inovasi pertanianriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/pdf/buletin.pdfpupuk yang diberikan...

52
| 1

Upload: others

Post on 09-Dec-2020

2 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 1

Page 2: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 2

BULETIN ISSN : 1979-0805

INOVASI PERTANIAN

BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN RIAU VOLUME : 2 NOMOR : 1 JULI 2016

DEWAN REDAKSI

PENANGGUNGJAWAB : KEPALA BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI

PERTANIAN (BPTP) RIAU

KETUA DEWAN REDAKSI : Anis Fahri, SP, M,Si MERANGKAP ANGGOTA

ANGGOTA : Dr. Parlin H Sinaga, SP, MP

: Dr. Ir. Ida Nur Istina, M.Si

: Ir. Yunizar, MS

: Nurhayati, SP, M.Si

: Dwi Sisriyenni, S.Pt, M.Si

: Ir. Oni Ekalinda

REDAKSI PELAKSANA : Rachmiwati Yusuf, S.Pi, M.Si

: Bambang H Marpaung, S.Kom

: Dian Pratama, SP

: Andi, SP

ALAMAT REDAKSI : Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau Jalan Kaharuddin Nasution No. 341 Km. 10

Pekanbaru, Indonesia

Telepon (0761) 674206 Fax (0761) 674206 E-Mail [email protected]/

[email protected]/ [email protected]

Website http://www.riau.litbang.pertanian.go.id

BULETIN INOVASI PERTANIAN adalah media ilmiah penyebaran hasil

penelitian/pengkajian teknologi pertanian yang diterbitkan secara berkala, sebanyak dua kali

dalam setahun pada bulan Juli dan Desember. Memuat tulisan hasil penelitian dan pengkajian

bidang pertanian tanaman pangan dan hortikultura, peternakan, perkebunan, penyuluhan

serta analisis kebijakan yang belum pernah dipublikasikan di media lain.

Page 3: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| i

KATA PENGANTAR

Buletin Inovasi Pertanian sebagai media komunikasi di bidang pengkajian dan pengembangan

teknologi pertanian menyajikan hasil-hasil penelitian dan pengkajian yang menjadi mandat institusi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Riau. Buletin Inovasi Pertanian terbit perdana volume 1 nomor 1

Juli 2007. Buletin direncanakan terbit 2 kali dalam setahun. Berhubung sesuatu hal Buletin Inovasi

Pertanian sempat terhenti sejak tahun 2008 dan terbit kembali pada tahun 2016 dengan Volume 2 No

1 Juli 2016.

Pada Volume 2 No 1 Juli 2016 Buletin Inovasi Pertanian menyajikan makalah tentang:

1) Peningkatan Produktivitas Padi Melalui Penerapan PTT di Kabupaten Siak; 2) Persepsi Petani

Terhadap Teknologi Budidaya Bawang Merah Pada Lahan Kering di Kecamatan Tapung, Kampar,

Provinsi Riau; 3) Karakteristik Petani Dalam Mengadopsi Teknologi Introduksi Pada Pengelolaan

Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah di Kecamatan Kampar; 4) Hubungan Partisipasi Petani Dengan

Kemampuan Petani Memecahkan Masalah Pada Usahatani Padi Sawah di Kabupaten Bengkalis;

5) Pendampingan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SL-PTT) di Kabupaten Siak, Provinsi

Riau; 6) Faktor Penentu Keberhasilan Teknologi dalam Perspektif Akselerasi Peningkatan Produktivitas

Padi di Provinsi Riau; 7) Peningkatan Produktivitas Padi Varietas Cekau Pelalawan di Lahan Pasang

Surut Kecamatan Kuala Kampar, Kabupaten Pelalawan Melalui Perbaikan Teknologi Budidaya;

8) Efektivitas Pemberian NPK Organik Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai di Provinsi Riau.

Dewan Redaksi mengucapkan terima kasih kepada tim redaksi yang telah memberikan saran dan

pemikiran demi kesempurnaan makalah ini. Semoga Buletin Inovasi Pertanian dapat bermanfaat dan

memberikan sumbangan yang nyata untuk ilmu pengetahuan dan teknologi.

Ketua Dewan Redaksi

Page 4: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| ii

DAFTAR ISI

No. Judul Tulisan Hal

1. PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI MELALUI PENERAPAN PTT

DI KABUPATEN SIAK Anis Fahri dan Dahono .................................................................................... 1-5

2. PERSEPSI PETANI TERHADAP TEKNOLOGI BUDIDAYA BAWANG MERAH PADA

LAHAN KERING DI KECAMATAN TAPUNG, KAMPAR, PROVINSI RIAU

Dian Pratama dan Sri Swastika ........................................................................ 6-12

3. KARAKTERISTIK PETANI DALAM MENGADOPSI TEKNOLOGI INTRODUKSI PADA PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) PADI SAWAH DI KECAMATAN KAMPAR

Oni Ekalinda, Dian Pratama dan Yogo sumitro .................................................. 13-19

4. HUBUNGAN PARTISIPASI PETANI DENGAN KEMAMPUAN PETANI MEMECAHKAN MASALAH PADA USAHATANI PADI SAWAH DI KABUPATEN BENGKALIS

Reni Astarina dan Anita Sofia .......................................................................... 20-24

5. PENDAMPINGAN SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU

(SL-PTT) DI KABUPATEN SIAK, PROVINSI RIAU Nurhayati dan Marsid Jahari ............................................................................ 25-29

6. FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF

AKSELERASI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI DI PROVINSI RIAU

Anita Sofia dan Oni Ekalinda............................................................................ 30-36

7. PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI VARIETAS CEKAU PELALAWAN DI LAHAN PASANG SURUT KECAMATAN KUALA KAMPAR KABUPATEN PELALAWAN MELALUI PERBAIKAN TEKNOLOGI BUDIDAYA

Viona Zulfia, Marsid Jahari dan Rachmiwati ...................................................... 37-42

8. EFEKTIVITAS PEMBERIAN NPK ORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI DI PROVINSI RIAU Emisari Ritonga dan Rathi Frima Zona.............................................................. 43-47

Page 5: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 1

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI MELALUI PENERAPAN PTT DI KABUPATEN SIAK

Anis Fahri 1) dan Dahono 2)

1) Peneliti Pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau

2) Peneliti Pada Loka Pengkajian Teknologi Pertanian (LPTP) Kepulauan Riau

ABSTRAK

Peningkatan produktivitas padi melalui penerapan teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)

dilaksanakan di Desa Jati Baru, Kecamatan Bunga Raya, Kabupaten Siak, Provinsi Riau, pada MK 2011. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan teknologi (PTT) dalam peningkatan produktivitas padi sawah di Kabupaten Siak. Kajian dilaksanakan di lahan petani seluas 5 hektar dengan jumlah 5 orang petani kooperator yang berada dalam satu hamparan. Data dianalisis menggunakan uji banding (t-student) antara teknologi PTT dan cara petani. Hasil kajian menunjukkan produksi padi yang di kelola melalui pendekatan PTT

memberi hasil sebanyak 6,73 t/ha GKP berbeda nyata dibanding teknologi petani sebanyak 5,78 t/ha GKP.

Kata kunci : PTT padi, VUB padi sawah, peningkatan produktivitas dan kabupaten Siak

ABSTRACT

Increasing rice productivity through Integrated Crop Management (ICM) technology applicationwas held in

the Jati Baru Village, Bunga Raya District, Siak Regency, Riau Province, on dry season 2011. This study was aimed to determine the ICM technology in order to increase rice productivity in Siak Regency. This study was conducted on farmer's field around 5 hectares that have five farmer cooperators people which located in one area. Data were analyzed with t-test between ICM technology and farmers technology. The result showed that the rice production, which is managed by ICM technology was 6.73 t/ha dry grain harvest (DGH) significantly different from farmers technology was 5.78 t/ha DGH. Keywords : Integrated Crop Management (ICM), new varieties of lowland rice, increased productivity, and Siak

Regency

Page 6: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 2

PENDAHULUAN

Provinsi Riau termasuk wilayah yang belum

mampu memenuhi kebutuhan beras dari daerahnya

sendiri, sebagian besar 44,10 ton (55,12 %)

kebutuhan beras didatangkan dari daerah lain. Potensi

lahan untuk pertanaman padi cukup luas yakni seluas

97.796 ha padi sawah dan 20.722 ha padi gogo (BPS

Riau, 2014).

Jika dibandingkan dengan daerah lain,

produktivitas padi sawah di Riau masih rendah. Hal ini

disebabkan kondisi tanah yang kurang subur dan

teknologi budidaya yang diterapkan petani masih

sederhana. Sebagian besar petani masih

menggunakan varietas lokal. Pengelolaan tanaman,

seperti pemupukan, pengairan, pengendalian OPT

(hama, penyakit dan gulma) belum sesuai dengan

kebutuhan tanaman.

Salah satu upaya dalam meningkatkan

produktivitas padi adalah melalui perbaikan teknologi

dengan pendekatan pengelolaan tanaman terpadu

(PTT). Upaya perbaikan teknologi relevan diterapkan

di Provinsi Riau berkaitan dengan tingkat penerapan

teknologi anjuran oleh petani masih rendah. Oleh

karena itu, perbaikan teknologi merupakan salah satu

upaya yang cukup strategis dalam Program P2BN di

Provinsi Riau.

Secara kelembagaan program tersebut antara

lain direalisasikan melalui pelaksanaan Sekolah Lapang

Tanaman Terpadu/SL-PTT padi dengan sasaran

meningkatnya kualitas teknik budidaya padi yang

dilakukan petani, meningkatnya intensitas tanam dan

produktivitas padi (Departemen Pertanian, 2010).

Sekolah Lapangan Tanaman Terpadu (SL-PTT)

merupakan suatu pendidikan non formal bagi petani

untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan

dalam mengenali potensi, menyusun rencana

usahatani, mengatasi permasalahan, mengambil

keputusan dan menerapkan teknologi yang sesuai

dengan kondisi sumberdaya setempat secara sinergis

dan berwawasan lingkungan, sehingga usahataninya

menjadi efisien, berproduktivitas tinggi dan

berkelanjutan (Kementerian Pertanian, 2010).

Salah satu upaya mengatasi kondisi tersebut

dapat ditempuh melalui pendekatan pengelolaan

tanaman (padi) terpadu (PTT) yang merupakan bentuk

sinergisme antar komponen intensifikasi budidaya padi

termasuk efisiensi pemupukan (Rachman dan Saryoko,

2008).

Optimasi produktivitas padi di lahan sawah

merupakan salah satu peluang peningkatan produksi

gabah nasional. Hal ini sangat dimungkinkan bila

dikaitkan dengan hasil padi pada agroekosistem ini

masih beragam antar lokasi dan belum optimal. Rata-

rata hasil 5,67 t/ha (BPS Kabupaten Siak 2016),

sedangkan pada hasil penelitian produksi padi sawah

dapat mencapai 6-7 t/ha (Zaini, dkk. 2004). Belum

optimalnya produktivitas padi di lahan sawah, antara

lain disebabkan oleh; a) rendahnya efisiensi

pemupukan; b) belum efektifnya pengendalian hama

penyakit; c) penggunaan benih kurang bermutu dan

varietas yang dipilih kurang adaptif; d) kahat hara K

dan unsur mikro; e) sifat fisik tanah tidak optimal; f)

pengendalian gulma kurang optimal (Makarim et al.

2000).

Kabupaten Siak merupakan salah satu sentra

produksi padi di Provinsi Riau yang dihadapkan pada

permasalahan yang sama. Pengelolaan Tanaman

Terpadu (PTT) merupakan terobosan yang

mengsinergikan berbagai teknologi untuk

meningkatkan produksi dan meningkatkan efisiensi

input produksi yang pada akhirnya dapat

meningkatkan pendapatan petani.

Model PTT terdiri dari beberapa komponen

teknologi budidaya yang sinergis, yang dapat

diterapkan sesui kondisi agroekosistem, antara lain

adalah; (a) perlakuan benih; (b) pemilihan varietas;

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 1-5

Page 7: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 3

(c) penanaman tunggal bibit muda; (c) jarak tanam

lebih rapat/jajar legowo 4:1 dan 2:1; (d) sistem

pengairan; (e) penggunaan bahan organik;

(f) penggunaan bagan warna daun dan uji tanah

dalam pemupukan; (g) pengendalian gulma dengan

gosrok. Implementasi model ini dilaporkan dapat

meningkatkan hasil padi dari sekitar 5,6 menjadi 7,3-

9,6 t/ha, dan pendapatan petani meningkat dari

Rp. 1,6 juta menjadi Rp. 4,1 juta/ha (Puslitbangtan,

2000). Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui

peningkatan produktivitas padi sawah melalui

penerapan pengelolaan tanaman dan sumberdaya

terpadu (PTT) di Kabupaten Siak.

METODE PENELITIAN

Kajian Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT)

padi dilaksanakan di Desa Jati Baru, Kecamatan Bunga

Raya, Kabupaten Siak, Provinsi Riau, pada MK 2011.

Kajian dilaksanakan di lahan petani kooperator seluas

5 hektar berada dalam satu hamparan. Komponen

teknologi alternatif dalam pendekatan PTT adalah

sebagai berikut (Tabel 1).

Tabel 1. Teknologi yang diintroduksikan pada

Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi sawah irigasi di Kabupaten Siak, MK. 2011

Uraian Teknologi PTT Cara Petani

Varietas VUB Inpari 3 Varietas Ciherang

Mutu dan

kebutuhan benih

Benih direndam dalam larutan

air garam, dosis 5 g/l air jumlah 15 kg/ha

Benih tidak

direndam dalam larutan garam,

jumlah 25 kg/ha

Penyiapan lahan

Olah tanah sempurna (dibajak 2 kali, digaru 1 kali )

Olah tanah sempurna (dibajak 2 kali, digaru 1 kali)

Sistem tanam

Tanam pindah (tapin) Legowo 4 : 1, dengan Jarak tanam (40 cm x 20 cm x 10 cm)

Tegel 25 X 25 cm

Umur bibit 15-18 hari 21-25 hari

Jumlah bibit/

lubang

2 batang perlubang 3-5 batang

perlubang

Penyulaman 10-15 hst 15 hst Pemupukan Berdasar BWD untuk N dan

analisa tanah untuk P dan K.

Urea 100 kg; SP-36 100 kg; KCl 100 kg/ha

Urea 50 kg; SP-36 100 kg

Pengendalian

hama/ penyakit

Sesuai PHT Setiap ditemukan

hama disemprot

Penanganan panen dan

pasca panen

Menggunakan sabit gerigi dan perontok power threser

Menggunakan sabit biasa dan perontok

power threser

Pada pendekatan PTT bibit dipindahkan ke

sawah setelah berumur 15-18 hss (hari setelah semai)

atau telah mempunyai 4 lembar daun. Sistem tanam

yang diterapkan adalah jajar legowo 4:1 (40 cm x 20

cm x 10 cm), dimana setiap empat baris tanaman

dikosongkan satu baris, jarak antar baris 20 cm dan

jarak dalam barisan 10 cm. Jumlah bibit satu sampai

dua batang/lubang.

Pupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL

dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg

KCl/ha. Pupuk dasar urea diberikan sebanyak 75 kg/ha

tujuh hari setelah tanam (7 hst), sisanya diberikan

pada umur 21 hst. Pupuk TSP diberikan pada umur 7

hst. Pupuk KCl sebanyak 50 kg/ha sebagai pupuk

dasar dan sisanya diberikan pada umur 21 hst

bersama pupuk urea. Penyiangan dilakukan dengan

alat sederhana (gosrok). Keuntungan penyiangan

dengan gosrok atau landak, antara lain; ramah

lingkungan karena tidak menggunakan bahan kimia,

lebih ekonomis dan hemat tenaga kerja dibandingkan

dengan penyiangan biasa menggunakan tangan,

meningkatkan udara (aerasi) di dalam tanah dan

merangsang pertumbuhan akar padi lebih baik.

Penyiangan dilakukan bersamaan dengan pemupukan

atau segera setelah pemupukan sekaligus akan

membenamkan pupuk ke dalam tanah, sehingga

pemberian pupuk menjadi lebih efektif dan efisien.

Pemanenan dilakukan saat 90% gabah telah

menguning, kadar air gabah (12-14%).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil sidik ragam diketahui penerapan

teknologi PTT tidak berpengaruh nyata terhadap

peubah tinggi tanaman, jumlah anakan produktif,

panjang malai, persentase gabah bernas dan

persentase gabah hampa dibanding cara petani, tetapi

berpengaruh nyata terhadap peubah hasil padi. Hasil

padi pada PTT diperoleh sebanyak 6,37 t/ha GKP lebih

tinggi dibanding dengan cara petani sebanyak 5,68

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 1-5

Page 8: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 4

t/ha GKP. Hal ini diduga pada teknologi PTT teknologi

yang diterapkan sesuai dengan kondisi pertumbuhan

pertanaman dan kebutuhan pupuk yang diberikan

secara berimbang sesuai dengan kebutuhan tanaman.

Pada cara petani pupuk yang diberikan jumlahnya

tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman atau tidak

berimbang, bahkan tidak memberi pupuk KCl,

sehingga hasil yang diperoleh tidak maksimal atau

lebih rendah dari hasil teknologi PTT.

Penggunaan Bagan Warna Daun (BWD) pada

teknologi PTT adalah sebagai indikator atau petunjuk

pemberian unsur N, baik dalam jumlah dan waktu

pemberiannya sehingga menjadi lebih efisien dan lebih

efektif. N merupakan unsur hara esensial dalam

metabolisme tanaman untuk pembentukan asam

amino dan asam nukleat yang merupakan bahan dasar

penyusun protoplasma dalam sel tanaman. Bila unsur

hara N dalam keadaan kurang maka pembentukan

klorofil terganggu sehingga proses fotosintesis

terganggu dan akan menurunkan pembentukan

protein, bahkan dalam tanaman akan terjadi hidrolisis

protein untuk menyusun pertumbuhannya. Pemupukan

unsur P dan K sangat diperlukan oleh tanaman,

terutama untuk memacu proses fotosintesis, sehingga

pertumbuhan bulir lebih banyak dan lebih berisi.

Tabel. 2. Rerata data agronomi tanaman padi sawah.

Siak. MK. 2011

Uraian Teknologi PTT

Cara Petani

Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan produktif (batang) Panjang malai (cm) Jumlah gabah permalai (butir) Persentase gabah bernas (%) Persentase gabah hampa (%) Hasil GKP (t/ha)

104,50 a 14,06 a 24,95 a 140,26 a 83,41 a 16,63 a 6,73 a

106,35 a 13,92 a 25,64 a 146,50 a 79,30 a 20,69 a 5,68 b

Keterangan : Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti oleh

huruf yang sama tidak berbeda pada taraf 5 %

DMRT.

Sistem tanam jajar legowo 4 : 1, bibit muda

< 21 hari setelah semai dan tanam 1-3 batang

perlubang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan

anakan produktif. Hal ini dapat dijelaskan bahwa

penerapan sistem jajar legowo akan merekayasa

kondisi pertanaman di lapangan sehingga kompetensi

untuk memperoleh cahaya matahari dan serapan

unsur hara lebih optimal, sehingga proses fotosintesa

berjalan lebih sempurna. Budidaya dengan bibit muda

berumur 15-18 hari setelah semai dan tanam 1-2

batang perlubang, pertumbuhan tanaman akan lebih

sehat karena tidak mengalami stagnasi dan lebih cepat

beradaptasi dengan lingkungan, sehingga tunas daun

juga cepat berkembang dan proses fotosintesis lebih

sempurna dan akhirnya berpengaruh positif terhadap

pertumbuhan anakan dan hasil padi (Supriadi dan

Malian, 1993 dalam Nazar, 2011).

KESIMPULAN

1. Padi yang dibudidayakan dengan teknologi PTT

memberi hasil sebanyak 6,73 t/ha GKP lebih

banyak dibanding dengan cara petani sebanyak

5,68 t/ha GKP.

2. Pengelolaan tanaman terpadu (PTT) meningkatkan

produktivitas tanaman sebesar 15,60 % dibanding

dengan cara petani .

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2014. Riau Dalam Angka, Kerjasama Bappeda

Provinsi Riau dan Badan Pusat Statistik Provinsi Riau.

Direktorat Perbenihan. 2009. Persyaratan dan Tata Cara Sertifikasi Benih Bina Tanaman Pangan. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan.

Kementerian Pertanian. 2010. Pedoman Pelaksanaan Sekolah Lapangan Tanaman Terpadu (SL-PTT) Padi, Jagung, Kedelai, dan Kacang Tanah Tahun 2010. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan, Kementerian Pertanian. 123 halaman.

Las, I, B. Suprihatno, A. A. Daradjad, Suwarno, B. Abdullah dan Satoto. Inovasi Teknologi Varietas Unggul Padi: Perkembangan, Arah, dan Strategi ke Depan.

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 1-5

Page 9: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 5

Lesmana, O. S., H. M. Toha, Irsal Las, B. Suprihatno. 2004. Deskripsi Varietas Unggul Baru Padi. Balai Penelitian dan Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Makarim, A.K., U.S. Nugraha, dan U.G. Kartasasmita. 2000. Teknologi Produksi Padi Sawah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Nazar, A. 2011. Pengkajian Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah di Lokasi Prima Tani, Way Kanan. Lampung. Prosiding Seminar Nasional Tanaman Pangan. Puslitbangtan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Puslitbangtan. 2000. Inovasi Teknologi Tanaman Pangan dalam Memantapkan Ketahanan Pangan dan Mengembangkan Agribisnis. Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian. Bogor.

Rachman, B dan A. Saryoko. 2008. Analisis titik impas dan laba usahatani melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu di Kabupaten Lebak-Banten. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 11 (1): 54-60.

Suprihatno, B., A. A. Daradjat, Satoto, Baehaki, S. E, I. N. Widiarta, Agus Setyono, S. Dewi Indrasari, Ooy S. Lesmana, H. Sembiring. 2007. Deskripsi Varietas Padi. Badan Litbang Pertanian, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Jln. Raya IX, Sukamandi, Subang 41256, Jawa Barat

Zaini, Z., Diah, WS. Dan M. Syam. 2004. Petunjuk Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi sawah. Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian, Balai Penelitian Padi dan International Rice Research Institute.

