIO3 0,1 N.3. Menitrasi iodium yang bebas dalam laruraan iodat ini dengan Natrium tiosulfat yang akan distandarisasi sampai berubah dari warna coklat kemerahan menjadi warna kuning.4. Menambahkan 2 mL larutan amilum dan melanjutkan titrasi sampai warna iru hilang.5. Menghitung normalitas Natrium tiosulfat yang sebenarnya.6. Mengambil 25 mL larutan sampel A dan sampel B kemudian menambahkan 10 mL KI 0,1 N dalam masing-masing larutan.7. Menitrasi iodium yang bebas dalam larutan sampel A dan sampel B dengan Na2S2O3 yang telah distandarisasi.8. Menambahkan 2 mL indikator amilum dan melanjutkan titrasi sampai warna biru hilang. Mencatat volume titran.9. Mengambil 25 mL larutan sampel B, sebelum menambahkan 10 mL KI 0,1 N terlebih dahulu ditambahkan 25 mL NaF 0,5 N untuk mengubah Fe (III) menjadi kompleks stabil kemudian menitrasi iodium yang bebas dengan Na2S2O3.10. Menambahkan 2 mL indikator amilum dan melanjutkan titrasi sampai warna biru hilang. Titrasi dilakukan masing-masing sebanyak tiga kali.F. Hasil PengamatanNoAktivitas Hasil

1.

2.3.

25 mL KIO3 + 10 mL HCl 2 N

Larutan dititrasi dengan Na2S2O3Ditambah 2 mL amilum dan dititrasi kembali

Na2S2O3 2 Na+ + S2O32-

larutan coklat kemerahan

larutan kuninglarutan beningTitrasi I = 25,2 mLTitrasi II = 25,2 mLTitrasi III = 25,2 mLVrata-rata = 25,2 mLN tio = = = 0,0992 N : 2 = 0,049 M

2. Penentuan kadar Cu pada sampel A dan BNo.AktivitasHasil

A.1.

2.3.

B.1.

2.

3.

Sampel A25 mL sampel A + 10 mL KI 0,1 NLarutan dititrasi Na2S2O3 Ditambah 2 mL amilum, dititrasi kembali

Sampel B25 mL sampel B + 10 mL KI 0,1 NLarutan dititrasi Na2S2O3

Ditambah amilum 2 mL, dititrasi kembaliLarutanberwarna kuning pucat

Larutan berwarna ungu muda pucatLarutan berwarna putih susuTitrasi I = 7,6 mLTitrasi II = 7,5 mLTitrasi III = 7,3 mL = 7,5 mLKadar Cu = = = 0,93 mg/mL

Larutan berwarna kuning kecoklatan

Larutan berwarna putih keruh kecoklatanLarutan berwarna putih susuTitrasi I = 8,5 mLTitrasi II = 8,2 mLTitrasi III = 8,4 mL = 8,4 mLKadar Cu = = = 1,1 mg/mL

3. Penentuan Kadar Cu pada sampel B dengan menggunakan NaFNo.AktifitasHasil

1.

2.3.25 mL sampel B + 25 mL NaF 0,1 N + 10 mL KI 0,1 NDititrasi dengan Na2S2O3+ amilum 2 mL kemudian dititrasi kembaliLarutan biru pucat

Larutan biru keruhLarutan abu-abuTitrasi I : 3,1 mLTitrasi II : 3,0 mLTitraasi III : 3,1 mL = 3,1 mLKadar Cu = = = 0,40 mg/mL

G. Analisis Data1. standarisasi larutan Na2S2O3 Diketeahui : V KIO3= 25ml N KIO3= 0,1 N V tio= (25,2 + 25,2 + 25,2) ml = 25,2 ml 3Ditanyakan : N tio = ...?Penyelesaian : N tio= (N x V ) KIO3 V tio N tio= ( 0,1 N x 25 ml ) KIO3 25,2 mlN tio= 0,0092 N Na2S2O3 2Na+ + S2O3-2Valensi : 2 mgrek/mmol M = M = 0,0092 m grek/ml 2 mgrek/mmolM= 0,049 mmol/ml 0,049 M 2. Penentuan Kadar Cu pada Sampel A dan B a. Penetuan Kadar Cu pada Sampel ADiketahui :BM Cu = 65,3 g/mol N tio = 0,049 M V tio = (7,3 + 7,5 + 7,6) ml = 7,5 ml 3 V sampel = 25 ml Ditanyakan : Kadar Cu =... ?Penyelesaian : Kadar Cu = (V x M) tio x BM Cu V sampel = 7,5 ml x 0,049 M x 65,3 g/mol 25 ml = 0,93 mg/ml b. Penentuan kadar Cu pada sampel B Diketahui :Bm Cu = 65,3 g/mol N tio= 0,049 M V tio= ( 8,5 + 8,2 + 8,4 ) ml = 8,4 ml 3 V sampel B= 25 ml Ditanyakan : kadar Cu = ..?Penyelesain :Kadar Cu= V x M tio x BM Cu V sampel = 8,4 ml x 0,049 M x 65,3 g/mol 25 ml = 1,1 mg/ml 3. Penentuan kadar Cu pada sampel B+NaF 0,5 NDiketahui :BM Cu= 65,3 g/mol N tio= 0,049 M V tio= ( 3,1 + 3,0 + 3,1 ) ml = 3,1 ml 3 V sampel B= 25 mlDitanyakan : kadar Cu pada sampel B+ NaF =...?Penyelesaian : Kadar Cu= V x M tio x BM Cu V sampel = 3,1 ml x 0,049 M x 65,3 g/mol 25ml = 0,40 mg/ml

