implementasi pp nomor 10 tahun 1983 jo pp nomor 45...
TRANSCRIPT
i
IMPLEMENTASI PP NOMOR 10 TAHUN 1983 jo
PP NOMOR 45 TAHUN 1990
TENTANG IZIN PERCERAIAN BAGI PNS
DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA
TAHUN 2010
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Islam
Oleh
SITI NURUL MIDAYANTI
NIM 21108002
JURUSAN SYARI’AH
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2012
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi saudara:
Nama : Siti Nurul Midayanti
NIM : 21108002
Jurusan : Syariah
Progrram Studi : Ahwal Al Syakhsiyyah
Judul : Implementasi PP Nomor 10 Tahun 1983 jo PP Nomor 45
Tahun 1990 Tentang Izin Perceraian bagi PNS di
Pengadilan Agama Salatiga tahun 2010
Talah kami setujui untuk dimunaqosahkan
Salatiga, 7 Juli 2012
Pembimbing,
Moh Khusen, M.Ag.,M.A
NIP.19741212 199903 1003
iii
SKRIPSI
IMPLEMENTASI PP NOMOR 10 TAHUN 1983 jo PP NOMOR 45
TAHUN 1990 TENTANG IZIN PERCERAIAN BAGI PNS DI
PENGADILAN AGAMA SALATIGA TAHUN 2010
DISUSUN OLEH
SITI NURUL MIDAYANTI
NIM : 21108002
Telah dipertahankan di depan Panitia Dewan Penguji Skripsi
Jurusan Syariah, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga,
pada tanggal 4 agustus 2012 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna
memperoleh gelar sarjana S1 Hukum Islam
Susunan Panitia Penguji
Ketua Penguji : Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. ________________
Sekretaris Penguji : IIIya Muhsin, S.Hi, M.Si. ________________
Penguji I : Drs. Mubasirun, M.Ag. ________________
Penguji II : Luthfiana Zahriani S.H., M.H. ________________
Penguji III : Moh Khusen, M.Ag., M.A. ________________
Salatiga, 4 Agustus 2012
Ketua STAIN Salatiga
Dr. Imam Sutomo, M.Ag
NIP. 19580827 198303 1 002
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Siti Nurul Midayanti
NIM : 21108002
Jurusan : Syari‟ah
Program Studi : Ahwal Al-Syakhsiyyah
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya
saya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain. Pendapat atau temuan orang
lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik
ilmiah.
Salatiga, Juli 2012
Yang menyatakan,
Siti Nurul Midayanti
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
... Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu dan boleh
jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu (Q.S Al
Baqarah 216).
PERSEMBAHAN
Untuk Orang Tuaku, Nenekku, Adik-adikku,
Para Guru-guruku,
Sahabat-Sahabatku.
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah swt yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan
hidayahnya sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan pada Nabi Muhammad saw yang
senantiasa dinantikan syafa‟atnya di yaumul qiyamah nanti.
Penyusunan skripsi dengan judul “IMPLEMENTASI PP NOMOR 10
TAHUN 1983 JO PP NOMOR 45 TAHUN 1990 TENTANG IZIN
PERCERAIAN BAGI PNS DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA TAHUN
2010” adalah untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar akademik
sarjana hukum islam di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga.
Penyusun menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan berjalan
dengan baik tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penyusun
mengucapakan terima kasih kepada:
1. Dr. Imam Sutomo, M.Ag. selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Salatiga.
2. Drs. Mubasirun, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Syariah.
3. Illya Muhsin, S.Hi, M.Si. selaku Ketua Program Studi Ahwal Al-
Syakhsiyyah.
4. Masrukhan, S.H, M.H. selaku Ketua Pengadilan Agama Salatiga periode
2007-2011.
5. Sigit Sutriono, S.H, M.Hum, selaku Ketua Pengadilan Negeri Salatiga
periode 2007-2011.
vii
6. Drs. Masthur Huda, S.H, M.H. selaku Ketua Pengadilan Agama Ambarawa
periode 2011- sekarang.
7. Moh. Khusen, M.Ag, M.A. selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan
waktu, tenaga dan pikirannya guna memberikan bimbingan dan arahan.
8. Bapak dan Ibu Dosen STAIN, khususnya Dosen Jurusan Syariah.
9. Orang tuaku serta adik-adikku tercinta yang selalu mendo‟akan dan
memotivasi dengan tulus dan ikhlas.
10. Semua pihak yang tidak bisa penyusun sebutkan satu persatu yang telah
memberikan bantuan dan dukungan hingga penyusun dapat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini.
Selanjutnya penyusun sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
kata sempurna. Oleh karena itu, penyusun menerima kritik dan saran yang bersifat
membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penyusun hanya bisa
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan
penyusun khususnya.
Salatiga, 11 Juli 2012
Penulis,
viii
ABSTRAK
Midayanti, Siti Nurul. 2012. Implementasi PP Nomor 10 Tahun 1983 jo PP
Nomor 45 Tahun 1990 Tentang Izin Perceraian bagi PNS di
Pengadilan Agama Salatiga tahun 2010. Skripsi. Jurusan Syari‟ah.
Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri salatiga. Pembimbing: Moh. Khusen, M. Ag, M.A.
Kata kunci: Perceraian, PNS, PP 10/1983 jo PP 45/1990.
Penelitian ini merupakan kajian tetang penerapan Peraturan Pemerintah
nomor 10 tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 1990 tentang Izin
Perceraian bagi PNS di Pengadilan Agama Salatiga pada tahun 2010. Pertanyaan
utama yang ingin dijawab melalui penelitian ini adalah (1) bagaimanakah
gambaran kasus perceraian di Pengadilan Agama Salatiga? (2) apakah alasan
perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga? (3) bagaimanakah implementasi
PP No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45 tahun 1990 dalam kasus perceraian PNS di
Pengadilan Agama Salatiga? Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka
dilakukan penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis empiris yang bersifat
deskriptif analitis. Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang digunakan
untuk melihat suatu kenyataan hukum yang terjadi di masyarakat. Pendekatan ini
berfungsi untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi pelaksanaan perundang-
undangan. Deskriptif analitis ini mengambarkan pelaksanaan PP nomor 10 tahun
1983 jo PP nomor 45 tahun 1990 tentang Izin Perceraian bagi PNS di Pengadilan
Agama salatiga tahun 2010.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa (a) kasus perceraian di
Pengadilan Agama Salatiga meningkat sejak tahun 2010 hingga tahun 2011, (b)
perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga disebabkan karena suami
melanggar taklik talak, antara pasangan suami istri sudah tidak ada lagi
keharmonisan dan sering terjadi perselisihan yang tidak bisa didamaikan lagi, (c)
dalam prakteknya surat izin dari atasan yang temuat dalam PP No. 10 tahun 1983
jo PP No. 45 tahun 1990 dalam kasus perceraian PNS di Pengadilan Agama
Salatiga bisa diganti dengan surat keterangan yang dibuat oleh penggugat PNS.
Surat itu berisi tentang kesediaanya menangung segala resiko yang akan ia dapat
setelah terjadinya perceraian.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................... ii
PENGESAHAN KELULUSAN .................................................................. iii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .................................................... iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................ v
KATA PENGANTAR .................................................................................. vi
ABSTRAK .................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................ ix
DAFTAR TABEL ........................................................................................ xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xiii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG MASALAH .................................... 1
B. FOKUS PENELITIAN ...................................................... 5
C. TUJUAN PENELITIAN .................................................... 5
D. KEGUNAAN PENELITIAN .............................................. 5
E. PENEGASAN ISTILAH .................................................... 6
x
F. METODE PENELITIAN ................................................... 8
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian .................................. 8
2. Kehadiran Penelitian ..................................................... 9
3. Lokasi Penelitian .......................................................... 9
4. Sumber Data ................................................................ 9
5. Prosedur Pengumpulan Data ........................................ 11
6. Analisis Data ............................................................... 12
7. Pengecekan Keabsahan Data ........................................ 13
8. Tahap-tahap Penelitian ................................................. 13
G. SISTEMATIKA PENULISAN ............................................ 14
BAB II KONSEP PERCERAIAN DALAM FIQH DAN PERUNDANG-
UNDANGAN ..................................................................... 16
A. Konsep Perceraian dalam Fiqh Munakahat .................. 16
1. Pengertian dan Tujuan Perceraian .......................... 16
2. Dasar Hukum Perceraian ....................................... 24
3. Syarat dan Alasan Perceraian ................................. 26
B. Konsep Perceraian Menurut Perundang-undangan........ 30
1. Pengertian dan Tujuan Perceraian dalam Perundang-
undangan .......................................................... 30
2. Syarat dan Alasan Perceraian dalam Perundang-
undangan.............................................................. 34
C. PP No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45 tahun 1990 Ditinjau dari
Politik Hukum ............................................................ 37
xi
BAB III GAMBARAN PERCERAIAN PNS DI PENGADILAN AGAMA
SALATIGA ......................................................................... 43
A. Kasus Perceraian di Pengadilan Agama Salatiga tahun
2010 .............................................................................. 43
B. Alasan Perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga tahun
2010 ................................................................................... 45
C. Proses Penyelesaian Kasus Perceraian PNS di Pengadilan
Agama Salatiga .................................................................. 52
D. Izin Perceraian bagi PNS di Pengadilan Agama Salatiga.... 57
BAB IV ANALISIS TERHADAP PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI
SIPIL DI PENGADILAN AGAMA SALATIGA TAHUN
2010............................................................................................ 61
A. Analisis Terhadap Kasus Perceraian di Pengadilan Agama
Salatiga Tahun 2010 ......................................................... 61
B. Analisis Terhadap Alasan Perceraian PNS di Pengadilan
Agama Salatiga Tahun 2010 ............................................ 66
C. Analisis Terhadap Implementasi PP No. 10 Tahun 1983 jo PP
No. 45 Tahun 1990 dalam Kasus Perceraian PNS di Pengadilan
Agama Salatiga .................................................................... 68
BAB V PENUTUP ................................................................................. 75
A. Kesimpulan ......................................................................... 75
B. Saran .................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Data Kasus Perceraian di Pengadilan Agama Salatiga pada Tahun
2010 ......................................................................................... 44
Tabel 3.2 Alasan Percerian PNS di Pengadilan Agama Salatiga pada Tahun
2010 ........................................................................................... 51
Tabel 4.1 Perbandingan Kasus Perceraian dan Kasus Lain di Pengadilan Agama
Salatiga pada Tahun 2010 ........................................................... 63
Tabel 4.2 Faktor-faktor Terjadinya Perceraian di Pengadilan Agama Salatiga
pada Tahun 2010 ................................................................................ 64
Tabel 4.3 Faktor-faktor Terjadinya Perceraian di Pengadilan Agama Salatiga
pada Tahun 2010 dan 2011 ................................................................. 65
Tabel 4.4 Alasan Perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga pada Tahun
2010 ............................................................................................ 68
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
1. PP nomor 10 tahun 1983 jo PP nomor 45 tahun 1990 tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian bagi PNS.
2. Putusan-putusan perkara perceraian PNS tahun 2010.
3. Tabel Kasus Perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga pada Tahun
2010
4. Surat pernyataan perceraian dari PNS.
5. Laporan perkara khusus yang dikenakan PP 10 tahun 1983 di Pengadilan
Agama Salatiga tahun 2010.
6. SEMA nomor 5 tahun 1994 tentang Petunjuk Pelaksanaan PP nomor 10
tahun 1983.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam pasal 1 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang
perkawinan (UUP) dinyatakan bahwa “perkawinan ialah ikatan lahir bathin
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pasal 3 KHI dinyatakan bahwa “perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah”. Dalam mencapai tujuan perkawinan adalah tidak mudah.
Walaupun segala hal yang bertujuan untuk menciptakannya telah
dipersiapkan, namun hasilnya tidak selalu seperti yang diharapkan.
Pengalaman hidup manusia membuktikan bahwa membangun rumah
tangga adalah mudah, tapi membina, mengatur dan menjaga keharmonisan
sehingga terwujud rumah tangga yang bahagia adalah tidak mudah.
Pengalaman hidup antara satu rumah tangga dengan rumah tangga lainnya
tentulah berbeda dan bervariasi sesuai dengan situasi dan kondisi. Belum
tentu sebuah rumah tangga yang hari ini kelihatan harmonis dan bahagia
dalam jangka waktu yang tidak ditentukan mengalami keretakan dan porak
poranda, demikiaan pula sebaliknya.
2
Pengalaman hidup seperti itu tidak hanya terjadi pada orang kaya,
miskin, bodoh, pintar, desa, kota yang berprofesi sebagai sopir, pengusaha,
petani, wiraswasta, pegawai swasta, pegawai negeri dan lain-lain. Apabila
keretakan dan percekcokan dalam rumah tangga sudah tidak mungkin
didamaikan, maka Islam memberikan jalan terakhir penyelesaian dengan
perceraian. Namun, perceraian sedapat mungkin harus dihindari oleh setiap
pasangan suami istri karena perceraian adalah perbuatan halal yang paling
dibenci oleh Allah. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan
oleh Abu Daud dan Hakim dan disahkan olehnya dari Ibnu „Umar yang
artinya: perbuatan halal yang sangat dibenci Allah azza wajalla ialah talak
(Sabiq, 1992:206).
Perceraian atau talak menurut Sayyid Sabiq (1992:206) adalah
“melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan”. Para
ulama telah sepakat bahwa talak yang sah adalah talak yang dijatuhkan oleh
suami yang berakal, baligh dan bebas memilih dialah yang boleh
menjatuhkan talak (Sabiq, 1992:208). Sedangkan menurut UUP, putusnya
perkawian serta akibat-akibatnya diatur dalam pasal 38 sampai dengan
pasal 41. Tata cara perceraian diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 9 Tahun 1975 pasal 14 sampai dengan pasal 36 dan teknisnya diatur
dalam Peraturan Menteri Agama (PERMA) Nomor 3 Tahun 1975 (Ali,
2006:73-74).
3
Terdapat perbedaan prosedur pengajuan perceraian antara orang yang
berprofesi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan orang yang bukan
PNS. Dalam PP Nomor 45 Tahun 1990 tentang perubahan atas PP No. 10
tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS dinyatakan
bahwa PNS adalah unsur aparatur negara, abdi negara dan abdi masyarakat
yang harus menjadi teladan dalam tingkah laku, tindakan dan ketaatan
kepada peraturan perundang-undangan, termasuk dalam kehidupan
berkeluarga agar dalam melaksanakan tugasnya tidak akan banyak
terganggu oleh masalah-masalah dalam keluarganya. Selanjutnya dalam
pasal 3 ayat 1 dan 2 dinyatakan bahwa PNS yang akan melakukan
perceraian yang berkedudukan sebagai penggugat wajib memperoleh izin
dan PNS yang menjadi tergugat wajib memperoleh surat keterangan secara
tertulis dari atasan. Dalam pasal 5 ayat 2 dinyatakan bahwa setiap atasan
yang menerima permintaan izin dari PNS wajib memberikan pertimbangan
selambat-lambatnya tiga bulan mulai tanggal ia menerima permintaan izin
itu. Dalam pasal 15 dinyatakan bahwa PNS yang tidak melaporkan
perceraiannya setelah satu bulan maka dijatuhi hukuman disiplin berat
berdasarkan PP No. 30 tahun 1980 tentang peraturan disiplin PNS.
Pada tahun 2010 tercatat 18 kasus perceraian di Pengadilan Agama
Salatiga yang penggugat dan atau tergugatnya berprofesi sebagai PNS. Dari
18 kasus tersebut, 11 kasus diputus cerai, 1 kasus masih dalam proses
kasasi, 1 kasus gugur, 2 kasus dicabut, 1 kasus masih dalam proses
persidangan dan 2 kasus tidak mempunyai kekuatan hukum. Dari 11 kasus
4
yang telah diputus cerai, ditemukan 7 kasus perceraian yang sudah ada izin
dari atasan, sedangkan 4 kasus lainnya tidak disertai surat izin bercerai dari
atasan. Dari 4 kasus ini peneliti menemukan satu surat pernyataan dari
penggugat PNS tentang kesediaannya menanggung segala resiko akibat dari
perceraian karena belum mendapat izin dari atasan yang berwenang.
