imformasi seputar perkara benar

10
Sebaiknya Anda tahu. 1. TENTANG HAK MENGAJUKAN GUGATAN Setiap orang yang merasa hak keperdataannya dilanggar orang lain atau memiliki kepentingan dapat menggugat orang yang merugikannya ke Pengadilan Negeri dengan menuntut ganti rugi. Pengajuan gugatan menurut Hukum Acara Perdata dapat berdasarkan atas adanya ; a. Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Semula perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) hanya diartikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang. Namun sejak tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lidenbaum- Cohen, Hoge Raad memperluas pengertian perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) meliputi pula perbuatan yang melanggar hak subyektif orang lain atau bertentangan kewajiban hukum pelaku ataupun bertentangan dengan tata susila atau bertentangan dengan kepatutan, ketelitian atau sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan antara sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain. Adapun terhadap orang yang karena kesalahannya menyebabkan timbulnya kerugian dapat dituntut adalah : - kerugian materiel dan/atau ; - kerugian immateriel ; b. Ingkar janji (wanprestasi), apabila seseorang tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhi kewajibannya atau memenuhi kewajibannya tetapi tidak seperti yang dijanjikan. Adapun kerugian yang dapat dituntut dari adanya wanprestasi ini adalah : - ganti rugi berupa biaya (segala pengeluaran atau biaya yang nyata-nyata dikeluarkan oleh salah satu pihak), kerugian (karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur sebagai akibat dari kelalaian debitur) dan bunga (kehilangan keuntungan yang diharapkan) ; - pembatalan perjanjian ; - peralihan resiko ; - membayar biaya perkara ; Selanjutnya tentang hal apa saja yang harus dimuat dalam surat gugatan dalam HIR maupun Rbg tidak diatur, namun demikian dalam B.Rv ditentukan haruslah memuat : - uraian peristiwa dan dasar hukum gugatan (posita atau fundemintum putendi); - dasar-dasar yang diminta oleh Penggugat (petitum) dan tuntutan tersebut haruslah jelas dan tertentu ; Selanjutnya berkaitan dengan doktrin Hukum Acara Perdata konvensional yang mengsyaratkan pengajuan gugatan atas dasar adanya kepentingan hukum, dalam praktek dan perundang-undangan sekarang telah disimpangi sedemikian rupa karena dalam kenyataannya pihak yang tidak memiliki kepentingan hukum juga dapat mengajukan gugatan misalnya gugatan atas kerusakan lingkungan oleh organisasi lingkungan hidup dan lain sebagainya. Selanjutnya tentang prosedur pengajuan gugatan di Pengadilan Negeri diuraikan dalam bagan tersendiri.

Upload: cahyono-wibowo

Post on 08-Sep-2015

217 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

pratinjau

TRANSCRIPT

  • Sebaiknya Anda tahu. 1. TENTANG HAK MENGAJUKAN GUGATAN Setiap orang yang merasa hak keperdataannya dilanggar orang lain atau memiliki

    kepentingan dapat menggugat orang yang merugikannya ke Pengadilan Negeri dengan menuntut ganti rugi.

    Pengajuan gugatan menurut Hukum Acara Perdata dapat berdasarkan atas adanya ;

    a. Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Semula perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) hanya diartikan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang. Namun sejak tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lidenbaum- Cohen, Hoge Raad memperluas pengertian perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) meliputi pula perbuatan yang melanggar hak subyektif orang lain atau bertentangan kewajiban hukum pelaku ataupun bertentangan dengan tata susila atau bertentangan dengan kepatutan, ketelitian atau sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan antara sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain. Adapun terhadap orang yang karena kesalahannya menyebabkan timbulnya kerugian dapat dituntut adalah :

    - kerugian materiel dan/atau ; - kerugian immateriel ;

    b. Ingkar janji (wanprestasi), apabila seseorang tidak memenuhi kewajibannya atau terlambat memenuhi kewajibannya atau memenuhi kewajibannya tetapi tidak seperti yang dijanjikan. Adapun kerugian yang dapat dituntut dari adanya wanprestasi ini adalah :

    - ganti rugi berupa biaya (segala pengeluaran atau biaya yang nyata-nyata dikeluarkan oleh salah satu pihak), kerugian (karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur sebagai akibat dari kelalaian debitur) dan bunga (kehilangan keuntungan yang diharapkan) ;

    - pembatalan perjanjian ; - peralihan resiko ; - membayar biaya perkara ;

    Selanjutnya tentang hal apa saja yang harus dimuat dalam surat gugatan dalam HIR maupun Rbg tidak diatur, namun demikian dalam B.Rv ditentukan haruslah memuat :

    - uraian peristiwa dan dasar hukum gugatan (posita atau fundemintum putendi); - dasar-dasar yang diminta oleh Penggugat (petitum) dan tuntutan tersebut

    haruslah jelas dan tertentu ; Selanjutnya berkaitan dengan doktrin Hukum Acara Perdata konvensional yang

    mengsyaratkan pengajuan gugatan atas dasar adanya kepentingan hukum, dalam praktek dan perundang-undangan sekarang telah disimpangi sedemikian rupa karena dalam kenyataannya pihak yang tidak memiliki kepentingan hukum juga dapat mengajukan gugatan misalnya gugatan atas kerusakan lingkungan oleh organisasi lingkungan hidup dan lain sebagainya.

    Selanjutnya tentang prosedur pengajuan gugatan di Pengadilan Negeri diuraikan dalam bagan tersendiri.

  • 2

    2. TENTANG PERMOHONAN. Pada dasarnya permohonan diajukan bukanlah karena adanya sengketa, tetapi karena ketentuan undang-undang yang memberikan wewenang tertentu kepada Hakim untuk mengeluarkan penetapan, yang merupakan merupakan yurisdiksi voluntair. Atas permohonan ini pengadilan berwenang mengeluarkan penetapan, misalnya :

    - penetapan pengangkatan wali bagi anak yang belum berusia 18 tahun ; - penetapan bahwa seseorang berada di bawah pengampuan dan pengangkatan

    pengampu ; - penetapan dispensasi nikah bagi pria yang belum berusia 19 tahun dan wanita

    yang belum berusia 16 tahun ; - penetapan izin kawin bagi calon mempelai yang belum berusia 21 tahun ; - penetapan pembatalan perkawinan ; - penetapan untuk memperbaiki kesalahan dalam Akta, Catatan Sipil ; - permohonan atas keterlambatan melaporkan/ mencatat perkawinan/ kelahiran. - permohonan untuk diterbitkan grosse akte pengganti untuk grosse akte kapal

    yang telah hilang (Pasal 23 ayat (5) Peraturan Pemerintah No.51 Tahun 2002 tentang Perkapalan ;

    - permohonan agar seseorang dinyatakan tidak hadir (Pasal 463 BW) atau dinyatakan meninggal dunia (Pasal 457 BW) dan sebagainya.

    Selain itu ada pula permohonan yang mengandung sengketa (yurisdiksi kontentiosa). Dalam permohonan ini selain pemohon juga ada termohon. Di sini pengadilan diharuskan pula memanggil dan/ atau didengarnya termohon. Permohonan yang mengadung sengketa (yurisdiksi kontentiosa), yaitu antara lain :

    - permohonan dari pemegang saham suatu perseroan untuk penyelenggaraan RUPS karena Direksi atau Dewan Komisaris tidak melakukan pemanggilan RUPS sesuai jangka waktu yang ditentukan undang-undang paling lama 15 hari (Pasal 80 Undang-undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas) ;

    - permohonan mengenai penetapan Kourum untuk RUPS ketiga karena kourum RUPS kedua tidak tercapai (Pasal 86 ayat 5 Undang-undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas) ;

    - permohonan untuk mendapatkan data atau keterangan tentang perseroan oleh Pemegang Saham, pihak lain atau Kejaksaan untuk kepentingan umum (Pasal 138 Undang-undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas) ;

    - permohonan pembubaran perseroan oleh Kejaksaan, pihak yang berkepentingan atau oleh pihak pemegang saham, Direksi atau Dewan Komisaris (Pasal 146 Undang-undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas).

    Produk dari permohonan yang mengandung sengketa (yurisdiksi kontentiosa) ini dalam praktek di pengadilan sebagaimana juga pengangkatan anak antar Negara (inter country adoption) adalah putusan.

    3. TENTANG HAK UNTUK MELAPORKAN / MENGAJUKAN PENGADUAN

    ATAS TINDAK PIDANA. Setiap orang yang mengetahui atau korban adanya suatu tindak pidana berhak

    melaporkan atau mengadukan pelaku kepada pihak berwajib. Kiranya perlu diketahui bahwa hukum pidana adalah termasuk dalam hukum publik, karena itu sebagian besar dari ketentuannya adalah delict umum, artinya pihak berwajib (penyidik) dapat melakukan pengusutan atau penuntutan dengan tidak perlu menunggu adanya pengaduan, melainkan cukup apabila adanya laporan atau pihak berwajib mengetahui sendiri adanya tindak pidana. Karena dalam delict umum ini meskipun tidak ada pengaduan Negara yang menuntut kepada pelaku.

  • 3

    Namun demikian Pembentuk Undang-undang membuat beberapa pengecualian untuk tindak pidana tertentu hanya dapat dilakukan pengusutan atau penuntutan apabila telah ada pengaduan. Hal tersebut diadakan atas dasar pertimbangan karena dalam beberapa hal bagi orang yang bersangkutan lebih menguntungkan untuk tidak menuntut perkara itu daripada keuntungan bagi pemerintah (masyarakat) jika dilakukan penuntutan.

    Menurut Pasal 72 KUHP disebutkan bahwa pihak yang dapat mengajukan pengaduan adalah korban itu sendiri, namun apabila korbannya anak-anak maka yang dapat mengajukan adalah orang tuanya atau walinya atau apabila ia berada di bawah pengampuan yang bukan sebab keborosan, maka yang berhak mengadukan adalah pengampunya. Selanjutnya menurut Pasal 72 ayat (2) KUHP jika wakilnya tidak ada atau ia sendiri yang harus diadukan, maka penuntutan boleh dilakukan atas pengaduan wali pengawas, atau corator atau majelis yang menjalankan kewajiban wali pengawas atau yang menjalankan kewajiban curator, keluarga dalam garis lurus atau bila ini tidak ada keluarga dalam garis turunan menyamping hingga derajat ketiga.

    Menurut ilmu hukum pidana delic aduan dibedakan atas dua jenis, yaitu : a. delic aduan absolute. Dalam delic aduan ini yang dituntut adalah peristiwanya.

    Misalnya tindak pidana dalam Pasal 284, 287,293, 310, 322, 332 dan 369 KUHP ; b. delic aduan relatif, delic ini menurut R.Soesilo biasanya bukan merupakan delic

    aduan, tetapi karena dilakukan oleh sanak keluarga, maka menjadi delic aduan. Misalnya tindak pidana dalam Pasal 367, 370, 376,394, 404 dan 411 KUHP.

    Hak untuk mengajukan pengaduan menurut Pasal 74 KUHP, adalah dalam jangka

    waktu (tempo) 6 (enam) bulan bagi mereka yang tinggal di Indonesia atau 9 (sembilan) bulan bagi mereka yang tinggal di luar Indonesia sesudah yang mengadu mengetahui adanya tindak pidana. Pengaduan menurut Pasal 75 KUHP dapat dicabut dalam tenggang 3 (enam) bulan terhitung sejak dimasukkannya pengaduan itu. Bagi tindak pidana perzinahan menurut Pasal 284 ayat (4) KUHP, pengaduan dapat dicabut kembali sebelum sidang pemeriksaan perkara tersebut dimulai di pengadilan.

    Khusus untuk perkara pidana yang korbannya anak-anak yaitu mereka yang belum

    berusia 18 tahun, sebagaimana dalam Undang-undang No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak, tindak pidana tersebut adalah delict umum, sehingga untuk pengusutan atau penuntutannya tidak perlu adanya pengaduan.

    4. MENGAJUKAN PERKARA PERDATA ATAU PERMOHONAN DIBEBASKAN

    DARI BIAYA PERKARA DENGAN MEMPEROLEH BANTUAN HUKUM SECARA GRATIS. Bagi masyarakat yang tidak mampu untuk mengajukan perkara perdata ke Pengadilan Negeri dapat mengajukan permohonan agar perkaranya diperiksa secara prodeo (tanpa bea) dengan dibiayai Dana Bantuan Hukum. Pemohon tersebut haruslah melampirkan :

    a. Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari Lurah/ Kepala Desa setempat atau; b. Surat Keterangan Tunjangan Sosial lainnya seperti Kartu Keluarga Miskin

    (KKM), Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Kartu Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau ;

    c. Surat Pernyataan tidak mampu yang ditandatangani pemohon bantuan hukum dan diketahui Ketua Pengadilan Negeri.

    Setelah berkas permohonan diterima, Petugas Meja I meneliti kelengkapannya, kemudian mencatat permohonan tersebut dalam register permohonan prodio, selanjutnya berkas permohonan tersebut diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri melalui Panitera/ Sekretaris. Kemudian Ketua menunjuk Majelis/Hakim untuk memeriksa permohonan tersebut. Majelis/Hakim yang ditunjuk memerintahkan Juru

  • 4

    Sita untuk memanggil para pihak yang ada dalam gugatan tanpa biaya dan kepada pihak lawan diberi kesempatan dalam persidangan untuk menanggapi permohonan prodeo secara tertulis dan selanjutnya Hakim/Majelis Hakim memberikan penetapan tentang diterima atau ditolaknya permohonan tersebut. Apabila permohonan tersebut ditolak, maka kepada Penggugat/ Pemohon diperintahkan untuk membayar Panjar biaya perkara dalam jangka waktu 14 hari sejak dikeluarkannya penetapan dan apabila tidak dipenuhi, maka gugatan Penggugat tidak didaftar. Sebaliknya apabila permohonan perkara untuk diperiksa secara prodeo diterima maka perkaranya segera didaftar oleh Petugas dan setelah melalui proses Penggugat dan Tergugat/ Turut Tergugat dipanggil ke persidangan. Untuk perkara perdata permohonan yang tidak terdapat pihak Termohon atau pihak lawan, Hakim dapat langsung memeriksa permohonan beracara secara prodeo tersebut dengan memeriksa syarat-syarat kelengkapannya, apabila memenuhi Hakim mengabulkan permohonan secara prodeo. Penetapan yang mengabulkan permohonan beracara secara prodeo tersebut diserahkan ke Petugas Meja I oleh Pemohon dengan dilengkapi persyaratan untuk mengajukan gugatan atau permohonan dilanjutkan dengan penaksiran panjar biaya perkara yang dituangkan dalam SKUM. Sedangkan salinan penetapan dan SKUM panjar biaya perkara diserahkan kepada Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau Pejabat Pembuat Komitmen untuk diterbitkan Surat Keputusan yang menyatakan bahwa biaya perkara dibebankan kepada DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran). Selanjutnya Bendahara Pengeluaran menyerahkan bantuan panjar biaya perkara kepada Kasir yang jumlahnya sesuai SKUM besarannya tidak boleh melebihi dengan besarnya satuan perkara untuk dana bantuan hukum yang telah ditentukan dalam POK (Petunjuk Operasional Kegiatan DIPA tahun berjalan) dengan kwitansi. Setelah menerima uang dari Bendahara Pengeluaran, Kasir lalu mencatat dalam buku Jurnal dan memberikan nomor perkara, kemudian dicatat dan didaftar dalam Register Induk perkara gugatan atau perkara permohonan. Apabila panjar biaya perkara tersebut tidak mencukupi, Ketua Majelis Hakim/Hakim memerintahkan kepada pemohon bantuan hukum yang bersangkutan dalam bentuk penetapan agar memohon tambahan panjar biaya kepada Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan bilamana ternyata Dana Bantuan Hukum dalam DIPA telah habis, Majelis Hakim membuat penetapan yang memerintahkan Panitera agar proses perkara tersebut dilaksanakan secara prodeo murni. Di Pengadilan Negeri Bitung terdapat Pos Bantuan Hukum, Pos Bantuan Hukum tersebut memberikan layanan antara lain berupa konsultasi dan bantuan hukum dalam perkara pidana maupun perdata. Dalam praktek Majelis Hakim yang menyidangkan perkara pidana menunjuk Penasihat Hukum dari Pos Bantuan Hukum untuk Terdakwa yang tidak mampu yang diancam pidana sebagaimana Pasal 156 KUHAP. Penasihat Hukum Terdakwa yang ditunjuk tidak memungut biaya, karena biaya untuknya akan dibayar oleh Negara.

    5. HAK UNTUK MENGAJUKAN UPAYA HUKUM. BANDING Perkara Pidana.

  • 5

    Ketentuan tentang banding dalam perkara pidana diatur dalam Pasal 233 KUHAP sampai dengan Pasal 243 KUHAP. Jangka waktu untuk mengajukan permintaan banding adalah dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan dijatuhkan atau setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir (vide Pasal 196 ayat (2) KUHAP). Permintaan banding diajukan oleh Terdakwa/ Penasihat Hukumnya atau Penuntut Umum ke Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri yang memutus perkara (vide Pasal 233 ayat (1) KUHAP.

    Terhadap putusan perkara pidana yang dijatuhkan Pengadilan Negeri baik Terdakwa/

    Penasihat Hukumnya dan /atau Penuntut Umum dapat mengajukan upaya hukum banding, kecuali terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 67 KUHAP). Sedangkan untuk tindak pidana dengan acara pemeriksaan cepat (untuk tindak pidana ringan dan tindak pidana lalu lintas) pengadilan mengadili dengan hakim tunggal pada tingkat pertama dan terakhir, namun apabila kepada Terdakwa dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan, terdakwa dapat mengajukan banding (vide Pasal 205 ayat 3 KUHAP).

    Perkara Perdata

    Ketentuan tentang banding dalam perkara perdata diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peradilan Ulangan. Terhadap putusan perkara perdata yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama, salah satu atau para pihak yang berperkara dapat meminta pemeriksaan banding ke Pengadilan Tinggi, kecuali putusan yang dijatuhkan tanpa hadirnya tergugat. Tergugat yang tidak hadir tidak dapat mengajukan banding melainkan perlawanan (verzet) dan bila tergugat sudah mengajukan perlawanan, maka Penggugat tidak dapat lagi mengajukan permintaan banding. Khusus untuk putusan yang bukan putusan akhir seperti halnya putusan sela yang menolak eksepsi tergugat dapat dimintakan banding hanya bersama-sama dengan putusan akhir. Jangka waktu untuk mengajukan permintaan banding adalah 14 (empat belas) hari terhitung setelah putusan diucapkan atau diberitahukan bagi pihak yang tidak hadir. Permintaan banding diajukan oleh pihak berperkara atau Kuasanya ke Pengadilan Tinggi melalui Pengadilan Negeri yang memutus perkara. KASASI Ketentuan tentang Kasasi diatur dalam Pasal 28, 29 dan Pasal 30 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009. Mahkamah Agung memutus permohonan kasasi terhadap putusan Pengadilan Tingkat Banding atau Tingkat Terakhir dari Semua Lingkungan Peradilan (Pasal 29 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985). Namun dalam Pasal 45 A ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 dikecualikan untuk perkara tertentu tidak dapat diajukan kasasi, yaitu :

    a. putusan tentang praperadilan ;

  • 6

    b. perkara pidana yang diancam pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau diancam pidana denda ;

    c. perkara tata usaha Negara yang objek gugatannya berupa keputusan pejabat daerah yang jangkauan keputusannya berlaku di wilayah daerah yang bersangkutan ;

    Mahkamah Agung dalam Tingkat Kasasi membatalkan Putusan atau penetapan Pengadilan-pengadilan dari Semua Lingkungan Peradilan, karena :

    a. tidak berwenang atau melampai batas wewenang ; b. salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku ; c. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-

    undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan ;

    Menurut Pasal 46 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung bahwa permohonan kasasi dapat diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari. Adapun yang dapat mengajukan kasasi adalah pihak dalam perkara tersebut atau Kuasanya. Sedangkan dalam perkara pidana yang dapat mengajukan permohonan kasasi adalah Terdakwa/ Penasihat Hukumnya atau Penuntut Umum ;

    Selain kasasi biasa, dalam Hukum Acara Pidana dikenal pula Kasasi Demi Kepentingan Hukum. Kasasi ini hanya dapat diajukan 1 (satu) kali saja yaitu terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pihak yang dapat mengajukan adalah Jaksa Agung.

    Kasasi demi kepentingan hukum diajukan secara tertulis oleh Jaksa Agung kepada

    Mahkamah Agung R.I. melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri yang memutus perkara pada tingkat pertama.

    Kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan. Salinan putusan demi kepentingan hukum oleh Makamah Agung disampaikan kepada

    Jaksa Agung dan kepada Pengadilan yang bersangkutan dengan disertai berkas perkara. PENINJAUAN KEMBALI TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN YANG

    TELAH MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP. Menurut Pasal 66 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah

    dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 dan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009. bahwa Peninjauan Kembali (PK) dapat diajukan hanya 1 (satu) kali dan permohonan PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan Pengadilan.

    Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana. Diatur secara Khusus dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

    dari Pasal 263 sampai dengan Pasal 269. Permintaan Peninjauan Kembali (PK) dapat diajukan terhadap putusan pengadilan yang

    telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan PK ke Mahkamah Agung (Pasal 263 ayat 3 KUHAP).

    Ahli waris hanya dapat mengajukan permintaan PK dalam hal Terpidana telah meninggal dunia.

  • 7

    Selama persidangan pemeriksaan alasan PK oleh Majelis Hakim yang ditunjuk walaupun telah ada Kuasanya/ Penasihat Hukumnya, apabila permintaan itu diajukan oleh terpidana, maka ia diharuskan hadir dipersidangan (Pasal 265 ayat 2 KUHAP dan Rakernas Jakarta tahun 2011). Sedangkan apabila terpidana telah meninggal dunia dan yang mengajukan permintaan PK adalah ahli warisnya, maka Ahli warisnya harus hadir dipersidangan. Hal ini dapat dipahami dari ketentuan Pasal 265 ayat 2 KUHAP bahwa Pemohon PK dan Jaksa ikut hadir dipersidangan, padahal menurut Pasal 263 ayat (1) KUHAP Pemohon PK dapat diajukan oleh Terpidana atau Ahli warisnya.

    Dalam praktek dan yurisprudensi terhadap putusan bebas dapat diajukan PK dan terhadap Termohon PK dijatuhi pidana.

    Khusus untuk permintaan Peninjauan Kembali dalam perkara pidana tidak dibatasi

    dengan jangka waktu (Pasal 264 ayat 3 KUHAP). Permintaan Peninjauan Kembali (PK) dilakukan atas dasar :

    1. apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan Penuntut Umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan ;

    2. apabila dalam pelbagai putusan, terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilapan hakim suatu kekeliruan nyata.

    Ketua Pengadilan setelah menerima permintaan PK menunjuk Majelis Hakim/ hakim

    yang tidak memeriksa perkara semula. Selanjutnya Majelis Hakim yang ditunjuk memeriksa permohonan PK dan setelah

    memberikan kesempatan kepada Jaksa untuk menyampaikan pendapatnya, Majelis memberikan kesempatan kepada Pemohon PK dan Jaksa untuk mengajukan bukti dan selanjutnya Majelis Hakim memberikan pendapat yang dituangkan dalam Berita Acara Pendapat.

    Berita Acara Persidangan ditanda tangani oleh Majelis Hakim, Jaksa, Pemohon PK dan

    Panitera, sedangkan Berita Acara Pendapat hanya ditandatangani oleh Majelis Hakim dan Panitera.

    Setelah kelengkapan berkas terpenuhi maka berkas perkara dikirim ke Mahkamah

    Agung R.I. Putusan Mahkamah Agung dapat menerima atau menolak/tidak menerima Permohonan

    PK. Apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan permohonan PK (menerima), Mahkamah Agung membatalkan putusan yang diminta PK dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa :

    1. putusan bebas ; 2. putusan lepas dari segala tuntutan hukum ; 3. putusan tidak dapat menerima tuntutan ; 4. putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.

    Peninjauan Kembali dalam Perkara Perdata.

  • 8

    PK dalam Perkara Perdata dapat diajukan pihak yang berperkara berdasarkan atas alasan :

    a. apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu ;

    b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan ;

    c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut ;

    d. apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya ;

    e. apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah memberi putusan yang bertentangan satu dengan yang lain ;

    f. apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kehilapan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata ;

    Permohonan PK tersebut harus diajukan ke Mahkamah Agung melalui Pengadilan

    Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama oleh para pihak yang berperkara, ahli warisnya atau wakilnya yang secara secara khusus memperoleh kuasa untuk itu.

    Tenggang waktu pengajuan permohonan PK adalah 180 (seratus delapan puluh) hari

    untuk : a. yang disebut pada huruf a sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau

    sejak putusan hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahu kepada pihak yang berperkara ;

    b. yang disebut huruf b sejak ditemukan surat-surat bukti yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh Pejabat yang berwenang ;

    c. yang disebut c, d dan f sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara ;

    d. yang disebut huruf e sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahu kepada pihak yang berperkara.

    Terhadap permohonan PK tersebut pihak lawannya berhak mengajukan jawaban dan setelah berkas berkas telah lengkap berkas dikirim ke Mahkamah Agung. Selanjutnya Mahkamah Agung dalam memutus permohonan PK dapat mengabulkan permohuan PK dengan membatalkan putusan yang dimohon PK dengan memeriksa dan memutuskan sendiri perkaranya. Demikian pula Mahkamah Agung dapat menolak permohonan PK. Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet). Perlawanan oleh Pihak ketiga terhadap sita eksekusi atau sita jaminan tidak hanya dapat diajukan atas dasar hak milik, tetapi juga atas dasar hak lainnya. Dalam praktek selain perlawanan terhadap sita eksekusi atau sita jaminan dikenal pula perlawanan terhadap eksekusi oleh pihak ketiga. Perlawanan ini juga tidak hanya dapat dilakukan atas dasar hak milik, tetapi juga dapat dilakukan atas dasar hak-hak lainnya, seperti hak pakai, HGB, HGU, hak tanggungan, hak sewa dan lain-lain.

  • 9

    Menurut Prof. Dr Supomo,SH. sebagaimana dikutif oleh Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo,SH., dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia bahwa perlawanan terhadap eksekusi riel, tidak diatur dalam H.I.R, sekalipun demikian dapat diajukan. Perlawanan pihak ketiga ini adalah upaya hukum luar biasa dan pada azasnya tidak menangguhkan eksekusi. namun apabila perlawanan tersebut diyakini benar dan beralasan, maka eksekusi ditangguhkan setidaknya sampai dijatuhkan putusan oleh Pengadilan Negeri. Dalam praktek Ketua Pengadilan Negeri sering menangguhkan pelaksanaan eksekusi karena adanya perlawanan, dengan pertimbangan apabila eksekusi tersebut dijalankan, apalagi jika ekskusi tersebut adalah eksekusi riel yang bersifat pembongkaran atas bangunan atau penjualan (lelang), maka apabila ternyata perlawanannya tersebut dikabulkan, maka dapat merugikan pelawan, bahkan sulit mengembali objek pada keadaan semula. Selanjutnya perlu untuk diketahui bahwa perlawanan terhadap eksekusi ini diajukan setelah adanya penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri yang berisi perintah dilaksanakannya eksekusi dan apabila eksekusinya telah selesai dilaksanakan, maka pihak ke tiga dapat diajukan gugatan biasa. Terhadap putusan ini dapat diajukan upaya hukum. Dihimpun oleh Ahmad Shalihin, SH.MH., Ketua Pengadilan Negeri Bitung.

    DAFTAR PUSTAKA

    Harahap, Yahya M., SH., Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, Cet. I. Lima Undang-undang Di Bidang Peradilan Tahun 2009, Mahkamah Agung,

    Kekuasaan Kehakiman, Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara, CV Eka Jaya, Jakarta, 2009.

    Nugroho, Adi Susanti, SH.MH.,Praktek Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action) di Indonesia, Mahkamah Agung R,I., Jakarta, 2002.

    Panduan Bantuan Hukum Indonesia, Aus Aid, YLBHI, PSHK dan IALDF, Cetakan II, 2007 ;

    Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan, Buku II, Mahkamah Agung R.I., Jakarta, Edisi 2007.

    Setiawan,SH, Aneka Masalah Hukum dan Hukum Acara Perdata, Alumni, Bandung, 1992 ;

    Subekti, Prof. SH., Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, 1985, Cet.X. Subekti, R..,Prof.,SH, dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, PT.Pradnya Paramita, Jakarta, 1992.

    Subekti, R., Prof.,SH.Hukum Acara Perdata, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman, Binacipta, Jakarta, 1982, Cet.II.

    Sudikno Mertukusumo, Prof.,Dr.,SH.,Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1988, Edisi ketiga.

    Soepomo, Prof.Dr.SH., Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 1993, Cet.XII.

    Soesilo, R., Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sertaKomentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia, Bogor, Cetak Ulang 1995.

  • 10

    Undang-undang Hukum Acara Pidana, Departemen Kehakiman Republik Indonesia, Proyek Penyuluhan Hukum 1996/1997.