integrasi etnik tionghoa dengan etnik bali di kuta 1968 … fileskripsi ini terkandung ciri-ciri...
TRANSCRIPT
SKRIPSI
INTEGRASI ETNIK TIONGHOA DENGAN ETNIK
BALI DI KUTA 1968-2000
NI MADE ANGGI SEPTIARANA
NIM 130 150 5002
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
i
INTEGRASI ETNIK TIONGHOA DENGAN ETNIK
BALI DI KUTA 1968-2000
Skripsi untuk Memperoleh Gelar Sarjana
Pada Program Studi Ilmu Sejarah
Universitas Udayana
NI MADE ANGGI SEPTIARANA
NIM 130 150 5002
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2017
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Ni Made Anggi Septiarana
NIM : 130 150 5002
Judul Skripsi : Integrasi Etnik Tionghoa Dengan Etnik Bali Di Kuta 1968-2000
Program Studi : Ilmu Sejarah
Fakultas : Ilmu Budaya Universitas Udayana
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini benar-benar merupakan
hasil karya sendiri, bebas dari peniruan terhadap karya orang lain. Kutipan
pendapat dan tulisan orang lain dirujuk sesuai dengan etika keilmuan dan teknik
penulisan karya ilmiah.
Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa dalam
skripsi ini terkandung ciri-ciri plagiat dan bentuk-bentuk peniruan lain yang
dianggap melanggar peraturan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan
tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Denpasar, 15 Juni 2017
Saya yang membuat
Ni Made Anggi Septiarana
iv
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI DAN
DINILAI OLEH PANITIA PENGUJI PADA
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS ILMU BUDAYA,
UNIVERSITAS UDAYANA
PADA TANGGAL 15 JUNI 2017
Berdasarkan SK Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana
No : 418/UN 14.2.1/PD/2017
Tanggal : 6 Juni 2017
Panitia Penguji Skripsi
Ketua : Prof. Dr. A.A Bagus Wirawan, S.U.
NIP. 194807021978031001
Sekretaris : Dr. Ida Ayu Wirasmini Sidemen, M.Hum.
NIP. 196708281998022001
Anggota : Dr. I Nyoman Wijaya, M.Hum.
NIP. 195801301988031002
Anggota : Dr. I Nyoman Sukiada, M,Hum.
NIP. 195803031986021001
Anggota : Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo, S.S., M.Hum.
NIP. 198009262006042002
v
MOTTO
“Dalam kata-kata dan perbuatan di masa lalu terletak harta
terpendam yang bisa digunakan manusia untuk memperkuat dan
meningkatkan watak mereka sendiri. Cara untuk mempelajari masa
lalu bukanlah dengan mengekang diri
sendiri dalam pengetahuan sejarah semata-mata, tetapi melalui
penerapan pengetahuan dengan memberikan aktualita pada masa
lalu”
( I Ching)
”Benih kesuksesan adalah semangat, kerja keras dan doa”
(Penulis)
Skripsi ini dipersembahkan kepada Almamater, Keluargaku,
Dan Masyarakat Kuta.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa / Ida
Sang Hyang Widhi Wasa, atas berkat, rahmat, dan perkenaan beliau penulis
mampu mengerjakan, dan menyelesaikan skripsi yang berjudul “Integrasi Etnik
Tionghoa Dengan Etnik Bali Di Kuta, 1960-2000”. Dengan rasa rendah hati
penulis mempersembahkan skripsi kepada Panitia Ujian Program Studi Ilmu
Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana.
Uraian yang dipaparkan dalam skripsi ini merupakan hasil penelitian di
Kelurahan Kuta, Kabupaten Badung, yang penulis lihat sebagai salah satu
kawasan multietnik. Studi tentang integrasi etnik Tionghoa dengan etnik Bali di
ungkap untuk mengetahui sejauh mana etnik Tionghoa terintegrasi didalam
kehidupan etnik Bali di Kuta. Sejak penelitian ini, penulis telah banyak
memperoleh bantuan baik melalui perorangan maupun lembaga-lembaga.
Penulis sadar bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan ini.
Tanpa bantuan dari berbagai pihak, penulisan ini tidak akan tercapai.
Sepatutnyalah penulis mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang
telah membantu untuk mewujudkan penulisan ini, baik perorangan, Fakultas,
Universitas, dan masyarakat yang telah meluangkan waktunya untuk memberi
informasi kepada penulis.
Dalam kesempatan ini penulis menghaturkan rasa terima kasih kepada
Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A. selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas udayana. Kepada Dra. A.A. Ayu Rai Wahyuni, M.Si. selaku ketua
Program Studi Ilmu Sejarah yang telah memberi semangat kepada penulis untuk
vii
menyelesaikan penulisan, turut penulis haturkan rasa terima kasih kepada
Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo, S.S, M.Hum. selaku sekretaris Program Studi
Ilmu Sejarah yang turut memberi perhatian kepada penulis. Penulis haturkan rasa
terima kasih yang mendalam kepada Prof. Dr. A.A. Bagus Wirawan, S.U dan Dr.
I.A. Wirasmini Sidemen, M.Hum., selaku pembimbing I dan II yang telah
meluangkan tenaga, waktu, dan fikirannya untuk membimbing penulis. Dedikasi
bapak dan ibu dalam membimbing penulis tidak mampu dinilai dari wujud materi,
banyak hal yang penulis dapatkan dari pemikiran bapak dan ibu.
Rasa terima kasih turut penulis haturkan kepada Dra. Sulandjari, M.A.
selaku pembimbing akademik selama penulis menempuh pendidikan Ilmu Sejarah
di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana. Kepada bapak dan ibu staf
pengajar Program Studi Ilmu Sejarah, baik yang masih aktif atau telah purnabakti
penulis haturkan terima kasih atas dedikasinya selama penulis menempuh
pendidikan di Program Studi Ilmu Sejarah, penulis mulai dari : Prof. Dr. I Gde
Parimartha, M.A., yang telah purna bakti. Terimakasih kepada Drs. F.X.
Soenaryo, M.S., yang telah purna bakti, Prof. Dr. Phil. I Ketut Ardhana, M.A.,
Drs. Ida Bagus Gede Putra, M.Hum., Dr. Dra. Ida Ayu Putu Mahyuni, M.Si., Dr.
Drs. I Putu Gede Suwitha, S.U., Dr. I Nyoman Sukiada, M.Hum., Drs. I Wayan
Tagel Eddy, M.S., Dr. I Nyoman Wijaya, M.Hum., Dra. A.A.A Dewi Girindra
Wardani, S.S., dan A.A. Inten Asmariati, S.S., M.Si. Semoga dan selalu sehat,
dan berbahagia. Terimakasih turut penulis ucapkan kepada Made Dwi Novi
Artawan, S.E. (Pak Dek Novi) selaku tenaga Administrasi/Akademik Fakultas
Ilmu Budaya, Universitas Udayana atas bantuannya dalam urusan administrasi
viii
surat–menyurat ketika penulis melaksanakan penelitian. Ucapan terimakasih juga
disampaikan kepada masyarakat Kuta, etnik Tionghoa Adi Dharmaja selaku
kelian banjar Dharma Semadi yang selalu memberikan informasi dan data yang
diperlukan penulis, Tyo Tjik Bun selaku bagian kerohanian Vihara Dharmayana
yang memberikan informasi terkait filosofi keagamaan, Luih Baratha selaku
sesepuh etnik Tionghoa yang telah memberikan penulis informasi, penulis
ucapkan terimakasi atas waktu yang telah di berikan.
Kepada keluarga tercinta ayah, ibu, Drs. I Nyoman Water dan Ni Made
Dewi Santika yang selalu mengiringi doa restu serta dorongan kepercayaan yang
sangat membesarkan hati dan dengan ikhlas telah memberikan keyakinan serta
pengorbanan yang tak ternilai harganya. Serta alm kakak tercinta I Wayan Angga
Jeyeng Rana yang selalu di hati, selama hidupnya telah menunjukkan jalan
penulis untuk melanjutkan pendidikan di jurusan Ilmu Sejarah, dan berharap
penulis bisa menjadi wanita yang berwawasan luas dalam bidang budaya.