Dalam PP No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45 tahun 1990 pasal 3 ayat 1
telah jelas dinyatakan bahwa PNS yang akan melakukan perceraian wajib
memperoleh izin dari pejabat, bukan surat pernyataan menanggung resiko
perceraian. Hal tersebut dikuatkan dengan adanya Surat Edaran Mahkamah
Agung (SEMA) Nomor 5 Tahun 1984 tentang petunjuk pelaksanaan PP
Nomor 10 tahun 1983 yang menyatakan bahwa PP Nomor 10 Tahun 1983
merupakan peraturan disiplin bagi Pegawai Negeri Sipil dalam rangka usaha
Pemerintah untuk membina Korps Pegawai Negeri yang bersih dan jujur
dan dalam butir ke 2 SEMA Nomor 5 Tahun 1984 menyatakan bahwa Pasal
16 PP Nomor 10 Tahun 1983 yang mengatur sanksi-sanksi manakala
seorang Pegawai Negeri melanggar ketentuan-ketentuan PP ini dapat
diberhentikan dengan hormat tanpa permohonan sendiri.
Berdasarkan fenomena diatas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian Implementasi PP Nomor 10 Tahun 1983 jo PP Nomor 45 Tahun
1990 Tentang Izin Perceraian bagi PNS di Pengadilan Agama Salatiga tahun
2010.
5
B. Fokus Penelitian
1. Bagaimanakah gambaran kasus perceraian di Pengadilan Agama
Salatiga tahun 2010?
2. Apakah alasan perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga?
3. Bagaimanakah implementasi PP No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45 tahun
1990 dalam kasus perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui gambaran kasus perceraian di Pengadilan Agama
Salatiga tahun 2010.
2. Untuk mengetahui alasan perceraian PNS di Pengadilan Agama
Salatiga.
3. Untuk mengetahui implementasi PP No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45
tahun 1990 dalam kasus perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga.
D. Kegunaan Penelitian
1. Bagi akademik
Sebagai upaya bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya
yang berhubungan dengan persoalan perceraian PNS menurut
implementasi PP No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45 tahun 1990 tentang
izin perkawinan dan perceraian bagi PNS di Pengadilan Agama
Salatiga.
6
2. Bagi Pengadilan Agama Salatiga
Dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap kemajuan
perkembangan ilmu hukum yang berhubungan dengan perceraian PNS
yang diatur dalam PP No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45 tahun 1990
tentang izin perkawinan dan perceraian.
3. Bagi PNS
Untuk mengetahui proses perceraian menurut PP No. 10 tahun
1983 jo PP No. 45 tahun 1990 tentang izin pencatatan dan perkawinan
bagi PNS di Pengadilan Agama Salatiga.
4. Bagi masyarakat
Untuk memberikan wawasan dan pemahaman kepada masyarakat
luas mengenai penerapan perceraian PNS dalam PP No. 10 tahun 1983
jo PP No. 45 tahun 1990 tentang izin pencatatan dan perkawinan bagi
PNS di Pengadilan Agama Salatiga.
E. Penegasan Istilah
1. Perceraian adalah putusnya hubungan perkawinan antara seorang laki-
laki dengan seorang perempuan sebagai suami-istri berdasarkan
keputusan Pengadilan Agama atau Pengadilan Negeri (Poerwadarminto,
2006: 231).
2. Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1974 jo Undang-undang No. 43 tahun 1999 tentang
pokok-pokok kepegawaian adalah pegawai negeri yang merupakan
7
Warga Negara Indonesia yang telah memenunuhi syarat sebagai PNS
yang diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam
suatu tugas jabatan negeri dan digaji berdasarkan perundang-undangan
yang berlaku yang terdiri dari:
a. Pegawai Negeri Sipil baik pusat maupun daerah.
b. Anggota Tentara Nasional Indonesia.
c. Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.
3. Yang dipersamakan dengan Pegawai negeri Sipil dalam PP nomor 10
tahun 1990 pasal 1a ayat 2 yaitu:
a) Pegawai Bulanan di samping pensiun
b) Pegawai Bank milik Negara
c) Pegawai Badan Usaha milik Negara
d) Pegawai Bank milik Daerah
e) Pegawai Badan Usaha milik Daerah
f) Kepala Daerah, Perangkat Desa, dan petugas yang
menyelenggarakan urusan pemerintah di Desa.
Yang dimaksud dengan PNS dalam penelitian ini adalah setiap
orang yang bekerja pada pemerintah dengan diangkat oleh pejabat yang
berwenang dan diserahi tugas dalam jabatan tertentu yang digaji
menurut perundang-undangan baik di tingkat pusat maupun daerah
ataupun orang yang dipersamakan dengan PNS.
8
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
a. Pendekatan
Penelitian ini berdasarkan pada penelitian hukum yang
dilakukan dengan memakai pendekatan yuridis empiris.
Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang dilakukan
dengan melihat suatu kenyataan hukum yang terjadi di masyakat
yang berfungsi untuk mengidentifikasi dan mengklarifikasi
perundang-undangan (Ali, 2009:105). Dalam penelitian ini yang
dicari adalah klarifikasi pelaksanaan perceraian PNS dengan
berpedoman pada PP No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45 tahun 1990
tantang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS di Pengadilan
Agama Salatiga.
b. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini secara spesifik bersifat deskriptif
analitis, yang mengungkapakan aturan perundang-udangan yang
berkaitan dengan objek penelitian dan pelaksanaanya di masyarakat
(Ali, 2009:105-106). Metode ini dimasudkan untuk memperoleh
gambaran yang baik, jelas dan dapat memberikan data seteliti
mungkin tentang objek yang diteliti. Penelitian ini untuk
menggambarkan pelaksanaan pengaturan perceraian PNS dalam PP
No. 10 tahun 1883 jo PP No. 45 tahun 1990 tentang izin perceraian
dan perkawinan, khususnya pasal 3 yang menyatakan bahwa setiap
9
PNS yang akan mengajukan perceraian wajib menyertakan surat
izin tertulis dari atasan. Kajian tentang implementasi PP itu sangat
penting untuk dilakukan karena adanya pemberlakuan surat
pernyataan bagi penggugat PNS yang belum mendapatkan izin
atasan di Pengadilan Agama Salatiga.
2. Kehadiran Peneliti
Peneliti dalam penelitian ini melakukan wawancara secara
langsung ke Pengadilan Agama Salatiga sebagai instrumen penggali
data.
3. Lokasi Penelitian
Penelitian perceraian PNS dilaksanakan di Pengadilan Agama
Salatiga yang terletak di jalan Lingkar Selatan, Dukuh Jagalan RT 14
RW 05 Salatiga. Peneliti memilih lokasi ini karena Pengadilan Agama
adalah pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat yang beragama
Islam (UU No. 50 Tahun 2009 pasal 2) dan Pengadilan Agama Salatiga
adalah pengadilan yang secara riil telah menangani kasus-kasus
perceraian yang mana para pihaknya adalah PNS.
4. Sumber Data
Peneliti menggunakan dua sumber data yaitu:
a. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari
sumbernya (Ali, 2009:106). Data primer dalam penelitian in adalah:
10
1) Informan
Dalam penelitian ini yang menjadi informan kunci adalah
Para Hakim Pengadilan Agama Salatiga yang menangani
perceraian PNS tahun 2010 dan Panitera Pengadilan Agama
Salatiga.
2) Dokumen
Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a) Buku Pantauan Perkara 2010 Pengadilan Agama Salatiga
yaitu buku yang isinya tentang identitas penggugat/
pemohon dan tergugat/ termohon, tanggal perkara itu
diajukan kepengadilan, nama Majelis Hakim dan Panitera
yang menangani kasus itu dan memuat jenis perkara.
b) Buku Arsip Panitera yaitu buku arsip yang dimiliki oleh
Panitera yang berbentuk laporan perbulan isinya tentang
perkara yang disidangkan selama sebulan, mengetahui
perkara yang sudah diputus dan masih dalam proses
persidangan, ringkasan biaya yang masuk ke Pengadilan
Agama selama bulan itu, mengetahui tetang daftar
pengambilan akta putusan dan mengetahui perkara
perceraian yang termasuk ke dalam PP No. 10 tahun 1983 jo
PP No. 45 tahun 1990 tetang pencatatan perkawinan dan
perceraian bagi PNS.
11
c) Arsip Putusan yaitu arsip yang isinya tentang surat gugatan,
jawaban tergugat, replik, duplik, putusan sela, relas
panggilan, berita acara persidangan, foto kopi bukti tertulis
dan putusan.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari dokumen
resmi (Ali, 2009:106). Data sekunder dalam penelitian ini adalah:
1) PP No. 10 tahun 1983 jo PP No 45 tahun 1990 tentang
Pencatatan Perkawinan Dan Perceraian Bagi PNS.
2) Inpres No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
3) PP No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
4) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
5. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan metode penelitian lapangan (Ali, 2009:107).
Pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah wawancara dan
observasi.
a. Wawancara (interview)
Wawancara adalah percakapan yang dilakukan oleh
pewawancara dengan orang yang diwawancarai dengan maksud
untuk mendapatkan suatu kejelasan tetang suatu masalah (Moleong,
2002:135). Wawancara dalam penelitian ini dilakukan kepada para
12
informan kunci dan informan pangkal. Informan kunci yakni para
hakim yang menanggani kasus perceraian PNS. Berdasarkan jumlah
kasus yang diteliti para hakim yang menangani perkara perceraian
PNS sebanyak 6 orang. Namun karena beberapa dari mereka telah
mutasi dari Pengadilan Agama Salatiga maka hakim yang dapat
diwawancarai hanya sebanyak 4 orang yaitu Drs. H. Noer Hadi,
M.H, Drs. H. Machmud, S.H, Hj. Muhlisoh, M.H. dan Dra. H.
Farida, M.H. Informan pangkal yakni informan selain hakim yaitu
Drs. Sakir, S.Hi sebagai ketua panitera, Dra. Widad sebagai
Sekretaris Pengadilan Agama dan Dra. Robiah sebagai Sekretaris
Panitera.
b. Observasi (pengamatan)
Observasi dalam penelitian ini dilakukan dengan cara tidak
berperan serta yang mempunyai satu fungsi yaitu melakukan
pengamatan (Moleong, 2002:126). Observasi ini dilakukan untuk
mengamati Buku Pantauan Perkara 2010, Buku Arsip Panitera dan
Arsip Putusan Perceraian PNS 2010.
6. Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode deskriptif
analisis. Analisis data yang digunakan adalah pendekatan kualitatif
terhadap data primer dan sekunder dengan mengunakan pola pikir
deduktif yaitu menanalisis teori tentang perceraian PNS yang terdapat
didalam UUP, PP nomor 10 tahun 1983 jo PP nomor 45 tahun 1990
13
tentang izin perkawinan dan perceraian bagi PNS dan PP No. 9 tahun
1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang nomor 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan dengan proses penyelesaian perkara perkara
perceraian di Pengadilan Agama Salatiga. Karena dalam PP No. 10
tahun 1983 telah jelas dikatakan bahwa PNS yang melakukan
perceraian wajib mendapatkan izin dari atasan. Namun dalam praktekya
dalam kasus perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga, peneliti
menemukan surat pernyataan yang dibuat oleh penggugat PNS yang
isinya bersedia menanggung segala resiko akibat dari perceraian. Selain
itu peneliti juga menemukan bahwa seorang pensiunan PNS tidak
terkena PP ini.
7. Pengecekan Keabsahan Data
Pengecekan keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan
tehnik trianggulasi data yaitu dengan membandingkan apa yang
diperintahkan perundang-undangan tentang perceraian PNS khususnya
PP No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45 tahun 1990 tentang izin perkawinan
dan perceraian bagi PNS dengan proses penyelesaian perkara perceraian
PNS di Pengadilan Agama salatiga tahun 2010 dan wawancara dengan
Hakim dan Panitera.
8. Tahap-tahap Penelitian
Tahapan penelitian dalam penelitian ini dengan:
14
a. Observasi pendahuluan ke Pengadilan Agama Salatiga dengan
melihat Buku Pantauan Perkara 2010, Buku Arsip Panitera dan
Arsip Putusan PNS selama 2010.
b. Wawancara dengan Para Hakim.
c. Observasi.
d. Trianggulasi data.
e. Analisis.
f. Kesimpulan.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Bab I Pendahuluan; Bab ini berisi Latar Belakang Masalah, Fokus
Penelitian, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah,
Kerangka Teori, Metode Penelitian yang berisi tentang Pendekatan dan
Jenis Penelitian, Kehadiran Penelitian, Lokasi Penelitian, Sumber Data,
Prosedur Pengumpulan Data, Analisis Data, Pengecekan Keabsahan Data,
Tahap-tahap Penelitian dan Sistematika Penulisan.
Bab II Konsep Perceraian dalam Fiqh dan Perundang-Undangan; Bab
ini berisi Konsep Perceraian dalam Fiqh Munakahat yang terdiri dari
Pengertian dan Tujuan Perceraian dalam Fiqh Munakahat, Dasar Hukum
Perceraian dalam Fiqh Munakahat, Syarat dan Alasan Perceraian dalam
Fiqh Munakahat. Konsep Perceraian Menurut Perundang-undangan yang
berisi tentang Pengertian dan Tujuan Perceraian dalam Perundang-
undangan, Syarat dan Alasan Perceraian dalam Perundang-undangan. PP
15
No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45 tahun 1990 Ditinjau dari Politik Hukum
yang berisi tentang Pengertian dan Cakupan Politik Hukum, Politik Hukum
dalam PP No. 10 Tahun 1983 Jo PP No. 45 Tahun 1990.
Bab III Gambaran Perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga; Bab
ini berisi tentang Kasus Perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga
tahun 2010, Alasan Perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga tahun
2010 dan Proses Penyelesaian Kasus Perceraian PNS di Pengadilan Agama
Salatiga, Implementasi PP No. 10 tahun 1983 Jo PP No. 45 tahun 1990
tetang Izin Perceraian bagi PNS di Pengadilan Agama Salatiga.
Bab IV Analisis Terhadap Perceraian Pegawai Negeri Sipil di
Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2010; Bab ini berisi tentang
Implementasi PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45 Tahun 1990 dalam Kasus
Perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga, Gambaran Penyelesaian
Kasus Perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga Tahun 2010.
Bab V Penutup; Bab ini berisi tentang Kesimpulan dan Saran.
Adapun lampiran dari pembahasan ini adalah: PP nomor 10 tahun
1983 jo PP nomor 45 tahun 1990, Putusan-putusan perkara perceraian PNS
tahun 2010, tabel kasus perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga pada
tahun 2010, surat pernyataan yang dibuat oleh PNS yang isinya tentang
kesediaannya menanggung segala resiko yang akan ia terima setelah terjadi
perceraian, laporan perkara khusus pelaksanaan PP nomor 10 tahun 1983di
Pengadilan Agama Salatiga tahun 2010, SEMA nomor 5 tahun 1994 tentang
petunjuk pelaksanaan PP nomor 10 tahun 1983.
16
BAB II
KONSEP PERCERAIAN DALAM FIQH DAN PERUNDANG-
UNDANGAN
A. Konsep Perceraian dalam Fiqh Munakahat
1. Pengertian dan Tujuan Perceraian
Talak berasal dari kata ithlaq yang artinya melepaskan atau
meninggalkan. Talak menurut Sayyid Sabiq (1992:206) adalah
“melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan”.
Dalam Islam hak talak hanya diberikan kepada seorang laki-laki saja,
karena seorang laki-laki dipandang sebagai seseorang yang lebih
bersikap keras untuk melanggengkan tali perkawinanya dengan
menanggung semua kebutuhan keluarganya. Sedangkan jika seorang
suami itu mengikuti istrinya maka ia tidak berhak atas dirinya dan
perkara sepenuhnya terserah kepada istrinya, sebab ia telah
mengeluarkan hartanya untuk melepaskan dirinya dari ikatan suami istri
(Sabiq, 1992:210, 215).
Dalam hukum Islam, perceraian dapat terjadi karena talak, khulu’,
zhihar dan li’an (Nasution, 2002:204).
a. Talak
Talak terbagi menjadi dua yaitu talak raj’i dan talak ba’in.
Talak raj’i adalah talak yang suaminya masih memiliki hak untuk
rujuk dengan istrinya selama masa ‘iddah. Talak ini menguranggi
17
jumlah hak talak yang dimiliki oleh seorang laki-laki. Jika seorang
bercerai dengan talak 1 dan 2 maka boleh ruju’ selama masa iddah
dan jika mereka ruju’ setelah masa iddah maka mereka harus
melakukan akan nikah yang baru (Ahmad, 2002:46).
