index.phpmod=download&sub=downloadfile&act=view&typ=html&file=269476.pdf&ftyp=potongan&tahun=2013&potongan=s1-2013-269476-chapter1...

24
1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pulau Bangka dan Belitung telah menjadi propinsi sendiri dengan keluarnya Undang-undang No. 27 Tahun 2000 tentang Pembentukan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung tepatnya tanggal 21 Nopember 2000. Propinsi Kepulauan Bangka Belitung menjadi propinsi yang ke-33 dari seluruh Propinsi di Indonesia. Propinsi ini secara administratif dibagi menjadi 6 kabupaten dan 1 kota yaitu Kabupaten Bangka, Kabupaten Bangka Barat, Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Bangka Selatan, Kabupaten Belitung, kabupaten Belitung Timur, dan Kota Pangkalpinang. Pembentukan propinsi baru mencanangkan berbagai rencana untuk pembangunan. Namun efek negatifnya adalah mengendurnya peraturan untuk praktek penambangan timah dasar laut yang dahulu hanya dilakukan oleh PT.Timah. Hal itu mengakibatkan bertambahnya praktek tambang ilegal di Selat Bangka. Selat Bangka sudah terkenal dengan kekayaan alam berupa timahnya sejak 300 tahun yang lalu. Eksploitasi timah di Selat Bangka dilakukan dengan penambangan lepas pantai dan penambangan darat. Penambangan lepas pantai di Selat Bangka dilakukan dengan pengerukan tanah dasar laut yang menyebabkan rusaknya bentuk topografi dasar laut. Akibat yang ditimbulkan adalah bentuk topografi dasar laut perairan Bangka menjadi lebih curam sehingga daya abrasi pantai menjadi semakin kuat. Kerusakan menjadi lebih parah dengan maraknya penambangan ilegal dan penambangan legal yang masih berlangsung. Kegiatan penambangan timah lepas pantai di dasar laut yang bersifat legal melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal isap. Cara kerja dari kedua alat ini adalah dengan menggali dan menyedot pasir timah yang ada di dasar laut. Cara yang sama juga dilakukan dalam penambangan ilegal dengan menyelam langsung ke bekas bekas lubang penambangan timah legal yang telah ditinggalkan, lalu menyedot pasir timah dengan mesin pompa. Hal itu tentunya

Upload: nofa-darmawan-putranto

Post on 23-Nov-2015

17 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

gelombang

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    I.1 Latar Belakang

    Pulau Bangka dan Belitung telah menjadi propinsi sendiri dengan keluarnya

    Undang-undang No. 27 Tahun 2000 tentang Pembentukan Propinsi Kepulauan

    Bangka Belitung tepatnya tanggal 21 Nopember 2000. Propinsi Kepulauan Bangka

    Belitung menjadi propinsi yang ke-33 dari seluruh Propinsi di Indonesia. Propinsi ini

    secara administratif dibagi menjadi 6 kabupaten dan 1 kota yaitu Kabupaten Bangka,

    Kabupaten Bangka Barat, Kabupaten Bangka Tengah, Kabupaten Bangka Selatan,

    Kabupaten Belitung, kabupaten Belitung Timur, dan Kota Pangkalpinang.

    Pembentukan propinsi baru mencanangkan berbagai rencana untuk

    pembangunan. Namun efek negatifnya adalah mengendurnya peraturan untuk

    praktek penambangan timah dasar laut yang dahulu hanya dilakukan oleh PT.Timah.

    Hal itu mengakibatkan bertambahnya praktek tambang ilegal di Selat Bangka.

    Selat Bangka sudah terkenal dengan kekayaan alam berupa timahnya sejak

    300 tahun yang lalu. Eksploitasi timah di Selat Bangka dilakukan dengan

    penambangan lepas pantai dan penambangan darat. Penambangan lepas pantai di

    Selat Bangka dilakukan dengan pengerukan tanah dasar laut yang menyebabkan

    rusaknya bentuk topografi dasar laut. Akibat yang ditimbulkan adalah bentuk

    topografi dasar laut perairan Bangka menjadi lebih curam sehingga daya abrasi

    pantai menjadi semakin kuat. Kerusakan menjadi lebih parah dengan maraknya

    penambangan ilegal dan penambangan legal yang masih berlangsung.

    Kegiatan penambangan timah lepas pantai di dasar laut yang bersifat legal

    melakukan penambangan timah dengan memanfaatkan kapal keruk dan kapal isap.

    Cara kerja dari kedua alat ini adalah dengan menggali dan menyedot pasir timah

    yang ada di dasar laut. Cara yang sama juga dilakukan dalam penambangan ilegal

    dengan menyelam langsung ke bekas bekas lubang penambangan timah legal yang

    telah ditinggalkan, lalu menyedot pasir timah dengan mesin pompa. Hal itu tentunya

  • 2

    akan menyebabkan dasar laut menjadi tidak teratur akibat dari lubang lubang yang

    ditimbulkan dari kegiatan penggalian dan pengisapan pasir timah lepas pantai.

    Lubang lubang ini dapat diketahui melalui penyajian informasi perubahan

    bentuk topografi dasar laut perairan Selat Bangka. Penyajian informasi yang

    dilakukan berupa analisis perubahan bentuk topografi dasar laut di perairan Selat

    Bangka. Data pengukuran batimetri dasar laut perairan Selat Bangka dan data

    pendukung lainnya diperlukan sebagai bahan untuk menganalisis perubahan bentuk

    topografi dasar lautnya. Analisis perubahannya dilakukan dengan membandingkan

    topografi dasar laut sebelum dan sesudah pembentukan propinsi Bangka Belitung.

