teater gandrik_suara pembaruan_kamis_12_feb

1
Suara Pembaruan Kamis, 12 Februari 2015 A 20 B ertempat di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta, pertunjukan Teater Gandrik akan berlangsung selama 2 hari, yaitu pada 11 dan 12 Februari 2015. Pementasan hari pertama, Teater Gandrik berhasil menye- dot perhatian warga Yogyakarta. Hal itu terlihat dari terjualnya seluruh tiket. Bahkan, sejumlah orang yang belum memiliki tiket tampak berkerumun di depan Concert Hall. Butet CS tidak mengecewakan penonton yang sejak pukul 18.00 WIB sudah hadir di Concert hall. Tepat pukul 20.00 WIB, Tangis langsung dibuka oleh tokoh Dulang yang diperankan oleh Susilo Nugroho. Dulang bak seorang dalang, yang mengatur bagaimana kisah keluarga Abiyoso. Sebagaimana ciri khas dari Teater Gandrik, maka banyolan, lelucon, guyon dengan segera bisa menyulut tawa penonton. Dulang nampak sangat piawai dalam menciptakan gerakan- gerakan maupun celetukan yang mengundang tawa. Dalam adegan Dulang masuk ke rumah Abiyoso yang lama tak lagi ditinggali, Dulang menemukan furnitur ber- debu. Tanpa segan Dulang meng- ungkap bahwa debu tersebut ada- lah bedak. Ada juga aksi Dulang meru- bah wujud menjadi seorang pena- ri. Dengan berpakaian beskap lengkap, Dulang melakukan aksi slapstick berjalan lenjeh. Aksi guyon Dulang makin menggila. Bak seorang stand up comedy, Dulang memerankan berbagai macam tokoh, mulai dari Ketua RT hingga seorang wanita. Kelakukan Dulang ini sontak membuat tawa penonton pecah di Concert Hall. Meski tidak mendominasi penampilan, namun Dulang men- jadi bintang pertunjukan ini. Butet beserta aktor dan aktris lainnya tidak mampu menyamai level kocak seorang Dulang. Walaupun tidak mendapat sorot- an utama, namun Butet dan kawan-kawan patut mendapatkan apresiasi untuk penampilan cemerlang mereka di atas pang- gung. Teater Gandrik mencoba melakukan teater interaktif. Tidak sekedar komunikasi basa- basi dengan penonton. Lebih dari itu, Teater Gandrik mengajak penonton ikut mengeluarkan pendapat soal tiga perempat pertunjukan. Sayangnya, teater inter- aktif ini kurang berhasil. Pasalnya penonton yang dipilih secara random cende- rung tidak bisa mengungkap pendapat. Beruntung ada sosok Dulang yang meman- du segmen ini dengan baik. Dulang tidak mati langkah, ia mengubah komentar sea- danya para penonton dengan adegan penuh canda tawa. Bahkan saat dihadapkan dengan pria Belanda yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Dulang mengarang-ngarang bahasa Belanda yang justru ter- dengar menjadi bahasa China dan Thailand. Djaduk Ferianto, sang sutra- dara mengugkap bahwa pada per- tunjukan berikutnya, Teater Gandrik akan tetap menerapkan interaksi semacam itu. Namun ke depannya, akan dipilih orang- orang besar atau tokoh yang lebih artikulatif ketika disodorkan microphone untuk berbicara. Tangis Tangis mengisahkan keluarga Abiyoso yang memiliki perusahaan batik. Kondisi perusahaan yang adem ayem seketika berubah saat Muspro, tangan kanan Abiyoso meninggal bunuh diri. Rupanya kematian Muspro menungkap keborokan perusahaan batik Abiyoso. Tak hanya itu, kematian Muspro juga menimbulkan perebutan tampuk kepemimpinan di Perusahaan Batik Abiyoso. Istri Abiyoso berkukuh bahwa Pangajab lah yang harus menjadi penerus usaha batik. Sementara Abiyoso masih ragu dengan kemampuan Pangajab dan cenderung percaya dengan Prasojo, anak Muspro. Pangajab yang tidak ingin kehilangan haknya atas perusahaan batik, lantas belajar menangis dari Ibu dan mandor bernama Siwuh. Tangis, konon menjadi kelemahan Abiyoso. Namun, tangis palsu Pangajab diketahui oleh Abiyoso. Ujung dari perebutan kekuasaan ini adalah kematian Abiyoso dan Siwuh. Ibu Abiyoso pun kemudian menjadi gila dan Pangajab pun dipenjara karena membunuh Siwuh. Di akhir cerita, tersingkap sebuah kenyataan bahwa Abiyoso mempunyai anak hasil selingkuh dengan Ibu Muspro yang kemudian diangkat anak oleh Dulang. "Sudah sejak lama air mata menjadi senjata berbagai rupa, mulai dari trik mendapatkan iba, hingga pintu masuk mendapatkan jabatan. Di dunia politik republik ini, tangis tak jarang diumbar ke publik, dihadapkan ke kamera infotainment. Moral seperti itu bagaikan virus yang sudah menular karena hasilnya sungguh ciamik. Lumayan, usahanya ringan dan untungnya banyak," kata Butet. Meski ini adalah kisah perusahaan batik, namun konflik yang ada sangat aktual. Intrik- intrik yang bersesuaian dengan kondisi bangsa saat ini. Melalui karakter tokoh dan dialog-dialognya, Teater Gandrik mencoba menyentil permasalah yang saat ini menimpa Indonesia. Misalnya saja ada pernyataan soal "asal jangan gembosi KPK" dan "Parpol menang tapi pilih Kapolri salah". "Ini cara kami mencubit namun tidak sakit," kata Djaduk. [Rizky Amelia] FOTO-FOTO:BERITASATU/DANUNG ARIFIN Cubitan Mesra Teater Gandrik terhadap Kondisi Bangsa Teater Gandrik kembali naik pentas. Kali ini, teater yang dimotori oleh Butet Kertaradjasa dan Djaduk Ferianto itu mengangkat lakon Tangis. Tangis merupakan gabungan dua naskah karya almarhum Heru Kesawa Murti, yaitu Tangis dan Juragan Abiyoso. Dua naskah ini dilebur oleh penulis Agus Noor menjadi satu lakon berjudul.

