implementasi kebijakan pendidikan inklusif di kota …
TRANSCRIPT
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
INKLUSIF DI KOTA BEKASI
SKRIPSI
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Ilmu Sosial pada Konsentrasi Kebijakan Publik
Program Studi Admninistrasi Negara
Disusun oleh :
Nadia Nurul Kodariah
NIM 6661132716
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
SERANG 2017
O
Fainna ma'a al'usri yusran. Inna ma'a al'usri yusran
Artinya:
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan
itu ada kemudahan. (Q.S. Al-Insyirah ayat 5-6)
Sebagai bentuk terima kasih, skripsi ini dipersembahkan untuk mamahku tercinta serta keluarga yang senantiasa selalu mendukung
dalam menyelesaikan skripsi ini.
ABSTRAK
Nadia Nurul Kodariah. 6661132716. Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif
di Kota Bekasi. Program studi Ilmu Administrasi Negara. Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Pembimbing I: Dr. Agus
Sjafari, M.Si., dan Pembimbing II: Gandung Ismanto, M.M.
Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai resiko untuk kecacatan. Akan
tetapi, pemerintah sendiri belum memberikan perhatian sepenuhnya kepada mereka. Hal
ini dapat dilihat dari hak-hak penyandang disabilitas yang seharusnya terpenuhi tetapi
terabaikan oleh pemerintah. Saat ini keberadaan penyandang disabilitas masih dianggap
sebelah mata, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Pada wilayah Kota Bekasi
sendiri penyandang disabilitas pun seringkali dilewatkan dalam pembangunan kota
terutama pada aspek pendidikan, dalam hal ini pendidikan inklusif. Fakta yang peneliti
temukan di Kota Bekasi yaitu standarisasi sarana dan prasarana dalam pengelolaan dan
pembukaan pendidikan inklusif di sekolah reguler, keterbatasan aksesibilitas bagi anak
berkebutuhan khusus (ABK) dalam mendapatkan pendidikan, rendahnya pemahaman
dari tenaga pendidik di sekolah reguler mengenai anak berkebutuhan khusus (ABK) dan
sistem pendidikan inklusif, tidak adanya keberadaan guru pendamping khusus (GPK)
dengan lulusan Pendidikan Luar Biasa yang terdapat di sekolah inklusif, serta kurang
tertibnya administrasi pendataan dari dinas terkait mengenai pendidikan inklusif.
Penelitian ini mengkaji tentang “Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif di Kota
Bekasi”. Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis
implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Kota Bekasi, serta faktor-faktor apa saja
yang mempengaruhi implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Kota Bekasi. Teori
yang digunakan yaitu konsep implementasi Mazmanian dan Sabatier dalam Subarsono
(2011:94). Teknik analisis data yang digunakan model Irawan Prasetya. Hasil dari
penelitian ini menunjukkan bahwa Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif di Kota
Bekasi belum dilaksanakan secara optimal karena masih terdapat banyaknya hambatan
dan kendala, baik pada sekolah inklusif maupun pemerintah Kota Bekasi. Oleh karena
itu diperlukan usaha yang maksimal dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif
dengan kerjasama dan koordinasi yang baik antar berbagai institusi dan lembaga
pelaksana kebijakan.
Kata kunci: Implementasi Kebijakan, Pendidikan Inklusif di Kota Bekasi
ABSTRACT
Nadia Nurul Kodariah. 6661132716. Implementation of Inclusive Education Policy in
Bekasi City. State Administration Science Study Program. Faculty of Social Science and
Political Science. University of Sultan Ageng Tirtayasa. Advisor I: Dr. Agus Sjafari,
M.Si., and Advisor II: Gandung Ismanto, M.M.
Indonesia is a country with various risks for disability. However, the government itself
has not paid full attention to them. This can be seen from the rights of persons with
disabilities that should be fulfilled but neglected by the government. Currently the
existence of persons with disabilities is still considered one eye, both by the government
and society. In the area of Kota Bekasi itself, people with disabilities are often
overlooked in urban development especially on education aspect, in this case inclusive
education. Facts that researchers find in Bekasi City is the standardization of facilities
and infrastructure in the management and opening of inclusive education in regular
schools, accessibility limitations for children with special needs (ABK) in getting
education, low understanding of educators in regular schools about children with
special needs (ABK) And inclusive education systems, the absence of special escort
teachers (GPK) with graduates of Special Education in inclusive schools, and the lack
of proper administration of data collection from related agencies on inclusive
education. This study examines the "Implementation of Inclusive Education Policy in
Bekasi City". This research was conducted to describe and analyze the implementation
of inclusive education policy in Kota Bekasi, and what factors influence the
implementation of inclusive education policy in Bekasi City. The theory used is the
concept of Mazmanian and Sabatier implementation in Subarsono (2011: 94). Data
analysis technique used Irawan Prasetya model. The results of this study indicate that
Implementation of Inclusive Education Policy in Bekasi City has not been implemented
optimally because there are still many obstacles and obstacles, both in inclusive school
and Bekasi city government. Therefore, maximal effort is needed in providing inclusive
education with good cooperation and coordination among various institutions and
implementing agency of policy.
Keywords: Policy Implementation, Inclusive Education in Bekasi City
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan nikmat, rahmat dan inayah-Nya kepada peneliti untuk dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul berjudul “IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA BEKASI”. Skripsi ini disusun
dalam rangka memenuhi syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Ilmu Sosial pada
konsentrasi kebijakan publik program studi Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Doa yang tiada henti dan jerih payah dari ibunda yang tulus, ikhlas dan tidak
pantang menyerah dalam memberikan dukungan dan semangat kepada peneliti .
Sehubungan dengan hal itu maka peneliti juga menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. Sholeh Hidayat, M.Pd., Rektor Universitas Sultan Ageng
Tirtayasa.
2. Bapak Dr. Agus Sjafari, S.Sos., M.Si., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa sekaligus selaku Pembimbing I
yang selalu mengarahkan, memberikan masukan dan kritikan yang
membangun, memberikan semangat, dan motivasi kepada peneliti.
3. Ibu Rahmawati, M.Si., Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
4 . Bapak Iman Mukhroman, M.Ikom., Wakil Dekan II Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
5 . Bapak Kandung Ismanto, M.Si Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
6 . Ibu Listyaningsih, S.Sos., M.Si., Ketua Program Studi Ilmu
Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Sultan Ageng Tirtayasa.
7 . Bapak Gandung Ismanto., S.Sos., M.M., Dosen Pembimbing Akademik
Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa yang telah memberikan banyak
arahan dan masukan dalam penelitian ini sekaligus selaku Pembimbing II
yang juga selalu memberikan pengarahan, saran serta kritikan kepada penelitian
skripsi ini.
8. Terimakasih kepada Mamah ku tercinta yang selalu mendoakan dan
memberikan semangat.
9. Terimakasih kepada Bapak Didi Ruchdiana atau yang biasa dipanggil FF
yang selalu memberikan dukungan, semangat serta selalu menemani
peneliti dalam melakukan wawancara.
10. Terima kasih kepada teman-teman seperjuanganku yang kami namakan
grup Skripsweet yaitu Nindya Noprianti Putri, Fita Fitriyah, Dyah Pratiwi,
dan Rima Herdiyana.
11. Terima kasih juga untuk teman-teman kost-an 39B Pondok Indah Estate
yang selalu menyemangatiku dan selalu menghiburkan dalam mengerjakan
Skripsi ini, yaitu Silvia Nur Hidayati, Galih Eka Ariska, Puri Ventika
Malau, Sekar Andini, Mutia Rizky Septiani, Trisnawati Inas, Sintia
Mutiarani, Dede Miladia, Puspita Sari, dan Meydiana Rosha.
12. Terima kasih kepada Terima kasih kepada seluruh informan yang
telah bersedia untuk diwawancara dan telah memberikan informasi
serta data-data yang dibutuhkan peneliti sehingga peneliti dapat
menyelesaikan penelitian ini.
13. Terima kasih kepada teman-teman seangkatan Administrasi Negara Untirta
2013.
Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari
sempurna. Untuk itu peneliti sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun guna sempurnakan skripsi ini. Peneliti berharap semoga skripsi ini
dapat bermanfaat bagi pembaca, khususnya bagi peneliti.
Serang, Juni 2017
Peneliti
Nadia Nurul Kodariah
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS .................................... i
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................. ii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ....................................................... iii
KATA PENGANTAR .......................................................................... iv
DAFTAR ISI ......................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ xii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
1.2 Identifikasi Masalah ......................................................................... 20
1.3 Batasan Masalah ............................................................................... 21
1.4 Rumusan Masalah ............................................................................. 21
1.5 Tujuan Penelitian .............................................................................. 21
1.6 Manfaat Penelitian ............................................................................ 22
1.6.1 Manfaat Praktis .............................................................................. 22
1.6.2 Manfaat Teoritis ............................................................................ 22
1.7 Sistematika Penulisan ....................................................................... 22
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN
ASUMSI DASAR
2.1 Tinjauan Pustaka ............................................................................. 25
2.1.1 Deskripsi Teori Kebijakan Publik ................................................. 26
2.1.2 Tahapan-Tahapan dalam Pembentukan Kebijakan Publik ............ 28
2.1.3 Ciri dan Jenis Kebijakan Publik .................................................... 29
2.1.4 Proses Kebijakan Publik ................................................................ 31
2.2 Konsep Analisis Kebijakan Publik ................................................... 33
2.2.1 Teori Analisis Kebijakan Publik .................................................... 33
2.2.2 Pendekatan Analisis Kebijakan ..................................................... 34
2.2.3. Sistem Kebijakan .......................................................................... 34
2.2.4 Bentuk-bentuk Analisis Kebijakan ................................................ 36
2.2.5 Metodologi dan Prosedur Analisis Kebijakan ............................... 38
2.3 Konsep Implementasi Kebijakan Publik ......................................... 39
2.3.1 Teori Implementasi Kebijakan ...................................................... 39
2.3.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan
Publik ...................................................................................................... 40
2.3.3 Model-model Implementasi Kebijakan Publik .............................. 41
2.4 Policy Evaluation (Evaluasi Kebijakan) ........................................... 46
2.4.1 Konsep Evaluasi Kebijakan Publik ............................................... 46
2.4.2 Model Evaluasi Kebijakan Publik ................................................. 47
2.4.3 Sifat Evaluasi Kebijakan Publik .................................................... 48
2.4.4 Fungsi Evaluasi .............................................................................. 49
2.5. Konsep Pendidikan .......................................................................... 49
2.6. Konsep Kebijakan Pendidikan ......................................................... 51
2.7. Tinjauan umum tentang Pendidikan inklusif dan Pendidikan khusus
............................................................................................................ 53
2.7.1 Pengertian Pendidikan inklusif ...................................................... 53
2.7.2 Hakikat dan Tujuan Pendidikan Inklusif ....................................... 53
2.7.3 Landasan Pendidikan Inklusif ....................................................... 54
2.7.4 Proses Pembelajaran Pendidikan Inklusif ...................................... 56
2.7.5 Deskripsi Teori Pendidikan Khusus .............................................. 57
2.7.6 Fungsi Pendidikan Kebutuhan Khusus .......................................... 58
2.7.7 Pendidikan Khusus dan Sekolah Inklusif ...................................... 59
2.8. Kebijakan dan Program Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif
............................................................................................................ 60
2.9. Penyandang Disabilitas .................................................................... 69
2.9.1 Deskripsi Teori Penyandang Disabilitas ........................................ 69
2.9.2 Jenis Penyandang Disabilitas ......................................................... 71
2.9.3 Hak Penyandang Disabilitas .......................................................... 73
2.10. Penelitian Terdahulu ...................................................................... 76
2.11. Kerangka Berpikir ......................................................................... 80
2.12. Asumsi Dasar ................................................................................. 84
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian ....................................................................... 85
3.2 Jenis dan Sumber Data ..................................................................... 86
3.3 Fokus Penelitian ............................................................................... 87
3.4 Lokasi Penelitian .............................................................................. 87
3.5 Variabel Penelitian............................................................................ 88
3.5.1 Definisi Konseptual ....................................................................... 88
3.5.2 Definisi Operasional ...................................................................... 89
3.6 Instrumen Penelitian ........................................................................ 90
3.7 Informan Penelitian .......................................................................... 92
3.8 Teknik Pengumpulan Data ............................................................... 94
3.9 Teknik Analisis Data ........................................................................ 97
3.10. Uji Keabsahan Data ....................................................................... 99
3.11. Agenda Penelitian .......................................................................... 100
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Deskrpsi Objek Penelitian ................................................................ 102
4.1.1 Gambaran Umum Kota Bekasi ...................................................... 102
4.1.2 Gambaran Umum Dinas Pendidikan Kota Bekasi......................... 112
4.2 Deskripsi Data .................................................................................. 118
4.2.1 Deskripsi Data Penelitian .............................................................. 118
4.2.2 Deskripsi Informan Penelitian ....................................................... 121
4.2.3 Model Analisis Data ...................................................................... 124
4.3 Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif di Kota Bekasi .......... 126
4.3.1 Karakteristik Masalah .................................................................... 128
4.3.2 Karakteristik Kebijakan ................................................................. 162
4.3.3 Variabel Lingkungan ..................................................................... 182
4.4 Pembahasan ...................................................................................... 186
4.4.1 Karakteristik Masalah .................................................................... 187
4.4.2 Karakteristik Kebijakan ................................................................. 194
4.4.3 Variabel Lingkungan ..................................................................... 198
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ....................................................................................... 204
5.2 Saran ................................................................................................. 206
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1 Jumlah Penyandang Disabilitas yang ada di wilayah Kota Bekasi .......... 3
Tabel 3.1 Daftar Informan Penelitian..................................................................... 93
Tabel 3.2 Pedoman Wawancara ............................................................................. 95
Tabel 3.3 Jadwal Penelitian.................................................................................. 101
Tabel 4.1 Daftar luas dan kelurahan berdasarkan kecamatan di wilayah Kota
Bekasi ................................................................................................................... 108
Tabel 4.2 Jumlah Penduduk menurut kecamatan tahun 2011-2015 .................... 111
Tabel 4.3 Daftar spesifikasi informan penelitian ................................................. 122
Tabel 4.4 Daftar sekolah penerima peserta didik difabel di Kota Bekasi ............ 128
Tabel 4.5 Persentase ABK pada sekolah inklusif ................................................ 144
Tabel 4.6 Daftar Jumlah Guru di Kota Bekasi ..................................................... 156
Tabel 4.7 Matriks Pembahasan ............................................................................ 200
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 3.1 Tiga Elemen Sistem Kebijakan .......................................................... 35
Gambar 3.2 Model Implementasi Grindle ............................................................. 38
Gambar 3.3 Model Kesesuaian Implementasi Kebijakan ...................................... 42
Gambar 4.1 Peta Administratif Kota Bekasi ....................................................... 106
Gambar 4.2 Struktur Organisasi Dinas Pendidikan Kota Bekasi ......................... 111
Gambar 4.3 Ruang kelas SMP IT YPI 45 Bekasi ................................................ 132
Gambar 4.4 Ruang kelas SDN Kalibaru IV ......................................................... 133
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Dokumentasi Foto
Lampiran 2 Member Check
Lampiran 3 Surat Pernyataan
Lampiran 4 Surat Ijin Mencari Data
Lampiran 5 Surat keterangan dari sekolah
Lampiran 6 Surat Data Sekolah Penerima Difabel
Lampiran 7 Data jumlah penyandang disabilitas di Kota Bekasi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Penyandang disabilitas yang dalam percakapan sehari-hari disebut
sebagai orang cacat, sering dianggap sebagai warga masyarakat yang tidak
produktif, tidak mampu menjalankan tugas dan tanggungjawabnya sehingga
hak-haknya pun diabaikan. Indonesia merupakan negara yang memiliki
berbagai resiko untuk kecacatan. Akan tetapi, pemerintah sendiri belum
memberikan perhatian sepenuhnya kepada mereka. Hal ini dapat dilihat dari
hak-hak penyandang disabilitas yang seharusnya terpenuhi, tetapi terabaikan
oleh pemerintah.
Saat ini keberadaan penyandang disabilitas masih dianggap sebelah
mata, baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Keberadaan mereka seakan
dianggap sebagai orang cacat yang tidak berguna dan tidak bisa hidup seperti
layaknya orang normal yang lain. Kurangnya pemahaman masyarakat
maupun aparatur pemerintah yang terkait tentang arti disabilitas dan
keberadaan penyandang disabilitas sebagai bagian dari warga negara
menyebabkan penyandang disabilitas tidak mendapat hak dan kesempatan
yang sama seperti warga masyarakat lainnya. Penyandang disabilitas
disamakan dengan orang sakit, tidak berdaya sehingga tidak perlu diberikan
pendidikan dan pekerjaan, mereka cukup dikasihani dan diasuh untuk
keberlangsungan hidupnya.
Oleh karena itu, secara eksplisit Indonesia memiliki Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas yang memberikan
landasan hukum secara tegas untuk menjamin kelangsungan hidup setiap
warga negara, termasuk para penyandang disabilitas yang mempunyai
kedudukan hukum dan memiliki hak asasi manusia yang sama sebagai warga
negara Indonesia dan sebagai bagain yang tidak terpisahkan dari masyarakat
sebagai warga negara Indonesia.
Penyandang disabilitas memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang
sama dengan warga negara non disabilitas. Penyandang disabilitas memiliki
hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupannya. Selain itu, hak untuk
hidup berkaitan dengan isu-isu mengenai hak asasi manusia bahwa manusia
sebagai warga negara yang memiliki hak sipil, hak politik, hak ekonomi,
sosial dan budaya.
Sebagai bagian dari warga negara Indonesia, sudah sepantasnya
penyandang disabilitas mendapatkan perlakuan khusus yang dimaksudkan
sebagai upaya perlindungan dari kerentanan terhadap berbagai tindakan
diskriminasi terutama perlindungan dari berbagai pelanggaran hak asasi
manusia. Perlakuan khusus tersebut dipandang sebagai upaya maksimalisasi
penghormatan, pemajuan, perlidungan, dan pemenuhan hak asasi manusia
secara universal.
Penyandang disabilitas menghadapi kesulitan yang lebih besar
dibandingkan masyarakat non disabilitas dikarenakan hambatan dalam
mengakses layanan umum seperti, akses dalam layanan pendidikan,
kesehatan, maupun dalam hal ketenagakerjaan. Kecacatan seharusnya tidak
menjadi halangan bagi penyandang disabilitas untuk memperoleh hak hidup
dan hak mempertahankan hidupnya.
Fakta bahwa para penyandang disabilitas masih dianggap sebelah
mata berbanding lurus dengan fakta yang ada di Kota Bekasi. Kebijakan
pemerintah Kota Bekasi masih terhambat dalam implementasinya. Faktor-
faktor yang menyebabkan terhambatnya implementasi kebijakan pendidikan
inklusif di Kota Bekasi yaitu hubungan antar organisasi yang belum terjalin
dengan baik, sumber daya organisasi yang kurang dan belum memahami
dengan baik, kondisi lingkungan yang kurang memadai dan mendukung
implementasi serta kinerja dari aparatur pemerintah yang kurang maksimal.
Berikut ini adalah tabel yang menggambarkan jumlah penyandang
disabilitas yang ada di wilayah Kota Bekasi.
Tabel 1.1
Jumlah Penyandang Disabilitas
Sumber : Dinas Sosial Kota Bekasi
No. Tahun Jumlah
1. 2013 1.771
2. 2014 1.125
3. 2015 1.607
Berdasarkan data pada tabel 1.1 terlihat bahwa jumlah penyandang
disabilitas dari tahun 2013 hingga 2015 mengalami penurunan yang cukup
signifikan setiap tahunnya. Namun, fakta yang peneliti temukan adalah
Pemerintah Kota Bekasi sendiri kurang bertanggung jawab penuh atas
kesejahteraan dari para penyandang disabilitas.
Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 6 Tahun 2015 tentang Pedoman
Tanggungjawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan di Kota Bekasi dalam
pasal 9 dinyatakan bahwa salah satu program yang secara langsung ditujukan
oleh masyarakat berupa subsidi, penyediaan pembiayaan untuk proyek-
proyek pengembangan masyarakat, penyelenggaraan fasilitas umum atau
bantuan modal usaha skala mikro atau kecil, bantuan sosial berupa bantuan
dalam bentuk uang, barang maupun jasa pada panti-panti sosial/jompo, para
korban bencana dan para penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS),
dan perlindungan sosial berupa pemberian kesempatan kerja bagi para atlet
nasional atau daerah yang sudah purna bakti dan bagi penyandang disabilitas
yang mempunyai kemampuan khusus. Pasal 10 ayat 2 dinyatakan bahwa
pemerintah wajib memulihkan PMKS dalam hal ini juga termasuk
penyandang disabilitas agar mereka dapat menjalankan fungsi sosialnya.
Pemerintah perlu bertanggung jawab secara penuh terhadap para
penyandang disabilitas agar mereka dapat hidup sejahtera dan mandiri.
Tanggungjawab ini diwujudkan dengan bantuan yang diberikan pemerintah
sesuai dengan kebutuhan dari penyandang disabilitas dan bersifat jangka
panjang atau berkelanjutan sehingga hasil yang diperoleh dapat maksimal.
Akan tetapi, kinerja Pemerintah Kota Bekasi selama ini dalam
melakukan tanggungjawabnya kepada penyandang disabilitas dirasa belum
maksimal. Bantuan yang diberikan pemerintah belum mencakup segala
aspek. Dinas Sosial sendiri paling banyak memberikan bantuan berupa
pelatihan-pelatihan khusus bagi penyandang disabilitas sekaligus
memberikan alat yang menunjang untuk mempraktekannya dan pemberian
alat bantu khusus seperti kursi roda, kaki palsu, alat bantu dengar, dan
sebagainya.
Usaha yang dilakukan pemerintah sudah cukup membantu dan
memperhatikan penyandang disabilitas, akan tetapi usaha tersebut belum
bersifat jangka panjang dan berkelanjutan. Selayaknya pemerintah
memberikan program kelanjutan dari pelatihan-pelatihan yang diberikan
tersebut seperti kiat-kiat untuk berwirausaha, membantu mencari tempat
usaha bagi kelompok disabilitas dan memastikan bahwa usaha tersebut
berjalan dengan baik. Sehingga tidak hanya bertujuan untuk menciptakan
kesejahteraan dan kemandirian para penyandang disabilitas, tetapi juga
terbuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan menambah pendapatan
daerah Kota Bekasi.
Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Bangunan Gedung dalam pasal 57 yang menyatakan bahwa “setiap bangunan
umum harus memiliki kelengkapan sarana dan prasarana bangunan yang
memadai sesuai standar teknis yang berlaku. Salah satunya meliputi fasilitas
bagi anak-anak, penyandang cacat dan lanjut usia.” Kemudian pasal 39
dinyatakan bahwa “setiap bangunan gedung kecuali rumah tinggal tunggal
dan rumah deret sederhana harus menyediakan fasilitas dan aksesibilitas
untuk menjamin terwujudnya kemudahan bagi penyandang cacat dan lanjut
usia, masuk dan keluar bangunan gedung serta beraktivitas dalam bangunan
gedung secara mudah, aman, nyaman dan mandiri.
Mayoritas penyandang disabilitas mengalami kesulitan menjalani
kehidupan keseharian nya karena keterbatasan fasilitas publik transportasi
dan informasi yang tidak dirancang sesuai dengan kebutuhannya. Hak asasi
manusia masih menjadi masalah dalam implementasinya. Pelanggaran
terhadap hak asasi manusia sering sekali dirasakan oleh penyandang
disabilitas. Kebebasan yang dirasakan oleh penyandang disabilitas masih saja
belum memberikan ruang sepenuhnya. Dalam potret sosial, penyandang
disabilitas masih dianggap sebelah mata. Terutama berkenaan dengan
masalah pelayanan publik. Hal ini bisa dilihat dari beberapa fasilitas umum.
Contohnya toilet yang belum disediakan untuk orang yang berkebutuhan
khusus, tranportasi umum yang seharusnya memiliki sebuah ruang kosong
yang diperuntukkan bagi para penyandang disabilitas, tangga landai yang
dapat membantu para penyandang disabilitas, jembatan penyebrangan bagi
penyandang disabilitas dan fasilitas lainnya.
Pada tataran yuridis formal, langkah awal untuk pemenuhan hak asasi
penyandang disabilitas harus dimulai dari adanya peraturan daerah yang
menjamin pemenuhan hak asasi penyandang disabilitas. Pembuatan peraturan
daerah menjadi strategis dan penting karena faktor kekhususan daerah dan
penjabaran perundang-undangan yang lebih tinggi.
Berdasarkan pasal 41 ayat 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia dalam pasal 5 ayat 3 menyatakan bahwa setiap
orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak memperoleh
perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan kekhususannya namun
dalam prakteknya regulasi kepada mayoritas lebih banyak daripada kelompok
minoritas. Kelompok minoritas ini identik dengan masyarakat lemah yang
memiliki banyak keterbatasan salah satunya adalah penyandang disabilitas.
Dengan demikian, pemerintah daerah wajib memiliki peraturan daerah
yang mencakup pemenuhan hak-hak dari penyandang disabilitas agar layanan
publik bisa lebih inklusif memberikan ruang pubblik kepada kelompok rentan
seperti penyandang disabilitas karena kondisi yang terjadi saat ini pelayanan
publik untuk penyandang disabbilitas belum inklusif dan masih diwarnai
dengan sikap diskriminasi.
Tidak adanya peraturan daerah di Kota Bekasi yang secara khusus
membahas tentang penyandang disabilitas, hal ini membuat tidak adanya
acuan dan pedoman bagi pemerintah daerah dalam meningkatkan pelayanan
dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas dirasa perlu adanya payung
hukum (peraturan daerah) sebagai upaya perlindungan terhadap penyandang
disabilitas dimana sampai saat ini masih banyak mengalami hambatan antara
lain karena masih rendahnya penilaian masyarakat terhadap kapasitas dan
potensinya, kurangnya partisipasi masyarakat seta sikap dan sikap dari
penyandang disabilitas sendiri. Keberadaan peraturan daerah tentang penyang
disabilitas ini nantinya sangat penting mengingat sebagai upaya perlindungan
bagi penyandang disabilitas, dimana selama ini mereka seringkali tidak
menikmati kesempatan yang sama seperti masyarakat lainnya.
Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2015 tentang Pedoman
Tanggungjawab dan Lingkungan Perusahaan di Kota Bekasi menyatakan
bahwa pelayanan sosial berupa layanan pendidikan, kesehatan, olahraga, serta
santunan pekerja sosial dan perlindungan sosial berupa pemberian
kesempatan kerja bagi para atlet nasional atau daerah yang sudah purna bakti
dan bagi penyandang cacat yang mempunyai kemampuan khusus. Maka
pemerintah wajib untuk memulihkan agar dapat melaksanakan fungsi
sosialnya.
Namun, diskriminasi masih menjadi masalah yang tidak kunjung
teratasi hingga saat ini. Diskriminasi tidak hanya dilakukan oleh masyarakat
setempat, keluarga dari penyandang disabilitas yang bersangkutan serta
pemerintah yang seyogyanya memperhatikan dan menangani mereka agar
mendapatkan hak dan kedudukan yang sama dengan masyarakat yang lain.
Penyandang disabilitas masih dianggap sebagai orang yang harus diperbaiki,
tidak dapat mandiri, dan kehadirannya dapat mengganggu orang lain.
Sebagai wilayah perkotaan yang berbatasan langsung dengan DKI
Jakarta, Kota Bekasi awalnya merupakan salah satu wilayah yang difungsikan
sebagai kota penyangga. Namun, pada perkembangannya Kota Bekasi
menjadi kota metropolitan sendiri. Peningkatan jumlah penduduk,
perkembangan industri dan infrastruktur yang pesat, bisa bersaing dengan ibu
kota Jakarta.
Akan tetapi, menurut redaksi kabariindonesia.com, dalam
perkembangan dan pertumbuhan wilayah Kota Bekasi, penyandang
disabilitas seringkali dilewatkan dalam pembangunan kota. Di Kota Bekasi,
ruang-ruang publik seperti trotoar dan jembatan penyeberangan serta sarana
umum lainnya belum dirancang untuk memudahkan mereka para penyandang
disabilitas. Di Kota Bekasi juga belum banyak lembaga pendidikan yang
mengembangkan pendidikan inklusif, yaitu menyediakan fasilitas fisik dan
tenaga pendidik bagi siswa berkebutuhan khusus.
Berdasarkan data Dinas Pendidikan Kota Bekasi, saat ini tercatat ada
sembilan sekolah yang menerima peserta didik difabel atau sekolah inklusif
di wilayah Kota Bekasi. Fakta tersebut sangat memprihatinkan apabila
dibandingkan dengan jumlah sekolah penerima peserta didik difabel atau
sekolah inklusif yang terdata oleh Dinas Pendidikan Kota Depok yaitu
memiliki 80 sekolah inklusif pada semua jenjang, baik itu TK, SD, SMP,
SMA dan SMK, yang kemudian 80 sekolah inklusif tersebut mengikuti
pelatihan demi menunjang pelayanan terhadap anak berkebutuhan khusus
(ABK) yang diadakan oleh pemerintah terkait.
Fakta yang peneliti temui di lapangan yaitu sedikitnya jumlah sekolah
inklusif di Kota Bekasi dan kurangnya perhatian dari pemerintah terkait,
menyebabkan timbulnya masalah keterbatasan aksesibilitas anak
berkebutuhan khusus (ABK) dalam mendapatkan pendidikan. Idealnya,
Pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit satu sekolah dasar,dan
satu sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan dan satu-satuan
pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif sesuai
dengan yang tertera pada Permendagri No. 70 Tahun 2009 sehingga semua
anak berkebutuhan khusus (ABK) yang ada pada wilayah Kota Bekasi
mendapatkan akses pendidikan yang sama dengan anak normal lainnya.
Pada tahun 2012, provinsi Jawa Barat sendiri telah mendeklarasikan
diri sebagai provinsi pendidikan Insklusif. Deklarasi tersebut ditandai dengan
pembacaan naskah deklarasi oleh Wakil Gubernur Jawa Barat, Dedi Mizwar,
dan penandatanganan prasasti oleh Dedi Mizwar, Direktur Pendidikan
Khusus dan Pelayanan Khusus (PKLK) Kemdikbud, Mudjito dan Kepala
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, Wahyudin Zarkasyi, di Gymnasium
Universitas Pendidikan Indonesia. (disdik.depok.go.id/2017)
Awal mula untuk mengupayakan kesejahteraan daan hak-hak bagi
penyandang disabilitas diwujudkan dengan penyetaraan pendidikan antara
anak berkebutuhan khusus (ABK) dengan anak yang normal. Dengan adanya
pendidikan inklusif, mereka memiliki kesempatan yang sama untuk
berkembang seperti anak-anak yang lainnya. Anak berkebutuhan khusus ini
memiliki hak untuk menjalani kehidupan secara penuh dan berkontribusi
penuh dalam segala aspek. Namun untuk tumbuh dan berkembang bisa jadi
sulit bagi mereka karena dihadapkan oleh resiko yang lebih besar untuk
menjadi miskin dibandingkan dengan rekan-rekan mereka yang tanpa
disabilitas. Bahkan bila anak-anak memiliki ketidakberuntungan yang sama
maka anak berkebutuhan khusus (ABK) menghadapi tantangan yang lebih
besar akibat keterbatasan mereka dan berbagai rintangan yang dihadirkan
oleh lingkungan sekitarnya.
Meremehkan kemampuan dari penyandang disabilitas merupakan
hambatan utama untuk inklusi mereka dan untuk kesempatan yang setara.
Sikap yang dimaksud terdapat dalam masyarakat mulai dari para profesional,
politisi, dan pembuat keputusan lainnya terhadap keluarga dan teman-teman
serta para penyandang disabilitas itu sendiri karena tidak adanya bukti bahwa
mereka itu berharga dan didukung seringkali meremehkan kemampuan
sendiri.
Sebuah lingkungan yang bisa diakses merupakan hal yang penting
bagi anak-anak penyandang disabilitas untuk dapat menikmati hak-hak
mereka untuk berpartisipasi dalam masyarakat dan mendapatkan kesempatan
mewujudkan seluruh potensi mereka. Contohnya seperti anak berkebutuhan
khusus (ABK) perlu akses pada seluruh sekolah untuk mendapatkan manfaat
yang maksimal dari pendidikan. Anak berkebutuhan khusus (ABK) yang
mendapatkan pendidikan bersama dengan rekan-rekan mereka yang
mempunyai kesempatan yang lebih banyak untuk menjadi anggota
masyarakat yang produktif dan menjadi terintegrasi dalam kehidupan
masyarakat.
Permendiknas Nomor 70 tahun 2009 tentang Pendidikan inklusif bagi
peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan
atau bakat istimewa, dalam pasal satu menyatakan bahwa pendidikan inklusif
adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan
kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau
pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan
peserta didik pada umumnya. Pasal 2 menyatakan bahwa pendidikan inklusif
bertujuan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta
didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya dan
mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman,
dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik yang memiliki memiliki
kelainan fisik, emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa perlu mendapatkan layanan pendidikan
yang sesuai dengan kebutuhan dan hak asasinya.
Upaya pemerintah untuk melaksanakan pendidikan inklusif perlu
diimbangi dengan kerjasama dari berbagai pihak. Agar dalam proses
implementasinya dapat berjalan sesuai dengan isi yang tertera pada kebijakan
yang telah dibuat. Pendidikan inklusif ini diselenggarakan agar dapat
memenuhi kebutuhan dari anak berkebutuhan khusus (ABK) secara
keseluruhan dan fokus terhadap keterbatasan yang mereka miliki. Bagi siswa
yang memiliki keterbatasan mental, mereka sangat sulit untuk digabungkan
belajar satu kelas dengan siswa yang normal sebagaimana pada pendidikan
inklusif karena secara kemampuan nalar dan logikanya pun jauh berbeda
dengan siswa atau peserta didik yang normal. Oleh karena itu, mereka tidak
dapat dimasukkan ke dalam pendidikan atau sekolah inklusif dikarenakan
keadaan yang mereka alami. Sedangkan siswa yang memiliki keterbatasan
seperti tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan kelainan
yang lain dapat diikutsertakan dalam pendidikan inklusif karena dibalik
keterbatasan yang mereka miliki, namun secara keseluruhan mereka normal
seperti peserta didik yang lain dalam hal nalar dan logikanya. Hanya mungkin
mereka membutuhkan guru pendamping khusus (GPK) dimana guru yang
dimaksud adalah guru yang ditugasi untuk membantu anak berkebutuhan
khusus (ABK) dalam pembelajaran di sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif.
Mengingat pentingnya pendidikan inklusif ini setiap daerah perlu
memiliki peraturan daerah terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif
sebagai kebijakan dari pemerintah daerah yang bersangkutan dengan
mengacu pada peraturan dari pemerintah pusat agar dalam pelaksanaannyadi
daerah tersebut memiliki acuan yang jelas sesuai dengan peraturan yang
dibuat oleh daerah.
Peraturan daerah Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan, pasal 10 menyatakan bahwa
walikota menetapkan kebijakan untuk menjamin peserta didik memperoleh
akses pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang orang tua/walinya tidak
mampu membiayai pendidikan, peserta didik pendidikan khusus dan atau
peserta didik di daerah khusus dalam rangka meningkatkan partisipasi
pendidikan. Pasal 105 menyatakan bahwa pendidikan khusus merupakan
pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam
mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental,
sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang
bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik secara optimal sesuai
kemampuannya.
Peraturan daerah tersebut belum diimplementasikan dengan baik,
pemerintah semestinya dapat memberikan jaminan akses difabel untuk
mendapatkan pendidikan dasar dan lanjutan inklusif. Tidak hanya sebatas
membuka akses difabel bisa mengenyam bangku pendidikan saja, tetapi juga
bisa menjamin keberlanjutan dalam menjalani proses pendidikan.
Penyandang disabilitas memiliki hak yang sama dalam kehidupan, termasuk
memperoleh pendidikan tetapi belum semua anak difabel dapat mengakses
pendidikan dengan baik.
Beberapa permasalahan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di
Kota Bekasi tergolong cukup banyak. Implementasi dari Peraturan Daerah
Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
dalam hal ini penyelenggaraan pendidikan inklusif mengalami berbagai
hambatan, masalah-masalah yang terjadi adalah sebagai berikut:
Pertama, fakta yang peneliti temui yaitu standarisasi sarana dan
prasarana dalam pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan inklusif di
sekolah umum atau reguler belum akurat, karena dalam pelaksanaannya
sekolah yang akan menyelenggarakan pendidikan inklusif harus mengikuti
mekanisme yang telah ditetapkan sesuai dengan peraturan yang berlaku,
persyaratan dan kriteria tertentu. Standarisasi yang dimaksud merupakan hal
yang bersifat fisik yaitu sistem sarana dan prasarana di sekolah yang
mendukung bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam mendapatkan
proses pembelajaran di sekolah. Berdasarkan fakta yang ditemukan dalam
penelitian, standarisasi sarana dan prasarana yang terdapat di sekolah reguler
tidak mendukung anak berkebutuhan khusus (ABK). Meskipun telah terdapat
peraturan yang menegaskan bahwa semua sekolah di Kota Bekasi harus
menyelenggarakan pendidikan inklusif, namun peraturan ini tidak
diimplementasikan dengan baik. Sarana dan prasarana yang tidak mendukung
menyebabkan anak berkebutuhan khusus (ABK) mengalami kesulitan dalam
menjalani proses pembelajaran di sekolah karena sarana dan prasarana yang
tidak tersedia. Contohnya seperti tidak tersedianya buku dengan huruf braile
bagi anak penyandang tuna netra, dan jalan atau lintasan khusus kursi roda,
tidak tersedianya alat bantu belajar, kursi atau meja khusus belajar dan
metode pembelajaran ataupun kurikulum khusus yang sesuaikan bagi anak
berkebutuhan khusus (ABK) dalam proses pembelajaran di sekolah.
Pemerintah harus menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif di
daerahnya masing-masing. Untuk keperluan administrasi dan pembinaan
serta kelancaran dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, sekolah perlu
mengikuti alur penyelenggaraan dari program inklusif dengan mengajukan
proposal penyelenggaraan pendidikan inklusif pada dinas pendidikan
kemudian dinas pendidikan yang bersangkutan akan menindaklanjuti dan
memproses sampai dinas pendidikan provinsi menetapkan sekolah yang
bersangkutan sebagai penyelenggara pendidikan inklusif. Dengan demikian,
dalam pelaksanaannya sekolah dapat dibantu oleh pemerintah karena sekolah
tersebut sudah resmi dan terdaftar di dinas setempat. Hal ini kan membantu
terselenggaranya pendidikan inklusif yang lebih baik, dari segi operasional
maupun struktural.
Kedua, berdasarkan hasil wawancara dan temuan lapangan dapat
dinyatakan bahwa keterbatasan aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus
(ABK) dalam mendapatkan pendidikan juga menjadi persoalan. Anak
berkebutuhan khusus (ABK) ini tidak mendapatkan kesempatan yang sama
dengan anak-anak normal lainnya dalam mengenyam pendidikan.
Keterbatasan aksesibilitas dapat menyebabkan timbulnya tindakan
diskriminatif pada anak berkebutuhan khusus (ABK) dikarenakan masih
terdapat adanya perbedaan antara anak berkebutuhan khusus (ABK) dengan
anak yang normal. Keterbatasan aksesibilitas dalam hal ini, ditunjukkan
dengan tidak adanya rasa toleransi dan perlakuan yang sama terhadap anak
berkebutuhan khusus (ABK) di sekolah. Salah satu fakta dari keterbatasan
aksesibilitas yang terjadi di Kota Bekasi yaitu anak berkebutuhan khusus
(ABK) tidak memiliki kesempatan yang sama dalam mengikuti kejuaraan
ataupun lomba yang ada di sekolah karena keterbatasan yang mereka miliki.
Ketiga, dari hasil wawancara peneliti dengan berbagai narasumber,
peneliti menemukan permasalahan yaitu rendahnya pemahaman tenaga
pendidik di sekolah reguler di Kota Bekasi mengenai bagaimana
memperlakukan peserta didik berkebutuhan khusus dan pemahaman
penyelenggaraan pendidikan inklusif. Pendidik dan tenaga kependidikan
merupakan orang-orang yang sangat berperan penting dalam penyelenggaraan
pendidikan. Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif memang tidak
semua orang bisa paham dan mau menerima sistem pelaksanaannya. Hal ini
dikarenakan masih minimnya pengetahuan para pendidik dan tenaga
kependidikan tentang pendidikan inklusif. Tidak mudah bagi pendidik untuk
menyatukan keberadaan anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak normal
pada sekolah reguler, baik dalam aspek akademik maupun sosialnya. Anak
berkebutuhan khusus (ABK) memang harus mendapatkan perlakuan yang
sama dengan anak normal lainnya, namun karena keterbatasan yang dimiliki
maka tenaga pendidik pun perlu memperlakukan mereka sesuai dengan
kebutuhan khusus yang mereka miliki agar dengan begitu mereka dapat
merasakan kemudahan dan kenyamanan dalam mengikuti proses
pembelajaran di sekolah. Rendahnya pemahaman tenaga pendidik di sekolah
reguler terjadi karena pemerintah Kota Bekasi kurang berupaya dalam
memberikan pengetahuan kepada para tenaga pendidik tentang
penyelenggaraan pendidikan inklusif, dimana upaya ini dapat diwujudkan
melalui adanya sosialisasi, seminar dan lain sebagainya.
Keempat, berdasarkan hasil temuan lapangan dapat dinyatakan bahwa
tidak adanya keberadaan guru pembimbing khusus dengan lulusan pendidikan
luar biasa yang terdapat di sekolah umum atau reguler. Guru pendamping
khusus adalah guru yang ditugasi untuk membantu anak berkebutuhan khusus
(ABK) dalam pembelajaran di sekolah penyelenggara pendidikan inklusif.
Kelancaran penyelenggaraan sistem pendidikan inklusif ini sangat
berpengaruh pada kemampuan para guru pembimbing khusus. Pihak sekolah
juga harus mendukung keberadaan guru pendamping khusus (GPK) dan
bekerja sama dengan sebaik mungkin. Akan tetapi, sampai saat ini
pemerintah Kota Bekasi belum juga menyediakan guru pendamping khusus
pada sekolah reguler terutama sekolah yang memiliki siswa berkebutuhan
khusus. Bahkan pada saat dilakukan penelitian pihak sekolah pun dirasa
kurang familiar dengan istilah guru pendamping khusus.
Kurangnya kesadaran dari berbagai pihak yaitu baik dari pemerintah
maupun pihak sekolah mengenai pentingnya keberadaan guru pendamping
khusus (GPK) dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kota Bekasi,
menyebabkan keberadaan guru pendamping khusus (GPK) dengan lulusan
pendidikan luar biasa di sekolah umum atau reguler sangat kurang jika
dibandingkan dengan Kabupaten Sukabumi yang saat ini memiliki jumlah
guru pembimbing khusus mencapai 24 guru dari 23 sekolah inklusif di
wilayahnya. Jumlah guru pembimbing khusus ini akan terus meningkat
karena Dinas Pendidikan Kabupaten Sukabumi telah menargetkan tahun 2017
bisa mencetak minimal 47 guru pembimbing khusus pada tahun ini.
