inovasi pertanianriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/pdf/buletin.pdfpupuk yang diberikan...
TRANSCRIPT
| 1
| 2
BULETIN ISSN : 1979-0805
INOVASI PERTANIAN
BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN RIAU VOLUME : 2 NOMOR : 1 JULI 2016
DEWAN REDAKSI
PENANGGUNGJAWAB : KEPALA BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI
PERTANIAN (BPTP) RIAU
KETUA DEWAN REDAKSI : Anis Fahri, SP, M,Si MERANGKAP ANGGOTA
ANGGOTA : Dr. Parlin H Sinaga, SP, MP
: Dr. Ir. Ida Nur Istina, M.Si
: Ir. Yunizar, MS
: Nurhayati, SP, M.Si
: Dwi Sisriyenni, S.Pt, M.Si
: Ir. Oni Ekalinda
REDAKSI PELAKSANA : Rachmiwati Yusuf, S.Pi, M.Si
: Bambang H Marpaung, S.Kom
: Dian Pratama, SP
: Andi, SP
ALAMAT REDAKSI : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau Jalan Kaharuddin Nasution No. 341 Km. 10
Pekanbaru, Indonesia
Telepon (0761) 674206 Fax (0761) 674206 E-Mail [email protected]/
[email protected]/ [email protected]
Website http://www.riau.litbang.pertanian.go.id
BULETIN INOVASI PERTANIAN adalah media ilmiah penyebaran hasil
penelitian/pengkajian teknologi pertanian yang diterbitkan secara berkala, sebanyak dua kali
dalam setahun pada bulan Juli dan Desember. Memuat tulisan hasil penelitian dan pengkajian
bidang pertanian tanaman pangan dan hortikultura, peternakan, perkebunan, penyuluhan
serta analisis kebijakan yang belum pernah dipublikasikan di media lain.
| i
KATA PENGANTAR
Buletin Inovasi Pertanian sebagai media komunikasi di bidang pengkajian dan pengembangan
teknologi pertanian menyajikan hasil-hasil penelitian dan pengkajian yang menjadi mandat institusi
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau. Buletin Inovasi Pertanian terbit perdana volume 1 nomor 1
Juli 2007. Buletin direncanakan terbit 2 kali dalam setahun. Berhubung sesuatu hal Buletin Inovasi
Pertanian sempat terhenti sejak tahun 2008 dan terbit kembali pada tahun 2016 dengan Volume 2 No
1 Juli 2016.
Pada Volume 2 No 1 Juli 2016 Buletin Inovasi Pertanian menyajikan makalah tentang:
1) Peningkatan Produktivitas Padi Melalui Penerapan PTT di Kabupaten Siak; 2) Persepsi Petani
Terhadap Teknologi Budidaya Bawang Merah Pada Lahan Kering di Kecamatan Tapung, Kampar,
Provinsi Riau; 3) Karakteristik Petani Dalam Mengadopsi Teknologi Introduksi Pada Pengelolaan
Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah di Kecamatan Kampar; 4) Hubungan Partisipasi Petani Dengan
Kemampuan Petani Memecahkan Masalah Pada Usahatani Padi Sawah di Kabupaten Bengkalis;
5) Pendampingan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) di Kabupaten Siak, Provinsi
Riau; 6) Faktor Penentu Keberhasilan Teknologi dalam Perspektif Akselerasi Peningkatan Produktivitas
Padi di Provinsi Riau; 7) Peningkatan Produktivitas Padi Varietas Cekau Pelalawan di Lahan Pasang
Surut Kecamatan Kuala Kampar, Kabupaten Pelalawan Melalui Perbaikan Teknologi Budidaya;
8) Efektivitas Pemberian NPK Organik Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai di Provinsi Riau.
Dewan Redaksi mengucapkan terima kasih kepada tim redaksi yang telah memberikan saran dan
pemikiran demi kesempurnaan makalah ini. Semoga Buletin Inovasi Pertanian dapat bermanfaat dan
memberikan sumbangan yang nyata untuk ilmu pengetahuan dan teknologi.
Ketua Dewan Redaksi
| ii
DAFTAR ISI
No. Judul Tulisan Hal
1. PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI MELALUI PENERAPAN PTT
DI KABUPATEN SIAK Anis Fahri dan Dahono .................................................................................... 1-5
2. PERSEPSI PETANI TERHADAP TEKNOLOGI BUDIDAYA BAWANG MERAH PADA
LAHAN KERING DI KECAMATAN TAPUNG, KAMPAR, PROVINSI RIAU
Dian Pratama dan Sri Swastika ........................................................................ 6-12
3. KARAKTERISTIK PETANI DALAM MENGADOPSI TEKNOLOGI INTRODUKSI PADA PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) PADI SAWAH DI KECAMATAN KAMPAR
Oni Ekalinda, Dian Pratama dan Yogo sumitro .................................................. 13-19
4. HUBUNGAN PARTISIPASI PETANI DENGAN KEMAMPUAN PETANI MEMECAHKAN MASALAH PADA USAHATANI PADI SAWAH DI KABUPATEN BENGKALIS
Reni Astarina dan Anita Sofia .......................................................................... 20-24
5. PENDAMPINGAN SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU
(SL-PTT) DI KABUPATEN SIAK, PROVINSI RIAU Nurhayati dan Marsid Jahari ............................................................................ 25-29
6. FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF
AKSELERASI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI DI PROVINSI RIAU
Anita Sofia dan Oni Ekalinda............................................................................ 30-36
7. PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI VARIETAS CEKAU PELALAWAN DI LAHAN PASANG SURUT KECAMATAN KUALA KAMPAR KABUPATEN PELALAWAN MELALUI PERBAIKAN TEKNOLOGI BUDIDAYA
Viona Zulfia, Marsid Jahari dan Rachmiwati ...................................................... 37-42
8. EFEKTIVITAS PEMBERIAN NPK ORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI DI PROVINSI RIAU Emisari Ritonga dan Rathi Frima Zona.............................................................. 43-47
| 1
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI MELALUI PENERAPAN PTT DI KABUPATEN SIAK
Anis Fahri 1) dan Dahono 2)
1) Peneliti Pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau
2) Peneliti Pada Loka Pengkajian Teknologi Pertanian (LPTP) Kepulauan Riau
ABSTRAK
Peningkatan produktivitas padi melalui penerapan teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)
dilaksanakan di Desa Jati Baru, Kecamatan Bunga Raya, Kabupaten Siak, Provinsi Riau, pada MK 2011. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan teknologi (PTT) dalam peningkatan produktivitas padi sawah di Kabupaten Siak. Kajian dilaksanakan di lahan petani seluas 5 hektar dengan jumlah 5 orang petani kooperator yang berada dalam satu hamparan. Data dianalisis menggunakan uji banding (t-student) antara teknologi PTT dan cara petani. Hasil kajian menunjukkan produksi padi yang di kelola melalui pendekatan PTT
memberi hasil sebanyak 6,73 t/ha GKP berbeda nyata dibanding teknologi petani sebanyak 5,78 t/ha GKP.
Kata kunci : PTT padi, VUB padi sawah, peningkatan produktivitas dan kabupaten Siak
ABSTRACT
Increasing rice productivity through Integrated Crop Management (ICM) technology applicationwas held in
the Jati Baru Village, Bunga Raya District, Siak Regency, Riau Province, on dry season 2011. This study was aimed to determine the ICM technology in order to increase rice productivity in Siak Regency. This study was conducted on farmer's field around 5 hectares that have five farmer cooperators people which located in one area. Data were analyzed with t-test between ICM technology and farmers technology. The result showed that the rice production, which is managed by ICM technology was 6.73 t/ha dry grain harvest (DGH) significantly different from farmers technology was 5.78 t/ha DGH. Keywords : Integrated Crop Management (ICM), new varieties of lowland rice, increased productivity, and Siak
Regency
| 2
PENDAHULUAN
Provinsi Riau termasuk wilayah yang belum
mampu memenuhi kebutuhan beras dari daerahnya
sendiri, sebagian besar 44,10 ton (55,12 %)
kebutuhan beras didatangkan dari daerah lain. Potensi
lahan untuk pertanaman padi cukup luas yakni seluas
97.796 ha padi sawah dan 20.722 ha padi gogo (BPS
Riau, 2014).
Jika dibandingkan dengan daerah lain,
produktivitas padi sawah di Riau masih rendah. Hal ini
disebabkan kondisi tanah yang kurang subur dan
teknologi budidaya yang diterapkan petani masih
sederhana. Sebagian besar petani masih
menggunakan varietas lokal. Pengelolaan tanaman,
seperti pemupukan, pengairan, pengendalian OPT
(hama, penyakit dan gulma) belum sesuai dengan
kebutuhan tanaman.
Salah satu upaya dalam meningkatkan
produktivitas padi adalah melalui perbaikan teknologi
dengan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu
(PTT). Upaya perbaikan teknologi relevan diterapkan
di Provinsi Riau berkaitan dengan tingkat penerapan
teknologi anjuran oleh petani masih rendah. Oleh
karena itu, perbaikan teknologi merupakan salah satu
upaya yang cukup strategis dalam Program P2BN di
Provinsi Riau.
Secara kelembagaan program tersebut antara
lain direalisasikan melalui pelaksanaan Sekolah Lapang
Tanaman Terpadu/SL-PTT padi dengan sasaran
meningkatnya kualitas teknik budidaya padi yang
dilakukan petani, meningkatnya intensitas tanam dan
produktivitas padi (Departemen Pertanian, 2010).
Sekolah Lapangan Tanaman Terpadu (SL-PTT)
merupakan suatu pendidikan non formal bagi petani
untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan
dalam mengenali potensi, menyusun rencana
usahatani, mengatasi permasalahan, mengambil
keputusan dan menerapkan teknologi yang sesuai
dengan kondisi sumberdaya setempat secara sinergis
dan berwawasan lingkungan, sehingga usahataninya
menjadi efisien, berproduktivitas tinggi dan
berkelanjutan (Kementerian Pertanian, 2010).
Salah satu upaya mengatasi kondisi tersebut
dapat ditempuh melalui pendekatan pengelolaan
tanaman (padi) terpadu (PTT) yang merupakan bentuk
sinergisme antar komponen intensifikasi budidaya padi
termasuk efisiensi pemupukan (Rachman dan Saryoko,
2008).
Optimasi produktivitas padi di lahan sawah
merupakan salah satu peluang peningkatan produksi
gabah nasional. Hal ini sangat dimungkinkan bila
dikaitkan dengan hasil padi pada agroekosistem ini
masih beragam antar lokasi dan belum optimal. Rata-
rata hasil 5,67 t/ha (BPS Kabupaten Siak 2016),
sedangkan pada hasil penelitian produksi padi sawah
dapat mencapai 6-7 t/ha (Zaini, dkk. 2004). Belum
optimalnya produktivitas padi di lahan sawah, antara
lain disebabkan oleh; a) rendahnya efisiensi
pemupukan; b) belum efektifnya pengendalian hama
penyakit; c) penggunaan benih kurang bermutu dan
varietas yang dipilih kurang adaptif; d) kahat hara K
dan unsur mikro; e) sifat fisik tanah tidak optimal; f)
pengendalian gulma kurang optimal (Makarim et al.
2000).
Kabupaten Siak merupakan salah satu sentra
produksi padi di Provinsi Riau yang dihadapkan pada
permasalahan yang sama. Pengelolaan Tanaman
Terpadu (PTT) merupakan terobosan yang
mengsinergikan berbagai teknologi untuk
meningkatkan produksi dan meningkatkan efisiensi
input produksi yang pada akhirnya dapat
meningkatkan pendapatan petani.
Model PTT terdiri dari beberapa komponen
teknologi budidaya yang sinergis, yang dapat
diterapkan sesui kondisi agroekosistem, antara lain
adalah; (a) perlakuan benih; (b) pemilihan varietas;
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 1-5
| 3
(c) penanaman tunggal bibit muda; (c) jarak tanam
lebih rapat/jajar legowo 4:1 dan 2:1; (d) sistem
pengairan; (e) penggunaan bahan organik;
(f) penggunaan bagan warna daun dan uji tanah
dalam pemupukan; (g) pengendalian gulma dengan
gosrok. Implementasi model ini dilaporkan dapat
meningkatkan hasil padi dari sekitar 5,6 menjadi 7,3-
9,6 t/ha, dan pendapatan petani meningkat dari
Rp. 1,6 juta menjadi Rp. 4,1 juta/ha (Puslitbangtan,
2000). Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui
peningkatan produktivitas padi sawah melalui
penerapan pengelolaan tanaman dan sumberdaya
terpadu (PTT) di Kabupaten Siak.
METODE PENELITIAN
Kajian Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)
padi dilaksanakan di Desa Jati Baru, Kecamatan Bunga
Raya, Kabupaten Siak, Provinsi Riau, pada MK 2011.
Kajian dilaksanakan di lahan petani kooperator seluas
5 hektar berada dalam satu hamparan. Komponen
teknologi alternatif dalam pendekatan PTT adalah
sebagai berikut (Tabel 1).
Tabel 1. Teknologi yang diintroduksikan pada
Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi sawah irigasi di Kabupaten Siak, MK. 2011
Uraian Teknologi PTT Cara Petani
Varietas VUB Inpari 3 Varietas Ciherang
Mutu dan
kebutuhan benih
Benih direndam dalam larutan
air garam, dosis 5 g/l air jumlah 15 kg/ha
Benih tidak
direndam dalam larutan garam,
jumlah 25 kg/ha
Penyiapan lahan
Olah tanah sempurna (dibajak 2 kali, digaru 1 kali )
Olah tanah sempurna (dibajak 2 kali, digaru 1 kali)
Sistem tanam
Tanam pindah (tapin) Legowo 4 : 1, dengan Jarak tanam (40 cm x 20 cm x 10 cm)
Tegel 25 X 25 cm
Umur bibit 15-18 hari 21-25 hari
Jumlah bibit/
lubang
2 batang perlubang 3-5 batang
perlubang
Penyulaman 10-15 hst 15 hst Pemupukan Berdasar BWD untuk N dan
analisa tanah untuk P dan K.
Urea 100 kg; SP-36 100 kg; KCl 100 kg/ha
Urea 50 kg; SP-36 100 kg
Pengendalian
hama/ penyakit
Sesuai PHT Setiap ditemukan
hama disemprot
Penanganan panen dan
pasca panen
Menggunakan sabit gerigi dan perontok power threser
Menggunakan sabit biasa dan perontok
power threser
Pada pendekatan PTT bibit dipindahkan ke
sawah setelah berumur 15-18 hss (hari setelah semai)
atau telah mempunyai 4 lembar daun. Sistem tanam
yang diterapkan adalah jajar legowo 4:1 (40 cm x 20
cm x 10 cm), dimana setiap empat baris tanaman
dikosongkan satu baris, jarak antar baris 20 cm dan
jarak dalam barisan 10 cm. Jumlah bibit satu sampai
dua batang/lubang.
Pupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL
dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg
KCl/ha. Pupuk dasar urea diberikan sebanyak 75 kg/ha
tujuh hari setelah tanam (7 hst), sisanya diberikan
pada umur 21 hst. Pupuk TSP diberikan pada umur 7
hst. Pupuk KCl sebanyak 50 kg/ha sebagai pupuk
dasar dan sisanya diberikan pada umur 21 hst
bersama pupuk urea. Penyiangan dilakukan dengan
alat sederhana (gosrok). Keuntungan penyiangan
dengan gosrok atau landak, antara lain; ramah
lingkungan karena tidak menggunakan bahan kimia,
lebih ekonomis dan hemat tenaga kerja dibandingkan
dengan penyiangan biasa menggunakan tangan,
meningkatkan udara (aerasi) di dalam tanah dan
merangsang pertumbuhan akar padi lebih baik.
Penyiangan dilakukan bersamaan dengan pemupukan
atau segera setelah pemupukan sekaligus akan
membenamkan pupuk ke dalam tanah, sehingga
pemberian pupuk menjadi lebih efektif dan efisien.
Pemanenan dilakukan saat 90% gabah telah
menguning, kadar air gabah (12-14%).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil sidik ragam diketahui penerapan
teknologi PTT tidak berpengaruh nyata terhadap
peubah tinggi tanaman, jumlah anakan produktif,
panjang malai, persentase gabah bernas dan
persentase gabah hampa dibanding cara petani, tetapi
berpengaruh nyata terhadap peubah hasil padi. Hasil
padi pada PTT diperoleh sebanyak 6,37 t/ha GKP lebih
tinggi dibanding dengan cara petani sebanyak 5,68
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 1-5
| 4
t/ha GKP. Hal ini diduga pada teknologi PTT teknologi
yang diterapkan sesuai dengan kondisi pertumbuhan
pertanaman dan kebutuhan pupuk yang diberikan
secara berimbang sesuai dengan kebutuhan tanaman.
Pada cara petani pupuk yang diberikan jumlahnya
tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman atau tidak
berimbang, bahkan tidak memberi pupuk KCl,
sehingga hasil yang diperoleh tidak maksimal atau
lebih rendah dari hasil teknologi PTT.
Penggunaan Bagan Warna Daun (BWD) pada
teknologi PTT adalah sebagai indikator atau petunjuk
pemberian unsur N, baik dalam jumlah dan waktu
pemberiannya sehingga menjadi lebih efisien dan lebih
efektif. N merupakan unsur hara esensial dalam
metabolisme tanaman untuk pembentukan asam
amino dan asam nukleat yang merupakan bahan dasar
penyusun protoplasma dalam sel tanaman. Bila unsur
hara N dalam keadaan kurang maka pembentukan
klorofil terganggu sehingga proses fotosintesis
terganggu dan akan menurunkan pembentukan
protein, bahkan dalam tanaman akan terjadi hidrolisis
protein untuk menyusun pertumbuhannya. Pemupukan
unsur P dan K sangat diperlukan oleh tanaman,
terutama untuk memacu proses fotosintesis, sehingga
pertumbuhan bulir lebih banyak dan lebih berisi.
Tabel. 2. Rerata data agronomi tanaman padi sawah.
Siak. MK. 2011
Uraian Teknologi PTT
Cara Petani
Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan produktif (batang) Panjang malai (cm) Jumlah gabah permalai (butir) Persentase gabah bernas (%) Persentase gabah hampa (%) Hasil GKP (t/ha)
104,50 a 14,06 a 24,95 a 140,26 a 83,41 a 16,63 a 6,73 a
106,35 a 13,92 a 25,64 a 146,50 a 79,30 a 20,69 a 5,68 b
Keterangan : Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh
huruf yang sama tidak berbeda pada taraf 5 %
DMRT.
Sistem tanam jajar legowo 4 : 1, bibit muda
< 21 hari setelah semai dan tanam 1-3 batang
perlubang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan
anakan produktif. Hal ini dapat dijelaskan bahwa
penerapan sistem jajar legowo akan merekayasa
kondisi pertanaman di lapangan sehingga kompetensi
untuk memperoleh cahaya matahari dan serapan
unsur hara lebih optimal, sehingga proses fotosintesa
berjalan lebih sempurna. Budidaya dengan bibit muda
berumur 15-18 hari setelah semai dan tanam 1-2
batang perlubang, pertumbuhan tanaman akan lebih
sehat karena tidak mengalami stagnasi dan lebih cepat
beradaptasi dengan lingkungan, sehingga tunas daun
juga cepat berkembang dan proses fotosintesis lebih
sempurna dan akhirnya berpengaruh positif terhadap
pertumbuhan anakan dan hasil padi (Supriadi dan
Malian, 1993 dalam Nazar, 2011).
KESIMPULAN
1. Padi yang dibudidayakan dengan teknologi PTT
memberi hasil sebanyak 6,73 t/ha GKP lebih
banyak dibanding dengan cara petani sebanyak
5,68 t/ha GKP.
2. Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) meningkatkan
produktivitas tanaman sebesar 15,60 % dibanding
dengan cara petani .
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2014. Riau Dalam Angka, Kerjasama Bappeda
Provinsi Riau dan Badan Pusat Statistik Provinsi Riau.
Direktorat Perbenihan. 2009. Persyaratan dan Tata Cara Sertifikasi Benih Bina Tanaman Pangan. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan.
Kementerian Pertanian. 2010. Pedoman Pelaksanaan Sekolah Lapangan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, Kedelai, dan Kacang Tanah Tahun 2010. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian. 123 halaman.
Las, I, B. Suprihatno, A. A. Daradjad, Suwarno, B. Abdullah dan Satoto. Inovasi Teknologi Varietas Unggul Padi: Perkembangan, Arah, dan Strategi ke Depan.
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 1-5
| 5
Lesmana, O. S., H. M. Toha, Irsal Las, B. Suprihatno. 2004. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi. Balai Penelitian dan Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Makarim, A.K., U.S. Nugraha, dan U.G. Kartasasmita. 2000. Teknologi Produksi Padi Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Nazar, A. 2011. Pengkajian Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah di Lokasi Prima Tani, Way Kanan. Lampung. Prosiding Seminar Nasional Tanaman Pangan. Puslitbangtan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Puslitbangtan. 2000. Inovasi Teknologi Tanaman Pangan dalam Memantapkan Ketahanan Pangan dan Mengembangkan Agribisnis. Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian. Bogor.
Rachman, B dan A. Saryoko. 2008. Analisis titik impas dan laba usahatani melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu di Kabupaten Lebak-Banten. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 11 (1): 54-60.
Suprihatno, B., A. A. Daradjat, Satoto, Baehaki, S. E, I. N. Widiarta, Agus Setyono, S. Dewi Indrasari, Ooy S. Lesmana, H. Sembiring. 2007. Deskripsi Varietas Padi. Badan Litbang Pertanian, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Jln. Raya IX, Sukamandi, Subang 41256, Jawa Barat
Zaini, Z., Diah, WS. Dan M. Syam. 2004. Petunjuk Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi sawah. Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Balai Penelitian Padi dan International Rice Research Institute.