    Hal ini dilakukan untuk mengetahui perubahan kondisi dari bentuk topografi dasar

    laut perairan Selat Bangka dalam bentuk visual tidak langsung sehingga bisa dilihat

    bentuk topografi dasar laut tersebut sebelum dan sesudah tahun 2000 di dasar laut

    Selat Bangka.

    I.2 Rumusan Masalah

    Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah mengenai perubahan

    yang terjadi di Selat Bangka dari tahun 1996 sampai dengan tahun 2012 akibat

    penambangan timah di dasar laut. Berdasarkan permasalahan tersebut maka

    pertanyaan yang diajukan sebagai berikut :

    1. Bagaimana perubahan bentuk topografi dasar laut Selat Bangka akibat

    penambangan timah lepas pantai?

    2. Berapa besarnya perubahan kedalaman dan volume yang dihasilkan di dasar

    laut Selat Bangka akibat penambangan timah lepas pantai?

    I.3 Batasan Masalah

    Batasan masalah yang digunakan dalam penelitian ini :

    1. Area penelitian mencakup wilayah Selat Bangka bagian selatan dengan

    koordinat 23859 24731 LS dan 1054744 1055427 BT.

    2. Penelitian ini menggunakan 2 epoch, peta batimetri tahun 1996 dalam bentuk

    digital dan data pengukuran batimetri bulan Juni 2012 di Selat Bangka.

    Penelitian ini dibatasi hanya dari 2 data tersebut walaupun penambangan

  • 3

    timah sudah dilakukan sejak zaman penjajahan Belanda dikarenakan

    ketersediaan data yang terbatas.

    3. Metode yang digunakan untuk penelitian ini adalah metode analisis

    perubahan mengunakan selisih kedalaman dan nilai volume yang dihasilkan

    antar 2 epok.

    4. Hasil yang dicapai adalah peta perubahan bentuk topografi dasar laut Selat

    Bangka.

    I.4 Tujuan Penelitian

    Tujuan dari penelitian ini adalah :

    1. Menyajikan informasi mengenai perubahan bentuk topografi dasar laut Selat

    Bangka akibat penambangan timah lepas pantai.

    2. Mengetahui besar perubahan kedalaman dan volume yang dihasilkan di Selat

    Bangka akibat penambangan timah lepas pantai.

    I.5 Manfaat Penelitian

    Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat yaitu didapatkan informasi yang

    lengkap tentang bentuk topografi dasar laut di Selat Bangka dan perubahan

    kedalaman serta volume yang dihasilkan terhadap bentuk topografi dasar laut akibat

    penambangan timah lepas pantai di Selat Bangka.

    I.6 Tinjauan Pustaka

    Poerbandono (2005) menyatakan bahwa penentuan kedalaman titik

    pemeruman, merupakan suatu proses pengukuran untuk memperoleh nilai suatu

    kedalaman yang bertujuan untuk menghasilkan gambaran bentuk topografi dasar

    perairan. Menurut prinsip dan karakter teknologi yang digunakan penentuan

    kedalaman dapat dilakukan dengan metode mekanik, optik atau akustik.

    Wibawa, H. K. (2006) meneliti tentang hasil analisis pada hasil survei hidro-

    oseanografi di kawasan rencana pelabuhan Oswald Siahaan, tepatnya di Desa

  • 4

    Labuhan Angin, Tapian Nauli, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara menghasilkan

    kontur topogafi yang relatif datar (kemiringan 0 2%), pengaruh arus terhadap

    perairan relatif kecil (< 0.3 m/dt),tinggi gelombang permukaan angin yang relatif

    kecil (< 10 cm), dan sedimentasi serta kadar garam relatif kecil. Kesimpulan dari

    penelitian tersebut menyatakan bahwa kawasan Labuhan Angin di Teluk Tapian

    Nauli sangat ideal untuk menjadi lokasi rencana pembangunan pelabuhan.

    Berdasarkan uraian diatas, penulis beracuan pada prinsip dan cara

    pengukuran batimetri untuk melakukan analisis perubahan topografi dasar laut

    menggunakan 2 buah peta batimetri yang dihasilkan dari hasil 2 pengukuran

    batimetri dalam kurun waktu yang berbeda. Penulis melakukan koreksi terhadap data

    batimetri dengan koreksi tranducer dan koreksi pasang surut agar data kedalaman

    hasil ukuran direduksikan ke bidang referensi tertentu. Data koordinat tersebut

    kemudian diproses menjadi peta batimetri lalu dibandingkan dengan peta batimetri

    lain yang telah terkoreksi untuk mengetahui perubahan kedalaman dan volume yang

    dihasilkan.

    I.7 Landasan Teori

    I.7.1 Survei Hidrografi

    Poerbandono (2005) mengatakan hidrografi adalah cabang ilmu yang

    berkepentingan dengan pengukuran dan deskripsi sifat dan bentuk dasar perairan

    serta dinamika badan air untuk tujuan navigasi dan aktivitas kelautan lainnya.

    Fenomena dasar perairan meliputi batimetri atau topografi dasar laut, jenis material

    dasar laut dan morfologi dasar laut. Dinamika badan air meliputi pasang surut dan

    arus. Data mengenai fenomena dasar perairan dan dinamika badan air dsistem

    referiperoleh melalui kegiatan survei hidrografi. Data tersebut diolah dan disajikan

    sebagai informasi geospasial yang mengacu pada suatu sistem referensi tertentu.

