indang sebagai konsep teater :
DESCRIPTION
Indang masih hidup dalam masyarakat Minangkabau. Indang merujuk pada perkembangan masyarakat Minangkabau baik secara sosiokultural maupun geografis. Indang merupakan bentuk teater statis (diam) jika dibandingkan dengan randai. - PowerPoint PPT PresentationTRANSCRIPT
1. Indang masih hidup dalam masyarakat Minangkabau. Indang merujuk pada perkembangan masyarakat Minangkabau baik secara sosiokultural maupun geografis.
2. Indang merupakan bentuk teater statis (diam) jika dibandingkan dengan randai.
3. Indang adalah produk “masyarakat agama”. Namun demikian, tetap bersifat profane.
1. Dunia Urang Siak
2. Kesenian sebagai Alat
3. Dunia Surau
4. Peranan Guru
Islam masuk ke Minangkabau melalui dua gerbang: barat dan timur. Gerbang timur adalah daerah pantai timur Sumatera
bagian tengah melalui sungai-sungai besar Siak, Kampar, dan Inderagiri. Gerbang barat adalah sepanjang pantai barat
Sumatera bagian tengah melalui Air Bangis, Tiku, Nareh, dan Pariaman.
Orang yang datang dari gerbang timur dikenal sebagai Urang Siak ‘orang dari Siak’. Mereka orang yang alim yang kemudian menjadi bagian masyarakat Minangkabau. Dunia urang Siak
adalah dunia para santri.
Urang Siak memiliki kedudukan tersendiri yang terbebas dari aturan-aturan adat Minangkabau, tetapi mereka tidak menolak aturan tersebut. Mereka adalah tempat orang bertanya tentang agama Islam. Seringkali terjadi mereka mendapat penghargaan
khusus dari sebuah kampung dengan diberi tanah garapan atau disediakan surau. Kedudukannya berbeda dengan ulama.
Urang Siak mementingkan pendekatan kekeluargaan dalam penyebaran Islam, sedangkan ulama lebih berkesan “menggurui”. Ulama disegani, urang Siak disayangi.
Kesenian dijadikan sebagai alat dakwah oleh urang Siak. Kesenian rebana yang telah dikenal masyarakat Minangkabau, yang pada mulanya terkait
dengan “hubungan vertikal”, pada akhirnya dihubungkan kepada “hubungan horisontal”. Kesenian tidak hanya dipahami dan dianggap sebagai pamenan atau selingan. Keindahan yang terkandung dalam kesenian bukanlah tujuan
akhir, tetapi merupakan akibat logis dari ketakwaan.
Kesenian indang merupakan perpanjangan dan modifikasi kesenian rebana. Indang menjadi berbeda karena pengaruh kesenian dari Aceh yang dibawa
pedagang Aceh gerbang barat.
Sebagai alat, indang bukanlah bagian dari peribadatan dan bukan merupakan hal yang suci. Indang tetap dalam posisi profane.
Berkembangnya Islam menyebabkan surau tumbuh sebagai sebuah lembaga pendidikan agama dan adat dan menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat
Minangkabau. Hal ini terjadi karena peranan urang Siak telah beralih kepada ninik mamak. Surau menjadi tempat belajar kesenian rebana, indang, dan sekaligus pencak.
Pada akhirnya surau juga menjadi pusat kegiatan indang dan randai.
Dunia surau adalah dunia pertemuan orang Minang muda dengan orang Minang tua. Orang Minang tua yang telah menempuh periode gelanggang, rantau, dan balai adat, mentransfer pengetahuan dan pengalaman kepada orang Minang muda. Dunia rantau mengenalkan dunia luar kepada orang Minang muda seperti halnya dunia perempuan di rumah gadang. Di samping itu, surau mengenalkan fungsi dan kedudukan seorang
guru.
Guru adalah orang yang mengajarkan berbagai kepandaian dan ilmu yang tidak terbatas pada dunia surau. Guru pada
mulanya adalah urang Siak yang beralih menjadi tugas ninik
mamak yang telah terbebas dari balai adat. Guru benar-benar menjadi panutan bahkan wibawanya jauh lebih tinggi daripada
Datuk, kepala kaum.Dalam kesenian indang, posisi guru terlihat dengan
menempatkan tukang dikie sebagai pemain yang berada di tempat terpisah dengan fungsi pokoknya.
1. Manusia di Hadapan Tuhan 2. Hubungan Sesama Manusia 3. Menghormati Tamu 4. Pemaafan
Indang tidak bercerita sebagaimana yang ada dalam randai, tetapi melanjutkan ajaran (Islam).
