indonesia dominasi transaksi di singapore airshow 2012 · pdf filetetapi beruntung kawasan...

9
Indonesia Dominasi Transaksi Di Singapore Airshow 2012 Meski Merah-Putih tidak terlihat berkibar pada deretan tiang bendera negara peserta pameran, justru Indonesia mendominasi pembelian pesawat, sekaligus menjadi penyumbang terbesar bagi kontrak pembelian bernilai lebih dari 31 milyar dolar AS yang ditandatangani pada empat hari trade days Singapore Airshow 2012. Nilai kontrak pembelian tersebut merupakan di luar perkiraan penyelenggara pameran Experia Events, tiga kali lipat dari pameran 2010 yang digelar dua tahun lalu. Dengan posisi tersebut, Singapore Airshow masih tetap menjadi panggung pameran kedirgantaraan tiga besar dunia setelah Paris Airshow dan Dubai Airshow. Di luar dugaan sebab penyelenggara tidak muluk mengestimasi nilai kontrak 10 milyar dolar AS yang diraup tahun 2010. Target ini didasarkan situasi ekonomi dunia yang melesu dua tahun terakhir terutama di belahan bumi AS dan Eropa, tetapi beruntung kawasan Asia Pasifik kurang terpengaruh. Sebagai pembanding Dubai Airshow November 2011, menghimpun nilai kontrak lebih dari 63 miliar dolar AS. Kontrak-kontrak besar diumumkan di antaranya oleh pabrik pesawat Boeing, Airbus, ATR, pabrik mesin Pratt & Whitney, Roll-Royce dan CFM. Namun yang terbesar digelontorkan oleh maskapai Indonesia. Lion Air yang mencuri perhatian pada hari pertama (kebetulan jatuh pada hari Valentine 14 Februari) sekaligus melambangkan cintanya pada produk pabrik pesawat AS dengan mengukuhkan kontrak senilai 22,4 miliar dolar AS pembelian 201 Boeing 737 MAX dan 29 Boeing 737-900ER. Kontrak terbesar ini merupakan kelanjutan dari MoUBoeing-Lion yang ditandatangani di Bali 18 November 2011 lalu yang disaksikan Presiden Barrack Obama. Dengan pesanan tersebut, Lion akan menjadi maskapai penerbangan Asia pertama yang mengoperasikan 737 MAX pada 2017, yakni pesawat irit bahan bakar pesaing langsung Airbus A320Neo bermesin teknologi pesaing langsung Airbus A320Neo bermesin teknologi pesaing langsung Airbus A320Neo bermesin teknologi mutakhir geared turbofan yang dipesan Garuda Indonesia. Dua hari kemudian Rusdi Kirana, pendiri dan pemilik maskapai berbiaya murah Lion Air meneken kontrak pembelian 27 pesawat turboprop ATR 72-600 senilai 610 juta dolar AS. Menjadikan total pesanan Lion untuk jenis pesawat komuter ini menjadi 60 unit, yaitu 33 pesawat dipesan pada 2009 dan 2011 dioperasikan Wing Air, anak perusahaannya. Pesanan Lion lainnya, empat nine- seater Hawker 900XP business jet produk Hawker Beechcraft Corporation senilai 64 juta dolar AS. Dua di antaranya akan diterima pada kuartal kedua dan ketiga tahun ini, sisanya akan datang tahun depan. Bizjet 900XP akan menjadi tulang punggung dari perusahaan baru Space Jet yang didirikan Lion Air khusus untuk sektor penyewaan pesawat bagi para VIP dan pengusaha yang bukan saja membutuhkan transporasi tetapi juga fleksibilitas. Pesanan besar-besaran Lion Air ini merupakan program ekspansi low cost carrier (LCC) Indonesia dalam ambisinya melayani penerbangan ke negara- negara Asean, Australia, dan China. Tahun depan akan membuka hub baru di Batam dan Manado, baik bagi penerbangan domestik maupun interna- sionalnya. Garuda pilih CRJ-1000 Secara terpisah, di chalet Bombardier Aerospace, Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar menambah nilai pembelanjaan Indonesia, bersama CEO Guy Hachey menekenkan kontrak pembelian 18 pesawat 100 seater CRJ-1000 Next Generation senilai 10 Angkasa, Maret 2012 “Hal ini dimungkinkan oleh besar - nya wilayah Indonesia, letaknya yang strategis di antara dua benua dan dua samudera, jumlah penduduk yang besar dan potensi ekonominya yang tinggi”

Upload: vantruc

Post on 23-Feb-2018

232 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Indonesia Dominasi Transaksi Di Singapore Airshow 2012

Meski Merah-Putih tidak terlihat berkibar pada deretan tiang bendera negara peserta pameran,

justru Indonesia mendominasi pembelian pesawat,

sekaligus menjadi penyumbang terbesar bagi

kontrak pembelian bernilai lebih dari 31 milyar dolar AS yang ditandatangani pada empat hari trade

days Singapore Airshow 2012.