(pojokjabar.com)
Kelima, fakta yang peneliti temui di lapangan yaitu kurang tertibnya
administrasi pendataan dari dinas-dinas terkait mengenai pendidikan inklusif,
hal ini dapat menyulitkan pihak yang membutuhkan data tersebut. Banyak
faktor-faktor yang menyebabkan hal ini terjadi yaitu tercecernya data-data
pada tahun sebelumnya, pendataan yang tidak dilakukan secara rutin setiap
tahunnya dan kurangnya perhatian dari pihak dinas terkait untuk memiliki
data-data yang lengkap mengenai pendidikan inklusif. Pendataan menjadi
salah satu kegiatan yang penting dilakukan oleh dinas untuk mengetahui
dengan jelas kondisi yang terjadi pada wilayahnya melalui jumlah yang
didapatkan dari hasil pendataan tersebut. Manajemen penyimpanan data juga
sangat penting diperhatikan oleh dinas agar data-data yang telah diperoleh
dapat tersimpan sebagai arsip bagi dinas untuk dapat menganalisa data-data
tahun sebelumnya dan membandingkan dengan data yang ada pada tahun
yang akan datang karena pembangunan yang terencana, terarah, dan
berkelanjutan dengan baik memerlukan data dan informasi yang akurat serta
dapat dipertanggung jawabkan.
Permasalahan penyandang disabilitas diatas sangat kompleks. Sistem
pendidikan inklusif sangat berperan penting bagi sosialisasi dan
perkembangan akademik anak-anak berkebutuhan khusus. Dengan adanya
sistem pendidikan inklusif ini anak-anak berkebutuhan khusus mendapatkan
hak untuk memperoleh pendidikan di sekolah-sekolah reguler seperti anak-
anak normal lainnya. Namun dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif
khususnya di Kota Bekasi ini masih banyak permasalahan dalam
implementasinya sehingga penyelenggaraan dari pendidikan inklusif ini
belum mencapai tujuan sebagaimana yang tercantum dalam kebijakan yang
telah dibuat.
Beranjak dari gejala-gejala masalah diatas, kemudian penulis
memutuskan untuk melakukan penelitian lebih mendalam yang kemudian
dituangkan ke dalam skripsi dengan judul “IMPLEMENTASI
KEBIJAKAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA BEKASI” dengan
mengacu pada Peraturan Daerah Kota Bekasi Nomor 13 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan serta peraturan tentang
kebijakan pendidikan inklusif lainnya.
1.2. Identifikasi Masalah
Berdasarkan penjelasan yang telah peneliti uraikan dalam latar
belakang masalah diatas, maka peneliti melakukan identifikasi masalah yaitu
sebagai berikut:
1. Belum akuratnya standarisasi sarana dan prasarana dalam pengelolaan dan
pembukaan pendidikan inklusif di sekolah umum atau reguler.
2. Keterbatasan aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam
mendapatkan pendidikan.
3. Rendahnya pemahaman dari tenaga pendidik di sekolah umum atau
reguler mengenai anak berkebutuhan khusus (ABK) dan sistem pendidikan
inklusif.
4. Tidak adanya keberadaan guru pendamping khusus (GPK) dengan lulusan
Pendidikan Luar Biasa yang terdapat di sekolah inklusif.
5. Kurang tertibnya administrasi pendataan dari dinas terkait mengenai
pendidikan inklusif.
1.3. Batasan masalah
Dengan uraian-uraian yang ada dalam latar belakang dan identifikasi
masalah, peneliti mempunyai keterbatasan kemampuan dan berfikir secara
menyeluruh. Maka dengan itu peneliti mencoba membatasi penelitiannya
yang ada dalam identifikasi masalah yaitu tentang “Implementasi kebijakan
pendidikan inklusif di Kota Bekasi” dengan mengacu pada peraturan daerah
nomor 13 tahun 2014 tentang pengelolaan dan penyelenggaraan pendidikan
serta peraturan tentang kebijakan pendidikan inklusif lainnya.
1.4. Rumusan Masalah
Berdasarkan judul dan latar belakang masalah yang terdapat dalam
penelitian ini maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut.
Bagaimanakah implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Kota Bekasi
dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi implementasi kebijakan
pendidikan inklusif di Kota Bekasi?
1.5. Tujuan penelitian
Untuk mengetahui dan mendapatkan gambaran yang jelas mengenai
rumusan rmasalah yang terdapat pada implementasi kebijakan pendidikan
inklusif di Kota Bekasi maka tujuan penelitiannya adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan dan menganalisis implementasi kebijakan pendidikan
inklusif di Kota Bekasi.
2. Mendeskripsikan dan menganalisis faktor-faktor apa yang mempengaruhi
implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Kota Bekasi.
1.6. Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua
pihak yang bersangkutan, baik manfaat secara praktis maupun manfaat secara
teoritis.
1.6.1. Manfaat praktis
Adapun manfaat praktis dari penelitian ini antara lain:
1. Bagi peneliti, dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai
penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kota Bekasi
2. Bagi pembaca, penelitian ini dapat memberikan informasi secara
tertulis maupun referensi lokal khususnya pada pemerintah daerah
Kota Bekasi.
1.6.2. Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi upaya mengaplikasikan teori-
teori administrasi negara atas permasalahan pada lingkup pengetahuan
sosial.
1.7. Sistematika Penulisan
Penulisan penelitian ini tersusun atas sistematika sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab pendahuluan berisi tentang materi dasar yang akan
diuraikan pada bab-bab selanjutnya yaitu mengenai masalah, identifikasi
masalah dan uraian pembahasannya, yang berisikan latar belakang
masalah, identifikasi masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan
sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN
ASUMSI DASAR
Pada bab tinjauan pustaka, kerangka pemikiran dan hipotesis berisi
tentang teori-teori dari beberapa ahli yang relevan terhadap masalah.
Deskripsi teori yang dimulai dari teori kebijakan publik, konsep
pendidikan, konsep kebijakan pendidikan, tinjauan umum tentang
pendidikan inklusif dan pendidikan khusus, kebijakan dan program
sekolah penyelenggara pendidikan inklusif, teori penyandang disabilitas,
dilanjutkan dengan penelitian terdahulu dan kemudian peneliti membuat
kerangka berpikir yang merupakan jawaban sementara terhadap
permasalahan yang diteliti. Terakhir terdapat asumsi dasar sebagai
pendapat atas masalah yang peneliti temukan.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab metode penelitian berisi tentang beberapa uraian
penjelasan mengenai metode penelitian, fokus penelitian, lokasi
penelitian, variabel penelitian, instrument penelitian, informan
penelitian, teknik pengolahan dan analisis data, serta waktu dan tempat
penelitian tersebut dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA
Memuat daftar referensi (literature lainnya) yang dipergunakan
dalam penelitian.
LAMPIRAN
Menyajikan lampiran-lampiran yang dianggap perlu dan penting
oleh peneliti, yang berhubungan dengan data penelitian, dan tersusun
secara berurutan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN
ASUMSI DASAR
2.1. Tinjauan Pustaka
Berdasarkan teori-teori yang akan dicantumkan oleh penulis.
Kebijakan Publik merupakan salah satu wujud dari usaha pemerintah untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, para penyandang
disabilitas atau difabel juga merupakan masyarakat Indonesia yang perlu
mendapat perhatian yang sama dari pemerintah. Terutama masalah
Pendidikan bagi anak penyandang disabilitas atau Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK). Di sebagian besar wilayah di Indonesia, khususnya pada
wilayah Kota Bekasi, pelayanan pendidikan belum dapat dirasakan
sepenuhnya oleh para penyandang disabilitas sehingga mereka tidak
mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengenyam pendidikan layaknya
masyarakat atau anak normal yang lain. Untuk memecahkan masalah ini
diperlukan adanya kebijakan publik yang diartikan oleh James Anderson
sebagai berikut: “serangkaian kegiatan yang mempunyai maksud atau tujuan
tertentu yang diikuti dan dilaksanakan oleh seorang aktor atau sekelompok
aktor yang berhubungan dengan suatu permasalahan atau suatu hal yang
diperhatikan.” (Anderson,1984: 5). Dalam hal ini suatu yang diperhatikan
tersebut adalah pendidikan inklusif bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) di
Kota Bekasi.
2.1.1. Deskripsi Teori Kebijakan Publik
Menurut Robert Eyestone dalam Agustino (2014:6-7), mendefinisikan
kebijakan publik sebagai berikut:
“Hubungan antara unit pemerintah dengan lingkungannya”. Heinz Eulau
dan Kenneth Prewitt dalam perspektif mereka mendefinisikan kebijakan
publik sebagai: ”keputusan tetap yang dicirikan dengan konsistensi dan
pengulangan (repitisi) tingkah laku dari mereka yang membuat dan dari
mereka yang mematuhi keputusan tersebut.”
Richard Rose dalam Agustino (2014:7) mendefinisikan kebijakan
publik sebagai “sebuah rangkaian panjang dari banyak atau sedikit kegiatan
yang saling berhubungan dan memiliki konsekuensi bagi yang
berkepentingan sebagai keputusan yang berlainan.”
Sedangkan menurut Carl Frederich dalam Agustino (2014:7)
mengatakan bahwa:
“Kebijakan adalah serangkaian tindakan atau kegiatan yang diusulkan oleh
seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu
dimana terdapat hambatan-hambatan (kesulitan-kesulitan) dan
kemungkinan-kemungkinan (kesempatan-kesempatan) dimana kebijakan
tersebut diusulkan agar berguna dalam mengatasinya untuk mencapai tujuan
yang dimaksud.”
James Anderson (1984:3), kebijakan publik adalah “serangkaian
kegiatan yang mempunyai maksud atau tujuan tertentu yang diikuti dan
dilaksanakan oleh seorang aktor atau sekelompok aktor yang berhubungan
dengan suatu permasalahan atau suatu hal yang diperhatikan.”
Konsep kebijakan ini menitikberatkan pada apa yang sesungguhnya
dikerjakan daripada apa yang diusulkan atau dimaksud. Hal inilah yang
membedakan kebijakan dari suatu keputusan yang merupakan pilihan
diantara beberapa alternatif yang ada.
Hogwood dan Gunn dalam Indiahono (2009: 17-18) menyatakan
bahwa terdapat 10 istilah kebijakan dalam pengertian modern, yaitu:
1. Sebagai label untuk sebuah bidang aktivitas
2. Sebagai ekspresi tujuan umum atau aktivitas negara yang diharapkan
3. Sebagai proposal spesifik
4. Sebagai keputusan pemerintah
5. Sebagai otorisasi formal
6. Sebagai sebuah program
7. Sebagai output
8. Sebagai hasil (outcome)
9. Sebagai teori dan model
10. Sebagai sebuah proses
Sementara itu, Lasswell dalam Indiahono (2009:18) menginginkan
ilmu kebijakan publik mencakup tiga hal yakni:
1) metode penelitian proses kebijakan
2) hasil dari studi kebijakan
3) hasil temuan penelitian yang memberikan kontribusi paling penting untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan intelegasi era sekarang.
Lingkup kebijakan publik sangat luas karena mencakup berbagai
sektor atau bidang pembangunan, seperti kebijakan publik dibidang
pendidikan, kebudayaan, kesehatan, dan lain sebagainya. Disamping itu
dilihat dari hirarkinya, kebijakan publik dapat bersifat nasional, regional,
maupun lokal seperti undang-undang, peraturan pemerintah kabupaten/kota,
dan keputusan bupati/walikota.
Dari teori-teori yang telah dikemukakan diatas, dapat disimpulkan
bahwa kebijakan publik adalah keputusan yang diambil oleh stakeholder
sebagai serangkaian tindakan atau kegiatan yang dilakukan untuk mencapai
tujuan-tujuan serta menyelesaikan persoalan-persoalan yang terjadi dalam
masyarakat.
2.1.2. Tahapan-Tahapan dalam Pembentukan Kebijakan Publik
Suatu kebijakan dihasilkan melalui serangkaian kegiatan yang
dilakukan para aktor kebijakan melalui proses kebijakan publik. Proses
kebijakan publik adalah serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan
dalam proses kegiatan yang bersifat politis.
Aktivitas politis dalam proses kebijakan publik tersebut menurut
William N. Dunn (2003: 26-28) melalui 5 tahap yang meliputi:
1. Tahap Perumusan Masalah
Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari definisi
masalah dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan
agenda. Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi
yang tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan
tujuan-tujuan yang memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan
yang bertentangan dan merancang peluang-peluang kebijakan yang baru.
2. Tahap Forecasting (Peramalan)
Peramalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan
kebijakan tentang masalah yang akan terjadi di masa mendatang sebagai
akibat dari diambilnya alternatif, termasuk tidak melakukan sesuatu. Ini
dilakukan dalam tahap formulasi kebijakan. Peramalan dapat menguji masa
depan yang plausibel, potensial, dan secara normatif bernilai, mengestimasi
akibat dari kebijakan yang ada atau yang diusulkan, mengenali kendala-
kendala yang mungkin akan terjadi dalam pencapaian tujuan, dan
mengestimasi kelayakan politik (dukungan dan posisi) dari berbagai pilihan.
3. Tahap Rekomendasi Kebijakan
Rekomendasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan
tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya di masa
mendatang telah diestimasikan melalui peramalan. Ini membantu pengambil
kebijakan pada tahap adopsi kebijakan. Rekomendasi membantu
mengestimasi tingkat resiko dan ketidakpastian, mengenali eksternalitas dan
akibat ganda, menentukan kriteria dalam pembuatan pilihan, dan
menentukan pertanggungjawaban administratif bagi implementasi
kebijakan.
4. Tahap Monitoring Kebijakan
Pemantauan (monitoring) menyediakan pengetahuan yang relevan
dengan kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya.
Ini membantu pengambil kebijakan pada tahap implementasi kebijakan.
Pemantauan membantu menilai tingkat kepatuhan, menemukan akibat-
akibat yang tidak diinginkan dari kebijakan dan program,
mengidentifikasikan hambatan dan rintangan implementasi, dan
menemukan letak pihak-pihak yang bertanggung jawab pada setiap tahap
kebijakan.
5. Tahap Evaluasi Kebijakan
Evaluasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan
tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan
yang benar-benar dihasilkan. Dengan demikian, membantu pengambilan
kebijakan pada tahap penilaian kebijakan terhadap proses pembuatan
kebijakan.
2.1.3. Ciri dan Jenis Kebijakan Publik
Menurut Suharno (2010: 22-24) ciri-ciri khusus yang melekat pada
kebijakan publik bersumber pada kenyataan bahwa kebijakan itu
dirumuskan. Ciri-ciri kebijakan publik antara lain:
a) Kebijakan publik lebih merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan
daripada sebagai perilaku atau tindakan yang serba acak dan kebetulan.
Kebijakan-kebijakan publik dalam sistem politik modern merupakan
suatu tindakan yang direncanakan.
b) Kebijakan pada hakekatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling
berkait dan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan
oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan yang
berdiri sendiri.
c) Kebijakan bersangkut paut dengan apa yang senyatanya dilakukan
pemerintah dalam bidang tertentu.
d) Kebijakan publik mungkin berbentuk positif, munkin pula negatif,
kemungkinan meliputi keputusan-keputusan pejabat pemerintah untuk
tidak bertindak atau tidak melakukan tindakan apapun dalam masalah-
masalah dimana justru campur tangan pemerintah diperlukan.
James Anderson dalam Suharno (2010: 24-25) menyampaikan
kategori kebijakan publik sebagai berikut:
a. Kebijakan substantif versus kebijakan prosedural
Kebijakan substantif yaitu kebijakan yang menyangkut apa yang akan
dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan kebijakan prosedural adalah
bagaimana kebijakan substantif tersebut dapat dijalankan.
b. Kebijakan distributif versus kebijakan regulatori versus kebijakan
redistributif.
Kebijakan distributif menyangkut distribusi pelayanan atau
kemanfaatan pada masyarakat atau individu. Kebijakan regulatori
merupakan kebijakan yang berupa pembatasan atau pelarangan
terhadap perilaku individu atau kelompok masyarakat. Sedangkan,
kebijakan redistributif merupakan kebijakan yang mengatur alokasi
kekayaan, pendapatan, pemilikan atau hak-hak diantara berbagai
kelompok dalam masyarakat.
c. Kebijakan materal versus kebijakan simbolik
Kebijakan materal adalah kebijakan yang memberikan keuntungan
sumber daya komplet pada kelompok sasaran. Sedangkan, kebijakan
simbolis adalah kebijakan yang memberikan manfaat simbolis pada
kelompok sasaran.
d. Kebijakan yang barhubungan dengan barang umum (public goods) dan
barang privat (privat goods).
Kebijakan public goods adalah kebijakan yang mengatur pemberian
barang atau pelayanan publik. Sedangkan, kebijakan privat goods
adalah kebijakan yang mengatur penyediaan barang atau pelayanan
untuk pasar bebas.
2.1.4. Proses Kebijakan Publik
Tahapan kebijakan publik menurut Ripley dalam Indiahono (2009: 22)
menyatakan dua proses kebijakan publik yang lahir dari siklus pendek dan
siklus panjang.
Siklus pendeknya adalah sebagai berikut:
a. Penyusunan agenda pemerintah
b. Agenda pemerintah
c. Formulasi dan legitimasi kebijakan
d. Kebijakan
Sedangkan siklus panjang kebijakan adalah sebagai berikut:
a. Penyusunan agenda pemerintah
b. Agenda pemerintah
c. Formulasi dan legitimasi kebijakan
d. Kebijakan
e. Implementasi kebijakan
f. Tindakan kebijakan
g. Kinerja dan dampak kebijakan
h. Evaluasi terhadap implementasi, kinerja, dan dampak kebijakan
i. Keputusan tentang masa depan kebijakan (keputusan baru)
Dalam tahapan kebijakan ini, kebijakan dipandang sebagai sebuah
siklus yang dimungkinkan akan terjadi evolusi kebijakan. Sebuah kebijakan
akan melewati serangkaian prose implementasi, monitoring dan evaluasi.
Kebijakan akan lahir kembali dengan perubahan secara inkremental dan
tidak menutup kemungkinan akan terjadi perubahan yang mendasar
meskipun amat jarang terjadi. Oleh karenanya tidaklah heran jika teori
kebijakan inkrementalism lebih banyak terhadi ketimbang teori kebijakan
yang lain seperti rational comprehensive. (Indiahono,2009: 23)
Sedangkan tahapan kebijakan dari Grindle dalam Indiahono (2009:
24-25), menyebutkan bahwa proses perumusan kebijakan yang siklus
pendek hanya terdiri dari empat fase yaitu fase penyusunan agenda, agenda
pemerintah, formulasi dan legitimasi kebijakan.
Fase penyusunan agenda
1) Persepsi masalah publik, yaitu menunjuk bagaimana isu masalah
publik dipersepsikan oleh masyarakat, termasuk isu atau masalah
pertingkah, seriuskah atau biasa-biasa saja
2) Pendefinisian masalah, yaitu menunjuk adanya pembatasan masalah
yang dilakukan oleh publik sendiri. Meskipun di masyarakat banyak
terdapat isu yang berbeda dan juga persepsi, namun ranah masalah
pada fase ini sudah dapat diidentifikasi
3) Mobilisasi dukungan untuk masuknya isu atau masalah publik
menjadi agenda pemerintah, yaitu menunjuk upaya dari masyarakat
untuk memasukkan masalah atau isu publik tertentu ke dalam
agenda pemerintah.
Setelah masalah publik masuk agenda pemerintah, masalah publik
tersebut harus melewati mekanisme politik untuk mendapatkan solusi
terbaik. Fase ini sering disebut sebagai tahapan formulasi dan legitimasi,
adapun fase-fase yang dapat dilalui dalam mekanisme ini adalah :
1) Tujuan dan program, yaitu masing-masing kelompok kepentingan
mulai berlomba untuk menginterpretasikan masalah publik yang
dihadapi dan menciptakan tujuan dan desain program yang dapat
diterima sebagai solusi dari masalah publik.
2) Informasi dan analisis yaitu untuk dapat mengidentifikasikan
masalah publik secara cermat, masing-masing kelompok dalam
proses politik ini membutuhkan informasi dan analisis dari para ahli
sehingga, kebijakan yang diambil nantinya dapat berkualitas.
3) Pembangunan alternatif-alternatif yaitu tindak lajut dari
pengumpulan informasi dan analisis maka mulailah dirancang
alternatif-alternatif kebijakan yang diyakini dapat menjadi solusi dari
masalah publik.
4) Advokasi dan pembangunan koalisi, yaitu setelah masing-masing
kelompok kepentingan mengembangkan alternatif-alternatif
kebijakan yang sejauh mungkin memenuhi kaidah rasionalitas.
5) Kompromi, negosiasi dan keputusan yaitu merupakan fase akhir dari
pengambilan kebijakan.
James Anderson dalam Subarsono (2005: 12) menetapkan proses
kebijakan publik sebagai berikut:
1) Formulasi masalah (problem formulation): apa masalanya? Apa yang
membuat masalah tersebut menjadi masalah kebijakan? Bagaimana
masalah tersebut dapat masuk dalam agenda pemerintah?
2) Formulasi kebijakan (formulation): bagaimana pengembangan
pilihan-pilihan atau alternatif-alternatif untuk memecahkan masalah
tersebut? siapa yang berpartisipasi dalam formulasi kebijakan
tersebut?
3) Penentuan kebijakan (adoption): bagaimana alternatif ditetapkan?
Persyaratan atau kriteria apa yang harus dipenuhi? Siapa yang akan
melaksanakan kebijakan? Bagaimana proses atau strategi untuk
melaksanakan kebijakan? Apa isi kebijakan yang telah ditetapkan?
4) Implementasi (implementations): siapa yang terlibat dalam
implementasi kebijakan? Apa yang mereka kerjakan? Apa dampak
dari isi kebijakan?
5) Evaluasi (evaluation): bagaimana tinggkat keberhasilan atau dampak
kebijakan diukur? Siapa yang mengevaluasi kebijakan? Apa
konsekuensi dari adanya evaluasi kebijakan? Adakah tuntutan untuk
melaksanakan perubahan atau pembatalan?
2.2. Konsep Analisis Kebijakan Publik
2.2.1. Teori Analisis Kebijakan Publik
Analisis kebijakan merupakan kajian yang tidak tertutup pada kajian
di sektor publik saja, karena sektor privat pun pada banyak hal
memanfaatkan metode-metode analisis kebijakan untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang dihadapi. (Indiahono, 2009: 1)
Analisis kebijakan adalah sebuah aktivitas yang dilakukan untuk
mendampingi klien dalam menghadapi masalah tertentu, mengenali
masalah, mengembangkan alternatif kebijakan, menilai dan memprediksi
kebijakan serta memberikan rekomendasi kebijakan terbaik untuk
menghadapi masalah yang dihadapi klien tersebut. (Indiahono,2009: 4)
Suatu deskripsi mengenai analisis kebijakan yang disajikan oleh E.S.
Quade (dalam Dunn,2012: 95-96) , mantan Kepala Departemen Matematika
di perusahaan Rand, menyajikan dasar kebijakan untuk mendefisikan
analisis kebijakan. Analisis kebijakan adalah :
“Suatu bentuk analisis yang menghasilkan dan menyajikan informasi
sedemikian rupa sehingga dapat memberi landasan dari para pembuat
kebijakan dalam membuat keputusan.. Dalam analisis kebijakan, kata
analisis digunakan dalam pengertian yang paling umum, termasuk
penggunaan intuisi dan pengungkapan pendapat dan mencakup tidak hanya
pengujian kebijakan dengan memilah-milahkannya ke dalam sejumlah
komponen-komponen tetapi juga perancangan dan sintesis alternatif-
alternatif baru. Kegiatan-kegiatan yang tercakup dapat direntangkan mulai
penelitian untuk menjelaskan atau memberikan pendangan-pandangan
terhadap isu-isu atau masalah-masalah yang terantisipasi sampai
mengevaluasi suatu program yang lengkap. Beberapa analisis kebijakan
bersifat informal, meliputi tidak lebih dari proses berpikir yang keras dan
cermat, sementara lainnya memerlukan pengumpulan data yang ekstensif
dan penghitungan yang teliti dengan menggunakan proses matematis yang
canggih.”
2.2.2. Pendekatan Analisis Kebijakan
William Dunn (2012: 98) terdapat tiga pendekatan dalam analisis kebijakan:
1. Pendekatan Empiris: menjelaskan hubungan sebab akibat dari suatu
kebijakan
2. Pendekatan Valuatif: menilai manfaat (value) dari suatu kebijakan.
3. Pendekatan Normatif: memberikan rekomendasi untuk perumusan
kebijakan mendatang.
2.2.3. Sistem Kebijakan
Analisis kebijakan adalah salah satu diantara sejumlah banyak aktor
lainnya didalam sistem kebijakan. Suatu sistem kebijakan (policy system)
atau seluruh pola institusional di mana di dalamnya kebijakan dibuat,
mencakup hubungan timbal balik diantara tiga unsur, yaitu : kebijakan
publik, pelaku kebijakan, dan lingkugan kebijakan. Kebijakan publik
merupakan rangkaian pilihan yang kurang lebih saling berhubungan
(termasuk keputusan-keutusan untuk tidak bertindak) yang dibuat oleh
badan dan pejabat pemerintah diformulasikan didalam bidang-bidang isu
sejak pertahanan, energi, dan kesehatan sampai ke pendidikan,
kesejahteraan, dan kejahatan. (Dunn,2012: 109)
Suatu kebijakan pada dasarnya berada dalam sistem kebijakan
mencakup hubungan timbal balik diantara tiga unsur yaitu pelaku kebijakan,
kebijakan publik dan lingkungan pelaku yang dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 3.1
Tiga Elemen Sistem Kebijakan
Gambar 1. Hub. Tiga elemen sistem kebijakan publik.
Sumber : William N. Dunn
Definisi dari masalah kebijakan tergantung pada pola keterlibatan
pelaku kebijakan (policy stakeholder) yang khusus, yaitu para individu atau
kelompok individu yang mempunyai andil di dalam kebijakan karena
mereka mempengaruhi dan dipengaruhi oleh keputusan pemerintah. Pelaku
kebijakan, misalnya kelompok warga negara, perserikatan buruh, partai
politik, agen-agen pemerintah, pemimpin terpilih, dan para analis kebijakan
sendri sering menangkap secara berbeda informasi yang sama mengenai
lingkungan kebijakan. Lingkungan kebijakan yaitu konteks khusus dimana
kejadian-kejadian di sekeliling isu terjadi, mempengaruhi dan dipengaruhi
oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik. Oleh karena itu, sistem
kebijakan berisi proses yang bersifat dialektis, yeng berarti bahwa dimensi
obyektif dan subyektif dari pembuatan kebijakan tidak terpisahkan didalam
prakteknya. Sistem kebijakan adalah produk manusia yang subyektif yang
diciptakan melalui pilihan-pilihan yang sadar oleh para pelaku kebijakan.
Sistem kebijakan adalah realitas obyektif yang dimanifestasikan ke dalam
tindakan-tindakan yang teramati berikut konsekuensinya, para pelaku
kebijakan merupakan produk dari sistem kebijakan. (Dunn,2012: 111)
Pelaku kebijakan dalam Pendidikan Khusus atau Sekolah Inklusif
disini adalah Pemerintah, unsur pendidik dan anak berkebutuhan khusus
Pelaku
Kebijakan
Lingkungan Pelaku Kebijakan Publik
(ABK). Lingkungan dapat berupa lingkungan internal yaitu di dalam
sekolah maupun lingkungan eksternal yaitu di luar sekolah, dapat berarti
pula masyarakat sekitar sekolah.
Arah kebijakan pembangunan pendidikan tahun 2017, salah satunya
adalah memastikan rakyat miskin dan kelompok marjinal lebih mudah
mengakses layanan pendidikan dengan memperhatikan keadilan dan
kesetaraan gender. Dalam rangka mencapai arah kebijakan pembangunan
pendidikan yang dimaksud, salah satu alternatif kebijakan yang dipilih
adalah dengan adannya Pendidikan Khusus atau sekolah inklusif. (Sumber:
kemendikbud,2016)
2.2.4. Bentuk-bentuk Analisis Kebijakan
Analisis kebijakan publik berdasarkan kajian kebijakannya dapat
dibedakan antara analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik
tertentu dan sesudah adanya kebijakan publik tertentu. Analisis kebijakan
sebelum adanya kebijakan publik berpijak pada permasalahan publik semata
sehingga hasilnya benar-benar sebuah rekomendasi kebijakan publik yang
baru.
William Dunn (2012: 117-124) membedakan tiga bentuk utama
analisis kebijakan publik, yaitu:
1) Analisis kebijakan prospektif
Analisis Kebijakan Prospektif yang berupa produksi dan transformasi
informasi sebelum aksi kebijakan dimulai dan diimplementasikan. Analisis
kebijakan disini merupakan suatu alat untuk mensintesakan informasi untuk
dipakai dalam merumuskan alternatif dan preferensi kebijakan yang
dinyatakan secara komparatif, diramalkan dalam bahasa kuantitatif dan
kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam pengambilan keputusan
kebijakan.
2) Analisis kebijakan retrospektif
Analisis Kebijakan Retrospektif adalah sebagai penciptaan dan
transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan, mencakup
berbagai tipe kegiatan yang dikembangkan oleh tiga kelompok analis:
1. Analisis yang berorientasi pada disiplin (Discipline- oriented analysts)
(Kajian murni berdasarkan disiplin ilmu)
Mengembangkan dan menguji teori yang didasarkan pada teori dan
menerangkansebab-sebab dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan.
2. Analisis yang berorientasi pada masalah (Problem-oriented analysts)
(Kajian sebab dan konsekuensi kebijakan terhadap masalah kebijakan)
Menerangkan sebab-sebab dan konsekuensi dari kebijakan, dan kurang
menaruh perhatian pada pengembangan dan pengujian teori-teori yang
dianggap penting didalam disiplin ilmu sosial, menaruh perhatian pada
identifikasi variabel-variabel yang dapat dimanipulasi oleh para pembuat
kebijakan untuk mengatasi masalah.
3. Analisis yang berorientasi pada aplikasi (application-oriented analysts)
(Kajian implementasi kebijakan sampai pada sejauh mana outcome
danmanfaat kebijakan, concern terhadap pencapaian tujuan dan objektif
daripolicy makers dan stakeholders)
Menerangkan sebab dan konsekuensi kebijakan-kebijakan dan program
publik, tidak menaruh perhatian terhadap pengembangan dan pengujian
teori-teori dasar.
Analisis retrospektif memberikan penekanan utamanya pada hasil-
hasil aksi dan tidak berisi informasi mengenai tujuan-tujuan dan sasaran
kebijakan, seperti yang terdapat pada analisis prospektif. Analisis
retrospektif merupakan yang paling penting didalam pengaruhnya
terhadap prioritas dan pemahaman intelektual, dan tidak begitu efektif
dalam menawarkan solusi terhadap masalah-masalah politik yang
spesifik.
3) Analisis kebijakan yang terintegrasi
Analisis Kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang
mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian
pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan
kebijakan diambil. Analisis kebijakan yang terintegrasi tidak hanya
mengharuskan para analis untuk mengkaitkan tahap penyelidikan
retrospektif dan perspektif, tetapi juga menuntut para analis untuk terus
menerus menghasilkan dan mentransformasikan informasi setiap saat.
Analis yang terintegrasi bersifat terus-menerus, berulang-ulang, tanpa
ujung, paling tidakdalam prinsipnya. Analisis dapat memulai penciptaan
dan transformasi informasi padasetiap titik dari lingkaran analisis, baik
sebelum atau sesudah aksi.
2.2.5. Metodologi dan Prosedur Analisis Kebijakan
Metodologi analisis kebijakan adalah prosedur umum untuk
menghasilkan dan mentransformasikan informasi yang relevan dengan
kebijakan dalam berbagai konteks. Proses analisis kebijakan adalah
serangkaian aktivitas intelektual yang dilakukan didalam proses kegiatan
yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut dijelaskan
sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai
serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan
waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan,
implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. (Dunn, 2012: 22)
Gambar 3.2
Proses Analisis Kebijakan
Sumber : Wiliiam N Dunn
Penggunaan prosedur analisis kebijaksanaan (seperti perumusan
masalah, peramalan, pemantauan, evaluasi, rekomendasi) memungkinkan
analis mentransformasikan satu tipe informasi lainnya. Komponen-
komponen informasi kebijakan (seperti masalah-masalah kebijakan, masa
depan kebijakan, aksi kebijakan, hasil kebijakan, kinerja kebijakan)
ditransformasikan dari satu ke yang lainnya dengan menggunakan prosedur
analisis kebijakan. Seluruh proses diatur melalui perumusan masalah yang
diletakkan pada pusat kerangka kerja.
2.3. Konsep Implementasi Kebijakan Publik
2.3.1. Teori Implementasi Kebijakan
Van Meter dan Van Horn dalam Winarno (2008:146-147)
mendefinisikan implementasi kebijakan publik sebagai berikut:
“Tindakan-tindakan dalam keputusan-keputusan sebelumnya.
Tindakan-tindakan tersebut mencakup usaha-usaha untuk mengubah
keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam
kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha
untuk mencapai perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh
keputusan-keputusan kebijakan yang dilakukan oleh organisasi publik
yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.
Adapun makna implementasi menurut Daniel A. Mazmanian dan Paul
Sabatier dalam Wahab (2008:65) mengatakan bahwa:
“Implementasi adalah memahami apa yang senyatanya terjadi
sesudah suatu program dinyatakan berlaku atau dirumuskan
merupakan fokus perhatian implementasi kebijaksanaan yakni
kejadian-kejadian dan kegiatan-kegiatan yang timbul sesudah
disahkannya pedoman-pedoman kebijaksanaan Negara yang
mencakup baik usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun
untuk menimbulkan akibat/dampak nyata pada masyarakat atau
kejadian-kejadian.
Tahapan implementasi melibatkan seluruh stakeholder yang ada, baik
sektor swasta maupun publik secara kelompok maupun individual.
Implementasi kebijakan meliputi tiga unsur yakni tindakan yang diambil
oleh badan atau lembaga administratif; tindakan yang mencerminkan
ketaatan kelompok targetserta jejaring sosial politik dan ekonomi yang
memengaruhi tindakan para stakeholder tersebut. Interaksi ketiga unsur
tersebut pada akhirnya akan menimbulkan dampak baik dampak yang
diharapkan maupun dampak yang tidak diharapkan.
Hasil akhir implementasi kebijakan paling tidak terwujud dalam
beberapa indikator yakni hasil atau output yang biasanya terwujud dalam
bentuk konkret semisal dokumen, jalan, orang, lembaga, keluaran atau
outcome yang biasanya berwujud rumusan target semisal tercapainya
pengertian masyarakat atau lembaga,manfaat yang wujudnya beragam, dan
dampak baik yang diinginkan maupun yang tak diinginkan serta kelompok
targetbaik individu maupun kelompok.
2.3.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan Publik
Keberhasilan implementasi kebijakan akan ditentukan oleh banyak
faktor dan masing-masing faktor tersebut saling berhubungan satu sama
lain. Untuk memperkaya pemahaman mengenai berbagai faktor yang
terlibat di dalam implementasi, maka beberapa teori implementasi menurut
para ahli yaitu :
Edward III dalam Subarsono (2011: 90-92) berpandangan bahwa
implementasi kebijakan dipengaruhi oleh empat variabel, yaitu:
a) Komunikasi, yaitu keberhasilan implementasi kebijakan mensyaratkan
agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan, dimana yang
menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada
kelompok sasaran (target group), sehingga akan mengurangi distorsi
implementasi.
b) Sumberdaya, meskipun isi kebijakan telah dikomunikasikan secara jelas
dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk
melaksanakan, maka implementasi tidak akan berjalan efektif.
c) Disposisi, adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh
implementor, seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis.
d) Struktur Birokrasi, bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan.
Teori Grindle dalam Wibawa (1994: 22-23) ditentukan oleh isi
kebijakan dan konteks implementasinya. Isi kebijakan tersebut mencakup
hal-hal berikut:
a. Jenis manfaat yang akan dihasilkan.
b. Derajat perubahan yang diinginkan.
c. Kedudukan pembuat kebijakan.
d. (Siapa) pelaksana program.
e. Sumber daya yang dihasilkan.
Menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Subarsono (2011: 94) ada
tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi,
yakni karakteristik dari masalah (tractability of the problems), karakteristik
kebijakan/undang-undang (ability of statute to structure implementation)
dan variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementation).
Menurut Meter dan Horn dalam Subarsono (2011: 99) ada lima
variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni standar dan
sasaran kebijakan, sumberdaya, komunikasi antarorganisasi dan penguatan
aktivitas, karakteristik agen pelaksana dan kondisi sosial, ekonomi dan
politik.
2.3.3. Model-model Implementasi Kebijakan Publik
Grindle (1980: 6-10) memperkenalkan model implementasi
sebagai proses politik dan administrasi. Model tersebut menggambarkan
proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh beragam aktor,
dimana keluaran akhirnya ditentukan oleh baik materi program yang
telah dicapai maupun melalui interaksi para pembuat keputusan dalam
konteks politik administratif.
Gambar 3.3
Model Implementasi Grindle
Sumber : Grindle
Pada gambar diatas, terlihat bahwa suatu kebijakan memiliki tujuan
yang jelas sebagai wujud orientasi nilai kebijakan. Tujuan implementasi
kebijakan diformulasi ke dalam program aksi dan proyek tertentu yang
dirancang dan dibiayai. Program dilaksanakan sesuai dengan rencana.
Implementasi kebijakan atau program secara garis besar dipengaruhi oleh
isi kebijakan dan konteks implementasi. Keseluruhan implementasi
kebijakan dievaluasi dengan cara mengukur luaran program berdasarkan
tujuan kebijakan. Luaran program dilihat melalui dampaknya terhadap
sasaran yang dituju baik individu dan kelompok maupun masyarakat.
Luaran implementasi kebijakan adalah perubahan dan diterimanya
perubahan oleh kelompok sasaran.
Selain model implementasi kebijakan di atas Van Meter dan Van
Horn mengembangkan Model Proses Implementasi Kebijakan. (Tarigan,
2000: 20). Keduanya meneguhkan pendirian bahwa perubahan, kontrol
dan kepatuhan dalam bertindak merupakan konsep penting dalam
prosedur implementasi. Keduanya mengembangkan tipologi kebijakan
menurut: (i) jumlah perubahan yang akan dihasilkan, dan (ii)
jangkauan atau ruang lingkup kesepakatan mengenai tujuan oleh
berbagai pihak yang terlibat dalam proses implementasi.
Gambar 3.4
Model Kesesuaian Implementasi Kebijakan
PROGRAM
Output Tugas
Kebutuhan Kompetensi
PEMANFAAT ORGANISASI
Tuntutan Putusan
Menurut model kesesuaian implementasi kebijakan yang di
kembangkan oleh Korten diatas, dapat dikatakan bahwa suatu program akan
berhasil dilaksanakan jika terdapat kesesuaian dari tiga unsur
implementasi program. Pertama, kesesuaian antara program dengan
pemanfaat, yaitu kesesuaian antara apa yang ditawarkan oleh program
dengan apa yang dibutuhkan oleh kelompok sasaran (pemanfaat).
Kedua, kesesuaian antara program dengan organisasi pelaksana, yaitu
kesesuaian antara tugas yang disyaratkan oleh program dengan
kemampuan organisasi pelaksana. Ketiga, kesesuaian antara kelompok
pemanfaat dengan organisasi pelaksana, yaitu kesesuaian antara syarat
yang diputuskan organisasi untuk dapat memperoleh output program
dengan apa yang dapat dilakukan oleh kelompok sasaran program.
Namun, menurut Imronah (2017: 1098) pola yang dikembangkan
Korten, dapat dipahami sebagai berikut:
“Jika tidak terdapat kesesuaian antara tiga unsur implementasi
kebijakan, kinerja program tidak akan berhasil sesuai dengan apa
yang diharapkan. Jika output program tidak sesuai dengan
kebutuhan kelompok sasaran jelas outputnya tidak dapat
dimanfaatkan. Jika organisasi pelaksana program tidak memiliki
kemampuan melaksanakan tugas yang disyaratkan oleh program
maka organisasinya tidak dapat menyampaikan output program
dengan tepat. Atau, jika syarat yang ditetapkan organisasi
pelaksana program tidak dapat dipenuhi oleh kelompok sasaran
maka kelompok sasaran tidak mendapatkan output program. Oleh
karena itu, kesesuaian antara tiga unsur implementasi kebijakan
mutlak diperlukan agar program berjalan sesuai dengan rencana
yang telah dibuat.”
Dengan memahami model-model implementasi pada dasarnya dapat
dibuat pemetaan model-model implementasi dalam dua jenis pemilahan
pemilahan pertama adalah implementasi kebijakan yang berpola dari Top
Down dan sebaliknya Bottom Up. (Dewi,2015: 3-4)
Menurut Sabatier (1986: 21-48), terdapat dua model yang berpacu
dalam tahap implementasi kebijakan, yakni model top down dan model
bottom up. Kedua model ini terdapat pada setiap proses pembuatan
kebijakan. Model elit, model proses dan model inkremental dianggap
sebagai gambaran pembuatan kebijakan berdasarkan model top down.
Sedangkan gambaran model bottom up dapat dilihat pada model
kelompok dan model kelembagaan.
1. Implementasi Sistem Rasional (Top-Down)
Pendekatan ini menggunakan logika berpikir dari „atas‟ kemudian
melakukan pemetaan „ke bawah‟ untuk melihat keberhasilan atau
kegagalan suatu implementasi kebijakan. Contoh model implementasi
Top-Down adalah: Mazmanian dan Sabatier; van Meter dan van Horn;
Edward III dan Grindle.
Tahapan kerja dlm pendekatan TopDown adalah sebagai berikut:
1) Memilih kebijakan yang akan dikaji.
2) Mempelajari dokumen kebijakan yang ada untuk dapat
mengidentifikasi tujuan dan sasaran kebijakan yang secara formal
tercantum dalam dokumen kebijakan.
3) Mengidentifikasi bentuk-bentuk keluaran kebijakan yang digunakan
sebagai instrumen untuk mencapai tujuan dan sasaran kebijakan.
4) Mengidentifikasi apakah keluaran kebijakan telah diterima oleh oleh
kelompok sasaran dengan baik (sesuai dengan SOP) yang ada.
5) Mengidentifikasi apakah keluaran kebijakan memiliki manfaat bagi
kelompok sasaran.
6) Mengidentifikasi apakah muncul dampak setelah kelompok sasaran
memanfaatkan keluaran kebijakan.
2. Implementasi Kebijakan Bottom Up
Pendekatan bottom up dipelopori oleh Elmore (1978), Lipsky (1971),
Berman (1978), Herjn dan Porter (1978). Fokus perhatian pendekatan
bottom up adalah pada peran street level birokrat dan kelompok sasaran.
Pendekatan bottom up percaya bahwa implementasi akan berhasil jika
kelompok sasaran dilibatkan dari awal mulai proses sampai
implementasi kebijakan.
Langkah-langkah dalam pendekatan bottom up adalah sebagai berikut :
1) Memetakan stakeholders yang terlibat dalam implementasi kebijakan
pada level terbawah.
2) Mencari informasi dari para aktor tersebut tentang pemahaman
terhadap kebijakan.
3) Memetakan keterkaitan antar aktor pada level terbawah dengan aktor
pada level diatasnya.
4) Peneliti bergerak ke atas dengan memetakan aktor pada level yang
lebih tinggi dengan mencari format yang sama.
