imunositokimia 93

10
ANALISIS SECARA ENZIMATIS Oleh : Fina Tri Handayani 1. Imunositokimia dan imunohistokimia Imunohistokimia diartikan sebagai suatu metode untuk mendeteksi suatu molekul yang ada di jaringan dengan menggunakan antibodi poliklonal atau monoklonal terhadap molekul yang akan dideteksi (merupakan reaksi antigen- antibodi) dan dapat memberikan gambaran kualitatif dari intensitas warna yang terbentuk maupun gambaran kuantitatif. Teknik imunohistokimia dapat digunakan untuk memperlajari distribusi enzim yang spesifik pada struktur sel yang utuh (normal/lengkap), mendeteksikan komponen sel, biomakromolekul seperti protein, karbohidrat. Prinsip dari teknik imunohistokimia adalah adanya ikatan antigen-antibodi yang digunakan untuk mendeteksi sauatu molekul dalam jaringan. Tempat pengikatan antara antibodi dengan antigen diidentifikasi dengan penanda yang biasanya dilekatkan pada antibodi dan bisa divisualisasi secara langsung atau dengan reaksi untuk mengidentifikasi penanda. penanda dapat berupa senyawa berwarna, zat berfluoresensi, logam berat, label radioaktif, atau enzim. Terdapat dua metode dasar identifikasi antigen dalam jaringan dengan imunohistokimia, yaitu metode langsung (direct method) dan tidak langsung (indirect method). a. Metode langsung (direct method) Metode langsung merupakan metode pengecatan satu langkah karena hanya melibatkan satu jenis antibodi, yaitu antibodi yang terlabel, contohnya antiserum terkonjugasi fluorescein isothiocyanate (FITC) atau rodhamin. b. Metode tidak langsung (indirect method). Metode ini menggunakan dua macam antibodi, yaitu antibodi primer (tidak berlabel) dan antibodi sekunder (berlabel). 1

Upload: gitanti-rohmanda-holahola

Post on 19-Jan-2016

131 views

Category:

Documents


37 download

DESCRIPTION

imunology

TRANSCRIPT

Page 1: imunositokimia 93

ANALISIS SECARA ENZIMATIS

Oleh : Fina Tri Handayani

1. Imunositokimia dan imunohistokimia

Imunohistokimia diartikan sebagai suatu metode untuk mendeteksi suatu molekul yang ada di jaringan dengan menggunakan antibodi poliklonal atau monoklonal terhadap molekul yang akan dideteksi (merupakan reaksi antigen-antibodi) dan dapat memberikan gambaran kualitatif dari intensitas warna yang terbentuk maupun gambaran kuantitatif. Teknik imunohistokimia dapat digunakan untuk memperlajari distribusi enzim yang spesifik pada struktur sel yang utuh (normal/lengkap), mendeteksikan komponen sel, biomakromolekul seperti protein, karbohidrat.

Prinsip dari teknik imunohistokimia adalah adanya ikatan antigen-antibodi yang digunakan untuk mendeteksi sauatu molekul dalam jaringan. Tempat pengikatan antara antibodi dengan antigen diidentifikasi dengan penanda yang biasanya dilekatkan pada antibodi dan bisa divisualisasi secara langsung atau dengan reaksi untuk mengidentifikasi penanda. penanda dapat berupa senyawa berwarna, zat berfluoresensi, logam berat, label radioaktif, atau enzim.

Terdapat dua metode dasar identifikasi antigen dalam jaringan dengan imunohistokimia, yaitu metode langsung (direct method) dan tidak langsung (indirect method).

a. Metode langsung (direct method) Metode langsung merupakan metode pengecatan satu langkah karena hanya melibatkan satu jenis antibodi, yaitu antibodi yang terlabel, contohnya antiserum terkonjugasi fluorescein isothiocyanate (FITC) atau rodhamin.

b. Metode tidak langsung (indirect method).Metode ini menggunakan dua macam antibodi, yaitu antibodi primer (tidak berlabel) dan antibodi sekunder (berlabel). Antibodi primer berperan mengenali antigen yang diidentifikasi pada jaringan (first layer), sedangkan antibodi sekunder akan berikatan dengan antibodi primer (second layer). Antibodi kedua merupakan anti-antibodi primer. Pelabelan antibodi sekunder diikuti dengan penambahan substrat berupa kromogen. Kromogen merupakan suatu gugus fungsi senyawa kimiawi yang dapat membentuk senyawa berwarna bila bereaksi dengan senyawa tertentu. Contoh kromogen adalah FITC, rodhamin, dan Texas-red (disebut metode immunofluorescence, karena dapat berfluoresensi); peroksidase, alkali fosfatase, atau glukosa oksidase (disebut metode immunoenzyme, karena berupa enzim).