Syarat talak raj’i adalah:
1) Bahwa istri sudah pernah dikumpuli.
Jika talak tersebut dijatuhkan pada seorang istri yang
belum pernah dikumpuli, maka jatuh talak ba’in. Seorang
wanita yang dicerai sebelum dikumpuli ia tidak mempunyai
masa iddah (Ahmad, 2000:44, 49).
2) Talak tersebut tidak mengunakan uang pengganti.
3) Talak tersebut tidak dimaksudkan untuk melengkapi talak tiga.
Akibat hukum dari talak raj’i menurut Sayyid Sabiq
(1992:235) adalah:
1) Tidak menghilangkan hak kepemilikan.
2) Tidak melarang bekas suami untuk tinggal bersama istrinya
selama masa iddah.
3) Tidak mempengaruhi hubungan yang halal kecuali
persetubuhan.
4) Selama masa iddah talak ini tidak menimbulkan akibat hukum
selanjutnya dan akibat hukum dari talak hanya bisa terjadi
setelah selesai masa iddahnya.
18
Jika waktu iddah telah habis maka rujuk tidak diperbolehkan
dan perempuan itu tertalak ba’in. Jika perempuan itu masih dalam
masa iddah maka perempuan itu tertalak raj’i. Rujuk adalah salah
satu hak laki-laki selama masa iddah dan untuk merujuk tidak
memerlukan kerelaan dan penggetahuan istri dan wali (Sabiq,
1992:236). Syafi‟i berpendapat bahwa rujuk hanya boleh dengan
ucapan yang terang, jelas dimengerti dan dengan disaksikan oleh dua
orang yang adil.
Menurut Sayyid Sabiq (1992:237) Talak ba’in adalah “talak
yang ketiga kalinya, talak sebelum istri dikumpuli dan talak dengan
tebusan oleh istri kepada suaminya”. Talak ba’in dibagi menjadi dua
yaitu talak ba’in shughra dan talak ba’in kubra. Talak ba’in shughra
adalah talak yang kurang dari tiga. Talak ini mempunyai akibat
hukum:
1) Memutuskan tali hubungan suami istri jika diucapkan.
2) Jika salah satu meninggal setelah atau dalam masa iddah masa
yang satunya tidak akan mendapatkan warisan.
3) Perempuan yang dicerai masih berhak atas sisa pembayaran
mahar.
4) Bekas suami berhak kembali dengan istrinya dengan akad dan
mahar baru sebelum perempuan itu menikah dengan orang lain.
5) Jika talak ini adalah talak yang pertama, maka suami masih
mempunyai dua talak setelah rujuk.
19
Talak ba’in kubra adalah talak tiga penuh. Talak ini
mempunyai akibat hukum memutuskan tali perkawinan, tidak
menghalalkan bekas suami untuk merujuk istrinya sebelum menikah
dengan laki-laki lain yang hidup selayaknya suami istri dan sudah
bercerai. Jika suami ingin kembali pada istrinya menurut Ahmad bin
Kusain Al-Syahiir bi Abi Syuja‟ (2005:48) maka harus ada syarat:
1) Habis iddahnya dengan suami pertama.
2) Menikah dengan laki-laki lain.
3) Melakukan hubungan selayaknya suami istri dengan laki-laki
lain.
4) Dicerai oleh laki-laki lain.
5) Telah habis masa iddahnya dari laki-laki lain.
Hanafi berpendapat bahwa talak itu mempunyai kekuatan
hukum:
1) Mubah
Talak itu diperbolehkan jika bertujuan untuk menghindari
bahaya yang mengancam salah satu pihak, baik suami maupun
istri.
2) Wajib
Bahwa talak itu adalah jalan terakhir yang dijatuhkan oleh
hakim karena adanya perpecahan yang sudah tidak dapat
didamaikan lagi dalam suatu perkawinan.
20
3) Haram
Jika talak itu djatuhkan tanpa adanya alasan dan tidak
adanya kemaslahatan.
4) Sunnah
Talak sunnah yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami
karena istri tidak menjalankan kewajiban agama dan istri tidak
mempunyai rasa malu.
Tentang al-hadm (Penghapusan hitungan talak) Para ulama
telah sepakat bahwa perempuan yang tertalak ba’in kubra dan ba’in
sughra bila ia kembali kepada suami pertamanya setelah menikah
dengan laki-laki lain, maka laki-laki itu mempunyai hak atas tiga kali
talak (Sabiq, 1992:238).
b. Khulu’
Khulu’ adalah perceraian yang disertai dengan penyerahan
sejumlah harta dengan sejumlah ‘iwadh yang diberikan oleh seorang
istri kepada suami untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan
perkawinan. Para ulama‟ madzhab sepakat bahwa khulu’ boleh
dilakukan oleh orang yang bukan istrinya dan‘iwadh harus seniliai
dengan barang yang bisa dijadikan mahar. Tetapi bila ‘iwadh
dilakukan dengan barang yang tidak boleh dimiliki misalnya khamr
dan babi. Hanafi, Maliki dan Hambali berpendapat bahwa khulu’
tersebut tetap sah dan laki-laki yang mentalak istrinya dengan barang
tersebut tidak mendapat barang tebusan atau tidak mendapatkan apa-
21
apa. Sedangkan Syafi‟i berpendapat bahwa khulu’nya tetap sah dan
istri harus membayarkan harta sejumlah mahar yang ia dapatkan
dahulu.
Jika seorang suami mengkhulu’ istrinya dengan barang yang
diduga merupakan miliki istrinya tetapi milik orang lain maka
Hanafi berpendapat bahwa jika barang tersebut boleh dimiliki oleh
pemilikya maka khulu’nya sah. Jika barang tersebut tidak diizinkan
untuk dimiliki oleh pemiliknya maka istri harus menganti barang
yang serupa dengan barang itu. Syafi‟i berpendapat bahwa suami
berhak mendapatkan mahar mitsil. Maliki berpendapat bahwa dalam
hal itu telah jatuh talak ba’in sedangkan penebusnya batal.
Jika ‘iwadh yang diajukan oleh istrinya dengan tebusan berupa
menyusui dan memberikan nafkah kepada anak-anaknya untuk
waktu tertentu menurut kesepakatn imam madzhab maka khulu’nya
tetap sah. Menurut Hanafi, Syafi‟i dan Maliki dan Hambali
berpendapat bahwa wanita yang sedang hamil boleh mengajukan
khulu’ pada suaminya (Mughniyah, 1994:181-186).
Para ulama madzhab berpendapat bahwa syarat mengajukan
khulu’ bagi seorang wanita menurut Muhammad Jawad Mughniyah
(1994:186-188) adalah baligh dan berakal sehat. Seorang istri yang
safih (idiot) tidak boleh mengajukan talak tanpa izin dari walinya.
Para imam mazhab berbeda pendapat tentang keabsahan khulu’ yang
dijatuhkan oleh walinya. Hanafi berpendapat jika walinya
22
membayarkan „iwadh dengan hartanya maka khulu’nya sah. Maliki
berpendapat jika khulu’ itu didasarkan atas persetujuan walinya dan
‘iwadh diambilkan dari hartanya sendiri maka khulu’nya sah. Syafi‟i
dan Hambali berpendapat bahwa khulu’ yang dilakukan oleh orang
yang idiot adalah tidak sah baik dengan izin atau tanpa izin dari
walinya. Syafi‟i hanya memberikan pengecualian jika walinya
khawatir kalau suaminya akan menguasai harta istrinya yang idiot,
maka khuluknya batal tapi jatuh talak raj’i. Sedangkan Hambali
berpendapat bahwa tidak akan terjadi khulu’ ataupun talak ketika
tidak ada niat dari suaminya.
Seluruh imam madzhab kecuali hambali berpendapat bahwa
syarat bagi suami yang melakukan khulu’ menurut Muhammad
Jawad Mughniyah (1994:188) adalah baligh dan berakal. Sedangkan
Hambali berpendapat bahwa khulu’ dianggap sah jika dilakukan oleh
orang yang mumayiz (sudah mengerti walaupun belum baligh).
c. Zhihar
Zhihar adalah ucapan suami kepada istrinya yang berisi
menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu suami, seperti
ucapan suami kepada istrinya: “engkau bagiku adalah seperti
punggug ibuku.” Para imam madzhab telah sepakat bahwa
mengucapankan kalimat zhihar mempunyai akibat hukum yang
bersifat duniawi dan ukhrawi. Akibat hukum yang bersifat duniawi
adalah menjadi haramnya suami mengumpuli istrinya yang dizhihar
23
sampai suami melaksanakan kaffarah zhihar sebagai pendidikan
baginya agar tidak mengulangi perkataan dan sikapnya yang buruk
itu. Sedangkan akibat yang bersifat ukhrowi adalah bahwa zhihar itu
perbuatan dosa, orang yang mengucapkannya berarti berbuat dosa,
untuk membersihkannya wajib bertobat dan memohon ampun pada
Allah.
d. Ila’
Ila’ adalah sumpah yang diucapkan oleh suami dengan
menyebut nama Allah atau sifat-Nya yang ditujukan kepada istrinya
untuk tidak mendekatinya, baik secara muthlaq maupun dibatasi
dengan ucapan selamanya atau dibatasi empat bulan atau lebih.
Tetapi para imam madzhab berbeda pendapat jika waktunya empat
bulan. Hanafi berpendapat bahwa ila’ tersebut jatuh, tetapi tidak
jatuh menurut madzhab lainnya. Jika waktu ila’ lewat dari empat
bulan dan suami belum juga mencampuri istrinya maka menurut
pendapat Hanafi dalam perkawinannya telah jatuh talak ba’in.
Menurut Maliki, Syafi‟i dan Hambali persoalan itu harus diajukan
kepada hakim agar hakim menyuruh suaminyaa untuk
menyampurinya. Kalau suaminya menolak maka hakim akan
menjatuhkan talak raj’i.
Tujuan dari perceraian adalah adanya keraguan suami terhadap
perilaku istri, tertanamnya rasa tidak senang di hati suami terhadap istri.
Syara‟ menjadikan talak sebagai jalan keluar yang sah untuk bercerainya
24
suami istri, namun syara‟ membenci terjadinya perbuatan ini dan tidak
merestui dijatuhkannya talak tanpa alasan atau sebab. Adapun alasan
dijatuhkannya talak ini menyebabkan kedudukan hukum talak menjadi:
wajib, haram, mubah dan sunnat.
Talak menjadi wajjb jika suami atas permintaan istri karena suami
tidak mampu menunaikan hak istri dan tidak mampu menunaikan
kewajibannya sebagai suami. Talak menjadi haram jika dari perceraian
itu tidak ada alasan atau keperluan karena talak yang demikian
menimbulkan madharat, baik suami maupun istri. Talak itu mubah ketika
ada keperluan untuk itu, yaitu karena jeleknya perilaku istri atau suami
menderita madharat lantaran tingkah laku istri, atau suami tidak
mencapai tujuan perkawinan dari istri. Talak disunatkan jika istri rusak
moralnya, berbuat zina, melanggar larangan agama dan meningalkan
kewajiban agama seperti sholat, puasa dan istri tidak afifah (menjaga diri,
perilaku terhormat) (Ghazaly, 2003: 212-217).
2. Dasar Hukum Perceraian
Dasar hukum tentang tata cara perceraian adalah firman Allah
dalam surat Al-Baqarah ayat 229:
Artinya: Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk
lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara
25
yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu
dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau
keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-
hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami
isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka
tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah,
maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang
melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang
yang zalim (Depag RI, 2005: 28).
Dasar hukum yang mengsyaratkan bahwa talak harus dilakukan
dengan dua orang saksi dan harus dilakukan dengan cara yang baik dan
perceraian adalah jalan terakhir adalah surat Ath-Thalaq ayat 2
Artinya: Apabila mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka
rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka
dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi
yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan
kesaksian itu Karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran
dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari
akhirat. barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia
akan mengadakan baginya jalan keluar (Depag RI, 2005:
445).
Dasar hukum yang menetapkan bahwa laki-laki dan perempuan
mempunyai hak yang sama dalam perceraian terdapat dalam surat An-
Nisa‟ ayat 128
26
Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak
acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya
mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan
perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu
menurut tabiatnya kikir, dan jika kamu bergaul dengan
isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan
sikap tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan (Depag RI, 2005: 78).
Dasar hukum yang menyatakan untuk melibatkan pihak ketiga
(hakam) dalam perceraian terdapat dalam surat an-Nisa‟ ayat 35.
Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara
keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-
laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua
orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya
Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal (Depag RI,
2005: 66).
3. Syarat dan Alasan Perceraian
Syarat bagi orang yang mentalak menurut Muhammad Jawad
Mughniyah (1994:163-165) adalah sebagai berikut:
a. Baligh
Para ulama mazhab kecuali Hambali sepakat bahwa talak yang
dijatuhkan oleh anak kecil adalah tidak sah walaupun ia telah pandai.
Sedangkan menurut Hambali talak yang dijatuhkan oleh anak kecil
27
yang sudah mengerti adalah sah walaupun usianya belum mencapai
sepuluh tahun.
b. Berakal sehat
Orang yang tidak berakal sehat adalah:
1) Gila baik gila akut ataupun ayan yang diucapkan pada saat ia gila.
2) Dalam keadaan sadar, baik sedang tidur ataupun sakit.
3) Orang mabuk, menurut imam mazhab talak orang mabuk adalah
sah jika ia mabuk karena minuman yang diharamkan dan karena
keinginannya sendiri. Sedangkan jika ia mabuk karena dipaksa
minum maka talaknya dianggap tidak sah.
4) Orang marah yang mempunyai maksud untuk mentalak. Jika
tidak ada maksud untuk mentalak maka talak yang dijatuhkan
seperti talaknya orang gila.
c. Atas kehendak sendiri
Semua imam madzhab kecuali Hanafi berpendapat bahwa
talak yang dijatuhkan oleh orang yang dipaksa adalah tidak sah.
Sedangkan Hanafi berpendapat bahwa talak yang dipaksa adalah sah.
d. Adanya maksud untuk menjatuhkan talak
Jika talak itu diucapkan karena lupa, keliru atau main-main,
maka menurut Hanafi adalah sah sedangkan menurut Maliki,
Hambali dan Syafi‟i talaknya tidak sah karena sebuah talak
memerlikan niat.
28
e. Sighat thalaq dengan ucapan yang diucapkan oleh suami terhadap
istrinya yang menunjukkan thalaq, baik yang syarih (jelas) maupun
yang kinayah (sindiran), baik berupa ucapan, tulisan, isyarat bagi
suami tuna wicara atau dengan suruhan orang lain. Tidak dipandang
jatuh perbuatan suami terhadap istrinya yang menunjukkan
kemarahan dan adanya niat thalaq atau masih berada dalam pikiran
dan angan-angan, tidak diucapakan, tidak dipandang sebagai talak.
f. Qashdu (kesengajaan), artinya bahwa dengan ucapan thalaq itu
memang dimaksud oleh orang yang mengucapkannya untuk thalaq,
bukan maksud yang lain.
Alasan putusnya perkawinan di dalam islam menurut Drs.
sudarsono (2005:128-154) adalah:
a. Adanya sebab tertentu yang memungkinkan hubungan antara suami
dan istri yang tidak dapat diteruskan dalam membina rumah tanngga
yang disebut dengan talaq.
b. Putusnya perkawinan karena nusyus baik nusyus yang datang dari
suami berdasarkan Q.S An-Nisa 128 dan nusyus istri berdasarkan Q.S
An-Nisa 34.
c. Putusnya perkawianan karena adanya sumpah li’an seperti yang
terdapat di didalam Q.S An-Nur 4, 6, 7, 8, 9 dan 10. Akibat hukum
dari sumpah ini adalah talaq ba’in kubra dan dera 80 kali bagi pelaku
yang terbukti berzina dan anak yang dikandung hanya punya garis
keturunan dari ibunya.