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 1-5
| 6
PERSEPSI PETANI TERHADAP TEKNOLOGI BUDIDAYA BAWANG MERAH PADA LAHAN KERING DI KECAMATAN TAPUNG, KAMPAR, PROVINSI RIAU
Dian Pratama dan Sri Swastika 1)
1) Penyuluh Pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau
ABSTRAK
Provinsi Riau saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan bawang merah yaitu sebesar 14.500 ton pertahun dan masih mengandalkan pasokan dari luar Provinsi Riau karena produksi hanya 140 ton atau hanya 0,96% dari kebutuhan bawang merah. Untuk mengatasi kelangkaan maka pemerintah Kabupaten Kampar menggalakkan program pengembangan bawang merah dengan mengoptimalkan potensi kesesuaian sumberdaya alam, ketersediaan lahan dan tenaga kerja untuk mendukung Kabupaten Kampar sebagai sentra bawang merah di Sumatera. Sehubungan dengan itu dilakukan penelitian yang bertujuan mengetahui persepsi petani terhadap teknologi budidaya bawang merah pada lahan kering dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis, lokasi bertempat di Desa Gading Sari, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar pada bulan Oktober tahun 2015. Pengambilan sampel secara purposive random sampling sebanyak 32 petani sebagai responden. Hasil analisis persepsi menunjukkan bahwa 18 responden (56,25%) petani memiliki persepsi yang baik dan 14 responden (43,75%) memiliki persepsi yang kurang baik terhadap teknologi budidaya bawang merah pada lahan kering. Aspek keuntungan relatif, teknologi budidaya bawang merah ini menguntungkan dan meningkatkan penghasilan petani. Teknologi mudah diaplikasikan, dapat dicoba pada skala kecil, hasilnya dapat diamati dalam waktu singkat dan tidak bertentangan dengan kebiasaan petani setempat. Dari hasil analisis regresi berganda, secara agregat diketahui pengetahuan petani tentang teknologi budidaya bawang merah mempengaruhi sebesar 83,7% terhadap persepsi petani.
Kata Kunci : Persepsi, teknologi budidaya, bawang merah
ABSTRACT
Currently, Riau Province is not able to provide shallot for domestic need which is about 14,500 tons per year and still relies on supplies from other areas. It is because of the production only 140 tons or 0.96% from the needs of shallots. To overcome this, Kampar Regency government launched a program to develop the shallot cultivation by optimizing thepotential of natural resources, availability of land and workers to support Kampar Regency as the shallots center in Sumatra. Therefore, the research was conducted to determine the farmer’s perception of shallot cultivation technology on dry land and the factors that influence this perception. This research was used descriptive analytical method in Gading Sari Village, Tapung District, Kampar Regency in October 2015. The samples were collected through purposive random sampling using 32 farmers as respondent. The result of perception analysis showed that 18 respondents (56.25%) had a good perception and 14 respondents (43.75%) had a poor perception of shallot cultivation technology on dry land. From the relative advantage aspect, shallot cultivation technology is profitable and increase farmers' incomes. Technology is easy to apply, can be tried out on a small-scale, the results can be observed in a short time and does not discord with the custom of local farmers. From the multiple linear regression analysis results known that knowledge of farmers on farming technology affecting 83,7% the shallot farmersperception.
Keywords : Perception, cultivation technology, shallot
| 7
PENDAHULUAN
Bawang merah merupakan komoditas
hortikultura yang diperlukan dalam kehidupan sehari-
hari. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk,
maka kebutuhan bawang merah juga meningkat. Pada
tahun 2015 penduduk Indonesia diperkirakan mencapai
257.387.897 jiwa. Kementerian Pertanian
mengestimasikan kebutuhan konsumsi bawang merah
mencapai 952.335 ton. Dengan memperhitungkan
kebutuhan untuk bibit, industri, dan ekspor, maka total
kebutuhan bawang merah akan mencapai 1.195.235
ton. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat 50%
menjadi 1.541.737 ton pada tahun 2025 (Ditjen BP
Hortikultura, 2005). Menurut Wibowo (2009), dari data
tersebut tentunya ada peluang agribisnis bawang
merah, tidak hanya untuk produksi dalam negeri, tetapi
sekaligus menarik bagi peluang impornya.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik dan
Direktorat Jenderal Hortikultura (2015) diketahui di
Provinsi Riau luas panen bawang merah seluas 41
hektar dan produksi bawang merah sebesar 140 ton,
dengan jumlah kebutuhan bawang merah mencapai
14.000 ton/tahun dapat diketahui bahwa sampai saat
ini Provinsi Riau belum mampu memenuhi kebutuhan
konsumen akan bawang merah. Selama ini untuk
memenuhi kebutuhan konsumen terhadap bawang
merah selalu didatangkan dari luar Riau seperti Pulau
Jawa, Sumatera Barat dan Sumatera Utara.
Bawang merah merupakan komoditas
hortikultura yang baru dibudidayakan oleh petani di
Kabupaten Kampar sehingga pengetahuan petani
terhadap teknologi budidaya bawang merah masih
terbatas. Untuk itu diperlukan introduksi inovasi
teknologi budidaya bawang merah melalui
pendampingan di lahan petani. Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian (BPTP) Riau telah melakukan
introduksi inovasi teknologi budidaya bawang merah
sejak tahun 2014. Teknologi budidaya bawang merah di
lahan sawah dilaksanakan di Desa Sungai Geringging,
Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar. Untuk
lahan kering, introduksi teknologi budidaya bawang
merah dilakukan di Desa Gading Sari, Kecamatan
Tapung, Kabupaten Kampar. Introduksi inovasi
teknologi tersebut diharapkan dapat diadopsi oleh
petani sehingga meningkatkan produktivitas bawang
merah di Kabupaten Kampar.
Untuk mengadopsi teknologi yang diintroduksi,
persepsi petani terhadap budidaya bawang merah
sangat penting. Persepsi adalah suatu bagian dari
interaksi sosial yang menjelaskan mengapa dan
bagaimana dapat terjadi keseragaman dalam
pandangan dan tingkah laku diantara orang banyak
(Gerungan, 2009). Cara pandang petani dipengaruhi
oleh persepsi petani mengenai teknologi budidaya
bawang merah. Persepsi yang baik akan menentukan
keputusan petani untuk mengadopsi teknologi budidaya
bawang merah.
Menurut Rogers (1983) adopsi adalah proses
mental dalam mengambil keputusan untuk menerima
atau menolak suatu inovasi. Adopsi juga didefinisikan
sebagai proses mental seseorang dari mendengar,
mengetahui inovasi sampai akhirnya mengadopsi.
Menurut Mardikanto (2009) adopsi dalam penyuluhan
pertanian dapat diartikan sebagai proses perubahan
perilaku baik yang berupa pengetahuan, sikap, maupun
keterampilan pada diri seseorang setelah menerima
inovasi yang disampaikan penyuluh kepada sasarannya.
Penerimaan disini mengandung arti tidak sekedar
“tahu” tetapi benar-benar dapat dilaksanakan atau
diterapkan dengan benar serta menghayatinya.
Penerimaan inovasi tersebut, biasanya dapat diamati
secara langsung maupun tidak langsung oleh orang lain
sebagai cerminan dari perubahan sikap, pengetahuan
dan keterampilannya.
Karakteristik petani yang dianggap penting untuk
diketahui yaitu umur, tingkat pendidikan, pangalaman
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 6-12
| 8
usahatani, status kepemilikan lahan, luas lahan, dan
pola tanam. Karakteristik dari masing-masing petani
berbeda-beda, sehingga hal ini dapat mempengaruhi
keragaan usahatani dari aspek teknik budidaya. Tingkat
pendidikan petani responden baik yang menggunakan
benih lokal maupun impor masih didominasi oleh
pendidikan sekolah dasar. Hal ini berarti bahwa
sebagian besar petani responden memiliki tingkat
pendidikan formal yang masih rendah. Hal ini tentunya
akan berpengaruh pada tingkat keberanian mengambil
keputusan dan risiko dalam pengelolaan usahatani
bawang merah (Theresia et al, 2016).
Fliegel, et al. (1971) mengungkapkan ada lima
faktor yang mempengaruhi sikap petani dalam
mengadopsi perubahan teknologi, yakni: (1)
keuntungan nilai tambah relatif bila teknologi itu
diadopsi, (2) kecocokan teknologi dengan sosial budaya
setempat, (3) hasil pengamatan petani terhadap petani
lain yang sedang atau telah mencoba teknologi itu
sebagai dasar peletakan kepercayaan, (4) kemampuan
mencoba sendiri akan keberhasilan teknologi baru, dan
(5) kondisi ekonomi yang ada seperti ketersediaan
modal.
METODE PENELITIAN
Lokasi penelitian di Desa Gading Sari, Kecamatan
Tapung, Kabupaten Kampar pada bulan Oktober tahun
2015. Penetapan lokasi berdasarkan pertimbangan
bahwa daerah ini merupakan salah satu daerah
pendampingan komoditas hortikultura bawang merah
BPTP Riau. Pengumpulan data dilakukan dengan
survey, wawancara dan menggunakan kuesioner
(daftar pertanyaan). Pengambilan sampel secara
purposive random sampling sebanyak 32 petani sebagai
responden.
Pengumpulan data meliputi data primer dan
sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara
langsung dengan responden sedangkan data sekunder
diperoleh dari institusi terkait serta literatur sebagai
bahan referensi. Jenis data yang dikumpulkan meliputi
jenis kelamin, umur petani, status lahan, pendidikan,
luas lahan, pekerjaan, pengetahuan petani tentang
teknologi inovasi budidaya bawang merah pada lahan
kering. Penelitian ini menggunakan metode deskripsi
analisis. Untuk analisis data faktor-faktor yang
mempengaruhi persepsi petani terhadap teknologi
budidaya bawang merah menggunakan analisis regresi
berganda dengan persamaan berikut:
Y = a + bi.Xi + b2.X2 + b3.X3 + b4.X4 + b5.X5 + b6.X6 + b7.X7 + s
Keterangan :
Y = persepsi petani
Xi = jenis kelamin
x2 = umur petani
x3 = status lahan
x4 = pendidikan formal
x5 = luas lahan petani
x6 = pekerjaan
x7 = pengetahuan petani
a = konstanta
bi- b7 = koefisien regresi
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik petani
Tabel 1. Karakteristik Petani di Desa Gading Sari, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar
Karakteristik Frekuensi Persentase
(%)
Jenis kelamin
Laki – laki 29 90,62
Perempuan 3 9,38
Umur
0 – 14 0 0
15 – 64 31 96,87
≥ 65 1 3,13
Pendidikan formal
SD 9 28,13
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 6-12
| 9
SMP 10 31,25
SMA 6 18,75
S1 7 21,87
Luas lahan
Sempit ( < 0,5 hektar) 7 21,87
Sedang ( ≥ 0,5 - 2 hektar) 16 50,00
Luas ( >2 hektar) 9 28,13
Satus lahan
Milik sendiri 19 59,38
Sewa 1 3,12
Penggarap 6 18,75
Hak Guna Pakai 6 18,75
Petani di Desa Gading Sari, Kecamatan Tapung,
Kabupaten Kampar sebagian besar berjenis kelamin
laki-laki dan merupakan tenaga kerja produktif yaitu
berusia antara 15-64 tahun. menurut Junaidi (2007)
dikatakan bahwa proses adopsi suatu inovasi pada
kelompok umur produktif (25-55 tahun) akan berjalan
cukup baik dibanding kelompok usia yang lebih muda
atau lebih tua. Hal ini dikarenakan; pada kelompok usia
muda nilai tanggung jawab masih rendah terhadap
beban hidup sedangkan pada kelompok umur yang
lebih tua telah terjadi pembakuan model atau pola
hidup yang kaku sebagai hasil dari suatu endapan
pengalaman yang dijadikan patokan hidup.
Dari segi pendidikan, sekitar 50 % responden
berpendidikan formal tingkat menengah (SMP dan
SMA). Menurut Junaidi (2007), tingkat pendidikan ini
termasuk kategori sedang (7-12 tahun). Tingkat
pendidikan formal sangat penting bagi petani, karena
akan membantu petani untuk lebih mudah dalam
memahami informasi teknologi, menerapkan teknologi
dan memudahkan petani dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang dihadapi.
Sekitar 50% petani memiliki luas lahan garapan
kategori sedang, dengan kisaran luas antara 0,5 ha-1,5
ha. Luas lahan garapan berpengaruh pada transfer
penerapan teknologi. Pengetahuan dan keterampilan
yang diperoleh petani dari berbagai sumber informasi
teknologi dapat diterapkan oleh petani di lahanya.
Semakin luas lahan petani akan memudahkan petani
dalam menerapkan teknologi terkait dengan jumlah
produksi yang dihasilkan, biaya produksi dan
pendapatan petani dari hasil usahataninya tanpa
khawatir akan resiko kegagalan. Selain itu dari segi
aspek status lahan, sekitar 59,38% merupakan lahan
milik sendiri. Hal ini memudahkan petani dalam
menerapkan teknologi yang diintroduksikan, karena
tidak ada tambahan biaya produksi berupa sewa lahan
dan biaya bagi hasil.
Persepsi Petani Terhadap Teknologi Budidaya Bawang Merah Pada Lahan Kering di Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau
Persepsi petani terhadap teknologi budidaya
bawang merah pada lahan kering di Kabupaten Kampar
disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Kategori persepsi petani terhadap teknologi
budidaya bawang merah di lahan kering No. Persepsi
Petani Jumlah ( Jiwa)
Persentase (%)
Kisaran Skor
Skor Median
1. Baik 18 56,25 53 - 65 52,59
2. Kurang
baik
14 43,75 39 - 50 52,59
Jumlah 30 100
Persepsi petani dibedakan dalam 2 kategori yaitu
persepsi baik (jika total skor > skor median) dan
persepsi kurang baik (jika total skor < skor median).
Dari tabel diatas diketahui bahwa skor median 52,59.
Sebanyak 18 responden (56,25%) memiliki persepsi
yang baik terhadap teknologi budidaya bawang merah
di lahan kering sedangkan sebanyak 14 responden
(43,75%) menyatakan persepsi yang kurang baik.
Petani yang memiliki persepsi baik (56,25%)
menyatakan bahwa budidaya bawang merah pada
lahan kering ini mudah untuk dibudidayakan, hasil
panen bawang merah mudah dipasarkan, jenis bawang
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 6-12
| 10
merah sesuai dengan permintaan pasar dan harga jual
menguntungkan bagi petani. Selain itu dari segi sosial
menanam bawang merah ini sama dengan budaya dan
tidak bertentangan dengan kebiasaan petani setempat.
Persepsi Petani Terhadap Keuntungan Relatif
Keuntungan relatif suatu inovasi/teknologi
menentukan di dalam pengambilan keputusan
pengguna untuk mengadopsi atau menolak
inovasi/teknologi tersebut. Persepsi petani terhadap
keuntungan relatif dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Persepsi petani terhadap keuntungan relatif
No. Aspek persepsi Interval Skor
Skor yang
dicapai
Tingkat Persepsi
(%)
Kategori Persepsi
1 Ketersediaan sarana produksi (benih, pupuk, pestisida)
0 - 5 3,16 63,10 Kurang baik
2 Produktivitas bawang merah
0 - 5 4,31 86,30 Baik
3 Keuntungan yang diperoleh petani dengan menanam bawang merah
0 - 5 4,04 80,60 Baik
4 Menanam bawang merah dapat meningkatkan pendapatan petani
0 - 5 4,34 86,90 Baik
5 Menanam bawang merah memiliki resiko kegagalan yang kecil
0 - 5 3,41 68,10 Baik
6 Bawang merah sesuai/cocok ditanam di lahan petani (sesuai agroekosistem)
0 - 5 3,84 76,90 Baik
7 Harga jual bawang merah menguntungkan petani
0 - 5 4,00 80,00 Baik
8 Jenis bawang merah yang ditanam sesuai permintaan pasar
0 - 5 3,94 78,80 Baik
9 Hasil panen bawang merah mudah dipasarkan
0 - 5 3,63 72,50 Baik
Rata - Rata Skor 0 - 45 34,66 77,01 Baik
Dari aspek keuntungan relatif secara
keseluruhan petani memiliki persepsi yang baik
terhadap usaha tani bawang merah, hal ini disebabkan
bawang merah sesuai/cocok ditanam di lahan petani,
produktivitas bawang merah tinggi, resiko kegagalan
kecil, jenis bawang merah yang ditanam sesuai
permintaan pasar, hasil panen bawang merah mudah
dipasarkan, harga jual bawang merah menguntungkan
petani. Teknologi budidaya bawang merah yang
diintroduksikan memberikan keuntungan bagi petani
sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani. Dari
aspek ketersediaan sarana produksi, pupuk dan
pestisida tersedia di pasar, namun harga pupuk
nonsubsidi dan pestisida dinilai mahal oleh petani.
Dalam hal ketersediaan benih bawang merah, petani
masih kesulitan dalam memperoleh benih. Untuk saat
ini benih bawang merah masih diperoleh dari pulau
jawa yang tentunya ada tambahan biaya ongkos kirim
ke pulau Sumatera.
Persepsi Petani Terhadap Kompleksitas, Triabilitas, Observabilitas dan Kompatibilitas Tabel 4. Persepsi Petani terhadap kompleksitas,
triabilitas, observabilitas, dan kompatibilitas No. Aspek persepsi Interval
Skor Rata- rata Skor yang
dicapai
Tingkat Persepsi
(%)
Kategori Skor
1 Bawang merah mudah ditanam
0 – 5 3,75 75,00 Baik
2 Bawang merah dapat dicoba pada lahan sempit
0 – 5 3,78 75,63 Baik
3 Petani dapat mengamati hasil produksi bawang merah relatif lebih cepat
0 – 5 3,59 71,88 Baik
4 Budidaya bawang merah sama dengan budaya setempat dan tidak bertentangan dengan kebiasaan petani
0 – 5 3,64 72,80 Baik
Dari Tabel 4 diketahui bahwa budidaya bawang
merah di lahan kering ini mudah dilakukan oleh petani.
Pengairan bawang merah di lahan kering ini dilakukan
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 5-11
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 6-12
| 11
dua kali sehari, yaitu pagi dan sore. Untuk pengairan
petani tidak kesulitan karena rata-rata petani memiliki
sumur bor sehingga tidak kesulitan dalam memperoleh
sumber air.
Pada aspek triabilitas yaitu suatu inovasi/
teknologi dapat diuji coba terutama pada skala yang
kecil, petani memberikan persepsi yang baik. Artinya
petani menilai bahwa budidaya bawang merah ini dapat
dicoba pada lahan sempit, hal ini didukung oleh luas
lahan garapan petani yang sebagian besar petani
memiliki luas lahan garapan yang sempit yaitu 0,25-0,5
ha.
Dari aspek observabilitas, yaitu hasil penerapan
suatu inovasi teknologi dapat diamati langsung oleh
pengguna inovasi/teknologi sendiri atau orang lain.
Terlihat bahwa budidaya bawang merah ini tidak
memerlukan waktu yang lama yaitu sekitar 60-90 hari.
Petani cenderung menyukai budidaya tanaman yang
tidak memerlukan waktu lama seperti budidaya bawang
merah ini sehingga lebih cepat diamati hasil
produksinya. Dari aspek kompatibilitas teknologi
diketahui bahwa menanam bawang merah di lahan
kering ini sama dengan budaya petani setempat dan
tidak bertentangan dengan kebiasaan petani setempat.
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Petani Tabel 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi
petani terhadap teknologi budidaya bawang merah
No. Variabel Koefisien Regresi
Nilai t Sign
1 JenisKelamin .038 .308 .761
2 Umur .081 .663 .514
3 Pendidikan .027 .160 .874
4 Pekerjaan -.153 -.874 .391
5 Luas Lahan -.055 -.432 .669
6 Status Lahan -.122 -.929 .362
7 Pengetahuan .800 6.738 .000**
R square .833
Adjusted R square .694
F hitung 7.792
Sumber : Olahan Data Primer 2015
Hasil analisis regresi menunjukan bahwa nilai
Adjusted R square sebesar 0,833. Artinya 83,3 persen
variabel persepsi petani terhadap teknologi budidaya
bawang merah pada lahan kering di Kabupaten Kampar
dapat dijelaskan oleh satu variabel independennya yaitu
pengetahuan petani terhadap teknologi budidaya
bawang merah. Sedangkan 16,7 persen sisanya dapat
dijelaskan oleh faktor-faktor dari luar model (Priyatno,
2012). Untuk factor-faktor lain seperti jenis kelamin, umur
petani, status lahan, pendidikan, luas lahan, pekerjaan
tidak berpengaruh nyata terhadap persepsi petani.
Pengetahuan petani tentang teknologi budidaya
bawang merah berpengaruh nyata terhadap persepsi
petani (sign 0,00). Semakin tinggi pengetahuan petani
tentang teknologi budidaya bawang merah, maka
persepsi petani terhadap teknologi budidaya bawang
merah akan semakin baik. Tingkat pendidikan berkaitan
dengan tingkat pengetahuan petani. Tingkat pendidikan
akan memudahkan petani memahami informasi
teknologi, menerapkan teknologi dan menyelesaikan
masalah-masalah yang dihadapi, namun tidak
mempengaruhi persepsi petani dikarenakan tingkat
pendidikan dalam hal ini adalah tingkat pendidikan
formal, sehingga persepsi petani dapat dipengaruhi
oleh faktor lain di luar model seperti pengalaman petani
dalam budidaya bawang merah.
Tabel 6. Unsur-unsur pengetahuan petani terhadap teknologi budidaya bawang merah pada lahan kering
No. Unsur-unsur
teknologi budidaya bawang merah
Interval skor
Rata-rata skor yang dicapai
Tingkat pengetahuan
(%)
1 Langkah- langkah persiapan lahan
0 - 5 3,88 77,50
2 Langkah- langkah pembuatan bedengan
0 - 5 4,00 80,00
3 Pengaturan jarak tanam
0 - 5 4,03 80,63
4 Kebutuhan pupuk dasar
0 - 5 3,91 78,13
5 Persiapan pembenihan 0 - 5 3,78 75,63 6 Penanaman benih 0 - 5 3,97 79,38 7 Penyiangan gulma 0 - 5 3,94 78,75 8 Penyiraman/pengairan 0 - 5 4,03 80,63
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 6-12
| 12
9 Cara pemupukan 0 - 5 3,88 77,50 10 Cara penanganan
hama dan penyakit 0 - 5 3,63 72,50
11 Pemanenan 0 - 5 4,22 84,38 12 Penanganan pasca
panen 0 - 5 4,00 80,00
Rata-rata Skor 0 - 60 3,94 78,75
Dari Tabel 6 diketahui, bahwa rata-rata tingkat
pengetahuan petani 78,75% termasuk kategori tinggi.
Secara umum petani telah mengetahui teknologi
budidaya bawang merah pada lahan kering. Petani
telah mengetahui teknologi budidaya bawang merah
mulai dari persiapan lahan hingga penanganan pasca
panen. Namun pengetahuan yang tinggi tidak akan
memperoleh hasil optimal tanpa penerapan yang tepat.
Tingkat pengetahuan petani pada unsur cara
penanganan hama dan penyakit sebesar 72,50%
termasuk kategori tinggi, namun petani belum
memahami waktu dan cara penerapan yang tepat
dalam mengendalikan hama dan penyakit sehingga
akan menimbulkan resiko kegagalan dalam budidaya
bawang merah. Untuk kedepan saat penyuluhan/
pendampingan teknologi budidaya bawang merah
kepada petani, materi tentang cara penanganan hama
dan penyakit menjadi prioritas utama, disamping materi
persiapan pembenihan, langkah persiapan lahan, cara
pemupukan, kebutuhan pupuk dasar, penyiangan
gulma dan penanaman benih.