    Survei hidrografi dalam penelitian ini meliputi :

    1. Survei topografi

    2. Survei batimetri

    3. Pengamatan pasang surut air laut

  • 5

    I.7.1.1. Survei topografi. Survei topografi adalah pemetaan permukaan bumi

    fisik dan kenampakan hasil budaya manusia. Pengukuran dilakukan secara langsung

    untuk mendapatkan data teristris berupa data azimuth, data ukuran sudut dan jarak,

    serta data elevasi. Data data tersebut diperlukan untuk penggambaran topografi

    daerah tersebut berupa peta topografi. Kegiatan dalam survei topografi meliputi

    (Basuki, 2006):

    1. Persiapan

    Persiapan dalam melakukan survei meliputi persiapan peralatan,

    perlengkapan dan personil. Masing masing persiapan harus dipastikan

    lengkap sebelum terjun ke lapangan.

    2. Survei pendahuluan

    Survei pendahuluan dilakukan untuk melihat keadaan lapangan secara

    menyeluruh. Hasil dari survei ini dapat menentukan teknik pengukuran

    dan posisi titik titik kerangka peta (bench mark) yang dapat digunakan

    dalam pengukuran.

    3. Survei pengukuran

    Survei pengukuran merupakan kegiatan untuk mendapatkan

    kerangka kontrol pemetaan dan detil daerah pengukuran. Bench mark

    (BM) yang sudah dipasang dan ditandai menjadi titik titik kontrol

    pemetaan dan titik ikat pengukuran detil. Titik titik BM juga digunakan

    sebagai titik kontrol pemeruman pada survei batimetri.

    Titik titik tersebut diukur jarak, azimuth, sudut dan elevasinya

    terhadap titik BM lainnya dalam suatu poligon. Azimuth diukur untuk

    memberikan orientasi arah utara pada kerangka kontrol pemetaan.

    Pengukuran posisi detil dilakukan dengan pengikatan pada kerangka peta

    dengan metode jarak dan sudut.

    I.7.1.2. Survei batimetri. Survei batimetri adalah kegiatan untuk menentukan

    posisi titik di dasar perairan dalam suatu koordinat tertentu . Pengukuran dilakukan

    dalam lajur lajur pengukuran (pemeruman) yang diikatkan pada titik ikat di darat.

    Hasil kegiatan ini diproses menjadi model bentuk topografi dasar perairan yang

    divisualisasikan dalam bentuk peta batimetri. Tahap tahap kegiatan survei

  • 6

    batimetri terdiri dari penentuan posisi horizontal pemeruman (x,y), penentuan

    kedalaman (h), dan pengamatan pasang surut air laut (Wibawa, 2006).

    1. Penentuan posisi horizontal

    Salah satu metode pengikatan untuk menentukan posisi horizontal titik

    pemeruman adalah dengan metode perpotongan ke belakang. Titik

    pemeruman ditentukan dari titik ikat yang telah diketahui koordinatnya. Titik

    pemeruman diukur sudutnya terhadap titik ikat yang berada di daratan pantai.

    Hasil ukuran sudut digunakan untuk mendapatkan nilai azimuth yang

    menunjukkan arah utara. Nilai azimuth tersebut digunakan untuk

    mendapatkan koordinat titik pemeruman dari titik ikat. Hasil akhirnya berupa

    posisi horizontal (x,y) titik pemeruman yang telah terikat dengan titik ikat

    atau titik acuan dengan sistem koordinat yang sama dengan titik acuan.

    2. Penentuan kedalaman laut

    Penentuan kedalaman laut dilakukan dengan kegiatan pemeruman.

    Pemeruman adalah penentuan kedalaman dasar laut yang bertujuan untuk

    mendapatkan gambaran kondisi topografi dasar laut. Alat yang digunakan

    adalah alat perum gema (echosunder). Prinsip kerja alat ini adalah dengan

    mengukur selang waktu yang diperlukan pulsa gelombang suara untuk

    menempuh jarak dari tanducer ke dasar laut dan kembali lagi ke tranducer.

    Tranducer adalah perangkat dari echosounder yang diletakkan di bawah air.

    Tranducer berfungsi mengubah pulsa energi listrik menjadi energi akustik

    agar dapat merambat di dalam air dan mengubahnya kembali menjadi energi

    listrik sehingga didapatkan bacaan kedalaman yang terukur. Tranducer

    dipasang tegak lurus bidang permukaan laut pada sisi luar di tengah-tengah

    bagian buritan dan haluan dengan kedalaman yang sesuai sehingga apabila

    kapal bergerak vertikal akibat gelombang, bagian bawah transducer tetap

    berada di bawah permukaan air. Sinkronisasi data kedalaman dan posisi

    horizontal dilakukan secara otomatis oleh firmware (software yang berada di

    dalam alat). Letak tranducer tidak tepat di permukaan air, sehingga perlu

    dilakukan koreksi draft tranducer pada masing masing ukuran.

    Penambahan bacaan kedalaman (h) dan nilai draft tranducer (d)

  • 7

    menghasilkan kedalaman perairan saat pengukuran. Prinsip pengukuran

    dengan echosounder dapat dijelaskan dalam Gambar I.1.

    Gambar I.1. Pengukuran kedalaman dengan echosounder

    I.7.1.3. Pengamatan pasang surut air laut. Air laut dalam pergerakannya selalu

    naik turun secara periodik. Fenomena ini disebut pasang surut (pasut) laut. Pasut air

    laut dipengaruhi oleh benda benda langit terutama bulan dan matahari. Oleh karena

    itu, penentuan pasut laut diamati selama 1 piantan,1 bulan, 1 tahun, atau dalam

    jangka waktu tertentu sesuai pengaruh kedua bulan dan matahari terhadap bumi.

    Pengamatan pasut laut dalam periode waktu tersebut akan menghasilkan suatu

    ketinggian maksimum dan minimum di laut sesuai periode waktu yang telah

    ditentukan. Tujuan pengamatan pasut secara umum meliputi dua hal berikut ini :

    1. untuk keperluan analisis harmonik dan prediksi pasut laut pada suatu daerah

    perairan tertentu. Hasilnya berupa data tipe pasut dan prediksi bacaan pasut laut

    untuk kurun waktu tertentu.

