ini alasan mendag soal impor bahan pangan

Upload: devi-fitrianti

Post on 02-Mar-2016

213 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kuliah

TRANSCRIPT

Ini Alasan Mendag Soal Impor Bahan PanganAbednego Afriadi- Timlo.netJumat, 12 Juli 2013 | 21:00 WIB

Dok.Timlo.net/ Nanang RahadianWakil Bupati Karanganyar, Paryono meresmikan 'Hotel Sapi'.Timlo.net Indonesia dikenal sebagai salah satu negara agraris. Namun, Indonesia juga dikenal cukup rajin mendatangkan bahan pangan dari negara lain. Kebiasaan impor sudah sangat dekat dengan Indonesia. Apa penyebabnya?Menteri Perdagangan Gita Wirjawan beralibi, pemerintah mendatangkan bahan pangan impor karena ketersediaan pasokan di dalam negeri kurang. Dia mengklaim, sesungguhnya tidak suka jika harus terus-menerus membeli barang dari luar negeri. Namun, pemerintah seolah terpaksa melakukan impor karena kondisi yang mengharuskan.Menurut Gita, kasus bawang merah dan cabe rawit yang harus impor lantaran panen mundur dua bulan sebagai imbas anomali cuaca. Selain itu, dia menyatakan bahwa rencana impor dari China dan Thailand bukan sesuatu yang mendadak, melainkan telah dirapatkan bersama Kementerian Pertanian sejak awal tahun.Kita sebetulnya berusaha agar tidak impor, tapi untuk beberapa bahan pangan ini mau tidak mau harus impor. Impor ini alokasi yang sudah ditentukan di awal tahun, ujarnya selepas rapat Ketahanan Pangan di Kantor Kementerian Perindustrian, Jumat (12/7).Seperti daging sapi, Gita berjanji realisasi impor cabe rawit dan bawang harus dilaksanakan pengusaha sebelum Lebaran. Mendag mengklaim pertemuannya hari ini bersama 30 asosiasi usaha bidang pangan telah membuahkan jaminan bahwa pelaku usaha bertekad memperbanyak pasokan.Secara sekilas, semuanya sepakat, pelaku usaha mendukung upaya apapun ketahanan pangan, tandasnya.Mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) ini berjanji mengurangi ketergantungan pada impor. Syaratnya, semua sektor pangan, dari bahan mentah hingga pangan olahan, pasokannya mencukupi di dalam negeri.Kita juga tidak mau ketergantungan terus pada impor. Saya sudah mengajak bicara para asosiasi usaha, kita sepakat produksi harus ditingkatkan, kata Gita.Pemerintah sedang mengebut realisasi impor beberapa bahan pangan untuk mengatasi lonjakan harga jelang Lebaran. Untuk daging 3.000 ton diharapkan datang dari Australia akhir bulan ini.Di sisi lain, komoditas bawang merah akan datang 16.781 ton pada pertengahan Juli, sebagai bagian dari total impor 19.000 ton yang sudah ditetapkan dari awal tahun. Cabe pun juga diimpor, direncanakan masuk 9.715 ton sebelum masuk Agustus buat menurunkan harga di pasaran yang terus melejit.sumber : mer

Penyebab Bahan Produk Pangan Impor MelambungSebanyak 70 persen bahan produk pangan berasal dari impor.dddRabu, 18 Juli 2012, 00:06Nur Farida Ahniar, Alfin Tofler

70 persen bahan produk pangan berasal dari impor(VIVAnews/Tri Saputro)BERITA TERKAIT

KPPU: Penyelidikan Kartel Daging Lebih Rumit Chairul Tanjung: Penuhi Pangan Nasional, Ekspansi ke Luar Negeri Hatta: Jangan Gegabah Sikapi Isu Kartel Pangan Dahlan Cium Gejala Tak Sehat di Kementerian Pertanian Amerika Adukan Aturan Kuota Impor Pangan RI ke WTOFollow usonVIVAnews- Gabungan pengusaha makanan dan minuman Indonesia (GAPMMI) menyatakan sebanyak 70 persen bahan produk pangan berasal dari impor. Sementara, untuk bahan tambahan pangan (BTP) yang ada Indonesia, 80 persen juga masih impor.

Wakil Ketua Umum Bidang Program dan Kerjasama GAPMMI, Lena Prawira, menjelaskan bahan pangan yang paling banyak diimpor adalah terigu dan gandum. Meski tak menyebutkan angka pasti, Lena menjelaskan hingga saat ini impor terigu masih lebih besar dibanding gandum.

Sementara untuk produk bahan tambahan pangan, meliputi sekuestran pewarna sintetik, pengeras, pengawet, antioksidan, pengatur keasaman, penyedap atau penguat rasa, pemutih, pemanis. Untuk produk lokal hanya pemanis saja yang cukup memiliki peran. Namun itu hanya sebatas gula tebu, bukan pemanis buatan. Sementara sisanya impor lebih mendominasi."Produk bahan tambahan pangan yang cukup baik dari dalam negeri adalah kecap, dan varian penyedap rasa," ujar dia saat dihubungi VIVAnews, Selasa, 17 Juli 2012.