5) Pemetaan dilakukan terus sampai pada level tertinggi.
2.4. Policy Evaluation (Evaluasi Kebijakan)
2.4.1. Konsep Evaluasi Kebijakan Publik
Suatu kebijakan yang telah dilaksanakan pemerintah hendaknya perlu
dievaluasi. Evaluasi dilakukan karena tidak semua kebijakan publik dapat
memperoleh hasil atau dampak yang diinginkan oleh para pembuat
kebijakan.
Seperti yang diungkapkan oleh Lester dan Stewart dalam Winarno
(2008:226), secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai
kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang
mencakup substansi, implementasi dan dampak.
Menurut William Dunn (1998:608), mengartikan istilah evaluasi
sebagai berikut:
“Istilah evaluasi dapat disamakan dengan penaksiran (appraisal),
pemberian angka (rating), dan penilaian (assessment), kata-kata yang
menyatakan usaha untuk menganalisis hasil kebijakan dalam arti
satuan nilainya”. Lebih lanjut, Dunn mengemukakan bahwa dalam arti
yang lebih spesifik, evaluasi berkenaan dengan produksi informasi
mengenai nilai atau manfaat hasil kebijakan.”
Evaluasi kebijakan bermaksud untuk mengetahui empat aspek,
sebagaimana dikemukakan oleh Wibawa (1994) yaitu: aspek proses
pembuatan kebijakan, aspek proses implementasi, aspek konsekuensi
kebijakan dan aspek efektifitas dampak kebijakan.
(http://eprints.uny.ac.id./2016)
Keempat aspek pengamatan ini dapat mendorong seorang evaluator
untuk secara khusus mengevaluasi isi kebijakan, baik pada dimensi hukum
dan terutama kelogisannya dalam mencapai tujuan, maupun konteks
kebijakan, kondisi lingkungan yang mempengaruhi seluruh proses
kebijakan. Lebih lanjut, evaluasi terhadap aspek kedua disebut sebagai
evaluasi implementasi, sedangkan evaluasi terhadap aspek ketiga dan
keempat disebut evaluasi dampak kebijakan.
Berdasarkan beberapa definisi di atas mengenai evaluasi kebijakan
publik dapat dipahami bahwa evaluasi kebijakan merupakan penilaian
terhadap program yang dilakukan oleh pemerintah. Evaluasi kebijakan
publik perlu dilakukan untuk melihat apakah program tersebut meraih hasil
yang diinginkan dan sudah mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkan atau
belum.
2.4.2. Model Evaluasi Kebijakan Publik
Menurut House dalam Ilham (2014: 14) mengemukakan beberapa
Model Evaluasi Kebijakan Publik yang terdiri dari:
1. The Adversary Model, para evaluator dikelompokkan menjadi dua,
yang pertama bertugas menyajikan hasil evaluasi program yang
positif, hasil dampak kebijakan yang efektif dan baik, tim kedua
berperan untuk menemukan hasil evaluasi program negatif, tidak
efektif, gagal dan yang tidak tepat sasaran.
2. The Transaction Model, Model ini memperhatikan penggunaan
metode studi kasus, bersifat naturalistik dan terdiri dua jenis, yaitu :
evaluasi responsif (responsive evaluation) yang dilakukan melalui
kegiatan - kegiatan secara informal, berulang-ulang agar program
yang telah direncanakan dapat digambarkan dengan akurat dan
evaluasi iluminativ (illuminativ evaluation) bertujuan untuk mengkaji
program inovatif dalam rangka mendeskripsikan dan
menginterpretasikan pelaksanaan suatu program atau kebijakan.
3. Good Free Model, model evaluasi ini bertujuan untuk mencari dampak
aktual dari suatu kebijakan, dan bukan hanya sekedar untuk
menentukan dampak yang diharapkan sesuai dengan ditetapkan dalam
program.
2.4.3. Sifat Evaluasi Kebijakan Publik
William Dunn (2012: 608-609) mengemukakan bahwa dalam
pelaksanaan evaluasi akan menghasilkan tuntutan-tuntutan yang bersifat
evaluatif. Evaluasi mempunyai perbedaan karakteristik yang
membedakannya dari metode-metode analisis kebijakan seperti:
a. Fokus nilai.
Evaluasi merupakan usaha untuk mengetahui manfaat dan kegunaan
sosial dari kebijakan atau program yang dilakukan pemerintah, dan
bukan sekedar untuk mengumpulkan informasi mengenai hasil aksi
kebijakan yang terantisipasi dan tidak terantisipasi.
b. Interdependensi Fakta-Nilai.
Untuk mengetahui tingkat keberhasilan kebijakan tidak hanya
didasarkan pada kepuasan sejumlah individu, kelompok, atau seluruh
masyarakat. Tetapi harus didukung oleh bukti- bukti yang menunjukkan
hasil-hasil kebijakan secara aktual yang merupakan konsekuensi dari
aksi-aksi yang dilakukan dalam pemecahan masalah. Dalam hal ini,
pemantauan atas pelaksanaan kebijakan menjadi prasyarat bagi
evaluator dalam melakukan evaluasi kebijakan.
c. Orientasi Masa Kini dan Masa Lampau.
Evaluasi bersifat retrospektif dan setelah aksi-aksi dilakukan (ex post)
dan bersifat prospektif dan dibuat sebelum aksi-aksi dilakukan (ex
ante). Berdasarkan sifat-sifat evaluasi itu, maka tuntutan atas evaluasi
itu sendiri diarahkan untuk mengetahui pada hasil sekarang dan masa
lalu.
d. Dualitas nilai.
Nilai-nilai yang mendasari tuntutan terhadap adanya evaluasi
mempunyai kualitas ganda karena nilai-nilai itu dipandang sebagai
tujuan sekaligus dipandang sebagai sebuah cara. Dalam hal ini,
penataan nilai-nilai dalam suatu hierarki akan dapat merefleksikan
kepentingan relatif dan saling ketergantungan antar tujuan dan sasaran.
2.4.4. Fungsi Evaluasi
Evaluasi kebijakan sangat penting dalam menilai suatu kebijakan
publik. Karena evaluasi memiliki fungsi yang membuat suatu kebijakan
perlu untuk dievaluasi. Dalam analisis kebijakan, William Dunn (2012: 609-
611) mengemukakan bahwa evaluasi memiliki beberapa fungsi penting
antara lain:
a. Evaluasi memberikan informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai
kinerja kebijakan, yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan
serta tujuan yang telah dicapai melalui tindakan publik.
b. Evaluasi memberi sumbangan terhadap klarifikasi dan kritik terhadap
nilai-nilai yang mendasari pemilihan tujuan dan target dalam kebijakan
publik. Nilai diperjelas dengan mendefinisikan dan mengoperasikan
tujuan dan target. Dalam menanyakan kepantasan tujuan dan sasaran,
analisis dapat menggunakan alternatif sumber nilai maupun landasan
dalam bentuk rasionalisme.
c. Evaluasi memberi sumbangan pada aplikasi metode-metode analisis
kebijakan lainnya, termasuk dalam perumusan masalah maupun
rekomendasi pemecahan masalah. Evaluasi dapat pula menyumbang
pada definisi alternatif kebijakan baru atau revisi terhadap kebijakan
dengan menunjukan bahwa kebijakan yang telah ada perlu diganti atau
diperbaharui.
2.5. Konsep Pendidikan
Menurut Sir Godfrey Thomson, Pendidikan adalah pengaruh
lingkungan atas individu untuk menghasilkan perubahan yang tetap
(permanen) didalam kebiasaan-kebiasaan tingkah lakunya, pikirannya, dan
sikapnya. (Fattah,2013: 38)
Menurut Cow and Crow dalam Fattah (2013: 39) menyatakan bahwa:
“Fungsi pendidikan harus dikenali sebagai panduan bagi pembelajar,
pada keseluruhan tahapan keinginan, kebutuhan, dan potensinya yang
akan memastikan dirinya suatu kepuasan pribadi dan pola hidup sosial
yang diharapkan.”
Hal ini ditegaskan dalam Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang
Sisdiknas yang menyatakan bahwa:
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiiki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa, dan negara.”
Berdasarkan definisi yang dikemukakan tersebut pendidikan
mengandung tujuan yang ingin dicapai, yaitu individu yang kemampuan-
kemampuan dirinya berkembang sehingga bermanfaat untuk kepentingan
hidupnya sebagai seorang individu, maupun sebagai warga negara atau
warga masyarakat. Kemudian untuk mencapai tujuan tersebut, pendidikan
perlu melakukan usaha yang disengaja dan terencana dalam memilih materi,
strategi kegiatan dan teknik penilaian yang sesuai. Kegiatan tersebut dapat
diberikan dalam lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat, pendidikan
formal dan pendidikan non formal.
2.6. Konsep Kebijakan Pendidikan
Studi tentang perbandingan kebijakan pendidikan diawali dengan
rencana reformasi pendidikan dari berbagai negara yang secara
menakjubkan memiliki persamaan.
Menurut Halpin dalam Fattah (2013:144) menyarankan perlunya riset
tentang kebijakan pendidikan dengan asumsi bahwa ciri dari kebijakan
pendidikan “meminjam, permodelan, pemindahan, penyesuaian difusi, dan
peniruan.”
Dalam pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa salah satu tujuan
pemerintah Republik Indonesia adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan
untuk itu setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan
yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa
memandang status sosial, ras, etnis, agama, dan gender.
Pemerataan dan mutu pendidikan akan membantu warga negara
Indonesia memiliki keterampilan hidup sehingga kemampuan untuk
mengenal dan mengatasi masalah diri dan lingkungannya, mendorong
tegaknya masyarakat madani dan modern yang dijiwai nilai-nilai pancasila.
Menurut Fattah (2013:158) menyatakan bahwa pembangunan sistem
pendidikan nasional adalah suatu usaha yang bertujuan untuk mewujudkan
masyarakat Indonesia yang berkualitas, maju, mandiri, dan modern.
Pembangunan pendidikan merupakan bagian penting dari upaya menyeluruh
dan sungguh-sungguh untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa.
Sistem pendidikan nasional dibangun dengan berpedoman pada
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU No. 20 Tahun 2003)
yang mengatur semua aspek sistem, seperti peserta didik, tenaga pendidik,
kelembagaan, pengelolaan, pembiayaan, bidang keahlian, jalur, jenjang, dan
jenis pendidikan dan lain-lain yang harus dijalankan dalam prinsip keadilan
dan menjunjung tinggi hak-hak dasar warga negara seperti tercantum dalam
UUD 1945.
Kebijakan Pendidikan menurut Riant Nugroho dalam kajian teori (2013)
adalah sebagai berikut:
“Bagian dari kebijakan publik, yaitu kebijakan publik di bidang
pendidikan. Dengan demikian, kebijakan pendidikan harus sebangun
dengan kebijakan publik dimana konteks kebijakan publik secara
umum, yaitu kebijakan pembangunan, maka kebijakan merupakan
bagian dari kebijakan publik. Kebijakan pendidikan di pahami sebagai
kebijakan di bidang pendidikan, untuk mencapai tujuan pembangunan
Negara Bangsa di bidang pendidikan, sebagai salah satu bagian dari
tujuan pembangunan Negara Bangsa secara keseluruhan.
Kebijakan pendidikan menurut Arif Rohman (2009) merupakan bagian
dari kebijakan Negara atau kebijakan publik pada umumnya. kebijakan
pendidikan merupakan kebijakan publik yang mengatur khusus regulasi
berkaitan dengan penyerapan sumber, alokasi dan distribusi sumber, serta
pengaturan perilaku dalam pendidikan. Kebijakan pendidikan (educational
policy) merupakan keputusan berupa pedoman bertindak baik yang bersifat
sederhana maupun kompleks, baik umum maupun khusus, baik terperinci
maupun longgar yang dirumuskan melalui proses politik untuk suatu arah
tindakan, program, serta rencana-rencana tertentu dalam menyelenggarakan
pendidikan. (kajianteori.com,2013)
Berdasarkan pada beberapa pendapat mengenai kebijakan pendidikan
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian kebijakan pendidikan
merupakan suatu sikap dan tindakan yang di ambil seseorang atau dengan
kesepakatan kelompok pembuat kebijakan sebagai upaya untuk mengatasi
masalah atau suatu persoalan dalam dunia pendidikan.
2.7. Tinjauan umum tentang Pendidikan inklusif dan Pendidikan khusus
2.7.1. Pengertian Pendidikan inklusif
Banyak pendapat yang berbeda-beda tentang pengertian inklusif, yang
mana inklusif adalah istilah terbaru yang dipergunakan untuk
mendeskripsikan penyatuan bagi anak-anak berkelainan (penyandang
hambatan/cacat) ke dalam program-program sekolah. Inklusif berasal dari
kata bahasa Inggris yaitu inclusion. Bagi sebagian besar pendidik, istilah ini
dilihat sebagai deskripsi yang lebih positif dalam usaha-usaha menyatukan
anak-anak yang memiliki hambatan dengan cara-cara yang realistis dan
kompeherensif dalam kehidupan pendidikan yang menyeluruh.
(Smith,2006: 6)
Inklusif dapat berarti bahwa tujuan pendidikan bagi siswa memiliki
hambatan adalah, keterlibatan yang sebenarnya dari tiap anak dalam
kehidupan sekolah yang menyeluruh. Inklusif dapat berarti penerimaan
anakanak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan,
interaksi sosial dan konsep diri (visi-misi) sekolah. Sedangkan menurut
Shapon-Shevin bahwasanya pendidikan inklusi adalah system layanan
pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di
sekolah terdekat, di kelas regular bersama-sama teman seusianya.
(Direktorat PLB.2004: 9)
2.7.2. Hakikat dan Tujuan Pendidikan Inklusif
Menurut Direktorat PLB (2004) menyatakan bahwa hakikat
pendidikan inklusi terdiri dari 2, yaitu:
a. Pendidikan inklusi adalah penggabungan pendidikan regular dan
pendidikan khusus ke dalam satu system persekolahan yang dipersatukan
untuk mempertemukan perbedaan kebutuhan semua.
b. Pendidikan inklusi bukan sekedar metode atau pendekatan pendidikan
melainkan suatu bentuk implementasi filosofi yang mengakui
kebhinekaan antar manusia yang mengemban misi tunggal untuk
membangun kehidupan bersama yang lebih baik. Tujuan pendidikan
inklusi adalah disamping untuk mensukseskan wajib belajar pendidikan
dasar juga untuk menyamakan hak dalam memperoleh pendidikan antara
anak normal dengan anak berkebutuhan khusus.
Selain itu, Direktorat PLB juga menyatakan tujuan dari
diselenggarakannya Pendidikan inklusif di Indonesia yaitu sebagai berikut:
1. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak
(termasuk anak berkebutuhan khusus) mendapatkan pendidikan yang
layak sesuai dengan kebutuhannya.
2. Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar
3. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan
menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah
4. Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman,
tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran
5. Memenuhi amanat Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Ps. 32 ayat 1
yang berbunyi “setiap warga negara negara berhak mendapat
pendidikan”, dan ayat 2 yang berbunyi “setiap warga negara wajib
mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.”
2.7.3. Landasan Pendidikan Inklusif
a. Landasan Filosofis
Bhineka Tunggal Ika yaitu pengakuan Ke-bhinekaan antar manusia yang
mengemban misi tunggal untuk membangun kehidupan bersama yang lebih
baik. Bertolak dari filosofi Bhineka Tunggal Ika, kelainan (kecacatan)
hanyalah suatu bentuk Kebhinekaan seperti halnya perbedaan suku, ras,
bahasa, budaya atau agama. Di dalam individu berkelainan pastilah dapat
ditemukan keunggulan-keunggulan tertentu, sebaliknya di dalam individu
anak normal maupun anak berbakat pasti terdapat juga kecacatan tertentu,
karena tidak ada makhluk yang diciptakan sempurna. Kelainan tidak
memisahkan peserta didik satu dengan yang lainnya. Hal ini harus
diwujudkan dalam sistem pendidikan. Sistem pendidikan harus
memungkinkan terjadinya pergaulan dan interaksi antar siswa yang
beragam, sehingga mendorong sikap yang penuh toleransi dan saling
menghargai.
b. Landasan Religi
1) Manusia sebagai khalifah Tuhan di muka bumi.
2) Manusia diciptakan sebagai makhluk yang individual differences agar
dapat saling berhubungan dalam rangka saling membutuhkan,
sebagaimana firman Allah SWT (QS. Al-Hujurat: 13) yang berbunyi:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa -
bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
c. Landasan Yuridis
1) Declaration of Human Right (1948)
2) Convention of Human Right of the Child (1989)
3) Kebijakan global Education for All oleh UNESCO (1990)
4) Kesepakatan UNESCO di Salamanca tentang Inclusive
Education (1994). Deklarasi ini sebenarnya penegasan kembali
atas deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan berbagai
deklarasi lanjutan yang berujung pada peraturan standar PBB
tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu
berkelainan memperoleh pendidikan sebagai bagian dari sistem
pendidikan yang ada.
5) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 (1) yang berbunyi: bahwa
setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama
memperoleh pendidikan.
6) Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, Pasal 4 (1) dinyatakan bahwa: pendidikan di negeri ini
diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak
diskriminatif dengan menjunjung tinggi HAM, nilai keagamaan,
nilai kultural dan kemajemukan bangsa. Pasal 5 (2) menyatakan
warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental
dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
7) Dalam penjelasan pasal 15 dinyatakan bahwa penyelenggaraan
pendidikan khusus tersebut dilakukan secara inklusif atau berupa
satuan pendidikan khusus. 7 Pasal 11 menyatakan bahwa;
pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan
dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan
yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
d. Landasan Pedagogic
Pada hakekatnya pendidikan adalah usaha sadar untuk mengembangkan
kepribadian dan kemampuan anak didik di dalam dan di luar sekolah yang
berlangsung seumur hidup. (Sumber: digilib.uinsby.ac.id.05/12/2016)
Jelaslah melalui rumusan tersebut bahwa hakekatnya pendidikan itu
perlu atau dibutuhkan oleh siapa saja dan dimana saja. Pada Undang-
Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 disebutkan bahwa tujuan pendidikan
nasional adalah untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk watak
serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Jadi,
melalui pendidikan berkebutuhan khusus atau berkelainan dibentuk menjadi
manusia yang bertanggung jawab dan menjadi warga negara yang
demokratis yaitu individu yang mampu menghargai perbedaan dan
berpartisipasi dalam masyarakat.
2.7.4. Proses Pembelajaran Pendidikan Inklusif
Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas inklusif secara umum
sama dengan pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar di kelas reguler.
Namun demikian, karena di dalam kelas inklusif di samping terdapat anak
normal juga terdapat anak luar biasa yang mengalami
kelainan/penyimpangan (baik fisik, intelektual, sosial, emosional dan
sensoris neurologist) dibanding anak normal.
Menurut Direktorat PLB (2004: 28) dalam kegiatan belajar mengajar,
guru yang mengajar di kelas inklusif dalam menggunakan strategi, media
dan metode harus disesuaikan dengan masing-masing kelainan anak
berkelainan. Yang perlu dilakukan dalam pelaksanaan kegiatan belajar-
mengajar di kelas inklusif antara lain
a. Merencanakan Kegiatan Belajar-Mengajar.
1) Merencanakan Pengelolaan Kelas.
2) Merencanakan Pengorganisasian Bahan.
3) Merencanakan Pengelolaan Kegiatan Belajar Mengajar.
4) Merencanakan Penggunaan Sumber Belajar.
5) Merencanakan Penilaian.
b. Melaksanakan Kegiatan Belajar-Mengajar.
1) Berkomunikasi Dengan Siswa.
2) Mengimplementasikan Metode, Sumber Belajar dan Bahan Latihan
yang sesuai dengan Tujuan.
3) Mendorong Siswa untuk Terlibat Secara Aktif.
4) Mendemonstrasikan Penguasaan Materi.
5) Mengelola Waktu, Ruang, Bahan dan Perlengkapan Pengajaran.
6) Melakukan Evaluasi.
c. Membina Hubungan Antar Pribadi.
1) Bersikap Terbuka, Toleran dan Simpati terhadap Siswa.
2) Menampilkan Kegairahan Kesungguhan.
3) Mengelola Interaksi Antar Pribadi.
2.7.5. Deskripsi Teori Pendidikan Khusus
Dalam konsep pendidikan kebutuhan khusus semua anak termasuk
anak penyandang cacat dipandang sebagai individu yang unik. Setiap
individu anak memiliki perbedaan dalam perkembangan dan memiliki
kebutuhan khusus yang berbeda pula. Anak-anak penyandang cacat
memiliki hambatan perkembangan dan hambatan belajar akibat dari
kecacatan yang dimilikinya. (Sumber: file.upi.edu.29/10/2016)
Oleh karena itu fokus utama dari pendidikan kebutuhan khusus adalah
hambatan belajar dan kebutuhan anak secara individual. Pendidikan
kebutuhan khusus memandang anak berkebutuhan khusus (ABK) sebagai
individu yang khas dan utuh, keragaman dan perbedaan individu sangat
dihormati.
Konsep pendidikan kebutuhan khusus (special needs education)
melihat kebutuhan anak dari spektrum yang sangat luas, yaitu bahwa setiap
anak memiliki kebutuhan yang bersifat khusus, oleh karena itu anak
berkebtuhan khusus meliputi dua kategori yaitu anak berkebutuhan khusus
yang bersifat sementara (temporary special needs) dan anak kebutuhan
khusus yang bersifat menetap (permanently special needs). Anak
berkebutuhan khusus temporer/sementra (temporary special needs) adalah
anak-anak yang mengalami hambatan akibat dari faktor-faktor lingkungan
seperti: (1) anak mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri akibat
sering menerima kekerasan dalam rumah tangga, (2) mengalami kesulitan
konsentrasi karena sering diperlakukan kasar oleh orang tuanya, (3)
mengalami kesulitan kumulatif dalam membaca dan berhitung akibat
kekeliruan guru dalam mengajar atau (4) anak-anak yang mengalami trauma
akibat dari bencana alam yang mereka alami. Anak- anak sepeti ini
memerlukan bantuan khusus untuk mengatasi hambatan-hambatan yang
dialaminya. (Sumber: file.upi.edu.29/10/2016)
2.7.6. Fungsi Pendidikan Kebutuhan Khusus
Pendidikan kebutuhan khusus sebagai disiplin ilmu mempunyai tiga
fungsi yaitu:
1. Fungsi preventif adalah upaya pencegahan agar tidak muncul
hambatan belajar dan hambatan perkembangan akibat dari
kebutuhan khusus tertentu. Hambatan belajar pada anak dapat
disebabkan oleh tiga faktor yaitu:
(a) Akibat faktor lingkungan. Seorang anak dapat mengalami
hambatan belajar karena bisa disebabkan oleh kurikulum yang
terlalu padat, kesalahan guru dalam mengajar, anak yang
terpaksa harus bekerja mencari nafkah, trauma karena bencana
alam/perang, anak yang diperlakukan kasar di rumah dsb.
Fungsi preventif pendidikan kebutuhan khusus adalah mencegah
agar faktor-faktor lingkungan tidak menyebabkan munculnya
hambatan belajar.
(b) Akibat faktor dari dalam diri anak itu sendiri. Misalnya seorang
anak yang kehilangan fungsi penglihatan atau kehilangan fungsi
pendengaran yang dibawa sejak lahir, kondisi seperti itu
dipandang sebagai hambatan belajar yang berasal dari dalam diri
anak itu sendiri. Fungsi preventif pendidikan kebutuhan khusus
dalam hubungannya dengan kondisi seperti ini adalah mencegah
agar kehilangan fungsi penglihatan atau pendengaran itu tidak
berdampak buruk dan lebih luas kepada aspek-aspek
perkembangan dan kepribadian anak
(c) interaksi antara faktor lingkungan dan faktor dari dalam diri
anak.
2. Fungsi Intervensi
Kata intervensi dapat diartikan sebagai upaya menangani hambatan
belajar dan hambatan perkembangan yang sudah terjadi pada diri
anak. Misalnya seorang anak mengalami gangguan dalam
perkembangan kecerdasan/kognitif sehingga ia mengalami kesulitan
dalam belajar secara akademik. Fungsi intervensi pendidikan
kebutuhan khusus adalah upaya menangani anak agar dapat mencapai
perkembangan optimum sejalan dengan potensi yang dimilikinya.
Dengan kata lain fungsi intervensi tidak dimaksudkan supaya anak
yang mengalami kehilangan fungsi pendengaran agar dapat
mendengar, tetapi dalam keadaan tidak dapat mendengar mereka tetap
dapat belajar, bekerja dan hidup secara wajar bersama dengan orang
lain dalam lingkungannya. Inilah yang disebut dengan coping, artinya
anak dapat berkembang optimum dengan kondisi yang dimilikinya.
3. Fungsi Kompensasi
Pengertian kompensasi dalam kontek pendidikan kebutuhan khusus
diartikan sebagai upaya pendidikan untuk menggantikan fungsi yang
hilang atau mengalami hambatan dengan fungsi lain. Seorang anak
yang kehilangan fungsi penglihatan akan sangat sulit untuk belajar
atau bekerja jika berhubungan dengan penggunaan fungsi penglihatan.
Oleh karena itu kehilangan fungsi penglihatan dapat dialihkan atau di
kompensasikan kepada fungsi lain misalnya perabaan dan
pendengaran. (Sumber: file.upi.edu.29/10/2016)
2.7.7. Pendidikan Khusus dan Sekolah Inklusif
Penempatan anak berkelainan di sekolah inklusif dapat dilakukan
dengan berbagai model sebagai berikut:
1) Kelas Reguler (Inklusi Penuh) Anak berkelainan belajar bersama
anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan
menggunakan kurikulum yang sama.
2) Kelas Reguler dengan Cluster Anak berkelainan belajar bersama
anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus.
3) Kelas Reguler dengan Pull Out Anak berkelainan belajar bersama
anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu
tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar
dengan guru pembimbing khusus.
4) Kelas Reguler dengan Cluster dan Pull Out Anak berkelainan
belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok
khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke
ruang dumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
5) Kelas Khusus dengan berbagai pengintegrasian Anak berkelainan
belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam
bidang-bidang terntentu dapat belajar bersama dengan anak lain
(normal) di kelas reguler. 6) Kelas Khusus Penuh Anak berkelainan
belajar bersama di dalam kelas khusus pada sekolah reguler.
(Sumber: digilib.uinsby.ac.id.05/12/2016)
Dengan demikian, pendidikan inklusif tidak mengharuskan semua
anak berkebutuhan khusus (ABK) di kelas reguler setiap saat dengan semua
mata pelajarannya (inklusif penuh), karena sebagian anak berkebutuhan
khusus (ABK) dapat berupa berada di kelas khusus atau ruang-ruang terapi
dengan kelainannya yang cukup berat. Oleh karena itu dibutuhkan adanya
Pendidikan Khusus atau dengan kata lain Pendidikan bagi yang memiliki
kebutuhan khusus. Bahkan bagi anak berkelainan yang gradasi kelainannya
berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada
sekolah reguler (inklusif lokasi). Kemudian, bagi yang kelainannya sangat
berat dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat
disalurkan ke sekolah khusus (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit).
2.8. Kebijakan dan Program Sekolah Penyelenggara Pendidikan Inklusif
H.A.R. Tilaar & Riant Nugroho (2008: 16) menyebutkan konsep
mengenai kebijakan yaitu sebagai berikut:
“Suatu kata benda hasil dari deliberasi mengenai tindakan (behavior)
dari seseorang atau sekelompok pakar mengenai rambu-rambu
tindakan dari seseorang atau lembaga untuk mencapai suatu tujuan
tertentu.”
Menurut Noeng Muhadjir (1993: 15) menyatakan kebijakan sebagai berikut:
“Upaya memecahkan problem sosial bagi kepentingan masyarakat
atas azas keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Pemilihan suatu
kebijakan setidaknya harus memenuhi empat butir yakni; (1) tingkat
hidup masyarakat meningkat; (2) terjadi keadilan : By the law, social
justice, dan peluang prestasi dan kreasi individual; (3) diberikan
peluang aktif partisipasi masyarakat (dalam membahas masalah,
perencanaan, keputusan, dan implementasi); dan (4) terjaminnya
pengembangan berkelanjutan. Arif Rohman mengatakan kebijakan
pendidikan merupakan kebijakan publik yang mengatur khusus
regulasi berkaitan dengan penyerapan sumber, alokasi dan distribusi
sumber, serta pengaturan perilaku dalam pendidikan.
Secara khusus salah satu kebijakan pendidikan yang dikeluarkan
pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia,
dalam Peraturan Menteri No. 70 Tahun 2009 adalah pendidikan inklusif.
Pendidikan inklusif yaitu pendidikan bagi peserta didik yang memiliki
kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Melalui
peraturan di atas maka Kementrian Pendidikan Nasional Republik Indonesia
mengeluarkan program dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, pasal 6
yang menyatakan bahwa; 1) Pemerintah kabupaten/kota menjamin
terselenggaranya pendidikan inklusif sesuai dengan kebutuhan peserta didik;
2) Pemerintah kabupaten/kota menjamin tersedianya sumber daya
pendidikan inklusif pada satuan pendidikan inklusif; 3) Pemerintah dan
pemerintah provinsi membantu tersedianya sumber daya pendidikan
inklusif.
Pada tingkat kabupaten/kota juga terdapat peraturan penyelenggaraan
pendidikan inklusif yang tertuang pada Peraturan Daerah Kota Bekasi No.
13 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan berfungsi
memberikan pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki
kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial yang bertujuan untuk
mengembangkan potensi peserta didik secara optimal sesuai
kemampuannya. Peserta didik berkelainan terdiri atas peserta didik yang
tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras,
berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik,
menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat terlarang, dan zat
adiktif lain serta memiliki kelainan lain. (pasal 107 Perda No.13 Tahun
2014)
Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan dapat
diselenggarakan pada semua jalur dan jenis pendidikan pada jenjang
pendidikan dasar dan menengah dan dilakukan melalui satuan pendidikan
khusus, satuan pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan, dan/atau
satuan pendidikan keagamaan. Ketentuan lebih lanjutnya diatur dengan
Peraturan Menteri. (pasal 108 Perda No.13 Tahun 2014)
Pemerintah Daerah menjamin terselenggaranya pendidikan khusus
pada satuan pendidikan umum dan satuan pendidikan kejuruan sesuai
dengan kebutuhan peserta didik. Penjaminan terselenggaranya pendidikan
khusus tersebut dilakukan dengan menetapkan paling sedikit 1 (satu)
satuan pendidikan umum dan 1 (satu) satuan pendidikan kejuruan yang
memberikan pendidikan khusus serta menyediakan sumberdaya pendidikan
yang berkaitan dengan kebutuhan peserta didik berkelainan. Pemerintah
Daerah juga dapat meminta Pemerintah Provinsi dan Pemerintah untuk
membantu tersedianya sumberdaya pendidikan yang berkaitan dengan
kebutuhan peserta didik berkelainan. (pasal 109 Perda No.13 Tahun
2014)
Pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan pada jalur
formal diselenggarakan melalui satuan pendidikan anak usia dini,
satuan pendidikan dasar, dan satuan pendidikan menengah. (pasal 110
Perda No.13 Tahun 2014).
Satuan pendidikan khusus formal bagi peserta didik berkelainan
untuk pendidikan anak usia dini berbentuk taman kanak-kanak luar
biasa atau sebutan lain untuk satuan pendidikan yang sejenis dan sederajat.
Satuan pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan pada jenjang
pendidikan dasar terdiri atas sekolah dasar luar biasa atau sebutan lain
untuk satuan pendidikan yang sejenis dan sederajat dan sekolah menengah
pertama luar biasa atau sebutan lain untuk satuan pendidikan yang
sejenis dan sederajat. Satuan pendidikan khusus bagi peserta didik
berkelainan pada jenjang pendidikan menengah adalah sekolah
menengah atas luar biasa, sekolah menengah kejuruan luar biasa, atau
sebutan lain untuk satuan pendidikan yang sejenis dan sederajat.
Penyelenggaraan satuan pendidikan khusus dapat dilaksanakan secara
terintegrasi antarjenjang pendidikan dan/atau antarjenis kelainan dan dapat
diselenggarakan oleh satuan pendidikan pada jalur pendidikan non formal.
(pasal 111 Perda No.13 Tahun 2014).
Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa berfungsi mengembangkan potensi
keunggulan peserta didik menjadi prestasi nyata sesuai dengan
karakteristik keistimewaannya dan bertujuan mengaktualisasikan seluruh
potensi keistimewaannya tanpa mengabaikan keseimbangan
perkembangan kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, sosial,
estetik, kinestetik, dan kecerdasan lain. (pasal 112 Perda No.13 Tahun
2014).
Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi
kecerdasan dan/atau bakat istimewa dapat diselenggarakan pada satuan
pendidikan formal TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK,
atau bentuk lain yang sederajat. Program pendidikan khusus tersebut
dapat berupa program percepatan dan program pengayaan. (pasal 113 Perda
No.13 Tahun 2014).
Program percepatan sebagaimana dimaksud dilakukan dengan
persyaratan:
a. peserta didik memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa yang diukur dengan tes psikologi
b. peserta didik memiliki prestasi akademik tinggi dan/atau bakat
istimewa di bidang seni dan/atau olahraga
c. satuan pendidikan penyelenggara telah memenuhi Standar
Nasional Pendidikan.
Sedangkan, program percepatan dapat dilakukan dengan
menerapkan sistem kredit semester sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Penyelenggaraan kedua program pendidikan diatas
dapat dilakukan dalam bentuk kelas biasa, kelas khusus atau satuan
pendidikan khusus. (pasal 113 Perda No.13 Tahun 2014).
Selain itu, pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa juga dapat diselenggarakan
oleh satuan pendidikan pada jalur pendidikan nonformal. (pasal 114 Perda
No.13 Tahun 2014).
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pendidikan
khusus diatur dengan Peraturan Menteri. (pasal 115 Perda No.13 Tahun
2014).
Pendidikan inklusif adalah sekolah yang menampung semua
peserta didik baik yang normal maupun berkelainan di lingkungn sekolah
dan kelas yang sama. Sekolah inklusi menyediakan program pendidikan
yang layak dan menantang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan
setiap peserta didik. Peserta didik menurut Peraturan Daerah Kota
Bekasi No. 13 Tahun 2014, pasal 107 adalah peserta didik berkelainan
terdiri atas peserta didik yang tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita,
tunadaksa, tunalaras, berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki
gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkotika, obat
terlarang, dan zatadiktif lain; dan memiliki kelainan lain.
Dari pernyataan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pendidikan
inklusif yaitu sekolah yang memberikan kesempatan yang sama bagi
semua yaitu semua anak bisa belajar di lingkungan yang sama baik
anak normal maupun anak berkebutuhan khusus (ABK) tanpa memandang
kelainan fisik maupun mental, tanpa adanya diskriminatif dari
lingkungan belajar dan saling menghargai keanekaragaman yang
bertujuan untuk mewujudkan kesempatan yang seluas-luasnya kepada
peserta didik yang berkebutuhan khusus memperoleh pendidikan yang
bermutu untuk mengembangkan bakat dan minatnya sesuai dengan
kebutuhan dan kondisinya, yaitu Tenaga Pendidik, Sarana dan Prasarana,
Kurikulum, dan sistem evaluasinya pun harus dikemas sesuai dengan
kebutuhan siswa baik yang normal maupun anak berkebutuhan khusus.
Namun di Kota Bekasi masih ada keterbatasan aksesibilitas bagi
Penyandang Disabilitas dalam mendapatkan Pendidikan. Anak
Berkebutuhan Khusus (ABK) ini tidak mendapatkan kesempatan yang sama
dengan anak-anak normal lainnya dalam mengenyam Pendidikan. Sekalipun
saat ini Pemerintah telah menyelenggarakan Pendidikan Inklusif bagi anak-
anak Penyandang Disabilitas namun kebijakan ini tidak dibarengi dengan
kesiapan dalam pelaksanaan nya sehingga kebijakan Pendidikan Inklusif ini
tidak dapat berjalan sesuai dengan tujuan dan dampak yang terjadi adalah
anak-anak Penyandang Disabilitas masih sulit dalam mendapatkan
aksesibilitas Pendidikan.
Dalam Perda No. 13 Tahun 2014, penyelenggaraan pendidikan
inklusif tercantum pada pasal Pasal 108 yang menyatakan pendidikan
khusus bagi peserta didik berkelainan dapat diselenggarakan pada
semua jalur dan jenis pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan
menengah dan dilakukan melalui satuan pendidikan khusus, satuan
pendidikan umum, satuan pendidikan kejuruan,dan/atau satuan pendidikan
keagamaan. Ketentuan lebih lanjutnya diatur dengan Peraturan Menteri.
Pendidikan Inklusif ditujukan dalam rangka penyamarataan hak bagi
Penyandang Disabilitas di bidang Pendidikan. Pada sekolah inklusif
setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat
dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan/atau
penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana prasarana, tenaga pendidik dan
kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya.
Dengan kata lain, pendidikan inklusif mensyaratkan pihak sekolah yang
harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik,
bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan.
(Direktorat PLB, 2007: 6)
Namun fakta yang terjadi di Kota Bekasi, pelaksanaan Pendididkan
Inklusif belum memenuhi syarat tersebut. Pihak sekolah belum dapat
memberikan sistem pendidikan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan
individu dari peserta didik yang berkebutuhan khusus tersebut. Dengan
demikian, maka peserta didik yang bersangkutan harus berupaya
menyesuaikan dirinya dengan sistem yang ada di sekolah.
Pasal 109 yang menyatakan bahwa Pemerintah Daerah menjamin
terselenggaranya pendidikan khusus pada satuan pendidikan umum dan
satuan pendidikan kejuruan sesuai dengan kebutuhan peserta didik dan
pasal 110 yang menyatakan Pendidikan khusus bagi peserta didik
berkelainan pada jalur formal diselenggarakan melalui satuan
pendidikan anak usia dini, satuan pendidikan dasar, dan satuan
pendidikan menengah.
Kebijakan yang tertuang pada pasal 109 dan pasal 110 tersebut tidak
sesuai dengan kenyataan yang terjadi di Kota Bekasi hingga saat ini.
Pemerintah belum menyediakan fasilitas sarana, prasarana dan
mengakomodasi pembelajaran dalam penyelenggaran Pendidikan Inklusif
sehingga hal ini menyebabkan mereka menjadi tidak percaya diri untuk
daftar di sekolah reguler, karena mereka tidak mendapatkan hal yang dapat
membantu mereka agar dapat belajar dan mengembangkan dirinya di
sekolah layaknya anak-anak normal yang lain. Fakta yang terjadi adalah
kebanyakan sekolah reguler di Kota Bekasi hanya memiliki peserta didik
tunadaksa atau cacat fisik, tidak ada yang memiliki peserta didik tunanetra,
tunarunggu, tunawicara dan lain sebagainya dikarenakan fasilitas sarana,
prasarana yang tidak memadai. Rendahnya pemahaman guru-guru di
sekolah reguler di Kota Bekasi mengenai bagaimana memperlakukan
peserta didik Penyandang Disabilitas dan pemahaman penyelenggaraan
Pendidikan Inklusif. Pendidik dan tenaga kependidikan merupakan
orang-orang yang sangat berperan penting dalam penyelenggaraan
pendidikan. Kurangnya keberadaan guru pendamping khusus dengan
lulusan Pendidikan Luar Biasa yang terdapat di sekolah reguler. Kelancaran
penyelenggaraan sistem pendidikan inklusif ini sangat berpengaruh dari
kemampuan para guru pembimbing khusus juga. Pihak sekolah juga
harus mendukung keberadaan guru pendamping khusus (GPK) dan bekerja
sama dengan sebaik mungkin. Namun Pemerintah Kota Bekasi sendiri
belum menyediakan sama sekali guru pendamping khusus yang melayani
peserta didik penyandang disabilitas di sekolah reguler di Kota Bekasi.
2.9. Penyandang Disabilitas
2.9.1. Deskripsi Teori Penyandang Disabilitas
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, penyandang diartikan
dengan orang yang menyandang (menderita) sesuatu. Sedangkan disabilitas
merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata serapan bahasa
Inggris disability (jamak: disabilities) yang berarti cacat atau
ketidakmampuan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,2008).
Menurut Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pengesahan
Hak-Hak Penyandang Disabilitas, penyandang disabilitas yaitu orang yang
memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual atau sensorik dalam jangka
waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap
masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk
berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang
Disabilitas dalam Pasal 1 mengemukakan Penyandang Disabilitas adalah
setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental,
dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan
lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi
secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan
kesamaan hak.
Menurut Riyadi (2012:293) mengartikan penyandang disabilitas
sebagai berikut:
“Penyandang disabilitas merupakan kelompok masyarakat yang
beragam, diantaranya penyandang disabilitas yang mengalami
disabilitas fisik, disabilitas mental maupun gabungan dari disabilitas
fisik dan mental. Istilah penyandang disabilitas pun sangat beragam.
Kementerian Sosial menyebut penyandang disabilitas sebagai
penyandang cacat, Kementerian Pendidikan Nasional menyebut
dengan istilah berkebutuhan khusus, sedangkan Kementerian
Kesehatan menyebut dengan istilah Penderita cacat.”
WHO mendefinisikan disabilitas sebagai “A restriction or inability to
perform an activity in the manner or within the range considered normal for
a human being, mostly resulting from impairment”.
Definisi tersebut menyatakan dengan jelas bahwa disabilitas
merupakan pembatasan atau ketidakmampuan untuk melakukan suatu
kegiatan dengan cara yang atau dalam rentang dianggap normal bagi
manusia, sebagian besar akibat penurunan kemampuan.
Selain pengertian secara umum, WHO mengemukakan pula definisi
disabilitas yang berbasis pada model sosial sebagai berikut.
a) Impairment (kerusakan atau kelemahan) yaitu ketidaklengkapan atau
ketidaknormalan yang disertai akibatnya terhadap fungsi tertentu.
Misalnya kelumpuhan di bagian bawah tubuh disertai ketidakmampuan
untuk berjalan dengan kedua kaki.
b) Disability/handicap (cacat atau ketidakmampuan) adalah
kerugian/keterbatasan dalam aktivitas tertentu sebagai akibat faktor-
faktor sosial yang hanya sedikit atau sama sekali tidak memperhitungkan
orang-orang yang menyandang “kerusakan/kelemahan” terentu dan
karenanya mengeluarkan oranmg-orang itu dari arus aktivitas sosial.
(Peter,2007: 132.)
2.9.2. Jenis Penyandang Disabilitas
Setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/atau mental, yang
dapat menganggu atau merupakan rintangan dan hambatan baginya untuk
melakukan kegiatan secara selayaknya, yang terdiri dari:
a. Penyandang Disabilitas fisik
Gangguan pada tubuh yang membatasi fungsi fisik salah satu anggota
badan bahkan lebih atau kemampuan motorik seseorang. Disabilitas
fisik lainnya termasuk sebuah gangguan yang membatasi sisi lain dari
kehidupan sehari-hari. Misalnya saja gangguan pernapasan dan juga
epilepsy.
b. Penyandang Disabilitas intelektual
Disabilitas intelektual merupakan suatu pengertian yang sangat luas
mencakup berbagai kekurangan intelektual, diantaranya juga adalah
keterbelakangan mental. Sebagai contohnya adalah seorang anak yang
mengalami ketidakmampuan dalam belajar. Dan disabilitas
intelektual ini bisa muncul pada seseorang dengan usia berapa pun.
c. Disabilitas sensorik
Disabilitas sensorik merupakan gangguan yang terjadi pada salah satu
indera. Istilah ini biasanya digunakan terutama pada penyandang
disabilitas yang mengacu pada gangguan pendengaran, penglihatan
dan indera lainnya juga bisa terganggu.
d. Penyandang Disabilitas mental.
