ina nuraeni-skripsi-fakultas ilmu sosial politik-naskah
TRANSCRIPT
ANALISIS KONSISTENSI PENGAWASAN
PEMUNGUTAN BEA PEROLEHAN TANAH DAN
BANGUNAN DI PROPINSI DKI JAKARTA
Ina Nuraeni, Azhari A. Samudra
Program Ekstensi Ilmu Administrasi Fiskal
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia
ABSTRAK
Nama : Ina Nuraeni
Program Studi : Administrasi Fiskal
Judul : Analisis Konsistensi Pengawasan Pemungutan Bea Perolehan Tanah dan
Bangunan di Propinsi DKI Jakarta
Skripsi ini membahas pengawasan BPHTB di DKI Jakarta. Dengan dialihkannya
BPHTB menjadi pajak daerah, pemerintah DKI berupaya melakukan mengoptimalkan
pendapatan daerah melalui pengawasan pajak daerah. Karna dalam pelaksanaannya masih
terdapat kendala dalam peratuan terkait. Sehingga menimbulkan celah bagi wajib pajak untuk
melakukan penyelundupan pajak. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif. Hasil
dari penelitian ini menunjukkan bahwa pengawasan pemungutan BPHTB di DKI Jakarta
belum secara konsisten dilakukan, karna masih terdapat potensial loss akibat belum ada
pembaharuan NJOP yang sesuai dengan kondisi pasar saat ini. NJOP yang lebihkecil
memberikan kecenderungan kepada wajib pajak untuk melaporkan nilai transaksi sesuai
NJOP alih-alih harga transaksi. Dari hasil penelitian tersebut, penulis memberi saran agar
pihak pemerintah provinsi DKI Jakarta segera melakukan penyesuaian NJOP terkini.
Kata kunci:
BPHTB, Pengawasan, Pajak Daerah
Analisis konsistensi..., Ina Nuraeni, FISIP UI, 2014
ABSTRACT
Nama : Ina Nuraeni
Program Studi : Fiscal Administration
Judul : Analysis of Supervison consistency on Land and Building
Tile Transfer Duty in Jakarta Region
This undergraduate thesis discuss about the supervision of Land and Building Tile
Transfer Duty collection in Jakarta region. Due to the diversion of Land and Building Tile
Transfer Duty to local tax, the government of Jakarta attempted to optimalize the regional
income through supervision of local tax. There are some inhibiting factors in regulations so
that prompted clefts for moral hazard in society. Researcher used a qualitative approach.
The result that there was an consistence in Land and Building Tile Transfer Duty supervision
which caused potencial loss due to needs of reconditional tax objects sales value which
suitably with nowdays market value. Lower tax objects sales value gave tax payer
opportunity to report transaction based on tax objects sales value instead of real transaction.
esearcher suggest the government of Jakarta to make adjustment to the tax objects sales
value.
Keywords:
Land and Building Tile Transfer Duty, Supervision, Local Tax
A. Pendahuluan
Perpajakan Indonesia sedikit banyak telah mengalami perubahan semenjak dilakukan
reformasi perpajakan. Dampak besar terjadi sejak dikeluarkannya Undang-undang Nomor 28
Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menandai momentum penting
pemberian otonomi yang seluas-luasnya dalam bidang ekonomi daerah.
Beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang menjadi dasar dalam
penyusunan undang-undang Nomor 28 tahun 2008 ini adalah pemberian kewenangan kepada
daerah dalam hal pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah yang tidak terlalu
membebani rakyat; pemberian kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tariff pajak
daerah dalam batas tariff minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam undang-undang;
jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan dalam
undang-undang (close list) namun demikian pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis
Analisis konsistensi..., Ina Nuraeni, FISIP UI, 2014
pajak dan retribusi yang tercantum dalam undang-undnang sesuai kebijakan pemerintahan
daerah.
Salah satu jenis pajak yang dialihkan menjadi pajak daerah adalah Bea Pengalihan Hak
atas Tanah dan Bangunan (selanjutnya disingkat BPHTB). BPHTB merupakan pajak yang
diterapkan terhadap orang atau badan yang melakukan perbuatan hukum yang
mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah atau bangunan, termasuk hak pengelolaan,
termasuk bangunan di atasnya.
Melalui Peraturan Daerah Nomor 18 tahun 2010 tentang BPHTB, pemungutan BPHTB
di DKI Jakarta resmi dialihkan dari pemerintah pusat (Direktorat Jenderal Pajak Kementerian
Keuangan) kepada pemerintah provinsi DKI Jakarta, dengan demikian Kantor Pelayanan
Pajak Pratama (KPP Pratama) tidak lagi melayani pengelolaan pelayanan BPHTB.
Propinsi DKI Jakarta merupakan salah satu propinsi di Indonesia yang memiliki potensi
besar dalam mengoptimalisasi Pajak Daerah. Hal ini disebabkan DKI Jakarta adalah propinsi
yang memiliki pertumbuhan ekonomi tertinggi di Indonesia yang pada triwulan 1 2013
tumbuh sebesar 6.5% (www.bi.go.id, diakses tanggal 7 November 2013 pukul 05.08 WIB).