Kepada yang tercinta dan selalu menemani disaat susah ataupun senang, I
Gede Agus Febriawan, terima kasih atas perhatiannya kepada penulis, selalu setia
menemani penulis dalam mencari data, bertemu informan dan memberikan
dukungan moral kepada penulis untuk mampu memenuhi tanggung jawab, serta
memberi kekuatan untuk yakin dapat menyelesaikan tugas, agar tidak putus asa
dalam menghadapi permasalahan. Keluarga Agus bapak I Wayan Suena, dan ibu
Dewa Ayu Sayang Martini, serta kepada I Kadek Arya Dwiyana Putra, dan Ni
Komang Intan Widya Ningrum, adik Agus yang sudah penulis anggap layaknya
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................................ iv
MOTTO .............................................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................................... x
DAFTAR BAGAN ............................................................................................................ xiii
DAFTAR TABEL ............................................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................... xv
GLOSARIUM .................................................................................................................... xvii
ABSTRAK .......................................................................................................................... xxi
ABSTRACT ....................................................................................................................... xxii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................ 7
1.3 Tujuan dan Manfaat .......................................................................................... 7
1.4 Tinjauan Pustaka .............................................................................................. 8
1.5 Metodologi Sejarah ........................................................................................... 15
1.6 Kerangka Teoretis Dan Konseptual .................................................................. 16
xi
1.7 Metode Penelitian Dan Sumber ........................................................................ 21
1.8 Sistematika Pembahasan ................................................................................... 25
BAB II GAMBARAN ETNIK TIONGHOA DI KUTA
2.1 Keadaan Geografis dan Penduduk Kuta .......................................................... 27
2.2 Mata Pencaharian Penduduk ............................................................................ 30
2.3 Sistem Organisasi Sosial .................................................................................. 32
2.4 Sistem Kepercayaan dan Pandangan Hidup ..................................................... 38
2.5 Kehidupan Ekonomi dan Sosial Budaya Etnik Tionghoa di Kuta ................... 41
BAB III ETNIK TIONGHOA DI KUTA PASCA PERATURAN PRESIDEN
NOMOR 10 TAHUN 1959
3.1 Masuknya Etnik Tionghoa di Kuta ................................................................... 48
3.2 Dikeluarkannya Peraturan Presiden Tahun 1959 .............................................. 52
3.3 Respon Etnik Tionghoa di Kuta......................................................................... 57
3.4 Etnik Tionghoa di Kuta yang Bertahan di Kuta ................................................ 59
BAB IV INTEGRASI ETNIK TIONGHOA DENGAN ETNIK BALI DI
KUTA, 1968-2000
4.1 Bidang Sosial Kemasyarakatan ........................................................................ 71
4.2 Bidang Ekonomi .............................................................................................. 78
4.3 Bidang Budaya .................................................................................................. 83
4.3.1 Terbentuknya Banjar Adat Dharma Semadi di Kuta .............................. 85
4.3.2 Vihara Dharmayana Kuta ....................................................................... 88
4.3.3 Tradisi Barong Sai di Kuta ...................................................................... 93
4.4 Bidang Politik ................................................................................................... 96
xii
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 100
5.2 Saran ............................................................................................................... 102
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 103
DAFTAR INFORMAN .................................................................................................... 108
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................................... 109
xiii
DAFTAR BAGAN
Bagan 2.1 Struktur Pemeritahan Kelurahan Kuta ................................... 33
Bagan 2.2 Struktur Pemerintahan Desa Adat Kuta ................................. 35
Bagan 2.3 Struktur Organisasi banjar Suka Duka Dharma
Semadi di Kuta ......................................................................... 37
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Jumlah Penduduk Kelurahan Kuta
Tahun 2000.............................................................................. 28
Tabel 2.2 Nama Banjar dinas dan Banjar Adat
di Desa Adat Kuta ............................................................... 29
Tabel 2.3 Jumlah Penduduk Kuta Menurut
Mata Pencaharian ................................................................... 31
Tabel 2.4 Jumlah Penduduk Menurut Agama yang Dianut ................... 39
Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Agama Buddha Kecamatan
Kuta 1980-1999 ....................................................................... 89
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Peta Lokasi Wilayah Desa Adat Kuta ..................................... 109
Lampiran 2 : Daftar Nama Kelompok Etnik Tionghoa yang Tergabung di
dalam Banjar Dharma Semadi, Kuta. ....................................... 110
Lampiran 3 : Foto Batu Cina Yang Masih Ada Di
Vihara Dharmayana, Kuta ........................................................ 111
Lampiran 4 : Foto Puja Bakti Bersama dan Pemberkatan Pohon Bodhi Pada
Peresmian Vihara Dharmayana Kuta, 23 Februari 1980 /
Cia Gwe 2531 ....................................................................... 112
Lampiran 5 : Foto Banjar Dharma Semadhi yang ada
di Jalan Majapahit, Kuta .......................................................... 113
Lampiran 6 : Foto salah satu Kuburan Etnik Tionghoa yang berada di jalan
Majapahit, Kuta ....................................................................... 114
Lampiran 7 : Foto Bagian Dalam Vihara Dharmayana Kuta ....................... 115
Lampiran 8 : Foto Kunjungan Yang Mulia Dalai Lama XIV di Vihara
Dharmayana Kuta tanggal 7 Agustus 1982 ............................. 116
Lampiran 9 : Foto Pembuatan Penjor Menjelang Perayaan Imlek ............... 117
Lampiran 10 : Foto umat Hindu ikut melakukan persembahyangan dan
persembahan di Vihara Dharmayana, Kuta ............................. 118
Lampiran 11 : Foto Jamuan Makan Bersama di Dalam Vihara Dharmayana Kuta
Bersama Seluruh Umat yang Usai Bersembahyang ................ 119
Lampiran 12 : Foto Pertunjukkan Naga yang diselenggarakan
di Wantilan Serbaguna Vihara Dharmayana
Untuk Memeriahkan Malam Imlek ......................................... 120
Lampiran 13 : Peraturan Presiden No. 10 Tahun 1959, LN. 1959-28. ........... 121
xvi
Lampiran 14 : Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1967
Tentang Agama Kepercayaan Dan Adat Istiadat Cina Kami,
Pejabat Presiden Republik Indonesia ...................................... 127
xvii
GLOSARIUM
awig-awig : suatu ketentuan yang mengatur tata krama
pergaulan hidup dalam masyarakat untuk
mewudjudkan tata kehidupan yang ajeg
diimasyarakat.
banjar : suatu kesatuan komunitas yang lebih kecil dari
pada desa. secara etimologis, banjar berarti baris
atau lingkungan.
barong ket : merupakan perpaduan antara singa, macan, sapi
atau boma
cap go meh : merupakan rangkaian hari raya terakhir di bulan cia
gwee bagi orang tionghoa. cap go meh disebut
juga pesta goan siauw atau hari lahirnya siang goan
thian koan atau roh yang memerintah langit dan
bumi. versi lain menyebut perayaan cap go meh
sebagai pesta musim bunga terbesar untuk
menghormati matahari yang muncul pada musim
dingin yang berkabut.
desa kala patra : tempat, waktu, keadaan
hippis : sebuah komunitas remaja yang anti kemapanan di
era tahun 60an. komunitas ini mengagungkan nilai-
nilai cinta, perdamaian dan harmoni. mereka anti
kemapanan dan mengadopsi gaya hidup yang bebas
seperti tinggal berpindah-pindah,
hoki : peruntungan dan nasib baik serta bagaimana cara
seseorang menyiasati agar selalu mendaptkan nasib
xviii
baik.
hongsui : kepercayaan pada faktor-faktor alamiah yang
diyakini menunjang nasib baik dan nasib buruk
manusia.
hopeng : cara untuk menjaga hubungan baik dengan relasi
usaha.
ida sasuhunan : bhatara atau bhatari yang di sungsung
imlek : perayaan yang awalnya dilakukan oleh para petani
di china yang biasanya jatuh pada tanggal satu di
bulan pertama di awal tahun baru. perayaan ini juga
berkaitan dengan pesta para petani untuk
menyambut musim semi. perayaan ini dimulai pada
tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal
15 bulan pertama. acaranya meliputi sembahyang
imlek, sembahyang kepada sang pencipta, dan
perayaan cap go meh. tujuan dari persembahyangan
ini adalah sebagai wujud syukur dan doa harapan
agar di tahun depan mendapat rezeki lebih banyak,
untuk menjamu leluhur, dan sebagai sarana
silaturahmi dengan kerabat dan tetangga.
jero gede : istilah lain untuk penunggun karang, merupakan
dewa yang berfungsi untuk penjaga rumah
(menjaga karang).
kekereb : kain putih yang berisi gambaran atau rerajahan
berupa tulisan yang bersifat magis.
klian banjar : pimpinan banjar.
xix
kongco : secara harafiah memiliki arti kakek buyut. akan
tetapi di indonesia kongco merupakan tempat
peribadatan etnis tionghoa untuk memuja dewa
kong.
lotiah : kepala kampung.
mapamit : perpisahan
mebanten : sebuah prosesi mempersembahkan sesuatu
kehadapan tuhan yang biasa dilakukan oleh orang
bali.
menyama braya : hubungan bermasyarakat antar keluarga dan di luar
keluarga
ngodalin : peringatan tempat suci biasanya dipergunakan
hitungan berdasarkan sasih atau wuku.
nyame toko : saudara yang memiliki usaha dalam bidang dagang.
nyungsung : memuja/memiliki.
penjor : sebuah tiang bambu tinggi yg dihiasai dengan
janur, hasil-hasil bumi dan kain warna kuning-
putih.
pis bolong : uang kepeng, uang yang berasal dari china, korea,
vietnam, yang saat ini dipergunakan sebagai sarana
ritual di bali.
ratu nyoman : sering disebut juga penumbak rurung/dewa penjaga
depan rumah.
rumah abu : tempat penyimpanan abu leluhur, dimiliki oleh
xx
etnis tionghoa.
sanggah : tempat bersembahyang umat hindu bali.
sekaa : perkumpulan-perkumpulan yang memiliki tujuan
untuk memenuhi kepentingan-kepentingan tertentu.
tat twam asi : ajaran tata susila dalam agama hindu.
tugu kemulan : mengacu pada pelinggih, tempat pemujaan leluhur,
biasanya dipergunakan oleh hindu bali.
tugu pengelurah : merupakan linggih bhatara kala sebagai pengatur
hidup dan penguasa ruang waktu, juga disebut
sebagai stana sang catur sanak.
tugu surya : stana dari bhatara surya atau siwa raditya yang
menjaga kestabilan dan keseimbangan dalam
pekarangan rumah.
tugu taksu : tempat untuk menghubungkan dan mendekatkan
diri kehadapan sang hyang taksu agung atau sang
hyang adi taksu yang memberikan keahlian.
xxi
ABSTRAK
Kuta merupakan salah satu wilayah yang dihuni multietnik di Bali. Dalam
hal ini terdapat berbagai etnik dari luar wilayah Bali. Tionghoa merupakan salah
satu etnik pendatang yang menetap di Kuta. Mereka bermigrasi dari negara
asalnya yaitu Tiongkok untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di
Indonesia yaitu salah satunya di Bali dan khususnya di Kuta. Berbagai yang
menimpa etnik Tionghoa di Indonesia berdampak pada kehidupan etnik Tionghoa
di Kuta yaitu salah satunya PP No. 10 tahun 1959.