KESIMPULAN
1. Sebanyak 18 responden (56,25%) petani memiliki
persepsi yang baik dan 14 responden (43,75%)
memiliki persepsi yang kurang baik terhadap
teknologi budidaya bawang merah di lahan kering.
2. Secara agregat, faktor pengetahuan petani tentang
budidaya bawang merah mempengaruhi sebesar
83,7% terhadap persepsi petani. Semakin tinggi
pengetahuan petani tentang teknologi budidaya
bawang merah, maka semakin tinggi keputusan
petani untuk mengadopsi teknologi budidaya
bawang merah.
DAFTAR PUSTAKA
Ditjen BP Hortikultura. 2005. Perkiraan Kebutuhan
Bawang Merah Indonesia Tahun 2010-2025. Fliegel, E.C, J.E. Kivlin and G.S. Sekhon. 1971. Message
Distortion and The Diffusion of Innovations in
Nothern India. Sociologica Ruralis Gerungan. 2009. Psikologi Sosial. Bandung (ID): Rafika
Aditama Junaidi. 2007. Pemahaman tentang Adopsi, Difusi dan
Inovasi (Teknologi) dalam Penyuluhan Pertanian Mardikanto, 2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. UNS
Press. Surakarta.
Priyatno, D. 2012. Belajar Cepat Olah Data Statistik dengan SPSS. C.V Andi Offset. Yogakarta.
Rogers, E. M. 1983. Diffusion of Innovation. 3rd edition. The Free Press, A Division of Macmillan Publishing C. Inc, New York.
Suliyanto. 2012. Analisis Statistik-Pendekatan Praktis dengan Microsoft Excel. C.V Andi Offset.
Yogakarta. Theresia, V. Fariyanti, A. Tinaprilla, N. 2016. Analisis
Persepsi Petani Terhadap Penggunaan Benih Bawang Merah Lokal dan Impor di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Jurnal Penyuluhan 12 (1) : 74 - 88
Wibowo, S. 2009. Budidaya Bawang. Penebar Swadaya. Depok.
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 6-12
| 13
KARAKTERISTIK PETANI DALAM MENGADOPSI TEKNOLOGI INTRODUKSI PADA PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) PADI SAWAH
DI KECAMATAN KAMPAR
Oni Ekalinda, Dian Pratama dan Yogo sumitro 1)
1) Penyuluh Pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau
ABSTRAK
Program Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah memiliki muatan teknologi inovasi yang
berorientasi untuk mempercepat peningkatan produksi dan produktivitas padi dalam cakupan yang lebih luas. Tingkat pengetahuan petani dan karakteristik teknologi introduksi merupakan faktor yang mempengaruhi kecepatan dalam mengadopsi suatu teknologi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh karakteristik petani dalam mengadopsi teknologi introduksi pada PTT padi. Penelitian ini dilakukan di Desa Ranah Baru dan Desa Ranah, Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar tahun 2015, menggunakan metode survey terhadap 30 orang responden. Analisis data menggunakan uji korelasi rank spearman (rs). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah tanggungan keluarga berkorelasi erat dengan adopsi teknologi, dengan derajat keeretan sebesar 0,602. Pendidikan berkorelasi erat dengan adopsi teknologi dengan derajat keeratan sebesar 0,550. Umur, jenis kelamin, keanggotaan dalam kelompok tani, penguasaan lahan dan status lahan garapan memiliki nilai korelasi yang lemah terhadap adopsi teknologi.
Kata Kunci: Karakteristik petani, adopsi teknologi, PTT Padi
ABSTRACT
Integrated Crop Management Program (ICM) of rice has a charge of innovativetechnology that aims to accelerate the increasing of rice productivity and production in a broader scope. The knowledge level of farmers and characteristics of introduction technologyare factors that affect the adopting technology. This study aimed to determine the effect of farmer’s characteristics to adopting the introduction technology in the ICM rice. This research was conducted in Ranah Baruvillage and Ranah village, Kampar District, Kampar Regency in 2015. This research was conducted in a survey method using 30 respondents. Data was analyzed using Spearman rank correlation test (Rs). The results showed that the number of dependents in the family closely correlated with the technology adoption, with a correlation degreein 0,602. Education was closely correlated with the technology adoption, with a degree correlation at 0,550. Age, gender, membership in farmer groups, tenure, and status of arable land has a weak correlation with the value of technology adoption. Keywords: Characteristics, farmers, technology adoption, ICM, rice.
| 14
PENDAHULUAN
Kebutuhan beras di Provinsi Riau cukup besar
setiap tahunnya. Berdasarkan data BPS Tahun 2014
Jumlah penduduk di Provinsi Riau sebanyak 6.188.442
orang, dengan kebutuhan beras pertahun sekitar
600.000 ton. Sementara itu produksi beras berdasarkan
basis data pada Website Kementerian Pertanian Tahun
2015 baru mencapai sebesar 393.917 ton GKG atau
setara dengan 295.437 ton beras. Artinya Provinsi Riau
masih kekurangan beras lebih dari 50% dari produksi
yang dihasilkan.
Di Provinsi Riau, dukungan untuk program
Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) selain
dilakukan melalui kegiatan Sekolah Lapang Pengelolaan
Tanaman Terpadu (SL-PTT) juga dilakukan secara
spesifik melalui Gerakan Operasi Riau Makmur (OPRM)
yang dilaksanakan mulai tahun 2009-2013. Gerakan
OPRM terdiri dari 3 kegiatan utama, yaitu peningkatan
indeks pertanaman, rehabilitasi sawah terlantar dan
perluasan areal pertanaman melalui kegiatan
pencetakan sawah baru. Kemunculan Gerakan OPRM
sebenarnya didasarkan pada kenyataan bahwa Provinsi
Riau kekurangan beras cukup besar setiap tahunnya.
Upaya peningkatan produksi beras di Provinsi
Riau belum berhasil. Data produksi padi tahun 2012
menunjukkan bahwa produksi padi baru mencapai
512.152 ton atau menurun 4,41% dibandingkan
dengan produksi padi tahun 2011 yang mencapai
535.788 ton (BPS, 2012). Penyebab utama penurunan
produksi padi di Provinsi Riau adalah penurunan luas
tanam dan rendahnya produktivitas (Distan Riau,
2012).
Program peningkatan produksi padi memiliki
muatan teknologi inovasi yang bertujuan untuk
mempercepat peningkatan produksi dan produktivitas
padi dalam cakupan yang lebih luas. Tingkat
pengetahuan petani dan karakteristik teknologi
introduksi merupakan faktor yang mempengaruhi
kecepatan dalam mengadopsi suatu teknologi. Menurut,
Fattah et all, 2000, kecepatan dan tingkat adopsi
teknologi oleh petani memerlukan partisipasi serta
ketersediaan dan kemampuan petani untuk menerima
teknologi yang dihasilkan, dilain pihak permasalahan
yang dihadapi petani didalam mengelola usahataninya
cukup komplek sehingga dapat menghambat suatu
proses adopsi teknologi.
Indraningsih (2011) menyatakan bahwa untuk
mengubah teknologi, petani memerlukan modal yang
lebih besar selain itu untuk mengubah kebiasaan
merupakan pekerjaan yang tidak ringan, apalagi jika
berisiko terlalu besar, hal ini terkait dengan masalah
sosoial budaya. Suriatna (2000) menyatakan bahwa
beberapa faktor yang mempengaruhi percepatan
proses adopsi teknologi ditingkat petani adalah; 1)
teknologi yang dikenalkan benar-benar membantu
pemecahan permasalahan petani; 2) sarana yang
diperlukan untuk implementasi teknologi tersebut
mudah didapat; 3) teknologi yang dikenalkan
mempunyai tingkat efisiensi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan teknologi sebelumnya; 4) produk
dari teknologi tersebut mempunyai prospek pasar yang
baik. Terkait dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan
kajian pengaruh karakteristik petani dalam mengadopsi
teknologi introduksi pada PTT padi.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di dua desa yaitu Desa
Ranah Baru dan Desa Ranah, Kecamatan Kampar,
Kabupaten Kampar. Penetapan lokasi berdasarkan
pertimbangan bahwa daerah ini merupakan salah satu
daerah sentra produksi padi di Kabupaten Kampar,
dimana petaninya telah menerapkan program
peningkatan produksi padi (PTT) padi sawah. Penelitian
dilakukan tahun 2015, menggunakan metode survey
dengan mewawancarai 30 orang petani sebagai
responden, menggunakan kuisioner terstruktur.
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 13-19
| 15
Penentuan responden dilakukan secara random
sampling terhadap 2 kelompok tani, yaitu kelompok tani
Pulai Tarandam dan kelompok tani Pulau Singkawang.
Pengumpulan data meliputi data primer dan sekunder.
Data primer diperoleh melalui wawancara langsung
dengan responden sedangkan data sekunder diperoleh
dari institusi terkait serta literatur sebagai bahan
referensi. Data primer yang dikumpulkan meliputi;
identitas responden (umur, pendidikan, pengalaman
berusahatani, tanggungan keluarga dan luas lahan
garapan), pengetahuan petani tentang teknologi
introduksi dan karakteristik teknologi inovasi. Untuk
melihat hubungan karakteristik petani dalam
mengadopsi teknologi introduksi didekati dengan uji
korelasi rank spearman (rs) dari Siegel (1997).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Daerah Penelitian
Kecamatan Kampar merupakan salah satu sentra
produksi padi di Kabupaten Kampar dengan luas sawah
sekitar 300 ha. Luas penanaman padi rata-rata per
tahun adalah 350 ha (BPP Kampar, 2015). Frekuensi
tanam pada umumnya satu kali setahun (Oktober-
Maret), namun di Desa Ranah Baru, pertanaman padi
telah dilakukan dua kali setahun (April-September dan
Oktober-Maret). Produktivitas padi rata-rata 3,4 t/ha.
Masih rendahnya produktivitas padi di Kecamtan
Kampar disebabkan oleh penerapan paket teknologi
inovasi yang diintroduksikan belum sepenuhnya
diterapkan oleh petani. Untuk pertanaman rata-rata
satu kali setahun, pemanfaatan lahan belum maksimal
(banyak lahan bera) digunakan sebagai lahan
pengembalaan kerbau dan sapi, yang merupakan
kebiasaan masyarakat.
Karakteristik Petani
Umur
Ciri umur dapat digunakan untuk mengindikasi
berapa lama seseorang telah menekuni pekerjaan
pertanian dengan asumsi bahwa ketika memasuki usia
produktif masyarakat pada wilayah tersebut mulai
menekuni pekerjaan pertanian. Selain itu, menurut
Junaidi (2007) proses adopsi suatu inovasi pada
kelompok umur produktif (25-55 tahun) akan berjalan
cukup baik dibanding kelompok usia yang lebih muda
atau lebih tua. Hal ini dikarenakan pada kelompok usia
muda nilai tanggung jawab masih rendah terhadap
beban hidup sedangkan pada kelompok umur yang
lebih tua telah terjadi pembakuan model atau pola
hidup yang kaku sebagai hasil dari suatu endapan
pengalaman yang dijadikan patokan hidup.
Tabel 1. Identitas responden berdasarkan umur No. Umur (tahun) Distribusi
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1. 2.
< 65 ≥ 65
27 3
90,00 10,00
Jumlah 30 100,00
Rata-rata umur responden di lokasi kajian
tergolong dalam usia produktif 36-60 tahun (90%). Hal
tersebut menunjukkan bahwa responden yang
tergolong dalam usia produktif mempunyai kemampuan
fisik yang optimal dan memiliki respon yang baik dalam
menerima hal-hal yang baru untuk perbaikan
usahataninya. Responden yang tergolong dalam usia
non produktif (10%) namun masih mengikuti kegiatan
SLPTT karena masih memiliki kemampuan untuk
mengelola lahannya dengan baik. Selain itu, petani
yang berusia non produktif dapat memberikan
semangat dan contoh yang baik kepada petani yang
berusia produktif untuk menerapkan komponen PTT
secara baik.
Keunikan didaerah ini adalah bahwa tenaga kerja
untuk berusahatani padi didominasi oleh wanita,
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 13-19
| 16
dimana mereka melakukan semua pekerjaan usahatani.
Terkait dengan fenomena ini, maka introduksi teknologi
inovasi juga harus diselaraskan dengan kemampuan
wanita tani dalam menerapkan teknologi tersebut,
umpamanya penggunaan alat dan mesin pertanian
yang adaptif untuk dilakukan oleh wanita tani.
Lama Pendidikan
Pendidikan formal responden merupakan jenjang
sekolah yang ditempuh oleh responden yang
diperhitungkan dari sistem pendidikan sekolah yang
telah berhasil ditamatkan oleh responden. Lama
pendidikan menggambarkan tingkat pengetahuan,
wawasan dan pandangan seseorang yang dalam bidang
pertanian diartikan sebagai cara seseorang merespon
suatu inovasi pertanian dan membangun gagasan
dalam perencanaan usahatani. Pengukuran tingkat
pendidikan baik formal maupun non formal sangat
bermanfaat dalam memprediksi kondisi wawasan
pengetahuan petani dan arah pemahaman petani
terhadap inovasi dan proses adopsi yang menyertai
inovasi tersebut.
Tabel 2. Identitas responden berdasarkan tingkat pendidikan
No. Tingkat Pendidikan Distribusi
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1. 2. 3. 4. 5.
Tidak Sekolah SD SLTP SLTA Perguruan Tinggi (PT)
1 13 6 10 0
3,33 43,33 20,00 33,33
0
Jumlah 30 100,00
Sekitar 53 % responden berpendidikan formal
tingkat menengah (SLTP dan SLTA). Menurut Junaidi
(2007) tingkat pendidikan ini termasuk kategori sedang
(7-12 tahun). Tingkat pendidikan formal sangat penting
bagi petani, karena akan membantu petani untuk lebih
mudah dalam memahami informasi teknologi,
menerapkan teknologi dan memudahkan petani dalam
menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Makin
meningkat pendidikan seseorang, maka kualitas
kerjanya juga meningkat (Kartasapoetra, 1991) artinya
semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin
berkembang wawasan berfikirnya dan semakin baik
dalam mengambil keputusan.
Luas Lahan Garapan
Tabel 3. Identitas responden berdasarkan luas lahan
No Luas lahan (hektar)
Frekuensi (petani)
Persentase (%)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
0,10 Ha 0,25 Ha 0,5 Ha 0,6 ha 0,75 ha 1,0 ha 1,25 ha 1,5 ha
2 4 11 1 3 7 1 1
7 13 37 3 10 23 3 3
Jumlah 19,30 30 100
Rataan 0,64
Rata-rata luas lahan garapan 0,64 ha dengan
kisaran 0,10 ha-1,50 ha. Berdasarkan penggolongan
luas lahan garapan oleh Mardikanto (1993) maka luas
lahan garapan petani 0,64 ha tergolong sedang.
Lahan merupakan salah satu faktor produksi
yang penting dalam pengembangan usahatani. Luas
lahan berdampak pada transfer penerapan teknologi.
Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh petani
dari berbagai sumber informasi teknologi dapat
diterapkan oleh petani di lahanya. Lahan yang cukup
luas akan memudahkan petani dalam menerapkan
teknologi tanpa khawatir akan resiko kegagalan. Hal ini
terkait pula dengan jumlah produksi yang dihasilkan,
biaya produksi dan pendapatan petani dari hasil
usahataninya.
Status penguasaan lahan responden sebagian
besar merupakan lahan yang disakap/sewa (75 %),
sisanya merupakan lahan milik sendiri. Hal ini
menyulitkan petani dalam menerapkan teknologi yang
diintroduksikan, karena tambahan biaya produksi yang
diakibatkan dari penerapan teknologi sepenuhnya
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 13-19
| 17
ditanggung oleh penyakap sementara pembagian hasil
produksi antara penyakap dan pemilik tetap.
Tingkat Adopsi Teknologi Inovasi
Tabel 1. Tingkat Adopsi Teknologi Petani di Lokasi Penelitian, 2015
No. Aspek PTT Komponen
Teknologi Interval
Skor Rata-rata
skor yang
dicapai
Tingkat Adopsi
(%)
Kategori Adopsi
1. Teknologi
Dasar
Penggunaan
varietas unggul baru, inbrida dan hibrida
0 - 5 3,57 71,33 Tinggi
Penggunaan
benih bermutu dan
berlabel
0 - 5 3,27 65,33 Tinggi
Pemberian bahan
organik melalui pengembalian jerami ke sawah/dalam
bentuk kompos
0 - 5 2,70 54,00 Sedang
Pengaturan
populasi tanaman secara optimum
0 - 5 3,57 71,33 Tinggi
Pemupukan berdasarkan kebutuhan
tanaman dan status hara tanah
0 - 5 3,77 75,33 Tinggi
pengendalian
OPT (Organisme Pengganggu Tanaman)
dengan pendekatan PHT (Pengendalian
Hama Tanaman Terpadu)
0 - 5 3,13 62,67 Tinggi
2. Teknologi Pilihan
Pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam
0 - 5 3,87 77,33 Tinggi
Penggunaan bibit muda (< 21 hari)
0 - 5 3,93 78,67 Tinggi
Penanaman bibit 1-3
batang per rumpun
0 – 5 3,83 76,67 Tinggi
Pengairan secara efektif
dan efisien
0 – 5 3,47 69,33 Sedang
Penyiangan dengan
landak atau gosrok
0 – 5 1,67 33,33 Rendah
Panen tepat
waktu dan gabah segera dirontok
0 – 5 4,23 84,67 Tinggi
Rata-rata Skor
0 - 60 41,00 68,33 Sedang
Secara keseluruhan penerapan paket teknologi di
lokasi penelitian belum sesuai rekomendasi. Tingkat
penerapan teknologi petani rata-rata sebesar 68,33 %.
Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa komponen teknologi
dasar relatif lebih baik penerapannya dibanding
teknologi pilihan. Tingkat adopsi teknologi dasar yang
meliputi penggunaan varietas unggul baru, penggunaan
benih bermutu dan berlabel, pemberian bahan organik
melalui pengembalian jerami ke sawah/dalam bentuk
kompos, pengaturan populasi tanaman secara
optimum, pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman
dan status hara tanah, pengendalian OPT (Organisme
Pengganggu Tanaman) dengan pendekatan PHT
(Pengendalian Hama Tanaman Terpadu) berada dalam
kisaran kategori adopsi sedang-tinggi dengan nilai skor
2,70-3,77. Kategori adopsi sedang hanya pada
pemberian bahan organik, hal ini disebabkan dilokasi
kajian pada umumya petani melakukan pertanaman 2
musim tanam setahun. Untuk mengembalikan jerami
kesawah setelah panen akan memerlukan waktu
terutama untuk pelapukan bahan jerami, karena
sempitnya waktu antara panen dengan pertanaman
berikutnya. Terkait dengan hal tersebut, tindakan
petani adalah membakar jerami selepas panen.
Kategori adopsi teknologi pada komponen teknologi
pilihan berkisar antara rendah sampai tinggi dengan
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 13-19
| 18
rataan skor 1,67-4,23. Penerapan teknologi yang
rendah pada komponen teknologi pilihan adalah pada
penyiangan dengan landak atau gosrok, hal ini
disebabkan tidak tersedianya alat penyiangan tersebut
dilapangan. Pengairan secara efektif dan efisien
memiliki kategori adopsi sedang, hal ini disebabkan
karena kurangnya ketersediaan air pada saat diperlukan
tanaman padi. Kondisi akibat kurang berfungsinya
saluran irigasi yang akan mengairi sawah sampai
kesaluran tersier.
Hubungan Karakteristik Petani dan Tingkat Adopsi Teknologi Dari hasil analisa data hubungan karakteritik
petani yang mempengaruhi tingkat adopsi teknologi
introduksi pada PTT padi, dapat dilihat bahwa jumlah
tanggungan keluarga sangat signifikan dalam
mempengaruhi petani untuk mengadopsi teknologi,
dengan derajat keeretan sebesar 0.602 dan t hitung
sebesar 2.823 yang berbeda nyata dengan t tabel. Hal
ini dimungkinkan karena tujuan responden yang utama
dalam melakukan usahatani padi adalah mendapatkan
hasil padi yang banyak untuk memenuhi kebutuhan
makan bagi keluarganya sepanjang waktu. Mereka
yakin bahwa dengan menerapkan paket teknologi
introduksi pada PTT padi yang telah dilakukan pada
petak percontohan (demplot PTT Padi) memberikan
hasil yang lebih tinggi dibanding teknologi petani.
Senjang hasil antara teknologi introduksi dan teknologi
petani adalah tambahan bagi perolehan produksi yang
akan didapatkan petani, jika paket teknologi PTT padi
diterapkan oleh petani.
Pendidikan memiliki pengaruh yang sangat
signifikan dalam memutuskan untuk mengadopsi
teknologi yang diintroduksikan. Tingkat keeratan
hubungan (rs) sebesar 0,550 dan t hitung 2.513,
menunjukkan perbedaan yang nyata dengan t tabel.
Hal ini dimungkinkan bahwa semakin tinggi pendidikan
yang ditempuh oleh petani responden semakin mudah
pula penyuluh dalam mempengaruhi petani untuk
menerapkan komponen PTT. Hal tersebut terbukti
dengan banyaknya petani yang menerapkan komponen
PTT di lokasi penelitian yang tingkat pendidikannya
SLTA.
Variabel-variabel lainnya seperti umur, jenis
kelamin, keanggotaan dalam kelompok tani,
penguasaan lahan dan status lahan garapan memiliki
nilai korelasi yang lemah terhadap adopsi teknologi. Hal
ini berarti bahwa tingkat umur responden tidak
berpengaruh nyata dalam pengambilan keputusan
untuk menerapkan teknologi introduksi. Demikian juga
untuk jenis kelamin, dimana sekitar 98% responden
adalah wanita tani, yang merupakan gambaran umum
petani yang mendominasi kegiatan usahatani padi di
Kabupaten Kampar, sehingga tidak memerlukan
bantuan keluarga untuk memutuskan dalam
menerapkan teknologi pada usahataninya.
Keanggotaan dalam kelompok tidak berpengaruh
dalam memutuskan untuk mengadopsi teknologi.