    2. untuk menentukan bidang mean sea level (MSL) dan bidang acuan

    kedalaman atau datum vertikal. MSL merupakan bidang referensi untuk posisi

    vertikal (ketinggian). Datum vertikal digunakan sebagai referensi tinggi untuk

    pengukuran kedalaman laut. Beberapa datum vertikal yang sering digunakan

    ditunjukkan dalam Tabel I.1.

    muka laut

    rerata

    d = Draft tranducer

    Antena GPS

    Tranducer

    h = kedalaman

    Dasar Laut

    kapal

  • 8

    Tabel I.1. Macam macam datum vertikal

    No. Istilah Definisi

    1. Highest

    Astronomical Tide

    (HAT)

    Ketinggian pasut tertinggi yang dapat diprediksi dari

    rata rata kondisi meteorologi dan kombinasi dari

    beberapa kondisi astronomis.

    2. Higher High Water

    Large Tide

    (HHWLT)

    Rata rata pasut tinggi tertinggi dengan pengamatan

    selama periode 19 tahun.

    3. Lowest Astronomical

    Tide (LAT)

    Ketinggian pasut terendah yang dapat diprediksi

    dari rata rata kondisi meteorologi dan kombinasi

    dari beberapa kondisi astronomis.

    4. Lower Low Water

    Large Tide

    (LLWLT)

    Rata rata pasut rendah terendah dengan pengamatan

    selama periode 19 tahun.

    5. Mean Higher High

    Water (MHHW)

    Tinggi rata rata pasut tinggi tertinggi di suatu

    tempat dengan pengamatan selama periode 19 tahun.

    6. Mean Lower Low

    Water (MLLW)

    Tinggi rata rata pasut rendah terendah di suatu

    tempat dengan pengamatan selama periode 19 tahun.

    7. Mean Sea Level

    (MSL)

    Tinggi rata rata muka air laut di suatu stasiun pasut

    untuk semua pengukuran pasut selama periode 19

    tahun. Pengukuran biasanya per jam dari suatu

    tinggi referensi tetap.

    Data pengamatan pasut laut diperlukan untuk penyajian hasil survei batimetri

    berupa peta batimetri. Peta batimetri dalam pembuatannya memerlukan suatu bidang

    referensi kedalaman berupa muka surutan peta. Muka surutan peta adalah sebutan

    lain dari datum vertikal di laut. Muka surutan peta tidak pernah menyentuh

    permukaan air laut karena pendefinisian suatu muka surutan peta terletak di bawah

    permukaan air laut terendah di suatu daerah yang bersangkutan. Namun untuk

    pekerjaan teknis dimana muka surutan peta belum diketahui, digunakan sounding

    datum sebagai pengganti muka surutan peta. Muka surutan peta berupa jarak surutan

  • 9

    peta (Z0) yang dihitung dari duduk tengah (S0) sampai muka surutan peta yang

    ditentukan. Kedudukan muka surutan peta dan sounding datum ditunjukkan dalam

    Gambar I.2.

    Gambar I.2. Kedudukan muka surutan peta dan sounding datum

    Data pasut laut diperoleh dari pengukuran pasut laut di stasiun pasut laut

    dalam kurun waktu tertentu. Biasanya di stasiun pasut laut tersebut terdapat sebuah

    alat ukur pasut laut. Alat sederhana yang biasa digunakan adalah tide pole atau

    palem. Ketinggian muka air atau besar pasut laut yang terjadi dicatat secara manual

    oleh operator dengan interval waktu tertentu dalam suatu formulir pengamatan pasut

    laut. Cara ini lebih mudah dan efisien dengan ketelitian sekitar 2,5 cm, serta akan

    menghindari adanya data kosong.

    I.7.2 Pengikatan Stasiun Pasang Surut

    Pengikatan stasiun pasang surut atau dalam penelitian ini menggunakan

    palem bertujuan untuk menyatukan bidang referensi antara ketinggian topografi

    dengan kedalaman perairan pada bidang muka surutan peta. Palem (P) diikatkan

    terhadap Benchmark (BM) di darat dengan waterpassing. Hasil yang diperoleh

    berupa tinggi BM terhadap suatu muka surutan peta. Sebagai contoh muka surutan

    yang digunakan adalah MLLW, maka titik BM terhadap MLLW dijelaskan dalam

    persamaan (I.1).

    = .........................................................(I.1)

    Keterangan :

    Duduk Tengah (S0)

    Muka Surutan Peta

    Z0

    Sounding

    Datum

    Z

  • 10

    : tinggi titik BM terhadap muka surutan peta

    : rata rata selisih tinggi pengukuran pergi pulang stasiun pasut dan

    BM

    : Muka surutan peta yang ditentukan

    Nilai MLLW diperoleh dari hasil pengolahan data pasut dari pengamatan pasut di

    stasiun pasut.

    I.7.3. Pengolahan Data

    I.7.3.1. Pengolahan data pasut laut. Data pasut laut diolah untuk mendapatkan harga

    amplitudo (A) dan keterlambatan fase (g) dari konstanta harmonik pasut. Konstanta

    harmonik pasut adalah konstanta-konstanta yang dapat menyebabkan terjadinya

    pasut. Konstanta-konstanta pasut tersebut memilliki sifat yang harmonik terhadap

    waktu, sehingga dinamakan konstanta harmonik pasut. Secara garis besar konstanta

    harmonik pasut dapat dibagi menjadi tiga kelompok seperti di bawah ini (Rawi,

    1999):

    1. Konstanta harmonik pasut periode harian (diurnal period tide)

    2. Konstanta harmonik pasut periode harian ganda (semidiurnal period tide)

    3. Konstanta harmonik pasut periode panjang (long period tide)

    Selain konstanta-konstanta di atas, terdapat konstanta harmonik pasut lainnya

    yang disebabkan oleh gesekan antara air laut dengan perairan dangkal (shallow water

    tide).

