ilmu perundang

32
Tugas 2 Resume buku Ny. Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H.,M.H. JILID II BAB II PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG A. Pendahuluan Proses atau tata cara pembentukan perundang-undangan merupakan suatu tahapan kegiatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan untuk membentuk undang-undang. Yang berhak mengajukan Rancangan undang-undang adalah : 1. Pengajuan dari Presiden berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang- Undang Dasar 1945 (Perubahan). 2. Pengajuan dari Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan Pasal 21 Undang-Undang Dasar 1945 (Perubahan). 3. Pengajuan dari Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berdasarkan Pasal 22D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (Perubahan). Secara garis besar proses pembentukan undang-undangan terdiri atas beberapa tahap, yakni : 1. Proses persiapan pembentukan undang-undang, yang merupakan proses penyusunan dan perancangan di lingkungan pemerintahan, di lingkungan dewan perwakilan rakyat, atau di lingkungan dewan perwakilan daerah. 2. Proses pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat 3. Proses pengesahan oleh Presiden, dan

Upload: alfiankusumawan

Post on 04-Dec-2015

30 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

ringkasan ilmu undang-undang

TRANSCRIPT

Tugas 2Resume buku Ny. Maria Farida Indrati Soeprapto, S.H.,M.H. JILID II

BAB II

PROSES PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG

A.     Pendahuluan

Proses atau tata cara pembentukan perundang-undangan merupakan suatu tahapan kegiatan yang

dilaksanakan secara berkesinambungan untuk membentuk undang-undang.

Yang berhak mengajukan Rancangan undang-undang adalah :

1.      Pengajuan dari Presiden berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (Perubahan).

2.      Pengajuan dari Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan Pasal 21 Undang-Undang

Dasar 1945 (Perubahan).

3.      Pengajuan dari Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berdasarkan Pasal 22D ayat (1)

Undang-Undang Dasar 1945 (Perubahan).

Secara garis besar proses pembentukan undang-undangan terdiri atas beberapa tahap, yakni :

1.      Proses persiapan pembentukan undang-undang, yang merupakan proses penyusunan dan

perancangan di lingkungan pemerintahan, di lingkungan dewan perwakilan rakyat, atau di

lingkungan dewan perwakilan daerah.

2.      Proses pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat

3.      Proses pengesahan oleh Presiden, dan

4.      Proses pengundangan ( Oleh Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan

perundang-undangan).

B.     Proses pembentukan Undang-Undang Berdasarkan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan  ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang pada dasarnya  

adalah :

a.       Perencanaan,

b.      Persiapan,

c.       Teknik penyusunan,

d.      Perumusan,

e.       Pembahasan,

f.        Pengesahan,

g.       Pengundangan, dan

h.       Penyebarluasan.

Tahap-tahap Pembentukan peraturan perundang-undangan pada umumnya dilakukan sebagai

berikut :

1.      Perencanaan Penyusunan Undang-Undang

Proses pembentukan undang-undang menurut pasal 15 ayat (1) dan 16 Undang-Undang No. 10

Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dilaksanakan sesuai dengan

Program Legislasi Nasional, yang merupakan perencanaan  penyusunan Undang-Undang yang

disusun secara terpadu antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah Republik Indonesia.

Tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegnas tersebut dalam pelaksanaannya diatur lebih

lanjut dengan Peraturan Presiden No. 61 Th. 2005 tentang Tata cara Penyusunan dan

pengelolaan Program Legislasi Nasional, yang ditetapkan pada tanggal 13 Oktober 2005.

2.      Persiapan Pembentukan Undang-Undang

Rancangan undang-undang dapat berasal dari (Anggota) DPR, Presiden, maupun dari DPD yang

disusun berdasarkan Prolegnas. Rancangan undang-undang yang berasal dari DPD adalah

rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan antara pusat dan

daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam

dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat

dan daerah. (Pasal 22D ayat (2) UUD 1945, dan Pasal 17 ayat (2) UU No. 10 Th. 2004).

3.      Pengajuan Rancangan Undang-Undang

Pengajuan rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan

Dewan Perwakilan Daerah diatur dalam Pasal 18 dan Pasal 19 Undang-Undang No. 10 Th. 2004

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Setelah rancangan undang-undang yang

diajukan oleh Presiden, selesai disiapkan, maka sesuai dengan Pasal 20 Undang-Undang No. 10

Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, rancangan undang-undang

tersebut diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat dengan surat Presiden (dahulu Amanat Presiden).

C.     Proses Penyiapan Rancangan Undang-Undang dari Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden

No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan

Peraturan Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan

Peraturan Presiden.

Proses penyiapan rancangan undang-undang yang berasal dari Pemerintah saat ini dilakukan

menurut Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan

Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan

Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden, yang ditetapkan tanggal pada tanggal

24 November 2005. Tata cara mempersiapkan undang-undang yang berasal dari Pemerintah

dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:

a.       Penyusunan Rancangan Undang-Undang ada dua jenis yakni;

a.       Penyusunan undang-undang berdasarkan Prolegnas (Pasal 2 Peraturan Presiden No. 68 Th.