Istilah disabilitas mental biasanya sering digunakan pada anak-anak
yang memiliki kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Akan tetapi
tidak hanya itu saja, disabilitas mental juga merupakan sebuah istilah
yang menggambarkan berbagai kondisi emosional dan mental.
Gangguan kejiwaan adalah istilah yang digunakan pada saat
disabilitas mental secara signifikan mengganggu kinerja aktivitas
hidup yang besar. (bisamandiri.com,29/11/2016)
Ragam Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud dialami secara
tunggal, ganda, atau multi dalam jangka waktu lama yang ditetapkan oleh
tenaga medis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (UU
no 8 tahun 2016 pasal 4 ayat 2)
Dalam UU HAM, penyandang disabilitas merupakan kelompok
masyarakat rentan yang berhak memperoleh perlakuan dan perlindungan
lebih berkenaan dengan kekhususannya. Dalam Undang-Undang No. 11
Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial, ditegaskan bahwa penyandang
disabilitas digolongkan sebagai bagian dari masyarakat yang memiliki
kehidupan yang tidak layak secara kemanusiaan dan memiliki kriteria
masalah sosial.
2.9.3. Hak Penyandang Disabilitas
Menurut Convetion On The Rights of Persons With Disabilities
(Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) dalam website
Kemenkumham yang telah disahkan dengan UndangUndang Nomor 19
Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention On The Rights Of Persons
With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas)
menyatakan bahwa:
“Penyandang disabilitas termasuk mereka yang memiliki keterbatasan
fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama
dimana ketika berhadapan dengan berbagai hambatan, hal ini dapat
mengahalangi partisipasi penuh dan efektif mereka dalam masyarakat
berdasarkan kesetaraan dengan yang lainnya.”
Penyandang disabilitas merupakan asset negara bidang sumber daya
manusia yang mempunyai kelebihan dan kekurangan sebagaimana manusia
lainnya. Potensi yang dimiliki penyandang disabilitas dapat dikembangkan
sesuai dengan talenta yang dibawa sejak lahir. Namun karena kecacatan
yang disandangnya penyandang disabilitas mengalami hambatan fisik,
mental dan sosial untuk mengembangkan dirinya secara alami. Penyandang
disabilitas memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan
masyarakat non disabilitas. Sebagai bagian dari warga negara Indoesia,
penyandang disabilitas berhak mendapatkan perlakuan khusus, yang
dimaksudkan sebagai upaya perlindungan dari kerentanan terhadap berbagai
tindakan diskriminasi dan terutama perlindungan dari berbagai pelanggaran
hak asasi manusia. Perlakuan khusus tersebut dipandang sebagai upaya
maksimalisasi penghormatan, pemajuan, perlindungan dan pemenuhan hak
asasi manusia universal.
Secara eksplisit Indonesia juga memiliki Undang Undang No. 8 Tahun
2016 tentang Penyandang Disabilitas yang memberikan landasan hukum
secara tegas mengenai kedudukan dan hak penyandang disabilitas. Dalam
konsideran UU Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami
keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka
waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat
mengalamihambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan
efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.. Selain itu
hak-hak fundamental berikut kewajiban penyandang disabilitas juga
ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 pasal 41 Ayat 2,
yang menyebutkan bahwa : "Setiap penyandang cacat, orang yang berusia
lanjut, wanita hamil dan anak anak, berhak memperoleh kemudahan dan
perlakuan khusus". Begitu pula dengan Pasal 42 yang berbunyi: "Setiap
warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak
memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas
biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan
martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan
berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara".
(Pedoman ILO, 2013: 3)
Penyandang cacat memiliki kedudukan, hak dan kewajiban yang sama
dengan warga negara non disabilitas. Penyandang disabilitas memiliki hak
untuk hidup, dan mempertahankan kehidupnya. Selain hak untuk hidup,
apabila membicarakan isu-isu mengenai hak asasi manusia, kita juga dapat
menemukan bahwa manusia sebagai warga negara memiliki hak sipil dan
politik, serta memiliki hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak Sipil dan
politik dipandang sebagai hak-hak yang bersumber dari martabat dan
melekat pada setiap manusia yang dijamin dan dihormati keberadaannya
oleh negara agar manusia bebas menikmati hak-hak dan kebebasannya
dalam bidang sipil dan politik yang pemenuhannya menjadi tanggung jawab
negara, yang meliputi hak hidup; hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan
tidak manusiawi, hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa, hak atas
kebebasan dan keamanan pribadi, hak atas kebebasan bergerak dan
berpindah, hak atas pengakuan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum,
hak untuk bebas berfikir, berkeyakinan dan beragama, hak untuk bebas
berpendapat dan berekspresi, hak untuk berkumpul dan berserikat, dan hak
untuk turut serta dalam pemerintahan. Hak ekonomi, sosial, dan budaya,
dipandang sebagai hak dasar manusia yang harus dilindungi dan dipenuhi
agar manusia terlindungi martabat dan kesejahteraannya. Pemerintah
Indonesia telah meratifikasi kovenan Internasional tentang Hak-hak
Ekonomi Sosial dan Budaya. (UU Nomor 11 Tahun 2005)
Penyandang disabilitas berhak mendapatkan pendidikan yang sama
seperti masyarakat yang lain dan mereka tidak boleh di pisahkan secara
pendidikan dengan peserta didik biasa. Dengan kata lain mereka pun merasa
di samakan dan tidak di beda-bedakan sehingga timbul rasa toleransi pada
masyarakat terhadap penyandang disabilitas dan rasa percaya diri dari
penyandang disabilitas untuk berinteraksi dan hidup bermasyarakat.
Pasal 40 dalam UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
menyatakan bahwa anak penyandang disabilitas berhak untuk diikutsertakan
dalam program wajib belajar dua belas tahun. Pemerintah dan Pemerintah
Daerah dalam menyelenggarakan dan/atau memfasilitasi pendidikan inklusif
dan pendidikan khusus wajib memfasilitasi Penyandang Disabilitas untuk
mempelajari keterampilan dasar yang dibutuhkan untuk kemandirian dan
partisipasi penuh dalam menempuh pendidikan dan pengembangan sosial.
Dengan ini, maka di harapkan Pemerintah dapat mewujudkan
penyandang disabilitas yang berpendidikan sehingga mampu hidup
sejahtera, mandiri dan percaya diri dalam berinteraksi serta menjalankan
aktivitas hidup sehari-hari.
2.10. Penelitian Terdahulu
1) Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sri Delvina berupa karya ilmiah
dengan judul “Pelaksanaan Pendidikan Inklusi di Kabupaten
Pelalawan Provinsi Riau Tahun 2016”. Sri Delvina sebagai pendidik
dari SLB Negeri Pelalawan Kecamatan Pangkalan Kerinci kabupaten
Pelalawan provinsi Riau. Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah
untuk Untuk mengetahui gambaran pelaksanaan sistem pendidikan
inklusi di kabupaten Pelalawan provinsi Riau. Karya ilmiah ini ditulis
dengan metode penelitian kualitatif yaitu dengan studi kasus pada
SLB Negeri Pelalawan. Berdasarkan studi kasus dan wawancara
yang penulis lakukan dengan para guru pendamping khusus di
kabupaten Pelalawan, diperoleh banyaknya masalah-masalah yang
muncul dari penyelenggaraan sistem pendidikan inklusi di
kabupaten pelalawan Provinsi Riau. Sri Delvina menggunakan teori
Pendidikan inklusi menurut (Sapon-Shevin dalam O‟Neil,1994)
didalam kajian teori.com adalah sistem layanan pendidikan yang
mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar disekolah-sekolah
terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya. Karya ilmiah
ini memperoleh hasil bahwa (1) Pada tahun 2016 ini jumlah guru
pendamping khusus di Kabupaten Pelalawan sebanyak 4 orang.
Guru-guru ini ditugaskan oleh pemerintah provinsi riau di
sekolah-sekolah inklusi yang ditunjuk, satu guru pembimbing khusus
bertugas pada satu sekolah. Jadi hanya 4 sekolah di Kabupaten
Pelalawan yang mendapatkan layanan dari guru pendamping
khusus ini. Sementara lebih dari 4 sekolah di Kabupaten
Pelalawan ini yang melayani siswa-siswa berkebutuhan khusus.
Disinilah dapat terlihat kurangnya guru pendamping khusus di
Kabupaten Pelalawan. (2) Sebagian pendidik di Kabupaten
Pelalawan sudah mendapatkan pendidikan dan pelatihan tentang
sekolah inklusi dan sistem penyelenggaraannya. Akan tetapi belum
semua pendidik yang mendapatkan pendidikan dan pelatihan tentang
sekolah inklusi dan bagaimana memberikan layanan yang tepat
untuk anak berkebutuhan khusus. Untuk itulah diharapkan
pendidik di sekolah-sekolah penyelenggara inklusi baik pun
pendidik yang bukan penyelenggara inklusi mendapatkan ilmu
yang lebih banyak danterbaru lagi tentang sistem pendidikan inklusi
ini. (3) Sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan di Kabupaten
Pelalawan Provinsi Riau, masih memilki sarana dan prasarana
yang belum mencukupi bagi anak berkebutuhan khusus. Seperti untuk
siswa tunanetra, buku-buku braille belum terdapat di sekolah
penyelenggara pendidikan inklusi. Ruangan dan alat-alat asesmen
anak-anak berkebutuhan khusus juga belum terdapat pada
sekolah-sekolah penyelenggara pendidikan inklusi dan lain-lainnya.
Persamaan pada penelitian yang dilakukan oleh Sri Delvina ini sama-
sama meneliti tentang sistem Pendidikan Inklusif di suatu daerah
dengan menemukan beberapa permasalahan terkait penyelenggaraan
Pendidikan Inklusif yang terjadi pada suatu daerah. Perbedaan nya
terletak pada lokus penelitian dalam penelitian ini, lokus penelitian
dari karya ilmiah Sri Delvina ini adalah di Kabupaten Pelalawan
Provinsi Riau.
2) Hasil penelitian yang dilakukan oleh Irwanto,dkk berupa jurnal yang
berjudul “Analisis Situasi Penyandang Disabilitas di Indonesia” pada
tahun 2010. Penelitian ini dibuat dalam pusat kajian disabilitas pada
fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, Universitas Indonesia. Penelitian
ini bertujuan untuk memotret situasi umum yang dihadapi oleh
penyandang disabilitas di Indonesia. Mulai dari upaya untuk
menggambarkan karakteristik dan besaran populasinya, diikuti dengan
kebijakan dan program pemerintah, kerangka hukum positif yang
relevan dengan persoalan disabilitas,dan analisis mengenai partisipasi
penyandang disabilitas di erbagai sektor kehidupan seperti
pendidikan, politik, kebudayaan, dan lain-lain. Penelitian ini
menggunakan metode kuantitatif dengan membandingkan korelasi
data statistik tentang penyandang disabilitas serta hasil suvey dari
berbagai jenis data dan sumber. Teori yang terdapat dalam penelitian
ini diperoleh dari kesimpulan hasil survey yang dilakukan oleh para
peneliti sebelumnya dan juga lembaga seperti UNESCO, WHO,
Depdiknas, dan lembaga-lembaga lainnya. Penelitian memperoleh
hasil salah satunya adalah bahwa dalam realita pelaksanaannya,
partisipasi penyandang disabilitas dalam bidang pendidikan baru
sampai tataran hukum. Siswa dengan disabilitas masih mengalami
berbagai hambatan dalam sekolah inklusi. Faktor pertama dan
utama adalah dedikasi dan kesiapan guru. Karena kebanyakan
guru belum memahami karakteristik dan gaya belajar setiap siswa
termasuk siswa dengan disabilitas sehingga guru tidak luwes
dalam mengakomodasi kebutuhan belajar siswa dengan disabilitas.
Faktor kedua adalah kurikulum dan aturan sekolah serta budaya
lingkungan yang penerapannya kurang akomodatif. Persamaan
penelitian yang dilakukan oleh Irwanto,dkk ini sama-sama melakukan
penelitian dengan objek penelitiannya yaitu Penyandang Disabilitas.
Perbedaannya terletak pada kasus yang diteliti, yaitu pada jurnal ini
menganalisis situasi penyandang disabilitas secara keseluruhan mulai
dari data jumlah penyandang disabilitas di Indonesia, kebijakan dan
program pemerintah untuk penyandang disabilitas, hukum dan
kebijakannya, serta partisipasi penyandang disabilitas. Sedangkan
saya membatasi penelitian pada implementasi Perda No. 13 Tahun
2014 yang dijadikan acuan dalam penyelenggaraan Pendidikan
Inklusif di Kota Bekasi.
2.11. Kerangka Berpikir
Suriasumantri dalam Sugiyono (2009: 92) mengemukakan bahwa
seorang peneliti harus menguasai teori-teori ilmiah sebagai dasar menyusun
kerangka pemikiran yang membuahkan hipotesis. Kerangka pemikiran
merupakan penjelasan sementara terhadap gejala yang menjadi objek
permasalahan.
Dalam penelitian ini, yang menjadi fokus penelitian adalah
implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Kota Bekasi. Salah satu
kebijakan yang peneliti analisis di sini adalah implementasi Perda Nomor 13
Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan
khususnya pendidikan inklusif. Sehingga peneliti mencoba untuk
mendeskripsikan Implementasi Perda Nomor 13 Tahun 2014 tersebut
dengan apa yang senyatanya terjadi di lapangan.
Oleh karena itu peneliti menggunakan teori implementasi kebijakan
Mazmanian dan Sabatier yang menyatakan terdapat tiga variabel yang
mempengaruhi keberhasilan implementasi yaitu:
1. Karakteristik dari masalah
2. Karakteristik kebijakan/Peraturan Daerah
3. Variabel lingkungan
Kemudian sebagai konsep operasionalisasi dari teori implementasi
tersebut, peneliti menggunakan kriteria pendidikan inklusif yang mengacu
pada buku panduan umum penyelenggaraan pendidikan inklusif yang
dikeluarkan oleh Direktorat PLB. Kriteria sekolah penyelenggara
pendidikan inklusif adalah sebagai berikut:
a. Kesiapan sekolah untuk menyelenggarakan program pendidikan
inklusif (kepala sekolah, komite sekolah, guru, peserta didik,
dan orang tua)
b. Terdapat anak berkebutuhan khusus di lingkungan sekolah
c. Tersedia guru pendidikan khusus (GPK) dari PLB (guru tetap sekolah
atau guru yang diperbantukan dari lembaga lain)
d. Komitmen terhadap penuntasan wajib belajar
e. Memiliki jaringan kerjasama dengan lembaga lain yang relevan
f. Tersedia sarana penunjang yang mudah diakses oleh semua anak
g. Pihak sekolah telah memperoleh sosialisasi tentang pendidikan
inklusif
h. Sekolah tersebut telah terakreditasi
Berdasarkan gambar dibawah, maka dapat dijelaskan bahwa
identifikasi masalah yang penulis temui tentang penyelenggaraan
pendidikan inklusif cukup banyak. Kemudian untuk menjawab
permasalahan tersebut peneliti menggunakan teori implementasi
Mazmanian dan Sabatier dimana teori implementasi kebijakan Mazmanian
dan Sabatier merupakan konsep dari kriteria sekolah penyelenggara
pendidikan inklusif sebagai pengukuran tingkat efektivitas program
sekolah penyelenggara pendidikan inklusif yang memenuhi karakteristik
atau ciri-ciri bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusif tersebut
berjalan secara efektif. Dengan karakteristik atau ciri-ciri efektivitas yang
dimaksud, diharapkan Perda No. 13 Tahun 2014 bisa diimplementasikan
dengan baik khususnya tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif
supaya sesuai dengan fungsi dan tujuan yang ingin dicapai.
Skema Kerangka Pemikiran
Output:
Implementasi Kebijakan
Pendidikan Inklusif di Kota
Bekasi dapat berjalan dengan
efektif
Input
1. Belum akuratnya standarisasi sarana dan prasarana dalam
pengelolaan dan pembukaan pendidikan inklusif di sekolah
umum atau reguler.
2. Keterbatasan aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus
(ABK) dalam mendapatkan pendidikan.
3. Rendahnya pemahaman dari tenaga pendidik di sekolah
reguler mengenai anak berkebutuhan khusus (ABK) dan
sistem pendidikan inklusif.
4. Tidak adanya keberadaan guru pendamping khusus (GPK)
dengan lulusan Pendidikan Luar Biasa yang terdapat di
sekolah inklusif.
5. Kurang tertibnya administrasi pendataan dari dinas terkait
mengenai pendidikan inklusif.
Proses
Tiga variabel yang mempengaruhi keberhasilan
implementasi:
1. Karakteristik dari masalah
2. Karakteristik Kebijakan/Perda
3. Variabel Lingkungan
(Teori Mazmanian dan Sabatier dalam Subarsono
(2011:94) & Perda No.13 Tahun 2014)
2.12. Asumsi Dasar
Pada penelitian yang dilakukan perihal Implementasi Kebijakan
Pendidikan Inklusif di Kota Bekasi yang juga mengacu kepada Perda No.13
Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan serta
peraturan tentang kebijakan pendidikan inklusif lainnya, khususnya bagi
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) di Kota Bekasi dapat dikatakan belum
optimal. Sesuai dengan yang tertera pada pasal 108 dinyatakan bahwa
pendidikan khusus bagi peserta didik berkelainan dapat diselenggarakan
pada semua jalur dan jenis pendidikan pada jenjang pendidikan dasar
dan menengah serta penyelenggaraan pendidikan khusus dapat dilakukan
melalui satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum, satuan
pendidikan kejuruan, dan/atau satuan pendidikan keagamaan. Namun fakta
yang terjadi dilapangan, SD maupun SMP hanya sedikit yang memiliki
peserta didik penyandang disabilitas. Kesiapan sekolah serta sumberdaya
yang dimiliki pun tidak mendukung penyelenggaraan pendidikan inklusif.
Harus diteliti lebih lanjut dan mendalam apakah penyebab dan faktor-faktor
dari hal tersebut karena ini dapat menyebabkan Perda No.13 Tahun 2014
tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan di Kota Bekasi tidak
terlaksana dengan baik sebagaimana tujuan dan fungsinya.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Pendekatan Penelitian
Ditinjau dari jenis data, pendekatan penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Adapun yang dimaksud dengan
penelitian kualitatif yaitu penelitian yang bermaksud untuk memahami
fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik,
dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode
ilmiah. Adapun jenis pendekatan penelitian ini adalah deskriptif.
Penelitian deskriptif yaitu penelitian yang berusaha untuk menuturkan
pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data.
(Moleong,2007: 6)
Sementara itu, pendekatan penelitian yang digunakan adalah
penelitian studi kasus dengan penekanan pada pendidikan inklusif di Kota
Bekasi dalam konteks studi implementasi kebijakan publik. Dalam hal ini
studi kasus adalah yang tepat digunakan sebagai pendekatan utama di dalam
penelitian ini. Kasus yang dianalisis terutama terkait dengan implikasi
faktor institusi atau kelembagaan yang dapat menjadi pengganggu dan juga
pendorong berhasilnya implementasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan
khusus dan pendidikan inklusif. Pemilihan kasus ini dilatarbelakangi oleh
kondisi objektif bahwa standarisasi yang belum akurat, keterbatasan
aksesibilitas, rendahnya pemahaman tenaga pendidik dan kurangnya
keberadaan guru pendamping dalam pendidikan khusus dan pendidikan.
Padahal instrumen kebijakan lewat Perda Kota Bekasi telah dikeluarkan
untuk menjembatani permasalahan tersebut. Hal ini menjadi bagian dalam
pelaksanaan studi kasus yang dipelajari.
3.2. Jenis dan Sumber Data
Menurut Arikunto (1991:15) menyatakan bahwa penelitian dengan
menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu sebagai berikut:
“Penelitian yang hasilnya berupa data deskriptif melalui fakta-fakta
dari kondisi alami sebagai sumber langsung dengan instrumen dari
peneliti sendiri. Penelitian kualitatif bersifat induktif, yaitu
pengembangan konsep yang didasarkan atas dasar yang ada,
mengikuti desain penelitian yang fleksibel sesuai dengan konteknya.
Desain dimaksud tidak kaku sifatnya sehingga memberi peluang
kepada peneliti untuk menyesuaikan diri dengan konteks yang ada
dilapangan.”
Berdasarkan uraian di atas penggunaan pendekatan kualitatif dapat
menghasilkan data deskriptif tentang “Implementasi Kebijakan Pendidikan
Inklusif di Kota Bekasi”.
Menurut Arikunto (2010:22), yang dimaksud dengan sumber data
dalam penelitian adalah subyek dari mana data dapat diperoleh. Dalam
penelitian ini penulis menggunakan dua sumber data yaitu :
a. Data Primer, adalah data dalam bentuk verbal atau kata-kata yang
diucapkan secara lisan, gerak-gerik atau perilaku yang dilakukan oleh
subjek yang dapat dipercaya, yakni subjek penelitan atau informan yang
berkenaan dengan variabel yang diteliti atau data yang diperoleh dari
responden secara langsung.
Data primer dalam penelitian ini berasal dari hasil wawancara peneliti
dengan informan.
b. Data sekunder, adalah data yang diperoleh dari teknik pengumpulan
data yang menunjang data primer.
Dalam penelitian ini data sekunder adalah dokumentasi,catatan, atau
laporan historis yang telah tersusun dalam arsip, baik yang
dipublikasikan dan yang tidak dipublikasikan.
3.3. Fokus Penelitian
Dalam penelitian ini berfokus pada implementasi kebijakan
pendidikan inklusif di Kota Bekasi. Peneliti Mendeskripsikan dan
menganalisis implementasi kebijakan pendidikan inklusif dan faktor-faktor
apa yang mempengaruhi implementasi kebijakan pendidikan inklusif di
Kota Bekasi.
3.4. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Kota Bekasi, dengan locus
instansi lainnya yang terkait dengan kebutuhan pengambilan data yaitu di
Dinas Pendidikan dan sekolah reguler ataupun sekolah khusus di Kota
Bekasi, untuk sekolah reguler peneliti menentukan lokasi di sekolah dasar,
dan sekolah menengah pertama.
3.5. Variabel Penelitian
3.5.1. Definisi Konseptual
Menurut Azwar (2007:72) menyatakan definisi konseptual sebagai
berikut:
“Penggambaran secara umum dan menyeluruh yang menyiratkan
maksud dari konsep/teori atau istilah tersebut, bersifat konstitutif
(merupakan definisi yang disepakati oleh banyak pihak dan telah
dibakukan di kamus bahasa), formal dan mempunyai pengertian yang
abstrak.”
Objek penelitian ini adalah implementasi kebijakan pendidikan
inklusif di Kota Bekasi. Definisi konsep terkait implementasi kebijakan
pendidikan inklusif adalah sejauh mana pelaksanaan pemerintah dan
instansi terkait dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif di sekolah
reguler. Pemerintah harus menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif
agar semua anak tidak terkecuali anak berkebutuhan khusus (ABK) dapat
mendapatkan pendidikan yang sama.
Untuk menjawab permasalahan tersebut peneliti menggunakan teori
implementasi kebijakan Mazmanian dan Sabatier dimana terdapat tiga
variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi yaitu karakteristik
dari masalah, karakteristik kebijakan, dan variabel lingkungan.
Dalam hal ini, peneliti menghubungkan konsep implementasi
kebijakan dengan teori kriteria pendidikan inklusif yang mengacu pada buku
panduan umum penyelenggaraan pendidikan inklusif yang dikeluarkan oleh
Direktorat PLB. Teori kriteria pendidikan inklusif ini menggambarkan dan
menyiratkan maksud dari konsep implementasi kebijakan pendidikan
inklusif secara operasionalisasi.
3.5.2. Definisi Operasional
Definisi Operasional merupakan penjabaran dari definisi konsep yang
telah dibangun di atas, yang berfungsi untuk memudahkan peneliti dalam
melakukan observasi dan wawancara. Definisi operasional dalam penelitian
ini merujuk pada implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Kota
Bekasi dan dikaitkan dengan penjelasan pemikiran teori yang telah peneliti
pilih sebagai dasar untuk membahas permasalahan dalam penelitian ini.
Definisi operasional ini akan dikemukakan penjelasan teori implementasi
kebijakan menurut Mazmanian dan Sabatier yaitu sebagai berikut:
1. Karakteristik dari masalah
Terlepasnya dari kenyataan bahwa banyak sekali kesukaran-kesukaran
yang dijumpai dalam implementasi kebijakan pemerintah. Aspek-
aspek teknis dari permasalahan serta perilaku yang akan diatur sangat
bervariasi sehingga ini menjadi kendala dalam implementasi suatu
kebijakan dalam hal ini pendidikan inklusif
2. Karakteristik kebijakan
Pada prinsipnya perintah eksekutif untuk dapat mensetrukturkan proses
implementasi dengan cara menjabarkan tujuan-tujuan formal yang
akan dicapainya dengan cara menseleksi lembaga-lembaga yang tepat
untuk mengimplementasikannya, dengan cara memberikan
kewenangan dan dukungan sumber-sumber finansial pada lembaga-
lembaga tersebut. Para pembuat kebijakan dapat memainkan peran
yang cukup berarti dalam rangka pencapaian tujuan kebijakan dengan
cara mendayagunakan wewenang yang mereka miliki untuk
menstrukturkan proses implementasi secara tepat.
3. Variabel Lingkungan
Variabel lingkungan dari proses implementasi kebijakan pendidikan
inklusif di Kota Bekasi, dilihat dari tiga aspek yaitu aspek sosial,
budaya, dan ekonomi yang dalam hal ini mempengaruhi pelaksanaan
pendidikan inklusif di Kota Bekasi.
3.6. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian kualitatif ini, yang menjadi instrumen atau alat
penelitian adalah peneliti itu sendiri (human instrument). Oleh karena itu
peneliti sebagai instrumen juga harus “divalidasi” seberapa jauh peneliti
siap melakukan penelitian yang selanjutnya terjun ke lapangan.
Subjek yang melakukan validasi adalah peneliti sendiri, melalui
evaluasi diri seberapa jauh pemahaman terhadap metode kualitatif,
penguasaan teori dan wawasan terhadap bidang yang diteliti, serta kesiapan
dan bekal memasuki lapangan (Sugiyono, 2012:5). 9Jadi, peneliti
mempunyai peran yang sangat penting dalam penentuan sukses atau
tidaknya suatu penelitian dengan kesiapan peneliti dalam terjun langsung ke
lapangan.
Dalam penelitian ini data yang diteliti adalah data lisan dan tulisan,
oleh sebab itu peneliti dibantu alat-alat seperti alat perekam suara, kamera,
alat tulis dan pedoman wawancara. Pedoman wawancara digunakan agar
wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian.
Pedoman ini di susun tidak hanya berdasarkan tujuan penelitian tetapi juga
berdasarkan teori yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Selain itu
pedoman wawancara sebagai bahan dalam menulis hasil penelitian karena
jika peneliti hanya mengandalkan kemampuan ingatan yang sangat terbatas
peneliti khawatir data yang sudah diperoleh ada yang lupa. Penggunaan
model wawancara tentu saja disesuaikan dengan keberadaan data-data di
lapangan yang diperlukan peneliti. Dengan demikian untuk wawancara yang
terstruktur, seperangkat pertanyaan sudah dipersiapkan terlebih dahulu
dengan mengklasifikasikan bentuk-bentuk pertanyaan.
3.7. Informan Penelitian
Dalam menentukan informan dan menemukan informan, peneliti
menggunakan prosedur purposive, di mana peneliti telah mengetahui siapa
yang akan menjadi informan di dalam penelitiannya. Purposive sample
adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono
2014: 217). Adapun daftar informan yang terdapat dalam penelitian ini yaitu
sebagai berikut:
Tabel 3.1
Daftar Informan Penelitian
No Kategori Informan Kode Ket
I
DPRD Kota Bekasi
(Komisi Pendidikan)
I1
Key
Informan
II
Instansi :
Dinas Pendidikan
I2
Key
Informan
III
Pihak Sekolah (SD dan SMP):
a. Kepala Sekolah I3-1
Key
Informan
b. Guru I3-2
Second
Informan
c. Komite Sekolah / Orang tua
murid I3-3
Second
Informan
IV
Komunitas/LSM:
a. Persatuan Penyandang
Disabilitas Indonesia (PPDI)
Kota Bekasi
I4-1
Second
Informan
b. Persatuan Tuna Netra
Indonesia (Pertuni) Kota
Bekasi
I4-2
Second
Informan
c. LSM yang bergerak di bidang
pendidikan anak penyandang
disabilitas
I4-3
Second
Informan
Sumber: Peneliti,2017
3.8. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data merupakan cara yang digunakan
peneliti untuk mendapatkan data dalam suatu penelitian. Pada penelitian
kali ini peneliti memilih jenis penelitian kualitatif maka data yang
diperoleh haruslah mendalam, jelas dan spesifik.
Selanjutnya adalah bahwa pengumpulan data dapat diperoleh dari
hasil observasi, wawancara, dokumentasi, dan gabungan/triangulasi.
Pada penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan data dengan
cara observasi, dokumentasi, dan wawancara. (Sugiyono,2009: 225)
1. Wawancara
Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data untuk
mendapatkan informasi yang digali dari sumber data langsung melalui
percakapan atau tanya jawab. Wawancara dalam penelitian kualitatif
sifatnya mendalam karena ingin mengeksplorasi informasi secara
holistik dan jelas dari informan (Satori, dan Komariah,2010: 130).
Menurut Berg dalam Satori, dan Komariah (2010: 130)
menyebutkan ada tiga jenis wawancara, yaitu wawancara terstandar,
wawancara semi standar, dan wawancara tidak terstandar.
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan wawancara tidak
terstandar (unstandardized interview) yaitu wawancara yang bebas di
mana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah
tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya.
Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar
permasalahan yang akan ditanyakan.
Wawancara tidak terstandar dalam istilah Esterberg disebut
dengan wawancara tidak terstruktur. Tujuan wawancara tak
berstruktur adalah memperoleh keterangan yang terinci dan mendalam
mengenai pandangan orang lain. (Satori, dan Komariah,2010: 137).
Adapun pedoman wawancara yang telah peneliti buat adalah
sebagai berikut:
Tabel 3.2
Pedoman Wawancara
No Kategori Pertanyaan
1. Karakteristik Masalah
Pertanyaaan-pertanyaan berkisar seputar hal-hal berikut.
1. Standarisasi pendidikan inklusif di sekolah reguler
2. Aksesibilitas pendidikan
3. SDM dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif
4. Pemahaman dari pelaksana kebijakan
2. Karakteristik Kebijakan
1. Besarnya anggaran terhadap kebijakan tersbut
2. Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan
antar berbagai institusi pelaksana
3. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada
badan pelaksana
4. Tingkat komitmen aparat
3. Variabel Lingkungan
1. Aspek Sosial
2. Aspek Budaya
3. Aspek Ekonomi
2. Observasi
Observasi menurut Moloeng dalam Sugiyono (2012:82) adalah
sebagai berikut:
“Kegiatan yang dilakukan untuk mengoptimalkan kemampuan
peneliti dari segi motif, perhatian, perilaku tak sadar, kebiasan dan
sebagainya. Menurutnya, observasi diklasifikasikan menjadi dua
cara yaitu cara berperan serta dan cara yang tidak berperan serta.
Observasi berperan serta, pengamat melakukan dua fungsi
sekaligus yaitu sebagai pengamat dan sekaligus menjadi anggota
resmi dari kelompok yang diamatinya. Namun observasi tanpa
berperan serta, pengamat hanya melakukan satu fungsi yaitu
mengadakan pengamatan.”
Dalam penelitian ini, teknik observasi yang dipakai ialah observasi
tanpa berperan serta. Peneliti hanya sebagai pengamat saja tanpa
menjadi anggota resmi organisasi yang diteliti.
3. Dokumentasi
Analisis dokumen dilakukan untuk mengumpulkan data yang
bersumber dari arsip dan dokumen. Dokumen merupakan catatan
peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan,
gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. Dokumen yang
berbentuk tulisan misalnya catatan-catatan, peraturan, kebijakan,
laporan-laporan. Dokumen yang berbentuk gambar, misalnya foto,
gambar hidup, sketsa dan lain-lain. Studi dokumen merupakan
pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara dalam
penelitian kualitatif. (Sugiyono,2012: 82).
3.9. Teknik Analisis Data
Menurut Irawan (2005:19), teknik analisis data kualitatif adalah
analisis yang dilakukan terhadap data-data non angka. Seperti wawancara
atau catatan laporan, buku-buku, artikel, juga termasuk non tulisan seperti
foto, gambar atau film . Proses analisis data dilakukan secara terus-menerus
sejak data awal dikumpulkan sampai dengan penelitian berakhir. Untuk
memberikan makna terhadap data yang telah dikumpulkan, dianalisis dan
diinterpretasi. Mengingat penelitian ini dilaksanakan melalui pendekatan
kualitatif, maka analisis dilakukan sejak data pertama sampai penelitian
terakhir. Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
dengan menggunakan teknik analisis data kualitatif mengikuti konsep yang
diberikan oleh Prasetya Irawan yakni sebagai berikut:
Gambar 3.5
Proses Analisis Data
(Sumber: Irawan, 2005)
1. Pengumpukan data mentah
Tahap pertama yang dilakukan oleh peneliti adalah mengumpulkan data
mentah. Hal ini diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi ke
lapangan, studi dokumentasi.
2. Transkip Data
Pada tahap ini peneliti mulai merubah data yang diperoleh (baik dari hasil
rekaman saat wawancara, hasil observasi maupun catatan lapangan yang
sebelumnya belum tersusun rapi) kedalam bentuk tertulis.
3. Pembuatan koding
Pada tahap ketiga, peneliti membaca secara teliti transkip data yang telah
dibuat sebelumnya, kemudai memahami secara seksama sehingga
menemukan kata kunci yang akan diberi kode. Hal ini dilaukan peneliti
untuk mempermudah peneliti pada saat mengkategorisasikan data.
4. Kategorisasi data
Pada tahap keempat peneliti mulai menyederhanakan data dengan membuat
kategori-kategori tertentu.
5. Kesimpulan sementara
Pada tahap ini peneliti mengambil kesimpulan sementara data yang telah
dikategorikan sebelumnya.
6. Triangulasi
Triangulasi adala proses check dan recheck antar satu sumber data dengan
sumber data lainya.
7. Kesimpulan akhir
Pada tahap terakhir, peneliti melakukan penyampain akhir atas hasil
penelitian. Di mana pada tahap ini peneliti dapat mengembangkan teori
baru, maupun mengembangkan teori yang sudah ada.
3.10. Uji Keabsahan Data
Pada penelitian ini, pengujian validitas datanya dilakukan dengan
menggunakan teknik triangulasi. Patton yang dikutip oleh Moleong (1999:
178-179) mengemukakan bahwa teknik triangulasi data dibedakan menjadi
empat macam, yaitu :
1. Triangulasi dengan sumber berarti membandingkan dan mengecek
balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui
waktu dan alat yang berbeda dalam metode kualitatif
2. Triangulasi dengan metode memiliki dua strategi, yaitu :
1) Pengecekan derajat kepercayaan penemuan hasil penelitian
beberapa teknik pengumpulan data;
2) Pengecekan derajat kepercayaan beberapa sumber data dengan
metode yang sama.
3. Triangulasi dengan penyidik, yaitu dengan jalan memanfaatkan
peneliti atau pengamat lainnya untuk keperluan pengecekan kembali
derajat kepercayaan data;
4. Triangulasi dengan teori, mendasarkan anggapan bahwa fakta tertentu
tidak dapat diperiksa derajat kepercayaannya dengan satu atau lebih
teori.
Dalam analisis data, peneliti akan menggunakan metode Triangulasi.
Metode Triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfaatkan sumber yang lain diluar data itu, untuk pengecekan atau
pembanding terhadap data itu. Hal ini berarti membandingkan dan
mengecek baik derajat kepercayaan informasi yang diperoleh melalui waktu
dan alat yang berbeda dalam metode kualitaif. Dalam penelitian ini metode
Triangulasi dilakukan peneliti dengan mengecek data melalui wawancara
dengan narasumber. Keabsahan data dilakukan melalui wawancara
mengenai kebenaran informasi yang diberikan oleh narasumber melalui
wawancara dengan Kepala Sekolah.
3.11. Agenda Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan untuk meneliti Implementasi kebijakan
pendidikan inklusif di Kota Bekasi. Waktu penelitiannya dimulai dari bulan
Oktober sampai Februari Tahun 2016.
Tabel 3.3
Jadwal Penelitian
No Kegiatan
Waktu Pelaksanaan
Tahun 2016
Tahun 2017
Oktober
2016
November
2016
Desember
2016
Januari
2017
Februari
2017
Maret
2017
April
2017
Mei
2017
1 Perijinan dan
Observasi Awal
2
Pembimbingan
skripsi bab I
sampai dengan
bab III
3 Seminar
Proposal
4 Revisi Seminar
Proposal
5
Pembimbingan
skripsi bab IV
sampai dengan
bab V
6 Penelitian di
Lapangan
7 Pengolahan Data
8 Sidang Skripsi
9 Revisi Skripsi
BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Deskripsi Objek Penelitian
Objek penelitian adalah hal yang menjadi sasaran penelitian, atau dapat
pula disebut sebagai pokok persoalan yang hendak diteliti untuk mendapatkan
data secara lebih terarah. Deskripsi objek penelitian menggambarkan tentang
objek penelitian yang meliputi lokasi penelitian secara jelas, menjelaskan
mengenai struktur organisasi dan tata kerja (STOK) dari instansi yang menjadi
fokus penelitian, serta hal lainnya yang berhubungan dengan penelitian yang
dilakukan.
4.1.1. Gambaran Umum Kota Bekasi
a. Visi dan Misi
Visi :
“Bekasi Maju, Sejahtera dan Ihsan”
Visi ini dijelaskan sebagai berikut :
“Bekasi Maju” menggambarkan pembangunan Kota Bekasi
dan kehidupan warga yang dinamis, inovatif dan kreatif yang
didukung ketersediaan prasarana dan sarana sebagai bentuk
perwujudan kota yang maju.
“Bekasi Sejahtera” menggambarkan derajat kehidupan warga
Kota Bekasi yang meningkat dengan terpenuhinya kebutuhan dasar
pendidikan, kesehatan, terbukanya kesempatan kerja dan berusaha,
serta lingkungan fisik, social dan religious sebagai bentuk perwujudan
masyarakat yang sejahtera.
“Bekasi Ihsan” menggambarkan situasi terpelihara dan
menguatnya nilai, sikap dan perilaku untuk berbuat baik dalam
lingkup individu, keluarga dan masyarakat Kota Bekasi. Kedisiplinan,
ketertiban social, keteladanan dan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan tumbuh seiring dengan meningkatnya tata kelola
pemerintahan yang baik untuk mewujudkan kehidupan yang beradab.
Misi :
1. Menyelenggarakan tata kelelola kepemerintahan yang baik
Misi ini bermakna bahwa tata kelola kepemerintahan dalam
mewujudkan Visi Kota Bekasi dilakukan melalui fungsi
pengaturan, pelayanan, pemberdayaan masyarakat, dan
pembangunan, menempatkan aparat ur sebagai pamong praja
yang menjunjung tinggi integritas terhadap amanah, tugas, dan
tanggungjawab, berdasarkan 10 (sepuluh) prinsip Good
Governance, yakni: ( 1) Partisipasi masyarakat; (2) Tegaknya
supremasi hukum; (3) Transparansi; (4) Kesetaraan; (5) Daya
tanqqap kepada stakeholders; (6) Berorientasi pada visi; (7)
Akuntabilitas: (8) Pengawasan; (9) Efektivitas dan efisiensi:
(10) Profesionalisme.
Pendekatan yang dilakukan untuk aktualisasi misi ini
melalui penataan sistem, peningkatan kinerja dan penguatan
integritas aparatur.
2. Membangun Prasarana dan sarana yang serasi dengan
dinamika dan pertumbuhan kota
Misi ini bermakna bahwa pembangunan prasarana
diarahkan untuk terpenuhinya kelengkapan dasar fisik
lingkungan kota bagi kehidupan yang layak, sehat, aman, dan
nyaman; terpenuhinya sarana perkotaan untuk mendukung
penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan sosial, budaya,
dan ekonomi; dan terpenuhinya kelengkapan penunjang
(utilitas) untuk pelayanan warga kota. Misi ini juga
mengarahkan pembangunan prasarana dan sarana yang
meningkat dan serasi, untuk memenuhi kehidupan warga kota
yang dinamis, inovatif, dan kreatif, denqan memperhatikan
prinsip pengelolaan, pengendalian, dan pelestarian lingkungan
hidup, dalam mewujudkan kota yang maju, tumbuh dan
berkembang secara berkelanjutan.
3. Meningkatkan kehidupan sosial masyarakat melalui layanan
pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial lainnya.
Misi ini bermakna bahwa layanan pendidikan, kesehatan,
dan layanan sosial lainnya diarahkan untuk meningkatkan
derajat kehidupan sosial masyarakat, seiring dengan
terbangunnya kehidupan keluarga sejahtera, terkelolanya
persoalan dan dampak sosial perkotaan, meningkatnya
partisipasi perempuan dan peran serta pemuda dalam
pembangunan, aktivitas olahraga pendidikan, rekreasi. dan
prestasi. serta aktualisasi budaya daerah sebagai fungsi sosial,
normatif, dan apresiatif.
4. Meningkatkan perekonomian melalui pengembangan usaha
mikro, kecil, dan menengah, peningkatan investasi, dan
penciptaan iklim usaha yang kondusif.
Misi ini bermakna bahwa upaya untuk meningkatkan
perkonomian ditempuh melalui peningkatan kapasitas dan
perluasan sektor usaha bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil dan
Menengah (UMKMJ, pengembangan industri kreatif,
peningkatan daya tarik investasi, dan penciptaan iklim usaha
yang kondusif, yang bermuara pada pembentukan lapangan
kerja baru dan kesempatan berusaha, terbentuknya daya saing
perekonomian kota, dan laju pertumbuhan ekonomi yang
meningkat.
5. Mewujudkan kehidupan masyarakat yang aman, tertib,
tenteram dan damai.