Nilai kontrak pembelian tersebut merupakan di luar perkiraan penyelenggara pameran Experia

Events, tiga kali lipat dari pameran 2010 yang

digelar dua tahun lalu. Dengan posisi tersebut, Singapore Airshow masih tetap menjadi panggung

pameran kedirgantaraan tiga besar dunia setelah

Paris Airshow dan Dubai Airshow.

Di luar dugaan sebab penyelenggara tidak muluk mengestimasi nilai kontrak 10 milyar dolar

AS yang diraup tahun 2010. Target ini didasarkan

situasi ekonomi dunia yang melesu dua tahun terakhir terutama di belahan bumi AS dan Eropa,

tetapi beruntung kawasan Asia Pasifik kurang

terpengaruh. Sebagai pembanding Dubai Airshow November 2011, menghimpun nilai kontrak lebih dari

63 miliar dolar AS.

Kontrak-kontrak besar diumumkan di antaranya

oleh pabrik pesawat Boeing, Airbus, ATR, pabrik mesin Pratt & Whitney, Roll-Royce dan CFM.

Namun yang terbesar digelontorkan oleh maskapai

Indonesia. Lion Air yang mencuri perhatian pada hari pertama (kebetulan jatuh pada hari Valentine

14 Februari) sekaligus melambangkan cintanya

pada produk pabrik pesawat AS dengan

mengukuhkan kontrak senilai 22,4 miliar dolar AS pembelian 201 Boeing 737 MAX dan 29 Boeing

737-900ER. Kontrak terbesar ini merupakan

kelanjutan dari MoUBoeing-Lion yang ditandatangani di Bali 18 November 2011 lalu yang

disaksikan Presiden Barrack Obama. Dengan

pesanan tersebut, Lion akan menjadi maskapai penerbangan Asia pertama yang mengoperasikan

737 MAX pada 2017, yakni pesawat irit bahan

bakar pesaing langsung Airbus A320Neo bermesin

teknologi pesaing langsung Airbus A320Neo

bermesin teknologi pesaing langsung Airbus A320Neo bermesin teknologi mutakhir geared

turbofan yang dipesan Garuda Indonesia.

Dua hari kemudian Rusdi Kirana, pendiri dan

pemilik maskapai berbiaya murah Lion Air meneken kontrak pembelian 27 pesawat turboprop

ATR 72-600 senilai 610 juta dolar AS. Menjadikan

total pesanan Lion untuk jenis pesawat komuter ini menjadi 60 unit, yaitu 33 pesawat dipesan pada

2009 dan 2011 dioperasikan Wing Air, anak

perusahaannya. Pesanan Lion lainnya, empat nine-seater Hawker 900XP business jet produk Hawker

Beechcraft Corporation senilai 64 juta dolar AS.

Dua di antaranya akan diterima pada kuartal kedua

dan ketiga tahun ini, sisanya akan datang tahun depan. Bizjet 900XP akan menjadi tulang punggung

dari perusahaan baru Space Jet yang didirikan Lion

Air khusus untuk sektor penyewaan pesawat bagi para VIP dan pengusaha yang bukan saja

membutuhkan transporasi tetapi juga fleksibilitas.

Pesanan besar-besaran Lion Air ini merupakan program ekspansi low cost carrier (LCC) Indonesia

dalam ambisinya melayani penerbangan ke negara-

negara Asean, Australia, dan China. Tahun depan

akan membuka hub baru di Batam dan Manado, baik bagi penerbangan domestik maupun interna-

sionalnya.

Garuda pilih CRJ-1000

Secara terpisah, di chalet Bombardier Aerospace, Direktur Utama Garuda Indonesia Emirsyah Satar

menambah nilai pembelanjaan Indonesia, bersama

CEO Guy Hachey menekenkan kontrak pembelian 18

pesawat 100 seater CRJ-1000 Next Generation senilai

10

Angkasa, Maret 2012

“Hal ini dimungkinkan oleh besar-

nya wilayah Indonesia, letaknya yang

strategis di antara dua benua dan dua

samudera, jumlah penduduk yang besar

dan potensi ekonominya yang tinggi”

1,32 miliar dolar AS, dengan opsi 18 unit lainnya. Lima CRJ-1000 pertama buatan pabrik pesawat