Prinsip dan teknik imunositokimia dan imunohistokimia sama, perbedaannya hanya terletak pada sampel yang digunakan. Imunohistokimia menggunakan antigen pada jaringan, sedangkan imunositokimia menggunakan antigen pada kultur sel.

1

Page 2: imunositokimia 93

http://www.damandiri.or.id/file/darmawiipbpbab8.pdf

http://ccrc.farmasi.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sop-ihc-p53-laras.pdf

2. ELISA sandwich

Umumnya ELISA dibedakan menjadi dua jenis, yaitu competitive assay yang menggunakan

konjugat antigen–enzim atau konjugat antibodi–enzim, dan non-competitive assay yang

menggunakan dua antibodi. Pada ELISA non-competitive assay, antibodi kedua akan

dikonjugasikan dengan enzim sebagai indikator. Teknik kedua ini seringkali disebut sebagai

"Sandwich" ELISA.

ELISA dapat digunakan untuk mendeteksi antigen maupun antibodi. Untuk melakukan teknik

ELISA dalam mendeteksi antibodi, diperlukan beberapa tahap yang meliputi:

1. Well dilapisi atau ditempeli antigen.

2. Sampel (antibodi) yang ingin diuji ditambahkan.

3. Ditambahkan antibodi kedua yang dikonjugasikan dengan enzim tertentu seperti

peroksidase alkali. Antibodi kedua ini akan menempel pada antibodi sampel

sebelumnya.

4. Dimasukkan substrat enzim yang dapat menimbulkan warna tertentu saat bereaksi.

5. Intensitas warna campuran diukur dengan spektrofotometer yang disebut ELISA

reader hingga mendapatkan hasil berupa densitas optis (OD). Dengan menghitung

rata-rata kontrol negatif yang digunakan, didapatkan nilai cut-off untuk menentukan

hasil positif-negatif suatu sampel. Hasil OD yang berada di bawah nilai cut-

off merupakan hasil negatif, dan demikian juga sebaliknya.

2

Page 3: imunositokimia 93

Uji ini memiliki beberapa kelemahan, salah satu di antaranya adalah kemungkinan yang besar

terjadinya hasil false positive karena adanya reaksi silang antara antigen yang satu dengan

antigen lain. Hasil berupa false negative dapat terjadi apabila uji ini dilakukan pada window

period, yaitu waktu pembentukan antibodi terhadap suatu virus baru dimulai sehingga jumlah

antibodi tersebut masih sedikit dan kemungkinan tidak dapat terdeteksi.

Gambar berikut adalah tahapan metode ELISA dalam mendeteksi antigen.

http://id.wikipedia.org/wiki/ELISA

3

Page 4: imunositokimia 93

3. Western blotting

Western blot adalah proses pemindahan protein dari gel hasil elektroforesis ke membrane (misal nitrocellulose). Membran ini lebih fleksibel daripada gel sehingga protein yang terblot pada membran dapat dideteksi dengan cara visual maupun fluoresensi. Deteksi ekspresi protein pada organisme dilakukan dengan prinsip imunologi menggunakan antibodi primer dan antibodi sekunder. Setelah pemberian antibodi sekunder, deteksi dilakukan secara visual dengan pemberian kromogen atau secara fluoresensi. Pada deteksi secara fluoresensi, reaksi antara antibodi primer dengan antibodi sekunder akan memberikan hasil fluoresens yang selanjutnya akan membakar film X-ray, deteksi ini dilakukan di kamar gelap.

Langkah-langkah dalam Western Blot :

1) Menyiapkan sampel yang akan diteliti, apakah itu limfosit T atau fibroblas ataupun sel darah tepi. Sampel harus dijaga tetap dingin.