    Pengolahan data pasut umumnya menggunakan 9 komponen utama konstanta

    harmonik pasut untuk keperluan rekayasa, yaitu: M2, S1, K2, N2, K1, O1, P1, M4 dan

    MS4. Penjelasan mengenai komponen harmonik pasut tersebut dijelaskan pada Tabel

    I.2.

    Tabel I.2. Komponen harmonik utama pasang surut

    Tipe

    Pasut Keterangan Simbol

    Kec. Sudut

    (/jam)

    Ganda Dipengaruhi oleh Bulan Utama

    Dipengaruhi oleh Matahari Utama

    M2

    S2

    28,9841

    30,0000

  • 11

    Dipengaruhi oleh akibat lintasan bulan

    berbentuk ellips

    Dipengaruhi oleh lintasan matahari

    berbentuk ellips

    N2

    K2

    28,4397

    30,0821

    Tunggal Dipengaruhi oleh deklinasi Bulan dan

    deklinasi matahari

    Dipengaruhi oleh deklinasi Bulan Utama

    Dipengaruhi oleh deklinasi Matahari

    Utama

    K1

    O1

    P1

    15,0411

    13,9430

    14,9589

    Perairan

    Dangkal

    Kecepatan sudut dua kali kecepatan sudut

    M2

    Merupakan modulasi dari M2 dan S2

    dengan kecepatan sudut jumlah kecepatan

    sudut M2 dan S2

    M4

    MS4

    59,97

    59,98

    Pengolahan data pasut juga bertujuan untuk mengetahui sifat dan karakteristik

    pasut di suatu tempat dari hasil pengamatan pasut dalam kurun waktu tertentu dapat

    diketahui dengan melakukan analisis harmonik pasang surut laut. Tujuan dari analisis

    harmonik pasut adalah untuk menghitung amplitudo dan keterlambatan fase.

    Amplitudo yang dihitung merupakan hasil respons dari kondisi laut setempat

    terhadap pasang surut setimbang sedangkan kelambatan fase yang dihitung

    merupakan kelambatan fase dari gelombang tiap komponen terhadap pasang surut

    setimbang. nilai perubahan amplitudo dan kelambatan fase tersebut dinyatakan

    dalam konstanta harmonik.

    Metode yang sering digunakan untuk analisis harmonik adalah metode kuadrat

    terkecil atau lebih dikenal dengan metode least square. Persamaan pada metode

    kuadrat terkecil dengan faktor meteorologis diabaikan, maka tinggi pasut merupakan

    superposisi dari komponen pembentuknya yang dinyatakan dalam persamaan (I.2) di

    bawah ini (Ali, 1994):

    = + 0 + cos ( )=1 ..................................

    (I.2)

  • 12

    Keterangan:

    : elevasi pasut fungsi dari waktu

    : duduk tengah (mean sea level)

    : perubahan duduk tengah musiman yang disebabkan oleh monsun

    atau angin, jadi oleh faktor meteorologis

    : amplitudo komponen ke-i

    : 2/Ti, Ti = periode komponen ke-i

    : fase komponen ke-i

    t : waktu

    N : jumlah komponen.

    Bentuk lain dari persamaan (I.2) adalah:

    = + + cos =1 +

    =1 .......

    Keterangan:

    Ar dan Br: konstanta harmonik ke-i

    k : jumlah komponen pasut

    tn : waktu pengamatan tiap jam (tn = -n, n+1, n; tn = 0 adalah waktu

    tengah-tengah pengamatan.

    Nilai hasil perhitungan dengan persamaan (I.3) akan mendekati elevasi

    pasut pengamatan jika:

    2 = 2

    == ...............................(I.4)

    Fungsi 2 minimum jika memenuhi hubungan ini:

    2

    = 0;

    2

    = 0;

    2

    = 0, = 1,2, ................(I.5)

    Persamaan (I.3) bertujuan menghitung besarnya So, ar, dan br menggunakan

    operasi persamaan sebagai berikut:

    1 = . 1 dan 2 = . 2

    Keterangan:

    (I.3)

  • 13

    P1: matrik parameter (a1, a2, ................,ak+1), yaitu:

    12..

    +1

    di mana ak+1 = So

    P2: matrik parameter (b1, b2, .............................,bk), yaitu:

    12...

    1: matrik pengamatan, yaitu:

    cos 1

    =

    cos 2

    =

    cos

    =

    =

    H2: matrik pengamatan, yaitu:

    sin 1

    =

    sin 2

    =

    .

    .

    .

    .

    .

    .

    sin 1

    =

  • 14

    A: matrik koefisien, yaitu:

    1,1 1,2 . . 1,2,1 2,2 . . 2,

    .

    .

    .+1,1 2, . . ,

    B: matrik koefisen, yaitu:

    1,1 1,2 . . 1,2,1 2,2 . . 2,

    .

    .

    .+1,1 2, . . ,

    Dengan:

    i,j =sin 2n+1 ji /2

    2 sin ji /2+

    sin 2n+1 j +i /2

    2 sin j +i /2...........................

    , =sin 2n+1 ji /2

    2 sin ji /2+

    sin 2n+1 j +i /2

    2 sin j +i /2...........................