Menurut pernyataan petani, mereka lebih yakin dengan
informasi yang disampaikan penyuluh atau melihat
langsung dari petak percontohan teknologi yang
dilakukan penyuluh. Status lahan garapan petani
ternyata memperlihatkan hubungan yang tidak nyata
dengan adopsi teknologi. Hal ini disebabkan karena
pemilik lahan telah mempercayakan sepenuhnya
penggarapan lahan usahataninya pada petani. Petani
penggarap boleh melakukan ikhtiar untuk
meningkatkan produktivitas usahatani dan apabila
berdampak pada peningkatan produksi, maka
tambahan pendapatan tersebut akan diperhitungkan
sesuai dengan biaya produksi yang dikeluarkan.
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 13-19
| 19
Tabel 2. Hubungan antara karakteristik petani yang mempengaruhi tingkat adopsi teknologi introduksi pada PTT padi
No. Variabel Koefisien
korelasi (rs)
T hitung Keeratan Hubungan
1. Umur -0.138 -0.582 NS
2. Jenis kelamin 0.190 1.032 NS
3. Pendidikan 0.550 2.513 SS
4. Keanggotaan dalam kelompok tani
0.078 0.432 NS
5. Jumlah tanggungan keluarga
0.602 -2.823 SS
6. Penguasaan lahan
0.008 0.041 NS
7. Status lahan garapan
-0.019 -.098 NS
Sumber : Analisis Data Primer, 2015 Keterangan :
S= Signifikan; NS= Tidak Signifikan; SS=Sangat Signifikan, pada taraf kepercayaan 95%
KESIMPULAN
1. Jumlah tanggungan keluarga sangat signifikan
dalam mempengaruhi petani untuk mengadopsi
teknologi, dengan derajat keeretan sebesar 0.602
dan t hitung sebesar 2.823 yang berbeda nyata
dengan t tabel.
2. Pendidikan memiliki pengaruh yang sangat
signifikan dalam memutuskan untuk mengadopsi
teknologi yang diintroduksikan dengan tingkat
keeratan hubungan (rs) sebesar 0,550 dan t hitung
2.513.
3. Pendidikan dan jumlah tanggungan keluarga
merupakan faktor utama dalam proses adopsi
teknologi inroduksi.
4. umur, jenis kelamin, keanggotaan dalam kelompok
tani, penguasaan lahan dan status lahan garapan
memiliki nilai korelasi yang lemah dengan adopsi
teknologi.
DAFTAR PUSTAKA
Fattah, A. et al, 2000, Faktor-faktor yang mempengaruhi senjang hasil padi di Sulawesi Tenggara, Balai Penelitian Tanaman Pangan, Maros
Bajari Atwar. 2015, Metode Penelitian Komuniksi, Simbiosa Rekatama Media, Bandung
BPS. 2012. Pertanian dan Pertambangan. Tanaman
Pangan. [www.bps.go.id]. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi
Pertanian (BBP2TP). 2010. Petunjuk Teknis Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Deptan. 2008. Sekolah Lapang PTT Padi, Bantu Petani Mempercepat Alih Teknologi. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Dinas Pertanian Provinsi Riau. 2012, Laporan Tahunan
Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Riau. Junaidi. 2007. Pemahaman tentang Adopsi, Difusi dan
Inovasi (Teknologi) dalam Penyuluhan Pertanian. Kartasapoetra, A.G. 1991. Teknologi Penyuluhan
Pertanian. Bumi Aksara. Jakarta.
Kurnia, S. I. 2011, Pengaruh Penyuluhan Terhadap Keputusan Petani Dalam Adopsi Teknologi Usahatani Terpadu, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.
Mardikanto. 1993, Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press. Surakarta.
Programa BPP Kampar. 2015. Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Kampar.
Suriatna. S.1998, Metode Penyuluhan Pertanian, PT. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta.
Siegel. 1997. Statistik Non Parametrik. Gramedia Utama. Jakarta.
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 13-19
| 20
HUBUNGAN PARTISIPASI PETANI DENGAN KEMAMPUAN PETANI MEMECAHKAN
MASALAH PADA USAHATANI PADI SAWAH DI KABUPATEN BENGKALIS
Reni Astarina dan Anita Sofia 1)
1) Penyuluh Pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau
ABSTRAK
Partisipasi petani memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan yang lebih besar dalam cara berpikir dan bertindak petani. Kemampuan petani memecahkan masalah dalam berusahatani dapat ditingkatkan melalui partisipasi petani dalam penyuluhan pertanian. Adapun tujuan dilakukan kajian ini untuk mengetahui pengaruh partisipasi petani terhadap kemampuan petani memecahkan masalah pada usahatani padi sawah dalam penyuluhan pertanian. Partisipasi petani memberikan pengaruh yang nyata terhadap kemampuan petani memecahkan masalahnya. Hasil kajian menunjukkan bahwa : (1) petani mempunyai pengetahuan dan wawasan yang cukup untuk dapat memahami permasalahan, memikirkan pemecahannya atau memilih pemecahan masalah yang paling tepat untuk mencapai tujuannya, (2) petani akan termotivasi untuk bekerjasama dalam kelompok jika ikut bertanggung jawab di dalamnya dan menambah kesempatan untuk pengambilan keputusan kolektif. Petani dapat mencurahkan permasalahan yang sedang dihadapi dan dapat dipecahkan secara bersama-sama di dalam kelompok, (3) petani dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada dilingkungannya seperti bank, perguruan tinggi, lembaga penelitian, dinas pertanian, koperasi, warung saprodi dan tanaman disekitarnya, (4) petani memiliki wawasan untuk memperoleh sumberdaya yang diperlukan seperti kredit dan pemasaran hasil, (5) terjalin hubungan yang erat antara petani dengan pemerintah, dimana dalam program penyuluhan pertanian sebaiknya mengikutsertakan petani dari mulai perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, memonitor sampai mengevaluasi program penyuluhan pertanian.
Kata kunci : Partisipasi petani, kemampuan petani memecahkan masalah, penyuluhan pertanian.
ABSTRACT
Farmers’ participation may cause the major changes at the farmer’s point of view and act. Farmer ability to solve the farming problem can be improved through farmers’ participation in farming extension. The purpose of this study was to determine the effect of farmers' participation on farmers’ ability to solve problems in a participatory agricultural extension. Farmers’ participation made a significant effect to solve the problem. The result showed that (1) farmers had adequate knowledge and insight to understand the problems, thinking about problem-solving or choose the problem solving to achieve the objective, (2) farmers motivated to work ingroups while they have responsibility and increase the chance to make collective decisions. Farmers devote the problems being faced and solved together within in groups, (3) farmers can be advantage of existing resources in the environment, such as banks, universities, research institutions, department of agriculture, cooperatives, agriculture shops and plant surrounding, (4) farmers have the insight to obtain the necessary resources such as credit and marketing results, (5) established a relationship between farmers and the government in making agricultural extension programs should include farmers from planning, organizing, implementing and monitoring to evaluate agricultural extension programs.
Keywords : Participation of farmers, farmers’ ability to solve the farming problem, agricultural extension
| 21
PENDAHULUAN
Dalam paradigma penyuluhan sistem
konvensional pemerintah memiliki peran utama dalam
menentukan program penyuluhan sejak dari
perencanaan sampai kepada pelaksanaan penyuluhan
pertanian, sedangkan petani sebagai pelaku utama
pada pembangunan pertanian tidak difungsikan
perannya sebagai subjek pembangunan. Penyuluhan
konvensional dipandang sudah tidak sesuai dengan
pembangunan pertanian yang mengedepankan peran
petani secara partisipatif. Peran petani tidak lagi
sebagai penerima penyuluhan yang dilaksanakan oleh
pemerintah, melainkan menjadi perencana, pelaksana,
memonitor dan mengevaluasi penyuluhan pertanian.
Pendekatan partisipatif terhadap penyuluhan
pertanian tersebut melibatkan petani pada seluruh
langkah dalam penyuluhan pertanian mulai dari
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan hingga
monitoring dan evaluasi. Pendekatan partisipatif ini
mendorong petani untuk saling berbagi keterampilan
dan pengetahuan, juga mempromosikan pentingnya
inovasi dan kreatifitas pada mereka.
Partisipasi dari segi sosiologi berkonotasi kepada
keterlibatan anggota perorang dalam proses
pengelolaan dalam suatu kegiatan atau pengambilan
keputusan, pengorganisasian, pengenalan sumberdaya,
pengawasan dan penilaian (Adjid, 1985). Menurut Van
den Ban dan Hawkins (1999) partisipasi adalah petani
atau para wakilnya berpartisipasi dalam organisasi jasa
penyuluhan dalam pengambilan keputusan mengenai
tujuan, kelompok sasaran, pesan-pesan dan metode,
serta evaluasi kegiatan.
Partisipasi petani diperlukan karena dengan
keikutsertaan petani, informasi mengenai kondisi,
kebutuhan, keinginan dan sikap petani dapat diketahui.
Selain itu petani akan lebih percaya dengan program
pemerintah yang dilakukan karena merasa dilibatkan
dan sesuai dengan kebutuhannya. Van den Ban dan
Hawkins (1999) mengemukakan petani akan lebih
termotivasi untuk bekerjasama dalam kegiatan
kelompok jika ikut bertanggung jawab di dalamnya dan
menambah kesempatan untuk pengambilan keputusan
kolektif. Petani dapat mencurahkan permasalahan
yang sedang dihadapi dan dapat dipecahkan secara
bersama-sama di dalam kelompok.
Kemampuan petani adalah kesanggupan
seseorang karena memiliki seperangkat pengetahuan
(kognitif) dan keterampilan (psikomotorik) yang
diperlukan untuk memecahkan masalah-masalah yang
dihadapi petani. Chamala (1995) mengemukakan
bahwa pemecahan masalah bukan menentukan solusi
teknis melainkan memberdayakan petani agar dapat
memecahkan masalah mereka sendiri. Hal ini dapat
diraih dengan mengkombinasikan pengetahuan mereka
sendiri dan pengetahuan yang sedang berkembang
untuk mengidentifikasi permasalahan dan mencari
solusi yang paling tepat.
Partisipasi petani memungkinkan perubahan-
perubahan yang lebih besar dalam cara berpikir
manusia. Perubahan dalam pemikiran dan tindakan
akan lebih sedikit terjadi dan perubahan-perubahan ini
tidak akan bertahan lama jika petani hanya menerima
program/kegiatan pertanian tanpa dibebankan
tanggungjawab.
Partisipasi membawa berbagai manfaat bagi
petani. Melalui pengalamannya, petani belajar
merencanakan, memecahkan masalah-masalah yang
dihadapi dan mengorganisasikan dirinya untuk
bekerjasama.
Pengkajian bertujuan untuk mengetahui
hubungan partisipasi petani dengan kemampuan petani
memecahkan masalah dalam penyuluhan pertanian di
Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau
pada Tahun 2015.
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 20-24
| 22
METODE PENELITIAN
Pelaksanaan pengkajian dilakukan dengan
menggunakan metode survey. Jenis data yang
dikumpulkan terdiri dari komponen partisipasi yang
diambil dari 30 orang petani sampel yang berusahatani
padi sawah pasang surut. Alat pengumpulan data
menggunakan kuisioner yang terstruktur dan analisa
data dilakukan secara deskriptif.
Lokasi pengkajian dilaksanakan di Kecamatan
Bantan Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Untuk
mengetahui pengaruh partisipasi petani terhadap
kemampuan petani memecahkan masalah dalam
penyuluhan pertanian partisipatif digunakan model
analisis Koofisien Korelasi sederhana (Sugiyono, 2002).
Berkenaan dengan skor variabel kemampuan
petani memecahkan masalah ditentukan dengan model
Likert, maka agar data tersebut terdistribusi normal
dilakukan standarisasi dengan nilai Z (Nurgiyantoro,
2002).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil kajian secara keseluruhan menunjukan
bahwa terdapat hubungan yang erat antara partisipasi
petani dalam penyuluhan dengan kemampuan petani
dalam memecahkan masalah atau dengan kata lain
semakin tinggi petani berpartisipasi dalam penyuluhan
pertanian maka semakin tinggi pula tingkat
kemampuannya dalam memecahkan masalah yang
dihadapi dan sebaliknya. Secara rinci komponen
partisipasi yang meliputi perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan dan monitoring dan
evaluasi dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Hubungan Antara Partisipasi Petani padi sawah dengan Kemampuan Petani Memecahkan Masalah di Kecamatan Bantan Tahun 2015.
No. Kegiatan Partisipasi Petani Koefisien Korelasi
1. Perencanaan 0,519**
2. Pengorganisasian 0,458**
3. Pelaksanaan 0,577**
4. Monitoring dan Evaluasi 0,519** Sumber : Analisis Data Primer Penelitian Keterangan : ** signifikan α = 0,05, r tabel 0,330
Hubungan partisipasi petani dalam perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring dan
evaluasi kegiatan pertanian dengan kemampuan petani
memecahkan masalah adalah signifikan pada tingkat
kesalahan 1 %. Petani yang berpartisipasi dalam
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
monitoring dan evaluasi penyuluhan pertanian akan
memiliki pengetahuan, keterampilan, wawasan, dan
motivasi dalam memecahkan masalah serta terjalin
kerjasama dengan pihak lain dalam pemasaran hasil
pertanian.
Komponen partisipasi petani pada kegiatan
perencanaan mempunyai nilai 0,519 pada kegiatan
pengorganisasian 0,458 pada kegiatan pelaksanaan
0,577 dan pada monitoring dan evaluasi nilainya 0,519.
Berdasarkan hasil nilai koofisien korelasi dari komponen
partisipasi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
Tingkat hubungan Partisipasi petani dengan
kemampuan petani dalam memecahkan masalahnya
termasuk dalam kategori sedang, dimana berada pada
interval koefisien 0,40-0,599. Sedangkan menurut
Sugiyono (2002) Interval dalam koofisien korelasi terdiri
dari sangat rendah (0,00-0,199), rendah (0,20-0,399),
sedang (0,40-0,599), kuat (0,60-0,799), dan sangat
kuat (0,80-1,000).
Petani belajar merencanakan,
mengorganisasikan, melaksanakan, memonitor dan
mengevaluasi penyuluhan pertanian partisipatif untuk
memecahkan masalahnya sendiri. Petani memperoleh
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 20-24
| 23
kemampuan yaitu pengetahuan dan keterampilan yang
diperlukan untuk menghadapi masalahnya. Menurut
Bunch (2001) menyatakan Petani akan memperoleh
pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk
menghadapi masalahnya. Hal ini karena dengan
berpartisipasi, petani belajar mengumpulkan data
keadaan lingkungan, menganalisis dan evaluasi fakta
dilapangan, mengidentifikasi masalah dan menentukan
prioritas utama masalah yang akan dipecahkan,
menentukan tujuan dan sasaran kegiatan, menetapkan
cara mencapai tujuan dan pengesahan kegiatan
penyuluhan kepada tim penyuluh.
Fakta dilapangan ditemukan bahwa petani yang
terlibat secara aktif dalam hal perencanaan yang
meliputi visi dan strategi, jenis/varietas padi yang
ditanam, sumber modal, tenaga kerja dan pemasaran
mempunyai kemampuan yang lebih dalam memberikan
solusi yang dihadapi oleh kelompoknya dalam
berusahatani. Selanjutnya dalam pengorganisasian,
pelaksanaan, monitoring dan evaluasi pun demikian.
Setiap komponen partisipasi memberikan penjelasan
bahwa semakin tinggi tingkat partisipasi petani dalam
berusahatani maka semakin mampu pula petani
tersebut dalam menyelesaikan berbagai masalah yang
dihadapi dalam berusahatani.
Selanjutnya masalah pemasaran hasil pertanian
menjadi kendala bagi petani. Petani tidak tahu harus
kemana memasarkan hasil dan siapa yang akan
dihubungi karena kurangnya pengetahuan, wawasan
dan informasi tentang pemasaran hasil. Kerjasama
dengan pihak lain (pedagang atau pengusaha) dalam
pemasaran hasil pertanian sangat kurang. Tetapi
setelah petani berpartisipasi dalam penyuluhan
pertanian partisipatif mengakibatkan terjalinnya
kerjasama dengan pihak lain untuk memasarkan hasil
pertanian. Petani dan pengusaha atau pedagang yang
akan memasarkan hasil pertanian terlibat secara
bersama membahas permasalahan ini, hanya saja
kesiapan petani untuk memenuhi syarat-syarat kontrak
dengan pihak pemasaran seperti mutu produk, jumlah
produk, kontinuitas, dan ketepatan waktu pengiriman
belum dapat dipenuhi oleh petani sehingga kerjasama
dengan pihak pengusaha/pedagang dalam pemasaran
hasil pertanian belum sesuai dengan yang diharapkan.
Hal ini menunjukkan kesiapan petani menuju produk
pertanian yang berdaya saing belum memadai.
Partisipasi petani dalam berusahatani telah
membawa perubahan cara berfikir petani dalam
pemasaran hasil atau setidaknya petani memiliki
motivasi untuk memperbaiki keberhasilan yang masih
tertunda. Petani sadar bahwa dalam pemasaran hasil
pertanian yang diinginkan pasar harus memenuhi
syarat-syarat tertentu (mutu produk, jumlah produk,
kontinuitas, dan ketepatan waktu pengiriman). Petani
harus mengelola usahataninya dengan lebih optimal
dan menguntungkan serta memanfaatkan
kedekatannya dengan pejabat pemerintahan untuk
menjembatani atau memfasilitasi kerjasama dengan
pihak pemasaran hasil.
Menurut Kemtan (2012) Penyuluhan pertanian
partisipatif merupakan proses pemberdayaan yang
terjadi secara berulang berdasarkan hasil dan
pengalaman yang diperoleh pada tahap kegiatan
sebelumnya dan berorientasi pada aksi, serta bertujuan
untuk meningkatkan kemampuan petani dan penyuluh.
Dari sini muncullah pelatihan-pelatihan pertanian
dimana petani sendiri yang merencanakan,
mengorganisasikan, melaksanakan, memonitor dan
mengevaluasi kegiatan pelatihan itu. Petani belajar
mengelola usahatani secara profesional. Kemampuan
yang dimiliki petani digali dan dimanfaatkan untuk
keberhasilan kegiatan penyuluhan pertanian yang
dilakukan dari, oleh dan untuk petani. Petani ikut
bertanggungjawab dalam kegiatan karena mereka
terlibat secara langsung untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. Menurut Van den Ban dan Hawkins (1999)
Perubahan dalam pemikiran dan tindakan akan lebih
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 19-23
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 20-24
| 24
sedikit terjadi dan perubahan-perubahan ini tidak akan
bertahan lama jika menuruti saran-saran agen
penyuluhan dengan patuh daripada bila mereka ikut
bertanggung jawab .
Petani yang telah mengikuti pelatihan pertanian
mencoba menerapkan hasil pelatihan dirumahnya
sehingga pendapatan mereka bertambah dan diikuti
oleh tetangganya sesama petani. Bagi petani yang
mengikuti studi banding ke petani maju yang lebih
berhasil dalam berusahatani, petani secara tak sengaja
telah menyuluh/memberikan informasi kepada petani
lain yang tidak ikut tentang keberhasilan petani di
daerah lain.
Pada masa kini petani harus mau membuka diri,
menerima dan menyesuaikan perkembangan teknologi
pertanian dan informasi yang sangat cepat. Petani
harus menyadari bahwa pembaharuan dalam
pembangunan pertanian telah terjadi di lingkungannya.
Pembaharuan yang dimaksudkan adalah pembaharuan
yang mampu meningkatkan partisipasi, efisiensi dan
produktivitas petani dalam pertanian termasuk di
dalamnya berpartisipasi dalam penyuluhan pertanian.
Secara perorangan petani memiliki banyak
keterbatasan, tetapi secara kelompok petani
menunjukkan kekuatan dan perkembangan yang
menggembirakan.
Memperhatikan tantangan-tantangan tersebut di
atas, maka dalam rangka memberdayakan petani perlu
diupayakan agar petani selain mampu menghasilkan
produk-produk yang bermutu dan berdaya saing, juga
harus mampu menghasilkan produk-produk secara
berkesinambungan, mampu menyediakan dalam jumlah
yang diperlukan, kontinu, dan mampu mengirimkannya
tepat waktu.
Partisipasi petani dalam penyuluhan pertanian
sangat bermanfaat bagi petani. Melalui pengalamannya,
petani belajar merencanakan, mengorganisasikan,
melaksanakan, memonitor dan mengevaluasi
penyuluhan pertanian partisipatif. Petani memperoleh
pengetahuan, wawasan dan keterampilan yang
diperlukan untuk menghadapi masalahnya.
KESIMPULAN
Partisipasi petani dalam penyuluhan pertanian
berpengaruh sangat nyata terhadap kemampuan petani
memecahkan masalah-masalah yang dihadapi petani,
berarti semakin tinggi petani berpartisipasi dalam
penyuluhan maka semakin tinggi pula tingkat
kemampuannya dalam memecahkan masalah yang
dihadapi.
Untuk membuat program penyuluhan pertanian
sebaiknya pemerintah mengikutsertakan petani dari
mulai perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,
memonitor sampai mengevaluasi program penyuluhan
pertanian. Partisipasi petani pada penyuluhan pertanian
mutlak dilaksanakan karena dapat meningkatkan
kemampuan petani dalam mengidentifikasi potensi
yang dimilikinya, masalah-masalah yang dihadapi dalam
mengelola usahanya dan alternatif-alternatif
pemecahannya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2012. Pedoman Pelaksanaan Kegiatan
Penyuluhan Yang Dikelola Oleh Petani. Departemen Pertanian, Jakarta.
Adjid, D. A,. 1985. Pola Partisipasi Masyarakat Pedesaan Dalam Pembangunan Pertanian Berencana. Orba Sakti, Bandung.
Assaad dan Sibuea, B. 2000. Partisipasi Petani Pada Pelaksanaan Program Intensifikasi Padi Sawah di Kecamatan Perbaungan Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Pertanian. Vol. 19 No. 2.
Bunch, R. 2001. Dua Tongkol Jagung. Pedoman Pengembangan Pertanian Berpangkal Pada Rakyat. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Chamala, R. S., 1995. Overview of Participative Action Approaches in Australian Land and Water Management. Dalam Chamala, S. and Keith, K. (eds), 1995. Participative Approaches for Landcare: Perspective, Policies, Program. Brisbane : Australian Academic Press.
Leusden, 1992. Pertanian Masa Depan. Kanisius, Yogyakarta
Sugiyono. 2002. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : CV Alfabeta
Sumintaredja,S., Sudarmanto, dan Sugarda, T. D. 2001. Penyuluhan Pertanian. Yayasan Pengembangan Sinar Tani, Jakarta.
Soetrisno L. 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Kanisius, Yogyakarta.
Van den Ban dan Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Kanisius, Yogyakarta.