Dampak yang di timbulkan tidak sekeras seperti yang terjadi di pecinan
Semarang atau pecinan di Jawa lainnya. Sebaliknya kehidupan etnik Tionghoa
masih tetap terjalin baik dengan etnik Bali di Kuta. Terintegrasinya etnik
Tionghoa kedalam struktur etnik Bali di Kuta terlihat dari hubungan interaksi
sosial, ekonomi dan budaya yang terjalin dengan etnik Bali di Kuta. Penelitian ini
berusaha menjawab tentang mengapa etnik Tionghoa dapat terintegrasi ke dalam
struktur etnik Bali di Kuta 1968-2000 dan bagaimana bentuk integrasi etnik
Tionghoa dengan etnik Bali di Kuta 1968-2000.
Jenis penelitian ini adalah studi lapangan (field research), dengan
dilengkapi penelitian arsip, wawancara serta observasi secara langsung terhadap
aktivitas etnik Tionghoa dan etnik Bali di Kuta. Didukung dengan data
dokumentasi dan berbagai data kepustakaan yang penulis dapatkan dari berbagai
penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya.
Dalam penelitian ini beberapa proses etnik Tionghoa mampu bertahan dan
terintegrasi dalam struktur etnik Bali di Kuta setelah dikeluarkannya PP. No. 10
Tahun 1959 adalah segi sosial ekonomi dan budaya. Dalam penelitian temukan
beberapa bentuk integrasi secara sosial ekonomi dan budaya yang terjadi antara
etnik Tionghoa dengan etnik Bali di Kuta.
Penulis mengambil kesimpulan bahwa integrasi sosial terjadi akibat
adanya interaksi sosial, ekonomi dan budaya yang terjalin antara etnik Tionghoa
dengan etnik Bali Hindu bersifat asosiatif, yaitu suatu proses interaksi yang
mengidentifikasikan adanya gerakan pendekatan. Untuk mencapai sebuah
interaksi yang baik, kedua belah pihak harus berasimilasi atau saling
menyesuaikan dalam berbagai hal, misalnya budaya dan bahasa. Proses tersebut
dilandasi semangat toleransi untuk mengurangi perbedaan yang terdapat pada
kedua individu atau saling bersinggungan. Dapat dikatakan bahwa kehidupan
etnik di Kuta bercirikan praktek dari multikulturalisme.
Kata Kunci: Integrasi Sosial, Etnik Tionghoa, Etnik Bali, Asimilasi, Toleransi,
Multikulturalisme.
xxii
ABSTRACT
Kuta is one of the multiethnic inhabited areas of Bali. In this case there
are various ethnic from outside Bali area. Tionghoa is one of the ethnic
immigrants who settled in Kuta. They migrate from their home country of China
to get a better life in Indonesia, one of them in Bali and especially in Kuta.
Various that affect Tionghoa ethnic in Indonesia have an impact on the life of
Tionghoa ethnic in Kuta, one of them PP. 10 in 1959.
The impact is not as hard as it happened in Chinatown or Chinatown in
other Java. On the contrary, Tionghoa ethnic life is still well established with
Balinese ethnic in Kuta. The integration of Tionghoa ethnic into the ethnic
structure of Bali in Kuta is evident from the social, economic and cultural
interactions intertwined with Balinese ethnicity in Kuta. This research attempts to
answer why Chinese ethnicity can be integrated into Balinese ethnic structure in
Kuta 1968-2000 and how to form Tionghoa ethnic integration with Balinese
ethnic in Kuta 1968-2000.
This type of research is field study (field research), with completed archive
research, interview and observation directly to Tionghoa ethnicand ethnic Bali
activities in Kuta. Supported by documentation data and various bibliographic
data that the authors get from various studies that have been done before.
In this research, some Tionghoa ethnic process is able to survive and
integrated in Balinese ethnic structure in Kuta after the issuance of PP. No. 10
Year 1959 is a socio-economic and cultural aspect. In the study find some form of
socio-economic and cultural integration that occurs between Tionghoa ethnic with
Balinese ethnic in Kuta.
The authors conclude that the social integration can result social,
economic and cultural interactions between Tionghoa ethnic and Balinese ethnic
Hindus are associative, an interaction process that identifies the movement of
approach. In order to achieve a good interaction, both parties must be assimilated
or adapt in various ways, such as culture and language. The process is based on
the spirit of tolerance to reduce the differences that exist in both individuals or
mutually intersect. It can be said that ethnic life in Kuta is characterized by the
practice of multiculturalism.
Keywords: Social integration, Tionghoa ethnic, Balinese Ethnic, Assimilation,
Tolerance, Multiculturalism.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kedatangan etnik Tionghoa ke Nusantara sudah beratus-ratus tahun yang
lalu, Beny Juwono dalam Lembaran Sejarah 1999, menuliskan bahwa:
“Imigran Tionghoa datang ke Indonesia sudah beratus-ratus tahun yang
lalu. Tekanan ekonomi dalam negeri Cina telah memaksa etnik Tionghoa
merantau ke Asia Tenggara dari pantai Cina dengan hembusan angin
muson Desember-Mei menyusuri daratan Asia Tenggara. Dengan kata lain
faktor kemiskinan menjadi salah satu sebab etnik Tionghoa berimigrasi ke
Asia Tenggara. Disamping itu, keadaan politik dalam negeri seperti
Perang Candu 1839, pemberontakan Taiping 1851 serta krisis ekonomi
yang terjadi berulang kali seperti wabah kelaparan akibat kegagalan panen
telah mendorong ribuan imigran dari Cina Selatan mencari pekerjaan ke
luar negeri.”1
Menjelang tahun 1860, diperkirakan jumlah penduduk Tionghoa di
Indonesia sebanyak 222.000 orang, dua pertiganya berdiam dipulau Jawa.2 Etnik
Tionghoa memiliki peran yang penting didalam kehidupan ekonomi dan sosial di
Jawa. Indonesia yang kaya dengan sumber daya alam memberikan kehidupan
yang cerah dibandingkan tanah asalnya di Cina yang penuh dengan krisis.3
Sejarah kedatangan etnik Tionghoa ke Indonesia melalui kawasan
sepanjang Pulau Jawa melalui jalur laut. Peranan laut sangat penting bagi migrasi
1Benny Juwono, “Etnis Cina di Surakarta, 1890-1927:Tinjauan Sosial Ekonomi”,
dalam Lembaran Sejarah vol.2, No.1, (Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM, 1999), pp. 59-
60.
2Koentjaraningrat, “Manusia dan Kebudayaan di Indonesia”, dalam Puspa
Vasanty, Kebudayaan Orang Tionghoa di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2004), p.359.
3Retno Winarni & Sartono Kartodirdjo,“Aktivitas Ekonomi Perdagangan Orang-
Orang Cina di Pantai Utara Jawa Timur Pada Abad XVII”,dalam Sosiohumanika
Vol.12,No.3, (Yogyakarta: Pascasarjana Ilmu Sosial-Humaniora Universitas Gadjah
Mada, 1999), p.325.
2
etnik Tionghoa untuk sampai di Jawa.4 Kelompok Tionghoa pada umumnya
menetap di daerah pusat-pusat aktivitas ekonomi seperti pasar dan pelabuhan,
sebagaimana dikemukakan oleh Koentjaraningrat bahwa sejak beberapa abad
lamanya kota-kota pelabuhan kuno seperti Aceh, di Semenanjung Malaka, di
daerah pantai Utara Jawa, dan banyak tempat lain di Indonesia telah mempunyai
segolongan pedagang Tionghoa.5
Etnik Tionghoa Jawa merupakan salah satu yang lebih dahulu datang ke
kepulauan Indonesia. Emigran Tionghoa memungkinkan dirinya terserap ke
dalam masyarakat setempat dan menjadi suatu kelompok minoritas yang
mempertahankan unsur-unsur kebudayaan tanah leluhurnya dan menyesuaikan
diri dengan situasi-situasi setempat atau dapat menjadi kelompok minoritas yang
dominan di Jawa.6
Imigran-imigran Tionghoa mengalir semakin banyak dan meluas
mengikuti arus perdagangan Nusantara, terutama di kota-kota pantai salah satunya
adalah Bali. Bali pada dasarnya merupakan suatu daerah yang bersifat terbuka.