Pertumbuhan tersebut ditopang oleh berkembangnya sentra-sentra bisnis dan faktor
urbanisasi.
Kebutuhan penduduk Jakarta akan sarana bisnis, tempat tinggal dan tempat hiburan
mendorong pembangunan properti di DKI Jakarta, hal ini membuka peluang bertambahnya
proses pemindahan hak tanah dan atau bangunan sehingga bertambah pula jumlah
penerimaan Pajak Daerah terutama di sektor BPHTB. Dapat dilihat pada Tabel 1.1, bahwa
DKI Jakarta merupakan daerah yang mempunyai penerimaan BPHTB paling besar dan masih
memiliki potensi untuk penerimaan lebih besar lagi mengingat tingkat pembangunan properti
Jakarta semakin tinggi.
Tabel 1.1
Realisasi Penerimaan BPHTB (Daerah Tertentu)
No. Daerah 2009 2010 2011*) %
1 Prov DKI Jakarta 1,881,411,601,708 2,529,429,323,126 1,074,336,095,608 42%
2 Kab. Bogor 140,980,619,134 187,457,292,519 71,749,971,601 38%
3 Kab. Lhokseumawe 114,166,452,000 1,286,529,244 672,190,350 52%
4 Kota Tanggerang 101,903,883,000 139,585,556,638 62,279,379,850 45%
Analisis konsistensi..., Ina Nuraeni, FISIP UI, 2014
5 Kab. Sidoarjo 69,766,680,000 88,912,249,302 32,839,787,131 37%
6 Kab. Deli Serdang 46,422,716,120 56,263,594,981 24,559,045,463 44%
7 Kota Balikpapan 43,087,275,000 51,924,613,649 21,455,326,200 41%
8 Kab. Sleman 42,400,137,781 49,190,514,144 27,462,599,858 55%
9 Kab. Gresik 33,128,953,000 43,677,407,599 20,172,158,000 45%
10 Kota Pekanbaru 32,463,813,841 40,743,083,985 21,869,411,745 54%
11 Kota Jogyakarta 25,978,633,000 30,572,531,195 15,037,787,248 49%
12 Kota Pontianak 19,387,659,658 27,985,995,278 18,711,700,000 67%
13 Kab. Kutai Barat 16,626,299,000 521,920,000 2,826,810,649 542%
14 Kota Dumai 16,603,895,037 3,512,942,363 4,719,297,825 134%
15 Kab. Cirebon 13,475,390,715 17,005,795,559 6,690,681,384 39%
16 Kab. Bantul 13,196,702,542 15,529,119,154 62,775,456,333 404%
17 Kab. Bojonegoro 9,316,160,000 13,178,179,767 22,399,972,153 170%
18 Kab. Sukoharjo 9,232,077,990 19,867,470,795 7,942,318,073 40%
19 Kab. Kendari 8,181,633,000 9,582,354,205 4,747,692,969 50%
20 Kab. Kediri 7,942,004,000 9,018,787,852 4,332,586,316 48%
21 Kota Banda Aceh 4,972,442,801 4,859,527,840 2,162,332,445 44%
22 Kota Bitung 3,441,926,106 3,653,885,037 1,509,963,619 41%
23 Kota Palu 3,344,794,000 5,629,250,847 2,464,732,468 44%
24 Kab. Lebak 2,961,947,000 2,443,780,250 1,200,870,679 49%
25 Kota Bukit Tinggi 2,167,136,000 4,405,813,530 1,501,222,807 34%
26 Kab. Kebumen 1,778,723,660 1,874,516,697 780,132,704 42%
27 Kab. Belitung 1,237,575,103 2,584,158,001 1,113,911,108 43%
28 Kab. Bangkalan 849,847,000 1,550,530,939 836,656,385 54%
29 Kota Tanjung Balai 821,862,000 720,241,106 414,880,107 58%
30 Kab. Barito Kuala 607,047,000 1,152,057,744 426,693,025 37%
31 Kota Samarinda 36,290,541,000 44,230,258,640 16,499,557,320 37%
32 Kab. Cianjur 19,604,663,000 24,388,118,837 7,065,064,174 29%
33 Kab. Sumedang 5,132,308,000 6,029,444,750 2,103,887,023 35%
Sumber DJP dan DJPK (diolah kembali oleh peneliti) *) sampai dengan 30 Juni 2011
Analisis konsistensi..., Ina Nuraeni, FISIP UI, 2014
Karena itu di tahun 2013, pemerintah daerah menetapkan target yang relatif tinggi yakni
Rp. 3.200.000.000. DKI Jakarta diharapkan dapat mencapai target dipenghujung tahun ini
sehingga tidak mengalami penurunan seperti yang terjadi tahun lalu.
Untuk mencapai target penerimaan target yang telah direncanakan tersebut, maka
diperlukan suatu sistem pengawasan pemungutan BPHTB yang mampu menyesuaikan
dengan pesatnya pembangunan infrastruktur di DKI Jakarta. Dan juga penyesuaian peraturan
yang dapat diterima dalam kondisi saat ini.