29
d. Putusya perkawinan karena sumpah Illa’ berdasarkan Q.S Al Baqarah
ayat 226 dan 227 dan dzihar berdasarkan Q.S Al Mujadallah ayat 1-4
e. Adanya perceraian karena permintaan istri yang mengakibatkan
khulu’.
f. Adanya krisis memuncak yang terjadi antara suami istri sedemikian
rupa sehingga antara suami istri terjadi pertentangan pendapat dan
pertengkaran, menjadi dua pihak yang tidak mungkin dipertemukan
dan kedua belah pihak tidak dapat mengatasinya sehingga
menimbulkan syiqoq.
g. Adanya larangan perkawinan antara suami istri semisal karena
pertalian darah, pertalian susuan, pertalian semenda atau terdapat hal-
hal yang bertentangan dengan ketentuan hukum seperti tidak
terpenuhinya rukun atau syaratnya yang menyebabkan putusnya
perkawinan.
h. Adanya suatu kesengsaraan yang menimbulkan kemadhorotan
seperti: Tidak adanya nafkah bagi istri, terjadi cacat atau penyakit dan
adanya pederitaan yang menimpa istri yang menyebabkan
perkawinan itu fasakh. Fasakh ini berakibat bahwa mereka tidak bisa
rujuk karena talak ini dihukumi talaq ba’in kubra.
i. Putusnya perkawinan karena adanya penanggungan terjadinya
penjatuhan talak terhadap peristiwa tertentu sesuai perjanjian yang
dibuat oleh suami istri sebelumnya dengan dasar Q.S An Nisa‟ ayat
128.
30
j. Salah satu pihak meninggal dunia
B. Konsep Perceraian Menurut Perundang-undangan
3. Pengertian dan Tujuan Perceraian dalam Perundang-undangan
Dalam Undang-undang perkawinan (UUP) pasal 38 dinyatakan
bahwa putusnya perkawinan dapat terjadi karena tiga kemungkinan yaitu:
kematian, perceraian dan putusan pengadilan. Dalam UUP pasal 39 ayat
1 dinyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
Pengadilan Agama dan dalam pasal 39 ayat 2 dinyatakan bahwa
Perceraian hanya mungkin terjadi jika suami dan istri tidak mungkin
rukun lagi dalam kehidupan rumah tangga. Dalam Kompilasi Hukum
Islam (KHI) pasal 18 dinyatakan bahwa Putusnya perkawinan selain
kematian hanya dapat dibuktikan dengan surat cerai yang dikeluarkan
oleh Pengadilan Agama setelah diadakannya proses pemeriksaan di
dalam persidangan. Dalam KHI pasal 114 dinyatkan bahwa putusnya
perkawinan selain karena kematian hanya terjadi karena cerai talak atau
gugatan perceraian.
Dalam UUP pasal 22 dinyatakan bahwa “perkawinan dapat
dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk
melangsungkan perkawinan”. Sementara putusnya perkawinan karena
putusan Pengadilan tidak ada penjelasan yang tegas. Namun dari
penjelasan perundang-undangan yang ada menurut Khoiruddin Nasution
(2002:222) ada beberapa sebab terjadinya perceraian yaitu:
31
a. Talak
Talak adalah pemutusan perkawinan yang dilakukan oleh
seorang suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut
agama Islam yang bertujuan untuk menceraikan isterinya dengan
mengajukan surat gugatan kepada Pengadilan di tempat tinggalnya.
Surat gugatan berisi tentang pemberitahuan bahwa ia bermaksud
menceraikan isterinya disertai dengan alasan-alasan yang
mendasarinya. Pemohon meminta kepada Pengadilan Agama agar
diadakan sidang untuk keperluan itu. Pengadilan yang bersangkutan
berkewajiban mempelajari isi surat yang dimaksud dalam waktu
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari dan memanggil pengirim
surat dan juga isterinya untuk meminta penjelasan tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan maksud perceraian itu.
Pengadilan dalam perkara ini hanya memutuskan untuk
mengadakan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian.
Apabila memang terdapat alasan-alasan seperti yang dibenarkan
menurut perundang-undangan. Jika Pengadilan berpendapat bahwa
antara suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi
didamaikan untuk hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Sesaat
setelah dilakukan sidang pengadilan untuk menyaksikan perceraian
yang dimaksud, Ketua Pengadilan membuat surat keterangan tentang
terjadinya perceraian. Surat keterangan itu dikirimkan kepada
Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi untuk diadakan
32
pencatatan perceraian. Perceraian itu terjadi terhitung pada saat
perceraian itu dinyatakan di depan sidang pengadilan (PP No. 9
tahun 1975 pasal 14-18).
b. Cerai gugat
Cerai gugat adalah cerai yang diajukan oleh istri terhadap
suaminya yang diajukan ke pengadilan (UUP pasal 40-41).
c. Khuluk (tebus talak)
Putusnya perkawinan selain cerai mati hanya dapat dibuktikan
dengan putusan pengadilan agama yang berbentuk putusan
perceraian yang berupa ikrar talak, khuluk atau putusan taklik talak.
Tata cara perceraian dengan alasan khuluk dengan cara seorang istri
menyampaikan permohonannya ke Pengadilan Agama yang
mewilayahi tempat tinggalnya dengan disertai alasan yang jelas.
Pengadilan Agama selambat-lambatnya dalam waktu 1 bulan
memenggil istri dan suaminya untuk didengarkan keterangan dan
kesaksiannya. Dalam persidangan hakim memberikan keterangan
tentang akibat dari khuluk dan memutuskan besarnya iwadl atau
tebusan sesuai kesepakatan antara suami istri yang bersangkutan.
Setelah adanya kesepakatan iwadl maka Pengadilan Agama akan
memberikan izin kepada suami untuk mengikrarkan talaknya di
depan sidang pengadilan (KHI pasal 8 dan 148).
d. Syiqoq
33
Syiqoq adalah perceraian yang terjadi antara suami dan istri
karena pertengkaran terus menerus dan tidak ada harapan lagi untuk
hidup rukun. Gugatan itu hanya dapat diterima oleh Pengadilan
Agama apabila cukup jelas alasan yang mendasarinya setelah
mendengarkan kesaksian dari pihak keluarga dan teman terdekat
mereka (UU No. 50 tahun 2009 pasal 76 dan KHI pasal 116 poin f,
134).
e. Fasakh
Fasakh adalah pembatalan perkawinan karena salah satu pihak
tidak syarat-syarat untuk melangsungsungkan perkawinan (UUP
pasal 22). Yang dapat melakukan pembatalan perkawinan adalah:
1) Keluarga dari suami atau istri yang mempunyai garis keturunan
lurus ke atas.
2) Suami atau istri.
3) Pejabat yang berwenang sebelum perkawinan dilangsungkan
(UUP pasal 23).
Pembatalan nikah dapat dilakukan jika Perkawinan
dilangsungkan di muka pegawai pencatat nikah yang tidak
berwenang, wali nikah yang tidak sah, tidak adanya dua orang saksi
(UUP pasal 26 ayat 1). Pembatalan ini bisa gugur jika mereka telah
hidup selayaknya suami istri dan dapat memperlihatkan akte
perkawinan yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah yang tidak
34
berwenang dan perkawinannya harus diperbaharui supaya sah (UUP
pasal 26 ayat 2).
f. Taklik talak
Takhlik talak adalah perceraian yang dilakukaan karena salah
satu pihak telah melanggat ketentuan yang terdapat di dalam sighot
taklik talak (KHI pasal 8, 46 ayat 2 dan 51).
g. Li’an
Li’an adalah perceraian dengan sebab karena salah satu pihak
melakukan zina (UU No.50 tahun 2009 pasal 87-88).
Tujuan dari perceraian dalam pasal 16 PP No. 9 tahun 1975
adalah suami isteri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan
untuk hidup rukun dalam rumah tangga dan Pengadilan hanya
memutuskan untuk mengadakan sidang perceraian antara seorang suami
yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan
menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat
tinggalnya, yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan
isterinya disertai dengan alasan-alasannya serta meminta kepada
Pengadilan agar diadakan sidang untuk keperluan itu.
4. Syarat dan Alasan Perceraian dalam Perundang-undangan
Alasan perceraian menurut penjelasan UUP pasal 39 dan PP
No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan pasal 19 adalah:
35
a. Salah satu pihak berbuat zina, atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain tanpa alasa yang sah atau karena
hal yang lain diluar kemauannya.
c. Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan terhadap pihak yang lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami istri.
f. Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
Sedangkan dalam KHI pasal 116 ditambah
g. Suami melanggar taklik talak.
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak
rukunan rumah tangga.
Adapun syarat mengajukan peceraian bagi PNS diatur dalam PP
No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45 tahun 1990 tentang izin perkawinan dan
perceraian bagi PNS. Terdapat perbedaan antara PP No. 10 tahun 1983 Jo
36
PP No.45 tahun 1990 tentang penjelasan syarat tersebut. Dalam PP No.10
tahun 1983 tercatat tiga ayat yaitu:
1. Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib
memperoleh izin lebih dahulu dari pejabat.
2. Permintaan untuk memperoleh izin sebagaimana dimaksud dalam
ayat 1 diajukan secara tertulis.
3. Dalam surat permintaan izin perceraian harus dicantumkan alasan
yang lengkap yang mendasari permintaan izin perceraian itu.
Syarat dalam PP No. 45 tahun 1990 diubah menjadi:
1. Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan perceraian wajib
memperoleh izin atau surat keterangan lebih dahulu dari pejabat.
2. Bagi Pegawai Negeri sipil yang berkedudukan sebagai penggugat
atau bagi pegawai negeri sipil yang berkedudukan sebagai tergugat
untuk memperoleh izin atau surat keterangan sebagaimana
dimaksud dalam ayat 1 harus mengajukan permintaan secara
tertulis.
3. Dalam surat permintaan izin atau pemberitahuan adanya gugatan
perceraian untuk mendapatkan surat keterangan harus dicantumkan
alasan yang lengkap yang mendasarinya.
Dari perubahan bunyi PP No. 10 tahun 1983 menjadi PP No. 45 tahun
1990 dapat disimpulkan bahwa Pegawai Negeri Sipil yang akan
melakukan perceraian wajib memperoleh izin dari pejabat. Baik PNS
itu berkedudukan sebagai penggugat ataupun sebagai tergugat. Jika
37
PNS beredudukan sebagai penggugat ia wajib menyertakan surat izin.
Jika PNS berkedudukan sebagai tergugat maka ia harus menyertakan
surat keterangan dari atasannya. Dalam surat gugatan itu harus
dicantumkan alasan yang jelas tentang penyebab terjadinya perceraian.
C. PP No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45 tahun 1990 Ditinjau dari Politik
Hukum
Politik hukum menurut Mahfud MD (2011:1) adalah legal policy atau
garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang baru maupun hukum yang lama,
dalam rangka mencapai tujuan Negara. Hukum diposisikan sebagai alat untuk
mencapai tujuan Negara dengan menggunakan hukum sebagai alat untuk
memberlakukan dan tidak memberlakukan hukum sesuai dengan tahapan-
tahapan perkembangan yang dihadapi oleh masyarakat dan Negara kita.
Politik hukum sekurang-kurangnya mencakup tiga hal yaitu:
a. Kebijakan Negara (garis resmi) tentang hukum yang akan diberlakukan
dan tidak diberlakukan dalam rangka pencapaian tujuan.
b. Latar belakang politik, ekonomi, sosial, budaya (poleksosbud) atas
lahirnya produk hukum.
c. Penegakan hukum di dalam kenyataan lapangan.
Terkait dengan PP No. 10 Tahun 1983 Jo PP No. 45 Tahun 1990 ini,
pembahasan akan diarahkan kepada pertanyaan apakah yang melatar
belakangi pengesahan PP itu. Apakah PP itu juga diposisikan sebagai alat
38
untuk mencapai tujuan Negara melalui pemberlakuannya sesuai dengan
tahapan-tahapan perkembangan yang dihadapi oleh masyarakat dan Negara.
PP No. 10 Tahun 1983 disahkan pada tanggal 21 april 1983 di Jakarta.
PP itu disahkan oleh Presiden Repulik Indonesia yang saat itu dijabat oleh
Soeharto dan diundangkan oleh Menteri Sekretaris Negara Repulik Indonesia
yang dijabat oleh Soedarmono, S.H. Kemudian PP ini dirubah menjadi PP
No. 45 tahun 1990 yang disahkan juga oleh Presiden Soeharto dan
diundangkan oleh Menteri Sekretaris Negara Repulik Indonesia yang dijabat
oleh Moerdiono. Kedua PP itu disahkan pada Masa kepemimpinan Soeharto
yang dikenal sebagai pemerintahan orde baru.
Birokrasi di zaman orde baru ditandai dengan beberapa ciri salah
satunya keberpihakan birokrasi terhadap suatu partai, tentu saja dalam hal ini
Golkar. Pada masa Orde Baru, Pegawai Negeri Sipil dipolitisasi dengan cara
monoloyalitas terhadap Golkar yang merubah Pegawai Negeri Sipil dari
sebagai abdi masyarakat menjadi abdi penguasa. Secara formal pegawai
negeri memang tidak dipaksa menjadi anggota dan memilih Golkar dalam
pemilihan umum, namun pada kenyataannya mereka dimobilisasi untuk
memenangkan Golkar. Kebijakan monoloyalitas pegawai negeri kepada
pemerintah dalam praktiknya diselewengkan menjadi loyalitas tunggal
kepada Golkar (http://id.wikipedia.org/wiki/Pegawai_negeri).
Politik hukum pada masa orde baru sangat unik dan menarik untuk
diamati, karena ada dua macam kebijakan dalam politik hukumnya. Politik
hukum yang pertama adalah menciptakan hukum untuk mempertahankan dan
39
mengkonsentrasikan kekuasaan di tangan Soeharto dengan selalu
memenangkan Golkar dalam setiap pemilu. Politik hukum dalam rangka
mengkonsentrasikan kekuasaanya sepenuhnya di tangan Soeharto dilakukan
dengan menetapkan peraturan peraturan perundang-undangan yang
berkarakter elitis atau konservatif (Saragih, 2006:118-122).
Politik hukum yang kedua adalah menciptakan hukum sebagai landasan
dalam kebijakan ekonomi yang liberal. Sistem ekonomi yang liberal ini pada
akhirnya berdampak negatif yaitu menjadikan perekonomian nasional di
tangan segelintir orang (pengusaha), sehingga menciptakan maraknya
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal ini tidak mendapatkan banyak
tantangan dari masyarakat karena tidak menyinggung hal-hal sensitif dalam
masyarakat seperti budaya dan agama (Saragih, 2006: 119, 124).
Politik hukum yang diterapkan oleh Soeharto dalam menciptakan
hukum untuk mempertahankan kekuasaan ditangannya dan menciptakan
hukum sebagai landasan dalam kebijakan ekonomi yang liberal. Menurut
Mochtar Kusumaatmadja sebagai politik yang netral. Karena politik hukum
yang dilakukan oleh Soeharto tersebut tidak menyinggung masalah yang
berhubungan dengan agama dan kebudayaan. Karena dalam masyarakat yang
sedang membangun secara garis besar hukum itu harus mengatur masalah
yang berhubungan dengan kehidupan budaya dan spiritual masyarakat dan
kebudayaan yang bersifat netral.
Konfigurasi politik pada eksekutif masa Orde Baru merupakan
konfigurasi politik yang non-demokratis. Hal tersebut dapat terlihat dari
40
program kabinet-kabinet yang dibentuk selama masa Orde Baru sejak pemilu
1971. Dalam program kabinet selalu dicanangkan pemilihan dan
meningkatkan stabilitas politik atau meningkatkan trilogi pembangunan.
Sejak kabinet yang terbentuk pada tahun 1983, program kabinet ditambah
dengan meningkatkan/memasyarakatkan ideologi pancasila dalam
mengembangkan demokrasi pancasila dan menyelenggarakan Pendidikan
yang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) bagi pejabat,
PNS dan masyarakat dalam pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa
(Saragih, 2006: 117).
Salah satu program kabinet pada tahun 1983 adalah disahkannya PP
No. 10 tahun 1983 jo PP No. 45 tahun 1990 tentang Pencatatan Perkawinan
dan Perceraian Bagi PNS. Politik hukum yang terkandung dalam PP No. 10
tahun 1983 dapat dipahami dari penjelasan PP itu yang menyatakan bahwa
PNS adalah aparatur Negara, abdi Negara dan abdi masyarakat yang harus
menjadi teladan yang baik bagi masyarakat dalam tingka laku, tindakan dan
ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk dapat
melaksanakan kehidupan yang demikian PNS harus ditunjang oleh kehidupan
keluarga yang serasi, sehingga setiap PNS dalam melaksanakan tugasnya
tidak akan banyak terganggu dalam masalah keluarga. Salah satu masalah
keluarga yang dihadapi oleh PNS adalah perceraian.
Disinilah terjadi perbedaan antara PP No.10 tahun 1983 dengan UU No.