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 1-5

Page 10: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 6

PERSEPSI PETANI TERHADAP TEKNOLOGI BUDIDAYA BAWANG MERAH PADA LAHAN KERING DI KECAMATAN TAPUNG, KAMPAR, PROVINSI RIAU

Dian Pratama dan Sri Swastika 1)

1) Penyuluh Pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau

ABSTRAK

Provinsi Riau saat ini belum mampu memenuhi kebutuhan bawang merah yaitu sebesar 14.500 ton pertahun dan masih mengandalkan pasokan dari luar Provinsi Riau karena produksi hanya 140 ton atau hanya 0,96% dari kebutuhan bawang merah. Untuk mengatasi kelangkaan maka pemerintah Kabupaten Kampar menggalakkan program pengembangan bawang merah dengan mengoptimalkan potensi kesesuaian sumberdaya alam, ketersediaan lahan dan tenaga kerja untuk mendukung Kabupaten Kampar sebagai sentra bawang merah di Sumatera. Sehubungan dengan itu dilakukan penelitian yang bertujuan mengetahui persepsi petani terhadap teknologi budidaya bawang merah pada lahan kering dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis, lokasi bertempat di Desa Gading Sari, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar pada bulan Oktober tahun 2015. Pengambilan sampel secara purposive random sampling sebanyak 32 petani sebagai responden. Hasil analisis persepsi menunjukkan bahwa 18 responden (56,25%) petani memiliki persepsi yang baik dan 14 responden (43,75%) memiliki persepsi yang kurang baik terhadap teknologi budidaya bawang merah pada lahan kering. Aspek keuntungan relatif, teknologi budidaya bawang merah ini menguntungkan dan meningkatkan penghasilan petani. Teknologi mudah diaplikasikan, dapat dicoba pada skala kecil, hasilnya dapat diamati dalam waktu singkat dan tidak bertentangan dengan kebiasaan petani setempat. Dari hasil analisis regresi berganda, secara agregat diketahui pengetahuan petani tentang teknologi budidaya bawang merah mempengaruhi sebesar 83,7% terhadap persepsi petani.

Kata Kunci : Persepsi, teknologi budidaya, bawang merah

ABSTRACT

Currently, Riau Province is not able to provide shallot for domestic need which is about 14,500 tons per year and still relies on supplies from other areas. It is because of the production only 140 tons or 0.96% from the needs of shallots. To overcome this, Kampar Regency government launched a program to develop the shallot cultivation by optimizing thepotential of natural resources, availability of land and workers to support Kampar Regency as the shallots center in Sumatra. Therefore, the research was conducted to determine the farmer’s perception of shallot cultivation technology on dry land and the factors that influence this perception. This research was used descriptive analytical method in Gading Sari Village, Tapung District, Kampar Regency in October 2015. The samples were collected through purposive random sampling using 32 farmers as respondent. The result of perception analysis showed that 18 respondents (56.25%) had a good perception and 14 respondents (43.75%) had a poor perception of shallot cultivation technology on dry land. From the relative advantage aspect, shallot cultivation technology is profitable and increase farmers' incomes. Technology is easy to apply, can be tried out on a small-scale, the results can be observed in a short time and does not discord with the custom of local farmers. From the multiple linear regression analysis results known that knowledge of farmers on farming technology affecting 83,7% the shallot farmersperception.

Keywords : Perception, cultivation technology, shallot

Page 11: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 7

PENDAHULUAN

Bawang merah merupakan komoditas

hortikultura yang diperlukan dalam kehidupan sehari-

hari. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk,

maka kebutuhan bawang merah juga meningkat. Pada

tahun 2015 penduduk Indonesia diperkirakan mencapai

257.387.897 jiwa. Kementerian Pertanian

mengestimasikan kebutuhan konsumsi bawang merah

mencapai 952.335 ton. Dengan memperhitungkan

kebutuhan untuk bibit, industri, dan ekspor, maka total

kebutuhan bawang merah akan mencapai 1.195.235

ton. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat 50%

menjadi 1.541.737 ton pada tahun 2025 (Ditjen BP

Hortikultura, 2005). Menurut Wibowo (2009), dari data

tersebut tentunya ada peluang agribisnis bawang

merah, tidak hanya untuk produksi dalam negeri, tetapi

sekaligus menarik bagi peluang impornya.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik dan

Direktorat Jenderal Hortikultura (2015) diketahui di

Provinsi Riau luas panen bawang merah seluas 41

hektar dan produksi bawang merah sebesar 140 ton,

dengan jumlah kebutuhan bawang merah mencapai

14.000 ton/tahun dapat diketahui bahwa sampai saat

ini Provinsi Riau belum mampu memenuhi kebutuhan

konsumen akan bawang merah. Selama ini untuk

memenuhi kebutuhan konsumen terhadap bawang

merah selalu didatangkan dari luar Riau seperti Pulau

Jawa, Sumatera Barat dan Sumatera Utara.

Bawang merah merupakan komoditas

hortikultura yang baru dibudidayakan oleh petani di

Kabupaten Kampar sehingga pengetahuan petani

terhadap teknologi budidaya bawang merah masih

terbatas. Untuk itu diperlukan introduksi inovasi

teknologi budidaya bawang merah melalui

pendampingan di lahan petani. Balai Pengkajian

Teknologi Pertanian (BPTP) Riau telah melakukan

introduksi inovasi teknologi budidaya bawang merah

sejak tahun 2014. Teknologi budidaya bawang merah di

lahan sawah dilaksanakan di Desa Sungai Geringging,

Kecamatan Kampar Kiri, Kabupaten Kampar. Untuk

lahan kering, introduksi teknologi budidaya bawang

merah dilakukan di Desa Gading Sari, Kecamatan

Tapung, Kabupaten Kampar. Introduksi inovasi

teknologi tersebut diharapkan dapat diadopsi oleh

petani sehingga meningkatkan produktivitas bawang

merah di Kabupaten Kampar.

Untuk mengadopsi teknologi yang diintroduksi,

persepsi petani terhadap budidaya bawang merah

sangat penting. Persepsi adalah suatu bagian dari

interaksi sosial yang menjelaskan mengapa dan

bagaimana dapat terjadi keseragaman dalam

pandangan dan tingkah laku diantara orang banyak

(Gerungan, 2009). Cara pandang petani dipengaruhi

oleh persepsi petani mengenai teknologi budidaya

bawang merah. Persepsi yang baik akan menentukan

keputusan petani untuk mengadopsi teknologi budidaya

bawang merah.

Menurut Rogers (1983) adopsi adalah proses

mental dalam mengambil keputusan untuk menerima

atau menolak suatu inovasi. Adopsi juga didefinisikan

sebagai proses mental seseorang dari mendengar,

mengetahui inovasi sampai akhirnya mengadopsi.

Menurut Mardikanto (2009) adopsi dalam penyuluhan

pertanian dapat diartikan sebagai proses perubahan

perilaku baik yang berupa pengetahuan, sikap, maupun

keterampilan pada diri seseorang setelah menerima

inovasi yang disampaikan penyuluh kepada sasarannya.

Penerimaan disini mengandung arti tidak sekedar

“tahu” tetapi benar-benar dapat dilaksanakan atau

diterapkan dengan benar serta menghayatinya.

Penerimaan inovasi tersebut, biasanya dapat diamati

secara langsung maupun tidak langsung oleh orang lain

sebagai cerminan dari perubahan sikap, pengetahuan

dan keterampilannya.

Karakteristik petani yang dianggap penting untuk

diketahui yaitu umur, tingkat pendidikan, pangalaman

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 6-12

Page 12: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 8

usahatani, status kepemilikan lahan, luas lahan, dan

pola tanam. Karakteristik dari masing-masing petani

berbeda-beda, sehingga hal ini dapat mempengaruhi

keragaan usahatani dari aspek teknik budidaya. Tingkat

pendidikan petani responden baik yang menggunakan

benih lokal maupun impor masih didominasi oleh

pendidikan sekolah dasar. Hal ini berarti bahwa

sebagian besar petani responden memiliki tingkat

pendidikan formal yang masih rendah. Hal ini tentunya

akan berpengaruh pada tingkat keberanian mengambil

keputusan dan risiko dalam pengelolaan usahatani

bawang merah (Theresia et al, 2016).

Fliegel, et al. (1971) mengungkapkan ada lima

faktor yang mempengaruhi sikap petani dalam

mengadopsi perubahan teknologi, yakni: (1)

keuntungan nilai tambah relatif bila teknologi itu

diadopsi, (2) kecocokan teknologi dengan sosial budaya

setempat, (3) hasil pengamatan petani terhadap petani

lain yang sedang atau telah mencoba teknologi itu

sebagai dasar peletakan kepercayaan, (4) kemampuan

mencoba sendiri akan keberhasilan teknologi baru, dan

(5) kondisi ekonomi yang ada seperti ketersediaan

modal.

METODE PENELITIAN

Lokasi penelitian di Desa Gading Sari, Kecamatan

Tapung, Kabupaten Kampar pada bulan Oktober tahun

2015. Penetapan lokasi berdasarkan pertimbangan

bahwa daerah ini merupakan salah satu daerah

pendampingan komoditas hortikultura bawang merah

BPTP Riau. Pengumpulan data dilakukan dengan

survey, wawancara dan menggunakan kuesioner

(daftar pertanyaan). Pengambilan sampel secara

purposive random sampling sebanyak 32 petani sebagai

responden.

Pengumpulan data meliputi data primer dan

sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara

langsung dengan responden sedangkan data sekunder

diperoleh dari institusi terkait serta literatur sebagai

bahan referensi. Jenis data yang dikumpulkan meliputi

jenis kelamin, umur petani, status lahan, pendidikan,

luas lahan, pekerjaan, pengetahuan petani tentang

teknologi inovasi budidaya bawang merah pada lahan

kering. Penelitian ini menggunakan metode deskripsi

analisis. Untuk analisis data faktor-faktor yang

mempengaruhi persepsi petani terhadap teknologi

budidaya bawang merah menggunakan analisis regresi

berganda dengan persamaan berikut:

Y = a + bi.Xi + b2.X2 + b3.X3 + b4.X4 + b5.X5 + b6.X6 + b7.X7 + s

Keterangan :

Y = persepsi petani

Xi = jenis kelamin

x2 = umur petani

x3 = status lahan

x4 = pendidikan formal

x5 = luas lahan petani

x6 = pekerjaan

x7 = pengetahuan petani

a = konstanta

bi- b7 = koefisien regresi

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik petani

Tabel 1. Karakteristik Petani di Desa Gading Sari, Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar

Karakteristik Frekuensi Persentase

(%)

Jenis kelamin

Laki – laki 29 90,62

Perempuan 3 9,38

Umur

0 – 14 0 0

15 – 64 31 96,87

≥ 65 1 3,13

Pendidikan formal

SD 9 28,13

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 6-12

Page 13: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 9

SMP 10 31,25

SMA 6 18,75

S1 7 21,87

Luas lahan

Sempit ( < 0,5 hektar) 7 21,87

Sedang ( ≥ 0,5 - 2 hektar) 16 50,00

Luas ( >2 hektar) 9 28,13

Satus lahan

Milik sendiri 19 59,38

Sewa 1 3,12

Penggarap 6 18,75

Hak Guna Pakai 6 18,75

Petani di Desa Gading Sari, Kecamatan Tapung,

Kabupaten Kampar sebagian besar berjenis kelamin

laki-laki dan merupakan tenaga kerja produktif yaitu

berusia antara 15-64 tahun. menurut Junaidi (2007)

dikatakan bahwa proses adopsi suatu inovasi pada

kelompok umur produktif (25-55 tahun) akan berjalan

cukup baik dibanding kelompok usia yang lebih muda

atau lebih tua. Hal ini dikarenakan; pada kelompok usia

muda nilai tanggung jawab masih rendah terhadap

beban hidup sedangkan pada kelompok umur yang

lebih tua telah terjadi pembakuan model atau pola

hidup yang kaku sebagai hasil dari suatu endapan

pengalaman yang dijadikan patokan hidup.

Dari segi pendidikan, sekitar 50 % responden

berpendidikan formal tingkat menengah (SMP dan

SMA). Menurut Junaidi (2007), tingkat pendidikan ini

termasuk kategori sedang (7-12 tahun). Tingkat

pendidikan formal sangat penting bagi petani, karena

akan membantu petani untuk lebih mudah dalam

memahami informasi teknologi, menerapkan teknologi

dan memudahkan petani dalam menyelesaikan

masalah-masalah yang dihadapi.

Sekitar 50% petani memiliki luas lahan garapan

kategori sedang, dengan kisaran luas antara 0,5 ha-1,5

ha. Luas lahan garapan berpengaruh pada transfer

penerapan teknologi. Pengetahuan dan keterampilan

yang diperoleh petani dari berbagai sumber informasi

teknologi dapat diterapkan oleh petani di lahanya.

Semakin luas lahan petani akan memudahkan petani

dalam menerapkan teknologi terkait dengan jumlah

produksi yang dihasilkan, biaya produksi dan

pendapatan petani dari hasil usahataninya tanpa

khawatir akan resiko kegagalan. Selain itu dari segi

aspek status lahan, sekitar 59,38% merupakan lahan

milik sendiri. Hal ini memudahkan petani dalam

menerapkan teknologi yang diintroduksikan, karena

tidak ada tambahan biaya produksi berupa sewa lahan

dan biaya bagi hasil.

Persepsi Petani Terhadap Teknologi Budidaya Bawang Merah Pada Lahan Kering di Kecamatan Tapung, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau

Persepsi petani terhadap teknologi budidaya

bawang merah pada lahan kering di Kabupaten Kampar

disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Kategori persepsi petani terhadap teknologi

budidaya bawang merah di lahan kering No. Persepsi

Petani Jumlah ( Jiwa)

Persentase (%)

Kisaran Skor

Skor Median

1. Baik 18 56,25 53 - 65 52,59

2. Kurang

baik

14 43,75 39 - 50 52,59

Jumlah 30 100

Persepsi petani dibedakan dalam 2 kategori yaitu

persepsi baik (jika total skor > skor median) dan

persepsi kurang baik (jika total skor < skor median).

Dari tabel diatas diketahui bahwa skor median 52,59.

Sebanyak 18 responden (56,25%) memiliki persepsi

yang baik terhadap teknologi budidaya bawang merah

di lahan kering sedangkan sebanyak 14 responden

(43,75%) menyatakan persepsi yang kurang baik.

Petani yang memiliki persepsi baik (56,25%)

menyatakan bahwa budidaya bawang merah pada

lahan kering ini mudah untuk dibudidayakan, hasil

panen bawang merah mudah dipasarkan, jenis bawang

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 6-12

Page 14: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 10

merah sesuai dengan permintaan pasar dan harga jual

menguntungkan bagi petani. Selain itu dari segi sosial

menanam bawang merah ini sama dengan budaya dan

tidak bertentangan dengan kebiasaan petani setempat.

Persepsi Petani Terhadap Keuntungan Relatif

Keuntungan relatif suatu inovasi/teknologi

menentukan di dalam pengambilan keputusan

pengguna untuk mengadopsi atau menolak

inovasi/teknologi tersebut. Persepsi petani terhadap

keuntungan relatif dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Persepsi petani terhadap keuntungan relatif

No. Aspek persepsi Interval Skor

Skor yang

dicapai

Tingkat Persepsi

(%)

Kategori Persepsi

1 Ketersediaan sarana produksi (benih, pupuk, pestisida)

0 - 5 3,16 63,10 Kurang baik

2 Produktivitas bawang merah

0 - 5 4,31 86,30 Baik

3 Keuntungan yang diperoleh petani dengan menanam bawang merah

0 - 5 4,04 80,60 Baik

4 Menanam bawang merah dapat meningkatkan pendapatan petani

0 - 5 4,34 86,90 Baik

5 Menanam bawang merah memiliki resiko kegagalan yang kecil

0 - 5 3,41 68,10 Baik

6 Bawang merah sesuai/cocok ditanam di lahan petani (sesuai agroekosistem)

0 - 5 3,84 76,90 Baik

7 Harga jual bawang merah menguntungkan petani

0 - 5 4,00 80,00 Baik

8 Jenis bawang merah yang ditanam sesuai permintaan pasar

0 - 5 3,94 78,80 Baik

9 Hasil panen bawang merah mudah dipasarkan

0 - 5 3,63 72,50 Baik

Rata - Rata Skor 0 - 45 34,66 77,01 Baik

Dari aspek keuntungan relatif secara

keseluruhan petani memiliki persepsi yang baik

terhadap usaha tani bawang merah, hal ini disebabkan

bawang merah sesuai/cocok ditanam di lahan petani,

produktivitas bawang merah tinggi, resiko kegagalan

kecil, jenis bawang merah yang ditanam sesuai

permintaan pasar, hasil panen bawang merah mudah

dipasarkan, harga jual bawang merah menguntungkan

petani. Teknologi budidaya bawang merah yang

diintroduksikan memberikan keuntungan bagi petani

sehingga dapat meningkatkan pendapatan petani. Dari

aspek ketersediaan sarana produksi, pupuk dan

pestisida tersedia di pasar, namun harga pupuk

nonsubsidi dan pestisida dinilai mahal oleh petani.

Dalam hal ketersediaan benih bawang merah, petani

masih kesulitan dalam memperoleh benih. Untuk saat

ini benih bawang merah masih diperoleh dari pulau

jawa yang tentunya ada tambahan biaya ongkos kirim

ke pulau Sumatera.

Persepsi Petani Terhadap Kompleksitas, Triabilitas, Observabilitas dan Kompatibilitas Tabel 4. Persepsi Petani terhadap kompleksitas,

triabilitas, observabilitas, dan kompatibilitas No. Aspek persepsi Interval

Skor Rata- rata Skor yang

dicapai

Tingkat Persepsi

(%)

Kategori Skor

1 Bawang merah mudah ditanam

0 – 5 3,75 75,00 Baik

2 Bawang merah dapat dicoba pada lahan sempit

0 – 5 3,78 75,63 Baik

3 Petani dapat mengamati hasil produksi bawang merah relatif lebih cepat

0 – 5 3,59 71,88 Baik

4 Budidaya bawang merah sama dengan budaya setempat dan tidak bertentangan dengan kebiasaan petani

0 – 5 3,64 72,80 Baik

Dari Tabel 4 diketahui bahwa budidaya bawang

merah di lahan kering ini mudah dilakukan oleh petani.

Pengairan bawang merah di lahan kering ini dilakukan

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 5-11

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 6-12

Page 15: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 11

dua kali sehari, yaitu pagi dan sore. Untuk pengairan

petani tidak kesulitan karena rata-rata petani memiliki

sumur bor sehingga tidak kesulitan dalam memperoleh

sumber air.

Pada aspek triabilitas yaitu suatu inovasi/

teknologi dapat diuji coba terutama pada skala yang

kecil, petani memberikan persepsi yang baik. Artinya

petani menilai bahwa budidaya bawang merah ini dapat

dicoba pada lahan sempit, hal ini didukung oleh luas

lahan garapan petani yang sebagian besar petani

memiliki luas lahan garapan yang sempit yaitu 0,25-0,5

ha.

Dari aspek observabilitas, yaitu hasil penerapan

suatu inovasi teknologi dapat diamati langsung oleh

pengguna inovasi/teknologi sendiri atau orang lain.

Terlihat bahwa budidaya bawang merah ini tidak

memerlukan waktu yang lama yaitu sekitar 60-90 hari.

Petani cenderung menyukai budidaya tanaman yang

tidak memerlukan waktu lama seperti budidaya bawang

merah ini sehingga lebih cepat diamati hasil

produksinya. Dari aspek kompatibilitas teknologi

diketahui bahwa menanam bawang merah di lahan

kering ini sama dengan budaya petani setempat dan

tidak bertentangan dengan kebiasaan petani setempat.

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi Petani Tabel 5. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi

petani terhadap teknologi budidaya bawang merah

No. Variabel Koefisien Regresi

Nilai t Sign

1 JenisKelamin .038 .308 .761

2 Umur .081 .663 .514

3 Pendidikan .027 .160 .874

4 Pekerjaan -.153 -.874 .391

5 Luas Lahan -.055 -.432 .669

6 Status Lahan -.122 -.929 .362

7 Pengetahuan .800 6.738 .000**

R square .833

Adjusted R square .694

F hitung 7.792

Sumber : Olahan Data Primer 2015

Hasil analisis regresi menunjukan bahwa nilai

Adjusted R square sebesar 0,833. Artinya 83,3 persen

variabel persepsi petani terhadap teknologi budidaya

bawang merah pada lahan kering di Kabupaten Kampar

dapat dijelaskan oleh satu variabel independennya yaitu

pengetahuan petani terhadap teknologi budidaya

bawang merah. Sedangkan 16,7 persen sisanya dapat

dijelaskan oleh faktor-faktor dari luar model (Priyatno,

2012). Untuk factor-faktor lain seperti jenis kelamin, umur

petani, status lahan, pendidikan, luas lahan, pekerjaan

tidak berpengaruh nyata terhadap persepsi petani.

Pengetahuan petani tentang teknologi budidaya

bawang merah berpengaruh nyata terhadap persepsi

petani (sign 0,00). Semakin tinggi pengetahuan petani

tentang teknologi budidaya bawang merah, maka

persepsi petani terhadap teknologi budidaya bawang

merah akan semakin baik. Tingkat pendidikan berkaitan

dengan tingkat pengetahuan petani. Tingkat pendidikan

akan memudahkan petani memahami informasi

teknologi, menerapkan teknologi dan menyelesaikan

masalah-masalah yang dihadapi, namun tidak

mempengaruhi persepsi petani dikarenakan tingkat

pendidikan dalam hal ini adalah tingkat pendidikan

formal, sehingga persepsi petani dapat dipengaruhi

oleh faktor lain di luar model seperti pengalaman petani

dalam budidaya bawang merah.

Tabel 6. Unsur-unsur pengetahuan petani terhadap teknologi budidaya bawang merah pada lahan kering

No. Unsur-unsur

teknologi budidaya bawang merah

Interval skor

Rata-rata skor yang dicapai

Tingkat pengetahuan

(%)

1 Langkah- langkah persiapan lahan

0 - 5 3,88 77,50

2 Langkah- langkah pembuatan bedengan

0 - 5 4,00 80,00

3 Pengaturan jarak tanam

0 - 5 4,03 80,63

4 Kebutuhan pupuk dasar

0 - 5 3,91 78,13

5 Persiapan pembenihan 0 - 5 3,78 75,63 6 Penanaman benih 0 - 5 3,97 79,38 7 Penyiangan gulma 0 - 5 3,94 78,75 8 Penyiraman/pengairan 0 - 5 4,03 80,63

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 6-12

Page 16: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 12

9 Cara pemupukan 0 - 5 3,88 77,50 10 Cara penanganan

hama dan penyakit 0 - 5 3,63 72,50

11 Pemanenan 0 - 5 4,22 84,38 12 Penanganan pasca

panen 0 - 5 4,00 80,00

Rata-rata Skor 0 - 60 3,94 78,75

Dari Tabel 6 diketahui, bahwa rata-rata tingkat

pengetahuan petani 78,75% termasuk kategori tinggi.

Secara umum petani telah mengetahui teknologi

budidaya bawang merah pada lahan kering. Petani

telah mengetahui teknologi budidaya bawang merah

mulai dari persiapan lahan hingga penanganan pasca

panen. Namun pengetahuan yang tinggi tidak akan

memperoleh hasil optimal tanpa penerapan yang tepat.

Tingkat pengetahuan petani pada unsur cara

penanganan hama dan penyakit sebesar 72,50%

termasuk kategori tinggi, namun petani belum

memahami waktu dan cara penerapan yang tepat

dalam mengendalikan hama dan penyakit sehingga

akan menimbulkan resiko kegagalan dalam budidaya

bawang merah. Untuk kedepan saat penyuluhan/

pendampingan teknologi budidaya bawang merah

kepada petani, materi tentang cara penanganan hama

dan penyakit menjadi prioritas utama, disamping materi

persiapan pembenihan, langkah persiapan lahan, cara

pemupukan, kebutuhan pupuk dasar, penyiangan

gulma dan penanaman benih.