Dalam indang, hubungan sesama manusia berbentuk saling menanyakan hal tentang mereka (tentang tuan rumah, tamu, dan
penonton). Pertanyaan harus sopan dan tidak secara langsung, tetapi melalui kiasan-kiasan.
Dalam indang, kedudukan manusia adalah sama, pada tikar yang sama.
Dalam indang, sebagai pengundang maupun tamu harus sopan dan berlaku baik. Mereka
harus memberikan porsi yang pantas terhadap kelompok tamu. Jika ada “pertarungan” antara
kelompok tamu, tuan rumah harus menjadi penengah yang tidak berpihak.
Pada bagian awal indang, ada beberapa bagian yang merupakan bentuk pujian. Pujian ini
adalah pujian kepada Allah, Rasul, sahabat, dan guru. Hal ini dilanjutkan dengan permohonan
ampunan kepada Allah dan maaf keada penonton. Kemudian dilanjutkan penjelasan mengenai kelompok yang bersangkutan.
1. Harmoni 2. Pembebasan Keterbatasan pada
Ruang 3. Gymnastic Intelectual 4. Tanpa Simbol
Pendekatan kepada Tuhan memiliki 3 komponen: manusia, guru atau imama, dan Allah. Kehidupan manusia terbagi 3 lokasi: alam gaib
(barzah), alam nyata (dunia), dan alam akhirat. Zikir dilakukan 33 kali. Bentuk tiga-tiga ini diproyeksikan dalam indang. Terdapat 3 tahapan permainan: pujian kepada Allah, Rasul, dan guru; penjelasan tentang diri; uraian keagamaan. Indang disajikan oleh 3 kelompok sandiang.
Harmoni simetrik yang diacu dalam indang adalah kiri dan kanan memiliki posisi yang sama dengan satu pusat sehingga posisi
seimbang. Dengan bentuk seperti ini, jumlah pemain selalu ganjil.
Tidak seperti randai, indang tidak bercerita. Boleh dikatakan indang bebas
ruang dan waktu.
Indang merupakan bentuk pertunjukkan dialog atau tanya jawab untuk olah otak.
Pertanyaan yang diajukan tidak hanya menuntut luasnya wawasan dan
pengetahuan, tetapi juga menuntut kecerdasan berkias dan berkata-kata.
Tidak ada simbol peribadatan dalam indang. Indang adalah bentuk kesenian yang dijadikan sebagai alat dakwah dan pengajaran. Jumlah pemain yang ganjil bukanlah simbol melainkan proyeksi suatu ajaran.
Demikian pula gerak yang menyerupai zikir bukanlah gerak zikir yang sebenarnya. Gerak, selain hanya
mengikuti irama, juga disesuaikan dengan citarasa kelompok indang itu sendiri sehingga tidak ada gerak
yang baku dalam indang.
1. Bergerak dalam Diam 2. Stages on The Stage
3. Tiga Grup dalam Satu Pertunjukkan 4. Keterikatan Intelektual
Posisi tidak berpindah dalam indang mengingatkan pada posisi berdoa.
Bentuk pertunjukkan indang memberi kesan static monumental. Indang adalah
proyeksi berdoa.
Pertunjukkan indang dilakukan di laga-laga sebagai sebuah pentas (stage). Setiap kelompok berada pada tikarnya masing-
masing. Anak indang pada tikar yang panjang, tukang dikie pada tikar lain yang lebih kecil. Di belakang tukang dikie,
duduk beberapa orang lain (dukun dan sipatuang sirah) pada tikar yang lain.
Pada posisi ini, setiap tugas individu ditentukan dengan tikarnya masing-masing. Bisa dikatakan tikar-tikar tersebut adalah pentas-pentas kecil dalam pentas yang lebih besar.
Pertunjukkan indang menampilkan tiga kelompok (tigo sandiang). Saat tiba
giliran satu sandiang, maka sandiang lain beristrahat. Hal ini tidak ditemukan
dalam pertunjukkan lain.
Dalam pertunjukkan indang rapport tidak dicapai dengan kesamaan citarasa antara penonton dan pemain. Ikatan penonton dengan
pemain ada dalam lingkup ikatan intelektual. Sebuah pertanyaan yang harus dijawab kelompok lain juga membuka peluang penonton
untuk menebak. Namun demikian, jawaban yang ditunggu penonton adalah jawaban
kelompok yang ditanya (samakah dengan perkiraan penonton?). Pada akhirnya, pertanyaan dan jawaban selalu menjadi bahan pikiran penonton karena tidak jarang jawaban berubah menjadi pertanyaan
balik.