Kanada ini, akan diterima Garuda antara Oktober

dan Desember 2012 untuk mendukung rencana

perluasan jaringan penerbangannya, terutama pada jalur padat dan jarak sedang/pendek domestik dan

regional pada hub Balikpapan, Makassar dan medan

akhir tahun 2012 ini. “Pesawat ini nantinya akan dioperasikan

melalui hub Makassar, Medan, dan Balikpapan

untuk meningkatkan connectivity kota-kota di sekitar ketiga hub tersebut sehingga akan semakin

memperkuat jaringan/network Garuda Indonesia

secara keseluruhan,” jelas Emirsyah Satar seusai

mengukuhkan pesanan CRJ-1000. Ditambahkan selain itu, pesawat ini juga akan meningkatkan

efisiensi Garuda karena hemat bahan bakar hingga

30 %. Selain CRJ-1000, Garuda menandatangani

kontrak pengadaan 25 pesawat irit bahan bakar

A320Neo dengan Royal Bank of Scotland di chalet Airbus, bank yang mendukung finansial pembelian

produk pabrik Eropa Airbus tersebut. Pesawat

A320Neo dibeli Garuda untuk Citilink, terdiri dari

15 A320 Classic dan 10 A320Neo dengan opsi 25 unit lainnya. Sementara itu di booth Garuda

Maintenance Facility AeroAsia, pusat perawatan

milik Garuda ini berhasil meraup 12 kontrak bernilai sekitar 150 juta dolar AS.

Merpati Nusantara menambahkan jumlah

transaksi maskapai Indonesia dengan membeli

40 pesawat ARJ 21-700 buatan China. Sedang Susi Air menambah lagi nilai kontrak

pembelian dengan pesanan lima Cessna 208

Grand Caravan, dua Citation Sovereign Empat Pilatus PC6 Turbo-Porter dan dua PC6

Turbo-Porter dan dua Piaggio Avanti II, serta berminat membeli lima pesawat Viking Twin Otter

atau RUAG Dornier 228NG.

Daftar pembelanjaan Indonesia di Singapore

Air Show termasuk pembelian sembilan pesawat angkut ringan militer C295 buatan pabrik Airbus

Military oleh pemerintah RI untuk TNI AU.

Kontrak pengadaan pesawat militer ini bernilai 325 juta dolar AS, tiga di antaranya akan dipasok

langsung oleh Airbus Military dari pabriknya di

Seville, Spanyol, sisanya akan dirakit/dibuat di pabrik Dirgantara Indonesia di Bandung, Jawa

Barat.

Kontrak pengadaan C295 ini ditandatangani

bersama oleh Presiden dan CEO Airbus Military Domingo Urena-Raso dengan Direktur Utama PT

Dirgantara Indonesia Budi Santoso, kemudian

antara PT DI dengan Kementerian Pertahanan RI disaksikan oleh Menhan Purnomo Yusgiantoro dan

Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono.

“Pesawat C295 mampu menyediakan kapasitas yang ideal untuk menjawab kebutuhan transporasi

misi militer maupun kemanusiaan masa kini dan

masa yang akan datang dengan biaya yang efektif,

juga menciptakan pekerjaan yang memerlukan keterampilan yang tinggi dan transfer teknologi,” kata

menteri. “Sekitar 40 sampai 60 % terdapat komponen

local content pada pesawat ini,” jawab Budi Santoso kepada Angkasa. Pesawat angkut ringan ini

merupakan modifikasi dari pesawat rancang bersama

IPTN (sekarang PT DI) dengan CASA (sekarang

Airbus Military) CN235 di mana Indonesia memasok 60 % komponennya. Kelanjutan dari pembelian ini,

C295 nantinya akan diproduksi di Indonesia secara

coproduction dengan Airbus Military.

Pesawat bukan buatan Airbus atau Boeing, Bombardier

CRJ-1000 dari Kanada, digunakan oleh Garuda untuk

kapasitas penumpang di bawah 100 orang

11

12

Kita peduli …

Ketika menyaksikan perkembangan dunia transportasi

penerbangan sipil, yang semakin luas jangkauan operasi,

semakin tinggi faktor keselamatan,

kenyamanan serta pelayanannya ...

Yang hanya dapat diwujudkan dengan pesawat-pesawat transpor

semakin canggih berdasarkan perancangan berteknologi maju

didukung riset dan pengembangan secara berkelanjutan,

oleh industri bermanajemen mutakhir.

Kita peduli ... karena kita bukan hanya penonton dari

perkembangan tersebut, kita adalah pengguna.

Bagian dari perluasan luar biasa armada maskapai

nasional kita* seiring perkembangan transportasi udara,

potensi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang menjanjikan.

Kita juga perlu peduli ... dengan apa yang sudah kita miliki:

industri pendidikan teknologi, usaha-usaha bidang

perawatan pesawat, enjin, industri permesinan, bidang-bidang

terkait lainnya, dan ... industri pesawat terbang PT DI!

Seluruhnya perlu dimanfaatkan seoptimal mungkin,

tak hanya sebagai pengguna, sebatas pembeli potensial, saat

terbuka kesempatan emas berkontribusi dalam sepenggal upaya

nasional, melakoni sendiri apa yang selama ini

kita tonton dan gunakan.

...

Sesungguhnya sebuah peluang

urunan menyasar pemerataan kesejahteraan.

