implementasi hak pilih bagi penyandang cacat tuna netra ...€¦ · pengantar ilmu politik, putra...
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. TINJAUAN PUSTAKA
1. Konsep Negara Hukum Demokratis
Secara etimologi kata Negara berasal dari Bahasa Belanda, “Staat” dan
Bahasa Jerman, “State” dalam Bahasa Inggris dan “Etat” dalam bahasa Perancis.1
Lalu, di Eropa kata-kata ini kemudian diturunkan dari kata “status” menjadi “Statum”
ke dalam bahasa latin. Dalam sejarahnya Kaisar Romawi Ulpianus pernah
menyebutkan kata statum dalam ucapannya “Publicum ius est quad statum rei
Romanae Spectat”.2
Menurut F.Isjwara secara etoimologis kata status dalam bahasa latin klasik
adalah suatu istilah yang menunjukkan keadaan yang tegak dan tetap9. Sejak Cicero
(104 SM-43 M) kata “status” atau “statum” itu lazim diartikan sebagai “standing”
atau “station” dan dihubungkan dnegan kedudukan persekutuan hidup manusia
sebagaimana diartikan dalam istilah “Status Civitatis” atau “StatusRepublicae”.3 Dan
baru pada abad ke-16 dipertalikan dengan kata Negara. F.Isjwara kemudian
mendefinisikan Negara sebagai berikut: Negara diartikan sebagai kata yang
menunjukkan organisasi politik territorial dari bangsa-bangsa. Sejak pengertian ini
1 F. Isjwara. 1999. Pengantar Ilmu Politik, Putra Bardin, Bandung, Hal 90
2 F.Isjwara, Ibid
3 J.W. Garner, Political Science and Government, Hal 47
diberikan sejak itu pula kata negara lazim ditafsirkan dalam berbagai arti. Negara
lazim diidentifikasikan dengan pemerintah, umpamanya apabila kata itu dipergunakan
dalam pengertian kekuasaan negara, kemauan negara dan sebagainya. Kata negara
lazim pula dipersamakan dengan bangsa, dan negara dipergunakan sebagai istilah
yang menunjukkan baik keseluruhan maupun bagian-bagian negara federal.4 Dalam
KBBI sendiri, Negara didefinisikan sebagai organisasi di suatu wilayah yang
mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Artinya, ketika
Negara menjadi objek perdebatan maka hal yang seolah tak lepas dari Negara adalah
daulat. Dimana daulat atau berdaulat memiliki makna yang merujuk kepada suatu
sistem dalam sebuah organisasi atau dalam hal ini adalah Negara yang memiliki
kekuasaan tertinggi atas suatu pemerintahan.
Berangkat dari uraian diatas penulis menyimpulkan, bahwasan Negara
diibaratkan sebagai sebuah rumah yang awalnya. Lalu, kemudian terdapat syarat yang
mesti terpenuhi sehingga rumah tersebut menjadi rumah yang ideal.
Adapun syarat yang menjadi tolak ukur terbentuknya sebuah Negara adalah,
secara primer memiliki rakyat, wilayah, dan pemerintahan yang berdaulat. Sedangkan
secara sekuder adalah mendapat pengakuan dari negara lain.
Mahfud MD dalam bukunya “Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi”. Dalam
buku yang diterbitkan oleh Gama Media itu, Mahfud menulisan Negara Hukum
sebagai terjemahan dari rechstaat (ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental) atau rule
of law (ahli-ahli hukum Anglo Saxon).5 Artinya konsep Negara hukum sebenarnya
4 Ernest Beker, Principles of Social and Political Theory, Hal 90-91
5 Moh. Mahfud MD.,. Hukum dan Pilar-Pilar Demokrasi, Gama Media. Jakarta, 1999 Hal 22
berakar dari ahli-ahli hukum Eropa Barat Kontinental. Dimana konsep Eropa
Kontinental atau Rechstaat dipelopori oleh Immanuel Kant dan Frederich Julius
Stahl. Menurut Stahl, konsep Eropa Kontinental ini ditandai dengan adanya empat
unsur pokok, yang terdiri dari:
a. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
b. Negara didasarkan pada teori trias politika
c. Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang
d. Terdapat peradilan administrasi Negara yang bertugas menangani kasus
perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah.6
Lain halnya dengan Eropa Kontinental, konsep Negara Hukum Anglo-Saxon atau
Rule Of Law dipelopori oleh A.V. Dicey (Inggris). Menurut A.V. Dicey, konsep Rule
Of Law ini menekankan tiga tolok ukur, yakni:
a. Supremasi hukum
b. Persamaan di hadapan hukum (equality before the law)
c. Konstitusi yang didasarkan atas hak-hak perorangan.7
Berdasarkan pandangan para pakar, maka Negara hukum hakikatnya adalah Negara
yang menolak melepasakan kekuasaan tanpa kendali Negara yang pola hidupnya
berdasarkan hukum yang adil dan demokratis. Kekuasaan Negara di dalamnya, harus
6 Selanjutnya Konsep Stahl Ini Dinamakan Negara Hukum Formal, Karena Lebih Menekankan Pada Suatu
Pemerintahan Yang Berdasar Atas Undang-Undang. Ibid., Hal. 66 7 Moh Kusnardi dan Bintan R. Saragih, , Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta. 1994
tunduk pada “aturan main.” Hal lain justru disajikan oleh Bapak Filsafat, Plato. Ia
secara konseptual menuliskan bentuk Negara hukum yang pada awalnya bermula
dengan mencakup empat kategori, yakni: Negara hukum dalam bentuk polizei,
Negara hukum liberal, Negara hukum formal dan Negara hukum materiil. Negara
hukum dalam bentuk polizei dimulai sejak zaman Plato dengan konsepnya yang
mengatakan “bahwa penyelenggaraan Negara yang baik ialah yang didasarkan pada
pengaturan (hukum) yang baik yang disebut dengan istilah Nomoi”. Kemudian,
gagasan Plato tersebut disempurnakan oleh muridnya, Aristoteles, yang
menggambarkan Negara sebagai Negara hukum yang di dalamnya terdapat sejumlah
warga Negara yang ikut serta dalam permusyawaratan Negara. Yang dimaksud
Aristoteles di sini adalah Negara yang berdiri di atas hukum, yang menjamin keadilan
kepada warga negaranya. Keadilan menjadi syarat bagi terciptanya kebahagiaan
hidup untuk warga Negara dan sebagai dasar dari keadilan itu perlu diajarkan rasa
susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga Negara yang baik.
Bagi Aristoteles perlu adanya aturan yang bisa menjadi keadilan bagi setiap
manusia. Sehingga, menurutnya yang memerintah dalam sebuah Negara bukanlah
manusia, melainkan pikiran yang adil yang tertuang dalam peraturan hukum.
Namun, bagi Immanuel Kant, ada dua hal yang substansial yang perlu
diciptakan
dalam sebuah Negara hukum, yakni:
a. Adanya perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia
b. Adanya pemisahan kekuasaan dalam Negara. Sehingga, muncul tipe
Negara hukum yang bertindak memisahkan kalau terjadi perselisihan di
antara warga Negara dalam menyelenggarakan kepentingan yang disebut
sebagai “Negara Polisi”.8
Gagasan Negara hukum menurut Immanuel Kant inilah yang kemudian
diperkenalkan sebagai bentuk Negara hukum liberal. Dimana rakyat diberi hak secara
penuh untuk beaktifitas dan Negara sama sekali tidak dibenarkan untuk ikut campur
tangan kecuali jika dalam keadaan tertentu.
Gagasan mengenai Negara hukum formil ini menjamin jangan sampai terjadi
tindakan kesewenang-wenangan dari penguasa Negara dalam menyelenggarakan
kesejahteraan rakyat. Namun, gagasan ini ternyata menimbulkan polemik. Dimana
keterlibatan penyelenggara Negara dalam tata kehidupan berbangsa, bernegara, dan
bermasyarakat berjalan sangat lamban akibat semua tindakan penguasa Negara harus
berjalan sesuai perundang-undangan terlebih dulu.