Keterbukaan Bali terlihat khususnya terhadap etnik Tionghoa, dapat dibuktikan
dengan adanya berbagai peninggalan Hindu-Budha di Bali.7
4Koentjaraningrat, op.cit., pp. 359-360.
5Koentjaraningrat, Masalah-Masalah Pembangunan: Bunga Rampai Antropologi
Terapan, (Jakarta: LP3ES,1982), p.50.
6Ibid., p.55.
7I Wayan Ardika, “Hubungan Komunitas Tionghoa Dan Bali : Perspektif
Multikulturalisme”, dalam Sulistyawati (ed.), Integrasi Budaya Tionghoa ke Dalam
Budaya Bali dan Indonesia: Sebuah Bunga Rampai, (Denpasar: Udayana University
Press, 2011), p.2.; Hubungan Bali dengan Tiongkok juga dapat diketahui dengan temuan
3
Keberadaan etnik Tionghoa di Bali yang berkembang sejak lama
melahirkan jejak-jejak percampuran kebudayaan Cina dan Bali, berupa pis bolong
(uang bolong) yang pada jamannya dipakai sebagai alat tukar hingga
dipergunakan sebagai sarana upacara keagamaan.8 Keberadaan etnik Tionghoa
yang berkembang ditengah-tengah etnik Bali yang kental akan kebudayaan Bali
dimulai pada abad ke-7, dimana pada masa itu etnik Tionghoa direkrut sebagai
prajurit-prajurit bagi pasukan raja-raja untuk menghadapi peperangan yang sering
terjadi antara raja-raja pada masa itu.9
Etnik Tionghoa yang tersebar di Bali pada umunya berada di kota-kota
besar serta tempat-tempat yang strategis yaitu kawasan perdagangan. Salah satu
keberadaan etnik Tionghoa di Bali yaitu di kawasan pesisir Kuta. Daerah Kuta
merupakan daerah strategis untuk menjalankan aktifitas perekonomian pada masa
kejayaan kerajaan Badung.10
Dari segi lokasi Kuta digolongkan sebagai kota pantai atau pelabuhan
yang menitik beratkan kekuatan sosial ekonomi pada pelayaran dan perdagangan-
pedagang asing seperti, Bugis dan pedagang Tionghoa.11 Dalam sejarah Kuta
sebagai kota pelabuhan pada abad ke XIX, yang di penuhi dengan pedagang-
sejumlah keramik dari zaman dinasti Tang di situs Blanjong, Sanur yang berasal dari
abad VII-X Masehi.
8I Gusti Ketut Widana, Menjawab Pertanyaan Umat: Yajna Sesa Pemborosan?,
(Denpasar : Yayasan Dharma Narada, 1997), p.72.
9Ide Anak Agung Gde Agung, Bali Pada Abad XIX, (Yogyakarta: Universitas
Gadjah Mada, 1989), p. 17.
10Ni Ketut Suari, “Peran Syahbandar di Bali Pada Abad XIX”, Tesis Fakultas
Sastra, 1986, p. 3.
11Ibid., p.119.
4
pedagang Tionghoa tidak lepas dari adanya hubungan dagang yang baik dengan
Belanda yang ditengahi oleh Lange.12 Dengan majunya Kuta sebagai kota
pelabuhan pada masa kerajaan Badung memungkinkan semakin tumbuh dan
berkembangnya pedagang Tionghoa di Kuta.
Pada kurun waktu 1874 etnik Tionghoa memegang kendali yang besar
dalam sistem perdagangan di sepanjang pasar tradisional di Kuta.13 Situasi
perdagangan semula berjalan dengan baik seketika berubah akibat etnik Tionghoa
di Kuta mengalami beberapa perlakuan terkait sosial politik. Dikeluarkannya
Peraturan Presiden No. 10 tanggal 14 Mei tahun 1959 adalah sebuah peraturan
yang dikeluarkan pada tahun 1959 dan ditanda tangani oleh Menteri Perdagangan
Rachmat Mujomisero yang berisi tentang larangan orang asing berusaha di bidang
perdagangan eceran di tingkat kabupaten ke bawah (di luar ibu kota daerah) dan
wajib mengalihkan usaha mereka kepada warga negara Indonesia.14
Peraturan Presiden ini mengakibatkan etnik Tionghoa di Indonesia
memilih untuk kembali ke Tiongkok. Sekitar 199.000 yang mendaftar, namun
hanya 102.000 yang terangkut ke Tiongkok menggunakan kapal yang dikirim
12Untuk menyatakan rasa terima kasih Raja Badung kepada Lange, Ngurah
Kesiman kemudian memberikan jabatan kehormatan kepada Lange yang terkenal dengan
“Pemekel Gede”. Ni Ketut Suari, op.cit ., p. 121.
13Walapun tidak ditemukan bukti pedagang Tionghoa di sepanjang pasar
tradisional di Kuta pada tahun 1874, namun berdasarkan pada hasil wawancara dengan
beberapa pedagang Tionghoa yang masih membuka usaha di pasar tradisional Kuta, jika
leluhurnya yang datang dari negri Tiongkok berdagang di Kuta dan mewarisi usaha
berdagang di pasar Tradisional Kuta yang saat ini bernama pasar Kuta.
14Data ini berdasarkan artikel, “Peraturan yang Menggusur Tionghoa”, dalam
majalah Tempo edisi 13-19 Agustus 2007, pp. 94-95.
5
oleh pemerintah RRT.15 Sedangkan di Bali, tercatat lebih dari 3.000 meminta
paspor untuk pulang ke Tiongkok.16
Walapun etnik Tionghoa dan etnik Bali berbeda dari segi latar etnis,
agama, dan sosikultural, namun mereka dapat hidup berdampingan dengan suatu
wadah, yakni desa adat. Hal ini dapat di dibuktikan dengan adanya hubungan
harmonis dan interaksi yang baik etnik Tionghoa dengan etnik Bali di Kuta yang
di wujudkan dalam hubungan bermasyarakat (menyama braya). Salah satunya
dengan tergabung didalam dua kelompok banjar adat suka duka Temacun dan
Pemamoran. Tahun 2000, etnik Tionghoa tergabung dalam satu ikatan
perkumpulan suka duka Dharma Semadi.
Kuta sebagai lokasi tempat tinggal juga memiliki peranan yang tidak kecil
dalam interaksi etnik Tionghoa. Kuta sebagai sebuah rumah, memberikan ruang
bagi etnik Tionghoa tempat untuk melakukan aktivitas, berinteraksi, bersosialisasi
juga berbagi peran dengan etnik Bali dikuta. Pada kehidupan sehari-hari di Kuta,
kehidupan etnik Tionghoa berbaur dengan etnik Bali baik itu dalam pemukiman
maupun desa pakraman.
Pembauran tidak menjadikan etnik Tionghoa kehilangan akar budayanya,
yang masih sangat kental akan tradisi-tradisi yang bersumber dari ajaran nenek
moyangnya. Meskipun secara ekstrinsik etnik Tionghoa berbeda dengan etnik
15 Data ini berdasarkan artikel, “Terusir dari Kampung Sendiri”, dalam majalah
Tempo edisi 13-19 Agustus 2007, pp. 96-97.
16Data ini berdasarkan artikel, “Hoakiauw di Bali Mengalir Meminta Paspor
Pulang”, dalam Suara Indonesia, 25 April 1960, p. 19.
6
Bali di Kuta, namun mereka hidup berdampingan sehingga dapat dikatakan telah
membentuk masyarakat multikultural. Bahkan etnik Bali di Kuta memiliki istilah
baru untuk etnik Tionghoa yang telah menetap lama di Kuta, yakni nyame toko . 17
Kehidupan etnik Tionghoa di Kuta mampu berbaur dan terintegrasi
dengan etnik Bali di Kuta, sehingga terwujud suatu masyarakat yang majemuk
dalam suatu wadah yaitu desa adat, dan hal ini menarik untuk di teliti. Tahun 1968
merupakan titik awal dari integrasi etnik Tionghoa di Kuta, sebab terdapat suatu
ketentuan yang tidak tertulis yang berlaku di Kuta, bahwa etnik Tionghoa juga
mendapatkan perwakilan dalam struktur Desa Adat, diwakili oleh Wasista Surya
Gunawan, yang menjabat sebagai kelian adat di banjar Dharma Semadi.
Perwakilan ini, merupakan perwakilan adat khusus untuk etnik Tionghoa sebagai
penduduk pendatang di Kuta. Titik akhir penelitian ini tahun 2000 terjadi
pemekaran lingkungan Kuta, pemekaran yang dilakukan bertujuan untuk
meningkatkan pariwisata di Kuta.18 Pemekaran wilayah berdampak pada etnik
Tionghoa, yang sebelumnya etnik Tionghoa ada di lingkungan banjar Temacun
Kuta. Kelurahan memutuskan etnik Tionghoa untuk di tempatkan pada satu
lingkungan banjar yang ada di Kuta yaitu banjar Dharma Semadi.19
17Berdasakan penelitian di lapangan, peneliti melihat beberapa keakraban etnik
Bali di Kuta ketika memanggil etnik Tionghoa dengan sebutan nyame toko.