Perhitungan BPHTB dihitung berdasarkan transaksi yang terjadi. Besarnya transaksi
tergantung pada harga pasar dan luas tanah atau bangunan yang dijual. Sistem pemungutan
BPHTB pun mengalami reformasi, sama seperti Pajak Penghasilan (PPh), BPHTB dilakukan
secara self assessment dimana wajib pajak sendiri yang menghitung, menetapkan,
menyetorkan dan melaporkan pajak yang terutang (Rosdiana dan Tarigan, 2005 : 108).
Pada saat pemilik hak mengajukan sertifikat ke Kantor Pertanahan Nasional, harus
dilampirkan salinan Surat Setoran Pajak BPHTB dengan cap validasi dari kantor pajak. Jika
pada sebelum masa transisi UU Pajak dan Retribusi Daerah No. 28/2009 validasi dilakukan
oleh Direktorat Jenderal Pajak (selanjutnya disingkat Ditjen Pajak), maka sejak 2 Januari
validasi Surat Setoran Pajak Daerah BPHTB (selanjutnya disingkat SSPD BPHTB) atas
transaksi properti dilakukan oleh Pemda. Skema validasi ini efektif mencegah pemalsuan
SSPD BPHTB.
Namun Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia pada tanggal 17 April
lalu menerbitkan Surat Edaran (selanjutnya disingkat SE) Nomor 5/SE/IV/2013 tentang
pendaftaran Hak Atas Tanah atau Pendaftaran Pengalihan Hak Atas Tanah terkait dengan
Pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah. Dalam angka 6
SE tersebut, disebutkan bahwa dalam rangka peningkatan pelayanan di bidang pertanahan,
bukti pembayaran pajak tidak dipersyaratkan pengecekan tanda bukti setoran pembayaran
BPHTB pada kantor instansi yang berwenang. Seperti dikutip di situs berita portal, Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI), Hendarman Supandji
menambahkan “Dengan adanya Surat Edaran ini, validasi BPHTB tidak diperlukan lagi,
cukup membuat pernyataan PPAT yang bersangkutan atau pemohon,”
(www.korantransaksi.com , diakses tanggal 16 September pukul 17.00).
Kebijakan ini muncul karena banyak keluhan dari masyarakat dan notaris/PPAT akibat
kelambanan proses validasi SSB BPHTB sehingga menghambat proses sertifikasi tanah.
Melalui surat edaran ini, berkas-berkas terkait pengalihan hak ini tidak perlu lagi melalui
proses penelitian oleh Dinas Pelayanan Pajak terlebih dahulu dan tidak perlu mendapat teraan
Analisis konsistensi..., Ina Nuraeni, FISIP UI, 2014
Dinas Pendapatan. Dengan demikian setiap berkas yang masuk ke BPN akan langsung
diproses meskipun belum dilakukan proses penelitian. Pengecekan tanda bukti setoran
pembayaran BPHTB ini sering disebut dengan proses penelitian Surat Setoran BPHTB
(SSB).
Proses penelitian yang dilakukan antara lain: (1) Mencocokkan NJOP bumi dan/atau
bangunan yang dicantumkan dengan Basis Data PBB; (2) Menghitung kebenaran
penghitungan BPHTB yang tercantum dalam formulir SSPD; (3) Meneliti kebenaran
penghitungan BPHTB yang disetor, dan (4) Kebenaran besarnya transaksi yang dilakukan
antara penjual dan pembeli Objek Pajak, yang menjadi acuan dalam penghitungan BPHTB
dalam hal transaksi jual beli.
Melalui self assessment system, tidak menutup kemungkinan terjadi kesalahan oleh
Wajib Pajak pada saat pengisian formulir Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD), khususnya
kesalahan dalam pengisian nilai transaksi atau NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) tanah dan/atau
bangunan kesalahan tersebut perlu diperhatikan karena berhubungan dengan jumlah pajak
yang harus dibayarkan oleh Wajib Pajak. Dengan berkurangnya pengawasan karena
ditiadakannya proses Penelitian SSB, maka bukan tidak mungkin Wajib Pajak akan
memanfaatkannya untuk pemalsuan SSB BPHTB sehingga timbul moral hazard (Ega Okli
Rosepta, Inside Tax Edisi 16).
Mekanisme pemungutan BPHTB juga berkaitan erat dengan struktur hubungan antar
instansi yang terkait. Banyak instansi yang terkait dalam pengurusan BPHTB memiliki
potensi untuk memanupulasi data sehingga merugikan pemerintah DKI Jakarta. Ditjen Pajak
menengarai ada penghindaran pajak properti senilai Rp30 triliun yang seharusnya masuk ke
kas negara.
Lalu bagaimana sebenarnya upaya pengawasan pemungutan BPHTB di propinsi DKI
Jakarta? Dan apa hambatan yang dihadapi dalam pengawasan BPHTB tersebut? Berikut
uraiannya.