KESIMPULAN

1. Sebanyak 18 responden (56,25%) petani memiliki

persepsi yang baik dan 14 responden (43,75%)

memiliki persepsi yang kurang baik terhadap

teknologi budidaya bawang merah di lahan kering.

2. Secara agregat, faktor pengetahuan petani tentang

budidaya bawang merah mempengaruhi sebesar

83,7% terhadap persepsi petani. Semakin tinggi

pengetahuan petani tentang teknologi budidaya

bawang merah, maka semakin tinggi keputusan

petani untuk mengadopsi teknologi budidaya

bawang merah.

DAFTAR PUSTAKA

Ditjen BP Hortikultura. 2005. Perkiraan Kebutuhan

Bawang Merah Indonesia Tahun 2010-2025. Fliegel, E.C, J.E. Kivlin and G.S. Sekhon. 1971. Message

Distortion and The Diffusion of Innovations in

Nothern India. Sociologica Ruralis Gerungan. 2009. Psikologi Sosial. Bandung (ID): Rafika

Aditama Junaidi. 2007. Pemahaman tentang Adopsi, Difusi dan

Inovasi (Teknologi) dalam Penyuluhan Pertanian Mardikanto, 2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. UNS

Press. Surakarta.

Priyatno, D. 2012. Belajar Cepat Olah Data Statistik dengan SPSS. C.V Andi Offset. Yogakarta.

Rogers, E. M. 1983. Diffusion of Innovation. 3rd edition. The Free Press, A Division of Macmillan Publishing C. Inc, New York.

Suliyanto. 2012. Analisis Statistik-Pendekatan Praktis dengan Microsoft Excel. C.V Andi Offset.

Yogakarta. Theresia, V. Fariyanti, A. Tinaprilla, N. 2016. Analisis

Persepsi Petani Terhadap Penggunaan Benih Bawang Merah Lokal dan Impor di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Jurnal Penyuluhan 12 (1) : 74 - 88

Wibowo, S. 2009. Budidaya Bawang. Penebar Swadaya. Depok.

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 6-12

Page 17: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 13

KARAKTERISTIK PETANI DALAM MENGADOPSI TEKNOLOGI INTRODUKSI PADA PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (PTT) PADI SAWAH

DI KECAMATAN KAMPAR

Oni Ekalinda, Dian Pratama dan Yogo sumitro 1)

1) Penyuluh Pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau

ABSTRAK

Program Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) padi sawah memiliki muatan teknologi inovasi yang

berorientasi untuk mempercepat peningkatan produksi dan produktivitas padi dalam cakupan yang lebih luas. Tingkat pengetahuan petani dan karakteristik teknologi introduksi merupakan faktor yang mempengaruhi kecepatan dalam mengadopsi suatu teknologi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh karakteristik petani dalam mengadopsi teknologi introduksi pada PTT padi. Penelitian ini dilakukan di Desa Ranah Baru dan Desa Ranah, Kecamatan Kampar, Kabupaten Kampar tahun 2015, menggunakan metode survey terhadap 30 orang responden. Analisis data menggunakan uji korelasi rank spearman (rs). Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah tanggungan keluarga berkorelasi erat dengan adopsi teknologi, dengan derajat keeretan sebesar 0,602. Pendidikan berkorelasi erat dengan adopsi teknologi dengan derajat keeratan sebesar 0,550. Umur, jenis kelamin, keanggotaan dalam kelompok tani, penguasaan lahan dan status lahan garapan memiliki nilai korelasi yang lemah terhadap adopsi teknologi.

Kata Kunci: Karakteristik petani, adopsi teknologi, PTT Padi

ABSTRACT

Integrated Crop Management Program (ICM) of rice has a charge of innovativetechnology that aims to accelerate the increasing of rice productivity and production in a broader scope. The knowledge level of farmers and characteristics of introduction technologyare factors that affect the adopting technology. This study aimed to determine the effect of farmer’s characteristics to adopting the introduction technology in the ICM rice. This research was conducted in Ranah Baruvillage and Ranah village, Kampar District, Kampar Regency in 2015. This research was conducted in a survey method using 30 respondents. Data was analyzed using Spearman rank correlation test (Rs). The results showed that the number of dependents in the family closely correlated with the technology adoption, with a correlation degreein 0,602. Education was closely correlated with the technology adoption, with a degree correlation at 0,550. Age, gender, membership in farmer groups, tenure, and status of arable land has a weak correlation with the value of technology adoption. Keywords: Characteristics, farmers, technology adoption, ICM, rice.

Page 18: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 14

PENDAHULUAN

Kebutuhan beras di Provinsi Riau cukup besar

setiap tahunnya. Berdasarkan data BPS Tahun 2014

Jumlah penduduk di Provinsi Riau sebanyak 6.188.442

orang, dengan kebutuhan beras pertahun sekitar

600.000 ton. Sementara itu produksi beras berdasarkan

basis data pada Website Kementerian Pertanian Tahun

2015 baru mencapai sebesar 393.917 ton GKG atau

setara dengan 295.437 ton beras. Artinya Provinsi Riau

masih kekurangan beras lebih dari 50% dari produksi

yang dihasilkan.

Di Provinsi Riau, dukungan untuk program

Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) selain

dilakukan melalui kegiatan Sekolah Lapang Pengelolaan

Tanaman Terpadu (SL-PTT) juga dilakukan secara

spesifik melalui Gerakan Operasi Riau Makmur (OPRM)

yang dilaksanakan mulai tahun 2009-2013. Gerakan

OPRM terdiri dari 3 kegiatan utama, yaitu peningkatan

indeks pertanaman, rehabilitasi sawah terlantar dan

perluasan areal pertanaman melalui kegiatan

pencetakan sawah baru. Kemunculan Gerakan OPRM

sebenarnya didasarkan pada kenyataan bahwa Provinsi

Riau kekurangan beras cukup besar setiap tahunnya.

Upaya peningkatan produksi beras di Provinsi

Riau belum berhasil. Data produksi padi tahun 2012

menunjukkan bahwa produksi padi baru mencapai

512.152 ton atau menurun 4,41% dibandingkan

dengan produksi padi tahun 2011 yang mencapai

535.788 ton (BPS, 2012). Penyebab utama penurunan

produksi padi di Provinsi Riau adalah penurunan luas

tanam dan rendahnya produktivitas (Distan Riau,

2012).

Program peningkatan produksi padi memiliki

muatan teknologi inovasi yang bertujuan untuk

mempercepat peningkatan produksi dan produktivitas

padi dalam cakupan yang lebih luas. Tingkat

pengetahuan petani dan karakteristik teknologi

introduksi merupakan faktor yang mempengaruhi

kecepatan dalam mengadopsi suatu teknologi. Menurut,

Fattah et all, 2000, kecepatan dan tingkat adopsi

teknologi oleh petani memerlukan partisipasi serta

ketersediaan dan kemampuan petani untuk menerima

teknologi yang dihasilkan, dilain pihak permasalahan

yang dihadapi petani didalam mengelola usahataninya

cukup komplek sehingga dapat menghambat suatu

proses adopsi teknologi.

Indraningsih (2011) menyatakan bahwa untuk

mengubah teknologi, petani memerlukan modal yang

lebih besar selain itu untuk mengubah kebiasaan

merupakan pekerjaan yang tidak ringan, apalagi jika

berisiko terlalu besar, hal ini terkait dengan masalah

sosoial budaya. Suriatna (2000) menyatakan bahwa

beberapa faktor yang mempengaruhi percepatan

proses adopsi teknologi ditingkat petani adalah; 1)

teknologi yang dikenalkan benar-benar membantu

pemecahan permasalahan petani; 2) sarana yang

diperlukan untuk implementasi teknologi tersebut

mudah didapat; 3) teknologi yang dikenalkan

mempunyai tingkat efisiensi yang lebih tinggi

dibandingkan dengan teknologi sebelumnya; 4) produk

dari teknologi tersebut mempunyai prospek pasar yang

baik. Terkait dengan hal tersebut, maka perlu dilakukan

kajian pengaruh karakteristik petani dalam mengadopsi

teknologi introduksi pada PTT padi.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di dua desa yaitu Desa

Ranah Baru dan Desa Ranah, Kecamatan Kampar,

Kabupaten Kampar. Penetapan lokasi berdasarkan

pertimbangan bahwa daerah ini merupakan salah satu

daerah sentra produksi padi di Kabupaten Kampar,

dimana petaninya telah menerapkan program

peningkatan produksi padi (PTT) padi sawah. Penelitian

dilakukan tahun 2015, menggunakan metode survey

dengan mewawancarai 30 orang petani sebagai

responden, menggunakan kuisioner terstruktur.

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 13-19

Page 19: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 15

Penentuan responden dilakukan secara random

sampling terhadap 2 kelompok tani, yaitu kelompok tani

Pulai Tarandam dan kelompok tani Pulau Singkawang.

Pengumpulan data meliputi data primer dan sekunder.

Data primer diperoleh melalui wawancara langsung

dengan responden sedangkan data sekunder diperoleh

dari institusi terkait serta literatur sebagai bahan

referensi. Data primer yang dikumpulkan meliputi;

identitas responden (umur, pendidikan, pengalaman

berusahatani, tanggungan keluarga dan luas lahan

garapan), pengetahuan petani tentang teknologi

introduksi dan karakteristik teknologi inovasi. Untuk

melihat hubungan karakteristik petani dalam

mengadopsi teknologi introduksi didekati dengan uji

korelasi rank spearman (rs) dari Siegel (1997).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Daerah Penelitian

Kecamatan Kampar merupakan salah satu sentra

produksi padi di Kabupaten Kampar dengan luas sawah

sekitar 300 ha. Luas penanaman padi rata-rata per

tahun adalah 350 ha (BPP Kampar, 2015). Frekuensi

tanam pada umumnya satu kali setahun (Oktober-

Maret), namun di Desa Ranah Baru, pertanaman padi

telah dilakukan dua kali setahun (April-September dan

Oktober-Maret). Produktivitas padi rata-rata 3,4 t/ha.

Masih rendahnya produktivitas padi di Kecamtan

Kampar disebabkan oleh penerapan paket teknologi

inovasi yang diintroduksikan belum sepenuhnya

diterapkan oleh petani. Untuk pertanaman rata-rata

satu kali setahun, pemanfaatan lahan belum maksimal

(banyak lahan bera) digunakan sebagai lahan

pengembalaan kerbau dan sapi, yang merupakan

kebiasaan masyarakat.

Karakteristik Petani

Umur

Ciri umur dapat digunakan untuk mengindikasi

berapa lama seseorang telah menekuni pekerjaan

pertanian dengan asumsi bahwa ketika memasuki usia

produktif masyarakat pada wilayah tersebut mulai

menekuni pekerjaan pertanian. Selain itu, menurut

Junaidi (2007) proses adopsi suatu inovasi pada

kelompok umur produktif (25-55 tahun) akan berjalan

cukup baik dibanding kelompok usia yang lebih muda

atau lebih tua. Hal ini dikarenakan pada kelompok usia

muda nilai tanggung jawab masih rendah terhadap

beban hidup sedangkan pada kelompok umur yang

lebih tua telah terjadi pembakuan model atau pola

hidup yang kaku sebagai hasil dari suatu endapan

pengalaman yang dijadikan patokan hidup.

Tabel 1. Identitas responden berdasarkan umur No. Umur (tahun) Distribusi

Jumlah (orang)

Persentase (%)

1. 2.

< 65 ≥ 65

27 3

90,00 10,00

Jumlah 30 100,00

Rata-rata umur responden di lokasi kajian

tergolong dalam usia produktif 36-60 tahun (90%). Hal

tersebut menunjukkan bahwa responden yang

tergolong dalam usia produktif mempunyai kemampuan

fisik yang optimal dan memiliki respon yang baik dalam

menerima hal-hal yang baru untuk perbaikan

usahataninya. Responden yang tergolong dalam usia

non produktif (10%) namun masih mengikuti kegiatan

SLPTT karena masih memiliki kemampuan untuk

mengelola lahannya dengan baik. Selain itu, petani

yang berusia non produktif dapat memberikan

semangat dan contoh yang baik kepada petani yang

berusia produktif untuk menerapkan komponen PTT

secara baik.

Keunikan didaerah ini adalah bahwa tenaga kerja

untuk berusahatani padi didominasi oleh wanita,

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 13-19

Page 20: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 16

dimana mereka melakukan semua pekerjaan usahatani.

Terkait dengan fenomena ini, maka introduksi teknologi

inovasi juga harus diselaraskan dengan kemampuan

wanita tani dalam menerapkan teknologi tersebut,

umpamanya penggunaan alat dan mesin pertanian

yang adaptif untuk dilakukan oleh wanita tani.

Lama Pendidikan

Pendidikan formal responden merupakan jenjang

sekolah yang ditempuh oleh responden yang

diperhitungkan dari sistem pendidikan sekolah yang

telah berhasil ditamatkan oleh responden. Lama

pendidikan menggambarkan tingkat pengetahuan,

wawasan dan pandangan seseorang yang dalam bidang

pertanian diartikan sebagai cara seseorang merespon

suatu inovasi pertanian dan membangun gagasan

dalam perencanaan usahatani. Pengukuran tingkat

pendidikan baik formal maupun non formal sangat

bermanfaat dalam memprediksi kondisi wawasan

pengetahuan petani dan arah pemahaman petani

terhadap inovasi dan proses adopsi yang menyertai

inovasi tersebut.

Tabel 2. Identitas responden berdasarkan tingkat pendidikan

No. Tingkat Pendidikan Distribusi

Jumlah (orang)

Persentase (%)

1. 2. 3. 4. 5.

Tidak Sekolah SD SLTP SLTA Perguruan Tinggi (PT)

1 13 6 10 0

3,33 43,33 20,00 33,33

0

Jumlah 30 100,00

Sekitar 53 % responden berpendidikan formal

tingkat menengah (SLTP dan SLTA). Menurut Junaidi

(2007) tingkat pendidikan ini termasuk kategori sedang

(7-12 tahun). Tingkat pendidikan formal sangat penting

bagi petani, karena akan membantu petani untuk lebih

mudah dalam memahami informasi teknologi,

menerapkan teknologi dan memudahkan petani dalam

menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Makin

meningkat pendidikan seseorang, maka kualitas

kerjanya juga meningkat (Kartasapoetra, 1991) artinya

semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin

berkembang wawasan berfikirnya dan semakin baik

dalam mengambil keputusan.

Luas Lahan Garapan

Tabel 3. Identitas responden berdasarkan luas lahan

No Luas lahan (hektar)

Frekuensi (petani)

Persentase (%)

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

0,10 Ha 0,25 Ha 0,5 Ha 0,6 ha 0,75 ha 1,0 ha 1,25 ha 1,5 ha

2 4 11 1 3 7 1 1

7 13 37 3 10 23 3 3

Jumlah 19,30 30 100

Rataan 0,64

Rata-rata luas lahan garapan 0,64 ha dengan

kisaran 0,10 ha-1,50 ha. Berdasarkan penggolongan

luas lahan garapan oleh Mardikanto (1993) maka luas

lahan garapan petani 0,64 ha tergolong sedang.

Lahan merupakan salah satu faktor produksi

yang penting dalam pengembangan usahatani. Luas

lahan berdampak pada transfer penerapan teknologi.

Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh petani

dari berbagai sumber informasi teknologi dapat

diterapkan oleh petani di lahanya. Lahan yang cukup

luas akan memudahkan petani dalam menerapkan

teknologi tanpa khawatir akan resiko kegagalan. Hal ini

terkait pula dengan jumlah produksi yang dihasilkan,

biaya produksi dan pendapatan petani dari hasil

usahataninya.

Status penguasaan lahan responden sebagian

besar merupakan lahan yang disakap/sewa (75 %),

sisanya merupakan lahan milik sendiri. Hal ini

menyulitkan petani dalam menerapkan teknologi yang

diintroduksikan, karena tambahan biaya produksi yang

diakibatkan dari penerapan teknologi sepenuhnya

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 13-19

Page 21: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 17

ditanggung oleh penyakap sementara pembagian hasil

produksi antara penyakap dan pemilik tetap.

Tingkat Adopsi Teknologi Inovasi

Tabel 1. Tingkat Adopsi Teknologi Petani di Lokasi Penelitian, 2015

No. Aspek PTT Komponen

Teknologi Interval

Skor Rata-rata

skor yang

dicapai

Tingkat Adopsi

(%)

Kategori Adopsi

1. Teknologi

Dasar

Penggunaan

varietas unggul baru, inbrida dan hibrida

0 - 5 3,57 71,33 Tinggi

Penggunaan

benih bermutu dan

berlabel

0 - 5 3,27 65,33 Tinggi

Pemberian bahan

organik melalui pengembalian jerami ke sawah/dalam

bentuk kompos

0 - 5 2,70 54,00 Sedang

Pengaturan

populasi tanaman secara optimum

0 - 5 3,57 71,33 Tinggi

Pemupukan berdasarkan kebutuhan

tanaman dan status hara tanah

0 - 5 3,77 75,33 Tinggi

pengendalian

OPT (Organisme Pengganggu Tanaman)

dengan pendekatan PHT (Pengendalian

Hama Tanaman Terpadu)

0 - 5 3,13 62,67 Tinggi

2. Teknologi Pilihan

Pengolahan tanah sesuai musim dan pola tanam

0 - 5 3,87 77,33 Tinggi

Penggunaan bibit muda (< 21 hari)

0 - 5 3,93 78,67 Tinggi

Penanaman bibit 1-3

batang per rumpun

0 – 5 3,83 76,67 Tinggi

Pengairan secara efektif

dan efisien

0 – 5 3,47 69,33 Sedang

Penyiangan dengan

landak atau gosrok

0 – 5 1,67 33,33 Rendah

Panen tepat

waktu dan gabah segera dirontok

0 – 5 4,23 84,67 Tinggi

Rata-rata Skor

0 - 60 41,00 68,33 Sedang

Secara keseluruhan penerapan paket teknologi di

lokasi penelitian belum sesuai rekomendasi. Tingkat

penerapan teknologi petani rata-rata sebesar 68,33 %.

Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa komponen teknologi

dasar relatif lebih baik penerapannya dibanding

teknologi pilihan. Tingkat adopsi teknologi dasar yang

meliputi penggunaan varietas unggul baru, penggunaan

benih bermutu dan berlabel, pemberian bahan organik

melalui pengembalian jerami ke sawah/dalam bentuk

kompos, pengaturan populasi tanaman secara

optimum, pemupukan berdasarkan kebutuhan tanaman

dan status hara tanah, pengendalian OPT (Organisme

Pengganggu Tanaman) dengan pendekatan PHT

(Pengendalian Hama Tanaman Terpadu) berada dalam

kisaran kategori adopsi sedang-tinggi dengan nilai skor

2,70-3,77. Kategori adopsi sedang hanya pada

pemberian bahan organik, hal ini disebabkan dilokasi

kajian pada umumya petani melakukan pertanaman 2

musim tanam setahun. Untuk mengembalikan jerami

kesawah setelah panen akan memerlukan waktu

terutama untuk pelapukan bahan jerami, karena

sempitnya waktu antara panen dengan pertanaman

berikutnya. Terkait dengan hal tersebut, tindakan

petani adalah membakar jerami selepas panen.

Kategori adopsi teknologi pada komponen teknologi

pilihan berkisar antara rendah sampai tinggi dengan

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 13-19

Page 22: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 18

rataan skor 1,67-4,23. Penerapan teknologi yang

rendah pada komponen teknologi pilihan adalah pada

penyiangan dengan landak atau gosrok, hal ini

disebabkan tidak tersedianya alat penyiangan tersebut

dilapangan. Pengairan secara efektif dan efisien

memiliki kategori adopsi sedang, hal ini disebabkan

karena kurangnya ketersediaan air pada saat diperlukan

tanaman padi. Kondisi akibat kurang berfungsinya

saluran irigasi yang akan mengairi sawah sampai

kesaluran tersier.

Hubungan Karakteristik Petani dan Tingkat Adopsi Teknologi Dari hasil analisa data hubungan karakteritik

petani yang mempengaruhi tingkat adopsi teknologi

introduksi pada PTT padi, dapat dilihat bahwa jumlah

tanggungan keluarga sangat signifikan dalam

mempengaruhi petani untuk mengadopsi teknologi,

dengan derajat keeretan sebesar 0.602 dan t hitung

sebesar 2.823 yang berbeda nyata dengan t tabel. Hal

ini dimungkinkan karena tujuan responden yang utama

dalam melakukan usahatani padi adalah mendapatkan

hasil padi yang banyak untuk memenuhi kebutuhan

makan bagi keluarganya sepanjang waktu. Mereka

yakin bahwa dengan menerapkan paket teknologi

introduksi pada PTT padi yang telah dilakukan pada

petak percontohan (demplot PTT Padi) memberikan

hasil yang lebih tinggi dibanding teknologi petani.

Senjang hasil antara teknologi introduksi dan teknologi

petani adalah tambahan bagi perolehan produksi yang

akan didapatkan petani, jika paket teknologi PTT padi

diterapkan oleh petani.

Pendidikan memiliki pengaruh yang sangat

signifikan dalam memutuskan untuk mengadopsi

teknologi yang diintroduksikan. Tingkat keeratan

hubungan (rs) sebesar 0,550 dan t hitung 2.513,

menunjukkan perbedaan yang nyata dengan t tabel.

Hal ini dimungkinkan bahwa semakin tinggi pendidikan

yang ditempuh oleh petani responden semakin mudah

pula penyuluh dalam mempengaruhi petani untuk

menerapkan komponen PTT. Hal tersebut terbukti

dengan banyaknya petani yang menerapkan komponen

PTT di lokasi penelitian yang tingkat pendidikannya

SLTA.

Variabel-variabel lainnya seperti umur, jenis

kelamin, keanggotaan dalam kelompok tani,

penguasaan lahan dan status lahan garapan memiliki

nilai korelasi yang lemah terhadap adopsi teknologi. Hal

ini berarti bahwa tingkat umur responden tidak

berpengaruh nyata dalam pengambilan keputusan

untuk menerapkan teknologi introduksi. Demikian juga

untuk jenis kelamin, dimana sekitar 98% responden

adalah wanita tani, yang merupakan gambaran umum

petani yang mendominasi kegiatan usahatani padi di

Kabupaten Kampar, sehingga tidak memerlukan

bantuan keluarga untuk memutuskan dalam

menerapkan teknologi pada usahataninya.

Keanggotaan dalam kelompok tidak berpengaruh

dalam memutuskan untuk mengadopsi teknologi.

Menurut pernyataan petani, mereka lebih yakin dengan

informasi yang disampaikan penyuluh atau melihat

langsung dari petak percontohan teknologi yang

dilakukan penyuluh. Status lahan garapan petani

ternyata memperlihatkan hubungan yang tidak nyata

dengan adopsi teknologi. Hal ini disebabkan karena

pemilik lahan telah mempercayakan sepenuhnya

penggarapan lahan usahataninya pada petani. Petani

penggarap boleh melakukan ikhtiar untuk

meningkatkan produktivitas usahatani dan apabila

berdampak pada peningkatan produksi, maka

tambahan pendapatan tersebut akan diperhitungkan

sesuai dengan biaya produksi yang dikeluarkan.