18Seiring dengan pesatnya pertumbuhan penduduk diwilayah kelurahan Kuta,
maka pada tanggal 1 April 2000 terjadi pemekaran lingkungan persiapan yakni:
lingkungan persiapan Abianbase, lingkungan persiapan Pemamoran, lingkungan
persiapan Pering, lingkungan persiapan Anyar, lingkungan persiapan Segara. Profil
Pembangunan Kelurahan Kuta Tahun 2000-2001, p. 2.
19Hasil wawancara dengan Adi Dharmaja Kusuma (50 tahun), pada tanggal 10
September 2016.
7
Berdasarkan uraian di atas, tema penelitian studi ini adalah “Integrasi Etnik
Tionghoa Dengan Etnik Bali di Kuta 1960-2000”. Dalam tema tersebut terungkap
suatu permasalahan yakni, sekalipun Kuta mengalami perubahan akibat masuknya
pariwisata dan pemekaran lingkungan di Kuta, namun integrasi antara etnik
Tionghoa dengan etnik Bali tetap terjaga keharmonisannya secara sosial, ekonomi
dan budaya.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut adanya korelasi sebab akibat antara
kuatnya hubungan sistem ekonomi dan sistem kekerabatan yang baik
menyebabkan terintegrasinya etnik Tionghoa dengan etnik Bali di Kuta. Oleh
karena itu formulasi permasalah tersebut di atas dijabarkan melalui 2 buah
pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Mengapa etnik Tionghoa dapat terintegrasi ke dalam struktur etnik
Bali di Kuta 1968-2000?
2. Bagaimana bentuk integrasi etnik Tionghoa dengan etnik Bali di Kuta
1968-2000?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan
Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan di atas, tujuan umum
yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah menggali informasi dan mengkaji
integrasi etnik Tionghoa di Kuta, dan untuk mengetahui bentuk-bentuk integrasi
antara etnik Tionghoa dengan etnik Bali di Kuta, Selain itu tujuan penelitian ini
8
adalah untuk menguak suatu peristiwa sejarah sosial ekonomi dan budaya yang
perlu untuk di lestarikan.
1.3.2 Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat, yakni menambah
perbendaharaan pengetahuan yang terkait dengan masalah kesukubangsaan yakni
tidak saja satu suku bangsa Bali, tetapi juga suku bangsa Tionghoa. Menambah
pembendaharaan pengetahuan tentang berbagai aspek yang berkaitan denggan
integrasi sosial, ekonomi dan budaya terutama antara etnik Bali dengan etnik
Tionghoa dalam wadah desa adat maupun dinas. Penelitian ini diharapkan dapat
merangsang penelitian lain dalam mengkaji masalah etnik Tionghoa, baik di Kuta
maupun di tempat lain dengan pendekatan yang sama maupun dengan pendekatan
yang lainnya.
Selain itu penelitian ini diharapkan mampu memberi gambaran praktis
khusus tentang integrasi etnik Tionghoa di Kuta, dan bentuk-bentuk integrasi
antara etnik Tionghoa dengan etnik Bali di Kuta. Penelitian ini juga diharapkan
mampu menjadi batu loncatan bagi para peneliti lain untuk melakukan penelitian
mengenai integrasi etnik Tionghoa serta diharapkan mampu memperkaya
khazanah kajian ilmu sejarah.
1.4 Tinjauan Pustaka
Adanya berbagai gejala sosial di masyarakat Indonesia yang disebabkan
oleh hubungan dengan etnik Tionghoa telah menarik minat berbagai kalangan,
khususnya ilmuan sosial untuk mengkajinya. Hal ini terbuktinya dari adanya
9
berbagai kajian tentang etnik Tionghoa di Indonesia yang dalam hal ini digunakan
sebagai acuan oleh peneliti dalam menulis.
Penelitian ini menggunakan sumber pustaka dalam negeri yang mengkaji
tentang sejarah komunitas etnik Tionghoa di Indonesia yaitu buku karangan
Munawir Aziz (2014) mengkaji tentang “Lasem Kota Tiongkok Kecil, Interaksi
Tionghoa, Arab, dan Jawa Dalam Silang Budaya Pesisir”, buku karangan
Munawir Aziz merupakan salah satu naskah tesis yang kemudian di edit menjadi
buku sehingga penulis dalam penelitian ini mampu membandingkan penelitian
yang pernah ada sebelumnya di daerah lain. Dalam buku ini tertulis Lasem
sebagai kota pesisir dipenuhi oleh etnik Tionghoa ketika terjadi pengusiran etnik
Tionghoa dari Batavia pada 1740, kemudian disusul dengan tragedi yang sama
ketika perang Jawa. Hingga akhirnya pelarian mereka sampai di daerah Lasem,
mereka pun kemudian membaur dengan penduduk pribumi setempat dan orang-
orang keturunan Arab.20
Penelitian ini sama-sama di kawasan pesisir yaitu di Kuta, Bali yang
dipenuhi oleh para pedagang Tionghoa dari Tiongkok yang datang untuk
berdagang lalu memilih untuk tinggal menetap dan hidup berbaur dengan etnik
Bali di Kuta.
Buku karangan Yerry Wirawan (2013) mengkaji tentang “Sejarah
Masyarakat Tionghoa Makassar, Dari Abad ke-17 Hingga ke-20”. Buku karangan
Yerry Wirawan merupakan salah satu naskah tesis yang sudah diterbitkan menjadi
20Munawir Aziz, Lasem Kota Tiongkok Kecil: Interaksi Tionghoa, Arab, dan
Jawa Dalam Silang Budaya Pesisir, (Yogyakarta: Ombak, 2014).
10
buku. Dengan membaca buku karangan Yerry Wirawan memberikan gambaran
menyeluruh tentang perkembangan sejarah etnik Tionghoa Makassar sejak abad
ke-16 bahkan pemula abad ke-17 dan dibandingkan dengan Jawa, masyarakat
Tionghoa di Makasar pernah memegang peran penting dalam perdagangan di
Nusantara dan bagian kehidupan penduduk kota Makasssar hingga abad ke-20.21
Buku ini memberikan gambaran kehidupan sosial dan perdagangan di pelabuhan
pada abad ke-17 hingga ke-20.
Buku yang berjudul Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, sebuah karya
dari Onghokham yang terbit tahun 2009. Buku ini sebenarnya adalah kumpulan
artikel yang pernah dipublikasikan di Star Weekly dari tahun 1958-1960, di mana
kesemua artikel tersebut menyangkut tentang posisi kelompok Tionghoa
peranakan di Indonesia. Analisis dari buku ini yang mengambil sudut pandang
sejarah dan politik, sangat dipengaruhi oleh latar belakang Onghokham, seorang
sejarahwan walaupun sempat mengenyam pendidikan di Jurusan Hukum
Universitas Indonesia.
Terdapat 14 artikel yang dimuat dalam buku ini dari 41 artikel yang Ong
sumbangkan kepada Star Weekly. Jika dilihat dan dianalisis, terdapat 4 poin
bahasan yang dimuat dalam buku ini yang saling terikat satu sama lain. Pertama
mengenai sejarah sosial politik etnik Tionghoa peranakan di Jawa, Madura dan
Filipina. Kedua mengenai pandangan Ong terhadap kedudukan Tionghoa dalam
tataran masyarakat Indonesia. Ketiga, kontribusi Ong atas polemik mengenai
21Yerry Wirawan, Sejarah Masyarakat Tionghoa Makassar : Dari Abad Ke-17
Hingga Ke-20, (Jakarta: Gramedia, 2013).
11
akulturasi versus integrasi, di mana Ong merupakan salah satu tokoh utama
akulturasi hingga tahun 1963, dan yang keempat membahas mengenai keluarga
Ong yang merupakan keturunan keluarga Han dan Tan yang cukup disegani di
Jawa Timur.
Sedikit berbeda dengan buku yang ditulis oleh Onghokham, penelitian ini
akan terfokus pada integrasi antara etnik Tionghoa dengan etnik Bali, dengan
mengambil kasus di Kuta dan mempergunakan perspektif ilmu sejarah. Akan
tetapi, buku ini bisa menjadi salah satu perbandingan untuk melihat akulturasi
yang terjadi di Jawa, Madura, Filipina dengan yang terjadi di Bali.
Hasil penelitian dari Sutjiati Berata dkk, tahun 2010 yang berjudul Dari
Tatapan Mata ke Pelaminan Sampai di Desa Pakraman, Studi Tentang Hubungan
Etnik Bali dengan Orang China di Bali yang diterbitkan oleh Udayana University
Press. Penelitian ini mengambil lokasi di beberapa tempat di Bali, diantaranya,
Desa Baturiti, Denpasar, Desa Carangsari dan Desa Padangbai yang mana
menghasilkan beberapa buah simpulan mengenai hubungan antar etnik Tionghoa
dengan etnik Bali di tengah kehidupan masyarakat yang multikultur khususnya
mengenai pernikahan campur yang terjadi antar etnik Tionghoa dengan etnik Bali.