2) Menyiapkan buffer agar pH dapat berada pada jangkauan yang stabil.3) Menyiapkan antibodi yang akan digunakan sebagai pelacak

a. Antibodi monoklonal adalah yang lebih baik digunakan, karena :

• Sinyal yang lebih baik

• Spesifisitas yang lebih tinggi

• Hasil yang lebih jernih pada proses pembuatan film western blot

b. Antibodi Poliklonal dapat mengenali lebih banyak epitope

4) Melisis SelPelisisan sel diperlukan untuk mengeluarkan protein yang diinginkan dari sel. Untuk melisis sel dapat digunakan SDS dan RIPA buffer. Bila yang diinginkan adalah sebuah protein yang terfosforilasi, maka perlu ditambahkan inhibitor fosfatase agar gugus fosfat pada protein tersebut tidak dibuang.Cara melisis : sampel disentrifugasi dan ambil endapan yang terbentuk. Jaga agar tetap dingin dengan menggunakan kotak es. Tambahkan buffer lisis, lalu kumpulkan dalam tabung eppendorf, jaga agar tetap dingin.

5) Gel ElektroforesisGel yang biasa dipakai misalnya SDS-PAGE (sodium dodecyl sulfate- polyacrylamide gel electrophoresis) untuk memisahkan protein berdasarkan ukurannya dengan adanya arus listrik. Pengikatan protein dengan SDS akan menyebabkan dua hal. Yang pertama yaitu terputusnya ikatan disulfida dengan kata lain struktur sekunder protein rusak. Yang kedua yaitu akan menyebabkan bagian luar molekul protein terselubungi oleh muatan negatif dari SDS sehingga molekul protein akan terpisahkan hanya berdasarkan berat molekulnya saja bukan berdasarkan besar dan jenis muatannya karena semua molekul protein sekarang bermuatan negatif. Disosiasi ini terjadi dengan bantuan pemanasan dan penambahan agen pereduksi

4

Page 5: imunositokimia 93

disulfida seperti β-merkaptoetanol atau 1,4-dithiothretol. Kemudian sampel terlebih dahulu dimasukkan ke dalam sumur gel. Satu jalur biasanya untuk satu marker. Protein yang bermuatan negatif akan bergerak menuju elektroda positif melalui pori-pori akrilamid. Berbagai jenis protein pada suatu sampel akan terpisah pada gel poliakrilamida tergantung pada mobilitasnya. Semakin kecil berat molekulnya maka semakin jauh pula protein bergerak dengan kata lain mobilitisnya tinggi. Sebaliknya, protein dengan berat molekul lebih besar akan bergerak pada jarak yang lebih pendek dengan kata lain mobilitisnya rendah. Dengan demikian, pada jalur pergerakan protein akan didapatkan jajaran protein (disebut sebagai band atau pita protein) yang sudah terpisah berdasarkan berat molekulnya.

6) Transfer GelAgar protein tersebut dapat ditempeli oleh antibodi, maka protein tersebut harus dipindahkan dari gel ke sebuah kertas membran, biasanya nitroselulosa atau PVDF. Membran ini diletakkan di atas gel, dan tumpukan kertas penyerap diletakkan di atasnya. Larutan buffer kemudian akan merambat ke atas melalui reaksi kapiler dengan membawa protein-proteinnya. Cara lain untuk mentransfer protein adalah dengan menggunakan teknik elektroblotting. Teknik ini menggunakan arus listrik untuk menarik protein dari gel ke membran. Selain itu, diperlukan pula sebuah prosedur untuk mencegah terjadinya interaksi antara molekul-molekul yang tidak diinginkan agar hasil yang diperlukan lebih jernih (to reduce ‘noise’). Caranya adalah dengan menempatkan membran pada BSA (Bovine serum albumin) atau non-fat dry milk dengan sedikit detergen tween 20 sehingga serum tersebut akan menempel pada pada daerah yang tidak ditempeli protein sampel. Hal ini bertujuan untuk membuat antibodi hanya akan dapat menempel pada binding site protein target. Setelah itu, barulah membran dengan protein sampel tersebut diinkubasi dengan antibodi.