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 13-19

Page 23: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 19

Tabel 2. Hubungan antara karakteristik petani yang mempengaruhi tingkat adopsi teknologi introduksi pada PTT padi

No. Variabel Koefisien

korelasi (rs)

T hitung Keeratan Hubungan

1. Umur -0.138 -0.582 NS

2. Jenis kelamin 0.190 1.032 NS

3. Pendidikan 0.550 2.513 SS

4. Keanggotaan dalam kelompok tani

0.078 0.432 NS

5. Jumlah tanggungan keluarga

0.602 -2.823 SS

6. Penguasaan lahan

0.008 0.041 NS

7. Status lahan garapan

-0.019 -.098 NS

Sumber : Analisis Data Primer, 2015 Keterangan :

S= Signifikan; NS= Tidak Signifikan; SS=Sangat Signifikan, pada taraf kepercayaan 95%

KESIMPULAN

1. Jumlah tanggungan keluarga sangat signifikan

dalam mempengaruhi petani untuk mengadopsi

teknologi, dengan derajat keeretan sebesar 0.602

dan t hitung sebesar 2.823 yang berbeda nyata

dengan t tabel.

2. Pendidikan memiliki pengaruh yang sangat

signifikan dalam memutuskan untuk mengadopsi

teknologi yang diintroduksikan dengan tingkat

keeratan hubungan (rs) sebesar 0,550 dan t hitung

2.513.

3. Pendidikan dan jumlah tanggungan keluarga

merupakan faktor utama dalam proses adopsi

teknologi inroduksi.

4. umur, jenis kelamin, keanggotaan dalam kelompok

tani, penguasaan lahan dan status lahan garapan

memiliki nilai korelasi yang lemah dengan adopsi

teknologi.

DAFTAR PUSTAKA

Fattah, A. et al, 2000, Faktor-faktor yang mempengaruhi senjang hasil padi di Sulawesi Tenggara, Balai Penelitian Tanaman Pangan, Maros

Bajari Atwar. 2015, Metode Penelitian Komuniksi, Simbiosa Rekatama Media, Bandung

BPS. 2012. Pertanian dan Pertambangan. Tanaman

Pangan. [www.bps.go.id]. Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi

Pertanian (BBP2TP). 2010. Petunjuk Teknis Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Deptan. 2008. Sekolah Lapang PTT Padi, Bantu Petani Mempercepat Alih Teknologi. Badan Penelitian

dan Pengembangan Pertanian. Dinas Pertanian Provinsi Riau. 2012, Laporan Tahunan

Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Riau. Junaidi. 2007. Pemahaman tentang Adopsi, Difusi dan

Inovasi (Teknologi) dalam Penyuluhan Pertanian. Kartasapoetra, A.G. 1991. Teknologi Penyuluhan

Pertanian. Bumi Aksara. Jakarta.

Kurnia, S. I. 2011, Pengaruh Penyuluhan Terhadap Keputusan Petani Dalam Adopsi Teknologi Usahatani Terpadu, Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Bogor.

Mardikanto. 1993, Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Sebelas Maret University Press. Surakarta.

Programa BPP Kampar. 2015. Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan Kabupaten Kampar.

Suriatna. S.1998, Metode Penyuluhan Pertanian, PT. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta.

Siegel. 1997. Statistik Non Parametrik. Gramedia Utama. Jakarta.

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 13-19

Page 24: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 20

HUBUNGAN PARTISIPASI PETANI DENGAN KEMAMPUAN PETANI MEMECAHKAN

MASALAH PADA USAHATANI PADI SAWAH DI KABUPATEN BENGKALIS

Reni Astarina dan Anita Sofia 1)

1) Penyuluh Pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau

ABSTRAK

Partisipasi petani memungkinkan terjadinya perubahan-perubahan yang lebih besar dalam cara berpikir dan bertindak petani. Kemampuan petani memecahkan masalah dalam berusahatani dapat ditingkatkan melalui partisipasi petani dalam penyuluhan pertanian. Adapun tujuan dilakukan kajian ini untuk mengetahui pengaruh partisipasi petani terhadap kemampuan petani memecahkan masalah pada usahatani padi sawah dalam penyuluhan pertanian. Partisipasi petani memberikan pengaruh yang nyata terhadap kemampuan petani memecahkan masalahnya. Hasil kajian menunjukkan bahwa : (1) petani mempunyai pengetahuan dan wawasan yang cukup untuk dapat memahami permasalahan, memikirkan pemecahannya atau memilih pemecahan masalah yang paling tepat untuk mencapai tujuannya, (2) petani akan termotivasi untuk bekerjasama dalam kelompok jika ikut bertanggung jawab di dalamnya dan menambah kesempatan untuk pengambilan keputusan kolektif. Petani dapat mencurahkan permasalahan yang sedang dihadapi dan dapat dipecahkan secara bersama-sama di dalam kelompok, (3) petani dapat memanfaatkan sumberdaya yang ada dilingkungannya seperti bank, perguruan tinggi, lembaga penelitian, dinas pertanian, koperasi, warung saprodi dan tanaman disekitarnya, (4) petani memiliki wawasan untuk memperoleh sumberdaya yang diperlukan seperti kredit dan pemasaran hasil, (5) terjalin hubungan yang erat antara petani dengan pemerintah, dimana dalam program penyuluhan pertanian sebaiknya mengikutsertakan petani dari mulai perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, memonitor sampai mengevaluasi program penyuluhan pertanian.

Kata kunci : Partisipasi petani, kemampuan petani memecahkan masalah, penyuluhan pertanian.

ABSTRACT

Farmers’ participation may cause the major changes at the farmer’s point of view and act. Farmer ability to solve the farming problem can be improved through farmers’ participation in farming extension. The purpose of this study was to determine the effect of farmers' participation on farmers’ ability to solve problems in a participatory agricultural extension. Farmers’ participation made a significant effect to solve the problem. The result showed that (1) farmers had adequate knowledge and insight to understand the problems, thinking about problem-solving or choose the problem solving to achieve the objective, (2) farmers motivated to work ingroups while they have responsibility and increase the chance to make collective decisions. Farmers devote the problems being faced and solved together within in groups, (3) farmers can be advantage of existing resources in the environment, such as banks, universities, research institutions, department of agriculture, cooperatives, agriculture shops and plant surrounding, (4) farmers have the insight to obtain the necessary resources such as credit and marketing results, (5) established a relationship between farmers and the government in making agricultural extension programs should include farmers from planning, organizing, implementing and monitoring to evaluate agricultural extension programs.

Keywords : Participation of farmers, farmers’ ability to solve the farming problem, agricultural extension

Page 25: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 21

PENDAHULUAN

Dalam paradigma penyuluhan sistem

konvensional pemerintah memiliki peran utama dalam

menentukan program penyuluhan sejak dari

perencanaan sampai kepada pelaksanaan penyuluhan

pertanian, sedangkan petani sebagai pelaku utama

pada pembangunan pertanian tidak difungsikan

perannya sebagai subjek pembangunan. Penyuluhan

konvensional dipandang sudah tidak sesuai dengan

pembangunan pertanian yang mengedepankan peran

petani secara partisipatif. Peran petani tidak lagi

sebagai penerima penyuluhan yang dilaksanakan oleh

pemerintah, melainkan menjadi perencana, pelaksana,

memonitor dan mengevaluasi penyuluhan pertanian.

Pendekatan partisipatif terhadap penyuluhan

pertanian tersebut melibatkan petani pada seluruh

langkah dalam penyuluhan pertanian mulai dari

perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan hingga

monitoring dan evaluasi. Pendekatan partisipatif ini

mendorong petani untuk saling berbagi keterampilan

dan pengetahuan, juga mempromosikan pentingnya

inovasi dan kreatifitas pada mereka.

Partisipasi dari segi sosiologi berkonotasi kepada

keterlibatan anggota perorang dalam proses

pengelolaan dalam suatu kegiatan atau pengambilan

keputusan, pengorganisasian, pengenalan sumberdaya,

pengawasan dan penilaian (Adjid, 1985). Menurut Van

den Ban dan Hawkins (1999) partisipasi adalah petani

atau para wakilnya berpartisipasi dalam organisasi jasa

penyuluhan dalam pengambilan keputusan mengenai

tujuan, kelompok sasaran, pesan-pesan dan metode,

serta evaluasi kegiatan.

Partisipasi petani diperlukan karena dengan

keikutsertaan petani, informasi mengenai kondisi,

kebutuhan, keinginan dan sikap petani dapat diketahui.

Selain itu petani akan lebih percaya dengan program

pemerintah yang dilakukan karena merasa dilibatkan

dan sesuai dengan kebutuhannya. Van den Ban dan

Hawkins (1999) mengemukakan petani akan lebih

termotivasi untuk bekerjasama dalam kegiatan

kelompok jika ikut bertanggung jawab di dalamnya dan

menambah kesempatan untuk pengambilan keputusan

kolektif. Petani dapat mencurahkan permasalahan

yang sedang dihadapi dan dapat dipecahkan secara

bersama-sama di dalam kelompok.

Kemampuan petani adalah kesanggupan

seseorang karena memiliki seperangkat pengetahuan

(kognitif) dan keterampilan (psikomotorik) yang

diperlukan untuk memecahkan masalah-masalah yang

dihadapi petani. Chamala (1995) mengemukakan

bahwa pemecahan masalah bukan menentukan solusi

teknis melainkan memberdayakan petani agar dapat

memecahkan masalah mereka sendiri. Hal ini dapat

diraih dengan mengkombinasikan pengetahuan mereka

sendiri dan pengetahuan yang sedang berkembang

untuk mengidentifikasi permasalahan dan mencari

solusi yang paling tepat.

Partisipasi petani memungkinkan perubahan-

perubahan yang lebih besar dalam cara berpikir

manusia. Perubahan dalam pemikiran dan tindakan

akan lebih sedikit terjadi dan perubahan-perubahan ini

tidak akan bertahan lama jika petani hanya menerima

program/kegiatan pertanian tanpa dibebankan

tanggungjawab.

Partisipasi membawa berbagai manfaat bagi

petani. Melalui pengalamannya, petani belajar

merencanakan, memecahkan masalah-masalah yang

dihadapi dan mengorganisasikan dirinya untuk

bekerjasama.

Pengkajian bertujuan untuk mengetahui

hubungan partisipasi petani dengan kemampuan petani

memecahkan masalah dalam penyuluhan pertanian di

Kecamatan Bantan Kabupaten Bengkalis Provinsi Riau

pada Tahun 2015.

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 20-24

Page 26: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 22

METODE PENELITIAN

Pelaksanaan pengkajian dilakukan dengan

menggunakan metode survey. Jenis data yang

dikumpulkan terdiri dari komponen partisipasi yang

diambil dari 30 orang petani sampel yang berusahatani

padi sawah pasang surut. Alat pengumpulan data

menggunakan kuisioner yang terstruktur dan analisa

data dilakukan secara deskriptif.

Lokasi pengkajian dilaksanakan di Kecamatan

Bantan Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Untuk

mengetahui pengaruh partisipasi petani terhadap

kemampuan petani memecahkan masalah dalam

penyuluhan pertanian partisipatif digunakan model

analisis Koofisien Korelasi sederhana (Sugiyono, 2002).

Berkenaan dengan skor variabel kemampuan

petani memecahkan masalah ditentukan dengan model

Likert, maka agar data tersebut terdistribusi normal

dilakukan standarisasi dengan nilai Z (Nurgiyantoro,

2002).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil kajian secara keseluruhan menunjukan

bahwa terdapat hubungan yang erat antara partisipasi

petani dalam penyuluhan dengan kemampuan petani

dalam memecahkan masalah atau dengan kata lain

semakin tinggi petani berpartisipasi dalam penyuluhan

pertanian maka semakin tinggi pula tingkat

kemampuannya dalam memecahkan masalah yang

dihadapi dan sebaliknya. Secara rinci komponen

partisipasi yang meliputi perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan dan monitoring dan

evaluasi dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Hubungan Antara Partisipasi Petani padi sawah dengan Kemampuan Petani Memecahkan Masalah di Kecamatan Bantan Tahun 2015.

No. Kegiatan Partisipasi Petani Koefisien Korelasi

1. Perencanaan 0,519**

2. Pengorganisasian 0,458**

3. Pelaksanaan 0,577**

4. Monitoring dan Evaluasi 0,519** Sumber : Analisis Data Primer Penelitian Keterangan : ** signifikan α = 0,05, r tabel 0,330

Hubungan partisipasi petani dalam perencanaan,

pengorganisasian, pelaksanaan, monitoring dan

evaluasi kegiatan pertanian dengan kemampuan petani

memecahkan masalah adalah signifikan pada tingkat

kesalahan 1 %. Petani yang berpartisipasi dalam

perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,

monitoring dan evaluasi penyuluhan pertanian akan

memiliki pengetahuan, keterampilan, wawasan, dan

motivasi dalam memecahkan masalah serta terjalin

kerjasama dengan pihak lain dalam pemasaran hasil

pertanian.

Komponen partisipasi petani pada kegiatan

perencanaan mempunyai nilai 0,519 pada kegiatan

pengorganisasian 0,458 pada kegiatan pelaksanaan

0,577 dan pada monitoring dan evaluasi nilainya 0,519.

Berdasarkan hasil nilai koofisien korelasi dari komponen

partisipasi tersebut maka dapat disimpulkan bahwa

Tingkat hubungan Partisipasi petani dengan

kemampuan petani dalam memecahkan masalahnya

termasuk dalam kategori sedang, dimana berada pada

interval koefisien 0,40-0,599. Sedangkan menurut

Sugiyono (2002) Interval dalam koofisien korelasi terdiri

dari sangat rendah (0,00-0,199), rendah (0,20-0,399),

sedang (0,40-0,599), kuat (0,60-0,799), dan sangat

kuat (0,80-1,000).

Petani belajar merencanakan,

mengorganisasikan, melaksanakan, memonitor dan

mengevaluasi penyuluhan pertanian partisipatif untuk

memecahkan masalahnya sendiri. Petani memperoleh

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 20-24

Page 27: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 23

kemampuan yaitu pengetahuan dan keterampilan yang

diperlukan untuk menghadapi masalahnya. Menurut

Bunch (2001) menyatakan Petani akan memperoleh

pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk

menghadapi masalahnya. Hal ini karena dengan

berpartisipasi, petani belajar mengumpulkan data

keadaan lingkungan, menganalisis dan evaluasi fakta

dilapangan, mengidentifikasi masalah dan menentukan

prioritas utama masalah yang akan dipecahkan,

menentukan tujuan dan sasaran kegiatan, menetapkan

cara mencapai tujuan dan pengesahan kegiatan

penyuluhan kepada tim penyuluh.

Fakta dilapangan ditemukan bahwa petani yang

terlibat secara aktif dalam hal perencanaan yang

meliputi visi dan strategi, jenis/varietas padi yang

ditanam, sumber modal, tenaga kerja dan pemasaran

mempunyai kemampuan yang lebih dalam memberikan

solusi yang dihadapi oleh kelompoknya dalam

berusahatani. Selanjutnya dalam pengorganisasian,

pelaksanaan, monitoring dan evaluasi pun demikian.

Setiap komponen partisipasi memberikan penjelasan

bahwa semakin tinggi tingkat partisipasi petani dalam

berusahatani maka semakin mampu pula petani

tersebut dalam menyelesaikan berbagai masalah yang

dihadapi dalam berusahatani.

Selanjutnya masalah pemasaran hasil pertanian

menjadi kendala bagi petani. Petani tidak tahu harus

kemana memasarkan hasil dan siapa yang akan

dihubungi karena kurangnya pengetahuan, wawasan

dan informasi tentang pemasaran hasil. Kerjasama

dengan pihak lain (pedagang atau pengusaha) dalam

pemasaran hasil pertanian sangat kurang. Tetapi

setelah petani berpartisipasi dalam penyuluhan

pertanian partisipatif mengakibatkan terjalinnya

kerjasama dengan pihak lain untuk memasarkan hasil

pertanian. Petani dan pengusaha atau pedagang yang

akan memasarkan hasil pertanian terlibat secara

bersama membahas permasalahan ini, hanya saja

kesiapan petani untuk memenuhi syarat-syarat kontrak

dengan pihak pemasaran seperti mutu produk, jumlah

produk, kontinuitas, dan ketepatan waktu pengiriman

belum dapat dipenuhi oleh petani sehingga kerjasama

dengan pihak pengusaha/pedagang dalam pemasaran

hasil pertanian belum sesuai dengan yang diharapkan.

Hal ini menunjukkan kesiapan petani menuju produk

pertanian yang berdaya saing belum memadai.

Partisipasi petani dalam berusahatani telah

membawa perubahan cara berfikir petani dalam

pemasaran hasil atau setidaknya petani memiliki

motivasi untuk memperbaiki keberhasilan yang masih

tertunda. Petani sadar bahwa dalam pemasaran hasil

pertanian yang diinginkan pasar harus memenuhi

syarat-syarat tertentu (mutu produk, jumlah produk,

kontinuitas, dan ketepatan waktu pengiriman). Petani

harus mengelola usahataninya dengan lebih optimal

dan menguntungkan serta memanfaatkan

kedekatannya dengan pejabat pemerintahan untuk

menjembatani atau memfasilitasi kerjasama dengan

pihak pemasaran hasil.

Menurut Kemtan (2012) Penyuluhan pertanian

partisipatif merupakan proses pemberdayaan yang

terjadi secara berulang berdasarkan hasil dan

pengalaman yang diperoleh pada tahap kegiatan

sebelumnya dan berorientasi pada aksi, serta bertujuan

untuk meningkatkan kemampuan petani dan penyuluh.

Dari sini muncullah pelatihan-pelatihan pertanian

dimana petani sendiri yang merencanakan,

mengorganisasikan, melaksanakan, memonitor dan

mengevaluasi kegiatan pelatihan itu. Petani belajar

mengelola usahatani secara profesional. Kemampuan

yang dimiliki petani digali dan dimanfaatkan untuk

keberhasilan kegiatan penyuluhan pertanian yang

dilakukan dari, oleh dan untuk petani. Petani ikut

bertanggungjawab dalam kegiatan karena mereka

terlibat secara langsung untuk mencapai tujuan yang

diharapkan. Menurut Van den Ban dan Hawkins (1999)

Perubahan dalam pemikiran dan tindakan akan lebih

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 19-23

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 20-24

Page 28: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 24

sedikit terjadi dan perubahan-perubahan ini tidak akan

bertahan lama jika menuruti saran-saran agen

penyuluhan dengan patuh daripada bila mereka ikut

bertanggung jawab .

Petani yang telah mengikuti pelatihan pertanian

mencoba menerapkan hasil pelatihan dirumahnya

sehingga pendapatan mereka bertambah dan diikuti

oleh tetangganya sesama petani. Bagi petani yang

mengikuti studi banding ke petani maju yang lebih

berhasil dalam berusahatani, petani secara tak sengaja

telah menyuluh/memberikan informasi kepada petani

lain yang tidak ikut tentang keberhasilan petani di

daerah lain.

Pada masa kini petani harus mau membuka diri,

menerima dan menyesuaikan perkembangan teknologi

pertanian dan informasi yang sangat cepat. Petani

harus menyadari bahwa pembaharuan dalam

pembangunan pertanian telah terjadi di lingkungannya.

Pembaharuan yang dimaksudkan adalah pembaharuan

yang mampu meningkatkan partisipasi, efisiensi dan

produktivitas petani dalam pertanian termasuk di

dalamnya berpartisipasi dalam penyuluhan pertanian.

Secara perorangan petani memiliki banyak

keterbatasan, tetapi secara kelompok petani

menunjukkan kekuatan dan perkembangan yang

menggembirakan.

Memperhatikan tantangan-tantangan tersebut di

atas, maka dalam rangka memberdayakan petani perlu

diupayakan agar petani selain mampu menghasilkan

produk-produk yang bermutu dan berdaya saing, juga

harus mampu menghasilkan produk-produk secara

berkesinambungan, mampu menyediakan dalam jumlah

yang diperlukan, kontinu, dan mampu mengirimkannya

tepat waktu.

Partisipasi petani dalam penyuluhan pertanian

sangat bermanfaat bagi petani. Melalui pengalamannya,

petani belajar merencanakan, mengorganisasikan,

melaksanakan, memonitor dan mengevaluasi

penyuluhan pertanian partisipatif. Petani memperoleh

pengetahuan, wawasan dan keterampilan yang

diperlukan untuk menghadapi masalahnya.

KESIMPULAN

Partisipasi petani dalam penyuluhan pertanian

berpengaruh sangat nyata terhadap kemampuan petani

memecahkan masalah-masalah yang dihadapi petani,

berarti semakin tinggi petani berpartisipasi dalam

penyuluhan maka semakin tinggi pula tingkat

kemampuannya dalam memecahkan masalah yang

dihadapi.

Untuk membuat program penyuluhan pertanian

sebaiknya pemerintah mengikutsertakan petani dari

mulai perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan,

memonitor sampai mengevaluasi program penyuluhan

pertanian. Partisipasi petani pada penyuluhan pertanian

mutlak dilaksanakan karena dapat meningkatkan

kemampuan petani dalam mengidentifikasi potensi

yang dimilikinya, masalah-masalah yang dihadapi dalam

mengelola usahanya dan alternatif-alternatif

pemecahannya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2012. Pedoman Pelaksanaan Kegiatan

Penyuluhan Yang Dikelola Oleh Petani. Departemen Pertanian, Jakarta.

Adjid, D. A,. 1985. Pola Partisipasi Masyarakat Pedesaan Dalam Pembangunan Pertanian Berencana. Orba Sakti, Bandung.

Assaad dan Sibuea, B. 2000. Partisipasi Petani Pada Pelaksanaan Program Intensifikasi Padi Sawah di Kecamatan Perbaungan Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Pertanian. Vol. 19 No. 2.

Bunch, R. 2001. Dua Tongkol Jagung. Pedoman Pengembangan Pertanian Berpangkal Pada Rakyat. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Chamala, R. S., 1995. Overview of Participative Action Approaches in Australian Land and Water Management. Dalam Chamala, S. and Keith, K. (eds), 1995. Participative Approaches for Landcare: Perspective, Policies, Program. Brisbane : Australian Academic Press.

Leusden, 1992. Pertanian Masa Depan. Kanisius, Yogyakarta

Sugiyono. 2002. Metode Penelitian Administrasi. Bandung : CV Alfabeta

Sumintaredja,S., Sudarmanto, dan Sugarda, T. D. 2001. Penyuluhan Pertanian. Yayasan Pengembangan Sinar Tani, Jakarta.

Soetrisno L. 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif. Kanisius, Yogyakarta.

Van den Ban dan Hawkins. 1999. Penyuluhan Pertanian. Kanisius, Yogyakarta.