2005)

Konsepsi pengaturan rancangan undang-undang yang diajukan meliputi:

a)      Urgensi dan tujuan pengaturan,

b)      Sasaran yang ingin diwujudkan,

c)      Pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan

d)      Jangkauan serta arah pengaturan.

b.      Penyusunan rancangan undang-undang diluar Prolegnas (Pasal 3 ayat (1) Peraturan Presiden No.

68 Th. 2005)

Keadan tertentu untuk mengajukan rancangan undang-undang yang dimaksud dalam Pasal 3 ayat

(1) tersebut adalah;

a)      Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang

b)      Meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional

c)      Melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi

d)      Mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam; atau

e)      Keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu Rancangan

Undang-Undang yang dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi DPR dan Menteri.

b.      Penyampaian Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 25

Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005)

Sesuai dengan Ketentuan Pasal 26 Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005, Menteri Sekretaris

Negara akan menyiapkan Surat Presiden kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat untuk

menyampaikan rancangan undang-undang disertai dengan Keterangan Pemerintah mengenai

rancangan undang-undang tersebut antara lain memuat tentang:

1)      Menteri yang ditugasi untuk mewakili Presiden dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang

di Dewan Perwakilan Rakyat;

2)      Sifat penyelesaian rancangan undang-undang yang dikehendaki;

3)      Cara penanganan dan pembahasannya.

D.     Proses Penyiapan Rancangan Undang-Undang dari Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan

Keputusan Dewan  Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 08/DPR RI/I/2005-2006 tentang

Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Proses penyiapan rancangan undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat dan

Dewan Perwakilan Daerah dilaksanakan berdasarkan Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan

Rakyat, yang saat inidiatur dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No.

08/DPR RI/I/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 130-133, pengajuan rancangan undang-undang dari

Dewan Perwakilan Rakyat.

E.      Proses Penyiapan Rancangan Undang-Undang dari Dewan Perwakilan Daerah

Berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia No. 2/DPD/2004 tentang

Peraturan Tata Tertib Dewan  Perwakilan Daerah Republik Indonesia sebagaimana telah diubah

terakhir dengan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 29/DPD/2005

tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, khususnya diatur

dalam Pasal 123 s/d 139 Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah. Sesuai dengan

ketentuan dalam Peraturan Tata Tertib DPD, proses penyusunan dan pembahasan Rancangan

Undang-undang yang berasal dari DPD dilakukan sebagai berikut;

1)      Tingkat pembicaraan (Pasal 123 Peraturan Tata Tertib DPD)

2)      Prakarsa Penyusunan Usul Rancangan Undang-undang (Pasal 126 s/d 131 Peraturan Tata Tertib

Dewan Perwakilan Daerah.

3)      Pengajuan dan Pembahasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Dewan Perwakilan

Daerah (Pasal 132 s/d 135 Peraturan Tata Tertib DPD)

4)      Pembahasan Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat atau

Presiden Dewan Perwakilan Daerah. (Pasal 136 Peraturan Tata Tertib DPD)

F.       Pengajuan Rancangan Undang-Undang dari Dewan Perwakilan Daerah kepada Dewan

Perwakilan Rakyat

Dalam Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 08/DPR RI/I?2005-2006

tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia diatur tentang Rancangan

undang-undang yang berasal dari Dewan Perwakilan Daerah dalam Pasal 134.

G.     Proses Pembahasan Rancangan Undang-Undang di Dewan Perwakilan Rakyat

Berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 08/DPR RI/I?2005-

2006 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Pasal 136, 137 dan 138.

Berdasarkan Pasal 136 Peraturan Tata Tertib DPR, Pembahasan rancangan undang-undang

dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan, yaitu;

1)      Pembicaraan Tingkat I, yang dilakukan dalam Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi, Rapat

Badan Legislasi, Rapat Panitia Anggaran, atau Rapat PAnitia Khusus (Pasal 137 Peraturan Tata

Tertib DPR).

2)      Pembicaraan Tingkat II, yang dilakukan dalam Rapat Paripurna(Pasal 138 Peraturan Tata Tertib

DPR).

     Selain itu, sebelum dilakukan pembicaraan Tingkat I dan Tingkat II, diadakan Rapat Fraksi.

H.     Pengesahan Rancangan Undang-Undang, Pengundangan, dan Penyebarluasan

a)      Menurut Undang-Undang No. 10 Th. 2004

Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan

Presiden terebut dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 hari terhitung sejak tanggal

persetujuan bersama (Pasal 37 Undang-undang no. 10 Th. 2004).

Setelah menerima rancangan undang-undang yang telah disetujui Dewan Perwakilan Rakyat dan

Presiden tersebut, Sekretariat Negara akan menuangkannya dalam kertas kepresidenan dan

akhirnya dikirim kepada Presiden untuk disahkan menjadi undang-undang.

Pengesahan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut dilakukan dengan

membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak rancangan undang-

undang tersebut di setujui bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.

Setelah Presiden mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama Dewan

Perwakilan Rakyat tersebut, maka Undang-Undang tersebut kemudian diundangkan oleh

Menteri (yang tugas dan tanggung jawabnya dibidang peraturan perundang-undangan), agar

Undang-Undang itu dapat berlaku dan mengikat umum.