Upload: danung-arifin

Post on 18-Feb-2017

71 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Teater Gandrik_Suara Pembaruan_Kamis_12_Feb

Sua ra Pem ba ru an Kamis, 12 Februari 2015A 20

Bertempat di Concert Hall, Taman Budaya Yogyakarta, pertunjukan Teater Gandrik akan

berlangsung selama 2 hari, yaitu pada 11 dan 12 Februari 2015.

Pementasan hari pertama, Teater Gandrik berhasil menye-dot perhatian warga Yogyakarta. Hal itu terlihat dari terjualnya seluruh tiket. Bahkan, sejumlah orang yang belum memiliki tiket tampak berkerumun di depan Concert Hall. Butet CS tidak mengecewakan penonton yang sejak pukul 18.00 WIB sudah hadir di Concert hall.

Tepat pukul 20.00 WIB, Tangis langsung dibuka oleh tokoh Dulang yang diperankan oleh Susilo Nugroho. Dulang bak seorang dalang, yang mengatur bagaimana kisah keluarga Abiyoso. Sebagaimana ciri khas dari Teater Gandrik, maka banyolan, lelucon, guyon dengan segera bisa menyulut tawa penonton.

Dulang nampak sangat piawai dalam menciptakan gerakan-gerakan maupun celetukan yang mengundang tawa. Dalam adegan Dulang masuk ke rumah Abiyoso yang lama tak lagi ditinggali, Dulang menemukan furnitur ber-debu. Tanpa segan Dulang meng-ungkap bahwa debu tersebut ada-lah bedak.

Ada juga aksi Dulang meru-bah wujud menjadi seorang pena-ri. Dengan berpakaian beskap lengkap, Dulang melakukan aksi slapstick berjalan lenjeh. Aksi guyon Dulang makin menggila. Bak seorang stand up comedy, Dulang memerankan berbagai macam tokoh, mulai dari Ketua RT hingga seorang wanita. Kelakukan Dulang ini sontak membuat tawa penonton pecah di Concert Hall.

Meski tidak mendominasi

penampilan, namun Dulang men-jadi bintang pertunjukan ini. Butet beserta aktor dan aktris lainnya tidak mampu menyamai level kocak seorang Dulang. Walaupun tidak mendapat sorot-an utama, namun Butet dan kawan-kawan patut mendapatkan apresiasi untuk penampilan cemerlang mereka di atas pang-gung.