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 20-24
| 25
PENDAMPINGAN SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) DI KABUPATEN SIAK, PROVINSI RIAU
Nurhayati dan Marsid Jahari 1)
1) Peneliti Pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau
ABSTRAK
Pengujian beberapa varietas unggul padi pada lokasi SL-PTT merupakan salah satu kegiatan pendampingan
yang bertujuan untuk mendapatkan 1-2 varietas yang adaptif dan berproduksi tinggi. Kegiatan demplot ini dilaksanakan di Desa Bungaraya dan Kemuning Muda Kecamatan Bunga Raya dengan luas masing-masing 0,25 ha pada musim hujan bulan Agustus sampai September 2011. Dalam pelaksanaan demplot didisplaykan beberapa
Varietas Unggul sebanyak lima varietas: Inpari-1, Inpara-1, Gilirang, Situ Patenggang dan Inpari-6. Tujuan dari pendampingan Unit SL-PTT ini adalah mempercepat alih teknologi melalui pembuatan demplot pendampingan laboratorium lapang dengan menanam beberapa VUB. Hasil beberapa display VUB menunjukan bahwa ke lima varietas tersebut mampu beradaptasi dengan baik dengan produktivitasnya masih diatas 5 ton/ha. Varietas Inpara-1 mempunyai produktivitas yang tertinggi (7,13 ton/ha) diikuti Gilirang (6,68 ton/ha), Inpari 1 (6,36 ton/ha), Situ Patenggang (6,20 ton/ha) dan Inpari 6 jete (5,36 ton/ha).
Kata Kunci: Keragaan, varietas, padi
ABSTRACT
Rice superior varieties test on the SL-PTT location is one of accompaniment activities aiming to get 1-2 adaptive varieties and high production. This demo plot was carried out in Bungaraya Village and Kemuning Muda Village, Bunga Raya District with an area of 0.25 ha each of them during the rainy season from August to September 2011. The five superior varieties are Inpari-1, Inpara-1, Gilirang, Situ Patenggang and Inpari-6. The purpose of accompaniment SL-PTT unit is accelerating the transfer of technology through field laboratory demo plotby planting some VUBs. The results showed that the production of these five varieties was high, able to adapt well and the productivity is still above 5 tons/ha. Inpara-1 (7.13 tons/ha) has the highest productivity, then followed by Gilirang (6.68 tons/ha), Inpari 1 (6.36), Situ Patenggang (6.20 tons/ha) and Inpari 6 jete (5.36 tons/ha). Keywords : Performance, varieties, rice
| 26
PENDAHULUAN
Pembangunan pertanian di Provinsi Riau
khususnya bidang tanaman pangan mulai memasuki
fase penting dalam kontribusinya terhadap ketersediaan
pangan daerah seiring dengan berlangsungnya program
Operasi Pangan Riau Makmur (OPRM). Target luas
tanam yang diharapkan dari program ini adalah
100.000 ha yang terdiri dari intensifikasi IP 100 menjadi
IP 200 seluas 68.108 ha, rehabilitasi sawah terlantar
seluas 13.127 ha, dan cetak sawah baru seluas 18.765
ha (Kesekretariatan OPRM, 2009).
Peningkatan luas tanam harus didukung dengan
teknologi sehingga target produksi dapat dicapai. Pada
umumnya teknologi yang diterapkan petani dalam
budidaya padi di Provinsi Riau belum cukup maju.
Hingga saat ini adopsi varietas padi didominasi oleh
beberapa varietas saja yang pada umumnya varietas
lokal. Upaya dalam peningkatan produktivitas padi
sawah dapat dilakukan melalui pendekatan pengelolaan
tanaman dan sumberdaya terpadu (Pramono, et al.
2005).
OPRM akan berhasil jika didukung dengan
program peningkatan kemampuan dan keterampilan
petani. Departemen Pertanian RI telah mencanangkan
program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman
Terpadu (SL-PTT) sebagai program nasional yang harus
diterapkan di sentra-sentra produksi padi.
Tujuan pendampingan SL-PTT adalah:
1) menyediakan acuan bagi pelaksanaan percepatan
alih teknologi melalui pelatihan dari peneliti atau
narasumber. 2) Melakukan demplot pendampingan
Laboratorium Lapang dengan mendisplaykan beberapa
VUB (Deptan, 2009; Ditjen Tanaman Pangan, 2008).
Sasaran yang ingin dicapai adalah terbangunnya
pemahaman terhadap program SL-PTT sehingga
program yang dilaksanakan benar-benar kongkret,
terarah dan terukur dalam peningkatan produktivitas
tanaman, kelestarian lingkungan hidup, dan
pendapatan petani. Selain itu, terjadi peningkatan
kapabilitas petani dalam memahami permasalahan yang
dihadapi di lapangan dan strategi pemecahannya
(Sembiring dan Abdulrahman. 2008).
METODE PENELITIAN
Demplot Pendampingan SL-PTT dilaksanakan di
Desa Bungaraya dan Desa Kemuning Muda Kabupaten
Siak pada bulan Agustus hingga September 2011.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok
dengan lima perlakuan (varietas unggul baru) dengan
tiga ulangan. Bahan yang digunakan antara lain: Pupuk
Urea, SP-36 dan KCl 100 Kg/ha, Dithane M-45, Beta,
Dharmabas dan Klerat, Alat yang digunakan adalah
Leaf Colour Chart (LCC) atau bagan warna daun, hand
sprayer, alat penyiang gosrok, cangkul, parang, tugal,
tali nilon, meteran alat tulis dll.
Pemahaman Masalah dan Peluang (PMP)
sumberdaya setempat dengan tujuan:
1) Mengumpulkan informasi dan menganalisis masalah,
kendala dan peluang usahatani padi sawah,
2) mengembangkan peluang dalam upaya peningkatan
produksi padi sawah, 3) mengidentifikasi teknologi yang
sesuai dengan kebutuhan petani di wilayah setempat.
Potensi dan permasalahan yang dihadapi dalam
usahatani padi diperoleh dari dinas pertanian disetiap
kabupaten melalui diskusi dengan kepala dinas atau
kepala bidang pada saat koordinasi. Selain itu, potensi
dan permasalahan di kabupaten dipelajari melalui
pustaka atau laporan-laporan dinas.
Apresiasi PTT diawali dengan kegiatan persiapan
yang meliputi: pemilihan desa dan hamparan 25 ha,
diselenggarakan bersama kelompok tani, pemilihan
petani peserta, tempat, dan areal laboratorium lapang
untuk proses pembelajaran seluas 1 (satu) ha, bahan
dan alat belajar, materi dan waktu belajar. Pertemuan
tingkat desa dan kecamatan diperlukan untuk
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 25-29
| 27
memperoleh dukungan dari aparat desa dan pejabat
kecamatan dalam hal penentuan lokasi, jumlah dan
nama calon peserta. Pada pertemuan ini juga
ditentukan waktu pertemuan ditingkat kelompok tani.
Pertemuan persiapan SL-PTT ditingkat kecamatan
mengikutsertakan camat, KCD, POPT dan penyuluh
pertanian untuk menentukan desa yang akan dipilih
dalam menyelenggarakan SL-PTT. Petemuan di tingkat
desa mengikutsertakan perangkat desa, tokoh
masyarakat, penyuluh pertanian, POPT, ketua
gapoktan, ketua kelompok tani, ketua P3A dan tokoh
wanita tani. Pertemuan persiapan ditingkat desa dan
kecamatan dilakukan 4 sampai 5 minggu sebelum SL-
PTT dimulai. (Ekspose Pertemuan Teknis OPRM, 2011)
Proses belajar dalam SL-PTT berlangsung secara
periodik menurut stadia tanaman, aktivitas pengelolaan
hama dan penyakit tanaman padi dan kemungkinan
terjadi anomali iklim. Pertemuan periodik dimulai
beberapa minggu sebelum tanam untuk melihat
potensi, kendala dan peluang melalui pelaksanaan PRA.
Pertemuan berikutnya dilakukan pada saat pengolahan
tanah, penanaman, pemupukan, pengairan dan pada
saat tanaman padi dalam fase berbunga, pengisian biji,
panen dan pasca panen. Ada kalanya diperlukan
pertemuan non reguler jika ada masalah yang
mendesak untuk dipecahkan, misalnya serangan hama
dan penyakit tanaman.
Bimbingan penerapan PTT dilakukan oleh
peneliti bersama-sama dengan penyuluh pendamping
lapangan (PL). Proses bimbingan diawali dengan
penyampaian materi PTT sehingga petani memahami
prinsip dasar PTT dan selanjutnya memahami
komponen teknologi yang akan diperagakan untuk
memecahkan permasalahan usahatani petani.
Melaksanakan demplot
Demplot pendampingan Laboratorium Lapang
(LL) dengan menanam varietas unggul baru (VUB)
sebanyak 5 jenis dilaksanakan di Desa Bungaraya dan
Desa Kemuning Muda pada lahan Laboratorium Lapang
SL-PTT seluas 0,25 ha per unit. VUB ditanam dengan
sistem jajar legowo 4 : 1 dan dipupuk berdasarkan hasil
uji PUTS serta Bagan Warna Daun (BWD).
Demplot PTT ditempatkan di wilayah pelaksana
SLPTT tetapi berada di luar unit SL-PTT (Gambar 1).
Benih VUB untuk pendampingan LL seluas 0.25 ha per
unit berasal dari Badan Litbang Pertanian, sedangkan
pupuk yang digunakan untuk kebutuhan VUB tersebut
berasal dari bantuan langsung pupuk (BLP) Dirjen
Tanaman Pangan. Selanjutnya, sarana produksi untuk
demplot PTT disediakan oleh BPTP Riau melalui DIPA
APBN 2011 yang diperkuat dengan swadaya petani.
Gambar 1. Tata letak unit SLPTT, LL, Pendampingan LL
dan Demplot PTT
HASIL DAN PEMBAHASAN
Demplot Pendampingan Laboratorium Lapang
(LL)
Hasil pengujian status hara tanah pada dua
lokasi demplot menggunakan Perangkat Uji Tanah
Sawah (PUTS) didapatkan hasil seperti pada tabel 1
berikut:
Tabel 1. Hasil Analisis Tanah Desa Kemuning Muda dan Desa Bungaraya menggunakan Perangkat Uji Tanah Sawah
NO. Parameter Status hara tanah
menggunakan PUTS
Rekomendasi Pupuk (Target hasil 5 t/ha
GKG)
1. pH Agak masam Pemberian pupuk nitrogen dalam bentuk Urea
2. Fosfat Rendah 125 kg/ha SP-36 3. Kalium Sedang 75 kg/ha KCl
Tabel 1 menunjukkan bahwa status hara di Desa
Kemuning Muda dan Desa Bungaraya memiliki
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 25-29
| 28
kandungan Phosfat rendah sedangkan status kaliumnya
sedang. Sehingga direkomendasikan SP-36 sebanyak
125 kg/ha dan KCl sebanyak 75 kg/ha.
Keragaan Tanaman
Pengamatan keragaan tanaman meliputi variabel
tinggi tanaman, jumlah anakan total, jumlah anakan
produktif dan panjang malai disajikan pada tabel 2
berikut:
Tabel 2. Tinggi tanaman, jumlah anakan maksimum, jumlah anakan produktif dan panjang malai.
Desa Varietas Variabel Pengamatan
Tinggi tanaman
(cm)
Jumlah anakan
maksimum
(batang)
Jumlah anakan
produktif
(batang)
Panjang malai (cm)
Bungaraya Inpara 1 105,8 19,2 16,0 23,0 Situ Patenggang
113,8 12,8 11,1 21,2
Inpari 1 110,2 16,2 13,0 24,0 Inpari 6 jete 90,4 19,6 14,8 23,3 Gilirang 108,2 19,2 14,8 21,0
Kemuning Muda
Inpara 1 106,6 19,0 16,0 24,1 Situ Patenggang
115,8 14,2 11,8 21,6
Inpari 1 108,4 17,2 14,0 25,0
Inpari 6 jete 90,2 19,0 15,0 22,2 Gilirang 107,2 18,8 15,2 22,1
Tinggi tanaman padi yang didisplaykan pada
Tabel 2 berkisar antara 90,2 cm sampai dengan 115,8
cm. Perbedaan tinggi tanaman padi tergantung dengan
sifat genetis dari varietasnya (Deptan, 2005). Data
pada tabel 1 terlihat bahwa tinggi tanaman tertinggi
terdapat pada varietas Situ Patenggang baik di Desa
Bungaraya maupun Kemuning Muda. Untuk jumlah
anakan maksimum terbanyak pada Varietas Inpara 1,
sedangkan Varietas Situ Patenggang mempunyai
jumlah anakan yang paling sedikit dibandingkan
varietas lainnya.
Keragaan Produksi
Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa Varietas
Inpara 1 dan Inpari 1 baik di Desa Kemuning Muda
maupun di Desa Bungaraya memberikan hasil jumlah
gabah tertinggi berkisar 123-154 gabah/malai. Namun
gabah hampa kedua varietas ini juga terlihat lebih
tinggi dari varietas lainnya. Untuk bobot 1000 butir
terlihat bahwa Inpari 1 memberikan hasil yang paling
tinggi sebesar 30,4-31,3 g dibandingkan dengan
varietas lainnya. Menurut Darmardjati J. S. (2006),
bahwa bobot 1000 gabah selain ditentukan oleh asupan
unsur hara yang diserapnya, juga sangat dipengaruhi
oleh genetik suatu varietas tertentu.
Tabel 3. Jumlah gabah total, jumlah gabah hampa, bobot 1000 gabah dan produktivitas.
Desa Varietas Variabel Pengamatan
Jumlah gabah
total permalai
(butir)
Jumlah gabah
hampa permalai
(butir)
Bobot 1000
gabah (butir)
Produktivitas (ton/ha)
Bungaraya Inpara 1 123,0 38,0 29,9 7,06 Situ Patenggang 107,0 21,0 20,0 6,08 Inpari 1 123,0 41,0 30,4 6,48
Inpari 6 jete 87,0 14,0 27,8 5,28 Gilirang 94,6 19,8 26,2 6,80
Kemuning
Muda
Inpara 1 156,0 53,0 29,0 7,20
Situ Patenggang 109,6 16,0 28,4 6,32 Inpari 1 154,0 47,0 31,1 6,24 Inpari 6 jete 81,8 14,2 27,4 5,44 Gilirang 97,7 15,6 28,5 6,56
Kemudian Balasubramaniam et al. (2006)
menyatakan bahwa bobot gabah suatu varietas bisa
sama dan juga berbeda dengan varietas yang lainnya
tergantung karakter/genetik dari varietas tersebut
walaupun unsur hara yang diberikan dalam kondisi
sama sama tercukupi. Sedangkan untuk produksi
tertinggi adalah varietas Inpara 1 baik di Desa
Kemuning Muda maupun di Desa Bungaraya sebesar
7,06-7,20 ton/ha. Secara ekologis Varietas Inpara 1
sangat cocok dan adaptif untuk daerah Kecamatan
Bungaraya yang ditanam pada musim hujan, sehingga
pada kondisi curah hujan yang berlebihan masih bisa
memberikan hasil yang optimal. Menurut pendapat Fagi
A.M. (2006), bahwa varietas unggul merupakan salah
satu komponen teknologi yang sangat besar perannya
dalam meningkatkan produksi padi, apalagi suatu
varietas unggul tersebut didukung oleh komponen lain
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 25-29
| 29
seperti pengolahan tanah, pemupukan yang seimbang
dan perawatan yang intensif.
Menurut Kustiyanto (2001) menyatakan bahwa
lahan persawahan secara umum di Indonesia memiliki
agroekosistem yang beragam, disamping kondisi curah
hujan yang tidak teratur, maka sangat diperlukan jenis-
jenis varietas yang terseleksi dan mampu beradaptasi
pada kondisi cekaman biotik maupun abiotik. Dari hasil
kajian tersebut terlihat bahwa varietas Inpara 1
menghasilkan hasil yang tertingggi (7,06-7,20 ton
GKP/Ha) dan produktivitas ke empat varietas lainnya
juga masih tinggi (>5 ton GKP/ha) masih berpotensi
untuk dikembangkan sebagai alternatif varietas yang
adaptif pada daerah-daerah yang selalu bermasalah
seperti kebanjiran, kekeringan dan serangan OPT
khususnya di daerah Kecamatan Bungaraya Kabupaten
Siak atau daerah lain di sekitarnya yang masih memiliki
kesamaan agroekosistem.
KESIMPULAN
1. Varietas yang memiliki produktivitas tertinggi yaitu
varietas Inpara 1 (7,13 ton/ha), Gilirang (6,68
ton/ha), Inpari 1 (6,36 ton/ha), Situ Patenggang
(6,20 ton/ha) dan Inpari 6 JETE (5,28)
2. Pupuk yang dianjurkan untuk lahan sawah di Desa
Bungaraya dan Kemuning Muda berdasarkan hasil
analisis tanah (PUTS) yaitu: SP 36 125 kg/ha, KCl
cukup 75 kg/ha, Urea berkisar antara 150-200
kg/ha (sesuai dengan BWD).
DAFTAR PUSTAKA
Balasubramaniam V., Rajendran, R., Ravi, V dan Las, I. 2006. Integrated Crop Management (ICM): Field Evaluation and Lesson Learn. In Rice Industry, Culture and Environment. ICCR, ICFORD, IAARD. Jakarta.
Departemen Pertanian, 2009. Pedoman Umum dan Petunjuk Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Departemen Pertanian Badan Litbang Pertanian. 2005. Kumpulan Teknologi Unggulan Pendukung PRIMA TANI. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. 75 p.
Damardjati, J.S. 2006. Learning from Indonesian Experiences in Achieve Rice Self Sufficientcy. In Rice Industry, Culture and Environment. ICCR, ICFORD, IAARD. Jakarta.
Ditjen Tanaman Pangan. 2008. Pedoman Umum: Peningkatan Produksi dan Produktivitas Padi, Jagung, dan Kedelai melalui pelaksanaan SL-PTT. Dirjen Tanaman Pangan. 72 p.
Ekspose Pertemuan Teknis dan Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan Operasi Pangan Riau Makmur (OPRM) se Provinsi Riau Tahun Anggaran 2011, tanggal 1 Desember 2011 di Hotel Ibis Pekanbaru (tidak dipublikasikan).
Fagi A.M. 2006. Penelitian Padi Menuju Revolusi Hijau Lestari. Balai Penelitian Padi, sukamandi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. 68 Hal.
Kesekretariatan Operasi Pangan Riau Makmur (OPRM). 2009. Dinas Pertanian dan Hortikultura Provinsi Riau.
Kustiyanto. 2001. Kriteria seleksi untuk sifat toleran cekaman lingkungan biotik dan abiotik. Makalah Penelitian dan Koordinasi Pemuliaan Partisipatif (Shuttle Breeding) dan Uji Multilokasi.
Sukamandi. Pramono, J., Basuki, S., dan Widarto. 2005. Upaya
Peningkatan Produktivitas Padi Sawah Melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu. Agrosains 7(1): 1-6, 2005.
Sembiring, H. dan Abdulrahman, H. 2008. Filosofi dan Dinamika Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi
Sawah. BB Penelitian Padi sawah. Sukamandi
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 25-29
| 30
FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF AKSELERASI
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI DI PROVINSI RIAU
Anita Sofia dan Oni Ekalinda 1)
1) Penyuluh Pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau
ABSTRAK
Faktor penentu keberhasilan teknologi dalam peningkatan produksi ditentukan oleh banyak faktor. Faktor
teknis ditentukan dari keragaan tingkat adopsi teknologi yang diterapkan sesuai rekomendasi. Dari keragaan tingkat adopsi teknologi yang menerapkan teknologi sesuai rekomendasi untuk petani koperator rata-rata 83,6 %
sedangkan petani non koperator 53,6 %. Faktor penentu sosial yaitu karaktristik petani responden yang diketahui bahwa, lebih dari 80% tergolong usia produktif, dengan tingkat pendidikan sekitar 50% hanya sekolah dasar, pengalaman berusahatani +15 tahun, luas penguasaan sawah 0,5-1,0 ha, penggunaan tenaga kerja 141,6 HOK untuk petani koperator dan 144,8 HOK non koperator. Hampir semua responden berpartisipasi dan terlibat sepenuhnya dalam kelembagaan lokal didesa, perencanaan usahatani pada petani koperator telah dilakukan dengan baik. Faktor penentu ekonomi berupa sumber modal usahatani berasal dari modal sendiri, pengadaan sarana produksi petani dengan membeli sendiri ke kios sarana produksi atau pasar lokal, sumber penyediaan
tenaga kerja berasal dari dalam keluarga. Dari analisa ekonomi usahatani, penerapan teknologi pada PTT padi, memperlihatkan nilai MBCR 0,98.
Kata kunci: Faktor Penentu, Teknologi, Peningkatan Produktifitas Padi
ABSTRACT
Critical success factorto improve production technology is determined by many factors. Technical factors were determined from the performance level of technology adoption that applied based onthe recommendations. From the performance level of technology adoption, around 83.6% of cooperator farmers applied technology based on recommendation, while non-cooperator farmers only 53.6%. Social determinants such as characteristics of farmer respondents showed that more than 80% of respondents in the productive age, around 50% of the education level only primary school, farming experience about +15 years, extensive mastery of the fields from 0.5 to 1.0 ha, and the use of labor was 141.6HOKto 144.8 HOK cooperator’s and non-cooperators farmers respectively. Almost all ofthe respondents participated and engaged fully in local institutions at the village, farm planning for cooperator farmers have done well. The deciding factor in the form of economic capital resources came from the farm's own capital, the production facilities were buying in the production facilities shop or local markets, sources of labor supply came from within the family. From farm economic analysis, the use of technology in the ICM rice showed that the value of MBCR was 0.98. Keywords: Determinants, technology, rice productivity improvement
| 31
PENDAHULUAN
Proses adopsi inovasi pertanian dapat
berlangsung secara cepat ataupun lambat, tergantung
dari pola dan cara penyampaian inovasi teknologi serta
situasi dan kondisi wilayah. Menurut Rogers et al, 1981
jika proses tersebut dilakukan melalui “pemaksaan”
(coersion), biasanya dapat berlangsung secara cepat,
tetapi jika melalui “bujukan” (persuasive) atau
“pendidikan” (education), proses adopsi tersebut dapat
berlangsung lebih lambat. Tetapi, ditinjau dari
pemantapan perubahan perilaku yang terjadi, adopsi
yang berlangsung melalui proses bujukan dan atau
pendidikan biasanya bertahan dan lebih sulit berubah
kembali. Sedang menurut Muhammad Cholis, 1998
menyatakan bahwa, adopsi yang terjadi melalui
pemaksaan, biasanya lebih cepat berubah kembali,
segera setelah unsur atau kegiatan pemaksaan tersebut
tidak dilanjutkan lagi. Menurut Suprapto dan Fahrianoor
(2004) introduksi suatu inovasi teknologi baru harus
disesuaikan dengan kondisi spesifik lokasi. Keputusan
seseorang dalam mengadopsi inovasi teknologi dimulai
sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai
mengambil keputusan untuk menerima atau menolak
inovasi tersebut.