Dalam hal rancangan undang-undang tersebut tidak ditanda tangani oleh Presiden dalam waktu

paling lambat 30 hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama Dewan

Perwakilan Rakyat dan Presiden, maka rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undnag-

undang dan wajib diundangkan, sesuai ketentuan Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang No. 10 Th.

2004, dan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 Perubahan.

Setelah undang-undang tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia,

Pemerintah wajib menyebarluaskan Undang-Undang yang telah diundangkan tersebut. (Pasal 51

Undang-undang No. 10 Th. 2004)

b)      Menurut Peraturan Presiden No. 1 Th. 2007

Hal tantang Pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan peraturan perundang-undangan

selain diatur dalam Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, juga diatur dalam Peraturan Presiden No. 1 Th. 2007 tentang Pengesahan,

pengundangan dan penyebarluasan peraturan perundang-undangan.

I.        Pembentukan Undang-Undang secara Ringkas

Secara ringkas pembentukan Undang-Undang dilakukan sebagai berikut;

1)      Tahap Perencanaan- dilakukan berdasarkan :

a.       Peraturan Presiden No. 61 Th. 2005 tentang tentang Tata cara Penyusunan dan pengelolaan

Program Legislasi Nasional;

b.      Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 1/DPR-RI/III/2004-2005 tentang

Persetujuan Penetapan Program Legislasi Nasional Tahun 2005 sampai dengan 2009; dan

c.       Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 02F/DPR-RI/II/2005-2006

tentang Program Legislasi Nasional Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2006.

2)      Tahap Penyiapan Rancangan Undang-Undang- dilakukan sebagai berikut :

a.       Rancangan Undang-Undang dari Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005

tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan

Peraturan Presiden

b.      Rancangan Undang-Undang dari Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan Keputusan Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 08/DPR RI/I/2005-2006 tentang Peraturan Tata

Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

c.       Rancangan Undang-Undanga dari Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berdasarkan

Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia No. 02/DPD/2004 sebagaimana

diubah terakhir dengan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia No.

29/DPD/2005 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia.

3)      Tahap Pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat – Berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan

Rakyat Republik Indonesia No. 8 /DPR RI/I/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

4)      Tahap Pengesahan – Menurut Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, juga diatur dalam Peraturan Presiden No. 1 Th. 2007 tentang Pengesahan,

pengundangan dan penyebarluasan peraturan perundang-undangan.

5)      Tahap Pengundangan – Menurut Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, juga diatur dalam Peraturan PresidenNo. 1 Th. 2007 tentang

Pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan peraturan perundang-undangan.

BAB III

PROGRAM LEGISLASI NASIONAL

I. Prolegnas berdasarkan Undang-Undang No. 10 Th. 2004

Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

menetapkan dalam Bab IV tentang Perencanaan Penyusunan Undang-Undang, yang terdiri dari

dua Pasal, yaitu Pasal 15 dan Pasal 26.

Dalam Pasal 15 ditetapkan bahwa, Perencanaan Penyusunan Undang-Undang dilakukan dalam

suatu Program Legislasi Nasional, sedangkan Penyusunan Peraturan Daerah dilakukan dalam

suatu Program Legislasi Daerah.

Selanjutnya dirumuskan dalam Pasal 16 bahwa,

1)      Penyusunan Program Legislasi Nasional antara Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah

dikoordinasikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat melalui alat kelengkapan DPR yang khusus

menangani bidang legislasi

2)      Penyusunan Prolegnas di lingkungan DPR dikoordinasikan oleh alat kelengkapan DPR yang

khusus menangani bidang legislasi

3)      Penyusunan Prolegnas di lingkungan Pemerintah dikoordinasikan oleh Menteri yang tugas dan

tanggung jawabnya meliputi bidang Peraturan Perundang-undangan.

4)      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegnas sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Presiden.

II. Penetapan Prolegnas berdasarkan Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia No. 01/DPR-RI/III/2004-2005

a. Latar belakang

Program pembangunan hukum perlu menjadi prioritas utama karena perubahan terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki implikasi yang luas

dan mendasar dalam system ketatanegaraan kita yang perlu diikuti dengan perubahan-perubahan

dibidang hukum. Disamping itu, arus globalisasi yang berjalan pesat yang ditunjang oleh

perkembangan teknologi informasi telah mengubah pola hubungan antara Negara dan warga

dengan pemerintahannya. Hukum sebagai perekat kehidupan berbangsa dan bernegara bermakna

bahwa dalam Negara Republik Indonesia terdapat satu kesatuan system hukum nasional

Indonesia. System hukum nasional adalah system yang menganut asas kenusantaraan yang tetap

mengakui keanekaragaman atau heterogenitas hukum seperti hukum adat, hukum islam, hukum

agama lainnya, hukum kontemporer, dan hukum barat, serta merumuskan berbagai simpul yang

menjadi titik taut fungsional di antara aneka ragam kaidah yang ada melalui unifikasi terhadap

hukum-hukum tertentu yang dilakukan, baik secara parsial, maupun dalam bentuk kodifikasi.