1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Salah satu alasan perceraian menurut UUP
adalah salah satu pihak mendapat cacat badan dan atau penyakit dengan
41
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri. Namun
dalam penjelasan PP No. 10 tahun 1983 pasal 7 ayat 2 dinyatakan bahwa
seorang PNS yang melakukan perceraian dengan alasan istri tertimpa
musibah tidak memberi keteladanan yang baik meskipun ketentuan PP
memungkinkannya.
Selain itu dalam penjelasan PP No. 45 tahun 1990 dinyatakan bahwa:
a. Dalam pelaksanaannya beberapa ketentuan PP No. 10 tahun 1983 tidak
jelas dan PNS tertentu yang seharusnya terkena ketentuan PP No. 10
tahun 1983 dapat menghindar baik secara sengaja maupun tidak.
b. Terhadap ketentuan tersebut adakalanya pejabat tidak mengambil
tindakan yang tegas karena ketidakjelasan rumusan ketentuan PP itu,
sehingga dapat memberi peluang untuk melakukan penafsiran sendiri-
sendiri.
Dengan pertimbangan diatas, maka dipandang perlu melakukan
penyempurnaan dengan menambah dan atau mengubah beberapa ketetuan PP
itu agar bisa menjamin keadilan bagi kedua belah pihak. Di samping itu,
menginggat faktor pelanggaran terhadap peraturan PP berbeda-beda maka
sanksi terhadap pelanggaran yang semula berupa pemberhentian dengan
hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS dalam PP No. 45 tahun
1990 dirubah menjadi salah satu hukuman disiplin berat berdasarkan PP No.
30 tahun 1980 untuk memberikan rasa keadilan.
Dengan melihat tentang proses pembentukan PP No. 10 tahun 1983 jo
PP No. 45 tahun 1990, peneliti berpendapat bahwa PP ini sesuai dengan
42
fungsi hukum sebagai sarana perubahan masyarakat (law as a tool of social
engineering) (Kusumaatmadja, 1986:9,14).
43
BAB III
GAMBARAN PERCERAIAN PNS DI PENGADILAN AGAMA
SALATIGA
A. Kasus Perceraian di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2010
Dalam Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan
Undang-undang nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama pasal 49
disebutkan bahwa Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang
yang beragama islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf,
zakat, infaq, shadaqoh dam ekonomi syariah. Di bidang perkawinan
diantaranya meliputi poligami, dispensasi nikah, pembatalan perkawinan,
perceraian, penyelesaian harta bersama, penguasaaan anak, isbat nikah.
Berdasarkan Buku Pantauan Perkara di Pengadilan Agama Salatiga
pada tahun 2010 telah tercatat 1050 perkara yang masuk, 994 diantaranya
adalah perkara perceraian. Pada bulan Januari tercatat 28 kasus cerai talak
dan 55 kasus cerai gugat. Bulan Pebruari tercatat 27 kasus cerai talak dan 57
kasus cerai gugat. Bulan Maret tercatat 27 kasus cerai talak dan 52 kasus
cerai gugat. Bulan April tercatat 41 kasus cerai talak dan 60 kasus cerai gugat.
Bulan Mei tercatat 27 kasus cerai talak dan 46 kasus cerai gugat. Pada bulan
Juni tercatat 21 kasus cerai talak dan 60 kasus cerai gugat. Pada bulan Juli
tercatat 26 kasus cerai talak dan 48 kasus cerai gugat. Pada bulan Agustus
tercatat 21 kasus cerai talak dan 35 kasus cerai gugat. Pada bulan September
44
tercatat 27 kasus cerai talak dan 48 kasus cerai gugat. Pada bulan Oktober
tercatat 41 kasus cerai talak dan 55 kasus cerai gugat. Pada bulan November
tercatat 27 kasus cerai talak dan 69 kasus cerai gugat. Pada bulan Desember
tercatat 37 kasus cerai talak dan 59 kasus cerai gugat (Buku Pantauan Perkara
Pengadilan Agama Salatiga 2010).
Dalam satu tahun itu tercatat 350 kasus Cerai Talak, 644 kasus Cerai
Gugat. Data selengkapnya terlihat pada tabel 3.1.
Tabel 3.1 Data Kasus Perceraian di Pengadilan Agama Salatiga pada
Tahun 2010
Bulan Cerai Talak Cerai Gugat
Januari 28 55
Pebruari 27 57
Maret 27 52
April 41 60
Mei 27 46
Juni 21 60
Juli 26 48
Agustus 21 35
September 27 48
Oktober 41 55
November 27 69
Desember 37 59
Jumlah 350 644
Sumber: Diolah dari Buku Pantauan Perkara Pengadilan Agama Salatiga
2010
Selanjutnya dari 994 kasus perceraian di Pengadilan Agama Salatiga
selama tahun 2010 peneliti menemukan 18 kasus perceraian yang pengugat
atau tergugatnya berprofesi sebagai PNS. Sebelas kasus diantaranya diputus
45
bercerai, 1 kasus masih dalam proses kasasi, 1 kasus gugur, 2 kasus dicabut, 1
kasus masih dalam proses persidangan dan 2 kasus tidak mempunyai
kekuatan hukum. Dari 11 kasus yang telah diputus bercerai, peneliti
menemukan 7 kasus perceraian yang sudah ada izin dari atasan, sedangkan
untuk 4 kasus lainnya peneliti tidak menemukan surat izin bercerai dari
atasannya. Dari 4 kasus itu ada 2 kasus yang tergugatnya seorang PNS, 1
kasus yang penggugatya sebagai PNS dan 1 kasus yang pengugat dan
tergugatnya sebagai PNS.
B. Alasan Perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2010
Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 5 tahun 1984
tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983
dinyatakan bahwa perkara perceraian yang berakibat perceraian adalah
wewenang Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan
Negeri bagi yang beragama non Islam. SEMA ini menginstruksikan agar para
Hakim di Pengadilan Agama maupun Pengadilan Negeri untuk
memerintahkan Pegawai Negeri Sipil yang akan mengajukan gugatan
perceraian untuk memperoleh izin terlebih dahulu oleh pejabat sesuai dengan
PP Nomor 10 tahun 1983 jo PP Nomor 45 tahun 1945 tentang izin perceraian
bagi PNS. Dalam PP Nomor 10 Tahun 1983 pasal 7 ayat 1 dinyatakan bahwa
“Izin untuk bercerai dapat diberikan oleh Pejabat apabila didasarkan pada
alasan-alasan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.”
46
Sedangkan alasan perceraian menurut penjelasan UUP pasal 39 dan PP
No. 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan pasal 19 adalah: zina, pemabuk, pemadat, penjudi,
meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak
lain, mendapatkan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung, melakukan kekejaman atau
penganiayaan berat, salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit
yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami
istri, terjadinya perselisihan dan pertengkaran, suami melanggar taklik talak,
murtad.
Taklik talak adalah sighot yang diucapkan oleh suami terhadap istrinya
sesudah akad nikah dilangsungkan. Isi dari sighot ta‟lik itu adalah: jika suami
meninggalkan istri selama dua tahun berturut-turut, tidak memberikan nafkah
selama tiga bulan, menyakiti badan istrinya atau membiarkan dan tidak
memperdulikan istrinya selama enam bulan. Jika istrinya tidak ridha terhadap
perlakuan tersebut maka istrinya bisa mengadukan hal tersebut ke Pengadilan
dengan membayar uang iwadl (pengganti) dan jatuhlah talak terhadap
suaminya (kutipan akta nikah).
Sedangkan dalam pasal 7 ayat 2 PP Nomor 10 tahun 1983 tentan Izin
Perceraian PNS dinyatakan bahwa alasan yang menyatakan bahwa salah satu
pihak mendapatkan cacat badan tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan
perceraian.
47
Alasan perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga pada tahun 2010
adalah: Perceraian dengan alasan Tergugat tidak mempedulikan dan tidak
memberikan nafkah wajib selama 4 tahun seperti perkara gugatan nomor:
0365/ Pdt.G/ 2010/ PA.Sal. Majelis Hakim dalam perkara ini berpendapat
bahwa syarat ta‟lik talak telah terpenuhi sebagaiman yang terdapat dalam
pasal 116 huruf g Kompilasi Hukum Islam.
Perceraian karena Tergugat sudah 2 bulan hidup dengan wanita lain dan
tidak mau kembali hidup dengan Penggugat seperti perkara gugatan nomor:
0578/ Pdt.G/ 2010/ PA.Sal. Majelis Hakim dalam perkara ini berpendapat
bahwa penggugat telah memenuhi alasan perceraian sebagaimana yang
tercantum dalam pasal 19 huruf f PP nomor 9 tahun 1973 jo pasal 116 huruf f
Kompilasi Hukum Islam.
Perceraian dengan alasan adanya kehidupan rumah tangga yang tidak
harmonis, sering diwarnai perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan
karena tergugat mengalami sakit radang ginjal dan tidak bisa menjalankan
kewajibannya sebagai seorang suami (dukhul) dan tergugat telah pergi dari
tempat tinggal bersama tanpa seizin penggugat seperti perkara gugatan
nomor: 0633/ Pdt.G/ 2010/ PA.Sal. Majelis Hakim dalam perkara ini
berpendapat bahwa penggugat dan tergugat telah memenuhi syarat ta‟lik talak
sebagaimana yang diatur dalam pasal 116 huruf g Kompilasi Hukum Islam.
Sedangkan perceraian yang didasari dengan alasan bahwa Tergugat
(Wanita) sering pulang kerja hingga larut malam dan jika Tergugat dinasehati
oleh Penggugat ia justru marah-marah hingga pisah rumah, masalah ekonomi,
48
mempunyai pria idaman lain seperti perkara gugatan nomor: 0718/ Pdt.G/
2010/ PA.Sal. Majelis Hakim dalam perkara ini berpendapat bahwa pemohon
telah memenuhi ketentuan pasal 19 huruf f PP nomor 9 tahun 1975 jo pasal
116 huruf f Kompilasi Hukum Islam.
Perceraian yang penggugatnya sebagai seorang PNS adalah perkara
gugatan nomor: 0365/ Pdt.G/ 2010/ PA.Sal dengan Penggugat bernama Harti
Handayani Binti Sukrno, umur 41 tahun, beragama Islam dan bekerja sebagai
PNS guru. Tergugat bernama Hariyanto bin Sutarno, umur 47 tahun,
beragama Islam, pekerjaan swasta. Mereka menikah pada tanggal 4 Juli 1990
Kantor Urusan Agama Kecamatan Ampel Kabupaten Boyolali sebagaimana
yang tercatat dalam Kutipan Akta Nikah Nomor: 16/VII/1990. Pada saat
sidang yang telah ditentukan penggugat datang ke persidangan dan tergugat
tidak pernah datang ke persidangan. Penggugat adalah seorang PNS yang
mengajukan perceraian, namun sampai dengan pembacaan gugatan
penggugat belum bisa mendapatkan surat izin dari atasan sampai dengan 3
bulan dan di perpanjang lagi selama 3 bulan karena izin yang diminta oleh
penggugat belum diterbitkan juga oleh atasannya. Penggugat tetap bersikeras
untuk melanjutkan persidangan walaupun ia belum mendapatkan izin dari
atasannya. Sehingga Majlis Hakim menyuruh penggugat untuk membuat
surat keterangan yang isinya bersedia untuk menanggung segala resiko dari
perceraian karena belum adanya izin dari atasan. Majelis Hakim dalam
perkara ini mengadili bahwa mengabulkan gugatan dengan verstek,
menyatakan bahwa syarat ta‟lik talak terpenuhi, menetapkan jatuh talak satu
49
khul‟i dengan iwadl Rp 10.000,- dan memerintahkan Panitera untuk
mengirimkan salinan putusan kepada Pegawai Pencatat Nikah Kartor Urusan
Agama Kecamatan Tengaran dan Kecamatan Ampel (Putusan Nomor
0365/Pdt.G/2010/Pa.Sal).
Perceraian yang penggugat dan tergugatnya sebagai PNS adalah perkara
gugatan nomor: 0578/ Pdt.G/ 2010/ PA.Sal dengan Penggugat bernama Iswati
binti D. Sastroatmojo, umur 64 tahun, beragama Islam, pensiunan PNS.
Tergugat bernama Hery Suratno bin Waris Widodo, umur 65 tahun, beragama
Islam, pensiunan PNS. Dalam proses persidangan mulai dari pembacaan
gugatan sampai putusan tergugat tidak datang ke persidangan. Menurut
Majelis Hakim dalam perkara tersebut berpendapat bahwa seorang pensiunan
PNS tidak dibebabkan untuk menyertakan surat izin dari atasan karena
seorang pensiunan PNS merupakan PNS non aktif dan sudah tidak
mempunyai atasan (Wawancara dengan Dra. H. Muhlishoh, M.H., salah
seorang Hakim PA Salatiga, pada 29 Januari 2012). Majelis Hakim dalam
perkara ini mengadili bahwa mengabulkan gugatan penggugat dengan
verstek, menjatuhkan talak bain sughro tergugat (Putusan Nomor
0578/Pdt.G/2010/Pa.Sal).
Perceraian yang tergugatnya sebagai seorang PNS yaitu perkara
gugatan nomor: 0633/ Pdt.G/ 2010/ PA.Sal dan 0718/ Pdt.G/ 2010/ PA.Sal.
Perkara dengan nomor 0633/ Pdt.G/ 2010/ PA.Sal dengan Penggugat bernama
Nurwahyuni binti Abdul Rochman, umur 37 tahun, beragama islam dan tidak
bekerja. Tergugat bernama Yatimin bin Muhrodin, umur 37 tahun, beragama
50
Islam dan bekerja sebagai TNI AD. Mereka menikah pada bulan Februari
1999 di Kantor Urusan Agama kecamatan Tuntang Kabupaten Semarang
sebagaimana tercatat dalam Kutipan Akta Nikah Nomor: 459/11/II/1999.
Dalam proses persidangan tersebut Majelis Hakim tidak dapat meminta surat
keterangan dicerai dari tergugat karena sejak persidangan yang pertama
sampai pembacaan putusan tergugat tidak pernah datang ke persidangan,
sehingga Majelis Hakim tidak bisa membebankan surat keterangan dicerai
kepada tergugat. Dalam perkara ini Majelis Hakim mengadili mengabulkan
gugatan dengan verstek, menyatakan syarat ta‟lik talak telah dipenuhi,
menetapkan jatuh talak satu khul‟i dengan iwadl Rp 10.000,- dan
memerintahkan Panitera untuk mengirimkan salinan putusan kepada Pegawai
Pencatat Nikah Kecamatan Tuntang yang wilayahnya meliputi tempat tinggal
penggugat dan tergugat dan tempat dimana mereka melangsungkan
perkawinan (Putusan Nomor:0633/Pdt.G/2010/PA.Sal ).
Perceraian dengan perkara nomor 0718/ Pdt.G/ 2010/ PA.Sal dengan
Pemohon bernama Nuryadi binti Sugiharto, umur 44 tahun, beragama Islam
dan bekerja sebagai kernet bus. Termohon bernama Siti Suarti bin Mukri,
umur 43 tahun, beragama Islam dan bekerjaan sebagai PNS RSUD salatiga.
Mereka menikah di Kantor Urusan Agama Susukan Kabupaten Semarang
pada tanggal 15 September 1989 sebagaimana tercatat dalam Kutipan Akta
Nikah Nomor: 19/222/IX/1989. Dalam proses persidangan tersebut Majelis
Hakim tidak dapat meminta surat keterangan dicerai dari termohon karena
sejak persidangan yang pertama sampai pembacaan putusan tergugat tidak
51
pernah datang ke persidangan, sehingga Majelis Hakim tidak bisa
membebankan surat keterangan dicerai kepada pemohon. Majelis Hakim
dalam perkara ini mengadili mengabulkan permohonana pemohon dengan
verstek, memberi izin kepada pemohon untuk menjatuhkan talak satu raj‟i
(Putusan Nomor 0718/Pdt.G/PA.Sal). Data selengkapnya dapat dilihat pada
tabel 3.2.
Tabel 3.2 Alasan Perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga pada
Tahun 2010
Nomor
Perkara
Kasus Alasan
Perceraian
0365/Pdt.G/
2010/Pa.Sal
Tergugat tidak memperdulikan
penggugat dan penggugat tidak
memberikan nafkah wajib selama 4
tahun.
Pasal 116 huruf g
Kompilasi Hukum
Islam.