Beberapa bahan produk pangan yang masih bisa bertahan adalah tepung terigu, meski sebagian kebutuhan masih diimpor. Produk lainnya yaitu tepung beras, cokelat, dan kopi.

Mayoritas pengusaha memilih impor bahan makanan karena tidak belum ada produksi dalam negeri. Sementara produk dari luar negeri menawarkan barang dengan pilihan lebih banyak. Bila pabrik lokal menyediakan, harus bersaing dengan produk impor dari segi kualitas dan harga.

Sedangkan untuk produk pangan jadi, presentase impor masih relatif kecil yaitu sekitar 20 persen dari keseluruhan produk pangan yang beredar. Namun beberapa tahun ini produk pangan jadi impor semakin banyak, terutama berasal dari Malaysia dan China.

Sementara dalam diskusi menyambut pelaksanaan Food Ingredients Asia 2012 Oktober mendatang, Lena menyampaikan kalangan pengusaha umumnya mendatangkan bahan pangan dari kawasan Eropa, Amerika, dan China. "Namun dari China, meskipun lebih murah kita masih bermasalah dengan sertifikasi halal," ujar Lena.

Padahal jika saja bahan baku pangan bisa diproduksi dan diperoleh dari dalam negeri, harga produk pangan di Indonesia bisa turun sampai kisaran 10-20 persen.

Lena mengungkapkan, para pengusaha produk pangan masih sering berhadapan dengan masalah impor. Selain tarif tinggi yang harus dibayarkan untuk produk yang didatangkan dari luar negeri, pengusaha makanan juga senantiasa berhadapan dengan ketidakpastian nilai tukar rupiah. Kedua hambatan itu yang membuat para pengusaha produk pangan ini menghadapi ketidakpastian harga.

Idealnya, ujar Lena, pemerintah membuka keran lebih lebar bagi para investor yang ingin mengalokasikan dananya untuk membangun pabrik bahan pangan. Langkah itu akan banyak membantu para pengusaha makanan dan minuman di tanah air.

"Tentu, jika ada produksi dalam negeri itu bisa lebih memberikan kepastian harga bahan pangan," kata dia

Industri pangan dalam negeri membutuhkan dukungan dari pemerintah baik sisi teknologi, insentif, pengurangan pajak atau infrastruktur. "Sejauh ini belum ada keberpihakan dari pemerintah untuk bahan pangan dan tambahan pangan ini," ujarnya.

Mengapa investasi bidang bahan pangan sedikit?

Direktur Southeast Asian Food & Agricultural Science and Technology (SEAFAST) Center Institut Pertanian Bogor Purwiyatno Hariyadi mengatakan Indonesia memiliki bahan melimpah dalam bahan-bahan untuk produk pangan (food ingredients). Namun ia heran mengapa tidak ada pihak tertarik untuk berinvestasi bidang food ingredients di Indonesia.

"Padahal dari semua segi Indonesia sangat siap. Dari segi bahan mentah kita berlimpah dan dari segi ahli itu juga bukan hal yang sulit" ujarnya di Jakarta, Selasa, 17 Juli 2012.

Ingredients adalah bahan-bahan yang digunakan untuk memproduksi pangan. Bahan-bahan itu bisa berupa bahan baku, bahan tambahan, dan bahan penolong.

Profesor rekayasa pangan ini menilai seharusnya Indonesia mampu untuk membuat pabrik yang memproduksi food ingredients. Dari sisi ilmu pengetahuan juga dipandang tidak sulit. Sedangkan Indonesia juga kaya akan bahan mentah. Ditambah keunikan khusus karena letak Indonesia yang merupakan daerah tropis.Ia mencontohkan seperti buah manggis memiliki potensi untuk dikembangkan karena kulitnya mengandung anti oksidan tinggi. Kulit manggis menghasilkan antioksiden 10 kali lebih banyak dari yang dihasilkan blueberry dan cherry. "Padahal di luar negeri blueberry dan cherry merupakan sumber antioksidan utama yang dipakai produk pangan," ujarnya.

Rendahnya investasi itu juga dikarenakan masih sedikit pengetahuan yang dimiliki investor dan pengusaha Indonesia terkait bidang ini. Keduanya belum mengetahui betapa besarnya keuntungan bisnis ini.