b. Prinsip dasar Pembentukan Undang-Undang

Dalam Prolegnas dinyatakan bahwa, dalam pembentukan undang-undang secara komprhensif

perlu memperhatikan 3 dimensi, yaitu masa lalu yang terkait dengan sejarah perjuangan bangsa,

masa kini yaitu kondisi objektif yang ada sekarang dengan lingkungan strateginya dengan

memandang ke masa depan yang dicita citakan. Dalam kaitan itu, maka dalam penyusunan

program pembentukan undang-undang perlu mempertimbangkan heterogenitas hukum yang

terdiri dari hukum adat, hukum islam, hukum agama lainnya, hukum kontemporer, serta

pancasila dan undang-undang dasar republic Indonesia tahun 1945 sebagai sumber hukum

tertinggi.

Selain itu prinsip dasar dalam pembentukan undang-undang yang perlu dipegang teguh adalah:

1)      Kesetian kepada cita-cita Sumpah Pemuda, Proklamasi kemerdekaan 17 agustus, serta nilai-nilai

filosofi yang terkandung dalam pancasila, serta nilai-nilai konstitusional sebagaimana termaktub

dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2)      Terselenggaranya Negara hukum Indonesia yang demokratis, adil, sejahtera, dan damai

3)      Dikembangkannya norma-norma hukum dan pranata hukum baru dalam rangka mendukung dan

melandasi masyarakat secara berkelanjutan, tertib, lancer dan damai serta mengayomi seluruh

tumpah darah dan segenap bangsa Indonesia.

c. Tujuan Prolegnas

Beberapa tujuan Prolegnas yang diharapkan dapat dicapai saat ini adalah :

1)      Mempercepat proses pembentukan peraturan perundang-undangan sebagai bagian dari

pembentukan system hukum nasional

2)      Membentuk peraturan perundang-undangan sebagai landasan dan perekat bidang pembangunan

lainnya serta mengaktualisasikan fungsi hukum sebagai sarana rekayasa social/pembangunan,

instrument pencegah/penyelesaian sengketa, pengatur perilaku anggota masyarakat dan sarana

pengintegrasi bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia

3)      Mendukung upaya dalam rangka mewujudkan supremasi, terutama penggantian terhadap

peraturan perundang-undangan warisan colonial dan hukum nasional yang sudah tidak sesuai

dengan perkembangan masyarakat.

4)      Menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang sudah ada selama ini namun tidak sesuai

dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat, dan

5)      Membentuk peraturan perundang-undangan baru sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan

masyarakat. 

d. Kondisi objektif

Penetapan Prolegnas ini diperlukan oleh karena, meskipun sejak tahun 1993 bidang hukum telah

dijadikan bidang pembangunan tersendiri dan pada era reformasi pembangunan bidang hukum

diberikan prioritas yang tinggi, namun dalam kenyataannya masih dijumpai berbagai

permasalahan di dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat sebagai

berikut ;

1)      Prolegnas sebagai bagian dari Program Pembangunan Nasional belum sepenuhnya dilaksanakan

karena lemahnya koordinasi dan sikap mengutamakan kepentingan sektoral dalam pembentukan

peraturan perundang-undangan;

2)      Kemampuan lembaga pembentuk undang-undang dalam menyelesaikan pembentukan undang-

undang masih belum optimal karena belum dibakukannya cara cara dan metode perencanaan,

penyusunan dan pembahasa rancangan undang-undang, dan masih kurangnya tenaga fungsional

perancang peraturan perundang-undangan

3)      Partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan rancangan undang-undang dan pembahasannya

di Dewan Perwakilan Rakyat belum maksimal dan aspirasi masyarakat terutama yang terkait

dengan substansi suatu rancangan undang-undangan, seringkali tidak terakomodasi sehingga

suatu rancangan undang-undang ketika disahkan menjadi undang-undnag mendapat reaksi keras

dari masyarakat;

4)      Perubahan system ketatanegaraan yang terjadi pasca amandemen Undnag-Undang Dasar Negara

Republik Indaonesia Tahun 1945 belum secara tuntas diikuti dengan pembentukan undang-

undang pelaksanaannya.;

5)      Hukum positif maasih banyak yang tumpang tindih, tidak konsisten, baik secara vertical maupun

horizontal, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum;

6)      Bahasa hukum yang digunakan belum baku dan sering tidak sesuai Kaidah Bahasa Indonesia

yang baik dan benar, sehingga rumusan suatu ketentuan dari undang-undang tidak jelas dan multi

tafsir

7)      Peraturan pelaksanaan undang-undang tidak segera diterbitkan atau terdapat jarak waktu yang

cukup lama antara berlakunya undang-undang dengan penerbitan peraturan pelaksanaannya,

sehingga undang-undang tidak terlaksana secara efektif;

8)      Masih terdapat peraturan perundang-undangan yang diskriminatif, bias jender, dan kurang

responsif terhadap perlindungan hak asasi manusia terutama hak-hak kelompok yang lemah dan

marjinal;