0578/Pdt.G/
2010/Pa.Sal
Tergugat sudah 2 bulan hidup
dengan wanita lain dan tidak mau
hidup kembali dengan penggugat.
Pasal 19 huruf f PP
nomor 9 tahun 1973 jo
pasal 116 huruf f
Kompilasi Hukum
Islam.
0633/Pdt.G/
2010/Pa.Sal
Ketidak harmonisan dalam rumah
tangga, sering terjadi perselisihan,
tergugat tidak bisa menjalankan
kewajibannya sebagai seorang suami
(dukhul) dan tergugat pergi dari
rumah tanpa izin penggugat.
Pasal 116 huruf g
Kompilasi Hukum
Islam
0718/Pdt.G/
2010/Pa.Sal
Pemohon dan termohon sering
marah-marah hingga pisah rumah,
masalah ekonomi dan tergugat
mempunyai pria idaman lain.
Pasal 19 huruf f PP
nomor 9 tahun 1975 jo
pasal 116 huruf f
Kompilasi Hukum
Islam.
Sumber: Diolah dari Putusan-putusan Pengadilan Agama Salatiga Tahun
2010
C. Proses Penyelesaian Kasus Perceraian PNS di Pengadilan Agama
Salatiga
52
Proses perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga sebenarnya sama
dengan perceraian orang yang bukan PNS. Namun terdapat sedikit perbedaan
dalam syarat administratif yang harus disediakan. Menurut salah seorang
Hakim PA Salatiga, Drs. H. Noer Hadi, M.H., seorang PNS selain harus
memenuhi syarat umum juga harus melengkapi syarat khusus saat
mengajukan pendaftaran gugatan ke pengadilan yaitu adanya surat izin
tertulis dari atasan. Syarat khusus itu hanya dikenakan bagi seseorang yang
berprofesi sebagai anggota ABRI, Kepolisian dan PNS pusat maupun daerah
sebagaimana diatur dalam pasal 3 ayat 1 dan 2 PP No. 10 tahun 1983 yang
telah dirubah dalam PP No. 45 PNS tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian bagi PNS (Wawancara tanggal 1 Februari 2012).
Adapun persyaratan umum yang harus dipenuhi adalah: surat gugatan,
kutipan akta nikah asli, fotocopy kutipan akta nikah dan kartu tanda
penduduk 1 lembar dengan materai 6.000 dan distepel oleh kantor pos
Salatiga. Dalam mengajukan surat gugatan, PNS tersebut boleh mengajukan
secara in person atau diajukan oleh kuasa hukumnya. Hal tersebut diatur
dalam pasal 147 R.Bg. Selain itu gugatan tersebut juga boleh diajukan secara
lisan melalui pra meja sebagaimana yang diatur dalam pasal 114 ayat 1 R.Bg.
Dalam surat gugatan itu berisi tentang identitas para pihak, posita atau
fakta-fakta atau hubungan hukum yang terjadi antara kedua belah pihak,
petitum adalah isi tuntutan atau gugatan. Setelah semua syarat dipenuhi maka
di meja I akan ditaksir panjar biaya perkara atau Surat Kuasa Untuk
Membayar (SKUM) dengan komponen sebagai berikut: biaya kepaniteraan
53
yang diatur dalam pasal 90 ayat 1 huruf a UU Nomor 3 tahun 2006, biaya
materai yang didasarkan pada UU nomor 13 tahun 1985 tentang Bea materai
jo PP nomor 24 tahun 2000 tentang perubahan biaya materai, biaya
pemeriksaan saksi-saksi, juru bahasa dan biaya sumpah, biaya pemeriksaan
setempat yang diatur dalam SEMA nomor 5 tahun 1999, biaya pemanggilan
yang didasarkan pada radius dengan berpedoman kepada Surat Keputusan
Menteri Agama nomor 229/2002 tanggal 5 juni 2005. Bagi penggugat atau
pemohon yang tidak mampu untuk membayar dapat diizinkan untuk
berperkara secara prodeo (cuma-cuma). Ketidakmampuan tersebut harus
dibuktikan dengan surat keterangan dari Lurah dan Camat sehingga panjar
biaya di SKUM oleh meja I akan ditaksir Rp 0,- dan dicap lunas dengan
pembayaran nihil.
Setelah semua berkas lengkap maka Penggugat datang ke kasir untuk
membayar biaya perkara dalam Jurnal Keuangan Perkara. Kemudian kasir
memberi nomor pada SKUM dan menandatanganinya serta membubuhi cap
lunas. Setelah dari kasir Penggugat datang ke meja II untuk mendapatkan
nomor perkara. Nomor ini didasarkan pada nomor yang ada di SKUM.
Nomor ini terdiri dari 4 digit angka yaitu: nomer/Pdt.G atau P/ tahun/ kode
pengadilan yaitu PA.Sal (Wawancara dengan Drs. Sakir, S.Hi, M.H., Ketua
Panitera PA Salatiga, pada 30 Januari 2012).
Setelah perkara ini mendapatkan nomor perkara, Meja II akan
menaikkannya ke Panitera/Wapan untuk diperiksa. Panitera akan
memberikanya kepada Ketua Pengadilan Agama untuk di tunjuk Majelis
54
Hakim dalam menanggani perkara tersebut. Penunjukan ini selambat-
lambatnya dilakukan selama 7 hari setelah gugatan itu diserahkan ke Ketua
Pengadilan Agama berdasarkan pasal 17 UU nomor 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman jo pasal 93 UU nomor 7 tahun 1989 tentan Pengadilan
Agama.
Dalam menentukan susunan Majelis Hakim ketua Pengadilan Agama
harus memperhatikan daftar senioritas Hakim sebagaimana yang telah diatur
dalam SEMA nomor 5 tahun 1975 yang menyatakan bahwa “apabila majelis
terdiri dari hakim-hakim bukan Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan, maka
Hakim yang tertua dalam jabatan Hakim harus bertindak sebagai Ketua
Majelis (Rasyid, 2009:66). Setelah ketua Pengadilan menunjuk Majelis
Hakim maka ia akan membuat penetapan dan penetapan itu akan diserahkan
ke Panitera. Setelah itu panitera akan menunjuk Panitera Pengganti. Dan
Pnitera akan menyerahkan berkas perkara tersebut ke Majlis Hakim dan
Panitera Pengganti.
Setelah Majelis Hakim dan Panitera Pengganti terbentuk maka Majelis
Hakim ini akan menentukan hari sidang dengan dasar pasal 121 dan 122 HIR/
pasal 145 dan 146 R.Bg dan untuk perkara perkawinan didasarkan pada pasal
26 ayat 4 dan 5 PP nomor 9 tahun 1975. Setelah hari sidang ditentukan maka
Panitera akan mengutus Juru Sita untuk memanggil para pihak yang
berperkara sebagaiman yang diatur dalam pasal 55 UU nomor 7 tahun 1989
tentang Pengadilan Agama. Pemanggilan itu dilakukan 3 hari sebelum hari
55
sidang oleh Juru Sita (Wawancara dengan Drs. Sakir, S.Hi, M.H., 30 Januari
2012).
Pada saat hari sidang yang telah ditentukan dan para pihak telah di
panggil secara resmi dan patut sesuai ketetapan, Majelis Hakim mulai
melakukan proses persidangan dengan upaya perdamaian, pembacaan
gugatan, dan jawabat tergugat, replik penggugat, duplik penggugat,
pembuktian penggugat, pembuktian tergugat, kesimpulan penggugat dan
tergugat, musyawarah Majelis Hakim, putusan.
Setelah perkara itu diputus oleh Majelis Hakim maka Penggugat
kembali ke Kasir untuk mengecek biaya perkara. Kasir akan memberitahu
Meja II bahwa perkara nomor sekian telah diputus oleh Majelis Hakim dan
Panitera Pengganti dalam perkara itu akan memberikan salinan putusan ke
meja III. Meja III akan memberiannya kepada Penggugat, Tergugat dan
instansi terkait. Instansi terkait ini bisa Pegawai Pengatat Nikah (PPN),
Kantor Catatan sipil dan Instansi dimana para pihak bekerja. Setelah salinan
putusan disampaikan ke para pihak maka salinan putusan itu didaftarkan di
pendaftaran arsip dan laporan kepaniteraan. Arsip itu berisi surat gugatan,
beserta persyaratan yang disertakan saat mendaftarkan perkara di meja I,
SKUM, jawaban tergugat, replik penggugat dan duplik tergugat, berita acara
persidangan, putusan oleh Majelis.
Dasar hukum kewajiban Panitera Pengadilan untuk menyampaikan
salinan putusan atas gugatan perceraian kepada PPN diatur dalam adalah
Pasal 84 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
56
yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 dan
Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. Salinan putusan itu wajib
dikirimkan kepada PPN dimana Penggugat dan Tergugat tinggal atau dimana
mereka melangsungkan perkawinan selambatnya dalam waktu 30 hari sejak
putusan itu mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan kewajiban
menyampaikan salinan putusan perceraian baik putusan Pengadilan Negeri
maupun Pengadilan Agama ke instansi terkait juga diatur Peraturan Presiden
Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran
Penduduk dan Pencatatan Sipil dalam Pasal 75 ayat 4 yang isinya bahwa
Panitera Pengadilan berkewajiban menyampaikan salinan putusan pengadilan
mengenai putusan perceraian kepada perangkat pemerintah kabupaten/kota
yang bertanggung jawab dan berwenang melaksanakan pelayanan dalam
urusan administrasi kependudukan (Wawancara dengan Drs. H. Noer Hadi,
M.H., 1 Februari 2012).
Penyampaian salinan putusan perceraian PNS di Pengadilan Agama
Salatiga kepada instansi terkait hanya bisa dilakukan jika ada permintaan dari
penggugat atau pemohon. Jika tidak ada permintaan dari penggugat atau
pemohon pengadilan tidak bisa memberikan salinan putusan tersebut karena
hal itu bertentangan dari tugas Majlis Hakim yang memutuskan perkara
melebihi Petitum yang di tuntut. Sedangkan untuk penyampaian salinan
putusan kepada Pagawai Pencatat Nikah dimana pernikahan itu
dilangsungkan tidak didasarkan pada permintaan penggugat atau pemohon
(Wawancara dengan Dra. Hj Muhlishoh, M.H., 29 Januari 2012).
57
D. Izin Perceraian bagi PNS di Pengadilan Agama Salatiga.
Proses perceraian PNS sebenarnya sama dengan proses perceraian
orang yang bukan PNS. Hanya saja dalam perceraian seorang PNS, terdapat
syarat khusus yang mengikat mereka. Seorang PNS yang menjadi penggugat
wajib menyertakan izin tertulis dari atasannya. Hal itu diatur dalam pasal 3
ayat 1 PP nomor 45 tahun 1990. Sedangkan PNS yang menjadi tergugat harus
menyertakan surat keterangan dari atasannya. Keterangan tersebut terdapat
dalam pasal 3 ayat 2 PP nomor 45 tahun 1990. Sedangkan petunjuk
pelaksanaan Peraturan Pemerintah itu diatur dalam Surat Edaran Mahkamah
Agung Nomor 5 Tahun 1984 (Wawancara dengan Drs. H. Noer Hadi, M.H.,
tanggal 1 Februari 2012).
Dalam hal ini Pengadilan Agama memerintahkan kepada Penggugat
dan atau Tergugat PNS untuk menyertakan surat izin bercerai dari atasan
sejak Pemohon atau Penggugat mendaftarkan gugatannya di meja I
Pengadilan Agama. Jika saat pendaftaran Penggugat atau Pemohon belum
menyertakan surat izin itu, Pengadilan akan tetap melanjutkan perkara
tersebut sampai dengan proses persidangan. Jika telah memasuki proses
persidangan yang telah ditentukan PNS yang bersangkutan baik sebagai
Penggugat maupun Tergugat belum menyertakan surat izin atau keterangan
bercerai dari atasan maka Majelis Hakim dalam perkara tersebut memberikan
waktu kepada PNS untuk menyertakan surat izin dan keterangan itu selama 3
bulan sejak pembacaan gugatan. Dan proses persidangan selama 3 bulan itu
58
ditunda sampai PNS itu mendapatkan izin dari atasan. Jika dalam waktu 3
bulan ia belum mendapatkan surat izin itu, maka PNS akan diberi
perpanjangan waktu selama 3 bulan. Untuk perpanjangan waktu ini proses
persidangan juga ditunda untuk mendapatkan izin dari atasan. Hal ini sesuai
dengan intruksi dari SEMA Nomor 5 Tahun 1984 bulir ke 4 yang berbunyi
“untuk memberi waktu bagi PNS untuk untuk mendapatkan izin dari pejabat
yang dimaksud, sidang ditunda selama-lamanya 6 bulan dan tidak
diperpanjang lagi” (Wawancara dengan Dra. Hj Muhlisoh, M.H, 29 Januari
2012 dan Drs. H. Noer Hadi, M.H., 1 Februari 2012).
Majelis Hakim dalam meminta surat izin dari PNS yang ingin bercerai
di persidangan menurut Drs. H. Noer Hadi, M.H. ditentukan oleh ketegasan,
senioritas dan kewibawaan Ketua Majelis Hakim tersebut dalam menanggani
perkara itu. Sehingga menurutnya jika seorang PNS yang ingin bercerai tetapi
ia belum mendapatkan surat izin dari atasan itu ia berpendapat bahwa perkara
itu tidak bisa diputus karena kurangnya syarat khusus.
Namun menurut Dra. Hj. Muhlisoh, M.H. jika perpanjangan waktu itu
telah habis maka Majelis Hakim akan meminta surat izin itu kepada PNS
yang bersangkutan dan jika PNS itu belum juga mendapatkan izin maka
Majelis Hakim akan bertannya kepada PNS yang bersangkutan apakah ia
masih akan melanjutkan proses persidangan cerai itu? Jika PNS menjawab
iya maka Majelis Hakim akan bertanya lagi apakah PNS itu apakah ia akan
tetap akan melakukan proses perceraian dengan tanpa izin dari atasan instansi
dimana ia bekerja? Jika PNS menjawab iya maka Majelis Hakim bertanya
59
apakah PNS ini apakah ia siap dengan sanksi yang akan ia dapat dalam
bentuk apapun dari instansi dimana ia bekerja? Jika PNS itu telah siap dengan
sanksi yang akan ia terima maka Majelis Hakim akan menyuruh PNS itu
untuk membuat surat pernyataan bermaterai Rp 6.000,- yang isinya akan
menanggung segala resiko yang diakibatkan dari perceraian itu karena ia
belum mendapatkan surat izin (Wawancara dengan Dra. Hj Muhlisoh, M.H.,
29 Januari 2012).
Jika PNS yang bersangkutan tidak mau membuat surat pernyataan itu
maka gugatan itu batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum
tetap. Peneliti dalam kasus perceraian PNS di PA Salatiga tahun 2010
menemukan sebuah perceraian PNS yang menyertakan surat pernyataan
tentang kesediaannya menanggung segala resiko akibat perceraian yang
belum mendapatkan izin dari atasan seperti yang terjadi dalam kasus
perceraian PNS No. 0365/ Pdt.G/ 2011/ PA.Sal. Ketua MH dalam
persidangan tersebut berpendapat bahwa surat pernyataan itu memang tidak
ada dalam PP No. 10 tahun 1983 Jo PP No. 45 tahun 1990 tetang izin
perkawinan dan perceraian bagi PNS, namun hal itu bertujuan untuk:
1. Melindungi hak-hak PNS yang ingin melakukan proses perceraian.
2. Menjaga hubungan baik dengan istansi terkait (Wawancara dengan Dra.
Hj. Muhlisoh, M.H., 29 Januari 2012).
Praktek beracara dalam persidangan seperti yang dilakukan oleh Dra.
H. Muhlisoh,M.H. telah dilakukan di berbagai Pengadilan Agama (Drs. Sakir,
S.Hi, M.H.). Sedangkan jika PNS itu menjadi tergugat maka ia akan diminta
60
oleh hakim untuk menyertakan surat keterangan untuk bercerai. Namun
dalam prosesnya peneliti tidak menemukan surat keterangan itu di dalam
proses persidangan karena para pihak PNS yang menjadi Tergugat dalam
persidangan tidak hadir dan tidak pula menghadirkan wakil untuk menghadiri
proses persidangan tersebut. Menurut mayoritas pendapat hakim di
Pengadilan Agama Salatiga surat keterangan itu tidak bisa dibebankan kepada
pihak Penggugat, karena pihak Penggugat merupakan orang didholimi oleh
Tergugat dan dalam proses persidangan ia sudah mengeluarkan biaya untuk
persidangan maka ia tidak diwajibkan menyertakan surat keterangan itu.