Impor Pangan, Perubahan Iklim, dan Kedaulatan PanganOleh:Hadiedi Prasaja10 September 2011 | 03:55 WIBJAKARTA. Rata-rata per tahun Indonesia mengeluarkan Rp 110 trilyun untuk impor pangan, sementara nilai pembiayaan pertanian dalam APBN hanya Rp 38,2 trilyun. Ketergantungan impor terus-menerus akan mempengaruhi penurunan produksi pangan dalam negeri.Berikut ini kutipan wawancaracsoforum.netdengan Elisha Kartini, staf Departemen Kajian Strategis Nasional Serikat Petani Indonesia.Menurut pengamatan dan analisis Anda, bagaimana kondisi kekuatan dan ketahanan pangan di Indonesia?Menurut saya, kondisi kekuatan dan ketahanan pangan di Indonesia saat ini sedang berada pada titik dimana jika tidak segera dilakukan perbaikan dapat menyebabkan ketergantungan bahkan kerawanan pangan. Dari sisi produsen pangan utama, petani dalam hal ini, jumlahnya masih sangat dominan di Indonesia. Berdasarkan sensus pertanian masih terdapat 25 juta rumah tangga petani, dengan rata-rata pertumbuhan 2,2% per tahun, bahkan 46% tenaga kerja masih bekerja di sektor pertanian, suatu jumlah yang sangat besar. Namun di sisi sumber daya pertanian seperti, tanah, air, benih, dan dukungan infrastruktur dan kebijakan pertanian justru menghambat produksi pertanian nasional. Alih fungsi lahan pertanian menjadi perkebunan monokultur (sawit khususnya), tambang dan infrastruktur sebesar 230.000 hektar per tahun akan mempengaruhi penurunan produksi pangan dengan cepat, pengusaan sumber daya air oleh sejumlah perusahaan swasta seperti di Sukabumi, Jawa Tengah dan beberapa daerah lain serta kondisi irigasi yang buruk juga mempengaruhi produksi dan produktifitas tanaman pangan. Di sisi lain kebijakan pertanian justru membuka pintu impor pangan besar-besaran, hal ini menurunkan insentif bagi petani untuk terus berproduksi, seperti contohnya pada petani kedelai yang sempat mengalami swasembada pada awal tahun 1990an namun mendapat gempuran kedelai impor murah membuat mereka kalah bersaing sehingga saat ini kita harus mengimpor 70% kebutuhan kedelai kita.Apakah menurut pendapat Anda, Indonesia saat ini dalam masalah besar terkait ketahanan pangannya? Dapatkah impor bahan pangan atau tergantungnya sebuah wilayah dengan wilayah lain dijadikan indikator keterancaman pangan di Indonesia? Indikator apa saja yang bisa menjadi rujukan sebuah Negara mengalami krisis atau terancam pangan?Ya, menurut saya ada sebuah masalah besar terkait ketahanan pangan di Indonesia, konsep ketahanan pangan sendiri yang cenderung tidak memandang bagaimana, dari mana dan siapa yang memproduksi pangan itu sendiri menjadi salah satu penyebab utama masalah pangan yang kita hadapi saat ini. Rata-rata per tahun Indonesia mengeluarkan Rp 110 trilyun untuk impor pangan, sementara nilai pembiayaan pertanian dalam APBN hanya Rp 38,2 trilyun. Jika biaya yang dikeluarkan untuk impor bisa dialihkan untuk membangun pertanian dalam negeri, perbaikan irigasi dan infrastruktur pertanian lainnya, menjaga stabilitas harga baik di tingkat produsen maupun konsumen tentu pertanian dalam negeri akan lebih berkembang. Ketergantungan impor terus-menerus akan mempengaruhi penurunan produksi pangan dalam negeri, dan ini akan menjadi sangat berbahaya karena kita tidak bisa mengontrol jika terjadi gejolak harga atau penurunan produksi di pasar internasional. Indonesia saat ini bukan mengalami krisis pangan, namun krisis harga pangan, krisis daya beli, karena walaupun pangan tersedia di pasaran namun banyak orang yang tidak bisa mengakses pangan tersebut. Hal ini menyebabkan 17,9% anak balita (5 juta jiwa) mengalami masalah gizi (Riset Kesehatan Dasar, 2010) dan umumnya di wilayah pedesaan.