9)       Sebagai bagian dari masyarakat dunia, perlu selektif diadopsi konvensi-konvensi internasional

dalam rangka memasuki era perdagangan bebas dan mendukung upaya perlindungan hak asasi

manusia, pelestarian lingkungan hidup, pemeberantasan kejahatan transnasional dan

extraordinary crime yang mengancam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

e. Visi misi

Dalam Prolegnas Tahun 2005 s/d 2009 dirumuskan bahwa, penyusunan Prolegnas didasarkan

pada visi pembangunan hukum nasional, yaitu;

“ Terwujudnya Negara hukum yang adil dan demokratis melalui pembangunan system hukum

nasional dengan membentuk peraturan perundang-undangan yang aspiratif, berintikan keadilan

dan kebenaran yang mengabdi kepada kepentingan rakyat dan bangsa di dalam bingkai NKRI

untuk melindungi segenap rakyat dan bangsa, serta tumpah darah Indonesia, memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia

yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social berdasarkan Pancasila dan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”

Sementara itu, untuk mencapai visi tersebut diatas, maka Prolegnas disusun dengan misi sebagai

berikut;

1)      Mewujudkan materi hukum di segala bidang dalam rangka penggantian terhadap Peraturan

Perundang-undangan warisan colonial dan hukum nasional yang sudah tidak sesuai dengan

perkembangan masyarakat yang mengandung kepastian, keadilan dan kebenaran, dengan

memperhatikan nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat

2)      Mewujudkan budaya hukum dan masyarakat yang sadar hukum

3)      Mewujudkan aparatur hukum yang berkualitas, professional, bermoral, dan berintegritas tinggi

4)      Mewujudkan lembaga hukum yang kuat, terintegrasi dan berwibawa. 

BAB IV

PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI

UNDANG_UNDANG (PERPU)

1)      Proses Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang_Undang (Perpu)

Adalah peraturan yang dibentuk oleh Presiden dalam “hal ihwal kepentingan yang memaksa”,

oleh karena itu proses pembentukannya agak berbeda dengan pembentukan suatu undang-

undang.

Dasar hukumnya adalah sebagai berikut :

  Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945beserta penjelasannya

  Pasal 24 Undang-Undang No. 24 Th. 2004 tentang Peraturan Pembentukan Undang-Undang.

  Pasal 36 s/d 38 Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005 tentang Tata cara Mempersiapkan Rancangan

Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Rancangan

Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.

2)      Proses Penetapan, dan Pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Dasar hukumnya adalah sebagai berikut ;

a.       Pasal 8 ayat (1) Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan, dan

Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan

“Presiden menetapkan rancangan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, rancangan

peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden yang telah disusun berdasarkan

ketentuan mengenai tata cara mempersiapkan rancangan undang-undang, rancangan peraturan

pemerintah pengganti undang-undang, rancangan peraturan pemerintah dan rancangan peraturan

presiden”.

3)      Proses Pemberian Persetujuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) oleh

Dewan Perwakilan Rakyat

Menurut ketentuan dalam Pasal 36 Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan, maka pembahsan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang dilakukan dengan cara :

1)      Pembahasan rancangan undang-undang tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti

undang-undang menjadi undang-undang dilaksanakan melalui mekanisme yang sama dengan

pembahasan rancangan undang-undang.

2)      Dewan Perwakilan Rakyat hanya menerima atau menolak Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang.

3)      Dalam hal rancangan undang-undang mengenai penetapan peraturan pemerintah pengganti

undang-undang menjadi undang-undang ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat maka Peraturan

Pemerintah Pengganti undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku.

4)      Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditolak Dewan Perwakilan Rakyat

maka Presiden mengajukan rancangan undang-undang tentang pencabutan peraturan pemerintah

pengganti undang-undang tersebut yang dapat mengatur pula segala akibat dari penolakan

tersebut.

Sementara itu, menurut Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia No. 08/DPR

RI/I/2005-2006 tentang Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,

rancangan undang-undang yang berasal dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(PERPU) tersebut akan dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan prosedur pembahasan

Rancangan Undang-Undang yang berasal dari Pemerintah, yaitu berdasarkan ketentuan Pasal

136, Pasal 137, dan Pasal 138. Ketentuan tersebut dirumuskan dalam Pasal 140 Peraturan Tata

Tertib Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 140

1)      Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus mendapat persetujuan DPR dalam

persidangan yang berikut

2)      Terhadap pembahasan dan penyelesaian Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136, Pasal 137, dan 138, dengan

memperhatikan ketentuan yang khusus berlaku bagi rancangan undang-undang yang berasal dari

Pemerintah (Lihat Bab II Sub. Bab G).

BAB V

PROSES PEMBENTUKAN PERATURAN PEMERINTAH DAN PERATURAN PRESIDEN

  Proses Pembentukan Peraturan Pemerintah (Menurut Undang-Undang No. 10 Th. 2004)

Proses pembentukan suatu Peraturan Pemerintah adalah kewenangan Presiden dalam

melaksanakan undang-undang yang tidak melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat. Selama ini

pemebentukan Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Presiden (dulu Keputusan Presiden) dan

peraturan perundang-undangan lainnya dilaksanakan menurut Keputusan Presiden No. 188 Th.

