ind nesia rabu, 15 desember 2010 | | media indonesia ... file... sebuah kawasan bisnis di tokyo, ......

1
M AKANAN dan minuman tidak semata menjadi bagian kebutuh- an pokok manusia, tapi juga menjadi ciri dan identitas dari suatu masyarakat. Komoditas ini juga jadi penyumbang de- visa yang signikan. Namun, bila melihat eksisten- si cita rasanya, masyarakat In- donesia bisa berbangga. Tengok saja antrean pelanggan Rumah Makan Djembatan Merah yang menyajikan berbagai masakan khas Indonesia di distrik Aka- saka, sebuah kawasan bisnis di Tokyo, ibu kota Jepang. Di ‘Negeri Sakura’ ini bisa dipastikan di hampir semua kota besarnya selalu terselip restoran yang menjual menu masakan Indonesia. Fenomena yang sama terjadi di beberapa kota-kota besar di dunia. Dari sudut kota London, Inggris, kota-kota di Belanda hingga kawasan Harleem, New York, Amerika Serikat. Ini merupakan bukti bahwa cita rasa Indonesia sudah bisa diterima di pasar global. Hal ini pun dirasakan di industri makanan dan minuman Indo- nesia. Dunia pasti mengenal produk mi instan Indonesia se perti Indomie. Produk ini populer di kalangan tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar ne- geri dan menular ke penduduk setempat. Tidak terbatas pada produk mi instan, puluhan produk ma- kanan ringan serta minuman dalam kemasan dari produsen lain di dalam negeri sudah mampu menembus pasar Chi- na, Jepang, Malaysia, hingga negara kecil seperti Fiji. Menurut Wakil Direktur Uta- ma PT Indofood Sukses Mak- mur Tbk Franciscus Welirang, salah satu daya tarik yang membuat produk Indonesia diminati konsumen di negara lain karena memiliki keunikan rasa. Keunikan ini mampu dite- rima masyarakat dunia. “Produk yang dihasilkan produsen Indonesia selalu ber- dasarkan pada selera umum masyarakat Indonesia serta dari masakan Indonesia yang kaya akan rasa. Ini keunggulan khas yang apabila dikemas de- ngan baik, dalam arti mampu memenuhi standar kualitas ter- tentu, peluang pasar ekspor itu terbuka,” ujarnya di sela acara Economic Challenges Metro TV beberapa waktu lalu. Menurutnya, bila produsen lokal mampu menggali semua potensi tersebut, produk ma- kanan olahan Indonesia tidak akan pernah habis untuk di- kembangkan. Bahkan untuk menjadi produk massal yang bisa cocok untuk semua lidah masyarakat dunia. Rambah dunia Berdasarkan data Kemen- terian Perdagangan, di pasar dunia, pangsa pasar produk makanan dan minuman olahan Indonesia hanya 0,53% pada 2009 dan menduduki urutan 32 negara eksportir. Selama pe- riode 2005-2009 pertumbuhan nilai ekspor Indonesia rata-rata 15,80%, sedangkan pasar impor dunia rata-rata tumbuh 8,07% per tahun. Adapun tahun ini, Badan Pusat Statistik mencatat untuk periode Januari-Agustus 2010, nilai ekspor produk makanan dan minuman olahan mencapai US$1,33 miliar. Artinya, ekspor produk ini mengalami pertum- buhan 20,88% jika dibanding- kan dengan periode sama pada 2009 senilai US$1,09 miliar. “Pemerintah tentu melihat potensi makanan dan minum- an olahan Indonesia ini sangat bisa diandalkan untuk menda- tangkan devisa dan memajukan industri nasional. Karena itu, sejak 2006 kami menggelar Pameran Pangan Nusa untuk memberi kesempatan industri dalam negeri hingga usaha kecil dan menengah (UKM) di bidang pangan olahan dikenal oleh pembeli internasional,” ujar Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu. Saat ini, Amerika Serikat, Filipina, Malaysia, Singapura, dan Jepang, merupakan lima besar pasar utama yang menye- rap 53,2% produk makanan dan minuman Indonesia. Produk andalan ekspor masih didomi- nasi produk ikan olahan, kaviar, olahan tepung, sereal, makanan ringan, serta manisan dari buah dan kacang. Di AS, Indonesia masih me- nempati posisi 20 besar pema- sok makanan dan minuman. Pangsa pasar yang dikuasai mencapai 1,12%. Sedangkan, di Jepang Indonesia hanya menempati posisi 12 dengan pangsa 1,11%. Di Singapura, Indonesia ha- nya menempati posisi ke-9 de- ngan pangsa pasar 5,134%. Di pasar negeri jiran ini, pesaing utama produk Indonesia ber- asal dari Prancis (20,11%), Ma- laysia (10,16%), dan Australia (7,44%). (E-5) jajang@ mediaindonesia.com Membawa Cita Rasa Indonesia Mendunia Produk makanan dan minuman olahan Indonesia baru meraih 0,53% pasar dunia pada 2009 dan menduduki urutan 32 negara eksportir. Jajang Sumantri JAGA KUALITAS: Sejumlah karyawan melakukan proses pengepakan di sebuah pabrik minuman olahan, di Jakarta Timur, beberapa waktu lalu. Pemerintah mengaku tidak bisa memaksa produsen untuk memenuhi standar produk makanan dan minuman olahan di negara lain. MI/ AGUNG WIBOWO IND NESIA di Pentas Dunia | MEDIA INDONESIA | HALAMAN 30 RABU, 15 DESEMBER 2010 | INDONESIA negara yang kaya akan cita rasa karena kekayaan berbagai rempah dan juga ba- han makanan yang beragam. Kekayaan ini ternyata masih belum bisa menjadikan indus- tri makanan dan minuman Indonesia sebagai penguasa pasar makanan dan minuman dunia. Berdasarkan data Kementeri- an Perdagangan, di pasar dunia, pangsa pasar produk makanan dan minuman olahan Indo- nesia baru menguasai 0,53% pada 2009. Dengan penguasaan tersebut, Indonesia menduduki urutan 32 negara eksportir ma- kanan dan minuman dunia. Bahkan belakangan, sur- plus perdagangannya semakin menipis dan menjadi defisit. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, untuk periode Janu- ari-Agustus 2010, nilai ekspor produk ini secara kumulatif tercatat US$1,33 miliar atau tumbuh 20,88% dari periode yang sama 2009 senilai US$1,09 miliar. Sayangnya, perkembang- an ekspor ini dibayangi per- tumbuhan nilai impor untuk produk sama. Periode Januari- Agustus 2010 secara kumulatif impor makanan dan minum- an mencapai US$1,84 miliar atau mengalami pertumbuhan 54,58% jika dibandingkan de- ngan periode yang sama tahun sebelumnya, US$1,18 miliar. Artinya, meski ekspor mening- kat, pasar domestik justru di- serbu produk impor. Sehingga, di periode tersebut neraca perdagangan produk makanan dan minuman Indo- nesia ke pasar dunia menga- lami defisit US$509,36 juta. Kondisi ini diyakini tidak akan berubah selama produk ma- kanan minuman olahan da- lam negeri masih berkutat dengan masalah klasik, yakni inesiensi. “Defisit ini terjadi karena produk kita masih belum bisa sepenuhnya esien untuk me- miliki daya saing yang seim- bang dengan produk sejenis dari negara lain,” ujar Sekre- taris Jenderal Gabungan Peng- usaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Franky Sibarani, kepada Media Indone- sia, Minggu (12/12). Dia menilai, industri makan- an dan minuman asing lebih bisa bersaing karena sudah berhasil memangkas biaya pokok produksi di negara asal. Hal ini ditopang oleh pasokan bahan baku, pasokan energi, hingga insentif perpajakan yang memicu industri untuk meningkatkan produk ber- orientasi ekspor. “Ditambah dengan infra- struktur yang sudah memadai, mereka mampu menekan biaya logistik hanya sekitar 3%, jauh di bawah produk Indonesia yang berada di kisaran 10% dari biaya produksi,” ujarnya. Keberpihakan Franky juga mengeluhkan, keberpihakan regulator kepada produk impor masih terlalu besar. Padahal, produk lokal dihadapkan dengan berbagai persoalan, misalnya persaingan dan biaya ekonomi tinggi. “Pengurusan nomor ML (izin edar produk olahan im- por) yang relatif lebih cepat. Sementara untuk mendapatkan nomor MD, nomor pendaftaran produk setelah dinyatakan se- suai dengan standar kualitas dan keamanan produk dari Badan POM (Pengawas Obat dan Makanan) dibutuhkan waktu lama, antara 6-12 bulan,” tutur Franky. Hal ini masih ditambah de- ngan banyaknya pintu masuk pelabuhan untuk produk impor yang berjumlah 120 pintu. Pada saat sama produk ekspor ha- rus berkutat dengan tingginya biaya produksi akibat mahal- nya logistik. “Setelah berlakunya perda- gangan bebas ASEAN-China, kini produk impor malah tidak terbebani biaya bea masuk,” ujar Franky. Kondisi ini berbanding terba- lik dengan negara pesaing yang menjadi tujuan ekspor produk Indonesia. Masih segar kasus Indomie yang harus ditarik karena tuduhan penggunaan bahan makanan yang dianggap berbahaya. Otoritas perdagangan di negara lain lebih proaktif me- lindungi produknya. Salah sa- tunya dengan menarik produk asal Indonesia dengan berbagai alasan. Padahal produk terse- but merupakan produk unggul- an yang terbukti mampu me- nembus pasar negara-negara di Asia, Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Timur Tengah, dan Australia. “Sesungguhnya, kasus seper- ti yang menimpa Indomie di Taiwan tidak mencerminkan se- luruh produk makanan olahan Indonesia bermasalah. Sejauh ini produk makanan minuman kita banyak diminati konsumen di luar negeri. Kasus di Taiwan terjadi karena ada perbedaan standar internasional yang dite- rapkan Taiwan,” ujar Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Ke- mendag, Deddy Saleh, bebera- pa waktu lalu. Deddy mengakui pemerintah tidak bisa memaksa produ- sen untuk memenuhi standar produk di negara lain. Pasal- nya, hal tersebut merupakan hak dari pelaku usaha yang tidak dapat dipaksakan. “Namun, pemerintah berke- wajiban mengamankan akses pasar bagi produk Indonesia di luar negeri, sehingga tidak dilarang peredarannya. Jadi kami hanya bisa mendorong. Jika ingin masuk ke pasar suatu negara, paling tidak harus memenuhi standar yang ber- laku di negara itu,” katanya. (Jaz/E-5) Inefisiensi masih Bayangi Produk Lokal Defisit ini terjadi karena produk kita masih belum bisa sepenuhnya efisien untuk memiliki daya saing yang seimbang dengan produk sejenis dari negara lain.” Franky Sibarani Sekjen Gapmmi FREDY Sumber: Dokumentasi MI/ Kemendag FREDY Jan - Agt