Jika benar Indonesia mengalami krisis atau terancam ketahanan pangan, apa saja yang menyebabkan dan faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut?Sejumlah faktor yang mempengaruhi krisis harga pangan tersebut antara lain dipengaruhi oleh pilihan kebijakan pangan dan pertanian yang salah yang dilakukan pemerintah. Di dalam negeri pilihan untuk mengembangkan perkebunan dibandingkan tanaman pangan, menyebabkan Indonesia mengalami defisit perdagangan pangan dan peternakan 4,3 miliar US$ (Kementan dan BPS, 2009). Lahan-lahan pertanian dialih fungsikan menjadi perkebunan dan tambang, sementara petani tanaman pangan tidak mendapatkan dukungan untuk meningkatkan produksi maupun pendapatan mereka. Buruknya stabilisasi harga pangan yang hanya dibatasi pada beras, sementara berbagai komoditas pangan pokok lainnya diserahkan kepada pasar mempengaruhi daya beli masyarakat, saat ini 73% pengeluaran masyarakat khususnya menengah ke bawah dihabiskan untuk konsumsi pangan. Jika terjadi lonjakan harga sedikit saja dapat mendorong krisis pangan yang parah di dalam negeri. Sementara itu krisis iklim yang terjadi juga meningkatkan spekulasi harga pangan. Di sisi lain, buruknya penyerapan gabah petani menyebabkan pemerintah mengatakan stok beras nasional tidak cukup dan kita harus impor, padahal terjadi surplus produksi gabah sebesar 3,9 juta ton. Impor beras di saat petani panen, tentu akan menjatuhkan harga di tingkat petani. Jangan lupa petani bukan hanya produsen namun juga konsumen pangan, jika harga jatuh, tentu daya beli mereka pun akan berkurang.Menurut pendapat saudara, seberapa besar pengaruh atau dampak perubahan iklim terhadap situasi dan kondisi tersebut di atas?Perubahan iklim menjadi salah satu pemicu peningkatan spekulasi pangan beberapa tahun terakhir. Akibat kondisi iklim yang tidak stabil berpengaruh pula pada produksi pangan, walaupun hingga hari ini produksi pangan dunia sesungguhnya masih mencukupi untuk memenuhi kebutuhan pangan populasi dunia, namun produksi ini tidak merata. Di satu sisi sejumlah daerah memiliki penurunan produksi, di sisi lain sejumlah daerah juga mengalami peningkatan produksi seperti misalnya lading/sawah tadah hujan yang bisa tanam 2-3 kali akibat peningkatan curah hujan. Ketidakstabilan dan tidak meratanya produksi pangan, menjadi ajang spekulasi yang menguntungkan bagi para pemilik modal. Masih kita ingat lonjakan harga beras hingga 30%, harga cabe naik hingga 120% di awal tahun ini karena terjadi sedikit penurunan produksi sementara di tingkat petani harganya relatif tetap.Lebih lanjut perubahan iklim juga menimbulkan keresahan akan krisis energi dan upaya mencari energibaru yang bisa dikatakan lebih hijau hal ini mengarah pada pengembangan agrofuel/biofuel dari beberapa jenis tanaman sebagai bahan baku energy alternative ini. Hal ini sempat menimbulkan goncangan dan disebut sebagai salah satu pemicu utama krisis pangan global 2007-2008 yang lalu, hal ini menimbulkan kompetisi yang tidak adil antara manusia dan mesin dalam memperebutkan sejumlah tanaman yang umumnya menjadi bahan pangan atau bahan baku makanan yang dijadikan sebagai sumber energy alternative, singkong, jagung, minyak sawit dan jarak adalah beberapa diantaranya.Masih kita ingat ketika harga kedelai melonjak tinggi di dalam negeri ketika Amerika Serikat mengganti ladang-ladang kedelainya dengan jagung untuk ethanol sementara kita mengimpor sebagian besar kedelai dari sana. Atau antrian minyak goreng, padahal Indonesia adalah pengimpor CPO terbesar dunia karena 80% CPO kita di ekspor ke Cina, India dan Uni Eropa untuk diolah menjadi biodiesel.Bagaimana pendapat Anda berkaitan dengan respon pemerintah? Apakah sudah cukup sinergis kebijakan dan arah pembangunan di Indonesia yang mengkaitkan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dengan membangun ketahanan pangan? Apakah proyek MIFEE, misalnya, merupakan alternative atau trobosan dalam menjawab ancaman krisis pangan?Sangat disayangkan bahwa di tengah kondisi ini, ketika sejumlah negara terang-terangan melakukan proteksi untuk mengamankan kebutuhan pangan dalam negerinya, Indonesia justru melakukan langkah sebaliknya. Tidak ada kesinergisan dalam mengaitkan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim khususnya di sektor pangan. Walau pemerintah menyatakan moratorium bagi pembukaan lahan baru kelapa sawit, namun fakta di lapangan pembukaan lahan tetap berlanjut, di Jambi misalnya alih fungsi lahan pangan menjadi kebun kelapa sawit tahun 2010 lalu seluas 75. 