1998 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancanagan Undang-Undang.

Sebenarnya Keputusan Presiden No. 188 Th. 1998 hanya mengatur Tata Cara Mempersiapkan

Rancangan Undang-Undang Akan tetapi, proses Pembentukan Peraturan Pemerintah, dan

Keputusan Presiden serta Peraturan Perundang-Undangan lainnya diselenggarakan juga sesuai

tata cara tersebut

Dalam pasal 24 Undang-Undnag No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Undang-

Undang, ditetapkan bahwa :

“ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan rancangan undang-undang peraturan

pemerintah pengganti undang-undang, rancangan peraturan pemerintah, dan rancangan peraturan

presiden diatur dengan peraturan presiden.”

Dalam Pasal 39 Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005 tersebut dirumuskan bahwa, “dalam

penyusunan rancangan Pereturan Pemerintah, Pemrakarsa membentuk panitia Antardepartemen,

tata cara pembetukan Panitia Antardepartemen, Pengharmonisasian, Penyusunan, dan

Penyampaian Rancangan Peraturan Pemerintah kepada Presiden berlaku mutatis mutandis

ketentuan Bab II.”

Dengan rumusan a’berlaku mutatis mutandis” dalam Pasal 39 Peraturan Presiden No. 68 Th.

2005 tersebut, maka penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah disesuaikan dengan ketentuan

dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 24. Penerapan ketentuan dalam Bab II Peraturan Presiden

No. 6 Th. 2005 tersebut adalah sebatas pengaturan terhadap hal-hal yang tidak berhubungan

dengan Dewan Perwakilan Rakyat, oleh karena Pembentukan Peraturan Pemerintah adalah

merupakan wewenang pengaturan dari Presiden (lihat Bab I Huruf C).

  Penetapan, dan Pengundangan Peraturan Pemerintah (Menurut Peraturan Presiden No. 1 Th. 2007)

Dalam Pasal 8 ayat (1) Peraturan Presiden No. 1 Th. 2007 tentang Pengesahan,Pengundangan,

dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan dirumuskan bahwa :

 “Presiden menetapkan rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang, Rancangan

Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden yang telah disusun berdasarkan

ketentuan mengenai tata cara mempersiapkan rancangan undang-undang, rancangan Pemerintah

Pemerintah pengganti undang-undang, rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan

Peraturan Presiden.”

Untuk melaksanakan ketentuan tersebut, Menteri Sekretaris Negara melakukan penyiapan

naskah rancangan Peraturan Pemerintah, kemudian Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah

dengan membubuhkan tanda tangan, sesuai Pasal 8 ayat (2) huruf a dan ayat (3) Peraturan

Presiden No. 1 Th. 2007. Sesudah itu, Menteri Sekretaris Negara membubuhkan nomor dan

tahun pada naskah Peraturan Pemerintah untuk disampaikan kepeda  Menteri untuk

diundangkan (Pasal 8 ayat (4) huruf a Peraturan Presiden No. 1 Th. 2007).

Menteri akan mengundangkan Peraturan Pemerintah tersebut dengan menetapkannya dalam

Lembaran Negara Republik Indonesia disertai nomor dan tahunnya, menempatkan penjelasannya

dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dengan memberikan nomor. {Pasal 9

ayat (1), ayat (2), ayat (3) Peraturan Presiden No. 1 Th. 2007}

Selanjutnya Menteri akan menandatangani pengundangan dengan membubuhkan tanda tangan

pada naskah Peraturan Pemerintah dan menyampaikannya kepada Menteri Sekretaris Negara

untuk disimpan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. (Pasal 10 Peraturan

Presiden No. 1 Th. 2007).    

  Pembentukan Peraturan Presiden (menurut Undang-Undang No. 10 Th. 2007)

Sama halnya dengan proses pembentukan Peraturan Pemerintah, pembentukan suatu Peraturan

Presiden dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Presiden yang dimaksudkan dalam

Pasal 24 Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan, yaitu Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan

Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,

Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden.

Dalam Pasal 40 Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005 tersebut dirumuskan bahwa, “Dalam

penyusunan Rancangan Peraturan Presiden, Pemrakarsa dapat membentuk Panitia

Antardepartemen, dan tata cara pembentukan Panitia Antardepartemen, Pengharmonisasian,

Penyusunan, dan Penyampaian Rancangan Peraturan Presiden kepada Presiden berlaku mutatis

mutandis ketentuan Bab II.”

Dalam rumusan “berlaku mutatis mutandisaa” dalam Pasal 39 Peraturan Presiden No. 68 Th.

2005 tersebut, maka penyusunan Rancangan Peraturan Presiden disesuaikan dengan ketentuan

dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 24. Penerapan ketentuan dalam Bab II Peraturan Presiden

No. 6 Th. 2005 tersebut adalah sebatas pengaturan terhadap hal-hal yang tidak berhubungan

dengan Dewan Perwakilan Rakyat, oleh karena Peraturan Presiden adalah merupakan wewenang

pengaturan dari Presiden {Lihat uraian Bab I huruf C}.