B. Pengawasan Pemungutan BPHTB
Pengawasan pemungutan BPHTB merupakan sebuah proses yang bertujuan untuk
menjamin agar pemerintah provinsi DKI Jakarta berjalan sesuai dengan rencana dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Upaya pengawasan yang
dilaksanakan oleh pemerintah provinsi DKI Jakarta ini terkait dengan penyelenggaraan fungsi
Analisis konsistensi..., Ina Nuraeni, FISIP UI, 2014
kerja aparatur pelaksana dan pengawasan terhadap undang-undang dan peraturan yang
berlaku. Mekanisme atau cara kerja aparatur pelaksana pengawasan pajak daerah diatur
dalam perda DKI Jakarta tentang BPHTB Nomor 18 tahun 2010. Adapun aparatur pelaksana
pengawasan BPHTB adalah Unit Pelayanan Pajak Daerah (UPPD) dan dibantu pihak lain
yang terkait.
a) Unit Pelayanan Pajak Daerah
Pengawasan langsung dilakukan oleh Unit Pelayanan Pajak Daerah dengan
melakukan pemerikasaan kantor sederhana dan pemeriksaan lapangan yaitu
memeriksa berkas yang disyaratkan terkait dengan pembayaran BPHTB yang
dilakukan oleh wajib pajak atau notaris. Dalam KUP No.16 tahun 2009 Pasal 29,
pemeriksaan merupakan instrument pengawasan. Oleh karena itu pemeriksaan mutlak
dilakukan oleh Unit Pelayanan Pajak Daerah. Pemerikasaan yang dilakukan UPPD
meliputi penelitian berdasarkan pelaporan SSPD BPHTB oleh Wajib Pajak atau
kuasanya atau melalui pos yang dikirin ke UPPD.
Dasar hukum proses Penelitian ini adalah Peraturan Direktur Jenderal Pajak
Nomor PER-16/PJ/2008 Tentang Tata Cara Penelitian Surat Setoran Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan. Penelitian bertujuan untuk memastikan jumlah pajak
yang terutang sudah benar atau belum, apakah nilai transaksi sudah wajar atau tidak.
Karena saat ini pengelolaan BPHTB mulai dilakukan oleh Pemerintah Daerah, proses
penelitian tersebut masih dilaksanakan tetapi dasar hukumnya berbeda, yaitu
Peraturan Daerah. Meskipun demikian, dalam praktiknya Peraturan Direktur Jenderal
Pajak Nomor PER-16/PJ/2008 tetap dijadikan acuan oleh Pemerintah Daerah.
Atas pelaporan SPPD BPHTB yang disampaikan sendiri oleh tau wajib pajak
kuasanya, UPPD melakukan penelitian pembayaran BPHTB pada bank melalui online
system. Berbeda dengan disampaikan secara langsung, pelaporan SSPD BPHTB
melalui pos hanya lembar keempat saja yang disampaikan. Mekanisme penelitian
yang dilakukan UPPD meliputi pengisian, perhitungan dan penandatanganan SSPD
BPHTB.
Perhitungan yang diperhatikan dalam SSPD BPHTB yaitu:
1. Harga transaksi
Harga transaksi yang tertera merupakan harga riil dalam perjanjian jual
beli, hibah, tukar menukar atau perjanjian pengalihan lainnya. Fenomena
yang sering terjadi di masyarakat berbeda, nilai yang disampaikan lebih
banyak menggunakan NJOP alih-alih menggunakan nilai perolehan,
Analisis konsistensi..., Ina Nuraeni, FISIP UI, 2014
dimana NJOP sekarang ini masih dibawah harga pasar. Maka tentu
masyarakat akan mencari celah yang lebih menguntungkan.
2. Perkalian luas tanah dan bangunan dengan harga transaksi atau NJOP
PBB jika nilai transaksi di bawah NJOP PBB. Pada bagian ini
dimungkinkan dilakukan pemeriksaan lapangan untuk mengeck
kebenaran luas bangunan saat penyampaian.
3. Besarnya nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP)
4. Perkalian tariff pajak dengan NPOP
5. Pengurangan BPHTB sesuai dengan peraturan yang berlaku
Penelitian SSPD BPHTB dilakukan paling lama 1 (satu) hari sejak diterimanya
SSPD BPHTB. Walaupun dalam perjalanannya proses penelitian SSPD BPHTB
mengalami pergeseran proses, mengingat dikeluarkannya surat edaran BPN, yang
berisi kebijakan tidak lagi mengisyaratkan proses penelitian SSPD BPHTB dalam hal
pengajuan sertifikat tanah dan bangunan. Sebagai gantinya cukup surat pernyataan
dari notaris yang berisi kesungguhan nilai transaksi yang terdapat dalam akte.