560 hektar, sementara di Sumatra Utara terjadi alih fungsi seluas 278.560 hektar. Di sisi lain, lahan-lahan petani dihancurkan karena dinyatakan sebagai daerah konservasi, seperti yang terjadi di NTT, Jambi dan Sumatra Selatan.Proyek MIFEE ataupun rencana food estate lainnya justru menimbulkan masalah yang lebih besar, model food estate yang dikembangkan secara industri monokultur akan merusak biodiversitas di suatu wilayah dan sistem pertanian agribisnis, monokultur skala luas hanya akan semakin mendorong komodifikasi pangan. Rakyat justru semakin dijauhkan dari penguasaan mereka atas sumber-sumber pangan. Sementara itu inisiatif-inisiatif yang dikembangkan petani untuk beradaptasi dengan perubahan iklim hampir tidak pernah mendapat perhatian dari pemerintah baik dalam dukungan finansial maupun kebijakan.Indonesia memiliki biodervitas pangan tinggi. Kita juga sering mendengar (dulu) berbagai contoh suku/komunitas dengan beragam jenis pangan. Jagung sebagai makanan pokok komunitas Madura, Sagu komunitas Maluku, Umbi komunitas Papua dll. Namun saat ini, biodiversitas jenis pangan semakin memudar, bahkan punah. Digantikan oleh satu jenis pangan; beras. Bagaimana pendapat anda tentang penyempitan makna jenis bahan pangan oleh satu komoditas?Penyempitan bahan makanan menjadi satu komoditas akan menyebabkan ketahanan pangan masyarakat menjadi lebih rentan terhadap perubahan yang mendadak. Akan lebih sulit untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan pangan (beras) bagi ratusan juta penduduk Indonesia yang terus bertambah. Sementara itu sentra produksi beras pun semakin berkurang ditambah dengan kondisi iklim yang tidak stabil yang menyebabkan semakin sulit untuk menjamin kecukupan produksi pada setiap musim panen.Bagaimana pendapat Anda Isu Keadilan keadilan iklim jika dikaitkan dengan kedaulatan pangan?Kedaulatan pangan dan keadilan iklim memiliki kaitan yang erat, itulah mengapa SPI dan La Via Campesina di tingkat internasional menyatakan bahwa krisis iklim adalah krisis pangan dan pertanian pangan berkelanjutan yang dilakukan oleh keluarga-keluarga petani berperan mendinginkan bumi. Sistem pangan global saat ini yang dikembangkan secara monokultur dengan model industri menyumbang 44-57% dari total emisi GRK (GRAIN, 2008), terbesar disumbangkan dari industri pengepakan dan transportasi pangan lintas benua yang menyumbang 15-20% emisi yang dilakukan oleh negara-negara utara ke selatan. Itulah mengapa kedaulatan pangan erat kaitannya dengan keadilan iklim, kedaulatan pangan yang menekankan pada produksi pangan lokal, untuk mengurangi food miles atau jarak tempuh pangan dari produksi ke konsumsi serta mengembalikan kesuburan dan organisme tanah melalui pertanian organik bisa mendorong pengurangan emisi GRK.Menurut pendapat Anda, apakah kedaulatan pangan lokal dapat berkontribusi signifikan terhadap ketahanan pangan nasional? Apakah meraka (komunitas lokal) cukup siap menghadapi dampak perubahan iklim untuk menunjang ketahanan pangan tersebut?Saya percaya produksi pangan lokal masih berkontribusi signifikan bagi pemenuhan pangan masyarakat. Komunitas lokal memiliki kreatifitas untuk mempertahankan produksi, karena hidup mereka juga bergantung dari hal tersebut. Seperti yang terjadi di Sumatra Selatan misalnya para petani yang hidup di lebak lebung melakukan pertanian terapung dengan menanam padi di atas rumbia yang terapung di atas air. Atau bagaimana para petani secara mandiri melakukan pemilihan benih yang lebih tahan terhadap kekeringan atau hama seperti yang dilakukan petani-petani padi di Jawa Tengah dan Jawa Timur.Upaya apa yang bisa dilakukan; strategis maupun teknis dalam mensikapi dan mengatasi krisis tersebut?Dari Pemerintah, upaya yang harus dilakukan adalah memberikan dukungan. Baik dalam bentuk pelatihan tekhnis melalui sekolah-sekolah iklim bagi para petani ataupun asuransi kegagalan panen akibat perubahan iklim kepada petani. Memberikan insentif dengan kepastian harga produksi yang juga menguntungkan bagi mereka untuk tetap bisa berproduksi di tengah kondisi alam yang berubah. Secara sungguh-sungguh menghentikan alih fungsi lahan-lahan pertanian khususnya tanaman pangan bagi peruntukan lainnya. Organisasi tani juga terus melakukan pelatihan atau tukar menukar pengetahuan dan ketrampilan tekhnis pertanian yang dapat lebih tahan menghadapi perubahan iklim. Perlu ada kerjasama antara pemerintah dan organisasi tani yang lebih taktis untuk mencapai kedaulatan pangan nasional.