* Lion Air pada Singapore Air Show 2012 memesan 230 pesawat: 221 unit B 737MAX dan 29 unit B 737-900ER. Garuda di pameran yang sama memesan 25 pesawat untuk Citilink :15 unit A320Classic dan 10 unit A320neo. Lion Air pada 18 Maret 2013, di Paris, memesan 234 pesawat: 109 unit A320neo, 65 unit A321neo, 60 unit A320ceo

13

Kata Pengantar

Dalam mendukung kegiatan-kegiatan berdimensi nasional yang

dikemukakan di atas, kami ingin menyumbangkan secercah buah pikiran:

Pembahasan mengenai dasar-dasar

perancangan pesawat terbang komersial

berdasarkan pada pola yang

dikemukakan oleh Reinhardt Abraham

maupun pakar-pakar lain.

Pembahasan difokuskan pada perkembangan

yang terjadi pada masa kini, yakni terkait dengan

persaingan antara Airbus dan Boeing

berdasarkan segala aspek yang mendukungnya.

Pada penerbitan perdana ini, kami menyajikan sebagai pembuka masalah:

● Persaingan antara Airbus dan Boeing

● Perkembangan berkelanjutan

● Indonesia dominasi transaksi di Singapore Airshow 2012

Sebagai himbauan:

● Kita Peduli …

● Kata Pengantar

Sebagai pelintas zaman: awal penerbangan menuju masa kini:

● Perkembangan Airliner

●Perkembangan Propulsi

Dan sebagai bahasan pertama:

● Setengah Abad Perkembangan Motor Turbin Gas

● Supercritical Airfoil (Sayap untuk Pesawat Modern)

Harapan kami, sumbangan ini ada manfaatnya.

Selamat membaca.

FORUM AVIASIFORUM AVIASI

Team Forum AviasiForum Aviasi

DR. Ir. Muso C. Soenhadji, MSc, IPU 021 798 8133

087 870 988 885

Suharto, Dipl. Ing. 021 770 5035 [email protected]

Jl. Mahoni Raya No.10 BL.24, Depok II Timur 16418 d/a Universitas Suryadarma, Halim Perdanakusuma, Jakarta 13610

Ir. Willem J. Pattiradjawane 021 9488 1290

[email protected]

Ada hal menarik ketika mengawali perkembang an airliner dunia. Tercatat, bahwa sekalipun kedua

bersaudara Wright telah memerkenalkan pada

dunia, Flyer, pesawat terbang pertama bertenaga

mesin, pada 1903 di Kitty Hawk, North Carolina, Amerika Serikat, namun awal operasi perjalanan

cepat lewat udara di dunia justru lahir di Eropa dan

menggunakan “airship” atau “dirigible”. Kapal udara dengan konstruksi “lighter-than-air” berbasis

prinsip balon udara yang sama sekali bukanlah

pesawat terbang seperti pada konsep dari kedua bersaudara itu.

Tampaknya, faktor-faktor seperti enjin yang

bukan tuntutan utama, mudah dikendalikan dan

kemampuan angkut yang lebih baik ketimbang pesawat terbang nondirigible masa itu, membuat

airship unggul, untuk sementara.

Sejarah penerbangan kemudian menunjukkan bahwa konsep “heavier-than-air” Wright mampu

bertahan dan malah mendominasi sepenuhnya

teknologi aeronautika hingga hari ini. Istilah pesawat terbang (aircraft) tanpa embel-embel,

identik konsep ini, adalah sebuah bukti.

Malahan perkembangan mengagumkan

propulsi (lihat tulisan Suharto Propulsi hlm 19)—diawali justru oleh internal combustion engine 4

silinder inline buatan Charlie Taylor khusus untuk

Flyer itu—berperan penting bagi kemajuan dunia penerbangan termasuk industri airliner yang tidak

lepas dari industri airline itu sendiri.

Benoist XIV atau LZ.7 Deutschlandd: Airliner

Pertama Dunia?

Adalah airship Zeppelin LZ.7 Deutschland,

yang dioperasikan oleh perusahaan DELAG mengangkut 23 penumpang (sebagian besar jurnalis

untuk peliputan) mengudara dari Duselldorf,

Jerman, pada 28 Juni 1910, tercacat sebagai operasi transpor udara yang pertama di dunia. Tidak heran,

DELAG pun dalam sejarah penerbangan sipil

dinobatkan sebagai airline pertama dunia.

DELAG (Deutsche Luftschiffahrts AG/Aktiengesellschaft; German Airship Transportation

Company, Ltd) didirikan pada 1909 oleh Alfred

Colsmann pimpinan eksekutif dari Zeppelin Company yang merupakan perusahaan pembuat

airship rancangan Count Ferdinand von Zeppelin.

Jadinya, DELAG adalah bagian dari Zeppelin Company.

Tercatat enam Zeppelin seri LZ lainnya di

bawah DELAG selama 4 tahun hingga pecah

Perang Dunia Pertama (PD I), membukukan sekitar

170.000 mil total penerbangan dengan kurang lebih 35.000 penumpang yang diangkut tanpa satu pun

cedera. Sebuah pencapaian luar biasa untuk saat itu.

Mengingat sebagian besar airship itu berujung jatuh, hancur atau meledak seperti Hindenburg (1937)—

menandai akhir era transportasi airship tersebut.