7) DeteksiDeteksi dilakukan dengan antibodi yang telah dimodifikasi bersama dengan sebuah enzim yang disebut reporter enzyme. Proses deteksi biasanya berlangsung dalam dua tahap, yaitu :

5

Page 6: imunositokimia 93

a. Antibodi PrimerKertas membrane ditambahkan dengan antibodi primer yang spesifik. Antibodi terlarut kemudian diinkubasi bersama kertas membran paling sedikit selama 30 menit.

b. Antibodi SekunderSetelah diinkubasi bersama antibodi primer, kertas mebran dibilas terlebih dahulu kemudian diinkubasi dengan antibodi sekunder. Antobodi sekunder adalah antibodi yang spesifik untuk suatu spesies pada antibodi primer. Antibodi sekunder ini kemudian akan menguatkan sinyal yang dihasilkan oleh antibodi primer.

8) Analisisa. Colorimetric detection

Metode ini digunakan bila substrat dapat bereaksi dengan reporter enzyme sehingga dapat mewarnai membran nitorselulosa.

b. ChemiluminescentMetode ini digunakan bila substrat merupakan molekul yang bila bereaksi dengan antibodi sekunder atau dengan reporter enzyme akan teriluminasi. Hasilnya kemudian diukur dengan densitometri untuk mengetahui jumlah protein yang terwarnai.

c. Radioactive detectionMetode ini menggunakan X-ray yang bila mengenai label akan menciptakan region gelap.

d. Fluorescent detectionPelacak yang mempunyai label yang dapat mengalami fluorosensi lalu kemudian dideteksi oleh fotosensor seperti kamera CCD yang menangkap image digital dari western blot. Hasil kemudian dapat dianalisi secara kuantitatif maupun kualitatifMetode ini juga merupakan salah satu metode yang paling sering digunakan karena sangat sensitif.

Sumber: http://id.shvoong.com/medicine-and-health/medicine-history/2111504-western-blot/#ixzz32IjPvERX

http://fatchiyah.lecture.ub.ac.id/files/2012/08/Praktikum-TABM-S1-Biologi-MIPA-UB.pdf

6

Page 7: imunositokimia 93

4. Deteksi Apoptosis menggunakan Annexin V-PIAnnexin V mempunyai karakteristik biokimia dan fisikokimia, antara lain in vitro anti-fosfolipase, antikoagulan, anti-kinase, dan aktivitas pengikatan fosfolipid. Kemampuan pelabelan biotin- atau FITC- pada annexin V dapat digunakan untuk mempelajari pelepasan fosfatidilserine pada membran luar sel dan menyediakan tidak hanya alat yang berguna untuk mengukur keberadaan fosfatidilserine di platelet dan eritrosit, namun juga pada apoptosis yang sedang berlangsung. Fosfatidilserine adalah amonifosfolipid yang akan keluar ke permukaan membrane plasma pada saat apoptosis, di mana keberadaannya dibutuhkan untuk pengenalan dan pemusnahan sel mati. Fosfatidilserine dapat digunakan sebagai early marker apoptosis sel.Annexin V yang telah dilabel dengan hapten (FITC atau biotin) dan dengan kondisi keberadaan milimolar Ca2+ akan berikatan dengan residu fosfatidilserine yang ada diluar membran plasma sel yang mengalami apoptosis. Annexin V tidak dapat berikatan dengan sel normal karena molekul tersebut tidak dapat berpenetrasi ke dalam lapisan fosfolipid bilayer. Pada sel mati, lapisan dalam membrane dapat terikat secara ekstrinsik dengan annexin V karena integritas membrane plasma yang sudah hilang. Hal ini menyebabkan annexin V juga akan berikatan dengan sel nekrosis. Untuk membedakan antara sel mati dan sel apoptosis, propidium iodide (PI) dapat ditambahkan. PI merupakan penanda DNA yang bersifat membrane impermeable. Propidium iodide tidak dapat menembus membrane sel yang hidup. Namun ketika sel mengalami apoptosis akhir dan nekrosis, terjadi perubahan permeabilitas membrane plasma dan inti sehingga PI dapat memasuki sel dan berikatan dengan DNA sehingga menyebabkan fluoresensi merah pada sel tersebut. Pelabelan ganda annexin V dan PI selanjutnya dapat dianalisis dengan flow cytometer atau mikroskop fluoresensi. Uji ini cukup mudah untuk dilakukan dan dapat membedakan sel normal (annexin V-/PI-), sel apoptosis awal (annexin V+/PI-), dan sel apoptosis akhir (annexin V+/PI+), dan sel mati (annexin V-/PI+).

http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20309462-S42688-Tris%20Febriana%20Chantika.pdf

7