MENGAPA INDONESIA HARUS IMPOR BERAS ?MENGAPA INDONESIA HARUS IMPOR BERAS ?Oleh :Zainal ArifinCadangan Beras PemerintahKomoditi beras memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia dipandang dari aspek ekonomi, tenaga kerja, lingkungan hidup, sosial, budaya dan politik. Masalah beras bukan hal yang sederhana dan sangat sensitif sehingga penangannya harus dilakukan secara hati-hati. Kesalahan yang dilakukan dalam kebijaksanaan perberasan akan berdampak tidak saja pada kondisi perberasan nasional tetapi juga pada berbagai bidang lain yang terkait.Bencana alam dan bencana sosial yang tidak dapat diprediksi ada di setiap tahun. Musim kering pada setiap tahun mengakibatkan sebagian masyarakat mengalami rawan pangan. Mereka butuh bantuan pangan (terutama beras). Pangan tersebut tersedia, namun akibat bencana tersebut, mereka tidak mampu memperolehnya, sebab tidak memiliki dana untuk membelinya.Di sisi lain, pemerintah menetapkan Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP) untuk komoditi gabah dan beras dengan tujuan untuk memberikan jaminan harga bagi produk pertanian yang dihasilkan petani. Ada masa panen dan masa paceklik dalam produksi ini. Pada waktu panen, gabah/beras melimpah di pasaran sehingga BULOG ditugaskan untuk menyerap sebagian hasil produksi petani melalui pengadaan dalam negeri sehinga harga gabah tidak terancam. Dan di waktu paceklik, produksi menurun, pasar kekurangan beras, BULOG ditugaskan untuk menambah suplai beras melalui operasi pasar. Dengan adanya penetapan HDPP, maka BULOG harus membeli gabah/beras sesuai HDPP. Sementara itu di pasar dunia, harga beras impor cenderung menurun dengan pelepasan stok yang cukup besar dari negara-negara produsen. Dengan lemahnya pengawasan terhadap impor, terjadi pemasukan impor beras ilegal yang tidak terkendali dengan harga yang lebih murah dibanding HDPP. Rendahnya harga beras di pasar dalam negeri dan terbatasnya kemampuan BULOG untuk menyerap kelebihan pasar(marketed surplus)mengakibatkan petani tidak lagi menikmati besarnya pendapatan yang sejalan dengan kenaikan harga-harga input produksinya. Beras impor telah menjadi penentu harga beras yang dominan. Dengan demikian, pasar yang diandalkan oleh petani adalah pengadaan BULOG. Namun BULOG sebagai institusi yang diperintahkan untuk mengamankan HDPP, mempunyai keterbatasan untuk membeli karena kecilnya penyaluran/outlet untuk beras yang ada di gudang BULOG.Dengan pengadaan yang terkonsentrasi pada panen raya (periode Peb - Mei) dengan jumlah pengadaan 60% dari keseluruhan pengadaan, mengakibatkan beras yang telah masuk di gudang BULOG harus disimpan selama berbulan-bulan sebelum disalurkan. Relatif besarnya pemasukan saat panen terhadap penyaluran menyebabkan jumlah stok yang disimpan menjadi besar dan berpengaruh pada besarnya bunga yang harus dibayarkan oleh BULOG. Selain itu juga akan berakibat pada perubahan kualitas gabah/beras tersebut yang cenderungmenurun.Dalam rangka ketahanan pangan dan untuk situasi darurat (bencana alam dan bencana sosial), pemerintah perlu memiliki stok pangan (beras) yang dapat dengan segera didistribusikan. Selama ini, untuk keperluan darurat, pemerintah mengambil stok beras yang ada di BULOG. Pemerintah harus mengeluarkan dana untuk membayar beras tersebut. Hal ini menjadi tidak fleksible karena dana