Dalam masa tersebut, proses pengajuan penelitian SSPD BPHTB masih dilakukan
oleh wajib pajak melalui Unit Pelayanan Pajak Daerah. Atas BPHTB yang tidak
melalui proses penelitian SSPD di UPPD, tetap dilakukan pemeriksaan, namun
prosesnya menyusul. Di sisi lain, melalui sebuah wawancara, Machfud Siddik
berpendapat tentang proses penelitian SSPD BPHTB tersebut sebagai berikut :
The government should perform first. Pertama itu pemerintah harus
perform dulu baru bayar pajak. ko ini masih mengada-ada, sudah orang
bayar pajak masih diminta ini itu. Bukan begitu. Poinnya itu
kesetaraan, karena pemerintah itu menjalankan fungsinya, dia dikasih
hak untuk merampas haknya rakyat dengan paksaan bayar pajak itu
karena pemerintah dikasih mandat. Mandatnya apa? You have to
deliver your service, ya fungsinya bagus, keamanan bagus, jalanan
bagus, transportasi bagus. Jadi jangan mengada-ada. Di situ ada
sistem, dan sistem itu kita rigid yang dibangun kedepan ya self
assessment itu. Ketika itu sudah self ya harus dibangun ke depan,
bukan malah diakal-akalin. Sekarang tinggal pilih, self assessment itu
wajib pajak jujur atau wajib pajak itu maling? Kalo wajib pajak itu
Analisis konsistensi..., Ina Nuraeni, FISIP UI, 2014
maling ya terapkan official. Sistemnya yang dibangun dan jangan
diembel-embalin official” (wawancara, minggu, 8 Desember 2013)
Dari hasil wawancara di atas terlihat bahwa pelaksanaan penelitian SSPB
BPHTB masih menimbulkan pro dan kontra. Mengingat pelaksanaan pemungutan
BPHTB di Indonesia dilakukan dengan sistem self assessment, penelitian SSPB
BPHTB justru dianggap menyimpang dari konsistensi sistem self assessment
sedangkan di pihak pemerintah daerah hal tersebut perlu dilakukan karena dianggap
sering terjadi penyelewangan pajak dimana jumlah transaksi yang dicantumkan tidak
menunjukkan keadaan yang sebenarnya.
Upaya pemerintah yang saat ini dijalankan dalam mencegah penyelewengan
wajib pajak, selain penelitian SSPD BPHTB, UPPD juga melakukan pemeriksaan
lapangan. Pemeriksaan lapangan dilakukan untuk mengecek kebenaran pelaporan
pembayaran BPHTB yang terutang dalam SSPD BPHTB.
Pada saat penyampaian SPPD BPHTB bisa saja terjadi kesalahan penulisan luas
bangunan, karena wajib pajak berdasarkan nilai yang tertera pada SPPT PBB, padahal
pada masa tersebut sudah terjadi perluasan bangunan.
Selain tugas diatas, UPPD juga memiliki fungsi yang berkaitan dengan BPHTB yaitu
1) Mengadministrasikan laporan bulanan pembuatan akta PPAT/akta Notaris,
laporan bulanan pembuatan risalah lelang dari Laporan tindak lanjut
penyelesaian wajib pajak yang belum atau kurang bayar BPHTB dari Kantor
Pertanahan di wilayah DKI Jakarta
2) Melakukan evaluasi laporan bulanan dari PPAT dan Kantor Lelang serta
laporan hasil tindak lanjut penyelesaian dari Kantor Pertanahan wilayah DKI
Jakarta
3) Mengkoordinasikan secara periodik upaya-upaya intensifikasi pengenaan
BPHTB
4) Memberikan penjelasan dan sosialisasi BPHTB di wilayah kerjanya. Hal ini
tentu sangat berguna bagi pengetahuan wajib pajak, mengingat tidak semua
wajib pajak paham akan peraturan dan perundang-undangan.
b) PPAT dan Notaris
Walaupun terdapat perbedaan kepentingan dengan Dinas Pelayanan Pajak dalam
penyampaian BPHTB, notaris juga berperan dalam pengawasan pemungutan BPHTB.
Analisis konsistensi..., Ina Nuraeni, FISIP UI, 2014
Pengawasan yang dilakukan PPAT/Notaris adalah melalui pelaporan pembuatan akta
tanah dan atau bangunan kepada Dinas Pelayanan Pajak. Laporan tersebut berupa
rekapitulasi pembuatan akta atau risalah lelang untuk masing-masing wilayah
kecamatan.Laporan tersebut diterima oleh UPPD paling lambat setiap tanggal 10
(sepuluh) bulan berikutnya.
Untuk mengatasi penghindaran terhadap pemungutan BPHTB pada transaksi
perjanjian pengikatan jual beli dengan kuasa jual yang dibuat di hadapan notaris
diisyaratkan dalam pendaftaran peralihan hak atas tanah dan bangunan supaya pemilik
dan pemegang hak bidang tanah menandatangani surat pernyataan dan diketahui oleh
notaris yang mengesahkan akta atau surat kuasa yang membuat surat pernyataan,
bahwa :
1) kuasa penjual yang diberikan kepada penerima kuasa belum pernah dibatalkan
atau dicabut dan masih tetap berlaku sampai dibuat dan ditandatanganinya
akta PPAT,
2) antara pembeli dan penerima kuasa belum atau tidak pernah membuat atau
melaksanakan perjanjian pengikatan jual beli di hadapan notaris,
3) surat pernyataan yang ditandatangani oleh pemiliki dan pemegang hak jika
dikemudian hari dinyatakan tidak benar maka dianggap memberikan
keterangan palsu kepada pemerintah sesuai dengan pasal 242 (ayat 1, 2 dan 3)
263, pasal 266, pasal 363, pasa 372 dan pasal 378 Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dan atau jika dikemudian hari terdapat tuntutan pidana atau
gugatan perdata tata usaha negara maka pemilik dan pemegang hak bersedia
dan sanggup bertanggugjawab sepenuhnya serta bersedia ditindak dan dituntut
di hadapan pihak-pihak yang berwenang tanpa melibatkan kantor badan
pertanahan nasional.