    Dari persamaan (I.6) dan (I.7) untuk i = j ditentukan:

    sin 2 + 1 /2

    2 sin j i /2=

    2 + 1

    2

    Dan jika i = j = k di mana = 0, ditentukan:

    sin 2 + 1 + /2

    2 sin j + i /2=

    2 + 1

    2

    Setelah besaran parameter (a1, a2,.........,ak+1) dan besaran parameter (b1,

    b2...........,bk) kemudian dapat ditentukan:

    1. Duduk tengah permukaan laut (mean sea level)

    0 = ak+1

    (I.6)

    (I.7)

  • 15

    2. Amplitudo tiap komponen pasut:

    = 2 + 2

    3. Fase tiap komponen pasut:

    Pr = Arc tan

    Sehingga persamaan (I.2) dapat dinyatakan menjadi:

    = + cos ( )=1 ...........................................(I.8)

    Koreksi terhadap fase dan amplitudo ditunjukkan pada persamaan seperti di

    bawah ini:

    gi = i + Vi + ui ......................................................................(I.9)

    =

    .....................................................................................(I.10)

    Faktor koreksi amplitudo (f), koreksi fase (u), dan fase komponen (V) dapat

    dihitung dari fungsi-fungsi di bawah ini:

    s = 277,025 + 129,38481 (Y-1900) + 13,17640 (D+L) (dalam derajat)

    h = 260,190 0,23872 (Y-1900) + 0,98565 (D+L) (dalam derajat)

    p = 334,385 + 40,66249 (Y-1900) + 0,11140 (D+L) (dalam derajat)

    N = 259,157 19,32818 (Y-1900) + 0,05295 (D+L) (dalam derajat)

    Keterangan:

    Y : tahun masehi

    D : jumlah hari yang telah berlaku dari jam 00.00 tanggal 1 Januari tahun Y

    L : bagian integer dari (1/4)(Y-1901)

    Perhitungan selanjutnya adalah menghitung nilai argumen astronomis untuk

    koreksi nilai amplitudo dan fase konstanta harmonik yang sering disebut sebagai

    koreksi nodal , , dan . Untuk menghitung nilai menggunakan persamaan

    sebagai berikut:

  • 16

    fM2 = 1,0004 + 0,0373 cos N + 0,0002 cos 2N

    fS2 = 1

    fN2 = fM2

    fK1= 1,006 + 0,115 cos N 0,008 cos 2N + 0,0006 cos 3N

    fO1 = 1,0089 + 0,1871 cos N 0,00147 cos 2N + 0,0014 cos 3N

    fM4= fM2 x fM2

    fMS 4= fM2

    fK2= 1,0241 + 0,2863 cos N + 0,0083 cos 2N 0,0015 cos 3N

    fP1= 1

    fSo = 0

    Perhitungan nilai menggunakan persamaan sebagai berikut:

    uM2= -2,14 sin N

    uS2= 0

    uN2= 2

    uK1= -8,86 sin N + 0,68 sin 2N 0,07 sin 3N

    uO1= 10,8 sin N 1,34 sin 2N + 0,04 sin 3N

    uM4= uM2+ uM2

    uMS 4= uM2

    uK2= -17,74 sin N + 0,68 sin 2N 0,04 sin 3N

    uP1= 0

    uSo = 0

    Perhitungan nilai menggunakan persamaan sebagai berikut:

    VM2= -2s + h + M2x CT

    VS2= S2 x CT

    VN2= 3s + 2h + p + N2 x CT

    VK1= h + 90 + K1 x CT

    VO1= -2s + h 270 + O1x CT

    VM4= VM2 + VM2

    VMS 4 = -2s + MS 4 x CT

  • 17

    VK2= 2h + K2 x CT

    VP1= -h + 270 + P1 x CT

    VS0 = 0

    Pada persamaan di atas, CT merupakan jam atau data pasang surut yang tepat

    di tengah-tengah periode pengamatan. Dengan menjumlahkan dan dari masing-

    masing komponen harmonik pasut yang bersesuaian, maka diperoleh harga ( + )

    untuk masing-masing konstituen (Pangesti, 2012).

    Hasil analisis harmonik tersebut menghasilkan konstanta konstanta

    harmonik pasut. Konstanta harmonik pasut ini diolah untuk mengetahui tipe

    pasutnya. Tipe pasut yang timbul berbeda beda tergantung pada tempat pasut

    terjadi. Defant (1985) mengelompokkan pasut menurut perbandingan jumlah

    amplitudo komponen harian tunggal (diurnal) dan harian ganda (semi diurnal)

    berupa bilangan Formzahl dalam persamaan (I.11).

    =K1+O1

    M2 +S2..........................................................................(I.11)

    Tipe pasut berdasarkan nilai bilangan Formzahl dapat dilihat di Tabel I.3.

    Tabel I.3. Tipe pasut berdasarkan nilai bilangan Formzahl

    Nilai Bentuk Tipe Pasut Fenomena

    0 < < 0,25 Harian ganda

    murni

    2 kali pasang dalam satu hari

    0,25 < < 1,5 Campuran condong

    harian ganda

    2 kali pasang dalam satu hari dengan

    interval yang berbeda

    1,5 < < 3 Campuran condong

    harian tunggal

    1 atau 2 kali pasang dalam satu hari

    dengan interval yang berbeda

    > 3 Harian tunggal

    murni

    1 kali pasang dalam satu hari

    I.7.3.2. Perhitungan kedalaman tereduksi. Kegiatan Survei Batimetri menghasilkan

    data kedalaman yang masih mentah dan harus dikoreksi. Koreksi yang diberikan ke

    masing masing ukuran antara lain :

  • 18

    1. Koreksi alat dan kecepatan perambatan gelombang suara

    Koreksi kesalahan karena ketidaksamaan antara kecepatan standar di laut dan

    kecepatan gelombang suara dapat dilakukan dengan bar check. Koreksi ini

    menggunakan perbandingan kedalaman suatu titik yang telah ditentukan

    kedalamannya, biasanya dengan plat baja yang digantung dengan tali atau kawat

    dengan kedalaman hasil pengukuran echosounder. Selisih hasil perbandingan adalah

    besar kesalahan yang harus dikoreksikan ke hasil ukuran. Bar check dilakukan pada

    saat sebelum dan sesudah pengukuran dalam satu hari. Hasil koreksi tidak ikut dalam

    perhitungan data karena koreksi dilakukan pada waktu pengukuran.