Namun, seolah benih kompetisi Eropa-AS

mulai tertebar, ketika di Amerika, tempat kelahiran pesawat terbang, mencatat rekor lain lagi.

Pada 1 Januari 1914 sebuah pesawat terbang

nondirigible “Benoist XIV Flying-Boat” terbang selama 23 menit, 5 kaki di atas air dari St

Petersburg ke Tampa, berjarak 22 mil, keduanya di

Florida. Mengangkut Mayor purnawiran Abe Pheil yang membayar $ 400 untuk terbang perdana itu.

Berjadwal 2 kali sehari atau 4 penerbangan

pulang pergi sehari (bertarif $ 5 atau lebih bila

beratnya di atas 200 lb), meski kemudian berakhir beberapa bulan berikutnya karena tidak ekonomis,

rute udara St Petersburg-Tampa (SPT) tersebut

adalah sebuah tonggak sejarah penerbangan sipil. Awal dimulainya era bisnis transpor udara sipil,

pelayanan airline terjadwal pertama di dunia—

menggunakan “fixed-wing aircraft”. Operatornya SPT Airboat Line pun dijuluki airline pertama di

dunia yang terjadwal dengan pesawat sayap tetap.

Tetapi, apakah pesawat biplane berenjin

Roberts 75 DK (daya kuda)/Sturtevant 70 DK 6 silinder in-line, berat 1.299 lb, pilot dan satu

PERKEMBANGAN AIRLINER

Kop sebuah blog proyek pembuatan

update Benoist XIV menyambut

peringatan 100 tahun penerbangan

perdananya pada 2014.

Zeppelin LZ-7 Deutchland

14

Walaupun awal perkembangannya memberi

kesan kurang meyakinkan, tetapi setelah

melewati pematangan dalam dua Perang

Dunia, pesawat terbang menjadi moda

transportasi yang paling tangguh, efisien dan

strategis.

penumpang ini, otomatis menjadi airliner pertama di dunia? Ataukah airship LZ.7 Deutchland?

Tampaknya bukan kedua-duanya. Pasalnya,

airlinenya, DELAG dan SPT Airboat Line, relatif

lebih kesohor menyandang predikat “pertama dunia” terkait itu ketimbang kedua “aircraft”

tersebut. Mungkin karena istilah “airliner” yang

dipahami sebagai “pesawat yang dioperasikan airline untuk mengangkut passengers” atau

didefinisikan sebagai “a large passenger aircraft

operated by airline”. “Aircraft” yang dalam konteks ini tentunya bukan jenis “lighter-than-air”

seperti airship. Tetapi sekaligus “fixed wing” jenis

yang mampu mengangkut “banyak penumpang”.

PascaPD I: Lungsuran Pesawat Perang untuk

Sipil

Yang pasti, upaya-upaya untuk

mengembangkan pesawat terbang yang lebih besar

dengan kapasitas penumpang yang bertambah serta

kinerja dan keandalan yang lebih baik, sudah dilakukan jelang PD I itu.

Dan lagi-lagi di Eropa. Pada 1913, Igor

Sikorsky, dari Rusia, berhasil menerbangkan rancangannya sendiri: Bolshoi Baltiskiy (Russian

Knight) atau Le Grand (The Great One)—sebutan

dalam bahasa Prancis, negara yang sejak dikunjungi Wilbur Wright pada 1908, merupakan “home of

European aviation” kalau bukan pusat aviasi dunia.

Le Grand adalah pesawat berenjin empat pertama di

dunia (masing-masing Argus 4 silinder inline 100 DK), dibuat oleh Russo-Baltic Carriage Works.

Berkapasitas 8 tempat duduk, rentang sayap 27 m,

beratnya sekitar 4 ton.

Tetapi PD I menyebabkan kegiatan terkait

transportasi udara terhenti. Tapi sekaligus maraknya kelahiran pesawat-pesawat militer;

seiring makin berkembang dan tersedianya motor-

motor piston inline type maupun Vee-type termasuk jenis unik rotary engine Gnome yang booming di

masanya itu (simak Propulsi). Baru di antara

rentang 5 tahunan pascaPD I itu, kegiatan

penerbangan sipil pada umumnya mulai menggeliat kembali.

Namun awal perkembangan (kembali)

penerbangan sipil dunia tercacat bukan didorong oleh faktor penumpang, tapi justru oleh kebutuhan

pengiriman surat dan paket yang lebih cepat. Di

samping tersedianya lungsuran pesawat-pesawat

militer, baik tempur maupun pembom eks PD I yang redundan itu.

Pada Februari 1919, dengan menggunakan eks

pesawat pembom Angkatan Udara Inggris (RAF) Airco D.H. 9 (de Havilland 9; enjin Amstrong

Siddeley Puma 6 silinder inline 230 DK) dengan

operator Air Transport and Travel (AT&T)memerkenalkan pengiriman udara antara Folkstone,

Inggris dan Ghent, di Belgia. Di mana pengiriman

paket pada awal-awal penerbangan itu berupa

pakaian dan makanan yang sangat dibutuhkan Belgia pascaPD I.