Selain itu, dalam penelitian ini juga dijelaskan mengenai implikasi kebersamaan
etnik Bali dengan orang China dalam desa Pakraman. Penelitian dari Sutjiati
Berata ini bisa dikatakan mengambil perspektif yang multidisipliner, dikarenakan
latar belakang ketiga peneliti yang berbeda. Sutjiati Berata, berlatar sastra, Wayan
Ardika berlatar belakang arkeologi sedangkan Nyoman Dana berlatar belakang
antropologi.
12
Penelitian ini memberikan peneliti gambaran mengenai bagaimana
implikasi perkawinan campuran antara etnik Tionghoa dengan etnik Bali, yang
mana penulis ingin mengetahui seberapa jauh perkawinan campuran ini
mempengaruhi interaksi sosial pada etnik Tionghoa di Kuta. Akan tetapi tentunya
secara keseluruhan penelitian yang akan penulis laksanakan berbeda dengan
penelitian yang telah dilaksanakan oleh Sutjiati Berata dkk. Lokasi penelitiannya
pun berbeda yaitu di kabupaten Badung, kecamatan Kuta. Sehingga hasil
penelitian, pada nantinya akan berbeda.
Beberapa buku lainnya yang menjadi sumber pustaka yaitu buku karangan
Andjarwati Noordjanah (2010) mengkaji tentang “Komunitas Tionghoa di
Surabaya”. P. Hariyanto (1993) mengkaji tentang “Kultur Cina dan Jawa,
Pemahaman Menuju Asimilasi Kultural”. Leo Suryadinata (1994) menkaji tentang
“Politik Tionghoa Peranakan di Jawa”. Mely G. Tan (1981) mengkaji tentang
“Golongan Etnik Tionghoadi Indonesia”. H. Tarmizi Taher (1997) mengkaji
tentang “Masyarakat Cina, Ketahanan Nasional dan Integrasi Bangsa di
Indonesia”. Nurani Soyomukti (2012) mengkaji tentang “Soekarno dan Cina “.
Onghokham (1991) mengkaji tentang “Rakyat dan Negara”.
Kajian-kajian tersebut di atas pada garis besarnya menyajikan tentang
kegiatan dagang orang-orang Cina, Stereotipe orang Cina (Tionghoa), usaha
integrasi yang dilakukan etnik Tionghoa dengan masyarakat Indonesia, beserta
kendala yang dihadapi baik yang bersumber pada faktor ekonomi, sosial, budaya,
maupun pengalaman sejarah. Selain itu dibahas mengenai tindak kekerasan
terhadap kaum peranakan Tionghoa.
13
Khusus penelitian tentang “integrasi etnik Tionghoa di Bali” oleh peneliti
sebelumnya belum banyak dilakukan orang. Beberapa kajian yang telah ada
terlihat dari hasil penelitian Tesis dari I Ketut Wirata pada tahun 2005 yang
berjudul Integrasi Etnik Tionghoa di Desa Adat Carangsari Kecamatan Petang
Kabupaten Badung Bali, Suatu Kajian Budaya. Dalam tesisnya ini, Wirata
meneliti tentang integrasi etnik Tionghoa kedalam etnik Bali. Etnik Tionghoa di
Desa Adat Carangsari dikatakan Wirata terikat satu penyamaan dengan etnik Bali
di Carangsari. Hal ini dimungkinkan dikarenakan etnik Tionghoa di Desa Adat
Carangsari sama-sama menempati karang desa dengan etnik Bali. Selain itu
terintegrasinya etnik Tionghoa ke dalam Desa Adat juga dibuktikan dengan etnik
Tionghoa di Desa Adat Carangsari juga memiliki sanggah untuk memuja leluhur
dan Tuhan Yang Maha Esa, serta sama-sama memeluk agama Hindu.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Wirata adalah penelitian baik
dari Wirata maupun penelitian yang akan penulis teliti sama-sama mengambil
sudut pandang budaya, selain itu baik Wirata maupun penulis, sama-sama
mempergunakan etnik Tionghoa sebagai objek penelitian yang diteliti. Sedangkan
perbedaannya, Wirata menekankan penelitiannya pada integrasi etnik Tionghoa ke
dalam Desa Adat Carangsari, mengapa etnik Tionghoa di Carangsari bisa
berintegrasi ke dalam struktur etnik Bali, sedangkan penelitian ini terfokus pada
integrasi sosial, ekonomi dan budaya etnik Tionghoa di Kuta, yang mendapatkan
pengaruh dari budaya Bali dari kehidupan sosial ekonomi dan religi komunitas
etnik Tionghoa di Kuta.
14
Tesis Ni Ketut Swari (1986) yang berjudul “Peran Syahbandar di Bali
Pada Abad XIX”. Mengkaji tentang peran syahbandar di Bali pada abad XIX,
dengan menyajikan salah satunya jalur pelayaran dan pelabuhan di Kuta yang
berpengaruh pada sistem perdagangan di Bali abad XIX. Tesis Swari sangat
membantu penulis dalam penelitian ini, terutama memberikan gambaran
mengenai Kuta sebagai kota pelabuhan abad XIX di Bali. Sehingga kuat
kemungkinan jika masuk perdagangan ke Kuta yang membawa masuk etnik
Tionghoa sampai di Kuta.
Tesis I Putu Putra Kusuma Yudha (2014) yang berjudul “Perubahan
Identitas Budaya Etnik Tionghoadi Desa Pupuan Kecamatan Pupuan Kabupaten
Tabanan”, dengan membahas mengenai masalah perubahan identitas etnik
Tionghoa dan bentuk-bentuk perubahan yang terjadi seperti perubahan nama etnik
Tionghoa di desa Pupuan, Tabanan.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Yudha adalah sama-sama
melihat adanya hubungan erat antara etnik Tionghoa dengan etnik Bali, sehingga
menjadikan kedua unsur ini saling mempengaruhi satu sama lain. Sedangkan
perbedaannya adalah penulis akan mengambil perspketif kajian ilmu sejarah,
berbeda halnya dengan Yudha yang mengambil perpektif dari kajian budaya.
Penelitian penulis juga lebih terfokus pada interaksi etnik Tionghoa dengan etnik
Bali yang mengambil studi kasus di Kuta.
Selain kajian-kajian di atas secara keseluruhan masih banyak
penelitian/laporan/ karya tulis yang membicarakan tentang etnik Tionghoa
khususnya mengenai interaksi antara etnik Tionghoa dengan etnik Bali. Kajian-
15
kajian tersebut di atas, secara keseluruhan dapat memberikan gambaran yang
sangat berarti dalam melihat secara jeli terhadap fenomena interaksi antara etnik
Tionghoa dengan etnik Bali. Akan tetapi, dari beberapa kajian-kajian di atas
tampaknya belum ada kajian khusus yang membahas mengenai integrasi etnik
Tionghoa.
Karna itu kajian terhadap etnik Tionghoa di Bali umumnya dan khususnya
di Kuta sangat menarik dan masih perlu diangkat dan diperluas serta di perdalam
mengingat bahwa kajian etnik Tionghoa di Kuta terutama integrasi etnik
Tionghoa di Kuta, saling berinteraksi dengan etnik Bali di Kuta. Selain itu
integrasi sosial ekonomi dan budaya adalah suatu proses yang penuh dengan
dinamika, dan penyesuaian-penyesuaian antar etnis sehingga membentuk
keseimbangan sosial budaya.
1.5 Metodologi Sejarah
Metodologi sejarah yang tepat dipakai untuk membantu memudahkan
penelitian adalah sejarah sosial. Kuntowijoyo menjelaskan sejarah sosial
merupakan gejala baru dalam penulisan sejarah sejak sebelum perang Dunia II.
Sebagai sebuah gerakan penting dalam penulisan sejarah baru, sejarah sosial
mendapat tempat sejak 1950-an.22
Dengan menggunakan sejarah sosial yang di perkenalkan Kuntowijoyo
salah satunya yang menjadi sentral dari penelitian ini adalah model lingkaran
sentral. Model ini tidak menulis mengenai kota atau masyarakat dari awal, tetapi
dari titik yang sudah jadi. Setiap penulisan bertolak dari titik sejarah ditengah-
22Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1994), p. 157.
16
tengah demikian biasanya dimulai dengan lukisan sinkronis tentang masyarakat
tersebut, baru kemudian secara diakronis ditunjukan pertumbuhannya.23
Sejarah sosial, bagian dari model lingkaran sentral dalam penelitian yang
dimaksud ini adalah mulai masuknya pariwisata di Kuta pada tahun 1969, yang
ditandai dengan masuknya para wisatawan yang datang ke Kuta menyebabkan
perkembangan di Kuta terutama perkembangan ekonomi yang pesat.
Perkembangan selanjutnya tahun 1970 kawasan Kuta yang menjadi sentralnya,
mulai berkembang menjadi kawasan pariwisata di Bali
Melihat semakin berkembangnya wilayah Kuta saat itu menyebabkan
kehidupan sosial ekonomi etnik Bali mulai berkembang termasuk juga etnik
Tionghoa di Kuta yang menjadi salah satu bagian masyarakat yang mendiami
wilayah Kuta mulai mengikuti perkembangan kawasan ini.