Teater Gandrik mencoba melakukan teater interaktif. Tidak sekedar komunikasi basa-basi dengan penonton. Lebih dari itu, Teater Gandrik mengajak penonton ikut mengeluarkan pendapat soal tiga perempat pertunjukan.

Sayangnya, teater inter-aktif ini kurang berhasil. Pasalnya penonton yang dipilih secara random cende-rung tidak bisa mengungkap pendapat. Beruntung ada sosok Dulang yang meman-du segmen ini dengan baik. Dulang tidak mati langkah, ia mengubah komentar sea-danya para penonton dengan adegan penuh canda tawa. Bahkan saat dihadapkan dengan pria Belanda yang tidak bisa berbahasa Indonesia. Dulang mengarang-ngarang bahasa Belanda yang justru ter-dengar menjadi bahasa China dan Thailand.

Djaduk Ferianto, sang sutra-dara mengugkap bahwa pada per-tunjukan berikutnya, Teater Gandrik akan tetap menerapkan interaksi semacam itu. Namun ke depannya, akan dipilih orang-orang besar atau tokoh yang lebih artikulatif ketika disodorkan

microphone untuk berbicara.

Tangis Tangis mengisahkan

keluarga Abiyoso yang memiliki perusahaan batik. Kondisi perusahaan yang adem ayem seketika berubah saat Muspro, tangan kanan Abiyoso meninggal bunuh diri. Rupanya kematian Muspro menungkap keborokan perusahaan batik Abiyoso. Tak

hanya itu, kematian Muspro juga menimbulkan perebutan tampuk kepemimpinan di Perusahaan Batik Abiyoso.

Istri Abiyoso berkukuh bahwa Pangajab lah yang harus menjadi penerus usaha batik. Sementara Abiyoso masih ragu dengan kemampuan Pangajab dan cenderung percaya dengan Prasojo, anak Muspro.

Pangajab yang tidak ingin kehilangan haknya atas

perusahaan batik, lantas belajar menangis dari Ibu dan mandor bernama Siwuh. Tangis, konon menjadi kelemahan Abiyoso. Namun, tangis palsu Pangajab diketahui oleh Abiyoso.

Ujung dari perebutan kekuasaan ini adalah kematian Abiyoso dan Siwuh. Ibu Abiyoso pun kemudian menjadi gila dan Pangajab pun dipenjara karena membunuh Siwuh.

Di akhir cerita, tersingkap sebuah kenyataan bahwa Abiyoso

mempunyai anak hasil selingkuh dengan Ibu Muspro yang kemudian diangkat anak oleh Dulang.

"Sudah sejak lama air mata menjadi senjata berbagai rupa, mulai dari trik mendapatkan iba, hingga pintu masuk mendapatkan jabatan. Di dunia politik republik ini, tangis tak jarang diumbar ke publik, dihadapkan ke kamera infotainment. Moral seperti itu bagaikan virus yang sudah menular karena hasilnya sungguh ciamik. Lumayan, usahanya ringan dan untungnya banyak," kata Butet.

Meski ini adalah kisah perusahaan batik, namun konflik yang ada sangat aktual. Intrik-intrik yang bersesuaian dengan kondisi bangsa saat ini.

Melalui karakter tokoh dan dialog-dialognya, Teater Gandrik mencoba menyentil permasalah yang saat ini menimpa Indonesia.

Misalnya saja ada pernyataan soal "asal jangan gembosi KPK" dan "Parpol menang tapi pilih Kapolri salah". "Ini cara kami mencubit namun tidak sakit," kata Djaduk. [Rizky Amelia]

foto-foto:BeritaSatu/Danung arifin

Cubitan Mesra Teater Gandrik terhadap Kondisi Bangsa

Teater Gandrik kembali naik pentas.

Kali ini, teater yang dimotori oleh Butet Kertaradjasa

dan Djaduk Ferianto itu mengangkat lakon Tangis.

Tangis merupakan gabungan dua naskah

karya almarhum Heru Kesawa Murti,

yaitu Tangis dan Juragan Abiyoso.

Dua naskah ini dilebur oleh penulis

Agus Noor menjadi satu lakon berjudul.