Dan pada Agustus tahun yang sama, AT&T

meresmikan layanan reguler barang dan penumpang antara London-Paris. Antara Hounslow Heath

Aerodrome dan bandara Le Bourget, menggunakan

pesawat Airco D.H.4A kemudian de Havilland D.H.16.

Layanan ini, merupakan kali pertama di dunia,

penerbangan penumpang komersial internasional

terjadwal reguler, setiap harinya. Dan masih pada 1919—tahun yang menorehkan

pencapaian-pencapaian aviasi bersejarah—Dr Hugo

Junkers dari Jerman memproduksi rancangan Otto Reuter: Junkers F 13.

Sebuah airliner pertama yang seluruhnya metal,

cantilever-low wing monoplane, 2 awak dan 4

penumpang, berenjin Mercedes D IIIa 6 silinder inline 170 DK. Pesawat yang dari segi desain

enjinering seolah “melampaui zamannya” yang

biplane, berbahan kayu-kain, dan seterusnya. Tetapi versi modifikasi Junkers J 10 di bawah operator

Junkers Luftverkehr yang melayani Dessau-

Weimar diyakini sebagai airliner pertama all-metal aeroplane.

Sementara itu, kontes-kontes lintas-udara

Samudra Atlantik dan antarbenua berhadiah cek

tunai, meski tidak berkontribusi langsung bagi perkembangan industri airline yang baru bertumbuh

itu, ternyata berdampak. Pesawat eks pembom yang

sudah dirubah Vickers Vimy IV, misalnya. Pada Juni 1919, Kapten John Alcock dan Let-

Junkers F13

Airco D.H.9

15

nan Arthur W Brown berhasil menyelesaikan pe-nerbangan pertama dunia nonstop (16 jam 27 menit;

3.032 km) melintasi Atlantik Utara antara

Newfoundland, Kanada dan Irlandia, menggunakan

pesawat eks pembom Vickers tersebut. Mereka berhak atas hadiah £ 10.000 dari Daily Mail.

Pesawat jenis yang sama (2 enjin Rolls-Royce

Eagle VIII 12 silinder Vee-type 360 DK) enam bulan kemudian digunakan oleh dua bersaudara

Ross dan Keith Smith. Mereka menyelesaikan

penerbangan pertama dari Hounslow Heath, Inggris, melintasi antara lain Timur Tengah, India,

Bangkok, Singapura—sempat singgah di Kalijati,

Surabaya, Bima, Atambua—dan genap 28 hari

mendarat di Fanny Bay, Darwin, Australia. Memenangkan kontes lintas-udara Inggris-Australia

bertenggat 30 hari berhadiah £ 10.000 dari

pemerintah Australia. Sehingga bukanlah kejutan, bahwa pada era

pascaPD I itu, Vickers Vimy Commercial yang

telah diperbesar fuselage-nya dari desain aslinya dan berkapasitas sepuluh penumpang, disebut-sebut

sebagai salah satu contoh pengoperasian komersil

yang memicu daya tarik terhadap penggunaaan

lungsuran pesawat-pesawat pembom yang redundan waktu itu. Meski kemudian reputasi Vickers ini

sebagai airliner sangat minim.

Modifikasi serupa terjadi atas pesawat-pesawat eks pembom oleh Handeley Page di Inggris dan

Farman di Prancis. Di samping sudah sejak jelang,

pascaPD I, bahkan jauh setelah itu hadirnya para

manufaktur airliner Prancis dan Italia, seperti Breguet, Savio-Marchetti, Blériot, Potez, Bloch,

Caudron, Latécoère untuk memenuhi kebutuhan

para airline baru negara mereka.

Fokker: Tren Pesawat Triple-engine

Lalu masih di era ini, tercacat seorang Belanda

kelahiran Blitar, Jawa Timur: Anthony Fokker.

Pesawat Fokker F II bermotor tunggal (BMW IIIa 6 silinder inline 185 DK) empat penumpang yang

pertama kali terbang pada 1919, adalah awal dari

rancangan Fokker atas serangkaian airliner dalam rentang 1920-1930-an. F II adalah pesawat long

range pertama yang dibeli airline Belanda KLM

pada 1920. Desain lainnya Fokker F VIIa/3m, pesawat kayu triple-engine yang merupakan

pengembangan dari tipe single engine F VII dan F

XX, menjadi tren pesawat berenjin tiga, trimotor.

Tak pelak lagi, konfigurasi trimotor Fokker tersebut memengaruhi munculnya pesawat all-metal

trimotors 14 tempat duduk dari Ford pada 1926,

sementara Boeing memproduksi yang lebih kecil pesawat biplane trimotor Model 80 pada 1928.