tersebut mungkin belum tersedia atau prosesnya lama sementara keadaan di lapangan menuntut kecepatan penyediaan beras. Untuk itu pemerintah perlu memiliki stok yang dapat setiap saat disalurkan sesuai keinginan, pemerintah dimana stok tersebut dikelola oleh BULOG sebagai sebuah institusi pemerintah yang selama ini telah menangani beras.Dengan adanyastock di gudang BULOG banyak manfaat yang diperoleh baik untuk pemerintah, Institusi BULOG maupun masyarakat umum. Bagi pemerintah dengan adanya stock, pemerintah memiliki stok pada jumlah tertentu yang selalu tersedia setiap waktu dan setiap tempat. Dengan adanya stok tersebut, apabila sewatu-waktu pemerintah memerlukan seperti untuk mengatasi dampak bencana alam, bencana sosial, kelaparan/rawan pangan maupun untuk operasi, keamanan dalam rangka mempertahankan keutuhan wilayah NKRI, hanya perlu menugaskan kepada BULOG untuk menyalurkan beras pada wilayah tertentu tanpa harus mengeluarkan dana. Dalam hal ini penugasan penyaluran beras tersebut dapat dikeluarkan oleh Menko Kesra.Hilangnya Lahan SawahTerdapat kecenderungan bahwa konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian mengalami percepatan.Dari tahun 1981 sampai tahun 1999 terjadi konversi lahan sawah di Jawa seluas 1 Juta ha di Jawa dan 0,62 juta ha di luar Jawa. Walaupun dalam periode waktu yang sama dilakukan percetakan sawah seluas 0,52 juta ha di Jawa dan sekitar 2,7 juta ha di luar pulau Jawa, namun kenyataannya percetakan lahan sawah tanpa diikuti dengan pengontrolan konversi, tidak mampu membendung peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap beras impor. Selain itu, konversi lahan pertanian juga menyebabkan hilangnya berbagai multifungsi pertanian lainnya (selain ketahanan pangan), terutama fungsi lingkungan.Lahan sawah mempunyai arti yang terpenting dalam menentukan ketahan pangan nasional. Ketahanan pangan meliputi aspek ketersediaan bahan pangan, aksesibilitas masyarakat terhadap bahan pangan, dan keamanan pangan (food safety). Lebih dari 90% beras yang dikonsumsi di Indonesia dihasilkan di dalam negeri, dan sekitar 95% dari beras dalam negeri tersebut dihasilkan dari lahan sawah. Kekurangan kebutuhan beras selama ini dipenuhi dengan beras impor. Jaminan ketersediaan beras impor lebih rendah dibandingkan dengan ketersediaan beras di dalam negeri. Selain ditentukan oleh kondisi produksi dari negara pengekspor, hubungan bilateral antara negara pengekspor dengan Indonesia serta keamanan regional menentukan ketersediaan beras impor. Berbeda dengan beras di dalam negeri yang dihasilkan sampai di daerah terpencil, distribusi beras imporlebih terbatas. Adanya impor tidak menjamin peningkatan aksebilitas penduduk di daerah terpencil terhadap beras, akan tetapi areal produksi beras yang tersebar lebih menjamin ketersediaan beras sampai kepelosok tanah air. Selain itu, jaminan keamanan (food safety) untuk bahan pangan yang diproduksi di dalam negeri mungkin lebih baik dibandingkan dengan pangan yang diimpor. Atau sekurang-kurangnya kita lebih mengerti bagaimana bahan pangan diproduksi di dalam negeri. Namun kita tidak tahu, pada lahan yang bagaimana beras impor diproduksi dan apakah sistem produksinya aman untuk kesehatan ?Penulis :ZAINAL ARIFINKelas XII IA 1SMA NEGERI 2 SRAGENJl. Anggrek No. 34 Sragen 57212Telphone (0271) 891215