Upload: buicong

Post on 20-Apr-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: IND NESIA RABU, 15 DESEMBER 2010 | | MEDIA INDONESIA ... file... sebuah kawasan bisnis di Tokyo, ... yang sama terjadi di beberapa kota-kota besar di dunia. ... 2009 dan menduduki

MAKANAN dan minuman tidak semata menjadi bagian kebutuh-

an pokok manusia, tapi juga menjadi ciri dan identitas dari suatu masyarakat. Komoditas ini juga jadi penyumbang de-visa yang signifi kan.

Namun, bila melihat eksisten-si cita rasanya, masyarakat In-donesia bisa berbangga. Tengok saja antrean pelanggan Rumah Makan Djembatan Merah yang menyajikan berbagai masakan khas Indonesia di distrik Aka-saka, sebuah kawasan bisnis di Tokyo, ibu kota Jepang.

Di ‘Negeri Sakura’ ini bisa dipastikan di hampir semua kota besarnya selalu terselip res toran yang menjual menu masakan Indonesia. Fenomena yang sama terjadi di beberapa kota-kota besar di dunia. Dari sudut kota London, Inggris, kota-kota di Belanda hingga kawasan Harleem, New York, Amerika Serikat.

Ini merupakan bukti bahwa cita rasa Indonesia sudah bisa diterima di pasar global. Hal ini pun dirasakan di industri makanan dan minuman Indo-nesia. Dunia pasti mengenal

produk mi instan Indonesia se perti Indomie. Produk ini populer di kalangan tenaga kerja Indonesia (TKI) di luar ne-geri dan menular ke penduduk setempat.

Tidak terbatas pada produk mi instan, puluhan produk ma-kanan ringan serta minuman dalam kemasan dari produsen lain di dalam negeri sudah mampu menembus pasar Chi-na, Jepang, Malaysia, hingga negara kecil seperti Fiji.

Menurut Wakil Direktur Uta-ma PT Indofood Sukses Mak-mur Tbk Franciscus Welirang, salah satu daya tarik yang mem buat produk Indonesia diminati konsumen di negara lain karena memiliki keunikan rasa. Keunikan ini mampu dite-rima masyarakat dunia.

“Produk yang dihasilkan pro dusen Indonesia selalu ber-dasarkan pada selera umum masyarakat Indonesia serta dari masakan Indonesia yang kaya akan rasa. Ini keunggulan khas yang apabila dikemas de-ngan baik, dalam arti mampu memenuhi standar kualitas ter-tentu, peluang pasar ekspor itu terbuka,” ujarnya di sela acara Economic Challenges Metro TV beberapa waktu lalu.