Diikuti Junkers trimotor G 24 dan G 31 serta

pesawat ubikuitas (ada di mana-mana) tipe Ju 52 pada 1930, yang menggunakan corrugated metal

skinning yang pertama kali muncul pada tipe Jun-

kers F 13 seperti disinggung di atas; menjadikannya

pesawat Eropa pertama yang setara Douglas DC-3. Setahun sebelumnya, 1929, Junkers meluncurkan

pesawat besar 30 tempat duduk G 38 dengan

sebagian tempat duduk berada di sayap. Sementara di Inggris, tampilnya pesawat

bermotor empat (Bristol Jupiter X [FNM] 9 silinder

radial engine 550 DK) 24 tempat duduk Handley-

Page HP. 42 yang dioperasikan oleh Imperial Airways menandai berakhirnya era biplane dalam

desain airliner. Airline ini pada tahun 1930-an

memiliki route sampai ke India, Australia, dan Afrika Selatan menjadikannya cukup terkenal waktu

itu padahal menggunakan rancangan duralumin

skinning yang cukup ruwet. Kalau kita kembali pada „pertarungan‟ Eropa-

Amerika; sampai di sini, pada 1920-an, Eropa

unggul dalam pengembangan airliner. Tetapi

kedudukan ini berubah pada awal dekade berikutnya, ketika industri airliner Amerika

memimpin hingga beberapa dekade ke depan—

sebelum munculnya Airbus Industries pada awal 1970-an.

Tampilnya pesawat Orion dari pabrik Lockheed

pada akhir 1920, kemudian manufaktur lainnya juga

Vickers Vimy

Commercial

16

Fokker F VIIa/3m

dari Amerika, Boeing dan Douglas, yang lalu mendominasi industri airliner dunia sejak 1930-an

(simak hlm 1).

Kelahiran Boeing, Flying Boat dan DC-3

Mungkin menarik menyimak apa yang terjadi

pascaPD I di AS. Bahwa saat maraknya bisnis pos udara di Eropa setelah perang itu, rupanya Amerika

kembali “hadir”.

Pada 1916 di Lake Union, Seattle, lahir cikal bakal pabrik pesawat Boeing yang didirikan oleh

William E Boeing. Setahun kemudian manufaktur

pesawat itu secara resmi bernama Boeing Airplane

Company. Di tahun menyejarah bagi aviasi dunia, 1919,

pabrik Boeing berhasil membuat pesawat terbang

komersilnya yang pertama B-1 Flying Boat. Dengan pesawatnya sendiri itu, pada tahun yang

sama William Boeing dan pilot Hubbard

mengoperasikan layanan pos udara internasional pertama di Amerika Serikat, antara Seattle dan

Vancouver, Kanada. Seiring berkembangnya

layanan pos udara antara “coast-to-coast” di AS.

Pada 1928, berdiri airline baru sebagai bagian

dari pabrik Boeing Airplane Company, Boeing Air

Transport yang belakangan menjadi United Airlines. Pada Februari 1933, lewat United Airlines

pabrik Boeing memerkenalkan pesawat 10 tempat

duduk Boeing Model 247. Dengan kecepatan

jelajahnya 288 km/jam, membuat 247, nyaris dua kali lebih cepat ketimbang pesawat-pesawat Fokker

maupun Ford masa itu.

Setahun kemudian, 1934, rancangan “Douglas Commercial” (DC) memerkenalkan pesawat 14

tempat duduk DC-2 sebagai respons atas Boeing

Model 247. Tetapi, persyaratan sleeper version yang diajukan operator American Airlines untuk

menggantikan pesawat Condors, justru membawa

hikmah tersendiri. Pengembangan versi baru

tersebut dengan fuselage yang lebih lebar, menghasilkan sebuah pesawat yang dijuluki

“Douglas Sleeper Transport” atau “DST” yang tak

lain adalah pesawat DC-3 Dakota atau C-47 untuk versi militer. Pesawat yang terbang pertama kali

pada Desember 1935, dan setahun kemudian 30

unit DC-3 dikirim ke American Airlines. Pesawat Douglas baru ini, yang di Indonesia lebih

populer dengan sebutan “Dakota”, dengan kapasitas

lebih besar, 21 penumpang, segera menyalip Boeing

Model 247 dan menjadi rancangan airliner paling sukses di dunia.

Boeing: ‘Petarung’ Tangguh

Boeing tidak kalah sigap dan sudah sejak awal

menunjukkan dirinya sebagai „petarung‟ tangguh.

Mereka bergerak cepat menemukan kembali ikhtisar keuntungan-keuntangan yang dimiliki Boeing

Model 247, kemudian memproduksi sebuah

pesawat revolusioner Boeing Model 307 Stratoliner

yang terbang pada 1938. Stratoliner, yang dikembangkan dari pesawat pembom B-17 Flying

Fortress, merupakan airliner pertama dunia

dilengkapi pressurised, memungkinkan para penumpang “terbang mengatasi cuaca”, sebagai

suatu hal rutin yang belum terpecahkan sebelumnya.