Misi ini bermakna bahwa dinamika pembangunan dan
kehidupan warga Kota Bekasi harus diimbangi dengan upaya
pengendalian terhadap potensi kerawanan sosial, gangguan
ketertiban, penegakan perda, penanggulangan bencana,
kesatuan dan ketahanan bangsa, kerukunan hidup dan umat
beragama, serta meningkatnya partisipasi masyarakat dalam
kegiatan pembangunan.
b. Geografis
Gambar 4.1
Peta Administratif Kota Bekasi
Sumber: www.bekasikota.go.id/
Letak Geografis Kota Bekasi yang berada di 106o48‟28‟‟ –
107o27‟29‟‟ Bujur Timur dan 6
o10‟6‟‟ – 6
o30‟6‟‟ Lintang Selatan ini
merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Kota Bekasi memiliki
luas wilayah daratan seluas 210,49 km2 atau sekitar 0,59% dari
wilayah daratan Provinsi Jawa Barat. Batas Wilayah Kota Bekasi
adalah :
- Sebelah Utara : Kabupaten Bekasi
- Sebelah Selatan : Kabupaten Bogor dan Kota Depok
- Sebelah Barat : Provinsi DKI Jakarta
- Sebelah Timur : Kabupaten Bekasi
Berdasarkan pembagian administratifnya Kota Bekasi dibagi
menjadi 12 kecamatan yaitu Kecamatan Pondok Gede, Jati Sampurna,
Jati Asih, Bantar Gebang, Bekasi Timur, Rawa Lumbu, Bekasi
Selatan, Bekasi Barat, Medan Satria, Bekasi Utara, Mustika Jaya,
Pondok Melati. Berikut daftar luas dan kelurahan berdasarkan
kecamatan di wilayah Kota Bekasi yaitu sebagai berikut:
Tabel 4.1
Luas dan kelurahan berdasarkan kecamatan di Kota Bekasi
Kecamatan Luas (Ha) Kelurahan
Pondok Gede 1.629 5
Jatisampurna 1.449 5
Pondok Melati 1.857 4
Jatiasih 2.200 6
Bantargebang 1.704 4
Mustika Jaya 2.473 4
Bekasi Timur 1.349 4
Rawalumbu 1.567 4
Bekasi Selatan 1.496 5
Bekasi Barat 1.889 5
Medan satria 1.471 4
Bekasi Utara 1.965 6
Jumlah 21.049 56
Sumber: BPS Kota Bekasi
c. Topografi
Kota Bekasi terletak pada ketinggian 19 meter dari
permukaan laut (m dpl), yang memiliki kondisi topografi yang
relatif datar oleh karena itu daerah Kota Bekasi termasuk dalam satuan
dataran rendah yang memiliki potensi banjir cukup tinggi (SLHD
Kota Bekasi dari BPS Kota Bekasi, 2010). Ketinggian kurang dari 25
meter berada pada Kecamatan Medan Satria, Bekasi Utara, Bekasi
Selatan, Bekasi Timur, dan Pondok gede. Sedangkan ketinggian
antara 25–100 meter dpl berada di Kecamatan Bantargebang, Pondok
Melati, dan Jatiasih. Morfologi regional Kota Bekasi relatif
datar dengan kemiringan antara 0 – 2 %, dengan bentuk miring ke
utara, dan menempati daerah yang paling luas di bagian tengah dan
utara sampai ke pantai. Struktur lahan di Kota Bekasi mayoritas terdiri
dari daerah datar yang berawa.
Wilayah dengan ketinggian dan kemiringan rendah
menyebabkan pada beberapa daerah sulit untuk membuang air
limpasan hujan dengan cepat, sehingga sering merupakan langganan
genangan air, yaitu ditemukan di beberapa kecamatan, seperti:
1. Kecamatan Jatiasih, meliputi: Kelurahan Jatirasa, Jatimekar dan
Jatikramat
2. Kecamatan Bekasi Timur, meliputi: Kelurahan Duren Jaya dan
Aren Jaya
3. Kecamatan Rawalumbu, meliputi: Kelurahan Bojong Menteng dan
Pengasinan
4. Kecamatan Bekasi Selatan, meliputi: Kelurahan Jakasetia,
Pekayon Jaya, dan Marga Jaya
5. Kecamatan Bekasi Barat, meliputi Kelurahan Bintara Jaya dan
Kota Baru
6. Kecamatan Pondok Melati, meliputi Kelurahan Jatirahayu.
Profil topografi kota seperti tersebut di atas secara tidak
langsung berpengaruh terhadap penanganan air limbah, yang selama
ini bertumpuk atau terkonsentrasi di beberapa kelurahan, seperti:
Kelurahan Jatimakmur, Kelurahan Jatikramat, Kelurahan Jatimekar,
dan Kelurahan Jatisari (Kecamatan Jatiasih), serta Kelurahan Mustika
Jaya (Kecamatan Bekasi Timur).
d. Demografi
Sejak dibentuk sebagai Kotamadya pada tanggal 10 Maret
1997, mulanya penduduk Kota Bekasi hanya berjumlah 1.471.477
jiwa yang terdiri dari laki-laki 740.467 jiwa dan penduduk perempuan
sekitar 731.010 jiwa. Namun pada tahun 2013, berdasarkan BPS Kota
Bekasi jumlah penduduk tahun 2015 Kota Bekasi mencapai 2.733.240
jiwa. Jumlah ini ternyata meningkat selama empat tahun terakhir,
seperti terlihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 4.2
Jumlah penduduk menurut kecamatan tahun 2011 – 2015
Kecamatan 2011 2012 2013 2014 2015
Pondok Gede 259.542 267.310 275.071 282.817 290.493
Jatisampurna 111.668 117.170 123.024 129.036 135.191
Pondok Melati 135.713 139.725 143.714 147.647 135.191
Jatiasih 209.478 216.260 223.163 230.143 151.577
Bantargebang 101.493 105.019 108.595 112.167 237.162
Mustika Jaya 175.443 187.229 200.281 214.071 115.718
Bekasi Timur 253.884 255.928 257.265 258.391 228.608
Rawalumbu 220.012 227.198 234.499 241.859 259.270
Bekasi Selatan 211.364 215.050 218.361 221.519 224.491
Bekasi Barat 281.971 286.142 289.743 293.144 296.302
Medan satria 168.105 171.769 175.237 178.612 181.870
Bekasi Utara 324.655 334.232 343.866 353.678 363.316
Jumlah 2.453.328 2.523.032 2.592.819 2.663.011 2.733.240
Sumber: BPS Kota Bekasi,2016
Berdasarkan sensus tahun 2011 sampai 2015, Kecamatan Bekasi
Utara merupakan wilayah dengan tingkat kepadatan tertinggi di Kota
Bekasi, sedangkan Kecamatan Bantar Gebang merupakan wilayah dengan
tingkat kepadatan penduduk terendah dibandingkan dengan kecamatan lain,
namun pada tabel diatas terlihat kecamatan ini cenderung meningkat
pertumbuhan penduduknya setiap tahun.
Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk yang mayoritas
tergolong masyarakat kelas menengah ke atas, Bekasi juga gencar
melakukan pembangunan apartemen dan pusat perbelanjaan mewah. Selain
itu Bekasi sebagai kawasan hunian masyarakat urban, kota ini banyak
membangun kota-kota mandiri, di antaranya Kota Harapan Indah, Kemang
Pratama, dan Galaxi City dan terakhir juga sedang pada tahap pembangunan
kota mandiri Summarecon Bekasi seluas 240 ha di kecamatan Bekasi Utara.
4.1.2. Gambaran Umum Dinas Pendidikan Kota Bekasi
Gambar 4.2
Struktur organisasi Dinas Pendidikan Kota Bekasi
Sumber: www.bekasikota.go.id/
a. Struktur Organisasi
Susunan Organisasi Dinas Pendidikan terdiri atas :
1. Kepala Dinas, membawahkan :
2. Sekretariat, membawahkan :
a. Sub Bagian Umum dan Perencanaan
b. Sub Bagian Kepegawaian
c. Sub Bagian Keuanga
3. Bidang Pendidikan Dasar, membawahkan :
a. Seksi Kurikulum
b. Seksi Kelembagaan
c. Seksi Kesiswaan.
4. Bidang Pendidikan Menengah, membawahkan :
a. Seksi Kurikulum
b. Seksi Kelembagaan
c. Seksi Kesiswaan.
5. Bidang Pendidikan Non Formal, Informal dan Pendidikan
Anak Usia Dini,membawahkan :
a. Seksi Pendidikan Anak Usia Dini
b. Seksi Pendidikan Masyarakat
c. Seksi Kursus dan Kelembagaan.
6. Bidang Bina Program, membawahkan :
a. Seksi Data dan Perencanaan Program
b. Seksi Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan
c. Seksi Pengawasan Sarana dan Prasarana.
7. UPTD.
8. Kelompok Jabatan Fungsional.
Berikut ini daftar nama yang mengisi rincian struktur organisasi
pada Dinas Pendidikan Kota Bekasi :
KEPALA DINAS PENDIDIKAN KOTA BEKASI
Cucu Much. Syamsudin, SH
I. SEKRETARIAT
Dr. H. Inayatulah ~ Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Bekasi
Hj. Eni Holidah, S.Pd, M.Si ~ Kasubag Perencanaan
Dra. Yanti Mariawati ~ Kasubag Umum dan Kepegawaian
Muhammad Taufik, SE ~ Kasubag Keuangan
II. BIDANG PENDIDIKAN DASAR
Krisman Irwandi, SE, M.Si ~ Kepala Bidang Pendidikan Dasar
Dewi Rosita, S.Pd, MM.Pd ~ Kasie SD
Hj. Yeni Hartati, S.Pd, M.Si ~ Kasie SMP
Sri Yulinarti, M.Pd ~ Kasie GTK
III. BIDANG PENDIDIKAN ANAK USIA DINI DAN PENDIDIKAN
MASYARAKAT
Yopik Roliyah, S.Pd, MM ~ Kepala Bidang PAUD dan Dikmas
Anharudin, S.Pd, M.Si ~ Kasie PAUD
Kawiyati, S.Pd, M.Si ~ Kasie Dikmas (Pendidikan Masyarakat)
Dra. Hj. Sri Susanti, MM ~ Kasie GTK PAUD dan Dikmas
Yunus, S.Pd, MM ~ Kasie Sarana dan Prasarana PAUD dan Dikmas
IV. BIDANG PRASARANA DAN SARANA PENDIDIKAN
Uu Saeful Mikdar, S.Pd, MM ~ Kepala Bidang Sarpras
Ir. Ariyadi, MT ~ Kasie Sarpras SD
Triani Emi Suswati, M.Pd ~ Kasie Sarpras SMP
Sri Yulinarti, M.Pd ~ Kasie Sarpras PAUD dan Dikmas
V. BIDANG PERENCANAAN DAN PROGRAM
Dra. Hj. Tria Rustiana, M.Pd ~ Kepala Bidang Perencanaan dan Program
Dra. Luki Siswantini, M.Si ~ Kasie Data Perencanaan dan Program
Drs. H.M Zaini, M.MPd ~ Kasie Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan
Rustono, S.Pd, MH ~ Kasie Tugas Pembantuan dan Pengembangan
VI. UPTD PEMBINAAN SEKOLAH DASAR
Nahrowi, S.Pd ~ Kepala UPTD Pembinaan SD Bekasi Timur
Hj. Sukarmi, S.Pd ~ Kepala UPTD Pembinaan SD Bekasi Barat
Ajum, S.Pd ~ Kepala UPTD Pembinaan SD Bekasi Selatan
Yeni Suharyani, S.Pd ~ Kepala UPTD Pembinaan SD Bekasi Utara
Iwan Sukmawan, S.Pd, M.Pd ~ Kepala UPTD Pembinaan SD Medansatria
Epih Hanafi, S.Pd ~ Kepala UPTD Pembinaan SD Pondokgede
Januk Suwardi, S.Pd ~ Kepala UPTD Pembinaan SD Jatiasih
Marwah Zaitun, S.Pd ~ Kepala UPTD Pembinaan SD Mustikajaya
Sugito, S.Pd ~ Kepala UPTD Pembinaan SD Rawalumbu
Nanin, S.Pd ~ Kepala UPTD Pembinaan SD Bantargebang
Markid, S.Ag ~ Kepala UPTD Pembinaan SD Pondokmelati
Dra. Mulyani, MM ~ Kepala UPTD Pembinaan SD Jatisampurna
Moch. Ridwan Hermawan ~ Kasubag TU Pembinaan SD Bantargebang
Yuli Dame, SE, M.Pd ~ Kasubag TU UPTD Pembinaan SD Bekasi
Selatan
Pahriah ~ Kasubag TU Pembinaan SD Bekasi Timur
Ruddy Kasenda, S.Pd ~ Kasubag TU Pembinaan SD Jatisampurna
Suharjono, S.Pd ~ Kasubag TU Pembinaan SD Medansatria
Endang Prihatin, S.Pd ~ Kasubag TU Pembinaan SD Rawalumbu
Wijayanti, S.Si ~ Kasubag TU UPTD Pembinaan SD Kecamatan
Mustikajaya
Intan Nursafrini, SE, MM ~ Kasubag TU UPTD Pembinaan SD
Kecamatan Pondokmelati
Sau Mulyana, S.AP ~ Kasubag TU UPTD Pembinaan SD Bekasi Utara
Kartika Sukmawati Lubis, S.Pd.I ~ Kasubag TU UPTD Pembinaan SD
Jatiasih
Poppy Febriana, SE ~ Kasubag TU UPTD Pembinaan SD Pondokgede
Rohamah, SE, M.Si ~ Kasubag TU Pembinaan SD Bekasi Barat
VII. UPTD PEMBINAAN NON FORMAL
Dra. Hj. Atin Supriatin, M.M.Pd ~ Kepala UPTD Pembinaan Non Formal
Bekasi Timur
Abidin Sudarman, S.Pd ~ Kepala UPTD Pembinaan Non Formal Bekasi
Selatan
Neneng Mulyantini ~ Kepala UPTD Pembinaan Non Formal Bekasi Barat
Efinis, S.Pd, M.Pd ~ Kepala UPTD Pembinaan Non Formal Bekasi Utara
Iis Etik Kusmiati, S.Sos ~ Kepala UPTD Pembinaan Non Formal
Bantargebang
Gaya Sutardi, M.M.Pd ~ Kepala UPTD Pembinaan Non Formal Jatiasih
Syamsudin, S.Ag ~ Kepala UPTD Pembinaan Non Formal Medansatria
Hj. Murtiani, S.Sos, MM ~ Kepala UPTD Pembinaan Non Formal
Mustikajaya
Jalih, S.Ag ~ Kepala UPTD Pembinaan Non Formal Pondokgede
Sudariyah, S.Pd, MM ~ Kepala UPTD Pembinaan Non Formal
Rawalumbu
Ojak Rohmana, S.Pd ~ Kepala UPTD Pembinaan Non Formal
Pondokmelati
Drs. Muhamad Sukim ~ Kepala UPTD Pembinaan Non Formal
Jatisampurna
b. Tupoksi Dinas Pendidikan
Dinas Pendidikan mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan
pemerintahan daerah bidang pendidikan berdasarkan asas otonomi dan tugas
pembantuan meliput pendidikan dasar, pendidikan menengah dan
pendidikan non formal, informal dan Pendidikan Anak Usia Dini serta bina
program.
Untuk menyelenggarakan tugas pokok sebagaimana dimaksud,
Dinas Pendidikan menyelenggarakan fungsi :
a. Perumusan kebijakan teknis pendidikan di daerah
b. Penyelenggaraan urusan pemerintahan dan pelayanan umum di
bidang pendidikan sesuai dengan lingkup tugasnya
c. Pembinaan dan pelaksanaan tugas teknis operasional di bidang
pendidikan meliputi pendidikan dasar, pendidikan menengah,
pendidikan non formal, informal dan Pendidikan Anak Usia
Dini serta bina program
d. Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Walikota sesuai
dengan tugas dan fungsinya.
4.2. Deskripsi Data
4.2.1. Deskripsi Data Penelitian
Deskripsi data penelitian merupakan penjelasan tentang data
yang didapatkan dari hasil penelitian di lapangan. Peneliti menggunakan
teori implementasi kebijakan Mazmanian dan Sabatier yang menyatakan
bahwa tiga variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi
kebijakan antara lain:
1. Karakteristik dari masalah: hambatan-hambatan, dan aspek-aspek
yang memicu terjadinya permasalahan pada implementasi kebijakan
pendidikan inklusif.
a. Standarisasi sarana dan prasarana pada sekolah inklusif
b. Aksesibilitas pendidikan
c. SDM dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif
d. Pemahaman dari pelaksana kebijakan
2. Karakteristik kebijakan: kesiapan dan konsistensi para stakeholder
untuk menjalankan wewenang dan tanggungjawabnya dalam
implementasi kebijakan pendidikan inklusif.
a. Besarnya anggaran pada kebijakan pendidikan inklusif
b. Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar berbagai
institusi pelaksana
c. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana
d. Tingkat komitmen aparat
3. Variabel Lingkungan: keberhasilan implementasi kebijakan
dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, seperti Aspek ekonomi,
sosial dan budaya.
a. Aspek Ekonomi
b. Aspek Sosial
c. Aspek Budaya
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode penelitian kualitatif sehingga data yang diperoleh bersifat
deskriptif dan berbentuk kata dan kalimat yang didapatkan dari hasil
wawancara, hasil observasi lapangan, dan dokumentasi
(Moleong,2013:307). Proses pencarian dan pengumpulan data yang
dilakukan peneliti secara investigasi, dimana peneliti melakukan
wawancara dengan sejumlah informan yang berkaitan dengan masalah
dalam penelitian ini, sehingga peneliti mendapatkan informasi sesuai
dengan yang diharapkan. Peneliti telah menentukan informan dari awal
dengan menggunakan teknik Purposive. Purposive sampling adalah
teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu
(Sugiyono,2013:218). Untuk menganalisa data kualitatif tersebut,
peneliti menggunakan teori Mazmanian dan Sabatier yang terdiri dari
tiga variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan
diantaranya yaitu:
1. Karakteristik dari masalah
2. Karakteristik kebijakan atau perda
3. Variabel Lingkungan
Data-data yang peneliti dapatkan adalah data yang berkaitan
dengan implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Kota Bekasi. Hasil
yang diperoleh dari wawancara, observasi lapangan, dan kajian pustaka
kemudian dibentuk secara tertulis dengan dibentuk pola serta dibuat
kode-kode pada aspek tertentu berdasarkan jawaban-jawaban yang sama
dan berkaitan dengan pembahasan, permasalahan penelitian serta
dilakukan kategorisasi. Dalam menyusun jawaban hasil wawancara,
peneliti memberikan kode-kode sebagai berikut yaitu:
1. Kode Q1dan seterusnya untuk menunjukkan item pertanyaam
2. Kode A1dan seterusnya untuk menunjukkan item jawaban
3. Kode I1 untuk menunjukkan DPRD Kota Bekasi (komisi pendidikan)
4. Kode I2 untuk menunjukkan Dinas Pendidikan
5. Kode I3-1 untuk menunjukkan Kepala Sekolah
6. Kode I3-2 untuk menunjukkan Guru
7. Kode I3-3 untuk menunjukkan Komite Sekolah atau Wali Murid
8. Kode I4-1 untuk menunjukkan Komunitas atau LSM Persatuan
Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kota Bekasi
9. Kode I4-2 untuk menunjukkan Komunitas atau LSM Persatuan Tuna
Netra Indonesia (Pertuni) Kota Bekasi
4.2.2. Deskripsi Informan Penelitian
Informan menurut Moleong (2006 : 132) adalah orang yang
dimanfaatkan untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi
latar penelitian dalam hal ini adalah tentang Implementasi Kebijakan
Pendidikan Inklusif di Kota Bekasi. Peneliti menggunakan teknik
purposive untuk menentukan siapa yang akan menjadi informan dalam
penelitian ini.
Berdasarkan pada lokasi penelitian, maka peneliti memilih
informan yang ikut berwenang dalam implementasi kebijakan pendidikan
inklusif di Kota Bekasi. Adapun informan yang peneliti tetapkan sebagai
informan terdiri dari empat kategori yaitu DPRD Kota Bekasi, Instansi
Dinas Pendidikan, pihak sekolah dalam hal ini SD dan SMP, dan
komunitas atau LSM. Berikut ini adalah tabel spesifikasi daftar informan
penelitian:
Tabel 4.3
Spesifikasi Informan Penelitian
No Kategori Informan
Kode
Informan
Nama Informan
Jabatan
Informan
I
DPRD Kota Bekasi
(Komisi Pendidikan)
I1 Daddy Kusrady
Sekretaris Komisi
IV
II
Instansi :
Dinas Pendidikan
I2 Dedi Hernawan
Staf bidang
Dikdas
III
Pihak Sekolah (SD dan SMP):
d. Kepala Sekolah
I3-1.1 1.Dra. Nur Fadhliyah, M.Pd
Kepala Sekolah
SMP IT YPI 45
Bekasi
I3-1.2 2.Drs. Ismanuddin Rahman
Kepala Sekolah
SDN Kalibaru IV
I3-1.3 3.Wirya Shindy, S.Pd.I
Kepala Sekolah
SDS Al Izzah
I3-1.4 4.Hj. Aryuni, S.Pd
Kepala Sekolah
SDN Bantar
Gebang IV
e. Guru
I3-2.1 1.Sri Syayutin
Guru walikelas
VIII
SMP IT YPI 45
I3-2.2 2.Fachrur Ryzza
Wakil Kepala
Sekolah dan guru
mata pelajaran ipa
I3-2.3 3.Yosha Yanuar
Guru walikelas VI
SDN Bantar
Gebang IV
I3-2.4 4.Putri
Guru pendamping
khusus SDS Al
Izzah
I3-2.5 5.Heni Handayani
Guru Walikelas I
dan II SDN
Bantar Gebang IV
f. Komite Sekolah / Orang
tua murid
I3-3.1 1.Gina
Orang tua murid
ABK kelas II
SDN Kalibaru IV
I3-3.2 2.Ati
Orang tua murid
ABK kelas II
SDN Kalibaru IV
I3-3.3 3.Ani
Komite Sekolah
SDN Bantar
Gebang IV
Komunitas/LSM :
d. Persatuan Penyandang
Disabilitas Indonesia
(PPDI) Kota Bekasi I4-3.1
1.Angga
Wakil Ketua PPDI
e. Persatuan Tuna Netra
Indonesia (Pertuni) Kota
Bekasi
Bendahara Pertuni
Sumber: Peneliti,2017
4.2.3. Model Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian Implementasi
Kebijakan Pendidikan Inklusif di Kota Bekasi ini menggunakan model
analisis data menurut Prasetya Irawan (2005), yang mana prosesnya
mencakup beberapa langkah yaitu yang pertama pengumpulan data
mentah. Dalam tahap pengumpulan data mentah yang dimaksud adalah
peneliti mengumpulkan data yang diperoleh melalui wawancara
mendalam, observasi ke lapangan, dan studi dokumentasi.
Langkah kedua yang dilakukan adalah Transkrip Data.
Transkrip data adalah peneliti mulai merubah data yang diperoleh, baik
dari hasil rekaman saat wawancara, hasil observasi, maupun catatan
lapangan yang sebelumnya belum tersusun dengan rapi ke dalam bentuk
tertulis. Dalam penelitian ini, transkrip data dibutuhkan untuk melihat
data yang sesuai dengan kebutuhan anak berkebutuhan khusus (ABK)
dalam aspek pendidikan maupun tindakan dari pemerintah yang terkait.
Langkah ketiga yang dilakukan adalah Pembuatan Koding.
Pembuatan Koding artinya peneliti membaca secara teliti transkrip data
yang telah dibuat sebelumnya, kemudian memahami secara seksama
sehingga menemukan kata kunci yang akan diberi kode. Hal ini
dilakukan peneliti untuk menganalisa Implementasi Kebijakan
Pendidikan Inklusif di Kota Bekasi dan untuk mempermudah peneliti
pada saat mengkategorisasikan data dengan banyaknya informan
penelitian yang telah ditentukan oleh peneliti.
Langkah keempat yang dilakukan adalah Kategorisasi Data.
Kategorisasi Data adalah peneliti mulai menyederhanakan data dengan
membuat kategori-kategori tertentu untuk memudahkan dalam
pengambilan kesempatan. Langkah kelima adalah Kesimpulan
Sementara. Pada tahap ini peneliti mengambil kesimpulan sementara data
yang telah dikategorikan sebelumnya. Langkah keenam adalah
Triangulasi. Triangulasi artinya adalah proses check dan recheck antar
satu sumber data dengan sumber data lainnya. Dalam penelitian
Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif di Kota Bekasi, proses
triangulasi sangat dibutuhkan karena adanya kebijakan ini sudah diatur
dalam Peraturan Daerah Kota Bekasi No. 13 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan serta Peraturan lainnya.
Oleh sebab itu data yang telah peneliti dapatkan melaluui wawancara
maupun data yang diterima dari informan penelitian harus tetap di check
ulang dengan peraturan yang semestinya yang tertuang pada Peraturan
Daerah serta peraturan lainnya.
Langkah terakhir yaitu Kesimpulan Terakhir. Pada tahap
terakhir, peneliti melakukan penyampaian akhir atas hasil penelitian. Di
mana pada tahap ini peneliti dapat mengembangkan teori baru maupun
mengembangkan teori yang sudah ada. Dalam penelitian Implementasi
Kebijakan Pendidikan Inklusif di Kota Bekasi tidak memungkinkan
untuk membuat teori baru, sehingga peneliti akan mengembangkan teori
yang sudah ada, yaitu teori implementasi kebijakan menurut Mazmanian
dan Sabatier dan dari teori-teori lainnya yang berkaitan dengan
kebijakan pendidikan inklusif dari Menteri Dalam Negeri yang tertuang
dalam Permendagri No.70 tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi
Peserta Didik Yang Berkelainan Dan Atau Memiliki Bakat Istimewa
maupun Peraturan perundang-undangan tentang Pendidikan lainnya.
4.3. Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif di Kota Bekasi
Kebijakan pendidikan inklusif sudah ada sejak adanya Undang-
Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1 dan Undang-Undang No.20 Tahun 2003
tentang sistem Pendidikan Nasional dapat disimpulkan bahwa negara
memberikan jaminan sepenuhnya kepada anak berkebutuhan khusus untuk
memperoleh layanan pendidikan yang bermutu.
Undang-Undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional memberikan warna lain dalam penyediaan
pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus. Inilah yang memungkinkan
terobosan bentuk pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
berupa penyelenggaraan pendidikan inklusi. Kemudian Kementrian Dalam
Negeri memuat Peraturan yang lebih khusus tentang pendidikan inklusif
dalam Permendagri No.70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif Bagi
Peserta Didik Yang Berkelainan Dan Atau Memiliki Bakat Istimewa.
Pemerintah Kota Bekasi sendiri membuat kebijakannya terkait
pendidikan inklusif pada Peraturan Daerah No.13 Tahun 2014 Tentang
Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, yang dimana di dalam
peraturan tersebut sedikit memuat tentang pendidikan inklusif.
Pendidikan inklusif sebenarnya telah diterapkan di Kota Bekasi
sejak adanya peraturan atau undang-undang yang dimaksud diatas, namun
banyak faktor-faktor yang menyebabkan terhambatnya implementasi
kebijakan pendidikan inklusif di Kota Bekasi ini sehingga penyelenggaraan
pendidikan inklusif pada sekolah reguler atau umum tidak berjalan dengan
baik dan kebutuhan pada anak berkebutuhan khusus di sekolah pun tidak
dapat terpenuhi.
Saat ini jumlah sekolah reguler atau umum penerima anak
berkebutuhan khusus di Kota Bekasi yang terdata oleh Dinas Pendidikan di
Kota Bekasi yaitu terdapat sembilan sekolah terdiri dari empat sekolah dasar
negeri (SDN), empat sekolah dasar swasta (SDS), dan satu sekolah
menengah pertama (SMP) swasta YPI 45 Bekasi. Berikut adalah tabel
sekolah penerima peserta didik difabel di Kota Bekasi yaitu sebagai berikut:
Tabel 4.4
Daftar Sekolah Penerima Peserta Didik Difabel di Kota Bekasi
Sekolah Kecamatan Jumlah siswa (ABK)
SMP YPI 45 Bekasi Timur 3
SDN Jatimekar 1 Jatiasih 24
SDN Bantar Gebang IV Bantar Gebang 21
SDN Kalibaru IV Medan Satria 30
SDN Jatiwaringin III Pondok Gede 22
SDS IQRO Pondok Gede 15
SDS Al Izzah Medan Satria 5
SDS Permata Ananda Bekasi Barat 35
SDS YPI 45 Bekasi Timur 6
Keterangan Sumber:
Data Sekolah : Dinas Pendidikan Kota Bekasi
Jumlah Siswa : Peneliti
4.3.1. Karakteristik Masalah
Menurut Mazmanian dan Sabatier (Subarsono, 2005: 94),
terdapat tiga kelompok yang mempengaruhi keberhasilan implementasi.
Salah satu komponen tersebut adalah karakteristik masalah. Dalam
penelitian ini, komponen karakteristik masalah terdiri dari indikator
masalah dan kendala.
Hasil analisis wawancara dan temuan lapangan yang peneliti
lakukan, dapat dinyatakan bahwa belum akuratnya standarisasi sarana dan
prasarana dalam penyelenggaraan dan pengelolaan pendidikan inklusif di
sekolah reguler atau umum, terbatasnya aksesibilitas anak berkebutuhan
khusus dalam mendapatkan pendidikan diakibatkan karena banyak sekolah
yang terdapat pada setiap kecamatan tidak mau menerima anak
berkebutuhan khusus di dalamnya, rendahnya pemahaman tenaga pendidik
di sekolah reguler di bidang pendidikan khusus, serta ketiadaan guru
pembimbing khusus yang bertugas untuk membantu anak berkebutuhan
khusus dalam proses pembelajaran di sekolah.
Sesuai dengan Permendagri No.70 Tahun 2009, dapat di simpulkan
bahwa standarisasi sekolah penyelenggara pendidikan inklusif diantaranya
yaitu terdapat paling sedikit satu orang guru pembimbing khusus pada
satuan pendidikan yang ditunjuk maupun yang tidak ditunjuk untuk
menyelenggarakan pendidikan inklusif, memberikan kompetensi di bidang
pendidikan khusus bagi pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan
pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif, serta memiliki dukungan
sesuai dengan kebutuhan nya yang diperoleh melalui bantuan profesional
dari pemerintah kabupaten/kota.
1. Standarisasi sarana dan prasarana pada sekolah inklusif
Dalam hal standarisasi sarana dan prasarana bagi anak
berkebutuhan khusus, sudah menjadi salah satu permasalahan yang dialami
baik itu pada sekolah negeri maupun swasta. Kurangnya bantuan dari
pemerintah menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan
permasalahan ini terjadi. Hal yang terkait standarisasi sarana dan prasarana
bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah penyelenggara pendidikan
inklusif diungkapkan oleh informan-informan sebagai berikut:
Hal ini disampaikan oleh I3-1.1 yang mengungkapkan kepada
peneliti sebagai berikut:
“Sarana dan prasarana sama seperti anak-anak normal yang lain,
karena apabila membuat sarana dan prasarana khusus maka akan
membebani biaya operasional sekolah. Tidak ada yang berbeda,
semuanya sama. Misalnya dalam hal olahraga, semua anak tanpa
terkecuali anak berkebutuhan khusus (ABK) melakukan kegiatan
olahraga yang sama bersama-sama dengan anak yang lainnya.
Tetapi untuk anak berkebutuhan khusus, bila mereka sudah lelah
kita tidak memaksakan.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, peneliti dapat mengetahui bahwa
selama ini anak berkebutuhan khusus selalu disamakan dengan anak normal
lainnya dalam hal sarana dan prasarana di sekolah. Hal ini juga di
sampaikan oleh I3-2.2 yang mengungkapkan kepada peneliti sebagai berikut:
“Sarana dan prasarana bagi anak berkebutuhan khusus seharusnya
memang berbeda, tetapi di sini kan sebenarnya sekolah umum
cuman yang diberikan kepercayaan oleh dinas untuk menerima
anak inklusi. Tetapi pada dasarnya sekolah kita itu tidak siap secara
tenaga pengajar maupun sarana prasana nya. Tapi, pihak
pemerintah sudah menentukan sekolah-sekolah mana yang di titipi
anak inklusi. Nah ini ada ketidaksesuaian, artinya pemerintah
menitipkan anak-anak inklusi pada sekolah-sekolah umum tetapi
tidak di pikirkan sarana prasarana nya maupun tenaga
pengajarnya.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, peneliti dapat mengetahui bahwa
sekolah yang ditetapkan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat sebagai
sekolah inklusif tidak memiliki kesiapan apapun termasuk dalam hal yaitu
sarana dan prasarana yang menunjang bagi anak berkebutuhan khusus di
sekolah.
Hal terkait sarana dan prasarana pun juga disampaikan oleh I3-2.1
yang mengungkapkan kepada peneliti sebagai berikut:
“Sarana dan prasarana khusus itu belum ya, di sini masih secara
umum saja. Mungkin kalau sekolah yang bisa secara khusus itu
yang sudah di back up penuh oleh pemerintah.”
Berdasarkan hasil wawancara diatas, peneliti dapat mengetahui
bahwa sekolah yang bisa memberikan sarana dan prasrana untuk anak
berkebutuhan khusus merupakan sekolah yang secara penuh dibantu oleh
pemerintah. Sedangkan pada SMP IT YPI 45 Bekasi belum mendapatkan
bantuan apapun dalam hal sarana dan prasarana bagi anak berkebutuhan
khusus di sekolahnya. Berikut adalah foto ruangan kelas pada SMP IT YPI
45 Bekasi yaitu sebagai berikut:
Gambar 4.3
Ruang Kelas SMP IT YPI 45 Bekasi
Dalam foto tersebut, dapat terlihat bahwa sarana yang digunakan
dalam proses pembelajaran bagi ABK di sekolah tersebut sama atau tidak
berbeda dengan anak-anak normal lainnya.
Kemudian, permasalahan sarana dan prasarana anak berkebutuhan
khusus di sekolah pun alami oleh SDN Kalibaru IV, hal terkait ini
disampaikan oleh I3-1.2 yang mengungkapkan kepada peneliti sebagai
berikut:
“Berbeda, soalnya kan mereka butuh alat bantu ya, kalau yang ga
bisa jalan pakai kursi roda, yang ga bisa dengar pun ada alat
pendengaran nya. Tapi alat itu biasanya mendapat bantuan dari
Dinas Pendidikan Provinsi. Sekolah ini pun dapat SK sebagai
sekolah inklusif dari sana bukan dari Dinas Kota. Tapi sejak dua
tahun terakhir ini tidak mendapat bantuan apa-apa. Jadi Dinas
Pendidikan Kota Bekasi itu tidak tau menahu, paling hanya
mendata saja. Bisa di bilang mereka itu tidak perhatian dengan
pendidikan inklusif. Di kecamatan Medan Satria, sekolah inklusif
itu hanya kita saja. Tapi kalau sekota Bekasi itu setahu saya kira-
kira ada lima.”
Berdasarkan pernyataan diatas, peneliti dapat mengetahui bahwa
sarana dan prasarana bagi anak berkebutuhan khusus pada SDN Kalibaru IV
baru hanya pada alat bantu saja sesuai dengan keterbatasan apa yang anak
tersebut miliki. Alat bantu itupun sudah dua tahun terakhir, sekolah tidak
mendapatkan bantuan alat tersebut. Peneliti mendapatkan informasi juga
yaitu selama ini bantuan hanya diberikan oleh Dinas Pendidikan Provinsi
Jawa Barat, sedangkan Dinas Pendidikan Kota Bekasi sendiri belum pernah
sama sekali memberikan bantuan terkait pendidikan inklusif. Berikut ini
adalah gambar ruang kelas pada SDN Kalibaru IV yaitu sebagai berikut:
Gambar 4.4
Ruang kelas SDN Kalibaru IV
Selanjutnya, informan I3-1.2 menambahkan pernyataan nya kepada
peneliti sebagai berikut:
“Kalau terkait kurikulum sama, seperti SD yang lain. KTSP dan
kurtilas yaitu kurikulum tahun 2013. Tapi sekarang yang berjalan
kurikulum 2013 untuk kelas satu dan kelas empat. Kelas dua, tiga,
lima dan enam masih KTSP karena belum ada diklat dari sana.
Tapi kalau tahun 2019, semua sekolah wajib menggunakan
kurikulum tahun 2013.”
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, peneliti dapat mengetahui
bahwa dalam tidak ada kurikulum yang berbeda bagi anak berkebutuhan
khusus, kurikulum yang di pakai baik itu bagi anak berkebutuhan khusus
maupun anak yang normal tidak dibedakan sama sekali.
Moh. Takdir Ilahi (2013:168) mengatakan bahwa kurikulum
penting untuk menata arah dan tujuan kependidikan yang sesuai dengan
kebutuhan anak didik tanpa mengabaikan hak-haknya yang belum tercapai.
Secara sederhana, kurikulum merupakan bagian penting dari setiap
perencanaan pendidikan yang mempengaruhi arah dan tujuan anak didik
dalam lembaga pendidikan.
Adaptasi kurikulum merupakan salah satu cara untuk pemenuhan
hak bagi ABK yang berada di sekolah inklusif. Karena setiap individu
memiliki keterbatasan maka pembelajaran pun disesuaikan dengan
keberadaan siswa. Untuk memperlancar proses KBM nya maka diperlukan
rencana untuk membuat adaptasi kurikulum agar semua ABK dapat
terlayani dengan baik.
Hal terkait sarana dan prasarana bagi anak berkebutuhan khusus
(ABK) juga disampaikan oleh I3-3.1 yang mengungkapkan kepada peneliti
sebagai berikut:
“Sarana dan layanan nya masih umum ya, itu mah kan guru nya
harus yang ngerti anaknya bisa nya gimana. Ibaratnya tertarik sama
satu hal kan mungkin bisa di arahin kemana, ya kalo kaya gini kan
bingung kalo ngikutin yang umum kan anaknya ga bisa.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, peneliti dapat mengetahui bahwa
sarana dan prasarana yang masih umum pada sekolah inklusif membuat
orang tua merasa bingung karena anaknya tidak dapat mengikuti layaknya
anak-anak normal lainnya. Hal yang sama juga di sampaikan oleh I3-3.2 yang
mengungkapkan kepada peneliti sebagai berikut:
“Sarana dan prasarana di sekolah ini belum sepenuhnya baik ya
menurut saya. Kalau anak saya itu kan lambat ya belajarnya, dulu
sih pernah itu kelas satu di pisah kelasnya cuman kalo sekarang
udah engga.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat diketahui para orang tua
mengeluhkan sarana dan prasarana pada sekolah inklusif yang belum baik
bagi anak berkebutuhan khusus. Mereka merasa hal ini sangat berpengaruh
terhadap proses pembelajaran anaknya di sekolah.
Ketiadaan sarana dan prasarana bagi anak berkebutuhan khusus
juga disampaikan oleh I3-2.3 yang mengungkapkan kepada peneliti sebagai
berikut:
“Sama sih ya ga ada yang beda. Kalau untuk guru pendamping sih
ya seharusnya ada tapi ini kan kita ga punya. Saya juga kan pernah
ikut diklat ya di Bandung khusus tentang sekolah inklusif, dan
ternyata anak dari kepala dinas nya itu sendiri juga anak
penyandang tuna grahita yang lebih berat. Kalau untuk kurikulum
harusnya sih beda ya, tapi ini yang kita pake itu sama, yaitu
KTSP.”
Berdasarkan hasil wawancara, peneliti dapat mengetahui bahwa
sarana dan prasarana yang terdapat pada sekolah inklusif masih bersifat
umum, artinya semua sarana dan prasarana yang digunakan bagi anak
brerkebutuhan khusus sama sekali tidak ada yang berbeda dengan anak
normal lainnya.
Namun, kenyataan yang sedikit berbeda teradpat pada SDS Al
Izzah yang bertempat di ruko Harapan Baru Kota Bekasi. Hal ini
disampaikan oleh I3-1.3 yang mengungkapkan kepada peneliti sebagai
berikut:
“Oh kalau sarana dan prasarana untuk ABK dengan anak yang
normal jelas banyak bedanya, pertama dari metode belajar, kalau
untuk yang normal gitu kita bisa belajar sama-sama dalam kelas
tapi kalau ABK ga bisa, jadi dia harus real, sebisa mungkin kita
harus jelas kalau kita mau menunjukkan gerak benda gitu kita
bener-bener harus nunjukkin benda nya walaupun sama anak
normal juga kadang gitu sih ya cuman untuk ABK tuh harus lebih
konkrit ya ngajarin nya sama mereka.”
Berdasarkan pernyataan diatas, peneliti dapat mengetahui bahwa
pihak sekolah memberikan perhatian yang cukup besar pada anak
berkebutuhan khusu (ABK) di sekolahnya. Cara mengajarnya pun sekolah
memilih untuk mengajar dengan metode yang lebih konkrit agar siswa dapat
memahami.
Selain itu, masih terdapat sarana dan prasarana yang berbeda bagi
anak berkebutuhan khusus di SDS Al Izzah. Hal ini disampaikan oleh I3-1.3
yang mengungkapkan kepada peneliti sebagai berikut:
“Ada, kalo misalnya memulai pelajaran kadang-kadang butuh alat
kaya semacam permainan gitu ya. Sebenarnya kita juga mesen
cuman belum dikirim, sejenis trampolin, alat keseimbangan, benda-
benda warna warni itu yang menstimulus mereka. Jadi selama ini
kita masih pakai alat-alat yang simpel dulu aja kaya batu kerikil
kecil-kecil yang warna-warni.”
Berdasarkan hasil wawancara diatas, peneliti dapat mengetahui
bahwa usaha dari pihak sekolah inklusif dalam hal pengadaan sarana dan
prasarana bagi ABK juga berpengaruh besar untuk membantu proses
pembelajaran ABK di sekolah. Jika pihak sekolah inklusif menaruh
perhatian yang besar pada keberadaan ABK di sekolahnya, maka pihak
sekolah inklusif dapat melakukan adaptasi kurikulum dengan
mempertimbangkan jenis hambatan yang dialami oleh siswa yang
bersangkutan dan juga melakukan modifikasi dalam proses pembelajaran.
Terkait hal ini disampaikan juga oleh I3-2.4 yang mengungkapkan kepada
peneliti sebagai berikut:
“Kalau untuk ruang khusus atau assesmen itu kita ga ada ya.
Anak-anak itu ya belajar di kelas aja kalau memang anaknya ga
mau di kelas kita bawa keluar ya kaya sekarang gini. Tergantung
anak nya juga kita kondisikan. Prana juga kalau di kelas, dia kan
tajamnya di pendengaran jadi dia pintu kebuka sedikit nengok
kalau ada suara apa maunya nengok makanya mending saya bawa
keluar aja kalau untuk belajar tapi biasanya sih selalu di kelas
cuman pelajaran tertentu aja.”
Berdasarkan pernyataan diatas, peneliti dapat mengetahui bahwa
menyesuaikan cara mengajar anak berkebutuhan khusus (ABK) sesuai
dengan jenis hambatan yang dimiliki merupakan satu hal yang sangat
penting bagi mereka agar dapat berkonsentrasi dan memahami setiap materi
yang guru ajarkan.