H. Pembahasan1. Standarisasi Larutan Na2S2O3Percobaan ini bertujuan untuk menentukan konsentrasi Na2S2O3 yang sebenarnya dengan cara standarisasi. Standarisasi adalah suatu proses penentuan konsentrasi suatu larutan dengan akurat. Standarisasi dilakukan untuk menetapkan konsentrasi larutan standar sekunder dengan menitrasinya dengan larutan standar primer yang memiliki konsentrasi stabil dan kemurnian tinggi. Larutan Na2S2O3 merupakan larutan standar sekunder yang konsentrasinya mudah berubah dalam penyimpanannya misalnya dipengaruhi oleh suhu, tekanan, ph rendah dan cahaya. Larutan ini juga bersifat higroskopis (mudah menyerap air) sehingga akan mengubah konsentrasinya. Selain itu, kandungan belerang dari Na2S2O3 dikhawatirkan dimakan oleh bakteri sehingga larutan ini tidak dapat digunakan lagi. Pada percobaan ini, Na2S2O3 distandarisasi dengan KIO3. Metode titrasi yang dilakukan adalah iodometri. Iodometri adalah analisa titrimetrik yang secara tidak langsung untuk zat yang bersifat oksidator. Dalam percobaan ini digunakan KIO3 yang akan mengoksidasi iodida yang ditambahkan membentuk iodin. Iodin yang terbentuk akan ditentukan dengan menggunakan larutan baku tiosulfat. Pada titrasi iodometri, analit yang dipakai adalah oksidator (KIO3) yang dapat bereaksi dengan I- (iodide) untuk menghasilkan I2. I2 yang terbentuk secara kualitatif dapat dititrasi dengan larutan tiosulfat. Selanjutnya, ditambahkan larutan KI yang berfungsi sebagai penyedia ion iodida (I-) yang kemudian akan menjadi iodium. Selanjutnya ditambahkan HCl yang berfungsi untuk memberikan suasana asam karena reduksi dapat berlangsung dengan baik pada suasana asam. Reaksi yang terjadi:

KIO3K+ + IO3-

KI K+ + I-

Setelah penambahan HCl, larutan harus segera dititrasi karena sifat I2 yang mudah menguap sehingga semakin lama tersimpan maka semakin banyak I2 yang terlepas dari larutan dan akhirnya akan mengurangi kadar dari zat yang akan dianalisis. Kemudian ditambahkan indikator amilum yang berfungsi untuk mengetahui apakah semua iod telah habis bereaksi. Amilum memiliki kemampuan untuk menekan dengan mudah iodida pada konsentrasi < 10-5 M. Selain itu amilum digunakan karena titrasi dilakukan pada media asam kuat (HCl) maka amilum dapat mencegah terjadinya hidrolisis amilum. Penambahan amilum ini dilakukan pada saat menjelang titik akhir titrasi yaitu pada saat larutan berubah warna dari coklat kemerahan menjadi kuning. Hal ini dilakukan karena komplek iodium amilum mempunyai kelarutan yang kecil dalam air dan tidak menghambat proses titrasi karena jika ditambahkan pada awal titrasi maka akan membentuk kompleks iodium amilum. Hal ini juga dilakukan agar amilum tidak membungkus iod karena menyebabkan amilum sukar dititrasi untuk kembali ke senyawa semula. Larutan kemudian dititrasi kembali sampai warna biru pada larutan hilang (bening). Titrasi dilakukan sebanyak 3 kali agar data yang diperoleh lebih akurat. Volume rata-rata Na2S2O3 yang digunakan yaitu 25,2 mL sehingga diperoleh konsentrasi sebesar 0,992 N. Hal ini menunjukkan konsentrasi Na2S2O3 sebelum distandarisasi yaitu 0,1 N berbeda dengan setelah distrandarisasi. Hal ini disebabkan oleh karena konsentrasi Na2S2O3 telah mengalami perubahan selama penyimpanannya. Reaksi yang terjadi:

1. Penentuan Kadar Cu dalam Sampel A dan BPercobaan ini bertujuan untuk menentukan kadar Cu pada sampel A dan sampel B dimana sampel A hanya terdapat Cu sedangkan Sampel B terdapat Cu dan Fe (III). Pada masing-masing sampel ditambahkan larutan KI yang berfungsi untuk melepas I-. Untuk sampel A, iodida (I-) dioksidasi oleh Cu2+ menjadi iodium (I2) sedangkan pada sampel B, selain Cu2+ yang juga mengoksidasi I- menjadi I2.Reaksi yang terjadi:Sampel A: 2 Cu2+ + 4 I- 2 CuI + I2Sampel B: 2 Cu2+ + 4 I- 2 CuI + I2 2 Fe3+ + 2 I- 2 Fe2+ + I2Setelah penambahan KI, larutan dititrasi dengan larutan standar Na2S2O3 dari warna kuning pucat menjadi ungu muda pucat (sampel A). Setelah itu, ditambahkan indikator amilum untuk mengetahui apakah semua iod telah habis bereaksi. Kemudian dititrasi sampai berwarna putih susu. Sedangkan untuk sampel B dititrasi dengan Na2S2O3 dari warna kuning kecoklatan menjadi putih kerung kecoklatan. Setelah itu ditambahkan indikator amilum dan dititrasi kembali sampai berwarna putih susu. Titrasi dilakukan sebanyak 3 kali agar data yang diperoleh lebih akurat. Pada sampel A, volume rata-rata Na2S2O3 yang digunakan adalah 7,5 mL sehingga diperoleh kadar sampel sebesar 0,93 mg/mL. Artinya bahwa dalam 1 mL larutan sampel A terdapat 0,93 mg Cu. Pada sampel B, volume rata-rata Na2S2O3 yang digunakan sebesar 8,4 mL dengan kadar Cu sebesar 1,1 mg/mL. Artinya bahwa dalam 1 mL larutan sampel B terdapat 1,1 mg Cu. Hasil menunjukkan kadar Cu pada sampel B lebih banyak dibandingkan kadar Cu pada sampel A.

Keberadaan Fe (II) sangat menggangu ( intereferensi) karena dapat mengoksidasi 5- menjadi I2 sehingga volume natrium tiosulfat yang digunakan menjadi lebih banyak . rekasi yang terjadi.Reduksi : I2 + 2e 2I-Oksidasi : 2S2O3 S4O6-2 + 2e I2 + 2S2O3 2I- + S4O6-2Reaksi lengkap 2 Na2S2O3 + 2 I2 2NaI + Na2 S4O6

3. penentuan kadar Cu dalam sampel B+ NaF Percobaan ini bertujuan untuk membandingkan kadar Cu pada sampel B yang mengandung Cu2+ dan Fe3+ yang ditambahkan NaF dengan sampel B pada percobaan kedua yang tidak ditambahkan NaF . NaF berfungsi untuk mencegan interferensi Fe3+ karena terbentuknya ion kompleks antara NaF dan Fe3+ sehinga Fe3+ tidak lagi bisa mengoksidasi iodida menjadi iodium. NaF bereaksi dengan Fe3+ membentuk kompleks stabil Na3(FeF6). Hal ini disebabkan karena (FeF6)3- lebih satbil dibandinga dengan Cu2+ sehingga NaF bereaksi dengan Fe3+.Reaksi yang terjadi Fe3+ + 6NaF 3Na+ + Na3(FeF6)(FeF6)2- + I- / Kemudian ditambahkan larutan KI yang berfungsi untuk melepaskan iodida yang akan bereaksi dengan Cu2+ memebentuk I2. Reaksi yang terjadi: 2 Cu2+ + 4 I- 2CuI + I- Selanjutnya larutan dititrasi dan ditambahkan indikator amilum dan ditirasi kembali sampai larutan berubah warna menadi abu-abu. Volume rata-rata Na2S2O3 yang digunakan sebesar 3,1 ml sehingga diperoleh kadar Cu yaitu 0,40 mg/ml. Artinya bahwa dalam 1ml sampel B terdapat 0,04 ng Cu. Hasil yang lebih sedikit dibandingkan dengan kadar Cu pada sampel B sebelum ditambahkan NaF kerena pada larutan sampel B+NaF sudah tidak ada interferensi Fe3+ . sedangkan pada sampel A diperolah kadar Cu lebih besar yaitu 0,93 mg/ml dibandingkan dengan kadar Cu pada sampel B+NaF. Hal ini disebbabkan karena pada sampel B+NaF hanya terdapat Cu2+ sehingga I2 yang terbentuk hanya berasal dari kada Cu2+. Reaksi yang terjadi :Reduksi : I2 + 2e 2I- Oksidasi : 2S2O3-2 2I- + S4O6-2 I2 + 2S2O3 2I- + S4O6-2Reaksi lengkap 2 Na2S2O3 + 2 I2 2NaI + Na2 S4O6