Menurutnya, bila produsen lokal mampu menggali semua

potensi tersebut, produk ma-kanan olahan Indonesia tidak akan pernah habis untuk di-kembangkan. Bahkan untuk menjadi produk massal yang bisa cocok untuk semua lidah masyarakat dunia.

Rambah duniaBerdasarkan data Kemen-

terian Perdagangan, di pasar dunia, pangsa pasar produk makanan dan minuman olahan Indonesia hanya 0,53% pada 2009 dan menduduki urutan 32 negara eksportir. Selama pe-riode 2005-2009 pertumbuhan nilai ekspor Indonesia rata-rata 15,80%, sedangkan pasar impor dunia rata-rata tumbuh 8,07% per tahun.

Adapun tahun ini, Badan Pusat Statistik mencatat untuk periode Januari-Agustus 2010, nilai ekspor produk makanan dan minuman olahan mencapai US$1,33 miliar. Artinya, ekspor produk ini mengalami pertum-buhan 20,88% jika dibanding-kan dengan periode sama pada 2009 senilai US$1,09 miliar.

“Pemerintah tentu melihat potensi makanan dan minum-an olahan Indonesia ini sangat bisa diandalkan untuk menda-tangkan devisa dan memajukan industri nasional. Karena itu, sejak 2006 kami menggelar

Pameran Pangan Nusa untuk memberi kesempatan industri dalam negeri hingga usaha kecil dan menengah (UKM) di bidang pangan olahan dikenal oleh pembeli internasional,” ujar Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu.

Saat ini, Amerika Serikat, Filipina, Malaysia, Singapura, dan Jepang, merupakan lima besar pasar utama yang menye-rap 53,2% produk makanan dan minuman Indonesia. Produk andalan ekspor masih didomi-nasi produk ikan olahan, kaviar, olahan tepung, sereal, makanan ringan, serta manisan dari buah dan kacang.

Di AS, Indonesia masih me-nempati posisi 20 besar pema-sok makanan dan minuman. Pang sa pasar yang dikuasai mencapai 1,12%. Sedangkan, di Jepang Indonesia hanya menempati posisi 12 dengan pangsa 1,11%.

Di Singapura, Indonesia ha-nya menempati posisi ke-9 de-ngan pangsa pasar 5,134%. Di pasar negeri jiran ini, pe saing utama produk Indonesia ber-asal dari Prancis (20,11%), Ma-laysia (10,16%), dan Australia (7,44%). (E-5)

[email protected]

Membawa Cita Rasa Indonesia Mendunia

Produk makanan dan minuman olahan Indonesia baru meraih 0,53% pasar dunia pada 2009 dan

menduduki urutan 32 negara eksportir.

Jajang Sumantri

JAGA KUALITAS: Sejumlah karyawan melakukan proses pengepakan di sebuah pabrik minuman olahan, di Jakarta Timur, beberapa waktu lalu. Pemerintah mengaku tidak bisa memaksa produsen untuk memenuhi standar produk makanan dan minuman olahan di negara lain.

MI/ AGUNG WIBOWO

IND NESIAd i P e n t a s D u n i a

| MEDIA INDONESIA | HALAMAN 30RABU, 15 DESEMBER 2010 |

INDONESIA negara yang kaya akan cita rasa karena kekayaan berbagai rempah dan juga ba-han makanan yang beragam. Kekayaan ini ternyata masih belum bisa menjadikan indus-tri makanan dan minuman Indonesia sebagai penguasa pasar makanan dan minuman dunia.

Berdasarkan data Kementeri-an Perdagangan, di pasar dunia, pangsa pasar produk makanan dan minuman olahan Indo-nesia baru menguasai 0,53% pada 2009. Dengan penguasaan tersebut, Indonesia menduduki urutan 32 negara eksportir ma-kanan dan minuman dunia.

Bahkan belakangan, sur-plus perdagangannya semakin menipis dan menjadi defisit. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, untuk periode Janu-ari-Agustus 2010, nilai ekspor produk ini secara kumulatif tercatat US$1,33 miliar atau tumbuh 20,88% dari periode yang sama 2009 senilai US$1,09 miliar.

Sayangnya, perkembang-an ekspor ini dibayangi per-tumbuhan nilai impor untuk produk sama. Periode Januari-Agustus 2010 secara kumulatif impor makanan dan minum-an mencapai US$1,84 miliar atau mengalami pertumbuhan 54,58% jika dibandingkan de-ngan periode yang sama tahun sebelumnya, US$1,18 miliar. Artinya, meski ekspor mening-kat, pasar domestik justru di-serbu produk impor.