Kecepatan dan tingkat adopsi teknologi oleh
petani memerlukan partisipasi serta ketersediaan dan
kemampuan petani untuk menerima teknologi yang
dihasilkan, dilain pihak permasalahan yang dihadapi
petani didalam mengelola usahataninya cukup komplek
sehingga dapat menghambat suatu proses adopsi
teknologi. Keadaan demikian merupakan salah satu
penyebab terjadinya kesenjangan hasil antara teknologi
yang diterapkan petani melalui pengawalan seperti
yang dilakukan pada penerapan inovasi teknologi pada
PTT Padi di Laboratorium Lapang dengan hasil yang
diperoleh petani dengan penerapan teknologi eksisting,
(Badan Litbangtan, 2012). Selanjutnya Suriatna (2000),
menyatakan bahwa beberapa faktor yang
mempengaruhi percepatan proses adopsi teknologi
ditingkat petani adalah; 1) teknologi yang dikenalkan
benar-benar membantu pemecahan masalah petani;
2) sarana yang diperlukan untuk implementasi
teknologi tersebut mudah didapat; 3) teknologi yang
dikenalkan mempunyai tingkat efisiensi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan teknologi sebelumnya;
4) produk dari teknologi tersebut mempunyai prospek
pasar yang baik. Soekartawi (1998) menyatakan bahwa
transfer teknologi berjalan cepat apabila teknologi yang
dianjurkan (introduced technology) merupakan
perbaikan dan kelanjutan dari teknologi petani (existing
technology). Namun disadari bahwa proses percepatan
transfer teknologi kepada pengguna membutuhkan
waktu dan upaya khusus karena terkait dengan tingkat
pengetahuan petani terhadap teknologi serta faktor
sosial dan ekonomi petani yang mempengaruhi
kecepatan adopsi suatu teknologi (Sudaryono, 1998).
Hasil penelitian Fachrista etal (2013) mengemukakan
bahwa faktor-faktor sosial ekonomi yang menjadi
penentu bagi petani dalam mengadopsi pengelolaan
tanaman terpadu padi sawah yaitu pendidikan, luas
lahan, jarak pemukiman ke usahatani padi, jalan raya,
pasar input, dan sumber teknologi.
Adapun aspek lainnya yang juga mempengaruhi
adalah faktor pendukung agar petani mampu
menerapkan teknologi tersebut diantaranya adalah
ketersediaan sarana produksi dan insentif harga
produksi yang cukup menguntungkan petani (Musyafak
et al, 2002). Sedangkan menurut Bunch (2001) adopsi
suatu teknologi bisa berjalan cepat apabila teknologi
tersebut mampu meningkatkan pendapatan petani
minimal 50 hingga 150%.
Untuk itu dipandang perlu melakukan suatu
kajian tentang faktor penentu keberhasilan teknologi
dalam perspektif akselerasi peningkatan produktivitas
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 30-36
| 32
padi di Provinsi Riau yang bertujuan untuk
mendapatkan data dan informasi faktor penentu
keberhasilan inovasi PTT- Padi sawah di Provinsi Riau.
METODE PENELITIAN
Kegiatan ini dilaksanakan pada tahun 2012 di
Kabupaten Indragiri Hilir dan Kabupaten Rokan Hilir.
Pengumpulan dan analisis data dari kajian ini
menggunakan data primer dan sekunder. Data primer
merupakan hasil pengamatan atau wawancara
langsung dengan 120 responden yang terdiri dari
petani yang mengikuti program SL-PTT (koperator) dan
petani yang tidak mengikuti program SL-PTT (non
koperator). Kemudian data yang didapat diolah dan
dianalisis menggunakan analisis deskriptif kualitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Faktor Penentu Teknologi
Kecepatan dari adopsi inovasi ditentukan oleh
berberapa faktor penentu antara lain sifat-sifat atau
karakteristik inovasi dan sifat-sifat atau karakteristik
calon pengguna, (Sudaryono, 1998).
Dari beberapa komponen teknologi dasar pada
PTT, yang mutlak diterapkan dalam kegiatan usahatani
padi sesuai dengan rekomendasi adalah; penggunaan
Varietas Unggul Baru (VUB), pemakaian benih berlabel,
pemupukan berdasarkan status hara, pengendalian
OPT, pemberian bahan organik, pengolahan tanah
sesuai pola tanam, penanaman bibit muda, penanaman
1-3 bibit/rumpun, pengairan berselang dan penyiangan
dengan landak (tabel 1). Dari keragaan tingkat adopsi
teknologi pada PTT padi, yang menerapkan teknologi
sesuai rekomendasi untuk petani koperator 83,6 %
sedangkan petani non koperator 53,6 %. Hal ini
dimungkinkan karena petani yang mengikuti program
SLPTT wajib menerapkan teknologi pada PTT padi
sesuai rekomendasi.
Tabel 1. Keragaan Penerapan Teknologi Inovasi pada PTT Padi di Kabupaten Indragiri Hilir dan Rokan Hilir, Tahun 2012
Komponen Faktor Penentu Teknis Kooperator Non Koperator
Penggunaan VUB Pemakaian benih berlabel Pemupukan berdasarkan status hara Pengendalian OPT Pemberian bahan organik Pengolahan tanah sesuai pola tanam Penanaman bibit muda Penanaman 1-3 bibit/rumpun Sistem Tanam legowo Pengeiran berselang Penyiangan dengan landak
100 100 90 80 60 100 100 100 70 60 60
60 50 60 50 50 90 70 70 30 30 30
Rerata 83,6 53,6
2. Faktor Penentu Sosial
Karakteristik sosial, dapat ditinjau dari hubungan
sosial yang dilakukan responden baik secara personal
maupun interpersonal diluar komunitasnya dan
kaitannya dengan tingkat kemampuannya dalam
penerapan teknologi. Menurut Fattah et al, 2004,
bahwa secara sosial yang mempengaruhi masyarakat
tani (responden) dalam penerapan suatu teknologi
antara lain; tingkat umur, tingkat pendidikan,
pengalaman berusahatani, ketersediaan tenaga kerja
dan penguasaan lahan. Adopsi teknologi padi
dipengaruhi oleh pengalaman usahatani, ukuran rumah
tangga petani, jenis kelamin, ketersediaan pasar dan
tenaga kerja (Jamala et al., 2011).
Karakteristik Petani
Dari karakteristik petani responden dapat
diketahui bahwa, lebih dari 80 % tergolong usia
produktif, sehingga memungkinkan petani untuk
mengelola usahataninya dengan baik. Tingkat usia
dapat juga menjadi parameter dalam penerapan
teknologi introduksi. Golongan berusia muda biasanya
lebih responsif dalam menerima inovasi teknologi baru,
dimana resiko kegagalan merupakan pelajaran untuk
perbaikan dimasa datang sedangkan golongan tua lebih
mengandalkan terhadap pengalaman empiris, kurang
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 29-35
| 33
responsif dalam menerima teknologi baru dan tidak
berani menanggung resiko.
Berdasarkan tingkat pendidikan, lebih dari 50
% petani hanya sampai pada sekolah dasar dan
sebagian kecil tingkat SLTP. Tingkat pendidikan
sebenarnya berpengaruh terhadap perubahan sikap
dan perilaku seseorang karena dapat mengubah cara
pandang seseorang dalam mengamati lingkungannya.
Dari pengalaman berusahatani rata-rata lebih dari 15
tahun menunjukkan bahwa sebenarnya petani telah
mahir dalam mengelola usahataninya. Luas penguasaan
sawah tergolong relatif kecil 0,5-1,0 ha.
Sempitnya penguasaan lahan tidak memerlukan
penerapan teknologi yang komplek, hal ini ditunjukkan
oleh penelitian Sumarno, 2000, bahwa variabel luas
lahan berkorelasi positif dengan tingkat penerapan
teknologi, semakin luas pemilikan lahan garapan, akan
semakin besar permasalahan yang dihadapi yaitu
besarnya biaya dan waktu yang digunakan untuk
pengelolaan usahatani sehingga semakin kompleks
teknologi usahatani yang diadopsi.
Tabel 2. Karakteristik Petani Responden Pada PTT Padi di Kabupaten Indragiri Hilir dan Rokan Hilir, Tahun 2012
Karakteristik Kategori Non Koperator
(%)
Koperator (%)
Umur (thn) < 40 thn 36 47 40 – 55 thn 52 32 > 55 thn 12 11
Pendidikan SD 63 45 SLTP 34 38 SLTA 3 17 S1 - 2
Pengalaman berusahatani (thn)
< 10 thn 25 32 10 – 15 thn 28 35 > 15 thn 47 33 4 – 6 8 5 > 6 5 3
Tenaga kerja produktif dalam keluarga (orang)
< 3 95 92 3 – 6 3 5 > 6 2 3
Penguasaan lahan sawah (ha)
< 0,5 34 25 0,5 – 1,0 42 35 > 1,0 24 40 0,5 – 1,0 47 45
> 1,0 21 13
Tenaga Kerja
Terbatasnya tenaga kerja produktif dalam
keluarga menyebabkan petani menggunakan tenaga
upahan terutama untuk pekerjaan pengolahan tanah,
penyiangan dan panen. Serapan tenaga kerja untuk
kegiatan pengolahan tanah sekitar 25 %, penyiangan
13 % serta panen dan prosesing hasil 33 %.
Penggunaan tenaga kerja rata-rata untuk usahatani
padi 141,6 HOK untuk petani koperator dan 144,8 HOK
koperator atau setara dengan 991 jam pada non
koperator dan 1014 jam pada koperator jam ( 1 HOK =
7 jam). Secara rinci dapat dilihat pada tabel 3. Dari
total biaya yang dikeluarkan untuk usahatani padi, upah
tenaga kerja merupakan komponen biaya tertinggi
dibanding biaya lain, hal ini disebabkan tingginya upah
tenaga kerja rata-rata Rp 50.000 per HOK. Introduksi
teknologi pada PTT diharapkan dapat menghemat
penggunaan tenaga kerja terutama pada saat
pengolahan tanah, penanaman, penyiangan dan panen.
Tabel 3. Kebutuhan Tenaga Kerja yang Digunakan Untuk Usahatani Padi pada PTT Padi di Kabupaten Indragiri Hilir dan Rokan Hilir, Tahun 2012
Aktifitas/kegiatan Keragaan Alokasi Curahan Tenaga Kerja Pada PTT Padi
Koperator Non Koperator
HOK Rp (000)
HOK Rp (000)
Persemaian 2 100 4 200
Pengolahan tanah 37 1850 34 1700
Penanaman 37 1850 35 1850
Pemupukan 0,1 5 0,4 20
Penyiangan 18 1250 23 1150
PHP 0,5 45 0,4 20
Panen dan prosesing 47 2350 48 2400
Total 141,6 7450 144,8 7340
PHP= Pemberantasan Hama dan Penyakit tanaman HOK = Hari Orang Kerja 1 HOK= 7 jam/hari, senilai Rp 50.000/hari
Partisipasi Dalam Kelembagaan Lokal di desa
Faktor-faktor sosial turut menentukan
keberhasilan usahatani. Pada Petani koperator
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 30-36
| 34
penerapan komponen faktor penentu sosial lebih baik
dari non kooperator (Tabel 4). Hal ini dimungkinkan
karena pada petani kooperator yang mengikuti kegiatan
SLPTT, aktifitas dalam kelembagaan kelompok tani
relatif lebih tinggi frekuensinya dari pada non
koperator. Selain pembinaan secara teknis, pada
kegitan SLPTT juga diberikan pendampingan dalam
memacu dinamika kelompok secara partisipatif oleh
fasilitator bersama-sama dengan petani terutama dalam
menggali masalah dan mengupayakan pemecahan
masalah pada tingkat petani di Laboratorium Lapang
(LL) SLPTT, dimana pada akhirnya petani diharapkan
dapat lebih mandiri dalam mengelola usahataninya.
Dilihat dari perencanaan usahatani, ternyata
petani koperator telah melakukan rencana usahatani
dengan baik. Hal ini terlihat dari adanya pembukuan
dan penyususnan program kerja kelompok tani secara
tertulis setiap kali musim tanam yang meliputi
penyusunan RDK dan RDKK. Kerjasama didalam
kelompok tani cukup baik, terlihat dari dipatuhinya
rencana usahatani yang telah disusun secara bersama-
sama antara pengurus dan anggota kelompok tani.
Tabel 4. Faktor Penentu Sosial Dalam Penerapan
Teknologi pada PTT Padi di Kabupaten
Indragiri Hilir dan Rokan Hilir, Tahun 2012
Komponen Faktor Penentu Sosial Koperator Non koperator
Perencanaan Kerjasama Kegiatan Belajar mengajar Pengembangan & pemanfaatan fasilitas milik kelompok Inisiatif dan Kesepakatan kelompok
75 70 90 80
80
67 69 50 60
50
Rataan 79 59
Dari hasil identifikasi partisipasi petani
responden terhadap kelembagaan lokal didesa dapat
diketahui bahwa hampir semua responden terlibat
dalam kelembagaan desa. Status keterlibatan
responden terhadap kelembagaan desa antara lain
dalam pemerintahan desa, kepala dusun, Badan
Perwakilan Desa, RT/RW, KUD, Pengurus kelompok tani
dan anggota kelompok tani.
Tabel 5. Partisipasi Petani Dalam Kelembagaan Lokal
pada PTT Padi di Kabupaten Indragiri Hilir dan Rokan Hilir, Tahun 2012
Kelembagaan Lokal
Status dalam kelembagaan
Lamanya (tahun)
Kop
(%)
Non kop
(%)
Kop
(%)
Non kop
(%)
Pemerintahan Desa
23 16 3 3
Kepala Dusun 2 1 3 4
Badan Perwakilan Desa
1 1 5 3
RT/RW 7 5 4 3
LKMD/LMD 5 3 5 5
KUD 7 3 8 6
Pengurus Kelompok tani
19 5 9 5
3. Faktor Penentu Ekonomi
Faktor penentu ekonomi dapat dicirikan dari
keragaan ekonomi yang melekat pada petani responden
antara lain; kemampuan permodalan, ketersediaan aset
produksi yang dimiliki, sumber mata pencaharian, harga
produksi yang berlaku, perolehan hasil produksi,
ketersediaan lembaga pemasaran serta aksesibilitas
petani dalam memanfaatkan lembaga keuangan baik
formal maupun non formal dipedesan. Hasil penelitian
Burhansyah (2014) mengungkapkan bahwa percepatan
adopsi inovasi dipengaruhi secara nyata oleh jarak
pemukiman lokasi usahatani dan jarak pemukiman ke
sumber teknologi, tingkat pendidikan, luas lahan dan
aksesibilitas ke jalan raya, dan aksesibilitas ke sumber
teknologi. Pelambatan adopsi dipengaruhi faktor
tanggungan keluarga, jarak tempat ke pemukiman ke
lokasi usahatani, jarak pemukiman ke sumber
permodalan dan jarak pemukiman ke sumber teknologi.
Dari Table 6, terlihat bahwa sumber modal
usahatani pada umumnya berasal dari modal sendiri.
Untuk pengadaan sarana produksi biasanya petani
membeli sendiri ke kios sarana produksi atau pasar
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 30-36
| 35
lokal. Sebagian besar hasil produksi padi digunakan
untuk konsumsi keluarga dan apabila ada kelebihan
dijual ke penggilingan padi desa dengan harga jual
yang ditentukan oleh pembeli.
Tabel 6. Faktor Penentu Ekonomi pada PTT Padi di Kabupaten Indragiri Hilir dan Rokan Hilir, Tahun 2012
Komponen Faktor Penentu Ekonomi
Koperator Non Koperator
Modal Usahatani Penyediaan saprodi Penyediaan Tenaga Kerja Penjualan Hasil Harga Jual Pelaksanaan Penjualan
75 79 17 81 36 39
71 75 11 77 32 29
Rataan 54 49,2
Perbedaan penerimaan atas penerapan paket
teknologi pada petani koperator dengan non koperator
dapat dilihat dari tingkat pengembalian marginal
(MBCR). Dari Tabel 7 dapat dilihat Nilai MBCR dari
penerapan teknologi pada pada PTT padi koperator
dengan non koperator yaitu 0,98. Nilai MBCR
menunjukkan bahwa setiap Rp 1 teknologi pada PTT
yang diterapkan pada usahatani padi, akan
memberikan tambahan pendapatan bersih sebesar nilai
MBCR tersebut.
Tabel 7. Pendapatan Atas Biaya Berubah Pada
Usahatani Padi dari Penerapan Teknologi pada
PTT
Uraian Usahatani padi
Koperator Non Koperator
Hasil ( t/ha) 5,4 3,2
Pendapatan Kotor (Rp/ha) 24.300.000 14.400.000
Tenaga Kerja (Rp/ha) 7.080.000 7.240.000
Biaya Saprodi (Rp/ha) 1.955.240 1.554.000
Total Biaya Berubah (Rp/ha) 9.035.240 8.794.000
Pendapatan Atas Biaya Berubah ( Rp/ha)
15.264.760 5.606.000
Keuntungan bersih marginal (KBM) pada petani
kooperator lebih tinggi dibanding non kooperator, hal
ini disebabkan karena total penerimaan petani
kooperator lebih tinggi dari petani non kooperator
dengan perbedaan penerimaan sebesar Rp 9.900.000.-
Tabel 8. Keuntungan Bersih Marginal, Biaya Marginal dan Total Pengembalian Marginal (MBCR) Pada Usahatani Padi dari penerapan Teknologi Pada PTT
Uraian Usahatani padi
Koperator Vs Non Koperator
KBM 9.658.760
BM 241.240
TPM (MBCR) 0,98
KBM = Keuntungan Bersih Marginal (Pendapatan Atas Biaya
Berubah A1 - Pendapatan Atas Biaya Berubah A2) ; BM=
Biaya Marginal (Total Biaya Berubah A1- Total Biaya Berubah
A2); TPM = (Pendapatan Atas Biaya Berubah
A1 - Pendapatan Atas Biaya Berubah A2 dibagi Pendapatan
kotor A1 - Pendapatan kotor A2).
KESIMPULAN
1. Dari keragaan tingkat adopsi teknologi pada PTT
padi, yang menerapkan teknologi sesuai
rekomendasi untuk petani kooperator rerata 83,6
% sedangkan petani non kooperator 53,6 %.
2. Faktor penentu sosial yang berpengaruh dalam
penerapan teknologi inovasi pada tingkat petani,
adalah sebagai berikut; (i) dari karakteristik petani
responden diketahui bahwa, lebih dari 80 %
tergolong usia produktif, dengan tingkat
pendidikan sekitar 50 % hanya sampai pada
sekolah dasar, rata-rata pengalaman berusahatani
sekitar 15 tahun, luas penguasaan sawah 0,5-1,0
ha, rata-rata penggunaan tenaga kerja 141,6 HOK
untuk petani koperator dan 144,8 HOK non
koperator. (ii) Partisipasi dalam kelembagaan lokal
di desa. Hampir semua responden berpartisipasi
dan terlibat sepenuhnya dalam kelembagaan lokal
didesa, perencanaan usahatani pada petani
koperator telah dilakukan dengan baik, terlihat dari
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 30-36
| 36
adanya pembukuan dan penyusunan program kerja
kelompok tani secara tertulis setiap kali musim
tanam yang meliputi penyusunan RDK dan RDKK.
3. Faktor penentu ekonomi dapat dilihat dari keragaan
ekonomi yang melekat pada petani responden,
seperti; modal usahatani, penyediaan sarana
produksi, penyediaan tenaga kerja dan perolehan
pendapatan dari penjualan hasil serta tingkat
keuntungan dari pengusahaan usahatani. Sumber
modal usahatani pada umumnya berasal dari modal
sendiri. Untuk pengadaan sarana produksi petani
membeli sendiri ke kios sarana produksi atau pasar
lokal. Dari analisa ekonomi usahatani, penerapan
teknologi pada PTT padi, memperlihatkan nilai
MBCR 0,98.
DAFTAR PUSTAKA
A. Fattah, 2004. Faktor-faktor yang mempengaruhi senjang hasil padi di Sulawesi Tenggara, Balai Penelitian Tanaman Pangan, Maros
Badan Litbang Pertanian.2012. Petunjuk Teknis Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi. Petunjuk Teknis Lapang. Badan Litbang Pertanian, Kementan, Jakarta.
Burhansyah R. 2014. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Adopsi Inovasi Pertanian Pada Gapoktan Puap Dan Non Puap di Kalimantan Barat (Studi Kasus: Kabupaten Pontianak Dan Landak. Dalam Jurnal Informatika Pertanian, Vol. 23 No.1.
Bunnch, Roland. 2001. Dua Tongkol Jagung: Pedoman Pengembangan Pertanian Berpangkal Pada Rakyat. Edisi Kedua. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Cholis. M. 1998. Memacu Proses Difusi dan Adopsi Teknologi, Dalam : Sinar Tani No.2769. Balitan Malang.
Fachrista. A, Rachmat H Dan Risfaheri. 2013. Faktor Sosial Ekonomi Penentu Adopsi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah di Bangka Belitung. Dalam Jurnal Informatika Pertanian, Vol. 22 No.2, Desember 2013.
Jamala, G.Y., H.E.Shehu and A.T. Garba. 2011. Evaluation of Factors Influecing Farmer Adoption of Irrigated Rice Production in Fadama Soil of North Eastern Nigeria. Journal of Development and Agricultural Economic 3 (2).
Musyafak, A. Hazriani, Suyatno, A. Sahari, J dan Kilmanun. J.C. 2002. Study Dampak Teknologi Pertanian di Kalimantan Barat. BPTP Kalbar. Pontianak.
Rogers. EM dan F. Floyd Shomaker. 1981. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru, Usaha Nasional Surabaya.
Sudaryono. 1998. Keragaan Kelompok Tani Dalam Usahatani Kedele di Kecamatan Wanaraja, Garut, Dalam : Penelitian Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Pangan, Bogor, 1995.
Sukartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. UI Press. Jakarta.
Sumarno. 2000. Konsep Pendayagunaan Sumberdaya Lahan Untuk Pengembangan Tanaman Hortikultura. Dalam Prosiding Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim dan Pupuk. Cipayung Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Suprapto, T. dan Fahrianoor. 2004. Komunikasi Penyuluhan dalam Teori dan Praktek. Arti Bumi Intaran. Yogyakarta.
Suriatna. S.2000. Metode Penyuluhan Pertanian, PT. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta.