Boeing Model 307 pertama kali beroperasi pada 1940 di bawah airline TWA dan Pan American

Airways (PAA).

Boeing kemudian mengindikasikan strategi

jangka panjang untuk menjadi perintis rancangan

airliner besar—hal yang tak terbantahkan hari ini—dengan penerbangan perdana pada Juni 1938, flying

boat Boeing Model 314 Clipper. Pesawat Clipper

seberat 37,5 ton 74 tempat duduk dengan empat

enjin ini, dikembangkan untuk operasi trans-samudra dari airline PAA tujuan Eropa melintasi

lautan Pasifik—yang dimulai tahun berikutnya sejak

terbang pertama itu. Hal yang diikuti penerus

DC-3 Dakota atau C-47 untuk versi militer

Boeing Model 307 Stratoliner

17

Flying Boat Boeing Model 314 Clipper

Imperial Airways, BOAC (British Overseas Airways Corporation) yang mengoperasikan

Clipper pada 1941. Dan pada 1947 terbang perdana

Boeing 377 atau “Stratocruiser”: airliner besar jarak

jauh pascaPD II; derivasi B-29 Superfortress. Sementara DC-3 yang terus dijual kepada

berbagai operator di seantero dunia, Douglas

berhasil menyiapkan rancangan final pesawat berikutnya DC-4: lebih besar untuk memenuhi

persyaratan airline AS. Dengan empat enjin

merupakan airliner terbesar pertama di dunia menggunakan roda depan—pengganti tailwheel

undercarriage DC-3. Namun, pecahnya PD II,

pesanan DC-4 yang sudah definitif untuk diproduk-

si pada 1940, tipe pertamanya yang beroperasi adalah sebagai pesawat angkut militer C-54.

Airliner Eropa Semasa Suksesnya AS 1930-an

Penerbangan sipil Eropa seolah terkapar dengan

suksesnya Amerika selama 1930-an itu, walaupun

lahir beberapa rancangan penting termasuk serangkaian airliner regional kecil dari de Havilland

seperti D.H.84 Dragon dan D.H.89. Juga pesawat

produksi Junkers berenjin empat (masing-masing

BMW radial engine 830 DK) 40 tempat duduk Ju 90. Merupakan salah satu dari rancangan mereka

terakhir praperang, tapi hanya 12 unit yang dikirim

ke DLH (Deutche Luft Hansa) sebelum PD II. Sementara, airline Jerman menggunakan Focke-

Wulf Fw 200 Condor empat enjin 25 penumpang

pada pelayanan di Eropa, dan pada Agustus 1938 Condor melakukan penerbangan bersejarah, 25 jam

nonstop antara Berlin dan New York.

Manufaktur Eropa lainnya, Marcel Bloch dari Prancis, memproduksi SE 161 pada 1939, tapi

rencana produksi yang dikenal sebagai pesawat

SNCASE SE 161 Languedoc, tidak pernah

terlaksana hingga 1945. Sesudah perang, Air France tercatat sebagai operator pertama yang

menggunakan pesawat tersebut.

Pada masa kejayaan transportasi penumpang dengan airship di Eropa, ternyata Lockheed

mengembangkan suatu famili airliner kecil sebagai

kelanjutan produksi Orion, termasuk Model 10/12 Electra, dan 14 tempat duduk L14 Super Electra

pada 1937, serta pesawat 14 tempat duduk lainnya

L18 Lodestar pada 1940. Mereka juga memproduksi

berbagai varian famili “Constellation”—yang kemudian sangat terkenal antara lain L-649, L-749,

L-1049 Super (Super Constellation)—diawali

varian pertama pada 1939, Model L-049 Constellation. Pesawat yang dijuluki “Connie” ini,

bermotor empat Wright R-3350 tipe radial masing-

masing 2.200 DK dengan 60-81 penumpang. Dibuat

untuk memenuhi persyaratan operator TWA (Trans

World Airlines) pressurised aircraft dalam rencana airline tersebut (digagas pemegang saham

mayoritasnya Howard Huges) melakukan

penerbangan nonstop antarbenua dan antarsamudra pada range sekitar 3.500 mil.

Connie yang lebih besar juga lebih cepat dari

rivalnya DC-4, pertama kali terbang pada Januari 1943. Namun dengan pecahnya perang, yang

dikirim adalah versi militer C-69. Baru pada awal

1946, Connie dikirim ke TWA yang mengoperasi-

kannya di tahun yang sama pada penerbangan transatlantik antara New York dan Paris.

Willem J. Pattiradjawane

Referensi:

1. Flight Internasional 1908-1998, Reed Business

Information, Surrey, UK, 1998.

2. John W.R. Taylor & Kenneth Munson, History of

Aviation, Octopus Book , Ltd, 1973, UK.

3. R.G. Grant, Flight, the Complete History,

Smithsonian, National Air and Space Museum, DK

Publishing, London-New York, 2007.

Lockheed Super Constellation

18

Prototipe Junkers Ju 90-V1

Boeing Stratocruiser