Tujuan dari adanya penandatanganan surat pernyataan tersebut, supaya terhadap
perjanjian pengikatan jual beli dengan kuasa jual yang dibuat di hadapan notaris,
pihak penjual tidak akan menyalahgunakan kuasa jual yang telah dibuat tersebut,
terutama untuk melakukan pengelakan atau penyelundupan BPHTB. Namun hingga
kini, Dirjen Pajak belum ada upaya untuk mengantisipasi ataupun mengatasi
penghindaran pajak melalui pembuatan akta pengikatan jual beli dan kuasa jual yang
dibuat oleh akta notaris.
Fungsi PPAT/Notaris lainnya terkait BPHTB antara lain:
Analisis konsistensi..., Ina Nuraeni, FISIP UI, 2014
1) Menyerahkan formulir SSPD BPHTB rangkap 3 yang telah disediakan kepada
wajib pajak yang hendak membuat akta jual beli, pemenang lelang, atau wajib
pajak yang mengajukan pendaftaran permohonan hak atas tanah
2) Dengan berkoordinasi dengan Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Daerah (KP
PBB), melakukan penelitian keabsahan SSB, melakukan pengecekan jumlah
yang seharusnyan dibayar, dan jika nilai transaksi lebih besar dari NJOP PBB
(bagi PPAT/Notaris) melakukan pengecekan jumlah BPHTB yang dibayar
sesuai dengan nilai transaksi
3) Dalam hal BPHTB yang dibayar oleh wajib pajak kurang dari yang
seharusnya seharusnya, maka wajib pajak diharuskan terlebih dahulu melunasi
BPHTB yang seharusnya terutang
4) Menyampaikan laporan bulanan pembuatan akta PPAT (untuk PPAT),
pembuatan akta Notaris (Notaris), pembuatan risalah lelangn (KLN) disertai
foto copy SSB kepada Kepala KP PBB paling lambat tanggal 10bulan
berikutnya, dan tembusannya dikirimkan ke Kepala Unit Pelayanan Pajak
5) Membantu memberikan penjelasan dan sosialisasi BPHTB di wilayah
kerjanya.
c) Bank DKI
Bank DKI merupakan satu-satunya bank persepsi yang ditunjuk pemerintah
provinsi DKI Jakarta dalam menerima pembayaran BPHTB. Fungsi lainnya antara
lain:
1) Menerima pembayaran BPHTB sesuai jumlah nominal rupiah pada SSPD
BPHTB
2) Memberikan pengesahan/validasi bank pada setiap lembar SSPD BPHTB.
3) Menyerahkan SSPD BPHTB yang telah diberikan tanda pengesahan/validasi
lembar 1, 3, dan 5 kepada wajib pajak
4) Mengadministrasikan penerimaan pembayaran bPHTB dan SPPD BPHTB
lembar ke-4
5) Melimpahkan penerimaan pembayaran BPHTB dengan dilampiri SSPD
BPHTB lembar 2 kepada BO V setiap hari jumat atau hari kerja berikutnya
apabila hari jumat libur
Analisis konsistensi..., Ina Nuraeni, FISIP UI, 2014
6) Menyampaikan rekening Koran sampai dengan akhir bulan dan
menyampaikan kepada KPKN dan BO V
7) Menyusun rekening Koran sampai dengan akhir bulan dan menyampaikan
kepada KPKN dan BO V
8) Membantu memberikan penjelasan mengenai BPHTB di wilayah kerjanya.
Validasi yang dilakukan pihak Bank DKI dengan membubuhkan stempel bukti
pelunasan pada lembar SSPD BPHTB inilah yang dijadikan bukti untuk diteliti oleh
UPPD. Setiap berkas untuk pengajuan sertifikasi ke BPN perlu menyertakan bukti
SPPD yang telah divalidasi oleh Bank Persepsi.
Mekanisme pengawasan yang dilakukan oleh instansi-instansi di atas, harus
didasarkan pada peraturan yang berlaku. Peraturan yang terkait dalam pemungutan
BPHTB di DKI Jakarta antara lain:
1) Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah
2) Peraturan Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 18 Tahun 2010 Tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
3) Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 29 Tahun 2011 Tentang
Pembentukan Organisasi Dan Tata Kerja Unit Pelayanan Pajak Daerah
4) Peraturan Kepala Dinas Pelayanan Pajak Provinsi DKI Jakarta Nomor 3 Tahun
2013 Tentang Penyampaian atau pelaporan SSPD BPHTB dan Pengenaan Sanksi
Administrator BPHTB
5) Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 200 tahun 2012 Tentang
Klasifikasi dan Penetapan NIlai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak
Bumi dan Bangunan.