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 20-24

Page 29: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 25

PENDAMPINGAN SEKOLAH LAPANG PENGELOLAAN TANAMAN TERPADU (SL-PTT) DI KABUPATEN SIAK, PROVINSI RIAU

Nurhayati dan Marsid Jahari 1)

1) Peneliti Pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau

ABSTRAK

Pengujian beberapa varietas unggul padi pada lokasi SL-PTT merupakan salah satu kegiatan pendampingan

yang bertujuan untuk mendapatkan 1-2 varietas yang adaptif dan berproduksi tinggi. Kegiatan demplot ini dilaksanakan di Desa Bungaraya dan Kemuning Muda Kecamatan Bunga Raya dengan luas masing-masing 0,25 ha pada musim hujan bulan Agustus sampai September 2011. Dalam pelaksanaan demplot didisplaykan beberapa

Varietas Unggul sebanyak lima varietas: Inpari-1, Inpara-1, Gilirang, Situ Patenggang dan Inpari-6. Tujuan dari pendampingan Unit SL-PTT ini adalah mempercepat alih teknologi melalui pembuatan demplot pendampingan laboratorium lapang dengan menanam beberapa VUB. Hasil beberapa display VUB menunjukan bahwa ke lima varietas tersebut mampu beradaptasi dengan baik dengan produktivitasnya masih diatas 5 ton/ha. Varietas Inpara-1 mempunyai produktivitas yang tertinggi (7,13 ton/ha) diikuti Gilirang (6,68 ton/ha), Inpari 1 (6,36 ton/ha), Situ Patenggang (6,20 ton/ha) dan Inpari 6 jete (5,36 ton/ha).

Kata Kunci: Keragaan, varietas, padi

ABSTRACT

Rice superior varieties test on the SL-PTT location is one of accompaniment activities aiming to get 1-2 adaptive varieties and high production. This demo plot was carried out in Bungaraya Village and Kemuning Muda Village, Bunga Raya District with an area of 0.25 ha each of them during the rainy season from August to September 2011. The five superior varieties are Inpari-1, Inpara-1, Gilirang, Situ Patenggang and Inpari-6. The purpose of accompaniment SL-PTT unit is accelerating the transfer of technology through field laboratory demo plotby planting some VUBs. The results showed that the production of these five varieties was high, able to adapt well and the productivity is still above 5 tons/ha. Inpara-1 (7.13 tons/ha) has the highest productivity, then followed by Gilirang (6.68 tons/ha), Inpari 1 (6.36), Situ Patenggang (6.20 tons/ha) and Inpari 6 jete (5.36 tons/ha). Keywords : Performance, varieties, rice

Page 30: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 26

PENDAHULUAN

Pembangunan pertanian di Provinsi Riau

khususnya bidang tanaman pangan mulai memasuki

fase penting dalam kontribusinya terhadap ketersediaan

pangan daerah seiring dengan berlangsungnya program

Operasi Pangan Riau Makmur (OPRM). Target luas

tanam yang diharapkan dari program ini adalah

100.000 ha yang terdiri dari intensifikasi IP 100 menjadi

IP 200 seluas 68.108 ha, rehabilitasi sawah terlantar

seluas 13.127 ha, dan cetak sawah baru seluas 18.765

ha (Kesekretariatan OPRM, 2009).

Peningkatan luas tanam harus didukung dengan

teknologi sehingga target produksi dapat dicapai. Pada

umumnya teknologi yang diterapkan petani dalam

budidaya padi di Provinsi Riau belum cukup maju.

Hingga saat ini adopsi varietas padi didominasi oleh

beberapa varietas saja yang pada umumnya varietas

lokal. Upaya dalam peningkatan produktivitas padi

sawah dapat dilakukan melalui pendekatan pengelolaan

tanaman dan sumberdaya terpadu (Pramono, et al.

2005).

OPRM akan berhasil jika didukung dengan

program peningkatan kemampuan dan keterampilan

petani. Departemen Pertanian RI telah mencanangkan

program Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman

Terpadu (SL-PTT) sebagai program nasional yang harus

diterapkan di sentra-sentra produksi padi.

Tujuan pendampingan SL-PTT adalah:

1) menyediakan acuan bagi pelaksanaan percepatan

alih teknologi melalui pelatihan dari peneliti atau

narasumber. 2) Melakukan demplot pendampingan

Laboratorium Lapang dengan mendisplaykan beberapa

VUB (Deptan, 2009; Ditjen Tanaman Pangan, 2008).

Sasaran yang ingin dicapai adalah terbangunnya

pemahaman terhadap program SL-PTT sehingga

program yang dilaksanakan benar-benar kongkret,

terarah dan terukur dalam peningkatan produktivitas

tanaman, kelestarian lingkungan hidup, dan

pendapatan petani. Selain itu, terjadi peningkatan

kapabilitas petani dalam memahami permasalahan yang

dihadapi di lapangan dan strategi pemecahannya

(Sembiring dan Abdulrahman. 2008).

METODE PENELITIAN

Demplot Pendampingan SL-PTT dilaksanakan di

Desa Bungaraya dan Desa Kemuning Muda Kabupaten

Siak pada bulan Agustus hingga September 2011.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok

dengan lima perlakuan (varietas unggul baru) dengan

tiga ulangan. Bahan yang digunakan antara lain: Pupuk

Urea, SP-36 dan KCl 100 Kg/ha, Dithane M-45, Beta,

Dharmabas dan Klerat, Alat yang digunakan adalah

Leaf Colour Chart (LCC) atau bagan warna daun, hand

sprayer, alat penyiang gosrok, cangkul, parang, tugal,

tali nilon, meteran alat tulis dll.

Pemahaman Masalah dan Peluang (PMP)

sumberdaya setempat dengan tujuan:

1) Mengumpulkan informasi dan menganalisis masalah,

kendala dan peluang usahatani padi sawah,

2) mengembangkan peluang dalam upaya peningkatan

produksi padi sawah, 3) mengidentifikasi teknologi yang

sesuai dengan kebutuhan petani di wilayah setempat.

Potensi dan permasalahan yang dihadapi dalam

usahatani padi diperoleh dari dinas pertanian disetiap

kabupaten melalui diskusi dengan kepala dinas atau

kepala bidang pada saat koordinasi. Selain itu, potensi

dan permasalahan di kabupaten dipelajari melalui

pustaka atau laporan-laporan dinas.

Apresiasi PTT diawali dengan kegiatan persiapan

yang meliputi: pemilihan desa dan hamparan 25 ha,

diselenggarakan bersama kelompok tani, pemilihan

petani peserta, tempat, dan areal laboratorium lapang

untuk proses pembelajaran seluas 1 (satu) ha, bahan

dan alat belajar, materi dan waktu belajar. Pertemuan

tingkat desa dan kecamatan diperlukan untuk

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 25-29

Page 31: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 27

memperoleh dukungan dari aparat desa dan pejabat

kecamatan dalam hal penentuan lokasi, jumlah dan

nama calon peserta. Pada pertemuan ini juga

ditentukan waktu pertemuan ditingkat kelompok tani.

Pertemuan persiapan SL-PTT ditingkat kecamatan

mengikutsertakan camat, KCD, POPT dan penyuluh

pertanian untuk menentukan desa yang akan dipilih

dalam menyelenggarakan SL-PTT. Petemuan di tingkat

desa mengikutsertakan perangkat desa, tokoh

masyarakat, penyuluh pertanian, POPT, ketua

gapoktan, ketua kelompok tani, ketua P3A dan tokoh

wanita tani. Pertemuan persiapan ditingkat desa dan

kecamatan dilakukan 4 sampai 5 minggu sebelum SL-

PTT dimulai. (Ekspose Pertemuan Teknis OPRM, 2011)

Proses belajar dalam SL-PTT berlangsung secara

periodik menurut stadia tanaman, aktivitas pengelolaan

hama dan penyakit tanaman padi dan kemungkinan

terjadi anomali iklim. Pertemuan periodik dimulai

beberapa minggu sebelum tanam untuk melihat

potensi, kendala dan peluang melalui pelaksanaan PRA.

Pertemuan berikutnya dilakukan pada saat pengolahan

tanah, penanaman, pemupukan, pengairan dan pada

saat tanaman padi dalam fase berbunga, pengisian biji,

panen dan pasca panen. Ada kalanya diperlukan

pertemuan non reguler jika ada masalah yang

mendesak untuk dipecahkan, misalnya serangan hama

dan penyakit tanaman.

Bimbingan penerapan PTT dilakukan oleh

peneliti bersama-sama dengan penyuluh pendamping

lapangan (PL). Proses bimbingan diawali dengan

penyampaian materi PTT sehingga petani memahami

prinsip dasar PTT dan selanjutnya memahami

komponen teknologi yang akan diperagakan untuk

memecahkan permasalahan usahatani petani.

Melaksanakan demplot

Demplot pendampingan Laboratorium Lapang

(LL) dengan menanam varietas unggul baru (VUB)

sebanyak 5 jenis dilaksanakan di Desa Bungaraya dan

Desa Kemuning Muda pada lahan Laboratorium Lapang

SL-PTT seluas 0,25 ha per unit. VUB ditanam dengan

sistem jajar legowo 4 : 1 dan dipupuk berdasarkan hasil

uji PUTS serta Bagan Warna Daun (BWD).

Demplot PTT ditempatkan di wilayah pelaksana

SLPTT tetapi berada di luar unit SL-PTT (Gambar 1).

Benih VUB untuk pendampingan LL seluas 0.25 ha per

unit berasal dari Badan Litbang Pertanian, sedangkan

pupuk yang digunakan untuk kebutuhan VUB tersebut

berasal dari bantuan langsung pupuk (BLP) Dirjen

Tanaman Pangan. Selanjutnya, sarana produksi untuk

demplot PTT disediakan oleh BPTP Riau melalui DIPA

APBN 2011 yang diperkuat dengan swadaya petani.

Gambar 1. Tata letak unit SLPTT, LL, Pendampingan LL

dan Demplot PTT

HASIL DAN PEMBAHASAN

Demplot Pendampingan Laboratorium Lapang

(LL)

Hasil pengujian status hara tanah pada dua

lokasi demplot menggunakan Perangkat Uji Tanah

Sawah (PUTS) didapatkan hasil seperti pada tabel 1

berikut:

Tabel 1. Hasil Analisis Tanah Desa Kemuning Muda dan Desa Bungaraya menggunakan Perangkat Uji Tanah Sawah

NO. Parameter Status hara tanah

menggunakan PUTS

Rekomendasi Pupuk (Target hasil 5 t/ha

GKG)

1. pH Agak masam Pemberian pupuk nitrogen dalam bentuk Urea

2. Fosfat Rendah 125 kg/ha SP-36 3. Kalium Sedang 75 kg/ha KCl

Tabel 1 menunjukkan bahwa status hara di Desa

Kemuning Muda dan Desa Bungaraya memiliki

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 25-29

Page 32: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 28

kandungan Phosfat rendah sedangkan status kaliumnya

sedang. Sehingga direkomendasikan SP-36 sebanyak

125 kg/ha dan KCl sebanyak 75 kg/ha.

Keragaan Tanaman

Pengamatan keragaan tanaman meliputi variabel

tinggi tanaman, jumlah anakan total, jumlah anakan

produktif dan panjang malai disajikan pada tabel 2

berikut:

Tabel 2. Tinggi tanaman, jumlah anakan maksimum, jumlah anakan produktif dan panjang malai.

Desa Varietas Variabel Pengamatan

Tinggi tanaman

(cm)

Jumlah anakan

maksimum

(batang)

Jumlah anakan

produktif

(batang)

Panjang malai (cm)

Bungaraya Inpara 1 105,8 19,2 16,0 23,0 Situ Patenggang

113,8 12,8 11,1 21,2

Inpari 1 110,2 16,2 13,0 24,0 Inpari 6 jete 90,4 19,6 14,8 23,3 Gilirang 108,2 19,2 14,8 21,0

Kemuning Muda

Inpara 1 106,6 19,0 16,0 24,1 Situ Patenggang

115,8 14,2 11,8 21,6

Inpari 1 108,4 17,2 14,0 25,0

Inpari 6 jete 90,2 19,0 15,0 22,2 Gilirang 107,2 18,8 15,2 22,1

Tinggi tanaman padi yang didisplaykan pada

Tabel 2 berkisar antara 90,2 cm sampai dengan 115,8

cm. Perbedaan tinggi tanaman padi tergantung dengan

sifat genetis dari varietasnya (Deptan, 2005). Data

pada tabel 1 terlihat bahwa tinggi tanaman tertinggi

terdapat pada varietas Situ Patenggang baik di Desa

Bungaraya maupun Kemuning Muda. Untuk jumlah

anakan maksimum terbanyak pada Varietas Inpara 1,

sedangkan Varietas Situ Patenggang mempunyai

jumlah anakan yang paling sedikit dibandingkan

varietas lainnya.

Keragaan Produksi

Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa Varietas

Inpara 1 dan Inpari 1 baik di Desa Kemuning Muda

maupun di Desa Bungaraya memberikan hasil jumlah

gabah tertinggi berkisar 123-154 gabah/malai. Namun

gabah hampa kedua varietas ini juga terlihat lebih

tinggi dari varietas lainnya. Untuk bobot 1000 butir

terlihat bahwa Inpari 1 memberikan hasil yang paling

tinggi sebesar 30,4-31,3 g dibandingkan dengan

varietas lainnya. Menurut Darmardjati J. S. (2006),

bahwa bobot 1000 gabah selain ditentukan oleh asupan

unsur hara yang diserapnya, juga sangat dipengaruhi

oleh genetik suatu varietas tertentu.

Tabel 3. Jumlah gabah total, jumlah gabah hampa, bobot 1000 gabah dan produktivitas.

Desa Varietas Variabel Pengamatan

Jumlah gabah

total permalai

(butir)

Jumlah gabah

hampa permalai

(butir)

Bobot 1000

gabah (butir)

Produktivitas (ton/ha)

Bungaraya Inpara 1 123,0 38,0 29,9 7,06 Situ Patenggang 107,0 21,0 20,0 6,08 Inpari 1 123,0 41,0 30,4 6,48

Inpari 6 jete 87,0 14,0 27,8 5,28 Gilirang 94,6 19,8 26,2 6,80

Kemuning

Muda

Inpara 1 156,0 53,0 29,0 7,20

Situ Patenggang 109,6 16,0 28,4 6,32 Inpari 1 154,0 47,0 31,1 6,24 Inpari 6 jete 81,8 14,2 27,4 5,44 Gilirang 97,7 15,6 28,5 6,56

Kemudian Balasubramaniam et al. (2006)

menyatakan bahwa bobot gabah suatu varietas bisa

sama dan juga berbeda dengan varietas yang lainnya

tergantung karakter/genetik dari varietas tersebut

walaupun unsur hara yang diberikan dalam kondisi

sama sama tercukupi. Sedangkan untuk produksi

tertinggi adalah varietas Inpara 1 baik di Desa

Kemuning Muda maupun di Desa Bungaraya sebesar

7,06-7,20 ton/ha. Secara ekologis Varietas Inpara 1

sangat cocok dan adaptif untuk daerah Kecamatan

Bungaraya yang ditanam pada musim hujan, sehingga

pada kondisi curah hujan yang berlebihan masih bisa

memberikan hasil yang optimal. Menurut pendapat Fagi

A.M. (2006), bahwa varietas unggul merupakan salah

satu komponen teknologi yang sangat besar perannya

dalam meningkatkan produksi padi, apalagi suatu

varietas unggul tersebut didukung oleh komponen lain

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 25-29

Page 33: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 29

seperti pengolahan tanah, pemupukan yang seimbang

dan perawatan yang intensif.

Menurut Kustiyanto (2001) menyatakan bahwa

lahan persawahan secara umum di Indonesia memiliki

agroekosistem yang beragam, disamping kondisi curah

hujan yang tidak teratur, maka sangat diperlukan jenis-

jenis varietas yang terseleksi dan mampu beradaptasi

pada kondisi cekaman biotik maupun abiotik. Dari hasil

kajian tersebut terlihat bahwa varietas Inpara 1

menghasilkan hasil yang tertingggi (7,06-7,20 ton

GKP/Ha) dan produktivitas ke empat varietas lainnya

juga masih tinggi (>5 ton GKP/ha) masih berpotensi

untuk dikembangkan sebagai alternatif varietas yang

adaptif pada daerah-daerah yang selalu bermasalah

seperti kebanjiran, kekeringan dan serangan OPT

khususnya di daerah Kecamatan Bungaraya Kabupaten

Siak atau daerah lain di sekitarnya yang masih memiliki

kesamaan agroekosistem.

KESIMPULAN

1. Varietas yang memiliki produktivitas tertinggi yaitu

varietas Inpara 1 (7,13 ton/ha), Gilirang (6,68

ton/ha), Inpari 1 (6,36 ton/ha), Situ Patenggang

(6,20 ton/ha) dan Inpari 6 JETE (5,28)

2. Pupuk yang dianjurkan untuk lahan sawah di Desa

Bungaraya dan Kemuning Muda berdasarkan hasil

analisis tanah (PUTS) yaitu: SP 36 125 kg/ha, KCl

cukup 75 kg/ha, Urea berkisar antara 150-200

kg/ha (sesuai dengan BWD).

DAFTAR PUSTAKA

Balasubramaniam V., Rajendran, R., Ravi, V dan Las, I. 2006. Integrated Crop Management (ICM): Field Evaluation and Lesson Learn. In Rice Industry, Culture and Environment. ICCR, ICFORD, IAARD. Jakarta.

Departemen Pertanian, 2009. Pedoman Umum dan Petunjuk Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Departemen Pertanian Badan Litbang Pertanian. 2005. Kumpulan Teknologi Unggulan Pendukung PRIMA TANI. Badan Litbang Pertanian. Jakarta. 75 p.

Damardjati, J.S. 2006. Learning from Indonesian Experiences in Achieve Rice Self Sufficientcy. In Rice Industry, Culture and Environment. ICCR, ICFORD, IAARD. Jakarta.

Ditjen Tanaman Pangan. 2008. Pedoman Umum: Peningkatan Produksi dan Produktivitas Padi, Jagung, dan Kedelai melalui pelaksanaan SL-PTT. Dirjen Tanaman Pangan. 72 p.

Ekspose Pertemuan Teknis dan Evaluasi Pelaksanaan Kegiatan Operasi Pangan Riau Makmur (OPRM) se Provinsi Riau Tahun Anggaran 2011, tanggal 1 Desember 2011 di Hotel Ibis Pekanbaru (tidak dipublikasikan).

Fagi A.M. 2006. Penelitian Padi Menuju Revolusi Hijau Lestari. Balai Penelitian Padi, sukamandi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. 68 Hal.

Kesekretariatan Operasi Pangan Riau Makmur (OPRM). 2009. Dinas Pertanian dan Hortikultura Provinsi Riau.

Kustiyanto. 2001. Kriteria seleksi untuk sifat toleran cekaman lingkungan biotik dan abiotik. Makalah Penelitian dan Koordinasi Pemuliaan Partisipatif (Shuttle Breeding) dan Uji Multilokasi.

Sukamandi. Pramono, J., Basuki, S., dan Widarto. 2005. Upaya

Peningkatan Produktivitas Padi Sawah Melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu. Agrosains 7(1): 1-6, 2005.

Sembiring, H. dan Abdulrahman, H. 2008. Filosofi dan Dinamika Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi

Sawah. BB Penelitian Padi sawah. Sukamandi

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 25-29

Page 34: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 30

FAKTOR PENENTU KEBERHASILAN TEKNOLOGI DALAM PERSPEKTIF AKSELERASI

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI DI PROVINSI RIAU

Anita Sofia dan Oni Ekalinda 1)

1) Penyuluh Pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau

ABSTRAK

Faktor penentu keberhasilan teknologi dalam peningkatan produksi ditentukan oleh banyak faktor. Faktor

teknis ditentukan dari keragaan tingkat adopsi teknologi yang diterapkan sesuai rekomendasi. Dari keragaan tingkat adopsi teknologi yang menerapkan teknologi sesuai rekomendasi untuk petani koperator rata-rata 83,6 %

sedangkan petani non koperator 53,6 %. Faktor penentu sosial yaitu karaktristik petani responden yang diketahui bahwa, lebih dari 80% tergolong usia produktif, dengan tingkat pendidikan sekitar 50% hanya sekolah dasar, pengalaman berusahatani +15 tahun, luas penguasaan sawah 0,5-1,0 ha, penggunaan tenaga kerja 141,6 HOK untuk petani koperator dan 144,8 HOK non koperator. Hampir semua responden berpartisipasi dan terlibat sepenuhnya dalam kelembagaan lokal didesa, perencanaan usahatani pada petani koperator telah dilakukan dengan baik. Faktor penentu ekonomi berupa sumber modal usahatani berasal dari modal sendiri, pengadaan sarana produksi petani dengan membeli sendiri ke kios sarana produksi atau pasar lokal, sumber penyediaan

tenaga kerja berasal dari dalam keluarga. Dari analisa ekonomi usahatani, penerapan teknologi pada PTT padi, memperlihatkan nilai MBCR 0,98.

Kata kunci: Faktor Penentu, Teknologi, Peningkatan Produktifitas Padi

ABSTRACT

Critical success factorto improve production technology is determined by many factors. Technical factors were determined from the performance level of technology adoption that applied based onthe recommendations. From the performance level of technology adoption, around 83.6% of cooperator farmers applied technology based on recommendation, while non-cooperator farmers only 53.6%. Social determinants such as characteristics of farmer respondents showed that more than 80% of respondents in the productive age, around 50% of the education level only primary school, farming experience about +15 years, extensive mastery of the fields from 0.5 to 1.0 ha, and the use of labor was 141.6HOKto 144.8 HOK cooperator’s and non-cooperators farmers respectively. Almost all ofthe respondents participated and engaged fully in local institutions at the village, farm planning for cooperator farmers have done well. The deciding factor in the form of economic capital resources came from the farm's own capital, the production facilities were buying in the production facilities shop or local markets, sources of labor supply came from within the family. From farm economic analysis, the use of technology in the ICM rice showed that the value of MBCR was 0.98. Keywords: Determinants, technology, rice productivity improvement

Page 35: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 31

PENDAHULUAN

Proses adopsi inovasi pertanian dapat

berlangsung secara cepat ataupun lambat, tergantung

dari pola dan cara penyampaian inovasi teknologi serta

situasi dan kondisi wilayah. Menurut Rogers et al, 1981

jika proses tersebut dilakukan melalui “pemaksaan”

(coersion), biasanya dapat berlangsung secara cepat,

tetapi jika melalui “bujukan” (persuasive) atau

“pendidikan” (education), proses adopsi tersebut dapat

berlangsung lebih lambat. Tetapi, ditinjau dari

pemantapan perubahan perilaku yang terjadi, adopsi

yang berlangsung melalui proses bujukan dan atau

pendidikan biasanya bertahan dan lebih sulit berubah

kembali. Sedang menurut Muhammad Cholis, 1998

menyatakan bahwa, adopsi yang terjadi melalui

pemaksaan, biasanya lebih cepat berubah kembali,

segera setelah unsur atau kegiatan pemaksaan tersebut

tidak dilanjutkan lagi. Menurut Suprapto dan Fahrianoor

(2004) introduksi suatu inovasi teknologi baru harus

disesuaikan dengan kondisi spesifik lokasi. Keputusan

seseorang dalam mengadopsi inovasi teknologi dimulai

sejak seseorang mengetahui adanya inovasi sampai

mengambil keputusan untuk menerima atau menolak

inovasi tersebut.