    2. Koreksi draft tranducer

    Koreksi ini diperlukan karena posisi tranducer tidak tepat di permukaan air

    laut. Koreksi dilakukan dengan mengukur jarak tranducer ke batas air laut di tali

    penghubung ke tranducer. Nilai kedalaman setelah dikoreksikan terhadap draft

    tranducer dihitung dengan persamaan (I.12) berikut :

    0 = + ........................................................................................(I.12)

    Keterangan :

    0 : kedalaman terkoreksi

    : kedalaman hasil bacaan echosounder

    : nilai draft tranducer

    Koreksi ini bernilai positif dan ditambahkan dalam perhitungan kedalaman.

    3. Koreksi pasut laut

    Koreksi pasut dilakukan karena data kedalaman harus direduksikan ke bidang

    referensi tertentu, dalam penelitian ini muka surutan peta menggunakan MLLW.

    Nilai MLLW dicari dengan persamaan (I.13) berikut :

    = 0 (2+2)..................................................................(I.13)

    Nilai 0 dicari dengan penjumlahan seluruh amplitudo konstanta harmonik utama

    pasut dengan persamaan (I.14) berikut :

    0 = 1 + 1 + 1 + 2 + 2 + 2 + 2 + 4 + 4............................(I.14)

    Hubungan kedalaman ukuran dan pasut dalam skala waktu diterangkan dalam

    Gambar I.3.

  • 19

    Gambar I.3. Hubungan kedalaman ukuran dan pasut

    Jadi, besar nilai kedalaman tereduksi dihitung dengan persamaan (I.15) berikut :

    = 0 ( )...................................................... (I.15)

    Keterangan :

    : kedalaman tereduksi

    0 : kedalaman terkoreksi

    : tinggi pasut saat t

    : tinggi muka surutan peta

    Nilai Ht diperoleh melalui proses interpolasi linear dari bacaan pasut pada waktu

    pemeruman.

    I.7.4 Interpolasi Data

    Tempfli (1977) mendefinisikan interpolasi adalah penentuan nilai pendekatan

    dari variabel f (p) pada titik antara P dalam ruang berdimensi r. Secara umum

    interpolasi dapat didefinisikan sebagai penentuan nilai suatu besaran berdasarkan

    besaran lain yang sudah diketahui nilainya sebagai acuan, dimana letak besaran yang

    akan ditentukan sebagai besaran antara dicari di antara besaran yang sudah

    diketahui. Hubungan antara titik titik acuan tersebut didekati menggunakan fungsi

    interpolasi dan penetuan nilai besaran antara sehingga didapatkan nilai interpolasi

    yang berada di antara titik titik acuan.

    Penggunaan teknik interpolasi dalam penelitian ini diterapkan dalam

    penentuan tinggi pasut pada waktu tertentu dan penggambaran garis kedalaman

    berdasarkan data kedalaman yang ada. Penggunaan teknik interpolasi ini juga

    digunakan penentuan nilai koordinat suatu titik diatas peta batimetri.

    Dasar Laut

    H muka air t

    MLLW

    H H0

  • 20

    X0 X X1

    f

    (x1) f (x)

    f

    (x0)

    Interpolasi diklasifikasikan dalam beberapa macam. Salah satunya adalah

    klasifikasi interpolasi berdasarkan jumlah fungsi interpolasi pada suatu daerah

    (sekelompok data acuan) dikelompokkan menjadi interpolasi global dan interpolasi

    titik.

    I.7.4.1 Interpolasi global. Interpolasi global menggunakan pendekatan satu fungsi

    dalam suatu wilayah interpolasi. Salah satu contoh yaitu interpolasi linear.

    Interpolasi linear merupakan bentuk yang paling sederhana dari interpolasi global.

    Interpolasi ini menghubungkan dua titik dengan garis lurus. Interpolasi linear dapat

    dilihat di Gambar I.4.

    Gambar I.4. Interpolasi Linear

    Jika dilihat dari gambar I.4., interpolasi linear dapat dinyatakan dalam persamaan

    (I.16) berikut :

    1 (0)

    0=

    1 (0)

    1 0............................................ (I.16)

    Keterangan :

    1 : fungsi besaran yang dicari

    (0) : fungsi besaran acuan pertama

    1 : fungsi besaran acuan kedua

    : nilai besaran yang dicari

    0 : nilai besaran acuan pertama

    1 : nilai besaran acuan kedua

  • 21

    I.7.4.2. Interpolasi titik. Interpolasi titik merupakan interpolasi yang menggunakan

    unit area terkecil. Setiap titik di interpolasi ini mempunyai fungsi interpolasi yang

    berbeda di setiap interval, sehingga satu set nilai parameter yang baru sebagai fungsi

    interpolasi harus ditentukan kembali. Penentuan jarak maksimum titik acuan

    terhadap titik antara dilakukan dahulu untuk menentukan jumlah titik acuan yang

    digunakan sebagai parameter. Salah satu contoh interpolasi titik yaitu dengan

    menggunakan rata rata berat. Pemberian bobot lebih besar pada nilai yang sangat

    dekat daripada titik titik yang jauh. Tahap perhitungannya sebagai berikut :

    1. Penentuan jarak maksimum (d0).

    Penentuan jarak dilakukan dengan menghitung jarak titik antara ke masing

    masing titik acuan. Jumlah titik acuan sebanyak tiga buah akan menghasilkan

    geometri jarak yang terkontrol terhadap titik antara. Penentuan jarak maksimum

    dapat dilihat pada Gambar I.5.