Sehingga, di periode tersebut neraca perdagangan produk makanan dan minuman Indo-nesia ke pasar dunia menga-lami defisit US$509,36 juta. Kondisi ini diyakini tidak akan berubah selama produk ma-kanan minuman olahan da-lam negeri masih berkutat dengan masalah klasik, yakni inefi siensi.

“Defisit ini terjadi karena produk kita masih belum bisa sepenuhnya efi sien untuk me-miliki daya saing yang seim-bang dengan produk sejenis dari negara lain,” ujar Sekre-taris Jenderal Gabungan Peng-usaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi), Franky Sibarani, kepada Media Indone-

sia, Minggu (12/12).Dia menilai, industri makan-

an dan minuman asing lebih bisa bersaing karena sudah berhasil memangkas biaya pokok produksi di negara asal. Hal ini ditopang oleh pasokan bahan baku, pasokan energi, hingga insentif perpajakan yang memicu industri untuk meningkatkan produk ber-orien tasi ekspor.

“Ditambah dengan infra-struktur yang sudah memadai, mereka mampu menekan biaya logistik hanya sekitar 3%, jauh di bawah produk Indonesia yang berada di kisaran 10% dari biaya produksi,” ujarnya.

KeberpihakanFranky juga mengeluhkan,

keberpihakan regulator kepada produk impor masih terlalu besar. Padahal, produk lokal dihadapkan dengan berbagai persoalan, misalnya persaingan dan biaya ekonomi tinggi.

“Pengurusan nomor ML (izin edar produk olahan im-por) yang relatif lebih cepat. Sementara untuk mendapatkan nomor MD, nomor pendaftaran produk setelah dinyatakan se-suai dengan standar kualitas dan keamanan produk dari Badan POM (Pengawas Obat dan Makanan) dibutuhkan waktu lama, antara 6-12 bulan,” tutur Franky.

Hal ini masih ditambah de-

ngan banyaknya pintu masuk pelabuhan untuk produk impor yang berjumlah 120 pintu. Pada saat sama produk ekspor ha-rus berkutat dengan tingginya biaya produksi akibat mahal-nya logistik.

“Setelah berlakunya perda-gangan bebas ASEAN-China, kini produk impor malah tidak terbebani biaya bea masuk,” ujar Franky.

Kondisi ini berbanding terba-lik dengan negara pesaing yang menjadi tujuan ekspor produk Indonesia. Masih segar kasus Indomie yang harus ditarik karena tuduhan penggunaan bahan makanan yang dianggap berbahaya.

Otoritas perdagangan di ne gara lain lebih proaktif me-lindungi produknya. Salah sa-tunya dengan menarik produk asal Indonesia dengan berbagai alasan. Padahal produk terse-but merupakan produk unggul-an yang terbukti mampu me-nembus pasar negara-negara di Asia, Eropa, Amerika Serikat, Kanada, Timur Tengah, dan Australia.

“Sesungguhnya, kasus seper-ti yang menimpa Indomie di Taiwan tidak mencerminkan se-luruh produk makanan olahan Indonesia bermasalah. Sejauh ini produk makanan minuman kita banyak diminati konsumen di luar negeri. Kasus di Taiwan terjadi karena ada perbedaan standar internasional yang dite-rapkan Taiwan,” ujar Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Ke-mendag, Deddy Saleh, bebera-pa waktu lalu.

Deddy mengakui pemerintah tidak bisa memaksa produ-sen untuk memenuhi standar produk di negara lain. Pasal-nya, hal tersebut merupakan hak dari pelaku usaha yang tidak dapat dipaksakan.

“Namun, pemerintah berke-wajiban mengamankan akses pasar bagi produk Indonesia di luar negeri, sehingga tidak dilarang peredarannya. Jadi kami hanya bisa mendorong. Jika ingin masuk ke pasar suatu negara, paling tidak harus memenuhi standar yang ber-laku di negara itu,” katanya. (Jaz/E-5)

Inefisiensi masih Bayangi Produk Lokal

Defisit ini terjadi karena pro duk kita masih belum bisa sepenuhnya efisien untuk memiliki daya saing yang seimbang dengan produk sejenis dari negara lain.”

Franky SibaraniSekjen Gapmmi

FREDY

Sumber: Dokumentasi MI/ Kemendag

FREDY

Jan - Agt