Kecepatan dan tingkat adopsi teknologi oleh

petani memerlukan partisipasi serta ketersediaan dan

kemampuan petani untuk menerima teknologi yang

dihasilkan, dilain pihak permasalahan yang dihadapi

petani didalam mengelola usahataninya cukup komplek

sehingga dapat menghambat suatu proses adopsi

teknologi. Keadaan demikian merupakan salah satu

penyebab terjadinya kesenjangan hasil antara teknologi

yang diterapkan petani melalui pengawalan seperti

yang dilakukan pada penerapan inovasi teknologi pada

PTT Padi di Laboratorium Lapang dengan hasil yang

diperoleh petani dengan penerapan teknologi eksisting,

(Badan Litbangtan, 2012). Selanjutnya Suriatna (2000),

menyatakan bahwa beberapa faktor yang

mempengaruhi percepatan proses adopsi teknologi

ditingkat petani adalah; 1) teknologi yang dikenalkan

benar-benar membantu pemecahan masalah petani;

2) sarana yang diperlukan untuk implementasi

teknologi tersebut mudah didapat; 3) teknologi yang

dikenalkan mempunyai tingkat efisiensi yang lebih

tinggi dibandingkan dengan teknologi sebelumnya;

4) produk dari teknologi tersebut mempunyai prospek

pasar yang baik. Soekartawi (1998) menyatakan bahwa

transfer teknologi berjalan cepat apabila teknologi yang

dianjurkan (introduced technology) merupakan

perbaikan dan kelanjutan dari teknologi petani (existing

technology). Namun disadari bahwa proses percepatan

transfer teknologi kepada pengguna membutuhkan

waktu dan upaya khusus karena terkait dengan tingkat

pengetahuan petani terhadap teknologi serta faktor

sosial dan ekonomi petani yang mempengaruhi

kecepatan adopsi suatu teknologi (Sudaryono, 1998).

Hasil penelitian Fachrista etal (2013) mengemukakan

bahwa faktor-faktor sosial ekonomi yang menjadi

penentu bagi petani dalam mengadopsi pengelolaan

tanaman terpadu padi sawah yaitu pendidikan, luas

lahan, jarak pemukiman ke usahatani padi, jalan raya,

pasar input, dan sumber teknologi.

Adapun aspek lainnya yang juga mempengaruhi

adalah faktor pendukung agar petani mampu

menerapkan teknologi tersebut diantaranya adalah

ketersediaan sarana produksi dan insentif harga

produksi yang cukup menguntungkan petani (Musyafak

et al, 2002). Sedangkan menurut Bunch (2001) adopsi

suatu teknologi bisa berjalan cepat apabila teknologi

tersebut mampu meningkatkan pendapatan petani

minimal 50 hingga 150%.

Untuk itu dipandang perlu melakukan suatu

kajian tentang faktor penentu keberhasilan teknologi

dalam perspektif akselerasi peningkatan produktivitas

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 30-36

Page 36: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 32

padi di Provinsi Riau yang bertujuan untuk

mendapatkan data dan informasi faktor penentu

keberhasilan inovasi PTT- Padi sawah di Provinsi Riau.

METODE PENELITIAN

Kegiatan ini dilaksanakan pada tahun 2012 di

Kabupaten Indragiri Hilir dan Kabupaten Rokan Hilir.

Pengumpulan dan analisis data dari kajian ini

menggunakan data primer dan sekunder. Data primer

merupakan hasil pengamatan atau wawancara

langsung dengan 120 responden yang terdiri dari

petani yang mengikuti program SL-PTT (koperator) dan

petani yang tidak mengikuti program SL-PTT (non

koperator). Kemudian data yang didapat diolah dan

dianalisis menggunakan analisis deskriptif kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Faktor Penentu Teknologi

Kecepatan dari adopsi inovasi ditentukan oleh

berberapa faktor penentu antara lain sifat-sifat atau

karakteristik inovasi dan sifat-sifat atau karakteristik

calon pengguna, (Sudaryono, 1998).

Dari beberapa komponen teknologi dasar pada

PTT, yang mutlak diterapkan dalam kegiatan usahatani

padi sesuai dengan rekomendasi adalah; penggunaan

Varietas Unggul Baru (VUB), pemakaian benih berlabel,

pemupukan berdasarkan status hara, pengendalian

OPT, pemberian bahan organik, pengolahan tanah

sesuai pola tanam, penanaman bibit muda, penanaman

1-3 bibit/rumpun, pengairan berselang dan penyiangan

dengan landak (tabel 1). Dari keragaan tingkat adopsi

teknologi pada PTT padi, yang menerapkan teknologi

sesuai rekomendasi untuk petani koperator 83,6 %

sedangkan petani non koperator 53,6 %. Hal ini

dimungkinkan karena petani yang mengikuti program

SLPTT wajib menerapkan teknologi pada PTT padi

sesuai rekomendasi.

Tabel 1. Keragaan Penerapan Teknologi Inovasi pada PTT Padi di Kabupaten Indragiri Hilir dan Rokan Hilir, Tahun 2012

Komponen Faktor Penentu Teknis Kooperator Non Koperator

Penggunaan VUB Pemakaian benih berlabel Pemupukan berdasarkan status hara Pengendalian OPT Pemberian bahan organik Pengolahan tanah sesuai pola tanam Penanaman bibit muda Penanaman 1-3 bibit/rumpun Sistem Tanam legowo Pengeiran berselang Penyiangan dengan landak

100 100 90 80 60 100 100 100 70 60 60

60 50 60 50 50 90 70 70 30 30 30

Rerata 83,6 53,6

2. Faktor Penentu Sosial

Karakteristik sosial, dapat ditinjau dari hubungan

sosial yang dilakukan responden baik secara personal

maupun interpersonal diluar komunitasnya dan

kaitannya dengan tingkat kemampuannya dalam

penerapan teknologi. Menurut Fattah et al, 2004,

bahwa secara sosial yang mempengaruhi masyarakat

tani (responden) dalam penerapan suatu teknologi

antara lain; tingkat umur, tingkat pendidikan,

pengalaman berusahatani, ketersediaan tenaga kerja

dan penguasaan lahan. Adopsi teknologi padi

dipengaruhi oleh pengalaman usahatani, ukuran rumah

tangga petani, jenis kelamin, ketersediaan pasar dan

tenaga kerja (Jamala et al., 2011).

Karakteristik Petani

Dari karakteristik petani responden dapat

diketahui bahwa, lebih dari 80 % tergolong usia

produktif, sehingga memungkinkan petani untuk

mengelola usahataninya dengan baik. Tingkat usia

dapat juga menjadi parameter dalam penerapan

teknologi introduksi. Golongan berusia muda biasanya

lebih responsif dalam menerima inovasi teknologi baru,

dimana resiko kegagalan merupakan pelajaran untuk

perbaikan dimasa datang sedangkan golongan tua lebih

mengandalkan terhadap pengalaman empiris, kurang

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 29-35

Page 37: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 33

responsif dalam menerima teknologi baru dan tidak

berani menanggung resiko.

Berdasarkan tingkat pendidikan, lebih dari 50

% petani hanya sampai pada sekolah dasar dan

sebagian kecil tingkat SLTP. Tingkat pendidikan

sebenarnya berpengaruh terhadap perubahan sikap

dan perilaku seseorang karena dapat mengubah cara

pandang seseorang dalam mengamati lingkungannya.

Dari pengalaman berusahatani rata-rata lebih dari 15

tahun menunjukkan bahwa sebenarnya petani telah

mahir dalam mengelola usahataninya. Luas penguasaan

sawah tergolong relatif kecil 0,5-1,0 ha.

Sempitnya penguasaan lahan tidak memerlukan

penerapan teknologi yang komplek, hal ini ditunjukkan

oleh penelitian Sumarno, 2000, bahwa variabel luas

lahan berkorelasi positif dengan tingkat penerapan

teknologi, semakin luas pemilikan lahan garapan, akan

semakin besar permasalahan yang dihadapi yaitu

besarnya biaya dan waktu yang digunakan untuk

pengelolaan usahatani sehingga semakin kompleks

teknologi usahatani yang diadopsi.

Tabel 2. Karakteristik Petani Responden Pada PTT Padi di Kabupaten Indragiri Hilir dan Rokan Hilir, Tahun 2012

Karakteristik Kategori Non Koperator

(%)

Koperator (%)

Umur (thn) < 40 thn 36 47 40 – 55 thn 52 32 > 55 thn 12 11

Pendidikan SD 63 45 SLTP 34 38 SLTA 3 17 S1 - 2

Pengalaman berusahatani (thn)

< 10 thn 25 32 10 – 15 thn 28 35 > 15 thn 47 33 4 – 6 8 5 > 6 5 3

Tenaga kerja produktif dalam keluarga (orang)

< 3 95 92 3 – 6 3 5 > 6 2 3

Penguasaan lahan sawah (ha)

< 0,5 34 25 0,5 – 1,0 42 35 > 1,0 24 40 0,5 – 1,0 47 45

> 1,0 21 13

Tenaga Kerja

Terbatasnya tenaga kerja produktif dalam

keluarga menyebabkan petani menggunakan tenaga

upahan terutama untuk pekerjaan pengolahan tanah,

penyiangan dan panen. Serapan tenaga kerja untuk

kegiatan pengolahan tanah sekitar 25 %, penyiangan

13 % serta panen dan prosesing hasil 33 %.

Penggunaan tenaga kerja rata-rata untuk usahatani

padi 141,6 HOK untuk petani koperator dan 144,8 HOK

koperator atau setara dengan 991 jam pada non

koperator dan 1014 jam pada koperator jam ( 1 HOK =

7 jam). Secara rinci dapat dilihat pada tabel 3. Dari

total biaya yang dikeluarkan untuk usahatani padi, upah

tenaga kerja merupakan komponen biaya tertinggi

dibanding biaya lain, hal ini disebabkan tingginya upah

tenaga kerja rata-rata Rp 50.000 per HOK. Introduksi

teknologi pada PTT diharapkan dapat menghemat

penggunaan tenaga kerja terutama pada saat

pengolahan tanah, penanaman, penyiangan dan panen.

Tabel 3. Kebutuhan Tenaga Kerja yang Digunakan Untuk Usahatani Padi pada PTT Padi di Kabupaten Indragiri Hilir dan Rokan Hilir, Tahun 2012

Aktifitas/kegiatan Keragaan Alokasi Curahan Tenaga Kerja Pada PTT Padi

Koperator Non Koperator

HOK Rp (000)

HOK Rp (000)

Persemaian 2 100 4 200

Pengolahan tanah 37 1850 34 1700

Penanaman 37 1850 35 1850

Pemupukan 0,1 5 0,4 20

Penyiangan 18 1250 23 1150

PHP 0,5 45 0,4 20

Panen dan prosesing 47 2350 48 2400

Total 141,6 7450 144,8 7340

PHP= Pemberantasan Hama dan Penyakit tanaman HOK = Hari Orang Kerja 1 HOK= 7 jam/hari, senilai Rp 50.000/hari

Partisipasi Dalam Kelembagaan Lokal di desa

Faktor-faktor sosial turut menentukan

keberhasilan usahatani. Pada Petani koperator

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 30-36

Page 38: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 34

penerapan komponen faktor penentu sosial lebih baik

dari non kooperator (Tabel 4). Hal ini dimungkinkan

karena pada petani kooperator yang mengikuti kegiatan

SLPTT, aktifitas dalam kelembagaan kelompok tani

relatif lebih tinggi frekuensinya dari pada non

koperator. Selain pembinaan secara teknis, pada

kegitan SLPTT juga diberikan pendampingan dalam

memacu dinamika kelompok secara partisipatif oleh

fasilitator bersama-sama dengan petani terutama dalam

menggali masalah dan mengupayakan pemecahan

masalah pada tingkat petani di Laboratorium Lapang

(LL) SLPTT, dimana pada akhirnya petani diharapkan

dapat lebih mandiri dalam mengelola usahataninya.

Dilihat dari perencanaan usahatani, ternyata

petani koperator telah melakukan rencana usahatani

dengan baik. Hal ini terlihat dari adanya pembukuan

dan penyususnan program kerja kelompok tani secara

tertulis setiap kali musim tanam yang meliputi

penyusunan RDK dan RDKK. Kerjasama didalam

kelompok tani cukup baik, terlihat dari dipatuhinya

rencana usahatani yang telah disusun secara bersama-

sama antara pengurus dan anggota kelompok tani.

Tabel 4. Faktor Penentu Sosial Dalam Penerapan

Teknologi pada PTT Padi di Kabupaten

Indragiri Hilir dan Rokan Hilir, Tahun 2012

Komponen Faktor Penentu Sosial Koperator Non koperator

Perencanaan Kerjasama Kegiatan Belajar mengajar Pengembangan & pemanfaatan fasilitas milik kelompok Inisiatif dan Kesepakatan kelompok

75 70 90 80

80

67 69 50 60

50

Rataan 79 59

Dari hasil identifikasi partisipasi petani

responden terhadap kelembagaan lokal didesa dapat

diketahui bahwa hampir semua responden terlibat

dalam kelembagaan desa. Status keterlibatan

responden terhadap kelembagaan desa antara lain

dalam pemerintahan desa, kepala dusun, Badan

Perwakilan Desa, RT/RW, KUD, Pengurus kelompok tani

dan anggota kelompok tani.

Tabel 5. Partisipasi Petani Dalam Kelembagaan Lokal

pada PTT Padi di Kabupaten Indragiri Hilir dan Rokan Hilir, Tahun 2012

Kelembagaan Lokal

Status dalam kelembagaan

Lamanya (tahun)

Kop

(%)

Non kop

(%)

Kop

(%)

Non kop

(%)

Pemerintahan Desa

23 16 3 3

Kepala Dusun 2 1 3 4

Badan Perwakilan Desa

1 1 5 3

RT/RW 7 5 4 3

LKMD/LMD 5 3 5 5

KUD 7 3 8 6

Pengurus Kelompok tani

19 5 9 5

3. Faktor Penentu Ekonomi

Faktor penentu ekonomi dapat dicirikan dari

keragaan ekonomi yang melekat pada petani responden

antara lain; kemampuan permodalan, ketersediaan aset

produksi yang dimiliki, sumber mata pencaharian, harga

produksi yang berlaku, perolehan hasil produksi,

ketersediaan lembaga pemasaran serta aksesibilitas

petani dalam memanfaatkan lembaga keuangan baik

formal maupun non formal dipedesan. Hasil penelitian

Burhansyah (2014) mengungkapkan bahwa percepatan

adopsi inovasi dipengaruhi secara nyata oleh jarak

pemukiman lokasi usahatani dan jarak pemukiman ke

sumber teknologi, tingkat pendidikan, luas lahan dan

aksesibilitas ke jalan raya, dan aksesibilitas ke sumber

teknologi. Pelambatan adopsi dipengaruhi faktor

tanggungan keluarga, jarak tempat ke pemukiman ke

lokasi usahatani, jarak pemukiman ke sumber

permodalan dan jarak pemukiman ke sumber teknologi.

Dari Table 6, terlihat bahwa sumber modal

usahatani pada umumnya berasal dari modal sendiri.

Untuk pengadaan sarana produksi biasanya petani

membeli sendiri ke kios sarana produksi atau pasar

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 30-36

Page 39: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 35

lokal. Sebagian besar hasil produksi padi digunakan

untuk konsumsi keluarga dan apabila ada kelebihan

dijual ke penggilingan padi desa dengan harga jual

yang ditentukan oleh pembeli.

Tabel 6. Faktor Penentu Ekonomi pada PTT Padi di Kabupaten Indragiri Hilir dan Rokan Hilir, Tahun 2012

Komponen Faktor Penentu Ekonomi

Koperator Non Koperator

Modal Usahatani Penyediaan saprodi Penyediaan Tenaga Kerja Penjualan Hasil Harga Jual Pelaksanaan Penjualan

75 79 17 81 36 39

71 75 11 77 32 29

Rataan 54 49,2

Perbedaan penerimaan atas penerapan paket

teknologi pada petani koperator dengan non koperator

dapat dilihat dari tingkat pengembalian marginal

(MBCR). Dari Tabel 7 dapat dilihat Nilai MBCR dari

penerapan teknologi pada pada PTT padi koperator

dengan non koperator yaitu 0,98. Nilai MBCR

menunjukkan bahwa setiap Rp 1 teknologi pada PTT

yang diterapkan pada usahatani padi, akan

memberikan tambahan pendapatan bersih sebesar nilai

MBCR tersebut.

Tabel 7. Pendapatan Atas Biaya Berubah Pada

Usahatani Padi dari Penerapan Teknologi pada

PTT

Uraian Usahatani padi

Koperator Non Koperator

Hasil ( t/ha) 5,4 3,2

Pendapatan Kotor (Rp/ha) 24.300.000 14.400.000

Tenaga Kerja (Rp/ha) 7.080.000 7.240.000

Biaya Saprodi (Rp/ha) 1.955.240 1.554.000

Total Biaya Berubah (Rp/ha) 9.035.240 8.794.000

Pendapatan Atas Biaya Berubah ( Rp/ha)

15.264.760 5.606.000

Keuntungan bersih marginal (KBM) pada petani

kooperator lebih tinggi dibanding non kooperator, hal

ini disebabkan karena total penerimaan petani

kooperator lebih tinggi dari petani non kooperator

dengan perbedaan penerimaan sebesar Rp 9.900.000.-

Tabel 8. Keuntungan Bersih Marginal, Biaya Marginal dan Total Pengembalian Marginal (MBCR) Pada Usahatani Padi dari penerapan Teknologi Pada PTT

Uraian Usahatani padi

Koperator Vs Non Koperator

KBM 9.658.760

BM 241.240

TPM (MBCR) 0,98

KBM = Keuntungan Bersih Marginal (Pendapatan Atas Biaya

Berubah A1 - Pendapatan Atas Biaya Berubah A2) ; BM=

Biaya Marginal (Total Biaya Berubah A1- Total Biaya Berubah

A2); TPM = (Pendapatan Atas Biaya Berubah

A1 - Pendapatan Atas Biaya Berubah A2 dibagi Pendapatan

kotor A1 - Pendapatan kotor A2).

KESIMPULAN

1. Dari keragaan tingkat adopsi teknologi pada PTT

padi, yang menerapkan teknologi sesuai

rekomendasi untuk petani kooperator rerata 83,6

% sedangkan petani non kooperator 53,6 %.

2. Faktor penentu sosial yang berpengaruh dalam

penerapan teknologi inovasi pada tingkat petani,

adalah sebagai berikut; (i) dari karakteristik petani

responden diketahui bahwa, lebih dari 80 %

tergolong usia produktif, dengan tingkat

pendidikan sekitar 50 % hanya sampai pada

sekolah dasar, rata-rata pengalaman berusahatani

sekitar 15 tahun, luas penguasaan sawah 0,5-1,0

ha, rata-rata penggunaan tenaga kerja 141,6 HOK

untuk petani koperator dan 144,8 HOK non

koperator. (ii) Partisipasi dalam kelembagaan lokal

di desa. Hampir semua responden berpartisipasi

dan terlibat sepenuhnya dalam kelembagaan lokal

didesa, perencanaan usahatani pada petani

koperator telah dilakukan dengan baik, terlihat dari

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 30-36

Page 40: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 36

adanya pembukuan dan penyusunan program kerja

kelompok tani secara tertulis setiap kali musim

tanam yang meliputi penyusunan RDK dan RDKK.

3. Faktor penentu ekonomi dapat dilihat dari keragaan

ekonomi yang melekat pada petani responden,

seperti; modal usahatani, penyediaan sarana

produksi, penyediaan tenaga kerja dan perolehan

pendapatan dari penjualan hasil serta tingkat

keuntungan dari pengusahaan usahatani. Sumber

modal usahatani pada umumnya berasal dari modal

sendiri. Untuk pengadaan sarana produksi petani

membeli sendiri ke kios sarana produksi atau pasar

lokal. Dari analisa ekonomi usahatani, penerapan

teknologi pada PTT padi, memperlihatkan nilai

MBCR 0,98.

DAFTAR PUSTAKA

A. Fattah, 2004. Faktor-faktor yang mempengaruhi senjang hasil padi di Sulawesi Tenggara, Balai Penelitian Tanaman Pangan, Maros

Badan Litbang Pertanian.2012. Petunjuk Teknis Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi. Petunjuk Teknis Lapang. Badan Litbang Pertanian, Kementan, Jakarta.

Burhansyah R. 2014. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Adopsi Inovasi Pertanian Pada Gapoktan Puap Dan Non Puap di Kalimantan Barat (Studi Kasus: Kabupaten Pontianak Dan Landak. Dalam Jurnal Informatika Pertanian, Vol. 23 No.1.

Bunnch, Roland. 2001. Dua Tongkol Jagung: Pedoman Pengembangan Pertanian Berpangkal Pada Rakyat. Edisi Kedua. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Cholis. M. 1998. Memacu Proses Difusi dan Adopsi Teknologi, Dalam : Sinar Tani No.2769. Balitan Malang.

Fachrista. A, Rachmat H Dan Risfaheri. 2013. Faktor Sosial Ekonomi Penentu Adopsi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) Padi Sawah di Bangka Belitung. Dalam Jurnal Informatika Pertanian, Vol. 22 No.2, Desember 2013.

Jamala, G.Y., H.E.Shehu and A.T. Garba. 2011. Evaluation of Factors Influecing Farmer Adoption of Irrigated Rice Production in Fadama Soil of North Eastern Nigeria. Journal of Development and Agricultural Economic 3 (2).

Musyafak, A. Hazriani, Suyatno, A. Sahari, J dan Kilmanun. J.C. 2002. Study Dampak Teknologi Pertanian di Kalimantan Barat. BPTP Kalbar. Pontianak.

Rogers. EM dan F. Floyd Shomaker. 1981. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru, Usaha Nasional Surabaya.

Sudaryono. 1998. Keragaan Kelompok Tani Dalam Usahatani Kedele di Kecamatan Wanaraja, Garut, Dalam : Penelitian Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Pangan, Bogor, 1995.

Sukartawi. 1988. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. UI Press. Jakarta.

Sumarno. 2000. Konsep Pendayagunaan Sumberdaya Lahan Untuk Pengembangan Tanaman Hortikultura. Dalam Prosiding Seminar Nasional Reorientasi Pendayagunaan Sumberdaya Tanah, Iklim dan Pupuk. Cipayung Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

Suprapto, T. dan Fahrianoor. 2004. Komunikasi Penyuluhan dalam Teori dan Praktek. Arti Bumi Intaran. Yogyakarta.

Suriatna. S.2000. Metode Penyuluhan Pertanian, PT. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta.