  Penetapan, dan Pengundangan Peraturan Presiden (Menurut Peraturan Presiden No. 1 Th. 2007)

Dalam Pasal 8 ayat (1) Peraturan Presiden No. 1 Th. 2007 tentang Pengesahan, Pengundangan,

dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan dirumuskan bahwa :

“Presiden menetapkan Rancangan Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang, Rancangan

Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden yang telah disusun berdasarkan

ketentuan mengenai tata cara mempersiapkan rancangan undang-undang, rancangan peraturan

pemerintah pengganti undang-undang , rancangan peraturan pemerintah dan rancangan peraturan

presiden.”

Dalam Pasal 9 ayat (4) Peraturan Presiden dilakukan sepanjang mengenai ;

a.       Pengesahan perjanjian antara Republik Indonesia dan Negara lain atau badan internasional; dan

b.      Pernyataan keadaan bahaya.

           

  Penetapan, dan Pengundangan Peraturan Perundang-Undangan lainnya (Menurut Peraturan

Presiden)

Dalam pasal 46 ayat (1) huruf d Undang-Undang No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan dirumuskan tentang adanya peraturan perundang-undangan

lainnya dengan rumusan “Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan

Perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik

Indonesia” sebagai berikut:

Dalam undang-undang No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

dan Peraturan Presiden No. 68 Th. 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-

Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan

Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden, tidak dirumuskan bagaimana proses

pembentukan peraturan perundang-undangan yang berada dibawah Peratran Presiden; namun

demikian dalam Pasal 11 Peraturan Presiden No. 1 Th. 2007 tentang tentang Pengesahan,

Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan ditetapkan bahwa, Peraturan

Perundang-undangan yang dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1) huruf d tersebut ditetapkan oleh

Pimpinan Lembaga yang bersangkutan sesuai peraturan perundang-undangan.

Sesuai ketentuan dalam Pasal 46 ayat (1) huruf d Undang-Undangan No. 10 Th. 2004, Peraturan

Perundang-Undangan yang ditetapkan oleh Pimpinan Lembaga tersebut harus diundangkan, dan

pengundangannya dilakukan oleh Menteri. Pimpinan Lembaga setelah menatapkan peraturan

perundang-undangan tersebut menyampaikan naskahnya yang telah diberi nomor dan tahun

kepada Menteri untuk diundangkan. (Pasal 12 Peraturan Presiden No. 1 Th. 2007).

Menteri mengundangkan peraturan perundang-undangan tersebut dengan menempatkannya

dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dengan membubuhkan nomor dan tahun, dan

menempatkan penjelasannya adalan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dengan

membubuhkan nomornya. (Paasal 13 Peraturan Presiden No. 1 Th. 2007)

Selanjutnya Menteri menandatangani pengundangan peraturan perundang-undangan dengan

membubuhkan tanda tangan pada naskah peraturan perundang-undangan tersebut, kemudian

menyampaikannya kepada Sekretariat Lembaga yang bersangkutan untuk disimpan sesusi

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB VI

KERANGKA ATAU BENTUK LUAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

1)      Pendahuluan

Undang-undangan No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan secara

tegas menetapakn dalam Pasal 44 bahwa, teknik penyusunan peraturan perundang-undangan

dilakukan sebagaimana tercantum dalam Lampiran Undang-Undang tersebut, yang berlaku untuk

penyusunan peraturan perundang-undangan ditingkat Pusat, maupun ditingkat Daerah. Secara

keseluruhan Pasal 44 dirumuskan sebagai berikut :

a.       Penyusunan rancangan peraturan perundang-undangan dilakukan dengan sesuai teknik

peyusunan peraturan perundang-undangan;

b.      Ketentuan mengenai teknik penyusunan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang.;

c.       Ketentuan lebih lanjut mengenai perubahan terhadap teknik penyusunan peraturan perundang-

undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.

2)      Kerangka (Kenvorm) Peraturan Perundang-Undangan

Kerangka (bentu luar, Konverm) peraturan perundang-undangan yang dimaksud dalam Undang-

Undang No. 10 Th. 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan meliputi :

1)      Judul

Judul suatu peraturan perundang-undangan adalah uraian singkat tentang isi peraturan

perundang-undangan, yang didahului dengan penyebutan jenis, nomor dan tahun pengundangan

atau penetapan, serta kalimat singkat yang mencerminkan nama dari peraturan perundang-

undangan yang bersangkutan.

2)      Pembukaan

Pembukaan (aanhef) suatu peraturan perundang-undangan terdiri atas Frase “Dengan Rahmat

Tuhan Yang Maha Esa”, jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan, Konsideran

”Menimbang” dan dasar hukum pembentukan “Mengingat”, serta Diktum.

a.       Frase “Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa.”