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 30-36
| 37
PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI VARIETAS CEKAU PELALAWAN DI LAHAN PASANG SURUT KECAMATAN KUALA KAMPAR KABUPATEN
PELALAWAN MELALUI PERBAIKAN TEKNOLOGI BUDIDAYA
Viona Zulfia, Marsid Jahari dan Rachmiwati 1)
1) Peneliti Pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau
ABSTRAK
Produktivitas padi rawa pasang surut di Kecamatan Kuala Kampar Kabupaten Pelalawan masih rendah
(sekitar 3,0-3,5 ton/ha GKP). Salah satu penyebab rendahnya produktivitas padi pasang surut tersebut karena belum menerapkan teknologi budidaya dengan baik. Ada beberapa komponen teknologi yang perlu diperhatikan yaitu: Penggunaan varietas yang berkualitas, pemupukan yang berimbang, sistem tanam yang tepat dan perawatan yang intensif. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan produktivitas padi varietas unggul Cekau Pelalawan dan Karya Pelalawan pada Lahan Pasang Surut Kabupaten Pelalawan dengan penerapan teknologi budidaya. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial dengan tiga ulangan, dimana faktor pertama: terdiri dua jenis varietas dan faktor kedua: terdiri dari dua teknologi budidaya. Hasil kajian menunjukan bahwa produktivitas padi yang tertinggi pada teknologi introduksi dengan Varietas Cekau Pelalawan (5,83 ton/ha) dan Varietas Karya Pelalawan (5,63 ton/ha) GKP) sementara dengan teknologi perbaikan hanya diperoleh produktivitas Cekau Pelalawan 3,57 ton/ha dan Karya Pelalawan 3,27 ton/ha. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penerapan teknologi introduksi dapat meningkatkan produktivitas padi rawa pasang surut antara 63,3% hingga 72,2% jika dibandingkan dengan teknologi perbaikan. Kata Kunci : Produktivitas, Cekau Pelalawan, Karya Pelalawan, Pasang Surut, Teknologi budidaya
ABSTRACT
Rice productivity ontidal swampland in Kuala Kampar District Pelalawan Regency is low (about 3,0-3,5 ton/ha dry grain harvest). It is because the rice cultivation technology has not applied properly. There are several components of technology that need to be noted: the use of good quality variety, balanced fertilization, proper planting system and intensive care. This assessment was aimed to determine the increasing of riceproduction,especially Cekau Pelalawan and Karya Pelalawan varieties on tidal swampland with theimplement proper rice cultivation technology. The factorial randomized block design (RBD) with two factors and three replications were used. Factor A wastwo varieties and factor B wastwo cultivation technologies. The highest rice productivity was obtained with the implement of introduction technology around 5.83 ton/ha for Cekau Pelalawan variety and 5.63 ton/ha for Karya Pelalawan variety. While with the implement of technology improvement only obtained 3.57 ton/ha for Cekau Pelalawan variety and 3.27 ton/ha for Karya Pelalawan variety. This is shown that the implementation of introduction technology can increase rice productivity on tidal swampland between 63.3% by 72.2 % compared to the implement of technology improvement.
Keywords: Productivity, Cekau Pelalawan, Karya Pelalawan, tidal swampland, cultivation technology
| 38
PENDAHULUAN
Provinsi Riau masih mengalami kekurangan beras
sekitar 57,87 % per tahun (Distannak Riau, 2014).
Kekurangan ini dipasok dari luar Provinsi Riau terutama
dari Provinsi Sumatera Barat dan Sumatera Utara.
Penyebab kekurangan beras tersebut antara lain
disebabkan oleh masih rendahnya produktivitas
tanaman padi (sekitar 3,0-3,5 ton/ha GKP) karena
tingkat kesuburan tanah yang rendah dan secara umum
petani belum menerapkan teknologi budidaya dengan
baik. Penyebab lain dari rendahnya produksi beras kita
karena saat ini sudah banyak berkurangnya lahan
produktif akibat banyaknya alih fungsi lahan (Dinas
Pertanian Provinsi Riau, 2011). Sehubungan dengan
upaya mendukung program Peningkatan Produksi Beras
Nasional (P2BN) yang merupakan program utama
Kementerian Pertanian dalam upaya mencapai produksi
beras nasional sebanyak 70,6 juta ton pada tahun 2014
dan surplus beras 10 juta ton pada tahun 2015 (Badan
Litbang Pertanian, 2011) diupayakan untuk peningkatan
produksi dan produktivitas dengan perbaikan teknik
budidaya dan peningkatan indeks pertanaman.
Kegiatan ini disinkronkan juga dengan adanya program
daerah yaitu Operasi Pangan Riau Makmur (OPRM),
sehingga perlu dilakukan upaya peningkatan
produktivitas padi di beberapa kabupaten sentra
produksi padi di Provinsi Riau (Syukur A. 2010),
terutama di Kecamatan Kuala Kampar Kabupaten
Pelalawan dengan memanfaatkan potensi lahan sawah
pasang surut yang belum dikelola secara optimal.
Kecamatan Kuala Kampar merupakan daerah
yang terjauh dari ibukota kabupaten dan juga dari ibu
kota provinsi yang berbatasan langsung dengan
Provinsi Kepulauan Riau. Daerah tersebut hanya dapat
dijangkau melalui angkutan sungai dan laut dengan
waktu tempuh antara 8-10 jam (Laporan Tahunan
Distan TP Pelalawan, 2011). Posisi geografis seperti itu
menyebabkan pembangunan pertanian dan adopsi
teknologi di daerah tersebut berjalan relatif lebih
lambat dibandingkan daerah-daerah lain. Introduksi
varietas padi unggul ke daerah ini telah lama diakukan
namun akibat adanya berbagai keterbatasan dalam
daya adaptasi varietas terhadap cekaman lingkungan
biotik dan abiotik serta aspek cita rasa nasi yang
kurang cocok dengan preferensi konsumen setempat,
maka varietas unggul yang diintroduksi kurang disukai
petani.
Keterbatasan varietas unggul padi yang
beradaptasi baik di lahan pasang surut Kabupaten
Pelalawan, menyebabkan masih banyak petani yang
mengusahakan varietas lokal. Dua kultivar yang paling
dominan sebarannya di Kuala Kampar adalah Cekau
dan Karya yang oleh Menteri Pertanian RI sudah dilepas
sebagai varietas dengan nama Cekau Pelalawan dan
Karya Pelalawan. Kedua varietas tersebut pada
umumnya ditanam pada musim tanam reguler di bulan
Agustus/September dan panen diperkirakan pada bulan
Januari tahun berikutnya, di luar musim tersebut petani
memberakan lahan.
Dengan sekali musim tanam satu tahun, potensi
Kuala Kampar mendukung ketahanan pangan
Kabupaten Pelalawan masa yang akan datang masih
lemah. Potensi tersebut harus ditingkatkan melalui
peningkatan produksi dan produktivitas dengan
perbaikan teknik budidaya dan peningkatan intensitas
pertanaman. Pengkajian ini bertujuan untuk
mengetahui peningkatan produktivitas padi varietas
unggul Cekau Pelalawan dan Karya Pelalawan di
Kecamatan Kuala Kampar, Kabupaten Pelalawan,
Provinsi Riau dengan penerapan teknologi budidaya.
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 37-42
| 39
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sungai Solok,
Kecamatan Kuala Kampar Kabupaten Pelalawan pada
suatu kawasan/hamparan areal pertanaman padi seluas
50 hektar. Waktu pelaksanaannya mulai Bulan Agustus
hingga Desember 2012. Penelitian ini menggunakan
Rancangan Acak Kelompok faktorial yaitu: Faktor A:
Jenis varietas (Varietas Cekau Pelalawan dan Karya
Pelalawan) sedangan Faktor B: Teknologi Budidaya
(Teknologi Introduksi dan Teknologi Perbaikan) dan
dilakukan sebanyak tiga ulangan. Penelitian ini
menggunakan Varietas Cekau Pelalawan dan Karya
Pelalawan. Bahan yang digunakan antara lain: Urea
150-200 kg/ha, SP-36 100 Kg/ha dan KCl 100 Kg/ha,
Reagent, Dithane M-45, Beta, Dharmabas, Petrokum,
D-Amine dan Ken-Up. Alat yang digunakan adalah,
Perangkat uji tanah (PUTS), Leaf Colour Chart (LCC)
atau bagan warna daun, hand sprayer, alat penyiang
gosrok, cangkul, parang, tugal, tali nilon alat tulis dll.
Teknologi Introduksi budidaya padi sebagai
berikut: 1) Persiapan areal tanam yang meliputi antara
lain: a) Melakukan penyemprotan gulma, b) Pembuatan
tanggul keliling dan c) Pengolahan tanah minimum
2) Pembuatan Persemaian dengan sistem tabur
3) Pemupukan dasar sebelum tanam, 4) Umur bibit
pada saat pindah tanam 18-21 hss, 5) Penanaman
dilakukan dengan menggunakan sistem tanam jajar
legowo dengan jarak tanam 12,5 x 25 x 50 cm, jumlah
bibit dua batang per rumpun, 6) Penyiangan Gulma,
7) Pemupukan menggunakan dosis hasil analisis tanah
menggunakan PUTS. Pelaksanaan pemupukan meliputi
beberapa tahap yaitu: pemupukan dasar, pemupukan
susulan I dan pemupukan susulan II. 8) Pengaturan air
sesuai dengan kebutuhan tanaman, 9) Monitoring
perkembangan hama dan penyakit dilakukan sejak di
persemaian, fase vegetatif, fase generatif hingga
panen. Data yang diperlukan meliputi: jenis
hama/penyakit yang menyerang, persentase tingkat
serangan dan upaya pengendaliannya, 10) Panen
menggunakan sabit bergerigi.
Teknologi perbaikan budidaya padi sebagai
berikut: 1) Persiapan lahan dengan penyemprotan dan
penebasan, 2) Persemaian dengan sistem tugal,
3) tanpa pupuk dasar, 4) pemupukan hanya 1 kali pada
umur 20-25 hst dgn dosis 10 kg TSP, 10 kg KCl dan 50
kg urea. 5) Umur bibit pada saat pindah tanam sudah
35 hari, 6) Menggunakan sistem tanam tegel 30 x 30
cm dengan jumlah bibit 3-5 batang, 7) pengairan masih
mengandalkan air hujan atau pompa.
Parameter yang diamati antara lain; panjang
malai, jumlah gabah total per malai (butir), jumlah
gabah bernas per malai, persentase gabah hampa,
tinggi tanaman terakhir dan jumlah anakan produktif,
bobot 1000 gabah, umur panen dan hasil panen GKP
(ton/ha), serta pengamatan tingkat serangan hama
tikus, penggerek batang dan penyakit Blast.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Pengamatan tinggi tanaman, jumlah anakan
produktif, Umur Panen dan Berat 1000 gabah.
Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman, anakan produktif, umur panen dan berat 1000 gabah.
Perlakuan Parameter yang diamati
Tinggi Tanaman
(m)
Anakan Produktif (batang)
Umur Panen (hari)
Berat 1000 gabah (gram)
A. Cekau Pelalawan (Teknologi
Introduksi)
132,00 a 18,33 a 138,10 a 28,43 a
B. Karya Pelalawan
(Teknologi Introduksi)
126,43 c 16,17 b 126,77 b 24,13 b
C. Cekau Pelalawan (Teknologi
Perbaikan)
128,13 b 14,97 bc 136,40 a 27,90 a
D. Karya Pelalawan (Teknologi
Perbaikan)
124,73 d 13,53 c 125,83 b 23,80 b
Angka rata-rata dalam kolom yang sama diikuti huruf sama menunjukan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan 5%
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 37-42
| 40
Dari hasil pengamatan tinggi tanaman
dipengaruhi oleh jenis varietas maupun oleh sistem
budidaya teknologi. Varietas Cekau Pelalawan dengan
perbaikan teknologi budidaya memperlihatkan tinggi
tanaman lebih tinggi (132,00 cm) jika dibandingkan
teknologi yang sama pada Varietas Karya Pelalawan
(126,43), begitu pula dengan teknik budidaya padi
dengan kebiasaan petani Varietas Cekau Pelalawan
(128,13) dan Karya Pelalawan (124,73) memperlihatkan
perbedaan tinggi yang signifikan. Dari data tersebut
diatas maka Varietas Cekau Pelalawan secara genetik
lebih tinggi dari Varietas Karya Pelalawan. Hal ini
disebabkan sifat genetik dari masing-masing varietas
berbeda sehingga menghasilkan tinggi tanaman yang
berbeda pula (Fadjry D. et al. 2012). Jumlah anakan
produktif pada varietas Cekau Pelalawan dengan
teknologi perbaikan budidaya memperlihatkan jumlah
anakan terbanyak (18,33 batang) dibandingkan dengan
teknologi yang sama pada Varietas Karya Pelalawan
(16,17 batang) dan yang terendah pada Varietas Karya
Pelalawan dengan cara petani yang hanya 13,53
batang. Dalam pelaksanaan perbaikan budidaya,
perlakuan pemupukan yang diberikan dalam dosis yang
sama, begitu pula dengan perawatan. Hasil
pengamatan di lapangan menunjukan bahwa varietas
Cekau Pelalawan masih unggul dari variabel tinggi
tanaman maupun jumlah anakan produktif. Tanaman
yang masa vegetatifnya lebih lama akan cenderung
menghasilkan anakan lebih banyak jika dibandingkan
dengan umur karena varietas yang waktu vegetatifnya
lama berarti akan memberikan peluang yang lebih
banyak terhadap anakan yang dihasilkan karena
memiliki waktu yang panjang untuk dapat
menghasilkan anakan yang banyak. Data tinggi
tanaman, jumlah anakan produktif, umur panen dan
berat 1000 gabah secara rinci ditampilkan pada tabel 1.
Umur panen Varietas Cekau Pelalawan pada
perlakuan A (138,10 hari) dan Perlakuan C (136,40
hari) lebih panjang dibandingkan dengan umur panen
Varietas Karya Pelalawan pada perlakuan B (126,77
hari) dan perlakuan D (125,83 hari). Dari data tersebut
terlihat bahwa umur panen sangat ditentukan oleh jenis
varietas, sedangkan perbaikan teknologi budidaya tidak
mempengaruhi umur panen tanaman. Berat 1000
gabah juga dipengaruhi oleh jenis varietas, hal ini
terlihat bahwa Varietas Cekau Pelalawan dengan
teknologi perbaikan maupun cara petani tidak
menunjukan perbedaan yang nyata. Sedangkan
perbaikan teknologi budidaya pada varietas yang sama
tidak mempengaruhi variabel berat 1000 gabah.
Pemupukan yang seimbang sesuai anjuran
akan terlihat dari bobot 1000 butir walaupun
menggunakan varietas yang sama. Begitu pula dengan
rata-rata umur panen Varietas Cekau Pelalawan masih
tinggi yaitu 136-138 hari jika dibandingkan dengan
Karya Pelalawan yang hanya 125-127 hari. Umur
tanaman yang dimulai dari persemaian sampai panen
tersebut adalah bagian sifat genetik dari suatu varietas
dan tidak dipengaruhi oleh cara perbaikan teknologi
budidaya.
2. Pengamatan panjang malai, jumlah gabah per malai, jumlah gabah berisi dan persentase gabah hampa
Dari hasil analaisis terlihat bahwa penggunaan
varietas dan teknologi Budidaya mempengaruhi
parameter panjang malai, jumlah gabah total per malai,
jumlah gabah berisi per malai. Sementara untuk
persentase gabah hampa tidak dipengaruhi oleh
penggunaan varietas, namun dipengaruhi oleh
perbaikan teknologi budidaya.
Data panjang malai, jumlah gabah total/malai,
jumlah gabah berisi/malai dan persentase gabah hampa
padi dari hasil pengamatan dapat dilihat pada tabel
berikut.
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 37-42
| 41
Tabel.1. Rata-rata panjang malai, jumlah gabah/malai, jumlah gabah berisi/malai dan persentase gabah hampa untuk masing-masing varietas Cekau Pelalawan dan Karya Pelalawan.
Perlakuan Parameter yang diamati
Panjang malai (cm)
Jumlah Gabah total/
malai (butir)
Jumlah Gabah
Berisi/malai
(butir)
Persentase gabah hampa
(%)
A. Cekau Pelalawan (Tekn Introduksi)
28,37 a 197,00 a 187,07 a 5,04 b
B. Karya Pelalawan (Tekn Introduksi)
26,63 b 191,33 b 181,37 b 5,21 b
C. Cekau Pelalawan (Tekn Perbaikan)
25,70 c 141,77 c 129,50 c 8,65 a
D. Karya Pelalawan (Tekn Perbaikan)
23,70 d 137,47 d 125,70 d 8,56 a
Angka rata-rata dalam kolom yang sama diikuti huruf sama
menunjukan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan 5%
Tabel 3. Rata-rata produktivitas, serangan tikus,
penggerek batang (PB) dan Penyakit Blast.
Perlakuan
Parameter yang diamati
Produktivitas GKP
(ton/ha)
Serangan Tikus
(%)
Serangan Penggerek
Batang (%)
Serangan Penyakit
Blas (%)
A. Cekau Pelalawan (Teknologi
Introduksi)
5,83 a 4,33 a 3,00 a 3,33 a
B. Karya Pelalawan (Teknologi
Introduksi)
5,63 a 4,00 a 3,67 a 2,83 a
C. Cekau Pelalawan (Teknologi
Perbaikan)
3,57 b 4,00 a 2,67 a 2,83 a
D. Karya Pelalawan (Teknologi
Perbaikan)
3,27 b 4,33 a 3,00 a 2,67 a
Angka rata-rata dalam kolom yang sama diikuti huruf sama
menunjukan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan 5%
Data produktivitas gabah kering panen (GKP)
terlihat bahwa dengan penerapan teknologi introduksi
mampu meningkatkan hasil (GKP) dibandingkan dengan
Teknologi Perbaikan. Pada tabel 3 terlihat bahwa
Varietas Cekau Pelalawan dan Karya Pelalawan dengan
penerapan teknologi introduksi mampu menghasilkan
produktivitas yang tinggi (5,83 dan 5,63 ton/ha)
berbeda nyata dengan Varietas Cekau Pelalawan dan
Karya Pelalawan yang menerapkan teknologi perbaikan
hanya 3,57 dan 3,27 ton/ha.
Untuk meningkatkan produksi dan produktivitas
tanaman padi di lahan pasang surut, mesti melakukan
teknologi budidaya anjuran badan litbang pertanian.
Penerapan paket teknologi anjuran antara lain meliputi
pemupukan spesifik lokasi, pemeliharaan tanaman,
pengendalian gulma yang tepat waktu dan
pengendaliaan hama/penyakit sesuai konsep PHT,
maka diperoleh produksi diatas 5 ton/ha. Ketepatan
waktu dan dosis dalam pemupukan serta pengaturan
kebutuhan air yang tepat, sangat berpengaruh pada
terbentuknya anakan yang produktif. Kebutuhan hara
sangat berkaitan dengan potensi varietas dan target
hasil yang ingin dicapai. Pada dasarnya lahan sawah
sudah menyediakan berbagai unsur hara yang
dibutuhkan tanaman, namun karena keberadaanya
terbatas maka sangat diperlukan pemupukan tambahan
untuk mencapai target produksi yang dinginkan
(Achmad., et al. 2009).
Pengamatan terhadap adanya tingkat serangan
hama tikus, penggerek batang dan penyakit blas pada
tanaman padi Varietas Cekau Pelalawan dan Karya
Pelalawan, baik dengan penerapan teknologi introduksi
maupun teknologi perbaikan tidak mempengaruhi
tingkat serangan OPT pada tanaman. Tingkat serangan
masih dibawah ambang ekonomis, dianggap belum
perlu diambil tindakan pengendalian.
Hama tikus merusak tanaman padi dengan cara
memakan pada bagian pangkal batang, ini sudah mulai
terjadi pada umur 1 bulan, namun persentasenya masih
rendah hanya berkisar antara 4,0-4,3 %. Angka kisaran
tingkat serangan hama dan penyakit secara umum
tidak dipengaruhi oleh jenis varietas maupun
cara/teknologi budidaya yang diusahakan.
KESIMPULAN
1. Produktivitas padi pasang surut mengalami
peningkatan setelah dilakukan perbaikan teknologi
budidaya yaitu Varietas Cekau Pelalawan mencapai
5,83 ton/ha (63,3%) dan Karya Pelalawan 5,63
ton/ha (72,2%). jika dibandingkan dengan cara
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 37-42
| 42
petani Varietas Cekau Pelalawan hanya 3,57 ton/ha
dan Karya Pelalawan 3,27 ton/ha.
2. Perbaikan teknologi budidaya padi Varietas Cekau
Pelalawan dan Karya Pelalawan tidak mempengaruhi
besarnya tingkat serangan hama tikus, penggerek
batang dan penyakit blas.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Litbang Pertanian. 2001. Sistem Usaha Pertanian
Lahan Pasang Surut. Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian.
Badan Litbang Pertanian. 2011. Perubahan Iklim dan Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Badan Litbang pertanian, Kementerian Pertanian.
Balitpa. 2004. Inovasi Teknologi Untuk meningkatkan Produksi Padi dan Kesejahteraan Petani. Balai Penelitian Tanaman Padi, Badan Litbang Pertanian.
Deptan. 2003. Panduan teknis Pengelolaan hara dan pengendalian hama penyakit tanaman padi secara terpadu.
Dinas Pertanian TPH Provinsi Riau. 2011. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Riau. Pekanbaru.
Distannak Riau. 2014. Buku Seri Data Tanaman Pangan dan Hortikultura Tahun 2013. Pemerintah Provinsi Riau. Pekanbaru.
Dobermann, A. And T. Fairust.1999. Fiel Handbook, Nutritional disorders and nutrient management in Rice. IRRI, PPI/PPIC
Fadjry D., Arifuddin K. dan Nicholas. 2012. Pengkajian Varietas Unggul Baru Padi yang Adaptif Pada Sawah Lahan Bukan Baru Untuk Meningkatkan Produksi > 4 Ton/Ha GKP Di Kabupaten Merauke Provinsi Papua.
Puslitbangtan. 2007. Masalah Lapang Hama, Penyakit dan Hara pada padi. Bogor.
Makarim, A.K.,S. Purba, Arifin K.,I.Las, S. Roechan, and S.Adiningsih. 2000. Aplikasi prescription farming pada IP padi 300. Penelitian Pertanian: 13-24
Makarim, A.K., and M. Ismunadji. 1991. Sulfur availability of different S fertilizers on a planosol from Jakenan and a hydromorph from Singamerta, Indonesia. ACIAR Project 8804. Final Report. The University of New England, Australia. P.33-37.