    Gambar I.5. Interpolasi titik

    Jika X adalah nilai antara dan (X1, X2, X3) adalah nilai titik titik acuan, g(x)

    adalah kedalaman titik antara, dan {g(x1), g(x2), g(x3)}adalah kedalaman titik titik

    acuan, maka titik acuan yang digunakan adalah yang paling dekat dengan titik antara,

    yaitu titik acuan 2 dan 3. Jarak maksimum adalah rata rata hasil selisih nilai

    koordinat x titik acuan 2 ke titik antara dan hasil selisih nilai koordinat x titik acuan 3

    ke titik antara.

    2. Penentuan fungsi jarak yang digunakan W (d).

    X1 X2 X X3

    g

    (x3) g (x)

    g(x1)

    g(x2)

    x

  • 22

    Penentuan jarak ini dilakukan dengan mengurangi nilai koordinat X masing -

    masing titik acuan ke titik antara.

    D adalah matrik Jarak. W adalah matrik bobot jarak.

    =

    2 3

    =

    1

    11

    2

    1

    3. Perhitungan nilai interpolasi. Bentuk matematisnya adalah :

    = 1

    =1

    =1

    = AT F........................................................(I.17)

    A adalah matrik fungsi bobot jarak terhadap jumlah bobot jarak. F adalah matrik

    fungsi nilai kedalaman.

    =

    1

    2

    =

    1112

    1

    Berat yang diambil harus dari suatu fungsi yang berkurang terhadap jarak.

    I.7.5 Penyajian Kondisi Topografi

    Kondisi topografi suatu lokasi dapat berubah dari waktu ke waktu. Perubahan

    topografi dapat disebabkan oleh alam atau aktivitas manusia, contohnya

    penambangan timah lepas pantai di dasar laut. Perubahan tersebut dapat diketahui

    dengan membandingkan dua data dari lokasi yang sama dengan jangka waktu yang

    berbeda. Perubahan yang terjadi berupa perubahan ketinggian atau kedalaman untuk

    di dasar laut serta penambahan atau kekurangan massa berupa pasir atau material di

    dasar laut yang diperlihatkan dalam nilai volume.

    Data topografi yang telah diolah dan tereferensi terdiri dari satu atau lebih

    jangka waktu (epok) yang berbeda di lokasi yang sama. Data topografi epok pertama

    adalah acuan ketinggian 0 dimana belum terjadi perubahan. Data topografi epok

  • 23

    kedua dan seterusnya adalah data yang dianggap telah terjadi perubahan. Nilai

    perubahan kedalaman dihitung dengan persamaan (I.18).

    = 2 1 .................................................... (I.18) Keterangan :

    : selisih kedalaman kedua epok

    2 : kedalaman epok kedua

    1 : kedalaman epok pertama

    Persamaan (I.18) menghasilkan nilai selisih kedalaman antar 2 epok. Luas

    potongan penampang melintang epok 1 dan epok 2 menghasilkan luas permukaan

    gabungan dari kedua epok yang di rata rata . Nilai luas permukaan dicari dengan

    persamaan (I.19).

    =1 +2

    2 ................................................................ (I.19)

    Keterangan :

    : selisih kedalaman kedua epok

    1 : Luas permukaan epok pertama

    2 : Luas permukaan epok kedua

    Nilai sama dengan nilai jarak antar kedua ujung permukaan. Nilai luas

    permukaan dan hasil selisih tersebut digunakan untuk menghitung volume. Volume

    dihitung menggunakan persamaan (I.20) (Takasaki, 1980).

    = ................................................................ (I.20) Keterangan :

    : selisih kedalaman kedua epok

    A : Luas permukaan gabungan dari 2 epok

    V : Volume yang dihasilkan

    I.7.5.1. Penampang memanjang dan melintang. Penampang memanjang adalah irisan

    tegak pada suatu permukaan dengan mengukur jarak dan beda tinggi titik-titik di atas

    permukaan bumi. Penampang memanjang digunakan untuk melakukan pengukuran

    yang jaraknya jauh, sehingga dikerjakan secara bertahap beberapa kali. Nilai panjang

    yang besar membuat skala vertikal yang digunakan dibuat berbeda dengan

    skala horisontalnya.

  • 24

    Penampang melintang adalah sebuah penampang vertikal yang tegak lurus

    terhadap garis sumbu pada stasiun penuh dan stasiun plus dalam interval jarak

    tertentu. Penampang ini menyatakan batas-batas suatu galian atau timbunan rencana

    atau yang sudah ada. Penentuan luas potongan melintang menjadi sederhana bila

    potongan melintang tersebut digambar diatas kertas gambar potongan melintang.

    Potongan melintang digambar dengan skala yang disesuaikan untuk kemudahan

    dalam penggambaran.

    Penyajian kondisi topografi suatu permukaan dapat disajikan dengan 2 sajian

    meliputi penampang memanjang dan penampang melintang. Penampang ini

    merepresentasikan kenampakan kondisi topografi dalam bentuk 2D. Hasilnya berupa

    gambar penampang (profil) yang menggambarkan tampang atau irisan dari kondisi

    topografi suatu permukaan. Penampang memanjang dan melintang bisa juga

    merepresentasikan perubahan kondisi topografi berupa perubahan kedalaman dan

    volume yang terjadi dari 2 epok yang berbeda di lokasi yang sama.

    I.8 Hipotesis

    Bentuk topografi dasar laut Selat Bangka mengalami perubahan akibat

    penambangan timah lepas pantai.