Salinan putusan untuk kasus perceraian yang melibatkan PNS hanya
disampaikan pada atasan PNS jika PNS tersebut meminta agar salinan
putusan itu dikirim ke atasan selama proses persidangan atau jika PNS yang
akan melakukan perceraian telah mendapatkan izin atau surat keterangan
untuk bercerai dari atasan. Untuk PNS yang melakukan perceraian dengan
verstek maka pengiriman putusan tergantung pada pihak penggugat selama ia
meminta di persidangan. Pengiriman salinan putusan pada atasan untuk
perceraian verstek yang belum mendapatkan izin dari atasan masih terjadi pro
kontra pendapat di Mahkamah Agung. Di Pengadilan Agama Salatiga
pengiriman salinan putusan kepada dalam perceraian verstek belum bisa
dilaksanakan (Wawancara dengan Drs. Sakir, S.Hi, M.H., 30 Januari 2012).
61
BAB IV
ANALISIS TERHADAP PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI
PENGADILAN AGAMA SALATIGA TAHUN 2010
A. Analisis Terhadap Kasus Perceraian di Pengadilan Agama Salatiga
Tahun 2010
Pengadilan Agama adalah pengadilan yang bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara
orang-orang yang beragama islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah,
wakaf, zakat, infaq, shadaqoh dam ekonomi syariah. Hal tersebut berdasarkan
pada Undang-undang nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan Undang-undang
nomor 7 tahun 1989 tentang Pengadilan Agama pasal 49. Pengadilan Agama
Salatiga adalah pengadilan dengan klasifikasi 1B yang menanggani kurang
lebih 100 perkara setiap bulannya. Pengadilan Agama Salatiga mempunyai
daerah yuridiksi 13 Kecamatan yang terdiri dari 4 Kecamatan di Kota
Salatiga dan 9 kecamatan di sebagian Kabupaten Semarang. Kota Salatiga
terdiri dari Kecamatan Sidorejo, Sidomukti, Argomulyo, Tingkir. Sebagian
wilayah Kabupaten Semarang yaitu Kecamatan Bringin, Bancak, Tuntang,
Getasan, Tengaran, Susukan, Suruh, Pabelan, Kaliwungu.
Dalam bidang perkawinan tugas Pengadilan Agama meliputi: izin
beristri lebih dari seorang (poligami), izin melangsungkan perkawinan bagi
yang belum berusia 21 tahun, dispensasi kawin karena adanya penolakan dari
Pegawai Pencatat Nikah, pembatalan perkawinan, gugatan kelalaian atas
62
kewajiban suami, perceraian karena talak (Cerai Talak), gugatan perceraian
(Cerai Gugat), penyelesaian harta bersama, penguasaaan anak, penentuan
kewajiban dan biaya penghidupan oleh suami kepada bekas istri, putusan
tentang sah atau tidaknya seorang anak, putusan tentang pencabutan tentang
kekuasaan orang tua, pencabutan kekuasaan wali, penunjukan orang lain
sebagai wali karena kekuasan orang tua telah dicabut, penunjukan wali oleh
anak yang berusia kurang dari 18 tahun karena ia telah ditinggal oleh orang
tuanya, pembebanan kewajiban pengantian kerugian atas harta anak yang ada
dalam kekuasaannya, penetapan asal usul anak berdasarkan Hukum Islam,
putusan tentang penolakan pemberian keterangan untuk melakukan
perkawinan campuran, pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi
sebelum undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Berdasarkan Buku Pantauan Perkara Pengadilan Agama Salatiga tahun
2010 dinyatakan bahwa pada tahun itu pengadilan telah menerima 994
perkara perceraian. Perceraian itu terdiri dari 350 perkara Cerai Talak dan
644 perkara Cerai Gugat. Selain kasus perceraian, Pengadilan Agama Salatiga
juga menanggani kasus lain pada tahun 2010 hingga berjumlah 1050 perkara.
Perkara tersebut adalah perceraian 994 perkara, dispensasi nikah 27 perkara,
izin poligami 7 perkara, penggangkatan anak 9 perkara, perubahan nama 1
perkara, penetapan waris 1 perkara, perwalian 5 perkara, hak asuh anak 1
perkara dan isbat nikah 2 perkara, pembatalan hibah 1 perkara, waris 2
perkara. Data perbandingan perkara selengkapnya dapat dilihat pada tabel
4.1.
63
Tabel 4.1 Perbandingan Kasus Perceraian dan Kasus Lain di Pengadilan
Agama Salatiga Tahun 2010
No Kasus Jumlah Prosentase (%)
1 Cerai Talak 350 33,3
2 Cerai Gugat 644 61,3
3 Dispensasi Nikah 27 2,5
4 Izin Poligami 7 0.7
5 Pengangkatan Anak 9 0,9
6 Perubahan Nama 1 0,1
7 Penetapan Waris 1 0,1
8 Perwalian 5 0,5
9 Hak Asuh Anak 1 0,1
10 Isbat Nikah 2 0,2
11 Pembatalan Hibah 1 0,1
12 Waris 2 0,2
Jumlah 1050 100
Sumber: Diolah dari Buku Pantauan Perkara Pengadilan Agama Salatiga
2010
Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa perkara perceraian di
Pengadilan Agama Salatiga merupakan perkara yang paling tinggi
dibandingkan dengan perkara lain dalam bidang perkawinan. Hal itu
disebabkan karena beberapa faktor diantaranya: krisis moral, tidak ada
tanggung jawab dari suami, salah satu pihak dihukum, kekejaman yang
berupa penganiayaan berat, kekejaman mental dan terus menerus berselisih
karena cacat biologis, poligami yang tidak sehat, cemburu, kawin paksa,
ekonomi, kawin di bawah umur, politis, tidak ada keharmonisan dan ganguan
dari pihak ketiga.
Data Pengadilan Agama Salatiga pada tahun 2010 menyebutkan bahwa
63 kasus perceraian disebabkan karena krisis moral, 204 perkara karena tidak
adanya tanggung jawab dari suami, 6 perkara karena salah satu pihak di
hukum, 2 perkara karena cacat biologis, 1 perkara karena poligami tidak
64
sehat, 44 perkara karena faktor cemburu, 204 perkara karena ekonomi, 10
perkara karena kawin di bawah umur, 322 perkara karena tidak ada
keharmonisan dalam rumah tangga, 36 perkara kareana adanya gangguan
dari pihak ketiga. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.2.
Tabel 4.2 Faktor-faktor Terjadinya Perceraian di Pengadilan Agama
Salatiga Tahun 2010
No Faktor Penyebab Perceraian Jumlah Prosentase (%)
1 Krisis Moral 63 7,1
2 Tidak Ada Tanggung Jawab 204 22,9
3 Di Hukum 6 0,7
4 Cacat Biologis 2 0,2
5 Poligami Tidak sehat 1 0,1
6 Cemburu 44 5
7 Ekonomi 204 23
8 Kawin Dibawah Umur 10 1,1
9 Tidak Ada Keharmonisan 320 35,9
10 Gangguan Pihak Ketiga 36 4
Jumlah 892 100
Sumber: Diolah dari Buku Arsip Panitera Pengadilan Agama Salatiga 2010
Apabila dibandingkan dengan tahun 2011, maka tercatat adanya
peningkatan kasus perceraian. Pada tahun 2011 perceraian di Pengadilan
Agama Salatiga berjumlah 1074 perkara. Dengan demikian terlihat adanya
peningkatan jumlah perkara perceraian di Pengadilan Agama Salatiga.
Dalam dua tahun terakhir meningkatnya jumlah perceraian itu karena
dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya karena tidak adanya tanggung
jawab dari suami, masalah ekonomi dan tidak adanya keharmonisan dalam
rumah tangga. Untuk data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.3.
65
Tabel 4.3 Faktor-faktor Terjadinya Perceraian di Pengadilan Agama
Salatiga Tahun 2010 dan 2011
No Faktor perceraian Tahun
2010
Tahun
2011
Jumlah
1 Krisis Moral 63 33 96
2 Tidak Ada Tanggung Jawab 204 293 497
3 Di Penjara 6 3 9
4 Perselisihan Karena Cacat Biologis 2 0 2
5 Perselisihan Karena Poligami Tidak
Sehat
1 0 1
6 Perselisihan Karena Cemburu 44 18 62
7 Perselisihan Karena Kawin Paksa 0 2 2
8 Perselisihan Karena Ekonomi 204 140 344
9 Perselisihan Karena Kawin Dibawah
Umur
10 0 10
10 Perselisihan Karena Tidak Ada
Keharmonisan
322 368 690
11 Perselisihan Karena Gangguan Pihak
Ketiga
36 55 91
Jumlah 892 912 1804
Sumber: Diolah dari Buku Arsip Panitera Pengadilan Agama Salatiga 2010
dan 2011
Meningkatnya jumlah perceraian tidak hanya terjadi di Pengadilan
Agama Salatiga saja, tetapi meningkatnya jumlah perceraian juga terjadi di
Pengadilan Agama Ambarawa. Menurut Wakil Ketua Pengadilan Agama
Ambarawa sejak tahun 2009 sampai tahun 2011 jumlah perceraian di
pengadilan itu meningkat. Meningkatnya jumlah perceraian itu disebabkan
oleh masalah ekonomi seperti tidak cukupnya nafkah yang diberikan oleh
suami yang menimbulkan tidak adanya tanggung jawab dari suami selaku
kepala rumah tangga terhadap istri, kebanyakan seorang istri bekerja sebagai
tenaga kerja wanita di luar negeri dan ketika pulang ia mengugat cerai
suaminya, ketidakharmonisan dalam rumah tangga (Wawancara dengan Abd.
66
Basyir, M.Ag., Wakil Ketua Pengadilan Agama Salatiga pada tanggal 31 Mei
2012).
Di Indonesia umumnya perceraian meningkat dari tahun ke tahun.
Menurut data Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung
(Ditjen Badilag MA). Pada tahun 2010 tercatat 285.184 perkara yang
berakhir dengan perceraian di Pengadilan Agama se-Indonesia. Dari 258.184
perkara tersebut dibagi menjadi beberapa aspek yang menjadi penyebab
terjadinya perceraian. Percerian yang disebabkan oleh masalah cemburu
sebesar 10.029 perkara, masalah ekonomi sebesar 67.891 perkara,
ketidakharmonisan dalam rumah tangga sebesar 91.841 perkara dan masalah
politik sebesar 334 perkara (Sundah, http://sosbud.kompasiana.com/2012/04/
16/perceraian-di-indonesia-tertinggi-se-asia/).
B. Analisis Terhadap Alasan Perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga
Tahun 2010
Secara umum perceraian Pegawai Negeri Sipil di Pengadilan Agama
Salatiga dilatarbelakangi oleh dua faktor utama. Faktor yang pertama adalah
karena suami melanggar taklik talak. Faktor yang kedua adalah karena antara
suami istri terus menerus terjadi perselisihan sehingga tidak ada harapan lagi
untuk hidup rukun dalam rumah tangga.
Faktor pertama sebagaimana dialami oleh dua kasus dalam penelitian
ini karena Tergugat tidak mempedulikan Penggugat, suami tidak memberikan
nafkah wajib selama 4 tahun dan dalam kehidupan rumah tangga mereka
67
sudah tidak ada keharmonisan, kehidupan mereka sering diwarnai dengan
perselisihan, suami tidak bisa menjalankan kewajibannya sebagai seorang
suami dan puncaknya suami itu pergi dari rumah tanpa izin dari istri.
Sehingga dalam kasus ini Majelis Hakim meberikan putusan bahwa perkara
tersebut telah memenuhi syarat dalam pasal 116 KHI tentang Alasan
Perceraian huruf g yang berbunyi “suami melanggar taklik talak”.
Faktor kedua sebagaimana yang dialami dalam penelitian ini karena
Tergugat sudah 2 bulan hidup dengan wanita lain, Tergugat tidak mau hidup
kembali dengan Tergugat, antara Pemohon dan Termohon sering marah-
marah hingga mereka pisah rumah, masalah ekonomi dan termohon
mempunyai hubungan dengan pria idaman lain. Sehinga dalam kasus ini
Majlis Hakim memberikan putusan bahwa perkara tersebut telah memenuhi
syarat dalam pasal 116 KHI tentang Alasan Perceraian huruf f yang berbunyi
“karena antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan rukun lagi dalam rumah tangga”.
Untuk data selengkapnya dapat dilihat pada tabel 4.4.
68
Tabel 4.4 Alasan Perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga Tahun
2010
No Posisi PNS Alasan Perceraian Pendapat
Hakim
1 Penggugat
sebagai PNS
Tergugat tidak
memperdulikan penggugat.
Penggugat tidak memberikan
nafkah wajib selama 4 tahun.
Pasal 116 huruf
g KHI.
2 Tergugat sebagai
PNS
Ketidakharmonisan dalam
rumah tangga.
sering terjadi perselisihan.
Tergugat tidak bisa
menjalankan kewajibannya
sebagai seorang suami
(dukhul).
Tergugat pergi dari rumah
tanpa izin penggugat.
Pasal 116 huruf g
KHI.
3 Penggugat dan
Tergugat adalah
seorang
pensiunan PNS
Tergugat sudah 2 bulan hidup
dengan wanita lain.
Tergugat tidak mau hidup
kembali dengan penggugat.
Pasal 19 huruf f
PP nomor 9 tahun
1973 jo pasal 116
huruf f KHI.
4 Termohon
sebagai PNS
Pemohon dan termohon sering
marah-marah hingga pisah
rumah
Masalah ekonomi.
Termohon mempunyai
hubungan dengan pria idaman
lain.
Pasal 19 huruf f
PP nomor 9 tahun
1975 jo pasal 116
huruf f KHI.
Sumber: Diolah dari Putusan-putusan Pengadilan Agama Salatiga Tahun
2010
C. Analisis Terhadap Implementasi PP No. 10 Tahun 1983 jo PP No. 45
Tahun 1990 dalam Kasus Perceraian PNS di Pengadilan Agama Salatiga
Dalam Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan
Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, sebenarnya tidak ada
69
pembedaan perceraian antara seorang PNS dengan orang yang bukan PNS.
Hanya saja dalam proses perceraian PNS terdapat syarat khusus yang
mengikat seorang PNS jika ia ingin bercerai. Syarat khusus itu diatur dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1983 jo Peraturan Pemerintah Nomor
45 Tahun 1990 tentang Izin Percerian bagi PNS dan diperjelas lagi
penerapannya dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 5 tahun 1995
tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983.
Dalam penjelasan PP No. 45 tahun 1990 dinyatakan bahwa adanya
Peraturan Pemerintah ini merupakan alat untuk menjamin keadilan bagi
kedua belah pihak baik suami maupun istri. Sanksi terhadap pelanggaran
Peraturan Pemerintah ini yang semula berupa pemberhentian dengan hormat
tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS sebagaimana yang diatur dalam PP
No. 45 tahun 1990 dirubah menjadi salah satu hukuman disiplin berat
berdasarkan PP No. 30 tahun 1980 untuk memberikan rasa keadilan.
Surat izin tersebut merupakan aturan disiplin Pegawai Negeri dan
bukan merupakan hukum acara yang artinya jika seorang PNS yang ingin
bercerai tanpa adanya Peraturan Pemerintah itu perkaranya tetap jalan dan
dan tidak akan mempengaruhi putusan. Untuk sebab itu prakteknya jika
seorang PNS dalam perkara itu menjadi pihak yang aktif atau sebagai
penggugat atau pemohon harus menyertakan surat izin dari atasan. Dan PNS
yang menjadi pihak yang pasif atau sebagai tergugat atau termohon ia harus
menyertakan surat keterangan dari atasan. Dengan adanya peraturan itu PNS
yang menjadi pihak aktif maupun pasif dalam perceraian mempunyai akibat
70
hukum yang sama jika ia tidak bisa menyertakan surat izin dari ataasan atau
surat keterangan dicerai dari atasan yaitu mendapatkan sanksi administratif
dari atasannya dan pembagian gaji bagi mantan istri (Wawancara dengan
Abd. Basyir, M.Ag., tanggal 31 Mei 2012).