Dengan beberapa konsep Negara yang hadir, namun tidak sesuai dengan iklim
masyarakat maupun Negara. Maka, kemudian konsep rechstaat di Eropa Kontinental
yang didasarkan pada filsafat lliberal yang individualistik, maka ciri tersebut sangat
menonjol dalam pemikiran negara hukum menuruut konsep Eropa Kontinental.9
Berdasarkan hal di atas, dapatlah dipahami bahwa konsep Negara hukum
terutama yang dikemukakan Immanuel Kant dan Frederich Julius Sthaal ternyata
sangat menekankan pada dua hal, yaitu tertib hukum dan HAM. Dimasukkannya
8 Moh Kusnardi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta. 1994
9 Padma Wahjono, Mekanisme Konstitusional Demokrasi Pancasila. BP-7 Pusat, Jakarta. 2010
konsep HAM dalam kerangka berfikir Kant dan Sthaal pada konsep seperti
dikemukakan di atas mencerminkan Negara hukum yang dicita-citakan keduanya
adalah Negara kesejahteraan modern yang dibangun atas prinsip penghormatan,
perlindungan, dan pemenuhan HAM yang dijamin kedudukannya dalam aturan
hukum. Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Mengikuti pendapat Garry F. Bell
dalam bukunya The New Indonesian Law Relating to Regional Autonomy Good
Intentions, Confusing Laws seperti dikutip Denny Indrayana: sebagai terminologi
Negara hukum dalam konteks hukum Indonesia lebih mendekati konsep hukum
continental disbanding konsep rule of law di negara negara Anglo-Saxon. Indonesia
sendiri sebagai Negara Hukum, sedikitnya memiliki tiga ciri-ciri pokok yang
menggambarkan sebagai Negara Hukum, berikut hal yang dimaksud:
a. Pengakuan dan perlindungan atas HAM yang mengandung persamaan dalam
bidang politik, social, ekonomi, hukum, budaya dan beberapa hal lainnya
b. Peradilan bebas dan tidak memihak serat tidak dipengaruhi oleh suatu
kekuasaan lain apapun
c. Menjunjung tinggi asas legalitas.10
Pendiri Negara, ketika mendirikan Indonesia menjadi sebuah Negara,
merumuskan bahwa Negara kita adalah Negara yang berlandaskan atas hukum
(rechstaat) dan bukan sebagai negara kekuasaan (machsstaat). Oleh karena itu,
hukumhendaknya dijadikan sebagai kerangka berfikir dan menjadi acuan dalam
10
Joko Setiyono, Kebijakan Legislatif di Indonesai tentang Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Sebagai Salah
Satu Bentuk Pelanggaran HAM yang Berat, dalam Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya
dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. (Editor Muladi), PT Refika Aditama, Bandung, 2005, Hal 120-121
setiap tindakan dalam menjalani roda kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Komisi Ahli Hukum Internasional (The International Commission of Justist)
sendiri dalam konferensinya di Bangkok Tahun 1965, menyebutkan bahwa
pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law haus memnuhi syarat sebegai
berikut :
a. Adanya perlindungan konstitusional
b. Adanya pemilohan umum yang bebas
c. Adanya badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak
d. Adanya kebebasan untuk menyatakan pendapat
e. Adanya kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi
f. Adanya pendidikan kewarganegaraan.11
Pemikiran Negara Hukum sebenarnya dimulai sejak Plato dengan konsepnya
bahwa: “Penyelenggaraan Negara yang baik ialah yang didasarkan pada pengaturan
(hukum) yang baik yang disebut dengan istilah nomoi”12
Lalu kemudian, ide tentang
Negara Hukum popular di abad ke-17 sebagai akibat dari situasi politik di Eropa yang
didominasi oleh absolutisme.13
11
Rofiqul-Umam Ahmad, ed., Pendidikan Kesadaran Berkonstitusi, cetakan kedua, (Jakarta:Setjen dan
Kepaniteraan MK, 2007) Hal. 42 12
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta:
Kencana 2010 Hal .61 13
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-prinsipnya dilihat dari Segi Hukum
Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Jakarta: Bulan Bintang, 1992 Hal 66
Berdasarkan uraian konsep tentang negara hukum tersebut, terdapat dua
substansi dasar, yaitu: 1) adanya paham konstitusi, dan 2) sistem demokrasi atau
kedaulatan rakyat. 14
Ada Lima kriteria negara hukum demokratis menurut Frans Magnis Suseno :
a. Negara hukum
Negara yang menjunjung tinggi hukum, artinya negara harus
menjalankan kekuasaan berdasarkan hukum yang berlaku agar tercipta
keadilan, misal dalam penyelesaian masalah diputus dengan hukum yang benar
dan setiap orang berhak mendapat bantuan hukum.
b. Pemerintahan di bawah kontrol nyata masyarakat
Negara yang berdaulat, rakyat selalu terlibat dalam setiap proses
pembuatan kebijakan publik mulai dari perencanaan, pembuatan, pelaksanaan
dan melakukan pengawasan bagi kebijakan pemerintah.
c. Pemilihan umum yang bebas
Pemilu harus di lakukan secara terbuka, bebas, jujur dan adil, setiap
warga negara memiliki hak yang sama untuk memilih calon pemimpinnya
secara bebas tanpa paksaan dan intervensi (campur tangan) dari pihak-pihak
tertentu.
d. Prinsip mayoritas
14
Op.cit Hal. 63
Negara demokratis akan memakai suara mayoritas dari rakyatnya.
Karena suara mayoritas bisa dijadikan dasar pengambilan keputusan dengan
mempertimbangkan hak dan aspirasi suara minoritas
e. Adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis.
Negara hukum akan menjamin hak-hak demokratis rakyatnya, misal
hak beragama, hak berpendapat, hak berkumpul, dll. Negara akan mengakui
hak individu atau HAM selama hak tersebut tidak bertentangan dengan hukum
positif Indonesia, dan setiap individu tersebut mampu bertanggungjawab atas
hak individunya.
2. Demokrasi dan Pemilihan Umum
a. Demokrasi
Pengertian Demokrasi secara Etimologi istilah demokrasi berasal dari
bahasa Yunani yaitu dari kata ”demos” (rakyat) dan ”kratos” (pemerintahan).
Sehingga demokrasi diartikan secara sederhana adalah pemerintahan oleh rakyat
(rule of the people), secara terminologi menurut Koentjoro Poerbopranoto dalam
bukunya Sistem Pemerintahan Demokrasi, menyatakan demokrasi adalah suatu
sistem pemerintahan negara dimana dalam pokoknya semua orang (rakyat) adalah
berhak sama untuk memerintah dan juga untuk diperintah.15
Afan Gafar menyatakan ada dua macam pemahaman tentang demokrasi
yaitu pemahaman secara normatif dan pemahaman secara empirik. Dalam
pemahaman secara normatif, demokrasi merupakan sesuatu yang secara idiil
hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah negara, seperti ungkapan
15
Koentjoro Poerbopranoto, Sistem Pemerintahan Demokrasi, (Bandung: Eresco, 1978
”pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”.ungkapan normatif
tersebut biasanya diterjemahkan dalam konstitusi pada masing-masing negara,
misalnya dalam UUD 1945 sebagai pemerintahan republik Indonesia.16
1) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-
undang dasar (pasal 1 ayat (2)
2) Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang (pasal 28)
3) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk meribadat menurut agama dan kepercayaannya itu
(pasal 29 ayat (2) )
Kutipan pasal-pasal diatas merupakan definisi normatif dari demokrasi. Tetapi
kita harus memperhatikan bahwa apa yang normatif belum tentu dapat dilihat dalam
konteks kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu perlu untuk melihat makna demokrasi
secara empirik, yakni demokrasi dalam perwujudannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan demikian inti (hakekat) demokrasi terletak pada peran senyatanya
rakyat dalam proses politik yang berjalan terutama dalam pembuatan dan pelaksanaan
kebijakan publik, yakni berbagai program yang bertujuan untuk memecahkan berbagai
persoalan publik (masyarakat, berbangsa dan bernegara) yang diputuskan oleh pejabat
atau lembaga yang berwenang. Persoalan publik misalnya : mengembangkan
kebebasan menyatakan pendapat, mengatasi kemiskinan dan pengangguran,
16 Afan Gaffar. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1999
meningkatkan hak warga negara untuk memperoleh pendidikan dan pelayanan
kesehatan dll.
Demokrasi merupakan sesuatu yang penting, karena nilai-nilai yang
dikandungnya sangat diperlukan sebagai acuan untuk menata kehidupan berbangsa
da bernegara yang baik. Henry B. Mayo (Miriam budiardjo, eds. 1980 :165-179)
mengajukan beberapa nilai demokrasi, yaitu sebagai berikut :
1) Menyelesaikan pertiakaian secara damai dan sukarela.
Hal ini terlihat pada fungsi kompromi atau kebijakan umum dengan suara
mayoritas, atau penyelesaian berbagai pertikaian secara sukarela.
2) Menjamin terjadinya perubahan secara damai.
Misalnya dalam menghadapi berbagai perubahan sosial, iptek yang
sangat pesat, dengan metode demokrasi akan mampu mengakomodasinya
secara fleksibel, misalnya dengan memperhatikan public opinion
sehingga perubahan tetap terjamin berjalan secara damai.
Rakyat adalah orang yang tunduk pada suatu pemerintahan negara. Dalam
negara ada yang memerintah dan ada yang diperintah, yang memerintah negara
disebut dengan pemerintah dan yang diperintah oleh negara disebut rakyat. Oleh
karena itu, keberadaan suatu negara sangat ditentukan oleh dukungan rakyat.
Pengertian kedaulatan rakyat sangat erat dengan pengertian perjanjian masyarakat
dalam pembentukan asal mula negara. Negara terbentuk karena adanya perjanjian
masyarakat, disebut dengan istilah “Kontrak Sosial”.tokoh teori ini adalah Thomas
Hobbes, Jonh Locke dan J.J. Rosseau.
Kedaulatan rakyat maksudnya kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat.
Ini berarti kehendak rakyat merupakan kehendak tertinggi. Negara harus tunduk
kepada rakyat. Dengan kata lain rakyat sebagai pemegang otoritas (kekuasaan yang
sah) tertinggi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Oleh
karena itu Kedaulatan Rakyat diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat
dan untuk rakyat.
Perumusan kedaulatan rakyat ini dalam dokumen-dokumen yang bersifat
resmi, pertama kali terdapat dalam Piagam Jakarta, 22 Juni 1945 yang menyatakan:
“…Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat”, yang kemudian menjadi rumusan Pembukaan
UUD 1945 yang mempengaruhi perumusan batang tubuhnya.