Syukur A. 2010. Operasi Pangan Riau Makmur (OPRM) Pengembangan Tanaman Padi Seluas 100.000 Ha di 9 Kabupaten Se-Propinsi Riau. Sekretariat Badan Koordinasi Penyuluhan Propinsi Riau.
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 37-42
| 43
EFEKTIVITAS PEMBERIAN NPK ORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI DI PROVINSI RIAU
Emisari Ritonga dan Rathi Frima Zona 1)
1) Peneliti Pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau
ABSTRAK
Kedelai merupakuan salah satu sumber protein nabati. Permintaan kedelai yang cukup tinggi sebagai salah satu bahan makanan memicu pemerintah untuk meningkatkan produksi kedelai. Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi kedelai adalah dengan menggunakan pupuk sebagai penyedia nutrisi tanaman seperti NPK organik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pupuk NPK organic terhadap tanaman kedelai. Penelitian ini dilakukan dari bulan Januari sampai Mei 2011 di Fakultas Pertanian, Universitas Islam Riau. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuannya adalah: N0 (tanpa pupuk NPK organik), N1 (pupuk NPK organic 20 gram/tanaman), N2 (pupuk NPK organik 30 gram/tanaman), dan N3 (pupuk NPK organic 40 gram/tanaman). Adapun parameter pengamatan yang diamati yaitu tinggi tanaman (cm), umur berbunga (hari), umur panen (hari), jumlah polong per tanaman, persentase polong bernas (%), berat 100 biji kering (gram) dan berat biji kering/plot (gram). Data yang dikumpulkan dari masing-masing perlakuan dianalisis secara statistic dan dilanjutkan dengan Uji BNT pada level 5%. Berdasarkan analisis statistik, pupuk NPK organik 40 gram/tanaman (N3) memberikan pengaruh yang nyata pada parameter tinggi tanaman (cm), umur berbunga (hari), umur panen (hari), jumlah polong per tanaman, persentase polong bernas (%), berat 100 biji kering (gram) dan berat biji kering/plot (gram). Kata kunci: NPK Organik, pertumbuhan, produksi, kedelai
ABSTRACT
Soybean is one of the plant-based protein sources. High demand for soybean, especially as one of the foodstuffs triggered the government to increase soybean production. One effort to increase the soybean production is by using fertilizers as a provider of plant nutrients such as organic NPK. The purpose of this study was to determine the effect of organic NPK fertilizers to the soybean plant. This study was carried out from January to May 2011 at the Agriculture Faculty, Islamic University of Riau. This study used completely randomized design (CRD) with 4 treatments and 3 replications. The treatments were: N0 (without organic NPK fertilizers), N1 (organic NPK fertilizers 20 gram/plant), N2 (organic NPK fertilizers 30 gram/plant), N3 (organic NPK fertilizers 40 gram/plant). This study measured plant height (cm), days to flowering (days), days to maturity (days), the number of pods per plant, the percentage of pods pithy (%), weight of 100 dry seeds (gram) and weight of dry seeds/plot (gram). The collected data from each treatment was analyzed statistically and continued to Honestly Significant Difference (HSD) test at level 5%. Based on the statistical analysis, organic NPK fertilizers 40 gram/plant (N3) gave a real impact on plant height (cm), days to flowering (days), days to maturity (days), the number of pods per plant, the percentage of pods pithy (%), weight of 100 dry seeds (gram) and weight of dry seeds/plot (gram).
Keywords: Organic NPK, Growth, Production, Soybean.
| 44
PENDAHULUAN
Mengingat Indonesia memiliki jumlah penduduk
yang cukup besar dan industri pangan berbahan baku
kedelai berkembang pesat maka komoditas kedelai
perlu mendapat prioritas untuk dikembangkan di
dalam negeri. Upaya tersebut ditempuh melalui
strategi peningkatan produktivitas, perluasan areal
tanam, peningkatan efisiensi produksi, peningkatatan
kualitas produk, perbaikan akses pasar, perbaikan
sistem permodalan, pengembangan infrastruktur, serta
pengaturan tataniaga dan intensif usaha.
Tanaman kedelai (Glycine Max) bukan tanaman
asli Indonesia. Pengkajian terhadap asal usul kedelai
pertama kali ditemukan dalam buku Pen Ts’ao Kong Mu
(Materica Medica) pada Kekaisaran Sheng-Nung pada
2838 sebelum Masehi (MS) (Anonim 2005). Tanaman
kedelai merupakan salah satu dari lima tanaman biji-
bijian yang disakralkan (Wu ku) yakni padi, gandum,
barley dan milet. Kedelai diduga berasal dari dataran
pusat dan utara Cina. Hal ini didasarkan pada adanya
penyebaran Glycina ussuriensis, spesies yang diduga
sebagai tetua G. max. Bukti sitogenetik menunjukkan
bahwa G. max dan G. usuriensis tergolong spesies yang
sama. Namun bukti sejarah dan sebaran geografis
menunjukkan cina utara sebagai daerah dimana kedelai
dibudidayakan untuk pertama kalinya, sekitar abad 11
SM. Korea merupakan sentra kedelai diduga kedelai
yang dibudidayakan merupakan hasil introduksi dari
cina yang kemudian menyebar ke jepang antara 200
SM dan abad ke-3 Setelah Masehi (Nagata 1960). Jalur
penyebaran kedelai yang kedua dimungkinkan dari
dataran Cina Tengah ke arah Jepang Selatan, di
Kepulauan Kyushu, sejak adanya perdagangan antara
Jepang dan Cina sekitar abad 6 dan 8.
Kebutuhan kedelai pada tahun 2020 yang
mencapai sekitar 2,5 juta ton ditambah kebutuhan
bungkil kedelai 1,5 juta ton, atau total 4 juta ton,
bernilai ekonomis Rp. 12 triliwun. Jumlah ini merupakan
kesempatan ekonomis dan peluang pasar yang sangat
besar bagi masyarakat pedesaan untuk dimanfaatkan.
Kebutuhan masyarakat akan kedelai sekarang ini
sebagian besar di penuhi dengan import, pada saat ini
produksi yang di hasilkan diperkirakan mencapai
1.875.558 ton, sementara kebutuhan pada tahun yang
sama bisa mencapai 2.361.497 ton. Melonjaknya harga
import merupakan peluang bagi petani, harga kedelai
lokal mengalami peningkatan (Tim Trubus, 2000).
Luas areal tanaman kedelai di Riau adalah 9.329
ha, dengan produksi 13 kw/ha. Pernyataan ini masih
rendah untuk memenuhi kebutuhan kedelai (Dinas
Pertanian Riau, 2002).
Usaha untuk meningkatkan produksi kedelai
sering dilakukan melalui intensifikasi, ekstensifikasi,
diversifikasi serta rehabilitasi, tetapi peningkatan
produksi yang di peroleh belum mencapai kebutuhan
dalam negeri karena selama ini kedelai ditanam setelah
padi untuk memanfaatkan sisa air dan pupuk serta
tanaman kedelai di mata petani hanya sebagai tanaman
selingan saja.
Agar di dalam pembudidayaan kedelai dapat
berproduksi dengan baik, maka di butuhkan informasi
dalam pembudidayaan dan salah satunya dengan
pemberian pupuk, sehingga unsur hara yang
dibutuhkan tanaman terpenuhi. Pada saat ini telah
beredar pupuk NPK organik yang mengandung
beberapa unsur hara seperti, Nitrogen, Phospor,
Kalium, Magnesium, Kalsium dan Sulfur serta unsur
hara lainnya seperti (Zn, Cu, Fe dan Co). Penggunaan
pupuk NPK organik ini merupakan salah satu
pemupukan terbaik dalam meningkatkan produksi
tanaman serta mengurangi besarnya biaya pemupukan
dan bahaya laten terhadap kadarisasi racun tanah
(Asofsgn, 2008).
NPK merupakan pupuk majemuk yang diperlukan
tanaman untuk pertumbuhan dan produksi tanaman
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 43-47
| 45
serta meningkatkan panen dan memberikan
keseimbangan unsur Nitrogen, Pospor dan Kalium.
Pupuk ini mudah diaplikasikan serta mudah diserap
oleh tanaman sedangkan dalam pemakaiannya efisien
(Anonimus, 1992).
Pupuk NPK organik lengkap mempunyai
kandungan Nitrogen 6,45%, P2O5 0,93%, K2O 8,86%,
C-Organik 3,10%, sulfur 1,60%, Ca 4,10%, MgO
1,70%, Cu 33,98 ppm, Besi 0,22%, dan Baron 94,75
ppm (Anonimus, 2006).
Pupuk NPK organik ini memiliki keunggulan
antara lain: mengandung unsur makro dan unsur
mikro, ramah lingkungan, mempercepat pertumbuhan
tanaman untuk menghasilkan, meningkatkan dan
memperkaya unsur hara tanah, meningkatkan serta
mengaktifkan mikroba penyubur tanah, meningkatkan
daya serap tanah terhadap air, serta masih banyak
keunggulan-keunggulan lainnya dari pupuk NPK organik
ini (Asofsgn, 2008). Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh pemberian pupuk NPK organik
terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kacang
kedelai (Glycine Max (L) Merril).
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di kebun percobaan
Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau Jln.
Kaharuddin Nasution KM. 11 Kelurahan Simpang Tiga,
Kecamatan Bukit Raya, Kota Pekanbaru dari bulan
Januari sampai Maret 2011. Bahan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah benih kedelai varietas
Anjasmoro, pupuk NPK organik, Dolomit, Dithane M-45,
Decis 25 EC, triplek, kayu, tali plastik dan paku.
Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah cangkul,
parang, sabit, gembor, ember, hand sprayer,
timbangan, martil dan alat-alat tulis.
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan yaitu
N0 Tanpa pemberian pupuk NPK organik (kontrol), N1
Pemberian pupuk NPK organik 20 g/tanaman, N2
Pemberian pupuk NPK organik 30 g/tanaman dan N3
Pemberian pupuk NPK organik 40 g/tanaman.
Penanaman dilakukan dengan cara meletakkan 2 benih
kedelai di setiap lubang tanam. Pemupukan organik
dilakukan pada saat tanaman berumur 1 minggu
setelah tanam dengan cara larikan diantara tanaman
pada kedalaman 10 cm. Pemeliharaan tanaman yang
meliputi penyiraman, penjarangan, penyiangan,
pembumbunan, pengendalian hama dan penyakit serta
panen.
Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman
(cm), umur berbunga (hari), umur panen (ton), jumlah
polong pertanaman (buah), persentase polong bernas
(%), berat 100 biji kering (g), dan berat biji kering/plot
(kg).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Tinggi tanaman, umur berbunga dan umur panen
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa
pemupukan NPK organik mempengaruhi pertumbuhan
terhadap tinggi tanaman, umur berbunga dan umur
panen (Tabel 1).
Tabel 1. Pengaruh NPK organik terhadap tinggi tanaman, umur berbunga dan umur panen.
Perlakuan Tinggi
Tanaman (cm)
Umur Berbunga
(hari)
Umur Panen (hari)
N0 104.60 a 36.25 a 79.04 a
N1 108.48 b 34.60 b 77.16 b
N2 110.75 c 33.87 c 76.79 c
N3 116.44 d 33.42 d 76.29 d
Keterangan : Angka-angka yang diikut oleh huruf kecil yang sama menurut kolom dan huruf kecil yang
sama menurut baris tidak berbeda nyata menurut DNMRT taraf 5%.
Tabel 1 menunjukkan pemberian pupuk NPK
organik dengan dosis 40 g/tanaman (N3) memberikan
pengaruh secara nyata pertumbuhan tanaman kedelai
terutama untuk tinggi tanaman, umur berbunga dan
umur panen. Tinggi tanaman pada N3 berbeda nyata
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 43-47
| 46
dengan perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan unsur
hara yang terkandung dalam pupuk NPK Organik dapat
di manfaatkan tanaman secara optimal dan
menghasilkan pertumbuhan tanaman yang berbeda.
Menurut Setiawan (2002) bahwa tanaman akan subur
jika unsur hara tersedia dengan cukup. Selain itu,
faktor luar seperti media pertumbuhan, suhu, curah
hujan dan sinar matahari yang cukup optimal juga
mempengaruhi pertumbuhan tinggi tanaman.
Perbedaan umur berbunga antara perlakuan N3
dengan perlakuan lainnya di karenakan konsentrasi
pupuk NPK organik yang diberikan memperlihatkan
perbedaan dalam menjaga keseimbangan pembentukan
karbohidrat dan netril dalam tanah serta dipengaruhi
juga oleh faktor-faktor alam. Selain itu, menurut Dwidjo
Seputro (1988) pembentukan bunga sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor alam seperti suhu,
intensitas cahaya, lamanya penyinaran dan persediaan
air mempengaruhi reaksi tanaman terhadap
pemupukan.
Perbedaan umur panen antara perlakuan N3
dengan perlakuan yang lainnya diduga karena NPK
organik dapat memperbaiki sifat kimia dan biologis
tanah sehingga mampu menyediakan unsur hara makro
dan mikro yang dibutuhkan tanaman pada
pertumbuhan vegetatif maupun pertumbuhan generatif,
dengan tersedianya unsur hara makro dan mikro di
dalam tanah dan dapat mempengaruhi kegiatan
pembelahan sel baru bagi tanaman tersebut untuk
pembentukan polong.
2. Jumlah polong pertanaman, persentase polong
bernas, berat 100 biji kering dan berat biji
kering/plot.
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa
ada pengaruh pupuk NPK organik berkontribusi
terhadap jumlah polong pertanaman, persentase
polong bernas, berat 100 biji kering dan berat kering
biji /plot (Tabel 2).
Tabel 2. Pengaruh NPK organik terhadap Jumlah
polong pertanaman, persentase polong bernas, berat 100 biji kering dan berat biji kering/plot.
Perlakuan Jumlah
polong pertanaman
(buah)
Persentase polong bernas (%)
Berat 100 biji kering (gram)
Berat biji kering
per plot (gram)
N0 72.14 a 70.69 a 11.75 a 120.16 a
N1 89.94 b 76.96 b 13.72 b 150.50 b
N2 98.50 c 88.26 c 15.25 c 181.41 c
N3 114.79 d 96.23 d 16.72 d 249.58 d
Keteranan : Angka-angka yang diikut oleh huruf kecil yang
sama menurut kolom dan huruf kecilyang sama menurut baris tidak berbeda nyata menurut DNMRT taraf 5%.
Tabel 2 menunjukkan bahwa pemberian pupuk
NPK organik dengan dosis 40 g/tanaman (N3)
memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan
generatif tanaman kedelai terutama untuk jumlah
polong pertanaman, persentase polong bernas, berat
100 biji kering, dan berat biji kering/plot.
Pemberian pupuk NPK organik sudah mampu
memenuhi kebutuhan tanaman dalam meningkatkan
ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman
terutama dalam pembentukan polong. Selain itu juga
disebabkan oleh faktor-faktor alam seperti suhu, air dan
lama penyinaran sehingga mampu memenuhi
kebutuhan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman
kedelai untuk pertumbuhan dan perkembangan jumlah
polongnya.
Perbedaan nyata perlakuan N3 dengan perlakuan
lain pada parameter persentase polong bernas
dikarenakan unsur hara yang terkandung dalam pupuk
NPK organik telah dapat dimanfaatkan oleh tanaman
secara optimal, seperti N dapat menunjang
pertumbuhan yang aktif dan sebagai penyusun klorofil
di samping itu unsur P berperan dalam merangsang
perkembangan akar dan pembentukan polong
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 43-47
| 47
sedangkan K membantu di dalam proses pembentukan
protein dan merangsang pengisian biji.
Berat 100 biji kering terbaik terdapat pada
perlakuan N3 dibandingkan dengan perlakuan lainnya,
di duga karena pada dosis ini tanaman kacang kedelai
mampu memanfaatkan unsur hara yang terkandung
dalam pupuk NPK organik. Tingginya berat 100 biji
kering pada kacang kedelai pada perlakuan N3
dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini
dikarenakan unsur hara N yang telah tersedia bagi
tanaman sehingga mampu mencukupi kebutuhan bagi
pertumbuhan dan perkembangan tanaman kacang
kedelai. Dalam pengisian polong dan pembentukan biji
sangat tergantung kepada ketersediaan unsur pospat,
yang dapat meningkatkan pembentukan biji sehingga
polong dapat terisi penuh oleh biji.
Tingginya berat biji kering per plot pada
perlakuan N3 diduga karena pada saat pengisian
polong dan pembentukan biji dipengaruhi oleh
ketersediaan unsur nitrogen baik N yang dipengaruhi
oleh bakteri rhizobium dari udara maupun N yang
tersedia dalam tanah kemudian dipengaruhi juga oleh
ketersediaan unsur fospor. Apabila ketersediaan unsur
N dan P ini berada dalam keadaan seimbang akan
mengakibatkan pembentukan asam amino dan protein
meningkat dalam pembentukan biji sehingga polong
dapat terisi penuh.
KESIMPULAN
1. Pemberian NPK organik nyata mempengaruhi
pertumbuhan dan produksi kedelai.
2. N3 (NPK organik 40 gr) merupakan konsentrasi terbaik untuk pertumbuhan dan produksi kedelai efektif meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
AAK. 2002. Budidaya Tanaman Kedelai. Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Anonimus. 1992. Pupuk NPK. PT. Meroke Tetap Jaya. Indonesia.
-------------.2006. Laporan Analisis Pupuk Organik Lengkap. Laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara. Medan.
Asofsgn. 2008. NPK Organik Lengkap Cap Rumpun Bambu. Kisaran, Sumatra Utara, Indonesia
Dinas Pertanian Riau. 2002. Meningkatkan Produksi Kedelai.Departemen Pertanian Riau.
Lingga. 2006. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya.
Muclish A, A. Krisnawati. Biologi Tanaman Kedelai. Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian ,Malang 2007
Suprapto, H.S. 1995. Bertanam Kedelai. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta.
Sudaryanto T. 2007. Ekonomi Kedelai di Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Bogor.
Tim Redaksi Trubus. 2000. Produksi Kedelai. Penerbit Swadaya, Jakarta.
Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 43-47
| 48
BULETIN ISSN 1979 - 0805
INOVASI PERTANIAN
BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN RIAU VOLUME : 2 NOMOR : 1 JULI 2016
PEDOMAN BAGI PENULIS
MAKALAH Ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris. Diketik satu setengah spasi dengan pengolahan kata MS Word dan dikirim dua eksemplar bersama copy file kepada Redaksi. Panjang naskah tidak melebihi 20 halaman termasuk tabel dan gambar.
STANDAR PENULISAN Huruf standar yang digunakan untuk penulisan adalah
Tahoma 10 Naskah ditulis dengan jarak 1,5 spasi, kecuali judul, tabel (judul, tubuh, dan keterangan) dan judul gambar diketik 1 spasi. Naskah diketik pada ukuran A4 dengan batas (margin) 2,5 cm dan jumlah halaman 5-20.
TATA CARA PENULISAN NASKAH
JUDUL Judul singkat, jelas dan informatif, nama penulis ditulis lengkap, nama lembaga/institusi ditulis untuk seluruh penulis.
ABSTRAK Abstrak ditulis dalam bahasa inggris dan bahasa Indonesia, tidak melebihi 200 kata dan dalam satu paragraph.
PENDAHULUAN Pendahuluan dibuat singkat yang berisi latar belakang permasalahan, tujuan dan manfaatnya. Permaslahan memuat penjelasan mengenai alasan-alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan perlu.
METODE PENELITIAN Metode penelitian mengandung uraian tentang bahan atau materi penelitian, alat, pelaksanaan penelitian, variabel dan data yang akan dikumpulkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Menyajikan hasil riset, akurasi yang dapat dicapai, signifikansi langkah maupun pengetahuan, fenomena, maupun informasi yang dapat diberitahukan kepada khalayak, termasuk didalamnya sumbangan baru yang dihasilkan dalam riset. Analisis yang rinci dan mengkerucut sangatlah bermanfaat bagi peneliti lain. Hasil dapat disajikan dalam bentuk tabel, grafik, foto/gambar atau bentuk lain.
KESIMPULAN Kesimpulan merupakan pernyataan singkat dan tepat yang dijabarkan dari hasil penelitian dan pembahasan. Kesimpulan dapat pula disajikan secara pointer. Kesimpulan harus mengindikasikan secara jelas kemajuan-kemajuan, batasan-batasan dan kemungkinan aplikasi dari penelitian. Jika naskah berupa studi literatur, dapat memberikan ringkasan yang disarankan. UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang mendanai atau yang berperan serta besar dalam tulisan ini (jika ada).
DAFTAR PUSTAKA Memuat pustaka yang diacu dalam naskah, kemutakhiran pustaka yang diacu paling lama dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir dan acuan primer paling sedikit 60% dari total acuan. Format penulisan daftar pustaka disusun dengan format mengikuti urutan abjad dengan memuat: nama pengarang (nama belakang terlebih dahulu), tahun terbit, judul, jilid/volume, edisi/nomor, tempat penerbitan, nama penerbit. Rujukan dengan sumber yang sama ditulis dengan mendahulukan tahun terbitnya. Jika tahun terbitnya sama, gunakan abjad dibelakang tahun terbit. Cara dan contoh penulisan: Buku (satu penulis) Thee, K.W. (2012). Indonesia’s Economy Since
Independence. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.
(dua penulis) Forouzan, B.A., & Fegan, S.C. (2007). Data
Communications and Networking (4th ed.). New York: McGraw-Hill.
(lebih dari tiga penulis) Firdausy, C.M. (ed) (2012). Konsep dan Ukuran
Kemiskinan Alternatif. Jakarta: Pusat Penelitian Ekonomi LIPI.
Buku tanpa nama pengarang, tetapi ditulis atas nama lembaga Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (2011).
Pedoman Akreditasi Majalah Ilmiah. Jakarta: LIPI
Jurnal Sambodo, M.T dan Negara, S.D. (2012). Designing
Conceptual Framework and State of Energy Security in Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 20 (1), 1-17.
Prosiding Muljawan, D. (2003). An Analysis of Potential Systemic
Costs in an Islamic Banking System. Dalam Prosiding International Conference on Islamic Banking: Risk Management, Regulation and Supervision. (hal. 279-298). Jakarta: Bank Indonesia.
Sumber online Khudori. (2006). Belajar Pengembangan Biofuel dari
Brazil. Diambil dari http://www.unisosdem.org/ article_detail.php?aid=5665&coid=1&caid=58&gid=5 [diakses 22 Oktober 2013].
Skripsi, Tesis dan Disertasi Wiranta, S. (1987). Japanese Economic Development
Statistical Analysis Approach Tesis, Tokyo: Nihon University.