1.6 Kerangka Teoretis dan Koseptual
Model pendekatan dan kerangka teoretik mempunyai hubungan yang
sangat erat dengan jenis sejarah yang akan diungkap. Dalam merekonstruksi
“Integrasi Etnik Tionghoa Dengan Etnik Bali di Kuta 1960-2000”, diperlukan
berbagai pendekatan ilmu-ilmu sosial, dengan menggunakan kerangka teori
terutama teori-teori ilmu sosial dimaksudkan agar diperoleh derajat eksplanasi
yang lebih memadai dalam penulisan sejarah sosial.24
23Ibid., pp. 44-45.
24Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah,
(Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992), pp. 120-156.
17
Masalah integrasi etnik Tionghoa di Bali dapat dijelaskan dengan konsep
integrasi sosial yang diajukan oleh Gillin and Gillin. Gilin menyebutkan bahwa
integrasi adalah bagian dari proses sosial yang terjadi karena perbedaan fisik,
emosional, budaya dan perilaku.25 Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas
mengenai integrasi etnik tionghoa dengan etnik Bali di kuta 1960-2000 diperlukan
konsep-konsep ilmu sosial lainnya yang dapat membantu menjelaskan
permasalahannya.
Integrasi sosial atau penyesuaian sosial adalah suatu proses penyesuaian
diantara unsur-unsur yang saling berbeda, yang dalam kehidupan sosial sehingga
menghasilkan suatu pola kehidupan yang serasi fungsinya bagi masyarakat
tersebut.26 Terjadinya integrasi sosial menyebabkan kelangsungan hidup individu
atau kelompok terjamin, meskipun terdapat perbedaan-perbedaan. Integrasi sosial
merupakan suatu proses untuk mempertahankan kelangsungan hidup kelompok
yang tidak akan pernah selesai dan berlangsung terus menerus.27
Interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang
menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-
kelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok
25Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas, Edisi Baru, (Jakarta:
Rajawali Press, 1990), p. 78. 26Suprapto, Sosiologi dan Antropologi, (Bandung : CV Rajawali, 1987), p. 45.
27Astrid S. Susanto, Pengantar Sosiologi dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Bina
Cipta, 1983), p. 55.
18
manusia.28 Interaksi sosial antar manusia selalu berada dalam proses dinamis.
Tanpa proses, interaksi sosial hanya terjadi dari satu pihak ke pihak lain tanpa
adanya kesan apa-apa.
Salah satu bentuk khusus proses sosial yang terlihat dalam penelitian ini
adalah Kerjasama (Cooperation) adalah suatu usaha bersama antara orang
perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa
tujuan bersama.29 Untuk terbentuknya suatu kerjasama sangatlah penting adanya
kesadaran akan pentingnya kerjasama untuk mewujudkan tujuan bersama.
Demikian etnik Tionghoa di Kuta, mereka diterima dan berbaur dengan etnik Bali
dengan cara ikut menjadi warga desa (makrama desa).
Selain adanya proses sosial berupa kerjasama antar etnis, perlunya
hubungan antar etnis atau ras dengan bentuk saling memahami perbedaan masing-
masing guna mencapai tujuan bersama yaitu asimilasi. Salah satu bentuk asimilasi
perkawinan yang terjadi karena perkawinan antarentik untuk melahirkan
kelompok baru.30 Selain itu adanya perkawinan campuran antara etnik Tionghoa
dengan etnik Bali di Kuta melahirkan generasi baru yang hidup dilingkungan
Kuta.
Asimilasi budaya yaitu suatu proses yang megadopsi nilai, kepercayaan,
dan bahasa dan sistem simbol dari suatu kelompok etnik kemudian membentuk
28Soerjono Soekanto, Sosiologi : Suatu Pengantar, (Jakarta: Grafindo Persada,
2010), pp. 54-55.
29Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat
Multikultur, (Yogyakarta: LKiS, 2005), p.129.
30Ibid., p. 138.
19
sistem simbol etnik baru.31 Dalam kaitannya di Kuta, proses asimilasi budaya
yang terlihat antara etnik Tionghoa dengan etnik Bali yaitu adanya terbentuknya
kepercayaan baru di Kuta yaitu kepercayaan Hindu-Budha.
Konsep dan proses interaksi sosial yang dipaparkan diatas sangat
membantu penulis menelaah kajian tentang interaksi sosial, ekonomi dan budaya
etnik Tionghoa dengan etnik Bali di Kuta. Dalam penelitian ini penulis melihat
etnik Tionghoa di Kuta sebagai pendatang yang tentunya memiliki banyak
perbedaan baik dari segi fisik, kehidupan sosial dan juga kebudayaan yang
berbeda pula. Dengan adanya perbedaan tersebut tentunya membentuk suatu pola
integrasi sosial yang baru di Kuta.
Dalam hal ini konsep etnik Tionghoa juga di perlukan untuk melihat etnik
Tionghoa yang terfokus dalam penulisan skripsi ini. Menurut G.W. Skinner
bahwa dalam kelompok etnik Tionghoa terdapat nama identitas diri bagi setiap
anggota kelompok etnis Tionghoa. Dalam kriteria tersebut, orang yang
mempunyai nama keluarga Tionghoa tentu asal usulnya Tionghoa. Selain itu
secara tradisional, etnik Tionghoa meletakkan nama keluarga berada di depan
diikuti dengan posisi secara hierarkis dalam kelompoknya.32
Etnik Tionghoa berdasarkan orientasi kebudayaan dapat dibedakan
kedalam 2 kelompok besar yaitu peranakan, yaitu etnik Tionghoa yang lahir di
Indonesia, atau hasil perkawinan campuran antara etnik Tionghoa dengan orang
31Ibid.
32Mely G. Tan, Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia, (Jakarta:
Gramedia,1981), pp.1-2.
20
Indonesia. Selain itu, istilah peranakan digunakan untuk menyebut etnik Tionghoa
yang telah berasimilasi dengan masyarakat setempat dan mereka berorientasi
dengan kebudayaan setempat. Totok, yaitu etnik Tionghoa yang lahir di negara
Tiongkok. Selain itu, istilah etnik Tionghoa totok digunakan untuk menyebut
pendatang baru atau lama yang masih berorientasi atau mendukung secara kultural
tradisi Tiongkok daratan.33
Menurut Yusiu Liem, bahwa etnik Tionghoa totok ialah generasi pertama
Tionghoa atau generasi selanjutnya, yang keturunannya bukan dan perkawinan
campuran dengan penduduk setempat dan masih fasih satu atau lebih dialeg
Tionghoa serta masih mempunyai kedekatan dengan budaya Tionghoa.34 Dalam
penelitian ini etnik Tionghoa di Kuta merupakan etnik Tionghoa peranakan yang
merupakan keturunan dari perkawinana campuran antara etnik Tionghoa dengan
etnik Bali di Kuta.
Etnik Bali adalah etnik yang dalam kehidupannya dituntun oleh nilai-nilai
kebudayaan Bali yang selalu berusaha bersikap seimbang terhadap alam
sekitanya. Hal itu dilandasi oleh kesadaran bahwa alam semesta adalah
kompleksitas unsur-unsur yang satu sama lain terkait dan membentuk suatu sistem
kesemestaan.35
Nilai keseimbangan akan terwujud ke dalam dua unsur yakni:
33 Leo Suryadinata, Dilema Minoritas Tionghoa, (Jakarta: Grafiti, 1984), pp.85-
93.
34 Yusiu Liem, op.cit., p. 66.
35 I Made S. Dharmayudha & I Wayang K. Cantika, Filsafat Adat Bali, (Denpasar
: Upada Sastra, 1994), p.6.
21
1. Selalu ingin menyesuaikan diri dan berusaha menjalin hubungan dengan
elemen-elemen alam dan kehidupan yang mengitarinya.
2. Ingin menciptakan suasana kedamaian dan ketentraman antar sesama
makhluk dan juga terhadap alam di mana manusia hidup sebagai salah
satu elemen dari alam semesta raya.36
Kehidupana etnik Bali yang didukung oleh adat istiadat yang kuat dalam
hubungan antara warga yang satu dengan warga yang lain didasarkan atas asas
moral yang telah melembaga dalam diri individu. Asas dasar itu adalah Tat Twam
Asi, Twam artinya Kamu dan Asi artinya adalah, jadi Saya adalah Kamu dan
segala makhluk adalah sama. Menolong orang lain berarti menolong diri sendiri
dan menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri.37 Etnik Bali memang
telah menyatu, dengan alam dan Ida Sang Hyang Widhi dalam menciptakan
kedamaian hidup melalui resapan getaran harmoni dalam wadah keseimbangan.
1.7 Metode Penelitian Dan Sumber
1.7.1 Metode Penelitian
Dalam proses penulisan ini, penulis menerapkan metode sejarah sebagai
instrument utama untuk merekonstruksi peristiwa historis sehingga mencapai
sasaran penulis yang diharapkan. Pertama, tahap heruistik (pengumpulan data),
pencarian dan pengumpulan sumber-sumber dilakukan dengan penelitian
kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan (field reseach).