Hal terkait standarisasi sarana dan prasarana disampaikan oleh I3-1.4
yang mengungkapkan kepada peneliti sebagai berikut:
“Sekolah inklusif itu ada tapi cuman namanya aja kenyataan tapi
ga ada fasilitasnya gitu ya. Jadi semuanya itu langsung ke dinas
provinsi jadi semuanya langsung ke provinsi ga ke kota. Ada janji
juga dulu mau ada kurikulum khusus yang inklusi tapi sampai
sekarang juga ga ada. Jadi bisa di bilang kelabakan ya kelabakan
kalau untuk nanganin mereka.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, peneliti dapat mengetahui bahwa
pada SDN Bantar Gebang IV tidak terdapat sarana dan prasarana bagi anak
berkebutuhan khusus. Termasuk dalam hal kurikulum pun tidak ada yang
berbeda, pihak sekolah merasa tidak mempunyai kemampuan untuk
menangani ABK diakibatkan oleh faktor tersebut yaitu ketiadaan sarana dan
prasarana yang menunjang ABK di sekolah. Hal yang sama disampaikan
pula oleh I3-1.4 yang mengungkapkan kepada peneliti sebagai berikut:
“Ya karena memang anak-anak inklusi itu harusnya kan perlu
khusus ya, bukan agak lagi tapi memang kurang ya sarana
prasarana nya untuk ABK. Kalau dari awal pertama sih SD ini
ditunjuk menjadi inklusif ya yang nerima ABK, tapi lama kelamaan
makin kesini kayanya banyak juga nih gitu jadi kayanya dibatasi
jadi setiap sekolah harus bisa nerima ga harus disini doang. Kan
gurunya itu harus beda, kurikulum nya juga harus dibedain tapi
kalau untuk ABK itu kan maaf kata kalau yang punya uang kan
harusnya ke SLB tapi kan karena dicampur dengan anak yang
normal, kadang anak yang normal itu ya terganggu. Sudah
bersyukur, beruntung ABK diterima disini dan satu kelas bisa
nerima kadang ada juga orang tuanya yang ga nerima, tapi gimana
kan tugas dari sekolah juga gimana bisa mengayomi semuanya
gitu.”
Dari pernyataan tersebut, peneliti dapat mengetahui bahwa sejak
pertama kali SDN Bantar Gebang IV ditetapkan sebagai sekolah inklusif,
anak berkebutuhan khusus yang mendaftar pada sekolah ini semakin banyak
setiap tahunnya. Akan tetapi, kebutuhan akan sarana dan prasarana bagi
anak berkebutuhan khusus tidak dapat terpenuhi hingga saat ini.
Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan diatas,
peneliti dapat menyatakan bahwa standarisasi sarana dan prasarana bagi
anak berkebutuhan pada sekolah-sekolah inklusif di Kota Bekasi rata-rata
dapat dinyatakan sama dengan anak normal lainnya, salah satu faktor
utamanya adalah karena tidak adanya bantuan sama sekali terkait dengan
penyelenggaraan pendidikan inklusif baik dari pemerintah Provinsi Jawa
Barat maupun pemerintah Kota Bekasi pada sekolah-sekolah inklusif yang
ada di wilayah Kota Bekasi. Ketiadaan sarana dan prasarana bagi anak
berkebutuhan khusus tersebut mengakibatkan sekolah inklusif sangat
kesusahan dalam menangani siswa-siswa yang berkebutuhan khusus di
sekolahnya. Jika sekolah ingin menyisihkan anggaran yang ada untuk sarana
prasarana pendidikan inklusif, hal ini tidak dapat dilakukan pihak sekolah
karena anggaran yang sudah ada telah di porsikan masing-masing untuk
kebutuhan umum lain, jadi untuk pendidikan inklusif anggarannya pun
harus khusus. Sedangkan, pada sekolah inklusif swasta tergantung pada
pihak sekolahnya sendiri, artinya jika pihak sekolah ingin memberikan
perhatian lebih besar pada anak berkebutuhan khusus, maka pihak sekolah
harus menerapkan iuran pada wali murid dari anak berkebutuhan khusus
dalam hal memenuhi kebutuhannya akan sarana prasarana di sekolah
dengan harapan anak tersebut bisa berangsur-angsur membaik dalam
menghadapi keterbatasannya.
2. Aksesibilitas pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
Keterbatasan aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus (ABK)
dalam mendapatkan pendidikan masih menjadi persoalan. Fakta dan hasil
temuan lapangan yang didapatkan oleh peneliti yaitu bahwa masih terdapat
banyak pihak sekolah yang tidak mau menerima anak berkebutuhan khusus
di dalamnya. Hal ini disampaikan oleh I3-1.1 yang diungkapkan kepada
peneliti sebagai berikut:
“Pada umumnya sekolah tidak ada diskriminasi apapun terhadap
anak berkebutuhan khusus. Namun guru-guru masih takut untuk
mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus, karena anak
berkebutuhan khusus di sekolah ini memiliki keterbatasan mental
semua, yakni autis. Maka ia berpotensi untuk mempunyai sifat
tempramental, dimana jika kesal terhadap teman nya atau pada
sesuatu, ia langsung memukul atau menonjok orang tersebut. Oleh
karena itu pihak sekolah masih belum berani mengikutsertakan
anak berkebutuhan khusus dalam lomba.”
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, peneliti dapat mengetahui
bahwa aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus dalam mengikuti
kejuaraan atau lomba di sekolah terhambat oleh keterbatasan yang mereka
miliki. Artinya sekolah belum berani untuk dapat mengikutsertakan
mereka mengingat resiko yang akan terjadi.
Sebenarnya, setiap anak pasti memiliki bakat dan kemampuan
yang telah dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa, tidak terkecuali pada
anak berkebutuhan khusus (ABK) sekalipun. Jika para orang tua dan pihak
sekolah dapat bekerja sama dalam mengembangkan dan mengasah bakat
dan kemampuan nya, maka anak tersebut dapat menjadi anak yang
berprestasi dalam kejuaraan atau lomba yang sesuai dengan bakat dan
kemampuan yang di miliki. Hal terkait disampaikan juga oleh I3-1.2 yang
mengungkapkan kepada peneliti sebagai berikut:
“Kalau lomba ada ya pernah. Yang punya keterampilan khusus
seperti karate, tahun lalu itu kita menang. Kebetulan memang dia di
rumahnya pun sering latihan karate. Dia mendapat juara satu pada
lomba se-kecamatan. Saya juga kurang percaya ya, ternyata dia
memang sering latihan. Sebenarnya anak berkebutuhan khusus itu
punya banyak kelebihan ya cuman kita sekolah yang ga punya
guru-guru khusus jadi ga tahu keahlian mereka itu dimana dan
mengasah kemampuan nya tersebut.”
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, peneliti dapat mengetahui
bahwa dalam mengembangkan dan mengasah kemampuan anak terutama
pada anak berkebutuhan khusus (ABK) pada sekolah inklusif memiliki
hambatan yaitu tidak adanya guru-guru khusus yang dapat mengajar bakat
dan kemampuan anak tersebut.
Jika sekolah inklusif dapat memberikan perhatiannya untuk
membantu dan mengembangkan bakat dan kemampuan setiap anak, tidak
terkecuali pada anak berkebutuhan khusus. Maka sekolah akan banyak
mencetak anak-anak berprestasi termasuk pada anak berkebutuhan khusus
dengan mengikuti lomba ataupun kejuaraan yang sesuai dengan bakat dan
kemampuannya.
Keterbatasan aksesibilitas yang dialami oleh anak berkebutuhan
khusus dalam bidang pendidikan, tidak hanya dalam mengikuti kejuaraan
atau lomba di sekolah saja, hal terkait dengan masalah ini disampaikan oleh
I3-1.2 yang mengungkapkan kepada peneliti sebagai berikut:
“Karena semua sekolah di sekitar sini ataupun kecamatan lain yang
dekat dengan medan satria semua menyarankan untuk daftar di
sekolah ini. Jadi ya bisa di bilang semua numpuk di sekolah di sini.
Pernah ada ibu dari Kemendikbud datang ke sekolah ini, dia
mengatakan bahwa idealnya satu kelas itu satu siswa berkebutuhan
khusus. Tapi di sini malah satu kelas itu ada lima anak
berkebutuhan khusus. SDN Kalibaru III pun yang satu lokasinya
dengan kita, dia ga mau menerima anak berkebutuhan khusus
karena dia kan sekolah umum biasa, kalau kita kan sudah terkenal
dengan sekolah inklusif. Padahal semua sekolah itu sama ya
pendidiknya juga artinya ngga ada pendidik khusus tapi ya banyak
sekolah yang ga mau nerima walaupun kebijakannya semua
sekolah harus menerima anak berkebutuhan khusus. Saya juga
sudah ngasih penjelasan ya tapi gimana mungkin mereka yang
masih belum paham. Karena kita juga masih kurang muridnya, kita
itu murid baru ada sekitar 300an ya, yasudah makanya kita terima
aja karena kita juga muridnya masih sedikit. Tapi kalau murid kita
nanti udah bertambah banyak sih mungkin kita juga ga bisa nerima
anak berkebutuhan khusus terlalu banyak ya.”
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, peneliti dapat mengetahui
bahwa masih banyak sekolah yang tidak mau menerima anak berkebutuhan
khusus, meskipun dalam peraturan telah jelas disimpulkan bahwa semua
sekolah selain dari sekolah yang ditetapkan sebagai sekolah inklusif harus
bisa dan mau menerima anak berkebutuhan khusus dalam sekolahnya.
Informan pun menjelaskan bahwa pihak sekolahnya masih menerima
banyak anak berkebutuhan khusus pada sekolahnya karena faktor masih
kekurangan jumlah murid. Akan tetapi, jika jumlah murid pada sekolah
tersebut sudah semakin banyak, dalam hal ini jumlah murid yang normal
maka sekolah pun akan membatasi pendaftaran anak berkebutuhan khusus
yang akan di terima oleh sekolah.
Pada hal ini terlihat bahwa aksesibilitas anak berkebutuhan khusus
pada bidang pendidikan terhambat oleh faktor banyaknya sekolah yang
tidak mau menerima keberadaannya pada sekolah tersebut, yang pada
akhirnya anak berkebutuhan khusus terutama yang tidak mampu secara
ekonomi tidak dapat bersekolah layaknya anak seusianya. Hal terkait juga
disampaikan oleh I3-1.4 yang di ungkapkan kepada peneliti sebagai berikut:
“Ya ibu mah komitmennya pengennya dibatasi gitu seperti yang
rencana ibu lebih selektif gitu karena kita juga ga bisa nanganin,
jadi nanti kita lihat dulu tingkat keparahannya sejauh mana dan kita
cek juga tuh domisilinya kan kalo dari kartu keluarga kelihatan ya.
Nah kalo domisili nya udah di luar kecamatan kita ya ibu ga bisa
nerima neng bukan apa-apa ya kita khawatirnya anak berkebutuhan
khusus itu malah numpuk seperti sekarang di sekolah ini. Mungkin
nanti dari sini kita arahkan untuk daftar ke sekolah yang sesuai
dengan kecamatan tempat tinggalnya, nanti juga kita tetap akan
berkoordinasi dulu dengan sekolahnya kalau ada siswa yang kita
rekomendasiin ke sana.”
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, peneliti dapat mengetahui
bahwa salah satu dampak dari banyaknya sekolah yang tidak mau menerima
anak berkebutuhan khusus yaitu menumpuknya jumlah siswa yang
berkebutuhan khusus pada satu sekolah inklusif meskipun keberadaan
sekolah inklusif tersebut diluar dari domisili kecamatan tempat tinggal
mereka. Penumpukan jumlah siswa berkebutuhan khusus ini membuat
sekolah semakin tidak dapat menangani karena di lain hal masih banyak
siswa umum yang harus di tangani, tidak adanya sarana dan prasarana yang
menunjang, dan tenaga pengajar yang kurang memahami dalam mendidik
ABK. Berikut adalah daftar presentase siswa berkebutuhan khusus dari
jumlah siswa secara keseluruhan pada empat sekolah inklusif yaitu sebagai
berikut:
Tabel 4.5
Persentase ABK pada sekolah inklusif
No Nama Sekolah Jumlah ABK %
1. SMP IT YPI 45 Bekasi 3 1,7
2. SDS Al Izzah 6 2,5
3. SDN Bantargebang IV 21 4,3
4. SDN Kalibaru IV 22 5,8
Sumber: Peneliti
Pada tabel diatas menunjukkan bahwa persentase jumlah anak
berkebutuhan khusus (ABK) dengan jumlah siswa secara keseluruhan pada
sekolah inklusif negeri lebih besar dibandingkan dengan sekolah inklusif
swasta. Sekolah inklusif negeri cenderung memiliki jumlah anak
berkebutuhan khusus lebih banyak karena dari segi biaya pun sekolah
inklusif negeri tidak memungut biaya, hal ini jelas membuat para orang tua
terlebih yang kurang mampu secara finansial memilih untuk mendaftarkan
anaknya pada sekolah negeri, meskipun kenyataannya banyak sekolah-
sekolah negeri yang tidak mau menerima anak berkebutuhan khusus pada
sekolahnya.
Fakta yang peneliti temui sangat berbanding terbalik dengan
kebijakan pemerintah yang tertuang dalam Permendagri No.70 Tahun 2009
pasal 4 ayat (1) bahwa “Pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling sedikit
1 (satu) sekolah dasar,dan 1 (satu) sekolah menengah pertama pada setiap
kecamatan dan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk
menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik
yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki
potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan
secara inklusif pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuannya.
Permasalahan aksesibilitas anak berkebutuhan khusus dalam
bidang pendidikan juga disampaikan oleh I1 yang diungkapkan kepada
peneliti sebagai berikut:
“Kalau memang dia betul-betul menyelenggarakan sekolah inklusif
itu SLB namanya, yang negeri itu banyak yang ga mau nerima
karena ga sanggup dia walaupun kebijakan nya semua sekolah
harus menerima anak berkebutuhan khusus.”
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, peneliti dapat mengetahui
bahwa faktor banyaknya sekolah yang tidak mau menerima anak
berkebutuhan khusus pada sekolahnya diakibatkan karena sekolah dimaksud
tidak sanggup untuk menangani anak berkebutuhan khusus. Kemudian
beliau juga menambahkan penjelasannya kepada peneliti yaitu sebagai
berikut:
“Kalau nanti untuk SD yang kesulitan itu seperti yang kamu bilang
nanti akan bapak cek, tapi lagi-lagi faktornya itu adalah karena
masih kewenangan provinsi bahkan ditambah lagi dengan SMA
dan SMK kalau provinsi. Sehingga kita seolah menutup mata
bahwa warga Kota Bekasi banyak yang berkebutuhan khusus tapi
hanya menunggu kebijakan provinsi mau ga bikin sekolah khusus
disini gitu.”
Berdasarkan hasil wawancara yang peneliti lakukan dengan pihak
DPRD melalui informan I1, dapat peneliti ketahui bahwa pemerintah Kota
Bekasi seolah tidak mau memperhatikan terkait kebijakan pendidikan
inklusif di Kota Bekasi. Banyak faktor-faktor yang memicu hal ini yaitu
kebijakan pendidikan inklusif merupakan kewenangan dari pemerintah
provinsi yaitu Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, masih banyak hal lain
yang masih belum bisa tertangani dengan baik oleh pemerintah Kota Bekasi,
dan koordinasi yang tidak terjalin dengan baik antara pemerintah Kota
Bekasi dengan Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat.
Selanjutnya peneliti menanyakan hal terkait sekolah yang enggan
untuk menerima anak berkebutuhan khusus pada pihak Dinas Pendidikan,
hal ini disampaikan oleh I2 yaitu sebagai berikut:
“Oh ga juga ya banyak sekolah yang ga nerima karena kan guru-
gurunya juga ga ikut diklat, dari pemerintah nya juga belum ada
gitu dana apa-apa dari provinsi karena bantuan mah selalu dari
provinsi.”
Berdasarkan hasil wawancara dengan staff dikdas pada Dinas
Pendidikan Kota Bekasi, peneliti dapat mengetahui bahwa implementasi
dari kebijakan pendidikan inklusif ini tidak berjalan dengan baik di Kota
Bekasi dan tidak sesuai dengan apa yang ada pada kebijakan yang telah
dibuat oleh pemerintah, salah satunya yaitu Permendagri No.70 Tahun
2009, Pasal 4 Ayat (1) yaitu Pemerintah kabupaten/kota menunjuk paling
sedikit 1 (satu) sekolah dasar,dan 1 (satu) sekolah menengah pertama pada
setiap kecamatandan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk
menyelenggarakan pendidikan inklusifyang wajib menerima peserta didik
yang yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dansosial atau
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa dan pasal 10 ayat (3)
yaitu Pemerintah kabupaten/kota wajib meningkatkan kompetensi di bidang
pendidikan khusus bagi pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan
pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif.
Pemerintah Kota Bekasi menganggap bahwa kebijakan pendidikan
inklusif sepenuhnya adalah kewenangan dari pemerintah provinsi yaitu
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, oleh karena itu mereka seakan
menutup mata untuk ikut menangani dan mengabaikan wewenangnya yang
sudah jelas tertera sesuai pada Permendagri No.70 Tahun 2009, khususnya
dalam hal ini pada pasal 4 ayat (1) dan pasal 10 ayat (3).
3. Pemahaman dari pelaksana kebijakan
Pemahaman dari para stakeholder dan pelaksana kebijakan dalam
menyelenggarakan pendidikan inklusif merupakan salah satu hal yang
sangat penting. Tingkat pemahaman dari pelaksana kebijakan dalam
mengimplementasikan kebijakan dalam hal ini kebijakan pendidikan
inklusif sangat berpengaruh besar terhadap keberhasilan implementasi
kebijakan. Dengan adanya pemahaman yang sangat baik dari lembaga atau
institusi yang bersangkutan, maka akan memperoleh dampak yang positif
bagi pelaksanaan kebijakan pendidikan inklusif, diantaranya yaitu
koordinasi antar lembaga atau institusi pun dapat berjalan dengan baik,
masing-masing pihak dari lembaga maupun institusi dapat mengetahui dan
memahami dengan jelas terkait kewenangan nya dalam kebijakan
pendidikan inklusif sekaligus bertanggung jawab penuh atas wewenangnya
masing-masing, serta pemahaman yang mendalam terhadap tujuan dari
kebijakan sehingga usaha apapun yang dilakukan oleh berbagai pihak
berada dalam satu visi dan misi yang sama untuk mencapai keberhasilan
kebijakan dalam ini pendidikan inklusif.
Pemahaman atas kewenangan pemerintah Kota Bekasi dalam
melaksanakan kebijakan pendidikan inklusif di Kota Bekasi disampaikan
oleh I1 yang diungkapkan kepada peneliti yaitu sebagai berikut:
“Karena kewenangannya itu di provinsi baik SLB maupun sekolah
inklusif adalah kewenangan provinsi jadi kita ga pernah peduli.
Tapi kan boleh di bilang mereka itu kan tinggal di Bekasi kan
mereka juga orang Bekasi kenapa kita ga anggarkan saja toh itu
putra terbaik kita. Kaya misalnya pas ujian nasional dulu kita ikut
langsung monitoring sertiap SMA maupun SMK dan mengecek
terkait soal-soal yang disalurkan pada setiap sekolah tapi kalau
sekarang kan udah engga karena itu udah jadi kewenangan
provinsi. Kita mau memberikan bantuan pun itu hibah jatohnya ke
mereka, nah makanya apalagi yang kaya gini, yang normal aja
mereka kurang perhatian apalagi yang tidak normal.”
Berdasarkan hasil wawancara dengan sekretaris dprd, peneliti
dapat mengetahui bahwa pemerintah Kota Bekasi tidak pernah peduli pada
kebijakan pendidikan inklusif di Kota Bekasi karena merasa bahwa hal
terkait dengan sekolah inklusif dan SLB bukan merupakan kewenangan dari
pemerintah Kota Bekasi, melainkan kewenangan dari pemerintah provinsi.
Selain itu, pemahaman dan sikap kepala sekolah, guru, dan orang
tua murid yang belum optimal juga menjadi kendala dan faktor penghambat
dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Untuk menghadapi hal
tersebut, pembinaan serta pelatihan terkait pendidikan inklusif merupakan
salah satu cara yang tepat dalam meningkatkan kemampuan dan wawasan
kepala sekolah, guru dan orang tua murid. Hal yang terkait pada
permasalahan ini di sampaikan oleh I3-1.1 yang diungkapkan kepada peneliti
yaitu sebagai berikut:
“Pembinaan secara umum dalam rapat dimana yang juga terdapat
laporan keadaan siswa. Di sampaikan bahwa sekolah mempunyai
anak yang berbeda bagaimana kita untuk menghadapi nya
pokoknya yang penting anak anak yang lain di berikan pemahaman
oleh sekolah bahwa kita memiliki teman yang berbeda kita harus
bisa hidup bersama dalam keadaan yang berbeda. Dari dinas
pendidikan juga melakukan pengawasan ke sekolah dan melakukan
pembinaan kepada guru-guru tetapi hanya pembinaan secara
umum.”
Berdasarkan hasil wawancara diatas, dapat di ketahui bahwa
sekolah belum mengadakan pembinaan tentang pendidikan inklusif kepada
guru-guru dan rapat yang secara khusus membahas tentang pendidikan
inklusif. Usaha yang dilakukan pada saat ini lebih banyak masih bersifat
umum, hanya pada saat beberapa tahun lalu sekolah mendapatkan undangan
untuk mengikuti pembinaan dan pelatihan yang berupa diklat yang
diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Hal ini juga
disampaikan oleh I3-1.1 yang diungkapkan kepada peneliti yaitu sebagai
berikut:
“Pernah kepala sekolah diundang oleh Dinas Pendidikan Provinsi
Jawa Barat untuk mengikuti workshop sekolah-sekolah inklusif.
Kalau dari Dinas Pendidikan Kota Bekasi hanya melakukan
pendataan dan pembinaan secara umum saja.”
Dari pernyataan tersebut, peneliti dapat mengetahui bahwa
pelatihan mengenai pendidikan inklusif baru diselenggarakan oleh
pemerintah provinsi dalam hal ini yaitu Dinas Pendidikan Provinsi Jawa
Barat, dan pernah satu kali diadakan oleh SLB negeri Bekasi Jaya. Pihak
dari pemerintah Kota Bekasi sendiri selama ini baru mengadakan
pembinaan maupun pendataan secara umum. Informan I3-2.2 juga
menyampaikan terkait pelatihan dan pembinaan pendidikan inklusif sebagai
berikut:
“Dulu pernah di Bandung saya mengikuti pelatihan dalam beberapa
hari, kemudian di Bekasi juga. Tapi tahun ini belum ada lagi itu
pada tahun-tahun lalu. Semuanya dari Dinas Pendidikan Provinsi
Jawa Barat. Sebenarnya pengajaran inklusi itu tidak pada guru nya
saja, orang-orang yang duduk di kepentingan misalnya dari dinas
itu juga harus di didik supaya mereka itu peduli kepada kaum-kaum
minoritas seperti ini. Kalau tidak mereka itu nyuekin.”
Dari pernyataan wawancara peneliti dengan informan I3-2.2 dapat
memperkuat fakta bahwa pelatihan dan pembinaan selama ini
diselenggarakan oleh pemerintah provinsi yaitu Dinas Pendidikan Provinsi
Jawa Barat. Keberlanjutan dari adanya pelatihan dan pembinaan tentang
pendidikan inklusif tersebut juga perlu diperhatikan sehingga pemerintah
dapat memastikan bahwa pelatihan dan pembinaan yang selama ini telah
diselenggarakan berdampak baik bagi kemajuan dan keberhasilan
penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah. Hal terkait ini juga di
sampaikan oleh I3-2.1 yang diungkapkan kepada peneliti yaitu sebagai
berikut:
“Sudah, saya dulu pernah mengikuti namun kelanjutannya itu tidak
ada. Instrumen tidak ada terus tagihan-tagihan untuk guru nya pun
tidak ada dalam melakukan evaluasi pun tidak ada tagihan nya gitu
ya. Tagihan dalam artian yaitu pelaksanaan dari pelatihan tersebut
ataupun penilaian bahwa kita bisa atau tidak melakukan nya.
Pelatihan itu kira-kira sudah dua tahun yang lalu ya. Tapi itu tadi
ya pemerintah mengadakan tetapi tidak ada monitoring khusus ke
sekolahnya. Idealnya itu satu anak berkebutuhan khusus harus ada
ruang khusus, potensi apa yang di miliki di situ yang di gali tapi
kan itu perlu pendampingan.”
Dari pernyataan tersebut, peneliti dapat membenarkan adanya fakta
bahwa tidak adanya keberlanjutan atas pelatihan dan pembinaan yang
selama ini telah diselenggarakan. Proses pengawasan dan monitoring pun
tidak dilakukan baik itu oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat maupun
Dinas Pendidikan Kota Bekasi sehingga pihak dari sekolah inklusif pun
kurang berupaya dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif pada
sekolahnya karena dari pihak pemerintah pun seolah tidak memperhatikan
dan peduli terhadap proses penyelenggaraan pendidikan inklusif pada
sekolahnya.
Pelatihan dan pembinaan kepada kepala sekolah, guru dan orang
tua murid sangat berguna bagi kelancaran pelaksanaan pendidikan inklusif
di sekolah. Dengan adanya pemahaman yang baik tentang pendidikan
inklusif, cara menangani anak berkebutuhan khusus dengan benar, serta
solusi yang dapat dilakukan dalam menghadapi berbagai permasalahan
dalam pendidikan inklusif di sekolah, akan dapat mengurangi masalah yang
terjadi dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah. Hal terkait ini
disampaikan oleh I3-1.2 yang diungkapkan peneliti yaitu sebagai berikut:
“Dari UNJ pun juga ada tentang bagaimana mengenali anak-anak
yang berkebutuhan khusus tertentu itu pada ikut. Dari UNJ itu
banyak ya makanya kita sering menugaskan guru-guru untuk ikut
seminar-seminar semacam gitu agar kita nya juga ga kaget ya.
Terakhir ada seminar itu kira-kira tahun 2015. Mungkin tahun ini
juga ada cuman ga di undang kali ya. Saya juga pernah ikut
pelatihan tentang sekolah inklusi di Kuningan selama empat hari.”
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, peneliti dapat mengetahui
bahwa dengan adanya dukungan dari pihak perguruan tinggi yang
diwujudkan dari diadakannya seminar tentang pendidikan inklusif bagi
guru-guru di SDN Kalibaru IV akan sangat membantu pehamaman tenaga
pengajar khususnya dalam menangani anak berkebutuhan khusus. Pelatihan
yang diikuti oleh kepala sekolah setidaknya dapat memberikan pemahaman
dan pengetahuan tentang pendidikan inklusif dengan harapan agar dalam
menyelenggarakan pendidikan inklusif pada sekolah yang dipimpinnya
dapat berjalan dengan baik ke depannya. Hal terkait ini juga di sampaikan
oleh I3-2.3 yang diungkapkan kepada peneliti yaitu sebagai berikut:
“saya pernah ikut itu dua kali ya. Terakhir sekitar tahun 2008 kalau
ga salah.”
Dari pernyataan-pernyataan pada wawancara tersebut, dapat
diketahui bahwa pelatihan dan pembinaan tentang pendidikan inklusif juga
diselenggarakan oleh pihak perguruan tinggi dari UNJ, artinya tidak hanya
pemerintah provinsi saja tetapi perguruan tinggi pun ikut memberikan
dukungan dan partisipasinya pada penyelenggaraan pendidikan inklusif di
Kota Bekasi. Namun, hal yang sedikit berbeda disampaikan oleh I3-1.3 yang
diungkapkan oleh peneliti yaitu sebagai berikut:
“Bu Namih adalah dosen di UNJ, juga prakisi PLB ya dia punya
tempat terapi juga. Waktu itu juga sempet ngisi pelatihan untuk
guru tentang anak berkebutuhan khusus. Sebulan tiga kali dulu kita
mengadakan itu kalau sekarang kita kan ada pelatihan secara umum
juga misalnya penanganan anak, gaya belajar dan lain-lain.
Pelatihan umum itu satu semester satu kali, juga parenting untuk
orang tua itu satu semester juga satu kali. Di dalam pelatihan umum
tersebut juga kita membahas tentang pendidikan inklusif walaupun
tidak membahas secara khusus.”
Dari pernyataan di atas, dapat diketahui bahwa pihak sekolah dari
SDS Al Izzah cenderung memberikan perhatian cukup besar pada
keberadaan anak berkebutuhan khusus di sekolahnya. Mereka berusaha
memebuhi kebutuhan anak berkebutuhan khusus terutama terkait dengan
kemajuan dan perkembangan nya di sekolah.
Pernyataan dari informan I3-1.3 tersebut diperkuat dari yang
disampaikan juga oleh I3-2.4 yang diungkapkan kepada peneliti yaitu sebagai
berikut:
“Kalau untuk pelatihan itu kita pernah ya dapet pelatihan dari UNJ
ikut bu Namih itu dosen UNJ nya tentang anak berkebutuhan
khusus, terus cara menanganinya juga. Itu kalau ga salah pas
semester satu pelatihan nya. Sebelum-sebelumnya sih kita pelatihan
nya di sekolah aja kebanyakan sih dari terapisnya kaya gimana
caranya menterapi. Cuman kalau sekarang sama bu Namih itu udah
jarang ya ga tau kenapa.”
Berdasarkan wawancara tersebut, dapat diketahui bahwa SDS Al
Izzah memang menaruh perhatian besar dibandingkan dengan sekolah
inklusif lainnya terkait pendidikan inklusif, hanya saja kendala itu datang
dari narasumber yang sudah biasa dalam memberikan pelatihan kepada
mereka. Hal terkait pelatihan dan pembinaan pada guru disampaikan juga
oleh I3-1.4 yang diungkapkan kepada peneliti yaitu sebagai berikut:
“Kalau pelatihan itu pernah neng tahun 2003 itu guru-guru pada
ikut pelatihan tentang sekolah inklusif di Bandung. Pertemuan
sekolah-sekolah inklusi sekota Bekasi itu juga pernah disini, yang
ibu dapet dari guru yang sekarang udah pindah dari sekolah ini
katanya pernah jadi kita itu jadi tuan rumahnya. Tapi ga semua
guru-guru ikut pelatihan, kalau yang baru-baru belum.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa pelatihan
diadakan sudah empat belas tahun yang lalu yaitu pada tahun 2003,
sedangkan banyak guru di sekolah tersebut yang pindah, pensiun dan
sebagainya dan digantikan dengan guru baru yang bisa di bilang artinya
mereka belum sama sekali mendapatkan pelatihan terkait pendidikan
inklusif. Hal terkait dengan pelatihan tentang pendidikan inklusif di SDN
Bantar gebang iv juga disampaikan oleh I3-2.5 yang diungkapkan kepada
peneliti yaitu sebagai berikut:
“Pernah juga kita mengundang Pak Ali dari SLB negeri di Bekasi
untuk memberikan pengarahan kepada guru dan orang tua disini,
itu biayanya dari bantuan yang pernah di dapat itu. Tapi tahun
berapa ibu ga dapet informasinya yang jelas udah lama banget.”
Dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa pelatihan yang
didapatkan oleh pihak sekolah-sekolah inklusif terutama sekolah negeri
sudah sangat lama tidak diselenggarakan lagi. Upaya dari Pemerintah Kota
Bekasi dalam hal ini Dinas Pendidikan Kota Bekasi pun tidak
memperhatikan terkait penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kota Bekasi
termasuk dalam memberikan pelatihan bagi sekolah inklusif terkait tentang
pendidikan inklusif.
4. SDM dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif
Permasalahan yang menjadi faktor terhambatnya kinerja dari
pelaksana kebijakan dalam menyelenggarakan kebijakan pendidikan
inklusif adalah ketersediaan dan pendayagunaan Sumber Daya Manusia
(SDM) dalam bidang pendidikan. Berikut adalah daftar jumlah guru pada
setiap kecamatan di Kota Bekasi:
Tabel 4.6
Jumlah guru di Kota Bekasi
No. Kecamatan SD SMP SLB Jumlah
(01) (02) (03) (04) (05) (06)
Jumlah 11.054 4.443 151 16.098
1. Bekasi Timur 1.423 629 63 2.115
2. Bekasi Barat 1.123 310 4 1.437
3. Bekasi Selatan 969 376 25 1.370
4. Bekasi Utara 1.514 713 0 2.227
5. Medansatria 853 342 12 1.207
6. Rawalumbu 1.105 433 11 1.549
7. Mustikajaya 902 295 0 1.197
8. Bantargebang 419 134 0 553
9. Jatiasih 1.041 469 0 1.510
10. Pondokgede 1.047 326 36 1.409
11. Pondokmelati 584 158 0 742
12. Jatisampurna 524 258 0 782
Sumber:Sapulidi Riset Center (SRC) 2017
Berdasarkan tabel diatas, guru umum pada SD berjumlah lebih
banyak dibandingkan dengan jumlah guru pada SMP di wilayah Kota
Bekasi. Sedangkan, jumlah guru pada SLB merupakan yang paling sedikit
dibandingkan dengan jumlah guru pada SD dan SMP, terdapat enam
kecamatan yaitu Bekasi Utara, Mustikajaya, Bantargebang, Jatiasih,
Pondokmelati, dan Jatisampurna yang sama sekali memiliki guru yang dapat
menangani pendidikan khusus di wilayahnya. Oleh karena itu dapat
dikatakan bahwa ketersediaan guru berpendidikan khusus di Kota Bekasi
masih sangat minim.
Dalam mengimplementasikan kebijakan penyelenggaraan
pendidikan inklusif di Kota Bekasi, terdapat masalah dan kendala yang
dihadapi sekolah. Kendala yang dihadapi pada penyelenggaraan pendidikan
inklusif di Kota Bekasi adalah tidak adanya keberadaan guru pembimbing
khusus pada sekolah inklusif. Hal terkait sumber daya manusia (SDM)
disampaikan oleh I3-1.1 yang diungkapkan kepada peneliti yaitu sebagai
berikut:
“Tidak ada, sekolah menggunakan guru yang sama. Alasan nya
karena jika sekolah ingin mengadakan guru pembimbing khusus
(GPK), hal ini membutuhkan biaya operasional yang cukup besar
dan sekolah tidak mampu untuk mengeluarkan biaya operasional
yang besar.”
Berdasarkan pernyataan diatas, dapat diketahui bahwa SMP IT YPI
45 bekasi tidak menerapkan iuran bagi orang tua atau wali murid dari anak
berkebutuhan khusus sehingga sekolah pun tidak dapat menyediakan guru
pembimbing khusus di sekolah. Jika menggunakan dana dari sekolah, jelas
bahwa kepala sekolah menyatakan bahwa sekolah tidak mampu untuk
memberikan gajih setiap bulannya. Faktor utama yang memicu ketiadaan
guru pembimbing khusus pada sekolah ini yaitu orang tua atau wali murid
dari anak berkebutuhan khusus tidak mampu secara finansial untuk
membayar iuran jika memang sekolah menerapkan iuran untuk adanya guru
pendamping khusus. Hal ini diperkuat oleh wawancara peneliti dengan I3-2.2
yang diungkapkan kepada peneliti yaitu sebagai berikut:
“Iya seharusnya memang ada guru pendamping khusus. Karena
proses mengajar nya mungkin ada yang kita samakan dengan anak
normal lainnya dan seharusnya ada pula yang khusus untuk
mengajarkan secara lebih lanjut pada anak berkebutuhan khusus
tersebut sesuai dengan tingkat kebutuhan atau keterbatasannya.
Sebenarnya kasihan jika anak-anak berkebtuhan khusus ini jika di
tempatkan pada sekolah inklusif, karena yang menerima pun harus
benar-benar bisa menangani anak tersebut. Sekolah harus memiliki
persiapan, sedangkan disini sekolah harus buru-buru karena
tertuntut unuk menerima sementara sekolah sendiri belum
mempersiapkan dari segi sarana prasarana dan guru yang mampu
untuk mengajar anak-anak inklusi.”
Dari wawancara tersebut dapat diketahui bahwa pihak sekolah
membenarkan tentang pentingnya keberadaan guru pendamping khusus,
yang seharusnya memang ada. Namun, sekolah pun belum memiliki
kesiapan dalam hal penyelenggaraan pendidikan inklusif pada sekolahnya.
Jadi dari tahun ke tahun cenderung tidak ada perubahan atau bisa di bilang
berjalan seperti saat dahulu pertama mereka menerima anak berkebutuhan
khusus di SMP IT YPI 45.Hal terkait keberadaan guru pembimbing khusus
disampaikan oleh I3-1.2 yang diungkapkan kepada peneliti yaitu sebagai
berikut:
“Kalau itu ya ga ada, saya tadi sudah bilang ya disini semuanya
sama. Artinya tidak ada yang secara khusus seperti di sekolah luar
biasa, tapi guru-guru disini sedikit banyak bisa karena sudah
mendapat bimbingan semacam diklat anatara lain seperti seminar
inklusi.”
Dari pernyataan diatas, dapat diketahui bahwa kepala sekolah
belum menyadari betul akan keberadaan guru pembimbing khusus pada
sekolah yang dipimpinnya. Padahal guru yang sudah mendapatkan pelatihan
tentang pendidikan inklusif pun tidak dapat menjamin bahwa mereka dapat
bertugas membantu anak berkebutuhan khusus dalam proses pembelajaran
di sekolah. Hal ini juga diakui oleh I3-2.3 yaitu sebagai berikut:
“Kalau untuk guru pendamping sih seharusnya ada tapi ini kan kita
ga punya. Saya juga kan pernah ikut diklat ya di Bandung khusus
tentang sekolah inklusif, dan ternyata anak dari kepala dinas nya itu
sendiri juga anak penyandang tuna grahita yang lebih berat.”
Berdasarkan pernyataan diatas dapat diketahui bahwa tidak ada
guru pembimbing khusus pada sekolah ini, pihak sekolah hanya
mengandalkan guru-guru umum yang telah mengikuti pelatihan khusus
tentang pendidikan inklusif. Hal yang berkaitan juga disampaikan oleh I3-1.3
yang diungkapkan kepada peneliti yaitu sebagai berikut:
“Yang mengajarkan siswa ABK secara konkrit itu guru
pendampingnya ga bisa sama guru kelasnya. Untuk gajihnya kita
samakan sesuai dengan masa kerja nya juga, kita mengadakan iuran
itu untuk guru pendamping hanya enam ratus ribu perbulan. Nah ga
mungkin dia sebulan dapet segitu kan makanya sisanya itu kita dari
sekolah yang nambahin kekurangan nya. Jadi dari sekolah itu ada
subsidi khusus untuk anak-anak yang berkebutuhan. Sebenernya
logika nya sekolah itu rugi, kalau ada anak berkebutuhan karena
kita itu ga menerima subsidi dari pemerintah mba untuk yang
berkebutuhan.”
Dari pernyataan diatas, dapat diketahui bahwa pihak sekolah
menyadari akan pentingnya keberadaan guru pembimbing khusus dan
perannya sangat penting bagi keberlangsungan proses belajar mengajar anak
berkebutuhan khusus di sekolah. Dalam menggajih guru pembimbing
tersebut, sekolah menerapkan sistem iuran pada para wali murid dan juga
memberikan subsidi khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus di
sekolahnya. Hal ini disampaikan juga I3-1.4 yang diungkapkan kepada
peneliti yaitu sebagai berikut:
“Cuma namanya aja ya sekolah inklusif tapi semuanya mah sama
aja kaya sekolah umum biasa.”
Dari pernyataan tersebut, dapat peneliti simpulkan bahwa sarana
prasarana termasuk guru-gurunya pun sama dengan sekolah umum lainnya,
yang artinya guru pembimbing khusus pun tidak ada. Akan tetapi, informan
I3-1.4 juga menambahkan penjelasannya kepada peneliti yaitu sebagai
berikut:
“Iya ya untuk ke depannya aturannya itu saya ingin mendatangkan
guru khusus untuk ABK itu nanti, sekarang udah habiskan dulu
masa ajaran tahun ini, bahwa orang tua itu ya harus maulah iuran
untuk mendatangkan guru pendamping supaya paling ga ada
tambahannya kan kalo menangani anak begitu kita tidak bisa begitu
aja tidak mudah apalagi kalo satu kelasnya itu ada banyak ABK
nya.”
“Orang tua juga harus ada kesadaran ya jangan keenakan karena
sekolah gratis ya jadi semuanya pengen nya gratis tis tis ya.
Mungkin yang lainnya juga masih inget ke gurunya ngasih kue gitu
tapi itu juga cuma berapa persen. Artinya kita juga ga berharap ini
sih ya tapi seengganya orang tua itu ada perhatian nya. ibu juga ada
rencana sih ya neng untuk tambahan ini ya dengan komite ibu udah
ketemu langsung merencanakan mengundang orang tua lagi karena
ibu ingin mendatangkan guru pendamping ya paling ga orang yang
sudah biasa nanganin anak-anak berkebutuhan khusus tapi itu juga
nanti akan ada biayanya, ibu akan mencoba menerapkan itu.”
Berdasarkan hasil wawancara diatas, dapat diketahui bahwa sejak
ditetapkan sebagai sekolah inklusif, SDN Bantar Gebang IV tidak memiliki
guru pembimbing khusus. Semua sarana prasarana dan guru-gurunya sama
seperti pada sekolah umum biasa, hanya saja sebagian guru pernah
mendapatkan pelatihan tentang pendidikan inklusif dari pemerintah
provinsi. Tetapi, untuk tahun ini kepala sekolah telah membuat rencana
untuk mendatangkan guru pembimbing khusus, artinya kepala sekolah
menyadari akan pentingnya keberadaan guru pembimbing khusus tersebut
bagi proses belajar mengajar anak berkebutuhan khusus di sekolah, dan
meskipun guru umum telah mendapatkan pelatihan pendidikan inklusif, ini
tidak berarti bahwa mereka dapat menangani dengan baik anak
berkebutuhan khusus terutama saat proses belajar di kelas. Hal terkait
dengan SDM pada sekolah inklusif juga disampaikan oleh I1 yaitu sebagai
berikut:
“Kalau bapak melihatnya dari kesiapan ya SDM dari sekolahnya
kan udah tau khusus kan berarti dia bener-bener satu murid itu
dengan satu perhatian khusus. Nah kalau klasikalnya empat puluh
orang yang sekarang aja kejadiannya banyak yang aneh-aneh ya
karena bapak sebagai mitra komisi iv terkait dengan pendidikan itu
banyak sekali permasalahan apalagi terkait dengan dinas itu
mengenai inklusif itu ga akan sanggup mereka dan kasihan
anaknya ga akan sembuh dan mungkin akan tambah rusak gitu
sehingga yang kejadian adalah pasti inklusif sekolah nya betul-
betul mereka semua isinya ga ada yang umum padahal kan maksud
kita diantara mereka masuk kesitu.”
Berdasarkan wawancara tersebut, peneliti dapat mengetahui bahwa
dengan jumlah murid yang banyak dalam satu kelas pada sekolah inklusif
negeri, mengakibatkan guru tidak sanggup untuk menangani anak
berkebutuhan khusus dalam kelas dengan kondisi seperti itu. Karena untuk
menangani yang umum saja sudah banyak masalah yang ditimbulkan oleh
para siswa, apalagi jika dalam kelas tersebut terdapat siswa yang
berkebutuhan khusus.
4.4.2. Karakteristik Kebijakan
Selanjutnya, variabel kedua yang mempengaruhi keberhasilan
implementasi yaitu karakteristik kebijakan. Dalam variabel ini, peneliti
memfokuskan diri pada bagaimana usaha agar kebijakan pendidikan
inkusif dapat diimplementasikan dengan baik dan dapat mencapai tujuan
yang telah disepakati bersama. Aspek-aspek yang ingin peneliti gali dari
karakteristik kebijakan pendidikan inklusif meliputi hal-hal berikut yaitu
besarnya anggaran pada kebijakan tersebut, seberapa besar adanya
keterpautan dan dukungan antar berbagai institusi pelaksana, kejelasan dan
konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana, dan tingkat komitmen
aparat.
Dengan mengacu pada aspek-aspek berikut, peneliti berharap dapat
mengetahui dan menganalisa dengan baik apakah karakteristik kebijakan
pendidikan inklusif sudah sesuai dengan apa yang termuat pada peraturan-
peraturan yang bersangkutan sehingga dapat diimplementasikan dengan
baik oleh para pelaksana kebijakan.