Atas penyimpangan yang terjadi dalam proses penyampaian BPHTB dapat Wajib Pajak dapat
dikenakan sanksi sesuai dengan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang
berlaku. Sanksi administrasi dikenakan antara lain apabila:
1) Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar;
2) SSPD BPHTB tidak disampaikan dalam jangka waktu tertentu dan setelah ditegur
secara tertulis tidak disampaikan pada waktunya
3) Kewajiban mengisi SSPD BPHTB tidaj dipenuhi pajak yang terutang dihitung
secara jabatan
Analisis konsistensi..., Ina Nuraeni, FISIP UI, 2014
4) Ditemukan data baru/atau data yang semula terungkap yang menyebabkan
penambahan jumlah pajak yang terutang
C. Hambatan dalam Pengawasan Pemungutan BPHTB di DKI Jakarta
Hambatan yang masih dihadapi Pemerintah DKI Jakarta dalam proses pengawasan
BPHTB di DKI Jakarta adalah sebagai berikut:
a) Tingkat Kesadaran Masyarakat
Besarnya jumlah potensi pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan di
DKI Jakarta, mengakibatkan semakin besar pula upaya yang akan dilakukan wajib
pajak dalam penyampaian BPHTB. Tidak semua wajib pajak paham akan undang-
undang BPHTB, sebagian mereka merupakan orang awam yang jarang bersentuhan
dengan undang-undang. Tapi tidak sedikit pula yang mengerti dan paham prosedur
dan alur pembayaran BPHTB. Seperti dikatakan dalam undang-undang, nilai yang
dipergunakan dalam perhitungan BPHTB adalah nilai perolehan, bagi wajib pajak
yang paham mengenai peraturan BPHTB akan menggunakan celah dalam undang-
undang untuk meminimalkan jumlah yang dibayarkan dengan melaporkan jumlah
transaksi yang tidak sebenarnya dengan menjadikan NJOP sebagai acuan. proses jual
beli yang dipakai adalah harga transaksi dan harga transaksi yang diajukan dalam
SSPD BPHTB lebih kecil dari NJOP, sedangkan NJOP itu lebih kecil dari harga pasar
sehingga setoran SSPD BPHTB banyak yang mengacu pada NJOP. Hal ini
merupakan salah satu indikasi wajib pajak yang berusaha menghindar dari proses
pemeriksaan lapangan/verifikasi SSPD BPHTB. Seperti diakui oleh Edi Sumantri
selaku Kepala Unit Pelayanan Pajak Kebayoran Baru (wawancara, Senin, 8 Desember
2013). Ia mencontohkan NJOP di Jalan Gandaria Kebayoran Baru dengan luas tanah
198 m dan bangunan 150 m adalah Rp 525.000.000, tetapi harga transaksi Rp
600.000.000. Menurutnya sangat tidak mungkin tanah dan bangunan di daerah
Kebayoran Baru hanya sekitar ratusan juta. Saat ini harga pasaran tanah dan bangunan
di Kebayoran Baru, sebenarnya sudah milyaran rupiah. NJOP yang tidak cepat
diperbarui inilah yang menjadi masalah, yang kemudian mudah sekali memunculkan
penghindaran BPHTB.
Analisis konsistensi..., Ina Nuraeni, FISIP UI, 2014
b) Kualitas Sumber Daya Manusia
Pengalihan wewenang pemungutan BPHTB dari pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah tentunya membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas. Yang
paham mengenai seluk beluk BPHTB dan kompeten dalam menjalankan fungsinya.
Namun yang terjadi perbandingan sumber daya manusia (SDM) petugas pajak
dengan jumlah wajib pajak tidak seimbang sehingga tidak memungkinkan untuk
dilakukan pengawasan sistem self assessment secara optimal. Petugas fungsional yang
terjun langsung di pemeriksaan lapangan dirasa masih kurang. Untuk itu diperlukan
penambahan personil yang memiliki latar belakang pajak khususnya PBB dan
BPHTB untuk dijakdikan petugas fungsional sehingga sehingga dapat mengimbangi
jumlah wajib pajak yang besar. Hal ini berguna untuk memaksimalkan pengawasan
BPHTB.
c) Transformasi Data dan Informasi
Dinas Pelayanan Pajak memerlukan data transaksi ekonomi yang terbaru, tetapi pada
kenyataanya data yang dimiliki Dinas Pelayanan Pajak kurang memadai sehingga
fungsi data dan informasi belum berjalan maksimal karena data dan informasi untuk
setiap objek pajak belum ada. Hal ini terlihat dalam hal penyesuaian NJOP. Sejak
2010 belum ada penyesuain kembali.
D. Penutup
E. Pengawasan pemungutan BPHTB di DKI Jakarta belum dilaksanakan secara optimal
dan konsisten karena prosedur pengawasan penelitian SSPD BPHTB tidak dilakukan
secara merata. Untuk itu kendala-kendala yang berkaitan dengan tingkat kesadaran
masyarakat, kualitas SDM, dan transformasi data dan informasi seperti telah
dijelaskan, harus segara diatasi.
F. Pertama, pemerintah DKI Jakarta harus segera memberlakukan penyesuaikan NJOP
terbaru berdasarkan harga pasar dengan melakukan monitoring perubahan harga
pasar, sehingga pembaharuan NJOP menjadi tepat sasaran.
G. Kedua, Dinas Pelayanan Pajak harus menambah petugas fungsional di setiap UPPD,
untuk memaksimalkan upaya pengawasan terhadap pelaksanaan self assessment
dalam pemungutan BPHTB, dan ketiga, Dinas Pelayanan Pajak diharapkan dapat
melakukan sosialisai mengenai peraturan dan kebijakan BPHTB demi meningkatkan
kesadaran masyarakat akan BPHTB.