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 30-36

Page 41: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 37

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI VARIETAS CEKAU PELALAWAN DI LAHAN PASANG SURUT KECAMATAN KUALA KAMPAR KABUPATEN

PELALAWAN MELALUI PERBAIKAN TEKNOLOGI BUDIDAYA

Viona Zulfia, Marsid Jahari dan Rachmiwati 1)

1) Peneliti Pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau

ABSTRAK

Produktivitas padi rawa pasang surut di Kecamatan Kuala Kampar Kabupaten Pelalawan masih rendah

(sekitar 3,0-3,5 ton/ha GKP). Salah satu penyebab rendahnya produktivitas padi pasang surut tersebut karena belum menerapkan teknologi budidaya dengan baik. Ada beberapa komponen teknologi yang perlu diperhatikan yaitu: Penggunaan varietas yang berkualitas, pemupukan yang berimbang, sistem tanam yang tepat dan perawatan yang intensif. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan produktivitas padi varietas unggul Cekau Pelalawan dan Karya Pelalawan pada Lahan Pasang Surut Kabupaten Pelalawan dengan penerapan teknologi budidaya. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial dengan tiga ulangan, dimana faktor pertama: terdiri dua jenis varietas dan faktor kedua: terdiri dari dua teknologi budidaya. Hasil kajian menunjukan bahwa produktivitas padi yang tertinggi pada teknologi introduksi dengan Varietas Cekau Pelalawan (5,83 ton/ha) dan Varietas Karya Pelalawan (5,63 ton/ha) GKP) sementara dengan teknologi perbaikan hanya diperoleh produktivitas Cekau Pelalawan 3,57 ton/ha dan Karya Pelalawan 3,27 ton/ha. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penerapan teknologi introduksi dapat meningkatkan produktivitas padi rawa pasang surut antara 63,3% hingga 72,2% jika dibandingkan dengan teknologi perbaikan. Kata Kunci : Produktivitas, Cekau Pelalawan, Karya Pelalawan, Pasang Surut, Teknologi budidaya

ABSTRACT

Rice productivity ontidal swampland in Kuala Kampar District Pelalawan Regency is low (about 3,0-3,5 ton/ha dry grain harvest). It is because the rice cultivation technology has not applied properly. There are several components of technology that need to be noted: the use of good quality variety, balanced fertilization, proper planting system and intensive care. This assessment was aimed to determine the increasing of riceproduction,especially Cekau Pelalawan and Karya Pelalawan varieties on tidal swampland with theimplement proper rice cultivation technology. The factorial randomized block design (RBD) with two factors and three replications were used. Factor A wastwo varieties and factor B wastwo cultivation technologies. The highest rice productivity was obtained with the implement of introduction technology around 5.83 ton/ha for Cekau Pelalawan variety and 5.63 ton/ha for Karya Pelalawan variety. While with the implement of technology improvement only obtained 3.57 ton/ha for Cekau Pelalawan variety and 3.27 ton/ha for Karya Pelalawan variety. This is shown that the implementation of introduction technology can increase rice productivity on tidal swampland between 63.3% by 72.2 % compared to the implement of technology improvement.

Keywords: Productivity, Cekau Pelalawan, Karya Pelalawan, tidal swampland, cultivation technology

Page 42: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 38

PENDAHULUAN

Provinsi Riau masih mengalami kekurangan beras

sekitar 57,87 % per tahun (Distannak Riau, 2014).

Kekurangan ini dipasok dari luar Provinsi Riau terutama

dari Provinsi Sumatera Barat dan Sumatera Utara.

Penyebab kekurangan beras tersebut antara lain

disebabkan oleh masih rendahnya produktivitas

tanaman padi (sekitar 3,0-3,5 ton/ha GKP) karena

tingkat kesuburan tanah yang rendah dan secara umum

petani belum menerapkan teknologi budidaya dengan

baik. Penyebab lain dari rendahnya produksi beras kita

karena saat ini sudah banyak berkurangnya lahan

produktif akibat banyaknya alih fungsi lahan (Dinas

Pertanian Provinsi Riau, 2011). Sehubungan dengan

upaya mendukung program Peningkatan Produksi Beras

Nasional (P2BN) yang merupakan program utama

Kementerian Pertanian dalam upaya mencapai produksi

beras nasional sebanyak 70,6 juta ton pada tahun 2014

dan surplus beras 10 juta ton pada tahun 2015 (Badan

Litbang Pertanian, 2011) diupayakan untuk peningkatan

produksi dan produktivitas dengan perbaikan teknik

budidaya dan peningkatan indeks pertanaman.

Kegiatan ini disinkronkan juga dengan adanya program

daerah yaitu Operasi Pangan Riau Makmur (OPRM),

sehingga perlu dilakukan upaya peningkatan

produktivitas padi di beberapa kabupaten sentra

produksi padi di Provinsi Riau (Syukur A. 2010),

terutama di Kecamatan Kuala Kampar Kabupaten

Pelalawan dengan memanfaatkan potensi lahan sawah

pasang surut yang belum dikelola secara optimal.

Kecamatan Kuala Kampar merupakan daerah

yang terjauh dari ibukota kabupaten dan juga dari ibu

kota provinsi yang berbatasan langsung dengan

Provinsi Kepulauan Riau. Daerah tersebut hanya dapat

dijangkau melalui angkutan sungai dan laut dengan

waktu tempuh antara 8-10 jam (Laporan Tahunan

Distan TP Pelalawan, 2011). Posisi geografis seperti itu

menyebabkan pembangunan pertanian dan adopsi

teknologi di daerah tersebut berjalan relatif lebih

lambat dibandingkan daerah-daerah lain. Introduksi

varietas padi unggul ke daerah ini telah lama diakukan

namun akibat adanya berbagai keterbatasan dalam

daya adaptasi varietas terhadap cekaman lingkungan

biotik dan abiotik serta aspek cita rasa nasi yang

kurang cocok dengan preferensi konsumen setempat,

maka varietas unggul yang diintroduksi kurang disukai

petani.

Keterbatasan varietas unggul padi yang

beradaptasi baik di lahan pasang surut Kabupaten

Pelalawan, menyebabkan masih banyak petani yang

mengusahakan varietas lokal. Dua kultivar yang paling

dominan sebarannya di Kuala Kampar adalah Cekau

dan Karya yang oleh Menteri Pertanian RI sudah dilepas

sebagai varietas dengan nama Cekau Pelalawan dan

Karya Pelalawan. Kedua varietas tersebut pada

umumnya ditanam pada musim tanam reguler di bulan

Agustus/September dan panen diperkirakan pada bulan

Januari tahun berikutnya, di luar musim tersebut petani

memberakan lahan.

Dengan sekali musim tanam satu tahun, potensi

Kuala Kampar mendukung ketahanan pangan

Kabupaten Pelalawan masa yang akan datang masih

lemah. Potensi tersebut harus ditingkatkan melalui

peningkatan produksi dan produktivitas dengan

perbaikan teknik budidaya dan peningkatan intensitas

pertanaman. Pengkajian ini bertujuan untuk

mengetahui peningkatan produktivitas padi varietas

unggul Cekau Pelalawan dan Karya Pelalawan di

Kecamatan Kuala Kampar, Kabupaten Pelalawan,

Provinsi Riau dengan penerapan teknologi budidaya.

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 37-42

Page 43: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 39

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sungai Solok,

Kecamatan Kuala Kampar Kabupaten Pelalawan pada

suatu kawasan/hamparan areal pertanaman padi seluas

50 hektar. Waktu pelaksanaannya mulai Bulan Agustus

hingga Desember 2012. Penelitian ini menggunakan

Rancangan Acak Kelompok faktorial yaitu: Faktor A:

Jenis varietas (Varietas Cekau Pelalawan dan Karya

Pelalawan) sedangan Faktor B: Teknologi Budidaya

(Teknologi Introduksi dan Teknologi Perbaikan) dan

dilakukan sebanyak tiga ulangan. Penelitian ini

menggunakan Varietas Cekau Pelalawan dan Karya

Pelalawan. Bahan yang digunakan antara lain: Urea

150-200 kg/ha, SP-36 100 Kg/ha dan KCl 100 Kg/ha,

Reagent, Dithane M-45, Beta, Dharmabas, Petrokum,

D-Amine dan Ken-Up. Alat yang digunakan adalah,

Perangkat uji tanah (PUTS), Leaf Colour Chart (LCC)

atau bagan warna daun, hand sprayer, alat penyiang

gosrok, cangkul, parang, tugal, tali nilon alat tulis dll.

Teknologi Introduksi budidaya padi sebagai

berikut: 1) Persiapan areal tanam yang meliputi antara

lain: a) Melakukan penyemprotan gulma, b) Pembuatan

tanggul keliling dan c) Pengolahan tanah minimum

2) Pembuatan Persemaian dengan sistem tabur

3) Pemupukan dasar sebelum tanam, 4) Umur bibit

pada saat pindah tanam 18-21 hss, 5) Penanaman

dilakukan dengan menggunakan sistem tanam jajar

legowo dengan jarak tanam 12,5 x 25 x 50 cm, jumlah

bibit dua batang per rumpun, 6) Penyiangan Gulma,

7) Pemupukan menggunakan dosis hasil analisis tanah

menggunakan PUTS. Pelaksanaan pemupukan meliputi

beberapa tahap yaitu: pemupukan dasar, pemupukan

susulan I dan pemupukan susulan II. 8) Pengaturan air

sesuai dengan kebutuhan tanaman, 9) Monitoring

perkembangan hama dan penyakit dilakukan sejak di

persemaian, fase vegetatif, fase generatif hingga

panen. Data yang diperlukan meliputi: jenis

hama/penyakit yang menyerang, persentase tingkat

serangan dan upaya pengendaliannya, 10) Panen

menggunakan sabit bergerigi.

Teknologi perbaikan budidaya padi sebagai

berikut: 1) Persiapan lahan dengan penyemprotan dan

penebasan, 2) Persemaian dengan sistem tugal,

3) tanpa pupuk dasar, 4) pemupukan hanya 1 kali pada

umur 20-25 hst dgn dosis 10 kg TSP, 10 kg KCl dan 50

kg urea. 5) Umur bibit pada saat pindah tanam sudah

35 hari, 6) Menggunakan sistem tanam tegel 30 x 30

cm dengan jumlah bibit 3-5 batang, 7) pengairan masih

mengandalkan air hujan atau pompa.

Parameter yang diamati antara lain; panjang

malai, jumlah gabah total per malai (butir), jumlah

gabah bernas per malai, persentase gabah hampa,

tinggi tanaman terakhir dan jumlah anakan produktif,

bobot 1000 gabah, umur panen dan hasil panen GKP

(ton/ha), serta pengamatan tingkat serangan hama

tikus, penggerek batang dan penyakit Blast.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Pengamatan tinggi tanaman, jumlah anakan

produktif, Umur Panen dan Berat 1000 gabah.

Tabel 1. Rata-rata tinggi tanaman, anakan produktif, umur panen dan berat 1000 gabah.

Perlakuan Parameter yang diamati

Tinggi Tanaman

(m)

Anakan Produktif (batang)

Umur Panen (hari)

Berat 1000 gabah (gram)

A. Cekau Pelalawan (Teknologi

Introduksi)

132,00 a 18,33 a 138,10 a 28,43 a

B. Karya Pelalawan

(Teknologi Introduksi)

126,43 c 16,17 b 126,77 b 24,13 b

C. Cekau Pelalawan (Teknologi

Perbaikan)

128,13 b 14,97 bc 136,40 a 27,90 a

D. Karya Pelalawan (Teknologi

Perbaikan)

124,73 d 13,53 c 125,83 b 23,80 b

Angka rata-rata dalam kolom yang sama diikuti huruf sama menunjukan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan 5%

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 37-42

Page 44: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 40

Dari hasil pengamatan tinggi tanaman

dipengaruhi oleh jenis varietas maupun oleh sistem

budidaya teknologi. Varietas Cekau Pelalawan dengan

perbaikan teknologi budidaya memperlihatkan tinggi

tanaman lebih tinggi (132,00 cm) jika dibandingkan

teknologi yang sama pada Varietas Karya Pelalawan

(126,43), begitu pula dengan teknik budidaya padi

dengan kebiasaan petani Varietas Cekau Pelalawan

(128,13) dan Karya Pelalawan (124,73) memperlihatkan

perbedaan tinggi yang signifikan. Dari data tersebut

diatas maka Varietas Cekau Pelalawan secara genetik

lebih tinggi dari Varietas Karya Pelalawan. Hal ini

disebabkan sifat genetik dari masing-masing varietas

berbeda sehingga menghasilkan tinggi tanaman yang

berbeda pula (Fadjry D. et al. 2012). Jumlah anakan

produktif pada varietas Cekau Pelalawan dengan

teknologi perbaikan budidaya memperlihatkan jumlah

anakan terbanyak (18,33 batang) dibandingkan dengan

teknologi yang sama pada Varietas Karya Pelalawan

(16,17 batang) dan yang terendah pada Varietas Karya

Pelalawan dengan cara petani yang hanya 13,53

batang. Dalam pelaksanaan perbaikan budidaya,

perlakuan pemupukan yang diberikan dalam dosis yang

sama, begitu pula dengan perawatan. Hasil

pengamatan di lapangan menunjukan bahwa varietas

Cekau Pelalawan masih unggul dari variabel tinggi

tanaman maupun jumlah anakan produktif. Tanaman

yang masa vegetatifnya lebih lama akan cenderung

menghasilkan anakan lebih banyak jika dibandingkan

dengan umur karena varietas yang waktu vegetatifnya

lama berarti akan memberikan peluang yang lebih

banyak terhadap anakan yang dihasilkan karena

memiliki waktu yang panjang untuk dapat

menghasilkan anakan yang banyak. Data tinggi

tanaman, jumlah anakan produktif, umur panen dan

berat 1000 gabah secara rinci ditampilkan pada tabel 1.

Umur panen Varietas Cekau Pelalawan pada

perlakuan A (138,10 hari) dan Perlakuan C (136,40

hari) lebih panjang dibandingkan dengan umur panen

Varietas Karya Pelalawan pada perlakuan B (126,77

hari) dan perlakuan D (125,83 hari). Dari data tersebut

terlihat bahwa umur panen sangat ditentukan oleh jenis

varietas, sedangkan perbaikan teknologi budidaya tidak

mempengaruhi umur panen tanaman. Berat 1000

gabah juga dipengaruhi oleh jenis varietas, hal ini

terlihat bahwa Varietas Cekau Pelalawan dengan

teknologi perbaikan maupun cara petani tidak

menunjukan perbedaan yang nyata. Sedangkan

perbaikan teknologi budidaya pada varietas yang sama

tidak mempengaruhi variabel berat 1000 gabah.

Pemupukan yang seimbang sesuai anjuran

akan terlihat dari bobot 1000 butir walaupun

menggunakan varietas yang sama. Begitu pula dengan

rata-rata umur panen Varietas Cekau Pelalawan masih

tinggi yaitu 136-138 hari jika dibandingkan dengan

Karya Pelalawan yang hanya 125-127 hari. Umur

tanaman yang dimulai dari persemaian sampai panen

tersebut adalah bagian sifat genetik dari suatu varietas

dan tidak dipengaruhi oleh cara perbaikan teknologi

budidaya.

2. Pengamatan panjang malai, jumlah gabah per malai, jumlah gabah berisi dan persentase gabah hampa

Dari hasil analaisis terlihat bahwa penggunaan

varietas dan teknologi Budidaya mempengaruhi

parameter panjang malai, jumlah gabah total per malai,

jumlah gabah berisi per malai. Sementara untuk

persentase gabah hampa tidak dipengaruhi oleh

penggunaan varietas, namun dipengaruhi oleh

perbaikan teknologi budidaya.

Data panjang malai, jumlah gabah total/malai,

jumlah gabah berisi/malai dan persentase gabah hampa

padi dari hasil pengamatan dapat dilihat pada tabel

berikut.

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 37-42

Page 45: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 41

Tabel.1. Rata-rata panjang malai, jumlah gabah/malai, jumlah gabah berisi/malai dan persentase gabah hampa untuk masing-masing varietas Cekau Pelalawan dan Karya Pelalawan.

Perlakuan Parameter yang diamati

Panjang malai (cm)

Jumlah Gabah total/

malai (butir)

Jumlah Gabah

Berisi/malai

(butir)

Persentase gabah hampa

(%)

A. Cekau Pelalawan (Tekn Introduksi)

28,37 a 197,00 a 187,07 a 5,04 b

B. Karya Pelalawan (Tekn Introduksi)

26,63 b 191,33 b 181,37 b 5,21 b

C. Cekau Pelalawan (Tekn Perbaikan)

25,70 c 141,77 c 129,50 c 8,65 a

D. Karya Pelalawan (Tekn Perbaikan)

23,70 d 137,47 d 125,70 d 8,56 a

Angka rata-rata dalam kolom yang sama diikuti huruf sama

menunjukan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan 5%

Tabel 3. Rata-rata produktivitas, serangan tikus,

penggerek batang (PB) dan Penyakit Blast.

Perlakuan

Parameter yang diamati

Produktivitas GKP

(ton/ha)

Serangan Tikus

(%)

Serangan Penggerek

Batang (%)

Serangan Penyakit

Blas (%)

A. Cekau Pelalawan (Teknologi

Introduksi)

5,83 a 4,33 a 3,00 a 3,33 a

B. Karya Pelalawan (Teknologi

Introduksi)

5,63 a 4,00 a 3,67 a 2,83 a

C. Cekau Pelalawan (Teknologi

Perbaikan)

3,57 b 4,00 a 2,67 a 2,83 a

D. Karya Pelalawan (Teknologi

Perbaikan)

3,27 b 4,33 a 3,00 a 2,67 a

Angka rata-rata dalam kolom yang sama diikuti huruf sama

menunjukan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji Duncan 5%

Data produktivitas gabah kering panen (GKP)

terlihat bahwa dengan penerapan teknologi introduksi

mampu meningkatkan hasil (GKP) dibandingkan dengan

Teknologi Perbaikan. Pada tabel 3 terlihat bahwa

Varietas Cekau Pelalawan dan Karya Pelalawan dengan

penerapan teknologi introduksi mampu menghasilkan

produktivitas yang tinggi (5,83 dan 5,63 ton/ha)

berbeda nyata dengan Varietas Cekau Pelalawan dan

Karya Pelalawan yang menerapkan teknologi perbaikan

hanya 3,57 dan 3,27 ton/ha.

Untuk meningkatkan produksi dan produktivitas

tanaman padi di lahan pasang surut, mesti melakukan

teknologi budidaya anjuran badan litbang pertanian.

Penerapan paket teknologi anjuran antara lain meliputi

pemupukan spesifik lokasi, pemeliharaan tanaman,

pengendalian gulma yang tepat waktu dan

pengendaliaan hama/penyakit sesuai konsep PHT,

maka diperoleh produksi diatas 5 ton/ha. Ketepatan

waktu dan dosis dalam pemupukan serta pengaturan

kebutuhan air yang tepat, sangat berpengaruh pada

terbentuknya anakan yang produktif. Kebutuhan hara

sangat berkaitan dengan potensi varietas dan target

hasil yang ingin dicapai. Pada dasarnya lahan sawah

sudah menyediakan berbagai unsur hara yang

dibutuhkan tanaman, namun karena keberadaanya

terbatas maka sangat diperlukan pemupukan tambahan

untuk mencapai target produksi yang dinginkan

(Achmad., et al. 2009).

Pengamatan terhadap adanya tingkat serangan

hama tikus, penggerek batang dan penyakit blas pada

tanaman padi Varietas Cekau Pelalawan dan Karya

Pelalawan, baik dengan penerapan teknologi introduksi

maupun teknologi perbaikan tidak mempengaruhi

tingkat serangan OPT pada tanaman. Tingkat serangan

masih dibawah ambang ekonomis, dianggap belum

perlu diambil tindakan pengendalian.

Hama tikus merusak tanaman padi dengan cara

memakan pada bagian pangkal batang, ini sudah mulai

terjadi pada umur 1 bulan, namun persentasenya masih

rendah hanya berkisar antara 4,0-4,3 %. Angka kisaran

tingkat serangan hama dan penyakit secara umum

tidak dipengaruhi oleh jenis varietas maupun

cara/teknologi budidaya yang diusahakan.

KESIMPULAN

1. Produktivitas padi pasang surut mengalami

peningkatan setelah dilakukan perbaikan teknologi

budidaya yaitu Varietas Cekau Pelalawan mencapai

5,83 ton/ha (63,3%) dan Karya Pelalawan 5,63

ton/ha (72,2%). jika dibandingkan dengan cara

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 37-42

Page 46: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 42

petani Varietas Cekau Pelalawan hanya 3,57 ton/ha

dan Karya Pelalawan 3,27 ton/ha.

2. Perbaikan teknologi budidaya padi Varietas Cekau

Pelalawan dan Karya Pelalawan tidak mempengaruhi

besarnya tingkat serangan hama tikus, penggerek

batang dan penyakit blas.

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang Pertanian. 2001. Sistem Usaha Pertanian

Lahan Pasang Surut. Badan Litbang Pertanian, Kementerian Pertanian.

Badan Litbang Pertanian. 2011. Perubahan Iklim dan Pengelolaan Lahan Gambut Berkelanjutan. Badan Litbang pertanian, Kementerian Pertanian.

Balitpa. 2004. Inovasi Teknologi Untuk meningkatkan Produksi Padi dan Kesejahteraan Petani. Balai Penelitian Tanaman Padi, Badan Litbang Pertanian.

Deptan. 2003. Panduan teknis Pengelolaan hara dan pengendalian hama penyakit tanaman padi secara terpadu.

Dinas Pertanian TPH Provinsi Riau. 2011. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Riau. Pekanbaru.

Distannak Riau. 2014. Buku Seri Data Tanaman Pangan dan Hortikultura Tahun 2013. Pemerintah Provinsi Riau. Pekanbaru.

Dobermann, A. And T. Fairust.1999. Fiel Handbook, Nutritional disorders and nutrient management in Rice. IRRI, PPI/PPIC

Fadjry D., Arifuddin K. dan Nicholas. 2012. Pengkajian Varietas Unggul Baru Padi yang Adaptif Pada Sawah Lahan Bukan Baru Untuk Meningkatkan Produksi > 4 Ton/Ha GKP Di Kabupaten Merauke Provinsi Papua.

Puslitbangtan. 2007. Masalah Lapang Hama, Penyakit dan Hara pada padi. Bogor.

Makarim, A.K.,S. Purba, Arifin K.,I.Las, S. Roechan, and S.Adiningsih. 2000. Aplikasi prescription farming pada IP padi 300. Penelitian Pertanian: 13-24

Makarim, A.K., and M. Ismunadji. 1991. Sulfur availability of different S fertilizers on a planosol from Jakenan and a hydromorph from Singamerta, Indonesia. ACIAR Project 8804. Final Report. The University of New England, Australia. P.33-37.

Syukur A. 2010. Operasi Pangan Riau Makmur (OPRM) Pengembangan Tanaman Padi Seluas 100.000 Ha di 9 Kabupaten Se-Propinsi Riau. Sekretariat Badan Koordinasi Penyuluhan Propinsi Riau.