Pokok pikiran ini kemudian disepakati untuk dimuat dalam Undang-Undang
Dasar dengan pernyataan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang
berkedaulatan rakyat. Bahkan gagasan ini diuraikan lebih lanjut dalam penjelasan
UUD sebagai pokok pikiran keempat dari Pembukaan UUD 1945. Pokok pikiran
keempat yang terkandung dalam “Pembukaan” ialah negara yang berkedaulatan
rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan.
Utamanya dalam pemahaman dan kaitannya dengan Undang-Undang Dasar
1945, yaitu pasal 1 ayat (2) UUD 45 yang menentukan sebagai berikut:
“Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat.”
Sedangkan isi pasal 1 ayat (2) UUD 45 hasil amandemen adalah sebagai
berikut:
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang
Dasar.”
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik dua unsur/pokok pikiran dari
isi pasal 1 ayat (2), yaitu:
1. kedaulatan rakyat; dan
2. implementasi kedaulatan rakyat.
Sila ke 4 Pancasila,“kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan/ perwakilan”.
Teori atas kedaulatan rakyat yang berlaku di Indonesia mendukung atas
hukum dan menjamin kebebasan dari pada warganegaranya. Dalam pengerian bahwa
kebebasan disini adalah kebebasan dalam batas-batas perundang-undangan,
sedangkan undang-undang disini yang berhak membuat adalah rakyat itu sendiri
dengna memandang dari segi social. Maka kalau begitu undang-undang itu adalah
merupakan penjelmaan dari pada kemauan atau kehendak rakyat. Jadi rakyatlah yang
mewakili kekuasaan tertinggi atau kedaulatan.
Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang – undang Dasar. Pemilik kedaulatan dalam Negara
Indonesia adalah rakyat. Pelaksanaan kedaulatan ditentukan menurut Undang –
undang Dasar. Pelaksanaan kedaulatan Negara Indonesia menurut Undang – undang
Dasar 1945 adalah rakyat dan lembaga – lembaga Negara yang berfungsi
menjalankan tugas – tugas kenegaraan sebagai representasi kedaulatan rakyat.
Lembaga – lembaga Negara menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah MPR,
Presiden, DPR, BPK, MA, Mahkamah Konstitusi, DPD, Pemerintah Daerah, DPRD,
KPU, Komisi Yudisial.
Pelaksanaan kedaulatan rakyat menurut Undang-Undang Dasar 1945 inilah
sebagai sistem pemerintahan Indonesia. Dengan kata lain sistem pemerintahan
Indonesia adalah pemerintahan yang didasarkan pada kedaulatan rakyat sebagaimana
ditentukan oleh Undang- Undang Dasar 1945. Penjelasan pelaksanaan kedaulatan
rakyat berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 diuraikan lebih lanjut di bawah ini.
Konsep mengenai rule of law, menekankan apa yang dinamakan dynamic
aspects of the rule of law in the modern age mengatakan bahwa disamping hak-hak
sosial dan ekonomi, hak-hak politik harus diakui dan dipelihara.
Syarat-syarat dasar untuk terselenggaranya Pemerintah yang demokratis berdasarkan
konsep rule of law antara lain :
1) Perlindungan konstitusional ,dalam arti bahwa konstitusi selain
menjamin hak-hak individu, harus menentukan pula cara prosedurall
untuk memperoleh hak-hak yang dijamin
2) Badan Kehakiman yang bebas dan tidak memihak
3) Pemilahan Umum yang bebas
4) Kebebasan untuk menyatakan pendapat
5) Kebebasan untuk berserikat/berorganisasi dan beroposisi
6) Pendidikan kewarganegaraaan
Demokrasi didasari oleh beberapa nilai. Henry B. Mayo yang antara lain :
1) Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara melembaga
2) Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu
masyarakat yang sedang berubah
3) Menyelenggara pergantian pemimpin secara teratur
4) Membatasi pemakaian kekerasan sampai batas minimum
5) Menganggap wajar adanya keanekaragaman
6) Menjamin tegaknya keadilan
b. Pemilihan Umum ( PEMILU)
Pemilu adalah suatu proses di mana para pemilih memilih orang-orang untuk
mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Jabatan-jabatan yang disini beraneka-ragam,
mulai dari Presiden, wakil rakyat di pelbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala
desa. Pada konteks yang lebih luas, Pemilu dapat juga berarti proses mengisi jabatan-
jabatan seperti ketua BEM atau KOSMA, walaupun untuk ini kata „pemilihan‟ lebih
sering digunakan. Sistem pemilu digunakan adalah asas luber dan jurdil. Dalam
Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah
para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa
kampanye. Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari
pemungutan suara. Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan
dimulai. Pemenang Pemilu ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan
pemenang yang sebelumnya telah ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan
disosialisasikan ke para pemilih.
Waktu pelaksanaan, dan tujuan pemilihan diatur di dalam Pasal 22E ayat (1)
dan ayat (2) UUD 1945, dan bukan di dalam Pasal 22E ayat (6) yang mengatur
tentang ketentuan pemberian delegasi pengaturan tentang pemilihan umum dengan
undang-undang. Asas Pemilu Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia Pemilu yang
LUBER dan Jurdil mengandung pengertian bahwa pemilihan umum harus
diselenggarakan secara demokratis dan transparan, berdasarkan pada asaas-asas
pemilihan yang bersifat langsung, umum, bebas dan rahasia, serta jujur dan adil:
1) Langsung berarti rakyat pemilih mempunyai hak untuk secara langsung
memberikan suaranya sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa
perantara
2) Umum berarti pada dasarnya semua warganegara yang memenuhi persyaratan
minimal dalam usia , yaitu sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau
telah/pernah kawin berhak ikut memilih dalam pemilihan umum.
Warganegara yang sudah berumu 21 (dua puluh satu) tahun berhak di-pilih.
Jadi, pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin
kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara yang telah
memenuhi persyaratan tertentu tanpa diskriminasi (pengecualian) berdasar
acuan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, dan status
sosial
3) Bebas berarti setiap warganegara yang berhak memilih bebas menentukan
pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Di dalam melaksanakan
haknya, setiap warganegara dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih
sesuai dengan kehendak hati nurani dan kepentingannya
4) Rahasia berarti dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin bahwa
pemilihnya tidak akan diketahui oleh pihak manapun dan dengan jalan papun.
Pemilih memberikan suaranya pada surat suara dengan tidak dapat diketahui
oleh orang lain kepada suaranya diberikan. Asas rahasia ini tidak berlaku lagi
bagi pemilih yang telah keluar dari tempat pemungutan suara dan secara
sukarela bersedia mengungkapkan pilihannya kepada pihak manapun;
5) Jujur berarti dalam menyelenggarakan pemilihan umum; penyelenggaraan/
pelaksana, pemerintah dan partai politik peserta Pemilu, pengawas dan
pemantau Pemilu, termasuk pemilih, serta semua pihak yang terlibat secara
tidak langsung, harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku;Adil berarti dalam menyelenggarakan pemilu,
setiap pemilih dan partai politik peserta Pemilu mendapat perlakuan yang
sama, serta bebas dari kecurangan pihak manapun.
Dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara
Pemilu diatur mengenai penyelenggara Pemilihan Umum yang dilaksanakan oleh
suatu Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dan tanggung jawab KPU sebagai
penyelenggara Pemilihan Umum mencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Sifat tetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang
menjalankan tugas secara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatan
tertentu. Sifat mandiri menegaskan KPU dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum
bebas dari pengaruh pihak mana pun.
c. Hubungan Pemilu, Dan Demokrasi
Dari uraian di yang telah paparkan, dapat kita ambil sebuah kesimpulan
bahwa konsep negara Indonesia adalah negara berdasarkan atas hukum, negara yang
demokratis atau berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan melihat rumusan yang dipakai oleh pembentuk UUD 1945, yaitu “Indonesia
adalah negara yang berdasarkan atas hukum”. Bahwa negara kita bedasarkan atas
negara hukum yang dilandasi pancasila dan UUD 1945 dengan pengertian adanya
system demokratis yang bertanggugjawab dari individu masing-masing. Negara kita
menjamin kebebasan tiap-tiap individu untuk mengeluarkan pendapat dan
aspirasinya.
Dasar hukum negara Indonesia adalah berdaulat menurut rakyatnya dan
berdasarkan atas demokrasi yang utuh untuk kepentingan masyarakat luas. Bedaulat
tersebut bermaksud demokrasi yang utuh dan kebebasan berpendapat di depan umum
kepada rakyatnya dengan disertai dengan tanggungjawab individu masing-masing.
Kedaulatan tersebut mengatakan bahwa tujuan negara itu adalah untuk menegakkan
hukum dan menjamin kebebasan warganegaranya. Dalam pengertian bahwa
kebebasan disini adalah kebebasan dalam batas-batas perundang-undangan,
sedangkan undang-undang disini yang berhak membuat adalah rakyat itu sendiri.
Pelaksanaan prinsip kedaulatan rakyat dapat dilakukan melalui demokrasi
langsung maupun demokrasi perwakilan. Demokrasi langsung bercirikan rakyat
mengambil bagian secara pribadi dalam tindakan-tindakan dan pemberian suara
untuk membahas dan mengesahkan undang-undang. Sedangkan demokrasi
perwakilan, rakyat memilih warga lainnya sebagai wakil yang duduk di lembaga
perwakilan rakyat untuk membahas dan mengesahkan undang-undang.
Pemilihan Umum merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu diselenggarakan dengan
tujuan untuk memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk
pemerintahan yang demokratis, kuat, dan memperoleh dukungan rakyat dalam
rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu dilaksanakan oleh negara Indonesia dalam
rangka mewujudkan kedaulatan rakyat sekaligus penerapan prinsip-prinsip atau nilai-
nilai demokrasi, meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif
dalam pemilihan umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang
demokratis.
3. Hak Asasi Manusia Dalam Pemilihan Umum
Salah satu ciri yang dimiliki oleh umat manusia adalah memiliki pandangan subjektif
tentang sesuatu yang diketahui atau dialaminya. Aspek sibjektivitas yang dimiliki oleh
manusia inilah yang menjadikan seluruh pandangan manusia yang sering kali diklaim
sebagai suatu kebenaran adalah bersifat relative, tidak mutlak.
Pengertian kebenaran universal yang sering kali dikaitkan dengan Hak Asasi
Manusia (HAM) pada hakikatnya jika sampai pada implementasinya pasti akan tersentuh
oleh interpretasi (subjektiivitas) manusia, dan ini memang mustahil untuk dihindari.
Beberapa faktor seperti budaya, keyakikan agama, dan solidaritas (politis),17
akan
menjadi faktor yang bisa memperngaruhi pemikiran manusia yang pada akhirnya akan
memengaruhi juga sikap dan pandangan masyarakat terhadap rasa keadilan.
Jika kita mencermati konsep Negara hukum seperti yang terurai di atas, tampak
suatu paradigm kenegaraan dari sisi bangunan Negara. Namun, bentuk pengejawantahan
paradigma kenegaraan tersebut sebagai suatu bangunan Negara hukum, baru dapat terlihat
apa bila bangunan tersebut dilengkapi dengan struktur Negara dan mekanisme
operasionalnya.
Secara etimologi, hak merupakan unsur normatif yang berfungsi sebagai pedoman
perilaku, melindungi kebebasan, kekebalan serta menjamin adanya peluang bagi manusia
dalam menjaga harkat dan martabat. Adapun asasi berarti yang bersifat paling mendasar
atau fundamental. Dengan demikian hak asasi berarti hak yang paling mendasar yang
dimiliki oleh manusia sebagai fitrah, sehingga taksatupun mahluk dapat mengintervesinya
apalagi mencabutnya. Misalnya, hak hidup, yang mana tak satupun manusia ini memiliki
kewenangan untuk mencabut kehidupan manusia yang lain.18
Menurut Jan Materson dari Komisi HAM PBB sebagaimana dikutip Baharuddin
Lopa menegaskan, bahwa hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada setiap
manusia.19
Mengingat pembentukan Negara dalam sistem demokrasi dan Negara hukum
merupakan kehendak rakyat secara kolektif, maka pemerintah bersama semua elemen
penyelenggara Negara lainnya yang dilekati kewajiban untuk bertindak atau mengambil
17
Dr Taufiqurrahman SYahuri, S.H., M.H., Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Jakarta: Kencana, 2011, Hal
95 18
24 Ibid., Hal 282
19
Baharuddin Lopa, Al-Qur’an dan Hak-hak Asasi Manusia, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, Hal 52
kebijakan sesuai batas kewenangnan dalam menjalankan tugas dan fungsi Negara, semua
itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada stakeholder Negara.
Salah satu tanggungjawab yang harus dilakukan oleh penyelenggara Negara kepada
rakyat atau warga negaranya adalah penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM.
Hal tersebut diamanatkan sendiri oleh UUD 1945 khususnya pada pasal 28 (i) ayat 4 hasil
amandemen ke-2 yaitu: “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi
manusia adalah tanggungjawab Negara, terutama pemerintah.”
Dalam sejarah konstitusi negara Republik Indonesia, Hak Asasi Manusia (HAM)
yang pada awalnya diatur dalam UUD 1945, namun aturan tersebut ternyata belum
mampu mewadahi dan menyelesaikan segala bentuk perkara HAM. Dimana hal ini
menjadi momentum yang panjang dan sulit untuk diperjuangkan, karena adanya
perbedaan pendapat/pandangan daripada pendiri negara mengenai hakekat Hak Asasi
Manusia (HAM) itu sendiri.
Pada saat itu hakekat Hak Asasi Manusia (HAM) diidentikkan dengan ideologi
liberalis yaitu merupakan paham terhadap pengakuan hak individu secara menyeluruh.
Hal inilah yang dianggap tidak cocok dan bertolak belakang dengan kepribadian bangsa
Indonesia. Namun setelah waktu yang cukup panjang, akhirnya Hak Asasi Manusia di
Indonesia diakui dan secara terbuka mulai diatur dalam konstitusi maupun undang-
undang. Dari masa orde lama dan orde baru panghargaan terhadap Hak Asasi Manusia
masih sangat minim. Tetapi, dengan adanya reformasi membawa angin segar terhadap
penjaminan Hak Asasi Manusia (HAM). Terbukti dengan diaturnya pasal dalam
konstitusi mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) yaitu pada pasal 28A-28J dan Undang-
Undang No. 39 tahun 1999.
Undang-Undang Dasar 1945 sekalipun juga, hak asasi manusia diatur dalam
pembukaan dan dalam batang tubuh. Pada pembukaan ada disebutkan tentang hak
kemerdekaan. Sedangkan pada batang tubuh diatur dalam Pasal 28 A tentang Hak Asasi
Manusia :
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya.”20
“Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah.
“Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”21
Dengan lahir dan hadirnya beberapa aturan yang menjadi payung bagi hak asasi
manusia ini cukup memperlihatkan bahwasanya hak asasi manusia ini sangat dijaga dan
diperhatikan sungguh sungguh oleh Negara.
Penegakan hak asasi manusia ini tentunya menjadi hal yang tak kalah penting
bagi negara Indonesia. Oleh karena itu, selain dimuat dalam Undang Undang Dasar 1945
dan dijabarkan melalui Undang Undang No. 39 Tahun 1999, juga dibentuk Komisi
Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM). Keseriusan pemerintah menegakkan
HAM ini juga dapat diperhatikan dengan adanya Undang-Undang No. 26 Tahun 2000
Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pengadilan HAM ini merupakan pengadilan
khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum.
20
Pasal 28A, Undang Undang Dasar 1945 21
Pasal 28B Ayat (1), Undang Undang Dasar 1945
Tidak hanya itu, secara umum Undang Undang HAM membagi HAM ke dalam
beberapa kategori yang semuanya tertuang secara jelas dalam Undang Undang tersebut,
seperti di bawah ini :
a. Hak untuk hidup dan hak untuk tidak dihilangkan paksa dan/atau tidak
dihilangkan nyawa.
b. Hak memperoleh keadilan
c. Hak atas kebebasan pribadi
d. Hak atas rasa aman
e. Hak atas kesejahteraan
f. Hak turut serta dalam pemerintahan
g. Hak wanita
h. Hak anak
i. Hak atas kebebasan beragama
Kesembilan hak yang tertera dan dijelaskan secara rinci dalam Undang Undang
HAM tersebut cukup memberikan gambaran jelas jika pemerintah Indonesia pada
dasarnya memiliki kepedulian terhadap HAM di Indonesia.
Selain itu, berikut juga ruang lingkup hak asasi manusia, sebagai berikut:
a. setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat,
dan hak miliknya.
b. setiap orang berhak atas pengakuan di depan hukum sebagai manusia pribadi di
mana saja ia berada.
c. setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
d. setiap orang tidak boleh diganggu yang merupakan hak yang berkaitan dengan
kehidupan pribadi di dalam tempat kediamannya.
e. setiap orang berhak atas kemerdekaan dan rahasia dalam hubungan komunikasi
melalui sarana elektronik tidak boleh diganggu, kecuali atas perintah hakim atau
kekuasaan lain yang sah sesuai dengan undang-undang.
f. setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman, atau perlakuan
yang kejam, tidak manusiawi, penghilangan paksa, dan penghilangan nyawa.
g. setiap orang tidak boleh ditangkap, ditekan, disiksa, dikucilkan, diasingkan, atau
dibuang secara sewenang-wenang.
h. setiap orang berhak hidup dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai,
aman, dan tenteram, yang menghormati, melindungi dan melaksanakan
sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia sebagaimana diatur
dalam undang-undang.22
Deskripsi tentang kewajiban penyelenggara negara seperti yang tergambar diatas,
merupakan bentuk pengejawantahan konsep Good Governance yang belakangan ini
marak dipromosikan sebagai era baru tata kelola pemerintahan yang baik. Betapa tidak,
karena untuk mewujudkan tingkat kesejahteraan dan kemakmuran serta kemajuan yang
lebih tinggi pada setiap bangsa, maka sebagian besar ditentukan oleh tata kelola
pemerintahannya.
22
Zainuddin Ali, Filsafat Hukum Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2006, Hal 91-92
Dalam penyelenggaraan pemerintahan pada dasarnya berorientasi pada tiga elemen
utama yakni, pemerintahan atau negara (state), sektor swasta (private sector), dan
masyarakat (society) serta ditambah lagi dengan interaksi antar ketiga elemen tersebut.
Ketiga elemen tersebut di atas masing-masing memiliki fungsinya sendiri yang
tidak dapat dipisahkan satu sama lain dan mempunyai hubungan yang saling bersinergi.
Fungsi dari masing-masing elemen tersebut antara lain: negara berfungsi menciptakan
lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta berfungsi menciptakan
lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan dan masyarkat ikut berperan positif dalam
interaksi sosialnya, baik di bidang sosial, ekonomi maupun politik.23
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapatlah dipahami bahwa asas umum
tata kelola pemerintahan yang baik adalah tuntutan moral yang hingga kini telah menjadi
noram hukum bagi penyelenggara Negara (UU No. 28/1999), untuk menggunakan segala
kewenangan dalam melaksanakan tugas dengan tindakan bahkan sampai pada
penggunaan freis ermessen demi mewujudkan esensi tujuan negara hukum sebagaimana
yang digagas Immanuel Kant dan Fedrich Julius Sthaal.
Hal yang sama juga terjadi pada HAM karena secara substansial HAM
mengandung nilai-nilai universal. Namun, jika nilai HAM itu sampai pada definisi
operasional, ia akan bernilai relatif.
Hak Konstitusional adalah hak hak warga Negara yang dijamin dalam dna oleh
UUD NRI 1945, sedangkan warga Negara meliputi semua orang yang bertempat tinggal
23
Sedarmayanti, Good Governance, (Pemerintahan Yang Baik) Dalam Rangka Otonomi Daerah, Upaya
Membangun Organisasi Efektif Dan Efisien Melalui Rekonstruksi Dan Pemberdayaan, Mandar Maju, Badung,
2003
di dalam wilayah kekuasaan Negara Indonesia dna tunduk kepada kekuasaan Negara
Indonesia.24
Sedangkan Hak asasi Manusia seperti yang telah dijelaskan tadi bahwa hak
yang melekat pada diri setiap pribadi manusia. Karena itu, hak asasi manusia (the human
rights) itu berbeda dari pengertian hak warga negara (the citizen’s rights).
Hak warga negara adalah Hak-hak yang lahir dari peraturan di luar undang-undang
dasar disebut hak-hak hukum (legal rights), bukan hak konstitusional (constitutional
rights). Sedangkan Hak asasi Manusia yang terkandung dalam konstitusi dapat disebut
sebagai hak konstitusional warga negara.yang terkandung dalam konstitusi dapat disebut
sebagai hak konstitusional warga negara.
Oleh karena itu prinsip-prinsip HAM yang tercantum dalam UUD 1945 adalah
merupakan Hak konstitusional Warga Negara Indonesia. Dalam suatu negara hukum yang
lahir dari konstitusionalisme harus bercirikan :25
a. adanya perlindungan HAM,
b. adanya peradilan yang bebas dan
c. adanya asas legalitas.
Hukum konstitusi membentuk hierarki norma, dan hirarki ini juga
mengkondisikan interpretasi konstitusi. Akibat langsung dari hak asasi manusia misalnya
membentuk satu hubungan hierarkis diantara teks konstitusi. Satu hirarki dalam
konstitusi (intraconstitutional hierarchies) lebih rumit, tetapi hukum menyiratkan satu
status yang istimewa bagi hak konstitusi.
24
C.S.T. Kansil. Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta. 2000, hal. 216 25
Ashiddiqie Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta: Konstitusi Press, 2005
Teks konstitusi bisa dianggap terlebih dahulu memproklamasikan HAM, sebelum
membentuk lembaga negara dan sebelum fungsi-fungsi Pemerintahan dibagikan
kepada lembaga-lembaga negara. Akibat pendirian ini, HAM dilihat oleh sarjana hukum
dan banyak hakim memiliki satu eksistensi juridis yang lebih awal dan bebas dari
negara.
Doktrin menyatakan bahwa norma HAM merupakan satu jenis normativitas
suprakonstitutional (supraconstitutional normativity) yang membuat mereka
(setidaknya sebagian dari padanya) kebal terhadap perubahan melalui revisi konstitusi.
Ini melekat dalam posisi hukum alam, meskipun hukum alam sangat jarang dikemukakan
sebagai alasan. Status istimewa hak asasi ini, tentu saja, ditegakkan oleh ketentuan yang
mengaturnya, meskipun terjadi perubahan konstitusi.
Konstitusi-konstitusi yang mengadopsi prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia,
setidaknya telah mendorong pada suatu idealitas sistem politik (ketatanegaraan) yang
bertanggung jawab pada rakyatnya, karena menegaskannya dalam hokum dasar atau
tertinggi di suatu Negara.26
Konstitutionalisme HAM yang berwujud pada upaya penyejahteraan hak-hak
warga negara, belum cukup bila dipahami secara tekstual. Tetapi harus dilihat pula
bagaimana aras tafsir konteks dan implementasi tekstual yang melandasi pemerintah
dalam menjalankan mandat konstitusinya.27
26
Wiratraman, R. Herlambang Perdana “Konstitusionalisme dan HAM: Konsepsi Tanggung Jawab Negara dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia”. 2005
Kegagalan memaknai dan menerjemahkan konstitusionalisme dalam kebijakan
dan tindakan nyata akan melahirkan banyak masalah serius, tidak bisa menghapuskan
masalah kemiskinan ekonomi, atau diskriminasi sosial, atau penyalahgunaan kekuasaan
politik, sehingga memudahkan penguasa pada kerakusan, korupsi dan pada akhirnya
menggampangkan untuk membatasi dan mencerabut hak-hak dasar warga negaranya.
Konstitusi-konstitusi yang mengadopsi prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia,
setidaknya telah mendorong pada suatu idealitas sistem politik (ketatanegaraan) yang
bertanggung jawab pada rakyatnya, karena menegaskannya dalam hukum dasar atau
tertinggi di suatu negara.
Di sinilah sesungguhnya konteks relasi negara-rakyat diuji, tidak hanya dalam
bentuknya yang termaterialkan dalam konstitusi sebuah negara, tetapi bagaimana negara
mengimplementasikan tanggung jawabnya atas penghormatan, perlindungan, dan
pemenuhan hak-hak asasi manusia.
Indonesia yang memiliki konsepsi hak-hak asasi manusia dalam hukum dasarnya
sejak tahun 1945, menunjukkan adanya corak konstitutionalisme yang dibangun dan
terjadi konteksnya pada saat menginginkan kemerdekaan atau lepasnya dari penjajahan
suatu bangsa atas bangsa lain, atau bisa disebut memiliki corak konstitutionalisme yang
anti kolonialisme.
Dalam Undang-Undang Dasar sendiri menegaskan : “Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas
dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”28
28
Undang Undang Dasar, Pembukaan Alinea Pertama
Alinea tersebut merupakan penanda, bahwa bangsa Indonesia sedang
berkeinginan membawa rakyatnya terbebas dari segala bentuk penjajahan, dengan
harapan lebih mengupayakan terciptanya sendi-sendi kemanusiaan dan keadilan.
Konsepsi ini merupakan konsepsi awal, dimana penegasan hak-hak asasi
manusia ditujukan tidak hanya bagi bangsa Indonesia yang saat itu baru merdeka, tetapi
ditujukan untuk seluruh bangsa di dunia ini. Oleh karena itu, hak konstitusional warga
negara harus di jamin dalam konstitusi sebagai bentuk pengakuan HAM serta adanya
peradilan yang independen tidak terpengaruh oleh penguasa dan segala tindakan
pemerintahan harus didasarkan atas hukum. Artinya, yang dimaksud sebagai hak asasi
manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap pribadi manusia. Karena itu, hak asasi
manusia itu berbeda dari pengertian hak warga negara. Namun, karena hak asasi
manusia itu telah tercantum dengan tegas dalam UUD 1945, sehingga juga telah resmi
menjadi hak konstitusional setiap warga Negara.
4. Hak Pilih Kaum Disabilitas Dalam Pemilu
a. Undang-Undang No.4 Tahun 1997
Pada Pasal 5 Undang-Undang No.4 Tahun 1997 mengenai hak
penyandang difabel disebutkan bahwa :
Setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama
dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Pada pasal ini yang dimaksud dengan aspek kehidupan dan penghidupan
yaitu meliputi antara lain aspek agama, kesehatan, pendidikan, sosial,
ketenagakerjaan, ekonomi, pelayanan umum, hukum, budaya, politik, pertahanan,
olahraga, rekreasi, dan informasi. Sehingga penyandang difabel baik fisik ataupun
mental memiliki hak dan kesempatan sama dalam politik.
Terkait dengan penelitian penulis, hak politik yang dimiliki para
penyandang disabilitas dalam hal ini berhubungan dengan hak untuk memilih
wakil-wakil rakyat yang akan duduk di DPR, DPRD Propinsi/Kabupaten/Kota dan
anggota DPD serta memilih pemimpin yang mereka kehendaki baik ditingkat
daerah melalui Pemilukada maupun ditingkat pusat melalui Pemilu.
b. Undang-Undang No 19 Tahun 2011
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Penyandang Cacat pada tanggal
18 Oktober 2011. Proses persiapan ratifikasi Konvensi Hak Penyandang Cacat ini
telah berjalan selama 4 tahun di tingkat antar kementerian sejak 2007 hingga 2011,
yang juga melibatkan perwakilan dari organisasi kemasyarakatan penyandang
disabilitas. Pengesahan Convention on the Rights of Persons with Disabilities
(Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas) dengan UU Nomor 19
Tahun 2011, konvensi ini mengganti istilah “penyandang cacat” dengan
“penyandang disabilitas” yang dinilai lebih tepat dan manusiawi.
Setiap warga negara berhak terlibat aktif dalam kehidupan berpolitik. Hak
ini terkandung dalam berbagai ketentuan hukum baik yang bersifat internasional
maupun nasional. Begitu pula penyandang disabilitas. Penyandang disabilitas
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Mereka
mempunyai kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama dengan masyarakat
lainnya dari segala aspek kehidupan dan penghidupan, baik dari segi pendidikan,
ketenagakerjaan, komunikasi, dan lain-lainnya. Sebagai bagian dari warga negara
Indonesia, para penyandang disabilitas juga berhak terlibat aktif dalam kehidupan
berpolitik.
c. Undang-undang No.8 Tahun 2012
Hak kaum disabilitas diatur dalam Undang Undang Nomor 8 tahun 2012
tentang pemilhan umum pasal 19 ayat (1) dan (2). Undang Undang Nomor 8
tersebut sebagai mandat dari penafsiran UUD 1945 pasal 22 ayat (2). Ketika hak
disabilitas mempunyai hak yang sama dengan pemilih lain, maka sudah
seharusnya penyelenggara memberikan perhatian khusus pada mereka.
B. HASIL PENELTIAN
1. Profil Penyandang Disabilitas
Penyadang disabilitas di Kota Salatiga berdasarkan hasil pendataan Dinas
Sosial Propinsi Jawa Tengah terdiri dari Penyadang Disabilitas Tuna Netra 18 orang,
Tuna Daksa 500 orang, Tuna Rungu 25 orang, Penyadang Disabilitas Mental 767
orang, Penyandang Disabilitas Fisik dan Mental 45 orang, dan Penyandang
Disabilitas Anak ada 135 orang.29
2. Profil Komisi Pemilihan Umum Daerah
29
Data Dinas Sosial Propinsi Jawa Tengah
Visi dari Komisi Pemilihan Umum adalah Terwujudnya Komisi Pemilihan
Umum sebagai penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki integritas,
profesional, mandiri, transparan dan akuntabel, demi terciptanya demokrasi
Indonesia yang berkualitas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dalam wadah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan Misi dari Komisi Pemilihan
Umum adalah :
a. Membangun lembaga penyelenggara Pemilihan Umum yang memiliki
kompetensi, kredibilitas dan kapabilitas dalam menyelenggarakan Pemilihan
Umum;
b. Menyelenggarakan Pemilihan Umum untuk memilih Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, Presiden dan Wakil Presiden serta Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, akuntabel, edukatif
dan beradab;
c. Meningkatkan kualitas penyelenggaraan Pemilihan Umum yang bersih, efisien
dan efektif;
d. Melayani dan memperlakukan setiap peserta Pemilihan Umum secara adil dan
setara, serta menegakkan peraturan Pemilihan Umum secara konsisten sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
e. Meningkatkan kesadaran politik rakyat untuk berpartisipasi aktif dalam
Pemilihan Umum demi terwujudnya cita-cita masyarakat Indonesia yang
demokratis.
Berikut ini merupakan daftar 7 anggota KPU yang telah dilantik oleh Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono pada Kamis, 12 April 2012: Ketua: Husni Kamil Manik,
S.P., Anggota KPU Sumatera Barat, Ida Budhiati, S.H., M.H., Ketua KPU Jawa Tengah,
Sigit Pamungkas, S.IP., MA., Dosen FISIPOL UGM Yogyakarta, Arief Budiman, S.S.,
S.IP., MBA., Anggota KPU Jawa Timur, Dr. Ferry Kurnia Rizkiyansyah, S.IP., M.Si.,
Ketua KPU Jawa Barat, Drs. Hadar Nafis Gumay, Pegiat LSM/Direktur Eksekutif Centre
for Electoral Reform (Cetro) dan Juri Ardiantoro, M.Si., Ketua KPU DKI Jakarta.
Komisi Pemilihan Umum Kota Salatiga berlokasi di Argosari Tetep Randoacir
Argomulyo Salatiga berdasarkan undang-undang adalah penyelenggara Pemilihan Umum
di tingkat daerah. Struktur Organisasi Komisioner Sekretariat Komisi Pemilihan Umum
Kota Salatiga Periode: 2013 S/D 2018
STRUKTUR ORGANISASI KOMISONER
KOMISI PEMILIHAN UMUM
KOTA SALATIGA PROPINSI JAWA TENGAH
PERIODE 2013-2018
KETUA
Dra. Putnawati, Msi
Tabel 2.1 : Menjelaskan Strukurtur Organisasi KPUD Kota Salatiga
3. Responden
a. Penyandang Disabilitas Tuna Netra
1) Profil Penyandang Disabilitas Tuna Netra di Kota Salatiga
Penyandang disabilitas tuna netra di Kota Salatiga ada 18 Orang30
dan dari
9 responden yang berhasil diwawancari berjumlah 5 responden dan tersebar di
beberapa kecamatan di Kota Salatiga.
Sebagaimana Penulis uraikan di Bab I huruf E bagian 4 berkaitan dengan
Populasi dan sampel dijelaskan bahwa ada 5 responden yang diwawancarai.
Daftar 5 responden tersebut diuraikan dalam tabel berikut :
Tabel 3.1 Responden
NO NAMA JENIS KELAMIN USIA ALAMAT
1 Bachtiar Azhari Laki-Laki 43 Gendongan, Kecamatan Tingkir
2 Sudiyono Laki-Laki 62 Gendongan, Kecamatan Tingkir
30
Data Dinas Sosial Propinsi Jawa Tengah 2014
ANGGOTA
Syaemuri, S.Ag
ANGGOTA
Dayusman Junus,
S.Pd
ANGGOTA
Suryatno, Spd
ANGGOTA
Drs. Sujit Mudjirno,
S.IP, M.Pd
3 Sutriah Perempuan 26 Cabean, Kecamatan Sidomukti
4 Abdul Asyik Laki-Laki 32 Pulutan, Kecamatan Sidomukti
5 Manto Sudarmo Laki-Laki 67 Kemiri Sari, Kecamatan Sidorejo
Tabel 3.1 : menjelaskan bahwa dari 5 Responden yang diwawancarai adalah 4
orang laki-laki dan 1 orang perempuan. Berdasarkan Usia 5 Responden tersebut
memiliki Hak Pilih dalam Pemilihan Umum yang tersebar di setiap kecamatan di
Kota Salatiga
2) Penyandang Disabilitas Tuna Netra Pada Pemilu Legislatif 2014 di Kota
Salatiga
Hasil wawancara dengan responden di kecamatan yang berhasil
diwawancarai berkaitan dengan keikutsertaanya pada Pemilihan Umum Legislatif
di Kota Salatiga.
Tabel 3.2 Alamat Responden
NO NAMA ALAMAT Penggunaan Templete Braiele
1 Bachtiar Azhari Gendongan, Kecamatan Tingkir Tidak Ada
2 Sudiyono Gendongan, Kecamatan Tingkir Tidak Ada
3 Sutriah Cabean, Kecamatan Sidomukti Ada
4 Abdul Asyik Pulutan, Kecamatan Sidomukti Tidak Ada
5 Manto Sudarmo Kemiri Sari, Kecamatan Sidorejo Tidak Ada
Tabel 3.2 : menjelaskan Responden yang diwawancarai berdasarkan kelurahan dan
kecamatan yang menjadi domisili responden, dimana ada dari 5 Responden hanya 1
yang mendapatkan alat bantu template braile
b. Hasil Wawancara di KPU Kota Salatiga
KPU Kota Salatiga tidak memiliki data berkaitan dengan pemilih penyadang
disabilitas, KPU Salatiga menjaring pemilih penyadang disabilitas dengan melakukan
sosialisasi terhadap kaum disabilitas melalui relawan demokrasi yang diterjunkan
langsung ke komunitas tersebut. KPU Kota Salatiga tidak melakukan kerjasama
dengan instansi lain berkaitan memperoleh data kaum disabilitas, KPU memiliki alat
bantu untuk kaum disabilitas untuk memberikan suaranya dalam Pemilihan Umum
disetiap TPS. Langkah-langkah KPU untuk mewujudkan hak pilih penyadang
disabilitas adalah dengan cara membentuk relawan demokrasi untuk melakukan
sosialisasi ke tiap segmen yakni kepada kelompok perempuan, kelompok agama,
kelompok pemilih pemula dan kelompok penyandang disabilitas.31
31
Hasil Wawancara Dengan Anggota Komisoner Dayusman Junus, S.Pd KPU Kota Salatiga
c. Hasil Wawancara Mantan Anggota KPPS Pemilu Legislatif 2014
Hasil wawancara Penulis mendapatkan di cabean RT02/RW14, dengan mantan
ketua KPPS setempat, mereka menyebutkan bahwa di TPS tempat mereka melakukan
pencoblosan tersedia fasilitas template braille untuk para disabilitas tuna netra. Maka
dapat disimpulkan bahwa KPUD tidak betul-betul memperhatikan kaum disabilitas
tuna netra, karena dapat dilihat dalam pengadaan alat bantu bagi para penyandang
tuna netra ternyata tidak merata di fasilitaskan di setiap tempat pemungutan suara
yang telah disediakan. Ini juga terlihat dalam proses pencarian data maka terlihat
bahwa KPUD Kota Salatiga tidak memiliki data berkaitan dengan Pemilih Kaum
Disabilitas terkhusus bagi Kaum disabilitas tuna netra.32
4. Kendala-Kendala Yang Didapatkan oleh Pemilih Penyadang Disabilitas Tuna Netra
Dari total sembilan kaum disabilitas tuna netra, Penulis mengambil lima
sampel dalam melakukan penelitian dan wawancara dengan hasil terlihat dari
prosesnya maka bisa di lihat bahwa Pemilih penyandang disabilias tuna netra
melakukan pelaksanaan pemilu dengan cara dijemput dan diantar oleh pihak KPPS,
PANWASLU dan pihak keamanan serta saksi untuk melakukan pencoblosan dalam
bilik yang sudah disediakan tanpa di fasilitasi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan telah di khususkan bagi para penyandang
disabilitas tuna netra. Antara lain inti yang sudah di dapat dalam wawancara tersebut
adalah sebagai berikut:
32
Hasil Wawancara Dengan Anggota KPPS Bpk Trimakno
a. Tidak disediakan template braille dari KPUD.
b. Ada yang tidak tahu alat tersebut dan ada yang tahu dari media radio tetapi
mereka tidak mendapati adanya alat tersebut dalam pelaksanaan pencoblosan.
c. KPUD juga tidak memberikan sosialisasi kepada kaum disabilitas khusunya
tuna netra untuk pengarahan dalam proses pemilu di lapangan serta
fasilitasnya.
d. Tidak ada kerjasama dengan pihak-pihak tertentu untuk merekrut para kaum
disabilitas tuna netra dan di jadikan satu wadah.
C. Analisis
1. Analisis Berkaitan Dengan Diskriminasi Hak Pilih Kaum Disabilitas Tuna Netra
Dalam Negara demokrasi, masyarakat harus dapat dilibatkan dalam setiap
pembuatan kebijakan publik agar tepat sasaran dan tepat guna. Dalam hal
mengakomodasikan hak-hak kaum disabilitas dalam hal ini kaum disabilitas negara harus
mampu membuat kebijakan yakni dengan cara memberikan akses dan fasilitas dalam
keikutsertaanya dalam Pemilihan Umum
Template Braile adalah media yang harus ada disediakan dalam Pemilihan
Umum oleh penyelenggara Pemilihan Umum yakni Komisi Pemilihan Umum untuk
memfasilitasi kaum disabilitas tuna netra
Tindakan peniadaan template braille dengan demikina tidak memfasilitasi kaum
disabilitas kaum tuna netra dapat dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM,
sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang hak asasi manusia,
khususnya yang menyangkut hak-hak sipil politik, lebih khusus lagi terkait hak memilih
bagi kaum tunanetra.
Mengatasi protes kaum difabel, KPU menyediakan pendamping di setiap TPS
sehingga kaum difabel khususnya penyandang tuna netra tetap bisa menggunakan hak
pilihnya. Namun, hal ini dinilai tidak efektif karena beberapa penyandang tuna netra
mengaku tidak nyaman dengan disediakan pendamping.+
Sejumlah penyandang tuna netra memilih untuk tidak memilih
karena Penggunaan pendamping merupakan kebijakan yang melanggar asas pemilu
yakni prinsip kerahasiaan yang dianut dalam sistem pemilihan di Indonesia, selain
langsung, umum dan bebas (Luber). Hal ini juga terindikasi pendamping
dapat mengarahkan surat suara tuna netra kepada pihak-pihak yang tidak bertanggung
jawab.
Hal ini ditegaskan dalam „Forum tuna netra menggugat‟ yang dibacakan oleh
Rieke terdapat 5 poin penting, sebagai berikut:
1. Keputusan KPU yang tidak menyediakan template braille bagi tuna netra
menunjukkan inkompetensi KPU dalam menyelenggarakan pemilu sejalan
segenap peserta pemilu dalam hal ini kaum difabel.
2. Kami melihat krisis profesionalisme KPU yaitu terdapat perbedaan pandangan
KPU Pusat dan KPU daerah mengenai penyediaan template braille dalam pemilu.
3. Kami menolak putusan KPU yang menyediakan pendampingan karena melanggar
asas pemilu itu sendiri, yang justru bisa diarahkan ke partai tertentu oleh pihak-
pihak yang tidak bertanggung jawab.
4. Kami memandang keputusan KPU diskriminatif dan tidak mencabut paksa hak
kewarganegaraan kami
5. Penyediaan template braille pada pemilu 2014 merupakan harga mati.
Penyandang Tuna Netra di se Indonesia mengancam Golput Kabar Pemilu hal ini
mendapat tanggapan dari Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono
melalui akun twitter-nya bahwa setiap warga negara yang memiliki hak pilih wajib
menggunakan hak pilihnya.
Kemudahan fasilitas dan lokasi TPS merupakan hal sederhana yang sangat
penting dan dibutuhkan oleh para penyandang difabel dalam menyalurkan hak pilih.
Seperti :
1. Pintu TPS sebaiknya memiliki lebar 90 cm karena ukuran lebar kursi roda rata-
rata adalah 85 cm.
2. Meja pemilih sebaiknya jangan terlalu tinggi, karena jika terlalu tinggi akan
menyulitkan para penyandang difabel terutama penyandang tuna daksa untuk
menyalurkan hak pilihnya.
Usulan lain yang kemudian muncul adalah mengenai kotak suara yang sebaiknya
tidak ditaruh di atas meja akan lebih memudahkan bagi penyandang pengguna
kursi roda dan penyandang tuna daksa.
3. Selain itu lokasi TPS jangan ditempatkan pada lokasi yang hanya bisa diakses
melalui tangga karena akan menyulitkan penyandang difabel.
4. Jangan menempatkan TPS dekat dengan lokasi seperti parit agar tidak
menimbulkan risiko dan kesulitan bagi para penyandang difabel. Lokasi TPS
dapat disiapkan di daerah yang landai.
Hal ini kembali ditekankan oleh pihak KPU dibeberapa daerah bahwa KPU RI
memang tidak menyediakan surat suara braille untuk DPR, DPRD. Mereka hanya
menyediakan surat suara braille untuk DPD.
Kekecewaan publik terhadap kinerja KPU Kota Salatiga sehingga mengakibatkan
tidak tersedianya surat suara braille dan tidak terselenggaranya prinsip Pemilu di
Indonesia yaitu Langsung Umum Bebas Jujur Adil (Luber Jurdil) tidak hanya dirasakan
oleh kaum difabel saja namun juga masyarakat umum lainnya.
Hal ini menandakan tidak kesiapan Komisi Pemilihan Umum dalam
menyelenggarakan Pemilihan Umum 2014 dan ini terjadi di Salatiga dengan melihat ada
bagian dalam negara ini yakni warga negara yang menyandang disabilitas tuna netra tidak
terakomodasikan dengan baik. Komisi Pemilihan Umum di Kota Salatiga dalam
menyelenggarakan Pemilihan Umum 2014 di beberapa kecamatan jelas tidak
menggunakan templete braile tetapi ada kecamatan yang menggunakana template braile.
Ini secara tidak langsung tidak mengakomodasikan hak pilih kaum disabilitas yang
merupakan warga negara yang memiliki hak pilih.
Komisi Pemilihan Umum Kota Salatiga yang tidak menggunakan kewenagannya
dengan baik atau tidak tunduk kepada Undang-Undang secara tidak langsung melanggar
hak-hak politik yakni hak pilih dari kaum disabilitas yang sebagai warga negara
mempunyai hak untuk ikut serta dalam pesta demokrasi pada tahun 2014. Terkait jaminan
kehidupan berpolitik kaum disabilitas tuna netra di kota Salatiga, Komisi Pemilihan
Umum telah melanggar hak-hak politik karna telah melanggar Undang-Undang No 19
Tahun 2011 tentang Konvensi mengenai Hak-hak Penyandang Disabilitas dalam hal ini
kaum disabilitas tuna netra yang diatur mengenai hak-hak penyandang disabilitas, antara
lain hak mendapatkan aksesibilitas (pasal 9) dan hak partisipasi dalam kehidupan politik
dan publik (pasal 29).
Dengan terlihat Komisi Pemilihan Umum Kota Salatiga dapat diduga telah
melanggar Hak Asasi Manusia dengan tidak dapat menjamin hak-hak pilih kaum
disabilitas tuna netra dalam keikutsertaanya atau partisipasinya dalam Pemilihan Umum
2014 dengan tidak memberikan atau tidak mengakomodasikan fasilitas penunjang pemilu
bagi kaum disabilitas tuna netra seperti template braile untuk dapat digunakan secara
efektif seseuai Pasal 29 Undang-Undang No 19 Tahun 2011 huruf a dan b yang berbunyi
:
a) Menjamin agar penyandang disabilitas dapat berpartisipasi secara efektif dan
penuh dalam kehidupan politik dan publik atas dasar kesetaraan dengan yang
lainnya, secara langsung atau melalui perwakilan yang dipilih secara bebas,
termasuk hak dan kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk memilih dan
dipilih, antara lain dengan:
b) Memastikan bahwa prosedur, fasilitas, dan bahan-bahan pemilihan bersifat layak,
dapat diakses serta mudah dipahami dan digunakan
Indonesia adalah Negara Demokrasi yang menjamin hak-hak demokratis rakyatnya,
misal hak beragama, hak berpendapat, hak berkumpul, dll. Negara akan mengakui hak individu
atau HAM selama hak tersebut tidak bertentangan dengan hukum positif Indonesia, dan setiap
individu tersebut mampu bertanggungjawab atas hak individunya.
Dengan demikian Negara harus menjamin keikutsertaan setiap warga negara dalam
Pemilihan Umum dengan tidak membedakan kaum disabilitas tuna netra dengan warga negara
yang normal. Namun fakta yang terjadi pada Pemilihan Umum 2014 di Kota Salatiga yang
terjadi adalah penyelenggara Pemilihan Umum tidak menjamin hak-hak kaum disabilitas tuna
netra khususnya untuk mendapatkan akses pemilu yang tepat dengan memfasilitas template
braile disetiap kecamatan, yang terjadi hanya ada 1 kecamatan saja yang menggunakan template
braile.
2. Analisis Kendala-Kendala Dalam Implimetasi Hak Pilih Penyendang Disabilitas
Tuna Netra Di Kota Salatiga
Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat.
Ini berarti bahwa rakyat memegang kekuasaan tertinggi dalam menjalankan
pemerintahan. Rakyat menentukan cara dan corak pemerintahan serta menetapkan
kebijakan-kebijakan yang akan dicapai. Di Indonesia, kedaulatan rakyat dilaksanakan
melalui perwakilan karena jumlah penduduknya sangat banyak dan wilayahnya sangat
luas. Dalam negara demokrasi, pemilihan umum (pemilu) merupakan lembaga penyalur
aspirasi rakyat dalam memilih orang-orang yang duduk di kursi legislatif dan eksekutif.
Orang-orang inilah perumus dan penyusun kebijakan strategis pemerintah pusat
dan daerah atas nama rakyat. Partisipasi setiap warga negara dalam pemilu merupakan
hak asasi yang harus dijunjung tinggi. Setiap warga negara berhak terlibat dalam
mengambil kebijakan politik dan negara wajib melindungi hak-hak tersebut. Ketentuan
tentang partisipasi secara aktif dalam kehidupan berpolitik terkandung dalam pasal 21
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, pasal 25 Kovenan Internasional tentang Hak-
Hak Sipil dan Politik, pasal 28D ayat (3), pasal 28H ayat 2 dan pasal 28I ayat (2) UUD
1945 setelah amandemen dan pasal 43 ayat (1) dan (2) UU No. 39/1999 tentang Hak
Asasi Manusia. Inti pasal-pasal tersebut antara lain setiap warga negara berhak
mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan, baik kesempatan untuk
berpartisipasi dalam pemerintahan berupa dipilih dan memilih dalam pemilu maupun
aksesibilitas untuk mendapatkan kesempatan tersebut tanpa diskriminasi. Landasan
hukum tersebut berlaku pula bagi penyandang disabilitas dan diperkuat dengan UU No. 4
tahun 1997 tentang Penyandang cacat.
Adapun permasalahan-permasalahan terkait kesulitan-kesulitan dan hambatan-
hambatan yang dihadapi oleh pemilih penyandang disabilitas tuna netra dalam Pemilu
Legislatif 2014 di Kota Salatiga antara lain :
1. Meskipun KPU bekerja sama dengan relawan demokrasi di Kota Salatiga tetap
sosialisasi dan simulasi pemilu masih sangat kurang. Pemilih penyandang
disabilitas tidak memahami mekanisme dan teknis pengambilan suara. Sosialisasi
terhadap petugas di lapangan juga terbatas. Petugas banyak yang tidak memahami
cara menangani pemilih penyandang disabilitas seperti penggunaan alat bantu
tuna netra, petunjuk bagi tuna rungu dan tempat bagi pengguna kursi roda.
2. Jumlah dan posisi pemilih penyandang disabilitas tidak terpetakan di Kota
Salatiga tidak terpetakan sehingga banyak pemilih penyandang disabilitas yang
tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap. Hal ini disebabkan oleh keengganan
petugas pendata untuk menanyakan jenis disabilitas kelompok yang didata dan
kecurangan petugas pendata untuk tidak mendaftarkan pemilih penyandang
disabilitas.
3. Alat bantu tuna netra yang tersedia tidak merata di setiap TPS di tiap kecamatan
di Kota Salatiga sehingga untuk melakukan proses pemilihan pemilih penyandang
disabilitas tuna netra mesti didampingi petugas atau anggota keluarganya.
4. Asas luber tidak terjamin karena dalam memberikan suaranya pemilih tuna netra
didampingi oleh petugas, bukan orang yang dipilihnya sendiri.
5. Waktu yang kurang efisien itu terlihat dalam Pemilu Legislatif Meskipun
menggunakan alat bantu tuna netra, seorang pemilih tuna netra membutuhkan
waktu kurang lebih 15 menit untuk memberikan suaranya.
3. Analisis Berkaitan Dengan Peran Komisi Pemilihan Umum Kota Salatiga Sebagai
Penyelenggara Pemilihan Umum Legislatif di Kota Salatiga
Indonesia adalah Negara Demokrasi yang berarti Pemerintahan Rakyat, dimana
dalam artian rakyat ikut mengambilbagian dalam Pemerintahan dengan ikut serta
memilih pemimpinya baik di lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Pemilihan Umum
adalah cara dimana rakyat ikut serta dalam mensukseskan Demokrasi di suatu negara.
Pemilu harus di lakukan secara terbuka, bebas, jujur dan adil, setiap warga negara
dalam hal ini kaum disabilitas tuna netra memiliki hak yang sama dengan pemilih normal
untuk memilih calon pemimpinnya secara bebas tanpa paksaan dan intervensi (campur
tangan) dari pihak-pihak tertentu.
Pemilihan Umum adalah cara dimana setiap warga negara dapat ikut dalam pesta
demokrasi. Pemerintah sebagai pemangku kebijakan mempersiapkan Komisi Pemilihan
Umum sebagai penyelenggara Pemilihan Umum di Indonesia. Adapun amanat Undang-
Undang yang ditujukan kepada Komisi Pemilihan Umum yakni Pasal 8 Undang-undang
Nomor 15 Tahun 2011 tentang Pemilihan Umum, dijelaskan bahwa untuk melaksanakan
Pemilihan Umum, KPU mempunyai tugas
kewenangan sebagai berikut :
a. merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum;
b. menerima, meneliti dan menetapkan Partai-partai Politik yang berhak sebagai
peserta Pemilihan Umum;
c. membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan
mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat sampai di
Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS;
d. menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II untuk setiap daerah
pemilihan;
e. menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum di semua daerah pemilihan untuk
DPR, DPRD I dan DPRD II;
f. mengumpulkan dan mensistemasikan bahan-bahan serta data hasil Pemilihan
Umum;
g. memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum.
Pasal 8 huruf (a) sudah menjadi kewajiban Komisi Pemilihan Umum untuk
merencanakan dan menyelenggarakan Pemilihan Umum dengan demikian berkaitan
Pemilhan Umum di Kota Salatiga Komisi Pemilihan Umum harus mampu menyediakan
fasilitas berkaitan untuk mengakomodir para pemilih didalam Pemilu.
Setiap warga negara dalam hal ini siapapun yang memenuhi syarat untuk Pemilu
dapat ikut turut serta dalam Pemilihan Umum. ini termakna dalam Norma atau aturan
yang menyatakan bahwa Pasal 19 Ayat (1) Undang-Undang No 8 Tahun 2012 yang
berbunyi :
Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah genap
berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin
mempunyai hak memilih.
Dalam artian setiap warga yang disabilitas juga harus dapat diakomodasi oleh
penyelenggara Pemilihan Umum yakni Komisi Pemilihan Umum, dengan menyediakan
fasilitas kepada para kaum disabilitas untuk turut serta dalam Pemilihan Umum.
Konsep Dae Sollen termakna Kewajiban Komisi Pemilihan Umum dalam
menyelenggarakan Pemilihan Umum dengan mengakomodasikan fasilitas bagi kaum
disabilitas yang merupakan amanat Undang-Undang No.15 Tahun 2011, sedangkan Das
Sein : Para Pemilih tidak dapat melaksanakan haknya dalam Peemilihan Umum di
karnakan tidak diakmodasiknya fasilitas-fasilitas penunjang bagi kaum disabilitas .
Berkaitan dengan hasil penelitian dari wawancara yang Penulis lakukan maka
dapat terlihat berkaitan dengan Pemilihan Umum Legislatif di Kota Salatiga bahwa
kewajiban dari Komisi Pemilihan Umum Kota Salatiga sebagai penyelenggara pemilihan
umum tidak dengan sepenuh hati atau terkesan tidak serius dalam menyelenggarakan
Pemilihan Umum, ini terlihat berkaitan dengan fasilitas bagi kaum disabilitas tuna netra,
ada kecamatan yang disediakan fasilitas atau media templete braille, tapi ada dibeberapa
kecamatan yang tidak menyediakan template baraile. Dengan demikian sangat
berdampak bagi Pemilih Kaum disabilitas tuna netra dimana mereka tidak dapat
melaksanakan hak politik mereka dikarena tidak akomodasikan oleh Komisi Pemilihan
Umum Kota Salatiga.