36Ibid.
37 I Made S. Dharmayudha & I Wayang K. Cantika, op.cit., p. 24.
22
Sumber-sumber tersebut didapat dari perpustakaan daerah Bali, yang
penulis temukan terkait yang diteliti yaitu beberapa buku tentang pengusiran etnik
Tionghoa di Indonesia seperti karya Nurani Soyomukti dan Leo Suryadinata.
Dalam hal ini buku karangan Leo Suryadinata tergolong buku langka, karena
penulis berhasil menemukan buku langka tesebut perpusatakaan daerah Bali.
Perpustakaan Arsip Provinsi Bali, yang penulis temukan terkait yang diteliti yaitu
buku karangan Mely G. Tan yang tergolong buku langka. Penulis menemukan
buku karangan Mely G. Tan belum terjemahan, dalam hal ini merupakan
tantangan penulis dalam menerjemahkan buku tersebut untuk selanjutnya dapat di
pakai sebagai acuan penulis. Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Udayana, penulis menemukan salah satu tesis karangan I Ketut Suari yang sangat
memberikan gambaran tentang pelabuhan di Kuta abad ke-19. Penulis sangat
beruntung menemukan dan membaca tesis I Ketut Swari tersebut karena
sebelumnya penulis kebingungan mencari acuan dalam menggambarkan Kuta
yang sempat menjadi kota pelabuhan abad ke-19 dan berpengaruh dalam
perdagangan di Bali.
Perpustakaan Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana,
penulis menemukan buku karangan Sok Hok Gi yang sempat menjadi buku
terlarang dan susah di temukan kala ini. Namun penulis hanya membaca secara
sepintas buku tersebut karena beberapa kendala dan aturan perpustakaan yang
tidak melayani peminjaman bagi mahasiswa S1. Namun penulis tidak putus asa
dan tetap menyempatkan diri untuk mengunjungi perpustakaan untuk dapat
membaca secara lanjut. Beberapa buku juga ditemukan pada perpustakaan pribadi
23
milik kelian banjar Dharma Semadi, seperti salah satu buku tentang Vihara
Dharmayana yang tidak terbit lagi. Buku ini selanjutnya menjadi buku kunci
dalam penulisan penelitian ini.
Dengan keterbatasan sumber-sumber tertulis dan untuk dapat menggali
lebih dalam penelitian, maka dipergunakan sejarah lisan. Dengan mencari sumber
(informan) yang terdiri dari informan kunci (key informan) dan informan biasa.
Beberapa orang yang telah dipilih menjadi informan kunci yaitu wawancara yang
dilakukan penulis kepada beberapa tokoh yang berpengaruh serta mengalami
peristiwa yang diteliti oleh penulis, yaitu Martha Gunarta (65 tahun) yang
merupakan salah seorang yang bertanggung jawab dalam bidang kerohanian di
Vihara Dharmayana, wawancara dengan Luih Beratha (64 tahun), yang
merupakan pengurus yayasan dharma semadi yang bertanggung jawab pada
vihara dharma semadi dan wawancara dengan Adi Darmaja kusuma (49 tahun),
sebagai Kelian banjar Dharma Semadhi Kuta, serta wawancara dengan I Ketut
Saskara (60 tahun) sebagai seorang laki-laki Bali Hindu yang menikah dengan
wanita Tionghoa di Kuta.
1.7.2 Sumber
Untuk mendapatkan sejumlah data yang diperlukan, secara garis besar
penulis menggunakan dua sumber data, data primer berupa informasi yang
diperoleh dari informan dan objek yang diobservasi langsung di lapangan. Data
primer penulis dapatkan dari wawancara langsung dengan kelian adat suka duka
etnik Tionghoa banjar Dharma Semadi di Kuta, sesepuh keturunan Tionghoa di
Kuta, serta Bendesa Adat Kuta. Data primer juga didapatkan dari observasi
24
langsung di lapangan untuk melihat bagaimana interaksi sosial ekonomi dan
budaya etnik Tionghoa di Kuta. Selain itu, data primer juga penulis dapatkan dari
arsip-arsip data etnik Tionghoa yang terdapat dikantor bendesa adat Kuta dan
rumah kelian suka duka etnik Tionghoa Kuta.
Sumber data sekunder berupa data yang diperoleh melalui studi pustaka
seperti tesis, disertasi, buku dan artikel yang ada relevansinya dengan penelitian
yang dilakukan. Data sekunder penulis dapatkan dari referensi buku-buku yang
berkaitan dengan etnik Tionghoa, yang dijual bebas di toko-toko buku.
Selanjutnya, penulis juga mendapatkan arsip Peraturan Presiden No. 10 tahun
1959 tentang pelarangan menggunakan larangan bagi usaha perdagangan kecil
dan eceran yang bersifat asing diluar ibu kota daerah swatantra tingkat I dan II
serta karesidenan, Inpres No. 14 tahun 1967 mengenai agama, kepercayaan, dan
adat istiadat dari hukum online. Kepres No. 6 tahun 2000 yang mencabut Inpres
No. 14 tahun 1967 mengenai pencabutan instruksi presiden nomor 14 tahun 1967
tentang agama, kepercayaan, dan adat istiadat cina.
Data sekunder juga penulis dapatkan dari Koran yaitu koran obor rakyat,
koran bali post tahun, koran suluh marhaein, koran perdamaian, serta majalah
tempo. Penulis juga mendapatkan data profil kelurahan Kuta, kecamatan kuta,
kabupaten badung, provinsi Bali, 2000. Berkaitan dengan penelitian ini, kedua
sumber data itu sangat diperlukan dalam rangka memecahkan dan menjawab
seluruh pokok permasalahan.
25
1.8 Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan dalam penulisan berguna untuk memperoleh
gambaran yang jelas dan komprehensif mengenai isi dari studi ini. Dengan
demikian Sistematika pembahasan diawali dengan bagian Bab I yang merupakan
pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, tijauan pustaka, metodologi penelitian, kerangka
teoritis, kerangka konseptual, metode sejarah, dan sistematika pembahasan.
Bagian ini secara menyeluruh dijelaskan gambaran umum tentang isi proposal ini.
Selanjutnya pada bagian Bab II berisikan uraian mengenai gambaran
umum keadaan geografis dan penduduk kuta, mata pencaharian penduduk, sistem
organisasi sosial, sistem kepercayaan dan pandangan hidup, kehidupan ekonomi
dan sosial budaya etnik Tionghoa di kuta, kehidupan budaya etnik Tionghoa di
kuta. Bab III berisikan jawaban atas pertanyaan penelitian pertama yang pada
intinya akan menjelaskan mengapa terjadinya integrasi etnik Tionghoa dengan
etnik etnik Bali di Kuta dengan melihat kehidupan etnik Tionghoa di Kuta dari
awal kedatangannya, hingga mampu bertahan bukanlah suatu hal yang mudah.
Etnik Tionghoa yang minoritas tersebut mengalami banyak gejolak untuk
bertahan. Ada empat sub bab dalam bab ini yakni masuknya etnik Tionghoa di
Kuta, dikeluarkannya peraturan pertama pemerintah tahun 1959, respon etnik
Tionghoa di Kuta dan bertahannya etnik Tionghoa di Kuta dari segi sosial,
ekonomi dan budaya di Kuta.
Bab IV berbicara mengenai jawaban atas pertanyaan penelitian kedua yang
pada intinya ingin menggambarkan integrasi etnik Tionghoa di Kuta. Dengan
26
semakin bertambahnya jumlah etnik Tionghoa di Kuta setelah terjadi ketegangan
akibat dikeluarkannya peraturan Peraturan Presiden 10 tahun 1959, kembali di
Tahun 2000 jumlah etnik Tionghoa di Kuta kembali meningkat. Oleh sebab itu
beberapa alasan yang mendasari etnik Tionghoa mampu terintegrasi dengan etnik
Bali yaitu karena sistem kepercayaan yang kuat, dengan kepercayaan Buddha
yang sebagian besar dianut oleh masyarakat etnik Tionghoa di Kuta. Salah satu
Kelenteng Dharmayana kuta merupakan salah satu bangunan untuk peribadahan
dan pemujaan dewa-dewa Tao, Confusius dan Buddha, selain itu interaksi etnik
Tionghoa di Kuta dikaitkan karena adanya ikatan kekerabatan antara Etnik
Tionghoa dengan etnik Bali di Kuta yang dalam hal ini dilihat dalam ikatan
perkawinan antara etnik Tionghoa dengan etnik Bali di Kuta. Interaksi politik
yang terlihat dari tergabungnya etnik Tionghoa di Kuta dalam organisasi
Indonesia Tionghoa (INTI) yang membantu masalah-masalah Tionghoa di Kuta.
Tidak hanya itu interaksi dalam bentuk ekonomi kehidupan berdagang masih
banyak dilakoni oleh para etnik Tionghoa di Kuta, terutama dalam lingkungan
pasar tradisional Kuta.
Bab V berisi kesimpulan dari empat bab sebelumnya, dalam bahasa yang
lebih singkat dan padat, terutama untuk menjawab secara singkat permasalan yang
diangkat dalam tulisan ini.