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 37-42

Page 47: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 43

EFEKTIVITAS PEMBERIAN NPK ORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI DI PROVINSI RIAU

Emisari Ritonga dan Rathi Frima Zona 1)

1) Peneliti Pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Riau

ABSTRAK

Kedelai merupakuan salah satu sumber protein nabati. Permintaan kedelai yang cukup tinggi sebagai salah satu bahan makanan memicu pemerintah untuk meningkatkan produksi kedelai. Salah satu upaya untuk meningkatkan produksi kedelai adalah dengan menggunakan pupuk sebagai penyedia nutrisi tanaman seperti NPK organik. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pupuk NPK organic terhadap tanaman kedelai. Penelitian ini dilakukan dari bulan Januari sampai Mei 2011 di Fakultas Pertanian, Universitas Islam Riau. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Perlakuannya adalah: N0 (tanpa pupuk NPK organik), N1 (pupuk NPK organic 20 gram/tanaman), N2 (pupuk NPK organik 30 gram/tanaman), dan N3 (pupuk NPK organic 40 gram/tanaman). Adapun parameter pengamatan yang diamati yaitu tinggi tanaman (cm), umur berbunga (hari), umur panen (hari), jumlah polong per tanaman, persentase polong bernas (%), berat 100 biji kering (gram) dan berat biji kering/plot (gram). Data yang dikumpulkan dari masing-masing perlakuan dianalisis secara statistic dan dilanjutkan dengan Uji BNT pada level 5%. Berdasarkan analisis statistik, pupuk NPK organik 40 gram/tanaman (N3) memberikan pengaruh yang nyata pada parameter tinggi tanaman (cm), umur berbunga (hari), umur panen (hari), jumlah polong per tanaman, persentase polong bernas (%), berat 100 biji kering (gram) dan berat biji kering/plot (gram). Kata kunci: NPK Organik, pertumbuhan, produksi, kedelai

ABSTRACT

Soybean is one of the plant-based protein sources. High demand for soybean, especially as one of the foodstuffs triggered the government to increase soybean production. One effort to increase the soybean production is by using fertilizers as a provider of plant nutrients such as organic NPK. The purpose of this study was to determine the effect of organic NPK fertilizers to the soybean plant. This study was carried out from January to May 2011 at the Agriculture Faculty, Islamic University of Riau. This study used completely randomized design (CRD) with 4 treatments and 3 replications. The treatments were: N0 (without organic NPK fertilizers), N1 (organic NPK fertilizers 20 gram/plant), N2 (organic NPK fertilizers 30 gram/plant), N3 (organic NPK fertilizers 40 gram/plant). This study measured plant height (cm), days to flowering (days), days to maturity (days), the number of pods per plant, the percentage of pods pithy (%), weight of 100 dry seeds (gram) and weight of dry seeds/plot (gram). The collected data from each treatment was analyzed statistically and continued to Honestly Significant Difference (HSD) test at level 5%. Based on the statistical analysis, organic NPK fertilizers 40 gram/plant (N3) gave a real impact on plant height (cm), days to flowering (days), days to maturity (days), the number of pods per plant, the percentage of pods pithy (%), weight of 100 dry seeds (gram) and weight of dry seeds/plot (gram).

Keywords: Organic NPK, Growth, Production, Soybean.

Page 48: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 44

PENDAHULUAN

Mengingat Indonesia memiliki jumlah penduduk

yang cukup besar dan industri pangan berbahan baku

kedelai berkembang pesat maka komoditas kedelai

perlu mendapat prioritas untuk dikembangkan di

dalam negeri. Upaya tersebut ditempuh melalui

strategi peningkatan produktivitas, perluasan areal

tanam, peningkatan efisiensi produksi, peningkatatan

kualitas produk, perbaikan akses pasar, perbaikan

sistem permodalan, pengembangan infrastruktur, serta

pengaturan tataniaga dan intensif usaha.

Tanaman kedelai (Glycine Max) bukan tanaman

asli Indonesia. Pengkajian terhadap asal usul kedelai

pertama kali ditemukan dalam buku Pen Ts’ao Kong Mu

(Materica Medica) pada Kekaisaran Sheng-Nung pada

2838 sebelum Masehi (MS) (Anonim 2005). Tanaman

kedelai merupakan salah satu dari lima tanaman biji-

bijian yang disakralkan (Wu ku) yakni padi, gandum,

barley dan milet. Kedelai diduga berasal dari dataran

pusat dan utara Cina. Hal ini didasarkan pada adanya

penyebaran Glycina ussuriensis, spesies yang diduga

sebagai tetua G. max. Bukti sitogenetik menunjukkan

bahwa G. max dan G. usuriensis tergolong spesies yang

sama. Namun bukti sejarah dan sebaran geografis

menunjukkan cina utara sebagai daerah dimana kedelai

dibudidayakan untuk pertama kalinya, sekitar abad 11

SM. Korea merupakan sentra kedelai diduga kedelai

yang dibudidayakan merupakan hasil introduksi dari

cina yang kemudian menyebar ke jepang antara 200

SM dan abad ke-3 Setelah Masehi (Nagata 1960). Jalur

penyebaran kedelai yang kedua dimungkinkan dari

dataran Cina Tengah ke arah Jepang Selatan, di

Kepulauan Kyushu, sejak adanya perdagangan antara

Jepang dan Cina sekitar abad 6 dan 8.

Kebutuhan kedelai pada tahun 2020 yang

mencapai sekitar 2,5 juta ton ditambah kebutuhan

bungkil kedelai 1,5 juta ton, atau total 4 juta ton,

bernilai ekonomis Rp. 12 triliwun. Jumlah ini merupakan

kesempatan ekonomis dan peluang pasar yang sangat

besar bagi masyarakat pedesaan untuk dimanfaatkan.

Kebutuhan masyarakat akan kedelai sekarang ini

sebagian besar di penuhi dengan import, pada saat ini

produksi yang di hasilkan diperkirakan mencapai

1.875.558 ton, sementara kebutuhan pada tahun yang

sama bisa mencapai 2.361.497 ton. Melonjaknya harga

import merupakan peluang bagi petani, harga kedelai

lokal mengalami peningkatan (Tim Trubus, 2000).

Luas areal tanaman kedelai di Riau adalah 9.329

ha, dengan produksi 13 kw/ha. Pernyataan ini masih

rendah untuk memenuhi kebutuhan kedelai (Dinas

Pertanian Riau, 2002).

Usaha untuk meningkatkan produksi kedelai

sering dilakukan melalui intensifikasi, ekstensifikasi,

diversifikasi serta rehabilitasi, tetapi peningkatan

produksi yang di peroleh belum mencapai kebutuhan

dalam negeri karena selama ini kedelai ditanam setelah

padi untuk memanfaatkan sisa air dan pupuk serta

tanaman kedelai di mata petani hanya sebagai tanaman

selingan saja.

Agar di dalam pembudidayaan kedelai dapat

berproduksi dengan baik, maka di butuhkan informasi

dalam pembudidayaan dan salah satunya dengan

pemberian pupuk, sehingga unsur hara yang

dibutuhkan tanaman terpenuhi. Pada saat ini telah

beredar pupuk NPK organik yang mengandung

beberapa unsur hara seperti, Nitrogen, Phospor,

Kalium, Magnesium, Kalsium dan Sulfur serta unsur

hara lainnya seperti (Zn, Cu, Fe dan Co). Penggunaan

pupuk NPK organik ini merupakan salah satu

pemupukan terbaik dalam meningkatkan produksi

tanaman serta mengurangi besarnya biaya pemupukan

dan bahaya laten terhadap kadarisasi racun tanah

(Asofsgn, 2008).

NPK merupakan pupuk majemuk yang diperlukan

tanaman untuk pertumbuhan dan produksi tanaman

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 43-47

Page 49: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 45

serta meningkatkan panen dan memberikan

keseimbangan unsur Nitrogen, Pospor dan Kalium.

Pupuk ini mudah diaplikasikan serta mudah diserap

oleh tanaman sedangkan dalam pemakaiannya efisien

(Anonimus, 1992).

Pupuk NPK organik lengkap mempunyai

kandungan Nitrogen 6,45%, P2O5 0,93%, K2O 8,86%,

C-Organik 3,10%, sulfur 1,60%, Ca 4,10%, MgO

1,70%, Cu 33,98 ppm, Besi 0,22%, dan Baron 94,75

ppm (Anonimus, 2006).

Pupuk NPK organik ini memiliki keunggulan

antara lain: mengandung unsur makro dan unsur

mikro, ramah lingkungan, mempercepat pertumbuhan

tanaman untuk menghasilkan, meningkatkan dan

memperkaya unsur hara tanah, meningkatkan serta

mengaktifkan mikroba penyubur tanah, meningkatkan

daya serap tanah terhadap air, serta masih banyak

keunggulan-keunggulan lainnya dari pupuk NPK organik

ini (Asofsgn, 2008). Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pengaruh pemberian pupuk NPK organik

terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kacang

kedelai (Glycine Max (L) Merril).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan di kebun percobaan

Fakultas Pertanian Universitas Islam Riau Jln.

Kaharuddin Nasution KM. 11 Kelurahan Simpang Tiga,

Kecamatan Bukit Raya, Kota Pekanbaru dari bulan

Januari sampai Maret 2011. Bahan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah benih kedelai varietas

Anjasmoro, pupuk NPK organik, Dolomit, Dithane M-45,

Decis 25 EC, triplek, kayu, tali plastik dan paku.

Sedangkan alat-alat yang digunakan adalah cangkul,

parang, sabit, gembor, ember, hand sprayer,

timbangan, martil dan alat-alat tulis.

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak

Lengkap (RAL) dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan yaitu

N0 Tanpa pemberian pupuk NPK organik (kontrol), N1

Pemberian pupuk NPK organik 20 g/tanaman, N2

Pemberian pupuk NPK organik 30 g/tanaman dan N3

Pemberian pupuk NPK organik 40 g/tanaman.

Penanaman dilakukan dengan cara meletakkan 2 benih

kedelai di setiap lubang tanam. Pemupukan organik

dilakukan pada saat tanaman berumur 1 minggu

setelah tanam dengan cara larikan diantara tanaman

pada kedalaman 10 cm. Pemeliharaan tanaman yang

meliputi penyiraman, penjarangan, penyiangan,

pembumbunan, pengendalian hama dan penyakit serta

panen.

Parameter yang diamati adalah tinggi tanaman

(cm), umur berbunga (hari), umur panen (ton), jumlah

polong pertanaman (buah), persentase polong bernas

(%), berat 100 biji kering (g), dan berat biji kering/plot

(kg).

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Tinggi tanaman, umur berbunga dan umur panen

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa

pemupukan NPK organik mempengaruhi pertumbuhan

terhadap tinggi tanaman, umur berbunga dan umur

panen (Tabel 1).

Tabel 1. Pengaruh NPK organik terhadap tinggi tanaman, umur berbunga dan umur panen.

Perlakuan Tinggi

Tanaman (cm)

Umur Berbunga

(hari)

Umur Panen (hari)

N0 104.60 a 36.25 a 79.04 a

N1 108.48 b 34.60 b 77.16 b

N2 110.75 c 33.87 c 76.79 c

N3 116.44 d 33.42 d 76.29 d

Keterangan : Angka-angka yang diikut oleh huruf kecil yang sama menurut kolom dan huruf kecil yang

sama menurut baris tidak berbeda nyata menurut DNMRT taraf 5%.

Tabel 1 menunjukkan pemberian pupuk NPK

organik dengan dosis 40 g/tanaman (N3) memberikan

pengaruh secara nyata pertumbuhan tanaman kedelai

terutama untuk tinggi tanaman, umur berbunga dan

umur panen. Tinggi tanaman pada N3 berbeda nyata

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 43-47

Page 50: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 46

dengan perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan unsur

hara yang terkandung dalam pupuk NPK Organik dapat

di manfaatkan tanaman secara optimal dan

menghasilkan pertumbuhan tanaman yang berbeda.

Menurut Setiawan (2002) bahwa tanaman akan subur

jika unsur hara tersedia dengan cukup. Selain itu,

faktor luar seperti media pertumbuhan, suhu, curah

hujan dan sinar matahari yang cukup optimal juga

mempengaruhi pertumbuhan tinggi tanaman.

Perbedaan umur berbunga antara perlakuan N3

dengan perlakuan lainnya di karenakan konsentrasi

pupuk NPK organik yang diberikan memperlihatkan

perbedaan dalam menjaga keseimbangan pembentukan

karbohidrat dan netril dalam tanah serta dipengaruhi

juga oleh faktor-faktor alam. Selain itu, menurut Dwidjo

Seputro (1988) pembentukan bunga sangat

dipengaruhi oleh faktor-faktor alam seperti suhu,

intensitas cahaya, lamanya penyinaran dan persediaan

air mempengaruhi reaksi tanaman terhadap

pemupukan.

Perbedaan umur panen antara perlakuan N3

dengan perlakuan yang lainnya diduga karena NPK

organik dapat memperbaiki sifat kimia dan biologis

tanah sehingga mampu menyediakan unsur hara makro

dan mikro yang dibutuhkan tanaman pada

pertumbuhan vegetatif maupun pertumbuhan generatif,

dengan tersedianya unsur hara makro dan mikro di

dalam tanah dan dapat mempengaruhi kegiatan

pembelahan sel baru bagi tanaman tersebut untuk

pembentukan polong.

2. Jumlah polong pertanaman, persentase polong

bernas, berat 100 biji kering dan berat biji

kering/plot.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa

ada pengaruh pupuk NPK organik berkontribusi

terhadap jumlah polong pertanaman, persentase

polong bernas, berat 100 biji kering dan berat kering

biji /plot (Tabel 2).

Tabel 2. Pengaruh NPK organik terhadap Jumlah

polong pertanaman, persentase polong bernas, berat 100 biji kering dan berat biji kering/plot.

Perlakuan Jumlah

polong pertanaman

(buah)

Persentase polong bernas (%)

Berat 100 biji kering (gram)

Berat biji kering

per plot (gram)

N0 72.14 a 70.69 a 11.75 a 120.16 a

N1 89.94 b 76.96 b 13.72 b 150.50 b

N2 98.50 c 88.26 c 15.25 c 181.41 c

N3 114.79 d 96.23 d 16.72 d 249.58 d

Keteranan : Angka-angka yang diikut oleh huruf kecil yang

sama menurut kolom dan huruf kecilyang sama menurut baris tidak berbeda nyata menurut DNMRT taraf 5%.

Tabel 2 menunjukkan bahwa pemberian pupuk

NPK organik dengan dosis 40 g/tanaman (N3)

memberikan pengaruh nyata terhadap pertumbuhan

generatif tanaman kedelai terutama untuk jumlah

polong pertanaman, persentase polong bernas, berat

100 biji kering, dan berat biji kering/plot.

Pemberian pupuk NPK organik sudah mampu

memenuhi kebutuhan tanaman dalam meningkatkan

ketersediaan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman

terutama dalam pembentukan polong. Selain itu juga

disebabkan oleh faktor-faktor alam seperti suhu, air dan

lama penyinaran sehingga mampu memenuhi

kebutuhan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman

kedelai untuk pertumbuhan dan perkembangan jumlah

polongnya.

Perbedaan nyata perlakuan N3 dengan perlakuan

lain pada parameter persentase polong bernas

dikarenakan unsur hara yang terkandung dalam pupuk

NPK organik telah dapat dimanfaatkan oleh tanaman

secara optimal, seperti N dapat menunjang

pertumbuhan yang aktif dan sebagai penyusun klorofil

di samping itu unsur P berperan dalam merangsang

perkembangan akar dan pembentukan polong

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 43-47

Page 51: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 47

sedangkan K membantu di dalam proses pembentukan

protein dan merangsang pengisian biji.

Berat 100 biji kering terbaik terdapat pada

perlakuan N3 dibandingkan dengan perlakuan lainnya,

di duga karena pada dosis ini tanaman kacang kedelai

mampu memanfaatkan unsur hara yang terkandung

dalam pupuk NPK organik. Tingginya berat 100 biji

kering pada kacang kedelai pada perlakuan N3

dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Hal ini

dikarenakan unsur hara N yang telah tersedia bagi

tanaman sehingga mampu mencukupi kebutuhan bagi

pertumbuhan dan perkembangan tanaman kacang

kedelai. Dalam pengisian polong dan pembentukan biji

sangat tergantung kepada ketersediaan unsur pospat,

yang dapat meningkatkan pembentukan biji sehingga

polong dapat terisi penuh oleh biji.

Tingginya berat biji kering per plot pada

perlakuan N3 diduga karena pada saat pengisian

polong dan pembentukan biji dipengaruhi oleh

ketersediaan unsur nitrogen baik N yang dipengaruhi

oleh bakteri rhizobium dari udara maupun N yang

tersedia dalam tanah kemudian dipengaruhi juga oleh

ketersediaan unsur fospor. Apabila ketersediaan unsur

N dan P ini berada dalam keadaan seimbang akan

mengakibatkan pembentukan asam amino dan protein

meningkat dalam pembentukan biji sehingga polong

dapat terisi penuh.

KESIMPULAN

1. Pemberian NPK organik nyata mempengaruhi

pertumbuhan dan produksi kedelai.

2. N3 (NPK organik 40 gr) merupakan konsentrasi terbaik untuk pertumbuhan dan produksi kedelai efektif meningkat.

DAFTAR PUSTAKA

AAK. 2002. Budidaya Tanaman Kedelai. Penerbit Kanisius, Yogyakarta

Anonimus. 1992. Pupuk NPK. PT. Meroke Tetap Jaya. Indonesia.

-------------.2006. Laporan Analisis Pupuk Organik Lengkap. Laboratorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara. Medan.

Asofsgn. 2008. NPK Organik Lengkap Cap Rumpun Bambu. Kisaran, Sumatra Utara, Indonesia

Dinas Pertanian Riau. 2002. Meningkatkan Produksi Kedelai.Departemen Pertanian Riau.

Lingga. 2006. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Penebar Swadaya.

Muclish A, A. Krisnawati. Biologi Tanaman Kedelai. Balai Penelitian Tanaman Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian ,Malang 2007

Suprapto, H.S. 1995. Bertanam Kedelai. Penerbit Penebar Swadaya, Jakarta.

Sudaryanto T. 2007. Ekonomi Kedelai di Indonesia. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Bogor.

Tim Redaksi Trubus. 2000. Produksi Kedelai. Penerbit Swadaya, Jakarta.

Buletin Inovasi Pertanian, Vol. 2 No. 1, Juli 2016 : 43-47

Page 52: INOVASI PERTANIANriau.litbang.pertanian.go.id/ind/images/stories/PDF/buletin.pdfPupuk yang diberikan adalah Urea, TSP dan KCL dengan dosis 100 kg urea, 100 kg TSP dan 100 kg KCl/ha

| 48

BULETIN ISSN 1979 - 0805

INOVASI PERTANIAN

BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN RIAU VOLUME : 2 NOMOR : 1 JULI 2016

PEDOMAN BAGI PENULIS

MAKALAH Ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris. Diketik satu setengah spasi dengan pengolahan kata MS Word dan dikirim dua eksemplar bersama copy file kepada Redaksi. Panjang naskah tidak melebihi 20 halaman termasuk tabel dan gambar.

STANDAR PENULISAN Huruf standar yang digunakan untuk penulisan adalah

Tahoma 10 Naskah ditulis dengan jarak 1,5 spasi, kecuali judul, tabel (judul, tubuh, dan keterangan) dan judul gambar diketik 1 spasi. Naskah diketik pada ukuran A4 dengan batas (margin) 2,5 cm dan jumlah halaman 5-20.

TATA CARA PENULISAN NASKAH

JUDUL Judul singkat, jelas dan informatif, nama penulis ditulis lengkap, nama lembaga/institusi ditulis untuk seluruh penulis.

ABSTRAK Abstrak ditulis dalam bahasa inggris dan bahasa Indonesia, tidak melebihi 200 kata dan dalam satu paragraph.

PENDAHULUAN Pendahuluan dibuat singkat yang berisi latar belakang permasalahan, tujuan dan manfaatnya. Permaslahan memuat penjelasan mengenai alasan-alasan mengapa masalah yang dikemukakan dalam penelitian itu dipandang menarik, penting dan perlu.

METODE PENELITIAN Metode penelitian mengandung uraian tentang bahan atau materi penelitian, alat, pelaksanaan penelitian, variabel dan data yang akan dikumpulkan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Menyajikan hasil riset, akurasi yang dapat dicapai, signifikansi langkah maupun pengetahuan, fenomena, maupun informasi yang dapat diberitahukan kepada khalayak, termasuk didalamnya sumbangan baru yang dihasilkan dalam riset. Analisis yang rinci dan mengkerucut sangatlah bermanfaat bagi peneliti lain. Hasil dapat disajikan dalam bentuk tabel, grafik, foto/gambar atau bentuk lain.

KESIMPULAN Kesimpulan merupakan pernyataan singkat dan tepat yang dijabarkan dari hasil penelitian dan pembahasan. Kesimpulan dapat pula disajikan secara pointer. Kesimpulan harus mengindikasikan secara jelas kemajuan-kemajuan, batasan-batasan dan kemungkinan aplikasi dari penelitian. Jika naskah berupa studi literatur, dapat memberikan ringkasan yang disarankan. UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang mendanai atau yang berperan serta besar dalam tulisan ini (jika ada).

DAFTAR PUSTAKA Memuat pustaka yang diacu dalam naskah, kemutakhiran pustaka yang diacu paling lama dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir dan acuan primer paling sedikit 60% dari total acuan. Format penulisan daftar pustaka disusun dengan format mengikuti urutan abjad dengan memuat: nama pengarang (nama belakang terlebih dahulu), tahun terbit, judul, jilid/volume, edisi/nomor, tempat penerbitan, nama penerbit. Rujukan dengan sumber yang sama ditulis dengan mendahulukan tahun terbitnya. Jika tahun terbitnya sama, gunakan abjad dibelakang tahun terbit. Cara dan contoh penulisan: Buku (satu penulis) Thee, K.W. (2012). Indonesia’s Economy Since

Independence. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies.

(dua penulis) Forouzan, B.A., & Fegan, S.C. (2007). Data

Communications and Networking (4th ed.). New York: McGraw-Hill.

(lebih dari tiga penulis) Firdausy, C.M. (ed) (2012). Konsep dan Ukuran

Kemiskinan Alternatif. Jakarta: Pusat Penelitian Ekonomi LIPI.

Buku tanpa nama pengarang, tetapi ditulis atas nama lembaga Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. (2011).

Pedoman Akreditasi Majalah Ilmiah. Jakarta: LIPI

Jurnal Sambodo, M.T dan Negara, S.D. (2012). Designing

Conceptual Framework and State of Energy Security in Indonesia. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan, 20 (1), 1-17.

Prosiding Muljawan, D. (2003). An Analysis of Potential Systemic

Costs in an Islamic Banking System. Dalam Prosiding International Conference on Islamic Banking: Risk Management, Regulation and Supervision. (hal. 279-298). Jakarta: Bank Indonesia.

Sumber online Khudori. (2006). Belajar Pengembangan Biofuel dari

Brazil. Diambil dari http://www.unisosdem.org/ article_detail.php?aid=5665&coid=1&caid=58&gid=5 [diakses 22 Oktober 2013].

Skripsi, Tesis dan Disertasi Wiranta, S. (1987). Japanese Economic Development

Statistical Analysis Approach Tesis, Tokyo: Nihon University.