Walaupun surat izin bercerai dari atasan dan surat keterangan ingin
dicerai dari atasan bukan merupakan bagian dari hukum acara di Pengadilan
Agama tetapi surat izin tersebut merupakan syarat khusus yang ditetapkan di
pengadilan. Jadi seorang PNS yang akan bercerai namun belum menyertakan
surat izin tersebut proses persidangannya tetap akan berlanjut. PNS diberikan
toleransi oleh Majlis Hakim untuk mendapatkan surat izin dari atasannya
selama 3 bulan. Jika dalam waktu 3 bulan PNS itu tidak mendapatkannya
maka Majelis Hakim akan memberikan perpanjangan waktu selama 3 bulan
lagi. Jika PNS tersebut belum mendapatkan surat izin dari atasan selama 6
bulan maka Majelis Hakim dalam perkara tersebut diwajibkan untuk
memberikan peringatan kepada PNS tentang sanksi yang akan ia dapat jika ia
tetap bercerai.
Dari 994 kasus perceraian di Pengadilan Agama Salatiga selama tahun
2010 peneliti menemukan 18 kasus perceraian yang Pengugat atau
Tergugatnya berprofesi sebagai PNS. 11 kasus diantaranya diputus bercerai, 1
kasus masih dalam proses kasasi, 1 kasus gugur, 2 kasus dicabut, 1 kasus
masih dalam proses persidangan dan 2 kasus tidak mempunyai kekuatan
hukum. Dari 11 kasus yang telah diputus bercerai, peneliti menemukan 7
kasus perceraian yang sudah ada izin dari atasan, sedangkan untuk 4 kasus
71
lainnya peneliti tidak menemukan surat izin bercerai dari atasannya. Dari 4
kasus itu ada 2 kasus yang tergugatnya seorang PNS, 1 kasus yang
penggugatya sebagai PNS dan 1 kasus yang pengugat dan tergugatnya
sebagai PNS.
Dari 4 kasus perceraian diatas tidak ditemukan adanya surat izin
bercerai dari atasan bagi Penggugat PNS ataupun surat keterangan dicerai
bagi PNS yang menjadi Tergugat. Tapi dari 4 kasus itu semuanya telah di
putus bercerai dan semua PNS yang menjadi tergugat tidak pernah datang ke
persidangan (verstek). Sedangkan dari 4 kasus itu ada 1 kasus yang
Pengugatnya adalah seorang PNS. Selama proses persidangan ia belum
mendapatkan surat izin dari atasan. Kasus itu sekarang telah diputus bercerai
oleh Majelis Hakim karena penggugat dalam perkara tersebut telah bersedia
membuat surat keterangan bercerai yang dibuat oleh Penggugat PNS itu
sendiri dengan persetujuan Ketua Majelis Hakim.
Jika di Pengadilan Agama Ambarawa seorang PNS yang ingin
bercerai namun ia belum mendapatkan surat izin dari atasan selama 6 bulan
maka Majelis Hakim akan menerangkan kepada PNS tersebut tentang sanksi
yang akan ia dapat jika ia akan tetap melanjutkan percerain. Jika PNS tersebut
memilih melanjutkan perkara maka hal tersebut akan dicatat di dalam Berita
Acara Persidangan dan PNS tersebut tidak diwajibkan untuk membuat surat
pernyataan karena Berita Acara Persidangan merupakan surat otentik
sedangkan pernyataan yang dibuat oleh PNS merupakan surat dibawah
tangan (Wawancara dengan Abd. Basyir, M.Ag., tanggal 31 Mei 2012).
72
Berdasarkan hal tersebut diatas dapat disimpulakan bahwa di
Pengadilan Agama Salatiga dan Pengadilan Agama Ambarawa jika seorang
PNS yang ingin bercerai namun ia belum mendapatkan surat izin dari atasan
dalam waktu 6 bulan maka ia tetap bisa bercerai. Kasus tersebut bisa di putus
demikian jika PNS bersedia menanggung segala resiko yang akan ia dapat
sesuai dengan PP nomor 45 tahun 1990 yang dibuktikan dengan surat
pernyataan maupun pernyataan secara lisan yang ditulis di dalam Berita
Acara Persidangan.
Dengan adanya fenomena tersebut penulis berpendapat bahwa hal itu
merupakan suatu celah yang bisa digunakan oleh seorang PNS untuk
menghindari peraturan disiplin pegawai negeri sipil seperti yang termuat
dalam PP nomor 45 tahun 1990 tentang Izin Perceraian bagi PNS. Surat izin
dari atasan bagi PNS yang akan bercerai seperti yang diatur dalam PP nomor
45 tahun 1990 tentang Izin Perceraian bagi PNS penerapannya di Pengadilan
Agama Salatiga maupun di Pengadilan Agama Ambarawa penerapannya
tidak berlaku secara maksimal terhadap PNS dan tujuan dari diperbaharuinya
PP nomor 10 tahun1983 dengan PP nomor 45 tahun 1990 seperti yang
termuat dalam ketentuan umum yang menyatakan bahwa adanya PP nomor
45 tahun 1990 bertujuan agar PNS yang akan bercerai dapat menghindar
dengan sengaja maupun tidak sengaja belum bisa tercapai.
Sedangkan proses perceraian PNS di Pengadilan Negeri Salatiga
prosesnya tidak sama seperti di Pengadilan Agama Salatiga maupun
Pengadilan Agama Ambarawa. Jika di pengadilan Negeri Salatiga penulis
73
tidak menemukan sebuah perceraian PNS yang tidak menyertakan surat izin
dari atasan. Seorang PNS yang akan mengajukan gugatan perceraian maka
sejak pendaftaran gugatan ia diwajibkan menyertakan surat izin bercerai dari
atasan. Jika PNS itu belum mempunyai izin maka ia akan diminta untuk
menyertakan surat izin itu sebelum perkara itu disidangkan. PNS yang
menjadi Tergugat atau Termohon ia tidak wajib menyertakan surat
keterangan di cerai dari atasan pada saat gugatan itu didaftarkan karena
Hakim Pengadilan Negeri berpendapat bahwa dalam masalah perdata
mengenal asas siapa yang mengajukan ialah yang harus membuktikan.
Hakim Pengadilan Negeri berpendapat bahwa mereka tidak mau
memutus perceraian PNS yang tidak disertai dengan surat izin dari atasan
karena Para Hakim tidak mau dibanding oleh salah satu pihak yang
berperkara. Jika perceraian seorang PNS diputus bercerai oleh Majelis Hakim
tanpa mendapatkan surat izin dari atasan maka putusan itu bisa diajukan
banding ke Pengadilan Tinggi untuk menilai keabsahan bukti. (Wawancara
dengan Adhi Satrija Nugraha S.H., tanggal 5 juni 2012).
Selain itu penulis berpendapat bahwa walaupun surat izin dari atasan itu
bukanlah merupakan bagian dari hukum acara, surat itu merupakan Peraturan
Pemerintah yang merupakan peraturan perundang-undangan yang ditetapkan
oleh presiden untuk menjalankan undang-undang agar dapat dijalankan
sebagaimana mestinya. Hal tersebut sebagaimana yang termuat dalam pasal 1
Undang-undang nomor 1 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan. Penulis berpendapat bahwa yang berkuasa menegakkan
74
Peraturan Pemerintah itu secara maksimal adalah seorang hakim di dalam
persidangan karena profesi hakim adalah salah satu bentuk dari profesi
hukum yang sering digambarkan sebagai pemberi keadilan. Selain itu
Peraturan Pemerintah merupakan alat untuk pertimbangan hukum, alat untuk
memutus perkara dan untuk kepastian hukum.
75
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan dan analisis data yang terkumpul tentang
implementasi Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1983 yang telah diganti
dengan Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 1990 tentang Perceraian
Pegawai Negeri Sipil di Pengadilan Agama Salatiga tahun 2010, maka dapat
disimpukan sebagai berikut:
1. Pada tahun 2010 perkara perceraian yang masuk ke Pegadilan Agama
Salatiga berjumlah 994 perkara. Sedangkan jumlah perkara perceraian
yang telah diputus cerai oleh Majelis Hakim sebanyak 892 perkara. Motif
perceraian di tahun itu adalah: 63 kasus perceraian disebabkan karena
krisis moral, 204 perkara karena tidak adanya tanggung jawab dari suami,
6 perkara karena salah satu pihak di hukum, 2 perkara karena cacat
biologis, 1 perkara karena poligami tidak sehat, 44 perkara karena faktor
cemburu, 204 perkara karena ekonomi, 10 perkara karena kawin di bawah
umur, 322 perkara karena tidak ada keharmonisan dalam rumah tangga,
36 perkara kareana adanya gangguan dari pihak ketiga.
2. Dari empat kasus perceraian PNS yang diteliti, 2 kasus diputus cerai oleh
Majelis Hakim karena suami terbukti melanggar salah satu sighot tahlik
talak yang diucapkan saat perkawinan sesuai dengan pasal 116 huruf g
KHI. Sedangkan 2 kasus lagi diputus cerai oleh Majelis Hakim karena
76
antara suami istri tersebut terus menerus terjadi perselisihan yang tidak
akan mungkin dirukunkan kembali sesuai dengan pasal 116 huruf f KHI.
3. Seorang PNS yang akan melakukan perceraian di Pengadilan Agama
Salatiga tidak harus menyertakan surat izin tertulis dari atasan sesuai
dengan PP nomor 10 tahun 1983. Dalam prakteknya PP itu bisa diganti
dengan surat pernyataan yang dibuat oleh PNS. Adanya surat pernyataan
tersebut tidak diatur dalam PP nomor 10 tahun 1983 jo PP nomor 45
tahun 1990. Munculnya surat pernyataan tersebut karena adanya
pemahaman yang berbeda dari Majelis Hakim tentang PP tersebut. Di
Pengadilan Agama Salatiga PP itu bukan merupakan bagian dari hukum
acara. PP itu hanya merupakan aturan disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Artinya seorang PNS yang akan bercerai tanpa melampirkan surat izin
dari atasan sesuai dengan pasal 3 ayat 1 PP nomor 45 tahun 1990
perkaranya akan tetap diproses. Majelis Hakim dalam persidangan akan
memberikan kesempatan kepada PNS untuk menyertakan surat izin
tersebut dalam waktu 3 bulan sejak pembacaan gugatan. Jika dalam waktu
3 bulan tidak bisa menyertakan surat izin itu maka Majelis Hakim akan
memberikan perpanjangan waktu selama 3 bulan lagi. Jika masa
perpanjangan telah habis dan PNS tidak bisa menyertakan surat izin itu
dan ia tetap bersikeras untuk bercerai maka Majelis Hakim di Pengadilan
Agama Salatiga memerintahkan PNS penggugat untuk membuat surat
pernyataan dari penggugat PNS yang isinya tentang kesediaan
menanggung segala resiko akibat dari perceraian. Hal ini berbeda dengan
77
apa yang dipahami oleh Para Hakim di Pengadilan Negeri Salatiga. PP
nomor 10 tahun 1983 jo PP nomor 45 tahun 1990 tentang izin perceraian
bagi PNS merupakan bagian dari hukum acara pembuktian. Artinya
seorang PNS yang akan bercerai di Pengadilan Negeri Salatiga harus
menyertakan surat izin tertulis dari atasan. Jika surat izin itu tidak ada
maka perkara tersebut tidak bisa diproses.
B. Saran
Mengacu pada kesimpulan di atas, penulis mengajukan beberapa saran
sebagai berikut:
1. Bagi Akademik
Melalui LBH STAIN Salatiga, khususnya progdi ahwal al
syakhsiyah diharapkan bisa lebih aktif untuk membantu para pihak yang
berperkara di Pengadilan Agama khususnya dalam perkara perceraian
PNS.
2. Bagi Pengadilan Agama Salatiga
a. Seharusnya penegakan Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1983
yang telah diganti dengan Peraturan Pemerintah nomor 45 tahun 1990
di Pengadilan Agama lebih ditingkatkan lagi.
b. Seharusnya seorang PNS yang akan bercerai di Pengadilan Agama
wajib menyertakan surat izin dari atasan dan jika tidak ada surat itu,
maka Majlis Hakim tidak seharusnya memutus cerai.
78
c. Seharusnya ada satu pemahaman tentang keberlakuan PP nomor 10
tahun 1983 yang telah diganti dengan PP nomor 45 tahun 1990
tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian bagi PNS di
Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri.
3. Bagi PNS
Seorang PNS seharusnya memberikan contoh yang baik khususnya
dalam masalah administasi hukum karena seorang PNS merupakan abdi
masyarakat dan abdi negara yang menjadi contoh bagi masyarakat.
4. Bagi masyarakat
Dengan adanya skripsi ini penulis mengharapkan agar masyarakat
dapat mengetahui prosedur perceraian PNS baik di Pengadilan Negeri
maupun di Pengadilan Agama. Sehingga bagi para pihak yang bisa
dirugikan dengan adanya perceraian ini bisa melakukan banding ke
Pengadilan Tinggi Agama ataupun ke Pengadilan Tinggi Negeri dengan
alasan untuk menilai keabsahan bukti.
79
DAFTAR PUSTAKA
Abi Syuja‟, Ahmad Bin Khusain Al-Syahiir. Tanpa tahun. Fathul Qorib Al-Mujib.
Sarah oleh Muhammad Bin Qosim al Ghozi. 2005. Singapur: Al
Kharomain.
Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
_____ 2009. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.
Basyir, Ahmad Ahzar. 2000. Hukum Perkawinan Islam. Yogjakarta: UII Press.
Dirjenbinbaga Agama Islam. 1985. Ilmu Fiqh Jilid II. Jakarta: Depag.
Depag RI. 2005. Al-Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: CV PENERBIT
Diponegoro.
Gaffar, Afan. 2000. Politik Indonesia Transisi menuju Demokrasi.Yogyakarta:
PUSTAKA PELAJAR (Anggota IKAPI).
Ghazaly, Abd Rahman. 2003. Fiqh Munakahat.Jakarta: Kencana.
Hasbi Ash-siddieqy, Muhammad. 1978. Hukum-hukum Fiqh Islam yang
Berkembang Dalam Kalangan Ahlus Sunnah. Jakarta: Kencana.
IMPRES No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Kusumaatmadja, Mochtar. 1986. Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum
Nasional. Bandung: Bina Cipta.
Moleong, Lexy. 1999. Metodologi Penelitian. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 2006. Hukum Perdata Islam di
Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari, UU No. 1/1974
Sampai KHI). Jakarta: Kencana.
PP No. 45 Tahun 1990, tentang perubahan atas PP No. 10 tahun 1983 tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil.
PP No. 9 tahun 1975, tentang pelaksanaan undang-undang nomor 1 tahun 1974
tentang Perkawinan.
Poerwadarminta. 1997. Pusat Bahasa (Indonesia). 1997. Kamus Umum Bahasa
Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Mahfud MD. 2011. Politik Hukum di Indonesia.Jakarta: Rajawali Press.
Mughniyah, Muhammmad Jawad. 1994. Fiqh Lima Mazhab Buku ke Dua.
Jakarta: Basrie Press.
Nasution, Khoiruddin. 2002. Status Wanita di Asia Tenggara: Studi Terhadap
Perundang-undangan Perkawinan Muslim Kontemporer di Indonesia dan
Malaysia. Jakarta: INIS.
Nazir. 1988. Metode Penelitian. Jakarta: Galia Indonesia.
Ramulyo, Muh Idris. 1996. Hukum Perkawinan Suatu Analisis dari Undang-
undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Jakarta: Bumi
Aksara.
80
Rasyid, H. Chatibi, Syaifuddin. 2009. Hukum Acara Perdata dalam teori dan
Praktik pada Peradilan Agama.Yogyakarta: UII Press.
Romy, Suemitro. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurementri, Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Sabiq, Sayyid. 1992. Fiqhus Sunnah Juz 2. Beirut: Dar Al-Fikr.
Saragih, Bintan Regen. 2006. Pilitik Hukum. Bandung: CV Utomo.
Sudarsono. 2005. Hukum Perkawianan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Soekanto, Soerjono. 1984. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
_______ 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.
_______ 2001. Pengantar Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat.
Jakarta: Balai Pustaka.
UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
UU No. 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama.
Sundah, Michael, 2012. Perceraian di Indonesia Tertinggi di Asia, (Online),
http://sosbud.kompasiana.com/2012/04/16/perceraian-di-indonesia-tertinggi-
seasia/, diakses 21 April 2012.
http://id.wikipedia.org/wiki/Pegawai_negeri
(http://opensource.telkomspeedy.com/wiki/index.php/Pegawai_Negeri_Sipil#Peg
awai_Negeri_di_Indonesia)
81
43