Dampak Impor Pangan bagi Kehidupan MasyarakatIndonesia7 Juni 2010balipaperTinggalkan KomentarGo to commentsOleh: Fitri PurwantiKrisis pangan yang dihadapi bangsa Indonesia selama ini selalu diatasi dengan melaksanakan kebijakan impor. Kebijakan impor sebagai suatu kebijakan jangka pendek tentunya memiliki dampak terhadap bangsa Indonesia secara ekonomi maupun sosial.Dampak yang diterima bangsa Indonesia adalah pengeluaran devisa negara yang cukup besar untuk melaksanakan impor. Hal ini berarti bangsa Indonesia telah memberikan penghidupan bagi petani negara lain, sedangkan bagi petani dalam negeri tidak. Suatu hal yang ironis bagi sebuah negara agraris yang luas dan kaya seperti Indonesia.Dengan melaksanakan kebijakan impor produk pertanian dalam negeri tidak mampu bersaing dengan produk pertanian luar negeri. Sebagai contoh dalam komoditas kedelai, gandum, dan beras. Saat ini apabila ada kesenjangan antara ketersediaan pangan dan kebutuhan akan pangan, maka sudah dapat dipastikan pemerintah akan mengutamakan melaksanakan kebijakan impor. Misalnya, pada kebutuhan akan kedelai. Kebutuhan akan kedelai selalu mengalami peningkatan tiap tahunnya. Diperkirakan tiap tahunnya kebutuhan akan biji kedelai adalah kurang lebih 1,8 juta ton dan bungkil kedelai sebesar 1,1 juta ton. Guna memenuhi kebutuhan maka pemerintah melaksanakan kebijakan impor.Impor kedelai ini menyebabkan petani dalam negeri sulit untuk bersaing karena murahnya harga kedelai impor. Perlu diketahui dalam rangka pemenuhan akan kedelai , kita harus mengimpor kurang lebih 60% dari luar negeri.Pada komoditas gandum, kini negara Indonesia telah menjadi negara pengimpor gandum terbanyak di dunia, melalui MNC (multi national corporation) yaitu sebesar 2,5 juta ton. Untuk mengimpor gandum sebanyak itu diperlukan dana hampir Rp 8 triliun/tahun dan hal itu telah menguras devisa negara yang ada. Pada era liberalisasi ini pemerintah telah mengeluarkan kebijakan perdagangan dengan memurahkan gandum. Tidakkah pemerintah menyadari betapa buruk dampak yang ditimbulkan dari kebijakan tersebut? Sebagai negara berkembang kita bisa saja ikut serta dalam liberalisasi perdagangan, apabila liberalisasi tersebut mampu mendorong berkembangnya agroindustri, harga membaik, produktivitas produk ekspor meningkat ,upah riil naik dan tercipta lapangan kerja karena dorongan ekspor. Kini masyarakat Indonesia cenderung menjauhi produk lokal dan lebih menjatuhkan pilihannya pada produk impor seperti gandum impor ini. Jelas saja mereka lebih memilih gandum impor daripada sagu, ketela pohon, jagung atau produk lokal lainnya, hal ini disebabkan harga gandum yang lebih murah daripada harga sagu, jagung, ketela pohon dan produk lokal lainnya. Indonesia akan mengalami kesulitan diversifikasi pangan dan mendorong peningkatan produksi terutama dalam membangun agroindustri pangan non gandum guna investasi masa depan.Masalah terkait lainnya yakni impor beras. Perlu kita akui disini, beras merupakan makanan pokok rakyat Indonesia. Dari balita hingga akhir hayat pun kita pasti akan mengkonsumsi beras (nasi). Itu dikarenakan kebiasaan kita yang memang sangat sulit untuk dirubah. Mungkin karena kesulitan itulah , sebagian besar rakyat Indonesia tidak akan pernah dan tidak akan mau untuk menggantikan posisi beras dalam kehidupan pangan mereka. Dengan stok yang tidak mencukupi maka hal ini akan menimbulkan ketimpangan hingga akhirnya satu-satunya jalan yang dapat ditempuh adalah dengan impor beras.Belakangan ini kebijakan impor sering dijadikan ajang untuk memperoleh untung bagi pihak-pihak yang tidak bartanggung jawab. Pemerintah selalu mengemukakan alasan yang sama terhadap munculnya kebijakan impor beras dari tahun ketahun yaitu untuk stabilisasi harga dan pemenuhan stok beras bulog yang tidak mencapai satu juta ton. Perihal ini telah menimbulkan reaksi keras dari banyak kalangan. Misalnya, Mochamad Maksur, beliau adalah peneliti pada Pusat studi pedesaan dan kawasan Universitas Gajah Mada. Mochamad Maksur mengatakan langkah impor yang diambil oleh pemerintah merupakan publik sembronoKisaran harga beras dipasar internasional saat ini 14% lebih murah dibandingkan harga dalam negeri, dan keikutsertaan Indonesia dalam WTO memaksa pengurangan pajak bea cukai , termasuk untuk produk pertaniaan. Harga beras impor yang murah karena tidak terkalibrasi oleh pajak impor akan menyeret harga beras dalam negeri menjadi murah. Kemungkinan turunnya harga beras inilah yang menjadi tujuan pemerintah. Di satu sisi hal ini meringankan konsumen namun di sisi lain kebijakan ini selalu merugikan petani. Turunnya harga beras mengakibatkan tidak tertutupnya biaya produksi petani beras, illegal dalam jumlah besar. Hal ini tentu saja akan membuata harga beras lokal akan semakin kompetitip. Dan lagi-lagi pihak yang sangat dirugikan adalah petani.Pemerintah seharusnya memahami peranan pangan dalam negeri yang sesunguhnya. Pangan dalam negeri sangat berperan dalam mengatasi kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, pendorong berkembangnya agroindustri pembangunan desa, yang tak kalah pentinnya pangan dapat mensuplai energy /protein serta serat-serat bagi masyarakat. Apabila kita bandingkan dengan pangan impor peran pangan dalam negeri sifatnya lebih kompleks dan lebih penting. Pangan impor tidak bisa mensubstitusi pangan lokal secara keseluruhan dan sempurna , terbatas pada penyesuaian suplai energy saja. Oleh karena begitu pentingnnya peran pangan dalam negeri kita , warga negara Indonesia wajib mempertahankannya. Mampu mempertahankan keberadaan pangan dalam negeri,berarti kita juga mampu mempertahankan kedaulatan Indonesia yang telah merdeka sejak 62 tahun yang lalu. Karena salah satu aspek dalam mempertahankan kedaulatan adalah pemenuhan kebutuhan dasar penduduknya, yaitu pangan. Seperti yang kita ketahui , sejak tahun 1984 berlalu Indonesia selalu mengimpor atau memasok pangan dari luar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Hal ini merupakan suatu hal yang harus dihentikan, memang impor itu perlu dilakukan . Akan tetapi, ide untuk menyandarkan atau menggantungkan kebutuhan dasar (pangan ) pada negara lain secara terus menerus akan berdampak sangat buruk bagi kedaulatan bangsa. Apabila hal tersebut terus berlangsung, maka sedikit demi sedikit dan tak langsung, kita telah mengikis kedaulatan bangsa kita.artinya kita secara tak sengaja telah membuat bangsa kita terjajah oleh bangsa lain (negara pengekspor). Itu tidak lain dikarenakan kita selau tergantung kepada mereka.