1. Penutup 1. Kesimpulan Konsentrasi Na2S2O3 yang diperoleh setelah standarisasi sebesar 0,0992N. Kadar Cu pada sampel A yaitu 0,93 mg/ml sedangkam kadar Cu pada sampel B sebesar 1,1 mg/ml. Kadar Cu pada sampel B+NaF sebesar 0,40 mg/ml. Interferensi Fe(III) dapat dicegah dengan penambahan NaF membentuk kompleks stabil dengan Fe3+.1. Saran 1. Laboran Sebaiknya laboran menyediakan alat praktikum yang memadai saat praktikum 1. Asisten Sebaiknya asisten membimbing praktikan dari awal sampai akhir praktikum 1. Praktikan Sebaiknya praktikan lebih teliti dan melihat titik akhir titrasi agar hasil yang diperoleh lebih akurat

DAFTAR PUSTAKA Rahmah, Ramlawati Dan Side, Sumiati. 2011. Kapasitas Adsorbsi Tanah Diatomeae (Diatomeaous Earth) Terhadap Ion Kromum (IV). Jurnal Chemical. Vol-12 . No-1. Hal; 65-66

Saksono. Nekson. 2002. Analisis Iodat Dalam Bumbu Dapur Dengan Metode Iodometri Dan X-Ray Fluerescence. Makala Teknologi. Vol-6. No-3. Hal: 90

Soebagio; E, Budiasih; S. Ibnu; H, Retno Widiarti Dan Munzil. 2003. Kimia Analitik II. Malang : Jurusan Kimia FMIPA UNM

Sugiyarto, Kristian H. 2001. Kimia Anorganik II. Yogyakarta : Jurusan Pend. Kimia FMIPA UNY

Svehla. 1985. Analisis Anorganik Kualitatif Makro Dan Semimikro. Jakarta : PT. Kalma Media Pustaka

Tim Dosen Kimia Analitik. 2014. Penuntun Praktikum Kimia Analitik. Makassar : Jurusan Kimia FMIPA UNM

JAWABAN PERTANYAAN

1. Semua Reaksi yang terjadi dalam percobaan :0. Standarisasi Larutan Na2S2O3 0,1 NKIO3 K+ + IO3-KI K+ + I-Reduksi: IO3- + 6 H+ + 6 e I- + 3H2O x1Oksidasi: 2I- I2 + 2e x3 IO3- + 5I- + 6H+ 3I2 + 3H2ODengan reaksi lengkap :KIO3 + 5KI + 6HCl KCl + 3I2 + 3H2ORaksi saat Penambahan Na2S2O32Na2S2O3 + 2I2 2NaI + Na2S4O60. Penentuan Kadar CuSampel APenambahan KI2Cu2+ + 4I- 2CuI + I2Pada saat Titrasi2Na2S2O3 + 2I2 2NaI + Na2S4O6Sampel BPenambahan KI2Cu2+ + 4I- 2CuI + I2Fe3+ + 2I- Fe2+ + I2Pada saat Titrasi2Na2S2O3 + 2I2 2NaI + Na2S4O6

0. Sampel B + KFPenambahan KFFe3+ + 6KF 6K+ + [FeF6]3-Penambahan KI2Cu2+ + 4I- 2CuI + I2[FeF6]3- + I- Pada saat Titrasi2Na2S2O3 + 2I2 2NaI + Na2S4O61. Fungsi dari NaF/KF adalah untuk mengubah Fe (III) menjadi kompleks stabil sehingga dapat mencegah interferensi Fe3+1. Interferensi Fe3+ pada penentuan ion Cu2+ yaitu menyebabkan kadar Cu menjadi besar karena Fe3+ juga ikut mengoksidasi I- menjadi I2 sehingga larutan standar Na2S2O3 yang digunakan dalam titrasi menjadi lebih banyak.