Analisis konsistensi..., Ina Nuraeni, FISIP UI, 2014
H. Kepustakaan
Buku-buku
Brotodihardjo, Santoso. 1993. Pengantar Ilmu Hukum Pajak. Bandung: PT Eresco.
Davey, Kenneth. 1988. Pembiayaan pemerintah daerah: Praktek-praktek
internasional dan relevansinya bagi dunia ketiga. Jakarta. UI Press.
Dunn, Willian N. 2005. Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta: Gajah Mada University
Press.
Ismail, Tjip. 2005. Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia. Jakarta: PT Yellow
Mediatama.
Ismail, Adnan. 1993. Perpajakan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Artha Bhakti Yudha.
Kountur, Ronny. 2005. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis, Jakarta : Penerbit
PPM.Laswell, Harold and Abraham Kaplan. 1965. Power and Society a Framework
for Political Inquiry, New Haven and London : Yale University Press.
Lewis, Stephan R. 1984. Taxation for Development. New York: Oxford University Press.
Makmur. 2011. Efektifitas Kebijakan Kelembagaan Pengawasan. Bandung: Refika
Aditama.
Mansyury, R. 1999. Kebijakan Fiskal. Jakarta: Yayasan Pengembangan dan Penyebaran
Pengetahuan Perpajakan.
Marsuni, Lauddin. 2006. Hukum dan Kebijakan Perpajakan di Indoensia, Yogyakarta:
UII Press.
Moleong, Lexy J. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin.
Muhadjir, Neong. 2006 Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Munawaroh. 2012. Metodologi Penelitian. Malang: Intimedia.
Nurmantu, Safri. 2005. Pengantar Perpajakan. Jakarta: Granit.
Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Nugroho, Riant. 2013. Metode Penelitian Kebijakan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Parsons, Wayne. 2008. Public Policy – Pengantar Teori dan Praktik Analisis
Kebijakan. Jakarta: Kencana.
Pasolong, Harbani. 2007. Teori Administrasi Publik. Bandung: Penerbit Alfabeta.
Purwanto, Erwan Agus dan Dyah Ratih Sulistyastuti. 2012. Implementasi Kebijakan
Publik.Yogyakarta. Gave Media.
Rosdiana, Haula dan Rasin Tarigan. 2005. Perpajakan: Teori dan Aplikasi. Jakarta:
Analisis konsistensi..., Ina Nuraeni, FISIP UI, 2014
PT Raja Grafindo Persada.
Saleh, Ismail. 1988. Ketertiban dan Pengawasan. Jakarta: CV Haji Masagung.
Sidik, Machfud. 2000. Model Penilaian Properti Berbagai Penggunaan Tanah di
Indonesia. Jakarta: Yayasan Bina Ummat Sejahtera.
Sutedi, Adrian. 2013. Peraliham Hak atas Tanah. Jakarta: Sinar Grafika.
Soemitro, Rochmat dan Dewi Kania Sugiharti. 2014. Asas dan Dasar Perpajakan.
Bandung: PT Refika Aditama.
Soeharmo. 2013. Pajak Properti di Indonesia. Jakarta: Perpustakaan Nasional.
Supriyanto, Heru. 2011. Penilaian Properti. Jakarta: Indeks.
Wahab, Solihin A. 1991. Analisis Kebijakan dari Formulasi ke Implementasi Kebijakan,
Jakarta Bumi Aksara.
Waluyo, Wirawan B Ilyas. 1999. Perpajakan Indoensia. Jakarta : Salemba Empat.
William, Lawrence Neuman. 2000. Social Research Methods, Qualitative and
Quantitative Approaches, 4th edition. USA : Allyn & Bacon.
Karya ilmiah
Enna Soeryadie. “Efektifitas Pemungutan Bea Perolehan Has atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) di Propinsi DKI Jakarta” . (Tesis FISIP Universitas Indonesia, 2003),
tidak dipublikasikan
Lestari. "Analisis Pelaksanaan Pengawasan terhadap Pemungutan Pajak Reklame untuk
mencegah hilangnya Penerimaan Pajak Reklame (Studi kasus Dispenda Provinsi
DKI Jakarta)”. (Skripsi FISIP Universitas Indonesia, 2004), tidak dipublikasikan
Jurnal
Roseptia, Ega Okli. Informasi Asimetri dalam Administrasi Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB). Inside Tax Edisi 16. Juli-Agustus 2013
Sumber lain
Anonim. 2013. Intensifikasi Pajak Properti – Mengawasi Proyek Developer.
www.bisnis.com. Diakses 17 September 2013
Anonim. 2013. Janggal, SE BPN Rugikan Perda BPHTB Bengkalis.
www.riauterkini.com. Diakses 17 September 2013
Analisis konsistensi..., Ina Nuraeni, FISIP UI, 2014
Anonim. 2013. Validasi BPHTB tidak diperlukan lagi. http://korantransaksi.com.
Diakses 17 September 2013
Tim Penyusun. 2011. Tinjauan Pelaksanaan Pengalihan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB) Menjadi Pajak Daerah. Kementrian Keuangan Republik
Indonesia Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan.
Analisis konsistensi..., Ina Nuraeni, FISIP UI, 2014