1. Besarnya anggaran pada kebijakan pendidikan inklusif
Setiap kebijakan dalam implementasinya membutuhkan adanya
alokasi anggaran. Dinas Pendidikan harus mempunyai keberanian dalam
alokasi anggaran penyelenggaraan pendidikan inklusi. Dalam rangka
penyelenggaraan pendidikan inklusi, perlu dialokasikan dana khusus, yang
antara lain untuk keperluan: (1)Kegiatan identifikasi input siswa,
(2)Modifikasi kurikulum, (3)Insentif bagi tenaga kependidikan yang terlibat,
(4)Pengadaan sarana-prasarana, (5)Pemberdayaan peran serta masyarakat,
(6)Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar.
Penyelenggaraan pendidikan inklusif tidak hanya menjadi tanggung
jawab pemerintah. Stakeholder pendidikan lain seperti masyarakat
hendaknya selalu dilibatkan dalam rangka memajukan pendidikan. Apalagi
dalam semangat otonomi daerah dimana pendidikan juga merupakan salah
satu bidang yang didesentralisasikan, maka keterlibatan masyarakat
merupakan suatu keharusan. Dalam rangka menarik simpati masyarakat
agar mereka bersedia berpartisipasi memajukan sekolah, perlu dilakukan
berbagai hal, antara lain dengan memberitahu masyarakat mengenai
program-program sekolah, baik program yang telah dilaksanakan, yang
sedang dilaksanakan, maupun yang akan dilaksanakan sehingga masyarakat
mendapat gambaran yang jelas tentang sekolah yang bersangkutan.
Pembiayaan pendidikan inklusif untuk wilayah Kota Bekasi
bersumber pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah pada pos
anggaran Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Pembiayaan pelaksanaan
penyelenggaraan pendidikan inklusif untuk lembaga pendidikan swasta
dibebankan pada anggaran yayasan/lembaga pendidikan swasta yang
bersangkutan serta juga berhak mendapatkan bantuan pemerintah bagi
sekolah yang telah ditetapkan sebagai sekolah inklusif oleh Dinas
Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Namun karena pelimpahan wewenang pada
Pemerintah Kota Bekasi, yang mengakibatkan bahwa pemerintah provinsi
lah yang memegang wewenang penuh atas terselenggaranya kebijakan
pendidikan inklusif di Kota Bekasi. Pemerintah Kota Bekasi sendiri hanya
akan menjalankan wewenangnya untuk ikut menjalankan proses
penyelenggaraan pendidikan inklusif ini jika hanya mendapatkan mandat
atau perintah dari pemerintah provinsi yaitu Dinas PendidikanProvinsi Jawa
Barat. Hal terkait ini disampaikan oleh I1 yang diungkapkan kepada peneliti
yaitu sebagai berikut:
“Ada ya baru tahun ini. Kalau tahun-tahun sebelumnya kita hanya
berorientasi ke kepala sekolah yang negeri, dana masuk kesitu.
Tapi kan itu ga berjalan dengan baik nih makanya kita ingin
membuat langsung sekolah khusus untuk yang berkebutuhan
walaupun ini sebenernya ga ideal kan khawatirnya kan nanti
bercampur kan tapi karena bekasi kurang sekali setelah kita
mendapatkan beberapa audiens dengan pemerhati dengan guru-
guru dan juga para orang tua akhirnya pas pembahasan anggaran
tahun ini kita masukan tuh usulan itu di tangkep oleh disdik. Nah
kalau seandainya ternyata ini jadi ter-realisasi tahun depan, maka
akan diwujudkan bangunan sekolah baru untuk siswa yang
berkebutuhan khusus gitu bukan kemaren-kemaren ga ada ya, ada
cuman anggaran nya tidak langsung sendiri tapi dia nyantol di
setiap SKPD-SKPD tadi. Yang seperti ini itu ketika kita mau
memberikan bantuan pun itu hibah jatohnya ke mereka karena
sebenarnya ini bukan kewenangan kita tapi kewenangan provinsi.”
Berdasarkan hasil wawancara di atas, dapat diketahui bahwa
selama ini anggaran hanya ada untuk pendidikan secara umum saja, belum
di peruntukkan khusus untuk pelaksanaan pendidikan inklusif atau sekolah
inklusif di Kota Bekasi. Pihak DPRD baru membuat rencana untuk
membangun sekolah luar biasa karena jumlah sekolah luar biasa yang negeri
atau yang didirikan oleh pemerintah masih sangat kurang di wilayah Kota
Bekasi, atas usulan dari pemerhati pendidikan dan juga para guru maka
dibuatlah usulan pengajuan kepada pemerintah provinsi untuk membangun
sekolah khusus di Kota Bekasi. Dari penjelasan tersebut peneliti
menyimpulkan bahwa pemerintah Kota Bekasi tidak berwenang untuk
meng-anggarkan dana bagi sekolah inklusif, karena mereka menganggap
bahwa ini masih menjadi wewenang dari pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Kalaupun pemerintah Kota Bekasi ingin membantu dana pada pelaksanaan
pendidikan inklusif di Kota Bekasi, itu dinamakan dana hibah dan hal
tersebut pun baru dapat dilakukan jika pemerintah Kota Bekasi
mendapatkan ijin terlebih dahulu oleh pemerintah provinsi, dalam hal ini
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat.
Faktor minimnya anggaran yang dikhususkan untuk pendidikan
inklusif, menimbulkan dampak ketiadaan bantuan dari pemerintah provinsi
maupun pemerintah Kota Bekasi dalam hal ini Dinas Pendidikan kepada
sekolah inklusif yang kemudian menjadi hambatan dalam proses
implementasi kebijakan pendidikan inklusif hingga saat ini. Hal terkait
bantuan pada sekolah inklusif disampaikan oleh I3-1.1 yang diungkapkan
kepada peneliti yaitu sebagai berikut:
“Selama ini sekolah belum pernah mendapat bantuan, pernah ada
bantuan yaitu dari Dirjen pendidikan khusus dan layanan khusus
(PKLK) berupa ruang konsultasi bagi anak berkebutuhan khusus.”
Dari pernyataan tersebut, dapat diketahui bahwa sekolah baru
mendapatkan bantuan berupa dibangunnya ruang konsultasi atau ruang
khusus bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah, selain dari pada ruang
tersebut sekolah belum pernah lagi mendapatkan bantuan baik itu dari
pemerintah provinsi dalam hal ini dinas pendidikan Provinsi Jawa Barat
maupun dari pemerintah Kota Bekasi. Hal yang serupa juga disampaikan
oleh I3-2.2 yang diungkapkan kepada peneliti yaitu sebagai berikut:
“Pada dasarnya sekolah kita itu tidak siap secara tenaga pengajar
maupun sarana prasana nya. Tapi, pihak pemerintah sudah
menentukan sekolah-sekolah mana yang di titipi anak inklusi. Nah
ini ada ketidaksesuaian, artinya pemerintah menitipkan anak-anak
inklusi pada sekolah-sekolah umum tetapi tidak di pikirkan sarana
prasarana nya maupun tenaga pengajarnya.”
Berdasarkan pernyataan pada wawancara tersebut, dapat diketahui
bahwa pemerintah hanya menetapkan sekolah inklusif saja, tetapi tidak
memperhatikan kesiapan dari sekolah yang dimaksud. Termasuk dalam hal
sarana prasana maupun tenaga pengajar nya, disebutkan bahwa pemerintah
belum memberikan bantuan akan hal-hal tersebut.Hal terkait ini juga
disampaikan oleh I3-2.1 yang diungkapkan kepada peneliti yaitu sebagai
berikut:
“Kita tidak pernah mendapat tagihan-tagihan khusus dan tidak
mendapat biaya khusus dari pemerintah sehingga kita pun tidak
memiliki sarana prasarana yang khusus.”
Dari hasil wawancara diatas, dapat diketahui bahwa sekolah belum
mendapatkan bantuan apapun dari pemerintah selain ruangan khusus
tersebut. Tidak adanya bantuan yang diperoleh pihak sekolah menjadi salah
satu faktor utama ketiadaan sarana dan prasarana bagi anak berkebutuhan
khusus di sekolah. Hal terkait ini disampaikan juga oleh I3-1.2 yang
diungkapkan oleh peneliti yaitu sebagai berikut:
“Sekolah ini pun dapat SK sebagai sekolah inklusif dari sana ya
bukan dari Dinas Kota. Tapi sejak dua tahun terakhir ini tidak
mendapat bantuan apa-apa. Jadi Dinas Pendidikan Kota Bekasi itu
tidak tau menahu, paling hanya mendata saja. Bisa di bilang
mereka itu tidak perhatian dengan pendidikan inklusif. Di
kecamatan Medan Satria, sekolah inklusif itu hanya kita saja. Tapi
kalau sekota Bekasi itu setahu saya kira-kira ada lima.”
“Ya kita karena sudah ada SK nya ya yasudah kita jalani saja. Ini
kan sejak tahun 2005 sekolah ini ditetapkan sebagai sekolah
inklusif nya.”
“Kita hampir setiap tahun ya langsung mengajukan proposal
kepada Dinas Pendidikan Provinsi, tapi dua tahun ini kita belum
juga mendapat bantuan. Bantuan itu meliputi kebutuhan anak,
untuk guru-guru nya, untuk sarana prasarana nya. Jadi ya sabar-
sabar aja. Kalau sekolah luar biasa itu yang saya tanya dia sudah
dapat bantuan. Di sini itu ada satu sekolah luar biasa negeri. Kalau
ga salah letak nya di depan UPTD Medan Satria.”
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, peneliti dapat mengetahui
bahwa dalam implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Kota Bekasi
selama ini dilakukan oleh pemerintah provinsi dalam hal ini Dinas
Pendidikan Provinsi Jawa Barat, sedangkan pemerintah Kota Bekasi sendiri
kurang memperhatikan implementasi kebijakan pendidikan inklusif ini
meskipun kebijakan tersebut diselenggarakan pada wilayah kewenangannya.
Hal terkait dengan bantuan pada sekolah inklusif juga disampaikan oleh I3-
1.3 yang diungkapkan oleh peneliti yaitu sebagai berikut:
“Walaupun kita sekolah swasta kita tetap berhak mendapat
bantuan, karena kita juga udah dikukuhkan sebagai sekolah inklusi
pada tahun 2016, jadi kita berhak ya mendapat bantuan untuk yang
berkebutuhan khusus. cuman ya itu tadi kan ga gampang ngurus
nya sama seperti kita ngurus inklusi kemaren.”
“Kalau ngajuin bantuan kita udah pernah nyoba ke provinsi, itu
langsung ke provinsi. Kalau kota itu mah ga tau mba. Ngga tau
kalau ada tunjangan untuk sekolah inklusif, tanya aja ke Dinas
Pendidikan Kota Bekasi. Kenapa saya berani bilang seperti itu
karena kita pernah coba untuk pengajuan dana bantuan itu tahun
ini.”
Berdasarkan hasil wawancara tersebut. dapat diketahui bahwa
sekolah belum pernah mendapatkan bantuan dari pemerintah, bahkan sejak
di tetapkan nya sekolah tersebut menjadi sekolah inklusi oleh Dinas
Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Dalam proses pengajuan bantuan pun,
sekolah menghadapi berbagai kesulitan dikarenakan dinas pendidikan Kota
Bekasi sendiri merasa tidak tahu menahu dan seakan tidak ikut berwenang
sama sekali terhadap segala hal yang berhubungan dengan pendidikan
inklusif dalam hal ini sekolah inklusif yang memerlukan bantuan. Masih
terkait pada bantuan, hal ini disampaikan oleh I3-1.4 yaitu sebagai berikut:
“Kalau bantuan itu kita pernah ngajuin lewat bu mila salah satu
guru disini pakai rekeningnya pun khusus untuk dana inklusif,
semua syarat-syarat udah di penuhi cuman karena masalah tanah
sekolah itu belum bersertifikat sebetulnya sih ada sertifikatnya
cuman belum diatasnamakan kepemilikan pribadi. Nah itu salah
satu syaratnya.”
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, dapat diketahui bahwa
salah satu faktor yang menyebabkan sekolah inklusif tidak mendapatkan
bantuan adalah proses pengajuan dan syarat-syarat yang banyak dan
cenderung berbelit-belit.
Peneliti mendapatkan informasi yang diperoleh dari Dinas
Pendidikan Kota Bekasi terkait proses pengajuan bantuan. Hal ini
disampaikan oleh staff dikdas yaitu sebagai berikut:
“Iya dari provinsi, kalau sekolah mau minta bantuan itu ke provinsi
langsung ga ke kota dulu tapi tetap proposalnya ditandatangani
dulu dari sini. Cuman kalau yang baru-baru sekarang SKnya itu
dari sini yang mau mendirikan. Dinas Pendidikan provinsi itu
sudah melepas terkait SK sekolah inklusif ke kota atau ke
kabupaten, tapi kan belum ada action disini. Karena kan harus
diajuin dulu dari APBD nya atau apa.”
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, peneliti dapat mengetahui
bahwa proses pengajuan bantuan pada sekolah inklusif harus mendapatkan
ijin terlebih dahulu kepada Dinas Pendidikan Kota Bekasi, baru setelah itu
proposal bantuan dapat dilanjutkan kepada Dinas Pendidikan Provinsi Jawa
Barat untuk mengetahui apakah pengajuannya tersebut disetujui atau tidak.
2. Keterpautan dan dukungan antar berbagai institusi pelaksana
Kerjasama kemitraan pada berbagai level mulai dari pemerintah,
swasta dan lembaga swadaya masyarakat yang berkaitan akan sangat
penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan pendidikan inklusif di
Kota Bekasi. Dalam hal ini, termasuk kerjasama antara guru-guru di sekolah
luar biasa dan guru-guru di sekolah umum diperlukan dalam upaya
meningkatkan pembelajaran anak. Kerjasama antara guru dan orang tua
serta kerjasama orang tua diantara para orang tua itu sendiri akan
memperkaya semua yang terlibat serta akan menjamin pendidikan inklusif
yang lebih baik lagi dan lebih bermakna. Kerjasama dengan masyarakat
seperti tokoh-tokoh masyarakat, organisasi-organisasi penyandang
disabilitas, serta lembaga swadaya masyarakat yang berkaitan sangat
diperlukan dan akan memberikan pengayaan dalam implementasi
pendidikan inklusif. Pada hakekatnya, pendidikan itu menjadi tanggung
jawab bersama antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Oleh sebab itu,
maka para pembina dan pelaksana pendidikan di lapangan diharapkan
mampu memberdayakan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan
inklusif secara optimal. Hal yang berkaitan dengan aspek keterpautan dan
kerjasama disampaikan oleh I1 diungkapkan kepada peneliti yaitu sebagai
berikut:
“Boleh kalau koordinasi, kalau koordinasinya kita selalu memberi
reward kepada dia juga minta perhatian lebih dari pemerintah
provinsi kepada kita. Nah kalau untuk yang sekolah-sekolah tadi ga
mau nerima ABK itu kita akan lebih memberikan lagi himbauan
yang lebih kuat kepada mereka untuk jangan ditutup ruang-ruang
tersebut gitu kan minimal satu sekolah negeri bisa menampung lah
beberapa siswa ABK terutama yang autis ya kalau yang tuna rungu
emang susah itu. Tapi memang mental pegawai negeri itu kalau
sudah bukan kewenangan mereka ga peduli karena menganggap
ngapain orang bukan kerjaan atau bukan wewenang kita. Jadi ya
yang terkait sekolah inklusif itu ya tadi satu bukan keweangan kita
dan kedua kita memang kurang peduli.”
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, peneliti dapat mengetahui
bahwa koordinasi dan kerjasama dengan DPRD yaitu pemberian reward
kepada sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif dan
memberikan himbauan kepada sekolah-sekolah yang tidak mau menerima
anak berkebutuhan khusus (ABK) di sekolahnya, serta jika ada pihak-pihak
yang berkunjung ke DPRD dalam hal permohonan atau saran terkait sekolah
inklusif maupun sekolah khusus, maka pihak DPRD dari komisi iv ini akan
berupaya untuk membantu. Tetapi dalam hal melakukan himbauan pada
sekolah, beliau mengaku akan sulit dilakukan mengingat mental PNS saat
ini yaitu tidak akan melakukan pekerjaan yang dirasa bukan
kewenangannya. Jika sekolah tersebut bukan ditetapkan sebagai sekolah
inklusif, maka mereka pun merasa tidak bertanggung jawab ketika terdapat
anak berkebutuhan khusus (ABK) yang mendaftar pada sekolahnya.
Kerjasama dan koordinasi antara Dinas Pendidikan Kota Bekasi
sebagai institusi yang berwenang dalam menangani pendidikan di Kota
Bekasi merupakan hal yang sangat penting untuk dilakukan demi
tercapainya keberhasilan dan tujuan dari kebijakan pendidikan inklusif
khususnya di Kota Bekasi. Hal ini disampaikan oleh I2 yang diungkapkan
kepada peneliti yaitu sebagai berikut:
“Oh iya kalo koordinasi iya, apa-apa misalnya kadang saya yang
ikut mendampingi guru gitu terkait pelatihan gitu itu kadang-
kadang saya dulu atau siapa gitu tapi sekarang sepi lagi.”
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, peneliti dapat mengetahui
bahwa koordinasi dan kerjasama antara Dinas Pendidikan Kota Bekasi
dengan sekolah inklusif dilakukan setelah mendapat mandat atau perintah
dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, contohnya selama ini adalah
melakukan pendampingan pada guru yang akan mengikuti pelatihan, dan
terkait adanya bantuan yang diperuntukkan bagi sekolah inklusid di Kota
Bekasi.
Sedangkan kerjasama dan koordinasi yang terjalin pada sekolah
inklusif disampaikan oleh I3-1.1 yang diungkapkan kepada peneliti yaitu
sebagai berikut:
“Yang pernah mengadakan kegiatan khusus adalah SLB negeri
bekasi jaya yakni seperti menggelar masalah. Sekolah memaparkan
masalah yang timbul terkait anak berkebutuhan khusus di sekolah
kemudian narasumber menjelaskan dan menjawab solusi-solusi
dari masalah tersebut. dulu pernah ada lima tahun yang lalu yaitu
persatuan sekolah-sekolah inklusi di sekolah yang dibawahi oleh
dinas pendidikan dan dipilih satu koordinator nya.”
Dari hasil wawancara tersebut, dapat diketahui bahwa sekolah SMP
IT YPI 45 Bekasi pernah bekerja sama dengan SLB negeri Bekasi Jaya
yaitu kegiatan menggelar masalah yang dialami sekolah kemudian SLB
memberikan penjelasan dan solusi atas permasalahan yang dipaparkan
tersebut.
Selain kerjasama dengan lembaga atau institusi terkait, kerjasama
antara guru terutama wali kelas dengan para orang tua murid yang
berkebutuhan khusus juga merupakan hal yang sangat penting bagi
kemajuan dan perkembangan anak berkebutuhan khusus di sekolah. Hal ini
juga disampaikan oleh I3-2.1 yang diungkapkan kepada peneliti yaitu sebagai
berikut:
“Kalau untuk itu, kita dari awal memang hanya sosialisasinya saja
ya, kita melakukan pelayanan standar artinya tidak bisa secara
khusus. Kerjasama dengan saya pun sangat baik apalagi mengenai
pembelajaran kepada anaknya, dan saya juga punya grup whatsapp
khusus orang tua murid ya jadi siapapun boleh nanya di situ. Kalau
mau nanya khusus ya dia chat secara personal ya gitu aja.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, peneliti dapat mengetahui bahwa
kerjasama dan koordinasi antara guru walikelas dengan para orang tua
termasuk orang tua ABK terjalin sangat baik. Guru pun senantiasa
membuka akses bagi para orang tua yang ingin berkonsultasi atau sekedar
ingin bertanya terkait anaknya di sekolah.
Keterpautan dan dukungan antara berbagai institusi dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif pada sekolah-sekolah inklusif di Kota
Bekasi, disampaikan juga oleh I3-1.2 yang diungkapkan kepada peneliti yaitu
sebagai berikut:
“Kayaknya kita dalam dua tahun terakhir ini ga ada. Tahun 2014
atau tahun 2013 saya masih menjadi guru di sekolah ini itu pernah
ada sosialisasi di sekolah ini dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa
Barat terhadap guru-guru dan para orang tua tentang sekolah
inklusif tapi hanya sekali itu ya. Setelah itu yasudah paling
sekarang hanya sosialisasi biasa aja dan tindak lanjutnya tidak
ada.”
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, peneliti dapat mengetahui
bahwa pernah diselenggarakan sosialisasi tentang sekolah inklusif dari
Dinas Provinsi Jawa Barat kepada para guru dan orang tua di sekolah.
Namun sejak tiga tahun ini, sosialisasi tersebut belum diadakan lagi.
Sedangkan terkait kerjasama guru dengan orang tua murid, hal ini
disampaikan oleh I3-3.1 yang diungkapkan kepada peneliti yaitu sebagai
berikut:
“Kalau komunikasi sih sering, orang tuanya bilang anak saya
kurang bisa nulis atau baca gitu ya jadi minta saya juga untuk
ngajarin lagi di rumah.”
Selanjutnya hal serupa juga disampaikan oleh I3-3.2 yang
diungkapkan kepada peneliti yaitu sebagai berikut:
“Iya sering komunikasi sih ya terkait misalnya ABK nya udah bisa
ini terus yang belum bisa nya ini gitu sih paling.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat peneliti ketahui bahwa
kerjasama antara orang tua anak berkebutuhan khusus dengan guru terjalin
sangat baik. Secara tidak langsung, guru juga meminta bantuan kepada
orang tua dari siswa berkebutuhan khusus untuk kembali mengajarkan
anaknya terkait hal-hal yang belum bisa dilakukan anaknya di sekolah.
Sedangkan kerjasama antara sekolah inklusif dengan berbagai
institusi pelaksana juga disampaikan oleh oleh I3-1.3 yang diungkapkan
kepada peneliti yaitu sebagai berikut:
“Ya itu tadi ya paling koordinasinya terkait pembuatan SK sekolah
inklusi, setelah SK nya keluar yasudah. Untuk mendata pun ga ada
ya atau mungkin belum. Karena sekolah kita juga baru kali ya jadi
mungkin belum.”
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, peneliti dapat mengetahui
bahwa koordinasi yang terjalin antar SDS Al Izzah dengan insitusi terkait
ada hingga saat ini. Faktor yang memungkinkan hal ini terjadi adalah karena
sekolah ini baru ditetapkan pada tahun 2016 kemarin. Tapi seyogyanya hal
tersebut tidak dapat dijadikan pemerintah untuk tidak mendata atau
berkoordinasi hal lainnya dengan SDS Al Izzah.
Sedangkan hal terkait kerjasama antara guru dengan orang tua anak
berkebutuhan khusus (ABK) pada SDS AL Izzah disampaikan oleh I3-2.4
yang diungkapkan kepada peneliti yaitu sebagai berikut:
“Komunikasi terus dan materi itu kan dikasih tergantung dari
sekolah juga maksudnya dari wali kelas juga kan karena siswa
berkebutuhan khusus yang saya dampingi bisa ngikutin kalau di
rendahin materinya kalau di kelas. Untuk satu semester itu udah
kita bikin indikator belajarnya itu apa aja, yang buat itu kerjasama
saya dan wali kelas siswa berkebutuhan khusus yang saya
dampingi.”
“Kalau dukung sih ya dukung banget. Kegiatan-kegiatan kaya
nginep masih belum bisa dilepas sama orang tuanya, belum mau
lepas. Misalnya kegiatan super camp kemarin itu ga ikut karena
mungkin khawatir juga karena Prana itu ABK. Dulu juga Prana
sempet pernah kejang tengah malam makanya mamahnya
khawatirnya juga di situ kalau dia nginep. Salah satu faktor
utamanya mungkin dari itu juga kalau nginep acara dari sekolah.”
“Koordinasinya lebih sering sih dengan saya karena kan saya yang
setiap hari dampngi, ijin ga masuk baru ke wali kelasnya.”
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, peneliti dapat mengetahui
bahwa kerjasama antara guru wali kelas dengan guru pembimbing khusus
sangat baik, hal ini terlihat pada usaha kerjasama nya dalam membuat
indikator pembelajarannya. Kerjasama dan koordinasi dengan orang tua dari
anak berkebutuhan khusus (ABK) pun juga terjalin dengan baik terkait
dengan perkembangan dan kemajuan anaknya di sekolah.
Koordinasi dan kerjasama sekolah inklusif dengan antar berbagai
institusi pelaksana juga disampaikan oleh I3-1.4 yang diungkapkan kepada
peneliti yaitu sebagai berikut:
“Selama ibu disini sih belum pernah, dari informasi guru yang
udah ngajar disini dari tahun 2012 juga ga ada dari Disdik Kota
Bekasi yang kesini atau sekedar melakukan pendataan itu belum
pernah. Kalau mendata murid secara umum itu pernah ada.”
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, peneliti dapat mengetahui
bahwa belum ada koordinasi maupun kerjasama terkait terselenggaranya
pendidikan inklusif di sekolah. Pendataan pun dilakukan secara umum
artinya tidak dibedakan antar murid yang normal dengan yang berkebutuhan
khusus.
Dukungan dari komite sekolah juga sangat diperlukan, seperti pada
komite sekolah SDN Bantargebang iv yang aktif dan membawa hal yang
positif bagi penyelenggaraan pendidikan inklusif di sekolah ini. Hal ini
disampaikan oleh I3-3.3 yang diungkapkan kepada peneliti yaitu sebagai
berikut:
“Kalau kita sih dukung ya apalagi nanti ada rencana sebelum atau
sesudah lebaran kita mau ngadain seminar, seminar untuk anak
berkebutuhan khusus karena disini banyak banget di setiap kelas itu
ada. Itu yang jadi beban kita ya karena kadang ada orang tua murid
yang bilang ini ganggu gitu, ya memang ganggu mereka yang
normal lagi belajar. Banyak yang komplain kaya gitu apalagi kalau
lagi rapat tapi kan kita harus di tengah-tengah gitu makanya jadi
besok sebelum atau sesudah lebaran kita mau ngadain seminar git
sama Mas Priya, beliau sudah ahli cara mengatasi masalah ABK,
jadi memang orang tua tersebut harus tau setelah lulus itu mau
kemana jangan mengharapkan negeri karena ada orang tua yang
tidak mau mengaku kalau anaknya berkebutuhan khusus. Dengan
banyaknya ketidakpahaman orang tua makanya disarankan kita itu
ngadain seminar. Tapi ga cuma orang tua nya aja guru-gurunya
juga dapat pelatihan gimana caranya ngajar anak-anak
berkebutuhan khusus.”
“Ada tapi beberapa, ada orang tua yang peduli ada juga yang ga
peduli. Jadi gini kadang yang peduli cuman nganterin doang kalau
sekolah doang tapi dia ga tahu gimana-gimananya cuman dateng
ngobrol udah, ini nyata ya tanpa harus melihat ini gimana ya
anaknya.”
Berdasarkan hasil wawancara tersebut,peneliti dapat mengetahui
bahwa komite sekolah mendukung secara penuh pada pelaksanaan
pendidikan inklusif di SDN Bantar Gebang IV. Hal tersebut diwujudkan
dengan rencana diselenggarakan nya seminar tentang pendidikan inkluisf
bagi para orang tua maupun guru di sekolah. Sedangkan dalam hal
kerjasama dan koordinasi antara orang tua dari anak berkebutuhan khusus
(ABK) dengan guru atau wali kelas dapat dilihat baik atau tidaknya
tergantung pada orang tua yang bersangkutan, sejauh mana dia
memperhatikan tumbuh kembang dan kemajuan anaknya di sekolah.
3. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana
Kejelasan kebijakan pendidikan inklusif sendiri sebenarnya telah
termuat dalam Permendiknas No.70 Tahun 2009, sedangkan pada Peraturan
Daerah Kota Bekasi No.13 Tahun 2014 tentang pengelolaan dan
penyelenggaraan pendidikan hanya memuat sedikit tentang pendidikan
inklusif , karena sesuai yang tertera pada pasal 108 ayat (3) dinyatakan
bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai program pendidikan khusus
pada satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum, satuan
pendidikan kejuruan, dan/atau satuan pendidikan keagamaan diatur
dengan Peraturan Menteri.
Konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana mengacu pada
peraturan yang telah peneliti sebutkan diatas, namun berdasarkan
wawancara yang peneliti lakukan dengan pemerintah Kota Bekasi yang
bersangkutan seperti pada dprd Kota bekasi komisi pendidikan maupun
Dinas Pendidikan Kota Bekasi adalah bahwa kewenangan masih berada di
pemerintah provinsi, sedangkan pemerintah Kota Bekasi hanya ikut
berpartisipasi dalam implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Kota
Bekasi jika mendapatkan mandat atau perintah dari pemerintah provinsi
dalam hal ini Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Pemerintah Kota
Bekasi sendiri merasa bahwa pihak-pihaknya tidak ikut menjadi pelaksana
kebijakan karena kebijakan pendidikan inklusif sendiri bukan merupakan
kewenangannya, kecuali dalam hal koordinasi itupun lagi-lagi jika ada
perintah dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat yang membutuhkan
bantuan dari pemerintah Kota Bekasi dalam hal implementasi kebijakan
pendidikan inklusif yang diselenggarakan di Kota Bekasi. Hal terkait ini
disampaikan oleh I1 yang diungkapkan kepada peneliti yaitu sebagai berikut:
“Engga, jadi kalau sudah kewenangannya tadi contohya yang SMA
dan SMK itu tadi yang diambil kewenangan nya oleh pemerintah
provinsi dan begitu diambil alih yaudah kita tidak bisa apa-apa.
Kalau seandainya kita tiba-tiba meng-anggarkan untuk sekolah
khusus dan sekolah inklusif itu nanti di cek sama inspektorat sama
BPK ini apa ini kan gitu bukan kewenangan kamu di coret lah gitu
dan kalau maksain juga ketangkep dia karena tidak prosedurnya
seharusnya uangnya bukan untuk kesitu gitu ya.”
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, peneliti dapat mengetahui
bahwa kejelasan pada kebijakan pendidikan inklusif yaitu kewenangan
berada pada pemerintah provinsi, dalam hal ini Dinas Pendidikan Provinsi
Jawa Barat dan bukan merupakan kewenangan dari pemerintah Kota
Bekasi, dikarenakan faktor tersebut maka jika DPRD Kota Bekasi membuat
anggaran terkait pendidikan inklusif di Kota Bekasi dapat melanggar
prosedur karena uang tersebut digunakan bukan pada kewenangan yang
dimiliki.
Konsistensi pemerintah Kota Bekasi untuk ikut melaksanakan
kebijakan pendidikan inklusif di Kota Bekasi disampaikan juga oleh I2 yang
diungkapkan kepada peneliti yaitu sebagai berikut:
“Selama ini dari provinsi, karena pklk di dinas provinsi itu dengan
SLB kan itu masuknya kewenangan pemerintah provinsi sama.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, peneliti dapat mengetahui bahwa
yang konsisten dalam melaksanakan implementasi kebijakan pendidikan
inklusif di Kota Bekasi adalah pemerintah provinsi, dalam hal ini yaitu
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Selain itu disebabkan adanya faktor
bahwa yang terkait dengan sekolah inklusif maupun sekolah khusus
merupakan kewenangan dari pemerintah Provinsi Jawa Barat.
4. Tingkat Komitmen Aparat
Komitmen adalah salah satu aspek yang menentukan keberhasilan
implementasi kebijakan pendidikan inklusif baik itu dari pemerintah
maupun pihak sekolah sebagai penyelenggara pendidikan inklusif.
Komitmen ini diwujudkan dengan usaha yang berkelanjutan dalam
mencapai keberhasilan kebijakan pendidikan inklusif di Kota Bekasi. Hal
ini disampaikan oleh I3-1.1 yang diungkapkan kepada peneliti yaitu sebagai
berikut:
“Komitmen nya adalah pendidikan untuk semua, tanpa
diskriminasi. Sekolah lebih mengarahkan siswa melalui ajaran
agama seperti bisa solat. Tidak perlu memikirkan apakah dia pintar
bahasa inggris, matematika, dan lain sebagainya. Khususnya pada
anak berkebutuhan khusus, sekolah lebih fokus untuk memperbaiki
perilakunya dalam hidup sehari-hari dengan memperhatikan
keterbatasan yang ia miliki. Semua yang diajarkan sekolah sesuai
dengan landasan agama.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, peneliti dapat mengetahui bahwa
komitmen pada sekolah inklusif yang berbasis islami seperti SMP IT YPI 45
Bekasi adalah akhlaknya terhadap agama. Sekolah fokus untuk
memperbaiki perilaku dalam kehidupannya sehari-hari sesuai dengan
petunjuk agama, hal ini berlaku terutama pada anak berkebutuhan khusus
(ABK) dengan memperhatikan juga keterbatasan yang dimiliki. Hal serupa
dengan disampaikan juga oleh I3-1.3 yang diungkapkan kepada peneliti yaitu
sebagai berikut:
“Kalau komitmennya kita karena sekolah islam, jadi yang penting
anak itu tau akhlak yang baik terutama untuk anak berkebutuhan
khusus ini kalau untuk jadi pintar itu kan susah ya karena
kemampuan dia pun berbeda dengan anak normal pada umunya,
tapi tergantung juga sih dengan tingkat keterbatasannya. Tapi yang
paling penting itu dia tau apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan
dan tata krama sopan santun bagaimana seharusnya bersikap yang
baik dan benar sesuai ajaran agama islam. Karena kan dia ngga
mungkin didampingi terus sama guru pendampingnya dan akhirnya
pun setelah selesai sekolah dia akan terjun ke masyarakat.”
Berdasarkan pernyataan tersebut, peneliti dapat mengetahui bahwa
komitmen pada kepala sekolah inklusif yang berbasis islami menekankan
anak berkebutuhan khusus untuk dapat berperilaku yang baik sesuai dengan
ajaran agama islam. Sedangkan dalam hal pelajaran lain seperti matematika
dan sebagainya itu tergantung pada kemampuan anak tersebut, terlebih pada
anak berkebutuhan khusus (ABK) yang memiliki keterbatasan kemampuan
terutama dalam memahami pelajaran. Hal terkait komitmen disampaikan
juga oleh I3-1.2 yang diungkapkan kepada peneliti yaitu sebagai berikut:
“Intinya karena pendidikan itu konsumsi utama bagi anak yang sangat
penting. Khususnya tentang inklusif ya kita harus maju karena kalau gitu ya
kasihan anak-anak kan pendidikan itu berguna untuk seumur hidup. Karena
kita itu sekolah negeri ya yang bebas pungutan makanya orang-orang
banyak yang kesini. Pada intinya ya komitmen saya pendidikan itu harus
terus bergerak, kita ga memandang lah ya itu normal atau ga normal karena
kan anak itu titipan Tuhan ya. Kadang orang tua juga tidak mengerti
kebutuhan anaknya, banyak yang tidak terima bahwa anak nya itu ABK.
Bukan hanya orang tua, pendidik pun kadang juga belum paham apa itu
anak berkebutuhan khusus.”
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, peneliti dapat mengetahui
bahwa komitmen kepala sekolah SDN Kalibaru IV sangat baik, jauh dari
sifat diskriminatif karena baginya pendidikan adalah hak bagi semua anak
tanpa terkecuali anak normal ataupun kurang normal. Artinya pendidikan
harus tetap berjalan karena jika kita membeda-bedakan, orang tua sendiri
pun juga tidak dapat membedakan apakah anaknya tersebut memiliki
kebutuhan khusus atau tidak. Komitmen yang berbeda dengan kepala
sekolah sebelumnya, disampaikan oleh I3-1.4 yang diungkapkan kepada
peneliti yaitu sebagai berikut:
“Ibu komitmennya pengennya dibatasi gitu seperti yang rencana
ibu lebih selektif gitu karena kita juga ga bisa nanganin, kalau
disebut nyerah mah nyerah ya sebatas kita sebagai pendidik ya
kalau ada ABK yang mau sekolah kita harus terima tapi itu dilihat
dulu dari kemampuan anak itu sejauh mana jangan sampai sekolah
ini hanya dijadikan tempat mungkin setengah bermain bagi mereka
atau apa. Jadi yang ada malah kita sebagai pengajar terganggu, di
kelas harusnya fokus ke anak-anak yang lain, dan untuk
memfasilitasi kita ga bisa dari sekolah sepenuhnya karena tidak ada
dana khusus kan kecuali memang pemerintah niat lagi memberikan
dana ya insyaAllah kita gunakan dengan sebaik-baiknya untuk
mengundang itu juga guru-guru pendamping. Jadi kita pun ga bisa
meng-anggar untuk yang khusus ya karena nanti yang lain takutnya
ga tertutupi.”
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, peneliti dapat mengetahui bahwa
kemampuan sekolah untuk menangani anak berkebutuhan khusus sangat kurang,
bahkan pihak sekolah mengaku menyerah karena anak berkebutuhan khusus
(ABK) yang mereka tangani pun jumlahnya cukup banyak di sekolah, tidak
adanya fasilitas serta dana bantuan dari pemerintah. Oleh karena itu, kepala
sekolah berkomitmen untuk lebih selektif ke depannya dalam menerima anak
berkebutuhan khusus (ABK) agar mereka dapat tertangani dengan baik oleh pihak
sekolah.
4.3.3. Variabel Lingkungan
Variabel ketiga yang mempengaruhi keberhasilan implementasi menurut
Teori Mazmanian dan Sabatier adalah variabel lingkungan. Variabel diluar
peraturan daerah yang mempengaruhi implementasi dilihat dari berbagai aspek
yakni aspek sosial, budaya, dan ekonomi.
1. Aspek Sosial
Penanganan masalah sosial atau pemerataan adalah tugas pemerintah dan
masyarakat. Partisipasi, pemberdayaan dan desentralisasi adalah masalah sosial
yang perlu dicermati. Peranan pemerintah dalam pemerataan adalah untuk
melaksanakan keadilan sosial. Melaksanakan keadilan sosial dalam hal ini adalah
memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus dalam mendapatkan
akses pendidikan.
Hal terkait ini disampaikan oleh I1 yang diungkapkan kepada peneliti
yaitu sebagai berikut:
“Makanya dengan kamu menulis seperti ini lalu mereka baca ya tergugah
lah hati mereka bisa memperhatikan itu, sumbangan pemikiran dari
mahasiswa kalau kewenangan itu tetep harus menjadi perhatian daerah
karena kan bukan lembaganya yang kita pikirkan tapi putra-putra didik
nya itu yang kita perhatikan bahwa mereka itu tetap warga Kota Bekasi.”
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti mengetahui bahwa
masalah sosial di Kota Bekasi terkait anak berkebutuhan khusus dalam
mendapatkan pendidikan tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah pada
wilayahnya sendiri, dalam hal ini pemerintah Kota Bekasi. Karena walau
bagaimanapun anak berkebutuhan khusus yang ada di wilayah Kota Bekasi
merupakan putra putri dari Kota Bekasi yang perlu dijamin haknya untuk
mendapatkan akses pendidikan yang sama dengan anak normal lainnya. Jika
permasalahan pada pendidikan anak berkebutuhan khusus ini tidak diperhatikan
terus-menerus akan menjadi permasalahan yang tidak akan selesai.
2. Aspek Budaya
Ada beberapa budaya yang perlu dicermati yaitu budaya birokrat, budaya
masyarakat serta bangsa. Kebudayaan kita adalah paternalistik dimana pemimpin
sebagai panutan. Dalam kebijakan pendidikan inklusif ini, yang menjadi panutan
bagi pemerintah Kota Bekasi dalam menjalankan implementasi kebijakan
pendidikan inklusif adalah Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, salah satu
faktornya adalah karena wewenang atas kebijakan ini masih berada pada pihak
Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Selanjutnya budaya masyarakat dan
bangsa Indonesia adalah cenderung melihat orang yang lemah dan memiliki
keterbatasan sebagai kaum minoritas yang keberadaan nya tidak begitu di
pedulikan. Penyandang disabilitas termasuk anak berkebutuhan khusus adalah
orang yang tidak dapat hidup mandiri dan hanya perlu dikasihani, oleh sebab itu
maka tindakan diskriminatif masih dilakukan oleh sebagian pihak baik itu
masyarakat maupun pemerintah itu sendiri. Hal terkait ini disampaikan oleh I1
yang diungkapkan kepada peneliti yaitu sebagai berikut:
“Harusnya tidak, karena kalau kebutuhan pendidikan mereka tidak
terpenuhi justru menjadi ancaman buat masa depan mereka sendiri, jadi
ekspendiktur yang tidak pernah kehabisan.”
Berdasarkan hasil wawncara tersebut, peneliti dapat mengetahui bahwa
anak berkebutuhan khusus seharusnya tidak dianggap sebagai kaum minoritas,
karena jika mereka tidak mendapatkan hak nya dalam bidang pendidikan maka hal
ini akan menjadi masalah yang tidak akan pernah habis pada wilayah Kota
Bekasi. Dukungan dan bantuan dari orang-orang sekitar sangat efektif dalam
proses penyembuhan dari anak berkebutuhan khusus tersebut. oleh karena itu
support dari orang-orang terdekat maupun masyarakat sekitar dalam menghadapi
anak berkebutuhan khusus dengan baik merupakan hal yang sangat diperlukan
bagi mereka. Hal terkait ini disampaikan juga oleh I4-3.2 yang diungkapkan kepada
peneliti yaitu sebagai berikut:
“Jadi pemerintah itu belum sadar kalau di Kota Bekasi banyak
penyandang disabilitas yang kalau tidak dikelola dengan baik jadi
masalah yang lebih besar. Tuna netra saja akses pendidikannya minim,
mau disekolahin pun ga punya biaya ya akhirnya jadi dampaknya itu ke
anaknya. Pemerintah Kota Bekasi itu minim sekali perhatiannya.
Anggaran nya saja untuk penyandang disabilitas paling hanya berapa sih,
kalau tinggi anggarannya berarti perhatian nya besar tapi kalau anggaran
nya saja tidak ada ya berarti memang tidak memperhatikan kan gitu.”
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, peneliti dapat mengetahui bahwa
budaya pemerintah yang kurang memperhatikan kaum minoritas, membuat para
penyandang disabilitas berasumsi bahwa anggaran yang dibuat oleh Pemerintah
untuk masyarakat penyandang disabilitas tidak besar, yang berarti jika anggaran
nya saja kecil, maka dapat dikatakan bahwa perhatiannya pun masih kecil.
3. Aspek ekonomi
Faktor ekonomi menjadi hal yang sangat berpengaruh terhadap
implementasi kebijakan pendidikan inklusif. Orang tua yang memiliki
perekonomian yang baik maka cenderung akan menyekolahkan anaknya pada
sekolah yang dapat memberikan kemajuan yang signifikan pada perkembangan
anaknya, terlebih bahwa anaknya termasuk golongan anak berkebutuhan khusus.