Ditulis seluruhnya dengan huruf Kapital yang diletakkan ditengah marjin tanpa diakhiri tanda

baca pada pembukaan undang-undang, yang mencerminkan bahwa rumusan undang-undang

yang dibentuk tersebut dipenuhi oleh Rahmat Tuhan Yang Maha Esa.

b.      Jabatan Pembentuk Peraturan Perundang-undangan

Adalah penyebutan terhadap Presiden Republik Indonesia selaku pejabat yang berwenang

mengesahkan undang-undang tersebut.

c.       Konsiderans “Menimbang”

Adalah alasan-alasan atau pertimbangan mengapa undang-undang tersebut perlu dibentuk.

d.      Dasar hukum “Mengingat”

Dasar hukum suatu Undang-Undang adalah landasan yang bersifat yuridis bagi pembentukan

undang-undang tersebut.

e.       Diktum.

Dictum suatu undang-undang adalah penyebutan/penulisan nama dari undang-undang yang

dibentuk, dan nama tersebut disesuaikan dengan nama yang tertulis dalam judul Undang-Undang

tersebut.

3)      Batang Tubuh

Batang tubuh suatu Undang-Undang memuat rumusan-rumusan materi muatan//substansi dari

Undang-undang, yang dirumuskan dalam pasal (-Pasal) karena pasal merupakan satuan acuan

dalam suatu Undang-Undang.

Menurut A. Hamid Attamini (1990), mengutip DWP Ruiter, pasal-pasal dalam Batang Tubuh

suatu Undang-Undang dirumuskan dalam kalimat yang normative, atau rumusan lainnya yang

memuat tentang: (Maria Farida Indrati, 2007:98)

        Aturan tingkah laku, yang berupa :

o   Perintah;

o   Larangan;

o   Pengizinan; dan

o   Pembebasan

        Ketentuan tentang wewenang

        Ketentuan tentang penetapan yang terdiri atas ;

o   Berwenang

o   Tidak berwenang, dan

o   Boleh tapi tidak harus

Batang tubuh suatu Undang-Undang dapat terdiri atas:

a.       Ketentuan umum

Dapat memuat hal-hal yang merupakan ketentuan-ketentuan yang bersifat umum seperti

defenisis, ketentuan-ketentuan pengertian, singkatan, atau penyebutan seorang Menteri atau

Pejabat yang dipakai dalam undang-undang tersebut.

b.      Materi pokok yang diatur

Dalam suatu undang-undang tidak dapat dibatasi sehingga luas atau tidaknya materi dalam

Undang-Undang tergantung pada kebutuhan dari masing-masing undang-undang.

c.       Ketentuan pidana (Jika diperlukan)

Merupakan ketentuan yang tidak mutlak ada dalam suatu Undang-Undang sehingga perumusan

ketentuan pidana tersebut tergantung pada masing-masing undang-undang

d.      Ketentuan peralihan (Jika diperlukan)

Merupakan ketentuan yang besifat transito, yaitu ketentuan yang mengatur mengenai

penyesuaian keadaan yang sudah ada pada saat berlakunya Undang-Undang yang baru dibentuk

tersebut sehingga undang-undang yang baru dapat berjalan lancer dan tidak membawa dampak

yang tidak dikehendaki dalam masyarakat.

e.       Ketentuan Penutup.

Merupakan bagian akhir dari batang tubuh suatu undang-undang, yang biasanya memuat

ketentuan-ketentuan sebagai berikut:

        Penunjukan organ atau alat kelengkapan yang diikutsertakan dalam pelaksanaan undang-undang

tersebut, yang dapat berupa:

o   Pelaksanaan suatu yang bersifat menjalankan, yang menunjuk pejabat tertentu yangdiberi 

wewenang untuk memberikan surat izin, mengangkat pegawai, atau menunjuk pejabat tertentu

untuk menyidik pelanggaran ketentuan dalam undang-undang tersebut; atau

o   Pelaksanaan sesuatu yang bersifat mengatur, yaitu pendelegasian wewenang untuk membuat

peraturan pelaksana dari undang-undang yang bersangkutan kepada lembaga atau pejabat

tertentu.

        Penyingkatan nama atau judul kutipan pada undang-undang baru yang memiliki nama atau judul

terlalu panjang

        Ketentuan tentang pengaruh undang-undang yang baru terhadap peraturan perundang-undangan

(undang-undang) yang lain

        Ketentuan tentang saat mulai berlakunya undang-undang baru tersebut.

4)      Penutup

Penutup suatu undang-undang merupakan bagian akhir dari suatu undang-undang, yang

memuat ;

a.       Rumusan perintah pengundangan dan penempatan undang-undang dalam Lembaran Negara

Republik Indonesia dan Berita Negara RI yang berbunyi;

b.      Penandatanganan, pengesahan, atau penetapan undang-undang;

c.       Pengundangan undang-undang;

d.      Akhir bagian penutup.

5)      Penjelasan (Jika diperlukan)

Pada dasarnya, setiap undang-undang yang baaru dibentuk memerlukan penjelasan.

6)      Lampiran (Jika diperlukan)

Suatu undang-undang yang baru dibentuk kadang-kadang memerlukan lampiran. Lampiran dapat

berupa suatu gambar/lambing, peta lokasi, grafik, atau suatu system penghitungan yang

merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan undang-undang yang baru dibentuk

tersebut.

Sumber : Buku Ilmu Perundang-Undangan Jilid II olh Ny. Maria Farida Indrati

Soeprapto, S.H.,M.H.