Ketiadaan sarana prasarana dan tenaga pengajar di sekolah inklusif bukan tidak
mungkin akan membuat tumbuh kembang anak berkebutuhan khusus (ABK) di
sekolah kurang mengalami kemajuan, juga faktor banyaknya sekolah inklusif
yang akan membatasi penerimaan anak berkebutuhan khusus juga menjadi salah
satu faktor yang mempengaruhi anak dalam mendapatkan pendidikan, karena jika
anaknya tidak dapat bersekolah di sekolah negeri yang tidak memungut biaya
apapun dari orang tua, maka anak tersebut tidak dapat bersekolah karena orang tua
yang tidak mampu untuk membiayai anaknya sekolah pada sekolah inklusif
swasta atau SLB. Hal terkait ini disampaikan oleh I3-1.2 yang diungkapkan oleh
peneliti yaitu sebagai berikut:
“Kurang kesadaran mereka dan kendalanya juga rata-rata karena
masalah ekonomi. Kalau saya sih udah ada inisiatifnya udah ngasih
arahan juga. Kalau disebut anaknya berkebutuhan khusus juga kan
rata-rata orang tuanya ga mau nerima dan disarankan ke SLB juga
bilangnya kan anak saya ga terlalu parah gitu jawaban nya kalau info
yang saya dapet gitu.”
Berdasarkan hasil wawancara tersebut, peneliti dapat mengetahui bahwa faktor ekonomi
adalah salah satu faktor penyebab orang tua tidak mau mendaftarkan anaknya
yang seharusnya di masukkan ke dalam sekolah khusus atau SLB karena tingkat
keterbatasan yang dimiliki tidak memungkinkan untuk anaknya dapat bersekolah
pada sekolah inklusif, serta apabila sekolah inklusif tidak dapat menerima anak
berkebutuhan khusus (ABK) maka dampak yang terjadi adalah anak tersebut
tidak dapat bersekolah layaknya anak pada seusianya.
4.4. Pembahasan
Berdasarkan penjelasan dari beberapa infoman dalam penelitian ini
mengenai gambaran Implementasi Kebijakan Pendidikan Inklusif di Kota Bekasi
dapat diketahui bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusif pada wilayah Kota
Bekasi mengalami berbagai kendala dan hambatan yang menyebabkan
implementasi kebijakan pendidikan inklusif ini tidak dapat mencapai keberhasilan
sesuai dengan tujuan kebijakan pendidikan inklusif sebagaimana yang tertuang
pada peraturan yang berlaku. Berkaitan dengan hal tersebut, peneliti akan
membahas dengan menggunakan teori implementasi kebijakan publik Mazmanian
dan Sabatier, dimana terdapat tiga variabel yang mempengaruhi keberhasilan
implementasi, diantaranya yaitu:
4.4.1. Karakteristik Masalah
Dalam variabel karakteristik masalah, peneliti menemukan beberapa
permasalahan dalam proses implementasi kebijakan pendidikan inklusif di Kota
Bekasi, yaitu sebagai berikut:
1. Standarisasi sarana dan prasarana pada sekolah inklusif
Sarana dan prasarana sangat penting dalam dunia pendidikan,
karena dapat digunakan sebagai alat penggerak suatu pendidikan. Sarana
dan prasarana pendidikan dapat menunjang penyelenggaraan proses belajar
mengajar, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam suatu
lembaga guna mencapai tujuan pendidikan. Pada hakekatnya, semua sarana
dan prasarana pendidikan pada satuan pendidikan tertentu itu dapat
dipergunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif, tetapi untuk
mengoptimalkan proses pembelajaran perlu dilengkapi asesibilitas bagi
kelancaran mobilisasi anak berkebutuhan khusus (ABK), serta media
pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan anak berkebutuhan khusus
(ABK). Komponen sarana dan prasarana dalam sistem pendidikan inklusif,
menjadi salah satu komponen yang termasuk penting mengingat
keberagaman karakteristik anak berkebutuhan khusus (ABK), maka sarana
dan prasarana pendidikan yang dibutuhkan menyesuaikan dengan
kebutuhan anak.
Sarana dan prasarana pada sekolah-sekolah inklusif di Kota Bekasi
hingga saat ini kurang menunjang bagi ABK terutama dalam proses
pembelajaran di sekolah. Faktor-faktor yang menyebabkan hal ini adalah
ketidaksiapan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan inklusif, namun
mereka harus menyelenggarakan pendidikan inklusif dengan menerima anak
berkebutuhan khusus di sekolahnya karena sudah ditetapkan oleh
pemerintah provinsi yaitu oleh Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat untuk
menjadi sekolah inklusif, faktor lain adalah
Tidak adanya bantuan berupa dana, maupun sarana prasarana pada
sekolah inklusif dari pemerintah baik itu pemerintah Provinsi Jawa Barat
maupun pemerintah Kota Bekasi terkait pengadaan sarana dan prasarana
yang diperuntukkan bagi anak berkebutuhan khusus pada sekolah tersebut.
Sarana dan prasarana yang terdapat pada sekolah-sekolah inklusif saat ini
masih berupa sarana dan prasarana umum layaknya sekolah reguler pada
umunya, tidak ada sama sekali sarana dan prasarana khusus.
Ketiadaan sarana dan prasarana bagi anak berkebutuhan khusus
pada sekolah inklusif, hingga kini belum juga mendapatkan perhatian dari
pemerintah baik itu pemerintah Provinsi Jawa Barat maupun pemerintah
Kota Bekasi. Oleh karenanya, permasalahan pada sarana dan prasarana ini
masih menjadi satu hal yang selalu dikeluhkan oleh semua sekolah inklusif
yang ada di Kota Bekasi, baik itu swasta maupun negeri. Padahal jika
permasalahan terkait sarana dan prasarana pada sekolah inklusif ini tidak
ditindaklanjuti segera oleh pemerintah, maka sampai kapan pun
implementasi kebijakan pendidikan inklusif tidak dapat mencapai
keberhasilan kebijakan pendidikan inklusif sesuai dengan tujuan yang
tertera pada Permendagri No. 70 Tahun 2007 pada pasal 2 yang menyatakan
bahwa Pendidikan inklusif bertujuan untuk memberikan kesempatan yang
seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau
bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan
kebutuhan dan kemampuannya dan mewujudkan penyelenggaraan
pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi
semua peserta didik yang memiliki memiliki kelainan fisik,emosional,
mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat
istimewa perlu mendapatkan layanan pendidikan yang sesuai dengan
kebutuhan dan hak asasinya.
Selain pada Permendagri No.70 Tahun 2009, tujuan pendidikan
inklusif juga tertera pada Peraturan Daerah Kota Bekasi No.13 Tahun 2014
tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan yaitu pada pasal 107
ayat (2) yang menyatakan bahwa Pendidikan khusus bagi peserta didik
berkelainan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik
secara optimal sesuai kemampuannya.
2. Aksesibilitas Pendidikan
Pada dasarnya manusia diciptakan sama oleh Tuhan Yang Maha
Esa, hal ini pun dipercayai oleh berbagai pihak. Akan tetapi, dalam realita
kehidupan terutama untuk anak-anak berkebutuhan khusus masih merupakan
suatu perbedaan, walaupun telah memasuki budaya demokrasi yang
menghargai segala perbedaan dan menjunjung tinggi semua hak warga
negara, termasuk dalam pembukaan UUD 1945 pada
Pasal 31 ayat (1) dan (2) yang menyatakan bahwa (1) Tiap-tiap
warga negara berhak mendapat pengajaran, dan (2) Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajarn nasional yang
diatur dalam Undang-undang terkait.. Keberadaan anak berkebutuhan khusus
(ABK) dalam masyarakat masih belum sepenuhnya dapat diterima, sehingga
banyak hal yang menyangkut hak anak berkebutuhan khusus belum dapat
diperoleh atau dengan kata lain masih terjadi dikriminasi terhadap anak-anak
berkebutuhan khusus terutama dalam hal ini pada bidang pendidikan.
Permasalahan pada aksesibilitas pendidikan anak berkebutuhan
khusus di wilayah Kota Bekasi adalah masih banyaknya sekolah umum atau
reguler yang tidak bersedia menerima anak berkebutuhan khusus (ABK) pada
sekolahnya meskipun telah jelas pada Peraturan Daerah Kota Bekasi No. 13
Tahun 2014 pada pasal Pasal 108 ayat (1) yaitu Pendidikan khusus bagi
peserta didik berkelainan dapat diselenggarakan pada semua jalur dan
jenis pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah dan ayat
(2) yaitu Penyelenggaraan pendidikan khusus dapat dilakukan melalui
satuan pendidikan khusus, satuan pendidikan umum, satuan pendidikan
kejuruan, dan/atau satuan pendidikan keagamaan. Faktor ini disebabkan
karena pemahaman yang kurang dari PNS Kota Bekasi khususnya pada
sekolah-sekolah umum yang masih belum mengetahui akan peraturan dari
kebijakan inklusif sehingga banyak yang menganggap bahwa sekolah yang
tidak ditetapkan sebagai sekolah inklusif tidak berwenang dan tidak
bertanggung jawab atas anak berkebutuhan khusus maka pihak sekolah yang
bersangkutan tidak mau dan tidak bersedia untuk menerima anak
berkebutuhan khusus pada sekolahnya, yang kemudian meyarankan anak
tersebut mendaftar pada sekolah yang telah ditetapkan sebagai sekolah
inklusif meskipun sekolah tersebut berada di luar domisili kecamatan.
Permasalahan pada aksesibilitas pendidikan anak berkebutuhan
khusus (ABK) lainnya yaitu dalam hal mengikuti kejuaraan atau lomba di
sekolah. Permasalahan yang peneliti temui adalah pada dasarnya sekolah
memang mempersilahkan bagi setiap anak yang memiliki kemampuan dan
bakat untuk mengikuti lomba atau kejuaraan di sekolah, namun sekolah
sendiri masih takut jika terdapat resiko dari anak berkebutuhan tersebut
dikarenakan kelainan dan keterbatasan yang mereka miliki, juga pihak
sekolah yang masih menganggap sebelah mata bahwa anak berkebutuhan
khusus (ABK) bisa mempunyai bakat dan kemampuan untuk mengikuti
lomba atau kejuaraan di sekolah. Masalah-masalah tersebut merupakan fakta
penelitian yang peneliti temukan pada saat terjun ke lapangan, dimana
masalah-masalah tersebut peneliti kategorikan sebagai masalah pada
aksesibilitas anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam mendapatkan
pendidikan.
3. Pemahaman dari pelaksana kebijakan
Konsep pendidikan inklusif memberikan pemahaman mengenai
pentingnya penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam
kurikulum, lingkungan, dan interaksi sosial yang ada di sekolah.
Pemahaman akan konsep pendidikan inklusif merupakan hal yang
sangat penting, tidak hanya bagi pihak sekolah inklusif yaitu kepala sekolah,
guru dan orang tua. Permasalahan yang peneliti temui berkaitan dengan hal
tersebut adalah tidak diselenggarakannya lagi pembinaan dan pelatihan
tentang pendidikan inklusif di sekolah. Pembinaan dan pelatihan tersebut
tidak lagi gencar dilakukan pemerintah Provinsi Jawa Barat seperti pada saat
tahun-tahun sebelumnya yaitu sekitar tahun 2003. Faktor yang
melatarbelakangi hal tersebut banyaknya rumor dari beberapa informan yang
menyatakan bahwa kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat pada tahun
lalu merupakan seorang ayah dari anak yang berkebutuhan khusus, oleh
karena itu beliau pun sangat memperhatikan dan gencar melakukan upaya
yang menyadarkan para sekolah khususnya sekolah inklusif akan pentingnya
menghargai anak berkebutuhan khusus, salah satu usaha dari hal tersebut
adalah dengan diterapkannya sistem pendidikan inklusif.
Selain itu, pemahaman akan konsep pendidikan inklusif tersebut tidak
kalah penting untuk dipahami oleh para pelaksana kebijakan pendidikan
inklusif dari berbagai lembaga maupun institusi, seperti Gubernur, Walikota,
DPRD, Dinas Pendidikan, dan lembaga atau institusi lain yang bersangkutan.
Permasalahan terkait dengan pemahaman dari pelaksana kebijakan
tersebut yang peneliti temui terjadi pada wilayah Kota Bekasi adalah masih
marak adanya pemahaman bahwa Pemerintah Kota Bekasi tidak memiliki
kewenangan dan tanggung jawab dalam pelaksanaan kebijakan pendidikan
inklusif di Kota Bekasi. Padahal pada Peraturan Daerah Kota Bekasi No.13
Tahun 2014 pada Pasal 109 ayat (1) menyatakan bahwa Pemerintah Daerah
menjamin terselenggaranya pendidikan khusus pada satuan pendidikan
umum dan satuan pendidikan kejuruan sesuai dengan kebutuhan peserta
didik. Serta pada Permendagri No.70 Tahun 2009 pada pasal 6 ayat (1) yaitu
Pemerintah kabupaten/kota menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif
sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
4. SDM dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif
SDM sangat memegang peranan penting atas berjalannya suatu
kebijakan, dalam hal ini yaitu kebijakan pendidikan inklusif, tanpa sumber
daya manusia yang memiliki kapabilitas baik tentunya segala sesuatu tidak
akan berjalan dengan baik pula. Sumber daya manusia dalam penyelenggaraan
pendidikan inklusif adalah seluruh pihak yang terlibat baik langsung maupun
tidak langsung dalam pengelolaan dan pelaksanaan penyelenggaraan
pendidikan dalam sebuah satuan pendidikan yaitu sekolah inklusif. Tenaga
pendidik (guru) adalah salah satu komponen yang utama bersama kepala
sekolah dan pihak pengambil keputusan (stake holder). Guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada
pendidikan anak usia dini, jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan
pendidikan menengah (Dir. Pembinaan SLB, 2007).
Permasalahan yang peneliti temui terkait SDM dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusif di Kota Bekasi adalah tidak terdapatnya
guru pembimbing khusus terutama pada sekolah inklusif negeri, padahal
kelancaran penyelenggaraan sistem pendidikan inklusif ini sangat berpengaruh
pada kemampuan para guru pembimbing khusus yang bertugas dalam
membantu anak berkebutuhan khusus dalam proses pembelajaran di sekolah.
Faktor dari tidak adanya keberadaan guru pembimbing khusus pada sekolah
inklusif ini adalah karena tidak ada kesadaran dan usaha pihak pemerintah
Kota Bekasi untuk membantu sekolah dalam menyediakan guru pembimbing
khusus terutama pada sekolah inklusif. Padahal dalam Permendagri No.70
Tahun 2009 Pasal 6 ayat (2) menyatakan bahwa Pemerintah kabupaten/kota
menjamin tersedianya sumber daya pendidikan inklusif pada satuan
pendidikan yang ditunjuk, dan ayat (3) yaitu Pemerintah dan pemerintah
provinsi membantu tersedianya sumber daya pendidikan inklusif. Serta dalam
Peraturan Daerah Kota Bekasi No.13 Tahun 2014 pada pasal 109 ayat (3)
yaitu Pemerintah Daerah menyediakan sumberdaya pendidikan yang
berkaitan dengan kebutuhan peserta didik berkelainan.
4.4.2. Karkteristik Kebijakan
Variabel kedua yang mempengaruhi keberhasilan implementasi adalah
karakteristik kebijakan, peneliti menemukan beberapa permasalahan terkait
variabel tersebut dalam proses implementasi kebijakan pendidikan inklusif di
Kota Bekasi, yaitu sebagai berikut:
1. Besarnya anggaran pada kebijakan pendidikan inklusif
Besarnya anggaran dalam proses implementasi suatu kebijakan, dalam
hal ini kebijakan pendidikan inklusif menjadi salah satu hal yang sangat
penting untuk mencapai keberhasilan sebuah proses implementasi kebijakan.
Peneliti dapat melihat besar atau tidaknya anggaran yang diperuntukkan bagi
pelaksanaan pendidikan inklusif di Kota Bekasi adalah dari segi bantuan yang
diberikan. Jika pemerintah konsisten dalam memberikan bantuan-bantuan
pada sekolah inklusif, maka dapat dikatakan bahwa pemerintah memberikan
anggaran yang cukup besar dalam kebijakan pendidikan inklusif.
Permasalahan yang peneliti temui terkait dalam hal ini yaitu ketiadaan
bantuan-bantuan dari pemerintah baik itu pemerintah Provinsi Jawa Barat
maupun pemerintah Kota Bekasi pada sekolah-sekolah inklusif di wilayah
Kota Bekasi, serta prosedur pengajuan bantuan bagi sekolah inklusif yang
cenderung berbelit-belit, dan kemudian membingungkan pihak sekolah
inklusif. Padahal pihak sekolah inklusif sendiri baik itu kepala sekolah,guru,
terutama siswa berkebutuhan khusus sangat mengandalkan bantuan dari
pemerintah agar proses pelaksanaan pendidikan inklusif di sekolah umum
atau reguler dapat berjalan dengan baik.
2. Keterpautan dan dukungan antar berbagai institusi pelaksana
Adanya keterpautan dan dukungan antar berbagai institusi pelaksana
kebijakan dalam hal ini kebijakan pendidikan inklusif merupakan hal yang
sangat mempengaruhi keberhasilan proses implementasi.
Permasalahan terkait pada hal ini yang peneliti temui di wilayah Kota
Bekasi adalah kurang adanya keterpautan antara pemerintah, apalagi pada
pemerintah Kota Bekasi dengan pihak sekolah inklusif. Sedangkan terkait
dukungan yang diberikan oleh berbagai institusi yang berkaitan dengan
pelaksanaan pendidikan inklusif juga dinilai kurang efektif, karena pelatihan
dan pembinaan tentang pendidikan inklusif yang selama ini diberikan oleh
pemerintah Provinsi Jawa Barat kepada sekolah-sekolah inklusif tidak
berjalan dengan rutin, apalagi saat ini banyak diakui oleh para pihak sekolah
inklusif bahwa pelatihan dan pembinaan tentang pendidikan inklusif sudah
sangat jarang diselenggarakan pada sekolah-sekolah inklusif di wilayah
Kota Bekasi.
3. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana
Kejelasan dan konsistensi aturan mengenai kebijakan pendidikan
inklusif pada badan pelaksana merupakan hal yang penting untuk dapat
mengetahui akan tupoksi masing-masing pihak dalam pelaksanaan
pendidikan inklusif khususnya di wilayah Kota Bekasi.
Permasalahan terkait hal ini yang peneliti temui terjadi pada wilayah
Kota Bekasi adalah masing-masing pihak khususnya semua elemen
pemerintah Kota Bekasi kurang mengetahui dengan jelas akan tugas pokok
dan fungsi masing-masing terkait kebijakan pendidikan inklusif yang
diselenggarakan di Kota Bekasi. Ketidakjelasan dalam hal ini menyebabkan
pemerintah Kota Bekasi merasa tidak berwenang dan bertanggung jawab
terhadap pelaksanaan pendidikan inklusif di Kota Bekasi, adapun usaha
yang dilakukan terkait dengan pelaksanaan pendidikan inklusif merupakan
mandat dan perintah dari pemerintah Provinsi Jawa Barat, artinya belum ada
kesadaran dari pihak pemerintah Kota Bekasi untuk berusaha mencapai
keberhasilan proses pelaksanaan pendidikan inklusif di Kota Bekasi.
4. Tingkat komitmen
Komitmen para pelaksana kebijakan dalam menyelenggarakan
pendidikan inklusif harus diperbaiki. Perlu adanya kesadaran yang
mendalam tentang pentingnya penyelenggaraan pendidikan inklusif dalam
hal ini pada wilayah Kota Bekasi. Komitmen para kepala sekolah yang
menurut peneliti sudah baik tentang pelaksanaan pendidikan inklusif pada
masing-masing sekolah yang dipimpinnya, hanya dari sisi pemerintah Kota
Bekasi yang kurang memiliki komitmen terkait pendidikan inklusif karena
faktornya lagi-lagi disebabkan oleh pemerintah Kota Bekasi yang merasa
bahwa pihaknya tidak memiliki tanggung jawab dan wewenang dalam
kebijakan pendidikan inklusif serta kurangnya kesadaran mereka untuk
memahami ketentuan-ketentuan yang tertuang pada Permendagri No.70
tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki
Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan atau Bakat Istimewa dan
Peraturan Daerah No.13 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan.
4.4.3. Variabel Lingkungan
Variabel ketiga yang mempengaruhi keberhasilan implementasi
kebijakan adalah variabel lingkungan. Dalam hal ini, peneliti akan menganalisis
variabel lingkungan berdasarkan aspek sosial, budaya dan ekonomi.
1. Aspek sosial
Anak berkebutuhan khusus (ABK) masih menjadi masalah sosial yang
perlu mendapatkan perhatian dari pemerintah untuk dapat ditangani, dalam hal ini
hak anak berkebutuhan khusus dalam bidang pendidikan. Karena jika anak
berkebutuhan khusus (ABK) tidak mendapatkan pendidikan sesuai dengan anak
seusianya, maka generasi penerus bangsa Indonesia ini akan semakin mengalami
ketertinggalan dan keterbelakangan di masa yang akan datang. Permasalahan
terkait hal ini terjadi di wilayah Kota Bekasi, dimana pemerintah perlu
memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi penyandang disabilitas termasuk
juga anak berkebutuhan khusus (ABK) dalam mendapatkan bimbingan dan
pendidikan agar mereka dapat hidup mandiri dan dapat terlepas dari
ketergantungan terhadap orang-orang disekitarnya. Jika mereka dibiarkan hidup
dengan ketergantungan akibat ketidakberdayaan atas keterbatasan dan kekurangan
yang dimiliki, maka hal ini dapat menjadi masalah sosial yang terus berkembang.
2. Aspek Budaya
Budaya yang tumbuh dalam masyarakat maupun pemerintah dalam hal
ini pada wilayah Kota Bekasi adalah menganggap penyandang disabilitas
termasuk juga anak berkebutuhan khusus (ABK) sebagai golongan minoritas yang
keberadaannya tidak perlu diperhatikan. Padahal jika pemerintah bersama-sama
dengan masyarakat dapat membantu mereka dalam mengasah dan
mengembangkan bakat dan kemampuannya, hal ini dapat menjadi nilai positif
bagi bangsa Indonesia dan menjadi suatu kebanggaan jika mereka dapat menjadi
pengusaha yang sukses, karena dibalik kekurangan pada suatu individu pasti
terdapat kelebihan yang dimiliki.
3. Aspek ekonomi
Aspek ekonomi menjadi hal yang sangat berpengaruh terhadap anak
berkebutuhan khusus (ABK) dalam memenuhi hak mereka untuk mendapatkan
pendidikan. Dengan fakta banyaknya sekolah inklusif terutama negeri yang
mengalami penumpukan siswa berkebutuhan khusus akan mengurangi jumlah
anak berkebutuhan khusus pada sekolahnya dan banyaknya sekolah yang tidak
bersedia menerima anak berkebutuhan khusus menyebabkan jika anak yang
berlatar belakang dari orang tua yang kurang mampu menghadapi permasalahan
tersebut, akibatnya adalah mereka tidak sekolah karena orang tua dari anak
berkebutuhan khusus tersebut tidak mampu secara ekonomi untuk menyekolahkan
anaknya pada sekolah inklusif swasta.
Demikian analisis dan pemaparan hasil penelitian tentang Implementasi
Kebijakan Pendidikan Inklusif di Kota Bekasi, untuk dapat melihat lebih jelas dari
hasil pembahasan diatas, dapat dilihat pada bagan matriks di bawah ini:
Tabel 4.7
Matriks Pembahasan
Variabel Temuan Lapangan Ket
Karakteristik
Masalah
Standarisasi
sarana dan
prasarana pada
sekolah inklusif
Sarana dan prasarana pada
sekolah inklusif di Kota Bekasi
kurang menunjang bagi ABK
dalam proses pembelajaran di
sekolah. Diperlukan sarana dan
prasarana khusus bagi anak
berkebutuhan khusus (ABK)
sesuai dengan kebutuhan dan
keterbatasan yang dimiliki,
sehingga dengan adanya sarana
dan prasarana tersebut dapat
membantu ABK dalam proses
belajar mengajar di sekolah.
Faktor-faktor yang
menyebabkan adalah
ketidaksiapan sekolah dalam
menyelenggarakan pendidikan
inklusif,dan tidak ada bantuan
dari pemerintah baik itu
pemerintah Provinsi Jawa
Barat maupun pemerintah Kota
Bekasi
Aksesibilitas
pendidikan
Terhambatnya aksesibilitas
pendidikan pada anak
berkebutuhan khusus (ABK)
karena masih banyaknya sekolah
umum yang tidak bersedia
menerima ABK, serta
keterbatasan ABK dalam
mengikuti kejuaraan atau lomba
di sekolah.
Pemahaman yang kurang dari
pelaksana kebijakan yang
belum mengetahui jelas
peraturan dari kebijakan
pendidikan inklusif, dan masih
menganggap sebelah mata
bahwa ABK bisa mempunyai
bakat dan kemampuan untuk
mengikuti lomba atau
kejuaraan di sekolah.
Pemahaman dari
pelaksana
kebijakan
Tingkat pemahaman para
pelaksana kebijakan pendidikan
inklusif di Kota Bekasi masih
rendah, belum sesuai dengan
peraturan tentang pendidikan
inklusif. Rendahnya pemahaman
tenaga pendidik di sekolah
reguler terjadi karena
pemerintah Kota Bekasi kurang
berupaya dalam memberikan
pengetahuan kepada para tenaga
pendidik tentang
penyelenggaraan pendidikan
inklusif, dimana upaya ini dapat
diwujudkan melalui adanya
sosialisasi, seminar dan lain
sebagainya.
Masih berkembangnya
pemahaman bahwa Pemerintah
Kota Bekasi tidak memiliki
kewenangan dalam
pelaksanaan kebijakan
pendidikan inklusif di Kota
Bekasi.
SDM dalam
penyelenggaraan
pendidikan
inklusif
Tidak terdapatnya guru
pembimbing khusus (GPK)
terutama pada sekolah inklusif
negeri, serta kurangnya
pemahaman dari sebagian pihak
sekolah inklusif akan pentingnya
peran GPK bagi kelancaran
penyelenggaraan sistem
pendidikan inklusif di sekolah.
Kurangnya kesadaran dan
usaha pihak pemerintah Kota
Bekasi untuk membantu
sekolah dalam menyediakan
guru pembimbing khusus
terutama pada sekolah inklusif.
Karakteristik
kebijakan
Besarnya
anggaran pada
kebijakan
pendidikan
inklusif
Tidak ada anggaran khusus,
dikarenakan pihak yang
berwenang membuat anggaran
pendidikan inklusif adalah
pemerintah provinsi Jawa Barat.
Pemerintah Kota Bekasi
beranggapan bahwa
kewenangan dalam
implementasi kebijakan
pendidikan inklusif berada
pada pemerintah provinsi Jawa
Barat termasuk juga dalam hal
anggaran.
Keterpautan dan
dukungan antar
berbagai
institusi
Kurang adanya keterpautan
antara pemerintah, apalagi pada
pemerintah Kota Bekasi dengan
pihak sekolah inklusif dan
kurangnya dukungan yang
diberikan oleh berbagai institusi
pelaksana kebijakan pendidikan
inklusif. Dukungan yang
dimaksud berupa pelatihan dan
pembinaan tentang pendidikan
inklusif yang berjalan secara
rutin, serta alat-alat bantu yang
dapat digunakan ABK dalam
membantu proses pembelajaran
di sekolah.
Koordinasi dan kerjasama
antara berbagai institusi
pelaksana pendidikan inklusif
dengan sekolah inklusif di
Kota Bekasi dilakukan setelah
mendapat mandat atau perintah
dari Dinas Pendidikan Provinsi
Jawa Barat.
Kejelasan dan
konsistensi
aturan yang ada
pada badan
pelaksana
Kurang adanya kejelasan dan
konsistensi terhadap peraturan
kebijakan pendidikan inklusif
pada badan pelaksana kebijakan.
Pemerintah yang belum
mengetahui dengan jelas akan
tugas pokok dan fungsi
masing-masing pihak terkait
kebijakan pendidikan inklusif
yang diselenggarakan di Kota
Bekasi.
Tingkat
komitmen aparat
Komitmen para kepala sekolah
yang menurut peneliti sudah baik
tentang pelaksanaan pendidikan
inklusif pada masing-masing
sekolah yang dipimpinnya,
hanya dari sisi pemerintah Kota
Bekasi yang kurang memiliki
komitmen terkait pendidikan
inklusif.
Karena faktornya lagi-lagi
disebabkan oleh anggapan
pemerintah Kota Bekasi bahwa
pihaknya tidak memiliki
wewenang dalam implementasi
kebijakan pendidikan inklusif.
Variabel
Lingkungan
Aspek sosial Pemerintah kurang
memberikan keadilan dan
kesejahteraan bagi
penyandang disabilitas
termasuk juga anak
berkebutuhan khusus (ABK)
dalam mendapatkan
bimbingan dan pendidikan.
Berdasarkan hasil temuan
lapangan dan wawancara
berbagai narasumber, hal ini
dapat dari kurang
dilakukannya pendataan
yang lengkap pada
penyandang disabilitas dan
ABK di Kota Bekasi, serta
kurangnya program-program
pemerintah Kota Bekasi
yang diperuntukkan bagi
mereka.
Karena jika penyandang disabilitas
dan ABK kurang mendapatkan
kesejahteraan khususnya dari
pemerintah setempat, maka hal ini
dapat menjadi permasalahan yang
akan terus meningkat. Contohnya
seperti anak berkebutuhan khusus
(ABK) yang tidak mendapatkan
pendidikan sesuai dengan anak
seusianya, maka generasi penerus
bangsa Indonesia ini akan semakin
mengalami ketertinggalan dan
keterbelakangan di masa yang akan
datang.
Aspek budaya
Budaya berpikir dari
masyarakat maupun
pemerintah yang
menganggap penyandang
disabilitas termasuk juga
anak berkebutuhan khusus
(ABK) sebagai golongan
minoritas yang
keberadaannya tidak perlu
diperhatikan
Diperlukan usaha pemerintah
bersama-sama dengan masyarakat
untuk dapat membantu mereka
dalam mengasah dan
mengembangkan bakat dan
kemampuannya, agar mereka dapat
hidup mandiri dan tidak lagi
menjadi orang yang terpinggirkan
di kalangan masyarakat.
Aspek ekonomi Ekonomi menjadi salah satu
aspek yang mempengaruhi
ABK dalam mendapatkan
pendidikan
Banyaknya sekolah inklusif negeri
yang tidak bersedia menerima anak
berkebutuhan khusus. Sedangkan
pada sekolah inklusif swasta
membutuhkan biaya yang relatif
cukup besar sehingga memberatkan
pihak orang tua yang kurang
mampu secara ekonomi.
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan dan temuan lapangan yang telah peneliti
uraikan pada bab IV, maka peneliti menyimpulkan bahwa dalam Implementasi
Kebijakan Pendidikan Inklusif di Kota Bekasi belum dilaksanakan secara optimal
karena masih terdapat banyaknya hambatan dan kendala yang dihadapi terutama
oleh sekolah-sekolah inklusif. Peneliti akan meyimpulkan berdasarkan pada setiap
variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, sesuai dengan
teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori implementasi kebijakan
menurut Mazmanian dan Sabatier dimana terdapat tiga variabel yang
mempengaruhi implementasi yaitu karakteristik masalah, karakteristik kebijakan,
dan variabel lingkungan.
Pertama, variabel karakteristik masalah, peneliti menyimpulkan bahwa
standarisasi sarana dan prasarana pada sekolah inklusif masih bersifat umum,
artinya sarana dan prasarana yang ada pada sekolah inklusif di Kota Bekasi belum
dapat menunjang bagi anak berkebutuhan khusus terutama dalam proses
pembelajaran. Dari sisi aksesibilitas pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus
juga menjadi permasalahan pada pelaksanaan pendidikan inklusif di Kota Bekasi,
karena masih banyak sekolah yang tidak mau menerima anak berkebutuhan
khusus. Pemahaman dari pelaksana kebijakan pun masih banyak yang
menganggap bahwa pelaksanaan pendidikan inklusif bukan merupakan wewenang
dan tanggung jawab dari pemerintah Kota Bekasi, melainkan wewenang dan
tanggungjawab dari Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat. Hal tersebut
berdampak pada tidak tersedianya SDM dalam penyelenggaraan pendidikan
inklusif juga terus menjadi faktor yang menghambatan pelaksanaan pendidikan
inklusif di Kota Bekasi.
Kedua, dalam variabel karakteristik kebijakan peneliti menyimpulkan
bahwa besarnya anggaran yang ditujukan bagi pendidikan inklusif sangat
berpengaruh dalam keberhasilan implementasi dari kebijakan tersebut. Kemudian
aspek keterpautan dan dukungan antar berbagai institusi pelaksana kebijakan
pendidikan inklusif di Kota Bekasi terlihat tidak cukup baik karena kurangnya
kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana kebijakan
pendidikan inklusif di Kota Bekasi dalam implementasi pendidikan inklusif di
Kota Bekasi menyebabkan pemerintah kurang mengetahui dengan jelas akan
tugas pokok dan fungsi masing-masing pihak terkait kebijakan pendidikan
inklusif. Selain itu, tingkat komitmen aparat juga masih menjadi pemasalahan
karena faktor kurangnya kesadaran pihak pemerintah.
Ketiga, pada variabel ketiga yaitu variabel lingkungan, peneliti melihat
variabel ini pada aspek sosial, budaya dan ekonomi. Aspek sosial disimpulkan
Pemerintah kurang memperhatikan keadilan bagi anak berkebutuhan khusus
(ABK) terutama pada bidang pendidikan. Aspek budaya yaitu masih terdapatnya
budaya dalam menganggap penyandang disabilitas termasuk juga anak
berkebutuhan khusus (ABK) sebagai golongan minoritas yang keberadaannya
tidak perlu diperhatikan. Kemudian yang terakhir adalah aspek ekonomi yang
menurut peneliti menjadi aspek yang paling berpengaruh menyebabkan ABK
tidak dapat sekolah karena orang tua dari anak berkebutuhan khusus tersebut tidak
mampu secara ekonomi untuk menyekolahkan anaknya jika pada sekolah negeri
tidak mampu lagi menerima anaknya yang berkebutuhan khusus.
5.2 Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah diperoleh, maka peneliti memberikan
beberapa saran sebagai bahan masukan dalam Implementasi Kebijakan
Pendidikan Inklusif di Kota Bekasi, yaitu sebagai berikut:
1. Pemerintah perlu memberikan perhatian khusus kepada sekolah-sekolah
inklusif dalam hal ini terkait sarana dan prasarana yang menunjang bagi
anak berkebutuhan khusus kemudian pemerintah bersama-sama dengan
pihak sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusif harus benar-
benar mengatur sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk siswa yang
berkebutuhan khusus dengan tingkat keterbatasan yang di miliki oleh para
siswa.
2. Pemerintah perlu menetapkan satu-satuan pendidikan umum pada setiap
kecamatan sebagai sekolah inklusif agar mempermudah akses mereka
dalam mendapatkan pendidikan dan tidak terjadi penumpukan anak
berkebutuhan khusus (ABK) dalam satu sekolah.
3. Pemerintah harus membantu sekolah inklusif dalam menyediakan guru
pembimbing khusus yang bertugas dalam membantu anak berkebutuhan
khusus dalam proses pembelajaran di sekolah supaya anak berkebutuhan
khusus dapat perhatian dan penanganan yang sesuai dengan keterbatasan
yang mereka miliki sehingga proses pelaksanaan pendidikan inklusif di
sekolah pun dapat berjalan dengan baik.
4. Meningkatkan kerjasama dan dukungan dari berbagai institusi terkait
pelaksanaan pendidikan inklusif di wilayah Kota Bekasi. Dengan adanya
keterpautan antar berbagai institusi tersebut, dapat membuat implementasi
kebijakan pendidikan inklusif dapat berjalan dengan lancar dan dapat
mencapai keberhasilan kebijakan pendidikan inklusif di Kota Bekasi.
5. Pemerintah perlu meningkatkan pemahaman dan berupaya menciptakan
budaya berpikir dalam masyarakat dengan menganggap bahwa para
penyandang disabilitas termasuk juga anak berkebutuhan khusus (ABK)
sebagai bagian dari masyarakat keberadaannya perlu dibantu dan
diperhatikan
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Abdul Wahab, Solichin. 2008. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang Press.
Adam J.Moleong, Steven. 1999.Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya
Agustino, Leo. 2014. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
Anderson, James E. 1984. Public Policy Making. New York: Holt, Rinehart and
Wiston.
Arikunto, S. 1991. Prosedur penelitian: suatu pendekatan praktik. (cetakan
ketujuh). Jakarta: PT Rineka Cipta
Azwar, S.2007. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Basu, Swastha dan Irawan. 2005. Manajemen Pemasaran Modern. Yogyakarta:
Liberty.
Coleridge Peter.2007. Pembebasan dan Pembangunan, Perjuangan Penyandang
Cacat di Negara-Negara Berkembang. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Dewi, Utami. Pendekatan Top Down versus Bottom Up. IAN-UNY.
Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa.2007. Program Pendidikan Khusus dan
Pendidikan Layanan Khusus. Jakarta : Depdiknas.
Dunn, N. William. 1998. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Jakarta: Gadjah
Mada University Press.
Dunn, William N. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
G Subarsono, 2005. Analisis Kebijakan Publik Konsep, Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
HAR Tilaar & Riant Nugroho. 2008. Kebijakan Pendidikan.Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Ilahi, Moh Takdir. 2013. Pendidikan Inklusif: Konsep & Aplikasi. Yogyakarta:
Ar-Ruzz Media.
Indiahono, Dwiyanto. 2009. Kebijakan Publik Berbasis Dynamic Policy Analysis.
Yogyakarta: Gava Media.
Komariah,Aan dan Djam'an Satori.2010.Metodologi Penelitian. Kualitatif.
Bandung : Alfabeta.
Mirza, Ilham. 2014. Modul Kuliah Kebijakan Publik. Bandung: Divisi Data &
Jaringan Ikatan Mahasiswa Bogor (IKMABO).
Muhadjir,Noeng.1993.Perencanaan dan Kebijakan Pengembangan Sumber Daya.
Manusia.Yogyakarta: Reka Sarasin.
Moleong, Lexy J.2006.Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi revisi.Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Moleong, Lexy J.2007.Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Moleong, Lexy J.2013.Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Nanang, Fattah. 2013. Analisis Kebijakan Publik. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Riyadi, Eko. 2012. Vulnerable Groups: Kajian dan Mekanisme Perlindungannya.
Yogyakarta: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam
Indonesia.
Pengelola web kemdikbud. 2016. Target Kemendikbud Dalam Pengembangan
Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2017. Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan: Disertasi tidak dipublikasikan.
Prasetya, Irawan. 2005. Penelitian Kualitatif & Kuantitatif untuk Ilmu-Ilmu
Sosial. Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi FISIP Universitas
Indonesia.
Samodra, Wibawa. 1994. Kebijakan Publik Proses dan Analisis. Jakarta :
Intermedia.
Smith, J. David. 2006. Inklusi: Sekolah Ramah untuk Semua.Bandung: Penerbit
Nuansa.
Subarsono, AG.2011. Analisis kebijakan Publik : Konsep. Teori dan.
Aplikasi.Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Sugiyono.2009.Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D.Bandung :
Alfabeta.
Sugiyono. 2012.Metode Penelitian Bisnis. Bandung : Alfabeta
Sugiyono. 2013.Metode Penelitian Administratif. Bandung : Alfabeta
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan Kombinasi (Mixed
Methods). Bandung : Alfabeta
Suharno. 2010. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. UNY Press.
Winarno, Budi. 2008. Kebijakan Publik Teori dan Proses. Jakarta: PT Buku Kita.
Dokumen:
Undang-Undang Dasar Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International
Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (kovenan
international tentang Hak-hak ekonomi,sosial,dan budaya)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Hak-Hak
Penyandang Disabilitas
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang
Pendidikan Inklusif Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan dan
Memiliki Potensi Kecerdasan dan atau Bakat Istimewa
Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan
Penyelenggaraan Pendidikan.
Direktorat PLB. 2004. Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi (Mengenal
Pendidikan. Terpadu).Jakarta: Depdiknas.
Pedoman ILO tentang pengelolaan penyandang disabilitas di tempat /
International Labour Office. 2013. Jakarta: ILO.
Sumber Lain:
Macam-macam Disabilitas atau Gangguan Fungsi. Bisa Mandiri, 16 Januari 2015
https://bisamandiri.com/blog/2015/01/macam-macam-disabilitas-atau-gangguan-
fungsi/,diakses pada tanggal 29/11/2016 pukul 17.30
http://eprints.uny.ac.id/18954/4/BAB%202%20(09417144044).pdf, diakses pada
tanggal 05/12/2016 pukul 16.30
http://digilib.uinsby.ac.id/8082/5/bab%202.pdf, diakses pada tanggal 05/12/2016
pukul 13.45
http://jabar.kemenkumham.go.id/attachments/article/1493/konvensi%20hak-
hak%20penyandang%20disabilitas.PDF, diakses pada tanggal
12/12/2016 pukul 19.20
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195903241984031
-ZAENAL_ALIMIN/modul_1_UNIT_1_.pdf, diakses pada tanggal
29/10/2016 pukul 16.30 wib.
http://kabariindonesia.com/2017/06/05/kota-bekasi-belum-ramah-terhadap-disabilitas/
diakses pada tanggal 29 juni 2017 pukul 11.31 wib.
http://disdik.depok.go.id/?p=298 diakses pada tanggal 29 juni 2017 pukul 10.30
wib.
http://jabar.pojoksatu.id/sukabumi diakses pada tanggal 29 juni 2017 pukul 14.14
wib.
Skripsi/Jurnal:
Irwanto,dkk.2010.Analisis Situasi Penyandang Disabilitas di Indonesia:Sebuah
Desk Review.Tesis.Depok:Pusat Kajian Disabilitas Universitas
Indonesia
Sri Delvina. 2016. Pelaksanaan Pendidikan Inklusi di Kabupaten Pelalawan
Provinsi Riau. Skripsi. SLB Negeri Pelalawan.
Artikel:
KONVENSI HAK-HAK PENYANDANG DISABILITAS (CONVENTION ON
THE RIGHTS OF PERSONS WITH DISABILITIES)
Rusyanti, Hetty.2013. KEBIJAKAN PENDIDIKAN :Pengertian Kebijakan
Pendidikan. Kajian Teori.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Pusat Bahasa. 2008. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama. Departemen Pendidikan Nasional.
LAMPIRAN
DOKUMENTASI PENELITIAN
1. Foto bersama dengan anak berkebutuhan khusus (ABK) di sekolah
inklusif
ABK dengan keterbatasan fisik
ABK dengan keterbatasan autis
2. Wawancara dengan guru pendamping khusus
3. Foto ruang kelas pada sekolah inklusif
Ruang kelas SMP IT YPI 45 Bekasi
Ruang kelas di SDN Kalibaru IV
Ruang kelas di SDS Al Izzah
Ruang kelas di SDN Bantargebang IV
4. Foto buku penilaian harian untuk siswa berkebutuhan khusus
5. Indikator belajar untuk siswa berkebutuhan khusus
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Nadia Nurul Kodariah
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal lahir : Bekasi, 20 September 1995
Agama : Islam
Alamat : Jl. randu II blok. d no.161 rt.05 rw.17
perumahan Margahayu Jaya, Kecamatan
Bekasi Timur, Kota Bekasi
Nomor Telepon : 087771803198
E-mail : [email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN
1) SDN Margahayu XIX, Bekasi-Jawa Barat
2) SMP Negeri 32 Kota Bekasi
3) SMA Negeri 09 Kota Bekasi
4) Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, S1 Ilmu Administrasi Negara
RIWAYAT ORGANISASI
DPM FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa